morbus hansen lp (Autosaved).docx

26
LAPORAN PENDAHULUAN ASUHAN KEPERAWATAN PADA PASIEN DENGAN MORBUS HANSEN OLEH : I GUSTI AYU RAI INTARI,S.Kep 13.901.0442 PROGRAM STUDI PROFESI (NERS) SEKOLAH TINGGI ILMU KESEHATAN (STIKes) WIRA MEDIKA PPNI BALI TAHUN 2014

Transcript of morbus hansen lp (Autosaved).docx

Page 1: morbus hansen lp (Autosaved).docx

LAPORAN PENDAHULUAN ASUHAN KEPERAWATAN PADA PASIEN

DENGAN MORBUS HANSEN

OLEH :

I GUSTI AYU RAI INTARI,S.Kep

13.901.0442

PROGRAM STUDI PROFESI (NERS) SEKOLAH TINGGI ILMU KESEHATAN

(STIKes) WIRA MEDIKA PPNI BALI

TAHUN 2014

Page 2: morbus hansen lp (Autosaved).docx

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Konon penyakit kusta telah menyerang manusia sejak 300SM dan telah dikenaloleh peradaban

Tiongkok kuno,Mesir kuno,dan Indiapada 1995 organisasi kesehatandunia (WHO)

memperkirakan terdapat dua atau tiga juta jiwa yang cacat permanenkarena kusta.Walaupun

pengisolasian atau pemisahan penderita dengan masyarakat dirasakankurang perlu dan tidak etis

beberapa kelopok penderita masih dapatditemukan dibelahan dunia,seperti India,dan

Vietnam.Pengonbatan yang efektif pada kusta ditemukan pada akhir 1940_an

dengandiperkenalkanya dapson dan derivatnya.Bagaimanapun juga bakteri penyebab lepra

bertahap menjadi kebal terhadap dapson dan menjadi kian menyebar,hal ini terjadihingga

ditemukan pengobatan multi obat pada awal 1980_an dan penyakit inipunmampu ditangani

kembali.

Page 3: morbus hansen lp (Autosaved).docx

LAPORAN PENDAHULUAN ASUHAN KEPERAWATAN PADA PASIEN DENGAN

MORBUS HANSEN

1. Definisi

Istilah kusta berasal dari bahasa India, yakni kushtha berarti kumpulan gejala-gejala kulit

secara umum. Penyakit kusta disebut juga Morbus Hansen, sesuai dengan nama yang

menemukan kuman yaitu Dr. Gerhard Armauwer Hansen pada tahun 1874 sehingga penyakit ini

disebutMorbus Hansen (Kosasih, 2003). Kusta adalah penyakit infeksi yang kronik dan menular,

penyebabnya ialah Mycobacterium Leprae yang pertama-tama menyerang kulit, mukosa mulut,

saluran nafas bagian atas, sistem retikulo endotelial, mata, otot, tulang dan testis. Tidak ada

penyakit infeksi lain selain penyakit kusta yang dapat menandingi keanekaragaman gambaran

klinik baik dari lesi kulit maupun lesi saraf sehingga penyakit kusta disebut “The Greatest

Imitator”(Halim, 2000).

            Kusta adalah penyakit yang menahun dan disebabkan oleh kuman kusta (mikobakterium

leprae) yang menyerang syaraf tepi, kulit dan jaringan tubuh lainnya.(Depkes RI, 1998)

2. Epidemiologi

Penyebaran penyakit kusta dari suatu benua, negeri dan tempat lain sampai tersebar ke seluruh

dunia tampaknya disebabkan oleh perpindahan orang yang telah terkena penyakit tersebut.

Masuknya kusta ke pulau-pulau Melanesia termasuk Indonesia diperkirakan terbawa oleh orang-

orang Cina (Kosasih,2003). Faktor-faktor yang perlu dipertimbangkan adalah patogenitas kuman

penyebab, cara penularan, keadaan sosial ekonomi dan lingkungan, varian genetik yang

berhubungan dengan kerentanan, perubahan-perubahan imunitas, dan kemungkinan

kemungkinan adanya Reservoir diluar manusia(Linuwih, 2003). Menurut WHO Weekly

Epidemiological Report mengenai kusta tahun 2010, prevalensi tertinggi penyakit kusta terdapat

di India, dengan jumlah penderita sebanyak 87.190 jiwa pada tahun 2009. Perngkat kedua

terdapat di Brazil, dengan jumlah penderita 38.179 jiwa pada tahun 2009. Indonesia sendiri

berada di peringkat ketiga, dengan jumlah penderita sebanyak 21.026 jiwa pada tahun 2009

(WHO, 2010). Menurut laporan WHO tersebut, selama tahun 2009 terdapat 17.260 kasus baru di

Indonesia, dengan 14.227 kasus teridentifikasi sebagai kasus kusta tipe Multi Basiler (MB) yang

merupakan tipe yang menular. Dari data kasus kusta baru tahun 2009 tersebut, 6.887 kasus

Page 4: morbus hansen lp (Autosaved).docx

diantaranya oleh diderita oleh kaum perempuan, sedangkan 2.076 kasus diderita oleh anak-anak

(WHO, 2010). Kebanyakan pasien terinfeksi saat masih kecil dimana penderita tinggal bersama

penderita kusta. Penderita kusta pada anak-anak baik laki-laki atau perempuan sama besarnya,

namun pada orang dewasa pria lebih sering terkena kusta. Kebersihan yang kurang akan

memperbesar resiko transmisi dari Mycobacterium leprae. Kusta hanya dapat ditularkan oleh

penderita yang fase lepromatus leprosi.

Penularan kusta saat ini masih belum diketahui secara pasti hanya berdasarkan anggapan

klasik yaitu melalui kontak langsung antar kulit yang lama dan erat. Anggapan kedua adalah

secara inhalasi, sebab M leprae dapat bertahan hidup didalam droplet beberapa hari. Masa tunas

kusta sangat bervariasi antara 40 hari sampai 40 tahun, umumnya 3-5 tahun. Sampai saat ini

kusta hanya pernah ditemukan menginfeksi manusia, dan pernah dilaporkan ditemukan pada

armadilo liar. Hal ini juga menjadi pemersulit pembiakkan M leprae. M leprae belum dapat

dibiakkan dengan medium buatan maupun biakan sel, hanya dapat tumbuh pada mouse footpad

dan armadilo.

Kusta bukan merupakan penyakit keturunan. Kuman dapat ditemukan di kulit, folikel

rambut, kelenjar keringat dan air susu ibu, jarang didapat dalam urin. Sputum dapat banyak

mengandung M leprae yang berasal dari traktus respiratorius atas. Tempat implantasi tidak selalu

menjadi tempat lesi pertama. Seperti yang dikatakan di atas penyakit kusta dapat menyerang

semua umur baik anak-anak maupun dewasa. Di Indonesia penderita anak-anak di bawah umur

14 tahun, didapatkan ± 11,39% tetapi anak di bawah umur 1 tahun jarang sekali. Saat ini usaha

pencatatan penderita dibawah usia 1 tahun penting dilakukan untuk di cari kemungkinan ada

tidaknya kusta konginetal. Frekuensi tertinggi kusta terdapat pada orang dengan usia 25-35

tahun.

Kusta juga sering mengenai masyarakat dengan sosial ekonomi yang rendah, dari data

penelitian semakin rendah sosial ekonominya maka akan semakin berat penyakitnya, sebaliknya

semakin tinggi keadaan sosial ekonomi masyarakat makan akan semakin membantu

penyembuhan. Selain itu dari penelitian ada perbedaan reaksi infeksi M leprae yang

mengakibatkan gambaran klinis di berbagai suku bangsa. Hal ini diduga disebabkan faktor

genetik yang berbeda.1

Page 5: morbus hansen lp (Autosaved).docx

Kusta merupakan penyakit yang menyeramkan dan ditakuti oleh karena dapat terjadi ulserasi,

mutilasi dan deformitas. Penderita kusta bukan menderita karena penyakitnya saja, tetapi juga

karena dikucilkan dari masyarakat disekitarnya. Hal ini akibat kerusakan saraf besar yang

ireversibel di wajah dan ekstremitas, motorik dan sensorik, serta dengan adanya anestetik disertai

paralisis dan atrofi otot.

Menurut Ress (1975) dalam Zulkifli (2002), dapat ditarik kesimpulan bahwa penularan dan

perkembangan penyakit kusta hanya tergantung dari dua hal yakni jumlah atau keganasan

Mycobacterium Leprae dan daya tahan tubuh penderita. Disamping itu faktor-faktor yang

berperan dalam penularan ini adalah :1.Usia, anak-anak lebih peka dari pada orang dewasa.

2.Jenis kelamin, laki-laki lebih banyak dijangkiti. 3.Ras, bangsa Asia dan Afrika lebih banyak

dijangkiti. 4. Kesadaran sosial, umumnya negara-negara endemis kusta adalah negara dengan

tingkat sosial ekonomi rendah. 5. Lingkungan, fisik, biologi, sosial, yang kurang sehat.

3. Etiologi

Mikobakterium leprae merupakan basil tahan asam (BTA) bersifat obligatintraseluler,

menyerang saraf perifer, kulit dan organ lain seperti mukosa saluran nafasbagian atas, hati,

sumsum tulang kecuali susunan saraf pusat. Masa membelah dirimikobakterium leprae 12-21

hari dan masa tunasnya antara 40 hari-40 tahun. Kumankusta berbentuk batang dengan ukuran

panjang 1-8 micro, lebar 0,2-0,5 microbiasanya berkelompok dan ada yang disebar satu-satu,

hidup dalam sel dan BTA.

4. Patogenesis

M. leprae sebagai mikroorganisme penyebab lepra masuk ke dalam tubuh melalui kulit yang

lecet pada bagian tubuh yang bersuhu dingin dan mukosa hidung. Pengaruh dari infeksi M.

Leprae bergantung pada imunitas seseorang, pengaruh kemampuan hidup M. Leprae pada suhu

tubuh yang rendah. Mikroorganisme ini bersifat obligat intraselular yang terutama pada sel

makrofag di seluruh pembuluh darah pada dermis dan sel schwann di jaringan saraf. Bila M.

Leprae masuk ke tubuh maka tubuh akan mengeluarkan makrofag untuk melakukan fagositosis

Pada tipe LL yang mengakibatkan kelumpuhan sistem imunitas selular, makrofag tidak mampu

menghancurkan basil sehingga basil dapat bermultiplikasi dengan bebas sehingga dapat merusak

jaringan. Pada kusta tipe TT kemampuan fungsi sistem imunitas selular tinggi, makrofag dapat

Page 6: morbus hansen lp (Autosaved).docx

menghancurkan basil, sayangnya setelah semua basil difagositosis, makrofag akan berubah

menjadi sel epiteloid yang tidak bergerak aktif dan kadang-kadang bersatu membentuk sel Datia

Langhans. Bila infeksi ini tidak segera diatasi akan terjadi reaksi berlebihan dan massa epiteloid

akan menimbulkan kerusakan saraf dan jaringan di sekitarnya. Sel schwann merupakan sel target

untuk pertumbuhan M. Leprae, disamping itu sel schwann berfungsi sebagai demielinisasi dan

hanya sedikit fungsinya sebagai fagositosis. Jadi, bila terjadi gangguan imunitas tubuh dalam sel

schwann, basil dapat bermigrasi dan beraktifasi. Akibatnya aktifasi regenerasi saraf berkurang

dan terjadikerusakan saraf yang progresif(Amirudin et al, 1997).

5. Klasifikasi

Ridley dan Jopling (1962) memperkenalkan istilah spektrum Determinate pada penyakit

kusta yang terdiri atas berbagai tipe atau bentuk, yaitu:

1) TT (Tuberkuloid Type)

Lesi ini mengenai kulit maupun saraf perifer. Lesi kulit bisa satu atau beberapa, dapat berupa

makula maupun plakat, batas jelas dan pada bagian tengah dapat ditemukan lesi yang regresi

atau Central Healing. Permukaan lesi dapat bersisik dengan tepi yang meninggi bahka dapat

menyeruai gambaran psoriasis. Dapat disertai penebalan saraf perifer yang biasanya teraba dan

kelemahan otot (Halimet al, 2000).

2) BT (Borderlines Tuberculoid)

Mirip gambaran pada tipe TT, tetapi terdapat gambaran hipopigmentasi, kekeringan kulit atau

skuama yang tidak jelas seperti pada tipe tuberkuloid. Adanya gangguan saraf yang tidak sebrat

tipe tuberkuloid, biasanya asimetris. Lesi satelit biasanya ada dan terletak dekat saraf perifer

yang menebal (Halimet al, 2000).

3) BB (Mid Borderline)

Merupakan tipe yang paling tidak stabil diantara semua spektrum penyakit kusta, disebut juga

bentuk dimorfik. Lesi berbentuk plak, permukaannya dapat berkilat, batas lesi kurang jelas dan

cenderung simetris. Lesi sangat bervariasi baik ukuran, bentuk maupun distribusinya. Bisa

ditemukan lesi Punched Out, yaitu hipopigmentasi berbentuk bulat pada bagian tengah dengan

batas jelas(Halimet al, 2000).

4) BL (Borderline Lepramatous)

Page 7: morbus hansen lp (Autosaved).docx

Lesi dmulai dengan infiltrat yang dengan cepat menyebar ke seluruh tubuh. Makula lebih kecil

dan bervariasi bentuknya. Papul dan nodus lebih tegas walaupun lebih kecil dan distribusinya

hampir simetris. Tanpa kerusakan saraf berupa hilangnya sensasi, hipopigmentasi, berkurangnya

keringat dan gugurnya rambut lebih cepat muncul dibandingkan tipe LL dengan penebalan saraf

yang dapat teraba di tempat predileksi(Halimet al, 2000).

5) LL (Lepramatosa type)

Jumlah lesi infiltrat sangat banyak, simetris, permukaan halus, lebih eritematosa, berkilat,

berbatas tidak tegas. Distribusi lesi khas yaitu di wajah, dahi, pelipis, dagu, cuping telinga,

sedangkan pada bagian badan pada bagian belakang, lengan, punggung tangan dan permukaan

ekstensor tungkai bawah. Kerusakan saraf yang luas menyebabkan anestesi yang disebut Glove

and Socking Anesthesi.Bila penyakit ini berlanjut, maka makula dan papul baru muncul,

sedangkan lesi yang lama menjadi plakat dan nodus. Pada stadium lanjut serabut-serabut saraf

perifer mengalami degenerasi hialin atau fibrosis yang menyebabkan anestesi dan atrofi otot

tangan dan kaki(Halimet al, 2000).

6) LI (Lepromatosa Indefinite)

Tipe ini tidak termasuk dalam kriteria Ridley-Jopling, namun diterima secara luas oleh para ahli

kusta. Lesi kulit biasanya berupa makula hipopigmentasi dengan sedikit sisik dan kulit di

sekitarnya normal. Lokasi berada di bagian ekstensor ekstremitas, bokong, atau muka. Kadang

dapat ditemukan makula hipoestesi atau sedikit penebalan saraf. Tipe ini merupakan tanda

pertama pada 20-80% kasus penderita kusta. Pada sebagian besar, tipe ini akan sembuh spontan

(Halimet al, 2000).

Menurut WHO, klasifikasi kusta dibagi menjadi

1.Pausibasilar (PB)

Termasuk kusta tipe TT dan BT menurut kriteria Ridley dan Jopling atau tipe I dan T menurut

klasifikasi Madrid dengan BTA negatif (Amirudin et al,1997).

2.Multibasilar (MB)

Termasuk kusta tipe BB, BL, dan LL menurut kriteria Ridley dan Jopling atau B dan L menurut

Madrid dan semua tipe kusta dengan BTA positif(Amirudin et al, 1997)

Page 8: morbus hansen lp (Autosaved).docx

6. Gejala Klinis

Tanda-tanda penyakit kusta bermacam-macam, tergantung dari tingkat atau tipe dari penyakit

tersebut.

1) Adanya bercak tipis seperti panu pada badan/tubuh manusia.

2) .Pada bercak putih ini pertamanya hanya sedikit, tetapi lama-lama semakin melebar dan

banyak

3) Adanya pelebaran saraf terutama pada saraf ulnaris, medianus, aulicularis magnus serta

peroneus. Kelenjar keringat kurang kerja sehingga kulit menjadi tipis dan mengkilat

4) Adanya bintil-bintil kemerahan (leproma, nodul) yarig tersebar pada kulit

5) Alis rambut rontok

6) Muka berbenjol-benjol dan tegang yang disebut facies leomina(muka singa)

7) Gejala-gejala umum pada kusta, reaksi :1.Panas dari derajat yang rendah sampai dengan

menggigil.2.Anoreksia.3.Nausea, kadang-kadang disertai vomitus.4.Cephalgia.5.Kadang-

kadang disertai iritasi, Orchitis dan Pleuritis.6.Kadang-kadang disertai dengan Nephrosia,

Nepritis dan hepatospleenomegali.7.Neuritis

7. Pemeriksaan Fisik

1. Anamnesis

Anamnase pada pasien kusta sering menjadi tidak informatif, namun hal ini tetap kita

lakukan. Tanyakan pada pasien mengenai adanya kebas, rasa seperti tersayat atau

terbakar, perubahan lesi pada kulit, kesulitan untuk menggenggam atau berjalan, masalah

pada mata, kontak keluarga dengan kusta, riwayat pengobatan dengan dapson (Bryceson

et al, 1990).

2. Inspeksi

Jika diperlukan, minta pasien untuk berdiri dan membuka pakaiannya. Perhatikan lesi

kulit yang ada pada tubuh pasien di bawah cahaya yang cukup (Bryceson et al 1990).

3. Tes fungsi saraf

a. Rasa raba : Dengan kapas atau sepotong kapas yang dilancipkan dipakai untuk

memeriksa perasaan dengan menynggung kulit.

Page 9: morbus hansen lp (Autosaved).docx

b. Rasa nyeri: Diperiksa dengan memakai jarum. Petugas menusuk kulit dengan ujung

jarum yang tajam dan dengan pangkal tangkainya yang tumpul dan penderita harus

mengakatan tusukan mana yang tajam dan mana yang tumpul.

c. Rasa suhu: Dilakukan dengan mempergunakan 2 tabung reaksi, yang satu berisi air

panas (40C) yang lainnya air dingin (20 C) ditempelkan pada daerah kulit yang dicurigai

dengan sebelumnya melakukan kontrol pada kulit yang sehat. Jika pada daerah kulit yang

dicurigai penderita salah menyebutkan suhu pada tabung yang ditempelkan, maka dapat

disimpulkan bahwa sensasi suhu di daerah tersebut terganggu.

d. Tes motoris: Voluntary Muscle Test(Amirudin et al, 1997).

4. Pemeriksaan Bakteriologis

Skin smear atau kerokan kulit adalah pemeriksaan sediaan yang diperoleh lewat irisan dan

kerokan kecil pada kulit yang kemudiaan diberi pewarnaan Ziehl Nielsen untuk melihat M.

Leprae.Pemeriksaan ini beberapa tahun terakhir ini tidak diwajibkan dalam program Nasional.

Namun demikian menurut penelitian, pemeriksaan skin smear banyak berguna untuk

mempercepat penegakan diagnosis, karena sekitar &-10% penderita yang datang dengan lesi

Pba, merupakan kasus MB yang dini.Pada kasus yang meragukan harus dilakukan pemeriksaan

apusan kulit (skin smear). Pemeriksaan ini dilakukan oleh petugas terlatih. Karena cara

pewarnaan yang sama dengan pemeriksaan TBC maka pemeriksaan dapat dilakukan di

puskesmas(PRM) yang memiliki tenaga serta fasilitas untuk pemeriksaan BTA (Amirudin et

al,997).

5. Pemeriksaan Histopatologik

Diagnosis penyakit kusta biasanya dapat dibuat berdasarkan pemeriksaan klinik, secara teliti

dan pemeriksaan bakterioskopik. Pada sebagian kecil kasus, bilamana diagnosis masih

meragukan, pemeriksaan histopatologik dapat dilakukan. Pemeriksaan ini digunakan untuk

menegakkan diagnosa penyakit kusta, Khususnya pada anak-anak, bilaman pemeriksaan saraf

sensoris tidak mudah dilakukan pada lesi dini, contohnya pada tipe indeterminate, juga untuk

menentukan klasifikasi yang tepat (Amirudin et al, 1997)

.

Page 10: morbus hansen lp (Autosaved).docx

8. Pemeriksaan penunjang

1) Pemeriksaan Bakteriologis

Ketentuan pengambilan sediaan adalah sebagai berikut:

1.      Sediaan diambil dari kelainan kulit yang paling aktif.

2.      Kulit muka sebaiknya dihindari karena alasan kosmetik kecuali tidak ditemukanlesi ditempat

lain.

3.      Pemeriksaan ulangan dilakukan pada lesi kulit yang sama dan bila perluditambah dengan lesi

kulit yang baru timbul.

4.      Lokasi pengambilan sediaan apus untuk pemeriksaan mikobakterium leprae ialah:

a)      Cuping telinga kiri atau kanan.

b)      Dua sampai empat lesi kulit yang aktif ditempat lain.

5.      Sediaan dari selaput lendir hidung sebaiknya dihindari karena:

a)              Tidak menyenangkan pasien.

b)              Positif palsu karena ada mikobakterium lain.

c)              Tidak pernah ditemukan mikobakterium leprae pada selaput lendir hidungapabila sedian apus

kulit negatif.

d)            Pada pengobatan, pemeriksaan bakterioskopis selaput lendir hidung lebihdulu negatif dari

pada sediaan kulit ditempat lain.

6.      Indikasi pengambilan sediaan apus kulit:

a)      Semua orang yang dicurigai menderita kusta.

b)      Semua pasien baru yang didiagnosis secara klinis sebagai pasienkusta.

c)      Semua pasien kusta yang diduga kambuh (relaps) atau karenatersangkakuman resisten terhadap

obat.

d)     Semua pasien MB setiap 1 tahun sekali.

7.              Pemerikaan bakteriologis dilakukan dengan pewarnaan tahan asam, yaitu ziehlneelsen atau

kinyoun gabett.

8.              Cara menghitung BTA dalam lapangan mikroskop ada 3 metode yaitu cara zigzag, huruf z,

dan setengah atau seperempat lingkaran. Bentuk kuman yangmungkin ditemukan adalah bentuk

utuh (solid), pecah-pecah (fragmented),granula (granulates), globus dan clumps.

Page 11: morbus hansen lp (Autosaved).docx

9. Konsep Terapi

Terapi Medik

Tujuan utama program pemberantasan kusta adalah penyembuhan pasien kustadan mencegah

timbulnya cacat serta memutuskan mata rantai penularan dari pasienkusta terutama tipe yang

menular kepada orang lain untuk menurunkan insidenpenyakit.Program Multi Drug Therapy

(MDT) dengan kombinasi rifampisin,klofazimin, dan DDS dimulai tahun 1981. Program ini

bertujuan untuk mengatasiresistensi dapson yang semakin meningkat, mengurangi ketidaktaatan

pasien,menurunkan angka putus obat, dan mengeliminasi persistensi kuman kusta

dalam jaringan.Rejimen pengobatan MDT di Indonesia sesuai rekomendasi WHO 1995sebagai

berikut:

1.      Tipe PB ( PAUSE BASILER)

Jenis obat dan dosis untuk orang dewasa :Rifampisin 600mg/bln diminum didepan petugasDDS tablet

100 mg/hari diminumdi rumah.Pengobatan 6 dosis diselesaikan dalam 6-9 bulan dan setelah

selesaiminum 6 dosis dinyatakan RFT meskipun secara klinis lesinya masih aktif.Menurut

WHO(1995) tidak lagi dinyatakan RFT tetapi menggunakan istilahCompletion Of Treatment

Cure dan pasien tidak lagi dalam pengawasan.

2.      Tipe MB ( MULTI BASILER)

Jenis obat dan dosis untuk orang dewasa:Rifampisin 600mg/bln diminum didepan

petugas.Klofazimin 300mg/bln diminumdidepan petugas dilanjutkan dengan klofazimin 50

mg /hari diminum dirumah.DDS 100 mg/hari diminum dirumah,Pengobatan 24 dosis

diselesaikandalam waktu maksimal 36 bulan sesudah selesai minum 24 dosis dinyatakan

RFTmeskipun secara klinis lesinya masih aktif dan pemeriksaan bakteri positif.Menurut WHO

(1998) pengobatan MB diberikan untuk 12 dosis yang diselesaikandalam 12-18 bulan dan pasien

langsung dinyatakan RFT.

3.      Dosis untuk anak 

Klofazimin:Umur,dibawah10tahun:Bulanan100mg/blnHarian 50mg/2kali/minggu,Umur 11-

14 tahun, Bulanan 100mg/bln,Harian 50mg/3kali/minggu,DDS:1-2mg /Kg BB,Rifampisin:10-

15mg/Kg BB.

4.      Pengobatan MDT terbaru

Page 12: morbus hansen lp (Autosaved).docx

Metode ROM adalah pengobatan MDT terbaru. Menurut WHO(1998), pasien kustatipe PB

dengan lesi hanya 1 cukup diberikan dosis tunggal rifampisin 600 mg,ofloksasim 400mg dan

minosiklin 100mg dan pasien langsung dinyatakan RFT,sedangkan untuk tipe PB dengan 2-5 lesi

diberikan 6 dosis dalam 6 bulan. Untuk tipe MB diberikan sebagai obat alternatif dan dianjurkan

digunakan sebanyak 24dosis dalam 24 jam.

5.      Putus obat

Pada pasien kusta tipe PB yang tidak minum obat sebanyak 4 dosis dari yangseharusnya maka

dinyatakan DO, sedangkan pasien kusta tipe MB dinyatakan DObila tidak minum obat 12 dosis

dari yang seharusnya.

10. Komplikasi.

 Akibat langsung dari penyakit Morbus Hansen atau kusta ialah kerusakan uratsaraf

tepi,kecacatan,terjadinya kerontokan alis mata,menebalnya cupingtelinga,kadang-kadang terjadi

hidung pelanaakibat dari kerusakan tulang rawanhidung,pada bentuk yang parah bisa terjadi

wajah singa(faces leonina).

B. Konsep Dasar Asuhan Keperawatan

1. Pengkajian

a. Biodata

Umur memberikan petunjuk mengenai dosis obat yang diberikan, anak-anak dan dewasa

pemberian dosis obatnya berbeda. Pekerjaan, alamat menentukan tingkat sosial, ekonomi dan

tingkat kebersihan lingkungan. Karena pada kenyataannya bahwa sebagian besar penderita kusta

adalah dari golongan ekonomi lemah.

b. Riwayat Penyakit Sekarang

Biasanya klien dengan morbus hansen datang berobat dengan keluhan adanya lesi dapat tunggal

atau multipel, neuritis (nyeri tekan pada saraf) kadang-kadang gangguan keadaan umum

penderita (demam ringan) dan adanya komplikasi pada organ tubuh.

Page 13: morbus hansen lp (Autosaved).docx

c. Riwayat Kesehatan Masa Lalu

Pada klien dengan morbus hansen reaksinya mudah terjadi jika dalam kondisi lemah, kehamilan,

malaria, stres, sesudah mendapat imunisasi

d. Riwayat Kesehatan Keluarga

Morbus hansen merupakan penyakit menular yang menahun yang disebabkan oleh kuman kusta

( mikobakterium leprae) yang masa inkubasinya diperkirakan 2-5 tahun. Jadi salah satu anggota

keluarga yang mempunyai penyakit morbus hansen akan tertular.

e. Riwayat Psikososial

Fungsi tubuh dan komplikasi yang diderita. Klien yang menderita morbus hansen akan malu

karena sebagian besar masyarakat akan beranggapan bahwa penyakit ini merupakan penyakit

kutukan, sehingga klien akan menutup diri dan menarik diri, sehingga klien mengalami

gangguan jiwa pada konsep diri karena penurunan

f. Pola Aktivitas Sehari-hari

Aktifitas sehari-hari terganggu karena adanya kelemahan pada tangan dan kaki maupun

kelumpuhan. Klien mengalami ketergantungan pada orang lain dalam perawatan diri karena

kondisinya yang tidak memungkinkan.

g. Pemeriksaan Fisik

Keadaan umum klien biasanya dalam keadaan demam karena reaksi berat pada tipe I, reaksi

ringan, berat tipe II morbus hansen. Lemah karena adanya gangguan saraf tepi motorik.

1) Sistem penglihatan. Adanya gangguan fungsi saraf tepi sensorik, kornea mata anastesi

sehingga reflek kedip berkurang jika terjadi infeksi mengakibatkan kebutaan, dan saraf tepi

motorik terjadi kelemahan mata akan lagophthalmos jika ada infeksi akan buta. Pada morbus

hansen tipe II reaksi berat, jika terjadi peradangan pada organ-organ tubuh akan mengakibatkan

irigocyclitis. Sedangkan pause basiler jika ada bercak pada alis mata maka alis mata akan rontok.

2) Sistem pernafasan. Klien dengan morbus hansen hidungnya seperti pelana dan terdapat

gangguan pada tenggorokan.

Page 14: morbus hansen lp (Autosaved).docx

2) Sistem persarafan:

a) Kerusakan fungsi sensorik

Kelainan fungsi sensorik ini menyebabkan terjadinya kurang/ mati rasa. Alibat

kurang/ mati rasa pada telapak tangan dan kaki dapat terjadi luka, sedang pada

kornea mata mengkibatkan kurang/ hilangnya reflek kedip.

b) Kerusakan fungsi motorik

Kekuatan otot tangan dan kaki dapat menjadi lemah/ lumpuh dan lama-lama ototnya

mengecil (atropi) karena tidak dipergunakan. Jari-jari tangan dan kaki menjadi

bengkok dan akhirnya dapat terjadi kekakuan pada sendi (kontraktur), bila terjadi

pada mata akan mengakibatkan mata tidak dapat dirapatkan (lagophthalmos).

c) Kerusakan fungsi otonom

Terjadi gangguan pada kelenjar keringat, kelenjar minyak dan gangguan sirkulasi

darah sehingga kulit menjadi kering, menebal, mengeras dan akhirnya dapat pecah-

pecah.

4) Sistem muskuloskeletal. Adanya gangguan fungsi saraf tepi motorik adanya kelemahan atau

kelumpuhan otot tangan dan kaki, jika dibiarkan akan atropi.

5) Sistem integumen. Terdapat kelainan berupa hipopigmentasi (seperti panu), bercak eritem

(kemerah-merahan), infiltrat (penebalan kulit), nodul (benjolan). Jika ada kerusakan fungsi

otonom terjadi gangguan kelenjar keringat, kelenjar minyak dan gangguan sirkulasi darah

sehingga kulit kering, tebal, mengeras dan pecah-pecah. Rambut: sering didapati kerontokan jika

terdapat bercak.

2. Diagnosa

a. Kerusakan integritas kulit yang berhubungan dengan lesi dan proses inflamasi

b. Gangguan rasa nyaman, nyeri yang berhubungan dengan proses inflamasi jaringan

c. Intoleransi aktivitas yang berhubungan dengan kelemahan fisik

d. Gangguan konsep diri (citra diri) yang berhubungan dengan ketidakmampuan dan kehilangan

fungsi tubuh

Page 15: morbus hansen lp (Autosaved).docx

3. Intervensi

a. Kerusakan integritas kulit yang berhubungan dengan lesi dan proses inflamasi

Tujuan :Setelah dilakukan tindakan keperawatan proses inflamasi berhenti dan berangsur-angsur

sembuh. Kriteria :

1) Menunjukkan regenerasi jaringan

2) Mencapai penyembuhan tepat waktu pada lesi

Intervensi:

1) Kaji/catat warna lesi, perhatikan jika ada jaringan nekrotik dan kondisi sekitar luka.

R/ Memberikan inflamasi dasar tentang terjadi proses inflamasi dan atau mengenai sirkulasi

daerah yang terdapat lesi.

2) Berikan perawatan khusus pada daerah yang terjadi inflamasi.

R/ Menurunkan terjadinya penyebaran inflamasi pada jaringan sekitar.

3) Evaluasi warna lesi dan jaringan yang terjadi inflamasi perhatikan adakah penyebaran pada

jaringan sekitar.

R/ Mengevaluasi perkembangan lesi dan inflamasi dan mengidentifikasi terjadinya komplikasi.

4) Bersihkan lesi dengan sabun pada waktu direndam.

R/ Kulit yang terjadi lesi perlu perawatan khusus untuk mempertahankan kebersihan lesi.

5) Istirahatkan bagian yang terdapat lesi dari tekanan.

R/ Tekanan pada lesi bisa maenghambat proses penyembuhan.

b. Gangguan rasa nyaman, nyeri yang berhubungan dengan proses inflamasi jaringan.

Tujuan : Setelah dilakukan tindakan keperawatan proses inflamasi berhenti dan berangsur-angsur

hilang. Kriteria : Setelah dilakukan tindakan keperawatan proses inflamasi dapat berkurang dan

nyeri berkurang dan beraangsur-angsur hilang.

Intervensi :

1) Observasi lokasi, intensitas dan penjalaran nyeri.

R/ Memberikan informasi untuk membantu dalam memberikan intervensi.

2) Observasi tanda-tanda vital.

R/ Untuk mengetahui perkembangan atau keadaan pasien.

3) Ajarkan dan anjurkan melakukan tehnik distraksi dan relaksasi.

R/ Dapat mengurangi rasa nyeri.

Page 16: morbus hansen lp (Autosaved).docx

4) Atur posisi senyaman mungkin.

R/ Posisi yang nyaman dapat menurunkan rasa nyeri.

5) Kolaborasi untuk pemberian analgesik sesuai indikasi.

R/ Menghilangkan rasa nyeri.

c. Intoleransi aktivitas yang berhubungan dengan kelemahan fisik

Tujuan : Setelah dilakukan tindakan keperawatan kelemahan fisik dapat teratasi dan aktivitas

dapat dilakukan. Kriteria :

1) Pasien dapat melakukan aktivitas sehari-hari

2) Kekuatan otot penuh

Intervensi :

1) Pertahankan posisi tubuh yang nyaman.

R/ Meningkatkan posisi fungsional pada ekstremitas.

2) Perhatikan sirkulasi, gerakan, kepekaan pada kulit.

R/ Oedema dapat mempengaruhi sirkulasi pada ekstremitas.

3) Lakukan latihan rentang gerak secara konsisten, diawali dengan pasif kemudian aktif

R/ Mencegah secara progresif mengencangkan jaringan, meningkatkan pemeliharaan fungsi

otot/sendi.

4) Jadwalkan pengobatan dan aktifitas perawatan untuk memberikan periode istirahat.

R/ Meningkatkan kekuatan dan toleransi pasien terhadap aktifitas.

5) Dorong dukungan dan bantuan keluaraga/orang yang terdekat pada latihan.

R/ Menampilkan keluarga/orang terdekat untuk aktif dalam perawatan pasien dan memberikan

terapi lebih konstan.

d. Gangguan konsep diri (citra diri) yang berhubungan dengan ketidakmampuan dan kehilangan

fungsi tubuh.

Tujuan :

Setelah dilakukan tindakan keperawatan tubuh dapat berfungsi secara optimal dan konsep diri

meningkat.

Page 17: morbus hansen lp (Autosaved).docx

Kriteria :

1) Pasien menyatakan penerimaan situasi diri

2) Memasukkan perubahan dalam konsep diri tanpa harga diri negatif

Intervensi :

1) Kaji makna perubahan pada pasien.

R/ Episode traumatik mengakibatkan perubahan tiba-tiba. Ini memerlukan dukungan dalam

perbaikan optimal.

2) Terima dan akui ekspresi frustasi, ketergantungan dan kemarahan. Perhatikan perilaku

menarik diri.

R/ Penerimaan perasaan sebagai respon normal terhadap apa yang terjadi membantu perbaikan.

3) Berikan harapan dalam parameter situasi individu, jangan memberikan kenyakinan yang

salah.

R/ Meningkatkan perilaku positif dan memberikan kesempatan untuk menyusun tujuan dan

rencana untuk masa depan berdasarkan realitas.

4) Berikan penguatan positif.

R/ Kata-kata penguatan dapat mendukung terjadinya perilaku koping positif.

5) Berikan kelompok pendukung untuk orang terdekat.

R/ Meningkatkan ventilasi perasaan dan memungkinkan respon yang lebih membantu pasien.

.

Page 18: morbus hansen lp (Autosaved).docx

B. Derajat cacat kusta

WHO ( 19995 ) dalam djuanda, A, 1997 membagi cacat kusta menjadi 3 tingkat ke cacatan,

yaitu:

1. Cacat pada tangan dan kaki

• tingkat 0 : tidak ada anestesi, dan kelainan anatomis

• tingkat 1 : ada anestesi, tetapi tidak ada kelainan anatomis

• tingkat 2 : terdapat kelainan anatomis

2. Cacat pada mata

• tingkat 0 : tidak ada kelainan pada mata ( termasuk visus )

• tingkat 1 : ada kelianan mata, tetapi tidak terlihat, visus sedikit berkurang

• tingkat 2 : ada lagoptalmus dan visus sangat terganggu ( visus 6/60, dapat menghitung jari pada

jarak 6m )