Post on 02-Dec-2021
11
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Gangguan jiwa
2.1.1 Pengertian Gangguan Jiwa
Gangguan jiwa menurut PPDGJ III merupakan perubahan perilaku
seseorang yang secara khas berkaitan dengan suatu gejala penderitaan
(distress) atau hendaya (impairment) didalam satu atau lebih fungsi yang
penting dari seseorang, yaitu fungsi psikologik, perilaku biologis, dan
gangguan itu tidak hanya terletak didalam hubungan antara orang itu tetapi
juga dengan masyarakat (Maramis, 2010). Sedangkan Gangguan jiwa menurut
Depkes RI (2010), gangguan jiwa adalah suatu perubahan pola pikir yang
menyebabkan adanya gangguan pada fungsi psikologi yang dapat
menimbulakan penderitaan pada individu dan hambatan dalam melakukan
peran sosial. Menurut UU No.18 Tahun 2014 tentang Kesehatan Jiwa,
kesehatan jiwa merupakan suatu kondisi seorang individu dapat berkembang
secara fisik, mental, spiritual, dan sosial sehingga individu tersebut menyadari
kemampuan sendiri, dapat mengatasi suatu masalah, dapat bekerja secara
produktif, dan mampu memberikan konstribusi untuk komunitasnya.
Gangguan jiwa didefinisikan sebagai disfungsi yang merugikan. Definisi
ini dikaitkan dengan evaluasi objektif terhadap kinerja. fungsi kognitif dan
perseptual untuk memungkinkan seseorang untuk mempersepsikan dunia
dengan cara yang sama dengan orang lain dan terlibat dalam pemikiran dan
penyelesaian masalah yang rasional. Disfungsi merupakan hasil dari
12
pemikiran, perasaan, komunikasi, persepsi, dan motivasi (Oltmanns dan
Emery, 2012). Dari definisi diatas dapat disimpulkan bahwa gangguan jiwa
adalah perubahan sikap dan perilaku seseorang yang dapat merugikan
seseorang dan diri sendiri.
2.1.2 Penyebab Gangguan Jiwa
Keperawatan kesehatan jiwa menggunakan model stress adaptasi dalam
mengidentifikasi penyimpangan perilaku. Model ini mengidentifikasi sehat
sakit sebagai hasil karakteristik seseorang yang berinteraksi dengan faktor
lingkungan. Model ini mengintegrasikan komponen biologis, psikologis, dan
sosial dalam pengkajian dan penyelesaian masalah. Beberapa hal yang harus
diamati pada gangguan jiwa adalah faktor predisposisi, presipitasi, penilaian
terhadap stresor, sumber koping dan mekanisme koping yang digunakan.
(Yusuf, A.H & ,R & Nihayati, 2015)
1. Faktor predisposisi
Faktor predisposisi merupakan faktor resiko yang menjadi sumber terjadinya
stress yang dapat mempengaruhi seseorang baik secara biologis, psikososial
maupun sosiokultural. Seacara bersama-sama, faktor ini akan mempengaruhi
individu dalam menilai stres yang dihadapinya.
2. Faktor presipitasi
Faktor presipitasi merupakan stimulus yang mengancam seseorang. Faktor
presipitasi memerlukan energi yang besar dalam menghadapi stress atau
tekanan hidup. Faktor presipitasi ini dapat bersifat biologis, psikologis, dan
sosiokultural. Waktu merupakan dimensi yang juga dapat mempengaruhi
terjadinya stres, yaitu berapa lama terpapar dan berapa lama frekuensi
terjadinya stres.
13
3. Penilaian terhadap stresor
Penilaian terhadap stresor meliputi pemahaman dan penentuan situasi yang
penuh dengan stres bagi seseorang. Penilaian terhadap stresor meliputi
a. Respon kognitif
Respon kognitif adalah peran sentral dalam adaptasi. penilaian kognitif adalah
jembatan psikologi antara individu dengan lingkungannya dalam menghadapi
stress. Terdapat tiga tipe penilaian yaitu kehilangan, ancaman, dan tantangan
b. Respon afektif
Respon afektif adalah membangun perasaan. Dalam penilaian terhadap
stressor respon afektif utama dalah reaksi tidak spesifik dan umumnya
merupakan reaksi kecemasan hal ini dapat diekpresikan dalam bentu emosi.
c. Respon fisiologis
Respons fisiolgis menstimulasi divisi simpatik dari saraf autonomi dan dapat
meningkatkan aktivitas kelenjar adrenal. Hal ini stress dapat mempengaruhi
sistem imun dan mempengaruhi kemampuan seseorang untuk melawan
penyakit.
d. Respon perilaku
Respon perilaku hasil dari respon emosional dan fisiologi
4. Sumber koping
Sumber koping meliputi aset ekonomi, kemampuan dan keterampilan, teknik
pertahanan dan dukungan sosial serta motivasi.
14
5. Mekanisme koping
Mekanisme koping merupakan suatu usaha dalam menejemen stress.
Mekanisme koping bersifat konstruktif dan destruktif. Mekanisme kontruktif
terjadi ketika kecemasan diperlukan sebagai peringatan seseorang menerima
seseorang sebagai tantangan untuk menyelesaikan masalah. Mekanisme
koping destruktif menghindari kecemasan tanpa menyelesaikan konflik.
Gambar 2.1 Model Stress Adaptasi (Struart dan Laraia,2005)
2.1.2. Jenis-jenis gangguan jiwa
Menurut Kamal (2010) pada buku keperawatan jiwa, Berikut ini jenis-
jenis gangguan jiwa yang sering kita temukan dimasyarakat:
1. Stres
Stress merupakan suatu keadaan tubuh seseorang terganggu karena tekanan
psikologis. Banyak hal yang dapat memicu stress diantaranya rasa khawatir,
15
perasaan kesal, perasaan tertekan, kesedihan, dan terlalu fokus pada suatu hal,
perasaan bingung, berduka dan juga rasa takut.
2. Psikosis
Psikosis adalah ketidakmampuan seseorang menilai realita. Psikosis masih
bersifat sempit seperti waham dan halusinasi. Selain itu juga ditemukan gejala
lain termasuk diantaranya pembicaraan dan tingkah laku yang kacau, dan
gangguan daya nilai realitas yang berat. Oleh karna itu gangguan psikosis
sebagai suatu kumpulan gejala yang terdpat gangguan fungsi mental, respon,
perasaan, realitas, komunikasi dan hubungan antara seseorang dengan
lingkungannya.
3. Psikopat
Psikopat bersal dari psyche yang berarti jiwa dan pathos yang berarti penyakit.
Orang dengan gangguan psikopat sering disebut juga sosiopat karena
perilakunya yang antisosial dan dapat merugikan orang disekitaranya. Gejala
psikopat sering juga disebut dengan psikopati orang dengan gangguan jiwa
tanpa gangguan mental. Orang yang mengalami psikopat sangat sulit untuk
disembuhkan.
4. Skizofrenia
Skizofrenia merupakan gangguan jiwa yang paling lazim dengan ciri hilangnya
perasaan afektif atau respons emosional dan menarik diri dari hubungan
antara individu yang normal. Skizofrenia adalah penyakit otak yang timbul
akibat ketidakseimbangan pada dopamin, yang merupakan salah satu sel kimia
dalam otak. Skizofrenia sering diikuti dengan delusi dan halusinasi tanpa
adanya ransangan panca indra.
16
Bertolak dari kajian pustaka dan periannya pada konteks penelitian,
skizofrenia merupakan jenis gangguan jiwa yang banyak dialami pada sampel
penelitian. Uraian meliputi tinjauan pustaka tentang skizofrenia, karakteristik
pasien skizofrenia, self care deficit, dan tingkat kemampuan personal hygiene.
2.2 Skizofrenia
2.2.1 Definisi Skizofrenia
Menurut PPDGJ III, dijelaskan bahwa skizofrenia sebagai gangguan
jiwa yang ditandai dengan perilaku yang menyimpang dalam pikiran dan
persepsi yang disertai dengan adanya afek yang tidak wajar. Skizofrenia
merupakan gangguan jiwa kronis yang mempengaruhi seseorang sepanjang
kehidupannya yang ditandai dengan penurunan kemampuan berkomunikasi,
gangguan realitas (halusinasi dan waham), efek tidak wajar, gangguan kognitif
(tidak mampu berfikir abstrak) dan mengalami kesulitan melakukan aktifitas
sehari-hari (National Institute Of Mental Health, 2009; Keliat, 2006). Pengaruh
gangguan jiwa pada skizofrenia meliputi faktor kognisi, presepsi, emosi,
perilaku dan fungsi sosial (Viedebeck, 2008). Skizofrenia mempengaruhi
seseorang dengan cara yang berbeda dan berdampak pada semua aspek
kehidupan (Viedebeck, 2008).
Skizofrenia seolah-olah penyakit tunggal namun kategori diagnostiknya
mencakup sekumpulan gangguan. Derajat gangguan pada fase akut atau fase
psikotik dan fase kronis sangat bervariasi tiap individu. Perilaku-perilaku pada
pasien skizofrenia yang sering muncul dapat mempengaruhi fungsi dalam
kehidupan sehari-hari pasien. perilaku abnormal tersebut dijelaskan Stuart
dan Laraia (2005) sebagai kurangnya motivasi, isolasi sosial, perilaku makan
dan tidur buruk, sulit menyelesaikan tugas, kurang perhatian, penampilan
17
tidak rapi/bersih, bicara sendiri, sering bertengkar, dan tidak teratur minum
obat.
Menurut Videbeck (2008) perilaku pada pasien skizofrenia meliputi:
gejala positif (halusinasi, delusi, gangguan pikiran, gangguan perilaku) dan
gejala negatif (afek datar, self care deficit, menarik diri). Gejala kognitif
merupakan kurangnya kemampuan memahami dan menggunakan informasi
dan sulit fokus (National Institute Of Mental Health, 2009). Pasien skizofrenia
dengan gejala positif dapat dikontrol dengan pengobatan, sedangkan gejala
negatif menetap dan menjadi penghambat utama pemulihan dan perbaikan
fungsi dalam kehidupan sehari-hari. (Vedebeck, 2008; National Institute Of
Mental Health, 2009).
Pasien lebih sulit untuk mengakui bahwa mereka sebagai penderita
skizofrenia. Mereka akan memerlukan bantuan untuk menyelesaikan tugas
sehari-hari terutama dalam hal perawatan diri sehingga membuatnya terlihat
malas atau tidak mau membantu diri sendiri. Pasien skizofrenia dengan gejala
kognitif berhubungan dengan masalah proses informasi yang mencakup
aspek ingatan, perhatian, komunikasi dan kesulitan dalam pengambilan
keputusan. Adanya hambatan saat melaksanakan aktivitas keseharian, adanya
waham atau halusinasi pada pasien skizofrenia, sehingga penderita tidak
memiliki minat dan ketertarikan dalam memenuhi kebutuhannya merawat diri
(Viedebeck, 2008). Dengan demikian penelitian pada pasien skizofrenia
berfokus pada self care deficit.
2.2.2 Etiologi
Skizofrenia seolah-olah merupakan penyakit tunggal namun kategori
diagnostiknya mencakup sekumpulan gangguan yang penyebabnya multipel
18
dan saling berinteraksi. Dikutip dari Sadock (2016) mengemukakan beberapa
etiologi skizofrenia sebagai berikut:
a. Model diatesis-stress
Skizofrenia dapat timbul karena adanya integrasi antara faktor biologis, faktor
psikososial dan lingkungan. Seseorang yang rentan jika terkena stressor akan
lebih mudah untuk menjadi skizofrenia.
b. Teori neurobiology
Penelitian membuktikan bahwa adanya peran patofisiologis area otak tertentu
termasuk system limbic, kortek frontal, serebelum dan ganglia basalis. Dapat
disimpulkan bahwa skizofrenia timbul akibat aktivitas dopaminegerik yang
berlebihan. Beberapa neurotransmitter dan hormon mempengaruhi kejadian
skizofrenia diantaranya, serotonin, norefinefrin, GABA, Glutamat, Neuropeptida.
c. Faktor biologis
Faktor biologis merupakan faktor faali sebagai penyebab penyakit. Faktor
faali bisa berupa kerusakan jaringan otak atau struktur otak yang abnormal.
Kerusakan ini biasanya dibawa sejak lahir.
d. Faktor psikososial
Skizofrenia merupakan suatu kondisi psikologis dominan misalnya orang tua
dengan kecemasan, overprotektif, konflik pernikahan dan keluarga.
Kegagalan pada suatu fase sehingga menyebabkan gangguan perkembangan
pada suatu fase sehingga menyebabkan gangguan berkembang pada
seseorang. Untuk perkembangan psikologik dan pengalaman belajar sangat
perlu bagi perkembangan intelektual, emosional dan sosial yang normal. Pola
interaksi orang tua dengan anak yang tidak tepat dalam keluarga sering
19
menyebabkan terjadinya gangguan jiwa seperti gangguan kepribadian dan
gangguan penyusuaian diri dalam pergaulannya.
2.2.3 Tanda Dan Gejala Skizofrenia
Menurut Julianto (2008) dalam Purwanto (2017) kriteria diagnostik
skizofrenia yang dikeluarkan oleh American Psychiatric Association antara lain
waham, halusinasi, bicara yang menimpang, perilaku yang menyimpang, gejala
negatif (afektif, tidak ada kemauan) dan terjadinya disfungsi sosial atau
pekerjaan.
Tanda awal skizofrenia diantaranya :
1. Mudah curiga
2. Depresi
3. Cemas
4. Tegang
5. Mudah marah
6. Mudah tersinggung
7. Perasaan mudah berubah
8. Gangguan makan
9. Gangguan tidur
Gambaran penyerta skizofrenia diantaranya :
1. Kehilangan akal
2. Tidak memperdulikan kerapian dirinya
3. Berpakiaan atau berdandan eksentrik
4. Kadang suka menunjukkan alat kelamin
5. Mondar-mandir
20
6. Berdiam diri (apatis)
Skizofrenia dapat dilihat pada gangguan alam pikir, perasaan dan
perilaku yang jelas atau samar. Gejala positif meliputi waham, halusinasi,
gaduh gelisah, tidak dapat diam, mondar-mandir, agresif, bicara dengan
semangat dan bergembira secara berlibihan, pikirannya penuh dengan
kecurigaan atau seakan-akan ada ancaman terhadap dirinya, menyimpan rasa
permusuhan serta pikirannya kacau (Sadock, 2016). Gejala negatif pada
skizofrenia antara lain afek mendatar atau tumpul, miskin bicara (alogia) atau
isi bicara, bloking, kurang meraat diri, kurang motivasi, dan penarikan diri
secara sosial (Sadock, 2016).
2.3 Self Care Deficit
Setiap orang memiliki kemampuan untuk memenuhi kebutuhan sehari-
hari seperti aktivitas perawatan diri secara mandiri, tetapi ketika seseorang
tersebut mengalami ketidak mampuan untuk melakukan aktivitas perawatan
diri secara mandiri disebut juga sebagai self care deficit. Self care deficit merupakan
ketidakmampuan seseorang untuk melakukan kegiatan sehari-hari seperti
makan, mandi, berpakaian, berhias diri serta aktivitas toileting (BAK/ BAB)
(Ackley & Ladwig, 2002, Fortinash & Holoday Worret, 1991; Townsend,
2005). Self care deficit merupakan salah satu perilaku pasien skizofrenia dimana
seseorang yang mengalami gangguan atau hambatan untuk melakukan atau
meyelesaikan aktivitas sehari-hari yang meliputi defisit mandi, berpakaian,
makan, dan eliminasi. Kurangnya self care pada pasien dengan gangguan jiwa
terjadi akibat adanya perubahan peroses berpikir sehingga kemampuan untuk
21
melakukan aktivitas perawatan diri atau personal hygiene menurun
(Damayanti & Iskandar, n.d.).
Personal hygiene merupakan kemampuan seseorang dalam melakukan
perawatan diri yang terdiri dari makan, mandi, toilet dan kebersihat pakaian
tanpa dibantu oarang lain (Craven & Hirnle, 2007). Perawatan diri adalah
perawatan yang dilakukan sendiri oleh setiap orang dan ditentukan oleh nilai-
nilai dan praktek seseorang, seperti kebersihan tubuh secara umum, mandi,
eliminasi, dan berhias (Potter & Perry, 2009).
2.3.1 Pengertian Personal Hygiene
Personal hygiene merupakan tindakan memelihara kebersihan dan
kesehatan diri seseorang untuk kesejahteraan fisik dan psikisnya. Seseorang
dikatan memiliki personal hygiene baik apabila, seseorang dapat menjaga
kebersihan tubuhnya yang meliputi kebersihan kulit, gigi, dan mulut, rambut,
mata, hidung dan telinga, kaki dan kuku, genetalia, serta kebersihan dan
kerapian pakaiannya (Arif, 2008). Personal hygiene sangat tergantung pada
masing-masing individu dan kebiasaan untuk mengembangkannya.
Kehidupan sehari-hari yang beraturan, menjaga kebersihan tubuh, makanan
yang sehat, banyak menghirup udara segar, ohlaraga, istirahat cukup,
merupakan syarat utama dan perlu mendapat perhatian (Nuning, 2009).
Personal hygiene dapat mempengaruhi kenyamanan, keamanan, dan
kesejahteraan seseorang. Mereka yang mempunyai hambatan fisik
membutuhkan berbagai tingkat pemenuhan personal hygiene. Praktik personal
hygiene dipengaruhi oleh faktor pribadi, sosial, dan budaya. Pada institusi atau
rumah, tentukan kemampuan self care pasien dan berikan perawatan hygiene
sesuai dengan kebutuhannya. Selain itu, bantu pasien dan keluarganya
22
beradaptasi pada teknik hygiene (Potter & Perry, 2009). Personal hygiene
merupakan upaya seseorang dalam memelihara kebersihan diri yang meliputi
kesehatan rambut, telinga, gigi, dan mulut, kuku, kulit, dan kebersihan dalam
berpakaian serta meningkatkan kesehatan yang optimal (Mubarak, Indrawati,
& Susanto, 2015).
2.2.4 Faktor yang Mepengaruhi Personal Hygiene pada Self Care Deficit
Faktor-faktor yang mempengaruhi personal hygiene antara lain sebagai
berikut (Mubarak et al., 2015).
1. Budaya
Sejumlah mitos yang berkembang dimasyarakat menjelaskan bahwa saat
seseorang sakit ia tidak boleh dimandikan karena dapat memperparah
penyakitnya.
2. Status sosial ekonomi
Untuk melakukan personal hygiene dibutuhkan sarana dan prasarana yang
memadai seperti kamar mandi, peralatan mandi, serta perlengkapan mandi
yang cukup serta membutuhkan biaya yang cukup. Dengan kata lain, sumber
keuangan seseorang akan berpengaruh pada kemampuannya
mempertahankan personal hygiene yang baik.
3. Agama
Agama juga berpengaruh pada keyakinan seseorang dalam melaksanakan
kebersihan sehari-hari. Agama islam misalnya, umat islam diwajibkan selalu
mempertahankan kebersihannya karena kebersihan adalah sebagian dari iman.
Hal ini tentu akan mendorong seseorang untuk mengingat pentingnya
kebersihan diri bagi kelangsungan hidupnya.
23
4. Tingkat pengetahuan dan perkembangan seseorang
Kedewasaan seseorang akan memberi pengaruh besar pada kualitas diri orang
tersebut, salah satunya adalah pengetahuan yang baik. Pengetahuan sangat
penting dalam meningkatkan status kesehatan seseorang.
5. Status kesehatan
Kondisi sakit atau cedera akan menghambat kemampuan seseorang dalam
melakukan perawatan diri. Hal ini berpengaruh pada tingkat kesehatan
seseorang dan akan semakin lemah dan pada akhirnya jatuh sakit.
6. Kebiasaan
Kebiasaan sangat berkaitan dalam melaksanakan self care seseorang misalnya
menggunakan shower, sabun padat, sabun cair, shampoo dll.
7. Cacat jasmani dan mental bawaan
Kondisi cacat dan gangguan mental menghambat kemampuan seseorang
untuk melakukan self care secara mandiri.
2.3.2 Etiologi self care deficit
Menurut (Tarwoto, 2011), self care defict disebabkan oleh kelelahan fisik
dan penurunan kesadaran. Menurut depkes (2000) penyebab self care deficit
adalah
a. faktor predisposisi
1. Perkembangan
Keluarga terlalu melindungi dan memanjakan pasien sehingga
perkembangan inisiatif terganggu
2. Biologis
Penyakit kronis yang dapat menyebabkan pasien tidak mampu melakukan
perawatan diri.
24
3. Kemampuan realitas turun
Pasien yang mengalami gangguan jiwa dengan kemampuan realitasnya
yang menurun menyababkan ketidakpedulian terhadap dirinya dan
lingkungan termasuk perawatan dirinya sendiri.
4. Sosial
Kurangnya dukungan dan latihan kemampuan self care dilingkungannya.
Situasi lingkungan mempengaruhi latihan kemampuan dalam perawatan
diri.
b. Faktor presipitasi
Faktor presipitasi self care deficit adalah kurangnya motivasi, kerusakan kognisi
dan perceptual, cemas, lelah/ lemah yang dialami seseorang sehingga
menyebabkan individu kurang mampu melakukan perawatan diri.
2.3.3 Jenis-jenis Personal Hygiene pada Self Care Deficit
Menurut Nanda-I (2012), jenis perawatan diri terdiri dari
a. Self care deficit : mandi
Hambatan kemampuan untuk melakukan atau menyelesaikan mandi/
beraktifitas perawatan diri untuk diri sendiri. Pasien mengalami
ketidakmampuan dalam membersihkan badan, memperoleh atau
mendapatkan sumber air, mengatur suhu atau aliran air mandi, mendapatkan
perlengkapan mandi, mengeringkan tubuh, serta masuk dan keluar kamar
mandi.
b. Self care deficit : berpakaian
Hambatan kemampuan untuk melakukan atau menyelesaikan aktivitas
berpakaian dan berhias untuk diri sendiri. Pasien mempunyahi kelemahan
dalam meletakkan atau mengambil pakaian, memakai pakaian, serta menukar
25
atau mengganti pakaian. Pasien juga memiliki ketidakmampuan untuk
mengenakan pakaian.
c. Self care deficit : makan
Hambatan kemampuan untuk melakukan atau menyelesaikan aktivitas makan
sendiri. Pasien memiliki ketidakmampuan dalam menelan makanan,
mempersiapkan makanan, mengenai peralatan makan, mengunyah makanan,
menggunakan alat tambahan, mendapatkan makanan, mengambil makanaan
dari wadah lalu memasukkan ke mulut, melengkapi makanan, serta
mengambil cangkir atau gelas.
d. Self care deficit : eliminasi
Hambatan kemampuan untuk melakukan atau menyelesaikan aktivitas
eliminasi sendiri. Pasien memiliki keterbatasan atau ketidakmampuan dalam
mendapatkan jamban atau kamar kecil, duduk dan jongkok atau bangkit dari
jamban, memanipulasi pakaian untuk toileting, membersihkan diri setelah
BAB/BAK dengan tepat, dan menyiram toilet atau kamar mandi.
2.3.5 Penilaian Self Care Deficit
Pada penilaian self care deficit peneliti menggunakan alat ukur yang
berupa kuisioner dengan skala guttman . Skala Guttman adalah skala yang
digunakan untuk mendapatkan jawaban tegas dari responden, yaitu terdapat
hanya dua interval seperti “setuju-tidak setuju”, “ya-tidak”, dan “benar-salah”.
Skala pengukuran ini dapat menghasilkan pertanyaan dalam bentuk pilihan
ganda maupun check list, dengan jawaban dari responden yang dibuat skor
tertinggi (ya) satu dan terendah (tidak) nol (Sugiyono, 2014b). Dalam
penelitian ini responden yang mendapat nilai 0 pada aktifitas kebersihan diri
berarti responden yang tidak melakukan aktifitas kebersihan diri, namun
26
setelah diberikan intervensi responden mengalami peningkatan nilai menjadi
1point pada setiap aspek.
2.4 Token Ekonomi
2.4.1 Definisi Token Ekonomi
Token ekonomi pertama kali di usulkan oleh (Ayllon & Azrin, 1968),
adalah cara efektif untuk perubahan perilaku, membantu seseorang untuk
mendapatkan keterampilan baru, dan mengurangi perilaku yang tidak
diinginkan (LePage et al., 2003). Token ekonomi merupakan terapi berbasis
pembeajaran yang efektif untuk memperbaiki perilaku yang tidak pantas dan
membatu seseorang untuk mengintregasikan kehidupannya (Turkington,
Kingdon, & Weiden, 2006). Secara singkat token ekonomi merupakan
sebuah system reinforcement untuk perilaku yang dikelola dan diubah,
seseorang harus di hadiahi/ diberikan penguatan untuk meningkatkan atau
mengurangi perilaku yang diinginkan (Zlomke & Zlomke, 2003) . Tujuan
utama token ekonomi adalah meningkatkan perilaku yang disukai (baik) dan
mengurangi perilaku yang tidak disukai (Miltenberger, 2001). Token ekonomi
merupakan bentuk aplikasi dari pendekatan behavior, yang mana pendekatan
behavior sangat erat kaitannya dengan modifikasi perilaku, modifikasi
perilaku diformulasikan untuk meningkatkan frekuensi dari perilaku yang
tidak diinginkan menjadi perilaku yang diinginkan (Feldman, 2012).
Menurut G.Corey (2007: 125) Token ekonomi merupakan modifikasi
perilaku dengan mengubah perilaku semula yang tidak diharapkan menjadi
perilaku yang diharapkan. Modifikasi perilaku dilakukan dengan memberi
penguat atau hadiah secara tidak langsung yaitu, berupa tanda atau token yang
27
dapat berwujud uang. Uang yang sudah terkumpul akan ditukar dengan
hadiah pada waktu tertentu. Diharapkan modifikasi perilaku mampu untuk
memelihara tingkah laku yang baru. Cliffo (1981: 248) mengungkapkan
bahwa token ekonomi sebagai penguat untuk mengembangkan tingkah laku
yang diharapkan. Token ini dapat ditukarkan dengan sesuatu yang diinginkan
seperti kepingan kartu, poin, dan kertas slip.
Token ekonomi telah dikembangkan untuk pengobatan pasien dengan
skizofrenia dan penyakit mental lainnya. Perawatan dengan metode token
ekonomi sangat efektif dalam meningkatkan perilaku adaptif pasien
(Dickerson et al, 2004). Pemberian intervensi menggunakan token ekonomi
cukup efektif untuk meningkatkan self care deficit karena memotivasi pasien
dari dalam dirinya untuk melakukan aktifitas perawatan diri yang disertai
dengan pemberian pujian dan reward pada pasien (Wahyuningrum, 2014).
2.4.2 Prinsip-Prinsip Token Ekonomi
Prinsip yang harus diperhatikan oleh peneliti yang berkaitan dengan
token atau koin itu sendiri. Meskipun jenis dan ukuran koin berbeda-beda,
tetapi karakteristik tertentu harus dimiliki oleh semua koin. Suatu token atau
koin harus terlihat jelas oleh pasien, dapat diraba, dan dapat dihitung. Semua
pasien harus mengetahui cara menggunakan koin tersebut, sehingga dapat
melancarkan prosedur dengan benar dan menjadi alat pendorong serta
pengukuh secara fakta. Ukuran token sebaiknya dipilih benda yang dapat
disimpan dalam tempat penyimpanan (Purwanta, 2017).
Pendapat lain juga dikemukakan oleh hackenberg (2009) bahwa token
ekonomi merupakan suatu program bihavioral dimana seseorang dapat
28
memperoleh token (tanda) untuk semua perilaku yang diinginkan dan dapat
menukarkan token tersebut untuk memperoleh pengulangan pendukung.
Token ekonomi termasuk diantara yang tertua dan paling sukses di semua
program psikolog terapan. Token ekonomi sebagai komponen program
behavioral yang sudah digunakan di berbagai linkup untuk klien perseorangan
maupun kelompok, diantaranya : pusat penanganan dan rehabilitasi, rumah
sakit, ruang-ruang kelas bagi anak dan remaja dengan gangguan hiperaktif
(ADHD), kelas-kelas normal dari TK sampai perkuliahan, dirumah untuk
anak-anak yang bermasalah, dan di semua bidang keperawatan seperti : orang
dengan gangguan jiwa, lansia, anak dan lain sebagainya (Martin, 2015).
Gambar 2.2 Token Ekonomi berbentuk emoticon smile
29
Gambar 2.3 Token Ekonomi berbentuk bintang
Ada beberapa hal yang harus diperhatikan dalam token ekonomi,
sebagaimana yang dikatakan oleh (Walker et.al, 1981): a). Lingkungan yang
terkontrol sehingga dapat menimbulkan perilaku yang dapat diprediksi dan
dikendalikan, b). Perilaku sasaran harus jelas dan dideskripsikan dengan jelas,
c). Tujuan yang dapat diukur, bahwa tujuan yang telah ditetapkan dapat
diukur kemunculannya, d). Bentuk atau jenis benda yang sudah ditetapkan
sebagai token yang jelas, e). Token atau koin sebagai suatu hadiah bahwa koin
tersebut berfungsi sebagai hadiah bagi responden yang telah menjalankan
program yang sesuai dalam rancangan. Kualitas kepingan sebaiknya dibuat
lebih menarik supaya makna hadiah dapat terpenuhi, f). Memberikan token
sesuai dengan perilaku yang muncul atau terjadi, g). Token sebagai pengukuh
bahwa token mempunyai makna sebagai pengukuh perilaku berikutnya
(Purwanta, 2017).
2.4.2 Prinsip-Prinsip Token Ekonomi
Prinsip yang harus diperhatikan oleh peneliti yang berkaitan dengan
token atau koin itu sendiri. Meskipun jenis dan ukuran koin berbeda-beda,
tetapi karakteristik tertentu harus dimiliki oleh semua koin. Suatu token atau
30
koin harus terlihat jelas oleh pasien, dapat diraba, dan dapat dihitung. Semua
pasien harus mengetahui cara menggunakan koin tersebut, sehingga dapat
melancarkan prosedur dengan benar dan menjadi alat pendorong serta
pengukuh secara fakta. Ukuran token sebaiknya dipilih benda yang dapat
disimpan dalam tempat penyimpanan (Purwanta, 2017).
Ada beberapa hal yang harus diperhatikan dalam token ekonomi,
sebagaimana yang dikatakan oleh (Dickerson, Tenhula, & Green-Paden,
2005): a). Lingkungan yang terkontrol sehingga dapat menimbulkan perilaku
yang dapat diprediksi dan dikendalikan, b). Perilaku sasaran harus jelas dan
dideskripsikan dengan jelas, c). Tujuan yang dapat diukur, bahwa tujuan yang
telah ditetapkan dapat diukur kemunculannya, d). Bentuk atau jenis benda
yang sudah ditetapkan sebagai token yang jelas, e). Token atau koin sebagai
suatu hadiah bahwa koin tersebut berfungsi sebagai hadiah bagi responden
yang telah menjalankan program yang sesuai dalam rancangan. Kualitas
kepingan sebaiknya dibuat lebih menarik supaya makna hadiah dapat
terpenuhi, f). Memberikan token sesuai dengan perilaku yang muncul atau
terjadi, g). Token sebagai pengukuh bahwa token mempunyai makna sebagai
pengukuh perilaku berikutnya (Purwanta, 2017).
2.4.3 Komponen Token Ekonomi
Beberapa komponen dalam pelaksanaan modifikasi perilaku dengan
menggunakan token ekonomi (Ivy, Meindl, Overley, & Robson, 2017).
1. Perilaku sasaran
Perilaku sasaran adalah mengenali dengan jelas tingkah laku yang akan diubah
menggunakan token ekonomi. Definisi perilaku tersebut dapat di amati dan
31
terukur secara spesifik agar dapat menjaga konsistensi dalam
implementasinya.
2. Memilih token
Memilih jenis token yang akan dipakai dapat berupa benda/ objek misalnya
koin, stiker, kancing dan berbagai benda lainnya. Sebaiknya pilihlah token
yang mudah dihitung, sulit dipalsukan dan aman digunakan.
3. Reward yang akan ditukar dengan token (penguat)
Memilih hadiah yang dapat ditukar dengan token tidak perlu mahal. Misalnya
memberikan atau membuatkan makanan kesukaan dan disesuaikan dengan
kebutuhan perilaku sasaran.
4. Membuat token
Membuat token sebaiknya memilih yang mudah dihitung dan sulit dipalsukan
dan aman digunakan. Mengatur berapa nilai token untuk satu jenis perilaku
yang diinginkan. Ketika perilaku positif muncul maka diberikan token, maka
sebaliknya jika perilaku negative muncul maka bisa mengambil semua token.
Serta menentukan berapa token yang dapat ditukar dengan hadiah. Misalanya
harus mengumpulkan 10 token agar dapat ditukar dengan hadiah.
5. Tempat mengumpulkan token
Tempat mengumpulkan token agar tidak menimbulkan kecurigaan diantara
pasien maka token harus ditempatkan di tempat yang dapat dilihat oleh
semua orang. Penukaran berbasis respon.
6. Waktu penukaran token
Menentukan kapan waktu untuk menukarkan token yang sudah terkumpul.
Perlu adanya kesepakatan dengan pasien kapan mereka dapat menukarkan
token.
32
2.4.4 Pelaksanaan Token Ekonomi
Teknik token ekonomi dalam pelaksanaan terdiri dari beberapa
tahapan. Purwanta (2015: 152-157) menjelaskan bahawa “pelaksanaan teknik
token ekonomi dibagi menjadi 3 tahap, yaitu tahap persiapan, tahap
pelaksanaan, dan tahap evaluasi”. Tahapan dalam token ekonomi tersebut
yaitu ;
1. Tahap persiapan
Ada beberapa hal yang harus dipersiapkan dalam melaksankan teknik token
ekonomi yaitu: a). Menetapkan tingkah laku yang akan diubah atau perilaku
yang sudah di targetkan, b). Menentukan token yang akan menjadi alat
penukar, c). Memberikan nilai atau harga untuk setiap kegiatan atau perilaku
yang telah ditargetkan dengan token, d). Menetapkan harga barang dengan
token.
2. Tahap pelaksanaan
Pada tahap ini diawali dengan pembuatan kontrak antara peneliti dengan
responden. Kontrak cukup secara lisan atau tertulis dan kedua belah pihak
saling mengerti dan memahami. Perawat dalam tahap ini melaksanakan
pembelajaran sesui perencanaan. Apabila perilaku yang ditargetkan muncul,
maka segera berikan token atau koin. Setelah token atau koin terkumpul dan
mencukupi untuk ditukarkan dengan barang yang diinginkan, pasien
dibimbing ketempat penukaran dengan menukarkan nilai token dengan
barang yang didapat.
3. Tahap evaluasi
Tahap pelaksanaan ini akan diketahui faktor-faktor yang perlu ditambahi atau
dikurangi dalam daftar pengubahan perilaku yang telah dilaksanakan. Seperti
33
nilai token perlu diuji untuk setiap tingkah laku yang akan diubah, dan melihat
ketertarikan subjek dalam program yang dibuat. Keberhasilan dan kekurangan
dalam pelaksanaan didiskusikan untuk merencanakan program selanjutnya.
2.4.5 Manfaat Token Ekonomi
Martin 2015 mengatakan bahwa token ekonomi mempunyai dua
keuntungan yaitu; 1). Dapat diberikan dengan sesegera, setelah perilaku yang
diinginkan muncul dan juga dapat ditukarkan dengan backup reinforcement di
waktu berikutnya untuk mendapatkan penguat pendukung, 2). token lebih
mudah dijadikan penguat yang konsisten dan efektif ketika diperlakukan
dalam sekelompok individu yang jelas berbeda taraf motivasinya satu sama
lain.
2.5 Pengaruh Token Ekonomi Terhadap Personal Hygiene Pada Self Care
Deficit
Mengacu pada kajian secara teoritis sebelumnya, dapat dilihat
keterkaitan antara kedua variable penelitian. Self care deficit adalah gangguan
kemampuan melakukan aktifitas perawatan diri yang terdiri dari mandi,
berhias diri, berpakaian, makan dan toileting secara mandiri (Damayanti &
Iskandar, n.d.). Self care deficit ditandai dengan buruknya orientasi realitas yang
mengakibatkan menurunnya tingkat kesadaran pasien dalam melakukan
aktifitas sehari-hari seperti mandi, makan, berpakaian, berhias secara mandiri
(Johnson, 1997). Token ekonomi atau suatu kepingan adalah bentuk aplikasi
dari pendekatan behaviour, yang mana pendekatan ini erat kaitannya dengan
modifikasi perilaku (Kazdin, 2013). Pendekatan behaviour dengan
memodifikasi perilaku dapat diartikan upaya atau tindakan secara sistematis
teknik kondisioning pada manusia untuk menghasilkan perubahan perilaku
34
tertentu. Perilaku akan terbentuk kuat ketika di berikan reward atau hadiah
dengan berulang-ulang atau secara terus menerus dan dapat memberi
mamfaat meningkatkan perilaku. Neidert, Iwata & Dozier (2005) dalam Mei-
fenglin (2006) mengatakan bahwa perilaku dapat diubah dengan penguatan.
Token ekonomi dapat membantu mengidentifakasi dan meningkatkan
perubahan perilaku dalam perawatan orang dengan gangguan jiwa dan
pengobatan pasien dengan penyakit mental lainnya seperti self care deficit (Turk
ington et al, 2006).
Menurut skinner, jika seseorang memiliki pengalaman melakukan
suatu perilaku bersamaan dengan mendapatkan sesuatu reinfocement
seseorang akan cenderung mempertahankan perilakunya, karena
reinforcement yang ia dapatkan memperkuat munculnya perilaku. Meskipun
tidak ada hubungan sebab akibat diantara keduanya (Friedman, 2008). Terapi
token ekonomi ini dilakukan selama 3 minggu dan setiap kegiatan kontra
waktu hanya 10 menit dengan menciptakan lingkungan yang nyaman, selama
jangka waktu ini, pasien mendapatkan nilai atau token dalam perilaku sehari-
hari seperti daftar kehadiran, keterlibatan aktivitas, kesehatan masyarakat dan
kerapian.