TESIS PENGARUH BEKAM KERING TERHADAP ...

163
TESIS PENGARUH BEKAM KERING TERHADAP PENURUNAN MUAL MUNTAH AKIBAT KEMOTERAPI PADA PASIEN KANKER PAYUDARA DI RSUP DR. WAHIDIN SUDIROHUSODO DAN RUMAH SAKIT UNIVERSITAS HASANUDDIN THE EFFECT OF DRY CUPPING ON DECREASE CHEMOTHERAPY INDUCED NAUSEA AND VOMITING IN PATIENTS BREAST CANCER IN GENERAL HOSPITAL CENTER DR. WAHIDIN SUDIROHUSODO AND HASANUDDIN UNIVERSITY HOSPITAL RIF’ATUNNISA P4200215037 PROGRAM PASCA SARJANA PROGRAM STUDI MAGISTER ILMU KEPERAWATAN FAKULTAS KEPERAWATAN UNIVERSITAS HASANUDDIN MAKASSAR 2018

Transcript of TESIS PENGARUH BEKAM KERING TERHADAP ...

TESIS

PENGARUH BEKAM KERING TERHADAP PENURUNAN MUAL

MUNTAH AKIBAT KEMOTERAPI PADA PASIEN KANKER

PAYUDARA DI RSUP DR. WAHIDIN SUDIROHUSODO

DAN RUMAH SAKIT UNIVERSITAS HASANUDDIN

THE EFFECT OF DRY CUPPING ON DECREASE CHEMOTHERAPY

INDUCED NAUSEA AND VOMITING IN PATIENTS BREAST CANCER

IN GENERAL HOSPITAL CENTER DR. WAHIDIN SUDIROHUSODO

AND HASANUDDIN UNIVERSITY HOSPITAL

RIF’ATUNNISA

P4200215037

PROGRAM PASCA SARJANA

PROGRAM STUDI MAGISTER ILMU KEPERAWATAN

FAKULTAS KEPERAWATAN

UNIVERSITAS HASANUDDIN

MAKASSAR

2018

ii

PENGARUH BEKAM KERING TERHADAP PENURUNAN MUAL

MUNTAH AKIBAT KEMOTERAPI PADA PASIEN KANKER

PAYUDARA DI RSUP DR. WAHIDIN SUDIROHUSODO

DAN RUMAH SAKIT UNIVERSITAS HASANUDDIN

Tesis

Sebagai Salah Satu Syarat untuk Mencapai Gelar Magister

Program Studi

Magister Ilmu Keperawatan

Disusun dan diajukan oleh

RIF’ATUNNISA

P4200215037

Kepada

PROGRAM PASCASARJANA

UNIVERSITAS HASANUDDIN

MAKASSAR

2018

iii

TESIS

PENGARUH BEKAM KERING TERHADAP PENURUNAN MUAL

MUNTAH AKIBAT KEMOTERAPI PADA PASIEN KANKER

PAYUDARA DI RSUP DR. WAHIDIN SUDIROHUSODO DAN

RUMAH SAKIT UNIVERSITAS HASANUDDIN

Disusun dan Diajukan Oleh

RIF’ATUNNISA

P4200215037

Diterima dan disetujui untuk dilakukan seminar akhir oleh

Komisi Penasehat

Pembimbing I Pembimbing II

(Rini Rachmawaty, S.Kep.,Ns., MN., Ph.D.) (Prof Dr. dr. A.Wardihan Sinrang, MS.,Sp-And.)

Mengetahui,

Ketua Program Studi

Magister Ilmu Keperawatan

Dr. Elly L. Sjattar, S.Kp., M.Kes

iv

PERNYATAAN KEASLIAN TESIS

Yang bertanda tangan di bawah ini, saya :

Nama : Rif’atunnisa

Nim : P4200215037

Program Studi : Magister Ilmu Keperawatan

Fakultas : Keperawatan

Dengan ini menyatakan bahwa tesis yang berjudul “Pengaruh Bekam Kering terhadap

Penurunan Mual Muntah akibat Kemoterapi pada Pasien Kanker Payudara di RSUP Dr.

wahidin sudirohusodo dan Rumah Sakit Universitas Hasanuddin” adalah hasil karya saya

sendiri yang belum pernah diajukan untuk mendapatkan gelar pada Program Studi Magister

Ilmu Keperawatan maupun Program Studi lainnya. Karya ini adalah milik saya dan oleh

Karena itu saya bertanggung jawab penuh atas keaslian tesis ini.

Dalam tesis ini tidak terdapat karya atau pendapat yang pernah ditulis atau

dipublikasikan orang lain, kecuali secara tertulis dengan jelas dicantumkan sebagai acuan

dalam naskah dengan disebutkan nama dan dicantumkan dalam daftar rujukan.

Demikian pernyataan ini saya buat dengan sebenar-benarnya, tanpa ada paksaan dari

pihak manapun.

Makassar, 10 Januari 2018

Yang menyatakan

Rif’atunnisa

v

PRAKATA

Puji syukur penulis panjatkan kepada Allah SWT yang senantiasa memberikan rahmat

kesehatan dan kekuatan sehingga penulis dapat menyelesaikan tesis yang berjudul “Pengaruh

Bekam Kering terhadap Penurunan Mual Muntah akibat Kemoterapi pada Pasien Kanker

Payudara di RSUP Dr. wahidin sudirohusodo dan Rumah Sakit Universitas Hasanuddin”.

Maksud dan tujuan penyusunan tesis ini adalah untuk memenuhi salah satu syarat dalam

menempuh program strata dua pada Program Studi Magister Ilmu Keperawatan Universitas

Hasanuddin (Unhas).

Gagasan yang melatari penulisan tesis ini adalah berdasarkan fenomena efek samping

pengobatan kemoterapi yang paling sering terjadi pada pasien kanker payudara yaitu mual

muntah akibat kemoterapi meskipun telah mendapatkan obat antiemetic sehingga dibutuhkan

suatu terapi komplementer untuk bisa membantu menurunkan sensasi mual dan muntah yang

dialami pasien. Bekam kering pada titik pericardium 6 diajukan sebagai solusi dalam

menurubkan mual muntah pada pasien kanker payudara yang menjalani kemoterapi.

Banyak kendala yang penulis hadapi dalam penyusunan tesis ini, namun berkat

bantuan dan kerjasama berbagai pihak maka tesis ini dapat selesai pada waktunya. Melalui

kesempatan ini penulis ingin mengucapkan terima kasih kepada :

1. Ibu Dr. Ariyanti Saleh, S.Kp., M.Si. selaku Dekan Fakultas Keperawatan Unhas beserta

jajarannya;

2. Ibu Dr. Elly L. Sjattar, S.Kp., M.Kes selaku Ketua Program Studi Magister Ilmu

Keperawatan Unhas sekaligus ketua komisi penasehat,;

3. Ibu Rini Rachmawaty, S.Kep.,Ns., MN., Ph.D dan Prof Dr. dr. A.Wardihan Sinrang,

MS.,Sp-And.) sebagai Anggota komisi penasehat atas bantuan dan bimbingan yang telah

diberikan mulai dari pengembangan minat terhadap permasalahan penelitian, pelaksanaan

penelitian sampai dengan penulisan tesis ini;

4. Bapak Dr.Takdir Tahir, S.Kep.,Ns.,M.Kes.; Saldy Yusuf, S.kep.,Ns.,MHS., Ph.D.,ETN.

dan Dr.dr. Ilhamjaya Patellongi, M.Kes. sebagai tim penguji atas segala masukan dan

kritikan yang membangun demi perbaikan penulisan tesis;

5. Direktur Rumah Sakit Umum Pusat Dr. Wahidin Sudirohusodo Makassar dan Rumah

Sakit Universitas Hasanuddin beserta jajarannya yang telah memberikan kesempatan

kepada penulis untuk melakukan penelitian demi tersusunnya tesis ini;

vi

6. Ayahanda (Alm) Abd Rahman Abdullah dan Ibunda St. Niswa tercinta yang tiada henti-

hentinya memberikan do’a, motivasi dan materil kepada penulis mulai dari awal hingga

akhir perkuliahan;

7. Saudaraku terkasih Sa’adah laily, Miftahulkhairah, dan Ainun Nadia, beserta keluarga

besar yang selalu memberikan dukungan dan motivasi kepada penulis;

8. Teman seperjuangan KMB 2 dan Angkatan VI Program Studi Magister Ilmu

Keperawatan Unhas; dan terutama Teman-teman Ideologis Unhas

9. Serta kepada mereka yang namanya tidak dapat dicantumkan satu persatu tetapi telah

berkontribusi besar dalam membantu penulis menyelesaikan tesis ini.

Akhir kata penulis mengharapkan penyusunan tesis ini dapat bermanfaat bagi semua

pihak dan semoga Allah SWT membalas semua pihak yang telah berjasa kepada penulis

selama penulis menempuh pendidikan dengan pahala yang berlipat ganda. Aamiin.

Makassar, 10 Januari 2018

Rif’atunnisa

vii

ABSTRAK

RIF’ATUNNISA. Pengaruh Bekam Kering terhadap Penurunan Mual Muntah Akibat

Kemoterapi pada Pasien Kanker Payudara di RSUP Dr.Wahidin Sudirohusodovdan Rumah

Sakit Universitas Hasanuddin (dibimbing oleh Rini Rachmawaty dan A.Wardihan Sinrang)

Kanker payudara menjadi penyebab kematian utama di dunia dan di Indonesia dengan

prevalensi dan mortalitas yang terus meningkat. Penatalaksanaan kanker payudara dengan

kemoterapi memberikan dampak utama yaitu mual muntah. Frekuensi pengalaman mual

muntah akut dan lambat lebih dari 50% meskipun mendapatkan profilaksis antiemetik.

Bekam kering merupakan salah satu terapi komplementer pada pasien yang mengalami mual

muntah akibat kemoterapi. Penelitian ini bertujuan untuk mengidentifikasi pengaruh terapi

bekam kering terhadap mual muntah antisipatori dan mual muntah akut akibat kemoterapi

pada pasien kanker payudara di RSUP Dr. Wahidin Sudirohusodo dan RS Universitas

Hasanuddin.

Penelitian ini menggunakan metode quasi experimental. Teknik pengambilan sampel

menggunakan cara non probability sampling jenis consecutive sampling dengan jumlah

sampel 60 pasien (30 intervensi dan 30 kontrol) kanker payudara di RSUP Dr. Wahidin

Sudirohusodo dan RS Universitas Hasanuddin. Kelompok intervensi dilakukan bekam kering

pada titik P6 sedangkan kelompok kontrol pada titik TE5 di pergelangan tangan, terapi

bekam kering dilakukan pada fase antisipatori yaitu 6 jam pre kemoterapi, saat kemoterapi

dan pada fase akut yaitu pada 6 jam post kemoterapi masing-masing selama 7 menit dan

menilai skor mual muntah dengan skala Rhodes. Data dianalisis dengan uji Repeated

Measure ANCOVA dengan menggunakan SPSS Statistik 18.

Hasil penelitian menunjukkan secara statistik, tidak ada perbedaan skor mual muntah

pada baseline, 30 menit pre kemoterapi (antisipatori) dan 12 jam post kemoterapi (akut)

setelah mengontrol siklus kemoterapi berdasarkan kelompok, jenis emetogenisitas

kemoterapi, dan status gizi, namun secara klinis ada perbedaan skor mual muntah pada

kelompok intervensi yang mendapatkan kemoterapi dengan emetogenisitas tinggi

dibandingkan dengan kelompok kontrol, dimana responden memiliki skor mual muntah yang

menurun secara signifikan dari 6,122 pada baseline ke 1,803 pada 30 menit pre kemoterapi

dan menurun menjadi 0,289 pada 12 jam post kemoterapi. Secara klinis juga ditemukan ada

perbedaan skor mual muntah pada kelompok intervensi yang mendapatkan kemoterapi

dengan status gizi baik dibandingkan dengan kelompok kontrol, dimana responden memiliki

skor mual muntah yang menurun secara signifikan dari 9,67 pada baseline ke 2,276 pada 30

menit pre kemoterapi dan meningkat sedikit menjadi 2,702 pada 12 jam post kemoterapi

Kesimpulan: .Terapi bekam kering pada titik P6 lebih efektif dalam menurunkan skor mual

muntah pada responden yang mendapatkan kemoterapi dengan jenis emetogenesitas tinggi

dan status gizi baik.

.

Key words : Bekam kering, Mual muntah, Kemoterapi,

viii

ABSTRACT

RIF’ATUNNISA. The Effect of Dry Cupping on Decrease Chemotherapy Induced Nausea

and Vomiting in Patients Breast Cancer in General Hospital Center Dr. Wahidin

Sudirohusodo and Hasanuddin University Hospital, ( Supervised by Rini Rachmawaty and

A.Wardihan Sinrang).

Breast cancer is the leading cause of death in the world and in Indonesia with

increasing prevalence and mortality. Management of breast cancer with chemotherapy has a

major impact: nausea and vomiting. The frequency of acute nausea and vomiting experiences

is over 50% despite antiemetic prophylaxis. Dry cupping is one of the complementary

therapies in patients who experience nausea vomiting due to chemotherapy. The aim of the

study was to identify the effect of dry cupping therapy on nausea vomiting anticipatory and

acute nausea vomiting induced to chemotherapy in breast cancer patients in Dr. Wahidin

Sudirohusodo and Hasanuddin University Hospital.

This research with quasi experimental method. The sampling technique used non

probability sampling type of consecutive sampling with sample size of 60 patients (30

intervention and 30 control) of breast cancer in Dr. Wahidin Sudirohusodo and Hasanuddin

University Hospital. The intervention group was performed dry cupping at point P6 while

control group at point TE5 at wrist, dry cupping therapy was done at anticipatory phase in 6

hours pre chemotherapy, during chemotherapy and in acute phase at 6 hours post

chemotherapy each for 7 min and assessed the score of nausea vomiting with the Rhodes

scale. The data were analyzed by ANCOVA repeated Measure test using SPSS Statistic 18.

The research result indicates that statistically, there was no difference in nausea score

of vomiting at baseline, 30 min pre chemotherapy and 12 hours post chemotherapy (acute)

after controlling chemotherapy cycle based on group, type of emetogenicity of chemotherapy,

and nutritional status, but clinically there was a difference in nausea score of vomiting in the

intervention group receiving chemotherapy with high emetogenicity compared with the

control group, where the respondents had a nausea score of vomiting that decreased

significantly from 6.122 at baseline to 1.803 at 30 minutes pre chemotherapy and decreased

to 0.289 at 12 hours post chemotherapy. Clinically there was also a difference in the score of

nausea of vomiting in the intervention group receiving chemotherapy with good nutritional

status compared with the control group, where the respondents had a nausea score of

vomiting that decreased significantly from 9.67 at baseline to 2.276 at 30 min pre

chemotherapy and increased slightly to 2,702 in 12 hours post chemotherapy

Conclusion: Dry cupping therapy at P6 point was more effective in reducing nausea score of

vomiting in respondents who received chemotherapy with high emetogenesity and good

nutritional status.

.

Key words: Dry Cupping, Nausea, vomiting, Chemotherapy,

ix

DAFTAR ISI

Halaman

HALAMAN JUDUL ................................................................................................i

HALAMAN PENGAJUAN TESIS ........................................................................ii

LEMBAR PENGESAHAN .....................................................................................iii

PERNYATAAN KEASLIAN TESIS .....................................................................iv

PRAKATA ................................................................................................................v

ABSTRAK ...............................................................................................................vii

ABSTRACT .............................................................................................................viii

DAFTAR ISI.............................................................................................................ix

DAFTAR TABEL ....................................................................................................xi

DAFTAR GAMBAR ................................................................................................xii

DAFTAR GRAFIK ..................................................................................................xiii

DAFTAR LAMPIRAN ............................................................................................xiv

BAB I PENDAHULUAN .........................................................................................1

A. Latar Belakang .....................................................................................................1

B. Rumusan Masalah ................................................................................................7

C. Tujuan Penelitian .................................................................................................7

D. Manfaat Penelitian ...............................................................................................9

E. Ruang Lingkup ....................................................................................................10

BAB II TINJAUAN PUSTAKA .............................................................................11

A. Tinjauan Literatur ................................................................................................11

1. Kanker payudara ............................................................................................11

2. Kemoterapi ....................................................................................................24

3. Mual muntah pasca kemoterapi .....................................................................28

4. Bekam kering ................................................................................................40

B. Kerangka Teori ....................................................................................................53

BAB III KERANGKA KONSEPTUAL & HIPOTESIS PENELITIAN ............59

A. Kerangka Konseptual Penelitian ..........................................................................59

B. Variabel Penelitian ...............................................................................................60

C. Defenisi Operasional dan Kriteria Objektif .........................................................61

D. Hipotesis penelitian ..............................................................................................62

BAB IV METODOLOGI PENELITIAN ..............................................................63

A. Desain Penelitian .................................................................................................63

x

B. Tempat dan Waktu Penelitian ..............................................................................64

C. Populasi dan Sampel ............................................................................................64

D. Teknik Sampling ..................................................................................................65

E. Instrumen Penelitian, Metode dan Prosedur Pengumpulan Data.........................66

F. Tehnik Pengolahan dan Analisis Data .................................................................71

G. Etika Penelitian ....................................................................................................73

H. Alur Penelitian .....................................................................................................75

BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN ...................................................................76

A. Hasil Penelitian ....................................................................................................76

B. Pembahasan..........................................................................................................94

C. Keterbatasan Penelitian ........................................................................................104

BAB VI KESIMPULAN DAN SARAN .................................................................106

A. Kesimpulan ..........................................................................................................106

B. Saran ....................................................................................................................107

DAFTAR PUSTAKA ...............................................................................................108

LAMPIRAN

xi

DAFTAR TABEL

Nomor Halaman

Tabel 2.1 Tingkat emetogenisitas obat kemoterapi 27

Tabel 3.1 Tabel defenisi operasional & kriteria objektif 61

Tabel 5.1 Distribusi frekuensi demografi responden 77

Tabel 5.2 Distribusi frekuensi karakteristik status klinis responden 78

Tabel 5.3

Perbedaan skor mual muntah sepanjang pengukuran mulai

dari baseline, 30 menit pre kemoterapi sampai 12 jam post

kemoterapi setelah mengontrol siklus kemoterapi

berdasarkan kelompok

81

Tabel 5.4

Perbedaan skor mual muntah sepanjang pengukuran mulai

dari baseline, 30 menit pre kemoterapi sampai 12 jam post

kemoterapi setelah mengontrol siklus kemoterapi dalam

setiap kelompok berdasarkan emetogenisitas obat

kemoterapi

83

Tabel 5.5

Perbedaan skor mual muntah sepanjang pengukuran mulai

dari baseline, 30 menit pre kemoterapi sampai 12 jam post

kemoterapi setelah mengontrol siklus kemoterapi dalam

setiap kelompok berdasarkan status gizi

84

Tabel 5.6

Perbedaan skor mual muntah setelah mengontrol siklus

kemoterapi antara kelompok intervensi dan kelompok

kontrol

86

Tabel 5.7

Perbedaan skor mual muntah setelah mengontrol siklus

kemoterapi dalam setiap kelompok berdasarkan jenis

emetogenisitas obat kemoterapi

87

Tabel 5.8 Perbedaan skor mual muntah setelah mengontrol siklus

kemoterapi dalam setiap kelompok berdasarkan status gizi

88

xii

DAFTAR GAMBAR

Nomor Halaman

Gambar 2.1 Patofisiologi mual muntah akibat kemoterapi: jalur

emetik dan pusat muntah 37

Gambar 2.2 Patomekanisme mual muntah dengan kemoterapi 38

Gambar 2.3 Gambaran saat dilakukan bekam kering 48

Gambar 2.4 bekam kering kering pada anatomi daerah P6 untuk mual

dan muntah setelah kemoterapi (CINV).

51

Gambar 2.5 Titik anatomi daerah P6. 52

Gambar 2.6 Framework teori Katharine Kolcaba 56

Gambar 2.7 Kerangka teoritis 58

Gambar 3.1 Kerangka konsep 59

Gambar 4.1 Kerangka penelitian 63

Gambar 4.2 Titik pericardium 6 (PC 6) 68

Gambar 4.3 Titik Tri Energizer (TE) 5 / Sanjiao (SJ) 5 68

Gambar 4.4 Pemberian terapi bekam kering dan perhitungan

Rhodes INVR pada kelompok kontrol dan

kelompok bekam kering

70

xiii

DAFTAR GRAFIK

Nomor Halaman

Grafik 5.1 Perbedaan mual muntah sepanjang pengukuran

dimulai dari baseline, 30 menit pre kemoterapi sampai

12 jam post kemoterapi dalam setiap kelompok

berdasarkan jenis emetogenisitas obat kemoterapi

dengan emetogenik rendah setelah mengontrol siklus

kemoterapi

89

Grafik 5.2 Perbedaan mual muntah sepanjang pengukuran dimulai

dari baseline, 30 menit pre kemoterapi sampai 12 jam

post kemoterapi dalam setiap kelompok berdasarkan

jenis emetogenisitas obat kemoterapi dengan

emetogenik sedang setelah mengontrol siklus

kemoterapi

90

Grafik 5.3 Perbedaan mual muntah sepanjang pengukuran dimulai

dari baseline, 30 menit pre kemoterapi sampai 12 jam

post kemoterapi dalam setiap kelompok berdasarkan

jenis emetogenisitas obat kemoterapi dengan

emetogenik tinggi setelah mengontrol siklus kemoterapi

91

Grafik 5.4 Perbedaan mual muntah sepanjang pengukuran dimulai

dari baseline, 30 menit pre kemoterapi sampai 12 jam

post kemoterapi dalam setiap kelompok berdasarkan

status gizi baik setelah mengontrol siklus kemoterapi

93

Grafik 5.5 Perbedaan mual muntah sepanjang pengukuran dimulai

dari baseline, 30 menit pre kemoterapi sampai 12 jam

post kemoterapi dalam setiap kelompok berdasarkan

status gizi kurang / malnutrsi setelah mengontrol siklus

kemoterapi

94

xiv

DAFTAR LAMPIRAN

Lampiran 1 Lembar Penjelasan untuk Responden

Lampiran 2 Lembar Persetujuan Menjadi Responden

Lampiran 3 Lembar Kuesioner Data Demografi

Lampiran 4 Lembar Kuisioner Penelitian (Indeks Rhodes)

Lampiran 5 Lembar Etik Penelitian

Lampiran 6 Output SPSS

Lampiran 7 Sertifikat Pelatihan Bekam Kering

Lampiran 8 Sertifikat Pelatihan Titik Akupresur

Lampiran 9 Surat keterangan selesai penelitian dari RSUP Dr Wahidin Sudirohusodo

Lampiran 10 Surat keterangan selesai penelitian dari RS Universitas Hasanuddin

1

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Kanker payudara adalah tumor ganas yang terbentuk dari proliferasi

sel-sel payudara yang tumbuh dan berkembang tanpa terkendali sehingga

dapat menyebar di antara jaringan atau organ di dekat payudara atau ke

bagian tubuh lainnya. Kanker payudara menjadi kanker yang sangat

menakutkan bagi perempuan di seluruh dunia, termasuk di Indonesia.

Sekarang ini kanker payudara menempati urutan pertama penyebab kematian

pada wanita di dunia sehingga kanker payudara merupakan salah satu

masalah yang memerlukan perhatian serius (Infodatin, 2016).

Kanker payudara menjadi salah satu penyebab kematian utama di

dunia dan di Indonesia. Kanker ini cenderung berdampak pada perempuan

yang memasuki usia senja di atas 50 tahun. Terdapat 8 sampai 10 kasus

kanker terjadi pada perempuan di usia ini. Faktor pemicu munculnya kanker

payudara disebabkan oleh faktor genetik dan lingkungan serta kebiasaan gaya

hidup. Data GLOBACAN, International Agency for Research on Cancer

(IARC) mengungkapkan bahwa pada tahun 2012 presentasi kasus baru

kanker payudara merupakan yang tertinggi yaitu sebesar 43,1 % dan

menyebabkan kematian sebesar 12, 9 % (WHO, 2017).

Angka kematian kanker payudara per 100.000 penduduk yang tinggi

diantaranya yaitu negara Armenia 39,96 (rangking pertama); Denmark 27,69

(rangking kelima); Inggris 22,10 (rangking ke 28). Angka kematian sedang

yaitu Negara Iraq 20,79 (rangking 44); Italia 19,94 (rangking 53); Malaysia

2

19,88 (rangking 54); Amerika Serikat 19,36 (rangking 58) dan termasuk

Indonesia sekitar 19,02 (rangking ke 61) per 100.000 penduduk (World

Health Rankings, 2014). Estimasi kasus baru kanker payudara di Amerika

Serikat diperkirakan 249.260 dan menyebabkan kematian 40.890 pada tahun

2016 (Siegel, Miller, & Jemal, 2016) .

Pada tahun 2012 menurut estimasi Globacan, International Agency for

Research on Cancer (IARC) insiden kanker Payudara pada wanita sebesar 40

per 100.000 dengan angka kematian adalah 16,6 kematian per 100.000

penduduk (Infodatin, 2016). Pada tahun 2013 di Indonesia, jumlah kasus

kanker payudara sebanyak 61.682 kasus, dengan prevalensi 0,5 % (Pusat

Data dan Informasi, 2015).

Penyakit kanker payudara merupakan penyakit kanker dengan

prevalensi tertinggi setelah kanker servix di Indonesia. Prevalensi kanker

payudara di Indonesia pada tahun 2013 sebesar 0,5 %. Prevalensi kanker

payudara tertinggi terdapat di Yogyakarta yaitu sebesar 2,4 % sedangkan

untuk Provinsi Sulawesi Selatan memiliki prevalensi kanker payudara

sebesar 0,7 % atau berjumlah 2975 kasus (Infodatin, 2016).

Berdasarkan observasi lapangan didapatkan jumlah penderita kanker

payudara yang menjalani kemoterapi di RSP Universitas Hasanuddin bulan

februari sampai November 2016 sekitar 83 kasus, bulan januari sampai maret

2017 berjumlah 41 orang. Sedangkan jumlah pasien yang didiagnosis kanker

payudara di RSUP DR. Wahidin Sudirohusodo pada bulan Januari sampai

September tahun 2016 adalah 608 pasien. Selama bulan oktober sampai

desember 2016, pasien kanker payudara yang menjalani kemoterapi sekitar

3

331 pasien yaitu bulan Oktober 96 pasien, November 113 dan Desember 122

pasien. Jumlah pasien kanker payudara di RSWS untuk tahun 2017 bulan

Januari: 96 orang, Februari: 89 orang, Maret 112 orang, dan April 76 orang.

Di Indonesia, lebih dari 80% kasus ditemukan berada pada stadium yang

lanjut, dimana upaya pengobatan sulit dilakukan. Oleh karena itu perlu

pemahaman tentang upaya pencegahan, diagnosis dini, pengobatan kuratif

maupun paliatif serta upaya rehabilitasi yang baik, agar pelayanan pada

penderita dapat dilakukan secara optimal (Kemenkes, 2008).

Banyak pendekatan yang telah digunakan dalam pengobatan kanker

seperti operasi, radioterapi, kemoterapi, terapi hormon, dan imunoterapi. Di

antara pendekatan ini, secara umum, kemoterapi mempengaruhi kualitas

hidup yang merugikan pasien dengan menyebabkan beberapa masalah serius

seperti mual muntah, kurang nafsu makan, ulkus mulut, depresi sumsum

tulang belakang, sembelit dan diare, dan rambut rontok.Terutama mual dan

muntah merupakan variabel penting dalam adaptasi pasien terhadap

pengobatan. Studi telah menunjukkan bahwa meskipun mendapatkan

profilaksis antiemetik, frekuensi akut dan pengalaman mual dan muntah

lambat lebih dari 50%. Studi lain menunjukkan bahwa 22-50% pasien

mengalami mual dan muntah akibat kemoterapi. Reaksi ini oleh pasien

seharusnya tidak dikesampingkan karena terkadang mual dan muntah yang

tidak terkendali dapat menyebabkan ketidakseimbangan elektrolit cair,

dehidrasi, anoreksia, penurunan berat badan, dan hilangnya nafsu makan.

Bahkan mencegah partisipasi pasien dalam kehidupan sosial dan kegiatan

4

sehari-hari dan mempengaruhi psikologi mereka secara negatif (Genç, Can,

& Aydiner, 2013).

Salah satu pengobatan kanker payudara ialah melalui kemoterapi.

Kemoterapi dilakukan dengan menggunakan obat sitotoksik yang akan

merusak DNA atau bertindak sebagai inhibitor umum pada pembelahan sel.

Kemoterapi dapat menimbulkan efek samping seperti mual dan muntah. Efek

samping kemoterapi dengan mual dan muntah adalah yang paling sering

terjadi dan dan salah satu yang paling sulit untuk diatasi. Wanita dengan

kanker payudara sering menderita setelah mengalami mual muntah post

kemoterapi dan mengakibatkan kelelahan karena agen kemoterapi untuk

kanker payudara menggabungkan berbagai agen emetogenik, seperti

siklofosfamid, doxorubicin, epirubicin, paclitaxel, docetaxel, fluouracil, dan

methotrexate (Peoples et al., 2016) Lebih dari setengah dari wanita yang

menjalani kemoterapi telah dilaporkan mengalami mual muntah post

kemoterapi meskipun telah menggunakan obat antiemetik.

Penelitian yang dilakukan oleh Chean (2016) menyelidiki dampak

kemoterapi pada kualitas hidup di antara pasien kanker payudara. Mereka

melaporkan status kesehatan global yang lebih rendah signifikan (P < 0,01)

dan gejala yang signifikan lebih tinggi pada mual dan muntah (P < 0,01),

kehilangan nafsu makan (P = 0,028). Manajemen kerugian akibat kemoterapi

seperti nafsu makan, diare, mual dan muntah harus ditingkatkan untuk hasil

yang lebih baik. Penelitian tersebut menunjukkan bahwa kemoterapi

mengakibatkan peningkatan mual, muntah, diare dan hilangnya nafsu makan

serta mengurangi status kesehatan global di antara penderita kanker payudara

5

di Rumah Sakit Melaka. Hal ini berguna untuk perawat dalam memberikan

intervensi terkait dengan manajemen gejala yang dapat membantu perempuan

dalam memahami kemungkinan penyebab gejala dan dapat mengatasi lebih

efektif gejala mereka. Insiden mual dan muntah akibat kemoterapi di antara

populasi sampel menunjukkan bahwa masih ada ruang untuk perbaikan

terhadap kontrol yang lebih baik dari mual dan muntah melalui pengenalan

pengobatan komplementer atau kombinasi obat antiemetik (Chean, Zang,

Lim, & Zulkefle, 2016; Nazari, Taghizadeh, Bazzaz, Rakhshandeh, & Shokri,

2017).

Asosiasi Keperawatan Onkologi (ONS) menyebutkan pedoman

Praktek untuk manajemen mual muntah setelah kemoterapi seperti

manajemen akupunktur, akupresur, guide imagery, terapi musik, relaksasi

otot progresif, dan dukungan psychoeducational dan informasi yang efektif

merupakan intervensi nonfarmakologi. Selain itu terapi nonfarmakologi lain

yang bisa digunakan yaitu bekam kering. Diantara intervensi itu, akupresur

dan bekam kering yang diberikan oleh perawat dapat berguna dalam praktek

keperawatan karena merupakan tindakan noninvasif, mudah diterapkan dan

dapat dilakukan oleh perawat (Suh, 2012; Molassiotis et al., 2013).

Terapi bekam merupakan salah satu terapi komplementer yang terdiri

dari bekam kering dan bekam basah. Bekam basah melibatkan pengeluaran

darah dari permukaan kulit. Sedangkan bekam kering merupakan pengekopan

tanpa mengeluarkan darah .Oleh karena itu, bekam kering dianggap teknik

noninvasif dan murah. Lebih khusus, dalam teknik ini, jaringan di bawahnya

ditarik ke dalam penyedotan gelas / kop dengan produksi panas untuk

6

meningkatkan darah lokal dan sirkulasi limfatik. Teknik ini telah digunakan

dalam pengobatan berbagai kondisi termasuk perdarahan yang berlebihan saat

menstruasi, edema, hernia skrotum, nyeri panggul, hidrokel, nyeri perineum

postpartum, nyeri leher kronis, dan nyeri pinggang, namun belum ada

penelitian sebelumnya yang menguji efektivitas bekam kering dalam

pengobatan Chemotheraphy induced nausea vomiting (CINV) pada pasien

kanker payudara yang menjalani kemoterapi (Farhadi et al., 2016).

Hasil penelitian yang dilakukan di Iran (Farhadi,2016) menunjukkan

bahwa pemberian bekam kering pada titik P6 dapat mencegah timbulnya

mual, muntah, setelah operasi kolesistektomi laparoskopi. Bekam kering

memiliki dampak yang signifikan terhadap PONV (post op nausea vomiting)

pada kelompok intervensi dibandingkan dengan kelompok kontrol. Penelitian

lain yang dilakukan oleh Suh, 2012 juga menunjukkan bahwa akupresur pada

titik P6 lebih efektif dalam mengurangi mual muntah baik akut atau lambat.

Penggunaan terapi bekam kering cukup aman dilakukan pada pasien

kanker payudara dan diharapkan dapat menurunkan mual muntah yang terjadi

pada pasien kanker payudara dengan kemoterapi. Selain itu, teknik bekam

kering mudah diaplikasikan dan dapat diberikan dengan cepat, biaya murah

dan efektif untuk mengatasi berbagai gejala. Mengingat efek samping yang

lebih sedikit dari terapi ini dibandingkan dengan terapi obat lain dan peneltian

uji klinis mengenai intervensi bekam kering pada CINV masih kurang, oleh

karena itu, peneliti bertujuan untuk melakukan penelitian tentang pengaruh

terapi bekam kering terhadap terhadap mual muntah akibat kemoterapi pada

7

pasien kanker payudara yang mendapatkan kemoterapi di RSUP Dr.Wahidin

Sudirohusodo dan RS Universitas Hasanuddin Makassar.

B. Rumusan Masalah

Kanker payudara menjadi penyebab kematian utama di dunia dan di

Indonesia dengan prevalensi dan mortalitas yang terus meningkat.

Penatalaksanaan kanker payudara dengan kemoterapi memberikan dampak

utama yaitu mual muntah dan mempengaruhi kualitas hidup pasien. Berbagai

penelitian telah dilakukan untuk mengatasi efek mual muntah post

kemoterapi baik secara faramakologi atau nonfarmakologi. Penelitian untuk

meneliti pengaruh bekam kering terhadap mual muntah sudah pernah

dilakukan pada pasien post operasi tetapi belum pernah dilakukan pada

pasien yang mengalami mual muntah akibat kemoterapi pada pasien kanker

payudara dimana bekam kering merupakan salah satu terapi komplementer

yang bersifat noninvasif dan murah. Dengan demikian masalah penelitian ini

adalah bagaimana pengaruh pemberian terapi bekam kering terhadap mual

muntah akibat kemoterapi pada pasien kanker payudara.

C. Tujuan Penelitian

1. Tujuan Umum

Mengidentifikasi pengaruh terapi bekam kering terhadap mual muntah

anticipatory dan mual muntah akut akibat kemoterapi pada pasien kanker

payudara di RSUP dr. Wahidin Sudirohusodo dan RS Universitas

Hasanuddin Makassar.

8

2. Tujuan Khusus

a. Diketahuinya perbedaan skor mual muntah sepanjang pengukuran

dimulai dari baseline, 30 menit pre kemoterapi, 12 jam post

kemoterapi setelah mengontrol siklus kemoterapi berdasarkan

kelompok.

b. Diketahuinya perbedaan skor mual muntah sepanjang pengukuran

dimulai dari baseline, 30 menit pre kemoterapi, 12 jam post

kemoterapi setelah mengontrol siklus kemoterapi berdasarkan jenis

emetogenisitas kemoterapi.

c. Diketahuinya perbedaan skor mual muntah sepanjang pengukuran

dimulai dari baseline, 30 menit pre kemoterapi, 12 jam post

kemoterapi setelah mengontrol siklus kemoterapi berdasarkan status

gizi

d. Diketahuinya perbedaan skor mual muntah setelah mengontrol siklus

kemoterapi antara kelompok intervensi dan kelompok kontrol

e. Diketahuinya perbedaan skor mual muntah setelah mengontrol siklus

kemoterapi antara kelompok intervensi dan kelompok kontrol

berdasarkan jenis obat emetogenisitas kemoterapi.

f. Diketahuinya perbedaan skor mual muntah setelah mengontrol siklus

kemoterapi antara kelompok intervensi dan kelompok kontrol

berdasarkan status gizi.

9

D. Manfaat Penelitian

1. Manfaat Teoritis

a. Dapat menjadi sumbangan ilmiah dan menambah wawasan bagi

peneliti selanjutnya untuk menemukan manfaat bekam kering untuk

mual muntah pada jenis penyakit lain;

b. Dapat menambah wawasan bagi institusi pendidikan dalam penyajian

materi yang terkait dengan terapi komplementer bekam kering dalam

praktek keperawatan professional.

2. Manfaat Aplikatif

a. Dapat memeberikan manfaat bagi institusi layanan kesehatan dalam

mengembangkan bekam kering pada pasien yang mengalami mual

muntah akibat kemoterapi;

b. Dapat menjadi masukan bagi pihak rumah sakit di dalam membuat

kebijakan dan program yang lebih efektif dalam melakukan terapi

komplementer khususnya bekam kering di rumah sakit sehingga dapat

meningkatkan kualitas pelayanan keperawatan di rumah sakit;

c. Dapat menjadi bahan pertimbangan rumah sakit untuk menyesuaikan

dukungan yang akan diberikan terkait pelatihan untuk meningkatkan

kompetensi perawat dalam mengembangkan terapi komplementer;

d. Dapat memberikan manfaat bagi perawat khususnya di ruang rawat

inap untuk lebih mengembangkan kemampuan dalam memberikan

intervensi keperawatan untuk penatalaksanaan mual muntah pada

pasien.

10

E. Ruang Lingkup / Batasan Penelitian

1. Lingkup Masalah

Masalah berada pada lingkup pengaruh pemberian terapi bekam kering

terhadap mual muntah akibat kemoterapi pada pasien kanker payudara

2. Lingkup Keilmuan

Lingkup keperawatan medikal bedah dan terapi komplementer

3. Lingkup Tempat

Tempat penelitian ini akan dilaksananakan di rumah sakit yang sementara

menjalani kemoterapi di RSP UNiversits Hasanudiin dan di RSUP DR.

Wahidin Sudirohusodo

4. Lingkup Sasaran

Pasien kanker payudara

11

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

A. Tinjauan Literatur

1. Kanker Payudara

a. Defenisi kanker Payudara (Ca Mammae)

Kanker payudara (KPD) merupakan proliferasi keganasan sel

epitel yang membatasi duktus atau lobus payudara (Price & Wilson,

2006). Kanker payudara merupakan salah satu jenis kanker terbanyak

di Indonesia. Berdasarkan Pathological Based Registration di

Indonesia, KPD menempati urutan pertama dengan frekuensi relatif

sebesar 18,6%. (Data Kanker di Indonesia Tahun 2010, menurut data

Histopatologik ; Badan Registrasi Kanker Perhimpunan Dokter

Spesialis Patologi Indonesia (IAPI) dan Yayasan Kanker Indonesia

(YKI)). Angka kejadiannya di Indonesia diperkirakan adalah

12/100.000 wanita, sedangkan di Amerika adalah sekitar 92/100.000

wanita dengan mortalitas yang cukup tinggi yaitu 27/100.000 atau 18

% dari kematian yang dijumpai pada wanita. Penyakit ini juga dapat

diderita pada laki - laki dengan frekuensi sekitar 1 %. Di Indonesia,

lebih dari 80% kasus ditemukan berada pada stadium yang lanjut,

dimana upaya pengobatan sulit dilakukan. Oleh karena itu perlu

pemahaman tentang upaya pencegahan, diagnosis dini, pengobatan

kuratif maupun paliatif serta upaya rehabilitasi yang baik, agar

pelayanan pada penderita dapat dilakukan secara optimal (Kemenkes,

2008).

12

b. Jenis

Ada beberapa jenis stadium kanker payudara. Stadium dipakai

untuk menggambarkan kondisi kanker yaitu letaknya, sampai dimana

penyebarannya dan pengaruhnya terhadap organ tubuh yang lain.

Dengan mengetahui stadium dapat membantu dalam menentukan

pengobatan yang cocok untuk pasien. Salah satu cara yang digunakan

dokter untuk menggambarkan stadium dari kanker adalah system

TNM. System ini menggunakan tiga kriteria untuk menentukan

stadium kanker. Yaitu (Bellenir, 2009):

1. Tumor itu sendiri. Seberapa besar ukuran tumornya dan dimana

lokasinya ( T, Tumor )

2. Kelenjar getah bening di sekitar tumor. Apakah tumor telah

menyebar ke kelenjar getah bening disekitarnya? ( N, Node )

3. Kemungkinan tumor telah menjalar ke organ lain ( M, Metastasis )

Ada beberapa stadium kanker (Bellenir, 2009; Elnashar, Ali, &

Gaber, 2011):

1. Stadium 0

Stadium 0 disebut karsinoma in situ atau kanker noninvasive,Yaitu

kanker tidak menyebar keluar dari pembuluh / saluran payudara

dan kelenjar-kelenjar (lobules) susu pada payudara.

2. Stadium I

Stadium I merupakan tumor yang masih sangat kecil dan tidak

menyebar serta tidak ada titik pada pembuluh getah bening. Besar

tumornya 2 cm atau kurang, sel tumor belum menyebar ke mana-mana.

13

Kalaupun merambah, menuju ke area kelenjar getah bening pada

ketiak. Kalau benjolan di kiri, maka proyeksi rambahan menuju

getah bening ketiak kiri.

3. Stadium II

Pasien pada kondisi ini:

a. Diameter tumor tidak lebih dari 2 cm dan telah ditemukan

pada titik-titik pada saluran getah bening di ketiak (axillary

limph nodes)

b. Diameter tumor antara 2 cm dan 5 cm. kanker belum menyebar

ke titik-titik pembuluh getah bening pada ketiak (axillary limph

nodes).

c. Diameter tumor antara 2 cm dan 5 cm. kanker telah menyebar

pada titik-titik di pembuluh getah bening ketiak

d. Diameter tumor lebih lebar dari 5 cm tapi belum menyebar

pada titik-titik di pembuluh getah bening ketiak

4. Stadium III

Stadium III merupakan kanker yang sudah menyebar. Kanker pada

Stadium ini terbagi menjadi stadium III A, III B, dan IIIC.

Stadium III A, Pasien pada kondisi ini:

a. Diameter tumor lebih kecil dari 5 cm dan telah menyebar ke

titik-titik pada pembuluh getah bening ketiak.

b. Diameter tumor lebih besar dari 5 cm dan telah menyebar ke

titik-titik pada pembuluh getah bening ketiak.

14

Stadium III B:

Tumor telah menyebar ke dinding dada atau menyebabkan

pembengkakan bisa juga luka bernanah di payudara. Atau

didiagnosis sebagai Inflammatory Breast Cancer. Bisa sudah atau

bisa juga belum menyebar ke titik-titik pada pembuluh getah

bening di ketiak dan lengan atas, tapi tidak menyebar ke bagian

lain dari organ tubuh.

Stadium IIIC:

Sebagaimana stadium IIIB, tetapi telah menyebar ke titik-titik

pada pembuluh getah bening dalam group N3 ( Kanker telah

menyebar lebih dari 10 titik di saluran getah bening di bawah

tulang selangka).

5. Stadium IV

Ukuran tumor bisa berapa saja, tetapi telah menyebar ke lokasi

yang jauh, yaitu :Tulang, paru-paru,liver atau tulang rusuk

Terdapat beberapa jenis kanker payudara (Bellenir, 2009) :

1. Karsinoma in situ atau kanker noninvasif

Karsinoma in situ adalah kanker yang masih berada pada

tempatnya, merupakan kanker dini yang belum menyebar atau

menyusup keluar dari tempat asalnya.

15

2. Karsinoma duktal

Karsinoma duktal berasal dari sel-sel yang melapisi saluran yang

menuju ke puting susu. Sekitar 90% kanker payudara merupakan

karsinoma duktal. Kanker ini bisa terjadi sebelum maupun sesudah

masa menopause. Kadang kanker ini dapat diraba dan pada

pemeriksaan mammogram, kanker ini tampak sebagai bintik-bintik

kecil dari endapan kalsium (mikrokalsifikasi). Kanker ini biasanya

terbatas pada daerah tertentu di payudara dan bisa diangkat secara

keseluruhan melalui pembedahan. Sekitar 25-35% penderita

karsinoma duktal akan menderita kanker invasif (biasanya pada

payudara yang sama).

3. Karsinoma lobuler

Karsinoma lobuler mulai tumbuh di dalam kelenjar susu, biasanya

terjadi setelah menopause. Kanker ini tidak dapat diraba dan tidak

terlihat pada mammogram, tetapi biasanya ditemukan secara tidak

sengaja pada mammografi yang dilakukan untuk keperluan lain.

Sekitar 25-30% penderita karsinoma lobuler pada akhirnya akan

menderita kanker invasif (pada payudara yang sama atau payudara

lainnya atau pada kedua payudara).

4. Kanker invasif

Kanker invasif adalah kanker yang telah menyebar dan merusak

jaringan lainnya, bisa terlokalisir (terbatas pada payudara) maupun

metastatik (menyebar ke bagian tubuh lainnya). Sekitar 80%

16

kanker payudara invasif adalah kanker duktal dan 10% adalah

kanker lobuler.

5. Karsinoma meduler

Kanker ini berasal dari kelenjar susu.

6. Karsinoma tubuler

Kanker ini berasal dari kelenjar susu

c. Penyebab

Penyebabnya tidak diketahui, tetapi ada beberapa faktor resiko

yang menyebabkan seorang wanita menjadi lebih mungkin menderita

kanker payudara.

Beberapa faktor resiko tersebut adalah (Bellenir, 2009);

1. Usia

Sekitar 60% kanker payudara terjadi pada usia diatas 60 tahun.

Resiko terbesar ditemukan pada wanita berusia diatas 75 tahun

2. Pernah menderita kanker payudara

Wanita yang pernah menderita kanker in situ atau kanker invasif

memiliki resiko tertinggi untuk menderita kanker payudara.

Setelah payudara yang terkena diangkat, maka resiko terjadinya

kanker pada payudara yang sehat meningkat sebesar 0,5-

1%/tahun

3. Riwayat keluarga yang menderita kanker payudara

Wanita yang ibu, saudara perempuan atau anaknya menderita

kanker, memiliki resiko 3 kali lebih besar untuk menderita

kanker payudara.

17

4. Faktor genetik dan hormonal

Telah ditemukan 2 varian gen yang tampaknya berperan dalam

terjadinya kanker payudara, yaitu BRCA1 dan BRCA2. Jika

seorang wanita memiliki salah satu dari gen tersebut, maka

kemungkinan menderita kanker payudara sangat besar. Gen

lainnya yang juga diduga berperan dalam terjadinya kanker

payudara adalah p53, BARD1, BRCA3 dan Noey2. Kenyataan ini

menimbulkan dugaan bahwa kanker payudara disebabkan oleh

pertumbuhan sel-sel yang secara genetik mengalami kerusakan.

Faktor hormonal juga penting karena hormon memicu

pertumbuhan sel. Kadar hormon yang tinggi selama masa

reproduktif wanita, terutama jika tidak diselingi oleh perubahan

hormonal karena kehamilan, tampaknya meningkatkan peluang

tumbuhnya sel-sel yang secara genetik telah mengalami

kerusakan dan menyebabkan kanker.

5. Pernah menderita penyakit payudara non-kanker

Resiko menderita kanker payudara agak lebih tinggi pada wanita

yang pernah menderita penyakit payudara non-kanker yang

menyebabkan bertambahnya jumlah saluran air susu dan

terjadinya kelainan struktur jaringan payudara (hiperplasia

atipik).

6. Menarke (menstruasi pertama) sebelum usia 12 tahun.

menopause setelah usia 55 tahun, kehamilan pertama setelah usia

30 tahun atau belum pernah hamil

18

Semakin dini menarke, semakin besar resiko menderita kanker

payudara. Resiko menderita kanker payudara adalah 2-4 kali

lebih besar pada wanita yang mengalami menarke sebelum usia

12 tahun. Demikian pula halnya dengan menopause ataupun

kehamilan pertama. Semakin lambat menopause dan kehamilan

pertama, semakin besar resiko menderita kanker payudara

7. Pemakaian pil KB atau terapi sulih estrogen

Pil KB bisa sedikit meningkatkan resiko terjadinya kanker

payudara, yang tergantung kepada usia, lamanya pemakaian dan

faktor lainnya. Belum diketahui berapa lama efek pil akan tetap

ada setelah pemakaian pil dihentikan. Terapi sulih estrogen yang

dijalani selama lebih dari 5 tahun tampaknya juga sedikit

meningkatkan resiko kanker payudara dan resikonya meningkat

jika pemakaiannya lebih lama.

8. Obesitas pasca menopause.

Obesitas sebagai faktor resiko kanker payudara masih

diperdebatkan. Beberapa penelitian menyebutkan obesitas

sebagai faktor resiko kanker payudara kemungkinan karena

tingginya kadar estrogen pada wanita yang obes.

9. Aktifitas fisik yang kurang

10. Pemakaian alkohol

Pemakaian alkoloh lebih dari 1-2 gelas/hari bisa meningkatkan

resiko terjadinya kanker payudara.

19

11. Bahan kimia

Beberapa penelitian telah menyebutkan pemaparan bahan kimia

yang menyerupai estrogen (yang terdapat di dalam pestisida dan

produk industri lainnya) mungkin meningkatkan resiko

terjadinya kanker payudara.

12. DES (dietilstilbestrol)

Wanita yang mengkonsumsi DES untuk mencegah keguguran

memiliki resiko tinggi menderita kanker payudara.

13. Penyinaran

Pemaparan terhadap penyinaran (terutama penyinaran pada

dada), pada masa kanak-kanak bisa meningkatkan resiko

terjadinya kanker payudara.

14. Faktor resiko lainnya

Beberapa penelitian menunjukkan bahwa kanker rahim, ovarium

dan kanker usus besar serta adanya riwayat kanker dalam keluarga

bisa meningkatkan resiko terjadinya kanker payudara.

d. Gejala

Gejala awal berupa sebuah benjolan yang biasanya dirasakan

berbeda dari jaringan payudara di sekitarnya, tidak menimbulkan nyeri

dan biasanya memiliki pinggiran yang tidak teratur. Pada stadium

awal, jika didorong oleh jari tangan, benjolan bisa digerakkan dengan

mudah di bawah kulit. Pada stadium lanjut, benjolan biasanya melekat

pada dinding dada atau kulit di sekitarnya. Pada kanker stadium lanjut,

bisa terbentuk benjolan yang membengkak atau borok di kulit

20

payudara. Kadang kulit diatas benjolan mengkerut dan tampak seperti

kulit jeruk. Gejala lainnya yang mungkin ditemukan (Bellenir, 2009); :

1. Benjolan atau massa di ketiak

2. Perubahan ukuran atau bentuk payudara

3. Keluar cairan yang abnormal dari puting susu (biasanya berdarah

atau berwarna kuning sampai hijau, mungkin juga bernanah)

4. Perubahan pada warna atau tekstur kulit pada payudara, puting

susu maupun areola (daerah berwana coklat tua di sekeliling

puting susu)

5. Payudara tampak kemerahan

6. Kulit di sekitar puting susu bersisik

7. Puting susu tertarik ke dalam atau terasa gatal

8. Nyeri payudara atau pembengkakan salah satu payudara .

Pada stadium lanjut bisa timbul nyeri tulang, penurunan berat

badan, pembengkakan lengan atau ulserasi kulit.

e. Patofisiologi

Penyebab kanker payudara belum dapat ditentukan namun

terdapat beberapa faktor risiko yang telah ditetapkan, keduanya

adalah lingkungan dan genetik. Pada keluarga dengan riwayat kanker

payudara yang kuat, banyak perempuan yang memiliki mutasi dalam

gen kanker payudara, yang disebut BRCA-1 dalam kromososm 17 dan

diperkirakan bahwa 86 % perempuan ini akan mendapat kanker

payudara pada usia 70 tahun. Pola keturunan adalah dominan

autosomal dan dapat diturunkan melalui garis maternal maupun

21

paternal. Sindrom kanker payudara familial lainnya berkaitan dengan

gen pada kromosom 13, yang disebut BRCA-2 (Price & Wilson, 2006)

Jalur PI3K / AKT dan RAS / MEK / ERK melindungi sel yang

normal dari kematian sel. Ketika gen pengkodean pelindung ini

mengalami mutasi, sel-sel menjadi tidak dimatikan sehingga ketika sel

tidak lagi dibutuhkan yang kemudian mengarah pada perkembangan

kanker. Mutasi tersebut terbukti secara eksperimental terkait dengan

paparan estrogen (Cavalieri et al., 2006).

Kelainan pada faktor pertumbuhan pemberi isyarat dapat

memfasilitasi pertumbuhan sel ganas. Kelebihan signal leptinin

jaringan adiposa payudara menyebabkan peningkatan proliferasi sel

dan kanker (Jarde, Perrier, Vasson, & Caldefie-Chezet, 2011).

Kecenderungan keluarga untuk mengembangkan kanker payudara

disebut herediter sindrom kanker payudara-ovarium. Beberapa mutasi

yang terkait dengan kanker, seperti p53, BRCA1 dan BRCA2, terjadi

pada mekanisme untuk memperbaiki kesalahan dalam DNA yang

mengarah ke pembelahan yang tidak terkendali, kurangnya

keterikatan, dan metastasis ke organ luar, serta mutasi yang

diwariskan oleh gen BRCA1 atau BRCA2 dapat mengganggu

perbaikan DNA hubungan silang dan DNA double strand breaks

(Begg et al., 2008).

GATA-3 langsung mengontrol ekspresi reseptor estrogen (ER)

dan gen lain yang terkait dengan diferensiasi epitel. Kehilangan

GATA-3 menyebabkan penghambatan diferensiasi dan memiliki

22

prognosis yang buruk karena meningkatnya invasi sel kanker dan

metastasis (Kouros-Mehr, Kim, Bechis, & Werb, 2009).

f. Penatalaksanaan

Terapi pada kanker payudara harus didahului dengan diagnosa

yang lengkap dan akurat ( termasuk penetapan stadium ). Diagnosa

dan terapi pada kanker payudara haruslah dilakukan dengan

pendekatan humanis dan komprehensif. Terapi pada kanker payudara

sangat ditentukan luasnya penyakit atau stadium dan ekspresi dari

agen biomolekuler atau biomolekuler-signaling.Terapi pada kanker

payudara selain mempunyai efek terapi yang diharapkan, juga

mempunyai beberapa efek yang tak diinginkan (adverse effect),

sehingga sebelum memberikan terapi haruslah dipertimbangkan

untung ruginya dan harus dikomunikasikan dengan pasien dan

keluarga. Selain itu juga harus dipertimbangkan mengenai faktor usia,

co-morbid, evidence-based, cost effective, dan kapan menghentikan

seri pengobatan sistemik termasuk end of life isssues (Kemenkes,

2008).

Modalitas penanganan untuk kanker payudara terdiri dari

pembedahan dan nonpembedahan. Pengobatan bedah primer kanker

payudara adalah lumpektomi dan mastektomi total dengan diseksi

kelenjar aksilaris (Price & Wilson, 2006).

Sedangkan penatalaksanaan menurut stadium adalah sebagai

berikut (Kemenkes, 2008; Tian et al., 2011):

1) Kanker payudara stadium 0 (TIS / T0, N0, M0)

23

Terapi definitif pada T0 bergantung pada pemeriksaan

histopatologi.lokasi didasarkan pada hasil pemeriksaan radiologik.

2) Kanker payudara stadium dini dini / operabel (stadium I dan II)

a) Dilakukan tindakan operasi : Breast Conserving Therapy

(BCT) (harus memenuhi persyaratan tertentu)

b) Terapi adjuvan operasi: Kemoterapi adjuvant; Radiasi

3) Kanker payudara locally advanced (lokal lanjut)

a) Operabel (III A)

- Mastektomi simpel + radiasi dengan kemoterapi adjuvant

dengan/tanpa hormonal, dengan/tanpa terapi target

- Mastektomi radikal modifikasi + radiasi dengan kemoterapi

adjuvant, dengan / tanpa hormonal, dengan / tanpa terapi

target

- Kemoradiasi preoperasi dilanjutkan dengan atau tanpa BCT

atau mastektomi simple, dengan / tanpa hormobal, dengan /

tanpa terapi target.

b) Inoperable (III B)

- Radiasi preoperasi dengan/tanpa operasi + kemoterapi +

terapi hormonal

- Kemoterapi preoperasi / neoadjuvan dengan/tanpa operasi +

kemoterapi + radiasi + terapi hormonal + dengan / tanpa

terapi target

24

- Kemoradiasi preoperasi / neoadjuvan dengan/tanpa operas,i

dengan/ tanpa radiasi adjuvan, dengan/ kemoterapi + dengan/

tanpa terapi target

4) Kanker payudara stadium lanjut, prinsip :

a) Sifat terapi paliatif

b) Terapi sistemik merupakan terapi primer (kemoterapi dan

terapi hormonal)

c) Terapi lokoregional (radiasi dan bedah) apabila diperlukan

d) Hospice home care

2. Kemoterapi

Kemoterapi adalah penggunaan preparat antineoplastik sebagai

upaya untuk membunuh sel-el tumor dengan mengganggu fungsi dan

reproduksi selular. Kemoterapi digunakan untuk mengobati penyakit

sistemik (Smeltzer & Bare, 2008).

a. Cara Pemberian Kemoterapi

Kemoterapi terkadang dilakukan sebagai satu-satunya upaya

penyembuhan kanker. Namun sering kali kemoterapi dilakukan

bersama-sama dengan tindakan operasi, terapi radiasi untuk kanker,

atau terapi biologis lain. Menurut Grunberg (2004), kemoterapi

dapat diberikan dengan berbagai macam cara sebagai berikut:

25

1) Kemoterapi sebagai terapi primer

Kemoterapi yang dilaksanakan tanpa menggunakan radiasi dan

pembedahan terutama pada jenis kanker kariokarsinoma,

leukemia dan limfoma..

2) Kemoterapi adjuvant

Kemoterapi yang diberikan setelah operasi atau terapi radiasi,

untuk menghancurkan sel kanker yang tersisa.

3) Kemoterapi neoadjuvant

Kemoterapi yang diberikan sebelum operasi atau terapi radiasi,

agar ukuran tumor menjadi lebih kecil.

4) Kemoterapi kombinasi

Keoterapi yang diberikan bersamaan dengan terapi radiasi pada

kasus karsinoma lanjut untuk memaksimalisasi efeknya

Cara pengobatan kemoterapi dilakukan tergantung kepada jenis

kanker yang diderita, terdiri dari (NICC, 2017):

1) Intravenous (IV). Kemoterapi langsung dimasukkan ke pembuluh

darah vena.

2) Suntik. Diberikan melalui suntikan pada otot atau lapisan lemak

misalnya di lengan atau perut.

3) Oral. Kemoterapi dalam bentuk pil, kapsul, atau cairan yang

diminum.

4) Topikal. Digunakan melalui krim yang dioleskan pada kulit.

5) Intra-arteri (IA). Kemoterapi langsung dimasukkan ke dalam

arteri yang menyalurkan darah ke kanker

26

6) Intraperitoneal (IP). Kemoterapi langsung diberikan ke dalam

rongga perut yang terdapat usus, hati, dan lambung di dalamnya.

7) Intrathecal. Kemoterapi langsung dimasukkan ke dalam cairan

spinal.

b. Efek Samping Kemoterapi

Efek samping kemoterapi yang umum pada kanker payudara

mencakup mual, muntah,perubahan indra perasa, alopesia, mukositis,

depresi sumsum tulang, dermatitis, keletihan, anemia, infertilitas

serta trombositopenia. Efek samping kemoterapi muncul karena

obat-obatan tersebut tidak memiliki kemampuan membedakan sel

kanker yang berkembang pesat dengan sel sehat yang secara normal

juga memiliki perkembangan pesat (Hesketh, 2008; Smeltzer &

Bare, 2008).

c. Klasifikasi agen kemoterapi berdasarkan emetogenisitas

Salah satu standar penggolongan emetogenisitas (kejadian mual

muntah akibat kemoterapi) agen kemoterapi mengacu pada standar

National Comprehensive Cancer Network (NCCN) tahun 2007

(NCCN, 2017).

27

Tabel 2.1. Tingkat emetogenisitas obat kemoterapi

M

u

a

l

d

a

n

m

Faktor penting lain yang menyebabkan evolusi rasional

pengobatan untuk mual muntah akibat kemoterapi adalah adanya

keluhan muntah yang berbeda yaitu mual muntah akut dan lambat,

pertama kali diidentifikasi dengan menggunakan agen

cisplatin. Profilaksis antiemetik yang tidak efektif mengakibatkan

semua pasien akan mengalami mual muntah sekitar 1-2 jam setelah

pemberian kemoterapi dengan potensi emetik tinggi. Biasanya

muntah mereda setelah 18-24 jam dan akan mencapai puncak

kekambuhan kedua setelah 48-72 jam. Atas dasar tersebut emesis

Emetogenisitas

minimal

(kurang dari 10

%)

Emetogenisitas

rendah

(10-30 %)

Emetogenisitas

sedang

(30-90%)

Emetogenisitas

tinggi

(lebih dari 90 %)

Alfa interferon

asparaginase,

bleomisin,

busulfan,

klorambusil

oral,

fludarabin,

gemtuzumab,

hidroksiurea

oral,

metotreksat ≤

50 mg/ m2

thalidomid,

tioguanin oral,

vinblastin,

vinkristin,

vinorelbin,

erlotinib,

melfalan.

Capetitabin,

docetaksel,

doksorubisin

liposomal,

etoposide,

5-fluorourasil,

metrotreksat >

50 mg/ m2< 250

mg/ m2,

paklitaksel dan

paklitaksel

albumin,

citarabin100-

200 mg/ m2,

gemcitabin

Siklofosfamid oral

dan < 1500

mg/m2,

Arsen trioksid,

azasitidin,

busulfan > 4

mg/hari,

karboplatin,

karmustin ≤ 250

mg/ m2

cisplatin < 50 mg/

m2,

ifosfamid,

citarabin > 1 g/

m2,

daktinomisin,

daunorubisin,

doksurubisin,

epirubisin,

etoposide oral,

idarubisin,

Imatinib oral,

metrotreksat 250-

1000 mg/ m2.

Altretamin,

karmustin > 250

mg/ m2,

siklofosfamid >

1500 mg/ m2,

dakarbazin,

doksurubisin

epirubisin

dengan

siklofosfamid,

prokarbazin oral

cisplatin >

50mg/ m2,

streptozosin,

mekloretamin

28

yang terjadi dalam 24 jam pertama merupakan mual muntah akut, dan

emesis yang terjadi lebih dari 24 jam merupakan mual muntah

lambat. Sejumlah agen selain cisplatin, termasuk siklofosfamid,

carboplatin, dan anthracyclines, dapat menyebabkan emesis

lambat. Strategi yang optimal untuk mencegah mual muntah akibat

kemoterapi tergantung pada tingkat emetogenisitas agen kemoterapi

serta memahami potensi yang mengakibatkan emesis akut atau

lambat. (Hesketh, 2008).

3. Mual muntah pasca kemoterapi

a. Pengertian

Kemoterapi menyebabkan efek samping yang melemahkan yaitu

mual, muntah, dan retching (muntah-muntah), sebenarnya ada tiga

gejala yang berbeda dan sering berjalan beriringan. Mual adalah

sensasi tidak enak yang dialami di belakang tenggorokan dan

epigastrum yang mungkin tidak mengakibatkan pengeluaran isi dari

perut, sementara muntah adalah refleks dari saraf motorik yang

mengakibatkan pengeluaran isi dari perut. Retching melibatkan usaha

untuk mengeluarkan isi dari perut tanpa benar-benar mengeluarkannya

(Jenelsins, Tejani, Kamen, Peoples, Mustian, Morrow, 2014).

Mual dan muntah akibat kemoterapi telah umum dinilai sebagai

efek samping yang paling tidak menyenangkan dan menyedihkan

(Cohen, De Moor, Eisenberg, Ming, & Hu, 2007). Hal ini sesuai

dengan penelitian sebelumnya yang dilakukan oleh Lua (2012, dikutip

29

dalam (Chean et al., 2016) yang melibatkan lebih besar jumlah pasien

(n = 41), ada proporsi yang signifikan yaitu pasien tetap menderita

mual dan muntah setelah menerima kemoterapi meskipun telah

diberikan obat antiemetik. Dalam penelitian tersebut, pasien yang

mengalami muntah menunjukkan kualitas hidup yang rendah

dibandingkan dengan pasien yang tidak mengalami muntah. Selain itu

studi yang dilakukan oleh Gozzo, Moyses, Silva, & Almeida (2013)

dengan menggunakan EORTC QLQ-C30 pada 79 wanita yang

menerima kemoterapi mengungkapkan bahwa 93% mengalami mual

dan 87% mengalami muntah setidaknya sekali selama

pengobatan. Obat sitotoksik yang digunakan oleh peserta dalam

penelitian ini dapat menjadi alasan dari statistik yang signifikan

terhadap tingginya mual dan muntah setelah kemoterapi siklofosfamid

(level empat, ematogenisitas tinggi, > 90%) dan epirubicin (level tiga,

ematogenisitas sedang, 30-90%) (Chean et al., 2016).

b. Klasifikasi mual muntah

Adapun tipe mual muntah pada pasien dengan kemoterapi (CINV

/ chemotherapy induced nausea and vomiting) menurut (Aapro,

Jordan, & Feyer, 2015) adalah sebagai berikut :

1) Antisipatori

Mual dan muntah yang terjadi sesaat sebelum pemberian

kemoterapi berikutnya atau sebelum 12 jam dimulainya

kemoterapi selanjutnya. Biasanya dipengaruhi oleh pengalaman

30

buruk dari kemoterapi sebelumnya. Tipe ini diamati pada pasien

yang episode muntah dipicu oleh rasa, bau, penglihatan, pikiran,

atau kecemasan sekunder untuk respon yang buruk terhadap agen

antiemetik. Kejadian ini mungkin terjadi setelah satu siklus

kemoterapi dan melibatkan sebuah unsur kondisi klasik.

2) Akut

Mual dan muntah yang terjadi kurang dari 24 jam setelah

kemoterapi, dengan intensitas maksimal 5-6 jam. Biasanya

dipengaruhi oleh umur dan gender, lingkungan dimana

kemoterapi diberikan. Terutama disebabkan oleh serotonin dari

sel enterochromaffin. Biasanya agen cyclophosphamide dan

carboplatin dapat menyebabkan timbnya efek mual muntah pada

8 sampai 10 jam pasca kemoterapi (Firmana, 2017).

3) Lambat (delayed nausea vomiting / DNV)

Mual dan muntah yang terjadi lebih dari 24 jam setelah

kemoterapi. Biasanya terjadi setelah pemakaian cisplatin,

karboplatin, siklofosfamid, dan atau tanpa doksorubisin. Berbagai

mekanisme terutama disebabkan oleh substansi P, gangguan dari

darah yang penghalang otak, gangguang dari gastrointestinal

motilitas, atau hormone adrenal. DNV (delayed nausea vomiting)

biasanya terjadi 24 jam pasca perawatan dan bisa bertahan selama

5-7 hari, dengan intensitas maksimal terjadi 48-72 jam setelah

pemberian obat (Jenelsins et al., 2014)

31

c. Faktor risiko mual muntah akibat kemoterapi

Faktor risiko terjadinya mual muntah akibat kemoterapi

berhubungan dengan kondisi pasien dan faktor yang berhubungan

dengan obat-obat yang digunakan. Faktor risiko yang berhubungan

dengan pasien meliputi usia yang kurang dari 50 tahun, jenis kelamin

perempuan, riwayat penggunaan alkohol, riwayat mual muntah

terdahulu, riwayat mual muntah akibat kemoterapi sebelumnya. Obat-

obatan yang menyebabkan mual muntah tergantung dari jenis obat,

dosis, siklus kemoterapi, kombinasi dan metode pemberian obat

(Grunberg, 2004; Barsadia & Patel, 2006; Barak, Amoyal, &

Kallchman, 2013; Hilarius, Kloeg, Gundy, & Aaronson, 2012).

Faktor resiko lainnya yang dapat menyebabkan mual muntah

akibat kemoterapi adalah status gizi. Penelitian yang dilakukan oleh

Vergara, Montoya, Luna, Amparo, & Cristal-Luna (2013),

menemukan bahwa status gizi berdasarkan SGA (Subjective Global

Assessment) pada pasien kanker yang menjalani kemoterapi

berpengaruh secara signifikan terhadap kejadian mual muntah.

Kejadian rata-rata mual muntah lebih tinggi pada SGA dengan skor C

(mean 45,24), SGA B (19,79) dibandingkan SGA A (9,77).

SGA merupakan salah satu alat skrining dan pengkajian gizi

untuk penderita kanker yang mudah digunakan dan dapat

mengidentifikasi pasien yang beresiko malnutrisi. SGA dengan Skor

A (gizi baik) yaitu tidak ada kehilangan berat badan, tidak ada

kekurangan asupan makanan, tidak ada gejala yang berhubungan

32

dengan asupan gizi, dan tidak ada defisit pada pemeriksaan fisik. Skor

B (malnutrisi sedang) dan C (malnutrisi berat) yaitu berat badan turun

5% dalam satu bulan, asupan makanan menurun sangat jelas atau

sangat kurang, ada keluhan yang berhubungan dengan asupan

makanan, defisit fungsi fisik sedang sampai berat, ada penurunan

kekuatan lemak otot, dan kehilangan jaringan subkutan kemungkinan

edema (Susetyowati, Yenita, & Kurnianda, 2010).

d. Patofisiologi mual muntah akibat kemoterapi

Mual muntah antisipatori (ANV / anticipatory nausea vomiting)

biasanya lebih sulit untuk dikendalikan dari CINV akut atau lambat.

Juga, tidak ada perbedaan yang jelas saat CINV akut berakhir dan

DNV (delay nausea vomiting/ mual muntah lambat) dimulai dan

dengan demikian, keduanya dianggap sebagai perkiraan. Lebih jauh

lagi, berbagai bentuk dan interval waktu CINV akut, ANV dan DNV,

menunjukkan adanya perbedaan jalur patologis dan fisiologis yang

terlibat (Jenelsins et al., 2014).

Proses CINV, dipicu oleh agen kemoterapi, melibatkan jaringan

kompleks neuroanatomis dan pusat periferal, neurotransmitter, dan

reseptor. Pusat dan daerah perifer meliputi:

1) Pusat muntah atau emetik (VC / vomiting center), yang

merupakan struktur primer untuk mengkoordinasikan mual dan

muntah dan mencakup kumpulan neuron di dalam medula

oblongata;

33

2) Zona pemicu kemoreseptor (CTZ / chemoreseptor triger zone)

pada daerah postrema yang terletak di dasar ventrikel keempat

otak;

3) Nervus vagal aferen merupakan proyek dari saluran

gastrointestinal (GI) ke nukleus traktus solitariusr (NTS) dan Inti

motorik dorsal vagus (DMV);

4) Sel enterochromaffin (EC) di GI

Sistem saraf pusat memainkan peran penting dalam patofisiologi

CINV, dengan menerima dan memproses berbagai rangsangan

emetik dan kemudian menghasilkan dan mengirimkan sinyal efferent

ke sejumlah organ dan jaringan, yang berakibat pada mual dan

muntah. Setiap individu mungkin memerlukan tingkat yang berbeda

dari rangsangan pada pusat muntah (VC) untuk mencapai ambang

mual atau muntah, sehingga menghasilkan perbedaan respon individu

terhadap rangsangan yang sama (Jenelsins et al., 2014).

Beberapa neurotransmitter dan reseptor kognitif terlibat dalam

CINV, dan neurotransmitter / reseptor ini beroperasi melalui

mekanisme pensinyalan yang berbeda. Tiga neurotransmiter utama

adalah serotonin (5-HT), substansi P (SP), dan dopamin. Reseptor

yang terkait dengan 5-HT dan SP masing-masing adalah 5-

hydroxytryptamine (5-HT3) dan neurokinin-1 (NK-1). 5-HT adalah

mediator utama sinyal saraf dari usus ke NTS (nukleus traktus

solitarius), mengaktifkan reseptor 5-HT3 di usus dan NTS. SP

terutama mentransmisikan sinyal dari saraf vagus ke reseptor NK-1 di

34

CTZ. Peran dopamin kurang jelas namun dopamin merupakan

reseptor antagonis yag efektif dan kemungkinan memiliki efek anti-

dyspeptic. Hal ini diketahui bahwa penghambatan beberapa jalur ini

menghasilkan pengurangan muntah akibat kemoterapi (CIV) dan

tingkat yang lebih rendah pada mual (CIN). Ini menunjukkan bahwa

induksi mual dan muntah mungkin tidak melibatkan jalur yang sama

namun, sebaliknya, mediator biologis yang berbeda dalam jalur yang

berbeda (Jenelsins et al., 2014).

Agen kemoterapi bersifat toksik bagi EC (Enterochromaffin

cells) yang melapisi mukosa GI yang menyebabkan pembangkitan

dari radikal bebas yang pada gilirannya menyebabkan ECs

(Enterochromaffin cells) melepaskan jumlah serotonin berlebih.

Melepaskan serotonin, pada tingkat yang lebih tinggi, kemudian

mengikat reseptor 5-HT3 yang ada di terminal saraf vagal aferen

yang terletak di dekat ECs. Pengikatan pada reseptor 5-HT3 akan

menghubungkan informasi mengenai rangsangan kimiawi ke otak,

yang mungkin kemudian diinisiasi sebagai emesis secara langsung

(CINV akut) atau merangsang saraf vagus terhadap substansi lain

(Seperti SP) dilepaskan dari EC atau dihasilkan oleh kematian sel,

sehingga menghasilkan bentuk mual dan muntah yang

berkepanjangan (DNV). Temuan dari studi klinis telah menyebabkan

hipotesis bahwa dengan adanya kemoterapi, reseptor-reseptor 5-HT /

5-HT3 memainkan peran utama dalam mekanisme CINV akut namun

peran yang lebih rendah untuk DNV (Jenelsins et al., 2014).

35

Neurotransmitter SP didistribusikan secara luas di sistem saraf

pusat dan perifer dan merupakan ligan yang lebih disukai untuk

reseptor NK-1. Reseptor ini terletak di usus, yang daerah postrema,

dan daerah NTS yang berlokasi di komplek vagal dorsal. Komplek

dorsal vagal merupakan tempat beradanya reseptor untuk

neurotransmitter yang memiliki peran potensial pada respon muntah,

seperti serotonin, SP dimediasi oleh kemoterapi yang mengikat

sebagian besar reseptor NK-1 yang berada di pusat (Yaitu NTS) yang

kemudian melewati sinyal melalui nervus aferen vagal ke CTZ dan

kemudian ke pusat muntah (VC), sehingga menjadi mediasi yang

menyebabkan muntah. Kemungkinan sinyal yang terletak terpusat

paling penting dalam terjadinya CINV. SP mengikat NK-1 reseptor

di usus juga mungkin memainkan peran tambahan dalam mual dan

muntah (Hesketh, 2008).

Penelitian terbaru menunjukkan bahwa ada reseptor cross-talk

antara 5-HT3 dan NK-1 melalui jalur sinyal reseptor . Reseptor

cross-talk didefinisikan sebagai aktivasi satu reseptor oleh ligannya

yang kemudian mempengaruhi respons seluler dari sistem reseptor

lain. Penelitian pada hewan menunjukkan bahwa cross-talk

memungkinkan aksi sinergis antara 5-HT3 dan NK-1 reseptor

antagonis dalam mengendalikan CINV akut dan lambat (DNV) dan

menyajikan kemungkinan untuk meningkatkan pengobatan CINV.

Namun, rincian mekanistik dari 5-HT3 / Crosstalk reseptor NK-1

belum dijelaskan (Jenelsins et al., 2014).

36

Selain itu, uji klinis melibatkan penggunaan antagonis reseptor

5-HT3 dan aprepitant (Antagonis reseptor NK-1) telah dikonfirmasi

lebih lanjut hipotesis bahwa CINV akut dan lambat memiliki

patofisiologi yang berbeda. Penelitian yang dikumpulkan

menunjukkan bahwa CINV lambat sebagian besar terkait dengan

aktivasi reseptor NK-1 oleh SP. Namun, beberapa neurotransmiter

yang saling tumpang tindih (misalnya, dopamin), bekerja di bagian

periferal dan pusat sistem saraf, mungkin juga terlibat dalam CINV

akut dan lambat. Jalur lain, selain 5-HT / 5-HT3 dan SP / NK-1, juga

terlibat dalam induksi CINV tapi sangat sedikit yang diketahui

tentang mekanisme dimana mereka mengatur respon emetik.

Misalnya, pelepasan dopamin juga berperan dalam memicu mual dan

muntah; Antagonis reseptor dopamin (misalnya prometazin,

metoklopromida) telah terbukti efektif dalam mengobati CINV,

meskipun mekanisme kerjanya kurang jelas. Penelitian tambahan

juga menyelidiki agen yang dapat mempengaruhi asam gamma-

aminobutyric (GABA) dan reseptor histamin dan muskarinik.

Pemahaman yang lebih baik tentang peran mediator dan mekanisme

terkait CINV dapat membantu dalam pengembangan tambahan obat

antiemetik yang efektif (Hawkins & Grunberg, 2009).

37

Sumber gambar: (Hawkins & Grunberg, 2009)

Gambar 2.1. Patofisiologi mual muntah akibat kemoterapi: jalur emetik

dan pusat muntah

Mekanisme mual muntah akibat kemoterapi yang paling banyak

didukung oleh penelitian adalah akibat pengaruh obat kemoterapi

pada usus kecil bagian atas. Setelah pemberian kemoterapi, radikal

bebas yang dihasilkan dan bergerak menuju sel-sel enterochromaffin

sehingga mengeluarkan 5-hidroksitriptamin (5HT). Selanjutnya 5HT

(serotonin) berinteraksi dengan 5-hidroksitriptamin-3 (5HT3) pada

aferen terminal vagus di dinding usus. Saraf aferen vagus

melanjutkan stimulasi ke dorsal brain stem, terutama ke nukleus

traktus solitaries (NTS) dan ke area postrema yang berlokasi di

komplek vagal dorsal. Komplek dorsal vagal mrupakan tempat

beradanya reseptor untuk neurotransmitter yang memiliki peran

potensial pada respon muntah, diantaranya neurokinin-1 (NK-1),

5HT3, dan reseptor dopamin 2 , yang masing-masing mengikat

substansi P, serotonin, dan dopamine,. Saraf eferen melanjutkan

impuls dari dari kompleks vagal dorsal ke efektor akhir dari refleks

38

muntah yaitu the central pattern generator (CPG)/ pola sentral

generator, yang merupakan daerah anatomis tidak jelas menempati

lokasi yang lebih sentral di batang otak. Stimulasi pada CPG akan

menyebabkan pusat muntah berkoordinasi untuk mengaktivasi impuls

eferen visceral dan somatik ke organ efektor (otot lambung,

esophagus dan diafragma; Bender et al., 2002) yang dilanjutkan

terjadinya gerakan eksfulsif otot abdomen, gastrointestinal dan

pernafasan yang terkoordinasi dengan epifenomena emetik yang

menyertai dan kejadian ini disebut muntah (Price & Wilson, 2006;

Hesketh, 2008; Aapro et al., 2015).

Sumber: (Aapro et al., 2015)

Gambar 2.2. Patomekanisme mual muntah dengan kemoterapi

e. Penatalaksanaan mual muntah

Tetalaksana mual muntah dapat dilakukan dengan terapi

farmakologi dan nonfarmakologi. Barbagai obat antiemetik dapat

digunakan dalam pencegahan dan pengobatan mual muntah akibat

39

kemoterapi. Obat-obat ini diklasifikasikan sesuai dengan indeks

terpeutiknya, yaitu tinggi dan rendah. Antiemetik indeks terpeutik

tinggi diantaranya 5HT3 antagonis seperti: Ondansentron, Granisetron,

Tropisetron dan Palonosetron merupakan dasar terapi profilaksis

mual muntah untuk kemoterapi dengan emetogenik tinggi dan

moderat. Nk1 antagonis misalnya Apprepitant untuk kemoterapi

dengan emetogenik resiko tinggi. Obat golongan Kortikosteroid lebih

efektif pada pasien yang mendapat emetogenik rendah. Obat yang

termasuk dalam indeks terapi rendah misalnya: Metoklorpramide,

Butirophenons, Penothiazin, Cannabinoid dan Ollanzepin. (Hesketh,

2008; Jones, Bardia, Linquist, Wolf, & Loprinzi, 2011)

f. Instrumen mual muntah

Menurut Rhodes dan McDaniel (2001) dikutip dalam Kim et al.,

(2007) ada beberapa instrument yang dapat digunakan untuk

mengukur mual muntah. Instrument tersebut berupa Duke Description

Scale (DDS, Visual Analog Scale (VAS), Rhodes Index of Nausea

Vomitting and Retching (RINVR), Morrow Assesment of Nausea and

Emesis (MANE)dan Functional Living Index mesis (FLIE) yang telah

teruji validitas dan reliabilitasnya dan masing-masing interumen

tersebut memiliki kekurangan dan kelebihan masing-masing.

Instrumen yang digunakan untuk mengukur mual muntah pada

penelitian ini menggunakan Rhodes Index of Nausea Vomitting and

Retching (RINVR) yang terdiri dari 8 pertanyaan, dimana kuisioner ini

40

akan diisi oleh responden dengan Skala Likert 0-4. Intensitas mual-

muntah berdasarkan rentang skor 0-32, dimana 0 merupakan skor

terendah dan 32 merupakan skor tertinggi. Skala Rhodes ini telah

dilakukan uji validitas dan realibitas oleh penelitian yang dilakukan

oleh Rukayah (2013)

4. Bekam Kering

a. Defenisi Bekam Kering

Bekam secara bahasa berarti menghisap. Menurut istilah,

Bekam berarti peristiwa penghisapan kulit, penyayatan dan

mengeluarkan darahnya dari permukaan kulit, yang kemudian

ditampung di dalam gelas. Dalam kitab-kitab arab, pengertian bekam

adalah mengeluarkan darah dari kulit dengan cara menghisap,

kemudian penyayatan ringan pada permukaan kulit, kemudian

dilakukan penghisapan lagi agar darah bisa keluar dan menimbulkan

kesembuhan dengan izin Allah Ta’ala (Wadda, 2013).

Proses pengobatan bekam melalui tiga peristiwa yaitu

penghisapan, penyayatan, dan pengeluaran darah. Akan tetapi teknik

bekam kering hanya berupa penghisapan saja dan tidak melibatkan

penyayatan dan pengeluaran darah (Wadda, 2013).

Bekam merupakan metode pengobatan klasik yang telah

digunakan dalam perawatan dan pengobatan berbagai masalah

kesehatan diantaranya:penyakit darah hemofili dan hipertensi,

penyakit reumatik mulai dari artritis, nyeri panggul, sakit Punggung,

41

migraen, gelisah / cemas, dan masalah fisik umum maupun mental (

Kim, Lee, Lee, Boddy, & Ernst, 2011)

Bekam terdiri dari beberapa jenis yaitu bekam kering,

seluncur, tarik dan basah. Bekam kering atau bekam angin (Hijamah

Jaaffah), yaitu menghisap permukaan kulit dan memijat tempat

sekitarnya tanpa mengeluarkan darah kotor. Bekam kering baik bagi

orang yang tidak tahan suntikan jarum dan takut melihat darah. Kulit

yang dibekam akan tampak merah kehitam-hitaman selama 3 hari

atau akan kelihatan memar selama 1 atau 2 pekan. Efek ini bisa

diatasi dengan diolesi minyak habbah sauda’ atau minak zaitun

untuk menghilangkan tanda lebam pada kulit yang selesai dibekam.

Bekam ini sedotannya hanya sekali dan dibiarkan selama 5 –10

menit. Bekam kering berkhasiat untuk melegakan sakit secara

darurat atau digunakan untuk meringankan nyeri pada urat punggung

karena sakit rheumatik, juga penyakit yang disebabkan nyeri

punggung. Penelitian yang dilakukan oleh Akbarzade et al., (2016)

menunjukkan bahwa terapi bekam kering mengurangi nyeri perineal,

rata-rata nyeri perineal berkurang dari 37.5±6.8 sebelum intervensi

menjadi 11.1±6.1, 6.9±4.7, dan 3.8±3.6 dengan segera, 24 jam, dan 2

minggu setelah intervensi. Bekam kering bermanfaat juga untuk

terapi penyakit paru-paru, radang ginjal, pembengkakan liver/radang

selaput jantung, peradangan urat syaraf, radang sumsum tulang

belakang, nyeri punggung, rematik, masuk angin, wasir, dan lain-

lain. Terdapat dua teknik bekam kering yang dapat dipraktekkan

42

untuk tempat tertentu yaitu bekam luncur dan bekam tarik (Kasmui,

2011).

b. Mekanisme kerja

Salah satu alternatif terapi non farmakologi untuk mengatasi

mual dan muntah pascabedah adalah dengan bekam kering di titik

P6 (pericardium 6). Dalam studi World Health Organization

(WHO), stimulasi di titik P6 telah terbukti secara signifikan

mengontrol mual dan muntah. Selain itu, P6 juga memiliki efek

analgesik. Lokasi titik P6 adalah antara fleksor karpi radialis dan

palmaris tendon otot longus, sekitar 2 inci proksimal lipatan distal

dari wrist stimulation. Titik ini telah diuji dalam beberapa cara,

termasuk dalam akupunktur, akupresur, stimulasi listrik, stimulasi

akustik, dan sebagainya(Cheong, Zhang, Huang, & Zhang, 2013).

Sebagai salah satu modalitas akupunktur, bekam bernilai

karena potensinya untuk memperkuat daya tahan tubuh, untuk

mengeluarkan faktor patogen, dan untuk meningkatkan sirkulasi

darah. Ini mengembalikan keseimbangan antara Yin (negatif / pasif /

gelap / air) dan Yang (positif / aktif / cerah / api) dan

mempromosikan aliran "Qi," yang berarti kekuatan dan gerakan

yang mirip dengan energi (Mehta & Dhapte, 2015).

Secara umum telah diketahui bila tubuh mendapat stimulasi

dari luar melalui permukaan tubuh, maka terjadilah hantaran

rangsang melaui suatu jaras menuju ke susunan saraf pusat untuk

mendapatkan proses analisis dan memberi reaksi keluar, akan tetapi

43

hal ini sedikit berbeda dengan perkembangan pengetahuan tentang

matriks jaringan Living Matrix . Living Matrix merupakan interaksi

semua sitem jejaring neural, sirkulasi, dan fibrous yang terjadi

melalui serabut kolagen jaringan ikat. Kolagen adalah bentukan trple

helix yang memanjang dan terdiri atas tiga polipeptida dengan

ikatan hydrogen, yang berfungsi sebagai konduksi elektrik dan

sensitif terhadap stimulus karena sruktur air, ikatan hydrogen dan

protein dapat menyebabkan loncatan proton. Aliran sinyal sepanjang

serabut kolagen dapat memberi penjelasan tentang informasi melalui

meridian akupunktur, dimana diketahui bahwa titik akupunktur

adalah low resistence point dan meridian adalah low resistance line

yang sangat bergantung pada jarak antara dua serabut kolagen,

dimana makin mendekat makin berfungsi sebagai semikonduktor

(Saputra, 2012).

Jaringan ikat adalah komponen penting tubuh dalam

membentuk struktur tubuh, fungsi mekanis, serta konfigurasi dan

arsitektur program, seperti sirkulasi, saraf, musculoskeletal,

gastrointestinal yang diliputi oleh jaringan ikat secara kontinu.

Gerakan ataupun tekanan akan memberikan rangsangan pada

jaringan ikat dan diteruskan ke seluruh tubuh. Di dalam sel jaringan

ikat terdapat bentukan protoplasma yang bersifat sebagai

miezoelektrik dan berhubungan erat dengan sitooskeleton dan

eksoskeleton. Bila terjadi gerakan atau vibrasi otot, maka akan

terjadi diosolasi elektrik dan mempengaruhi gerakan sodium,

44

poasium, kalsium, dan klorida, serta memberi fenomena energetik

pada sel dan jaringan (Saputra, 2012).

Beberapa saran telah dibuat mengenai pengaruh tindakan

bekam kering, termasuk penyesuaian aliran darah kulit, yang

mempengaruhi sifat biomekanis jaringan di bawah kulit,

meningkatkan metabolisme anaerobik dalam jaringan subkutan,

modulasi bagian selular dari sistem kekebalan tubuh, dan umumnya

meningkatkan mikrosirkulasi. Hal ini mendorong perbaikan sel

endotel kapiler, mempercepat granulasi dan angiogenesis dalam

jaringan regional (Farhadi et al., 2016).

Cara kerja bekam kering menurut modern medicine

menjelaskan bahwa di bawah kulit, otot, maupun fascia terdapat

suatu poin atau titik yang mempunyai sifat istimewa. Antara poin

satu dengan poin lainnya saling berhubungan membujur dan

melintang, membentuk jaring-jaring atau jala yang disamakan

dengan meridian. Pengobatan pada satu poin akan menyembuhkan

poin lainnya. Poin istimewa yang merupakan motor point pada

perlekatan neuromuscular yang mengandung mitokondria, kaya

pembuluh darah, mengandung mioglobin tinggi, sebagian besar

selnya menggunakan metabolisme oksidatif, dan lebih banyak

mengandung cell mast, kelenjar limfe, kapiler, venula, bundle dan

pleksus saraf, serta ujung saraf akhir, dibandingkan dengan daerah

yang bukan poin istimewa. Apabila dilakukan pembekaman pada

satu poin, maka kulit (kutis), jaringan bawah kulit (sub kutis) fascia

45

dan ototnya akan terangkat. Tekanan negatif pada awal pengekopan

(bekam kering) akan menyebabkan peningkatan cairan interstisial

pada kulit yang terangkat, dimana terjadi peningkatan filtrasi pada

kapiler (13 mmHg) dan penurunan absorbs pada venula (7mmHg),

oleh karena itu warna pada kop awal berwarna lebih merah. Retensi

cairan akan menyebabkan berkumpulnya mediator inflamasi dan

nociceptive substance yang dapat menyebabkan efek analgetik

(Ridho, 2015).

Dilakukannya stimulasi penekanan pada titik P6 (Pericardium

6) diyakini dapat memperbaiki aliran energi di lambung sehingga

dapat mengurangi terjadinya gangguan pada lambung termasuk mual

muntah (Dibble, Luce, Cooper, & Israel, 2007). Tarcin, Gurbuz,

Pocan, Keskin, & Demirturj, (2004) juga mengungkapkan bahwa

stimulasi pada titik p6 memiliki manfaat dalam peningkatan

pengeluaran beta endorphin di hipofisis di sekitar CTZ. Beta

endorphin merupakan salah satu antiemetik endogen yang dapat

menghambat impuls mual muntah di pusat muntah dan CTZ (Samad,

Afshan, & Kamal, 2003).

Penelitian lain menunjukkan bahwa pembekaman di kulit akan

menstimulasi kuat saraf permukaan kulit yang dilanjutkan pada

cornu posterior spinalis melalui saraf A-Delta dan C, serta traktus

spino thalamicus ke arah thalamus yang akan menghasilkan beta

endhorphin. Sedangkan sebagian rangsangan lainnya akan

diteruskan melalui serabut aferen simpatik menuju motor neuron dan

46

menimbulkan reflek intubasi nyeri. Efek lainnya adalah dilatasi

pembuluh darah kulit, dan peningkatan kerja jantung (Ridho, 2015).

Bekam kering di titik P6 (pericardium 6) dapat meredakan

mual dan muntah yaitu dengan merangsang perikardium 6 (P6 nei-

guan), yang terletak rentang tiga jari di bawah pergelangan pada

lengan bagian dalam antara dua tendon. Dalam penelitian yang

dilakukan oleh Farhadi, et al., (2016) menemukan bahwa stimulasi

P6 dengan bekam kering memiliki efek yang berarti dalam

mengurangi rasa mual muntah .

Penelitian ini bertujuan untuk menguji efektivitas bekam

kering dalam mengurangi mual muntah akibat kemoterapi (CINV).

Teknik yang digunakan dalam bekam kering mirip dengan

akupunktur. Sehingga literatur akupunktur digunakan untuk

menginformasikan tentang mekanisme yang mendasari stimulasi

titik P6 dalam mengendalikan mual dan muntah. Akupunktur dapat

mengakibatkan stimulasi listrik frekuensi rendah dari kulit. Hal ini

menyebabkan aktivitas saraf untuk A-β dan saraf A-δ, yang

mungkin memiliki efek pada transmisi saraf vagal dorsal dan

neuron atas. Clement-Jones, McLoughlin et al., (1980) dikutip

dalam Farhadi et al., (2016) juga melaporkan bahwa sistem opioid

internal terlibat dalam pelepasan enkephalin, endorfin, beta-

endorphin, dan dynorphin. Hal ini juga mungkin bahwa efek

stimulasi titik P6 adalah karena penghambatan sekresi asam

lambung dan perbaikan dalam gerakan perut.

47

Bekam sebagai sebuah metode yang danjurkan memiliki

beberapa khasiat dan secara empiris memberikan manfaat kepada

kesehatan manusia. Ada beberapa teori tentang mekanisme kerja

bekam salaf satunya adalah Teori Taibah (Ridho, 2015).

Teori Taibah berbicara tentang CPS (Causative Pathological

Substances). CPS adalah apa-apa yang terlarut di dalam serum

darah. Sesuatu yang terlarut di dalam serum ketika berlebihan maka

akan menyebabkan penyakit. Teori taibah menyampaikan bahwa

dengan bekam maka ekses serum akan dikeluarkan. Ekses serum

yang dimaksud adalah: Kolestrol darah; Trigliserida; Glukosa;

Asam Urat; Kelebihan serum iron dan ferritin pada penyakit

thalasemia, anemia sideroblastik, bronze diabetes, hemosiderosis

dan hemochromatosis; Kelebihan serum autoantibody, immune

complex dan mediator inflamasi; Pada infeksi virus ada viral

antigen, virus partikel dan mediator inflamasi; Pada infeksi bakteri

kelebihan level bakteri dalam darah (bakteremia) toksin dari bakteri

(toxemia); Pada kasus musculoskeletal adalah tingginya mediator

inflamasi, prostaglandin, sitokin dan substansi P (Ridho, 2015).

Beberapa gambaran proses bekam menurut teori taibah yaitu

kondisi umum penyakit disebabkan karena adanya

ketidaknormalan kimiawi darah. Ada banyak CPS di dalam plasma

darah yang akan menganggu proses fisiologi di dalam tubuh kita.

CPS akan difiltrasi keluar dari plasma dengan proses bekam.

48

Sumber: (Ridho, 2015)

Gambar 2.3. Gambaran saat dilakukan bekam kering

5. Prosedur kerja bekam kering

Bekam kering merupakan metode bekam yang tidak mengeluarkan

darah dari tubuh. Secara umum bekam memerlukan persiapan sebelum

dilakukan agar proses bekam dapat berjalan sempurna. ada tiga hal yang

harus dipersiapkan, yaitu: alat-alat, sarana dan ruangan yang akan dipakai;

pasien yang akan dibekam; dan orang yang akan melakukan bekam.

a. Menyiapkan alat, sarana dan ruangan

1) Alat yang disiapkan meliputi: kop/ tabung penghisap kulit, duk

kain, sarung tangan, masker wajah, mangkok, cawan,

2) Bahan yang disiapkan meliputi: kassa, kapas, disinfekten, sabun.

minyak zaitun, minyak habbatusauda’

3) mensterilkan alat agar bebas dari kuman dan tidak menyebarkan

penyakit, dengan cara: merebus tabung kop paling sedikit 30 menit

setelah air mendidih (karet dilepas dulu)sterilisator,. sarung tangan,

karet dan duk disterilkan dengan tablet formalin.

4) Ruangan harus bersih, terang cukup aliran udara dan tidak pengap.

49

b. Persiapan pasien

1) Pasien dijelaskan tentang bekam, efek yang terjadi, proses

kesembuhan dll

2) Pasien disiapkan mentalnya agar tidak gelisah dan takut

3) Posisi pasien harus nyaman, baik bagi pasien sendiri maupun bagi

yang akan melakukan bekam. Beberapa sikap saat di bekam:

a) Sikap duduk di kursi dengan kedua lengan ke depan lurus

diletakkan di atas meja. Sikap ini untuk bekam di daerah

tangan atau lengan.

b) Sikap duduk di kursi, dengan lengan menutup di atas meja. Ini

untuk membekam daerah tangan.

c. Persiapan orang yang melakukan bekam :

1) Juru bekam dalam keadaan sehat, tidak sakit.

2) Juru bekam telah menguasai ilmu bekam (professional)

3) Juru bekam sudah sering di bekam dan membekam (Umar, 2013).

d. Cara Melakukan Bekam Kering (Kasmui, 2011) :

1) Pilih titik bekam berdasarkan kondisi pasien.

2) Pilih gelas bekam berdasarkan tingkat penyakit pasien dan postur

tubuh. Semakin besar gelas yang digunakan maka tingkat rasa sakit

akan semakin besar, namun efeknya akan semakin baik.

3) Pijat bagian yang akan dibekam dengan dilumuri minyak zaitun

atau minyak jinten hitam selama lebih kurang 5 menit.

50

4) Pompa gelas bekam dengan piston pada posisi yang dikehendaki

sebanyak 2-3 kali tarikan, atau sampai piston tidak dapat ditarik

lagi.

5) Biarkan selama 10 menit (bagi pria), 7 menit (bagi wanita) atau 3

menit (bagi anak-anak).

6) Lepas gelas bekam dan pijat kembali dengan minyak zaitun atau

minyak jinten hitam selama 2-3 menit untuk menghilangkan

bercak-bercak hitam atau blister.

7) Bisa dilakukan selama 7 hari bagi orang dewasa dan 5 hari bagi

anak-anak, kemudian diselingi masa interval selama 3 hari, lalu

dilanjutkan lagi pembekaman.

6. Bekam kering pada titik p6

Stimulasi akupunktur dari titik P6 (titik akupunktur) telah terbukti

secara signifikan mengontrol mual dan muntah, pada studi Organisasi

Kesehatan Dunia (WHO). Selain itu, titik P6 yang dirangsang juga

memiliki efek analgesik. Lokasi titik P6 adalah antara fleksor karpi

radialis dan tendon otot palmaris longus, sekitar 2 inci proksimal lipatan

distal pergelangan tangan. Stimulasi titik ini telah diuji dalam beberapa

cara, termasuk dalam akupunktur, akupresur, stimulasi listrik, stimulasi

akustik, dan sebagainya (Farhadi et al., 2016).

51

Gambar 2.4 bekam kering pada anatomi

daerah P6 untuk mual dan muntah setelah kemoterapi (CINV).

Mengingat efek samping yang lebih sedikit dari terapi ini dibandingkan

dengan terapi obat lain dan kurangnya uji klinis yang tersedia di bekam kering

kering dan CINV, penelitian ini kami bertujuan untuk menguji efek

pencegahan bekam kering melalui stimulasi P6 pada mual muntah setelah

kemoterapi (CINV). Ini adalah pertama kalinya terapi bekam kering telah

digunakan dalam pengobatan CINV.

a. Pengertian Titik P6

Titik perikardium 6 (Nei Guan) berasal dari kata Nei berarti

medial dan Guan berarti melewati. Titik P6 merupakan lokasi

penting yang ada di bagian lengan bawah. Stimulasi titik P6 ini

dilakukan pada posisi telapak tangan menghadap ke atas. Titik ini berada

pada garis tengah lengan bawah, dua ibu jari menuju siku dari lipatan

pergelangan tangan. Titik P6 berada pada 5 cm dari distal lipatan

pergelangan tangan, antara tendon flexi karpi radialis dan palmaris

52

longus (Farhadi et al., 2016; Molassiotis, Helin, Dabbour, &

Hummerston, 2007).

Gambar 2.5 Titik anatomi daerah P6.

Titik P6 adalah titik yang terletak dijalur meridian selaput jantung.

Meridian selaput jantung memiliki dua cabang, sebuah cabangnya

masuk ke selaput jantung dan jantung, kemudian terus ke bawah

menembus diafragma, ke ruang tengah dan ruang bawah perut. Meridian

ini juga melintasi lambung dan usus besar.

b. Kontraindikasi bekam kering di Titik P6

Bekam kering merupakan terapi yang dapat dilakukan dengan

mudah dan efek samping yang minimal. Bekam kering tidak boleh

dilakukan pada bagian tubuh yang luka, bengkak, tulang retak atau

patah dan kulit yang terbakar (Farhadi et al., 2016)

53

c. Operasional bekam kering di titik P6

Penekanan titik P6 (perikardium 6) sedalam 1-2 cm

menggunakan gelas bekam pada titik akupunktur yang berada pada

lengan bawah bagian depan, tepatnya kurang lebih 6 cm di atas

pergelangan tangan dan berada diantara dua penonjolan otot yang terlihat

jelas saat menggenggam tangan dengan erat. Pengekopan dilakukan

selama 7 menit pada lengan bawah. ( K a s m u i , 2 0 1 1 ) .

B. Kerangka Teori

Kerangka teoritis yang mendasari penelitian ini yaitu teori comfort

Kolcaba dari middle range theory. Comfort didefinisikan oleh perawat

sebagai pengalaman langsung dari perasaan yang diperkuat oleh kebutuhan

dasar manusia untuk relief (dorongan), ease (ketentraman) dan transcendence

dibahas dalam empat konteks pengalaman (fisik, psikospiritual, sosial

budaya, dan lingkungan) (Apóstolo & Kolcaba, 2009).

Kenyamanan didefinisikan sebagai kondisi yang dialami oleh resipien

berdasarkan pengukuran kenyamanan. Ada tiga tipe kenyamanan (dorongan,

ketentraman dan transcendence) serta empat konteks pengalaman (fisik,

psikospiritual, sosial dan lingkungan). Tipe-tipe kenyamaman didefiniskan

sebagai berikut (Kolcaba, 2001 dalam Tomey dan Alligood, 2006: 728):

1. Dorongan (relief): kondisi resipien yang membutuhkan penanganan yang

spesifik dan segera.

2. Ketenteraman (ease): kondisi yang tenteram atau kepuasan hati.

3. Transcendence: kondisi dimana individu mampu mengatasi masalahnya

(nyeri).

54

Empat konteks kenyamanan adalah (Kolcaba, 2003 dalam Tomey dan

Alligood, 2006: 728; Kolcaba 1991 dalam Peterson dan Bredow, 2004: 258):

1. Fisik: berkaitan dengan sensasi jasmani.

2. Psikospiritual: berkaitan dengan kesadaran diri, internal diri, termasuk

penghargaan, konsep diri, seksual dan makna hidup; berhubungan

dengan perintah yang terbesar atau kepercayaan.

3. Lingkungan: berkaitan dengan keadaan sekitarnya, kondisi-kondisi, dan

pengaruhnya.

4. Sosial: berkaitan dengan hubungan interpersonal, keluarga, dan sosial

Tindakan kenyamanan diartikan sebagai suatu intervensi keperawatan

yang didesain untuk memenuhi kebutuhan kenyamanan yang spesifik

dibutuhkan oleh penerima jasa, seperti fisiologis, sosial, finansial, psikologis,

spiritual, lingkungan, dan intervensi fisik.

Menurut Comfort Theory (CT) terdapat tiga tipe intervensi kenyamanan

yaitu, intervensi standar (tehchnical), coaching dan food for the soul.

1. Standart comfort intervention yaitu teknis pengukuran kenyamanan,

merupakan intervensi yang dibuat untuk mempertahankan homeostasis

dan mengontrol nyeri yang ada, seperti memantau tanda-tanda vital, hasil

kimia darah, juga termasuk pengobatan nyeri. Teknis tindakan ini

didesain untuk membantu mempertahankan atau mengembalikan fungsi

fisik dan kenyamanan, serta mencegah komplikasi.

2. Coaching (mengajarkan) meliputi intervensi yang didesain untuk

menurunkan kecemasan, memberikan informasi, harapan, mendengarkan

55

dan membantu perencanaan pemulihan (recovery) dan integrasi secara

realistis atau dalam menghadapi kematian dengan cara yang sesuai

dengan budayanya. Agar Coaching ini efektif, perlu dijadwalkan untuk

kesiapan pasien dalam menerima pengajaran baru.

3. Comfort food for the soul, meliputi intervensi yang menjadikan penguatan

dalam sesuatu hal yang tidak dapat dirasakan. Terapi untuk kenyamanan

psikologis meliputi pemijatan, adaptasi lingkungan yang meningkatkan

kedamaian dan ketenangan, guided imagery, terapi musik, mengenang,

dan lain lain. Saat ini perawat umumnya tidak memiliki waktu untuk

memberikan comfort food untuk jiwa (kenyamanan jiwa/psikologis), akan

tetapi tipe intervensi comfort tersebut difasilitasi oleh sebuah komitmen

oleh institusi terhadap perawatan kenyamanan.

Dalam Framework teori dari Kolcaba terdapat beberapa unsur yang

terkait satu dengan yang lain, yaitu : Health Care Needs; didefinisikan

sebagai kebutuhan-kebutuhan akan rasa nyaman yang muncul dari suatu

kondisi dimana sistem pemberian pelayanan kesehatan penuh dengan stress

dan tidak mampu didapatkan oleh penerima pelayanan. Termasuk

didalamnya adalah empat aspek kenyamanan yaitu Fisik, Psikospiritual,

Sosiokultural dan lingkungan. Comfort Intervention; didefinisikan sebagai

tindakan yang intens yag didesain secara spesifik untuk memenuhi kebutuhan

rasa nyaman dari resipent termasuk didalamnya empat aspek kenyamanan

yaitu Fisik, Psikospiritual, Sosiokultural dan lingkungan, dengan tiga tipe

intervensi kenyamanan yaitu tehnik (perawatan standard), coaching

56

(pembelajaran ) dan comfort food of the soul. Intervening Variables;

didefinisikan sebagai usaha interaksi yang mempengaruhi persepsi resipent

terhadap kenyamanan yang menyeluruh. Dalam hal ini termasuk variabel

pengalaman masa lalu, umur, sikap, tingkat emosi,support sistem, prognosis,

finansial, pendidikan, latar belakang budaya, dan seluruh elemen pengalaman

dari resipent. Comfort; secara tehnis didefinisikan sebagai suatu pengalaman

segera yang didapatkan ketika pasien membutuhkan bantuan, kemudahan dan

transendensi yang ditangani dalam empat konteks pengalaman. Hal ini

menjelasakan tentang adanya pengalaman yg cepat dari resipent dalam

mendapatkan intervensi kenyamanan.

Gambar 2.6 framework teori Katharine Kolcaba

Aplikasi comfort theory dalm penanganan mual muntah akibat

kemoterapi pada pasien kanker payudara dapat diuraikan bahwa untuk aspek

Health care need yaitu pasien kanker payudara memiliki kebutuhan rasa

nyaman selama prosedur kemoterapi, dimana reaksi mual muntah akibat

57

kemoterapi dapat berkurang bahkan mungkin dihilangkan. Aspek Nursing

Intervention yaitu terapi bekam kering untuk memberikan rasa nyaman pada

pasien., dengan tujuan untuk mengurangi dan menghilangkan reaksi mual

muntah akibat kemoterapi. Hajian, Mehrabi, Simbar, & Houshyari, (2017)

menyoroti pentingnya menangani program intervensi psikoonkologi untuk

mengatasi masalah yang belum terpenuhi dalam perawatan pyschososial dan

perawatan paliatif pasien yang menderita kanker payudara. Mual dan muntah

yang terjadi sesaat sebelum pemberian kemoterapi berikutnya karena

dipengaruhi oleh pengalaman buruk dari kemoterapi sebelumnya merupakan

intervening variables yang perlu diperhatikan dalam upaya untuk mencapai

rasa nyaman pada semua aspek dengan tingkatan relief, ease, dan

transcendence akan mendorong penurunan efek samping kemoterapi,

penurunan akan kebutuhan tindakan medis dan peningkatan kepuasan pasien

dan keluarga. Hal tersebut merupakan keluaran positif yang membawa

manfaat besar bagi rumah sakit.

Gambar 2.7. Kerangka teoritis

Aktivasi reseptor:

Neurokinin-I (NK-I) di Nucleus

tractus solitaries (NTS) pusat

Toksik (radikal bebas )

Serotonin (5-HT) berlebih Substansi P

OBAT KEMOTERAPI

sel enterochromaffin (melapisi mukosa Gastrointestinal)

melepaskan neurotransmitter:

Mengikat 5HT3 (Hydroxytriptamine) yang

ada di saraf vagal aferen di dekat saluran

gastrointestinal

Merangsang nervus vagus,

sehingga membawa sinyal dari

traktus gastrointestinal

Merangsang pusat muntah

dan CTZ

Merangsang impuls ke vagus, , saraf

spinal, pernapasan dan otot perut

REFLEKS MUAL DAN

MUNTAH AKUT

Melalui nervus aferen vagal,

Merangsang CTZ dan pusat

muntah

REFLEKS MUAL DAN

MUNTAH LAMBAT

BEKAM KERING DI TITIK

P6

Penurunan rangsang di CTZ

dan pusat muntah

MUAL DAN MUNTAH

MENURUN

Melemahkan / Mengurangi substansi kimia, mediator inflamasi

dan substansi nocireseptor ; pelepasan endhorpin memblok

impuls reseptor NK1, 5HT3 (Hydroxytriptamine) disaluran

gastrointestinal yang berikatan substansi P

Tekanan negatif pada permukaan kulit

dengan gelas

Membuat kulit terangkat (meningkatkan

viskoelastis alami pada kulit)

Tekanan lokal mengurangi bagian dalam

kulit yang terangkat

Peningkatan cairan interstitial pada kulit yang terangkat dan peningkatkan filtrasi

pada kapiler

Retensi cairan dibagian kulit yang

terangkat

KANKER PAYUDARA

comfort theory

Relief

Ease

Transendence

Intervensi comfort

Teknik mengukur kenyamanan

coaching

Comfort food of the soul

59

BAB III

KERANGKA KONSEPTUAL & HIPOTESISI PENELITIAN

Bab ini akan dibahas mengenai kerangka konsep penelitian, variabel

penelitian, defenisi operasional & kriteria objektif, dan hipotesis penelitian

A. Kerangka Konseptual Penelitian

Kerangka konsep penelitian yaitu suatu uraian dan visualisasi hubungan

atau kaitan antara konsep satu terhadap konsep yang lainnya ataupun variabel

yang satu dengan variabel yang lain dari masalah yang ingin diteliti

(Notoatmodjo, 2010 ).

Tujuan dalam penelitian ini adalah untuk melihat pengaruh bekam kering

terhadap mual muntah akibat kemoterapi pada pasien kanker payudara maka

Kerangka konsep dalam penelitian ini dapat dilihat sebagai berikut:

Gambar 3.1. Kerangka konsep

Mual muntah

post kemoterapi

Variabel Independen

Variabel Dependen

Mual muntah

post kemoterapi

Variabel Independen

Variabel Dependen

Variabel Perancu:

1.Emetogenisitas obat kemoterapi

2.Siklus kemoterapi

3.Status gizi

Bekam kering

pada titik P6

Terapi

antiemetik

Mual muntah

post kemoterapi

Variabel Independen

Variabel Dependen

Bekam kering

pada titik TE 5

Terapi

antiemetik

60

Keterangan:

: Variabel Independen

: Variabel Dependen

: Variabel Perancu

B. Variabel Penelitian

1. Variabel Independen

Variabel independen atau variabel bebas merupakan variabel yang

mempengaruhi atau yang menjadi sebab perubahannya atau timbulnya

variabel dependen (Grove, Burns, & Jennifer, 2013). Variabel

independen dalam penelitian ini yaitu terapi bekam kering.

2. Variabel dependen

Variabel dependen atau sering disebut variabel terikat merupakan

variabel yang dipengaruhi atau yang menjadi akibat karena adanya

variabel bebas (Sugiyono, 2016).Variabel dependen dalam penelitian ini

yaitu skor mual muntah pada baseline (saat pasien masuk rawat inap);

30 menit pre kemoterapi dan 12 jam post kemoterapi sesudah dilakukan

terapi bekam kering pada titik p6 yang diperoleh dari durasi mual,

muntah.

3. Variabel Perancu

Variabel perancu (confounding variable) merupakan distorsi dalam

menaksir pengaruh variabel independen terhadap variabel dependen,

akibat dari tercampurnya pengaruh sebuah atau beberapa variabel lain

61

(Dharma, 2011). Variabel yang mejadi perancu yaitu emetogenisitas

obat kemoterapi, siklus kemoterapi dan status gizi.

C. Defenisi Operasional & Kriteria Objektif

Tabel 3.1 Tabel defenisi operasional & kriteria objektif

Variabel Definisi Operasional Cara

Pengukuran

Hasil Ukur Skala

Penguk

uran

Variabel independen

Bekam kering

titik P6

Peneliti menghisap

permukaan kulit tanpa

mengeluarkan darah di

titik perikardium 6.

Pemberian bekam kering

dilakukan 6 jam pre

kemoterapi lalu saat

obat kemoterapi

dimasukkan dan 6 jam

setelah kemoterapi.

Sesuai dengan

prosedur bekam

kering dengan

membekam

selama tujuh menit

di titik P6 dengan

terapis yang sudah

ikut pelatihan

bekam yang

tersertifikasi dan

menggunakan alat

bekam dengan

merek standart

Kang zhu ukuran

kop diamater 2,4

cm.

1. Kelompok

intervensi

titik P6

2. Kelompok

kontrol

titik TE 5

Nominal

Variabel dependen

Mual Muntah Ungkapan pasien berupa

munculnya sensasi atau

perasaan yang tidak

menyenangkan di

belakang tenggerokan

dan epigastrium yang

diikuti dengan adanya

pengeluaran isi lambung

akibat pemberian

kemoterapi dalam satu

hari

Pengukuran dilakukan

pada: baseline; 30 menit

pre kemoterapi; dan 12

jam post kemoterapi .

Instrumen Skala

Rhodes INVR

Skor mual

muntah

merupakan

penjumlahan

skor dari 8

pertanyaan

tentang mual

muntah yang

berkisar dari

0-32.

Tidak ada: 0

Ringan: 1-8

Sedang: 9-16

Berat: 17-24

Sangat berat:

24-32

Interval

Variabel Perancu

Emetogenisitas

agen

Penggolongan obat

kemoterapi yang

Penggolongan

emetogenisitas

1. Emetogen

isitas

Ordinal

62

D. Hipotesis Penelitian

Hipotesisi penelitian ini yaitu bekam kering pada titik P6 dapat

mengurangi mual muntah pada pasien kanker payudara yang menjalani

kemoterapi.

kemoterapi diresepkan oleh dokter

yang digunakan sebagai

pembunuh sel kanker

berdasarkan potensi

yang mengakibatkan

mual muntah

agen kemoterapi

mengacu pada

standarNational

Comprehensive

Cancer Network

(NCCN) tahun

2007

minimal

(kurang

dari 10 %)

2. Emetogen

isitas

rendah

(10-30 %)

3. Emetogen

isits

sedang

(30-90%)

4. Emetogen

isitas

tinggi

(lebih dari

90 %)

Siklus

kemoterapi

Serangkaian pemberian

kemoterapi yang tidak

terputus sampai dosis

yang diresepkan habis

Peneliti mengisi

format data

demografi melalui

studi dokumentasi

- Nilai dalam

frekuensi

Rasio

Status gizi

Status gizi berdasarkan

SGA (Subjective Global

Assessment) dengan

SGA A (gizi baik):

tidak ada penurunan

berat badan, asupan gizi

baik, tidak ada jaringan

subkutan yang hilang.

SGA B (malnutrisi

sedang) dan C

(malnutrisi berat) :

penurunan berat badan,

asupan gizi yang kurang,

hilangnya jaringan

subkutan.

Peneliti mengkaji

riwayat pasien dan

mengkaji aspek

fisik pasien

Dikategorika

n ke dalam:

1. SGA

A:Sstatus

gizi baik

2. SGA

B&C :

Status gizi

malnutrisi

Ordinal

63

BAB IV

METODOLOGI PENELITIAN

A. Desain Penelitian

Penelitian ini merupakan penelitian kuantitatif dengan desain quasi

experimental pre-post with control group yaitu terdiri dari kelompok

intervensi yang menerima perlakuan dan kelompok kontrol sebagai

pembanding. Kedua kelompok masing-masing mendapatkan pengobatan

standar. Quasi eksperimental dikembangkan untuk memberikan cara

alternatif dalam menemukan hubungan sebab akibat / kausalitas (Grove et al.,

2013). Desain penelitian ini akan dilakukan pre test dan post test pada

kelompok intervensi dan kelompok kontrol dan diambil berulangkali pada

subjek yang sama dan akan diukur skor mual muntah pada baseline (saat

pasien masuk rawat inap), 30 menit pre kemoterapi, serta 12 jam post

kemoterapi. .

Adapun desain penelitian dapat digambarkan seperti berikut ini :

Gambar 4.1. Kerangka penelitian

Ket. :

A1 : Responden kelompok intervensi yang mengikuti pre test

A2 : Responden kelompok kontrol yang mengikuti pre test

Y1 : Intervensi pemberian bekam kering di titik P6

Y0 : Intervensi pemberian bekam kering di titik TE 5

Kelompok intervensi

Kelompok kontrol

Y1 A1 B1

A2 Y0 B2

64

B1 : Responden kelompok intervensi yang mengikuti post test

B2 : Responden kelompok kontrol yang mengikuti post test

(Sugiyono, 2013).

B. Tempat dan Waktu Penelitian

1. Tempat Penelitian

Penelitian ini dilakukan di ruang kemoterapi RS Universitas Hasanuddin

dan RSUP Wahidin Sudirohusodo.

2. Waktu Penelitian

Penelitian ini dilakukan pada bulan Agustus-September 2017.

C. Populasi dan Sampel

1. Populasi

Populasi dalam penelitian ini yaitu seluruh pasien kanker payudara yang

menjalani kemoterapi di RS Universitas Hasanuddin dan RSUP Wahidin

Sudirohusodo Makassar.

2. Sampel

Sampel adalah bagian dari jumlah dan karakteristik yang dimiliki oleh

populasi tersebut (Sugiyono, 2013). Sampel dalam penelitian ini adalah

penderita kanker payudara yang menjalani kemoterapi dan mengalami

mual muntah akibat kemoterapi. Pengambilan sampel dilakukan secara

terpilih sesuai dengan kriteria inklusi sampai mencukupi jumlah sampel

yang tersedia. Penentuan sampel dalam penelitian ini berdasarkan power

analysis Jacob Cohen (1992) yang menjelaskan bahwa untuk menguji

perbedaan mean antar dua kelompok dengan power 80 % dan α=0,05 dan

65

effect size large, maka diperlukan jumlah sampel untuk setiap kelompok

sebesar 26 orang. Namun untuk mencegah kejadian drop out maka

peneliti akan merekrut sebesar 30 responden untuk setiap kelompok,

Sehingga jumlah keseluruhan sampel yaitu 60 responden untuk semua

kelompok. Sampel penelitian yang diambil memenuhi kriteria inklusi dan

eksklusi sebagai berikut:

a. Kriteria Inklusi

1) Perempuan yang berusia ≥ 18 Tahun

2) Pasien kanker payudara yang menjalani kemoterapi

3) Riwayat mengalami mual dan muntah

b. Kriteria eksklusi

1) Riwayat konsumsi alkohol

2) Riwayat merokok

3) Terdapat luka robek atau lecet pada lokasi titik pericardium 6

4) Belum pernah kemoterapi

5) Penderita kanker saluran pencernaan, hati & pankreas

D. Teknik Sampling

Teknik sampling yang digunakan dalam penelitian ini menggunakan cara

non probability sampling jenis consecutive sampling yaitu semua pasien yang

dirawat pada penelitian dan memenuhi kriteria inklusi akan dimasukkan

dalam penelitian sampai kurun waktu tertentu sehingga jumlah sampel

terpenuhi (Dahlan, 2014).

66

E. Instrumen, Metode &Prosedur Pengumpulan Data

1. Instrumen Penelitian

a. Instrumen karakteristik responden

Merupakan instrument untuk mendapatkan gambaran data demografi

responden yang terdiri dari : usia, pekerjaan, jenis obat kemoterapi,

siklus kemoterapi, riwayat penyakit lainnya. Bentuk pertanyaan yang

diajukan dalam kuesioner adalah pertanyaan terbuka.

b. Instrumen pemberian bekam kering

Instrument yang digunakan untuk pemberian bekam kering adalah

lembar observasi selama pelaksanaan intervensi yaitu pada fase

antisipatori dan akut (6 jam pre kemoterapi, saat kemoterapi, serta 6

jam post kemoterapi. Alat bekam yang digunakan yaitu merk standart

Kang Zhu dengan ukuran kop berdiameter 2,4 cm.

c. Instrumen pengukuran mual muntah

Instrument yang digunakan untuk mengukur mual muntah adalah

Rhodes Index of Nausea, Vomiting and Retching (RINVR) dengan 8 point

pertanyaan dan instrumen yang dipakai dalam penelitian ini sudah

melewati uji realibilitas dan validitas (Kim et al., 2007 dan Rukayah,

2013). Realibilitas berkaitan dengan konsistensi metode pengukuran

sedangkan validitas instrumen adalah penentuan seberapa baik

instrumen mencerminkan konsep abstrak yang diperiksa (Grove et al.,

2015).

67

2. Metode & Prosedur Pengumpulan Data

a. Metode dan prosedur pelaksanaan bekam kering

Pelaksanaan bekam kering dilakukan pada pasien dengan kanker

payudara yang dimasukkan dalam kelompok intervensi berdasarkan

kriteria inklusi serta mendapatkan kemoterapi siklus kedua pada fase

antisipatori yaitu 6 jam pre kemoterapi, saat kemoterapi dan pada fase

akut yaitu pada 6 jam post kemoterapi dan digunakan lembar

observasi sebagai daftar kontrol pelaksanaan bekam kering.

Pengukuran kelompok intervensi dilakukan sebelum (pre-test) dan

setelah (post-test) perlakuan dengan tetap mendapatkan terapi

antimetik sedangkan kelompok kontrol diberikan asuhan keperawatan

yang sesuai dengan SOP serta tetap mendapatkan terapi antiemetik

namun terapi bekam kering dilakukan pada titik TE 5. Setelah

perlakuan dilakukan, maka peneliti akan memberikan terapi bekam

kering pada titik P6 setelah pelaksanaan penelitian selesai pada

kelompok kontrol.

Adapun langkah-langkah pelaksanaan bekam kering adalah

sebagai berikut :

1) Siapkan alat bekam yang sudah disterilkan

2) Cuci tangan

3) Atur posisi pasien dalam posisi berbaring yang nyaman di tempat

tidur

68

4) Pada kelompok intervensi tentukan titik bekam pada perikardium 6

yaitu dengan cara letakkan 3 jari pasien di daerah distal

pergelangan tangan b a g i a n d a l a m antara dua tendon.

Gambar 4.2 Titik pericardium 6 (PC 6)

5) Pada kelompok kontrol tentukan titik bekam pada Tri Energizer

(TE) 5 / Sanjiao (SJ) 5 yaitu dengan cara letakkan 3 jari pasien di

atas punggung pergelangan tangan segaris jari tengah.

Gambar 4.3 Titik Tri Energizer (TE) 5 / Sanjiao (SJ) 5

69

6) Pilih gelas bekam (cup) dengan ukuran diameter 2, 4 cm.

7) Pijat bagian yang akan dibekam dengan oleskan minyak zaitun

atau minyak selama lebih kurang 5 menit.

8) Pompa gelas bekam dengan piston pada posisi yang dikehendaki

sebanyak 2-3 kali tarikan untuk memberikan tekanan negatif (60-

100 mmHg) , atau sampai piston tidak dapat ditarik lagi.

9) Biarkan selama 7 menit (bagi wanita).

10) Lepas gelas bekam dan pijat kembali dengan minyak zaitun selama

2-3 menit untuk menghilangkan bercak-bercak hitam atau blister.

11) Perhatikan respon pasien selama proses proses terapi berlangsung

12) Rapikan pasien dan cuci tangan

b. Metode dan prosedur pelaksanaan pengukuran mual muntah

Pengukuran efek kemoterapi dengan mual muntah dilakukan

sebelum dan setelah perlakuan pada kelompok intervensi maupun

kontrol dengan menggunakan kuesioner Rhodes Index of Nausea,

Vomiting and Retching sebanyak 8 pertanyaan dengan rentang nilainya

adalah 0-32 yang terdiri dari aspek mual (pada pertanyaan nomor 4, 5

dan 7) dan aspek muntah (pada pertanyaan nomor 1,2, 3, 6 dan 8).

Pengambilan data menggunakan kuesioner Rhodes dilakukan

setelah responden bersedia menjadi sampel dalam penelitian, peneliti

melakukan wawancara kepada responden untuk mengisi kuesioner

Rhodes yaitu baseline, 30 menit pre kemoterapi, dan 12 jam post

kemoterapi. Setelah itu satu kelompok diberikan intervensi bekam

kering pada titik P6 selama 7 menit, Sedangkan kelompok kontrol

70

diberikan intervensi bekam kering pada titik TE 5 selama 7 menit,

peneliti melakukan wawancara kepada responden untuk mengukur

skala rhodes pada baseline, 30 menit pre kemoterapi, dan 12 jam post

kemoterapi.

Gambar 4.4. Pemberian terapi bekam kering dan perhitungan Rhodes

INVR pada kelompok kontrol dan kelompok bekam kering

Waktu

Keterangan:

: Pengukuran Mual Muntah dengan Kuisioner Rhodes

: Dilakukan terapi bekam kering di titik P6

: Dilakukan Terapi bekam Kering di titik TE 5

: Terapi antiemetik

Terapi antiemetik

Baseline

Saat masuk rawat inap

6 jam pre kemoterapi

30 menit pre kemoterapi

Saat kemoterapi

12 jam post kemoterapi

6 jam post kemoterapi

Kelompok

kontrol (TE 5)

Kelompok Bekam

Kering (P6)

Pengukuran Rhodes

INVR

Terapi Bekam Kering

Pengukuran Rhodes

INVR

Terapi Bekam Kering

Pengukuran Rhodes INVR

Terapi Bekam kering

71

F. Teknik Pengolahan dan Analisa Data

1. Pengolahan data

a. Editing

Editing dilakukan untuk memeriksa validitas data yang masuk.

Kegiatan ini terdiri dari pemeriksaan atas kelengkapan pengisian

kuesioner dan alat ukur, langkah-langkah yang dilakukan adalah

sebagai berikut:

1) Memeriksa kelengkapan data

2) Memeriksa kesinambungan data

3) Memeriksa keseragaman data

b. Scoring

Scoring merupakan pemberian nilai pada data sesuai dengan skor

yang telah ditentukan berdasarkan kuesioner yang tersusun.

c. Entry data

Entry data dilakukan untuk memasukkan data yang telah dibersihkan

ke alat elektronik, yaitu komputer dengan menggunakan program

komputer. Data dimasukkan dari lembar kuesioner ke dalam master

table di micrososft exel. Kemudian pada mesin pengolah data

(SPSS), membuat nama untuk setiap variable pada “ variable view”

lalu selanjutnya pada “data view” masukan data sesuai dengan nama

pada variabel yang telah dibuat.

d. Recording variables

Pada variable view setiap kategorik dilakukan koding di value label sesuai

dengan kriteria objektif pada defenisi operasional (Kinnear & Gray, 2010).

72

2. Analisa data

a. Analisis univariat

Analisis univariat dilakukan untuk mendeskripsikan setiap variable

yang diteliti dalam penelitian yaitu dengan melihat semua distribusi

data dalam penelitian. Analisis menggunakan SPSS18 digunakan

untuk menganalisis variabel yang bersifat kategorik (nominal dan

ordinal) yaitu bekam kering, mual muntah, emetogenesitas agen

kemoterapi dan status gizi. Data kategorik menggunakan frekuensi dan

persentasi.

Data karakteristik responden setiap kelompok yang dilakukan

analisis univariat dengan hasil analisis data numerik (interval dan

rasio) yaitu siklus kemoterapi disajikan dalam bentuk nilai mean,

median, standar deviasi, nilai minimum maksimum.

b. Analisis Bivariat

Analisis bivariat digunakan untuk menyatakan analisis terhadap

dua variable, yaitu satu variabel bebas dan satu variabel terikat.

Analisis ini digunakan untuk melihat perbedaan antara nilai yang

diharapkan dengan nilai yang diamati. Untuk mengetahui rerata skor

mual muntah pada setiap waktu pengukuran antara kelompok terapi

bekam kering dan kelompok kontrol berdasarkan karakteristik

responden. Uji bivariat yang digunakan adalah uji Repeated Measure

ANCOVA, dengan syarat memenuhi asumsi untuk uji tersebut.

73

G. Etika Penelitian

Peneliti menggunakan pertimbangan etik berdasarkan pedoman Nasional

Etik Penelitian Kesehatan (PNEPK) tahun 2004 yang disampaikan dalam

rapat kerja 1 Komisi Nasional Etik Penelitian Kesehatan. PNEPK ini terdiri

atas tiga prinsip etik yaitu menghormati seseorang (respect for person),

kemanfaatan (beneficence), dan keadilan (justice). Tujuan dari pertimbangan

etik ini adalah untuk menjamin kesejahteraan responden, menghormati dan

melindungi kehidupan, kesehatan, keluasan pribadi, serta martabat responden

(Loedin, 2003)

1. Menghormati seseorang (respect for person)

Prinsip etik menghormati seseorang disebut juga prinsip menghomati

kebebasan (autonomy) responden. Peneliti menerapkan prinsip otonomi

dengan cara memberikan Informed Consent. Polit, Beck dan Hungler

(2001, dalam Streubert & Carpenter, 2003) menjelaskan bahwa informed

consent diberikan agar responden sudah mendapatkan informasi yang

adekuat tentang penelitian, mampu memahami informasi yang diberikan

dan memiliki kemampuan untuk memilih apakah akan berpartisipasi atau

tidak dalam penelitian. Proses informed consent ini akan melindungi

partisipan dan peneliti dari exploitative (Rachmawaty, 2017)

Peneliti memberikan kesempatan dan kebebasan kepada responden

untuk menentukan apakah bersedia atau tidak menjadi responden dan

peneliti akan menghargai dan menghormati keputusan tersebut. Dalam

menjalankan prinsip otonomi ini, peneliti menjelaskan apa yang akan

diteliti, tujuan penelitin, manfaat penelitian, hak-hak responden selama

74

mengikuti penelitian. Jika responden bersedia, peneliti menyerahkan

lembar informed consent dan meminta calon responden untuk

menandatangani sebagai bukti kesediaan menjadi responden dalam

penelitian.

2. Kemanfaatan (beneficence)

Beneficence berarti menghindari bahaya dan melakukan yang baik

kepada responden. Prinsip beneficence pada penelitian mengharuskan

peneliti menerapkan confidentiality atau anonymity. Polit et.al, (2001,

dalam Streubert & Carpenter, 2003) menjelaskan bahwa confidentiality

pada responden menjamin bahwa informasi yang diberikan oleh

responden tidak akan dipublikasikan, kecuali hanya untuk kepentingan

penelitian. Penelitian akan memberikan manfaat pada klien yaitu dalam

hal ini responden mendapatkan terapi bekam kering yang memberikan

manfaat untuk mengurangi mual muntah setelah kemoterapi.

3. Keadilan (justice)

Penelitian ini dilakukan secara jujur, adil, tepat, cermat, hati – hati

dan professional (Dharma, 2011). Justice harus ditegakkan pada

partisipan untuk memastikan bahwa penelitian tidak exploitative dan

bermanfaat pada partisipan (Rachmawaty, 2017). Prinsip keadilan dalam

penelitian ini yaitu untuk kelompok intervensi diberikan terapi bekam

kering pada titik p6, sedangkan kelompok kontrol diberikan perlakuan

dengan terapi pemberian obat emetic dan bekam kering di titik TE 5 (tiga

jari dari punggung pergelangan tangan segaris jari tengah). Responden

pada kelompok kontrol akan diajarkan teknik penekanan di titik P6 untuk

bias dilakukan secara mandiri setelah penelitian selesai yaitu sebelum

75

pasien pulang ke rumah. Setelah dilaksanakannya ujian proposal, peneliti

mengajukan izin ke komite etik Fakultas Kedokteran Universitas

Hasanuddin lalu izin penelitian diajukan ke komite etik di RSP UH dan

RSUP DR. Wahidin Sudirohusodo untuk disetujui dilakukannya

penelitian.

H. Alur Penelitian

Pasien kemoterapi

kanker payudara

Penentuan sampel

Pengumpulan data

Sampel penelitian yang memenuhi kriteria

Kelompok kontrol (terapi bekam

kering di titik TE 5)

Kelompok intervensi

(terapi bekam kering di titik P6)

Baseline

Saat pasien masuk rawat inap

Pengukuran Rhodes

12 jam post kemoterapi

Pengukuran Rhodes

Baseline

Saat pasien masuk rawat inap

Pengukuran Rhodes

Analisis data:

- Univariat: Mean, SD, Minimal,maksimal, frekuensi, persentasi

- Bivariat: Uji repated measure ANCOVA

6 jam pre kemoterapi

(Terapi bekam kering P6)

30 menit pre kemoterapi

(Pengukuran Rhodes)

)

Saat kemoterapi

(Terapi bekam kering P6)

)

12 jam post kemoterapi

Pengukuran Rhodes

6 jam pre kemoterapi

(Terapi bekam kering TE 5)

30 menit pre kemoterapi

(Pengukuran Rhodes)

)

Saat kemoterapi

(Terapi bekam kering TE 5)

)

Penelitian selesai

( Edukasi terapi mandiri titik P6)

)

76

BAB V

HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

A. Hasil Penelitian

Penelitian ini dilakukan terhadap 60 responden yaitu pasien kanker

payudara yang mendapat kemoterapi di RSUP Dr. Wahidin Sudirohusodo dan

RS Universitas hasanuddin Makassar. Responden dibagi ke dalam dua

kelompok; 30 responden sebagai kelompok intervensi yaitu yang dilakukan

terapi bekam kering pada titik P6 dan 30 responden sebagai kelompok kontrol

yaitu dilakukan terapi bekam kering pada titik TE 5. Di RSUP Dr. Wahidin

Sudirohusodo didapatkan sebanyak 53 responden; 28 responden dalam

kelompok intervensi dan 29 dalam kelompok kontrol. Sementara di RS

Universitas Hasanuddin Makassar hanya didapatkan 3 responden; 2

responden untuk kelompok intervensi dan 1 responden untuk kelompok

kontrol. Berikut ini disampaikan hasil penelitian yang meliputi analisis

univariat dan uji bivariate yaitu Repeated Measure ANCOVA. Analisis

univariat meliputi karakteristik responden diantaranya data demografi, dan

riwayat kesehatan. Analisis bivariate digunakan untuk mengetahui pengaruh

terapi bekam kering terhadap penurunan mual muntah .

Karakteristik responden yang termasuk karakteristik demografi

berdasarkan umur, pendidikan, pekerjaan dan riwayat pernikahan untuk

masing-masing kelompok kontrol dan intervensi digambarkan pada Tabel

5.1. Tabel 5.1 menunjukkan sebaran distribusi frekuensi karakteristik

responden kanker payudara yang menjalani kemoterapi di RSUP Dr. Wahidin

Sudirohusodo dan RS Univesitas Hasanuddin Makassar. Data tersebut

77

menunjukkan bahwa rata-rata umur responden yang menjadi sampel pada

kelompok intervensi adalah 45 tahun sedangkan kelompok kontrol adalah 46

tahun. Tingkat pendidikan terbanyak pada kelompok intervensi yaitu

Perguruan Tinggi (30%) dan pada kelompok kontrol yaitu tingkat SD dan

SMA (30%). Pekerjaan terbanyak pada kedua kelompok yaitu IRT, baik untuk

kelompok intervensi (60%) dan kontrol (63,3%). Sebagian besar (86,7%)

responden untuk kedua kelompok telah menikah, dan sisanya belum menikah

(13,3%).

Tabel 5.1 Distribusi Frekuensi Demografi Responden di RSUP Dr. Wahidin

Sudirohusodo dan RS Universitas Hasanuddin Makassar (n=60).

Variabel

Kelompok Intervensi

/bekam kering titik

P6 (n=30)

Kelompok Kontrol

/ bekam kering

titik TE5 (n=30)

P value

Umur

Mean (SD) 45.57 (9.111) 46.80 (9.072) 0,3005Ϯ

Min-Max 23-69 20-62

Tingkat Pendidikan

Tidak Sekolah 1 (3,3%) 1 (3,3%)

SD 7 (23,3 %) 9 (30%) 0,38ϮϮ

SMP 5 (16,7%) 3 (10%)

SMA 8 (26,7%) 9 (30%)

Perguruan Tinggi 9 (30%) 8 (26,7%)

Pekerjaan

PNS 3 (10%) 5 (16,7%) 0,34ϮϮ

Wiraswasta 8 (26,7%) 4 (13,3%)

IRT 18 (60%) 19 (63,3%)

Tidak Bekerja 1 (3,3%) 2 (6,7%)

Riwayat Pernikahan

Menikah 26 (86,7%) 26 (86,7%) 0,647 ϮϮϮ

Belum menikah 4 (13,3%) 4 (13,3%)

78

ϮUji independent t test ,

ϮϮUji Mann-Whitney

ϮϮϮ Fisher's Exact Test

Hasil uji statistik pada semua data demografi menunjukkan tidak ada

perbedaan yang bermakna antara kelompok intervensi dan kelompok kontrol

(P > 0,05) yang berarti semua karakteristik yang dijadikan sampel penelitian

adalah homogen.

Karakteristik responden berdasarkan status klinis dapat dilihat pada tabel

5.2. yaitu indeks massa tubuh (IMT), lama menderita, siklus kemoterapi,

riwayat KB, stadium kanker, status kemoterapi, emetogenisitas obat

kemoterapi, jenis antiemetik, siklus kemoterapi, dan status gizi.

Tabel 5.2 Distribusi frekuensi karakteristik status klinis responden di RSUP Dr.

Wahidin Sudirohusodo dan RS Universitas Hasanuddin Makassar (n: 60)

Variabel Kelompok

Intervensi (n=30)

Kelompok

Kontrol (n=30)

P

Value

Indeks Massa Tubuh (IMT)

Mean (SD) 24,8 (4,19) 22,86 (3,80) 0,325Ϯ

Min-Max 17,80-32,89 17,26-32,80

Lama Menderita (bulan)

Mean (SD) 23,20 (16,55) 22,77 (22,06) 0,466 Ϯ

Min-Max 5-60 1-120

Siklus kemoterapi

Mean (SD) 3,80 (1,955) 2,97 (2,428) 0,0745Ϯ

Min-Max 1-10 1-14

Riwayat KB

Ya 17 (56,7%) 12 (40%) 0,098 ϮϮ

Tidak 13 (43,3%) 18 (60%)

Stadium Kanker

Stadium I (Lanjutan) 0 (0%) 3 (10%) 0,138ϮϮϮ

79

Stadium II 1 (3,3%) 2 (6,7%)

Stadium III A 2 (6,7%) 0 (0%)

Stadium III B 14 (46,7%) 13 (43,3%)

Stadium III C 6 (20%) 3 (10%)

Stadium IV 7 (23,3%) 9 (30%)

Status kemoterapi

Neoadjuvant 14 (46,7%) 17 (56,7%) 0,219ϮϮ

Adjuvant 16 (53,3%) 13 (43,3%)

Emetogenisitas obat kemoterapi

Emetogenisitas minimal - -

Emetogenisitas rendah 7 (23,3%) 8 (26,7%) 0,276ϮϮ

Emetogenisitas sedang 13 (43,3%) 9 (30%)

Emetogenisitas tinggi 10 (33,3%) 13 (43,3%)

Jenis antiemetik

Indeks terapi tinggi 30 (100%) 30 (100%) 1 ϮϮ

Indeks terapi rendah - -

Status Gizi

SGA A (Gizi Baik) 11 (36,7%) 13 (43,3%) 0,299 ϮϮ

SGA B&C (Gizi Kurang /

malnutrisi)

19 (63,3%) 17 (56,7%)

Ϯ Uji independent t test,, Ϯ Ϯ Chi-Square, ϮϮϮ

Uji Mann-Whitney

Tabel 5.2 menunjukkan Indeks massa tubuh pada kelompok intervensi

rata-rata 24,8 sedangkan kelompok kontrol 22,86. Responden pada

kelompok intervensi sebagian besar menderita kanker payudara selama

23,2 bulan sedangkan pada kelompok kontrol telah menderita kanker

payudara selama 22,77 bulan. Adapun untuk karakteristik siklus

kemoterapi, responden pada kelompok intervensi rata-rata menjalani siklus

ketiga (3,80) sedangkan untuk kelompok kontrol rata-rata siklus kedua

80

(2,97). Riwayat penggunaan obat kontrasepsi / KB pada kelompok

intervensi lebih tinggi (56,7 %) dibandingkan kelompok kontrol yang lebih

banyak responden yang tidak menggunakan KB (60%). Stadium kanker

pada kedua kelompok yaitu stadium III B baik kelompok intervesi (46,7%)

dan kelompok kontrol (43,3%). Status kemoterapi untuk kelompok

intervensi lebih banyak yang adjuvant (53,3%) dimana responden

mendapatkan terapi kemoterapi sebagai terapi tambahan setelah dilakukan

pembedahan. Sedangkan kelompok kontrol lebih banyak pasien dengan

status kemoterapi neoadjuvant (56,7%) dimana pemberian kemoterapi

merupakan terapi yang diberikan sebelum dilakukan pembedahan.

Pada karakteristik emetogenisitas obat kemoterapi, hampir sebagian

responden di kelompok intervensi menggunakan kemoterapi dengan

potensi emetik sedang (43,3%), sedangkan sebagian responden di

kelompok kontrol menggunakan kemoterapi dengan potensi emetik tinggi

(43,3%). Dilihat dari karakteristik jenis antiemetik, semua responden pada

kedua kelompok menggunakan indeks terapi tinggi (100%).. Status gizi

berdasarkan SGA (Subjective Global Assessment) pada kedua kelompok

lebih banyak yang mengalami status gizi kurang / malnutrisi baik pada

kelompok intervensi (63,3%) dan kontrol (56,7%). Hasil uji statistik pada

variable penelitian menunjukkan tidak ada perbedaan yang bermakna

antara kelompok intervensi dan kelompok kontrol (p > 0,05) yang berarti

semua variabel penelitian pada kedua kelompok adalah homogen.

81

1. Perbedaan skor mual muntah sepanjang pengukuran mulai dari

baseline, 30 menit pre kemoterapi sampai 12 jam post kemoterapi

setelah mengontrol siklus kemoterapi berdasarkan kelompok

Perbedaan skor mual muntah sepanjang pengukuran mulai dari

baseline, 30 menit pre kemoterapi sampai 12 jam post kemoterapi setelah

mengontrol siklus kemoterapi berdasarkan kelompok dapat dilihat pada

tabel 5.3. Tabel 5.3 menunjukan tidak ada perbedaan yang signifikan

(p=0,687) pada skor mual muntah sepanjang pengukuran setelah

mengontrol siklus kemoterapi berdasarkan kelompok dengan power yang

rendah yaitu 0,91 %.

Tabel 5.3 Perbedaan skor mual muntah sepanjang pengukuran mulai dari

baseline, 30 menit pre kemoterapi sampai 12 jam post kemoterapi

setelah mengontrol siklus kemoterapi berdasarkan kelompok (n: 60)

Waktu Kelompok

(Mean Mual muntah)

P value Power

Bekam kering

Titik P6

(Intervensi)

Bekam kering

Titik TE 5

(kontrol)

Baseline 9.986 9.453

30 menit pre kemoterapi 1.574 0.820 0,687Ϯ

0,091

12 jam post kemoterapi 1.952 2.517

ϮUji Repeated Measure ANCOVA

Tabel 5.3 juga menunjukkan nilai rata-rata skor mual muntah sepanjang

pengukuran dimulai dari baseline, 30 menit pre kemoterapi sampai 12 jam

post kemoterapi berdasarkan kelompok setelah mengontrol siklus kemoterapi,

didapatkan nilai rata-rata skor mual muntah responden berbeda sepanjang

pengukuran. Pada kelompok intervensi mengalami penurunan skor mual

muntah dari baseline ke pengukuran 30 menit pre kemoterapi sebesar 8,412

82

sedangkan kelompok kontrol mengalami penurunan skor mual muntah dari

baseline ke pengukuran 30 menit pre kemoterapi sebesar 8,633. kemudian

nilai mean meningkat pada pengukuran 12 jam post kemoterapi pada kedua

kelompok. Kelompok intervensi mengalami peningkatan skor mual muntah

sebesar 0,378 sedangkan kelompok kontrol mengalami peningkatan skor mual

muntah sebesar 1,697.

2. Perbedaan skor mual muntah sepanjang pengukuran mulai dari

baseline, 30 menit pre kemoterapi sampai 12 jam post kemoterapi

setelah mengontrol siklus kemoterapi dalam setiap kelompok

berdasarkan emetogenisitas obat kemoterapi

Perbedaan skor mual muntah sepanjang pengukuran mulai dari

baseline, 30 menit pre kemoterapi sampai 12 jam post kemoterapi setelah

mengontrol siklus kemoterapi dalam setiap kelompok berdasarkan jenis

obat sitostatik dapat dilihat pada tabel 5.4. Tabel 5.4 menunjukan tidak ada

perbedaan yang signifikan pada skor mual muntah sepanjang pengukuran

setelah mengontrol siklus kemoterapi dalam setiap kelompok berdasarkan

jenis obat sitostatik (p=0,289) dengan power 33,5%.

83

Tabel 5.4 Perbedaan skor mual muntah sepanjang pengukuran mulai dari

baseline, 30 menit pre kemoterapi sampai 12 jam post kemoterapi

setelah mengontrol siklus kemoterapi dalam setiap kelompok

berdasarkan emetogenisitas obat kemoterapi (n: 60)

Waktu

Mean skor mual muntah

Kelompok

P value

Power

Bekam kering

Titik P6 (Intervensi)

Bekam kering

Titik TE 5 (kontrol)

Emetogen

esitas

Rendah

Emetogen

isitas

Sedang

Emetogen

esitas

Tinggi

Emetog

enesitas

Rendah

Emetog

enisitas

Sedang

Emetog

enesitas

Tinggi

Baseline 10,896 12,939 6,122 12,436 7,043 8,879

30 menit

pre kemo 1,082 1,837 1,803 0,490 0,007 1,964 0,289

Ϯ

0,335

12 jam

post kemo 0,615 4,952 0,289 0,031 1,646 5,874

ϮUji Repeated Measure ANCOVA

Tabel 5.4 juga menunjukkan nilai rata-rata skor mual muntah

sepanjang pengukuran baseline, 30 menit sebelum kemoterapi, 12 jam

post kemoterapi dalam setiap kelompok berdasarkan jenis obat sitostatik

setelah mengontrol siklus kemoterapi. Nilai rata-rata skor mual muntah

responden berbeda sepanjang pengukuran. Responden pada kelompok

intervensi dan kontrol baik yang mendapatkan emetogenisitas rendah,

sedang dan emetogenisitas tinggi, semuanya mengalami penurunan mean

skor mual muntah dari baseline ke pegukuran 30 menit pre kemoterapi.

Responden pada pengukuran 12 jam post kemoterapi untuk kelompok

intervensi terjadi penurunan mean skor mual muntah yang mendapatkan

emetogenisitas rendah (o,467) dan emetogenisitas tinggi (1,514),

sedangkan pada emetogenisitas sedang terjadi peningkatan sebesar 3,115.

Adapun untuk kelompok kontrol terjadi penurunan mean skor mual

muntah pada pengukuran 12 jam post kemoterapi yang mendapatkan

84

emetogenisitas rendah sebesar 0,459. Sedangkan pada emetogenisitas

sedang dan tinggi terjadi peningkatan mean skor mual muntah sebesar

1,639 dan 3,91. Untuk melihat lebih jelas perbedaan rerata skor mual muntah

sepanjang pengukuran dalam setiap kelompok intervensi dan kelompok

kontrol setelah mengontrol siklus kemoterapi berdasarkan emetogenisitas obat

kemoterapi dapat dilihat pada grafik point tujuh.

3. Perbedaan skor mual muntah sepanjang pengukuran mulai dari

baseline, 30 menit pre kemoterapi sampai 12 jam post kemoterapi

setelah mengontrol siklus kemoterapi dalam setiap kelompok

berdasarkan status gizi

Tabel 5.5 menunjukan tidak ada perbedaan yang signifikan pada

skor mual muntah sepanjang pengukuran setelah mengontrol siklus

kemoterapi dalam setiap kelompok berdasarkan status gizi (p=0,295)

dengan power 23,5%.

Tabel 5.5 Perbedaan skor mual muntah sepanjang pengukuran mulai dari

baseline, 30 menit pre kemoterapi sampai 12 jam post kemoterapi

setelah mengontrol siklus kemoterapi dalam setiap kelompok

berdasarkan status gizi (n: 60)

Waktu

Mean skor mual muntah berdasarkan status gizi

kelompok

P value

Power Bekam kering

Titik P6 (Intervensi)

Bekam kering

Titik TE 5 (kontrol)

SGA A

(Baik)

SGA B & C

(Gizi kurang/

malnutrisi)

SGA A

(Baik)

SGA B & C

(Gizi kurang/

malnutrisi)

Baseline 9,67 10,487 7,021 11,008

30 menit

pre kemo

2,276 1,295 1,719 0,413 0,295 Ϯ 0,235

12 jam

post kemo

2,702 2,268 4,639 1.758

ϮUji Repeated Measure ANCOVA

85

Tabel 5.5 juga menunjukkan nilai rata-rata skor mual muntah

sepanjang pengukuran baseline, 30 menit sebelum kemoterapi, 12 jam

post kemoterapi dalam setiap kelompok berdasarkan status gizi setelah

mengontrol siklus kemoterapi. Nilai rata-rata skor mual muntah

responden berbeda sepanjang pengukuran. Responden pada kelompok

intervensi dengan status gizi kurang / malnutrisi rata-rata skor mual

muntah pada baseline lebih tinggi (10,487) dibandingkan responden

dengan status gizi baik (9,67). Begitu juga dengan kelompok kontrol

dengan status gizi kurang / malnutrisi, rata-rata skor mual muntah pada

baseline lebih tinggi (11,008) dibandingkan responden dengan status gizi

baik (7,021).

Responden pada kelompok intervensi dan kontrol dengan status gizi

baik dan kurang / malnutrisi, semuanya mengalami penurunan mean skor

mual muntah dari baseline ke pegukuran 30 menit pre kemoterapi.

Sedangkan responden pada pengukuran 12 jam post kemoterapi untuk

kelompok intervensi dan kontrol terjadi peningkatan mean skor mual

muntah pada gizi baik dan gizi kurang / malnutrisi. Untuk melihat lebih

jelas perbedaan rerata skor mual muntah sepanjang pengukuran dalam

setiap kelompok intervensi dan kelompok kontrol setelah mengontrol

siklus kemoterapi berdasarkan jenis obat sitostatik dapat dilihat pada

grafik point (7).

86

4. Perbedaan skor mual muntah setelah mengontrol siklus kemoterapi

antara kelompok intervensi dan kelompok kontrol

Perbedaan skor mual muntah setelah mengontrol siklus kemoterapi

antara kelompok intervensi dan kelompok kontrol dapat dilihat pada tabel 5.5.

Tabel 5.5 menunjukan tidak ada perbedaan yang signifikan nilai rata-rata skor

mual muntah setelah mengontrol siklus kemoterapi antara kelompok

intervensi dan kelompok kontrol (p=0,814) dengan power 0,5%.

Tabel 5.6 Perbedaan skor mual muntah setelah mengontrol siklus kemoterapi

antara kelompok intervensi dan kelompok kontrol (n: 60)

Kelompok Mean P value Power

Bekam kering Titik P6

(Intervensi)

4,782

0,814 Ϯ

0,056 Bekam kering Titik TE 5

(kontrol)

4,426

ϮUji Repeated Measure ANCOVA

Tabel 5.6 menunjukkan bahwa rata-rata skor mual muntah antara

kelompok kontrol dan kelompok intervensi setelah mengontrol siklus memilki

rerata yang tidak jauh berbeda. Perbedaan nilai rerata skor mual muntah

antara kelompok intervensi dan kelompok kontrol adalah 0,356, secara klinis

skor rerata mual muntah pada kelompok kontrol lebih rendah dibanding skor

rerata mual muntah pada kelompok intervensi.

5. Perbedaan skor mual muntah setelah mengontrol siklus kemoterapi

antara kelompok intervensi dan kelompok kontrol berdasarkan

emetogenisitas obat kemoterapi

Perbedaan skor mual muntah setelah mengontrol siklus kemoterapi

antara kelompok intervensi dan kelompok kontrol berdasarkan jenis

87

emetogenisitas kemoterapi dapat dilihat pada tabel 5.6. Tabel 5.6

menunjukan ada perbedaan yang signifikan skor mual muntah setelah

mengontrol siklus kemoterapi antara kelompok intervensi dan kelompok

kontrol berdasarkan jenis obat sitostatik (p=0,022) dengan power 70%.

Tabel 5.7 Perbedaan skor mual muntah setelah mengontrol siklus kemoterapi

dalam setiap kelompok berdasarkan jenis emetogenisitas obat

kemoterapi (n: 60)

Mean skor mual muntah

Kelompok berdasarkan emetogenisitas obat

kemoterapi (n: 60)

P value

Power Bekam kering

Titik P6 (Intervensi)

Bekam kering

Titik TE 5 (kontrol)

Emetogen

esitas

Rendah

Emetogen

isitas

Sedang

Emetogen

esitas

Tinggi

Emetog

enesitas

Rendah

Emetog

enisitas

Sedang

Emetog

enesitas

Tinggi

4,198 6,576 2,738 4,319 2,899 5,573 0,222 0,701

ϮUji Repeated Measure ANCOVA

Tabel 5.7 juga menunjukkan perbedaan rerata skor mual muntah

setelah mengontrol siklus kemoterapi antara kelompok intervensi dan

kelompok kontrol berdasarkan jenis emetogenisitas obat kemoterapi.

Terdapat perbedan nilai rata-rata skor mual muntah antara responden yang

mendapatkan jenis obat sitostatik emetogenik rendah, sedang dan tinggi

pada kedua kelompok. Responden pada kelompok intervensi yang

mendapatkan emetogenik rendah memiliki nilai rata-rata skor mual

muntah yang lebih rendah dibandingkan dengan responden yang

mendapatkan emetogenik rendah pada kelompok kontrol, dengan

perbedaan rerata skor mual muntah 0,121. Pada kelompok intervensi yang

mendapatkan emetogenik sedang memiliki nilai rata-rata skor mual

muntah lebih tinggi dibandingkan dengan rata-rata skor mual muntah

jenis obat sitostatik emetogenik sedang pada kelompok kontrol dengan

88

perbedaan rerata skor mual muntah 3,677. Adapun pada kelompok

intervensi yang mendapatkan emetogenisitas tinggi memiliki nilai rata-rata

skor mual muntah lebih rendah dibandingkan dengan kelompok kontrol

dengan perbedaan rerata skor mual muntah 2,835. Berdasarkan seluruh

jenis emetogenik pada jenis obat sitostatik, responden pada kelompok

intervensi memiliki rerata skor mual muntah yang lebih rendah dibanding

rerata skor mual muntah pada kelompok kontrol pada emetogenisitas

rendah dan tinggi.

6. Perbedaan skor mual muntah setelah mengontrol siklus kemoterapi

antara kelompok intervensi dan kelompok kontrol berdasarkan status

gizi

Tabel 5.8 menunjukan tidak ada perbedaan yang signifikan skor

mual muntah setelah mengontrol status gizi antara kelompok intervensi

dan kelompok kontrol berdasarkan jenis obat sitostatik (p=0,95) dengan

power 0,5%.

Tabel 5.8 Perbedaan skor mual muntah setelah mengontrol siklus kemoterapi

dalam setiap kelompok berdasarkan status gizi (n: 60)

ϮUji Repeated Measure ANCOVA

Tabel 5.8 juga menunjukkan perbedaan rerata skor mual muntah setelah

mengontrol siklus kemoterapi antara kelompok intervensi dan kelompok

Mean skor mual muntah berdasarkan status gizi

kelompok

P value

Power Bekam kering

Titik P6 (Intervensi)

Bekam kering

Titik TE 5 (kontrol)

SGA A

(Baik)

SGA B & C

(Gizi kurang/

malnutrisi)

SGA A

(Baik)

SGA B & C

(Gizi kurang/

malnutrisi)

4,882 4,683 4,460 4,393 0,95 0,05

89

kontrol berdasarkan status gizi. Nilai rata-rata skor mual muntah antara

responden dengan status gizi baik (SGA A) lebih tinggi dibandingkan

dengan status gizi kurang / malnutrisi (SGA B & C) baik pada kelompok

intervensi maupun kelompok kontrol.

7. Grafik

a. perbedaan mual muntah sepanjang pengukuran dimulai dari

baseline, 30 menit pre kemoterapi sampai 12 jam post kemoterapi

dalam setiap kelompok berdasarkan jenis obat sitostatik

emetogenik rendah setelah mengontrol siklus kemoterapi

Setelah mengontrol siklus kemoterapi nilai rerata skor mual

muntah sepanjang pengukuran dimulai dari baseline, 30 menit pre

kemoterapi, 12 jam post kemoterapi dalam setiap kelompok intervensi

dan kelompok kontrol yang mendapatkan emetogenik rendah dapat

digambarkan pada grafik 5.1.

Grafik 5.1 Perbedaan mual muntah sepanjang pengukuran dimulai dari

baseline, 30 menit pre kemoterapi sampai 12 jam post kemoterapi

dalam setiap kelompok berdasarkan jenis emetogenisitas obat

kemoterapi (emetogenik rendah) setelah mengontrol siklus

kemoterapi

Baseline 12 jam 30 menit

90

Rerata skor mual muntah baik pada kelompok intervensi dan

kontrol terjadi penurunan dari baseline ke 30 menit pre kemoterapi dan

pada 12 jam post kemoterapi. Namun penurunan rerata skor mual

muntah yang dialami kelompok kontrol lebih rendah dibandingkan

dengan kelompok intervensi.

b. Grafik perbedaan mual muntah sepanjang pengukuran dimulai

dari baseline, 30 menit pre kemoterapi sampai 12 jam post

kemoterapi dalam setiap kelompok berdasarkan jenis

emetogenisitas obat kemoterapi dengan emetogenik sedang setelah

mengontrol siklus kemoterapi

Grafik 5.2 Perbedaan mual muntah sepanjang pengukuran dimulai dari

baseline, 30 menit pre kemoterapi sampai 12 jam post kemoterapi

dalam setiap kelompok berdasarkan jenis emetogenisitas obat

kemoterapi (emetogenik sedang) setelah mengontrol siklus

kemoterapi

Baseline 12 jam 30 menit

91

Pada kelompok intervensi dan kontrol terjadi penurunan rerata

skor mual muntah dari baseline ke 30 menit pre kemoterapi kemudian

mengalami peningkatan rerata skor mual muntah yang signifikan pada

12 jam post kemoterapi. Peningkatan skor mual muntah pada

kelompok intervensi lebih tinggi dibandingkan dengan kelompok

kontrol.

c. Grafik perbedaan mual muntah sepanjang pengukuran dimulai

dari baseline, 30 menit pre kemoterapi sampai 12 jam post

kemoterapi dalam setiap kelompok berdasarkan jenis

emetogenisitas obat kemoterapi dengan emetogenik tinggi setelah

mengontrol siklus kemoterapi

Grafik 5.3 Perbedaan mual muntah sepanjang pengukuran dimulai dari

baseline, 30 menit pre kemoterapi sampai 12 jam post kemoterapi

dalam setiap kelompok berdasarkan jenis emetogenisitas obat

kemoterapi (emetogenik tinggi) setelah mengontrol siklus

kemoterapi

Baseline 12 jam 30 menit

92

Grafik 5.3 menunjukan bahwa pada kelompok intevensi terjadi

penurunan rerata skor mual muntah dari baseline ke 30 menit pre

kemoterapi dan pada 12 jam post kemoterapi yang signifikan.

Sedangkan pada kelompok kontrol mengalami penurunan rerata skor

mual muntah yang dari baseline ke 30 menit pre kemoterapi kemudian

terjadi peningkatan rerata skor mual muntah yang signifikan pada 12

jam post kemoterapi.

d. Grafik perbedaan mual muntah sepanjang pengukuran dimulai

dari baseline, 30 menit pre kemoterapi sampai 12 jam post

kemoterapi dalam setiap kelompok berdasarkan status gizi baik

(SGA A) setelah mengontrol siklus kemoterapi

Setelah mengontrol siklus kemoterapi nilai rerata skor mual

muntah sepanjang pengukuran dimulai dari baseline, 30 menit pre

kemoterapi, 12 jam post kemoterapi dalam setiap kelompok intervensi

dan kelompok kontroldengan status gizi baik dapat digambarkan pada

grafik 5.4.

Rerata skor mual muntah pada kelompok intervensi dan kontrol

terjadi penurunan dari baseline ke 30 menit pre kemoterapi. Pada 12

jam post kemoterapi kedua kelompok terjadi peningkatan skor mual

muntah. Namun peningkatan rerata skor mual muntah yang dialami

kelompok kontrol lebih tinggi dibandingkan dengan kelompok

intervensi.

93

Grafik 5.4 Perbedaan mual muntah sepanjang pengukuran dimulai dari

baseline, 30 menit pre kemoterapi sampai 12 jam post kemoterapi

dalam setiap kelompok berdasarkan status gizi baik setelah

mengontrol siklus kemoterapi

e. Grafik perbedaan mual muntah sepanjang pengukuran dimulai

dari baseline, 30 menit pre kemoterapi sampai 12 jam post

kemoterapi dalam setiap kelompok berdasarkan status gizi

kurang / malnutrisi setelah mengontrol siklus kemoterapi

Pada kelompok intervensi dan kontrol terjadi penurunan rerata

skor mual muntah dari baseline ke 30 menit pre kemoterapi kemudian

mengalami peningkatan rerata skor mual muntah yang signifikan pada

12 jam post kemoterapi. Peningkatan skor mual muntah pada

kelompok intervensi lebih tinggi dibandingkan dengan kelompok

kontrol

Baseline 12 jam 30 menit

94

Grafik 5.5 Perbedaan mual muntah sepanjang pengukuran dimulai dari

baseline, 30 menit pre kemoterapi sampai 12 jam post kemoterapi

dalam setiap kelompok berdasarkan status gizi kurang / malnutrsi

setelah mengontrol siklus kemoterapi

B. Pembahasan

Pada bagian ini akan menjelaskan tentang pembahasan dan diskusi

tentang hasil-hasil penelitian dan membandingkan hasil penelitian ini dengan

penelitian sebelumnya atau teori-teori yang mendukung atau berlawanan

dengan temuan baru. Pembahasan akan membahas tentang hasil analisis uji

beda rata-rata masing-masing variabel setelah mengontrol siklus kemoterapi.

Pada siklus kemoterapi responden, secara klinis terdapat perbedaan siklus

kemoterapi pada kedua kelompok, dimana responden pada kelompok

intervensi rata-rata menjalankan kemoterapi pada siklus ke tiga sedangkan

responden pada kelompok kontrol menjalankan kemoterapi pada siklus ke

Baseline 12 jam 30 menit

95

dua. Pada penelitian ini menjelaskan bahwa siklus kemoterapi sebagai variabel

potensial perancu seharusnya dikontrol karena siklus kemoterapi

mempengaruhi mual muntah pasien yang mendapatkan kemoterapi. Grunberg

& Ireland (2005) yang mengatakan bahwa mual muntah akibat kemoterapi

dipengaruhi oleh siklus kemoterapi, semakin tinggi siklus kemoterapi

biasanya mual muntah semakin hebat.

Bagian akhir dari bab ini akan membahas keterbatasan penelitian,

implikasi dan tindak lanjut hasil penelitian yang dapat diterapkan dan

diaplikasikan pada praktik keperawatan dalam rangka meningkatkan kualitas

asuhan keperawatan pada pasien yang mengalami mual muntah akibat

kemoterapi.

1. Perbedaan skor mual muntah sepanjang pengukuran dimulai dari

baseline, 30 menit pre kemoterapi, 12 jam post kemoterapi setelah

mengontrol siklus kemoterapi berdasarkan kelompok.

Setelah mengontrol siklus kemoterapi yang merupakan variable

confounding/ variabel perancu didapatkan tidak ada perbedaan yang

signifikan pada skor mual muntah sepanjang pengukuran dimulai dari

baseline, 30 menit pre kemoterapi, 12 jam post kemoterapi setelah

mengontrol siklus kemoterapi berdasarkan kelompok. Tetapi secara klinis

skor mual muntah pada kelompok intervensi dan kontrol mengalami

penurunan skor mual muntah dari pengukuran baseline ke pengukuran 30

menit pre kemoterapi, sedangkan pada 12 jam post kemoterapi kedua

kelompok mengalami peningkatan rerata skor mual muntah tetapi pada

kelompok kontrol lebih tinggi dibandingkan kelompok intervensi.

96

Peneliti dapat menyimpulkan bahwa terapi bekam kering pada titik p6

yang diberikan pada kelompok intervensi disertai dengan penggunaan

antiemetik dapat mengurangi skor mual muntah anticipatory pada

kelompok intervensi, sama halnya dengan kelompok kontrol yang

diberikan bekam kering pada titik TE5 dengan penggunaan antiemetik.

Selanjutnya skor mual muntah pada kelompok intervensi dan kelompok

kontrol mengalami peningkatan rerata skor mual muntah dari pengukuran

30 menit pre kemoterapi ke pengukuran 12 jam post kemoterapi. Namun

peningkatan rerata skor mual muntah pada kelompok kontrol lebih tinggi

dibanding kelompok intervensi. Peningkatan mual muntah di pengukuran

12 jam post kemoterapi terjadi karena responden telah mendapatkan obat

sitostatik yang efek sampingnya telah dirasakan. Kategori mual muntah

yang terjadi pada pengukuran ini adalah mual muntah akut. Hal ini sejalan

dengan penelitian Suh (2012) yang menemukan 92% dan 51% responden

masing-masing melaporkan mual dan muntah akut meskipun sudah

menggunakan antiemetik regimen terbaru.

Menurut pandangan peneliti, hasil penelitian ini menunjukkan bahwa

bekam kering pada titik P6 yang dilakukan mampu menurunkan skor mual

muntah anticipatory dan mual muntah akut secara klinis pada responden

yang mengalami mual muntah akibat kemoterapi. Sehingga peneliti dapat

menyimpulkan bahwa bekam kering dititik P6 merupakan intervensi yang

bisa menurunkan mual muntah pada pasien kanker yang mendapat

kemoterapi. Pandangan peneliti ini sesuai dengan temuan pada penelitian

Farhadi et al., (2016) yang menemukan bahwa pemberian bekam kering

97

pada titik P6 dapat mencegah timbulnya mual, muntah, setelah operasi

kolesistektomi laparoskopi. Bekam kering memiliki dampak yang

signifikan terhadap PONV (post op nausea vomiting) pada kelompok

intervensi dibandingkan dengan kelompok kontrol. Penelitian lain yang

dilakukan oleh Suh, 2012 juga menunjukkan bahwa akupresur pada titik

P6 lebih efektif dalam mengurangi mual muntah baik akut atau lambat. Hal

ini terjadi karena bekam kering pada titik P6 memberikan efek terapi bagi

tubuh. Stimulasi berupa pengekopan yang dilakukan pada titik P6 diyakini

dapat menurunkan mual muntah, karena dapat memperbaiki aliran energi di

lambung sehingga dapat mengurangi gangguan pada lambung termasuk

mual muntah. Selain alasan tersebut, stimulasi titik P6 dapat merangsang

pengeluaran beta endorphin di hipofise, beta endorphin merupakan salah

satu antiemetik alami yang dapat menurunkan impuls mual dan muntah di

chemoreseptor trigger zone dan pusat muntah.

Hasil penelitian ini yaitu secara klinis ada perbedaan skor mual

muntah pada baseline, 30 menit pre kemoterapi dan 12 jam post kemoterapi

setelah mengontrol siklus kemoterapi berdasarkan kelompok.

2. Perbedaan skor mual muntah sepanjang pengukuran dimulai dari

baseline, 30 menit pre kemoterapi, 12 jam post kemoterapi setelah

mengontrol siklus kemoterapi dalam setiap kelompok berdasarkan

jenis obat sitostatik.

Obat sitostatik atau kemoterapi berefek menghambat atau membunuh

semua sel yang sedang aktif membelah diri. Jadi, sel normal yang aktif

membelah atau berkembang biak juga terkena dampaknya, seperti sel akar

98

rambut, sel darah, sel selaput lendir mulut dan lain-lain. Pemberian obat

sitotoksika atau antikanker merupakan tindakan utama untuk

mengeliminasi sel-sel kanker dalam tubuh. Namun demikian penggunaan

antikanker ini sering menimbulkan efek samping yang sangat merugikans

bagi penderita. Salah satu efek samping antikanker yang sering muncul

adalah mual dan muntah (chemotherapy induce emesis. Mual dan muntah

pada pemberian sitotoksika merupakan gejala atau keluhan yang

menduduki peringkat I dan II pada pasien yang mendapat kemoterapi. Mual

dan muntah dialami sebanyak 60-80% pasien yang diberi kemoterapi

(Hesketh, 2008). Berat ringannya mual-muntah tergantung beberapa faktor

salah satu diantaranya adalah tingkat atau sifat emetogenik obat sitosatik.

Responden pada kelompok intervensi dan kontrol baik yang

mendapatkan emetogenisitas rendah, sedang dan emetogenisitas tinggi,

semuanya mengalami penurunan mean skor mual muntah dari baseline ke

pegukuran 30 menit pre kemoterapi. Responden pada pengukuran 12 jam

post kemoterapi untuk kelompok intervensi terjadi penurunan mean skor

mual muntah yang mendapatkan emetogenisitas rendah dan emetogenisitas

tinggi sedangkan pada emetogenisitas sedang terjadi peningkatan skor

mual muntah. Adapun untuk kelompok kontrol terjadi penurunan mean

skor mual muntah pada pengukuran 12 jam post kemoterapi yang

mendapatkan emetogenisitas rendah .Sedangkan pada emetogenisitas

sedang dan tinggi terjadi peningkatan mean skor mual muntah.

Setelah mengontrol siklus kemoterapi, ditemukan tidak ada perbedaan

yang signifikan rerata skor mual muntah pada baseline, 30 menit pre

99

kemoterapi, 12 jam post kemoterapi dalam setiap kelompok berdasarkan

jenis obat sitostatik. Pada kelompok intervensi pengukuran dari baseline ke

pengukuran 30 menit pre kemoterapi pada emetogenik rendah dan

emetogenik tinggi memiliki perbedaan rerata skor mual muntah lebih

rendah dibanding dengan perbedaan rerata dari baseline ke pengukuran 30

menit pre kemoterapi pada emetogenik rendah dan emetogenik tinggi pada

kelompok kontrol. Kemudian mengalami peningkatan mean skor mual

muntah pada pengukuran 12 jam post kemoterapi pada jenis obat sitostatik

emetogenik rendah dan emetogenik sedang dikedua kelompok, namun

peningkatan rerata skor mual muntah lebih tinggi terjadi pada kelompok

kontrol dibanding kelompok intervensi terutama emetogenik tinggi.

. Berdasarkan grafik pada hasil penelitian menunjukan perbedaan skor

mual muntah pada baseline, 30 menit pre kemoterapi dan 12 jam post

kemoterapi setelah mengontrol siklus kemoterapi diantara kelompok

berdasarkan jenis obat sitostatik emetogenik sedang, rendah dan tinggi.

Pada kelompok intervensi dan kelompok kontrol kejadian mual

muntah yang dari baseline sampai ke 30 menit pre kemoterapi yang

merupakan mual muntah anticipatory lebih rendah dibanding kejadian mual

muntah yang terjadi dari pengukuran 30 menit pre kemoterapi ke

pengukuran 12 jam setelah kemoterapi yang merupakan mual muntah akut.

Hasil penelitian ini sejalan dengan data dari penelitian Grunberg (2004)

menunjukan 50% mengalami muntah akut meskipun sudah menggunakan

antiemetik regimen terbaru.

Maka peneliti menyimpulkan bahwa terapi yang diberikan pada

100

kelompok intervensi yaitu terapi bekam kering di titik p6 disertai dengan

pemberian antiemetik efektif dalam menurunkan mual muntah akibat

kemoterapi dengan emetogenisitas tinggi. Setelah mengontrol siklus

kemoterapi, responden yang mendapatkan kemoterapi dengan

emetogenisitas tinggi ternyata rata-rata skor mual muntah pada kelompok

intervensi lebih rendah dibandingkan dengan kelompok kontrol, sehingga

terapi bekam kering pada titik p6 lebih efektif pada tingkat emetogenesitas

tinggi. Kesimpulan peneliti ini didukung oleh pernyataan Farhadi et al.,

(2016) yang mengatakan bahwa bekam kering merupakan salah satu

tindakan yang tepat dalam manajemen mual muntah.

Titik P6 yakni titik yang terletak dijalur meridian selaput jantung,

memiliki dua cabang yakni ke selaput jantung dan jantung, kemudian terus

ke bawah menembus diafragma dan melintasi lambung (Fengge, 2012).

Selanjutnya stimulasi pada titik tersebut mampu meningkatkan pelepasan

beta-endorphin di hipofise dan Adeno Cortico Tropic Hormone (ACTH)

sepanjang chemoreceptor trigger zone (CTZ) yang menghambat pusat

muntah (Tarcin ,1992 dalam (Perkins, Woeltje, & Angenent, 2010)).

3. Perbedaan skor mual muntah sepanjang pengukuran dimulai dari

baseline, 30 menit pre kemoterapi, 12 jam post kemoterapi setelah

mengontrol siklus kemoterapi dalam setiap kelompok berdasarkan

status gizi.

Setelah mengontrol siklus kemoterapi, ditemukan tidak ada

perbedaan yang signifikan rerata skor mual muntah pada baseline, 30

menit pre kemoterapi, 12 jam post kemoterapi dalam setiap kelompok

101

berdasarkan status gizi. Responden pada kelompok intervensi dengan

status gizi kurang / malnutrisi rata-rata skor mual muntah pada baseline

lebih tinggi dibandingkan responden dengan status gizi baik . Begitu juga

dengan kelompok kontrol dengan status gizi kurang / malnutrisi, rata-rata

skor mual muntah pada baseline lebih tinggi dibandingkan responden

dengan status gizi baik (7,021). Hal ini sejalan dengan penelitian yang

dilakukan oleh Vergara, Montoya, Luna, Amparo, & Cristal-Luna (2013),

menemukan bahwa status gizi berdasarkan SGA (Subjective Global

Assessment) pada pasien kanker yang menjalani kemoterapi berpengaruh

secara signifikan terhadap kejadian mual muntah. Kejadian rata-rata mual

muntah lebih tinggi pada SGA dengan skor C / malnutrisi (mean 45,24),

SGA B /gizi kurang (19,79) dibandingkan SGA A/ gizi baik (9,77).

Berdasarkan grafik pada hasil penelitian menunjukan perbedaan skor

mual muntah pada baseline, 30 menit pre kemoterapi dan 12 jam post

kemoterapi setelah mengontrol siklus kemoterapi diantara kelompok

berdasarkan status gizi baik dan status gizi kurang / malnutrisi. Responden

dengan status gizi baik menunjukkan bahwa peningkatan skor mual muntah

pada 12 jam postkemoterapi lebih rendah dibandingkan kelompok kontrol,

sehingga dapat disimpulkan bahwa bekam kering dititik P6 efektif untuk

mencegah peningkatan mual muntah pada responden dengan status gizi

baik.

4. Perbedaan skor mual muntah setelah mengontrol siklus kemoterapi

antara kelompok intervensi dan kelompok kontrol

Setelah mengontrol siklus kemoterapi rerata skor mual muntah anatara

102

kelompok intervensi dan kelompok kontrol tidak terdapat perbedaan yang

signifikan. . Rerata skor mual muntah pada kelompok intervensi lebih

tinggi daripada kelompok kontrol. Penelitian ini berbeda dengan penelitian

yang dilakukan Roscoe, et al (2013), penelitian dengan desain RCT

tersebut dilakukan pada 739 responden yang mendapatkan kemoterapi

karena kanker. Responden dibagi kedalam tiga kelompok yaitu kelompok

akupresur, kelompok akustimulasi dan kelompok plasebo. Hasil akhir

menunjukkan bahwa responden yang dilakukan akupresur pada titik P6

mengalami penurunan muntah akut yang signifikan dibandingkan dengan

kelompok akustimulasi dan kelompok placebo (p<0,005).

Teori gate kontrol menjelaskan bahwa perangsangan pada satu titik

akupoin pada suatu jalur meredian akan diteruskan oleh serabut A-Beta

berdiameter besar menuju saraf spinal yang kemudian dalam medulla

spinalis terdapat substansi gelatinosa bekerja sebagai “gate control”

sebelum diteruskan oleh serabut saraf aferen menuju sel-sel tranmisi, sel

tranmisi menyalurkan ke sistem saraf pusat dengan menurukan rasa

ketidaknyamanan rilaks, dan rasa mual menurun (Oktaviani, 2013).

Artika (2007) menyatakan bahwa pada tingkatan lokal stimulus

nosireseptif akan berubah menjadi impuls nosiseptif dengan melibatkan

beberapa substansi lokal yang memang dikeluarkan apabila terdapat

kerusakan jaringan. Pada tingkatan general, stimulasi pada titik perikardium

6 dapat mengaktifkan sistem modulasi pada sistem opioid sistem non

opioid dan inhibisi pada syaraf simpatik yang diharapkan akan terjadi

penurunan frekuensi mual. Terjadinya reaksi inflamasi lokal mampu

103

merangsang nitric oxide dalam tubuh yang dapat meningkatkan motilitas

usus sehingga diharapkan dapat menurunkan insiden mual dan frekuensi

muntah juga dapat dikurangi karena secara fisiologis muntah dapat terjadi

apabila mual tidak dapat ditoleransi, sehingga dengan adanya pemblokan

pada stimulasi mual maka rangsang mual tidak akan diteruskan menjadi

respon muntah.

Penelitian lain yang dilakukan oleh Molassiotis et al (2007) di Inggris.

Penelitian tersebut membandingkan mual dan muntah pada 36 responden

wanita yang mendapat kemoterapi karena kanker payudara. Responden

dibagi ke dalam dua kelompok yaitu kelompok eksperimen yang

mendapatkan akupresur pada titik P6 dan kelompok kontrol yang tidak

dilakukan akupresur. Hasil penelitian yang dilakukan Molassiotis, et al

(2007) menunjukkan bahwa terdapat angka pengalaman mual dan muntah

yang bermakna lebih rendah pada kelompok eksperimen dibanding dengan

kelompok kontrol. Hasil rerata pengalaman mual muntah pada kelompok

intervensi yaitu sebesar 1,53 dan pada kelompok kontrol sebesar 3,66 (p=

0,001; α= 0,05).

5. Perbedaan skor mual muntah setelah mengontrol siklus kemoterapi

antara kelompok intervensi dan kelompok kontrol berdasarkan jenis

obat sitostatik.

Setelah mengontrol siklus kemoterapi perbedaan rerata skor mual

muntah antara kelompok intervensi dan kelompok kontrol berdasarkan jenis

obat sitostatik terdapat perbedan nilai rata-rata skor mual muntah antara

responden yang mendapatkan jenis obat sitostatik emetogenik rendah,

104

sedang dan tinggi pada kedua kelompok.

Berdasarkan seluruh jenis emetogenik pada jenis obat sitostatik,

responden pada kelompok intervensi memiliki rerata skor mual muntah

yang lebih rendah dibanding rerata skor mual muntah pada kelompok

kontrol pada emetogenisitas rendah dan tinggi. Hasil peneltian ini sesuai

dengan penelitian yang dilakukan oleh Grunberg (2004) yaitu obat

sitostatik dengan emetogenik sedang seperti epirubisin dan vinblastin,

menyebabkan muntah sekitar 25-75% pasien, sedangkan antikanker

dengan emetogenik ringan seperti 5-fluorourasil (5FU), vinkristin,

siklofosfamid, dan metotreksat menyebabkan muntah kurang dari 25%

pasien sesudah kemoterapi diberikan. Menurut Grunberg (2004), jenis obat

sitostatik dengan emetogenik tinggi seperti cisplatin, dakarbazin,

daktinomisin, nitrogen mustard, prokarbazin, dan streptosin menyebabkan

muntah lebih dari 75% pasien yang menjalani kemoterapi. Hasil penelitian

ini mendukung hipotesis penelitian yaitu ada perbedaan skor mual muntah

setelah mengontrol siklus kemoterapi antara kelompok intervensi dan

kelompok kontrol berdasarkan jenis obat sitostatika pada tingkat

emetogenisitas rendah dan emetogenisitas tinggi.

C. Keterbatasan Penelitian

Penelitian ini telah diusahakan dan dilaksanakan sesuai dengan

prosedur ilmiah, namun demikian masih memiliki keterbatasan yaitu:

1. Tehnik pengambilan data dengan kuisioner Rhodes hanya bisa

mengukur mual muntah dalam jangka waktu tertentu, sementara terapi

105

bekam kering akan lebih efektif mencegah atau mengurangi mual

muntah pada saat sensasi mual muntah akan muncul atau sedang

terjadi.

2. Adanya keterbatasan penelitian dengan menggunakan kuesioner yaitu

terkadang jawaban yang diberikan oleh responden tidak menunjukkan

keadaan sesungguhnya dan besifat subjektif.

106

BAB VI

KESIMPULAN DAN SARAN

A. KESIMPULAN

Kesimpulan hasil penelitian dan uraian pembahasan adalah sebagai

berikut:

1. Secara statistik, tidak ada perbedaan skor mual muntah pada baseline, 30

menit pre kemoterapi (anticipatory) dan 12 jam post kemoterapi (akut)

setelah mengontrol siklus kemoterapi berdasarkan kelompok, jenis

emetogenisitas kemoterapi, dan status gizi.

2. Secara klinis ada perbedaan skor mual muntah pada kelompok intervensi

yang mendapatkan kemoterapi dengan emetogenisitas tinggi dibandingkan

dengan kelompok kontrol, dimana responden memiliki skor mual muntah

yang menurun secara signifikan dari 6,122 pada baseline ke 1,803 pada 30

menit pre kemoterapi dan menurun menjadi 0,289 pada 12 jam post

kemoterapi.

3. Secara klinis juga ditemukan ada perbedaan skor mual muntah pada

kelompok intervensi yang mendapatkan kemoterapi dengan status gizi

baik dibandingkan dengan kelompok kontrol, dimana responden memiliki

skor mual muntah yang menurun secara signifikan dari 9,67 pada baseline

ke 2,276 pada 30 menit pre kemoterapi dan meningkat sedikit menjadi

2,702 pada 12 jam post kemoterapi.

4. Terapi bekam kering pada titik P6 lebih efektif dalam menurunkan skor

mual muntah pada responden yang mendapatkan kemoterapi dengan jenis

emetogenesitas tinggi dan status gizi baik.

107

B. SARAN

Berdasarkan hasil penelitian, beberapa hal yang direkomendasikan antara lain:

1. Melakukan penelitian yang sama dengan menggunakan kuisioner yang

bisa mengukur tingkat mual muntah pasien kemoterapi tanpa jangka waktu

tertentu

2. Melakukan penelitian efektifitas bekam kering pada titik P6 pada pasien

yang mengalami mual muntah lambat.

3. Melakukan penelitian yang mampu menilai efektifitas bekam kering pada

titik p6 dengan menggunakan biomarker tertentu sehingga efek bekam

kering lebih jelas terlihat.

108

DAFTAR PUSTAKA

Aapro, M., Jordan, K., & Feyer, P. (2015). Pathophysiology of Chemotherapy

induced Nausea and Vomiting. Springer Healthcare. London: Springer

Healthcare. Retrieved from www.springerhealthcare.com

Akbarzade, M., Ghaemmaghami, M., Yazdanpanahi, Z., Zare, N.,

Mohagheghzadeh, A., & Azizi, A. (2016). Comparison of the effect of dry

cupping therapy and acupressure at BL23 point on intensity of postpartum

perineal pain based on the short form of McGill pain questionnaire. Journal

of Reproduction & Infertility, 17(1), 39–46.

Apóstolo, J. L. A., & Kolcaba, K. (2009). The Effects of Guided Imagery on

Comfort, Depression, Anxiety, and Stress Depressive Disorders. Archives of

Psychiatric Nursing, 0(0), 1–9. https://doi.org/10.1016/j.apnu.2008.12.003

Barak, F., Amoyal, M., & Kallchman, L. (2013). Using a simple diary for

management of nausea and vomiting during chemotherapy. Clinical Journal

of Oncology Nursing, 17(5), 479–482.

Barsadia, S., & Patel, K. (2006). Specialty pharma opportunities on cancer

spportive care: A look at antiemetic therapy. Specialtypharma, 2(3), 42–45.

Begg, C. B., Haile, R. W., Malone, K. E., Concannon, P., Thomas, D. C.,

Langholz, B., & Hummer, A. J. (2008). Variation of Breast Cancer Risk

Among BRCA1 / 2 Carriers. American Medical Association, 299(2), 194–

201. https://doi.org/10.1001/jama.2007.55-a

Bellenir, K. (2009). Bellenir, Karen, ed. Breast Cancer Sourcebook. Detroit, MI,

USA: Omnigraphics, 2009. ProQuest ebrary. Web. 16 March 2017.

Copyright © 2009. Omnigraphics. All rights reserved. In Breast Cancer

Sourcebook. (Third Edit, pp. 37–38). Detroit, MI, USA: Omnigraphics.

Bender, C. M., McDaniel, R. W., Ende, K. M., Picket, M., Rittenberg, C. N.,

Rogers, M. P., … Schwartz, R. N. (2002). Chemotherapy-induced nausea

and vomiting. Clinical Journal of Oncology Nursing, 6(2), 94–102.

Cavalieri, E., Chakravarti, D., Guttenplan, J., Hart, E., Ingle, J., Jankowiak, R., …

Sutter, T. (2006). Catechol estrogen quinones as initiators of breast and other

human cancers : Implications for biomarkers of susceptibility and cancer

prevention. Biochimica et Biophysica Acta, 1766(1), 63–78.

https://doi.org/10.1016/j.bbcan.2006.03.001

Chean, D. C., Zang, W. K., Lim, M., & Zulkefle, N. (2016). Health Related

Quality of Life ( HRQoL ) among Breast Cancer Patients Receiving

Chemotherapy in Hospital Melaka : Single Centre Experience. Asian Pacific

Journal of Cancer Prevention, 17, 5121–5126.

https://doi.org/10.22034/APJCP.2016.17.12.5121

Cheong, K. B., Zhang, J., Huang, Y., & Zhang, Z. (2013). The effectiveness of

acupuncture in prevention and treatment of postoperative nausea and

109

vomiting - a systematic review and meta-analysis. Plos One, 8(12), 1–18.

https://doi.org/10.1371/journal.pone.0082474

Cohen, L., De Moor, C. A., Eisenberg, P., Ming, E. E., & Hu, H. (2007).

Chemotherapy-induced nausea and vomiting - Incidence and impact on

patient quality of life at community oncology settings. Supportive Care in

Cancer, 15(5), 497–503. https://doi.org/10.1007/s00520-006-0173-z

Dahlan, M. S. (2014). Statistik : Untuk Kedokteran dan Kesehatan (6th ed.).

Jakarta: Epidemiologi Indonesia.

Dharma, K. K. (2011). Metodologi penelitian keperawatan : panduan

melaksanakan dan menerapkan hasil penelitian (Revisi). Jakarta: Trans Info

Media.

Dibble, S., Luce, I., Cooper, B. A., & Israel, J. (2007). Accupressure for

chemotherapy induced nausea and vomiting a randimized clinical trial.

Oncology Nursing Forum, 34(4).

Elnashar, A. T., Ali, E. M., & Gaber, A. (2011). The prognostic value of triple

negative in stage II / III breast cancer. Journal of Pharmacy Practice, 18(1),

68–75. https://doi.org/10.1177/1078155211398299

Farhadi, K., Choubsaz, M., Setayeshi, K., Kameli, M., Bazargan-Hejazi, S., Zadie,

Z. H., & Ahmadi, A. (2016). The effectiveness of dry-cupping in preventing

post-operative nausea and vomiting by P6 acupoint stimulation lengkap.

Medicine, 95 (38) se, e4770. https://doi.org/10.1097/MD.0000000000004770

Fengge, A. (2012). Terapi akupresur manfaat & teknik pengobatan. Yogyakarta:

Crop Cirlce Corp.

Firmana, D. (2017). Keperawatan kemoterapi. Jakarta: Salemba Medika.

Genç, A., Can, G., & Aydiner, A. (2013). The efficiency of the acupressure in

prevention of the chemotherapy-induced nausea and vomiting. Supportive

Care Cancer, 253–261. https://doi.org/10.1007/s00520-012-1519-3

Gozzo, T., Moyses, A., Silva, P., & Almeida, A. (2013). Nausea, vomiting and

quality of life in women with breast cancer receiving chemotherapy. Rev

Gaúcha Enferm, 34(6), 110.

Grove, S. K., Burns, N., & Jennifer, G. (2013). The practise of nursing research:

Appraisal, synthesis, and generation of evidence (7th ed.). St. Louis

Missouri: Elsevier Saunders.

Grove, S. K., Gray, J. R., & Burns, N. (2015). Understanding Nursing Research :

Building an Evidence -Based Practice. St. Louis Missouri: Saunders

Elsevier.

Grunberg, S. M. (2004). Chemotherapy induced nausea vomiting: Prevention,

detection and treatment-how are we doing? Tje Journal of Supportive

Oncology, 2(1), 1–12.

110

Hajian, S., Mehrabi, E., Simbar, M., & Houshyari, M. (2017). Coping strategies

and experiences in women with a primary breast cancer diagnosis. Asian

Pacific Journal of Cancer Prevention, 18, 215–224.

https://doi.org/10.22034/APJCP.2017.18.1.215

Hawkins, R., & Grunberg, S. (2009). Chemotherapy-induced nausea and

vomiting: Challenges and opportunities for improved patient outcomes.

Clinical Journal of Oncology Nursing, 13(1), 54–64.

Hesketh, P. J. (2008). Chemotherapy-Induced Nausea and Vomiting. The New

England Journal of Medicine, 358, 2482–2494. Retrieved from

www.nejm.org

Hilarius, D. L., Kloeg, P. H., Gundy, C. M., & Aaronson, N. K. (2012).

Chemotherapy-induced nausea and vomiting in daily clinical practice: A

community hospital-based study. Supportive Care Cancer, 20, 107–117.

https://doi.org/10.1007/s00520-010-1073-9

http://medicastore.com/penyakit/103/Kanker_Payudara.html. (2011). Kanker

Payudara. Retrieved March 17, 2017, from

http://medicastore.com/penyakit/103/Kanker_Payudara.html

Infodatin. (2016). Bulan peduli kanker payudara. Pusat Data Dan Informasi

Kementerian Kesehatan RI, 1–2. https://doi.org/ISSN 2442-7659

Jarde, T., Perrier, S., Vasson, M.-P., & Caldefie-Chezet, F. (2011). Molecular

mechanisms of leptin and adiponectin in breast cancer. European Journal of

Cancer, 47(1), 33 –43. https://doi.org/10.1016/j.ejca.2010.09.005

Jenelsins, M. C., Tejani, M., Kamen, C., Peoples, A., Mustian, K., & Morrow, G.

R. (2014). Current pharmacotherapy for chemotherapy induced nausea and

vomiting in cancer patiens, 14(6), 757–766.

https://doi.org/10.1517/14656566.2013.776541.Current

Jones, J. M., Bardia, A., Linquist, B., Wolf, S., & Loprinzi, C. L. (2011).

Antiemetics for chemotherapy-induced nausea and vomiting occurring

despite prophylactic antiemetic therapy. Journal of Palliative Medicine,

14(7), 810–814. https://doi.org/10.1089/jpm.2011.0058

Kasmui. (2011). Bekam, Pengobatan Menurut Sunnah Nabi. Semarang:

Komunitas Thibbun Nabawi “Isyfi.”

Kemenkes, K. (2008). Panduan Penatalaksanaan Kanker Payudara. Kementerian

Kesehatan Republik Indonesia. Retrieved from

https://books.google.co.id/books?id=56n7wtKMUPcC&pg=PA23&dq=peme

riksaan+payudara+sendiri&hl=id&sa=X&redir_esc=y#v=onepage&q=pemer

iksaan payudara sendiri&f=false

Kim, J., Lee, M. S., Lee, D., Boddy, K., & Ernst, E. (2011). Cupping for treating

pain : A systematic review. Evidence Based Complementary and Alternative

Medicine, 2011(January 2009), 7 pages. https://doi.org/10.1093/ecam/nep035

111

Kim, T. H., Choi, B. M., Chin, J. H., Lee, M. S., Kim, D. H., & Noh, G. J. (2007).

The reliability and validity of the rhodes index of Nausea , vomiting and

renching in postoperative nausea and vomiting, 52(6), 59–65.

Kinnear, P. R., & Gray, C. D. (2010). PAWS statistic 17 made simple (replaces

SPSS statistic 17). USA.

Kouros-Mehr, H., Kim, J., Bechis, S. K., & Werb, Z. (2009). GATA-3 and the

regulation of the mammary luminal cell fate Hosein. Curr Opin Cell Biol.,

20(2), 164–170. https://doi.org/10.1016/j.ceb.2008.02.003

Loedin, A. A. (2003). Pedoman nasional etik penelitian kesehatan. Retrieved from

www.knepk.litbang.depkes.go.id/2014/wp.../ped-nas-etik-feb-03.ppt

Mehta, P., & Dhapte, V. (2015). Cupping therapy: a prudent remedy for a plethora

of medical ailments. J Tradit Complement Med, 5, 127–34.

Molassiotis, A., Helin, A. M., Dabbour, R., & Hummerston, S. (2007). The effects

of P6 acupressure in the prophylaxis of chemotherapy-related nausea and

vomiting in breast cancer patients. Complementary Therapies in Medicine,

15, 2–12. https://doi.org/10.1016/j.ctim.2006.07.005

Molassiotis, A., Russell, W., Hughes, J., Breckons, M., Richardson, J., Hulme, C.,

… Garrow, A. (2013). The effectiveness and cost-effectiveness of

acupressure for the control and management of chemotherapy-related acute

and delayed nausea: Assessment of Nausea in Chemotherapy Research

(ANCHoR), a randomised controlled trial. National Institute for Health

Research, 17(26). https://doi.org/10.3310/hta17260

Nazari, M., Taghizadeh, A., Bazzaz, M. M., Rakhshandeh, H., & Shokri, S.

(2017). Effect of Persian medicine remedy on chemotherapy induced nausea

and vomiting in breast cancer: A double blind, randomized, crossover

clinical trial. Electronic Physician, 9(January), 3535–3543.

https://doi.org/http://dx.doi.org/10.19082/3535

NCCN. (2017). Breast Cancer. Washington. Retrieved from

www.nccn.org/about/disclosure.aspx

NICC. (2017). Guide to Chemotherapy. Retrieved March 28, 2017, from

www.cancer.gov/cancertopics/chemotherapy-and-you/page2

Oktaviani, R. (2013). Akupresur Zusanli (St36) dan Taibai (Sp3) untuk

Menurunkan Mual pada Pasien Dispepsia di RSUD Banyumas. Purwokerto.

Peoples, A. R., Roscoe, J. A., Block, R. C., Heckler, C. E., Ryan, J. L., Mustian,

K. M., … Dozier, A. M. (2016). Nausea and disturbed sleep as predictors of

cancer-related fatigue in breast cancer patients: a multicenter NCORP study.

Supportive Care in Cancer. https://doi.org/10.1007/s00520-016-3520-8

Perkins, S. D., Woeltje, K. F., & Angenent, L. T. (2010). International Journal of

Medical Microbiology Endotracheal tube biofilm inoculation of oral flora

112

and subsequent colonization of opportunistic pathogens. International

Journal of Medical Microbiology, 300(7), 503–511.

https://doi.org/10.1016/j.ijmm.2010.02.005

Price, S. A., & Wilson, L. M. (2006). Patofisiologi: Konsep klinis prosesproses

penyakit. (H. Hartanto, Ed.) (6th ed.). Jakarta: EGC.

Pusat-Data-dan-Informasi. (2015). Situasi penyakit kanker. Kementerian

Kesehatan RI, 2. Retrieved from www.pusdatin.kemkes.go.id

Rachmawaty, R. (2017). Ethical issues in action-oriented research in Indonesia.

Nursing Ethics, 24(6), 686–693. https://doi.org/10.1177/0969733016646156

Ridho, A. A. (2015). Bekam Sinergi. (T. . Layla, Ed.) (Penyempurn). Solo:

Aqwam.

Rukayah, S. (2013). Pengaruh terapi akupresur terhadap mual muntah lambat

akibat kemoterapi pada anak usia sekolah yang menderita kanker di RS

Kanker Dharmais Jakarta. Universitas Indonesia.

Samad, K., Afshan, G., & Kamal, R. (2003). Effect of acupressure on

postoperative nausea and vomiting in laparascopic cholecystectomy. Journal

Med Assoc, 53(2).

Saputra, K. (2012). Buku Ajar Biofisika Akupunktur dalam Konsep Kedokteran

Energi. Jakarta: Salemba Medika.

Siegel, R., Miller, K., & Jemal, A. (2016). Cancer statistics, 2016. CA: A Cancer

Journal for Clinicians, 66(1), 7–30. https://doi.org/10.3322/caac.21332

Smeltzer, S. C., & Bare, B. G. (2008). Buku ajar keperawatan medikal bedah. (E.

Pakaryaningsis & M. Ester, Eds.) (8th ed.). Jakarta: EGC.

Streubert, H. ., & Carpenter, D. . (2003). Qualitative research in nursing

advancing the humanistic imperative (Third edit). Philadelphia: Lipcott

Williams & Wilkins.

Sugiyono. (2013). Metode Penelitian Manajemen. Bandung: Alfabeta.

Sugiyono. (2016). Metode penelitian kuantitatif, kualitatif, dan R&D. Bandung:

Alfabeta.

Suh, E. E. (2012). The Effects of P6 A cupressure and Nurse-Provided Counseling

on Chemotherapy-Induced Nausea and Vomiting in Patients With Breast

Cancer. Oncology Nursing Forum, 39, 1–10.

Susetyowati, Yenita, & Kurnianda, J. (2010). Status gizi awal berdasarkan Patient

Generated Subjective Global Assessment ( PG-SGA ) berhubungan dengan

asupan zat gizi dan perubahan berat badan pada penderita kanker rawat di

RSUP DR. Mohammad Hoesin Palembang. Jurnal Gizi Klinik Indonesia,

7(2), 80–84.

113

Tarcin, O., Gurbuz, A., Pocan, S., Keskin, O., & Demirturj, L. (2004).

Accustimulation of the neiguan point during gastrocopy: its effect on nausea

and retching. The Turkish Journal of Gastroenterology, 15(4).

Tian, Z., Wei, B., Tang, F., Wei, W., Resetkova, E., Middleton, L., … Wu, Y.

(2011). Prognostic significance of tumor grading and staging in mammary

carcinomas with neuroendocrine differentiation. Human Pathology, 42(8),

1169–1177. https://doi.org/10.1016/j.humpath.2010.11.014

Umar, W. A. (2013). Sembuh dengan Satu Titik. Solo: Al-Qawam.

Vergara, N., Montoya, J. E., Luna, H. G., Amparo, J. R., & Cristal-Luna, G.

(2013). Quality of life and nutritional status among cancer patients on

chemotherapy. Oman Med J, 28(4), 270–274.

https://doi.org/10.5001/omj.2013.75

WHO. (2017). Globocan 2012 : Estimated Cancer Incidence, Mortality and

Prevalence Wordwide 2012. Retrieved April 24, 2017, from

http://globocan.iarc.fr/Pages/fact_sheets_population.aspx

World-Health-Rankings. (2014). BREAST CANCER DEATH RATE BY

COUNTRY. Retrieved from http://www.worldlifeexpectancy.com/world-

health-rankings

1

KEMENTERIAN RISET, TEKNOLOGI DAN PENDIDIKAN TINGGI UNIVERSITAS HASANUDDIN FAKULTAS KEDOKTERAN

KOMITE ETIK PENELITIAN KESEHATAN Sekretariat : Lantai 2 Gedung Laboratorium Terpadu

JL JL.PERINTIS KEMERDEKAAN KAMPUS TAMALANREA KM.10, Makassar 90245

Contact Person: dr. Agussalim Bukhari,M.Med, PhD, Sp.GK (HP. 081241850850), email: agussalimbukhari@ yahoo.com

Lampiran 1

LEMBAR PENJELASAN UNTUK RESPONDEN (Genap)

Assalamu’alaikum Warahmatullahi Wabarakatuh. Perkenalkan nama saya Rif’atunnisa. Saya adalah

Mahasiswa Program Studi Magister Ilmu Keperawatan Fakultas Kedokteran Universitas Hasanuddin, saat

ini sedang melakukan penelitian untuk Tesis dengan judul “Pengaruh Bekam Kering terhadap

Penurunan Mual Muntah Akibat Kemoterapi pada Pasien Kanker Payudara di RSUP Dr. Wahidin

Sudirohusodo dan Rumah Sakit Universitas Hasanuddin”.

Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengidentifikasi pengaruh terapi bekam kering terhadap mual

muntah akibat kemoterapi pada pasien kanker payudara yang pada akhirnya akan membantu dalam upaya

mengurangi salah satu efek samping kemoterapi yaitu mual muntah pada pasien kanker payudara sehingga

bisa meningkatkan kenyamanan dan kualitas hidup pasien.

Yang saya akan lakukan kepada ibu yaitu menanyakan tentang data–data riwayat kesehatan

bapak/ibu, melakukan beberapa pemeriksaan yaitu tinggi badan, berat badan . Selanjutnya pengukuran

skor mual muntah dengan mengisi kuisioner Rhodes dan diberikan terapi bekam kering.

Terapi bekam kering diberikan pada titik P6 (Pericardium 6) selama 7 menit pada 6 jam pre

kemoterapi, saat kemoterapi, dan 6 jam post kemoterapi. Kemudian melakukan pengukuran mual muntah

responden dengan menggunakan kuesioner mual muntah Rhodes INVR 30 menit pre kemoterapi (sebelum

pemberian antiemetik), dan 12 jam post kemoterapi dengan kuisioner Rhodes.

. Perlakuan bekam kering yang diberikan tidak mengeluarkan darah. Kulit yang di bekam

hanya akan tampak merah tetapi akan menghilang beberapa saat setelah di bekam. Efek ini bisa

diatasi dengan dengan diolesi minyak zaitun untuk menghilangkan tanda lebam (bercak

kemerahan) pada kulit yang selesai dibekam. Semua pemeriksaan yang dilakukan tidak

memberikan bahaya ataupun risiko, hanya efek samping yang minimal terhadap saudari/ibu.

Responden akan dinyatakan drop out apabila tidak mengikuti seluruh rangkaian pemeriksaan dalam

penelitian ini. Peneliti akan menjaga kerahasiaan identitas dan jawaban yang saudari/ibu berikan jika

bersedia menjadi responden dalam penelitian ini. Saya sebagai peneliti sangat berharap saudari/ibu dapat

mengikuti penelitian ini tanpa paksaan apapun, mengikuti semua pemeriksaan dan memberikan jawaban

dengan sejujur–jujurnya sesuai dengan hasil pemeriksaan yang saudari/ibu lakukan.

2

Apabila saudari/ibu ingin mengundurkan diri selama proses penelitian ini berlangsung atau jika ada

hal–hal yang kurang berkenan, saudari/ibu dapat mengungkapkan langsung atau menelpon peneliti.

Sebagai bentuk terimakasih peneliti pada saudari/ibu dalam berpartisipasi dalam penelitian ini, peneliti

akan memberikan reward berupa Souvenir yang akan diberikan di akhir pertemuan.

Jika saudari/ibu bersedia mengikuti penelitian ini, silahkan menandatangani lembar persetujuan

responden. Apabila terdapat hal-hal yang kurang jelas sehubungan dengan penelitian ini, saudari/ibu dapat

menghubungi saya (Rif’atunnisa/ HP. 085 342 811 372).

Penanggung Jawab Penelitian

Nama : Rif’atunnisa, S.Kep., Ns

Alamat : Jl Kotipa XVI

Telpon /email : 085342811372 / [email protected]

Makassar,.... Agustus 2017

Peneliti Utama

Rif’atunnisa, S. Kep. Ns.

Lokasi bekam kering pada Titik P6 (PC 6)

Titik P6 / PC6 (Perikardium 6)

Lokasi pada 2 cun tulang (3 jari) di atas

pertengahan pergelangan tangan bagian dalam

3

KEMENTERIAN RISET, TEKNOLOGI DAN PENDIDIKAN TINGGI

UNIVERSITAS HASANUDDIN FAKULTAS KEDOKTERAN

KOMITE ETIK PENELITIAN KESEHATAN Sekretariat : Lantai 2 Gedung Laboratorium Terpadu

JL JL.PERINTIS KEMERDEKAAN KAMPUS TAMALANREA KM.10, Makassar 90245

Contact Person: dr. Agussalim Bukhari,M.Med, PhD, Sp.GK (HP. 081241850850), email: agussalimbukhari@ yahoo.com

Lampiran 1

LEMBAR PENJELASAN UNTUK RESPONDEN (Ganjil)

Assalamu’alaikum Warahmatullahi Wabarakatuh. Perkenalkan nama saya Rif’atunnisa. Saya adalah

Mahasiswa Program Studi Magister Ilmu Keperawatan Fakultas Kedokteran Universitas Hasanuddin, saat

ini sedang melakukan penelitian untuk Tesis dengan judul “Pengaruh Bekam Kering terhadap

Penurunan Mual Muntah Akibat Kemoterapi pada Pasien Kanker Payudara di RSUP Dr. Wahidin

Sudirohusodo dan Rumah Sakit Universitas Hasanuddin”.

Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengidentifikasi pengaruh terapi bekam kering terhadap mual

muntah akibat kemoterapi pada pasien kanker payudara yang pada akhirnya akan membantu dalam upaya

mengurangi salah satu efek samping kemoterapi yaitu mual muntah pada pasien kanker payudara sehingga

bisa meningkatkan kenyamanan dan kualitas hidup pasien.

Yang saya akan lakukan kepada ibu yaitu menanyakan tentang data–data riwayat kesehatan

bapak/ibu, melakukan beberapa pemeriksaan yaitu tinggi badan, berat badan . Selanjutnya pengukuran

skor mual muntah dengan mengisi kuisioner Rhodes dan diberikan terapi bekam kering.

Terapi bekam kering diberikan selama 7 menit pada titik TE5 (Tri Energizer 5) pada 6 jam pre

kemoterapi, saat kemoterapi, dan 6 jam post kemoterapi. Kemudian melakukan pengukuran mual muntah

responden pada 30 menit pre kemoterapi (sebelum pemberian antiemetik), dan 12 jam post kemoterapi

dengan menggunakan kuesioner mual muntah Rhodes INVR. Perlakuan bekam kering yang diberikan

tidak mengeluarkan darah. Kulit yang di bekam hanya akan tampak merah tetapi akan

menghilang beberapa saat setelah di bekam. Efek ini bisa diatasi dengan dengan diolesi minyak

zaitun untuk menghilangkan tanda lebam (bercak kemerahan) pada kulit yang selesai dibekam.

Semua pemeriksaan yang dilakukan tidak memberikan bahaya ataupun risiko, hanya efek samping

yang minimal terhadap saudari/ibu.

Responden akan dinyatakan drop out apabila tidak mengikuti seluruh rangkaian pemeriksaan dalam

penelitian ini. Peneliti akan menjaga kerahasiaan identitas dan jawaban yang saudari/ibu berikan jika

bersedia menjadi responden dalam penelitian ini. Saya sebagai peneliti sangat berharap saudari/ibu dapat

mengikuti penelitian ini tanpa paksaan apapun, mengikuti semua pemeriksaan dan memberikan jawaban

dengan sejujur–jujurnya sesuai dengan hasil pemeriksaan yang saudari/ibu lakukan.

4

Apabila saudari/ibu ingin mengundurkan diri selama proses penelitian ini berlangsung atau jika ada

hal–hal yang kurang berkenan, saudari/ibu dapat mengungkapkan langsung atau menelpon peneliti.

Sebagai bentuk terimakasih peneliti pada saudari/ibu dalam berpartisipasi dalam penelitian ini, peneliti

akan memberikan reward berupa Souvenir yang akan diberikan di akhir pertemuan.

Jika saudari/ibu bersedia mengikuti penelitian ini, silahkan menandatangani lembar persetujuan

responden. Apabila terdapat hal-hal yang kurang jelas sehubungan dengan penelitian ini, saudari/ibu dapat

menghubungi saya (Rif’atunnisa/ HP. 085 342 811 372).

Penanggung Jawab Penelitian

Nama : Rif’atunnisa, S.Kep., Ns

Alamat : Jl Kotipa XVI

Telpon /email : 085342811372 / [email protected]

Makassar, ...... Agustus 2017

Peneliti Utama

Rif’atunnisa, S. Kep. Ns.

Lokasi bekam kering pada Titik TE 5 / SJ 5

Titik TE (Tri pemanas) 5 / SJ (Sanjiao) 5

Lokasi pada 2 cun tulang (3 jari) di atas punggung pergelangan tangan segaris jari tengah.

1

Lampiran 6

Statistics

Kelompok

Umur

Lama menderita

num (bulan)

Siklus

Komoterapi IMT Numerik

Kontrol N Valid 30 30 30 30

Missing 0 0 0 0

Mean 46.80 22.77 2.97 22.8587

Std. Deviation 9.072 22.059 2.428 3.80453

Skewness -.617 3.110 3.371 .620

Std. Error of Skewness .427 .427 .427 .427

Minimum 20 1 1 17.26

Maximum 62 120 14 32.80

Intervensi N Valid 30 30 30 30

Missing 0 0 0 0

Mean 45.57 23.20 3.80 24.8057

Std. Deviation 9.111 16.545 1.955 4.19967

Skewness -.036 1.363 .835 .384

Std. Error of Skewness .427 .427 .427 .427

Minimum 23 5 1 17.80

Maximum 69 60 10 32.89

2

Independent Samples Test

Levene's Test for Equality of

Variances t-test for Equality of Means

F Sig. t df Sig. (2-tailed)

Mean

Difference

Std. Error

Difference

95% Confidence Interval of the

Difference

Lower Upper

Umur Equal variances assumed .021 .886 .525 58 .601 1.233 2.347 -3.466 5.932

Equal variances not

assumed

.525 57.999 .601 1.233 2.347 -3.466 5.932

IMT Numerik Equal variances assumed .391 .534 -1.882 58 .065 -1.94700 1.03460 -4.01797 .12397

Equal variances not

assumed

-1.882 57.443 .065 -1.94700 1.03460 -4.01840 .12440

Lama menderita num

(bulan)

Equal variances assumed .492 .486 -.086 58 .932 -.433 5.034 -10.511 9.644

Equal variances not

assumed

-.086 53.785 .932 -.433 5.034 -10.528 9.661

Siklus Komoterapi Equal variances assumed .002 .963 -1.464 58 .149 -.833 .569 -1.973 .306

Equal variances not

assumed

-1.464 55.471 .149 -.833 .569 -1.974 .307

Umur : 0,601: 2 = 0,3005 ; Imt: 0,65:2 =0,325; Lama menderita: 0932:2 = 0,466; siklus kemoterapi: 0,149:2 =0,0745

Pekerjaan Pendidikan Stadium Kanker

Mann-Whitney U 425.500 429.500 380.500

Wilcoxon W 890.500 894.500 845.500

Z -.417 -.314 -1.091

Asymp. Sig. (2-tailed) .677 .754 .275

Pekerjaan: 0,677:2 = 0,338

Pendidikan: 0754:2 = 0,377

Stadium kanker : 0,275 : 2 = 0,1375

3

Pendidikan

Kelompok Frequency Percent Valid Percent Cumulative Percent

Kontrol Valid TIDAK SEKOLAH 1 3.3 3.3 3.3

SD 9 30.0 30.0 33.3

SMP 3 10.0 10.0 43.3

SMA 9 30.0 30.0 73.3

PERGURUAN TINGGI 8 26.7 26.7 100.0

Total 30 100.0 100.0

Intervensi Valid TIDAK SEKOLAH 1 3.3 3.3 3.3

SD 7 23.3 23.3 26.7

SMP 5 16.7 16.7 43.3

SMA 8 26.7 26.7 70.0

PERGURUAN TINGGI 9 30.0 30.0 100.0

Total 30 100.0 100.0

Ranks

Kelompok N Mean Rank Sum of

Ranks

Pekerjaan

Kontrol 30 31.32 939.50

Intervensi 30 29.68 890.50

Total 60

Pendidikan

Kontrol 30 29.82 894.50

Intervensi 30 31.18 935.50

Total 60

Siklus

Komoterapi

Kontrol 30 25.27 758.00

Intervensi 30 35.73 1072.00

Total 60

Stadium

Kanker

Kontrol 30 32.82 984.50

Intervensi 30 28.18 845.50

Total 60

4

Pendidikan * Kelompok

Crosstab

Kelompok

Total Kontrol Intervensi

Pendidikan TIDAK SEKOLAH Count 1 1 2

Expected Count 1.0 1.0 2.0

SD Count 9 7 16

Expected Count 8.0 8.0 16.0

SMP Count 3 5 8

Expected Count 4.0 4.0 8.0

SMA Count 9 8 17

Expected Count 8.5 8.5 17.0

PERGURUAN TINGGI Count 8 9 17

Expected Count 8.5 8.5 17.0

Total Count 30 30 60

Expected Count 30.0 30.0 60.0

Pekerjaan * Kelompok

Crosstab

Kelompok

Total Kontrol Intervensi

Pekerjaan PNS Count 5 3 8

Expected Count 4.0 4.0 8.0

WIRASWASTA Count 4 8 12

Expected Count 6.0 6.0 12.0

IRT Count 19 18 37

Expected Count 18.5 18.5 37.0

TIDAK BEKERJA Count 2 1 3

Expected Count 1.5 1.5 3.0

Total Count 30 30 60

Expected Count 30.0 30.0 60.0

5

Riwayat Pernikahan * Kelompok

Riwayat Pernikahan

Kelompok Frequency Percent Valid Percent Cumulative Percent

Kontrol Valid MENIKAH 26 86.7 86.7 86.7

BELUM MENIKAH 4 13.3 13.3 100.0

Total 30 100.0 100.0

Intervensi Valid MENIKAH 26 86.7 86.7 86.7

BELUM MENIKAH 4 13.3 13.3 100.0

Total 30 100.0 100.0

Crosstab

Kelompok

Total Kontrol Intervensi

Riwayat Pernikahan MENIKAH Count 26 26 52

Expected Count 26.0 26.0 52.0

BELUM MENIKAH Count 4 4 8

Expected Count 4.0 4.0 8.0

Total Count 30 30 60

Expected Count 30.0 30.0 60.0

Chi-Square Tests

Value df Asymp. Sig. (2-sided) Exact Sig. (2-sided) Exact Sig. (1-sided)

Pearson Chi-Square .000a 1 1.000

Continuity Correctionb .000 1 1.000

Likelihood Ratio .000 1 1.000

Fisher's Exact Test 1.000 .647

Linear-by-Linear Association .000 1 1.000

N of Valid Cases 60

a. 2 cells (50.0%) have expected count less than 5. The minimum expected count is 4.00.

b. Computed only for a 2x2 table

Siklus Komoterapi * Kelompok

Crosstab

Kelompok

Total Kontrol Intervensi

Siklus Komoterapi 1 Count 7 4 11

Expected Count 5.5 5.5 11.0

2 Count 8 5 13

Expected Count 6.5 6.5 13.0

6

3 Count 6 2 8

Expected Count 4.0 4.0 8.0

4 Count 6 8 14

Expected Count 7.0 7.0 14.0

5 Count 2 9 11

Expected Count 5.5 5.5 11.0

7 Count 0 1 1

Expected Count .5 .5 1.0

10 Count 0 1 1

Expected Count .5 .5 1.0

14 Count 1 0 1

Expected Count .5 .5 1.0

Total Count 30 30 60

Expected Count 30.0 30.0 60.0

Riwayat KB * Kelompok

Crosstab

Kelompok

Total Kontrol Intervensi

Riwayat KB YA Count 12 17 29

Expected Count 14.5 14.5 29.0

TIDAK Count 18 13 31

Expected Count 15.5 15.5 31.0

Total Count 30 30 60

Expected Count 30.0 30.0 60.0

Chi-Square Tests

Value df Asymp. Sig. (2-sided) Exact Sig. (2-sided) Exact Sig. (1-sided)

Pearson Chi-Square 1.669a 1 .196

Continuity Correctionb 1.068 1 .301

Likelihood Ratio 1.676 1 .195

Fisher's Exact Test .301 .151

Linear-by-Linear Association 1.641 1 .200

N of Valid Cases 60

a. 0 cells (.0%) have expected count less than 5. The minimum expected count is 14.50.

b. Computed only for a 2x2 table

0,196 :2 = 0,098

7

Stadium Kanker

Kelompok Frequency Percent Valid Percent Cumulative Percent

Kontrol Valid STADIUM II 2 6.7 6.7 6.7

STADIUM III B 13 43.3 43.3 50.0

STADIUM III C 3 10.0 10.0 60.0

STADIUM IV 9 30.0 30.0 90.0

STADIUM 1 3 10.0 10.0 100.0

Total 30 100.0 100.0

Intervensi Valid STADIUM II 1 3.3 3.3 3.3

STADIUM III A 2 6.7 6.7 10.0

STADIUM III B 14 46.7 46.7 56.7

STADIUM III C 6 20.0 20.0 76.7

STADIUM IV 7 23.3 23.3 100.0

Total 30 100.0 100.0

Stadium Kanker * Kelompok

Crosstab

Kelompok

Total Kontrol Intervensi

Stadium Kanker STADIUM II Count 2 1 3

Expected Count 1.5 1.5 3.0

STADIUM III A Count 0 2 2

Expected Count 1.0 1.0 2.0

STADIUM III B Count 13 14 27

Expected Count 13.5 13.5 27.0

STADIUM III C Count 3 6 9

Expected Count 4.5 4.5 9.0

STADIUM IV Count 9 7 16

Expected Count 8.0 8.0 16.0

STADIUM 1 Count 3 0 3

Expected Count 1.5 1.5 3.0

Total Count 30 30 60

8

Crosstab

Kelompok

Total Kontrol Intervensi

Stadium Kanker STADIUM II Count 2 1 3

Expected Count 1.5 1.5 3.0

STADIUM III A Count 0 2 2

Expected Count 1.0 1.0 2.0

STADIUM III B Count 13 14 27

Expected Count 13.5 13.5 27.0

STADIUM III C Count 3 6 9

Expected Count 4.5 4.5 9.0

STADIUM IV Count 9 7 16

Expected Count 8.0 8.0 16.0

STADIUM 1 Count 3 0 3

Expected Count 1.5 1.5 3.0

Total Count 30 30 60

Expected Count 30.0 30.0 60.0

Status Kemoterpi

Kelompok Frequency Percent Valid Percent Cumulative Percent

Kontrol Valid NEOADJUVANT 17 56.7 56.7 56.7

ADJUVANT 13 43.3 43.3 100.0

Total 30 100.0 100.0

Intervensi Valid NEOADJUVANT 14 46.7 46.7 46.7

ADJUVANT 16 53.3 53.3 100.0

Total 30 100.0 100.0

Status Kemoterpi * Kelompok

Crosstab

Kelompok

Total Kontrol Intervensi

Status Kemoterpi NEOADJUVANT Count 17 14 31

Expected Count 15.5 15.5 31.0

ADJUVANT Count 13 16 29

Expected Count 14.5 14.5 29.0

Total Count 30 30 60

Expected Count 30.0 30.0 60.0

9

Chi-Square Tests

Value df Asymp. Sig. (2-sided) Exact Sig. (2-sided) Exact Sig. (1-sided)

Pearson Chi-Square .601a 1 .438

Continuity Correctionb .267 1 .605

Likelihood Ratio .602 1 .438

Fisher's Exact Test .606 .303

Linear-by-Linear Association .591 1 .442

N of Valid Cases 60

a. 0 cells (.0%) have expected count less than 5. The minimum expected count is 14.50.

b. Computed only for a 2x2 table

0,438 : 2 = 0.219

Emetogenisitas * Kelompok

Crosstab

Kelompok

Total Kontrol Intervensi

Emetogenisitas EMETOGENISITAS RENDAH Count 8 7 15

Expected Count 7.5 7.5 15.0

EMETOGENISITAS SEDANG Count 9 13 22

Expected Count 11.0 11.0 22.0

EMETOGENISITAS TINGGI Count 13 10 23

Expected Count 11.5 11.5 23.0

Total Count 30 30 60

Expected Count 30.0 30.0 60.0

Chi-Square Tests

Value df Asymp. Sig. (2-sided)

Pearson Chi-Square 1.185a 2 .553

Likelihood Ratio 1.190 2 .551

Linear-by-Linear Association .106 1 .744

N of Valid Cases 60

a. 0 cells (.0%) have expected count less than 5. The minimum expected count is 7.50.

0,553 : 2 = 0,2765

10

Status Gizi

Kelompok Frequency Percent Valid Percent Cumulative Percent

Kontrol Valid SGA A (GIZI BAIK) 13 43.3 43.3 43.3

SGA B & C (GIZI KURANG /

MALNUTRISI)

17 56.7 56.7 100.0

Total 30 100.0 100.0

Intervensi Valid SGA A (GIZI BAIK) 11 36.7 36.7 36.7

SGA B & C (GIZI KURANG /

MALNUTRISI)

19 63.3 63.3 100.0

Total 30 100.0 100.0

Status Gizi * Kelompok

Crosstab

Kelompok

Total Kontrol Intervensi

Status Gizi SGA A (GIZI BAIK) Count 13 11 24

Expected Count 12.0 12.0 24.0

SGA B & C (GIZI KURANG /

MALNUTRISI)

Count 17 19 36

Expected Count 18.0 18.0 36.0

Total Count 30 30 60

Expected Count 30.0 30.0 60.0

Chi-Square Tests

Value df Asymp. Sig. (2-sided) Exact Sig. (2-sided) Exact Sig. (1-sided)

Pearson Chi-Square .278a 1 .598

Continuity Correctionb .069 1 .792

Likelihood Ratio .278 1 .598

Fisher's Exact Test .792 .396

Linear-by-Linear Association .273 1 .601

N of Valid Cases 60

a. 0 cells (.0%) have expected count less than 5. The minimum expected count is 12.00.

b. Computed only for a 2x2 table

0,598 : 2 = 0,299

11

Statistics

Kelompok Rhodes Basline

num

Rhodes 30m

num

Rhodes 12 jam

num

Kontrol N Valid 30 30 30

Missing 0 0 0

Mean 9.17 .97 3.10

Std. Deviation 8.379 2.189 6.609

Skewness .777 2.455 2.271

Std. Error of Skewness .427 .427 .427

Minimum 0 0 0

Maximum 26 9 26

Intervensi N Valid 30 30 30

Missing 0 0 0

Mean 10.30 1.67 2.33

Std. Deviation 6.482 3.198 4.350

Skewness .263 2.466 1.851

Std. Error of Skewness .427 .427 .427

Minimum 0 0 0

Maximum 23 14 15

ANCOVA

5. Kelompok * waktu

Measure:MEASURE_1

Kelompok waktu Mean Std. Error 95% Confidence Interval

Lower Bound Upper Bound

Kontrol 1 9.382a 1.363 6.649 12.116

2 .799a .515 -.233 1.832

3 2.546a .975 .591 4.502

Intervensi 1 10.123a 1.377 7.361 12.886

2 1.600a .520 .557 2.644

3 1.888a .985 -.088 3.865

a. Covariates appearing in the model are evaluated at the following values: Lama menderita num

(bulan) = 22.98.

12

Estimated Marginal Means

1. Kelompok

Measure:MEASURE_1

Kelompok Mean Std. Error 95% Confidence Interval

Lower Bound Upper Bound

Kontrol 4.426a .745 2.933 5.919

Intervensi 4.782a .760 3.259 6.306

a. Covariates appearing in the model are evaluated at the following values: Siklus

Komoterapi = 3.38.

. Kelompok * Emetogenisitas * waktu

Measure:MEASURE_1

Kelompok Emetogenisitas waktu Mean Std. Error 95% Confidence Interval

Lower Bound Upper Bound

Kontrol EMETOGENISITAS

RENDAH

1 12.524a 2.584 7.342 17.706

2 .481a .976 -1.476 2.439

3 -.021a 1.848 -3.728 3.686

EMETOGENISITAS

SEDANG

1 7.111a 2.447 2.203 12.018

2 -.087a .924 -1.940 1.767

3 1.571a 1.750 -1.939 5.081

EMETOGENISITAS TINGGI 1 8.512a 2.038 4.424 12.600

2 2.004a .770 .460 3.548

3 6.089a 1.458 3.165 9.013

Intervensi EMETOGENISITAS

RENDAH

1 11.222a 2.765 5.676 16.768

2 1.193a 1.044 -.902 3.288

3 .484a 1.978 -3.483 4.451

EMETOGENISITAS

SEDANG

1 13.040a 2.028 8.972 17.109

2 1.815a .766 .278 3.351

3 4.888a 1.451 1.978 7.798

EMETOGENISITAS TINGGI 1 6.107a 2.311 1.473 10.742

2 1.794a .873 .044 3.545

3 .294a 1.653 -3.022 3.609

a. Covariates appearing in the model are evaluated at the following values: Lama menderita num (bulan) = 22.98.

13

4. Kelompok * Emetogenisitas

Measure:MEASURE_1

Kelompok Emetogenisitas Mean Std. Error 95% Confidence Interval

Lower Bound Upper Bound

Kontrol EMETOGENISITAS RENDAH 4.328a 1.334 1.652 7.005

EMETOGENISITAS SEDANG 2.865a 1.264 .330 5.400

EMETOGENISITAS TINGGI 5.535a 1.053 3.424 7.646

Intervensi

EMETOGENISITAS RENDAH 4.299a 1.428 1.435 7.164

EMETOGENISITAS SEDANG 6.581a 1.048 4.480 8.682

EMETOGENISITAS TINGGI 2.732a 1.193 .338 5.125

a. Covariates appearing in the model are evaluated at the following values: Lama menderita num (bulan) = 22.98.

Tests of Within-Subjects Effects

Measure:MEASURE_1

Source Type III Sum of

Squares

df Mean Square F Sig. Partial Eta

Squared

Noncent.

Parameter

Observed

Powera

waktu Sphericity Assumed 1295.205 2 647.602 28.406 .000 .349 56.813 1.000

Greenhouse-Geisser 1295.205 1.559 830.829 28.406 .000 .349 44.283 1.000

14

Huynh-Feldt 1295.205 1.779 727.876 28.406 .000 .349 50.547 1.000

Lower-bound 1295.205 1.000 1295.205 28.406 .000 .349 28.406 .999

waktu *

Lama_menderita_num_bln

Sphericity Assumed 26.643 2 13.322 .584 .559 .011 1.169 .145

Greenhouse-Geisser 26.643 1.559 17.091 .584 .519 .011 .911 .133

Huynh-Feldt 26.643 1.779 14.973 .584 .540 .011 1.040 .139

Lower-bound 26.643 1.000 26.643 .584 .448 .011 .584 .117

waktu * KELOMPOK Sphericity Assumed 19.382 2 9.691 .425 .655 .008 .850 .117

Greenhouse-Geisser 19.382 1.559 12.433 .425 .605 .008 .663 .109

Huynh-Feldt 19.382 1.779 10.892 .425 .631 .008 .756 .114

Lower-bound 19.382 1.000 19.382 .425 .517 .008 .425 .098

waktu * EMETOGENISITAS Sphericity Assumed 301.214 4 75.303 3.303 .014 .111 13.212 .825

Greenhouse-Geisser 301.214 3.118 96.609 3.303 .023 .111 10.299 .746

Huynh-Feldt 301.214 3.559 84.638 3.303 .018 .111 11.755 .789

Lower-bound 301.214 2.000 150.607 3.303 .044 .111 6.606 .602

waktu * KELOMPOK *

EMETOGENISITAS

Sphericity Assumed 112.723 4 28.181 1.236 .300 .045 4.944 .376

Greenhouse-Geisser 112.723 3.118 36.154 1.236 .302 .045 3.854 .326

Huynh-Feldt 112.723 3.559 31.674 1.236 .301 .045 4.399 .351

Lower-bound 112.723 2.000 56.361 1.236 .299 .045 2.472 .258

Error(waktu) Sphericity Assumed 2416.574 106 22.798

15

Tests of Between-Subjects Effects

Measure:MEASURE_1

Transformed Variable:Average

Source Type III Sum of

Squares

df Mean Square F Sig. Partial Eta

Squared

Noncent.

Parameter

Observed Powera

Intercept 1292.565 1 1292.565 30.255 .000 .363 30.255 1.000

Lama_menderita_num_bln 1.682 1 1.682 .039 .843 .001 .039 .054

KELOMPOK 3.703 1 3.703 .087 .770 .002 .087 .060

EMETOGENISITAS 11.629 2 5.815 .136 .873 .005 .272 .070

KELOMPOK *

EMETOGENISITAS

348.228 2 174.114 4.075 .023 .133 8.151 .700

Error 2264.316 53 42.723

a. Computed using alpha = .050

Tests of Between-Subjects Effects

Measure:MEASURE_1

Greenhouse-Geisser 2416.574 82.623 29.248

Huynh-Feldt 2416.574 94.310 25.624

Lower-bound 2416.574 53.000 45.596

a. Computed using alpha = .050

16

Transformed Variable:Average

Source Type III Sum of

Squares

df Mean Square F Sig. Partial Eta

Squared

Noncent.

Parameter

Observed Powera

Intercept 1063.050 1 1063.050 22.203 .000 .288 22.203 .996

SIKLUSKEMOTERAPI .541 1 .541 .011 .916 .000 .011 .051

KELOMPOK 5.277 1 5.277 .110 .741 .002 .110 .062

STATUS_GIZI .727 1 .727 .015 .902 .000 .015 .052

KELOMPOK * STATUS_GIZI .187 1 .187 .004 .950 .000 .004 .050

Error 2633.317 55 47.878

a. Computed using alpha = .050

Tests of Between-Subjects Effects

Measure:MEASURE_1

Transformed Variable:Average

Source Type III Sum of

Squares

df Mean Square F Sig. Partial Eta

Squared

Noncent.

Parameter

Observed Powera

Intercept 816.289 1 816.289 19.116 .000 .265 19.116 .990

SIKLUSKEMOTERAPI 2.814 1 2.814 .066 .798 .001 .066 .057

KELOMPOK 2.378 1 2.378 .056 .814 .001 .056 .056

EMETOGENISITAS 12.180 2 6.090 .143 .867 .005 .285 .071

KELOMPOK * 349.042 2 174.521 4.087 .022 .134 8.174 .701

17

EMETOGENISITAS

Error 2263.185 53 42.702

a. Computed using alpha = .050

Syntax 2

Tests of Within-Subjects Effects

Measure:MEASURE_1

Source Type III Sum of

Squares df Mean Square F Sig.

waktu Sphericity Assumed 381.656 2 190.828 8.357 .000

Greenhouse-Geisser 381.656 1.498 254.775 8.357 .002

Huynh-Feldt 381.656 1.890 201.953 8.357 .001

Lower-bound 381.656 1.000 381.656 8.357 .006

waktu * KELOMPOK Sphericity Assumed 2.282 2 1.141 .050 .951

Greenhouse-Geisser 2.282 1.498 1.523 .050 .909

Huynh-Feldt 2.282 1.890 1.208 .050 .944

Lower-bound 2.282 1.000 2.282 .050 .824

waktu * EMETOGENISITAS Sphericity Assumed 71.563 4 17.891 .783 .539

Greenhouse-Geisser 71.563 2.996 23.886 .783 .507

18

Huynh-Feldt 71.563 3.780 18.934 .783 .532

Lower-bound 71.563 2.000 35.781 .783 .463

waktu * KELOMPOK *

EMETOGENISITAS

Sphericity Assumed 82.886 4 20.722 .907 .463

Greenhouse-Geisser 82.886 2.996 27.665 .907 .442

Huynh-Feldt 82.886 3.780 21.930 .907 .459

Lower-bound 82.886 2.000 41.443 .907 .410

waktu * SIKLUSKEMOTERAPI Sphericity Assumed 5.075 2 2.537 .111 .895

Greenhouse-Geisser 5.075 1.498 3.388 .111 .837

Huynh-Feldt 5.075 1.890 2.685 .111 .885

Lower-bound 5.075 1.000 5.075 .111 .740

waktu * KELOMPOK *

SIKLUSKEMOTERAPI

Sphericity Assumed 16.370 2 8.185 .358 .700

Greenhouse-Geisser 16.370 1.498 10.928 .358 .638

Huynh-Feldt 16.370 1.890 8.662 .358 .688

Lower-bound 16.370 1.000 16.370 .358 .552

waktu * EMETOGENISITAS *

SIKLUSKEMOTERAPI

Sphericity Assumed 128.521 4 32.130 1.407 .237

Greenhouse-Geisser 128.521 2.996 42.897 1.407 .248

Huynh-Feldt 128.521 3.780 34.003 1.407 .240

Lower-bound 128.521 2.000 64.261 1.407 .255

waktu * KELOMPOK * Sphericity Assumed 61.983 4 15.496 .679 .608

19

Tests of Within-Subjects Effects

Measure:MEASURE_1

Source Type III Sum of

Squares df Mean Square F Sig. Partial Eta Squared Noncent. Parameter Observed Powera

waktu Sphericity Assumed 523.342 2 261.671 11.447 .000 .178 22.895 .992

Greenhouse-Geisser 523.342 1.554 336.861 11.447 .000 .178 17.784 .976

Huynh-Feldt 523.342 1.773 295.171 11.447 .000 .178 20.296 .986

Lower-bound 523.342 1.000 523.342 11.447 .001 .178 11.447 .913

waktu * SIKLUSKEMOTERAPI Sphericity Assumed 20.181 2 10.090 .441 .644 .008 .883 .120

Greenhouse-Geisser 20.181 1.554 12.990 .441 .595 .008 .686 .112

EMETOGENISITAS *

SIKLUSKEMOTERAPI

Greenhouse-Geisser 61.983 2.996 20.688 .679 .568

Huynh-Feldt 61.983 3.780 16.399 .679 .600

Lower-bound 61.983 2.000 30.991 .679 .512

Error(waktu) Sphericity Assumed 2192.192 96 22.835

Greenhouse-Geisser 2192.192 71.905 30.488

Huynh-Feldt 2192.192 90.712 24.167

Lower-bound 2192.192 48.000 45.671

20

Huynh-Feldt 20.181 1.773 11.382 .441 .621 .008 .783 .116

Lower-bound 20.181 1.000 20.181 .441 .509 .008 .441 .100

waktu * KELOMPOK Sphericity Assumed 13.649 2 6.824 .299 .743 .006 .597 .096

Greenhouse-Geisser 13.649 1.554 8.785 .299 .687 .006 .464 .091

Huynh-Feldt 13.649 1.773 7.698 .299 .716 .006 .529 .094

Lower-bound 13.649 1.000 13.649 .299 .587 .006 .299 .084

waktu * EMETOGENISITAS Sphericity Assumed 245.015 4 61.254 2.680 .036 .092 10.719 .728

Greenhouse-Geisser 245.015 3.107 78.855 2.680 .050 .092 8.326 .644

Huynh-Feldt 245.015 3.546 69.096 2.680 .042 .092 9.502 .688

Lower-bound 245.015 2.000 122.508 2.680 .078 .092 5.359 .509

waktu * KELOMPOK *

EMETOGENISITAS

Sphericity Assumed 116.507 4 29.127 1.274 .285 .046 5.097 .387

Greenhouse-Geisser 116.507 3.107 37.496 1.274 .289 .046 3.959 .335

Huynh-Feldt 116.507 3.546 32.856 1.274 .287 .046 4.518 .361

Lower-bound 116.507 2.000 58.254 1.274 .288 .046 2.548 .265

Error(waktu) Sphericity Assumed 2423.036 106 22.859

Greenhouse-Geisser 2423.036 82.340 29.427

Huynh-Feldt 2423.036 93.970 25.785

Lower-bound 2423.036 53.000 45.718

a. Computed using alpha = .050

21

Table 5.3

5. Kelompok * waktu

Measure:MEASURE_1

Kelompok waktu Mean Std. Error 95% Confidence Interval

Lower Bound Upper Bound

Kontrol 1 9.453a 1.368 6.709 12.197

2 .820a .522 -.226 1.867

3 2.517a .981 .549 4.485

Intervensi 1 9.986a 1.397 7.183 12.788

2 1.574a .533 .505 2.643

3 1.952a 1.002 -.058 3.962

a. Covariates appearing in the model are evaluated at the following values: Siklus Komoterapi = 3.38.

7. Kelompok * Emetogenisitas * waktu

Measure:MEASURE_1

Kelompok Emetogenisitas waktu Mean Std. Error 95% Confidence Interval

Lower Bound Upper Bound

Kontrol EMETOGENISITAS RENDAH 1 12.436a 2.583 7.256 17.616

2 .490a .985 -1.486 2.466

3 .031a 1.853 -3.685 3.746

EMETOGENISITAS SEDANG 1 7.043a 2.434 2.161 11.924

22

2 .007a .928 -1.855 1.868

3 1.646a 1.746 -1.855 5.148

EMETOGENISITAS TINGGI 1 8.879a 2.074 4.720 13.038

2 1.964a .791 .378 3.551

3 5.874a 1.487 2.890 8.857

Intervensi EMETOGENISITAS RENDAH 1 10.896a 2.837 5.205 16.587

2 1.082a 1.082 -1.088 3.252

3 .615a 2.035 -3.467 4.697

EMETOGENISITAS SEDANG 1 12.939a 2.027 8.873 17.004

2 1.837a .773 .286 3.387

3 4.952a 1.454 2.036 7.869

EMETOGENISITAS TINGGI 1 6.122a 2.308 1.492 10.752

2 1.803a .880 .038 3.569

3 .289a 1.656 -3.031 3.610

a. Covariates appearing in the model are evaluated at the following values: Siklus Komoterapi = 3.38.

23

Table 5.6 4. Kelompok * Emetogenisitas

Measure:MEASURE_1

Kelompok Emetogenisitas Mean Std. Error 95% Confidence Interval

Lower Bound Upper Bound

Kontrol EMETOGENISITAS

RENDAH

4.319a 1.335 1.641 6.997

EMETOGENISITAS

SEDANG

2.899a 1.258 .375 5.422

EMETOGENISITAS TINGGI 5.573a 1.072 3.423 7.722

Intervensi EMETOGENISITAS

RENDAH

4.198a 1.467 1.256 7.139

EMETOGENISITAS

SEDANG

6.576a 1.048 4.474 8.677

EMETOGENISITAS TINGGI 2.738a 1.193 .345 5.132

a. Covariates appearing in the model are evaluated at the following values: Siklus Komoterapi = 3.38.

24

Tests of Within-Subjects Effects

Measure:MEASURE_1

Source Type III Sum of

Squares df Mean Square F Sig. Partial Eta Squared Noncent. Parameter Observed Powera

waktu Sphericity Assumed 523.342 2 261.671 11.447 .000 .178 22.895 .992

Greenhouse-Geisser 523.342 1.554 336.861 11.447 .000 .178 17.784 .976

Huynh-Feldt 523.342 1.773 295.171 11.447 .000 .178 20.296 .986

Lower-bound 523.342 1.000 523.342 11.447 .001 .178 11.447 .913

waktu * SIKLUSKEMOTERAPI Sphericity Assumed 20.181 2 10.090 .441 .644 .008 .883 .120

Greenhouse-Geisser 20.181 1.554 12.990 .441 .595 .008 .686 .112

Huynh-Feldt 20.181 1.773 11.382 .441 .621 .008 .783 .116

Lower-bound 20.181 1.000 20.181 .441 .509 .008 .441 .100

waktu * KELOMPOK Sphericity Assumed 13.649 2 6.824 .299 .743 .006 .597 .096

Greenhouse-Geisser 13.649 1.554 8.785 .299 .687 .006 .464 .091

25

Huynh-Feldt 13.649 1.773 7.698 .299 .716 .006 .529 .094

Lower-bound 13.649 1.000 13.649 .299 .587 .006 .299 .084

waktu * EMETOGENISITAS Sphericity Assumed 245.015 4 61.254 2.680 .036 .092 10.719 .728

Greenhouse-Geisser 245.015 3.107 78.855 2.680 .050 .092 8.326 .644

Huynh-Feldt 245.015 3.546 69.096 2.680 .042 .092 9.502 .688

Lower-bound 245.015 2.000 122.508 2.680 .078 .092 5.359 .509

waktu * KELOMPOK *

EMETOGENISITAS

Sphericity Assumed 116.507 4 29.127 1.274 .285 .046 5.097 .387

Greenhouse-Geisser 116.507 3.107 37.496 1.274 .289 .046 3.959 .335

Huynh-Feldt 116.507 3.546 32.856 1.274 .287 .046 4.518 .361

Lower-bound 116.507 2.000 58.254 1.274 .288 .046 2.548 .265

Error(waktu) Sphericity Assumed 2423.036 106 22.859

Greenhouse-Geisser 2423.036 82.340 29.427

Huynh-Feldt 2423.036 93.970 25.785

Lower-bound 2423.036 53.000 45.718

a. Computed using alpha = .050

1. Kelompok

Measure:MEASURE_1

26

Kelompok Mean Std. Error 95% Confidence Interval

Lower Bound Upper Bound

Kontrol 4.263a .707 2.845 5.682

Intervensi 4.504a .722 3.055 5.953

a. Covariates appearing in the model are evaluated at the following values: Siklus

Komoterapi = 3.38.

Tabel 5.5

Tests of Between-Subjects Effects

Measure:MEASURE_1

Transformed Variable:Average

Source Type III Sum of

Squares df Mean Square F Sig. Partial Eta Squared Noncent. Parameter Observed Powera

Intercept 816.289 1 816.289 19.116 .000 .265 19.116 .990

SIKLUSKEMOTERAPI 2.814 1 2.814 .066 .798 .001 .066 .057

KELOMPOK 2.378 1 2.378 .056 .814 .001 .056 .056

EMETOGENISITAS 12.180 2 6.090 .143 .867 .005 .285 .071

KELOMPOK *

EMETOGENISITAS

349.042 2 174.521 4.087 .022 .134 8.174 .701

Error 2263.185 53 42.702

a. Computed using alpha = .050

27

Tabel 5.5

Tests of Within-Subjects Effects

Measure:MEASURE_1

Source Type III Sum of

Squares df Mean Square F Sig. Partial Eta Squared Noncent. Parameter Observed Powera

waktu

Sphericity Assumed 523.342 2 261.671 11.447 .000 .178 22.895 .992

Greenhouse-Geisser 523.342 1.554 336.861 11.447 .000 .178 17.784 .976

Huynh-Feldt 523.342 1.773 295.171 11.447 .000 .178 20.296 .986

Lower-bound 523.342 1.000 523.342 11.447 .001 .178 11.447 .913

waktu * SIKLUSKEMOTERAPI Sphericity Assumed 20.181 2 10.090 .441 .644 .008 .883 .120

Greenhouse-Geisser 20.181 1.554 12.990 .441 .595 .008 .686 .112

Huynh-Feldt 20.181 1.773 11.382 .441 .621 .008 .783 .116

Lower-bound 20.181 1.000 20.181 .441 .509 .008 .441 .100

waktu * KELOMPOK Sphericity Assumed 13.649 2 6.824 .299 .743 .006 .597 .096

Greenhouse-Geisser 13.649 1.554 8.785 .299 .687 .006 .464 .091

Huynh-Feldt 13.649 1.773 7.698 .299 .716 .006 .529 .094

Lower-bound 13.649 1.000 13.649 .299 .587 .006 .299 .084

waktu * EMETOGENISITAS Sphericity Assumed 245.015 4 61.254 2.680 .036 .092 10.719 .728

Greenhouse-Geisser 245.015 3.107 78.855 2.680 .050 .092 8.326 .644

28

Huynh-Feldt 245.015 3.546 69.096 2.680 .042 .092 9.502 .688

Lower-bound 245.015 2.000 122.508 2.680 .078 .092 5.359 .509

waktu * KELOMPOK *

EMETOGENISITAS

Sphericity Assumed 116.507 4 29.127 1.274 .285 .046 5.097 .387

Greenhouse-Geisser 116.507 3.107 37.496 1.274 .289 .046 3.959 .335

Huynh-Feldt 116.507 3.546 32.856 1.274 .287 .046 4.518 .361

Lower-bound 116.507 2.000 58.254 1.274 .288 .046 2.548 .265

Error(waktu) Sphericity Assumed 2423.036 106 22.859

Greenhouse-Geisser 2423.036 82.340 29.427

Huynh-Feldt 2423.036 93.970 25.785

Lower-bound 2423.036 53.000 45.718

a. Computed using alpha = .050

Tabel 5.4

Tests of Between-Subjects Effects

Measure:MEASURE_1

Transformed Variable:Average

Source Type III Sum of

Squares

df Mean Square F Sig. Partial Eta

Squared

Noncent.

Parameter

Observed

Powera

Intercept 1063.050 1 1063.050 22.203 .000 .288 22.203 .996

SIKLUSKEMOTERAPI .541 1 .541 .011 .916 .000 .011 .051

29

KELOMPOK 5.277 1 5.277 .110 .741 .002 .110 .062

STATUS_GIZI .727 1 .727 .015 .902 .000 .015 .052

KELOMPOK *

STATUS_GIZI

.187 1 .187 .004 .950 .000 .004 .050

Error 2633.317 55 47.878

a. Computed using alpha = .050

6. Status Gizi * waktu

Measure:MEASURE_1

Status Gizi waktu Mean Std. Error 95% Confidence Interval

Lower Bound Upper Bound

SGA A (GIZI BAIK) 1 8.344a 1.554 5.229 11.459

2 1.998a .571 .854 3.141

3 3.670a 1.162 1.342 5.999

SGA B & C (GIZI KURANG /

MALNUTRISI)

1 10.748a 1.262 8.218 13.277

2 .854a .463 -.075 1.782

3 2.013a .943 .122 3.903

a. Covariates appearing in the model are evaluated at the following values: Siklus Komoterapi = 3.38.

30

7. Kelompok * Status Gizi * waktu

Measure:MEASURE_1

Kelompok Status Gizi waktu Mean Std. Error 95% Confidence Interval

Lower Bound Upper Bound

Kontrol SGA A (GIZI BAIK) 1 7.021a 2.122 2.768 11.275

2 1.719a .779 .158 3.280

3 4.639a 1.586 1.459 7.818

SGA B & C (GIZI KURANG /

MALNUTRISI)

1 11.008a 1.819 7.362 14.654

2 .413a .668 -.926 1.751

3 1.758a 1.360 -.967 4.483

Intervensi SGA A (GIZI BAIK) 1 9.667a 2.262 5.133 14.200

2 2.276a .830 .612 3.940

3 2.702a 1.691 -.686 6.091

SGA B & C (GIZI KURANG /

MALNUTRISI)

1 10.487a 1.752 6.976 13.998

2 1.295a .643 .006 2.583

3 2.268a 1.310 -.357 4.892

a. Covariates appearing in the model are evaluated at the following values: Siklus Komoterapi = 3.38.

4. Kelompok * Status Gizi

Measure:MEASURE_1

Kelompok Status Gizi Mean Std. Error 95% Confidence Interval

Lower Bound Upper Bound

Kontrol SGA A (GIZI BAIK) 4.460a 1.130 2.194 6.725

SGA B & C (GIZI KURANG /

MALNUTRISI)

4.393a .969 2.451 6.335

Intervensi SGA A (GIZI BAIK) 4.882a 1.205 2.467 7.296

SGA B & C (GIZI KURANG /

MALNUTRISI)

4.683a .933 2.813 6.553

a. Covariates appearing in the model are evaluated at the following values: Siklus Komoterapi = 3.38.

31

Tests of Within-Subjects Effects

Measure:MEASURE_1

Source Type III Sum of

Squares df Mean Square F Sig. Partial Eta Squared Noncent. Parameter Observed Powera

waktu Sphericity Assumed 483.722 2 241.861 10.204 .000 .156 20.408 .985

Greenhouse-Geisser 483.722 1.614 299.734 10.204 .000 .156 16.468 .965

Huynh-Feldt 483.722 1.776 272.318 10.204 .000 .156 18.125 .975

Lower-bound 483.722 1.000 483.722 10.204 .002 .156 10.204 .881

waktu * SIKLUSKEMOTERAPI Sphericity Assumed 33.702 2 16.851 .711 .493 .013 1.422 .168

Greenhouse-Geisser 33.702 1.614 20.883 .711 .465 .013 1.147 .154

Huynh-Feldt 33.702 1.776 18.973 .711 .478 .013 1.263 .160

Lower-bound 33.702 1.000 33.702 .711 .403 .013 .711 .132

waktu * KELOMPOK Sphericity Assumed 24.604 2 12.302 .519 .597 .009 1.038 .134

Greenhouse-Geisser 24.604 1.614 15.246 .519 .558 .009 .838 .125

Huynh-Feldt 24.604 1.776 13.851 .519 .575 .009 .922 .129

Lower-bound 24.604 1.000 24.604 .519 .474 .009 .519 .109

waktu * STATUS_GIZI Sphericity Assumed 134.795 2 67.397 2.843 .063 .049 5.687 .548

32

Greenhouse-Geisser 134.795 1.614 83.524 2.843 .075 .049 4.589 .489

Huynh-Feldt 134.795 1.776 75.885 2.843 .069 .049 5.051 .514

Lower-bound 134.795 1.000 134.795 2.843 .097 .049 2.843 .381

waktu * KELOMPOK *

STATUS_GIZI

Sphericity Assumed 57.524 2 28.762 1.213 .301 .022 2.427 .260

Greenhouse-Geisser 57.524 1.614 35.644 1.213 .295 .022 1.958 .235

Huynh-Feldt 57.524 1.776 32.384 1.213 .298 .022 2.155 .246

Lower-bound 57.524 1.000 57.524 1.213 .275 .022 1.213 .191

Error(waktu) Sphericity Assumed 2607.295 110 23.703

Greenhouse-Geisser 2607.295 88.761 29.374

Huynh-Feldt 2607.295 97.697 26.688

Lower-bound 2607.295 55.000 47.405

a. Computed using alpha = .050