BAB II KAJIAN TEORI 2.1 Konsep Kepemimpinan 2.1.1...
Transcript of BAB II KAJIAN TEORI 2.1 Konsep Kepemimpinan 2.1.1...
7
BAB II
KAJIAN TEORI
2.1 Konsep Kepemimpinan
2.1.1 Pengertian Kepemimpinan
Kepemimpinan telah didefinisikan dalam kaitannya dengan ciri-ciri
individual, perilaku, pengaruh terhadap orang lain, pola interaksi,
hubungan peran, tempatnya pada suatu posisi administratif, serta
persepsi orang lain mengenai keabsahan dari pengaruh.
Siagian (1999:77) merumuskan Kepemimpinan sebagai suatu
kegiatan untuk mempengaruhi perilaku orang-orang agar bekerja
bersama-sama menuju suatu tujuan tertentu yang mereka inginkan
bersama. Dengan kata lain, Kepemimpinan adalah kemampuan
mempengaruhi kelompok untuk mencapai tujuan kelompok tersebut.
Kepemimpinan telah didefinisikan dalam kaitannya dengan ciri-ciri
individual, perilaku, pengaruh terhadap orang lain, pola interaksi,
hubungan peran, tempatnya pada suatu posisi administratif, serta
persepsi orang lain mengenai keabsahan dari pengaruh.
Pengertian Kepemimpinan dan manajemen seringkali disamakan
oleh para ahli, namun ada pula yang membedakan pengertian keduanya.
Menurut Kotler (dalam Robbins, 2006:51), berpendapat bahwa
Kepemimpinan berbeda dari manajemen. Manajemen berkaitan dengan
hal-hal untuk mengatasi kerumitan. Manajemen yang baik dapat
menghasilkan tata tertib dan konsistensi dengan menyusun rencana-
8
rencana formal, merancang struktur organisasi yang ketat dan memantau
hasil lewat pembandingan terhadap rencana yang telah ditetapkan
sebelumnya. Kepemimpinan, sebaliknya, berkaitan dengan hal-hal untuk
mengatasi perubahan. Pemimpin menetapkan arah dengan
mengembangkan suatu visi terhadap masa depan, kemudian
mengkomunikasikannya kepada setiap orang dan mengilhami orang-
orang tersebut dalam menghadapi segala rintangan. Kotter menganggap,
baik Kepemimpinan yang kuat maupun manajemen yang kuat merupakan
faktor penting bagi optimalisasi efektifitas organisasi.
Kepemimpinan menurut Wahjosumidjo (1994:23), didefinisikan
sebagai sarana pencapaian tujuan yang dimaksudkan dalam hubungan ini
pemimpin merupakan seseorang yang memiliki suatu program dan yang
berperilaku secera bersama-sama dengan anggota-anggota kelompok
dengan mempergunakan cara atau gaya tertentu, sehingga
Kepemimpinan mempunyai peranan sebagai kekuatan dinamik yang
mendorong, memotivasi dan mengkoordinasikan organisasi dalam
mencapai tujuan yang telah ditetapkan.
Dari berbagai pendapat yang dirumuskan para ahli diatas dapat
diketahui bahwa konsepsi Kepemimpinan itu sendiri hampir sebanyak
dengan jumlah orang yang ingin mendefinisikannya, sehingga hal itu lebih
merupakan konsep berdasarkan pengalaman. Hampir sebagian besar
pendefinisian Kepemimpinan memiliki titik kesamaan kata kunci yakni
“suatu proses mempengaruhi”. Akan tetapi kita menemukan bahwa
9
konseptualisasi Kepemimpinan dalam banyak hal berbeda. Perbedaan
dalam hal “siapa yang mempergunakan pengaruh, tujuan dari upaya
mempengaruhi, cara-cara menggunakan pengaruh tersebut”.
2.1.2 Jenis-Jenis Kepemimpinan
Jenis-jenis Kepemimpinan menurut Wahjosumidjo (2007: 41)
dapat dibedakan menjadi 3 pokok jenis Kepemimpinan yaitu:
1. Pendelegasian Tugas
Pimpinan hendaknya memberikan pelimpahan wewenang atau
kepercayaan kepada bawahan yang dianggap mampu. Pimpinan
dalam menjalankan tugasnya tentunya memerlukan bantuan dari
bawahannya. Untuk itu pemimpin hendaknya memberikan pelimpahan
wewenang kapada bawahan apabila tugas yang diberikan belum
mampu dijalankan sendiri.
2. Komunikator
Jenis Kepemimpinan ini berlangsung dan bersifat komunikasi satu
arah. Dengan jenis Kepemimpinan seperti ini seorang pemimpin
berperan sebagai pengambil keputusan dan memberikan perintah
kepada bawahannya. Sehingga perintah yang disampaikan harus
jelas baik dari segi bahasa maupun tugas yang diberikan harus sesuai
dengan tingkat kemampuan orang yang menerima perintah.
3. Memimbing
Pemimpin dianggap sebagai orang yang berpengaruh dalam suatu
organisasi. Dalam hal ini pemimpin harus ikut berpartisipasi dalam
10
setiap kegiatan dan bawahannya lebih merasa diperhatikan dan dapat
menimbulkan semangat kerja bagi bawahan.
2.1.3 Fungsi-fungsi Kepemimpinan
Secara operasional dapat dibedakan 5 pokok fungsi
Kepemimpinan, yaitu (Nawawi, 2003:74):
1. Fungsi Instruktif
Fungsi ini berlanggsung dan bersifat komunikasi satu arah. Dengan
fungsi ini seorang pemimpin berperan sebagai pengambil
keputusan dan memberikan perintah kepada bawahannya. Agar
fungsi ini dapat dijalankan dengan baik, maka perintah yang
disampaikan harus jelas baik isi perintah maupun dari segi bahasa
harus sesuai dengan tingkat kemampuan orang yang menerima.
2. Fungsi Konsultatif
Dalam fungsi ini, seorang pimpinan merupakan wadah bagi
bawahannya untuk membicarakan masalah-masalah yang ada
pada suatu organisasi / instansi. Pimpinan dianggap sebagai orang
yang mampu menyelesaikan suatu masalah. Sehingganya
diharapkan dengan menjalankan fungsi ini, keputusan-keputusan
pimpinan akan mendapat dukungan dan lebih mudah
menginstruksikannya sehingga Kepemimpinan dapat berlangsung
secara efektif. Dalam menjalankan fungsi ini seorang kepala
sekolah diharapkan mampu mengarahkan dan memberikan
kesempatan kepada guru dan staf sekolah untuk menyampaikan
11
saran dan pendapat agar apa yang diperintahkan dapat dijalankan
dengan baik.
3. Fungsi Partisipasi
Pemimpin merupakan seseorang yang mempunyai pengaruh
dalam suatu organisasi / instansi. Dalam melaksanakan suatu
kegiatan, partisipasi dari seorang pemimpin adalah hal yang sangat
penting karena dapat memberikan motivasi atau semangat kerja
bagi para bawahaannya. Agar fungsi ini dapat dijalankan dengan
baik, maka kepala sekolah harus ikut serta dalam proses
pelaksanaan tugas yang telah diberikan. Sehingga guru dan staf
sekolah lebih termotivasi untuk menyelesaikan tugas yang telah
diberikan dengan baik.
4. Fungsi Delegasi
Dalam menyelesaikan tugas, seorang pemimpin tentunya tidak
dapat menyelesaikan tugasnya sendiri, hal ini disebabkan karena
banyaknya tugas yang harus diselesaikan. Untuk itu pemimpin
hendaknya dapat memberikan pelimpahan wewenang, memberikan
kepercayaan kepada bawahaannya yang dianggap mampu untuk
menyelesaikan tugas yang diberikan, agar dapat berjalan secara
efektif dan efisien. Agar fungsi ini dapat dijalankan dengan baik,
maka kepala sekolah harus bersedia memberikan tanggung
jawab/kepercayaan kepada wakil kepala sekolah yang memiliki
12
kemampuan dan kemauan untuk menjalankan tugas yang
diberikan.
5. Fungsi Pengendalian
Fungsi ini menjelaskan peran seorang pemimpin sebagai
pengendali merupakan pemimpin yang mampu mengatur aktifitas
anggotanya secara terarah dan dalam kondisi yang efektif. Seorang
pemimpin diharapkan dapat menyelesaikan segala masalah dan
kesalahan yang di lakukan. Fungsi pengendalian di lakukan dengan
cara mencegah anggota berpikir dan berbuat sesuatu yang dapat
merugikan organisasi atau instansi. Untuk menjalankan fungsi ini,
kepala sekolah berperan sebagai motivator bagi guru dan staf
sekolah dalam pelaksanaan tugas dan pekerjaan baik individu
maupun kolektif dengan senantiasa memberikan pengarahan dan
dorongan dalam melakukan perkerjaan tersebut.
Menurut Siagian (2003: 154), fungsi-fungsi Kepemimpinan yang
bersifat hakiki adalah:
1. Penentuan arah yang hendak ditempuh oleh organisasi dalam usaha
pencapaian tujuan dan berbagai sasarannya.
2. Wakil dan juru bicara organisasi dalam hubungan dengan berbagai
pihak diluar organisasi, terutama dengan mereka yang tergolong
sebagai “stakeholder”.
3. Komunikator yang efektif.
13
4. Mediator yang handal, khususnya dalam mengatasi berbagai situasi
konflik yang mungkin timbul antara individu dalam satu kelompok kerja
yang terdapat dalam organisasi yang dipimpinnya.
5. Integrator yang rasional dan objektif.
Dengan menjalankan fungsi Kepemimpinan yang hakiki
tersebut, pemimpin diharapkan dapat membawa para pengikutnya
ketujuan yang hendak dicapai.
Fungsi Kepemimpinan menurut Rivai (2004: 119) dalam Mariam
(2009:45), bahwa Kepemimpinan berhubungan langsung dengan situasi
sosial dalam kehidupan kelompok/organisasi masing-masing yang
mengisyaratkan bahwa setiap pemimpin berada di dalam dan bukan di
luar situasi itu. Fungsi Kepemimpinan merupakan gejala sosial, karena
harus diwujudkan dalam interaksi antar individu di dalam situasi sosial
suatu kelompok/organisasi. Fungsi Kepemimpinan sendiri dikelompokkan
dalam dua dimensi berikut Mariam (2009:46):
1. Dimensi yang berkenaan dengan tingkat kemampuan mengarahkan
(direction) dalam tindakan atau aktivitas pemimpin.
2. Dimensi yang berkenaan dengan tingkat dukungan (support) atau
keterlibatan orang-orang yang dipimpin dalam melaksanakan tugas-
tugas pokok kelompok/organisasi.
Seorang pemimpin untuk mencapai tujuan organisasi harus
melaksanakan berbagai fungsi Kepemimpinan. Menurut Frunzi dan Savini
14
diacu dalam Hidayat (2005: 32) terdapat lima fungsi Kepemimpinan yang
merupakan karakteristik Kepemimpinan, yaitu:
1. Pengajaran, dengan memberikan pengarahan khusus, saran dan
bimbingan kepada karyawan dalam menyelesaikan tugas-tugasnya.
2. Konseling, dengan mewawancarai para karyawan dan membantu
mereka dalam menemukan jawabannya.
3. Evaluasi, dalam melakukan pengawasan, peninjauan, penilaian
terhadap karyawan sebagai timbal-balik terhadap kinerja karyawan.
4. Delegasi, dengan memberikan tugas, tanggung jawab dan wewenang
kepada karyawan yang dirasa kompeten.
5. Pemberian imbalan, dengan menyediakan pengakuan nyata maupun
tidak nyata kepada karyawan yang sudah menyelesaikan tugasnya
dengan baik.
2.1.4 Gaya Kepemimpinan
Locander et al. (dalam Mariam, 2009:56) menjelaskan bahwa Gaya
Kepemimpinan mengandung makna pemimpin mempengaruhi yang
dipimpin tapi hubungan antara pemimpin dengan yang dipimpin bersifat
saling menguntungkan kedua belah pihak. Locke (2001) memandang
Gaya Kepemimpinan sebagai sebuah proses mempengaruhi aktivitas
suatu organisasi dalam upaya menetapkan dan mencapai tujuan.
Tiga implikasi penting yang terkandung dalam proses mengarahkan dan
mempengaruhi aktifitas-aktifitas dalam hal ini yaitu:
15
1. Gaya Kepemimpinan itu melibatkan orang lain baik itu bawahan
maupun pengikut.
2. Kepeminpinan melibatkan pendistribusian kekuasaan antara
pemimpin dan anggota kelompok secara seimbang, karena
anggota kelompok bukanlah tanpa daya.
3. Adanya kemampuan untuk menggunakan bentuk kekuasaan yang
berbeda untuk mempengaruhi tingkah laku pengikutnya melalui
berbagai cara.
Terdapat perbedaan pandangan dalam penyusunan batasan-
batasan dalam perumusan Gaya Kepemimpinan, seperti yang
diungkapkan (Mariam, 2009:26), menyatakan bahwa Gaya Kepemimpinan
merupakan norma perilaku yang dipergunakan oleh seseorang pada saat
mencoba mempengaruhi perilaku orang lain atau bawahan. Pemimpin
tidak dapat menggunakan Gaya Kepemimpinan yang sama dalam
memimpin bawahannya, namun harus disesuaikan dengan karakter-
karakter tingkat kemampuan dalam tugas setiap bawahannya. Menurut
House (dalam Darwito,2008:41), menyatakan bahwa Perilaku pemimpin
memberikan motivasi sampai tingkat (1) mengurangi halangan jalan yang
mengganggu pencapaian tujuan, (2) memberikan panduan dan dukungan
yang dibutuhkan oleh para karyawan, dan (3) mengaitkan penghargaan
yang berarti terhadap pencapaian tujuan.
Mariam (2009) membatasi Gaya Kepemimpinan dalam 2 hal yakni
konsep transaksional (transactiona leadership) dan transformasional
16
(transformational leadership), yang dapat diuraikan dengan (Mariam,
2009:27):
1. Kepemimpinan Transformasional
Kepemimpinan transformasional (transformational leadership)
berdasarkan prinsip pengembangan bawahan (follower development).
Pemimpin transformasional mengevaluasi kemampuan dan potensi
masing-masing bawahan untuk menjalankan suatu tugas/pekerjaan,
sekaligus melihat kemungkinan untuk memperluas tanggung jawab
dan kewenangan bawahan di masa mendatang.
Humphreys (2002) menegaskan bahwa hubungan antara
atasan dengan bawahan dalam konteks Gaya Kepemimpinan
transformasional lebih dari sekedar pertukaran “komoditas” (pertukaran
imbalan secara ekonomis), tapi sudah menyentuh sistem nilai (value
system). Pemimpin transformasional mampu menyatukan seluruh
bawahannya dan mampu mengubah keyakinan, sikap, dan tujuan
pribadi masing-masing bawahan demi mencapai tujuan, bahkan
melampaui tujuan yang ditetapkan.
George R., et al (2004) dalam Maryam (2009:44), bahwa
kepemimpinan transformasional "terjadi ketika satu orang atau lebih
terlibat dengan orang lain sedemikian rupa sehingga mengangkat
motivasi dan moralitas pemimpin dan pengikut satu sama lain ke
tingkat yang lebih tinggi". Pemimpin transformasional menampilkan
keberanian, komitmen, keyakinan, dan kompetensi, semuanya
17
disalurkan ke arah menciptakan perubahan. Pendapat yang sama
dikemukakan Bass, Rigio. (2004), bahwa kepemimpinan
transformasional melibatkan para pengikut membangkitkan semangat
untuk berkomitmen terhadap suatu visi dan sasaran bersama untuk
satu organisasi atau unit, bersifat lebih inovatif dalam memecahkan
masalah, dan mengembangkan kapasitas kepemimpinan pengikut
melalui pelatihan, monitor, dan penyisihan tantangan dan dukungan.
Kedua pendapat tersebut lebih menitik beratkan pada aspek moral
pengikut agar memiliki semangat dalam upaya menciptakan
perubahan guna mencapai sasaran yang telah ditetapkan.
Salah satu bentuk perubahan pemimpin adalah kemampuan
untuk mempercayakan segala keperluan dari pengikut pada seorang
pengikut. Menurut Burns, bahwa mengutamakan kebutuhan membuat
para pemimpin dapat bertanggungjawab kepada pengikut yang
diarahkan oleh suatu kebutuhan moral, atau kebutuhan untuk
menerapkan suatu cara berpendirian moral yang lebih tinggi. CB.
Crawford, (2005;9) mengemukakan bahwa untuk mentransformasi,
pemimpin harus membantu pengikut untuk mengerti dan memahami
keadaan atau persoalan yang timbul dalam organisasi antara lain
konflik. Konflik adalah perlu guna menciptakan alternatif-alternatif dan
untuk membuat kemungkinan perubahan. Proses perubahan bentuk
didasarkan pada pengenalan jiwa orang lain, pemahaman, pengertian
18
yang mendalam, dan pertimbangan bukan manipulasi, pemanfaatan
kekuasaan, atau paksaan.
Berbeda dengan pendapat yang dikemukakan Shane
(2010;125) bahwa pemimpin transformational memotivasi para
pengikut dengan visi untuk masa depan, agar berupaya menunjukkan
kepatuhan, bukan karena mendapatkan sesuatu sebagai imbalan,
tetapi karena adanya kepercayaan pada pimpinan dan tujuannya yang
objektif. Pendapat serupa dikemukakan Bass dan Avolio (1990)
bahwa para pemimpin transformasional bersifat sebagai penolong,
memulai perubahan strategis untuk memposisikan organisasi di masa
depan, mengartikulasikan suatu visi dengan penuh semangat,
membantu karyawan keluar dari kesulitan yang berfokus kepada
pekerjaan secara individu untuk melihat suatu gambaran yang lebih
luas. Pendapat lain dikemukakan Cardona, (2000) bahwa para
pemimpin transformasional memotivasi para pengikut dengan
melakukan pertukaran guna mengembangkan kemampuan pengikut
dengan cara memberikan motivasi ekstrinsik.
Bass et.al (1990,) dalam Maryam (2009:30), menjelaskan
kemampuan pemimpin transformasional mengubah sistem nilai
bawahan demi mencapai tujuan diperoleh dengan mengembangkan
salah satu atau seluruh factor yang merupakan dimensi kepemimpinan
transformasional, yaitu: karisma (kemudian diubah menjadi pengaruh
ideal atau idealized influence), inspirasi (inspirational motivation),
19
pengembangan intelektual (intellectual stimulation), dan perhatian
pribadi (individualized consideration). Keseluruhan indikator
Kepemimpinan transformasional yang dikemukakan oleh Bass et.al
(1990) merupakan batasan Penelitian untuk mengukur variabel
Kepemimpinan dalam Penelitian ini. Adapun penjelasan mengenai
Indikator Kepeimimpinan Transformasional sebagai berikut:
a. Idealized influence (pengaruh ideal/ visi).
Menurut Sarros (2001) dalam Maryam (2009:27), merupakan
perilaku (behavior) yang berupaya mendorong bawahan untuk menjadikan
pemimpin mereka sebagai panutan (role model). Pada mulanya, dimensi
ini dinamakan karisma, namun karena mendapat banyak kritik maka istilah
karisma diubah menjadi pengaruh ideal atau visi. Aspek kritikal karisma
adalah kekuatan spiritual (transcendent power) yang diyakini oleh
bawahan dimiliki oleh pemimpinnya, sehingga bawahan percaya
sepenuhnya dan mau melakukan apa saja demi pemimpinnya (true
believer). Aspek tersebut tidak dimiliki oleh setiap orang dan selama ini
tidak tercakup dalam kajian kepemimpinan transformasional, sehingga
dimensi ini tidak tepat disebut karisma. Kajian mengenai dimensi ini lebih
terpusat pada pemimpin yang memiliki visi jauh kedepan dan mampu
menanamkan visi tersebut dalam diri bawahan (Griffin, 2004).
Lebih jauh, pemimpin yang mempunyai idealized influence selain
mampu mengubah pandangan bawahan tentang apa yang penting untuk
dicapai pada saat ini maupun masa mendatang (visi), juga mau dan
20
mampu berbagi resiko dengan bawahan, teguh dengan nilai, prinsip, dan
pendiriannya, sehingga bawahan percaya, loyal, dan menghormatinya
(Bass et.al., 2003; dalam Darwito, 2008:31). Idealized influence
merupakan dimensi terpenting kepemimpinan transformasional karena
memberikan inspirasi dan membangkitkan motivasi bawahan (secara
emosional) untuk menyingkirkan kepentingan pribadi demi pencapaian
tujuan bersama (Griffin, 2004).
b. Inspirational motivation (inspirasi)
menurut Griffin (2004), Inspirational Motivation memiliki korelasi
yang erat dengan idealized influence. Seperti dijelaskan sebelumnya,
pemimpin transformasional member inspirasi kepada bawahan untuk
memusatkan perhatian pada tujuan bersama dan melupakan kepentingan
pribadi. Inspirasi dapat diartikan sebagai tindakan atau kekuatan untuk
menggerakkan emosi dan daya pikir orang lain (Griffin, 2004).
Keeratan dua dimensi yaitu inspirational motivation dan idealized
influence ini mendorong munculnya pandangan untuk menyatukan kedua
dimensi ini dalam satu konstruk. Namun dalam penelitian ini, idealized
influence dan inspirational motivation diposisikan sebagai dua konstruk
yang berbeda dimana idealized influence mempunyai makna lebih dalam
daripada inspirational motivation, atau dengan kata lain, inspirational
motivation merupakan sisi luar atau perwujudan idealized influence
(Griffin, 2004; dalam Maryam, 2009:35).
21
c. Intellectual stimulation (Pengembangan Pengetahuan)
merupakan faktor penting kepemimpinan transformasional yang
jarang memperoleh perhatian. Intellectual stimulation merupakan perilaku
yang berupaya mendorong perhatian dan kesadaran bawahan akan
permasalahan yang dihadapi. Pemimpin kemudian berusaha
mengembangkan kemampuan bawahan untuk menyelesaikan
permasalahan dengan pendekatan pendekatan atau perspektif baru.
Dampak intellectual stimulation dapat dilihat dari peningkatan kemampuan
bawahan dalam memahami dan menganalisis permasalahan serta
kualitas pemecahan masalah (problem solving quality) yang ditawarkan
(Rafferty & Griffin, 2004; dalam Maryam 2009:36).
Bass et.al (2003) dalam Darwito (2008:39), berpandangan bahwa
intellectual stimulation pada prinsipnya memacu bawahan untuk lebih
kreatif dan inovatif dalam memahami dan memecahkan masalah.
Bawahan didorong untuk meninggalkan cara-cara atau metode-metode
lama dan dipacu untuk memberikan ide dan solusi baru. Bawahan bebas
menawarkan metode baru dan setiap ide baru tidak akan mendapat
kritikan atau celaan. Sebaliknya, pemimpin berusaha meningkatkan moral
bawahan untuk berani berinovasi. Pemimpin bersikap dan berfungsi
membina dan mengarahkan inovasi dan kreativitas bawahan.
d. Individualized consideration (perhatian pribadi).
Individualized consideration mengarah pada pemahaman dan
perhatian pemimpin pada potensi dan kemampuan yang dimiliki oleh
22
setiap bawahannya. Pemimpin menyadari perbedaan kemampuan,
potensi, dan juga kebutuhan bawahan. Pemimpin memandang setiap
bawahannya sebagai aset organisasi. Oleh sebab itu, pemahaman
pemimpin akan potensi dan kemampuan setiap bawahan
memudahkannya membina dan mengarahkan potensi dan kemampuan
terbaik setiap bawahan (Bass et.al., 2003; dalam Darwito, 2008:40).
Adapun yang termasuk batasan atau instrumen yang digunakan
dalam penelitian ini menyangkut Kepemimpinan Transformasional dengan
instrumen-instrumen yang termasuk didalamnya.
2. Gaya Kepemimpinan Transaksional
Gaya Kepemimpinan transaksional (transactional leadership)
mendasarkan diri pada prinsip transaksi atau pertukaran antara pemimpin
dengan bawahan. Pemimpin memberikan imbalan atau penghargaan
tertentu (misalnya, bonus) kepada bawahan jika bawahan mampu
memenuhi harapan pemimpin (misalnya, kinerja karyawan tinggi). Di sisi
lain, bawahan berupaya memenuhi harapan pemimpin disamping untuk
memperoleh imbalan atau penghargaan, juga untuk menghindarkan diri
dari sanksi atau hukuman.
Waldman et.al. (dalam Mariam, 2009:34) mengemukakan bahwa
Gaya Kepemimpinan transaksional “beroperasi” pada sistem atau budaya
yang sudah ada (existing) dan tujuannya adalah memperkuat strategi,
sistem, atau budaya yang sudah ada, bukan bermaksud untuk
mengubahnya. Oleh sebab itu, pemimpin transaksional selain berusaha
23
memuaskan kebutuhan bawahan untuk “membeli” performa, juga
memusatkan perhatian pada penyimpangan, kesalahan, atau kekeliruan
bawahan dan berupaya melakukan tindakan korektif.
Selain Gaya Kepemimpinan Transformasional dan Transaksional,
terdapat 5 (lima) Gaya Kepemimpinan lain yang dapat mengukur
kecenderungan peningkatan kerja Karyawan (Robert; dan Kinicki, Angelo,
2005:67) Yakni:
1. Gaya Direktif
Dimana pemimpin memberitahukan kepada bawahan apa yang
diharapkan dari mereka, memberitahukan jadwal kerja yang harus
diselesaikan dan standar kerja, serta memberikan bimbingan secara
spesifik tentang cara-cara menyelesaikan tugas tersebut, termasuk di
dalamnya aspek perencanaan, organisasi, koordinasi dan pengawasan.
Karakteristik pribadi bawahan mempengaruhi Gaya Kepemimpinan
yang efektif. Jika bawahan merasa mempunyai kemampuan yang tidak
baik, Gaya Kepemimpinan instrumental (direktif) akan lebih sesuai.
Sebaliknya apabila bawahan merasa mempunyai kemampuan yang baik,
gaya direktif akan dirasakan berlebihan, bawahan akan cenderung
memusuhi (Mamduh, 1997)
2. Gaya Supportif
Gaya Kepemimpinan yang menunjukkan keramahan seorang
pemimpin, mudah ditemui daan menunjukkan sikap memperhatikan
24
bawahannya (Yukl 1989:251). Mamduh (1997) menyatakan jika manajer
ingin meningkatkan kesatuan dan kekompakan kelompok digunakan Gaya
Kepemimpinan supportif. Jika bawahan tidak memperoleh kepuasan
sosial dari kelompok Gaya Kepemimpinan supportif menjadi begitu
penting.
Gaya Kepemimpinan gaya supportif, menggambarkan situasi
dimana karyawan yang memiliki kebutuhan tinggi untuk berkembang
mengerjakan tugas-tugas yang mudah, sederhana, dan rutin. Individu
seperti ini mengharapkan pekerjaan sebagai sumber pemuasan
kebutuhan, tetapi kebutuhan mereka tidak terpenuhi. Reaksi yang
mungkin timbul adalah perasaan kecewa dan frustasi (Darwito, 2008:43).
3. Gaya Partisipatif
Gaya Kepemimpinan dimana mengharapkan saran-saran dan ide
mereka sebelum mengambil suatu keputusan (Yukl 1989:277). Apabila
bawahan merasa mempunyai kemampuan yang baik, Gaya
Kepemimpinan direktif akan dirasa berlebihan, bawahan akan cenderung
memusuhi, sehingga Gaya Kepemimpinan partisipatif lebih sesuai. Jika
bawahan mempunyai locus of control yang tinggi, ia merasa jalan
hidupnya lebih banyak dikendalikan oleh dirinya bukan oleh faktor luar
seperti takdir, Gaya Kepemimpinan yang partisipatif lebih sesuai (Mamduh
dalam Darwito, 2008:42).
25
4. Gaya Orientasi Prestasi
Gaya Kepemimpinan dimana pemimpin menetapkan tujuan yang
menantang dan mengharapkan bawahan untuk berprestasi semaksimal
mungkin serta terus menerus mencari pengembangan prestasi dalam
pencapaian tujuan tersebut. Dalam Gaya Kepemimpinan ini, tingkah laku
individu didorong oleh need for achievement atau kebutuhan untuk
berprestasi (Yukl:1989).
Darwito (2008:44) menambahkan Gaya Kepemimpinan yang
berorientasi kepada prestasi (achievement) dihipotesakan akan
meningkatkan usaha dan kepuasan bila pekerjaan tersebut tidak
tersetruktur (misalnya kompleks dan tidak diulang-ulang) dengan
meningkatkan rasa percaya diri dan harapan akan menyelesaikan sebuah
tugas dan tujuan yang menantang. Kepuasan kerja lebih tinggi diperoleh
apabila telah melaksanakan prestasi kerja yang baik.
5. Gaya Pengasuh
Dalam Gaya Kepemimpinan gaya pengasuh, sikap yang mungkin
tepat adalah campur tangan minim dari pimpinan. Dimana pemimpin
hanya memantau kinerja tetapi tidak mengawasi karyawan secara aktif.
Tidak dibutuhkan banyak interaksi antara pimpinan dengan karyawan
sepanjang kinerja karyawan tidak menurun. Pimpinan merasa lebih tepat
untuk tidak campur tangan dengan tugas-tugas karyawan (Griffin, 1980
dalam Yukl, 1989).
26
2.2 Kinerja
2.2.1 Pengertian Kinerja
Kinerja menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia adalah sesuatu
yang hendak dicapai, prestasi yang diperlihatkan dan kemampuan kerja.
Kinerja dipergunakan manajemen untuk melakukan penilaian secara
periodik mengenai efektivitas operasional suatu oganisasi dan karyawan
berdasarkan sasaran, standar dan kriteria yang telah ditetapkan
sebelumnya. Dengan kinerja, organisasi dan manajemen dapat
mengetahui sejauh mana keberhasilan dan kegagalan karyawannya
dalam menjalankan amanah yang diterima.
Membahas mengenai masalah kinerja tentu tidak terlepas dari
proses, hasil dan daya guna. Dalam hal ini kinerja (prestasi kerja)
merupakan hasil kerja secara kualitas dan kuantitas yang dicapai oleh
seorang karyawan dalam melaksanakan tugasnya sesuai dengan
tanggung jawab yang diberikan kepadanya. Banyak faktor yang
mempengaruhi keberhasilan kinerja, seperti lingkungan kerja,
kelengkapan kerja, budaya kerja, motivasi, kemampuan karyawan,
struktur organisasi, Gaya Kepemimpinan dan sebagainya. Sehubungan
dengan hal tersebut, untuk mengkaji kinerja tidak lepas dari beberapa
teori yang berhubungan dengan kinerja sebagaimana diuraikan berikut ini.
Menurut Rue dan Byars yang disunting Hamid dan Malian
(2004:45) mengemukakan bahwa : “ kinerja dapat didefinisikan sebagai
pencapaian hasil atau ”the degree of accomplishment” tingkat pencapaian
27
organisasi. Selanjutnya, hasil kerja seseorang dapat dinilai dengan
standar yang telah ditentukan, sehingga akan dapat diketahui sejauhmana
tingkat kinerjanya dengan membandingkan antara hasil yang dicapai
dengan standar yang ada.”
Sementara itu kinerja menurut Prawirosentono (1999:2): “ Kinerja
merupakan hasil kerja yang dapat dicapai oleh seseorang atau
sekelompok orang dalam suatu organisasi, sesuai dengan wewenang dan
tanggung jawab masing-masing dalam rangka upaya mencapai tujuan
berkaitan kuat terhadap tujuantujuan strategik organisasi.”
Menurut Robbins (2006:218) adalah sebagai fungsi dari interaksi
antara kemampuan (ability), motivasi (motivation) dan keinginan
(obsetion). Selanjutnya Robbins (1998: 21) memberikan arti kinerja adalah
tingkat pencapaian tujuan. Dalam konteks penelitian yang akan dilakukan,
maka pengertian analisis kinerja merupakan proses pengumpulan
informasi tentang bagaimana tingkat kemampuan pencapaian hasil kerja
yang dilakukan oleh karyawan PT. PLN Limboto Kabupaten Gorontalo
dalam melaksanakan tugas-tugasnya sesuai dengan program yang
dijalankan institusi sehingga tujuan organisasi tersebut akan tercapai.
Tercapainya tujuan lembaga merupakan salah satu wujud dari
keberhasilan sebuah lembaga dalam menjalankan tugas dan fungsinya.
Tetapi keberhasilan tersebut tidak dapat dilihat begitu saja, diperlukan
penilaian terhadap kinerja lembaga tersebut. Penilaian terhadap kinerja
juga sering disebut dengan pengukuran kinerja, dimana pengukuran
28
tersebut dilakukan dengan menggunakan variabel-variabel yang
bergantung pada kompleksitas faktor-faktor yang membentuk kinerja
tersebut.
2.2.2 Faktor-faktor yang Mempengaruhi Kinerja Karyawan
Menurut Keban (2004:192) di Indonesia masih selalu dikaitkan
dengan pelaksanaan pekerjaan (sebagaimana yang tercantum dalam
surat Edaran BKN Nomor 02/SE/1980, tertanggal 11 Pebruari 1980) yang
lebih menekankan penilaian kinerja pada 7 unsur yaitu kesetiaan, prestasi,
ketaatan, tangungjawab, kejujuran, kerjasama dan prakarsa.
Menurut Swanson (dalam Keban, 2004:194) mengemukakan
bahwa: “kinerja karyawan secara individu dapat dilihat dari apakah misi
dan tujuan karyawan sesuai dengan misi lembaga, apakah karyawan
menghadapi hambatan dalam bekerja dan mencapai hasil, apakah
karyawan mempunyai kemampuan mental, fisik, emosi dalam bekerja, dan
apakah mereka memiliki motivasi yang tinggi, pengetahuan, ketrampilan
dan pengalaman dalam bekerja” Sedangkan menurut Schuler dan
Dowling (dalam Keban, 2000:195) “kinerja seorang karyawan/ karyawan
dapat dilihat dari: (1) kuantitas kerja, (2) kualitas kerja, (3) kerjasama, (4)
pengetahuan tentang kerja, (5) kemandirian kerja, (6) kehadiran dan
ketepatan waktu, (7) pengetahuan tentang kebijakan dan tujuan
organisasi, (8) inisiatif dan penyampaian ide-ide yang sehat, (9)
kemampuan supervisi dan teknik”.
29
Lebih lanjut Schuler dan Dowling (dalam Yazid, 2009:21),
menjelaskan indikator pengukuran diatas tergolong penilaian umum yang
dapat digunakan kepada setiap karyawan kecuali kemampuan melakukan
supervisi. Manurut Dharma (2005: 101), menyatakan bahwa indikator
yang digunakan untuk melakukan pengukuran terhadap kinerja karyawan
adalah (1) pemahaman pengetahuan, (2) keahlian, (3) kekaryawanan, (4)
perilaku yang diperlukan untuk melaksanakan suatu pekerjaan dengan
baik.
2.3 Penelitian Terdahulu
No Nama Judul Hasil
1. Abdullah Latief
(2013)
Pengaruh Gaya
Kepemimpinan
terhadap Kinerja
Pegawai ( Suatu
Studi Pada Staf
Fakultas Tarbiyah dan
Tadris IAIN Sultan
Amai Gorontalo)
Hipotesis pertama
penelitian tersebut
menyatakan bahwa
Gaya Kepemimpinan
berpengaruh signifikan
terhadap kinerja
Pegawai Staf
Administrasi Fakultas
Tarbiyah IAIN Sultan
Amai Gorontalo yang
didukung oleh hasil
pengujian secara
statistika dengan
menggunakan SPSS
bahwa nilai uji t dan uji F
signifikan memiliki
pengaruh secara parsial
dan simultan terhadap
Variabel Gaya
Kepemimpinan dan
Kinerja Pegawai pada
30
Staf Fakultas Tarbiyah
IAIN Sultan Amai
Gorontalo.
2. Mayang Apuadji
(2010)
Fungsi Perencanaan
Pimpinan dan
Hubungannya
dengan Kinerja
Pegawai di Kantor
Camat Kota Timur
Kota Gorontalo
Penelitian tersebut
merupakan penelitian
deskriptif kuantitatif
dengan menggunakan
pengujian korelasi
antara variabel
Perencanaan Pimpinan
(X) dan variabel Kinerja
Pegawai (Y). hasil
penelitian menunjukkan
bahwa Perencanaan
Pimpinan Kantor Camat
Kota Timur Kota
Gorontalo memiliki
koefisien yang signifikan
dengan tingkat
signifikansi lebih dari
0.6, sehingga uji
hipotesis dari
penelitiannya dapat
dikatakan diterima.
3. Hindun (2012) Pengaruh Kepemimpinan Terhadap Budaya Kerja Karyawan di PT. PLN (Persero) Cabang Kota Gorontalo.
Hasil penelitian
menunjukkan bahwa
Faktor Kepemimpinan
yang dibawa oleh
pimpinan memiliki
pengaruh yang positif
terhadap Budaya
Organisasi, dimana uji t
dan uji F dan dinyatakan
bahwa t hitung>t table,
dan Fhitung>Ftabel.
Serta diketahui Uji
determinanan sebesar
0.62.1 atau sebesar
62.1% variabel Budaya
31
kerja pada PT. PLN
(persero) Cabang
Gorontalo dijelaskan
melalui Kepemimpinan,
sedangkan sisanya
sebesar 37.9%
dijelaskan melalui faktor-
faktor lainnya
Berdasarkan hasil dari penelitian-penelitian terdahulu, maka dapat
dijelaskan bahwa sebagaian besar penelitian-penelitian yang telah
dilakukan yang berhubungan dengan Kepemimpinan dan Kinerja
Karyawan, dimana kedua variabel tersebut memiliki korelasi dan pengaruh
yang signifikan antar variabel, sehingga dapat digunakan sebagai acuan
dalam penyusunan penelitian ini, selain itu dapat pula mendukung
hipotesis yang telah dirumuskan sebelumnya.
Untuk dapat mendukung penelitian yang dibuat maka peneliti
mengambil satu penelitian yang dianggap mendukung hasil penelitian ini,
yang menggunakan metode dan analisis penelitian yang sama.
berdasarkan hasil penelitian diatas yang dapat dijadikan acuan dalam
penelitian ini adalah penelitian dari Pengaruh Kepemimpinan terhadap
Kinerja Pegawai (Suatu Studi Pada Staf Fakultas Tarbiyah dan Tadris
IAIN Sultan Amai Gorontalo). Penelitian tersebut layak dijadikan acuan
penelitian ini karena memiliki judul yang sama, serta objek penelitiannya
yang keduanya sama-sama berorientasi kepada jasa. Sehingga dalam
penempatan hipotesis juga memungkinkan untuk diterima.\
32
2.4 Kerangka Berpikir
Gaya Kepemimpinan adalah usaha suatu program pada saat
terjadinya interaksi melalui komunikasi dengan gaya tertentu yang
memotivasi seseorang atau kelompok dengaan pengaruh yang tidak
memaksa untuk mencapai tujuan yang telah ditetapkan. Gaya
Kepemimpinan ditentukan oleh pemimpin itu sendiri, sehingga jika Gaya
Kepemimpinan yang diterapkan baik dan dapat memberikan arahan yang
baik kepada bawahan, maka akan timbul kepercayaan dan menciptakan
motivasi kerja dalam diri karyawan, sehingga semangat kerja karyawan
meningkat yang juga mempengaruhi kinerja karyawan kearah yang lebih
baik (Fahmi, 2009:6).
Adapun batasan-batasan yang digunakan sebagai instrumen Gaya
Kepemimpinan dalam penelitian ini adalah seluruh faktor yang merupakan
dimensi kepemimpinan transformasional, yaitu (Bass et.al, 1990, dalam
Maryam, 2009:30):
1. Karisma (kemudian diubah menjadi pengaruh ideal atau idealized
influence).
2. Inspirasi (inspirational motivation).
3. Pengembangan Intelektual (intellectual stimulation), dan;
4. Perhatian Pribadi (individualized consideration).
Kinerja karyawan mengacu pada mutu pekerjaan yang dilakukan
oleh karyawan didalam implementasi mereka melayani program sosial.
Memfokuskan pada asumsi mutu bahwa perilaku beberapa orang yang
33
lain lebih pandai daripada yang lainnya dan dapat diidentifikasi,
digambarkan, dan terukur (Darwito, 2008:32).
Menurut Keban, (2004:195), menyatakan bahwa kinerja seorang
karyawan dapat dilihat dari 9 elemen, dimana elemen-elemen tersebut
digunakan sebagai batasan instrumen dalam penelitian ini, yakni: (1)
kuantitas kerja, (2) kualitas kerja, (3) kerjasama, (4) pengetahuan tentang
kerja, (5) kemandirian kerja, (6) kehadiran dan ketepatan waktu, (7)
pengetahuan tentang kebijakan dan tujuan organisasi, (8) inisiatif dan
penyampaian ide-ide yang sehat, (9) kemampuan supervisi dan teknik.
Berdasarkan penjelasan diatas dapat dijelaskan bahwa
Kepemimpinan yang diterapkan pada suatu organisasi akan berhubungan
erat dengan kinerja karyawan yang terlibat dalam organisasi tersebut.
Sehingga penulis menyusun kerangka pemikiran sesuai dengan alur
pemeikiran peneliti sebagai berikut.
Gambar 3.1 Kerangka Pemikiran
KEPEMIMPINAN
TRANSFORMASIONAL:
1. Karisma (idealized influence).
2. Inspirasi (inspirational
motivation).
3. Pengembangan Intelektual
(intellectual stimulation), dan;
4. Perhatian Pribadi
(individualized consideration).
(Bass et.al, 1990, dalam
Maryam 2009)
KINERJA PEGAWAI:
1. Kuantitas Kerja
2. Kualitas Kerja
3. Kerjasama
4. Inisiatif dan Ide Kerja
(Keban, 2004:195)
34
2.5 Hipotesis Penelitian
Berdasarkan penjelasan yang termuat dalam kajian teori yang
terurai dalam kerangka pemikiran, maka peneliti merumuskan suatu
hipotesis yakni: Diduga adanya Pengaruh Kepemimpinan
Transformasional yang signifikan terhadap Kinerja karyawan pada Kantor
PLN Limboto Gorontalo.”