Post on 30-Jan-2016
description
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Laporan ini merupakan salah satu syarat dalam menyelasikan sistem GEH. Topik dari laporan ini adalah konstipasi, yang mana pasti sangat berguna untuk bekal hingga kelak menjadi dokter. Konstipasi merupakan salah satu gangguan yang popular di masyarakat karena penyakit ini bisa menyerang siapa saja.
Diharapkan dari pemecahan kasus ini mahasiswa menggunakkan metode problem based learning ini, para mahasiswa semakin dapat memahami materi kuliah yang telah diberikan dan terlatih dalam memecahkan suatu masalah atau kasus klinik secara sistematis dan terarah.
Dalam pemecahan kasus yang ada pada skenario mahasiswa harus menggunakkan metode 7 langkah pemecahan masalah (seven jump).
1.2 Tujuan Instruksional Umum (TIU)Setelah selesai mempelajari modul ini, mahasiswa diharapkan dapat menjelaskan
tentang mekanisme terjadinya konstipasi, pembagian penyebab, pemeriksaan yang dibutuhkan untuk diagnostik, penatalaksanaan bedah dan non bedah, serta epidemiologi dan pencegahannya.
1.3 Tujuan Instruksional Khusus (TIK)
Setelah selesai selesai mempelajari modul ini, mahasiswa diharapkan dapat :
1. Menjelaskan defenisi konstipasi
2. Menjelaskan proses pasase normal dalam saluran cerna
- Anatomi dan histologi sal. cerna.
- Fisiologi pasase makanan dalam saluran cerna
- Biokimia zat-zat makanan dalam saluran cerna
3. Menjelaskan hal-hal yang dapat menyebabkan konstipasi
1
- Gangguan funsional
- Gangguan karena obat-obatan
- Gangguan obstruktif
- Gangguan neuromuscular
- Gangguan endokrin metabolik
- Gangguan psikiatrik
- Gangguan karena infeksi / infestasi parasit
4. Menjelaskan keadaan patologis yang mungkin timbul pada konstipasi
5. Menjelaskan cara diagnostik pada konstipasi
- Hal-hal yang perlu digali pada anamnesis keluhan dan riwayat penderita
- Diagnostik fisik yang diperlukan pada konstipasi
- Pemeriksaan laboratorium yang diperlukan pada konstipasi
- Pemeriksaan radiologis yang diperlukan pada konstipasi
6. Menjelaskan penatalaksanaan konstipasi
- Penatalaksanaan medikamentosa
- Penatalaksanaan bedah
- Pendekatan nutrisional pada konstipasi
7. Menjelaskan epidemiologi dan pencegahan terjadinya konstipasi
- Epidemiologi penyakit-penyakit dengan konstipasi
- Pencegahan keadaan yang dapat mengakibatkan konstipasi
1.4 SkenarioSeorang anak laki-laki 5 tahun, diantar orang tuanya ke klinik dengan keluhan
utama sudah 3 hari tidak buang air besar dan muntah beberapa kali. Beberapa hari terakhir anak tersebut selalu merasa mual, tidak ada nafsu makan, dan demam yang terutama dirasakan pada malam hari. Seminggu sebelumnya anak tersebut pernah BAB dan terdapat cacing pada kotorannya. Anak tersebut kurus, terlihat lemas dan agak pucat.
2
1.5 Kata/Kalimat Sulit-
1.6 Kata/Kalimat Kunci- Laki-laki, 5 tahun- 3 hari tidak BAB- Muntah beberapa kali- Mual, tidak napsu makan- Demam pada malam hari- Seminggu sebelumnya pernah BAB dan terdapat cacing- Kurus, lemas, agak pucat
1.7 MIND MAP
3
BAB II
PEMBAHASAN
1. Jelaskan fisiologi dari pasase makanan dalam saluran cerna!2. Jelaskan mekanisme defekasi!3. Jelaskan Jelaskan definisi konstipasi dan perbedaan antara konstipasi dan obstipasi!
4. Jelaskan hal-hal yang dapat menyebabkan konstipasi!5. Jelaskan mekanisme konstipasi!6. Jelaskan penyakit-penyakit yang berhubungan dengan konstipasi!7. Jelaskan hubungan mual, muntah, demam, pucat, tidak nafsu makan, kurus, lemas, dan
terdapatnya cacing pada feses dengan konstipasi!8. Jelaskan alur diagnosis pada skenario!9. Jelaskan asuhan gizi apa saja dalam penanganan konstipasi!10. Jelaskan WD!11. Jelaskan DD!12. Jelaskan DD!
4
1. Jelaskan fisiologi Proses passage makanan di saluran cerna!
Pada sistem pencernaan manusia makanan mengalami proses pencernaan pada saat makanan berada di dalam mulut hingga proses pengeluaran sisa-sisa makanan hasil pencernaan. Berikut ini merupakan proses pencernaan makanan, diantaranya:
1. Ingesti : memasukkan makanan ke dalam tubuh melalui mulut2. Mastikasi : proses mengnyah makanan oleh gigi3. Deglutisi : proses menelan makanan di kerongkongan4. Digesti : proses pengubahan makanan menjadi molekul yang lebih sederhana yang
terjadi di lambung dengan bantuan enzim5. Defeklasi : pengeluaran sisa-sisa makanan yang sudah tidak berguna untuk tubuh
melalui anus
Usus halus merupakan saluran yang berbelok-belok dengan lebar 25 mm dan panjang 5 sampai 8 m dan terdapat lipatan yang disebut vili atau jonjot-jonjot usus. Vili ini berfungsi memperluas permukaan usus halus yang berpengaruh terhadap proses penyerapan makanan.
Kolon atau disebut juga dengan usus besar yang memiliki panjang sekitar 1 m, dan terdiri dari kolon transversum, kolon descendes, dan kolon ascendens. Terdapat sekum (Usus buntu) diantara intestinum tenue (Usus halus) dan intestinum crassum (Usus besar). Pada ujung sekum terdapat tonjolan kecil disebut dengan appendiks (Umbai cacing). Dalam keadaan normal, setiap harinya, kolon menerima sekitar 500 mL kimus dari usus halus melalui katup ileosekal dengan waktu yang dibutuhkan 8-15 jam. Oleh karena itu sebagian besar pencernaan berlangsung di usus halus.
Gerakan kontraksi pada kolon disebut kontraksi haustra yang lama interval antara dua kontraksi adalah 30 menit, sedangkan usus halus berkontraksi 9-12 kali dalam semenit. Kontraksi haustra berupa gerakan maju-mundur yang menyebabkan isi kolon terpajan ke mukosa absorptif yang melibatkan pleksus intrinsik. Kontraksi lambat ini pula yang menyebabkan bakterit dapat tumbuh di usus besar.
Peningkatan nyata motilitas berupa kontraksi simultan usus besar terjadi 3 sampai 4 kali sehari. Kontraksi ini disebut gerakan massa yang mampu mendorong feses sejauh 1/3 sampai 3/4 dari panjang kolon hingga mencapai bagian distal usus besar, tempat penyimpanan feses. Refleks gastrokolon, yang diperantarai oleh gastrin dari lambung ke kolon dan oleh saraf otonom ekstrinik, terjadi ketika makanan masuk ke lambung dan akan memicu refleks defekasi. Oleh karena itu, sebagian besar prang akan merasakan keinginan untuk buang air besar setelah makan pagi. Hal ini karena refleks tersebut mendorong isi kolon untuk masuk ke rectum sehingga tersedia tempat di dalam usus untuk makanan yang baru dikonsumsi. Selanjutnya, isi usus halus akan didorong ke usus besar melalui refleks gastroileum.
5
Gerakan massa mendorong isi kolon ke dalam rektum sehingga rektum meregang. Peregangan ini menimbulkan refleks defekasi yang disebabkan oleh aktivasi refleks intrinsik. Refleks intrinsik, lebih tepatnya pleksus mienterikus, menimbulkan gerakan peristaltik sepanjang kolon desendens, sigmoid, dan rectum yang memaksa feses memasuki anus dan membuat sfingter anus berelaksasi. Namun, defekasi dapat dicegah jika sfingter anus eksternus yang berupa otot rangka tetap berkontraksi yang dikontrol secara sadar. Dinding rektum yang semula meregang akan perlahan-lahan melemas dan keinginan untuk buang air besar mereda hingga akhirnya datang gerakan massa berikutnya. Gerakan peristaltis yang dipicu oleh refleks intrinsik yang bersifat lemah. Oleh karena itu, terdapat refleks parasimpatik untuk memperkuatnya. Sinyal dari rektum dilanjutkan terlebih dahulu ke korda spinalis lalu dikirim balik ke kolon, sigmoid, dan rektum melalui nervus pelvis sehingga gerakan peristaltis bersifat kuat. Sinyal defekasi yang memasuki korda spinalis menimbulkan efek lain seperti tarikan nafas yang dalam, penutupan glotis, dan kontraksi abdomen yaang mendorong feses keluar.
Pengubahan sisa makanan menjadi feses. Di dalam usus besar, tidak terjadi proses pencernaan karena ketiadaan enzim pecernaan dan penyerapan yang terjadi lebih rendah daripada usus halus akibat luas permukaan yang lebih sempit. Dalam keadaan normal, kolon menyerap sebagian garam (NaCl) dan H2O. Natrium adalah zat paling aktif diserap, Cl- secara pasif menuruni gradien listrik, dan H2O berpindah melalui osmosis. Melalui penyerapan keduanya maka terbentuk feses yang padat. Sekitar 500 ml bahan masuk ke kolon, 350 ml diserap dan 150 g feses dikeluarkan. Feses ini terdiri dari 100 g H2O dan 50 g bahan padat seperti selulosa, bilirubin, bakteri, dan sejumlah kecil garam. Dengan demikian, produk sisa utama yang dieksresikan melalui feses adalah bilirubin, serta makanan yang pada dasarnya tidak dapat diserap oleh tubuh.
6
2. Jelaskan mekanisme defekasi!
I. FISIOLOGI
Rektum biasanya kosong sampai menjelang defekasi. Seorang yang mempunyai
kebiasaan teratur akan merasa kebutuhan membung air besar kira-kira pada waktu yang sama
setiap hari. Hal ini disebabkan oleh refleks gastro-kolika yang biasanya bekerja sesudah makan
pagi. Setelah makanan ini mencapai lambung dan setelah pencernaan dimulai maka peristaltik di
dalam usus terangsang, merambat ke kolon, dan sisa makanan dari hari kemarinnya, yang waktu
malam mencapai sekum mulai bergerak. Isi kolon pelvis masuk ke dalam rektum, serentak
peristaltik keras terjadi di dalam kolon dan terjadi perasaan di daerah perineum. Tekanan intra-
abdominal bertambah dengan penutupan glottis dan kontraksi diafragma dan otot abdominal,
sfinkter anus mengendor dan kerjanya berakhir (Pearce, 2002).
II. MEKANISME
Proses defekasi terjadi baik secara disadari (volunter), maupun tidak disadari (involunter)
atau refleks. Gerakan yang mendorong feses ke arah anus terhambat oleh adanya kontraksi tonik
dari sfingter ani interna yang terdiri dari otot polos dan sfingter ani eksterna yang terdiri dari otot
rangka. Sfingter ani eksterna diatur oleh N. Pudendus yang merupakan bagian dari saraf somatik,
sehingga ani eksterna berada di bawah pengaruh kesadaran kita (volunter).
7
Proses defekasi diawali oleh terjadi refleks defekasi akibat ujung – ujung serabut saraf
rectum terangsang ketika dinding rectum teregang oleh massa feses. Sensasi rectum ini berperan
penting pada mekanisme continence dan juga sensasi pengisian rectum merupakan bagian
integral penting pada defekasi normal. Hal ini dapat digambarkan sebagai berikut : pada saat
volume kolon sigmoid menjadi besar, serabut saraf akan memicu kontraksi dengan
mengosongkan isinya ke dalam rectum. Studi statistika tentang fisiologi rectum ini
mendeskripsikan tiga tipe dari kontraksi rectum yaitu :
(1) Simple contraction yang terjadi sebanyak 5 – 10 siklus/menit ;
(2) Slower contractions sebanyak 3 siklus/menit dengan amplitudo diatas 100 cmH2O ; dan
(3) Slow Propagated Contractions dengan frekuensi amplitudo tinggi.
Distensi dari rectum menstimulasi reseptor regang pada dinding rectum, lantai pelvis dan
kanalis analis. Bila feses memasuki rektum, distensi dinding rectum mengirim signal aferent
yang menyebar melalui pleksus mienterikus yang merangsang terjadinya gelombang peristaltik
pada kolon desenden, kolon sigmoid dan rectum sehingga feses terdorong ke anus. Setelah
gelombang peristaltik mencapai anus, sfingter ani interna mengalami relaksasi oleh adanya
sinyal yang menghambat dari pleksus mienterikus; dan sfingter ani eksterna pada saat tersebut
mengalami relaksasi secara volunter,terjadilah defekasi.
Pada permulaan defekasi, terjadi peningkatan tekanan intraabdominal oleh kontraksi otot–
otot kuadratus lumborum, muskulus rectus abdominis, muskulus obliqus interna dan eksterna,
muskulus transversus abdominis dan diafraghma. Muskulus puborektalis yang mengelilingi
anorectal junction kemudian akan relaksasi sehingga sudut anorektal akan menjadi lurus. Perlu
diingat bahwa area anorektal membuat sudut 90o antara ampulla rekti dan kanalis analis sehingga
akan tertutup. Jadi pada saat lurus, sudut ini akan meningkat sekitar 130o – 140o sehingga kanalis
analis akan menjadi lurus dan feses akan dievakuasi. Muskulus sfingter ani eksterna kemudian
akan berkonstriksi dan memanjang ke kanalis analis.
Defekasi dapat dihambat oleh kontraksi sfingter ani eksterna yang berada di bawah
pengaruh kesadaran ( volunteer ). Bila defekasi ditahan, sfingter ani interna akan tertutup, rectum
8
akan mengadakan relaksasi untuk mengakomodasi feses yang terdapat di dalamnya. Mekanisme
volunter dari proses defekasi ini nampaknya diatur oleh susunan saraf pusat. Setelah proses
evakuasi feses selesai, terjadi Closing Reflexes. Muskulus sfingter ani interna dan muskulus
puborektalis akan berkontraksi dan sudut anorektal akan kembali ke posisi sebelumnya. Ini
memungkinkan muskulus sfingter ani interna untuk memulihkan tonus ototnya dan menutup
kanalis analis. Hal ini menyebabkan m. sphincter ani externus dan m. levator ani berkontraksi
untuk menahan defekasi.
Jika kita memutuskan untuk meneruskan proses defekasi, maka impuls akan turun menuju ke
berbagai saraf:
N. facialis (VII) untuk mengkontraksikan otot-otot wajah.
N. vagus (X) untuk menutup epiglottis.
N. Phrenicus untuk memfiksasi diapraghma.
N. Thoracales segmen yang berhubungan untuk mengkontraksikan otot-otot dinding
abdomen.
N. splanchnicus pelvicus, yang berisi pesan untuk mengurangi kontraksi m. sphincter ani
internus.
N. pudendus, yang berisi pesan untuk mengurangi kontraksi m. sphincter ani externus
dan m. levator ani.
N. ischiadicus, untuk mengkontraksikan otot-otot hamstring.
Sinyal defekasi masuk ke medula spinalis menimbulkan efek lain, seperti mengambil
napas dalam, penutupan glottis, kontraksi otot dinding abdomen mendorong isi feses dari kolon
turun ke bawah dan saat bersamaan, dasar pelvis mengalami relaksasi dan menarik keluar cincin
anus mengeluarkan feses. Pada akhir defekasi, tunica mucosa kembali ke canalis analis akibat
tonus serabut-serabut longitudinal dinding canalis analis serta penarikan ke atas oleh m.
puborectalis (bagian dari m. levator ani). Kemudian lumen canalis analis yang kosong ditutup
oleh kontraksi tonik m. sphincter ani.
9
Refleks dalam Proses Defekasi
1. Refleks Defekasi Intrinsik
Berawal dari feses yang masuk rektum sehingga terjadi distensi rektum, yang kemudian
menyebabkan rangsangan pada fleksus mesenterika dan terjadilah gerakan perilstaltik.
Feses tiba di anus, secara sistematis spingter interna relaksasi maka terjadilah defekasi
2. Refleks Defekasi Parasimpatis
Feses yang masuk ke rektum akan merangsang saraf rektum yang kemudian diteruskan ke spinal
cord. Dari spinal cord kemudian dikembalikan ke kolon desenden, sigmoid dan rektum yang
menyebabkan intensifnya peristaltik, relaksasi spinter internal, maka terjadilah defekasi.
Dorongan feses juga dipengaruhi oleh :
Kontraksi otot abdomen
Tekanan diafragma
Kontraksi otot elevato
10
3. Jelaskan definisi konstipasi dan perbedaan antara konstipasi dan obstipasi!
Definisi Konstipasi
Sembelit (Konstipasi) adalah suatu keadaan dimana seseorang mengalami
kesulitan buang air besar atau jarang buang air besar Konstipasi akut dimulai secara tiba-
tiba dan tampak dengan jelas.
Konstipasi menahun (kronik), kapan mulainya tidak jelas dan menetap selama beberapa
bulan atau tahun. Konstipasi adalah kondisi di mana feses memiliki konsistensi keras dan
sulit dikeluarkan. Masalah ini umum ditemui pada anak-anak. Buang air besar mungkin
disertai rasa sakit dan menjadi lebih jarang dari biasa. Pada anak normal, konsistensi feses
dan frekuensi BAB dapat berbeda-beda.1,2 Bayi yang disusui ASI mungkin mengalami
BAB setiap selesai disusui atau hanya sekali dalam 7-10 hari. Bayi yang disusui formula
dan anak yang lebih besar mungkin mengalami BAB setiap 2-3 hari.
Dengan demikian frekuensi BAB yang lebih jarang atau konsistensi feses yang sedikit
lebih padat dari biasa tidak selalu harus ditangani sebagai konstipasi.. Definisi kontipasi
bersifat relatif, tergantung pada konsistensi tinja, frekuensi buang air besar dan kesulitan
keluarnya tinja.
Pada anak normal yang hanya berak setiap 2-3 hari dengan tinja yang lunak tanpa
kesulitan, bukan disebut konstipasi. Konstipasi adalah persepsi gangguan buang air besar
berupa berkurangnya frekuensi buang air besar, sensasi tidak puasnya buang air besar,
terdapat rasa sakit, harus mengejan atau feses keras.
Konstipasi berarti bahwa perjalanan tinja melalui kolon dan rektum mengalami
penghambatan dan biasanya disertai kesulitan defekasi .Disebut konstipasi bila tinja yang
keluar jumlahnya hanya sedikit, keras, kering, dan gerakan usus hanya terjadi kurang dari
3x dalam 1 mnggu.Kriteria baku untuk menentukan ada tidaknya konstipasi telah
ditetapkan, meliputi minimal 2 keluhan dari beberapa keluhan berikut yang diderita
penderita minimal 25 % selama minimal 3 bulan : (1) tinja yang keras, (2) mengejan pada
11
saat defekasi, (3) perasaan kurang puas setelah defekasi, dan (4) defekasi hanya 2 x atau
kurang dalam seminggu.
Definisi Obstipasi
Obstipasi berasal dari bahasa Latin, Ob berarti in the way = perjalanan, Stipare
berarti to compress = menekan. Secara istilah obstipasi adalah bentuk konstipasi parah
dimana biasanya disebabkan oleh terhalangnya pergerakan feses dalam usus (adanya
obstruksi usus). Gejala antara obstipasi dan konstipasi sangat mirip dimana terdapat
kesukaran mengeluarkan feses (defekasi). Namun obstipasi dibedakan dari konstipasi
berdasarkan penyebabnya ialah dimana konstipasi disebabkan selain dari obstruksi
intestinal sedangkan obstipasi karena adanya obstruksi intestinal. Gejala obstipasi berupa
pengeluaran feses yang keras dalam jangka waktu tiap 3-5 hari, kadang disertai adanya
perasaan perut penuh akibat adanya feses atau gas dalam perut.
Sebab dari obstipasi ada 2 yaitu:
1. Obstipasi akibat obstruksi dari intralumen usus meliputi akibat adanya kanker
dalam dinding usus
2. Obstipasi akibat obstruksi dari ekstralumen usus, biasanya akibat penekanan usus
oleh massa intraabdomen misalnya adanya tumor dalam abdomen yang menekan
rectum.
Obstipasi ada dua macam :
1. Obstipasi obstruksi total
Memiliki ciri tidak keluarnya feses atau flatus dan pada pemeriksaan colok dubur
didapatkan rectum yang kosong, kecuali jika obstruksi terdapat pada rectum.
2. Obstipasi obstruksi parsial.
Memiliki ciri pasien tidak dapat buang air besar selama beberapa hari tetapi
kemudian dapat mengeluarkan feses disertai gas. Keadaan obstruksi parsial
kurang darurat daripada obstruksi total.
12
4. Jelaskan hal-hal yang dapat menyebabkan konstipasi!
1. Konstipasi yang disebabkan gangguan fungsi = konstipasi simple = konstipasi temporer
2. Konstipasi sebagai gejala suatu penyakit = konstipasi simptomatik
I . Konstipasi yang disebabkan gangguan fungsi
= konstipasi simple = konstipasi temporer.
Dapat dibagi lagi atas :
1. Rektal stasis (Dyschezia)
Disebabkan karena :
a. Kebiasaan yang salah
b. Rasa nyeri pada anus
c. Inefektif pada otot – otot abdomen
d. Lesi pada diskus spinalis
e. Lain penyebab
2. Kolon stasis.
Disebabkan karena :
a. Kebiasaan yang salah
b. Intake cairan yang kurang
c. Dehidrasi
d. Insufisiensi residue selulose dalam persediaan makanan.
II. Konstipasi sebagai gejala suatu penyakit
1. Konstipasi sebagai gejala penyakit akut misalnya :
a. Dehidrasi :
Sering dehidrasi mengakibatkan timbulnya konstipasi. Biasanya setelah rehidras akan
dapat defekasi. Selain dari pada itu pada penyakit infeksi akut yang disertai dengan panas
13
misalnya pada pneumonia, meningitis, pada stadium permulaan dari tifus abdominalis
akan memberikan gejala konstipasi.
b. Obstruksi
Obstruksi intestinal yang akut biasa memberikan gejala utama adanya konstipasi.
c. Apendisitis akuta biasanya timbul konstipasi.
d. Setelah hematemesis kadang – kadang disusul dengan konstipasi.
2. Konstipasi yang kronis dapat terjadi pada :
a. Stenosis pilorikum
b. Kelainan dari kolon misalnya : karsinoma kolon, diverticulosis.
c. Kelainan dari rectum dan anus misalnya : fisura, proktitis, karsinoma rectum.
d. Kelainan pada pelvis yang biasanya karena kompresi mekanis pada rectum atau kolon
misalnya : pada wanita yang gravid maka uterusnya menekan sigmoid dan rectum,
fibroid uterus, tumor – tumor pada pelvis , kista ovarii, prolapse dari intestine yang
masuk ke dalam fossa rekto genetal.
e. Kelainan penyakit endokrin , misalnya : miksudema, diabetes mellitus , hiperparatiroidi.
f. Kelainan psikis misalnya pada depresi , anoreksia nervosa.
g. Keracunan atau karena obat – obat misalnya : karena zat logam, opiaten ( codein,
morfin), dll yang dipakai secara menahun.
14
5. Jelaskan mekanisme konstipasi!
Mekanisme Konstipasi
Kolon normalnya menerima sekitar 500 ml kimus dari usus halus per hari. Karena sebagian besar pencernaan dan penyerapan telah diselesaikan di usus halus maka isi yang disalurkan ke kolon terdiri dari residu makanan yang tak tercerna (misalnya selulosa), komponen empedu yang tidak diserap, dan cairan. Fungsi utama usus besar adalah untuk menyimpan tinja sebelum defekasi.
Motilitas utama kolon adalah kontraksi haustra yang dipicu oleh ritmisitas otonom sel-sel otot polos kolon. Gerakan kontraksi ini tidak mendorong isi usus tetapi secara perlahan mengaduknya maju-mundur sehingga isi kolon terpajan ke mukosa penyerapan. Kontraksi haustra umumnya dikontrol oleh reflex reflex local yang melibatkan pleksus intrinsic. Tiga atau empat kali sehari, umumnya setelah makan, terjadi peningkatan mencolok motilitas saat segmen-segmen besar kolon ascendes dan transversum berkontraksi secara stimultan, mendorong tinja sepertiga sampai tiga perempat panjang kolon dalam beberapa detik. Kontraksi massif ini, yang secara tepat dinamai gerakan massa, mendorong isi kolon ke bagian distal usus besar, tempat bahan disimpan sampai terjadi defekasi. Adanya reflex gastrokolon mendorong isi kolon ke dalam rectum, memicu reflex defekasi. Kemudian rectum teregang dan berkontrasi sedangkan sfingter ani internus berelaksasi dan kolon sigmoid berkontraksi lebih kuat. Jika sfingter ani eksternus melemas maka terjadi defekasi. Jika keadaan tidak memungkinkan defekasi maka pengencangan sfingter ani eksternus secara sengaja dapat mencegah defekasi meskipun reflex defekasi telah aktif. Jika defekasi ditunda maka dinding rectum yang semula teregang secara perlahan melemas, dan keinginan untuk buang air besar mereda sampai gerakan massa berikutnya mendorong lbh banyak tinja ke dalam rectum dan kembali meregangkan rectum serta memicu reflex defekasi. Jika defekasi terjadi mka biasanya dibantu oleh gerakan mengejan volunteer yang melibatkan kontraksi oto abdomen dan ekspirasi paksa dengan glottis tertutup secara bersamaan. Tindakan ini sangat meningkatkan tekanan intraabdomen, yang membantu mendorong tinja
Jika defekasi ditunda terlalu lama maka dapat terjadi konstipasi (sembelit). Ketika isi kolon tertahan lebih lama daripada normal maka H2O yang diserap dari tinja meningkat sehingga tinja menjadi kering dan keras.
Penyebab umum konstipasi adalah kegagalan pengosongan rectum saat terjadi peristaltic massa. Bila defekasi tidak sempurn, rectum menjadi relaks dan keinginan defekasi menghilang. Air tetap terus diabsorpsi dari masa feses, sehingga feses menjadi keras dan menyebabkan sukar defekasi selanjurnya
Gejala – gejala yang berkaitan dengan konstipas disebabkan oleh distensi berkepanjangan usus besar, terutama rectum; gejala setelah hilang setelah peregangan mereda.
15
Kemungkinan penyebab tertundanya defekasi yang dapat menimbulkan konstipasi mencakup
1. Mengabaikan keinginan untuk buang air besar2. Berkurangnya motilitas kolon karena usia, emosi, atau diet rendah serat3. Obstruksi gerakan feses di usus besar oleh tumor local atau spasme kolon4. Gangguan reflex defekasi, misalnya karena cedera jalur-jalur syaraf yang terlibat
16
6. Jelaskan penyakit-penyakit yang berhubungan dengan konstipasi!
Penyakit Chron . Adalah Adalah gangguan peradangan yang terus menerus dan melibatkan semua lokasi pada traktus digestivus ( traktus gastrointestinalis) dari mulut sampai ke anus.Peradangan dapat meluas dan melibatkan seluruh lapisan dinding usus dari mukosa sampai serosa, menimbulkan nyeri dan membuat usus sering memberikan reaksi pengosongan berupa diare.
Epidemiologi Penyakit chron dapat terjadi pada semua kelompok umur terutama pada umur 20-30 tahun.perbandingan risiko laki laki dan perempuan umumnya seimbang. Data mengenai PC sangat minim, namun diperkirakan kasusnya semakin meningkat dari tahun ketahun karena erat berkaitan dengan pola hidup modern .
Etiologi Penyebab pasti belum diketahui, namun beberapa ahli menduga disebabkan oleh gangguan pertahanan tubuh atau infeksi dengan virus RNA dan alergi. Gejala klinis : 1. Sakit pada kuadran kanan bawah perut 2. Diare atau konstipasi yang berulang 3. Berat badan menurun 4. Diare lendir darah
Irritable Bowel Syndrome Adalah salah satu penyakit gastroistestinal fungsional, dari adanya nyeri perut,distensi dan gangguan pola defekasi tanpa gangguan organik.
Etiologi Sampai saat ini tidak ada teori yang menyebutkan bahwa IBS disebabkan oleh satu faktor saja. Banyak faktor yang menyebabkan terjadinya IBS antara lain gangguan motilitas,intoleransi makanan,abnormalitas sensoris,hipersensitivitas viseral,dan pasca infeksi usus.
Epidemiologi Belum ada penelitian statistik jumlah penderita IBS di Indonesia. Di seluruh bagian dunia, kekerapan penyakit ini diperkirakan sangat bervariasi. Di Amerika Utara dan Eropa bagian barat, survei penduduk menunjukkan bahwa penderita IBS sebesar 12-22% dari populasi umum, sementara kekerapannya di Asia Tenggara lebih jarang yaitu sekitar kurang dari 5%. Perbedaan ini mungkin disebabkan oleh perbedaan metode survey, kriteria yang digunakan ataupun jumlah populasi yang diteliti .
17
Gejala Klinis : 1. Diare pagi hari 2. Konstipati/tinja keras 3. Perut kembung 4. Nyeri perut 5. Berak lendir 6. Demam 7. Rektum terasa selalu berisi8. Perdarahan usus 9. Berat badan menurun 10. Anemi
Kolitis Ulseratif adalah penyakit kronis dimana usus besar atau kolon mengalami inflamasi dan ulserasi menghasilkan keadaan diare berdarah, nyeri perut, dan demam
Etiologi Penyebab pasti dari penyakit ini masih belum juga diketahui. Teori tentang apa penyebab kolitis ulseratif sangat banyak, tetapi tidak satupun dapat membuktikan secara pas. Penelitian-penelitian telah dilakukan dan membuktikan adanya kemungkinan lebih dari satu penyebab dan efek kumulasi dari penyebab tersebut adalah akar dari keadaan patologis. Penyebabnya meliputi herediter, faktor genetik, faktor lingkungan, atau gangguan sistem imun. Secara garis besar dapat dibagi menjadi dua kelompok yaitu faktor ekstrinsik dan faktor intrinsic .
Faktorekstrinsik 1.Diet: asupan makanan cepat saji dan gula telah dihubungkan pada banyak penelitian dengan kemungkinan menderita kolitis ulseratif . 2.Infeksi: beberapa peneliti menyatakan bahwa kolitis ulseratif dapat berhubungan dengan beberapa infeksi saluran cerna yang disebabkan oleh mikroorganisme E. Coli. Satu teori menjelaskan bahwa virus measles yang belum dibersihkan dari tubuh dengan tuntas dapat menyebabkan inflamasi kronik ringan dari mukosa usus . 3.Obat-obatan: penelitian juga menunjukkan hubungan antara asupan oral pil kontrasepsi dan kolitis ulseratif dapat menyebabkan pasien menderita serangan apalagi jikamengkonsumsi antibiotik dan NSAIDs .
Hal yang terpenting adalah meskipun banyak dari orang yang memakan diet buruk atau mempunyai infeksi E. Coli belum pasti akan menderita kolitis Ulseratif sehinga dapat disimpulkan bahwa masih ada sesuatu yang membuat seseorang menjadi lebih rentan
Faktorintrinsic
18
1.Gangguan sistem imun: beberapa ahli percaya bahwa adanya defek pada sistem imun seseorang berperan dalam terjadinya inflamasi dinding usus. Gangguan ini ada 2 jenis: a.Alergi: beberapa penelitian menunjukan bahwa kolitis ulseratif adalah bentuk respon alergi terhadap makanan atau adanya mikroorganisme di usus . b.Autoimun: penelitian terbaru menunjukkan bahwa kolitis ulseatif dapat merupakan suatu bentuk penyakit autoimun dimana sistem pertahanan tubuh menyerang organ dan jaringan tubuh sendiri. Diantaranya adalah usus besar .
2.Genetik: penelitian terbaru menujukkan bahwa faktor genetik dapat meningkatkan kecenderungan untuk menderita kolitis ulseratif .
3.Faktor herediter: adanya anggota keluarga yang menderita kolitis ulseratif akan meningkatkan resiko anggota keluarga lain untuk menderita penyakit serupa.
4.Psikosomatik: pikiran berperan penting dalam menjaga kondisi sehat atau sakit dari tubuh. Setiap stres emosional mempunyai efek yang merugikan sistem imun sehingga dapat menyebabkan penyakit kronik seperti kolitis ulseratif. Terdapat fakta bahwa banyak pasien kolitis ulseratif mengalami situasi stres berat dikehidupannya.
Epidemiologi Di Amerika Serikat, sekitar 1 miliar orang terkena colitis ulseratif. Insidennya 10.4-12 kasus per 100.000 orang per tahunnya. Rata-rata prevalensinya antara 35-100 kasus per 100.000 orang (Basson, 2011). Sementara itu, puncak kejadian penyakit tersebut adalah antara usia 15 dan 35 tahun, penyakit ini telah dilaporkan terjadi pada setiap decade kehidupan (Ariestine, 2008). Colitis ulseratif terjadi 3 kali lebih sering daripada Crohn disease. Colitis ulseratif terjadi lebih sering pada orang kulit putih daripada orang African American atau Hispanic. Colitis ulseratif juga lebih sering terjadi pada wanita daripada laki-laki (Basson, 2011). .
Gejala Klinis 1. Berak darah 2. Diare berat 3. Anemi 4. Demam 5. Takikardi hilang timbul 6. Konstipasi
HemoroidAdalah merupakan pelebaran dan inflamasi pembuluh darah vena di daerah anus yang berasal dari plexus hemorrhoidalis.
19
Etiologi Kehamilan/kelahiran Konstipasi (karena diet rendah serat atau sering menahan buang air besar) Mengangkat benda berat Berdiri atau duduk yng lama Faktor genetik
Epidemiologi Hemoroid merupakan penyakit daerah anus yang cukup banyak ditemukan pada praktek dokter sehari hari. Di RSCM selama 2 tahun dari 414 kali pemeriksaan kolonoskopi didapatkan 108 (26,09%) kasus hemoroid. . Gejala klinis . 1. Bab sakit dan sulit .
2. Dubur terasa panas3. Adanya benjolan di dubur 4. Pendarahan di dubur 5. Berak mukus
7. Jelaskan hubungan mual, muntah, demam, pucat, tidak nafsu makan, kurus, lemas, dan terdapatnya cacing pada feses dengan konstipasi!
20
Mual
Mual adalah pengenalan secara sadar terhadap eksitasi bawah sadar pada daerah medula
yang secara erat berhubungan dengan atau merupakan bagian dari pusat muntah dan mual
yang disebabkan oleh (1) impuls iritatif yang datang dari traktus gastrointestinal, (2)
impuls yang berasal dari otak bawah yang berhubungan dengan motion sicness, atau (3)
impuls dari korteks serebri untuk mencetuskan muntah. Mual adalah sensasi subjektif tidak
nyaman untuk muntah.
Muntah
Muntah merupakan suatu cara traktus gastrointestinal membersihkan dirinya sendiri dari
isinya ketika hampirn semua bagian gastrointestinal teriritasi secara luas, sangat
mengembang atau bahkan terlalu terangsang. Sinyal sensoris yang mencetuskan muntah
terutama berasal dari faring, esofagus, lambung dan bagian atas usus halus. Impuls saraf
kemudian ditranmisikan melalui serabut saraf aferen vagal maupun saraf simpatis ke
berbagai nukleus yang tersebar di batang otak yang semuanya bersama-sama disebut pusat
muntah. Dari sini, impuls-impuls motorik yang menyebabkan muntah sesungguhnya
ditransmisikan dari pusat muntah melalui jalur saraf kranialis V. VII. IX, X, XII ke traktus
gastrointestinal bagian atas, melalui saraf vagus dan simpatis ke traktus yang lebih bawah,
dan melalui saraf spinalis ke diafragma dan otot abdomen.
Pada tahap awal, antiperistaltik mulai terjadi. Antiperistaltik berarti gerakan peristaltik ke
arah atas traktus pencernaan, bukannya ke arah bawah. Hal ini dapat dimulai sampai sejauh
ileum di traktus intestinal. Sekali pusat muntah telah cukup dirangsang dan timbul perilaku
muntah, efek yang pertama adalah (1) bernapas dalam, (2) naiknya tulang lidah dan laring
untuk menarik sfringter esofagus bagian atas supaya terbuka, (3) penutupan glotis untuk
mencegah aliran muntah memasuki paru, (4) pengangkatan palatum molle untuk menutup
nares posterior. Kemudian datang kontraksi diafragma yang kuat kebawah bersama dengan
kontraksi semua otot dinding abdomen, membentuk suatu tekanan intragastrik sampai ke
batas yang tinggi. Akhirnya sfingter esofagus bagian bawah berelaksasi secara lengkap
membuat pengeluaran ke atas melalui esofagus.
21
Etiologi
Sangat bervariasi, beberapa keadaan dapat menjadi pencetus terjadinya muntah seperti
gangguan pada lambung atau usus (infeksi, iritasi makanan, trauma), gangguan pada
telinga bagian dalam (dizziness dan motion sicknes), kelainan pada susunan saraf pusat
(trauma,infeksi), atau akibat makan yang berlebihan. Meskipun jarang, obstruksi usus
merupakan penyebab muntah juga pada bayi.
Mekanisme Terjadinya Demam
Demam (pireksia) keadaan tubuh di atas normal sebagai akibat peningkatan pusat pengatur
suhu di hipotalamus yang dipengaruhi oleh IL-1. Pengaturan suhu pada keadaan sehat atau
demam merupakan keseimbangan antara produksi dan pelepasan panas.
Pirogen adalah suatu zat yang menyebabkan demam, terdapat dua jenis pirogen yaitu
pirogen eksogen dan endogen. Zat pirogen dapat berupa protein, pecahan protein.
Pirogen eksogen biasanya merangsang demam dalam 2 jam setelah terpapar. Umumnya
pirogen berinteraksi dengan sel fagosit, makrofag atau monosit, untuk merangsang sintesis
IL-1. Mekanisme lain yang mungkin berperan sebagai pirogen eksogen (misalnya
endotoksin) bekerja langsung pada hipotalamus untuk mengubah pengatur suhu.
Mekanisme virus memproduksi demam antara lain dengan cara melakukan invansi
langsung ke dalam makrofag.
Pada mekanisme ini, mikroorganisme akan difagositosis oleh leukosit, makrofag jaringan,
dan limfosit pembunuh bergranula besar. Seluruh sel ini selanjutnya mencerna hasil
pemecahan dan melepaskan interleukin-1 ke dalam cairan tubuh, yang disebut juga
pirogen endogen.
Daerah spesifikdari IL-1 preoptik dan hipotalamus anterior, yang mengandung sekelompok
saraf termosentif yang berda di dinding rostral ventrikel III, yang disebut juga sebagai
organosumva sculorum lamina terminalis(OVTL), yaitu batas antara sirkulasi dan otak.
Selama demam, IL-1 masuk kedalam ruang perivaskular OVTL melalui jendela kapiler
22
untuk merangsang sel memproduksi PGE-2, secara difusi masuk ke hipotalamus untuk
menyebabkan demam.
Cacing Dewasa
Cacing dewasa biasanya hidup diusus halus. Gejala klinis yang paling menonjol adalah
rasa tidak enak diperut, kolik akut pada daerah epigastrium, gangguan selera makan,
mencret. Ini biasanya terjadi pada saat proses peradangan pada dinding usus. Pada anak
kejadian ini bias diikuti demam. Komplikasi yang ditakuti adalah bila cacing dewasa
menjalar ketempat lain dan menimbulkan gejala akut. Pada keadaan infeksi yang berat,
paling ditakuti bila terjadi muntah cacing, yang akan dapat menimbulkan komplikasi
penyumbatan saluran nafas oleh cacing dewasa. Pada keadaan lain dapat terjadi ileus oleh
karena sumbatan pada usus oleh massa cacing, ataupun apendisitis sebagai akibat
masuknya cacing ke dalam lumen apendiks. Bisa dijumpai penyumbatan ampulla
vateriataupun saluran empedu dan terkadang masuk kejaringanhati.(Djuanda,2010).
Gejala lain adalahn sewaktu masa inkubasi dan pada saat cacing menjadi dewasa di dalam
usus halus, yang mana hasil metabolisme cacing dapat menimbulkan fenomena sensitisasi
seperti urtikaria, asam bronchial, konjungtivitisakut, foto fobia dan terkadang hematuria.
Eosinofilia 10% atau lebih sering pada infeksi dengan Ascarislumbricoides, tetapi hal ini
tidak menggambarkan beratnya penyakit, tetapi lebih banyak menggambarkan proses
sensitisasi dan eosinofilia ini tidak patognomonis untuk infeksi Ascarislumbricoide.
Diagnosis
Dari gejala klinis sering kali susah untuk menegakkan diagnosis, karena tidak ada gejala
klinis yang spesifik sehingga diperlukan pemeriksaan laboratorium. Diagnosis ascariasis
ditegakkan berdasarkan menemukan telur cacing dalam tinja (melalui pemeriksaan
langsung atau metodekonsenntrasi), larva dalam sputum, cacing dewasa keluar dari mulut,
anus, atau dari hidung. Tingkat infeksi ascariasis dapat ditentukan dengan memeriksa
jumlah telur per gram tinja atau jumlah cacing betina yang ada dalam tubuh penderita. Satu
ekor cacing betina per-hari menghasilkan lebih kurang 200.000 telur, atau 2.000-3.000
telur per-gram tinja. Jika infeksi hanya oleh cacing jantan atau cacing yang belum dewasa
sehingga tidak ditemukan telur dalam tinja penderita, untuk diagnosis dianjurkan dilakukan
pemeriksaan foto thorax.
23
Pasien Lemas, Pucat
Pada kasus askariasis, gejala yang timbul pada penderita dapat disebabkan oleh cacing
dewasa dan larva. Selama bermigrasi larva dapat menimbulkan gejala bila merusak kapiler
atau dinding alveolus paru. Keadaan tersebut akan menyebabkan terjadinya perdarahan,
penggumpalan sel leukosit dan eksudat, yang akan menghasilkan konsolidasi paru dengan
gejala panas, batuk, batukdarah, sesak napas dan pneumonitis Askaris.
Setiap 20 cacing dewasa, per hari akan merampas 2.8 gram karbohidrat dan 0.7 gram
protein sehingga terutama pada anak ana ksering kali menimbulkan perut buncit, pucat,
lesu, rambut jarang berwarna merah serta badan kurus, apalagi jika anak sebelumnya sudah
menderita undernutrisi . Gambaran ini disebabkan oleh defisiensi gizi yang juga dapat
menimbulkan keadaan anemi.
8. Jelaskan alur diagnosis pada skenario!
24
I. Anamnesis1. Keluhan Utama
Ditanyakan tentang BABnya secara detail. Tentang onset, durasi, frekuensi, apakah disertai lender/darah, nyeri, dlla. Sejak kapan terjadi konstipasi /susah BAB? Berapa lama? Berulang, kasus
baru, atau sejak lama (lahir)?Untuk melihat tingkat keparahan dan stadium (akut atau kronik)
b. Kapan terakhir buang air besar?c. Berapa kali frekuensi buang air besar dalam seminggu?d. Bagaimana bentuk dan konsistensi fesesnya?e. Apakah butuh mengejan yang lebih keras pada saat BAB?f. Apakah butuh waktu yang lebih panjang pada saat BAB?g. Apakah telah disertai perdarahan? jika “iya”, darahnya keluar bersamaan
dengan feses atau tidak?h. Apakah disertai dengan lendir ?
BAB disertai lendir biasanya terjadi pada diarei. Bagaimana baunya? ( Amis, asam, busuk)j. Apakah rasa nyeri saat defekasi/BAB?
Untuk menunjukan apakah sudah terjadinya keganasank. Bagaimana bentuk dan warna fesesnya?
Pada keganasan bentuk fesesnya bulat kecil berwarna hitam (seperti feses kambing)
l. Apakah anusnya terasa nyeri? Jika “iya” seperti apa rasanya (panas, terbakar) ? terasanya pada saat apa?
2. Riwayat Penyakit Sekaranga. Adakah demam?
Untuk menghilangkan DD, karena pada konstipasi tidak terjadi demam. Demam biasanya terjadi karena adanya infeksi contohnya diare.
b. Adakah rasa kembung?c. Adakah pembesaran perut?d. Adakah keluhan pada kentutnya (frekuensi, susah/tidak) ?e. Apakah pasien mempunyai masalah?
Jika “iya” maka itu bukan merupakan suatu penyakit yang seriusf. Apakah pasien merasa nyeri abdomen?g. Adakah penurunan berat badan?
Untuk mengidentifikasi gejala pada keganasanh. Adakah riwayat sering lapar, haus, mengantuk, dan BAK?
Untuk mengidentifikasi gejala khas pada diabetes mellitusi. Adakah masalah berkemih (susah)?j. Apakah anus pasien terasa panas terutama saat duduk?
25
Untuk mengidentifikasi penyakit hemoroidk. Apakah pasien mengalami gangguan penglihatan (kabur, diplopia/juling)?
Untuk mengidentifikasi gejala diabetes mellitus yaitu retinopati dengan gejala khas berupa kaburnya penglihatan atau gejala sklerosis multipel yang disertai dengan diplopia/mata juling.
l. Apakah disertai mual?Pada hemoroid disertai juga dengan mual
m. Apakah disertai muntah?Pada obstruksi usus disertai dengan muntah
3. Riwayat Penyakit Dahulua. Apakah pernah sebelumnya terjadi gejala yang sama?
Untuk mengetahui apakah gejala konstipasi pernah diderita sebelumnya.b. Adakah riwayat kanker?
Untuk mengetahui apakah pasien pernah atau punya penyakit kanker, khususnya kanker intestinal sebelumnya. Memungkinkan diagnosis ke arah obstruksi saluran cerna bagian bawah oleh kanker.
c. Adakah riwayat diabetes?Untuk mengetahui apakah pasien pernah atau punya penyakit diabetes mellitus sebelumnya. Memungkinkan diagnosis ke arah penyakit sistemik diabetes mellitus.
d. Adakah riwayat hipotiroidisme (gangguan mental, gangguan mestruasi)?Untuk mengetahui apakah pasien punya gangguan hormonal (hormon tiroid).Karakteristiknya antara lain; adanya gangguan mental (depresi, retardasi mental), gangguan menstruasi (amenore), dan lainnya.
e. Adakah riwayat penyakit parkinson (tremor, kaku, masalah dalam berjalan)?Pada penderita penyakit parkinson, salah satu manifestasi kliniknya adalah konstipasi.
f. Adakah riwayat kecelakaan yang mengenai otak atau tulang belakang?Kecelakaan yang mencederai otak atau sumsum tulang belakang dapat mengakibatkan gangguan neurologis yang salah satunya dapat mengakibatkan konstipasi.
g. Adakah riwayat operasi abdomen?Untuk mengidentifikasi gejala ileo paralitik. Salah satu komplikasi pasca bedah abdomen.
4. Riwayat Penyakit Keluargaa. Adakah riwayat keganasan usus dalam keluarga?
Untuk mengetahui riwayat familial yang kemungkinan dapat diturunkan yaitu keganasan, khususnya keganasan usus.
b. Adakah riwayat diabetes dalam keluarga?
26
Untuk mengetahui riwayat familial yang kemungkinan dapat diturunkan yaitu diabetes mellitus
5. Riwayat Psikososiala. Bagaimana aktivitas fisik pasien (sering berolahraga atau tidak)?
Untuk mengidentifikasi apakah pasien sering atau jarang berolahraga atau aktivitas fisik yang serupa.
b. Bagaimana pola makanan yang sering dikonsumsi (rendah serat, sedikit minum)?Pola makan atau riwayat makan sangat penting diajukan karena pasien sering terlalu sedikit minum dan makan makanan yang rendah serat, hal inilah salah satu penyebab terjadinya konstipasi. Jika makanan yang sering dikonsumsi merupakan makanan yang rendah serat maka akan menimbulkan adanya defek intraluminalnya
6. Riwayat Pengobatana. Sudah pernah berobat/belum? Diberi obat apa?b. Apakah sedang mengkonsumsi obat lainnya?
Kemungkinan efek samping dari obat-obatan
II. Pemeriksaan FisikPada pemeriksaan fisik bisa ditemukan :1. Inspeksi
a. Distensi abdomen2. Auskultasi
a. Bising usus normal, berkurang, atau meningkat3. Perkusi4. Palpasi
a. Massa abdomen teraba pada palpasi abdomen kiri dan kanan bawah dan daerah suprapubis. Pada kasus berat, massa tinja kadang dapat teraba di daerah epigastrium.
III. Pemeriksaan Penunjang1. Rectal Toucher
a. Fisura Ani tdan Ampula Rekti yang besar dan lebarTanda penting pada konstipasi
b. Konsistensi tinja yang keras2. Kadar tiroksin dan TSH
Untuk menyingkirkan hipotiroid3. Tes serologi (antiend-omusial/ antigliadin antibody)
27
Untuk menyingkirkan Celiac diseasae4. Foto polos abdomen
Untuk melihat kabiler kolon dan massa tinja dalam kolon (pemeriksaan ini dilakukan bila pemeriksaan colok dubur tidak dapat dilakukan atau pada pemeriksaan colok dubur tidak teraba adanya distensi rectum oleh massa tinja)
5. Barium enemaUntuk screening penyakit Hirchsprung
6. Manometri anorektalUntuk mendiagnosis Hirschprung disease atau akalasia anal, dengan karakteristik tidak ada relaksasi sfingter ani interna pada rectum yang distensi (pemeriksaan ini juga dapat memberikan informasi sensai rectum, sfingter ani pada saat istirahat dan sewaktu defekasi, apakah normal atau anismus)
7. Biopsi rectumUntuk mendiagnosis Hirschprung disease
8. Transit Marker RadioopaqueUntuk mendiagnosis inersia kolon atau abnormalitas transit pada kolon
9. Manometer kolonUntuk menilai motilitas kolon
10. USG & MRI AbdomenUntuk mencari gpenyebab organic lain
9. Jelaskan bagaimana penanganan gizi yang tepat untuk anak yang mengalami konstipasi!
28
Apabila, seorang anak yang mengalami konstipasi hendaknya dilakukan pemberian diet.
Pemberian diet pada penderita konstipasi dimaksudkan agar meningkatkan volume dan berat
sisa makanan dalam kolon, meningkatkan pergerakan usus dan menurunkan tekanan
intraluminal kolon. Persyaratan diet dan pengobatan konservatif agar tercapai tujuan diet
tersebut adalah:
1. Konstipasi sederhana pada bayi:
A. Meningkatkan masukan cairan dan persentase kalori sumber karbohidrat dan
tambahkan dedak (bran) pada diet.
B. Cukup energi, protein, mineral dan vitamin.
C. Berikan buah-buahan (pepaya, jus tomat) dan sayur (bahan makanan kaya serat) yang
membantu memperbaiki konstipasi; cara pemberiannya hendaknya bertahap oleh
karena dapat menyebabkan rasa kurang nyaman, kembung dan banyak platus.
D. ASI diberikan secara eksklusif; sedangkan untuk bayi-bayi yang memakai susu
formula dianjurkan untuk memberikan tambahan air minum 1-2 sendok teh setiap
suap makanan atau memilih formula rendah besi. Pada bayi yang mendapat ASI atau
susu formula dapat pula diberikan air buah atau buah saring.
E. Pergi ke toilet dibiasakan dua kali sehari setelah makan akan dapat memperbaiki
refleks gastrokolik.
F. Obat-obatan : laktulosa atau sodium sulphosuccinate hanya diberikan pada kasus
ringan.
2. Konstipasi pada anak-anak:
A. Sama seperti anjuran yang tertera diatas.
B. Pada kasus yang lebih berat sering terjadi pada anak-anak, disini dapat diberikan
senna atau diberikan enema/stool softener dengan air salin atau dengan fosfat
hipertonik.
C. Pencegahan terbentuknya gumpalan feses yang menimbulkan konstipasi pada
anak yang lebih besar dilakukan dengan memberikan laktasif (minyak mineral) 1-
2 sendok teh 2-3 kali sehari.
Bahan makanan yang banyak mengandung serat
29
no Makanan sayur-sayuran (Per
100 gr bahan makanan)
Cara memasak Jumlah serat
(Gram
1 Bayam dikukus 1,2
2 Buncis direbus 1,5
3 Daun singkong direbus 1,6
4 Daun kacang panjang dikukus 1,8
5 Daun ubi jalar dikukus 1,5
6 Kacang panjang direbus 1,4
7 Kangkung dikukus 1,2
8 Wortel - 1,0
9 Tomat merah - 1,5
10 Toge - 1,1
11 Kacang merah - 1,1
12 Kacang polong - 1,1
Sumber : Komposisi zat gizi pangan Indonesia, Depkes RI 1980.
Bahan makanan yang diberikan sehari mengandung kurang lebih 30-65 gram serat
makanan atau 6-15 gram serat kasar (diet tinggi serat). Kombinasi beberapa makanan
dapat memenuhi ketentuan diet tinggi serat yang dianjurkan, misalnya: makanan sehari-
hari ditambahkan lebih banyak sayuran, buah-buahan, sereal, dan kacang-kacangan.
Bahan makanan yang dianjurkan lainnya, yaitu:
1. Beras merah, ketan hitam, havermut, cantel, jagung, ubi, singkong, wijen.
2. Kacang-kacangan: kacang hijau, kedelai, kacang merah, tempe.
3. Sayuran: daun katuk, kangkung, kol, sawi.
4. Buah-buahan: apel, pir, anggur, pepaya.
5. Agar-agar
Bahan makanan yang dihindarkan adalah bahan makanan yang mengandung rendah
serat, seperti gula, maizena, dan tepung aci.
10. Working Diagnosis
30
ILEUS OBSTRUKTIF ET CAUSA ASCARIASIS
Definisi
Ileus obstruktif adalah kerusakan atau hilangnya pasase isi usus yang disebabkan oleh sumbatan
mekanik. Rintangan pada jalan isi usus akan menyebabkan isi usus terhalang dan tertimbun di
bagian proksimal dari sumbatan, sehingga pada daerah proksimal tersebut akan terjadi distensi
atau dilatasi usus. Obstruksi usus juga disebut obstruksi mekanik misalnya oleh strangulasi,
invaginasi, atau sumbatan di dalam lumen usus. Pada obstruksi harus dibedakan lagi obstruksi
sederhana dari obstruksi strangulasi. Obstruksi sederhana ialah obstruksi yang tidak disertai
terjepitnya pembuluh darah. Pada strangulasi ada pembuluh darah yang terjepit sehingga terjadi
iskemia yang akan berakhir dengan nekrosis atau gangren yang ditandai dengan gejala umum
berat, yang disebabkan oleh toksin dari jaringan gangren. Jadi strangulasi memperlihatkan
kombinasi gejala obstruksi dengan gejala sistemik akibat adanya toksin dan sepsis. Obstruksi
usus yang disebabkan oleh hernia, invaginasi, adhesi, dan volvulus mungkin sekali disertai
strangulasi. Sedangkan obstruksi oleh tumor atau obstruksi oleh cacing askaris adalah obstruksi
sederhana yang jarang menyebabkan strangulasi.
Pemeriksaan penunjang ileus obstruktif et causa ascariasis
a. Pemeriksaan Radiologi
1. Foto Polos
2. Pemeriksaan radiologi dengan Barium Enema
3. CT-Scan
4. USG
5. MRI
6. Angiografi (Mansjoer, 2000).
b. Pemeriksaan Laboratiorium
Leukositosis menunjukan adanya strangulasi, pada urinalisa menunjukan dehidrasi
(Schrok, 1993).
Adanya dilatasi dari usus disertai gambaran “step ladder” dan “air fluid level” pada
foto polos abdomen mempunyai tingkat sensitivitas 66% pada obstruksi usus halus,
sedangkan sensitivitas 84% pada obstruksi kolon. Pada foto polos abdomen dapat
31
ditemukan gambaran “step ladder dan air fluid level” terutama pada obstruksi bagian
distal. Pada kolon bisa saja tidak tampak gas. Jika terjadi strangulasi dan nekrosis,
maka akan terlihat gambaran berupa hilangnya mukosa yang regular dan adanya gas
dalam dinding usus. Udara bebas pada foto thoraks tegak menunjukan adanya
perforasi usus. Penggunaan kontras tidak dianjurkan, karena dapat menyebabkan
peritonitis akibat adanya perforasi (Markogiannakis, 2007).
Penatalaksanaan Ileus obstruktif et causa ascariasis a. Persiapan sebelum operasi :
1. Pemasangan pipa nasogastrik2. Resusitasi cairan dan elektrolit3. Pemberian antibiotik, terutama jika terjadi strangulasi.
b. Operasic. Pasca bedah :d. Harus dicegah terjadinya gagal ginjal, karena cairan dan elektrolit, dan harus memberikan makanan tinggi kalori dan tinggi protein (Schrok, 1993).
Komplikasi ileus obstruktif et causa ascariasisa. Strangulasi menjadi penyebab dari kebanyakan kasus kematian akibat obstruksi usus. Isi lumen merupakan campuran bakteri yang mematikan, hasilhasil produksi bakteri, jaringan nekrolitik, dan darah. Usus yang mengalami strangulasi mungkin mengalami perforasi dan mengeluarkan materi tersebut kedalam rongga peritoneium. Tetapi meskipun usus tidak mengalami perforasi bakteri dapat melintasi usus yang permeable tersebut dan masuk kedalam sirkulasi tubuh melalui cairan getah bening dan mengakibatkan syok septic
Terapi
Dosis pada anak:• Albendazol 200 mg, pada infeksi berat dapat diberikan 2-3hari• Mebendazol 2x50 mg, selama 3 hari
Gejala klinisLarva : sindrom Loeffler larva di paru-paru batuk, demam,eosinofilia Foto thoraks: tampak infiltrat menghilang dalam 3 mingguCacing dewasa:
32
Infeksi ringan: mual,anoreksia,diare/konstipasiInfeksi berat pada anak dapat terjadi malabsorsi memperberat keadaan malnutrisi.Efek serius bila cacing ini menggumpal dalam usus obstruksi usus (ileus)
Daur hidup ascaris lumbricoides
Telur bentuk infektif tertelan,netas di usus halus larva menembus dinding usus pembuluh darah jantung paru-paruke ddng, rongga alveolusbronchiolus bronchustracheafaring (nimbulkn rangsanganpenderita batuklarva tertelan ke osefaguske usus halus cacing dewasa
No. 11 Diferensial Diagnosis 1
Demam Tifoid
33
I. Definisi
Demam tifoid disebut juga dengan Typus abdominalis atau typhoid fever. Demam
tipoid ialah penyakit infeksi akut yang biasanya terdapat pada saluran pencernaan (usus
halus) dengan gejala demam satu minggu atau lebih disertai gangguan pada saluran
pencernaan dan dengan atau tanpa gangguan kesadaran.
II. Epidemiologi
Besarnya angka pasti kasus demam tifoid di dunia sangat sulit ditentukan karena
penyakit ini dikenal mempunyai gejala dengan spektrum klinis yang sangat luas. Data
World Health Organization (WHO) tahun 2003 memperkirakan terdapat sekitar 17 juta
kasus demam tifoid di seluruh dunia dengan insidensi 600.000 kasus kematian tiap tahun.4
Di negara berkembang, kasus demam tifoid dilaporkan sebagai penyakit endemis dimana
95% merupakan kasus rawat jalan sehingga insidensi yang sebenarnya adalah 15-25 kali
lebih besar dari laporan rawat inap di rumah sakit. Di Indonesia kasus ini tersebar secara
merata di seluruh propinsi dengan insidensi di daerah pedesaan 358/100.000
penduduk/tahun dan di daerah perkotaan 760/100.000 penduduk/ tahun atau sekitar
600.000 dan 1.5 juta kasus per tahun. Umur penderita yang terkena di Indonesia dilaporkan
antara 3-19 tahun pada 91% kasus.
Salmonella typhi dapat hidup didalam tubuh manusia (manusia sebagai natural
reservoir). Manusia yang terinfeksi Salmonella typhi dapat mengekskresikannya melalui
sekret saluran nafas, urin, dan tinja dalam jangka waktu yang sangat bervariasi. Salmonella
typhi yang berada diluar tubuh manusia dapat hidup untuk beberapa minggu apabila berada
didalam air, es, debu, atau kotoran yang kering maupun pada pakaian. Akan tetapi S. Typhi
hanya dapat hidup kurang dari 1 minggu pada raw sewage, dan mudah dimatikan dengan
klorinasi dan pasteurisasi (temp 63°C).
Terjadinya penularan Salmonella typhi sebagian besar melalui minuman/makanan
yang tercemar oleh kuman yang berasal dari penderita atau pembawa kuman, biasanya
keluar bersama – sama dengan tinja (melalui rute oral fekal = jalurr oro-fekal).
Dapat juga terjadi transmisi transplasental dari seorang ibu hamil yang berada dalam
bakteremia kepada bayinya. Pernah dilaporkan pula transmisi oro-fekal dari seorang ibu
34
pembawa kuman pada saat proses kelahirannya kepada bayinya dan sumber kuman
berasal dari laboratorium penelitian.
III. Etiologi
Demam Tifoid adalah suatu infeksi yang disebabkan oleh bakteri Salmonella typhi.
Etiologi demam tifoid dan demam paratifoid adalah S. typhi, S. paratyphi A, S. paratyphi B
(S. Schotmuelleri) dan S. paratyphi C (S. Hirschfeldii).
Salmonella typhi sama dengan Salmonella yang lain adalah bakteri Gram-negatif,
mempunyai flagela, tidak berkapsul, tidak membentuk spora fakultatif anaerob.
Mempunyai antigen somatik (O) yang terdiri dari oligosakarida, flagelar antigen (H) yang
terdiri dari protein dan envelope antigen (K) yang terdiri polisakarida. Mempunyai
makromolekular lipopolisakarida kompleks yang membentuk lapis luar dari dinding sel da
dinamakan endotoksin. Salmonella typhi juga dapat memperoleh plasmid faktor-R yang
berkaitan dengan resistensi terhadap multipel antibiotik.
Gambar 2.1. Mikroskopik Salmonella Typhi
IV. Patogenesis
Patogenesis demam tifoid melibatkan 4 proses kompleks yang mengikuti ingesti
organism, yaitu: 1) penempelan dan invasi sel- sel pada Peyer Patch, 2) bakteri bertahan
hidup dan bermultiplikasi dalam makrofag Peyer Patch, nodus limfatikus mesenterica, dan
organ- organ extra intestinal sistem retikuloendotelial 3) bakteri bertahan hidup di dalam
aliran darah, 4) produksi enterotoksin yang meningkatkan kadar cAMP di dalam kripta
35
usus dan meningkatkan permeabilitas membrane usus sehingga menyebabkan keluarnya
elektrolit dan air ke dalam lumen intestinal
Masuknya kuman Salmonella typhi dan Salmonella paratyphi ke dalam tubuh
manusia terjadi melalui makanan yang terkontaminasi kuman. Sebagian kuman
dimusnahkan dalam lambung karena suasana asam di lambung (pH < 2) banyak yang mati
namun sebagian lolos masuk ke dalam usus dan berkembang biak dalam peyer patch dalam
usus. Untuk diketahui, jumlah kuman yang masuk dan dapat menyebabkan infeksi minimal
berjumlah 105 dan jumlah bisa saja meningkat bila keadaan lokal pada lambung yang
menurun seperti aklorhidria, post gastrektomi, penggunaan obat- obatan seperti antasida,
H2-bloker, dan Proton Pump Inhibitor.
Bakteri yang masih hidup akan mencapai usus halus tepatnya di jejnum dan ileum.
Bila respon imunitas humoral mukosa usus (IgA) kurang baik maka kuman akan
menembus sel- sel epitel (sel-M merupakan selnepitel khusus yang yang melapisi Peyer
Patch, merupakan port de entry dari kuman ini) dan selanjutnya ke lamina propria. Di
lamina propria kuman berkembang biak dan difagosit oleh sel- sel fagosit terutama
makrofag. Kuman dapat hidup dan berkembang biak di dalam makrofag dan selanjutnya
dibawa ke peyer patch di ileum distal dan kemudian kelenjar getah bening mesenterika.
Selanjutnya melalui ductus thoracicus, kuman yang terdapat dalam makrofag ini
masuk ke dalam sirkulasi darah (mengakibatkan bakteremia pertama yang sifatnya
asimtomatik) dan menyebar ke seluruh organ Retikuloendotelial tubuh terutama hati dan
Limpa. Di organ- organ RES ini kuman meninggalkan sel- sel fagosit dan kemudian
berkembang biak di luar sel atau ruang sinusoid dan selanjutnya kembali masuk ke
sirkulasi sistemik yang mengakibatkan bakteremia kedua dengan disertai tanda- tanda dan
gejala infeksi sistemik.
Di dalam hepar, kuman masuk ke dalam kandung empedu, berkembang biak, dan
bersama cairan empedu diekskresikan secara “intermitten” ke dalam lumen usus. Sebagian
kuman dikeluarkan bersama feses dan sebagian masuk lagi ke dalam sirkulasi setelah
menembus usus. Proses yang sama terulang kembali, berhubung makrofag telah teraktivasi
dan hiperaktif maka pada saat fagositosis kuman Salmonella terjadi beberapa pelepasan
36
mediator inflamasi yang selanjutnya akan menimbulkan gejala reaksi inflamasi sistemik
seperti demam, malaise, mialgia, sakit kepala, sakit perut, diare diselingi konstipasi,
sampai gangguan mental dalam hal ini adalah delirium. Pada anak- anak gangguan mental
ini biasanya terjadi sewaktu tidur berupa mengigau yang terjadi dalam 3 hari berturut-
turut.
Dalam Peyer Patch makrofag hiperaktif menimbulkan reaksi hiperplasi jaringan (S.
typhi intra makrofag menginduksi reaksi hipersensitivitas tipe lambat, hyperplasia jaringan
dan nekrosis organ). Perdarahan saluran cerna dapat terjadi akibat erosi pembuluh darah
sekitar peyer patch yang sedang mengalami nekrosis dan hiperplasi akibat akumulasi sel-
sel mononuclear di dinding usus.
Proses patologis jaringan limfoid ini dapat berkembang hingga ke lapisan otot, serosa
usus, dan dapat mengakibatkan perforasi. Endotoxin dapat menempel di reseptor sel
endotel kapiler dengan akibat timbulnya komplikasi seperti gangguan neuropsikiatrik,
kardiovaskuler, respirasi, dan gangguan organ lainnya.
Peran endotoksin dalam pathogenesis demam tifoid tidak jelas, hal tersebut terbukti
dengan tidak terdeteksinya endotoksin dalam sirkulasi penderita melalui pemeriksaan
limulus. Diduga endotoksin dari salmonella typhi ini menstimulasi makrofag di dalam
hepar, lien, folikel usus halus dan kelenjar limfe mesenterika untuk memproduksi sitokin
dan zat- zat lain. Produk dari makrofag inilah yang dapat menimbulkan kelainan anatomis
seperti nekrosis sel, sistem vaskuler, yang tidak stabil, demam, depresi sumsum tulang,
kelainan pada darah dan juga menstimulasi sistem imunologis.
Demam Tifoid adalah suatu infeksi yang disebabkan oleh bakteri Salmonella typhi.
Etiologi demam tifoid dan demam paratifoid adalah S. typhi, S. paratyphi A, S. paratyphi B
37
(S. Schotmuelleri) dan S. paratyphi C (S. Hirschfeldii).
Bagan 2.1. Patofisiologi Demam Tifoid
V. Manifestasi klinik
Manifestasi klinis pada anak umumnya bersifat lebih ringan, lebih bervariasi bila
dibandingkan dengan penderita dewasa. Bila hanya berpegang pada gejala atau tanda
38
klinis, akan lebih sulit untuk menegakkan diagnosis demam tifoid pada anak, terutama
pada penderita yang lebih muda, seperti pada tifoid kongenital ataupun tifoid pada bayi.
Masa inkubasi rata-rata bervariasi antara 7 – 20 hari, dengan masa inkubasi
terpendek 3 hari dan terpanjang 60 hari. Dikatakan bahwa masa inkubasi mempunyai
korelasi dengan jumlah kuman yang ditelan, keadaan umum/status gizi serta status
imunologis penderita.
Walupun gejala demam tifoid pada anak lebih bervariasi, secara garis besar gejala-
gejala yang timbul dapat dikelompokkan :
Demam satu minggu atau lebih.
Gangguan saluran pencernaan
Gangguan kesadaran
Dalam minggu pertama, keluhan dan gejala menyerupai penyakit infeksi akut pada
umumnya, seperti demam, nyeri kepala, anoreksia, mual, muntah, diare, konstipasi. Pada
pemeriksaan fisik, hanya didapatkan suhu badan yang meningkat. Setelah minggu kedua,
gejala/ tanda klinis menjadi makin jelas, berupa demam remiten, lidah tifoid, pembesaran
hati dan limpa, perut kembung mungkin disertai ganguan kesadaran dari yang ringan
sampai berat.
Demam yang terjadi pada penderita anak tidak selalu tipikal seperti pada orang
dewasa, kadang-kadang mempunyai gambaran klasik berupa stepwise pattern, dapat pula
mendadak tinggi dan remiten (39 – 41o C) serta dapat pula bersifat ireguler terutama pada
bayi yang tifoid kongenital.
Lidah tifoid biasanya terjadi beberapa hari setelah panas meningkat dengan tanda-
tanda antara lain, lidah tampak kering, diolapisi selaput tebal, di bagian belakang tampak
lebih pucat, di bagian ujung dan tepi lebih kemerahan. Bila penyakit makin progresif, akan
terjadi deskuamasi epitel sehingga papila lebih prominen.
Roseola lebih sering terjadi pada akhir minggu pertama dan awal minggu kedua.
Merupakan suatu nodul kecil sedikit menonjol dengan diameter 2 – 4 mm, berwarna merah
pucat serta hilang pada penekanan. Roseola ini merupakan emboli kuman yang didalamnya
mengandung kuman salmonella, dan terutama didapatkan di daerah perut, dada, kadang-
kadang di bokong, ataupun bagian fleksor lengan atas.
39
Limpa umumnya membesar dan sering ditemukan pada akhir minggu pertama dan
harus dibedakan dengan pembesaran karena malaria. Pembesaran limpa pada demam tifoid
tidak progresif dengan konsistensi lebih lunak.
Rose spot, suatu ruam makulopapular yang berwarna merah dengan ukuran 1 – 5
mm, sering kali dijumpai pada daerah abdomen, toraks, ekstremitas dan punggung pada
orang kulit putih, tidak pernah dilaporkan ditemukan pada anak Indonesia. Ruam ini
muncul pada hari ke 7 – 10 dan bertahan selama 2 -3 hari.
Pengamatan selama 6 tahun (1987-1992) di Lab/SMF Ilmu Kesehatan Anak FK
Unair/RSU Dr.Soetomo Surabaya terhadap 434 anak berumur 1-12 tahun dengan diagnosis
demam tifoid atas dasar ditemukannya S.typhi dalam darah dan 85% telah mendapatkan
terapi antibiotika sebelum masuk rumah sakit serta tanpa memperhitungkan dimensi waktu
sakit penderita, didapatkan keluhan dan gejala klinis pada penderita sebagai berikut : panas
(100%), anoreksia (88%), nyeri perut (49%), muntah (46%), obstipasi (43%) dan diare
(31%). Dari pemeriksaan fisik didapatkan kesadaran delirium (16%), somnolen (5%) dan
sopor (1%) serta lidah kotor (54%), meteorismus (66%), hepatomegali (67%) dan
splenomegali (7%).10 Hal ini sesuai dengan penelitian di RS Karantina Jakarta dengan diare
(39,47%), sembelit (15,79%), sakit kepala (76,32%), nyeri perut (60,5%), muntah
(26,32%), mual (42,11%), gangguan kesadaran (34,21%), apatis (31,58%) dan delirium
(2,63%). Sedangkan tanda klinis yang lebih jarang dijumpai adalah disorientasi, bradikardi
relatif, ronki, sangat toksik, kaku kuduk, penurunan pendengaran, stupor dan kelainan
neurologis fokal.
VI. Pemeriksaan penunjang
Pemeriksaan laboratorium untuk membantu menegakkan diagnosis demam tifoid dibagi
dalam empat kelompok, yaitu :
1. Pemeriksaan darah tepi
Pada demam tifoid sering disertai anemia dari yang ringan sampai sedang
dengan peningkatan laju endap darah, gangguan eritrosit normokrom normositer, yang
diduga karena efek toksik supresi sumsum tulang atau perdarahan usus. Tidak selalu
ditemukan leukopenia, diduga leukopenia disebabkan oleh destruksi leukosit oleh
40
toksin dalam peredaran darah. Sering hitung leukosit dalam batas normal dan dapat
pula leukositosis, terutama bila disertai komplikasi lain. Trombosit jumlahnya
menurun, gambaran hitung jenis didapatkan limfositosis relatif, aneosinofilia, dapat
shift to the left ataupun shift to the right bergantung pada perjalanan penyakitnya.
SGOT dan SGPT seringkali meningkat, tetapi akan kembali menjadi normal setelah
sembuh. Kenaikan SGOT dan SGPT tidak memerlukan penanganan khusus.
Gambaran sumsum tulang menunjukkan normoseluler, eritroid dan mieloid
sistem normal, jumlah megakariosit dalam batas normal.
2. Uji serologis
Uji serologis digunakan untuk membantu menegakkan diagnosis demam tifoid
dengan mendeteksi antibodi spesifik terhadap komponen antigen S. typhi maupun
mendeteksi antigen itu sendiri. Volume darah yang diperlukan untuk uji serologis ini
adalah 1-3 mL yang diinokulasikan ke dalam tabung tanpa antikoagulan.
Metode pemeriksaan serologis imunologis ini dikatakan mempunyai nilai
penting dalam proses diagnostik demam tifoid. Akan tetapi masih didapatkan adanya
variasi yang luas dalam sensitivitas dan spesifisitas pada deteksi antigen spesifik S.
typhi oleh karena tergantung pada jenis antigen, jenis spesimen yang diperiksa, teknik
yang dipakai untuk melacak antigen tersebut, jenis antibodi yang digunakan dalam uji
(poliklonal atau monoklonal) dan waktu pengambilan spesimen (stadium dini atau
lanjut dalam perjalanan penyakit).
Beberapa uji serologis yang dapat digunakan pada demam tifoid ini meliputi :
a) Uji Widal
Uji serologi standar yang rutin digunakan untuk mendeteksi antibodi terhadap
kuman S.typhi yaitu uji Widal. Uji telah digunakan sejak tahun 1896. Pada uji
Widal terjadi reaksi aglutinasi antara antigen kuman S.typhi dengan antibodi yang
disebut aglutinin. Prinsip uji Widal adalah serum penderita dengan pengenceran
yang berbeda ditambah dengan antigen dalam jumlah yang sama. Jika pada serum
terdapat antibodi maka akan terjadi aglutinasi. Pengenceran tertinggi yang masih
menimbulkan aglutinasi menunjukkan titer antibodi dalam serum.
41
Maksud uji widal adalah untuk menentukan adanya aglutinin dalam serum
penderita tersangka demam tifoid yaitu;
1. Aglutinin O (dari tubuh kuman)
2. Aglutinin H (flagel kuman)
3. Aglutinin Vi (simpai kuman).
Dari ketiga aglutinin tersebut hanya aglutinin O dan H yang digunakan untuk
diagnosis demam tifoid. Semakin tinggi titernya semakin besar kemungkinan
terinfeksi kuman ini.
Pada demam tifoid mula-mula akan terjadi peningkatan titer antibodi O.
Antibodi H timbul lebih lambat, namun akan tetap menetap lama sampai beberapa
tahun, sedangkan antibodi O lebih cepat hilang. Pada seseorang yang telah sembuh,
aglutinin O masih tetap dijumpai setelah 4-6 bulan, sedangkan aglutinin H menetap
lebih lama antara 9 bulan – 2 tahun. Antibodi Vi timbul lebih lambat dan biasanya
menghilang setelah penderita sembuh dari sakit. Pada pengidap S.typhi, antibodi Vi
cenderung meningkat. Antigen Vi biasanya tidak dipakai untuk menentukan
diagnosis infeksi, tetapi hanya dipakai untuk menentukan pengidap S.typhi.
Di Indonesia pengambilan angka titer O aglutinin ≥ 1/40 dengan memakai uji
widal slide aglutination (prosedur pemeriksaan membutuhkan waktu 45 menit)
menunjukkan nilai ramal positif 96%. Artinya apabila hasil tes positif, 96% kasus
benar sakit demam tifoid, akan tetapi apabila negatif tidak menyingkirkan. Banyak
senter mengatur pendapat apabila titer O aglutinin sekali periksa ≥ 1/200 atau pada
titer sepasang terjadi kenaikan 4 kali maka diagnosis demam tifoid dapat
ditegakkan. Aglutinin H banyak dikaitkan dengan pasca imunisasi atau infeksi masa
lampau, sedang Vi aglutinin dipakai pada deteksi pembawa kuman S. typhi (karier).
Banyak peneliti mengemukanan bahwa uji serologi widal kurang dapat dipercaya
sebab dapat timbul positif palsu pada kasus demam tifoid yang terbukti biakan
darah positif.
Ada 2 faktor yang mempengaruhi uji Widal yaitu faktor yang berhubungan
dengan penderita dan faktor teknis.
Faktor yang berhubungan dengan penderita, yaitu
1. Pengobatan dini dengan antibiotik, pemberian kortikosteroid.
42
2. Gangguan pembentukan antibodi.
3. Saat pengambilan darah.
4. Daerah endemik atau non endemik.
5. Riwayat vaksinasi.
6. Reaksi anamnesik, yaitu peningkatan titer aglutinin pada infeksi bukan
demam akibat infeksi demam tifoid masa lalu atau vaksinasi.
Faktor teknik, yaitu
1. Akibat aglutinin silang.
2. Strain Salmonella yang digunakan untuk suspensi antigen.
3. Teknik pemeriksaan antar laboratorium.
Beberapa keterbatasan uji Widal ini adalah:
Negatif Palsu
Pemberian antibiotika yang dilakukan sebelumnya (ini kejadian paling sering
di negara kita, demam –> kasih antibiotika –> nggak sembuh dalam 5 hari –>
tes Widal) menghalangi respon antibodi.
Padahal sebenarnya bisa positif jika dilakukan kultur darah.
Positif Palsu
Beberapa jenis serotipe Salmonella lainnya (misalnya S. paratyphi A, B, C)
memiliki antigen O dan H juga, sehingga menimbulkan reaksi silang dengan
jenis bakteri lainnya, dan bisa menimbulkan hasil positif palsu (false positive).
Padahal sebenarnya yang positif kuman non S. typhi (bukan tifoid).
b) Tes TUBEX
Tes TUBEX® merupakan tes aglutinasi kompetitif semi kuantitatif yang
sederhana dan cepat (kurang lebih 2 menit) dengan menggunakan partikel yang
berwarna untuk meningkatkan sensitivitas. Spesifisitas ditingkatkan dengan
menggunakan antigen O9 yang benar-benar spesifik yang hanya ditemukan pada
Salmonella serogrup D. Tes ini sangat akurat dalam diagnosis infeksi akut karena
43
hanya mendeteksi adanya antibodi IgM dan tidak mendeteksi antibodi IgG dalam
waktu beberapa menit.
Walaupun belum banyak penelitian yang menggunakan tes TUBEX® ini,
beberapa penelitian pendahuluan menyimpulkan bahwa tes ini mempunyai
sensitivitas dan spesifisitas yang lebih baik daripada uji Widal. Penelitian oleh Lim
dkk (2002) mendapatkan hasil sensitivitas 100% dan spesifisitas 100%.15 Penelitian
lain mendapatkan sensitivitas sebesar 78% dan spesifisitas sebesar 89%.9 Tes ini
dapat menjadi pemeriksaan yang ideal, dapat digunakan untuk pemeriksaan secara
rutin karena cepat, mudah dan sederhana, terutama di negara berkembang.
Ada 4 interpretasi hasil :
Skala 2-3 adalah Negatif Borderline. Tidak menunjukkan infeksi demam tifoid.
Sebaiknya dilakukan pemeriksaan ulang 3-5 hari kemudian.
Skala 4-5 adalah Positif. Menunjukkan infeksi demam tifoid
Skala > 6 adalah positif. Indikasi kuat infeksi demam tifoid
Penggunaan antigen 09 LPS memiliki sifat- sifat sebagai berikut:
Immunodominan yang kuat
Bersifat thymus independent tipe 1, imunogenik pada bayi (antigen Vi dan H
kurang imunogenik) dan merupakan mitogen yang sangat kuat terhadap sel B.
Dapat menstimulasi sel limfosit B tanpa bantuan limfosit T sehingga respon
antibodi dapat terdeteksi lebih cepat.
Lipopolisakarida dapat menimbulkan respon antibodi yang kuat dan cepat
melalui aktivasi sel B via reseptor sel B dan reseptor yang lain.
Spesifitas yang tinggi (90%) dikarenakan antigen 09 yang jarang ditemukan
baik di alam maupun diantara mikroorganisme
Kelebihan pemeriksaan menggunakan tes TUBEX :
Mendeteksi infeksi akut Salmonella
Muncul pada hari ke 3 demam
Sensifitas dan spesifitas yang tinggi terhadap kuman Salmonella
Sampel darah yang diperlukan relatif sedikit
44
Hasil dapat diperoleh lebih cepat
c) Metode enzyme immunoassay (EIA) DOT
Uji serologi ini didasarkan pada metode untuk melacak antibodi spesifik IgM
dan IgG terhadap antigen OMP 50 kD S. typhi. Deteksi terhadap IgM menunjukkan
fase awal infeksi pada demam tifoid akut sedangkan deteksi terhadap IgM dan IgG
menunjukkan demam tifoid pada fase pertengahan infeksi. Pada daerah endemis
dimana didapatkan tingkat transmisi demam tifoid yang tinggi akan terjadi
peningkatan deteksi IgG spesifik akan tetapi tidak dapat membedakan antara kasus
akut, konvalesen dan reinfeksi. Pada metode Typhidot-M® yang merupakan
modifikasi dari metode Typhidot® telah dilakukan inaktivasi dari IgG total sehingga
menghilangkan pengikatan kompetitif dan memungkinkan pengikatan antigen
terhadap Ig M spesifik.
Penelitian oleh Purwaningsih dkk (2001) terhadap 207 kasus demam tifoid
bahwa spesifisitas uji ini sebesar 76.74% dengan sensitivitas sebesar 93.16%, nilai
prediksi positif sebesar 85.06% dan nilai prediksi negatif sebesar 91.66%.16
Sedangkan penelitian oleh Gopalakhrisnan dkk (2002) pada 144 kasus demam
tifoid mendapatkan sensitivitas uji ini sebesar 98%, spesifisitas sebesar 76.6% dan
efisiensi uji sebesar 84%. Penelitian lain mendapatkan sensitivitas sebesar 79% dan
spesifisitas sebesar 89%.
Uji dot EIA tidak mengadakan reaksi silang dengan salmonellosis non-tifoid
bila dibandingkan dengan Widal. Dengan demikian bila dibandingkan dengan uji
Widal, sensitivitas uji dot EIA lebih tinggi oleh karena kultur positif yang
bermakna tidak selalu diikuti dengan uji Widal positif. Dikatakan bahwa Typhidot-
M® ini dapat menggantikan uji Widal bila digunakan bersama dengan kultur untuk
mendapatkan diagnosis demam tifoid akut yang cepat dan akurat.
Beberapa keuntungan metode ini adalah memberikan sensitivitas dan
spesifisitas yang tinggi dengan kecil kemungkinan untuk terjadinya reaksi silang
dengan penyakit demam lain, murah (karena menggunakan antigen dan membran
nitroselulosa sedikit), tidak menggunakan alat yang khusus sehingga dapat
45
digunakan secara luas di tempat yang hanya mempunyai fasilitas kesehatan
sederhana dan belum tersedia sarana biakan kuman. Keuntungan lain adalah bahwa
antigen pada membran lempengan nitroselulosa yang belum ditandai dan diblok
dapat tetap stabil selama 6 bulan bila disimpan pada suhu 4°C dan bila hasil
didapatkan dalam waktu 3 jam setelah penerimaan serum pasien.
d) Metode enzyme-linked immunosorbent assay (ELISA)
Uji Enzyme-Linked Immunosorbent Assay (ELISA) dipakai untuk melacak
antibodi IgG, IgM dan IgA terhadap antigen LPS O9, antibodi IgG terhadap antigen
flagella d (Hd) dan antibodi terhadap antigen Vi S. typhi. Uji ELISA yang sering
dipakai untuk mendeteksi adanya antigen S. typhi dalam spesimen klinis adalah
double antibody sandwich ELISA. Chaicumpa dkk (1992) mendapatkan sensitivitas
uji ini sebesar 95% pada sampel darah, 73% pada sampel feses dan 40% pada
sampel sumsum tulang. Pada penderita yang didapatkan S. typhi pada darahnya, uji
ELISA pada sampel urine didapatkan sensitivitas 65% pada satu kali pemeriksaan
dan 95% pada pemeriksaan serial serta spesifisitas 100%.18 Penelitian oleh Fadeel
dkk (2004) terhadap sampel urine penderita demam tifoid mendapatkan sensitivitas
uji ini sebesar 100% pada deteksi antigen Vi serta masing-masing 44% pada deteksi
antigen O9 dan antigen Hd. Pemeriksaan terhadap antigen Vi urine ini masih
memerlukan penelitian lebih lanjut akan tetapi tampaknya cukup menjanjikan,
terutama bila dilakukan pada minggu pertama sesudah panas timbul, namun juga
perlu diperhitungkan adanya nilai positif juga pada kasus dengan Brucellosis.
e) Pemeriksaan dipstik
Uji serologis dengan pemeriksaan dipstik dikembangkan di Belanda dimana
dapat mendeteksi antibodi IgM spesifik terhadap antigen LPS S. typhi dengan
menggunakan membran nitroselulosa yang mengandung antigen S. typhi sebagai
pita pendeteksi dan antibodi IgM anti-human immobilized sebagai reagen kontrol.
Pemeriksaan ini menggunakan komponen yang sudah distabilkan, tidak
memerlukan alat yang spesifik dan dapat digunakan di tempat yang tidak
mempunyai fasilitas laboratorium yang lengkap.
46
Penelitian oleh Gasem dkk (2002) mendapatkan sensitivitas uji ini sebesar
69.8% bila dibandingkan dengan kultur sumsum tulang dan 86.5% bila
dibandingkan dengan kultur darah dengan spesifisitas sebesar 88.9% dan nilai
prediksi positif sebesar 94.6%.20 Penelitian lain oleh Ismail dkk (2002) terhadap 30
penderita demam tifoid mendapatkan sensitivitas uji ini sebesar 90% dan
spesifisitas sebesar 96%.21 Penelitian oleh Hatta dkk (2002) mendapatkan rerata
sensitivitas sebesar 65.3% yang makin meningkat pada pemeriksaan serial yang
menunjukkan adanya serokonversi pada penderita demam tifoid.22 Uji ini terbukti
mudah dilakukan, hasilnya cepat dan dapat diandalkan dan mungkin lebih besar
manfaatnya pada penderita yang menunjukkan gambaran klinis tifoid dengan hasil
kultur negatif atau di tempat dimana penggunaan antibiotika tinggi dan tidak
tersedia perangkat pemeriksaan kultur secara luas.
3. Pemeriksaan bakteriologis dengan isolasi dan biakan kuman
Diagnosis pasti demam tifoid dapat ditegakkan bila ditemukan bakteri S. typhi
dalam biakan dari darah, urine, feses, sumsum tulang, cairan duodenum atau dari rose
spots. Berkaitan dengan patogenesis penyakit, maka bakteri akan lebih mudah
ditemukan dalam darah dan sumsum tulang pada awal penyakit, sedangkan pada
stadium berikutnya di dalam urine dan feses.
Hasil biakan yang positif memastikan demam tifoid akan tetapi hasil negatif
tidak menyingkirkan demam tifoid, karena hasilnya tergantung pada beberapa faktor.
Faktor-faktor yang mempengaruhi hasil biakan meliputi (1) jumlah darah yang
diambil; (2) perbandingan volume darah dari media empedu; dan (3) waktu
pengambilan darah.
Volume 10-15 mL dianjurkan untuk anak besar, sedangkan pada anak kecil
dibutuhkan 2-4 mL. Sedangkan volume sumsum tulang yang dibutuhkan untuk kultur
hanya sekitar 0.5-1 mL. Bakteri dalam sumsum tulang ini juga lebih sedikit
dipengaruhi oleh antibiotika daripada bakteri dalam darah. Hal ini dapat menjelaskan
teori bahwa kultur sumsum tulang lebih tinggi hasil positifnya bila dibandingkan
dengan darah walaupun dengan volume sampel yang lebih sedikit dan sudah
mendapatkan terapi antibiotika sebelumnya. Media pembiakan yang direkomendasikan
47
untuk S.typhi adalah media empedu (gall) dari sapi dimana dikatakan media Gall ini
dapat meningkatkan positivitas hasil karena hanya S. typhi dan S. paratyphi yang dapat
tumbuh pada media tersebut.
Biakan darah terhadap Salmonella juga tergantung dari saat pengambilan pada
perjalanan penyakit. Beberapa peneliti melaporkan biakan darah positif 40-80% atau
70-90% dari penderita pada minggu pertama sakit dan positif 10-50% pada akhir
minggu ketiga. Sensitivitasnya akan menurun pada sampel penderita yang telah
mendapatkan antibiotika dan meningkat sesuai dengan volume darah dan rasio darah
dengan media kultur yang dipakai. Bakteri dalam feses ditemukan meningkat dari
minggu pertama (10-15%) hingga minggu ketiga (75%) dan turun secara perlahan.
Biakan urine positif setelah minggu pertama. Biakan sumsum tulang merupakan
metode baku emas karena mempunyai sensitivitas paling tinggi dengan hasil positif
didapat pada 80-95% kasus dan sering tetap positif selama perjalanan penyakit dan
menghilang pada fase penyembuhan. Metode ini terutama bermanfaat untuk penderita
yang sudah pernah mendapatkan terapi atau dengan kultur darah negatif sebelumnya.
Prosedur terakhir ini sangat invasif sehingga tidak dipakai dalam praktek sehari-hari.
Pada keadaan tertentu dapat dilakukan kultur pada spesimen empedu yang diambil dari
duodenum dan memberikan hasil yang cukup baik akan tetapi tidak digunakan secara
luas karena adanya risiko aspirasi terutama pada anak. Salah satu penelitian pada anak
menunjukkan bahwa sensitivitas kombinasi kultur darah dan duodenum hampir sama
dengan kultur sumsum tulang.
Kegagalan dalam isolasi/biakan dapat disebabkan oleh keterbatasan media
yang digunakan, adanya penggunaan antibiotika, jumlah bakteri yang sangat minimal
dalam darah, volume spesimen yang tidak mencukupi, dan waktu pengambilan
spesimen yang tidak tepat.
Walaupun spesifisitasnya tinggi, pemeriksaan kultur mempunyai sensitivitas
yang rendah dan adanya kendala berupa lamanya waktu yang dibutuhkan (5-7 hari)
serta peralatan yang lebih canggih untuk identifikasi bakteri sehingga tidak praktis dan
tidak tepat untuk dipakai sebagai metode diagnosis baku dalam pelayanan penderita.
48
4. Pemeriksaan kuman secara molekuler
Metode lain untuk identifikasi bakteri S. typhi yang akurat adalah mendeteksi
DNA (asam nukleat) gen flagellin bakteri S. typhi dalam darah dengan teknik
hibridisasi asam nukleat atau amplifikasi DNA dengan cara polymerase chain reaction
(PCR) melalui identifikasi antigen Vi yang spesifik untuk S. typhi.
Penelitian oleh Haque dkk (1999) mendapatkan spesifisitas PCR sebesar 100%
dengan sensitivitas yang 10 kali lebih baik daripada penelitian sebelumnya dimana
mampu mendeteksi 1-5 bakteri/mL darah. Penelitian lain oleh Massi dkk (2003)
mendapatkan sensitivitas sebesar 63% bila dibandingkan dengan kultur darah (13.7%)
dan uji Widal (35.6%).
Kendala yang sering dihadapi pada penggunaan metode PCR ini meliputi risiko
kontaminasi yang menyebabkan hasil positif palsu yang terjadi bila prosedur teknis
tidak dilakukan secara cermat, adanya bahan-bahan dalam spesimen yang bisa
menghambat proses PCR (hemoglobin dan heparin dalam spesimen darah serta
bilirubin dan garam empedu dalam spesimen feses), biaya yang cukup tinggi dan
teknis yang relatif rumit. Usaha untuk melacak DNA dari spesimen klinis masih belum
memberikan hasil yang memuaskan sehingga saat ini penggunaannya masih terbatas
dalam laboratorium penelitian.
VII. Diagnosis
Demam tifoid pada anak biasanya memberikan gambaran klinis yang ringan bahkan
asimtomatik. Walaupun gejala klinis sangat bervariasi namun gejala yang timbul setelah
inkubasi dapat dibagi dalam (1) demam, (2) gangguan saluran pencernaan, dan (3)
gangguan kesadaran. Timbulnya gejala klinis biasanya bertahap dengan manifestasi
demam dan gejala konstitusional seperti nyeri kepala, malaise, anoreksia, letargi, nyeri dan
kekakuan abdomen, pembesaran hati dan limpa, serta gangguan status mental. Sembelit
dapat merupakan gangguan gastointestinal awal dan kemudian pada minggu ke-dua timbul
diare. Diare hanya terjadi pada setengah dari anak yang terinfeksi, sedangkan sembelit
lebih jarang terjadi. Dalam waktu seminggu panas dapat meningkat. Lemah, anoreksia,
49
penurunan berat badan, nyeri abdomen dan diare, menjadi berat. Dapat dijumpai depresi
mental dan delirium. Keadaan suhu tubuh tinggi dengan bradikardia lebih sering terjadi
pada anak dibandingkan dewasa. Rose spots (bercak makulopapular) ukuran 1-6 mm, dapat
timbul pada kulit dada dan abdomen, ditemukan pada 40-80% penderita dan berlangsung
singkat (2-3 hari). Jika tidak ada komplikasi dalam 2-4 minggu, gejala dan tanda klinis
menghilang namun malaise dan letargi menetap sampai 1-2 bulan.
Gambaran klinis lidah tifoid pada anak tidak khas karena tanda dan gejala klinisnya
ringan bahkan asimtomatik. Akibatnya sering terjadi kesulitan dalam menegakkan
diagnosis bila hanya berdasarkan gejala klinis. Oleh karena itu untuk menegakkan
diagnosis demam tifoid perlu ditunjang pemeriksaan laboratorium yang diandalkan.
Pemeriksaan laboratorium untuk membantu menegakkan diagnosis demam tifoid meliputi
pemeriksaan darah tepi, serologis, dan bakteriologis.
VIII. Diagnosis Banding
Pada stadium dini demam tifoid, beberapa penyakit kadang-kadang secara klinis
dapat menjadi diagnosis bandingnya yaitu influenza, gastroenteritis, bronkitis dan
bronkopneumonia. Beberapa penyakit yang disebabkan oleh mikroorganisme intraseluler
seperti tuberkulosis, infeksi jamur sistemik, bruselosis, tularemia, shigelosis dan malaria
juga perlu dipikirkan. Pada demam tifoid yang berat, sepsis, leukimia, limfoma dan
penyakit hodgkin dapat sebagai dignosis banding.
IX. Penatalaksanaan
IX.1. Non Medika Mentosa
a) Tirah baring
Seperti kebanyakan penyakit sistemik, istirahat sangat membantu. Pasien harus
diedukasi untuk tinggal di rumah dan tidak bekerja sampai pemulihan.
b) Nutrisi
Pemberian makanan tinggi kalori dan tinggi protein (TKTP) rendah serat adalah yang
paling membantu dalam memenuhi nutrisi penderita namun tidak memperburuk kondisi
usus. Sebaiknya rendah selulosa (rendah serat) untuk mencegah perdarahan dan
50
perforasi. Diet untuk penderita demam tifoid, basanya diklasifikasikan atas diet cair,
bubur lunak, tim, dan nasi biasa.
c) Cairan
Penderita harus mendapat cairan yang cukup, baik secara oral maupun parenteral.
Cairan parenteral diindikasikan pada penderita sakit berat, ada komplikasi, penurunan
kesadaran serta yang sulit makan. Cairan harus mengandung elektrolit dan kalori yang
optimal. Kebutuhan kalori anak pada infus setara dengan kebutuhan cairan rumatannya.
d) Kompres air hangat
Mekanisme tubuh terhadap kompres hangat dalam upaya menurunkan suhu tubuh yaitu
dengan pemberian kompres hangat pada daerah tubuh akan memberikan sinyal ke
hipotalamus melalui sumsum tulang belakang. Ketika reseptor yang peka terhadap
panas di hipotalamus dirangsang, sistem efektor mengeluarkan sinyal yang memulai
berkeringat dan vasodilatasi perifer. Perubahan ukuran pembuluh darah diatur oleh
pusat vasomotor pada medulla oblongata dari tangkai otak, dibawah pengaruh
hipotalamik bagian anterior sehingga terjadi vasodilatasi. Terjadinya vasodilatasi ini
menyebabkan pembuangan/ kehilangan energi/ panas melalui kulit meningkat
(berkeringat), diharapkan akan terjadi penurunan suhu tubuh sehingga mencapai
keadaan normal kembali. Hal ini sependapat dengan teori yang dikemukakan oleh Aden
(2010) bahwa tubuh memiliki pusat pengaturan suhu (thermoregulator) di hipotalamus.
Jika suhu tubuh meningkat, maka pusat pengaturan suhu berusaha menurunkannya
begitu juga sebaliknya.
IX.2. Medika Mentosa
a) Simptomatik
Panas yang merupakan gejala utama pada tifoid dapat diberi antipiretik. Bila mungkin
peroral sebaiknya diberikan yang paling aman dalam hal ini adalah Paracetamol dengan
dosis 10 mg/kg/kali minum, sedapat mungkin untuk menghindari aspirin dan
turunannya karena mempunyai efek mengiritasi saluran cerna dengan keadaan saluran
cerna yang masih rentan kemungkinan untuk diperberat keadaannya sangatlah mungkin.
51
Bila tidak mampu intake peroral dapat diberikan via parenteral, obat yang masih
dianjurkan adalah yang mengandung Methamizole Na yaitu antrain atau Novalgin.
b) Antibiotik
Antibiotik yang sering diberikan adalah :1,4,5
Chloramphenicol, merupakan antibiotik pilihan pertama untuk infeksi tifoid fever
terutama di Indonesia. Dosis yang diberikan untuk anak- anak 50-100 mg/kg/hari
dibagi menjadi 4 dosis untuk pemberian intravena biasanya cukup 50 mg/kg/hari.
Diberikan selama 10-14 hari atau sampai 7 hari setelah demam turun. Pemberian
Intra Muskuler tidak dianjurkan oleh karena hidrolisis ester ini tidak dapat
diramalkan dan tempat suntikan terasa nyeri. Pada kasus malnutrisi atau didapatkan
infeksi sekunder pengobatan diperpanjang sampai 21 hari. Kelemahan dari antibiotik
jenis ini adalah mudahnya terjadi relaps atau kambuh, dan carier.
Cotrimoxazole, merupakan gabungan dari 2 jenis antibiotika trimetoprim dan
sulfametoxazole dengan perbandingan 1:5. Dosis Trimetoprim 10 mg/kg/hari dan
Sulfametoxzazole 50 mg/kg/hari dibagi dalam 2 dosis. Untuk pemberian secara syrup
dosis yang diberikan untuk anak 4-5 mg/kg/kali minum sehari diberi 2 kali selama 2
minggu. Efek samping dari pemberian antibiotika golongan ini adalah terjadinya
gangguan sistem hematologi seperti Anemia megaloblastik, Leukopenia, dan
granulositopenia. Dan pada beberapa Negara antibiotika golongan ini sudah
dilaporkan resisten.
Ampicillin dan Amoxicillin, memiliki kemampuan yang lebih rendah dibandingkan
dengan chloramphenicol dan cotrimoxazole. Namun untuk anak- anak golongan obat
ini cenderung lebih aman dan cukup efektif. Dosis yang diberikan untuk anak 100-
200 mg/kg/hari dibagi menjadi 4 dosis selama 2 minggu. Penurunan demam biasanya
lebih lama dibandingkan dengan terapi chloramphenicol.
Sefalosporin generasi ketiga (Ceftriaxone, Cefotaxim, Cefixime), merupakan pilihan
ketiga namun efektifitasnya setara atau bahkan lebih dari Chloramphenicol dan
Cotrimoxazole serta lebih sensitive terhadap Salmonella typhi. Ceftriaxone
52
merupakan prototipnya dengan dosis 100 mg/kg/hari IVdibagi dalam 1-2 dosis
(maksimal 4 gram/hari) selama 5-7 hari. Atau dapat diberikan cefotaxim 150-200
mg/kg/hari dibagi dalam 3-4 dosis. Bila mampu untuk sediaan Per oral dapat
diberikan Cefixime 10-15 mg/kg/hari selama 10 hari.
Pada demam tifoid berat kasus berat seperti delirium, stupor, koma sampai syok
dapat diberikan kortikosteroid IV (dexametasone) 3 mg/kg dalam 30 menit untuk dosis
awal, dilanjutkan 1 mg/kg tiap 6 jam sampai 48 jam.
Untuk demam tifoid dengan penyulit perdarahan usus kadang- kadang
diperlukan tranfusi darah. Sedangkan yang sudah terjadi perforasi harus segera
dilakukan laparotomi disertai penambahan antibiotika metronidazol.
X. Komplikasi
Komplikasi demam tifoid dapat dibagi 2 bagian :
1. Komplikasi pada usus halus
a) Perdarahan usus
Bila sedikit hanya ditemukan jika dilakukan pemeriksaan tinja dengan benzidin.
Jika perdarahan banyak terjadi melena dapat disertai nyeri perut dengan tanda –
tanda renjatan.
b) Perforasi usus
Timbul biasanya pada minggu ketiga atau setengahnya dan terjadi pada bagian
distal ileum. Perforasi yang tidak disertai peritonitis hanya dapat ditemukan bila
terdapat udara dirongga peritoneum yaitu pekak hati menghilang dan terdapat udara
diantara hati dan diafragma pada foto rontgen abdomen yang dibuat dalam keadaan
tegak.
c) Peritonitis
Biasanya menyertai perforasi tetapi dapat terjadi tanpa perforasi usus. Ditemukan
gejala akut, yaitu nyeri perut yang hebat, dinding abdomen tegang, dan nyeri tekan.
53
2. Komplikasi diluar usus halus
a) Bronkitis dan bronkopneumonia
Pada sebagian besar kasus didapatkan batuk, bersifat ringan dan disebabkan oleh
bronkitis, pneumonia bisa merupakan infeksi sekunder dan dapat timbul pada awal
sakit atau fase akut lanjut. Komplikasi lain yang terjadi adalah abses paru, efusi,
dan empiema.
b) Kolesistitis
Pada anak jarang terjadi, bila terjadi umumnya pada akhi minggu kedua dengan
gejala dan tanda klinis yang tidak khas, bila terjadi kolesistitis maka penderita
cenderung untuk menjadi seorang karier.
c) Typhoid ensefalopati
Merupakan komplikasi tifoid dengan gejala dan tanda klinis berupa kesadaran
menurun, kejang – kejang, muntah, demam tinggi, pemeriksaan otak dalam batas
normal. Bila disertai kejang – kejang maka biasanya prognosisnya jelek dan bila
sembuh sering diikuti oleh gejala sesuai dengan lokasi yang terkena.
d) Meningitis
Menigitis oleh karena Salmonella typhi yang lain lebih sering didapatkan pada
neonatus/bayi dibandingkan dengan anak, dengan gejala klinis tidak jelas sehingga
diagnosis sering terlambat. Ternyata peyebabnya adalah Salmonella havana dan
Salmonella oranemburg.
e) Miokarditis
Komplikasi ini pada anak masih kurang dilaporkan serta gambaran klinis tidak
khas. Insidensnya terutama pada anak berumur 7 tahun keatas serta sering terjadi
pada minggu kedua dan ketiga. Gambaran EKG dapat bervariasi antara lain : sinus
takikardi, depresi segmen ST, perubahan gelombangan I, AV blok tingkat I,
aritmia, supraventrikular takikardi.
f) Infeksi saluran kemih
Sebagian kasus demam tifoid mengeluarkan bakteri Salmonella typhi melalui urin
pada saat sakit maupun setelah sembuh. Sistitis maupun pilonefritis dapat juga
merupakan penyulit demam tifoid. Proteinuria transien sering dijumpai,
54
sedangkan glomerulonefritis yang dapat bermanifestasi sebagai gagal ginjal
maupun sidrom nefrotik mempunyai prognosis yang buruk.
g) Karier kronik
Tifoid karier adalah seorang yang tidak menunjukkan gejala penyakit demam tifoid,
tetapi mengandung kuman Salmonella typhosa di sekretnya. Karier temporer-
ekskresi S.typhi pada feces selama tiga bulan. Hal ini tampak pada 10% pasien
konvalesen. Relapse terjadi pada 5-10% pasien biasanya 2-3 minggu setelah
demam mengalami resolusi dan pada isolasi organisme memiliki bentuk sensivitas
yang sama seperti semula. Faktor predisposisi menjadi kronik karier adalah jenis
kelamin perempuan, pada kelompok usia dewasa, dan cholelithiasis. Pasien dengan
traktus urinarius yang abnormal, seperti schistosomiasis, mungkin memgeluarkan
bakteri pada urinya dalam waktu yang lama.
XI. Pencegahan
Berikut beberapa petunjuk untuk mencegah penyebaran demam tifoid:
Cuci tangan.
Cuci tangan dengan teratur meruapakan cara terbaik untuk mengendalikan demam
tifoid atau penyakit infeksi lainnya. Cuci tangan anda dengan air (diutamakan air
mengalir) dan sabun terutama sebelum makan atau mempersiapkan makanan atau
setelah menggunakan toilet. Bawalah pembersih tangan berbasis alkohol jika tidak
tersedia air.
Hindari minum air yang tidak dimasak.
Air minum yang terkontaminasi merupakan masalah pada daerah endemik tifoid.
Untuk itu, minumlah air dalam botol atau kaleng. Seka seluruh bagian luar botol atau
kaleng sebelum anda membukanya. Minum tanpa menambahkan es di dalamnya.
Gunakan air minum kemasan untuk menyikat gigi dan usahakan tidak menelan air di
pancuran kamar mandi.
55
Tidak perlu menghindari buah dan sayuran mentah.
Buah dan sayuran mentah mengandung vitamin C yang lebih banyak daripada yang
telah dimasak, namun untuk menyantapnya, perlu diperhatikan hal-hal sebagai berikut.
Untuk menghindari makanan mentah yang tercemar, cucilah buah dan sayuran tersebut
dengan air yang mengalir. Perhatikan apakah buah dan sayuran tersebut masih segar
atau tidak. Buah dan sayuran mentah yang tidak segar sebaiknya tidak disajikan.
Apabila tidak mungkin mendapatkan air untuk mencuci, pilihlah buah yang dapat
dikupas.
Pilih makanan yang masih panas.
Hindari makanan yang telah disimpan lama dan disajikan pada suhu ruang. Yang
terbaik adalah makanan yang masih panas. Pemanasan sampai suhu 57°C beberapa
menit dan secara merata dapat membunuh kuman Salmonella typhi. Walaupun tidak
ada jaminan makanan yang disajikan di restoran itu aman, hindari membeli makanan
dari penjual di jalanan yang lebih mungkin terkontaminasi.
Jika anda adalah pasien demam tifoid atau baru saja sembuh dari demam tifoid, berikut
beberapa tips agar anda tidak menginfeksi orang lain:
Sering cuci tangan.
Ini adalah cara penting yang dapat anda lakukan untuk menghindari penyebaran
infeksi ke orang lain. Gunakan air (diutamakan air mengalir) dan sabun, kemudian
gosoklah tangan selama minimal 30 detik, terutama sebelum makan dan setelah
menggunakan toilet.
Bersihkan alat rumah tangga secara teratur.
Bersihkan toilet, pegangan pintu, telepon, dan keran air setidaknya sekali sehari.
Hindari memegang makanan.
Hindari menyiapkan makanan untuk orang lain sampai dokter berkata bahwa anda
tidak menularkan lagi. Jika anda bekerja di industri makanan atau fasilitas kesehatan,
anda tidak boleh kembali bekerja sampai hasil tes memperlihatkan anda tidak lagi
menyebarkan bakteri Salmonella.
56
Gunakan barang pribadi yang terpisah.
Sediakan handuk, seprai, dan peralatan lainnya untuk anda sendiri dan cuci dengan
menggunakan air dan sabun.
Pencegahan dengan menggunakan vaksinasi
Di banyak negara berkembang, tujuan kesehatan masyarakat dengan mencegah dan
mengendalikan demam tifoid dengan air minum yang aman, perbaikan sanitasi, dan
perawatan medis yang cukup, mungkin sulit untuk dicapai. Untuk alasan itu, beberapa ahli
percaya bahwa vaksinasi terhadap populasi berisiko tinggi merupakan cara terbaik untuk
mengendalikan demam tifoid.
Di Indonesia telah ada 3 jenis vaksin tifoid, yakni:
Vaksin oral Ty 21a (kuman yang dilemahkan)
Vaksin yang mengandung Salmonella typhi galur Ty 21a. Diberikan per oral tiga kali
dengan interval pemberian selang sehari. Vaksin ini dikontraindikasikan pada wanita
hamil, menyusui, penderita imunokompromais, sedang demam, sedang minum antibiotik,
dan anak kecil 6 tahun. Vaksin Ty-21a diberikan pada anak berumur diatas 2 tahun. Lama
proteksi dilaporkan 6 tahun.
Vaksin parenteral sel utuh (TAB vaccine)
Vaksin ini mengandung sel utuh Salmonella typhi yang dimatikan yang mengandung
kurang lebih 1 milyar kuman setiap mililiternya. Dosis untuk dewasa 0,5 mL; anak 6-12
tahun 0,25 mL; dan anak 1-5 tahun 0,1 mL yang diberikan 2 dosis dengan interval 4
minggu. Cara pemberian melalui suntikan subkutan. Efek samping yang dilaporkan
adalah demam, nyeri kepala, lesu, dan bengkak dengan nyeri pada tempat suntikan.
Vaksin ini di kontraindikasikan pada keadaan demam, hamil, dan riwayat demam pada
pemberian pertama. Vaksin ini sudah tidak beredar lagi, mengingat efek samping yang
ditimbulkan dan lama perlindungan yang pendek.
Vaksin polisakarida
57
Vaksin yang mengandung polisakarida Vi dari bakteri Salmonella. Mempunyai daya
proteksi 60-70 persen pada orang dewasa dan anak di atas 5 tahun selama 3 tahun.
Vaksin ini tersedia dalam alat suntik 0,5 mL yang berisi 25 mikrogram antigen Vi dalam
buffer fenol isotonik. Vaksin diberikan secara intramuskular dan diperlukan pengulangan
(booster) setiap 3 tahun. Vaksin ini dikontraindikasikan pada keadaan hipersensitif,
hamil, menyusui, sedang demam, dan anak kecil 2 tahun.
XII. Prognosis
Prognosis pasien demam tifoid tergantung ketepatan terapi, usia, keadaan kesehatan
sebelumnya, dan ada tidaknya komplikasi. Di negara maju, dengan terapi antibiotik yang
adekuat, angka mortalitas <1%. Di negara berkembang, angka mortalitasnya >10%,
biasanya karena keterlambatan diagnosis, perawatan, dan pengobatan. Munculnya
komplikasi, seperti perforasi gastrointestinal atau perdarahan hebat, meningitis,
endokarditis, dan pneumonia, mengakibatkan morbiditas dan mortalitas yang tinggi.
58
No. 12 Differential Diagnosis 2
Hirschsprung disease
Definisi
Penyakit hirschprung di karakteristikan sebagai tidak adanya sel ganglion di pleksus myenterikus (auerbach’s) dan submukosa (meissner’s).
Etiologi
Penyakit Hirschsprung disebabkan karena kegagalan migrasi sel-sel saraf parasimpatis myentericus dari cephalo ke caudal. Sehingga sel ganglion selalu tidak ditemukan dimulai dari anus dan panjangnya bervariasi keproksimal.
Patogenesis
Kelainan pada penyakit ini berhubungan dengan spasme pada distal colon dan sphincter anus internal sehingga terjadi obstruksi. Dasar patofisiologi dari HD adalah tidak adanya gelombang propulsive dan abnormalitas atau hilangnya relaksasi dari sphincter anus internus yang disebabkan aganglionosis, hipoganglionosis atau disganglionosis pada usus besar.
Gejala klinik
Pada bayi yang baru lahir, kebanyakan gejala muncul 24 jam pertama kehidupan. Dengan gejala yang timbul: distensi abdomen dan bilious emesis. Tidak keluarnya mekonium padsa 24 jam pertama kehidupan merupakan tanda yang signifikan mengarah pada diagnosis ini.
Pada anak yang lebih besar, pada beberapa kasus dapat mengalami kesulitan makan, distensi abdomen yang kronis dan ada riwayat konstipasi. Penyakit hirschsprung dapat juga menunjukkan gejala lain seperti adanya periode obstipasi, distensi abdomen, demam, hematochezia dan peritonitis.
Beberapa mengalami konstipasi menetap, mengalami perubahan pada pola makan, perubahan makan dari ASI menjadi susu pengganti atau makanan padat. Pasien dengan penyakit hirschsprung didiagnosis karena adanya riwayat konstipasi, kembung berat dan perut seperti tong, massa faeses multipel dan sering dengan enterocolitis, dan dapat terjadi gangguan pertumbuhan. Gejala dapat hilang namun beberapa waktu kemudian terjadi distensi abdomen.
Tatalaksana
Terapi terbaik pada bayi dan anak dengan Hirschsprung tergantung dari diagnosis yang tepat dan penanganan yang cepat. Keputusan untuk melakukan Pulltrough ketika diagnosis ditegakkan tergantung dari kondisi anak dan respon dari terapi awal.. Decompresi kolon dengan pipa besar, diikuti dengan washout serial, dan meninggalkan kateter pada rektum harus
59
dilakukan. Antibiotik spektrum luas diberikan, dan mengkoreksi hemodinamik dengan cairan intravena. Pada anak dengan keadaan yang buruk, perlu dilakukan colostomy
Prognosis
Setelah operasi pasien-pasien dengan penyakit hirschprung biasanya berhasil baik, walaupun terkadang ada gangguan buang air besar. Sehingga konstipasi adalah gejala tersering pada pascaoperasi.
60
BAB III
PENUTUP
3.1 Kesimpulan
Berdasarkan skenario anak laki-laki 5 tahun dengan keluhan utama sudah 3 hari tidak buang air besar dan muntah beberapa kali. Beberapa hari terakhir anak tersebut selalu merasa mual, tidak ada nafsu makan, dan demam yang terutama dirasakan pada malam hari. Seminggu sebelumnya anak tersebut pernah BAB dan terdapat cacing pada kotorannya. Anak tersebut kurus, terlihat lemas dan agak pucat. Maka working diagnosisnya adalah ileus obstruktif et causa ascariasis dengan diferrential diagnosisnya demam tifoid dan Hirschsprung disease.
61
3.2 Daftar Pustaka
Bickley, L.S. Bates Pemeriksaan Fisik & Riwayat Kesehatan. Jakarta: EGC
Duphar, Selebaran, dkk. 1990. Komposisi zat gizi pangan Indonesia. Depkes RI.
Ganong W. F. 19.. Buku Ajar Fisiologi Kedokteran Edisi 17. Jakarta : EGC
Glade, Jonathan. At A Glance : Anamnesis dan Pemeriksaan Fisik. Jakarta: EGC
Guyton A. C, Hall J. E. 2008. Buku Ajar Fisiologi Kedokteran Edisi 11. Jakarta : EGC.
Hadi, Sujono. 2002. Gastroenterologi. Bandung : P.T. Alumni
Price, Sylvia A. 2013. Patofisiologi Konsep Klinis Proses-proses Penyakit. Jakarta: EGC
Sherwood, Lauralee. 2012. Fisiologi Manusia. Jakarta: EGC
Price, Sylvia A. 2013. Patofisiologi Konsep Klinis Proses-proses Penyakit. Jakarta: EGC
Richard E. Behrman, Robert M. Kliegman, Ann M. Arvin; edisi bahasa Indonesia: A Samik
Wahab; Ilmu Kesehatan Anak Nelson, ed.15. Jakarta: EGC ; 2000.
S, Pudjiadi. 1990. Ilmu Gizi Klinis Pada Anak. Jakarta: Balai Penerbit FKUI
Soedarmo, Sumarmo S., dkk. Demam tifoid. Dalam : Buku ajar infeksi & pediatri tropis. Ed.
2. Jakarta : Badan Penerbit IDAI ; 2008. h. 338-45.
Suandi, I. 1999. Diit pada Anak Sakit. Jakarta: EGC
Suharyono, dkk. 1988. Gastroenterologi Anak Praktis. Jakarta: FKUI.
Tinjauan Pustaka : Konstipasi pada Anak oleh Yusri Dianne Jurnalis, Sofni Sarmen, Yorva Sayoeti (Bagian Ilmu Kesssehatan Anak, Fakultas Kedokteran Universitas Andalas / RS. Dr. M. Djamil) Padang, Sumatera Barat, Indonesia
62