Post on 19-Jan-2016
description
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Ensefalopati adalah istilah yang digunakan untuk menjelaskan kelainan fungsi otak menyeluruh
yang dapat akut atau kronik, progresif atau statis. Ensefalopati yang terjadi sejak dini dapat
menyebabkan gangguan perkembangan neurologis. Pasien dengan ensefalopati dapat mengalami
kemunduran dalam fungsi kognitif umum, prestasi akademis, fungsi neuropsikologik dan
kebiasan. Skor intelegensi pasien yang mengalami ensefalopati juga rendah jika dibandingkan
anak seusianya Dari segi prestasi akademis, pasien akan mengalami kesulitan untuk membaca,
mengeja dan aritmatik. Sedangkan fungsi neuropsikologikal dapat menjadi hiperaktif maupun
autis.(1)
Angka kejadian ensefalopati secara umum belum banyak diteliti, penelitian dilakukan pada
masing masing jenis ensefalopati. Penelitian yang dilakukan di London, menunjukkan bahwa
angka kejadian ensefalopati hipoksik iskemik mencapai 150 per 57 ribu kelahiran hidup atau
berkisar 2,64%.(2) Sedangkan penelitian yang dilakukan di Australia Timur menunjukkan angka
yang lebih tinggi 164 per 43 ribu kelahiran hidup atau berkisar 3,8%.(3) Diperkirakan berkisar
30% kasus ensefalopati hipoksis pada negara maju dan naik menjadi 60% pada negara
berkembang berkairtan dengan kejadian hipoksik iskemik intrapartum.(4)
Tidak ada data akurat terkait dengan angka kejadian ensefalopati hepatik. Hepatik ensefalopati
yang dapat diklasifikasikan menjadi ensefalopati hepatik murni dan ensefalopati hepatik
minimal. Ensefalopati hepatik murni terjadi pada 30-45% pasien dengan sirosis hepatis dan 10-
50% pada pasien shunting transjugular intrahepatik portosystemic. Ensefalopati hepatik minimal
biasanya terdiagnosis pada pasien sirosis hepatis dan pada pasien hipertensi portal nonsirosis.
Kejadian ensefalopati hepatik minimal dilaporkan berkisar 20-84% pada pasien sirosis.(5)
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
A. DEFINISI
Ensefalopati adalah istilah yang digunakan untuk menjelaskan kelainan fungsi otak menyeluruh
yang dapat akut atau kronik, progresif atau statis.(6) Ensefalopati adalah disfungsi kortikal
umum yang memiliki karakteristik perjalanan akut hingga sub akut (jam hingga beberapa hari),
secara nyata terdapat fluktuasi dari tingkat kesadaran, atensi minimal, halusinasi dan delusi yang
sering dan perubahan tingkat aktifitas psikomotor (secara umum meingkat, akan tetapi dapat
menurun).(7) Penggunaan istilah ensefalopati menggambarkan perubahan umum pada fungsi
otak, yang bermanifestasi pada gangguan atensi baik berupa agitasi hiperalert hingga koma.(8)
B. ETIOLOGI
Secara klinis, diagnosis ensefalopati digunakan untuk menggambarkan disfungsi otak difuse
yang disebabkan oleh gangguan faktor sistemik, metabolik, atau toksik.(8) Etiologi ensefalopati
pada anak meliputi penyebab infeksi, toksis (misalnya karbon monoksida, obat, timah hitam),
metabolik dan iskemik.(6)
C. EPIDEMIOLOGI
Angka kejadian ensefalopati secara umum belum banyak diteliti, penelitian dilakukan pada
masing masing jenis ensefalopati. Penelitian yang dilakukan di London, menunjukkan bahwa
angka kejadian ensefalopati hipoksik iskemik mencapai 150 per 57 ribu kelahiran hidup atau
berkisar 2,64%.(2) Sedangkan penelitian yang dilakukan di Australia Timur menunjukkan angka
yang lebih u tinggi 164 per 43 ribu kelahiran hidup atau berkisar 3,8%.(3) Diperkirakan berkisar
30% kasus ensefalopati hipoksis pada negara maju dan naik menjadi 60% pada negara
berkembang berkairtan dengan kejadian hipoksik iskemik intrapartum.(4)
Ensefalopati terkait sepsis terjadi berkisar 9% hingga 71% pada pasien yang menderita sepsis.
Angka kejadian ensefalopati akibat timbal juga sulit ditemukan,
angka yang tersedia adalah kadar timbal dalam serum yang lebih dari 10mcg/dL berkisar 88%
pada 3 tahun terakhir. Dimana kadar yang lebih dari 10mcg/dL pada darah dapat menyebabkan
ensefalopati pada anak.(9) Prevalensi asam valproat menginduksi keadaan hiperamonia adalah
berkisar 35-45%.(10)
Tidak ada data akurat terkait dengan angka kejadian ensefalopati hepatik. Hepatik ensefalopati
yang dapat diklasifikasikan menjadi ensefalopati hepatik murni dan ensefalopati hepatik
minimal. Ensefalopati hepatik murni terjadi pada 30-45% pasien dengan sirosis hepatis dan 10-
50% pada pasien shunting transjugular intrahepatik portosystemic. Ensefalopati hepatik minimal
biasanya terdiagnosis pada pasien sirosis hepatis dan pada pasien hipertensi portal nonsirosis.
Kejadian ensefalopati hepatik minimal dilaporkan berkisar 20-84% pada pasien sirosis.(5)
D. KLASIFIKASI
1. Ensefalopati akibat infeksi
a. Definisi. Infeksi sistem saraf pusat termasuk didalamnya meningitis, meningoensefalitis,
ensefalitis, empiema subdural atau epidural dan abses otak. Virus dan bakteri menyebabkan
meningitis, infeksi jamur dapat terjadi pada pasien yang menjalani transplantasi dan pada pasien
yang mengalami imunosupresi.(6) Ensefalitis dan ensefalopati harus dapat dibedakan, dimana
pada ensefalopati terjadi kerusakan fungsi otak tanpa adanya proses inflamasi langsung di dalam
parenkim otak.(11) Neonatus tidak selalu memberikan gejala ubun ubun besar yang menonjol.
Pasien dapat menunjukkan gejala ensefalopati global seperti koma atau status epileptikus.
Diagnosis dan pengobatan awal dengan antibiotik atau antiviral yang sesuai menjadi penting.(6)
Ensefalopati yang disebabkan oleh infeksi sistemik adalah keadaan yang paling sulit dibedakan
dengan ensefalitis. Perbedaan yang dapat diidentifikasi antara ensefalopati dan ensefalitis pada
umumnya dapat dilihat pada tabel berikut.(12)
Disfungsi serebral difuse ataupun multifokal yang diinduksi oleh respons sistemik terhadap
infeksi tanpa bukti klinis maupun laboratoris adanya infeksi otak secara langsung disebut dengan
ensefalopati sepsis.(13, 14)
b. Patogenesis. Patogenesis ensefalopati sepsis masih belum jelas. Beberapa kemungkinan
diajukan sebagai penyebab adanya kerusakan otak selama sepsis berat yaitu efek endotoksin dan
mediator inflamasi, disfungsi sawar darah otak dan kerusakan cairan serebro spinal, perubahan
asam amino dan neurotransmiter, apoptosis, stres oksidatif dan eksitotoksisitas, akan tetapi
hipotesis yang paling dipercaya adalah moltifaktorial.(13)
Endotoksin. Toksin bakteri dan partikelnya, lipopolisakarida, merupakan salah satu penyebab
disfungsi otak selama sepsis. Lipopolisakarida pada keadaan sepsis akan meningkat dan akan
bereaksi langsung dengan otak dalam organ sirkumventrikular yang tidak dilindungi oleh sawar
darah otak. Lipopolisakarida dapat berikatan dengan reseptor seperti reseptor menyerupai toll,
menginduksi sintesis sitokin inflamasi, prostaglandin dan nitrit okside dari mikroglia dan
astrosit. Pada konsentrasi yang rendah, endotoksin dapat menginduksi sekresi sitokin inflamasi,
IL6 dari monosit/makrofag, yang akan bereaksi langsung dengan menginduksi ekspresi mediator
inflamasi.(13)
Mediator inflamasi. Ketika infeksi terjadi, maka makrofag/monosit perifer akan mensekresi
sitokin inflamasi termasuk didalamnya, IL1, TNF α, dan IL 6 yang memegang peranan penting
dalam memediasi respon serebral dalam infeksi. Ketiga mediator tersebut dapat menginduksi
cyclooxygenase 2 (COX2) dari sel glia dan mensintesis prostaglandin E2 yang bertanggung
jawab dalam aktivasi aksis hipotalamus-pituitari-adrenal, demam dan perubahan kebiasaan.
Aktifasi dari kaskade komplemen, diantaranya anafilaktoksin C5a, juga dikaitkan dengan
disfungsi otak selama sepsis, kemungkinan dengan menginisiasi kerusakan sawar darah otak.(13)
Disfungsi sawar darah otak. Baik lipopolisakarida maupun sitokin dapat menginduksi aktifasi
endotelial yang disebut panendotelitis. Mereka akan menginduksi ekspresi dari molekul adesi
pada sel endotelial mikrovasel otak, mereka juga menginduksi sekresi sitokin proinflamasi dan
nitrit oxide syntase (NOS). Aktifasi endotelial menghasilkan permeabilitas yang meningkat dan
kerusakan sawar darah otak dengan konsekuensi selanjutnya akan terbentuk edema otak
vasogenik. Kaki astrosit disekitar pembuluh darah korteks akan mengalami pembengkakan dan
akan terjadi ruptur membran dan melepaskan dinding pembuluh darah. Pembengkakan kaki
astrosit merupakan konsekuensi langsung dari kerusakan sawar darah otak. Edema otak yang
terjadi pada ensefalopati sepsis lebih berkaitan dengan hilangnya autoregulasi dibandingkan
dengan kerusakan sawar darah otak meskipun jika edema vasogenik awal dapat menjadi edma
sitotoksik.(13)
Aliran darah otak dan autoregulasi serebrospinal. Aliran darah otak menurun dan iskemia
otak mungkin disebabkan oleh kerusakan otak selama sepsis berat. Kerusakan aliran darah otak
juga merupakan akibat dari kerusakan mikrovaskular, yang terjadi pada organ lain, bukan karena
efek hipotensi sistemik.(13)
Disfungsi mitokondria. Disfungsi mitokondria berhubungan dengan apoptosis sel neuron dan
persediaan energi yang tidak adekuat. Penurunan ATP yang dihasilkan oleh mitokondria
disebabkan oleh sitokin, reactive oxygen species (ROS) dan NO. Mitokondria juga dapat
menginduksi terjadinya apoptosis dengan mengeluarkan cytokrom C. (13)
c. Gejala Klinis. Ensefalopati sepsis pada umumnya terjadi awal sepsis berat dan menyebabkan
gagal multiorgan. Keadaan klinis yang paling sering ditimbulkan adalah penurunan tingkat
kesadaran dari mulai penurunan kewaspadaan ringan hingga tak berespon dan koma. Status
konfusional fluktuatif, inatensi dan kebiasaan yang tidak sesuai juga terkadang timbul pada
pasien ensefalopati ringan. Pada kasus yang lebih berat dapat menimbulkan delirium, agitasi dan
deteriorasi kesadaran dan koma. Gejala motorik jarang terjadi pada ensefalopati sespsis, dan
banyak terjadi pada ensefalopati metabolik, misalnya asteriksis, mioklonus dan tremor. Pada
ensefalopati sepsis yang mungkin timbul adalah berupa rigiditas paratonik, merupakan resisten
yang tergantung pada kecepatan menjadi gerakan pasif. Kejang juga dapat timbul pada
ensefalopati septik, tetapi tidak umum, disfungsi saraf kranial dan lateralisasi jarang terjadi dan
harus dapat menyingkirkan penyebab lain yang mungkin. (13)
d. Diagnosis. Diagnosis ensefalopati sepsis secara klinis tergantung pada penyingkiran penyebab
lain yang mungkin dari deteriorisasi otak (metabolik atau struktural). EEG merupakan
merupakan salah satu pemeriksaan penunjang yang sensitif dan dapat menunjukkan abnormalitas
walaupun pemeriksaan neurologis normal. Pola EEG yang dapat ditemukan pada ensefalopati
sepsis adalah normal EEG, eksesif theta, predominan delta, gelombang triphasik, supresi.
Pemeriksaan EEG pada ensefalopati septik ini tidak spesifik, karena juga dapat ditemukan pada
pengaruh sedasi dan kerusakan metabolik. CT Scan kepala tidak ditemukan kelainan, akan tetapi
dilakukan pemeriksaan untuk menyingkirkan adanya kerusakan otak yang disebabkan oleh
hipoksik/iskemik. Perkembangannya adalah penggunaan biomarker untuk mendeteksi adanya
ensefalopati septik, yaitu S100B dan NSE. S100B adalah protein yang terikat oleh kalsium yang
dihasilkan oleh sistem saraf pusat, terutama oleh sel astroglial. S100B akan meningkat pada
serum dan cairan serebro spinal setelah terjadi cedera otak. NSE adalah enzim glikolitik
intrasitoplasmik enolase, yang dapat ditemukan pada sel saraf dan jaringan neuroendokrin dan
meningkat pada sirkulasi darah setelah meningkatnya kematian sel saraf.(13)
e. Penatalaksanaan. Pengobatan ensefalopati septik secara khusus masih belum ada,
penanganannya dilakukan dengan penanganan sepsis pada umumnya.(13)
Dibutuhkan terapi suportif seperti menjaga suhu lingkungan yang hangat, memberi pengobatan
simptomatik seperti muntah, anemia dan demam. Kemudian dilakukan pemberian antibiotik
untuk penanganan definitif selama kurang lebih 14 hari.(13)
2. Ensefalopati akibat toksis
Ensefalopati yang diinduksi obat.
a. Definisi. Ensefalopati nonsirosis hiperamonia merupakan salah satu komplikasi dari
pemberian asam valproat, tanpa disertai adanya penyakit liver primer sebelumnya.(10)
b. Gejala Klinis. Biasanya kasus asimptomatik dan disertai adanya peningkatan ringan enzim
liver serum. Secara klinis pasien dapat menunjukkan keadaan dimana tejadi disfungsi kognitif
dalam beberapa derajat. Gejala dapat dimulai pada 2 minggu awal setelah terapi dimulai hingga
berkisar 3-5 tahun berikutnya.(10)
c. Patogenesis. Asam valproat dapat juga menginduksi hepatotoksisitas dengan mekanisme yang
menyerupai hiperamonia hepatik dengan adanya gejala neurologis. Pada beberapa kasus hal ini
berkaitan dengan defisensi enzim siklus urea, ornithine transcarbamilase, dengan outcome yang
jelek. Intake asam valproat, yang merupakan asam lemak, dapat menginduksi hiperamonia
dengan cara metabolisme nya dalam hati, yang menghasilkan metabolit toksik yang dapat
menghambat carbamoyl phosphate synthetase, yang merupakan reaksi enzimatik pertama pada
siklus urea, yang dapat mencegah ekskresi ammonia. Asam valproat juga menurunkan level
kreatinin dengan meningkatkan ekskresi dalam bentuk kompleks asam valproat-kartinin.
Defisiensi kartinin mengurangi fungsi mitokondria, dengan menghambat siklus urea dalam hati.
(10)
d. Etiologi. Anti konvulsan lainnya yang dapat berefek seperti asam valproat adalah fenobarbital
dan phenytoin. Fenobarbital dan phenitoin meningkatkan kadar ammonia pada pasien yang
mengkonsumsi asam valproat secara bersamaan. Pada salah satu penelitian, penambahan
toporimate, inhibitor siklus urea lainnya, pada penggunaan asam valproat, mempercepat
terjadinya ensefalopati pada pasien asimtomatis. Beberapa obat lainnya yang dapat menyebabkan
keadaan hiperamonia, yang mungkin dapat merusak siklus urea atau meningkatkan produksi
ammonia renal ke dalam sirkulasi. Obat tersebut antara lain glysin yang digunakan selama
reseksi prostat transuretra, yang menstimulasi produksi ammonia, selain itu carbamazepin,
ribavirine, sulfadiazine dengan pirimetamin dan salisilat sosis tinggi.(10)
e. Penatalaksanaan. Pengobatan utama pada ensefalopati yang diinduksi oleh penggunaan asam
valproat adalah dengan menghindari konsumsi asam valproat, yang dapat memberikan perbaikan
utuh dalam waktu beberapa hari. Suplementasi 1carnitine juga menunjukkan penurunan gejala
toksisitas yang diinduksi asam valproat.(10)
Ensefalopati akibat timbal.
a. Definisi. Penggunaan timbal banyak digunakan dalam kehidupan sehari hari. Timbal
digunakan untuk alat masak, pipa, dan barang pecah belah lainnya. Bentuk intoksikasi timbal
dapat menyebabkan kebutaan, kolik, nyeri persendian, dan bentuk terparah berupa ensefalopati.
(9)
b. Patofisiologi. Anak-anak lebih sensitif terhadap intoksikasi timbal dibandingkan pada dewasa
karena berbagai sebab. Eksposure pada anak anak sangat dipengaruhi oleh kebiasaan pica. Pada
saluran pencernaan anak juga mengabsorbsi timbal lebih cepat dibandingkan pada dewasa dan
sistem saraf pusat pada anah lebih mudah diserang agen toksik dibandingkan dengan sistem saraf
pusat matur.(15)
Timbal dapat melewati sawar darah otak, ditransmisikan melalui plasenta dan air susu.(16)
Timbal menimbulkan mekanisme toksisitasnya melalui ikatan kuat dengan kelompok sulfhidril
pada protein dan enzim. Ikatan ini akan menimbulkan toksik pada beberapa sistem enzim.(15)
c. Diagnosis. Di Amerika kadar normal timbal dalam darah adalah kurang dari 5mcg/dL, dan
mencapai kadar toksik pada kadar lebih dari 10mcg/dL, khususnya pada anak anak. Kadar
protophyrin digunakan sebagai alat diagnostik pada toksisitias timbal karena enzim yang
berdasarkan heme yang disebabkan oleh timbal. Peningkatan protopirin seiring dengan
peningkatan kadar timbal pada serum. Peningkatan protrofirin terjadi pada 6-8 minggu setelah
paparan dan nilai normal dari protophirin adalah kurang dari 35 mcq/dL.(16)
d. Gejala klinis. Pada keadaan akut ensefalopati pasien dapat mengeluhkan nyeri kepala,
muntah, ataksia, kejang, paralisisi, stumor dan koma. Pada ensefalopati kronik, pasien dapat
kehilangan memori, ketidaknormalan
kebiasaan, depresi, ataksia, kejang, kebingungan dan kehilangan persepsi sensorik. Selain itu
toksisitas timbal dapat menyebabkan gangguan dalam belajar, pengurangan IQ dan perburukan
kebiasaan. (16)
e. Penatalaksanaan. Terapi farmakologik dengan chelating agent tidak memperbaiki kerusakan
neurokognitif pada anak karena toksisitas timbal. Terapi farmakologis yang dapat digunakan
antara lain dimercaprol 25mg/kgBB/hari, Calsium disodium ethylenediammine tetraacetic acid
(CaNa2 EDTA) dengan dosis 50mg/kgBB/hari drip dengan NaCl atau D5%, Succimer dengan
dosis 10mg/kgBB/8jam selama 5 hari atau D-penicillamin 10-15mg/kgBB selama 4-12 minggu.
(16)
3. Ensefalopati akibat metabolik
a. Definisi dan Klasifikasi. Ensefalopati dengan masalah metabolik sebagai dasarnya
merupakan masalah baik bagi neonates maupun anak, dengan outcome fungsional bergantung
pada waktu dan intervensi yang hati hati. Ensefalopati metabolik adalah pengertian umum
keadaan klinis yang ditandai dengan :
1) Penurunan kesadaran sedang sampai berat
2) Gangguan neuropsikoatrik: kejang, lateralisasi
3) Kelainan fungsi neurotransmitter otak
4) Tanpa di sertai tanda tanda infeksi bakteri yang jelas.
Gannguan metabolik yang biasa terjadi adalah disfungsi hepar, disfungsi renal, dan gangguan
metabolik. Gannguan yang paling sering terjadi adalah disfungsi hepar, sehingga yang dibahas
dalam referat kali ini adalah ensefalopati hepatic.
Terdapat tiga varian ensefalopati metabolik pada anak, dua varian pertama sangat berhubungan.
Kerusakan genetik dari metabolisme dapat menimbulkan bayi dengan ensefalopati yang berat
dari hanya hiperammonemia saja. Ketika kerusakan metabolik terjadi setelah beberapa bulan
hingga tahun kemudian, derajat insufisiensi hepar dapat mempersulit kerusakan metabolik
tersebut. Pada hepatitis akut maupun fulminan karena beberapa etiologi (misalnya infeksi, obat,
toksik) peningkatan ammonia serum mungkin hanya sedang tapi faktor lain yang berkontribusi
terjadinya ensefalopati yang dapat terjadi dalam beberapa hari. Varian ke tiga, ensefalopati berat
dihasilkan oleh ketoasidosis diabetik. Edema serebral yang sangat berkaitan dengan ketoasidosis
diabetik. (17)
Pada tahun 1998, The Working Party pada World Congress of Gastroenterology ke 11, membuat
standarisasi nomenklatur dari ensefalopati hepatik, yang membaginya dalam tiga tipe yaitu A, B
dan C.
b. Patofisiologi. Perlu ditekankan bahwa patofisiologi ensefalopati hepatik pada anak sangat
berbeda dengan yang terjadi pada dewasa dimana selalu terdapat penyakit hati kronik dan sirosis.
Pada anak kerusakan hepar terjadi secara akut. Penyebab ensefalopati hepatik pada anak
bervariasi dari virus hepatitis, hingga kerusakan metabolisme sejak lahir, sebaliknya pada
dewasa, penyakit hepar yang disebabkan oleh alkohol lebih banyak terjadi. Selain itu pada anak
edema serebral merupakan komplikasi yang penting yang dapat ditemukan pada stadium awal.
(18)
Terdapat empat teori terjadinya kerusakan saraf pada hepatitis fulminan, akumulasi dari
ammonia, kesalahan neurotransmiter yang berada pada otak, ligan yang tidak normal pada
reseptor γ amino butyric acid benzodiazepine (GABA-BDZ), deposit mangan pada ganglia
basalis.(18)
Teori Amonia. Amonia sejak lama dikenal sebagai neurotoksin yang bertanggung jawab dalam
patogenesis ensefalopati hepatik. Amonia dihasilkan dari beberapa jaringan termasuk ginjal dan
otot meskipun konsentrasi tertingginya berada pada vena porta yang berasal dari bakteri pada
kolon dan metabolisme glutamine pada usus kecil. Pada orang normal, berkisar 80-90%
ammonia diekskresikan melalui metabolisme pertama. Ekskresi berkurang baik pada keadaan
hepatitis kronik maupun akut. Mekanisme hiperammonaemia menyebabkan ensefalopati masih
belum terlalu jelas, penelitian menunjukkan bahwa terdapat peningkatan kadar ammonia pada sel
hepatosit yang mengakibatkan perubahan pada neurotransmiter terutama agonis GABA,
sehingga menyebabkan kegagalan penyediaan energi untuk otak. Detoksifikasi ammonia pada
astrosit menyebabkan akumulasi glutamine, yang merupakan penyebab utama terjadinya
pembengkakan astrosit. Pada hepatitis akut, pembengkakan glial juga ditemukan ketika adanya
pembengkakan otak. Pasien dengan ensefalopati hepatik memiliki kadar serum ammonia lebih
dari 90%, dan menurunnya kadar serum ammonia berhubungan dengan perbaikan tingkat
ensefalopati hepatik. Penelitian eksperimental menyatakan bahwa terdapat hubungan yang kuat
antara kadar glutamine pada cairan serebro spinal dengan derajat ensefalopati hepatik, tetapi
kerusakan fungsi kognitif seperti memori episodik, perhatian berkesinambungan yang terjadi
pada ensefalopati hepatik menunjukkan hubungan dengan kadar ammonia serum ketika diperiksa
dengan tes psikometrik komputer.(18)
Teori kesalahan neurotransmiter. Neurotransmiter serebral diregulasi oleh konsentrasi asam
amino dan prekusornya pada sistem saraf pusat. Pada pasien dengan disfungsi hepar berat,
konsentrasi sirkulasi plasma dari asam amino aromatic (AAA) yaitu triptopan, tyrosin dan
phenilalanin meningkat sedangkan konsentrasi asam amino rantai ganda (leucine, isoleucine dan
valine) menurun, akibatnya terjadi produksi neurotransmiter yang salah (octopamide dan
phenilethanolamide) yang kemudian berkembang menjadi ensefalopati hepatik.(19)
Teori GABA. GABA adalah merupakan neurotransmiter inhibitori pada manusia yang bekerja
dengan berikatan dengan kompleks reseptor GABA. Peningkatan jumlah benzodiazepine
endogen sebagai neurosteroid mengakibatkan inhibisi terhadap neurotransmisi. Perubahan pada
kompleks reseptor GABA dan perubahan konsentrasi GABA serebral terjadi pada ensefalopati
hepatik. (19)
Teori Mangan. Akumulasi mangan di ganglia, banyak pada pasien sirosis dan sebaliknya pada
transplantasi hepar. Konsentrasi mangan pada serum berhubungan dengan derajat ensefalopati
hepatik. Manifestasi klinis pada intoksikasi mangan dan manifestasi ekstrapiramidal dari
ensefalopati hepatik menyatakan bahwa terjadi peningkatan kadar mangan yang berperan dalam
terjadinya ensefalopati hepatik. (19)
c. Gejala Klinis
Derajat gangguan status mental pada ensefalopati diklasifikasikan berdasarkan kriteria West
Haven, berkisar dari gangguan pola tidur hingga perubahan fungsi kognitif dan koma dalam. (19)
Tabel 3. Gejala Klinis ensefalopati hepatik(19)
Penilaian tingkat kesadaran lain yang bisa digunakan secara lebih objektif adalah Glasgow Coma
Scale (GCS), akan tetapi tidak khusus mengukur ensefalopati hepatik.(19)
d. Penatalaksaan. Pengobatan yang banyak dilakukan pada pasien dengan ensefalopati hepatik
adalah perawatan suportif, identifikasi dan pengobatan terhadap faktor yang mempercepat,
mereduksi produk nitrogen oleh usus dan identifikasi pasien yang membutuhkan terapi jangka
panjang.
Identifikasi dan menghilangkan faktor presipitasi yaitu infeksi. Kultur cairan tubuh dapat
menjadi penanda infeksi. Pasien dengan asites saebaiknya dilakukan parasentesis diagnostik.
Seorang anak dengan ensefalopati hepatik sebaiknya ditangani dalam perawatan intensif dengan
program transplantasi hepar, akan tetapi sumber daya yang terbatas. Management pertama yang
dilakukan adalah mencangkup airway, breating, dan sirkulasi, sebagaimana penanganan kasus
kegawatan lainnya.(18)
Managemen cairan. Setelah dilakukan resusitasi, maka yang perlu dilakukan selanjutnya adalah
keseimbangan cairan. Tujuan penting yang ingin dicapai adalah normovolumik, karena adanya
hidrasi yang kurang maupun lebih akan mengganggu. Pemberian cairan yang sering dilakukan
pertama kali adalah pemberian cairan kira kira 70% dari maintenance. Status hidrasi sebaiknya
dimonitor dengan menggunakan tekanan vena sentral, dengan target 6-8cm H2O. Monitoring
urin juga diperlukan untuk memonitoring hidrasi, dan indikator fungsi renal. Pemberian cairan
secara intra vena sebagai media pemberian elektrolit dan glukosa dimana pada keadaan
ensefalopati terganggu.(18)
Kalium. Hipokalemi dapat disebabkan karena pemberian diuretik, muntah, dan diare.
Hipokalemi dan gejala penyertanya berupa alkalosis merusak detoksifikasi ammonia,
meningkatkan produksi ammonia ginjal, meningkatkan difusi ammonia melewati sawar darah
otak. Kebutuhan kalium diperkirakan berkisar 3-6mEq/kgbb/hari.(18)
Natrium. Intake natrium total sebanyak 1mEq/kgBB/hari, biasanya cukup adekuat untuk
mencegah terjadinya asites. Pada umumnya, sekresi yang tidak sesuai dari hormon anti diuretik,
menyebabkan hiponatremi dilusi, yang dapat ditangani dengan pembatasan cairan. Bila
pembuangan air bebas diperlukan maka biasanya diberikan diuretik yang dikombinasikan dengan
albumin rendah garam. Penggunaan NaCl hipertonik dapat dipertimbangkan pada kasus dengan
kadar natrium kurang dari 120 mEq/l dan atau turun secara cepat.(18)
Glukosa. Penanganan hipoglikemia penting bagi pada bayi dengan ensefalopati hepatik.
Pemberian cairan intravena minimal mengandung glukosa 100mg/ml (10%) dan infuse dilakukan
titrasi untuk mempertahankan glukosa darah diantara 120-240mg/dl. (18)
Restriksi ammonia
Pembersihan selauran cerna. Pemasangan pipa nasogastrik diperlukan untuk mendeteksi dan
membuang adanya darah dalam saluran cerna atas, dan memberikan drainase secara
berkesinambungan. Hal ini dapat mencegah mempercepatnya perdarahan karena kerusakan
mukosa lambung yang mungkin terjadi karena suction. Pencucian lambung dilakukan biasanya
dengan larutan 50% magnesium sulfat, selain itu dapat digunakan enemas retensi (20% laktosa)
tetapi masih jarang digunakan karena ketersediaan dan masih minimnya penelitian.(18)
Antibiotik. Banyak antibiotik yang dapat digunakan pada pasien ensefalopati hepatik untuk
―membersihkan‖ saluran cerna, antara lain ampisilin, metronidazol, vankomicin, rifamixin. Dari
antiboiotik tersebut, rifaximin menunjukkan spectrum luas baik bakteri gram positif maupun
negatif dan aerobik maupun anaerobik, selain itu rifaximin diabsorbsi minimal secara sistemik.
Helicobacter pylori (bakteri amoniagenik) dapat mempercepat terjadinya ensefalopati hepatik
pada pasien sirosis, terutama dengan adanya hipoklorida gaster. Oleh karena itu pemberian
antibiotik juga diberikan untuk membunuh H. pylori.(18)
Protein. Pembatasan protein atau bahkan eliminasi total dianjurkan hingga terjadi perbaikan.
Pada penelitian terakhir, pemberian protein dimulai dari 0,5gram/kgBB/hari dengan peningkatan
bertingkat hingga 1,5gr/kgbb/hari, hingga beberapa minggu dan terjadi perbaikan hepar.
Pemberian protein nabati lebih dianjurkan dibandingkan dengan protein hewani, karena lebih
dapat ditoleransi dan lebih sedikit mengandung aminium, methionin dan asam amino aromatik.
(18)
Laktoasa. Laktosa merupakan disakarida yang dapat ditemukan di sekum dalam keadaan belum
diubah, dan kemudian diubah oleh flora intestinum menjadi komponen glukosa, galaktosa dan
fruktosa. Galaktosa dan laktosa dimetabolisme menjadi asam organik termasuk diantaranya asam
laktat dan asam asetat, yang menyebabkan pH lumen intestinal turun mencapai 5,5. Hal ini
menyebabkan pencegahan pembentukan ion ammonium yang mudah terserap.(18)
Probiotik. Secara teoritis, bakteri intestinal yang tidak menghasilkan urease akan menurunkan
jumlah ammonia enteral. Penelitian yang pernah dilakukan adalah dengan pemberian
Lactobacillus acidophilus per oral memberikan efek yang bermanfaat pada pasien sirosis yang
menderita ensefalopati hepatik. Suplementasi Lactobacillus acidophilus selama 1-4 minggu
menunjukkan perkembaangan klinis sebanyak 71% pada pasien dengan ensefalopati hepatik
dibandingakan dengan pasien yang hanya mendapatkan neomycin saja.(18)
Peningkatan metabolisme ammonia
Omithine-Aspartat. Infus 1omithine dan 1-aspartat merupakan usaha unuk menurunkan ammonia
serum dengan meningkatkan metabolisme jaringan terhadap urea dan glutamine. Pada hepatosit
periportal, 1omithine bekerja sebagai substrat ureagenesis dan mengaktifasi siklus enzim urea
omithine transcarbamylase dan carbamoyl phospotase syntase. Aktifitas siklus urea diharapkan
mengkonsumsi ammonia dan menurunkan kadar ammonia dalam serum. Pada sel perivena
hepatik, dimana enzim siklus urea minimal, aspartan (dan dekarboxylate lainnya) menstimulasi
sintesis glutamine dan memulai proses detoksifikasi ammonia. Akan tetapi belum ada dosis dasar
untuk anak, rekomendasi yang masih digunakan adalah hingga 20 gram/hari diencerkan pada
cairan maintenance.(18)
Benzoate dan Phenil asetat. Hiperamonia berhubungan dengan kerusakan metabolisme pada bayi
baru lahir, penggunaan benzoate dan phenyl asetat merupakan standart pengobatan.(18)
e. Pencegahan
Untuk mencegah terjadinya ensefalopati metabolic adalah terutama dengan member pengobatan
sesegera mungkin jika ditemui adanya gangguan di hati. Selain itu bila memiliki penyakit hati
sebelumnya, sebaiknya memeriksakan rutin untuk mencegah terjadinya enefalopati.(18)
f. Prognosis
Ensefalopati hepatic merupakan penyakit hati stadium terminal dnegan tanda prognostic yang
jelek dan mengindikasikan tingkat survival yang pendek. Pada penelitian yang telah dilakukan
menunjukkan 42% dapat bertahan hidup dalam waktu satu tahun, sedangkan 23% yang dapat
bertahan hingga tiga tahun.
4. Ensefalopati akibat iskemik
a. Definisi. Ensefalopati hipoksik iskemik merupakan penyebab cedera permanen yang penting
pada sel sistem saraf pusat yang mengakibatkan kematian neonatus atau nantinya, jejas dapat
bermanifestasi sebagai palsi serebral atau defisiensi mental.(6)
b. Patofisiologi. Hipoksia merujuk pada kadar oksigen arteria yang kurang dari normal, dan
iskemia merujuk pada aliran darah ke sel atau organ tidak mencukupi untuk mempertahankan
fungsi normalnya. Penyebab terjadinya keadaan hipoksia dapat dibagi menjadi dua yaitu saat di
dalam kandungan dan setelah dilahirkan. Penyebab saat di dalam kandungan terdiri dari(6):
1) Oksigenasi darah ibu yang tidak mencukupi akibat hipoventilasi selama anestesi, penyakit
jantung sianosis, gagal pernapasan, atau keracunan karbon monoksida
2) Tekanan darah ibu yang rendah akibat hipotensi yang dapat merupakan komplikasi anestesi
spinal atau akibat kompresi vena kaca dan aorta pada uterus gravid
3) Relaksasi uterus tidak cukup memberikan pengisian plasenta akibat adanya tetani uterus yang
disebabkan oleh pemberian oksitosin berlebihan
4) Pemisahan plasenta premature
5) Sirkulasi darah melalui tali pusat terhalang akibat adanya kompresi atau pembentukan simpul
pada tali pusat
6) vasokonstriksi pembuluh darah uterus oleh kokain
7) insufisiensi plasenta karena berbagai sebab, termasuk toksemia dan pasca maturitas.
Hipoksia yang tejadi sesudah lahir, dapat merupakan akibat dari (6):
1) Anemia cukup berat, yang sampai menurunkan kandungan oksigen darah ke tingkat kritis,
akibat perdarahan berat atau penyakit hemolitik
2) Syok cukup berat, yang sampai mengganggu pengangkutan oksigen ke sel sel vital, akibat
perdarahan adrenal, perdarahan intraventrikular, infeksi yang berlebihan atau kehilangan darah
yang masif.
3) Kurangnya saturasi oksigen arteria disebabkan gagal terjadinya pernapasan yang adekuat pada
pasca lahir, akibat cacat, nekrosis atau jejas pada otak
4) Kegagalan oksigenasi sejumlah darah yang adekuat akibat adanya bentuk penyakit jantung
kongenital sianosis atau defisiensi fungsi paru yang berat.
Janin yang mengalami hipoksik iskemik kronis dapat mengalami retardasi pertumbuhan
intrauteri tanpa tanda tanda tradisional gawat janin (misalnya bradikardi). Velosimetri bentuk
gelombang umbilikalis melalui Doppler (memperlihatkan kenaikan tahanan vascular janin) dan
kordosintesis (memperlihatkan hipoksia janin) dapat mengidentifikasi bayi hipoksik kronis.
Selanjutnya kontraksi uterus mengurangi oksigen umbilikalis, menekan kardiovaskular janin dan
sistem saraf pusat, menghasilkan skor APGAR rendah dan hipoksia pasca lahir dalam kamar
bersalin.(6)
Keadaan dimana terjadi penurunan aliran darah uteroplasenter atau keadaan yang mengganggu
proses respirasi spontan sehingga menyebabkan hipoksia perinatal, asidosis laktat dan jika cukup
berat maka akan menurunkan cardiac output atau menyebabkan cardiac arrest, dan iskemia.(20)
Respons awal sirkulasi janin adalah menambah shunt melalui duktus venosus, duktus arteriosus,
dan foramen ovale dengan rumatan perfusi sementara ke otak, jantung dan adrenal lebih
diutamakan daripada paru (karena adanya vasokonstriksi pulmonal), hati, ginjal dan usus.
Hipoksi intrauteri yang lama dapat menyebabkan terjadinya LPV, dan hyperplasia otot polos
arteriol, membuat bayi cenderung mangalami hipertensi pulmonal. Apabila kegawatan janin
menyebabkan janin terengah engah maka akan menyebabkan kandungan cairan amnion
(mekonium, skuama rambut, lanugo) teraspirasi ke dalam trakea atau paru paru.(6)
Kombinasi berkurangnya persediaan oksigen untuk otak yang menyebabkan hipoksia dan
kurangnya atau tidak adanya aliran darah yang menyebabkan iskemia dapat menyebabkan
berkurangnya glukosa untuk metabolisme dan akumulasi laktat yang menghasilkan asidosis pada
jaringan lokal. Setelah terjadi reperfusi, hipoksia iskemik juga dapat menimbulkan komplikasi
nekrosis sel dan edema endotel vaskular, menurunkan aliran darah pembuluh darah distal.(20)
c. Gejala Klinis Secara khas, ensefalopati hipoksia iskemik pada neonatus memiliki
karakteristik edema serebral, nekrosis kortikal, dan keterlibatan ganglia basalis, sedangkan pada
neonatus preterm, memiliki karakteristik periventrikular leukomalasia. Kedua lesi dapat
menyebabkan atropi kortikal, retardasi mental dan kuadriplegi atau diplegi spastika.(20)
Sesudah lahir, kombinasi hipoksia janin kronis dan jejas hipoksik iskemik mengakibatkan
neuropatologi spesifik sesuai umur kehamilan. Bayi cukup bulan memperlihatkan nekrosis
neuron korteks (nantinya atrofi korteks) dan jejas iskemia parasagital. Bayi preterm
memperagakan LPV (nantinya diplegia spastik), status marmoratus ganglia basalis, dan PIV.
Bayi cukup bulan, lebih sering dari pada bayi preter, memperlihatkan infark korteks setempat
atau multifocal yang menghasilkan kejang kejang setempat (fokal) dan hemiplegia.
Perangsangan asam amino dapat memainkan peranan penting dalam pathogenesis asfiksia jejas
otak.(6)
Gejala klinis dan karakteristik ensefalopati hipoksik iskemik sangat bermacam macam
bergantung pada beratnya cedera yang ditimbulkan. Pucat, sianosis, apnea, frekuensi denyut
jantung lambat dan tidak memberikan respons terhadap rangsangan merupakan beberapa tanda
umum terjadinya ensefalopati hipoksik iskemik. Neonatus dengan ensefalopati hipoksik iskemik
derajat keparahan 3 biasanya hipotonus, walaupun awalnya terlihat hipertonus dan kewaspadaan
yang meningkat sesaat setelah dilahirkan. Seiring berkembangnya edema serebral, fungsi otak
menurun, depresi kortikal menyebabkan koma, dan depresi batang otak menyebabkan apneu.
Seiring berkembangnya edema serebri, akan terjadi kejang yang dimulai saat 12-24 jam setelah
lahir. Neonatus juga tidak memiliki tanda respirasi spontan, hipotonus, dan menurun atau tidak
adanya reflek tendon.(20)
d. Penatalaksanaan. Pencegahan dan pengobatan nantinya diarahkan pada keadaan dasar yang
menyebabkannya, kematian dan ketidakmampuan kadang kadang dapat dicegah melalui
pengobatan terhadap gejala yang timbul dengan memberikan oksigen atau pernafasan buatan dan
koreksi disfungsi multiorgan terkait.(6)
Edema otak dapat timbul pada 24 jam berikutnya dan mengakibatkan depresi batang otak yang
berat. Selama waktu ini dapat terjadi aktivitas kejang yang mungkin berat dan kejang ini
refrakter terjadap dosis biasa antikonvulsi. Lorazepam (0,05-0,1 mg/kgBB, iv) dapat digunakan
selama kejang akut, sedangkan untuk mensupresi kejang secara terus menerus mungkin
memerlukan dosis pembebanan i.v. 20-25mg/kgBB fenobarbital atau 20mg/kgBB fenitoin.
Walaupun sebagian besar kejang sering merupakan akibat dari ensefalopati hipoksik iskemik,
kejang pada bayi baru lahir yang mengalami asfiksia dapat juga disebabkan oleh hipokalsemi
atau hipoglikemia.(6) Pada keadaan hipoksik iskemik terjadi turunnya suhu berkisar 20C. Terapi
hipotermia lebih bermaksud pada resusitasi dibandingkan dnegan neuroprotektor. Pada bayi
dengan respon minimal pada resusitasi konvensional, ditempatkan pada tempat berisi air dingin
berkisar 23-300C, dan didiamkan hinggan ia menangis.
e. Prognosis. Pasien yang dapat hidup dengan ensefalopati hipoksik iskemik stadium 3 memiliki
insidensi kejang yang tinggi dan mengalami kecacatan yang serius terutama pada perkembangan
sarafnya, Prognosis dari asfiksia berat juga tergantung pada cedera pada sistem organ lain.(20)
Indikator lain dari jeleknya prognosis adalah onset dari respirasi spontan yang dapat diperkirakan
dari skor APGAR. Neonatus dengan skor APGAR 3 pada menit ke 10 memiliki mortalitas 20%
dan 5% angka kejadian cerebral palsy. Jika hingga menit ke 20, skor APGAR tetap tidak naik
bahkan turun, maka angka mortalitasnya meningkat menjadi 60% dan insidensi serebral palsy
meningkat menjadi 57%.(20)
DAFTAR PUSTAKA
1. Handel MV, Swaab H, De Vries LS, Jongmans MJ. Long term cognitive and behavioral consequences of neonatal encephalopathy following perinatal asphyxia: a review. European Journal Pediatric. 2007;166: 645-654.
2. Evans K, Rigby AS, Hamilton P, Titchner N, Hall DM. The relationship between neonatal encephalopathy and cerebral palsy: a cohort study. J Obstet Gynaecol. 2001;21: 114–20.
3. Badawi N, Kurinczuk JJ, Keogh JM, Alessandri LM, O'Sullivan F, Burton PR, et al. Intrapartum risk factors for newborn encephalopathy: the Western Australia case–control study. Br Med J .1998;317: 1554–8.
4. Kurinczuk JJ, White-Koning M, Badawi N. Epidemiology of neonatal encephalopathy and hypoksic ischemic encephalopathy. Early Human Development. 2010;86: 329-338.
5. Benedeto-Stojanov D, Stojanov D. Minimal Hepatik Encephalopaty. In: Editor Team Faculty of Medicine University of Nis Serbia. Miscellanea on Encephalopaties—A Second Look. Europe: InTech. 2010.
6. DiCarlo JV, Frankel LR. Neurologic Stabilization. In: Behrman RE, Kliegman RM, Jenson HB. (eds.) Nelson TextBook of Pediatrics. 17th ed. Philadelphia: Saunders An Imprint of Elsevier Science. 2004.
7. Atri A, Milligan TA, Reddy KC, Kayser AS. Encephalopathy: Approch to Diagnosis and Care. Neurology. 2008;12: 1-2.
8. Lewis SL. Encephalopaty dalam Emergency Neurology. USA: Spingerlink; 2012. p283-294.
9. Chandran L, Catalado R. Lead Poisoning: Basic and New Developments. Pediatrics in Review. 2010;31(10):399-407.
10. Laish I, Ari ZB. Noncirrhotic hyperammonaemic encephalopathy. Journal of The International Association for Study of The Liver. 2011; 1259-1270.
11. Tunkel AR, Glaser CA, Bloch KC, Sejvar JJ, Marra CM, Roose KL. et al. The Management of Encephalitis: Clinical Practice Guidelines by the Infectious Diseases Society of America. CID.2008;47(1): 303-327.
12. Kennedy PGE. Viral Encephalitis: Cause, Differential Diagnosis and Management. Journal of Neurology Neurosurgery Psychiatry. 2004;75: i10-i15
13. Cotena S, Piazza O. Sepsis Associated Encephalopathy. Traditional Medicine. 2012;2(3): 20-27.
14. Papadopoulus MC, Cavies DC, Moss RF, Tighe D, Bennett ED. Encephalopathy. Critical Care Medicine. 2000; 28(8): 3019-3024.
15. Olympio KPK, Goncalves C. Neurotoxicity and aggressiveness triggered by low level lead in children: a review. Panam American Journal Public Health. 2009; 26(3): 266- 275.
16. Karii SK, Saper RB, Kales SN. Lead Encephalopathy Due to Traditional Medicines. Curr Drug Saf. 2008;3(1): 54-59.
17. McCandless, D.W. Metabolic Encephalopathy. USA: Spinger Science. 2007.
18. Arya R, Gulati S, Deopujari S, Management of hepatik encephalopathy in children. Postgraduation Medical Journal. 2010;86: 34-41.
19. Cash WJ, Mcconville P, Mcdermott E, Mccormick PA, Callender ME, McDougal NI. Current concept in the assessment and treatment of Hepatik Encephalopathy. Q J Med. 2010;103: 9-16.
20. Gowen CW. Assessment of the Mother, Fetus and Newborn. In: Kliegman RM, Marcdante KJ, Jenson HB, Behrman RE. (eds.) Essential of Pediatrics. 5th ed. Philadelphia: Saunders An Imprint of Elsevier Science. 2007.