Post on 13-Aug-2015
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Kehamilan merupakan suatu keadaan fisiologis dimana seorang wanita membawa
embrio atau fetus di dalam tubuhnya. Awal dari terbentuknya embrio dalam kehamilan
dimulai dari proses fertilisasi dimana ovum bertemu dengan sperma. Lalu hasil fertilisasi
tersebut membentuk zigot, morula, blastula yang kemudian melalui tuba menuju uterus untuk
berimplantasi. Setelah berimplantasi maka embrio akan tumbuh menjadi janin. Tetapi
terkadang terdapat suatu kondisi abnormal dimana hasil konsepsi berimplantasi di luar kavum
uterus. Kondisi ini disebut dengan kehamilan ektopik. Kehamilan ektopik sangat berbahaya
bagi sang Ibu berhubung dengan besarnya kemungkinan terjadi keadaan yang gawat. Keadaan
gawat ini dapat terjadi apabila kehamilan ektopik terganggu.
Sebagian besar kehamilan ektopik yaitu 90% terjadi di tuba falopi, sedangkan sisanya
terjadi di ovarium, rongga abdomen, dan serviks (Bobak, 2000). Jarcho (1949) menganalisis
1.225 kasus kehamilan ektopik berbagai jenis dari sembilan penulis dan mendapatkan
lokalisasi sebagai berikut: ampulla 578; ismus 265; fimbria 71; pars interstisialis tuba 45;
infundibulum 31; seluruh tuba (termasuk hematosalping yang mengandung hasil konsepsi)
31; abdomen 17; setengah distal tuba 10; dua pertiga distal tuba 6; ligamentum latum 5;
seluruh tuba dan ovarium 5; kornu uteri dan tubo ovarial 2; dan tanduk rudimenter 1. Pada
158 kasus lokaslisasi tidak disebut atau bila dinyatakan, tidak dibuktikan (Wiknjosastro,
2006).
Kehamilan ektopik terjadi pada 1 dari 50 kehamilan. Sebagian besar wanita yang
mengalami kehamilan ektopik berumur antara 20 – 40 tahun dengan umur rata-rata 30 tahun.
Dalam periode 3 tahun yaitu pada tahun 2003 – 2005 terdapat 32 kehamilan ektopik dari 100
kehamilan normal di Inggris (…..). Di Indonesia, khususnya di Pekanbaru, kehamilan ektopik
menduduki peringkat ke-8 dari 10 kasus ginekologi terbanyak pada tahun 2004 di RSUD
Arifin Achmad. Hal ini dapat dibuktikan dari angka kejadian kehamilan ektopik terganggu di
RSUD Arifin Achmad pada tahun 2003 yaitu sebanyak 47 kasus kehamilan ektopik terganggu
(1,95%) dari 2399 persalinan, pada tahun 2004 yaitu sebanyak 44 kasus kehamilan ektopik
terganggu (1,75%) dari 2502 persalinan, dan pada tahun 2005 sebanyak 42 kasus kehamilan
ektopik terganggu (1,61%) dari 2597 persalinan. Jadi terdapat 133 kasus kehamilan ektopik
terganggu (1,77%) dari 7498 persalinan selama 3 tahun (Anonim, 2009).
Hal yang menyebabkan besarnya angka kematian ibu akibat kehamilan ektopik adalah
kurangnya deteksi dini dan pengobatan setelah diketahui mengalami kehamilan ektopik.
Kehamilan ektopik merupakan salah satu penyebab terbesar kematian Ibu pada triwulan
pertama dari kehamilan. Resiko kehamilan ektopik sangat besar karena kehamilan ini tidak
bisa menjadi normal. Jika telur tersebut tetap tumbuh dan besar di saluran tuba maka suatu
saat tuba tersebut akan pecah dan dapat menyebabkan perdarahan yang sangat hebat dan
mematikan. Apabila seseorang mengalami kehamilan ektopik maka kehamilan tersebut harus
cepat diakhiri karena besarnya resiko yang dihadapi sang Ibu.
Kehamilan ektopik terganggu merupakan peristiwa yang dapat dihadapi oleh setiap
tenaga medis, karena sangat beragamnya gambaran klinik kehamilan ektopik terganggu
tersebut. Tidak jarang tenaga medis yang menghadapi penderita untuk pertama kali adalah
tenaga medis umum atau ahli lainnya, maka dari itu perlu diketahui terlebih dahulu diagnosis
diferensialnya. Perawat juga berperan penting dalam hal ini. Dengan ilmu yang kokoh
terhadap kehamilan ektopik terganggu, maka perawat akan dapat memberikan asuhan
keperawatan yang tepat bagi pasien dengan kehamilan ektopik terganggu sehingga pasien
dapat diselamatkan.
1.2 Rumusan Masalah
Bagaimanakah asuhan keperawatan pada pasien dengan kehamilan ektopik terganggu?
1.3 Tujuan
Adapun tujuan dari penulisan makalah ini adalah untuk mengetahui asuhan keperawatan
pada pasien dengan kehamilan ektopik terganggu.
BAB II
TINJAUAN TEORI
2.1 Defenisi
Pada kehamilan intrauteri normal, blastokist akan tertanam dalam endometrium yang
melapisi kavum uteri. Tetapi dalam keadaan yang tidak normal dimana implantasi yang
terjadi di tempat lain disebut sebagai kehamilan ektopik. Kehamilan ektopik adalah kehamilan
dimana janin terimplantasi di luar rongga rahim (Bobak dkk, 2004). Menurut Wiknjosastro
2006, kehamilan ektopik terjadi jika telur yang dibuahi berimplantasi dan tumbuh di luar
endometrium kavum uteri. Kehamilan ektopik paling sering terjadi di daerah tuba falopi
(90%), meskipun begitu kehamilan ektopik juga dapat terjadi di ovarium (indung telur),
rongga abdomen (perut), dan leher rahim (serviks). Kehamilan ektopik dapat mengalami
abortus atau ruptur pada dinding tuba dan peristiwa ini disebut sebagai kehamilan ektopik
terganggu. Kehamilan ekstrauterin tidak sinonim dengan kehamilan ektopik, karena
kehamilan di pars interstisialis tuba dan kanalis servikalis masih termasuk kehamilan
intrauterine, tetapi jelas bersifat ektopik. Karena sebagian besar kehamilan ektopik merupakan
kehamilan tuba, maka pembahasan dalam makalah ini terutama dipusatkan pada kehamilan
tuba.
2.2 Etiologi
Penyebab kehamilan ektopik bervariasi, dan sebagian besar tidak diketahui secara pasti,
Kebanyakan kehamilan ekstrauteri terjadi karena abnormalitas yang menghambat atau
mencegah perjalanan ovum yang dibuahi melalui tuba falopi. Hal ini bisa disebabkan oleh
cacat lahir di saluran tuba misalnya tuba terlalu panjang, komplikasi usus buntu yang pecah,
endometriosis, memiliki kehamilan ektopik sebelumnya, dan jaringan parut akibat infeksi
sebelumnya atau operasi (Mitayani, 2009). Kehamilan ektopik terjadi karena hambatan pada
perjalanan sel telur dari ovarium ke uterus. Dari beberapa studi faktor resiko yang
diperkirakan sebagai penyebabnya adalah:
A. Faktor dalam lumen tuba
1. Endosalpingitis yang dapat menyebabkan penyempitan lumen tuba atau
pembentukan kantong-kantong buntu akibat perlekatan endosalping;
2. Hipoplasia lumen tuba, lumen tuba sempit dan berlekuk-lekuk dan hal ini disertai
gangguan fungsi silia endosalping;
3. Operasi plastik tuba dan sterilisasi yang tak sempurna dapat menjadi penyebab
lumen tuba menyempit.
B. Faktor dinding lumen tuba
1. Kelainan kongenital tuba atau kelainan pertumbuhan tuba, khususnya divertikel
tuba kongenital atau ostium asesorius dan hipoplasia, namun kelainan semacam ini
sangat jarang terjadi;
2. Endometriosis tuba, yang dapat memudahkan implantasi telur yang dibuahi dalam
tuba.
C. Faktor di luar dinding tuba
1. Perlekatan peritubal, setelah infeksi pasca abortus atau infeksi masa nifas,
apendisitis ataupun endometriosis, yang menyebabkan tertekuknya tuba dan
penyempitan lumen tuba;
2. Tumor yang mengubah bentuk tuba seperti mioma uteri.
D. Faktor lain
1. Migrasi luar ovum yaitu perjalanan dari ovarium kanan ke tuba kiri atau
sebaliknya. Hal ini dapat memperpanjang perjalanan telur yang dibuahi ke uterus.
Pertumbuhan telur yang terlalu cepat dapat menyebabkan implantasi prematur;
2. Penggunaan kontrasepsi spiral dan pil progesterone, kehamilan ektopik meningkat
apabila ketika hamil masih menggunakan kontrasepei spiral (3 – 4 %). Pil yang
mengandung hormon juga meningkatkan kehamilan ektopik karena pil progesteron
dapat mengganggu pergerakan sel rambut silia di saluran tuba yang membawa sel
telur yang sudah dibuahi untuk berimplantasi ke dalam rahim.
3. Kehamilan ektopik sebelumnya, setelah mengalami sekali kehamilan ektopik
resiko kehamilan ektopik berikutnya akan meningkat 7 hingga 15 persen.
Meningkatnya resiko ini kemungkinan besar disebabkan oleh salphingitis yang
terjadi sebelumnya (Wiknjosastro, 2006).
2.3 Gambaran Klinik
Gejala dan tanda kehamilan tuba terganggu sangat berbeda-beda, dari perdarahan banyak
yang tiba-tiba dalam rongga perut sampai terdapatnya gejala yang tidak jelas, sehingga sukar
membuat diagnosisnya. Nyeri merupakan keluhan utama pada kehamilan ektopik terganggu.
Pada ruptur tuba, terjadi nyeri perut bagian bawah secara tiba-tiba dan intensitasnya disertai
dengan perdarahan yang menyebabkan penderita pingsan dan masuk ke dalam syok. Darah
dalam rongga perut dapat merangsang diafragma sehingga menyebabkan nyeri bahu, dan bila
membentuk hematokel retrouterina, menyebabkan defekasi nyeri.
Perdarahan pervaginam merupakan tanda penting kedua pada kehamilan ektopik
terganggu. Hal ini menunjukkan kematian janin, dan berasal dari kavum uteri karena
pelepasan desidua. Perdarahan yang berasal dari uterus biasanya tidak banyak dan berwarna
coklat tua. Amenore juga merupakan tanda yang penting pada kehamilan ektopik. Lamanya
amenore tergantung pada kehidupan janin, sehingga dapat bervariasi. Sebagian penderita
tidak mengalami amenore karena kematian janin terjadi sebelum haid berikutnya. Kehamilan
ektopik terganggu sangat bervariasi, dari yang klasik dengan gejala perdarahan mendadak
dalam rongga perut dan ditandai oleh abdomen akut sampai gejala yang samar-samar.
A. Gambaran gangguan mendadak
Penderita, setelah mengalami amenore dengan tiba-tiba, menderita rasa nyeri yang
hebat di daerah perut bagian bawah dan sering muntah-muntah. Tidak jarang nyeri
menyebabkan pingsan. Setelah mengalami nyeri, penderita masuk ke dalam keadaan syok
perdarahan dengan tekanan darah menurun, nadi kecil dan cepat, ujung ekstremitas
basah, pucat, dan dingin. Seluruh perut agak membesar, nyeri tekan, dan tanda-tanda
cairan intraperitoneal mudah ditemukan. Pada pemeriksaan vaginal forniks posterior
menonjol dan nyeri raba, pergerakan serviks menyebabkan rasa nyeri.
B. Gambaran gangguan tidak mendadak
Gambaran klinik ini sering ditemukan dan biasanya berhubungan dengan abortus tuba
atau yang terjadi perlahan-lahan. Setelah haid terlambat beberapa minggu, penderita
mengeluh rasa nyeri di perut bagian bawah. Dengan adanya darah dalam rongga perut,
rasa nyeri menetap. Tanda-tanda anemia menjadi nyata karena perdarahan yang berulang.
Mula-mula perut masih lembek, tetapi kemudian dapat mengembung karena terjadi ileus
parsialis.
2.4 WOC
Faktor lumen
tuba:
endosalpingitis,
hipoplasia
lumen tuba
Faktor dinding
lumen tuba:
Kelainan
kongenital tuba,
endometriosis
tuba
Faktor di luar
dinding tuba:
Perlekatan
peritubal,
mioma uteri
Faktor lain:
Migrasi luar ovum,
penggunaan
kontrasepsi, kehamilan
ektopik sebelumnya
Menghalangi jalannya hasil fertilisasi untuk implantasi di
endometrium
Implantasi di endosalping
Ovum yang telah
dibuahi mati
Menembus lapisan
muskularis peritoneum
pada dinding tuba
Trofoblas dan vili korialis
menembus lapisan
pseudokapsularis
Direabsorbsi dan
desidua degenerasi
Perdarahan lumen
tuba
Perdarahan Perdarahan rongga
peritoneumPembesaran tuba
Cavum douglas Syaraf disekitar tuba
tertekan
Hematokele
retrouterine
Gangguan rasa
nyaman-nyeri
Kurang
informasiHipovelemia
Gangguan
keseimbangan
cairan dan elektrolit
Cemas
Kebutuhan
akan
informasi
2.5 Penatalaksanaan Dan Kemungkinan Diagnosa
Diagnosa kehamilan ektopik terganggu ditegakkan dari keluhan dan hasil pemeriksaan
baik fisik maupun penunjang diagnostik dengan langkah-langkah sebagai berikut:
a. Dari keluhan didapatkan keluham nyeri, perdarahan pervaginam dan amenore;
b. Pemeriksaan umum didapatkan pasien tampak kesakitan, penurunan tekanan darah,
peningkatan frekuensi denyut nadi, akral dingin, konjungtiva pucat, perut tegang, dan
nyeri tekan;
c. Pemeriksaan ginekologi didapatkan nyeri saat portio digoyang, cavum douglas
menonjol;
d. Pada pemeriksaan laboratorium didapatkan βhCG (+), Hb menurun.
Sedangkan pada pemeriksaan penunjang diagnostic didapatkan sebagai berikut:
a. Dengan kuldosintesis didapatkan adanya cairan bebas (darah) dalam cavum douglas;
b. Dengan laparoskopi didapatkan adanya perubahan atau kelainan pada tuba;
c. Dengan USG dapat ditemukan adanya perubahan endometrium yang menunjukkan
tanda kehamilan tetapi tidak ditemukan mudigah, adanya masa dan cairan bebas di
cavum douglas (Sukowati dkk, 2010).
Seorang pasien yang terdiagnosis dengan kehamilan tuba dan masih dalam kondisi baik
dan tenang, memiliki 3 pilihan, yaitu penatalaksanaan ekspektasi, penatalaksanaan medis, dan
penatalaksanaan bedah. Berikut penjelasan beberapa penatalaksanaan termasuk
penatalaksanaan keperawatan:
A. Penatalaksanaan Medis
Pada penatalaksanaan medis digunakan zat-zat yang dapat merusak integritas jaringan
dan sel hasil konsepsi. Kandidat-kandidat penerima tatalaksana medis harus memiliki
syarat-syarat berikut ini: keadaan hemodinamik yang stabil, bebas nyeri perut bawah, tidak
ada aktivitas jantung janin, tidak ada cairan bebas dalam rongga abdomen dan kavum
Douglas, harus teratur menjalani terapi, harus menggunakan kontrasepsi yang efektif
selama 3-4 bulan pascaterapi, tidak memiliki penyakit-penyakit penyerta, sedang tidak
menyusui, tidak ada kehamilan intrauterin yang koeksis, memiliki fungsi ginjal, hepar dan
profil darah yang normal, serta tidak memiliki kontraindikasi terhadap pemberian
methotrexate. Berikut ini akan dibahas beberapa metode terminasi kehamilan ektopik secara
medis.
1. Methotrexate
Methotrexate adalah obat sitotoksik yang sering digunakan untuk terapi keganasan,
termasuk penyakit trofoblastik ganas. Pada penyakit trofoblastik, methotrexate akan
merusak sel-sel trofoblas, dan bila diberikan pada pasien dengan kehamilan ektopik,
methotrexate diharapkan dapat merusak sel-sel trofoblas sehingga menyebabkan
terminasi kehamilan tersebut. Seperti halnya dengan penatalaksanaan medis untuk
kehamilan ektopik pada umumnya, kandidat-kandidat untuk terapi methotrexate harus
stabil secara hemodinamis dengan fungsi ginjal, hepar dan profil darah yang normal.
Harus diketahui pula bahwa terapi methotrexate maupun medis secara umum
mempunyai angka kegagalan sebesar 5-10%, dan angka kegagalan meningkat pada usia
gestasi di atas 6 minggu atau bila massa hasil konsepsi berdiameter lebih dari 4 cm.
Pasien harus diinformasikan bahwa bila terjadi kegagalan terapi medis, pengulangan
terapi diperlukan, dan pasien harus dipersiapkan untuk kemungkinan menjalani
pembedahan. Selain itu, tanda-tanda kehamilan ektopik terganggu harus selalu
diwaspadai. Bila hal tersebut terjadi, pasien harus sesegera mungkin menjalani
pembedahan. Senggama dan konsumsi asam folat juga dilarang. Tentunya methotrexate
menyebabkan beberapa efek samping yang harus diantisipasi, antara lain gangguan
fungsi hepar, stomatitis, gastroenteritis dan depresi sumsum tulang. Beberapa prediktor
keberhasilan terapi dengan methotrexate yang -hCG, progesteron, disebutkan dalam
literatur antara lain kadar aktivitas jantung janin, ukuran massa hasil konsepsi dan
ada/tidaknya cairan bebas dalam rongga peritoneum. Namun disebutkan dalam sumber -
hCG-lah yang bermakna secara statistik. Untuk lain bahwa hanya kadar -hCG serial
dibutuhkan. Pada memantau keberhasilan terapi, pemeriksaan hari-hari pertama setelah
dimulainya pemberian methotrexate, 65-75% pasien akan mengalami nyeri abdomen
yang diakibatkan pemisahan hasil konsepsi dari tempat implantasinya (separation pain),
dan hematoma yang meregangkan dinding tuba. Nyeri ini dapat diatasi dengan analgetik
-hCG umumnya tidak terdeteksi lagi dalam 14-21 hari nonsteroidal. setelah pemberian
methotrexate. Pada hari-hari pertama pula massa hasil konsepsi akan tampak membesar
pada pencitraan ultrasonografi akibat edema dan hematoma, sehingga jangan dianggap
sebagai kegagalan terapi. -hCG masih perlu diawasi setiap Setelah terapi berhasil, kadar
minggunya hingga kadarnya di bawah 5 mIU/mL. Methotrexate dapat diberikan dalam
dosis tunggal maupun dosis multipel. Dosis tunggal yang diberikan adalah 50 mg/m2
(intramuskular), sedangkan dosis multipel yang diberikan adalah sebesar 1 mg/kg
(intramuskular) pada hari pertama, ke-3, 5, dan hari ke-7. Pada terapi dengan dosis
multipel leukovorin ditambahkan ke dalam regimen pengobatan dengan dosis 0.1 mg/kg
(intramuskular), dan diberikan pada hari ke-2, 4, 6 dan 8. Terapi methotrexate dosis
multipel tampaknya memberikan efek negatif pada patensi tuba dibandingkan dengan
terapi methotrexate dosis tunggal 9. Methotrexate dapat pula diberikan melalui injeksi
per laparoskopi tepat ke dalam massa hasil konsepsi. Terapi methotrexate dosis tunggal
adalah modalitas terapeutik paling ekonomis untuk kehamilan ektopik yang belum
terganggu.
2. Actinomycin
Neary dan Rose melaporkan bahwa pemberian actinomycin intravena selama 5 hari
berhasil menterminasi kehamilan ektopik pada pasien-pasien dengan kegagalan terapi
methotrexate sebelumnya.
3. Larutan Glukosa Hiperosmolar
Injeksi larutan glukosa hiperosmolar per laparoskopi juga merupakan alternatif
terapi medis kehamilan tuba yang belum terganggu. Yeko dan kawan-kawan
melaporkan keberhasilan injeksi larutan glukosa hiperosmolar dalam menterminasi
kehamilan tuba. Namun pada umumnya injeksi methotrexate tetap lebih unggul. Selain
itu, angka kegagalan dengan terapi injeksi larutan glukosa tersebut cukup tinggi,
sehingga alternatif ini jarang digunakan.
B. Penatalaksanaan Bedah
Penatalaksanaan bedah dapat dikerjakan pada pasien-pasien dengan kehamilan tuba
yang belum terganggu maupun yang sudah terganggu. Tentu saja pada kehamilan ektopik
terganggu, pembedahan harus dilakukan secepat mungkin. Pada dasarnya ada 2 macam
pembedahan untuk menterminasi kehamilan tuba, yaitu pembedahan konservatif, di mana
integritas tuba dipertahankan, dan pembedahan radikal, di mana salpingektomi dilakukan.
Pembedahan konservatif mencakup 2 teknik yang kita kenal sebagai salpingostomi dan
salpingotomi. Selain itu, macam-macam pembedahan tersebut di atas dapat dilakukan
melalui laparotomi maupun laparoskopi. Namun bila pasien jatuh ke dalam syok atau
tidak stabil, maka tidak ada tempat bagi pembedahan per laparoskopi.
1. Salpingostomi
Salpingostomi adalah suatu prosedur untuk mengangkat hasil konsepsi yang
berdiameter kurang dari 2 cm dan berlokasi di sepertiga distal tuba fallopii. Pada
prosedur ini dibuat insisi linear sepanjang 10-15 mm pada tuba tepat di atas hasil
konsepsi, di perbatasan antimesenterik. Setelah insisi hasil konsepsi segera terekspos
dan kemudian dikeluarkan dengan hati-hati. Perdarahan yang terjadi umumnya sedikit
dan dapat dikendalikan dengan elektrokauter. Insisi kemudian dibiarkan terbuka (tidak
dijahit kembali) untuk sembuh per sekundam. Prosedur ini dapat dilakukan dengan
laparotomi maupun laparoskopi. Metode per laparoskopi saat ini menjadi gold
standard untuk kehamilan tuba yang belum terganggu. Sebuah penelitian di Israel
membandingkan salpingostomi per laparoskopi dengan injeksi methotrexate per
laparoskopi. Durasi pembedahan pada grup salpingostomi lebih lama daripada durasi
pembedahan pada grup methotrexate, namun grup salpingostomi menjalani masa
rawat inap yang lebih singkat dan insidens aktivitas trofoblastik persisten pada grup
ini lebih rendah. Meskipun demikian angka keberhasilan terminasi kehamilan tuba dan
angka kehamilan intrauterine setelah kehamilan tuba pada kedua grup tidak berbeda
secara bermakna.
2. Salpingotomi
Pada dasarnya prosedur ini sama dengan salpingostomi, kecuali bahwa pada
salpingotomi insisi dijahit kembali. Beberapa literatur menyebutkan bahwa tidak ada
perbedaan bermakna dalam hal prognosis, patensi dan perlekatan tuba pascaoperatif
antara salpingostomi dan salpingotomi.
3. Salpingektomi
Reseksi tuba dapat dikerjakan baik pada kehamilan tuba yang belum maupun yang
sudah terganggu, dan dapat dilakukan melalui laparotomi maupun laparoskopi.
Salpingektomi diindikasikan pada keadaan-keadaan berikut ini:
a. Kehamilan ektopik mengalami ruptur (terganggu);
b. Pasien tidak menginginkan fertilitas pascaoperatif;
c. Terjadi kegagalan sterilisasi;
d. Telah dilakukan rekonstruksi atau manipulasi tuba sebelumnya;
e. Pasien meminta dilakukan sterilisasi;
f. Perdarahan berlanjut pasca salpingotomi;
g. Kehamilan tuba berulang;
h. Kehamilan heterotopik, dan massa gestasi berdiameter lebih dari 5 cm.
Reseksi massa hasil konsepsi dan anastomosis tuba kadang-kadang dilakukan pada
kehamilan pars ismika yang belum terganggu. Metode ini lebih dipilih daripada
salpingostomi, sebab salpingostomi dapat menyebabkan jaringan parut dan
penyempitan lumen pars ismika yang sebenarnya sudah sempit. Pada kehamilan pars
interstitialis, sering kali dilakukan pula histerektomi untuk menghentikan perdarahan
masif yang terjadi. Pada salpingektomi, bagian tuba antara uterus dan massa hasil
konsepsi diklem, digunting, dan kemudian sisanya (stump) diikat dengan jahitan
ligasi. Arteria tuboovarika diligasi, sedangkan arteria uteroovarika dipertahankan.
Tuba yang direseksi dipisahkan dari mesosalping.
4. Evakuasi Fimbrae dan Fimbraektomi
Bila terjadi kehamilan di fimbrae, massa hasil konsepsi dapat dievakuasi dari
fimbrae tanpa melakukan fimbraektomi. Dengan menyemburkan cairan di bawah
tekanan dengan alat aquadisektor atau spuit, massa hasil konsepsi dapat terdorong dan
lepas dari implantasinya. Fimbraektomi dikerjakan bila massa hasil konsepsi
berdiameter cukup besar sehingga tidak dapat diekspulsi dengan cairan bertekanan.
5. Laparatomi
Dengan tindakan laparotomi, meliputi :
a. Memperhatikan kondisi penderita saat itu, lokasi kehamilan ektopik, kondisi
anatomik organ pelvis, kemampuan teknik bedah mikro dokter operator, dan
kemampuan teknologi fertilisasi invitro setempat. Untuk menentukan apakah
perlu dilakukan salpingektomi pada kehamilan tuba;
b. Apabila kondisi penderita buruk dalam keadaan syok, lebih baik dilakukan
salpingektomi.
Pada kasus kehamilan ektopik di pars ampullaris tuba yang belum pecah ditangani
dengan tindakan kemoterapi untuk menghindari pembedahan, dengan kriteria:
a. Kehamilan di pars ampullaris tuba yang belum pecah;
b. Diameter kantong gestasi ≤ 4 cm;
c. Perdarahan dalam rongga perut kurang dari 100 ml;
d. Tanda vital baik dan stabil;
e. Obat yang digunakan ialah methotrexate 1 mg/kg IV dan citrovorum factor 0,1
mg/kg 1 M berselang seling setiap hari selama 8 hari.
C. Penatalaksanaan Ekspektasi
Penatalaksanaan ekspektasi didasarkan pada fakta bahwa sekitar 75% -hCG pasien
dengan kehamilan ektopik akan mengalami penurunan kadar. Pada penatalaksanaan
ekspektasi, kehamilan ektopik dini dengan kadar -hCG yang stabil atau cenderung turun
diobservasi ketat. Oleh sebab itu, tidak semua pasien dengan kehamilan ektopik dapat
menjalani penatalaksanaan seperti ini. Penatalaksanaan ekspektasi dibatasi pada -hCG
yang keadaan-keadaan berikut:
1) Kehamilan ektopik dengan kadar menurun;
2) Kehamilan tuba;
3) Tidak ada perdarahan intraabdominal atau ruptur;
4) Diameter massa ektopik tidak melebihi 3.5 cm. Sumber -hCG awal harus kurang
dari 1000 mIU/mL,lain menyebutkan bahwa kadar dan diameter massa ektopik
tidak melebihi 3.0 cm. Dikatakan bahwa penatalaksanaan ekspektasi ini efektif
pada 47-82% kehamilan tuba.
D. Penatalaksanaan Keperawatan
1. Pengkajian
Adapun hal-hal yang harus dikaji dari pasien dengan kehamilan ektopik terganggu
yaitu: menstruasi terakhir, adanya bercak darah yang berasal dari vagina, nyeri
abdomen (kejang dan tumpul), jenis kontrasepsi, riwayat gangguan tuba sebelumnya,
tanda-tanda vital, tes laboratorium: Ht dan Hb menurun
2. Diagnosis keperawatan
Kemungkinan diagnosis keperawatan yang muncul adalah sebagai berikut:
a. Defisit volume cairan yang berhubungan dengan ruptur pada lokasi implantasi
sebagai tindakan pembedahan;
b. Nyeri yang berhubungan dengan ruptur tuba falopi, perdarahan intraperitoneal;
c. Kebutuhan akan informasi yang berhubungan dengan kurang pemahaman atau
tidak mengenal sumber-sumber informasi.
3. Intervensi keperawatan
a. Diagnosis 1: Defisit volume cairan yang berhubungan dengan ruptur lokasi sebagai
efek dari tindakan pembedahan.
Kriteria hasil: ibu menunjukkan kestabilan/perbaikan keseimbangan cairan yang
dibuktikan oleh tanda-tanda vital yang stabil, pengisian kapiler cepat, semsorium
tepat serta frekuensi serta berat jenis urine adekuat.
Intervensi keperawatan: merujuk pada intervensi diagnosis yang sama dengan
abortus.
b. Diagnosis 2: nyeri yang berhubungan dengan ruptur tuba falopi, perdarahan intraperitorial.Kriteria hasil: ibu dapat mendemonstrasikan teknik relaksasi, tanda-tanda vital
dalam batas normal, dan ibu tidak meringis.
Rencana intervensi RasionalMandiri1. Tentukan sifat, lokasi, dan durasi nyeri.
Kaji kontraksi uterus hemoragi atau nyeri
1. Membantu dalam mendiagnosis dan
menentukan tindakan yang akan
tekan abdomen. dilakukan.
Ketidaknyamanan dihubungkan
dengan absorbsi spontan dan
molahidatidosa karena kontraksi
uterus yang mungkin diperberat oleh
infus oksitosin. Ruptus kehamilan
ektopik mengakibatkan nyeri hebat
karena hemoragi tersembunyi saat
tuba falopi ruptur kedalam abdomen.
2. Kaji stres psikologis ibu/pasangan dan
respons emosiaonal terhadap kejadian.
2. Ansietas sebagai respon terhadap
situasi darurat dapat memperberat
ketidaknyamanan karena sindrom
ketegangan, ketakutan, dan nyeri.
3 Berikan lingkungan yang tenang dan
aktivitas untuk menurunkan rasa nyeri.
Instruksikan klien untuk menggunakan
metode relaksasi, misalnya napas dalam,
visualisasi distraksi, dan jelaskan
prosedur.
3. Dapat membantu dalam menurunkan
ansietas dan karenannya mereduksi
ketidaknyamanan.
Kolaborasi
4. Berikan nakrotik atau sedatif berikut
obat-obatan praoaperatif bila prosedur
pembedahan diindikasikan.
4. Meningkatkan kenyamanan,
menurunkan risiko komplikasi
pembedahan.
5. Siapkan untuk prosedur bedah bila
terdapat indikasi.
5. Tindakan terhadap penyimpanandasar
akan menghilangkan nyeri
c. Diagnosis 3: Kebutuhan akan informasi yang berhubungan dengan kurang pemahaman
dan tidak mengenal sumber-sumber informasi.
Tujuan: Ibu berpartisipasi dalam proses belajar, mengungkapkan istilah sederhana,
mengenai patofisiologis dan implikai klinis.
Rencana Intervensi Rasional1. Menjelaskan tindakan dan rasional yang
ditentukan untuk kondisi hemarogia.
1. Memberikan informasi, menjelaskan
kesalahan pmikiran ibu mengenai
prosedur yang akan dilakukan, dan
menurunkan stres yang berhubungan
dengan prosedur yang diberikan.
2. Berikan kesempatan bagi ibu untuk
mengajukan pertanyaan dan
mengungkapkan kesalahan konsep.
2. Memberikan klarifikasi dari konsep
yang salah, idenfikasi masalah-
masalah dan kesempatan untuk
memulai mengembangkan
keterampilan penyesuaian (koping)
3. Diskusikan kemungkianan implikasi
jangka pendek pada ibu/janin dari
keadaan perdarahan
3. Memberikan informasi tentang
kemungkinan komplikasi dan
meningkatkan harapan realitas dan
kerja samadengan aturan tindakan.
4. Tinjau ulang implikasi jangka panjang
terhadap situasi yang memerlukan
evaluasi dan tindakan tambahan.
4. Ibu dengan kehamilan ektopik dapat
memahami kesulitan mempetahankan
setelah pengangkatan tuba/ovarium
yang sakit.
BAB III
TINJAUAN KASUS
3.1 Kasus