BPH print.doc

58
Tutorial “Benigna Prostate Hyperplasia” Pembimbing : Dr. Gatot Sugiharto, Sp.B Di susun Oleh : Khusnul Khotimah 2010730057 KEPANITERAAN KLINIK STASE BEDAH 1

description

bedah

Transcript of BPH print.doc

Tutorial

“Benigna Prostate Hyperplasia”

Pembimbing :

Dr. Gatot Sugiharto, Sp.B

Di susun Oleh :

Khusnul Khotimah

2010730057

KEPANITERAAN KLINIK

STASE BEDAH

RUMAH SAKIT BADAN LAYANAN UMUM DAERAH SEKARWANGI

UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH JAKARTA

2015

1

BAB I

PENDAHULUAN

I.1 Latar Belakang

Pembesaran kelenjar prostat mempunyai angka morbiditas yang bermakna pada

populasi pria lanjut usia. Gejalanya merupakan keluhan yang umum dalam bidang bedah

urologi.

Hiperplasia prostat merupakan salah satu masalah kesehatan utama bagi pria

diatas usia 50 tahun dan berperan dalam penurunan kualitas hidup seseorang. Suatu

penelitian menyebutkan bahwa sepertiga dari pria berusia antara 50 dan 79 tahun

mengalami hiperplasia prostat.

Adanya hiperplasia ini akan menyebabkan terjadinya obstruksi saluran kemih

dan untuk mengatasi obstruksi ini dapat dilakukan dengan berbagai cara mulai dari

tindakan yang paling ringan yaitu secara konservatif (non operatif) sampai tindakan yang

paling berat yaitu operasi.

Saat ini terdapat pilihan tindakan non operatif seiring dengan kemajuan

teknologi dibidang urologi, sehingga merupakan suatu pilihan alternatif untuk penderita

muda, kegiatan seksual aktif, gangguan obstruksi ringan, high risk operasi dan pada

penderita yang menolak operasi.

I.2 Batasan Penulisan

Pada penulisan referat ini pembahasan masalah dititik beratkan pada terapi

konservatif non operatif pada penderita hiperplasia prostat.

I.3 Tujuan Penulisan

a. Mengetahui dan memahami tentang macam penatalaksanaan hiperplasia

prostat secara umum.

b. Mengetahui dan memahami macam terapi konservatif non operatif pada

penderita hiperplasia prostat.

2

c. Untuk memenuhi salah satu syarat mengikuti ujian akhir program pendidikan

profesi di bagian ilmu bedah RSUD PROF.Dr. Margono Soekarjo

Purwokerto.

3

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

II.1 Definisi

Benign Prostate Hyperplasia (BPH) sebenarnya adalah suatu keadaan dimana

kelenjar periuretral prostat mengalami hiperplasia yang akan mendesak jaringan prostat

yang asli ke perifer dan menjadi simpai bedah. 1,2

II.2 Anatomi

Prostat merupakan kelenjar berbentuk konus terbalik yang dilapisi oleh kapsul

fibromuskuler,yang terletak disebelah inferior vesika urinaria, mengelilingi bagian

proksimal uretra (uretra pars prostatika) dan berada disebelah anterior rektum. Bentuknya

sebesar buah kenari dengan berat normal pada orang dewasa kurang lebih 20 gram,

dengan jarak basis ke apex kurang lebih 3 cm, lebar yang paling jauh 4 cm dengan tebal

2,5 cm.12

Kelenjar prostat terbagi menjadi 5 lobus :

1. lobus medius

2. lobus lateralis (2 lobus)

3. lobus anterior

4. lobus posterior 8,12

Selama perkembangannya lobus medius, lobus anterior, lobus posterior akan

menjadi satu dan disebut lobus medius saja. Pada penampang, lobus medius kadang-

kadang tak tampak karena terlalu kecil dan lobus lain tampak homogen berwarna abu-

abu, dengan kista kecil berisi cairan seperti susu, kista ini disebut kelenjar prostat.8

Mc Neal (1976) membagi kelenjar prostat dalam beberapa zona, antara lain

adalah: zona perifer, zona sentral, zona transisional, zona fibromuskuler anterior, dan

zona periuretral. Sebagian besar hiperplasia prostat terdapat pada zona transisional yang

letaknya proximal dari spincter externus di kedua sisi dari verumontanum dan di zona

periuretral. Kedua zona tersebut hanya merupakan 2% dari seluruh volume prostat.

Sedangkan pertumbuhan karsinoma prostat berasal dari zona perifer.7,11

4

Prostat mempunyai kurang lebih 20 duktus yang bermuara dikanan dari

verumontanum dibagian posterior dari uretra pars prostatika. Disebelah depan didapatkan

ligamentum pubo prostatika, disebelah bawah ligamentum triangulare inferior dan

disebelah belakang didapatkan fascia denonvilliers.

Fascia denonvilliers terdiri dari 2 lembar, lembar depan melekat erat dengan

prostat dan vesika seminalis, sedangkan lembar belakang melekat secara longgar dengan

fascia pelvis dan memisahkan prostat dengan rektum.

Antara fascia endopelvic dan kapsul sebenarnya dari prostat didapatkan jaringan

peri prostat yang berisi pleksus prostatovesikal.8

Pada potongan melintang kelenjar prostat terdiri dari :

1. Kapsul anatomi

2. Jaringan stroma yang terdiri dari jaringan fibrosa dan jaringan muskuler

3. Jaringan kelenjar yang terbagi atas 3 kelompok bagian,

a. Bagian luar disebut kelenjar prostat sebenarnya.

b. Bagian tengah disebut kelenjar submukosa, lapisan ini disebut juga

sebagai adenomatous zone

c. Disekitar uretra disebut periurethral gland 12

Pada BPH kapsul pada prostat terdiri dari 3 lapis :

1. kapsul anatomis

2. kapsul chirurgicum, ini terjadi akibat terjepitnya kelenjar prostat yang

sebenarnya (outer zone) sehingga terbentuk kapsul

3. kapsul yang terbentuk dari jaringan fibromuskuler antara bagian dalam

(inner zone) dan bagian luar (outer zone) dari kelenjar prostat.12

BPH sering terjadi pada lobus lateralis dan lobus medialis karena mengandung

banyak jaringan kelenjar, tetapi tidak mengalami pembesaran pada bagian posterior

daripada lobus medius (lobus posterior) yang merupakan bagian tersering terjadinya

perkembangan suatu keganasan prostat. Sedangkan lobus anterior kurang mengalami

hiperplasi karena sedikit mengandung jaringan kelenjar.8,12

II.3 Epidemiologi

5

Hiperplasia prostat merupakan penyakit pada pria tua dan jarang ditemukan

sebelum usia 40 tahun. Prostat normal pada pria mengalami peningkatan ukuran yang

lambat dari lahir sampai pubertas, waktu itu ada peningkatan cepat dalam ukuran, yang

kontinyu sampai usia akhir 30-an. Pertengahan dasawarsa ke-5, prostat bisa mengalami

perubahan hiperplasi.4

Prevalensi yang pasti di Indonesia belum diketahui tetapi berdasarkan

kepustakaan luar negeri diperkirakan semenjak umur 50 tahun 20%-30% penderita akan

memerlukan pengobatan untuk prostat hiperplasia. Yang jelas prevalensi sangat

tergantung pada golongan umur. Sebenarnya perubahan-perubahan kearah terjadinya

pembesaran prostat sudah dimulai sejak dini, dimulai pada perubahan-perubahan

mikroskopoik yang kemudian bermanifestasi menjadi kelainan makroskopik (kelenjar

membesar) dan kemudian baru manifes dengan gejala klinik.7

Berdasarkan angka autopsi perubahan mikroskopik pada prostat sudah dapat

ditemukan pada usia 30 – 40 tahun. Bila perubahan mikroskopik ini terus berkembang

akan terjadi perubahan patologi anatomi. Pada pria usia 50 tahun angka kejadiannya

sekitar 50%, dan pada usia 80 tahun sekitar 80%. Sekitar 50% dari angka tersebut diatas

akan menyebabkan gejala dan tanda klinik.1

II.4 Etiologi

Hingga sekarang masih belum diketahui secara pasti penyebab terjadinya

hiperplasia prostat, tetapi beberapa hipotesis menyebutkan bahwa hiperplasia prostat erat

kaitannya dengan peningkatan kadar dehidrotestosteron (DHT) dan proses aging

(menjadi tua).11

Beberapa teori atau hipotesis yang diduga sebagai penyebab timbulnya

hiperplasia prostat adalah:

1. Teori Hormonal

Teori ini dibuktikan bahwa sebelum pubertas dilakukan kastrasi maka tidak terjadi

BPH, juga terjadinya regresi BPH bila dilakukan kastrasi. Selain androgen

(testosteron/DHT), estrogen juga berperan untuk terjadinya BPH. Dengan

bertambahnya usia akan terjadi perubahan keseimbangan hormonal, yaitu antara

hormon testosteron dan hormon estrogen, karena produksi testosteron menurun dan

6

terjadi konversi testosteron menjadi estrogen pada jaringan adiposa di perifer

dengan pertolongan enzim aromatase, dimana sifat estrogen ini akan merangsang

terjadinya hiperplasia pada stroma, sehingga timbul dugaan bahwa testosteron

diperlukan untuk inisiasi terjadinya proliferasi sel tetapi kemudian estrogenlah yang

berperan untuk perkembangan stroma. Kemungkinan lain ialah perubahan

konsentrasi relatif testosteron dan estrogen akan menyebabkan produksi dan

potensiasi faktor pertumbuhan lain yang dapat menyebabkan terjadinya pembesaran

prostat.

Dari berbagai percobaan dan penemuan klinis dapat diperoleh kesimpulan, bahwa

dalam keadaan normal hormon gonadotropin hipofise akan menyebabkan produksi

hormon androgen testis yang akan mengontrol pertumbuhan prostat. Dengan makin

bertambahnya usia, akan terjadi penurunan dari fungsi testikuler (spermatogenesis)

yang akan menyebabkan penurunan yang progresif dari sekresi androgen. Hal ini

mengakibatkan hormon gonadotropin akan sangat merangsang produksi hormon

estrogen oleh sel sertoli. Dilihat dari fungsional histologis, prostat terdiri dari dua

bagian yaitu sentral sekitar uretra yang bereaksi terhadap estrogen dan bagian

perifer yang tidak bereaksi terhadap estrogen.

2. Teori Growth Factor (faktor pertumbuhan)

Peranan dari growth factor ini sebagai pemacu pertumbuhan stroma kelenjar

prostat. Terdapat empat peptic growth factor yaitu; basic transforming growth

factor, transforming growth factor 1, transforming growth factor 2, dan

epidermal growth factor.

3. Teori Peningkatan Lama Hidup Sel-sel Prostat karena Berkuramgnya Sel yang

Mati

4. Teori Sel Stem (stem cell hypothesis)

Seperti pada organ lain, prostat dalam hal ini kelenjar periuretral pada seorang

dewasa berada dalam keadaan keseimbangan “steady state”, antara

pertumbuhan sel dan sel yang mati, keseimbangan ini disebabkan adanya kadar

7

testosteron tertentu dalam jaringan prostat yang dapat mempengaruhi sel stem

sehingga dapat berproliferasi. Pada keadaan tertentu jumlah sel stem ini dapat

bertambah sehingga terjadi proliferasi lebih cepat. Terjadinya proliferasi

abnormal sel stem sehingga menyebabkan produksi atau proliferasi sel stroma

dan sel epitel kelenjar periuretral prostat menjadi berlebihan.

5. Teori Dihydro Testosteron (DHT)

Testosteron yang dihasilkan oleh sel leydig pada testis (90%) dan sebagian dari

kelenjar adrenal (10%) masuk dalam peredaran darah dan 98% akan terikat oleh

globulin menjadi sex hormon binding globulin (SHBG). Sedang hanya 2%

dalam keadaan testosteron bebas. Testosteron bebas inilah yang bisa masuk ke

dalam “target cell” yaitu sel prostat melewati membran sel langsung masuk

kedalam sitoplasma, di dalam sel, testosteron direduksi oleh enzim 5 alpha

reductase menjadi 5 dyhidro testosteron yang kemudian bertemu dengan

reseptor sitoplasma menjadi “hormone receptor complex”. Kemudian “hormone

receptor complex” ini mengalami transformasi reseptor, menjadi “nuclear

receptor” yang masuk kedalam inti yang kemudian melekat pada chromatin dan

menyebabkan transkripsi m-RNA. RNA ini akan menyebabkan sintese protein

menyebabkan terjadinya pertumbuhan kelenjar prostat.

6. Teori Reawakening

Mc Neal tahun 1978 menulis bahwa lesi pertama bukan pembesaran stroma

pada kelenjar periuretral (zone transisi) melainkan suatu mekanisme “glandular

budding” kemudian bercabang yang menyebabkan timbulnya alveoli pada zona

preprostatik. Persamaan epiteleal budding dan “glandular morphogenesis” yang

terjadi pada embrio dengan perkembangan prostat ini, menimbulkan perkiraan

adanya “reawakening” yaitu jaringan kembali seperti perkembangan pada masa

tingkat embriologik, sehingga jaringan periuretral dapat tumbuh lebih cepat dari

jaringan sekitarnya, sehingga teori ini terkenal dengan nama teori reawakening

of embryonic induction potential of prostatic stroma during adult hood.

8

Selain teori-teori di atas masih banyak lagi teori yang menerangkan tentang

penyebab terjadinya BPH seperti; teori tumor jinak, teori rasial dan faktor

sosial, teori infeksi dari zat-zat yang belum diketahui, teori yang berhubungan

dengan aktifitas hubungan seks, teori peningkatan kolesterol, dan Zn yang

kesemuanya tersebut masih belum jelas hubungan sebab-akibatnya.3,7,8,12

II.5 Patofisiologi

Pembesaran prostat menyebabkan penyempitan lumen uretra pars prostatika dan

akan menghambat aliran urine. Keadaan ini menyebabkan peningkatan tekanan

intravesikal. Untuk dapat mengeluarkan urin, buli-buli harus berkontraksi lebih kuat guna

melawan tahanan itu. Kontraksi yang terus-menerus ini menyebabkan perubahan

anatomik dari buli-buli berupa hipertrofi otot detrusor, trabekulasi, terbentuknya selula,

sakula, dan divertikel buli-buli. Fase penebalan otot detrusor ini disebut fase

kompensasi.

Perubahan struktur pada buli-buli dirasakan oleh pasien sebagai keluhan pada

saluran kemih sebelah bawah atau lower urinary tract symptom (LUTS) yang dahulu

dikenal dengan gejala-gejala prostatismus.

Dengan semakin meningkatnya resistensi uretra, otot detrusor masuk ke dalam

fase dekompensasi dan akhirnya tidak mampu lagi untuk berkontraksi sehingga terjadi

retensi urin. Tekanan intravesikal yang semakin tinggi akan diteruskan ke seluruh bagian

buli-buli tidak terkecuali pada kedua muara ureter. Tekanan pada kedua muara ureter ini

dapat menimbulkan aliran balik urin dari buli-buli ke ureter atau terjadi refluks vesico-

ureter. Keadaan ini jika berlangsung terus akan mengakibatkan hidroureter, hidronefrosis,

bahkan akhirnya dapat jatuh ke dalam gagal ginjal.2,11

Pada BPH terdapat dua komponen yang berpengaruh untuk terjadinya gejala

yaitu komponen mekanik dan komponen dinamik. Komponen mekanik ini berhubungan

dengan adanya pembesaran kelenjar periuretra yang akan mendesak uretra pars prostatika

sehingga terjadi gangguan aliran urine (obstruksi infra vesikal) sedangkan komponen

dinamik meliputi tonus otot polos prostat dan kapsulnya, yang merupakan alpha

adrenergik reseptor. Stimulasi pada alpha adrenergik reseptor akan menghasilkan

kontraksi otot polos prostat ataupun kenaikan tonus. Komponen dinamik ini tergantung

9

dari stimulasi syaraf simpatis, yang juga tergantung dari beratnya obstruksi oleh

komponen mekanik.8

II.6 Gambaran Klinis

II.6.1 Gejala

Gejala hiperplasia prostat menurut Boyarsky dkk pada tahun 1977 dibagi atas

gejala obstruktif dan gejala iritatif.

Gejala obstruktif disebabkan oleh karena penyempitan uretara pars prostatika

karena didesak oleh prostat yang membesar dan kegagalan otot detrusor untuk

berkontraksi cukup kuat dan atau cukup lama saehingga kontraksi terputus-putus.

Gejalanya ialah :

1. Harus menunggu pada permulaan miksi (Hesistency)

2. Pancaran miksi yang lemah (Poor stream)

3. Miksi terputus (Intermittency)

4. Menetes pada akhir miksi (Terminal dribbling)

5. Rasa belum puas sehabis miksi (Sensation of incomplete bladder emptying).2,3

Manifestasi klinis berupa obstruksi pada penderita hipeplasia prostat masih

tergantung tiga faktor yaitu :

1. Volume kelenjar periuretral

2. Elastisitas leher vesika, otot polos prostat dan kapsul prostat

3. Kekuatan kontraksi otot detrusor

Tidak semua prostat yang membesar akan menimbulkan gejala obstruksi,

sehingga meskipun volume kelenjar periuretal sudah membesar dan elastisitas leher

vesika, otot polos prostat dan kapsul prostat menurun, tetapi apabila masih dikompensasi

dengan kenaikan daya kontraksi otot detrusor maka gejala obstruksi belum dirasakan.7

Pemeriksaan derajat beratnya obstruksi prostat dapat diperkirakan dengan cara

mengukur :

a. Residual urine yaitu jumlah sisa urin setelah penderita miksi spontan. Sisa urin

ini dapat dihitung dengan pengukuran langsung yaitu dengan cara melakukan

kateterisasi setelah miksi spontan atau ditentukan dengan pemeriksaan

ultrasonografi setelah miksi, dapat pula dilakukan dengan membuat foto post

10

voiding pada waktu membuat IVP. Pada orang normal sisa urin biasanya

kosong, sedang pada retensi urin total sisa urin dapat melebihi kapasitas normal

vesika. Sisa urin lebih dari 100 cc biasanya dianggap sebagai batas indikasi

untuk melakukan intervensi pada penderita prostat hipertrofi.

b. Pancaran urin atau flow rate dapat dihitung secara sederhana yaitu dengan

menghitung jumlah urin dibagi dengan lamanya miksi berlangsung (ml/detik)

atau dengan alat uroflowmetri yang menyajikan gambaran grafik pancaran urin.

Untuk dapat melakukan pemeriksaan uroflow dengan baik diperlukan jumlah

urin minimal di dalam vesika 125 sampai 150 ml. Angka normal untuk flow

rata-rata (average flow rate) 10 sampai 12 ml/detik dan flow maksimal sampai

sekitar 20 ml/detik. Pada obstruksi ringan flow rate dapat menurun sampai

average flow antara 6-8 ml/detik, sedang maksimal flow menjadi 15 mm/detik

atau kurang. Dengan pengukuran flow rate tidak dapat dibedakan antara

kelemahan detrusor dengan obstruksi infravesikal.

Obstruksi uretra menyebabkan bendungan saluran kemih sehingga mengganggu

faal ginjal karena hidronefrosis, menyebabkan infeksi dan urolithiasis. Tindakan untuk

menentukan diagnosis penyebab obstruksi maupun menentukan kemungkinan penyulit

harus dilakukan secara teratur.1,3,11

Gejala iritatif disebabkan oleh karena pengosongan vesica urinaris yang tidak

sempurna pada saat miksi atau disebabkan oleh karena hipersensitifitas otot detrusor

karena pembesaran prostat menyebabkan rangsangan pada vesica, sehingga vesica sering

berkontraksi meskipun belum penuh., gejalanya ialah :

1. Bertambahnya frekuensi miksi (Frequency)

2. Nokturia

3. Miksi sulit ditahan (Urgency)

4. Disuria (Nyeri pada waktu miksi) (P/UI)

Gejala-gejala tersebut diatas sering disebut sindroma prostatismus. Secara klinis

derajat berat gejala prostatismus itu dibagi menjadi :

Grade I : Gejala prostatismus + sisa kencing < 50 ml

Grade II : Gejala prostatismus + sisa kencing > 50 ml

11

Grade III : Retensi urin dengan sudah ada gangguan saluran kemih bagian atas +

sisa urin > 150 ml 7

Derajat berat gejala klinik prostat hiperplasia ini dipakai untuk menentukan

derajat berat keluhan subyektif, yang ternyata tidak selalu sesuai dengan besarnya volume

prostat. Gejala iritatif yang sering dijumpai ialah bertambahnya frekuensi miksi yang

biasanya lebih dirasakan pada malam hari. Sering miksi pada malam hari disebut

nocturia, hal ini disebabkan oleh menurunnya hambatan kortikal selama tidur dan juga

menurunnya tonus spingter dan uretra. Simptom obstruksi biasanya lebih disebabkan oleh

karena prostat dengan volume besar. Apabila vesica menjadi dekompensasi maka akan

terjadi retensi urin sehingga pada akhir miksi masih ditemukan sisa urin didalam vesica,

hal ini menyebabkan rasa tidak bebas pada akhir miksi. Jika keadaan ini berlanjut pada

suatu saat akan terjadi kemacetan total, sehingga penderita tidak mampu lagi miksi. Oleh

karena produksi urin akan terus terjadi maka pada suatu saat vesica tidak mampu lagi

menampung urin sehingga tekanan intravesica akan naik terus dan apabila tekanan vesica

menjadi lebih tinggi daripada tekanan spingter akan terjadi inkontinensia paradoks (over

flow incontinence). Retensi kronik dapat menyebabkan terjadinya refluk vesico uretra

dan meyebabkan dilatasi ureter dan sistem pelviokalises ginjal dan akibat tekanan

intravesical yang diteruskam ke ureter dari ginjal maka ginjal akan rusak dan terjadi

gagal ginjal. Proses kerusakan ginjal dapat dipercepat bila ada infeksi. Disamping

kerusakan tractus urinarius bagian atas akibat dari obstruksi kronik penderita harus selalu

mengedan pada waktu miksi, maka tekanan intra abdomen dapat menjadi meningkat dan

lama kelamaan akan menyebabkan terjadinya hernia, hemoroid. Oleh karena selalu

terdapat sisa urin dalam vesica maka dapat terbentuk batu endapan didalam vesica dan

batu ini dapat menambah keluhan iritasi dan menimbulkan hematuri. Disamping

pembentukan batu, retensi kronik dapat pula menyebabkan terjadinya infeksi sehingga

terjadi systitis dan apabila terjadi refluk dapat terjadi juga pielonefritis.3

II.6.2 Tanda

a. Pemeriksaan fisik

Pemeriksaan colok dubur atau Digital Rectal Eamination (DRE) sangat penting.

Pemeriksaan colok dubur dapat memberikan gambaran tentang keadaan tonus

spingter ani, reflek bulbo cavernosus, mukosa rektum, adanya kelainan lain

12

seperti benjolan pada di dalam rektum dan tentu saja teraba prostat. Pada

perabaan prostat harus diperhatikan :

a. Konsistensi prostat (pada hiperplasia prostat konsistensinya kenyal)

b. Adakah asimetris

c. Adakah nodul pada prostate

d. Apakah batas atas dapat diraba

e. Sulcus medianus prostate

f. Adakah krepitasi

Colok dubur pada hiperplasia prostat menunjukkan konsistensi prostat kenyal

seperti meraba ujung hidung, lobus kanan dan kiri simetris dan tidak didapatkan nodul.

Sedangkan pada carcinoma prostat, konsistensi prostat keras dan atau teraba nodul dan

diantara lobus prostat tidak simetris. Sedangkan pada batu prostat akan teraba krepitasi.

Pemeriksaan fisik apabila sudah terjadi kelainan pada traktus urinaria bagian

atas kadang-kadang ginjal dapat teraba dan apabila sudah terjadi pnielonefritis akan

disertai sakit pinggang dan nyeri ketok pada pinggang. Vesica urinaria dapat teraba

apabila sudah terjadi retensi total, daerah inguinal harus mulai diperhatikan untuk

mengetahui adanya hernia. Genitalia eksterna harus pula diperiksa untuk melihat adanya

kemungkinan sebab yang lain yang dapat menyebabkan gangguan miksi seperti batu di

fossa navikularis atau uretra anterior, fibrosis daerah uretra, fimosis, condiloma di daerah

meatus.

Pada pemeriksaan abdomen ditemukan kandung kencing yang terisi penuh dan

teraba masa kistus di daerah supra simfisis akibat retensio urin dan kadang terdapat nyeri

tekan supra simfisis.

2. Pemeriksaan laboratorium

a. Darah : - Ureum dan Kreatinin

- Elektrolit

- Blood urea nitrogen

- Prostate Specific Antigen (PSA)

- Gula darah

b. Urin : - Kultur urin + sensitifitas test

- Urinalisis dan pemeriksaan mikroskopik

13

- Sedimen

3. Pemeriksaan pencitraan

a. Foto polos abdomen (BNO)

Dari sini dapat diperoleh keterangan mengenai penyakit ikutan misalnya batu

saluran kemih, hidronefrosis, atau divertikel kandung kemih juga dapat untuk

menghetahui adanya metastasis ke tulang dari carsinoma prostat.

b. Pielografi Intravena (IVP)

- pembesaran prostat dapat dilihat sebagai lesi defek isian kontras (filling

defect/indentasi prostat) pada dasar kandung kemih atau ujung distal ureter

membelok keatas berbentuk seperti mata kail (hooked fish).

- mengetahui adanya kelainan pada ginjal maupun ureter berupa hidroureter

ataupun hidronefrosis serta penyulit yang terjadi pada buli – buli yaitu adanya

trabekulasi, divertikel atau sakulasi buli – buli.

- foto setelah miksi dapat dilihat adanya residu urin

c. Sistogram retrograd

Apabila penderita sudah dipasang kateter oleh karena retensi urin, maka sistogram

retrograd dapat pula memberi gambaran indentasi.

d. Transrektal Ultrasonografi (TRUS)

- deteksi pembesaran prostat

- mengukur volume residu urin

e. MRI atau CT jarang dilakukan

Digunakan untuk melihat pembesaran prostat dan dengan bermacam – macam

potongan.

4. Pemeriksaan lain

a. Uroflowmetri

Untuk mengukur laju pancaran urin miksi. Laju pancaran urin ditentukan oleh :

- daya kontraksi otot detrusor

- tekanan intravesica

- resistensi uretra

Angka normal laju pancaran urin ialah 12 ml/detik dengan puncak laju pancaran

mendekati 20 ml/detik. Pada obstruksi ringan, laju pancaran melemah menjadi 6 –

14

8 ml/detik dengan puncaknya sekitar 11 – 15 ml/detik. Semakin berat derajat

obstruksi semakin lemah pancaran urin yang dihasilkan.

b. Pemeriksaan Tekanan Pancaran (Pressure Flow Studies)

Pancaran urin melemah yang diperoleh atas dasar pemeriksaan uroflowmetri tidak

dapat membedakan apakah penyebabnya adalah obstruksi atau daya kontraksi otot

detrusor yang melemah. Untuk membedakan kedua hal tersebut dilakukan

pemeriksaan tekanan pancaran dengan menggunakan Abrams-Griffiths

Nomogram. Dengan cara ini maka sekaligus tekanan intravesica dan laju

pancaran urin dapat diukur.

c. Pemeriksaan Volume Residu Urin

Volume residu urin setelah miksi spontan dapat ditentukan dengan cara sangat

sederhana dengan memasang kateter uretra dan mengukur berapa volume urin

yang masih tinggal. Pemeriksaan sisa urin dapat juga diperiksa (meskipun kurang

akurat) dengan membuat foto post voiding atau USG.1,2,3,7,8

II.7 Diagnosis

Diagnosis hiperplasia prostat dapat ditegakkan melalui :

1. Anamnesis : gejala obstruktif dan gejala iritatif

2. Pemeriksaan fisik : terutama colok dubur ; hiperplasia prostat teraba sebagai

prostat yang membesar, konsistensi kenyal, permukaan rata, asimetri dan

menonjol ke dalam rektum. Semakin berat derajat hiperplasia prostat batas atas

semakin sulit untuk diraba.

3. Pemeriksaan laboratorium : berperan dalam menentukan ada tidaknya

komplikasi.

4. Pemeriksaan pencitraan :

Pada pielografi intravena terlihat adanya lesi defek isian kontras pada dasar

kandung kemih atau ujung distal ureter membelok ke atas berbentuk seperti

mata kail. Dengan trans rectal ultra sonography (TRUS), dapat terlihat prostat

yang membesar.

5. Uroflowmetri : tampak laju pancaran urin berkurang.

15

6. Mengukur volume residu urin : Pada hiperplasi prostat terdapat volume residu

urin yang meningkat sesuai dengan beratnya obstruksi (lebih dari 150 ml

dianggap sebagai batas indikasi untuk melakukan intervensi).2

II.8 Diagnosis Banding

1. Kelemahan detrusor kandung kemih

a. kelainan medula spinalis

b. neuropatia diabetes mellitus

c. pasca bedah radikal di pelvis

d. farmakologik

2. Kandung kemih neuropati, disebabkan oleh :

a. kelainan neurologik

b. neuropati perifer

c. diabetes mellitus

d. alkoholisme

e. farmakologik (obat penenang, penghambat alfa dan parasimpatolitik)

3. Obstruksi fungsional :

a. dis-sinergi detrusor-sfingter terganggunya koordinasi antara kontraksi

detrusor dengan relaksasi sfingter

b. ketidakstabilan detrusor

4. Kekakuan leher kandung kemih :

a. fibrosis

5. Resistensi uretra yang meningkat disebabkan oleh :

a. hiperplasia prostat jinak atau ganas

b. kelainan yang menyumbatkan uretra

c. uretralitiasis

d. uretritis akut atau kronik

e. striktur uretra

6. Prostatitis akut atau kronis 1,2

II.9 Kriteria Pembesaran Prostat

16

Untuk menentukan kriteria prostat yang membesar dapat dilakukan dengan

beberapa cara, diantaranya adalah :

1. Rektal grading

Berdasarkan penonjolan prostat ke dalam rektum :

- derajat 1 : penonjolan 0-1 cm ke dalam rektum

- derajat 2 : penonjolan 1-2 cm ke dalam rektum

- derajat 3 : penonjolan 2-3 cm ke dalam rektum

- derajat 4 : penonjolan > 3 cm ke dalam rektum

2. Berdasarkan jumlah residual urine

- derajat 1 : < 50 ml

- derajat 2 : 50-100 ml

- derajat 3 : >100 ml

- derajat 4 : retensi urin total

3. Intra vesikal grading

- derajat 1 : prostat menonjol pada bladder inlet

- derajat 2 : prostat menonjol diantara bladder inlet dengan muara ureter

- derajat 3 : prostat menonjol sampai muara ureter

- derajat 4 : prostat menonjol melewati muara ureter

4. Berdasarkan pembesaran kedua lobus lateralis yang terlihat pada uretroskopi :

- derajat 1 : kissing 1 cm

- derajat 2 : kissing 2 cm

- derajat 3 : kissing 3 cm

- derajat 4 : kissing >3 cm 8

II.10 Komplikasi

Dilihat dari sudut pandang perjalanan penyakitnya, hiperplasia prostat dapat

menimbulkan komplikasi sebagai berikut :

1. Inkontinensia Paradoks

2. Batu Kandung Kemih

3. Hematuria

4. Sistitis

17

5. Pielonefritis

6. Retensi Urin Akut Atau Kronik

7. Refluks Vesiko-Ureter

8. Hidroureter

9. Hidronefrosis

10. Gagal Ginjal 2

II.11 Penatalaksanaan

Hiperplasi prostat yang telah memberikan keluhan klinik biasanya akan

menyebabkan penderita datang kepada dokter. Derajat berat gejala klinik dibagi menjadi

empat gradasi berdasarkan penemuan pada colok dubur dan sisa volume urin. Derajat

satu, apabila ditemukan keluhan prostatismus, pada colok dubur ditemukan penonjolan

prostat, batas atas mudah diraba dan sisa urin kurang dari 50 ml. Derajat dua, apabila

ditemukan tanda dan gejala sama seperti pada derajat satu, prostat lebih menonjol, batas

atas masih dapat teraba dan sisa urin lebih dari 50 ml tetapi kurang dari 100 ml. Derajat

tiga, seperti derajat dua, hanya batas atas prostat tidak teraba lagi dan sisa urin lebih dari

100 ml, sedangkan derajat empat, apabila sudah terjadi retensi urin total. Organisasi

kesehatan dunia (WHO) menganjurkan klasifikasi untuk menentukan berat gangguan

miksi yang disebut WHO PSS (WHO prostate symptom score). Skor ini berdasarkan

jawaban penderita atas delapan pertanyaan mengenai miksi. Terapi non bedah dianjurkan

bila WHO PSS tetap dibawah 15. Untuk itu dianjurkan melakukan kontrol dengan

menentukan WHO PSS. Terapi bedah dianjurkan bila WHO PSS 25 ke atas atau bila

timbul obstruksi.1,2

Di dalam praktek pembagian derajat beratnya hiperplasia prostat derajat I-IV

digunakan untuk menentukan cara penanganan. Pada penderita dengan derajat satu

biasanya belum memerlukan tindakan operatif, melainkan dapat diberikan pengobatan

secara konservatif. Pada penderita dengan derajat dua sebenarnya sudah ada indikasi

untuk melakukan intervensi operatif, dan yang sampai sekarang masih dianggap sebagai

cara terpilih ialah trans uretral resection (TUR). Kadang-kadang derajat dua penderita

masih belum mau dilakukan operasi, dalam keadaan seperti ini masih bisa dicoba dengan

pengobatan konservatif. Pada derajat tiga, TUR masih dapat dikerjakan oleh ahli urologi

18

yang cukup berpengalaman melakukan TUR oleh karena biasanya pada derajat tiga ini

besar prostat sudah lebih dari 60 gram. Apabila diperkirakan prostat sudah cukup besar

sehingga reseksi tidak akan selesai dalam satu jam maka sebaiknya dilakukan operasi

terbuka. Pada hiperplasia prostat derajat empat tindakan pertama yang harus segera

dikerjakan ialah membebaskan penderita dari retensi urin total, dengan jalan memasang

kateter atau memasang sistostomi setelah itu baru dilakukan pemeriksaan lebih lanjut

untuk melengkapi diagnostik, kemudian terapi definitif dapat dengan TUR P atau operasi

terbuka.1,2

Terapi sedini mungkin sangat dianjurkan untuk mengurangi gejala,

meningkatkan kualitas hidup dan menghindari komplikasi akibat obstruksi yang

berkepanjangan. Tindakan bedah masih merupakan terapi utama untuk hiperplasia prostat

(lebih dari 90% kasus). Meskipun demikian pada dekade terakhir dikembangkan pula

beberapa terapi non-bedah yang mempunyai keunggulan kurang invasif dibandingkan

dengan terapi bedah. Mengingat gejala klinik hiperplasia prostat disebabkan oleh 3 faktor

yaitu pembesaran kelenjar periuretral, menurunnya elastisitas leher vesika, dan

berkurangnya kekuatan detrusor, maka pengobatan gejala klinik ditujukan untuk :

1. Menghilangkan atau mengurangi volume prostat

2. Mengurangi tonus leher vesika, otot polos prostat dan kapsul prostat

3. Melebarkan uretra pars prostatika, menambah kekuatan detrusor 2,7

Terdapat beberapa pilihan tindakan terapi didalam penatalaksanaan hiperplasia

prostat benigna yang dapat dibagi kedalam 4 macam golongan tindakan, yaitu :

1. Observasi (Watchful waiting)

2. Medikamentosa

a. Penghambat adrenergik

b. Fitoterapi

c. Hormonal

3. Operatif

a. Prostatektomi terbuka

- Retropubic infravesika (Terence millin)

- Suprapubic transvesica/TVP (Freyer)

- Transperineal

19

b. Endourologi

- Trans urethral resection (TUR)

- Trans urethral incision of prostate (TUIP)

- Pembedahan dengan laser (Laser Prostatectomy)

Trans urethral ultrasound guided laser induced prostatectomy (TULIP)

Trans urethral evaporation of prostate (TUEP)

Teknik koagulasi

4. Invasif minimal

- Trans urethral microwave thermotherapy (TUMT)

- Trans urethral ballon dilatation (TUBD)

- Trans urethral needle ablation (TUNA)

- Stent urethra dengan prostacath 11

Tujuan terapi pada pasien hiperplasia prostat adalah menghilangkan obstruksi

pada leher buli-buli. Hal ini dapat dicapai dengan cara medikamentosa, pembedahan, atau

tindakan endourologi yang kurang invasif. Mengenai penatalaksanaan konservatif non

operatif akan dibahas pada bab tersendiri, pada bab ini hanya akan dibahas tentang

penatalaksanaan secara operatif saja yang terbagi dalam prostatektomi terbuka dan

prostatektomi endourologi.

1. Prostatektomi terbuka

a. Retropubic infravesica (Terence Millin)

Keuntungan :

- Tidak ada indikasi absolut, baik untuk adenoma yang besar pada

subservikal

- Mortaliti rate rendah

- Langsung melihat fossa prostat

- Dapat untuk memperbaiki segala jenis obstruksi leher buli

- Perdarahan lebih mudah dirawat

- Tanpa membuka vesika sehingga pemasangan kateter tidak perlu selama

bila membuka vesika

Kerugian :

- Dapat memotong pleksus santorini

20

- Mudah berdarah

- Dapat terjadi osteitis pubis

- Tidak bisa untuk BPH dengan penyulit intravesikal

- Tidak dapat dipakai kalau diperlukan tindakan lain yang harus dikerjakan

dari dalam vesika

Komplikasi :

- Perdarahan

- Infeksi

- Osteitis pubis

- Trombosis

b. Suprapubic Transvesica/TVP (Freeyer)

Keuntungan :

- Baik untuk kelenjar besar

- Banyak dikerjakan untuk semua jenis pembesaran prostat

- Operasi banyak dipergunakan pada hiperplasia prostat dengan penyulit :

1. Batu buli

2. Batu ureter distal

3. Divertikel

4. Uretrokel

5. Adanya sistsostomi

6. Retropubik sulit karena kelainan os pubis

- Kerusakan spingter eksterna minimal

Kerugian :

- Memerlukan pemakain kateter lebih lama sampai luka pada dinding vesica

sembuh

- Sulit pada orang gemuk

- Sulit untuk kontrol perdarahan

- Merusak mukosa kulit

- Mortality rate 1 -5 %

Komplikasi :

- Striktura post operasi (uretra anterior 2 – 5 %, bladder neck stenosis 4%)

21

- Inkontinensia (<1%)

- Perdarahan

- Epididimo orchitis

- Recurent (10 – 20%)

- Carcinoma

- Ejakulasi retrograde

- Impotensi

- Fimosis

- Deep venous trombosis

c. Transperineal

Keuntungan :

- Dapat langssung pada fossa prostat

- Pembuluh darah tampak lebih jelas

- Mudah untuk pinggul sempit

- Langsung biopsi untuk karsinoma

Kerugian :

- Impotensi

- Inkontinensia

- Bisa terkena rektum

- Perdarahan hebat

- Merusak diagframa urogenital

2 Prostatektomi Endourologi

a. Trans urethral resection (TUR)

Yaitu reseksi endoskopik malalui uretra. Jaringan yang direseksi hampir

seluruhnya terdiri dari jaringan kelenjar sentralis. Jaringan perifer

ditinggalkan bersama kapsulnya. Metode ini cukup aman, efektif dan berhasil

guna, bisa terjadi ejakulasi retrograd dan pada sebagaian kecil dapat

mengalami impotensi. Hasil terbaik diperoleh pasien yang sungguh

membutuhkan tindakan bedah. Untuk keperluan tersebut, evaluasi urodinamik

sangat berguna untuk membedakan pasien dengan obstruksi dari pasien non-

22

obstruksi. Evaluasi ini berperan selektif dalam penentuan perlu tidaknya

dilakukan TUR. Suatu penelitian menyebutkan bahwa hasil obyektif TUR

meningkat dari 72% menjadi 88% dengan mengikutsertakan evaluasi

urodinamik pada penilaian pra-bedah dari 152 pasien. Mortalitas TUR sekitar

1% dan morbiditas sekitar 8%.

Saat ini tindakan TUR P merupakan tindakan operasi paling banyak

dikerjakan di seluruh dunia. Reseksi kelenjar prostat dilakukan trans-uretra

dengan mempergunakan cairan irigan (pembilas) agar supaya daerah yang

akan direseksi tetap terang dan tidak tertutup oleh darah. Cairan yang

dipergunakan adalah berupa larutan non ionik, yang dimaksudkan agar tidak

terjadi hantaran listrik pada saat operasi. Cairan yang sering dipakai dan

harganya cukup murah adalah H2O steril (aquades).

Salah satu kerugian dari aquades adalah sifatnya yang hipotonik sehingga

cairan ini dapat masuk ke sirkulasi sistemik melalui pembuluh darah vena

yang terbuka pada saat reseksi. Kelebihan air dapat menyebabkan terjadinya

hiponatremia relatif atau gejala intoksikasi air atau dikenal dengan sindroma

TUR P. Sindroma ini ditandai dengan pasien yang mulai gelisah, kesadaran

somnolen, tekanan darah meningkat, dan terdapat bradikardi.

Jika tidak segera diatasi, pasien akan mengalami edema otak yang akhirnya

jatuh dalam keadaan koma dan meninggal. Angka mortalitas sindroma TUR P

ini adalah sebesar 0,99%. Karena itu untuk mengurangi timbulnya sindroma

TUR P dipakai cairan non ionik yang lain tetapi harganya lebih mahal

daripada aquades, antara lain adalah cairan glisin , membatasi jangka waktu

operasi tidak melebihi 1 jam, dan memasang sistostomi suprapubik untuk

mengurangi tekanan air pada buli-buli selama reseksi prostat.

Keuntungan :

- Luka incisi tidak ada

- Lama perawatan lebih pendek

- Morbiditas dan mortalitas rendah

- Prostat fibrous mudah diangkat

- Perdarahan mudah dilihat dan dikontrol

23

Kerugian :

- Tehnik sulit

- Resiko merusak uretra

- Intoksikasi cairan

- Trauma spingter eksterna dan trigonum

- Tidak dianjurkan untuk BPH yang besar

- Alat mahal

- Ketrampilan khusus

b. Trans Urethral Incision of Prostate (TUIP)

Metode ini di indikasikan untuk pasien dengan gejala obstruktif, tetapi ukuran

prostatnya mendekati normal. Pada hiperplasia prostat yang tidak begitu besar

dan pada pasien yang umurnya masih muda umumnya dilakukan metode

tersebut atau incisi leher buli-buli atau bladder neck incision (BNI) pada jam 5

dan 7. Terapi ini juga dilakukan secara endoskopik yaitu dengan menyayat

memakai alat seperti yangg dipakai pada TUR P tetapi memakai alat

pemotong yang menyerupai alat penggaruk, sayatan dimulai dari dekat muara

ureter sampai dekat ke verumontanum dan harus cukup dalam sampai tampak

kapsul prostat. Kelebihan dari metode ini adalah lebih cepat daripada TUR

dan menurunnya kejadian ejakulasi retrograde dibandingkan dengan cara

TUR.

c. Pembedahan dengan laser (Laser prostatectomy)

Oleh karena cara operatif (operasi terbuka atau TUR P) untuk mengangkat

prostat yang membesar merupakan operasi yang berdarah, sedang pengobatan

dengan TUMT dan TURF belum dapat memberikan hasil yang sebaik dengan

operasi maka dicoba cara operasi yang dapat dilakukan hampir tanpa

perdarahan.

Penggunaan laser untuk operasi prostat pertamakali diusulkan oleh Sander

(1984). Untuk mengobati ca prostat yang masih lokal dengan memakai Nd

YAG (Neodymium, Yttrium Aluminium Garnet) Solid state Nd YAG ini

pertamakali diperkenalkan tahun 1964 tapi baru tahun 1975 baru dicoba

dibidang urologi untuk mengablasi tumor buli superficial (Hoffstetter). Pc

24

Phee menulis mengenai penggunaan YAG laser untuk photo irradiasi

segmental pada mukosa buli.

YAG laser ini mempunyai panjang gelombang yang cocok untuk pengobatan

prostat oleh karena mempunyai daya penetrasi yang cukup dalam. Mula-mula

laser untuk prostat ini hanya dipakai untuk pengobatan tambahan setelah TUR

P pada ca prostat, yang biasanya diberikan 3 minggu setelah TUR P

(Shanberg 1985, Mc Nicholas 1990).

Kemudian Shenberg mengajukan pemakaian Nd YAG ini untuk melaser

prostat pada penderita yang tidak dapat mentoleransi perdarahan apabila

dilakukan TUR. Roth dan Aretz (1991) menjadi pelopor penggunaan laser

Transuretral Ultrasound Guided Laser Induced Prostatectomy (TULIP), yang

dibimbing dengan pemakaian USG untuk dapat menembak prostat yang

disempurnakan dengan menggunakan alat pembelok (deflektor) sinar laser

dengan sudut 90 derajat sehingga sinar laser dapat diarahkan ke arah kelenjar

prostat yang membesar.

Nd YAG mempunyai panjang gelombang 1064 nm sehingga gelombang ini

tidak banyak diserap oleh air seperti laser CO2 dan mempunyai sifat

divergensi tetapi masih mempunyai daya penetrasi yang cukup dalam. Apabila

laser Nd YAG ini mengenai jaringan prostat energinya akan berubah menjadi

energi termal yang dapat menguapkan jaringan dengan Nd YAG tanpa kontak

dengan jaringan mempunyai efek laser maksimal pada kedalaman 3mm

dibawa mukosa dan efek termal dapat mencapai 100C sehingga pada

kekuatan 40 – 60 watts akan menyebabkan koagulasi pada kedalaman 3mm

sehingga akan terjadi letusan kecil yang disebut “pop corn effect”. Nd YAG

ini aman untuk pengobatan prostat oleh karena pembuluh darah yang agak

besar dan pembuluh darah pada kapsul prostat akan menjadi penahan panas

(heat sink) sehingga tidak akan terjadi penjalaran panas keluar dari prostat.

Tahun 1989 Johnson menemukan alat pembelok Nd YAG sehingga sinar laser

tersebut dapat dibelokkan 90 dengan menggunakan pembelok dari emas yang

ditempelkan diujung serat laser, sehingga sinar laser dapat diarahkan ke

jaringan prostat dari dalam uretra. Dengan alat pembelok ini 92% dari energi

25

laser masih dapat mencapai jaringan preostat. Costello (1992) mempelopori

penggunaan laser ini utnuk ablasi pembesaran prostat jinak menggunakan

laser yang dibelokkan 90 melalui sistoskopi.

Waktu yang diperlukan untuk melaser prostat biasanya sekitar 2-4 menit

untuk masing-masing lobus prostat (lobus lateralis kanan, kiri dan medius).

Pada waktu ablasi akan ditemukan pop corn effect sehingga tampak melalui

sistoskop terjadi ablasi pada permukaan prostat, sehingga uretra pars

prostatika akan segera akan menjadi lebih lebar, yang kemudian masih akan

diikuti efek ablasi ikutan yang kan menyebabkan “laser nekrosis” lebih dalam

setelah 4-24 minggu sehingga hasil akhir nanti akan terjadi rongga didalam

prostat menyerupai rongga yang terjadi sehabis TUR.

Keuntungan bedah laser ialah :

1. Tidak menyebabkan perdarahan sehingga tidak mungkin terjadi retensi

akibat bekuan darah dan tidak memerlukan transfusi

2. Teknik lebih sederhana

3. Waktu operasi lebih cepat

4. Lama tinggal di rumah sakit lebih singkat

5. Tidak memerlukan terapi antikoagulan

6. Resiko impotensi tidak ada

7. Resiko ejakulasi retrograd minimal

Kerugian :

Penggunaan laser ini masih memerlukan anestesi (regional) 1,2,3,7,8,11

BAB III

26

TERAPI KONSERVATIF NON OPERATIF

Sampai dengan tahun 1980-an kasus-kasus BPH selalu diatasi dengan operasi.

Didorong oleh faktor biaya dan morbiditas post operatif yang tidak nyaman maka terus

dicari pendekatan yang lebih aman, nyaman dan bahkan lebih ekonomis. Di dalam

penatalaksanaan terapi hiperplasia prostat ini terdapat istilah terapi konservatif yang

merupakan terapi non operatif. Untuk penderita yang oleh karena keadaan umumnya

tidak memungkinkan dilakukan operasi dapat diusahakan pengobatan konservatif.3,9

Terapi konservatif ini masih terbagi lagi ke dalam berbagai kelompok, yaitu :

1. Observasi (Watchful waiting)

Tidak semua pasien hiperplasia prostat perlu menjalani tindakan medik. Kadang-

kadang mereka yang mengeluh pada saluran kemih bagian bawah (LUTS) ringan

dapat sembuh sendiri dengan observasi ketat tanpa mendapatkan terapi apapun.

Tetapi diantara mereka akhirnya ada yang membutuhkan terapi medikamentosa

atau tindakan medik yang lain karena keluhannya semakin parah.11

2. Medikamentosa

a. Penghambat adrenergik

Seperti kita ketahui persyarafan trigonum leher vesika, otot polos prostat dan

kapsul prostat terutama oleh serabut-serabut saraf simpatis, terutama

mengandung reseptor alpha, jadi dengan pemberian obat golongan alpha

adrenergik bloker, terutama alpha 1 adrenergik bloker maka tonus leher

vesika, otot polos prostat dan kapsul prostat akan berkurang, sehingga

sehingga menghasilkan peningkatan laju pancaran urin dan memperbaiki

gejala miksi. Bila serangan prostatismus memuncak menjurus kepada retensio

urin ini adalah pertanda bahwa tonus otot polos prostat meningkat atau

berkontraksi sehingga pemberian obat ini adalah sangat rasional. Episode

serangan biasanya cepat teratasi.

Contoh obatnya adalah Phenoxy benzanmine (Dibenyline) dosis 2x10

mg/hari. Sekarang telah tersedia obat yang lebih selektif untuk alpha 1

adrenergik bloker yaitu Prazosine, dosisnya adalah 1-5 mg/hari, obat lain

selain itu adalah Terazosin dosis 1 mg/hari, Tamzulosin dan Doxazosin.

27

Pengobatan dengan penghambat alpha ini pertama kali dilakukan oleh Caine

dan kawan-kawan yang dilaporkan pada tahun 1976. Dengan pengobatan

secara ini ditemukan perbaikan sekitar 30-70% pada symptom skore dan kira-

kira 50% pada flow rate. Tetapi kelompok obat ini tidak dapat digunakan

berkepanjangan karena efek samping obat ini berupa hipotensi ortostatik,

palpitasi, astenia vertigo dan lain-lain yang sangat mengganggu kualitas hidup

kecuali bagi penderita hipertensi.

Penelitian terakhir di Amerika Serikat menyebutkan bahwa Doxazosin

terbukti efektif dalam pengobatan hiperplasia prostat jangka panjang pada

pasien hipertensi dan normotensi. Prazosine diketahui lebih selektif sebagai

alpha 1 adrenergik bloker, sedang phenoxy benzanmine meskipun lebih kuat

tetapi tidak selektif untuk reseptor alpha 1 dan alpha 2, dan sekarang

ditakutkan phenoxy benzanmine bersifat karsinogenik. Jadi kelompok obat

penghambat adrenoreseptor alpha ini hanya dapat digunakan untuk jangka

pendek dan akan lebih fungsional pada terapi tahap awal, obat ini mempunyai

efek positif segera terhadap keluhan, tetapi tidak mempengaruhi proses

hiperplasia prostat sedikitpun. Bila respon dari pengobatan ini baik maka ini

merupakan indikator untuk masuk kedalam tahap perawatan “Watch and

wait”.2,3,5,6,7,8,9

b. Fitoterapi

Kelompok kemoterapi pada umumnya telah mempunyai informasi

farmakokinetik dan farmakodinamik terstandar secara konvensional dan

universal. Kelompok obat ini juga disebut dengan “obat modern”. Tidak

semua penyakit dapat diobati secara tuntas dengan kemoterapi ini. Banyak

penyakit kronis, degeneratif, gangguan metabolisme, dan penuaan yang belum

ada obatnya seperti: kanker, hepatitis, HIV, demensia, dll. Banyak pula yang

belum bisa dituntaskan pengobatannya. Termasuk ini adalah: BPH, DM,

hipertensi, rematik, dll. Sehingga diperlukan terapi komplementer atau

alternatif. Kelompok terapi ini disebut Fitoterapi. Disebut demikian karena

berasal dari tumbuhan. Bahan aktifnya belum diketahui dengan pasti, masih

memerlukan penelitian yang panjang.

28

Namun secara empirik, manfaat sudah lama tercatat dan semakin diakui.

Diantara sekian banyak fitoterapi yang sudah masuk pasaran, diantaranya

yang terkenal adalah Serenoa repens atau Saw Palmetto dan Pumpkin seeds

yang digunakan untuk pengobatan BPH. Keduanya, terutama Serenoa repens

semakin diterima pemakaiannya dalam upaya pengendalian prosatisme BPH

dalam kontek “watchfull waiting strategy”. Di Jerman 90% kasus BPH di

terapi dengan Serenoa repens tunggal atau kombinasi, dan di negara-negara

Eropa dan Amerika pemakaiannya terus meningkat dengan cepat.

a. Saw Palmetto Berry (SPB) yang disebut juga Serenoa repens adalah suatu

obat tradisional Indian. Catatan empiriknya tentang manfaat tumbuhan ini

untuk gangguan urologis sudah ada sejak tahun 1900. Isu back to nature

memberikan iklim yang kondusif bagi pemakaian obat ini.

Bukti-bukti empirik lapangan dan empirik uji klinik semakin banyak

mencatat efektifitas dan keamanannya. Dalam Current Medical Diagnosis

and Treatment (2001) dinyatakan bahwa Saw Palmetto Berry (SPB) ini

didalam 18 RCT (Randomized Clinical Trial) dengan 2939 subyek adalah

superior terhadap placebo dan efektifitasnya sama dengan finasteride.

Efek samping obat berupa disfungsi ereksi = 1,1% sedangkan finasteride

= 4,9%. Dalam Life Extension Update dimuat, dari sebanyak 32 publikasi

studi terdapat catatan bahwa extract dari SPB ini secara signifikan

menunjukan perbaikan klinis dalam hal :

a) Frekuensi nokturia berkurang

b) Aliran kencing bertambah lancar

c) Volume residu dikandung kencing berkurang

d) Gejala kurang enak dalam mekanisme urinoir berkurang

Mekanisme kerja obat ini belum dapat dipastikan tetapi diduga kuat ia :

a) Menghambat aktifitas enzim 5 alpha reduktase dan memblokir

reseptor androgen

b) Bersifat anti inflamasi dan anti udem dengan cara menghambat

aktifitas enzim cycloxygenase dan 5 lipoxygenase.

b. Pumpkin seeds (Cucurbitae peponis semen)

29

Testimoni empirik tradisional bahan ini telah digunakan di Jerman dan

Austria sejak abad 16 untuk gangguan “urinoir” dan belakangan ini

ekstraknya dipakai untuk mengatasi gejala yang berhubungan dengan BPH

didalam konteks farmakoterapi maupun uji klinis kombinasi dengan

ekstraks serenoa repens.

Penelitian di Jerman melakukan studi terhadap preparat yang mengandung

komponen utama beta-sitosterol dengan sedikit campuran campesterot dan

stigmasterol untuk mengobati hiperplasia prostat. Hasilnya, terjadi

perbaikan seperti halnya terapi menggunakan penghambat reseptor alpha

dan 5-alpha reduktase, tetapi dengan efek samping yang lebih minimal.

Walaupun mekanisme kerja dari preparat campuran fitosterol ini belum

dapat dibuktikan, penelitian terus dikembangkan untuk keperluan di masa

depan.9,10

c. Hormonal

Pada tingkat supra hypofisis dengan obat-obat LH-RH (super) agonist

yaitu obat yang menjadi kompetitor LH-RH mempunyai afinitas yang

lebih besar dengan reseptor bagi LH-RH, sehingga obat ini akan

“menghabiskan” reseptor dengan membentuk LH-RH super agonist

reseptor kompleks. Sehingga mula-mula oleh karena banyaknya LH-RH

super agonist yang menangkap reseptor, pada permulaan justru akan

terjadi kenaikan produksi LH oleh hypofisis. Tetapi setelah reseptor

“habis”maka LH-RH tidak dapat lagi mencari reseptor , maka LH akan

menurun. Contoh obat adalah Buserelin, dengan dosis minggu I 3dd 500

g s.c. (7 hari) dan minggu II intra nasal spray 200 g, 3 kali sehari.

Pemberian obat-obat anti androgen yang dapat mulai pada tingkat

hipofisis misalnya dengan pemberian Gn-RH analogue sehingga menekan

produksi LH, yang menyebabkan produksi testosteron oleh sel leydig

berkurang. Cara ini tentu saja menyebabkan penurunan libido oleh karena

penurunan kadar testosteron darah.

Pada tingkat infra hipofisis pemberian estrogen dapat memberikan umpan

balik dengan menekan produksi FSH dan LH, sehingga produksi

30

testosteron juga menurun. Contoh preparatnya ialah Diaethyl Stilbestrol

(DES) dosis satu kali 1-5 mg sehari.

Pada tingkat testikular, orchiectomi untuk pengobatan pembesaran prostat

jinak hanya dikenal pada sejarah, sekarang cara pengobatan ini untuk

hiperplasia prostat telah ditinggalkan. Untuk karsinoma prostat tentu saja

orchiectomi masih dikerjakan oleh karena pertimbangan kemungkinan

penyebaran ca prostat dan juga biasanya penderita telah tua.

Pada tingkat yang lebih rendah dapat pula diberikan obat anti androgen

yang mekanisme kerjanya mencegah hidrolise testosteron menjadi DHT

dengan cara menghambat 5 alpha reduktase, suatu enzim yang diperlukan

untuk mengubah testosteron menjadi dehidrotestosteron (DHT), suatu

hormon androgen yang mempengaruhi pertumbuhan kelenjar prostat,

sehingga jumlah DHT berkurang tetapi jumlah testosteron tidak

berkurang, sehingga libido juga tidak menurun. Penurunan kadar zat aktif

dehidrotestosteron ini menyebabkan mengecilnya ukuran prostat. Contoh

obat tersebut ialah Finesteride, Proscar dengan dosis 5 mg/hari dalam

jangka waktu lebih dari 3 bulan, Finasteride mengurangi volume prostat

sampai 30%. Penelitian lain di Kanada menyatakan bahwa Finasteride

mengurangi volume prostat pada 613 pria dengan angka rata-rata 21%,

mengurangi gejala dan memperbaiki laju pancaran urin sampai 12%. Obat

ini mempunyai toleransi baik dan tidak mempunyai efek samping yang

bermakna.

Obat anti androgen lain yang juga bekerja pada tingkat prostat ialah obat

yang mempunyai mekanisme kerja sebagai inhibitor kompetitif terhadap

reseptor DHT sehingga DHT tidak dapat membentuk kompleks DHT-

Reseptor. Contoh obatnya ialah : Cyproterone acetate 100 mg 2 kali/hari,

Flutamide, medrogestone 15 mg2 kali/hari dan Anandron. Obat ini juga

tidak menurunkan kadar testosteron pada darah, sehingga libido tidak

menurun. Golongan gestagen dan ketokonazole, obat-obat ini mempunyai

khasiat : mengurangi enzim dehidrogenase dan isomerase yang berguna

untuk metabolisme steroid, menekan LH dan FSH, menjadi saingan

31

testosteron untuk 5 alpha reduktase sehingga DHT tidak terbentuk. Contoh

obatnya adalah Megestrol acetat 160 mg empat kali sehari dan MPA 300-

500 mg/hari. Kesulitan pengobatan konservatif ini adalah menentukan

berapa lama obat harus diberikan dan efek samping dari obat.2,3,7,8

3. Invasif Minimal

a. Trans Urethral Microwave Thermotherapy (TUMT)

Cara memanaskan prostat sampai 44,5C – 47C ini mulai diperkenalkan

dalam tiga tahun terakhir ini. Dikatakan dengan memanaskan kelenjar

periuretral yang membesar ini dengan gelombang mikro (microwave) yaitu

dengan gelombang ultarasonik atau gelombang radio kapasitif akan terjadi

vakuolisasi dan nekrosis jaringan prostat, selain itu juga akan menurunkan

tonus otot polos dan kapsul prostat sehingga tekanan uretra menurun

sehingga obstruksi berkurang. Prinsip cara ini ialah memasang kateter

semacam Foley dimana proximal dari balon dipasang antene pemanas yang

baru dipanaskan dengan gelombang mikro melalui kabel kecil yang berada

didalam kateter. Pemanasan dilakukan antara 1-3 jam. Dengan cara

pengobatan ini dengan mempergunakan alat THERMEX II diperoleh hasil

perbaikan kira-kira 70-80% pada symptom obyektif dan kira-kira 50-60%

perbaikan pada flow rate maksimal. Mekanisme yang pasti mengenai efek

pemanasan prostat ini belum semuanya jelas, salah satu teori yang masih

harus dibuktikan ialah bahwa dengan pemanasan akan terjadi perusakan

pada reseptor alpha yang berada pada leher vesika dan prostat.

Di Jakarta telah tersedia dua macam alat yaitu Prostatron yang

menggunakan gelombang mikro dan dipanaskan selama satu jam. Cara ini

disebut dengan Trans Urethral Microwave Treatment (TUMT). Sedangkan

alat yang lain menggunakan radio capacitive frequency yang dapat

memanaskan prostat sampai 44,5C - 47C selama 3 jam (TURF).

Pengobatan di RS. Pondok Indah pada 112 kasus yang diobati dengan cara

ini didapatkan hasil : perbaikan “symptom score” pada 79 penderita (75%)

dan perbaikan pada sisa kencing pada 62 penderita (60%) tetapi perbaikan

pada maximal flow rate hanya ditemukan pada 55 penderita (50%).

32

Cara pengobatan hypertermia ini masih memerlukan penelitian lebih lanjut

mengenai cara kerja dasar klinikal, efektifitasnya serta side efek yang

mungkin timbul.

Cara kerja TUMT ialah antene yang berada pada kateter dapat

memancarkan microwave kedalam jaringan prostat. Oleh karena temperatur

pada antene akan tinggi maka perlu dilengkapi dengan surface costing agar

tidak merusak mucosa ureter. Dengan proses pendindingan ini memang

mucosa tidak rusak tetapi penetrasi juga berkurang.

Cara TURF (trans Uretral Radio Capacitive Frequency) memancarkan

gelombang “radio frequency” yang panjang gelombangnya lebih besar

daripada tebalnya prostat juga arah dari gelombang radio frequency dapat

diarahkan oleh elektrode yang ditempel diluar (pada pangkal paha) sehingga

efek panasnya dapat menetrasi sampai lapisan yang dalam. Keuntungan lain

oleh karena kateter yang ada alat pemanasnya mempunyai lumen sehingga

pemanasan bisa lebih lama, dan selama pemanasan urine tetap dapat

mengalir keluar.2,7,8

b. Trans Urethral Ballon Dilatation (TUBD)

Dilatasi uretra pars prostatika dengan balon ini mula-mula dikerjakan dengan

jalan melakukan commisurotomi prostat pada jam 12.00 dengan jalan melalui

operasi terbuka (transvesikal). Pertama kali dikerjakan oleh Hollingworth 1910

dan Franck 1930. Kemudian Deisting 1956 melakukan dengan dilator

transuretral. Tetapi sebenarnya pelopor penggunaan balon adalah H.Joachus

Burhenne yang mula-mula mencoba pada anjing dan cadaver, akhirnya dicoba

di klinik.

Castaneda bersama-sama Reddy dan Hulbert kemudian menyempurnakan

tehnik Burhenne tersebut. Konsep dilatasi dengan balon ini ialah

mengusahakan agar uretra pars prostatika menjadi lebar melalui mekanisme:

1. Prostat di tekan menjadi dehidrasi sehingga lumen uretra melebar

2. Kapsul prostat diregangkan

3. Tonus otot polos prostat dihilangkan dengan penekanan tersebut

33

4. Reseptor alpha adrenergic pada leher vesika dan uretra pars prostatika

dirusak

Prosedur ini meskipun bisa dilakukan dengan anestesi topikal, sebaiknya

dilakukan dengan narkose. Balon mempunyai diameter 30 mm kemudian

dengan alat dikembangkan sampai 4 atm yang sama dengan 58,8 psi atau 3040

mmHg dan kaliber uretra menjadi 30 mm atau 90 F. Kemudian setelah balon

dikempeskan kembali kateter dilepaskan dengan menggunakan guide wire dan

kateter dilepas memutar kebalikan dari arah jarum jam sementara dapat

dipasang cystostomi dengan trocard. TUBD ini biasanya memberikan perbaikan

yang bersifat sementara.2,7,8

c.Trans Urethral Needle Ablation (TUNA)

Yaitu dengan menggunakan gelombang radio frekuensi tinggi untuk

menghasilkan ablasi termal pada prostat. Cara ini mempunyai prospek yang

baik guna mencapai tujuan untuk menghasilkan prosedur dengan perdarahan

minimal, tidak invasif dan mekanisme ejakulasi dapat dipertahankan.2,7,8

d. Stent Urethra

Pada hakekatnya cara ini sama dengan memasang kateter uretra, hanya saja

kateter tersebut dipasang pada uretra pars prostatika. Bentuk stent ada yang

spiral dibuat dari logam bercampur emas yang dipasang diujung kateter

(Prostacath). Stents ini digunakan sebagai protesis indwelling permanen yang

ditempatkan dengan bantuan endoskopi atau bimbingan pencitraan. Untuk

memasangnya, panjang uretra pars prostatika diukur dengan USG dan kemudian

dipilih alat yang panjangnya sesuai, lalu alat tersebut dimasukkan dengan

kateter pendorong dan bila letak sudah benar di uretra pars prostatika maka

spiral tersebut dapat dilepas dari kateter pendorong. Pemasangan stent ini

merupakan cara mengatasi obstruksi infravesikal yang juga kurang invasif, yang

merupakan alternatif sementara apabila kondisi penderita belum memungkinkan

untuk mendapatkan terapi yang lebih invasif. Akhir-akhir ini dikembangkan

juga stent yang dapat dipertahankan lebih lama, misalnya Porges Urospiral

(Parker dkk.) atau Wallstent (Nording, A.L. Paulsen).

34

Bentuk lain ialah adanya mesh dari logam yang juga dipasang di uretra pars

prostatika dengan kateter pendorong dan kemudian didilatasi dengan balon

sampai mesh logam tersebut melekat pada dinding uretra.2,7,8,11

BAB IV

KESIMPULAN

35

1. Benign Prostate Hypertrofia sebenarnya merupakan suatu hiperplasia kelenjar

periuretral.

2. Hiperplasia prostat mempunyai angka kejadian yang bermakna pada populasi pria

lanjut usia.

3. Etiologi dari hiperplasia prostat hingga saat ini masih belum diketahui secara pasti,

beberapa teori menyebutkan hal ini berkaitan dengan meningkatnya kadar DHT dan

karena proses aging (menjadi tua).

4. Hiperplasia prostat menyebabkan gejala obstruksi dan iritasi saluran kemih.

5. Tanda-tanda obyektif hiperplasia prostat adalah pembesaran prostat, pengurangan laju

pancaran urin, dan volume residu urin yang besar.

6. Derajat beratnya obstruksi pada hiperplasia prostat tidak bergantung pada ukuran

besar prostat melainkan ditentukan oleh volume residu urin dan laju pancaran urin

waktu miksi.

7. Guna menentukan derajat pembesaran prostat dapat dilakukan dengan beberapa cara ,

seperti rektal grading, berdasarkan jumlah residual urin, intra vesikal grading dan

berdasarkan pembesaran kedua lobus lateralis yang terlihat pada uretroskopi.

8. Derajat berat gejala klinik hiperplasia prostat dibagi menjadi empat gradasi

berdasarkan penemuan pada pemeriksaan colok dubur dan sisa volume urin yang

digunakan untuk menentukan cara penanganan atau penatalaksanaannya.

9. Klasifikasi lain untuk menentukan berat gangguan miksi yaitu dengan menggunakan

skor WHO PSS, dimana skor dibawah 15 dianjurkan untuk terapi non bedah atau

terapi konservatif, sedangkan skor 25 lebih atau bila timbul obstruksi dianjurkan

terapi bedah.

10. Penatalaksanaan terapi pada hiperplasia prostat dapat dibagi menjadi empat macam,

yaitu :

a. Observasi (Watchful waiting)

b. Medikamentosa

c. Operatif

d. Invasif minimal

36

11. Tindakan bedah baik itu prostatektomi terbuka maupun prostatektomi endourologi

masih merupakan terapi utama untuk hiperplasia prostat (>90%) meskipun akhir-

akhir ini dikembangkan beberapa terapi non-bedah yang kurang invasif.

12. Trans Urethral Resection (TUR) masih merupakan prosrdur bedah yang lebih disukai

untuk penanganan hiperplasia prostat.

13. Yang termasuk di dalam terapi konservatif non operatif yaitu :

a. Observasi (Watchful waiting)

b. Medikamentosa

- Penghambat adrenergik alpha

- Fitoterapi

- Hormonal

c. Invasif minimal

- Trans Urethral Microwave Thermotherapy (TUMT)

- Trans Urethral Ballon Dilatation (TUBD)

- Trans Urethral Needle Ablation (TUNA)

- Stent Urethra

14. Selain pada kelompok hiperplasia prostat derajat 1 dan mungkin juga pada derajat 2,

tindakan terapi konservatif non bedah ini dapat dilakukan jika keadaan umum

penderita tidak memungkinkan untuk dilakukan tindakan operasi.

15. Tujuan terapi pada pasien hiperplasia prostat adalah menghilangkan obstruksi pada

leher buli-buli.

DAFTAR PUSTAKA

37

Sjamsuhidajat R, de Jong W. Buku Ajar Ilmu Bedah Edisi revisi, Jakarta : EGC, 1997.

Tenggara T. Gambaran Klinis dan Penatalaksanaan Hipertrofi Prostat, Majalah

Kedokteran Indonesia volume: 48, Jakarta : IDI, 1998.

Reksoprodjo S. Prostat Hipertrofi, Kumpulan Kuliah Ilmu Bedah cetakan pertama,

Jakarta : Binarupa Aksara, 1995.

Sabiston, David C. Hipertrofi Prostat Benigna, Buku Ajar Bedah bagian 2, Jakarta : EGC,

1994.

Katzung, Bertram G. Farmakologi Dasar dan Klinik edisi VI, Jakarta : EGC, 1997.

Rahardja K, Tan Hoan Tjay. Obat - Obat Penting; Khasiat, Penggunaan, dan Efek – Efek

Sampingnya edisi V, Jakarta : Gramedia, 2002.

Rahardjo D. Pembesaran Prostat Jinak; Beberapa Perkembangan Cara Pengobatan,

Jakarta : Kuliah Staf Subbagian Urologi Bagian Bedah FK UI R.S. Dr. Cipto

Mangunkusumo, 1993.

Priyanto J.E. Benigna Prostat Hiperplasi, Semarang : Sub Bagian Bedah Urologi FK

UNDIP.

Nasution I. Pendekatan Farmakologis Pada Benign Prostatic Hyperplasia (BPH),

Semarang : Bagian Farmakologi dan Terapeutik FK UNDIP.

Soebadi D.M. Fitoterapi Dalam Pengobatan BPH, Surabaya : SMF/Lab. Urologi RSUD

Dr. Soetomo-FK Universitas Airlangga, 2002.

Purnomo B.P. Buku Kuliah Dasar – Dasar Urologi, Jakarta : CV.Sagung Seto, 2000.

Anonim. Kumpilan Kuliah Ilmu Bedah Khusus, Jakarta : Aksara Medisina, 1997.

Hugh. A.F. Dudley. Hamilton Bailey’s Emergency Surgery 11th edition, Gadjah Mada

University Press, 1992.

38