4. bab 1-5 fix

48
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Salah satu ciri kependudukan abad 21 adalah meningkatnya pertumbuhan penduduk lansia yang sangat cepat. Pada tahun 2000 jumlah penduduk lansia di seluruh dunia mencapai 424 juta jiwa atau sekitar 6,8% total populasi. Jumlah ini diperkirakan akan mencapai peningkatan dua kali lipat pada tahun 2025 dimana terdapat 828 juta lansia yang menempati 9,7% populasi. Gejala menuanya struktur penduduk (aging population) juga terjadi di Indonesia. Penduduk lansia di Indonesia menunjukkan peningkatan absolut maupun relatif. Kalau pada tahun 1990 jumlahnya hanya sekitar 11 juta maka pada tahun 2020 jumlah itu diperkirakan akan meningkat menjadi sekitar 29 juta, dengan peningkatan dari 6,3% menjadi 11,4% dari total populasi (Bustan, 2007). Tabel 1.1. Pertumbuhan Penduduk Lansia di Indonesia (1971- 2020) Tahun Penduduk Lansia Jumlah Persentase 1971 5.306.000 4,5 1980 7.998.000 5,4 1985 9.440.000 5,8 1990 11.277.000 6,3 1995 13.600.000 6,9 2000 15.882.000 7,6 2005 18.283.000 8,2 1

description

Karya Tulis Ilmiah Pemeriksaan RA-Test pada Lansia

Transcript of 4. bab 1-5 fix

Page 1: 4. bab 1-5 fix

BAB IPENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Salah satu ciri kependudukan abad 21 adalah meningkatnya pertumbuhan

penduduk lansia yang sangat cepat. Pada tahun 2000 jumlah penduduk lansia di

seluruh dunia mencapai 424 juta jiwa atau sekitar 6,8% total populasi. Jumlah ini

diperkirakan akan mencapai peningkatan dua kali lipat pada tahun 2025 dimana

terdapat 828 juta lansia yang menempati 9,7% populasi. Gejala menuanya

struktur penduduk (aging population) juga terjadi di Indonesia. Penduduk lansia

di Indonesia menunjukkan peningkatan absolut maupun relatif. Kalau pada tahun

1990 jumlahnya hanya sekitar 11 juta maka pada tahun 2020 jumlah itu

diperkirakan akan meningkat menjadi sekitar 29 juta, dengan peningkatan dari

6,3% menjadi 11,4% dari total populasi (Bustan, 2007).

Tabel 1.1. Pertumbuhan Penduduk Lansia di Indonesia (1971-2020)

TahunPenduduk Lansia

Jumlah Persentase

1971 5.306.000 4,5

1980 7.998.000 5,4

1985 9.440.000 5,8

1990 11.277.000 6,3

1995 13.600.000 6,9

2000 15.882.000 7,6

2005 18.283.000 8,2

2010 17.303.000 7,4

2015 24.446.000 10,0

2020 29.021.000 11,4

Sumber : BPS, Sensus Penduduk; dan LDH-FEUI, Projeksi Penduduk Indonesia 1990-2020

1

Page 2: 4. bab 1-5 fix

Data Badan Pusat Statistik menunjukkan jumlah penduduk lanjut usia di

atas 60 tahun di Provinsi Sumatera Utara mengalami peningkatan dari sebesar

554.761 jiwa (4,6%) pada tahun 2005 meningkat menjadi sebesar 765.822 jiwa

(5,9%) pada tahun 2010. Sementara menurut Badan Pusat Statistik Kota Medan

berdasarkan Sensus Penduduk 2010 jumlah penduduk lanjut usia di Kota Medan

mencapai 117.216 orang (5,59%) yang meningkat jumlahnya dari tahun 2005

sebesar 77.837 orang (3,85%) (Mutiara, 2011).

Penduduk lansia pada umumnya banyak mengalami penurunan akibat

proses alamiah yaitu proses menua (Aging) dengan adanya penurunan kondisi

fisik, psikologis, maupun sosial yang saling berinteraksi. Permasalahan yang

berkembang memiliki keterkaitan dengan perubahan kondisi fisik yang menyertai

lansia. Perubahan kondisi fisik pada lansia diantaranya adalah menurunnya

kemampuan muskuloskeletal kearah yang lebih buruk. Penurunan fungsi

muskuloskeletal menyebabkan terjadinya perubahan secara degeneratif yang

dirasakan dengan keluhan nyeri kekakuan, hilangnya gerakan dan tanda-tanda

inflamasi seperti nyeri tekan, disertai pula dengan pembengkakan yang

mengakibatkan terjadinya gangguan imobilitas. Dari hasil studi tentang kondisi

sosial ekonomi dan kesehatan lansia yang dilaksanakan Komnas Lansia tahun

2006, diketahui bahwa penyakit terbanyak yang diderita lansia adalah penyakit

sendi (52,3%), penyakit penyakit sendi ini merupakan penyebab utama disabilitas

pada lansia. Diperkirakan pada tahun 2025 lebih dari 35 % akan mengalami

kelumpuhan akibat kerusakan tulang dan sendi (Afriyanti, 2009).

Rheumatoid Arthritis adalah suatu penyakit autoimun dimana persendian

(biasanya sendi tangan dan kaki) mengalami peradangan, sehingga terjadi

pembengkakan, nyeri dan seringkali akhirnya menyebabkan kerusakan bagian

dalam sendi (Gordon, 2002).

Penyakit ini berlangsung tahunan, menyerang berbagai sendi biasanya

simetris, jika radang ini menahun, terjadi kerusakan pada tulang rawan sendi,

dan tulang otot ligamen dalam sendi. Penderita Rheumatoid Arthritis di seluruh

dunia telah mencapai angka 355 juta jiwa di tahun 2009, artinya 1 dari 6 orang di

dunia ini menderita Rheumatoid Arthritis. Diperkirakan angka terus bertambah

hingga tahun 2025 dengan indikasi lebih dari 25% akan mengalami kelumpuhan

(Elvina dkk, 2010).

2

Page 3: 4. bab 1-5 fix

Di Amerika Serikat, Penyakit ini menempati urutan pertama dimana

penduduk AS dengan Rheumatoid Arhtritis 12.1 % yang berusia 27-75 tahun

memiliki kecacatan pada lutut, panggul, dan tangan, sedangkan di Inggris sekitar

25% populasi yang berusia 55 tahun ke atas menderita Rheumatoid Arhtritis

pada lutut (Afriyanti, 2009).

Sedangkan untuk wilayah Indonesia, prevalensi penderita Rheumatoid

Arthritis dapat dilihat dari jumlah Jemaah Haji Lansia tahun 2012 yang

terdiagnosa penyakit ini yakni berjumlah 2164 jiwa (Kementerian Kesehatan RI,

2013).

Demikian juga di daerah Kecamatan Percut Sei Tuan terkhususnya yang

berkunjung ke Puskesmas Mandala, jumlah penderita Rheumatoid Arthritis

mengalami peningkatan dalam 4 bulan terakhir selama tahun 2014, yakni dari

Bulan Januari terdapat 293 jiwa hingga Bulan April mencapai 303 jiwa. Penyakit

ini merupakan jenis penyakit yang sering dijumpai di Puskesmas Mandala

Kecamatan Percut Sei Tuan yang berada pada urutan ke 4 dari 13 jenis penyakit

(Laporan Puskesmas Mandala, 2014).

Sifat penyakit ini ialah kronis, yang tidak akan pernah sembuh dan

progresif. Terkadang penyakit ini akan mengakibatkan cacat, bahkan sangat

besar dari sebelumnya. Kebanyakan yang menderita penyakit ini adalah orang

dewasa (Naga, 2013).

Insiden Rheumatoid Arthritis terus meningkat pada usia 60 ke atas. Ini

telah dikemukakan bahwa timbulnya Rheumatoid Arthritis pada orangtua

mungkin memiliki perkiraan yang lebih buruk, akibat akitivitas yang berlebihan

dan penurunan fungsional yang lebih cepat (Fauci dkk, 2006).

Pemeriksaan untuk jenis penyakit tersebut dapat dilakukan di berbagai

tempat yang menyediakan layanan pemeriksaan tersebut. Salah satu tempat

yang sering dikunjungi lansia adalah puskesmas. Puskesmas merupakan unit

yang terpadu yang menyediakan berbagai layanan kesehatan termasuk

kesehatan terhadap lansia. Salah satu puskesmas yang terdapat di Kota Medan

adalah Puskesmas Mandala yang terletak di Jalan Cucak Rawa 11 Perumnas

Mandala, Desa Kenanga Kecamatan Percut Sei Tuan. Puskesmas Mandala

menyediakan berbagai pelayanan kesehatan seperti layanan kesehatan umum,

layanan kesehatan gigi, layanan kesehatan ibu dan anak, pemeriksaan

laboratorium dan layanan kesehatan lansia.

3

Page 4: 4. bab 1-5 fix

Berbagai kalangan masyarakat banyak mengunjungi puskesmas ini

terutama para lansia. Para lansia datang untuk melakukan kontrol terhadap

perkembangan kesehatannya.

Berdasarkan hal di atas  maka penulis tertarik untuk melakukan penelitian

yang berkaitan dengan pemeriksaan Rheumatoid Arthritis Test (RA-Test) pada

lansia di Puskesmas Mandala, Desa Kenanga Kecamatan Percut Sei Tuan

Medan Tahun 2014.

B. Perumusan masalah

Bagaimana hasil Rheumatoid Arthritis Test (RA-Test) pada lansia yang di

Puskesmas Mandala, Desa Kenanga Kecamatan Percut Sei Tuan Medan Tahun

2014.

C. Tujuan Penelitian

C.1. Tujuan Umum

Untuk mengetahui adanya Rheumatoid Arthritis pada lansia di Puskesmas

Mandala, Desa Kenanga Kecamatan Percut Sei Tuan Medan Tahun 2014.

C.2. Tujuan Khusus

Untuk menentukan adanya Rheumatoid Faktor dalam serum lansia di

Puskesmas Mandala, Desa Kenanga Kecamatan Percut Sei Tuan Medan 2014.

D. Manfaat Penelitian

D.1. Bagi Peneliti

Untuk menambah ilmu pengetahuan penulis tentang Rheumatoid Arthritis

pada lansia di Puskesmas Mandala Medan.

D.2. Bagi Peneliti Selanjutnya

Sebagai penambah bahan informasi dan wacana untuk pengembangan

penelitian lebih lanjut, khususnya bagi peneliti analis kesehatan yang ingin

melakukan pengembangan penelitian tentang Rheumatoid Arthritis pada lansia.

D.3. Bagi Masyarakat

Data dan informasi hasil penelitian ini dapat menjadi masukan bagi

masyarakat khususnya lansia mengenai Rheumatoid Arthritis.

4

Page 5: 4. bab 1-5 fix

BAB IITINJAUAN PUSTAKA

A. Lansia

A.1. Defenisi Lansia

Lanjut usia adalah bagian dari proses tumbuh kembang. Manusia tidak

secara tiba-tiba menjadi tua, tetapi berkembang dari bayi, anak-anak dan

akhirnya menjadi tua. Hal ini normal, dengan perubahan fisik dan tingkah laku

yang dapat diramalkan yang terjadi pada semua orang pada saat mereka

mencapai usia tahap perkembangan kronologis tertentu (Azizah, 2011).

Pengertian lansia ada beragam, tergantung kerangka pandang individu, yakni :

1. Menurut Surini dan Utomo (2003), lanjut usia bukan suatu penyakit, namun

merupakan tahap lanjut dari suatu proses kehidupan yang akan dijalani

semua individu, ditandai dengan penurunan kemampuan tubuh untuk

beradaptasi dengan lingkungan.

2. Menurut Reimer et al (1999) ; Stanley and Beare (2007), mendefenisikan

lansia berdasarkan karakteristik sosial masyarakat yang menganggap orang

telah tua jika menunjukkan ciri fisik seperti rambut beruban, kerutan kulit,

dan hilangnya gigi.

3. Menurut Glascock dan Feinman (1981) ; Stanley and Beare (2007),

menganalisis kriteria lanjut usia dari 57 negara di dunia dan menemukan

bahwa kriteria lansia yang paling umum adalah gabungan antara usia

kronologis dengan perubahan dalam peran sosial, dan diikuti oleh

perubahan status fungsional seseorang (Azizah, 2011).

4. Menurut Smith dkk (1999), menggolongkan usia lanjut menjadi tiga

yaitu : young old (65-74 tahun); middle old (75-84 tahun); old old (lebih dari

85 tahun)

5. Menurut Setyonegoro (1984), menggolongkan bahwa yang disebut usia

lanjut (geriatric age) adalah orang yang berusia lebih dari 65 tahun.

Selanjutnya terbagi ke dalam usia 70-75 tahun (young old); 75-80 tahun (old)

dan lebih dari 80 tahun (very old) (Tamher dkk, 2009).

5

Page 6: 4. bab 1-5 fix

Berdasarkan Undang-Undang Nomor 13 Tahun 1998 tentang

kesejahteraan lansia pada bab 1 pasal 1 ayat 2 menetapkan, bahwa batasan

umur lansia di Indonesia adalah usia 60 tahun ke atas (Kementrian Kesehatan

RI, 2013).

A.2. Kesehatan Lansia

Masalah kesehatan lansia cukup luas dan bervariasi. Secara umum dapat

disebutkan seperti accidental falls (terjatuh), easy fatiguability (mudah lelah),

acute confusion (bingung akut), chest pain (nyeri dada), dyspnoe on exertion

(sesak), oedema of the lower limbs (pembengkakan pada anggota badan yang

lebih rendah), localized motor weakness (kelemahan pada saraf secara lokal),

back pain (nyeri punggung), painful hip joint (sakit pada sendi pinggang), urinary

incontinence (ketidakmaksimalan kerja sistem urin), altered bowel habits (kerja

usus berubah), impaired visual acuity (kerusakan ketajaman penglihatan),

headaches (sakit kepala), pruritus (gatal-gatal), sleep disorder (gangguan tidur)

dan rheumatoid arthritis (radang sendi) (Bustan, 2007).

Sebagaimana layaknya manusia yang bertumbuh semakin lama semakin

tua, pada dasarnya sel juga bertumbuh semakin lama semakin tua dan pada

akhirnya sel-sel tua itu mengalami kematian sel. Kematian tersebut bergantung

pada masing-masing jenis sel yang membentuk jaringan tubuh. Ciri-ciri sel yang

semakin menua adalah bentuk selnya mengecil, sintesis protein yang biasanya

berlangsung di dalam sel prosesnya semakin melambat, badan golgi kemudian

memecah, mitokondria mengalami fragmentasi, sehingga pada akhirnya sel yang

bersangkutan mati bahkan lambat laun menghilang akibat proses penyerapan

dalam jaringan tubuh.

Dalam konteks jaringan, sel-sel parenkim menyusut, ketidakteraturan juga

tampak dalam jumlah maupun ukuran sel. Khusus untuk sel saraf/ganglion,

terjadi pengurangan butir Nisl, penggumpalan kromatin, penambahan pigmen

lipofuscin, vakuolisasi protoplasma, dan banyak organel yang berkurang.

Jaringan ikat ekstraseluler juga semakin mengeras yang selanjutnya dapat

menghambat sirkulasi dan nutrisi jaringan (Tamher, 2009).

6

Page 7: 4. bab 1-5 fix

Untuk sel-sel imun dalam tubuh, dikatakan semakin tua seseorang semakin

banyak jumlahnya. Akan tetapi fungsinya semakin berkurang. Hal ini antara lain

berakibat bahwa semakin tua seseorang akan semakin mudah terserang

penyakit infeksi dibanding mereka yang lebih muda (Tamher, 2009).

Dengan kata lain kemampuan sistem imun yang mengalami kemunduran

pada masa penuaan. Walaupun demikian, kemunduran kemampuan sistem yang

terdiri dari sistem limfatik dan khususnya sel darah putih, juga merupakan faktor

yang berkontribusi dalam proses penuaan. Mutasi yang berulang atau perubahan

protein pasca translasi, dapat menyebabkan berkurangnya kemampuan sistem

imun tubuh mengenali dirinya sendiri (self recognition). Jika mutasi somatik

menyebabkan kelainan pada antigen permukaan sel, maka hal ini akan dapat

menyebabkan sistem imun tubuh menganggap sel yang mengalami perubahan

tersebut sebagai sel asing dan menghancurkannya.

Perubahan inilah yang menjadi dasar terjadinya peristiwa autoimun.

Hasilnya dapat pula berupa reaksi antigen antibody yang luas mengenai

jaringan-jaringan beraneka ragam, efek menua jadi akan menyebabkan reaksi

histoinkomtabilitas pada banyak jaringan. Salah satu bukti yang ditemukan ialah

bertambahnya prevelansi auto antibody bermacam-macam pada orang lanjut

usia. Disisi lain sistem imun tubuh sendiri daya penahanannya mengalami

penurunan pada proses menua, termasuk pertahanan tulang terhadap aktivitas

keseharian.

Ketika terjadi proses penuaan secara degeneratif maka terjadi pula

perubahan–perubahan pada diri lansia, salah satu diantaranya perubahan sistem

muculoskeletal, yaitu:

1. Jaringan penghubung (kolagen dan elastin)

Kolagen sebagai pendukung utama pada kulit, tendon, tulang, kartilago,

dan jaringan pengikat megalami perubahan menjadi bentangan yang tidak

teratur. Perubahan pada kolagen tersebut merupakan penyebab turunnya

fleksibilitas pada lansia sehingga menimbulkan dampak nyeri, penurunan

kemampuan untuk meningkatkan kemampuan otot, kesulitan bergerak dari

duduk ke berdiri, jongkok dan berjalan, dan hambatan dalam melakukan

kegiatan sehari-hari (Azizah, 2011).

7

Page 8: 4. bab 1-5 fix

2. Kartilago

Jaringan kartilago pada persendian lunak dan mengalami granulasi dan

akhirnya permukaan sendi menjadi rata, kemudian kemampuan kartilago

untuk regenerasi berkurang dan degenerasi yang terjadi cenderung ke arah

progresif, konsekuensinya kartilago pada persendian menjadi rentan

terhadap gesekan. Perubahan tersebut sering terjadi pada sendi besar

penumpu berat badan. Akibatnya perubahan sendi itu mengalami

peradangan, kekakuan, nyeri, keterbatasan gerak, dan terganggunya

aktivitas sehari-hari.

3. Tulang

Berkurangnya kepadatan tulang setelah di observasi adalah bagian dari

penuaan fisiologis trabekula longitudinal menjadi tipis dan trabekula

transversal terabsorbsi kembali. Dampak berkurangnya kepadatan akan

mengakibatkan osteoporosis lebih lanjut mengakibatkan nyeri, deformitas,

dan fraktur.

4. Otot

Perubahan struktur otot pada penuaan sangat bervariasi, penurunan

jumlah dan ukuran serabut otot, peningkatan jaringan penghubung dan

jaringan lemak otot mengakibatkan efek negatif. Dampak perubahan

morfologis pada otot adalah penurunan kekuatan, penurunan fleksibilitas,

peningkatan waktu reaksi dan penurunan kemampuan fungsional otot

5. Sendi

Pada lansia, jaringan ikat sekitar sendi seperti tendon, ligament dan fasia

mengalami penurunan elastisitas. Ligament dan jaringan periarkular

mengalami penurunan daya lentur dan elastisitas, terjadi degenerasi erosi,

dan klasifikasi pada kartilago dan kapsul sendi. Kelainan tersebut dapat

menimbulkan gangguan berupa bengkak, nyeri, kekakuan sendi, gangguan

jalan dan aktivitas keseharian lainnya (Azizah, 2011).

8

Page 9: 4. bab 1-5 fix

A.3. Teori Untuk Proses Menua

A.3.a.Teori Genetik

Teori ini merupakan teori instrinsik yang menjelaskan bahwa di dalam

tubuh terdapat jam biologis yang mengatur gen dan menentukan proses

penuaan. Teori ini menyatakan bahwa menua itu telah terprogram secara

genetik untuk spesies tertentu.

A.3.b.Teori non genetik

Yang termasuk dalam teori ini adalah teori penurunan sistem imun

tubuh (auto-immune theory). Mutasi yang berulang dapat menyebabkan

berkurangnya kemampuan sistem imun tubuh mengenali dirinya sendiri

(self recognition). Jika mutasi yang merusak membran sel, akan

menyebabkan sistem imun tidak mengenalinya sehingga merusaknya. Hal

inilah yang mendasari peningkatan penyakit autoimun pada lanjut usia

(Nugroho, 2008).

B. Sendi

Rangka adalah suatu bingkai kerja yang bersendi yang menopang tubuh

dan melakukan beberapa gerakan yang fantastik yang dikendalikan oleh otot,

tendon dan ligamen yang menempel di tulang. Sedangkan sendi itu sendiri

adalah tempat pertemuan dua atau lebih tulang yang saling bergerak satu sama

lain. Tulang-tulang ini dipadukan dengan berbagai cara, misalnya dengan kapsul

sendi, pita fibrosa, ligamen, tendon, fasia atau otot. Secara umum sendi terbagi

atas 3 tipe, yaitu :

1. Sendi Fibrosa (sinartrodial)

Merupakan sendi yang tidak dapat bergerak. Sendi fibrosa tidak memiliki

lapisan tulang rawan. Tulang yang satu dengan tulang lainnya dihubungkan

oleh jaringan penyambung fibrosa.

2. Sendi Kartilaginosa (amfiartrodial)

Merupakan sendi yang dapat sedikit bergerak. Pada sendi ini, ujung tulang-

tulangnya dibungkus oleh tulang rawan hialin, dan disokong oleh ligamen.

(Helmi, 2012).

9

Page 10: 4. bab 1-5 fix

3. Sendi Synovial

Merupakan sendi-sendi tubuh yang dapat digerakkan dengan bebas. Sendi

ini memiliki rongga sendi dan permukaan sendi dilapisi tulang rawan hialin.

Bagian cair dari cairan synovial diperkirakan berasal dari transudat plasma.

Cairan sinovia juga bertindak sebagai sumber nutrisi bagi tulang rawan

sendi. Kartilago hialin menutupi bagian tulang yang menanggung beban

tubuh pada sendi synovial. Tulang rawan ini memegang perananan penting

dalam membagi beban tubuh.

Gambar 2.1. Komponen Sendi Synovial

Catatan dari James F.Fries. Arthritis, 1990, oleh Addison-Wesley (Gordon, 2002).

Tulang rawan sendi orang dewasa tidak mendapat aliran darah, limfe atau

persarafan. Oksigen dan bahan-bahan metabolisme lain dibawa oleh cairan

sendi yang membasahi tulang rawan tersebut. Perubahan susunan kolagen dan

pembentukan proteoglikan dapat terjadi setelah cedera atau ketika usia

bertambah. Beberapa kolagen baru pada tahap ini mulai membentuk kolagen

tipe satu yang lebih fibrosa. Proteoglikan dapat kehilangan sebagian kemampuan

hidrofiliknya. Perubahan-perubahan ini berarti tulang rawan akan kehilangan

kemampuannya untuk menahan kerusakan bila diberi beban berat (Helmi, 2012).

10

Page 11: 4. bab 1-5 fix

C. Jaringan penyambung

Dua macam sel yang ditemukan pada jaringan penyambung adalah sel-sel

yang tidak dibuat dan tetap berada pada jaringan penyambung, seperti sel mast,

sel plasma, limfosit, monosit, dan leukosit polimorfonuklear. Sel-sel ini

memegang peranan penting pada reaksi-reaksi imunitas, dan peradangan yang

terlihat pada penyakit rematik.

Jenis sel yang kedua dalam jaringan penyambung ini adalah sel-sel yang

tetap berada di dalam jaringan, seperti fibroblas, kondrosit, dan osteoblas. Sel-

sel ini menyintesis berbagai macam serat dan memiliki proteoglikan dari

substansi dasar dan membuat tiap jenis jaringan penyambung memiliki susunan

sel tersendiri.

Serat-serat yang digunakan di dalam substansi dasar ialah kolagen dan

elastin. Kolagen dapat dipecahkan oleh kerja kolagenase. Perubahan sintesis

kolagen tulang rawan terjadi pada orang-orang yang usianya semakin lanjut.

Peningkatan aktivitas kolagenase terlihat pada bentuk penyakit-penyakit reumatik

yang diperantarai oleh imunitas, seperti Rheumatoid Arthritis.

Serat serat elastin memiliki sifat elastis yang penting. Serat ini di dapat

dalam ligamen, dinding pembuluh darah besar, dan kulit. Elastin dipecahkan oleh

enzim yang disebut elastase. Selain serat-serat, proteoglikan adalah zat penting

yang ditemukan dalam substansi dasar. Proteoglikan adalah molekul besar

terbuat dari rantai polisakarida panjang yang melekat pada pusat polipeptida.

Proteoglikan pada tulang rawan sendi berfungsi sebagai bantalan pada

sendi sehingga dapat menahan beban-beban fisik yang berat. Proteoglikan dapat

menjadi fokus aksi autoimun pada gangguan seperti Rheumatoid Arthritis.

Pertambahan usia mengubah proteoglikan di dalam tulang rawan yang akan

mengurangi kerekatan satu dengan lainnya dan berinteraksi dengan kolagen

(Helmi, 2012).

11

Page 12: 4. bab 1-5 fix

Gambar 2.2. Perbedaan Antara Tulang Normal dan Penderita Rheumatoid

Arthritis

Sumber : http://blog.proboostdirect.com/wp-content/uploads/2013/08/RA-and-

normal.jpg.

D. Rheumatoid Arthritis

D.1. Defenisi

Kata arthritis berasal dari dua kata yunani, yaitu arthron yang berarti sendi,

dan itis yag berarti peradangan. Secara harifiah, arthritis berarti peradangan dari

suatu sendi (Gordon, 2002).

Arthritis dapat terjadi dimana saja, atau dapat terjadi pada lebih dari satu

sendi. Kondisi umum ini didefenisikan sebagai nyeri, kekakuan, atau

pembengkakan di dalam atau di sekitar sendi, yang bertahan lebih dari 2 minggu.

Arthritis meniliki beberapa bentuk yakni, Osteoartritis, Arthritis Rheumatoid dan

Gout Arthritis. Jenis peradangan yang paling umum adalah Arthritis Rheumatoid,

yang penyebab peradangannya sering kali tidak jelas. Peradangan ini memicu

mekanisme pertahanan tubuh melawan dirinya sendiri dan memperlama

peradangan tersebut, bahkan ketika tidak ada agen-agen merugikan yang masuk

ke dalam tubuh (Charlis, 2010).

Sedangkan Arthritis Rheumatoid atau sering disebut Rheumatoid Arthritis

(RA) merupakan suatu penyakit autoimun ditandai dengan adanya proses

12

Page 13: 4. bab 1-5 fix

peradangan kronis, bersifat sistemik. Penyakit ini memiliki manifestasi klinis yang

luas, terutama mengenai beberapa sendi yang simetris, disertai manifestasi

ekstraartikular. Penyakit ini juga sering menyebabkan kerusakan pada sendi,

menyebabkan nyeri dan deformitas sendi yang menetap (Dewi, 2009).

Bagian tubuh yang diserang biasanya persendian pada jari, lutut, pinggul

dan tulang punggung. Keadaan ini biasanya sebagai akibat aktivitas yang

berlebihan atau trauma berulang yang dialami sendi sehingga terjadi aus pada

tulang rawan (kartilago) sendi yang menjadi bantal bagi kartilago. Akibatnya akan

terasa nyeri apabila sendi digerakkan. Persendian yang jarang terserang adalah

pergelangan tangan dan kaki, siku serta bahu (Purwoastuti, 2009).

D.2. Epidemiologi

Arthritis Rheumatoid merupakan suatu penyakit yang telah lama dikenal

dan tersebar di seluruh dunia serta melibatkan semua ras kelompok etnik. AR

lebih sering dijumpai pada wanita, dengan perbandingan wanita dan pria sebesar

3:1. Perbandingan ini biasanya pada wanita dalam usia subur. Demikian pula

remisi seringkali dijumpai pada pasien AR yang sedang hamil. (Daud, 2003).

D.3. Etiologi

Penyebab utama Rheumatoid Arthritis tidak diketahui secara pasti. Diduga

penyebab utamanya karena gangguan autoimunitas dan berhubungan dengan

faktor infeksi, genetis, dan endokrin (Hembing, 2008).

Faktor genetik dan beberapa faktor lingkungan telah lama diduga berperan

dalam timbulnya penyakit ini. Hal ini terbukti dari terdapatnya hubungan antara

produk kompleks histokompatibilitas utama kelas II, khususnya HLA-DR4 dengan

Arthritis Rheumatoid seropositif. Pengemban HLA-DR4 memiliki resiko relatif 4:1

untuk menderita penyakit ini (Daud, 2003).

Sejak tahun 1930, faktor infeksi telah diduga juga merupakan penyebab

Arthritis Rheumatoid. Pada saat itu Nanna Svartz seorang ahli dari Swedia telah

menciptakan sulfasalazine (salicyl-azo-sulfapyridine) yang terdiri dari gabungan

dua konstituen kimia yaitu sulphapyridine yang bersifat antimikroba dan asam

5-aminosalisilat yang memiliki khasiat seperti obat anti inflamasi non steroid

(Daud, 2006).

Dugaan faktor infeksi sebagai penyebab Arthritis Rheumatoid juga timbul

karena umumnya penyakit ini terjadi secara mendadak dan timbul dengan

13

Page 14: 4. bab 1-5 fix

disertai oleh gambaran inflamasi yang mencolok. Dengan demikian timbul

dugaan kuat bahwa penyakit ini sangat mungkin disebabkan tercetusnya suatu

proses autoimun oleh suatu antigen tunggal atau beberapa antigen tertentu saja.

Agen infeksius yang diduga merupakan penyebab Arthritis Rheumatoid antara

lain adalah bakteri, mycoplasma, atau virus. Walaupun hingga kini belum berhasil

dilakukan isolasi suatu mikroorganisme dari jaringan sinovial, hal ini tidak

menyingkirkan kemungkinan bahwa terdapat suatu komponen peptidoglikan atau

endotoksin mikroorganisme yang dapat mencetuskan terjadinya Arthritis

Rheumatoid (Daud, 2006).

D.4. Patogenesis

Dari penelitian mutakhir diketahui bahwa patogenesis Arthritis Rheumatoid

terjadi akibat rantai peristiwa imunologis, yaitu pada tahap awal suatu

antigen penyebab Arthritis Rheumatoid yang berada pada membran sinovial,

akan diproses oleh antigen presenting cells (APC) yang terdiri dari berbagai

jenis sel seperti sel sinoviosit A, sel dendritik atau makrofag yang semuanya

mengekspresi determinan HLA-DR (Histokompatibilitas Leukocite Antigen) pada

membran selnya.

Antigen yang telah diproses akan dikenali dan diikat oleh sel CD4+ (Clusters

of differentiation Antigent) bersama dengan determinan HLA-DR yang terdapat

pada permukaan membran APC tersebut membentuk suatu kompleks

trimolekular. Kompleks trimolekukar ini dengan bantuan interleukin-1 (IL-1) yang

disebabkan oleh monosit atau makrofag selanjutnya akan menyebabkan

terjadinya aktivasi sel CD4+.

Pada tahap selanjutnya kompleks antigen trimolekular tersebut akan

mengekspresi reseptor interleukin-2 (IL-2) pada permukaan CD4+. IL-2 yang yang

disekresi CD4+ akan mengikatkan diri pada reseptor spesifik pada permukaannya

sendiri dan akan menyebabkan terjadinya mitosis dan poliferasi sel tersebut.

Poliferasi CD4+ ini akan berlangsung terus selama antigen tetap berada dalam

lingkungan tersebut. Selain IL-2, CD4+ yang telah teraktivasi juga mensekresi

berbagai limfokin lain seperti gamma-interferon, tumor necrosis factor- ᵦ (TNF-ᵦ,

Interleukin-3 (IL-3), interleukin-4 (IL-4), granulocyte-macrophage colony

stimulating factor (GM-CSF) (Daud, 2003).

14

Page 15: 4. bab 1-5 fix

Beberapa mediator lain juga bekerja merangsang makrofag untuk

meningkatkan aktivitas fagositosisnya dan merangsang poliferasi dan aktivitasi

sel B untuk memproduksi antibodi. Produksi antibodi oleh sel B ini dibantu oleh

IL-1, IL-2, dan IL-4.

Setelah berikatan dengan antigen yang sesuai, antibodi yang dihasilkan

akan membentuk kompleks imun yang berdifusi secara bebas ke dalam ruang

sendi. Pengendapan kompleks imun akan mengaktivasi sistem komplemen yang

membebaskan komponen kopmlemen C5a. Komponen komplemen C5a merupakan

faktor kemotaktik yang selain meningkatkan permeabilitas vaskular juga dapat

menarik lebih banyak sel polimorfonuklear (PMN) dan monosit ke arah lokasi

tersebut.

Pemeriksaan histopatologis membran sinovial menunjukkkan bahwa lesi

yang paling dini dijumpai pada Arthritis Rheumatoid adalah peningkatan

permeabilitas mikrovaskular membran sinovial, infiltrasi sel PMN dan

pengendapan fibrin pada membran sinovial. Fagositosis kompleks imun oleh sel

radang akan disertai oleh pembentukan dan pembebasan radikal oksigen bebas,

leukotrien, prostaglandin dan protease neutral (collagenase dan stromelysin)

yang akan menyebabkan erosi rawan sendi dan tulang.

Radikal oksigen bebas dapat menyebabkan terjadinya depolimerisasi

hialuronat sehingga mengakibatkan terjadinya penurunan visikositas cairan

sendi. Selain itu radikal oksigen bebas juga merusak kolagen dan proteoglikan

rawan sendi (Daud, 2003).

D.5. Gejala dan Tanda - tanda RA

D.5.a.Poliartritis Simetris

Arthritis Rheumatoid lebih sering mengenai sendi diartrodial. Pada

tahap lanjut penyakit ini mengenai sendi besar seperti pergelangan kaki,

lutut, siku, dan bahu akan terkena. Sendi yang terkena umumnya simetris,

disertai bengkak, nyeri dan kaku pada sendi selama lebih dari satu jam,

terutama pada pagi hari. Keluhan berlangsung secara simultan lebih dari 6

minggu (Dewi, 2009).

D.5.b.Disertai Gejala Sistemik

15

Page 16: 4. bab 1-5 fix

Pasien dengan Arthritis Rheumatoid memiliki gejala konstitusional

berupa demam, cepat lelah, malaise, mialgia, penurunan nafsu makan, dan

penurunan berat badan akibat inflamasi sistemik.

Tabel 2.1. Kriteria Rheumatoid Arthritis menurut American Reumatism Association (ARA)

KRITERIA TANDA DAN GEJALA

1 Kekakuan sendi dan jari-jari tangan pada pagi hari (morning stiffness)

2 Nyeri pada pergerakan sendi atau nyeri tekan sekurang-kurangnya

pada satu sendi

3 Pembengkakan (oleh penebalan jaringan lunak atau oleh efusi cairan)

pada salah satu sendi secara terus-menerus sekurang-kurangnya

selama enam minggu

4 Pembengkakan pada sekurang-kurangnya salah satu sendi lain

5 Pembengkakan sendi yang bersifat simetris

6 Nodul subkutan pada daerah tonjolan tulang di daerah ekstensor

7 Gambaran foto Rontgen yang khas pada Rheumatoid Arthritis

8 Uji aglutinasi Faktor Rheumatoid

9 Perubahan karakteristik histologik lapisan sinovial

10 Gambaran histologik yang khas pada nodul

11 Pengendapan cairan cousin yang jelek

Hasil penilaian :

Klasik, bila terdapat tujuh kriteria dan berlangsung sekurang-kurangnya selama 6

minggu.

Defenitif, bila terdapat lima kriteria dan berlangsung sekurang-kurangnya selama 6

minggu.

Kemungkinan Reumatoid, bila terdapat 3 kriteria dan berlangsung sekurang-

kurangnya selama 4 minggu.

(Helmi, 2012)

D.6. Diagnosa Rheumatoid Arthritis

16

Page 17: 4. bab 1-5 fix

D.6.a. Pemeriksaan Fisik

Secara umum sendi tangan dan kaki akan terpengaruh dalam

distribusi yang relatif simetris. Sendi menunjukkan peradangan dengan

pembengkakan, kelembutan, kehangatan, dan penurunan rentang gerak.

Atofi otot-otot interoseus tangan merupakan temuan awal yang khas

Klinis Rheumatoid Arthritis

Gambar 2.3. Tanda peradangan dengan manifestasi pembengkakan pada sendi tangan (Helmi, 2012).

Pada pemeriksaan fisik mungkin ditemukan tenosinositis pada daerah ekstensor

pergelangan tangan dan fleksor jari-jari. Pada sendi besar (misalnya sendi lutut)

gejala peradangan lokal berupa pembengkakan, nyeri serta tanda-tanda efusi

sendi. Kurang lebih 25% dari klien akan mengalami remisi, tetapi serangan akan

timbul kembali seperti semula. Pada stadium lanjut terjadi kerusakan sendi dan

deformitas yang bersifat permanen. Selanjutnya timbul ketidakstabilan sendi

akibat ruptur tendon atau ligamen yang menyebabkan deformitas rheumatoid

yang khas, berupa deviasi ulnar jari-jari pergelangan tangan serta valgus lutut

dan kaki (Helmi, 2012).

17

Page 18: 4. bab 1-5 fix

Kelainan Pada Klien Reumatoid Arthritis

Gambar 2.4. Adanya subkutaneus nodul yang banyak pada jari tangan disertai

deviasi ke arah luar.

Sumber : http://www.intechopen.com/books/innovative-rheumatology/laryngeal-

manifestations-of-rheumatoid-arthritis.

D.6.b. Pemeriksaan Laboratorium

Ada beberapa uji serologik yang sering digunakan untuk menunjang

diagnosis dan prognosis Arthritis Rheumatoid, beberapa diantaranya

adalah :

1. Faktor Rheumatoid

Ciri utama yang menentukan Arthritis Rheumatoid adalah adanya

antiglobulin yang disebut Faktor Rheumatoid, yaitu suatu autoantibodi

terhadap fragmen Fc dari IgG. Sebagian besar Faktor Rheumatoid

terdiri atas molekul IgM yang dapat dideteksi dengan cara aglutinasi

lateks. Mungkin juga Faktor Reumatoid terdiri atas molekul IgG yang

tidak dapat dideteksi dengan cara yang lebih sensitif misalnya

dengan cara RIA (Kresno, 2010).

18

Page 19: 4. bab 1-5 fix

Hasil negatif palsu mungkin dijumpai bila binding sites IgM terhalang

(blocked) sehingga reaksi Faktor Rheumatoid IgM dengan IgG

membentuk kompleks yang larut dan tidak menimbulkan aglutinasi

Namun, kasus yang benar-benar seronegatif juga ada, yaitu bila

Arthritis Rheumatoid terjadi pada penderita agamaglobulinemia.

Terbentuknya anti-IgG diduga merupakan akibat autosensitisasi IgG.

Anti Imunoglobulin atau Faktor Rheumatoid diproduksi sebagai reaksi

terhadap IgG yang mengalami perubahan konfigurasi. Perubahan

konfigurasi atau struktur IgG telah terbukti disebabkan glikosilasi

abnormal pada fragmen Fc dari IgG. Akibat perubahan struktur pada

fragmen Fc ini maka fragmen Fc IgG dianggap asing sehingga

menyulut pembentukan anti IgG.

2. Antibodi Antinuklear (ANA)

Antibodi Antinuklear (ANA) seperti yang dijumpai pada SLE

(Systemic Lupus Erythematosus) juga dapat dijumpai pada Arthritis

Rheumatoid. Sebab terbentuknya ANA belum diketahui pasti, namun

beberapa hipotesis menyatakan bahwa pembentukan ANA

disebabkan sel B yang hiperaktif, dan aktivasi klon yang autoreaktif

baik karena gangguan sel T-supresor atau regulator, maupun

stimulasi poliklonal terhadap sel B oleh mikroba atau virus.

3. Anti CCP (Anti Citrunlinated Peptida)

Autoantibodi yang saat ini paling spesifik untuk Arthritis Rheumatoid

adalah antibodi yang diarahkan kepada antigen atau epitop yang

mengalami citrulinasi. Anti CCP dapat dijumpai beberapa tahun

sebelum muncul gejala erosif sendiri secara klinik. Kadarnya makin

meningkat menjelang muncul gejala erosif itu sehingga dapat

digunakan sebagai prediktor proresivitas penyakit (Kresno, 2010).

D.6.c. Pemeriksaan Radiologi

Gambaran radiologi yang karakteristik untuk Arthritis Rheumatoid

berupa penyempitan celah sendi yang simetris yang terlihat pada 6-12

bulan awal (Dewi, 2009).

19

Page 20: 4. bab 1-5 fix

Rontgen pada tangan, pergelangan tangan dan kaki sebaiknya dilakukan

untuk menilai progresivitas penyakit dan efek terapi, seperti pada Gambar

2.5 (Dewi, 2009).

Radiologis Rheumatoid Arthritis

Gambar 2.5. Penyempitan ruang antar sendi serta deviasi jari-jari ke arah ulnar

(Helmi, 2012).

D.7 Penatalaksanaan Terhadap Penderita Rheumatoid Arthritis

D.7.a Pengobatan

Walaupun hingga kini belum berhasil didapatkan suatu cara

pencegahan dan pengobatan Arthritis Rheumatoid yang sempurna, saat ini

pegobatan pasien Arthritis Rheumatoid ditujukan untuk :

1. Menghilangkan gejala inflamasi aktif baik lokal maupun sistemik

2. Mencegah terjadinya dekstruksi jaringan

3. Mencegah terjadinya deformitas dan memelihara fungsi

persendian agar tetap dalam keadaan baik

4. Mengembalikan kelainan fungsi organ dan persendian yang

terlibat agar sedapat mungkin menjadi normal kembali (Daud,

2006).

20

Page 21: 4. bab 1-5 fix

Saat ini ada pengobatan yang dilakukan untuk penderita Artritis

Rheumatoid, yakni dengan penggunaan OAINS (Obat Anti Inflamasi Non

Steroid) yang umumnya diberikan pada pasien Artritis Reumatoid sejak

masa dini. Penyakit yang dimaksudkan untuk mengatasi nyeri sendi akibat

inflamasi yang seringkali dijumpai walaupun belum terjadi proliferasi

sinovial yang bermakna. Selain dapat mengatasi inflamasi, OAINS juga

memberikan efek analgesik yang sangat baik.

D.7.b Peranan Pendidikan

Penerangan tentang kemungkinan faktor etiologi, patogenesis,

riwayat alamiah penyakit dan penatalaksanaan kepada pasien merupakan

hal yang amat penting dilakukan. Dengan penerangan yang baik mengenai

penyakitnya, pasien Arthritis Rheumatoid diharapkan dapat melakukan

kontrol atas perubahan emosional, motivasi dan kognitif yang terganggu

akibat penyakit ini.

Saat ini terdapat telah banyak publikasi tentang manfaat pendidikan

dini pada pasien Arthritis Rheumatoid. Salah satunya yang banyak

dilaksanakan di Amerika Serikat dan Kanada adalah The Arthritis Self

Management Program, yang diperkenalkan oleh Lorig dan kawan-kawan

dari Stanford University. Peningkatan Pengetahuan pasien tentang

penyakitnya telah terbukti akan meningkatkan motivasinya untuk

melakukan latihan yang dianjurkan, sehingga dapat mengurangi rasa nyeri

yang dialaminya (Daud, 2006).

D.7.c Rehabilitasi Pasien

Rehabilitasi merupakan tindakan untuk mengembalikan tingkat

kemampuan pasien Artritis Rheumatoid dengan cara :

Mengurangi rasa nyeri

Mencegah terjadinya kekakuan dan keterbatasan gerak sendi

Mencegah terjadinya atrofi dan kelemahan otot

Mencegah terjadinya deformitas

Meningkatkan rasa nyaman dan kepercayaan diri

Mempertahankan kemandirian sehingga tidak bergantung pada orang

lain (Daud, 2003).

21

Page 22: 4. bab 1-5 fix

Rehabilitasi dilaksanakan dengan berbagai cara antara lain dengan

mengistirahatkan sendi yang terlibat, latihan serta menggunakan modalitas

terapi fisis seperti pemanasan, pendinginan, peningkatan ambang rasa

nyeri dengan arus listrik. Manfaat terapi fisis dalam pengobatan Arhtritis

Rheumatoid telah ternyata terbukti dan saat ini merupakan salah satu

bagian yang tidak terpisahkan dalam penatalaksanaan Arthritis

Rheumatoid (Daud, 2003).

D.7.d Program Terapi Dasar

1. Istirahat

Penderita rematik arthritis biasanya mengalami kelelahan

sehingga kegiatan sehari-hari harus diatur sedemikian rupa

supaya tidak sampai kelelahan. Dianjurkan agar penderita

beristirahat secara cukup memadai (8 sampai 10 jam) sehari.

2. Latihan fisik

LatIhan fisik tertentu berguna untuk membantu mempertahankan

fungsi maksimal sendi. Namun, apabila latihan fisik dilakukan

secara berlebihan, akan menimbulkan rasa nyeri yang

menurunkan semangat penderita untuk meneruskan program

latihan

3. Terapi panas

Panas dapat membantu mengurangi rasa nyeri. Ada banyak cara

dan teknik yang dapat digunakan, seperti sebagai berikut :

Berendam dalam bak mandi dengan air hangat, terutama untuk

merendam bagian yang nyeri.

Kompres panas, caranya rendam handuk dalam air panas,

kemudian letakkan pada sendi yang sakit.

Pemanasan kering, misalnya dengan menggunakan lampu

pamanas dan lain-lain (Purwoastuti, 2009).

4. Nutrisi

22

Page 23: 4. bab 1-5 fix

Tidak ada diet khusus yang dapat mempengaruhi atau mengobati

Artritis Rheumatoid, akan tetapi penderita Arthritis Rheumatoid

perlu mengikuti diet yang adekuat (cukup). Pasien yang berlebihan

berat badannya dianjurkan mengurangi berat badan agar sendi-

sendinya tidak mendapat tekanan tambahan (Purwoastuti, 2009).

E. Hubungan Rheumatoid Arthrist dengan Lansia

Pada mereka yang sudah berusia lanjut, lapisan pelindung persendian

mulai menipis dan cairan tulang mulai mengental menyebabkan tubuh menjadi

kaku dan sakit saat digerakkan. Biasanya lebih banyak menyerang usia di atas

60 tahun (Hembing, 2006).

F. Kerangka Konsep dan Defenisi Operasional

F.1. Kerangka Konsep

F.2. Defenisi Operasional

1. Rheumatoid Arthritis adalah suatu penyakit autoimun yang ditandai

dengan adanya proses peradangan sendi secara kronis, bersifat

sistemik yang dianalisa dari sampel serum dengan metode aglutinasi.

2. Lansia adalah kelompok penduduk dengan batasan usia dari 60 tahun

ke atas yang mulai mengalami kemunduran baik secara fisik, mental

dan kesehatan.

BAB III

23

Variabel Terikat

Rheumatoid Arthritis

Variabel Bebas

Lansia

Umur

Jenis Kelamin

Terjadi

Aglutinasi

Tidak Terjadi

Aglutinasi

Page 24: 4. bab 1-5 fix

METODE PENELITIAN

A. Jenis Penelitian

Jenis penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah secara

deskriptif dengan desain cross sectional, yaitu untuk melihat gambaran

Rheumatoid Arthritis Test (RA-Test) pada lansia di Puskesmas Mandala, Desa

Kenanga Kecamatan Percut Sei Tuan Medan Tahun 2014.

B. Lokasi dan Waktu Penelitian

B.1 Lokasi Penelitian

Penelitian dilakukan di Laboratorium Imunologi / Serologi Poltekkes

Kemenkes Medan Jurusan Analis Kesehatan.

B.2 Waktu Penelitian

Penelitian dilakukan pada bulan Maret – Juni 2014 dan pengambilan data

dilakukan pada Mei 2014.

C. Populasi dan Sampel

C.1. Populasi Penelitian

Populasi dalam penelitian ini adalah seluruh lansia yang berkunjung ke

Puskesmas Mandala, Desa Kenanga Kecamatan Percut Sei Tuan Medan pada

bulan Mei sampai Juni 2014 sebanyak 21 sampel.

C.2. Sampel

Sampel dalam penelitian ini adalah total populasi lansia yang berkunjung

ke Puskesmas Mandala, Desa Kenanga Kecamatan Percut Sei Tuan Medan

pada bulan Mei sampai Juni 2014 sebanyak 21 sampel.

D. Jenis dan Cara Pengumpulan Data

D.1. Pengumpulan Data

Pengumpulan data dilakukan dengan mengambil sampel yaitu darah vena

pada Lansia di Puskesmas Mandala Medan, kemudian diperiksa di Laboratorium

Imunologi / Serologi Jurusan Analis Kesehatan.

D.1.a. Metode Pemeriksaan

24

Page 25: 4. bab 1-5 fix

Metode pemeriksaan dalam penelitian ini adalah metode Aglutinasi.

D.1.b Prinsip Kerja

Reagen RF (Rheumatoid Faktor) mengandung partikel latex yang

dilapisi dengan gamma globulin manusia. Ketika reagen yang dicampur

dengan serum yang mengandung RF pada level yang lebih besar dari

Sensitivitas Mercia RA-Test yaitu 8 IU/ml maka pada partikel akan terjadi

aglutinasi. Hal ini menunjukkan reaksi positif pada sampel terhadap

Rheumatoid Faktor (Fortress Diagnostics Limited, 2011).

D.2 Alat, Reagensia dan Sampel Uji

D.2.a Alat – alat

1. Spuit 3 ml

2. Tourniquet

3. Alkohol swab 70%

4. Tabung Reaksi

5. Rak Tabung

6. Sentrifuge

7. Clinipet 50

8. Pintip

9. Tangkai Pengaduk

10. Slide Test

11. Rotator

12. Handscoon

D.2.b. Reagensia

Reagen Lateks, kontrol serum positif, dan kontrol serum negatif.

D.2.c. Sampel Uji

Sampel yang digunakan untuk pemeriksaan adalah serum

yang masing masing diambil sebanyak 50 .

25

Page 26: 4. bab 1-5 fix

D.3. Prosedur Kerja

Langkah-langkah untuk Pengambilan Darah Vena :

1. Bersihkan bagian yang akan diambil darah dengan alkohol 70% dan

biarkan sampai menjadi kering lagi, biasanya pada orang dewasa

yang dipakai salah satu vena cubitti.

2. Pasanglah ikatan pembendung pada lengan atas dan mintalah

pasien untuk mengepal dan membuka tangannya berkali-kali agar

vena jelas terlihat. Pembendungan vena tidak perlu dengan ikatan

erat-erat.

3. Tegangkanlah kulit di atas vena itu dengan jari-jari tangan kiri supaya

vena tidak dapat bergerak.

4. Tusukkanlah kulit dengan spuit dalam tangan kanan sampai ujung

jarum masuk ke dalam lumen vena.

5. Lepaskan atau renggangkan pembendungan dan perlahan-lahan

tarik spuit sampai jumlah darah yang dikehendaki dapat.

6. Lepaskan pembendungan jika masih terpasang.

7. Taruhlah kapas di atas spuit, kemudian cabut spuit dengan perlahan.

8. Mintalah kepada pasien supaya tempat tusukan itu ditekan selama

beberapa menit dengan kapas tadi (Gandasoebrata, 2008).

Langkah-langkah untuk memperoleh serum :

1. Ambil satu tabung reaksi, isi dengan darah, tidak dibubuhi

anticoagulant.

2. Tunggu 30 menit sampai darah membeku.

3. Kemudian putar (centrifuge) dengan kecepatan 3000rpm selama 15

menit, maka sel-sel darah akan mengendap dan cairan yang terperas

dari dalam bekuan darah yang berwarna kuning muda ini disebut

serum.

4. Lalu pisahkan serum dengan sel-sel darah.

5. Serum siap digunakan (Lubis, 1996).

26

Page 27: 4. bab 1-5 fix

Langkah-Langkah Pemeriksaan Sampel Secara Kualitatif

1. Semua reagen (reagen lateks, kontrol serum positif, kontrol serum

negatif) dan bahan dibiarkan pada suhu kamar.

2. Aduk reagen lateks dengan hati-hati sebelum digunakan untuk

menunda terjadinya gumpalan partikel.

3. Pipet ke atas slide :

Serum : 50

Kontrol Serum Positif : 50

Kontrol Serum Negatif : 50

Dalam lingkaran yang terpisah di kertas slide

4. Kemudian tambahkan Reagen Lateks sebanyak 50 pada semua

sampel dan kontrol serum.

5. Homogenkan dengan batang pengaduk yang berbeda

6. Goyang slide selama ± 2 menit atau letakkan di atas alat

rotatordengan kecepatan 100 rpm.

7. Segera baca hasil di bawah cahaya terang (Fortress Diagnostics

Limited, 2011).

D.4. Interpretasi Hasil

Secara Kualitatif

Positif (+) : Terjadi aglutinasi

Negatif (-) : Tidak terjadi aglutinasi (Fortress Diagnostics Limited, 2011).

D.5. Hal-hal yang mengganggu pemeriksaan laboratorium :

1. Sensitivitas tes dapat berkurang pada suhu rendah. Hasil terbaik

diperoleh lebih dari 10°C

2. Penundaan dalam membaca hasil dapat meningkat pada hasil

Rheumatoid Faktor. Lebih dari 2 menit dapat menyebabkan hasil positif

palsu.

3. Terkontaminasi

4. Kondisi serum yang tidak baik/lisis

5. Hasil yang diperoleh dengan uji lateks tidak bisa dibandingkan dengan

yang diperoleh oleh uji Waaler Rose.

27

Page 28: 4. bab 1-5 fix

Perbedaan dalam hasil tidak mencerminkan perbedaan antara teknik

kemampuan untuk mendeteksi Rheumatoid Faktor (Fortress Diagnostics

Limited, 2011).

E. Analisa Data

Analisa data dilakukan dengan cara tabulasi dan disajikan dalam bentuk

tabel kemudian dilakukan pembahasan berdasarkan pustaka yang ada.

28

Page 29: 4. bab 1-5 fix

BAB IVHASIL DAN PEMBAHASAN

A. Hasil

Hasil yang diperoleh dari 21 sampel yang dilakukan terhadap pemeriksaan

Rheumatoid Arfthritis pada Lansia di Puskesmas Mandala Medan dalam bentuk

tabel distribusi frekuensi sebagai berikut :

Tabel 4.1. Distribusi frekuensi Pemeriksaan Rheumatoid Arthritis

Berdasarkan Usia Lansia di Puskesmas Mandala Medan

No Usia (tahun)Positif Negatif

F % F %

1 ≤ 60 0 0 1 5

2 61-70 1 5 13 61

3 71-80 4 19 1 5

4 81-90 0 0 1 5

Jumlah 5 24 16 76

Dari Tabel 4.1. diatas dapat dilihat bahwa pada pemeriksaan Rheumatoid

Arthritis pada Lansia yang berusia 71-80 tahun ditemukan lebih banyak positif

dengan persentase 19% dibandingkan dengan Lansia yang berusia 61-70

dengan persentase 5%, dan tidak ditemukan Rheumatoid Arthritis pada Lansia

yang berusia ≤ 60 tahun & 81-90 tahun. Sedangkan untuk hasil negatif lebih

banyak ditemukan pada Lansia yang berusia 61-70 tahun dengan persentase

61% dibanding Lansia yang berusia ≤ 60 tahun, 71-80 tahun, & 81-90 tahun yang

hanya ditemukan 5%.

29

Page 30: 4. bab 1-5 fix

Tabel 4.2. Distribusi frekuensi Pemeriksaan Rheumatoid Arthritis

Berdasarkan Jenis Kelamin Lansia di Puskesmas Mandala

Medan

No Jenis KelaminPositif Negatif

F % F %

1 Laki-Laki 3 14 4 19

2 Perempuan 2 10 12 57

Jumlah 5 24 16 76

Dari Tabel 4.2. diatas dapat dilihat bahwa pada pemeriksaan Rheumatoid

Arthritis pada Lansia laki-laki ditemukan lebih banyak positif dengan persentase

14% dibandingkan dengan Lansia perempuan dengan persentase 10%.

B. Pembahasan

Dari Hasil penelitian yang dilakukan terhadap pemeriksaan Rheumatoid

Arthritis, pada Lansia laki-laki ditemukan lebih banyak positif dengan persentase

14% dibandingkan dengan Lansia perempuan dengan persentase 10%. Hal ini

sesuai dengan teori yang menyatakan bahwa prevalensi Rheumatoid Arthritis

lebih sering dijumpai pada wanita yang dalam usia subur bukan usia lanjut. Hal

ini disebabkan oleh faktor hormonal seperti estrogen dan progesteron. Efek

estrogen ini terutama pada perannya dalam penurunan apoptosis sel B,

mengatur keseimbangan sel T dan produk sitokinnya. Saat kehamilan 75%

pasien akan mengalami remisi dan kembali normal beberapa minggu setelah

melahirkan (Dewi, 2009).

Pada tabel distribusi frekuensi berdasarkan usia ditemukan bahwa pada

Lansia yang berusia 71-80 tahun ditemukan lebih banyak terdapat positif

Rheumatoid Arthritis dengan persentase 19% dibandingkan dengan Lansia yang

berusia 61-70 tahun dengan persentase 5%, sedangkan untuk hasil negatif lebih

banyak ditemukan pada Lansia yang berusia 61-70 tahun dengan persentase

61% dibanding Lansia yang berusia ≤ 60 tahun, 71-80 tahun & 81-90 tahun

30

Page 31: 4. bab 1-5 fix

hanya ditemukan 5%. Hal ini disebabkan karena biasanya mereka yang sudah

berusia lanjut, umumnya lapisan pelindung persendian mulai menipis dan cairan

tulang mulai mengental menyebabkan tubuh menjadi kaku dan sakit saat

digerakkan. Akibatnya jaringan ikat sekitar sendi seperti tendon, ligament dan

fasia mengalami penurunan elastisitas. Ligament dan jaringan periarkular yang

mengalami penurunan daya lentur dan elastisitas, terjadi degenerasi erosi, dan

klasifikasi pada kartilago dan kapsul sendi. Kelainan tersebut dapat menimbulkan

gangguan berupa bengkak, nyeri, kekakuan sendi, gangguan jalan dan aktivitas

keseharian lainnya (Hembing, 2006).

Selain itu, ketika usia semakin menua maka sel-sel imun dalam tubuh pun

semakin banyak jumlahnya namun fungsinya semakin berkurang, sehingga

terjadilah kemunduran kemampuan sistem imun yang terdiri dari sel limfatik

khususnya sel darah putih. Seiring dengan proses penuaan terjadi maka

perubahan kemampuan sistem imun tubuh pun berubah, terutama kemampuan

sistem imun untuk mengenali dirinya sendiri sehingga menyebabkan kelainan

pada antigen permukaan sel dan sistem imun juga menganggap sel yang

mengalami perubahan tersebut sebagai sel asing yang menghancurkannya.

Perubahan inilah yang menjadi dasar terjadinya peristiwa autoimun (Azizah,

2011)

31

Page 32: 4. bab 1-5 fix

BAB VKESIMPULAN DAN SARAN

A. KESIMPULAN

Dari hasil penelitian yang sudah dilakukan pada Lansia yang ada di

Puskesmas Mandala, Desa Kenanga Kecamatan Percut Sei Tuan Medan Tahun

2014 yang diperiksa di laboratorium imunologi/serologi jurusan Analis Kesehatan

Politeknik Kesehatan Kemenkes Medan, diperoleh hasil sebagai berikut :

1. Berdasarkan Usia ditemukan Rheumatoid Arthritis pada Lansia yang

berusia 71-80 tahun lebih banyak positif dengan persentase 19%

dibandingkan dengan Lansia yang berusia 61-70 dengan persentase 5%,

2. Berdasarkan Jenis Kelamin ditemukan Rheumatoid Arthritis pada Lansia

laki-laki lebih banyak positif dengan persentase 14% dibandingkan

dengan Lansia perempuan dengan persentase 10%.

B. Saran

1. Untuk mendapatkan hasil yang lebih baik, perlu dilakukan penelitian

dengan jumlah sampel yang lebih banyak agar hasilnya lebih

representatif

2. Penderita Rheumatoid Arthritis sebaiknya memeriksa kesehatan secara

rutin di Rumah Sakit maupun Puskesmas..

3. Untuk menghindari terjadinya gejala Rheumatoid Arthritis , perlu kiranya

Lansia mengatur pola makan, tidak beraktivitas secara berlebihan,

menghindari olahraga berat, dan istirahat yang cukup.

4. Diharapkan kepada peneliti berikutnya untuk meneliti dengan metode

yang berbeda.

32

Page 33: 4. bab 1-5 fix

DAFTAR PUSTAKA

Afriyanti, F.A., 2009. Tingkat Pengetahuan Lansia tentang Penyakit Rheumatoid Arthritis di Panti Sosial Tresna Werdha (PSTW) Budi Mulia Cipayung Jakarta Tahun 2009. [pdf] Jakarta : Program Studi Ilmu Keperawatan Fakultas Kedokteran dan Ilmu Kesehatan Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah. (diakses 12 Mei 2014), diunduh dari perpus.fkik.uinjkt.ac.id.

Azizah, L.M., 2011. Keperawatan Lanjut Usia. Edisi I. Yogyakarta : Graha Ilmu.

Bustan, M.N., 2007. Epidemiologi Penyakit Tidak Menular. Jakarta : Rineka Cipta.

Charlish, A., 2010. Arthritis Reumatik. Yogyakarta : Quantum Publishing.

Daud, R dan H. M. Adnan., 2003. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam. Edisi III. Jakarta : Balai Penerbit FK UI.

Daud, R dan H. M. Adnan., 2006. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam. Edisi IV. Jakarta : Balai Penerbit FK UI.

Dewi, S., 2009. Kumpulan Makalah Temu Ilmiah Reumatologi. Jakarta : Perhimpunan Reumatologi.

Elvina dan N.L Sari., 2010. Hubungan Tingkat Kemandirian Lansia dengan Upaya Pencegahan Kekambuhan Penyakit Arthritis Rheumatoid pada Lansia di Puskesmas Nusa Indah. [pdf] Bengkulu : Akademi Kesehatan Sapta Bakti Bengkulu. (diakses 19 Februari 2014), diunduh dari www.saptabakti.ac.id.

Fanada, M dan W Muda., 2012. Pengaruh Kompres Hangat dalam Menurunkan Skala Nyeri pada Lansia yang Mengalami Nyeri Rematik di Panti Sosial Tresna Werdha Teratai. [pdf] Palembang : Badan Diklat Provinsi Sumatera Selatan. (diakses 20 Februari 2014), diunduh dari www.banyuasinkab.go.id/tampung/dokumen.

Fauci, A.S dan Langford, C.A., 2006. Harrison Rheumatologi. McGraw-Hill Companies : Amerika Serikat.

Fortress Diagnostics Limited., 2011. Kit Insert Rheumatoid Factors. United Kingdom.

Gandasoebrata, R., 2008. Penuntun Laboratorium Klinik. Jakarta : 2008.

Gordon, N.F., 2002. Radang Sendi (Arthritis). Jakarta : PT Raja Grafindo Persada.

Helmi, Z.N., 2012. Buku Ajar Gangguan Muskuloskeletal. Jakarta : Salemba Medika.

33

Page 34: 4. bab 1-5 fix

Hembing., 2008. Atasi Asam Urat dan Rematik. Jakarta : Puspa Swara.

Kementerian Kesehatan RI., 2013. Gambaran Kesehatan Lanjut Usia. [pdf] Jakarta : Kementerian Kesehatan RI. (diakses 19 Februari 2014), diunduh dari www.depkes.go.id.

Kresno, S.B., 2010. Jakarta : Balai Penerbit FK UI.

Laporan Puskesmas Mandala, 2014. Medan.

Lubis., 1996. Diktat Hematologi I. Medan.

Mutiara, E., 2011. Karakteristik Dan Kebutuhan Penduduk Lanjut Usia Di Kota Medan. [pdf] Medan : Pusat Studi Lingkungan dan Kependudukan – Universitas Sumatera Utara. (diakses 7 Mei 2014), diunduh dari http://www.bkkbn.go.id/litbang/pusdu/HasilPenelitian/Karakteristik Demografis/2011/Karakteristik dan Kebutuhan Penduduk Usia Lanjut di Kota Medan.pdf

Naga, S.S., 2013. Buku Panduan Lengkap Ilmu Penyakit Dalam. Edisi 4. Yogyakarta : DIVA Press.

Nugroho, H.W., 2008. Keperawatan Gerontik dan Geriatrik. Edisi 3. Jakarta : EGC.

Purwoastuti, Th.E., 2009. Waspadai Gangguan Rematik. Yogyakarta : Kanisius.

Tamher, S dan Noorkasiani., 2009. Kesehatan Usia Lanjut dengan Pendekatan Asuhan Keperawatan. Jakarta : Salemba Medika.

http://blog.proboostdirect.com/wp-content/uploads/2013/08/RA-and-normal.jpg.

http://www.intechopen.com/books/innovative-rheumatology/laryngeal-manifestations-of-rheumatoid-arthritis.

http://www.bps.go.id.

http://sumut.bps.go.id.

34