Makalah Pleno Blok 25

35
Pendahuluan Kehamilan merupakan salah satu proses fisiologis yang umum dialami oleh wanita. Kehamilan yang terjadi pada wanita tidak selalu berjalan dengan baik. Terdapat beberapa hal yang menyebabkan kehamilan pada wanita menjadi buruk, salah satunya adalah pendarahan antepartum yang disebabkan oleh plasenta previa. Pada penderita plasenta previa penderita dapat mengalami pendarahan pervagina secara tiba-tiba dan hal tersebut membuat penderita harus segera melahirkan anaknya. Hal ini dapat menimbulkan beberapa gangguan pada anak tersebut, sehingga setelah bayi lahir harus segera dinilai skor APGAR yang dimiliki juga menilai keadaan anak berdasarkan kurva lub-chenko, dan memonitor anak dengan baik. Oleh karena itu ingin diketahui skor APGAR, indeks maturitas, klasifikasi bayi baru lahir berdasarkan berat badan, usia kehamilan berdasarkan kurva lub-chenko, perawatan bayi prematur, dan komplikasi yang dapat terjadi pada bayi prematur. Seorang wanita dengan usia kehamilan 33 minggu yang berusia 30 tahun mengalami perdarahan pervagina mengalami placenta previa dimana bayi lahir sesar dengan berat 1200 gram meringis, ekstremitas sedikit fleksi dan tampak biru, nafas irreguler dengan retraksi dada merupakan neonatus kurang bulan kecil masa kehamilan dan memiliki kemungkinan terkena respiratory distress syndrome. Anamnesis Perdarahan pervaginam merupakan tanda terjadinya suatu bahaya pada kehamilan, oleh karena itu harus segara ditangani dengan

Transcript of Makalah Pleno Blok 25

PendahuluanKehamilan merupakan salah satu proses fisiologis yang umum dialami oleh wanita. Kehamilan yang terjadi pada wanita tidak selalu berjalan dengan baik. Terdapat beberapa hal yang menyebabkan kehamilan pada wanita menjadi buruk, salah satunya adalah pendarahan antepartum yang disebabkan oleh plasenta previa. Pada penderita plasenta previa penderita dapat mengalami pendarahan pervagina secara tiba-tiba dan hal tersebut membuat penderita harus segera melahirkan anaknya. Hal ini dapat menimbulkan beberapa gangguan pada anak tersebut, sehingga setelah bayi lahir harus segera dinilai skor APGAR yang dimiliki juga menilai keadaan anak berdasarkan kurva lub-chenko, dan memonitor anak dengan baik. Oleh karena itu ingin diketahui skor APGAR, indeks maturitas, klasifikasi bayi baru lahir berdasarkan berat badan, usia kehamilan berdasarkan kurva lub-chenko, perawatan bayi prematur, dan komplikasi yang dapat terjadi pada bayi prematur. Seorang wanita dengan usia kehamilan 33 minggu yang berusia 30 tahun mengalami perdarahan pervagina mengalami placenta previa dimana bayi lahir sesar dengan berat 1200 gram meringis, ekstremitas sedikit fleksi dan tampak biru, nafas irreguler dengan retraksi dada merupakan neonatus kurang bulan kecil masa kehamilan dan memiliki kemungkinan terkena respiratory distress syndrome.AnamnesisPerdarahan pervaginam merupakan tanda terjadinya suatu bahaya pada kehamilan, oleh karena itu harus segara ditangani dengan melahirkan bayi. Setelah bayi berhasil dilahirkan maka segera dilakukan anamnesis pada pasien. Anamnesis terdiri dari identitas pasien, keluhan utama, keluhan penyerta, riwayat penyakit sekarang, riwayat penyakit dahulu, keadaan lingkungan, keluarga, dan sosial.Pertanyaan-pertanyaan yang dapat diajukan pada pasien, antara lain: 1. Menstruasi pertama kali usia berapa, teratur atau tidak. 2. Sebelumnya sudah pernah hamil atau belum. 3. Adakah riwayat aborsi atau perdarahan pada kehamilan sebelumnya. 4. Apakah pasien sedang terinfeksi suatu penyakit. 5. Mengkonsumsi obat-obatan. 6. Ditanyakan juga mengenai lingkungan sekitarnya apakah ada yang merokok atau apakah pasien tersebut merokok.7. Adakah riwayat melahirkan prematur pada pasien teresebut. 8. Apakah dari vaginanya pernah keluar sekret yang encer. 9. Sebelum pendarahan apakah pasien melakukan aktivitas yang berat atau terantuk oleh benda yang keras. 10. Apakah selama hamil pasien merasakan nyeri pada daerah perutnya. 1Pemeriksaan fisik Tampilan Pertama-tama, tampilan umum bayi harus dievaluasi. Tanda-tanda seperti sianosis, pelebaran cuping hidung, retraksi interkostal, dan mendengkur memberi kesan adanya penyakit paru. Tali pusat, kuku dan kulit yang ternodai oleh mekonium, memberi kesan distress janin dan kemungkinan pneumonia aspirasi. Tingkat aktivitas spontan, tonus otot pasif, kualitas menangis, dan apnea merupakan tanda skrinning yang berguna untuk mengevaluasi keadaan sistem saraf pada mulanya. 2Keadaan umum Keadaan umum dimulai dengan penilaian keadaan umum pasien yang mencakup 1. Kesan keadaan sakit. 2. Kesadaran pasien. 3. Status gizi pasien. Dengan penilaian keadaan umum maka dapat diperoleh kesan apakah pasien dalam keadaan akut yang memerlukan perolongan segera atau pasien dalam keadaan relatif stabil sehingga dapat dilakukan anamnesis secara lengkap baru dilakukan pertolongan. Kesan keadaan sakit dinilai dengan melihat apakah pasien tampak tidak sakit, sakit ringan, sakit sedang, atau sakit berat. Kesan tersebut diambil dengan penilaian penampakan pasien secara keseluruhan. Kesan keadaan sakit tidak selalu identik dengan keparahan penyakit yang diderita. Wajah pasien harus diperhatikan karena dari wajah tersebut dapat memberikan informasi tentang keadaan klinis pasien. Selain itu, posisi pasien serta aktivitasnya harus dinilai dengan baik. Apakah pasien datang berjalan, duduk, tiduran aktif, tiduran pasif, atau mengambil posisi abnormal tertentu. Melalui posisi dan aktivitas tersebut dapat diketahui kelainan atau keparahan penyakit yang diderita oleh pasien.Kesadaran dapat diperiksa jika pasien dalam keadaan sadar. Penilaian kesadaran terdiri dari 1. Komposmentis yaitu pasien sadar sepenuhnya dan memberi respon adekuat terhadap semua stimulus yang diberikan. 2. Apatik yaitu pasien dalam keadaan sadar, tetapi acuh tak acuh terhadap keadaan sekitarnya dan baru memberikan respon ketika diberikan stimulus. 3. Somnolen yaitu pasien tampak mengantuk, selalu ingin tidur, tidak responsif terhadap stimulus ringan tetapi masih memberikan respon terhadap stimulus yang agak keras tetapi kemudian tertidur lagi. 4. Sopor yaitu pasien tidak memberikan respon ringan maupun sedang tetapi masih memberikan sedikit respon terhadap stimulus yang kuat, reflek pupil terhadap cahaya masih kuat.. 5. Koma yaitu pasien tidak dapat bereaksi terhadap stimulus apapun. 6. Delirium yaitu kesadaran yang menurun secara kacau, biasanya disertai dengan disorientasi, iritatif, dan salah persepsi terhadap rangsangan sensorik hingga sering terjadi halusinasi.Status gizi pasien secara klinis dilakukan terutama dengan inspeksi dan palpasi. Melalui inspeksi dapat dinilai postur tubuh pasien. Selain status gizi, pasien juga harus diperiksa tanda-tanda vital yang mencakup nadi, tekanan darah, pernafasan, dan suhu. Dalam melakukan pemeriksaan terhadap nadi, pemeriksaan mencakup a. Frekuensi atau laju nadi. Penghitungan nadi harus disertai dengan penghitungan laju jantung untuk menyingkirkan kemungkinan terdapatnyaa pulsus defisit. Pada orang demam dengan kenaikan suhu badan 1C diikuti oleh kenaikan denyut nadi sebanyak 15-20x/menit. Akan tetapi, kenaikan denyut nadi tersebut tergantung pada penyakit yang diderita oleh pasien. b. Irama nadi. Dalam keadaan normal, irama nadi adalah teratur. Jika terjadi aritmia yaitu ketidakteraturan nadi, denyut nadi teraba lebih cepat pada waktu inspirasi dan lebih lambat pada waktu ekspirasi. Akan tetapi, keadaan tersebut merupakan keadaan normal yang menunjukkan adanya cadangan jantung. Dapat pula dijumpai keadaan yang disebut sebagai ketidakteraturan yang teratur seperti nadi yanng teraba sepasang-sepasang atau teraba sebagai kelompok tiga. c. Isi atau kualitas nadi. Dalam pemeriksaan kualitas nadi dapat dijumpai adanya nadi yang teraba sangat kuat dan turun dengan cepat akibat tekanan nadi yang besar. d. Ekualitas nadi. Dalam keadaan normal, isi nadi teraba sama pada keempat ekstremitas. Melalui pemeriksaan tanda-tanda vital, dapat diketahui kelainan-kelainan yang mungkin di derita oleh pasien.Pengukuran tekanan darah yang dilakukan pada satu ekstremitas, yang umumnya dipergunakan adalah lengan kanan atas untuk menghindari kesalahan akibat terdapatnya koarktasio aorta sebelah proksimal dari arteri subklavia kiri yang menyebabkan tekanan darah pada lengan kanan tinggi dan tempat lain rendah. Ketika melakukan pengukuran tekanan darah hendaknya dicatat keadaan pasien ketika melakukan pemeriksaan karena keadaan tersebut dapat mempengaruhi hasil dan penilaiannya. Pernafasan yang harus diperiksa pada pernafasan pasien mencakup a. Laju pernafasan. b. Irama atau keteraturan. c. Kedalaman. d. Tipe atau pola pernafasan.Pengukuran suhu tubuh dapat dilakukan pada aksila, mulut pada bawah lidah, dan rektum. Jika dari hasil pemeriksaan suhu tubuh di dapatkan hasil diatas normal yaitu diatas 37C maka pasien harus ditangani dengan segera begitupun jika didapatkan hasil dibawah 37C.Wanita yang datang dengan keadaan perdarahan pervaginam dan riwayat plasenta previa totalis maka harus segera ditangani dengan melahirkan bayinya. Setelah bayi berhasil dikeluarkan, maka segera dilakukan penilaian terhadap skor APGAR. Dapat dilihat pada tabel 1. Skor APGAR merupakan metode praktis yang secara sistematis digunakan untuk menilai bayi baru lahir segera sesudah lahir, untuk membantu mengidentifikasi bayi yang memerlukan resusitasi akibat asidosis hipoksik. Skor yang tendah tidak selalu berarti janin mengalami hipoksia-asidosis, faktor-faktor tambahan dapat mengurangi skor. Skor APGAR juga tidak meramalkan mortalitas neonatus atau palsi serebral selanjutnya. Skor APGAR menit pertama mengisyaratkan perlunya tindakan resusitasi dengan segera, sedangkan pada menit ke-5, 10, 15, dan 20 menunjukkan kemungkinan keberhasilan dalam melakukan resusitasi bayi. Skor APGAR 0-3 pada menit ke-20 meramalkan tingginya mortalitas dan morbiditas. Skor APGAR dapat dipengaruhi oleh banyak hal, dan faktor-faktor tersebut dapat memberikan hasil positif palsu ataupun negatif palsu. Faktor-faktor yang mempengaruhi skor APGAR dapat dilihat pada tabel ke-2.Tabel 1. Skor APGAR pada bayi baru lahirTandaSkor APGAR

012

Frekuensi jantung-Dibawah 100Diatas 100

Upaya pernafasan-Lambat, tidak teraturBaik, menangis

Tonus ototLemahFleksi tungkaiGerakan aktif

Respon terhadap kateter dalam lubang hidung-MenyeringaiBatuk atau bersin

WarnaBiru, pucatTubuh merah muda, tungkai biruSeluruhnya merah muda

Dikutip dari Arvin Behrman Kliegman. Nelson ilmu kesehatan anak. Edisi ke-15. Volume 1. Jakarta: Buku Kedokteran EGC. 2000: 540.Jika bayi dengan berat 1200 gram lahir meringis(1) dengan ekstremitas sedikit fleksi(1) dan tampak biru(0), denyut jantung 130 x/menit(2) dan nafas irreguler(1) memiliki skor APGAR 5. Skor APGAR ini merupakan skor APGAR yang dinilai segera setelah bayi lahir. Tabel 2. Faktor-faktor yang mempengaruhi skor APGARPositif PalsuNegatif Palsu

ImaturitasIbu mengalami asidosis

Analgetik, narkotik, sedatifKadar katekolamin janin tinggi

Magnesium sulfatBeberapa bayi cukup bulan

Trauma serebral akut

Persalinan yang sangat cepat

Neuropati kongenital

Anomali SSP

Miopai kongenital

Trauma medula spinalis

Anomali paru

Obstruksi jalan napas

Pneumonia kongenital

Episode sebelum asfiksia janin

Dikutip dari Arvin Behrman Kliegman. Nelson ilmu kesehatan anak. Edisi ke-15. Volume 1. Jakarta: Buku Kedokteran EGC. 2000: 541.Selain memeriksa skor APGAR, indeks maturitas pun harus diperiksa pada anak yang lahir secara prematur. Maturitas janin umumnya diperiksa dengan menentukan kandungan surfaktan cairan amnion. Selain itu dapat juga dilakukan penilaian dengan cara: 1. Penentuan luas kalsifikasi dengan USG. 2. Pendeteksi suara jantung janin pertama yang dapat didengar (16-18 minggu). 3. Pengamatan gerakan awal janin (18-20 minggu).Selain melakukan pemeriksaan dengan APGAR, dapat juga dilakukan penilaian skoring menggunakan skala Dubowitz. Skala Dubowitz memiliki ketepatan hingga kelahiran 2 minggu dimana skala tersebut menilai keadaan neurologi dan juga organ-organ tubuh secara keseluruhan. Skala Dubowitz dapat dilihat di gambar 1. Pada saat bayi lahir selain harus diperhatikan keadaan fisiknya, harus dinilai juga apakah anak mengalami ikterus atau tidak. Melalui skala kramer dapat dilakukan penilaian kadar bilirubin yang ada pada anak sehingga menimbulkan ikterus. Skala kramer dapat dilihat pada gambar 2.1, 3-5

Gambar 1. Ballard-Dubowitz Score. Syifa. Diagnosis criteria, scoring, and trias in pediatric. 29 November 2011. Dikutip dari http://armendasyifa.wordpress.com/2011/11/29/criteria-diagnosis-scoring-and-trias-in-pediatrics/, 4 Mei 2013.Derajat ikterusDaerah ikterusPerkiraan kadar bilirubin

IKepala dan leher5,0 mg%

IISampai badan atas (di atas umbilikus)9,0 mg%

IIISampai badan bawah (di bawah umbilikus) hingga tungkai atas (di atas lutut)11,4 mg/dl

IVSampai lengan, tungkai bawah lutut12,4 mg/dl

VSampai telapak tangan dan kaki16,0 mg/dl

Gambar 2. Skala Kramer. Syifa. Diagnosis criteria, scoring, and trias in pediatric. 29 November 2011. Dikutip dari http://armendasyifa.wordpress.com/2011/11/29/criteria-diagnosis-scoring-and-trias-in-pediatrics/, 4 Mei 2013.Pemeriksaan PenunjangPemeriksaan penunjang umumnya dilakukan dengan menggunakan USG pada minggu ke-12. Akan tetapi penilaian ini juga diperlukan pada minggu ke-18 dan 20. Dalam melakukan pemeriksaan USG ini dilakukan pengukuran diameter biparietalis, rasio lingkar kepala terhadap abdoomen. Melalui pemeriksaan USG ini dapat diketahui pola retardasi pertumbuhan janin, yaitu: 1. Pertumbuhan janin yang terus-menerus berada 2 simpang baku di bawah umur kehamilan rata-rata. 2. Adanya kurva pertumbuhan janin yang normal pada suatu kehamilan namin melambat secara mendadak atau mendatar. Melalui pemeriksaan USG dapat diketahui kelainan-kelainan pertumbuhan janin. USG real time dapat mengidentifikasi kelainan plasenta dan anomali janin seperti hidrosefalus, anensefalus, spina bifida, atresia duodenum, dan sebagainya. Selain dengan melakukan USG, pemeriksaan lain yang dapat dilakukan untuk mengidentifikasi kelainan pada janin adalah dengan amniosentesis. Pengambilan cairan amnion dengan tujuan untuk mengetahui ada tidaknya kelainan genetik dilakukan pada minggu ke-16 dan 18. Cairan-cairan amnion dapat langsung digunakan untuk menganalisis asam amino, enzim, dan kelainan produk-produk metabolik. Melalui pemeriksaan rongten, paru-paru memiliki kekhasan tetapi tidak patognomonis meliputi granularitas parenkim retikular halus dan bronkogram udara yang seing menonjol pada awal di lobus bawah kiri karena penumpangan bayangan jantung. Pada pemeriksaan awal akan didapatkan hasil yang normal. Gambaran khas akan didapatkan pada 6-12 jam.Indeks kimia maturitas janin yang paling baik adalah dengan penentuan kreatinin dan lesitin cairan amnion yang menggambarkan maturitas ginjal dan paru-paru janin. Lesitin dihasilkan di paru-paru oleh alveolus tipe 2 dan akhirnya mencapai cairan amnion melalui aliran keluar trakea. Pada pertengahan trimester ke-3 kadarnya hampir sama dengan kadar spingomielin, dan sesudahnya spingomielin tetap konstan dalam cairan amnion sedangkan lesitin naik. Pada rata-rata minggu ke-35 rasio antara lesitin dan spingomielin adalah 2:1 dan menunjukkan bahwa paru-paru janin sudah matang. Maturitas paru yang lebih awal terjadi jika ada pemisahan plasenta prematur yang berat, ketuban pecah prematur, ketagihan narkotik, atau penyakit hipertensi dan vaskular ginjal pada ibu. Penundaan maturasi paru dapat menandakan adanya hidrops fetalis atau diabetes yang tidak disertai penyakit vaskuler. Rasio lesitin dan spingomielin 2:1 atau lebih dapat menurunkan insiden terjainya penyakit membran hialin. Pada kehamilan yang berisiko tinggi, dapat dilakukan penentuan fosfatidilkolin jenuh, benda-benda osmofilik, atau kadar fosfatidilgliserol dalam cairan amnion.Amniosentesis memliki resiko untuk terjadinya cedera langsung pada janin berupa akibat pungsi plasenta dan perdarahan denan cedera sekunder pada janin, akibat stimulasi kontraksi uterus dan persalinan prematur, amnionitis, dan sensitasi darah janin oleh ibu. Jika amniosentesis dilakukan pada awal kehamilan maka resiko terkena pada janin akan semakin besar.Selain melakukan pemeriksaan-pemeriksaan tersebut, pemeriksaan laboratorium yang dapat dilakukan meliputi pemeriksaan darah untuk hitung darah lengkap dengan hitung jenis, elektrolit serum, dan glukosa. Nilai gas darah serta asam basa dapat membantu menegakkan diagnosis klinis.Hasil laboratorium akan menunjukkan adanya hipoksemia kemudian hipoksemia prograesif, hiperkarbia, dan berbagai asidosis metabolik.4.a. Analisa gas darah (AGD): Dilakukan untuk menentukan adanya gagal napas akut yang ditandai dengan PaCo2 > 50 mm Hg, PaO2 < 60 mmHg, atau saturasi oksigen arterial < 90%. Dilakukan pada BBL yang memerlukan suplementasi oksigen lebih dari 20 menit. Darah arterial lebih dipilih dianjurkan. Diambil berdasarkan indikasi klinis dengan mengambil sampel darah dari arteri umbilikalis atau pungsi arteri Menggambarkan gambaran asidosis metabolik atau asidosis respiratorik dan keadaan hipoksia Asidosis respiratorik terjadi karena atelektasis alveolar dan/atau overdistensi saluran napas bawah Asidosis metabolik, biasanya diakibatkan asidosis laktat primer yang merupakan hasil dari perfusi jaringan yang buruk dan metabolisme anaerobik. Hipoksia terjadi akibat pirau dari kanan ke kiri melalui pembuluh darah pulmonal, PDA dan/atau persisten foramen ovale Pulse oxymeter digunakan sebagai cara non invasip untuk memantau saturasi oksigen yang dipertahankan pada 90-95%. b. Elektrolit Kenaikan kadar serum bikarbonat mungkin karena kompensasi metabolik dari hiperkapnea kronik Kadar glukosa darah untuk menentukan adanya keadaan hipoglikemia Kelainan elektrolit ini dapat juga diakibatkan oleh kondisi kehamilan tubuh; hipokalemia, hipokalsemia dan hipofosfatemia dapat mengakibatkan gangguan kontraksi ototc. Pemeriksaan jumlah sel darah: polisetemia mungkin karena hipoksemia kronik. 6DiagnosisBerdarkan usia kehamilan neonatus baru lahir dapat dibedakan menjadi 3, yaitu: 1. Cukup bulan. Dikatakan cukup bulan apabila masa kehamilan berlangsung selama 37-42 minggu. 2. Kurang bulan jika sebelum 37 minggu bayi sudah dilahirkan. Bayi kurang bulan dapat disebabkan oleh berbagai macam hal 3. Lebih bulan jika usia kehamilan mencapai lebih dari 42 minggu.Berdasarkan berat badan dan usia kehamilan, neonatus dibedakan menjadi: 1. Neonatus cukup bulan sesuai usia kehamilan. 2. Neotnatus cukup bulan kecil untuk masa kehamilan. 3. Neotanus cukup bulan besar untuk usia kehamilan. 4. Neonatus kurang bulan sesuai masa kehamilan. 5. Neonatus kurang bulan kecil untuk masa kehamilan. 6. Neonatus kurang bulan besar untuk masa kehamilan. 7. Neonatus lebih bulan sesuai masa kehamilan. 8. Neonatus lebih bulan kecil masa untuk masa kehamilan. 9. Neonatus lebih bulan besar untuk masa kehamilan. Klasifikasi tersebut diukur berdasarkan kurva lub-chenko yang dapat dilihat pada gambar 3.Berdasarkan kurva lub-chenko, neonatus kecil untuk masa kehamilan menandakan berat lahir dibawah persentil 3 untuk jenis kelamin dan masa kehamilan. Neonatus besar untuk masa kehamilan berarti berat lahir diatas persentil 97 untuk jenis kelamin dan masa kehamilan. Sedangkan neonatus sesuai masa kehamilan menandakan berat lahir diantara persentil 3 dan 97 untuk jenis kelamin dan masa kehamilan.Berdasarkan kurva lub-chenko bayi dengan usia kehamilan 33 minggu dan berat 1200 gram merupakan keadaan dimana neonatus mengalami berat badan rendah dan kecil untuk usia kehamilan 33 minggu. Pada umumnya bayi dengan berat badan lahir rendah merupakan bayi yang terlahir secara prematur.Kelahiran prematur merupakan keadaan dimana 1. Kehamilan lebih dari 20 minggu tapi kurang dari 37 minggu. 2. Kontraksi uterus teratur dan nyeri yang terjadi paling sedikit dua kali setiap sepuluh menit selama paling sedikit 30 menit. 3. Terjadi penipisan atau dilatasi serviks. 4. Selaput ketuban utuh.

Gambar 3. Kurva Lub-Chenko. Dikutip dari Widjanarko Bambang. Perumbuhan janin. 31 Agustus 2009. Dikutip dari http://reproduksiumj.blogspot.com/2009/08/pertumbuhan-janin.html, 3 Juni 2013.Bayi dengan kekurangan berat badan mempunyai resiko hipoglikemi. Selain itu, bayi yang lahir secara prematur memiliki resiko terkena penyakit, diantaranya: 1. Sindrom disstress pernafasan yang disebabkan oleh defisiensi surfaktan. 2. Apnu berulang. 3. Pengaturan suhu yang kurang baik. 4. Masalah pada fungsi ginjal, keseimbangan cairan, dan elektrolit. 5. Nutrisi. 6. Paten duktus arteriosus. 7. Perdarahan intraventrikel dan kerusakan sistem saraf pusat. 8. Anemia. 9. Enterokolitis nekrotikans. 10. Ikterus.Respiratory distress syndromeRespiratory distress syndrome atau sindrom distres pernafasan dikenal juga sebagai penyakit membran hialin. Merupakan penyakit yang paling sering menyertai bayi prematur dan bersifat sangat serius. Pada paru-paru terdapat surfaktan yang dapat menurunkan tegangan permukaan antara gas inspirasi dan cairan yang melalui saluran nafas. Jika tidak terdapat surfaktan maka paru-paru tidak dapat berkembang dan cenderung mengempis. Belum matangnya struktur paru dan dinding dada akan memberikan masalah yang lebih serius kepada bayi. Hal ini akan mengakibatkan terjadinya ateletaksis yang mengganggu pertukaran udara. Penderita RDS sering kali akan meningkatkan usaha bernafas yang jika tidak dapat dipertahankan akan menyebabkan retensi karbon dioksida dan menimbulkan serangan paru. RDS akan mengalami resolusi setelah 3-7 hari seiring dengan terbentuknya surfaktan.Neonatus yang mengalami sindrom distress pernafasan, gejala yang ditimbulkan akan bertambah berat jika kebutuhan oksigen meningkat. Hipotermi merupakan salah satu faktor yang menyebabkan terjadinya peningkatan kebutuhan terhadap oksigen, sehingga neonatus prematur yang mengalami hipotermi akan memperberat sindrom distress pernafasan.Pada bayi prematur, fungsi ginjal relatif buruk. Jika ditambah dengan kehilangan cairan yang besar tetapi tidak terasa melalui permukaan kulit yang permeabilitasnya tinggi maka akan mengakibatkan dehidrasi dan gangguan elektrolit. Dinding ventrikel lateral bayi terdapat pembuluh-pembuluh kapiler yang rentan sehingga mudah terjadi perdarahan selama hipoksia atau Respiratory distress syndrome. Pendarahan yang terjadi bisa lokal ataupun meluas.Gangguan distress pernafasan yang dialami oleh neonatus prematur memiliki kesamaan dengan takipnea bayi baru lahir sementara yang disebut sebagai sindrom kegawatan pernapasan tipe 2. Takipnea ini dapat dialami oleh bayi preterm atau bayi cukup bulan pasca-persalinan pervaginam atau operasi sesar. Jika terjadi sangat dini pada umumnya akan disertai dengan retraksi atau mendengkur saat ekspirasi dan kadang-kadang sianosis yang dapat disembuhkan dengan oksigen minimal. Penderita umumnya sembuh dengan cepat dalam 3 hari meskipun terlihat menderita sakit berat dan memiliki perjalanan yang lama. Paru-paru umumnya bersih tanpa ronki halus dan rongten dada menunjukan corak vaskular paru yang jelas, garis-garis cairan dalam fisur, aerasi berlebihan, diafragma datar dan kadang-kadang ada cairan pleura. Neonatus dengan takipnea tidak ditemukan adanya hipoksemia, hiperkapnia, dan asidosis. Umumnya takipnea sulit dibedakan dengan penyakit membran hialin. 4, 7-9Faktor risikoFaktor risiko yang dominan adalah Prematuritas, karena surfaktan hanya dihasilkan pada akhir trimester kedua dan awal timester ketiga

Faktor risiko lainnya adalah: Diabetes melitus maternal Sepsis Hipoksemia dan asidemia Hipotermia . 10Diagnosis bandingTakipnea sementara bayi baru lahir (TSBBL) Takipnea sementara bayi baru lahir (TSBBL) merupakan keadaan yang sembuh sendiri yang ditandai dengan takipnea, retraksi ringan, dan kadang-kadang mendengkur, biasanya tanpa tanda-tanda distress pernapasan berat. Bila ada sianosis, biasanya memerlukan O2 tidak lebih dari 30-40%. TSBBL biasanya ditemukan pada bayi cukup bulan yang dilahirkan dengan seksio sesaria tanpa proses persalinan sebelumnya. Bayi dari ibu diabetes dan bayi dnegan keinginan napas buruk akibat obat-obatan analgesik yang melewati plasenta, juga berisiko. Roentgenogram dada menunjukkan corak pembuluh darah sentral menonjol, adanya cairan dalam fissura paru, aerasi berlebihan, dan kadang-kadang sedikit efusi pleura. Bronkogram udara dan pola retikulogrnular tidak ditemukan pada TSBBL, dan jika ada memberi kesan paru lain seperti RDS atau pneumonia. TSBBL dapat disebabkan oleh cairan paru yang tertahan atau penyerapan cairan paru yang lambat. 2PatofisiologiPersalinan preterm dilakukan dengan melihat faktor resiko mayor dan minor. Faktor resiko minor antara lain: 1. Penyakit yang disertai demam. 2. Perdarahan pervaginam pada kehamilan lebih dari 12 minggu. 3. Riwayat pielonefritis. 4. Merokok lebih dari 10 batang perhari. 5. Riwayat abortus pada trimester ke-2. 6. Riwayat abortus pada trimester 1 lebih dari 2 kali.Faktor resiko mayor, antara lain: 1. Kehamilan multipel. 2. Hidramnion. 3. Anomali uterus. 4. Serviks terbuka lebih dari 1 cm pada kehamilan 32 minggu. 5. Serviks mendatar atau memendek kurang dari 1 cm pada kehamilan 32 minggu. 6. Riwayat abortus pada trimester ke-2 lebih dari satu kali. 7. Riwayat persalinan preterm sebelumnya. 8. Operasi abdominal pada kehamilan preterm. 9. Riwayat operasi konisasi. 10. Iritabilitas uterus. Seseorang dikatakan mengalami resiko tinggi jika dijumpai satu atau lebih faktor resiko mayor atau bila ada dua atau lebih faktor resiko minor atau bila ditemukan keduanya.Kegagalan mengembangkan kapasitas residu fungsional dan kecenderungan paru-paru terkena atelektasis mempunyai korelasi dengan tegangan permukaan yang tinggi dan tidak adanya surfaktan. Unsur utama surfaktan adalah dipalmitilfosfatidilkolin atau lesitin, fosfatidilgliserol, apoprotein, dan kolesterol. Dengan bertambahnya umur kehamilan terjadi penambahan jumlah fosfolipid yang disintesis, dan disimpan di dalam sel alveolar tipe 2. Adanya imaturitas, jumlah yang dihasilkan atau dilepaskan mungkin tidak cukup memenuhi kebutuhan pasca-lahir. Kadar surfaktan tertinggi dalam paru janin yang dihomogenasi pada umur kehamilan 20 minggu, tetapi belum mencapai permukaan paru sampai saatnya tiba. Surfaktan tampak dalam cairan amnion antara 28-32 minggu dan kadar surfaktan paru matur biasanya muncul sesudah 35 minggu.Sintesis surfaktan sebagian bergantung pada pH, suhu, dan perfusi normal. Asfiksia, hipoksemia, dan iskemia paru, terutama dalam hubungannya dengan hipovolemia, hipotensi, dan stres dingin, dapat menekan sintesis surfaktan. Lapisan epitel paru dapat juga terkena jejas akibat kadar oksigen yang tinggi dan pengaruh manajemen oleh operator respirasi, mengakibatkan penurangan surfaktan yang lebih lanjut. Atelektasis alveolar, formasi membran hialin, dan edema interstisial membuat paru-paru kurang lentur, memerlukan tekanan yang lebih besar untuk mengembangkan alveolus kecil dan jalan nafas.Pada bayi yang mengalami penyakit distress pernafasan, dada bawah tertarik ke dalam ketika diafragma turun dan tekanan intratoraks menjadi negatif sehingga jumlah tekanan intratoraks yang dihasilkan terbatas dan timbul kecenderungan ateletaksis. Dinding dada bayi preterm sangat lemah memberikan lebih sedikit tekanan daripada dada bayi yang matur terhadap kecenderungan alamiah paru untuk kolaps. Dengan demikian pada akhir ekspirasi, volume toraks dan paru cenderung mendekati volume residu sehingga terjadi ateletaksis. Terjadinya ateletaksis mengakibatkan adanya perfusi pada alveolus tapi tidak ada ventilasi dan menyebabkan hipoksia. Pengurangan kelenturan paru, volume tidal yang kecil, kenaikan ruang mati fisiologis, kenaikan kerja pernapasan dan ventilasi alveolar yang tidak cukup akhirnya mengakibatkan hiperkarbia. Kombinasi hiperkarbia, hipoksia, dan asidosis menyebabkan vasokonstriksi arteri pulmonalis dengan kenaikan shunt dari kanan ke kiri melalui foramen ovale, duktus arteriosus, dan dalam paru-paru itu sendiri. Aliran darah paru berkurang, dan jejas iskemik pada sel menghasilkan surfaktan dan terhadap bantalan vaskular mengakibatkan efusi dan proteinaseosa ke dalam ruang alveolar. Proses ini dapat dilihat pada gambar 4. Jika neonatus terlahir dengan keadaan yang gawat, membran hialin akan jarang terlihat lebih awal dari 6-8 jam setelah lahir.4

Gambar 4. Patofisiologi penyakit membran hialin. Dikutip dari Arvin Behrman Kliegman. Nelson ilmu kesehatan anak. Jakarta: Buku Kedokteran EGC. 2000: 593.EtiologiBayi lahir prematur dapat disebabkan oleh berbagai macam hal, diantaranya yaitu: 1. Hipertensi. 2. Perkembangan janin terhambat. 3. Solutio plasenta. 4. Plasenta previa. 5. Kelainan rhesus. 6. Diabetes. 7 . Kelainan kontraksi uterus. 8. Ketuban pecah dini. 9. Serviks inkompeten. 10. Kehamilan ganda.11EpidemiologiAngka kematian neonatus dengan berat lahir rendah sekitar 40 kali bayi dengan berat badan normal yang lahir cukup bulan. Bayi kurang bulan yang mengalami serebral palsy 10 kali lebih tinggi dan defisiensi mental 5 kali lebih tinggi dibanding cukup bulan. Neonatus yang mengalami penyakit membran hialin terjadi 60%-80% terjadi pada bayi yang usia kehamilannya kurang dari 28 minggu, 15%-30% pada bayi 32-36 minggu, dan sekitar 5% pada bayi cukup bulan. Insiden tertinggi pada bayi preterm laki-laki atau kulit putih.9Gejala KlinisGejala-gejala yang sering menyertai terjadinya persalinan antepartum, antara lain: 1. Pendarahan pervaginam. 2. Peningkatan discharge vagina dan tekanan vagina. Bayi-bayi yang dilahirkan pada usia kehamilan kurang dari 37 minggu dapat mengalami gangguan pernafasan dikarenakan paru-paru pada usia 24-25 minggu belum mengalami pematangan. Penderita sindrom distress pernafasan memiliki beberapa gejala, antara lain: 1. Takipnu(>60 kali permenit). 2. Retraksi interkostal. 3. Retraksi subkostal. 4. Grunting. 5. Nafas cuping hidung. 6. Sianosis.Neonatus yang mengalami penyakit distress pernafasan akan meterlihat dalam beberapa menit kelahiran, meskipun tanda-tanda tersebut tidak dapat dikenals elama beberapa jam sampai pernafasan menjadi lebih cepat, dangkal bertambah sampai 60/menit. Neonatus dapat mengalami asfiksia intrapartum atau kegawatan pernapasan dini yang berat jika berat badan urang dari 1000 gram. Hal ini dapat menyebabkan neonatus memerlukan resusitasi.Gejala khas yang sering ditemukan, antara lain: 1. Takipnea. 2. Mendengkur jelas. 3. Retraksi interkostal dan subkostal. 4. Pelebaran dan kehitaman pada cuping hidung. 5. Penambahan sianosis rrelatif sering tidak responsif dengan pemberian oksigen. 6. Suara bisa norma atau berkurang dengan kualitas tubuler yang kasar. 7. Pada inspirasi dalam terdengar ronki halus terutama pada dasar paru posterior.Penderita penyakit membran hialin jika tidak diobati dengan adekuat maka tekanan darah dan suhu tubuh dapat turun, terjadi kelelahan, sianosis, pucat bertambah, dengkuran berkurang atau menghilang karena keadaan memburuk. Apnea dan pernapasan yang tidak teratur terjadi ketika bayi menjadi lelah dan ada tanda-tanda tidak menyenangkan sehingga harus diintervensi segera. Penderita juga dapat mengalami asidosis respiratorik-metabolik, edema, ileus, dan oliguria. Dengan adanya apnea maka terlihat tanda-tanda asfiksia.Pada kasus ringan, gejala-gejala yang ditimbulkan akan mencapai puncak dalam 3 hari kemudian terjadi perbaikan perlahan-lahan yang ditunjukkan dengan diuresis spontan dan kemampuan oksigenasi bayi dengan kadar oksigen inspirasi yang lebih rendah. Jika terjadi kematian umumnya terjadi pada hari ke-2 dan ke-7 yang disertai kebocoran udara alveolar dan perdarahan paru atau interventrikular. Jika kasus berat dan diventilasi secara mekanis, mortalitasnya bisa tertunda selama beberapa minggu atau beberapa bulan jika berkembang displasia bronkopulmonal. 4,7,9

Diagnosis berdasarkan anamnesis, tanda-tanda fisik, rontgen toraks yang khas, dan perjalanan klinis. Rontgen dada (setelah usia 4 jam) pada RDS menunjukkan: Tampilan paru yang granular uniformis dan difus (ground glass) akibat atelektasis Bronkogram udara- garis batas jalan napas besar yang terisi udara pada paru yang opak Berkurangnya volume paru Batas jantung yang tidak tegas karena lapangan paru yang opak (white out)Selang trakea terpasang. 10Perawatan suportif terhadap bayi baru lahir prematur dan sakit Observasi Frekuensi denyut jantung, frekuensi napas, dan tekanan darah harus diukur pada bayi dengan, atau berisiko menderita penyakit kardiopulmonal. Asupan serta keluaran cairan harus dicatat minimal setiap hari, dan lebih sering pada bayi yang sakit berat. Berat badan harus diukur setiap hari kecuali bayi tersebut tidak dapat mentoleransi tindakan tersebut. Hipoglikemia adalah hal yang biasa selama hari-hari pertama setelah lahir pada bayi sakit dan bayi prematur. Sampel darah kapiler harus diuji dengan salah satu metode uji tampis samping-tidur. Perlakuan (handling)Bayi baru lahir yang sakit berat dan bayi prematur yang sangat kecil tidak dapat mentoleransi perlakuan. Mengubah posisi tubuh mereka dan melakukan tindakan dapat menimbulkan suatu hipoksia transien tetapi berat. Suhu lingkungan Pengontrolan suhu tubuh merupakan masalah utama bayi dengan berat badan lahir rendah. Permukaan tubuh mereka yang relatif luas terhadap masa tubuh meningkatkan kehilangan panas. Kehilangan cairan lewat proses evaporasi juga merupakan masalah utama pada bayi-bayi ini. Inkubator menghangatkan bayi dnegan menghembuskan udara hangat ke bayi. Sebuah penghangat radian bekerja dengan membalik proses kehilangan panas yang terjadi secara memancar, dan secara memancar pula menghangatkan bayi. Cairan dan elektrolit parenteral Bayi yang sakit berat sehingga tidak dapat makan melalui mulut atau slang lambung memerlukan terapi cairan, elektrolit, dan glukosa parenteral. Terapi oksigen Pada suatu dalam masa perawatan rumah sakit, banyak bayi baru lahir yang sakit membutuhkan terapi oksigen untuk mengatasi hipoksemia. Jika konsentrasi oksigen inspirasi perlu diingatkan, pemberian oksigen harus dilakukan secara hati-hati karena tekanan oksigen parsial yang tinggi di dalam arteri (PaO2) bayi prematur merupakan faktor penting dalam menyebabkan retinopati prematuritas, suatu penyakit pembuluh darah retina yang dapat menimbulkan kebutaan. Kateterisasi vena umbilikusUmumnya lokasi terbaik bagi ujung kateter vena umbilikus adalah di dalam vena kava inferior dekat atrium kanan. Posisi ini menghasilkan pengukuran vena sentral yang memuaskan. Dilokasi ini terdapat aliran darah yang besar sehingga larutan yang disuntikkan akan diencerkan dengan cepat dalam darah; tetapi lokasi ini mempunyai risiko. Jika ujung kateter berada di luar terbuka, bayi menghisap udara dalam atrium kanan atau kiri pada saat inspirasi dalam. Sepsis dan tromboflebitis vena umbilikus serta sinus portal juga dapat terjadi.Kateterisasi arteri umbilikalisArteri umbilikalis dikateter jika diperlukan pengukuran tekanan arteri, tekanan gas arteri dan pH.12KomplikasiKomplikasi yang terjadi pada neonatus dengan sindrom distress pernafasan umumnya disebabkan karena proses terapi. Dalam memberikan terapi harus diperhatikan kadar gas darah atau homeostasis. Jika pemberian oksigen yang terlalu rendah dapat merusak paru dan jika diberikan dalam dosis yang tinggi dapat menyebabkan retinopati. Selain itu, kadar karbondioksida yang berlebih dapat menyebabkan terjadinya perdarahan otak, dan jika kadarnya terlalu rendah dapat menyebabkan terjadinya iskemi otak.Neonatus yang mengalami sindrom distress pernafasan yang berat dan dilakukan ventilasi dapat mengalami displasia bronkopulmonal. Displasia bronkopulmonal disebabkan karena konsentrasi oksigen yang tinggi dan tekanan udara positif yang tinggi. Beberapa neonatus yang mengalami displasia bronkopulmonal membutuhkan terapi oksigen dalam waktu yang lama. Adanya alveolar shear stress, volutrauma, saponifikasi hipokapnea, atelektasis absorpsi, dan radang dapat menyababkan displasia bronkopulmonum. Rongten dada digambarkan sebgai perubahan perlahan-lahan dari gambaran yang hampir keruh total dengan bronkogram udara dan emfisema interstisial sampai gambaran daerah lusen, kecil, bundar, berselang-seling dengan daerah yang densitasnya tidak teratur menyerupai spon.Neonatus prematur seringkali mengalami kegagalan menutupnya duktus arteriosus dan dapat menyebabkan terjadinya gagal jantung. Paten duktus arteriosus dapat diatasi dengan pemberian inhibitor prostaglandin sintesis tetapi terkadang membutuhkan pembedahan.Komplikasi yang paling serius adalah intubasi trakea berupa asfiksia karena obstruksi pipa, henti jantung selama intubasi atau pengisapan, dan perkembangan selanjutnya yaitu stenosis subglotis. Komplikasi lain meliputi perdarah dari trauma selama intubasi, pseudodivertikula faring posterior, ekstubasi sukar sehingga memerlukan trakeostomi, ulserasi lubang hidung akibat tekanan pipa, penyempitan permanen pada lubang hidung karena cedera jaringan dan parut akibat iritasi atau infeksi sekitar pipa, erosi palatum, penarikan plika vokalis, ulkus laring, papiloma plika vokalis, dan serak persisten, stridor aau edema laring.PenatalaksanaanPencegahan yang paling baik dilakukan adalah mencegah terjadinya kelahiran prematur. Pemeriksaan lingkar kepala janin dengan USG dan penentuan kadar lesitin dapat mengurangi kemungkinan persalinan prematur. Pemantauan intrauteri pada masa antenatal dan pemantauan intrapartum serupa dapat menurunkan risiko asfiksia janin yang dihubungkan dengan peningkatan insiden dan keparahan penyakit membran hialin. Pemberian deksametason atau pun betametason secara intramuskular pada 48-72 jam sebelum persalinan dengan umur kehamilan 32 minggu atau kurang sangat mengurangi insiden dan mortalitas serta morbiditas penyakit membran hialin. Terapi glukokortikoid pranatal mengurangi keparahan RDS dan mengurangi insidens komplikasi prematuritas lainnya dikarenakan bekerja sinergis dengan terapi surfaktan eksogen pasca lahir. Pemberian satu dosis surfaktan ke dalam trakea bayi prematur sefera sesudah lahir atau selama umur 24 jam dapat mengurangi mortilitas RDS tapi tidak mengubak insiden DBP.Penderita sindrom distress pernafasan akan mengalami resolusi atau perbaikan setelah 3-7 hari, oleh karena itu setelah bayi dilahirkan maka kehidupannya harus dipertahankan dan harus dihindari dari cedera. Mengendalikan ventilasi udara adalah cara utama dalam menjaga kehidupan neonatus. Surfaktan yang belum terbentuk dapat diatasi dengan memberikan pengganti melalui lubang endotrakeal segera setelah bayi lahir. Hal ini dapat menurunkan mortalitas, mengurangi resiko pneumotoraks, dan mengurangi resiko kerusakan paru. Selain itu, pada neonatus dengan Respiratory distress syndrome harus dilakukan monitoring dengan sangat ceramat.Penggunaan inkubator dan penghangat radian pada bayi yang lahir secara prematur membuat neonatus menggunakan sedikit energinya dalam mempertahankan suhu tubuhnya. Hal ini dapat menurunkan resiki bertambah beratnya sindrom distress pernafasan.Bayi yang terlahir secara prematur membutuhkan nutrisi yang adekuat sehingga pertumbuhan bayi dapat menyamai keadaannya dengan bayi yang terlahir normal. Jika bayi dalam keadaan sehat, maka dapat diberikan susu, sebaiknya diberikan ASI karena dapat ditoleransi dengan baik, mendukung pematangan usus, dan mengurangi risiko enterokolitis nekrotikans. Bayi dengan berat badan sangat rendah harus ditambahkan protein selain ASI sehingga pertumbuhan anak dapat berkembang dengan baik.Perawatan suportif awal bayi BBLR terutama pada pengobatan asidosis, hipoksia, hipotensi, dan hipotermia tampaknya mengurangi keparahan penyakit membran hialin. Terapi memerlukan pemantauan terhadap frekuensi jantung dan pernafasan, tekanan oksigen, tekanan karbondioksida, pH, bikarbonat, elektrolit arteri, glukosa darah, hematorkit, tekanan darah, dan suhu. Kateterisasi arteri umbilikalis seringkali diperlukan. Kalori dan cairan harus diberikan secara intravena. Untuk 24 jam pertama, 10% glukosa dan air harus diinfuskan melalui vena perifer dengan kecepatan 65-75 ml/kg/24 jam. Kemudian elektrolit harus ditambahkan dan volume cairan ditambah sedikit demi sedikit sampai 120-150 ml/kg/24 jam. Cairan yang berlebihan turut menyebabkan berkembangnya duktrus arteriosus paten. Bayi dengan penyakit membran hialin berat atau yang memiliki komplikasi akibat apnea teru-menerus memerlukan bantuan ventilasi mekanis. Indikasi yang sesuai untuk menggunakannya adalah: 1. pH darah arteri kuran dari 7,20. 2. PCO2 darah arteri 60mmHg atau lebih. 3. PO2 darah arteri 50mmHg atau kurang pada kadar oksigen 70-100%. 4. Apneu menetap. Bantuan ventilisasi dengan tekanan atau respirator konvensional aliran terbatas melalui pipa endotrakea juga dapat mencakip tekanan akhir respirasi positif. Ventilisasi mekanis bertujuan memperbaiki oksigen dan mengeliminasi karbondioksida tanpa menyebabkan barotrauma paru yang berlebihan atau toksisitas oksigen. Kisaran nilai gas darah yang dapat diterima yang menyeimbangkan risiko hipoksia dan asidosis dengan risiko ventilasi mekanis adalah PaO2 55-70 mmHG, tekanan karbondioksida 35-55 mmHg dan pH 7,25-7,45. Selama ventilisasi mekanis, oksigenasi diperbaiki dengan menambah FIo2 atau tekanan rata-rata jalan napas. Eliminasi karbondioksida dicapai dengan menambh tekanan puncak inspirasi atau frekuensi ventilator.Kisaran frekuensi ventilator konvensional adalah 10-60 x/menit, ventilasi pancaran frekuensi tinggi adalah 150-600/menit dan osilator adalah 300-1800/menit. Pemasukan surfaktan eksogen multidosis ke dalam endotrakea bayi BBLR memerlukan 40% oksigen dan ventilasi mekanis untuk pengobatan RDS telah memperbaiki ketahan hidup dan mengurangi insidens kebocoran undara paru tetapi tidak menurunkan insiden displasia bronkopulmonum secara konsisten. Perngaruh yang terjadi segera meliputi perbaikan perbedaan tekanan oksigen alveolar arteri, berkurangnya tekanan rata-rata jalan napas oleh ventilator, kelenturan paru bertambah dan perbaikan gambaran roentgen dada. Surfaktan eksogen yang digunakan adalah yang berasal dari paru sapi yang dicincang halus dengan ekstraksi lipid dan diperkaya dengan fosfatidilkolin, asam palmitat, dan trigliserida. Surfaktan tersebut disebut sebagai survanta. Surfaktan lain yang dapat diguanakan adalah eksosurf yang merupakan surfaktan sintetis yang mengandung dipalmitoilfosfatidilkolin, heksadekanol, dan tiloksapol. Heksadekanol dan tiloksapol dapat memperbaiki penyebaran surfaktan sepanjang alveolus .Pengobatan dimulai pada usia 24 jam pertama, dan diberikan melalui pipa endotrakea setiap 12 jam dengan total 4 dosis.4,7.PrognosisPenyediaan awal pengamatan intensif dan perawatan bayi baru lahir yang memiliki risiko tinggi dapat secara bermakna mengurangi morbiditas dan mortalitas. Akan tetapi hasil yang baik bergantung dengan fasilitas perawatan rumah sakit, dan tidak adanya komplikasi seperti asfiksia janin atau asfiksia lhair berat, perdarahan intrakranium atau malformasi kongenital yang tidak dapat diperbaiki. Terapi surfaktan dapat mengurangi mortalitas RDS hingga 40%. Secara jangka panjang, penderita RDS yang dapat tercapai fungsi paru yang normal dapat bertahan hidup, namun dapat mengalami gangguan paru dan perkembangan saraf.4Kesimpulan Surfaktan merupakan zat yang dibutuhkan untuk menajaga alveolus baru terbentuk ketika usia kehamilan 35 minggu. Kehamilan preterm memiliki resiko untuk terkena berbagai macam penyakit, yang paling sering adalah respiratory distress syndrome atau penyakit membran hialin yang jika tidak ditangani akan menimbulkan dilatasi bronkopulmonal. Ibu hamil 33 minggu usia 30 tahun mengalami perdarahan pervagina karena placenta previa, bayi lahir 1200 gram SC meringis, ekstremitas sedikit fleksi dan tampak biru, nafas ireguler dengan retraksi dada memiliki skor APGAR 5 dan mengalami respiratory distress syndorme et causa neonatus kurang bulan kecil masa kehamilanDaftar Pustaka1. Gleadle Jonathan. At a glance anamnesis dan pemeriksaan fisik. Jakarta: Erlangga. 2007: 90-1.2. Behrman RE. Esensial pediatri nelson.Edisi 4. Jakarta: EGC, 2010.h. 223, 2373. Matondang Corry S, Wahidiyat Iskandar, Sastroasmoro Sudigdo. Diagnosis fisik pada anak. Edisi ke-2. Jakarta. Sagung Seto. 2007: 6-34.4. Arvin Behrman Kliegman. Nelson ilmu kesehatan anak. Jakarta: Buku Kedokteran EGC. 2000: 561-600.5. Syifa. Diagnosis criteria, scoring, and trias in pediatric. 29 November 2011. Dikutip dari http://armendasyifa.wordpress.com/2011/11/29/criteria-diagnosis-scoring-and-trias-in-pediatrics/, 4 Mei 2013.6. Kosim MS. Buku ajar neonatologi: gangguan napas pada bayi baru lahir. Edisi 1. Jakarta: badan penerbit IDAI, 2008.h.132-1437. Meadow Roy, Newel Simon. Lecture notes pediatrika. Edisi ke-7. Jakarta: Erlangga. 2005: 69-74.8. Widjanarko Bambang. Perumbuhan janin. 31 Agustus 2009. Dikutip dari http://reproduksiumj.blogspot.com/2009/08/pertumbuhan-janin.html, 3 Juni 2013.9. Benson Ralph C, Pernoll Martin L. Buku saku obstetri dan ginekologi. Edisi ke-9. Jakarta: Buku Kedokteran EGC. 2009: 343-5.10. Lisaauer T and Avroy F. At a glance: neonatologi. Jakarta: Penerbit Erlangga, 2008.h.68-7311. Editor. Kapita selekta kedokteran. Jilid 1. Edisi ke-3. Jakarta: Media Aesculapius Fakultas Kedokteran UI. 2001: 274-512. Alpers A. Buku ajar pediatri rudolph. Edisi 20. Jakarta: EGC, 2006.h.265-9, 274-7