BIMKGI Edisi 1

42

description

Berkembangnya ilmu pengetahuan dan teknologi di berbagai bidang bukanlah hal yang dapat dielakkan lagi. Termasuk dalam bidang kedokteran gigi yang mengalami kemajuan pesat seiring berjalannya waktu. Perkembangan dan kemajuan tersebut tidak serta merta terjadi, melainkan dipacu oleh tuntutan konsumen, dalam hal ini pasien, dan kesadaran dari praktisi di bidang kedokteran gigi untuk memberikan pelayanan terbaik.Jurnal atau berkala ilmiah yang memuat penelitian serta temuan termutakhir menjadi media yang tepat untuk memantau perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi tersebut. Selain itu, dengan adanya berkala ilmiah, dapat menyamaratakan pengetahuan dalam bidang kedokteran gigi, bukan hanya untuk para praktisi yang menggeluti bidang tersebut, tetapi juga masyarakat awam yang notabene-nya menjadi konsumen dalam setiap perawatan gigi dan mulut.Bukan hanya praktisi, mahasiswa kedokteran gigi pun sebaiknya berperan aktif dalam pengembangan ilmu pengetahuan dan teknologi di bidang kedokteran gigi. Sudah bukan masanya lagi bagi mahasiswa untuk berdiam diri dan hanya menerima hasil jadi produk ilmu pengetahuan dan teknologi. Sebaliknya, status ‘mahasiswa’ tidak menghalangi seorang individu untuk turut berkontribusi dalam mengembangkan ilmu pengetahuan dan teknologi. Justru dengan menyandang status tersebut, mahasiswa yang memiliki privilege untuk belajar, seharusnya memanfaatkan kesempatannya tersebut untuk mendalami, menganalisa, serta mengembangkan ilmu pengetahuan dan teknologi dengan optimal dan lebih baik lagi.Berkala Ilmiah Mahasiswa Kesehatan Gigi Indonesia (BIMKGI) diharapkan dapat menjadi media tukar ilmu, pengetahuan, serta informasi mengenai perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi terbaru yang mudah diakses, baik untuk antar-mahasiswa, praktisi, dan masyarakat awam di Indonesia. Di samping itu, dengan adanya BIMKGI diharapkan dapat menjadi wadah serta memacu mahasiswa untuk mempublikasikan karya-karya terbarunya, baik berupa hasil penelitian, maupun case report. Semoga harapan ini dapat menjadi pemicu dan pemacu semua mahasiswa kedokteran gigi di Indonesia untuk turut berpartisipasi dalam pengembangan ilmu pengetahuan dan teknologi melalui karya nyata yang dilandasi motivasi sebagai pengabdi yang berdedikasi tinggi.Redaksi mengucapkan terimakasih dan selamat pada para penulis yang telah memberikan kontribusi signifikan dalam pengembangan ilmu dan teknologi dalam bidang kdokteran gigi. Redaksi juga mengucapkan banyk terimakasih kepada para pakar (tim reviewer) yang telah meluangkan waktunya untuk menilai naskah yang dimuat dalam edisi ini. Pada kesempatan ini, redaksi kembali mengundang pada praktsi, akademisi dan peneliti di bidang kedokteran gigi untuk mempublikasikan hasil penelitiannya, maupun ide - ide, gagasan baru dan orisinil.Akhirnya redaksi hanya bisa berharap semoga artikel - artikel ilmiah yang termuat dalam jurnal ini dapat memberikan inspirasi bagi para pembaca untuk berperan aktif dalam rangka pengembangan ilmu dan teknologi terutama di bidang kedokteran gigi.

Transcript of BIMKGI Edisi 1

Page 1: BIMKGI Edisi 1
Page 2: BIMKGI Edisi 1

[i]BIMKGI Vol. 1 No. 1 Edisi Oktober 2012

Susunan Pengu ru s

P e l i n d u n gSekretaris Jendral Persatuan Senat Mahasiswa Kedokteran Gigi Indonesia (PSMKGI)

P e m i m p i n U m u mUfo Pramigi, S.KG (Universitas Airlangga)

P e m i m p i n A h l i Saka Winias, S.KG

P e n y u n t i n g A h l iDr. Ernie Maduratna, drg., M.Kes., Sp. Perio (K). (Universitas Airlangga)

Ketut Suardita, drg., Sp.KG. (Universitas Airlangga)Adi Hapsoro, drg., M.S. (Universitas Airlangga)

Tania Saskianti, drg., Ph.D., Sp.KGA. (Universitas Airlangga)Desiana Radithia, drg., Sp.PM. (Universitas Airlangga)

Irma Josefina, drg., Ph.D., Sp.Perio. (Universitas Airlangga)Madjidah, drg., Sp.Perio. (Dental Practitioner)

P e n y u n t i n g P e l a k s a n aNur Riflianty R, S.KG., Alivy Aulia Azzahra, S.KG., Fitria Rahmitasari, S.KG.,

Tiarisna H N, Nayu Nur Annisa S, Izzatul Barr El Haq

L a y o u t d a n T a t a L e t a kIrham M. Adinugraha, Lidyana F., Diesta Dhania Pertiwi

H u m a s d a n P r o m o s iMoh. Khafid, Imam S. Azhar, S.KG., Ririh Khrisnanti

I n f o r m a t i o n a n d C o m m u n i c a t i o n T e c h n o l o g yBandaru Rahmatari, Novita Aristianty

P e l a k s a n a A d m i n i s t r a t i fElda Yuliantari (Sekretaris), Reindasty T (Sekretaris), Zahrina Sandra (Keuangan)

Sekretariat :Kampus A Universitas AirlanggaJl. Mayjen. Prof. Dr. Moestopo 47, SurabayaNo. Telp. 031-5020251, 5030253, Fax.031-5022472bimkgi.bimkes.org [email protected]

Page 3: BIMKGI Edisi 1

[ii]BIMKGI Vol. 1 No. 1 Edisi Oktober 2012

Daftar IsiSusunan PengurusB e r k a l a I l m i a h M a h a s i s w a K e d o k t e r a n G i g i I n d o n e s i a . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . i

Daftar IsiB e r k a l a I l m i a h M a h a s i s w a K e d o k t e r a n G i g i I n d o n e s i a . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . ii

Sambutan Pimpinan RedaksiS a k a W i n i a s , S K G . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . iv

Literature Study : Antibodi Monoklonal Streptococcus Mutans 1 (C) 67 kDa sebagai Imunisasi Pasif dalam Alternatif Pencegahan Karies Gigi secara TopikalB e r l i a n B i d a r i s u g m a , S e k a r P u t r i T i m u r , R i z k i P u r n a m a s a r i . . . . . . . . . . . . 1

Literature Study : Potensi Pemanfaatan Flavonoid Limbah Kulit Kakao (Theobro-ma Cacao L.) sebagai Bahan Tambahan Pembuatan Permen AntikariogenikD i o A r i e s t a n t o , M u h a m m a d L u t f a n , Y u s n i d a F u r o i d a . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . 8

Case Study : Splinting Tetap dengan Benang Fiber Polyethylene di Geligi Anterior MandibulaT i k a R a h a r j o . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . 11

Research : Pemanfaatan Ekstrak Kecubung (Datura Metel) untuk Mengatasi Nyeri Gigi dan Gingiva

S y l v i a P a u l i n a P a n g g o n o , N a b i l l a V i d y a z t i , F i t r i D w i A g u s P r a t i w i , N a n d a R a c h m a d P . G . , S y a f i r a D i k e N u r , E r i c P r i y o P r a s e t y o . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . 1 5

Literature Study : Potensi Periodontal Ligament Stem Cell sebagai Terapi pasca Bedah Eksisi Tulang Alveolar pada Penderita AmeloblastomaN a y u N u r A n n i s a S o l i k h i n , A c h m a d Z a m Z a m A g h a z y . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . 1 9

Advertorial : Dental Health’s Card for Children (DENTOCHIL) sebagai Instrumen Pendukung Pencegahan Penyakit Gigi dan Mulut pada AnakI m r a a t u l F A , N a y u N u r A S , A d l i a F a d i a , M i c h a e l S a l o m o , S e r v y A u l i a . . . . . . . . . . . . . . . . . . . 2 6

Page 4: BIMKGI Edisi 1

[iii]BIMKGI Vol. 1 No. 1 Edisi Oktober 2012

Literature Study : Potensi Flavonoid yang Terkandung dalam Propolis Lebah sebagai Terapi Periodontitis AgresifN i r m a l a M a u l i d a K . , D i a h A n d r y a n t i n i , I s n a d i a N a b a ’ a t i n . . . . . . . . . . . . 3 1

Page 5: BIMKGI Edisi 1

[iv]BIMKGI Vol. 1 No. 1 Edisi Oktober 2012

Salam Pimpinan RedaksiBerkembangnya ilmu pengetahuan dan teknologi di berbagai bidang bukanlah hal

yang dapat dielakkan lagi. Termasuk dalam bidang kedokteran gigi yang mengalami kemajuan pesat seiring berjalannya waktu. Perkembangan dan kemajuan tersebut tidak serta merta terjadi, melainkan dipacu oleh tuntutan konsumen, dalam hal ini pasien, dan kesadaran dari praktisi di bidang kedokteran gigi untuk memberikan pelayanan terbaik.Jurnal atau berkala ilmiah yang memuat penelitian serta temuan termutakhir menjadi media yang tepat untuk memantau perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi tersebut. Selain itu, dengan adanya berkala ilmiah, dapat menyamaratakan pengetahuan dalam bidang kedokteran gigi, bukan hanya untuk para praktisi yang menggeluti bidang tersebut, tetapi juga masyarakat awam yang notabene-nya menjadi konsumen dalam se-tiap perawatan gigi dan mulut. Bukan hanya praktisi, mahasiswa kedokteran gigi pun sebaiknya berperan ak-tif dalam pengembangan ilmu pengetahuan dan teknologi di bidang kedokteran gigi. Sudah bukan masanya lagi bagi mahasiswa untuk berdiam diri dan hanya menerima hasil jadi produk ilmu pengetahuan dan teknologi. Sebaliknya, status ‘mahasiswa’ tidak menghalangi seorang individu untuk turut berkontribusi dalam mengembangkan ilmu pengetahuan dan teknologi. Justru dengan menyandang status tersebut, mahasiswa yang memiliki privilege untuk belajar, seharusnya memanfaatkan kesempatannya tersebut un-tuk mendalami, menganalisa, serta mengembangkan ilmu pengetahuan dan teknologi dengan optimal dan lebih baik lagi. Berkala Ilmiah Mahasiswa Kesehatan Gigi Indonesia (BIMKGI) diharapkan dapat menjadi media tukar ilmu, pengetahuan, serta informasi mengenai perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi terbaru yang mudah diakses, baik untuk antar-mahasiswa, praktisi, dan masyarakat awam di Indonesia. Di samping itu, dengan adanya BIMKGI diharapkan dapat menjadi wadah serta memacu mahasiswa untuk mempublikasikan kar-ya-karya terbarunya, baik berupa hasil penelitian, maupun case report. Semoga harapan ini dapat menjadi pemicu dan pemacu semua mahasiswa kedokteran gigi di Indonesia untuk turut berpartisipasi dalam pengembangan ilmu pengetahuan dan teknologi mela-lui karya nyata yang dilandasi motivasi sebagai pengabdi yang berdedikasi tinggi. Redaksi mengucapkan terimakasih dan selamat pada para penulis yang telah memberikan kontribusi signifikan dalam pengembangan ilmu dan teknologi dalam bi-dang kdokteran gigi. Redaksi juga mengucapkan banyk terimakasih kepada para pakar (tim reviewer) yang telah meluangkan waktunya untuk menilai naskah yang dimuat dalam edisi ini. Pada kesempatan ini, redaksi kembali mengundang pada praktsi, akad-emisi dan peneliti di bidang kedokteran gigi untuk mempublikasikan hasil penelitiannya, maupun ide - ide, gagasan baru dan orisinil.Akhirnya redaksi hanya bisa berharap semoga artikel - artikel ilmiah yang termuat dalam jurnal ini dapat memberikan inspirasi bagi para pembaca untuk berperan aktif dalam rangka pengembangan ilmu dan teknologi terutama di bidang kedokteran gigi. Surabaya, 19 Oktober 2012,

Saka Winias (Pemimpin Redaksi)

Page 6: BIMKGI Edisi 1

Berkala Ilmiah Mahasiswa Kedokteran Gigi Indonesia

[1]BIMKGI Vol. 1 No. 1 Edisi Oktober 2012

Literature Study

Antibodi Monoklonal Streptococcus Mutans 1 (c) 67 kDa sebagai Imunisasi Pasif dalam Alternatif Pencegahan Karies Gigi secara

TopikalBerlian Bidarisugma1, Sekar Putri Timur1, Rizki Purnamasari1

AbstractDental caries is a disease which is caused by the interaction between the host (tooth), agent

(bacteria Streptococcus mutans), and environment (carbohydrate). Although the cause is multifactorial, but it can be said that the trigger of dental caries is bacteria Streptococcus mutans, particularly serotype c. The prevalence of dental caries in Indonesia is high, about 72,1% depend on SKRT 2007. The high prevalence of caries requires high prevention too, one of that is by control plaque. Nowdays,it was being developed for the prevention of caries passive immunization by using monoclonal antibodies topically. The working principle of immunization is to induce a cellular immune response and humoral immune responses in the oral cavity to prevent dental plaque formation and colonization of Streptococcus mutans on tooth surfaces, so that dental caries can be prevented. Locally passive immunization with monoclonal antibodies is an effective anticaries immunization with monoclonal antibodies and this will eliminate Streptococcus mutans for a long time in oral cavity. Streptococcus mutans monoclonal antibody 1 (c) 67 kDa is a monoclonal antibody of the bacteria Streptococcus mutans 1 (c) has been done so that the specific purification of the 67 kDa protein from the bacterium Streptococcus mutans serotype c. Monoclonal antibodies prevent the adhesion between the bacteria Streptococcus mutans receptor tooth structure so bacteria can’t produce acid, then not going process of demineralization of the enamel surface and a normal pH of the oral cavity. Prevention of caries with Streptococcus mutans monoclonal antibody 1 (c) 67 kDa can improve dental health. To make this usable, It need to mix Streptococcus mutans monoclonal antibody 1 (c) 67 kDa into the products of oral health care in topical such as tooth paste and mouthwash.keywords : monoclonal antibody, passive immunization,caries, Streptococcus mutans

AbstrakKaries merupakan suatu penyakit gigi yang disebabkan oleh interaksi antara host (gigi), agent

(bakteri Streptococcus mutans), dan environment (karbohidrat). Walaupun penyebabnya multifaktorial, namun pemicu terjadinya karies gigi adalah bakteri kariogenik Streptococcus mutans, terutama serotipe c. Prevalensi karies gigi di Indonesia cukup tinggi, yaitu sekitar 72,1% menurut SKRT 2007. Prevalensi karies yang tinggi memerlukan suatu pencegahan, salah satunya adalah dengan mencegah pembentukan plak. Saat ini sedang dikembangkan imunisasi pasif untuk pencegahan karies dengan menggunakan antibodi monoklonal secara topikal. Prinsip kerja imunisasi adalah dengan menginduksi respon imun seluler dan respon imun humoral di dalam rongga mulut untuk mencegah pembentukan plak gigi dan kolonisasi Streptococcus mutans pada permukaan gigi, sehingga karies gigi dapat dicegah. Imunisasi pasif secara lokal dengan antibodi monoklonal merupakan antikaries yang efektif dan imunisasi dengan antibodi monoklonal ini akan mengeliminasi Streptococcus mutans dalam waktu yang lama di dalam mulut. Antibodi monoklonal Streptococcus mutans 1 (c) 67 kDa merupakan antibodi monoklonal dari bakteri Streptococcus mutans 1 (c) yang telah dilakukan pemurnian sehingga spesifik terhadap protein 67 kDa dari bakteri Streptococcus mutans serotipe c. Antibodi monoklonal tersebut bisa mencegah perlekatan antara reseptor bakteri Streptococcus mutans dengan struktur gigi sehingga bakteri tidak menghasilkan asam, selanjutnya tidak terjadi proses demineralisasi pada permukaan enamel serta pH rongga mulut menjadi normal. Pencegahan karies dengan antibodi monoklonal Streptococcus mutans 1 (c) 67 kDa dapat meningkatkan kualitas kesehatan gigi. Dalam meningkatkan penggunaannya diperlukan suatu usaha pencampuran antibodi monoklonal Streptococcus mutans 1 (c) 67 kDa ke dalam produk-produk perawatan kesehatan gigi dan mulut secara topikal seperti pasta gigi dan obat kumur.Kata kunci : antibodi monoklonal, imunisasi pasif, karies gigi, Streptococcus mutans.

Page 7: BIMKGI Edisi 1

Antibodi Monoklonal Streptococcus Mutans

[2]BIMKGI Vol. 1 No. 1 Edisi Oktober 2012

PendahuluanMasalah utama yang sering terjadi pada rongga mulut adalah karies gigi. Prevalensi karies gigi pada negara maju terus menurun, sedangkan di negara-negara berkembang termasuk Indonesia ada kecenderungan meningkat. Data menunjukkan sekitar 80% penduduk Indonesia memiliki gigi rusak yang disebabkan berbagai faktor, namun yang paling banyak ditemui adalah karies atau gigi berlubang. Pada hampir setiap mulut orang Indonesia akan ditemukan dua hingga tiga gigi berlubang.1 Hasil Survei Kesehatan Rumah Tangga (SKRT) pada tahun 2007 menunjukkan bahwa tingkat prevalensi karies gigi di Indonesia mencapai 72,1%. Data dari Departemen Kesehatan juga menunjukkan bahwa angka keluhan sakit gigi oleh karena karies cukup tinggi, yaitu 1,3 % atau 2.620 penduduk Indonesia perbulan.2

Prevalensi karies yang cukup tinggi di Indonesia memunculkan suatu tindakan alternatif pencegahan yang merupakan upaya prioritas guna menekan angka prevalensi karies gigi.3 Pencegahan karies gigi yang telah dilakukan, diantaranya dengan memperbaiki nutrisi, mengurangi konsumsi diet kariogenik, meningkatkan kebersihan mulut, dan atau pemberian fluor sistemik atau topikal. Pencegahan secara perorangan juga telah dilakukan, misalnya memakai fissure sealant dengan bahan adhesif, namun semua itu belum memberikan hasil yang optimal, mengingat bahwa angka prevalensi karies gigi masih cukup tinggi.4

Cara lain dalam pencegahan karies adalah mengusahakan agar pembentukan plak pada permukaan gigi dapat dibatasi baik dengan cara mencegah pembentukannya atau dengan pembersihan plak secara teratur. Pengendalian plak dapat dilakukan dengan cara pembersihan plak secara mekanis seperti menggosok gigi dan penggunaan bahan antibakteri untuk menekan pertumbuhan Streptococcus mutans (S.mutans).5 Salah satu alternatif pencegahan karies gigi yang saat ini sedang dikembangkan adalah dengan menggunakan antibodi monoklonal S.mutans 1 (c) 67 kDa sebagai tindakan imunisasi pasif lokal.6

Berdasarkan penjelasan diatas, tujuan penulisan karya ilmiah ini adalah untuk mengetahui mekanisme kerja dari antibodi monoklonal S.mutans

1 (c) 67 kDa dalam upaya pencegahan karies gigi, khususnya di Indonesia, sehingga diharapkan antibodi monoklonal S.mutans 1 (c) 67 kDa dapat diaplikasikan bersama dengan produk-produk

perawatan kesehatan gigi secara topikal.

Tinjauan pustakaStreptococcus mutans (S. mutans)Streptococcus mutans termasuk famili Streptoccaceae dan merupakan bakteri kariogenik yang merupakan penyebab utama terjadinya karies gigi. Rongga mulut adalah habitat utama yang mampu menimbulkan kolonisasi bakteri pada permukaan gigi. S. mutans mampu memetabolisme karbohidrat sampai menjadi asam sehingga pH saliva dan pH plak mengalami penurunan hingga dibawah titik kritis yang pada akhirnya dapat menyebabkan larutnya enamel. Selain itu juga mampu mensintesis glukan dari sukrosa dan glukan yang terbentuk merupakan massa lengket, pekat dan tidak mudah larut serta berperan dalam perlekatan pada permukaan gigi.7

Menurut Soerodjo (1989), beberapa faktor yang menyebabkan S. mutans dianggap mempunyai peranan penting dalam terjadinya karies gigi, antara lain kemampuannya dalam membuat asam lebih cepat pada sukrosa dengan pH lebih rendah daripada Lactobacillus.8 Selain itu juga mampu menghasilkan pH optimum 5,5 yang diperlukan untuk demineralisasi gigi. Disebutkan juga bahwa S. mutans bersifat asidogenik (mempunyai kecepatan yang tinggi dalam menghasilkan asam), sehingga dapat menyebabkan demineralisasi hidroksiapatite.

a. Klasifikasi Streptococcus mutans9

Menurut Bergey dalam Capuccino (1998), klasifikasi S. mutans adalah sebagai berikut :Kingdom : MoneraDivisio : FirmicutesClass : BacilliOrder : LactobacilallesFamily : StreptococcaceaeGenus : Streptococcus

Species : Streptococcus mutans

Page 8: BIMKGI Edisi 1

[3]BIMKGI Vol. 1 No. 1 Edisi Oktober 2012

Berkala Ilmiah Mahasiswa Kedokteran Gigi Indonesia

b. Sifat Streptococcus mutansMenurut Panjaitan (1995), S. mutans mempunyai sifat-sifat tertentu yang berperan penting dalam proses karies gigi, yaitu :10 (1) S. mutans memfermentasikan berbagai jenis karbohidrat menjadi asam sehingga mengakibatkan penurunan pH. (2) S. mutans membentuk dan menyimpan polisakarida intraselular dari berbagai jenis karbohidrat, yang selanjutnya dapat dipecahkan kembali oleh bakteri tersebut sehingga dengan demikian akan menghasilkan asam terus-menerus. (3) S. mutans mempunyai kemampuan untuk membentuk polisakarida ekstraselular (dekstran) yang menghasilkan sifat-sifat adhesif dan kohesif plak pada permukaan gigi. (4) S. mutans mempunyai kemampuan untuk menggunakan glikoprotein dari saliva pada permukaaan gigi.

c. Morfologi Streptococcus mutansSecara mikroskopis, S. mutans merupakan gram positif, tidak begerak aktif, tidak membentuk spora, dan mempunyai susunan rantai dua atau lebih. Berbentuk bulat dengan diameter 0,5-0,7 mm. Kadang bentuknya mengalami pemanjangan menjadi batang pendek, tersusun berpasangan atau membentuk rantai pendek. Susunan rantai panjang diperoleh S. mutans berada dalam media Brain Heart Infusion Broth (BHIB).11

Dinding sel S. mutans memiliki beberapa karakter, antara lain : (1) Surface protein antigen I/II yang berfungsi sebagai mediator perlekatan. (2) Serotipe yang terdiri dari 6 serotipe yang berfungsi spesifik adherence. Dalam hal ini berupa setotipe c. (3) Glukan Binding Protein (GBP) yang berfungsi sebagai akumulasi.11

Media yang dapat digunakan untuk membiakkan S. mutans adalah Tryptone Yeast Cysteine (TYC) dan media agar darah. Menurut Soerodjo (1989), gambaran koloni bakteri tersebut yaitu ukuran koloni dengan diameter 1-5 mm, permukaan koloni berbutir kasar, licin, menyerupai bunga kasar dengan pusat menyerupai kapas.8 Konsistensi koloni keras dan sangat lekat, warna koloni seperti salju yang membeku, agak buram mengkilat (opaque), kuning buram dengan lingkaran putih. Sedangkan tepi koloni tidak teratur,

bulat teratur, dan oval teratur.8

Gambar 1 : S. Mutan9

S. mutans merupakan bakteri anaerobik

fakultatif, nonhemofilik asidogenik, dan dapat memproduksi polisakarida ekstraseluler dan intraseluler. S. mutans tidak termasuk bakteri yang didapat sejak lahir, melainkan bakteri yang didapat sesuai perkembangan usia.11 Seperti pada coccus gram positif lainnya, S. mutans terdiri dari dinding sel dan membran protoplasma. Matriks dinding sel terdiri atas peptidoglikan rantai silang yang mempunyai komposisi gula amino N-asetil, asam N-asetilnuramik dan beberapa peptida. Sedangkan struktur antigenik dinding sel S. mutans terdiri dari antigen protein, polisakarida spesifik dan asam lipotekoat. Antigen–antigen tersebut menentukan imunogenitas S. mutans.7

Sejumlah antigen yang telah ditemukan yang terpenting adalah protein, yang terdiri dari enzim glukosiltransferase dan antigen protein. Enzim glukosiltransferase berfungsi sebagai enzim yang mengubah sukrosa menjadi glukan.12 Sedangkan antigen protein yang bersifat hidrofobik berfungsi pada proses interaksi S. mutans dan pelikel-pelikel di permukaan gigi.12

Antibodi Monoklonal Antibodi monoklonal terjadi sebagai interaksi satu tipe epitop dengan satu klon limfosit B tunggal.13

Antibodi monoklonal merupakan antibodi yang diproduksi dari satu klon sel yang hanya

Page 9: BIMKGI Edisi 1

Antibodi Monoklonal Streptococcus Mutans

[4]BIMKGI Vol. 1 No. 1 Edisi Oktober 2012

menghasilkan satu kelas imunoglobulin.14 Antibodi monoklonal ini mempunyai spesifisitas tertentu (mempunyai kemampuan untuk mengenal hanya satu epitop), dengan afinitas yang tetap, serta mempunyai kelas atau kelas imunoglobulin tertentu.

Gambar 3 : Pembuatan antibodi monoklonal15

a. Antibodi Monoklonal S. mutans 1(c) 67 kDa

Antibodi monoklonal S. mutans 1 (c) 67 kDa merupakan antibodi monoklonal terhadap S.mutans 1 (c) 67 kDa yang telah dilakukan pemurnian di Pusvetma Surabaya. Sifat fisika antibodi monoklonal S.mutans 1 (c) 67 kDa adalah sebagai berikut :16 (1) pH = 7.5. (2) Produksinya dilakukan dengan pemberian polyethilene glycol (PEG) 40% - 50%. (3) Penyimpanan dilakukan dengan sodium trimersol dan sodium asida 0,02% pada suhu -200C. (4) Pemanasan dari antibodi monoklonal ini dapat dilakukan sampai pada suhu 560C. (50 Konsentrasi 1 mg/ml.

PembahasanKaries gigi merupakan penyakit infeksi yang menyerang jaringan keras gigi.4 Bakteri penyebab

karies gigi adalah bakteri S.mutans. Akan tetapi terjadinya karies gigi bukan hanya disebabkan bakteri S.mutans saja, melainkan interaksi yang spesifik antara 4 faktor, yaitu : (1) host, (2) bakteri plak, (3) diet dan (4) waktu. Faktor host dalam hal ini termasuk struktur dari enamel dan kandungan mineral pada gigi serta saliva.17 Sekresi saliva berpengaruh pada tinggi rendahnya pH di rongga mulut, hal ini dikarenakan adanya bikarbonat yang bertindak sebagai buffer yang dapat menjaga kestabilan pH di rongga mulut.18

Ditinjau dari faktor bakteri, karies gigi sering kali dikaitkan dengan peranan bakteri S.mutans.19 Proses terjadinya infeksi karies diawali dengan melekatnya S.mutans pada permukaan gigi. Hal ini disebabkan karena S.mutans mempunyai enzim glukosiltransferase yang dapat memecah sukrosa menjadi glukan dalam jumlah yang besar. Secara predominan, S.mutans membentuk rantai dekstran yang tidak larut dalam air, yang mempunyai daya lekat untuk berkolonisasi pada permukaan gigi. Selanjutnya, S.mutans membentuk asam organik dari sukrosa. Metabolisme sukrosa oleh S.mutans menghasilkan asam laktat yang merupakan asam yang dapat menyebabkan dekalsifikasi gigi.20

Faktor diet juga berperan dalam proses terjadinya karies. Bakteri plak dalam rongga mulut akan memetabolisme karbohidrat yang ada sehingga menghasilkan zat asam. Semua karbohidrat adalah kariogenik, terutama pada golongan sukrosa yang memiliki tingkat kariogenik tertinggi dibanding karbohidrat jenis lain. Dari faktor waktu, diketahui bahwa setelah makan, pH dalam rongga mulut akan turun hingga 2 atau lebih. Jika pH rongga mulut cukup rendah terjadi dalam waktu yang lama, maka kemungkinan terjadinya demineralisasi makin tinggi.17 Oleh karena itu kemungkinan peningkatan resiko terjadinya karies tergantung dari individu masing-masing. Pada orang dengan frekuensi makan yang berulang lebih banyak, maka resiko karies yang terjadi pada orang tersebut semakin tinggi. Hal ini dikarenakan saliva tidak memiliki cukup waktu untuk menetralisir keasaman pH yang ada.18

Di Indonesia angka prevalensi karies gigi masih tergolong tinggi, sehingga memerlukan suatu pencegahan. Prinsip utama pencegahan terhadap

Gambar 2 : Struktur dinding sel S. Mutans12

Page 10: BIMKGI Edisi 1

[5]BIMKGI Vol. 1 No. 1 Edisi Oktober 2012

Berkala Ilmiah Kedokteran Gigi Indonesia

karies gigi adalah dengan mencegah perlekatan bakteri S.mutans terhadap permukaan gigi. Saat ini sedang dikembangkan tindakan imunisasi pasif untuk pencegahan karies dengan menggunakan antibodi monoklonal secara topikal, mengingat bahwa penyakit karies gigi secara imunologik dapat dikatakan merupakan penyakit infeksi tipe kondisional yang disebabkan oleh bakteri yang spesifik. Dalam hal ini, S.mutans diyakini sebagai antigen yang berperan dominan pada proses terjadinya karies gigi.21 Oleh karena itu, secara teoritis terjadinya karies gigi dapat dicegah dengan metode imunisasi.5 Dari beberapa metode imunisasi, imunisasi pasif secara lokal dengan antibodi monoklonal merupakan antikaries yang efektif dan metode yang aman untuk pencegahan kolonisasi S. mutans di dalam rongga mulut karena mampu mengeliminasi S. mutans dalam waktu yang lama di dalam rongga mulut.22

Antibodi monoklonal adalah antibodi yang diproduksi oleh hibridoma yang didapatkan dari teknik yang ditemukan oleh Kohler dan Milstein pada tahun 1975.23 Teknik ini menyediakan tempat untuk tumbuhnya populasi klon dari sel yang menghasilkan antibodi dengan spesifisitas yang telah ditetapkan. Pada teknik ini, sel yang menghasilkan antibodi, diisolasi dari binatang yang telah diimunisasi, kemudian difusikan dengan sel myeloma, yaitu sel yang sejenis dengan tumor sel B. Sel hibrid atau hibridoma ini dapat dipertahankan secara in vitro dan akan terus memproduksi antibodi spesifik. Adapun tiga sifat karakteristik dari antibodi monoklonal yang sangat penting adalah mampu membuat ikatan yang sangat spesifik terhadap epitop antigen, memiliki sifat yang homogen, dan dapat diproduksi dalam jumlah besar atau tidak terbatas.

Antibodi monoklonal yang digunakan untuk antikaries adalah antibodi monoklonal kelas IgG terhadap antigen permukaan sel (SA I/II) dari S.mutans, atau disebut antibodi monoklonal S.mutans 1(c) 67 kDa. Antibodi monoklonal kelas IgG mampu menyebabkan penurunan kolonisasi bakteri S.mutans dari permukaan gigi.7

Antibodi monoklonal S.mutans 1 (c) 67 kDa merupakan antibodi yang spesifik terhadap surface protein antigen I/II S.mutans serotipe c.

Surface protein antigen I/II adalah protein yang terdapat pada dinding sel S.mutans yang berperan sebagai mediator perlekatan (initial adherence) dengan pelikel saliva dan mikroorganisme lain dalam rongga mulut pada proses pembentukan biofilm. Berbagai serotipe yang dimiliki S.mutans yaitu a, b, c, d, e, f, dan g dibedakan berdasarkan perbedaan protein permukaan atau antigen yang berada pada dinding sel. Hal ini akan menyebabkan perbedaan dalam resistensi terhadap antibiotik dan mekanisme spesific adherence (tipe, c, e, dan f patogen terhadap manusia).17

S.mutans mempunyai Glukan Binding Protein (GBP) yang berfungsi mengikat glukan ekstraseluler. GBP menyebabkan terjadinya akumulasi S.mutans pada plak. S.mutans mempunyai beberapa GBP, antara lain dengan berat molekul 74, 64, dan 59 kDa. Komponen GBP menyebabkan proteksi respon imun terhadap karies yang dilakukan dalam imunisasi sistemik maupun lokal. Faktor – faktor virulensi yang dimiliki S.mutans tersebut akan menyebabkan S.mutans mudah untuk melekatkan diri pada permukaan sel host, berkolonisasi dan beragregasi, hal tersebut merupakan langkah awal terjadinya patogenesis S.mutans sebagai etiologi karies gigi.24

Mekanisme kerja imunisasi lokal dengan antibodi monoklonal S.mutans 1 (c) 67 kDa, yaitu dengan cara antibodi monoklonal S.mutans 1 (c) 67 kDa melekat pada acquired pelllicle pada permukaan gigi.7 Kemudian S.mutans diikat oleh antibodi monoklonal S.mutans serotipe c yang berikatan dengan reseptor antigen dengan berat molekul 67 kDa selama interaksi awal yang reversibel antara bakteri dan acquired pellicle. Antibodi monoklonal S.mutans 1 (c) 67 kDa bereaksi secara spesifik dengan antigen determinan (SA I/II) yang diekspresikan pada permukaan sel bakteri yang bersifat hidrofobik dan sebagai adhesin. Selanjutnya, S.mutans diopsonisasi oleh antibodi monoklonal S.mutans 1 (c) 67 kDa untuk difagositosis, dibunuh dan dihilangkan oleh netrofil dan komplemen dari gingiva.

Dari penjelasan secara teoritis, antibodi monoklonal S.mutans 1 (c) 67 kDa mampu menghambat kolonisasi S.mutans sehingga menurunkan resiko terjadinya karies gigi.

Page 11: BIMKGI Edisi 1

Antibodi Monoklonal Streptococcus Mutans

[6]BIMKGI Vol. 1 No. 1 Edisi Oktober 2012

Penggunaan antibodi monoklonal S.mutans 1 (c) 67 kDa ini merupakan sebuah metode inovatif dalam rangka meningkatkan kesehatan gigi masyarakat. Kekurangan dari antibodi monoklonal S.mutans 1 (c) 67 kDa hanya terdapat pada penyimpanan bahan yang sedikit rumit penyimpanan dilakukan dengan sodium trimersol dan sodium asida 0,02% pada suhu -200C.

Oleh karena itu, penggunaan antibodi monoklonal S.mutans 1 (c) 67 kDa berpotensi untuk digunakan bersama bahan-bahan produk perawatan kesehatan gigi dan mulut seperti fissure sealant, fletcher dan pasta gigi sebagai salah satu upaya alternatif pencegahan karies gigi secara lokal (topikal). Dengan demikian, diharapkan dapat menurunkan angka prevalensi karies gigi khususnya di Indonesia.

KesimpulanAntibodi monoklonal S.mutans 1 (c) 67 kDa mampu menghambat kolonisasi S.mutans sehingga menurunkan resiko terjadinya karies gigi. Oleh karena itu, penggunaan antibodi monoklonal S.mutans 1 (c) 67 kDa berpotensi untuk digunakan bersama bahan-bahan produk perawatan kesehatan gigi dan mulut seperti fissure sealant, fletcher dan pasta gigi sebagai imunisasi pasif dalam alternatif pencegahan karies gigi secara lokal (topikal).

Daftar pustaka1. Kawuryan Uji. Hubungan Pengetahuan

Tentang Kesehatan Gigi Dan Mulut Dengan Kejadian Karies Gigi Anak Sdn Kleco II Kelas V Dan VI Kecamatan Laweyansurakarta. 2008. Accessed on Oct 10th, 2010 at 22.59 WIB. Available on: http://etd.eprints.ums.ac.id/897/1/J210040006.pdf.

2. BSMI. BSMI Jakarta Pusat – YDSF Gelar Kartini Sehat. 2008. Akses 10 Mei 2010, 23.51 WIB. Available on: http://bsmi-surabaya.or.id.

3. Sundoro EH. Konsep Baru Perawatan Karies. Fakultas Kedokteran Gigi Universitas Indonesia. Akses 18 Juni 2010, 18.38 WIB.Available on: http://www.pdpersi.co.id/?show=detailnews&kode=107&tbl=artikel.

4. Roeslan BO. Hambatan Terjadinya Karies Gigi Setelah Diimunisasi Dengan Glukosiltransferase Streptococcus mutans INA99 yang Diaplikasikan pada Mukosa Rongga Mulut : Kajian pada Tikus jenis

Wistar [serial online] 2009. Accessed on May 1st, 2010 at 15.30. Dental Caries Research. Available from : http://jurnal.dikti.go.id

5. Roeslan BO. Kemungkinan pencegahan karies gigi melalui imunisasi. Majalah Kedokteran Gigi USAKTI 2001;33-44.

6. Soerodjo TS, Devijanti R, Qomarijah N, Andayani S, Artama. Antibodi Monoklonal IgA, IgG terhadap S.mutans (1,c) Indonesia untuk Prevalensi Karies Gigi. Usulan Hak Paten; 2001.

7. Lehner T. Immunology pada penyakit mulut, Alih bahasa : Farida R, Suryadhana NG, Ed 3, Jakarta : EGC; 1995.p.26-41,61-91.

8. Soerodjo TS. Respon Imun Humoral terhadap Streptococcus mutans Sehubungan dengan Karies gigi. Surabaya: Disertasi UNAIR; 1989: 12-88.

9. Capuccino, James G, Natalie Sherman. Microbiology : A Laboratory Manual, 6th ed, Benjamin Cummings. San Fransisco; 2001.

10. Panjaitan M. Etiologi karies gigi dan penyakit periodontal. Medan : USU Press; 1999. p.14-21.

11. Bachtiar EW. Prospek vaksinasi dalam pencegahan karies dengan antigen hasil rekayasa protein dinding sel Streptococcus mutans. JKG UI 1997; 4:641-7.

12. Guo JH, Jia R, Fan MW, Bian Z. Construction and immnuogenic characterization of a fusion anti caries DNA vaccine against PAC and glucosyltransferse I of treptococcus mutans. J Dent Res 2004; 83:266-70.

13. Bangun A. Petunjuk laboratorium Antibodi Monoklonal. Yogyakarta: PAU Bioteknologi Universitas Gajah Mada; 1992.p.10-14, 107-123.

14. Artama WT. Antibodi monoklonal teori, produksi, karakteristik dan penerapannya. Yogyakarta: Pedoman Kuliah Universitas Gajah Mada; 1992.p.160-89.

15. Mayer G. Immunoglobulis–Structure and Function, Microbiology and Immunology On-line. University of South Carolina School of Medicine; 2009.

16. Devijanti R, dkk. Uji tosisitas antibodi monoklonal Streptococcus mutans 1 (c) 67 kDa pada kultur dengan MTT assay. Surabaya: LPPM UNAIR; 2006.

17. Arora DR. Textbook of Microbiology for Dental Student. Singapore: Alkem Co. (s) Pte, Ltd; 2009.p.362-3.

18. Simon L. The Role of Streptococcus mutans And Oral Ecology in the Formation of Dental Caries. Journal of Young Investigators 2007;(17) Issue 6.

19. Antonio CV. Production of Monoclonal Antibodiest Against Streptococcus mutans

Page 12: BIMKGI Edisi 1

[7]BIMKGI Vol. 1 No. 1 Edisi Oktober 2012

Berkala Ilmiah Kedokteran Gigi Indonesia

Antigen. Brazil Oral Research 2006;20(4): 297-302.20. Slot J, Taubman MA. Contemporary Oral Microbiology and Immunology. Mosby Year Book. 1992;

366-69, 377-414, 524-69.21. Konig KG, Hoogendoorn H. Prevensi dalam Kedokteran Gigi dan Dasar Ilmiahnya. Alih bahasa,

RA Tomasowa. Jakarta: Indonesian Dental; 2006.22. Devijanti R. Antibodi monoklonal Streptococcus mutans 1 (c) 67 kDa dalam pasta gigi untuk

menghambat pertumbuhan Streptococcus mutans Tesis. Surabaya: Universitas Airlangga; 2003.23. Harlow ED, Lane D. Antibody Molecules In Antibodies a Laboratory Manual. Cold Spring Harbour

Laboratory 1988; 92-115.24. Soerodjo TS, Sardjimah A, Cecillia GJ, dan Wulan P. Antibodi Monoklonal IgA S.mutans dalan Bahan

Tumpatan Sementara Sebagai Pengobatan Spesifik Antikaries Gigi. Surabaya: LPPM UNAIR; 2002.

Page 13: BIMKGI Edisi 1

Potensi Pemanfaatan Flavonoid Limbah Kakao

[8]BIMKGI Vol. 1 No. 1 Edisi Oktober 2012

Literature Study

POTENSI PEMANFAATAN FLAVONOID LIMBAH KULIT KAKAO

(Theobroma cacao L.) SEBAGAI BAHAN TAMBAHAN

PEMBUATAN PERMEN ANTIKARIOGENIKDio Ariestanto1, Muhammad Lutfan1, Yusnida Furoida1

Abstract Indonesia is the third largest producer of cocoa in the world. Jember as one cocoa producing

areas in Indonesia that have the potential development of products made from cocoa and cocoa processing waste. Total waste of skin cocoa will increase with the increasing number of world cocoa consumption. Cocoa leather is one of the processing of cocoa waste to 75% of the overall weight of cocoa that contain flavonoids. Flavonoid beneficial for oral health as it has antibacterial role as the cause of dental caries. Dental caries is a dental and oral health problems are dominant in the country of Indonesia. National prevalence of active caries aged 12 years and over was 46.5%. One reason is the high caries predilection children consume sugary foods, especially sweets. This study is a literature that discusses the potential use of leather waste flavonoid cocoa (Theobroma cacao L.) as an additive anticariogenik candy. The mechanism includes the activation of certain enzymes, denaturation of proteins, altering the permeability of the cell membranes of bacteria, intercalation into DNA and the formation of chelates. The results of these mechanisms can affect physiological functions of bacteria so experiencing death. Utilization of cocoa flavonoids on skin as raw products processed candy is one of the efforts in developing an appropriate alternative food technology and medical technology are useful for the prevention of dental caries.Keywords : Cocoa leather, flavonoid, caries, anticariogenik

AbstrakIndonesia adalah produsen kakao terbesar ketiga di dunia. Jember merupakan salah satu wilayah

penghasil kakao di Indonesia yang memiliki potensi pengembangan produk berbahan kakao maupun limbah pengolahan kakao. Jumlah limbah kulit kakao akan meningkat seiring dengan semakin banyaknya konsumsi kakao dunia. Kulit kakao adalah salah satu limbah dari pengolahan kakao yaitu 75% dari berat kakao secara keseluruhan yang didalamnya mengandung flavonoid. Kandungan flavonoid bermanfaat bagi kesehatan rongga mulut karena memiliki peran sebagai antibakteri penyebab karies gigi. Prevalensi Nasional karies aktif umur 12 tahun ke atas adalah 46,5%. Salah satu penyebab tingginya karies adalah kegemaran anak-anak mengonsumsi makanan yang manis, terutama permen. Kajian ini merupakan studi literatur yang membahas tentang potensi pemanfaatan flavonoid limbah kulit kakao (Theobroma cacao L.) sebagai bahan tambahan pembuatan permen antikariogenik. Mekanisme kerja kulit kakao sebagai antikariogenik meliputi pengaktifan enzim tertentu, denaturasi protein, mengubah permeabilitas membran sel bakteri, interkalasi ke dalam DNA dan pembentukan kelat. Hasil dari mekanisme tersebut menyebabkan terganggunya fungsi fisiologis dari bakteri sehingga mengalami kematian. Pemanfaatan flavonoid pada kulit kakao sebagai bahan pembuatan produk olahan permen merupakan salah satu usaha alternatif yang tepat dalam mengembangkan teknologi pangan dan teknologi kedokteran gigi yang bermanfaat untuk pencegahan karies gigi. Keywords : kulit kakao, flavonoid, karies, antikariogenik

1 Mahasiswa Fakultas Kedokteran Gigi Universitas JemberCorrespondence:

Jl. Kalimantan I No. 58 Jember, Jawa Timur 68121

Tel. (62-331) 333536Fax. (62-331) 339029

Page 14: BIMKGI Edisi 1

[9]BIMKGI Vol. 1 No. 1 Edisi Oktober 2012

Berkala Ilmiah Kedokteran Gigi Indonesia

PendahuluanTanaman kakao (Theobroma cacao L.)

banyak tumbuh di perkebunan Indonesia. Indonesia merupakan produsen kakao terbesar ketiga setelah Pantai Gading dan Ghana dengan produksi tahunan mencapai 435 ribu ton dan luas areal penanaman kakao pada tahun 2002 telah mencapai 776.900 hektar yang tersebar di seluruh provinsi, kecuali DKI Jakarta. Potensi ini didukung pula dengan adanya pusat penelitian kakao yang tersebar di pelosok Indonesia, terutama di kabupaten Jember yang menjadi pusat penelitian terbaik nasional1.

Kulit kakao sekitar 75% dari berat kakao merupakan limbah dari pengolahan kakao. Kulit kakao memiliki kandungan berupa senyawa aktif flavonoid yang memiliki peran sebagai antimikroba, antivirus dan antioksidan. Penelitian secara in vitro maupun in vivo menunjukkan bahwa flavonoid memiliki aktivitas biologis dan farmakologis antara lain bersifat antibakteri karena flavonoid mampu berinteraksi dengan DNA bakteri 2.

Terbukti pada tahun 2006, Burhanudin Pasiga melaporkan bahwa senyawa golongan flavonoid dan steroid dalam ekstrak kulit buah kakao bertanggung jawab sebagai anti bakteri Streptococcus mutans. Selain itu, Bilodontu, 2007 melaporkan salep ekstrak kulit buah kakao 10% efektif terhadap penurunan jumlah koloni Streptococcus sp yang diisolasi dalam mulut penderita sariawan. Pada tahun yang sama, Sulastrianah dan Burhanuddin melaporkan bahwa obat kumur yang mengandung ekstrak kulit buah kakao memiliki daya hambat terhadap pertumbuhan Streptococcus sp 3,4,5.

Karies gigi merupakan masalah kesehatan gigi dan mulut yang dominan di negara Indonesia. Indeks DMF-T secara nasional sebesar 4,85. Ini berarti rata-rata kerusakan gigi pada penduduk Indonesia 5 buah gigi per orang. Prevalensi Nasional karies aktif umur 12 tahun ke atas adalah 46,5% dan yang mempunyai pengalaman karies sebesar 72,1%. Karies merupakan kerusakan gigi yang progresif dari email dan dentin yang dimulai dari bekerjanya mikroorganisme pada permukaan gigi. Agen penyebab utama terjadinya karies adalah bakteri Streptococcus mutans yang menyebabkan terjadinya demineralisasi gigi akibat produk yang dihasilkan. Karies pada awalnya adalah proses yang lambat dan reversibel. Jika terdapat suatu larutan yang dapat memicu remineralisasi maka proses karies akan berhenti 6,7.

Permen merupakan makanan ringan olahan gula yang digemari oleh segala usia terutama anak-anak. Jenis gula yang paling banyak digunakan adalah sukrosa. Konsumsi sukrosa dalam jumlah besar dapat menurunkan kapasitas buffer saliva sehingga mampu meningkatkan insiden terjadinya karies. Bahkan di negara berkembang, peningkatan

asupan gula menyebabkan penyakit karies gigi meningkat. Oleh karena itu, dicari suatu inovasi dalam pembuatan permen antikariogenik. Karya tulis ini dibuat agar dapat mengkaji pemanfaatan flavonoid dari kulit kakao sebagai bahan tambahan pembuatan permen antikariogenik 8,9,10.

PembahasanKaries merupakan penyakit jaringan keras

gigi, yaitu email, dentin dan sementum. Terdapat empat faktor yang menyebabkan terjadinya karies, keempat faktor tersebut adalah host yaitu gigi itu sendiri, substrat berupa sisa makanan yang terdapat dalam rongga mulut, mikroorganisme dalam rongga mulut, dan faktor waktu. Bakteri yang sering ditemukan sebagai penyebab utama karies adalah Streptococcus mutans. S. mutans serta produk-produknya mampu mendekalsifikasi gigi sehingga terbentuk lubang dan menyebabkan infeksi pada saluran akar gigi yang berisi sel-sel, saraf, getah bening serta pembuluh darah yang memberikan suplai makanan bagi gigi sehingga menyebabkan kematian pada gigi 11,12,13.

Pertumbuhan mikroorganisme dapat diperlambat atau dihentikan sama sekali oleh sederetan bahan kimia. Kalau petumbuhan ini berhenti oleh pengaruh sesuatu bahan dan sesudah bahan ini disingkarkan mulai lagi, maka bahan ini disebut bakteriostatik dan pengaruhnya adalah pengaruh bakteriostatik. Bahan-bahan bakterisid meniadakan kemampuan hidup. Kedua efek tersebut tergantung dari konsentrasi bahan-bahan ini 14.

Kulit buah kakao merupakan tanaman yang dapat digunakan sebagai bahan antikariogenik karena secara keseluruhan didalamnya mengandung flavonoid. Penelitian pendahuluan, mengungkapkan tentang kandungan zat bioaktif dalam kulit kakao yakni flavonoid mempunyai potensi sebagai antibakteri 15,16.

Mekanisme kerja antibakteri meliputi penginaktifan enzim tertentu, denaturasi protein, mengubah permeabilitas membran sel bakteri, interkalasi ke dalam deoxiribose nucleatid acid (DNA) dan pembentukan kelat 14.

Pada mekanisme antibakteri flavonoid, melalui pengubahan permeabilitas membran sel bakteri yakni model kerja turunan amin, guanidin, turunan fenol dan senyawa amonium kuartener. Dengan mengubah permeabilitas membran sel bakteri, senyawa-senyawa di atas menimbulkan kebocoran konstituen sel yang esensial sehingga bakteri mengalami kematian 14.

Flavonoid menghambat pertumbuhan bakteri dengan cara mencegah terbentuknya terbentuknya fosfolipid baru dengan menghambat beta–ketocyl-acp reductase, beta– hydroyacyl–

Page 15: BIMKGI Edisi 1

Potensi Pemanfaatan Flavonoid Limbah Kakao

[10]BIMKGI Vol. 1 No. 1 Edisi Oktober 2012

acp dehydratase dan enoyl–acp–reductase. Selain merusak membran luar flavonoid juga memutuskan ikatan-ikatan yang terdapat antara N–Acetylglukosamine dan N–Acetylmuramic acid yang terdapat pada lapisan peptidoglikan membran sel. Dengan rusaknya lapisan peptidoglikan yang merupakan kerangka membran sel akan mengakibatkan tidak stabilnya membran sel, apalagi dengan rusaknya fosfolipid membran sel mengakibatkan permeabilitas senyawa dari dalam sel keluar sel akan tidak terkontrol sehingga bakteri mati 17.

Dengan adanya aktivitas antibakteri flavonoid terhadap S. Mutans, maka dapat dijadikan solusi sebagai bahan tambahan pada permen antikariogenik. Salah satu permen yang bisa diolah yakni permen jelly. Jenis makanan selingan ini merupakan produk pangan setengah padat yang dibuat dari buah-buahan dan campuran gula. Buah-buahan yang dikandungnya bisa menjadi pemanis alami pada permen. Permen jelly bisa menjadi pilihan karena aman dari tertelan, khususnya pada anak-anak 18.

Pemanfaatan permen jelly juga bermanfaat untuk rongga mulut. Konsumsi permen jelly dengan gerakan pengunyahan juga mampu merangsang aktivitas saliva. Saliva sebagian besar yaitu sekitar 90 persennya dihasilkan saat makan yang merupakan reaksi atas rangsangan yang berupa pengecapan dan pengunyahan makanan. Dengan adanya rangsangan ini, kadar saliva menjadi meningkat. Saliva membantu mempertahankan integritas gigi, lidah, dan membrana mukosa mulut. Saliva dapat menurunkan akumulasi plak pada permukaan gigi dan juga menaikkan tingkat pembersihan karbohidrat dari rongga mulut. Selain itu, difusi komponen saliva seperti kalsium, fosfat, ion OH–, dan fluor ke dalam plak dapat menurunkan kelarutan email. Saliva juga mampu melakukan aktivitas antibakterial karena mengandung beberapa komponen yang antara lain adalah lisosim, sistem laktoperoksidase-isitiosianat, laktoferin, dan imunoglobulin 19, 20.

Bertambahnya sekresi saliva akan menyebabkan peningkatan kapasitas buffer saliva sehingga dapat menetralkan pH plak yang asam, karena bertambahnya ion bikarbonat (HCO3–) yang berperan dalam kapasitas buffer saliva. Bertambahnya aliran saliva akan meningkatkan kadar urea, amoniak (NH3), kalsium (Ca2+), fosfat (HPO4

2+), natrium (Na+) yang merupakan sumber alkalinitas saliva sehingga dapat menaikkan pH plak yang turun akibat proses glikolisis karbohidrat. Akibat pertambahan ion kalsium di dalam saliva, maka proses remineralisasi email akan meningkat 21.

Oleh karena itu, dengan adanya kombinasi dari pemanfaatan flavonoid dari limbah kulit

buah kakao dan pemanfaatan konsumsi permen jelly kunyah dapat dijadikan solusi inovatif untuk dijadikan suatu produk olahan permen antikariogenik.

KesimpulanBerdasarkan telaah berbagai literatur, maka

dapat disimpulkan bahwa pemanfaatan flavonoid dari kulit buah kakao berpotensi untuk digunakan sebagai bahan tambahan dalam pembuatan permen antikariogenik. Permen antikariogenik ini dapat dijadikan produk inovatif dalam upaya pencegahan penyakit karies.

SaranPerlu dilakukan penelitian lebih lanjut

mengenai pengaruh permen jelly yang mengandung flavonoid terhadap kesehatan rongga mulut.

Daftar pustaka1. Ed, F Man. Cocoa Report Market No. 371

March 2004. Ed dan F Man Ltd; 2004.2. Sabir A. Pemanfaatan Flavonoid Di Bidang

Kedokteran Gigi. Maj Kedokteran Gigi (Dent J) FKG Unair 2003;(Edisi Khusus Timnas III): 81–7.

3. Pasiga, Burhanuddin. Clinical Efficacy of An Toothpaste Containing Extract of Cocoa Pod Husk As An Active Component. Jurnal Ilmiah dan Teknologi Kedokteran Gigi FKG UPDM Maret; 2006.

4. Pasiga Burhanuddin, Elly W, Uleng U, Noyan. Identifikasi Senyawa dalam Ekstrak Kasar Kulit Buah Kakao yang Bertanggung Jawab Sebagai Antibakteri Terhadap Streptococcus Mutans. Plaque Jurnal Kesehatan Gigi Masyarakat 2007;I(2):47-54.

5. Bilondatu, Kartini F.S., Burhanudin DP. Efektivitas Salep Cocoa Pod Husk (CPH) 10% Terhadap Penurunan Jumlah Koloni Streptococcus Sp. yang Diisolasi Dalam Mulut Penderita Stomatitis Aphtosa. Plaque Jurnal Kesehatan Gigi Masyarakat. Edisi Suplemen 2007;1:10-14.

6. Kawuryan. Hubungan Pengetahuan Tentang Kesehatan Gigi dan Mulut dengan Kejadian Karies Gigi Anak SDN Kleco II Kelas V Dan Vi Kecamatan Laweyan Surakarta. Skripsi. Fakultas Kesehatan Universitas Muhammadiyah. Surakarta; 2008.

7. Pudji Lestari. Catatan Klinik Konservasi Paket 1. Jember: Universitas Jember Pub; 1998.

8. Yuyus R, Magdarina DA, Sintawati F. Karies Gigi Pada Anak Balita Di 5 Wilayah Dki Tahun 1993. Jakarta: Cermin Dunia Kedokteran

Page 16: BIMKGI Edisi 1

Berkala Ilmiah Mahasiswa Kedokteran Gigi Indonesia

[11]BIMKGI Vol. 1 No. 1 Edisi Oktober 2012

Case Study

Splinting Tetap dengan Benang Fiber Polyethylene di Gigi-Gigi Anterior

MandibulaTika Raharjo1

ABSTRACT

Wire or silk ligature is one example of dental material for stabilizing tooth mobility. These materials can only be mechanically bonded with resin restoration, so when the pressure concentration high, it can cause fracture composite and splinting premature failures. The advantages of dental resins and resin adhesive techniques especially polyethylene fiber strands allowed clinicians to achieve better treatment for stabilizing tooth mobility to patient and more esthetic stabilization techniques. Polyethylene fiber strands had a strong, biocompatible, easy to manipulate, could be embedded into a resin structure. Polyethylene fiber could give not only a strong splint, but also an esthetic results.

Keywords: periodontic splinting, polyethylene fiber, composite resin.

ABSTRAK

Wire atau silk ligature adalah salah satu material kedokteran gigi yang digunakan untuk menstabilkan kegoyangan gigi. Bahan-bahan tersebut hanya mampu berikatan secara mekanis dengan restorasi resin sehingga saat terjadi konsentrasi tekanan, dapat mengakibatkan patahnya komposit dan kegagalan prematur pada splinting. Dengan adanya bahan dental resin dan resin adhesive seperti polyethylene fiber strands memungkinkan dokter gigi untuk melakukan pengobatan yang lebih baik kepada pasien. Polyethylene fiber strands memiliki kekuatan yang baik, biokompabilitas, mudah dimanipulasi dan dapat dimasukkan dalam struktur resin. Polyethylene fiber juga tidak hanya memiliki kekuatan yang baik tapi juga memberikan estetik yang baik.

Kata kunci : splinting periodontal, polyethylene fibe, resin komposit

1 Mahasiswa Fakultas Kedokteran Gigi Universitas AirlanggaCorrespondence:Universitas AirlanggaKampus A Jl. Mayjen.Prof. Dr. Moestopo 47, SurabayaNo. tlp. 031-5020251, 5030253, Fax.031-5022472

Page 17: BIMKGI Edisi 1

Splinting Tetap dengan Benang Fiber Polyethylene

[12]BIMKGI Vol. 1 No. 1 Edisi Oktober 2012

Latar BelakangPeriodontitis kronis adalah kasus periodontal yang paling umum yang ditandai dengan terbentuknya formasi plak mikroba, inflamasi periodontal, hilangnya perlekatan dan tulang alveolar. Periodontitis kronis menyebabkan gigi goyang dan mengakibatkan gigi dapat lepas sendiri.1,2 Etiologi utama dari kasus kegoyangan gigi adalah kehilangan tulang alveolar, traumatik oklusi, dan inflamasi menetap pada gingiva atau dari periapikal ke ligamen periodontal. Pasien dengan periodontitis kronis yang parah biasanya mengalami kehilangan tulang yang sangat banyak di sekitar insisif rahang bawah bila dibandingkan dengan gigi kaninus dan premolar.3,4 Pada sebagian besar pasien, situasi seperti ini dapat diatasi dengan dilakukan splinting.

Dental splinting dapat didefinisikan sebagai penyatuan dua atau lebih gigi menjadi unit yang rigid dengan restorasi terfiksir, removable, atau dengan menggunakan alat tertentu.5 Indikasi splinting pada gigi dengan defek jaringan periodontal menurut Tarnow and Fletcher adalah: (1)Trauma oklusal primer, (2) Trauma oklusal sekunder, (3) Mobilitas dan migrasi yang progresif, serta fungsioleisa.6

Trauma oklusal primer terjadi karena tekanan oklusal yang besar pada gigi dengan jaringan periodontal yang normal. Trauma oklusal sekunder terjadi pada gigi dengan support jaringan periodontal yang kurang baik dengan tekanan oklusal normal.7

Berbagai material yang digunakan untuk splinting termasuk pembuatan gigi tiruan jembatan, komposit, kawat dan komposit. Permasalahan yang sering ditemukan saat menggunakan komposit adalah pecahnya komposit antara gigi-gigi. Masalah ini dapat diatasi dengan ditemukannya benang fiber yang kuat, estetik, biokompatibel, dan mudah digunakan yang dapat ditanam ke dalam struktur resin komposit.8

Saat ini ada berbagai macam bahan benang fiber resin reinforcement. Bahan benang fiber resin reinforcement mempengaruhi sifat fisik dan pengaruhnya terhadap bahan komposit.9 Benang fiber polyethylene memiliki sifat untuk berikatan secara kimia dengan resin.10 Laporan

kasus ini menunjukkan splinting dengan benang fiber polyethylene pada gigi dengan kegoyangan derajat 2 menunjukkan hasil yang baik.

MetodePasien, wanita usia 70 tahun, datang ke Rumah Sakit Gigi dan Mulut Pendidikan Fakultas Kedokteran Gigi Universitas Airlangga ingin membersihkan karang gigi. Pasien tidak memiliki riwayat penyakit sistemik, kencing manis, maupun darah tinggi. Pada pemeriksaan klinis ditemukan poket sedalam 4 mm pada regio 12, 13, 14, 15, 22, 24, 25, 26, 34, 37, 46, 48. Resesi pada regio 31, 32, 41, 42.Terdapat kegoyangan derajat 2 pada gigi 13, 31, 32, 33, 41, 42, 43. Tidak terdapat kontak prematur.

Tiga minggu setelah perawatan fase 1, yaitu scaling and root planing, terdapat kegoyangan derajat 2 pada Gigi 31, 41, 42. Gigi kemudian dipulas dengan brush dan pumis di sisi labial dan lingual. Setelah itu, dilakukan preparasi di atas cingulum membentuk parit dengan ukuran 15 x 15 mm pada mesiodistal gigi 31, 32, 41, 42, 43. Gigi kemudian diisolasi dan dietsa dengan 32% gel etsa fosforik selama 30 detik, diirigasi untuk menghilangkan semua residu asam, dikeringkan hingga tampak frosty. Bahan bonding diaplikasikan lalu dilakukan penyinaran dengan light cured selama 10 detik. Benang fiber yang dibasahi sedikit dengan bahan bonding diukur kemudian dimasukkan kedalam parit, disinari dengan light cured selama 10 detik. Resin komposit dimasukkan ke dalam parit dan dirapikan dengan sonde, disinari selama 20 detik. Restorasi komposit yang berlebih kemudian dirapikan dan dihaluskan. Pasien diberi edukasi tentang kebersihan gigi dan mulut. 7 hari setelah perawaatan, pasien dipanggil kembali untuk kontrol.

Page 18: BIMKGI Edisi 1

[13]BIMKGI Vol. 1 No. 1 Edisi Oktober 2012

Berkala Ilmiah Kedokteran Gigi Indonesia

[13]

Gambar 1. Bahan-bahan yang digunakan berupa benang fiber polyethylene fiber strands (Merk Biodental Technologies Pty

ltd), etsa, bonding dan flowable composite

PembahasanKegoyangan gigi memiliki pengaruh penting sebagai parameter klinis dalam menentukan prognosa pada gigi dengan kelainan jaringan periodontal. Splinting telah diakui sebagai metode yang dapat menstabilkan gigi dengan jaringan periodontal yang lemah. Stabilisasi gigi dengan splinting dilakukan agar dapat meningkatkan kenyamanan pasien dan meningkatkan fungsi mastikasi.

Pada kasus diatas, terdapat 3 gigi goyang derajat 2. Gigi-gigi tersebut dilakukan splinting dengan 1 gigi sebelahnya menggunakan polyethylene fiber strands. Pada saat kontrol 1 minggu sesudah perawatan, dilakukan evaluasi pada gigi-gigi yang di-splinting dan gigi-gigi tersebut tidak lagi mengalami kegoyangan.

Gambar 2. Tampak labial post splinting

Pada masa sebelum ini, stabilisasi dan splinting gigi menggunakan tehnik perekat yang memerlukan Wire atau silk ligature, pin, atau mesh grid.11 Bahan-bahan tersebut hanya mampu berikatan secara mekanis dengan restorasi resin

sehingga saat terjadi konsentrasi tekanan, dapat mengakibatkan patahnya komposit dan kegagalan prematur pada splinting. Penemuan benang fiber polyethylene dapat mengatasi kegagalan splinting seperti masalah klinis yang dapat ditimbulkan diantaranya oklusi traumatik, berlanjutnya penyakit jaringan periodontal, dan karies rekuren.12,13

Gambar 3. Tampak lingual post splinting

Pembuatan parit sebelum aplikasi benang fiber bertujuan agar setelah diberi resin komposit, anatomi gigi tetap terbentuk seperti semula sehingga pasien tetap merasa nyaman. Benang fiber yang dibasahi dengan bahan bonding sebelum diaplikasikan ke dalam parit membantu memperkuat ikatan kimia yang terjadi antara bahan bonding dengan resin komposit. Hal ini dapat mengurangi kemungkinan terjadinya patah pada restorasi resin komposit.

Splinting telah diakui dapat menstabilkan gigi dengan jaringan periodontal yang kurang baik.14 Keberhasilan dari perawatan splinting ini dapat dimaksimalkan dengan menjaga kebersihan gigi dan mulut, khususnya di daerah interdental gigi anterior mandibula yang terbuka. Selain itu kerjasama antara dokter dan pasien sangat penting untuk mencapai hasil yang diinginkan.

KesimpulanSplinting dengan benang fiber polyethylene pada gigi dengan kegoyangan derajat 2 menunjukkan hasil yang baik. Gigi stabil dan tidak goyang, serta memiliki tampilan estetik yang baik. Adanya ikatan kimia antara benang fiber dengan resin dapat memperkuat restorasi sehingga tidak mudah pecah.

Page 19: BIMKGI Edisi 1

Splinting Tetap dengan Benang Fiber Polyethylene

[14]BIMKGI Vol. 1 No. 1 Edisi Oktober 2012

Daftar Pustaka1. Carranza F, Takei N, et al. Carranza’s Clinical Periodontology 10th ed. Missouri: Elsevier; 2006.p.494.2. Flemmig TF: Periodontitis, Ann Periodontol 1999;4:32 3. Loe H, Anerud A, Boysen H, Smith M. The natural history of periodontal disease of man. J Peridontol

1978;49:607-20.4. Chace R, Low S. Survival characteristics of periodontally involved teeth: A 40 year study. J

Peridontol 1993;64:701-5.5. The Glossary of Prosthodontic Terms. 7th Edition. The Journal of Prosthetic Dentistry; January

1999.6. Tarnow DP, Fletcher P: Splinting of periodontally involved teeth: indications and contraindications.

NY State Dent J 1986;52(5):24-27.7. Serio FG, Hawley CE: Periodontol trauma and mobility. Diagnosis and treatment planning. Dent

Clin North Am 1999;43(1):37-44.8. Strassler HE, Haeri A, Gultz JP: New generation bonded reinforcing materials for anterior periodontal

tooth stabilization and splinting. Dent Clin North Am 1999;43(1):105-126.9. Rudo DN, Karbhari VM: Physical behaviors of fiber rein- forcement as applied to tooth

stabilization. Dent Clin North Am 1999;43(1):7-35 10. Kau K, Rudo DN: A technique for fabricating a reinforced composite splint. Trends Tech Contemp

Dent Lab 1992;9(9):31-33.11. Strassler HE, Brown C. Periodontal splinting with a thin-high-modulus polyethylen ribbon.

Compendium 2001; 22:610-20. 12. Hughes TE, Strassler HE: Minimizing excessive composite resin when fabricating fiber- reinforced

splints. J Am Dent Assoc 2000;131(7):977-979.13. Karbhari VM, Dolgopolsky A: Transitions between micro- brittle and micro-ductile material

behavior during FCP in short fibre reinforced composites. Int J Fatigue 1990;12:51-61. 14. Syme SE, Fried JL. Maintaining the oral health of splinted teeth. Dental Clinics of North

America1999;43(1):179-96.

Page 20: BIMKGI Edisi 1

Berkala Ilmiah Mahasiswa Kedokteran Gigi Indonesia

[15]BIMKGI Volume 1 Edisi September 2012

Research

Pemanfaatan Ekstrak Kecubung(Datura metel) untuk Mengatasi Nyeri Gigi

dan GingivaSylvia Paulina Panggono1, Nabilla Vidyazti R.P. 1, Fitri Dwi Agus Pratiwi1,

Nanda Rachmad P.G1, Syafira Dike Nur R.1, Eric Priyo Prasetyo1

ABSTRACT

Dental and gingival pain is the most common pain in the orofacial region. Incorrect treatment may cause the patient afraid to visit the dentist, and dental pain or gingiva pain will be more severe and difficult for treatment. It is necessary to find correct treatment for relief these dental and gingiva pain. Alternative treatment to eliminate the pain, that can use herbal medicines like the roots of amethyst plant or Datura metel. The root of Datura metel contains high alkaloids to overcome the pain, especially in the dental and gingiva. The study was conducted to determine what concentration of alkaloid extract of Datura metel can relieve pain. The methods of this study is 50% concentration of root extract of Datura metel which applied in experimental animals, it’s 8 Mus musculus males. Experimental animals were divided into 4 groups, 2 experimental groups for gingival pain and 2 other groups to experiment dental pain. The results of this study is Datura metel with 50% concentration in s 0.1 ml can reduce dental and gingiva pain.

Keyword: Datura metel, dental pain, gingival pain

ABSTRAK

Nyeri gigi dan gingiva merupakan nyeri yang paling sering dijumpai di daerah orofasial. Penanganan nyeri yang tidak tepat dapat menyebabkan pasien menjadi takut dan enggan untuk berkunjung ke dokter gigi, sehingga nyeri gigi atau gingivanya akan semakin parah dan sulit diobati. Untuk itu diperlukan penanganan yang tepat untuk menghilangkan nyeri pada gigi dan gingiva ini. Salah satu cara menghilangkan nyeri yang dapat menggunakan obat-obatan herbal yaitu dengan pengolahan akar dari tumbuhan kecubung atau Datura metel. Akar Datura metel memiliki kandungan alkaloid yang tinggi sehingga dapat mengatasi rasa nyeri, khususnya pada gigi dan gingiva. Penelitian ini dilakukan untuk mengetahui pada konsentrasi berapakah alkaloid ekstrak akar kecubung dapat menghilangkan nyeri. Metode kerja berupa konsentrasi akar 50% ekstrak Datura metel aplikasikan pada hewan coba yang dipakai dalam penelitian ini berupa 8 Mus musculus jantan. Hewan coba dibagi menjadi 4 kelompok, 2 kelompok untuk percobaan nyeri gingiva dan 2 kelompok lainnya untuk percobaan nyeri gigi. Hasil dari penelitian ini menunjukkan Datura metel dengan konsentrasi 50% sebanyak 0.1 ml yang diberikan dapat mengurangi nyeri gigi dan dapat menghilangkan nyeri gusi pada mencit.

.Kata kunci: Datura metel, nyeri gigi, nyeri gingiva

1Fakultas Kedokteran Gigi Universitas AirlanggaCorrespondence:Universitas AirlanggaKampus A Jl. Mayjen.Prof. Dr. Moestopo 47, SurabayaNo. tlp. 031-5020251, 5030253, Fax.031-5022472

Page 21: BIMKGI Edisi 1

Pemanfaatan Ekstrak Kecubung untuk Mengatasi Nyeri

[16]BIMKGI Vol. 1 No. 1 Edisi Oktober 2012

PendahuluanNyeri gigi dan gingival merupakan salah satu nyeri yang paling sering dijumpai di daerah orofasial.1 Nyeri gigi merupakan perasaan tidak menyenangkan pada gigi yang menandakan adanya kerusakan pada struktur gigi yang disebabkan oleh rangsangan dari luar (seperti mekanik, suhu dan kimia) dan rangsangan dari dalam (seperti flora rongga mulut, penyakit sistemik, plak dan karang gigi, kerusakan pada salah satu struktur gigi dan jaringan sekitarnya). Nyeri merupakan alarm potensi kerusakan, tidak adanya sistem ini akan menimbulkan kerusakan yang lebih luas.2

Pasien seringkali mengubungkan bahwa perawatan gigi identik dengan nyeri. Penanganan nyeri yang tidak tepat dapat menyebabkan pasien menjadi takut dan enggan untuk berkunjung ke dokter gigi, sehingga nyeri gigi atau gingivanya akan semakin parah dan sulit diobati.3 Untuk itu diperlukan penanganan yang tepat untuk menghilangkan nyeri pada gigi dan gingiva ini.

Banyak cara yang dilakukan untuk menghilangkan nyeri gigi dan gusi, baik dengan menggunakan terapi analgesik maupun obat herbal. Terapi analgesik memiliki daya kerja cepat. Namun terkadang obat-obatan kimia memiliki beberapa efek samping. Apabila obat kimia dikonsumsi terlalu banyak juga berbahaya bagi kesehatan tubuh kita. 4

Pengobatan lain untuk menghilangkan nyeri yang dapat menggunakan obat-obatan herbal. Salah satunya yaitu dengan pengolahan akar dari tumbuhan kecubung atau Datura metel. Akar Datura metel dengan kandungan alkaloid yang cukup tinggi dapat mengatasi rasa nyeri, khususnya pada gigi dan gingiva.5 Penelitian ini dilakukan untuk mengetahui pada konsentrasi berapakah alkaloid ekstrak akar kecubung dapat menghilangkan nyeri.

Tinjauan pustakaMenurut Cohen dan Burns, 1994, nyeri gigi merupakan suatu gejala nyeri yang dapat timbul ketika terkena bermacam-macam rangsangan, antara lain; rangsang termis yang ditandai dengan perubahan suhu, minum minuman yang panas atau dingin; mekanis terjadi melalui masuknya makanan yang manis dan lengket, ataupun juga elektris yaitu rasa nyeri pada saat gigi dikenai tindakan perawatan seperti dibor. Selain adanya rangsangan, nyeri juga dapat timbul secara spontan. 2

Keluhan nyeri yang dikemukakan oleh setiap individu bersifat subyektif yaitu ngilu, nyeri yang kadang timbul dan berdenyut. Menurut Hawes, 2003, kecemasan dan rasa nyeri merupakan dua hal yang sangat berpengaruh terhadap perilaku pasien dalam perawatan gigi. Menurut Guyton, 1995, kegagalan dalam mengontrol dan mencegah rasa nyeri sewaktu perawatan gigi menjadi masalah

bagi dokter gigi. Hal ini disebabkan oleh dua faktor utama, yaitu persepsi rasa nyeri dan reaksi terhadap rasa nyeri tersebut dipengaruhi oleh kecemasan dan rasa takut terhadap rasa nyeri.6

Salah satu cara utnuk menghilangkan rasa nyeri yaitu dengan menggunakan obat-obatan herbal. Salah satunya yaitu dengan pengolahan akar dari tumbuhan Datura metel. Akar Datura metel dengan kandungan alkaloid yang cukup tinggi dapat mengatasi rasa nyeri, khususnya pada gigi dan gingiva.5

Datura metel mengandung 0,3% – 0,43% alkaloid (sekitar 85% skopolamin dan 15% hyoscyamine), atropin (tergantung varietas, lokasi, dan musim), hyoscin, flavonoid, saponin, dan polifenol. Zat aktifnya dapat menimbulkan halusinasi bagi pemakainya. Jika alkaloid kecubung diisolasi maka akan terdeteksi adanya senyawa methyl crystalline yang mempunyai efek relaksasi pada otot gerak. Bagian yang digunakan dari kecubung adalah bunga, akar, dan daun. Bunga digunakan untuk mengatasi asma, batuk, nyeri lambung, rematik, syok, serta dapat juga sebagai obat bius pada operasi. Akarnya untuk pengobatan kolera. Sedangkan daunnya selain untuk mengatasi ketombe juga dapat digunakan untuk mengatasi rematik, memar, dan cacingan.5

MetodePenelitian eksperimental laboratorium murni dilakukan di Laboratorium Ilmu Faal, Fakultas Kedokteran Universitas Airlangga. Konsentrasi ektrak akar Datura metel yang digunakan adalah 50%. Hewan coba yang dipakai dalam penelitian ini ada 8 tikus jantan dengan umur 2-3 bulan. Semua tikus dikarantina selama satu minggu dan dipelihara dalam kandang yang sama dengan perlakuan serta makan yang sama. Masing-masing tikus dipuasakan selama 18 jam untuk mendapat keadaan standar. Hewan coba dibagi menjadi 4 kelompok, 2 kelompok untuk percobaan nyeri gusi dan 2 kelompok lainnya untuk percobaan nyeri gigi. Rasa nyeri pada mencit adalah 5 tingkat (skor) yang menunjukkan reaksi berupa kontraksi, dimulai dari respons tingkat terendah, seperti berikut1: 0 = tidak terjadi kontraksi,1 = terjadi kontraksi lokal pada mukosa tempat

rangsangan diberikan,2 = terjadi kontraksi pada mukosa tempat

rangsangan diberikan, dan bibir ipsilateral,3 = terjadi kontraksi pada mukosa tempat

rangsangan diberikan, bibir ipsilateral dan kontralateral, serta gerakan ekstremitas atas baik ipsilateral maupun kontralateral

4 = terjadi kontraksi pada mukosa tempat rangsangan diberikan, bibir baik ipsilateral

maupun kontralateral, gerakan ekstremitas atas, ekstermitas bawah baik ipsilateral

Page 22: BIMKGI Edisi 1

[17]BIMKGI Vol. 1 No. 1 Edisi Oktober 2012

Berkala Ilmiah Kedokteran Gigi Indonesia

[17]

maupun kontralateral.Dua penelitian ini menggunakan variasi

perlakuan yang hampir sama yaitu seperti tabel dibawah ini:

Tabel 1. Variasi PerlakuanKelompok Perlakuan/uji

1 Tikus jantan yang dilukai dilukai Gusinya dan setelah 15 menit, ditetesi ekstrak akar kecubung 0.1 ml

2 Tikus jantan yang dilukai gusinya

3 Tikus jantan yang dilukai dipotong giginya hingga bagian pulpa dan setelah15 menit, ditetesi ekstrak akar kecubung 0.1 ml

4 Tikus jantan yang dilukai dipotong giginya hingga bagian pulpa

Hasil dan pembahasanPada penelitian ini didapatkan bahwa pemberian Datura metel sebanyak 2 tetes (0.1 ml) dengan konsentrasi 50% dengan frekuensi rangsangan 100 Hz menunjukkan bahwa terjadi adanya pengurangan rasa sakit pada mencit, baik pada gigi maupun gusi (tabel 2). Hal itu disebabkan karena kandungan terbesar dari akar Datura metel yaitu alkaloid.

Tabel 2. Hasil perlakuanKelompok Rata-rata pada

poin 4 (volt)Keterangan

1 0 -2 0.5 -3 0 (bereaksi

hanya pada poin 2 sebesar

115)4 127.5 -

Terjadinya stimulus yang menimbulkan

kerusakan jaringan hingga timbulnya pengalaman subyektif mengenai nyeri, terdapat rangkaian peristiwa elektrik dan kimiawi yang kompleks, yaitu transduksi, transmisi, modulasi dan persepsi. Transduksi adalah proses stimulus noksius diubah menjadi aktivitas elektrik pada ujung saraf sensorik. Proses berikutnya adalah transmisi, dalam proses ini terlibat tiga komponen saraf yaitu saraf sensorik perifer yang meneruskan impuls ke medulla spinalis, kemudian jaringan saraf yang meneruskan impuls dari medulla spinalis ke batang otak dan thalamus serta hubungan timbal balik antara thalamus dan cortex. Proses ketiga adalah modulasi yaitu aktivitas saraf yang bertujuan mengontrol transmisi nyeri. Suatu jaras tertentu telah ditemukan di sistem saraf pusat yang secara selektif menghambat transmisi nyeri di medulla spinalis. Proses terakhir adalah

persepsi, proses impuls nyeri yang ditransmisikan hingga menimbulkan perasaan subyektif.7

Kerusakan jaringan dan inflamasi menghasilkan berbagai mediator inflamasi seperti bradikinin, prostanoid, sitokin dan peptida termasuk substance P yang dapat merangsang nociceptors untuk menimbulkan rasa sakit. Prostanoid mempunyai peranan dalam inflamasi dengan menimbulkan rasa nyeri serta tanda-tanda keradangan. Salah satu jenis prostanoid adalah prostaglandin yang merupakan produk metabolisme asam arakidonat melalui siklooksigenase. Prostaglandin terbentuk dari asam lemak tak jenuh yang dikeluarkan oleh sel yang rusak. Sintesis prostaglandin memperkuat jumlah rasa sakit yang dialami dengan berperan sebagai pain activator serta meningkatkan sensitivitas saraf untuk impuls nyeri.8

Prostaglandin E2 (PGE2) mempunyai peran penting dalam nociception dan inflamasi. Prostaglandin E2 (PGE2) dihasilkan oleh sel-sel sebagai respon mekanik, suhu (thermal) atau kimia dan inflamasi yang menghasilkan sensitisasi atau activation sensory nerve endings.8 Antioksidan merupakan agen antiinflamasi yang bekerja melalui penangkapan radikal bebas oksigen yang dilepaskan oleh peroksida. Penurunan jumlah prostaglandin E2 (PGE2) dikarenakan pengikatan senyawa prostaglandin G2 (PGG2) dan prostaglandin H2 (PGH2) saat konversi asam arakhidonat menjadi prostaglandin E2 (PGE2) oleh phenolic compound.9

Kedua senyawa tersebut adalah suatu senyawa endoperoksida yang dihasilkan selama konversi asam arakhidonat menjadi prostaglandin. Asam asetat merangsang pelepasan prostaglandin ke peritoneum melalui nociceptive neurons yang sensitif terhadap non-steroid anti inflammatory drug. Kontraksi abdominal akibat induksi asam asetat menyebabkan pelepasan substansi endogen seperti prostaglandin, yang dapat menstimulasi peripheral nociceptor dan neuron yang sensitif terhadap non-steroid anti-inflamatory drug.9 Oleh karena itu, asam asetat yang menyebabkan kontraksi abdominal berhubungan dengan mekanisme penghambatan siklooksigenase dalam jaringan perifer, sehingga mengurangi sintesis prostaglandin dan mengganggu mekanisme transduksi utama dalam afferent nociceptor.10

Alkaloid tertentu mempunyai kemampuan mengurangi rasa nyeri (analgesik) dan bersifat sebagai penenang. Kandungan alkaloid menyebabkan antinociception dan terjadi keterlibatan jalur oksida L-arginin-nitrat. Ekstrak analgesik sebagian besar dari nalokson dan prekursor oksida nitrat, L-ARG. Fakta menunjukan bahwa alkaloid diberikan oleh rute yang berbeda, pameran antinociception yang signifikan ketika dinilai terhadap yang neurogenik dan capsaicin induced respon algesic tampaknya relevan.11

Page 23: BIMKGI Edisi 1

Pemanfaatan Ekstrak Kecubung untuk Mengatasi Nyeri

[18]BIMKGI Vol. 1 No. 1 Edisi Oktober 2012

Alkaloid telah dibuktikan memiliki antiprostagladin dan antiinflamasi. Fraksi alkaloid bekerja dengan cara menghambat pembentukan prostaglandin. Ada kaitan antara dosis fraksi alkaloid dengan hambatan prostagladin12. Penghambatan sintesis dan pelepasan prostagladin merupakan mekanisme utama yang terjadi pada proses nonsteroidal anti inflammatory drugs (NSAIDs) atau obat nonsteroid anti keradangan di dalam tubuh. NSAIDs menghasilkan analgesia dan mengurangi inflamasi. Dengan tindakan ini, NSAIDs mengurangi sensitisasi neuron afferent oleh prostaglandin untuk tindakan analgesik bradikinin dan mediator rangsangan nyeri lainnya. Kemungkinan besar bahwa ekstrak akar Datura metel menginduksi analgesia dengan menghambat produksi dan pelepasan prostaglandin atau memblokir reseptor prostagladin.13

KesimpulanKandungan Alkaloid pada ekstrak akar Datura metel dengan konsentrasi 50% sebanyak 0.1 ml yang diberikan dapat mengurangi nyeri gigi dan dapat menghilangkan nyeri gusi pada mencit.

SaranDengan adanya penelitian ini, diharapkan pemanfaatan ekstrak akar Datura metel dapat dikembangkan menjadi obat herbal sehingga dapat menurunkan presentase nyeri gigi dan gusi pada masyarakat luas.

Daftar pustaka1. Sessle, BJ. Orofacial Pain and Headache,

editor by Yair Sharav and Rafael B. Philadelphia: Mosby Elsevier; 2008.p.76.

2. Walton RE, Torabinejad M. Prinsip dan praktek ilmu endodonsi. Alih bahasa: Narlan S, Winiati S, Bambang N. ed ke-3. Jakarta: EGC; 2008.p.33,331-2.

3. Mechlisch DR. The Efficacy of Combination Analgesic Therapy in Dental Pain. J Am Dent Assoc 2002; 133:861-71.

4. Utami, Prapti. Buku Pintar Tanaman Obat. Jakarta: Agromedia; 2008.p.123.

5. Pratama, Alun D. Perbandingan Efektifitas Air Perasan Daun Datura metel (Datura metel L.) 100% dengan Ketokonazol 1% secara In-vitro terhadap Pertumbuhan sPitrosporum ovale. 2008. Available on: http://eprints.undip.ac.id/24411/1/ Alun .pdf

6. Pratama, Alun Dhika. Perbandingan Efektifitas Air Perasan Daun Kecubung ( Datura metel L. ) 100% dengan Ketokonazol 1% Secara Invitro Terhadap

1. Pertumbuhan Pityrosporum ovale. 2008. Available on: http://eprints.undip.ac.id/24411/1/Alun.pdf

2. Taylor C, Carol L and Pricilla L. Fundamental Of Nursing, The Art and Science of Nursing. Lippicott Philadelphia; 1997.p.267.

3. Moriyama, Tomoko, Tomohiro Higashi, Kazuya Togashi, Tohko Iida, Eri Segi, Yukihiko Sugimoto, Tomoko Tominaga, Shuh Narumiya and Makoto Tominaga. Sensitization of TRPV1 by EP1 and IP reveals peripheral nociceptive mechanism of prostaglandins. J.Molecular Pain 2005;1(3):1-2.

4. Bukhari IA, Khan RA, Gilani AH, Ahmed S and Saeed SA. Analgesic, Anti-inflamatory and Anti-platelet Activity of The Methanolic Exctract of Acacia Modesta Leaves. Inflammopharmacolgy 2010; 18:191-2.

5. Prabhu VV, Nalini N, Chidambarathan N and Kisan SS. Evaluation of Anti Inflammatory and Analgesic Activity of Tridax Procumber Linn Againts Formalin, Acetic Acid and CFA Induced Pain Models. Int J Pharm Pharm Sci 2011; 3(2): 129.

6. Sunariyani, Jenny, dkk. Pengaruh Alkohol Terhadap Penjalaran Impuls Pada Tikus Putih. Majalah Ilmiah Kedokteran Gigi Dental Journal 2000; 119.

7. Santos, Adair, dkk. Antinociceptive Properties of the New Alkaloid, cis-8,10-Di-NPropyllobelidiol Hydrochloride Dihydrate Isolated from Siphocampylus verticillatus: Evidence for the Mechanism of Action. The Journal of Pharmacology and Experimental Therapeutics 1999;289(1):416-7.

8. Prempeh, ABA dan J Mensah-Attipoe. Analgesic Activity of Crude Aqueous Extract of the Root Bark of Zanthoxylum Xanthoxyloides. Ghana Medical Journal 2008;42(2): 79-84.

Page 24: BIMKGI Edisi 1

Berkala Ilmiah Mahasiswa Kedokteran Gigi Indonesia

[19]BIMKGI Vol. 1 No. 1 Edisi Oktober 2012

Literature Study

Potensi Periodontal Ligament Stem Cell sebagai Terapi Pasca Bedah Eksisi Tulang Alveolar pada Penderita Ameloblastoma

Nayu Nur Annisa Sholikhin 1, Achmad Zam Zam Aghazy1

AbstractAmeloblastoma is a benign tumor derived from epithelial odontogenic. Ameloblastoma is an

odontogenic tumor variants of the most common with a prevalence of 66.67%. The growth of abnormal cells can destroy the tissue surrounding alveolar bone. Surgical excision is required to minimize the high recurrenc of ameloblastoma, the procedure is not only remove tumor, but also most of the normal alveolar bone surrounding it. Some therapies can be done to restore the alveolar bone after excision, one of which is PDLSC (Periodontal ligament Stem Cell). This Literature study aims to examine the therapeutic potential of PDLSC as alveolar bone after surgical excision in patients with ameloblastoma. PDLSC stem cell is good because it has a higher proliferation compared derivate Bone Marrow Mesenchymal Stem Cell (BMMSC). Additionally PDLSC more efficient in the utilization of third molar post-extraction in the case of impaction and post-extraction premolars orthodonti therapy. PDLSC an isolated stem cells from the periodontal ligament of teeth have been extracted by using fluorescence activated. Periodontal ligament is a specialized tissue located between the cementum and alveolar bone that has the role of raising and maintaining the position of teeth. Periodontal ligament containing stro-1 that have the potential to differentiate into a phenotype adipogenic, condrogenic and osteogenic. The expressed of stro-1 on the surface of the periodontal ligament showed that periodontal ligament stem cells have the ability to differentiate into osteoblasts. Based on this theory, it can be concluded that periodontal ligament cells can potentially be used as alveolar bone regeneration therapy in patients with ameloblastoma. Keywords: ameloblastoma, periodontal ligament stem cell, alveolar bone

Abstrak Ameloblastoma adalah suatu tumor jinak yang berasal dari epitel odontogen. Ameloblastoma merupakan jenis tumor dengan prevalensi tinggi mencapai 66,67% dari keseluruhan kejadian tumor odontogenik. Pertumbuhan abnormal sel pada ameloblastoma dapat merusak jaringan di sekitar tulang alveolar. Bedah eksisi dibutuhkan untuk meminimalisir kambuhnya ameloblastoma, prosedur bedah eksisi tidak hanya menghilangkan tumor tapi juga tulang alveolar sekitar. Salah satu terapi yang dapat digunakan untuk memperbaiki tulang alveolar setelah eksisi adalah PDLSC (Periodontal ligament Stem Cell). Artikel studi literatur ini bertujuan untuk menguji potensi terapi PDLSC sebagai tulang alveolar setelah eksisi bedah pada pasien dengan ameloblastoma. Stem cell PDLSC baik karena memiliki proliferasi lebih tinggi dibandingkan derivat Bone Marrow Stem Cell Mesenchymal (BMMSC). Periodontal Ligament Stem Cell (PDLSC) dapat diisolasi dari gigi molar ketiga yang dicabut karena impaksi dan gigi premolar yang dicabut untuk perawatan ortodonti. PDLSC mempunyai kapasitas proliferasi yang lebih tinggi dibandingkan bone marrow stem cells. Ligamen periodontal adalah jaringan yang terspesialisasi yang berada diantara sementum dan tulang alveolar dan memiliki peranan dalam memelihara dan menyangga gigi. Periodontal mengandung CD-146 / STRO-1 positif yang dapat berdiferensiasi menjadi fenotip adipogenik, osteogenik, dan kondrogenik. Terekspresinya STRO-1 pada permukaan PDLSC mengindikasikan bahwa PDLSC memiliki prekursor osteogenik yang dapat terdiferensiasi menjadi osteoblas. Berdasarkan teori ini, dapat disimpulkan bahwa ligament periodontal dapat digunakan sebagai terapi regenerasi tulang alveolar pada pasien ameloblastoma.Kata kunci : ameloblastoma, Periodontal Ligament Stem Cell (PDLSC), tulang alveolar

Page 25: BIMKGI Edisi 1

Potensi Periodontal Ligament Stem Cell sebagai Terapi

[20]BIMKGI Vol. 1 No. 1 Edisi Oktober 2012

PendahuluanPrevalensi ameloblastoma mencapai 66,67% dari keseluruhan kejadian tumor odontogenik. Ameloblastoma sering muncul sebagai tumor yang tumbuh secara lambat, menimbulkan pembengkakan tanpa rasa sakit, menyebabkan ekspansi tulang kortikal, perforasi lingual ataupun buccal.1 Apabila tidak segera dirawat, ameloblastoma tumbuh ke segala arah secara lambat membentuk massa yang lebih massif, menginvasi jaringan lunak dan menghancurkan tulang baik dengan tekanan secara langsung ataupun dengan memicu resorpsi tulang oleh osteoklas.2

Ameloblastoma memiliki kecenderungan rekurensi yang tinggi, sehingga diperlukan perawatan secara radikal untuk menekan terjadinya rekurensi. Bedah eksisi lebih banyak dipilih sebagai penanganan ameloblastoma karena mampu menekan rekurensi tumor yang tinggi. Pengangkatan tumor dengan prosedur eksisi tidak hanya mengikutkan tumor saja tetapi juga sebagian tulang normal yang mengelilinginya.3 Sehingga konsekuensinya penderita kehilangan sebagian tulang alveolar.

Sebagai terapi untuk mengganti defek alveolar pasca pembedahan, bone graft kurang memberikan hasil yang memuaskan karena berisiko terjadi penolakan dalam tubuh.4 Perawatan menggunakan bahan sintetis juga memiliki kelemahan menyebabkan reaksi benda asing dan peradangann 5

Perkembangan ilmu terbaru merekomendasikan stem cell sebagai pilihan perawatan untuk memperbaiki kerusakan jaringan tubuh. Termasuk defek tulang alveolar yang dapat diperbaiki dengan regenerasi jaringan menggunakan dental stem cell. PDLSC (Periodontal Ligament Stem Cell) merupakan dental stem cell dengan daya poliferasi yang tinggi dan mudah didapatkan. Penelusuran pustaka ini bertujuan untuk menelaah potensi PDLSC sebagai terapi pasca bedah eksisi tulang alveolar pada penderita ameloblastoma.

Tinjauan pustakaa. Ameloblastoma

Ameloblastoma merupakan tumor

odontogenik yang paling umum terjadi. Tingkat

kejadian ameloblastoma mencapai 1-3 % dari keseluruhan kejadian tumor dan kista rahang. Tumor ini bersifat unisentrik, nonfungsional, pertumbuhannya intermiten, secara anatomis jinak dan persisten secara klinis. 6

a. Perkembangan ameloblastomaAmeloblastoma tumbuh secara lambat

dan lokal invasif. Secara klinis ameloblastoma merupakan neoplasma jinak, terjadi lebih sering pada ramus mandibula dibanding pada maksila7 yaitu mencapai 99,1 % .8

Pada tahap awal ameloblastoma, tulang keras dan mukosa diatasnya masih berwarna normal, berikutnya tulang mulai menipis dan ketika teresobsi seluruhnya tumor yang menonjol terasa lunak dan dapat memiliki gambaran berlobul pada radiografi. Dengan pembesarannya, tumor tersebut dapat mengekspansi tulang kortikal yang luas dan memutuskan batasan tulang serta menginvasi jaringan lunak. Pada tahap ini penderita akan menyadari adanya pembengkakan yang progresif. Ketika menembus mukosa, permukaan tumor dapat menjadi memar dan mengalami ulserasi akibat penguyahan. Pada tahap lebih lanjut, kemungkinan ada rasa sakit didalam atau sekitar gigi dan gigi tetangga dapat goyang bahkan tanggal.2

b. Etiologi terjadinya ameloblastomaBeberapa ahli mengatakan bahwa

ameloblastoma dapat terjadi setelah pencabutan gigi, pengangkatan kista dan atau iritasi lokal dalam rongga mulut. Ameloblastoma berasal dari sumber-sumber; sisa sel organ enamel (hertwig’s sheat, epitel rest of mallassez), gangguan pertumbuhan organ enamel, epitel dinding kista odontogenik terutama kista dentigerous dan sel epitel basal permukaan rongga mulut. 8

Ameloblastoma merupakan tumor basaloid yang memiliki tingkat keganasan rendah, namun mampu mengalami perubahan tingkat keganasan dari rendah hingga tinggi. Tumor ini memiliki kecenderungan rekurensi sangat tinggi.2

c. Penanganan ameloblastomaPerawatan ameloblastoma beragam mulai

dari kuretase sampai reseksi tulang yang

Page 26: BIMKGI Edisi 1

[21]BIMKGI Vol. 1 No. 1 Edisi Oktober 2012

Berkala Ilmiah Kedokteran Gigi Indonesia

[21]

luas, dengan atau tanpa rekonstruksi. Radioterapi tidak diindikasikan karena lesi ini radioresisten. Pemeriksaan kembali sangatlah penting karena hampir 50% kasus rekurensi terjadi pada lima tahun pertama pasca operasi.3 Beberapa studi menunjukkan tingkat rekurensi ameloblastoma adalah 50-90%9 pasca kuretase. Kuretase tumor dapat meninggalkan tulang yang sudah diinvasi oleh sel tumor. 3

1 EnukleasiEnukleasi merupakan pengangkatan tumor

dengan mengikisnya dari jaringan normal yang ada disekelilingnya10. Enukleasi menyebabkan kasus rekurensi hampir tidak dapat dielakkan. Enukleasi yang merupakan perawatan konservatif diindikasikan pada penderita usia muda dan ameloblastoma unikistik. Sedangkan indikasi perawatan radikal yaitu bedah eksisi adalah ameloblastoma tipe solid dengan tepi yang tidak jelas, lesi dengan gambaran soap bubble, lesi yang tidak efektif dengan penatalaksanaan secara konservatif dan ameloblastoma ukuran besar. 11

2 Bedah EksisiPerawatan ameoblastoma yang paling

direkomendasikan dan banyak dilakukan adalah prosedur bedah eksisi. Eksisi merupakan prosedur pengangkatan tumor yang meliputi neoplasma sampai jaringan sehat yang berada di bawah tumor. Prosedur ini dapat menekan terjadinya rekurensi sebab eksisi tidak hanya mengangkat tumor saja tetapi juga sebagian tulang normal yang mengelilinginya.3

Gambar 1. Eksisi pada prosedur eksisi tidak hanya dilakukan pengangkatan seluruh massa tumor namun juga mengikut sertakan jaringan tulang sehat disekitarnya3.

Konsekuensi dari penangan dengan prosedur ini penderita akan kehilangan sebagian tulang alveolar. Oleh karena itu, perawatan regenerasi tulang alveolar perlu dilakukan sebagai perbaikan defek alveolar pasca eksisi.

Stem cell Saat ini stem cell menjadi pilihan perawatan

yang paling direkomendasikan untuk regenerasi berbagai jaringan termasuk tulang alveolar. Stem cell atau yang biasa disebut sel induk adalah sel yang dalam perkembangan embrio manusia menjadi sel awal yang tumbuh menjadi berbagai organ manusia. Sel ini belum terspesialisasi dan mampu meregenerasi diri sendiri.

Dental stem cell adalah stem cell yang berada atau didapat pada gigi. Baik ketika gigi masih menjadi benih maupun sudah erupsi.12 Dental stem cell dibagi menjadi beberapa jenis, diantaranya : Dental Follicle Stem Cell (DFSC), Stem cells from human exfoliated deciduous teeth (SHED), Dental pulp stem cells (DPSC), Apical part of the Papilla Stem Cell (APSC), Periodontal ligament stein cells (PDLSC). 15

Periodontal Ligament Stem Cell Ligamen periodontal adalah jaringan yang terspesialisasi yang berada diantara sementum dan tulang alveolar dan memiliki peranan dalam memelihara dan menyangga gigi. Ligament periodontal mengandung marker untuk stem cell, yaitu CD-146 / STRO-1 positif yang berfungsi untuk memelihara kekuatan sel tersebut. Marker STRO-1 ini secara vitro, dapat berdiferensiasi menjadi fenotip adipogenik, osteogenik, dan kondrogenik.14

Periodontal Ligament Stem Cell (PDLSC) dapat diisolasi dari gigi premolar yang dicabut untuk perawatan ortodonti, gigi sulung yang dicabut, dan gigi molar ketiga yang dicabut karena impaksi. PDLSC mempunyai kapasitas proliferasi yang lebih tinggi dibandingkan bone marrow stem cells.15

Page 27: BIMKGI Edisi 1

Potensi Periodontal Ligament Stem Cell sebagai Terapi

[22]BIMKGI Vol. 1 No. 1 Edisi Oktober 2012

Gambar 2. Isolasi PDLSC 14 (A)Pencabutan Molar ketiga pada manusia menunjukkan perlekatan ligamen periodontal

pada permukaan akar gigi (tanda panah). (B) kultur dari PDLSC. (C) Tampak kumpulan sel ligament periodontal

yang membentuk koloni tunggal setelah dilakukan pengecatan dengan Toluidine blue 0,1%. (D-E) Pengecatan

Immunocytochemical menunjukkan bahwa kultur PDLSC mengekspresikan STRO-1 (Gb. D) dan CD 146 (Gb.

E), keduanya merupakan mesenchymal progenitor markers. (F-G) Pada pengecatan immunohistochemical (F) dan fluorescence

(G), menunjukkan adanya antibodi STRO-1 pada jaringan periodontal.

PDLSC merupakan sel heterogen yang memiliki potensi replikasi dan dapat membentuk single-cell colony. PDLSC memiliki perangkat stem cell yang penting dan memiliki peran untuk perbaikan diri, multipotensi, serta mengekspresikan mesenchymal stem cell marker, antara lain CD 105, CD 166 dan STRO-1 pada permukaan selnya.16

PDLSC mengandung banyak organel sel, diantaranya mitokondria, ribosom, reticulum endoplasma kasar dan matriks ekstraselular. Kolagen fibril yang dihasilkan PDLSC lebih besar dan tebal jika dibandingkan dengan APSC pada kondisi yang sama.17 Strategi terapi regenerasi jaringan periodontal adalah untuk mengendalikan peradangan dan merangsang stem cell progenitor untuk meregenerasi jaringan periodontal baru.17 Dengan menggunakan pengecatan immunohistochemical dan western blot analysis menunjukkan bahwa kultur PDLSC mengekspresikan sejumlah marker osteoblasik/sementoblastik antara lain alkaline phosphatase (ASP), bone sialoprotein (BSP), osteocalcin dan TGFβ receptor.14

STRO-1 merupakan colony-forming osteogenic precursor yang dapat diisolasi dari sum-sum tulang. Terekspresinya STRO-1 pada permukaan PDLSC mengindikasikan bahwa PDLSC memiliki prekursor osteogenik yang dapat

terdiferensiasi menjadi osteoblas. Tahapan dalam pembentukan osteoblas melibatkan sejumlah gen spesifik dan pada tiap tahapan tersebut nampak ciri fenotip.18 PDLSC merupakan multipotent mesenchymal stem cell yang dapat berdiferensiasi menjadi beberapa sel, antara lain adiposit, kondrosit, dan osteosit. Hal ini dibuktikan melalui penelitian dengan mengisolasi dan mengkarakterisasi PDLSC manusia.12 Untuk mengetahui induksi osteogenik, PDLSC diuji dengan menggunakan Alizarine Red S Staining untuk mengetahui ekspresi ALP dan BSP. Hasilnya, ekspresi BSP nampak pada hari ke-7 dan ASP nampak pada hari ke-14.15

Induksi adipogenik pada PDLSC dapat diketahui menggunakan Oil Red O Staining dengan mengamati ekspresi PPARγ2. Hasilnya, ekspresi PPARγ2 nampak pada hari ke-25. Untuk mengetahui induksi kondrogenik, PDLSC diuji menggunakan Toluidine Blue Staining dengan mengamati ekspresi kolagen tipe II. Hasilnya, pada hari ke-21 nampak ekspresi kolagen tipe II dan glikosaminoglikan.13 Pembentukan osteoblas dibagi menjadi beberapa tahapan, diantaranya bipoten mesenchymal stem cell, tripoten mesenchymal stem cell, commited osteoprogenitor cell, preosteoblas, osteoblas dan osteosit. Pada tahapan bipoten mesenchymal stem cell dan tripoten mesenchymal stem cell, PDLSC berdiferensiasi menjadi adiposit, kondrosit dan osteosit. Pada tahap ini cirri fenotip yang nampak pada PDLSC antara lain renewing-cell, ekspresi STRO-1, ALP, dan kolagen tipe I, III, V.

Pada tahapan commited osteoprogenitor cell, gen MSX-2 menstimulasi peningkatan ekspresi faktor transkripsi RUNX-2. Faktor transkripsi RUNX-2 adalah faktor yang dibutuhkan untuk diferensiasi osteoblas. MSX-2 bersama dengan RUNX-2 mengatur transkripsi osteocalcin yang dibutuhkan untuk proses mineralisasi tulang.19 Pada tahap pre-osteoblas, TGFβ berperan untuk merekrut dan menstimulasi proliferasi sel osteoprogenitor. Selanjutnya, sel osteoprogenitor akan diekspresikan oleh faktor transkripsi RUNX-2 yang sangat dibutuhkan untuk diferensiasi osteoblas dengan bantuan MSX-2 sehingga sel osteoprogenitor berdiferensiasi menjasi sel pre-osteoblas. Ciri yang nampak pada tahap ini antara lain proliferasi sel ALP, kolagen tipe I, BSP dan PTH-related protein

Page 28: BIMKGI Edisi 1

[23]BIMKGI Vol. 1 No. 1 Edisi Oktober 2012

Berkala Ilmiah Kedokteran Gigi Indonesia

[23]

receptor dan dengan menggunakan pengacatan immunohistochemical dan western blot analysis. Tahap pembentukan osteoblas diperantarai oleh gen RUNX-2 dan DLX-5.20 Pada tahap akhir pembentukan osteoblas, TGFβ akan menghentikan diferensiasi dan mineralisasi dari osteoblas dengan cara meghambat ekspresi gen RUNX-2, sehingga sel tidak berpoliferasi secara terus menerus. Pada tahap ini, cirri fenotip yang tampak antara lain, ALP, BSP, kolagen tipe I, osteopoietin, osteoclacin dan PTH-related protein receptor.13

ALP merupakan enzim yang disekresi oleh osteoblas pada saat osteoblas tersebut aktif. Enzim ini berfungsi untuk meningkatkan konsentrasi fosfat inorganik dan mengaktifkan sabut kolagen sehingga dapat menyebabkan pengendapan garam-garam kalsium. ALP dalam darah merupakan indicator kecepatan pembentukan tulang. Kolagen tipe I merupakan matriks organik yang menyusun 90% tulang. Protein non-kolagen yang menyusun tulang antara lain osteopoietin, osteonectin dan BSP. Protein-protein tersebut memiliki aktivitas untuk mengikat kalsium yang bertanggung jawab pada regulasi hidroksi apatit. BSP dan osteopoietin mengandung asam amino arggly-asp dan dapat memediasi perlekatan osteoblas pada matriks tulang. Ekspresi dari osteocalcin berhubungan dengan regulasi masa tulang.21

Membran sel osteoblas memiliki reseptor yang mengikat hormone paratiroid. Hormon paratiroid dapat meningkatkan permeabilitas membrane osteosit dan mengaktifkan pompa kalsium dengan kuat sehingga terjadi difusi ion kalsium ke dalam membrane osteoblas. Selanjutnya, pompa kalsium disisi lain dari sel akan memindahkan ion kalsium yang tersisa kedalam cairan ekstavaskuler.22

PembahasanAmeloblastoma merupakan varian tumor odontogenik yang paling sering terjadi. Perawatan yang paling banyak dipilih untuk menangani ameloblastoma adalah bedah eksisisi. Bedah eksisi lebih menguntungkan karena dapat menekan terjadinya rekurensi tumor. Dalam prosedurnya, bedah eksisi tidak hanya menyingkirkan tumor saja akan tetapi juga menghilangkan sebagian tulang

normal di sekitar tumor. Sehingga akan terdapat defek tulang alveolar pasca dilakukannya eksisi. Oleh karena itu diperlukan sebuah terapi untuk memperbaiki defek tulang alveolar tersebut. Penelitian terbaru menyimpulkan bahwa perawatan regenerasi jaringan menggunakan stem cell akan lebih mengutungkan. Stem cell merupakan sel multipoten yang dapat berdiferensissi menjadi osteoblas dan osteosit dan membentuk tulang baru. Dental stem cel adalah stem cell yang berada atau didapat pada gigi. Berdasarkan asalnya Dental stem cell dibagi menjadi beberapa jenis, salah satunya adalah Periodontal ligament stem cells (PDLSC). PDLSC mudah didapatkan serta efisien dalam pemanfaatan gigi pasca ekstaksi , sebab dapat diisolasi dari gigi premolar yang dicabut untuk perawatan orthodonsia, juga dapat diperoleh dari gigi sulung yang telah dicabut dan gigi molar ketiga yang dicabut karena impaksi. PDLSC memiliki potensi replikasi dan dapat membentuk single-cell colony. PDLSC memiliki perangkat stem cell yang penting dan memiliki peran untuk perbaikan diri, multipotensi, serta mengekspresikan mesenchymal stem cell marker. Keberadaan marker osteoblasik/sementoblastik yang di ekspresikan PDLSC seperti alkaline phosphatase (ASP), bone sialoprotein (BSP), osteocalcin dan TGFβ receptor mengindikasikan adanya progenitor cell dalam PDLSC yang mempunyai peranan dalam mengatur homestasis jaringan dan regenerasi tulang alveolar.

Terekspresinya STRO-1 pada permukaan PDLSC mengindikasikan bahwa PDLSC memiliki prekursor osteogenik yang dapat terdiferensiasi menjadi osteoblas. Tahapan dalam pembentukan osteoblas melibatkan sejumlah gen spesifik dan pada tiap tahapan tersebut nampak ciri fenotip. PDLSC merupakan multipotent mesenchymal stem cell yang dapat berdiferensiasi menjadi beberapa sel, antara lain osteosit, adiposit dan kondrosit. Pada tahapan awal pembentukan osteoblas yaitu bipoten mesenchymal stem cell dan tripoten mesenchymal stem cell, PDLSC berdiferensiasi menjadi adiposit, kondrosit dan osteosit. Pada tahap ini cirri fenotip yang nampak pada PDLSC antara lain renewing-cell, ekspresi STRO-1, ALP, dan kolagen tipe I, III, V .

Gen MSX-2 menstimulasi peningkatan

Page 29: BIMKGI Edisi 1

Potensi Periodontal Ligament Stem Cell sebagai Terapi

[24]BIMKGI Vol. 1 No. 1 Edisi Oktober 2012

ekspresi faktor transkripsi RUNX-2 pada tahapan commited osteoprogenitor cell. Faktor transkripsi RUNX-2 adalah faktor yang dibutuhkan untuk diferensiasi osteoblas. MSX-2 bersama dengan RUNX-2 mengatur transkripsi osteocalcin yang dibutuhkan untuk proses mineralisasi tulang.. Pada tahap pre-osteoblas, TGFβ berperan untuk menstimulasi proliferasi sel osteoprogenitor yang selanjutnya akan diekspresikan oleh faktor transkripsi RUNX-2 dengan bantuan MSX-2. Sehingga sel osteoprogenitor berdiferensiasi menjasi sel pre-osteoblas. Ciri yang nampak pada tahap ini antara lain proliferasi sel ALP, kolagen tipe I, BSP dan PTH-related protein receptor. Tahap pembentukan osteoblas diperantarai oleh gen RUNX-2 dan DLX-5. Pada tahap akhir pembentukan osteoblas, TGFβ akan menghentikan diferensiasi dan mineralisasi dari osteoblas dengan cara meghambat ekspresi gen RUNX-2, sehingga sel tidak berpoliferasi secara terus menerus. Pada tahap ini, cirri fenotip yang tampak antara lain, ALP, BSP, kolagen tipe I, osteopoietin, osteoclacin dan PTH-related protein receptor. ALP merupakan enzim yang disekresi oleh osteoblas pada saat osteoblas tersebut aktif. Enzim ini berfungsi untuk meningkatkan konsentrasi fosfat inorganik dan mengaktifkan sabut kolagen sehingga dapat menyebabkan pengendapan garam-garam kalsium. ALP dalam darah merupakan indikator kecepatan pembentukan tulang. Kolagen tipe I merupakan matriks organik yang menyusun 90% tulang. Protein non-kolagen yang menyusun tulang antara lain osteopoietin, osteonectin dan BSP. Protein-protein tersebut memiliki aktivitas untuk mengikat kalsium yang bertanggung jawab pada regulasi hidroksi apatit. BSP dan osteopoietin mengandung asam amino arggly-asp dan dapat memediasi perlekatan osteoblas pada matriks tulang. Ekspresi dari osteocalcin berhubungan dengan regulasi masa tulang.

KesimpulanBerdasarkan kajian literatur ini dapat disimpulkan bahwa PDLSC mampu berdiferensiasi menjadi osteoblas dan merangsang regenerasi tulang dengan baik. Sehingga dapat dimanfaatkan untuk terapi

perbaikan defek tulang alveolar pasca pembedahan eksisi pada penderita ameloblastoma.

Daftar pustaka 1 Ghandhi D, Ayoub AF, Anthony

M,MacDonald G, Brocklebank LM, Moos KF.Ameloblastoma: a surgeon’s dilemma. J Oral Maxillofac Surg 2006;64:1010–4.

2 Archer WH. A Manual of Oral Surgery. 1st Ed. Philadelphia; W.B.Saundessrs Company; 1952.p. 313.

3 Shafer GS, Hine MR, Levy BM. A text book of oral pathology, 4thed.Philadelphia: WB Sauders Co; 1983.p.276-85.4 Carranza FA, McClain P, Schallorn R. Regenerative osseous surgery. In: Newman,

Takei, Carranza, Carranza’s clinical periodontology. 9ed Philadelphia: WB

Saunders Co.;20025 Nugraha DE, Bahan-Bahan Cangkok yang

Digunakan pada Rahang Atas dan Dalam Bedah Mulut.2012. Akses 6 september 2012 Available on: http://www.scribd.

com/doc/96663147/Materialgraft-Yang-Digunakan-Pada-Bedah-Mulut-Dan-

Maxillofacial 6 Ghom,A Maskhe, Shubangin. Textbook of oral

pathology.New Delhi: Jaypee Brother Medical Publisher; 2008.

7 Reichart PA, Philipsen HP, Sonner S. Ameloblastoma: biological profile of 3677 cases”. Eur J Cancer B Oral Oncol. 1995;31B (2): 86–99. PMID 7633291.

8 Adekey EO, McLavery K. Recurrent Ameloblastoma of the Maxillofacial region. Clinical features andtreatment. J Maxillofac Surg 1986;14:153-7.

9 De Haantjes van Het Oosten. Klasifikas Ameloblastoma. 2010. Akses 6 Sptember 2012. Available on : http://potooloodental.blog.com/?p=257

10 Yudha HS, Diagnosa dan Penanganan Ameloblastoma/Adamantinoma.2012 diakses tanggal 24 Agustus 2012. Available on: herrysetyayudha.wordpress.com/2012/03/25/diagnosa-dan-penanganan-ameloblastoma-adamantinoma

11 Ohishi M. Management of mandibula ameloblastoma the clinical basis for tratment alogaritm. J Oral Maxillofacial Surgery 1999:37.

12 Bluteau G, HU Luder, C Debari, TA Mitsiadis. Stem Cell for Tooth Engineering. Eur Cell and Material 2008;16:1-9.

13 Gay IC, Chen S, MacDougall M. Isolation and Characterization of Multipotent Human Periodontal Ligament Stem Cells. Orthodontics and Craniofacial Research 2007;10(3):149-60.

14 Seo BM, Miura M, Gronthos S, Bartold PM,

Page 30: BIMKGI Edisi 1

[25]BIMKGI Vol. 1 No. 1 Edisi Oktober 2012

Berkala Ilmiah Kedokteran Gigi Indonesia

[25]

1 Batouli S, Brahim J, Young M, Robey PG, Wang CY, Shi S. Investigation of Multipotent Postnatal Stem Cells from Human Periodontal Ligament. Lancet 2004;364(9429):149-55.

2 Morsczek C. Gene Expression of runx2, Osterix, c-fos, DLX-3, DLX-5, and MSX-2 in Dental Follicle Cells during Osteogenic Differentiation In Vitro. Calcif Tissue Int. 2006;78(2):98-102.

3 Isaka J, Ohazama A, Kobayashi M, Nagashima C, Takiguchi T, Kawasaki H, Tachikawa T, Hasegawa K. Participation of Periodontal Ligament Cells with Regeneration of Alveolar Bone. J Periodontol 2001;72(3):314-323.

4 Yi Liu, Ying Z, Gang D, Dianji F, Chunmei Z, Peter MB, Stan G, Songtao S, Songlin. Periodontal Ligament Stem Cell-Mediated Treatment for Periodontitis in Miniature Swine. Stem Cell 2008;26 (4): 1065–73.

5 Hughes J, Wendy T, Georgeous B, Gianlucca M. Effects of Growth Factors and Cytokines on Osteoblas Differentiation. Periodontology 2000 2006;41:51-54.

6 Cho, Moon-Il and Garant, Philias R. Expression and Role of Epidermal Growth Factor Receptors during Differentiation of Cementoblasts, Osteoblass, and Periodontal Ligament Fibroblasts in The Rat. The Anatomical Record 1996;245:342–360.

7 Yoshinori S, Tatsuya Y, Fumio T, Mika I, Osamu I, Kazuhiro O K H, Kotaro I, Masuo O, Hiroyuki K. A Cell Line with Characteristics of The Periodontal Ligament FIbroblasts is Negatively Regulated for Mineralization and Runx2/Cbfa1/Osf2 Activity, Part of Which Can be Overcome by Bone Morphogenetic Protein-2. Journal of Cell Science 2002;115:4191-4200.

8 Karina GS, Bruno BB, Márcio ZC & Enílson AS, Francisco HN Jr. Stem Cells: Potential Therapeutics for Periodontal Regeneration. Stem Cell Rev 2008;4:13–19.

9 Guyton dan Hall. Medical Physiology. WB Saunder Company; 2005.p.1250.

Page 31: BIMKGI Edisi 1

Dental Health’s Card

[26]BIMKGI Vol. 1 No. 1 Edisi Oktober 2012

Advertorial

DENTAL HEALTH’S CARD FOR CHILDREN (DENTOCHIL) SEBAGAI INSTRUMEN

PENDUKUNG PENCEGAHAN PENYAKIT GIGI DAN MULUT

PADA ANAKImraatul FitriyahA1), Nayu Nur AS1), Adlia Fadia1), Michael Salomo S1), Servy

Aulia1)

ABSTRACTDental and oral diseases as caries and gingivitis is one of the most health problems in children. Decreasing quality of oral health in children is caused by biological factors, such as bacteria. This situation is getting worse by the lack of knowledge and dental health awareness. On the other hand there are few programs that support oral health in children. Dental Health’s Card for Children (DENTOCHIL) provides a solution as instruments that support generally consists of columns of oral health history, health status and progress chart of dental health, and oral health educations. DENTOCHIL is an innovation in community service, which care about health issues, particularly the oral health in children. DENTOCHIL designed in an interesting and practical, easy to understand, while still providing full functionality. In practice the main objectives of the program DENTOCHIL were children aged 6-12 years attending primary school. They were selected because it has the highest prevalence of dental caries as a patient and other periodontal diseases. Al-Fath SD was chosen as a representative sample of the target communities because it has a UKGS which will support the passage of the program directly. Dental schools will conduct inspections and monitoring of oral health of children, and students to socialize and play a role in guiding children in the charging instrument. With the direct involvement of children in this program, is expected to increase the active role of children and foster awareness of oral health.KEYWORDS: DENTOCHIL, children, oral health , card

ABSTRAKPenyakit gigi dan mulut seperti halnya karies dan gingivitis merupakan salah satu masalah kesehatan

yang paling banyak terjadi pada anak. Penurunan kualitas kesehatan gigi dan mulut pada anak disebabkan oleh faktor biologis, seperti bakteri. Keadaan ini bertambah parah dengan rendahnya pengetahuan dan kepedulian anak-anak terhadap kesehatan gigi dan mulut serta minimnya program yang mendukung upaya pencegahan penyakit gigi dan mulut pada anak-anak. Untuk mengatasi permasalahan tersebut program Dental Health’s Card for Children (DENTOCHIL) memberikan solusi berupa media kartu yang secara umum berisikan kolom riwayat kesehatan gigi dan mulut, tabel status kesehatan dan perkembangan gigi, grafik kesehatan gigi anak, dan halaman edukasi kesehatan gigi dan mulut. DENTOCHIL merupakan inovasi dalam bidang edukasi kesehatan gigi dan mulut. DENTOCHIL didesain secara menarik dan praktis, mudah dimengerti, namun tetap memberikan fungsi yang maksimal. Dalam pelaksanaannya masyarakat sasaran utama dari program DENTOCHIL adalah anak-anak usia 6-12 tahun yang duduk di bangku Sekolah Dasar. Mereka dipilih karena memiliki prevalensi paling tinggi sebagai penderita karies gigi dan penyakit periodontal lain. SD AL-Fath dipilih sebagai sampel yang mewakili masyarakat sasaran karena telah memiliki UKGS yang nantinya akan mendukung berjalannya program secara langsung. Dokter gigi sekolah akan melakukan pemeriksaan dan pemantauan kesehatan gigi dan mulut anak, dan mahasiswa berperan dalam memberikan sosialisasi serta membimbing anak dalam pengisian instrumen. Dengan keterlibatan langsung anak-anak dalam program ini, diharap dapat meningkatkan peran aktif dan menumbuhkan kepedulian anak terhadap kesehatan gigi dan mulut. KATA KUNCI : DENTOCHIL,anak-anak, kesehatan gigi dan mulut, kartu

1Mahasiswa Kedokteran Gigi Universitas , Universitas Airlangga

Page 32: BIMKGI Edisi 1

[27]BIMKGI Vol. 1 No. 1 Edisi Oktober 2012

Berkala Ilmiah Kedokteran Gigi Indonesia

PENDAHULUAN Untuk mencapai target pelayanan kesehatan gigi berbagai indicator telah ditentukan WHO, antara lain anak umur 5 tahun 90% bebas karies, anak umur 12 tahun mempunyai tingkat keparahan kerusakan gigi (indeks DMF-T) sebesar 1 (satu).1

Namun kenyataannya prevalensi karies gigi anak tetap menjadi masalah klinik yang signifikan. Di Indonesia data Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) 2007 melaporkan bahwa prevalensi karies gigi aktif pada usia 12 tahun sebesar 29,8% dengan indeks DMF-T 0,91 dan mencapai 4,46 pada usia 35-44 tahun 1

Selain itu di wilayah perkotaan, prevalensi penyakit periodontal pada anak meningkat dari 62%-72% dan prevalensi karies meningkat dari 72%-73%. Didaerah pedesaan, prevalensi penyakit periodontal pada anak meningkat dari 68% - 89% dan prevalensi karies meningkat dari 66%- 71%. 2

Tingginya angka penyakit gigi dan mulut saat ini sangat dipengaruhi oleh faktor perilaku yang belum menyadari pentingnya pemeliharaan kesehatan gigi dan mulut. Hal ini salah satunya disebabkan karena masih minimnya program yang dapat memberikan edukasi kesehatan gigi dan mulut pada anak-anak secara menyenangkan sehingga proses transfer edukasi kesehatan gigi dan mulut dapat diterima lebih retentif. Oleh karena itu, penulis memperkenalkan program Dental Health’s Card for Children (DENTOCHIL).

DENTOCHIL merupakan program edukasi kesehatan gigi dan mulut dengan media kartu yang diadaptasikan dengan perkembangan psikologis anak. Kartu DENTOCHIL di desain menarik, , edukatif dan berisi dental record sederhana yang dapat dipahami oleh anak.

Target dari DENTOCHIL adalah timbul komunikasi yang baik antara praktisi kesehatan gigi dan anak, sehingga anak mampu memahami pentingnya perawatan gigi sejak dini. Program ini diperuntukkan bagi anak-anak usia 6-12 tahun atau setara dengan pendidikan sekolah dasar. Range usia tersebut dipilih karena merupakan usia yang rentan terjangkit penyakit gigi dan mulut. 3

Pendekatan yang dilakukan dalam program DENTOCHIL disesuaikan dengan perkembangan psikologis dan pemahaman anak. Halaman edukasi berisi materi yang disesuaikan dengan pemahaman kelompok usia. DENTOCHIL dibagi menjadi tiga tingkatan yaitu untuk anak usia 6-8 tahun ( kelas 1-2 SD) , untuk anak usia 9-10 tahun ( 3- 4 SD), dan usia 11-12 tahun ( 5-6 SD).

Pelaksanaan program ini kami lakukan di SD Al-Fath, Kecamatan Pare, Kabupaten Kediri. SD Al-fath merupakan sekolah dasar yang memiliki Unit Kegiatan Gigi Sekolah yang mandiri, sehingga pelaksanaan program ini dapat mencapai tujuan yang diharapkan.

METODE PELAKSANAANPada pelaksanaan program ini Dental Health’s Card for Children (DENTOCHIL) menjadi instrumen utama dalam penyuluhan kesehatan gigi. Instrumen ini berupa kartu yang berisikan halaman edukasi kesehatan gigi dan mulut, kolom riwayat kesehatan gigi dan mulut, tabel status kesehatan dan perkembangan gigi, grafik kesehatan gigi anak serta halaman keluhan pasien anak dan nasihat dokter gigi.

DENTOCHIL menjadi media yang praktis dalam menyimpan informasi riwayat penanganan kesehatan gigi dan mulut. Selain itu, desain DENTOCHIL yang memperhatikan aspek psikologis anak terbukti mampu menarik minat anak untuk ikut berpartisipasi dalam pengisian DENTOCHIL. DENTOCHIL memiliki fungsi ganda yaitu edukasi dini sebagai pencegahan dan media penulisan riwayat dalam penanganan. Hal-hal seperti status kesehatan dan perkembangan gigi anak dikomunikasikan secara rutin antara anak dan dokter gigi sekolah. Sehingga, kartu ini menjadi data sekunder bagi dokter gigi dan pencatat riwayat kesehatan gigi anak yang sederhana sehingga mampu dipahami oleh anak. Halaman edukasi DEDNTOCHIL berisi mengenai pesan-pesan kesehatan gigi disertai gambar-gambar menarik dengan materi yang mencakup : (1) Cara menyikat gigi yang benar (2) Makanan dan Minuman yang menyehatkan gigi serta yang dapat merusak gigi (3) Pengenalan bagian-bagian gigi (4) kebiasaan-kebiasaan buruk yang dapat merubah oklusi gigi. Materi tersebut diadaptasi dari teori Albert 4 mengenai langkah yang perlu dilakukan untuk memastikan gigi dan mulut berada dalam keadaan yang sehat.

Sistem pengisian kartu secara mandiri oleh anak mampu mengubah ketidakpedulian anak menjadi peran aktif dan kemandirian anak dalam memantau kesehatan gigi dan mulut. Adanya kolom bagi anak untuk bercerita mengenai keluhan gigi dan mulutnya, dan juga kolom untuk menyampaikan nasihat serta motivasi untuk anak mampu menjadi media bagi praktisi kesehatan gigi dan pasien anak-anak untuk berinteraksi secara menyenangkan. Lembar edukasi dan pesan-pesan singkat di setiap halaman DENTOCHIL secara efektif mampu memberikan pemahaman mengenai kesehatan gigi dan mulut kepada anak-anak

Sasaran pelaksanaan DENTOCHIL adalah siswa-siswi SD Al-Fath kecamatan Pare kabupaten Kediri. Kelas 2 sebanyak 21 siswa , 24 siswa kelas 4 dan klas 5 sebanyak 23 siswa

Page 33: BIMKGI Edisi 1

Dental Health’s Card

[28]BIMKGI Vol. 1 No. 1 Edisi Oktober 2012

Pre-test dilaksanakan oleh tim DENTOCHIL sebagai tolak ukur keberhasilan program ini. Kuisioner dibedakan per tingkat dengan memperhatikan tiga aspek penilaian, yaitu: Kebiasaan menjaga kesehatan gigi dan mulut (oral hygiene), pengetahuan seputar kesehatan gigi dan mulut, dan peran aktif anak dalam menangani masalah gigi dan mulut. Bagan berikut menunjukkan rangkaian dari tahapan pelaksanaan program DENTOCHIL :

Gambar 1. Metode pelaksanaan program

Pemberian sosialisasi DENTOCHIL dilakukan untuk menambah wawasan anak seputar masalah kesehatan gigi. Bahan dari materi sosialisasi sendiri sudah terdapat pada halaman edukasi DENTOCHIL. Praktisi kesehatan gigi dapat melakukan screening (pemeriksaan gigi standar) dan mengisi halaman riwayat kesehatan gigi yang ada pada kartu DENTOCHIL. Pengisian DENTOCHIL dilakukan pada saat pemeriksaan kesehatan gigi dan mulut oleh anak didampingi tim DENTOCHIL dan dokter gigi sekolah. Empat minggu setelah pra-tes dan pengisian DENTOCHIL, kami mendatangi sekolah target untuk memantau perkembangannya. Kami membagikan kuisioner pasca-penyuluhan untuk mengukur keberhasilan program sekaligus untuk menilai perkembangan anak dengan cara memberikan skor hasil tes dan nantinya dituliskan pada grafik pada halaman DENTOCHIL.

HASIL DAN PEMBAHASANDENTOCHIL dilaksanakan sesuai metode yang telah dijelaskan. Melalui pemberian kuisioner evaluasi efektifitas pra dan post pelaksaan DENTOCHIL, didapatkan hasil berupa grafik mengenai tiga permasalahan pokok, yaitu:

a) Kebiasaan menjaga kesehatan gigi dan mulut (oral hygiene)b) Pengetahuan seputar kesehatan gigi dan mulutc) Partisipasi aktif anak dalam menangani masalah gigi dan mulut

Page 34: BIMKGI Edisi 1

[29]BIMKGI Vol. 1 No. 1 Edisi Oktober 2012

Berkala Ilmiah Kedokteran Gigi Indonesia

Gambar 2. Halaman Edukasi Dentochil

Gambar 3. Halaman Dental Record , Table Status Kesehatan Gigi , Grafik Perkembangan Kesehatan Gigi Anak dan Kolom Interaksi Dokter Gigi dan Anak

Sesuai dengan materi penyuluhan DENTOCHIL kami mengadaptasikan isi halaman edukasi dan materi penyuluhan ke dalam bentuk bentuk pertanyaan-pertanyaan di dalam kuisioner. Kami menggolongkan indikator keberhasilan program in dalam tiga aspek yang telah disebutkan sebelumnya. Berdasarkan hasil kuisioner pra dan post penyuluhan didapatkan hasil di masing-masing kelas pada ketiga aspek penilaian seperti diagram di bawah ini yang secara pada setiap aspek di semua kelas terjadi peningkatan.

Gambar 2. Grafik hasil penilaian pra dan post pelaksanaan DENTOCHIL

Pada pelaksanaannya, DENTOCHIL mampu menimbulkan komunikasi yang baik antara praktisi kesehatan gigi dan anak, memberkan pemahaman kepada anak-anak terkait pengetehuan kesehatan gigi dan mulut, meningkatkan kebiasaan baik dan partisipasi aktif anak dalam memantau dan menangani kesehatan giginya. Karena hasil dari pelaksanaan program DENTOCHIL sangat memberikan peningkatan terhadap tiga aspek indikator kesehatan gigi dan mulut anak sehingga diharapkan terus meningkatkan kesehatan gigi anak maka langkah selanjutnya yang akan dilakukan adalah dengan melakukan pemantauan di setiap semester. Monitoring dilakukan pada sampel yang sama dan dengan menambah aspek pengetahuan di setiap penyuluhan.

Page 35: BIMKGI Edisi 1

Dental Health’s Card

[30]BIMKGI Vol. 1 No. 1 Edisi Oktober 2012

KESIMPULANBerdasarkan hasil kuisioner pra penyuluhan dan pasca penyuluhan yang dilakukan di SD Al-Fath Pare Kediri dapat disimpulkan bahwa DENTOCHIL (Dental Health’s Card for Children) mampu meningkatkan pengetahuan kesehatan gigi dan mulut, membentuk kebiasaan baik anak dalam upaya menjaga kesehatan gigi dan mulut serta membuat anak peduli dan secara aktif berperan dalam menjaga kesehatan gigi dan mulut. Sehingga program ini dapat dijadikan sutu alternatif program edukasi kesehatan gigi dan mulut pada anak.SARAN Kami berharap agar program DENTOCHIL dapat terus berperan dalam pencegahan karies dan manfaatnya terus dirasakan oleh masyarakat. Dentochil juga diharapkan dapat menjadi media penghubung yang menyenangkan antara praktisi kesehatan gigi dan masyarakat, serta memotivasi pihak-pihak terkait untuk kembali menggalakan UKGS sekolah sekolah. Gagasan program ini sebaiknya dapat terus diregenerasi dan berkembang lebih baik di tangan kader-kader selanjutnya.

DAFTAR PUSTAKA1. Prevalensi Karies Gigi Aktif pada Usia 12 Tahun . Departemen Kesehatan RI. Riset Kesehatan Dasar (RISKESDAS) 2007.

2. Edi, S. Pengaruh pendidikan kesehatan gigi dan mulut terhadap pemeliharaan kesehatan gigi dan mulut pada anak usia sekolah di SD Gadungan II Canden Jetis Bantul Yogyakarta. Program Studi Ilmu Keperawatan. Universitas Muhammadiyah Yogyakarta. Yogyakarta. 2005.

3. Rahayu, E.M. Pengaruh pendidikan kesehatan gigi dan mulut terhadap pengetahuan dan sikap anak kelas V di SD Muhammadiyah Wirobrajan Yogyakarta. Program Studi Ilmu Keperawatan. Universitas Muhammadiyah Yogyakarta. 2005.

4. Albert DA. Eight Steps to Dental Health. 2009. Diakses dari www.colgate.com/app/CP/US/EN/OC/Information/Articles/oral-and-dental-health-basics/Oral-Hygiene-Basics/Articles/Eight-Steps-to Dental–Health.cvsp (19 oktober 2012)

Page 36: BIMKGI Edisi 1

Berkala Ilmiah Mahasiswa Kedokteran Gigi Indonesia

[31]BIMKGI Vol. 1 No. 1 Edisi Oktober 2012

Literature Study

Potensi Flavonoid yang Terkandung dalam Propolis Lebah

sebagai Terapi Periodontitis AgresifNirmala Maulida K.1, Diah Andryantini1, Isnadia Naba`atin1

AbstractPeriodontal disease is the second most common oral disease in Indonesia, after dental caries. Periodontal disease was in 7th ranked, survey by Health Department of Semarang. Aggressive periodontiti is one of periodontitis type, which clinically characterized by attachment loss and alveolar bone loss of more than one permanent tooth. Then etiology of aggressive periodontitis is bacteria Actinobacillus actinomycetemcomitans (A.a) and abnormality of immune system such as hyperesponsive macrophages which produces PGE2 and IL-1β in excessive amounts. Aggresive periodontitis treatment is needed an effort to eliminating the causal of bacteria and increasing immune system at once because of the etiology. Nowadays, the purpose of aggresive periodontitis treatment which use antibiotic is eliminating bacteria. . Though, antibiotic affects immune system. An alternative treatment that can be used is propolis. Propolis component which has an antimicrobal effect to gram (-) and gram (+) bacteria is ferulat acid. Beside that, propolis also has an immunomodulator effect. Based on the explanation above, so can be concluded that propolis has a potential in treating aggresive periodontitis disease.Keyword : aggressive periodontitis, propolis

AbstrakPenyakit periodontal adalah penyakit gigi dan mulut tertinggi kedua setelah karies yang banyak

diderita oleh penduduk Indonesia. Penyakit periodontal menduduki peringkat ke-7 menurut survey dari Dinas Kesehatan kota Semarang. Periodontitis agresif merupakan salah satu tipe penyakit periodontitis yang ditandai dengan hilangnya perlekatan jaringan ikat dan kerusakan tulang alveolar secara cepat pada lebih dari satu gigi permanen. Etiologi periodontitis agresif adalah bakteri Actinobacillus actinomycetemcomitans (A.a) dan pengaruh sistem imun berupa reaksi hiperesponsive makrofag yang memproduksi PGE2 dan IL-1β dalam jumlah yang berlebihan. Dalam perawatan periodontitis agresif diperlukan usaha untuk meningkatkan daya tahan tubuh sesuai dengan etiologi penyakit ini. Sampai saat ini, perawatan periodontitis dengan antibiotika masih bertujuan untuk mengeliminasi bakteri. Padahal bila dicermati, antibiotika ternyata dapat mempengaruhi respon imun. Alternatif pengobatan yang bisa digunakan adalah penggunaan propolis lebah. Komponen propolis yang mempunyai efek antimikroba adalah asam ferulat yang dapat membunuh kuman gram (-) maupun kuman gram (+). Selain memiliki efek antimikroba, propolis juga berperan dalam meningkatkan sistem imun (imunomodulator). Berdasarkan telaah berbagai literatur, maka dapat disimpulkan bahwa propolis lebah berpotensi sebagai terapi dalam mengobati penyakit periodontitis agresif. Keyword : periodontitis agresif, propolis lebah

1 Mahasiswa Fakultas Kedokteran Gigi Universitas JemberCorrespondence:

Jl. Kalimantan I No. 58 Jember, Jawa Timur 68121

Tel. (62-331) 333536Fax. (62-331) 339029

Page 37: BIMKGI Edisi 1

Potensi Flavonoid

[32]BIMKGI Vol. 1 No. 1 Edisi Oktober 2012

Latar BelakangPenyakit periodontal merupakan penyakit gigi dan mulut tertinggi kedua setelah karies yang banyak diderita oleh penduduk Indonesia. Berdasarkan data dari Dinas Kesehatan Kota Semarang tahun 2009, menunjukkan bahwa penyakit gigi dan mulut menempati urutan 10 besar penyakit yang ada di puskesmas wilayah kerja Dinas Kesehatan kota Semarang, khususnya penyakit pulpa dan jaringan periapikal menduduki urutan kedua dan penyakit gusi serta jaringan periodontal pada urutan ke tujuh.1

Periodontitis agresif merupakan salah satu tipe periodontitis yang ditandai dengan rusaknya jaringan periodontal secara cepat dan sering terjadi pada pada usia 10-30 tahun atau dewasa muda. Prevalensi periodontitis agresif di negara-negara maju, telah dilaporkan antara 0,1-5%.1,2 Beberapa penelitian sebelumnya menyatakan bahwa perbandingan kelainan ini antara wanita dengan pria adalah 3:1.3

Periodontitis agresif ditandai dengan oral hygine yang baik, jumlah plak dan kalkulus tidak banyak namun terjadi kerusakan tulang dan loss of attachment yang banyak dan cepat.4 Etiologi periodontitis agresif adalah bakteri plak Actinobacillus actinomycetemcomitans (A.a) dan reaksi hiperesponsive makrofag yang memproduksi PGE2 dan IL-1β dalam jumlah yang berlebihan.5 Bakteri plak lain yang dapat menyebabkan terjadinya periodotitis agresif adalah Porphyromonas gingivalis (P.gingivalis).6 A.a dapat menembus jaringan ikat ginggiva hingga ligamen periodontal serta tulang alveolar kemudian memproduksi leukotoksin kuat yang akan menyebabkan defek fungsi neutrofil dan mengakibatkan aktifitas dari kemotaksis neutrofil menurun.7

Selama ini, perawatan yang telah dilakukan untuk mengatasi periodontitis agresif berupa terapi bedah, non bedah maupun kombinasi keduanya yang disertai pemberian antimikroba.5 Tindakan scaling and root planing merupakan terapi penyakit periodontal untuk menghilangkan deposit pada permukaan gigi.5 Beberapa ahli melaporkan keberhasilan perawatan periodontitis dengan kombinasi pemakaian antibiotik, menunjukkan hasil yang jauh memuaskan.8 Terapi kombinasi bone graft dengan antibiotik menunjukkan pertumbuhan tulang

pada daerah furkasi setelah 1 tahun perawatan.9 Terapi kombinasi antibiotik hanya bertujuan

mengeliminasi bakteri sedangkan pertimbangan kualitas host masih kurang diperhatikan, padahal dalam terapi periodontitis diperlukan usaha untuk meningkatkan daya tahan tubuh. Hal ini disebabkan karena penderita dengan periodontitis agresif seringkali memperlihatkan respon imun yang inadekuat terhadap organisme patogen5. Oleh karena itu, dibutuhkan senyawa antimikroba yang selain bisa mengeliminasi bakteri penyebab, juga dapat meningkatkan aktivitas imun tubuh (imunomodulator).

Budaya kembali ke alam atau back to nature saat ini sangat populer dan tengah menjadi trend di seluruh dunia termasuk Indonesia. Masyarakat lebih memilih terapi dengan menggunakan bahan-bahan dari alam dari pada bahan kimia sintetik yang memiliki efek samping. Salah satu bahan alami yang diketahui aman dan potensial dalam mengobati berbagai penyakit adalah produk perlebahan.10 Masyarakat selama ini lebih mengenal produk yang dihasilkan lebah berupa madu, royal jelly, dan tepung sari (bee pollen). Tetapi, terdapat satu produk lebah lagi yang pemanfaatannya belum optimal namun memiliki manfaat luar biasa bagi kesehatan manusia. Produk lebah tersebut adalah propolis.

Propolis adalah sejenis resin yang karena bentuknya lengket seperti lem disebut sebagai bee glue. Propolis berguna untuk menambal sarang lebah yang bocor dan memperkuat sarang. Propolis juga digunakan oleh lebah untuk mensterilkan sarang, menghentikan pertumbuhan dan penyebaran bakteri, virus, dan jamur. Propolis kaya akan berbagai senyawa kimia termasuk asam amino, asam sinamat, alkohol sinnamil, vanilin, asam kafeat fenetil ester, tetokrisin, isalpinin pinosembrin, krisin, galangin, asam ferulat, dan senyawa flavonoid yang terkandung dalam propolis terdiri atas sejumlah besar minyak volatil dan fenolik seperti flavon, flavonon, dan flavonol.11,12

Propolis memiliki kemampuan farmakologi yang digunakan sebagai bahan antiinflamasi, hepatoprotektor, antitumor atau karsinostatik, antimikroba, antivirus, antifungi, antiprotozoa, anastesi dan regenerasi jaringan.13,14 Propolis

Page 38: BIMKGI Edisi 1

[33]BIMKGI Vol. 1 No. 1 Edisi Oktober 2012

Berkala Ilmiah Kedokteran Gigi Indonesia

memiliki beberapa aktivitas biologis dan farmakologis antara lain bersifat antibakteri, baik terhadap bakteri gram positif maupun gram negatif.15,16 Salah satu kandungan senyawa kimia yang bersifat antibakteri pada propolis adalah senyawa flavonoid.17

Berdasarkan fakta-fakta penelitian mengenai peran positif propolis lebah yang telah diuraikan di atas, penulis mencoba mengungkap rahasia propolis lebah melalui berbagai studi pustaka dari segi ilmiah kedokteran mengenai potensi dan mekanisme aksi propolis lebah sebagai terapi periodontitis agresif.

PembahasanBakteri penyebab periodontitis agresif yaitu A.a, dapat memicu terbentuknya LPS yang akan mengaktifkan sitokin-sitokin (PGE2 dan IL-1β). Bakteri ini dapat menembus jaringan ikat ginggiva hingga ligamen periodontal serta tulang alveolar.7 Dengan demikian penyakit periodontitis agresif juga dapat memicu terjadinya resorpsi tulang alveolar. Sedangkan dari faktor imunologi, sistem imun yang rendah dapat menyebabkan defek dari sel-sel PMN (neutrofil) karena adanya hambatan kemotaksis pada PMN. Defek dari neutrofil akan berpengaruh pada reaksi hiperesponsive makrofag yang memproduksi PGE2 dan IL-1β dalam jumlah yang berlebihan.5

Beberapa metode perawatan periodontitis agresif yang sering dijumpai dapat berupa terapi nonbedah, bedah, maupun kombinasi keduanya yang disertai pemberian antimikroba.19 Terapi ini banyak dilakukan dengan tingkat keberhasilan yang bervariasi. 20,21 Data klinis menunjukkan keberhasilan jangka panjang perawatan lebih bergantung pada hasil dari terapi tahap pertama dibandingkan terhadap terapi bedah spesifik.23,24

Sejak penelitian-penelitian yang melaporkan bakteri A.a berperan penting sebagai etiologi periodontitis agresif, beberapa ahli menyarankan perawatan periodontitis agresif menggunakan pemakaian antibiotik.24 Prognosis terapi bergantung pada keadaannya yang bersifat lokal atau menyeluruh, derajat kerusakan, serta usia pada waktu pertama kali dilakukan pemeriksaan. Sampai saat ini, perawatan

periodontitis dengan antibiotika masih bertujuan untuk mengeliminasi bakteri. Efek samping dari antibiotika ternyata dapat mempengaruhi respon imun. 20,21

Dalam perawatan periodontitis agresif diperlukan usaha untuk meningkatkan daya tahan tubuh, mengingat karakteristik timbulnya penyakit ini, diawali dengan adanya gangguan imunitas. Untuk itu diperlukan pemberian antibiotik yang bertujuan untuk mengeliminasi bakteri penyebab sekaligus meningkatkan daya tahan tubuh. Alternatif yang bisa digunakan adalah penggunaan antibiotika dari alam, salah satunya adalah penggunaan propolis lebah.18

Kandungan senyawa kimia lain yang penting pada propolis adalah senyawa flavonoid. Penelitian secara in vitro maupun invivo menunjukkan aktivitas biologis dan farmakologis dari senyawa flavonoid sangat beragam, salah satu diantaranya yakni memiliki aktivitas antibakteri. Flavonoid bisa memberikan efek antibiotik natural yang terkuat dan berfungsi menyembuhkan atau sedikitnya mengurangi rasa sakit, meredakan radang, mengikat zat racun yang masuk ke dalam tubuh dan memperkuat sistim imunitas tubuh. 17

Para peneliti menyatakan pendapat yang berbeda-beda sehubungan dengan mekanisme kerja dari flavonoid dalam menghambat pertumbuhan bakteri, antara lain bahwa flavonoid menyebabkan terjadinya kerusakan permeabilitas dinding sel bakteri, mikrosom, dan lisosom sebagai hasil interaksi antara flavonoid dengan DNA bakteri. Secara umum, terdapat 3 mekanisme flavonoid dalam menghambat pertumbuhan bakteri, yaitu menghambat sintesis asam nukleat, menghambat fungsi membran sitoplasma serta menghambat metabolisme energi.17

Terdapat tujuh komponen flavonoid yang berperan dalam menghambat sintesis asam nukleat. Salah satunya adalah quercetin yang akan mengadakan ikatan dengan GyrB subunit dari DNA gyrase dan akan menghambat aktivitas dari enzim ATPase sehingga sintesis asam nukleat dapat dihambat.24

Mekanisme kedua propolis dalam menghambat pertumbuhan bakteri adalah dengan menghambat fungsi membran sitoplasma dimana

Page 39: BIMKGI Edisi 1

Potensi Flavonoid

[34]BIMKGI Vol. 1 No. 1 Edisi Oktober 2012

komponen flavonoid yang terlibat adalah catechin. Catechin memiliki aktivitas yang lebih besar terhadap bakteri gram positif daripada bakteri gram negatif. Catechin terutama merusak membran bakteri dengan mengganggu lipid billayers secara langsung dengan menembus membran bakteri sehingga menyebabkan terganggunya fungsi pertahanan bakteri. Catechin menyebabkan fusi membran yaitu suatu proses yang mengakibatkan kebocoran bahan intramembran. 25

Selain kedua mekanisme di atas, licochalcone A dan C serta lonchocarpol yang terkandung dalam flavonoid dapat menghambat metabolisme energi. Licochalcone A mengganggu metabolisme energi dengan cara yang mirip dengan antibiotik yang menghambat respirasi, yaitu dengan menghambat pada tahap transport elektron. Licochalcone A dan C relatif menghambat reduktase c NADH–sitokrom.26 Dengan terhambatnya metabolisme bakteri, maka pertumbuhan bakteri dapat terhambat.

Selain memiliki efek antimikroba, propolis juga berperan dalam meningkatkan sistem imun (imunomodulator). Efek stimulsi imun dari terapi prophylactic propolis telah banyak dilakukan studi klinikal.27 Sekresi kapasitas sitokin meningkat secara signifikan selama periode pengobatan dalam tergantung dengan cara dan waktu. Sebuah laporan tentang kegiatan imunomodulator ekstrak propolis cair menunjukkan bahwa ekstrak propolis yang larut air (WSDP) meningkatkan perlindungan terhadap infeksi bakteri gram negative, melalui aktivasi makrofag.28

Pada penilitian terbaru ditemukan sejumlah tipe flavonoid yang terkandung pada propolis dapat menstimulasi proliferasi leukosit pada darah perifer manusia. Terdapat 6 komponen cara kerja dari propolis yang diidentifikasi sebagai derivat asam caffeoylquinic, yaitu dengan meningkatkan pergerakan dan penyebaran dari makrofag.29

Peningkatan aktivitas yang signifikan dari sel T helper, sitokin, IL2, g-interferon, dan makrofag dan yang berguna dalam terapi dari beberapa penyakit yang disebabkan oleh disfungsi imun.30 Propolis memodulasi sistem kekebalan imun non spesifik melalui aktifitas makrofag. Berdasarkan pada beberapa penelitian, propolis

menstimulasi terbentuknya sitokin seperti IL-1 dan TNF, melalui sel makrofag pada perut mencit, dan dapat memodulasi baik secara in vivo maupun in vitro C1q oleh makrofag sebaik fungsi komplemen reseptor yang secara langsung atau melalui sitokin.31

Berdasarkan penjelasan di atas, selain memiliki kemampuan yang dapat menghambat pertumbuhan bakteri, propolis juga dapat meningkatkan respon imun host. Selain itu, beberapa penelitian menyimpulkan bahwa propolis mampu meningkatkan reaktivitas imun tanpa efek samping. Oleh karena itu, propolis berpotensi

digunakan untuk terapi periodontitis agresif.

KesimpulanBerdasarkan telaah berbagai literatur, maka dapat disimpulkan bahwa propolis lebah berpotensi sebagai terapi dalam mengobati penyakit periodontitis agresif karena mengandung senyawa flavonoid yang memiliki fungsi sebagai antimikroba dan imunomodulator sehingga dapat meningkatkan sistem imun.

Saran Berdasarkan telaah di atas, penulis dapat memberikan saran sebagai berikut.1. Perlu adanya penelitian secara in vivo dan

in vitro dan kajian lebih lanjut tentang kandungan propolis lebah sebagai terapi dalam mengobati penyakit periodontitis agresif, sehingga hasilnya dapat disosialisasikan dan dimanfaatkan masyarakat luas sebagai penunjang pengobatan penyakit periodontitis agresif.

2. Perlu adanya kajian lebih lanjut tentang propolis lebah sehingga bisa dipertimbangkan bagi pemerintah dan masyarakat untuk pengembangan budidaya lebah penghasil propolis lebah, sehingga dapat meningkatkan kesejahteraan peternak lebah.

Daftar Pustaka1. Albandar JM, Tinoco EM. Global

epidemiology of periodontal disease in

Page 40: BIMKGI Edisi 1

[35]BIMKGI Vol. 1 No. 1 Edisi Oktober 2012

Berkala Ilmiah Kedokteran Gigi Indonesia

children and young persons. Periodontology 2002; 29: 153-176

2. Albandar JM, Brown LJ, Loe H. Clinical features of early onset periodontitis. J Am Dent Assoc 1997; 71: 867-9

3. Beck JD, Arbes SJ. Epidemiology of Gingival and Periodontal Disease. In: Newman MG, Takei HH, Klokkevold PR & Carranza FA. Carranza’s Clinical Periodontology, 10th. S: Saundert. Louis Missouri: Saunders Elsevier. 2006; p.127-9

4. Newman M.G., Takei H, Caranza, F.A. Clinical periodontology.9th ed. Philadelphia London New-York: WB. Saunders Co. 2002

5. Carranza F. A., Henry H. T., Michael G. N. Clinical Periodontology 9th ed. W. B. Saunders Co: Philadelphia. 2002

6. Kido J, Kido R,Suryono, Kataoka M, Fagerhol MK, Nagata T. Induction of calprotectin released by Porphyromonas gingivalis lipopolysaccharidein human neutrophils. Oral Microbiology and Immunology. 2004;19:182-7

7. Liorente MA, Griffiths GS. Periodontal status among relatives of aggressive periodontitis patients and reliability of family history report. J Clin Periodontol. 2006; 33: 121-5

8. Xajigeorgiou C, Sakellari D, Slini T, Baka A, Konstantinidis A. Clinical and microbiological effects of different antimicrobials on generalized aggresive periodontitis. J Clin Periodontol. 2006;33:254-64

9. Mabry T, Yukna R, Sepe W. Freeze-Dried Bone Allografts With Tetracycline in The Treatment of Juvenile Periodontitis. J Periodontal. 1995;56: 74-88

10. Prawirohardjo, S. Ilmu Kandungan Edisi 2. Jakarta : Yayasan Bina Pustaka Sarwono Prawirohardjo. 1999

11. Valcic, S. Montenegro, G. Mujica, AM. Avi, G. Franzblau, S. Singh, MP. Maiese, WM. Timme, BN. Phytochemical, Morphological, and Biological Investigations of Propolis Chile. Verlag der Zeitschrift fűr Naturforshchung. 1999;54c: 406-416.

12. Yaghoubi, SMJ. Ghorbani, GR. Soleimanian, ZS. Satari, R. Antimicrobial Activity of Iranian

Propolis and Its Chemical Composition. DARU. 2007;15(1): 45-48.

13. Bankova, V.S., de Castro, S.L., and Marcucci, M.C. Propolis: Recent Advances in Chemistry and Plant Origin. Apidologie. 2000;3: 3-15.

14. Farre, R. Frasquet, I. & Sanchez, A. El Propolis y La Salud (Propolis and Human Health). Ars Pharmaceutica. 2004;45(1):21-43.

15. Dobrowolski JW, Vohora SB, Sharma K, Shah SA, Naqvi SAH, Dandiya PC. Antibacterial, antifungal, antiamoebic, antiinflammatory and antipyretic studies on propolis bee products.J Ethnopharmacol. 1991; 35:77–82.

16. Moreno MIN, Isla MI, Cudmani NG, Vattuone MA, Sampietro AR. Screening of antibacterial activity of Amaicha del Valle (Tucumán, Argentina) propolis. J Ethnopharmacol. 1999; 69:97–102.

17. Ghisalberti EL. Propolis: a review. Bee World.1979; 60:59–84.

18. American Academy of Periodontology: Parameter on Agressive Periodontitis. J Periodontol. 2000; 71: 867-9

19. Klokkevold PR, Nagy RJ. Treatment of aggressive periodontitis and atypical forms of periodontitis. In: Newman MG, Takei HH, Klokkevold PR and Carranza FA. Carranza’s Clinical Periodontology, 10th. St.Louis Missouri: Saunders Elsevier. 2006;693-700.

20. Omura, M. dan Satoh,T. Effects of antibiotics on chemotaxis of polymorphonuclear leucocytes on experimental rabbit infection models. Dentistry in Japan. 2001;37: 138-140

21. Hamilton-Miller, J.M. Immunopharmacology of antibiotics: Direct and indirect immunomodulation of defence mechanisms. J Chemother. 2001;13(20): 107-111

22. Hill. Propolis The Nature Antibiotik,6thed. Thorshone Publisher Limited:Willingborough. 1981

23. Klokkevold RP, Nagy RJ. Treatment of aggressive periodontiris and atypical form of periodontitis . In: Newman MG, Takei HH, Klokkevold RP and Carranza AF. Carranza’s clinical periodontology, 10th. St. Louis Missouri: Saunders Elsevier; 2006.p.127-9.

24. Xajigeogiou C, Sakellari D, Slini T, Baka A,

Page 41: BIMKGI Edisi 1

Potensi Flavonoid

[36]BIMKGI Vol. 1 No. 1 Edisi Oktober 2012

Konstantinidis A. Clinical and microbiological effect of different antimicrobial effect of defferent microbials on generalizes aggressive periodontitis. J Clin Peiodontol 2006;33:254-64.

25. Ikigai H, Nakae T, Hara Y, Shimamura T. Bactericidal catechins damage the lipid bilayer. Biochim Biophys Acta 1993;1147: 132–6.

26. Haraguchi H, Tanimoto K, Tamura Y, Mizutani K, Kinoshita T.Mode of antibacterial action of retrochalcones from Glycyrrhiza inflata. Phytochemistry 1998;48:125–9.

27. Scully, CBE. Propolis: a Background. British Dental J. 2006;200(7): 359-360.28. De Almeida E.C., Menezes H. Anti-Inflammatory Activity of Propolis Extract: A Review. J Venom

Anim Toxins. 2002;8(2).29. Krell, R. Value Added Products From Beekeeping: Propolis. Chapter 5. United Nations Rome: FAO

Agricultural Services. 199630. Kawakita S.W., Giedlin H.S., Nomoto K. Immunomodulators from higher plants. J. Nat. Med.

2005;46:34-8.31. Orsi, R.O., S.R.C. Funari, A.M.V.C. Soares, S.A. Calvi, S.L. Oliveira, J.M. Sforcin, V. Bankova,

Immunomodulatory action of propolis on macrophage activation. J. Venom. Anim. Toxins., 2000;6:205-19. DOI: 10.1590/S010479302000000200006

Page 42: BIMKGI Edisi 1