Lapsus asfiksia

39
PENDAHULUAN Angka kematian perinatal di Indonesia masih cukup tinggi, yaitu 40 per 1000 kelahiran hidup. Salah satu faktor yang mempengaruhi angka tersebut, antara lain penyakit dan perkembangan kesehatan ibu dan janin. (1) Kematian neonatus merupakan bagian terbesar dari kematian bayi dan anak. Terdapat 8 juta bayi meninggal dalam kurun waktu 1 tahun. Dari kematian ini 98% terjadi di negara berkembang, yang disebabkan infeksi, asfiksia, trauma lahir, prematuritas, dan berat badan lahir rendah. (2,3) Menurut Dirjen Binkesmas, angka kematian bayi di Indonesia yaitu 35 per 1000 kelahiran hidup dengan penyebab terbanyak yaitu asfiksia, infeksi, bayi berat lahir rendah. (2,3) Asfiksia merupakan salah satu penyebab kematian langsung pada neonatus. Asfiksia neonatus adalah keadaan bayi tidak dapat atau gagal bernafas segera, secara 1

description

asfiksia pada neonatus

Transcript of Lapsus asfiksia

Page 1: Lapsus asfiksia

PENDAHULUAN

Angka kematian perinatal di Indonesia masih cukup tinggi, yaitu 40 per 1000

kelahiran hidup. Salah satu faktor yang mempengaruhi angka tersebut, antara lain

penyakit dan perkembangan kesehatan ibu dan janin.(1) Kematian neonatus

merupakan bagian terbesar dari kematian bayi dan anak. Terdapat 8 juta bayi

meninggal dalam kurun waktu 1 tahun. Dari kematian ini 98% terjadi di negara

berkembang, yang disebabkan infeksi, asfiksia, trauma lahir, prematuritas, dan berat

badan lahir rendah.(2,3) Menurut Dirjen Binkesmas, angka kematian bayi di Indonesia

yaitu 35 per 1000 kelahiran hidup dengan penyebab terbanyak yaitu asfiksia, infeksi,

bayi berat lahir rendah. (2,3)

Asfiksia merupakan salah satu penyebab kematian langsung pada neonatus.

Asfiksia neonatus adalah keadaan bayi tidak dapat atau gagal bernafas segera, secara

spontan dan teratur setelah lahir. Disebut sebagai asfiksia berat jika skor APGAR 0-3.

Pada asfiksia berat, resusitasi aktif harus segera dilakukan. (4,5,6)

Penelitian prospektif tentang asfiksia neonatorum menyebutkan asfiksia terjadi

8,5% pada kehamilan tunggal dan 9,7% pada kehamilan ganda. Bayi kecil masa

kehamilan juga merupakan resiko besar untuk asfiksia neonatorum.(7,8)

1

Page 2: Lapsus asfiksia

Pemeriksaan antenatal memegang peranan yang amat penting untuk dapat

mengenal faktor risiko secepatnya sehingga dapat dihindari kematian atau penyakit

yang tidak perlu terjadi. Semua kendala di atas perlu ditangani melalui konsep

pelayanan yang jelas sehingga masyarakat dapat berperan aktif dalam usaha

menurunkan kematian perinatal dan meningkatkan mutu generasi yang akan datang.

Dengan demikian, identifikasi terhadap bayi-bayi risiko tinggi sangat diperlukan. Hal

ini akan mempercepat penatalaksanaan segera pada bayi-bayi risiko tinggi sehingga

angka kematian dan kesakitan dapat diturunkan. Salah satu kelainan yang

merupakan kategori bayi risiko tinggi adalah ikterus pada bayi.(1)

Ikterus umum terjadi selama usia minggu pertama kelahiran berkisar 60%

pada bayi cukup bulan dan 80% pada bayi kurang bulan. Ikterus yang menetap

selama dua sampai tiga minggu kelahiran dievaluasi untuk terjadi kolestasis neonatal.

(9,10)

Berikut akan dilaporkan sebuah kasus bayi cukup bulan sesuai masa

kehamilan dengan asfiksia berat dan ikterik neonatorum di ruang bayi RSUD Ulin

Banjarmasin.

2

Page 3: Lapsus asfiksia

LAPORAN KASUS

I. IDENTITAS ORANG TUA

Nama Ibu : Ny. R Nama Ayah : Tn. S

Umur Ibu : 26 tahun Umur Ayah : 30 tahun

Pendidikan : SMA Pendidikan : SD

Pekerjaan : IRT Pekerjaan : Swasta

Alamat : Jl. Pekapuran RT 2 No 45 Banjarmasin

II. YANG MENGIRIM : Datang sendiri

III.RIWAYAT KEHAMILAN DAN PERSALINAN SEBELUMNYA :

1. 2008/Abortus/3 bulan

2. 2009/ini

IV. KEADAAN KEHAMILAN SEKARANG

Hari Pertama Haid Terakhir : 20 Agustus 2008

Taksiran partus : 27 Mei 2009

DATA IBU:

MRS : 30 Mei 2009 Pukul 15.45 WITA

KU : Ingin melahirkan

Faktor resiko : - Riwayat keluar air-air (+) 2 hari sebelum masuk rumah

sakit

- Riwayat hipertensi (-)

- Riwayat nyeri ulu hati (+)

3

Page 4: Lapsus asfiksia

- Riwayat pandangan mata kabur (-)

- Riwayat kaki bengkak (-)

- Riwayat demam saat hamil (-)

- Riwayat minum jamu (-)

Tanda vital :

TD : 120/80 mmHg RR : 20 x/menit

N : 88 x/menit T : 36,5ºC

Hasil laboratorium Ibu :

Leukosit : 28.1 ribu/ul Trombosit : 184.000/ul

RDW-CV : 14,8 %

Eosinofil% : 0,0%

Neutrofil% : 92,6%

Limfosit% : 2,6%

Neutrofil# : 25.98 ribu/ul

Limfosit# : 0.74 ribu/ul

Monosit# : 1.35 ribu/ul

Hasil PT : 17,7 detik

Diagnosis Ibu : G1P0A1 hamil 41 minggu kala II lama + KPD + JTHIU

presentasi kepala

Data Janin :

DJJ : 156 x/menit

TBJ : 3255 gram

4

Page 5: Lapsus asfiksia

Riwayat Natal

Macam persalinan : persalinan pervaginam

Dipimpin oleh : dr Residen Obsgyn

Waktu kelahiran : 30 Mei 2009/18.25 wita

Kelahiran : Tunggal

Kondisi saat lahir : Hidup

1. Penilaian bayi dengan APGAR Score

Tanda 0 1 2 Jumlah Nilai

1 2 4

Frekuensi jantung

Tidak ada < 100 > 100 0 0 1

Usaha bernapas

Tidak ada Lambat Menangis kuat

0 1 1

Tonus otot Lumpuh Ekstrimitas fleksi sedikit

Gerakan aktif 0 0 1

Refleks terhadap rangsangan

Tidak bereaksi

Gerakan sedikit

Reaksi melawan

0 0 0

Warna Biru/pucat Tubuh kemerahan, tangan dan kaki biru

Kemerahan 1 1 1

5

Page 6: Lapsus asfiksia

Antropometri :

- Berat badan lahir : 3.000 gram

- Panjang badan lahir : 53 cm

- Lingkar kepala : 34 cm

- Lingkar dada : 30 cm

III. PEMERIKSAAN FISIK

Umur : Bayi Baru Lahir

Berat badan : 3.000 gram

Panjang badan : 53 cm

AS/SD : 1-2-4/4

Tanda Vital :

- Nadi : 188 kali/menit

- Pernafasan : 52 kali/menit

- Suhu : 39oC

- Berat Badan : 3.000 gram

Kulit : Berwarna kemerahan bervariasi diseluruh tubuh, lanugo (+), vernix

kaseosa (+)

Rambut : Berwarna hitam, merata, karakteristik lurus, mudah dipisahkan

Kepala : Bentuk kepala simetris/mesosefali, ubun-ubun besar belum menutup

dan datar, ubun-ubun kecil belum menutup dan datar, wajah

6

Page 7: Lapsus asfiksia

simetris, tidak ada sefal hematom, tidak ada caput susedanium, tidak

ada edema.

Mata : Konjungtiva tidak anemis, sklera tidak ikterik, tidak ada sub

konjungtival bleeding, palpebra tidak edema, diameter pupil kanan

3 mm/kiri 3 mm, isokor, reflek cahaya +/+), kornea jernih.

Mulut : Mukosa bibir basah dan berwarna merah muda, tidak ada

labiopalatoschizis, tidak ada uvula bifida

Telinga : Bentuk normal, simetris, lipatan pinna jelas, recoil cepat kembali

Hidung : Bentuk normal, simetris, pernafasan cuping hidung (+), epistaksis

tidak ada, sekret tidak ada, deviasi septum tidak ada

Leher : Tidak terdapat kaku kuduk, tidak terdapat tortikolis.

Thorak : Jaringan payudara teraba (+) dua pihak diameter 0,5-1.0 cm, areola

licin dan datar, diameter 0,75 cm, retraksi minimal.

Paru : simetris, suara nafas bronkovesikuler, tidak ditemukan rhonki, tidak

ada wheezing.

Jantung : S1,S2 tunggal, bising tidak ada

Abdomen : Datar, simetris, tidak kembung, tali pusat segar, hepar dan lien tidak

teraba. Massa tidak teraba, BU (+) N

Genitalia : Laki-laki, desensus testis belum lengkap

Anus : Ada, tidak ada kelainan, BAB (+)

Ekstremitas : Tidak ada kelainan, edema (-), parese (-)

Denyut arteri femoralis: Ka : teraba Ki : teraba

7

Page 8: Lapsus asfiksia

Tulang belakang : Tidak ada deformitas, tidak ada spina bifida

Tanda-tanda fraktur : Tidak ada

Tanda-tanda kelainan bawaan: Tidak ada

Reflek primitif : Refleks moro normal, sucking refleks normal, grasping refleks

normal, rooting refleks normal

Umur kehamilan : Nilai Finstrom

Nilai Duowitz : 36-38 minggu

Nilai Ballard : 36-38 minggu

V. PEMERIKSAAN PENUNJANG

Pemeriksaan laboratorium tanggal 30 Mei 2009

Lekosit : 22,200/ul

MCV : 108,4 fl

MCH : 36,6 pg

Neutrofil# : 14,50 ribu/ul

Limfosit# : 6,00 ibu/ul

CRP kualitatif : negative

Pemeriksaan laboratorium tanggal 4 Juni 2009

CRP kualitatif : negative

Lekosit : 19,6 rb/ul

8

= 11,03 + (7,75 x 34) 7= 39 – 40 minggu

Page 9: Lapsus asfiksia

Eritrosit : 4,31 jt/ul

MCH : 3,48 pg

Eosinofil% : 0,3 %

Neutrofil% : 72,7 %

Limfosit%: 11,3 %

Monosit% : 14,9 %

Basofil# : 0,15 rb/ul

Neutofil# :14,24 rb/ul

Monosit# : 2,91 rb/ul

Bilirubin total : 6,69 mg/dl

Bilirubin direk :2,05 mg/dl

Bilirubin Indirek : 4,64 mg/dl

Albumin : 3,7 g/dl

VI. DIAGNOSA

Diagnosis banding

I. BCB II. SMK III. Asfiksia berat

BKB KMK Asfiksia sedang

BLB BMK Asfiksia ringan

Diagnosis kerja

BCB SMK spontan belakang kepala + Asfiksia berat

9

Page 10: Lapsus asfiksia

PENATALAKSANAAN

- Rawat box (jaga T= 36,5 – 37,5 cm)

- O2 (+) head box 5 lpm

- Kebutuhan cairan : 60 cc/kgBB/hr

o Infus: D5% + 4 cc Ca Glukonas 100cc

60 cc/kg BB/hari = 7,5 tpm 100cc

o Protein (-)

o Prod darah (-)

o P.O = puasa

- Obat-obatan:

- iv : (+) Ampicillin 150 mg/12 jam, Gentamcyin 15 mg/36 jam

- im : (+) Vitamin K

- p.o :(-)

- Monitor : Keadaan umum, tanda vital, hipoglikemia, hipotermia

- Program : - Cek darah lengkap, golongan darah, GDS, CRP, Rawat tali

pusat

10

Page 11: Lapsus asfiksia

DISKUSI

1. Definisi

Bayi cukup bulan adalah bayi yang lahirnya dengan masa gestasi 37-42

minggu (259-293 hari). (5) Asfiksia berat adalah keadaan bayi baru lahir yang

gagal bernapas secara spontan dan teratur segera setelah lahir. (5,11,12)

Ikterus fisiologis ialah ikterus yang timbul pada hari kedua dan ketiga

yang tidak mempunyai dasar patologis, kadarnya tidak melewati kadar yang

membahayakan atau mempunyai potensi menjadi kernicterus dan tidak

menyebabkan suatu morbiditas pada bayi. Ikterus patologis ialah ikterus yang

mempunyai dasar patologis atau kadar bilirubinnya mencapai suatu nilai yang

disebut hiperbilirubinemia.

2. Diskusi

A. Asfiksia Neonatorum

Asfiksia neonatorum merupakan suatu keadaan bayi baru lahir yang gagal

bernapas secara spontan dan teratur. Kegagalan ini akan berlanjut menjdi sindrom

gangguan pernapasan pada hari-hari pertama setelah lahir. (11)

Secara sederhana pada asfiksia terjadi : (11)

Menurunnya tekanan O2 dalam darah (Pa O2).

11

Page 12: Lapsus asfiksia

Meningginya tekanan CO2 darah (Pa CO2)

Menurunnya pH akibat asidosis respiratorik atau metabolik

Dipakainya sumber glikogen tubuh untuk metabolisme anaerob

Terjadi perubahan sistem cardiovaskuler

Asfiksia neonatorum merupakan salah satu penyebab penting morbiditas dan

mortalitas perinatal. Asfiksia neonatus terjadi apabila saat lahir bayi mengalami

gangguan pertukaran O2 dan kesulitan mengeluarkan CO2. (13)

Faktor predisposisi yang sering menyertai bayi asfiksia: (13)

1. Faktor ibu dalam persalinannya

Diabetes melitus

Hipertensi

Kelainan jantung

Gangguan kontraksi uterus

Partus lama

Plasenta previa atau solutio plasenta

Persalinan abnormal

2. Faktor janin

Gangguan tumbuh intra uterin

Kelainan bawaan

Depresi napas akibat anestesi yang diberikan pada ibu

Gangguan aliran tali pusat, tali pusat terlilit, tali pusat menumbung.

12

Page 13: Lapsus asfiksia

Asfiksia pada kasus ini diperkirakan dari faktor ibu, kala II lama. Hal ini

didapatkan dari anamnesa yaitu adanya usaha untuk mempimpin persalinan 3 jam

(kala II lama) serta adanya ketuban pecah dini yang didapatkan dari anamnesa yaitu

2 hari sebelum masuk rumah sakit ibu mengaku telah keluar air-air. Selama di dalam

kandungan proses respirasi pada bayi dibantu oleh adanya transport O2 melalui

plasenta, pada saat bayi lahir, bayi mulai menyesuaikan diri dengan keadaan

lingkungan intra uterin ke keadaan lingkungan ekstra uterin, alveoli paru janin dalam

uterus berisi cairan paru dan cairan paru diabsopsi oleh jaringan paru. Pada nafas

kesua dan berikutnya, udara yang masuk ke alveoli bertambah banyak dan cairan

paru diabsorpsi sehingga kemudian seluruh alveoli berisi udara yang mengandun

oksigen. Aliran darah paru meningkat secara drastis. Hal ini disebabkan karena

ekspansi paru yang membutuhkan tekanan puncak inspirasi dan tekanan akhir

ekspirasi yang tinggi. Ekspansi paru dan peningkatan tekanan oksigen alveoli,

keduanya menyebabkan penurunan resistensi vaskuler paru dan peningkatan aliran

darah paru setelah lahir. Aliran intrakardial dan ekstrakardial mulai beralih arah

yang diikuti penutupan duktus arteriosus. Kegagalan penurunan resistensi vaskuler

paru menyebabkan hipertensi pulmoal persisten pada bayi baru lahir, dengan aliran

darah paru yang inadekuat dan hipoksemia relatif. Ekspansi paru yang inadekuat

menyebabkan gagal nafas/asfiksia.(13)

Penentuan derajat asfiksia dilakukan dengan APGAR score yang digunakan

selain untuk menentukan keadaan setelah lahir juga menentukan apakah diperlukan

resusitasi. (6)

13

Page 14: Lapsus asfiksia

Pada bayi dalam kasus ini, APGAR score menit ke 0 (pada saat baru lahir)

adalah 1 berarti termasuk dalam kategori asfiksia berat, dimana frekuensi jantung

tidak dapat diukur (tidak ada), tonus otot lumpuh, reflex/gerakan terhadap rangsangan

tidak ada, usaha bernafas tidak ada sedangkan warna kulit tubuh kemerahan

sedangkan tangan dan kaki biru. Pada menit ke 1 score APGAR adalah 2 dimana

frekwensi jantung tidak ada, usaha bernafas lambat, tonus otot lumpuh, reflek

terhadap rangsangan tidak ada, warna kulit tubuh kemerahan sedangkan tangan dan

kaki biru. Pada menit ke 5 score APGAR adalah 4 dimana frekwensi jantung < 100,

usaha bernafas lambat, tonus otot ekstremitas flexi sedikit, reflex terhadap

rangsangan tidak ada dan warna kulit tubuh kemerahan sedangkan tangan dan kaki

biru

Banyak hal yang menjadi penyebab APGAR score yang rendah, antara lain:

fetal hipoksia, general anestesi, penggunaan sedasi atau analgetik dengan petidin atau

morfin yang diberikan pada 4 jam terakhir, bayi berat lahir rendah, persalinan yang

sulit, atau terjadi trauma saat persalinan, maupun distres respirasi berat.(14)

Pada penanganan bayi dengan asfiksia berat pada kasus ini adalah

pembersihan dan pembebasan jalan napas dan diberikan O2 5 liter/menit karena

pernapasan tidak adekuat. Badan bayi dibersihkan dan dilakukan penghangatan

dengan rawat incubator untuk menjaga suhu bayi tetap 36,50C-37,50C dan diberikan

Vitamin K 1 mg IM untuk mencegah perdarahan di umbilicus karena vitamin K

diperlukan untuk pembentukan faktor pembekuan I,II danVII di hati. Kemudian

dilakukan observasi tanda vital dan keadaan umum.

14

Page 15: Lapsus asfiksia

Pemeriksaan laboratorium untuk darah rutin dan Glukosa Darah Sewaktu

(GDS) diperlukan sesaat setelah bayi lahir ini dikarenakan terjadinya peningkatan

glikolisis dan glikogen tubuh yang digunakan untuk metabolisme anaerob, didapatkan

hasil GDS 82 mg/dl yang berarti bayi ini tidak mengalami hipoglikemia, bayi

dikatakan mengalami hipoglikemia jika gula darah kurang dari 45 mg/dl (2,6

mmol/L). selain itu juga dilakukan pemeriksaan darah lengkap dan pemeriksaan CRP

pada bayi ini.

Menurut IDAI, 2004 gangguan napas dapat diterapi dengan: (15)

1. Manajemen Umum

Beri O2 dengan kecepatan sedang

Jika bayi mengalami apne:

o Bayi dirangsang dengan mengusap dada atau punggung bayi

o Bila bayi tidak mulai bernapas atau mengalami sianosis sentral,

napas megap-megap, atau denyut jantung menetap kurang dari

100 kali/menit, lakukan resusitasi dengan memakai balon dan

sungkup.

Kaji ulang temuan dari anamnesa dan pemeriksaan fisik

Periksa kadar glukosa darah. Bila kadarnya <45mg/dl (tangani sebagai

hipoglikemia).

Berikan perawatan selanjutnya dan tenukan manajeme spesifik

menurut jenis gangguan napasnya.

Tentukan napas gangguan napas berat,sedang atau ringan

2. Manajemen Spesifik

Teruskan O2 dengan kecepatan aliran sedang

15

Page 16: Lapsus asfiksia

Tangani sebagai kemungkinan besar sepsis

Bila ada perburukan atau terdapat sianosis sentral, naikkan O2 pada

kecepatan tinggi.

Jika gangguan napas masih menetap setelah 2 jam, pasang pipa

lambung untuk mengosongkan cairan lambung dan udara

Nilai kondisi bayi 4 kali setiap hari apakah ada tanda perbaikan.

Jika mulai menunjukkan tanda perbaikan (frekuensi nafas menurun,

tarikan dinding dada berkurang, warna kulit membaik)

- kurangi pemberian O2 secara bertahap

- mulailah pemberian ASI peras melalui pipa lambung

- Bila pemberian O2 tidak diperlukan lagi, bayi mulai dilatih

menyusu

Pantau dan catat setiap 3 jam mengenai :

- frekuensi nafas

- adanya tarikan dinding dada atau suara merintih saat

ekspirasi

- episode apne

Periksa kadar glukosa darah sehari sekali sampai setengah kebutuhan

minum dapat dipenuhi secara oral

Amati bayi selama 24 jam setelah pemberian antibiotika dihentikan.

Jika bayi tampak kemerahan tanpa terapi O2 selama 3 hari, minum

baik dan tidak ada masalah lain yang memerlukan perawatan di rumah

sakit, bayi dapat dipulangkan.

16

Page 17: Lapsus asfiksia

Untuk pemberian antibiotik di RS Ulin khususnya ruang perinatologi,

digunakan kombinasi antibiotik yaitu ampicillin dan gentamicin, dimana ampicillin

yang merupakan turunan penicillin yang memiliki spektrum anti bakteri terhadap

kuman gram positif (pseudomonas, proteus) yang sensitif terhadap penicillin, serta

kuman gram negatif yang sensitif terhadap ampicillin adalah Pr. Mirabilis.

Pemberian nya harus IV karena tidak stabil pada pH asam lambung. (14) Pada pasien

ini dosis yang diberikan 150 mg/12 jam. Selain itu Gentamicin juga diberikan

dengan dosis 15 mg/36 jam. Pemberian antibiotik ini bertujuan untuk mencegah

terjadinya infeksi neonatrum.

B. Ikterus Neonatorum

Ikterus neonatorum adalah pewarnaan kuning pada kulit dan sklera bayi

baru lahir yang merupakan hasil dari akumulasi bilirubin tak terkonjugasi. Ikterus

neonatorum dapat bersifat fisiologis dan patologis. (16, 17)

Insidensi ikterus neonatorum meningkat pada bayi-bayi di Asia Timur,

Indian Amerika, dan Yunani. Tahun 1985, Linn et al melaporkan terjadinya

ikterus neonatorum sebanyak 49% bayi di Asia Timur, 20% pada bayi kulit putih,

dan 12% bayi Afrika Amerika dengan kadar bilirubin melebihi 10 mg%. Di

RSCM pada tahun 1984, sekitar 32,1% pada bayi cukup bulan dan 42,9% pada

bayi kurang bulan. Lebih dari 50% dari bayi ikterus tersebut memiliki kadar

bilirubin melebihi 10 mg%. (16,18)

17

Page 18: Lapsus asfiksia

Etiologi dan Patogenesis

Metabolisme bilirubin bayi baru lahir berada dalam transisi dari stadium

janin yang selama waktu tersebut plasenta merupakan tempat utama eliminasi

bilirubin yang larut lemak, ke stadium dewasa, yang selama waktu tersebut

bentuk bilirubin terkonjugasi yang larut air dieksresikan sel hati ke sistem biliaris

dan kemudian ke dalam saluran pencernaan. (18)

Ikterus neonatorum fisiologis merupakan hasil dari 2 fenomena berikut:(18)

Peningkatan produksi bilirubin karena meningkatnya

penghancuran eritrosit. Hal ini terjadi karena pendeknya umur eritrosit bayi

dan massa eritrosit yang lebih tinggi pada bayi.

Kapasitas eksresi hepar yang rendah karena rendahnya konsentrasi

protein pengikat ligandin pada hepatosit dan karena aktivitas yang rendah dari

glukuronil transferase, enzim yang mengikat bilirubin menjadi asam

glukuronik, yang membuat bilirubin menjadi larut dalam air (terkonjugasi).

Hiperbilirubinemia terkonjugasi dapat dibedakan menjadi 2 kelompok: (16)

Obstruksi saluran empedu dengan atau tanpa kerusakan

hepatoseluler

Kerusakan hepatoseluler dengan saluran empedu yang normal.

Sebab terjadinya ikterus pada neonatus dibagi menjadi 3 bagian, yaitu: (11)

1. Ikterus prahepatik

Ikterus ini terjadi akibat produksi bilirubin yang meningkat yang terjadi pada

hemolisis sel darah merah (ikterus hemolitik). Kepastian sel hati untuk

18

Page 19: Lapsus asfiksia

mengadakan konjugasi terbatas apalagi bila disertai adanya disfungsi sel hati,

akibatnya bilirubin indirek akan meningkat. Dalam batas tertentu bilirubin

direk juga meningkat sehingga akan dieksresikan ke saluran cerna sehingga

akan didapatkan urobilinogen dalam tinja.

Peningkatan pembentukan bilirubin dapat disebabkan oleh:

a. Kelainan sel darah merah

b. Infeksi

c. Toksin yang berasal dari luar tubuh seperti obat-obatan, maupun yang

berasal dari dalam tubuh, seperti yang terjadi pada reaksi transfusi atau

eritroblastosis fetalis.

2. Ikterus hepatoseluler (intrahepatik)

Kerusakan sel hati akan menyebabkan konjugasi bilirubin terganggu, sehingga

bilirubin direk akan meningkat. Kerusakan sel hati menyebabkan bendungan

di dalam hati sehingga bilirubin darah akan mengadakan regurgitasi ke dalam

sel hati sehingga menyebabkan peninggian kadar bilirubin konjugasi di dalam

darah. Bilirubin direk ini larut dalam air sehingga mudah dieksresikan oleh

ginjal ke dalam air kemih. Adanya sumbatan intrahepatik akan menyebabkan

penurunan eksresi bilirubin dalam saluran pencernaan yang kemudian akan

menyebabkan tinja berwarna pucat, karena sterkobilin menurun.

3. Ikterus pasca hepatik

Bendungan dalam saluran empedu akan menyebabkan peninggian bilirubin

konjugasi yang larut dalam air. Sebagai akibat bendungan, bilirubin ini akan

19

Page 20: Lapsus asfiksia

mengalami regurgitasi kembali ke dalam sel hati dan terus memasuki

peredaran darah. Selanjutnya akan masuk ke ginjal dan dieksresikan oleh

ginjal sehingga kita akan menemukan bilirubin dalam urin. Sebaliknya karena

ada bendungan maka bilirubin dalam saluran pencernaan akan berkurang,

sehingga akibatnya tinja akan berwarna seperti dempul, karena tidak

mengandung sterkobilin. Urobilinogen dalam tinja dan air kemih akan

menurun. Akibat penimbunan bilirubin direk, maka kulit dan sklera akan

berwarna kuning kehijauan. Kulit akan terasa gatal. Penyumbatan empedu

(kholestasis) dibagi dua yaitu intra hepatik, bila penyumbatan terjadi antara

sel hati dan duktus kholedokus dan ekstra hepatik bila stasis terjadi di dalam

duktus koledokus.

Manifestasi Klinik

Ikterus dapat ada pada saat lahir dan dapat muncul setiap saat selama

masa neonatus, tergantung pada keadaan yang menyebabkannya. Ikterus biasanya

mulai pada muka dan, ketika kadar serum bertambah, terus ke abdomen dan

kemudian kaki. Ikterus pada bagian tengah-abdomen, tanda-tanda dan gejala-

gejalanya merupakan faktor resiko tinggi yang memberi kesan ikterus

nonfisiologis, atau hemolisis yang harus dievaluasi lebih lanjut.

Diagnosis ikterus fisiologis pada bayi cukup bulan atau preterm dapat

ditegakkan hanya dengan mengesampingkan sebab-sebab ikterus yang diketahui

berdasarkan riwayat dan tanda-tanda klinis serta laboratorium. (16)

20

Page 21: Lapsus asfiksia

Kriteria dikatakan bahwa ikterus fisiologis pada neonatus apabila: (17, 19)

1. Kadar bilirubin indirek 1 – 3 mg/dl

2. Kadar tersebut dapat meningkat asalkan <5 mg/dl dalam 24 jam

3. Ikterus nampak dalam hari ke 2 atau ke 3 setelah bayi lahir

4. Ikterus mencapai puncaknya pada hari ke 2 – 4 pada level bilirubin

serum 5 – 6 mg/dl

5. Kemudian kadar bilirubin serum menurun pada hari ke 5 -7 pada level

2 mg/dl

6. Kadar bilirubin direk mendekati orang dewasa yaitu 1 mg/dl pada hari

ke 10 -14.

Dan kita harus mencurigai suatu ikterus patologis dan etiologi ikterusnya

harus segera diketemukan apabila: (17,19)

1. Ikterus yang terjadi pada 24 jam pertama kelahiran

2. Ikterus dengan kadar bilirubin melebihi 12,5 mg/dl pada neonatus

cukup bulan dan 10 -14 mg/dl pada neonatus kurang bulan.

3. Ikterus dengan peningkatan bilirubin lebih 5 mg/dl/hari

4. Bila bilirubin direk lebih dari 1 mg/dl

5. Ikterus yang menetap setelah 2 minggu

6. Ikterus yang mempunyai hubungan dengan proses

hemolisis/inkompatibilitas darah, defisiensi enzim G-6-PD dan atau keadaan

patologis lain yang telah diketahui, atau adanya riwayat keluarga dengan

penyakit hemolitik.

21

Page 22: Lapsus asfiksia

7. Disertai gejala klinik berupa pucat, hepatomegali, splenomegali,

kegagalan terapi sinar, muntah atau kencing yang gelap, serta tanda-tanda

kernikterus.

8. Ikterus yang disertai keadaan-keadaan sebagai berikut:

Berat lahir kurang dari 2000 gram

Masa gestasi kurang dari 36 minggu

Infeksi

Trauma lahir pada kepala

Hipoglikemia, hiperkarbia

Hiperosmolar darah

Pada bayi ini ikterus neonatorum yang terjadi diperkirakan masih

termasuk ikterus fisiologis, dimana ikterik pada bayi muncul pada hari kelima

setelah kelahiran (pada ikterik patologis ikterus muncul dalam 24 jam setelah

kelahiran), ikterik terlihat pada bayi sampai kremer IV yaitu dari kepala sampai

ke pergelangan kaki. Selain itu kadar bilirubin indirek dari hasil pemeriksaan

laboratorium didapatkan hasil yaitu 4,64 mg/dl (pada ikterik fisiologis kadar

bilirubin indirek 1-3 mg/dl dan dapat meningkat asal< 5 mg/dl ) dan kadar

bilirubin total yaitu 6,69 mg/dl.( dikatakan ikterus patologis apabila kadar

bilirubin melebihi 12,5 mg/dl pada neonatus cukup bulan).

Pada bayi ini juga diperhatikan kebutuhan cairan yang diperlukan pada

hari pertama dan hari perawatan kedua mendapatkan cairan IVFD D10% +Ca

Glukonas (4 cc/10cc) sebesar 7,5 tetes/1 mikro. Pada hari perawatan ketiga

22

Page 23: Lapsus asfiksia

mendapatkan cairan-IVD D10% +Ca Glukonas (4 cc/10cc) sebesar 10 tts/1

mikro.

Pada hari perawatan keempat mendapatkan cairan IVFD D10% +Ca

Glukonas (4 cc/10cc) sebesar 10 tts/1 mikro, protein (benutrion 1 gr) sebanyak

2,5 tetes/menit, pemberian oral ASI sebanyak 4x3 cc atau 4x4 cc.

Pada hari perawatan kelima mendapatkan cairan IVFD D10% +Ca

Glukonas (4 cc/10cc) sebesar 12,5 tetes/1 mikro, protein (benutrion 1 gr) sebesar

2,5 tetes/menit, pemberian oral ASI sebanyak 4x3 cc atau 4x4 cc. Karena pada

bayi ini mengalami ikterik maka diberikan obat oral yaitu Urdafalk sebanyak 3x1

bungkus yang fungsinya adalah untuk memperlancar aliran empedu, mengurangi

ikterik pada bayi. Supralysin sebagai multivitamin sebanyak 1x0,3 cc dan vitamin

E,K,A. Pada hari perawatan kelima ini bayi pulang atas permintaan keluarga

sehingga perkembangan keadaan bayi tidak dapat dikontrol kembali.

PENUTUP

23

Page 24: Lapsus asfiksia

Telah dilaporkan sebuah kasus Asfiksia berat dengan ikterik neonatorum

pada bayi Ny.R yang dirawat di ruang bayi RSUD Ulin Banjarmasin. Bayi didiagnosa

Asfiksia berat berdasarkan nilai APGAR yang diperoleh yaitu 1-2-4, sedangkan

diagnose ikterik diperoleh berdasarkan timbulnya ikterik pada hari ke 5 setelah

kelahiran. Penatalaksanaan yang dilakukan selama perawatan adalah perawatan

inkubator untuk menjaga suhu bayi tetap stabil yaitu 36,5 0C-37,50C, O2 head box 5

lpm, infus D5 ¼ NS + Ca Glukonas dan KCl, injeksi ampisilin 150 mg /12 jam i.v.

dan injeksi gentamisin 15 mg/36 jam i.v. dan vitamin K 1x1 IM, Urdafalk,

supralysin dan vitamin E,K,A.

DAFTAR PUSTAKA

24

Page 25: Lapsus asfiksia

1. Lubis NU. Penanggulangan perinatal risiko tinggi. Cermin Dunia Kedokteran, 2000; 126:22-4.

2. Dirjen Binkesmas. Setiap 2 jam, Ibu Hamil Meninggal. Dinas Kesehatan RI 2005.; (online), (http:/www.dinkes.go.id), diakses tanggal 02 Desember 2005).

3. Setyowati, Titiek. Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Bayi Lahir dengan Berat Badan Rendah. Badan Litbang Kesehatan 2004; (online), (http://www.litbangdepkes.go.id, diakses tanggal ) 02 Desember 2005).

4. Dharmasetiawani, N. Resusitasi Bayi Baru Lahir dalam Pendidikan Kedokteran Berkelanjutan dan Pelatihan Resusitasi Neonatus. Banjarmasin : SMF Obsgyn dan Ilmu Kesehatan Anak RSU Ulin/FK UNLAM; 2004: 1-11.

5. Rachman M, M.T Dardjat (ed). Segi-segi Praktis Ilmu Kesehatan Anak. Jakarta: Kelompok Minat Penulisan Ilmiah Mahasiswa FK Salemba;1984: 22-25.

6. Anonym. Resucitation. Safety of Planed Home Births 2005; (online), (http://www..safetybirths.com, diakses tanggal 21 November 2005).

7. Anonym. Merawat Bayi Prematur dalam Panduan Tumbuh Kembang. Dunia Bayi Edisi No. 330 Thn VII 2005; (online), (http://www.Nakita.com, diakses tanggal 22 November 2005)

8. Anonym. Low Birth Weight Dimes Home Page 2005; (online), (http://www.Dimes.com, diakses tanggal 21 November 2005)

9. Kliegman RM. Janin dan bayi neonatus. Dalam: Ilmu Kesehatan Anak Nelson Vol.1. Edisi ke-15. Jakarta: Penerbit Buku Kedokteran EGC, 2000.

10. Anonymous. Neonatal jaundice in intensive care nursery house staff manual. UCSF Children’s Hospital at UCSF Medical Center, 2004.

11. Hasan, R dkk. 1991. Ikterus pada Bayi Baru Lahir dan Infeksi pada Neonatus dalam Buku Kuliah Kesehatan Anak 3. FKUI, Jakarta; 1101-1125

12. Sepsis Neonatorum dalam Pedoman Diagnosis dan Terapi Bagian/SMF Ilmu Kesehatan Anak, Banjarmasin

13. Aminullah A. Asfiksia Bayi Baru Lahir. Dalam : Markum AH (ed) Ilmu Kesehatan Anak Jilid I. FKUI, Jakarta 1996.

25

Page 26: Lapsus asfiksia

14. Hasan, Masepno dan Husein A.(ed). Buku Kuliah Ilmu Kesehatan Anak Jilid 3. Jakarta: Bagian Ilmu Kesehatan Anak FKUI, 1997:1051-8;1072-7.

15. IDAI (UKK Perinatologi) MNH-JHPIEGO. Depkes RI. Buku Panduan Manajemen Masalah Bayi Baru Lahir untuk Dokter, Bidan dan Perawat di Rumah Sakit. Jakarta: Depkes RI. 2004

16. Hansen T. Jaundice, Neonatal. eMedicine 2002. Available from : URL : http://www.emedicine.com.

17. Ismail D. Dampak kegawatan perinatal pada tumbuh kembang anak. Dalam : Simposium pra rakernas IDAI FK UGM. Yogyakarta : 1999.p. 5-6.

18. Kliegman RM. Ikterus dan hiperbilirubinemia pada bayi baru lahir. Dalam : Behrman RE, Vaughan VC, Nelson WE, editors. Ilmu kesehatan anak edisi 12 bagian 2. Alih Bahasa : Siregar MR. Jakarta : EGC; 1992.p. 610-7.

19. Moninja HE. Beberapa aspek ikterus pada bayi baru lahir. Dalam : Majalah Kesehatan Masyarakat Indonesia. Jakarta ; 1996.p.816-21.

26