BAB II KAJIAN TEORI 2.1 Konsep Kepemimpinan 2.1.1...

28
7 BAB II KAJIAN TEORI 2.1 Konsep Kepemimpinan 2.1.1 Pengertian Kepemimpinan Kepemimpinan telah didefinisikan dalam kaitannya dengan ciri-ciri individual, perilaku, pengaruh terhadap orang lain, pola interaksi, hubungan peran, tempatnya pada suatu posisi administratif, serta persepsi orang lain mengenai keabsahan dari pengaruh. Siagian (1999:77) merumuskan Kepemimpinan sebagai suatu kegiatan untuk mempengaruhi perilaku orang-orang agar bekerja bersama-sama menuju suatu tujuan tertentu yang mereka inginkan bersama. Dengan kata lain, Kepemimpinan adalah kemampuan mempengaruhi kelompok untuk mencapai tujuan kelompok tersebut. Kepemimpinan telah didefinisikan dalam kaitannya dengan ciri-ciri individual, perilaku, pengaruh terhadap orang lain, pola interaksi, hubungan peran, tempatnya pada suatu posisi administratif, serta persepsi orang lain mengenai keabsahan dari pengaruh. Pengertian Kepemimpinan dan manajemen seringkali disamakan oleh para ahli, namun ada pula yang membedakan pengertian keduanya. Menurut Kotler (dalam Robbins, 2006:51), berpendapat bahwa Kepemimpinan berbeda dari manajemen. Manajemen berkaitan dengan hal-hal untuk mengatasi kerumitan. Manajemen yang baik dapat menghasilkan tata tertib dan konsistensi dengan menyusun rencana-

Transcript of BAB II KAJIAN TEORI 2.1 Konsep Kepemimpinan 2.1.1...

7

BAB II

KAJIAN TEORI

2.1 Konsep Kepemimpinan

2.1.1 Pengertian Kepemimpinan

Kepemimpinan telah didefinisikan dalam kaitannya dengan ciri-ciri

individual, perilaku, pengaruh terhadap orang lain, pola interaksi,

hubungan peran, tempatnya pada suatu posisi administratif, serta

persepsi orang lain mengenai keabsahan dari pengaruh.

Siagian (1999:77) merumuskan Kepemimpinan sebagai suatu

kegiatan untuk mempengaruhi perilaku orang-orang agar bekerja

bersama-sama menuju suatu tujuan tertentu yang mereka inginkan

bersama. Dengan kata lain, Kepemimpinan adalah kemampuan

mempengaruhi kelompok untuk mencapai tujuan kelompok tersebut.

Kepemimpinan telah didefinisikan dalam kaitannya dengan ciri-ciri

individual, perilaku, pengaruh terhadap orang lain, pola interaksi,

hubungan peran, tempatnya pada suatu posisi administratif, serta

persepsi orang lain mengenai keabsahan dari pengaruh.

Pengertian Kepemimpinan dan manajemen seringkali disamakan

oleh para ahli, namun ada pula yang membedakan pengertian keduanya.

Menurut Kotler (dalam Robbins, 2006:51), berpendapat bahwa

Kepemimpinan berbeda dari manajemen. Manajemen berkaitan dengan

hal-hal untuk mengatasi kerumitan. Manajemen yang baik dapat

menghasilkan tata tertib dan konsistensi dengan menyusun rencana-

8

rencana formal, merancang struktur organisasi yang ketat dan memantau

hasil lewat pembandingan terhadap rencana yang telah ditetapkan

sebelumnya. Kepemimpinan, sebaliknya, berkaitan dengan hal-hal untuk

mengatasi perubahan. Pemimpin menetapkan arah dengan

mengembangkan suatu visi terhadap masa depan, kemudian

mengkomunikasikannya kepada setiap orang dan mengilhami orang-

orang tersebut dalam menghadapi segala rintangan. Kotter menganggap,

baik Kepemimpinan yang kuat maupun manajemen yang kuat merupakan

faktor penting bagi optimalisasi efektifitas organisasi.

Kepemimpinan menurut Wahjosumidjo (1994:23), didefinisikan

sebagai sarana pencapaian tujuan yang dimaksudkan dalam hubungan ini

pemimpin merupakan seseorang yang memiliki suatu program dan yang

berperilaku secera bersama-sama dengan anggota-anggota kelompok

dengan mempergunakan cara atau gaya tertentu, sehingga

Kepemimpinan mempunyai peranan sebagai kekuatan dinamik yang

mendorong, memotivasi dan mengkoordinasikan organisasi dalam

mencapai tujuan yang telah ditetapkan.

Dari berbagai pendapat yang dirumuskan para ahli diatas dapat

diketahui bahwa konsepsi Kepemimpinan itu sendiri hampir sebanyak

dengan jumlah orang yang ingin mendefinisikannya, sehingga hal itu lebih

merupakan konsep berdasarkan pengalaman. Hampir sebagian besar

pendefinisian Kepemimpinan memiliki titik kesamaan kata kunci yakni

“suatu proses mempengaruhi”. Akan tetapi kita menemukan bahwa

9

konseptualisasi Kepemimpinan dalam banyak hal berbeda. Perbedaan

dalam hal “siapa yang mempergunakan pengaruh, tujuan dari upaya

mempengaruhi, cara-cara menggunakan pengaruh tersebut”.

2.1.2 Jenis-Jenis Kepemimpinan

Jenis-jenis Kepemimpinan menurut Wahjosumidjo (2007: 41)

dapat dibedakan menjadi 3 pokok jenis Kepemimpinan yaitu:

1. Pendelegasian Tugas

Pimpinan hendaknya memberikan pelimpahan wewenang atau

kepercayaan kepada bawahan yang dianggap mampu. Pimpinan

dalam menjalankan tugasnya tentunya memerlukan bantuan dari

bawahannya. Untuk itu pemimpin hendaknya memberikan pelimpahan

wewenang kapada bawahan apabila tugas yang diberikan belum

mampu dijalankan sendiri.

2. Komunikator

Jenis Kepemimpinan ini berlangsung dan bersifat komunikasi satu

arah. Dengan jenis Kepemimpinan seperti ini seorang pemimpin

berperan sebagai pengambil keputusan dan memberikan perintah

kepada bawahannya. Sehingga perintah yang disampaikan harus

jelas baik dari segi bahasa maupun tugas yang diberikan harus sesuai

dengan tingkat kemampuan orang yang menerima perintah.

3. Memimbing

Pemimpin dianggap sebagai orang yang berpengaruh dalam suatu

organisasi. Dalam hal ini pemimpin harus ikut berpartisipasi dalam

10

setiap kegiatan dan bawahannya lebih merasa diperhatikan dan dapat

menimbulkan semangat kerja bagi bawahan.

2.1.3 Fungsi-fungsi Kepemimpinan

Secara operasional dapat dibedakan 5 pokok fungsi

Kepemimpinan, yaitu (Nawawi, 2003:74):

1. Fungsi Instruktif

Fungsi ini berlanggsung dan bersifat komunikasi satu arah. Dengan

fungsi ini seorang pemimpin berperan sebagai pengambil

keputusan dan memberikan perintah kepada bawahannya. Agar

fungsi ini dapat dijalankan dengan baik, maka perintah yang

disampaikan harus jelas baik isi perintah maupun dari segi bahasa

harus sesuai dengan tingkat kemampuan orang yang menerima.

2. Fungsi Konsultatif

Dalam fungsi ini, seorang pimpinan merupakan wadah bagi

bawahannya untuk membicarakan masalah-masalah yang ada

pada suatu organisasi / instansi. Pimpinan dianggap sebagai orang

yang mampu menyelesaikan suatu masalah. Sehingganya

diharapkan dengan menjalankan fungsi ini, keputusan-keputusan

pimpinan akan mendapat dukungan dan lebih mudah

menginstruksikannya sehingga Kepemimpinan dapat berlangsung

secara efektif. Dalam menjalankan fungsi ini seorang kepala

sekolah diharapkan mampu mengarahkan dan memberikan

kesempatan kepada guru dan staf sekolah untuk menyampaikan

11

saran dan pendapat agar apa yang diperintahkan dapat dijalankan

dengan baik.

3. Fungsi Partisipasi

Pemimpin merupakan seseorang yang mempunyai pengaruh

dalam suatu organisasi / instansi. Dalam melaksanakan suatu

kegiatan, partisipasi dari seorang pemimpin adalah hal yang sangat

penting karena dapat memberikan motivasi atau semangat kerja

bagi para bawahaannya. Agar fungsi ini dapat dijalankan dengan

baik, maka kepala sekolah harus ikut serta dalam proses

pelaksanaan tugas yang telah diberikan. Sehingga guru dan staf

sekolah lebih termotivasi untuk menyelesaikan tugas yang telah

diberikan dengan baik.

4. Fungsi Delegasi

Dalam menyelesaikan tugas, seorang pemimpin tentunya tidak

dapat menyelesaikan tugasnya sendiri, hal ini disebabkan karena

banyaknya tugas yang harus diselesaikan. Untuk itu pemimpin

hendaknya dapat memberikan pelimpahan wewenang, memberikan

kepercayaan kepada bawahaannya yang dianggap mampu untuk

menyelesaikan tugas yang diberikan, agar dapat berjalan secara

efektif dan efisien. Agar fungsi ini dapat dijalankan dengan baik,

maka kepala sekolah harus bersedia memberikan tanggung

jawab/kepercayaan kepada wakil kepala sekolah yang memiliki

12

kemampuan dan kemauan untuk menjalankan tugas yang

diberikan.

5. Fungsi Pengendalian

Fungsi ini menjelaskan peran seorang pemimpin sebagai

pengendali merupakan pemimpin yang mampu mengatur aktifitas

anggotanya secara terarah dan dalam kondisi yang efektif. Seorang

pemimpin diharapkan dapat menyelesaikan segala masalah dan

kesalahan yang di lakukan. Fungsi pengendalian di lakukan dengan

cara mencegah anggota berpikir dan berbuat sesuatu yang dapat

merugikan organisasi atau instansi. Untuk menjalankan fungsi ini,

kepala sekolah berperan sebagai motivator bagi guru dan staf

sekolah dalam pelaksanaan tugas dan pekerjaan baik individu

maupun kolektif dengan senantiasa memberikan pengarahan dan

dorongan dalam melakukan perkerjaan tersebut.

Menurut Siagian (2003: 154), fungsi-fungsi Kepemimpinan yang

bersifat hakiki adalah:

1. Penentuan arah yang hendak ditempuh oleh organisasi dalam usaha

pencapaian tujuan dan berbagai sasarannya.

2. Wakil dan juru bicara organisasi dalam hubungan dengan berbagai

pihak diluar organisasi, terutama dengan mereka yang tergolong

sebagai “stakeholder”.

3. Komunikator yang efektif.

13

4. Mediator yang handal, khususnya dalam mengatasi berbagai situasi

konflik yang mungkin timbul antara individu dalam satu kelompok kerja

yang terdapat dalam organisasi yang dipimpinnya.

5. Integrator yang rasional dan objektif.

Dengan menjalankan fungsi Kepemimpinan yang hakiki

tersebut, pemimpin diharapkan dapat membawa para pengikutnya

ketujuan yang hendak dicapai.

Fungsi Kepemimpinan menurut Rivai (2004: 119) dalam Mariam

(2009:45), bahwa Kepemimpinan berhubungan langsung dengan situasi

sosial dalam kehidupan kelompok/organisasi masing-masing yang

mengisyaratkan bahwa setiap pemimpin berada di dalam dan bukan di

luar situasi itu. Fungsi Kepemimpinan merupakan gejala sosial, karena

harus diwujudkan dalam interaksi antar individu di dalam situasi sosial

suatu kelompok/organisasi. Fungsi Kepemimpinan sendiri dikelompokkan

dalam dua dimensi berikut Mariam (2009:46):

1. Dimensi yang berkenaan dengan tingkat kemampuan mengarahkan

(direction) dalam tindakan atau aktivitas pemimpin.

2. Dimensi yang berkenaan dengan tingkat dukungan (support) atau

keterlibatan orang-orang yang dipimpin dalam melaksanakan tugas-

tugas pokok kelompok/organisasi.

Seorang pemimpin untuk mencapai tujuan organisasi harus

melaksanakan berbagai fungsi Kepemimpinan. Menurut Frunzi dan Savini

14

diacu dalam Hidayat (2005: 32) terdapat lima fungsi Kepemimpinan yang

merupakan karakteristik Kepemimpinan, yaitu:

1. Pengajaran, dengan memberikan pengarahan khusus, saran dan

bimbingan kepada karyawan dalam menyelesaikan tugas-tugasnya.

2. Konseling, dengan mewawancarai para karyawan dan membantu

mereka dalam menemukan jawabannya.

3. Evaluasi, dalam melakukan pengawasan, peninjauan, penilaian

terhadap karyawan sebagai timbal-balik terhadap kinerja karyawan.

4. Delegasi, dengan memberikan tugas, tanggung jawab dan wewenang

kepada karyawan yang dirasa kompeten.

5. Pemberian imbalan, dengan menyediakan pengakuan nyata maupun

tidak nyata kepada karyawan yang sudah menyelesaikan tugasnya

dengan baik.

2.1.4 Gaya Kepemimpinan

Locander et al. (dalam Mariam, 2009:56) menjelaskan bahwa Gaya

Kepemimpinan mengandung makna pemimpin mempengaruhi yang

dipimpin tapi hubungan antara pemimpin dengan yang dipimpin bersifat

saling menguntungkan kedua belah pihak. Locke (2001) memandang

Gaya Kepemimpinan sebagai sebuah proses mempengaruhi aktivitas

suatu organisasi dalam upaya menetapkan dan mencapai tujuan.

Tiga implikasi penting yang terkandung dalam proses mengarahkan dan

mempengaruhi aktifitas-aktifitas dalam hal ini yaitu:

15

1. Gaya Kepemimpinan itu melibatkan orang lain baik itu bawahan

maupun pengikut.

2. Kepeminpinan melibatkan pendistribusian kekuasaan antara

pemimpin dan anggota kelompok secara seimbang, karena

anggota kelompok bukanlah tanpa daya.

3. Adanya kemampuan untuk menggunakan bentuk kekuasaan yang

berbeda untuk mempengaruhi tingkah laku pengikutnya melalui

berbagai cara.

Terdapat perbedaan pandangan dalam penyusunan batasan-

batasan dalam perumusan Gaya Kepemimpinan, seperti yang

diungkapkan (Mariam, 2009:26), menyatakan bahwa Gaya Kepemimpinan

merupakan norma perilaku yang dipergunakan oleh seseorang pada saat

mencoba mempengaruhi perilaku orang lain atau bawahan. Pemimpin

tidak dapat menggunakan Gaya Kepemimpinan yang sama dalam

memimpin bawahannya, namun harus disesuaikan dengan karakter-

karakter tingkat kemampuan dalam tugas setiap bawahannya. Menurut

House (dalam Darwito,2008:41), menyatakan bahwa Perilaku pemimpin

memberikan motivasi sampai tingkat (1) mengurangi halangan jalan yang

mengganggu pencapaian tujuan, (2) memberikan panduan dan dukungan

yang dibutuhkan oleh para karyawan, dan (3) mengaitkan penghargaan

yang berarti terhadap pencapaian tujuan.

Mariam (2009) membatasi Gaya Kepemimpinan dalam 2 hal yakni

konsep transaksional (transactiona leadership) dan transformasional

16

(transformational leadership), yang dapat diuraikan dengan (Mariam,

2009:27):

1. Kepemimpinan Transformasional

Kepemimpinan transformasional (transformational leadership)

berdasarkan prinsip pengembangan bawahan (follower development).

Pemimpin transformasional mengevaluasi kemampuan dan potensi

masing-masing bawahan untuk menjalankan suatu tugas/pekerjaan,

sekaligus melihat kemungkinan untuk memperluas tanggung jawab

dan kewenangan bawahan di masa mendatang.

Humphreys (2002) menegaskan bahwa hubungan antara

atasan dengan bawahan dalam konteks Gaya Kepemimpinan

transformasional lebih dari sekedar pertukaran “komoditas” (pertukaran

imbalan secara ekonomis), tapi sudah menyentuh sistem nilai (value

system). Pemimpin transformasional mampu menyatukan seluruh

bawahannya dan mampu mengubah keyakinan, sikap, dan tujuan

pribadi masing-masing bawahan demi mencapai tujuan, bahkan

melampaui tujuan yang ditetapkan.

George R., et al (2004) dalam Maryam (2009:44), bahwa

kepemimpinan transformasional "terjadi ketika satu orang atau lebih

terlibat dengan orang lain sedemikian rupa sehingga mengangkat

motivasi dan moralitas pemimpin dan pengikut satu sama lain ke

tingkat yang lebih tinggi". Pemimpin transformasional menampilkan

keberanian, komitmen, keyakinan, dan kompetensi, semuanya

17

disalurkan ke arah menciptakan perubahan. Pendapat yang sama

dikemukakan Bass, Rigio. (2004), bahwa kepemimpinan

transformasional melibatkan para pengikut membangkitkan semangat

untuk berkomitmen terhadap suatu visi dan sasaran bersama untuk

satu organisasi atau unit, bersifat lebih inovatif dalam memecahkan

masalah, dan mengembangkan kapasitas kepemimpinan pengikut

melalui pelatihan, monitor, dan penyisihan tantangan dan dukungan.

Kedua pendapat tersebut lebih menitik beratkan pada aspek moral

pengikut agar memiliki semangat dalam upaya menciptakan

perubahan guna mencapai sasaran yang telah ditetapkan.

Salah satu bentuk perubahan pemimpin adalah kemampuan

untuk mempercayakan segala keperluan dari pengikut pada seorang

pengikut. Menurut Burns, bahwa mengutamakan kebutuhan membuat

para pemimpin dapat bertanggungjawab kepada pengikut yang

diarahkan oleh suatu kebutuhan moral, atau kebutuhan untuk

menerapkan suatu cara berpendirian moral yang lebih tinggi. CB.

Crawford, (2005;9) mengemukakan bahwa untuk mentransformasi,

pemimpin harus membantu pengikut untuk mengerti dan memahami

keadaan atau persoalan yang timbul dalam organisasi antara lain

konflik. Konflik adalah perlu guna menciptakan alternatif-alternatif dan

untuk membuat kemungkinan perubahan. Proses perubahan bentuk

didasarkan pada pengenalan jiwa orang lain, pemahaman, pengertian

18

yang mendalam, dan pertimbangan bukan manipulasi, pemanfaatan

kekuasaan, atau paksaan.

Berbeda dengan pendapat yang dikemukakan Shane

(2010;125) bahwa pemimpin transformational memotivasi para

pengikut dengan visi untuk masa depan, agar berupaya menunjukkan

kepatuhan, bukan karena mendapatkan sesuatu sebagai imbalan,

tetapi karena adanya kepercayaan pada pimpinan dan tujuannya yang

objektif. Pendapat serupa dikemukakan Bass dan Avolio (1990)

bahwa para pemimpin transformasional bersifat sebagai penolong,

memulai perubahan strategis untuk memposisikan organisasi di masa

depan, mengartikulasikan suatu visi dengan penuh semangat,

membantu karyawan keluar dari kesulitan yang berfokus kepada

pekerjaan secara individu untuk melihat suatu gambaran yang lebih

luas. Pendapat lain dikemukakan Cardona, (2000) bahwa para

pemimpin transformasional memotivasi para pengikut dengan

melakukan pertukaran guna mengembangkan kemampuan pengikut

dengan cara memberikan motivasi ekstrinsik.

Bass et.al (1990,) dalam Maryam (2009:30), menjelaskan

kemampuan pemimpin transformasional mengubah sistem nilai

bawahan demi mencapai tujuan diperoleh dengan mengembangkan

salah satu atau seluruh factor yang merupakan dimensi kepemimpinan

transformasional, yaitu: karisma (kemudian diubah menjadi pengaruh

ideal atau idealized influence), inspirasi (inspirational motivation),

19

pengembangan intelektual (intellectual stimulation), dan perhatian

pribadi (individualized consideration). Keseluruhan indikator

Kepemimpinan transformasional yang dikemukakan oleh Bass et.al

(1990) merupakan batasan Penelitian untuk mengukur variabel

Kepemimpinan dalam Penelitian ini. Adapun penjelasan mengenai

Indikator Kepeimimpinan Transformasional sebagai berikut:

a. Idealized influence (pengaruh ideal/ visi).

Menurut Sarros (2001) dalam Maryam (2009:27), merupakan

perilaku (behavior) yang berupaya mendorong bawahan untuk menjadikan

pemimpin mereka sebagai panutan (role model). Pada mulanya, dimensi

ini dinamakan karisma, namun karena mendapat banyak kritik maka istilah

karisma diubah menjadi pengaruh ideal atau visi. Aspek kritikal karisma

adalah kekuatan spiritual (transcendent power) yang diyakini oleh

bawahan dimiliki oleh pemimpinnya, sehingga bawahan percaya

sepenuhnya dan mau melakukan apa saja demi pemimpinnya (true

believer). Aspek tersebut tidak dimiliki oleh setiap orang dan selama ini

tidak tercakup dalam kajian kepemimpinan transformasional, sehingga

dimensi ini tidak tepat disebut karisma. Kajian mengenai dimensi ini lebih

terpusat pada pemimpin yang memiliki visi jauh kedepan dan mampu

menanamkan visi tersebut dalam diri bawahan (Griffin, 2004).

Lebih jauh, pemimpin yang mempunyai idealized influence selain

mampu mengubah pandangan bawahan tentang apa yang penting untuk

dicapai pada saat ini maupun masa mendatang (visi), juga mau dan

20

mampu berbagi resiko dengan bawahan, teguh dengan nilai, prinsip, dan

pendiriannya, sehingga bawahan percaya, loyal, dan menghormatinya

(Bass et.al., 2003; dalam Darwito, 2008:31). Idealized influence

merupakan dimensi terpenting kepemimpinan transformasional karena

memberikan inspirasi dan membangkitkan motivasi bawahan (secara

emosional) untuk menyingkirkan kepentingan pribadi demi pencapaian

tujuan bersama (Griffin, 2004).

b. Inspirational motivation (inspirasi)

menurut Griffin (2004), Inspirational Motivation memiliki korelasi

yang erat dengan idealized influence. Seperti dijelaskan sebelumnya,

pemimpin transformasional member inspirasi kepada bawahan untuk

memusatkan perhatian pada tujuan bersama dan melupakan kepentingan

pribadi. Inspirasi dapat diartikan sebagai tindakan atau kekuatan untuk

menggerakkan emosi dan daya pikir orang lain (Griffin, 2004).

Keeratan dua dimensi yaitu inspirational motivation dan idealized

influence ini mendorong munculnya pandangan untuk menyatukan kedua

dimensi ini dalam satu konstruk. Namun dalam penelitian ini, idealized

influence dan inspirational motivation diposisikan sebagai dua konstruk

yang berbeda dimana idealized influence mempunyai makna lebih dalam

daripada inspirational motivation, atau dengan kata lain, inspirational

motivation merupakan sisi luar atau perwujudan idealized influence

(Griffin, 2004; dalam Maryam, 2009:35).

21

c. Intellectual stimulation (Pengembangan Pengetahuan)

merupakan faktor penting kepemimpinan transformasional yang

jarang memperoleh perhatian. Intellectual stimulation merupakan perilaku

yang berupaya mendorong perhatian dan kesadaran bawahan akan

permasalahan yang dihadapi. Pemimpin kemudian berusaha

mengembangkan kemampuan bawahan untuk menyelesaikan

permasalahan dengan pendekatan pendekatan atau perspektif baru.

Dampak intellectual stimulation dapat dilihat dari peningkatan kemampuan

bawahan dalam memahami dan menganalisis permasalahan serta

kualitas pemecahan masalah (problem solving quality) yang ditawarkan

(Rafferty & Griffin, 2004; dalam Maryam 2009:36).

Bass et.al (2003) dalam Darwito (2008:39), berpandangan bahwa

intellectual stimulation pada prinsipnya memacu bawahan untuk lebih

kreatif dan inovatif dalam memahami dan memecahkan masalah.

Bawahan didorong untuk meninggalkan cara-cara atau metode-metode

lama dan dipacu untuk memberikan ide dan solusi baru. Bawahan bebas

menawarkan metode baru dan setiap ide baru tidak akan mendapat

kritikan atau celaan. Sebaliknya, pemimpin berusaha meningkatkan moral

bawahan untuk berani berinovasi. Pemimpin bersikap dan berfungsi

membina dan mengarahkan inovasi dan kreativitas bawahan.

d. Individualized consideration (perhatian pribadi).

Individualized consideration mengarah pada pemahaman dan

perhatian pemimpin pada potensi dan kemampuan yang dimiliki oleh

22

setiap bawahannya. Pemimpin menyadari perbedaan kemampuan,

potensi, dan juga kebutuhan bawahan. Pemimpin memandang setiap

bawahannya sebagai aset organisasi. Oleh sebab itu, pemahaman

pemimpin akan potensi dan kemampuan setiap bawahan

memudahkannya membina dan mengarahkan potensi dan kemampuan

terbaik setiap bawahan (Bass et.al., 2003; dalam Darwito, 2008:40).

Adapun yang termasuk batasan atau instrumen yang digunakan

dalam penelitian ini menyangkut Kepemimpinan Transformasional dengan

instrumen-instrumen yang termasuk didalamnya.

2. Gaya Kepemimpinan Transaksional

Gaya Kepemimpinan transaksional (transactional leadership)

mendasarkan diri pada prinsip transaksi atau pertukaran antara pemimpin

dengan bawahan. Pemimpin memberikan imbalan atau penghargaan

tertentu (misalnya, bonus) kepada bawahan jika bawahan mampu

memenuhi harapan pemimpin (misalnya, kinerja karyawan tinggi). Di sisi

lain, bawahan berupaya memenuhi harapan pemimpin disamping untuk

memperoleh imbalan atau penghargaan, juga untuk menghindarkan diri

dari sanksi atau hukuman.

Waldman et.al. (dalam Mariam, 2009:34) mengemukakan bahwa

Gaya Kepemimpinan transaksional “beroperasi” pada sistem atau budaya

yang sudah ada (existing) dan tujuannya adalah memperkuat strategi,

sistem, atau budaya yang sudah ada, bukan bermaksud untuk

mengubahnya. Oleh sebab itu, pemimpin transaksional selain berusaha

23

memuaskan kebutuhan bawahan untuk “membeli” performa, juga

memusatkan perhatian pada penyimpangan, kesalahan, atau kekeliruan

bawahan dan berupaya melakukan tindakan korektif.

Selain Gaya Kepemimpinan Transformasional dan Transaksional,

terdapat 5 (lima) Gaya Kepemimpinan lain yang dapat mengukur

kecenderungan peningkatan kerja Karyawan (Robert; dan Kinicki, Angelo,

2005:67) Yakni:

1. Gaya Direktif

Dimana pemimpin memberitahukan kepada bawahan apa yang

diharapkan dari mereka, memberitahukan jadwal kerja yang harus

diselesaikan dan standar kerja, serta memberikan bimbingan secara

spesifik tentang cara-cara menyelesaikan tugas tersebut, termasuk di

dalamnya aspek perencanaan, organisasi, koordinasi dan pengawasan.

Karakteristik pribadi bawahan mempengaruhi Gaya Kepemimpinan

yang efektif. Jika bawahan merasa mempunyai kemampuan yang tidak

baik, Gaya Kepemimpinan instrumental (direktif) akan lebih sesuai.

Sebaliknya apabila bawahan merasa mempunyai kemampuan yang baik,

gaya direktif akan dirasakan berlebihan, bawahan akan cenderung

memusuhi (Mamduh, 1997)

2. Gaya Supportif

Gaya Kepemimpinan yang menunjukkan keramahan seorang

pemimpin, mudah ditemui daan menunjukkan sikap memperhatikan

24

bawahannya (Yukl 1989:251). Mamduh (1997) menyatakan jika manajer

ingin meningkatkan kesatuan dan kekompakan kelompok digunakan Gaya

Kepemimpinan supportif. Jika bawahan tidak memperoleh kepuasan

sosial dari kelompok Gaya Kepemimpinan supportif menjadi begitu

penting.

Gaya Kepemimpinan gaya supportif, menggambarkan situasi

dimana karyawan yang memiliki kebutuhan tinggi untuk berkembang

mengerjakan tugas-tugas yang mudah, sederhana, dan rutin. Individu

seperti ini mengharapkan pekerjaan sebagai sumber pemuasan

kebutuhan, tetapi kebutuhan mereka tidak terpenuhi. Reaksi yang

mungkin timbul adalah perasaan kecewa dan frustasi (Darwito, 2008:43).

3. Gaya Partisipatif

Gaya Kepemimpinan dimana mengharapkan saran-saran dan ide

mereka sebelum mengambil suatu keputusan (Yukl 1989:277). Apabila

bawahan merasa mempunyai kemampuan yang baik, Gaya

Kepemimpinan direktif akan dirasa berlebihan, bawahan akan cenderung

memusuhi, sehingga Gaya Kepemimpinan partisipatif lebih sesuai. Jika

bawahan mempunyai locus of control yang tinggi, ia merasa jalan

hidupnya lebih banyak dikendalikan oleh dirinya bukan oleh faktor luar

seperti takdir, Gaya Kepemimpinan yang partisipatif lebih sesuai (Mamduh

dalam Darwito, 2008:42).

25

4. Gaya Orientasi Prestasi

Gaya Kepemimpinan dimana pemimpin menetapkan tujuan yang

menantang dan mengharapkan bawahan untuk berprestasi semaksimal

mungkin serta terus menerus mencari pengembangan prestasi dalam

pencapaian tujuan tersebut. Dalam Gaya Kepemimpinan ini, tingkah laku

individu didorong oleh need for achievement atau kebutuhan untuk

berprestasi (Yukl:1989).

Darwito (2008:44) menambahkan Gaya Kepemimpinan yang

berorientasi kepada prestasi (achievement) dihipotesakan akan

meningkatkan usaha dan kepuasan bila pekerjaan tersebut tidak

tersetruktur (misalnya kompleks dan tidak diulang-ulang) dengan

meningkatkan rasa percaya diri dan harapan akan menyelesaikan sebuah

tugas dan tujuan yang menantang. Kepuasan kerja lebih tinggi diperoleh

apabila telah melaksanakan prestasi kerja yang baik.

5. Gaya Pengasuh

Dalam Gaya Kepemimpinan gaya pengasuh, sikap yang mungkin

tepat adalah campur tangan minim dari pimpinan. Dimana pemimpin

hanya memantau kinerja tetapi tidak mengawasi karyawan secara aktif.

Tidak dibutuhkan banyak interaksi antara pimpinan dengan karyawan

sepanjang kinerja karyawan tidak menurun. Pimpinan merasa lebih tepat

untuk tidak campur tangan dengan tugas-tugas karyawan (Griffin, 1980

dalam Yukl, 1989).

26

2.2 Kinerja

2.2.1 Pengertian Kinerja

Kinerja menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia adalah sesuatu

yang hendak dicapai, prestasi yang diperlihatkan dan kemampuan kerja.

Kinerja dipergunakan manajemen untuk melakukan penilaian secara

periodik mengenai efektivitas operasional suatu oganisasi dan karyawan

berdasarkan sasaran, standar dan kriteria yang telah ditetapkan

sebelumnya. Dengan kinerja, organisasi dan manajemen dapat

mengetahui sejauh mana keberhasilan dan kegagalan karyawannya

dalam menjalankan amanah yang diterima.

Membahas mengenai masalah kinerja tentu tidak terlepas dari

proses, hasil dan daya guna. Dalam hal ini kinerja (prestasi kerja)

merupakan hasil kerja secara kualitas dan kuantitas yang dicapai oleh

seorang karyawan dalam melaksanakan tugasnya sesuai dengan

tanggung jawab yang diberikan kepadanya. Banyak faktor yang

mempengaruhi keberhasilan kinerja, seperti lingkungan kerja,

kelengkapan kerja, budaya kerja, motivasi, kemampuan karyawan,

struktur organisasi, Gaya Kepemimpinan dan sebagainya. Sehubungan

dengan hal tersebut, untuk mengkaji kinerja tidak lepas dari beberapa

teori yang berhubungan dengan kinerja sebagaimana diuraikan berikut ini.

Menurut Rue dan Byars yang disunting Hamid dan Malian

(2004:45) mengemukakan bahwa : “ kinerja dapat didefinisikan sebagai

pencapaian hasil atau ”the degree of accomplishment” tingkat pencapaian

27

organisasi. Selanjutnya, hasil kerja seseorang dapat dinilai dengan

standar yang telah ditentukan, sehingga akan dapat diketahui sejauhmana

tingkat kinerjanya dengan membandingkan antara hasil yang dicapai

dengan standar yang ada.”

Sementara itu kinerja menurut Prawirosentono (1999:2): “ Kinerja

merupakan hasil kerja yang dapat dicapai oleh seseorang atau

sekelompok orang dalam suatu organisasi, sesuai dengan wewenang dan

tanggung jawab masing-masing dalam rangka upaya mencapai tujuan

berkaitan kuat terhadap tujuantujuan strategik organisasi.”

Menurut Robbins (2006:218) adalah sebagai fungsi dari interaksi

antara kemampuan (ability), motivasi (motivation) dan keinginan

(obsetion). Selanjutnya Robbins (1998: 21) memberikan arti kinerja adalah

tingkat pencapaian tujuan. Dalam konteks penelitian yang akan dilakukan,

maka pengertian analisis kinerja merupakan proses pengumpulan

informasi tentang bagaimana tingkat kemampuan pencapaian hasil kerja

yang dilakukan oleh karyawan PT. PLN Limboto Kabupaten Gorontalo

dalam melaksanakan tugas-tugasnya sesuai dengan program yang

dijalankan institusi sehingga tujuan organisasi tersebut akan tercapai.

Tercapainya tujuan lembaga merupakan salah satu wujud dari

keberhasilan sebuah lembaga dalam menjalankan tugas dan fungsinya.

Tetapi keberhasilan tersebut tidak dapat dilihat begitu saja, diperlukan

penilaian terhadap kinerja lembaga tersebut. Penilaian terhadap kinerja

juga sering disebut dengan pengukuran kinerja, dimana pengukuran

28

tersebut dilakukan dengan menggunakan variabel-variabel yang

bergantung pada kompleksitas faktor-faktor yang membentuk kinerja

tersebut.

2.2.2 Faktor-faktor yang Mempengaruhi Kinerja Karyawan

Menurut Keban (2004:192) di Indonesia masih selalu dikaitkan

dengan pelaksanaan pekerjaan (sebagaimana yang tercantum dalam

surat Edaran BKN Nomor 02/SE/1980, tertanggal 11 Pebruari 1980) yang

lebih menekankan penilaian kinerja pada 7 unsur yaitu kesetiaan, prestasi,

ketaatan, tangungjawab, kejujuran, kerjasama dan prakarsa.

Menurut Swanson (dalam Keban, 2004:194) mengemukakan

bahwa: “kinerja karyawan secara individu dapat dilihat dari apakah misi

dan tujuan karyawan sesuai dengan misi lembaga, apakah karyawan

menghadapi hambatan dalam bekerja dan mencapai hasil, apakah

karyawan mempunyai kemampuan mental, fisik, emosi dalam bekerja, dan

apakah mereka memiliki motivasi yang tinggi, pengetahuan, ketrampilan

dan pengalaman dalam bekerja” Sedangkan menurut Schuler dan

Dowling (dalam Keban, 2000:195) “kinerja seorang karyawan/ karyawan

dapat dilihat dari: (1) kuantitas kerja, (2) kualitas kerja, (3) kerjasama, (4)

pengetahuan tentang kerja, (5) kemandirian kerja, (6) kehadiran dan

ketepatan waktu, (7) pengetahuan tentang kebijakan dan tujuan

organisasi, (8) inisiatif dan penyampaian ide-ide yang sehat, (9)

kemampuan supervisi dan teknik”.

29

Lebih lanjut Schuler dan Dowling (dalam Yazid, 2009:21),

menjelaskan indikator pengukuran diatas tergolong penilaian umum yang

dapat digunakan kepada setiap karyawan kecuali kemampuan melakukan

supervisi. Manurut Dharma (2005: 101), menyatakan bahwa indikator

yang digunakan untuk melakukan pengukuran terhadap kinerja karyawan

adalah (1) pemahaman pengetahuan, (2) keahlian, (3) kekaryawanan, (4)

perilaku yang diperlukan untuk melaksanakan suatu pekerjaan dengan

baik.

2.3 Penelitian Terdahulu

No Nama Judul Hasil

1. Abdullah Latief

(2013)

Pengaruh Gaya

Kepemimpinan

terhadap Kinerja

Pegawai ( Suatu

Studi Pada Staf

Fakultas Tarbiyah dan

Tadris IAIN Sultan

Amai Gorontalo)

Hipotesis pertama

penelitian tersebut

menyatakan bahwa

Gaya Kepemimpinan

berpengaruh signifikan

terhadap kinerja

Pegawai Staf

Administrasi Fakultas

Tarbiyah IAIN Sultan

Amai Gorontalo yang

didukung oleh hasil

pengujian secara

statistika dengan

menggunakan SPSS

bahwa nilai uji t dan uji F

signifikan memiliki

pengaruh secara parsial

dan simultan terhadap

Variabel Gaya

Kepemimpinan dan

Kinerja Pegawai pada

30

Staf Fakultas Tarbiyah

IAIN Sultan Amai

Gorontalo.

2. Mayang Apuadji

(2010)

Fungsi Perencanaan

Pimpinan dan

Hubungannya

dengan Kinerja

Pegawai di Kantor

Camat Kota Timur

Kota Gorontalo

Penelitian tersebut

merupakan penelitian

deskriptif kuantitatif

dengan menggunakan

pengujian korelasi

antara variabel

Perencanaan Pimpinan

(X) dan variabel Kinerja

Pegawai (Y). hasil

penelitian menunjukkan

bahwa Perencanaan

Pimpinan Kantor Camat

Kota Timur Kota

Gorontalo memiliki

koefisien yang signifikan

dengan tingkat

signifikansi lebih dari

0.6, sehingga uji

hipotesis dari

penelitiannya dapat

dikatakan diterima.

3. Hindun (2012) Pengaruh Kepemimpinan Terhadap Budaya Kerja Karyawan di PT. PLN (Persero) Cabang Kota Gorontalo.

Hasil penelitian

menunjukkan bahwa

Faktor Kepemimpinan

yang dibawa oleh

pimpinan memiliki

pengaruh yang positif

terhadap Budaya

Organisasi, dimana uji t

dan uji F dan dinyatakan

bahwa t hitung>t table,

dan Fhitung>Ftabel.

Serta diketahui Uji

determinanan sebesar

0.62.1 atau sebesar

62.1% variabel Budaya

31

kerja pada PT. PLN

(persero) Cabang

Gorontalo dijelaskan

melalui Kepemimpinan,

sedangkan sisanya

sebesar 37.9%

dijelaskan melalui faktor-

faktor lainnya

Berdasarkan hasil dari penelitian-penelitian terdahulu, maka dapat

dijelaskan bahwa sebagaian besar penelitian-penelitian yang telah

dilakukan yang berhubungan dengan Kepemimpinan dan Kinerja

Karyawan, dimana kedua variabel tersebut memiliki korelasi dan pengaruh

yang signifikan antar variabel, sehingga dapat digunakan sebagai acuan

dalam penyusunan penelitian ini, selain itu dapat pula mendukung

hipotesis yang telah dirumuskan sebelumnya.

Untuk dapat mendukung penelitian yang dibuat maka peneliti

mengambil satu penelitian yang dianggap mendukung hasil penelitian ini,

yang menggunakan metode dan analisis penelitian yang sama.

berdasarkan hasil penelitian diatas yang dapat dijadikan acuan dalam

penelitian ini adalah penelitian dari Pengaruh Kepemimpinan terhadap

Kinerja Pegawai (Suatu Studi Pada Staf Fakultas Tarbiyah dan Tadris

IAIN Sultan Amai Gorontalo). Penelitian tersebut layak dijadikan acuan

penelitian ini karena memiliki judul yang sama, serta objek penelitiannya

yang keduanya sama-sama berorientasi kepada jasa. Sehingga dalam

penempatan hipotesis juga memungkinkan untuk diterima.\

32

2.4 Kerangka Berpikir

Gaya Kepemimpinan adalah usaha suatu program pada saat

terjadinya interaksi melalui komunikasi dengan gaya tertentu yang

memotivasi seseorang atau kelompok dengaan pengaruh yang tidak

memaksa untuk mencapai tujuan yang telah ditetapkan. Gaya

Kepemimpinan ditentukan oleh pemimpin itu sendiri, sehingga jika Gaya

Kepemimpinan yang diterapkan baik dan dapat memberikan arahan yang

baik kepada bawahan, maka akan timbul kepercayaan dan menciptakan

motivasi kerja dalam diri karyawan, sehingga semangat kerja karyawan

meningkat yang juga mempengaruhi kinerja karyawan kearah yang lebih

baik (Fahmi, 2009:6).

Adapun batasan-batasan yang digunakan sebagai instrumen Gaya

Kepemimpinan dalam penelitian ini adalah seluruh faktor yang merupakan

dimensi kepemimpinan transformasional, yaitu (Bass et.al, 1990, dalam

Maryam, 2009:30):

1. Karisma (kemudian diubah menjadi pengaruh ideal atau idealized

influence).

2. Inspirasi (inspirational motivation).

3. Pengembangan Intelektual (intellectual stimulation), dan;

4. Perhatian Pribadi (individualized consideration).

Kinerja karyawan mengacu pada mutu pekerjaan yang dilakukan

oleh karyawan didalam implementasi mereka melayani program sosial.

Memfokuskan pada asumsi mutu bahwa perilaku beberapa orang yang

33

lain lebih pandai daripada yang lainnya dan dapat diidentifikasi,

digambarkan, dan terukur (Darwito, 2008:32).

Menurut Keban, (2004:195), menyatakan bahwa kinerja seorang

karyawan dapat dilihat dari 9 elemen, dimana elemen-elemen tersebut

digunakan sebagai batasan instrumen dalam penelitian ini, yakni: (1)

kuantitas kerja, (2) kualitas kerja, (3) kerjasama, (4) pengetahuan tentang

kerja, (5) kemandirian kerja, (6) kehadiran dan ketepatan waktu, (7)

pengetahuan tentang kebijakan dan tujuan organisasi, (8) inisiatif dan

penyampaian ide-ide yang sehat, (9) kemampuan supervisi dan teknik.

Berdasarkan penjelasan diatas dapat dijelaskan bahwa

Kepemimpinan yang diterapkan pada suatu organisasi akan berhubungan

erat dengan kinerja karyawan yang terlibat dalam organisasi tersebut.

Sehingga penulis menyusun kerangka pemikiran sesuai dengan alur

pemeikiran peneliti sebagai berikut.

Gambar 3.1 Kerangka Pemikiran

KEPEMIMPINAN

TRANSFORMASIONAL:

1. Karisma (idealized influence).

2. Inspirasi (inspirational

motivation).

3. Pengembangan Intelektual

(intellectual stimulation), dan;

4. Perhatian Pribadi

(individualized consideration).

(Bass et.al, 1990, dalam

Maryam 2009)

KINERJA PEGAWAI:

1. Kuantitas Kerja

2. Kualitas Kerja

3. Kerjasama

4. Inisiatif dan Ide Kerja

(Keban, 2004:195)

34

2.5 Hipotesis Penelitian

Berdasarkan penjelasan yang termuat dalam kajian teori yang

terurai dalam kerangka pemikiran, maka peneliti merumuskan suatu

hipotesis yakni: Diduga adanya Pengaruh Kepemimpinan

Transformasional yang signifikan terhadap Kinerja karyawan pada Kantor

PLN Limboto Gorontalo.”