Post on 29-Jan-2023
TESIS
PENGARUH BEKAM KERING TERHADAP PENURUNAN MUAL
MUNTAH AKIBAT KEMOTERAPI PADA PASIEN KANKER
PAYUDARA DI RSUP DR. WAHIDIN SUDIROHUSODO
DAN RUMAH SAKIT UNIVERSITAS HASANUDDIN
THE EFFECT OF DRY CUPPING ON DECREASE CHEMOTHERAPY
INDUCED NAUSEA AND VOMITING IN PATIENTS BREAST CANCER
IN GENERAL HOSPITAL CENTER DR. WAHIDIN SUDIROHUSODO
AND HASANUDDIN UNIVERSITY HOSPITAL
RIF’ATUNNISA
P4200215037
PROGRAM PASCA SARJANA
PROGRAM STUDI MAGISTER ILMU KEPERAWATAN
FAKULTAS KEPERAWATAN
UNIVERSITAS HASANUDDIN
MAKASSAR
2018
ii
PENGARUH BEKAM KERING TERHADAP PENURUNAN MUAL
MUNTAH AKIBAT KEMOTERAPI PADA PASIEN KANKER
PAYUDARA DI RSUP DR. WAHIDIN SUDIROHUSODO
DAN RUMAH SAKIT UNIVERSITAS HASANUDDIN
Tesis
Sebagai Salah Satu Syarat untuk Mencapai Gelar Magister
Program Studi
Magister Ilmu Keperawatan
Disusun dan diajukan oleh
RIF’ATUNNISA
P4200215037
Kepada
PROGRAM PASCASARJANA
UNIVERSITAS HASANUDDIN
MAKASSAR
2018
iii
TESIS
PENGARUH BEKAM KERING TERHADAP PENURUNAN MUAL
MUNTAH AKIBAT KEMOTERAPI PADA PASIEN KANKER
PAYUDARA DI RSUP DR. WAHIDIN SUDIROHUSODO DAN
RUMAH SAKIT UNIVERSITAS HASANUDDIN
Disusun dan Diajukan Oleh
RIF’ATUNNISA
P4200215037
Diterima dan disetujui untuk dilakukan seminar akhir oleh
Komisi Penasehat
Pembimbing I Pembimbing II
(Rini Rachmawaty, S.Kep.,Ns., MN., Ph.D.) (Prof Dr. dr. A.Wardihan Sinrang, MS.,Sp-And.)
Mengetahui,
Ketua Program Studi
Magister Ilmu Keperawatan
Dr. Elly L. Sjattar, S.Kp., M.Kes
iv
PERNYATAAN KEASLIAN TESIS
Yang bertanda tangan di bawah ini, saya :
Nama : Rif’atunnisa
Nim : P4200215037
Program Studi : Magister Ilmu Keperawatan
Fakultas : Keperawatan
Dengan ini menyatakan bahwa tesis yang berjudul “Pengaruh Bekam Kering terhadap
Penurunan Mual Muntah akibat Kemoterapi pada Pasien Kanker Payudara di RSUP Dr.
wahidin sudirohusodo dan Rumah Sakit Universitas Hasanuddin” adalah hasil karya saya
sendiri yang belum pernah diajukan untuk mendapatkan gelar pada Program Studi Magister
Ilmu Keperawatan maupun Program Studi lainnya. Karya ini adalah milik saya dan oleh
Karena itu saya bertanggung jawab penuh atas keaslian tesis ini.
Dalam tesis ini tidak terdapat karya atau pendapat yang pernah ditulis atau
dipublikasikan orang lain, kecuali secara tertulis dengan jelas dicantumkan sebagai acuan
dalam naskah dengan disebutkan nama dan dicantumkan dalam daftar rujukan.
Demikian pernyataan ini saya buat dengan sebenar-benarnya, tanpa ada paksaan dari
pihak manapun.
Makassar, 10 Januari 2018
Yang menyatakan
Rif’atunnisa
v
PRAKATA
Puji syukur penulis panjatkan kepada Allah SWT yang senantiasa memberikan rahmat
kesehatan dan kekuatan sehingga penulis dapat menyelesaikan tesis yang berjudul “Pengaruh
Bekam Kering terhadap Penurunan Mual Muntah akibat Kemoterapi pada Pasien Kanker
Payudara di RSUP Dr. wahidin sudirohusodo dan Rumah Sakit Universitas Hasanuddin”.
Maksud dan tujuan penyusunan tesis ini adalah untuk memenuhi salah satu syarat dalam
menempuh program strata dua pada Program Studi Magister Ilmu Keperawatan Universitas
Hasanuddin (Unhas).
Gagasan yang melatari penulisan tesis ini adalah berdasarkan fenomena efek samping
pengobatan kemoterapi yang paling sering terjadi pada pasien kanker payudara yaitu mual
muntah akibat kemoterapi meskipun telah mendapatkan obat antiemetic sehingga dibutuhkan
suatu terapi komplementer untuk bisa membantu menurunkan sensasi mual dan muntah yang
dialami pasien. Bekam kering pada titik pericardium 6 diajukan sebagai solusi dalam
menurubkan mual muntah pada pasien kanker payudara yang menjalani kemoterapi.
Banyak kendala yang penulis hadapi dalam penyusunan tesis ini, namun berkat
bantuan dan kerjasama berbagai pihak maka tesis ini dapat selesai pada waktunya. Melalui
kesempatan ini penulis ingin mengucapkan terima kasih kepada :
1. Ibu Dr. Ariyanti Saleh, S.Kp., M.Si. selaku Dekan Fakultas Keperawatan Unhas beserta
jajarannya;
2. Ibu Dr. Elly L. Sjattar, S.Kp., M.Kes selaku Ketua Program Studi Magister Ilmu
Keperawatan Unhas sekaligus ketua komisi penasehat,;
3. Ibu Rini Rachmawaty, S.Kep.,Ns., MN., Ph.D dan Prof Dr. dr. A.Wardihan Sinrang,
MS.,Sp-And.) sebagai Anggota komisi penasehat atas bantuan dan bimbingan yang telah
diberikan mulai dari pengembangan minat terhadap permasalahan penelitian, pelaksanaan
penelitian sampai dengan penulisan tesis ini;
4. Bapak Dr.Takdir Tahir, S.Kep.,Ns.,M.Kes.; Saldy Yusuf, S.kep.,Ns.,MHS., Ph.D.,ETN.
dan Dr.dr. Ilhamjaya Patellongi, M.Kes. sebagai tim penguji atas segala masukan dan
kritikan yang membangun demi perbaikan penulisan tesis;
5. Direktur Rumah Sakit Umum Pusat Dr. Wahidin Sudirohusodo Makassar dan Rumah
Sakit Universitas Hasanuddin beserta jajarannya yang telah memberikan kesempatan
kepada penulis untuk melakukan penelitian demi tersusunnya tesis ini;
vi
6. Ayahanda (Alm) Abd Rahman Abdullah dan Ibunda St. Niswa tercinta yang tiada henti-
hentinya memberikan do’a, motivasi dan materil kepada penulis mulai dari awal hingga
akhir perkuliahan;
7. Saudaraku terkasih Sa’adah laily, Miftahulkhairah, dan Ainun Nadia, beserta keluarga
besar yang selalu memberikan dukungan dan motivasi kepada penulis;
8. Teman seperjuangan KMB 2 dan Angkatan VI Program Studi Magister Ilmu
Keperawatan Unhas; dan terutama Teman-teman Ideologis Unhas
9. Serta kepada mereka yang namanya tidak dapat dicantumkan satu persatu tetapi telah
berkontribusi besar dalam membantu penulis menyelesaikan tesis ini.
Akhir kata penulis mengharapkan penyusunan tesis ini dapat bermanfaat bagi semua
pihak dan semoga Allah SWT membalas semua pihak yang telah berjasa kepada penulis
selama penulis menempuh pendidikan dengan pahala yang berlipat ganda. Aamiin.
Makassar, 10 Januari 2018
Rif’atunnisa
vii
ABSTRAK
RIF’ATUNNISA. Pengaruh Bekam Kering terhadap Penurunan Mual Muntah Akibat
Kemoterapi pada Pasien Kanker Payudara di RSUP Dr.Wahidin Sudirohusodovdan Rumah
Sakit Universitas Hasanuddin (dibimbing oleh Rini Rachmawaty dan A.Wardihan Sinrang)
Kanker payudara menjadi penyebab kematian utama di dunia dan di Indonesia dengan
prevalensi dan mortalitas yang terus meningkat. Penatalaksanaan kanker payudara dengan
kemoterapi memberikan dampak utama yaitu mual muntah. Frekuensi pengalaman mual
muntah akut dan lambat lebih dari 50% meskipun mendapatkan profilaksis antiemetik.
Bekam kering merupakan salah satu terapi komplementer pada pasien yang mengalami mual
muntah akibat kemoterapi. Penelitian ini bertujuan untuk mengidentifikasi pengaruh terapi
bekam kering terhadap mual muntah antisipatori dan mual muntah akut akibat kemoterapi
pada pasien kanker payudara di RSUP Dr. Wahidin Sudirohusodo dan RS Universitas
Hasanuddin.
Penelitian ini menggunakan metode quasi experimental. Teknik pengambilan sampel
menggunakan cara non probability sampling jenis consecutive sampling dengan jumlah
sampel 60 pasien (30 intervensi dan 30 kontrol) kanker payudara di RSUP Dr. Wahidin
Sudirohusodo dan RS Universitas Hasanuddin. Kelompok intervensi dilakukan bekam kering
pada titik P6 sedangkan kelompok kontrol pada titik TE5 di pergelangan tangan, terapi
bekam kering dilakukan pada fase antisipatori yaitu 6 jam pre kemoterapi, saat kemoterapi
dan pada fase akut yaitu pada 6 jam post kemoterapi masing-masing selama 7 menit dan
menilai skor mual muntah dengan skala Rhodes. Data dianalisis dengan uji Repeated
Measure ANCOVA dengan menggunakan SPSS Statistik 18.
Hasil penelitian menunjukkan secara statistik, tidak ada perbedaan skor mual muntah
pada baseline, 30 menit pre kemoterapi (antisipatori) dan 12 jam post kemoterapi (akut)
setelah mengontrol siklus kemoterapi berdasarkan kelompok, jenis emetogenisitas
kemoterapi, dan status gizi, namun secara klinis ada perbedaan skor mual muntah pada
kelompok intervensi yang mendapatkan kemoterapi dengan emetogenisitas tinggi
dibandingkan dengan kelompok kontrol, dimana responden memiliki skor mual muntah yang
menurun secara signifikan dari 6,122 pada baseline ke 1,803 pada 30 menit pre kemoterapi
dan menurun menjadi 0,289 pada 12 jam post kemoterapi. Secara klinis juga ditemukan ada
perbedaan skor mual muntah pada kelompok intervensi yang mendapatkan kemoterapi
dengan status gizi baik dibandingkan dengan kelompok kontrol, dimana responden memiliki
skor mual muntah yang menurun secara signifikan dari 9,67 pada baseline ke 2,276 pada 30
menit pre kemoterapi dan meningkat sedikit menjadi 2,702 pada 12 jam post kemoterapi
Kesimpulan: .Terapi bekam kering pada titik P6 lebih efektif dalam menurunkan skor mual
muntah pada responden yang mendapatkan kemoterapi dengan jenis emetogenesitas tinggi
dan status gizi baik.
.
Key words : Bekam kering, Mual muntah, Kemoterapi,
viii
ABSTRACT
RIF’ATUNNISA. The Effect of Dry Cupping on Decrease Chemotherapy Induced Nausea
and Vomiting in Patients Breast Cancer in General Hospital Center Dr. Wahidin
Sudirohusodo and Hasanuddin University Hospital, ( Supervised by Rini Rachmawaty and
A.Wardihan Sinrang).
Breast cancer is the leading cause of death in the world and in Indonesia with
increasing prevalence and mortality. Management of breast cancer with chemotherapy has a
major impact: nausea and vomiting. The frequency of acute nausea and vomiting experiences
is over 50% despite antiemetic prophylaxis. Dry cupping is one of the complementary
therapies in patients who experience nausea vomiting due to chemotherapy. The aim of the
study was to identify the effect of dry cupping therapy on nausea vomiting anticipatory and
acute nausea vomiting induced to chemotherapy in breast cancer patients in Dr. Wahidin
Sudirohusodo and Hasanuddin University Hospital.
This research with quasi experimental method. The sampling technique used non
probability sampling type of consecutive sampling with sample size of 60 patients (30
intervention and 30 control) of breast cancer in Dr. Wahidin Sudirohusodo and Hasanuddin
University Hospital. The intervention group was performed dry cupping at point P6 while
control group at point TE5 at wrist, dry cupping therapy was done at anticipatory phase in 6
hours pre chemotherapy, during chemotherapy and in acute phase at 6 hours post
chemotherapy each for 7 min and assessed the score of nausea vomiting with the Rhodes
scale. The data were analyzed by ANCOVA repeated Measure test using SPSS Statistic 18.
The research result indicates that statistically, there was no difference in nausea score
of vomiting at baseline, 30 min pre chemotherapy and 12 hours post chemotherapy (acute)
after controlling chemotherapy cycle based on group, type of emetogenicity of chemotherapy,
and nutritional status, but clinically there was a difference in nausea score of vomiting in the
intervention group receiving chemotherapy with high emetogenicity compared with the
control group, where the respondents had a nausea score of vomiting that decreased
significantly from 6.122 at baseline to 1.803 at 30 minutes pre chemotherapy and decreased
to 0.289 at 12 hours post chemotherapy. Clinically there was also a difference in the score of
nausea of vomiting in the intervention group receiving chemotherapy with good nutritional
status compared with the control group, where the respondents had a nausea score of
vomiting that decreased significantly from 9.67 at baseline to 2.276 at 30 min pre
chemotherapy and increased slightly to 2,702 in 12 hours post chemotherapy
Conclusion: Dry cupping therapy at P6 point was more effective in reducing nausea score of
vomiting in respondents who received chemotherapy with high emetogenesity and good
nutritional status.
.
Key words: Dry Cupping, Nausea, vomiting, Chemotherapy,
ix
DAFTAR ISI
Halaman
HALAMAN JUDUL ................................................................................................i
HALAMAN PENGAJUAN TESIS ........................................................................ii
LEMBAR PENGESAHAN .....................................................................................iii
PERNYATAAN KEASLIAN TESIS .....................................................................iv
PRAKATA ................................................................................................................v
ABSTRAK ...............................................................................................................vii
ABSTRACT .............................................................................................................viii
DAFTAR ISI.............................................................................................................ix
DAFTAR TABEL ....................................................................................................xi
DAFTAR GAMBAR ................................................................................................xii
DAFTAR GRAFIK ..................................................................................................xiii
DAFTAR LAMPIRAN ............................................................................................xiv
BAB I PENDAHULUAN .........................................................................................1
A. Latar Belakang .....................................................................................................1
B. Rumusan Masalah ................................................................................................7
C. Tujuan Penelitian .................................................................................................7
D. Manfaat Penelitian ...............................................................................................9
E. Ruang Lingkup ....................................................................................................10
BAB II TINJAUAN PUSTAKA .............................................................................11
A. Tinjauan Literatur ................................................................................................11
1. Kanker payudara ............................................................................................11
2. Kemoterapi ....................................................................................................24
3. Mual muntah pasca kemoterapi .....................................................................28
4. Bekam kering ................................................................................................40
B. Kerangka Teori ....................................................................................................53
BAB III KERANGKA KONSEPTUAL & HIPOTESIS PENELITIAN ............59
A. Kerangka Konseptual Penelitian ..........................................................................59
B. Variabel Penelitian ...............................................................................................60
C. Defenisi Operasional dan Kriteria Objektif .........................................................61
D. Hipotesis penelitian ..............................................................................................62
BAB IV METODOLOGI PENELITIAN ..............................................................63
A. Desain Penelitian .................................................................................................63
x
B. Tempat dan Waktu Penelitian ..............................................................................64
C. Populasi dan Sampel ............................................................................................64
D. Teknik Sampling ..................................................................................................65
E. Instrumen Penelitian, Metode dan Prosedur Pengumpulan Data.........................66
F. Tehnik Pengolahan dan Analisis Data .................................................................71
G. Etika Penelitian ....................................................................................................73
H. Alur Penelitian .....................................................................................................75
BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN ...................................................................76
A. Hasil Penelitian ....................................................................................................76
B. Pembahasan..........................................................................................................94
C. Keterbatasan Penelitian ........................................................................................104
BAB VI KESIMPULAN DAN SARAN .................................................................106
A. Kesimpulan ..........................................................................................................106
B. Saran ....................................................................................................................107
DAFTAR PUSTAKA ...............................................................................................108
LAMPIRAN
xi
DAFTAR TABEL
Nomor Halaman
Tabel 2.1 Tingkat emetogenisitas obat kemoterapi 27
Tabel 3.1 Tabel defenisi operasional & kriteria objektif 61
Tabel 5.1 Distribusi frekuensi demografi responden 77
Tabel 5.2 Distribusi frekuensi karakteristik status klinis responden 78
Tabel 5.3
Perbedaan skor mual muntah sepanjang pengukuran mulai
dari baseline, 30 menit pre kemoterapi sampai 12 jam post
kemoterapi setelah mengontrol siklus kemoterapi
berdasarkan kelompok
81
Tabel 5.4
Perbedaan skor mual muntah sepanjang pengukuran mulai
dari baseline, 30 menit pre kemoterapi sampai 12 jam post
kemoterapi setelah mengontrol siklus kemoterapi dalam
setiap kelompok berdasarkan emetogenisitas obat
kemoterapi
83
Tabel 5.5
Perbedaan skor mual muntah sepanjang pengukuran mulai
dari baseline, 30 menit pre kemoterapi sampai 12 jam post
kemoterapi setelah mengontrol siklus kemoterapi dalam
setiap kelompok berdasarkan status gizi
84
Tabel 5.6
Perbedaan skor mual muntah setelah mengontrol siklus
kemoterapi antara kelompok intervensi dan kelompok
kontrol
86
Tabel 5.7
Perbedaan skor mual muntah setelah mengontrol siklus
kemoterapi dalam setiap kelompok berdasarkan jenis
emetogenisitas obat kemoterapi
87
Tabel 5.8 Perbedaan skor mual muntah setelah mengontrol siklus
kemoterapi dalam setiap kelompok berdasarkan status gizi
88
xii
DAFTAR GAMBAR
Nomor Halaman
Gambar 2.1 Patofisiologi mual muntah akibat kemoterapi: jalur
emetik dan pusat muntah 37
Gambar 2.2 Patomekanisme mual muntah dengan kemoterapi 38
Gambar 2.3 Gambaran saat dilakukan bekam kering 48
Gambar 2.4 bekam kering kering pada anatomi daerah P6 untuk mual
dan muntah setelah kemoterapi (CINV).
51
Gambar 2.5 Titik anatomi daerah P6. 52
Gambar 2.6 Framework teori Katharine Kolcaba 56
Gambar 2.7 Kerangka teoritis 58
Gambar 3.1 Kerangka konsep 59
Gambar 4.1 Kerangka penelitian 63
Gambar 4.2 Titik pericardium 6 (PC 6) 68
Gambar 4.3 Titik Tri Energizer (TE) 5 / Sanjiao (SJ) 5 68
Gambar 4.4 Pemberian terapi bekam kering dan perhitungan
Rhodes INVR pada kelompok kontrol dan
kelompok bekam kering
70
xiii
DAFTAR GRAFIK
Nomor Halaman
Grafik 5.1 Perbedaan mual muntah sepanjang pengukuran
dimulai dari baseline, 30 menit pre kemoterapi sampai
12 jam post kemoterapi dalam setiap kelompok
berdasarkan jenis emetogenisitas obat kemoterapi
dengan emetogenik rendah setelah mengontrol siklus
kemoterapi
89
Grafik 5.2 Perbedaan mual muntah sepanjang pengukuran dimulai
dari baseline, 30 menit pre kemoterapi sampai 12 jam
post kemoterapi dalam setiap kelompok berdasarkan
jenis emetogenisitas obat kemoterapi dengan
emetogenik sedang setelah mengontrol siklus
kemoterapi
90
Grafik 5.3 Perbedaan mual muntah sepanjang pengukuran dimulai
dari baseline, 30 menit pre kemoterapi sampai 12 jam
post kemoterapi dalam setiap kelompok berdasarkan
jenis emetogenisitas obat kemoterapi dengan
emetogenik tinggi setelah mengontrol siklus kemoterapi
91
Grafik 5.4 Perbedaan mual muntah sepanjang pengukuran dimulai
dari baseline, 30 menit pre kemoterapi sampai 12 jam
post kemoterapi dalam setiap kelompok berdasarkan
status gizi baik setelah mengontrol siklus kemoterapi
93
Grafik 5.5 Perbedaan mual muntah sepanjang pengukuran dimulai
dari baseline, 30 menit pre kemoterapi sampai 12 jam
post kemoterapi dalam setiap kelompok berdasarkan
status gizi kurang / malnutrsi setelah mengontrol siklus
kemoterapi
94
xiv
DAFTAR LAMPIRAN
Lampiran 1 Lembar Penjelasan untuk Responden
Lampiran 2 Lembar Persetujuan Menjadi Responden
Lampiran 3 Lembar Kuesioner Data Demografi
Lampiran 4 Lembar Kuisioner Penelitian (Indeks Rhodes)
Lampiran 5 Lembar Etik Penelitian
Lampiran 6 Output SPSS
Lampiran 7 Sertifikat Pelatihan Bekam Kering
Lampiran 8 Sertifikat Pelatihan Titik Akupresur
Lampiran 9 Surat keterangan selesai penelitian dari RSUP Dr Wahidin Sudirohusodo
Lampiran 10 Surat keterangan selesai penelitian dari RS Universitas Hasanuddin
1
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Kanker payudara adalah tumor ganas yang terbentuk dari proliferasi
sel-sel payudara yang tumbuh dan berkembang tanpa terkendali sehingga
dapat menyebar di antara jaringan atau organ di dekat payudara atau ke
bagian tubuh lainnya. Kanker payudara menjadi kanker yang sangat
menakutkan bagi perempuan di seluruh dunia, termasuk di Indonesia.
Sekarang ini kanker payudara menempati urutan pertama penyebab kematian
pada wanita di dunia sehingga kanker payudara merupakan salah satu
masalah yang memerlukan perhatian serius (Infodatin, 2016).
Kanker payudara menjadi salah satu penyebab kematian utama di
dunia dan di Indonesia. Kanker ini cenderung berdampak pada perempuan
yang memasuki usia senja di atas 50 tahun. Terdapat 8 sampai 10 kasus
kanker terjadi pada perempuan di usia ini. Faktor pemicu munculnya kanker
payudara disebabkan oleh faktor genetik dan lingkungan serta kebiasaan gaya
hidup. Data GLOBACAN, International Agency for Research on Cancer
(IARC) mengungkapkan bahwa pada tahun 2012 presentasi kasus baru
kanker payudara merupakan yang tertinggi yaitu sebesar 43,1 % dan
menyebabkan kematian sebesar 12, 9 % (WHO, 2017).
Angka kematian kanker payudara per 100.000 penduduk yang tinggi
diantaranya yaitu negara Armenia 39,96 (rangking pertama); Denmark 27,69
(rangking kelima); Inggris 22,10 (rangking ke 28). Angka kematian sedang
yaitu Negara Iraq 20,79 (rangking 44); Italia 19,94 (rangking 53); Malaysia
2
19,88 (rangking 54); Amerika Serikat 19,36 (rangking 58) dan termasuk
Indonesia sekitar 19,02 (rangking ke 61) per 100.000 penduduk (World
Health Rankings, 2014). Estimasi kasus baru kanker payudara di Amerika
Serikat diperkirakan 249.260 dan menyebabkan kematian 40.890 pada tahun
2016 (Siegel, Miller, & Jemal, 2016) .
Pada tahun 2012 menurut estimasi Globacan, International Agency for
Research on Cancer (IARC) insiden kanker Payudara pada wanita sebesar 40
per 100.000 dengan angka kematian adalah 16,6 kematian per 100.000
penduduk (Infodatin, 2016). Pada tahun 2013 di Indonesia, jumlah kasus
kanker payudara sebanyak 61.682 kasus, dengan prevalensi 0,5 % (Pusat
Data dan Informasi, 2015).
Penyakit kanker payudara merupakan penyakit kanker dengan
prevalensi tertinggi setelah kanker servix di Indonesia. Prevalensi kanker
payudara di Indonesia pada tahun 2013 sebesar 0,5 %. Prevalensi kanker
payudara tertinggi terdapat di Yogyakarta yaitu sebesar 2,4 % sedangkan
untuk Provinsi Sulawesi Selatan memiliki prevalensi kanker payudara
sebesar 0,7 % atau berjumlah 2975 kasus (Infodatin, 2016).
Berdasarkan observasi lapangan didapatkan jumlah penderita kanker
payudara yang menjalani kemoterapi di RSP Universitas Hasanuddin bulan
februari sampai November 2016 sekitar 83 kasus, bulan januari sampai maret
2017 berjumlah 41 orang. Sedangkan jumlah pasien yang didiagnosis kanker
payudara di RSUP DR. Wahidin Sudirohusodo pada bulan Januari sampai
September tahun 2016 adalah 608 pasien. Selama bulan oktober sampai
desember 2016, pasien kanker payudara yang menjalani kemoterapi sekitar
3
331 pasien yaitu bulan Oktober 96 pasien, November 113 dan Desember 122
pasien. Jumlah pasien kanker payudara di RSWS untuk tahun 2017 bulan
Januari: 96 orang, Februari: 89 orang, Maret 112 orang, dan April 76 orang.
Di Indonesia, lebih dari 80% kasus ditemukan berada pada stadium yang
lanjut, dimana upaya pengobatan sulit dilakukan. Oleh karena itu perlu
pemahaman tentang upaya pencegahan, diagnosis dini, pengobatan kuratif
maupun paliatif serta upaya rehabilitasi yang baik, agar pelayanan pada
penderita dapat dilakukan secara optimal (Kemenkes, 2008).
Banyak pendekatan yang telah digunakan dalam pengobatan kanker
seperti operasi, radioterapi, kemoterapi, terapi hormon, dan imunoterapi. Di
antara pendekatan ini, secara umum, kemoterapi mempengaruhi kualitas
hidup yang merugikan pasien dengan menyebabkan beberapa masalah serius
seperti mual muntah, kurang nafsu makan, ulkus mulut, depresi sumsum
tulang belakang, sembelit dan diare, dan rambut rontok.Terutama mual dan
muntah merupakan variabel penting dalam adaptasi pasien terhadap
pengobatan. Studi telah menunjukkan bahwa meskipun mendapatkan
profilaksis antiemetik, frekuensi akut dan pengalaman mual dan muntah
lambat lebih dari 50%. Studi lain menunjukkan bahwa 22-50% pasien
mengalami mual dan muntah akibat kemoterapi. Reaksi ini oleh pasien
seharusnya tidak dikesampingkan karena terkadang mual dan muntah yang
tidak terkendali dapat menyebabkan ketidakseimbangan elektrolit cair,
dehidrasi, anoreksia, penurunan berat badan, dan hilangnya nafsu makan.
Bahkan mencegah partisipasi pasien dalam kehidupan sosial dan kegiatan
4
sehari-hari dan mempengaruhi psikologi mereka secara negatif (Genç, Can,
& Aydiner, 2013).
Salah satu pengobatan kanker payudara ialah melalui kemoterapi.
Kemoterapi dilakukan dengan menggunakan obat sitotoksik yang akan
merusak DNA atau bertindak sebagai inhibitor umum pada pembelahan sel.
Kemoterapi dapat menimbulkan efek samping seperti mual dan muntah. Efek
samping kemoterapi dengan mual dan muntah adalah yang paling sering
terjadi dan dan salah satu yang paling sulit untuk diatasi. Wanita dengan
kanker payudara sering menderita setelah mengalami mual muntah post
kemoterapi dan mengakibatkan kelelahan karena agen kemoterapi untuk
kanker payudara menggabungkan berbagai agen emetogenik, seperti
siklofosfamid, doxorubicin, epirubicin, paclitaxel, docetaxel, fluouracil, dan
methotrexate (Peoples et al., 2016) Lebih dari setengah dari wanita yang
menjalani kemoterapi telah dilaporkan mengalami mual muntah post
kemoterapi meskipun telah menggunakan obat antiemetik.
Penelitian yang dilakukan oleh Chean (2016) menyelidiki dampak
kemoterapi pada kualitas hidup di antara pasien kanker payudara. Mereka
melaporkan status kesehatan global yang lebih rendah signifikan (P < 0,01)
dan gejala yang signifikan lebih tinggi pada mual dan muntah (P < 0,01),
kehilangan nafsu makan (P = 0,028). Manajemen kerugian akibat kemoterapi
seperti nafsu makan, diare, mual dan muntah harus ditingkatkan untuk hasil
yang lebih baik. Penelitian tersebut menunjukkan bahwa kemoterapi
mengakibatkan peningkatan mual, muntah, diare dan hilangnya nafsu makan
serta mengurangi status kesehatan global di antara penderita kanker payudara
5
di Rumah Sakit Melaka. Hal ini berguna untuk perawat dalam memberikan
intervensi terkait dengan manajemen gejala yang dapat membantu perempuan
dalam memahami kemungkinan penyebab gejala dan dapat mengatasi lebih
efektif gejala mereka. Insiden mual dan muntah akibat kemoterapi di antara
populasi sampel menunjukkan bahwa masih ada ruang untuk perbaikan
terhadap kontrol yang lebih baik dari mual dan muntah melalui pengenalan
pengobatan komplementer atau kombinasi obat antiemetik (Chean, Zang,
Lim, & Zulkefle, 2016; Nazari, Taghizadeh, Bazzaz, Rakhshandeh, & Shokri,
2017).
Asosiasi Keperawatan Onkologi (ONS) menyebutkan pedoman
Praktek untuk manajemen mual muntah setelah kemoterapi seperti
manajemen akupunktur, akupresur, guide imagery, terapi musik, relaksasi
otot progresif, dan dukungan psychoeducational dan informasi yang efektif
merupakan intervensi nonfarmakologi. Selain itu terapi nonfarmakologi lain
yang bisa digunakan yaitu bekam kering. Diantara intervensi itu, akupresur
dan bekam kering yang diberikan oleh perawat dapat berguna dalam praktek
keperawatan karena merupakan tindakan noninvasif, mudah diterapkan dan
dapat dilakukan oleh perawat (Suh, 2012; Molassiotis et al., 2013).
Terapi bekam merupakan salah satu terapi komplementer yang terdiri
dari bekam kering dan bekam basah. Bekam basah melibatkan pengeluaran
darah dari permukaan kulit. Sedangkan bekam kering merupakan pengekopan
tanpa mengeluarkan darah .Oleh karena itu, bekam kering dianggap teknik
noninvasif dan murah. Lebih khusus, dalam teknik ini, jaringan di bawahnya
ditarik ke dalam penyedotan gelas / kop dengan produksi panas untuk
6
meningkatkan darah lokal dan sirkulasi limfatik. Teknik ini telah digunakan
dalam pengobatan berbagai kondisi termasuk perdarahan yang berlebihan saat
menstruasi, edema, hernia skrotum, nyeri panggul, hidrokel, nyeri perineum
postpartum, nyeri leher kronis, dan nyeri pinggang, namun belum ada
penelitian sebelumnya yang menguji efektivitas bekam kering dalam
pengobatan Chemotheraphy induced nausea vomiting (CINV) pada pasien
kanker payudara yang menjalani kemoterapi (Farhadi et al., 2016).
Hasil penelitian yang dilakukan di Iran (Farhadi,2016) menunjukkan
bahwa pemberian bekam kering pada titik P6 dapat mencegah timbulnya
mual, muntah, setelah operasi kolesistektomi laparoskopi. Bekam kering
memiliki dampak yang signifikan terhadap PONV (post op nausea vomiting)
pada kelompok intervensi dibandingkan dengan kelompok kontrol. Penelitian
lain yang dilakukan oleh Suh, 2012 juga menunjukkan bahwa akupresur pada
titik P6 lebih efektif dalam mengurangi mual muntah baik akut atau lambat.
Penggunaan terapi bekam kering cukup aman dilakukan pada pasien
kanker payudara dan diharapkan dapat menurunkan mual muntah yang terjadi
pada pasien kanker payudara dengan kemoterapi. Selain itu, teknik bekam
kering mudah diaplikasikan dan dapat diberikan dengan cepat, biaya murah
dan efektif untuk mengatasi berbagai gejala. Mengingat efek samping yang
lebih sedikit dari terapi ini dibandingkan dengan terapi obat lain dan peneltian
uji klinis mengenai intervensi bekam kering pada CINV masih kurang, oleh
karena itu, peneliti bertujuan untuk melakukan penelitian tentang pengaruh
terapi bekam kering terhadap terhadap mual muntah akibat kemoterapi pada
7
pasien kanker payudara yang mendapatkan kemoterapi di RSUP Dr.Wahidin
Sudirohusodo dan RS Universitas Hasanuddin Makassar.
B. Rumusan Masalah
Kanker payudara menjadi penyebab kematian utama di dunia dan di
Indonesia dengan prevalensi dan mortalitas yang terus meningkat.
Penatalaksanaan kanker payudara dengan kemoterapi memberikan dampak
utama yaitu mual muntah dan mempengaruhi kualitas hidup pasien. Berbagai
penelitian telah dilakukan untuk mengatasi efek mual muntah post
kemoterapi baik secara faramakologi atau nonfarmakologi. Penelitian untuk
meneliti pengaruh bekam kering terhadap mual muntah sudah pernah
dilakukan pada pasien post operasi tetapi belum pernah dilakukan pada
pasien yang mengalami mual muntah akibat kemoterapi pada pasien kanker
payudara dimana bekam kering merupakan salah satu terapi komplementer
yang bersifat noninvasif dan murah. Dengan demikian masalah penelitian ini
adalah bagaimana pengaruh pemberian terapi bekam kering terhadap mual
muntah akibat kemoterapi pada pasien kanker payudara.
C. Tujuan Penelitian
1. Tujuan Umum
Mengidentifikasi pengaruh terapi bekam kering terhadap mual muntah
anticipatory dan mual muntah akut akibat kemoterapi pada pasien kanker
payudara di RSUP dr. Wahidin Sudirohusodo dan RS Universitas
Hasanuddin Makassar.
8
2. Tujuan Khusus
a. Diketahuinya perbedaan skor mual muntah sepanjang pengukuran
dimulai dari baseline, 30 menit pre kemoterapi, 12 jam post
kemoterapi setelah mengontrol siklus kemoterapi berdasarkan
kelompok.
b. Diketahuinya perbedaan skor mual muntah sepanjang pengukuran
dimulai dari baseline, 30 menit pre kemoterapi, 12 jam post
kemoterapi setelah mengontrol siklus kemoterapi berdasarkan jenis
emetogenisitas kemoterapi.
c. Diketahuinya perbedaan skor mual muntah sepanjang pengukuran
dimulai dari baseline, 30 menit pre kemoterapi, 12 jam post
kemoterapi setelah mengontrol siklus kemoterapi berdasarkan status
gizi
d. Diketahuinya perbedaan skor mual muntah setelah mengontrol siklus
kemoterapi antara kelompok intervensi dan kelompok kontrol
e. Diketahuinya perbedaan skor mual muntah setelah mengontrol siklus
kemoterapi antara kelompok intervensi dan kelompok kontrol
berdasarkan jenis obat emetogenisitas kemoterapi.
f. Diketahuinya perbedaan skor mual muntah setelah mengontrol siklus
kemoterapi antara kelompok intervensi dan kelompok kontrol
berdasarkan status gizi.
9
D. Manfaat Penelitian
1. Manfaat Teoritis
a. Dapat menjadi sumbangan ilmiah dan menambah wawasan bagi
peneliti selanjutnya untuk menemukan manfaat bekam kering untuk
mual muntah pada jenis penyakit lain;
b. Dapat menambah wawasan bagi institusi pendidikan dalam penyajian
materi yang terkait dengan terapi komplementer bekam kering dalam
praktek keperawatan professional.
2. Manfaat Aplikatif
a. Dapat memeberikan manfaat bagi institusi layanan kesehatan dalam
mengembangkan bekam kering pada pasien yang mengalami mual
muntah akibat kemoterapi;
b. Dapat menjadi masukan bagi pihak rumah sakit di dalam membuat
kebijakan dan program yang lebih efektif dalam melakukan terapi
komplementer khususnya bekam kering di rumah sakit sehingga dapat
meningkatkan kualitas pelayanan keperawatan di rumah sakit;
c. Dapat menjadi bahan pertimbangan rumah sakit untuk menyesuaikan
dukungan yang akan diberikan terkait pelatihan untuk meningkatkan
kompetensi perawat dalam mengembangkan terapi komplementer;
d. Dapat memberikan manfaat bagi perawat khususnya di ruang rawat
inap untuk lebih mengembangkan kemampuan dalam memberikan
intervensi keperawatan untuk penatalaksanaan mual muntah pada
pasien.
10
E. Ruang Lingkup / Batasan Penelitian
1. Lingkup Masalah
Masalah berada pada lingkup pengaruh pemberian terapi bekam kering
terhadap mual muntah akibat kemoterapi pada pasien kanker payudara
2. Lingkup Keilmuan
Lingkup keperawatan medikal bedah dan terapi komplementer
3. Lingkup Tempat
Tempat penelitian ini akan dilaksananakan di rumah sakit yang sementara
menjalani kemoterapi di RSP UNiversits Hasanudiin dan di RSUP DR.
Wahidin Sudirohusodo
4. Lingkup Sasaran
Pasien kanker payudara
11
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
A. Tinjauan Literatur
1. Kanker Payudara
a. Defenisi kanker Payudara (Ca Mammae)
Kanker payudara (KPD) merupakan proliferasi keganasan sel
epitel yang membatasi duktus atau lobus payudara (Price & Wilson,
2006). Kanker payudara merupakan salah satu jenis kanker terbanyak
di Indonesia. Berdasarkan Pathological Based Registration di
Indonesia, KPD menempati urutan pertama dengan frekuensi relatif
sebesar 18,6%. (Data Kanker di Indonesia Tahun 2010, menurut data
Histopatologik ; Badan Registrasi Kanker Perhimpunan Dokter
Spesialis Patologi Indonesia (IAPI) dan Yayasan Kanker Indonesia
(YKI)). Angka kejadiannya di Indonesia diperkirakan adalah
12/100.000 wanita, sedangkan di Amerika adalah sekitar 92/100.000
wanita dengan mortalitas yang cukup tinggi yaitu 27/100.000 atau 18
% dari kematian yang dijumpai pada wanita. Penyakit ini juga dapat
diderita pada laki - laki dengan frekuensi sekitar 1 %. Di Indonesia,
lebih dari 80% kasus ditemukan berada pada stadium yang lanjut,
dimana upaya pengobatan sulit dilakukan. Oleh karena itu perlu
pemahaman tentang upaya pencegahan, diagnosis dini, pengobatan
kuratif maupun paliatif serta upaya rehabilitasi yang baik, agar
pelayanan pada penderita dapat dilakukan secara optimal (Kemenkes,
2008).
12
b. Jenis
Ada beberapa jenis stadium kanker payudara. Stadium dipakai
untuk menggambarkan kondisi kanker yaitu letaknya, sampai dimana
penyebarannya dan pengaruhnya terhadap organ tubuh yang lain.
Dengan mengetahui stadium dapat membantu dalam menentukan
pengobatan yang cocok untuk pasien. Salah satu cara yang digunakan
dokter untuk menggambarkan stadium dari kanker adalah system
TNM. System ini menggunakan tiga kriteria untuk menentukan
stadium kanker. Yaitu (Bellenir, 2009):
1. Tumor itu sendiri. Seberapa besar ukuran tumornya dan dimana
lokasinya ( T, Tumor )
2. Kelenjar getah bening di sekitar tumor. Apakah tumor telah
menyebar ke kelenjar getah bening disekitarnya? ( N, Node )
3. Kemungkinan tumor telah menjalar ke organ lain ( M, Metastasis )
Ada beberapa stadium kanker (Bellenir, 2009; Elnashar, Ali, &
Gaber, 2011):
1. Stadium 0
Stadium 0 disebut karsinoma in situ atau kanker noninvasive,Yaitu
kanker tidak menyebar keluar dari pembuluh / saluran payudara
dan kelenjar-kelenjar (lobules) susu pada payudara.
2. Stadium I
Stadium I merupakan tumor yang masih sangat kecil dan tidak
menyebar serta tidak ada titik pada pembuluh getah bening. Besar
tumornya 2 cm atau kurang, sel tumor belum menyebar ke mana-mana.
13
Kalaupun merambah, menuju ke area kelenjar getah bening pada
ketiak. Kalau benjolan di kiri, maka proyeksi rambahan menuju
getah bening ketiak kiri.
3. Stadium II
Pasien pada kondisi ini:
a. Diameter tumor tidak lebih dari 2 cm dan telah ditemukan
pada titik-titik pada saluran getah bening di ketiak (axillary
limph nodes)
b. Diameter tumor antara 2 cm dan 5 cm. kanker belum menyebar
ke titik-titik pembuluh getah bening pada ketiak (axillary limph
nodes).
c. Diameter tumor antara 2 cm dan 5 cm. kanker telah menyebar
pada titik-titik di pembuluh getah bening ketiak
d. Diameter tumor lebih lebar dari 5 cm tapi belum menyebar
pada titik-titik di pembuluh getah bening ketiak
4. Stadium III
Stadium III merupakan kanker yang sudah menyebar. Kanker pada
Stadium ini terbagi menjadi stadium III A, III B, dan IIIC.
Stadium III A, Pasien pada kondisi ini:
a. Diameter tumor lebih kecil dari 5 cm dan telah menyebar ke
titik-titik pada pembuluh getah bening ketiak.
b. Diameter tumor lebih besar dari 5 cm dan telah menyebar ke
titik-titik pada pembuluh getah bening ketiak.
14
Stadium III B:
Tumor telah menyebar ke dinding dada atau menyebabkan
pembengkakan bisa juga luka bernanah di payudara. Atau
didiagnosis sebagai Inflammatory Breast Cancer. Bisa sudah atau
bisa juga belum menyebar ke titik-titik pada pembuluh getah
bening di ketiak dan lengan atas, tapi tidak menyebar ke bagian
lain dari organ tubuh.
Stadium IIIC:
Sebagaimana stadium IIIB, tetapi telah menyebar ke titik-titik
pada pembuluh getah bening dalam group N3 ( Kanker telah
menyebar lebih dari 10 titik di saluran getah bening di bawah
tulang selangka).
5. Stadium IV
Ukuran tumor bisa berapa saja, tetapi telah menyebar ke lokasi
yang jauh, yaitu :Tulang, paru-paru,liver atau tulang rusuk
Terdapat beberapa jenis kanker payudara (Bellenir, 2009) :
1. Karsinoma in situ atau kanker noninvasif
Karsinoma in situ adalah kanker yang masih berada pada
tempatnya, merupakan kanker dini yang belum menyebar atau
menyusup keluar dari tempat asalnya.
15
2. Karsinoma duktal
Karsinoma duktal berasal dari sel-sel yang melapisi saluran yang
menuju ke puting susu. Sekitar 90% kanker payudara merupakan
karsinoma duktal. Kanker ini bisa terjadi sebelum maupun sesudah
masa menopause. Kadang kanker ini dapat diraba dan pada
pemeriksaan mammogram, kanker ini tampak sebagai bintik-bintik
kecil dari endapan kalsium (mikrokalsifikasi). Kanker ini biasanya
terbatas pada daerah tertentu di payudara dan bisa diangkat secara
keseluruhan melalui pembedahan. Sekitar 25-35% penderita
karsinoma duktal akan menderita kanker invasif (biasanya pada
payudara yang sama).
3. Karsinoma lobuler
Karsinoma lobuler mulai tumbuh di dalam kelenjar susu, biasanya
terjadi setelah menopause. Kanker ini tidak dapat diraba dan tidak
terlihat pada mammogram, tetapi biasanya ditemukan secara tidak
sengaja pada mammografi yang dilakukan untuk keperluan lain.
Sekitar 25-30% penderita karsinoma lobuler pada akhirnya akan
menderita kanker invasif (pada payudara yang sama atau payudara
lainnya atau pada kedua payudara).
4. Kanker invasif
Kanker invasif adalah kanker yang telah menyebar dan merusak
jaringan lainnya, bisa terlokalisir (terbatas pada payudara) maupun
metastatik (menyebar ke bagian tubuh lainnya). Sekitar 80%
16
kanker payudara invasif adalah kanker duktal dan 10% adalah
kanker lobuler.
5. Karsinoma meduler
Kanker ini berasal dari kelenjar susu.
6. Karsinoma tubuler
Kanker ini berasal dari kelenjar susu
c. Penyebab
Penyebabnya tidak diketahui, tetapi ada beberapa faktor resiko
yang menyebabkan seorang wanita menjadi lebih mungkin menderita
kanker payudara.
Beberapa faktor resiko tersebut adalah (Bellenir, 2009);
1. Usia
Sekitar 60% kanker payudara terjadi pada usia diatas 60 tahun.
Resiko terbesar ditemukan pada wanita berusia diatas 75 tahun
2. Pernah menderita kanker payudara
Wanita yang pernah menderita kanker in situ atau kanker invasif
memiliki resiko tertinggi untuk menderita kanker payudara.
Setelah payudara yang terkena diangkat, maka resiko terjadinya
kanker pada payudara yang sehat meningkat sebesar 0,5-
1%/tahun
3. Riwayat keluarga yang menderita kanker payudara
Wanita yang ibu, saudara perempuan atau anaknya menderita
kanker, memiliki resiko 3 kali lebih besar untuk menderita
kanker payudara.
17
4. Faktor genetik dan hormonal
Telah ditemukan 2 varian gen yang tampaknya berperan dalam
terjadinya kanker payudara, yaitu BRCA1 dan BRCA2. Jika
seorang wanita memiliki salah satu dari gen tersebut, maka
kemungkinan menderita kanker payudara sangat besar. Gen
lainnya yang juga diduga berperan dalam terjadinya kanker
payudara adalah p53, BARD1, BRCA3 dan Noey2. Kenyataan ini
menimbulkan dugaan bahwa kanker payudara disebabkan oleh
pertumbuhan sel-sel yang secara genetik mengalami kerusakan.
Faktor hormonal juga penting karena hormon memicu
pertumbuhan sel. Kadar hormon yang tinggi selama masa
reproduktif wanita, terutama jika tidak diselingi oleh perubahan
hormonal karena kehamilan, tampaknya meningkatkan peluang
tumbuhnya sel-sel yang secara genetik telah mengalami
kerusakan dan menyebabkan kanker.
5. Pernah menderita penyakit payudara non-kanker
Resiko menderita kanker payudara agak lebih tinggi pada wanita
yang pernah menderita penyakit payudara non-kanker yang
menyebabkan bertambahnya jumlah saluran air susu dan
terjadinya kelainan struktur jaringan payudara (hiperplasia
atipik).
6. Menarke (menstruasi pertama) sebelum usia 12 tahun.
menopause setelah usia 55 tahun, kehamilan pertama setelah usia
30 tahun atau belum pernah hamil
18
Semakin dini menarke, semakin besar resiko menderita kanker
payudara. Resiko menderita kanker payudara adalah 2-4 kali
lebih besar pada wanita yang mengalami menarke sebelum usia
12 tahun. Demikian pula halnya dengan menopause ataupun
kehamilan pertama. Semakin lambat menopause dan kehamilan
pertama, semakin besar resiko menderita kanker payudara
7. Pemakaian pil KB atau terapi sulih estrogen
Pil KB bisa sedikit meningkatkan resiko terjadinya kanker
payudara, yang tergantung kepada usia, lamanya pemakaian dan
faktor lainnya. Belum diketahui berapa lama efek pil akan tetap
ada setelah pemakaian pil dihentikan. Terapi sulih estrogen yang
dijalani selama lebih dari 5 tahun tampaknya juga sedikit
meningkatkan resiko kanker payudara dan resikonya meningkat
jika pemakaiannya lebih lama.
8. Obesitas pasca menopause.
Obesitas sebagai faktor resiko kanker payudara masih
diperdebatkan. Beberapa penelitian menyebutkan obesitas
sebagai faktor resiko kanker payudara kemungkinan karena
tingginya kadar estrogen pada wanita yang obes.
9. Aktifitas fisik yang kurang
10. Pemakaian alkohol
Pemakaian alkoloh lebih dari 1-2 gelas/hari bisa meningkatkan
resiko terjadinya kanker payudara.
19
11. Bahan kimia
Beberapa penelitian telah menyebutkan pemaparan bahan kimia
yang menyerupai estrogen (yang terdapat di dalam pestisida dan
produk industri lainnya) mungkin meningkatkan resiko
terjadinya kanker payudara.
12. DES (dietilstilbestrol)
Wanita yang mengkonsumsi DES untuk mencegah keguguran
memiliki resiko tinggi menderita kanker payudara.
13. Penyinaran
Pemaparan terhadap penyinaran (terutama penyinaran pada
dada), pada masa kanak-kanak bisa meningkatkan resiko
terjadinya kanker payudara.
14. Faktor resiko lainnya
Beberapa penelitian menunjukkan bahwa kanker rahim, ovarium
dan kanker usus besar serta adanya riwayat kanker dalam keluarga
bisa meningkatkan resiko terjadinya kanker payudara.
d. Gejala
Gejala awal berupa sebuah benjolan yang biasanya dirasakan
berbeda dari jaringan payudara di sekitarnya, tidak menimbulkan nyeri
dan biasanya memiliki pinggiran yang tidak teratur. Pada stadium
awal, jika didorong oleh jari tangan, benjolan bisa digerakkan dengan
mudah di bawah kulit. Pada stadium lanjut, benjolan biasanya melekat
pada dinding dada atau kulit di sekitarnya. Pada kanker stadium lanjut,
bisa terbentuk benjolan yang membengkak atau borok di kulit
20
payudara. Kadang kulit diatas benjolan mengkerut dan tampak seperti
kulit jeruk. Gejala lainnya yang mungkin ditemukan (Bellenir, 2009); :
1. Benjolan atau massa di ketiak
2. Perubahan ukuran atau bentuk payudara
3. Keluar cairan yang abnormal dari puting susu (biasanya berdarah
atau berwarna kuning sampai hijau, mungkin juga bernanah)
4. Perubahan pada warna atau tekstur kulit pada payudara, puting
susu maupun areola (daerah berwana coklat tua di sekeliling
puting susu)
5. Payudara tampak kemerahan
6. Kulit di sekitar puting susu bersisik
7. Puting susu tertarik ke dalam atau terasa gatal
8. Nyeri payudara atau pembengkakan salah satu payudara .
Pada stadium lanjut bisa timbul nyeri tulang, penurunan berat
badan, pembengkakan lengan atau ulserasi kulit.
e. Patofisiologi
Penyebab kanker payudara belum dapat ditentukan namun
terdapat beberapa faktor risiko yang telah ditetapkan, keduanya
adalah lingkungan dan genetik. Pada keluarga dengan riwayat kanker
payudara yang kuat, banyak perempuan yang memiliki mutasi dalam
gen kanker payudara, yang disebut BRCA-1 dalam kromososm 17 dan
diperkirakan bahwa 86 % perempuan ini akan mendapat kanker
payudara pada usia 70 tahun. Pola keturunan adalah dominan
autosomal dan dapat diturunkan melalui garis maternal maupun
21
paternal. Sindrom kanker payudara familial lainnya berkaitan dengan
gen pada kromosom 13, yang disebut BRCA-2 (Price & Wilson, 2006)
Jalur PI3K / AKT dan RAS / MEK / ERK melindungi sel yang
normal dari kematian sel. Ketika gen pengkodean pelindung ini
mengalami mutasi, sel-sel menjadi tidak dimatikan sehingga ketika sel
tidak lagi dibutuhkan yang kemudian mengarah pada perkembangan
kanker. Mutasi tersebut terbukti secara eksperimental terkait dengan
paparan estrogen (Cavalieri et al., 2006).
Kelainan pada faktor pertumbuhan pemberi isyarat dapat
memfasilitasi pertumbuhan sel ganas. Kelebihan signal leptinin
jaringan adiposa payudara menyebabkan peningkatan proliferasi sel
dan kanker (Jarde, Perrier, Vasson, & Caldefie-Chezet, 2011).
Kecenderungan keluarga untuk mengembangkan kanker payudara
disebut herediter sindrom kanker payudara-ovarium. Beberapa mutasi
yang terkait dengan kanker, seperti p53, BRCA1 dan BRCA2, terjadi
pada mekanisme untuk memperbaiki kesalahan dalam DNA yang
mengarah ke pembelahan yang tidak terkendali, kurangnya
keterikatan, dan metastasis ke organ luar, serta mutasi yang
diwariskan oleh gen BRCA1 atau BRCA2 dapat mengganggu
perbaikan DNA hubungan silang dan DNA double strand breaks
(Begg et al., 2008).
GATA-3 langsung mengontrol ekspresi reseptor estrogen (ER)
dan gen lain yang terkait dengan diferensiasi epitel. Kehilangan
GATA-3 menyebabkan penghambatan diferensiasi dan memiliki
22
prognosis yang buruk karena meningkatnya invasi sel kanker dan
metastasis (Kouros-Mehr, Kim, Bechis, & Werb, 2009).
f. Penatalaksanaan
Terapi pada kanker payudara harus didahului dengan diagnosa
yang lengkap dan akurat ( termasuk penetapan stadium ). Diagnosa
dan terapi pada kanker payudara haruslah dilakukan dengan
pendekatan humanis dan komprehensif. Terapi pada kanker payudara
sangat ditentukan luasnya penyakit atau stadium dan ekspresi dari
agen biomolekuler atau biomolekuler-signaling.Terapi pada kanker
payudara selain mempunyai efek terapi yang diharapkan, juga
mempunyai beberapa efek yang tak diinginkan (adverse effect),
sehingga sebelum memberikan terapi haruslah dipertimbangkan
untung ruginya dan harus dikomunikasikan dengan pasien dan
keluarga. Selain itu juga harus dipertimbangkan mengenai faktor usia,
co-morbid, evidence-based, cost effective, dan kapan menghentikan
seri pengobatan sistemik termasuk end of life isssues (Kemenkes,
2008).
Modalitas penanganan untuk kanker payudara terdiri dari
pembedahan dan nonpembedahan. Pengobatan bedah primer kanker
payudara adalah lumpektomi dan mastektomi total dengan diseksi
kelenjar aksilaris (Price & Wilson, 2006).
Sedangkan penatalaksanaan menurut stadium adalah sebagai
berikut (Kemenkes, 2008; Tian et al., 2011):
1) Kanker payudara stadium 0 (TIS / T0, N0, M0)
23
Terapi definitif pada T0 bergantung pada pemeriksaan
histopatologi.lokasi didasarkan pada hasil pemeriksaan radiologik.
2) Kanker payudara stadium dini dini / operabel (stadium I dan II)
a) Dilakukan tindakan operasi : Breast Conserving Therapy
(BCT) (harus memenuhi persyaratan tertentu)
b) Terapi adjuvan operasi: Kemoterapi adjuvant; Radiasi
3) Kanker payudara locally advanced (lokal lanjut)
a) Operabel (III A)
- Mastektomi simpel + radiasi dengan kemoterapi adjuvant
dengan/tanpa hormonal, dengan/tanpa terapi target
- Mastektomi radikal modifikasi + radiasi dengan kemoterapi
adjuvant, dengan / tanpa hormonal, dengan / tanpa terapi
target
- Kemoradiasi preoperasi dilanjutkan dengan atau tanpa BCT
atau mastektomi simple, dengan / tanpa hormobal, dengan /
tanpa terapi target.
b) Inoperable (III B)
- Radiasi preoperasi dengan/tanpa operasi + kemoterapi +
terapi hormonal
- Kemoterapi preoperasi / neoadjuvan dengan/tanpa operasi +
kemoterapi + radiasi + terapi hormonal + dengan / tanpa
terapi target
24
- Kemoradiasi preoperasi / neoadjuvan dengan/tanpa operas,i
dengan/ tanpa radiasi adjuvan, dengan/ kemoterapi + dengan/
tanpa terapi target
4) Kanker payudara stadium lanjut, prinsip :
a) Sifat terapi paliatif
b) Terapi sistemik merupakan terapi primer (kemoterapi dan
terapi hormonal)
c) Terapi lokoregional (radiasi dan bedah) apabila diperlukan
d) Hospice home care
2. Kemoterapi
Kemoterapi adalah penggunaan preparat antineoplastik sebagai
upaya untuk membunuh sel-el tumor dengan mengganggu fungsi dan
reproduksi selular. Kemoterapi digunakan untuk mengobati penyakit
sistemik (Smeltzer & Bare, 2008).
a. Cara Pemberian Kemoterapi
Kemoterapi terkadang dilakukan sebagai satu-satunya upaya
penyembuhan kanker. Namun sering kali kemoterapi dilakukan
bersama-sama dengan tindakan operasi, terapi radiasi untuk kanker,
atau terapi biologis lain. Menurut Grunberg (2004), kemoterapi
dapat diberikan dengan berbagai macam cara sebagai berikut:
25
1) Kemoterapi sebagai terapi primer
Kemoterapi yang dilaksanakan tanpa menggunakan radiasi dan
pembedahan terutama pada jenis kanker kariokarsinoma,
leukemia dan limfoma..
2) Kemoterapi adjuvant
Kemoterapi yang diberikan setelah operasi atau terapi radiasi,
untuk menghancurkan sel kanker yang tersisa.
3) Kemoterapi neoadjuvant
Kemoterapi yang diberikan sebelum operasi atau terapi radiasi,
agar ukuran tumor menjadi lebih kecil.
4) Kemoterapi kombinasi
Keoterapi yang diberikan bersamaan dengan terapi radiasi pada
kasus karsinoma lanjut untuk memaksimalisasi efeknya
Cara pengobatan kemoterapi dilakukan tergantung kepada jenis
kanker yang diderita, terdiri dari (NICC, 2017):
1) Intravenous (IV). Kemoterapi langsung dimasukkan ke pembuluh
darah vena.
2) Suntik. Diberikan melalui suntikan pada otot atau lapisan lemak
misalnya di lengan atau perut.
3) Oral. Kemoterapi dalam bentuk pil, kapsul, atau cairan yang
diminum.
4) Topikal. Digunakan melalui krim yang dioleskan pada kulit.
5) Intra-arteri (IA). Kemoterapi langsung dimasukkan ke dalam
arteri yang menyalurkan darah ke kanker
26
6) Intraperitoneal (IP). Kemoterapi langsung diberikan ke dalam
rongga perut yang terdapat usus, hati, dan lambung di dalamnya.
7) Intrathecal. Kemoterapi langsung dimasukkan ke dalam cairan
spinal.
b. Efek Samping Kemoterapi
Efek samping kemoterapi yang umum pada kanker payudara
mencakup mual, muntah,perubahan indra perasa, alopesia, mukositis,
depresi sumsum tulang, dermatitis, keletihan, anemia, infertilitas
serta trombositopenia. Efek samping kemoterapi muncul karena
obat-obatan tersebut tidak memiliki kemampuan membedakan sel
kanker yang berkembang pesat dengan sel sehat yang secara normal
juga memiliki perkembangan pesat (Hesketh, 2008; Smeltzer &
Bare, 2008).
c. Klasifikasi agen kemoterapi berdasarkan emetogenisitas
Salah satu standar penggolongan emetogenisitas (kejadian mual
muntah akibat kemoterapi) agen kemoterapi mengacu pada standar
National Comprehensive Cancer Network (NCCN) tahun 2007
(NCCN, 2017).
27
Tabel 2.1. Tingkat emetogenisitas obat kemoterapi
M
u
a
l
d
a
n
m
Faktor penting lain yang menyebabkan evolusi rasional
pengobatan untuk mual muntah akibat kemoterapi adalah adanya
keluhan muntah yang berbeda yaitu mual muntah akut dan lambat,
pertama kali diidentifikasi dengan menggunakan agen
cisplatin. Profilaksis antiemetik yang tidak efektif mengakibatkan
semua pasien akan mengalami mual muntah sekitar 1-2 jam setelah
pemberian kemoterapi dengan potensi emetik tinggi. Biasanya
muntah mereda setelah 18-24 jam dan akan mencapai puncak
kekambuhan kedua setelah 48-72 jam. Atas dasar tersebut emesis
Emetogenisitas
minimal
(kurang dari 10
%)
Emetogenisitas
rendah
(10-30 %)
Emetogenisitas
sedang
(30-90%)
Emetogenisitas
tinggi
(lebih dari 90 %)
Alfa interferon
asparaginase,
bleomisin,
busulfan,
klorambusil
oral,
fludarabin,
gemtuzumab,
hidroksiurea
oral,
metotreksat ≤
50 mg/ m2
thalidomid,
tioguanin oral,
vinblastin,
vinkristin,
vinorelbin,
erlotinib,
melfalan.
Capetitabin,
docetaksel,
doksorubisin
liposomal,
etoposide,
5-fluorourasil,
metrotreksat >
50 mg/ m2< 250
mg/ m2,
paklitaksel dan
paklitaksel
albumin,
citarabin100-
200 mg/ m2,
gemcitabin
Siklofosfamid oral
dan < 1500
mg/m2,
Arsen trioksid,
azasitidin,
busulfan > 4
mg/hari,
karboplatin,
karmustin ≤ 250
mg/ m2
cisplatin < 50 mg/
m2,
ifosfamid,
citarabin > 1 g/
m2,
daktinomisin,
daunorubisin,
doksurubisin,
epirubisin,
etoposide oral,
idarubisin,
Imatinib oral,
metrotreksat 250-
1000 mg/ m2.
Altretamin,
karmustin > 250
mg/ m2,
siklofosfamid >
1500 mg/ m2,
dakarbazin,
doksurubisin
epirubisin
dengan
siklofosfamid,
prokarbazin oral
cisplatin >
50mg/ m2,
streptozosin,
mekloretamin
28
yang terjadi dalam 24 jam pertama merupakan mual muntah akut, dan
emesis yang terjadi lebih dari 24 jam merupakan mual muntah
lambat. Sejumlah agen selain cisplatin, termasuk siklofosfamid,
carboplatin, dan anthracyclines, dapat menyebabkan emesis
lambat. Strategi yang optimal untuk mencegah mual muntah akibat
kemoterapi tergantung pada tingkat emetogenisitas agen kemoterapi
serta memahami potensi yang mengakibatkan emesis akut atau
lambat. (Hesketh, 2008).
3. Mual muntah pasca kemoterapi
a. Pengertian
Kemoterapi menyebabkan efek samping yang melemahkan yaitu
mual, muntah, dan retching (muntah-muntah), sebenarnya ada tiga
gejala yang berbeda dan sering berjalan beriringan. Mual adalah
sensasi tidak enak yang dialami di belakang tenggorokan dan
epigastrum yang mungkin tidak mengakibatkan pengeluaran isi dari
perut, sementara muntah adalah refleks dari saraf motorik yang
mengakibatkan pengeluaran isi dari perut. Retching melibatkan usaha
untuk mengeluarkan isi dari perut tanpa benar-benar mengeluarkannya
(Jenelsins, Tejani, Kamen, Peoples, Mustian, Morrow, 2014).
Mual dan muntah akibat kemoterapi telah umum dinilai sebagai
efek samping yang paling tidak menyenangkan dan menyedihkan
(Cohen, De Moor, Eisenberg, Ming, & Hu, 2007). Hal ini sesuai
dengan penelitian sebelumnya yang dilakukan oleh Lua (2012, dikutip
29
dalam (Chean et al., 2016) yang melibatkan lebih besar jumlah pasien
(n = 41), ada proporsi yang signifikan yaitu pasien tetap menderita
mual dan muntah setelah menerima kemoterapi meskipun telah
diberikan obat antiemetik. Dalam penelitian tersebut, pasien yang
mengalami muntah menunjukkan kualitas hidup yang rendah
dibandingkan dengan pasien yang tidak mengalami muntah. Selain itu
studi yang dilakukan oleh Gozzo, Moyses, Silva, & Almeida (2013)
dengan menggunakan EORTC QLQ-C30 pada 79 wanita yang
menerima kemoterapi mengungkapkan bahwa 93% mengalami mual
dan 87% mengalami muntah setidaknya sekali selama
pengobatan. Obat sitotoksik yang digunakan oleh peserta dalam
penelitian ini dapat menjadi alasan dari statistik yang signifikan
terhadap tingginya mual dan muntah setelah kemoterapi siklofosfamid
(level empat, ematogenisitas tinggi, > 90%) dan epirubicin (level tiga,
ematogenisitas sedang, 30-90%) (Chean et al., 2016).
b. Klasifikasi mual muntah
Adapun tipe mual muntah pada pasien dengan kemoterapi (CINV
/ chemotherapy induced nausea and vomiting) menurut (Aapro,
Jordan, & Feyer, 2015) adalah sebagai berikut :
1) Antisipatori
Mual dan muntah yang terjadi sesaat sebelum pemberian
kemoterapi berikutnya atau sebelum 12 jam dimulainya
kemoterapi selanjutnya. Biasanya dipengaruhi oleh pengalaman
30
buruk dari kemoterapi sebelumnya. Tipe ini diamati pada pasien
yang episode muntah dipicu oleh rasa, bau, penglihatan, pikiran,
atau kecemasan sekunder untuk respon yang buruk terhadap agen
antiemetik. Kejadian ini mungkin terjadi setelah satu siklus
kemoterapi dan melibatkan sebuah unsur kondisi klasik.
2) Akut
Mual dan muntah yang terjadi kurang dari 24 jam setelah
kemoterapi, dengan intensitas maksimal 5-6 jam. Biasanya
dipengaruhi oleh umur dan gender, lingkungan dimana
kemoterapi diberikan. Terutama disebabkan oleh serotonin dari
sel enterochromaffin. Biasanya agen cyclophosphamide dan
carboplatin dapat menyebabkan timbnya efek mual muntah pada
8 sampai 10 jam pasca kemoterapi (Firmana, 2017).
3) Lambat (delayed nausea vomiting / DNV)
Mual dan muntah yang terjadi lebih dari 24 jam setelah
kemoterapi. Biasanya terjadi setelah pemakaian cisplatin,
karboplatin, siklofosfamid, dan atau tanpa doksorubisin. Berbagai
mekanisme terutama disebabkan oleh substansi P, gangguan dari
darah yang penghalang otak, gangguang dari gastrointestinal
motilitas, atau hormone adrenal. DNV (delayed nausea vomiting)
biasanya terjadi 24 jam pasca perawatan dan bisa bertahan selama
5-7 hari, dengan intensitas maksimal terjadi 48-72 jam setelah
pemberian obat (Jenelsins et al., 2014)
31
c. Faktor risiko mual muntah akibat kemoterapi
Faktor risiko terjadinya mual muntah akibat kemoterapi
berhubungan dengan kondisi pasien dan faktor yang berhubungan
dengan obat-obat yang digunakan. Faktor risiko yang berhubungan
dengan pasien meliputi usia yang kurang dari 50 tahun, jenis kelamin
perempuan, riwayat penggunaan alkohol, riwayat mual muntah
terdahulu, riwayat mual muntah akibat kemoterapi sebelumnya. Obat-
obatan yang menyebabkan mual muntah tergantung dari jenis obat,
dosis, siklus kemoterapi, kombinasi dan metode pemberian obat
(Grunberg, 2004; Barsadia & Patel, 2006; Barak, Amoyal, &
Kallchman, 2013; Hilarius, Kloeg, Gundy, & Aaronson, 2012).
Faktor resiko lainnya yang dapat menyebabkan mual muntah
akibat kemoterapi adalah status gizi. Penelitian yang dilakukan oleh
Vergara, Montoya, Luna, Amparo, & Cristal-Luna (2013),
menemukan bahwa status gizi berdasarkan SGA (Subjective Global
Assessment) pada pasien kanker yang menjalani kemoterapi
berpengaruh secara signifikan terhadap kejadian mual muntah.
Kejadian rata-rata mual muntah lebih tinggi pada SGA dengan skor C
(mean 45,24), SGA B (19,79) dibandingkan SGA A (9,77).
SGA merupakan salah satu alat skrining dan pengkajian gizi
untuk penderita kanker yang mudah digunakan dan dapat
mengidentifikasi pasien yang beresiko malnutrisi. SGA dengan Skor
A (gizi baik) yaitu tidak ada kehilangan berat badan, tidak ada
kekurangan asupan makanan, tidak ada gejala yang berhubungan
32
dengan asupan gizi, dan tidak ada defisit pada pemeriksaan fisik. Skor
B (malnutrisi sedang) dan C (malnutrisi berat) yaitu berat badan turun
5% dalam satu bulan, asupan makanan menurun sangat jelas atau
sangat kurang, ada keluhan yang berhubungan dengan asupan
makanan, defisit fungsi fisik sedang sampai berat, ada penurunan
kekuatan lemak otot, dan kehilangan jaringan subkutan kemungkinan
edema (Susetyowati, Yenita, & Kurnianda, 2010).
d. Patofisiologi mual muntah akibat kemoterapi
Mual muntah antisipatori (ANV / anticipatory nausea vomiting)
biasanya lebih sulit untuk dikendalikan dari CINV akut atau lambat.
Juga, tidak ada perbedaan yang jelas saat CINV akut berakhir dan
DNV (delay nausea vomiting/ mual muntah lambat) dimulai dan
dengan demikian, keduanya dianggap sebagai perkiraan. Lebih jauh
lagi, berbagai bentuk dan interval waktu CINV akut, ANV dan DNV,
menunjukkan adanya perbedaan jalur patologis dan fisiologis yang
terlibat (Jenelsins et al., 2014).
Proses CINV, dipicu oleh agen kemoterapi, melibatkan jaringan
kompleks neuroanatomis dan pusat periferal, neurotransmitter, dan
reseptor. Pusat dan daerah perifer meliputi:
1) Pusat muntah atau emetik (VC / vomiting center), yang
merupakan struktur primer untuk mengkoordinasikan mual dan
muntah dan mencakup kumpulan neuron di dalam medula
oblongata;
33
2) Zona pemicu kemoreseptor (CTZ / chemoreseptor triger zone)
pada daerah postrema yang terletak di dasar ventrikel keempat
otak;
3) Nervus vagal aferen merupakan proyek dari saluran
gastrointestinal (GI) ke nukleus traktus solitariusr (NTS) dan Inti
motorik dorsal vagus (DMV);
4) Sel enterochromaffin (EC) di GI
Sistem saraf pusat memainkan peran penting dalam patofisiologi
CINV, dengan menerima dan memproses berbagai rangsangan
emetik dan kemudian menghasilkan dan mengirimkan sinyal efferent
ke sejumlah organ dan jaringan, yang berakibat pada mual dan
muntah. Setiap individu mungkin memerlukan tingkat yang berbeda
dari rangsangan pada pusat muntah (VC) untuk mencapai ambang
mual atau muntah, sehingga menghasilkan perbedaan respon individu
terhadap rangsangan yang sama (Jenelsins et al., 2014).
Beberapa neurotransmitter dan reseptor kognitif terlibat dalam
CINV, dan neurotransmitter / reseptor ini beroperasi melalui
mekanisme pensinyalan yang berbeda. Tiga neurotransmiter utama
adalah serotonin (5-HT), substansi P (SP), dan dopamin. Reseptor
yang terkait dengan 5-HT dan SP masing-masing adalah 5-
hydroxytryptamine (5-HT3) dan neurokinin-1 (NK-1). 5-HT adalah
mediator utama sinyal saraf dari usus ke NTS (nukleus traktus
solitarius), mengaktifkan reseptor 5-HT3 di usus dan NTS. SP
terutama mentransmisikan sinyal dari saraf vagus ke reseptor NK-1 di
34
CTZ. Peran dopamin kurang jelas namun dopamin merupakan
reseptor antagonis yag efektif dan kemungkinan memiliki efek anti-
dyspeptic. Hal ini diketahui bahwa penghambatan beberapa jalur ini
menghasilkan pengurangan muntah akibat kemoterapi (CIV) dan
tingkat yang lebih rendah pada mual (CIN). Ini menunjukkan bahwa
induksi mual dan muntah mungkin tidak melibatkan jalur yang sama
namun, sebaliknya, mediator biologis yang berbeda dalam jalur yang
berbeda (Jenelsins et al., 2014).
Agen kemoterapi bersifat toksik bagi EC (Enterochromaffin
cells) yang melapisi mukosa GI yang menyebabkan pembangkitan
dari radikal bebas yang pada gilirannya menyebabkan ECs
(Enterochromaffin cells) melepaskan jumlah serotonin berlebih.
Melepaskan serotonin, pada tingkat yang lebih tinggi, kemudian
mengikat reseptor 5-HT3 yang ada di terminal saraf vagal aferen
yang terletak di dekat ECs. Pengikatan pada reseptor 5-HT3 akan
menghubungkan informasi mengenai rangsangan kimiawi ke otak,
yang mungkin kemudian diinisiasi sebagai emesis secara langsung
(CINV akut) atau merangsang saraf vagus terhadap substansi lain
(Seperti SP) dilepaskan dari EC atau dihasilkan oleh kematian sel,
sehingga menghasilkan bentuk mual dan muntah yang
berkepanjangan (DNV). Temuan dari studi klinis telah menyebabkan
hipotesis bahwa dengan adanya kemoterapi, reseptor-reseptor 5-HT /
5-HT3 memainkan peran utama dalam mekanisme CINV akut namun
peran yang lebih rendah untuk DNV (Jenelsins et al., 2014).
35
Neurotransmitter SP didistribusikan secara luas di sistem saraf
pusat dan perifer dan merupakan ligan yang lebih disukai untuk
reseptor NK-1. Reseptor ini terletak di usus, yang daerah postrema,
dan daerah NTS yang berlokasi di komplek vagal dorsal. Komplek
dorsal vagal merupakan tempat beradanya reseptor untuk
neurotransmitter yang memiliki peran potensial pada respon muntah,
seperti serotonin, SP dimediasi oleh kemoterapi yang mengikat
sebagian besar reseptor NK-1 yang berada di pusat (Yaitu NTS) yang
kemudian melewati sinyal melalui nervus aferen vagal ke CTZ dan
kemudian ke pusat muntah (VC), sehingga menjadi mediasi yang
menyebabkan muntah. Kemungkinan sinyal yang terletak terpusat
paling penting dalam terjadinya CINV. SP mengikat NK-1 reseptor
di usus juga mungkin memainkan peran tambahan dalam mual dan
muntah (Hesketh, 2008).
Penelitian terbaru menunjukkan bahwa ada reseptor cross-talk
antara 5-HT3 dan NK-1 melalui jalur sinyal reseptor . Reseptor
cross-talk didefinisikan sebagai aktivasi satu reseptor oleh ligannya
yang kemudian mempengaruhi respons seluler dari sistem reseptor
lain. Penelitian pada hewan menunjukkan bahwa cross-talk
memungkinkan aksi sinergis antara 5-HT3 dan NK-1 reseptor
antagonis dalam mengendalikan CINV akut dan lambat (DNV) dan
menyajikan kemungkinan untuk meningkatkan pengobatan CINV.
Namun, rincian mekanistik dari 5-HT3 / Crosstalk reseptor NK-1
belum dijelaskan (Jenelsins et al., 2014).
36
Selain itu, uji klinis melibatkan penggunaan antagonis reseptor
5-HT3 dan aprepitant (Antagonis reseptor NK-1) telah dikonfirmasi
lebih lanjut hipotesis bahwa CINV akut dan lambat memiliki
patofisiologi yang berbeda. Penelitian yang dikumpulkan
menunjukkan bahwa CINV lambat sebagian besar terkait dengan
aktivasi reseptor NK-1 oleh SP. Namun, beberapa neurotransmiter
yang saling tumpang tindih (misalnya, dopamin), bekerja di bagian
periferal dan pusat sistem saraf, mungkin juga terlibat dalam CINV
akut dan lambat. Jalur lain, selain 5-HT / 5-HT3 dan SP / NK-1, juga
terlibat dalam induksi CINV tapi sangat sedikit yang diketahui
tentang mekanisme dimana mereka mengatur respon emetik.
Misalnya, pelepasan dopamin juga berperan dalam memicu mual dan
muntah; Antagonis reseptor dopamin (misalnya prometazin,
metoklopromida) telah terbukti efektif dalam mengobati CINV,
meskipun mekanisme kerjanya kurang jelas. Penelitian tambahan
juga menyelidiki agen yang dapat mempengaruhi asam gamma-
aminobutyric (GABA) dan reseptor histamin dan muskarinik.
Pemahaman yang lebih baik tentang peran mediator dan mekanisme
terkait CINV dapat membantu dalam pengembangan tambahan obat
antiemetik yang efektif (Hawkins & Grunberg, 2009).
37
Sumber gambar: (Hawkins & Grunberg, 2009)
Gambar 2.1. Patofisiologi mual muntah akibat kemoterapi: jalur emetik
dan pusat muntah
Mekanisme mual muntah akibat kemoterapi yang paling banyak
didukung oleh penelitian adalah akibat pengaruh obat kemoterapi
pada usus kecil bagian atas. Setelah pemberian kemoterapi, radikal
bebas yang dihasilkan dan bergerak menuju sel-sel enterochromaffin
sehingga mengeluarkan 5-hidroksitriptamin (5HT). Selanjutnya 5HT
(serotonin) berinteraksi dengan 5-hidroksitriptamin-3 (5HT3) pada
aferen terminal vagus di dinding usus. Saraf aferen vagus
melanjutkan stimulasi ke dorsal brain stem, terutama ke nukleus
traktus solitaries (NTS) dan ke area postrema yang berlokasi di
komplek vagal dorsal. Komplek dorsal vagal mrupakan tempat
beradanya reseptor untuk neurotransmitter yang memiliki peran
potensial pada respon muntah, diantaranya neurokinin-1 (NK-1),
5HT3, dan reseptor dopamin 2 , yang masing-masing mengikat
substansi P, serotonin, dan dopamine,. Saraf eferen melanjutkan
impuls dari dari kompleks vagal dorsal ke efektor akhir dari refleks
38
muntah yaitu the central pattern generator (CPG)/ pola sentral
generator, yang merupakan daerah anatomis tidak jelas menempati
lokasi yang lebih sentral di batang otak. Stimulasi pada CPG akan
menyebabkan pusat muntah berkoordinasi untuk mengaktivasi impuls
eferen visceral dan somatik ke organ efektor (otot lambung,
esophagus dan diafragma; Bender et al., 2002) yang dilanjutkan
terjadinya gerakan eksfulsif otot abdomen, gastrointestinal dan
pernafasan yang terkoordinasi dengan epifenomena emetik yang
menyertai dan kejadian ini disebut muntah (Price & Wilson, 2006;
Hesketh, 2008; Aapro et al., 2015).
Sumber: (Aapro et al., 2015)
Gambar 2.2. Patomekanisme mual muntah dengan kemoterapi
e. Penatalaksanaan mual muntah
Tetalaksana mual muntah dapat dilakukan dengan terapi
farmakologi dan nonfarmakologi. Barbagai obat antiemetik dapat
digunakan dalam pencegahan dan pengobatan mual muntah akibat
39
kemoterapi. Obat-obat ini diklasifikasikan sesuai dengan indeks
terpeutiknya, yaitu tinggi dan rendah. Antiemetik indeks terpeutik
tinggi diantaranya 5HT3 antagonis seperti: Ondansentron, Granisetron,
Tropisetron dan Palonosetron merupakan dasar terapi profilaksis
mual muntah untuk kemoterapi dengan emetogenik tinggi dan
moderat. Nk1 antagonis misalnya Apprepitant untuk kemoterapi
dengan emetogenik resiko tinggi. Obat golongan Kortikosteroid lebih
efektif pada pasien yang mendapat emetogenik rendah. Obat yang
termasuk dalam indeks terapi rendah misalnya: Metoklorpramide,
Butirophenons, Penothiazin, Cannabinoid dan Ollanzepin. (Hesketh,
2008; Jones, Bardia, Linquist, Wolf, & Loprinzi, 2011)
f. Instrumen mual muntah
Menurut Rhodes dan McDaniel (2001) dikutip dalam Kim et al.,
(2007) ada beberapa instrument yang dapat digunakan untuk
mengukur mual muntah. Instrument tersebut berupa Duke Description
Scale (DDS, Visual Analog Scale (VAS), Rhodes Index of Nausea
Vomitting and Retching (RINVR), Morrow Assesment of Nausea and
Emesis (MANE)dan Functional Living Index mesis (FLIE) yang telah
teruji validitas dan reliabilitasnya dan masing-masing interumen
tersebut memiliki kekurangan dan kelebihan masing-masing.
Instrumen yang digunakan untuk mengukur mual muntah pada
penelitian ini menggunakan Rhodes Index of Nausea Vomitting and
Retching (RINVR) yang terdiri dari 8 pertanyaan, dimana kuisioner ini
40
akan diisi oleh responden dengan Skala Likert 0-4. Intensitas mual-
muntah berdasarkan rentang skor 0-32, dimana 0 merupakan skor
terendah dan 32 merupakan skor tertinggi. Skala Rhodes ini telah
dilakukan uji validitas dan realibitas oleh penelitian yang dilakukan
oleh Rukayah (2013)
4. Bekam Kering
a. Defenisi Bekam Kering
Bekam secara bahasa berarti menghisap. Menurut istilah,
Bekam berarti peristiwa penghisapan kulit, penyayatan dan
mengeluarkan darahnya dari permukaan kulit, yang kemudian
ditampung di dalam gelas. Dalam kitab-kitab arab, pengertian bekam
adalah mengeluarkan darah dari kulit dengan cara menghisap,
kemudian penyayatan ringan pada permukaan kulit, kemudian
dilakukan penghisapan lagi agar darah bisa keluar dan menimbulkan
kesembuhan dengan izin Allah Ta’ala (Wadda, 2013).
Proses pengobatan bekam melalui tiga peristiwa yaitu
penghisapan, penyayatan, dan pengeluaran darah. Akan tetapi teknik
bekam kering hanya berupa penghisapan saja dan tidak melibatkan
penyayatan dan pengeluaran darah (Wadda, 2013).
Bekam merupakan metode pengobatan klasik yang telah
digunakan dalam perawatan dan pengobatan berbagai masalah
kesehatan diantaranya:penyakit darah hemofili dan hipertensi,
penyakit reumatik mulai dari artritis, nyeri panggul, sakit Punggung,
41
migraen, gelisah / cemas, dan masalah fisik umum maupun mental (
Kim, Lee, Lee, Boddy, & Ernst, 2011)
Bekam terdiri dari beberapa jenis yaitu bekam kering,
seluncur, tarik dan basah. Bekam kering atau bekam angin (Hijamah
Jaaffah), yaitu menghisap permukaan kulit dan memijat tempat
sekitarnya tanpa mengeluarkan darah kotor. Bekam kering baik bagi
orang yang tidak tahan suntikan jarum dan takut melihat darah. Kulit
yang dibekam akan tampak merah kehitam-hitaman selama 3 hari
atau akan kelihatan memar selama 1 atau 2 pekan. Efek ini bisa
diatasi dengan diolesi minyak habbah sauda’ atau minak zaitun
untuk menghilangkan tanda lebam pada kulit yang selesai dibekam.
Bekam ini sedotannya hanya sekali dan dibiarkan selama 5 –10
menit. Bekam kering berkhasiat untuk melegakan sakit secara
darurat atau digunakan untuk meringankan nyeri pada urat punggung
karena sakit rheumatik, juga penyakit yang disebabkan nyeri
punggung. Penelitian yang dilakukan oleh Akbarzade et al., (2016)
menunjukkan bahwa terapi bekam kering mengurangi nyeri perineal,
rata-rata nyeri perineal berkurang dari 37.5±6.8 sebelum intervensi
menjadi 11.1±6.1, 6.9±4.7, dan 3.8±3.6 dengan segera, 24 jam, dan 2
minggu setelah intervensi. Bekam kering bermanfaat juga untuk
terapi penyakit paru-paru, radang ginjal, pembengkakan liver/radang
selaput jantung, peradangan urat syaraf, radang sumsum tulang
belakang, nyeri punggung, rematik, masuk angin, wasir, dan lain-
lain. Terdapat dua teknik bekam kering yang dapat dipraktekkan
42
untuk tempat tertentu yaitu bekam luncur dan bekam tarik (Kasmui,
2011).
b. Mekanisme kerja
Salah satu alternatif terapi non farmakologi untuk mengatasi
mual dan muntah pascabedah adalah dengan bekam kering di titik
P6 (pericardium 6). Dalam studi World Health Organization
(WHO), stimulasi di titik P6 telah terbukti secara signifikan
mengontrol mual dan muntah. Selain itu, P6 juga memiliki efek
analgesik. Lokasi titik P6 adalah antara fleksor karpi radialis dan
palmaris tendon otot longus, sekitar 2 inci proksimal lipatan distal
dari wrist stimulation. Titik ini telah diuji dalam beberapa cara,
termasuk dalam akupunktur, akupresur, stimulasi listrik, stimulasi
akustik, dan sebagainya(Cheong, Zhang, Huang, & Zhang, 2013).
Sebagai salah satu modalitas akupunktur, bekam bernilai
karena potensinya untuk memperkuat daya tahan tubuh, untuk
mengeluarkan faktor patogen, dan untuk meningkatkan sirkulasi
darah. Ini mengembalikan keseimbangan antara Yin (negatif / pasif /
gelap / air) dan Yang (positif / aktif / cerah / api) dan
mempromosikan aliran "Qi," yang berarti kekuatan dan gerakan
yang mirip dengan energi (Mehta & Dhapte, 2015).
Secara umum telah diketahui bila tubuh mendapat stimulasi
dari luar melalui permukaan tubuh, maka terjadilah hantaran
rangsang melaui suatu jaras menuju ke susunan saraf pusat untuk
mendapatkan proses analisis dan memberi reaksi keluar, akan tetapi
43
hal ini sedikit berbeda dengan perkembangan pengetahuan tentang
matriks jaringan Living Matrix . Living Matrix merupakan interaksi
semua sitem jejaring neural, sirkulasi, dan fibrous yang terjadi
melalui serabut kolagen jaringan ikat. Kolagen adalah bentukan trple
helix yang memanjang dan terdiri atas tiga polipeptida dengan
ikatan hydrogen, yang berfungsi sebagai konduksi elektrik dan
sensitif terhadap stimulus karena sruktur air, ikatan hydrogen dan
protein dapat menyebabkan loncatan proton. Aliran sinyal sepanjang
serabut kolagen dapat memberi penjelasan tentang informasi melalui
meridian akupunktur, dimana diketahui bahwa titik akupunktur
adalah low resistence point dan meridian adalah low resistance line
yang sangat bergantung pada jarak antara dua serabut kolagen,
dimana makin mendekat makin berfungsi sebagai semikonduktor
(Saputra, 2012).
Jaringan ikat adalah komponen penting tubuh dalam
membentuk struktur tubuh, fungsi mekanis, serta konfigurasi dan
arsitektur program, seperti sirkulasi, saraf, musculoskeletal,
gastrointestinal yang diliputi oleh jaringan ikat secara kontinu.
Gerakan ataupun tekanan akan memberikan rangsangan pada
jaringan ikat dan diteruskan ke seluruh tubuh. Di dalam sel jaringan
ikat terdapat bentukan protoplasma yang bersifat sebagai
miezoelektrik dan berhubungan erat dengan sitooskeleton dan
eksoskeleton. Bila terjadi gerakan atau vibrasi otot, maka akan
terjadi diosolasi elektrik dan mempengaruhi gerakan sodium,
44
poasium, kalsium, dan klorida, serta memberi fenomena energetik
pada sel dan jaringan (Saputra, 2012).
Beberapa saran telah dibuat mengenai pengaruh tindakan
bekam kering, termasuk penyesuaian aliran darah kulit, yang
mempengaruhi sifat biomekanis jaringan di bawah kulit,
meningkatkan metabolisme anaerobik dalam jaringan subkutan,
modulasi bagian selular dari sistem kekebalan tubuh, dan umumnya
meningkatkan mikrosirkulasi. Hal ini mendorong perbaikan sel
endotel kapiler, mempercepat granulasi dan angiogenesis dalam
jaringan regional (Farhadi et al., 2016).
Cara kerja bekam kering menurut modern medicine
menjelaskan bahwa di bawah kulit, otot, maupun fascia terdapat
suatu poin atau titik yang mempunyai sifat istimewa. Antara poin
satu dengan poin lainnya saling berhubungan membujur dan
melintang, membentuk jaring-jaring atau jala yang disamakan
dengan meridian. Pengobatan pada satu poin akan menyembuhkan
poin lainnya. Poin istimewa yang merupakan motor point pada
perlekatan neuromuscular yang mengandung mitokondria, kaya
pembuluh darah, mengandung mioglobin tinggi, sebagian besar
selnya menggunakan metabolisme oksidatif, dan lebih banyak
mengandung cell mast, kelenjar limfe, kapiler, venula, bundle dan
pleksus saraf, serta ujung saraf akhir, dibandingkan dengan daerah
yang bukan poin istimewa. Apabila dilakukan pembekaman pada
satu poin, maka kulit (kutis), jaringan bawah kulit (sub kutis) fascia
45
dan ototnya akan terangkat. Tekanan negatif pada awal pengekopan
(bekam kering) akan menyebabkan peningkatan cairan interstisial
pada kulit yang terangkat, dimana terjadi peningkatan filtrasi pada
kapiler (13 mmHg) dan penurunan absorbs pada venula (7mmHg),
oleh karena itu warna pada kop awal berwarna lebih merah. Retensi
cairan akan menyebabkan berkumpulnya mediator inflamasi dan
nociceptive substance yang dapat menyebabkan efek analgetik
(Ridho, 2015).
Dilakukannya stimulasi penekanan pada titik P6 (Pericardium
6) diyakini dapat memperbaiki aliran energi di lambung sehingga
dapat mengurangi terjadinya gangguan pada lambung termasuk mual
muntah (Dibble, Luce, Cooper, & Israel, 2007). Tarcin, Gurbuz,
Pocan, Keskin, & Demirturj, (2004) juga mengungkapkan bahwa
stimulasi pada titik p6 memiliki manfaat dalam peningkatan
pengeluaran beta endorphin di hipofisis di sekitar CTZ. Beta
endorphin merupakan salah satu antiemetik endogen yang dapat
menghambat impuls mual muntah di pusat muntah dan CTZ (Samad,
Afshan, & Kamal, 2003).
Penelitian lain menunjukkan bahwa pembekaman di kulit akan
menstimulasi kuat saraf permukaan kulit yang dilanjutkan pada
cornu posterior spinalis melalui saraf A-Delta dan C, serta traktus
spino thalamicus ke arah thalamus yang akan menghasilkan beta
endhorphin. Sedangkan sebagian rangsangan lainnya akan
diteruskan melalui serabut aferen simpatik menuju motor neuron dan
46
menimbulkan reflek intubasi nyeri. Efek lainnya adalah dilatasi
pembuluh darah kulit, dan peningkatan kerja jantung (Ridho, 2015).
Bekam kering di titik P6 (pericardium 6) dapat meredakan
mual dan muntah yaitu dengan merangsang perikardium 6 (P6 nei-
guan), yang terletak rentang tiga jari di bawah pergelangan pada
lengan bagian dalam antara dua tendon. Dalam penelitian yang
dilakukan oleh Farhadi, et al., (2016) menemukan bahwa stimulasi
P6 dengan bekam kering memiliki efek yang berarti dalam
mengurangi rasa mual muntah .
Penelitian ini bertujuan untuk menguji efektivitas bekam
kering dalam mengurangi mual muntah akibat kemoterapi (CINV).
Teknik yang digunakan dalam bekam kering mirip dengan
akupunktur. Sehingga literatur akupunktur digunakan untuk
menginformasikan tentang mekanisme yang mendasari stimulasi
titik P6 dalam mengendalikan mual dan muntah. Akupunktur dapat
mengakibatkan stimulasi listrik frekuensi rendah dari kulit. Hal ini
menyebabkan aktivitas saraf untuk A-β dan saraf A-δ, yang
mungkin memiliki efek pada transmisi saraf vagal dorsal dan
neuron atas. Clement-Jones, McLoughlin et al., (1980) dikutip
dalam Farhadi et al., (2016) juga melaporkan bahwa sistem opioid
internal terlibat dalam pelepasan enkephalin, endorfin, beta-
endorphin, dan dynorphin. Hal ini juga mungkin bahwa efek
stimulasi titik P6 adalah karena penghambatan sekresi asam
lambung dan perbaikan dalam gerakan perut.
47
Bekam sebagai sebuah metode yang danjurkan memiliki
beberapa khasiat dan secara empiris memberikan manfaat kepada
kesehatan manusia. Ada beberapa teori tentang mekanisme kerja
bekam salaf satunya adalah Teori Taibah (Ridho, 2015).
Teori Taibah berbicara tentang CPS (Causative Pathological
Substances). CPS adalah apa-apa yang terlarut di dalam serum
darah. Sesuatu yang terlarut di dalam serum ketika berlebihan maka
akan menyebabkan penyakit. Teori taibah menyampaikan bahwa
dengan bekam maka ekses serum akan dikeluarkan. Ekses serum
yang dimaksud adalah: Kolestrol darah; Trigliserida; Glukosa;
Asam Urat; Kelebihan serum iron dan ferritin pada penyakit
thalasemia, anemia sideroblastik, bronze diabetes, hemosiderosis
dan hemochromatosis; Kelebihan serum autoantibody, immune
complex dan mediator inflamasi; Pada infeksi virus ada viral
antigen, virus partikel dan mediator inflamasi; Pada infeksi bakteri
kelebihan level bakteri dalam darah (bakteremia) toksin dari bakteri
(toxemia); Pada kasus musculoskeletal adalah tingginya mediator
inflamasi, prostaglandin, sitokin dan substansi P (Ridho, 2015).
Beberapa gambaran proses bekam menurut teori taibah yaitu
kondisi umum penyakit disebabkan karena adanya
ketidaknormalan kimiawi darah. Ada banyak CPS di dalam plasma
darah yang akan menganggu proses fisiologi di dalam tubuh kita.
CPS akan difiltrasi keluar dari plasma dengan proses bekam.
48
Sumber: (Ridho, 2015)
Gambar 2.3. Gambaran saat dilakukan bekam kering
5. Prosedur kerja bekam kering
Bekam kering merupakan metode bekam yang tidak mengeluarkan
darah dari tubuh. Secara umum bekam memerlukan persiapan sebelum
dilakukan agar proses bekam dapat berjalan sempurna. ada tiga hal yang
harus dipersiapkan, yaitu: alat-alat, sarana dan ruangan yang akan dipakai;
pasien yang akan dibekam; dan orang yang akan melakukan bekam.
a. Menyiapkan alat, sarana dan ruangan
1) Alat yang disiapkan meliputi: kop/ tabung penghisap kulit, duk
kain, sarung tangan, masker wajah, mangkok, cawan,
2) Bahan yang disiapkan meliputi: kassa, kapas, disinfekten, sabun.
minyak zaitun, minyak habbatusauda’
3) mensterilkan alat agar bebas dari kuman dan tidak menyebarkan
penyakit, dengan cara: merebus tabung kop paling sedikit 30 menit
setelah air mendidih (karet dilepas dulu)sterilisator,. sarung tangan,
karet dan duk disterilkan dengan tablet formalin.
4) Ruangan harus bersih, terang cukup aliran udara dan tidak pengap.
49
b. Persiapan pasien
1) Pasien dijelaskan tentang bekam, efek yang terjadi, proses
kesembuhan dll
2) Pasien disiapkan mentalnya agar tidak gelisah dan takut
3) Posisi pasien harus nyaman, baik bagi pasien sendiri maupun bagi
yang akan melakukan bekam. Beberapa sikap saat di bekam:
a) Sikap duduk di kursi dengan kedua lengan ke depan lurus
diletakkan di atas meja. Sikap ini untuk bekam di daerah
tangan atau lengan.
b) Sikap duduk di kursi, dengan lengan menutup di atas meja. Ini
untuk membekam daerah tangan.
c. Persiapan orang yang melakukan bekam :
1) Juru bekam dalam keadaan sehat, tidak sakit.
2) Juru bekam telah menguasai ilmu bekam (professional)
3) Juru bekam sudah sering di bekam dan membekam (Umar, 2013).
d. Cara Melakukan Bekam Kering (Kasmui, 2011) :
1) Pilih titik bekam berdasarkan kondisi pasien.
2) Pilih gelas bekam berdasarkan tingkat penyakit pasien dan postur
tubuh. Semakin besar gelas yang digunakan maka tingkat rasa sakit
akan semakin besar, namun efeknya akan semakin baik.
3) Pijat bagian yang akan dibekam dengan dilumuri minyak zaitun
atau minyak jinten hitam selama lebih kurang 5 menit.
50
4) Pompa gelas bekam dengan piston pada posisi yang dikehendaki
sebanyak 2-3 kali tarikan, atau sampai piston tidak dapat ditarik
lagi.
5) Biarkan selama 10 menit (bagi pria), 7 menit (bagi wanita) atau 3
menit (bagi anak-anak).
6) Lepas gelas bekam dan pijat kembali dengan minyak zaitun atau
minyak jinten hitam selama 2-3 menit untuk menghilangkan
bercak-bercak hitam atau blister.
7) Bisa dilakukan selama 7 hari bagi orang dewasa dan 5 hari bagi
anak-anak, kemudian diselingi masa interval selama 3 hari, lalu
dilanjutkan lagi pembekaman.
6. Bekam kering pada titik p6
Stimulasi akupunktur dari titik P6 (titik akupunktur) telah terbukti
secara signifikan mengontrol mual dan muntah, pada studi Organisasi
Kesehatan Dunia (WHO). Selain itu, titik P6 yang dirangsang juga
memiliki efek analgesik. Lokasi titik P6 adalah antara fleksor karpi
radialis dan tendon otot palmaris longus, sekitar 2 inci proksimal lipatan
distal pergelangan tangan. Stimulasi titik ini telah diuji dalam beberapa
cara, termasuk dalam akupunktur, akupresur, stimulasi listrik, stimulasi
akustik, dan sebagainya (Farhadi et al., 2016).
51
Gambar 2.4 bekam kering pada anatomi
daerah P6 untuk mual dan muntah setelah kemoterapi (CINV).
Mengingat efek samping yang lebih sedikit dari terapi ini dibandingkan
dengan terapi obat lain dan kurangnya uji klinis yang tersedia di bekam kering
kering dan CINV, penelitian ini kami bertujuan untuk menguji efek
pencegahan bekam kering melalui stimulasi P6 pada mual muntah setelah
kemoterapi (CINV). Ini adalah pertama kalinya terapi bekam kering telah
digunakan dalam pengobatan CINV.
a. Pengertian Titik P6
Titik perikardium 6 (Nei Guan) berasal dari kata Nei berarti
medial dan Guan berarti melewati. Titik P6 merupakan lokasi
penting yang ada di bagian lengan bawah. Stimulasi titik P6 ini
dilakukan pada posisi telapak tangan menghadap ke atas. Titik ini berada
pada garis tengah lengan bawah, dua ibu jari menuju siku dari lipatan
pergelangan tangan. Titik P6 berada pada 5 cm dari distal lipatan
pergelangan tangan, antara tendon flexi karpi radialis dan palmaris
52
longus (Farhadi et al., 2016; Molassiotis, Helin, Dabbour, &
Hummerston, 2007).
Gambar 2.5 Titik anatomi daerah P6.
Titik P6 adalah titik yang terletak dijalur meridian selaput jantung.
Meridian selaput jantung memiliki dua cabang, sebuah cabangnya
masuk ke selaput jantung dan jantung, kemudian terus ke bawah
menembus diafragma, ke ruang tengah dan ruang bawah perut. Meridian
ini juga melintasi lambung dan usus besar.
b. Kontraindikasi bekam kering di Titik P6
Bekam kering merupakan terapi yang dapat dilakukan dengan
mudah dan efek samping yang minimal. Bekam kering tidak boleh
dilakukan pada bagian tubuh yang luka, bengkak, tulang retak atau
patah dan kulit yang terbakar (Farhadi et al., 2016)
53
c. Operasional bekam kering di titik P6
Penekanan titik P6 (perikardium 6) sedalam 1-2 cm
menggunakan gelas bekam pada titik akupunktur yang berada pada
lengan bawah bagian depan, tepatnya kurang lebih 6 cm di atas
pergelangan tangan dan berada diantara dua penonjolan otot yang terlihat
jelas saat menggenggam tangan dengan erat. Pengekopan dilakukan
selama 7 menit pada lengan bawah. ( K a s m u i , 2 0 1 1 ) .
B. Kerangka Teori
Kerangka teoritis yang mendasari penelitian ini yaitu teori comfort
Kolcaba dari middle range theory. Comfort didefinisikan oleh perawat
sebagai pengalaman langsung dari perasaan yang diperkuat oleh kebutuhan
dasar manusia untuk relief (dorongan), ease (ketentraman) dan transcendence
dibahas dalam empat konteks pengalaman (fisik, psikospiritual, sosial
budaya, dan lingkungan) (Apóstolo & Kolcaba, 2009).
Kenyamanan didefinisikan sebagai kondisi yang dialami oleh resipien
berdasarkan pengukuran kenyamanan. Ada tiga tipe kenyamanan (dorongan,
ketentraman dan transcendence) serta empat konteks pengalaman (fisik,
psikospiritual, sosial dan lingkungan). Tipe-tipe kenyamaman didefiniskan
sebagai berikut (Kolcaba, 2001 dalam Tomey dan Alligood, 2006: 728):
1. Dorongan (relief): kondisi resipien yang membutuhkan penanganan yang
spesifik dan segera.
2. Ketenteraman (ease): kondisi yang tenteram atau kepuasan hati.
3. Transcendence: kondisi dimana individu mampu mengatasi masalahnya
(nyeri).
54
Empat konteks kenyamanan adalah (Kolcaba, 2003 dalam Tomey dan
Alligood, 2006: 728; Kolcaba 1991 dalam Peterson dan Bredow, 2004: 258):
1. Fisik: berkaitan dengan sensasi jasmani.
2. Psikospiritual: berkaitan dengan kesadaran diri, internal diri, termasuk
penghargaan, konsep diri, seksual dan makna hidup; berhubungan
dengan perintah yang terbesar atau kepercayaan.
3. Lingkungan: berkaitan dengan keadaan sekitarnya, kondisi-kondisi, dan
pengaruhnya.
4. Sosial: berkaitan dengan hubungan interpersonal, keluarga, dan sosial
Tindakan kenyamanan diartikan sebagai suatu intervensi keperawatan
yang didesain untuk memenuhi kebutuhan kenyamanan yang spesifik
dibutuhkan oleh penerima jasa, seperti fisiologis, sosial, finansial, psikologis,
spiritual, lingkungan, dan intervensi fisik.
Menurut Comfort Theory (CT) terdapat tiga tipe intervensi kenyamanan
yaitu, intervensi standar (tehchnical), coaching dan food for the soul.
1. Standart comfort intervention yaitu teknis pengukuran kenyamanan,
merupakan intervensi yang dibuat untuk mempertahankan homeostasis
dan mengontrol nyeri yang ada, seperti memantau tanda-tanda vital, hasil
kimia darah, juga termasuk pengobatan nyeri. Teknis tindakan ini
didesain untuk membantu mempertahankan atau mengembalikan fungsi
fisik dan kenyamanan, serta mencegah komplikasi.
2. Coaching (mengajarkan) meliputi intervensi yang didesain untuk
menurunkan kecemasan, memberikan informasi, harapan, mendengarkan
55
dan membantu perencanaan pemulihan (recovery) dan integrasi secara
realistis atau dalam menghadapi kematian dengan cara yang sesuai
dengan budayanya. Agar Coaching ini efektif, perlu dijadwalkan untuk
kesiapan pasien dalam menerima pengajaran baru.
3. Comfort food for the soul, meliputi intervensi yang menjadikan penguatan
dalam sesuatu hal yang tidak dapat dirasakan. Terapi untuk kenyamanan
psikologis meliputi pemijatan, adaptasi lingkungan yang meningkatkan
kedamaian dan ketenangan, guided imagery, terapi musik, mengenang,
dan lain lain. Saat ini perawat umumnya tidak memiliki waktu untuk
memberikan comfort food untuk jiwa (kenyamanan jiwa/psikologis), akan
tetapi tipe intervensi comfort tersebut difasilitasi oleh sebuah komitmen
oleh institusi terhadap perawatan kenyamanan.
Dalam Framework teori dari Kolcaba terdapat beberapa unsur yang
terkait satu dengan yang lain, yaitu : Health Care Needs; didefinisikan
sebagai kebutuhan-kebutuhan akan rasa nyaman yang muncul dari suatu
kondisi dimana sistem pemberian pelayanan kesehatan penuh dengan stress
dan tidak mampu didapatkan oleh penerima pelayanan. Termasuk
didalamnya adalah empat aspek kenyamanan yaitu Fisik, Psikospiritual,
Sosiokultural dan lingkungan. Comfort Intervention; didefinisikan sebagai
tindakan yang intens yag didesain secara spesifik untuk memenuhi kebutuhan
rasa nyaman dari resipent termasuk didalamnya empat aspek kenyamanan
yaitu Fisik, Psikospiritual, Sosiokultural dan lingkungan, dengan tiga tipe
intervensi kenyamanan yaitu tehnik (perawatan standard), coaching
56
(pembelajaran ) dan comfort food of the soul. Intervening Variables;
didefinisikan sebagai usaha interaksi yang mempengaruhi persepsi resipent
terhadap kenyamanan yang menyeluruh. Dalam hal ini termasuk variabel
pengalaman masa lalu, umur, sikap, tingkat emosi,support sistem, prognosis,
finansial, pendidikan, latar belakang budaya, dan seluruh elemen pengalaman
dari resipent. Comfort; secara tehnis didefinisikan sebagai suatu pengalaman
segera yang didapatkan ketika pasien membutuhkan bantuan, kemudahan dan
transendensi yang ditangani dalam empat konteks pengalaman. Hal ini
menjelasakan tentang adanya pengalaman yg cepat dari resipent dalam
mendapatkan intervensi kenyamanan.
Gambar 2.6 framework teori Katharine Kolcaba
Aplikasi comfort theory dalm penanganan mual muntah akibat
kemoterapi pada pasien kanker payudara dapat diuraikan bahwa untuk aspek
Health care need yaitu pasien kanker payudara memiliki kebutuhan rasa
nyaman selama prosedur kemoterapi, dimana reaksi mual muntah akibat
57
kemoterapi dapat berkurang bahkan mungkin dihilangkan. Aspek Nursing
Intervention yaitu terapi bekam kering untuk memberikan rasa nyaman pada
pasien., dengan tujuan untuk mengurangi dan menghilangkan reaksi mual
muntah akibat kemoterapi. Hajian, Mehrabi, Simbar, & Houshyari, (2017)
menyoroti pentingnya menangani program intervensi psikoonkologi untuk
mengatasi masalah yang belum terpenuhi dalam perawatan pyschososial dan
perawatan paliatif pasien yang menderita kanker payudara. Mual dan muntah
yang terjadi sesaat sebelum pemberian kemoterapi berikutnya karena
dipengaruhi oleh pengalaman buruk dari kemoterapi sebelumnya merupakan
intervening variables yang perlu diperhatikan dalam upaya untuk mencapai
rasa nyaman pada semua aspek dengan tingkatan relief, ease, dan
transcendence akan mendorong penurunan efek samping kemoterapi,
penurunan akan kebutuhan tindakan medis dan peningkatan kepuasan pasien
dan keluarga. Hal tersebut merupakan keluaran positif yang membawa
manfaat besar bagi rumah sakit.
Gambar 2.7. Kerangka teoritis
Aktivasi reseptor:
Neurokinin-I (NK-I) di Nucleus
tractus solitaries (NTS) pusat
Toksik (radikal bebas )
Serotonin (5-HT) berlebih Substansi P
OBAT KEMOTERAPI
sel enterochromaffin (melapisi mukosa Gastrointestinal)
melepaskan neurotransmitter:
Mengikat 5HT3 (Hydroxytriptamine) yang
ada di saraf vagal aferen di dekat saluran
gastrointestinal
Merangsang nervus vagus,
sehingga membawa sinyal dari
traktus gastrointestinal
Merangsang pusat muntah
dan CTZ
Merangsang impuls ke vagus, , saraf
spinal, pernapasan dan otot perut
REFLEKS MUAL DAN
MUNTAH AKUT
Melalui nervus aferen vagal,
Merangsang CTZ dan pusat
muntah
REFLEKS MUAL DAN
MUNTAH LAMBAT
BEKAM KERING DI TITIK
P6
Penurunan rangsang di CTZ
dan pusat muntah
MUAL DAN MUNTAH
MENURUN
Melemahkan / Mengurangi substansi kimia, mediator inflamasi
dan substansi nocireseptor ; pelepasan endhorpin memblok
impuls reseptor NK1, 5HT3 (Hydroxytriptamine) disaluran
gastrointestinal yang berikatan substansi P
Tekanan negatif pada permukaan kulit
dengan gelas
Membuat kulit terangkat (meningkatkan
viskoelastis alami pada kulit)
Tekanan lokal mengurangi bagian dalam
kulit yang terangkat
Peningkatan cairan interstitial pada kulit yang terangkat dan peningkatkan filtrasi
pada kapiler
Retensi cairan dibagian kulit yang
terangkat
KANKER PAYUDARA
comfort theory
Relief
Ease
Transendence
Intervensi comfort
Teknik mengukur kenyamanan
coaching
Comfort food of the soul
59
BAB III
KERANGKA KONSEPTUAL & HIPOTESISI PENELITIAN
Bab ini akan dibahas mengenai kerangka konsep penelitian, variabel
penelitian, defenisi operasional & kriteria objektif, dan hipotesis penelitian
A. Kerangka Konseptual Penelitian
Kerangka konsep penelitian yaitu suatu uraian dan visualisasi hubungan
atau kaitan antara konsep satu terhadap konsep yang lainnya ataupun variabel
yang satu dengan variabel yang lain dari masalah yang ingin diteliti
(Notoatmodjo, 2010 ).
Tujuan dalam penelitian ini adalah untuk melihat pengaruh bekam kering
terhadap mual muntah akibat kemoterapi pada pasien kanker payudara maka
Kerangka konsep dalam penelitian ini dapat dilihat sebagai berikut:
Gambar 3.1. Kerangka konsep
Mual muntah
post kemoterapi
Variabel Independen
Variabel Dependen
Mual muntah
post kemoterapi
Variabel Independen
Variabel Dependen
Variabel Perancu:
1.Emetogenisitas obat kemoterapi
2.Siklus kemoterapi
3.Status gizi
Bekam kering
pada titik P6
Terapi
antiemetik
Mual muntah
post kemoterapi
Variabel Independen
Variabel Dependen
Bekam kering
pada titik TE 5
Terapi
antiemetik
60
Keterangan:
: Variabel Independen
: Variabel Dependen
: Variabel Perancu
B. Variabel Penelitian
1. Variabel Independen
Variabel independen atau variabel bebas merupakan variabel yang
mempengaruhi atau yang menjadi sebab perubahannya atau timbulnya
variabel dependen (Grove, Burns, & Jennifer, 2013). Variabel
independen dalam penelitian ini yaitu terapi bekam kering.
2. Variabel dependen
Variabel dependen atau sering disebut variabel terikat merupakan
variabel yang dipengaruhi atau yang menjadi akibat karena adanya
variabel bebas (Sugiyono, 2016).Variabel dependen dalam penelitian ini
yaitu skor mual muntah pada baseline (saat pasien masuk rawat inap);
30 menit pre kemoterapi dan 12 jam post kemoterapi sesudah dilakukan
terapi bekam kering pada titik p6 yang diperoleh dari durasi mual,
muntah.
3. Variabel Perancu
Variabel perancu (confounding variable) merupakan distorsi dalam
menaksir pengaruh variabel independen terhadap variabel dependen,
akibat dari tercampurnya pengaruh sebuah atau beberapa variabel lain
61
(Dharma, 2011). Variabel yang mejadi perancu yaitu emetogenisitas
obat kemoterapi, siklus kemoterapi dan status gizi.
C. Defenisi Operasional & Kriteria Objektif
Tabel 3.1 Tabel defenisi operasional & kriteria objektif
Variabel Definisi Operasional Cara
Pengukuran
Hasil Ukur Skala
Penguk
uran
Variabel independen
Bekam kering
titik P6
Peneliti menghisap
permukaan kulit tanpa
mengeluarkan darah di
titik perikardium 6.
Pemberian bekam kering
dilakukan 6 jam pre
kemoterapi lalu saat
obat kemoterapi
dimasukkan dan 6 jam
setelah kemoterapi.
Sesuai dengan
prosedur bekam
kering dengan
membekam
selama tujuh menit
di titik P6 dengan
terapis yang sudah
ikut pelatihan
bekam yang
tersertifikasi dan
menggunakan alat
bekam dengan
merek standart
Kang zhu ukuran
kop diamater 2,4
cm.
1. Kelompok
intervensi
titik P6
2. Kelompok
kontrol
titik TE 5
Nominal
Variabel dependen
Mual Muntah Ungkapan pasien berupa
munculnya sensasi atau
perasaan yang tidak
menyenangkan di
belakang tenggerokan
dan epigastrium yang
diikuti dengan adanya
pengeluaran isi lambung
akibat pemberian
kemoterapi dalam satu
hari
Pengukuran dilakukan
pada: baseline; 30 menit
pre kemoterapi; dan 12
jam post kemoterapi .
Instrumen Skala
Rhodes INVR
Skor mual
muntah
merupakan
penjumlahan
skor dari 8
pertanyaan
tentang mual
muntah yang
berkisar dari
0-32.
Tidak ada: 0
Ringan: 1-8
Sedang: 9-16
Berat: 17-24
Sangat berat:
24-32
Interval
Variabel Perancu
Emetogenisitas
agen
Penggolongan obat
kemoterapi yang
Penggolongan
emetogenisitas
1. Emetogen
isitas
Ordinal
62
D. Hipotesis Penelitian
Hipotesisi penelitian ini yaitu bekam kering pada titik P6 dapat
mengurangi mual muntah pada pasien kanker payudara yang menjalani
kemoterapi.
kemoterapi diresepkan oleh dokter
yang digunakan sebagai
pembunuh sel kanker
berdasarkan potensi
yang mengakibatkan
mual muntah
agen kemoterapi
mengacu pada
standarNational
Comprehensive
Cancer Network
(NCCN) tahun
2007
minimal
(kurang
dari 10 %)
2. Emetogen
isitas
rendah
(10-30 %)
3. Emetogen
isits
sedang
(30-90%)
4. Emetogen
isitas
tinggi
(lebih dari
90 %)
Siklus
kemoterapi
Serangkaian pemberian
kemoterapi yang tidak
terputus sampai dosis
yang diresepkan habis
Peneliti mengisi
format data
demografi melalui
studi dokumentasi
- Nilai dalam
frekuensi
Rasio
Status gizi
Status gizi berdasarkan
SGA (Subjective Global
Assessment) dengan
SGA A (gizi baik):
tidak ada penurunan
berat badan, asupan gizi
baik, tidak ada jaringan
subkutan yang hilang.
SGA B (malnutrisi
sedang) dan C
(malnutrisi berat) :
penurunan berat badan,
asupan gizi yang kurang,
hilangnya jaringan
subkutan.
Peneliti mengkaji
riwayat pasien dan
mengkaji aspek
fisik pasien
Dikategorika
n ke dalam:
1. SGA
A:Sstatus
gizi baik
2. SGA
B&C :
Status gizi
malnutrisi
Ordinal
63
BAB IV
METODOLOGI PENELITIAN
A. Desain Penelitian
Penelitian ini merupakan penelitian kuantitatif dengan desain quasi
experimental pre-post with control group yaitu terdiri dari kelompok
intervensi yang menerima perlakuan dan kelompok kontrol sebagai
pembanding. Kedua kelompok masing-masing mendapatkan pengobatan
standar. Quasi eksperimental dikembangkan untuk memberikan cara
alternatif dalam menemukan hubungan sebab akibat / kausalitas (Grove et al.,
2013). Desain penelitian ini akan dilakukan pre test dan post test pada
kelompok intervensi dan kelompok kontrol dan diambil berulangkali pada
subjek yang sama dan akan diukur skor mual muntah pada baseline (saat
pasien masuk rawat inap), 30 menit pre kemoterapi, serta 12 jam post
kemoterapi. .
Adapun desain penelitian dapat digambarkan seperti berikut ini :
Gambar 4.1. Kerangka penelitian
Ket. :
A1 : Responden kelompok intervensi yang mengikuti pre test
A2 : Responden kelompok kontrol yang mengikuti pre test
Y1 : Intervensi pemberian bekam kering di titik P6
Y0 : Intervensi pemberian bekam kering di titik TE 5
Kelompok intervensi
Kelompok kontrol
Y1 A1 B1
A2 Y0 B2
64
B1 : Responden kelompok intervensi yang mengikuti post test
B2 : Responden kelompok kontrol yang mengikuti post test
(Sugiyono, 2013).
B. Tempat dan Waktu Penelitian
1. Tempat Penelitian
Penelitian ini dilakukan di ruang kemoterapi RS Universitas Hasanuddin
dan RSUP Wahidin Sudirohusodo.
2. Waktu Penelitian
Penelitian ini dilakukan pada bulan Agustus-September 2017.
C. Populasi dan Sampel
1. Populasi
Populasi dalam penelitian ini yaitu seluruh pasien kanker payudara yang
menjalani kemoterapi di RS Universitas Hasanuddin dan RSUP Wahidin
Sudirohusodo Makassar.
2. Sampel
Sampel adalah bagian dari jumlah dan karakteristik yang dimiliki oleh
populasi tersebut (Sugiyono, 2013). Sampel dalam penelitian ini adalah
penderita kanker payudara yang menjalani kemoterapi dan mengalami
mual muntah akibat kemoterapi. Pengambilan sampel dilakukan secara
terpilih sesuai dengan kriteria inklusi sampai mencukupi jumlah sampel
yang tersedia. Penentuan sampel dalam penelitian ini berdasarkan power
analysis Jacob Cohen (1992) yang menjelaskan bahwa untuk menguji
perbedaan mean antar dua kelompok dengan power 80 % dan α=0,05 dan
65
effect size large, maka diperlukan jumlah sampel untuk setiap kelompok
sebesar 26 orang. Namun untuk mencegah kejadian drop out maka
peneliti akan merekrut sebesar 30 responden untuk setiap kelompok,
Sehingga jumlah keseluruhan sampel yaitu 60 responden untuk semua
kelompok. Sampel penelitian yang diambil memenuhi kriteria inklusi dan
eksklusi sebagai berikut:
a. Kriteria Inklusi
1) Perempuan yang berusia ≥ 18 Tahun
2) Pasien kanker payudara yang menjalani kemoterapi
3) Riwayat mengalami mual dan muntah
b. Kriteria eksklusi
1) Riwayat konsumsi alkohol
2) Riwayat merokok
3) Terdapat luka robek atau lecet pada lokasi titik pericardium 6
4) Belum pernah kemoterapi
5) Penderita kanker saluran pencernaan, hati & pankreas
D. Teknik Sampling
Teknik sampling yang digunakan dalam penelitian ini menggunakan cara
non probability sampling jenis consecutive sampling yaitu semua pasien yang
dirawat pada penelitian dan memenuhi kriteria inklusi akan dimasukkan
dalam penelitian sampai kurun waktu tertentu sehingga jumlah sampel
terpenuhi (Dahlan, 2014).
66
E. Instrumen, Metode &Prosedur Pengumpulan Data
1. Instrumen Penelitian
a. Instrumen karakteristik responden
Merupakan instrument untuk mendapatkan gambaran data demografi
responden yang terdiri dari : usia, pekerjaan, jenis obat kemoterapi,
siklus kemoterapi, riwayat penyakit lainnya. Bentuk pertanyaan yang
diajukan dalam kuesioner adalah pertanyaan terbuka.
b. Instrumen pemberian bekam kering
Instrument yang digunakan untuk pemberian bekam kering adalah
lembar observasi selama pelaksanaan intervensi yaitu pada fase
antisipatori dan akut (6 jam pre kemoterapi, saat kemoterapi, serta 6
jam post kemoterapi. Alat bekam yang digunakan yaitu merk standart
Kang Zhu dengan ukuran kop berdiameter 2,4 cm.
c. Instrumen pengukuran mual muntah
Instrument yang digunakan untuk mengukur mual muntah adalah
Rhodes Index of Nausea, Vomiting and Retching (RINVR) dengan 8 point
pertanyaan dan instrumen yang dipakai dalam penelitian ini sudah
melewati uji realibilitas dan validitas (Kim et al., 2007 dan Rukayah,
2013). Realibilitas berkaitan dengan konsistensi metode pengukuran
sedangkan validitas instrumen adalah penentuan seberapa baik
instrumen mencerminkan konsep abstrak yang diperiksa (Grove et al.,
2015).
67
2. Metode & Prosedur Pengumpulan Data
a. Metode dan prosedur pelaksanaan bekam kering
Pelaksanaan bekam kering dilakukan pada pasien dengan kanker
payudara yang dimasukkan dalam kelompok intervensi berdasarkan
kriteria inklusi serta mendapatkan kemoterapi siklus kedua pada fase
antisipatori yaitu 6 jam pre kemoterapi, saat kemoterapi dan pada fase
akut yaitu pada 6 jam post kemoterapi dan digunakan lembar
observasi sebagai daftar kontrol pelaksanaan bekam kering.
Pengukuran kelompok intervensi dilakukan sebelum (pre-test) dan
setelah (post-test) perlakuan dengan tetap mendapatkan terapi
antimetik sedangkan kelompok kontrol diberikan asuhan keperawatan
yang sesuai dengan SOP serta tetap mendapatkan terapi antiemetik
namun terapi bekam kering dilakukan pada titik TE 5. Setelah
perlakuan dilakukan, maka peneliti akan memberikan terapi bekam
kering pada titik P6 setelah pelaksanaan penelitian selesai pada
kelompok kontrol.
Adapun langkah-langkah pelaksanaan bekam kering adalah
sebagai berikut :
1) Siapkan alat bekam yang sudah disterilkan
2) Cuci tangan
3) Atur posisi pasien dalam posisi berbaring yang nyaman di tempat
tidur
68
4) Pada kelompok intervensi tentukan titik bekam pada perikardium 6
yaitu dengan cara letakkan 3 jari pasien di daerah distal
pergelangan tangan b a g i a n d a l a m antara dua tendon.
Gambar 4.2 Titik pericardium 6 (PC 6)
5) Pada kelompok kontrol tentukan titik bekam pada Tri Energizer
(TE) 5 / Sanjiao (SJ) 5 yaitu dengan cara letakkan 3 jari pasien di
atas punggung pergelangan tangan segaris jari tengah.
Gambar 4.3 Titik Tri Energizer (TE) 5 / Sanjiao (SJ) 5
69
6) Pilih gelas bekam (cup) dengan ukuran diameter 2, 4 cm.
7) Pijat bagian yang akan dibekam dengan oleskan minyak zaitun
atau minyak selama lebih kurang 5 menit.
8) Pompa gelas bekam dengan piston pada posisi yang dikehendaki
sebanyak 2-3 kali tarikan untuk memberikan tekanan negatif (60-
100 mmHg) , atau sampai piston tidak dapat ditarik lagi.
9) Biarkan selama 7 menit (bagi wanita).
10) Lepas gelas bekam dan pijat kembali dengan minyak zaitun selama
2-3 menit untuk menghilangkan bercak-bercak hitam atau blister.
11) Perhatikan respon pasien selama proses proses terapi berlangsung
12) Rapikan pasien dan cuci tangan
b. Metode dan prosedur pelaksanaan pengukuran mual muntah
Pengukuran efek kemoterapi dengan mual muntah dilakukan
sebelum dan setelah perlakuan pada kelompok intervensi maupun
kontrol dengan menggunakan kuesioner Rhodes Index of Nausea,
Vomiting and Retching sebanyak 8 pertanyaan dengan rentang nilainya
adalah 0-32 yang terdiri dari aspek mual (pada pertanyaan nomor 4, 5
dan 7) dan aspek muntah (pada pertanyaan nomor 1,2, 3, 6 dan 8).
Pengambilan data menggunakan kuesioner Rhodes dilakukan
setelah responden bersedia menjadi sampel dalam penelitian, peneliti
melakukan wawancara kepada responden untuk mengisi kuesioner
Rhodes yaitu baseline, 30 menit pre kemoterapi, dan 12 jam post
kemoterapi. Setelah itu satu kelompok diberikan intervensi bekam
kering pada titik P6 selama 7 menit, Sedangkan kelompok kontrol
70
diberikan intervensi bekam kering pada titik TE 5 selama 7 menit,
peneliti melakukan wawancara kepada responden untuk mengukur
skala rhodes pada baseline, 30 menit pre kemoterapi, dan 12 jam post
kemoterapi.
Gambar 4.4. Pemberian terapi bekam kering dan perhitungan Rhodes
INVR pada kelompok kontrol dan kelompok bekam kering
Waktu
Keterangan:
: Pengukuran Mual Muntah dengan Kuisioner Rhodes
: Dilakukan terapi bekam kering di titik P6
: Dilakukan Terapi bekam Kering di titik TE 5
: Terapi antiemetik
Terapi antiemetik
Baseline
Saat masuk rawat inap
6 jam pre kemoterapi
30 menit pre kemoterapi
Saat kemoterapi
12 jam post kemoterapi
6 jam post kemoterapi
Kelompok
kontrol (TE 5)
Kelompok Bekam
Kering (P6)
Pengukuran Rhodes
INVR
Terapi Bekam Kering
Pengukuran Rhodes
INVR
Terapi Bekam Kering
Pengukuran Rhodes INVR
Terapi Bekam kering
71
F. Teknik Pengolahan dan Analisa Data
1. Pengolahan data
a. Editing
Editing dilakukan untuk memeriksa validitas data yang masuk.
Kegiatan ini terdiri dari pemeriksaan atas kelengkapan pengisian
kuesioner dan alat ukur, langkah-langkah yang dilakukan adalah
sebagai berikut:
1) Memeriksa kelengkapan data
2) Memeriksa kesinambungan data
3) Memeriksa keseragaman data
b. Scoring
Scoring merupakan pemberian nilai pada data sesuai dengan skor
yang telah ditentukan berdasarkan kuesioner yang tersusun.
c. Entry data
Entry data dilakukan untuk memasukkan data yang telah dibersihkan
ke alat elektronik, yaitu komputer dengan menggunakan program
komputer. Data dimasukkan dari lembar kuesioner ke dalam master
table di micrososft exel. Kemudian pada mesin pengolah data
(SPSS), membuat nama untuk setiap variable pada “ variable view”
lalu selanjutnya pada “data view” masukan data sesuai dengan nama
pada variabel yang telah dibuat.
d. Recording variables
Pada variable view setiap kategorik dilakukan koding di value label sesuai
dengan kriteria objektif pada defenisi operasional (Kinnear & Gray, 2010).
72
2. Analisa data
a. Analisis univariat
Analisis univariat dilakukan untuk mendeskripsikan setiap variable
yang diteliti dalam penelitian yaitu dengan melihat semua distribusi
data dalam penelitian. Analisis menggunakan SPSS18 digunakan
untuk menganalisis variabel yang bersifat kategorik (nominal dan
ordinal) yaitu bekam kering, mual muntah, emetogenesitas agen
kemoterapi dan status gizi. Data kategorik menggunakan frekuensi dan
persentasi.
Data karakteristik responden setiap kelompok yang dilakukan
analisis univariat dengan hasil analisis data numerik (interval dan
rasio) yaitu siklus kemoterapi disajikan dalam bentuk nilai mean,
median, standar deviasi, nilai minimum maksimum.
b. Analisis Bivariat
Analisis bivariat digunakan untuk menyatakan analisis terhadap
dua variable, yaitu satu variabel bebas dan satu variabel terikat.
Analisis ini digunakan untuk melihat perbedaan antara nilai yang
diharapkan dengan nilai yang diamati. Untuk mengetahui rerata skor
mual muntah pada setiap waktu pengukuran antara kelompok terapi
bekam kering dan kelompok kontrol berdasarkan karakteristik
responden. Uji bivariat yang digunakan adalah uji Repeated Measure
ANCOVA, dengan syarat memenuhi asumsi untuk uji tersebut.
73
G. Etika Penelitian
Peneliti menggunakan pertimbangan etik berdasarkan pedoman Nasional
Etik Penelitian Kesehatan (PNEPK) tahun 2004 yang disampaikan dalam
rapat kerja 1 Komisi Nasional Etik Penelitian Kesehatan. PNEPK ini terdiri
atas tiga prinsip etik yaitu menghormati seseorang (respect for person),
kemanfaatan (beneficence), dan keadilan (justice). Tujuan dari pertimbangan
etik ini adalah untuk menjamin kesejahteraan responden, menghormati dan
melindungi kehidupan, kesehatan, keluasan pribadi, serta martabat responden
(Loedin, 2003)
1. Menghormati seseorang (respect for person)
Prinsip etik menghormati seseorang disebut juga prinsip menghomati
kebebasan (autonomy) responden. Peneliti menerapkan prinsip otonomi
dengan cara memberikan Informed Consent. Polit, Beck dan Hungler
(2001, dalam Streubert & Carpenter, 2003) menjelaskan bahwa informed
consent diberikan agar responden sudah mendapatkan informasi yang
adekuat tentang penelitian, mampu memahami informasi yang diberikan
dan memiliki kemampuan untuk memilih apakah akan berpartisipasi atau
tidak dalam penelitian. Proses informed consent ini akan melindungi
partisipan dan peneliti dari exploitative (Rachmawaty, 2017)
Peneliti memberikan kesempatan dan kebebasan kepada responden
untuk menentukan apakah bersedia atau tidak menjadi responden dan
peneliti akan menghargai dan menghormati keputusan tersebut. Dalam
menjalankan prinsip otonomi ini, peneliti menjelaskan apa yang akan
diteliti, tujuan penelitin, manfaat penelitian, hak-hak responden selama
74
mengikuti penelitian. Jika responden bersedia, peneliti menyerahkan
lembar informed consent dan meminta calon responden untuk
menandatangani sebagai bukti kesediaan menjadi responden dalam
penelitian.
2. Kemanfaatan (beneficence)
Beneficence berarti menghindari bahaya dan melakukan yang baik
kepada responden. Prinsip beneficence pada penelitian mengharuskan
peneliti menerapkan confidentiality atau anonymity. Polit et.al, (2001,
dalam Streubert & Carpenter, 2003) menjelaskan bahwa confidentiality
pada responden menjamin bahwa informasi yang diberikan oleh
responden tidak akan dipublikasikan, kecuali hanya untuk kepentingan
penelitian. Penelitian akan memberikan manfaat pada klien yaitu dalam
hal ini responden mendapatkan terapi bekam kering yang memberikan
manfaat untuk mengurangi mual muntah setelah kemoterapi.
3. Keadilan (justice)
Penelitian ini dilakukan secara jujur, adil, tepat, cermat, hati – hati
dan professional (Dharma, 2011). Justice harus ditegakkan pada
partisipan untuk memastikan bahwa penelitian tidak exploitative dan
bermanfaat pada partisipan (Rachmawaty, 2017). Prinsip keadilan dalam
penelitian ini yaitu untuk kelompok intervensi diberikan terapi bekam
kering pada titik p6, sedangkan kelompok kontrol diberikan perlakuan
dengan terapi pemberian obat emetic dan bekam kering di titik TE 5 (tiga
jari dari punggung pergelangan tangan segaris jari tengah). Responden
pada kelompok kontrol akan diajarkan teknik penekanan di titik P6 untuk
bias dilakukan secara mandiri setelah penelitian selesai yaitu sebelum
75
pasien pulang ke rumah. Setelah dilaksanakannya ujian proposal, peneliti
mengajukan izin ke komite etik Fakultas Kedokteran Universitas
Hasanuddin lalu izin penelitian diajukan ke komite etik di RSP UH dan
RSUP DR. Wahidin Sudirohusodo untuk disetujui dilakukannya
penelitian.
H. Alur Penelitian
Pasien kemoterapi
kanker payudara
Penentuan sampel
Pengumpulan data
Sampel penelitian yang memenuhi kriteria
Kelompok kontrol (terapi bekam
kering di titik TE 5)
Kelompok intervensi
(terapi bekam kering di titik P6)
Baseline
Saat pasien masuk rawat inap
Pengukuran Rhodes
12 jam post kemoterapi
Pengukuran Rhodes
Baseline
Saat pasien masuk rawat inap
Pengukuran Rhodes
Analisis data:
- Univariat: Mean, SD, Minimal,maksimal, frekuensi, persentasi
- Bivariat: Uji repated measure ANCOVA
6 jam pre kemoterapi
(Terapi bekam kering P6)
30 menit pre kemoterapi
(Pengukuran Rhodes)
)
Saat kemoterapi
(Terapi bekam kering P6)
)
12 jam post kemoterapi
Pengukuran Rhodes
6 jam pre kemoterapi
(Terapi bekam kering TE 5)
30 menit pre kemoterapi
(Pengukuran Rhodes)
)
Saat kemoterapi
(Terapi bekam kering TE 5)
)
Penelitian selesai
( Edukasi terapi mandiri titik P6)
)
76
BAB V
HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN
A. Hasil Penelitian
Penelitian ini dilakukan terhadap 60 responden yaitu pasien kanker
payudara yang mendapat kemoterapi di RSUP Dr. Wahidin Sudirohusodo dan
RS Universitas hasanuddin Makassar. Responden dibagi ke dalam dua
kelompok; 30 responden sebagai kelompok intervensi yaitu yang dilakukan
terapi bekam kering pada titik P6 dan 30 responden sebagai kelompok kontrol
yaitu dilakukan terapi bekam kering pada titik TE 5. Di RSUP Dr. Wahidin
Sudirohusodo didapatkan sebanyak 53 responden; 28 responden dalam
kelompok intervensi dan 29 dalam kelompok kontrol. Sementara di RS
Universitas Hasanuddin Makassar hanya didapatkan 3 responden; 2
responden untuk kelompok intervensi dan 1 responden untuk kelompok
kontrol. Berikut ini disampaikan hasil penelitian yang meliputi analisis
univariat dan uji bivariate yaitu Repeated Measure ANCOVA. Analisis
univariat meliputi karakteristik responden diantaranya data demografi, dan
riwayat kesehatan. Analisis bivariate digunakan untuk mengetahui pengaruh
terapi bekam kering terhadap penurunan mual muntah .
Karakteristik responden yang termasuk karakteristik demografi
berdasarkan umur, pendidikan, pekerjaan dan riwayat pernikahan untuk
masing-masing kelompok kontrol dan intervensi digambarkan pada Tabel
5.1. Tabel 5.1 menunjukkan sebaran distribusi frekuensi karakteristik
responden kanker payudara yang menjalani kemoterapi di RSUP Dr. Wahidin
Sudirohusodo dan RS Univesitas Hasanuddin Makassar. Data tersebut
77
menunjukkan bahwa rata-rata umur responden yang menjadi sampel pada
kelompok intervensi adalah 45 tahun sedangkan kelompok kontrol adalah 46
tahun. Tingkat pendidikan terbanyak pada kelompok intervensi yaitu
Perguruan Tinggi (30%) dan pada kelompok kontrol yaitu tingkat SD dan
SMA (30%). Pekerjaan terbanyak pada kedua kelompok yaitu IRT, baik untuk
kelompok intervensi (60%) dan kontrol (63,3%). Sebagian besar (86,7%)
responden untuk kedua kelompok telah menikah, dan sisanya belum menikah
(13,3%).
Tabel 5.1 Distribusi Frekuensi Demografi Responden di RSUP Dr. Wahidin
Sudirohusodo dan RS Universitas Hasanuddin Makassar (n=60).
Variabel
Kelompok Intervensi
/bekam kering titik
P6 (n=30)
Kelompok Kontrol
/ bekam kering
titik TE5 (n=30)
P value
Umur
Mean (SD) 45.57 (9.111) 46.80 (9.072) 0,3005Ϯ
Min-Max 23-69 20-62
Tingkat Pendidikan
Tidak Sekolah 1 (3,3%) 1 (3,3%)
SD 7 (23,3 %) 9 (30%) 0,38ϮϮ
SMP 5 (16,7%) 3 (10%)
SMA 8 (26,7%) 9 (30%)
Perguruan Tinggi 9 (30%) 8 (26,7%)
Pekerjaan
PNS 3 (10%) 5 (16,7%) 0,34ϮϮ
Wiraswasta 8 (26,7%) 4 (13,3%)
IRT 18 (60%) 19 (63,3%)
Tidak Bekerja 1 (3,3%) 2 (6,7%)
Riwayat Pernikahan
Menikah 26 (86,7%) 26 (86,7%) 0,647 ϮϮϮ
Belum menikah 4 (13,3%) 4 (13,3%)
78
ϮUji independent t test ,
ϮϮUji Mann-Whitney
ϮϮϮ Fisher's Exact Test
Hasil uji statistik pada semua data demografi menunjukkan tidak ada
perbedaan yang bermakna antara kelompok intervensi dan kelompok kontrol
(P > 0,05) yang berarti semua karakteristik yang dijadikan sampel penelitian
adalah homogen.
Karakteristik responden berdasarkan status klinis dapat dilihat pada tabel
5.2. yaitu indeks massa tubuh (IMT), lama menderita, siklus kemoterapi,
riwayat KB, stadium kanker, status kemoterapi, emetogenisitas obat
kemoterapi, jenis antiemetik, siklus kemoterapi, dan status gizi.
Tabel 5.2 Distribusi frekuensi karakteristik status klinis responden di RSUP Dr.
Wahidin Sudirohusodo dan RS Universitas Hasanuddin Makassar (n: 60)
Variabel Kelompok
Intervensi (n=30)
Kelompok
Kontrol (n=30)
P
Value
Indeks Massa Tubuh (IMT)
Mean (SD) 24,8 (4,19) 22,86 (3,80) 0,325Ϯ
Min-Max 17,80-32,89 17,26-32,80
Lama Menderita (bulan)
Mean (SD) 23,20 (16,55) 22,77 (22,06) 0,466 Ϯ
Min-Max 5-60 1-120
Siklus kemoterapi
Mean (SD) 3,80 (1,955) 2,97 (2,428) 0,0745Ϯ
Min-Max 1-10 1-14
Riwayat KB
Ya 17 (56,7%) 12 (40%) 0,098 ϮϮ
Tidak 13 (43,3%) 18 (60%)
Stadium Kanker
Stadium I (Lanjutan) 0 (0%) 3 (10%) 0,138ϮϮϮ
79
Stadium II 1 (3,3%) 2 (6,7%)
Stadium III A 2 (6,7%) 0 (0%)
Stadium III B 14 (46,7%) 13 (43,3%)
Stadium III C 6 (20%) 3 (10%)
Stadium IV 7 (23,3%) 9 (30%)
Status kemoterapi
Neoadjuvant 14 (46,7%) 17 (56,7%) 0,219ϮϮ
Adjuvant 16 (53,3%) 13 (43,3%)
Emetogenisitas obat kemoterapi
Emetogenisitas minimal - -
Emetogenisitas rendah 7 (23,3%) 8 (26,7%) 0,276ϮϮ
Emetogenisitas sedang 13 (43,3%) 9 (30%)
Emetogenisitas tinggi 10 (33,3%) 13 (43,3%)
Jenis antiemetik
Indeks terapi tinggi 30 (100%) 30 (100%) 1 ϮϮ
Indeks terapi rendah - -
Status Gizi
SGA A (Gizi Baik) 11 (36,7%) 13 (43,3%) 0,299 ϮϮ
SGA B&C (Gizi Kurang /
malnutrisi)
19 (63,3%) 17 (56,7%)
Ϯ Uji independent t test,, Ϯ Ϯ Chi-Square, ϮϮϮ
Uji Mann-Whitney
Tabel 5.2 menunjukkan Indeks massa tubuh pada kelompok intervensi
rata-rata 24,8 sedangkan kelompok kontrol 22,86. Responden pada
kelompok intervensi sebagian besar menderita kanker payudara selama
23,2 bulan sedangkan pada kelompok kontrol telah menderita kanker
payudara selama 22,77 bulan. Adapun untuk karakteristik siklus
kemoterapi, responden pada kelompok intervensi rata-rata menjalani siklus
ketiga (3,80) sedangkan untuk kelompok kontrol rata-rata siklus kedua
80
(2,97). Riwayat penggunaan obat kontrasepsi / KB pada kelompok
intervensi lebih tinggi (56,7 %) dibandingkan kelompok kontrol yang lebih
banyak responden yang tidak menggunakan KB (60%). Stadium kanker
pada kedua kelompok yaitu stadium III B baik kelompok intervesi (46,7%)
dan kelompok kontrol (43,3%). Status kemoterapi untuk kelompok
intervensi lebih banyak yang adjuvant (53,3%) dimana responden
mendapatkan terapi kemoterapi sebagai terapi tambahan setelah dilakukan
pembedahan. Sedangkan kelompok kontrol lebih banyak pasien dengan
status kemoterapi neoadjuvant (56,7%) dimana pemberian kemoterapi
merupakan terapi yang diberikan sebelum dilakukan pembedahan.
Pada karakteristik emetogenisitas obat kemoterapi, hampir sebagian
responden di kelompok intervensi menggunakan kemoterapi dengan
potensi emetik sedang (43,3%), sedangkan sebagian responden di
kelompok kontrol menggunakan kemoterapi dengan potensi emetik tinggi
(43,3%). Dilihat dari karakteristik jenis antiemetik, semua responden pada
kedua kelompok menggunakan indeks terapi tinggi (100%).. Status gizi
berdasarkan SGA (Subjective Global Assessment) pada kedua kelompok
lebih banyak yang mengalami status gizi kurang / malnutrisi baik pada
kelompok intervensi (63,3%) dan kontrol (56,7%). Hasil uji statistik pada
variable penelitian menunjukkan tidak ada perbedaan yang bermakna
antara kelompok intervensi dan kelompok kontrol (p > 0,05) yang berarti
semua variabel penelitian pada kedua kelompok adalah homogen.
81
1. Perbedaan skor mual muntah sepanjang pengukuran mulai dari
baseline, 30 menit pre kemoterapi sampai 12 jam post kemoterapi
setelah mengontrol siklus kemoterapi berdasarkan kelompok
Perbedaan skor mual muntah sepanjang pengukuran mulai dari
baseline, 30 menit pre kemoterapi sampai 12 jam post kemoterapi setelah
mengontrol siklus kemoterapi berdasarkan kelompok dapat dilihat pada
tabel 5.3. Tabel 5.3 menunjukan tidak ada perbedaan yang signifikan
(p=0,687) pada skor mual muntah sepanjang pengukuran setelah
mengontrol siklus kemoterapi berdasarkan kelompok dengan power yang
rendah yaitu 0,91 %.
Tabel 5.3 Perbedaan skor mual muntah sepanjang pengukuran mulai dari
baseline, 30 menit pre kemoterapi sampai 12 jam post kemoterapi
setelah mengontrol siklus kemoterapi berdasarkan kelompok (n: 60)
Waktu Kelompok
(Mean Mual muntah)
P value Power
Bekam kering
Titik P6
(Intervensi)
Bekam kering
Titik TE 5
(kontrol)
Baseline 9.986 9.453
30 menit pre kemoterapi 1.574 0.820 0,687Ϯ
0,091
12 jam post kemoterapi 1.952 2.517
ϮUji Repeated Measure ANCOVA
Tabel 5.3 juga menunjukkan nilai rata-rata skor mual muntah sepanjang
pengukuran dimulai dari baseline, 30 menit pre kemoterapi sampai 12 jam
post kemoterapi berdasarkan kelompok setelah mengontrol siklus kemoterapi,
didapatkan nilai rata-rata skor mual muntah responden berbeda sepanjang
pengukuran. Pada kelompok intervensi mengalami penurunan skor mual
muntah dari baseline ke pengukuran 30 menit pre kemoterapi sebesar 8,412
82
sedangkan kelompok kontrol mengalami penurunan skor mual muntah dari
baseline ke pengukuran 30 menit pre kemoterapi sebesar 8,633. kemudian
nilai mean meningkat pada pengukuran 12 jam post kemoterapi pada kedua
kelompok. Kelompok intervensi mengalami peningkatan skor mual muntah
sebesar 0,378 sedangkan kelompok kontrol mengalami peningkatan skor mual
muntah sebesar 1,697.
2. Perbedaan skor mual muntah sepanjang pengukuran mulai dari
baseline, 30 menit pre kemoterapi sampai 12 jam post kemoterapi
setelah mengontrol siklus kemoterapi dalam setiap kelompok
berdasarkan emetogenisitas obat kemoterapi
Perbedaan skor mual muntah sepanjang pengukuran mulai dari
baseline, 30 menit pre kemoterapi sampai 12 jam post kemoterapi setelah
mengontrol siklus kemoterapi dalam setiap kelompok berdasarkan jenis
obat sitostatik dapat dilihat pada tabel 5.4. Tabel 5.4 menunjukan tidak ada
perbedaan yang signifikan pada skor mual muntah sepanjang pengukuran
setelah mengontrol siklus kemoterapi dalam setiap kelompok berdasarkan
jenis obat sitostatik (p=0,289) dengan power 33,5%.
83
Tabel 5.4 Perbedaan skor mual muntah sepanjang pengukuran mulai dari
baseline, 30 menit pre kemoterapi sampai 12 jam post kemoterapi
setelah mengontrol siklus kemoterapi dalam setiap kelompok
berdasarkan emetogenisitas obat kemoterapi (n: 60)
Waktu
Mean skor mual muntah
Kelompok
P value
Power
Bekam kering
Titik P6 (Intervensi)
Bekam kering
Titik TE 5 (kontrol)
Emetogen
esitas
Rendah
Emetogen
isitas
Sedang
Emetogen
esitas
Tinggi
Emetog
enesitas
Rendah
Emetog
enisitas
Sedang
Emetog
enesitas
Tinggi
Baseline 10,896 12,939 6,122 12,436 7,043 8,879
30 menit
pre kemo 1,082 1,837 1,803 0,490 0,007 1,964 0,289
Ϯ
0,335
12 jam
post kemo 0,615 4,952 0,289 0,031 1,646 5,874
ϮUji Repeated Measure ANCOVA
Tabel 5.4 juga menunjukkan nilai rata-rata skor mual muntah
sepanjang pengukuran baseline, 30 menit sebelum kemoterapi, 12 jam
post kemoterapi dalam setiap kelompok berdasarkan jenis obat sitostatik
setelah mengontrol siklus kemoterapi. Nilai rata-rata skor mual muntah
responden berbeda sepanjang pengukuran. Responden pada kelompok
intervensi dan kontrol baik yang mendapatkan emetogenisitas rendah,
sedang dan emetogenisitas tinggi, semuanya mengalami penurunan mean
skor mual muntah dari baseline ke pegukuran 30 menit pre kemoterapi.
Responden pada pengukuran 12 jam post kemoterapi untuk kelompok
intervensi terjadi penurunan mean skor mual muntah yang mendapatkan
emetogenisitas rendah (o,467) dan emetogenisitas tinggi (1,514),
sedangkan pada emetogenisitas sedang terjadi peningkatan sebesar 3,115.
Adapun untuk kelompok kontrol terjadi penurunan mean skor mual
muntah pada pengukuran 12 jam post kemoterapi yang mendapatkan
84
emetogenisitas rendah sebesar 0,459. Sedangkan pada emetogenisitas
sedang dan tinggi terjadi peningkatan mean skor mual muntah sebesar
1,639 dan 3,91. Untuk melihat lebih jelas perbedaan rerata skor mual muntah
sepanjang pengukuran dalam setiap kelompok intervensi dan kelompok
kontrol setelah mengontrol siklus kemoterapi berdasarkan emetogenisitas obat
kemoterapi dapat dilihat pada grafik point tujuh.
3. Perbedaan skor mual muntah sepanjang pengukuran mulai dari
baseline, 30 menit pre kemoterapi sampai 12 jam post kemoterapi
setelah mengontrol siklus kemoterapi dalam setiap kelompok
berdasarkan status gizi
Tabel 5.5 menunjukan tidak ada perbedaan yang signifikan pada
skor mual muntah sepanjang pengukuran setelah mengontrol siklus
kemoterapi dalam setiap kelompok berdasarkan status gizi (p=0,295)
dengan power 23,5%.
Tabel 5.5 Perbedaan skor mual muntah sepanjang pengukuran mulai dari
baseline, 30 menit pre kemoterapi sampai 12 jam post kemoterapi
setelah mengontrol siklus kemoterapi dalam setiap kelompok
berdasarkan status gizi (n: 60)
Waktu
Mean skor mual muntah berdasarkan status gizi
kelompok
P value
Power Bekam kering
Titik P6 (Intervensi)
Bekam kering
Titik TE 5 (kontrol)
SGA A
(Baik)
SGA B & C
(Gizi kurang/
malnutrisi)
SGA A
(Baik)
SGA B & C
(Gizi kurang/
malnutrisi)
Baseline 9,67 10,487 7,021 11,008
30 menit
pre kemo
2,276 1,295 1,719 0,413 0,295 Ϯ 0,235
12 jam
post kemo
2,702 2,268 4,639 1.758
ϮUji Repeated Measure ANCOVA
85
Tabel 5.5 juga menunjukkan nilai rata-rata skor mual muntah
sepanjang pengukuran baseline, 30 menit sebelum kemoterapi, 12 jam
post kemoterapi dalam setiap kelompok berdasarkan status gizi setelah
mengontrol siklus kemoterapi. Nilai rata-rata skor mual muntah
responden berbeda sepanjang pengukuran. Responden pada kelompok
intervensi dengan status gizi kurang / malnutrisi rata-rata skor mual
muntah pada baseline lebih tinggi (10,487) dibandingkan responden
dengan status gizi baik (9,67). Begitu juga dengan kelompok kontrol
dengan status gizi kurang / malnutrisi, rata-rata skor mual muntah pada
baseline lebih tinggi (11,008) dibandingkan responden dengan status gizi
baik (7,021).
Responden pada kelompok intervensi dan kontrol dengan status gizi
baik dan kurang / malnutrisi, semuanya mengalami penurunan mean skor
mual muntah dari baseline ke pegukuran 30 menit pre kemoterapi.
Sedangkan responden pada pengukuran 12 jam post kemoterapi untuk
kelompok intervensi dan kontrol terjadi peningkatan mean skor mual
muntah pada gizi baik dan gizi kurang / malnutrisi. Untuk melihat lebih
jelas perbedaan rerata skor mual muntah sepanjang pengukuran dalam
setiap kelompok intervensi dan kelompok kontrol setelah mengontrol
siklus kemoterapi berdasarkan jenis obat sitostatik dapat dilihat pada
grafik point (7).
86
4. Perbedaan skor mual muntah setelah mengontrol siklus kemoterapi
antara kelompok intervensi dan kelompok kontrol
Perbedaan skor mual muntah setelah mengontrol siklus kemoterapi
antara kelompok intervensi dan kelompok kontrol dapat dilihat pada tabel 5.5.
Tabel 5.5 menunjukan tidak ada perbedaan yang signifikan nilai rata-rata skor
mual muntah setelah mengontrol siklus kemoterapi antara kelompok
intervensi dan kelompok kontrol (p=0,814) dengan power 0,5%.
Tabel 5.6 Perbedaan skor mual muntah setelah mengontrol siklus kemoterapi
antara kelompok intervensi dan kelompok kontrol (n: 60)
Kelompok Mean P value Power
Bekam kering Titik P6
(Intervensi)
4,782
0,814 Ϯ
0,056 Bekam kering Titik TE 5
(kontrol)
4,426
ϮUji Repeated Measure ANCOVA
Tabel 5.6 menunjukkan bahwa rata-rata skor mual muntah antara
kelompok kontrol dan kelompok intervensi setelah mengontrol siklus memilki
rerata yang tidak jauh berbeda. Perbedaan nilai rerata skor mual muntah
antara kelompok intervensi dan kelompok kontrol adalah 0,356, secara klinis
skor rerata mual muntah pada kelompok kontrol lebih rendah dibanding skor
rerata mual muntah pada kelompok intervensi.
5. Perbedaan skor mual muntah setelah mengontrol siklus kemoterapi
antara kelompok intervensi dan kelompok kontrol berdasarkan
emetogenisitas obat kemoterapi
Perbedaan skor mual muntah setelah mengontrol siklus kemoterapi
antara kelompok intervensi dan kelompok kontrol berdasarkan jenis
87
emetogenisitas kemoterapi dapat dilihat pada tabel 5.6. Tabel 5.6
menunjukan ada perbedaan yang signifikan skor mual muntah setelah
mengontrol siklus kemoterapi antara kelompok intervensi dan kelompok
kontrol berdasarkan jenis obat sitostatik (p=0,022) dengan power 70%.
Tabel 5.7 Perbedaan skor mual muntah setelah mengontrol siklus kemoterapi
dalam setiap kelompok berdasarkan jenis emetogenisitas obat
kemoterapi (n: 60)
Mean skor mual muntah
Kelompok berdasarkan emetogenisitas obat
kemoterapi (n: 60)
P value
Power Bekam kering
Titik P6 (Intervensi)
Bekam kering
Titik TE 5 (kontrol)
Emetogen
esitas
Rendah
Emetogen
isitas
Sedang
Emetogen
esitas
Tinggi
Emetog
enesitas
Rendah
Emetog
enisitas
Sedang
Emetog
enesitas
Tinggi
4,198 6,576 2,738 4,319 2,899 5,573 0,222 0,701
ϮUji Repeated Measure ANCOVA
Tabel 5.7 juga menunjukkan perbedaan rerata skor mual muntah
setelah mengontrol siklus kemoterapi antara kelompok intervensi dan
kelompok kontrol berdasarkan jenis emetogenisitas obat kemoterapi.
Terdapat perbedan nilai rata-rata skor mual muntah antara responden yang
mendapatkan jenis obat sitostatik emetogenik rendah, sedang dan tinggi
pada kedua kelompok. Responden pada kelompok intervensi yang
mendapatkan emetogenik rendah memiliki nilai rata-rata skor mual
muntah yang lebih rendah dibandingkan dengan responden yang
mendapatkan emetogenik rendah pada kelompok kontrol, dengan
perbedaan rerata skor mual muntah 0,121. Pada kelompok intervensi yang
mendapatkan emetogenik sedang memiliki nilai rata-rata skor mual
muntah lebih tinggi dibandingkan dengan rata-rata skor mual muntah
jenis obat sitostatik emetogenik sedang pada kelompok kontrol dengan
88
perbedaan rerata skor mual muntah 3,677. Adapun pada kelompok
intervensi yang mendapatkan emetogenisitas tinggi memiliki nilai rata-rata
skor mual muntah lebih rendah dibandingkan dengan kelompok kontrol
dengan perbedaan rerata skor mual muntah 2,835. Berdasarkan seluruh
jenis emetogenik pada jenis obat sitostatik, responden pada kelompok
intervensi memiliki rerata skor mual muntah yang lebih rendah dibanding
rerata skor mual muntah pada kelompok kontrol pada emetogenisitas
rendah dan tinggi.
6. Perbedaan skor mual muntah setelah mengontrol siklus kemoterapi
antara kelompok intervensi dan kelompok kontrol berdasarkan status
gizi
Tabel 5.8 menunjukan tidak ada perbedaan yang signifikan skor
mual muntah setelah mengontrol status gizi antara kelompok intervensi
dan kelompok kontrol berdasarkan jenis obat sitostatik (p=0,95) dengan
power 0,5%.
Tabel 5.8 Perbedaan skor mual muntah setelah mengontrol siklus kemoterapi
dalam setiap kelompok berdasarkan status gizi (n: 60)
ϮUji Repeated Measure ANCOVA
Tabel 5.8 juga menunjukkan perbedaan rerata skor mual muntah setelah
mengontrol siklus kemoterapi antara kelompok intervensi dan kelompok
Mean skor mual muntah berdasarkan status gizi
kelompok
P value
Power Bekam kering
Titik P6 (Intervensi)
Bekam kering
Titik TE 5 (kontrol)
SGA A
(Baik)
SGA B & C
(Gizi kurang/
malnutrisi)
SGA A
(Baik)
SGA B & C
(Gizi kurang/
malnutrisi)
4,882 4,683 4,460 4,393 0,95 0,05
89
kontrol berdasarkan status gizi. Nilai rata-rata skor mual muntah antara
responden dengan status gizi baik (SGA A) lebih tinggi dibandingkan
dengan status gizi kurang / malnutrisi (SGA B & C) baik pada kelompok
intervensi maupun kelompok kontrol.
7. Grafik
a. perbedaan mual muntah sepanjang pengukuran dimulai dari
baseline, 30 menit pre kemoterapi sampai 12 jam post kemoterapi
dalam setiap kelompok berdasarkan jenis obat sitostatik
emetogenik rendah setelah mengontrol siklus kemoterapi
Setelah mengontrol siklus kemoterapi nilai rerata skor mual
muntah sepanjang pengukuran dimulai dari baseline, 30 menit pre
kemoterapi, 12 jam post kemoterapi dalam setiap kelompok intervensi
dan kelompok kontrol yang mendapatkan emetogenik rendah dapat
digambarkan pada grafik 5.1.
Grafik 5.1 Perbedaan mual muntah sepanjang pengukuran dimulai dari
baseline, 30 menit pre kemoterapi sampai 12 jam post kemoterapi
dalam setiap kelompok berdasarkan jenis emetogenisitas obat
kemoterapi (emetogenik rendah) setelah mengontrol siklus
kemoterapi
Baseline 12 jam 30 menit
90
Rerata skor mual muntah baik pada kelompok intervensi dan
kontrol terjadi penurunan dari baseline ke 30 menit pre kemoterapi dan
pada 12 jam post kemoterapi. Namun penurunan rerata skor mual
muntah yang dialami kelompok kontrol lebih rendah dibandingkan
dengan kelompok intervensi.
b. Grafik perbedaan mual muntah sepanjang pengukuran dimulai
dari baseline, 30 menit pre kemoterapi sampai 12 jam post
kemoterapi dalam setiap kelompok berdasarkan jenis
emetogenisitas obat kemoterapi dengan emetogenik sedang setelah
mengontrol siklus kemoterapi
Grafik 5.2 Perbedaan mual muntah sepanjang pengukuran dimulai dari
baseline, 30 menit pre kemoterapi sampai 12 jam post kemoterapi
dalam setiap kelompok berdasarkan jenis emetogenisitas obat
kemoterapi (emetogenik sedang) setelah mengontrol siklus
kemoterapi
Baseline 12 jam 30 menit
91
Pada kelompok intervensi dan kontrol terjadi penurunan rerata
skor mual muntah dari baseline ke 30 menit pre kemoterapi kemudian
mengalami peningkatan rerata skor mual muntah yang signifikan pada
12 jam post kemoterapi. Peningkatan skor mual muntah pada
kelompok intervensi lebih tinggi dibandingkan dengan kelompok
kontrol.
c. Grafik perbedaan mual muntah sepanjang pengukuran dimulai
dari baseline, 30 menit pre kemoterapi sampai 12 jam post
kemoterapi dalam setiap kelompok berdasarkan jenis
emetogenisitas obat kemoterapi dengan emetogenik tinggi setelah
mengontrol siklus kemoterapi
Grafik 5.3 Perbedaan mual muntah sepanjang pengukuran dimulai dari
baseline, 30 menit pre kemoterapi sampai 12 jam post kemoterapi
dalam setiap kelompok berdasarkan jenis emetogenisitas obat
kemoterapi (emetogenik tinggi) setelah mengontrol siklus
kemoterapi
Baseline 12 jam 30 menit
92
Grafik 5.3 menunjukan bahwa pada kelompok intevensi terjadi
penurunan rerata skor mual muntah dari baseline ke 30 menit pre
kemoterapi dan pada 12 jam post kemoterapi yang signifikan.
Sedangkan pada kelompok kontrol mengalami penurunan rerata skor
mual muntah yang dari baseline ke 30 menit pre kemoterapi kemudian
terjadi peningkatan rerata skor mual muntah yang signifikan pada 12
jam post kemoterapi.
d. Grafik perbedaan mual muntah sepanjang pengukuran dimulai
dari baseline, 30 menit pre kemoterapi sampai 12 jam post
kemoterapi dalam setiap kelompok berdasarkan status gizi baik
(SGA A) setelah mengontrol siklus kemoterapi
Setelah mengontrol siklus kemoterapi nilai rerata skor mual
muntah sepanjang pengukuran dimulai dari baseline, 30 menit pre
kemoterapi, 12 jam post kemoterapi dalam setiap kelompok intervensi
dan kelompok kontroldengan status gizi baik dapat digambarkan pada
grafik 5.4.
Rerata skor mual muntah pada kelompok intervensi dan kontrol
terjadi penurunan dari baseline ke 30 menit pre kemoterapi. Pada 12
jam post kemoterapi kedua kelompok terjadi peningkatan skor mual
muntah. Namun peningkatan rerata skor mual muntah yang dialami
kelompok kontrol lebih tinggi dibandingkan dengan kelompok
intervensi.
93
Grafik 5.4 Perbedaan mual muntah sepanjang pengukuran dimulai dari
baseline, 30 menit pre kemoterapi sampai 12 jam post kemoterapi
dalam setiap kelompok berdasarkan status gizi baik setelah
mengontrol siklus kemoterapi
e. Grafik perbedaan mual muntah sepanjang pengukuran dimulai
dari baseline, 30 menit pre kemoterapi sampai 12 jam post
kemoterapi dalam setiap kelompok berdasarkan status gizi
kurang / malnutrisi setelah mengontrol siklus kemoterapi
Pada kelompok intervensi dan kontrol terjadi penurunan rerata
skor mual muntah dari baseline ke 30 menit pre kemoterapi kemudian
mengalami peningkatan rerata skor mual muntah yang signifikan pada
12 jam post kemoterapi. Peningkatan skor mual muntah pada
kelompok intervensi lebih tinggi dibandingkan dengan kelompok
kontrol
Baseline 12 jam 30 menit
94
Grafik 5.5 Perbedaan mual muntah sepanjang pengukuran dimulai dari
baseline, 30 menit pre kemoterapi sampai 12 jam post kemoterapi
dalam setiap kelompok berdasarkan status gizi kurang / malnutrsi
setelah mengontrol siklus kemoterapi
B. Pembahasan
Pada bagian ini akan menjelaskan tentang pembahasan dan diskusi
tentang hasil-hasil penelitian dan membandingkan hasil penelitian ini dengan
penelitian sebelumnya atau teori-teori yang mendukung atau berlawanan
dengan temuan baru. Pembahasan akan membahas tentang hasil analisis uji
beda rata-rata masing-masing variabel setelah mengontrol siklus kemoterapi.
Pada siklus kemoterapi responden, secara klinis terdapat perbedaan siklus
kemoterapi pada kedua kelompok, dimana responden pada kelompok
intervensi rata-rata menjalankan kemoterapi pada siklus ke tiga sedangkan
responden pada kelompok kontrol menjalankan kemoterapi pada siklus ke
Baseline 12 jam 30 menit
95
dua. Pada penelitian ini menjelaskan bahwa siklus kemoterapi sebagai variabel
potensial perancu seharusnya dikontrol karena siklus kemoterapi
mempengaruhi mual muntah pasien yang mendapatkan kemoterapi. Grunberg
& Ireland (2005) yang mengatakan bahwa mual muntah akibat kemoterapi
dipengaruhi oleh siklus kemoterapi, semakin tinggi siklus kemoterapi
biasanya mual muntah semakin hebat.
Bagian akhir dari bab ini akan membahas keterbatasan penelitian,
implikasi dan tindak lanjut hasil penelitian yang dapat diterapkan dan
diaplikasikan pada praktik keperawatan dalam rangka meningkatkan kualitas
asuhan keperawatan pada pasien yang mengalami mual muntah akibat
kemoterapi.
1. Perbedaan skor mual muntah sepanjang pengukuran dimulai dari
baseline, 30 menit pre kemoterapi, 12 jam post kemoterapi setelah
mengontrol siklus kemoterapi berdasarkan kelompok.
Setelah mengontrol siklus kemoterapi yang merupakan variable
confounding/ variabel perancu didapatkan tidak ada perbedaan yang
signifikan pada skor mual muntah sepanjang pengukuran dimulai dari
baseline, 30 menit pre kemoterapi, 12 jam post kemoterapi setelah
mengontrol siklus kemoterapi berdasarkan kelompok. Tetapi secara klinis
skor mual muntah pada kelompok intervensi dan kontrol mengalami
penurunan skor mual muntah dari pengukuran baseline ke pengukuran 30
menit pre kemoterapi, sedangkan pada 12 jam post kemoterapi kedua
kelompok mengalami peningkatan rerata skor mual muntah tetapi pada
kelompok kontrol lebih tinggi dibandingkan kelompok intervensi.
96
Peneliti dapat menyimpulkan bahwa terapi bekam kering pada titik p6
yang diberikan pada kelompok intervensi disertai dengan penggunaan
antiemetik dapat mengurangi skor mual muntah anticipatory pada
kelompok intervensi, sama halnya dengan kelompok kontrol yang
diberikan bekam kering pada titik TE5 dengan penggunaan antiemetik.
Selanjutnya skor mual muntah pada kelompok intervensi dan kelompok
kontrol mengalami peningkatan rerata skor mual muntah dari pengukuran
30 menit pre kemoterapi ke pengukuran 12 jam post kemoterapi. Namun
peningkatan rerata skor mual muntah pada kelompok kontrol lebih tinggi
dibanding kelompok intervensi. Peningkatan mual muntah di pengukuran
12 jam post kemoterapi terjadi karena responden telah mendapatkan obat
sitostatik yang efek sampingnya telah dirasakan. Kategori mual muntah
yang terjadi pada pengukuran ini adalah mual muntah akut. Hal ini sejalan
dengan penelitian Suh (2012) yang menemukan 92% dan 51% responden
masing-masing melaporkan mual dan muntah akut meskipun sudah
menggunakan antiemetik regimen terbaru.
Menurut pandangan peneliti, hasil penelitian ini menunjukkan bahwa
bekam kering pada titik P6 yang dilakukan mampu menurunkan skor mual
muntah anticipatory dan mual muntah akut secara klinis pada responden
yang mengalami mual muntah akibat kemoterapi. Sehingga peneliti dapat
menyimpulkan bahwa bekam kering dititik P6 merupakan intervensi yang
bisa menurunkan mual muntah pada pasien kanker yang mendapat
kemoterapi. Pandangan peneliti ini sesuai dengan temuan pada penelitian
Farhadi et al., (2016) yang menemukan bahwa pemberian bekam kering
97
pada titik P6 dapat mencegah timbulnya mual, muntah, setelah operasi
kolesistektomi laparoskopi. Bekam kering memiliki dampak yang
signifikan terhadap PONV (post op nausea vomiting) pada kelompok
intervensi dibandingkan dengan kelompok kontrol. Penelitian lain yang
dilakukan oleh Suh, 2012 juga menunjukkan bahwa akupresur pada titik
P6 lebih efektif dalam mengurangi mual muntah baik akut atau lambat. Hal
ini terjadi karena bekam kering pada titik P6 memberikan efek terapi bagi
tubuh. Stimulasi berupa pengekopan yang dilakukan pada titik P6 diyakini
dapat menurunkan mual muntah, karena dapat memperbaiki aliran energi di
lambung sehingga dapat mengurangi gangguan pada lambung termasuk
mual muntah. Selain alasan tersebut, stimulasi titik P6 dapat merangsang
pengeluaran beta endorphin di hipofise, beta endorphin merupakan salah
satu antiemetik alami yang dapat menurunkan impuls mual dan muntah di
chemoreseptor trigger zone dan pusat muntah.
Hasil penelitian ini yaitu secara klinis ada perbedaan skor mual
muntah pada baseline, 30 menit pre kemoterapi dan 12 jam post kemoterapi
setelah mengontrol siklus kemoterapi berdasarkan kelompok.
2. Perbedaan skor mual muntah sepanjang pengukuran dimulai dari
baseline, 30 menit pre kemoterapi, 12 jam post kemoterapi setelah
mengontrol siklus kemoterapi dalam setiap kelompok berdasarkan
jenis obat sitostatik.
Obat sitostatik atau kemoterapi berefek menghambat atau membunuh
semua sel yang sedang aktif membelah diri. Jadi, sel normal yang aktif
membelah atau berkembang biak juga terkena dampaknya, seperti sel akar
98
rambut, sel darah, sel selaput lendir mulut dan lain-lain. Pemberian obat
sitotoksika atau antikanker merupakan tindakan utama untuk
mengeliminasi sel-sel kanker dalam tubuh. Namun demikian penggunaan
antikanker ini sering menimbulkan efek samping yang sangat merugikans
bagi penderita. Salah satu efek samping antikanker yang sering muncul
adalah mual dan muntah (chemotherapy induce emesis. Mual dan muntah
pada pemberian sitotoksika merupakan gejala atau keluhan yang
menduduki peringkat I dan II pada pasien yang mendapat kemoterapi. Mual
dan muntah dialami sebanyak 60-80% pasien yang diberi kemoterapi
(Hesketh, 2008). Berat ringannya mual-muntah tergantung beberapa faktor
salah satu diantaranya adalah tingkat atau sifat emetogenik obat sitosatik.
Responden pada kelompok intervensi dan kontrol baik yang
mendapatkan emetogenisitas rendah, sedang dan emetogenisitas tinggi,
semuanya mengalami penurunan mean skor mual muntah dari baseline ke
pegukuran 30 menit pre kemoterapi. Responden pada pengukuran 12 jam
post kemoterapi untuk kelompok intervensi terjadi penurunan mean skor
mual muntah yang mendapatkan emetogenisitas rendah dan emetogenisitas
tinggi sedangkan pada emetogenisitas sedang terjadi peningkatan skor
mual muntah. Adapun untuk kelompok kontrol terjadi penurunan mean
skor mual muntah pada pengukuran 12 jam post kemoterapi yang
mendapatkan emetogenisitas rendah .Sedangkan pada emetogenisitas
sedang dan tinggi terjadi peningkatan mean skor mual muntah.
Setelah mengontrol siklus kemoterapi, ditemukan tidak ada perbedaan
yang signifikan rerata skor mual muntah pada baseline, 30 menit pre
99
kemoterapi, 12 jam post kemoterapi dalam setiap kelompok berdasarkan
jenis obat sitostatik. Pada kelompok intervensi pengukuran dari baseline ke
pengukuran 30 menit pre kemoterapi pada emetogenik rendah dan
emetogenik tinggi memiliki perbedaan rerata skor mual muntah lebih
rendah dibanding dengan perbedaan rerata dari baseline ke pengukuran 30
menit pre kemoterapi pada emetogenik rendah dan emetogenik tinggi pada
kelompok kontrol. Kemudian mengalami peningkatan mean skor mual
muntah pada pengukuran 12 jam post kemoterapi pada jenis obat sitostatik
emetogenik rendah dan emetogenik sedang dikedua kelompok, namun
peningkatan rerata skor mual muntah lebih tinggi terjadi pada kelompok
kontrol dibanding kelompok intervensi terutama emetogenik tinggi.
. Berdasarkan grafik pada hasil penelitian menunjukan perbedaan skor
mual muntah pada baseline, 30 menit pre kemoterapi dan 12 jam post
kemoterapi setelah mengontrol siklus kemoterapi diantara kelompok
berdasarkan jenis obat sitostatik emetogenik sedang, rendah dan tinggi.
Pada kelompok intervensi dan kelompok kontrol kejadian mual
muntah yang dari baseline sampai ke 30 menit pre kemoterapi yang
merupakan mual muntah anticipatory lebih rendah dibanding kejadian mual
muntah yang terjadi dari pengukuran 30 menit pre kemoterapi ke
pengukuran 12 jam setelah kemoterapi yang merupakan mual muntah akut.
Hasil penelitian ini sejalan dengan data dari penelitian Grunberg (2004)
menunjukan 50% mengalami muntah akut meskipun sudah menggunakan
antiemetik regimen terbaru.
Maka peneliti menyimpulkan bahwa terapi yang diberikan pada
100
kelompok intervensi yaitu terapi bekam kering di titik p6 disertai dengan
pemberian antiemetik efektif dalam menurunkan mual muntah akibat
kemoterapi dengan emetogenisitas tinggi. Setelah mengontrol siklus
kemoterapi, responden yang mendapatkan kemoterapi dengan
emetogenisitas tinggi ternyata rata-rata skor mual muntah pada kelompok
intervensi lebih rendah dibandingkan dengan kelompok kontrol, sehingga
terapi bekam kering pada titik p6 lebih efektif pada tingkat emetogenesitas
tinggi. Kesimpulan peneliti ini didukung oleh pernyataan Farhadi et al.,
(2016) yang mengatakan bahwa bekam kering merupakan salah satu
tindakan yang tepat dalam manajemen mual muntah.
Titik P6 yakni titik yang terletak dijalur meridian selaput jantung,
memiliki dua cabang yakni ke selaput jantung dan jantung, kemudian terus
ke bawah menembus diafragma dan melintasi lambung (Fengge, 2012).
Selanjutnya stimulasi pada titik tersebut mampu meningkatkan pelepasan
beta-endorphin di hipofise dan Adeno Cortico Tropic Hormone (ACTH)
sepanjang chemoreceptor trigger zone (CTZ) yang menghambat pusat
muntah (Tarcin ,1992 dalam (Perkins, Woeltje, & Angenent, 2010)).
3. Perbedaan skor mual muntah sepanjang pengukuran dimulai dari
baseline, 30 menit pre kemoterapi, 12 jam post kemoterapi setelah
mengontrol siklus kemoterapi dalam setiap kelompok berdasarkan
status gizi.
Setelah mengontrol siklus kemoterapi, ditemukan tidak ada
perbedaan yang signifikan rerata skor mual muntah pada baseline, 30
menit pre kemoterapi, 12 jam post kemoterapi dalam setiap kelompok
101
berdasarkan status gizi. Responden pada kelompok intervensi dengan
status gizi kurang / malnutrisi rata-rata skor mual muntah pada baseline
lebih tinggi dibandingkan responden dengan status gizi baik . Begitu juga
dengan kelompok kontrol dengan status gizi kurang / malnutrisi, rata-rata
skor mual muntah pada baseline lebih tinggi dibandingkan responden
dengan status gizi baik (7,021). Hal ini sejalan dengan penelitian yang
dilakukan oleh Vergara, Montoya, Luna, Amparo, & Cristal-Luna (2013),
menemukan bahwa status gizi berdasarkan SGA (Subjective Global
Assessment) pada pasien kanker yang menjalani kemoterapi berpengaruh
secara signifikan terhadap kejadian mual muntah. Kejadian rata-rata mual
muntah lebih tinggi pada SGA dengan skor C / malnutrisi (mean 45,24),
SGA B /gizi kurang (19,79) dibandingkan SGA A/ gizi baik (9,77).
Berdasarkan grafik pada hasil penelitian menunjukan perbedaan skor
mual muntah pada baseline, 30 menit pre kemoterapi dan 12 jam post
kemoterapi setelah mengontrol siklus kemoterapi diantara kelompok
berdasarkan status gizi baik dan status gizi kurang / malnutrisi. Responden
dengan status gizi baik menunjukkan bahwa peningkatan skor mual muntah
pada 12 jam postkemoterapi lebih rendah dibandingkan kelompok kontrol,
sehingga dapat disimpulkan bahwa bekam kering dititik P6 efektif untuk
mencegah peningkatan mual muntah pada responden dengan status gizi
baik.
4. Perbedaan skor mual muntah setelah mengontrol siklus kemoterapi
antara kelompok intervensi dan kelompok kontrol
Setelah mengontrol siklus kemoterapi rerata skor mual muntah anatara
102
kelompok intervensi dan kelompok kontrol tidak terdapat perbedaan yang
signifikan. . Rerata skor mual muntah pada kelompok intervensi lebih
tinggi daripada kelompok kontrol. Penelitian ini berbeda dengan penelitian
yang dilakukan Roscoe, et al (2013), penelitian dengan desain RCT
tersebut dilakukan pada 739 responden yang mendapatkan kemoterapi
karena kanker. Responden dibagi kedalam tiga kelompok yaitu kelompok
akupresur, kelompok akustimulasi dan kelompok plasebo. Hasil akhir
menunjukkan bahwa responden yang dilakukan akupresur pada titik P6
mengalami penurunan muntah akut yang signifikan dibandingkan dengan
kelompok akustimulasi dan kelompok placebo (p<0,005).
Teori gate kontrol menjelaskan bahwa perangsangan pada satu titik
akupoin pada suatu jalur meredian akan diteruskan oleh serabut A-Beta
berdiameter besar menuju saraf spinal yang kemudian dalam medulla
spinalis terdapat substansi gelatinosa bekerja sebagai “gate control”
sebelum diteruskan oleh serabut saraf aferen menuju sel-sel tranmisi, sel
tranmisi menyalurkan ke sistem saraf pusat dengan menurukan rasa
ketidaknyamanan rilaks, dan rasa mual menurun (Oktaviani, 2013).
Artika (2007) menyatakan bahwa pada tingkatan lokal stimulus
nosireseptif akan berubah menjadi impuls nosiseptif dengan melibatkan
beberapa substansi lokal yang memang dikeluarkan apabila terdapat
kerusakan jaringan. Pada tingkatan general, stimulasi pada titik perikardium
6 dapat mengaktifkan sistem modulasi pada sistem opioid sistem non
opioid dan inhibisi pada syaraf simpatik yang diharapkan akan terjadi
penurunan frekuensi mual. Terjadinya reaksi inflamasi lokal mampu
103
merangsang nitric oxide dalam tubuh yang dapat meningkatkan motilitas
usus sehingga diharapkan dapat menurunkan insiden mual dan frekuensi
muntah juga dapat dikurangi karena secara fisiologis muntah dapat terjadi
apabila mual tidak dapat ditoleransi, sehingga dengan adanya pemblokan
pada stimulasi mual maka rangsang mual tidak akan diteruskan menjadi
respon muntah.
Penelitian lain yang dilakukan oleh Molassiotis et al (2007) di Inggris.
Penelitian tersebut membandingkan mual dan muntah pada 36 responden
wanita yang mendapat kemoterapi karena kanker payudara. Responden
dibagi ke dalam dua kelompok yaitu kelompok eksperimen yang
mendapatkan akupresur pada titik P6 dan kelompok kontrol yang tidak
dilakukan akupresur. Hasil penelitian yang dilakukan Molassiotis, et al
(2007) menunjukkan bahwa terdapat angka pengalaman mual dan muntah
yang bermakna lebih rendah pada kelompok eksperimen dibanding dengan
kelompok kontrol. Hasil rerata pengalaman mual muntah pada kelompok
intervensi yaitu sebesar 1,53 dan pada kelompok kontrol sebesar 3,66 (p=
0,001; α= 0,05).
5. Perbedaan skor mual muntah setelah mengontrol siklus kemoterapi
antara kelompok intervensi dan kelompok kontrol berdasarkan jenis
obat sitostatik.
Setelah mengontrol siklus kemoterapi perbedaan rerata skor mual
muntah antara kelompok intervensi dan kelompok kontrol berdasarkan jenis
obat sitostatik terdapat perbedan nilai rata-rata skor mual muntah antara
responden yang mendapatkan jenis obat sitostatik emetogenik rendah,
104
sedang dan tinggi pada kedua kelompok.
Berdasarkan seluruh jenis emetogenik pada jenis obat sitostatik,
responden pada kelompok intervensi memiliki rerata skor mual muntah
yang lebih rendah dibanding rerata skor mual muntah pada kelompok
kontrol pada emetogenisitas rendah dan tinggi. Hasil peneltian ini sesuai
dengan penelitian yang dilakukan oleh Grunberg (2004) yaitu obat
sitostatik dengan emetogenik sedang seperti epirubisin dan vinblastin,
menyebabkan muntah sekitar 25-75% pasien, sedangkan antikanker
dengan emetogenik ringan seperti 5-fluorourasil (5FU), vinkristin,
siklofosfamid, dan metotreksat menyebabkan muntah kurang dari 25%
pasien sesudah kemoterapi diberikan. Menurut Grunberg (2004), jenis obat
sitostatik dengan emetogenik tinggi seperti cisplatin, dakarbazin,
daktinomisin, nitrogen mustard, prokarbazin, dan streptosin menyebabkan
muntah lebih dari 75% pasien yang menjalani kemoterapi. Hasil penelitian
ini mendukung hipotesis penelitian yaitu ada perbedaan skor mual muntah
setelah mengontrol siklus kemoterapi antara kelompok intervensi dan
kelompok kontrol berdasarkan jenis obat sitostatika pada tingkat
emetogenisitas rendah dan emetogenisitas tinggi.
C. Keterbatasan Penelitian
Penelitian ini telah diusahakan dan dilaksanakan sesuai dengan
prosedur ilmiah, namun demikian masih memiliki keterbatasan yaitu:
1. Tehnik pengambilan data dengan kuisioner Rhodes hanya bisa
mengukur mual muntah dalam jangka waktu tertentu, sementara terapi
105
bekam kering akan lebih efektif mencegah atau mengurangi mual
muntah pada saat sensasi mual muntah akan muncul atau sedang
terjadi.
2. Adanya keterbatasan penelitian dengan menggunakan kuesioner yaitu
terkadang jawaban yang diberikan oleh responden tidak menunjukkan
keadaan sesungguhnya dan besifat subjektif.
106
BAB VI
KESIMPULAN DAN SARAN
A. KESIMPULAN
Kesimpulan hasil penelitian dan uraian pembahasan adalah sebagai
berikut:
1. Secara statistik, tidak ada perbedaan skor mual muntah pada baseline, 30
menit pre kemoterapi (anticipatory) dan 12 jam post kemoterapi (akut)
setelah mengontrol siklus kemoterapi berdasarkan kelompok, jenis
emetogenisitas kemoterapi, dan status gizi.
2. Secara klinis ada perbedaan skor mual muntah pada kelompok intervensi
yang mendapatkan kemoterapi dengan emetogenisitas tinggi dibandingkan
dengan kelompok kontrol, dimana responden memiliki skor mual muntah
yang menurun secara signifikan dari 6,122 pada baseline ke 1,803 pada 30
menit pre kemoterapi dan menurun menjadi 0,289 pada 12 jam post
kemoterapi.
3. Secara klinis juga ditemukan ada perbedaan skor mual muntah pada
kelompok intervensi yang mendapatkan kemoterapi dengan status gizi
baik dibandingkan dengan kelompok kontrol, dimana responden memiliki
skor mual muntah yang menurun secara signifikan dari 9,67 pada baseline
ke 2,276 pada 30 menit pre kemoterapi dan meningkat sedikit menjadi
2,702 pada 12 jam post kemoterapi.
4. Terapi bekam kering pada titik P6 lebih efektif dalam menurunkan skor
mual muntah pada responden yang mendapatkan kemoterapi dengan jenis
emetogenesitas tinggi dan status gizi baik.
107
B. SARAN
Berdasarkan hasil penelitian, beberapa hal yang direkomendasikan antara lain:
1. Melakukan penelitian yang sama dengan menggunakan kuisioner yang
bisa mengukur tingkat mual muntah pasien kemoterapi tanpa jangka waktu
tertentu
2. Melakukan penelitian efektifitas bekam kering pada titik P6 pada pasien
yang mengalami mual muntah lambat.
3. Melakukan penelitian yang mampu menilai efektifitas bekam kering pada
titik p6 dengan menggunakan biomarker tertentu sehingga efek bekam
kering lebih jelas terlihat.
108
DAFTAR PUSTAKA
Aapro, M., Jordan, K., & Feyer, P. (2015). Pathophysiology of Chemotherapy
induced Nausea and Vomiting. Springer Healthcare. London: Springer
Healthcare. Retrieved from www.springerhealthcare.com
Akbarzade, M., Ghaemmaghami, M., Yazdanpanahi, Z., Zare, N.,
Mohagheghzadeh, A., & Azizi, A. (2016). Comparison of the effect of dry
cupping therapy and acupressure at BL23 point on intensity of postpartum
perineal pain based on the short form of McGill pain questionnaire. Journal
of Reproduction & Infertility, 17(1), 39–46.
Apóstolo, J. L. A., & Kolcaba, K. (2009). The Effects of Guided Imagery on
Comfort, Depression, Anxiety, and Stress Depressive Disorders. Archives of
Psychiatric Nursing, 0(0), 1–9. https://doi.org/10.1016/j.apnu.2008.12.003
Barak, F., Amoyal, M., & Kallchman, L. (2013). Using a simple diary for
management of nausea and vomiting during chemotherapy. Clinical Journal
of Oncology Nursing, 17(5), 479–482.
Barsadia, S., & Patel, K. (2006). Specialty pharma opportunities on cancer
spportive care: A look at antiemetic therapy. Specialtypharma, 2(3), 42–45.
Begg, C. B., Haile, R. W., Malone, K. E., Concannon, P., Thomas, D. C.,
Langholz, B., & Hummer, A. J. (2008). Variation of Breast Cancer Risk
Among BRCA1 / 2 Carriers. American Medical Association, 299(2), 194–
201. https://doi.org/10.1001/jama.2007.55-a
Bellenir, K. (2009). Bellenir, Karen, ed. Breast Cancer Sourcebook. Detroit, MI,
USA: Omnigraphics, 2009. ProQuest ebrary. Web. 16 March 2017.
Copyright © 2009. Omnigraphics. All rights reserved. In Breast Cancer
Sourcebook. (Third Edit, pp. 37–38). Detroit, MI, USA: Omnigraphics.
Bender, C. M., McDaniel, R. W., Ende, K. M., Picket, M., Rittenberg, C. N.,
Rogers, M. P., … Schwartz, R. N. (2002). Chemotherapy-induced nausea
and vomiting. Clinical Journal of Oncology Nursing, 6(2), 94–102.
Cavalieri, E., Chakravarti, D., Guttenplan, J., Hart, E., Ingle, J., Jankowiak, R., …
Sutter, T. (2006). Catechol estrogen quinones as initiators of breast and other
human cancers : Implications for biomarkers of susceptibility and cancer
prevention. Biochimica et Biophysica Acta, 1766(1), 63–78.
https://doi.org/10.1016/j.bbcan.2006.03.001
Chean, D. C., Zang, W. K., Lim, M., & Zulkefle, N. (2016). Health Related
Quality of Life ( HRQoL ) among Breast Cancer Patients Receiving
Chemotherapy in Hospital Melaka : Single Centre Experience. Asian Pacific
Journal of Cancer Prevention, 17, 5121–5126.
https://doi.org/10.22034/APJCP.2016.17.12.5121
Cheong, K. B., Zhang, J., Huang, Y., & Zhang, Z. (2013). The effectiveness of
acupuncture in prevention and treatment of postoperative nausea and
109
vomiting - a systematic review and meta-analysis. Plos One, 8(12), 1–18.
https://doi.org/10.1371/journal.pone.0082474
Cohen, L., De Moor, C. A., Eisenberg, P., Ming, E. E., & Hu, H. (2007).
Chemotherapy-induced nausea and vomiting - Incidence and impact on
patient quality of life at community oncology settings. Supportive Care in
Cancer, 15(5), 497–503. https://doi.org/10.1007/s00520-006-0173-z
Dahlan, M. S. (2014). Statistik : Untuk Kedokteran dan Kesehatan (6th ed.).
Jakarta: Epidemiologi Indonesia.
Dharma, K. K. (2011). Metodologi penelitian keperawatan : panduan
melaksanakan dan menerapkan hasil penelitian (Revisi). Jakarta: Trans Info
Media.
Dibble, S., Luce, I., Cooper, B. A., & Israel, J. (2007). Accupressure for
chemotherapy induced nausea and vomiting a randimized clinical trial.
Oncology Nursing Forum, 34(4).
Elnashar, A. T., Ali, E. M., & Gaber, A. (2011). The prognostic value of triple
negative in stage II / III breast cancer. Journal of Pharmacy Practice, 18(1),
68–75. https://doi.org/10.1177/1078155211398299
Farhadi, K., Choubsaz, M., Setayeshi, K., Kameli, M., Bazargan-Hejazi, S., Zadie,
Z. H., & Ahmadi, A. (2016). The effectiveness of dry-cupping in preventing
post-operative nausea and vomiting by P6 acupoint stimulation lengkap.
Medicine, 95 (38) se, e4770. https://doi.org/10.1097/MD.0000000000004770
Fengge, A. (2012). Terapi akupresur manfaat & teknik pengobatan. Yogyakarta:
Crop Cirlce Corp.
Firmana, D. (2017). Keperawatan kemoterapi. Jakarta: Salemba Medika.
Genç, A., Can, G., & Aydiner, A. (2013). The efficiency of the acupressure in
prevention of the chemotherapy-induced nausea and vomiting. Supportive
Care Cancer, 253–261. https://doi.org/10.1007/s00520-012-1519-3
Gozzo, T., Moyses, A., Silva, P., & Almeida, A. (2013). Nausea, vomiting and
quality of life in women with breast cancer receiving chemotherapy. Rev
Gaúcha Enferm, 34(6), 110.
Grove, S. K., Burns, N., & Jennifer, G. (2013). The practise of nursing research:
Appraisal, synthesis, and generation of evidence (7th ed.). St. Louis
Missouri: Elsevier Saunders.
Grove, S. K., Gray, J. R., & Burns, N. (2015). Understanding Nursing Research :
Building an Evidence -Based Practice. St. Louis Missouri: Saunders
Elsevier.
Grunberg, S. M. (2004). Chemotherapy induced nausea vomiting: Prevention,
detection and treatment-how are we doing? Tje Journal of Supportive
Oncology, 2(1), 1–12.
110
Hajian, S., Mehrabi, E., Simbar, M., & Houshyari, M. (2017). Coping strategies
and experiences in women with a primary breast cancer diagnosis. Asian
Pacific Journal of Cancer Prevention, 18, 215–224.
https://doi.org/10.22034/APJCP.2017.18.1.215
Hawkins, R., & Grunberg, S. (2009). Chemotherapy-induced nausea and
vomiting: Challenges and opportunities for improved patient outcomes.
Clinical Journal of Oncology Nursing, 13(1), 54–64.
Hesketh, P. J. (2008). Chemotherapy-Induced Nausea and Vomiting. The New
England Journal of Medicine, 358, 2482–2494. Retrieved from
www.nejm.org
Hilarius, D. L., Kloeg, P. H., Gundy, C. M., & Aaronson, N. K. (2012).
Chemotherapy-induced nausea and vomiting in daily clinical practice: A
community hospital-based study. Supportive Care Cancer, 20, 107–117.
https://doi.org/10.1007/s00520-010-1073-9
http://medicastore.com/penyakit/103/Kanker_Payudara.html. (2011). Kanker
Payudara. Retrieved March 17, 2017, from
http://medicastore.com/penyakit/103/Kanker_Payudara.html
Infodatin. (2016). Bulan peduli kanker payudara. Pusat Data Dan Informasi
Kementerian Kesehatan RI, 1–2. https://doi.org/ISSN 2442-7659
Jarde, T., Perrier, S., Vasson, M.-P., & Caldefie-Chezet, F. (2011). Molecular
mechanisms of leptin and adiponectin in breast cancer. European Journal of
Cancer, 47(1), 33 –43. https://doi.org/10.1016/j.ejca.2010.09.005
Jenelsins, M. C., Tejani, M., Kamen, C., Peoples, A., Mustian, K., & Morrow, G.
R. (2014). Current pharmacotherapy for chemotherapy induced nausea and
vomiting in cancer patiens, 14(6), 757–766.
https://doi.org/10.1517/14656566.2013.776541.Current
Jones, J. M., Bardia, A., Linquist, B., Wolf, S., & Loprinzi, C. L. (2011).
Antiemetics for chemotherapy-induced nausea and vomiting occurring
despite prophylactic antiemetic therapy. Journal of Palliative Medicine,
14(7), 810–814. https://doi.org/10.1089/jpm.2011.0058
Kasmui. (2011). Bekam, Pengobatan Menurut Sunnah Nabi. Semarang:
Komunitas Thibbun Nabawi “Isyfi.”
Kemenkes, K. (2008). Panduan Penatalaksanaan Kanker Payudara. Kementerian
Kesehatan Republik Indonesia. Retrieved from
https://books.google.co.id/books?id=56n7wtKMUPcC&pg=PA23&dq=peme
riksaan+payudara+sendiri&hl=id&sa=X&redir_esc=y#v=onepage&q=pemer
iksaan payudara sendiri&f=false
Kim, J., Lee, M. S., Lee, D., Boddy, K., & Ernst, E. (2011). Cupping for treating
pain : A systematic review. Evidence Based Complementary and Alternative
Medicine, 2011(January 2009), 7 pages. https://doi.org/10.1093/ecam/nep035
111
Kim, T. H., Choi, B. M., Chin, J. H., Lee, M. S., Kim, D. H., & Noh, G. J. (2007).
The reliability and validity of the rhodes index of Nausea , vomiting and
renching in postoperative nausea and vomiting, 52(6), 59–65.
Kinnear, P. R., & Gray, C. D. (2010). PAWS statistic 17 made simple (replaces
SPSS statistic 17). USA.
Kouros-Mehr, H., Kim, J., Bechis, S. K., & Werb, Z. (2009). GATA-3 and the
regulation of the mammary luminal cell fate Hosein. Curr Opin Cell Biol.,
20(2), 164–170. https://doi.org/10.1016/j.ceb.2008.02.003
Loedin, A. A. (2003). Pedoman nasional etik penelitian kesehatan. Retrieved from
www.knepk.litbang.depkes.go.id/2014/wp.../ped-nas-etik-feb-03.ppt
Mehta, P., & Dhapte, V. (2015). Cupping therapy: a prudent remedy for a plethora
of medical ailments. J Tradit Complement Med, 5, 127–34.
Molassiotis, A., Helin, A. M., Dabbour, R., & Hummerston, S. (2007). The effects
of P6 acupressure in the prophylaxis of chemotherapy-related nausea and
vomiting in breast cancer patients. Complementary Therapies in Medicine,
15, 2–12. https://doi.org/10.1016/j.ctim.2006.07.005
Molassiotis, A., Russell, W., Hughes, J., Breckons, M., Richardson, J., Hulme, C.,
… Garrow, A. (2013). The effectiveness and cost-effectiveness of
acupressure for the control and management of chemotherapy-related acute
and delayed nausea: Assessment of Nausea in Chemotherapy Research
(ANCHoR), a randomised controlled trial. National Institute for Health
Research, 17(26). https://doi.org/10.3310/hta17260
Nazari, M., Taghizadeh, A., Bazzaz, M. M., Rakhshandeh, H., & Shokri, S.
(2017). Effect of Persian medicine remedy on chemotherapy induced nausea
and vomiting in breast cancer: A double blind, randomized, crossover
clinical trial. Electronic Physician, 9(January), 3535–3543.
https://doi.org/http://dx.doi.org/10.19082/3535
NCCN. (2017). Breast Cancer. Washington. Retrieved from
www.nccn.org/about/disclosure.aspx
NICC. (2017). Guide to Chemotherapy. Retrieved March 28, 2017, from
www.cancer.gov/cancertopics/chemotherapy-and-you/page2
Oktaviani, R. (2013). Akupresur Zusanli (St36) dan Taibai (Sp3) untuk
Menurunkan Mual pada Pasien Dispepsia di RSUD Banyumas. Purwokerto.
Peoples, A. R., Roscoe, J. A., Block, R. C., Heckler, C. E., Ryan, J. L., Mustian,
K. M., … Dozier, A. M. (2016). Nausea and disturbed sleep as predictors of
cancer-related fatigue in breast cancer patients: a multicenter NCORP study.
Supportive Care in Cancer. https://doi.org/10.1007/s00520-016-3520-8
Perkins, S. D., Woeltje, K. F., & Angenent, L. T. (2010). International Journal of
Medical Microbiology Endotracheal tube biofilm inoculation of oral flora
112
and subsequent colonization of opportunistic pathogens. International
Journal of Medical Microbiology, 300(7), 503–511.
https://doi.org/10.1016/j.ijmm.2010.02.005
Price, S. A., & Wilson, L. M. (2006). Patofisiologi: Konsep klinis prosesproses
penyakit. (H. Hartanto, Ed.) (6th ed.). Jakarta: EGC.
Pusat-Data-dan-Informasi. (2015). Situasi penyakit kanker. Kementerian
Kesehatan RI, 2. Retrieved from www.pusdatin.kemkes.go.id
Rachmawaty, R. (2017). Ethical issues in action-oriented research in Indonesia.
Nursing Ethics, 24(6), 686–693. https://doi.org/10.1177/0969733016646156
Ridho, A. A. (2015). Bekam Sinergi. (T. . Layla, Ed.) (Penyempurn). Solo:
Aqwam.
Rukayah, S. (2013). Pengaruh terapi akupresur terhadap mual muntah lambat
akibat kemoterapi pada anak usia sekolah yang menderita kanker di RS
Kanker Dharmais Jakarta. Universitas Indonesia.
Samad, K., Afshan, G., & Kamal, R. (2003). Effect of acupressure on
postoperative nausea and vomiting in laparascopic cholecystectomy. Journal
Med Assoc, 53(2).
Saputra, K. (2012). Buku Ajar Biofisika Akupunktur dalam Konsep Kedokteran
Energi. Jakarta: Salemba Medika.
Siegel, R., Miller, K., & Jemal, A. (2016). Cancer statistics, 2016. CA: A Cancer
Journal for Clinicians, 66(1), 7–30. https://doi.org/10.3322/caac.21332
Smeltzer, S. C., & Bare, B. G. (2008). Buku ajar keperawatan medikal bedah. (E.
Pakaryaningsis & M. Ester, Eds.) (8th ed.). Jakarta: EGC.
Streubert, H. ., & Carpenter, D. . (2003). Qualitative research in nursing
advancing the humanistic imperative (Third edit). Philadelphia: Lipcott
Williams & Wilkins.
Sugiyono. (2013). Metode Penelitian Manajemen. Bandung: Alfabeta.
Sugiyono. (2016). Metode penelitian kuantitatif, kualitatif, dan R&D. Bandung:
Alfabeta.
Suh, E. E. (2012). The Effects of P6 A cupressure and Nurse-Provided Counseling
on Chemotherapy-Induced Nausea and Vomiting in Patients With Breast
Cancer. Oncology Nursing Forum, 39, 1–10.
Susetyowati, Yenita, & Kurnianda, J. (2010). Status gizi awal berdasarkan Patient
Generated Subjective Global Assessment ( PG-SGA ) berhubungan dengan
asupan zat gizi dan perubahan berat badan pada penderita kanker rawat di
RSUP DR. Mohammad Hoesin Palembang. Jurnal Gizi Klinik Indonesia,
7(2), 80–84.
113
Tarcin, O., Gurbuz, A., Pocan, S., Keskin, O., & Demirturj, L. (2004).
Accustimulation of the neiguan point during gastrocopy: its effect on nausea
and retching. The Turkish Journal of Gastroenterology, 15(4).
Tian, Z., Wei, B., Tang, F., Wei, W., Resetkova, E., Middleton, L., … Wu, Y.
(2011). Prognostic significance of tumor grading and staging in mammary
carcinomas with neuroendocrine differentiation. Human Pathology, 42(8),
1169–1177. https://doi.org/10.1016/j.humpath.2010.11.014
Umar, W. A. (2013). Sembuh dengan Satu Titik. Solo: Al-Qawam.
Vergara, N., Montoya, J. E., Luna, H. G., Amparo, J. R., & Cristal-Luna, G.
(2013). Quality of life and nutritional status among cancer patients on
chemotherapy. Oman Med J, 28(4), 270–274.
https://doi.org/10.5001/omj.2013.75
WHO. (2017). Globocan 2012 : Estimated Cancer Incidence, Mortality and
Prevalence Wordwide 2012. Retrieved April 24, 2017, from
http://globocan.iarc.fr/Pages/fact_sheets_population.aspx
World-Health-Rankings. (2014). BREAST CANCER DEATH RATE BY
COUNTRY. Retrieved from http://www.worldlifeexpectancy.com/world-
health-rankings
1
KEMENTERIAN RISET, TEKNOLOGI DAN PENDIDIKAN TINGGI UNIVERSITAS HASANUDDIN FAKULTAS KEDOKTERAN
KOMITE ETIK PENELITIAN KESEHATAN Sekretariat : Lantai 2 Gedung Laboratorium Terpadu
JL JL.PERINTIS KEMERDEKAAN KAMPUS TAMALANREA KM.10, Makassar 90245
Contact Person: dr. Agussalim Bukhari,M.Med, PhD, Sp.GK (HP. 081241850850), email: agussalimbukhari@ yahoo.com
Lampiran 1
LEMBAR PENJELASAN UNTUK RESPONDEN (Genap)
Assalamu’alaikum Warahmatullahi Wabarakatuh. Perkenalkan nama saya Rif’atunnisa. Saya adalah
Mahasiswa Program Studi Magister Ilmu Keperawatan Fakultas Kedokteran Universitas Hasanuddin, saat
ini sedang melakukan penelitian untuk Tesis dengan judul “Pengaruh Bekam Kering terhadap
Penurunan Mual Muntah Akibat Kemoterapi pada Pasien Kanker Payudara di RSUP Dr. Wahidin
Sudirohusodo dan Rumah Sakit Universitas Hasanuddin”.
Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengidentifikasi pengaruh terapi bekam kering terhadap mual
muntah akibat kemoterapi pada pasien kanker payudara yang pada akhirnya akan membantu dalam upaya
mengurangi salah satu efek samping kemoterapi yaitu mual muntah pada pasien kanker payudara sehingga
bisa meningkatkan kenyamanan dan kualitas hidup pasien.
Yang saya akan lakukan kepada ibu yaitu menanyakan tentang data–data riwayat kesehatan
bapak/ibu, melakukan beberapa pemeriksaan yaitu tinggi badan, berat badan . Selanjutnya pengukuran
skor mual muntah dengan mengisi kuisioner Rhodes dan diberikan terapi bekam kering.
Terapi bekam kering diberikan pada titik P6 (Pericardium 6) selama 7 menit pada 6 jam pre
kemoterapi, saat kemoterapi, dan 6 jam post kemoterapi. Kemudian melakukan pengukuran mual muntah
responden dengan menggunakan kuesioner mual muntah Rhodes INVR 30 menit pre kemoterapi (sebelum
pemberian antiemetik), dan 12 jam post kemoterapi dengan kuisioner Rhodes.
. Perlakuan bekam kering yang diberikan tidak mengeluarkan darah. Kulit yang di bekam
hanya akan tampak merah tetapi akan menghilang beberapa saat setelah di bekam. Efek ini bisa
diatasi dengan dengan diolesi minyak zaitun untuk menghilangkan tanda lebam (bercak
kemerahan) pada kulit yang selesai dibekam. Semua pemeriksaan yang dilakukan tidak
memberikan bahaya ataupun risiko, hanya efek samping yang minimal terhadap saudari/ibu.
Responden akan dinyatakan drop out apabila tidak mengikuti seluruh rangkaian pemeriksaan dalam
penelitian ini. Peneliti akan menjaga kerahasiaan identitas dan jawaban yang saudari/ibu berikan jika
bersedia menjadi responden dalam penelitian ini. Saya sebagai peneliti sangat berharap saudari/ibu dapat
mengikuti penelitian ini tanpa paksaan apapun, mengikuti semua pemeriksaan dan memberikan jawaban
dengan sejujur–jujurnya sesuai dengan hasil pemeriksaan yang saudari/ibu lakukan.
2
Apabila saudari/ibu ingin mengundurkan diri selama proses penelitian ini berlangsung atau jika ada
hal–hal yang kurang berkenan, saudari/ibu dapat mengungkapkan langsung atau menelpon peneliti.
Sebagai bentuk terimakasih peneliti pada saudari/ibu dalam berpartisipasi dalam penelitian ini, peneliti
akan memberikan reward berupa Souvenir yang akan diberikan di akhir pertemuan.
Jika saudari/ibu bersedia mengikuti penelitian ini, silahkan menandatangani lembar persetujuan
responden. Apabila terdapat hal-hal yang kurang jelas sehubungan dengan penelitian ini, saudari/ibu dapat
menghubungi saya (Rif’atunnisa/ HP. 085 342 811 372).
Penanggung Jawab Penelitian
Nama : Rif’atunnisa, S.Kep., Ns
Alamat : Jl Kotipa XVI
Telpon /email : 085342811372 / rifa_tunnisa@yahoo.com
Makassar,.... Agustus 2017
Peneliti Utama
Rif’atunnisa, S. Kep. Ns.
Lokasi bekam kering pada Titik P6 (PC 6)
Titik P6 / PC6 (Perikardium 6)
Lokasi pada 2 cun tulang (3 jari) di atas
pertengahan pergelangan tangan bagian dalam
3
KEMENTERIAN RISET, TEKNOLOGI DAN PENDIDIKAN TINGGI
UNIVERSITAS HASANUDDIN FAKULTAS KEDOKTERAN
KOMITE ETIK PENELITIAN KESEHATAN Sekretariat : Lantai 2 Gedung Laboratorium Terpadu
JL JL.PERINTIS KEMERDEKAAN KAMPUS TAMALANREA KM.10, Makassar 90245
Contact Person: dr. Agussalim Bukhari,M.Med, PhD, Sp.GK (HP. 081241850850), email: agussalimbukhari@ yahoo.com
Lampiran 1
LEMBAR PENJELASAN UNTUK RESPONDEN (Ganjil)
Assalamu’alaikum Warahmatullahi Wabarakatuh. Perkenalkan nama saya Rif’atunnisa. Saya adalah
Mahasiswa Program Studi Magister Ilmu Keperawatan Fakultas Kedokteran Universitas Hasanuddin, saat
ini sedang melakukan penelitian untuk Tesis dengan judul “Pengaruh Bekam Kering terhadap
Penurunan Mual Muntah Akibat Kemoterapi pada Pasien Kanker Payudara di RSUP Dr. Wahidin
Sudirohusodo dan Rumah Sakit Universitas Hasanuddin”.
Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengidentifikasi pengaruh terapi bekam kering terhadap mual
muntah akibat kemoterapi pada pasien kanker payudara yang pada akhirnya akan membantu dalam upaya
mengurangi salah satu efek samping kemoterapi yaitu mual muntah pada pasien kanker payudara sehingga
bisa meningkatkan kenyamanan dan kualitas hidup pasien.
Yang saya akan lakukan kepada ibu yaitu menanyakan tentang data–data riwayat kesehatan
bapak/ibu, melakukan beberapa pemeriksaan yaitu tinggi badan, berat badan . Selanjutnya pengukuran
skor mual muntah dengan mengisi kuisioner Rhodes dan diberikan terapi bekam kering.
Terapi bekam kering diberikan selama 7 menit pada titik TE5 (Tri Energizer 5) pada 6 jam pre
kemoterapi, saat kemoterapi, dan 6 jam post kemoterapi. Kemudian melakukan pengukuran mual muntah
responden pada 30 menit pre kemoterapi (sebelum pemberian antiemetik), dan 12 jam post kemoterapi
dengan menggunakan kuesioner mual muntah Rhodes INVR. Perlakuan bekam kering yang diberikan
tidak mengeluarkan darah. Kulit yang di bekam hanya akan tampak merah tetapi akan
menghilang beberapa saat setelah di bekam. Efek ini bisa diatasi dengan dengan diolesi minyak
zaitun untuk menghilangkan tanda lebam (bercak kemerahan) pada kulit yang selesai dibekam.
Semua pemeriksaan yang dilakukan tidak memberikan bahaya ataupun risiko, hanya efek samping
yang minimal terhadap saudari/ibu.
Responden akan dinyatakan drop out apabila tidak mengikuti seluruh rangkaian pemeriksaan dalam
penelitian ini. Peneliti akan menjaga kerahasiaan identitas dan jawaban yang saudari/ibu berikan jika
bersedia menjadi responden dalam penelitian ini. Saya sebagai peneliti sangat berharap saudari/ibu dapat
mengikuti penelitian ini tanpa paksaan apapun, mengikuti semua pemeriksaan dan memberikan jawaban
dengan sejujur–jujurnya sesuai dengan hasil pemeriksaan yang saudari/ibu lakukan.
4
Apabila saudari/ibu ingin mengundurkan diri selama proses penelitian ini berlangsung atau jika ada
hal–hal yang kurang berkenan, saudari/ibu dapat mengungkapkan langsung atau menelpon peneliti.
Sebagai bentuk terimakasih peneliti pada saudari/ibu dalam berpartisipasi dalam penelitian ini, peneliti
akan memberikan reward berupa Souvenir yang akan diberikan di akhir pertemuan.
Jika saudari/ibu bersedia mengikuti penelitian ini, silahkan menandatangani lembar persetujuan
responden. Apabila terdapat hal-hal yang kurang jelas sehubungan dengan penelitian ini, saudari/ibu dapat
menghubungi saya (Rif’atunnisa/ HP. 085 342 811 372).
Penanggung Jawab Penelitian
Nama : Rif’atunnisa, S.Kep., Ns
Alamat : Jl Kotipa XVI
Telpon /email : 085342811372 / rifa_tunnisa@yahoo.com
Makassar, ...... Agustus 2017
Peneliti Utama
Rif’atunnisa, S. Kep. Ns.
Lokasi bekam kering pada Titik TE 5 / SJ 5
Titik TE (Tri pemanas) 5 / SJ (Sanjiao) 5
Lokasi pada 2 cun tulang (3 jari) di atas punggung pergelangan tangan segaris jari tengah.
1
Lampiran 6
Statistics
Kelompok
Umur
Lama menderita
num (bulan)
Siklus
Komoterapi IMT Numerik
Kontrol N Valid 30 30 30 30
Missing 0 0 0 0
Mean 46.80 22.77 2.97 22.8587
Std. Deviation 9.072 22.059 2.428 3.80453
Skewness -.617 3.110 3.371 .620
Std. Error of Skewness .427 .427 .427 .427
Minimum 20 1 1 17.26
Maximum 62 120 14 32.80
Intervensi N Valid 30 30 30 30
Missing 0 0 0 0
Mean 45.57 23.20 3.80 24.8057
Std. Deviation 9.111 16.545 1.955 4.19967
Skewness -.036 1.363 .835 .384
Std. Error of Skewness .427 .427 .427 .427
Minimum 23 5 1 17.80
Maximum 69 60 10 32.89
2
Independent Samples Test
Levene's Test for Equality of
Variances t-test for Equality of Means
F Sig. t df Sig. (2-tailed)
Mean
Difference
Std. Error
Difference
95% Confidence Interval of the
Difference
Lower Upper
Umur Equal variances assumed .021 .886 .525 58 .601 1.233 2.347 -3.466 5.932
Equal variances not
assumed
.525 57.999 .601 1.233 2.347 -3.466 5.932
IMT Numerik Equal variances assumed .391 .534 -1.882 58 .065 -1.94700 1.03460 -4.01797 .12397
Equal variances not
assumed
-1.882 57.443 .065 -1.94700 1.03460 -4.01840 .12440
Lama menderita num
(bulan)
Equal variances assumed .492 .486 -.086 58 .932 -.433 5.034 -10.511 9.644
Equal variances not
assumed
-.086 53.785 .932 -.433 5.034 -10.528 9.661
Siklus Komoterapi Equal variances assumed .002 .963 -1.464 58 .149 -.833 .569 -1.973 .306
Equal variances not
assumed
-1.464 55.471 .149 -.833 .569 -1.974 .307
Umur : 0,601: 2 = 0,3005 ; Imt: 0,65:2 =0,325; Lama menderita: 0932:2 = 0,466; siklus kemoterapi: 0,149:2 =0,0745
Pekerjaan Pendidikan Stadium Kanker
Mann-Whitney U 425.500 429.500 380.500
Wilcoxon W 890.500 894.500 845.500
Z -.417 -.314 -1.091
Asymp. Sig. (2-tailed) .677 .754 .275
Pekerjaan: 0,677:2 = 0,338
Pendidikan: 0754:2 = 0,377
Stadium kanker : 0,275 : 2 = 0,1375
3
Pendidikan
Kelompok Frequency Percent Valid Percent Cumulative Percent
Kontrol Valid TIDAK SEKOLAH 1 3.3 3.3 3.3
SD 9 30.0 30.0 33.3
SMP 3 10.0 10.0 43.3
SMA 9 30.0 30.0 73.3
PERGURUAN TINGGI 8 26.7 26.7 100.0
Total 30 100.0 100.0
Intervensi Valid TIDAK SEKOLAH 1 3.3 3.3 3.3
SD 7 23.3 23.3 26.7
SMP 5 16.7 16.7 43.3
SMA 8 26.7 26.7 70.0
PERGURUAN TINGGI 9 30.0 30.0 100.0
Total 30 100.0 100.0
Ranks
Kelompok N Mean Rank Sum of
Ranks
Pekerjaan
Kontrol 30 31.32 939.50
Intervensi 30 29.68 890.50
Total 60
Pendidikan
Kontrol 30 29.82 894.50
Intervensi 30 31.18 935.50
Total 60
Siklus
Komoterapi
Kontrol 30 25.27 758.00
Intervensi 30 35.73 1072.00
Total 60
Stadium
Kanker
Kontrol 30 32.82 984.50
Intervensi 30 28.18 845.50
Total 60
4
Pendidikan * Kelompok
Crosstab
Kelompok
Total Kontrol Intervensi
Pendidikan TIDAK SEKOLAH Count 1 1 2
Expected Count 1.0 1.0 2.0
SD Count 9 7 16
Expected Count 8.0 8.0 16.0
SMP Count 3 5 8
Expected Count 4.0 4.0 8.0
SMA Count 9 8 17
Expected Count 8.5 8.5 17.0
PERGURUAN TINGGI Count 8 9 17
Expected Count 8.5 8.5 17.0
Total Count 30 30 60
Expected Count 30.0 30.0 60.0
Pekerjaan * Kelompok
Crosstab
Kelompok
Total Kontrol Intervensi
Pekerjaan PNS Count 5 3 8
Expected Count 4.0 4.0 8.0
WIRASWASTA Count 4 8 12
Expected Count 6.0 6.0 12.0
IRT Count 19 18 37
Expected Count 18.5 18.5 37.0
TIDAK BEKERJA Count 2 1 3
Expected Count 1.5 1.5 3.0
Total Count 30 30 60
Expected Count 30.0 30.0 60.0
5
Riwayat Pernikahan * Kelompok
Riwayat Pernikahan
Kelompok Frequency Percent Valid Percent Cumulative Percent
Kontrol Valid MENIKAH 26 86.7 86.7 86.7
BELUM MENIKAH 4 13.3 13.3 100.0
Total 30 100.0 100.0
Intervensi Valid MENIKAH 26 86.7 86.7 86.7
BELUM MENIKAH 4 13.3 13.3 100.0
Total 30 100.0 100.0
Crosstab
Kelompok
Total Kontrol Intervensi
Riwayat Pernikahan MENIKAH Count 26 26 52
Expected Count 26.0 26.0 52.0
BELUM MENIKAH Count 4 4 8
Expected Count 4.0 4.0 8.0
Total Count 30 30 60
Expected Count 30.0 30.0 60.0
Chi-Square Tests
Value df Asymp. Sig. (2-sided) Exact Sig. (2-sided) Exact Sig. (1-sided)
Pearson Chi-Square .000a 1 1.000
Continuity Correctionb .000 1 1.000
Likelihood Ratio .000 1 1.000
Fisher's Exact Test 1.000 .647
Linear-by-Linear Association .000 1 1.000
N of Valid Cases 60
a. 2 cells (50.0%) have expected count less than 5. The minimum expected count is 4.00.
b. Computed only for a 2x2 table
Siklus Komoterapi * Kelompok
Crosstab
Kelompok
Total Kontrol Intervensi
Siklus Komoterapi 1 Count 7 4 11
Expected Count 5.5 5.5 11.0
2 Count 8 5 13
Expected Count 6.5 6.5 13.0
6
3 Count 6 2 8
Expected Count 4.0 4.0 8.0
4 Count 6 8 14
Expected Count 7.0 7.0 14.0
5 Count 2 9 11
Expected Count 5.5 5.5 11.0
7 Count 0 1 1
Expected Count .5 .5 1.0
10 Count 0 1 1
Expected Count .5 .5 1.0
14 Count 1 0 1
Expected Count .5 .5 1.0
Total Count 30 30 60
Expected Count 30.0 30.0 60.0
Riwayat KB * Kelompok
Crosstab
Kelompok
Total Kontrol Intervensi
Riwayat KB YA Count 12 17 29
Expected Count 14.5 14.5 29.0
TIDAK Count 18 13 31
Expected Count 15.5 15.5 31.0
Total Count 30 30 60
Expected Count 30.0 30.0 60.0
Chi-Square Tests
Value df Asymp. Sig. (2-sided) Exact Sig. (2-sided) Exact Sig. (1-sided)
Pearson Chi-Square 1.669a 1 .196
Continuity Correctionb 1.068 1 .301
Likelihood Ratio 1.676 1 .195
Fisher's Exact Test .301 .151
Linear-by-Linear Association 1.641 1 .200
N of Valid Cases 60
a. 0 cells (.0%) have expected count less than 5. The minimum expected count is 14.50.
b. Computed only for a 2x2 table
0,196 :2 = 0,098
7
Stadium Kanker
Kelompok Frequency Percent Valid Percent Cumulative Percent
Kontrol Valid STADIUM II 2 6.7 6.7 6.7
STADIUM III B 13 43.3 43.3 50.0
STADIUM III C 3 10.0 10.0 60.0
STADIUM IV 9 30.0 30.0 90.0
STADIUM 1 3 10.0 10.0 100.0
Total 30 100.0 100.0
Intervensi Valid STADIUM II 1 3.3 3.3 3.3
STADIUM III A 2 6.7 6.7 10.0
STADIUM III B 14 46.7 46.7 56.7
STADIUM III C 6 20.0 20.0 76.7
STADIUM IV 7 23.3 23.3 100.0
Total 30 100.0 100.0
Stadium Kanker * Kelompok
Crosstab
Kelompok
Total Kontrol Intervensi
Stadium Kanker STADIUM II Count 2 1 3
Expected Count 1.5 1.5 3.0
STADIUM III A Count 0 2 2
Expected Count 1.0 1.0 2.0
STADIUM III B Count 13 14 27
Expected Count 13.5 13.5 27.0
STADIUM III C Count 3 6 9
Expected Count 4.5 4.5 9.0
STADIUM IV Count 9 7 16
Expected Count 8.0 8.0 16.0
STADIUM 1 Count 3 0 3
Expected Count 1.5 1.5 3.0
Total Count 30 30 60
8
Crosstab
Kelompok
Total Kontrol Intervensi
Stadium Kanker STADIUM II Count 2 1 3
Expected Count 1.5 1.5 3.0
STADIUM III A Count 0 2 2
Expected Count 1.0 1.0 2.0
STADIUM III B Count 13 14 27
Expected Count 13.5 13.5 27.0
STADIUM III C Count 3 6 9
Expected Count 4.5 4.5 9.0
STADIUM IV Count 9 7 16
Expected Count 8.0 8.0 16.0
STADIUM 1 Count 3 0 3
Expected Count 1.5 1.5 3.0
Total Count 30 30 60
Expected Count 30.0 30.0 60.0
Status Kemoterpi
Kelompok Frequency Percent Valid Percent Cumulative Percent
Kontrol Valid NEOADJUVANT 17 56.7 56.7 56.7
ADJUVANT 13 43.3 43.3 100.0
Total 30 100.0 100.0
Intervensi Valid NEOADJUVANT 14 46.7 46.7 46.7
ADJUVANT 16 53.3 53.3 100.0
Total 30 100.0 100.0
Status Kemoterpi * Kelompok
Crosstab
Kelompok
Total Kontrol Intervensi
Status Kemoterpi NEOADJUVANT Count 17 14 31
Expected Count 15.5 15.5 31.0
ADJUVANT Count 13 16 29
Expected Count 14.5 14.5 29.0
Total Count 30 30 60
Expected Count 30.0 30.0 60.0
9
Chi-Square Tests
Value df Asymp. Sig. (2-sided) Exact Sig. (2-sided) Exact Sig. (1-sided)
Pearson Chi-Square .601a 1 .438
Continuity Correctionb .267 1 .605
Likelihood Ratio .602 1 .438
Fisher's Exact Test .606 .303
Linear-by-Linear Association .591 1 .442
N of Valid Cases 60
a. 0 cells (.0%) have expected count less than 5. The minimum expected count is 14.50.
b. Computed only for a 2x2 table
0,438 : 2 = 0.219
Emetogenisitas * Kelompok
Crosstab
Kelompok
Total Kontrol Intervensi
Emetogenisitas EMETOGENISITAS RENDAH Count 8 7 15
Expected Count 7.5 7.5 15.0
EMETOGENISITAS SEDANG Count 9 13 22
Expected Count 11.0 11.0 22.0
EMETOGENISITAS TINGGI Count 13 10 23
Expected Count 11.5 11.5 23.0
Total Count 30 30 60
Expected Count 30.0 30.0 60.0
Chi-Square Tests
Value df Asymp. Sig. (2-sided)
Pearson Chi-Square 1.185a 2 .553
Likelihood Ratio 1.190 2 .551
Linear-by-Linear Association .106 1 .744
N of Valid Cases 60
a. 0 cells (.0%) have expected count less than 5. The minimum expected count is 7.50.
0,553 : 2 = 0,2765
10
Status Gizi
Kelompok Frequency Percent Valid Percent Cumulative Percent
Kontrol Valid SGA A (GIZI BAIK) 13 43.3 43.3 43.3
SGA B & C (GIZI KURANG /
MALNUTRISI)
17 56.7 56.7 100.0
Total 30 100.0 100.0
Intervensi Valid SGA A (GIZI BAIK) 11 36.7 36.7 36.7
SGA B & C (GIZI KURANG /
MALNUTRISI)
19 63.3 63.3 100.0
Total 30 100.0 100.0
Status Gizi * Kelompok
Crosstab
Kelompok
Total Kontrol Intervensi
Status Gizi SGA A (GIZI BAIK) Count 13 11 24
Expected Count 12.0 12.0 24.0
SGA B & C (GIZI KURANG /
MALNUTRISI)
Count 17 19 36
Expected Count 18.0 18.0 36.0
Total Count 30 30 60
Expected Count 30.0 30.0 60.0
Chi-Square Tests
Value df Asymp. Sig. (2-sided) Exact Sig. (2-sided) Exact Sig. (1-sided)
Pearson Chi-Square .278a 1 .598
Continuity Correctionb .069 1 .792
Likelihood Ratio .278 1 .598
Fisher's Exact Test .792 .396
Linear-by-Linear Association .273 1 .601
N of Valid Cases 60
a. 0 cells (.0%) have expected count less than 5. The minimum expected count is 12.00.
b. Computed only for a 2x2 table
0,598 : 2 = 0,299
11
Statistics
Kelompok Rhodes Basline
num
Rhodes 30m
num
Rhodes 12 jam
num
Kontrol N Valid 30 30 30
Missing 0 0 0
Mean 9.17 .97 3.10
Std. Deviation 8.379 2.189 6.609
Skewness .777 2.455 2.271
Std. Error of Skewness .427 .427 .427
Minimum 0 0 0
Maximum 26 9 26
Intervensi N Valid 30 30 30
Missing 0 0 0
Mean 10.30 1.67 2.33
Std. Deviation 6.482 3.198 4.350
Skewness .263 2.466 1.851
Std. Error of Skewness .427 .427 .427
Minimum 0 0 0
Maximum 23 14 15
ANCOVA
5. Kelompok * waktu
Measure:MEASURE_1
Kelompok waktu Mean Std. Error 95% Confidence Interval
Lower Bound Upper Bound
Kontrol 1 9.382a 1.363 6.649 12.116
2 .799a .515 -.233 1.832
3 2.546a .975 .591 4.502
Intervensi 1 10.123a 1.377 7.361 12.886
2 1.600a .520 .557 2.644
3 1.888a .985 -.088 3.865
a. Covariates appearing in the model are evaluated at the following values: Lama menderita num
(bulan) = 22.98.
12
Estimated Marginal Means
1. Kelompok
Measure:MEASURE_1
Kelompok Mean Std. Error 95% Confidence Interval
Lower Bound Upper Bound
Kontrol 4.426a .745 2.933 5.919
Intervensi 4.782a .760 3.259 6.306
a. Covariates appearing in the model are evaluated at the following values: Siklus
Komoterapi = 3.38.
. Kelompok * Emetogenisitas * waktu
Measure:MEASURE_1
Kelompok Emetogenisitas waktu Mean Std. Error 95% Confidence Interval
Lower Bound Upper Bound
Kontrol EMETOGENISITAS
RENDAH
1 12.524a 2.584 7.342 17.706
2 .481a .976 -1.476 2.439
3 -.021a 1.848 -3.728 3.686
EMETOGENISITAS
SEDANG
1 7.111a 2.447 2.203 12.018
2 -.087a .924 -1.940 1.767
3 1.571a 1.750 -1.939 5.081
EMETOGENISITAS TINGGI 1 8.512a 2.038 4.424 12.600
2 2.004a .770 .460 3.548
3 6.089a 1.458 3.165 9.013
Intervensi EMETOGENISITAS
RENDAH
1 11.222a 2.765 5.676 16.768
2 1.193a 1.044 -.902 3.288
3 .484a 1.978 -3.483 4.451
EMETOGENISITAS
SEDANG
1 13.040a 2.028 8.972 17.109
2 1.815a .766 .278 3.351
3 4.888a 1.451 1.978 7.798
EMETOGENISITAS TINGGI 1 6.107a 2.311 1.473 10.742
2 1.794a .873 .044 3.545
3 .294a 1.653 -3.022 3.609
a. Covariates appearing in the model are evaluated at the following values: Lama menderita num (bulan) = 22.98.
13
4. Kelompok * Emetogenisitas
Measure:MEASURE_1
Kelompok Emetogenisitas Mean Std. Error 95% Confidence Interval
Lower Bound Upper Bound
Kontrol EMETOGENISITAS RENDAH 4.328a 1.334 1.652 7.005
EMETOGENISITAS SEDANG 2.865a 1.264 .330 5.400
EMETOGENISITAS TINGGI 5.535a 1.053 3.424 7.646
Intervensi
EMETOGENISITAS RENDAH 4.299a 1.428 1.435 7.164
EMETOGENISITAS SEDANG 6.581a 1.048 4.480 8.682
EMETOGENISITAS TINGGI 2.732a 1.193 .338 5.125
a. Covariates appearing in the model are evaluated at the following values: Lama menderita num (bulan) = 22.98.
Tests of Within-Subjects Effects
Measure:MEASURE_1
Source Type III Sum of
Squares
df Mean Square F Sig. Partial Eta
Squared
Noncent.
Parameter
Observed
Powera
waktu Sphericity Assumed 1295.205 2 647.602 28.406 .000 .349 56.813 1.000
Greenhouse-Geisser 1295.205 1.559 830.829 28.406 .000 .349 44.283 1.000
14
Huynh-Feldt 1295.205 1.779 727.876 28.406 .000 .349 50.547 1.000
Lower-bound 1295.205 1.000 1295.205 28.406 .000 .349 28.406 .999
waktu *
Lama_menderita_num_bln
Sphericity Assumed 26.643 2 13.322 .584 .559 .011 1.169 .145
Greenhouse-Geisser 26.643 1.559 17.091 .584 .519 .011 .911 .133
Huynh-Feldt 26.643 1.779 14.973 .584 .540 .011 1.040 .139
Lower-bound 26.643 1.000 26.643 .584 .448 .011 .584 .117
waktu * KELOMPOK Sphericity Assumed 19.382 2 9.691 .425 .655 .008 .850 .117
Greenhouse-Geisser 19.382 1.559 12.433 .425 .605 .008 .663 .109
Huynh-Feldt 19.382 1.779 10.892 .425 .631 .008 .756 .114
Lower-bound 19.382 1.000 19.382 .425 .517 .008 .425 .098
waktu * EMETOGENISITAS Sphericity Assumed 301.214 4 75.303 3.303 .014 .111 13.212 .825
Greenhouse-Geisser 301.214 3.118 96.609 3.303 .023 .111 10.299 .746
Huynh-Feldt 301.214 3.559 84.638 3.303 .018 .111 11.755 .789
Lower-bound 301.214 2.000 150.607 3.303 .044 .111 6.606 .602
waktu * KELOMPOK *
EMETOGENISITAS
Sphericity Assumed 112.723 4 28.181 1.236 .300 .045 4.944 .376
Greenhouse-Geisser 112.723 3.118 36.154 1.236 .302 .045 3.854 .326
Huynh-Feldt 112.723 3.559 31.674 1.236 .301 .045 4.399 .351
Lower-bound 112.723 2.000 56.361 1.236 .299 .045 2.472 .258
Error(waktu) Sphericity Assumed 2416.574 106 22.798
15
Tests of Between-Subjects Effects
Measure:MEASURE_1
Transformed Variable:Average
Source Type III Sum of
Squares
df Mean Square F Sig. Partial Eta
Squared
Noncent.
Parameter
Observed Powera
Intercept 1292.565 1 1292.565 30.255 .000 .363 30.255 1.000
Lama_menderita_num_bln 1.682 1 1.682 .039 .843 .001 .039 .054
KELOMPOK 3.703 1 3.703 .087 .770 .002 .087 .060
EMETOGENISITAS 11.629 2 5.815 .136 .873 .005 .272 .070
KELOMPOK *
EMETOGENISITAS
348.228 2 174.114 4.075 .023 .133 8.151 .700
Error 2264.316 53 42.723
a. Computed using alpha = .050
Tests of Between-Subjects Effects
Measure:MEASURE_1
Greenhouse-Geisser 2416.574 82.623 29.248
Huynh-Feldt 2416.574 94.310 25.624
Lower-bound 2416.574 53.000 45.596
a. Computed using alpha = .050
16
Transformed Variable:Average
Source Type III Sum of
Squares
df Mean Square F Sig. Partial Eta
Squared
Noncent.
Parameter
Observed Powera
Intercept 1063.050 1 1063.050 22.203 .000 .288 22.203 .996
SIKLUSKEMOTERAPI .541 1 .541 .011 .916 .000 .011 .051
KELOMPOK 5.277 1 5.277 .110 .741 .002 .110 .062
STATUS_GIZI .727 1 .727 .015 .902 .000 .015 .052
KELOMPOK * STATUS_GIZI .187 1 .187 .004 .950 .000 .004 .050
Error 2633.317 55 47.878
a. Computed using alpha = .050
Tests of Between-Subjects Effects
Measure:MEASURE_1
Transformed Variable:Average
Source Type III Sum of
Squares
df Mean Square F Sig. Partial Eta
Squared
Noncent.
Parameter
Observed Powera
Intercept 816.289 1 816.289 19.116 .000 .265 19.116 .990
SIKLUSKEMOTERAPI 2.814 1 2.814 .066 .798 .001 .066 .057
KELOMPOK 2.378 1 2.378 .056 .814 .001 .056 .056
EMETOGENISITAS 12.180 2 6.090 .143 .867 .005 .285 .071
KELOMPOK * 349.042 2 174.521 4.087 .022 .134 8.174 .701
17
EMETOGENISITAS
Error 2263.185 53 42.702
a. Computed using alpha = .050
Syntax 2
Tests of Within-Subjects Effects
Measure:MEASURE_1
Source Type III Sum of
Squares df Mean Square F Sig.
waktu Sphericity Assumed 381.656 2 190.828 8.357 .000
Greenhouse-Geisser 381.656 1.498 254.775 8.357 .002
Huynh-Feldt 381.656 1.890 201.953 8.357 .001
Lower-bound 381.656 1.000 381.656 8.357 .006
waktu * KELOMPOK Sphericity Assumed 2.282 2 1.141 .050 .951
Greenhouse-Geisser 2.282 1.498 1.523 .050 .909
Huynh-Feldt 2.282 1.890 1.208 .050 .944
Lower-bound 2.282 1.000 2.282 .050 .824
waktu * EMETOGENISITAS Sphericity Assumed 71.563 4 17.891 .783 .539
Greenhouse-Geisser 71.563 2.996 23.886 .783 .507
18
Huynh-Feldt 71.563 3.780 18.934 .783 .532
Lower-bound 71.563 2.000 35.781 .783 .463
waktu * KELOMPOK *
EMETOGENISITAS
Sphericity Assumed 82.886 4 20.722 .907 .463
Greenhouse-Geisser 82.886 2.996 27.665 .907 .442
Huynh-Feldt 82.886 3.780 21.930 .907 .459
Lower-bound 82.886 2.000 41.443 .907 .410
waktu * SIKLUSKEMOTERAPI Sphericity Assumed 5.075 2 2.537 .111 .895
Greenhouse-Geisser 5.075 1.498 3.388 .111 .837
Huynh-Feldt 5.075 1.890 2.685 .111 .885
Lower-bound 5.075 1.000 5.075 .111 .740
waktu * KELOMPOK *
SIKLUSKEMOTERAPI
Sphericity Assumed 16.370 2 8.185 .358 .700
Greenhouse-Geisser 16.370 1.498 10.928 .358 .638
Huynh-Feldt 16.370 1.890 8.662 .358 .688
Lower-bound 16.370 1.000 16.370 .358 .552
waktu * EMETOGENISITAS *
SIKLUSKEMOTERAPI
Sphericity Assumed 128.521 4 32.130 1.407 .237
Greenhouse-Geisser 128.521 2.996 42.897 1.407 .248
Huynh-Feldt 128.521 3.780 34.003 1.407 .240
Lower-bound 128.521 2.000 64.261 1.407 .255
waktu * KELOMPOK * Sphericity Assumed 61.983 4 15.496 .679 .608
19
Tests of Within-Subjects Effects
Measure:MEASURE_1
Source Type III Sum of
Squares df Mean Square F Sig. Partial Eta Squared Noncent. Parameter Observed Powera
waktu Sphericity Assumed 523.342 2 261.671 11.447 .000 .178 22.895 .992
Greenhouse-Geisser 523.342 1.554 336.861 11.447 .000 .178 17.784 .976
Huynh-Feldt 523.342 1.773 295.171 11.447 .000 .178 20.296 .986
Lower-bound 523.342 1.000 523.342 11.447 .001 .178 11.447 .913
waktu * SIKLUSKEMOTERAPI Sphericity Assumed 20.181 2 10.090 .441 .644 .008 .883 .120
Greenhouse-Geisser 20.181 1.554 12.990 .441 .595 .008 .686 .112
EMETOGENISITAS *
SIKLUSKEMOTERAPI
Greenhouse-Geisser 61.983 2.996 20.688 .679 .568
Huynh-Feldt 61.983 3.780 16.399 .679 .600
Lower-bound 61.983 2.000 30.991 .679 .512
Error(waktu) Sphericity Assumed 2192.192 96 22.835
Greenhouse-Geisser 2192.192 71.905 30.488
Huynh-Feldt 2192.192 90.712 24.167
Lower-bound 2192.192 48.000 45.671
20
Huynh-Feldt 20.181 1.773 11.382 .441 .621 .008 .783 .116
Lower-bound 20.181 1.000 20.181 .441 .509 .008 .441 .100
waktu * KELOMPOK Sphericity Assumed 13.649 2 6.824 .299 .743 .006 .597 .096
Greenhouse-Geisser 13.649 1.554 8.785 .299 .687 .006 .464 .091
Huynh-Feldt 13.649 1.773 7.698 .299 .716 .006 .529 .094
Lower-bound 13.649 1.000 13.649 .299 .587 .006 .299 .084
waktu * EMETOGENISITAS Sphericity Assumed 245.015 4 61.254 2.680 .036 .092 10.719 .728
Greenhouse-Geisser 245.015 3.107 78.855 2.680 .050 .092 8.326 .644
Huynh-Feldt 245.015 3.546 69.096 2.680 .042 .092 9.502 .688
Lower-bound 245.015 2.000 122.508 2.680 .078 .092 5.359 .509
waktu * KELOMPOK *
EMETOGENISITAS
Sphericity Assumed 116.507 4 29.127 1.274 .285 .046 5.097 .387
Greenhouse-Geisser 116.507 3.107 37.496 1.274 .289 .046 3.959 .335
Huynh-Feldt 116.507 3.546 32.856 1.274 .287 .046 4.518 .361
Lower-bound 116.507 2.000 58.254 1.274 .288 .046 2.548 .265
Error(waktu) Sphericity Assumed 2423.036 106 22.859
Greenhouse-Geisser 2423.036 82.340 29.427
Huynh-Feldt 2423.036 93.970 25.785
Lower-bound 2423.036 53.000 45.718
a. Computed using alpha = .050
21
Table 5.3
5. Kelompok * waktu
Measure:MEASURE_1
Kelompok waktu Mean Std. Error 95% Confidence Interval
Lower Bound Upper Bound
Kontrol 1 9.453a 1.368 6.709 12.197
2 .820a .522 -.226 1.867
3 2.517a .981 .549 4.485
Intervensi 1 9.986a 1.397 7.183 12.788
2 1.574a .533 .505 2.643
3 1.952a 1.002 -.058 3.962
a. Covariates appearing in the model are evaluated at the following values: Siklus Komoterapi = 3.38.
7. Kelompok * Emetogenisitas * waktu
Measure:MEASURE_1
Kelompok Emetogenisitas waktu Mean Std. Error 95% Confidence Interval
Lower Bound Upper Bound
Kontrol EMETOGENISITAS RENDAH 1 12.436a 2.583 7.256 17.616
2 .490a .985 -1.486 2.466
3 .031a 1.853 -3.685 3.746
EMETOGENISITAS SEDANG 1 7.043a 2.434 2.161 11.924
22
2 .007a .928 -1.855 1.868
3 1.646a 1.746 -1.855 5.148
EMETOGENISITAS TINGGI 1 8.879a 2.074 4.720 13.038
2 1.964a .791 .378 3.551
3 5.874a 1.487 2.890 8.857
Intervensi EMETOGENISITAS RENDAH 1 10.896a 2.837 5.205 16.587
2 1.082a 1.082 -1.088 3.252
3 .615a 2.035 -3.467 4.697
EMETOGENISITAS SEDANG 1 12.939a 2.027 8.873 17.004
2 1.837a .773 .286 3.387
3 4.952a 1.454 2.036 7.869
EMETOGENISITAS TINGGI 1 6.122a 2.308 1.492 10.752
2 1.803a .880 .038 3.569
3 .289a 1.656 -3.031 3.610
a. Covariates appearing in the model are evaluated at the following values: Siklus Komoterapi = 3.38.
23
Table 5.6 4. Kelompok * Emetogenisitas
Measure:MEASURE_1
Kelompok Emetogenisitas Mean Std. Error 95% Confidence Interval
Lower Bound Upper Bound
Kontrol EMETOGENISITAS
RENDAH
4.319a 1.335 1.641 6.997
EMETOGENISITAS
SEDANG
2.899a 1.258 .375 5.422
EMETOGENISITAS TINGGI 5.573a 1.072 3.423 7.722
Intervensi EMETOGENISITAS
RENDAH
4.198a 1.467 1.256 7.139
EMETOGENISITAS
SEDANG
6.576a 1.048 4.474 8.677
EMETOGENISITAS TINGGI 2.738a 1.193 .345 5.132
a. Covariates appearing in the model are evaluated at the following values: Siklus Komoterapi = 3.38.
24
Tests of Within-Subjects Effects
Measure:MEASURE_1
Source Type III Sum of
Squares df Mean Square F Sig. Partial Eta Squared Noncent. Parameter Observed Powera
waktu Sphericity Assumed 523.342 2 261.671 11.447 .000 .178 22.895 .992
Greenhouse-Geisser 523.342 1.554 336.861 11.447 .000 .178 17.784 .976
Huynh-Feldt 523.342 1.773 295.171 11.447 .000 .178 20.296 .986
Lower-bound 523.342 1.000 523.342 11.447 .001 .178 11.447 .913
waktu * SIKLUSKEMOTERAPI Sphericity Assumed 20.181 2 10.090 .441 .644 .008 .883 .120
Greenhouse-Geisser 20.181 1.554 12.990 .441 .595 .008 .686 .112
Huynh-Feldt 20.181 1.773 11.382 .441 .621 .008 .783 .116
Lower-bound 20.181 1.000 20.181 .441 .509 .008 .441 .100
waktu * KELOMPOK Sphericity Assumed 13.649 2 6.824 .299 .743 .006 .597 .096
Greenhouse-Geisser 13.649 1.554 8.785 .299 .687 .006 .464 .091
25
Huynh-Feldt 13.649 1.773 7.698 .299 .716 .006 .529 .094
Lower-bound 13.649 1.000 13.649 .299 .587 .006 .299 .084
waktu * EMETOGENISITAS Sphericity Assumed 245.015 4 61.254 2.680 .036 .092 10.719 .728
Greenhouse-Geisser 245.015 3.107 78.855 2.680 .050 .092 8.326 .644
Huynh-Feldt 245.015 3.546 69.096 2.680 .042 .092 9.502 .688
Lower-bound 245.015 2.000 122.508 2.680 .078 .092 5.359 .509
waktu * KELOMPOK *
EMETOGENISITAS
Sphericity Assumed 116.507 4 29.127 1.274 .285 .046 5.097 .387
Greenhouse-Geisser 116.507 3.107 37.496 1.274 .289 .046 3.959 .335
Huynh-Feldt 116.507 3.546 32.856 1.274 .287 .046 4.518 .361
Lower-bound 116.507 2.000 58.254 1.274 .288 .046 2.548 .265
Error(waktu) Sphericity Assumed 2423.036 106 22.859
Greenhouse-Geisser 2423.036 82.340 29.427
Huynh-Feldt 2423.036 93.970 25.785
Lower-bound 2423.036 53.000 45.718
a. Computed using alpha = .050
1. Kelompok
Measure:MEASURE_1
26
Kelompok Mean Std. Error 95% Confidence Interval
Lower Bound Upper Bound
Kontrol 4.263a .707 2.845 5.682
Intervensi 4.504a .722 3.055 5.953
a. Covariates appearing in the model are evaluated at the following values: Siklus
Komoterapi = 3.38.
Tabel 5.5
Tests of Between-Subjects Effects
Measure:MEASURE_1
Transformed Variable:Average
Source Type III Sum of
Squares df Mean Square F Sig. Partial Eta Squared Noncent. Parameter Observed Powera
Intercept 816.289 1 816.289 19.116 .000 .265 19.116 .990
SIKLUSKEMOTERAPI 2.814 1 2.814 .066 .798 .001 .066 .057
KELOMPOK 2.378 1 2.378 .056 .814 .001 .056 .056
EMETOGENISITAS 12.180 2 6.090 .143 .867 .005 .285 .071
KELOMPOK *
EMETOGENISITAS
349.042 2 174.521 4.087 .022 .134 8.174 .701
Error 2263.185 53 42.702
a. Computed using alpha = .050
27
Tabel 5.5
Tests of Within-Subjects Effects
Measure:MEASURE_1
Source Type III Sum of
Squares df Mean Square F Sig. Partial Eta Squared Noncent. Parameter Observed Powera
waktu
Sphericity Assumed 523.342 2 261.671 11.447 .000 .178 22.895 .992
Greenhouse-Geisser 523.342 1.554 336.861 11.447 .000 .178 17.784 .976
Huynh-Feldt 523.342 1.773 295.171 11.447 .000 .178 20.296 .986
Lower-bound 523.342 1.000 523.342 11.447 .001 .178 11.447 .913
waktu * SIKLUSKEMOTERAPI Sphericity Assumed 20.181 2 10.090 .441 .644 .008 .883 .120
Greenhouse-Geisser 20.181 1.554 12.990 .441 .595 .008 .686 .112
Huynh-Feldt 20.181 1.773 11.382 .441 .621 .008 .783 .116
Lower-bound 20.181 1.000 20.181 .441 .509 .008 .441 .100
waktu * KELOMPOK Sphericity Assumed 13.649 2 6.824 .299 .743 .006 .597 .096
Greenhouse-Geisser 13.649 1.554 8.785 .299 .687 .006 .464 .091
Huynh-Feldt 13.649 1.773 7.698 .299 .716 .006 .529 .094
Lower-bound 13.649 1.000 13.649 .299 .587 .006 .299 .084
waktu * EMETOGENISITAS Sphericity Assumed 245.015 4 61.254 2.680 .036 .092 10.719 .728
Greenhouse-Geisser 245.015 3.107 78.855 2.680 .050 .092 8.326 .644
28
Huynh-Feldt 245.015 3.546 69.096 2.680 .042 .092 9.502 .688
Lower-bound 245.015 2.000 122.508 2.680 .078 .092 5.359 .509
waktu * KELOMPOK *
EMETOGENISITAS
Sphericity Assumed 116.507 4 29.127 1.274 .285 .046 5.097 .387
Greenhouse-Geisser 116.507 3.107 37.496 1.274 .289 .046 3.959 .335
Huynh-Feldt 116.507 3.546 32.856 1.274 .287 .046 4.518 .361
Lower-bound 116.507 2.000 58.254 1.274 .288 .046 2.548 .265
Error(waktu) Sphericity Assumed 2423.036 106 22.859
Greenhouse-Geisser 2423.036 82.340 29.427
Huynh-Feldt 2423.036 93.970 25.785
Lower-bound 2423.036 53.000 45.718
a. Computed using alpha = .050
Tabel 5.4
Tests of Between-Subjects Effects
Measure:MEASURE_1
Transformed Variable:Average
Source Type III Sum of
Squares
df Mean Square F Sig. Partial Eta
Squared
Noncent.
Parameter
Observed
Powera
Intercept 1063.050 1 1063.050 22.203 .000 .288 22.203 .996
SIKLUSKEMOTERAPI .541 1 .541 .011 .916 .000 .011 .051
29
KELOMPOK 5.277 1 5.277 .110 .741 .002 .110 .062
STATUS_GIZI .727 1 .727 .015 .902 .000 .015 .052
KELOMPOK *
STATUS_GIZI
.187 1 .187 .004 .950 .000 .004 .050
Error 2633.317 55 47.878
a. Computed using alpha = .050
6. Status Gizi * waktu
Measure:MEASURE_1
Status Gizi waktu Mean Std. Error 95% Confidence Interval
Lower Bound Upper Bound
SGA A (GIZI BAIK) 1 8.344a 1.554 5.229 11.459
2 1.998a .571 .854 3.141
3 3.670a 1.162 1.342 5.999
SGA B & C (GIZI KURANG /
MALNUTRISI)
1 10.748a 1.262 8.218 13.277
2 .854a .463 -.075 1.782
3 2.013a .943 .122 3.903
a. Covariates appearing in the model are evaluated at the following values: Siklus Komoterapi = 3.38.
30
7. Kelompok * Status Gizi * waktu
Measure:MEASURE_1
Kelompok Status Gizi waktu Mean Std. Error 95% Confidence Interval
Lower Bound Upper Bound
Kontrol SGA A (GIZI BAIK) 1 7.021a 2.122 2.768 11.275
2 1.719a .779 .158 3.280
3 4.639a 1.586 1.459 7.818
SGA B & C (GIZI KURANG /
MALNUTRISI)
1 11.008a 1.819 7.362 14.654
2 .413a .668 -.926 1.751
3 1.758a 1.360 -.967 4.483
Intervensi SGA A (GIZI BAIK) 1 9.667a 2.262 5.133 14.200
2 2.276a .830 .612 3.940
3 2.702a 1.691 -.686 6.091
SGA B & C (GIZI KURANG /
MALNUTRISI)
1 10.487a 1.752 6.976 13.998
2 1.295a .643 .006 2.583
3 2.268a 1.310 -.357 4.892
a. Covariates appearing in the model are evaluated at the following values: Siklus Komoterapi = 3.38.
4. Kelompok * Status Gizi
Measure:MEASURE_1
Kelompok Status Gizi Mean Std. Error 95% Confidence Interval
Lower Bound Upper Bound
Kontrol SGA A (GIZI BAIK) 4.460a 1.130 2.194 6.725
SGA B & C (GIZI KURANG /
MALNUTRISI)
4.393a .969 2.451 6.335
Intervensi SGA A (GIZI BAIK) 4.882a 1.205 2.467 7.296
SGA B & C (GIZI KURANG /
MALNUTRISI)
4.683a .933 2.813 6.553
a. Covariates appearing in the model are evaluated at the following values: Siklus Komoterapi = 3.38.
31
Tests of Within-Subjects Effects
Measure:MEASURE_1
Source Type III Sum of
Squares df Mean Square F Sig. Partial Eta Squared Noncent. Parameter Observed Powera
waktu Sphericity Assumed 483.722 2 241.861 10.204 .000 .156 20.408 .985
Greenhouse-Geisser 483.722 1.614 299.734 10.204 .000 .156 16.468 .965
Huynh-Feldt 483.722 1.776 272.318 10.204 .000 .156 18.125 .975
Lower-bound 483.722 1.000 483.722 10.204 .002 .156 10.204 .881
waktu * SIKLUSKEMOTERAPI Sphericity Assumed 33.702 2 16.851 .711 .493 .013 1.422 .168
Greenhouse-Geisser 33.702 1.614 20.883 .711 .465 .013 1.147 .154
Huynh-Feldt 33.702 1.776 18.973 .711 .478 .013 1.263 .160
Lower-bound 33.702 1.000 33.702 .711 .403 .013 .711 .132
waktu * KELOMPOK Sphericity Assumed 24.604 2 12.302 .519 .597 .009 1.038 .134
Greenhouse-Geisser 24.604 1.614 15.246 .519 .558 .009 .838 .125
Huynh-Feldt 24.604 1.776 13.851 .519 .575 .009 .922 .129
Lower-bound 24.604 1.000 24.604 .519 .474 .009 .519 .109
waktu * STATUS_GIZI Sphericity Assumed 134.795 2 67.397 2.843 .063 .049 5.687 .548
32
Greenhouse-Geisser 134.795 1.614 83.524 2.843 .075 .049 4.589 .489
Huynh-Feldt 134.795 1.776 75.885 2.843 .069 .049 5.051 .514
Lower-bound 134.795 1.000 134.795 2.843 .097 .049 2.843 .381
waktu * KELOMPOK *
STATUS_GIZI
Sphericity Assumed 57.524 2 28.762 1.213 .301 .022 2.427 .260
Greenhouse-Geisser 57.524 1.614 35.644 1.213 .295 .022 1.958 .235
Huynh-Feldt 57.524 1.776 32.384 1.213 .298 .022 2.155 .246
Lower-bound 57.524 1.000 57.524 1.213 .275 .022 1.213 .191
Error(waktu) Sphericity Assumed 2607.295 110 23.703
Greenhouse-Geisser 2607.295 88.761 29.374
Huynh-Feldt 2607.295 97.697 26.688
Lower-bound 2607.295 55.000 47.405
a. Computed using alpha = .050