asfiksia mawan

24
BAB I PENDAHULUAN Asfiksia adalah kumpulan dari pelbagai keadaan dimana terjadi gangguan dalam pertukaran udara pernafasan yang normal. Gangguan tersebut dapat disebabkan karena adanya obstruksi pada saluran pernafasan dan gangguan yang diakibatkan karena terhentinya sirkulasi. Gangguan ini akan menimbulkan suatu keadaan dimana oksigen dalam darah berkurang yang disertai dengan peningkatan kadar karbondioksida. Keadaan ini jika terus dibiarkan dapat menyebabkan terjadinya kematian. Asfiksia merupakan penyebab kematian terbanyak yang ditemukan dalam kasus kedokteran forensik. Asfiksia yang diakibatkan oleh karena adanya obstruksi pada saluran pernafasan disebut asfiksia mekanik. Asfiksia jenis inilah yang paling sering dijumpai dalam kasus tindak pidana yang menyangkut tubuh dan nyawa manusia. Mengetahui gambaran asfiksia, khususnya pada postmortem serta keadaan apa saja yang dapat menyebabkan asfiksia, khususnya asfiksia mekanik mempunyai arti penting terutama dikaitkan dengan proses penyidikan. Dalam penyidikan untuk kepentingan peradilan menangani seorang korban yang diduga karena peristiwa tindak pidana, 1

description

ilmu forensik

Transcript of asfiksia mawan

BAB I

PENDAHULUAN

Asfiksia adalah kumpulan dari pelbagai keadaan dimana terjadi gangguan dalam pertukaran udara pernafasan yang normal. Gangguan tersebut dapat disebabkan karena adanya obstruksi pada saluran pernafasan dan gangguan yang diakibatkan karena terhentinya sirkulasi. Gangguan ini akan menimbulkan suatu keadaan dimana oksigen dalam darah berkurang yang disertai dengan peningkatan kadar karbondioksida. Keadaan ini jika terus dibiarkan dapat menyebabkan terjadinya kematian.

Asfiksia merupakan penyebab kematian terbanyak yang ditemukan dalam kasus kedokteran forensik. Asfiksia yang diakibatkan oleh karena adanya obstruksi pada saluran pernafasan disebut asfiksia mekanik. Asfiksia jenis inilah yang paling sering dijumpai dalam kasus tindak pidana yang menyangkut tubuh dan nyawa manusia. Mengetahui gambaran asfiksia, khususnya pada postmortem serta keadaan apa saja yang dapat menyebabkan asfiksia, khususnya asfiksia mekanik mempunyai arti penting terutama dikaitkan dengan proses penyidikan.

Dalam penyidikan untuk kepentingan peradilan menangani seorang korban yang diduga karena peristiwa tindak pidana, seorang penyidik berwenang mengajukan permintaan keterangan ahli kepada ahli kedokteran kehakiman atau dokter dan atau ahli lainnya. Seorang dokter sebagaimana pasal 179 KUHAP wajib memberikan keterangan yang sebaik-baiknya dan yang sebenarnya menurut pengetahuan di bidang keahliannya demi keadilan. Untuk itu, sudah selayaknya seorang dokter perlu mengetahui dengan seksama perihal ilmu forensik, salah satunya asfiksia. Makalah ini secara garis besar akan membahas mengenai asfiksia, khususnya asfiksia mekanik

BAB IITINJAUAN PUSTAKA

2.1. ASFIKSIA

2.1.1. Defenisi Asfiksia

Asfiksia adalah suatu keadaan yang ditandai dengan terjadinya gangguan pertukaran udara pernapasan, mengakibatkan oksigen darah berkurang (hipoksia) disertai dengan peningkatan karbon dioksida (hiperkapnea). Dengan demikian organ tubuh mengalami kekurangan oksigen (hipoksia hipoksik) dan terjadi kematian (Ilmu Kedokteran Forensik, 1997). Secara klinis keadaan asfiksia sering disebut anoksia atau hipoksia (Amir, 2008).

2.1.2. Etiologi Asfiksia

Dari segi etiologi, asfiksia dapat disebabkan oleh hal berikut (Ilmu Kedokteran Forensik, 1997): 1. Penyebab alamiah, misalnya penyakit yang menyumbat saluran pernapasan seperti laringitis difteri atau menimbulkan gangguan pergerakan paru seperti fibrosis paru. 2. Trauma mekanik yang menyebabkan asfiksia mekanik, misalnya trauma yang mengakibatkan emboli udara vena, emboli lemak, pneumotoraks bilateral; sumbatan atau halangan pada saluran napas dan sebagainya. 3. Keracunan bahan yang menimbulkan depresi pusat pernapasan, misalnya barbiturat dan narkotika.

Penyebab tersering asfiksia dalam konteks forensik adalah jenis asfiksia mekanik, dibandingkan dengan penyebab yang lain seperti penyebab alamiah ataupun keracunan (Knight, 1996 ).

2.1.3. Fisiologi Secara fisiologi dapat dibedakan 4 bentuk anoksia (Amir, 2008), yaitu: 1. Anoksia Anoksik (Anoxic anoxia) Pada tipe ini O2 tidak dapat masuk ke dalam paru-paru karena:

- Tidak ada atau tidak cukup O2. Bernafas dalam ruangan tertutup, kepala di tutupi kantong plastik, udara yang kotor atau busuk, udara lembab, bernafas dalam selokan tetutup atau di pegunungan yang tinggi. Ini di kenal dengan asfiksia murni atau sufokasi. - Hambatan mekanik dari luar maupun dari dalam jalan nafas seperti pembekapan, gantung diri, penjeratan, pencekikan, pemitingan atau korpus alienum dalam tenggorokan. Ini di kenal dengan asfiksia mekanik.

2. Anoksia Anemia (Anemia anoxia) Di mana tidak cukup hemoglobin untuk membawa oksigen. Ini didapati pada anemia berat dan perdarahan yang tiba-tiba. Keadaan ini diibaratkan dengan sedikitnya kendaraan yang membawa bahan bakar ke pabrik.

3. Anoksia Hambatan (Stagnant anoxia) Tidak lancarnya sirkulasi darah yang membawa oksigen. Ini bisa karena gagal jantung, syok dan sebagainya. Dalam keadaan ini tekanan oksigen cukup tinggi, tetapi sirkulasi darah tidak lancar. Keadaan ini diibaratkan lalu lintas macet tersendat jalannya.

4. Anoksia Jaringan (Hystotoxic anoxia) Gangguan terjadi di dalam jaringan sendiri, sehingga jaringan atau tubuh tidak dapat menggunakan oksigen secara efektif. Tipe ini dibedakan atas:

- Ekstraseluler Anoksia yang terjadi karena gangguan di luar sel. Pada keracunan Sianida terjadi perusakan pada enzim sitokrom oksidase, yang dapat menyebabkan kematian segera. Pada keracunan Barbiturat dan hipnotik lainnya, sitokrom dihambat secara parsial sehingga kematian berlangsung perlahan. - Intraselular Di sini oksigen tidak dapat memasuki sel-sel tubuh karena penurunan permeabilitas membran sel, misalnya pada keracunan zat anastetik yang larut dalam lemak seperti kloform, eter dan sebagainya.

- Metabolik Di sini asfiksia terjadi karena hasil metabolik yang mengganggu pemakaian O2 oleh jaringan seperti pada keadaan uremia.

- Substrat Dalam hal ini makanan tidak mencukupi untuk metabolisme yang efisien, misalnya pada keadaan hipoglikemia.

2.1.4. Patologi Dari pandangan patologi, kematian akibat asfiksia dapat dibagi dalam 2 golongan (Amir, 2008), yaitu: 1. Primer (akibat langsung dari asfiksia) Kekurangan oksigen ditemukan di seluruh tubuh, tidak tergantung pada tipe dari asfiksia. Sel-sel otak sangat sensitif terhadap kekurangan oksigen. Bagian-bagian otak tertentu membutuhkan lebih banyak oksigen, dengan demikian bagian tersebut lebih rentan terhadap kekurangan oksigen. Perubahan yang karakteristik terlihat pada sel-sel serebrum, serebellum, dan basal ganglia. Di sini sel-sel otak yang mati akan digantikan oleh jaringan glial, sedangkan pada organ tubuh yang lain yakni jantung, paru-paru, hati, ginjal dan yang lainnya perubahan akibat kekurangan oksigen langsung atau primer tidak jelas.

2. Sekunder (berhubungan dengan penyebab dan usaha kompensasi dari tubuh) Jantung berusaha mengkompensasi keadaan tekanan oksigen yang rendah dengan mempertinggi outputnya, akibatnya tekanan arteri dan vena meninggi. Karena oksigen dalam darah berkurang terus dan tidak cukup untuk kerja jantung, maka terjadi gagal jantung dan kematian berlangsung dengan cepat. Keadaan ini didapati pada: - Penutupan mulut dan hidung (pembekapan). - Obstruksi jalan napas seperti pada mati gantung, penjeratan, pencekikan dan korpus alienum dalam saluran napas atau pada tenggelam karena cairan menghalangi udara masuk ke paru-paru. - Gangguan gerakan pernafasan karena terhimpit atau berdesakan (Traumatic asphyxia). - Penghentian primer dari pernafasan akibat kegagalan pada pusat pernafasan, misalnya pada luka listrik dan beberapa bentuk keracunan.

2.1.5. Stadium Pada Asfiksia Pada orang yang mengalami asfiksia akan timbul gejala yang dapat dibedakan dalam 4 stadium (Amir, 2008), yaitu:

1. Stadium Dispnea Terjadi karena kekurangan O2 disertai meningkatnya kadar CO2 akan merangsang pusat pernafasan, gerakan pernafasan (inspirasi dan ekspirasi) bertambah dalam dan cepat disertai bekerjanya otot-otot pernafasan tambahan. Wajah cemas, bibir mulai kebiruan, mata menonjol, denyut nadi dan tekanan darah meningkat. Bila keadaan ini berlanjut, maka masuk ke stadium kejang.

2. Stadium Kejang Berupa gerakan klonik yang kuat pada hampir seluruh otot tubuh, kesadaran hilang dengan cepat, spinkter mengalami relaksasi sehingga feses dan urin dapat keluar spontan. Denyut nadi dan tekanan darah masih tinggi, sianosis makin jelas. Bila kekurangan O2ini terus berlanjut, maka penderita akan masuk ke stadium apnoe.

3. Stadium Apnea Korban kehabisan nafas karena depresi pusat pernafasan, otot menjadi lemah, hilangnya refleks, dilatasi pupil, tekanan darah menurun, pernafasan dangkal dan semakin memanjang, akhirnya berhenti bersamaan dengan lumpuhnya pusat-pusat kehidupan.Walaupun nafas telah berhenti dan denyut nadi hampir tidak teraba, pada stadium ini bisa dijumpai jantung masih berdenyut beberapa saat lagi. Masa dari saat asfiksia timbul sampai terjadinya kematian sangat bervariasi. Umumnya berkisar antara 3-5 menit.

2.1.6. Tanda Kardinal Asfiksia Selama beberapa tahun dilakukan autopsi untuk mendiagnosis kematian akibat asfiksia, telah ditetapkan beberapa tanda klasik (Knight, 1996), yaitu:

a. Tardieus spot (Petechial hemorrages) Tardieus spot terjadi karena peningkatan tekanan vena secara akut yang menyebabkan overdistensi dan rupturnya dinding perifer vena, terutama pada jaringan longgar, seperti kelopak mata, dibawah kulit dahi, kulit dibagian belakang telinga, circumoral skin, konjungtiva dan sklera mata. Selain itu juga bisa terdapat dipermukaan jantung, paru dan otak. Bisa juga terdapat pada lapisan viseral dari pleura, perikardium, peritoneum, timus, mukosa laring dan faring, jarang pada mesentrium dan intestinum.

b. Kongesti dan Oedema Ini merupakan tanda yang lebih tidak spesifik dibandingkan dengan ptekie. Kongesti adalah terbendungnya pembuluh darah, sehingga terjadi akumulasi darah dalam organ yang diakibatkan adanya gangguan sirkulasi pada pembuluh darah. Pada kondisi vena yang terbendung, terjadi peningkatan tekanan hidrostatik intravaskular (tekanan yang mendorong darah mengalir di dalam vaskular oleh kerja pompa jantung) menimbulkan perembesan cairan plasma ke dalam ruang interstitium. Cairan plasma ini akan mengisi pada sela-sela jaringan ikat longgar dan rongga badan (terjadi oedema).

c. Sianosis Merupakan warna kebiru-biruan yang terdapat pada kulit dan selaput lendir yang terjadi akibat peningkatan jumlah absolut Hb tereduksi (Hb yang tidak berikatan dengan O2). Ini tidak dapat dinyatakan sebagai anemia, harus ada minimal 5 gram hemoglobin per 100 ml darah yang berkurang sebelum sianosis menjadi bukti, terlepas dari jumlah total hemoglobin.Pada kebanyakan kasus forensik dengan konstriksi leher, sianosis hampir selalu diikuti dengan kongesti pada wajah, seperti darah vena yang kandungan hemoglobinnya berkurang setelah perfusi kepala dan leher dibendung kembali dan menjadi lebih biru karena akumulasi darah.

d. Tetap cairnya darah Terjadi karena peningkatan fibrinolisin paska kematian. Gambaran tentang tetap cairnya darah yang dapat terlihat pada saat autopsi pada kematian akibat asfiksia adalah bagian dari mitologi forensik. Pembekuan yang terdapat pada jantung dan sistem vena setelah kematian adalah sebuah proses yang tidak pasti, seperti akhirnya pencairan bekuan tersebut diakibatkan oleh enzim fibrinolitik. Hal ini tidak relevan dalam diagnosis asfiksia

2.1.7. Tanda Khusus Asfiksia Didapati sesuai dengan jenis asfiksia (Amir, 2007), yaitu: a. Pada pembekapan, kelainan terdapat disekitar lobang hidung dan mulut. Dapat berupa luka memar atau lecet. Perhatikan bagian di belakang bibir luka akibat penekanan pada gigi, begitu pula di belakang kepala atau tengkuk akibat penekanan. Biasanya korban anak-anak atau orang yang tidak berdaya. Bila dilakukan dengan bahan halus, kadang-kadang sulit mendapatkan tanda-tanda kekerasan.

b. Mati tergantung. Kematian terjadi akibat tekanan di leher oleh pengaruh berat badan sendiri. Kesannya leher sedikit memanjang, dengan bekas jeratan di leher. Ada garis ludah di pinggir salah satu sudut mulut. Bila korban cukup lama tergantung, maka lebam mayat didapati di kedua kaki dan tangan. Namun bila segera diturunkan, maka lebam mayat akan didapati pada bagian terendah tubuh. Muka korban lebih sering pucat, karena peristiwa kematian berlangsung cepat, tidak sempat terjadi proses pembendungan.

Pada pembukaan kulit di daerah leher, didapati resapan darah setentang jeratan, demikian juga di pangkal tenggorokan dan oesophagus. Tanda-tanda pembendungan seperti pada keadaan asfiksia yang lain juga didapati. Yang khas disini adalah adanya perdarahan berupa garis yang letaknya melintang pada tunika intima dari arteri karotis interna, setentang dengan tekanan tali pada leher. Tanda-tanda diatas tidak didapati pada korban yang digantung setelah mati, kecuali bila dibunuh dengan cara asfiksia. Namun tanda-tanda di leher tetap menjadi petunjuk yang baik.

2.1.8. Pemeriksaan Jenazah

a. Pada pemeriksaan luar jenazah dapat ditemukan (Ilmu Kedokteran Forensik, 1997):

1. Sianosis pada bibir, ujung-ujung jari dan kuku. 2. Pembendungan sistemik maupun pulmoner dan dilatasi jantung kanan merupakan tanda klasik pada kematian akibat asfiksia. 3. Warna lebam mayat merah-kebiruan gelap dan terbentuk lebih cepat. Distribusi lebam mayat lebih luas akibat kadar karbondioksida yang tinggi dan aktivitas fibrinolisin dalam darah sehingga darah sukar membeku dan mudah mengalir. 4. Terdapat busa halus pada hidung dan mulut yang timbul akibat peningkatan aktivitas pernapasan pada fase 1 yang disertai sekresi selaput lendir saluran napas bagian atas. Keluar masuknya udara yang cepat dalam saluran sempit akan menimbulkan busa yang kadang-kadang bercampur darah akibat pecahnya kapiler. Kapiler yang lebih mudah pecah adalah kapiler pada jaringan ikat longgar, misalnya pada konjungtiva bulbi, palpebra dan subserosa lain. Kadang-kadang dijumpai pula di kulit wajah. 5. Gambaran pembendungan pada mata berupa pelebaran pembuluh darah konjungtiva bulbi dan palpebra yang terjadi pada fase 2. Akibatnya tekanan hidrostatik dalam pembuluh darah meningkat terutama dalam vena, venula dan kapiler. Selain itu, hipoksia dapat merusak endotel kapiler sehingga dinding kapiler yang terdiri dari selapis sel akan pecah dan timbul bintik-bintik perdarahan yang dinamakan sebagai Tardieus spot. Penulis lain mengatakan bahwa Tardieus spot ini timbul karena permeabilitas kapiler yang meningkat akibat hipoksia.

b. Pada pemeriksaan dalam jenazah dapat ditemukan (Ilmu Kedokteran Forensik, 1997): 1. Darah berwarna lebih gelap dan lebih encer, karena fibrinolisin darah yang meningkat paska kematian.

2. Busa halus di dalam saluran pernapasan. 3. Pembendungan sirkulasi pada seluruh organ dalam tubuh sehingga menjadi lebih berat, berwarna lebih gelap dan pada pengirisan banyak mengeluarkan darah. 4. Petekie dapat ditemukan pada mukosa usus halus, epikardium pada bagian belakang jantung belakang daerah aurikuloventrikular, subpleura viseralis paru terutama di lobus bawah pars diafragmatika dan fisura interlobaris, kulit kepala sebelah dalam terutama daerah otot temporal, mukosa epiglotis dan daerah sub-glotis. 5. Edema paru sering terjadi pada kematian yang berhubungan dengan hipoksia. 6. Kelainan-kelainan yang berhubungan dengan kekerasan, seperti fraktur laring langsung atau tidak langsung, perdarahan faring terutama bagian belakang rawan krikoid (pleksus vena submukosa dengan dinding tipis).

2.2. ASFIKSIA MEKANIK Asfiksia mekanik adalah mati lemas yang terjadi bila udara pernapasan terhalang memasuki saluran pernapasan oleh berbagai kekerasan (yang bersifat mekanik), (Ilmu Kedokteran Forensik, 1997), misalnya:

a. Penutupan lubang saluran pernapasan bagian atas, seperti pembekapan (smothering) dan penyumbatan (gagging dan choking). b. Penekanan dinding saluran pernapasan, seperti penjeratan (strangulation), pencekikan (manual strangulation, throttling) dan gantung (hanging). c. Penekanan dinding dada dari luar (asfiksia traumatik)

2.3. MATI GANTUNG (HANGING) 2.3.1. Defenisi Mati gantung (hanging) merupakan suatu bentuk kematian akibat pencekikan dengan alat jerat, di mana gaya yang bekerja pada leher berasal dari hambatan gravitasi dari berat tubuh atau bagian tubuh (Knight, 1996).

2.3.2. Etiologi Kematian pada Penggantungan Ada 6 penyebab kematian pada penggantungan (Modi,1988), yaitu: a. Asfiksia Merupakan penyebab kematian yang tersering. Alat penjerat biasanya berada di atas tulang rawan tiroid yang menyebabkan penekanan pada leher, sehingga saluran pernafasan menjadi tersumbat.

b. Kongesti Vena Disebabkan oleh lilitan tali pengikat pada leher sehingga terjadi penekanan pada vena jugularis oleh alat penjerat sehingga sirkulasi serebral menjadi terhambat.

c. Kombinasi Asfiksia dan Kongesti Vena Merupakan penyebab kematian yang paling umum, seperi pada kebanyakan kasus dimana saluran napas tidak seluruhnya dihalangi oleh penjerat yang berada di sekitar leher.

d. Iskemik Otak (anoxia) Disebabkan oleh penekanan pada arteri besar di leher yang berperan dalam menyuplai darah ke otak, umunya pada arteri karotis dan arteri vertebralis.

e. Syok Vagal Menyebabkan serangan jantung mendadak karena terjadinya hambatan pada refleks vaso-vagal secara tiba-tiba, hal ini terjadi karena adanya tekanan pada saraf vagus atau sinus karotid.

f. Fraktur atau Dislokasi dari Verterbra Servikal 2 dan 3 Biasanya terjadi pada kasus judicial hanging, hentakan yang tiba-tiba pada ketinggian 1-2 m oleh berat badan korban dapat menyebabkan fraktur dan dislokasi dari vertebra servikalis yang selanjutnya dapat menekan atau merobek spinal cord sehingga terjadi kematian yang tiba-tiba.

2.3.3. Jenis Penggantungan a. Dari letak tubuh ke lantai dapat dibedakan menjadi 2 tipe (Amir, 2008), yaitu:

1. Tergantung Total (complete), dimana tubuh seluruhnya tergantung di atas lantai.

2. Setengah Tergantung (partial), dimana tidak seluruh bagian tubuh tergantung, misalnya pada posisi duduk, bertumpu pada kedua lutut, dalam posisi telungkup dan posisi lain.

b. Dari letak jeratan dibedakan menjadi 2 tipe (Amir, 2008), yaitu:

1. Tipikal, dimana letak simpul di belakang leher, jeratan berjalan simetris di samping leher dan di bagian depan leher di atas jakun. Tekanan pada saluran nafas dan arteri karotis paling besar pada tipe ini.

2. Atipikal, bila letak simpul di samping, sehingga leher dalam posisi sangat miring (fleksi lateral) yang akan mengakibatkan hambatan pada arteri karotis dan arteri vetebralis. Saat arteri terhambat, korban segera tidak sadar.

2.3.4. Tanda Post Mortem

Tanda post mortem sangat berhubungan dengan penyebab kematian atau tekanan di leher. Kalau kematian terutama akibat sumbatan pada saluran pernafasan maka dijumpai tanda-tanda asfiksia, respiratory distress, sianose dan fase akhir konvulsi lebih menonjol. Bila kematian karena tekanan pembuluh darah vena, maka sering didapati tanda-tanda pembendungan dan perdarahan (ptechial) di konjungtiva bulbi, okuli dan di otak bahkan sampai ke kulit muka. Bila tekanan lebih besar sehingga dapat menutup arteri, maka tanda-tanda kekurangan darah di otak lebih menonjol (iskemi otak), yang menyebabkan gangguan pada sentra respirasi dan berakibat gagal nafas. Tekanan pada sinus karotikus menyebabkan jantung tiba-tiba berhenti dengan tanda-tanda post mortem yang minimal. Tanda- tanda di atas jarang berdiri sendiri, tetapi umumnya akan didapati tanda-tanda gabungan (Amir, 2008).

2.3.5. Pemeriksaan Jenazah

a. Pemeriksaan Luar Pada pemeriksaan luar penting diperiksa bekas jeratan di leher (Amir,2008), yaitu:

1. Bekas jeratan (ligature mark) berparit, bentuk oblik seperti V terbalik, tidak bersambung, terletak di bagian atas leher, berwarna kecoklatan, kering seperti kertas perkamen, kadang-kadang disertai luka lecet dan vesikel kecil di pinggir jeratan. Bila lama tergantung, di bagian atas jeratan warna kulit akan terlihat lebih gelap karena adanya lebam mayat.

2. Kita dapat memastikan letak simpul dengan menelusuri jejas jeratan. Simpul terletak di bagian yang tidak ada jejas jeratan, kadang di dapati juga jejas tekanan simpul di kulit. Bila bahan penggantung kecil dan keras (seperti kawat), maka jejas jeratan tampak dalam, sebaliknya bila bahan lembut dan lebar (seperti selendang), maka jejas jeratan tidak

begitu jelas. Jejas jeratan juga dapat dipengaruhi oleh lamanya korban tergantung, berat badan korban dan ketatnya jeratan. Pada keadaan lain bisa didapati leher dibeliti beberapa kali secara horizontal baru kemudian digantung, dalam kasus ini didapati beberapa jejas jeratan yang lengkap, tetapi pada satu bagian tetap ada bagian yang tidak tersambung yang menunjukkan letak simpul. 3. Leher bisa didapati sedikit memanjang karena lama tergantung, bila segera diturunkan tanda memanjang ini tidak ada. Muka pucat atau bisa sembab, bintik perdarahan Tardieus spot tidak begitu jelas, lidah terjulur dan kadang tergigit, tetesan saliva dipinggir salah satu sudut mulut, sianose, kadang-kadang ada tetesan urin, feses dan sperma. 4. Bila korban lama diturunkan dari gantungan, lebam mayat didapati di kaki dan tangan bagian bawah. Bila segera diturunkan, lebam mayat bisa di dapati di bagian depan atau belakng tubuh sesuai dengan letak tubuh sesudah diturunkan. Kadang penis tampak ereksi akibat terkumpulnya darah.

b. Pemeriksaan Dalam Pada pemeriksaan dalam perlu diperhatikan (Amir, 2008):

1. Jaringan otot setentang jeratan didapati hematom, saluran pernafasan congested, demikian juga paru-paru dan organ dalam lainnya. Terdapat Tardieus spot di permukaan paru-paru, jantung dan otak. Darah berwarna gelap dan encer 2. Patah tulang lidah (os hyoid) sering didapati, sedangkan tulang rawan yang lain jarang 3. Didapati adanya robekan melintang berupa garis berwarna merah (red line) pada tunika intima dari arteri karotis interna.

Tabel 2.1 : Cara membedakan kematian (pembunuhan atau bunuh diri) Pembunuhan Bunuh Diri

Alat penjerat: - Simpul - Jumlah lilitan - Arah - Jarak titik tumpu-simpul

Biasanya simpul mati Hanya satu Mendatar Dekat Simpul hidup Satu atau lebih Serong ke atas Jauh

Korban: - Jejas jerat - Luka perlawanan - Luka-luka lain

- Jarak dari lantai

Berjalan mendatar + Ada, sering di daerah leher Jauh Meninggi ke arah simpul - Biasanya tidak ada, mungkin terdapat luka percobaan lain Dekat, dapat tidak tergantung

TKP: - Lokasi - Kondisi - Pakaian

Bervariasi Tidak teratur Tidak teratur, robek Tersembunyi Teratur Rapi dan baik

Alat: Dari si pembunuh Berasal dari yang ada di TKP

Surat peninggalan: - +

Ruangan: Tak teratur, terkunci dari luar Terkunci dari dalam

BAB IIIPENUTUP

Asfiksia atau mati lemas adalah suatu keadaan berupa berkurangnya kadar oksigen dan berlebihnya kadar karbon dioksida secara bersamaan dalam darah dan jaringan tubuh akibat gangguan pertukaran antara oksigen dalam alveoli paru-paru dengan karbon dioksida dalam darah kapiler paru-paru. Asfiksia mekanik adalah mati lemas yang terjadi bila udara pernafasan terhalang memasuki saluran pernafasan oleh berbagai kekerasan (yang bersifat mekanik), misalnya pada kasus pembekapan (smothering), penyumbatan (gagging dan chocking), penjeratan (strangulation), pencekikan (manual strangulation), penggantungan (hanging), external pressure of the chest yaitu penekanan dinding dada dari luar, dan inhalation of suffocating gasses.

DAFTAR PUSTAKA

1. Muhammad Al Fatih II. Asfiksia dalam Forensik Klinik. 2007. Available at http://www.klinikindonesia.com/forensik.php. Diakses tanggal 17 oktober 20142. Abdul Munin Idries. Pedoman Ilmu Kedokteran Forensik Edisi Pertama. Binarupa Aksara. 1997. Hal 170-1753. Anonim. Tanatologi Dan Identifikasi Kematian Mendadak (Khususnya Pada Kasus Penggantungan). Available at http://fkuii.org/tiki-download_wiki_attachment.php?attId=14. Diakses tanggal 20 oktober 20144. Budiyanto A. Kematian Akibat Asfiksia Mekanik dalam Ilmu Kedokteran Forensik Edisi I. Jakarta. Bagian Kedokteran Forensik Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia. 1997. Hal 55 70.5. Surya Putra. Penentuan Standar Asfiksia Sebagai Penyebab Kematian di Instalasi Kedokteran Forensik RSUD DR.Sardjito. Badan Litbang Kesehatan, Departemen Kesehatan RI. Available at http://digilib.litbang.depkes.go.id. Diakses tanggal 15 oktober 20146. Amy R. Suicidal Ligature Strangulation: Case Report and Review of the Literature. 2000. Available at http://www.forensikkasus.fkui.com. Diakses tanggal 16 oktober 20147. www.repository fkusu.forensikkasus..com. diakses tanggal 16 oktober 2014

16