Makalah Pleno Blok 14

44
Manifestasi Muskuloskeletal pada Lupus Erithematosus Sistemik Kelompok F6 Andrean Linata (102010063) Ivani Yunita Korwa (102010085) Shynthia (102010147) Steven Martin (102010195) Metta (102010204) Steven Alexander Grean Tekwan (102010288) Fransiska Ayu Kristanty (102010313) Nur Atikah Binti Aminudin (102010372) FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS KRISTEN KRIDA WACANA 1

description

abcd

Transcript of Makalah Pleno Blok 14

Page 1: Makalah Pleno Blok 14

Manifestasi Muskuloskeletal pada Lupus Erithematosus

Sistemik

Kelompok F6

Andrean Linata (102010063)

Ivani Yunita Korwa (102010085)

Shynthia (102010147)

Steven Martin (102010195)

Metta (102010204)

Steven Alexander Grean Tekwan (102010288)

Fransiska Ayu Kristanty (102010313)

Nur Atikah Binti Aminudin (102010372)

FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS KRISTEN KRIDA WACANA

Jalan Terusan Arjuna no. 6

Jakarta Barat

11510

1

Page 2: Makalah Pleno Blok 14

KATA PENGANTAR

Puji dan syukur kami panjatkan kepada Tuhan yang Maha Esa karena berkat

anugerahNya kami dapat menyelesaikan makalah ini dengan tepat waktu. Makalah kami kali ini

berjudul “Manifestasi Musculoskeletal pada Lupus Erithematosus Sistemik”.

Pada kesempatan ini, kami juga tidak lupa untuk mengucapkan terima kasih yang sebesar-

besarnya kepada dr. Surjadi Sujana, SpRad; dr. Richard Kosasih SpPk; dr. Yasavati Kurnia Nah,

MS; dr. Ika Wulan Yuliani,SpPD; dr. Wiwi Kertadjaja, MS, MPd.Ked; dr. Hendradi Khumarga

SpOT, FICS; dr. Kusmedi Prihartono, SpOT, FICS, FAPOA, MMRS; dr. DR Mardi Santoso,

SpPD-KEMD, DTMH&H, FINASIM, FACE, yang telah membimbing kami dalam proses

pembuatan makalah ini. Serta kepada dr. Irwandy yang telah memberi kami kesempatan untuk

membuat makalah ini sehingga kami dapat menambah wawasan dan pengetahuan kami

khususnya dalam mata kuliah sistem urogenital.

Di dalam kamus Indonesia telah dikatakan bahwa “tak ada gading yang tak retak”. Kami

sadar kami dapat melakukan kesalahan. Oleh karena itu, dengan segala kerendahan hati kami

sangat mengharapkan saran dan kritik dari pembaca guna pembuatan makalah kami yang

berikutnya.

Akhir kata, kami mengucapkan terima kasih. Semoga makalah ini dapat berguna dan bermanfaat

bagi para pembaca.

Jakarta, 20 Maret 2012

Penulis

2

Page 3: Makalah Pleno Blok 14

DAFTAR ISI

Kata Pengantar ..............................................................................................................2

Daftar Isi ........................................................................................................................3

Pendahuluan....................................................................................................................4

Isi

A. Anamnesis.....................................................................................................7

B. Pemeriksaan Fisik.........................................................................................8

C. Pemeriksaan Penunjang................................................................................9

D. Working Diagnosis........................................................................................11

E. Different Diagnosis.......................................................................................13

F. Etiologi dan Patofisiologi..............................................................................16

G. Gejala Klinis..................................................................................................20

H. Penatalaksanaan............................................................................................25

I. Komplikasi....................................................................................................28

J. Prognosis.......................................................................................................28

K. Pencegahan....................................................................................................28

L. Epidemologi..................................................................................................29

Kesimpulan.....................................................................................................................30

Daftar Pustaka.................................................................................................................31

3

Page 4: Makalah Pleno Blok 14

BAB I

PENDAHULUAN

Kehidupan sehari-hari tidaklah lepas dari bergerak, manusia harus bergerak untuk

melakukan pekerjaan. Untuk melakukan suatu pekerjaan maka manusia membutuhkan tangan

dan kaki sehingga bisa melakukannya. Tangan dan kaki berperan penting dalam kehidupan

sehari-hari, tangan dan kaki tersusun atas tulang, sendi, otot, tendon yang saling bekerja sama

untuk melakukan gerak. Tulang, sendi, otot, tendon termasuk dalam system musculoskeletal

yang apabila mengalami kelainan atau gangguan maka akan menyebabkan manusia untuk susah

bergerak.

Gangguan musculoskeletal adalah penyakit yang paling sering menyebabkan rasa nyeri.

Manifestasi rasa nyeri bisa saja menyerang beberapa bagian tubuh atau hanya satu bagian tubuh

saja. Gangguan musculoskeletal bisa menyerang semua usia, tak perduli tua atau muda, wanita

ataupun pria. Rasa nyeri yang dialami pada penyakit musculoskeletal bisa disebabkan karena

adanya inflamasi atau peradangan. Tanda-tanda peradangan bisa dilihat dengan melihat adanya

kalor atau panas, rubor, dolor, tumor dan gangguan fungsi.

Lupus erithematosus sistemik atau sistemik lupus erithematosus adalah salah satu

penyakit autoimun yang mempunyai manifestasi pada musculoskeletal. Sistemik lupus

eritematosus (SLE) merupakan penyakit autoimun yang mempunyai latar belakang kelainan

multigenetik dan tercetus karena berinteraksi dengan berbagai faktor lingkungan.

Untuk mengetahui lebih lanjut mengenai hubungan anatara gangguan musculoskeletal

dengan penyakit SLE, dalam pembahasan akan dijelaskan mengenai cara pemeriksaan pada

penyakit SLE, working diagnosis, different diagnosis, etiologi, patofisiologi, gejala klinis,

penatalaksanaan, komplikasi, prognosis, pencegahan dan epidemiologi dari penyakit tersebut.

4

Page 5: Makalah Pleno Blok 14

1. Skenario

Seorang wanita berusia 22 tahun datang ke poliklinik dengan keluhan merasa lemah sejak

3 bulan yang lalu. Pasien mengatakan sejak 2 bulan yang lalu sering mengalami nyeri

pada kedua jari tangan serta kaku pada pagi hari. Rambut pasien juga terasa banyak

rontok sejak 2 bulan yang lalu. Pasien juga mengatakan wajahnya seringkali memerah

bila sebentar saja terpapar sinar matahari padahal sudah memakai payung saat aktivitas di

luar ruangan. BB tidak menurun. Badan terasa hangat hilang timbul. KU: tampak nyeri

sakit ringan, kesadaran kompos mentis, tekanan darah: 110/70 mmHg, denyut nadi

82x/menit, frekuensi nafas 18x/menit, suhu 37C. Pemeriksaan fisik: konjungtiva anemis,

sklera ikterik -/-. Leher: KGB tampak tidak membesar. Cor, pulmo, abdomen dalam batas

normal. Status lokalis: Manus dextra: phalanx proksimal digiti II – IV, nyeri gerak (+),

nyeri tekan (+), oedem (-), kalor (-). Manus sinistra: phalanx proksimal digiti II – IV,

nyeri gerak (+), nyeri tekan (+), oedem (-), kalor (-).

2. Identifikasi istilah yang tidak di mengerti

-

3. Rumusan masalah

1. Wanita usia 22 tahun

2. Merasa lemah sejak 3 bulan lalu

3. Nyeri pada jari-jari tangan, kaku pada pagi hari

4. Rambut rontok sejak 2 bulan

5. Wajah memerah bila terpapar sinar matahari

6. Badan terasa hangat hilang timbul

5

Page 6: Makalah Pleno Blok 14

4. Mind Mapping

BAB II6

Wanita 22 tahun, lemah, nyeri jari-jari kedua tangan, kaku, rambut rontok, wajah memerah, dan

badan terasa hangat

Anamnesis

Pemeriksaan

Fisik Penunjang

Working Diagnosis

Different Diagnosis

Etiologi

Patofisiologi

Gejala KlinisPenatalaksanaan

KomplikasiPrognosisPencegahan

Epidemiologi

Page 7: Makalah Pleno Blok 14

PEMBAHASAN

Anamnesis

Identitas : Seorang wanita berumur 22 tahun.

Keluhan utama : Merasa lemah sejak 3 bulan yang lalu.

Riwayat penyakit sekarang : Sejak 2 bulan sering nyeri pada kedua jari tangan serta kaku

pada pagi hari. Rambut banyak rontok sejak 2 bulan yang

lalu. Wajah memerah bila terkena sinar matahari. Berat badan

tidak menurun. Badan terasa hangat hilang timbul.

Riwayat penyakit dahulu : -

Riwayat pribadi : -

Riwayat keluarga : -

Riwayat sosial : -

Selain keluhan yang telah diutarakan pasien, beberapa hal berikut penting ditanyakan

untuk menegakan diagnosis.

- Mengetahui identitas pasien yang meliputi umur, jenis kelamin, pekerjaan. Hal ini penting

karena penyakit yang berhubungan dengan musculoskeletal berkaitan dengan faktor-faktor

diatas.

- Keluhan utama

- Jika ada nyeri, tanyakan lokasi spesifik nyeri, sejak kapan, intensitas, dan waktu serangan.

- Kemungkinan adanya faktor pencetus (seperti makanan, aktivitas, obat, dll)

- Perkembangan/perburukan penyakit (contoh: sudah pernah minum obat atau belum? Kalau

sudah, bagaimana hasilnya?)

- Keluhan penyerta (seperti panas, mual, pusing, dll).

7

Page 8: Makalah Pleno Blok 14

- Riwayat penyakit dahulu (contoh: apakah dulu juga pernah sakit seperti ini? Atau ada trauma

di bagian tubuh yang sakit?).

- Riwayat pribadi pasien (seperti kebiasaan makan, merokok, alkohol, dll).

- Riwayat sosial pasien (seperti lingkungan tempat tinggal, sosial ekonomi, pekerjaan)

Pemeriksaan Fisik

Umum

Pemeriksaan fisik umum yang dilakukan adalah:

1. Pemeriksaan keadaan umum pasien (kesadaran, kondisi fisik pasien)

2. Tanda-tanda vital (tekanan darah, suhu, denyut nadi, frekuensi nafas)

Berdasarkan pemeriksaan fisik umum didapatkan:

- Keadaan umum: tampak nyeri sakit ringan, kesadaran kompos mentis.

- Tanda-tanda vital

Tekanan darah : 110/70 mmHg

Denyut nadi : 82x/menit

Frekuensi nafas : 18x/menit

Suhu : 37C

- Konjungtiva anemis, sklera ikterik -/-. Kelenjar getah bening tampak tidak

membesar. Cor, pulmo, abdomen dalam batas normal.

Khusus

Pemeriksaan fisik pada pasien muskuloskeletal biasanya yang dilihat adalah kelainan

berikut: deformitas, nyeri tekan, pembengkakan, panas, dan disfunctio laesa. Untuk

mengetahui kelainan tersebut pemeriksaan yang dilakukan adalah:1

1. Inspeksi (look)

Pada tahap ini dilakukan pemeriksaan dengan melihat secara umum dan khusus. Melihat

secara keseluruhan dan postur jalan pasien. Kemudian, melihat lebih teliti pada bagian

lokal yang dikeluhkan oleh pasien. Dilihat apakah ada deformitas dan pembengkakan atau

kulit memerah.

8

Page 9: Makalah Pleno Blok 14

2. Palpasi (feel)

Pada pemeriksaan ini dilakukan dengan cara memegang dan menekan bagian-bagian

tertentu. Dirasakan apakah ada nyeri tekan, pembengkakan, panas, dan deformitas

3. Gerak (move)

Pada pemeriksaan gerak, kita melihat gerakan-gerakan pada pasien baik gerak yang

secara aktif maupun pasif. Kita melihat apakah adanya kelainan gerak dan mengganggu

pada saat pasien melakukan gerakan tersebut.

Pemeriksaan fisik khusus dilakukan untuk melihat/menilai bagian tubuh pasien yang sakit

(contoh: apakah ada bengkak, nyeri tekan, dll).

Berdasarkan pemeriksaan khusus didapatkan:

- Manus dextra: phalanx proksimal digiti II – IV, nyeri gerak (+), nyeri tekan (+),

oedem (-), kalor (-).

- Manus sinistra: phalanx proksimal digiti II – IV, nyeri gerak (+), nyeri tekan (+),

oedem (-), kalor (-).

Pemeriksaan Penunjang

1. Pemeriksaan darah lengkap

Eritosit

Pada 50% penderita SLE, ditemuan adanya anemia. Anemia dalah kadar hemoglobin yang

berkurang.2

Leukosit

Leukopenia : leukosit < 4500/mm3. Keadaan ini ditemukan pada 50% penderita.2

Neutropenia : jumlah netrofil batang dan segmen < 2000/mm3. Neutropenia bisa disebabkan

karena obat-batan, proses imun.3

Limfopenia : penurunan jumlah lumfosit dibawah 1500/mm3. Ditemukan pada 20-75%

penderita.3

9

Page 10: Makalah Pleno Blok 14

Trombosit

Trombositopenia <100.000/mm3 karena terjadi destruksi dari trombosit.2

2. Tes ANA

Tes ini juga yang dikenal sebagai tes ANA, berdasarkan adanya ragam antibody terhadap

komponen INTI yang didapat pada banyak jenis penyakit autoimun. Tes ini sering

dipergunakan sebagai penyaring terhadap penyakit autoimun. Tes didasarkan pada inkubasi

antihuman globulin yang diselubungi dengan zat fluoresen dengan sediaan jaringan dan

kemudian diperiksa di bawah mikroskop fluoresen.4

Tafsiran hasil:

1. Pada keadaan normal FANA negatif. Lima persen penduduk member hasil positif

dengan titer rendah, kurang dari atau sama dengan titer 1/40.

2. Pada LE/SLE didapatkan FANA positif difus (ada anti-DNA) 99%

3. Kurang spesifik dibandingkan dengan tes sel LE yang kini tidak dipergunakan.

4. Positif palsu didapat pada berbagai keadaan/penyakit antara lain: kanker, infeksi kronis

dan pengaruh obat (drug-induced).

3. Antibody dsDNA

Merupakan uji spesifik untuk SLE. Gangguan reumatologi juga menyebabkan tes ANA

positif namun tes anti-DNA jarang ditemukan kecuali pada penderita SLE. 5

4. LED

LED pada penyakit SLE biasanya meningkat. Ini merupakan uji non-spesifik hanya untuk

mengukur peradangan.2

5. Uji Faktor LE

Sel LE dibentuk dengan merusak beberapa leukosit pasien sehingga sel-sel tersebut merusak

beberapa leukosit pasien sehingga sel-sel tersebut mengeluarkan nuklearproteinnya. Protein

ini bereaksi dengan IgG dan kompleks ini difagositosis oleh leukosit normal yang masih ada.

Sel LE mudah dikenali, namun sel LE dapat ditemukan pada penyakit golongan reumatik

yang diperantai oleh imunitas. 5

10

Page 11: Makalah Pleno Blok 14

Bekuan darah pasien digerus melalui saringan agar membebaskan nucleoprotein DNA dan

kemudian diinkubasi. Bila ada antibody terhadap DNA, terjadi fagositosis inti neutrofil oleh

sel neutrofil lain (hanya tampak in vitro).4

Tafsiran hasil: Tess el LE merupakan tes yang tertua untuk diagnosis SLE. Pada keadaan

normal tes LE negatif. Tes sel LE positif pada 50% kasus-kasus SLE. Hasil sel LE dapat juga

positif (positf palsu) pada penyakit atau keadaan tertentu (obat methyl-dopa, leukemia,

penyakit kolagen, hepatitis kronis tipe lupoid dan sebagainya). Tes sel LE kini jarang

dipergunakan.4

6. Tes CRP (chain reactive protein)

Pemeriksaan kadar C-reactive protein (CRP) sangat membantu untuk membedakan lupus

aktif dengan infeksi. Pada lupus aktif, kadar CRP normal atau peningkatan tidak

bermakna, sedangkan pada infeksi terdapat peningkatan CRP yang sangat tinggi.6

7. Rontgen

Ditemukan pleuritis dan perikarditis.2

8. Urin

Terdapat hematuria dan proteinuria.2

Working Diagnosis

Sistemik Lupus Eritematosus

Lupus eritematosus sistemik (SLE) adalah suatu penyakit autoimun yang kronik dan

menyerang berbagai sistem dalam tubuh. Tanda dan gejala dari penyakit ini bisa bermacam-

macam, bersifat sementara, dan sulit untuk didiagnosis. Karena itu angka yang pasti tentang

jumlah orang terserang oleh penyakit ini sulit diperolehi. SLE menyerang perempuan kira-kira

delapan kali lebih sering daripada laki-laki. Penyakit ini sering kali dimulai pada akhir masa

remaja atau awal masa dewasa.7

Diagnosis SLE, dapat ditegakkan berdasarkan gambaran klinik dan laboratorium.

American College of Rheumatology (ACR), pada tahun 1982, mengajukkan 11 kriteria untuk

klasifikasi SLE, dimana bila didapatkan 4 kriteria, maka diagnosis SLE dapat ditegakkan.

Kriteria tersebut adalah :2

11

Page 12: Makalah Pleno Blok 14

1. Ruam malar

2. Ruam diskoid

3. Fotosensitifitas

4. Ulserasi di mulut atau nasofaring

5. Atritis

6. Serositis, yaitu pleuritis atau perikarditis

7. Kelainan ginjal, yaitu proteinuria persisten>0,5 gr/hari, atau adalah silinder sel

8. Kelainan neurologik, yaitu kejang-kejag atau psikosis

9. Kelainan hematologik, yaitu anemia hemolitik, atau lekopenia atau limfopenia atau

trombositopenia

10. Kelainan imunologik, yaitu sel LE positif atau anti DNA positif, atau anti Sm positif atau

tes serologik untuk sifilis yang positif palsu

11. Antibodi antinuklear (ANA) positif.

Kecurigaan akan penyakit SLE bila dijumpai 2 (dua) atau lebih keterlibatan organ

sebagaimana tercantum di bawah ini, yaitu :2

1. Jender wanita pada rentang usia reproduksi

2. Gejala konsitusional: kelelahan, demam (tanpa bukti infeksi) dan penurunan berat badan

3. Muskuloskeletal: atritis, atralgia, miositis

4. Kulit: ruam kupu-kupu (butterfly atau malar rash), fotosensitivitas, SLEi membrana

mukosa, alopesia, fenomena Raynaud, purpura, urtikaria, vaskulitis.

5. Ginjal: hematuria, proteinuria, cetakan, sindroma nefrotik

6. Gastrointestinal: mual, muntah, nyeri abdomen

7. Paru-paru: pleurisy, hipertensi pulmonal, SLEi parenkhim paru

8. Jamtung: perikarditis, endokarditis, miokarditis

9. Retikulo-endotel: organomegali (limfadenopati, splenomegali, hepatomegali

10. Hematologi: anemia, leukopenia, dan trombositopenia

11. Neuropsikiatri: psikosis, kejang, sindroma otak organik, mielitis transversa, neuropati

kranial dan perifer.

Klasifikasi Lupus Eritematosus

12

Page 13: Makalah Pleno Blok 14

Menurut Myers SA and Mary HE, lupus eritematosus dibagi ke dalam 4 bagian besar, yaitu:8

1. Chronic Cutaneous Lupus Erythematosus (CCLE)

Dibagi lagi ke dalam 2 subtipe :

a. Discoid Lupus Erythematosus (DLE)

Dibagi juga dalam beberapa subtipe yang jarang terjadi:

1) Palmar-palmar Lupus Erythematosus

2) Oral Discoid lupus Erythematosus

3) Lupus Erythematosus panniculitis

b. Hypertrophic Lupus Erythematosus (HLE)

2. Subacute Cutaneous Lupus Erythematosus (SCLE)

Memiliki subtype yang jarang terjadi yaitu : Neonatal lupus Erythematosus (NLE)

3. Systemic Lupus Erythematosus (SLE)

4. Drug-Induced Lupus Erythematosus (DILE)

Differential Diagnosis

Reumatoid Atritis

Atritis reumatoid (RA) adalah suatu penyakit inflamasi kronis yang menyebabkan

degenerasi jaringan penyambung. Jaringan penyambung yang biasanya mengalami kerusakan

pertama kali adalah membran sinovial, yang melapisi sendi. Pada RA, inflamasi tidak berkurang

dan menyebar ke struktur sendi di sekitarnya, termasuk kartilago artikular dan kapsul sendi

fibrosa. Akhirnya, ligamen dan tendon mengalami inflamasi. Inflamasi ditandai oleh akumulasi

sel darah putih, aktivasi komplemen, fagositosis ekstensif, dan pembentukan jaringan parut. Pada

inflamasi kronis, membran sinovial mengalami hipertrofi dan menebal sehingga menyumbat

aliran darah dan lebih lanjut menstimulasi nekrosis sel dan respons inflamasi. Sinovium yang

menebal menjadi ditutup oleh jaringan granular inflamasi yang disebut panus. Panus dapat

menyebar ke seluruh sendi sehingga menyebabkan inflamasi dan pembentukan jaringan parut

lebih lanjut. Proses ini secara lambat merusak tulang dan menimbulkan nyeri hebat serta

deformitas.9

Awitan RA ditandai oleh gejala umum inflamasi, berupa demam, keletihan, nyeri tubuh,

dan pembengkakan sendi. Nyeri tekan sendi dan kekakuan sendi terjadi, mula-mula karena 13

Page 14: Makalah Pleno Blok 14

inflamasi akut dan kemudian akibat pembentukan jaringan parut. Sendi metakarpofalangeal dan

pergelangan tangan biasanya adalah sendi yang pertama kali terkena. Kekakuan terjadi lebih

parah pada pagi hari dan mengenai sendi secara bilateral. Dapat terjadi penurunan rentang gerak,

deformitas sendi, dan kontraksi otot. Nodulus reumatoid ekstrasinovial terbentuk pada sekitar

20% individu yang mengalami RA. Pembengkakan ini terdiri atas sel darah putih dan debris sel

yang terdapat di daerah trauma atau peningkatan tekanan. Nodulus biasanya terbentuk di jaringan

subkutan di atas siku dan jari tangan.9

Penatalaksanaan pada kasus RA adalah sebagai berikut :

Sendi yang mengalami inflamasi diistirahatkan

Periode istirahat setiap hari

Kompres panas dan dingin bergantian

Pemberian suplemen minyak ikan (cod liver oil) sebagai NSAID- sparing agents

Pemberian edukasi dan pendekatan multidisiplin pada penderita

Pembedahan dipertimbangkan bila: 1. Terdapat nyeri berat yang berhubungan dengan

kerusakan sendi yang ekstensif, 2. Keterbatasan gerak yang bermakna atau keterbatasan

fungsi yang berat, 3. Ada ruptur tendon.

Pemberian obat anti-inflamasi non steroid (OAINS) untuk mengendalikan nyeri,

glukokortikoid dosis rendah atau intraartikular, dan DMARD.2,9

Gout

Gout adalah sekelompok penyakit yang terjadi akibat deposit kristal monosodium urat di

jaringan. Deposit ini berasal dari cairan ekstraselular yang sudah mengalami supersaturasi dari

hasil akhir metabolisme purin yaitu asam urat.

. Manifestasi klinik gout meliputi atritis gout, tofus, batu asam urat saluran kemih dan

nefropati gout. Tiga stadium klasik perjalanan alamiah atritis gout adalah atritis gout akut, gout

interkritikal, dan gout kronik bertofus.

Secara umum penanganan atritis gout adalah memberikan edukasi, pengaturan diet,

istirahat sendi dan pengobatan. Pengobatan dilakukan secara dini agar tidak terjadi kerusakan

sendi ataupun komplikasi lain, misalnya ginjal. Pengobatan atritis gout akan bertujuan

14

Page 15: Makalah Pleno Blok 14

menghilangkan keluhan nyeri sendi dan peradangan dengan obat-obat, antara lain kolkisin, obat

anti inflamasi non steroid (OAINS), kortikosteroid, atau hormon ACTH. Obat penurun asam urat

seperti alopurinol atau obat urikosurik tidak boleh diberikan pada stadium akut. Namun pada

pasien yang telah rutin mendapat obat penurun asam urat sebaiknya tetap diberikan. Jenis OAIS

yang banyak dipakai pada atritis gout akut adalah indometasin. Dosis obat ini adalah 150-200

mg/hari selama 2-3 hari dan dilanjutkan 75-100 mg/hari sampai minggu berikutnya atau sampai

nyeri atau peradangan berkurang. Kortikosteroid dan ACTH diberikan apabila kolkisin dan

OAINS tidak efektif atau merupakan kontraindikasi.2

Osteoarthritis (OA)

Osteoarthritis merupakan penyakit sendi degenerative yang berkaitan dengan kerusakan

kartilago sendi. Vertebra, panggul, lutut dan pergelangan kaki paling sering terkena OA. Sendi-

sendi yang terkena pada penyakit OA adalah carpometacarpal I, metatarsophalangeal II, sendi

apofiseal, tulang belakang, lutut, paha. Nyeri sendi yang terjadi biasanya bertambah dengan

gerakan dan sedikit berkurang dengan beristirahat. Pada beberapa pasien, nyeri atau kaku sendi

dapat timbul setelah imobilitas seperti duduk di kursi atau mobil dalam waktu yang cukup lama

atau setelah bangun tidur. Terdapat krepitasi atau rasa gemeretak pada sendi yang sakit.

Perubahan gaya berjalan pada pasien OA adalah hal yang paling menyusahkan hampir semua

pasien OA pergelangan kaki, tumit, lutut atau panggul berkembang menjadi pincang. Tanda-

tanda peradangan pada sendi mungkin dijumpai pada OA karena adanya sinovitis. Pemeriksaan

laboratorium oada OA biasanya tidak banyak berguna. Darah tepi dalam batas normal, ANA, RF,

komplemen juga normal. Pada OA yang disertai peradangan mungkin didapatkan penurunan

viskositas, pleositosis ringan sampai sedang, peningkTan sel radang dan peningkatan protein.

Pada pemeriksaan radiografi ditemukan adanya penyempitan celah sendi yang asimetris,

peningkatan densitas tulang subcondral, kista tulang, osteofit dipinggir sendi dan perubahan

struktur anatomis sendi.1,2 Terapi non farmakologis untuk pasien OA adalah penerangan agar

pasien mengetahui seluk beluk tentang penyakitnya, terapi fisik dan rehabilitasi serta penurunan

berat badan. sedangkan dengan terapi farmakologis bisa diberikan :2

OAINS

Chondroprotective agent

15

Page 16: Makalah Pleno Blok 14

Obat-obat yang menjaga atau merangsang perbaikan atau repair tulang rawan sendi pada

pasien OA. digolongkan menjadi dua yaitu slow acting anri osteoarthritis drugs

(SAAODs) atau disease acting anti osteoarthritis drugs (DMAODs). Sampai saat ini

yang termasuk dalam kelompok obat ini adalah: tertrasiklin, asam hialuronat, kondroitin

sulfat, glikosaminoglikan, vitamin-C, superoxide dismutase.

Etiologi dan Patofisiologi

Etiologi dari penyakit Sistemik Lupus Eritematosus (SLE) belum diketahui secara pasti.

Salah satu alasannya adalah karena faktor-faktor penyebab tidak didapatkan secara menyeluruh

pada setiap pasien dengan SLE. Akan tetapi ada beberapa faktor-faktor yang diduga turut

berperan pada proses patofisiologi penyakit ini, yaitu:

1. Faktor Genetik

Berdasarkan penelitian didapatkan:

- Kejadian SLE lebih tinggi pada kembar monozigotik (25%), dibandingkan dengan

kembar dizigotik (3%).

- Peningkatan frekuensi SLE pada keluarga penderita SLE jika dibandingkan dengan

kontrol sehat.

- Peningkatan prevalensi SLE pada kelompok etnik tertentu

Dari beberapa bukti diatas dapat diduga bahwa faktor genetik mempunyai pengaruh pada

SLE .

Gen penyebab penyakit ini dapat berupa gen tunggal atau beberapa gen. Tetapi pada

sebagian besar pasien memerlukan keterlibatan banyak gen.2,10 Sehingga SLE dapat dikatakan

sebagai penyakit poligenik. Beberapa gen yang terlibat dalam perkembangan SLE manusia

adalah sebagai berikut.

- Gen HLA (Human Leucocyte Antigen) kelas II berhubungan dengan adanya antibody

tertentu seperti anti-Sm (small nuclear ribonuclearprotein), anti-Ro, anti-La, anti-nRNP

(nuclear ribonuclear protein) dan anti-DNA.

- SLE berhubungan dengan pewarisan defisiensi C1q, C1r/s dan C2.

16

Page 17: Makalah Pleno Blok 14

- Penemuan daerah kromosom yang multipel (multiple chromosom regions) sebagai resiko

berkembangnya SLE.

Tidak ada penjelasan yang jelas mengenai proses patofisiologi SLE yang berkaitan

dengan faktor genetik. Hal ini mungkin disebabkan karena faktor-faktor genetik tersebut

ditemukan pada pasien yang telah menderita SLE, sehingga tidak diketahui secara pasti

apakah faktor-faktor ini yang menginduksi terjadinya SLE atau sebaliknya diinduksi oleh

penyakit SLE. Dan alasan lain mungkin karena penjelasan SLE begitu rumit sehingga tidak

didapat dipaparkan secara singkat dan jelas pada buku-buku yang beredar.

2. Faktor Hormonal

Ada beberapa hormon yang terlibat pada penyekit SLE, yaitu hormon seks, Aksis

Hipotalamo-Pitutary-Adrenal (HPA), dan hormon sel lemak (Adipocyte-derived Hormone).

Akan tetapi, berdasarkan penelitian faktor hormon seks merupakan faktor yang sangat

menonjol pada perkembangan angka kejadian penyakit.

SLE lebih sering menyerang perempuan pada usia produktif. Perempuan dengan SLE

mempunyai konsentrasi androgen plasma yang rendah, termasuk testosterone,

dehidrotestosteron, dehidroepiandrosteron (DHEA), dan dehidroepiandrosteron sulfat

(DHEAS). Konsentrasi testosterone plasma yang rendah juga ditemukan pada penderita SLE

laki-laki yang disertai dengan meningkatnya konsentrasi LH (Luteinising Hormon). Jadi

estrogen yang berlebihan dengan aktivitas hormon androgen yang tidak adekuat pada laki-laki

maupun perempuan, mungkin bertanggungjawab terhadap perubahan respon imun.2,10

Estrogen memfasilitasi respon imun humoral dengan meningkatkan proliferasi sel B dan

produksi antibodi. Estrogen dosis tinggi menghambat respon sel T, seperti proliferasi dan

produksi IL-2. Testosteron menurunkan produksi imunoglobulin sel-sel darah mononuklear

perifer, baik pada subyek sehat maupun penderita SLE.2,10 DHEA meningkatkan respon imun

Th1 dan menghambat respon Th2. Efek yang bertentangan dari estrogen dan androgen pada

sistem imun dan juga ketidakseimbangan aktivitas estrogenik dan androgenik pada penderita

SLE , bisa membantu menerangkan kelainan imun yang tampak pada penyakit ini.

17

Page 18: Makalah Pleno Blok 14

3. Autoantibodi

Sistemik Lupus Eritematosus merupakan penyakit karena gangguan imunologis yaitu

adanya autoantibodi. Autoantibodi ini ditujukan kepada self molecules yang terdapat pada

nukleus, sitoplasma, permukaan sel, dan juga terhadap molekul terlarut seperti IgG dan faktor

koagulasi.2,10

Antibodi yang paling banyak ditemukan adalah antibody anti-nuclear (ANA). Anti-double

stranded DNA (anti ds-DNA) dan anti-Sm antibodi merupakan antibodi yang spesifik pada

SLE. Titer antibodi anti-DNA sering kali berubah sesuai dengan waktu dan aktivitas

penyakit, sedangkan titer antibodi anti-Sm biasanya konstan.2,10

Antibodi anti-DNA pada umumnya berhubungan dengan adanya glomerulonefritis. Akan

tetapi hal ini tidak ditemukan pada semua penderita SLE. Kadang antibodi anti-DNA titernya

tinggi, tetapi tidak ada keterlibatan ginjal, begitu juga sebaliknya ketika terdapat keterlibatan

ginjal, tetapi antibodi anti-DNA tidak ditemukan. Keterlibatan ini didukung dengan adanya

bukti-bukti sebagai berikut.

1. Pada penelitian didapatkan bahwa sebagian besar pasien SLE dengan nefritis

menunjukan peningkatan titer anti-DNA dan penurunan nilai total komplemen

hemolitik.

2. Kompleks imun yang mengandung antibodi anti-DNA suka mengendap di ginjal dan

merupakan mediator inflamasi utama. Akan tetapi keberadaan kompleks imun pada

sirkulasi sulit dideteksi oleh karena dalam serum konsentrasinya rendah.

Kemungkinan deposisi kompleks imun pada tempat-tempat lain juga ditunjukan

dengan seringnya didapat hubungan antara hipokomplemenemia dengan tanda-tanda

vaskulitis pada penderita SLE.

Antibodi terhadap reseptor N-methyl-D-aspartate (NMDA) mungkin berperan dalam

sistem susunan saraf pusat dari SLE. NMDA adalah asam amino excitatory yang dikeluarkan

oleh sel saraf. Penelitian yang dilakukan oleh Kawal dkk mendapatkan serum penderita SLE

yang mengandung antibodi DNA dan reseptor NMDA menyebabkan gangguan kognitif dan

18

Page 19: Makalah Pleno Blok 14

kerusakan hipokampus jika disuntikan secara intravena kepada tikus.2,10 Mereka juga

menemukan antibodi anti-reseptor NMDA pada jaringan otak penderita lupus serebral.

Baik antibodi anti-Ro dan anti-nukleosom berperan dalam lupus kutaneus. Antibodi anti-

Ro berhubungan dengan peningkatan resiko ruam fotosensitif, sedangkan anti-nukleosom

ditemukan dalam jaringan biopsi kulit, pada sebagian kecil penderita dengan nefritis lupus

aktif tanpa ruam pada kulit.

Autoantibodi yang merusak sel darah merah dan trombosit berperan dalam kejadian

anemia hemolitik dan trombositopenia pada penderita lupus. Pujo dkk mendapatkan adanya

korelasi kuat antara trombositopenia dengan antibodi anti-trombosit.

Aktivasi sel T dan sel B membutuhkan stimulasi gen yang spesifik. Self antigen seperti

kompleks protein-DNA dan protein-RNA dapat menginduksi produksi autoantibodi.

Pada penderita SLE terjadi ketidaksempurnaan pembersihan kompleks imun oleh sel

fagositik karena adanya penurunan jumlah komplemen CR1 dan defek pada fungsi reseptor

permukaan sel. Pembersihan tidak sempurna ini mungkin juga akibat tidak adekuatnya

fagositosis kompleks imun yang mengandung IgG2 dan IgG3. Polimorfisme dari alel reseptor

IgG (FcR) juga berperan. Beberapa alel polimorfik seperti FcRIIA dan FcRIIIA

berhubungan dengan rendahnya kemampuan mengikat bagian Fc dari IgG2 dan IgG3

sehingga tidak mampu membersihkan kompleks imun.

Pada SLE fagositosis sel-sel apoptosis juga mengalami gangguan. Menetapnya sisa-sisa

apoptosis pada sirkulasi merupakan imunogen yang akan menginduksi autoreaktif sel limfosit

dan sebagai antigen untuk membentuk kompleks imun.

Aktivitas supresi dari sel T supresor CD8+ dan sel NK terhadap aktivitas sel B mengalami

gangguan, dimana mereka tidak mampu melakukan downregulating sintesis imunoglobulin

poliklonal dan produksi antibodi.2,10 Menetapnya penyakit SLE merupakan penyebab dari

gangguan supresi sel B. Pada orang sehat produksi antibodi yang berlebihan dicegah oleh

jaringan idiotip (idiotype network), sedangkan pada penderita SLE jaringan ini terganggu

sehingga terjadi disregulasi produksi antibodi.

19

Page 20: Makalah Pleno Blok 14

4. Faktor Lingkungan

Beberapa faktor lingkungan dapat juga diduga sebagai faktor penyebab SLE, yaitu:

- Agen infeksi seperti Eipstein-Barr (EBV) mungkin menginduksi respon spesifik

melalui kemiripan molecular (molecular mimicry).

- Toksin atau obat-obatan memodifikasi respon seluler dan imunogenisitas dari self

antigen.

- Agen fisik/kimia seperti sinar ultraviolet (UV) dapat menyebabkan inflamasi, memicu

apoptosis sel, dan menyebabkan kerusakan jaringan. Ditemukan bukti bahwa sinar

UV dapat mengubah struktur DNA yang menyebabkan terbentuknya autoantibodi.

Sinar UV juga bisa menginduksi apoptosis keratinosit manusia yang menghasilkan

blebs nuklear dan autoantigen sitoplasmik pada permukaan sel.2,10

- Penggunaan estrogen pada perempuan postmenopause dan untuk kepentingan

kontrasepsi.

Gejala Klinis

Manifestasi klinis penyakit ini sangat berperan dan seringkali pada kedaan awal tidak

dikenali sebgai SLE. Hal ini dapat terjadi karena manifetasi klinik penyakit SLE ini seringkali

tidak terjadi secara bersamaan. Seseorang dapat saja selama beberapa lama mengeluhkan nyeri

sendi yang berpidah-pindah tanpa adanya keluhan lain. Kemudiaan diikuyi oleh manifestasi

klinis lainnya seperti fotosensitivitas dan sebagainya yang pada akhirnya akan memenuhi kriteia

SLE. Gambaran klinis keterlibatan sendi atau muskuloskletal dijumpai pada 90% kasus SLE,

walaupun arthritis sebagai manfestasi awal hanya dijumpai pada 55 % kasus.2

Gejala konstitusional pada penyakit SLE :2,7

Kelelahan

Kelelahan merupakan keluhan umum dijumpai pada penderitas SLE dan biasanya

mendahului berbagai manifestasi klinis lainnya. Kelelahan ini aak sulit dinilasi karena

banyak kondisi lain yang dapat menyebabkan kelelahan seperti adanya anemia,

meningkatnya beban kerja, konflik kejiwaan, serta pemakaian obat prednison. Kelelahan

ini dapat diukur dengan menggunakan Profile of Mood States dan tes toleransi latihan.

20

Page 21: Makalah Pleno Blok 14

Apabila kelelahan disebabkan oleh akifitas penyakit SLE ini maka diperlukan

pemeriksaan penunjang lainnya yaitu kadar C3 serum yang rendah. Kelelahan akibat

penyakit ini memberikan respons terhadap pemberian steroid atau latihan.

Peurunan berat badan

Keluhan ini dijumpai pada penderita SLE dan terjadi dalam beberapa bulan sebelum

diagnosis ditegakkan. Penurunan berat badan disebabkan oleh menurunnya nafsu makan

atau diakibatkan gejala gastrointestinal

Demam

Demam sebagai salah satu gejala konstitusional sulit dibedakan dari sebab lain seperti

infeksi, karena suhu tubuh dapat lebih dari 40C tanpa adanya bukti infeksi lain seperti

leukositosis. Demam akibat LES biasanya tidak disetai mengigil.

Lain-lain

Gejala-gejala lain yang sering dijumpai pada penderita SLE dapet terjadi sebelum atau

seiring dengan aktifitas penyakitnya yaitu rambut rontok, hilangnya nafsu makan,

pembesaran kelenjar getah bening, bengkak, sakit kepala, mual dan muntah.

Manifestasi muskuloskeletal

Keluhan muskuloskeletal yag sering dijumpai pada SL >90%, keluhan dapat berupa

mialgia, nyeri sendi (arthalgia) atau merupakan suatu arthritis simana tampak jelas bukti

inflamasi sendi. Polymyositis, skelroderma atau manifestasi klinis penyakit-penyakit

tersebut merupakan bgaian gejala klinis SLE.

Manifestasi kulit

Lesi muco-cutaneus yang tampak sebagai bagian SLE dapat berupa reaksi fotosensitifitas,

diskoid LE( DLE), lupus profundus/peniculitis, alopecia, lesi vasculer berupa ertitema

peringual, livedo reticularis, telengiectasia, fenomena reynaud’s atau vaskulitis atau

bercak berwarna putih perak dan dapaat berupa bercak eritema pada palatum mole dan

durum, bercak atrofis, eritema atau depigmentasi bibir.

21

Page 22: Makalah Pleno Blok 14

Gambar 1. Manifestasi kulit pada penderita SLE11

Manifestasi Paru

Manifestasi klinis pada paru dapat terjadi peradangan intersitial parenkim paru, emboli

paru, hipertensi pulmonum, perdarahan paru, atau shrinking lung syndrome. Pneumonitis

lupus dapat terjadi secara akut sampai kronik. Biasanya penderita akan merasa sesak,

batuk kering dan dijumpai ronkhi di basal. Keadaan ini sebagai akibat deposisi kompleks

imun pada alveolus atau pembuluh darah paru, baik disertai vaskulitis atau tidak.

Pneumonitis lupus ini memberikan respon yang baik dengan pemberian steroid.

Manifestasi Cardiologi

Pericardium, miokardium, endokardium atau[in pembuluh darah coroner dapat

terlibat pada penderita SLE, walaupun yang paling banyak terkena adalah pericardium.

Perikarditis harus dicuragai jika dijumpai adanya keluhan nyeri substernal, frition rub,

gambaran silhouette sign foto dada, atupu melalui gambaran EKG, Echokardiografi.

Apabila dijumpai adanya aritmia atau gangguan konduksi, kardiomegali bahkan

takikardia yang tidak jelas penyebabnya, maka kecurigaan adanya miokarditis perlu

dibuktikan lebih lanjut. Valvulitis, gangguan konduksi serta hipertensi merupakan

komplikasi lain yang sering ditemukan pada penderita jantung SLE. Manifestasi yang

paling sering dijumpai adalah bising jantung sistolik dan diastolic.

Manifestasi Renal

22

Page 23: Makalah Pleno Blok 14

Kertelibatan ginjal dijumpai pada 40-75% penderita yang sebagian besar setelah 5

tahun menderita SLE. Rasio wanita : pria dengan kelainan ini adalah 10 : 1, dengan

puncak insidensi anatara20-30 tahun. Gejala atau tanda keterlibatan renal pada umumnya

tidak tamoak sebelum terjadi kegagalan ginjal atau sindroma nefrotik. Pemeriksaan

terhadap protein uron >500mg/24 jam atau 3+ semi kwantitatif, adanya cetakan granuler,

hemoglobin, tubuler, eritrosit atau gabungan serta pyuria tanpa bukti adanya infeksiserta

peningkatan kadar serum kreatinin menunjukkan adanya keterlibatan ginjal pada

penderita SLE., namun dengan biopsy maka akan diterima data yang lebih akurat. Namun

demikian adanya proteinuria, piuria serta buruknya beersihan kreatinin dapat disebakan

oleh sebab lain berupa infeksi, glomerulonefritis, efek toksik obat pada ginjal.

Manifestasi Gastrointestinal

Manifestasi gastrointestinal tidak spesifik terhadap penderita SLE, karena dapat

merupakan cerminan keterlibatan berbagai organ pada penyakit ini atau sbagai akibat

pengobatan. Secra klinis tampak adanya keluhan penyakit pada esophagus, mesenteric

vasculitis, inflammatory bowel disease (IBS), pankreastitis dan penyakit hati. Vasculitis

yang terjadi di daerah mesentrik perlu mendapat perhatian yang besar karena, walaupun

jarang dapat mengakibatkan perforasi usus atau colon yang berakibat fatal. Keluhan

ditandai dengan nyeri didaerah abdominal bawah yang hilang timbul dalam periode

beberapa minggu atau bulan. Pembuktiannya dilakukan dengan arteriografi. Pancreatitis

akut pada sekitar 8% penderita SLE, keluhan ditandai dengan adanya nyeri abdominal

bagian atas disertai mual dan muntah serta peningkatan amylase. Sampai saat ini

penyebabnya masih dipertanyakan apakah memang karena SLE atau karna obat-obat yang

dapat menyebabkan pancreatitis. Hepatomegali merupakan pembesaran organ yang

banyak dijumpai pada SLE, disertai dengan peningkatan serum SGOT/SGPT atau

fosfatase alkali dan LDH. Kelainan iniberhubungan dengan penggunanan AINS (anti

inflamatsi non-steroid) .

Manifestasi neuropsikiatrik

Keterlibatan neuropsikiatrik akibat SLE sulit ditegakan karena gambaran klinis yang

begitu luas. Kelainan ini dikelompokan menjadi kelaianan psikatrik dan neurologic.

Pembuktian adanya keterlibatan susunan saraf pusat tidak terlalu banyak membantu

23

Page 24: Makalah Pleno Blok 14

proses penegakkan diagnosis ini. Dapat dijumpai kelainan EKG, namun tidak spesifik.

Pada cairan serebrospinal ditemukan kadar C4 rendah, peningakatan IgG, IgA, IgM,

peningakatan jumlah sel, kadar protein atau penurunan kadar glukosa. Keterliabatan

susunan saraf pusat dapat bermanifestasi sebagai epilepsy, hemiparesis, lesi saraf cranial,

lesi batang otak, meningitis aseptic atau myelitis transversal. Sedangkan pada susunan

saraf perifer akan ditemukan neuropati perifer, myasthenia gravis atau mononeuritis

multiplex. Dari sei psikiatrik, gangguan fungsi mental dapat bersifat organic dan non-

organik.

Manifestasi hemik-limfatik

Limfadenopati baik menyeluruh ataupun terlokalisir sering dijumpai pada penderita

SLE ini. Kelenjar getah bening yang paling sering terkena adalah aksila, servikal, dengan

karakteristik tidak nyeri tekan, lunak dengan ukuran bervariasi sampai 3-4cm. organ

limfoid yang biasanya sering ditemui pada penderita SLE adlah splenomegali yang

biasanya disertai pembesaran hati. Kerusakan lien berupa infark atau thrombosis

berkairan dengan adanya lupus antikoagulan, bahkan dilaporkan pernah adanya rupture

arteri lienalis walaupun tidak dijumpai bukti vaskulitis. Anemia dapat dijumpai pada

suatu periode dalam perkembangan penyakit ini. Diklasifikasikan sebagai anemia yang

diperantai proses imun dan non-imun. Pada anemia yang bukan diperantarai roses imun

diantaranya berupa anemia karena penyakit kronik, defisiensi besi, sickle cell anemia dan

anemia sideroblastik. Untuk anemia yang diperantarai proses imun dapat bermanifestasi

sebagai pure red cell aplasia, anemia aplastik, anemia hemolitik autoimun dan beberapa

kelainan lain yang dikaitkan dengan proses autoimun seperti anemia pernisiosa, acute

hemophagocytic syndrome.

Penatalakasanaan

Penyuluhan dan intervensi psikososial sangat penting diperhatikan dalam penatalaksanaan

penderita SLE, terutama pada penderita yang baru terdiagnosis. Hal ini dapat dicapai dengan

penyuluhan langsung kepada penderita atau dengan membentuk kelompok penderita yang

bertemu secara berkala untuk membicarakan masalahya penyakitnya.2

24

Page 25: Makalah Pleno Blok 14

Pada umumnya, penderita SLE mengalami fotosensitifitas, sehingga penderita harus

selalu diingatkan untuk tidak terlalu banyak terpapar oleh sinar matahari. Mereka dinasehatkan

untuk selalu menggunakan krem pelindung sinar matahari, baju lengan panjang, topi atau payung

bila akan berjalan disiang hari.2

Karena infeksi sering terjadi pada penderita SLEm maka penderita harus selalu diingatkan

bila mengalami demam yang tidak jelas penyebabnya, terutama pada penderita yang memperoleh

kortikosteroid dosis tinggi, obat-obat sitotoksis, penderita dengan gagal ginjal, vegetasi katup

jantung, ulkus dikulit dan mukosa. Profilaksi antibiotika harus dipertimbangkan pada penderitaan

SLE yang akan menjalani prsedur genitourinarius.2

Terapi Konservatif

Arthritis, artralgia, dan mialgia merupakan keluhan yang sering dijumpai pada penderita SLE.

Pada keluhan yang ringan dapat ddiberikan analgesic sederhana atau obat antiinflamasi

nonsteroid. Yang harus diperhatikan pada penggunaan obat-oabt ini adalah efek sampingnya,

agar tidak memberatkan keadaan umum penderita. Efek samping terhadap sistem

gastrointenstinal, hepar, dan ginjal harus diperhatikan, misalnya dengan memeriksa kreatinin

serum secara berkala. Bila analgsik dan obat antiinflamasi non steroid tidak memberikan respon

yang baik, dapat dipertimbangkan pemberian obat antimalaria, misalnya hidroksiklorokuin 400

mg/hari. Bila dalam 6 bulan, bat ini tidak memberikan efek yang baik, harus segera di stop. Pada

beberapa penderita yang tidak menunjukkan respon adekuat dengan analgesic atau obat anti-

inflamasi non-steroid atau obat anti malaria, dapat dipertimbangkan pemberian kortikosteroid

dosis rendah, dengan dosis tidak lebih dari 15 mg setiap pagi 2

Lupus kutaneus, sekitar 70% penderita SLE akan mengalami fotosensitifitas. Eksaserbasi akut

SLE dapat timbul bila penderita terpapar oleh sinar ultraviolet, sinar infamerah, panas, dan

kadang-kadang juga sinar fluoresensi. Penderita fotosensitifitas harus berlindung terhadap

paparan sinar-sinar tersebut dengan menggunakan baju pelindung, kaca jendela yang digelapkan,

menghindari paparan langsung sunscreen. Sebagian besar sunscreen berupa krem, minyak, lotio

atau gel yang mengandung PABA dan esternya, benzofenon, salisilat dan sinamat yang dapat

menyerap sinar ultraviolet A dan B. Sunscreen ini harus selalu dipakai setelah mandi atau bila

berkeringat.2

25

Page 26: Makalah Pleno Blok 14

Fatigue dan keluhan sistemik. Fatigue merupakan keluhan yang sering didapatkan pada

penderita SLE, demikian juga penurunan berat badan dan demam. Fatigue juga dapat timbul

akibat teraoi glukokortikoid, sedangkan penurunan berat badan dan fever dapat juga diakibatkan

oleh pemberian quinarkin. Pada keadaan yang berat dapat menunjukkan peningkatan aktifitas

SLE dan pemberian glukokortikoid seistemik dapat dipertimbangkan.2

Serositis, nyeri dada dan nyeri abdomen pada penderita SLE dapat merupakan tanda serositis.

Pada beberapa penderita, keadaan ini dapat diatasi dengan salisilat, oabt antiinflamasi non-

steroid, antimalriaatau glukokortikoid dosis rendah (15 mg/hari). Pada keadaan yang berat harus

diberikan glukokortikoid sistemik untuk mengontrol penyakitnya.2

Terapi Agresif

Terapi agresif dapat dimulai dengan pemberian glukokortikoid dosis tinggi harus segera

dimulai bila timbul manifestasi serius SLE yang mengancam nyawa. Dosis glukokortikoid sangat

penting diperhatikan dibandingkan jenis yang akan diberikan. Walaupun demikian, pemberian

glukokortikoid berefek panjang seperti deksametason sebaiknya dihindari. Pemberian prednisone

lebih banyak disukai karena lebih mudah mengatur dosisnya. Pemberian glukokortikoid oral

sebaiknya diberikan dalam dosis tunggal pada pagi hari. pada manifestasi minor SLE, seperti

arthritis, serositis dan gejala konstitusional, dapat diberikan prednisone 0,5 mg/kgBB/hari,

sedangkan pada manifestasi mayor dan serius dapat diberikan prednisone 1-1,5 mg/kgBB/hari.

Bila dalam waktu 4 minggu setelah pemberian glukokortikoid dosis tinggi tidak

menunjukkan perbaikan yang nyata, maka dipertimbangkan untuk memberikan imunosupresan

lain atau terapi agresif lainnya.

Terapi lain yang masih dalam taraf penelitian adalah terapi hormonal, immunoglobulin, dan

afaresis (plamafaresis, lekofaresis, dan kriofaresis). Salah satu terapi hormonal yang banyak

digunakan adalah danazol, suatu androgen yang bermanfaat untuk mengatasi trombositopenia

pada SLE.

26

Page 27: Makalah Pleno Blok 14

Tabel 1. Jenis dan Dosis Obat Imunosupresan dan Sitotoksik yang Dapat Dipakai pada SLE2

Pemberian immunoglobulin intravena juga berguna untuk mengatasi trombositopeniadengan

dosis 300-400 mg/kgBB/hari, diberikan lima hari berturut-turut, diikuti dosis pemeliharaan setiap

bulan untuk mencegah kekambuhan. kontrindikasi mutlak pada penderita defisiensi IgA yang

kadang-kadang ditemukan pada penderita SLE.2

Komplikasi

Gagal ginjal adalah penyebab tersering kematian pada penderita LES. Gagal ginjal dapat

terjadi akibat deposit kompleks antibodi-antigen pada glomerulus disertai pengaktifan

komplemen resultan yang menyebabkan cedera sel, suatu contoh reaksi hipersensitivitas

tipe III.

27

Page 28: Makalah Pleno Blok 14

Dapat terjadi perikarditis (peradangan kantong perikardium yang mengelilingi jantung)

Peradangan membran pleura yang mengelilingi paru dan dapat membatasi pernapasan.

Sering terjadi bronkitis

Dapat terjadi vaskulitis di semua pembuluh serebrum dan perifer.

Komplikasi susunan saraf pusat termasuk stroke dan kejang. Perubahan kepribadian,

termasuk psikosis dan depresi, dapat terjadi. Perubahan kepribadian mungkin berkaitan

dengan terapi obat atau penyakitnya.9

Prognosis

Angka harapan hidup 5 tahun secara keseluruhan adalah 85-88%. Penyebab utama

kematian pada SLE adalah : infeksi, nefritis lupus, dan konsekuensi gaga ginjal (termasuk akibat

terapi), penyakit kardiovaskular (sehingga faktorresiko konvensional harus dikontrol secara

ketat), dan lupus SSP. Keterlibatan organ akhir sangat berbeda antara satu pasien dengan pasien

yang lain. Penyakit ginjal merupakan indicator prognosis yang paling buruk pada SLE dan oleh

karenanya titer antibody pengikat DNA positif dan-atau meningkat, yang berkaitan dengan

keterlibatan ginjal, dikaitkan dengan prognosis yang lebih buruk.12

Pencegahan

Pencegahan terhadap penyakit SLE secara spesifik tidak ada, hanya saja kita dapat

menghindari faktor-faktor yang mungkin dapat menginduksi terjadinya SLE, seperti:

- Hindari paparan berlebihan dari sinar matahari (sinar UV)

- Hindari pemakaian estrogen berlebihan

- Meminimalisasi konsumsi obat-obatan tanpa resep dan pemantauan dari dokter.

- Hindari stress fisik maupun mental yang berlebihan.

- Makan makanan yang bersih dan sehat.

Epidemiologi

Dalam 30 tahun terakhir, SLE menjadi salah satu penyakit reumatik utama di dunia.

Prevalensi SLE di berbagai negara bervariasi. Prevalensi pada berbagai populasi berbeda-beda,

bervariasi antara 2,9/100.000 – 400/100.000. SLE lebih sering ditemukan pada ras tertentu seperti

28

Page 29: Makalah Pleno Blok 14

bangsa negro, Cina, dan mungkin juga Filipina. Terdapat juga tendensi familial. Faktor ekonomi

dan geografi tidak mempengaruhi distribusi penyakit. Penyakit ini dapat ditemukan pada semua

usia, tetapi paling banyak pada usia 15-40 tahun (masa reproduksi). Frekuensi pada wanita

dibandingkan pada pria berkisar antara 5,5-9 : 1.2

Kesimpulan

Sistemik lupus eritematosus merupakan penyakit yang penyebabnya sampai saat ini

belum diketahui secara pasti. Terdapat interaksi yang kompleks dan multifaktor antara variasi

genetik dan faktor lingkungan. Banyak gen yang berkontribusi pada penyakit ini. Gangguan

mekanisme regulasi imun seperti gangguan pembersihan sel apoptosis dan kompleks imun

merupakan kontributor penting dalam perkembangan penyakit. Penanganan yang tepat dan dini

dapat memberikan prognosis yang baik. Pencegahan dapat dilakukan dengan menghindari atau

mengurangi faktor-faktor yang dapat menginduksi SLE.

29

Page 30: Makalah Pleno Blok 14

Daftar Pustaka

1. Gleade J. At a glance anamnesis dan pemeriksaan fisik. Jakarta : Erlangga. 2007. h.40-41

2. Sudoyono, Setiyohadi B, Alwi I, Simadibrata MK, Setiati S, editor. Ilmu penyakit dalam.

Edisi ke-5 (3). Jakarta: InternalPublishing; 2009. h. 2495-513 ; 2538-49 ; 2556-60; 2565-

79

3. Gottlieb BS, Ilowite NT. Systemic lupus erythematosus in children and adolescents.

Pediatrics in Review 2006; 27:323-9

4. Kosasih EN, Kosasih ES. Tafsiran hasi pemeriksaan laboratorium klinik. Tangerang:

Karisma publishing group, 2008.h. 58-62, 200-12.

5. Anderson SP, McCarty LW. Patofisiologi : konsep klinis proses-proses penyakit. Jakarta :

EGC. 2006. h. 13920-6

6. Yuliasih, Soeroso J. Buku ajar ilmu penyakit dalam. Sistemik lupus eritomatosus. Editor,

Tjokroprawiro dkk. Surabaya: Airlangga University Press; 2007.h.235-41.

7. Price SA, Wilson LM. Patofisiologi. Jilid 1. Ed 6. Jakarta: EGC; 2006.h.1392-6

8. Myers SA, Mary HA. Cutaneous manifestation of lupus: can you recognize them all ?

Women’s Health in Primary Care. Vol 4 No 1. 2001.

9. Corwin E.J. Buku saku patofisiologi. Jakarta: EGC; 2009. h. 167-9, 347-8.

10. Kasjmir YI, Isbagio H, Setyohadi B, Suarjana N. Buku ajar ilmu penyakit dalam. Lupus

eritematosus sistemik. Edisi V. Jilid III. Jakarta Pusat: InternaPublishing; 2010.h.2565-77

11. Bartels CM. Systemic Lupus Erythematosus. Medscape. 18 Januari 2012. Diunduh 17

Maret 2012. http://emedicine.medscape.com/article/332244-overview#a0104

12. Davey P. Medicine at a glance, Jakarta : Erlangga; 2003.

30