Manifesto edisi 1

12
Salam Redaksi Redaksi menerima tulisan dari pembaca berupa artikel dan opini melalui [email protected] untuk rubrik Resolusi dan Dialektika (750 kata). Redaksi tidak bertangggungjawab atas isi tulisan. Tulisan itu adalah pandangan pribadi penulis. Newsletter ini adalah produk nonprofit. Penanggung Jawab Young Interfaith Peacemaker Community (YIPC) - Indonesian Concortium for Religious Studies (ICRS), Dewan Redaksi Andreas Jonathan, Ph. D. Cand, Ayi Yunus, M. Ag, Riston Batuara, S. Pd Pemimpin Redaksi Betriq Kindy Arrazy Sekretaris Redaksi Janne Hillary Redaktur Pelaksana Ngarjito Ardi Setyanto Staf Redaksi Sontiar J. S. Marpaung, S. Pd, Ahmad Shalahuddin Mansur, Dewi Rusmawati Nur, Laelatul Badriyah, Nurfadilah, Rian Budiarto, Wahyu Khofifah Rancang Grafis Arya Zendi Sirkulasi dan Distribusi Tony Priyandaru Kontributor Young Interfaith Peacemaker Community (YIPC) Se-Indonesia MANIFESTO | EDISI I | JULI 2014 KEMAJEMUKAN Yogyakarta terlahir atas tumpukan sejarah yang tak pernah berhenti sampai saat ini. Multikulturalisme kemudian menjadi representasi dari berbagai macam agama, suku, etnis, budaya, dan bahasa di bumi Mataram. Kondisi tersebut adalah fakta yang tidak bisa dibantah dalam ruang hidup bersama. Ini merupakan wujud karunia yang diberikan Tuhan yang sepatutnya kita rayakan bersa- ma. Namun, yang terjadi kemudian Multikulturalisme dianggap sebagai sebuah ancaman. Kekerasan menjadi jalan akhir unjuk eksistensi. Kekerasan pun hadir melalui prasangka yang belum terkonfirmasi. Atas permasalahan tersebut, tema utama kali ini mencoba mengajak kita untuk meng- ingatkan atas serangkaian kasus intoleransi yang pernah terjadi. Sekaligus upaya deradi- kalisasi yang harus dilakukan secara progresif. Bila kemudian hari intoleransi masih terus bergulir. Disinilah perlu untuk meredefinisikan kembali Yogyakarta sebagai barometer kota toleran di Indonesia Indonesian Concortium For Religious Studies

description

Tema utama Manifesto kali ini mencoba mengajak kita untuk mengingatkan atas serangkaian kasus intoleransi yang pernah terjadi. Sekaligus upaya deradikalisasi yang harus dilakukan secara progresif. Bila kemudian hari intoleransi masih terus bergulir. Disinilah perlu untuk meredefinisikan kembali Yogyakarta sebagai barometer kota toleran di Indonesia

Transcript of Manifesto edisi 1

Page 1: Manifesto edisi 1

Salam Redaksi

Redaksi menerima tulisan dari pembaca berupa artikel dan opini melalui [email protected] untuk rubrik Resolusi dan Dialektika (750 kata). Redaksi tidak bertangggungjawab atas isi tulisan. Tulisan itu adalah pandangan pribadi penulis. Newsletter ini adalah produk nonprofit.

Penanggung Jawab Young Interfaith Peacemaker Community (YIPC) - Indonesian Concortium for Religious Studies (ICRS),

Dewan Redaksi Andreas Jonathan, Ph. D. Cand, Ayi Yunus, M. Ag, Riston Batuara, S. Pd Pemimpin Redaksi Betriq Kindy Arrazy Sekretaris Redaksi Janne Hillary

Redaktur Pelaksana Ngarjito Ardi Setyanto Staf Redaksi Sontiar J. S. Marpaung, S. Pd, Ahmad Shalahuddin Mansur, Dewi Rusmawati Nur, Laelatul Badriyah, Nurfadilah, Rian Budiarto, Wahyu Khofifah

Rancang Grafis Arya Zendi Sirkulasi dan Distribusi Tony Priyandaru Kontributor Young Interfaith Peacemaker Community (YIPC) Se-Indonesia

M A N I F E S T O | E D I S I I | J U L I 2 0 1 4

KEMAJEMUKAN Yogyakarta terlahir atas tumpukan sejarah yang tak pernah berhenti sampai saat ini. Multikulturalisme kemudian menjadi representasi dari berbagai macam agama, suku, etnis, budaya, dan bahasa di bumi Mataram.

Kondisi tersebut adalah fakta yang tidak bisa dibantah dalam ruang hidup bersama. Ini merupakan wujud karunia yang diberikan Tuhan yang sepatutnya kita rayakan bersa-ma. Namun, yang terjadi kemudian Multikulturalisme dianggap sebagai sebuah ancaman. Kekerasan menjadi jalan akhir unjuk eksistensi. Kekerasan pun hadir melalui prasangka yang belum terkonfirmasi.

Atas permasalahan tersebut, tema utama kali ini mencoba mengajak kita untuk meng-ingatkan atas serangkaian kasus intoleransi yang pernah terjadi. Sekaligus upaya deradi-kalisasi yang harus dilakukan secara progresif. Bila kemudian hari intoleransi masih terus bergulir. Disinilah perlu untuk meredefinisikan kembali Yogyakarta sebagai barometer kota toleran di Indonesia

Indonesian Concortium For Religious Studies

Page 2: Manifesto edisi 1

2 MANIFESTO | EDISI I | JULI 2014

Intoleransi di Sekitar YogyakartaOleh: Bethriq Kindy Arrazy*

INGATAN publik masih terngiang atas ka-sus intoleransi di rumah Julius Felicianus, Ngaglik-Sleman dengan Michael Aryawan wartawan Kompas TV. Peristiwa tersebut me-rupakan satu dari sederet kasus intoleransi yang terjadi di Daerah Istimewa Yogyakarta. Di daerah inilah suasana multikulturalisme tercermin dengan jelas. Ini fakta yang tidak terbantahkan. Ragam budaya nusantara ada-lah hasil ekspansi pendatang yang dominan berasal dari kalangan mahasiswa. Pergumul-an budaya yang mengitari Yogyakarta, tidak dengan mudah mengintervensi budaya lokal secara keseluruhan. Keraton Yogyakarta yang menjadi representasi budaya Jawa, turut andil membentuk suasana seperti ini. Semuanya berkolaborasi dengan baik, tanpa ada sekat kesukuan atau agama dalam masing-masing masyarakat.

Atas dasar itu, keharmonisan ini kemu-dian menjadi doktrin simbol “Jogja Berhati Nyaman” bagi para pendatang baru. Namun apakah slogan ini masih tetap relevan untuk disematkan? Ketika masyarakat Yogyakarta sudah sering dijejali dengan aksi premanisme. Parahnya ini terjadi di sebuah kota yang se-dang terhegemoni dengan doktrin simbol yang saya tuliskan sebelumnya. Kemudian menjadi preseden buruk untuk merusak suasana yang multikultur di Yogyakarta. Serangkaian aksi kekerasan yang kerap kali terjadi, semakin

memperkuat antitesis untuk meredefinisikan Yogyakarta dalam konteks sesungguhnya.

Bahwa tidak bisa dipungkiri, kenyaman-an dan ketenangan yang ditawarkan kota Yogyakarta semakin hari mengalami ke-munduran. Aktivitas beribadah kemudian dianggap sebagai perkumpulkan aliran sesat. Termasuk aktivitas berserikat yang dianggap sebagai upaya pemberontakan terhadap Ne-gara Kesatuan Republik Indonesia. Atas dasar itu kemudian melakukan mobilisasi sosial dengan menebar kebencian kepada mereka yang liyan melalui mimbar agama. Justifikasi penumpasan kemudian menjadi halal karena legitimasi agama. Disinilah kemudian faktor sosiologis, psikologis, dan politik memiliki peranan atas gesekan antar sekterian dalam perebutan ruang publik yang terlihat masif dilakukan oleh kelompok yang cenderung eksklusif. Tidak jarang sering bertabrakan dengan nilai-nilai kemanusiaan dan sema-ngat UUD 1945 Pasal 28E yang berisi:

Setiap orang bebas memeluk agama dan beribadat menurut agamanya. Setiap orang berhak atas kebebasan meyakini kepercayaan, menyatakan pikiran dan sikap, sesuai dengan hati nuraninya.

Kolaborasi DeradikalisasiMasyarakat Antikekerasan Yogyakar-

ta yang kemudian disebut dengan Makaryo

Page 3: Manifesto edisi 1

MANIFESTO | EDISI I | JULI 2014 3

RESOLUSI

menilai kondisi Yogyakarta sedang menga-lami darurat intoleransi. Mengingat eskalasi kasus intoleransi semakin tidak terkendali. Makaryo merilis sampai bulan Juni 2014, di Yogyakarta sedang mengalami kasus kekeras-an dengan jumlah sebanyak 25 kasus. Data tersebut dihimpun sejak tahun 1994-2014. Sampai saat ini belum ada keseriusan dari pemerintah provinsi, pemerintah daerah, hingga aparat penegak hukum. Dari sekian kasus yang terjadi, seringkali terjadi tumpang tindih penanganan kasus yang tidak berjalan dengan fokus dan serius. Sehingga hampir sebagian besar kasus-kasus tersebut terlantar hingga puluhan tahun lebih. Ironis!

Pada 5 Juni 2014 diteken MoU (Memoar of Understanding) Anti-Kekerasan di Mapolda DIY oleh Kapolda DIY, Danrem Pamungkas, Wakajati DIY, Kepala BIN DIY, dan Gubernur DIY. MoU ini adalah sebuah cara konsolidasi aparatur negara, terkait penanganan mere-duksi gejala intoleransi. Namun yang kemu-dian timbul sebuah pertanyaan adalah apakah MoU ini kemudian akan menjadi kertas lusuh yang tidak berguna? Maka disinilah perl unya aparatur negara juga perlu mengakomodasi kelompok Islam mainstreaming seperti Nah-dlatul Ulama dan Muhammadiyah yang cen-derung moderat dalam memandang sebuah perbedaan. Dengan memberikan kegiatan ke-agamaan dengan metode dakwah yang sejuk kepada umat muslim yang sedang mengalami dogma berkepanjangan.

Maka hal yang perlu dilakukan adalah dengan sebuah penanganan yang cepat, tepat, dan tegas dari para aparatur negara. Dengan mengutamakan hukum sebagai panglima ke-pada mereka yang melanggar dan merusak kenyamanan publik. Adalah setiap hak warga

negara untuk memperoleh hak keamanan, kesejahteraan, dan keadilan. Turunnya lang-sung seorang Sultan Hamengkubuwono X memang sangat diperlukan. Baik dalam ka-pasitasnya sebagai gubernur maupun sebagai raja Keraton Ngayogyakarta Hadidiningrat. Sosoknya yang dianggap sebagai representa-si Daerah Istimewa Yogyakarta, bisa menjadi strategi sekaligus tanggung jawab untuk men-jaga situasi yang kondusif atas banyak kelom-pok di wilayah kekuasaannya.

Rekonsialisasi pasca terjadi peristiwa kekerasan, tentunya juga harus dilakukan dengan secara adil dan terbuka. Maksudnya juga perlu keterlibatan para tokoh lintas aga-ma dalam penyelesaian kasus dan mencari ja-lan keluar dengan cara-cara kultural dengan lebih mengutamakan pendekatan humanis. Hans Kung, seorang Teolog Jerman, berpe-san bahwa tidak akan ada perdamaian dunia tanpa adanya perdamaian antar-pemeluk umat agama. Juga tidak akan ada perdamaian agama tanpa adanya perdamaian dunia yang dibangun lewat dialog konstruktif.

Terakhir, situasi yang aman dan nyaman juga menjadi tanggung jawab masyarakat un-tuk menciptakan suasana yang harmonis. Di-sinilah pemerintah perlu menjalankan kerja sama dengan masyarakat, termasuk organisa-si masyarakat dan organisasi lintas iman yang berkonsentrasi pada isu-isu toleransi guna turut mengawal perkembangan situasi sosial. Kolaborasi ini harus dilakukan dengan parti-sipasi aktif guna menciptakan toleransi yang aktif. Mulai dari sinilah masa depan Yogya-karta sebagai kota toleran akan terus diuji.

*) Pemimpin Redaksi Newsletter Manifesto

Page 4: Manifesto edisi 1

4 MANIFESTO | EDISI I | JULI 2014

Nilai adalah Inti AgamaOleh: Ngarjito Ardi Setyanto*

APA ITU AGAMA? Pada pokoknya, agama terdiri dari kepercayaan, dogma, tradisi, prak-tik dan ritual. Orang beriman dilahirkan da-lam sebuah tradisi agama mewarisi semuanya, mempercayai dan menganggap semua hal yang diwarisi sebagai inti dan sebagai tidak terpisahkan dari agama. Baginya, ritual tidak terpisahkan oleh nilai yang terkandung di dalamnya. Saat ritual dikerjakan secara tera-tur, kadang nilai agama terabaikan, diperkosa ataupun dikerjakan sebagai simbol.

Terdapat tren lain yang terhitung mo-dern, agama dianggap sebagai ideologi. Di-mulai dari kolonialisme abad ke 19, tren ter-sebut didorong memperlakukan agama tidak semata-mata sebagai keyakinan tetapi sebagai sebuah ideologi politik. Ideologi ini menurut agama menjadi bukan saja sebuah pengalam-an spiritual tetapi juga sebagai sistem politik. Bagi mereka, sistem politik lebih penting ke-timbang aspek spiritual agama.

Saat agama menjadi ideologi, kemudian menjadi legitimasi untuk mendirikan sebuah negara. Dianggap hukum tersebut sempurna sebagai wahyu Tuhan dan dengan memi-kirkan ulang tidak diperkenankan. Bila ada orang yang berbuat semacam itu dikatakan sebagai kejahatan serius. Menurut mereka, pengubahan adalah penyimpangan dan pe-nyimpangan merupakan dosa di mata Tuhan.

Lantas, negara-negara yang menerapkan agama sebagai ideologinya, mereka tidak

hanya menerapkan hukum-hukum Tuhan secara ketat, tetapi menghukum keras semua yang mengajak pada perubahan. Ini bukan soal kendati mencederai inti agama, tetapi yang terpenting adalah sistem politik. Tidak ada posisi karena ini adalah kehendak Tuhan yang tidak bisa diganggu gugat. Tidak perlu jauh, pemerintahan dengan ideologi agama akhirnya akan mengarah pada otoritarianis-me yang paling buruk. Bila proses kepemim-pinan melenceng dari yang diinginkan.

Agama sebagai simbol (ritual) atau ide-ologi tidak menjadi masalah, tetapi akan menjadi masalah tatkala inti agama sudah terabaikan. Islam mendasarkan pada keadil-an dan kesetaraan, keadilan semua lapisan semua lapisan lemah masyarakat dan kese-taraan bagi semua manusia, baik pria atau wanita. Kristen, pada sisi lain, mendasarkan pada cinta dan maaf yang sangat penting bagi hubungan manusia. Sebagai agama Ibrahim, Yahudi juga melandaskan pada keadilan. Agama-agama India, Hinduisme menekan-kan universalisme dan toleransi. Janisme pada non-violence dan budhisme pada kasih sayang. Kebenaran tentu saja, merupakan ni-lai-nilai bersamaan semua agama.

Jadi, nilai yang paling dasar dari setiap agama-agama ada tujuh (Asghar Ali Engi-neer: 2004); yakni kebenaran, non-violence, keadilan, kesetaraan, kasih sayang, cinta dan toleransi. Jika umat manusia bisa menjalan-

Page 5: Manifesto edisi 1

MANIFESTO | EDISI I | JULI 2014 5

DIALEkTIkA

kan ketujuh nilai ini, ia akan menjadi orang yang paling agamis dan terbaik dari umat manusia..

Apakah kebenaran itu? Kebenaran bu-kanlah semata-mata persesuaian dengan kenyataan, kendati itu juga hal yang paling mendasar, tetapi lebih dari itu semua. Ke-benaran mengejawantahkan dalam dimensi spiritual. Kebenaran disyaratkan kepada spi-ritual dan transendensi. Seseorang yang men-cintai kebenaran sebagai nilai, ia tidak akan puas dengan kebenaran itu. Ia akan selalu mengembangkan kebenaran itu bagaimana baiknya. Jadi, kebenaran memiliki dimensi kesempurnaan spiritual.

Tidak ada kebenaran yang hakiki. Tuhan adalah kebenaran, dan kebenaran adalah Tu-han (dalam tradisi Islam, huwa al haq: dialah kebanaran itu). Tepatnya, ia yang maha esa. Dengan demikian, seseorang yang mencari kebenaran, sesungguhnya mencari kebenar-an moral dan etika. Siapapun yang secara mo-ral dan etika tidak sempurna berarti memiliki langkah belum tepat. Seorang yang beragama sejatinya berusaha menyempurnakan moral dan senantiasa dalam pencarian kebenaran, yang berarti mencari pengetahuan yang lebih tinggi. Dan, untuk nilai-nilai lainnya tidak perlu dijelaskan, ini karena nilai-nilai terse-but sudah jelas tanpa penjelasan.

Nah, jarang ditemukan seorang Yahudi, Kristen, Hindu, Budha dan agama-agama

lain menjalankan nilai-nilai paling mendasar ini. Mereka lebih banyak memberatkan pada ritual daripada nilai. Kita hendaknya menyo-roti nilai-nilai mendasar ini yang menjadikan umat manusia bersemangat beragama. Jika kita mengikuti nilai-nilai ini, tidak akan ada perseteruan antara agama. Mari kita ingat bahwa perseteruan antar agama sebagai orang rasional berpendapat, bahwa terletak pada ajarannya. Tidak! Melainkan perselisih-an antar agama merupakan akibat dari terlalu mengorbankan nilai-nilai inti pada satu sisi, dan menyalahgunakan agama demi kepen-tingan ekonomi, politik dan kepentingan pri-badi, pada sisi lainnya.

Saya tidak mengatakan bahwa ritual ti-dak penting atau tidak memainkan apapun dari struktur agama. Tetapi ritual memiliki peran dan arti penting keberadaan agama itu sendiri. Ritual menanamkan keunikan bagi tiap agama. Sedangkan nilai tidaklah khas untuk setiap agama. Orang yang beriman taat lebih sadar nilai dasar ini dibanding ritual. Juga perlu diingat, pelaksanaan ritual tidak mencederai kepentingan pribadi seseorang, namun nilai menuntut pengorbanan besar bagi kita.

*) Mahasiswa UIN Sunan Kalijaga, Fakultas Ushuluddin, Prodi Perbandingan Agama/Redaktur Pelaksana Newsletter Manifesto

Page 6: Manifesto edisi 1

6 MANIFESTO | EDISI I | JULI 2014

ENTAH apa yang melatarbelakangi sang Ma-hatma ketika mengucapkan kalimat itu. Se-dang dalam benaknya hanya ada Tuhan dan kebenaran. Pernyataan di atas mengisyarat-kan betapa lemahnya orang yang menyelesai-kan segala hal dengan kekerasan.

Dalam sebuah suratnya, Gandhi pernah menulis bahwa “Setiap pembunuhan atau perbuatan menyakiti orang lain, tidak soal apa pun sebabnya adalah tindak kejahatan terhadap kemanusiaan.” Sebuah argumentasi yang lahir dari realitas sosial yang dirasakan-nya sendiri

Agama untuk Membela Manusia.Ketika tubuh Mahatma Gandhi tertem-

bus peluru di ujung pistol umatnya sendiri yang bernama Godse pada 30 Januari 1948, masyarakat dunia menghargainya sebagai pemimpin spiritual terbesar dan politisi yang ulung dan terkenal dengan ajaran ahimsa atau nirkekerasan, yang kemudian menjadi spiritualitas rakyat India.

Momentum kematian Gandhi, kemudian disejajarkan dengan Thorea, Tolstoy, dan San-to Fransiskus. Bahkan disejajarkan dengan Budha, Yesus Kristus dan juga Muhammad SAW.

Ahimsa atau nirkekerasan yang menda-rah-daging dalam diri Gandhi teraplikasikan

di dalam semangat perjuangannya ketika membebaskan India dan Afrika Selatan dari penjajahan Inggris kala itu tanpa menempuh jalan kekerasan atau bom nuklir sekalipun.

Kontribusi terbesar yang telah diberikan Gandhi kepada kemanusiaan adalah pesan-nya tentang nirkekerasan sebagai jalan perda-maian, keadilan, dan Tuhan. Gandhi sangat serius ketika menghayati perintah-perintah suci ajaran Injil bahwa “kamu tidak boleh membunuh” dan “cintailah musuhmu”.

Setelah dia mempelajari berbagai agama selama bertahun-tahun, Gandhi juga me-nyimpulkan bahwa nirkekerasan adalah hati dan inti sari dari setiap agama. Nirkekerasan adalah wacana bersama yang menyatukan se-mua agama di dunia. Setiap agama didasari oleh wacana tentang cinta dan perdamaian walau kadang hanya tersirat dalam ajarannya sendiri.

Hal yang terpenting dalam sosok Gand-hi adalah bahwa ia seorang yang religius dan tenggelam dalam ajaran agamanya serta berpegang teguh pada spiritualitas. Dia telah memperkenalkan kepada seluruh dunia satu metode baru untuk mengorganisir, memim-pin serta mengubah budaya kekerasan men-jadi budaya yang mengedepankan nirkeke-rasan.

Menurut Gandhi nirkekerasan tidak ha-

Oleh: Ahmad Shalahuddin Mansur

Nirkekerasan Sang Mahatma

“Kekerasan” kata Gandhi, “adalah senjata orang yang berjiwa lemah.”

Page 7: Manifesto edisi 1

MANIFESTO | EDISI I | JULI 2014 7

nya bermakna sebagai penahanan diri terha-dap kekerasan fisik, baik secara interpersonal hingga tingkat nasional, tetapi juga penaha-nan diri terhadap kekerasan dari dalam diri manusia, misalnya kekerasan yang timbul dari dalam dari hati. Hal ini bermakna bah-wa pengejawantahan cinta kasih secara aktif terhadap sosok penindas dan musuh me-rupakan bagian tak terpisahkan dari pene-gakan keadilan, kebenaran dan perdamaian. “Nirkekerasan tidak bisa dikhotbahkan”, kata Gandhi menegaskan. “Nirkekerasan harus dipraktekkan.”

Gandhi berkeyakinan bahwa kekuatan nirkekerasan itu lebih hebat dari semua sen-jata nuklir, meski semua senjata digabung-kan. Manakala kita semua mempraktekkan nirkekerasan aktif secara sempurna, kita akan mampu menghasilkan ledakan spiritual, yang kedahsyatannya melebihi ledakan bom atom di Hiroshima. Gandhi sangat meyakini ten-tang perdamaian dunia yang ia idam-idam-kan.

Nirkekerasan adalah Jalan Kebenaran dan Perdamaian

Jalan perdamaian adalah jalan kebenar-an. Kebenaran itu sendiri jauh lebih penting daripada perdamaian. Berbohong adalah in-duk dari kekerasan. Orang yang berpegang pada kebenaran tidak bisa lagi menyisakan kekerasan. Mereka paham bahwa dalam me-niti jalan pencarian, mereka tidak boleh me-lakukan kekerasan. Meski pencarian mereka semakin jauh, selama masih terdapat jejak kekerasan di dalam dirinya. Sekecil apa pun bentuknya, maka akan gagal menemukan ke-benaran yang mereka cari.

Orang-orang yang meyakini bahwa nir-

kekerasan adalah satu-satunya cara menca-pai perdamaian akan tetap mempertahankan lentera nirkekerasan sehingga nyalanya akan tetap terang di tengah kegelapan yang gulita, sebagaimana keadaan pada saat ini.

Kebenaran, meski hanya diyakini oleh beberapa orang, akan tetap berarti. Sebalik-nya dusta, meski dipertahankan oleh jutaan orang, pasti akan lenyap, sebagaimana sekam akan terlibas terbang oleh tiupan angin.

Lentera nirkekerasan telah dinyalakan oleh Gandhi dengan pengorbanan yang luar biasa. Tinggal bagaimana nyala itu tidak padam dengan kekerasan-kekerasan yang menghina kemanusiaan.

Perbedaan yang ada seyogianya membu-at manusia semakin pandai bersyukur bahwa Tuhan menginginkan harmoni di antara per-bedaan yang Dia ciptakan. Perbedaan yang diciptakan tidak lain dan tidak bukan, hanya untuk saling mengenal satu sama lain.

Sebaliknya tidak dengan mengacau dan mengutuk perbedaan hasil goresan Tuhan dalam garis-Nya. Tidak ada jalan lain selain jalan nirkekerasan. Tatkala orang-orang su-dah jenuh dengan segala bentuk kekerasan. Gandhi pernah berpesan:

Nirkekerasan dan sikap pengecut merupa-kan hal yang saling bertentangan. Nirkekeras-an adalah keutamaan yang termulia, sedang-kan sikap pengecut adalah kejahatan terbesar. Nirkekerasan lahir dari cinta kasih, sikap pe-ngecut muncul dari kebencian. Nirkekerasan akan selalu berkorban, sikap pengecut akan se-lalu menimbulkan korban. Nirkekerasan yang sempurna adalah keberanian tertinggi

--Vol. 42, 31 Oktober 1929

REFLEkSI

Page 8: Manifesto edisi 1

8 MANIFESTO | EDISI I | JULI 2014

Menelusuri Akar RadikalismeOleh: Betriq Kindy Arrazy

RADIKALISME agama senantiasa hadir dalam situasi dan kondisi yang tidak diha-rapkan oleh kaum beriman. Sikap destruktif menjadi ciri khas yang sering ditonjolkan dalam menunjukan ekistensinya. Apa yang melatarbelakangi radikalisme agama sering terjadi? Itulah yang hendak diuraikan oleh Zuly Qodir, seorang pakar Sosiologi Agama dalam buku Radikalisme Agama di Indonesia.

Dalam buku setebal 282 ini, Zuly Qodir memberikan analisis kritis tentang radika-lisme agama, termasuk radikalisme dalam Islam yang ada di Indonesia. Perspektif yang dipergunakan dalam menulis buku ini adalah perspektif sosiologi agama dan sosiologi poli-tik, sehingga diharapkan akan tampak di sana kajian yang mengemukakan fenomena yang berkembang di masyarakat, tanpa bermak-sud memberikan penilaian, evaluasi atau pun penghakiman.

Zuly Qodir mengkategorikan dua kelom-pok Islam. Pertama, kelompok mainstream dihuni oleh ormas atau organisasi besar yang sudah mapan secara sosial-teologis, dengan pandangan ke-Islam-an yang moderat, in-klusif dan toleran seperti Nahdlatul Ulama dan Muhammadiyah. Kedua, kelompok non-mainstream yang notabene sekumpulan ke-lompok radikalis-fundamentalis yang dalam gerakannya senantiasa memakai cara-cara kekerasan fisik, psikis, dan ideologis dengan latar belakang gerakan keagamaan baru (new religious movement). Kelompok yang dimak-

sud seperti Front Pembela Islam (FPI), Majelis Tafsir Al-Quran (MTA), Majelis Mujahidin Indonesia (MMI) dan Hizbut Tahrir Indonesia (HTI). Seperti Kategorisasi ini menggunakan kriteria sosiologis terkait perilaku jamaah di masing-masing kelompok Islam.

Meski sudah terkategorisasi, gejala yang sudah terjadi saat ini masuknya kelompok non-mainstream ke dalam sistem kelompok mainstream dengan upaya institusionalisasi ideologi dan gerakan. Sifat yang menonjol dari sering terlihat seperti dengan mudahnya mengeluarkan argumen takfiri kepada sesa-ma muslim atau non-muslim yang dianggap-nya memiliki sudut pandang yang berbeda. Teks-teks kitab suci Al-Quran kemudian di-tafsirkan secara literer-tekstual, dengan me-nihilkan konteks. Sehingga pemahaman akan teks cenderung sempit dan eksklusif. Maka tidak jarang, radikalisme muncul karena ti-dak terbukanya pemikiran atas kritik yang bergulir di luar. Sehingga kemudian menjadi justifikasi kekerasan mengatasnamakan aga-ma dan pembelaan Tuhan.

Latar belakang terjadinya radikalisme agama akibat seseorang yang mengalami dep-rivasi relatif. Sebuah kondisi yang menimbul-kan perasaan akan kekurangan, hingga ke-mudian terjadi kecemburuan segala bidang. Clock dan Stark melihat asal-usul aliran-alir-an baru, teori sekte gereja deprivasi terbatas hanya sebatas permasalahan ekonomi, maka kedua pakar tersebut mencoba memperluas

Page 9: Manifesto edisi 1

MANIFESTO | EDISI I | JULI 2014 9

Judul : Radikalisme Agama di IndonesiaPenulis : Zuly QodirPenerbit : Pustaka Pelajar, YogyakartaCetakan : I, Maret 2014 Tebal : 282 halaman

PUSTAkA

deprivasi menjadi lima jenis. Kelima tersebut adalah deprivasi ekonomis, deprivasi sosial, deprivasi organistik, deprivasi etis, deprivasi psikis. (hlm 155)

Terorisme kemudian menjadi manisfes-tasi sikap radikalisme Islam atas respons glo-balisasi. Di Timur Tengah pun sampai saat ini masih terus bergejolak kasus-kasus terorisme yang berkelanjutan. Sejarah Timur Tengah yang geografis merupakan turunnya agama Islam. Ini yang menjadi awal mula, gencarnya masyarakat dunia menarik sebuah konklusi atas relevansi Islam dan terorisme. Sekaligus meneguhkan citra Islam yang sangat peyo-ratif dalam menjaga suasana perdamaian dunia. Meski sebagian besar kasus-kasus te-rorisme didalangi oleh kelompok-kelompok

Islam dengan corak radikalis-fundamentalis. Penulis buku ini secara tegas membantah tentang penyematan Islam sebagai agama te-roris. Islam mengajarkan tentang kedamaian, keselamatan, dan kesejahteraan pada seluruh umat manusia.

Selain membahas tentang gejala-gejala kekerasan. Penulis juga sempat melakukan penelitian kecil tentang radikalisme yang juga mulai merambah pada aktivis-aktivis masjid. Kegiatan ini dilakukan di dua kampus ber-basis Islam (UMY dan UII) dan tiga negeri (UGM, UNY, dan UIN Sunan Kallijaga).

Umat Islam saat ini sering kali menem-patkan keyakinan (keimanan) sebagai stan-dar untuk menilai apakah sebuah kelompok masyarakat itu beragama atau tidak diukur dengan soal keyakinannya terhadap Tuhan. Jika terdapat masyarakat yang menyatakan beriman tetapi dianggap tidak keyakinan terhadap Tuhan maka akan dikelompokkan pada bagian dari masyarakat yang tidak beri-man (alias sesat). Atas dasar itu penghakiman sering kali terjadi dengan menempatkan diri sebagai pengadil Tuhan yang seharusnya itu menjadi otoritas Tuhan.

Atas situasi yang semakin hari semakin memprihatinkan. Agama diharapkan harus memiliki peran strategis dalam merespons masalah sosial-kemanusiaan yang terjadi di masyarakat akhirnya mandul. Agama tak lebih dari jargon-jargon kosong yang mem-bius masyarakat untuk semakin mengintimi Tuhan, tanpa menoleh kondisi yang terjadi di sekitar. Untuk itu Islam atau agama apapun harus menjadi landasan sebagai kritik sosial untuk umat beriman atas terciptanya situasi yang damai dan sejahtera.

Page 10: Manifesto edisi 1

10 MANIFESTO | EDISI I | JULI 2014

Kontekstualisasi Pluralisme dalam Kehidupan BeragamaOleh: Ahmad Shalahuddin Mansur

DUNIA internasional menilai Indonesia yang dikenal sebagai negara kepulauan termasuk negara yang sukses menyatukan keragaman suku, budaya, dan agama yang terbilang ma-jemuk. Hal tersebut disampaikan oleh Bene-dict Rogers yang menjadi pembicara utama dalam bedah buku karyanya yang berjudul “Indonesia: Pluralism in Peril (The Rise of Religions Intolerence Across the Archipelago). Bedah buku ini berlansung di kantor Institute DIAN/Interfidei yang beralamat di Jalan Ban-teng Utama No. 59, Sleman, Selasa (10/6).

Benedict juga sempat mencontohkan suasana toleransi di Indonesia pada Gereja Katherdal yang bersebelahan dengan Masjid Istiqlal yang menggambarkan suasana Indo-nesia yang harmonis.

Namun saat ini, menurut Benedict Indo-nesia sedang mengalami masa transisi demo-krasi, dimana transisi demokrasi ini diancam oleh kelompok intoleran. Selain itu, peme-rintah Indonesia mempunyai turut andil atas maraknya kasus intoleransi. Sehingga ber-dampak kerugian pada kelompok minoritas, mengingat semakin minimnya perlindungan hukum. Ini yang kemudian harus perlu men-dapatkan perhatian dunia internasional un-

tuk menciptakan suasana perdamaian.Pria yang juga ketua Cristian Solidarity

Worldwide (CSW) menambahkan, pluralis-me merupakan fakta yang harus diterima ka-rena kesamaan dan kesetaraan dalam meng-klaim kebenaran. Ini yang melatarbelakangi Benedict mempercayai kebenaran dalam agamanya. “Pancasila menyediakan tempat buat agama yang resmi, tapi tidak menyedi-akan tempat bagi agama yang tidak resmi,” kritiknya.

Selanjutnya, Direktur DIAN Interfidei, Joan Elga Sarapung menambahkan bahwa tema pluralisme masih tetap konsisten diu-sung lembaga yang dipimpinnya. Elga meng-evaluasi fatwa MUI tentang pluralisme terjadi kesalahpahaman. Definisi pluralisme menu-rutnya adalah kesamaan hak dalam beraga-ma, bukan menyamakan semua agama.

Elga mempunyai alasan tentang semakin lantangnya suara kelompok intoleran dika-renakan oleh banyaknya orang-orang yang bersikap toleran dalam mayoritas memilih diam. “Diantaranya takut diserang dan takut mendapat stigma atau cap oleh kelompok mi-noritas ini,” pungkasnya

Page 11: Manifesto edisi 1

MANIFESTO | EDISI I | JULI 2014 11

Pemuka Agama Mengadakan Doa Lintas ImanOleh: Betriq Kindy Arrazy

MENYONGSONG pemilihan presiden yang akan diselenggarakan pada 9 Juli 2014, Ma-syarakat Kristen Indonesia yang bekerja sama dengan Forum Persaudaraan Umat Beragama mengadakan kegiatan doa bersama. Acara ini berlangsung di Kementerian Agama Wilayah Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY), Jumat (4/7).

Acara dibuka langsung oleh Ketua Ma-syarakat Kristen Indonesia, Bambang Prijam-bada yang dalam pemaparannya menaruh harapan agar proses pemilihan presiden da-pat berjalan dengan damai dan berkualitas. Selain itu, ia juga mengkritik dua kampanye hitam yang dimunculkan oleh dua kubu cap-res yang disangkutpautkan dengan perang baratayudha dan perang badar. “Mari kita du-kung dengan doa. Berharap dapat merubah yang salah menjadi benar, untuk keselamatan NKRI,” ujarnya.

Su’ud perwakilan dari Kementerian Agama Wi-layah DIY juga menyam-but baik kegiatan yang berhubungan pengem-bangan kegiatan umat beragama. Ia juga meng-himbau kepada umat ber-agama untuk tidak hanya mendukung pemilihan pilpres saja, melainkan juga memikirkan keru-

kunan umat beragama. Su’ud menambahkan, saat ini bangsa Indonesia mengalami dua ma-salah besar. Pertama, tercerabutnya akar bu-daya yang dialami oleh anak bangsa. Seperti sifat-sifat tenggang rasa, gotong royong, dan keramahan. Kedua, tentang masuknya ide-ologi transnasional. Ia juga mencontohkan tentang gejolak yang ada di Timur Tengah yang tidak kunjung selesai. “Multikultura-lisme adalah sebuah keniscayaan yang tidak bisa dihindari. Menjadi tugas umat beragama untuk menjaga perdamaian untuk NKRI,” je-lasnya.

Setelah itu kemudian dilanjutkan oleh doa bersama oleh pemuka agama yang bera-sal dari perwakilan dari Islam, Katholik, Pro-testan, Hindu, Budha, beserta aliran Kejawen dan Sunda Wiwitan. Di akhir acara, para pe-muka agama mengadakan deklarasi pemilu damai, dilanjutkan buka bersama.

PERbINcANgAN

Para pemuka agama mendeklarasikan pemilu damai.

Page 12: Manifesto edisi 1

12 MANIFESTO | EDISI I | JULI 2014

Secara umum sebenarnya masih cukup tole-ran dan berhati nyaman. Hanya memang ada yang perlu dibenahi sistem sosial yang ada se-karang. Tokoh-tokoh masyarakat dan pemim-pin informal di masyarakat harus diberdaya-kan perannya dalam menjaga kohesi sosial. Aparat penegak hukum perlu menggunakan strategi-strategi kebudayaan dalam mengha-dapi situasi seperti ini. Sehingga sikap kede-wasaan politik harus bisa dimainkan oleh elit-elit lokal untuk bisa membuat suasana yang damai di akar rumput. Kekerasan tidak boleh diatasi dengan kekerasan pula

Ekamara Ananami PutraIlmu Politik dan Pemerintahan 2011Universitas Gadjah Mada

Menurutku toleransi di Yogyakarta masih ada. Kota ini masih pantas disebut dengan kota toleran, karena masih ada orang-orang yang memiliki sikap toleransi pada lingkung-an sekitarnya. Sikap tersebut muncul dari kesadaran diri mereka masing-masing dan bukan atas dasar paksaan.

Richa PebrianaTeknik Informatika 2011STMIK AKAKOM

PENDAPAT

cELOTEh

+ Agama dikorupsi oleh petinggi Kemen-terian Agama.

- Bukankah sejak dulu Kementerian Aga-ma jadi favorit juara korupsi.

+ Pemilihan presiden sudah berlangsung 9 Juli 2014 kemarin.

- Apakah ada jaminan budaya sindir-sin-diran sudah selesai

+ Lembaga survei pada lagi debat kredibi-litas survei

- Jadinya ya seperti itu kalau integritas su-dah dibeli

+ Palestina semakin memanas- Kira-kira pemerintah Indonesia mau me-

lakukan apa ya?

+ Bentar lagi hari raya idul fitri- Di saat itulah nanti ada perdebatan yang

seharusnya tidak perlu diperdebatkan lagi