PATOFISIOLOGI ASFIKSIA

25
PATOFISIOLOGI ASFIKSIA I. PENDAHULUAN Asfiksia adalah kumpulan dari berbagai keadaan dimana terjadi gangguan dalam pertukaran udara pernapasan yang normal. Gangguan tersebut dapat disebabkan karena adanya obstruksi pada saluran pernapasan dan gangguan yang diakibatkan karena terhentinya sirkulasi. Kedua gangguan tersebut akan menimbulkan suatu keadaan dimana oksigen dalam darah berkurang (hipoksia) yang disertai dengan peningkatan kadar karbondioksida (hiperkapnea). 1,2 Asfiksia dalam bahasa Indonesia disebut dengan “mati lemas”. Sebenarnya pemakaian kata asfiksia tidaklah tepat, sebab kata asfiksia ini berasal dari bahasa Yunani, menyebutkan bahwa asfiksia berarti “absence of pulse” ( tidak berdenyut), sedangkan pada kematian karena asfiksia, nadi sebenarnya masih dapat berdenyut untuk beberapa menit setelah pernapasan berhenti. Istilah yang tepat secara terminologi kedokteran ialah anoksia atau hipoksia. 3,4 Pemeriksaan Post-mortem pada asfiksia: 4,5,6 1. Pemeriksaan Luar

Transcript of PATOFISIOLOGI ASFIKSIA

Page 1: PATOFISIOLOGI ASFIKSIA

PATOFISIOLOGI ASFIKSIA

I.                   PENDAHULUAN

Asfiksia adalah kumpulan dari berbagai keadaan dimana terjadi gangguan dalam

pertukaran udara pernapasan yang normal. Gangguan tersebut dapat disebabkan karena

adanya obstruksi pada saluran pernapasan dan gangguan yang diakibatkan karena terhentinya

sirkulasi. Kedua gangguan tersebut akan menimbulkan suatu keadaan dimana oksigen dalam

darah berkurang (hipoksia) yang disertai dengan peningkatan kadar karbondioksida

(hiperkapnea). 1,2

Asfiksia dalam bahasa Indonesia disebut dengan “mati lemas”. Sebenarnya pemakaian

kata asfiksia tidaklah tepat, sebab kata asfiksia ini berasal dari bahasa Yunani, menyebutkan

bahwa asfiksia berarti “absence of pulse” ( tidak berdenyut), sedangkan pada kematian

karena asfiksia, nadi sebenarnya masih dapat berdenyut untuk beberapa menit setelah

pernapasan berhenti. Istilah yang tepat secara terminologi kedokteran ialah anoksia atau

hipoksia. 3,4

      Pemeriksaan Post-mortem pada asfiksia:4,5,6

1.      Pemeriksaan Luar

a.       Lebam mayat jelas terlihat (livide) karena kadar karbondioksida yang tinggi dalam darah

b.      Sianosis

Sianosis adalah warna kebiruan dari kulit dan  membran mukosa yang merupakan akibat

dari konsentrasi yang berlebihan dari deoksihemoglobin atau hemoglobin tereduksi pada

pembuluh darah kecil. Sianosis terjadi jika kadar  deoksihemoglobin sekitar 5 g/dL. Dapat

dengan mudah terlihat pada daerah ujung jari dan bibir.

c.       Pada mulut bisa ditemukan busa

d.      Karena otot sfingter mengalami relaksasi, mungkin bisa terdapat feses, urin atau cairan

sperma

Page 2: PATOFISIOLOGI ASFIKSIA

e.       ‘Bercak Tardieu’ yaitu bercak peteki di bawah kulit atau konjungtiva

2.      Pemeriksaan Dalam

a.       Mukosa saluran pernapasan bisa tampak membengkak

b.      Sirkulasi pada bagian kanan tampak penuh sedangkan bagian kiri kosong

c.       Paru-paru mengalami edema

d.      Bercak-bercak perdarahan peteki tampak di bawah membran mukosa pada beberapa organ

e.       Hiperemi lambung, hati dan ginjal

f.       Darah menjadi lebih encer

II.                EPIDEMIOLOGI

Korban kematian akibat asfiksia termasuk yang sering diperiksa oleh dokter. Umumnya

urutan ke-3 sesudah kecelakaan lalu - lintas dan trauma mekanik. 2

 III.             ETIOLOGI 2,3

1.      Alamiah

Misalnya penyakit yang menyumbat saluran pernafasan seperti laringitis difteri, atau

menimbulkan gangguan pergerakan paru seperti fibrosis paru.

2.      Mekanik

Kejadian ini sering dijumpai pada keadaan hanging, drowning, strangulation dan

sufocation. Obstruksi mekanik pada saluran pernapasan oleh:

-          Tekanan dari luar tubuh misalnya pencekikan atau penjeratan

-          Benda asing

-          Tekanan dari bagian dalam tubuh pada saluran pernapasan, misalnya karena tumor paru yang

menekan saluran bronkus utama

-          Edema pada glotis

Asfiksia mekanik juga bisa karena trauma yang mengakibatkan emboli udara vena,

emboli lemak, pneumotoraks bilateral, sumbatan pada saluran nafas dan sebagainya.

Page 3: PATOFISIOLOGI ASFIKSIA

Kerusakan akibat asfiksia (asphyxial injuries) dapat disebabkan oleh kegagalan sel-sel

untuk menerima atau menggunakan oksigen. Kehilangan oksigen dapat terjadi parsial

(hipoksia) atau total (anoksia). Asphyxial injuries dapat dibagi menjadi empat kategori

umum, yaitu: 2,7

1.                  Suffocation (kekurangan napas).

Kekurangan napas atau kegagalan oksigen untuk mencapai darah dapat terjadi akibat

kurangnya kadar oksigen di lingkungan sekitar atau terhalangnya saluran napas eksternal.

Contoh klasik dari tipe asfiksia ini adalah anak kecil yang terjebak di lemari es dan pada

kasus pembunuhan yang dilakukan dengan menutup kepala korban dengan plastik.

Pengurangan kadar oksigen sampai pada level 16%  adalah keadaan yang cukup

membahayakan.

Suffocation juga terjadi pada choking. Diagnosis dan penatalaksanaan dalam choking

asphyxiation (obstruksi pada saluran napas internal) tergantung pada lokasi dan pengeluaran

benda yang menyebabkan obstruksi. Suffocation dapat juga terjadi karena kompresi pada

daerah dada atau abdomen yang dapat menghalangi pergerakan respirasi normal. 

2.                  Strangulation (pencekikan)

Pencekikan menyebabkan penekanan dan penutupan pembuluh darah dan jalan napas

oleh karena tekanan eksternal (luar) pada leher. Hal ini menyebabkan hipoksia atau anoksia

otak sekunder menyebabkan perubahan atau terhentinya aliran darah dari dan ke otak.

Dengan hambatan komplit pada arteri karotis, kehilangan kesadaran dapat terjadi dalam 10-

15 detik.

3.                  Hanging ( penggantungan )

Kematian disebabkan oleh asfiksia akibat tersumbatnya saluran nafas, kongesti vena

sampai menyebabkan perdarahan di otak, iskemis serebral karena sumbatan pada arteri

karotis dan vertebralis, syok vagal karena tekanan pada sinus karotis yang mengakibatkan

Page 4: PATOFISIOLOGI ASFIKSIA

jantung berhenti berdenyut, dan fraktur atau dislokasi tulang vertebra cervicalis 2 dan 3 yang

menekan medulla oblongata dan mengakibatkan terhentinya pernafasan.

4.                  Drowning (tenggelam)

Suatu keadaan dimana terjadi asfiksia yang menyebabkan kematian akibat udara atmosfer

tidak dapat masuk ke dalam saluran pernapasan, karena sebagian atau seluruh tubuh berada

dalam air sehingga udara tidak mungkin bisa memasuki saluran pernapasan.

3.      Keracunan

Paralisis sistem respirasi karena adanya penekanan pada otak. Bahan yang menimbulkan

depresi pusat pernafasan misalnya barbiturat, narkotika.  

IV.             ANATOMI SISTEM PERNAPASAN 8

Struktur sistem pernapasan dapat dibagi menjadi dua, yaitu:

a.       Upper respiratory tract yang meliputi hidung dan rongga mulut, faring, laring, dan trakea.

Upper respiratory tract memiliki area permukaan yang luas, kaya akan suplai darah, dan

epitel yang menyusunnya adalah epitel respirasi yang dilapisi oleh mukus. Di dalam hidung

terdapat rambut yang berfungsi sebagai penyaring. Fungsi dari upper respiratory tract adalah

menghangatkan, melembabkan, dan menyaring udara sehingga udara tersebut sesuai dengan

kondisi di bagian distal dari lower respiratory tract.

b.      Lower respiratory tract yang terdiri atas bagian bawah trakea, dua bronkus primer dan paru-paru.

Struktur ini terletak di rongga toraks.

Page 5: PATOFISIOLOGI ASFIKSIA

Gambar 1. Traktus Respiratorius (dikutip dari kepustakaan 8) Paru-paru adalah organ pertukaran udara dan bertindak sebagai tempat aliran udara dan

tempat pertukaran dari oksigen masuk ke dalam darah dan karbon dioksida keluar dari dalam darah,

dalam hal ini darah berada di kapiler alveolus dan pertukaran tersebut melewati membran kapiler

alveolus. Paru-paru terdiri atas saluran udara, pembuluh darah, saraf dan limfe yang disokong oleh

jaringan parenkim. Di dalam paru-paru, bronkus primer dibagi menjadi lebih kecil dan kecil lagi

sampai mencapai the end respiratory unit (acinus).

Gambar 2. Acinus. (Dikutip dari kepustakaan 8)

Page 6: PATOFISIOLOGI ASFIKSIA

 Paru-paru,dinding dada, dan mediastinum ditutupi oleh dua lapisan epitelium yang

disebut sebagai pleura. Lapisan peura terdalam yang meutup parenkim paru-paru disebut

pleura viseral dan lapisan pleura terluar yang lebih dekat dengan dinding dada disebut pleura

parietalis. Diantara pleura tersebut terdapat cairan yang berfungsi sebagai lubricant dan

memudahkan pengembangan paru-paru saat bernapas.

  

V.                FISIOLOGI PERNAPASAN 8,9

Sistem respirasi memainkan peranan penting yang esensial dalam mencegah hipoksia

jaringan dengan mengoptimalkan kadar oksigen di dalam darah pada arteri melalui

pertukaran gas yang efisien.

Sistem pernapasan melaksanakan pertukaran udara antar atmosfer dan paru melalui

proses ventilasi. Pertukaran O2 dan CO2 dalam paru dan darah dalam kapiler paru

berlangsung melalui dinding kantung udara atau alveolus yang sangat tipis. Saluran

pernapasan menghantarkan udara dari atmosfer ke bagian paru tempat pertukaran gas

berlangsung. Paru terletak dalam kompartemen toraks yang tertutup, yang volumenya dapat

diubah-ubah oleh aktivitas kontraksi otot-otot pernapasan.

Tiga tahap yang terlibat pada proses pertukaran gas adalah:

o   Ventilasi.

Ventilasi atau bernapas adalah proses pergerakan udara masuk-keluar paru secara berkala

sehingga udara alveolus yang lama dan telah ikut serta dalam pertukaran O2 dan CO2 dengan

darah kapiler paru diganti oleh udara atmosfer segar. Tahap ini ditentukan oleh dua hal, yaitu:

1.      Respiratory rate (jumlah pernapasan per menit yang  nilai normalnya 12-20).

2.      Tidal volume.

Mekanisme ventilasi:

Page 7: PATOFISIOLOGI ASFIKSIA

Pergerakan udara masuk dan keluar dari paru-paru terjadi karena perbedaan tekanan yang

disebabkan oleh perubahan dalam volume paru-paru. Udara mengalir dari tekanan yang

tinggi ke tekanan yang rendah. Kita tidak dapat merubah tekanan atmosfer sekitar kita

menjadi lebih tinggi dibanding tekanan dalam paru-paru, alternatif yang mungkin adalah

menurunkan tekanan dalam paru-paru dengan memperluas rongga thoraks.

Otot inspirasi utama adalah diafragma, berbentuk kubah, saat berkontraksi kubahnya mendatar,

meningkatkan tekanan intrathoraks. Hal ini membantu otot interkostal eksterna, yang meningkatkan

rangka kosta.

 Gambar 3. Tahap-tahap dalam pernapasan (Dikutip dari kepustakaan 8) Ventilasi secara mekanis dilaksanakan dengan mengubah secara berselang-seling arah

gradien tekanan untuk aliran udara antara atmosfer dan alveolus melalui ekspansi dan

penciutan berkala paru. Kontraksi dan relaksasi otot-otot inspirasi (terutama diafragma) yang

berganti-ganti secara tidak langsung menimbulkan inflasi dan deflasi periodik paru dengan

secara berkala mengembang-kempiskan rongga toraks dengan paru secara pasif mengikuti

gerakannya.

Karena kontraksi otot inspirasi memerlukan energi, inspirasi adalah proses aktif, tetapi

ekspirasi adalah proses pasif pada bernapas tenang karena ekspirasi terjadi melalui penciutan

Page 8: PATOFISIOLOGI ASFIKSIA

elastik paru sewaktu otot-otot inspirasi melemas tanpa memerlukan energi. Untuk ekspirasi

aktif yang lebih kuat, kontraksi otot-otot ekspirasi (terutama otot abdomen) semakin

memperkecil ukuran rongga toraks dan paru yang semakin meningkatkan gradien tekanan

intra-alveolus terhadap atmosfer. Semakin besar gradien antara alveolus dan atmosfer,

semakin besar laju aliran udara, karena udara terus mengalir sampai tekanan intra-alveolus

seimbang dengan tekanan atmosfer.

Selain secara langsung proporsional dengan gradien tekanan, laju aliran udara juga

berbanding terbalik dengan resistensi saluran pernapasan. Karena resistensi saluran

pernapasan, yang bergantung pada kaliber saluran pernapasan, dalam keadaan normal sangat

rendah, laju aliran udara biasanya bergantung pada gradien gradien tekanan yang tercipta

antara alveolus dan atmosfer. Apabila resistensi saluran pernapasan meningkat secara

patologis akibat penyakit paru obstruktif menahun, gradien tekanan harus juga meningkat

melalui peningkatan aktivitas otot pernapasan agar laju aliran udara konstan.

o   Perfusi

Dinding alveoli mengandung cabang kapiler yang padat yang membawa darah vena dari

jantung kanan. Barriernya yang sangat tipis memisahkan darah pada kapiler dan udara di

alveoli. Perfusi darah melewati kapiler ini menyebabkan terajdinya difusi dan pertukaran gas.

Untuk memperoleh pertukaran gas yang efisien , aliran gas (ventialsi:V) dan aliran darah

(perfusi:Q) harus seimbang. Rasio V:Q yang normal sekitar 1:1. Berikut adalah contoh kasus

mengenai ketidakseimbangan ventilasi dan perfusi:

1.      Ventilasi alveolus normal tetapi tidak ada perfusi  (oleh karena adanya bekuan darah yang

menyumbat aliran darah). Hal ini disebut dead space ventilation

2.      Perfusi normal tetapi tidak ada udara yang mencapai paru-paru (oleh karena adanya

kumpulan mucus yang menyumbat jalan napas).

Page 9: PATOFISIOLOGI ASFIKSIA

Ketidakseimbangan ventilasi:perfusi adalah penyebab umum dari hipoksemia dan

mendasari banyak penyakit sistem respirasi.

o   Difusi

Pada pertukaran gas, difusi terjadi melewati kapiler alveolar membrane. Difusi molekul

O2 dan CO2 terjadi sepanjang gradient tekanan parsial.

Udara pada atmosfer dihirup dan dilembabkan mengandung 21 % oksigen. Hal ini berarti:

-          21 % dari total molekul di udara adalah oksigen

-          Oksigen bertanggung jawab untuk 21 % dari total tekanan udara; ini yang disebut tekanan

parsial, diukur dalam mmHg atau kPa daan disingkat PO2

Oksigen dan CO2 bergerak melintasi membran tubuh melalui proses difusi pasif

mengikuti gradien tekanan parsial. Difusi netto O2 mula-mula terjadi antara alveolus dan

darah, kemudian antara darah dan jaringan akibat gradien tekanan parsial O2 yang tercipta

oleh pemakian terus menerus O2 oleh sel dan pemasukan teru-menerus O2 segar melalui

ventilasi. Difusi netto CO2 terjadi dalam arah yang berlawanan, pertama-tama antara jaringan

dan darah, kemudian antara darah dan alveolus, akibata gradien tekanan parsial CO2 yang

tercipta oleh produksi terus-menerus CO2 oleh sel dan pengeluaran terus-menerus CO2

alveolus oleh proses ventilasi.

Gambar 4. Perfusi. (Dikutip dari kepustakaan 8) Transportasi gas

Karena O2 dan CO2 tidak terlalu larut dalam darah, keduanya terutama harus diangkut

dalam mekanisme selain hanya larut secara fisik. Hanya 1,5% O2 yang larut secara fisik

Page 10: PATOFISIOLOGI ASFIKSIA

dalam darah, dengan 98,5% secara kimiawi berikatan dengan hemoglobin (Hb). Faktor utama

yang menentukan seberapa banyak O2 yang berikatan dengan Hb adalah PO2 darah. Karbon

dioksida yang diserap di kapiler sistemik diangkut dalam darah dengan tiga cara :

1.      10% larut secara fisik.

2.      30% terikat ke Hb.

3.      60% dalam bentuk bikarbonat (HCO3)

VI.             PATOFISIOLOGI

Kondisi-kondisi yang berkaitan dengan asfiksia adalah sebagai berikut: 10

a.       Gangguan pertukaran udara pernapasan.

b.      Penurunan kadar oksigen (O2) dalam darah (hipoksia).

c.       Peningkatan kadar karbondioksida (CO2) dalam darah (hiperkapnea).

d.      Penurunan suplai oksigen (O2) ke jaringan tubuh.

Kerusakan akibat  asfiksia disebabkan oleh gagalnya sel menerima atau menggunakan

oksigen. Kegagalan ini diawali dengan hipoksemia. Hipoksemia adalah penurunan kadar

oksigen dalam darah. Manifestasi kliniknya terbagi dua yaitu hipoksia jaringan dan

mekanisme kompensasi tubuh. Tingkat kecepatan rusaknya jaringan tubuh bervariasi. Yang

paling membutuhkan oksigen adalah sistem saraf pusat dan jantung. Terhentinya aliran darah

ke korteks serebri akan menyebabkan kehilangan kesadaran dalam 10-20 detik. Jika PO2

jaringan dibawah level kritis, metabolisme aerob berhenti dan metabolisme anaerob

berlangsung dengan pembentukan asam laktat.6,7

Tanda dan gejala hipoksemia dibagi menjadi 2 kategori yaitu akibat ketidakseimbangan

fungsi pusat vital dan dan akibat aktivasi mekanisme kompensasi. Hipoksemia ringan

menyebabkan sedikit manifestasi yaitu gangguan ringan dari status mental dan ketajaman

penglihatan, kadang-kadang hiperventilasi. Hal ini karena saturasi Hb masih sekitar 90%

ketika PO2 hanya 60 mmHg.6

Page 11: PATOFISIOLOGI ASFIKSIA

Hipoksemia yang lebih berat bisa menyebabkan perubahan kepribadian, agitasi,

inkoordinasi otot, euphoria, delirium, bisa sampai stupor dan koma.

Pengerahan mekanisme kompensasi simpatis menyebabkan takikardi, kulit menjadi dingin

(oleh karena vasokonstriksi perifer), diaphoresis dan peningkatan ringan dari tekanan darah.6

Hipoksemia akut yang sangat berat bisa menyebabkan konvulsi, perdarahan retina dan

kerusakan otak permanent. Hipotensi dan bradikardi biasanya merupakan stadium

preterminal pada orang dengan hipoksemia, mengindikasikan kegagalan mekanisme

kompensasi.6

Kehilangan oksigen bisa bersifat parsial (hipoksia) atau total (anoksia). 7

Hipoksia dapat diberi batasan sebagai suatu keadaan dimana sel gagal untuk dapat

melangsungkan metabolisme secara efisien. Dahulu untuk keadaan ini disebut anoksia yang

setelah dipelajari ternyata pemakaian istilah anoksia itu sendiri tidak tepat. Dalam kenyataan

seahri-hari merupakan gabungan dari 4 kelompok. Kelompok tersebut adalah: 1,4

1.      Hipoksik-hipoksia (dahulu anoksik-anoksia)

Keadaan dimana oksigen tidak dapat masuk aliran darah atau tidak cukup bisa mencapai

aliran darah , misalnya pada orang-orang yang menghisap gas inert, berada dalam tambang

atau pada tempat yang tinggi dimana kadar oksigen berkurang.

2.      Stagnan-hipoksia (dahulu stagnant circulatory anoxia)

Terjadi karena gangguan sirkulasi darah (embolism)

3.      Anemik-hipoksia (dahulu anemic anoxia)

Darah tidak mampu mengangkut oksigen yang cukup. Bisa karena volume darah yang kurang

4.      Histotoksik-hipoksia (dahulu histotoxic tissue anoxia)

Pada keadaan ini sel-sel tidak dapat mempergunakan oksigen dengan baik, hal ini dapat

disebabkan oleh faktor-faktor berikut:

Page 12: PATOFISIOLOGI ASFIKSIA

a.       Extra celluler: system enzim oksigen terganggu. Misalnya pada keracunan HCN, barbiturate

dan obat-obat hypnotic.

Pada keracunan HCN, cytochrome enzim hancur sehingga sel-sel mati. Sedangkan

barbiturate dan hypnotic hanya sebagian system cytochrome enzim yang terganggu, maka

jarang menimbulkan kematian sel kecuali pada overdosis.

b.      Intra celluler: terjadi karena penurunan permeabilitas sel membrane, seperti yang terjadi pada

pemberian obat-obat anesthesia yang larut dalam lemak (chloroform, ether, dll)

c.       Metabolit: sisa-sisa metabolisme tidak bisa dibuang, misalnya pada uremia dan keracunan

CO2

d.      Substrat: bahan-bahan yang diperlukan untuk metabolisme kurang. Misalnya pada

hipoglikemia.

Terdapat empat fase dalam asfiksia, yaitu: 10

1.      Fase Dispneu.

Pada fase ini terjadi penurunan kadar oksigen dalam sel darah merah dan penimbunan

CO2 dalam plasma akan merangsang pusat pernapasan di medulla oblongata. Hal ini membuat

amplitude dan frekuensi pernapasan meningkat, nadi cepat, tekanan darah meninggi, dan

mulai tampak tanda-tanda sianosis terutama muka dan tangan.

2.      Fase Konvulsi.

Akibat kadar CO2  yang naik maka akan timbul rangsangan terhadap susunan saraf pusat

sehingga terjadi konvulsi (kejang), yang mula-mula kejang berupa kejang klonik tetapi

kemudian menjadi kejang tonik dan akhirnya timbul spasme opistotonik. Pupil mengalami

dilatasi, denyut jantung menurun, tekanan darah juga menurun. Efek ini berkaitan dengan

paralisis pusat yang lebih tinggi dalam otak akobat kekurangan O2.

3.      Fase Apneu.

Page 13: PATOFISIOLOGI ASFIKSIA

Pada fase ini, terjadi depresi pusat pernapasan yang lebih hebat. Pernapasan melemah dan

dapat berhenti, kesadaran menurun,dan akibat dari relaksasi sfingter dapat terjadi pengeluaran

cairan sperma, urine, dan tinja.

4.      Fase Akhir.

Terjadi paralisis pusat pernapasan yang lengkap. Pernapasan berhenti setelah kontraksi

otomatis otot pernapasan kecil pada leher. Jantung masih berdenyut beberapa saat setelah

pernapasan berhenti. Masa dari saat asfiksia timbul sampai terjadinya kematian sangat

bervariasi. Umumnya berkisar antara 4-5 menit.

Fase 1 dan 2 berlangsung ±3-4 menit. Hal ini tergantung dari tingkat penghalangan O2.

Bila penghalangan O2 tidak 100 %, maka waktu kematian akan lebih lama dan tanda-tanda

asfiksia akan lebih jelas dan lengkap.

Stadium asfiksia adalah: 10

1.      Stadium pertama.

Gejala yang terjadi pada stadium ini adalah pernapasan dirasakan berat. Kadar  CO2 yang

meningkat menyebabkan pernapasan menjadi cepat dan dalam (frekuensi pernapasan

meningkat), nadi menjadi cepat, tekanan darah meningkat, muka dan tangan menjadi agak

biru.

2.      Stadium kedua.

Gejala yang terjadi adalah pernapasan menjadi sukar, terjadi kongesti di vena dan kapiler

sehingga terjadi perdarahan berbintik-bintik (petechie), kesadaran menurun, dan timbul

kejang.

3.      Stadium ketiga.

Gerakan tubuh terhenti, pernapasan menjadi lemah dan lama kelamaan berhenti, pingsan,

muntah, pengeluaran kencing dan tinja, dan meninggal dunia. Korban laki-laki dapat

mengeluarkan mani dan korban wanita  mengeluarkan darah dari vagina.

Page 14: PATOFISIOLOGI ASFIKSIA

Dari pandangan patologi, kematian akibat asfiksia dapat dibagi dalam dua golongan : 2,4,11

1.   Primer ( akibat langsung dari asfiksia )

Kekurangan oksigen ditemukan di seluruh tubuh, tidak tergantung pada tipe dari asfiksia.

Sel - sel otak sangat sensitif terhadap kekurangan O2. Apa yang terjadi pada sel yang

kekurangan O2 belum dapat diketahui, tapi yang dapat diketahui adanya perubahan elektrolit

dimana kalium meninggalkan sel dan diganti natrium mengakibatkan terjadinya retensi air

dan gangguan metabolisme. Di sini sel - sel otak yang mati akan digantikan oleh jaringan

glial. Akson yang rusak akan mengalami pertumbuhan (sprouting) pada kedua ujung yang

terputus oleh jaringan parut tersebut. Akan tetapi hal ini tidak mengakibatkan tersambungnya

kembali akson yang terputus, karena terhalang oleh jaringan parut yang terdiri dari sel glia.

Bila orang yang mengalami kekurangan anoksia dapat hidup beberapa hari sebelum

meninggal perubahan tersebut sangat khas pada sel - sel serebrum, serebelum dan ganglia

basalis. Akan tetapi bila orangnya meninggal cepat, maka perubahannya tidak spesifik dan

dapat dikaburkan dengan gambaran postmortem autolisis. Pada organ tubuh yang lain yakni

jantung, paru - paru, hati, ginjal dan yang lainnya perubahan akibat kekurangan O2 langsung

atau primer tidak jelas.

Gambar 5. Lingkaran setan pada asfiksia (Dikutip dari kepustakaan 3)2.   Sekunder ( berhubungan dengan penyebab dan usaha kompensasi dari tubuh ) Jantung

berusaha mengkompensasi keadaan tekanan oksigen yang rendah dengan mempertinggi

outputnya, akibatnya tekanan arteri dan vena meninggi. Karena oksigen dalam darah

Page 15: PATOFISIOLOGI ASFIKSIA

berkurang terus dan tidak cukup untuk kerja jantung maka terjadi gagal jantung dan kematian

berlangsung dengan cepat. Keadaan ini didapati pada :

 a. Penutupan mulut dan hidung ( pembekapan )

 b. Obstruksi jalan nafas seperti pada mati gantung, penjeratan, pencekikan dan korpus alienum

dalam saluran nafas atau pada tenggelam karena cairan menghalangi udara masuk ke paru –

paru

c. Gangguan gerakan pernafasan karena terhimpit atau berdesakan ( traumatic asphyxia )

 d.Penghentian primer dari pernafasan akibat kegagalan pada pusat pernafasan, misalnya pada

keracunan.

Gambar 6. Patologi Asfiksia (Dikutip dari kepustakaan 3) VII.          PENUTUP

Pada asfiksia terjadi kekurangan oksigen yang bisa diakibatkan oleh karena adanya

gangguan akibat obstruksi saluran penapasan maupun akibat terhentinya sirkulasi. Terjadi

kegagalan oksigen untuk mencapai sel-sel tubuh sehingga terjadi  kekurangan O2 dan

kelebihan CO2 . Asfiksia  bisa terjadi karena penyebab yang wajar atau tidak wajar. Penyebab

tidak wajar misalnya pada patah tulang panjang sehingga bisa terjadi emboli lemak dan

tersangkut di paru, udara yang terhalang paksa karena starngulasi, suffokasi, asfiksia

Page 16: PATOFISIOLOGI ASFIKSIA

traumatik ataupun drowning. Penyebabnya bisa ditentukan dengan melihat hasil pemeriksaan

postmortem. 1,4

DAFTAR PUSTAKA

1. Idries AM. Pedoman Ilmu Kedokteran Forensik. Jakarta: Binarupa Aksara. 1997.p:

170

2. Leonardo. Asfiksia Forensik. Bagian Ilmu Forensik RSU Dr. Pirngadi Medan. [cited

July 2008][online April 2008]. Available at: www.kabarindonesia.com

3. Knight B. Asphyxia and pressure on the neck and chest. In: Simpson’s forensic

medicine, eleventh ed. London, Oxford University Press,Inc. 2001. p:87-90

4. Apuranto H, Asphyxia. In: Buku Ajar Ilmu Kedokteran Forensik dan Medikolegal.

Surabaya: Bagian Ilmu Kedokteran Forensik dan Medikolegal Fakultas Kedokteran

Universitas Airlangga.2007.p:71-99

5. Chadha PV. Catatan Kuliah Ilmu Forensik dan Toksikologi. Jakarta: Widya Medika.

1995.p: 47-8

6. Porth CM. Alterations in Respiratory Function: Disorders of Gas Exchange. In: :

Essential of Pathophysiology, Concepts of Altered Health States. Philadelphia:

Lippincott Williams and Wilkins. 2004.p:397

7. Grey TC, McCance KL. Altered Cellular and Tissue Biology. In: Pathophysiology:

The Biologic Basis for Disease in Adults and Children. Fifth Edition. Philadelphia:

Mosby, Inc.2006.p:67

8. Myers A, McGowan P. Overview of The Respiratory System. In: Crash Course

Respiratory System. Philadelphia: Elsevier Mosby.2006.p:3-8

9. Sherwood, L. Sistem Pernapasan. In: Fisiologi Manusia dari Sel ke Sistem. Jakarta:

Penerbit Buku Kedokteran EGC. 2001.p.457

10. Lawrence GS, Asphyxia. Makassar, 2005, slide 1-38. Forensic Medicine &

Medicolegal Faculty of Medicine, Hasanuddin University.

11. Islam MS. Terapi Sel Stem pada Cedera Medula Spinalis. In: Cermin Dunia

Kedokteran No. 153. 2006. p.17

Page 17: PATOFISIOLOGI ASFIKSIA