Laporan PBL GEH Modul IV

92

Click here to load reader

description

laporan PBL sistem GEH

Transcript of Laporan PBL GEH Modul IV

Page 1: Laporan PBL GEH Modul IV

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Laporan ini merupakan salah satu syarat dalam menyelasikan sistem GEH. Topik dari laporan ini adalah konstipasi, yang mana pasti sangat berguna untuk bekal hingga kelak menjadi dokter. Konstipasi merupakan salah satu gangguan yang popular di masyarakat karena penyakit ini bisa menyerang siapa saja.

Diharapkan dari pemecahan kasus ini mahasiswa menggunakkan metode problem based learning ini, para mahasiswa semakin dapat memahami materi kuliah yang telah diberikan dan terlatih dalam memecahkan suatu masalah atau kasus klinik secara sistematis dan terarah.

Dalam pemecahan kasus yang ada pada skenario mahasiswa harus menggunakkan metode 7 langkah pemecahan masalah (seven jump).

1.2 Tujuan Instruksional Umum (TIU)Setelah selesai mempelajari modul ini, mahasiswa diharapkan dapat menjelaskan

tentang mekanisme terjadinya konstipasi, pembagian penyebab, pemeriksaan yang dibutuhkan untuk diagnostik, penatalaksanaan bedah dan non bedah, serta epidemiologi dan pencegahannya.

1.3 Tujuan Instruksional Khusus (TIK)

Setelah selesai selesai mempelajari modul ini, mahasiswa diharapkan dapat :

1. Menjelaskan defenisi konstipasi

2. Menjelaskan proses pasase normal dalam saluran cerna

- Anatomi dan histologi sal. cerna.

- Fisiologi pasase makanan dalam saluran cerna

- Biokimia zat-zat makanan dalam saluran cerna

3. Menjelaskan hal-hal yang dapat menyebabkan konstipasi

1

Page 2: Laporan PBL GEH Modul IV

- Gangguan funsional

- Gangguan karena obat-obatan

- Gangguan obstruktif

- Gangguan neuromuscular

- Gangguan endokrin metabolik

- Gangguan psikiatrik

- Gangguan karena infeksi / infestasi parasit

4. Menjelaskan keadaan patologis yang mungkin timbul pada konstipasi

5. Menjelaskan cara diagnostik pada konstipasi

- Hal-hal yang perlu digali pada anamnesis keluhan dan riwayat penderita

- Diagnostik fisik yang diperlukan pada konstipasi

- Pemeriksaan laboratorium yang diperlukan pada konstipasi

- Pemeriksaan radiologis yang diperlukan pada konstipasi

6. Menjelaskan penatalaksanaan konstipasi

- Penatalaksanaan medikamentosa

- Penatalaksanaan bedah

- Pendekatan nutrisional pada konstipasi

7. Menjelaskan epidemiologi dan pencegahan terjadinya konstipasi

- Epidemiologi penyakit-penyakit dengan konstipasi

- Pencegahan keadaan yang dapat mengakibatkan konstipasi

1.4 SkenarioSeorang anak laki-laki 5 tahun, diantar orang tuanya ke klinik dengan keluhan

utama sudah 3 hari tidak buang air besar dan muntah beberapa kali. Beberapa hari terakhir anak tersebut selalu merasa mual, tidak ada nafsu makan, dan demam yang terutama dirasakan pada malam hari. Seminggu sebelumnya anak tersebut pernah BAB dan terdapat cacing pada kotorannya. Anak tersebut kurus, terlihat lemas dan agak pucat.

2

Page 3: Laporan PBL GEH Modul IV

1.5 Kata/Kalimat Sulit-

1.6 Kata/Kalimat Kunci- Laki-laki, 5 tahun- 3 hari tidak BAB- Muntah beberapa kali- Mual, tidak napsu makan- Demam pada malam hari- Seminggu sebelumnya pernah BAB dan terdapat cacing- Kurus, lemas, agak pucat

1.7 MIND MAP

3

Page 4: Laporan PBL GEH Modul IV

BAB II

PEMBAHASAN

1. Jelaskan fisiologi dari pasase makanan dalam saluran cerna!2. Jelaskan mekanisme defekasi!3. Jelaskan Jelaskan definisi konstipasi dan perbedaan antara konstipasi dan obstipasi!

4. Jelaskan hal-hal yang dapat menyebabkan konstipasi!5. Jelaskan mekanisme konstipasi!6. Jelaskan penyakit-penyakit yang berhubungan dengan konstipasi!7. Jelaskan hubungan mual, muntah, demam, pucat, tidak nafsu makan, kurus, lemas, dan

terdapatnya cacing pada feses dengan konstipasi!8. Jelaskan alur diagnosis pada skenario!9. Jelaskan asuhan gizi apa saja dalam penanganan konstipasi!10. Jelaskan WD!11. Jelaskan DD!12. Jelaskan DD!

4

Page 5: Laporan PBL GEH Modul IV

1. Jelaskan fisiologi Proses passage makanan di saluran cerna!

Pada sistem pencernaan manusia makanan mengalami proses pencernaan pada saat makanan berada di dalam mulut hingga proses pengeluaran sisa-sisa makanan hasil pencernaan. Berikut ini merupakan proses pencernaan makanan, diantaranya:

1. Ingesti : memasukkan makanan ke dalam tubuh melalui mulut2. Mastikasi : proses mengnyah makanan oleh gigi3. Deglutisi : proses menelan makanan di kerongkongan4. Digesti : proses pengubahan makanan menjadi molekul yang lebih sederhana yang

terjadi di lambung dengan bantuan enzim5. Defeklasi : pengeluaran sisa-sisa makanan yang sudah tidak berguna untuk tubuh

melalui anus

Usus halus merupakan saluran yang berbelok-belok dengan lebar 25 mm dan panjang 5 sampai 8 m dan terdapat lipatan yang disebut vili atau jonjot-jonjot usus. Vili ini berfungsi memperluas permukaan usus halus yang berpengaruh terhadap proses penyerapan makanan.

Kolon atau disebut juga dengan usus besar yang memiliki panjang sekitar 1 m, dan terdiri dari kolon transversum, kolon descendes, dan kolon ascendens. Terdapat sekum (Usus buntu) diantara intestinum tenue (Usus halus) dan intestinum crassum (Usus besar). Pada ujung sekum terdapat tonjolan kecil disebut dengan appendiks (Umbai cacing). Dalam keadaan normal, setiap harinya, kolon menerima sekitar 500 mL kimus dari usus halus melalui katup ileosekal dengan waktu yang dibutuhkan 8-15 jam. Oleh karena itu sebagian besar pencernaan berlangsung di usus halus.

Gerakan kontraksi pada kolon disebut kontraksi haustra yang lama interval antara dua kontraksi adalah 30 menit, sedangkan usus halus berkontraksi 9-12 kali dalam semenit. Kontraksi haustra berupa gerakan maju-mundur yang menyebabkan isi kolon terpajan ke mukosa absorptif yang melibatkan pleksus intrinsik. Kontraksi lambat ini pula yang menyebabkan bakterit dapat tumbuh di usus besar.

Peningkatan nyata motilitas berupa kontraksi simultan usus besar terjadi 3 sampai 4 kali sehari. Kontraksi ini disebut gerakan massa yang mampu mendorong feses sejauh 1/3 sampai 3/4 dari panjang kolon hingga mencapai bagian distal usus besar, tempat penyimpanan feses. Refleks gastrokolon, yang diperantarai oleh gastrin dari lambung ke kolon dan oleh saraf otonom ekstrinik, terjadi ketika makanan masuk ke lambung dan akan memicu refleks defekasi. Oleh karena itu, sebagian besar prang akan merasakan keinginan untuk buang air besar setelah makan pagi. Hal ini karena refleks tersebut mendorong isi kolon untuk masuk ke rectum sehingga tersedia tempat di dalam usus untuk makanan yang baru dikonsumsi. Selanjutnya, isi usus halus akan didorong ke usus besar melalui refleks gastroileum.

5

Page 6: Laporan PBL GEH Modul IV

Gerakan massa mendorong isi kolon ke dalam rektum sehingga rektum meregang. Peregangan ini menimbulkan refleks defekasi yang disebabkan oleh aktivasi refleks intrinsik. Refleks intrinsik, lebih tepatnya pleksus mienterikus, menimbulkan gerakan peristaltik sepanjang kolon desendens, sigmoid, dan rectum yang memaksa feses memasuki anus dan membuat sfingter anus berelaksasi. Namun, defekasi dapat dicegah jika sfingter anus eksternus yang berupa otot rangka tetap berkontraksi yang dikontrol secara sadar. Dinding rektum yang semula meregang akan perlahan-lahan melemas dan keinginan untuk buang air besar mereda hingga akhirnya datang gerakan massa berikutnya. Gerakan peristaltis yang dipicu oleh refleks intrinsik yang bersifat lemah. Oleh karena itu, terdapat refleks parasimpatik untuk memperkuatnya. Sinyal dari rektum dilanjutkan terlebih dahulu ke korda spinalis lalu dikirim balik ke kolon, sigmoid, dan rektum melalui nervus pelvis sehingga gerakan peristaltis bersifat kuat. Sinyal defekasi yang memasuki korda spinalis menimbulkan efek lain seperti tarikan nafas yang dalam, penutupan glotis, dan kontraksi abdomen yaang mendorong feses keluar.

Pengubahan sisa makanan menjadi feses. Di dalam usus besar, tidak terjadi proses pencernaan karena ketiadaan enzim pecernaan dan penyerapan yang terjadi lebih rendah daripada usus halus akibat luas permukaan yang lebih sempit. Dalam keadaan normal, kolon menyerap sebagian garam (NaCl) dan H2O. Natrium adalah zat paling aktif diserap, Cl- secara pasif menuruni gradien listrik, dan H2O berpindah melalui osmosis. Melalui penyerapan keduanya maka terbentuk feses yang padat. Sekitar 500 ml bahan masuk ke kolon, 350 ml diserap dan 150 g feses dikeluarkan. Feses ini terdiri dari 100 g H2O dan 50 g bahan padat seperti selulosa, bilirubin, bakteri, dan sejumlah kecil garam. Dengan demikian, produk sisa utama yang dieksresikan melalui feses adalah bilirubin, serta makanan yang pada dasarnya tidak dapat diserap oleh tubuh.

6

Page 7: Laporan PBL GEH Modul IV

2. Jelaskan mekanisme defekasi!

I. FISIOLOGI

Rektum biasanya kosong sampai menjelang defekasi. Seorang yang mempunyai

kebiasaan teratur akan merasa kebutuhan membung air besar kira-kira pada waktu yang sama

setiap hari. Hal ini disebabkan oleh refleks gastro-kolika yang biasanya bekerja sesudah makan

pagi. Setelah makanan ini mencapai lambung dan setelah pencernaan dimulai maka peristaltik di

dalam usus terangsang, merambat ke kolon, dan sisa makanan dari hari kemarinnya, yang waktu

malam mencapai sekum mulai bergerak. Isi kolon pelvis masuk ke dalam rektum, serentak

peristaltik keras terjadi di dalam kolon dan terjadi perasaan di daerah perineum. Tekanan intra-

abdominal bertambah dengan penutupan glottis dan kontraksi diafragma dan otot abdominal,

sfinkter anus mengendor dan kerjanya berakhir (Pearce, 2002).

II. MEKANISME

 

Proses defekasi terjadi baik secara disadari (volunter), maupun tidak disadari (involunter)

atau refleks. Gerakan yang mendorong feses ke arah anus terhambat oleh adanya kontraksi tonik

dari sfingter ani interna yang terdiri dari otot polos dan sfingter ani eksterna yang terdiri dari otot

rangka. Sfingter ani eksterna diatur oleh N. Pudendus yang merupakan bagian dari saraf somatik,

sehingga ani eksterna berada di bawah pengaruh kesadaran kita (volunter).

7

Page 8: Laporan PBL GEH Modul IV

Proses defekasi diawali oleh terjadi refleks defekasi akibat ujung – ujung serabut saraf

rectum terangsang ketika dinding rectum teregang oleh massa feses. Sensasi rectum ini berperan

penting pada mekanisme continence dan juga sensasi pengisian rectum merupakan bagian

integral penting pada defekasi normal. Hal ini dapat digambarkan sebagai berikut : pada saat

volume kolon sigmoid menjadi besar, serabut saraf akan memicu kontraksi dengan

mengosongkan isinya ke dalam rectum. Studi statistika tentang fisiologi rectum ini

mendeskripsikan tiga tipe dari kontraksi rectum yaitu :

(1) Simple contraction yang terjadi sebanyak 5 – 10 siklus/menit ;

(2) Slower contractions sebanyak 3 siklus/menit dengan amplitudo diatas 100 cmH2O ; dan

(3) Slow Propagated Contractions dengan frekuensi amplitudo tinggi.

Distensi dari rectum menstimulasi reseptor regang pada dinding rectum, lantai pelvis dan

kanalis analis. Bila feses memasuki rektum, distensi dinding rectum mengirim signal aferent

yang menyebar melalui pleksus mienterikus yang merangsang terjadinya gelombang peristaltik

pada kolon desenden, kolon sigmoid dan rectum sehingga feses terdorong ke anus. Setelah

gelombang peristaltik mencapai anus, sfingter ani interna mengalami relaksasi oleh adanya

sinyal yang menghambat dari pleksus mienterikus; dan sfingter ani eksterna pada saat tersebut

mengalami relaksasi secara volunter,terjadilah defekasi.

Pada permulaan defekasi, terjadi peningkatan tekanan intraabdominal oleh kontraksi otot–

otot kuadratus lumborum, muskulus rectus abdominis, muskulus obliqus interna dan eksterna,

muskulus transversus abdominis dan diafraghma. Muskulus puborektalis yang mengelilingi

anorectal junction kemudian akan relaksasi sehingga sudut anorektal akan menjadi lurus. Perlu

diingat bahwa area anorektal membuat sudut 90o antara ampulla rekti dan kanalis analis sehingga

akan tertutup. Jadi pada saat lurus, sudut ini akan meningkat sekitar 130o – 140o sehingga kanalis

analis akan menjadi lurus dan feses akan dievakuasi. Muskulus sfingter ani eksterna kemudian

akan berkonstriksi dan memanjang ke kanalis analis.

Defekasi dapat dihambat oleh kontraksi sfingter ani eksterna yang berada di bawah

pengaruh kesadaran ( volunteer ). Bila defekasi ditahan, sfingter ani interna akan tertutup, rectum

8

Page 9: Laporan PBL GEH Modul IV

akan mengadakan relaksasi untuk mengakomodasi feses yang terdapat di dalamnya. Mekanisme

volunter dari proses defekasi ini nampaknya diatur oleh susunan saraf pusat. Setelah proses

evakuasi feses selesai, terjadi Closing Reflexes. Muskulus sfingter ani interna dan muskulus

puborektalis akan berkontraksi dan sudut anorektal akan kembali ke posisi sebelumnya. Ini

memungkinkan muskulus sfingter ani interna untuk memulihkan tonus ototnya dan menutup

kanalis analis. Hal ini menyebabkan m. sphincter ani externus dan m. levator ani berkontraksi

untuk menahan defekasi.

Jika kita memutuskan untuk meneruskan proses defekasi, maka impuls akan turun menuju ke

berbagai saraf:

N. facialis (VII) untuk mengkontraksikan otot-otot wajah.

N. vagus (X) untuk menutup epiglottis.

N. Phrenicus untuk memfiksasi diapraghma.

N. Thoracales segmen yang berhubungan untuk mengkontraksikan otot-otot dinding

abdomen.

N. splanchnicus pelvicus, yang berisi pesan untuk mengurangi kontraksi m. sphincter ani

internus.

N. pudendus, yang berisi pesan untuk mengurangi kontraksi m. sphincter ani externus

dan m. levator ani.

N. ischiadicus, untuk mengkontraksikan otot-otot hamstring.

Sinyal defekasi masuk ke medula spinalis menimbulkan efek lain, seperti mengambil

napas dalam, penutupan glottis, kontraksi otot dinding abdomen mendorong isi feses dari kolon

turun ke bawah dan saat bersamaan, dasar pelvis mengalami relaksasi dan menarik keluar cincin

anus mengeluarkan feses. Pada akhir defekasi, tunica mucosa kembali ke canalis analis akibat

tonus serabut-serabut longitudinal dinding canalis analis serta penarikan ke atas oleh m.

puborectalis (bagian dari m. levator ani). Kemudian lumen canalis analis yang kosong ditutup

oleh kontraksi tonik m. sphincter ani.

9

Page 10: Laporan PBL GEH Modul IV

 Refleks dalam Proses Defekasi

 1. Refleks Defekasi Intrinsik

Berawal dari feses yang masuk rektum sehingga terjadi distensi rektum, yang kemudian

menyebabkan rangsangan pada fleksus mesenterika dan terjadilah gerakan perilstaltik.

Feses tiba di anus, secara sistematis spingter interna relaksasi maka terjadilah defekasi

2.     Refleks Defekasi Parasimpatis

Feses yang masuk ke rektum akan merangsang saraf rektum yang kemudian diteruskan ke spinal

cord. Dari spinal cord kemudian dikembalikan ke kolon desenden, sigmoid dan rektum yang

menyebabkan intensifnya peristaltik, relaksasi spinter internal, maka terjadilah defekasi.

Dorongan feses juga dipengaruhi oleh :

Kontraksi otot abdomen

Tekanan diafragma

Kontraksi otot elevato

10

Page 11: Laporan PBL GEH Modul IV

3. Jelaskan definisi konstipasi dan perbedaan antara konstipasi dan obstipasi!

Definisi Konstipasi

Sembelit (Konstipasi) adalah suatu keadaan dimana seseorang mengalami

kesulitan buang air besar atau jarang buang air besar Konstipasi akut dimulai secara tiba-

tiba dan tampak dengan jelas.

Konstipasi menahun (kronik), kapan mulainya tidak jelas dan menetap selama beberapa

bulan atau tahun. Konstipasi adalah kondisi di mana feses memiliki konsistensi keras dan

sulit dikeluarkan. Masalah ini umum ditemui pada anak-anak. Buang air besar mungkin

disertai rasa sakit dan menjadi lebih jarang dari biasa. Pada anak normal, konsistensi feses

dan frekuensi BAB dapat berbeda-beda.1,2 Bayi yang disusui ASI mungkin mengalami

BAB setiap selesai disusui atau hanya sekali dalam 7-10 hari. Bayi yang disusui formula

dan anak yang lebih besar mungkin mengalami BAB setiap 2-3 hari.

Dengan demikian frekuensi BAB yang lebih jarang atau konsistensi feses yang sedikit

lebih padat dari biasa tidak selalu harus ditangani sebagai konstipasi.. Definisi kontipasi

bersifat relatif, tergantung pada konsistensi tinja, frekuensi buang air besar dan kesulitan

keluarnya tinja.

Pada anak normal yang hanya berak setiap 2-3 hari dengan tinja yang lunak tanpa

kesulitan, bukan disebut konstipasi. Konstipasi adalah persepsi gangguan buang air besar

berupa berkurangnya frekuensi buang air besar, sensasi tidak puasnya buang air besar,

terdapat rasa sakit, harus mengejan atau feses keras.

Konstipasi berarti bahwa perjalanan tinja melalui kolon dan rektum mengalami

penghambatan dan biasanya disertai kesulitan defekasi .Disebut konstipasi bila tinja yang

keluar jumlahnya hanya sedikit, keras, kering, dan gerakan usus hanya terjadi kurang dari

3x dalam 1 mnggu.Kriteria baku untuk menentukan ada tidaknya konstipasi telah

ditetapkan, meliputi minimal 2 keluhan dari beberapa keluhan berikut yang diderita

penderita minimal 25 % selama minimal 3 bulan : (1) tinja yang keras, (2) mengejan pada

11

Page 12: Laporan PBL GEH Modul IV

saat defekasi, (3) perasaan kurang puas setelah defekasi, dan (4) defekasi hanya 2 x atau

kurang dalam seminggu.

Definisi Obstipasi

Obstipasi berasal dari bahasa Latin, Ob berarti in the way = perjalanan, Stipare

berarti to compress = menekan. Secara istilah obstipasi adalah bentuk konstipasi parah

dimana biasanya disebabkan oleh terhalangnya pergerakan feses dalam usus (adanya

obstruksi usus). Gejala antara obstipasi dan konstipasi sangat mirip dimana terdapat

kesukaran mengeluarkan feses (defekasi). Namun obstipasi dibedakan dari konstipasi

berdasarkan penyebabnya ialah dimana konstipasi disebabkan selain dari obstruksi

intestinal sedangkan obstipasi karena adanya obstruksi intestinal. Gejala obstipasi berupa

pengeluaran feses yang keras dalam jangka waktu tiap 3-5 hari, kadang disertai adanya

perasaan perut penuh akibat adanya feses atau gas dalam perut.

Sebab dari obstipasi ada 2 yaitu:

1. Obstipasi akibat obstruksi dari intralumen usus meliputi akibat adanya kanker

dalam dinding usus

2. Obstipasi akibat obstruksi dari ekstralumen usus, biasanya akibat penekanan usus

oleh massa intraabdomen misalnya adanya tumor dalam abdomen yang menekan

rectum.

Obstipasi ada dua macam :

1. Obstipasi obstruksi total

Memiliki ciri tidak keluarnya feses atau flatus dan pada pemeriksaan colok dubur

didapatkan rectum yang kosong, kecuali jika obstruksi terdapat pada rectum.

2. Obstipasi obstruksi parsial.

Memiliki ciri pasien tidak dapat buang air besar selama beberapa hari tetapi

kemudian dapat mengeluarkan feses disertai gas. Keadaan obstruksi parsial

kurang darurat daripada obstruksi total.

12

Page 13: Laporan PBL GEH Modul IV

4. Jelaskan hal-hal yang dapat menyebabkan konstipasi!

1. Konstipasi yang disebabkan gangguan fungsi = konstipasi simple = konstipasi temporer

2. Konstipasi sebagai gejala suatu penyakit = konstipasi simptomatik

I . Konstipasi yang disebabkan gangguan fungsi

= konstipasi simple = konstipasi temporer.

Dapat dibagi lagi atas :

1. Rektal stasis (Dyschezia)

Disebabkan karena :

a. Kebiasaan yang salah

b. Rasa nyeri pada anus

c. Inefektif pada otot – otot abdomen

d. Lesi pada diskus spinalis

e. Lain penyebab

2. Kolon stasis.

Disebabkan karena :

a. Kebiasaan yang salah

b. Intake cairan yang kurang

c. Dehidrasi

d. Insufisiensi residue selulose dalam persediaan makanan.

II. Konstipasi sebagai gejala suatu penyakit

1. Konstipasi sebagai gejala penyakit akut misalnya :

a. Dehidrasi :

Sering dehidrasi mengakibatkan timbulnya konstipasi. Biasanya setelah rehidras akan

dapat defekasi. Selain dari pada itu pada penyakit infeksi akut yang disertai dengan panas

13

Page 14: Laporan PBL GEH Modul IV

misalnya pada pneumonia, meningitis, pada stadium permulaan dari tifus abdominalis

akan memberikan gejala konstipasi.

b. Obstruksi

Obstruksi intestinal yang akut biasa memberikan gejala utama adanya konstipasi.

c. Apendisitis akuta biasanya timbul konstipasi.

d. Setelah hematemesis kadang – kadang disusul dengan konstipasi.

2. Konstipasi yang kronis dapat terjadi pada :

a. Stenosis pilorikum

b. Kelainan dari kolon misalnya : karsinoma kolon, diverticulosis.

c. Kelainan dari rectum dan anus misalnya : fisura, proktitis, karsinoma rectum.

d. Kelainan pada pelvis yang biasanya karena kompresi mekanis pada rectum atau kolon

misalnya : pada wanita yang gravid maka uterusnya menekan sigmoid dan rectum,

fibroid uterus, tumor – tumor pada pelvis , kista ovarii, prolapse dari intestine yang

masuk ke dalam fossa rekto genetal.

e. Kelainan penyakit endokrin , misalnya : miksudema, diabetes mellitus , hiperparatiroidi.

f. Kelainan psikis misalnya pada depresi , anoreksia nervosa.

g. Keracunan atau karena obat – obat misalnya : karena zat logam, opiaten ( codein,

morfin), dll yang dipakai secara menahun.

14

Page 15: Laporan PBL GEH Modul IV

5. Jelaskan mekanisme konstipasi!

Mekanisme Konstipasi

Kolon normalnya menerima sekitar 500 ml kimus dari usus halus per hari. Karena sebagian besar pencernaan dan penyerapan telah diselesaikan di usus halus maka isi yang disalurkan ke kolon terdiri dari residu makanan yang tak tercerna (misalnya selulosa), komponen empedu yang tidak diserap, dan cairan. Fungsi utama usus besar adalah untuk menyimpan tinja sebelum defekasi.

Motilitas utama kolon adalah kontraksi haustra yang dipicu oleh ritmisitas otonom sel-sel otot polos kolon. Gerakan kontraksi ini tidak mendorong isi usus tetapi secara perlahan mengaduknya maju-mundur sehingga isi kolon terpajan ke mukosa penyerapan. Kontraksi haustra umumnya dikontrol oleh reflex reflex local yang melibatkan pleksus intrinsic. Tiga atau empat kali sehari, umumnya setelah makan, terjadi peningkatan mencolok motilitas saat segmen-segmen besar kolon ascendes dan transversum berkontraksi secara stimultan, mendorong tinja sepertiga sampai tiga perempat panjang kolon dalam beberapa detik. Kontraksi massif ini, yang secara tepat dinamai gerakan massa, mendorong isi kolon ke bagian distal usus besar, tempat bahan disimpan sampai terjadi defekasi. Adanya reflex gastrokolon mendorong isi kolon ke dalam rectum, memicu reflex defekasi. Kemudian rectum teregang dan berkontrasi sedangkan sfingter ani internus berelaksasi dan kolon sigmoid berkontraksi lebih kuat. Jika sfingter ani eksternus melemas maka terjadi defekasi. Jika keadaan tidak memungkinkan defekasi maka pengencangan sfingter ani eksternus secara sengaja dapat mencegah defekasi meskipun reflex defekasi telah aktif. Jika defekasi ditunda maka dinding rectum yang semula teregang secara perlahan melemas, dan keinginan untuk buang air besar mereda sampai gerakan massa berikutnya mendorong lbh banyak tinja ke dalam rectum dan kembali meregangkan rectum serta memicu reflex defekasi. Jika defekasi terjadi mka biasanya dibantu oleh gerakan mengejan volunteer yang melibatkan kontraksi oto abdomen dan ekspirasi paksa dengan glottis tertutup secara bersamaan. Tindakan ini sangat meningkatkan tekanan intraabdomen, yang membantu mendorong tinja

Jika defekasi ditunda terlalu lama maka dapat terjadi konstipasi (sembelit). Ketika isi kolon tertahan lebih lama daripada normal maka H2O yang diserap dari tinja meningkat sehingga tinja menjadi kering dan keras.

Penyebab umum konstipasi adalah kegagalan pengosongan rectum saat terjadi peristaltic massa. Bila defekasi tidak sempurn, rectum menjadi relaks dan keinginan defekasi menghilang. Air tetap terus diabsorpsi dari masa feses, sehingga feses menjadi keras dan menyebabkan sukar defekasi selanjurnya

Gejala – gejala yang berkaitan dengan konstipas disebabkan oleh distensi berkepanjangan usus besar, terutama rectum; gejala setelah hilang setelah peregangan mereda.

15

Page 16: Laporan PBL GEH Modul IV

Kemungkinan penyebab tertundanya defekasi yang dapat menimbulkan konstipasi mencakup

1. Mengabaikan keinginan untuk buang air besar2. Berkurangnya motilitas kolon karena usia, emosi, atau diet rendah serat3. Obstruksi gerakan feses di usus besar oleh tumor local atau spasme kolon4. Gangguan reflex defekasi, misalnya karena cedera jalur-jalur syaraf yang terlibat

16

Page 17: Laporan PBL GEH Modul IV

6. Jelaskan penyakit-penyakit yang berhubungan dengan konstipasi!

Penyakit Chron . Adalah Adalah gangguan peradangan yang terus menerus dan melibatkan semua lokasi pada traktus digestivus ( traktus gastrointestinalis) dari mulut sampai ke anus.Peradangan dapat meluas dan melibatkan seluruh lapisan dinding usus dari mukosa sampai serosa, menimbulkan nyeri dan membuat usus sering memberikan reaksi pengosongan berupa diare.

Epidemiologi Penyakit chron dapat terjadi pada semua kelompok umur terutama pada umur 20-30 tahun.perbandingan risiko laki laki dan perempuan umumnya seimbang. Data mengenai PC sangat minim, namun diperkirakan kasusnya semakin meningkat dari tahun ketahun karena erat berkaitan dengan pola hidup modern .

Etiologi Penyebab pasti belum diketahui, namun beberapa ahli menduga disebabkan oleh gangguan pertahanan tubuh atau infeksi dengan virus RNA dan alergi. Gejala klinis : 1. Sakit pada kuadran kanan bawah perut 2. Diare atau konstipasi yang berulang 3. Berat badan menurun 4. Diare lendir darah

Irritable Bowel Syndrome Adalah salah satu penyakit gastroistestinal fungsional, dari adanya nyeri perut,distensi dan gangguan pola defekasi tanpa gangguan organik.

Etiologi Sampai saat ini tidak ada teori yang menyebutkan bahwa IBS disebabkan oleh satu faktor saja. Banyak faktor yang menyebabkan terjadinya IBS antara lain gangguan motilitas,intoleransi makanan,abnormalitas sensoris,hipersensitivitas viseral,dan pasca infeksi usus.

Epidemiologi Belum ada penelitian statistik jumlah penderita IBS di Indonesia. Di seluruh bagian dunia, kekerapan penyakit ini diperkirakan sangat bervariasi. Di Amerika Utara dan Eropa bagian barat, survei penduduk menunjukkan bahwa penderita IBS sebesar 12-22% dari populasi umum, sementara kekerapannya di Asia Tenggara lebih jarang yaitu sekitar kurang dari 5%. Perbedaan ini mungkin disebabkan oleh perbedaan metode survey, kriteria yang digunakan ataupun jumlah populasi yang diteliti .

17

Page 18: Laporan PBL GEH Modul IV

Gejala Klinis : 1. Diare pagi hari 2. Konstipati/tinja keras 3. Perut kembung 4. Nyeri perut 5. Berak lendir 6. Demam 7. Rektum terasa selalu berisi8. Perdarahan usus 9. Berat badan menurun 10. Anemi

Kolitis Ulseratif adalah penyakit kronis dimana usus besar atau kolon mengalami inflamasi dan ulserasi menghasilkan keadaan diare berdarah, nyeri perut, dan demam

Etiologi Penyebab pasti dari penyakit ini masih belum juga diketahui. Teori tentang apa penyebab kolitis ulseratif sangat banyak, tetapi tidak satupun dapat membuktikan secara pas. Penelitian-penelitian telah dilakukan dan membuktikan adanya kemungkinan lebih dari satu penyebab dan efek kumulasi dari penyebab tersebut adalah akar dari keadaan patologis. Penyebabnya meliputi herediter, faktor genetik, faktor lingkungan, atau gangguan sistem imun. Secara garis besar dapat dibagi menjadi dua kelompok yaitu faktor ekstrinsik dan faktor intrinsic .

Faktorekstrinsik 1.Diet: asupan makanan cepat saji dan gula telah dihubungkan pada banyak penelitian dengan kemungkinan menderita kolitis ulseratif . 2.Infeksi: beberapa peneliti menyatakan bahwa kolitis ulseratif dapat berhubungan dengan beberapa infeksi saluran cerna yang disebabkan oleh mikroorganisme E. Coli. Satu teori menjelaskan bahwa virus measles yang belum dibersihkan dari tubuh dengan tuntas dapat menyebabkan inflamasi kronik ringan dari mukosa usus . 3.Obat-obatan: penelitian juga menunjukkan hubungan antara asupan oral pil kontrasepsi dan kolitis ulseratif dapat menyebabkan pasien menderita serangan apalagi jikamengkonsumsi antibiotik dan NSAIDs .

Hal yang terpenting adalah meskipun banyak dari orang yang memakan diet buruk atau mempunyai infeksi E. Coli belum pasti akan menderita kolitis Ulseratif sehinga dapat disimpulkan bahwa masih ada sesuatu yang membuat seseorang menjadi lebih rentan

Faktorintrinsic

18

Page 19: Laporan PBL GEH Modul IV

1.Gangguan sistem imun: beberapa ahli percaya bahwa adanya defek pada sistem imun seseorang berperan dalam terjadinya inflamasi dinding usus. Gangguan ini ada 2 jenis: a.Alergi: beberapa penelitian menunjukan bahwa kolitis ulseratif adalah bentuk respon alergi terhadap makanan atau adanya mikroorganisme di usus . b.Autoimun: penelitian terbaru menunjukkan bahwa kolitis ulseatif dapat merupakan suatu bentuk penyakit autoimun dimana sistem pertahanan tubuh menyerang organ dan jaringan tubuh sendiri. Diantaranya adalah usus besar .

2.Genetik: penelitian terbaru menujukkan bahwa faktor genetik dapat meningkatkan kecenderungan untuk menderita kolitis ulseratif .

3.Faktor herediter: adanya anggota keluarga yang menderita kolitis ulseratif akan meningkatkan resiko anggota keluarga lain untuk menderita penyakit serupa.

4.Psikosomatik: pikiran berperan penting dalam menjaga kondisi sehat atau sakit dari tubuh. Setiap stres emosional mempunyai efek yang merugikan sistem imun sehingga dapat menyebabkan penyakit kronik seperti kolitis ulseratif. Terdapat fakta bahwa banyak pasien kolitis ulseratif mengalami situasi stres berat dikehidupannya.

Epidemiologi Di Amerika Serikat, sekitar 1 miliar orang terkena colitis ulseratif. Insidennya 10.4-12 kasus per 100.000 orang per tahunnya. Rata-rata prevalensinya antara 35-100 kasus per 100.000 orang (Basson, 2011). Sementara itu, puncak kejadian penyakit tersebut adalah antara usia 15 dan 35 tahun, penyakit ini telah dilaporkan terjadi pada setiap decade kehidupan (Ariestine, 2008). Colitis ulseratif terjadi 3 kali lebih sering daripada Crohn disease. Colitis ulseratif terjadi lebih sering pada orang kulit putih daripada orang African American atau Hispanic. Colitis ulseratif juga lebih sering terjadi pada wanita daripada laki-laki (Basson, 2011). .

Gejala Klinis 1. Berak darah 2. Diare berat 3. Anemi 4. Demam 5. Takikardi hilang timbul 6. Konstipasi

HemoroidAdalah merupakan pelebaran dan inflamasi pembuluh darah vena di daerah anus yang berasal dari plexus hemorrhoidalis.

19

Page 20: Laporan PBL GEH Modul IV

Etiologi Kehamilan/kelahiran Konstipasi (karena diet rendah serat atau sering menahan buang air besar) Mengangkat benda berat Berdiri atau duduk yng lama Faktor genetik

Epidemiologi Hemoroid merupakan penyakit daerah anus yang cukup banyak ditemukan pada praktek dokter sehari hari. Di RSCM selama 2 tahun dari 414 kali pemeriksaan kolonoskopi didapatkan 108 (26,09%) kasus hemoroid. . Gejala klinis . 1. Bab sakit dan sulit .

2. Dubur terasa panas3. Adanya benjolan di dubur 4. Pendarahan di dubur 5. Berak mukus

7. Jelaskan hubungan mual, muntah, demam, pucat, tidak nafsu makan, kurus, lemas, dan terdapatnya cacing pada feses dengan konstipasi!

20

Page 21: Laporan PBL GEH Modul IV

Mual

Mual adalah pengenalan secara sadar terhadap eksitasi bawah sadar pada daerah medula

yang secara erat berhubungan dengan atau merupakan bagian dari pusat muntah dan mual

yang disebabkan oleh (1) impuls iritatif yang datang dari traktus gastrointestinal, (2)

impuls yang berasal dari otak bawah yang berhubungan dengan motion sicness, atau (3)

impuls dari korteks serebri untuk mencetuskan muntah. Mual adalah sensasi subjektif tidak

nyaman untuk muntah.

Muntah

Muntah merupakan suatu cara traktus gastrointestinal membersihkan dirinya sendiri dari

isinya ketika hampirn semua bagian gastrointestinal teriritasi secara luas, sangat

mengembang atau bahkan terlalu terangsang. Sinyal sensoris yang mencetuskan muntah

terutama berasal dari faring, esofagus, lambung dan bagian atas usus halus. Impuls saraf

kemudian ditranmisikan melalui serabut saraf aferen vagal maupun saraf simpatis ke

berbagai nukleus yang tersebar di batang otak yang semuanya bersama-sama disebut pusat

muntah. Dari sini, impuls-impuls motorik yang menyebabkan muntah sesungguhnya

ditransmisikan dari pusat muntah melalui jalur saraf kranialis V. VII. IX, X, XII ke traktus

gastrointestinal bagian atas, melalui saraf vagus dan simpatis ke traktus yang lebih bawah,

dan melalui saraf spinalis ke diafragma dan otot abdomen.

Pada tahap awal, antiperistaltik mulai terjadi. Antiperistaltik berarti gerakan peristaltik ke

arah atas traktus pencernaan, bukannya ke arah bawah. Hal ini dapat dimulai sampai sejauh

ileum di traktus intestinal. Sekali pusat muntah telah cukup dirangsang dan timbul perilaku

muntah, efek yang pertama adalah (1) bernapas dalam, (2) naiknya tulang lidah dan laring

untuk menarik sfringter esofagus bagian atas supaya terbuka, (3) penutupan glotis untuk

mencegah aliran muntah memasuki paru, (4) pengangkatan palatum molle untuk menutup

nares posterior. Kemudian datang kontraksi diafragma yang kuat kebawah bersama dengan

kontraksi semua otot dinding abdomen, membentuk suatu tekanan intragastrik sampai ke

batas yang tinggi. Akhirnya sfingter esofagus bagian bawah berelaksasi secara lengkap

membuat pengeluaran ke atas melalui esofagus.

21

Page 22: Laporan PBL GEH Modul IV

Etiologi

Sangat bervariasi, beberapa keadaan dapat menjadi pencetus terjadinya muntah seperti

gangguan pada lambung atau usus (infeksi, iritasi makanan, trauma), gangguan pada

telinga bagian dalam (dizziness dan motion sicknes), kelainan pada susunan saraf pusat

(trauma,infeksi), atau akibat makan yang berlebihan. Meskipun jarang, obstruksi usus

merupakan penyebab muntah juga pada bayi.

Mekanisme Terjadinya Demam

Demam (pireksia) keadaan tubuh di atas normal sebagai akibat peningkatan pusat pengatur

suhu di hipotalamus yang dipengaruhi oleh IL-1. Pengaturan suhu pada keadaan sehat atau

demam merupakan keseimbangan antara produksi dan pelepasan panas.

Pirogen adalah suatu zat yang menyebabkan demam, terdapat dua jenis pirogen yaitu

pirogen eksogen dan endogen. Zat pirogen dapat berupa protein, pecahan protein.

Pirogen eksogen biasanya merangsang demam dalam 2 jam setelah terpapar. Umumnya

pirogen berinteraksi dengan sel fagosit, makrofag atau monosit, untuk merangsang sintesis

IL-1. Mekanisme lain yang mungkin berperan sebagai pirogen eksogen (misalnya

endotoksin) bekerja langsung pada hipotalamus untuk mengubah pengatur suhu.

Mekanisme virus memproduksi demam antara lain dengan cara melakukan invansi

langsung ke dalam makrofag.

Pada mekanisme ini, mikroorganisme akan difagositosis oleh leukosit, makrofag jaringan,

dan limfosit pembunuh bergranula besar. Seluruh sel ini selanjutnya mencerna hasil

pemecahan dan melepaskan interleukin-1 ke dalam cairan tubuh, yang disebut juga

pirogen endogen.

Daerah spesifikdari IL-1 preoptik dan hipotalamus anterior, yang mengandung sekelompok

saraf termosentif yang berda di dinding rostral ventrikel III, yang disebut juga sebagai

organosumva sculorum lamina terminalis(OVTL), yaitu batas antara sirkulasi dan otak.

Selama demam, IL-1 masuk kedalam ruang perivaskular OVTL melalui jendela kapiler

22

Page 23: Laporan PBL GEH Modul IV

untuk merangsang sel memproduksi PGE-2, secara difusi masuk ke hipotalamus untuk

menyebabkan demam.

Cacing Dewasa

Cacing dewasa biasanya hidup diusus halus. Gejala klinis yang paling menonjol adalah

rasa tidak enak diperut, kolik akut pada daerah epigastrium, gangguan selera makan,

mencret. Ini biasanya terjadi pada saat proses peradangan pada dinding usus. Pada anak

kejadian ini bias diikuti demam. Komplikasi yang ditakuti adalah bila cacing dewasa

menjalar ketempat lain dan menimbulkan gejala akut. Pada keadaan infeksi yang berat,

paling ditakuti bila terjadi muntah cacing, yang akan dapat menimbulkan komplikasi

penyumbatan saluran nafas oleh cacing dewasa. Pada keadaan lain dapat terjadi ileus oleh

karena sumbatan pada usus oleh massa cacing, ataupun apendisitis sebagai akibat

masuknya cacing ke dalam lumen apendiks. Bisa dijumpai penyumbatan ampulla

vateriataupun saluran empedu dan terkadang masuk kejaringanhati.(Djuanda,2010).

Gejala lain adalahn sewaktu masa inkubasi dan pada saat cacing menjadi dewasa di dalam

usus halus, yang mana hasil metabolisme cacing dapat menimbulkan fenomena sensitisasi

seperti urtikaria, asam bronchial, konjungtivitisakut, foto fobia dan terkadang hematuria.

Eosinofilia 10% atau lebih sering pada infeksi dengan Ascarislumbricoides, tetapi hal ini

tidak menggambarkan beratnya penyakit, tetapi lebih banyak menggambarkan proses

sensitisasi dan eosinofilia ini tidak patognomonis untuk infeksi Ascarislumbricoide.

Diagnosis

Dari gejala klinis sering kali susah untuk menegakkan diagnosis, karena tidak ada gejala

klinis yang spesifik sehingga diperlukan pemeriksaan laboratorium. Diagnosis ascariasis

ditegakkan berdasarkan menemukan telur cacing dalam tinja (melalui pemeriksaan

langsung atau metodekonsenntrasi), larva dalam sputum, cacing dewasa keluar dari mulut,

anus, atau dari hidung. Tingkat infeksi ascariasis dapat ditentukan dengan memeriksa

jumlah telur per gram tinja atau jumlah cacing betina yang ada dalam tubuh penderita. Satu

ekor cacing betina per-hari menghasilkan lebih kurang 200.000 telur, atau 2.000-3.000

telur per-gram tinja. Jika infeksi hanya oleh cacing jantan atau cacing yang belum dewasa

sehingga tidak ditemukan telur dalam tinja penderita, untuk diagnosis dianjurkan dilakukan

pemeriksaan foto thorax.

23

Page 24: Laporan PBL GEH Modul IV

Pasien Lemas, Pucat

Pada kasus askariasis, gejala yang timbul pada penderita dapat disebabkan oleh cacing

dewasa dan larva. Selama bermigrasi larva dapat menimbulkan gejala bila merusak kapiler

atau dinding alveolus paru. Keadaan tersebut akan menyebabkan terjadinya perdarahan,

penggumpalan sel leukosit dan eksudat, yang akan menghasilkan konsolidasi paru dengan

gejala panas, batuk, batukdarah, sesak napas dan pneumonitis Askaris.

Setiap 20 cacing dewasa, per hari akan merampas 2.8 gram karbohidrat dan 0.7 gram

protein sehingga terutama pada anak ana ksering kali menimbulkan perut buncit, pucat,

lesu, rambut jarang berwarna merah serta badan kurus, apalagi jika anak sebelumnya sudah

menderita undernutrisi . Gambaran ini disebabkan oleh defisiensi gizi yang juga dapat

menimbulkan keadaan anemi.

8. Jelaskan alur diagnosis pada skenario!

24

Page 25: Laporan PBL GEH Modul IV

I. Anamnesis1. Keluhan Utama

Ditanyakan tentang BABnya secara detail. Tentang onset, durasi, frekuensi, apakah disertai lender/darah, nyeri, dlla. Sejak kapan terjadi konstipasi /susah BAB? Berapa lama? Berulang, kasus

baru, atau sejak lama (lahir)?Untuk melihat tingkat keparahan dan stadium (akut atau kronik)

b. Kapan terakhir buang air besar?c. Berapa kali frekuensi buang air besar dalam seminggu?d. Bagaimana bentuk dan konsistensi fesesnya?e. Apakah butuh mengejan yang lebih keras pada saat BAB?f. Apakah butuh waktu yang lebih panjang pada saat BAB?g. Apakah telah disertai perdarahan? jika “iya”, darahnya keluar bersamaan

dengan feses atau tidak?h. Apakah disertai dengan lendir ?

BAB disertai lendir biasanya terjadi pada diarei. Bagaimana baunya? ( Amis, asam, busuk)j. Apakah rasa nyeri saat defekasi/BAB?

Untuk menunjukan apakah sudah terjadinya keganasank. Bagaimana bentuk dan warna fesesnya?

Pada keganasan bentuk fesesnya bulat kecil berwarna hitam (seperti feses kambing)

l. Apakah anusnya terasa nyeri? Jika “iya” seperti apa rasanya (panas, terbakar) ? terasanya pada saat apa?

2. Riwayat Penyakit Sekaranga. Adakah demam?

Untuk menghilangkan DD, karena pada konstipasi tidak terjadi demam. Demam biasanya terjadi karena adanya infeksi contohnya diare.

b. Adakah rasa kembung?c. Adakah pembesaran perut?d. Adakah keluhan pada kentutnya (frekuensi, susah/tidak) ?e. Apakah pasien mempunyai masalah?

Jika “iya” maka itu bukan merupakan suatu penyakit yang seriusf. Apakah pasien merasa nyeri abdomen?g. Adakah penurunan berat badan?

Untuk mengidentifikasi gejala pada keganasanh. Adakah riwayat sering lapar, haus, mengantuk, dan BAK?

Untuk mengidentifikasi gejala khas pada diabetes mellitusi. Adakah masalah berkemih (susah)?j. Apakah anus pasien terasa panas terutama saat duduk?

25

Page 26: Laporan PBL GEH Modul IV

Untuk mengidentifikasi penyakit hemoroidk. Apakah pasien mengalami gangguan penglihatan (kabur, diplopia/juling)?

Untuk mengidentifikasi gejala diabetes mellitus yaitu retinopati dengan gejala khas berupa kaburnya penglihatan atau gejala sklerosis multipel yang disertai dengan diplopia/mata juling.

l. Apakah disertai mual?Pada hemoroid disertai juga dengan mual

m. Apakah disertai muntah?Pada obstruksi usus disertai dengan muntah

3. Riwayat Penyakit Dahulua. Apakah pernah sebelumnya terjadi gejala yang sama?

Untuk mengetahui apakah gejala konstipasi pernah diderita sebelumnya.b. Adakah riwayat kanker?

Untuk mengetahui apakah pasien pernah atau punya penyakit kanker, khususnya kanker intestinal sebelumnya. Memungkinkan diagnosis ke arah obstruksi saluran cerna bagian bawah oleh kanker.

c. Adakah riwayat diabetes?Untuk mengetahui apakah pasien pernah atau punya penyakit diabetes mellitus sebelumnya. Memungkinkan diagnosis ke arah penyakit sistemik diabetes mellitus.

d. Adakah riwayat hipotiroidisme (gangguan mental, gangguan mestruasi)?Untuk mengetahui apakah pasien punya gangguan hormonal (hormon tiroid).Karakteristiknya antara lain; adanya gangguan mental (depresi, retardasi mental), gangguan menstruasi (amenore), dan lainnya.

e. Adakah riwayat penyakit parkinson (tremor, kaku, masalah dalam berjalan)?Pada penderita penyakit parkinson, salah satu manifestasi kliniknya adalah konstipasi.

f. Adakah riwayat kecelakaan yang mengenai otak atau tulang belakang?Kecelakaan yang mencederai otak atau sumsum tulang belakang dapat mengakibatkan gangguan neurologis yang salah satunya dapat mengakibatkan konstipasi.

g. Adakah riwayat operasi abdomen?Untuk mengidentifikasi gejala ileo paralitik. Salah satu komplikasi pasca bedah abdomen.

4. Riwayat Penyakit Keluargaa. Adakah riwayat keganasan usus dalam keluarga?

Untuk mengetahui riwayat familial yang kemungkinan dapat diturunkan yaitu keganasan, khususnya keganasan usus.

b. Adakah riwayat diabetes dalam keluarga?

26

Page 27: Laporan PBL GEH Modul IV

Untuk mengetahui riwayat familial yang kemungkinan dapat diturunkan yaitu diabetes mellitus

5. Riwayat Psikososiala. Bagaimana aktivitas fisik pasien (sering berolahraga atau tidak)?

Untuk mengidentifikasi apakah pasien sering atau jarang berolahraga atau aktivitas fisik yang serupa.

b. Bagaimana pola makanan yang sering dikonsumsi (rendah serat, sedikit minum)?Pola makan atau riwayat makan sangat penting diajukan karena pasien sering terlalu sedikit minum dan makan makanan yang rendah serat, hal inilah salah satu penyebab terjadinya konstipasi. Jika makanan yang sering dikonsumsi merupakan makanan yang rendah serat maka akan menimbulkan adanya defek intraluminalnya

6. Riwayat Pengobatana. Sudah pernah berobat/belum? Diberi obat apa?b. Apakah sedang mengkonsumsi obat lainnya?

Kemungkinan efek samping dari obat-obatan

II. Pemeriksaan FisikPada pemeriksaan fisik bisa ditemukan :1. Inspeksi

a. Distensi abdomen2. Auskultasi

a. Bising usus normal, berkurang, atau meningkat3. Perkusi4. Palpasi

a. Massa abdomen teraba pada palpasi abdomen kiri dan kanan bawah dan daerah suprapubis. Pada kasus berat, massa tinja kadang dapat teraba di daerah epigastrium.

III. Pemeriksaan Penunjang1. Rectal Toucher

a. Fisura Ani tdan Ampula Rekti yang besar dan lebarTanda penting pada konstipasi

b. Konsistensi tinja yang keras2. Kadar tiroksin dan TSH

Untuk menyingkirkan hipotiroid3. Tes serologi (antiend-omusial/ antigliadin antibody)

27

Page 28: Laporan PBL GEH Modul IV

Untuk menyingkirkan Celiac diseasae4. Foto polos abdomen

Untuk melihat kabiler kolon dan massa tinja dalam kolon (pemeriksaan ini dilakukan bila pemeriksaan colok dubur tidak dapat dilakukan atau pada pemeriksaan colok dubur tidak teraba adanya distensi rectum oleh massa tinja)

5. Barium enemaUntuk screening penyakit Hirchsprung

6. Manometri anorektalUntuk mendiagnosis Hirschprung disease atau akalasia anal, dengan karakteristik tidak ada relaksasi sfingter ani interna pada rectum yang distensi (pemeriksaan ini juga dapat memberikan informasi sensai rectum, sfingter ani pada saat istirahat dan sewaktu defekasi, apakah normal atau anismus)

7. Biopsi rectumUntuk mendiagnosis Hirschprung disease

8. Transit Marker RadioopaqueUntuk mendiagnosis inersia kolon atau abnormalitas transit pada kolon

9. Manometer kolonUntuk menilai motilitas kolon

10. USG & MRI AbdomenUntuk mencari gpenyebab organic lain

9. Jelaskan bagaimana penanganan gizi yang tepat untuk anak yang mengalami konstipasi!

28

Page 29: Laporan PBL GEH Modul IV

Apabila, seorang anak yang mengalami konstipasi hendaknya dilakukan pemberian diet.

Pemberian diet pada penderita konstipasi dimaksudkan agar meningkatkan volume dan berat

sisa makanan dalam kolon, meningkatkan pergerakan usus dan menurunkan tekanan

intraluminal kolon. Persyaratan diet dan pengobatan konservatif agar tercapai tujuan diet

tersebut adalah:

1. Konstipasi sederhana pada bayi:

A. Meningkatkan masukan cairan dan persentase kalori sumber karbohidrat dan

tambahkan dedak (bran) pada diet.

B. Cukup energi, protein, mineral dan vitamin.

C. Berikan buah-buahan (pepaya, jus tomat) dan sayur (bahan makanan kaya serat) yang

membantu memperbaiki konstipasi; cara pemberiannya hendaknya bertahap oleh

karena dapat menyebabkan rasa kurang nyaman, kembung dan banyak platus.

D. ASI diberikan secara eksklusif; sedangkan untuk bayi-bayi yang memakai susu

formula dianjurkan untuk memberikan tambahan air minum 1-2 sendok teh setiap

suap makanan atau memilih formula rendah besi. Pada bayi yang mendapat ASI atau

susu formula dapat pula diberikan air buah atau buah saring.

E. Pergi ke toilet dibiasakan dua kali sehari setelah makan akan dapat memperbaiki

refleks gastrokolik.

F. Obat-obatan : laktulosa atau sodium sulphosuccinate hanya diberikan pada kasus

ringan.

2. Konstipasi pada anak-anak:

A. Sama seperti anjuran yang tertera diatas.

B. Pada kasus yang lebih berat sering terjadi pada anak-anak, disini dapat diberikan

senna atau diberikan enema/stool softener dengan air salin atau dengan fosfat

hipertonik.

C. Pencegahan terbentuknya gumpalan feses yang menimbulkan konstipasi pada

anak yang lebih besar dilakukan dengan memberikan laktasif (minyak mineral) 1-

2 sendok teh 2-3 kali sehari.

Bahan makanan yang banyak mengandung serat

29

Page 30: Laporan PBL GEH Modul IV

no Makanan sayur-sayuran (Per

100 gr bahan makanan)

Cara memasak Jumlah serat

(Gram

1 Bayam dikukus 1,2

2 Buncis direbus 1,5

3 Daun singkong direbus 1,6

4 Daun kacang panjang dikukus 1,8

5 Daun ubi jalar dikukus 1,5

6 Kacang panjang direbus 1,4

7 Kangkung dikukus 1,2

8 Wortel - 1,0

9 Tomat merah - 1,5

10 Toge - 1,1

11 Kacang merah - 1,1

12 Kacang polong - 1,1

Sumber : Komposisi zat gizi pangan Indonesia, Depkes RI 1980.

Bahan makanan yang diberikan sehari mengandung kurang lebih 30-65 gram serat

makanan atau 6-15 gram serat kasar (diet tinggi serat). Kombinasi beberapa makanan

dapat memenuhi ketentuan diet tinggi serat yang dianjurkan, misalnya: makanan sehari-

hari ditambahkan lebih banyak sayuran, buah-buahan, sereal, dan kacang-kacangan.

Bahan makanan yang dianjurkan lainnya, yaitu:

1. Beras merah, ketan hitam, havermut, cantel, jagung, ubi, singkong, wijen.

2. Kacang-kacangan: kacang hijau, kedelai, kacang merah, tempe.

3. Sayuran: daun katuk, kangkung, kol, sawi.

4. Buah-buahan: apel, pir, anggur, pepaya.

5. Agar-agar

Bahan makanan yang dihindarkan adalah bahan makanan yang mengandung rendah

serat, seperti gula, maizena, dan tepung aci.

10. Working Diagnosis

30

Page 31: Laporan PBL GEH Modul IV

ILEUS OBSTRUKTIF ET CAUSA ASCARIASIS

Definisi

Ileus obstruktif adalah kerusakan atau hilangnya pasase isi usus yang disebabkan oleh sumbatan

mekanik. Rintangan pada jalan isi usus akan menyebabkan isi usus terhalang dan tertimbun di

bagian proksimal dari sumbatan, sehingga pada daerah proksimal tersebut akan terjadi distensi

atau dilatasi usus. Obstruksi usus juga disebut obstruksi mekanik misalnya oleh strangulasi,

invaginasi, atau sumbatan di dalam lumen usus. Pada obstruksi harus dibedakan lagi obstruksi

sederhana dari obstruksi strangulasi. Obstruksi sederhana ialah obstruksi yang tidak disertai

terjepitnya pembuluh darah. Pada strangulasi ada pembuluh darah yang terjepit sehingga terjadi

iskemia yang akan berakhir dengan nekrosis atau gangren yang ditandai dengan gejala umum

berat, yang disebabkan oleh toksin dari jaringan gangren. Jadi strangulasi memperlihatkan

kombinasi gejala obstruksi dengan gejala sistemik akibat adanya toksin dan sepsis. Obstruksi

usus yang disebabkan oleh hernia, invaginasi, adhesi, dan volvulus mungkin sekali disertai

strangulasi. Sedangkan obstruksi oleh tumor atau obstruksi oleh cacing askaris adalah obstruksi

sederhana yang jarang menyebabkan strangulasi.

Pemeriksaan penunjang ileus obstruktif et causa ascariasis

a. Pemeriksaan Radiologi

1. Foto Polos

2. Pemeriksaan radiologi dengan Barium Enema

3. CT-Scan

4. USG

5. MRI

6. Angiografi (Mansjoer, 2000).

b. Pemeriksaan Laboratiorium

Leukositosis menunjukan adanya strangulasi, pada urinalisa menunjukan dehidrasi

(Schrok, 1993).

Adanya dilatasi dari usus disertai gambaran “step ladder” dan “air fluid level” pada

foto polos abdomen mempunyai tingkat sensitivitas 66% pada obstruksi usus halus,

sedangkan sensitivitas 84% pada obstruksi kolon. Pada foto polos abdomen dapat

31

Page 32: Laporan PBL GEH Modul IV

ditemukan gambaran “step ladder dan air fluid level” terutama pada obstruksi bagian

distal. Pada kolon bisa saja tidak tampak gas. Jika terjadi strangulasi dan nekrosis,

maka akan terlihat gambaran berupa hilangnya mukosa yang regular dan adanya gas

dalam dinding usus. Udara bebas pada foto thoraks tegak menunjukan adanya

perforasi usus. Penggunaan kontras tidak dianjurkan, karena dapat menyebabkan

peritonitis akibat adanya perforasi (Markogiannakis, 2007).

Penatalaksanaan Ileus obstruktif et causa ascariasis a. Persiapan sebelum operasi :

1. Pemasangan pipa nasogastrik2. Resusitasi cairan dan elektrolit3. Pemberian antibiotik, terutama jika terjadi strangulasi.

b. Operasic. Pasca bedah :d. Harus dicegah terjadinya gagal ginjal, karena cairan dan elektrolit, dan harus memberikan makanan tinggi kalori dan tinggi protein (Schrok, 1993).

Komplikasi ileus obstruktif et causa ascariasisa. Strangulasi menjadi penyebab dari kebanyakan kasus kematian akibat obstruksi usus. Isi lumen merupakan campuran bakteri yang mematikan, hasilhasil produksi bakteri, jaringan nekrolitik, dan darah. Usus yang mengalami strangulasi mungkin mengalami perforasi dan mengeluarkan materi tersebut kedalam rongga peritoneium. Tetapi meskipun usus tidak mengalami perforasi bakteri dapat melintasi usus yang permeable tersebut dan masuk kedalam sirkulasi tubuh melalui cairan getah bening dan mengakibatkan syok septic

Terapi

Dosis pada anak:• Albendazol 200 mg, pada infeksi berat dapat diberikan 2-3hari• Mebendazol 2x50 mg, selama 3 hari

Gejala klinisLarva : sindrom Loeffler larva di paru-paru batuk, demam,eosinofilia Foto thoraks: tampak infiltrat menghilang dalam 3 mingguCacing dewasa:

32

Page 33: Laporan PBL GEH Modul IV

Infeksi ringan: mual,anoreksia,diare/konstipasiInfeksi berat pada anak dapat terjadi malabsorsi memperberat keadaan malnutrisi.Efek serius bila cacing ini menggumpal dalam usus obstruksi usus (ileus)

Daur hidup ascaris lumbricoides

Telur bentuk infektif tertelan,netas di usus halus larva menembus dinding usus pembuluh darah jantung paru-paruke ddng, rongga alveolusbronchiolus bronchustracheafaring (nimbulkn rangsanganpenderita batuklarva tertelan ke osefaguske usus halus cacing dewasa

No. 11 Diferensial Diagnosis 1

Demam Tifoid

33

Page 34: Laporan PBL GEH Modul IV

I. Definisi

Demam tifoid disebut juga dengan Typus abdominalis atau typhoid fever. Demam

tipoid ialah penyakit infeksi akut yang biasanya terdapat pada saluran pencernaan (usus

halus) dengan gejala demam satu minggu atau lebih disertai gangguan pada saluran

pencernaan dan dengan atau tanpa gangguan kesadaran.

II. Epidemiologi

Besarnya angka pasti kasus demam tifoid di dunia sangat sulit ditentukan karena

penyakit ini dikenal mempunyai gejala dengan spektrum klinis yang sangat luas. Data

World Health Organization (WHO) tahun 2003 memperkirakan terdapat sekitar 17 juta

kasus demam tifoid di seluruh dunia dengan insidensi 600.000 kasus kematian tiap tahun.4

Di negara berkembang, kasus demam tifoid dilaporkan sebagai penyakit endemis dimana

95% merupakan kasus rawat jalan sehingga insidensi yang sebenarnya adalah 15-25 kali

lebih besar dari laporan rawat inap di rumah sakit. Di Indonesia kasus ini tersebar secara

merata di seluruh propinsi dengan insidensi di daerah pedesaan 358/100.000

penduduk/tahun dan di daerah perkotaan 760/100.000 penduduk/ tahun atau sekitar

600.000 dan 1.5 juta kasus per tahun. Umur penderita yang terkena di Indonesia dilaporkan

antara 3-19 tahun pada 91% kasus.

Salmonella typhi dapat hidup didalam tubuh manusia (manusia sebagai natural

reservoir). Manusia yang terinfeksi Salmonella typhi dapat mengekskresikannya melalui

sekret saluran nafas, urin, dan tinja dalam jangka waktu yang sangat bervariasi. Salmonella

typhi yang berada diluar tubuh manusia dapat hidup untuk beberapa minggu apabila berada

didalam air, es, debu, atau kotoran yang kering maupun pada pakaian. Akan tetapi S. Typhi

hanya dapat hidup kurang dari 1 minggu pada raw sewage, dan mudah dimatikan dengan

klorinasi dan pasteurisasi (temp 63°C).

Terjadinya penularan Salmonella typhi sebagian besar melalui minuman/makanan

yang tercemar oleh kuman yang berasal dari penderita atau pembawa kuman, biasanya

keluar bersama – sama dengan tinja (melalui rute oral fekal = jalurr oro-fekal).

Dapat juga terjadi transmisi transplasental dari seorang ibu hamil yang berada dalam

bakteremia kepada bayinya. Pernah dilaporkan pula transmisi oro-fekal dari seorang ibu

34

Page 35: Laporan PBL GEH Modul IV

pembawa kuman pada saat proses kelahirannya kepada bayinya dan sumber kuman

berasal dari laboratorium penelitian.

III. Etiologi

Demam Tifoid adalah suatu infeksi yang disebabkan oleh bakteri Salmonella typhi.

Etiologi demam tifoid dan demam paratifoid adalah S. typhi, S. paratyphi A, S. paratyphi B

(S. Schotmuelleri) dan S. paratyphi C (S. Hirschfeldii).

Salmonella typhi sama dengan Salmonella yang lain adalah bakteri Gram-negatif,

mempunyai flagela, tidak berkapsul, tidak membentuk spora fakultatif anaerob.

Mempunyai antigen somatik (O) yang terdiri dari oligosakarida, flagelar antigen (H) yang

terdiri dari protein dan envelope antigen (K) yang terdiri polisakarida. Mempunyai

makromolekular lipopolisakarida kompleks yang membentuk lapis luar dari dinding sel da

dinamakan endotoksin. Salmonella typhi juga dapat memperoleh plasmid faktor-R yang

berkaitan dengan resistensi terhadap multipel antibiotik.

Gambar 2.1. Mikroskopik Salmonella Typhi

IV. Patogenesis

Patogenesis demam tifoid melibatkan 4 proses kompleks yang mengikuti ingesti

organism, yaitu: 1) penempelan dan invasi sel- sel pada Peyer Patch, 2) bakteri bertahan

hidup dan bermultiplikasi dalam makrofag Peyer Patch, nodus limfatikus mesenterica, dan

organ- organ extra intestinal sistem retikuloendotelial 3) bakteri bertahan hidup di dalam

aliran darah, 4) produksi enterotoksin yang meningkatkan kadar cAMP di dalam kripta

35

Page 36: Laporan PBL GEH Modul IV

usus dan meningkatkan permeabilitas membrane usus sehingga menyebabkan keluarnya

elektrolit dan air ke dalam lumen intestinal

Masuknya kuman Salmonella typhi dan Salmonella paratyphi ke dalam tubuh

manusia terjadi melalui makanan yang terkontaminasi kuman. Sebagian kuman

dimusnahkan dalam lambung karena suasana asam di lambung (pH < 2) banyak yang mati

namun sebagian lolos masuk ke dalam usus dan berkembang biak dalam peyer patch dalam

usus. Untuk diketahui, jumlah kuman yang masuk dan dapat menyebabkan infeksi minimal

berjumlah 105 dan jumlah bisa saja meningkat bila keadaan lokal pada lambung yang

menurun seperti aklorhidria, post gastrektomi, penggunaan obat- obatan seperti antasida,

H2-bloker, dan Proton Pump Inhibitor.

Bakteri yang masih hidup akan mencapai usus halus tepatnya di jejnum dan ileum.

Bila respon imunitas humoral mukosa usus (IgA) kurang baik maka kuman akan

menembus sel- sel epitel (sel-M merupakan selnepitel khusus yang yang melapisi Peyer

Patch, merupakan port de entry dari kuman ini) dan selanjutnya ke lamina propria. Di

lamina propria kuman berkembang biak dan difagosit oleh sel- sel fagosit terutama

makrofag. Kuman dapat hidup dan berkembang biak di dalam makrofag dan selanjutnya

dibawa ke peyer patch di ileum distal dan kemudian kelenjar getah bening mesenterika.

Selanjutnya melalui ductus thoracicus, kuman yang terdapat dalam makrofag ini

masuk ke dalam sirkulasi darah (mengakibatkan bakteremia pertama yang sifatnya

asimtomatik) dan menyebar ke seluruh organ Retikuloendotelial tubuh terutama hati dan

Limpa. Di organ- organ RES ini kuman meninggalkan sel- sel fagosit dan kemudian

berkembang biak di luar sel atau ruang sinusoid dan selanjutnya kembali masuk ke

sirkulasi sistemik yang mengakibatkan bakteremia kedua dengan disertai tanda- tanda dan

gejala infeksi sistemik.

Di dalam hepar, kuman masuk ke dalam kandung empedu, berkembang biak, dan

bersama cairan empedu diekskresikan secara “intermitten” ke dalam lumen usus. Sebagian

kuman dikeluarkan bersama feses dan sebagian masuk lagi ke dalam sirkulasi setelah

menembus usus. Proses yang sama terulang kembali, berhubung makrofag telah teraktivasi

dan hiperaktif maka pada saat fagositosis kuman Salmonella terjadi beberapa pelepasan

36

Page 37: Laporan PBL GEH Modul IV

mediator inflamasi yang selanjutnya akan menimbulkan gejala reaksi inflamasi sistemik

seperti demam, malaise, mialgia, sakit kepala, sakit perut, diare diselingi konstipasi,

sampai gangguan mental dalam hal ini adalah delirium. Pada anak- anak gangguan mental

ini biasanya terjadi sewaktu tidur berupa mengigau yang terjadi dalam 3 hari berturut-

turut.

Dalam Peyer Patch makrofag hiperaktif menimbulkan reaksi hiperplasi jaringan (S.

typhi intra makrofag menginduksi reaksi hipersensitivitas tipe lambat, hyperplasia jaringan

dan nekrosis organ). Perdarahan saluran cerna dapat terjadi akibat erosi pembuluh darah

sekitar peyer patch yang sedang mengalami nekrosis dan hiperplasi akibat akumulasi sel-

sel mononuclear di dinding usus.

Proses patologis jaringan limfoid ini dapat berkembang hingga ke lapisan otot, serosa

usus, dan dapat mengakibatkan perforasi. Endotoxin dapat menempel di reseptor sel

endotel kapiler dengan akibat timbulnya komplikasi seperti gangguan neuropsikiatrik,

kardiovaskuler, respirasi, dan gangguan organ lainnya.

Peran endotoksin dalam pathogenesis demam tifoid tidak jelas, hal tersebut terbukti

dengan tidak terdeteksinya endotoksin dalam sirkulasi penderita melalui pemeriksaan

limulus. Diduga endotoksin dari salmonella typhi ini menstimulasi makrofag di dalam

hepar, lien, folikel usus halus dan kelenjar limfe mesenterika untuk memproduksi sitokin

dan zat- zat lain. Produk dari makrofag inilah yang dapat menimbulkan kelainan anatomis

seperti nekrosis sel, sistem vaskuler, yang tidak stabil, demam, depresi sumsum tulang,

kelainan pada darah dan juga menstimulasi sistem imunologis.

Demam Tifoid adalah suatu infeksi yang disebabkan oleh bakteri Salmonella typhi.

Etiologi demam tifoid dan demam paratifoid adalah S. typhi, S. paratyphi A, S. paratyphi B

37

Page 38: Laporan PBL GEH Modul IV

(S. Schotmuelleri) dan S. paratyphi C (S. Hirschfeldii).

Bagan 2.1. Patofisiologi Demam Tifoid

V. Manifestasi klinik

Manifestasi klinis pada anak umumnya bersifat lebih ringan, lebih bervariasi bila

dibandingkan dengan penderita dewasa. Bila hanya berpegang pada gejala atau tanda

38

Page 39: Laporan PBL GEH Modul IV

klinis, akan lebih sulit untuk menegakkan diagnosis demam tifoid pada anak, terutama

pada penderita yang lebih muda, seperti pada tifoid kongenital ataupun tifoid pada bayi.

Masa inkubasi rata-rata bervariasi antara 7 – 20 hari, dengan masa inkubasi

terpendek 3 hari dan terpanjang 60 hari. Dikatakan bahwa masa inkubasi mempunyai

korelasi dengan jumlah kuman yang ditelan, keadaan umum/status gizi serta status

imunologis penderita.

Walupun gejala demam tifoid pada anak lebih bervariasi, secara garis besar gejala-

gejala yang timbul dapat dikelompokkan :

Demam satu minggu atau lebih.

Gangguan saluran pencernaan

Gangguan kesadaran

Dalam minggu pertama, keluhan dan gejala menyerupai penyakit infeksi akut pada

umumnya, seperti demam, nyeri kepala, anoreksia, mual, muntah, diare, konstipasi. Pada

pemeriksaan fisik, hanya didapatkan suhu badan yang meningkat. Setelah minggu kedua,

gejala/ tanda klinis menjadi makin jelas, berupa demam remiten, lidah tifoid, pembesaran

hati dan limpa, perut kembung mungkin disertai ganguan kesadaran dari yang ringan

sampai berat.

Demam yang terjadi pada penderita anak tidak selalu tipikal seperti pada orang

dewasa, kadang-kadang mempunyai gambaran klasik berupa stepwise pattern, dapat pula

mendadak tinggi dan remiten (39 – 41o C) serta dapat pula bersifat ireguler terutama pada

bayi yang tifoid kongenital.

Lidah tifoid biasanya terjadi beberapa hari setelah panas meningkat dengan tanda-

tanda antara lain, lidah tampak kering, diolapisi selaput tebal, di bagian belakang tampak

lebih pucat, di bagian ujung dan tepi lebih kemerahan. Bila penyakit makin progresif, akan

terjadi deskuamasi epitel sehingga papila lebih prominen.

Roseola lebih sering terjadi pada akhir minggu pertama dan awal minggu kedua.

Merupakan suatu nodul kecil sedikit menonjol dengan diameter 2 – 4 mm, berwarna merah

pucat serta hilang pada penekanan. Roseola ini merupakan emboli kuman yang didalamnya

mengandung kuman salmonella, dan terutama didapatkan di daerah perut, dada, kadang-

kadang di bokong, ataupun bagian fleksor lengan atas.

39

Page 40: Laporan PBL GEH Modul IV

Limpa umumnya membesar dan sering ditemukan pada akhir minggu pertama dan

harus dibedakan dengan pembesaran karena malaria. Pembesaran limpa pada demam tifoid

tidak progresif dengan konsistensi lebih lunak.

Rose spot, suatu ruam makulopapular yang berwarna merah dengan ukuran 1 – 5

mm, sering kali dijumpai pada daerah abdomen, toraks, ekstremitas dan punggung pada

orang kulit putih, tidak pernah dilaporkan ditemukan pada anak Indonesia. Ruam ini

muncul pada hari ke 7 – 10 dan bertahan selama 2 -3 hari.

Pengamatan selama 6 tahun (1987-1992) di Lab/SMF Ilmu Kesehatan Anak FK

Unair/RSU Dr.Soetomo Surabaya terhadap 434 anak berumur 1-12 tahun dengan diagnosis

demam tifoid atas dasar ditemukannya S.typhi dalam darah dan 85% telah mendapatkan

terapi antibiotika sebelum masuk rumah sakit serta tanpa memperhitungkan dimensi waktu

sakit penderita, didapatkan keluhan dan gejala klinis pada penderita sebagai berikut : panas

(100%), anoreksia (88%), nyeri perut (49%), muntah (46%), obstipasi (43%) dan diare

(31%). Dari pemeriksaan fisik didapatkan kesadaran delirium (16%), somnolen (5%) dan

sopor (1%) serta lidah kotor (54%), meteorismus (66%), hepatomegali (67%) dan

splenomegali (7%).10 Hal ini sesuai dengan penelitian di RS Karantina Jakarta dengan diare

(39,47%), sembelit (15,79%), sakit kepala (76,32%), nyeri perut (60,5%), muntah

(26,32%), mual (42,11%), gangguan kesadaran (34,21%), apatis (31,58%) dan delirium

(2,63%). Sedangkan tanda klinis yang lebih jarang dijumpai adalah disorientasi, bradikardi

relatif, ronki, sangat toksik, kaku kuduk, penurunan pendengaran, stupor dan kelainan

neurologis fokal.

VI. Pemeriksaan penunjang

Pemeriksaan laboratorium untuk membantu menegakkan diagnosis demam tifoid dibagi

dalam empat kelompok, yaitu :

1. Pemeriksaan darah tepi

Pada demam tifoid sering disertai anemia dari yang ringan sampai sedang

dengan peningkatan laju endap darah, gangguan eritrosit normokrom normositer, yang

diduga karena efek toksik supresi sumsum tulang atau perdarahan usus. Tidak selalu

ditemukan leukopenia, diduga leukopenia disebabkan oleh destruksi leukosit oleh

40

Page 41: Laporan PBL GEH Modul IV

toksin dalam peredaran darah. Sering hitung leukosit dalam batas normal dan dapat

pula leukositosis, terutama bila disertai komplikasi lain. Trombosit jumlahnya

menurun, gambaran hitung jenis didapatkan limfositosis relatif, aneosinofilia, dapat

shift to the left ataupun shift to the right bergantung pada perjalanan penyakitnya.

SGOT dan SGPT seringkali meningkat, tetapi akan kembali menjadi normal setelah

sembuh. Kenaikan SGOT dan SGPT tidak memerlukan penanganan khusus.

Gambaran sumsum tulang menunjukkan normoseluler, eritroid dan mieloid

sistem normal, jumlah megakariosit dalam batas normal.

2. Uji serologis

Uji serologis digunakan untuk membantu menegakkan diagnosis demam tifoid

dengan mendeteksi antibodi spesifik terhadap komponen antigen S. typhi maupun

mendeteksi antigen itu sendiri. Volume darah yang diperlukan untuk uji serologis ini

adalah 1-3 mL yang diinokulasikan ke dalam tabung tanpa antikoagulan.

Metode pemeriksaan serologis imunologis ini dikatakan mempunyai nilai

penting dalam proses diagnostik demam tifoid. Akan tetapi masih didapatkan adanya

variasi yang luas dalam sensitivitas dan spesifisitas pada deteksi antigen spesifik S.

typhi oleh karena tergantung pada jenis antigen, jenis spesimen yang diperiksa, teknik

yang dipakai untuk melacak antigen tersebut, jenis antibodi yang digunakan dalam uji

(poliklonal atau monoklonal) dan waktu pengambilan spesimen (stadium dini atau

lanjut dalam perjalanan penyakit).

Beberapa uji serologis yang dapat digunakan pada demam tifoid ini meliputi :

a) Uji Widal

Uji serologi standar yang rutin digunakan untuk mendeteksi antibodi terhadap

kuman S.typhi yaitu uji Widal. Uji telah digunakan sejak tahun 1896. Pada uji

Widal terjadi reaksi aglutinasi antara antigen kuman S.typhi dengan antibodi yang

disebut aglutinin. Prinsip uji Widal adalah serum penderita dengan pengenceran

yang berbeda ditambah dengan antigen dalam jumlah yang sama. Jika pada serum

terdapat antibodi maka akan terjadi aglutinasi. Pengenceran tertinggi yang masih

menimbulkan aglutinasi menunjukkan titer antibodi dalam serum.

41

Page 42: Laporan PBL GEH Modul IV

Maksud uji widal adalah untuk menentukan adanya aglutinin dalam serum

penderita tersangka demam tifoid yaitu;

1. Aglutinin O (dari tubuh kuman)

2. Aglutinin H (flagel kuman)

3. Aglutinin Vi (simpai kuman).

Dari ketiga aglutinin tersebut hanya aglutinin O dan H yang digunakan untuk

diagnosis demam tifoid. Semakin tinggi titernya semakin besar kemungkinan

terinfeksi kuman ini.

Pada demam tifoid mula-mula akan terjadi peningkatan titer antibodi O.

Antibodi H timbul lebih lambat, namun akan tetap menetap lama sampai beberapa

tahun, sedangkan antibodi O lebih cepat hilang. Pada seseorang yang telah sembuh,

aglutinin O masih tetap dijumpai setelah 4-6 bulan, sedangkan aglutinin H menetap

lebih lama antara 9 bulan – 2 tahun. Antibodi Vi timbul lebih lambat dan biasanya

menghilang setelah penderita sembuh dari sakit. Pada pengidap S.typhi, antibodi Vi

cenderung meningkat. Antigen Vi biasanya tidak dipakai untuk menentukan

diagnosis infeksi, tetapi hanya dipakai untuk menentukan pengidap S.typhi.

Di Indonesia pengambilan angka titer O aglutinin ≥ 1/40 dengan memakai uji

widal slide aglutination (prosedur pemeriksaan membutuhkan waktu 45 menit)

menunjukkan nilai ramal positif 96%. Artinya apabila hasil tes positif, 96% kasus

benar sakit demam tifoid, akan tetapi apabila negatif tidak menyingkirkan. Banyak

senter mengatur pendapat apabila titer O aglutinin sekali periksa ≥ 1/200 atau pada

titer sepasang terjadi kenaikan 4 kali maka diagnosis demam tifoid dapat

ditegakkan. Aglutinin H banyak dikaitkan dengan pasca imunisasi atau infeksi masa

lampau, sedang Vi aglutinin dipakai pada deteksi pembawa kuman S. typhi (karier).

Banyak peneliti mengemukanan bahwa uji serologi widal kurang dapat dipercaya

sebab dapat timbul positif palsu pada kasus demam tifoid yang terbukti biakan

darah positif.

Ada 2 faktor yang mempengaruhi uji Widal yaitu faktor yang berhubungan

dengan penderita dan faktor teknis.

Faktor yang berhubungan dengan penderita, yaitu

1. Pengobatan dini dengan antibiotik, pemberian kortikosteroid.

42

Page 43: Laporan PBL GEH Modul IV

2. Gangguan pembentukan antibodi.

3. Saat pengambilan darah.

4. Daerah endemik atau non endemik.

5. Riwayat vaksinasi.

6. Reaksi anamnesik, yaitu peningkatan titer aglutinin pada infeksi bukan

demam akibat infeksi demam tifoid masa lalu atau vaksinasi.

Faktor teknik, yaitu

1. Akibat aglutinin silang.

2. Strain Salmonella yang digunakan untuk suspensi antigen.

3. Teknik pemeriksaan antar laboratorium.

Beberapa keterbatasan uji Widal ini adalah:

Negatif Palsu

Pemberian antibiotika yang dilakukan sebelumnya (ini kejadian paling sering

di negara kita, demam –> kasih antibiotika –> nggak sembuh dalam 5 hari –>

tes Widal) menghalangi respon antibodi.

Padahal sebenarnya bisa positif jika dilakukan kultur darah.

Positif Palsu

Beberapa jenis serotipe Salmonella lainnya (misalnya S. paratyphi A, B, C)

memiliki antigen O dan H juga, sehingga menimbulkan reaksi silang dengan

jenis bakteri lainnya, dan bisa menimbulkan hasil positif palsu (false positive).

Padahal sebenarnya yang positif kuman non S. typhi (bukan tifoid).

b) Tes TUBEX

Tes TUBEX® merupakan tes aglutinasi kompetitif semi kuantitatif yang

sederhana dan cepat (kurang lebih 2 menit) dengan menggunakan partikel yang

berwarna untuk meningkatkan sensitivitas. Spesifisitas ditingkatkan dengan

menggunakan antigen O9 yang benar-benar spesifik yang hanya ditemukan pada

Salmonella serogrup D. Tes ini sangat akurat dalam diagnosis infeksi akut karena

43

Page 44: Laporan PBL GEH Modul IV

hanya mendeteksi adanya antibodi IgM dan tidak mendeteksi antibodi IgG dalam

waktu beberapa menit.

Walaupun belum banyak penelitian yang menggunakan tes TUBEX® ini,

beberapa penelitian pendahuluan menyimpulkan bahwa tes ini mempunyai

sensitivitas dan spesifisitas yang lebih baik daripada uji Widal. Penelitian oleh Lim

dkk (2002) mendapatkan hasil sensitivitas 100% dan spesifisitas 100%.15 Penelitian

lain mendapatkan sensitivitas sebesar 78% dan spesifisitas sebesar 89%.9 Tes ini

dapat menjadi pemeriksaan yang ideal, dapat digunakan untuk pemeriksaan secara

rutin karena cepat, mudah dan sederhana, terutama di negara berkembang.

Ada 4 interpretasi hasil :

Skala 2-3 adalah Negatif Borderline. Tidak menunjukkan infeksi demam tifoid.

Sebaiknya dilakukan pemeriksaan ulang 3-5 hari kemudian.

Skala 4-5 adalah Positif. Menunjukkan infeksi demam tifoid

Skala > 6 adalah positif. Indikasi kuat infeksi demam tifoid

Penggunaan antigen 09 LPS memiliki sifat- sifat sebagai berikut:

Immunodominan yang kuat

Bersifat thymus independent tipe 1, imunogenik pada bayi (antigen Vi dan H

kurang imunogenik) dan merupakan mitogen yang sangat kuat terhadap sel B.

Dapat menstimulasi sel limfosit B tanpa bantuan limfosit T sehingga respon

antibodi dapat terdeteksi lebih cepat.

Lipopolisakarida dapat menimbulkan respon antibodi yang kuat dan cepat

melalui aktivasi sel B via reseptor sel B dan reseptor yang lain.

Spesifitas yang tinggi (90%) dikarenakan antigen 09 yang jarang ditemukan

baik di alam maupun diantara mikroorganisme

Kelebihan pemeriksaan menggunakan tes TUBEX :

Mendeteksi infeksi akut Salmonella

Muncul pada hari ke 3 demam

Sensifitas dan spesifitas yang tinggi terhadap kuman Salmonella

Sampel darah yang diperlukan relatif sedikit

44

Page 45: Laporan PBL GEH Modul IV

Hasil dapat diperoleh lebih cepat

c) Metode enzyme immunoassay (EIA) DOT

Uji serologi ini didasarkan pada metode untuk melacak antibodi spesifik IgM

dan IgG terhadap antigen OMP 50 kD S. typhi. Deteksi terhadap IgM menunjukkan

fase awal infeksi pada demam tifoid akut sedangkan deteksi terhadap IgM dan IgG

menunjukkan demam tifoid pada fase pertengahan infeksi. Pada daerah endemis

dimana didapatkan tingkat transmisi demam tifoid yang tinggi akan terjadi

peningkatan deteksi IgG spesifik akan tetapi tidak dapat membedakan antara kasus

akut, konvalesen dan reinfeksi. Pada metode Typhidot-M® yang merupakan

modifikasi dari metode Typhidot® telah dilakukan inaktivasi dari IgG total sehingga

menghilangkan pengikatan kompetitif dan memungkinkan pengikatan antigen

terhadap Ig M spesifik.

Penelitian oleh Purwaningsih dkk (2001) terhadap 207 kasus demam tifoid

bahwa spesifisitas uji ini sebesar 76.74% dengan sensitivitas sebesar 93.16%, nilai

prediksi positif sebesar 85.06% dan nilai prediksi negatif sebesar 91.66%.16

Sedangkan penelitian oleh Gopalakhrisnan dkk (2002) pada 144 kasus demam

tifoid mendapatkan sensitivitas uji ini sebesar 98%, spesifisitas sebesar 76.6% dan

efisiensi uji sebesar 84%. Penelitian lain mendapatkan sensitivitas sebesar 79% dan

spesifisitas sebesar 89%.

Uji dot EIA tidak mengadakan reaksi silang dengan salmonellosis non-tifoid

bila dibandingkan dengan Widal. Dengan demikian bila dibandingkan dengan uji

Widal, sensitivitas uji dot EIA lebih tinggi oleh karena kultur positif yang

bermakna tidak selalu diikuti dengan uji Widal positif. Dikatakan bahwa Typhidot-

M® ini dapat menggantikan uji Widal bila digunakan bersama dengan kultur untuk

mendapatkan diagnosis demam tifoid akut yang cepat dan akurat.

Beberapa keuntungan metode ini adalah memberikan sensitivitas dan

spesifisitas yang tinggi dengan kecil kemungkinan untuk terjadinya reaksi silang

dengan penyakit demam lain, murah (karena menggunakan antigen dan membran

nitroselulosa sedikit), tidak menggunakan alat yang khusus sehingga dapat

45

Page 46: Laporan PBL GEH Modul IV

digunakan secara luas di tempat yang hanya mempunyai fasilitas kesehatan

sederhana dan belum tersedia sarana biakan kuman. Keuntungan lain adalah bahwa

antigen pada membran lempengan nitroselulosa yang belum ditandai dan diblok

dapat tetap stabil selama 6 bulan bila disimpan pada suhu 4°C dan bila hasil

didapatkan dalam waktu 3 jam setelah penerimaan serum pasien.

d) Metode enzyme-linked immunosorbent assay (ELISA)

Uji Enzyme-Linked Immunosorbent Assay (ELISA) dipakai untuk melacak

antibodi IgG, IgM dan IgA terhadap antigen LPS O9, antibodi IgG terhadap antigen

flagella d (Hd) dan antibodi terhadap antigen Vi S. typhi. Uji ELISA yang sering

dipakai untuk mendeteksi adanya antigen S. typhi dalam spesimen klinis adalah

double antibody sandwich ELISA. Chaicumpa dkk (1992) mendapatkan sensitivitas

uji ini sebesar 95% pada sampel darah, 73% pada sampel feses dan 40% pada

sampel sumsum tulang. Pada penderita yang didapatkan S. typhi pada darahnya, uji

ELISA pada sampel urine didapatkan sensitivitas 65% pada satu kali pemeriksaan

dan 95% pada pemeriksaan serial serta spesifisitas 100%.18 Penelitian oleh Fadeel

dkk (2004) terhadap sampel urine penderita demam tifoid mendapatkan sensitivitas

uji ini sebesar 100% pada deteksi antigen Vi serta masing-masing 44% pada deteksi

antigen O9 dan antigen Hd. Pemeriksaan terhadap antigen Vi urine ini masih

memerlukan penelitian lebih lanjut akan tetapi tampaknya cukup menjanjikan,

terutama bila dilakukan pada minggu pertama sesudah panas timbul, namun juga

perlu diperhitungkan adanya nilai positif juga pada kasus dengan Brucellosis.

e) Pemeriksaan dipstik

Uji serologis dengan pemeriksaan dipstik dikembangkan di Belanda dimana

dapat mendeteksi antibodi IgM spesifik terhadap antigen LPS S. typhi dengan

menggunakan membran nitroselulosa yang mengandung antigen S. typhi sebagai

pita pendeteksi dan antibodi IgM anti-human immobilized sebagai reagen kontrol.

Pemeriksaan ini menggunakan komponen yang sudah distabilkan, tidak

memerlukan alat yang spesifik dan dapat digunakan di tempat yang tidak

mempunyai fasilitas laboratorium yang lengkap.

46

Page 47: Laporan PBL GEH Modul IV

Penelitian oleh Gasem dkk (2002) mendapatkan sensitivitas uji ini sebesar

69.8% bila dibandingkan dengan kultur sumsum tulang dan 86.5% bila

dibandingkan dengan kultur darah dengan spesifisitas sebesar 88.9% dan nilai

prediksi positif sebesar 94.6%.20 Penelitian lain oleh Ismail dkk (2002) terhadap 30

penderita demam tifoid mendapatkan sensitivitas uji ini sebesar 90% dan

spesifisitas sebesar 96%.21 Penelitian oleh Hatta dkk (2002) mendapatkan rerata

sensitivitas sebesar 65.3% yang makin meningkat pada pemeriksaan serial yang

menunjukkan adanya serokonversi pada penderita demam tifoid.22 Uji ini terbukti

mudah dilakukan, hasilnya cepat dan dapat diandalkan dan mungkin lebih besar

manfaatnya pada penderita yang menunjukkan gambaran klinis tifoid dengan hasil

kultur negatif atau di tempat dimana penggunaan antibiotika tinggi dan tidak

tersedia perangkat pemeriksaan kultur secara luas.

3. Pemeriksaan bakteriologis dengan isolasi dan biakan kuman

Diagnosis pasti demam tifoid dapat ditegakkan bila ditemukan bakteri S. typhi

dalam biakan dari darah, urine, feses, sumsum tulang, cairan duodenum atau dari rose

spots. Berkaitan dengan patogenesis penyakit, maka bakteri akan lebih mudah

ditemukan dalam darah dan sumsum tulang pada awal penyakit, sedangkan pada

stadium berikutnya di dalam urine dan feses.

Hasil biakan yang positif memastikan demam tifoid akan tetapi hasil negatif

tidak menyingkirkan demam tifoid, karena hasilnya tergantung pada beberapa faktor.

Faktor-faktor yang mempengaruhi hasil biakan meliputi (1) jumlah darah yang

diambil; (2) perbandingan volume darah dari media empedu; dan (3) waktu

pengambilan darah.

Volume 10-15 mL dianjurkan untuk anak besar, sedangkan pada anak kecil

dibutuhkan 2-4 mL. Sedangkan volume sumsum tulang yang dibutuhkan untuk kultur

hanya sekitar 0.5-1 mL. Bakteri dalam sumsum tulang ini juga lebih sedikit

dipengaruhi oleh antibiotika daripada bakteri dalam darah. Hal ini dapat menjelaskan

teori bahwa kultur sumsum tulang lebih tinggi hasil positifnya bila dibandingkan

dengan darah walaupun dengan volume sampel yang lebih sedikit dan sudah

mendapatkan terapi antibiotika sebelumnya. Media pembiakan yang direkomendasikan

47

Page 48: Laporan PBL GEH Modul IV

untuk S.typhi adalah media empedu (gall) dari sapi dimana dikatakan media Gall ini

dapat meningkatkan positivitas hasil karena hanya S. typhi dan S. paratyphi yang dapat

tumbuh pada media tersebut.

Biakan darah terhadap Salmonella juga tergantung dari saat pengambilan pada

perjalanan penyakit. Beberapa peneliti melaporkan biakan darah positif 40-80% atau

70-90% dari penderita pada minggu pertama sakit dan positif 10-50% pada akhir

minggu ketiga. Sensitivitasnya akan menurun pada sampel penderita yang telah

mendapatkan antibiotika dan meningkat sesuai dengan volume darah dan rasio darah

dengan media kultur yang dipakai. Bakteri dalam feses ditemukan meningkat dari

minggu pertama (10-15%) hingga minggu ketiga (75%) dan turun secara perlahan.

Biakan urine positif setelah minggu pertama. Biakan sumsum tulang merupakan

metode baku emas karena mempunyai sensitivitas paling tinggi dengan hasil positif

didapat pada 80-95% kasus dan sering tetap positif selama perjalanan penyakit dan

menghilang pada fase penyembuhan. Metode ini terutama bermanfaat untuk penderita

yang sudah pernah mendapatkan terapi atau dengan kultur darah negatif sebelumnya.

Prosedur terakhir ini sangat invasif sehingga tidak dipakai dalam praktek sehari-hari.

Pada keadaan tertentu dapat dilakukan kultur pada spesimen empedu yang diambil dari

duodenum dan memberikan hasil yang cukup baik akan tetapi tidak digunakan secara

luas karena adanya risiko aspirasi terutama pada anak. Salah satu penelitian pada anak

menunjukkan bahwa sensitivitas kombinasi kultur darah dan duodenum hampir sama

dengan kultur sumsum tulang.

Kegagalan dalam isolasi/biakan dapat disebabkan oleh keterbatasan media

yang digunakan, adanya penggunaan antibiotika, jumlah bakteri yang sangat minimal

dalam darah, volume spesimen yang tidak mencukupi, dan waktu pengambilan

spesimen yang tidak tepat.

Walaupun spesifisitasnya tinggi, pemeriksaan kultur mempunyai sensitivitas

yang rendah dan adanya kendala berupa lamanya waktu yang dibutuhkan (5-7 hari)

serta peralatan yang lebih canggih untuk identifikasi bakteri sehingga tidak praktis dan

tidak tepat untuk dipakai sebagai metode diagnosis baku dalam pelayanan penderita.

48

Page 49: Laporan PBL GEH Modul IV

4. Pemeriksaan kuman secara molekuler

Metode lain untuk identifikasi bakteri S. typhi yang akurat adalah mendeteksi

DNA (asam nukleat) gen flagellin bakteri S. typhi dalam darah dengan teknik

hibridisasi asam nukleat atau amplifikasi DNA dengan cara polymerase chain reaction

(PCR) melalui identifikasi antigen Vi yang spesifik untuk S. typhi.

Penelitian oleh Haque dkk (1999) mendapatkan spesifisitas PCR sebesar 100%

dengan sensitivitas yang 10 kali lebih baik daripada penelitian sebelumnya dimana

mampu mendeteksi 1-5 bakteri/mL darah. Penelitian lain oleh Massi dkk (2003)

mendapatkan sensitivitas sebesar 63% bila dibandingkan dengan kultur darah (13.7%)

dan uji Widal (35.6%).

Kendala yang sering dihadapi pada penggunaan metode PCR ini meliputi risiko

kontaminasi yang menyebabkan hasil positif palsu yang terjadi bila prosedur teknis

tidak dilakukan secara cermat, adanya bahan-bahan dalam spesimen yang bisa

menghambat proses PCR (hemoglobin dan heparin dalam spesimen darah serta

bilirubin dan garam empedu dalam spesimen feses), biaya yang cukup tinggi dan

teknis yang relatif rumit. Usaha untuk melacak DNA dari spesimen klinis masih belum

memberikan hasil yang memuaskan sehingga saat ini penggunaannya masih terbatas

dalam laboratorium penelitian.

VII. Diagnosis

Demam tifoid pada anak biasanya memberikan gambaran klinis yang ringan bahkan

asimtomatik. Walaupun gejala klinis sangat bervariasi namun gejala yang timbul setelah

inkubasi dapat dibagi dalam (1) demam, (2) gangguan saluran pencernaan, dan (3)

gangguan kesadaran. Timbulnya gejala klinis biasanya bertahap dengan manifestasi

demam dan gejala konstitusional seperti nyeri kepala, malaise, anoreksia, letargi, nyeri dan

kekakuan abdomen, pembesaran hati dan limpa, serta gangguan status mental. Sembelit

dapat merupakan gangguan gastointestinal awal dan kemudian pada minggu ke-dua timbul

diare. Diare hanya terjadi pada setengah dari anak yang terinfeksi, sedangkan sembelit

lebih jarang terjadi. Dalam waktu seminggu panas dapat meningkat. Lemah, anoreksia,

49

Page 50: Laporan PBL GEH Modul IV

penurunan berat badan, nyeri abdomen dan diare, menjadi berat. Dapat dijumpai depresi

mental dan delirium. Keadaan suhu tubuh tinggi dengan bradikardia lebih sering terjadi

pada anak dibandingkan dewasa. Rose spots (bercak makulopapular) ukuran 1-6 mm, dapat

timbul pada kulit dada dan abdomen, ditemukan pada 40-80% penderita dan berlangsung

singkat (2-3 hari). Jika tidak ada komplikasi dalam 2-4 minggu, gejala dan tanda klinis

menghilang namun malaise dan letargi menetap sampai 1-2 bulan.

Gambaran klinis lidah tifoid pada anak tidak khas karena tanda dan gejala klinisnya

ringan bahkan asimtomatik. Akibatnya sering terjadi kesulitan dalam menegakkan

diagnosis bila hanya berdasarkan gejala klinis. Oleh karena itu untuk menegakkan

diagnosis demam tifoid perlu ditunjang pemeriksaan laboratorium yang diandalkan.

Pemeriksaan laboratorium untuk membantu menegakkan diagnosis demam tifoid meliputi

pemeriksaan darah tepi, serologis, dan bakteriologis.

VIII. Diagnosis Banding

Pada stadium dini demam tifoid, beberapa penyakit kadang-kadang secara klinis

dapat menjadi diagnosis bandingnya yaitu influenza, gastroenteritis, bronkitis dan

bronkopneumonia. Beberapa penyakit yang disebabkan oleh mikroorganisme intraseluler

seperti tuberkulosis, infeksi jamur sistemik, bruselosis, tularemia, shigelosis dan malaria

juga perlu dipikirkan. Pada demam tifoid yang berat, sepsis, leukimia, limfoma dan

penyakit hodgkin dapat sebagai dignosis banding.

IX. Penatalaksanaan

IX.1. Non Medika Mentosa

a) Tirah baring

Seperti kebanyakan penyakit sistemik, istirahat sangat membantu. Pasien harus

diedukasi untuk tinggal di rumah dan tidak bekerja sampai pemulihan.

b) Nutrisi

Pemberian makanan tinggi kalori dan tinggi protein (TKTP) rendah serat adalah yang

paling membantu dalam memenuhi nutrisi penderita namun tidak memperburuk kondisi

usus. Sebaiknya rendah selulosa (rendah serat) untuk mencegah perdarahan dan

50

Page 51: Laporan PBL GEH Modul IV

perforasi. Diet untuk penderita demam tifoid, basanya diklasifikasikan atas diet cair,

bubur lunak, tim, dan nasi biasa.

c) Cairan

Penderita harus mendapat cairan yang cukup, baik secara oral maupun parenteral.

Cairan parenteral diindikasikan pada penderita sakit berat, ada komplikasi, penurunan

kesadaran serta yang sulit makan. Cairan harus mengandung elektrolit dan kalori yang

optimal. Kebutuhan kalori anak pada infus setara dengan kebutuhan cairan rumatannya.

d) Kompres air hangat

Mekanisme tubuh terhadap kompres hangat dalam upaya menurunkan suhu tubuh yaitu

dengan pemberian kompres hangat pada daerah tubuh akan memberikan sinyal ke

hipotalamus melalui sumsum tulang belakang. Ketika reseptor yang peka terhadap

panas di hipotalamus dirangsang, sistem efektor mengeluarkan sinyal yang memulai

berkeringat dan vasodilatasi perifer. Perubahan ukuran pembuluh darah diatur oleh

pusat vasomotor pada medulla oblongata dari tangkai otak, dibawah pengaruh

hipotalamik bagian anterior sehingga terjadi vasodilatasi. Terjadinya vasodilatasi ini

menyebabkan pembuangan/ kehilangan energi/ panas melalui kulit meningkat

(berkeringat), diharapkan akan terjadi penurunan suhu tubuh sehingga mencapai

keadaan normal kembali. Hal ini sependapat dengan teori yang dikemukakan oleh Aden

(2010) bahwa tubuh memiliki pusat pengaturan suhu (thermoregulator) di hipotalamus.

Jika suhu tubuh meningkat, maka pusat pengaturan suhu berusaha menurunkannya

begitu juga sebaliknya.

IX.2. Medika Mentosa

a) Simptomatik

Panas yang merupakan gejala utama pada tifoid dapat diberi antipiretik. Bila mungkin

peroral sebaiknya diberikan yang paling aman dalam hal ini adalah Paracetamol dengan

dosis 10 mg/kg/kali minum, sedapat mungkin untuk menghindari aspirin dan

turunannya karena mempunyai efek mengiritasi saluran cerna dengan keadaan saluran

cerna yang masih rentan kemungkinan untuk diperberat keadaannya sangatlah mungkin.

51

Page 52: Laporan PBL GEH Modul IV

Bila tidak mampu intake peroral dapat diberikan via parenteral, obat yang masih

dianjurkan adalah yang mengandung Methamizole Na yaitu antrain atau Novalgin.

b) Antibiotik

Antibiotik yang sering diberikan adalah :1,4,5

Chloramphenicol, merupakan antibiotik pilihan pertama untuk infeksi tifoid fever

terutama di Indonesia. Dosis yang diberikan untuk anak- anak 50-100 mg/kg/hari

dibagi menjadi 4 dosis untuk pemberian intravena biasanya cukup 50 mg/kg/hari.

Diberikan selama 10-14 hari atau sampai 7 hari setelah demam turun. Pemberian

Intra Muskuler tidak dianjurkan oleh karena hidrolisis ester ini tidak dapat

diramalkan dan tempat suntikan terasa nyeri. Pada kasus malnutrisi atau didapatkan

infeksi sekunder pengobatan diperpanjang sampai 21 hari. Kelemahan dari antibiotik

jenis ini adalah mudahnya terjadi relaps atau kambuh, dan carier.

Cotrimoxazole, merupakan gabungan dari 2 jenis antibiotika trimetoprim dan

sulfametoxazole dengan perbandingan 1:5. Dosis Trimetoprim 10 mg/kg/hari dan

Sulfametoxzazole 50 mg/kg/hari dibagi dalam 2 dosis. Untuk pemberian secara syrup

dosis yang diberikan untuk anak 4-5 mg/kg/kali minum sehari diberi 2 kali selama 2

minggu. Efek samping dari pemberian antibiotika golongan ini adalah terjadinya

gangguan sistem hematologi seperti Anemia megaloblastik, Leukopenia, dan

granulositopenia. Dan pada beberapa Negara antibiotika golongan ini sudah

dilaporkan resisten.

Ampicillin dan Amoxicillin, memiliki kemampuan yang lebih rendah dibandingkan

dengan chloramphenicol dan cotrimoxazole. Namun untuk anak- anak golongan obat

ini cenderung lebih aman dan cukup efektif. Dosis yang diberikan untuk anak 100-

200 mg/kg/hari dibagi menjadi 4 dosis selama 2 minggu. Penurunan demam biasanya

lebih lama dibandingkan dengan terapi chloramphenicol.

Sefalosporin generasi ketiga (Ceftriaxone, Cefotaxim, Cefixime), merupakan pilihan

ketiga namun efektifitasnya setara atau bahkan lebih dari Chloramphenicol dan

Cotrimoxazole serta lebih sensitive terhadap Salmonella typhi. Ceftriaxone

52

Page 53: Laporan PBL GEH Modul IV

merupakan prototipnya dengan dosis 100 mg/kg/hari IVdibagi dalam 1-2 dosis

(maksimal 4 gram/hari) selama 5-7 hari. Atau dapat diberikan cefotaxim 150-200

mg/kg/hari dibagi dalam 3-4 dosis. Bila mampu untuk sediaan Per oral dapat

diberikan Cefixime 10-15 mg/kg/hari selama 10 hari.

Pada demam tifoid berat kasus berat seperti delirium, stupor, koma sampai syok

dapat diberikan kortikosteroid IV (dexametasone) 3 mg/kg dalam 30 menit untuk dosis

awal, dilanjutkan 1 mg/kg tiap 6 jam sampai 48 jam.

Untuk demam tifoid dengan penyulit perdarahan usus kadang- kadang

diperlukan tranfusi darah. Sedangkan yang sudah terjadi perforasi harus segera

dilakukan laparotomi disertai penambahan antibiotika metronidazol.

X. Komplikasi

Komplikasi demam tifoid dapat dibagi 2 bagian :

1. Komplikasi pada usus halus

a) Perdarahan usus

Bila sedikit hanya ditemukan jika dilakukan pemeriksaan tinja dengan benzidin.

Jika perdarahan banyak terjadi melena dapat disertai nyeri perut dengan tanda –

tanda renjatan.

b) Perforasi usus

Timbul biasanya pada minggu ketiga atau setengahnya dan terjadi pada bagian

distal ileum. Perforasi yang tidak disertai peritonitis hanya dapat ditemukan bila

terdapat udara dirongga peritoneum yaitu pekak hati menghilang dan terdapat udara

diantara hati dan diafragma pada foto rontgen abdomen yang dibuat dalam keadaan

tegak.

c) Peritonitis

Biasanya menyertai perforasi tetapi dapat terjadi tanpa perforasi usus. Ditemukan

gejala akut, yaitu nyeri perut yang hebat, dinding abdomen tegang, dan nyeri tekan.

53

Page 54: Laporan PBL GEH Modul IV

2. Komplikasi diluar usus halus

a) Bronkitis dan bronkopneumonia

Pada sebagian besar kasus didapatkan batuk, bersifat ringan dan disebabkan oleh

bronkitis, pneumonia bisa merupakan infeksi sekunder dan dapat timbul pada awal

sakit atau fase akut lanjut. Komplikasi lain yang terjadi adalah abses paru, efusi,

dan empiema.

b) Kolesistitis

Pada anak jarang terjadi, bila terjadi umumnya pada akhi minggu kedua dengan

gejala dan tanda klinis yang tidak khas, bila terjadi kolesistitis maka penderita

cenderung untuk menjadi seorang karier.

c) Typhoid ensefalopati

Merupakan komplikasi tifoid dengan gejala dan tanda klinis berupa kesadaran

menurun, kejang – kejang, muntah, demam tinggi, pemeriksaan otak dalam batas

normal. Bila disertai kejang – kejang maka biasanya prognosisnya jelek dan bila

sembuh sering diikuti oleh gejala sesuai dengan lokasi yang terkena.

d) Meningitis

Menigitis oleh karena Salmonella typhi yang lain lebih sering didapatkan pada

neonatus/bayi dibandingkan dengan anak, dengan gejala klinis tidak jelas sehingga

diagnosis sering terlambat. Ternyata peyebabnya adalah Salmonella havana dan

Salmonella oranemburg.

e) Miokarditis

Komplikasi ini pada anak masih kurang dilaporkan serta gambaran klinis tidak

khas. Insidensnya terutama pada anak berumur 7 tahun keatas serta sering terjadi

pada minggu kedua dan ketiga. Gambaran EKG dapat bervariasi antara lain : sinus

takikardi, depresi segmen ST, perubahan gelombangan I, AV blok tingkat I,

aritmia, supraventrikular takikardi.

f) Infeksi saluran kemih

Sebagian kasus demam tifoid mengeluarkan bakteri Salmonella typhi melalui urin

pada saat sakit maupun setelah sembuh. Sistitis maupun pilonefritis dapat juga

merupakan penyulit demam tifoid. Proteinuria transien sering dijumpai,

54

Page 55: Laporan PBL GEH Modul IV

sedangkan glomerulonefritis yang dapat bermanifestasi sebagai gagal ginjal

maupun sidrom nefrotik mempunyai prognosis yang buruk.

g) Karier kronik

Tifoid karier adalah seorang yang tidak menunjukkan gejala penyakit demam tifoid,

tetapi mengandung kuman Salmonella typhosa di sekretnya. Karier temporer-

ekskresi S.typhi pada feces selama tiga bulan. Hal ini tampak pada 10% pasien

konvalesen. Relapse terjadi pada 5-10% pasien biasanya 2-3 minggu setelah

demam mengalami resolusi dan pada isolasi organisme memiliki bentuk sensivitas

yang sama seperti semula. Faktor predisposisi menjadi kronik karier adalah jenis

kelamin perempuan, pada kelompok usia dewasa, dan cholelithiasis. Pasien dengan

traktus urinarius yang abnormal, seperti schistosomiasis, mungkin memgeluarkan

bakteri pada urinya dalam waktu yang lama.

XI. Pencegahan

Berikut beberapa petunjuk untuk mencegah penyebaran demam tifoid:

Cuci tangan.

Cuci tangan dengan teratur meruapakan cara terbaik untuk mengendalikan demam

tifoid atau penyakit infeksi lainnya. Cuci tangan anda dengan air (diutamakan air

mengalir) dan sabun terutama sebelum makan atau mempersiapkan makanan atau

setelah menggunakan toilet. Bawalah pembersih tangan berbasis alkohol jika tidak

tersedia air.

Hindari minum air yang tidak dimasak.

Air minum yang terkontaminasi merupakan masalah pada daerah endemik tifoid.

Untuk itu, minumlah air dalam botol atau kaleng. Seka seluruh bagian luar botol atau

kaleng sebelum anda membukanya. Minum tanpa menambahkan es di dalamnya.

Gunakan air minum kemasan untuk menyikat gigi dan usahakan tidak menelan air di

pancuran kamar mandi.

55

Page 56: Laporan PBL GEH Modul IV

Tidak perlu menghindari buah dan sayuran mentah.

Buah dan sayuran mentah mengandung vitamin C yang lebih banyak daripada yang

telah dimasak, namun untuk menyantapnya, perlu diperhatikan hal-hal sebagai berikut.

Untuk menghindari makanan mentah yang tercemar, cucilah buah dan sayuran tersebut

dengan air yang mengalir. Perhatikan apakah buah dan sayuran tersebut masih segar

atau tidak. Buah dan sayuran mentah yang tidak segar sebaiknya tidak disajikan.

Apabila tidak mungkin mendapatkan air untuk mencuci, pilihlah buah yang dapat

dikupas.

Pilih makanan yang masih panas.

Hindari makanan yang telah disimpan lama dan disajikan pada suhu ruang. Yang

terbaik adalah makanan yang masih panas. Pemanasan sampai suhu 57°C beberapa

menit dan secara merata dapat membunuh kuman Salmonella typhi. Walaupun tidak

ada jaminan makanan yang disajikan di restoran itu aman, hindari membeli makanan

dari penjual di jalanan yang lebih mungkin terkontaminasi.

Jika anda adalah pasien demam tifoid atau baru saja sembuh dari demam tifoid, berikut

beberapa tips agar anda tidak menginfeksi orang lain:

Sering cuci tangan.

Ini adalah cara penting yang dapat anda lakukan untuk menghindari penyebaran

infeksi ke orang lain. Gunakan air (diutamakan air mengalir) dan sabun, kemudian

gosoklah tangan selama minimal 30 detik, terutama sebelum makan dan setelah

menggunakan toilet.

Bersihkan alat rumah tangga secara teratur.

Bersihkan toilet, pegangan pintu, telepon, dan keran air setidaknya sekali sehari.

Hindari memegang makanan.

Hindari menyiapkan makanan untuk orang lain sampai dokter berkata bahwa anda

tidak menularkan lagi. Jika anda bekerja di industri makanan atau fasilitas kesehatan,

anda tidak boleh kembali bekerja sampai hasil tes memperlihatkan anda tidak lagi

menyebarkan bakteri Salmonella.

56

Page 57: Laporan PBL GEH Modul IV

Gunakan barang pribadi yang terpisah.

Sediakan handuk, seprai, dan peralatan lainnya untuk anda sendiri dan cuci dengan

menggunakan air dan sabun.

Pencegahan dengan menggunakan vaksinasi

Di banyak negara berkembang, tujuan kesehatan masyarakat dengan mencegah dan

mengendalikan demam tifoid dengan air minum yang aman, perbaikan sanitasi, dan

perawatan medis yang cukup, mungkin sulit untuk dicapai. Untuk alasan itu, beberapa ahli

percaya bahwa vaksinasi terhadap populasi berisiko tinggi merupakan cara terbaik untuk

mengendalikan demam tifoid.

Di Indonesia telah ada 3 jenis vaksin tifoid, yakni:

Vaksin oral Ty 21a (kuman yang dilemahkan)

Vaksin yang mengandung Salmonella typhi galur Ty 21a. Diberikan per oral tiga kali

dengan interval pemberian selang sehari. Vaksin ini dikontraindikasikan pada wanita

hamil, menyusui, penderita imunokompromais, sedang demam, sedang minum antibiotik,

dan anak kecil 6 tahun. Vaksin Ty-21a diberikan pada anak berumur diatas 2 tahun. Lama

proteksi dilaporkan 6 tahun.

Vaksin parenteral sel utuh (TAB vaccine)

Vaksin ini mengandung sel utuh Salmonella typhi yang dimatikan yang mengandung

kurang lebih 1 milyar kuman setiap mililiternya. Dosis untuk dewasa 0,5 mL; anak 6-12

tahun 0,25 mL; dan anak 1-5 tahun 0,1 mL yang diberikan 2 dosis dengan interval 4

minggu. Cara pemberian melalui suntikan subkutan. Efek samping yang dilaporkan

adalah demam, nyeri kepala, lesu, dan bengkak dengan nyeri pada tempat suntikan.

Vaksin ini di kontraindikasikan pada keadaan demam, hamil, dan riwayat demam pada

pemberian pertama. Vaksin ini sudah tidak beredar lagi, mengingat efek samping yang

ditimbulkan dan lama perlindungan yang pendek.

Vaksin polisakarida

57

Page 58: Laporan PBL GEH Modul IV

Vaksin yang mengandung polisakarida Vi dari bakteri Salmonella. Mempunyai daya

proteksi 60-70 persen pada orang dewasa dan anak di atas 5 tahun selama 3 tahun.

Vaksin ini tersedia dalam alat suntik 0,5 mL yang berisi 25 mikrogram antigen Vi dalam

buffer fenol isotonik. Vaksin diberikan secara intramuskular dan diperlukan pengulangan

(booster) setiap 3 tahun. Vaksin ini dikontraindikasikan pada keadaan hipersensitif,

hamil, menyusui, sedang demam, dan anak kecil 2 tahun.

XII. Prognosis

Prognosis pasien demam tifoid tergantung ketepatan terapi, usia, keadaan kesehatan

sebelumnya, dan ada tidaknya komplikasi. Di negara maju, dengan terapi antibiotik yang

adekuat, angka mortalitas <1%. Di negara berkembang, angka mortalitasnya >10%,

biasanya karena keterlambatan diagnosis, perawatan, dan pengobatan. Munculnya

komplikasi, seperti perforasi gastrointestinal atau perdarahan hebat, meningitis,

endokarditis, dan pneumonia, mengakibatkan morbiditas dan mortalitas yang tinggi.

58

Page 59: Laporan PBL GEH Modul IV

No. 12 Differential Diagnosis 2

Hirschsprung disease

Definisi

Penyakit hirschprung di karakteristikan sebagai tidak adanya sel ganglion di pleksus myenterikus (auerbach’s) dan submukosa (meissner’s).

Etiologi

Penyakit Hirschsprung disebabkan karena kegagalan migrasi sel-sel saraf parasimpatis myentericus dari cephalo ke caudal. Sehingga sel ganglion selalu tidak ditemukan dimulai dari anus dan panjangnya bervariasi keproksimal.

Patogenesis

Kelainan pada penyakit ini berhubungan dengan spasme pada distal colon dan sphincter anus internal sehingga terjadi obstruksi. Dasar patofisiologi dari HD adalah tidak adanya gelombang propulsive dan abnormalitas atau hilangnya relaksasi dari sphincter anus internus yang disebabkan aganglionosis, hipoganglionosis atau disganglionosis pada usus besar.

Gejala klinik

Pada bayi yang baru lahir, kebanyakan gejala muncul 24 jam pertama kehidupan. Dengan gejala yang timbul: distensi abdomen dan bilious emesis. Tidak keluarnya mekonium padsa 24 jam pertama kehidupan merupakan tanda yang signifikan mengarah pada diagnosis ini.

Pada anak yang lebih besar, pada beberapa kasus dapat mengalami kesulitan makan, distensi abdomen yang kronis dan ada riwayat konstipasi. Penyakit hirschsprung dapat juga menunjukkan gejala lain seperti adanya periode obstipasi, distensi abdomen, demam, hematochezia dan peritonitis.

Beberapa mengalami konstipasi menetap, mengalami perubahan pada pola makan, perubahan makan dari ASI menjadi susu pengganti atau makanan padat. Pasien dengan penyakit hirschsprung didiagnosis karena adanya riwayat konstipasi, kembung berat dan perut seperti tong, massa faeses multipel dan sering dengan enterocolitis, dan dapat terjadi gangguan pertumbuhan. Gejala dapat hilang namun beberapa waktu kemudian terjadi distensi abdomen.

Tatalaksana

Terapi terbaik pada bayi dan anak dengan Hirschsprung tergantung dari diagnosis yang tepat dan penanganan yang cepat. Keputusan untuk melakukan Pulltrough ketika diagnosis ditegakkan tergantung dari kondisi anak dan respon dari terapi awal.. Decompresi kolon dengan pipa besar, diikuti dengan washout serial, dan meninggalkan kateter pada rektum harus

59

Page 60: Laporan PBL GEH Modul IV

dilakukan. Antibiotik spektrum luas diberikan, dan mengkoreksi hemodinamik dengan cairan intravena. Pada anak dengan keadaan yang buruk, perlu dilakukan colostomy

Prognosis

Setelah operasi pasien-pasien dengan penyakit hirschprung biasanya berhasil baik, walaupun terkadang ada gangguan buang air besar. Sehingga konstipasi adalah gejala tersering pada pascaoperasi.

60

Page 61: Laporan PBL GEH Modul IV

BAB III

PENUTUP

3.1 Kesimpulan

Berdasarkan skenario anak laki-laki 5 tahun dengan keluhan utama sudah 3 hari tidak buang air besar dan muntah beberapa kali. Beberapa hari terakhir anak tersebut selalu merasa mual, tidak ada nafsu makan, dan demam yang terutama dirasakan pada malam hari. Seminggu sebelumnya anak tersebut pernah BAB dan terdapat cacing pada kotorannya. Anak tersebut kurus, terlihat lemas dan agak pucat. Maka working diagnosisnya adalah ileus obstruktif et causa ascariasis dengan diferrential diagnosisnya demam tifoid dan Hirschsprung disease.

61

Page 62: Laporan PBL GEH Modul IV

3.2 Daftar Pustaka

Bickley, L.S. Bates Pemeriksaan Fisik & Riwayat Kesehatan. Jakarta: EGC

Duphar, Selebaran, dkk. 1990. Komposisi zat gizi pangan Indonesia. Depkes RI.

Ganong W. F. 19.. Buku Ajar Fisiologi Kedokteran Edisi 17. Jakarta : EGC

Glade, Jonathan. At A Glance : Anamnesis dan Pemeriksaan Fisik. Jakarta: EGC

Guyton A. C, Hall J. E. 2008. Buku Ajar Fisiologi Kedokteran Edisi 11. Jakarta : EGC.

Hadi, Sujono. 2002. Gastroenterologi. Bandung : P.T. Alumni

Price, Sylvia A. 2013. Patofisiologi Konsep Klinis Proses-proses Penyakit. Jakarta: EGC

Sherwood, Lauralee. 2012. Fisiologi Manusia. Jakarta: EGC

Price, Sylvia A. 2013. Patofisiologi Konsep Klinis Proses-proses Penyakit. Jakarta: EGC

Richard E. Behrman, Robert M. Kliegman, Ann M. Arvin; edisi bahasa Indonesia: A Samik

Wahab; Ilmu Kesehatan Anak Nelson, ed.15. Jakarta: EGC ; 2000.

S, Pudjiadi. 1990. Ilmu Gizi Klinis Pada Anak. Jakarta: Balai Penerbit FKUI

Soedarmo, Sumarmo S., dkk. Demam tifoid. Dalam : Buku ajar infeksi & pediatri tropis. Ed.

2. Jakarta : Badan Penerbit IDAI ; 2008. h. 338-45.

Suandi, I. 1999. Diit pada Anak Sakit. Jakarta: EGC

Suharyono, dkk. 1988. Gastroenterologi Anak Praktis. Jakarta: FKUI.

Tinjauan Pustaka : Konstipasi pada Anak oleh Yusri Dianne Jurnalis, Sofni Sarmen, Yorva Sayoeti (Bagian Ilmu Kesssehatan Anak, Fakultas Kedokteran Universitas Andalas / RS. Dr. M. Djamil) Padang, Sumatera Barat, Indonesia

62