BAB II Edit -...

28
BAB II MANAJEMEN PENDIDIKAN BERBASIS SEKOLAH A. Pengertian Manajemen Pendidikan Berbasis Sekolah Secara umum, Manajemen Pendidikan Berbasis Sekolah (MBS) dapat diartikan sebagai model manajemen yang memberikan otonomi lebih besar kepada sekolah dan mendorong pengambilan keputusan partisipatif yang melibatkan secara langsung semua warga sekolah (siswa, guru, kepala sekolah, karyawan, orang tua siswa, dan masyarakat) untuk meningkatkan mutu sekolah berdasarkan kebijakan pendidikan nasional. 1 Dengan otonomi yang lebih besar dalam mengelola sekolahnya, sehingga sekolah lebih mandiri. Dengan kemandiriannya, sekolah lebih berdaya dalam mengembangkan program-program yang tentu saja lebih sesuai dengan kebutuhan dan potensi yang dimilikinya. Demikian juga dengan pengembalian keputusan partisipatif, yaitu pelibatan warga sekolah secara langsung dalam pengambilan keputusan, maka rasa memiliki warga sekolah dapat meningkat. Peningkatan rasa memiliki ini akan menyebabkan peningkatan rasa tanggung jawab akan meningkatkan dedikasi warga sekolah terhadap sekolahnya. Manajemen Pendidikan Berbasis Sekolah akan meletakkan kekuatan dasar sekolah pada masyarakat dan pada potensi internal sekolah. 2 Di beberapa negara terdapat berbagai istilah lain untuk manajemen peningkatan mutu berbasis sekolah selain manajemen berbasis sekolah, yaitu site based management, delegated management, school autonomy, dan local management of school. Walaupun dengan berbagai istilah yang berbeda namun, secara mandiri oleh sekolah, sebagaimana selama ini banyak 1 Umaedi, Managemen Peningkatan Mutu Berbasis Sekolah, (Jakarta : Departemen Pendidikan Nasional Direktorat Jendral Pendidikan Dasar dan Menengah Direktorat Sekolah Lanjutan Tingkat Pertama, 2001), hlm. 3 2 Suyanto dan Abbas, Wajah Dan Dinamika Pendidikan Anak Bangsa, (Yogyakarta : Adicita Karya Nusa, 2001) hlm. 75 19

Transcript of BAB II Edit -...

BAB II

MANAJEMEN PENDIDIKAN BERBASIS SEKOLAH

A. Pengertian Manajemen Pendidikan Berbasis Sekolah

Secara umum, Manajemen Pendidikan Berbasis Sekolah (MBS) dapat

diartikan sebagai model manajemen yang memberikan otonomi lebih besar

kepada sekolah dan mendorong pengambilan keputusan partisipatif yang

melibatkan secara langsung semua warga sekolah (siswa, guru, kepala

sekolah, karyawan, orang tua siswa, dan masyarakat) untuk meningkatkan

mutu sekolah berdasarkan kebijakan pendidikan nasional.1 Dengan otonomi

yang lebih besar dalam mengelola sekolahnya, sehingga sekolah lebih

mandiri.

Dengan kemandiriannya, sekolah lebih berdaya dalam

mengembangkan program-program yang tentu saja lebih sesuai dengan

kebutuhan dan potensi yang dimilikinya. Demikian juga dengan pengembalian

keputusan partisipatif, yaitu pelibatan warga sekolah secara langsung dalam

pengambilan keputusan, maka rasa memiliki warga sekolah dapat meningkat.

Peningkatan rasa memiliki ini akan menyebabkan peningkatan rasa tanggung

jawab akan meningkatkan dedikasi warga sekolah terhadap sekolahnya.

Manajemen Pendidikan Berbasis Sekolah akan meletakkan kekuatan

dasar sekolah pada masyarakat dan pada potensi internal sekolah.2

Di beberapa negara terdapat berbagai istilah lain untuk manajemen

peningkatan mutu berbasis sekolah selain manajemen berbasis sekolah, yaitu

site based management, delegated management, school autonomy, dan local

management of school. Walaupun dengan berbagai istilah yang berbeda

namun, secara mandiri oleh sekolah, sebagaimana selama ini banyak

1 Umaedi, Managemen Peningkatan Mutu Berbasis Sekolah, (Jakarta : Departemen

Pendidikan Nasional Direktorat Jendral Pendidikan Dasar dan Menengah Direktorat Sekolah Lanjutan Tingkat Pertama, 2001), hlm. 3

2 Suyanto dan Abbas, Wajah Dan Dinamika Pendidikan Anak Bangsa, (Yogyakarta : Adicita Karya Nusa, 2001) hlm. 75

19

20

dilakukan di sekolah-sekolah swasta dan lembaga-lembaga pendidikan

pesantren.3

MBS merupakan salah satu wujud dari reformasi pendidikan yang

menawarkan kepada sekolah untuk menyediakan pendidik yang lebih baik dan

memadai bagi para peserta didik. Otonomi dalam manajemen merupakan

potensi bagi sekolah untuk meningkatkan kinerja para staf, menawarkan

partisipasi langsung kelompok-kelompok yang terkait, dan meningkatkan

pemahaman masyarakat terhadap pendidikan.

Sejalan dengan jiwa dan semangat desentralisasi serta otonomi dalam

bidang pendidikan, kewenangan sekolah juga berperan dalam konsensus

umum yang meyakini bahwa sedapat mungkin keputusan seharusnya dibuat

oleh karena yang memiliki akses yang paling baik terhadap informasi

setempat, yang bertanggungjawab terhadap pelaksanaan kebijakan, dan yang

terkena akibat-akibat dari kebijakan tersebut.4

Oleh karena itu, adanya upaya pemerintah pusat menggalakkan MBS

harus dipahami dan dua konteks, Pertama, dengan akan diterapkannya MBS

di sekolah-sekolah pada dasarnya ke depan akan terjadi peralihan dari

pendekatan makro menuju pendekatan mikro, atau peralihan dari pendekatan

yang sentralistik menuju district approach dan school autonomy

(desentralistik) dalam upaya peningkatan mutu pendidikan. Kedua, walaupun

MBS mulai diperkenalkan ke sekolah-sekolah di Indonesia sekitar tahun 1997

/ 1998 namun sebenarnya sekolah-sekolah swasta disadari atau tidak telah

lama menerapkannya. Selama ini sekolah swasta berusaha mengelolanya

secara mandiri.

Dalam rangka mempertahankan dan meningkatkan kualitas dan

eksistensinya, sekolah swasta berusaha meningkatkan kualitas kinerjanya

secara mandiri, mencari cara-cara baru (kreativitas) sesuai dengan kondisi

3 Ibrahim Bafadal, Manajemen Peningkatan Mutu Sekolah Dasar, dari Sentralisasi Menuju

Desentralisasi, (Jakarta : Bumi Aksara, 2003), hlm. 81 4 Mulyasa, Manajemen Berbasis Sekolah, Konsep, Strategi dan Implementasi, (Bandung :

PT Rosda karya, 2002),hlm. 24

21

sekolahnya masing-masing dan berusaha melibatkan masyarakatnya

layanannya.5

Secara konseptual MBS sebagaimana divisualisasikan melalui tabel 1

berikut ini : 6

Tabel 1

MBS sebagai otonomi sekolah

(Sumber: Ibrahim Bafadal, 2003)

Berdasarkan tabel di atas dapat didefinisikan sebagai proses

manajemen sekolah yang diarahkan pada peningkatan mutu pendidikan secara

otonomi direncanakan, diorganisasikan, dilaksanakan dan dievaluasi

melibatkan semua stakeholder sekolah sesuai dengan konsep tersebut, MBS

itu pada hakekatnya merupakan pemberian otonomi kepada sekolah untuk

secara aktif serta mandiri mengembangkan dan melakukan berbagai program

peningkatan mutu pendidikan sesuai dengan kebutuhan sekolah mandiri.

Manajemen Berbasis Sekolah atau School Based Manajement dapat

didefinisikan dan penyerasian sumber daya yang dilakukan secara mandiri

oleh sekolah dengan melibatkan semua kelompok kepentingan yang terkait

dengan sekolah secara langsung dalam proses pengambilan keputusan untuk

5 Ibid., hlm. 82 6 Ibid., hlm. 83

MBS

Otonomi Sekolah

Dalam Perencanaan

Pengorganisasian Pelaksanaan Pengawasan

Untuk Mencapai Sasaran Mutu Pendidikan

22

memenuhi kebutuhan mutu sekolah atau untuk mencapai tujuan mutu sekolah

dalam Pendidikan Nasional.7

Esensi dari Manajemen Berbasis Otonomi dan pengambilan keputusan

partisipasi untuk mencapai sasaran mutu sekolah, otonomi dapat diartikan

sebagai kewenangan (kemandirian) yaitu kemandirian dalam mengatur dan

mengurus dirinya sendiri. Jadi, otonomi sekolah adalah kewenangan sekolah

untuk mengukur dan mengurus kepentingan warga sekolah sesuai dengan

peraturan perundang-undangan Pendidikan Nasional yang berlaku.

Kemandirian yang dimaksud harus didukung oleh sejumlah kemampuan,

yaitu:

1. Kemampuan untuk mengambil keputusan yang baik. 2. Kemampuan berdemokrasi / menghargai perbedaan pendapat. 3. Kemampuan memobilisasi sumber daya. 4. Kemampuan memilih cara pelaksanaan yang terbaik. 5. Kemampuan berkomunikasi dengan cara yang efektif. 6. Kemampuan memecahkan persoalan –persoalan sekolah. 7. Kemampuan adiktif dan antisipatif.8

Manajemen Berbasis Sekolah sebagai manajemen peningkatan mutu,

konsep pengelolaan ini menekankan kepada kemandirian dan kreatifitas

sekolah di dalam pengelolaan potensi sumber daya pendidikan melalui kerja

sama dengan pemerintah dan masyarakat di dalam pengambilan keputusan

untuk memenuhi tujuan peningkatan mutu sekolah.9

Manajemen berbasis sekolah merupakan alternatif baru dalam

pengelolaan pendidikan yang lebih menekankan kepada kemandirian dan

kreatifitas sekolah. Konsep ini diperkenalkan oleh teori effective school yang

lebih memfokuskan diri pada berbaikan proses pendidikan, beberapa indikator

yang menunjukkan karakter dari konsep manajemen antara lain sebagai

berikut:

7 Eman Suparman, Manajemen Pendidikan Masa Depan, WWW.DEPDIKNAS.CO.ID,

hlm. 1 8 Ibid, hlm.2 9 Suryosubroto, Manajemen Pendidikan di Sekolah, (Jakarta : Rineka Cipta, 2004), hlm.

197

23

1. Lingkungan sekolah yang aman dan tertib 2. Sekolah memiliki visi-misi dan target mutu yang ingin dicapai 3. Sekolah memiliki kepemimpinan yang kuat 4. Adanya harapan yang tinggi dan personil sekolah ( kepala sekolah, guru,

dan staf lainnya termasuk siswa ) untuk berprestasi 5. Adanya pengembangan staf sekolah yang terus menerus sesuai tuntutan

IPTEK 6. Adanya pelaksanaan evaluasi yang terus menerus terhadap berbagai aspek

akademik dan administratif dan pemanfaatan hasilnya untuk penyempurnaan, perbaikan mutu dan

7. Adanya komunikasi dan dukungan intensif dan orang tua murid atau masyarakat.10

Pengembangan, konsep manajemen ini didesain untuk meningkatkan

kemampuan sekolah dan masyarakat dalam mengelola perubahan pendidikan

kaitannya dengan tujuan keseluruhan, kebijakan, strategi perencanaan, inisiatif

kurikulum yang telah ditentukan oleh pemerintah dan otoritas pendidikan.

Pendekatan ini menuntut adanya perubahan sikap dan tingkah laku seluruh

komponen sekolah, kepala sekolah, guru dan tenaga atau staf administrasi

termasuk orang tua dan masyarakat dalam memandang, memahami,

membantu sekaligus sebagai pemantau yang melaksanakan monitoring dan

evaluasi dalam pengelolaan sekolah yang bersangkutan dengan didukung oleh

pengelolaan sistem informasi yang presentatif dan aktif.

Secara operasional MBS dapat didefinisikan sebagai keseluruhan

proses pendayagunaan keseluruhan komponen dalam rangka peningkatan

mutu pendidikan yang diupayakan sendiri oleh kepala sekolah bersama semua

pihak yang terkait atau berkepentingan dengan mutu pendidikan.11

Istilah “komponen” mencakup kurikulum dan pembelajaran siswa,

kepegawaian sarana dan prasarana, dan keuangan, istilah “dikelola sendiri”

adalah self managing, berarti dirancang sendiri (Self design dan self planning)

diorganisasikan sendiri (self – organizing), diarahkan sendiri (self – direction),

dan dikontrol / dievaluasi sendiri (self control). Sudah barang tentu

kemandirian tersebut tidak dapat diartikan sebagai kebebasan penuh, sehingga

10 Ibid., hlm. 208 11 Ibrahim Bafadal, Op. Cit., hlm. 84

24

tetap diperlukan adanya dengan “pihak terkait atau berkepentingan dengan

mutu pendidikan adalah kepala sekolah, guru, orang tua siswa, masyarakat

sekitar sekolah, perusahaan yang akan memakai lulusan sekolah. Definisi

operasional tersebut diperjelas melalui tabel 2 berikut ini: 12

Tabel 2

Definisi Operasional MBS dalam diagram

( Sumber : Ibrahim Bafadal, 2003 )

12 Ibid., hlm. 45

Semua pihak yang terkait (kepala sekolah, guru kelas, guru agama, guru olah raga, orang tua siswa, masyarakat, LSM, perusahaan) secara aktif ikut serta membuat keputusan, merancang dan melaksanakan dan mengontrol.

LULUSAN SMA YANG SEMAKIN BERMUTU

Sekolah secara kreatif dan mandiri mengembangkan sistem pembelajaran dalam rangka implementasi kurikulum nasional sesuai dengan kondisi sekolah

Selain menggunakan kurikulum nasional, sekolah menetapkan sendiri dan menyelenggarakan kurikulum lokal

Sekolah secara kreatif dan mandiri merancang dan menetapkan sistem kepegawaian, keuangan, fasilitas, dan kesiswaan yang dipandang efektif dan efisien dalam menetapkan kurikulum sesuai dengan kondisi sekolah

Aturan kerja dari pemerintahan (Seperlunya, atau bisa dalam bentuk standar pelayanan minimal) ada fasilitas dan pembinaan dari pemerintah kontrol dari pemerintah

Sekolah secara mandiri dan kreatif menetapkan sistem dan melakukan penerimaan siswa

25

Konsistensi dengan keseluruhan definisi dan penjelasan di atas,

mengedepankan 3 karakteristik kunci MBS, sebagai berikut:

Pertama, kekuasaan dan tanggung jawab dalam pengambilan keputusan yang

berhubungan peningkatan mutu pendidikan di desentralisasikan kepada para

stakeholder sekolah.

Kedua, domain manajemen pendidikan yang mencakup keseluruhan aspek

peningkatan mutu pendidikan, mencakup keuangan, kepegawaian, sarana dan

prasarana, penerimaan siswa baru, dan kurikulum

Ketiga, walaupun keseluruhan domain manajemen pendidikan

didesentralisasikan ke sekolah-sekolah, namun diperlukan adanya sejumlah

regulasi yang mengatur fungsi kontrol pusat terhadap keseluruhan pelaksanaan

kewenangan dan tanggung jawab sekolah.13

Dalam konteks pendidikan, pengertian MBS dalam usaha peningkatan

mutu pendidikan mencakup antara lain: Input, proses dan Output pendidikan.

Input pendidikan adalah segala sesuatu yang harus tersedia karena

dibutuhkan untuk berlangsungnya proses. Sesuatu yang dimaksud berupa

sumberdaya dan perangkat lunak serta harapan-harapan sebagai pemandu bagi

berlangsungnya proses. Input sumberdaya meliputi sumberdaya manusia

(kepala sekolah, guru termasuk guru BP, karyawan, siswa) dan sumberdaya

selebihnya (peralatan, perlengkapan, uang, bahan dan sebagainya). Input

perangkat lunak meliputi struktur organisasi sekolah, peraturan perundang-

undangan, deskripsi tugas, rencana, program dan sebagainya. Input harapan-

harapan berupa visi misi, tujuan dan sasaran-sasaran yang ingin dicapai

sekolah.14

Kesiapan input sangat diperlukan agar proses dapat berlangsung

dengan baik. Oleh karena itu, tinggi rendahnya mutu input dapat diukur dari

tingkat kesiapan input, makin tinggi tingkat kesiapan input, makin tinggi pula

mutu input tersebut.

13 Ibrahim Bafadal., Op.Cit., hlm. 82 14 Ibid., hlm. 26

26

Proses pendidikan merupakan berubahnya sesuatu menjadi sesuatu

yang lain. Sesuatu yang berpengaruh terhadap berlangsungnya proses disebut

input. Sedang sesuatu dan hasil proses disebut output. Dalam pendidikan

berskala mikro (tingkat sekolah), proses yang dimaksud adalah proses

pengambilan keputusan, proses pengelolaan kelembagaan, proses pengelolaan

program, proses belajar mengajar, proses monitoring dan evaluasi, dengan

catatan bahwa proses belajar mengajar memiliki tingkat kepentingan tertinggi

dibandingkan dengan proses-proses lainnya.

Proses dikatakan bermutu tinggi apabila pengkoordinasian dan

penyerasian serta pemaduan input sekolah (guru, siswa, kurikulum, uang,

peralatan dan sebagainya) dilakukan secara harmonis sehingga mampu

menciptakan situasi pembelajaran yang menyenangkan (enjoyable learning),

mampu mendorong motivasi dan minat belajar, dan benar-benar mampu

memberdayakan peserta didik.

Output pendidikan adalah merupakan kinerja sekolah. Kinerja sekolah

adalah prestasi yang dihasilkan dan proses atau perilaku sekolah. Kinerja

sekolah dapat diukur dari kualitas efektivitasnya, produktivitasnya,

efisiensinya, inovasinya, kualitas kehidupan kerjanya, dan moral kerjanya.15

Antara proses dan hasil pendidikan yang bermutu saling berhubungan,

akan tetapi agar proses yang baik itu tidak salah arah, maka mutu dalam artian

hasil (output) harus dirumuskan lebih dahulu oleh sekolah, dan harus jelas

target yang akan dicapai untuk setiap tahun atau kurun waktu lainnya.16

15 Ibid., hlm. 7 16 Suryosubroto, Op.Cit., hlm. 210

27

Secara visual dapat dilihat tabel 3 berikut ini: 17

Tabel 3

Fungsi-fungsi yang di Desentralisasikan ke Sekolah

Input Proses Output

( Sumber : Suryosubroto, 2004 )

Berbagai input dan proses harus mengacu pada mutu hasil (output)

yang ingin dicapai. Dengan kata lain tanggung jawab sekolah dalam school

based quality improvement bukan hanya pada proses, tetapi tanggung jawab

akhirnya adalah pada hasil yang dicapai.

Untuk mengetahui hasil atau prestasi yang dicapai oleh sekolah,

terutama yang menyangkut aspek kemampuan akademik atau “kognitif” dapat

dilakukan benchmarking (menggunakan titik acuan standar), misalnya: NEM

untuk nasional, atau hasil ulangan umum bersama yang dirancang oleh PKG

atau MGMP. Evaluasi terhadap seluruh hasil pendidikan pada tiap sekolah

baik yang sudah ada patokannya (benchmarking) maupun yang lain (kegiatan

ekstra – kurikuler) dilakukan oleh individu sekolah sebagai evaluasi diri dan

dimanfaatkan untuk memperbaiki target mutu dan proses pendidikan tahun

berikutnya. 18

17 Umaedi., Op.Cit., hlm. 24 18 Suryosubroto, Op.Cit.,hlm. 211

Perencanaan dan evaluasi

kurikulum ketenangan

fasilitas keuangan

kesiswaan hubungan

sekolah, masyarakat iklim

sekolah

Proses

Belajar

Mengajar

Prestasi

siswa

28

B. Dasar dan Tujuan Manajemen Pendidikan Berbasis Sekolah

1. Dasar MBS

Bukti empirik lemahnya pola lama manajemen pendidikan nasional

dan digulirkannya otonomi daerah, maka sebagai konsekuensi logis bagi

manajemen pendidikan di Indonesia adalah perlu dilakukannyan

penyesuaian diri dari pola lama manajemen pendidikan masa depan yang

lebih bernuansa otonomi dan yang lebih demokratis. Tabel 4 berikut

menunjukkan dimensi-dimensi perubahan pola manajemen, dari yang lama

menuju yang baru.19

Tabel 4

Dimensi-dimensi Perubahan Pola Manajemen Pendidikan

Pola Lama Menuju Pola Baru Subordinasi Otonomi Pengambilan keputusan terpusat Pengambilan keputusan

partisipatif Ruang gerak kaku Ruang gerak luwes Pendekatan birokratik Pendekatan profesional Sentralistik Desentralistik Diatur Motivasi diri Ovveregulasi Deregulasi Mengontrol Mempengaruhi Mengarahkan Menfasilitasi Menghindari resiko Mengelola resiko Menggunakan uang semuanya Gunakan uang seefisien

mungkin Individual yang cerdas Teamwork yang cerdas Informasi terpribadi Informasi terbagi Pendelegasian Pemberdayaan terbagi Organisasi hirarkis Organisasi datar

( Sumber : Departemen Pendidikan Nasional Direktorat Jendral Pendidikan Dasar dan Menengah Direktorat Sekolah Lanjutan Tingkat Pertama Tahun 2001.Konsep dan

pelaksanaan, WWW.DEPDIKNAS.CO.ID )

19 Umaedi., op.cit., hlm. 7

29

Yang menjadi dasar dari MBS adalah otonomi sekolah. MBS dapat

didefinisikan sebagai model manajemen yang memberikan otonomi lebih

besar kepada sekolah dan mendorong sekolah untuk melakukan

pengambilan keputusan secara partisipatif untuk memenuhi kebutuhan

mutu sekolah atau untuk mencapai tujuan mutu sekolah dalam rangka

pendidikan nasional. Karena itu, esensi MBS: otonomi sekolah dan

pengembalian keputusan partisipatif untuk mencapai sasaran mutu

sekolah.20

Mengapa yang terpenting otonomi sekolah bukan otonomi

pendidikan? Karena otonomi sekolah mensyaratkan proses pembelajaran

berlangsung secara efektif-aktif dan menyenangkan. Artinya, waktu

pelajaran yang ada atau tersedia digunakan sepenuhnya oleh guru dan

murid menempuh proses pembelajaran. Sekolah dan guru-guru

mempunyai kebebasan mengatur keseluruhan kurikulum demi terciptanya

proses pembelajaran yang efektif-aktif menyenangkan.21

Otonomi sekolah menjadi tuntutan logis manakala peningkatan

mutu akademik diinginkan, sedangkan otonomi pendidikan menunjuk

pada konsekuensi politik, manakala UU No. 2 tahun 1999 tentang otonomi

daerah dilaksanakan. Jadi tidak dengan sendirinya otonomi sekolah terjadi

ketika otonomi pendidikan ditegaskan secara politis di Kabupaten / Kota.

Otonomi pendidikan sebagai keputusan politis daerah dapat

membawa serta otonomi sekolah:

a. Keputusan itu serta merta mendorong terbentuk dan berfungsinya

komite sekolah di tiap sekolah

b. Tertuang secara jelas komitmen Pemda untuk meningkatkan partisipasi

masyarakat terhadap sekolah-sekolah di wilayahnya

c. Semua anggota terdorong memiliki rencana pengembangan induk

sekolah, dan

20 Umaedi, Op. Cit., hlm. 9 21 Eddy Warsono dan Karsidi Budi Anggoro, Otonomi Pendidikan di Era Otonomi Daerah,

(Semarang : Yayasan Jurnalistik Kita, Semarang, 2000), hlm. 12

30

d. Terbentuk model-model sekolah yang secara mandiri mampu

mengembangkan aspek-aspek manajerial kurikulum, kepala sekolah,

informasi pendidikan, dan pembinaan profesionalisme guru.22

Jadi otonomi sekolah adalah kewenangan sekolah untuk mengatur

dan mengurus kepentingan warga sekolah menurut prakarsa sendiri

berdasarkan aspirasi warga sekolah sesuai dengan peraturan perundang-

undangan pendidikan nasiosnal yang berlaku.23

BPPN (Badan Penyelenggaraan Pendidikan Nasional) bekerja

sama dengan Bank Dunia mengkaji beberapa faktor-faktor dasar yang

perlu diperhatikan sehubungan dengan manajemen berbasis sekolah.

Faktor-faktor tersebut berkaitan dengan kewajiban sekolah, kewajiban dan

prioritas pemerintah, peran orang tua dan masyarakat, peranan

profesionalisme dan manajerial, serta pengembangan profesi.24

2. Tujuan MBS

Manajemen Berbasis Sekolah merupakan salah satu upaya

pemerintah untuk mencapai keunggulan masyarakat bangsa dalam

penguasaan ilmu dan teknologi, yang dinyatakan dalam GBHN. Hal

tersebut diharapkan dapat dijadikan landasan dalam pengembangan

pendidikan di Indonesia yang berkualitas dan berkelanjutan, baik secara

makro, maupun mikro.

Manajemen berbasis sekolah, yang ditandai dengan otonomi

sekolah dan pelibatan masyarakat merupakan respons pemerintah terhadap

gejala-gejala yang muncul di masyarakat, bertujuan untuk meningkatkan

efisiensi, mutu, dan pemerataan pendidikan. Pendidikan efisiensi, antara

lain diperoleh melalui keleluasaan mengelola sumber daya partisipasi

masyarakat dan pemberdayaan birokrasi. Sementara peningkatan mutu

dapat diperoleh, antara lain, melalui partisipasi orang tua terhadap sekolah,

22 Ibid., hlm. 13 23 Umaedi, Op.Cit., hlm. 9 24 Mulyasa, Maanajemen Berbasis Sekolah, Konsep, Strategi dan Implementesi , (Bandung

:PT. Remaja Rosdakarya, 2002), hlm. 26

31

fleksibilitas pengelolaan sekolah dan kelas, peningkatan profesionalisme

guru dan kepala sekolah, berlakunya sistem intensif serta disintensif.

Peningkatan pemerataan antara lain diperoleh melalui peningkatan

partisipasi masyarakat yang memungkinkan pemerintah lebih

berkonsentrasi pada kelompok tertentu. Hal ini dimungkinkan karena pada

sebagian masyarakat tumbuh rasa memiliki yang tinggi terhadap sekolah.25

Manajemen pendidikan berbasis sekolah bertujuan untuk

memandirikan atau memberdayakan sekolah melalui pemberian

kewenangan (otonomi) kepada sekolah dan mendorong sekolah untuk

melakukan pengambilan keputusan secara partisipatif lebih rincinya,

MBS bertujuan untuk:

a. Meningkatkan mutu pendidikan melalui kemandirian dan inisiatif sekolah dalam mengelola dan memberdayakan sumber daya yang tersedia

b. Meningkatkan kepedulian warga sekolah dan masyarakat dalam penyelenggaraan pendidikan melalui pengambilan keputusan bersama.

c. Meningkatkan tanggung jawab sekolah kepada orang tua, masyarakat, dan pemerintah tentang mutu sekolahnya, dan

d. Meningkatkan kompetisi yang sehat antara sekolah tentang mutu pendidikan yang akan dicapai.26

Dalam pengambilan keputusan partisipatif menurut Simon (1993)

dalam bukunya Safarudin dan Anzizhan, menggunakan istilah yang sangat

luas untuk mencakup tiga bidang cakupan masalah, pertama menemukan

masalah yang menarik perhatian dan yang menyertai masalah tersebut.

kedua, bagian dari proses pengambilan keputusan. Ketiga, evaluasi

terhadap solusi dan pilihan terhadap berbagai solusi.27

Menurut Direktorat Jendral Pendidikan Dasar dan Menengah

(2000) MBS bertujuan untuk memandirikan atau memberdayakan sekolah

melalui pemberian wewenang, keluwesan, dan sumber daya untuk

meningkatkan mutu sekolah.

25 Ibid., hlm. 25 26 Umaedi., Op.Cit., hlm. 4 27 Safarudin dan Anzizhan, Sistem Pengambilan Keputusan Pendidikan, (Jakarta :

Grasindo, 2004), hlm. 46

32

Dengan kemandiriannya, diharapkan:

a. Sekolah sebagai lembaga pendidikan yang lebih mengetahui kekuatan, kelemahan, peluang dan ancaman bagi dirinya untuk kemudian dapat mengoptimalkan sumberdaya yang tersedia untuk memajukan sekolah

b. Sekolah dapat mengembangkan sendiri program-program sesuai dengan kebutuhannya

c. Sekolah dapat bertanggung jawab tentang mutu pendidikan masing-masing kepada orang tua, masyarakat, dan pemerintah serta

d. Sekolah dapat melakukan persaingan sehat dengan sekolah lain untuk meningkatkan mutu pendidikan.28

Menurut Levacic (1995) yang ditulis oleh Ibrahim Bafadal,

mengidentifikasi tiga tujuan manajemen berbasis sekolah, yaitu (1)

Efisiensi, (2) Efektifitas dan (3) Tanggung jawab. Pertama, dengan

manajemen berbasis sekolah, proses peningkatan mutu pendidikan akan

berlangsung secara efisien, terutama dalam penggunaan sumberdaya

manusia. Kedua, dengan manajemen berbasis sekolah, mutu pendidikan

sekolah dapat meningkat, melalui peningkatan kualitas proses

pembelajaran. Ketiga, dengan manajemen berbasis sekolah respon

terhadap siswa lebih besar.29

C. Karakteristik MBS

Manajemen Berbasis Sekolah yang ditawarkan sebagai bentuk

operasional desentralisasi pendidikan akan memberikan wawasan baru

terhadap sistem yang sedang berjalan selama ini. Hal ini diharapkan dapat

membawa dampak terhadap peningkatan efisiensi dan efektifitas kinerja

sekolah, dengan menyediakan layanan pendidikan komprehensif dan tanggap

terhadap kebutuhan masyarakat sekolah setempat, karena peserta didik

biasanya datang dari berbagai latar belakang kesukaan dan tingkat sosial, salah

satu perhatian sekolah harus ditujukan pada asas pemerataan, baik dalam

bidang sosial, ekonomi, maupun politik. Di sisi lain, sekolah juga harus

28 Ibrahim Bafadal, Op.Cit., hlm. 84 29 Ibid., hlm. 86

33

meningkatkan efisiensi, partisipasi, dan mutu, serta tanggung jawab kepada

masyarakat dan pemerintah.

Karakteristik MBS bisa diketahui antara lain dari berbagai sekolah

dapat mengoptimalkan kinerja organisasi sekolah, proses belajar-mengajar.

Pengelolaan sumber daya manusia, dan pengelolaan sumber daya dan

administrasi.30

Menurut Tim Teknis Badan Perencanaan Pembangunan Nasional

(BPPN) bekerjasama dengan Bank Dunia (1999), karakteristik manajemen

berbasis sekolah dirumuskan sebagai berikut:

1. Pengoptimalan kinerja organisasi sekolah meliputi a. Menyediakan manajemen organisasi transformasional dalam mencapai

tujuan sekolah b. Menyusun rencana sekolah dan merumuskan kebijakan untuk

sekolahnya sendiri c. Mengelola kegiatan operasional sendiri d. Menjamin adanya komunikasi yang efektif antar sekolah dan

masyarakat terkait (School Community) e. Menjamin akan terpeliharanya sekolah yang bertanggung jawab

(accountability) kepada masyarakat dan pemerintah.

2. Pengoptimalan proses belajar mengajar meliputi : a. Meningkatkan kualitas belajar siswa b. Mengembangkan kurikulum yang cocok dan tanggap terhadap

kebutuhan siswa dan masyarakat sekolah c. Menyelenggarakan pengajaran yang efektif d. Menyediakan program pengembangan yang diperlukan siswa e. Program pengembangan yang diperlukan siswa.

3. Pengoptimalan sumberdaya manusia meliputi : a. Memberdayakan staf dan menempatkan personal yang dapat melayani

keperluan semua siswa b. Memilih staf yang memiliki wawasan manajemen berbasis sekolah c. Menyediakan kegiatan untuk pengembangan profesi pada semua staf d. Menjamin kesejahteraan staf dan siswa

4. Pengoptimalan sumberdaya dan administrasi meliputi : a. Mengidentifikasi sumberdaya yang diperlukan dan mengalokasikan

sumberdaya tersebut sesuai dengan kebutuhan b. Mengelola dana sekolah

30 Mulyasa, Op.Cit., hlm. 29

34

c. Menyediakan dukungan administratif d. Mengelola dan memelihara gedung dan sarana lainnya.31

Melalui penerapan Manajemen Berbasis Sekolah akan nampak karakteristik

lainnya dari profil sekolah mandiri, diantaranya sebagai berikut:

1. Pengelolaan sekolah akan lebih desentralistik. 2. Perubahan sekolah akan lebih didorong oleh motivasi internal daripada

diatur oleh luar sekolah. 3. Regulasi pendidikan lebih sederhana 4. Peranan para pengawas bergeser dari mengontrol jadi mempengaruhi,

dari mengarahkan menjadi menfasilitasi dan dari menghindari resiko menjadi mengelola resiko.

5. Akan mengalami peningkatan manajemen. 6. Dalam bekerja, akan menggunakan tim work. 7. Pengelolaan informasi akan lebih mengarah kesemua kelompok

kepentingan sekolah. 8. Manajemen sekolah akan lebih menggunakan pemberdayaan dan

struktur organisasi akan lebih datar sehingga akan lebih sederhana dan efisien.32

Menurut Umaedi manajemen peningkatan mutu pendidikan

berbasis sekolah memiliki karakteristik yang perlu dipahami oleh sekolah

yang akan menerapkannya. Dengan kata lain, jika sekolah ingin sukses dalam

menerapkan MBS maka sejumlah karakteristik MBS berikut perlu dimiliki.

Berbicara karakteristik MBS tidak dapat dipisahkan dengan karakteristik

sekolah efektif (effective school). Jika MBS merupakan wadah atau

kerangkanya, maka sekolah efektif merupakan isinya. Oleh karena itu,

karakteristik MBS berikut memuat secara inklusif elemen-elemen sekolah

efektif, yang dikategorikan menjadi input, proses dan output.33

Model konteks Input Proses output Outcome dalam pendidikan

dijelaskan melalui tabel 5 berikut ini: 34

31 Ibid., hlm. 30

32 http / / www.depdiknas.go.id/file: //A :\MANAJEMEN PENDIDIKAN MASA DEPAN.htm

33 Umaedi., Op.Cit., hlm. 11 34 Jaap Scheerens, Menjadikan Sekolah Efektif, (Jakarta : Logos, 2003), hlm. 104

35

Tabel 5

Model Konteks Input Proses Output Outcome dalam pendidikan

Konteks

Input Proses Output Outcame

( Sumber : Jaap Scheerens, 2003 )

Dalam menguraikan karakteristik MBS, pendekatan sistem yaitu input

– proses – output digunakan untuk memandunya. Hal ini disadari oleh

pengertian bahwa sekolah merupakan sebuah sistem, sehingga penguraian

karakteristik MBS (yang juga karakteristik sekolah efektif) mendasarkan pada

input, proses, dan output. Uraian berikut ini dimulai dari output dan diakhiri

input mengingat output memiliki tingkat kepentingan tertinggi, sedang proses

memiliki tingkat kepentingan satu tingkat lebih rendah dari output dan input

memiliki tingkat kepentingan dua tingkat lebih rendah dari output.

1. Output yang diharapkan

Output sekolah adalah prestasi sekolah yang dihasilkan oleh proses

pembelajaran dan manajemen di sekolah, pada umumnya output dapat

diklasifikasikan menjadi dua, yaitu output berupa prestasi akademik

Misalnya permintaan konsumen, lingkungan sekolah, pengukuran kebijakan di tingkat administrasi lebih tinggi

Kualitas sumberdaya

guru

Kurikulum organisasi

sekolah. Iklim sekolah

Ukuran prestasi atau

capaian

Perolehan pekerjaan

36

(academic achievement) dan output berupa prestasi non-akademik (non-

academic achievement)

2. Proses

Menurut Umaedi pada proses yang kedua, ada beberapa karakter yang

harus diperhatikan diantaranya: Efektivitas proses belajar mengajar,

kepemimpinan sekolah yang kuat, lingkungan sekolah yang aman dan

tertib, pengelolaan tenaga kependidikan yang efektif, sekolah memiliki

budaya mutu. Sekolah memiliki kewenangan (kemandirian) dan

keterbukaan (transparansi) manajemen, sekolah memiliki kemauan untuk

berubah, sekolah melakukan responsif dan antisipatif terhadap kebutuhan,

dan sekolah memiliki akuntabilitas dan sustainabilitas

3. Input (masukan) kependidikan

Input pendidikan merupakan bagian yang tidak kalah penting dari proses

dan output yang merupakan indikator input diantaranya yaitu keadaan guru

secara fisik, psikis, sosial, ekonomi, dan profesionalismenya, kondisi

siswa, sarana dan prasarana yang memadai.

Menurut Umaedi bagian-bagian yang penting dalam input yaitu

sekolah harus memiliki kebijakan mutu, sumber daya yang tersedia, harapan

prestasi yang tinggi, fokus pada pelanggaran (khususnya peserta didik), input

manajemen.35

D. Langkah-Langkah MBS

1. Perencanaan (Planning)

Salah satu fungsi manajemen adalah perencanaan, program

kegiatan apapun perlu direncanakan dengan baik, sehingga semua

kegiatan terarah bagi tercapainya tujuan. Merencanakan pada dasarnya

menentukan kegiatan yang hendak dilakukan pada masa depan.

35 Umaedi, Op.Cit., hlm. 20

37

Kegiatan ini dimaksudkan untuk mengatur berbagai sumber daya agar

hasil yang dicapai sesuai dengan harapan.36

Rencana merupakan pedoman kerja bagi para pelaksana terkait,

baik manajer, maupun staf dalam melaksanakan fungsi dan tugas masing-

masing. Selain itu rencana merupakan acuan dalam upaya mengendalikan

kegiatan lembaga, sehingga tidak menyimpang dari pencapaian tujuan

yang telah ditetapkan.37

Oleh karena itu perencanaan dapat didefinisikan sebagai

keseluruhan proses pemikiran dan penentuan semua aktifitas yang akan

dilakukan pada masa yang akan datang dalam rangka mencapai tujuan.

Keberhasilan perencanaan sangat menunjang keberhasilan kegiatan

manajemen secara keseluruhan.

Perencanaan yang baik seharusnya dibuat oleh orang-orang yang

memahami organisasi, memahami perencanaan, disertai dengan rincian

yang teliti, tidak lepas dari pemikiran pelaksanaan, terdapat tempat

pengambilan resiko, sederhana, luwes, dan praktis, didasarkan pada

keadaan nyata masa kini dan masa depan, dibuat bersama dan

direkomendasi oleh penguasa tertinggi.38

Perencanaan merupakan sebuah proses memikirkan dan

menetapkan kegiatan untuk masa yang akan datang. Oleh karena itu,

perencanaan merupakan sebuah proses, ada beberapa langkah yang harus

ditempuh dalam membuat perencanaan adalah: memperkirakan masa

depan, menganalisa kondisi lembaga, merumuskan tujuan secara

operasional, merumuskan dan menetapkan alternatif program, menyusun

jadwal pelaksanaan program.39

36 Nanang Fatah, Landasan Manajemen Pendidikan, (Bandung, PT. Remaja Rosdakarya,

2000), hlm. 49 37 Ibrahim Bafadal, Manajemen Peningkatan Mutu Sekolah Dasar, dari Sentralisasi

Menuju Desentralisasi, (Jakarta, Bumi Aksara, 2003), hlm. 42. 38 Ibid., hlm. 43. 39 Nunung Fatah, op.cit., hlm. 71.

38

2. Pengorganisasian (Organizing)

Istilah organisasi mempunyai dua pengertian umum, Pertama

organisasi diartikan sebagai suatu lembaga atau kelompok fungsional,

misalnya sebuah pengakuan, sebuah sekolah, sebuah perkumpulan, badan-

badan pemerintahan, kedua merujuk pada proses pengorganisasian yaitu

bagaimana pekerjaan diatur dan dialokasikan diantara para anggota,

sehingga tujuan organisasi itu dapat tercapai secara efektif. Sedangkan

organisasi itu sendiri diartikan sebagai kumpulan orang dengan sistem

kerjasama untuk mencapai tujuan bersama. Dalam sistem kerjasama

secara jelas diatur siapa menjalankan apa, siapa bertanggung jawab atas

siapa, arus komunikasi, dan memfokuskan sumbernya pada tujuan.

Pengorganisasian merupakan keseluruhan proses pengelompokan

semua tugas, tanggung jawab, wewenang dan komponen dalam proses

kerjasama sehingga tercipta suatu sistem kerja yang baik dalam rangka

mencapai tujuan yang telah ditetapkan. Pengorganisasian dilakukan

berdasarkan tujuan dan program kerja sebagaimana dihasilkan dalam

perencanaan.

Menurut Siagian (1981) dalam bukunya Ibrahim Bafadal

Pengorganisasian suatu program dapat dilakukan melalui prosedur sebagai

berikut:

1. Mengidentifikasi pekerjaan atau tugas yang perlu dilakukan untuk

mencapai tujuan.

2. Mengelompokkan tugas serta fungsi yang sama.

3. Memberikan nama tertentu bagi setiap kelompok pekerjaan atau tugas

dengan nama yang kurang lebih menggambarkan fungsinya masing-

masing.

4. Menentukan orang-orang yangakan ditunjuk menyelesaikan setiap

kelompok kerja atau tugas, salah satu diantara mereka perlu ditunjuk

sebagai penanggung jawabnya (pendistribusian tugas dan tanggung

jawab).

39

5. Mendistribusikan fasilitas atau peralatan yang diperlukan untuk

menyelesaikan pekerjaan.

6. Menetapkan aturan kerja.

7. Menetapkan hubungan kerja.40

Sedangkan proses pengorganisasian dapat digambarkan pada bagan

sebagai berikut:

Tahap pertama, yang harus dilakukan dalam merinci pekerjaan

adalah menentukan tugas-tugas apa yang harus dilakukan untuk mencapai

tujuan organisasi. Tahap kedua, membagi seluruh beban kerja menjadi

kegiatan-kegiatan yang dapat dilaksanakan oleh perseorangan atau

kelompok. Disini perlu diperhatikan bahwa orang-orang yang akan

diserahi tugas harus didasarkan pada kualifikasi, tidak dibebani terlalu

berat dan juga tidak terlalu ringan. Tahap ketiga, menggabungkan

pekerjaan para anggota dengan cara rasionalisasi. Tahap keempat,

menetapkan mekanisme yang harmonis. Tahap kelima, melakukan

40 Ibrahim Bafadal, op.cit., hlm. 44.

1.Pemerincihan Pekerjaan

5.Monitoring dan reorganisasi

2.Pembagian Kerja

4.Koordinasi Pekerjaan

3.Penyatuan Pekerjaan

40

monitoring dan mengambil langkah penyusunan untuk mempertahankan

dan meningkatkan efektifitas. Karena pengorganisasian merupakan suatu

proses yang berkelanjutan, diperlukan penilaian ulang terhadap keempat

langkah sebelumnya secara terprogram/ berkala, untuk menjamin

konsistensi, efektif, efisien dalam memenuhi kebutuhan.41

3. Pelaksanaan (Actuating)

Konsep Manajemen Berbasis Sekolah (MBS), sebagaimana telah

diuraikan diatas, esensinya adalah otonomi sekolah + pengambilan secara

partisipatif. Konsep ini membawa konsekuensi bahwa pelaksanaan MBS

sudah sepantasnya menerapkan pendekatan “idiograpik” (membolehkan

adanya berbagai cara melaksanakan MBS) dan bukan lagi mendapatkan

pendekatan “monotetik” (cara melaksanakan MBS yang cenderung

seragam / konvermitas untuk semua sekolah) 42

Oleh karena itu, dalam arti yang sebenarnya tidak ada satu resep

pelaksanaan MBS yang sama untuk diberlakukan ke semua sekolah.

Tetapi satu hal yang perlu diperhatikan, bahwa mengubah pendekatan

manajemen berbasis pusat menjadi peningkatan mutu berbasis sekolah

bukanlah merupakan proses sekali jadi dan bagus hasilnya ( one-shot

and quick fix ), akan tetapi merupakan proses yang berlangsung secara

terus menerus dan melibatkan semua pihak yang bertanggungjawab dalam

penyelenggaraan pendidikan persekolahan.

Hal ini didasarkan pada ajaran Islam yang mengajarkan tentang

kebaikan yakni saling tolong menolong dan kerjasama antara satu dengan

yang lain. Begitu juga pada pelaksanaan MBS, sebagaimana

didiskripsikan dalam sebuah hadist:

41 Nunung Fatah, op.cit., hlm. 73. 42 Ibid, hlm 27

41

43)رواه البخارى(المؤمن للمؤمن آالبنيان يشد بعضه بعضا “Mukmin yang satu dengan yang lain bagaikan bangunan yang kokoh yang saling menguatkan satu dengan yang lain.” (HR. Bukhari)

Pelaksanaan MBS tidak lepas dari keterlibatan kepala sekolah, wakil

kepala sekolah, guru, komite sekolah, orang tua, OSIS, tata usaha dan tokoh

masyarakat sekitar ( Stakeholder ). Oleh sebab itu ada beberapa tahapan dalam

pelaksanaan MBS yang sifatnya masih “umum" dan "luwes". Sekolah dapat

melakukan penyesuaian – penyesuaian tahapan berikut sesuai dengan sekolah

masing – masing.

1. Merumuskan Visi dan Misi Sekolah.

Setiap sekolah harus memiliki Visi dan Misi yang jelas. Visi

adalah wawasan yang menjadi sumber arahan bagi sekolah dan digunakan

untuk memandu rumusan Misi sekolah. Visi merupakan gambaran masa

depan yang diinginkan oleh sekolah, agar sekolah yang bersangkutan

dapat menjamin kelangsungan hidup dan perkembangannya. Sedangkan

Misi adalah tindakan untuk mewujudkan / merealisasikan Visi tersebut.

Misi merupakan bentuk layanan untuk memenuhi tuntutan yang

dituangkan dalam Visi dengan berbagai indikatornya

2. Menganalisa tantangan nyata.

Pada tahapan ini, sekolah melakukan analisis output sekolah yang

hasilnya berupa identifikasi tantangan nyata yang dihadapi oleh sekolah.

Pada umumnya, tantangan sekolah bersumber dari output sekolah yang

dapat dikategorikan menjadi empat, yaitu: kualitas, produktivitas,

efektivitas, dan efisiensi.

3. Menetapkan sasaran dan target.

Sasaran / target/ tujuan situasional / tujuan jangka pendek

merupakan penjabatan tujuan, yakni sesuatu yang akan dihasilkan / dicapai

oleh sekolah dalam jangka waktu lebih singkat dibandingkan tujuan

sekolah. Rumusan sasaran harus selalu mengandung peningkatan, baik

43 Imam Abi Abdillah bin Ismail, Shahih Bukhari, Juz VII, (Beirut : Darul Maktabah,

1981), hlm. 80

42

peningkatan kualitas, efektifitas, produktivitas, maupun efisiensi (bisa

salah satu atau kombinasi).

4. Melakukan identifikasi fungsi yang diperlukan setiap sasaran.

Setelah sasaran dipilih, maka langkah berikutnya adalah

mengidentifikasi fungsi – fungsi yang perlu dilibatkan untuk mencapai

sasaran dan yang masih perlu diteliti tingkat kesiapannya.

5. Melakukan analisis SWOT

Analisis SWOT (Strength, Weakness, Opportunity and Threat)

dilakukan dengan maksud untuk mengenali tingkat kesiapan setiap fungsi

dari keseluruhan fungsi sekolah yang diperlukan untuk mencapai sasaran

yang telah ditetapkan.

6. Mengidentifikasi alternatif / langkah pemecahan masalah.

Dan hasil analisis SWOT, maka langkah berikutnya adalah

memilih langkah – langkah pemecahan persoalan (peniadaan) persoalan,

yakni tindakan yang diperlukan untuk mengubah fungsi yang tidak siap

menjadi fungsi yang siap. Langkah – langkah pemecahan persoalan, yang

hakekatnya merupakan tindakan mengatasi kelemahan dan ancaman, agar

menjadi kekuatan atau peluang yakni dengan memanfaatkan adanya satu

atau lebih factor yang bermakna kakuatan dan atau peluang.

7. Menyusun rencana pengembangan sekolah

Berdasarkan langkah – langkah pemecahan persoalan tersebut,

sekolah bersama – sama dengan semua unsur– unsurnya membuat rencana

untuk jangka pendek, menengah, panjang beserta program – programnya

untuk merealisasikan rencana tersebut. Rencana yang dibuat harus

menjelaskan secara detail dan tugas tentang aspek - aspek mutu yang ingin

dicapai, kegiatan yang harus dilakukan, siapa yang harus melaksanakan,

kapan dan dimana pelaksanaannya dan berapa biaya yang diperlukan

untuk melaksakan kegiatan tersebut.44

44 Hadiyanto, Mencari sosok Desentralisasi Manajemen Pendidikan Di Indonesia,

(Jakarta : Rineka Cipta 2004) hlm. 74

43

Hal pokok yang perlu diperhatikan oleh sekolah dalam menyusun rencana

adalah keterbukaan semua pihak yang menjadi Stakeholder pendidikan,

khususnya orang tua siswa dan masyarakat (BP3/Komite sekolah) pada

umumnya.45

Secara visual, alur berfikir pembuatan rencana dan program sekolah, dapat

dilihat pada table berikut ini.

45 Umaedi, Op. Cit, hlm. 43

44

Tabel 6

Sumber : Umaedi, Manajemen Peningkatan mutu berbasis sekolah konsep dan pelaksanaan, Departemen pendidikan Nasional Direktorat Jendral Pendidikan Dasar dan Menengah Direktorat Sekolah Lanjutan Tingkat Pertama Tahun 2001.

Landasan yuridis pendidikan (undang-undang dan peraturan-peraturan

- Tantangan masa depan / globalisasi

- Nilai dan harapan masyarakat

Visi dan Misi Sekolah

Tujuan Sekolah

Sasaran 1 Sasaran 2 Sasaran 3 Sasaran 4

Identifikasi fungsi-fungsi untuk mencapai setiap sasaran

Tantangan nyata yang dihadapi sekolah

Analisis SWOT setiap fungsi dan faktornya

Output sekolah saat ini (kenyataan) Alternatif langkah-

langkah pemecahan masalah

Rencana, program dan anggaran utk masing-masing sasaran

45

4. Pengawasan (Controlling)

Pada dasarnya rencana dan pelaksanaan merupakan satu kesatuan

tindakan, pengawasan diperlukan untuk melihat sejauh mana hasil

tercapai. Menurut Murdick dalam bukunya Nanang Fatah pengawasan

merupakan proses dasar yang secara esensial tetap diperlukan

bagaimanapun rumit dan luasnya suatu organisasi. Proses dasarnya terdiri

dari tiga tahap (1) Menetapkan standar pelaksanaan (2) Pengukuran

pelaksanaan pekerjaan dibandingkan dengan standar, dan (3) Menentukan

kesenjangan (deviasi) antara pelaksanaan dengan standar dan rencana.46

Pengawasan dapat diartikan sebagai proses monitoring kegiatan-

kegiatan, tujuannya untuk menentukan harapan-harapan yang secara nyata

dicapai dan dilakukan perbaikan-perbaikan terhadap penyimpangan-

penyimpangan yang terjadi. Harapan-harapannya dimaksud adalah tujuan-

tujuan yang telah ditetapkan untuk dicapai dan program-program yang

telah direncanakan untuk dilakukan dalam periode tertentu.47

Dengan demikian, pengawasan alam konteks pendidikan itu

merupakan proses monitoring kegiatan-kegiatan untuk mengetahui

program-program lembaga pendidikan yang telah diselesaikan dan tujuan-

tujuan yang telah dicapai.

Tujuan pengawasan adalah membantu mempertahankan hasil atau

output yang sesuai syarat-syarat sistem.48 Pengawasan (Controlling) harus

dilakukan dengan sebaik-baiknya, sehingga pengawasan yang pada

dasarnya dilakukan untuk memantau, mengarahkan, dan membina kinerja,

tidak dipandang sebagai satu kegiatan yang menakutkan. Oleh karena itu,

ada beberapa prinsip-prinsip yang harus dipegang, sebagai berikut: prinsip

manajerial, prinsip organisasional, prinsip obyektif dan keterbukaan,

46 Ibid., hlm. 101. 47 Ibrahim Bafadal, op.cit., hlm. 46. 48 Nunung Fatah, op.cit., hlm. 103.

46

prinsip pencegahan dan perbaikan, serta prinsip efisiensi dan

fleksibilitas.49

Adapun proses pengawasan ada empat langkah dalam

melakukannya, yaitu (1) menetapkan standart performa, (2) mengukur

performa aktual, (3) membandingkan performa aktual dengan standar

performa yang telah ditetapkan, dan (4) melakukan perbaikan apabila

ternyata performa aktual tidak sesuai dengan standar. Untuk lebih jelasnya

dapat dilukiskan dengan bagan berikut:

49 Ibrahim Bafadal, op.cit., hlm. 48.

Menetapkan standar untuk mengatur prestasi

Ambil tindakan korektif

Tidak berbuat apa-apa

Mengukur prestasi kerja

Apakah prestasi memenuhi standar

tidak

ya