Belajar Senyawa2 Fitokimia

14
dikonsumsi oleh masyarakat di kawasan Pulau Pramuka. Antioksidan bekerja sebagai free radical scavengers, mencegah dan memperbaiki kerusakan yang disebabkan oleh radikal bebas sehingga kerusakan sel akan dihambat (Winarsi 2007). Aktivitas antioksidan pada lamun Enhalus acoroides telah diuji Kannan et al. (2010) dengan menggunakan pelarut etanol (polar), namun informasi mengenai aktivitas antioksidan pada lamun Enhalus acoroides dengan menggunakan berbagai jenis pelarut masih belum ada. Oleh karena itu, pada penelitian ini digunakan tiga jenis pelarut berbeda yaitu metanol (polar), etil asetat (semipolar) dan n-heksana (nonpolar) untuk lebih mengetahui perbedaan hasilnya. Ekstraksi dengan kepolaran berbeda biasanya menggunakan sampel yang telah dikeringkan (Colegate dan Molyneux 2008). Pengeringan merupakan metode pengawetan yang penting untuk bahan baku tumbuhan karena dapat menghambat degradasi enzimatik dan limit pertumbuhan mikroba saat ekstraksi (Harbourne et al. 2009). Beberapa penelitian pada tumbuhan mengenai aktivitas antioksidan dan kandungan fenol juga banyak menggunakan sampel kering misalnya pada daun gambir (Susanti 2008), herba meniran (Rivai et al. 2011), bunga rosela (Usman 2010) dan anggur Muscadine pomace (Vashiths et al. 2011). Harbourne et al. (2009) menyatakan bahwa suhu pengeringan antara 40-70 o C tidak akan mempengaruhi total fenol dalam teh honeybush. 1.2 Tujuan Penelitian yang berjudul “Kandungan Fenol, Komponen Bioaktif dan Aktivitas Antioksidan Lamun Enhalus acororoides” ini bertujuan untuk 1. mempelajari komposisi proksimat yang meliputi kadar air, abu, protein, lemak dan karbohidrat, abu tidak larut asam serta kandungan serat pangan lamun Enhalus acaroides; 2. mengetahui pengaruh perbedaan jenis pelarut terhadap rendemen, total fenol, senyawa fitokimia dan aktivitas antioksidan ekstrak lamun Enhalus acoroides. 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Deskripsi dan Klasifikasi Enhalus acoroides

description

Fitokimia

Transcript of Belajar Senyawa2 Fitokimia

Page 1: Belajar Senyawa2 Fitokimia

dikonsumsi oleh masyarakat di kawasan Pulau Pramuka. Antioksidan bekerja

sebagai free radical scavengers, mencegah dan memperbaiki kerusakan yang

disebabkan oleh radikal bebas sehingga kerusakan sel akan dihambat

(Winarsi 2007). Aktivitas antioksidan pada lamun Enhalus acoroides telah diuji

Kannan et al. (2010) dengan menggunakan pelarut etanol (polar), namun

informasi mengenai aktivitas antioksidan pada lamun Enhalus acoroides dengan

menggunakan berbagai jenis pelarut masih belum ada. Oleh karena itu, pada

penelitian ini digunakan tiga jenis pelarut berbeda yaitu metanol (polar), etil asetat

(semipolar) dan n-heksana (nonpolar) untuk lebih mengetahui perbedaan hasilnya.

Ekstraksi dengan kepolaran berbeda biasanya menggunakan sampel yang

telah dikeringkan (Colegate dan Molyneux 2008). Pengeringan merupakan

metode pengawetan yang penting untuk bahan baku tumbuhan karena dapat

menghambat degradasi enzimatik dan limit pertumbuhan mikroba saat ekstraksi

(Harbourne et al. 2009). Beberapa penelitian pada tumbuhan mengenai aktivitas

antioksidan dan kandungan fenol juga banyak menggunakan sampel kering

misalnya pada daun gambir (Susanti 2008), herba meniran (Rivai et al. 2011),

bunga rosela (Usman 2010) dan anggur Muscadine pomace (Vashiths et al. 2011).

Harbourne et al. (2009) menyatakan bahwa suhu pengeringan antara 40-70 oC

tidak akan mempengaruhi total fenol dalam teh honeybush.

1.2 Tujuan

Penelitian yang berjudul “Kandungan Fenol, Komponen Bioaktif dan

Aktivitas Antioksidan Lamun Enhalus acororoides” ini bertujuan untuk

1. mempelajari komposisi proksimat yang meliputi kadar air, abu, protein,

lemak dan karbohidrat, abu tidak larut asam serta kandungan serat

pangan lamun Enhalus acaroides;

2. mengetahui pengaruh perbedaan jenis pelarut terhadap rendemen, total

fenol, senyawa fitokimia dan aktivitas antioksidan ekstrak lamun

Enhalus acoroides.

2 TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Deskripsi dan Klasifikasi Enhalus acoroides

Page 2: Belajar Senyawa2 Fitokimia

Lamun (seagrass) adalah tumbuhan berbunga (angiospermae) yang sudah

sepenuhnya menyesuaikan diri hidup terbenam di dalam laut. Tumbuhan ini

mempunyai beberapa sifat yang memungkinkan hidup di lingkungan laut, yaitu

mampu hidup di media air asin, mampu berfungsi normal dalam keadaan

terbenam, mempunyai sistem perakaran jangkar yang berkembang baik, mampu

melaksanakan penyerbukan dan daur generatif dalam keadaan terbenam. Secara

struktural lamun memiliki batang yang terbenam dalam tanah yang disebut

rimpang. Rimpang dan akar lamun terbenam di dalam substrat yang membuat

lamun dapat berdiri dengan kuat menghadapi arus dan ombak (Dahuri 2003).

Lamun memiliki perbedaan yang nyata dengan tumbuhan yang hidup

terbenam dalam laut lainnya, misalnya makro-algae atau rumput laut (seaweeds).

Tanaman lamun memiliki bunga dan buah yang kemudian berkembang menjadi

benih. Lamun juga memiliki sistem perakaran yang nyata, dedaunan, sistem

transportasi internal untuk gas dan nutrient, serta stomata yang berfungsi dalam

pertukaran gas. Akar pada tumbuhan lamun tidak berfungsi penting dalam

pengambilan air, karena daun dapat menyerap nutrient secara langsung dari dalam

air laut. Lamun tumbuh subur terutama di daerah terbuka pasang surut dan

perairan pantai yang dasarnya merupakan lumpur, pasir, kerikil dan patahan

karang mati dengan kedalaman sampai empat meter.

Lamun yang terdapat di Indonesia terdapat 12 jenis yaitu Cymodocea

serrulata, C. rotundata, Enhalus acoroides, Halodule uninervis, H. pinifolia,

Halophila minor, H. ovalis, H. decipiens, H. spinulosa, Thalassia hemprichii,

Syringodium isoetifolium dan Thalassodendron ciliatun (Dahuri 2003). Lamun

Enhalus acoroides adalah salah satu jenis lamun di perairan Indonesia yang

umumnya hidup di sedimen berpasir atau berlumpur dan daerah dengan bioturbasi

tinggi. Lamun Enhalus acoroides tumbuh pada sedimen medium dan kasar.

Lamun Enhalus acoroides dapat menjadi dominan pada padang lamun campuran

dengan lebar kisaran vertikal intertidalnya mencapai 25 meter. Enhalus acoroides

penting sebagai pelindung juvenil ikan.

Secara lengkap klasifikasi lamun Enhalus acoroides (Phillips dan Menez

1988 dalam Soedharma et al. 2007) adalah sebagai berikut :

Divisi : Anthophyta

Page 3: Belajar Senyawa2 Fitokimia

Kelas : Angiospermae

Subkelas : Monocotyledonae

Ordo : Helobiae

Famili : Hydrocharitaceae

Genus : Enhalus

Species : Enhalus acoroides

Lamun memiliki daun-daun tipis yang memanjang seperti pita yang

mempunyai saluran-saluran air. Deskripsi lamun Enhalus acoroides secara

lengkap dapat dilihat pada Gambar 1. di bawah ini.

Gambar 1 Enhalus acoroides

Sumber : Jacobs et al. 2010

2.2 Ekstraksi Senyawa Aktif

Ekstraksi adalah peristiwa pemindahan zat terlarut (solut) antara dua pelarut

yang tidak saling bercampur dengan tujuan untuk memperoleh ekstrak murni

(Achmadi 1992). Menurut Harborne (1987), ekstraksi merupakan proses

penarikan komponen atau zat aktif suatu simplisia dengan menggunakan pelarut

tertentu. Proses ekstraksi bertujuan untuk mendapatkan bagian-bagian tertentu

dari bahan yang mengandung komponen-komponen aktif.

Terdapat dua jenis ekstraksi yang dikenal yaitu dengan menggunakan panas

dan tanpa pemanasan. Pembagian jenis ekstraksi dapat juga dilakukan menurut

pelarut yang digunakan. Pada pembagian ini, ekstraksi dibagi menjadi ekstraksi

tunggal dan ekstraksi bertingkat. Ekstraksi tunggal adalah teknik ekstraksi pada

bahan secara langsung menggunakan satu jenis pelarut, sedangkan ekstraksi

bertingkat adalah ekstraksi dengan beberapa pelarut organik yang tingkat

kepolarannya berbeda-beda (Malthaputri 2007).

Page 4: Belajar Senyawa2 Fitokimia

Prinsip ekstraksi menggunakan pelarut organik adalah bahan yang akan

diekstrak dikontakkan dengan pelarut selama selang waktu tertentu, sehingga

komponen yang akan diekstrak akan terlarut dalam pelarut. Kelebihan dari

ekstraksi menggunakan pelarut organik adalah mendapatkan senyawa yang lebih

terkonsentrasi dan memiliki aroma yang hampir sama dengan bahan alami awal

(Malthaputri 2007). Jenis dan mutu pelarut yang digunakan menentukan

keberhasilan proses ekstraksi. Pelarut yang digunakan harus dapat melarutkan zat

yang diinginkannya, mempunyai titik didih yang rendah, murah, tidak toksik, dan

mudah terbakar (Ketaren 1986). Pada penelitian ini ekstraksi dilakukan secara

berturut-turut menggunakan n-heksana, etil asetat dan metanol. Hasil ekstraksi

akan mengandung senyawa nonpolar, semipolar dan polar.

Harborne (1987) mengelompokkan metode ekstraksi menjadi dua, yaitu

ekstraksi sederhana dan ekstraksi khusus.

Ekstraksi sederhana terdiri atas:

1. Maserasi, yaitu metode ekstraksi dengan cara meredam sampel dalam

pelarut dengan atau tanpa pengadukan;

2. Perkolasi, yaitu metode ekstraksi secara berkesinambungan;

3. Reperkolasi, yaitu perkolasi dimana hasil perkolasi digunakan untuk

melarutkan sampel di dalam perkulator sampai senyawa kimianya terlarut;

4. Diakolasi, yaitu perkolasi dengan penambahan tekanan udara.

Ekstraksi khusus terdiri atas:

1. Sokletasi, yaitu metode ekstraksi secara berkesinambungan untuk

melarutkan sampel kering dengan menggunakan pelarut bervariasi;

2. Arus balik, yaitu metode ekstraksi secara berkesinambungan dimana

sampel dan pelarut saling bertemu melalui gerakan aliran yang

berlawanan;

3. Ultrasonik, yaitu metode ekstraksi dengan menggunakan alat yang

menghasilkan frekuensi bunyi atau getaran antara 25-100 KHz.

2.3 Radikal Bebas

Radikal bebas adalah atom atau molekul yang tidak stabil dan sangat reaktif

karena mengandung satu atau lebih elektron tidak berpasangan pada orbital

Page 5: Belajar Senyawa2 Fitokimia

terluarnya. Untuk mencapai kestabilan atom atau molekul, radikal bebas akan

bereaksi dengan molekul disekitarnya untuk memperoleh pasangan elektron.

Reaksi ini akan berlangsung terus-menerus dalam tubuh dan bila tidak dihentikan

akan menimbulkan berbagai penyakit antara lain kanker, jantung, katarak,

penuaan dini serta penyakit degeneratif lainnya, oleh karena itu tubuh

memerlukan suatu substansi penting yaitu antioksidan yang mampu menangkal

radikal bebas tersebut sehingga tidak dapat menginduksi suatu penyakit

(Andayani et al. 2008).

Menurut Hariyatmi (2004), yang dimaksud radikal bebas adalah

sekelompok zat kimia yang sangat reaktif karena memiliki satu atau lebih elektron

yang tidak berpasangan. Radikal bebas juga merupakan sekelompok zat kimia

yang sangat reaktif karena memiliki satu atau lebih elektron ganjil tidak

berpasangan dan memiliki dua sifat yaitu reaktif (cenderung untuk menarik

elektron) dan dapat mengubah molekul menjadi suatu radikal. Adanya elektron

yang tidak berpasangan ini menyebabkan senyawa tersebut sangat reaktif mencari

pasangan, dengan cara menyerang dan mengikat elektron molekul yang berada di

sekitarnya. Serangan radikal bebas terhadap molekul sekelilingnya akan

menyebabkan terjadinya reaksi berantai yang kemudian menghasilkan senyawa

radikal baru. Dampak reaktivitas senyawa radikal bebas bermacam-macam, mulai

dari kerusakan sel atau jaringan, penyakit autoimun, penyakit degeneratif hingga

kanker (Winarsi 2007).

Radikal bebas dapat terbentuk melalui dua cara yaitu secara endogen

(sebagai respon normal proses biokimia intrasel maupun ekstrasel) dan secara

eksogen (berasal dari polusi, makanan, serta injeksi ataupun absorpsi melalui

kulit) (Winarsi 2007). Secara umum, tahapan reaksi pembentukan reaksi radikal

bebas melaui tiga tahapan reaksi yaitu inisiasi, propagasi dan terminasi. Tahap

inisiasi merupakan awal pembentukan radikal bebas, tahap propagasi merupakan

pemanjangan rantai dan tahap terminasi merupakan bereaksinya senyawa radikal

dengan radikal lain atau dengan penangkap radikal sehingga potensi propagasinya

rendah (Winarsi 2007). Reaksi tahapan pembentukan radikal bebas dapat dilihat

pada Gambar 2.

Tahap inisiasi:

Page 6: Belajar Senyawa2 Fitokimia

Fe++

+ H2O2 Fe++

+ H2O2

R1-H + ●OH R1

● + H2O

Tahap propagasi:

R2-H + R1● R2

● + R1-H

R3-H + R2● R3

● + R2-H

Tahap terminasi:

R1● + R1

● R1-R1

R1● + R1

● R1-R1

R1● + R1

● R1-R1

Gambar 2 Reaksi pembentukan radikal bebas

(Sumber Winarsi 2007)

2.4 Antioksidan

Antioksidan merupakan senyawa pemberi elektron atau reduktan. Senyawa

ini memiliki berat molekul kecil, tetapi mampu menginaktivasi berkembangnya

reaksi oksidasi dengan cara mencegah terbentuknya radikal. Antioksidan juga

merupakan senyawa yang dapat menghambat reaksi oksidasi dengan mengikat

radikal bebas dan molekul yang sangat reaktif, akibatnya kerusakan sel dapat

dihambat. Antioksidan sangat bermanfaat bagi kesehatan dan berperan penting

untuk mempertahankan mutu produk pangan. Berkaitan dengan reaksi oksidasi di

dalam tubuh, status antioksidan merupakan parameter penting untuk memantau

kesehatan seseorang (Winarsi 2007). Antioksidan juga dapat berperan dalam

menekan proliferasi (perbanyakan) sel kanker, karena antioksidan berfungsi

menutup jalur pembentukan sel ganas (blocking agent) (Trilaksani 2003).

Antioksidan sangat beragam jenisnya. Berdasarkan sumbernya antioksidan

dibagi dalam dua kelompok, yaitu antioksidan sintetik (antioksidan yang

diperoleh dari hasil sintesa reaksi kimia) dan antioksidan alami (antioksidan hasil

ekstraksi bahan alami). Ada lima antioksidan yang diijinkan untuk makanan dan

penggunaannya tersebar luas di seluruh dunia, yaitu butil hidroksi anisol (BHA),

butil hidroksi toluena (BHT), propil galat (PG), tert-butil hidroksi quinon (TBHQ)

dan tokoferol (vitamin E). Antioksidan tersebut merupakan antioksidan alami

yang telah diproduksi secara sintesis untuk tujuan komersial. Antioksidan sintesis

tersebut dapat menyebabkan karsinogenesis, sehingga npenggunaan antioksidan

alami mengalami peningkatan (Rohman dan Riyanto 2005). Bahan pangan nabati,

Page 7: Belajar Senyawa2 Fitokimia

selain mengandung zat-zat yang berguna untuk proses pertumbuhan dan

perkembangan, juga memiliki komponen lain yang penting untuk kesehatan

(Sulistijani 2002). Komponen-komponen yang terdapat dalam bahan pangan alami

misalnya sayur-sayuran, buah-buahan, biji-bijian dan beberapa jenis tumbuhan

berpotensi sebagai antioksidan alami. Asupan bahan pangan kaya antioksidan

dalam jumlah memadai akan menjaga kondisi kesehatan.

Antioksidan yang baik akan bereaksi dengan radikal bebas segera setelah

senyawa tersebut terbentuk. Mekanisme antioksidan dalam menghambat oksidasi

atau menghentikan reaksi berantai pada radikal bebas dari lemak yang teroksidasi,

dapat disebabkan oleh 4 macam mekanisme reaksi (Ketaren 1986), yaitu

(1) pelepasan hidrogen dari antioksidan, (2) pelepasan elektron dari antioksidan,

(3) addisi lemak ke dalam cincin aromatik pada antioksidan, dan (4) pembentukan

senyawa kompleks antara lemak dan cincin aromatik dari antioksidan.

Berdasarkan mekanisme kerjanya, antioksidan digolongkan menjadi tiga

kelompok, yaitu antioksidan primer, sekunder, dan tersier. Antioksidan primer

disebut juga antioksidan endogenus atau enzimatis. Suatu senyawa dikatakan

sebagai antioksidan primer apabila dapat memberikan atom hidrogen secara cepat

kepada senyawa radikal, kemudian radikal antioksidan yang terbentuk segera

berubah menjadi senyawa yang lebih stabil. Antioksidan primer meliputi enzim

superoksida dismutase (SOD), katalase, dan glutation peroksidase. Sebagai

antioksidan, enzim-enzim tersebut menghambat pembentukan radikal bebas

dengan cara memutus reaksi berantai (polimerisasi), kemudian mengubahnya

menjadi produk yang lebih stabil (Winarsi 2007).

Antioksidan sekunder disebut juga antioksidan eksogenus atau

nonenzimatis. Antioksidan kelompok ini juga disebut sistem pertahanan preventif

dimana terbentuknya senyawa oksigen reaktif dihambat dengan cara pengkelatan

metal, atau dirusak pembentukannya. Kerja antioksidan sekunder adalah dengan

cara memotong reaksi oksidasi berantai dari radikal bebas atau dengan cara

menangkapnya. Antioksidan sekunder meliputi vitamin E, vitamin C, -karoten,

flavonoid, asam urat, bilirubin, dan albumin (Winarsi 2007).

Antioksidan alami di dalam makanan dapat berasal dari senyawa

antioksidan yang sudah ada dari satu atau dua komponen makanan, senyawa

Page 8: Belajar Senyawa2 Fitokimia

antioksidan yang terbentuk dari reaksi-reaksi selama proses pengolahan dan

senyawa antioksidan yang diisolasi dari sumber alami dan ditambahkan ke dalam

makanan sebagai bahan tambahan pangan (Trilaksani 2003). Senyawa-senyawa

yang umumnya terdapat dalam antioksidan alami adalah fenol, polifenol dan yang

paling umum adalah flavonoid (flavonol, isoflavon, flavon, katekin, flavonon),

turunan asam sinamat, tokoferol serta asam organik polifungsi.

Berdasarkan mekanisme kerjanya, antioksidan memiliki dua fungsi. Fungsi

utama antioksidan yaitu sebagai pemberi atom hidrogen. Antioksidan disingkat

(AH) yang mempunyai fungsi utama tersebut sering disebut sebagai antioksidan

primer. Senyawa ini dapat memberikan atom hidrogen secara cepat ke radikal

lipida (R●, ROO

●) atau mengubahnya ke bentuk lebih stabil, sementara turunan

radikal antioksidan (A●) tersebut memiliki keadaan lebih stabil dibanding radikal

bebas. Fungsi kedua merupakan fungsi sekunder, yaitu memperlambat laju

autooksidasi dengan berbagai mekanisme diluar mekanisme pemutusan rantai

autooksidasi dengan pengubahan radikal bebas ke bentuk yang lebih stabil

(Gordon 1990).

2.5 Uji Aktivitas Antioksidan

Badarinath et al. (2010) mengelompokkan metode pengujian aktivitas

antioksidan kedalam tiga golongan. Golongan pertama adalah Hydrogen Atom

Transfer methods (HAT) misalnya Oxygen Radical Absorbance Capacity (ORAC)

method dan Lipid Peroxidation Inhibition Capacity (LPIC) assay. Golongan

kedua adalah Electron Transfer methods (ET) misalnya ferric reducing

antioxidant power dan diphenylpicrylhydrazil (DPPH) free radical scavenging

assay. Golongan ketiga adalah metode lain misalnya Total Oxidant Scavenging

Capacity (TOSC) dan chemiluminescence.

Metode yang umum digunakan untuk menguji aktivitas antioksidan suatu

bahan yaitu dengan menggunakan radikal bebas stabil diphenilpycrylhydrazil

(DPPH). Metode DPPH banyak dipilih karena mudah, cepat, peka dan hanya

membutuhkan sedikit ekstrak sampel (Hanani et al. 2005). Senyawa DPPH adalah

radikal bebas yang bersifat stabil dan beraktivitas dengan cara mendelokalisasi

elektron bebas pada suatu molekul sehingga molekul tersebut tidak reaktif

sebagaimana radikal bebas yang lain. Proses delokalisasi ini ditunjukkan dengan

Page 9: Belajar Senyawa2 Fitokimia

adanya warna ungu (violet) pekat yang dapat dikarakterisasi pada pita absorbansi

dalam pelarut etanol pada panjang gelombang 520 nm (Molyneux 2004). Pada

metode ini, larutan DPPH yang berperan sebagai radikal bebas akan bereaksi

dengan senyawa antioksidan sehingga DPPH akan berubah menjadi

diphenilpycrilhydrazine yang bersifat non-radikal sebagaimana dapat dilihat pada

Gambar 3.

Gambar 3 Struktur Diphenylpycrilhydrazil dan Diphenylpycrilhydrazine

Parameter untuk menginterpretasikan hasil pengujian dari metode DPPH

umumnya dibuat dalam bentuk Inhibitor Concentration 50 (IC50), yang

didefinisikan sebagai konsentrasi larutan substrat atau sampel yang akan

mereduksi aktivitas DPPH sebesar 50%. Semakin besar nilai IC50 maka nilai

aktivitas antioksidan akan semakin kecil (Molyneux 2004). Suatu senyawa

antioksidan dinyatakan baik jika nilai IC50-nya semakin kecil. Senyawa

antioksidan dikatakan sangat kuat apabila memiliki nilai IC50 kurang dari

0,05 mg/ml, kuat untuk IC50 antara 0,05-0,10 mg/ml, sedang untuk IC50 antara

0,10-0,15 mg/ml dan lemah jika IC50 bernilai antara 0,150-0,20 mg/ml

(Molyneux 2004).

2.6 Fitokimia

Analisis fitokimia adalah analisis yang mencangkup pada aneka ragam

senyawa organik yang dibentuk dan ditimbun oleh makhluk hidup, yaitu

mengenai struktur kimianya, biosintesisnya, perubahan serta metabolismenya,

penyebarannya secara alamiah dan fungsi biologisnya (Harborne 1987). Fitokimia

mempunyai peran penting dalam penelitian obat yang dihasilkan dari tumbuh-

tumbuhan (Sirait 2007).

Page 10: Belajar Senyawa2 Fitokimia

2.6.1 Alkaloid

Alkaloid adalah senyawa kimia tanaman hasil metabolit sekunder yang

terbentuk berdasarkan prinsip pembentukan campuran (Sirait 2007). Alkaloid

biasanya tanpa warna, seringkali bersifat optis aktif, kebanyakan berbentuk kristal

tetapi hanya sedikit yang berupa cairan (misalnya nikotina) pada suhu kamar.

Alkaloid merupakan turunan yang paling umum dari asam amino. Secara kimia,

alkaloid merupakan suatu golongan heterogen. Secara fisik, alkaloid dipisahkan

dari kandungan tumbuhan lainnya sebagai garamnya dan sering diisolasi sebagai

kristal hidroklorida atau pikrat (Harborne 1987).

Alkaloid memiliki fungsi dalam bidang farmakologis antara lain sebagai

analgetik (menghilangkan rasa sakit), mengubah kerja jantung, mempengaruhi

peredaran darah dan pernafasan, antimalaria, stimulan uterus dan anaestetika lokal

(Sirait 2007). Sumber senyawa alkaloid potensial adalah tumbuhan yang

tergolong dalam kelompok angiospermae dan jarang atau bahkan tidak ditemukan

pada tumbuhan yang tergolong dalam kelompok gimnospermae misalnya paku-

pakuan, lumut dan tumbuhan tingkat rendah lain (Harborne 1987). Alkaloid pada

tumbuhan dipercaya sebagai hasil metabolisme dan merupakan sumber nitrogen.

Kebanyakan alkaloid berupa padatan kristal dengan titik lebur tertentu atau

mempunyai kisaran dekomposisi. Dekomposisi alkaloid selama atau setelah

isolasi dapat menimbulkan berbagai persoalan jika penyimpanan berlangsung

dalam waktu lama (Lenny 2006).

2.6.2 Triterpenoid/ Steroid

Triterpenoid adalah senyawa yang kerangka karbonnya berasal dari enam

satuan isoprena dan secara biosintesis diturunkan dari hidrokarbon C30 asiklik,

yaitu skualena. Senyawa ini berstruktur siklik yang rumit, kebanyakan berupa

alkohol, aldehida atau asam karboksilat. Mereka berupa senyawa tanpa warna,

berbentuk kristal, seringkali bertitik leleh tinggi dan aktif optik yang umumnya

sukar dicirikan karena tak ada kereaktifan kimianya. Triterpenoid dapat dibagi

menjadi empat kelompok senyawa, yaitu triterpen sebenarnya, steroid, saponin,

dan glikosida jantung (Harborne 1987).

Terpenoid memiliki beberapa nilai kegunaan bagi manusia, antara lain

minyak atsiri sebagai dasar wewangian, rempah-rempah serta sebagai cita rasa

Page 11: Belajar Senyawa2 Fitokimia

dalam industri makanan. Fungsi terpenoid bagi tumbuhan adalah sebagai pengatur

pertumbuhan (seskuitertenoid abisin dan giberelin), karotenoid sebagai pewarna

dan memiliki peran membantu fotosintesis (Harborne 1987).

Steroid merupakan golongan dari senyawa triterpenoid. Adapun contohnya

adalah sterol, sapogenin, glikosida jantung dan vitamin D. Steroid alami berasal

dari berbagai transformasi kimia dari triterpena yaitu lanosterol dan saikloartenol.

Senyawa steroid dapat digunakan sebagai bahan dasar pembuatan obat

(Harborne 1987).

2.6.3 Flavonoid

Flavonoid adalah sekelompok besar senyawa polifenol tanaman yang

tersebar luas dalam berbagai bahan makanan dan dalam berbagai konsentrasi.

Kandungan senyawa flavonoid dalam tanaman sangat rendah sekitar 0,25%.

Komponen tersebut pada umumnya terdapat dalam keadaan terikat atau

terkonjugasi dengan senyawa gula (Winarsi 2007).

Flavonoid umumnya terdapat dalam tumbuhan sebagai glikosida. Flavonoid

terdapat pada seluruh bagian tanaman termasuk pada buah, tepung sari dan akar

(Sirait 2007). Flavonoid merupakan golongan terbesar dari senyawa polifenol,

oleh karena itu larutan ekstrak yang mengandung komponen flavonoid akan

berubah warna jika diberi larutan basa atau ammonia. Flavonoid dikelompokkan

menjadi 9 kelas yaitu anthosianin, proanthosianin, flavonol, flavon, gliko flavon,

biflavonil, khalkon dan aurone, flavanon serta isoflavon. Flavonoid pada tanaman

berikatan dengan gula sebagai glikosida dan ada pula yang berada dalam aglikon

(Harborne 1987).

Flavonoid merupakan senyawa yang terdiri dari C6–C3–C6. Flavonoid

umumnya terdapat pada tumbuhan sebagai glikosida. Gugusan gula bersenyawa

pada satu atau lebih grup hidroksil fenolik. Gugus hidrolik selalu terdapat pada

karbon nomor 5 dan nomor 7 pada cincin A. Pada cincin B gugusan hidroksil atau

alkoksil terdapat pada karbon nomor 3 dan nomor 4. Flavonoid terdapat pada

seluruh bagian tanaman termasuk pada buah, tepung sari dan akar (Sirait 2007).

Flavonoid merupakan inhibitor kuat terhadap peroksidasi lipida, sebagai

penangkap oksigen atau nitrogen yang reaktif dan juga mampu menghambat

aktivitas enzim lipooksigenase dan siklooksigenase (Rohman dan Riyanto 2005).

Page 12: Belajar Senyawa2 Fitokimia

2.6.4 Fenol hidrokuinon

Fenol meliputi berbagai senyawa yang berasal dari tumbuhan dan

mempunyai ciri sama yaitu cincin aromatik yang mengandung satu atau dua gugus

hidroksil. Flavonoid merupakan golongan fenol yang terbesar, selain itu juga

terdapat fenol monosiklik sederhana, fenil propanol, dan kuinon fenolik

(Harborne 1987). Kuinon adalah senyawa bewarna dan mempunyai kromofor

dasar, seperti kromofor pada benzokuinon, yang terdiri atas dua gugus karbonil

yang berkonjugasi dengan dua ikatan rangkap karbon-karbon. Kuinon untuk

tujuan identifikasi dapat dipilah menjadi empat kelompok, yaitu benzokuinon,

naftokuinon, antrakuinon dan kuinon isoprenoid. Tiga kelompok pertama

biasanya terhidroksilasi dan bersifat senyawa fenol serta mungkin terdapat in vivo

dalam bentuk gabungan dengan gula sebagai glikosida atau dalam bentuk kuinol

tanpa warna, kadang-kadang juga bentuk dimer. Dengan demikian diperlukan

hidrolisis asam untuk melepaskan kuinon bebasnya (Harborne 1987).

Senyawa kuinon yang terdapat sebagai glikosida mungkin larut sedikit

dalam air, tetapi umunya kuinon lebih mudah larut dalam lemak dan akan

terekstrak dalam tumbuhan bersama-sama dengan karotenoid dan klorofil. Reaksi

yang khas adalah reduksi bolak-balik yang mengubah kuinon menjadi senyawa

tanpa warna, kemudian warna kembali lagi bila terjadi oksidasi oleh udara.

Reduksi dapat dilakukan menggunakan natrium borohidrida (Harborne 1987).

2.6.5 Tanin

Tanin merupakan komponen zat organik derivat polimer glikosida yang

terdapat dalam bermacam-macam tumbuhan, terutama tumbuhan berkeping dua

(dikotil). Monomer tanin adalah digallic acid dan D-glukosa. Ekstrak tanin terdiri

dari campuran senyawa polifenol yang sangat kompleks dan biasanya tergabung

dengan karbohidrat rendah. Adanya gugus fenol menyebabkan tanin dapat

berkondensasi dengan formaldehida. Tanin terkondensasi sangat reaktif terhadap

formaldehida dan mampu membentuk produk kondensasi, berguna untuk bahan

perekat thermosetting yang tahan air dan panas. Tanin diharapkan mampu

mensubstitusi gugus fenol dan resin fenol formaldehida yang berguna untuk

mengurangi pemakaian fenol sebagai sumberdaya alam tak terbarukan

(Linggawati et al. 2002).

Page 13: Belajar Senyawa2 Fitokimia

Menurut Muchtadi (1989), tanin adalah senyawa polifenol yang membentuk

senyawa kompleks yang tidak larut dengan protein. Senyawa ini terdapat pada

berjenis-jenis tanaman yang digunakan baik untuk bahan pangan maupun pakan

ternak. Tanin dapat menghambat aktivitas beberapa enzim pencernaan seperti

tripsin, kimotripsin, amilase dan lipase. Tanin juga terbukti dapat menghambat

absorpsi besi.

2.6.6 Saponin

Saponin adalah suatu glikosida yang mungkin ada pada banyak macam

tanaman. Saponin ada pada seluruh tanaman dengan konsentrasi tinggi pada

bagian-bagian tertentu dan dipengaruhi oleh varietas tanaman dan tahap

pertumbuhan. Di dalam tumbuhan, saponin berfungsi sebagai bentuk

penyimpanan karbohidrat atau merupakan waste product dari metabolisme

tumbuh-tumbuhan. Selain itu saponin bisa menjadi pelindung terhadap serangan

serangga. Sifat-sifat yang dimiliki saponin antara lain mempunyai rasa pahit,

membentuk busa yang stabil dalam larutan air, menghemolisis eritrosit,

merupakan racun yang kuat untuk ikan dan amfibi, membentuk persenyawaan

dengan kolesterol dan sisteroid lain, sulit untuk dimurnikan dan diidentifikasi dan

memiliki berat molekul yang tinggi (Nio 1989).

Berdasarkan sifat kimianya saponin dapat dibagi dalam dua kelompok yaitu

steroid dengan 27 C atom dan triterpenoid dengan 30 C atom. Aglikon

(sapogenin) dan karbohidrat macam-macam saponin berbeda, sehingga tumbuhan

tertentu dapat mempunyai macam-macam saponin yang berlainan. Macam-

macam saponin pada tumbuhan antara lain quillage saponin (campuran dari 3 atau

4 saponin), alfalfa saponin (campuran dari paling sedikit 5 saponin) dan soy bean

saponin (terdiri dari 5 fraksi yang berbeda dalam sapogenin atau karbohidratnya

atau kedua-duanya) (Nio 1989).

Saponin menyebabkan stimulasi pada jaringan tertentu misalnya pada epitel

hidung, bronkus dan ginjal. Stimulasi pada ginjal diperkirakan menimbulkan efek

diuretika. Sifat menurunkan tegangan permukaan yang ditimbulkan oleh saponin

dapat dihubungkan dengan daya ekspektoransia, dengan sifat ini lendir akan

dilunakkan atau dicairkan. Saponin bisa juga sebagai prekursor hormon steroid

(Sirait 2007). Saponin dapat menimbulkan rasa pahit pada bahan pangan nabati.

Page 14: Belajar Senyawa2 Fitokimia

Banyak saponin yang mempunyai satuan gula sampai lima dan komponen yang

umum ialah asam glukuronat (Harborne 1987). Pembentukan busa yang mantap

sewaktu mengekstraksi tumbuhan atau memekatkan ekstrak tumbuhan merupakan

bukti terpercaya akan adanaya saponin. Saponin jauh lebih polar daripada

sapogenin karena ikatan glikosidanya (Harborne 1987).

2.7 Serat Pangan (Dietary Fibre)

Dietary fibre merupakan komponen dari jaringan tanaman yang tahan

terhadap proses hidrolisis dalam lambung dan usus kecil (Van Der Kamp 2004).

Serat-serat tersebut banyak berasal dari dinding sel berbagai sayuran dan

buah-buahan. Secara kimia dinding sel tersebut terdiri dari beberapa jenis

karbohidrat yaitu selulosa, hemiselulosa, pektin dan nonkarbohidrat misalnya

polimer lignin, beberapa gumi dan mucilage. Dietary fibre pada umumnya

merupakan karbohidrat atau polisakarida. Berbagai jenis makanan pada umumnya

mengandung dietary fibre (Winarno 2008). Istilah serat pangan berbeda dengan

serat kasar yang biasa digunakan dalam analisis proksimat bahan pangan. Serat

kasar adalah bagian dari bahan pangan yang tidak dapat dihidrolisis oleh

bahan-bahan kimia yang biasa digunakan untuk menentukan kadar serat kasar

(asam sulfat dan natrium hidroksida), sedangkan serat pangan adalah bagian dari

bahan pangan yang tidak dapat dihidrolisis oleh enzim-enzim pencernaan

(Muchtadi 1989).

Serat pangan terbagi ke dalam dua kelompok yaitu serat pangan tak larut

(unsoluble dietary fibre) dan serat pangan larut (soluble dietary fibre). Serat

pangan tidak larut contohnya selulosa, hemiselulosa, dan lignin yang ditemukan

pada serealia, kacang-kacangan dan sayuran. Serat pangan larut contohnya gum,

pektin dan musilage (Muchtadi 2001).

3 METODOLOGI