159483876-LP-STEMI-docx

13
1 ASUHAN KEPERAWATAN PADA KLIEN DENGAN STEMI (ST Elevation Myocardial Infarction) A. Definisi ST elevation myocardial infarction (STEMI) merupakan salah satu spektrum sindroma koroner akut yang paling berat. Sindroma koroner akut (SKA) merupakan satu subset akut dari penyakit jantung koroner (PJK) (Firdaus I, 2012). SKA merupakan spektrum klinis yang mencakup angina tidak stabil, infark mikard akut tanpa elevasi segmen ST (NSTEMI) dan infark miokard akut dengan elevasi segmen ST (STEMI) (Myrtha R, 2011). (a) (b) Gambar 1. (a) gambaran EKG jantung normal; (b) gambaran EKG jantung STEMI

Transcript of 159483876-LP-STEMI-docx

Page 1: 159483876-LP-STEMI-docx

1

ASUHAN KEPERAWATAN PADA KLIEN DENGAN STEMI

(ST Elevation Myocardial Infarction)

A. Definisi

ST elevation myocardial infarction (STEMI) merupakan salah satu

spektrum sindroma koroner akut yang paling berat. Sindroma koroner akut

(SKA) merupakan satu subset akut dari penyakit jantung koroner (PJK)

(Firdaus I, 2012). SKA merupakan spektrum klinis yang mencakup angina

tidak stabil, infark mikard akut tanpa elevasi segmen ST (NSTEMI) dan

infark miokard akut dengan elevasi segmen ST (STEMI) (Myrtha R, 2011).

(a)

(b)

Gambar 1. (a) gambaran EKG jantung normal; (b) gambaran EKG

jantung STEMI

Page 2: 159483876-LP-STEMI-docx

2

B. Etiologi

Umumnya terjadi jika aliran darah koroner menurun secara mendadak

setelah oklusi trombus pada plak ateroskerotik yang sudah ada sebelumnya.

Ini disebabkan karena injuri yang disebabkan oleh faktor-faktor seperti

merokok, hipertensi, dan akumulasi lipid (Nurarif AH & Hardhi K, 2013).

Penyebab lain infark tanpa aterosklerosis koronaria antara lain emboli arteri

koronaria, anomali arteri koronaria kongenital, spasme koronaria terisolasi,

arteritis trauma, gangguan hematologik, dan berbagai penyakit inflamasi

sistemik (Libby, Bonow, Mann, Zipes, 2008).

C. Diagnosis IMA

Diagnosis IMA dengan elevasi segmen ST ditegakkan berdasarkan

anamnesis nyeri dada yang khas dan gambaran EKG adanya elevasi ST >2

mm, minimal pada 2 sandapan prekordial yang berdampingan atau >1 mm

pada 2 sandapan ekstremitas. Pemeriksaan enzim jantung terutama troponin T

yang meningkat akan memperkuat diagnosis (Santoso & Setiawan, 2005).

Pemeriksaan fisik menunjukkan pasien tampak cemas dan tidak bisa

beristirahat (gelisah) dengan ekstremitas pucat disertai keringat dingin.

Kombinasi nyeri dada substernal >30 menit dan banyak keringat merupakan

kecurigaan kuat adanya STEMI (Sudoyo AW dkk, 2010).

D. Patofisiologi

Infark miokard (serangan jantung) terjadi ketika arteri korener

(setidaknya sebagian) tiba-tiba terhalang oleh bekuan darah yang

menyebabkan setidaknya beberapa dari otot jantung yang mendapat suplai

darah oleh arteri menjadi infark (mati). Pada kasus STEMI arteri koroner

benar-benar diblokir oleh bekuan darah dan sebagai hasilnya hampir semua

otot jantung yang disuplai oleh arteri yang terkena mulai mati (Fogoros RN,

2008).

Serangan jantung tipe ini biasanya ditunjukkaan oleh perubahan

karakteristik pada hasil EKG. Slah satu perubahan EKG adalah elevasi pada

“segmen ST”. Segmen ST yang tinggi menunjukkan bahwa terjadi kerusakan

otot jantung yang relatif besar (karena arteri koroner benar-benar tersumbat)

Page 3: 159483876-LP-STEMI-docx

3

(Fogoros RN, 2008). Faktor risiko biologis infark miokard yang tidak dapat

diubah yaitu usia, jenis kelamin, ras, dan riwayat keluarga. sedangkan faktor

risiko yang masih dapat diubah, sehingga berpotensi dapat memperlambat

proses aterogenik, antara lain kadar serum lipid, hipertensi, merokok,

gangguan toleransi glukosa, dan diet yang tinggi lemak jenuh, kolesterol,

serta kalori (Santoso & Setiawan, 2005).

Page 4: 159483876-LP-STEMI-docx

4

Gambar 2. Patofisiologi STEMI dan Masalah Keperawatan

Faktor penyebab

injuri vaskular:

1. Merokok

2. Hipertensi

3. Akumulasi lipid

Endapan lipoprotein di

tunika intima

Endapan lipoprotein di

tunika intima

Invasi dari akumulasi

dari lipid

Penurunan suplai darah

ke miokard

Flaque fibrosa Lesi komplikata

Aterosklerosis Penyempitan/ obtruksi

arteri koroner

Tidak seimbang kebutuhan

dengan suplai oksigen Iskemia

Ketidakefektifan perfusi

jaringan perifer

Infark Miokard Penurunann

kontraktilitas miokard

Metabolisme anaerob

meningkat

Kelemahan miokard

Vol akhir diastolik

ventrikel kiri

Tekanan atrium kiri

Tekanan vena pulmonalis

meningkat

Hipertensi kapiler paru

Penurunan curah jantung

Suplai darah ke jaringan

tidak adekuat

Komplikasi:

1. Gagal jantung kongesti

2. Perikarditis

3. Ruptur jantung

4. Aneurisma jantung

5. Defek septum

ventrikel

6. Disfungsi otot papilars

7. Tromboembolisme

Asaam laktat mengkat

Nyeri dada

Nyeri akut Kurang informasi

Odem paru

Gangguan

pertukaran gas

Kemahan fisik

Tidak tahu kondisi dan

pengobatan (klien dan

keluarga bertanya)

Kurang pengetahuan Ansietas

Intoleransi aktivitas

Page 5: 159483876-LP-STEMI-docx

5

E. Tanda dan Gejala

Gambaran klinis infark miokard umumnya berupa nyeri dada substernum

yang terasa berat, menekan, seperti diremas-remas dan terkadang dijalarkan ke

leher, rahang, epigastrium, bahu, atau lengan kiri, atau hanya rasa tidak enak di

dada. IMA sering didahului oleh serangan angina pektoris pada sekitar 50%

pasien. Namun, nyeri pada IMA biasanya berlangsung beberapa jam sampai

hari, jarang ada hubungannya dengan aktivitas fisik dan biasanya tidak banyak

berkurang dengan pemberian nitrogliserin, nadi biasanya cepat dan lemah,

pasien juga sering mengalami diaforesis. Pada sebagian kecil pasien (20%

sampai 30%) IMA tidak menimbulkan nyeri dada. Silent AMI ini terutama

terjadi pada pasien dengan diabetes mellitus dan hipertensi serta pada pasien

berusia lanjut (Robbins SL, Cotran RS, Kumar V, 2007; Sudoyo AW dkk,

2010).

F. Pemeriksaan Penunjang

Pemeriksaan laboratorium harus dilakukan sebagai bagian dalam

tatalaksana pasien STEMI tetapi tidak boleh menghambat implementasi terapi

reperfusi. Pemeriksaan petanda kerusakan jantung yang dianjurkan adalah

creatinin kinase (CK) MB dan cardiac specific troponin (cTn) T atau cTn I,

yang dilakukan secara serial. cTn digunakan sebagai petanda optimal untuk

pasien STEMI yang disertai kerusakan otot skeletal karena pada keadaan ini

juga akan diikuti peningkatan CKMB (Sudoyo AW dkk, 2010).

. Terapi reperfusi diberikan segera mungkin pada pasien dengan

elevasi ST dan gejala IMA serta tidak tergantung pada pemeriksaan biomarker.

Peningkatan nilai enzim diatas dua kali nilai batas atas normal menunjukkan

adanya nekrosis jantung (Sudoyo AW dkk, 2010).

1. CKMB meningkat setelah 3 jam bila ada infark miokard dan mencapai

puncak dalam 10-24 jam dan kembali normal dalam 2-4 hari. Operasi

jantung, miokarditis, dan kardioversi elektrik dapat meningkatkan CKMB.

2. cTn : ada dua jenis yaitu cTn T dan cTn I. Enzim ini meningkat setelah 2

jam bila ada infark miokard dan mencapai puncak dalam 10-24 jam dan

cTn T masih dapat dideteksi setelah 5-14 hari sedangkan cTn I setelah 5-

10 hari.

Page 6: 159483876-LP-STEMI-docx

6

Pemeriksaan enzim jantung yang lain yaitu mioglobin, creatinine kinase

(CK), Lactic dehydrogenase (LDH). Reaksi non spesifik terhadap injuri miokard

adalah leukositosis polimorfonuklear yang dapat terjadi dalam beberapa jam

setelah onset nyeri dan menetap selama 3-7 hari. Leukosit dapat mencapai

12.000-15.000/ul (Sudoyo AW dkk, 2010).

Pemeriksaan EKG 12 sandapan harus dilakukan pada semua pasien

dengan nyeri dada atau keluhan yang dicurigai STEMI, dalam waktu 10 menit

sejak kedatangan di IGD sebagai landasan dalam menentukan keputusan terapi

reperfusi. Jika pemeriksaan EKG awal tidak diagnostik untuk STEMI tetapi

pasien tetap simptomatik dan terdapat kecurigaan kuat STEMI, EKG serian

dengan interval 5-10 menit atau pemantauan EKG 12 sandapan secara kontinyu

harus dilakukan untuk mendeteksi potensi perkembangan elevasi segmen ST.

EKG sisi kanan harus diambil pada pasien dengan STEMI inferior, untuk

mendeteksi kemungkinan infark ventrikel kanan (Sudoyo AW dkk, 2010).

G. Penatalaksanaan Medis

Tujuan utama tatalaksana IMA adalah mendiagnosis secara cepat,

menghilangkan nyeri dada, menilai dan mengimplementasikan strategi

reperfusi yang mungkin dilakukan, memberi antitrombotik dan anti platelet,

memberi obat penunjang. Terdapat beberapa pedoman (guideline) dalam

tatalaksana IMA dengan elevasi ST yaitu dari ACC/AHA tahun 2009 dan

ESC tahun 2008, tetapi perlu disesuaikan dengan kondisi sarana/fasilitas di

masing-masing tempat dan kemampuan ahli yang ada (Sudoyo AW dkk,

2010; Fauci et al, 2010).

1. Oksigen : suplemen oksigen harus diberikan ada pasien dengan saturasi

oksigen <90%. Pada semua pasien STEMI tanpa komplikasi dapat

diberikan oksigen selama 6 jam pertama.

2. Nitrogliserin : Nitrogliserin sublingual dapat diberikan dengan aman

dengan dosis 0,4 mg dan dapat diberikan sampai 3 dosis dengan interval 5

menit.

Morfin : sangat efektif dalam mengurangi nyeri dada dan merupakan

analgesik pilihan dalam tatalaksana STEMI. Morfin dapat diberikan

Page 7: 159483876-LP-STEMI-docx

7

dengan dosis 2-4 mg dan dapat diulang dengan interval 5-15 menit

sampai dosis total 20 mg.

Aspirin : merupakan tatalaksana dasar pada pasien yang dicurigai

STEMI dan efektif pada spektrum sindroma koroner akut. Inhibisi cepat

siklooksigenase trombosit yang dilanjutkan reduksi kadar tromboksan

A2 dicapai dengan absorpsi aspirin bukal dengan dosis 160-325 mg di

ruang emergensi. Selanjutnya diberikan peroral dengan dosis 75-162

mg.

Penyekat Beta : Jika morfin tidak berhasil mengurangi nyeri dada,

pemberian penyekat beta intravena dapat efektif. Regimen yang biasa

diberikan adalah metoprolol 5 mg tiap 2-5 menit sampai total 3 dosis,

dengan syarat frekuensi jantung > 60 kali permenit, tekanan darah

sistolik > 100 mmHg, interval PR < 0,24 detik dan ronki tidak lebih dari

10 cm dari diafragma. Lima belas menit setelah dosis IV terakhir

dilanjutkan dengan metoprolol oral dengan dosis 50 mg tiap 6 jam

selama 48 jam, dan dilanjutkan dengan 100 mg tiap 12 jam (Sudoyo

AW dkk, 2010).

H. Masalah Keperawatan

Anamnesis (Doenges, 2000)

1. Aktifitas

Gejala : Kelemahan, kelelahan

Tanda : Takikardi, dispnea pada istirahat atau aktifitas.

2. Sirkulasi

Gejala : riwayat IMA sebelumnya, penyakit arteri koroner, masalah

tekanan darah, diabetes mellitus.

Tanda :

a) Tekanan darah, dapat normal / naik / turun, perubahan postural

dicatat dari tidur sampai duduk atau berdiri.

b) Nadi: Dapat normal , penuh atau tidak kuat atau lemah / kuat

kualitasnya dengan pengisian kapiler lambat, tidak teratur

(disritmia).

Page 8: 159483876-LP-STEMI-docx

8

c) Bunyi jantung: Bunyi jantung ekstra : S3 atau S4 mungkin

menunjukkan gagal jantung atau penurunan kontraktilits atau

komplain ventrikel.

d) Murmur: Bila ada menunjukkan gagal katup atau disfungsi otot

jantung

e) Friksi ; dicurigai Perikarditis.

f) Irama jantung dapat teratur atau tidak teratur

g) Edema: Distensi vena juguler, edema dependent , perifer, edema

umum, krekles mungkin ada dengan gagal jantung atau ventrikel.

h) Warna : Pucat atau sianosis, kuku datar , pada membran mukossa

atau bibir

3. Integritas ego

Gejala : menyangkal gejala penting atau adanya kondisi takut mati, perasaan

ajal sudah dekat, marah pada penyakit atau perawatan, khawatir tentang

keuangan , kerja , keluarga.

Tanda : menoleh, menyangkal, cemas, kurang kontak mata, gelisah, marah,

perilaku menyerang, fokus pada diri sendiri, koma nyeri.

4. Eliminasi

Tanda : normal, bunyi usus menurun.

5. Makanan atau cairan

Gejala : mual, anoreksia, bersendawa, nyeri ulu hati atau rasa terbakar

Tanda : berkeringat, muntah, perubahan berat badan

6. Higiene

Gejala atau tanda : kesulitan melakukan tugas perawatan

7. Neurosensori

Gejala : pusing, berdenyut selama tidur atau saat bangun (duduk atau

istrahat )

Tanda : perubahan mental, kelemahan

8. Nyeri atau ketidaknyamanan

Gejala :

a) Nyeri dada yang timbulnya mendadak (dapat atau tidak berhubungan

dengan aktifitas ), tidak hilang dengan istirahat atau nitrogliserin

(meskipun kebanyakan nyeri dalam dan viseral).

Page 9: 159483876-LP-STEMI-docx

9

b) Lokasi : Tipikal pada dada anterior, substernal , prekordial, dapat

menyebar ke tangan, ranhang, wajah. Tidak tertentu lokasinya seperti

epigastrium, siku, rahang, abdomen, punggung, leher.

c) Kualitas : “Crushing ”, menyempit, berat, menetap, tertekan.

d) Intensitas : Biasanya 10 (pada skala 1 -10), mungkin pengalaman nyeri

paling buruk yang pernah dialami.

Catatan : nyeri mungkin tidak ada pada pasien pasca operasi, diabetes

mellitus, hipertensi, lansia

9. Pernafasan

Gejala : dispnea saat aktivitas ataupun saat istirahat, dispnea nokturnal,

batuk dengan atau tanpa produksi sputum, riwayat merokok, penyakit

pernafasan kronis.

Tanda : peningkatan frekuensi pernafasan, nafas sesak / kuat, pucat, sianosis

· bunyi nafas ( bersih, krekles, mengi ), sputum

I. Diagnosa Keperawatan ((NANDA International, 2009; Nurarif AH & Hardhi

K, 2013)

1. Nyeri akut b.d agen injuri (fisik) iskemia jaringan sekunder terhadap

sumbatan arteri.

2. Penurunan curah jantung b.d perubahan faktor-faktor listrik, penurunan

karakteristik miokard.

3. Ketidakefektifan perfusi jaringan perifer b.d iskemik, kerusakan otot

jantung, penyempitan/ penyumbatan pembuluh darah arteri koronaria.

4. Gangguan pertukaran gas b.d gangguan aliran darah ke alveoli atau

kegagalan utama paru, perubahan membran alveolar-kapiler (atelektasis,

kolaps jalan napas/ alveolar edem paru/ efusi, sekresi berlebihan/

perdarahan aktif)

5. Ansietas b.d ancaman aktual terhadap integritas biologis

6. Kurang pengetahuan b.d kurang informasi tentang fungsi jantung/ implikasi

penyakit jantung.

7. Intoleransi aktivitas b.d ketidakseimbangan antara suplai oksigen miokard

dan kebutuhan, adanya iskemia/ nekrosis jaringan miokard.

Page 10: 159483876-LP-STEMI-docx

10

J. Rencana Tindakan (Ackley & Ladwig, 2011; Nurarif AH & Hardhi K, 2013;

Moorhead S, et all. 2008; Doenges, 2000)

1. Diagnosa 1: Nyeri akut b.d agen injuri (fisik) iskemia jaringan sekunder

terhadap sumbatan arteri.

Setelah diberikan asuhan keperawatan 1 x 30 menit diharapkan nyeri

yang dirasakan klien berkurang.

NOC: Tingkat nyeri, kontrol nyeri.

Kriteria hasil:

a) Mampu mengontrol nyeri (tahu penyebab nyeri, mampu menggunakan

teknik nonfarmakologi untuk mengurangi nyeri, mencari bantuan)

b) Melaporkan bahwa nyeri berkurang dengan menggunakan manajemen

nyeri

c) Mampu mengenali nyeri (skala, intensitas, frekuensi, dan tanda nyeri)

d) Menyatakan rasa nyaman setelah nyeri berkurang.

NIC label: Manajemen nyeri

1. Lakukan pengkajian menyeluruh pada nyeri termasuk lokasi, karakteristik,

durasi, frekuensi. Pengkajian menyeluruh pada nyeri termasuk lokasi,

karakteristik, durasi, frekuensi penting untuk menentukan penyebab utama

nyeri dan pengobatan yang efektif.

2. Kaji adanya nyeri secara rutin, biasanya dilakukan pada pemeriksaan TTV

dan selama aktivitas dan istirahat. Pengkajian nyeri merupakan tanda-tanda

vital fisiologis yang penting dan nyeri termasuk dalam “kelima tanda-tanda

vital”. Nyeri akut sebaiknya dikaji saat istirahat (penting untuk

kenyamanan) dan selama bergerak (penting untuk fungsi dan menurunkan

risiko terjadinya kardiopulmonari dan tromboembolitik pada klien).

3. Minta klien untuk menjelaskan pengalaman nyeri sebelumnya, keefektifan

intervensi manajemen nyeri, respon pengobatan analgetik termasuk efek

samping, dan informasi yang dibutuhkan. Memperoleh riwayat nyeri

individu membantu untuk mengidentifikasi faktor potensial yang mungkin

mempengaruhi keinginan pasien untuk melaporkan nyeri, seperti intensitas

nyeri, respon klien terhadap nyeri, cemas, farmakokinetik dari analgesik.

Regimen manajemen nyeri harus secara individu kepada klien dan

Page 11: 159483876-LP-STEMI-docx

11

mempertimbangkan kondisi medis, psikologis dan fisiologis, usia, respon

sebelumnya terhadap analgesik.

4. Manajemen nyeri akut dengan pendekatan multimodal. Multimodal

analgesik mengkombinasikan dua atau lebih pengobatan, metode. Manfaat

dari pendekatan ini adalah dosis efektif terendah dari setiap obat bisa

diberikan, hasilnya efek samping dapat diminimalkan seperti terjadinya

oversedasi dan depresi respirasi.

5. Jelaskan pada klien mengenai pendekatan manajemen nyeri, termasuk

intervensi farmakologi dan nonfarmakologi. Salah satu langkah penting

untuk meningkatkan kemampuan kontrol nyeri adalah klien memahami

nyeri secara alami dengan baik, pengobatannya dan peran klien dalam

mengontrol nyeri.

6. Minta klien untuk menjelaskan nafsu makan, eliminasi, dan kemampuan

untuk istirahat dan tidur. Administrasikan terapi dan pengobatan untuk

meningkatkan/ memperbaiki fungsi ini. Obat-obatan golongan opioid

dapat menyebabkan konstipasi yang biasanya terjadi dan menjadi masalah

yang signifikan dalam manajemen nyeri. Opioid menyebabkan konstipasi

dengan cara menurunkan motilitas usus danmengurangi sekresi mukosa.

7. Sebagai tambahan administrasi obat analgesik, dukung klien untuk

menggunakan metode nonfarmakologi untuk membantu mengontrol nyeri,

seperti distraksi, imaginary, relaksasi dengan menarik napas dalam. Strategi

perilaku-kognitif dapat menjadi sumber kontrol diri klien, keberhasilan

personal, dan berpartisipasi aktif dalam pengobatannya sendiri.

8. Kolaborasi pemberian oksigen tambahan dengan kanula nasal atau masker

sesuai indikasi. Meningkatkan jumlah oksigen yang ada untuk pemakaian

miokardia dan juga mengurangi ketidaknyamanan sehubungan dengan

iskemia jaringan.

9. Kolaborasi pemberian obat sesuai indikasi, contoh:

a) Antiangina, seperti nitrogliserin (Nitro-Bid, Nitrostat, Nitro-Dur). Nitrat

berguna untuk kontrol nyeri dengan efek fasodilatasi koroner, yang

meningkatkan aliran darah koroner dan perfusi miokardia. Efek

vasodilatasi perifer menurunkan volume darah kembali ke jantung

Page 12: 159483876-LP-STEMI-docx

12

(preload) sehingga menurunkan kerja otot jantung dan kebutuhan

oksigen.

b) Penyekat-B, seperti atenolol (tenormin); pindolol (visken); propanolol

(inderal). Untuk mengontrol nyeri melalui efek hambatan rangsang

simpatis, dengan begitu menurunkan TD sistolik dan kebutuhan oksigen

miokard. Catatan: penyekat B mungkin dikontraindikasikan bila

kontraktilitas miokardia sangat terganggu, karena inotropik negatif

dapat lebih menurunkan kontraktilitas.

c) Analgesik, seperti morfin, meperidin (demerol). Dapat dipakai pada fase

akut/nyeri dada berulang yang tak hilang dengan nitrogliserin untuk

menurunkan nyeri hebat, memberikan sedasi dan mengurangi kerja

miokard.

d) Penyekat saluran kalsium, seperti verapamil (calan); diltiazem

(prokardia). Efek vasodilatasi dapat meningkatkan aliran darah koroner,

sirkulasi kolateral dan menurunkan preload dan kebutuhan oksigen

miokardia. Beberapa diantaranya mempunyai properti antidisritmia.

10. Periksa tanda vital sebelum dan sesudah obat narkotik. Hipotensi/depresi

pernapasan dapat terjadi sebagai akibat pemberian narkotik. Masalah ini

dapat meningkatkan kerusakan miokardia pada adanya kegagalan

ventrikel.

Page 13: 159483876-LP-STEMI-docx

13

Daftar Pustaka

Ackley BJ, Ladwig GB. 2011. Nursing Diagnosis Handbook an Evidence-Based

Guide to Planning Care. United Stated of America : Elsevier.

Doenges, E. Marilynn. 2000. Rencana Asuhan Keperawatan Edisi 3. Jakarta:

EGC.

Fauci, Braunwald, Kasper, Hauser, Longo, Jameson, Loscalzo. 2010. 17th Edition

Harrison’s Principles of Internal Medicine. New South Wales : McGraw

Hill.

Firdaus I. 2012. Strategi Farmako-invasif pada STEMI Akut. J Kardiol Indones;

33: 266-71.

Fogoros RN. 2008. STEMI-ST Segment Elevation Myocardial Infarction. Heart

Health Center. Diakses pada tanggal 28 April 2013.

http://heartdisease.about.com/od/heartattack/g/STEMI.htm

Libby P, Bonow RO, Mann DL, Zipes DP. 2008. Braunwald’s Heart Disease : A

textbook of Cardiovascular Medicine. Philadephia: Elsevier.

Moorhead, Sue, et all. 2008. Nursing Outcomes Classification (NOC) Fourth

Edition. USA: Mosbie Elsevier.

Myrtha R. 2011. Perubahan Gambaran EKG pada Sindrom Koroner Akut (SKA).

CDK 188; 38 (7): 541-542.

NANDA International. 2009. Nursing Diagnosis: Definition and Classification

2009-2011. USA: Willey Blackwell Publication.

Nurarif AH, Hardhi K. 2013. Aplikasi Asuhan Keperawatan Berdasarkan

Diagnosis Medis dan Nanda Nic Noc. Jilid 1. Yogyakarta: Mediaction.

Robbins SL, Cotran RS, Kumar V. 2007. Buku Ajar Patologi Robbins. Jakarta:

EGC.

Santoso M, Setiawan T. Penyakit Jantung Koroner. 2005. Cermin Dunia

Kedokteran; 147:6-9.

Sudoyo AW, Setiyohadi B, Alwi I, dkk. 2010. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam

Jilid II edisi V. Jakarta: Interna Publishing.