Post on 05-Feb-2016
description
Rakhmad Harissono09711025
Benign Prostatic Hyperplasia and Lower Urinary Tract Symptoms
Pasien dengan usia 59 tahun datang dengan riwayat Benign Prostate Hyperplasia (BPH)
dan gejala pada traktus urinarius bawah datang untuk pemeriksaan. Dia telah mendapat
doxazozin dengan dosis 4 mg per hari (obat satu-satunya) selama 2 tahun terakhir, dengan
perbaikan minimal. Dia sering mengalami nokturia, pancaran urin yang lemah, dan
frekuensi urin (buang air kecil 8x/ hari). Bagaimana anda akan menangani kasus ini?
Masalah Klinis
Benign Prostate Hyperplasia (BPH), suatu diagnosis histologik, merupakan kondisi klinis
yang terjadi seiring dengan bertambahnya usia; prevalensinya meningkat dari 25% pada pria
berusia 40-49 tahun hingga menjadi 80% pada pria usia 70-79 tahun. Meskipun banyak pria
memiliki kelainan histologis maupun pembersaran pada prostat dalam kondisi seperti ini tidak
memiliki gejala, lebih dari 50% pria pada usia 60an hingga 90% pria usia 80an memiliki gejala
pada traktur urinarius bawah. Gejala ini didefinisikan sebagai obstruksi saluran kemih atau gejala
penyimpanan kandung kemih. Obstruksi saluran kemih mencakup hesistensi, inisiasi mikturisi
yang lambat, intermitensi, mikturisi yang berhenti tiba-tiba, pancaran urin yang lemah, mikturisi
harus dengan mengejan, sensasi kencing yang tidak tuntas, dan terminal dribbling, gejala
penyimpanan mencakup urinari frekuensi, nokturia, urgensi, inkontinensia, dan nyeri pada
kandung kemih atau dysuria.
Di antara pria dengan gejala gejala pada traktus urinarius bawah pada kelompok plasebo
pada percobaan randomized trial untuk terapi medis benign prostatic hyperplasia, progresi
klinis (didefinisikan sebagai memburuknya gejala saluran kemih bagian bawah, retensi urin akut,
inkontinensia urin, insufisiensi ginjal, atau infeksi saluran kemih berulang) terjadi
pada 14% pria selama periode follow up selama 5 tahun. Tingkat progresi meningkat seiring
dengan usia tua, peningkatan beratnya gejala saluran kemih bagian bawah, ukuran prostat yang
membesar, peningkatan prostate-specific antigen (PSA) tingkat, dan penurunan aliran urin.
Pada tahun 2007, sebanyakl 1,9 juta kunjungan ke dokter dan lebih dari 202.000 kunjungan ke
unit gawat darurat dengan diagnosis primer benign prostatic hyperplasia, dan 120.000
prostatectomi dilakukan untuk gangguan tersebut.
Patofisiologi benign prostatic hyperplasia belum dapat dipahami secara menyeluruh.
Perkembangan fitur histologis dari benign prostatic hyperplasia adalah bergantung pada
bioavailabilitas testosteron dan metabolitnya, dihidrotestosteron. Kurangnya 5α-reduktase
secara kongenital dalam kelenjar prostat vestigial, dan pengebirian pada seorang pria akan
menyebabkan atrofi kelenjar dan regresi gejala traktus urinarius bagian bawah. Disamping level
endogen testosteron dan dihidrotestosteron, penanda fisiologis lainnya dikaitkan dengan
peningkatan risiko benign prostatic hyperplasia termasuk kadar dari dehydroepiandrosterone dan
estradiol, insulin growth factor, dan marker inflamasi (misalnya, protein C-reaktif) yang tinggi,
faktor risiko tambahan termasuk ras kulit hitam (vs putih), 14 obesitas, diabetes,
tingginya tingkat konsumsi alkohol, dan aktivitas fisik yang kurang; mekanisme yang mendasari
hal ini belum dipahami secara mendalam.
Mikturisi yang normal memerlukan relaksasi musculus detrusor untuk relaksasi pada
kandung kemih antar waktu berkemih dan berkontraksi untuk mengatasi resistensi dari outlet
kandung kemih (yaitu, prostat dan leher kandung kemih) selama berkemih. Jika pada benign
prostatic hyperplasia disertai oleh pembesaran anatomi kelenjar prostat, dapat menyebabkan
statis-obstruksi pada kandung kemih; ini adalah yang paling sering dikutip sebagai gejala trakrus
urinarius bagian bawah. Obstruksi kandung kemih juga bisa timbul dari proses dinamik yang
dimediasi oleh axis α-adrenergik. Hiperaktifitas muskulus detrusor, dimediasi oleh reseptor
muscarinic tipe M2- dan M3, berkontribusi pada traktus urinarius bagian bawah pada sekitar
15% dari pria. Studi juga menunjukkan peran untuk target nonmuscarinic (misalnya,
phosphodiesterase-5 di otot polos kandung kemih dan prostat) dalam patogenesis gejala sakuran
kemih bagian bawah.
Evaluasi
Evaluasi dimulai dengan menggali riwayat lengkap medis, neurologis, dan urologi untuk
menyingkirkan penyebab dari gejala saluran kemih bawah selain benign prostatic hyperplasia
dan disfungsi kandung kemih. Evaluasi ini mencakup pertimbangan kelebihan asupan cairan dan
kafein dan penggunaan diuretik atau obat dengan efek antihistamin yang dapat melemahkan
fungsi muskulus detrusor dalam kandung kemih. Dalam beberapa kasus, gejala saluran kemih
bagian bawah dpat diatasi dengan penggantian agen anti hipertensi diuretik dengan
antihipertensi nondiuretik. Pemeriksaan rektal dari prostat harus dilakukan dan kadar PSK harus
diukur, karena dalam kasus yang jarang terjadi, obstruksi adalah karena kanker prostat; rujukan
ke seorang ahli urologi diharuskan jika hasil abnormal. Urinalisis harus dilakukan untuk
screening Infeksi saluran kencing dan untuk mencari hematuria, yang mungkin menunjukkan
urolitiasis atau kanker pada ginjal, kandung kemih, atau prostat. Infeksi saluran kemih harus
diobati sebelum inisiasi Terapi lainnya. Jika pasien melaporkan rasa pengosongan kandung
kemih yang tidak tuntas dan kandung kemih yang teraba pada pemeriksaan abdomen, maka
pengukuran urin sisa setelah mikturisi harus diperoleh untuk menyingkirkan retensi urin yang
“silent” (volume residu urin normal, <100 ml).Rujukan kepada seorang ahli urologi harus
dipertimbangkan untuk pasien dengan gejala traktur urinarius bawah yang kompleks. Pada kasus
tanpa penyulit, dapat dipertimbangkan penanganan pada pusat kesehatan primer.
Evaluasi juga harus mencakup penggunaan American Urological Association Symptoms
Index (AUASI), yang merupakan pengukuran yang telah divalidasi, dikelola sendiri, kuantitatif
mengenai beratnya gejala saluran kemih bagian bawah (pada skala 0 sampai 35, dengan 0
menunjukkan tidak ada gejala dan 35 menunjukkan gejala paling berat) dan sejauh mana pasien
terganggu oleh gejala ini. panduan AUASI memberikan gambaran pengukuran kuantitatif dari
respon terhadap terapi; perubahan minimal 3-poin (baik peningkatan atau penurunan) dianggap
sebagai perbedaan klinis penting.
Pengelolaan
Pada pria dengan gejala ringan atau tidak ada (skor AUASI, <8) atau yang tidak terganggu oleh
gejala mereka, direkomendasikan untuk mengawasi dan menunggu. Hal tersebut melibatkan
penilaian tahunan dengan AUASI, pemeriksaan fisik, dan penggalian riwayat pasien untuk setiap
indikasi pengobatan baru untuk atau rujukan ke seorang urolog. di evaluasi follow up, pasien
harus ditanya apakah gejala saluran kemih bagian bawah menjadi cukup mengganggu sehingga
ia akan mempertimbangkan untuk mengkonsumsi obat.
Terapi farmakologis harus rutin didiskusikan dengan pasien yang memiliki gejala
menengah-berat (skor AUASI, ≥8), gejala yang mengganggu, atau keduanya, dengan
memperhatikan manfaat dan risiko dari berbagai pilihan. Terapi umumnya diresepkan pada
keputusan dari pasien dengan tujuan memperbaiki gejala berkemih, membatasi perkembangan
gejala saluran kemih bagian bawah, atau keduanya; ada beberapa Indikasi mutlak untuk
intervensi. Empat kelas obat telah menunjukkan efikasinya: α-adrenergik reseptor blocker,
inhibitor 5α-reduktase, agen antimuscarinic, dan phosphodiesterase-5 inhibitor. Pasien harus
menerima obat untuk waktu yang cukup sebelum memutuskan terapi itu tidak efektif.
α-adrenergik-Receptor Blockers
Awalnya dikembangkan sebagai agen antihipertensi, α-adrenergik-Receptor Blockers
(alphablockers) berefek dengan memblokir kontraksi sel-sel otot polos yang dimediasi reseptor
simpatik-adrenergik pada prostat dan leher kandung kemih. Alfuzosin, doxazosin, tamsulosin,
terazosin, dan Silodosin disetujui oleh Food dan Drug Administration (FDA) untuk pengobatan
gejala saluran kemih bagian bawah pada pria. Sebagai sebuah kelas, alpha-blocker dibagi atas
dasar derajat selektivitasnya pada subtipe α1-reseptor. Terazosin, doxazosin, dan alfuzosin
masuk dalam golongan selektif (yaitu, mereka memblokir subtipe reseptor α1 secara
keseluruhan). Distribusi yang luas dari reseptor α1B dan α1D di pembuluh darah dan sistem
saraf central menjelaskan efek samping yang sering terjadi (misalnya, hipotensi, kelelahan, dan
pusing). Tamsulosin dan Silodosin memblok reseptor α1A-adrenergik lebih baik dari reseptor
α1B-adrenergik dan dianggap selektif untuk subtipe reseptor α1, meskipun profil efek samping
mereka umumnya mirip dengan obat yang nonselektif.
Dalam percobaan randomized trial yang melibatkan laki-laki dengan gejala benign
prostatic hyperplasia, dengan gejala dengan adanya gejala saluran kemih bagian bawah sedang
sampai berat dan dalam beberapa studi denagan adanya penurunan laju aliran urin, alpha-blocker
telah dikaitkan dengan perbaikan gejala klinis penting yaitu penurunan skor AUASI (4 sampai 6
poin)Efek pada gejala diamati dalam waktu 1 minggu setelah pengobatan telah dimulai.
Penyesuaian dosis tertinggi tanpa efek samping diperlukan untuk alpha-blocker nonselektif.
5α-reduktase Inhibitor
Inhibitor 5α-reduktase, bekerja dengan memblokir konversi testosteron mejadi bentuk metabolit
aktifnya yaitu dihidrotestosteron, mengecilkan prostat dan mengurangi pertumbuhan prostat
lebih lanjut. Ada dua 5α-reduktase Inhibitor yang disetujui oleh FDA: finasteride yang
menghambat isoenzyme 5α-reduktase, yang akan menurunkan jumlah level serum
dihydrotestosterone sebesar 70-90%, sedangkan blok dutasteride memblok kedua isoenzyme tipe
1 dan tipe 2 5α-reduktase, sehingga mengurangi dihidrotestosteron ke tingkat yang mendekati
nol. Kedua agen telah diuji dalam randomized, placebo-controlled trials untuk mengurangi
ukuran prostat hingga 25% dan mengurangi gejala saluran kemih bagian bawah dalam 2 sampai
6 bulan, dengan skor total AUASI menurun 4 sampai 5 points pada pria dengan prostat yang
besar (> 30 g) . Dalam perbandingan langsung, efek finasteride dan dutasteride yang mirip satu
sama lain.
Meskipun kriteria inklusi untuk uji coba obat-obat ini bervariasi, ukuran prostat dari lebih
dari 30 g, diukur dengan menggunakan ultrasonografi, itu biasanya dimasukkan. Mengingat
ketidakakuratan pengujian ultrasonografi dan korelasi wajar ukuran prostat dengan kadar PSA,
tingkat PSA lebih dari 1,5 ng per mililiter direkomendasikan sebagai kriteria pengganti untuk
memulai terapi dengan 5α-reduktase inhibitors. Ukuran prostat umumnya kurang dipercaya pada
pemeriksaan rektal. Efek samping dari kedua inhibitor 5α-reduktase antara lain menurunnya
libido, disfungsi ereksi, ejakulasi berkurang, dan gynecomastia. Dalam percobaan untuk menilai
apakah finasteride atau dutasteride bisa mencegah kanker prostat, terdapat penurunan absolut
pada resiko kanker prostat sebesar 6 persen, namun dikaitkan dengan kejadian kanker prostat
stadium menengah-tinggi (Gleason score, ≥7)). (A skor Gleason lebih tinggi, yang berkisar 6-10,
menunjukkan bentuk histologis kanker yang prostat lebih agresif.) FDA telah merevisi label
untuk agen ini untuk memasukkan informasi tentang risiko ini. Jika dicurigai terdapat kanker
prostat atau tingkat PSA mulai meningkat selama terapi, pasien harus dirujuk ke urologist. 5α-
reduktase inhibitor dapat mengurangi konsentrasi PSA sekitar 50% setelah 6 bulan; efek ini
harus diperhitungkan dalam interpretasi tes PSA yang dilakukan untuk deteksi kanker.
Dalam studi randomized, placebo-controlled trial yang membandingkan alpha-blocker
(doxazosin), 5α-reduktase inhibitor (finasteride), dan kombinasi dari keduanya, tipe 1 inhibitor
5α-reduktase (dengan atau tanpa terapi alpha-blocker), tetapi tidak hanya terapi alphablocker
saja, secara signifikan mengurangi hasil sekunder yaitu tingkat retensi urin dan kebutuhan untuk
terapi invasif untuk hiperplasia prostat(pengurangan risiko relatif dengan terapi kombinasi vs
plasebo, 81% vs 67%).
Kombinasi α-adrenergik-Receptor Blockers dan Inhibitor 5α-reduktase
Dalam percobaan yang telah disebutkan di atas, terapi kombinasi lebih unggul dibanding
salah satu terapi tunggal dalam mengurangi risiko pengembangan klinis benign prostatic
hyperplasia, didefinisikan sebagai memburuknya gejala saluran kemih bawah, retensi urin akut,
inkontinensia urin, insufisiensi ginjal, atau Infeksi saluran kemih berulang (pengurangan risiko
relatif vs placebo) Tingkat ejakulasi abnormal, edema perifer, dan dyspnea yang lebih sering
terjadi pada terapi kombinasi dibanding dengan terapi tunggal, tetapi kondisi ini relatif jarang
bahkan dalam kelompok kombinasi terapi (rata-rata, ≤5 kasus per 100 orang-tahun). Sebuah
percobaan dutasteride dan tamsulosin memiliki manfaat lebih dibandingi terapi tunggal. Namun,
banyak pria tidak membutuhkan terapi kombinasi, dan tingkat efek samping yang lebih tinggi
dan biaya yang lebih besar (dibandingkan dengan terapi tunggal) harus dipertimbangkan
terhadap manfaat yang didapat. Hal ini masuk akal untuk memulai perawatan
gejala saluran kemih bagian bawah dengan satu terapi, menilai efektivitas, dan menyesuaikan
dosis (jika nonselektif alpha-blocker digunakan), dan kemudian mengganti agen dengan agen
kedua atau menambahkan agen kedua yang diperlukan.
Terapi agen antimuskarinik menghambat reseptor muscarinic pada otot detrusor,
sehingga mengurangi gejala bagian kandung kemih yang over reaktif. Beberapa agen
antimuscarinic yang telah disetujui untuk pengobatan disfungsi mikturisi: darifenacin,
solifenacin, trospium klorida, oxybutynin, tolterodin, dan fesoterodine. Agen Antimuskarinik
seperti darifenacin dan solifenacin diklasifikasikan sebagai selektif jika mereka mempengaruhi
reseptor muscarinic tipe M3 dalam muskulus detrusor kandung kemih. Sebaliknya, reseptor
muscarinic jenis M2 juga terletak di kelenjar ludah, sistem kardiovaskular, otak, dan saluran
usus; ini menjelaskan distribusi efek samping yang terkait dengan antimuskarinik selektif.
Perbedaan dalam profil keamanan berkaitan dengan selektivitas belum diteliti ekstensif pada
pria.
Meskipun Pedoman American Urological Association (AUA) menyatakan bahwa terapi
antimuskarinik dapat memberikan manfaat pada subkelompok laki-laki Yang memiliki terutama
gejala pada penyimpanan urin, data masih kurang untuk membuktikan obat kelas ini sebagai
monoterapi. Dalam uji randomized trials yang melibatkan laki-laki dengan gejala penyimpanan
urin yang signifikan (misalnya, ≥8x mikturisi per hari), sebagai tambahan terapi antimuskarinik
(vs plasebo) terhadap terapi alphablocker memberikan hasil yang signifikan terhadap gejala
penyimpanan urin (Penurunan jumlah skor AUASI sub skala penyimpanan 2 Sampai 4 poin),
sedangkan terapi antimuskarinik sendiri Belum Terbukti menghasilkan manfaat klinis Yang
signifikan.
Terapi antimuskarinik tidak tampak meningkatkan risiko retensi urin akut pada percobaan
disebutkan di atas, yang termasuk orang-orang dengan volume residu urin post mikturisi kurang
dari 250 ml. Mengingat kurangnya data pada pria dengan volume residu postmmikturisi,
direkomendasikan Volume baseline post mikturisi diperiksa sebelum terapi antimuskarinik
diberikan. Efek pada gejala terjadi dalam 2 minggu; Efek samping termasuk mulut kering, mata
kering, dan sembelit.
Phosphodiesterase-5 Inhibitor
Phosphodiesterase-5 inhibitor, pada awalnya disetujui untuk pengobatan disfungsi ereksi, dapat
juga memperbaiki gejala saluran kemih bagian bawah. Phosphodiesterase-5 terdapat dalam (di
samping jaringan reproduksi laki-laki) jaringan prostat, terutama di zona transisi, kandung kemih
detrusor, dan sel-sel otot polos pembuluh darah yang berhubungan dengan traktus urinarius.
Penghambatan phosphodiesterase-5 akan mengakibatkan terjadinya peningkatan cyclic AMP dan
cyclic guanosin monofosfat, mengakibatkan relaksasi otot polos, dan juga mungkin memiliki
efek antiproliferatif di prostat dan sel otot polos kandung kemih. Hanya tadalafil yang telah
menerima persetujuan FDA untuk pengobatan gejala mikturisi. Dalam studi andomized,placebo-
controlled trial yang melibatkan laki-laki dengan gejala saluran kemih bagian bawah selama
minimal 6 bulan, pemberian tadalafil dosis 5 mg menyebabkan penurunan skor rata-rata AUASI
dari 2,8 poin di 6 minggu dan 3,8 poin di 12 minggu. Efikasi mulai muncul pada minggu ke 4.
Efek samping yang umum biasanya bersifat sementara tetapi dapat juga muncul tertunda.
Terapi lainnya
Meskipun penggunaan suplemen herbal seperti saw palmetto (Serenoa repens) untuk
benign prostatic hyperplasia telah meningkat, data mengenai percobaan terhadap zat tersebut
tidak mendukung efikasi suplemen tersebut, dan penggunaannya tidak didukung oleh pedoman
AUA.
Untuk pria yang tidak tertarik terhadap terapi medis, yang merasa efek sampingnya tidak
dapat ditoleransi, atau yang tidak memiliki respon terhadap terapi medis, terdapat pilihan
intervensi bedah, seperti microwave thermotherapy atau reseksi transurethral dari prostat.
Penggunaan teknologi laser dan reseksi prostat transurethral bipolar, dibandingkan dengan
reseksi standar transurethral, dapat memberikan resiko efek samping yang lebih rendah, seperti
disfungsi ereksi
Areas of Uncertainty
Pemahaman yang lebih baik diperlukan dari modifikasi faktor risiko untuk perkembangan
dan kemajuan gejala saluran kemih bagian bawah. Data yang kurang dari percobaan randomized
trial untuk menilai manfaat dan risiko pada terapi kombinasi phosphodiesteraseinhibitor dengan
obat lain yang disetujui untuk gejala saluran kemih bagian bawah dan efek terapi ini pada
perbaikan gejala.
Kesimpulan
Pasien yang dijelaskan dalam contoh kasus memiliki benign prostatic hyperplasi dan
gejala saluran kemih bagian bawah dengan respon yang tidak memadai untuk dosis yang
submaksimal dari alpha-blocker. Rata-rata skor AUASI nya harus dihitung; dari riwayatnya
menunjukkan bahwa ia memiliki gejala menengah. Penanganan dimulai dengan meningkatkan
dosis doxazosin hingga 8 mg. Jika Gejala masih mengganggu, diberika sebuah 5α-reduktase
inhibitor dapat ditambahkan selama tingkat PSA lebih tinggi dari 1,5 ng per mililiter
(menunjukkan pembesaran prostat). Pilihan lain, terutama jika pasien juga memiliki disfungsi
ereksi, dapat diberikan phosphodiesterase-5 inhibitor (saat ini hanya tadalafil yang disetujui
untuk gejala ini),karena agen ini bisa mengatasi kedua masalah. Atau, agen antimuscarinic
mungkin dapat ditambahkan, mengingat data yang ada telah menunjukkan perbaikan gejala pada
gejala penyimpanan urin dengan kombinasi antimuskarinik dan terapi alpha-blocker
dibandingkan dengan monoterapi alpha-blocker.
Rujukan ke seorang ahli urologi direkomendasikan untuk kasus rumit atau untuk pasien
dengan gejala klinis saluran kemih yang responnya terhadap terapi dirasa tidak adekuat. Untuk
pasien yang tidak tertarik terapi, menunggu saja dianjurkan untuk memantau pasien pada
progresifitas gejala saluran kemih bagian bawah dan retensi urin.