Modul 5 PBL
-
Upload
evyarosna-sinaga -
Category
Documents
-
view
153 -
download
1
description
Transcript of Modul 5 PBL
LAPORAN DISKUSI PBL
BLOK 19: Kegawatdaruratan Medis
MODUL 2 : Penurunan Kesadaran, Kelemahan Anggota Gerak dan Kejang
Tutor:
drg. Sinar Yani, M.Kes
FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS MULAWARMAN
2010
1 | L a p o r a n m o d u l 2
Disusun oleh : Kelompok V
Ayu Putri Anggraeni
Danu Kusuma Wardhani
Destina Ribkah ST
Ira Karlina
Hajrah
Helnida
M.Iqbal
Rahmatul Yasiro
Yunistira Sylvia Slamet
KATA PENGANTAR
Puji dan syukur kami panjatkan hanya kepada Tuhan Yang Maha Esa
karena atas taufik dan hidayah-Nya lah laporan diskusi PBL Modul 2 Blok 19 kali
ini dapat diselesaikan tepat pada waktunya. Laporan ini berisi pembahasan diskusi
Seven Jumps berdasarkan skenario modul 2 dengan topik Penurunan Kesadaran,
Kelemahan Anggota Gerak dan Kejang.
Dalam proses penyusunan laporan ini, kami mengucapkan terima kasih
kepada:
1. drg. Sinar Yani,M.Kes selaku tutor kelompok V yang telah
membimbing kami dalam melaksanakan diskusi kelompok kecil di
Blok 19 Modul 2 mengenai.
2. Dosen-dosen yang telah mengajarkan materi perkuliahan kepada
kami sehingga dapat membantu dalam penyelesaian laporan hasil
diskusi kelompok kecil ini.
3. Teman-teman kelompok V yang telah mencurahkan pikiran dan
tenaganya sehingga diskusi kelompok kecil (dkk) 1 dan 2 dapat
berjalan dengan baik dan dapat menyelesaikan laporan hasil diskusi
kelompok kecil (dkk) ini.
4. Teman-teman Fakultas Kedokteran Umum Universitas
Mulawarman angkatan 2007 dan pihak-pihak lain yang tidak dapat
kami sebutkan satu persatu.
Kesempurnaan hanyalah milik Allah, oleh karena itu penyusun
mengharapkan kritik dan saran baik dalam pembuatan laporan hasil diskusi
kelompok kecil (dkk) ini maupun dalam kegiatan perkuliahan PBL lainnya.
Samarinda, 24 September 2010
Penyusun
2 | L a p o r a n m o d u l 2
DAFTAR ISI
HALAMAN JUDUL……………………..………………….…….….…..…....1
KATA PENGANTAR……………………………………….………….….......2
DAFTAR ISI….……………………………………………….….………….....3
BAB I: PENDAHULUAN
Latar Belakang…………………………………………………….………….....4
Manfaat………………………………………………….………….…………...4
BAB II: ISI
Step 1 ……………………………………………….….……………………….5
Step 2………………………………………………….….……………………..6
Step 3………………………………………………….………………………...6
Step 4………………………………………………….………………………...11
Step 5………………………………………………….………………………...11
Step 6………………………………………………….………………………...11
Step 7………………………………………………….………………………...12
BAB III: PENUTUP
Kesimpulan dan Saran..........……...……………………...........……..................57
DAFTAR PUSTAKA..…………………………………………...…………….58
3 | L a p o r a n m o d u l 2
BAB I
PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang
Stroke merupakan penyakit yang sering timbul pada usia tua sebagai
komplikasi dari kelainan vascular yang sebelumnya dialami dan tidak terkontrol
dengan baik. Jika serangan stroke tidak tertangani dengan baik pun juga dapat
menyebabkan komplikasi lain yang lebih parah. Sehingga diperlukan pengetahuan
yang baik untuk dapat mendeteksi secara dini tanda-tanda dan gejala awal pada
saat serangan dan diharapkan dapat memberikan pertolongan yang baik dan benar.
Keadaan awal pasien pada saat serangan memerlukan identifikasi yang
cermat dan pertolongan awal yang cepat. Sehingga pengetahuan yang baik dan
benar sangat diperlukan untuk dapat menangani keadaan tersebut agar kerusakan
yang ditimbulkan dapat ditekan seoptimal mungkin.
1.2. Manfaat
Manfaat dari modul ini yaitu untuk mengetahui hal-hal yang berkaitan
dengan metode desain penelitian.
Kompetensi yang ingin dicapai mulai dari :
1. Mampu mengetauhi dan menjelaskan definisi, klasifikasi, etiologi, faktor
resiko, patogenesis, gejala klinis, diagnosis, diagnosis banding,
penatalaksanaan dan komplikasi dari STROKE.
2. Mampu mengetauhi dan menjelaskan gejala awal dari STROKE.
3. Mampu mengetauhi dan menjelaskan jenis STROKE yang harus dirujuk.
4. Mampu mengetauhi dan mengidentifikasi kelemahan gerak.
5. Mampu mengetauhi dan menjelaskan penilaian awal penurunan kesadaran
dan penatalaksanaan dari penurunan kesadaran.
6. Mampu mengetauhi dan menjelaskan definisi, klasifikasi, etiologi, faktor
resiko, pathogenesis, gejala klinis, diagnosis, diagnosis banding,
4 | L a p o r a n m o d u l 2
penatalaksanaan dan komplikasi dari HEMATOMA SUBDURAL DAN
INTRASEREBRAL.
7. Mampu mengetauhi dan menjelaskan definisi, klasifikasi, etiologi, faktor
resiko, pathogenesis, gejala klinis, diagnosis, diagnosis banding,
penatalaksanaan dan komplikasi dari ENSEFALOPATI HIPERTENSIF.
.
5 | L a p o r a n m o d u l 2
BAB II
ISI
Penurunan Kesadaran, Kelemahan Anggota Gerak dan Kejang
Skenario awal
Seorang laki-laki umur 45 tahun diantar keluarganya siang hari ke UGD
RS AWS dalam keadaan tidak sadar. Sebelumnya penderita mengeluh sakit
kepala. Setelah beberapa jam dirawat di ICU, pasien mendadak kejang.
1.2.1.Step I ( Terminologi Asing )
o Kejang : gangguan muatan listrik, karena perubahan mendadak aktivitas
listrik di korteks serebri.
1.2.2.Step II ( Identifikasi Masalah )
1. Faktor-faktor apa saja yang dapat menyebabkan sakit kepala ?
2. Mengapa bisa terjadi penurunan kesadaran ?
3. Faktor-faktor apa saja yang dapat menyebabkan terjadinya penurunan
kesadaran ?
4. Mengapa bisa timbul kejang ?
5. Hubungan antara sakit kepala dan kejang ?
6. Hubungan antara gejala-gejala yang dialami dengan usia ?
1.2.3.Step III ( Brain Storming )
1. Faktor yang dapat menyebabkan timbulnya nyeri kepala adalah ;
Lokal :
- Kontraksi otot-otot di sekitar kepala
- Peningkatan tekanan intracranial, karena edema otak, abses, tumor dan
infrak yang luas karena stroke, dan hematom karena perdarahan
selaput otak ( perdarahan subaraknoid ). Sehingga menyebabkan
pendesakkan yang hebat pada jaringan saraf disekitarnya dan
menimbulkan nyeri yang hebat
6 | L a p o r a n m o d u l 2
Sistemik :
- Hipertensi
Psikologis :
- Stress psikologis.
2. Penurunan kesadaran disebabkan karena berkurangnya suplai O2 dan
glukosa ke jaringan otak, sehingga metabolisme otak terganggu.
Contoh kasus-kasus dengan penurunan kesadaran :
o Syok hipovolemik / hemorragik
o Kelainan organik ( perdarahan intraserebral (PSI), perdarahan
subaraknoid (PSA), stroke iskemik dll.
o Esefalopati metabolic
o Epilepsi
o Koma diabetikum
3. Faktor-faktor yang dapat menurunkan aliran darah ke otak (ADO),
dipengaruhi oleh 3 faktor :
o Tekanan untuk memompakan darah dari system arteri-kapiler
ke system vena
o Tahanan (perifer) pembuluh darah otak
o Darah viskositas darah dan koagulobilitasnya (kemampuan ntuk
membeku)
4. Kejang terjadi akibat lepas muatan paroksimal yang berlebih dari sebuah
fokus kejang atau dari jaringan normal yang terganggu akibat suatu
keadaan patologik. Aktivitas kejang sebagian bergantung pada lokasi lepas
muatan yang berlebihan tersebut. Lesi di otak tengah, thalamus, dan
korteks serebrum kemunginan besar bersifat pusat epileptogenik,
sedangkan lesi di serebrum dan batang otak umumnya tidak memicu
kejang
5. Kejang dapat merupakan tanda awal (aura) atau merupakan efek samping
dari peningkatan tekanan intracranial sehingga menyebabkan rupturnya
7 | L a p o r a n m o d u l 2
pembuluh darah dan turunya suplai O2 ke jaringan otak, Hal ini akan
mengganggu metabolisme jaringan otak sehingga timbul gangguan
keseimbangan asam-basa dan elektrolit akhirnya timbul aktivitas listrik
yang abnormal (kejang).
6. Usia merupakan salah satu faktor resiko yang tidak dapat dihindari, karena
usia tua berkaitan erat dengan penyakit-penyakit yang berhubungan
dengan system vaskular, seperti hiperlipidemia, jantung koroner,
hipertensi, diabetes mellitus dll. Sehingga menimbulkan kerentanan
terhadap penyakit serebrovaskular, yang menyebabkan deficit neurologis
Skenario Lanjutan
Sebelum kejadian tersebut, penderita pagi harinya bekerja disawah. Karena
merasakan badanya kesemutan dan tungkainya lemah, pasien langsung pulang ke
rumah. Ada riwayat hipertensi dan hiperkolesterolemia.
2.1.2 Step I ( Terminologi Asing )
o Hipertensi : tingginya tekanan arterial diatas nilai normal, dimana tekanan
sistolik > 130 mmHg dan tekanan diastolic > 80 mmHg.
o Hiperkolesterolemia : Tingginya kadar kolesterol total dalam darah ( > 200
mg/dl)
2.2.2 Step II ( Identifikasi Masalah )
1. Apa hunbungan antara riwayat hipertensi dan hiperkolesterolemia dengan
gejala klinis yang timbul ?
2. Diangnosis kerja yang mungkin untuk kasus diatas ?
3. Bagaimana penatalaksanaan awal ?
4. Apa komplikasi yang mungkin timbul ?
2.3.2 Step III ( Brain Storming )
1. Hubungan antara hipetensi dan hiperkolesterolemia terhadap gejala klinis
yang timbul, berasal dari tingginya kadar LDL dan TG didalam darah,serta
8 | L a p o r a n m o d u l 2
rendahnya kadar HDL (hiperkolesterolemia) yang menyebabkan terjadinya
penumpukan lemak didalam pembuluh darah (plak/aterosklerosis),
menumpuknya plak ini menyebabkan berkurangnya luas permukaan
pembuluh darah, sehingga resistensinya meningkat dan diperlukan tekanan
yang kuat untuk memompakan darah agar distribusinya merata ke seluruh
tubuh (hipertensi). Sumbatan yang terjadi didalam pembuluh darah otak
akibat plak aterosklerosis menyebabkan gangguan aliran darah otak,
sehingga perfusi ke daerah otak berkurang, dan jaringan otak menjadi
iskemik, kemudian timbul gangguan neurologis. Kurangnya perfusi ke
daerah serebrum mengakibatkan timbulnya gangguan fungsi gerak
anggota tubuh, gangguan sensorik dan gangguan fungsi luhur lainnya.
2. Diangnosis dari kelainan diatas dapat ditegakkan melalui :
Anamesis :
o Timbulnya gejala deficit neurologis mendadak ( kesemutan dan
kedua tungkainya lemah)
o Nyeri kepala yang tidak jelas asalnya
o Terdapat faktor resiko seperti hiperensi dan hiperkolesterolemia.
Pemeriksaan Fisik :
o Vital sign : TD, nadi, RR dan suhu
o Ditemukan penurunan fungsi motorik
Pemeriksaan Penunjang
o Laboratorium : Darah Lengkap, Profil lipid ( HDL, LDL dan TG),
gula darah.
o Radiologis : Ct-Scan
o EKG: mencari kelainan organic dari jantung
Diangnosis Kerja
o Stroke nonhemoragik
9 | L a p o r a n m o d u l 2
o Ensefalopati hipertensi
o Hematom subdural dan intraserebral
3. Penatalaksanaan awal yang dilakukan terhadap pasien :
o Karena pasien kejang diazepam iv 10 mg/kgBB
4. Komplikasi yang mungkin timbul :
o Kelumpuhan anggota gerak
o Koma
o Mati batang otak
10 | L a p o r a n m o d u l 2
1.3. Step 4 ( Skema )
1.4. Step 5 (Learning objective)
8. Mampu mengetauhi dan menjelaskan definisi, klasifikasi, etiologi, faktor
resiko, pathogenesis, gejala klinis, diagnosis, diagnosis banding,
penatalaksanaan dan komplikasi dari STROKE.
9. Mampu mengetauhi dan menjelaskan gejala awal dari STROKE.
10. Mampu mengetauhi dan menjelaskan jenis STROKE yang harus dirujuk.
11. Mampu mengetauhi dan mengidentifikasi kelemahan gerak.
12. Mampu mengetauhi dan menjelaskan penilaian awal penurunan kesadaran
dan penatalaksanaan dari penurunan kesadaran.
11 | L a p o r a n m o d u l 2
13. Mampu mengetauhi dan menjelaskan definisi, klasifikasi, etiologi, faktor
resiko, pathogenesis, gejala klinis, diagnosis, diagnosis banding,
penatalaksanaan dan komplikasi dari HEMATOMA SUBDURAL DAN
INTRASEREBRAL.
14. Mampu mengetauhi dan menjelaskan definisi, klasifikasi, etiologi, faktor
resiko, pathogenesis, gejala klinis, diagnosis, diagnosis banding,
penatalaksanaan dan komplikasi dari ENSEFALOPATI HIPERTENSIF.
1.1. Step 6 (Belajar Mandiri)
Setelah diskusi kelompok kecil yang pertama kami berusaha untuk
mencari bahan yang akan didiskusikan lagi pada diskusi kelompok kecil kedua.
Selain untuk menjelaskan learning objective, juga untuk menjawab pertanyaan
yang mungkin belum terjawab sepenuhnya.
1.2. Sintesis
Sintesis merupakan hasil dari belajar mandiri yang telah didiskusikan pada
kelompok kecil dua. Pembahasan yang dilakukan berupa penjabaran-penjabaran
dari learning objective yang telah ditentukan pada diskusi kecil dua sebelumnya.
1.2.1.Stroke
Pengertian Stroke
Penyakit serebrovaskuler ( CVD ) atau stroke adalah setiap kelainan otak akibat
proses patologi pada sistem pembuluh darah otak. Stroke adalah gangguan fungsi otak
yang disebabkan oleh gangguan aliran darah ke bagian otak.
Fungsi otak yang rusak tidak dapat membaik sepenuhnya, bahkan kejadian stroke
dapat berulang.Proses ini dapat berupa penyumbatan lumen pembuluh darah oleh
trombosis atau emboli, pecahnya dinding pembuluh darah otak, perubahan permeabilitas
dinding pembuluh darah dan perubahan viskositas maupun kualitas darah sendiri.
Perubahan dinding pembuluh darah otak serta komponen lainnya dapat bersifat primer
karena kelainan kongenital maupun degeneratif, atau sekunder akibat proses lain seperti
peradangan, arteriosklerosis, hipertensi dan diabetes mellitus.
12 | L a p o r a n m o d u l 2
Klasifikasi Stroke
1. Stroke Iskemik (Stroke akibat penurunan aliran darah ke otak), yang dapat
disebabkan oleh trombus (bekuan darah dalam pembuluh darah otak atau leher)
atau embolus (bekuan darah atau material lain yang berasal dari tempat lain).
2. Stroke Perdarahan, disebabkan oleh pecahnya pembuluh darah otak dengan
perdarahan ke dalam jaringan otak atau ruang sekitar otak.
Faktor risiko yang berhubungan dengan stroke
a. Faktor Risiko yang Dapat Dimodifikasi
Hipertensi
Penyakit Jantung
Merokok
Diabetes
Kadar kolesterol darah yang tinggi
Konsumsi alkohol
Kegemukan
Kontrasepsi oral
Kurang aktivitas fisik
b. Faktor Risiko yang Tidak Dapat Dimodifikasi
Usia
Jenis Kelamin
Ras
Keturunan
Stroke Iskemik
Definisi
Stroke yang terjadi akibat obstruksi atau bekuan di satu atau lebih arteri besar pada
sirkulasi serebrum. Disebabkan oleh peyumbatan pembuluh darah akibat adanya emboli,
ateroskelosis, atau oklusi trombotik pada pembuluh darah otak.
Etiologi
Trombosis Ateroslekerosis (tersering)
Gangguan darah (polisitemia, hemoglobinopati)
Vaskulitis (poliarteritis nodusa)
Embolisme Jantung (atrium fibrilasi—paling byk, infark mi kard, pnykt jantung
13 | L a p o r a n m o d u l 2
rematik, kardiomiopati iskemik)
Kontrasepsi oral, karsinoma
Subtype stroke iskemik
a. Trombosis
Arterosklerosis serebral dan perlambatan sirkulasi serebral adalah penyebab
utama trombosis serebral. Tanda-tanda trombosis serebral bervariasi seperti :
Manifestasi
Klinik
- Tidak terjadi dengan tiba-tiba
- Bervariasi sesuai dengan lokasi sumbatan dan tingkat
aliran kolateral di ajringan otak yang terkena
- Afasia, hemiplegic/parestesia setengah tubuh.
- Sebagian besar terjadi saat tidur.bangun di pagi hari---
pasien relative mengalami dehidrasi dan dinamiuka
sirkulasi menurun
b. Embolisme serebral
Terjadi akibat penyumbatan pembuluh darah otak oleh partikel/ debris yang
berjalan di dalam aliran darah yang berasal dari tempat lain. Embolus biasanya
menyumbat arteri serebral tengah atau cabang - cabangnya sehingga menimbulkan
kerusakan sirkulasi serebral.
Manifestasi
klinik
- Terjadi tiba-tiba
- Deficit neurologis tiba-tiba, Hemiparesis/hemiplegia
tiba-tiba, afasia, kehilangan kesadaran (related to causa
jantung),
- Serangan biasanya terjadi saat beraktifitas
c. Infark lakunar
Terjadi setelah oklusi aterotrombotik salah satu cabang penetrans sirkulus
willis, arteri serebri media atau arteri vertebralis dan basilaris. Thrombosis yang
terjadi di dalam pembuluh darah ini akan membentuk daerah-daerah infark yang kecil
dan lunak, dikenal dengan nama lacuna.
14 | L a p o r a n m o d u l 2
Penjelasan - Gejala Biasanya muncul dalam beberapa jam atau hari
- 4 sindrom lakunar yangs erring dijumpai :
a. Disartria, hemiparesis ataksik, gerakan lengan atau
tangan yang canggung akibat infark pons basal
b. Stroke sensorik murni akibat infark talamus
c. Hemiparesis motorik murni akibat infark di kapsula
interna posterior
d. Hemiparesis murini akibat infark pars anterior
kapsula interna (kelumpuhan yang terjadi dominan
pada tungkai, gerakan volunteer tungkai yang terkena
terganggu)
Patogenesis
Adanya aterotrombosis atau emboli akan memutuskan aliran darah otak
(cerebral blood flow/CBF).
Nilai normal CBF = 53 ml/100 mg jaringan otak/menit
Jika CBF < 30 ml/100 mg/menit akan menimbulkan iskemik
Jika CBF < 10 ml/100 mg/menit kekurangan oksigen proses
fosforilasi oksidatif terhambat produksi ATP (energi) berkurang
pompa Na-K ATPase tidak berfungsi depolarisasi membran sel saraf
pembukaan kanal ion Ca kenaikan influks Ca secara cepat gangguan
Ca homeostasis Ca merupakan signalling molekul yang mengaktivasi
berbagai enzim memicu proses biokimia yang bersifat eksitotoksik
kematian sel saraf (nekrosis maupun apotosis) gejala yang timbul
tergantung pada saraf mana yang mengalami kerusakan/kematian.
Causa Trombosis
Sumbatan aliran di a. carotis interna mengakibatkan stroke yang sering terjadi
pada usia lanjut sering mengalami pembentukan plaque.
Causa tromboemboli
15 | L a p o r a n m o d u l 2
Trombus yang bermetastase dan menjadi emboli ke arteri yang lebih
kecil menyumbat iskemik
Causa emboli dari darah ke darah
Emboli arteri besar ( a. Carotis interna) arteri kecil (a.Cerebri media)
menyumbat iskemik
Causa emboli dari jantung
Emboli yang disebabkan oleh katup /miokard infark/atrial myxoma
berjalan ikut sirkulasi sampai ke arteri di otak menyumbat iskemik.
Manifestasi Klinik
Gejala yang muncul bervariasi tergantung di mana terjadi serangan stroke iskemia,
misalnya:
unilateral weaknesses biasanya hemiparesis (lumpuh separo)
unilateral sensory complaints numbness, paresthesia (mati rasa)
Aphasia language comprehension
Monocular visual loss gangguan penglihatan sebelah.
Diagnosis
Diagnosis didasarkan atas hasil:
1) Penemuan klinis
Anamnesis: terutama terjadinya keluhan atau gejala deficit
neurologis yang mendadak, tanpa trauma kepala, dan adanya faktor
resiko stroke.
Pemeriksaan fisik: adanya efisit neurologis fokal, dan ditemukan
faktor risiko seperti hipertensi, kelainan jantung, bising jantung
ataupun kelainan pembuluh darah lainnya.
2) Pemeriksaan tambahan / Laboratorium
CT Scan: amat membantu diagnosis dan membedakannya dengan
perdarahan terutama fase akut
Angiografi serebral
Pemeriksaan liquor serebrospinalis
3) Pemeriksaan lain
16 | L a p o r a n m o d u l 2
Pemeriksaan untuk mencari faktor resiko, seperti darah rutin,
hitung jenis dan gambaran darah.
Komponen kimia darah, gas dan elektrolit
Doppler, EKG, ECG, dll.
Penatalaksanaan
1) Fase akut (hari ke 0-14 setelah onset penyakit)
Sasaran pengobatan adalah untuk menyelamatkan neuron yang
menderita jangan sampai mati dan agar proses patologik lainnya yang
menyertai tak mengganggu fungsi otak. Perlu diperhatikan fungsi optimal
dari respirasi, jantung, tekanan darah, kadar gula, keadaan gawat atau
koma, elektrolit, balans cairan dan asam basa darahh.
Medikamentosa yang dapat diberikan:
Anti-edema otak: manitol dosis 0,25-0,50 gr/KgBB/hari,
6x100 cc salaam 7-10 hari kemudian diturunkan secara
tapering off.
Anti-agregasi trombosit: acetyl salisilat acid (ASA), seperti
aspirin/aspilet dengan dosis rendah 2x50 mg.
Metabolic activator: Choline 2x250 mg iv, piracetam 12
g/hari/iv.drip (masa akut), dan piracetam 2x200 mg (waktu
keluar rumah sakit).
2) Fase pasca akut
Rehabilitasi
Batasi kecacatan penderita, fisik dan mental dengan fisioterapi
“terapi wicara” dan psikoterapi.
Terapi preventif
Terapi bertujuan untuk mencegah terulangnya atau timbulya
serangan baru stroke dengan jalan antara lain: mengobati dan
menghinari faktor-faktor risiko stroke dengan cara mengobati DM,
hipertensi, obesitas, menghindari rokok, stress dan berolah raga
secara teratur.
17 | L a p o r a n m o d u l 2
Stroke Hemoragik
Menurut WHO, dalam International Classificatiom of Diseases and Related
Healtd Problem 10th Revision, SH dibagi menjadi perdarahan intraserebral (PIS) dan
perdarahan subaraknoid (PSA)
Perdarahan Intraserebral
Definisi
PIS adalah perdarahan primer yang berasal dari peembuluh darah dalam
parenkim otak dan bukan disebabkan olehtrauma,
Epidemiologi
Usia rata-rata pada umur 55 tahun, interval 40-75 tahun, insidens pada pria sama
dengan pada wanita. Angka kematian mencapai 60-90% dan dari seluruh yang meninggal
setelah 3 hari, dan 72% setelah seminggu.
Etiologi
Terbanyak disebabkan karena hipertensi. Faktor etiologi lain adalah aneurisma
kriptogenik, diskrasia darah, penyakit darah seperti hemophilia, leukemia,
trombositopenia, pemakaian antikoagulan dalam jangka waktu lama, arteriovenous
malformation (AVM) dan malformasi mikroangimatosa dalam otak, tumor otak (primer
dan metastasis) yang tumbuh cepat, amiloidosisserebrovaskuler, dan yang jarang pada
eklamsia, terapi elektrosyok dan sebagainya.
Patologi dan patofisiologi
70% kasus terjadi di kapsula interna, 20% di fosa posterior (batang otak dan
serebelum) dan 10% di hemisfer (di luar kapsula interna). Adanya ekstravasasi darah
karena robeknya pembuluh darah otak, diikuti pembentukan edema dalam jaringan otak
di sekitar hematoma. Akibatnya,terjadi diskontinuitas jaringan dan kompresi oleh
hematoma dan edema pada struktur sekitar, termasuk pembuluh darah otak dan
mengakibatkan penyempitan/penyumbatan sehingga terjadi iskemik pada jaringan yang
dilayaninya. Gejala klinis yang timbul bersumber dari dekstruksi jaringan otak, kompresi
pembuluh darah otak/iskemik, dan akibat kompresi pada jaringan otak lainnya.
Manifestasi klinis
18 | L a p o r a n m o d u l 2
Gejala prodormal tidak jelas, kecuali nyeri kepala karena hipertensi. Serangan
seringkali di sianghari, waktu aktifitas atau emosi/marah. Nyeri kepala merupakan nyeri
yang hebat sekali. Mual-muntah sering terdapat pada permulaan serangan.
Hemiparesi/hemiplegi biasa terjadi sejak permulaan serangan. Kesadaran biasanya
menurun dan cepat masuk koma, 65% terjadi kurang dari setengah jam, 23% antara ½-2
jam, dan 12% terjadi setelah 2 jamsampai 19 hari.
Diagnosis
Didasarkan atas gejala dan manifestasi klinis, dan hasil pemeriksaan terutama
hasil CT Scan paling terpercaya.
Gejala/hasil tes PIS EH
1. Definisi saraf unifokal
2. Hipertensi maligna
3. Likuor
4. CT scan
5. Ekhosenfalografik
6. Kelainan pupil
+
+
Berdarah (90%)
Abnormal
Pergeseran garis tengah
+
-
+
Jernih
Normal
-
-
Gejala Klinis PIS PSA SNH
1. Gejala deficit local
2. SIS sebelumnya
3. Permulaan (onset)
4. Nyeri kepala
5. Muntah pada
awalnya
6. Hipertensi
Berat
Amat jarang
Menit/jam
Hebat
Sering
Ringan
-
1-2 menit
Sangat hebat
Sering
Berat/ringan
+ (biasa)
(jam/hari)
Ringan/tidak ada
Tidak, kecuali
Lesi di batang
19 | L a p o r a n m o d u l 2
7. Kesadaran
8. Kaku kuduk
9. Hemiparesis
10. Deviasi mata
11. Gangguan bicara
12. Likuor
13. Perdarahan
subhialoid
14. Paresis/gangguan
N.III
Hampir selalu
Biasa hilang
Jarang
Sering sejak
awal
Bisa ada
Sering berdarah
Tidak ada
-
Biasanya tidak
Bisa hilang
sebentar
Biasanya ada
Permulaan
Tidak ada
Tidak ada
Jarang
Selalu Berdarah
Bisa ada
Mungkin (+)
otak
Sering kali
Dapat hilang
Tidak ada
Sering dari`awal
Mungkin ada
Sering
Jernih
Tak ada
-
Terapi
Penderita dalam keadaan koma, sedapat mungkin di intensive care unit (ICU)
dilakukan tindakan sebagai berikut:
1. Hiperventilasi dengan intubasi untuk membuat PCO2 28-34 mmHG.
2. Bila kejang injeksi valium 10 mg iv, kemudian dilanjutkan dengan dilantin
1 x 1 denagn dosis yang sama.
3. Tranexamid acid biasanya digunakan bila ada darah di ruangan ventrikel
dengan dosis 6x1 g selama 7 hari dengan tapering off.
4. Manitol 0,25 g/kg/BB 6x100 selama 7-10 hari kemudian tapering off.
5. Bila tekanan sistolik > 200 mmHg diturunkan 10-20%.
Prognosis
20 | L a p o r a n m o d u l 2
Dipengaruhi oleh beberapa faktor antara lain: tingkatkan kesadaran, sadar 16%
meninggal, somnolen 39% mati, stupor meninggal 71%, dan bila koma maka 100%
meninggal; Usia, Pada usia 70 tahun atau lebih angka kematian meningkat tajam; Jenis
kelamin lelaki lebih banyak (61%) yang meninggal daripada perempuan (41%); Tekanan
darah, tensi tinggi prognosis jelek; lain-lainnya misalnya cepat dan tepatnya pertolongan.
Perdarahan Subaraknoidal
Definisi
PSA adalah keadaan terdapatnya/masuknya darah ke dalam ruangan subaraknoid.
Etiologi dan epidemiologi
Sebanyak 50% karena pecahnya aneurisma, pecahnya AVM (5%), asalnya primer
dari PIS (20%), dan 25% kausanya tak diketahui.
PSA menduduki 7-15% dari seluruh kasus stroke. Insidensnya, 6296 PSA timbul
pertama kali pada 40-60 tahun. Pada AVM, laki-laki lebih banyak daripada wanita.
Manifestasi klinis
Gejala prodromal: nyeri kepala hebat dan perakut hanya 10%, 90% tanpa keluhan
sakit kepala.
Kesadarann sering terganggu, dan sangat bervariasi dari tak sadar sebentar,
sedikit delirium sampai koma.
Gejala/tanda rangsangan meningeal: kaku kuduk, tanda Kernig (+).
Fundus okuli: 10% penderita mengalami edema-papil beberapa jam setelah
perdarahan. Sering terdapat perdarahan subhialoid kerana pecahnya aneurisma pada a.
komunikans anterior atau a. karotis interna.
Gejala-gejala neurologic fokal bergantung pada lokasi.
Gangguan fungsi saraf otonom: demam setelah 24 jam, demam ringan karena
rangsangan meningeal, dan demam tinggi bila melibatkan hipotalamus. Begitu pun
muntah, berkeringat, menggigil, dan takikardia, ada hubungannya dengan hipotalamus.
Bila berat, maka terjadi ulkus peptikum disertai hematemesis dan melena (stress ulcer),
21 | L a p o r a n m o d u l 2
dan seringkali disertai peninggian kadar gula darah, glukosuria, albuminuria, dan
perubahan pada EKG.
Diagnosis
Diagnosis didasarkan atas:
1. gejala-gejala dan tanda klinis
2. likuor: hampir 100% berdarah, dengan eritrosit 150.000/mm3. Warna xantrokom timbul
dalam 4 jam hingga 20-30 hari. Eritrosit hilang (lisis) dalam 7 hari, kecuali adanya
perdarahan baru.
3. angiografi dilakukan dalam beberapa hari setelah mulai perdarahan.
4. CT Scan: aneurisma yang 7mm tak terlihat. Dengan pengentaraan kontras, dapat
terlihat aneurisma maupun AVM.
Terapi
Cara pengobatan yang digunakan untuk PIS, dipakai juga untuk PSA pada fase
akut. Setelah fase akut lewat, dianjurkan angiografi untuk mencari lesi (aneurisma atau
angioma, AVM) sumber PSA. Bila ditemukan, maka bisa dilakukan operasi bedah saraf
(kliping, ligasi, dll).
Prognosis
Bergantung pada:
1. etiologi: llebih buruk pada aneurisma
2. lesi tunggal/multiple: anuerisma multiple lebih buruk
3. Lokasi aneurisma/lesi: pada a.komunikans anterior dan a. serebri anterior lebih buruk,
karena sering perdarahan masuk ke intraserebral atau ke ventrikel (perdarahan ventrikel)
4. umur: prognosis jelek pada usia lanjut
5. kesadaran: bila koma lebih dari 24 jam, buruk hasil akhirnya.
6. gejala: bila kejang, memperburuk keadaan/prognosis
22 | L a p o r a n m o d u l 2
7. spasme, hipertensi, dan perdarahan ulang, semuanya merugikan bagi prognosis
Rehabilitasi Penderita dan Prevensi Stroke
Rehabilitasi
Program rehabilitasi penderita stroke diberika setelah terjadi dan bermodalkan
kesembuhan anatomis, dengan tujuan agar tercapai kesembuhan fungsional, melalui
proses belajar kembali. Caranya ialah dengan memberikan sensasi/stimulasi sesering
mungkin pada bagian yang menderita, dan mengajarkan`kembali kepada penderita
tentang pengaturan posisi dan gerak tubuh/anggota yang berorientasi pada perkembangan
motorik sejak masa bayi.
Program rehabilitasi dimulai ketika penderita mulai dirawat, yaitu sebelum
program mobilisasi dan latihan aktif, dimulai dengan pemberian posisi yang
menguntungkan pemulihan fungsi tubuh, mencegah spastisitas dan sikap tubuh abnormal;
dan dengan nasehat serta pengarahan kepada penderita dan keluarganya.
Tindakan mobilisasi perlu menunggu waktu, dengan pola sebagai berikut:
Penderita stroke karena thrombosis atau emboli tanpa komplikasi/penyakit lain,
mobilisasi dimulai 2-3 hari setelah serangan;
Perdarahan subaraknoidal: mulai setelah 2-3 minggu;
Pada thrombosis/emboli dengan infark miokardium tanpa komplikasi, program mobilisasi
dilakukan setelah minggu ke-3; namun jika penderita segera menjadi stabil tanpa aritmia,
mobilisasi dapat dilakukan dengan hati-hati mulai pada hari ke-10.
Progressive stroke, tunggu sampai tercapai complete stroke, baru mulai diberikan latihan
pasif, untuk proses/lesi vertebra-basiler perlu tunggu sampai 72 jam, sebelum menetapkan
tak adanya progresi lagi.
Prevensi Stroke
Pencegahan terhadap serangan stroke baru, maupun ulangan (pada sisi yang
sama), perlu dilakukan dengan:
Pengobatan penyakit/faktor resiko, misalinya pengobatan DM, hipertensi, dll.
23 | L a p o r a n m o d u l 2
Dengan anti agregasi trombosit anti thrombosis, misalnya dengan ASA dosis rendah
dipyridamol 75-150 mg/hari.
Nasehat, antara lain latihan/olahraga teratur, mengendalikan makanan, dan psikoterapi.
Pendidikan dan penyuluhan kepada penderita, keluarga dan masyarakat tentang bahaya
penyakit stroke perlu diberikan. Demikian pula cara-cara menghindarinya, dan
bagaimana/ kepada siapa selayaknya mereka segera minta pertolongan bila mengalami
stroke.
Komplikasi pada penderita stroke
Selama menjalani perawatan di Rumah Sakit, pasien stroke dapat mengalami
komplikasi akibat penyakitnya. Komplikasi yang umum terjadi adalah bengkak otak
(edema) yang terjadi pada 24 jam sampai 48 jam pertama setelah stroke. Selain itu,
berbagai komplikasi lain yang dapat terjadi adalah sebagai berikut:
- Kejang. Kejang pada fase awal lebih sering terjadi pada stroke perdarahan.
Kejadian kejang umumnya memperberat defisit neurologik.
- Nyeri kepala: walaupun hebat, umumnya tidak menetap. Penatalaksanaan
membutuhkan analgetik dan kadang antiemetik
- Hiccup: penyebabnya adalah kontraksi otot-otot diafragma. Sering terjadi pada
stroke batang otak, bila menetap cari penyebab lain seperti uremia dan iritasi
diafragma.
- Transformasi hemoragik dari infark
- Hidrosefalus obstruktif
- Peninggian tekanan darah. Sering terjadi pada awal kejadian dan turun beberapa
hari kemudian.
- Demam dan infeksi. Demam berhubungan dengan prognosa yang tidak baik. Bila
ada infeksi umumnya adalah infeksi paru dan traktus urinarius.
- Emboli pulmonal. Sering bersifat letal namun dapat tanpa gejala. Selain itu,
pasien menderita juga trombosis vena dalam (DVT).
- Abnormalitas jantung. Disfungsi jantung dapat menjadi penyebab, timbul
bersama atau akibat stroke. Sepertiga sampai setengah penderita stroke menderita
komplikasi gangguan ritme jantung.
- Gangguan fungsi menelan, aspirasi dan pneumonia. Dengan fluoroskopi
ditemukan 64% penderita stroke menderita gangguan fungsi menelan. Penyebab
24 | L a p o r a n m o d u l 2
terjadi pneumonia kemungkinan tumpang tindih dengan keadaan lain seperti
imobilitas, hipersekresi dll.
- Kelainan metabolik dan nutrisi. Keadaan undernutrisi yang berlarut-larut
terutama terjadi pada pasien umur lanjut. Keadaan malnutrisi dapat menjadi
penyebab menurunnya fungsi neurologis, disfungsi kardiak dan gastrointestinal
dan abnormalitas metabolisme tulang.
- Infeksi traktus urinarius dan inkontinensia. Akibat pemasangan kateter dauer,
atau gangguan fungsi kandung kencing atau sfingter uretra eksternum akibat
stroke.
- Perdarahan gastrointestinal. Umumnya terjadi pada 3% kasus stroke. Dapat
merupakan komplikasi pemberian kortikosteroid pada pasien stroke. Dianjurkan
untuk memberikan antagonis H2 pada pasien stroke ini.
- Dehidrasi. Penyebabnya dapat gangguan menelan, imobilitas, gangguan
komunikasi dll.
- Hiponatremi. Mungkin karena kehilangan garam yang berlebihan.
- Hiperglikemia. Pada 50% penderita tidak berhubungan dengan adanya diabetes
melitus sebelumnya. Umumnya berhubungan dengan prognosa yang tidak baik.
- Hipoglikemia. Dapat karena kurangnya intake makanan dan obat-obatan.
1.1.1. Identifikasi Kelemahan Anggota Gerak
Kelemahan Anggota Gerak (Paralisis Flaksid)
Sistem motorik sering dibagi menjadi neuron motorik atas da neuron
motorik bawah. Lesi di neuron motorik bawah—neuron motorik spinalis dan
kranialis yang secara langsung mempersarafi otot –menyebabkan paralisis flaksid
(kelumpuhan lunglai), atrofi otot, dan hilangnya respon refleks. Sindrom
kelumpuhan spastik dan refleks regang hiperaktif tanpa atrofi otot dikatakan
disebabkan oleh kerusakan “neuron motorik atas”, yaitu neuron di otak dan
medula spinalis yang mengaktifkan neuron motorik. Namun, harus diperhatikan
bahwa terdapat tiga jenis “neuron motorik atas”. Lesi di banyak dari jalur
pengatur postur menyebabkan kelumpuhan spastik, tetapi lesi yang terbatas di
jalur kortikospinalis dan kortikobulbaris lebih sering menimbulkan kelemahan
(paresis) dibanding kelumpuhan, dan otot yang terkena umumnya mengalami
hipotoni. Lesi serebelum menimbulkan gangguan koordinasi.
25 | L a p o r a n m o d u l 2
Sistem kortikospinalis terutama memperantarai gerakan-gerakan volunter
halus dan berlainan pada tangan dan jari tangan, misalnya gerakan yang
diperlukan untuk melakukan pekerjaan jahit-menjahit. Daerah motorik
suplementer dan pramotorik, dengan masukan dari serebroserebelum,
merencanakan perintah motorik volunter yang disampaikan ke neuron-neuron
motorik yang sesuai oleh korteks motorik primer melalui sistem desendens ini.
Sistem multineuron, sebaliknya terutama berperan dalam mengatur postur tubuh
keseluruhan yang melibatkan gerakan involunter kelompok otot-otot besar di
badan dan tungkai.
Sebagai masukan yang berkonvergensi di neuron-neuron motorik bersifat
eksitatorik, sementara yang lain inhibitorik. Gerakan terkoordinasi bergantung
pada keseimbangan yang sesuai dengan aktivitas kedua masukan tersebut. Jika
sistem inhibitorik yang yang berasal dari batang otak terganngu, otot-otot menjadi
hiperaktif (tonus otot meningkat; refleks anggota badan menguat) karena aktivitas
masukan eksitatorik ke neuron motorik tidak dilawan, suatu keadaan yang dikenal
sebagai paralisis spastik. Sebaliknya, hilangnya masukan eksitatorik, seperti yang
menyertai kerusakan jalur-jalur eksitatorik desendens yang keluar dari korteks
motorik primer, menimbulkan paralisis flaksid (otot melemas; ketidakmampuan
menimbulkan kontraski otot secara volunter, walaupun aktivitas refleks masih
ada). Kerusakan pada korteks motorik primer di salah satu sisi otak, seperti yang
terjadi pada stroke, menyebabkan paralisis flaksid di separuh badan yang
berlawanan (hemiplegia, atau paralisis salah satu sisi tubuh). Gangguan di semua
jalur desendens, seperti trauma berat pada korda spinalis, disertai dengan paralisis
flaksid di bawah tingkat kerusakan – kuadraplegia (paralisis keempat anggota
badan) pada kerusakan korda spinalis bagian atas dan paraplegia (paralisis kedua
tungkai) pada cedera korda spinalis bagian bawah. Kerusakan neuron-neuron
motorik – baik badan sel maupun serat-serat eferennya–menyebabkan paralisis
flaksid dan tidak adanya respons refleks pada otot yang terkena. Kerusakan
serebelum atau nukleus basal tidak menimbulkan paralisis tetapi menyebabkan
aktivitas yang tidak terkoordinasi dan canggung serta pola gerakan yang tidak
seuai. Daerah-daerah ini dalam keadaan normal bertugas memperhalus aktivitas
26 | L a p o r a n m o d u l 2
yang dimulai secara volunter. Kerusakan di daerah-daerah korteks yang lebih
tinggi yang erperan dalam perencanaan aktivitas motorik menyebabkan
ketidakmampuan membiat perintah motorik yang sesuai untuk menyelesaikan
gerakan yang diinginkan.
1.1.2. Identifikasi dan Penatalaksanaan pada Penurunan Kesadaran
Pengertian
Kesadaran adalah pengetahuan penuh atas diri, lokasi dan waktu.
Sementara penurunan kesadaran adalah keadaan dimanapenderita tidak sadar
dalam arti tidak terjaga / tidak terbangun secara utuh sehingga tidak mampu
memberikan respons yang normal terhadap stimulus.
Kesadaran secara sederhana dapat dikatakan sebagai keadaan dimana
seseorang mengenal / mengetahui tentang dirinya maupun lingkungannya.
Dalam menilai penurunan kesadaran dikenal beberapa istilah yaitu :
1. Kompos mentis
Kompos mentis adalah kesadaran normal, menyadari seluruh asupan dari
panca indra dan bereaksi secara optimal terhadap seluruh rangsangan baik dari
luar maupun dalam.
2. Somnelen / drowsiness / clouding of consciousness
Mata cenderung menutup, mengantuk, masih dapat dibangunkan dengan
perintah, masih dapat menjawab pertanyaan walau sedikit bingung, tampak
gelisah dan orientasi terhadap sekitarnya menurun.
3. Stupor / Sopor
Mata tertutup dengan rangsang nyeri atau suara keras baru membuka mata
atau bersuara satu dua kata . Motorik hanya berupa gerakan mengelak
terhadap rangsang nyeri.
4. Soporokoma / Semikoma
Mata tetap tertutup walaupun dirangsang nyeri secara kuat, hanya dapat
mengerang tanpa arti, motorik hanya gerakan primitif.
5. Koma
27 | L a p o r a n m o d u l 2
Dengan rangsang apapun tidak ada reaksi sama sekali, baik dalam hal
membuka mata, bicara maupun reaksi motorik.
Etiologi
Untuk memudahkan mengingat dan menelusuri kemungkinan – kemungkinan
penyebab penurunan kesadaran dengan istilah “ SEMENITE “ yaitu :
a. S : Sirkulasi
Meliputi stroke dan penyakit jantung
b. E : Ensefalitis
Dengan tetap mempertimbangkan adanya infeksi sistemik / sepsis yang
mungkin melatarbelakanginya atau muncul secara bersamaan.
c. M : Metabolik
Misalnya hiperglikemia, hipoglikemia, hipoksia, uremia, koma hepatikum
d. E : Elektrolit
Misalnya diare dan muntah yang berlebihan.
e. N : Neoplasma
Tumor otak baik primer maupun metastasis
f. I : Intoksikasi
Intoksikasi berbagai macam obat maupun bahan kimia dapat menyebabkan
penurunan kesadaran
g. T : Trauma
Terutama trauma kapitis : komusio, kontusio, perdarahan epidural, perdarahan
subdural, dapat pula trauma abdomen dan dada.
h. E : Epilepsi
Pasca serangan Grand Mall atau pada status epileptikus dapat
menyebabkan penurunan kesadaran.
Manifestasi Klinis
Gejala klinik yang terkait dengan penurunan kesadaran adalah :
- Penurunan kesadaran secara kwalitatif
- GCS kurang dari 13
- Sakit kepala hebat
28 | L a p o r a n m o d u l 2
- Muntah proyektil
- Papil edema
- Asimetris pupil
- Reaksi pupil terhadap cahaya melambat atau negatif
- Demam
- Gelisah
- Kejang
- Retensi lendir / sputum di tenggorokan
- Retensi atau inkontinensia urin
- Hipertensi atau hipotensi
- Takikardi atau bradikardi
- Takipnu atau dispnea
- Edema lokal atau anasarka
- Sianosis, pucat dan sebagainya.
Pemeriksaan Penunjang
Pemeriksaan penunjang yang diperlukan untuk menentukan penyebab
penurunan kesadaran yaitu :
- Laboratorium darah ;Meliputi tes glukosa darah, elektrolit, ammonia serum,
nitrogen urea darah ( BUN ), osmolalitas, kalsium, masa pembekuan,
kandungan keton serum, alcohol, obat-obatan dan analisa gas darah ( BGA ).
- CT Scan ; pemeriksaan ini untuk mengetahui lesi-lesi otak
- PET ( Positron Emission Tomography );untuk meenilai perubahan metabolik
otak, lesi-lesi otak, stroke dan tumor otak.
- SPECT ( Single Photon Emission Computed Tomography );untuk mendeteksi
lokasi kejang pada epilepsi, stroke.
- MRI ; Untuk menilai keadaan abnormal serebral, adanya tumor otak.
- Angiografi serebral ; Untuk mengetahui adanya gangguan vascular, aneurisma
dan malformasi arteriovena.
29 | L a p o r a n m o d u l 2
- Ekoensefalography ; Untuk mendeteksi sebuuah perubahan struktur garis
tengah serebral yang disebabkan hematoma subdural, perdarahan intraserebral,
infark serebral yang luas dan neoplasma.
- EEG ( elektroensefalography ); Untuk menilai kejaaang epilepsy, sindrom
otak organik, tumor, abses, jaringan parut otak, infeksi otak.
- EMG ( Elektromiography ); Untuk membedakan kelemahan akibat neuropati
maupun akibat penyakit lain.
Pengkajian Primer
1. Airway
a. Apakah pasien berbicara dan bernafas secara bebas
b. Terjadi penurunan kesadaran
c. Suara nafas abnormal : stridor, wheezing, mengi dll
d. Penggunaan otot-otot bantu pernafasan
e. Gelisah
f. Sianosis
g. Kejang
h. Retensi lendir / sputum di tenggorokan
i. Suara serak
j. Batuk
2. Breathing
a. Adakah suara nafas abnormal : stridor, wheezing, mengi dll
b. Sianosis
c. Takipnu
d. Dispnea
e. Hipoksia
f. Panjang pendeknya inspirasi ekspirasi
3. Circulation
a. Hipotensi / hipertensi
b. Takipnu
c. Hipotermi
30 | L a p o r a n m o d u l 2
d. Pucat
e. Ekstremitas dingin
f. Penurunan capillary refill
g. Produksi urin menurun
h. Nyeri
i. Pembesaran kelenjar getah bening
Pengkajian Sekunder
1. Riwayat penyakit sebelumnya
Apakah klien pernah menderita :
a. Penyakit stroke
b. Infeksi otak
c. DM
d. Diare dan muntah yang berlebihan
e. Tumor otak
f. Intoksiaksi insektisida
g. Trauma kepala
h. Epilepsi dll.
2. Pemeriksaan fisik
a. Aktivitas dan istirahat
Data Subyektif:
kesulitan dalam beraktivitas
kelemahan
kehilangan sensasi atau paralysis.
mudah lelah
kesulitan istirahat
nyeri atau kejang otot
Data obyektif:
Perubahan tingkat kesadaran
Perubahan tonus otot ( flasid atau spastic), paraliysis
( hemiplegia ) , kelemahan umum.
31 | L a p o r a n m o d u l 2
gangguan penglihatan
b. Sirkulasi
Data Subyektif:
Riwayat penyakit stroke
Riwayat penyakit jantung
Penyakit katup jantung, disritmia, gagal jantung ,
endokarditis bacterial.
Polisitemia.
Data obyektif:
Hipertensi arterial
Disritmia
Perubahan EKG
Pulsasi : kemungkinan bervariasi
Denyut karotis, femoral dan arteri iliaka atau aorta
abdominal
c. Eliminasi
Data Subyektif:
Inkontinensia urin / alvi
Anuria
Data obyektif
Distensi abdomen ( kandung kemih sangat penuh )
Tidak adanya suara usus( ileus paralitik )
d. Makan/ minum
Data Subyektif:
Nafsu makan hilang
Nausea
Vomitus menandakan adanya PTIK
Kehilangan sensasi lidah , pipi , tenggorokan
Disfagia
Riwayat DM, Peningkatan lemak dalam darah
Data obyektif:
32 | L a p o r a n m o d u l 2
Obesitas ( faktor resiko )
e. Sensori neural
Data Subyektif:
Syncope
Nyeri kepala : pada perdarahan intra serebral atau
perdarahan sub arachnoid.
Kelemahan
Kesemutan/kebas
Penglihatan berkurang
Sentuhan : kehilangan sensor pada ekstremitas dan pada
muka
Gangguan rasa pengecapan
Gangguan penciuman
Data obyektif:
Status mental
Penurunan kesadaran
Gangguan tingkah laku (seperti: letargi, apatis,
menyerang)
Gangguan fungsi kognitif
Ekstremitas : kelemahan / paraliysis genggaman tangan
tidak imbang, berkurangnya reflek tendon dalam
Wajah: paralisis / parese
Afasia ( kerusakan atau kehilangan fungsi bahasa,
kemungkinan ekspresif/ kesulitan berkata kata, reseptif /
kesulitan berkata kata komprehensif, global / kombinasi
dari keduanya. )
Kehilangan kemampuan mengenal atau melihat, stimuli
taktil
Kehilangan kemampuan mendengar
Apraksia : kehilangan kemampuan menggunakan
motorik
33 | L a p o r a n m o d u l 2
Reaksi dan ukuran pupil : reaksi pupil terhadap cahaya
positif / negatif, ukuran pupil isokor / anisokor, diameter
pupil
f. Nyeri / kenyamanan
Data Subyektif:
Sakit kepala yang bervariasi intensitasnya
Data obyektif:
Tingkah laku yang tidak stabil
Gelisah
Ketegangan otot
g. Respirasi
Data Subyektif : perokok ( faktor resiko )
h. Keamanan
Data obyektif:
Motorik/sensorik : masalah dengan penglihatan
Perubahan persepsi terhadap tubuh
Kesulitan untuk melihat objek
Hilang kewaspadaan terhadap bagian tubuh yang sakit
Tidak mampu mengenali objek, warna, kata, dan wajah yang
pernah dikenali
Gangguan berespon terhadap panas, dan dingin/gangguan
regulasi suhu tubuh
Gangguan dalam memutuskan, perhatian sedikit terhadap
keamanan
Berkurang kesadaran diri
i. Interaksi sosial
Data obyektif:
Problem berbicara
Ketidakmampuan berkomunikasi
3. Menilai GCS
34 | L a p o r a n m o d u l 2
Ada 3 hal yang dinilai dalam penilaian kuantitatif kesadaran yang
menggunakan Skala Coma Glasgow :
Respon motorik
Respon bicara
Pembukaan mata
Ketiga hal di atas masing-masing diberi angka dan dijumlahkan.
Penilaian pada Glasgow Coma Scale
Respon motorik
Nillai 6 : Mampu mengikuti perintah sederhana seperti :
mengangkat tangan, menunjukkan jumlah jari-jari
dari angka-angka yang disebutkan oleh pemeriksa,
melepaskan gangguan.
Nilai 5: Mampu menunjuk tepat, tempat rangsang nyeri yang
diberikan seperti tekanan pada sternum, cubitan pada
M. Trapezius
Nilai 4 : Fleksi menghindar dari rangsang nyeri yang diberikan
, tapi tidak mampu menunjuk lokasi atau tempat
rangsang dengan tangannya.
Nilai 3 : fleksi abnormal .
Bahu aduksi fleksi dan pronasi lengan bawah , fleksi
pergelangan tangan dan tinju mengepal, bila diberi
rangsang nyeri ( decorticate rigidity )
Nilai 2 : ekstensi abnormal.
Bahu aduksi dan rotasi interna, ekstensi lengan
bawah, fleksi pergelangan tangan dan tinju mengepal,
bila diberi rangsang nyeri ( decerebrate rigidity )
Nilai 1 : Sama sekali tidak ada respon
Catatan :
- Rangsang nyeri yang diberikan harus kuat
- Tidak ada trauma spinal, bila hal ini ada hasilnya akan
selalu negatif
35 | L a p o r a n m o d u l 2
Respon verbal atau bicara
Respon verbal diperiksa pada saat pasien terjaga (bangun).
Pemeriksaan ini tidak berlaku bila pasien :
- Dispasia atau apasia
- Mengalami trauma mulut
- Dipasang intubasi trakhea (ETT)
Nilai 5 : pasien orientasi penuh atau baik dan mampu berbicara
. orientasi waktu, tempat , orang, siapa dirinya ,
berada dimana, tanggal hari.
Nilai 4 : pasien “confuse” atau tidak orientasi penuh
Nilai 3 : bisa bicara , kata-kata yang diucapkan jelas dan baik
tapi tidak menyambung dengan apa yang sedang
dibicarakan
Nilai 2 : bisa berbicara tapi tidak dapat ditangkap jelas apa
artinya (“ngrenyem”), suara-suara tidak dapat dikenali
makna katanya
Nilai 1 : tidak bersuara apapun walau diberikan rangsangan
nyeri
Respon membukanya mata :
Perikasalah rangsang minimum apa yang bisa membuka satu atau
kedua matanya
Catatan:
Mata tidak dalam keadaan terbalut atau edema kelopak mata.
Nilai 4 : Mata membuka spontan misalnya sesudah disentuh
Nilai 3 : Mata baru membuka bila diajak bicara atau dipanggil
nama atau diperintahkan membuka mata
Nilai 2 : Mata membuka bila dirangsang kuat atau nyeri
Nilai 1 : Tidak membuka mata walaupaun dirangsang nyeri
4. Menilai reflek-reflek patologis :
a. Reflek Babinsky
36 | L a p o r a n m o d u l 2
Apabila kita menggores bagian lateral telapak kaki dengan suatu
benda yang runcing maka timbullah pergerakan reflektoris yang
terdiri atas fleksi kaki dan jari-jarinya ke daerah plantar
b. Reflek Kremaster :
Dilakukan dengan cara menggoreskan kulit dengan benda halus
pada bagian dalam (medial) paha. Reaksi positif normal adalah
terjadinya kontrkasi M.kremaster homolateral yang berakibat
tertariknya atau mengerutnya testis. Menurunnya atau
menghilangnya reflek tersebut berarti adanya ganguan traktus
corticulspinal
5. Uji syaraf kranial :
NI.N. Olfaktorius – penghiduan diperiksa dengan bau bauhan
seperti tembakau, wangi-wangian, yang diminta agar pasien
menyebutkannya dengan mata tertutup
N.II. N. Opticus
Diperiksa dengan pemerikasaan fisus pada setiap mata .
digunakan optotipe snalen yang dipasang pada jarak 6 meter
dari pasien . fisus ditentukan dengan kemampuan membaca
jelas deretan huruf-huruf yang ada
N.III/ Okulomotoris. N.IV/TROKLERIS , N.VI/ABDUSEN
Diperiksa bersama dengan menilai kemampuan pergerakan
bola mata kesegala arah , diameter pupil , reflek cahaya dan
reflek akomodasi
N.V. Trigeminus berfungsi sensorik dan motorik,
Sensorik diperiksa pada permukaan kulit wajah bagian dahi ,
pipi, dan rahang bawah serta goresan kapas dan mata
tertutup
Motorik diperiksa kemampuan menggigitnya, rabalah
kedua tonus muskulusmasketer saat diperintahkan untuk
gerak menggigit
37 | L a p o r a n m o d u l 2
N.VII/ Fasialis fungsi motorik N.VII diperiksa kemampuan
mengangkat alis, mengerutkan dahi, mencucurkan bibir ,
tersentum , meringis (memperlihatkan gigi
depan )bersiul , menggembungkan pipi.fungsi sensorik
diperiksa rasa pengecapan pada permukaan lidah yang
dijulurkan (gula , garam , asam)
N.VIII/ Vestibulo - acusticus
Fungsi pendengaran diperiksa dengan tes Rinne , Weber ,
Schwabach dengan garpu tala.
N.IX/ Glosofaringeus, N.X/vagus : diperiksa letak ovula di
tengah atau deviasi dan kemampuan menelan pasien
N.XI / Assesorius diperiksa dengan kemampuan mengangkat
bahu kiri dan kanan ( kontraksi M.trapezius) dan gerakan
kepala
N.XII/ Hipoglosus diperiksa dengan kemampuan menjulurkan
lidah pada posisi lurus , gerakan lidah mendorong pipi
kiri dan kanan dari arah dalam.
Diagnosis dan Intervensi
1. Gangguan perfusi jaringan berhubungan dengan hipoksia jaringan,
ditandai dengan peningkatan TIK, nekrosis jaringan, pembengkakan
jaringan otak, depresi SSP dan oedema
Tujuan : gangguan perfusi jaringan berkurang/hilang setelah dilakukan
tindakan keperawatan selama 1 jam.
Kriteria hasil :
- Tidak ada tanda – tanda peningkatan TIK
- Tanda – tanda vital dalam batas normal
- Tidak adanya penurunan kesadaran
Intervensi :
Mandiri :
38 | L a p o r a n m o d u l 2
- Tentukan faktor yang berhubungan dengan keadaan tertentu, yang
dapat menyebabkan penurunan perfusi dan potensial peningkatan
TIK
- Catat status neurologi secara teratur, bandingkan dengan nilai
standart
- Kaji respon motorik terhadap perintah sederhana
- Pantau tekanan darah
- Evaluasi : pupil, keadaan pupil, catat ukuran pupil, ketajaman
pnglihatan dan penglihatan kabur
- Pantau suhu lingkungan
- Pantau intake, output, turgor
- Beritahu klien untuk menghindari/ membatasi batuk,muntah
- Perhatikan adanya gelisah meningkat, tingkah laku yang tidak
sesuai
- Tinggikan kepala 15-45 derajat
Kolaborasi :
- Berikan oksigen sesuai indikasi
- Berikan obat sesuai indikasi
2. Ketidakefektifan bersihan jalan napas b.d obstruksi jalan nafas oleh sekret
Tujuan : bersihan jalan nafas efektif setelah dilakukan tindakan
keperawatan selama 1 jam.
Kriteria hasil:
- Pasien memperlihatkan kepatenan jalan napas
- Ekspansi dada simetris
- Bunyi napas bersih saat auskultasi
- Tidak terdapat tanda distress pernapasan
- GDA dan tanda vital dalam batas normal
Intervensi:
Mandiri :
39 | L a p o r a n m o d u l 2
- Kaji dan pantau pernapasan, reflek batuk dan sekresi
- Posisikan tubuh dan kepala untuk menghindari obstruksi jalan
napas dan memberikan pengeluaran sekresi yang optimal
- Penghisapan sekresi
- Auskultasi dada untuk mendengarkan bunyi jalan napas setiap 4
jam
Kolaborasi :
- Berikan oksigenasi sesuai advis
- Pantau BGA dan Hb sesuai indikasi
3. Pola nafas tak efektif berhubungan dengan adanya depresan pusat
pernapasan
Tujuan :
Pola nafas efektif setelah dilakukan tindakan keperawatan selama 1 jam
Kriteria hasil:
- RR 16-24 x permenit
- Ekspansi dada normal
- Sesak nafas hilang / berkurang
- Tidak suara nafas abnormal
Intervensi :
Mandiri :
- Kaji frekuensi, irama, kedalaman pernafasan.
- Auskultasi bunyi nafas.
- Pantau penurunan bunyi nafas.
- Berikan posisi yang nyaman : semi fowler
- Berikan instruksi untuk latihan nafas dalam
Catat kemajuan yang ada pada klien tentang pernafasan
Kolaborasi :
- Berikan oksigenasi sesuai advis
- Berikan obat sesuai indikasi
4. Kerusakan pertukaran gas berhubungan dengan abnormalitas ventilasi-
perfusi sekunder terhadap hipoventilasi
40 | L a p o r a n m o d u l 2
Tujuan :
Setelah diberikan tindakan keperawatan selaama 1 jam, pasien dapat
mempertahankan pertukaran gas yang adekuat
Kriteria Hasil :
Pasien mampu menunjukkan :
- Bunyi paru bersih
- Warna kulit normal
- Gas-gas darah dalam batas normal untuk usia yang diperkirakan
Intervensi :
Mandiri :
- Kaji terhadap tanda dan gejala hipoksia dan hiperkapnia
- Kaji TD, nadi apikal dan tingkat kesadaran setiap[ jam dan prn,
laporkan perubahan tinmgkat kesadaran pada dokter.
- Pantau dan catat pemeriksaan gas darah, kaji adanya
kecenderungan kenaikan dalam PaCO2 atau penurunan dalam
PaO2
- Bantu dengan pemberian ventilasi mekanik sesuai indikasi, kaji
perlunya CPAP atau PEEP.
- Auskultasi dada untuk mendengarkan bunyi nafas setiap jam
- Tinjau kembali pemeriksaan sinar X dada harian, perhatikan
peningkatan atau penyimpangan
- Evaluasi AKS dalam hubungannya dengan penurunan
kebutuhan oksigen.
- Pantau irama jantung
Kolaboraasi :
- Berikan cairan parenteral sesuai pesanan
- Berikan obat-obatan sesuai pesanan : bronkodilator, antibiotik,
steroid.
1.1.3.Hematoma
Epidural Hematoma
41 | L a p o r a n m o d u l 2
Terdapat pengumpulan darah di antara tulang tengkorak dan duramater
akibat pecahnya pembuluh darah / cabang - cabang arteri meningeal media yang
terdapat di duramater, pembuluh darah ini tidak dapat menutup sendiri karena itu
sangat berbahaya terjadi kompresi otak. Dapat terjadi dalam beberapa jam sampai
1-2 hari. Lokasi yang paling sering yaitu di lobus temporalis dan parietalis.
Gejala-gejala yang terjadi :
- Penurunan tingkat kesadaran
- Nyeri kepala
- Muntah
- Hemiparesis
- Dilatasi pupil ipsilateral
- Pernapasan dalam cepat kemudian.
- Penurunan nadi
- Peningkatan suhu
- Kesadaran menurun hingga koma
- Gejala fokal, akibat herniasi tentorial
– timbul hemiparese, monoparese, tonus meninggi, refleks patologi (+)
pada daerah kontralateral
– midriasis yang homolateral akibat penekanan N. III, refleks cahaya
direct / indirect (-).
- Nadi bisa bradikardi karena adanya peningkatan TIK
- Pemeriksaan fundus : pupil N. II yang homolateral slight oedema.
- LP : jernih dengan TIK yang tinggi (hati-hati karena bahaya herniasi)
Diagnosa :
Berdasarkan gejala klinis dan Radiologik , plain foto kepala, CT scan
kepala.
Tindakan
Operasi trepanasi
Prognosa
Baik bila cepat dioperasi.
42 | L a p o r a n m o d u l 2
Subdural Hematoma
Terkumpulnya darah antara duramater dan jaringan otak, dapat terjadi akut
dan kronik.
Terjadi akibat pecahnya pembuluh darah vena / jembatan vena yang
biasanya terdapat
diantara duramater, perdarahan lambat dan sedikit. Periode akut terjadi
dalam 48 jam. 2 hari atau 2 minggu dan kronik dapat terjadi dalam 2
minggu atau beberapa bulan.
Hematoma Subdural
Definisi
Hematoma subdural adalah penimbunan darah di dalam rongga subdural.
Dalam bentuk akut yang hebat,baik darah maupun cairan serebrospinal memasuki
ruang tersebut sebagai akibat dari laserasi otak atau robeknya arakhnoidea
sehingga menambah penekanan subdural pada jejas langsung di otak. Dalam
bentuk kronik, hanya darah yang efusi ke ruang subdural akibat pecahnya vena-
vena penghubung, umumnya disebabkan oleh cedera kepala tertutup. Efusi itu
merupakan proses bertahap yang menyebabkan beberapa minggu setelah cedera,
sakit kepala dan tanda-tanda fokal progresif yang menunjukkan lokasi gumpalan
darah.
Gb. Hematoma Subdural
Etiologi
43 | L a p o r a n m o d u l 2
Keadaan ini timbul setelah cedera/ trauma kepala hebat, seperti perdarahan
kontusional yang mengakibatkan ruptur vena yang terjadi dalam ruangan
subdural. Perdarahan sub dural dapat terjadi pada:
• Trauma kapitis
• Trauma di tempat lain pada badan yang berakibat terjadinya geseran atau
putaran otak terhadap duramater, misalnya pada orang yang jatuh terduduk.
• Trauma pada leher karena guncangan pada badan. Hal ini lebih mudah terjadi
bila ruangan subdura lebar akibat dari atrofi otak, misalnya pada orangtua dan
juga pada anak - anak.
• Pecahnya aneurysma atau malformasi pembuluh darah di dalam ruangan
subdura.
• Gangguan pembekuan darah biasanya berhubungan dengan perdarahan
subdural yang spontan, dan keganasan ataupun perdarahan dari tumor
intrakranial.
• Pada orang tua, alkoholik, gangguan hati.
Gg. Perdarahan pada subdural
Patofisiologi
44 | L a p o r a n m o d u l 2
Perdarahan terjadi antara duramater dan arakhnoidea. Perdarahan dapat
terjadi akibat robeknya vena jembatan (bridging veins) yang menghubungkan
vena di permukaan otak dan sinus venosus di dalam duramater atau karena
robeknya araknoidea. Karena otak yang bermandikan cairan cerebrospinal dapat
bergerak, sedangkan sinus venosus dalam keadaan terfiksir, berpindahnya posisi
otak yang terjadi pada trauma, dapat merobek beberapa vena halus pada tempat di
mana mereka menembus duramater Perdarahan yang besar akan menimbulkan
gejala-gejala akut menyerupai hematoma epidural. Perdarahan yang tidak terlalu
besar akan membeku dan di sekitarnya akan tumbuh jaringan ikat yang
membentuk kapsula. Gumpalan darah lambat laun mencair dan menarik cairan
dari sekitarnya dan mengembung memberikan gejala seperti tumor serebri karena
tekanan intracranial yang berangsur meningkat.
Gb. Lapisan pelindung otak
Perdarahan sub dural kronik umumnya berasosiasi dengan atrofi cerebral.
Vena jembatan dianggap dalam tekanan yang lebih besar, bila volume otak
mengecil sehingga walaupun hanya trauma yang kecil saja dapat menyebabkan
robekan pada vena tersebut. Perdarahan terjadi secara perlahan karena tekanan
sistem vena yang rendah, sering menyebabkan terbentuknya hematoma yang besar
sebelum gejala klinis muncul. Pada perdarahan subdural yang kecil sering terjadi
perdarahan yang spontan. Pada hematoma yang besar biasanya menyebabkan
terjadinya membran vaskular yang membungkus hematoma subdural tersebut.
45 | L a p o r a n m o d u l 2
Perdarahan berulang dari pembuluh darah di dalam membran ini
memegang peranan penting, karena pembuluh darah pada membran ini jauh lebih
rapuh sehingga dapat berperan dalam penambahan volume dari perdarahan
subdural kronik.
Akibat dari perdarahan subdural, dapat meningkatkan tekanan intrakranial
dan perubahan dari bentuk otak. Naiknya tekanan intra kranial dikompensasi oleh
efluks dari cairan likuor ke axis spinal dan dikompresi oleh sistem vena. Pada
fase ini peningkatan tekanan intra kranial terjadi relatif perlahan karena komplains
tekanan intra kranial yang cukup tinggi. Meskipun demikian pembesaran
hematoma sampai pada suatu titik tertentu akan melampaui mekanisme
kompensasi tersebut.
Komplains intrakranial mulai berkurang yang menyebabkan terjadinya
peningkatan tekanan intra kranial yang cukup besar. Akibatnya perfusi serebral
berkurang dan terjadi iskemi serebral. Lebih lanjut dapat terjadi herniasi
transtentorial atau subfalksin. Herniasi tonsilar melalui foramen magnum dapat
terjadi jika seluruh batang otak terdorong ke bawah melalui incisura tentorial oleh
meningkatnya tekanan supra tentorial. Juga pada hematoma subdural kronik,
didapatkan bahwa aliran darah ke thalamus dan ganglia basaalis lebih terganggu
dibandingkan dengan daerah otak yang lainnya.
Terdapat 2 teori yang menjelaskan terjadinya perdarahan subdural kronik,
yaitu teori dari Gardner yang mengatakan bahwa sebagian dari bekuan darah akan
mencair sehingga akan meningkatkan kandungan protein yang terdapat di dalam
kapsul dari subdural hematoma dan akan menyebabkan peningkatan tekanan
onkotik didalam kapsul subdural hematoma. Karena tekanan onkotik yang
meningkat inilah yang mengakibatkan pembesaran dari perdarahan tersebut.
Tetapi ternyata ada kontroversial dari teori Gardner ini, yaitu ternyata dari
penelitian didapatkan bahwa tekanan onkotik di dalam subdural kronik ternyata
hasilnya normal yang mengikuti hancurnya sel darah merah. Teori yang ke dua
mengatakan bahwa, perdarahan berulang yangdapat mengakibatkan terjadinya
perdarahan subdural kronik, faktor angiogenesis juga ditemukan dapat
meningkatkan terjadinya perdarahan subdural kronik, karena turut memberi
46 | L a p o r a n m o d u l 2
bantuan dalam pembentukan peningkatan vaskularisasi di luar membran atau
kapsul dari subdural hematoma. Level dari koagulasi, level abnormalitas enzim
fibrinolitik dan peningkatan aktivitas dari fibrinolitik dapat menyebabkan
terjadinya perdarahan subdural kronik.
Perdarahan Subdural dapat dibagi menjadi 3 bagian, berdasarkan saat
timbulnya gejala- gejala klinis yaitu:
1. Perdarahan akut
Gejala yang timbul segera hingga berjam - jam setelah trauma. Biasanya
terjadi pada cedera kepala yang cukup berat yang dapat mengakibatkan
perburukan lebih lanjut pada pasien yang biasanya sudah terganggu
kesadaran dan tanda vitalnya. Perdarahan dapat kurang dari 5 mm
tebalnya tetapi melebar luas. Pada gambaran skening tomografinya,
didapatkan lesi hiperdens.
2. Perdarahan sub akut
Berkembang dalam beberapa hari biasanya sekitar 2 - 14 hari sesudah
trauma. Pada subdural sub akut ini didapati campuran dari bekuan darah
dan cairan darah . Perdarahan dapat lebih tebal tetapi belum ada
pembentukan kapsula di sekitarnya. Pada gambaran skening tomografinya
didapatkan lesi isodens atau hipodens.Lesi isodens didapatkan karena
terjadinya lisis dari sel darah merah dan resorbsi dari hemoglobin.
3. Perdarahan kronik
Biasanya terjadi setelah 14 hari setelah trauma bahkan bisa lebih.
Perdarahan kronik subdural, gejalanya bisa muncul dalam waktu
berminggu- minggu ataupun bulan setelah trauma yang ringan atau
trauma yang tidak jelas, bahkan hanya terbentur ringan saja bisa
mengakibatkan perdarahan subdural apabila pasien juga mengalami
gangguan vaskular atau gangguan pembekuan darah. Pada perdarahan
subdural kronik , kita harus berhati hati karena hematoma ini lama
kelamaan bisa menjadi membesar secara perlahan- lahan sehingga
mengakibatkan penekanan dan herniasi. Pada subdural kronik, didapati
kapsula jaringan ikat terbentuk mengelilingi hematoma , pada yang lebih
47 | L a p o r a n m o d u l 2
baru, kapsula masih belum terbentuk atau tipis di daerah permukaan
arachnoidea. Kapsula melekat pada araknoidea bila terjadi robekan pada
selaput otak ini. Kapsula ini mengandung pembuluh darah yang tipis
dindingnya terutama pada sisi duramater. Karena dinding yang tipis ini
protein dari plasma darah dapat menembusnya dan meningkatkan volume
dari hematoma. Pembuluh darah ini dapat pecah dan menimbulkan
perdarahan baru yang menyebabkan menggembungnya hematoma.
Darah di dalam kapsula akan membentuk cairan kental yang dapat
menghisap cairan dari ruangan subaraknoidea. Hematoma akan membesar
dan menimbulkan gejala seprti pada tumor serebri. Sebagaian besar
hematoma subdural kronik dijumpai pada pasien yang berusia di atas 50
tahun. Pada gambaran skening tomografinya didapatkan lesi hipodens.
Gejala Klinis
1. Hematoma Subdural Akut
Hematoma subdural akut menimbulkan gejala neurologik dalam 24
sampai 48 jam setelah cedera. Dan berkaitan erat dengan trauma otak berat.
Gangguan neurologik progresif disebabkan oleh tekanan pada jaringan otak
dan herniasi batang otak dalam foramen magnum, yang selanjutnya
menimbulkan tekanan pada batang otak. Keadan ini dengan cepat
menimbulkan berhentinya pernapasan dan hilangnya kontrol atas denyut nadi
dan tekanan darah.
2. Hematoma Subdural Subakut
Hematoma ini menyebabkan defisit neurologik dalam waktu lebih dari
48 jam tetapi kurang dari 2 minggu setelah cedera. Seperti pada hematoma
subdural akut, hematoma ini juga disebabkan oleh perdarahan vena dalam
ruangan subdural.
Anamnesis klinis dari penmderita hematoma ini adalah adanya trauma
kepala yang menyebabkan ketidaksadaran, selanjutnya diikuti perbaikan
status neurologik yang perlahan-lahan. Namun jangka waktu tertentu
penderita memperlihatkan tanda-tanda status neurologik yang memburuk.
48 | L a p o r a n m o d u l 2
Tingkat kesadaran mulai menurun perlahan-lahan dalam beberapa
jam.Dengan meningkatnya tekanan intrakranial seiring pembesaran
hematoma, penderita mengalami kesulitan untuk tetap sadar dan tidak
memberikan respon terhadap rangsangan bicara maupun nyeri. Pergeseran isi
intracranial dan peningkatan intracranial yang disebabkan oleh akumulasi
darah akan menimbulkan herniasi unkus atau sentral dan melengkapi tanda-
tanda neurologik dari kompresi batang otak.
3. Hematoma Subdural Kronik
Timbulnya gejala pada umumnya tertunda beberapa minggu, bulan
dan bahkan beberapa tahun setelah cedera pertama.Trauma pertama merobek
salah satu vena yang melewati ruangan subdural. Terjadi perdarahan secara
lambat dalam ruangan subdural. Dalam 7 sampai 10 hari setelah perdarahan
terjdi, darah dikelilingi oleh membrane fibrosa.Dengan adanya selisih tekanan
osmotic yang mampu menarik cairan ke dalam hematoma, terjadi kerusakan
sel-sel darah dalam hematoma. Penambahan ukuran hematoma ini yang
menyebabkan perdarahan lebih lanjut dengan merobek membran atau
pembuluh darah di sekelilingnya, menambah ukuran dan tekanan hematoma.
Hematoma subdural yang bertambah luas secara perlahan paling sering terjadi
pada usia lanjut (karena venanya rapuh) dan pada alkoholik. Pada kedua
keadaan ini, cedera tampaknya ringan; selama beberapa minggu gejalanya
tidak dihiraukan. Hasil pemeriksaan CT scan dan MRI bisa menunjukkan
adanya genangan darah. Hematoma subdural pada bayi bisa menyebabkan
kepala bertambah besar karena tulang tengkoraknya masih lembut dan lunak.
Hematoma subdural yang kecil pada dewasa seringkali diserap secara
spontan.
49 | L a p o r a n m o d u l 2
Kerusakan pada Otak Tertentu
Kerusakan pada lapisan otak paling atas (korteks serebri biasanya akan
mempengaruhi kemampuan berfikir, emosi dan perilaku seseorang. Daerah
tertentu pada korteks serebri biasanya bertanggungjawab atas perilaku tertentu,
lokasi yang pasti dan beratnya cedera menentukan jenis kelainan yang terjadi.
Kerusakan Lobus Frontalis
Lobus frontalis pada korteks serebri terutama mengendalikan keahlian
motorik (misalnya menulis, memainkan alat musik atau mengikat tali sepatu).
Lobus frontalis juga mengatur ekspresi wajah dan isyarat tangan. Daerah tertentu
pada lobus frontalis bertanggungjawab terhadap aktivitas motor tertentu pada sisi
50 | L a p o r a n m o d u l 2
tubuh yang berlawanan. Efek perilaku dari kerusakan lobus frontalis bervariasi,
tergantung kepada ukuran dan lokasi kerusakan fisik yang terjadi. Kerusakan yang
kecil, jika hanya mengelai satu sisi otak, biasanya tidak menyebabkan perubahan
perilaku yang nyata, meskipun kadang menyebabkan kejang.
Kerusakan luas yang mengarah ke bagian belakang lobus frontalis bisa
menyebabkan apati, ceroboh, lalai dan kadang inkontinensia. Kerusakan luas yang
mengarah ke bagian depan atau samping lobus frontalis menyebabkan perhatian
penderita mudah teralihkan, kegembiraan yang berlebihan, suka menentang, kasar
dan kejam; penderita mengabaikan akibat yang terjadi akibat perilakunya.
Kerusakan Lobus Parietalis pada korteks serebri menggabungkan kesan
dari bentuk, tekstur dan berat badan ke dalam persepsi umum. Sejumlah kecil
kemampuan matematikan dan bahasa berasal dari daerah ini. Lobus parietalis juga
membantu mengarahkan posisi pada ruang di sekitarnya dan merasakan posisi
dari bagian tubuhnya. Kerusakan kecil di bagian depan lobus parietalis
menyebabkan mati rasa pada sisi tubuh yang berlawanan. Kerusakan yang agak
luas bisa menyebabkan hilangnya kemampuan untuk melakukan serangkaian
pekerjaan (keadaan ini disebut apraksia) dan untuk menentukan arah kiri-kanan.
Kerusakan yang luas bisa mempengaruhi kemampuan penderita dalam
mengenali bagian tubuhnya atau ruang di sekitarnya atau bahkan bisa
mempengaruhi ingatan akan bentuk yang sebelumnya dikenal dengan baik
(misalnya bentuk kubus atau jam dinding). Penderita bisa menjadi linglung atau
mengigau dan tidak mampu berpakaian maupun melakukan pekerjaan sehari-hari
lainnya.
Kerusakan Lobus Temporalis, lobus temporalis mengolah kejadian yang
baru saja terjadi menjadi dan mengingatnya sebagai memori jangka panjang.
Lobus temporalis juga memahami suara dan gambaran, menyimpan memori dan
mengingatnya kembali serta menghasilkan jalur emosional.
Kerusakan pada lobus temporalis sebelah kanan menyebabkan terganggunya
ingatan akan suara dan bentuk. Kerusakan pada lobus temporalis sebelah kiri
menyebabkan gangguan pemahaman bahasa yang berasal dari luar maupun dari
dalam dan menghambat penderita dalam mengekspresikan bahasanya.
51 | L a p o r a n m o d u l 2
Penderita dengan lobus temporalis sebelah kanan yang non-dominan, akan
mengalami perubahan kepribadian seperti tidak suka bercanda, tingkat
kefanatikan agama yang tidak biasa, obsesif dan kehilangan gairah seksual.
Penatalaksanaan
Pada kasus perdarahan yang kecil ( volume 30 cc ataupun kurang )
dilakukan tindakan konservatif. Tetapi pada keadaan ini masih ada kemungkinan
terjadi penyerapan darah yang rusak diikuti oleh terjadinya fibrosis yang
kemudian dapat mengalami pengapuran. Baik pada kasus akut maupun kronik,
apabila diketemukan adanya gejala- gejala yang progresif, maka jelas diperlukan
tindakan operasi untuk melakukan pengeluaran hematoma. Tetapi sebelum
diambil keputusan untuk dilakukan tindakan operasi, yang tetap harus kita
perhatikan adalah airway, breathing dan circulation (ABCs). Tindakan operatif
yang dapat dilakukan adalah burr hole craniotomy, twist drill craniotomy,
subdural drain. Dan yang paling banyak diterima untuk perdarahan sub dural
kronik adalah burr hole craniotomy. Karena dengan tehnik ini menunjukan
komplikasi yang minimal. Reakumulasi dari perdarahan subdural kronik pasca
kraniotomi dianggap sebagai komplikasi yang sudah diketahui. Jika pada pasien
yang sudah berusia lanjut dan sudah menunjukkan perbaikan klinis, reakumulasi
yang terjadi kembali, tidaklah perlu untuk dilakukan operasi ulang
kembali .Kraniotomi dan membranektomi merupakan tindakan prosedur bedah
yang invasif dengan tingkat komplikasi yang lebih tinggi. Penggunaan teknik ini
sebagai penatalaksanaan awal dari perdarahan subdural kronik sudah mulai
berkurang.
Trepanasi/ kraniotomi adalah suatu tindakan membuka tulang kepala yang
bertujuan mencapai otak untuk tindakan pembedahan definitif.
Pada pasien trauma, adanya trias klinis yaitu penurunan kesadaran, pupil anisokor
dengan refleks cahaya menurun dan kontralateral hemiparesis merupakan tanda
adanya penekanan brainstem oleh herniasi uncal dimana sebagian besar
disebabkan oleh adanya massa extra aksial. Indikasi Operasi
• Penurunan kesadaran tiba-tiba di depan mata
52 | L a p o r a n m o d u l 2
• Adanya tanda herniasi/ lateralisasi
• Adanya cedera sistemik yang memerlukan operasi emergensi, dimana CT
Scan Kepala tidak bisa dilakukan.
Perawatan Pascabedah Monitor kondisi umum dan neurologis pasien
dilakukan seperti biasanya. Jahitan dibuka pada hari ke 5-7. Tindakan
pemasangan fragmen tulang atau kranioplasti dianjurkan dilakukan setelah 6-8
minggu kemudian. Setelah operasipun kita harus tetap berhati hati, karena pada
sebagian pasien dapat terjadi perdarahan lagi yang berasal dari pembuluh -
pembuluh darah yang baru terbentuk, subdural empiema, irigasi yang kurang baik,
pergeseran otak yang tiba-tiba, kejang, tension pneumoencephalus, kegagalan dari
otak untuk mengembang kembali dan terjadinya reakumulasi dari cairan
subdural.. Maka dalam hal ini hematoma harus dikeluarkan lagi dan sumber
perdarahan harus ditiadakan.
Tanda-tanda dan gejalanya adalah :
– Nyeri kepala
– Bingung
– Mengantuk
– Menarik diri
– Berfikir lambat
– Kejang
– Udem pupil
Diagnosis
– anamnesa
– gejala klinis
– EEG
– Ct scan kepala
Tindakan : operasi
Intracerebral Hematoma
Perdarahan intracerebral berupa perdarahan di jaringan otak karena
pecahnya pembuluh darah arteri, kapiler, vena.
53 | L a p o r a n m o d u l 2
Perdarahan yang terjadi di korteks yang menimbulkan lesi desak ruang dan
meimbulkan edmea kolateral. Terbanyak pada lobus temporalis selain itu bisa
pula pada lobus frontalis dan parietalis, kadang-kadang pada serebellum.
Asal perdarahan dari arteri. Umumnya penderita tidak tertolong,
perdarahan arteri cepat masuk ke ventrikel dan menekan batang otak, bila
hematoma berasal dari vena biasanya dapat tertolong.
Disamping kehilangan kesadaran, kelainan ini ditandai oleh adanya defisit
neurologik, cairan serebrospinal yang berdarah dan hasil pemeriksaan CT scan
yang abnormal
Tanda dan gejalanya :
- Nyeri kepala
- Penurunan kesadaran
- Komplikasi pernapasan
- Hemiplegia kontra lateral
- Dilatasi pupil
- Perubahan tanda-tanda vital
Perdarahan Subarachnoid
Perdarahan di dalam rongga subarachnoid akibat robeknya pembuluh
darah dan permukaan otak, hampir selalu ada pad cedera kepala yang hebat.
Tanda dan gejala :
- Nyeri kepala
- Penurunan kesadaran
- Hemiparese
- Dilatasi pupil ipsilateral
- Kaku kuduk
1.1.4. Ensefalopati Hipertensif
Definisi
Ensefalopati Hipertensi merupakan disfungsi neurologi yang disebabkan
oleh hipertensi maligna. Istilah ini biasanya digunakan untuk menggambarkan
54 | L a p o r a n m o d u l 2
kondisi otak dan biasanya bersifat reversibel. Ensefalopati hipertensi biasanya
terjadi pada eklampsia, nefritis akut dan hipertensi krisis. Biasanya sering terjadi
pada usia muda dan setengah baya dengan Hipertensi.
Etiologi
Ada beberapa hal yang dapat menyebabkan terjadinya ensefalopati
hipertensi, antara lain :
Glomerulonefritis akut.
Ensefalitis.
Meningitis.
Agen simpatomimetik ( LSD, amfetamin, kokain, dll).
Eklampsia dan Preklampsia.
Trauma Kepala.
Hiperaktifitas autonom.
Vaskulitis, dll.
Patofisiologi
Ensefalopati hipertensi terjadi karena perfusi serebral meningkat yang
disebabkan oleh hilangnya integritas sawar darah-otak (Blood Brain
Barrier) memicu pengeluaran cairan ke otak.
Peningkatan tekanan darah sistemik menyebabkan vasokonstriksi
arteriolar otak.
Pada hipertensi kronis, rentang autoregulatory otak bergeser ke tekanan
yg lebih tinggi sebagai adaptasi elevasi tekanan darah sistemik.
Respon autoregulasi yang tidak mampu untuk mengadaptasikan diri
terhadap peningkatan tekanan darah sistemik otak yang melebihi
autoregulasi menyebabkan terjadinya kebocoran hidrostatik di kapiler
dalam sistem saraf pusat.
Vasodilatasi umum, edema serebral, dan papil edema merupakan tanda
defisit neurologis secara klinis ensefalopati hipertensi.
55 | L a p o r a n m o d u l 2
Gejala
Sakit kepala.
Vertigo.
Gelisah.
Mual (Nausea).
Gangguan kesadaran.
Kejang (Seizure).
Perdarahan retina.
Papilledema.
Lesi focal otak dapat berhubungan dengan gejala-gejala neurologis
yang spesifik.
Gejala mulai terjadi setelah 12-48 jam.
Diagnosa
Anamnesa
Pemeriksaan Fisik : Pemeriksaan vital sign, Pemeriksaan neurologis
Pemeriksaan Penunjang : Darah lengkap, urine, kreatinin, enzim
jantung, toksikologi urine, Rontgen, dan CT Scan.
Penatalaksanaan
Labetalol 20 mg IV bolus
Nitrogliserin 300-500 mcg/ menit IV bolus
Trimethaphan camsylate 0,5-10 mg/ menit IV infus
56 | L a p o r a n m o d u l 2
BAB III
PENUTUP
1.2. Kesimpulan
Penurunan kesadaran salah satunya dapat disebabkan oleh stroke yang
disebabkan oleh berbagai faktor resiko hipertensi dan hiperkolesterol seperti yang
digambarkan pada skenario. Identifikasi dini terhadap tanda dan gejala stroke
sangat penting untuk mencegah timbulnya komplikasi atau keadaan yang lebih
buruk. Penanggulangan cepat dan tepat terhadap kondisi umum pasien yang buruk
seperti adanya obstruksi jalan napas harus diperhatikan.
Berdasarkan pemaparan-pemaparan di atas, sangat penting bagi
mahasiswa untuk dapat mengetahui dan memahami gejala-gejala awal penderita
stroke, pertolongan pertama yang harus diberikan jika keadaan pasien sedang
tidak sadar, dan edukasi pada pasien dan keluarga agar serangan tidak terulang.
1.3. Saran
Dengan memahami laporan diatas, kami mengharapkan mahasiswa dapat
menggunakan dan menerapkan etika penelitian dalam penelitian masing-masing..
Mengingat masih banyaknya kekurangan dari kelompok kami, baik dari segi
diskusi kelompok, penulisan tugas tertulis dan sebagainya, untuk itu kami
mengharapkan kritik dan saran dari dosen dan rekan-rekan angkatan 2007.
57 | L a p o r a n m o d u l 2
DAFTAR PUSTAKA
Ethical Issues in Biomedical Research, ICMR Guidelines, New Delhi, 1997
Government Regulation No. 39/1995 on Health Research and
Development. Jakarta, 1995
http://www.freewebs.com/informedconsent_a1/informedconsent.htm
International Ethical Guidelines for Biomedical Research Involving Human
Subject (CIOMS-WHO, 1993)
58 | L a p o r a n m o d u l 2