Post on 02-Feb-2016
description
BAB II
PEMBAHASAN
2.1 Tetanus
2.1.1 Definisi
Tetanus adalah suatu toksemia akut yang disebabkan oleh neurotoksin
yang dihasilkan oleh Clostridium tetani ditandai dengan spasme otot yang
periodik dan berat (Gilroy, et al., 1982)
Tetanus ini biasanya akut dan menimbulkan paralitik spastik yang
disebabkan tetanospasmin. Tetanospamin merupakan neurotoksin yang diproduksi
oleh Clostridium tetani (Harrison, 1994).
Tetanus disebut juga dengan "Seven day Disease ". Dan pada tahun 1890,
diketemukan toksin seperti strichnine, kemudian dikenal dengan tetanospasmin,
yang diisolasi dari tanah anaerob yang mengandung bakteri. lmunisasi dengan
mengaktivasi derivat tersebut menghasilkan pencegahan dari tetanus ( Adams, et
al., 1997 ).
Spora Clostridium tetani biasanya masuk kedalam tubuh melalui luka pada kulit
oleh karena terpotong , tertusuk ataupun luka bakar serta pada infeksi tali pusat
(Tetanus Neonatorum ) ( Adams, et al., 1997 ).
2.1.2 Etiologi
Kuman tetanus yang dikenal sebagai Clostridium tetani. Berbentuk batang
yang langsing dengan ukuran panjang 2–5 µm dan lebar 0,3–0,5 µm, termasuk
gram positif dan bersifat anaerob. Clostridium tetani dapat dibedakan dari tipe
lain berdasarkan flagella antigen (Ritarwan, 2004).
Kuman tetanus ini membentuk spora yang berbentuk lonjong dengan
ujung yang bulat, khas seperti batang korek api (drum stick). Sifat spora ini tahan
dalam air mendidih selama 4 jam dan obat antiseptik tetapi mati dalam autoclave
bila dipanaskan selama 15–20 menit pada suhu 121°C. Bila tidak kena cahaya,
maka spora dapat hidup di tanah berbulan–bulan bahkan sampai tahunan. Juga
dapat merupakan flora usus normal dari kuda, sapi, babi, domba, anjing, kucing,
tikus, ayam dan manusia. Spora akan berubah menjadi bentuk vegetatif dalam
anaerob dan kemudian berkembang biak (Ritarwan, 2004).
Kuman tetanus tidak invasif. tetapi kuman ini memproduksi 2 macam
eksotoksin yaitu tetanospasmin dan tetanolisin. Tetanospasmis merupakan protein
dengan berat molekul 150.000 Dalton, larut dalam air, labil pada panas dan
cahaya, rusak dengan enzim proteolitik, tetapi stabil dalam bentuk murni dan
kering. Tetanospasmin disebut juga neurotoksin karena toksin ini melalui
beberapa jalan dapat mencapai susunan saraf pusat dan menimbulkan gejala
berupa kekakuan (rigiditas), spasme otot dan kejang–kejang. Tetanolisin
menyebabkan lisis dari sel–sel darah merah (Ritarwan, 2004).
2.1.3 Klasifikasi dan Gejala Klinis
Masa inkubasi 5-14 hari, tetapi bisa juga lebih pendek (1 hari atau lebih lama 3
atau beberapa minggu) (Krugman, 1992).
Ada empat bentuk tetanus yang dikenal secara klinis:
1. Localited tetanus (Tetanus lokal)
Pada lokal tetanus dijumpai adanya kontraksi otot yang persisten, pada
daerah tempat di mana luka terjadi (agonis, antagonis, dan fixator). Hal inilah
merupakan tanda dari tetanus lokal. Kontraksi otot tersebut biasanya ringan, bias
bertahan dalam beberapa bulan tanpa progresif dan biasanya menghilang secara
bertahap.
Lokal tetanus ini bias berlanjut menjadi generalized tetanus, tetapi dalam
bentuk yang ringan dan jarang menimbulkan kematian. Bisa juga lokal tetanus ini
dijumpai sebagai prodromal dari klasik tetanus atau dijumpai secara terpisah. Hal
ini terutama dijumpai sesudah pemberian profilaksis antitoksin.
2. Cephalic tetanus
Cephalic tetanus adalah bentuk yang jarang dari tetanus. Masa inkubasi
berkisar 1–2 hari, yang berasal dari otitis media kronik (seperti dilaporkan di
India), luka pada daerah muka dan kepala, termasuk adanya benda asing dalam
rongga hidung.
3. Generalized tetanus (Tetanus umum)
Bentuk ini yang paling banyak dikenal. Sering menyebabkan komplikasi
yang tidak dikenal beberapa tetanus lokal oleh karena gejala timbul secara diam-
diam. Trismus merupakan gejala utama yang sering dijumpai (50%), yang
disebabkan oleh kekakuan otot-otot masetter, bersamaan dengan kekakuan otot
leher yang menyebabkan terjadinya kaku kuduk dan kesulitan menelan. Gejala
lain berupa Risus Sardonicus (Sardonic grin) yakni spasme otot-otot muka, opisto
tonus (kekakuan otot punggung), kejang dinding perut. Spasme dari laring dan
otot-otot pernafasan bias menimbulkan sumbatan saluran nafas, sianoseasfiksia.
Bisa terjadi disuria dan retensi urine, kompresi fraktur dan pendarahan di dalam
otot. Kenaikan temperature biasanya hanya sedikit, tetapi begitu pun bias
mencapai 40° C. Bila dijumpai hipertermi ataupun hipotermi, tekanan darah tidak
stabil dan dijumpai takikardi, penderita biasanya meninggal. Diagnosa ditegakkan
hanya berdasarkan gejala klinis.
4. Neonatal tetanus
Biasanya disebabkan infeksi Clostridium tetani, yang masuk melalui tali
pusar sewaktu proses pertolongan persalinan. Spora yang masuk disebabkan oleh
proses pertolongan persalinan yang tidak steril, baik oleh penggunaan alat yang
telah terkontaminasi spora Clostridium tetani, maupun penggunaan obat-obatan
untuk tali pusat yang telah terkontaminasi.
Kebiasaan menggunakan alat pertolongan persalinan dan obat tradisional
yang tidak steril, merupakan factor utama dalam terjadinya neonatal tetanus
(Adams, 1997).
2.1.4 Keparahan
Klasifikasi Ablett untuk derajat manifestasi klinis Tetanus (Kliegman et
al., 2011):
1) Grade I (ringan)
Trismus ringan, spastisitas general, tidak ada distress pernapasan, tidak ada
spasme dan disfagia.
2) Grade II (sedang)
Trismus sedang, rigiditas yang tampak, spasme ringan hingga sedang dengan
durasi pendek, takipnea ≥ 30 kali/menit, disfagia ringan.
3) Grade III A (berat)
Trismus berat, spastisitas menyeluruh, spasme spontan yang memanjang,
distres pernapasan dengan takipnea ≥ 40 kali/menit,apneic spell, disfagia berat,
takikardia ≥ 120 kali/menit.
4) Grade III B (sangat berat)
Keadaan seperti pada grade III ditambah disfungsi otonom berat yang
melibatkan sistem kardiovaskuler. Hipertensi berat dan takikardi bergantian
dengan hipotensi relatif dan bradikardi, salah satunya dapat menjadi persisten.
2.1.5 Diagnosa Banding
1) Meningitis bakterial
Pada penyakit ini trismus tidak ada dan kesadaran penderita biasanya menurun.
Diagnosis ditegakkan dengan melakukan lumbal pungsi, di mana adanya kelainan
cairan serebrospinalis yaitu jumlah sel meningkat, kadar protein meningkat dan
glukosa menurun.
2) Poliomielitis
Didapatkan adanya paralisis flaksid dengan tidak dijumpai adanya trismus.
Pemeriksaan cairan serebrospinalis menunjukkan lekositosis. Virus polio diisolasi
dari tinja dan pemeriksaan serologis, titer antibodi meningkat.
3) Rabies
Sebelumnya ada riwayat gigitan anjing atau hewan lain. Trismus jarang
ditemukan, kejang bersifat klonik.
4) Keracunan strichnine
Pada keadaan ini trismus jarang, gejala berupa kejang tonik umum.
5) Tetani
Timbul karena hipokalsemia dan hipofasfatemia di mana kadar kalsium dan fosfat
dalam serum rendah. Yang khas bentuk spasme otot adalah karpopedal spasme
dan biasanya diikuti laringospasme, jarang dijumpai trismus.
6) Retropharingeal abses
Trismus selalu ada pada penyakit ini, tetapi kejang umum tidak ada.
7) Tonsilitis berat
Penderita disertai panas tinggi, kejang tidak ada tetapi trismus ada.
8) Efek samping fenotiasin
Adanya riwayat minum obat fenotiasin. Kelainan berupa sindrom ekstrapiramidal.
Adanya reaksi distonik akut, torsicolis dan kekakuan otot,
9) Kuduk kaku juga dapat terjadi pada mastoiditis, pneumonia lobaris atas,
miositis leher dan spondilitis leher.
2.1.6 Patofisiologi
Seperti pada semua infeksi luka yang disebabkan oleh Clostrodium,
kejadian awal pada tetanus adalah kejadian trauma pada host yang diikuti
kontaminasi luka oleh Clostrodium tetani. Kerusakan jaringan menyebabkan
penurunan potensial oksidasi-reduksi sehingga menyediakan lingkungan yang
cocok untuk pertumbuhan Clostrodium tetani. Setelah pertumbuhan awal, bakteri
ini tidak invasif dan tetap terbatas pada jaringan nekrotik, yaitu tempat
Clostrodium tetani menghasilkan toksik yang mematikan. Dan pertumbuhan
tetanus biasanya oleh masuknya sprora bersama benda asing dan atau bakteri lain
ke dalam jaringan yang rusak atau mati sehingga terjadi keadaanan aerob yang
menguntungkan bagi pertumbuhannya. Kadang-kadang spora bakteri yang masuk
pada cedera terdahulu dapat bertahan dalam jaringan selama berbulan-bulan
bahkan bertahun-tahun. Dan dapat diaktifkan untuk menjalani pertumbuhan
vegetatif ketika terjadi trauma kecil yang mengubah keadaan setempat (Muliawan,
2007).
Penyakit tetanus disebabkan neurotoksik yang kuat, yaitu: tetanospasmin,
yang dihasilkan sebagai protein-protein protoplasmic oleh bentuk vegetatif
Clostrodium tetani pada tempat infeksi yang terlokalisasi dan dilepaskan terutama
ketika terjadi lisis bakteri tersebut oleh plasmid. Tetanospasmin dapat terikat
secara kuat pada gangliosida neural, dan tempat masuknya yang terpenting ke
dalam susunan saraf adalah myoneural junction pada neuron motoric alfa. Setelah
toksin menjalar ke dalam neuron, toksin tersebut tidak lagi dapat dinetralkan.
Tetanospasmin di bawa melalui transport aksonal retrograde keneuroaksis, dan di
situ toksin tersebut bermigrasi secara transinaptik ke neuron lainnya. Hal yang
terpenting di antara neuron ini adalah sel penghambat presinaptik. Toksik akan
terikat pada sinaps penghambat presinaptik pada neuroaksis dan mencegah
pelepasan transmitter. Karena tidak ada hambatan tersebut neuron motorik yang
lebih bawah akan meningkatkan tonus otot sehingga timbul kekakuan otot. Hal ini
memungkinkan timbul spasme otot agonis ataupun otot antagonis secara stimulan,
yang merupakan cirri khas tetanus. Tetanospasmin dapat pula memudahkan
kontraksi otot spontan pada tetanus yang berat tanpa potensial aksi pada saraf
eferen (Muliawan, 2007).
2.1.7 Pemeriksaan Klinis dan Penunjang
Pada pemeriksaan klinis dapat ditemukan kekakuan otot setempat, trismus,
sampai kejang yang hebat.
a. Padatrismus lokal ditemukan kekauan dan spasme yang menetap.
b. Pada tetanus sefalik ditemukan trismus, rhesus sardonikus dan disfungsi
nervus kranial.
c. Pada tetanus umum atau genetalisata adanya: trismus, kekakuan leher,
kekakuan dada dan perut (opisthotonus), fleksi-abduksi lengan serta
ekstensi tungkai. Kejang umum yang dapat terjadi dengan rangsangan
ringan seperti sinar, suara dan sentuhan dengan kesadaran yang tetap baik.
d. Pada tetanus neonates ditemukan kekakuan, spasme dan posisi tubuh
klasik trismus kekakuan pada otot punggung menyebabkan opisthotonus
yang berat dengan lordosis lumbal.
(Kasra, 2012)
Pemeriksaan penunjang meliputi :
a. Pemeriksaan laboratorium.
Pemeriksaan darah, meliputi: glukosa darah (hipoglikemia merupakan
presdiposisi kejang), BUN (peningkatan BUN mempunyai potensi kejang
dan merupakan indikasi neprotoksik akibat dari pemberian obat), elektrolit
K, Na (ketidakseimbangan elektrolit merupakan presdiposisi kejang
kalium, normal 3,80-500 meq/dl)
b. Pemeriksaan mikrobiologi.
Bahan diambil dari luka berupa pus atau jaringan nekrotik, tetapi hanya
30% dari keseluruhan kasus tetanus yang dalam pemeriksaan mikrobiologi
terdapat Clostridium tetani.
c. Pemerikasaan cairan cerebrospinalis.
Cairan cerebro spinalis dalam batas normal walaupun kadang-kadang
meningkat akibat kontraksi otot.
d. Pemeriksaan EEG (Electro Encephalo Graphy).
Teknik untuk menekan aktifitas listrik otak melalui tengkorak yang utuh
untuk mengetahui fokus aktifitas kejang, hasil biasanya normal.
(Haq, 2011)
2.1.8 Penatalaksanaan
1) Medikasi
Penatalaksanaan tetanus pada dasarnya mengenai 3 sasaran, yaitu:
(1) Membuang sumber tetanospasmin
Organisme yang terdapat dalam tubuh hendaknya dihancurkan untuk
mencegah pelepasan toksin lebih lanjut.
(2) Menetralisasi toksin yang tidak terikat
Toksin yang terdapat dalam tubuh, di luar sistem saraf pusat hendaknya
dinetralisasi.
(3) Perawatan penunjang (suportif) sampai tetanospasmin yang berikatan
dengan jaringan telah habis dimetabolisme. Selain itu, perlu
penatalaksanaan agar efek dari toksin yang telah terikat pada sistem saraf
pusat diminimalisir.
(Edlich, et al.,2003).
Netralisasi dari toksin yang bebas
Antitoksin menurunkan mortilitas dengan menetralisasi toksin yang beredar di
sirkulasi dan toksin pada luka yang belum terikat, walaupun toksin yang telah
melekat pada jaringan saraf tidak terpengaruh. Immunoglobulin tetanus manusia
(TIG) merupakan pilihan utama dan hendaknya diberikan segera dengan dosis
terbagi karena volumenya besar. Setelah evaluasi awal, human tetanus
immunoglobulin (HTIG) segera diinjeksikan intramuskuler dengan dosis total
3.000-10.000 unit, dibagi tiga dosis yang sama dan diinjeksikan di tiga tempat
berbeda. Tidak ada konsensus dosis tepat HTIG. Rekomendasi British National
Formulary adalah 5.000-10.000 unit intravena. Untuk bayi, dosisnya adalah 500
IU intramuskular dosis tunggal. Sebagian dosis diberikan secara infiltrasi di
tempat sekitar luka, hanya dibutuhkan sekali pengobatan karena waktu paruhnya
25-30 hari. Makin cepat pengobatan diberikan, makin efektif. (Edlich, et al.,2003)
Kontraindikasi HTIG adalah riwayat hipersensitivitas terhadap
imunoglobulin atau komponen human immunoglobulin sebelumnya,
trombositopenia berat atau keadaan koagulasi lain yang dapat merupakan
kontraindikasi pemberian intramuskular. Bila tidak tersedia maka digunakan ATS
(Anti Tetanus Serum) dengan dosis 100.000-200.000 unit diberikan 50.000 unit
intramuskular dan 50.000 unit intravena pada hari pertama, kemudian 60.000 unit
dan 40.000 unit intramuskuler masing-masing pada hari kedua dan ketiga.
(Edlich, et al., 2003).
Ada ahli yang menggunakan ATS dan ada yang tidak menggunakannya.
Bila digunakan, keberatannya adalah mengenai harga, tetapi bila digunakan pun
tidak berbahaya kecuali pada penderita yang hipersensitif. Kemampuan
perlindungan ATS ini hanya berlangsung selama 2 – 3 minggu saja. Sebelum
digunakan, ATS harus diuji sensitifitas dahulu kepada penderita untuk mengetahui
apakah seorang penderita tahan terhadap ATS hewan atau tidak. Untuk
melakukan tes tersebut ada dua cara yaitu tes kulit (skin test) dan tes mata (eye
test).
Tes kulit. Sering dilakukan (lebih disukai dari pada tes mata). Caranya yaitu 0,1
cc serum diencerkan dengan akuades atau cairan NaC1 0,9 % menjadi 1 cc.
Suntikkan 0,1 cc dari larutan yang telah diencerkan tadi pada lengan bawah
sebelah voler secara intrakutan, tunggulah selama 15 menit. Reaksi positif
(penderita hipersensitif terhadap serum) bila terjadi infiltrat / indurasi dengan
diameter lebih besar dari 10 mm (1 cm), yang dapat disertai rasa panas dan gatal.
Tes mata. Caranya yaitu dengan meneteskan 1 tetes cairan serum pada mata,
tunggulah 15 menit. Reaksi positif bila mata merah dan bengkak.
(Utama, 2011).
Pada penderita yang mengalami sensitivitas terhadap ATS, terdapat 3
alternatif, yaitu: (1) pemberian hypertet (HTIG), (2) pemberian ATS hewan secara
desensitisasi (cara Bedreska), (3) ATS tidak diberikan.
Desensitisasi cara Bedreskad
Cara ini adalah pemberian ATS pada penderita yang hipersensitif terhadap
penyuntikan langsung, tetapi tidak dapat diberi HTIG karena suatu hal. Dalam hal
ini wajib memberikan ATS dengan pertimbangan kemungkinan terjadinya tetanus
pada luka besar. Pada cara Bedreska ini, pengawasan dilakukan bertahap. Bila
timbul reaksi hebat, pemberian tidak boleh diteruskan.
Cara pemberiannya sebagai berikut :
1. 0,1 cc serum + 0,9 cc akuades atau NaC1 0,9 % disuntikkan secara subkutan,
tunggulah selama 30 menit.
2. Sesudahnya, suntikkan 0,5 cc serum + 0,5 cc serum +0,5 cc akuades atau
NaC1 0,9 % secara subkutan, tunggulah 30 menit. Perhatikan reaksi. Bila
tampak tanda – tanda penderita hipersensitif (tanda profromalsyok anafilaktik),
hentikan pemberian, dan berikan antihistamin serta kortikosteroid. Rawat
penderita sesuai keadaannya.
3. Bila tidak ada reaksi berarti setelah 30 menit sisa serum dapat disuntikkan
secara intramuskuler.
Desensitisasi ini bertahan selama 2 – 3 minggu, jadi bila keesokan harinya atau
hari – hari berikutnya (dalam masa 2 – 3 minggu tersebut) perlu dilakukan
suntikan ulangan, maka cara Bersredka tak perlu diiulangi. Pada cara Besredka,
sebaiknya perlengkapan P3K yaitu obat yang diperlukan untuk menanggulangi
syok anafilaktik tetap tersedia (Utama, 2011).
Setelah penderita sembuh, sebelum keluar rumah sakit harus diberi
immunisasi aktif dengan toksoid, karena seseorang yang sudah sembuh dari
tetanus tidak memiliki kekebalan. Pemberian Tetanus Toksoid (TT) yang pertama,
dilakukan bersamaan dengan pemberian antitoksin tetapi pada sisi yang berbeda
dan dengan alat suntik yang berbeda. Pemberian dilakukan secara I.M. Pemberian
TT harus dilanjutkan sampai imunisasi dasar terhadap tetanus selesai. Berikut ini
tabel yang memperlihatkan petunjuk pencegahan terhadap tetanus
pada keadaan luka.
(Ritarwan, 2004).
Menyingkirkan sumber infeksi
Jika ada luka yang nampak jelas hendaknya dilakukan debridemen secara
bedah. Eksisi dan debridemen luka yang dicurigai harus segera dikerjakan 1 jam
setelah terapi pemberian antitoksin tetanus. Jika memungkinkan dicuci dengan
perhydrol. Luka dibiarkan terbuka untuk mencegah keadaan anaerob. Bila perlu
di sekitar luka dapat disuntikan ATS (Utama, 2011).
Terapi antibiotik diberikan pada tetanus untuk mengeradikasi sel-sel
vegetatif, sebagai sumber toksin. Pada penelitian di Indonesia, metronidazole
telah menjadi terapi pilihan di beberapa pelayanan kesehatan. Metronidazole
diberikan secara iv dengan dosis inisial 15 mg/kgBB dilanjutkan dosis 30
mg/kgBB/hari setiap 6 jam selama 7-10 hari. Metronidazole efektif mengurangi
jumlah kuman C. tetani bentuk vegetatif (Edlich, et al., 2003).
Sebagai lini kedua dapat diberikan penicillin procain 50.000-100.000
U/kgBB/hari selama 7-10 hari, jika hipersensitif terhadap penicillin dapat diberi
tetracycline 50 mg/kgBB/hari (untuk anak berumur lebih dari 8 tahun). Penicillin
membunuh bentuk vegetatif C.tetani. Sampai saat ini, pemberian penicillin G
100.000 U/kgBB/hari iv, setiap 6 jam selama 10 hari direkomendasikan pada
semua kasus tetanus. Sebuah penelitian menyatakan bahwa penicillin mungkin
berperan sebagai agonis terhadap tetanospasmin dengan menghambat pelepasan
asam aminobutirat gama (GABA) (Edlich, et al., 2003).
Pengendalian rigiditas dan spasme
Banyak obat yang telah dipergunakan sebagai obat tunggal maupun
kombinasi untuk mengobati spasme otot pada tetanus yang nyeri dan dapat
mengancam respirasi karena menyebabkan laringospasme atau kontraksi terus
menerus otot-otot pernafasan. Pengendalian ini bertujuan pula untuk menghindari
komplikasi berupa fraktur Pasien hendaknya ditempatkan di ruangan yang tenang
di ICU, di mana observasi dan pemantauan kardiopulmoner dapat dilakukan
secara terus menerus, sedangkan stimulasi diminimalisasi. Regimen yang ideal
adalah regimen yang dapat menekan aktivitas spasmodik tanpa menyebabkan
sedasi berlebihan dan hipoventilasi (Sudoyo, 2006).
Harus dihindari stimulasi yang tidak perlu, tetapi terapi utamanya adalah
sedasi dengan menggunakan benzodiazepin. Benzodiazepin memperkuat
agonisme GABA dengan menghambat inhibitor endigen pada reseptor GABAA.
Diazepam dapat diberikan melalui rute yang bervariasi, murah dan dipergunakan
secara luas, tapi metabolit kerja panjangnya (oksazepam dan desmetildiazepam)
dapat terakumulasi dan berakibat koma berkepanjangan. Sebagai sedasi tambahan
dapat diberikan antikonvulsan, terutama fenobarbiton yang lebih jauh
memperkuat aktivitas GABAergik dan fenithiazin, biasanya klorprimazin.
Barbiturat dan klorpromazin ini merupakan obat lini kedua (Sudoyo, 2006).
Bila kejang belum juga teratasi, dapat digunakan pelemas otot (muscle
relaxant) ditambah alat bantu pernapasan (ventilator). Cara ini hanya dilakukan
di ruang perawatan khusus/ICU dan di bawah pengawasan seorang ahli anestesi
(Sudoyo, 2006).
(Ritarwan, 2004).
Di Bagian llmu Kesehatan Anak RS Dr. Pirngadi/ FK USU, obat anti
konvulsan yang dipergunakan untuk tetanus noenatal berupa diazepam. Obat ini
diberikan melalui bolus injeksi yang dapat diberikan setiap 2 – 4 jam. Pemberian
berikutnya tergantung pada hasil evaluasi setelah pemberian anti kejang. Bila
dosis optimum telah tercapai dan kejang telah terkontrol, maka jadwal pemberian
diazepam yang tetap dan tepat baru dapat disusun (Ritarwan, 2004).
Dosis diazepam pada saat dimulai pengobatan (setelah kejang terkontrol)
adalah 20 mg/kgBB/hari, dibagi dalam 8 kali pemberian (pemberian dilakukan
tiap 3 jam). Kemudian, dilakukan evaluasi terhadap kejang, bila kejang masih
terus berlangsung dosis diazepam dapat dinaikkan secara bertahap sampai kejang
dapat teratasi. Dosis maksimum adalah 40 mg/kgBB/hari (dosis maintenance)
(Ritarwan, 2004).
Bila dosis optimum telah didapat, maka jadwal pasti telah dapat dibuat,
dan ini dipertahan selama 2-3 hari, dan bila dalam evaluasi berikutnya tidak
dijumpai adanya kejang, maka dosis diazepam dapat diturunkan secara bertahap,
yaitu 10 -15 % dari dosis optimum tersebut. Penurunan dosis diazepam tidak
boleh secara drastis, oleh karena bila terjadi kejang, sangat sukar untuk diatasi dan
penaikkan dosis ke dosis semula yang efektif belum tentu dapat mengontrol
kejang yang terjadi. Bila dengan penurunan bertahap dijumpai kejang, dosis harus
segera dinaikkan kembali ke dosis semula. Sedangkan bila tidak terjadi kejang
dipertahankan selama 2- 3 hari dan dirurunkan lagi secara bertahap. Hal ini
dilakukan untuk selanjutnya. Bila dalam penggunaan diazepam, kejang masih
terjadi, sedang dosis maksimal telah tercapai, maka penggabungan dengan anti
kejang lainnya harus dilakukan (Ritarwan, 2004).
(Ritarwan, 2004).
Pengendalian disfungsi otonomi
Metode non farmaklokgis untuk mencegah instabilitas otonomik didasarkan
pada pemberian cairan sesuai dengan kebutuhan pasien. Sedasi sering merupakan
terapi pertama. Benzodiazepin, antikonvulsan dan terutama morfin sering
dipergunakan. Morfin terutama bermanfaat karena stabilitas kardiovaskuler dapat
terjadi karena gangguan jantung. Dosisnya bervariasi antara 20 sampai 180 mg
per hari. Mekanisme aksi yang dipertimbangkan adalah penggantian opioid
endogen, pengurangan aktifitas refleks simpatis dan pelepasan histamin.
Fenotiazin, terutama klorpromazin merupakan sedatif yang berguna,
antikolinergik dan antagonis-a-adrenergik dapat berperan terhadap stabilitas
kardiovaskular (Sudoyo, 2006).
Penatalaksanaan respirasi
Penatalaksanaan respirasi dengan jalan membersihkan jalan nafas secara
teratur, memberikan cairan infus dan oksigen, mengawasi dengan seksama tanda-
tanda vital. Posisi penderita diatur dengan posisi berbaring (Sudoyo, 2006).
Intubasi atau trakeostomi dengan atau tanpa ventilasi mekanik mungkin
dibutuhkan pada hipoventilasi yang berkaitan dengan sedasi berlebihan atau
laringospasme atau untuk menghindari aspirasi oleh pasien dengan trismus,
gangguan kemampuan menelan atau disfagia. Kebutuhan akan prosedur ini harus
di antisipasi dan diterapkan secara elektif dan secara dini (Sudoyo, 2006).
Penatalaksanaan intensif suportif
Turunnya berat badan umum terjadi pada tetanus. Faktor yang ikut
menjadi penyebabnya mencakup ketidakmampuan untuk menelan, meningkatnya
laju metabolisme akibat pireksia atau aktivitas muskular dan masa kritis yang
berkepanjangan. Oleh karena itu, nutrisi hendaknya diberikan seawal mungkin.
Diet cukup kalori dan protein, bentuk makanan tergantung kemampuan membuka
mulut dan menelan. Bila ada trismus, makanan dapat diberikan personde atau
parenteral. Diet per sonde dapat diberikan dengan asupan sebesar 2000 kalori/hari
untuk orang dewasa, dan sebesar 100 kalori/KgBB/hari untuk anak-anak (Sudoyo,
2006).
Penatalaksanaan tetanus secara ringkas dapat disajikan sebagai berikut:
Pengobatan menurut Adam .R.D. (1997):
- Pada saat onset, 3000 - 6000 unit tetanus immune globulin satu kali saja.
- Sebanyak 1,2 juta unit Procaine penicilin sehari selama 10 hari, intramuscular.
Jika alergi beri tetracycline 2 gram sehari.
- Perawatan luka, dibersihkan, sekitar luka beri ATS (infiltrasi)
- Semua penderita kejang tonik berulang, lakukan trachcostomi. Ini harus
dilakukan untuk mencegah cyanosis dan aphnea.
- Paraldehyde baik diberikan melalui mulut.
- Jika cara diatas gagal, dapat diberi d-Lubocurarine IM dengan dosis 15 mg
setiap jam sepanjang diperlukan, begitu juga pernafasan dipertahankan dengan
respirator.
Pengobatan menurut Gilroy (1982):
- Kasus ringan :
Penderita tanpa cyanose : 90 - 180 begitu juga promazine 6 jam dan barbiturat
secukupnyanya untuk mengurangi spasme.
- Kasus berat : 1. Semua penderita dirawat di ICU (satu team )
2. Dilakukan tracheostomi segera. Endotracheal tube minimal harus
dibersihkan setiap satu jam dan setiap 3 hari ETT harus diganti
dengan yang baru.
3. Curare diberi secukupnya mencegah spasme sampai 2 jam.
Pernafasan dijaga dengan respirator oleh tenaga yang
berpengalaman
4. Penderita rubah posisi/miringkan setiap 2 jam. Mata
dibersihkan tiap 2 jam mencegah conjuntivitis.
5. Pasang NGT, diet tinggi, cairan cukup tinggi.
6. Urine pasang kateter, beri antibiotika.
7. Kontrol serum elektrolit, ureum dan AGDA
8. Rontgen foto thorax
9. Pemakaian curare yang terlalu lama, pada saatnya obat dapat
dihentikan pemakaiannya. Jika Keadaan umum membaik, NGT
dihentikan. Tracheostomy dipertahankan beberapa hari,
kemudian dicabut/dibuka dan bekas luka dirawat dengan baik.
Berikut ini merupakan penjelasan farmakologi obat-obatan yang biasa dipakai
pada tetanus:
Diazepam.
Dipergunakan sebagai terapi spasme tetanik dan kejang tetanik.
Mendepresi semua tingkatan sistem saraf pusat, termasuk bentukan limbik dan
retikular, mungkin dengan meningkatkan aktivitas GABA, suatu neurotransmiter
inhibitori utama (Sudoyo, 2006).
Dosis dewasa
Spasme ringan : 5-10 mg oral tiap 4-6 jam apabila perlu.
Spasme sedang: 5-10 mg i.v apabila perlu.
Spasme berat : 50-100 mg dalam 500 ml, diinfuskan 40 mg per jam.
Dosis pediatrik
Spasme ringan : 0,1-0,8 mg/kg/hari daam dosis terbagi tiga kali atau empat
kali sehari
Spasme sedang sampai spasme berat : 0,1-0,3 mg/kg/hari i.v tiap 4 sampai
8 jam.
Kontraindikasi:
hipersensitivitas, glaukoma sudut sempit.
Interaksi
Toksisitas benzodiazepin pada sistem saraf pusat meningkat apabila dipergunakan
bersamaan dengan alkohol, fenotiazin, barbiturat dan MAOI; cisapride dapat
meningkatkan kadar diazepam secara bermakna.
Kehamilan : kriteria D tidak aman pada kehamilan
Perhatian
Hati-hati pada pasien yang mendapatkan depresan sistem saraf pusat yang
lain, pasien dengan kadar albumin yang rendah atau gagal hati karena toksisitas
diazepam dapat meningkat.
Fenobarbital
Dosis obat harus sedemikian rendah sehingga tidak menyebabkan depresi
pernafasan. Jika ada pasien terpasang ventilator, dosis yang lebih tinggi
diperlukan untuk mendapatkan efek sedasi yang diinginkan. (Sudoyo, 2006)
Dosis dewasa: 1 mg/kg i.m tiap 4-6 jam, tidak melebihi 400 mg/hari
Dosis pediatrik: 5 mg/kg i.v/i.m dosis terbagi 3 atau 4 hari.
Kontraindikasi: hipersensitivitas, gangguan fungsi hati, penyakit paru-paru berat,
dan nefritis.
Interaksi: dapat menurunkan kloramfenikol, digitoksin, kortikosteroid,
karbamazepin, teofilin, verapamil, metronidazol dan antikoagulan.
Kehamilan: kriterian D-tidak aman pada kehamilan.
Perhatian: pada terapi jangka panjang, monitor fungsi hati, ginjal dan sistem
hematopoitik; hati-hati pada demam, diabetes melitus, anemia berat, karena efek
samping dapat terjadi; hati-hati pada miyastenia gravis dan miksedema.
Baklofen.
Baklofen intratekhal, relaksan otot kerja sentral telah dipergunakan secara
eksperimental untuk melepaskan pasien dari ventilator dan untuk menghentikan
infus diazepam. Keseluruhan dosis baklofen diberikan sebagai bolus injeksi.
Dosis dapat diulang setelah 12 jam atau lebih apabila spasme paroksismal kembali
terjadi. (Sudoyo, 2006)
Dosis dewasa: < 55 tahun: 100 mcg IT, > 55 tahun : 800 mcg IT
Dosis pediatrik: < 16 tahun : 500 mcg IT, > 16 tahun: seperti dosis dewasa
Kontraindikasi: hipersensitifitas
Interaksi: C-keamanan penggunaannya pada wanita hamil belum dikuetahui.
Perhatian: hati-hati pada psien dengan disrefleksia otonomik.
Penisilin G
Berperan dengan mengganggua pembentukan polipeptida dinding otot selama
multiplikasi aktif, menghasilkan aktivitas bakterisidal terhadap mikriorganisme
yang rentan. Diperlukan terapi selama 10-14 hari. Dosis besar penisislin i.v dapat
menyebabkan anemia hemolititk dan neurotoksisitas. (Sudoyo, 2006)
Dosis dewasa: 10-24 juta unit/hari i.v terbagi dalam 4 dosis
Dosis pediatrik: 100.000-250.000 U/kg/hari i.v/i.m dosis terbagi 4 kali/hari
Kontraindikasi: hipersensitivitas.
Kehamilan: kriteria B-nya biasanya aman, tapi dipergunakan apabila manfaatnya
melebihi resiko yang mungkin terjadi.
Perhatian: hati-hati pada gangguan fungsi ginjal.
Metronidazol.
Metronidazol aktif melawan bakteri anaerob dan protozoa.dapat diabsorbsi ke
dalam sel dan senyawa termetabolisme sebagaian yang terbentuk mengikat DNA
dan menghambat sintesis protein, yang menyebabkan kematian sel.
Direkomendasikan terapi selama 10-14 hari. Beberapa ahli merekomendasikan
metronidazol sebagai antibiotik pada terapi tetanus karena penisilin G juga
merupakan agonis GABA yang dapat memperkuat efek toksin. (Sudoyo, 2006)
Dosis dewasa: 500 mg per oral tiap 6 jam atau 1 gr i.v tiap 12 jam, tidak lebih dari
4 gr/hari.
Dosis pediatrik: 15-30 mg/kgBB/hari i.v terbagi tiap 8-12 jam, tidak lebih darri 2
gr/hari.
Kontraindikasi: hipersensitivitas, trimester pertama kehamilan.
Kehamilan: kriteria B-biasanya aman, tapi dipergunakan apabila manfaatnya
melebihi resiko yang mungkin terjadi.
Perhatian: penyesuaian dosis pada penytakit hati, pemantauan kejang dan
neuropati perifer.
Vekuronium.
Merupakan agen pemblokade neuromuskuler prototipik yang menyebabkan
terjadinya paralisis muskuler (Sudoyo, 2006).
Dosis dewasa: 0,08-0,1 mg/kg i.v dapat dikurangi ,emjadi 0,05 mg/kg apabila
pasien telah diterapi dengan suksinilkoin. Dosis pemeliharaan untuk paralisis:
0,025-0,1 mg/kg/hari i.v dapat dititrasi.
Dosis pediatrik: 7 minggu-1 tahun: 0,08-1 mg/kg/dosis diikuti dengan dosis
pemeliharaan sebesar 0,05-0,1 mg/kg tiap 1 jam apabila perlu, 1-10 tahun:
mungkin membutuhkan dosis awal yang besar dab suplementasi yang lebih
sering, > 10 tahun: seperti dosis biasa.
Kontraindikasi: hipersensitivitas, miastenia gravis, dan sindroma yang berkaitan.
Interaksi: apabila venkuronium dipergunakan bersama dengan anestesi inhalasi,
blokade neuromuskuler diperkuat, gagal hati dan gagal ginjal serta penggunaan
steroid secara bersamaan dapat menyebabkan blokade berkpenjangan walaupun
obat telah distop.
Perhatian: pada miastenai gravis atau sindroma miastenik, dosis kecil vekuronium
akan memberikan efek yang kuat.
2) Terapi Suportif
Pasien perlu dirawat inap agar dapat diobservasi secara terus-menerus.
Tetanus terbukti secara klinis dan biokimia menyebabkan aktivitas simpatis
berlebihan dan katabolisme protein sehingga pemeliharaan nutrisi sangat
diperlukan. Nutrisi buruk dan penurunan berat badan terjadi cepat karena disfagia,
gangguan fungsi gastrointestinal dan peningkatan metabolisme, menurunkan daya
tahan tubuh sehingga memperburuk prognosis (Taylor, 2006). Cairan intravena
diberikan untuk mendukung kecukupan cairan tubuh. Pada hari pertama perlu
pemberian cairan secara intravena sekaligus pemberian obat-obatan, dan bila
sampai hari ke-3 infus belum dapat dilepas sebaiknya dipertimbangkan pemberian
nutrisi secara parenteral.. Nutrisi tambahan yang diberikan secara parenteral total
mengandung glukosa hipertonis dan insulin dalam jumlah cukup untuk
mengendalikan kadar gula darah, dapat menekan katabolisme protein sehingga.
Formula asam amino sangat membantu membatasi katabolisme protein (Adlich,
2003).
Untuk menghindari dan meminimalkan resiko kambuhnya kejang
singkat dan sering, pasien sebaiknya ditempatkan pada ruangan yang gelap dan
tenang (Taylor, 2006). Penanganan jalan napas sangat diutamakan. Spasme laring,
spasme otot, atau sedatif dalam dosis yang besar semua dapat mengganggu
jalannya respirasi. Pasien perlu diposisikan untuk mencegah terhambatnya jalan
napas ketika mendadak spasme paroksimal (Thwaites dan Yen, 2005).
Penanganan jalan napas merupakan prioritas utama. Pada pasien yang
mengalami sekresi bronkus berlebihan, perlu dilakukan tindakan suctioning
sesering mungkin (Thwaites dan Yen, 2005). Apabila ada keterlibatan otot-otot
dada, punggung, atau distress pernapasan, perlu dilakukan trakeostomi (Towey,
2005). Sering terjadi kematian akibat spasme laring mendadak, paralisis
diafragma, dan kontraksi otot respirasi yang tidak adekuat sehingga tidak
tersedianya akses jalan napas yang lancar. Pencegahan komplikasi respirasi
meliputi perawatan mulut intesif, fisioterapi dada, dan suction trakea (Taylor,
2006).
Spasme otot yang timbul dapat ditangani dengan obat sedatif.
Diazepam efektif mengatasi spasme dan hipertonisitas tanpa menekan pusat
kortikal. Dosis diazepam yang dianjurkan adalah 0,1 – 0,3 mg/kgBB tiap
pemberian dengan interval 2-4 jam sesuai gejala klinis. Setelah spasme berhenti,
pemberian diazepam dilanjutkan dengan dosis perawatan sesuai keadaan klinis.
Setelah 5-7 hari dosis diazepam diturunkan bertahap 5-10mg/hari. Dosis
maksimal pemberian adalah 40mg/kgBB/hari. Tanda klinis membaik apabila pada
pasien tidak ada spasme spontan, kesadaran membaik (tidak koma), tidak ada
gangguan pernapasan, badan masih kaku (Thwaites dan Yen, 2005).
Tambahan terapi sedasi dapat didapatkan dari golongan barbiturate, khususnya
phenobarbital dan golongan phenotiazine seperti chlorpromazine. Penggunaan
obat tersebut dianjurkan untuk pasien dengan gangguan otonom (Thwaites dan
Yen, 2005). Phenobarbital diberikan dengan dosis 120-200 mg secara intravena,
sedangkan diazepam dapat ditambahkan terpisah dengan dosis sampai 120
mg/hari. Chlorpromazine diberikan setiap 4-8 jam dengan dosis 50-150 mg
(Adlich, 2003). Apabila spasme otot tidak bisa diatasi dengan obat-obatan sedatif,
dapat dipilih pelumpuh otot nondepolarisasi dengan intermittent positive-pressure
ventilation (IIPV). Pasien dengan tetanus berat seringkali membutuhkan IIPV
selama 2 hingga 3 minggu sampai spasme mereda (Thwaites dan Yen, 2005).
2.1.9 Prognosis
Prognosis tetanus menurut Adams, et al (1997) diklasifikasikan dari
tingkat keganasannya, yaitu :
1. Ringan, bila tidak adanya kejang umum ( generalized spasm )
2. Sedang, bila sekali muncul kejang umum
3. Berat, bila kejang umum yang berat sering terjadi
Menurut Cole-Spooner, masa inkubasi dan periode onset dapat
menentukan prognosis pasien tetanus.
Kelompok
prognostik
Periode awal Masa inkubasi
I
II
III
< 36 jam
>36 jam
Tidak diketahui
±6 hari
>6 hari
Tidak diketahui
(Jong, 2005)
Pasien yang termasuk dalam kelompok prognostik I mempunyai angka
kematian lebih tinggi daripada kelompok II dan III. Perawatan intensif
menurunkan angka kematian akibat kegagalan napas dan kelelahan akibat kejang.
Selain itu, pemberian nutrisi yang cukup ternyata juga menurunkan angka
kematian (Jong, 2005).
2.2 Peran Bakteri Rongga Mulut pada Infeksi Sistemik
Rongga mulut manusia pada saat masih di uterus sebenarnya steril.
Kontaminasi pertama rongga mulut dengan bakteri, protozoa, virus, dan jamur
adalah saat lahir. Segera setelah kelahiran kondisi rongga mulut mulai dapat
mendukung kehidupan sekelompok bakteri atau mikroorganisme alam 4-12 jam
setelah lahir, Streptococcus viridians menetap sebagai anggota flora yang paling
utama dan tetap seperti ini selama hidup. Pada awal kehidupan, jenis flora
bertambah dengan Staphylococcus aerob dan anaerob, diplococcus Gram-negatif
(Neiserria, Branhamella), difteroid, dan kadang-kadang laktobasil. Pada akhir
tahun pertama hidup, sedikitnya Streptococcus, Staphylococcus, dan Veillonellae
adalah bakteri permanen, bersama-sama dengan bakteri jenis lain yang pola
penyebarannya tidak mengikuti bakteri sebelumnya. Bila gigi geligi mulai keluar,
Spirochaeta anaerob, Bacteroides (khususnya B. melaninogenicus), spesies
Fusobacterium, spesies Rothia dan Capnocytophaga, beberapa vibrio anaerob
serta laktobasil akan menetap.
Bakteri-bakteri dalam rongga mulut akan selalu meningkat seiring
meningkatnya usia seseorang. Pada saat seseorang dewasa, bakteri yang terdapat
di saliva meningkat mendekati rata-rata 6 milyar mikroorganisme/ml, yang dapat
ditempati kurang lebih 30 jenis mikroorganisme. Tempat-tempat utama yang
sering dijadikan tumbuh kembang bakteri rongga mulut adalah bagian dorsum
lidah, sulkus gingiva, dan plakgigi. Khusus untuk spesies Actinomyces dalam
keadaan normal terdapat dalam jaringan tonsil dan gingiva orang dewasa;
berbagai protozoa mungkin jugaterdapat di daerah tersebut.
Infeksi pada mulut dan saluran pernapasan seringkali melibatkan bakteri
anaerob. Infeksi periodontal, abses perioral, sinusitis, dan mastoiditis terutama
disebabkan oleh Prevotella melaninogenica, Fusobacterium dan
peptostreptococcus. Aspirasi air liur (berisi 102 organisme ini dan bentuk
anaerob) dapat menimbulkan pneumonia nekrosis, abses paru, dan empiema.
Sekali masuk ke dalam tubuh, bakteri harus menempel pada sel inang,
biasanya sel epitel. Setelah bakteri menetap pada tempat infeksi pertama, bakteri
berkembangbiak dan menyebar langsung melalui jaringan atau lewat system getah
bening menuju aliran darah. Infeksi ini (bakteremia) dapat bersifat sementara atau
menetap. Bakteremia memungkinkan bakteri untuk menyebarluas dalam tubuh
dan mencapai jaringan yang cocok bagi perkembangbiakannya.
Berbagai macam penyakit infeksi, dapat disebabkan oleh invasi bakteri
rongga mulut ke sel atau jaringan organ lain. Penyakit yang dapat disebabkan oleh
bakteri rongga mulut melalui jalur bakteremia dapat berupa penyakit local
maupun sistemik, antara lain Gonorrea, pneumonia, endokarditis, pertusis,
maupun infeksi saluran pernafasan atas. Penjalaran bakteri melalui mekanisme
bakteremia adalah melalui aliran darah ataupun getah bening.
Infeksi yang disebabkan bakteri rongga mulut pada organ lain dari tubuh
dapat dijelaskan melalui teori fokal infeksi yang menyebutkan infeksi yang terjadi
pada organ lain di tubuh dapat disebabkan oleh inisiasi dan progresi bakteri di
ronggamulut. Faktor virulensi bakteri juga merupakan faktor yang memainkan
peranan penting untuk terjadinya suatu infeksi. Faktor virulensi ini berupa factor
perlekatan bakteri dan invasi bakteri ke sel inang dan jaringan (Soeherwin dan
Ariadna, 2009).