Fix Refrat 4 (2)

37
1 TUGAS REFERAT BLOK ENDOKRIN DAN METABOLISME “Koma Hiperosmolar Hiperglikemik Non Ketotik” Pembimbing : dr. Dwi Adi Nugroho Disusun Oleh : 1. Isnila F Kelilau W G1A011007 2. Lannida G1A011008 3. Stefanus Ariyanto W G1A011015 4. Susanti G1A011036 5. Mumtaz Maulan H G1A011037 6. Yefta G1A011066 7. Prasthiti Dewi H G1A011067 8. Immanuel Jeffri Paian P G1A011098 9. Annisa Fatimah G1A011099 10. Mulia Sari G1A011112 11. Tri Ujiana Sejati G1A011113

Transcript of Fix Refrat 4 (2)

Page 1: Fix Refrat 4 (2)

1

TUGAS REFERAT BLOK ENDOKRIN DAN METABOLISME

“Koma Hiperosmolar Hiperglikemik Non Ketotik”

Pembimbing :

dr. Dwi Adi Nugroho

Disusun Oleh :

1. Isnila F Kelilau W G1A011007

2. Lannida G1A011008

3. Stefanus Ariyanto W G1A011015

4. Susanti G1A011036

5. Mumtaz Maulan H G1A011037

6. Yefta G1A011066

7. Prasthiti Dewi H G1A011067

8. Immanuel Jeffri Paian P G1A011098

9. Annisa Fatimah G1A011099

10. Mulia Sari G1A011112

11. Tri Ujiana Sejati G1A011113

JURUSAN KEDOKTERAN

FAKULTAS KEDOKTERAN DAN ILMU-ILMU KESEHATAN

UNIVERSITAS JENDERAL SOEDIRMAN

PURWOKERTO

2012

Page 2: Fix Refrat 4 (2)

2

HALAMAN PENGESAHAN

Tugas Refrat Koma Hiperosmolar Hiperglikemik Non Ketotik ini telah

diperiksa dan disahkan oleh pembimbing lapangan dan pembimbing refrat pada

tanggal Oktober 2012.

Pembimbing Refrat

dr. Dwi Adi Nugroho

Page 3: Fix Refrat 4 (2)

3

DAFTAR ISI

Judul

Halaman Pengesahan..........................................................................................1

Daftar Isi..............................................................................................................2

Bab I Pendahuluan..............................................................................................3

A. Latar Belakang........................................................................................3

B. Tujuan.....................................................................................................4

Bab II Isi..............................................................................................................5

A. Definisi....................................................................................................5

B. Epidimiologi............................................................................................5

C. Etiologi....................................................................................................6

D. Patomekanisme.......................................................................................7

E. Patofisiologi............................................................................................9

F. Penegakan Diagnosis .............................................................................11

G. Penatalaksanaan......................................................................................12

H. Prognosis.................................................................................................15

Bab III Kesimpulan.............................................................................................16

Daftar Pustaka

Page 4: Fix Refrat 4 (2)

4

BAB I

PENDAHULUAN

A. LATAR BELAKANG

Koma hiperosmolar hiperglikemik non ketotik ialah suatu sindrom

yang ditandai hiperglikemia berat, hiperosmolar, dehidrasi berat tanpa

ditandai adanya ketosis, disertai menurunnya kesadaran. Gejala klinis

utama adalah dehidrasi berat, hiperglikemia berat dan seringkali disertai

gangguan neurologis dengan atau tanpa adanya ketosis (Sudoyo, 2006).

Bertambahnya penyakit yang terkait pada pasien lansia adalah

ketidakmampuan sistem kardiovaskuler mengatasi perpindahan volume

cepat trombosis intraseluler serta kejang setempat (diduga karena

hiperkonsentrasi darah yang berlebihan dan kurangnya aliran darah

setempat). Diabetes Mellitus adalah kondisi hiperglikemi kronis yang

disertai berbagai kelainan metabolik akibat gangguan hormonal yang

menimbulkan berbagai komplikasi kronik pada mata, ginjal, saraf dan

pembuluh darah, disertai lesi pada membran basalis dengan mikroskop

elektron (Mansjoer, 2001). 

Diabetes yang tidak disadari dan tidak diobati dengan tepat atau

diputus akan memicu timbulnya penyakit berbahaya dan memicu

terjadinya komplikasi. Komplikasi yang di akibatkan kadar gula yang

terus menerus tinggi dan merupakan penyulit dalam perjalanan penyakit

diabetes mellitus salah satunya adalah hiperglikemia. Angka kematian

HHNK 40-50%, lebih tinggi dari pada diabetik ketoasidosis. Karena

pasien HHNK kebanyakan usianya tua dan seringkali memiliki penyakit

lain (Mansjoer, 2001). 

Ditemukan 85% pasien KHNK mengidap penyakit ginjal atau

kardiovaskuler, pernah juga ditemukan pada penyakit akromegali,

tirotoksikosis, dan penyakit Chusing. Pasien KHNK kebanyakan usianya

tua dan seringkali mempunyai penyakit lain. Sindrom koma hiperglikemik

hiperosmolar non ketosis penting diketahui karena kemiripannya

Page 5: Fix Refrat 4 (2)

5

dan perbedaannya dari ketoasidosis diabetik berat dan merupakan diagnosa

banding serta perbedaan dalam penatalaksanaan (Hudak dan Gallo). Pasien yang

mengalami sindrom koma hipoglikemia hiperosmolar nonketosis akan mengalami

prognosis jelek. Komplikasi sangat sering terjadi dan angka kematian

mencapai 25- 50% (Mansjoer, 2001). 

B. TUJUAN

Untuk mengetahui lebih dalam tentang penyakit koma hiperosmolar

hiperglikemik non ketotik yang meliputi :

1. Mengetahui pengertian koma hiperosmolar hiperglikemik non ketotik

2. Mengetahui etiologi dari koma hiperosmolar hiperglikemik non ketotik

3. Mengetahui patofisiologi koma hiperosmolar hiperglikemik non

ketotik

4. Mengetahui penetapan diagnosis dini serta penatalaksanaan koma

hiperosmolar hiperglikemik non ketotik

Page 6: Fix Refrat 4 (2)

6

BAB II

ISI

A. DEFINISI

Hiperglikemia, hiperosmoler, koma non ketotik (HHNK) adalah

komplikasi metabolik akut diabetes, biasanya pada penderita diabetes

mellitus (DM) tipe 2 yang lebih tua. Pada kondisi ini, terjadi hiperglikemia

berat (kadar glukosa serum > 600 mg/dL) yang tanpa disertai ketosis.

Hiperglikemia menyebabkan hiperosmolalitas, diuresis osmotik, dan

dehidrasi berat. Psien dapat menjadi tidak sadar dan meninggal bila tidak

segera ditanganin (Price, 2006).

B. EPIDEMIOLOGI

1. Statistik Amerika Serikat

Tidak ada studi berbasis populasi dari HHS yang telah dilakukan.

Menurut National Hospital Discharge Survey AS yang didanai oleh

Pusat Statistik Kesehatan Nasional Amerika serikat, ada 10.800

kejadian tahunan untuk HNS di Amerika Serikat 1989-1991. HHS

mempengaruhi sekitar 1 dari 500 pasien dengan DM. Insiden

keseluruhan HHS kurang dari 1 kasus per 1000 orang-tahun, sehingga

secara signifikan kurang umum daripada DKA (Diabetes

Ketoasidosis). Seperti prevalensi DM tipe 2 yang meningkat, kejadian

HHS kemungkinan akan meningkat juga (Hemphill, 2012).

2. Demografi Sehubungan dengan Usia

HHS memiliki usia rata-rata onset awal dekade ketujuh kehidupan.

Rata-rata usia pasien dengan HHS adalah 60 tahun. Laporan kejadian

kasus yang paling sering dipublikasikan adalah usia 57-69 tahun.

Sebaliknya, usia rata-rata onset untuk Diabetes Ketoasidosis adalah

awal dekade keempat kehidupan.. HHS juga dapat terjadi pada orang

yang lebih muda. Secara khusus, karena laju peningkatan obesitas pada

anak-anak, prevalensi DM tipe 2 juga meningkat pada kelompok usia

Page 7: Fix Refrat 4 (2)

7

ini dan dapat menyebabkan peningkatan insiden HHS pada populasi

ini (Hemphill, 2012).

Masyarakat yang hidup di panti jompo beresiko untuk HHS. Hal

hal yang mendasari adanya pencegahan hidrasi yang memadai,

termasuk imobilitas, usia lanjut, kelemahan, demensia, agitasi, dan

aktivitas yang menurun, menempatkan pasien pada risiko. Gangguan

indera, seperti tuli dan kebutaan, dapat menyebabkan isolasi sosial dan

juga meningkatkan risiko HHS (Hemphill, 2012).

3. Demografi Sehubungan dengan Jenis Kelamin

Tidak ada predileksi seks dicatat dalam seri yang paling sering

dipublikasikan HHS. Namun, beberapa data menunjukkan bahwa

prevalensi sedikit lebih tinggi pada wanita dibandingkan pada laki-

laki. Dalam Survei Discharge US National Hospital (lihat di atas),

3700 orang adalah laki-laki dan 7100 adalah perempuan (Hemphill,

2012).

4. Demografi Sehubungan dengan Ras

Afrika Amerika, Hispanik, dan penduduk asli Amerika yang

terpengaruh oleh HHS sebagai konsekuensi dari peningkatan

prevalensi DM tipe 2 .Dalam Survey National Hospital Discharge AS

dari 10.800 buangan rumah sakit daftar HHS di Amerika Serikat antara

tahun 1989 dan 1991, ada 6300 pasien putih dan 2.900 pasien

Amerika-Afrika, sisa pembuangan orang-orang dari ras lain atau ras

tidak diketahui (Hemphill, 2012).

C. ETIOLOGI

Koma hiperosmolar hipoglikemik nonketotik dapat disebabkan

oleh hal-hal sebagai berikut (Soewondo, 2009) :

1. Infeksi

a. Selulitis

b. Infeksi gigi

c. Pneumonia

Page 8: Fix Refrat 4 (2)

8

d. Sepsis

e. Infeksi saluran kemih

2. Pengobatan

a. Obat kemoterapi

b. Glukokortikoid

c. Fenitoin

d. Diuretik tiazid

e. Propanolol

3. Noncompliance, maksudnya adalah ketidakpatuhan penderita Diabetes

Melitus terhadap penatalaksanaan yang dianjurkan, misalnya dalam hal

mengkonsumsi makanan, tidak patuh meminum obat, melewatkan

jadwal penyuntikan, dan lain-lain.

4. Diabetes Melitus tidak terdiagnosis.

5. Penyalahgunaan obat, seperti alkohol dan kokain.

6. Penyakit penyerta

a. Infark miokard akut

b. Tumor yang menghasilkan hormone adrenokortikotropin

c. Kejadian serebrovaskular

d. Sindrom cushing

e. Hipertermia

f. Hipotermia

g. Trombosis mesenterika

h. Pankreatitis

i. Emboli paru

j. Gagal ginjal

k. Luka bakar berat

l. Tirotoksitosis

Page 9: Fix Refrat 4 (2)

9

D. PATOMEKANISME

Insulin memegang peranan yang sangat penting dalam membawa

glukosa kedalam sel. Insulin adalah suatu zat atau hormon yang

dikeluarkan oleh sel beta di  p u l a u - p u l a u l a n g e r h a n s d i

p a n k r e a s . I n s u l i n y a n g d i k e l u a r k a n o l e h s e l b e t a di

ibaratkan sebuah anak kunci yang dapat membuka pintu masuknya

glukosa kedalam sel, kemudian di dalam sel glukosa itu dimetabolisme

menjadi energi ataut e n a g a . B i l a i n s u l i n t i d a k a d a , m a k a

g l u k o s a t i d a k d a p a t m a s u k s e l s e h i n g g a glukosa akan

tetap berada dalam pembuluh darah yang artinya kadarnya

dalamdarah meningkat (hiperglikemik) (Soegondo dkk, 2007; WHO,

2007).

Mekanisme timbulnya penyakit kencing manis atau diabetes

mellitus adalah sebagai berikut. Pada kondisi normal, glukosa dalam tubuh

yang berasal dari makanan, diserap ke dalam aliran darah dan bergerak ke

sel-sel di dalam tubuh. Glukosa tersebut kemudian dimanfaatkan sebagai

sumber energi. Pengubahan glukosa dalam darah menjadi energi dilakukan

oleh hormon insulin yang dihasilkan oleh kelenjar pankreas. Hormon

insulin juga berfungsi untuk mengatur kadar glukosa dalam darah. Secara

normal, glukosa akan masuk ke sel-sel dan kelebihannya dibersihkan dari

darah dalam waktu 2 jam . Namun apabila insulin yang tersedia jumlahnya

terbatas dan atau tidak bekerja dengan normal,maka sel-sel di dalam tubuh

tidak terbuka dan glukosa akan terkumpul dalam darah. Kadar glukosa

darah di atas 10 mmol per liter merupakan kondisi di atas ambang serap

ginjal. Apabila kadar glukosa dalam darah berlebihan, maka sebagian

glukosa kemudian dibuang bersama urin. Peristiwa terbuangnya glukosa

bersama-sama urin tersebut dikenal dengan istilah kencing manis (Kurnia,

2010).

Mekanisme hampir serupa dengan KAD. Pada mulanya sel β

pankreas gagal atau terhambat oleh beberapa keadaan stres yang

menyebabkan sekresi insulin mejadi tidak adekuat. Pada keadaan stres

Page 10: Fix Refrat 4 (2)

10

terjadi peningkatan hormon glukagon sehingga pembentukan glukosa

meningkat dan menghambat pemakaian glukosa perifer, akhirnya akan

timbul hiperglikemia. Selanjutnya terjadi diuresis osmotik yang

menyebabkan cairan dan elektrolit tubuh berkurang, perfusi ginjal

menurun, dan sebagai akibatnya sekresi hormon lebih meningkat lagi dan

timbul hiperosmolar hiperglikemik (Mansjoer, 2001).

Sampai saat ini para ahli belum dapat menetapka, mengapa pada

pasien hiperosmolar tidak terjadi ketossis atau ketoasidosis. Beberapa

hipotesis diajukan tetapi rupanya patogenesis yang diajukan Gerich

mendapat perhatian dan pandangan lebih tepat (Mansjoer, 2001).

Beberapa hipotesis mengenai KHNK sebagai berikut :

1. Pada pasien KHNK diduga kadar insulin masih cukup untuk mencegah

ketosis tetapi tak dapat mempertahankan homeostasis glukosa.

Hipotesis ini ternyata tidak benar, karena diketahui bahwa kadar

insulin pada keadaan hiperosmolar dan ketoasidosis diabetik sama.

William menduga kadar insulin vena porta cukup banyak atau sel-sel

lemak yang sensitif terhadap insulin (Mansjoer, 2001).

2. Peran hiperosmolar dan dehidrasi. Pada biatang percobaan,

dengamengurang caira ternyata intoleransi glukosa akan diikuti

pngurangan pelepasan asam lemak bebas, sehigga diduga dehidrasi

mempunyai sifat antiketogenik (Mmencegah lipolisis) (Mansjoer,

2001).

Peran penurunan hormon lipolitik, seperti hormon pertumbuhan,

kortison, glukagon, katekolamin (hormon stres) kadar hormon lipolitik

yang berkurang ini memang telah dibuktikan pada koma hiperosmolar,

sehingga kadar asam lemak bebas lebih sedikit atau mempunyai kadar

sama dengan pada ketoasisdosis diabetik. Shunt mengajukan hipotesis

bahwa prostalglandin E2 (PGE2) mempunyai sifat anti lipolisis yang lebih

kuat dibandingkan insulin sehingga bila PGE2 meninggi tentu dapat

mencegah ketosis, tetapi hal ini belum terbukti (Mansjoer, 2001).

Page 11: Fix Refrat 4 (2)

11

E. PATOFISIOLOGI

(Smeltzer, 2002).

Sindrome Hiperglikemia Hiperosmolar Non Ketotik

mengambarkan kekurangan hormon insulin dan kelebihan hormon

glukagon. Penurunan insulin menyebabkan hambatan pergerakan glukosa

ke dalam sel, sehingga terjadi akumulasi glukosa di plasma. Peningkatan

Page 12: Fix Refrat 4 (2)

12

hormon glukagon menyebabkan glikogenolisis yang dapat meningkatkan

kadar glukosa plasma. Peningkatan kadar glukosa mengakibatkan

hiperosmolar. Kondisi hiperosmolar serum akan menarik cairan

intraseluler ke dalam intra vaskular, yang dapat menurunkan volume

cairan intraselluler. Bila klien tidak merasakan sensasi haus akan

menyebabkan kekurangan cairan (Sudoyo, 2006).

Tingginya kadar glukosa serum akan dikeluarkan melalui ginjal,

sehingga timbul glikosuria yang dapat mengakibatkan diuresis osmotik

secara berlebihan (poliuria). Dampak dari poliuria akan menyebabkan

kehilangan cairan berlebihan dan diikuti hilangnya potasium,sodium dan

phospat (Sudoyo, 2006).

Akibat kekurangan insulin maka glukosa tidak dapat diubah

menjadi glikogen sehingga kadar gula darah meningkat dan terjadi

hiperglikemi. Ginjal tidak dapat menahan hiperglikemi ini, karena ambang

batas untuk gula darah adalah 180 mg% sehingga apabila terjadi

hiperglikemi maka ginjal tidak bisa menyaring dan mengabsorbsi sejumlah

glukosa dalam darah. Sehubungan dengan sifat gula yang menyerap air

maka semua kelebihan dikeluarkan bersama urin yang disebut glukosuria.

(Sudoyo, 2006).

Faktor yang memulai timbulnya koma hiperosmolar hiperglikemik

non ketotik (HHNK) adalah diuresis glukosuria. Glukosuria

mengakibatkan kegagalan pada kemampuan ginjal dalam

mengkonsentrasikan urin, yang akan semakin memperberat derajat

kehilangan air. Pada keadaan normal, ginjal berfungsi mengeliminasi

glukosa diatas ambang batas tertentu. Namun demikian, penurunan

volume intravaskular atau penyakit ginjal yang telah ada sebelumnya akan

menurunkan laju filtrasi glomerular, menyebabkan konsentrasi glukosa

meningkat. Hilangnya air yang lebih banyak dibandingkan natrium

menyebabkan keadaan hiperosmolar. Insulin yang ada tidak cukup untuk

menurunkan konsentrasi glukosa darah, terutama jika terdapat resistensi

insulin (Soewondo, 2009).

Page 13: Fix Refrat 4 (2)

13

Bersamaan keadaan glukosuria maka sejumlah air hilang dalam

urine yang disebut poliuria. Poliuria mengakibatkan dehidrasi intraselluler,

hal ini akan merangsang pusat haus sehingga pasien akan merasakan haus

terus menerus sehingga pasien akan minum terus yang disebut polidipsi.

Perfusi ginjal menurun mengakibatkan sekresi hormon lebih meningkat

lagi dan timbul hiperosmolar hiperglikemik (Sudoyo, 2006).

Kemudian produksi insulin yang kurang pun akan menyebabkan

menurunnya transport glukosa ke sel-sel sehingga sel-sel kekurangan

makanan dan simpanan karbohidrat, lemak dan protein menjadi menipis.

Karena digunakan untuk melakukan pembakaran dalam tubuh, maka klien

akan merasa lapar sehingga menyebabkan banyak makan yang disebut

poliphagia. Kegagalan tubuh mengembalikan ke situasi homestasis akan

mengakibatkan hiperglikemia, hiperosmolar, diuresis osmotik berlebihan

dan dehidrasi berat. Disfungsi sistem saraf pusat karena ganguan transport

oksigen ke otak dan cenderung menjadi koma. Hemokonsentrasi akan

meningkatkan viskositas darah dimana dapat mengakibatkan pembentukan

bekuan darah, tromboemboli, infark cerebral, jantung (Sudoyo, 2006).

Adanya keadaan hiperglikemia dan hiperosmolar ini jika

kehilangan cairan tidak dikompensasi dengan masukan cairan oral maka

akan timbul dehidrasi dan kemudian hipovolemia. Hipovolemia akan

mengakibatkan hipotensi dan nantinya akan menyebabkan gangguan pada

perfusi jaringan. Keadaan koma merupakan stadium terakhir dari proses

hiperglikemik ini, dimana telah timbul gangguan elektrolit berat dalam

kaitannya dengan hipotensi (Soewondo, 2009).

F. PENEGAKKAN DIAGNOSIS

Pasien dengan HHNK, umumnya berusia lanjut, belum diketahui

mempunyai DM, dan pasien DM tipe 2 yang mendapat pengaturan diet

dan atau obat hipoglikemi oral. Seringkali dijumpai penggunaan obat yang

semakin memperberat masalah, misalnya diuretic (Soewondo, 2009).

Page 14: Fix Refrat 4 (2)

14

Keluhan pasien HHNK ialah : rasa lemah, gangguan penglihatan,

atau kaki kejang. Dapat pula ditemukan keluhan mual dan muntah, namun

lebih jarang jika dibandingkan dengan KAD. Kadang, pasien dating

dengan disertai keluhan saraf seperti letargi, disorientasi, hemiparesis,

kejang atau koma (Sewondo, 2009).

Pada pemeriksaan fisik ditemukan tanda-tamda dehidrasi berat

seperti turgor yang buruk, mukosa pipi yang kering, mata cekung,

perabaan ekstremitas yang dingin dan denyut nadi yang cepat dan lemah.

Dapat pula ditemukan peningkatan suhu tubuh yang tak terlalu tinggi.

Akibat gastroparesis dapat pula dijumpai distensi abdomen, yang membaik

setelah rehidrasi adekuat (Soewondo, 2009).

Perubahan pada status mental dapat bekisar dari disorientasi

sampai koma. Derajat gangguan neurologis yang timbul berhubungan

secara langsung dengan osmolaritas efektif serum. Koma terjadi saat

osmolaritas serum mencapai lebih dari 350 mOsm per kg (350 mmol per

kg). Kejang ditemukan pada 25% pasien, dan dapat berupa kejang umum,

local, maupun, mioklonik. Dapat juga terjadi hemiparesis yang bersifat

reversible dengan koreksi deficit cairan (Soewondo, 2009).

Temuan laboratorium awal pada pasien dengan HHNK adalah

konsentrasi glukosa darah yang sangat tinggi (> 600 mg per dL) dan

osmolaritas serum yang tinggi (> 320 mOsm per kg air [normal = 290 ±

5]), dengan pH lebih besar dari 7,30 dan disertai ketonemia ringan atau

tidak. Separuh pasien akan menunjukkan asidosis metabolik dengan anion

gap yang ringan (10 – 12). Jika anion gap nya berat (>12), harus

dipikirkan diagnosis diferensial asidosis laktat atau penyebab lain. Muntah

dan penggunaan diuretik tiazid dapat menyebabkan alkalosis metabolik

yang dapat menutupi tingkat keparahan asidosis. Konsentrasi kalium dapat

meningkat atau normal. Konsentrasi kreatinin, blood urea nitrogen

(BUN), dan hematokrit hampir selalu meningkat. HHNK menyebabkan

tubuh banyak kehilangan berbagai macam elektrolit (Soewondo, 2009).

Page 15: Fix Refrat 4 (2)

15

Kehilangan Elektrolit pada HHNK

Elektrolit Hilang

Natrium 7 – 13 mEq per kg

Florida 3 – 7 mEq per kg

Kalium 5 – 15 mEq per kg

Fosfat 70 – 140 mEq per kg

Kalsium 50 – 100 mEq per kg

Magnesium 50 – 100 mEq per kg

Air 100 – 200 mEq per kg

Dalam penemuan laboratorium awal pada koma hiperosmolar

dengan seri Brookiyn dan Washington, didapatkan data sebagai berikut

(Foster, 2000) :

Penemuan Laboratorium Awal pada Koma Hiperosmolar

Seri : Brookiyn Washington

Umur, tahun 60 57

Glukosa,

mmol/L (mg/dl)

65(1166) 54(976)

Natrium,

mmol/L

144 142

Kalium,

mmol/L

5 5

Klorida,

mmol/L

99 98

Bikarbonat,

mmol/L

17 22

BUN, mmol/L

(mg/dl)

31(87) 23(65)

Kreatinin, 490(5,5) -

Page 16: Fix Refrat 4 (2)

16

mmol/L (mg/dl)

Asam lemak

bebas, mmol/L

0,73 0,96

Osmolaritas,

mosmol/Liter

384 374

Data rata-rata dari 33 kejadian koma hiperosmoler (AA Arieff, HJ

Carrol, Medicine 51:73, 1972)

Data rata-rata dari 20 kejadian koma hiperosmoler (JE Gerich et al,

Diabetes 20:28, 1971)

G. PENATALAKSANAAN

1. Prinsip Penatalaksanaan

Angka kematian pada koma hiperosmolar tinggi (>50%).

Akibatnya terapi segera sangat mendesak. Tindakan yang paling

penting adalah pemberian cairan intravena dalam jumlah besar untuk

memulihkan sirkulasi dan aliran urin. Deficit cairan rata-rata adalah 10

sampai 11 liter. Sementara air tawar akan sangat diperlukan, terapi

awal harus berupa larutan garam isotonik, 2 sampai 3 liter harus

diberikan dalam 1 sampai 2 jam pertama. Kemudian salin separuh

kekuatan dapat digunakan. Begitu kadar glukosa mencapai normal,

dapat diberikan dekstrose 5 persen sebagai pembawa air tawar. Jika

komahiperosmolar dapat dipulihkan dengan cairan saja, insulin harus

diberikan untuk mengendalikan hiperglikemia lebih cepat. Banyak

penulis menganjurkan dosis kecil insulin tetapi mungkin diperlukan

jumlah yang lebih besar terutama pada pasien obes. Garam kalium

biasanya diperlukan lebih awal dalam terapi koma hiperosmolar

disbanding pada ketoasidosis karena pergeseran K+ plasma intraseluler

selama peningkatan terapi tanpa asidosis. Jika terdapat asidosis laktat,

natrium bikarbonat harus diberikan sampai perfusi jaringan dapat

dipulihkan. Antibiotika diperlukan jika infeksi merupakan penyakit

(Foster, 2000).

Page 17: Fix Refrat 4 (2)

17

Penatalaksanaan Koma Hiperosmolar Hiperglikemik Non Ketotik

(HHNK) meliputi lima pendekatan (Soewondo, 2009) :

a. Rehidrasi intravena agresif

b. Penggantian elektrolit

c. Pemberian insulin intravena

d. Diagnosis dan manajemen faktor pencetus dan penyakit penyerta

e. Pencegahan

2. Penatalaksanaan Medikamentosa

a. Cairan

Langkah pertama dan terpenting dalam penatalaksaan

HHNK adalah penggantian cairan yang agresif, dimana sebaiknya

dimulai dengan mempertimbangkan perkiraan defisit cairan

(biasanya 100 sampai 200 mL per kg, atau total rata-rata 9 L).

Penggunaan larutan isotonik akan dapat menyebabkan overload

cairan dan cairan hipotonik mungkin dapat mengkoreksi defisit

cairan terlalu cepat dan potensial menyebabkan kematian dan lisis

mielin difus. Sehingga pada awalnya sebaiknya diberikan 1L

normal saline per jam. Jika pasiennya mengalami syok

hipovolemik, mungkin dibutuhkan plasma expanders. Jika pasien

dalam keadaan syok kardiogenik, maka diperlukan monitor

hemodinamik (Soewondo, 2009).

Pada awal terapi, konsentrasi glukosa darah akan menurun,

bahkan sebelum insulin diberikan, dan hal ini dapat menjadi

indikator yang baik akan cukupnya terapi cairan yang diberikan.

Jika konsentrasi glukosa darah tidak bisa diturunkan sebesar 75-

100 mg per dL per jam, hal ini biasanya menunjukkan penggantian

cairan yang kurang atau gangguan ginjal (Soewondo, 2009).

b. Elektrolit

Kehilangan kalium tubuh total seringkali tidak diketahui

pasti, karena konsentrasi kalium dalam tubuh dapat normal atau

tinggi. Konsentrasi kalium yang sebenarnya akan terlihat ketika

Page 18: Fix Refrat 4 (2)

18

diberikan insulin, karena ini akan mengakibatkan kalium serum

masuk ke dalam sel. Konsentrasi elektrolit harus dipantau terus-

menerus dan irama jantung pasien juga harus dimonitor

(Soewondo, 2009).

Jika konsentrasi kalium awal <3,3 mEq per L (3,3 mmol

per L), pemberian insulin ditunda dan diberikan kalium (2/3 kalium

klorida dan 1/3 kalium fosfat sampai tercapai konsentrasi kalium

setidaknya 3,3 mEq per L). Jika konsentrasi kalium lebih besar dari

5,0 mEq per L (5,0 mmol per L), konsentrasi kalium harus

diturunkan sampai dibawah 5,0 mEq per L, namun sebaiknya

konsentrasi kalium ini perlu dimonitor tiap dua jam. Jika

konsentrasi awal kalium antara 3,3-5,0 mEq per L , maka 20-30

mEq kalium harus diberikan dalam tiap liter cairan intravena yang

diberikan (2/3 kalium klorida dan 1/3 kalium fosfat) untuk

mempertahankan konsentrasi kalium antara 4,0 mEq per L (4,0

mmol per L) dan 5,0 mEq per L (Soewondo, 2009).

c. Insulin

Hal yang penting dalam pemberian insulin adalah perlunya

pamberian cairan yang adekuat terlebih dahulu. Jika insulin

diberikan sebelum pemberian cairan, maka cairan akan berpindah

ke intrasel dan berpotensi menyebabkan perburukan hipotensi,

kolaps vaskular, atau kematian. Insulin sebaiknya diberikan dengan

bolus awal 0,15U/kgBB secara intravena, dan diikuti dengan drip

0,1U/kgBB per jam sampai konsentrasi glukosa darah turun antara

250 mg per dL (13,9 mmol per L) sampai 300 mg per Dl. Jika

konsentrasi glukosa dalam darah tidak turun 50-70 mg/dL per jam,

dosis yang diberikan dapat ditingkatkan. Ketika konsentrasi

glukosa darah sudah mencapai dibawah 300 mg/dL, sebaiknya

diberikan dekstrosa secara intravena dan dosis insulin dititrasi

secara sliding scale sampai pulihnya kesadaran dan keadaan

hiperosmolar (Soewondo, 2009).

Page 19: Fix Refrat 4 (2)

19

3. Penatalaksanaan Non Medikamentosa

Pasien Koma Hiperosmolar Hiperglikemik Non Ketotik (KHHNK)

biasanya datang dengan keadaan penurunan kesadaran dan dalam

keadaan gawat darurat, oleh karena itu pemberian obat secara non

farmakologi akan kurang tepat karena memberikan efek yang cukup

lama. Penatalaksaan yang tepat bagi pasien (KHHNK) yaitu secara

medikamentosa. Selain itu dapat juga dengan dilakukan pencegahan

penyakit Diabetes Melitus yang biasanya merupakan penyebab awal

KHHNK, meliputi (Yunir, 2009) :

a. Terapi gizi

Prinsipnya adalah melakukan pengaturan pola makan yang

didasarkan pada status gizi diabetesi dan melakukan modifikasi

diet berdasarkan kebutuhan individual.

b. Latihan jasmani

Latihan jasmani pada diabetesi akan menimbulkan

perubahan metabolik, yang dipengaruhi selain oleh lama, berat

latihan, dan tingkat kebugaran, juga oleh kada insulin plasma,

kadar glukosa darah, kadar benda keton dan imbangan cairan tubuh

4. Identifikasi dan Mengatasi Faktor Penyebab

Walaupun tidak direkomendasikan untuk memberikan antibiotik

kepada semua pasien yang dicurigai mengalami infeksi, namun terapi

antibiotik dianjurkan sambil menunggu kultur pada pasien usia lanjut

dan pada pasien hipotensi. Berdasarkan penelitian terkini, peningkatan

konsentrasi C-reactive protein dan interleukin-6 merupakan indikator

awal sepsis pada pasien dengan HHNK (Soewondo, 2009).

5. Pencegahan

Hal yang harus diperhatikan dalam pencegahan adalah perlunya

penyuluhan mengenai pentingnya pemantauan konsentrasi glukosa

darah dan compliance yang tinggi terhadap pengobatan yang diberikan.

Hal lain yang juga perlu diperhatikan adalah adanya akses terhadap

persediaan air. Jika pasien tinggal sendiri, teman atau anggota keluarga

Page 20: Fix Refrat 4 (2)

20

terdekat sebaiknya secara rutin menengok pasien untuk memperhatikan

adanya perubahan status mental dan kemudian menghubungi dokter

jika hal tersebut ditemui (Soewondo, 2009).

Pada tempat perawatan, petugas yang terlibat dalam perawatan

harus diberikan edukasi yang memadai mengenai tanda dan gejala

HHNK dan juga edukasi mengenai pentingnya asupan cairan yang

memadai dan pemantauan yang ketat (Soewondo, 2009).

Kemudian diet yang baik merupakan salah satu pencegahan dari

HHNK. Diet yang dianjurkan adalah makanan dengan komposisi yang

seimbang dalam hal karbohidrat, protein dan lemak, sesuai dengan

kecukupan gizi baik sebagai berikut :

a. Karbohidrat : 60-70%

b. Protein : 10-15%

c. Lemak : 20-25%

Jumlah kalori disesuaikan dengan pertumbuhan, status gizi, umur,

stres akut dan kegiatan fisik, yang pada dasarnya ditujukan untuk

mencapai dan mempertahankan berat badan ideal. Penurunan berat

badan telah dibuktikan dapat mengurangi resistensim insulin dan

memperbaiki respons sel-sel β terhadap stimulus glukosa. Dalam salah

satu penelitian dilaporkan bahwa penurunan 5% berat badan dapat

mengurangi kadar HbA1c sebanyak 0,6% (HbA1c adalah salah satu

parameter status DM), dan setiap kilogram penurunan berat badan

dihubungkan dengan 3-4 bulan tambahan waktu harapan hidup. Selain

jumlah kalori, pilihan jenis bahan makanan juga sebaiknya

diperhatikan. Masukan kolesterol tetap diperlukan, namun jangan

melebihi 300 mg per hari. Sumber lemak diupayakan yang berasal

dari bahan nabati, yang mengandung lebih banyak asam lemak tak

jenuh dibandingkan asam lemak jenuh. Sebagai sumber protein

sebaiknya diperoleh dari ikan, ayam (terutama daging dada), tahu dan

tempe, karena tidak banyak mengandung lemak. Masukan serat sangat

penting bagi penderita diabetes, diusahakan paling tidak 25 g per hari.

Page 21: Fix Refrat 4 (2)

21

Disamping akan menolong menghambat penyerapan lemak, makanan

berserat yang tidak dapat dicerna oleh tubuh juga dapat membantu

mengatasi rasa lapar yang kerap dirasakan penderita DM tanpa risiko

masukan kalori yang berlebih. Disamping itu makanan sumber serat

seperti sayur dan buah-buahan segar umumnya kaya akan vitamin dan

mineral (American Diabetes Association, 2004).

Selain diet, dengan berolah raga secara teratur dapat menurunkan

dan menjaga kadar gula darah tetap normal. Saat ini ada dokter olah

raga yang dapat dimintakan nasihatnya untuk mengatur jenis dan porsi

olah raga yang sesuai untuk penderita diabetes. Prinsipnya, tidak perlu

olah raga berat, olah raga ringan asal dilakukan secara teratur akan

sangat bagus pengaruhnya bagi kesehatan (American Diabetes

Association, 2004).

Olahraga yang disarankan adalah yang bersifat CRIPE

(Continuous, Rhytmical, Interval, Progressive, Endurance Training).

Sedapat mungkin mencapai zona sasaran 75-85% denyut nadi

maksimal (220-umur),disesuaikan dengan kemampuan dan kondisi

penderita. Beberapa contoh olahraga yang disarankan, antara lain jalan

atau lari pagi, bersepeda, berenang,dan lain sebagainya. Olahraga

aerobik ini paling tidak dilakukan selama total30-40 menit per hari

didahului dengan pemanasan 5-10 menit dan diakhiri pendinginan

antara 5-10 menit. Olah raga akan memperbanyak jumlah dan

meningkatkan aktivitas reseptor insulin dalam tubuh dan juga

meningkatkan penggunaan glukosa (American Diabetes Association,

2004).

H. PROGNOSIS

Keadaan Koma Hiperosmolar Hiperglikemik Non Ketotik (HHNK)

merupakan salah satu komplikasi akut atau emergensi Diabetes Melitus

(DM). Kedaruratan ini pun masih merupakan penyebab tingginya

morbiditas dan mortalitas dari pasien penderita Diabetes Melitus (DM).

Page 22: Fix Refrat 4 (2)

22

Angka kejadian Keadaan Hiperosmolar Hiperglikemik masih sulit

diperkirakan karena belum ada studi populasi tentang keadaan ini, namun

diperkirakan kurang dari 1% dari semua penderita diabetes yang dirawat di

Rumah Sakit. Koma hanya ditemukan kurang dari 10% kasus. Prognosis

dari kasus ini biasanya buruk, meskipun sebenarnya kematian dari pasien

bukan disebabkan oleh sindrom hiperosmolar itu sendiri melainkan oleh

karena penyakit yang mendasarinya atau menyertainya. Angka

kematiannya berkisar antara 30 – 50 % yang merupakan angka kematian

yang tinggi hal ini disebabkan karena serinya terjadi kegawatan ini pada

usia lanjut dan berhubungan dengan penyakit penyakit kardiovaskular

atau penyakit yang mendasari lainnya, infeksi, dehidrasi, dan osmoralitas

darah yang sangat tinggi. Namun demikian angka kematian pada negara

maju dapat ditekan menjadi sekitar 12 % (Soewondo, 2009).

Page 23: Fix Refrat 4 (2)

23

BAB III

KESIMPULAN

A. Koma hiperosmolar hiperglikemik non ketotik ialah suatu sindrom yang

ditandai hiperglikemia berat, hiperosmolar, dehidrasi berat tanpa ditandai

adanya ketosis, disertai menurunnya kesadaran.

B. Faktor yang mempengaruhi koma hiperosmolar hiperglikemik non ketotik

diantara adalah infeksi, diabetes mellitus yang tidak terdiagnosis dan

penyalahgunaan obat

C. Faktor yang memulai timbulnya koma hiperosmolar hiperglikemik non

ketotik (HHNK) adalah diuresis glukosuria. Glukosuria mengakibatkan

kegagalan pada kemampuan ginjal dalam mengkonsentrasikan urin, yang

akan semakin memperberat derajat kehilangan air

D. Penegakan diagnosis selain dari keluhan pasien, pemeriksaan fisik, juga

dengan hasil laboratorium yang menunjukkan konsentrasi glukosa darah

yang sangat tinggi, osmolaritas serum yang tinggi dan juga pH lebih besar

dari 7.30 dan disertai ketonemia ringan atau tidak.

E. Penatalaksanaan medikamentosa dengan cara rehidasi intravena agresif,

penggantian elektrolit dan pemberian insulin intravena sedangkan

penatalaksanaan non medikamentosanya tidak bisa dilakukan hal ini

disebabkan karena pasien tidak koperatif

Page 24: Fix Refrat 4 (2)

24

DAFTAR PUSTAKA

American Diabetes Association. Standards of medical care in diabetes.

Diabetes Care. 2004;27(Suppl 1):S15-S35.

Foster, Daniel W. 2000. Diabetes Mellitus. Dalam : Harrison prinsip-prinsip ilmu

penyakit dalam edisi 13/ editor edisi bahasa inggris, Kurt J. Isselbacher et

al; editor bahasa Indonesia, Ahmad H. Asdie. Jakarta: EGC.

Hemphill, Robert R. 2012. Hyperosmolar Hyperglicemic State. Available at :

http://emedicine.medscape.com/article/1914705-overview#a0156

Kurnia. 2010. Mekanisme Terjadinya Diabetes. Available at :

http://id.shvoong.com/medicine-and-health/epidemiology-public-health/

2094446-mekanisme-terjadinya-diabetes/#ixzz1PmiprcMK

Mansjoer, Arif, Triyanti, dkk. 2007. Kapita Selekta Kedokteran Ed. 3. Jakarta :

Media Aesculapuis.

Price, Sylvia A., Lorraine M. Wilson. 2006. Patofisiologi Konsep Klinis Proses-

Proses Penyakit. Jakarta: EGC.

Smeltzer, Suzanne C, Brenda G bare. 2002. Buku Ajar Keperawatan Medikal

Bedah Brunner & Suddarth Edisi 8 Vol 2 alih bahasa H. Y. Kuncara, Andry

Hartono, Monica Ester, Yasmin asih. Jakarta : EGC.

Soegondo S. Obesitas. Dalam : Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam. Sudoyo AW,

Setiyohadi B, Alwi I, dkk (Eds). Jakarta. Pusat Penerbitan Ilmu Penyakit

Dalam FKUI; 2007; 4;3:1919-25.

Soewondo, Pradana. 2009. Koma Hiperosmolar Hiperglikemik Non Ketotik.

Dalam : Aru W. Sudoyo et al. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam. Edisi V.

Jakarta : Interna Publishing.

Stoner, Hyperglycemic hyperosmolar state, American Academy of Family

Physician, http://www.aafo.org/afp/20050501/1723.html

Sudoyo, A.W., Setiyohadi, B., Alwi, I., Simadibrata, M., Setiati, S. 2006. Buku

Ajar Ilmu Penyakit Dalam. Jilid III. Edisi IV. Jakarta : FKUI

WHO. Diabetes Mellitus, WHO Geneva, Available at :

Http//www.who.int.inf.fs/en/fact 138.html

Page 25: Fix Refrat 4 (2)

25

Yunir, Em, Soebardi, dan Suharko. 2009. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam Jilid 3.

Jakarta : Interna Publishing.