Post on 23-Dec-2015
description
Manifestasi Muskuloskeletal pada Lupus Erithematosus
Sistemik
Kelompok F6
Andrean Linata (102010063)
Ivani Yunita Korwa (102010085)
Shynthia (102010147)
Steven Martin (102010195)
Metta (102010204)
Steven Alexander Grean Tekwan (102010288)
Fransiska Ayu Kristanty (102010313)
Nur Atikah Binti Aminudin (102010372)
FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS KRISTEN KRIDA WACANA
Jalan Terusan Arjuna no. 6
Jakarta Barat
11510
1
KATA PENGANTAR
Puji dan syukur kami panjatkan kepada Tuhan yang Maha Esa karena berkat
anugerahNya kami dapat menyelesaikan makalah ini dengan tepat waktu. Makalah kami kali ini
berjudul “Manifestasi Musculoskeletal pada Lupus Erithematosus Sistemik”.
Pada kesempatan ini, kami juga tidak lupa untuk mengucapkan terima kasih yang sebesar-
besarnya kepada dr. Surjadi Sujana, SpRad; dr. Richard Kosasih SpPk; dr. Yasavati Kurnia Nah,
MS; dr. Ika Wulan Yuliani,SpPD; dr. Wiwi Kertadjaja, MS, MPd.Ked; dr. Hendradi Khumarga
SpOT, FICS; dr. Kusmedi Prihartono, SpOT, FICS, FAPOA, MMRS; dr. DR Mardi Santoso,
SpPD-KEMD, DTMH&H, FINASIM, FACE, yang telah membimbing kami dalam proses
pembuatan makalah ini. Serta kepada dr. Irwandy yang telah memberi kami kesempatan untuk
membuat makalah ini sehingga kami dapat menambah wawasan dan pengetahuan kami
khususnya dalam mata kuliah sistem urogenital.
Di dalam kamus Indonesia telah dikatakan bahwa “tak ada gading yang tak retak”. Kami
sadar kami dapat melakukan kesalahan. Oleh karena itu, dengan segala kerendahan hati kami
sangat mengharapkan saran dan kritik dari pembaca guna pembuatan makalah kami yang
berikutnya.
Akhir kata, kami mengucapkan terima kasih. Semoga makalah ini dapat berguna dan bermanfaat
bagi para pembaca.
Jakarta, 20 Maret 2012
Penulis
2
DAFTAR ISI
Kata Pengantar ..............................................................................................................2
Daftar Isi ........................................................................................................................3
Pendahuluan....................................................................................................................4
Isi
A. Anamnesis.....................................................................................................7
B. Pemeriksaan Fisik.........................................................................................8
C. Pemeriksaan Penunjang................................................................................9
D. Working Diagnosis........................................................................................11
E. Different Diagnosis.......................................................................................13
F. Etiologi dan Patofisiologi..............................................................................16
G. Gejala Klinis..................................................................................................20
H. Penatalaksanaan............................................................................................25
I. Komplikasi....................................................................................................28
J. Prognosis.......................................................................................................28
K. Pencegahan....................................................................................................28
L. Epidemologi..................................................................................................29
Kesimpulan.....................................................................................................................30
Daftar Pustaka.................................................................................................................31
3
BAB I
PENDAHULUAN
Kehidupan sehari-hari tidaklah lepas dari bergerak, manusia harus bergerak untuk
melakukan pekerjaan. Untuk melakukan suatu pekerjaan maka manusia membutuhkan tangan
dan kaki sehingga bisa melakukannya. Tangan dan kaki berperan penting dalam kehidupan
sehari-hari, tangan dan kaki tersusun atas tulang, sendi, otot, tendon yang saling bekerja sama
untuk melakukan gerak. Tulang, sendi, otot, tendon termasuk dalam system musculoskeletal
yang apabila mengalami kelainan atau gangguan maka akan menyebabkan manusia untuk susah
bergerak.
Gangguan musculoskeletal adalah penyakit yang paling sering menyebabkan rasa nyeri.
Manifestasi rasa nyeri bisa saja menyerang beberapa bagian tubuh atau hanya satu bagian tubuh
saja. Gangguan musculoskeletal bisa menyerang semua usia, tak perduli tua atau muda, wanita
ataupun pria. Rasa nyeri yang dialami pada penyakit musculoskeletal bisa disebabkan karena
adanya inflamasi atau peradangan. Tanda-tanda peradangan bisa dilihat dengan melihat adanya
kalor atau panas, rubor, dolor, tumor dan gangguan fungsi.
Lupus erithematosus sistemik atau sistemik lupus erithematosus adalah salah satu
penyakit autoimun yang mempunyai manifestasi pada musculoskeletal. Sistemik lupus
eritematosus (SLE) merupakan penyakit autoimun yang mempunyai latar belakang kelainan
multigenetik dan tercetus karena berinteraksi dengan berbagai faktor lingkungan.
Untuk mengetahui lebih lanjut mengenai hubungan anatara gangguan musculoskeletal
dengan penyakit SLE, dalam pembahasan akan dijelaskan mengenai cara pemeriksaan pada
penyakit SLE, working diagnosis, different diagnosis, etiologi, patofisiologi, gejala klinis,
penatalaksanaan, komplikasi, prognosis, pencegahan dan epidemiologi dari penyakit tersebut.
4
1. Skenario
Seorang wanita berusia 22 tahun datang ke poliklinik dengan keluhan merasa lemah sejak
3 bulan yang lalu. Pasien mengatakan sejak 2 bulan yang lalu sering mengalami nyeri
pada kedua jari tangan serta kaku pada pagi hari. Rambut pasien juga terasa banyak
rontok sejak 2 bulan yang lalu. Pasien juga mengatakan wajahnya seringkali memerah
bila sebentar saja terpapar sinar matahari padahal sudah memakai payung saat aktivitas di
luar ruangan. BB tidak menurun. Badan terasa hangat hilang timbul. KU: tampak nyeri
sakit ringan, kesadaran kompos mentis, tekanan darah: 110/70 mmHg, denyut nadi
82x/menit, frekuensi nafas 18x/menit, suhu 37C. Pemeriksaan fisik: konjungtiva anemis,
sklera ikterik -/-. Leher: KGB tampak tidak membesar. Cor, pulmo, abdomen dalam batas
normal. Status lokalis: Manus dextra: phalanx proksimal digiti II – IV, nyeri gerak (+),
nyeri tekan (+), oedem (-), kalor (-). Manus sinistra: phalanx proksimal digiti II – IV,
nyeri gerak (+), nyeri tekan (+), oedem (-), kalor (-).
2. Identifikasi istilah yang tidak di mengerti
-
3. Rumusan masalah
1. Wanita usia 22 tahun
2. Merasa lemah sejak 3 bulan lalu
3. Nyeri pada jari-jari tangan, kaku pada pagi hari
4. Rambut rontok sejak 2 bulan
5. Wajah memerah bila terpapar sinar matahari
6. Badan terasa hangat hilang timbul
5
4. Mind Mapping
BAB II6
Wanita 22 tahun, lemah, nyeri jari-jari kedua tangan, kaku, rambut rontok, wajah memerah, dan
badan terasa hangat
Anamnesis
Pemeriksaan
Fisik Penunjang
Working Diagnosis
Different Diagnosis
Etiologi
Patofisiologi
Gejala KlinisPenatalaksanaan
KomplikasiPrognosisPencegahan
Epidemiologi
PEMBAHASAN
Anamnesis
Identitas : Seorang wanita berumur 22 tahun.
Keluhan utama : Merasa lemah sejak 3 bulan yang lalu.
Riwayat penyakit sekarang : Sejak 2 bulan sering nyeri pada kedua jari tangan serta kaku
pada pagi hari. Rambut banyak rontok sejak 2 bulan yang
lalu. Wajah memerah bila terkena sinar matahari. Berat badan
tidak menurun. Badan terasa hangat hilang timbul.
Riwayat penyakit dahulu : -
Riwayat pribadi : -
Riwayat keluarga : -
Riwayat sosial : -
Selain keluhan yang telah diutarakan pasien, beberapa hal berikut penting ditanyakan
untuk menegakan diagnosis.
- Mengetahui identitas pasien yang meliputi umur, jenis kelamin, pekerjaan. Hal ini penting
karena penyakit yang berhubungan dengan musculoskeletal berkaitan dengan faktor-faktor
diatas.
- Keluhan utama
- Jika ada nyeri, tanyakan lokasi spesifik nyeri, sejak kapan, intensitas, dan waktu serangan.
- Kemungkinan adanya faktor pencetus (seperti makanan, aktivitas, obat, dll)
- Perkembangan/perburukan penyakit (contoh: sudah pernah minum obat atau belum? Kalau
sudah, bagaimana hasilnya?)
- Keluhan penyerta (seperti panas, mual, pusing, dll).
7
- Riwayat penyakit dahulu (contoh: apakah dulu juga pernah sakit seperti ini? Atau ada trauma
di bagian tubuh yang sakit?).
- Riwayat pribadi pasien (seperti kebiasaan makan, merokok, alkohol, dll).
- Riwayat sosial pasien (seperti lingkungan tempat tinggal, sosial ekonomi, pekerjaan)
Pemeriksaan Fisik
Umum
Pemeriksaan fisik umum yang dilakukan adalah:
1. Pemeriksaan keadaan umum pasien (kesadaran, kondisi fisik pasien)
2. Tanda-tanda vital (tekanan darah, suhu, denyut nadi, frekuensi nafas)
Berdasarkan pemeriksaan fisik umum didapatkan:
- Keadaan umum: tampak nyeri sakit ringan, kesadaran kompos mentis.
- Tanda-tanda vital
Tekanan darah : 110/70 mmHg
Denyut nadi : 82x/menit
Frekuensi nafas : 18x/menit
Suhu : 37C
- Konjungtiva anemis, sklera ikterik -/-. Kelenjar getah bening tampak tidak
membesar. Cor, pulmo, abdomen dalam batas normal.
Khusus
Pemeriksaan fisik pada pasien muskuloskeletal biasanya yang dilihat adalah kelainan
berikut: deformitas, nyeri tekan, pembengkakan, panas, dan disfunctio laesa. Untuk
mengetahui kelainan tersebut pemeriksaan yang dilakukan adalah:1
1. Inspeksi (look)
Pada tahap ini dilakukan pemeriksaan dengan melihat secara umum dan khusus. Melihat
secara keseluruhan dan postur jalan pasien. Kemudian, melihat lebih teliti pada bagian
lokal yang dikeluhkan oleh pasien. Dilihat apakah ada deformitas dan pembengkakan atau
kulit memerah.
8
2. Palpasi (feel)
Pada pemeriksaan ini dilakukan dengan cara memegang dan menekan bagian-bagian
tertentu. Dirasakan apakah ada nyeri tekan, pembengkakan, panas, dan deformitas
3. Gerak (move)
Pada pemeriksaan gerak, kita melihat gerakan-gerakan pada pasien baik gerak yang
secara aktif maupun pasif. Kita melihat apakah adanya kelainan gerak dan mengganggu
pada saat pasien melakukan gerakan tersebut.
Pemeriksaan fisik khusus dilakukan untuk melihat/menilai bagian tubuh pasien yang sakit
(contoh: apakah ada bengkak, nyeri tekan, dll).
Berdasarkan pemeriksaan khusus didapatkan:
- Manus dextra: phalanx proksimal digiti II – IV, nyeri gerak (+), nyeri tekan (+),
oedem (-), kalor (-).
- Manus sinistra: phalanx proksimal digiti II – IV, nyeri gerak (+), nyeri tekan (+),
oedem (-), kalor (-).
Pemeriksaan Penunjang
1. Pemeriksaan darah lengkap
Eritosit
Pada 50% penderita SLE, ditemuan adanya anemia. Anemia dalah kadar hemoglobin yang
berkurang.2
Leukosit
Leukopenia : leukosit < 4500/mm3. Keadaan ini ditemukan pada 50% penderita.2
Neutropenia : jumlah netrofil batang dan segmen < 2000/mm3. Neutropenia bisa disebabkan
karena obat-batan, proses imun.3
Limfopenia : penurunan jumlah lumfosit dibawah 1500/mm3. Ditemukan pada 20-75%
penderita.3
9
Trombosit
Trombositopenia <100.000/mm3 karena terjadi destruksi dari trombosit.2
2. Tes ANA
Tes ini juga yang dikenal sebagai tes ANA, berdasarkan adanya ragam antibody terhadap
komponen INTI yang didapat pada banyak jenis penyakit autoimun. Tes ini sering
dipergunakan sebagai penyaring terhadap penyakit autoimun. Tes didasarkan pada inkubasi
antihuman globulin yang diselubungi dengan zat fluoresen dengan sediaan jaringan dan
kemudian diperiksa di bawah mikroskop fluoresen.4
Tafsiran hasil:
1. Pada keadaan normal FANA negatif. Lima persen penduduk member hasil positif
dengan titer rendah, kurang dari atau sama dengan titer 1/40.
2. Pada LE/SLE didapatkan FANA positif difus (ada anti-DNA) 99%
3. Kurang spesifik dibandingkan dengan tes sel LE yang kini tidak dipergunakan.
4. Positif palsu didapat pada berbagai keadaan/penyakit antara lain: kanker, infeksi kronis
dan pengaruh obat (drug-induced).
3. Antibody dsDNA
Merupakan uji spesifik untuk SLE. Gangguan reumatologi juga menyebabkan tes ANA
positif namun tes anti-DNA jarang ditemukan kecuali pada penderita SLE. 5
4. LED
LED pada penyakit SLE biasanya meningkat. Ini merupakan uji non-spesifik hanya untuk
mengukur peradangan.2
5. Uji Faktor LE
Sel LE dibentuk dengan merusak beberapa leukosit pasien sehingga sel-sel tersebut merusak
beberapa leukosit pasien sehingga sel-sel tersebut mengeluarkan nuklearproteinnya. Protein
ini bereaksi dengan IgG dan kompleks ini difagositosis oleh leukosit normal yang masih ada.
Sel LE mudah dikenali, namun sel LE dapat ditemukan pada penyakit golongan reumatik
yang diperantai oleh imunitas. 5
10
Bekuan darah pasien digerus melalui saringan agar membebaskan nucleoprotein DNA dan
kemudian diinkubasi. Bila ada antibody terhadap DNA, terjadi fagositosis inti neutrofil oleh
sel neutrofil lain (hanya tampak in vitro).4
Tafsiran hasil: Tess el LE merupakan tes yang tertua untuk diagnosis SLE. Pada keadaan
normal tes LE negatif. Tes sel LE positif pada 50% kasus-kasus SLE. Hasil sel LE dapat juga
positif (positf palsu) pada penyakit atau keadaan tertentu (obat methyl-dopa, leukemia,
penyakit kolagen, hepatitis kronis tipe lupoid dan sebagainya). Tes sel LE kini jarang
dipergunakan.4
6. Tes CRP (chain reactive protein)
Pemeriksaan kadar C-reactive protein (CRP) sangat membantu untuk membedakan lupus
aktif dengan infeksi. Pada lupus aktif, kadar CRP normal atau peningkatan tidak
bermakna, sedangkan pada infeksi terdapat peningkatan CRP yang sangat tinggi.6
7. Rontgen
Ditemukan pleuritis dan perikarditis.2
8. Urin
Terdapat hematuria dan proteinuria.2
Working Diagnosis
Sistemik Lupus Eritematosus
Lupus eritematosus sistemik (SLE) adalah suatu penyakit autoimun yang kronik dan
menyerang berbagai sistem dalam tubuh. Tanda dan gejala dari penyakit ini bisa bermacam-
macam, bersifat sementara, dan sulit untuk didiagnosis. Karena itu angka yang pasti tentang
jumlah orang terserang oleh penyakit ini sulit diperolehi. SLE menyerang perempuan kira-kira
delapan kali lebih sering daripada laki-laki. Penyakit ini sering kali dimulai pada akhir masa
remaja atau awal masa dewasa.7
Diagnosis SLE, dapat ditegakkan berdasarkan gambaran klinik dan laboratorium.
American College of Rheumatology (ACR), pada tahun 1982, mengajukkan 11 kriteria untuk
klasifikasi SLE, dimana bila didapatkan 4 kriteria, maka diagnosis SLE dapat ditegakkan.
Kriteria tersebut adalah :2
11
1. Ruam malar
2. Ruam diskoid
3. Fotosensitifitas
4. Ulserasi di mulut atau nasofaring
5. Atritis
6. Serositis, yaitu pleuritis atau perikarditis
7. Kelainan ginjal, yaitu proteinuria persisten>0,5 gr/hari, atau adalah silinder sel
8. Kelainan neurologik, yaitu kejang-kejag atau psikosis
9. Kelainan hematologik, yaitu anemia hemolitik, atau lekopenia atau limfopenia atau
trombositopenia
10. Kelainan imunologik, yaitu sel LE positif atau anti DNA positif, atau anti Sm positif atau
tes serologik untuk sifilis yang positif palsu
11. Antibodi antinuklear (ANA) positif.
Kecurigaan akan penyakit SLE bila dijumpai 2 (dua) atau lebih keterlibatan organ
sebagaimana tercantum di bawah ini, yaitu :2
1. Jender wanita pada rentang usia reproduksi
2. Gejala konsitusional: kelelahan, demam (tanpa bukti infeksi) dan penurunan berat badan
3. Muskuloskeletal: atritis, atralgia, miositis
4. Kulit: ruam kupu-kupu (butterfly atau malar rash), fotosensitivitas, SLEi membrana
mukosa, alopesia, fenomena Raynaud, purpura, urtikaria, vaskulitis.
5. Ginjal: hematuria, proteinuria, cetakan, sindroma nefrotik
6. Gastrointestinal: mual, muntah, nyeri abdomen
7. Paru-paru: pleurisy, hipertensi pulmonal, SLEi parenkhim paru
8. Jamtung: perikarditis, endokarditis, miokarditis
9. Retikulo-endotel: organomegali (limfadenopati, splenomegali, hepatomegali
10. Hematologi: anemia, leukopenia, dan trombositopenia
11. Neuropsikiatri: psikosis, kejang, sindroma otak organik, mielitis transversa, neuropati
kranial dan perifer.
Klasifikasi Lupus Eritematosus
12
Menurut Myers SA and Mary HE, lupus eritematosus dibagi ke dalam 4 bagian besar, yaitu:8
1. Chronic Cutaneous Lupus Erythematosus (CCLE)
Dibagi lagi ke dalam 2 subtipe :
a. Discoid Lupus Erythematosus (DLE)
Dibagi juga dalam beberapa subtipe yang jarang terjadi:
1) Palmar-palmar Lupus Erythematosus
2) Oral Discoid lupus Erythematosus
3) Lupus Erythematosus panniculitis
b. Hypertrophic Lupus Erythematosus (HLE)
2. Subacute Cutaneous Lupus Erythematosus (SCLE)
Memiliki subtype yang jarang terjadi yaitu : Neonatal lupus Erythematosus (NLE)
3. Systemic Lupus Erythematosus (SLE)
4. Drug-Induced Lupus Erythematosus (DILE)
Differential Diagnosis
Reumatoid Atritis
Atritis reumatoid (RA) adalah suatu penyakit inflamasi kronis yang menyebabkan
degenerasi jaringan penyambung. Jaringan penyambung yang biasanya mengalami kerusakan
pertama kali adalah membran sinovial, yang melapisi sendi. Pada RA, inflamasi tidak berkurang
dan menyebar ke struktur sendi di sekitarnya, termasuk kartilago artikular dan kapsul sendi
fibrosa. Akhirnya, ligamen dan tendon mengalami inflamasi. Inflamasi ditandai oleh akumulasi
sel darah putih, aktivasi komplemen, fagositosis ekstensif, dan pembentukan jaringan parut. Pada
inflamasi kronis, membran sinovial mengalami hipertrofi dan menebal sehingga menyumbat
aliran darah dan lebih lanjut menstimulasi nekrosis sel dan respons inflamasi. Sinovium yang
menebal menjadi ditutup oleh jaringan granular inflamasi yang disebut panus. Panus dapat
menyebar ke seluruh sendi sehingga menyebabkan inflamasi dan pembentukan jaringan parut
lebih lanjut. Proses ini secara lambat merusak tulang dan menimbulkan nyeri hebat serta
deformitas.9
Awitan RA ditandai oleh gejala umum inflamasi, berupa demam, keletihan, nyeri tubuh,
dan pembengkakan sendi. Nyeri tekan sendi dan kekakuan sendi terjadi, mula-mula karena 13
inflamasi akut dan kemudian akibat pembentukan jaringan parut. Sendi metakarpofalangeal dan
pergelangan tangan biasanya adalah sendi yang pertama kali terkena. Kekakuan terjadi lebih
parah pada pagi hari dan mengenai sendi secara bilateral. Dapat terjadi penurunan rentang gerak,
deformitas sendi, dan kontraksi otot. Nodulus reumatoid ekstrasinovial terbentuk pada sekitar
20% individu yang mengalami RA. Pembengkakan ini terdiri atas sel darah putih dan debris sel
yang terdapat di daerah trauma atau peningkatan tekanan. Nodulus biasanya terbentuk di jaringan
subkutan di atas siku dan jari tangan.9
Penatalaksanaan pada kasus RA adalah sebagai berikut :
Sendi yang mengalami inflamasi diistirahatkan
Periode istirahat setiap hari
Kompres panas dan dingin bergantian
Pemberian suplemen minyak ikan (cod liver oil) sebagai NSAID- sparing agents
Pemberian edukasi dan pendekatan multidisiplin pada penderita
Pembedahan dipertimbangkan bila: 1. Terdapat nyeri berat yang berhubungan dengan
kerusakan sendi yang ekstensif, 2. Keterbatasan gerak yang bermakna atau keterbatasan
fungsi yang berat, 3. Ada ruptur tendon.
Pemberian obat anti-inflamasi non steroid (OAINS) untuk mengendalikan nyeri,
glukokortikoid dosis rendah atau intraartikular, dan DMARD.2,9
Gout
Gout adalah sekelompok penyakit yang terjadi akibat deposit kristal monosodium urat di
jaringan. Deposit ini berasal dari cairan ekstraselular yang sudah mengalami supersaturasi dari
hasil akhir metabolisme purin yaitu asam urat.
. Manifestasi klinik gout meliputi atritis gout, tofus, batu asam urat saluran kemih dan
nefropati gout. Tiga stadium klasik perjalanan alamiah atritis gout adalah atritis gout akut, gout
interkritikal, dan gout kronik bertofus.
Secara umum penanganan atritis gout adalah memberikan edukasi, pengaturan diet,
istirahat sendi dan pengobatan. Pengobatan dilakukan secara dini agar tidak terjadi kerusakan
sendi ataupun komplikasi lain, misalnya ginjal. Pengobatan atritis gout akan bertujuan
14
menghilangkan keluhan nyeri sendi dan peradangan dengan obat-obat, antara lain kolkisin, obat
anti inflamasi non steroid (OAINS), kortikosteroid, atau hormon ACTH. Obat penurun asam urat
seperti alopurinol atau obat urikosurik tidak boleh diberikan pada stadium akut. Namun pada
pasien yang telah rutin mendapat obat penurun asam urat sebaiknya tetap diberikan. Jenis OAIS
yang banyak dipakai pada atritis gout akut adalah indometasin. Dosis obat ini adalah 150-200
mg/hari selama 2-3 hari dan dilanjutkan 75-100 mg/hari sampai minggu berikutnya atau sampai
nyeri atau peradangan berkurang. Kortikosteroid dan ACTH diberikan apabila kolkisin dan
OAINS tidak efektif atau merupakan kontraindikasi.2
Osteoarthritis (OA)
Osteoarthritis merupakan penyakit sendi degenerative yang berkaitan dengan kerusakan
kartilago sendi. Vertebra, panggul, lutut dan pergelangan kaki paling sering terkena OA. Sendi-
sendi yang terkena pada penyakit OA adalah carpometacarpal I, metatarsophalangeal II, sendi
apofiseal, tulang belakang, lutut, paha. Nyeri sendi yang terjadi biasanya bertambah dengan
gerakan dan sedikit berkurang dengan beristirahat. Pada beberapa pasien, nyeri atau kaku sendi
dapat timbul setelah imobilitas seperti duduk di kursi atau mobil dalam waktu yang cukup lama
atau setelah bangun tidur. Terdapat krepitasi atau rasa gemeretak pada sendi yang sakit.
Perubahan gaya berjalan pada pasien OA adalah hal yang paling menyusahkan hampir semua
pasien OA pergelangan kaki, tumit, lutut atau panggul berkembang menjadi pincang. Tanda-
tanda peradangan pada sendi mungkin dijumpai pada OA karena adanya sinovitis. Pemeriksaan
laboratorium oada OA biasanya tidak banyak berguna. Darah tepi dalam batas normal, ANA, RF,
komplemen juga normal. Pada OA yang disertai peradangan mungkin didapatkan penurunan
viskositas, pleositosis ringan sampai sedang, peningkTan sel radang dan peningkatan protein.
Pada pemeriksaan radiografi ditemukan adanya penyempitan celah sendi yang asimetris,
peningkatan densitas tulang subcondral, kista tulang, osteofit dipinggir sendi dan perubahan
struktur anatomis sendi.1,2 Terapi non farmakologis untuk pasien OA adalah penerangan agar
pasien mengetahui seluk beluk tentang penyakitnya, terapi fisik dan rehabilitasi serta penurunan
berat badan. sedangkan dengan terapi farmakologis bisa diberikan :2
OAINS
Chondroprotective agent
15
Obat-obat yang menjaga atau merangsang perbaikan atau repair tulang rawan sendi pada
pasien OA. digolongkan menjadi dua yaitu slow acting anri osteoarthritis drugs
(SAAODs) atau disease acting anti osteoarthritis drugs (DMAODs). Sampai saat ini
yang termasuk dalam kelompok obat ini adalah: tertrasiklin, asam hialuronat, kondroitin
sulfat, glikosaminoglikan, vitamin-C, superoxide dismutase.
Etiologi dan Patofisiologi
Etiologi dari penyakit Sistemik Lupus Eritematosus (SLE) belum diketahui secara pasti.
Salah satu alasannya adalah karena faktor-faktor penyebab tidak didapatkan secara menyeluruh
pada setiap pasien dengan SLE. Akan tetapi ada beberapa faktor-faktor yang diduga turut
berperan pada proses patofisiologi penyakit ini, yaitu:
1. Faktor Genetik
Berdasarkan penelitian didapatkan:
- Kejadian SLE lebih tinggi pada kembar monozigotik (25%), dibandingkan dengan
kembar dizigotik (3%).
- Peningkatan frekuensi SLE pada keluarga penderita SLE jika dibandingkan dengan
kontrol sehat.
- Peningkatan prevalensi SLE pada kelompok etnik tertentu
Dari beberapa bukti diatas dapat diduga bahwa faktor genetik mempunyai pengaruh pada
SLE .
Gen penyebab penyakit ini dapat berupa gen tunggal atau beberapa gen. Tetapi pada
sebagian besar pasien memerlukan keterlibatan banyak gen.2,10 Sehingga SLE dapat dikatakan
sebagai penyakit poligenik. Beberapa gen yang terlibat dalam perkembangan SLE manusia
adalah sebagai berikut.
- Gen HLA (Human Leucocyte Antigen) kelas II berhubungan dengan adanya antibody
tertentu seperti anti-Sm (small nuclear ribonuclearprotein), anti-Ro, anti-La, anti-nRNP
(nuclear ribonuclear protein) dan anti-DNA.
- SLE berhubungan dengan pewarisan defisiensi C1q, C1r/s dan C2.
16
- Penemuan daerah kromosom yang multipel (multiple chromosom regions) sebagai resiko
berkembangnya SLE.
Tidak ada penjelasan yang jelas mengenai proses patofisiologi SLE yang berkaitan
dengan faktor genetik. Hal ini mungkin disebabkan karena faktor-faktor genetik tersebut
ditemukan pada pasien yang telah menderita SLE, sehingga tidak diketahui secara pasti
apakah faktor-faktor ini yang menginduksi terjadinya SLE atau sebaliknya diinduksi oleh
penyakit SLE. Dan alasan lain mungkin karena penjelasan SLE begitu rumit sehingga tidak
didapat dipaparkan secara singkat dan jelas pada buku-buku yang beredar.
2. Faktor Hormonal
Ada beberapa hormon yang terlibat pada penyekit SLE, yaitu hormon seks, Aksis
Hipotalamo-Pitutary-Adrenal (HPA), dan hormon sel lemak (Adipocyte-derived Hormone).
Akan tetapi, berdasarkan penelitian faktor hormon seks merupakan faktor yang sangat
menonjol pada perkembangan angka kejadian penyakit.
SLE lebih sering menyerang perempuan pada usia produktif. Perempuan dengan SLE
mempunyai konsentrasi androgen plasma yang rendah, termasuk testosterone,
dehidrotestosteron, dehidroepiandrosteron (DHEA), dan dehidroepiandrosteron sulfat
(DHEAS). Konsentrasi testosterone plasma yang rendah juga ditemukan pada penderita SLE
laki-laki yang disertai dengan meningkatnya konsentrasi LH (Luteinising Hormon). Jadi
estrogen yang berlebihan dengan aktivitas hormon androgen yang tidak adekuat pada laki-laki
maupun perempuan, mungkin bertanggungjawab terhadap perubahan respon imun.2,10
Estrogen memfasilitasi respon imun humoral dengan meningkatkan proliferasi sel B dan
produksi antibodi. Estrogen dosis tinggi menghambat respon sel T, seperti proliferasi dan
produksi IL-2. Testosteron menurunkan produksi imunoglobulin sel-sel darah mononuklear
perifer, baik pada subyek sehat maupun penderita SLE.2,10 DHEA meningkatkan respon imun
Th1 dan menghambat respon Th2. Efek yang bertentangan dari estrogen dan androgen pada
sistem imun dan juga ketidakseimbangan aktivitas estrogenik dan androgenik pada penderita
SLE , bisa membantu menerangkan kelainan imun yang tampak pada penyakit ini.
17
3. Autoantibodi
Sistemik Lupus Eritematosus merupakan penyakit karena gangguan imunologis yaitu
adanya autoantibodi. Autoantibodi ini ditujukan kepada self molecules yang terdapat pada
nukleus, sitoplasma, permukaan sel, dan juga terhadap molekul terlarut seperti IgG dan faktor
koagulasi.2,10
Antibodi yang paling banyak ditemukan adalah antibody anti-nuclear (ANA). Anti-double
stranded DNA (anti ds-DNA) dan anti-Sm antibodi merupakan antibodi yang spesifik pada
SLE. Titer antibodi anti-DNA sering kali berubah sesuai dengan waktu dan aktivitas
penyakit, sedangkan titer antibodi anti-Sm biasanya konstan.2,10
Antibodi anti-DNA pada umumnya berhubungan dengan adanya glomerulonefritis. Akan
tetapi hal ini tidak ditemukan pada semua penderita SLE. Kadang antibodi anti-DNA titernya
tinggi, tetapi tidak ada keterlibatan ginjal, begitu juga sebaliknya ketika terdapat keterlibatan
ginjal, tetapi antibodi anti-DNA tidak ditemukan. Keterlibatan ini didukung dengan adanya
bukti-bukti sebagai berikut.
1. Pada penelitian didapatkan bahwa sebagian besar pasien SLE dengan nefritis
menunjukan peningkatan titer anti-DNA dan penurunan nilai total komplemen
hemolitik.
2. Kompleks imun yang mengandung antibodi anti-DNA suka mengendap di ginjal dan
merupakan mediator inflamasi utama. Akan tetapi keberadaan kompleks imun pada
sirkulasi sulit dideteksi oleh karena dalam serum konsentrasinya rendah.
Kemungkinan deposisi kompleks imun pada tempat-tempat lain juga ditunjukan
dengan seringnya didapat hubungan antara hipokomplemenemia dengan tanda-tanda
vaskulitis pada penderita SLE.
Antibodi terhadap reseptor N-methyl-D-aspartate (NMDA) mungkin berperan dalam
sistem susunan saraf pusat dari SLE. NMDA adalah asam amino excitatory yang dikeluarkan
oleh sel saraf. Penelitian yang dilakukan oleh Kawal dkk mendapatkan serum penderita SLE
yang mengandung antibodi DNA dan reseptor NMDA menyebabkan gangguan kognitif dan
18
kerusakan hipokampus jika disuntikan secara intravena kepada tikus.2,10 Mereka juga
menemukan antibodi anti-reseptor NMDA pada jaringan otak penderita lupus serebral.
Baik antibodi anti-Ro dan anti-nukleosom berperan dalam lupus kutaneus. Antibodi anti-
Ro berhubungan dengan peningkatan resiko ruam fotosensitif, sedangkan anti-nukleosom
ditemukan dalam jaringan biopsi kulit, pada sebagian kecil penderita dengan nefritis lupus
aktif tanpa ruam pada kulit.
Autoantibodi yang merusak sel darah merah dan trombosit berperan dalam kejadian
anemia hemolitik dan trombositopenia pada penderita lupus. Pujo dkk mendapatkan adanya
korelasi kuat antara trombositopenia dengan antibodi anti-trombosit.
Aktivasi sel T dan sel B membutuhkan stimulasi gen yang spesifik. Self antigen seperti
kompleks protein-DNA dan protein-RNA dapat menginduksi produksi autoantibodi.
Pada penderita SLE terjadi ketidaksempurnaan pembersihan kompleks imun oleh sel
fagositik karena adanya penurunan jumlah komplemen CR1 dan defek pada fungsi reseptor
permukaan sel. Pembersihan tidak sempurna ini mungkin juga akibat tidak adekuatnya
fagositosis kompleks imun yang mengandung IgG2 dan IgG3. Polimorfisme dari alel reseptor
IgG (FcR) juga berperan. Beberapa alel polimorfik seperti FcRIIA dan FcRIIIA
berhubungan dengan rendahnya kemampuan mengikat bagian Fc dari IgG2 dan IgG3
sehingga tidak mampu membersihkan kompleks imun.
Pada SLE fagositosis sel-sel apoptosis juga mengalami gangguan. Menetapnya sisa-sisa
apoptosis pada sirkulasi merupakan imunogen yang akan menginduksi autoreaktif sel limfosit
dan sebagai antigen untuk membentuk kompleks imun.
Aktivitas supresi dari sel T supresor CD8+ dan sel NK terhadap aktivitas sel B mengalami
gangguan, dimana mereka tidak mampu melakukan downregulating sintesis imunoglobulin
poliklonal dan produksi antibodi.2,10 Menetapnya penyakit SLE merupakan penyebab dari
gangguan supresi sel B. Pada orang sehat produksi antibodi yang berlebihan dicegah oleh
jaringan idiotip (idiotype network), sedangkan pada penderita SLE jaringan ini terganggu
sehingga terjadi disregulasi produksi antibodi.
19
4. Faktor Lingkungan
Beberapa faktor lingkungan dapat juga diduga sebagai faktor penyebab SLE, yaitu:
- Agen infeksi seperti Eipstein-Barr (EBV) mungkin menginduksi respon spesifik
melalui kemiripan molecular (molecular mimicry).
- Toksin atau obat-obatan memodifikasi respon seluler dan imunogenisitas dari self
antigen.
- Agen fisik/kimia seperti sinar ultraviolet (UV) dapat menyebabkan inflamasi, memicu
apoptosis sel, dan menyebabkan kerusakan jaringan. Ditemukan bukti bahwa sinar
UV dapat mengubah struktur DNA yang menyebabkan terbentuknya autoantibodi.
Sinar UV juga bisa menginduksi apoptosis keratinosit manusia yang menghasilkan
blebs nuklear dan autoantigen sitoplasmik pada permukaan sel.2,10
- Penggunaan estrogen pada perempuan postmenopause dan untuk kepentingan
kontrasepsi.
Gejala Klinis
Manifestasi klinis penyakit ini sangat berperan dan seringkali pada kedaan awal tidak
dikenali sebgai SLE. Hal ini dapat terjadi karena manifetasi klinik penyakit SLE ini seringkali
tidak terjadi secara bersamaan. Seseorang dapat saja selama beberapa lama mengeluhkan nyeri
sendi yang berpidah-pindah tanpa adanya keluhan lain. Kemudiaan diikuyi oleh manifestasi
klinis lainnya seperti fotosensitivitas dan sebagainya yang pada akhirnya akan memenuhi kriteia
SLE. Gambaran klinis keterlibatan sendi atau muskuloskletal dijumpai pada 90% kasus SLE,
walaupun arthritis sebagai manfestasi awal hanya dijumpai pada 55 % kasus.2
Gejala konstitusional pada penyakit SLE :2,7
Kelelahan
Kelelahan merupakan keluhan umum dijumpai pada penderitas SLE dan biasanya
mendahului berbagai manifestasi klinis lainnya. Kelelahan ini aak sulit dinilasi karena
banyak kondisi lain yang dapat menyebabkan kelelahan seperti adanya anemia,
meningkatnya beban kerja, konflik kejiwaan, serta pemakaian obat prednison. Kelelahan
ini dapat diukur dengan menggunakan Profile of Mood States dan tes toleransi latihan.
20
Apabila kelelahan disebabkan oleh akifitas penyakit SLE ini maka diperlukan
pemeriksaan penunjang lainnya yaitu kadar C3 serum yang rendah. Kelelahan akibat
penyakit ini memberikan respons terhadap pemberian steroid atau latihan.
Peurunan berat badan
Keluhan ini dijumpai pada penderita SLE dan terjadi dalam beberapa bulan sebelum
diagnosis ditegakkan. Penurunan berat badan disebabkan oleh menurunnya nafsu makan
atau diakibatkan gejala gastrointestinal
Demam
Demam sebagai salah satu gejala konstitusional sulit dibedakan dari sebab lain seperti
infeksi, karena suhu tubuh dapat lebih dari 40C tanpa adanya bukti infeksi lain seperti
leukositosis. Demam akibat LES biasanya tidak disetai mengigil.
Lain-lain
Gejala-gejala lain yang sering dijumpai pada penderita SLE dapet terjadi sebelum atau
seiring dengan aktifitas penyakitnya yaitu rambut rontok, hilangnya nafsu makan,
pembesaran kelenjar getah bening, bengkak, sakit kepala, mual dan muntah.
Manifestasi muskuloskeletal
Keluhan muskuloskeletal yag sering dijumpai pada SL >90%, keluhan dapat berupa
mialgia, nyeri sendi (arthalgia) atau merupakan suatu arthritis simana tampak jelas bukti
inflamasi sendi. Polymyositis, skelroderma atau manifestasi klinis penyakit-penyakit
tersebut merupakan bgaian gejala klinis SLE.
Manifestasi kulit
Lesi muco-cutaneus yang tampak sebagai bagian SLE dapat berupa reaksi fotosensitifitas,
diskoid LE( DLE), lupus profundus/peniculitis, alopecia, lesi vasculer berupa ertitema
peringual, livedo reticularis, telengiectasia, fenomena reynaud’s atau vaskulitis atau
bercak berwarna putih perak dan dapaat berupa bercak eritema pada palatum mole dan
durum, bercak atrofis, eritema atau depigmentasi bibir.
21
Gambar 1. Manifestasi kulit pada penderita SLE11
Manifestasi Paru
Manifestasi klinis pada paru dapat terjadi peradangan intersitial parenkim paru, emboli
paru, hipertensi pulmonum, perdarahan paru, atau shrinking lung syndrome. Pneumonitis
lupus dapat terjadi secara akut sampai kronik. Biasanya penderita akan merasa sesak,
batuk kering dan dijumpai ronkhi di basal. Keadaan ini sebagai akibat deposisi kompleks
imun pada alveolus atau pembuluh darah paru, baik disertai vaskulitis atau tidak.
Pneumonitis lupus ini memberikan respon yang baik dengan pemberian steroid.
Manifestasi Cardiologi
Pericardium, miokardium, endokardium atau[in pembuluh darah coroner dapat
terlibat pada penderita SLE, walaupun yang paling banyak terkena adalah pericardium.
Perikarditis harus dicuragai jika dijumpai adanya keluhan nyeri substernal, frition rub,
gambaran silhouette sign foto dada, atupu melalui gambaran EKG, Echokardiografi.
Apabila dijumpai adanya aritmia atau gangguan konduksi, kardiomegali bahkan
takikardia yang tidak jelas penyebabnya, maka kecurigaan adanya miokarditis perlu
dibuktikan lebih lanjut. Valvulitis, gangguan konduksi serta hipertensi merupakan
komplikasi lain yang sering ditemukan pada penderita jantung SLE. Manifestasi yang
paling sering dijumpai adalah bising jantung sistolik dan diastolic.
Manifestasi Renal
22
Kertelibatan ginjal dijumpai pada 40-75% penderita yang sebagian besar setelah 5
tahun menderita SLE. Rasio wanita : pria dengan kelainan ini adalah 10 : 1, dengan
puncak insidensi anatara20-30 tahun. Gejala atau tanda keterlibatan renal pada umumnya
tidak tamoak sebelum terjadi kegagalan ginjal atau sindroma nefrotik. Pemeriksaan
terhadap protein uron >500mg/24 jam atau 3+ semi kwantitatif, adanya cetakan granuler,
hemoglobin, tubuler, eritrosit atau gabungan serta pyuria tanpa bukti adanya infeksiserta
peningkatan kadar serum kreatinin menunjukkan adanya keterlibatan ginjal pada
penderita SLE., namun dengan biopsy maka akan diterima data yang lebih akurat. Namun
demikian adanya proteinuria, piuria serta buruknya beersihan kreatinin dapat disebakan
oleh sebab lain berupa infeksi, glomerulonefritis, efek toksik obat pada ginjal.
Manifestasi Gastrointestinal
Manifestasi gastrointestinal tidak spesifik terhadap penderita SLE, karena dapat
merupakan cerminan keterlibatan berbagai organ pada penyakit ini atau sbagai akibat
pengobatan. Secra klinis tampak adanya keluhan penyakit pada esophagus, mesenteric
vasculitis, inflammatory bowel disease (IBS), pankreastitis dan penyakit hati. Vasculitis
yang terjadi di daerah mesentrik perlu mendapat perhatian yang besar karena, walaupun
jarang dapat mengakibatkan perforasi usus atau colon yang berakibat fatal. Keluhan
ditandai dengan nyeri didaerah abdominal bawah yang hilang timbul dalam periode
beberapa minggu atau bulan. Pembuktiannya dilakukan dengan arteriografi. Pancreatitis
akut pada sekitar 8% penderita SLE, keluhan ditandai dengan adanya nyeri abdominal
bagian atas disertai mual dan muntah serta peningkatan amylase. Sampai saat ini
penyebabnya masih dipertanyakan apakah memang karena SLE atau karna obat-obat yang
dapat menyebabkan pancreatitis. Hepatomegali merupakan pembesaran organ yang
banyak dijumpai pada SLE, disertai dengan peningkatan serum SGOT/SGPT atau
fosfatase alkali dan LDH. Kelainan iniberhubungan dengan penggunanan AINS (anti
inflamatsi non-steroid) .
Manifestasi neuropsikiatrik
Keterlibatan neuropsikiatrik akibat SLE sulit ditegakan karena gambaran klinis yang
begitu luas. Kelainan ini dikelompokan menjadi kelaianan psikatrik dan neurologic.
Pembuktian adanya keterlibatan susunan saraf pusat tidak terlalu banyak membantu
23
proses penegakkan diagnosis ini. Dapat dijumpai kelainan EKG, namun tidak spesifik.
Pada cairan serebrospinal ditemukan kadar C4 rendah, peningakatan IgG, IgA, IgM,
peningakatan jumlah sel, kadar protein atau penurunan kadar glukosa. Keterliabatan
susunan saraf pusat dapat bermanifestasi sebagai epilepsy, hemiparesis, lesi saraf cranial,
lesi batang otak, meningitis aseptic atau myelitis transversal. Sedangkan pada susunan
saraf perifer akan ditemukan neuropati perifer, myasthenia gravis atau mononeuritis
multiplex. Dari sei psikiatrik, gangguan fungsi mental dapat bersifat organic dan non-
organik.
Manifestasi hemik-limfatik
Limfadenopati baik menyeluruh ataupun terlokalisir sering dijumpai pada penderita
SLE ini. Kelenjar getah bening yang paling sering terkena adalah aksila, servikal, dengan
karakteristik tidak nyeri tekan, lunak dengan ukuran bervariasi sampai 3-4cm. organ
limfoid yang biasanya sering ditemui pada penderita SLE adlah splenomegali yang
biasanya disertai pembesaran hati. Kerusakan lien berupa infark atau thrombosis
berkairan dengan adanya lupus antikoagulan, bahkan dilaporkan pernah adanya rupture
arteri lienalis walaupun tidak dijumpai bukti vaskulitis. Anemia dapat dijumpai pada
suatu periode dalam perkembangan penyakit ini. Diklasifikasikan sebagai anemia yang
diperantai proses imun dan non-imun. Pada anemia yang bukan diperantarai roses imun
diantaranya berupa anemia karena penyakit kronik, defisiensi besi, sickle cell anemia dan
anemia sideroblastik. Untuk anemia yang diperantarai proses imun dapat bermanifestasi
sebagai pure red cell aplasia, anemia aplastik, anemia hemolitik autoimun dan beberapa
kelainan lain yang dikaitkan dengan proses autoimun seperti anemia pernisiosa, acute
hemophagocytic syndrome.
Penatalakasanaan
Penyuluhan dan intervensi psikososial sangat penting diperhatikan dalam penatalaksanaan
penderita SLE, terutama pada penderita yang baru terdiagnosis. Hal ini dapat dicapai dengan
penyuluhan langsung kepada penderita atau dengan membentuk kelompok penderita yang
bertemu secara berkala untuk membicarakan masalahya penyakitnya.2
24
Pada umumnya, penderita SLE mengalami fotosensitifitas, sehingga penderita harus
selalu diingatkan untuk tidak terlalu banyak terpapar oleh sinar matahari. Mereka dinasehatkan
untuk selalu menggunakan krem pelindung sinar matahari, baju lengan panjang, topi atau payung
bila akan berjalan disiang hari.2
Karena infeksi sering terjadi pada penderita SLEm maka penderita harus selalu diingatkan
bila mengalami demam yang tidak jelas penyebabnya, terutama pada penderita yang memperoleh
kortikosteroid dosis tinggi, obat-obat sitotoksis, penderita dengan gagal ginjal, vegetasi katup
jantung, ulkus dikulit dan mukosa. Profilaksi antibiotika harus dipertimbangkan pada penderitaan
SLE yang akan menjalani prsedur genitourinarius.2
Terapi Konservatif
Arthritis, artralgia, dan mialgia merupakan keluhan yang sering dijumpai pada penderita SLE.
Pada keluhan yang ringan dapat ddiberikan analgesic sederhana atau obat antiinflamasi
nonsteroid. Yang harus diperhatikan pada penggunaan obat-oabt ini adalah efek sampingnya,
agar tidak memberatkan keadaan umum penderita. Efek samping terhadap sistem
gastrointenstinal, hepar, dan ginjal harus diperhatikan, misalnya dengan memeriksa kreatinin
serum secara berkala. Bila analgsik dan obat antiinflamasi non steroid tidak memberikan respon
yang baik, dapat dipertimbangkan pemberian obat antimalaria, misalnya hidroksiklorokuin 400
mg/hari. Bila dalam 6 bulan, bat ini tidak memberikan efek yang baik, harus segera di stop. Pada
beberapa penderita yang tidak menunjukkan respon adekuat dengan analgesic atau obat anti-
inflamasi non-steroid atau obat anti malaria, dapat dipertimbangkan pemberian kortikosteroid
dosis rendah, dengan dosis tidak lebih dari 15 mg setiap pagi 2
Lupus kutaneus, sekitar 70% penderita SLE akan mengalami fotosensitifitas. Eksaserbasi akut
SLE dapat timbul bila penderita terpapar oleh sinar ultraviolet, sinar infamerah, panas, dan
kadang-kadang juga sinar fluoresensi. Penderita fotosensitifitas harus berlindung terhadap
paparan sinar-sinar tersebut dengan menggunakan baju pelindung, kaca jendela yang digelapkan,
menghindari paparan langsung sunscreen. Sebagian besar sunscreen berupa krem, minyak, lotio
atau gel yang mengandung PABA dan esternya, benzofenon, salisilat dan sinamat yang dapat
menyerap sinar ultraviolet A dan B. Sunscreen ini harus selalu dipakai setelah mandi atau bila
berkeringat.2
25
Fatigue dan keluhan sistemik. Fatigue merupakan keluhan yang sering didapatkan pada
penderita SLE, demikian juga penurunan berat badan dan demam. Fatigue juga dapat timbul
akibat teraoi glukokortikoid, sedangkan penurunan berat badan dan fever dapat juga diakibatkan
oleh pemberian quinarkin. Pada keadaan yang berat dapat menunjukkan peningkatan aktifitas
SLE dan pemberian glukokortikoid seistemik dapat dipertimbangkan.2
Serositis, nyeri dada dan nyeri abdomen pada penderita SLE dapat merupakan tanda serositis.
Pada beberapa penderita, keadaan ini dapat diatasi dengan salisilat, oabt antiinflamasi non-
steroid, antimalriaatau glukokortikoid dosis rendah (15 mg/hari). Pada keadaan yang berat harus
diberikan glukokortikoid sistemik untuk mengontrol penyakitnya.2
Terapi Agresif
Terapi agresif dapat dimulai dengan pemberian glukokortikoid dosis tinggi harus segera
dimulai bila timbul manifestasi serius SLE yang mengancam nyawa. Dosis glukokortikoid sangat
penting diperhatikan dibandingkan jenis yang akan diberikan. Walaupun demikian, pemberian
glukokortikoid berefek panjang seperti deksametason sebaiknya dihindari. Pemberian prednisone
lebih banyak disukai karena lebih mudah mengatur dosisnya. Pemberian glukokortikoid oral
sebaiknya diberikan dalam dosis tunggal pada pagi hari. pada manifestasi minor SLE, seperti
arthritis, serositis dan gejala konstitusional, dapat diberikan prednisone 0,5 mg/kgBB/hari,
sedangkan pada manifestasi mayor dan serius dapat diberikan prednisone 1-1,5 mg/kgBB/hari.
Bila dalam waktu 4 minggu setelah pemberian glukokortikoid dosis tinggi tidak
menunjukkan perbaikan yang nyata, maka dipertimbangkan untuk memberikan imunosupresan
lain atau terapi agresif lainnya.
Terapi lain yang masih dalam taraf penelitian adalah terapi hormonal, immunoglobulin, dan
afaresis (plamafaresis, lekofaresis, dan kriofaresis). Salah satu terapi hormonal yang banyak
digunakan adalah danazol, suatu androgen yang bermanfaat untuk mengatasi trombositopenia
pada SLE.
26
Tabel 1. Jenis dan Dosis Obat Imunosupresan dan Sitotoksik yang Dapat Dipakai pada SLE2
Pemberian immunoglobulin intravena juga berguna untuk mengatasi trombositopeniadengan
dosis 300-400 mg/kgBB/hari, diberikan lima hari berturut-turut, diikuti dosis pemeliharaan setiap
bulan untuk mencegah kekambuhan. kontrindikasi mutlak pada penderita defisiensi IgA yang
kadang-kadang ditemukan pada penderita SLE.2
Komplikasi
Gagal ginjal adalah penyebab tersering kematian pada penderita LES. Gagal ginjal dapat
terjadi akibat deposit kompleks antibodi-antigen pada glomerulus disertai pengaktifan
komplemen resultan yang menyebabkan cedera sel, suatu contoh reaksi hipersensitivitas
tipe III.
27
Dapat terjadi perikarditis (peradangan kantong perikardium yang mengelilingi jantung)
Peradangan membran pleura yang mengelilingi paru dan dapat membatasi pernapasan.
Sering terjadi bronkitis
Dapat terjadi vaskulitis di semua pembuluh serebrum dan perifer.
Komplikasi susunan saraf pusat termasuk stroke dan kejang. Perubahan kepribadian,
termasuk psikosis dan depresi, dapat terjadi. Perubahan kepribadian mungkin berkaitan
dengan terapi obat atau penyakitnya.9
Prognosis
Angka harapan hidup 5 tahun secara keseluruhan adalah 85-88%. Penyebab utama
kematian pada SLE adalah : infeksi, nefritis lupus, dan konsekuensi gaga ginjal (termasuk akibat
terapi), penyakit kardiovaskular (sehingga faktorresiko konvensional harus dikontrol secara
ketat), dan lupus SSP. Keterlibatan organ akhir sangat berbeda antara satu pasien dengan pasien
yang lain. Penyakit ginjal merupakan indicator prognosis yang paling buruk pada SLE dan oleh
karenanya titer antibody pengikat DNA positif dan-atau meningkat, yang berkaitan dengan
keterlibatan ginjal, dikaitkan dengan prognosis yang lebih buruk.12
Pencegahan
Pencegahan terhadap penyakit SLE secara spesifik tidak ada, hanya saja kita dapat
menghindari faktor-faktor yang mungkin dapat menginduksi terjadinya SLE, seperti:
- Hindari paparan berlebihan dari sinar matahari (sinar UV)
- Hindari pemakaian estrogen berlebihan
- Meminimalisasi konsumsi obat-obatan tanpa resep dan pemantauan dari dokter.
- Hindari stress fisik maupun mental yang berlebihan.
- Makan makanan yang bersih dan sehat.
Epidemiologi
Dalam 30 tahun terakhir, SLE menjadi salah satu penyakit reumatik utama di dunia.
Prevalensi SLE di berbagai negara bervariasi. Prevalensi pada berbagai populasi berbeda-beda,
bervariasi antara 2,9/100.000 – 400/100.000. SLE lebih sering ditemukan pada ras tertentu seperti
28
bangsa negro, Cina, dan mungkin juga Filipina. Terdapat juga tendensi familial. Faktor ekonomi
dan geografi tidak mempengaruhi distribusi penyakit. Penyakit ini dapat ditemukan pada semua
usia, tetapi paling banyak pada usia 15-40 tahun (masa reproduksi). Frekuensi pada wanita
dibandingkan pada pria berkisar antara 5,5-9 : 1.2
Kesimpulan
Sistemik lupus eritematosus merupakan penyakit yang penyebabnya sampai saat ini
belum diketahui secara pasti. Terdapat interaksi yang kompleks dan multifaktor antara variasi
genetik dan faktor lingkungan. Banyak gen yang berkontribusi pada penyakit ini. Gangguan
mekanisme regulasi imun seperti gangguan pembersihan sel apoptosis dan kompleks imun
merupakan kontributor penting dalam perkembangan penyakit. Penanganan yang tepat dan dini
dapat memberikan prognosis yang baik. Pencegahan dapat dilakukan dengan menghindari atau
mengurangi faktor-faktor yang dapat menginduksi SLE.
29
Daftar Pustaka
1. Gleade J. At a glance anamnesis dan pemeriksaan fisik. Jakarta : Erlangga. 2007. h.40-41
2. Sudoyono, Setiyohadi B, Alwi I, Simadibrata MK, Setiati S, editor. Ilmu penyakit dalam.
Edisi ke-5 (3). Jakarta: InternalPublishing; 2009. h. 2495-513 ; 2538-49 ; 2556-60; 2565-
79
3. Gottlieb BS, Ilowite NT. Systemic lupus erythematosus in children and adolescents.
Pediatrics in Review 2006; 27:323-9
4. Kosasih EN, Kosasih ES. Tafsiran hasi pemeriksaan laboratorium klinik. Tangerang:
Karisma publishing group, 2008.h. 58-62, 200-12.
5. Anderson SP, McCarty LW. Patofisiologi : konsep klinis proses-proses penyakit. Jakarta :
EGC. 2006. h. 13920-6
6. Yuliasih, Soeroso J. Buku ajar ilmu penyakit dalam. Sistemik lupus eritomatosus. Editor,
Tjokroprawiro dkk. Surabaya: Airlangga University Press; 2007.h.235-41.
7. Price SA, Wilson LM. Patofisiologi. Jilid 1. Ed 6. Jakarta: EGC; 2006.h.1392-6
8. Myers SA, Mary HA. Cutaneous manifestation of lupus: can you recognize them all ?
Women’s Health in Primary Care. Vol 4 No 1. 2001.
9. Corwin E.J. Buku saku patofisiologi. Jakarta: EGC; 2009. h. 167-9, 347-8.
10. Kasjmir YI, Isbagio H, Setyohadi B, Suarjana N. Buku ajar ilmu penyakit dalam. Lupus
eritematosus sistemik. Edisi V. Jilid III. Jakarta Pusat: InternaPublishing; 2010.h.2565-77
11. Bartels CM. Systemic Lupus Erythematosus. Medscape. 18 Januari 2012. Diunduh 17
Maret 2012. http://emedicine.medscape.com/article/332244-overview#a0104
12. Davey P. Medicine at a glance, Jakarta : Erlangga; 2003.
30