VASCULAR ENDOTHELIAL GROWTH FACTOR (VEGF ...
-
Upload
khangminh22 -
Category
Documents
-
view
5 -
download
0
Transcript of VASCULAR ENDOTHELIAL GROWTH FACTOR (VEGF ...
!!
TESIS
VASCULAR ENDOTHELIAL GROWTH FACTOR (VEGF) DALAM CALCIUM SULFATE MENGINDUKSI LEBIH BANYAK SEL OSTEOBLAS DAN KOLAGEN
TIPE 1 PADA DEFEK TULANG FEMUR TIKUS SETELAH DILAKUKAN BONE RECYCLING GRAFT
DENGAN NITROGEN CAIR
TJOK AGUNG YAVATRISNA VIDYAPUTRA
PROGRAM PASCASARJANA UNIVERSITAS UDAYANA
DENPASAR 2016
!
!!
i!
TESIS
VASCULAR ENDOTHELIAL GROWTH FACTOR (VEGF) DALAM CALCIUM SULFATE MENGINDUKSI LEBIH BANYAK SEL OSTEOBLAS DAN KOLAGEN
TIPE 1 PADA DEFEK TULANG FEMUR TIKUS SETELAH DILAKUKAN BONE RECYCLING GRAFT
DENGAN NITROGEN CAIR
TJOK AGUNG YAVATRISNA VIDYAPUTRA NIM 1114118202
PROGRAM MAGISTER PROGRAM STUDI ILMU BIOMEDIK
PROGRAM PASCASARJANA UNIVERSITAS UDAYANA
DENPASAR 2016
!
!!
ii!
VASCULAR ENDOTHELIAL GROWTH FACTOR (VEGF) DALAM CALCIUM SULFATE MENGINDUKSI LEBIH BANYAK SEL OSTEOBLAS DAN KOLAGEN
TIPE 1 PADA DEFEK TULANG FEMUR TIKUS SETELAH DILAKUKAN BONE RECYCLING GRAFT
DENGAN NITROGEN CAIR
Tesis untuk Memperoleh Gelar Magister Pada Program Magister, Program Studi Ilmu Biomedik
Program Pascasarjana Universitas Udayana
TJOK AGUNG YAVATRISNA VIDYAPUTRA NIM 1114118202
PROGRAM MAGISTER PROGRAM STUDI ILMU BIOMEDIK
PROGRAM PASCASARJANA UNIVERSITAS UDAYANA
DENPASAR 2016
!
!!
iii!
Lembar Pengesahan
TESIS INI TELAH DISETUJUI
TANGGAL, 8 Nopember 2016
Mengetahui,
!
Pembimbing I, Prof. Dr. dr Putu Astawa, Sp.OT (K), M.Kes NIP 19530131 198003 1 004
Ketua Program Studi Ilmu Biomedik Program Pascasarjana Universitas Udayana Dr. dr. Gde Ngurah Indraguna Pinatih, M.Sc, Sp.GK NIP 19580521 198503 1 002
Direktur Program Pascasarjana Universitas Udayana Prof. Dr. dr. A.A. Raka Sudewi, Sp.S (K) NIP 19590215 198510 2 001
Pembimbing II, dr. Wayan Suryanto Dusak Sp.OT (K) NIP 19610803 198803 1 002
!
!!
iv!
Tesis Ini Telah Diuji pada
Tanggal: 8 Nopember 2016
Panitia Penguji Tesis Berdasarkan SK Rektor Universitas Udayana
No: 5391/UN14.4/HK/2016
Tertanggal: 2 Nopember 2016
Ketua: Prof. Dr. dr. I Ketut Siki Kawiyana, Sp. B., Sp.OT (K)
Anggota:
1.! Prof. Dr. dr Putu Astawa, Sp.OT (K), M.Kes
2.! dr. K.G Mulyadi Ridia, Sp.OT (K)
3.! dr. Wayan Suryanto Dusak Sp.OT (K)
4.! Dr. dr. I Ketut Suyasa, Sp.B, Sp.OT (K)
!
!!
vi!
UCAPAN TERIMA KASIH
Penulis mengucapkan syukur kehadapan Tuhan Yang Maha Esa karena berkat
rahmat-Nya Tesis yang berjudul Vascular Endothelial Growth Factor (VEGF)
dalam Calcium sulfate menginduksi lebih banyak Sel Osteoblas dan Kolagen tipe
1 pada Defek Tulang Femur Tikus setelah Dilakukan Bone Recycling Graft dengan
Nitrogen Cair dapat diselesaikan .
Penulis mengucapkan terimakasih kepada :
Prof. Dr. dr. Ketut Suastika, SpPD-KEMD, FINASIM, sebagai Rektor Fakultas
Kedokteran Universitas Udayana.
Prof. Dr. dr Putu Astawa, SpOT, M.Kes, selaku Dekan Fakultas Kedokteran
Universitas Udayana.
Prof. Dr. dr. A.A. Raka Sudewi, Sp.S (K), sebagai direktur program
Pascasarjana Universitas Udayana.
Dr. dr. Gde Ngurah Indraguna Pinatih, M.Sc, Sp.GK, sebagai ketua program
studi Ilmu Biomedik Program Pascasarjana Universitas Udayana
Prof. Dr. dr. Ketut Siki Kawiyana, SpB, SpOT (K), sebagai ketua program studi
Orthopaedi dan Traumatologi FK Udayana – RSUP Sanglah Denpasar dan selaku
pembimbing I, atas bimbingan dan arahannya dalam perbaikan penelitian ini.
Dr. dr. I Ketut Suyasa, SpB, SpOT (K), selaku Kepala Sub-Bagian/SMF
Orthopaedi dan Traumatologi FK Udayana – RSUP Sanglah Denpasar, atas nasihat
dan bimbingannya untuk bisa terselesainya usulan penelitian tersebut.
dr. Wayan Suryanto Dusak Sp.OT (K), selaku pembimbing II, atas nasihat dan
bimbingannya untuk bisa terselesainya usulan penelitian tersebut.
!
!!
vii!
Seluruh staf pengajar Orthopaedi dan Traumatologi FK Udayana RSUP
Sanglah Denpasar atas dukungan guna terselesaikannya usulan penelitisan tersebut.
Dr. drh. Ida Bagus Oka Winaya, M.Kes dan staff atas dukungannya
terselesainya penelitian tersebut.
Semua dosen pengajar Combined Degree Pascasarjana Universitas Udayana
yang telah banyak memberikn masukan dan bimbingan.
Keluarga tercinta yang selalu memberikan doa dan dukungan demi
terselesainya penelitian ini serta rekan-rekan dan semua pihak yang telah membantu
dalam penulisan laporan ini.
Penulis menyadari masih ada kekurangan dalam penelitian ini. Oleh karena itu
dengan segala keredahan hati penulis menerima saran dan kritik untuk perbaikan
penelitian ini.
Denpasar, September 2016
Penulis
!
!!
viii!
ABSTRACT
VASCULAR ENDOTHELIAL GROWTH FACTOR (VEGF) IN CALCIUM SULFATE INDUCES MORE OSTEOBLASTS AND TYPE I COLLAGEN IN RATS WITH FEMUR BONE DEFECTS AFTER BONE RECYCLING
GRAFT WITH LIQUID NITROGEN
Tjok Agung Y. Vidyaputra INTRODUCTION. Bone defects can be caused by trauma, neoplasms, congenital defects and infections. Reconstruction of bone defects to achieve ideal bone lengths and achieve union of the bone is still a challenge. The expression of growth factors such as vascular endothelial growth factor (VEGF) may stimulate bone healing process. Calcium sulfate is useful biomaterials conductor of growth factors such as VEGF. Administration VEGF in Calcium sulfate can help the process of bone regeneration by stimulating osteoblast proliferation and differentiation and the synthesis of type I collagen which can help regenerate bone defect. METHODS. The experimental study with randomized post-test only control group design with a sample of 32 male Wistar rats. These mice were then divided into two groups, and adapted for 1 week prior to the making defect on mice femur bone and bone recycling was done with liquid nitrogen. The first group were given VEGF in calcium sulfate bone graft, the second group were given only calcium sulfate bone graft. Wound care was done every day for 1 week. During the fourth week, removal of bone defect for examination of the expression of type I collagen and the number of osteoblast cells was done. RESULTS. The average number of osteoblast found on the rat that are given VEGF and calcium sulfate (387.875 ± 17.587) more than given calcium sulfate only. (284.937 ± 10.009), inferential test using independent t-test showed significant different on osteoblast number between two groups, p=0.000 (p<0,05). Expression of type I collagen is higher on samples that is given VEGF inside calcium sulfate with mean rank 24.50 compare with calcium sulfate only, mean rank 8.50. Using Mann-Whitney U it is found a significant different of type I collagen expression between two groups with p=0.000 (p<0.05). CONCLUSIONS. Provision of VEGF in calcium sulfate in rats with femur bone defects after bone recycling with liquid nitrogen, had more number of osteoblasts and higher expression of type I collagen was higher when compared to provision of calcium sulfate only. KEYWORDS: VEGF, Calcium Sulfate, bone defects, osteoblast, type I collagen, bone recycling, liquid nitrogen
!
!!
ix!
ABSTRAK
VASCULAR ENDOTHELIAL GROWTH FACTOR (VEGF) DALAM
CALCIUM SULFATE MENGINDUKSI LEBIH BANYAK SEL OSTEOBLAS DAN KOLAGEN TIPE 1 PADA DEFEK TULANG FEMUR TIKUS SETELAH DILAKUKAN BONE RECYCLING GRAFT DENGAN
NITROGEN CAIR
Tjok Agung Y. Vidyaputra PENDAHULUAN. Defek tulang dapat disebabkan oleh trauma, neoplasma, defek kongenital dan infeksi. Rekonstruksi defek tulang untuk mencapai panjang tulang yang ideal dan mencapai union dari tulang tersebut masih menjadi suatu tantangan tersendiri. Ekspresi faktor pertumbuhan seperti Vascular Endothelial Growth Factor (VEGF) dapat menstimulasi proses penyembuhan tulang. Calcium sulfate berguna sebagai biomaterial penghantar growth factor seperti VEGF. Pemberian VEGF dalam calcium sulfate dapat membantu proses regenerasi tulang melalui stimulasi proliferasi dan diferensiasi osteoblast serta sintesis kolagen tipe I yang dapat membantu regenerasi tulang yang mengalami defek. METODE. Penelitian eksperimental randomized post-test only control group design dengan sampel 32 ekor tikus Wistar jantan. Tikus kemudian dibagi menjadi 2 kelompok, dan diadaptasikan selama 1 minggu sebelum dilakukan pembuatan defek pada tulang femur tikus dan dilakukan bone recycling dengan nitrogen cair. Kelompok pertama diberikan VEGF dalam bone graft calcium sulfate, kelompok kedua hanya pemberian bone graft calcium sulfate. Perawatan luka dilakukan setiap hari selama 1 minggu dan pada minggu keempat dilakukan pengambilan defek tulang untuk pemeriksaan ekspresi dari kolagen tipe I dan jumlah sel osteoblas. HASIL. Didapatkan jumlah rerata osteoblas pada tikus dengan pemberian VEGF dalam calcium sulfate (387,875 ± 17,587) lebih banyak dibandingkan pemberian calcium sulfate saja (284,937 ± 10,009), uji inferensial dengan independent t-test menunjukkan perbedaan yang signifikan dari jumlah sel osteoblas antara kedua kelompok, dimana p=0,000 (p < 0,05). Didapatkan ekspresi kolagen tipe I yang lebih tinggi pada pemberian VEGF dalam calcium sulfate dengan mean rank 24,50 dibanding pemberian calcium sulfate saja, dengan mean rank 8,50. Dan uji Mann-Whitney U didapatkan perbedaan yang signifikan dari ekspresi kolagen tipe I antara kedua kelompok dengan nilai p=0,000 (p < 0,05). KESIMPULAN. Pemberian VEGF dalam calcium sulfate pada defek pada tulang femur tikus setelah dilakukan bone recycling dengan nitrogen cair, memiliki jumlah osteoblast lebih banyak dan ekspresi kolagen tipe I lebih tinggi bila dibandingkan dengan pemberian calcium sulfate saja. Kata kunci: VEGF, calcium sulfate, defek tulang, osteoblas, kolagen tipe I, bone recycling, nitrogen cair
!
!!
x!
DAFTAR ISI
!
LEMBAR PENGESAHAN ............................................................................................. iii
TESIS INI TELAH DIUJI PADA ................................................................................... iv
SURAT PERNYATAAN BEBAS PLAGIAT .................................................................. v
UCAPAN TERIMA KASIH ............................................................................................ vi
DAFTAR ISI ...................................................................................................................... x
DAFTAR TABEL ............................................................................................................ xv
DAFTAR SINGKATAN ................................................................................................. xvi
DAFTAR LAMPIRAN ................................................................................................ xviii
BAB I PENDAHULUAN ................................................................................................... 1
1.1 Latar Belakang Masalah ............................................................................................ 1
1.2 Rumusan Masalah ..................................................................................................... 3
1.3 Tujuan Penelitian ....................................................................................................... 4
1.3.1 Tujuan umum .......................................................................................... 4
1.3.2 Tujuan khusus ......................................................................................... 4
1.4 Manfaat Penelitian ..................................................................................................... 4
1.4.1 Manfaat Akademik/Ilmiah ...................................................................... 4
1.4.2 Manfaat praktis ....................................................................................... 5
BAB II KAJIAN PUSTAKA ............................................................................................. 6
2.1 Anatomi Tulang ......................................................................................................... 6
!
!!
xi!
2.1.2 Fisiologi dari pembentukan tulang .......................................................... 8
2.1.3 Pembentukan tulang ................................................................................ 9
2.1.4 Osteoblas ................................................................................................. 9
2.1.5 Matriks tulang ....................................................................................... 11
2.1.8 Osifikasi Intramembranous (Mesenchymal) ......................................... 13
2.2 Proses Penyembuhan Tulang ................................................................................... 16
2.2.1 Remodelling tulang ............................................................................... 18
2.2.2 Mediator dari Remodelling ................................................................... 21
2.2.3 Fase Remodelling .................................................................................. 21
2.2.4 Faktor regulator pada remodeling tulang .............................................. 24
2.2.5 Regulator lokal dari remodeling tulang ................................................ 25
2.2.6 Matriks Protein ...................................................................................... 26
2.2.7 Sitokin ................................................................................................... 27
2.3. Bone Recycling ...................................................................................................... 28
2.3.1. Pengertian cryosurgery ........................................................................ 29
2.3.2. Teknik cryosurgery .............................................................................. 30
2.3.3. Efek cryosurgery .................................................................................. 35
2.4 VEGF ....................................................................................................................... 42
2.5 Bone Graft ............................................................................................................... 44
2.5.1 Hydroxyapatite ...................................................................................... 47
2.6 Kolagen .................................................................................................................... 49
2.6.1. Fibril forming collagens – Kolagen tipe I, II, III, V, dan XI ............... 52
2.7 Hubungan VEGF, Calcium Sulfat dalam Pembentukan Sel Osteoblas dan Matriks
Osteoid ........................................................................................................................... 54
!
!!
xii!
BAB III KERANGKA BERPIKIR, KONSEP DAN HIPOTESIS .............................. 61
3.1 Kerangka Berpikir ................................................................................................... 61
3.2 Kerangka Konsep .................................................................................................... 63
3.3 Hipotesis .................................................................................................................. 64
BAB IV METODE PENELITIAN ................................................................................. 65
4.1 Rancangan Penelitian .............................................................................................. 65
4.2 Lokasi dan Waktu Penelitian ................................................................................... 65
4.3 Penentuan Sumber Data .......................................................................................... 65
4.3.1 Populasi ................................................................................................. 65
4.3.2 Sampel Penelitian dan Cara Pengambilan Sampel ............................... 65
4.3.2.2 Kriteria Eksklusi dan Drop out .......................................................... 66
4.4 Besar Sampel Penelitian .......................................................................................... 66
4.5 Variabel Penelitian .................................................................................................. 66
4.5.1 Klasifikasi variabel ............................................................................... 66
4.5.2 Definisi Operasional Variabel ............................................................... 67
4.6 Alat dan Bahan Penelitian ....................................................................................... 69
4.6.1 Alat Penelitian ....................................................................................... 69
4.6.2 Bahan Penelitian ................................................................................... 70
4.7 Cara Kerja ................................................................................................................ 70
4.8 Alur Penelitian ......................................................................................................... 73
4.9 Analisa Data ............................................................................................................ 73
BAB V HASIL PENELITIAN ........................................................................................ 60
5.1 Analisis Sampel ....................................................................................................... 60
5.1.1 Analisis deskriptif ................................................................................. 60
!
!!
xiii!
5.2 Analisis Inferensial .................................................................................................. 77
5.2.1 Uji normalitas dan homogenitas ........................................................... 77
5.2.2 Uji Independent T-Test ......................................................................... 78
5.2.3. Uji Mann-Whitney U ........................................................................... 79
BAB VI PEMBAHASAN HASIL PENELITIAN ......................................................... 70
6.1. Subjek Penelitian .................................................................................................... 70
6.2. Hubungan VEGF dalam Calcium Sulfat dengan Sel Osteoblas Pada Defek Tulang
Femur Tikus Setelah Dilakukan Bone Recycling dengan Nitrogen Cair. ..................... 81
6.3. Hubungan VEGF dalam Calcium Sulfat dengan Kolagen Tipe I pada Defek
Tulang Femur Tikus Setelah Dilakukan Bone Recycling dengan Nitrogen Cair. ........ 83
BAB VII SIMPULAN DAN SARAN ............................................................................. 75
7.1 Simpulan ................................................................................................................. 75
7.2 Saran ...................................................................................................................... 75
DAFTAR PUSTAKA ....................................................................................................... 86
!!!!!!!!!!!!!!!!!
!
!!
xiv!
!DAFTAR!GAMBAR!
!
Gambar 2.1 Siklus Sel dalam Cryosurgery…………... ...................................... 31
Gambar 2.2 Diagram Diagram mekanisme cedera endotel karena pendinginan… ..... 42
Gambar 2.3 Diagram Skematik Interaksi dari Beberapa Intracellular Signaling Pathways.
............................................................................................................................. 59
Gambar 3.1. Bagan Kerangka Berpikir ............................................................... 62
Gambar 3.2. Bagan Kerangka Konsep ................................................................ 63
Gambar 4.1 Skema Rancangan Penelitian .......................................................... 64
Gambar 4.2 Alur Penelitian ................................................................................ 73
!
!!
xv!
DAFTAR TABEL
Tabel 5.1 Distribusi frekuensi subjek penelitian masing-masing kelompok ...... 75
Tabel 5.2 Rerata jumlah osteoblas pada masing-masing kelompok................... 76
Tabel 5.3 Persentase ekspresi Kolagen tipe I pada masing-masing
kelompok………… ............................................................................................ 76
Tabel 5.4 Uji normalitas data variable jumlah osteoblas dengan Shapiro-Wilk 77
Tabel 5.5 Uji Homogenitas varian data variabel-variabel penelitian dengan
Levene’s Test..................................................................................................... 78
Tabel 5.6 Hasil uji komparabilitas data post-test variabel penelitian untuk
kelompok perlakuan dan kontrol…………………………………………….. 78
Tabel 5.7 Hasil uji komparabilitas data post-test variabel penelitian untuk
kelompok perlakuan dan kontrol……………………………………………. 79
!!
!
!!
xvi!
DAFTAR SINGKATAN
BMP : bone morphogenic protein 2
Cox-2 : cyclo-oxygenase-2
CREB : cAMP responsive element binding protein
CS : calcium sulfate
EGF : epidermal growth factor
FACIT : fibril associated collagens
FGF : fibroblast growth factor
GCT : giant cell tumor
GM-CSF : granulocyte / macrophage – colony stimulating factor
HA : hydroxyapatite
IGF -1 : insulin like growth factor 1
IL : interleukin
LEF : lymphoid enhancer factor
MAPK : mitogen-activated protein kinase
M-CSF : macrophage- colony stimulating factor
MSC : mesenchymal stem cell
NF-κB : nuclear factor-κB
PDGF : platelet- derived growth factor
PG : prostaglandin
PKA : protein kinase-A
PLC : phospholipase-C
!
!!
xvii!
PMN : polymorphonuclear neutrophils
PTH : paratiroid hormon
TCF : t-cell factor
TGF- β : transforming growth factor β
TNF : tumor necrosis factor
VEGF : vascular endothelial growth factor
!
!
!!
xviii!
DAFTAR LAMPIRAN
Lampiran 1. Surat Keterangan Kelaikan Etik
Lampiran 2. Surat Keterangan Selesai Melakukan Penelitian
Lampiran 3. Surat Keterangan Hasil Pemeriksaan Histopatologi dan
Imunohistokimia
Lampiran 4. Data Analisis SPSS
Lampiran 5. Dokumnetasi Penelitian
!
1!!
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang Masalah
Defek tulang dapat disebabkan oleh trauma, neoplasma, defek kongenital
dan infeksi. Rekonstruksi defek tulang untuk mencapai panjang tulang yang ideal
dan mencapai union dari tulang tersebut masih menjadi suatu tantangan tersendiri.
Defek tulang ini dapat sembuh sendiri pada kondisi lingkungan yang sesuai, namun
tetap meiliki tingkat non union tinggi akibat menurunnya vaskularisasi dan
insufisiensi kalsium. Pada kasus neoplasma ganas, lesi osteolitik banyak ditemukan
dan memerlukan tindakan rekonstruksi dengan megaprosthesis. Namun teknik ini
secara ekonomis masih mahal dan beberapa tindakan yang dilakukan seperti
kuretase pada neoplasma jinak agresif atau neoplasma ganas dapat menimbulkan
defek tulang, sehingga salah satu teknik alternatif yang dapat digunakan adalah
dengan teknik bone recycling.
Teknik bone recycling dapat dilakukan dengan adjuvant lokal seperti
nitrogen cair. Namun penggunaan nitrogen cair (cryosurgery) ternyata dapat
menyebabkan ischemia pada tulang, nekrosis pada jaringan, dan kerusakan
endothelium mikrovaskular yang dapat menimbulkan gangguan penyembuhan
tulang (Costa et al. 2011). Untuk membantu proses penyembuhan pada defek
tulang, maka diperlukan beberapa tindakan terapi seperti penggunaan graft tulang,
bahan bone transport atau biomaterial untuk kepentingan rekonstruksi (Nandi et al.
2010).
2!!
!!
Penggunaan prosedur graft tulang autolog saat ini merupakan standard
dalam hal penggantian defek tulang. Graft ini dapat mengisi defek tulang dan
menginduksi pembentukan jaringan tulang pada daerah defek karena memiliki sifat
osteoinduktif, osteokonduktif dan osteogenik. Namun penggunaan graft autolog
memiliki banyak keterbatasan terkait komplikasi yang terjadi pada tempat
pengambilan graft. Penggunaan allograft saat ini dapat memperbaiki keterbatasan
yang ada dari autolog graft (Munthe & Suroto 2014). Sampai saat ini, penggunaan
graft autolog maupun allograft ternyata masih menimbulkan permasalahan terkait
stabilitas biomekanik, serta kurangnya sifat osteogenisitas dan osteoinduksivitas
sehingga diperlukan substansi tertentu seperti faktor pertumbuhan, seperti FGF,
PDGF, TGF-β, dan BMP, untuk membantu meningkatkan osteogenisitas dan
osteoinduksivitas graft tersebut (Barnes et al. 1999; Nandi et al. 2010).
Ekspresi beberapa faktor pertumbuhan seperti FGF, PDGF, TGF-β, dan BMP
telah menunjukkan stimulasi terhadap penyembuhan tulang, sedangkan peran
langsung VEGF dalam penyembuhan tulang masih kurang jelas. Proses
angiogenesis dengan osteogenesis dalam homeostasis tulang merupakan proses
yang sinergis dan saling melengkapi untuk poses penyembuhan tulang, dan VEGF
merupakan salah satu faktor pertumbuhan yang dapat membantu meningkatkan
ekspresi BMP dan diferensiasi osteoblast sehingga proses penyembuhan tulang
dapat berlangsung baik pada defek tulang tersebut (Zelzer & Olsen 2004; Yang et
al. 2012). Untuk membantu proses penyembuhan tulang, pemberian VEGF
memerlukan bahan pembawa, dimana salah satunya dapat digunakan calcium
sulfate.
3!!
!!
Calcium sulfate sebagai suatu material biokompatibel dapat membantu proses
regenerasi defek tulang serta dapat digunakan sebagai biomaterial penghantar
growth factor yang berguna dalam proses angiogenesis dengan osteogenesis dalam
homeostasis tulang (Drosse et al. 2008; Thomas & Puleo 2009). Berdasarkan hal
tersebut, maka perlu dilakukan suatu penelitian untuk mengetahui efek growth
factor seperti VEGF dalam biomaterial calcium sulfate terhadap proses
penyembuhan defek tulang yang telah dilakukan bone recycling dengan nitogen
cair.
1.2 Rumusan Masalah
Dari latar belakang masalah yang diuraikan diatas, untuk membuktikan peran
VEGF dalam Calsium Sulfate terhadap penyembuhan tulang pada defek tulang
yang telah mengalami bone recycling dengan nitrogen cair, maka disusun rumusan
masalah sebagai berikut:
1.! Apakah pemberian VEGF dalam Calcium Sulfate pada defek tulang femur
tikus yang telah dilakukan bone recycling dengan nitrogen cair
menginduksi sel osteoblast lebih banyak dibandingkan tanpa pemberian
VEGF?
2.! Apakah pemberian VEGF dalam Calcium Sulfate pada defek tulang femur
tikus yang telah dilakukan bone recycling dengan nitrogen cair
menginduksi ekspresi kolagen tipe I lebih banyak dibandingkan tanpa
pemberian VEGF?
4!!
!!
1.3! Tujuan Penelitian
1.3.1 Tujuan umum
Memperkuat teori penyembuhan pada defek tulang dengan penggunaan growth
factor VEGF dan bone graft Calcium Sulfate dalam hal meningkatkan sel Osteoblas
dan ekspresi Kolagen tipe I.
1.3.2 Tujuan khusus
1.! Membuktikan pemberian VEGF dalam Calcium Sulfate pada defek tulang
femur tikus yang telah dilakukan bone recycling dengan nitrogen cair
menginduksi sel osteoblast lebih banyak dibandingkan tanpa pemberian
VEGF.
2.! Membuktikan pemberian VEGF dalam Calcium Sulfate pada defek tulang
femur tikus yang telah dilakukan bone recycling dengan nitrogen cair
menginduksi ekspresi kolagen tipe I lebih banyak dibandingkan tanpa
pemberian VEGF.
1.4! Manfaat Penelitian
1.4.1 Manfaat Akademik/Ilmiah
Apabila penelitian ini terbukti, diharapkan hasilnya dapat menambah ilmu
pengetahuan teori tentang peran VEGF dalam graft Calcium Sulfate dapat
menginduksi ekspresi kolagen tipe I lebih banyak pada defek tulang tikus yang telah
dilakukan bone recycling dengan nitrogen cair. Disamping itu menambah
pengetahuan bahwa VEGF sebagai suatu substansi angiogenik yang dapat
5!!
!!
membantu menginduksi osteoinduksivitas dan osteogenisitas graft pada
penyembuhan defek tulang.
1.4.2! Manfaat praktis
Apabila penelitian ini terbukti dapat dipergunakan sebagai data penelitian
lebih lanjut untuk menjadikan VEGF sebagai substansi untuk membantu kinerja
graft dalam penyembuhan defek tulang.
!
6!!
BAB II
KAJIAN PUSTAKA
2.1 Anatomi Tulang
Tulang dapat dikategorikan menjadi tulang panjang, tulang pendek, tulang
pipih, dan tulang yang tidak teratur. Tulang panjang meliputi klavikula, humerus,
radius, ulna, metakarpal, femur, tibia, fibula, metatarsal dan phalang. Tulang
pendek meliputi tulang karpal, tarsal, patella dan tulang sesamoid. Tulang pipih
meliputi skapula, sternum dan tulang rusuk. Tulang tidak teratur meliputi vertebra,
sacrum dan tulang ekor. Tulang pipih terbentuk dengan pembentukan tulang secara
membranosa, sedangkan tulang panjang terbentuk oleh kombinasi dari
pembentukan tulang secara endochondral dan membranosa (Clarke 2008).
Tulang panjang terdiri dari batang berongga, atau diafisis; metafisis
berbentuk kerucut di bawah lempeng pertumbuhan; dan epifisis yang bulat di atas
piring pertumbuhan dilapisi oleh tulang rawan pada sebagian dari strukturnya.
Diafisis terdiri dari tulang kortikal yang padat, sedangkan metafisis dan epifisis
terdiri dari anyaman tulang trabekular dikelilingi oleh tulang kortikal yang relatif
tipis(Clarke 2008). Kanalis medularis pada tulang panjang yang berisi sumsum
tulang, berada di dalam diafisis dari tulang panjang dan dikelilingi oleh lapisan
tulang kortikal. Bagian metafisis dan diafisis dari tulang panjang lebih banyak
mengandung tulang kanselosa dimana terdapat banyak sekali jaringan trabekula
dengan sistem kanalis dan kavitas yang terisi sumsum tulang (McGonnell et al.
2012).
!!
!!
7!
Tulang adalah struktur penyangga tubuh yang sangat spesialistik, yang
bersifat kaku, keras, dan memiliki kekuatan untuk beregenerasi. Tulang melindungi
organ vital, dan menyediakan lingkungan untuk sumsum tulang (baik untuk
pembentukan sel darah dan penyimpanan lemak), berfungsi sebagai cadangan
mineral untuk homeostasis kalsium, dan tempat penyimpanan faktor pertumbuhan
dan sitokin, dan juga mempunyai peran dalam pengaturan asam-basa. Tulang secara
konstan mengalami perubahan selama masa hidupnya, dengan tujuan untuk
beradaptasi dari perubahan biomekanik, dan juga remodelling untuk
menghilangkan tulang tua yang rusak dan menggantinya menjadi tulang baru yang
lebih kuat, sehingga kekuatan tulang tetap terjaga. Tulang mempunyai dua
komponen, tulang kortikal yang bersifat padat, solid, dan mengelilingi ruang
sumsum tulang, dan tulang trabekular yang terdiri dari struktur honeycomb yang
mengelilingi kompartemen sumsum tulang. Tulang kortikal mempunyai lapisan
permukaan luar berupa periosteum dan permukaan dalam berupa endosteum.
Periosteum merupakan jaringan ikat fibrosa yang mengelilingi permukaan luar dari
tulang kortikal, kecuali pada sendi dimana tulang dilapisi oleh articular cartilage.
Periosteum berisi pembuluh darah, saraf, osteoblas, dan osteoklas. Periosteum
berfungsi untuk melindungi, memberi makan, dan membantu dalam pembentukan
tulang. Periosteum juga mempunyai peran yang penting dalam appositional growth
dan penyembuhan fraktur. Endosteum adalah struktur membranosa yang melapisi
permukaan dalam dari tulang kortikal, tulang cancellous, dan kanal pembuluh darah
(Volkmann’s canal) pada tulang. Terlebih lagi, berdasarkan pola dari pembentukan
kolagen pada osteoid, terdapat dua tipe tulang: woven bone, yang bercirikan
!!
!!
8!
susunan yang tidak beraturan dari serat kolagen dan lamellar bone, yang bercirikan
kolagen yang tersusun secara parallel dengan lamellae. Lamellar bone, sebagai
hasil dari susunan kolagen fibril, memiliki kekuatan mekanis yang serupa dengan
plywood. Pola normal dari lamellar bone tidak terdapat dalam woven bone, dimana
kolagen fibril tersusun dengan pola yang acak. Oleh karena itu, woven bone lebih
lemah dibandingkan dengan lamellar bone. Woven bone diproduksi ketika
osteoblast memproduksi osteoid dengan cepat. Hal ini terjadi pada tulang fetal dan
pada penyembuhan fraktur, akan tetapi woven bone akan digantikan dengan suatu
proses remodeling menjadi lamellar bone. Secara virtual, semua tulang pada orang
dewasa sehat adalah lamellar bone (Lieberman & Friedlaender 2005).
2.1.2 Fisiologi dari pembentukan tulang
Tulang terdiri dari sel penyangga, yakni osteoblas dan osteosit; sel remodeling
yang disebut dengan osteoklas dan matriks kolagen non mineral dan protein non
kolagen yang disebut dengan osteoid, dengan garam mineral inorganik dideposisi
di dalam matriks. Sepanjang hidup, tulang mengalami proses pertumbuhan
longitudinal dan radial, modeling, dan remodeling (Clarke 2008). Pertumbuhan
longitudinal terjadi pada growth plates, dimana kartilago akan berproliferasi pada
daerah epifisis dan metafisis dari tulang panjang, sebelum memasuki tahap
mineralisasi dan membentuk tulang baru primer (Bayliss et al. 2012).
!!
!!
9!
2.1.3 Pembentukan tulang
Osifikasi (atau osteogenesis) adalah suatu proses pembentukan tulang baru oleh
sel yang disebut dengan osteoblas. Sel ini dan matriks tulang adalah dua elemen
yang paling penting yang terlibat dalam pembentukan tulang. Proses dari
pembentukan tulang normal melibatkan dua proses penting, yakni:
1.! Osifikasi intramembranosa, dengan ciri pelapisan tulang ke jaringan ikat
primitive (mesenkim), menjadi formasi tulang (tulang tengkorak, klavikula,
mandibular). Hal ini juga tampak pada penyembuhan fraktur yang diterapi
dengan open reduction dan stabilisasi oleh plat metal dan screws.
2.! Osifikasi endokondral, dimana terdapat model kartilago sebagai prekursor
(contoh: femur, tibia, humerus, radius). Ini merupakan proses yang paling
penting yang terjadi sewaktu penyembuhan fraktur ketika diterapi dengan
imobilisasi cast. Apabila proses formasi jaringan tulang terjadi pada lokasi
ekstra skeletal, terminologinya disebut dengan heterotopic ossification.
Tiga langkah dasar pada osteogenesis adalah:
a.! Sintesis dari matriks ekstraselular organik (osteoid)
b.! Mineralisasi matriks menjadi formasi tulang
c.! Remodelling tulang dengan proses resorpsi dan reformasi (Clarke
2008).
2.1.4 Osteoblas
Osteoblas adalah sel mononuklear yang bertanggung jawab dalam sintesis dan
mineralisasi tulang pada saat proses pembentukan dan remodeling pada tulang.
!!
!!
10!
Osteoblas berasal dari sel punca mesenkim yang pluripoten. Selain dapat menjadi
osteoblas, sel punca mesenkim ini dapat berdiferensiasi menjadi turunan sel
mesenkim lainnya seperti fibroblas, kondrosit, mioblas dan sel stroma sumsum
tulang. Diferensiasi ini bergantung pada jalur sinyal transkripsi yang
diaktivasi(Papachroni et al. 2009).
Osteoblas memainkan peran yang penting dalam proses pembentukan, induksi,
regulasi dari mineralisasi matriks ekstraselular dan kontrol dari remodeling tulang.
Pada saat pembentukan tulang, osteoblas dewasa akan mensintesis dan mensekresi
kolagen tipe I dan protein non kolagen lainnya seperti osteocalcin, osteopontin dan
sialoprotein tulang (Uchihashi et al. 2013).
Osteoblas berasal dari mesenchymal stem cells (sel osteoprogenitor) dari
stroma sumsum tulang dan bertanggung jawab untuk sintesis matriks tulang dan
mineralisasinya. Perubahan dari mesenchymal stem cells menjadi osteoblast
membutuhkan protein protein tertentu. Osteoblas adalah sel mononuclear dan
bentuknya bervariasi dari rata, lonjong, sesuai dengan tingkat aktivitas selularnya,
dan pada tahap akhir maturitasnya, berjajar sepanjang permukaan pembentukan
tulang. Osteoblas bertanggung jawab untuk regulasi dari osteoklas dan deposisi dari
matriks tulang. Sewaktu mereka berdiferensiasi, osteoblas akan mendapatkan
kemampuan untuk mensekresi matriks tulang. Puncaknya, sebagian osteoblas akan
terperangkap pada matriks tulangnya sendiri, dan akan berubah menjadi osteosit
yang secara perlahan akan berhenti mensekresi osteoid. Osteosit adalah sel yang
paling banyak terdapat pada tulang; sel ini berkomunikasi satu dengan yang lainnya
dan dengan lingkungan sekitarnya melalui perpanjangan dari membrane plasma.
!!
!!
11!
Oleh karena itu, osteosit berfungsi sebagai sensor mekanis, dan memerintah
osteoklas dimana dan kapan untuk meresorbsi tulang dan kepada osteoblas dimana
dan kapan untuk membentuk tulang. Osteoblas, yang kaya akan alkalin fosfatase
(organic phosphate-splitting enzyme), mempunyai reseptor untuk hormone
paratiroid dan estrogen. Juga hormon, faktor pertumbuhan, aktivitas fisik, dan
stimulus lainnya yang bekerja melalui osteoblas dan memberikan efeknya pada
tulang(McGonnell et al. 2012).
2.1.5 Matriks tulang
Struktur dari tulang terdiri dari:
•! Komponen inorganik (69%), terdiri dari hydroxyapatite (99%)
•! Komponen organic (22%), terdiri dari kolagen (90%) dan protein structural
nonkolagen, yang termasuk proteoglycans, sialoproteins, dan 2HS-
glycoprotein.
Komponen fungsional dari tulang termasuk growth factors dan sitokin. Kekerasan
dan kekakuan dari tulang disebabkan karena adanya garam mineral pada matriks
osteoid, yang merupakan kompleks kristalin dari kalsium dan fosfat
(hydroxyapatite). Tulang yang terkalsifikasi terdiri dari 25% matriks organic, 5%
air, dan 70% mineral inorganic (hydroxyapatite). Kolagen 1 mencakupi 90-95%
matriks organik tulang (Clarke 2008). Osteoblas mensintesis dan membentuk
precursor dari kolagen tipe I. Mereka juga memproduksi osteocalcin, yang
merupakan protein non collagenous terbanyak dari matriks tulang, dan juga
proteoglycan. Kolagen tipe I dibentuk oleh osteoblast dan dideposit secara parallel
!!
!!
12!
atau konsentrik untuk membentuk tulang matur (lamellar bone). Ketika tulang
secara cepat dibentuk, seperti pada fetus atau pada suatu keadaan patologis (contoh:
kalus dari fraktur, fibrous dysplasia, hiperparatiroid), kolagen tidak di depositkan
secara parallel melainkan berbentuk seperti keranjang, sehingga terbentuklah tulang
primitive, imatur atau woven bone. Osteoblas juga mensintesis dan mensekresi
protein nonkolagenous, seperti proteoglycans, glycosylated proteins, glycosylated
proteins with potential cell-attachment activities, dan g-carboxylated (gla) protein.
Protein terglikosilasi utama yang terdapat pada tulang adalah alkaline phosphatase,
yang mempunyai peran dalam mineralisasi tulang (McGonnell et al. 2012).
2.1.6 Mineral Tulang
Crystalline hydroxyapatite [Ca 10 (PO 4)6(OH)2 merupakan komponen utama
dari mineral tulang, yang menyusun kurang lebih seperempat dari volume dan
setengah dari massa tulang normal orang dewasa. Kristal mineral ini (menurut
mikroskop electron), dideposit sepanjang dan dekat dengan fibril kolagen tulang.
Komponen kalsium dan fosforus (fosfat inorganik) dari kristal ini diperoleh dari
plasma darah yang berasal dari sumber makanan. Amorphous calcium phosphate
menjadi dewasa melalui beberapa tahap untuk membentuk hydroxyapatite. Hasil
akhirnya adalah amalgam yang terorganisasi dengan banyak protein, terutama
kolagen, dan mineral, terutama hydroxyapatite, yang memiliki integritas structural
yang cukup untuk menjalani fungsi mekanis dari tulang. Metabolit vitamin D dan
hormone paratiroid (PTH) merupakan mediator penting dalam regulasi kalsium,
!!
!!
13!
defisiensi vitamin D atau hiperparatiroidisme yang dapat menyebabkan kurangnya
mineral tulang (Lieberman & Friedlaender 2005).
2.1.7 Osteosit
Osteosit merupakan osteoblas yang telah berdiferensiasi sampai tahap akhir
dan berfungsi pada jaringan untuk menyangga struktur tulang dan metabolisme.
Osteosit menjaga hubungan satu dengan yang lainnya dengan permukaan tulang
melalui filipodial cellular processes. Osteosit terhubung secara metabolis dan
elektrik melalui gap junctions, yang terutama tersusun atas connexin (Prideaux et
al. 2016). Keberadaan dari lacunae kosong pada tulang menunjukkan bahwa
osteosit akan mengalami proses apoptosis, mungkin disebabkan dari kerusakan gap
junctions interselular atau interaksi matriks sel. Apoptosis osteosit sebagai respon
dari defisiensi estrogen atau terapi glukokortikoid memiliki efek yang buruk pada
struktur tulang. Terapi estrogen dan bifosfonat dan physiologic loading dari tulang
dapat membantu mencegah apoptosis osteoblas dan osteosit (McGonnell et al.
2012).
2.1.8 Osifikasi Intramembranous (Mesenchymal)
Osifikasi intramembranous adalah salah satu dari dua proses yang penting
dalam pembentukan struktur skeletal janin mamalia, yang menghasilkan
pembentukan dari jaringan tulang. Osifikasi intramembranous terutama terjadi
pada pembentukan tulang pipih dari tulang tengkorak, mandibular, maksila, dan
klavikula; hal ini juga merupakan proses penting dalam penyembuhan tulang
!!
!!
14!
normal (Yang et al. 2015). Tulang terbentuk dari jaringan ikat seperti jaringan
mesenkim, bukan dari kartilago. Tahap tahap dari osifikasi intramembranous
adalah pembentukan ossification center, kalsifikasi, pembentukan trabekula,
perkembangan periosteum.
Sel yang penting dalam pembentukan jaringan tulang melalui osifikasi
intramembranous adalah mesenchymal stem cell. MSCs pada mesenkim manusia
atau kavitas medulari dari fraktur tulang, akan menginisiasi osifikasi
intramembranous. MSC adalah sel yang tidak bersifat khusus, yang morfologinya
mempunyai karakteristik yang berubah sewaktu ia berkembang menjadi osteoblas.
Proses dari osifikasi membranous, yang intinya adalah mineralisasi langsung dari
jaringan ikat yang kaya akan pembuluh darah, mulai dari beberapa titik yang juga
dikenal sebagai centre of ossification (Street et al. 2002). Pada titik pusat tersebut,
sel mesenkimal (sel osteoprogenitor) berproliferasi dan menyatu disekitar jaringan
kapiler. Diantara sel sel dan disekitar pembuluh darah terdapat substansi amorphous
dengan struktur kolagen fiber yang tertata rapi. Sel osteoprogenitor berdiferensiasi
menjadi osteoblas, yang menciptakan osteoid pada titik tengan agregasi. Osteoblas
memproduksi matriks tulang dan dikelilingi oleh fiber kolagen dan menjadi
osteosit. Pada titik ini, osteoid menjadi termineralisasi, menjadi sebuah nidus yang
terdiri dari osteoid termineralisasi yang mengandung osteosit dan dilapisi oleh
osteoblast aktif. Nidus ini bermula sebagai gabungan difus dari MSC yang telah
menjadi jaringan tulang (Zelzer & Olsen 2004). Proses dari terperangkapnya
osteoblast berlanjut, trabekula perlahan menebal, dan mengintervensi ruang
vascular (lapisan spongiosa) dan menyempit secara perlahan. Pada tulang
!!
!!
15!
cancellous, akan tetapi, proses ini berjalan lambat, dan ruang nnya akan kelak
ditempati oleh jaringan hemopoietik . Seiring perubahan ini terjadi pada ossification
center, jaringan mesenkim sekitar akan berkondensasi menjadi periosteum
fibrovaskular disekitar tepi dan permukaannya. Periosteum akan terbentuk, dan
opertumbuhan tulang akan berlanjut pada permukaan trabekula. Seperti spicules,
pertumbuhan dari trabekula akan menghasilkan interkoneksi, dan jaringan ini
disebut dengan woven bone. Seiring waktu woven bone akan digantikan dengan
lamellar bone. Perkembangan dari proses osifikasi berlanjut disertai dengan peran
stem cells yang berasal dari bagian dalam dari periosteum (McGonnell et al. 2012).
2.1.8 Osifikasi Intracartilaginous (Endochondral)
Osifikasi endochondral (Greek: endon, “dalam”, chondros, “kartilago”) terjadi
pada tulang panjang dan sebagian besar tulang di dalam tubuh; hal ini mencakup
pembentukan inisial kartilago hialin yang terus bertumbuh. Osifikasi ini juga
merupakan proses penting selama pertumbuhan panjang dari tulang panjang dan
penyembuhan alami sewaktu fraktur tulang
Langkah langkah dalam osifikasi endochondral adalah:
1.! Pembentukan model kartilago
2.! Pertumbuhan dari model kartilago
3.! Perkembangan dari primary ossification center
4.! Perkembangan dari secondary ossification center
5.! Pembentukan dari articular cartilage dan lempeng epifisis.
!!
!!
16!
Osifikasi Endochondral bermula dari sebuah titik pada kartilago yang disebut
dengan ”primary ossification centers”. Titik ini muncul pada saat perkembangan
fetus, walaupun beberapa tulang pendek memulai primary ossification nya setelah
lahir. Osifikasi ini bertanggung jawab pada pembentukan diafisis tulang panjang,
tulang pendek, dan beberapa bagian dari tulang irregular. Secondary ossification
terjadi setelah lahir dan membentuk epifisis dari tulang panjang dan ekstremitas
dari tulang irregular dan tulang pipih. Diafisis dan epifisis dari tulang panjang
dipisahkan oleh zona pertumbuhan kartilago (lempeng epifisis). Ketika anak
tersebut mencapai tingkat maturitas skeletal (18-25 tahun), semua dari kartilago
akan digantikan oleh tulang, menggabungkan diafisis dan epifisis (penutupan
epifisis) (McGonnell et al. 2012).
2.2 Proses Penyembuhan Tulang
Tahap penyembuhan tulang dibagi menjadi 5 tahap yakni: formasi
(pembentukan) hematom, inflamasi, soft callus, hard callus dan remodeling. Perlu
diingat bahwa tahap-tahap ini dapat berjalan dengan saling tumpang tindih,
sehingga pada setiap bagian fraktur, mungkin saja sedang terjadi tahap
penyembuhan yang berbeda-beda (Carano & Filvaroff 2003)
1.! Formasi Hematoma
Fraktur menyebabkan kerusakan struktural dari tulang, sumsum tulang,
periosteum, otot, pembuluh darah dan jaringan lunak lainnya. Hal ini menyebabkan
terbentuknya hematoma, yang diawali dengan perubahan fibrinogen menjadi fibrin.
Hematoma ini ditandai dengan pH yang rendah, hipoksia dan terdapat sel-sel
!!
!!
17!
inflamasi. Hematoma berfungsi sebagai penyangga sementara sebelum invasi dari
sel-sel inflamasi lainnya.
2.! Inflamasi
Tahap inflamasi ini mendominasi respons selular pada tahap awal
penyembuhan tulang. Sel pertama yang akan di rekrut dalam proses inflamasi
adalah polymorphonuclear neutrophils (PMNs). Sel-sel yang berakumulasi dalam
jam-jam pertama setelah cedera ini tertarik karena adanya sel-sel mati dan debris.
PMN sendiri berumur pendek (sekitar 1 hari), tetapi akan mensekresi beberapa jenis
chemokines (seperti C-C motif chemokine 2 (CCL2) dan IL-6) yang akan menarik
makrofag yang berumur lebih panjang. PMN diperikirakan memiliki efek negatif
pada penyembuhan tulang, sementara makrofag memiliki efek positif. Reaksi
inflamasi yang terjadi ini membantu proses penyembuhan tulang dengan cara
menstimulasi angiogenesis, menyebabkan terjadinya produksi dan diferensiasi
mesenchymal stem cells (MSC) dan meningkatkan sintesis ekstraselular matriks.
3.! Soft Callus
Pembentukan soft callus ditandai dengan diferensiasi dari sel progenitor
menjadi kondrosit dan osteoblas. Bergantung dari lingkungan, proses mekanis dan
suplai aliran darah ke daerah fraktur, sel yang utama yang terdapat pada callus dapat
berupa kartilago atau osteoid. Sel-sel ini akan menggantikan hematoma dan
jaringan fibrosa.
4.! Hard Callus
Hard Callus diartikan sebagai perubahan dari kartilago menjadi matriks
kartilago yang terkalsifikasi dengan diferensiasi pada kondrosit terminal. Pada
!!
!!
18!
manusia, tahap ini terjadi beberapa minggu setelah fraktur. Seiringnya dengan
proses kalsifikasi, kondrosit hipertrofik akan menjadi semakin dewasa dan
pembuluh darah akan masuk ke dalam callus. Sel yang dominan pada tahap ini
adalah osteoblas dan osteoklas karena jumlah kondrosit akan semakin berkurang
pada tahap ini.
5.! Remodeling
Fase ini adalah fase dimana jaringan yang sebelumnya rusak, kembali ke
keadaannya sebelum rusak. Pada saat remodeling, arsitektur kanalikular dari tulang
akan dibangun kembali dan sistem haversian dengan osteositnya akan dibentuk
kembali. Prosesnya dimulai saat konsolidasi telah terjadi dan dapat terus berlanjut
sampai 6-9 tahun, sehingga memakan waktu 70% dari waktu keseluruhan
penyembuhan tulang. Saat remodeling, interaksi antara osteoblas dan osteoklas
akan mengakibatkan pembentukan tulang lamellar. Fenomena ini, dideskripsikan
sebagai Wollf’s law, mencakup penguatan dari arsitektur tulang sebagai respon dari
pemberian beban pada tulang (Phillips 2005).
2.2.1 Remodelling tulang
Remodelling tulang adalah suatu proses seumur hidup, dimana tulang lama di
resorpsi dari skeletal, dan tulang baru ditambahkan melalui proses yang disebut
osifikasi. Remodelling mencakup resorpsi tulang yang terus menerus dan diganti
dengan sintesis dan mineralisasi matriks untuk membentuk tulang baru. Proses ini
juga mengatur pembentukan atau penggantian tulang selama pertumbuhan dan
mengikuti cedera seperti fraktur dan juga kerusakan kecil / microdamage, hal ini
!!
!!
19!
mencegah akumulasi kerusakan kecil tulang melalui penggantian tulang lama
dengan tulang baru yang terjadi melalui aktivitas normal. Remodelling juga
merespon kepada mechanical loading. Sebagai hasilnya, tulang baru ditambahkan
di tempat yang dibutuhkan dan dihilangkan di bagian yang tidak dibutuhkan. Proses
ini penting dalam menjaga kekuatan tulang dan homeostasis mineral. Skeletal
merupakan organ yang aktif secara metabolik dan mengalami remodeling yang
terus menerus sepanjang hidup. Remodelling ini penting untuk menjaga integritas
structural dari tulang dan juga sebagai fungsi metabolik sebagai tempat
penyimpanan kalsium dan fosforus (Pearce et al. 2007).
Siklus remodeling tulang normal membutuhkan proses resorpsi tulang dan
formasi tulang dalam suatu pola yang telah terkoordinasi, yang pada akhirnya
bergantung pada perkembangan dan aktivasi osteoklas dan osteoblas. Kemampuan
dari tulang, yang secara konstan meresorpsi tulang lama dan membentuk tulang
baru, menjadikan tulang sebagai suatu jaringan yang sangat dinamis yang
memungkinkan terjaganya jaringan tulang, perbaikan dari jaringan yang rusak, dan
homeostasis dari metabolism phosphocalcic. Siklus remodeling tulang meliputi
langkah langkah yang diregulasi secara baik yang bergantung pada interaksi dua
buah turunan sel, yakni turunan osteoblastik mesenkimal dan turunan osteoklastik
hematopoetik. Keseimbangan antara resorpsi dan deposisi tulang ditentukan oleh
aktivitas dua jenis sel, yakni osteoklas dan osteoblas. Osteoblas dan osteoklas, yang
digabungkan melalui proses sinyal parakrin, disebut sebagai unit remodeling tulang
(Pearce et al. 2007; Crockett et al. 2011).
!!
!!
20!
Pada skeletal berusia muda, jumlah dari tulang yang diresorpsi proporsional
dengan tulang yang terbentuk. Untuk alasan ini, proses ini merupakan proses yang
seimbang. Umur rata rata dari unit remodeling ini adalah 2-8 bulan, dan sebagian
besar waktunya dihabiskan dalam proses pembentukan tulang.
Walaupun tulang kortikal memakan 75% dari total volume, rasio metabolic
sepuluh kali lebih tinggi pada tulang trabecular, karena rasio permukaan dengan
rasio jauh lebih besar (permukaan tulang trabecular mencakup 60% dari total). Oleh
karena itu, kira kira 5-10% dari keseluruhan tulang diperbaharui setiap tahunnya.
Osteoklas memiliki channels ion aktif pada membran sel yang memompa
proton ke ruangan ekstraselular, jadi menurunkan pH pada lingkungan mikro
disekitarnbya. Penurunan dari pH ini melarutkan mineral tulang. Siklus remodeling
tulang mencakup langkah sekuensial yang kompleks. Keseimbangan tulang adalah
perbedaan dari tulang lama yang diresorbsi dan tulang baru yang terbentuk. Balans
tulang periosteum sedikit positif, sedangkan balans tulang endosteal dan trabecular
sedikit negatif, sehingga menyebabkan oenipisan kortikal dan trabecular seiring
dengan bertambahnya usia.
Fungsi remodeling tulang yang telah diketahui termasuk menjaga kekuatan
mekanis tulang dengan mengganti tulang yang mengalami kerusakan kecil dengan
tulang baru yang sehat, dan melalui homeostasis kalsium dan fosfat. Tingkat
turnover dari tulang kortikal orang dewasa yang rendah (2-3% per tahun) cukup
untuk menjaga klekuatan biomekanik dari tulang. Rasio turnover dari tulang
trabekular lebih tinggi, lebih dari yang dibutuhkan untuk menjaga kekuatan
mekanis tulang, mengindikasikan turnover tulang trabekular lebih penting untuk
!!
!!
21!
metabolism mineral. Peningkatan kebutuhan untuk kalsium dan fosfor
membutuhkan unit remodeling tulang yang lebih banyak (Lieberman &
Friedlaender 2005; Crockett et al. 2011).
2.2.2 Mediator dari Remodelling
Osteoklas adalah satu satunya sel yang diketahui mampu untuk meresorpsi
tulang. Osteoklas umumnya mempunyai banyak nukelus. Osteoklas berasal dari sel
prekursor mononuclear dari turunan monocytemacrophage (hematopoietic stem
cells yang memberikan turunan terhadap monosit dan macrofag). Prekursor
mononuclear monocytemacrophage telah diidentifikasi pada berbagai jenis
jaringan, akan tetapi sel precursor monocytemacrophage yang berasal dari sumsum
tulang yang diperkirakan menghasilkan paling banyak osteoklas
Osteoblas dapat menstimulasi untuk meningkatkan massa tulang melalui
peningkatan sekresi dari osteoid dan menghambat kemampuan dari osteoklas untuk
memecah jaringan osseous. Pembentukan tulang melalui peningkatan formasi
osteoid, distimulasi oleh sekresi growth hormone oleh pituitary, hormone tiroid dan
hormone sex (estrogen dan androgen). Mediator lain yang berperan adalah RANK
dan Osteoprotegerin (Sipola 2009; McGonnell et al. 2012).
2.2.3 Fase Remodelling
Remodelling tulang dapat dibagi menjadi enam fase, yakni quiescent,
activation, resorption, reversal, formation, dan mineralization. Mineralization
merupakan tahap yang paling akhir. Proses ini terjadi pada daerah remodeling, yang
!!
!!
22!
didistribusikan secara acak, akan tetapi lebih difokuskan pada daerah yang
membutuhkan perbaikan (Crockett et al. 2011).!
1.! Fase quiescent. Merupakan fase tulang pada saat istirahat. Faktor faktor
yang menginisiasi proses remodeling belum diketahui.
2.! Fase activation. Fenomena pertama yang terjadi adalah aktivasi dari
permukaan tulang sebelum resorpsi, walaupun retraksi dari sel yang
melapisi tulang dan digesti dari membrane endosteal melalui aksi
kolagenase. Fase ini mencakup perekrutan dan aktivasi dari mononuclear
monocyte-macrophage osteoclast precursors dari sirkulasi, sehingga
menyebabkan interaksi dari sel prekursor osteoklas dan osteoblast. Hal ini
mengakibatkan diferensiasi, migrasi, dan fusi dari osteoklas multinukleasi
yang berukuran besar. Sel ini akan menempel pada permukaan tulang yang
telah termineralisasi dan menginisiasi resorpsi dengan cara mensekresi ion
hydrogen dan enzim lysosomal, terutama cathepsin K, yang dapat
mendegradasi seluruh komponen dari nmatriks tulang, termasuk kolagen,
pada pH yang rendah.
3.! Fase Resorption. Osteoklas mulai untuk menghancurkan matriks mineral
dan matriks osteoid. Proses ini diselesaikan oleh makrofag dan
memungkinkan pelepasan factor pertumbuhan yang terkandung dalam
matriks, yang secara fundamental mengubah Transforming Growth Factor-
b (TGF-b), Platelet-Derived Growth Factor (PDGF), dan Insulin-like
Growth Factor I dan II (IGF-1 dan II). Resorpsi osteoklastik akan
memproduksi kavitas ireguler pada permukaan tulang trabecular, yang
!!
!!
23!
disebut dengan Howship’s lacunae, atau kanalis Haversian silindris di
dalam tulang kortikal. Resorpsi tulang yang dimediasi oleh osteoklas
memakan waktu kurang lebih 2-4 minggu pada setiap siklus remodeling.
4.! Fase Reversal. Pada saat fase ini, resorpsi tulang bertransisi menjadi
pembentukan tulang. Setelah proses resorpsi selesai, kavitas resorpsi akan
mengandung banyak sel mononuclear, termasuk monosit, osteosit yang
dilepas dari matriks tulang, dan preosteoblas, direkrut untuk memulai
pembentukan tulang yang baru. Sinyal yang menghubungkan resorpsi
tulang menjadi pembentukan tulang belum diketahui, akan tetapi
kandidatnya mencakupi faktor matriks tulang seperti TGF-3, IGF-1, IGF-2,
bone morphogenetic proteins, PDGF, atau Fibroblast Growth Factor.
5.! Fase Formation. Setelah osteoklas telah meresorpsi kavitas dari tulang,
osteoklas akan melepaskan diri dari permukaan tulang dan digantikan oleh
sel osteoblas, yang akan menginisiasi pembentukan tulang. Fenomena
berkumpulnya preosteoblas akan terbentuk. Preosteoblas akan mensintesis
substansi semen, dimana jaringan baru akan melekat dan mengekspresikan
BMP yang bertanggungjawab dalam proses diferensiasi. Beberapa hari
kemudian, osteoblas yang telah berdiferensiasi akan mensintesis matriks
osteoid yang akan mengisi area yang telah terperforasi. Sisa dari osteoblas
akan mensintesis tulang sampai pada akhirnya berhenti dan berubah
menjadi sel yang melapisi tulang yang baru terbentuk dan bergabung
dengan osteosit di dalam matriks tulang melalui jaringan kanalikuli.
!!
!!
24!
6.! Fase Mineralization. Proses yang bermula 30 hari setelah deposisi dari
osteoid, berakhir pada hari ke 90 pada tulang trabekular dan hari ke 130
pada tulang kortikal. Fase quiescent akan mulai kembali. Ketika siklus
selesai jumlah dari tulang yang terbentuk harus sama dengan jumlah tulang
yang diresorpsi (McGonnell et al. 2012).
2.2.4 Faktor regulator pada remodeling tulang
Balans diantara resorpsi dan formasi tulang dipengaruhi oleh berbagai macam
faktor yang saling berhubungan seperti genetik, mekanikal, vaskular, nutrisional,
hormonal, dan lokal. Regulasi sistemik pada remodeling tulang dipengaruhi oleh
faktor genetik, faktor mekanikal, faktor vaskular / saraf. Vaskularisasi sangat
fundamental pada perkembangan tulang normal, menyuplai sel-sel darah, oksigen,
mineral, ion, glukosa, hormon, dan faktor pertumbuhan. Vaskularisasi merupakan
bagian dari fase pertama dari osifikasi: pembuluh darah menginvasi kartilago dan
resorpsi tulang terjadi melalui peran osteoklas yang berasal dari pembuluh darah
sekitar (Bayliss et al. 2012; Crockett et al. 2011).
Neoformasi vaskular merupakan kejadian pertama pada penyembuhan fraktur
atau regenerasi tulang. Inervasi juga penting untuk fisiologi tulang normal. Tulang
di inervasi oleh system saraf otonom, dan serat saraf sensoris. Serat saraf otonom
ditemukan pada periosteum, endosteum, tulang kortikal, dan berhubungan dengan
pembuluh darah dari Volkmann conduit, dan juga neuropeptide dan reseptornya
pada tulang. Contoh dari pentingnya innervasi pada fisiologi tulang ditemukan pada
osteopenia dan kerapuhan tulang pada pasien dengan kelainan neurologis, dan juga
!!
!!
25!
pada menurunnya densitas tulang pada mandibular yang mengalami denervasi
(McGonnell et al. 2012).
Faktor nutrisional juga berperan penting serta faktor hormonal. Hormon yang
berpengaruh antara lain Hormon tiroid, Hormon Paratiroid (PTH), Calcitonin, 1.25
(OH) 2 Vitamin D3 atau calcitriol, Androgens, Estrogen , Progesteron, Insulin,
Glukokortikoid, Growth Hormone.Oleh karena itu, hormon yang berperan pada
regulasi metabolisme tulang adalah, menurunkan resorpsi tulang: Calcitonin,
Estrogens. Kemudian hormon yang meningkatkan resorpsi tulang: PTH/ PTHrP,
Glukokortikoid, Hormon tiroid, Vitamin D dosis tinggi. Meningkatkan formasi
tulang: Growth hormone, Metabolit vitamin D, Androgen, Insulin, PTH/PTHrP
dosis rendah, Progesteron. Menurunkan formasi tulang: Glukokortikoid (Crockett
et al. 2011; McGonnell et al. 2012)
2.2.5 Regulator lokal dari remodeling tulang
Remodelling tulang juga diregulasi oleh faktor lokal, yang diantaranya growth
factors dan sitokin, dan akhir akhir ini, protein matriks tulang telah di implikasikan
sebagai modulator dari faktor lokal lainnya. Sel sel tulang juga memainkan peran
penting pada produksi prostaglandin dan nitric oxide, begitu juga sitokin dan faktor
pertumbuhan lainnya. Growth Factors penting yang berhubungan dengan skeletal
adalah berikut (Crockett et al. 2011; McGonnell et al. 2012) :
1.! IGF-1 dan II (Insulin-Like Growth Factor I dan II)
2.! Transforming Growth Factor- b (TGF-b)
3.! Bone Morphogenetic proteins (BMP)
!!
!!
26!
4.! Platelet-derived growth factor (PDGF)
5.! Fibroblastic Growth Factor ( FGF)
6.! Epidermal Growth Factor (EGF)
7.! Vascular Endothelial Growth Factor (VEGF) menginduksi angiogenesis
dan proliferasi endothelial vaskular. Hal ini memproduksi vasodilatasi dan
meningkatkan permeabilitas vaskular. Terjadi pada saat hipoksia dan saat
ini dianggap sebagai salah satu faktor kunci pada fase pertama dari
penyembuhan fraktur dan regenerasi tulang, dan juga pada pertumbuhan
tumor.
8.! Granulocyte / macrophage – colony stimulating factor ( GM-CSF)
9.! Macrophage- colony stimulating factor (M-CSF)
10.!Tumor Necrosis Factor (TNF). Tumor Necrosis Factor in vitro
menstimulasi resorpsi dan berhubungan dengan kehilangan tulang pada
arthritis dan penyakit periodontal.
2.2.6 Matriks Protein
Matriks protein telah akhir akhir ini ditemukan sebagai growth factor
modulators. Matrix protein ditemukan pada konsentrasi 1000 kali lebih tinggi
dibandingkat growth factors dan oleh karena itu mempunyai peran yang penting
pada regulasi dari berbagai macam fungsi sel. Matriks protein juga berperan dalamn
regulasi diferensiasi sel yang terkandung dalam matriks. Sebagai contoh, kolagen
tipe I adalah salah satu marker awal yang meregulasi sel osteoprogenitor, dan
alkalin fosfatase adalah protein permukaan yang dapat berpartisipasi pada regulasi
!!
!!
27!
dari proliferasi, migrasi, dan diferensiasi dari sel osteoblastik. Osteonectin,
fibronectin, dan osteocalcin menginduksi perlekatan sel, memfasilitasi migrasi sel,
dan aktivasi sel (McGonnell et al. 2012).
2.2.7 Sitokin
Sitokin adalah polipeptida yang disintesis di dalam sel limfositik dan monositik
dan memainkan peran yang penting pada fungsi selular multiple, seperti pada
respon imun, inflamasi, dan hematopoiesis, karena memiliki efek autokrin dan
parakrin. Berikut ini adalah sitokin yang penting untuk tulang :
1.! Interleukin 1 (IL-1), secara langsung menstimulasi resorpsi osteoklastik,
meningkatkan proliferasi dan diferensiasi dari preosteoblas, dan juga
aktivitas osteoklastik, dan menghambat apoptosis dari osteoklas. Pada
realitanya, terdapat tiga molekul berbeda yang saling berhubungan : IL-1a,
IL-1b, dan IL-1 reseptor antagonis, dimana yang terakhir merupakan
inhibitor dari dua yang pertama. Semuanya bekerja secara langsung dan
tidak langsung melalui resorpsi melalui sintesis dari prostaglandin.
2.! Interleukin 6 (IL-6), menstimulasi resorpsi tulang dan mempunyai peran
pada pathogenesis Paget’s disease. IL-6 dipercaya memainkan peran
penting pada tahap awal osteoklastogenesis dan diproduksi sebagai respon
terhadap PTH, IL-1, dan 1.25 (OH)2D3.
3.! Interleukin 11 (IL-11)
4.! Prostaglandin (PG)
5.! Leukotrienes (Lieberman & Friedlaender 2005; McGonnell et al. 2012).
!!
!!
28!
2.3. Bone Recycling
Pada reseksi kanker, tumor biasanya ikut tereseksi bersama dengan tulang.
Tulang yang direseksi mengandung sel ganas dan sangat sulit untuk memisahkan
sel ini secara manual dan tulang dapat dipergunakan kembali. Dari sudut pandang
bedah rekonstruksi, sangat sulit untuk menggantikan tulang yang tereseksi dengan
tulang lain dari bagian tubuh lain yang tentunya memiliki ukuran dan bentuk yang
berbeda. Beberapa penelitian untuk dapat mengunakan kembali tulang telah
dikembangkan sebagai contoh dengan terapi alkohol, terapi radiasi, terapi
autoclave, hot water bath (pasteur method) dan terapi liquid nitrogen (Yazawa et
al. 2013)..
Penatalaksanaan tulang (bone recycle) yang terlalu lemah menyebabkan sel
ganas masih tersisa pada tulang, sementara tindakan yang terlalu intens akan
melemahkan tulang karena kehilangan matriks ekstraselulernya dan berujung pada
keterlambatan remodeling tulang dan dapat memicu infeksi tulang (Yazawa et al.
2013) .
Cryosurgery pertama kali diperkenalan sebagai penatalaksanaan keganasan
pada tahun 1840. Tindakan ini dilakukan dengan menggunakan pecahan es dan
garam untuk mengatasi kanker superfisial. Sampai tahun 1960, teknologi yang
digunakan mengalami perkembangan pesat dan mampu diaplikasikan pada
keganasan primer maupun sekunder (Nishida et al. 2008).
Saat ini operasi ini menggunakan liquid nitrogen dan mampu secara sukses
dilakukan pada ablasi tumor pada hati, prostat, ginjal dan terapi paliatif pada kanker
payudara (Nishida H dkk, 2010). Manajemen tumor tulang dilakukan di Memorial
!!
!!
29!
Sloan Kettering Cancer Center Amerika Serikat pada tahun 1964 sebagai prosedur
paliatif pada pasien metastasis ke humerus dan paru- paru (Tsuchiya et al. 2010).
Pembekuan dan penggunaan cryosurgery dengan liquid nitrogen ini dilakukan
pada tumor tulang untuk pertama kalinya pada tahun 1984 (Abdel Rahman et al.
2009). Pendinginan berulang akan menghancurkan sel tumor pada bagian pinggir
kuretase. Lesi yang dikuretase dan begitu pula celah (cavity) didinginkan dengan
liquid nitrogen kemudian diisi dengan cement (Tsuchiya et al. 2010).
2.3.1. Pengertian cryosurgery
Cryosurgery menginduksi kematian sel tumor dengan merusak membran sel
dan organel dan secara tidak langsung menyebabkan gangguan aliran darah melalui
trombus pembuluh darah kecil. Dengan penurunan suhu, sel akan mengalami
dehidrasi dan protein mengalami kerusakan karena tingginya kelarutan dan
menyebabkan kerusakan membran dan gangguan pada mesin enzim sel.
Pendinginan yang cepat dengan kristal es yang terjadi pada sel, terjadi kerusakan
membran dan organel secara mekanis. Dengan pendinginan yang dilakukan
berulang- ulang, konduktivitas jaringan meningkat dan menyebarkan kerusakan.
Kerusakan dinding sel terjadi karena hidrasi perivaskuler dan menghasilkan distensi
dari pembuluh darah atau dalam bentuk kerusakan langsung pada sel endotelial
pembuluh darah. Kedua mekanisme ini memicu peningkatan permeabilitas, edema
dan kaskade koagulasi yang memberiikan stimulasi pada peningkatan mikro trombi
pada pembuluh darah dan iskemik jaringan (Nishida et al. 2008)..
!!
!!
30!
Cryosurgery menghancurkan jaringan secara selektif dan dapat dikendalikan
dengan pendinginan dan thawing. Cryosurgery biasanya dikuti pula dengan terapi
adjuvant seperti kemoterapi, imunoterapi dan bedah konvensional (Tsuchiya et al.
2010).
2.3.2. Teknik cryosurgery
2.3.2.1 Protokol cryosurgery
Protokol penatalaksanaan terdiri dari beberapa tahapan yaitu kuretase tumor
(tumor curretage), dilanjutkan dengan liquid nitrogen yang di tuangkan kedalam
celah tulang dan diberikan kesempatan untuk thawing. Freeze-thaw cycle kemudian
diulangi sampai 2 atau 3 kali sampai mencapai kematian jaringan (tissue necrosis).
Metode ini sulit untuk mengatasi pinggiran tumor.
2.3.2.2 Cycle dan Tahapan Cryosurgery
Cryosurgery melibatkan proses kerusakan jaringan di bawah titik beku yang
dapat dikendalikan. Keuntungan utama dari teknik ini adalah metode ini lebih tidak
invasif dan memiliki morbiditas lebih rendah dibandingkan dengan tehnik reseksi.
Akan tetapi, penggunaan cryosurgery telah dibatasi oleh kurangnya pemahaman
yang baik tentang mekanisme yang mendasari kerusakan jaringan (Baust et al.
2004)
Setiap sel dalam jaringan terkena pajanan termal yang berbeda. Sel-sel terdekat
dengan cryosurgical probe mengalami suhu terendah dan tingkat pendinginan
tercepat dibandingkan dengan sel yang lebih jauh dari probe. Suhu menurun sampai
!!
!!
31!
panas diekstraksi dari jaringan sama dengan panas dalam cairan pendingin (Baust
et al. 2004).
.
Pada gambar diatas digambarkan selama fase pendinginan lambat, es terbentuk
di ruang ekstraselular karena peningkatan konsentrasi zat terlarut di fraksi yang
tidak beku. Hal ini menyebabkan penyusutan sel. Bila suhu lebih lanjut menurun,
memungkinkan inisiasi eutectic crystallization di ruang ekstraselular, suhu dan
konsentrasi dari ruang intraseluler memungkinkan eutectic crystallization terjadi di
ruang intraseluler. Atau, jika laju pendinginan cepat, sel-sel tidak dapat kehilangan
air cukup cepat untuk menjaga keseimbangan, sehingga air intraseluler menjadi
dingin dan akhirnya membeku. Simbol segi enam menggambarkan kristal es. Untuk
mengetahui tentang mekanisme sel dan cedera jaringan membutuhkan pengenalan
dari efek siklus beku-mencair seperti yang digunakan dalam cryosurgery (Bickels
et al. n.d.). Setiap aspek dari siklus beku-mencair dapat menghasilkan cedera
jaringan, dan semua bisa dimanipulasi. Oleh karena itu pengetahuan tentang efek
Gambar!2.1!Siklus!Sel!dalam!Cryosurgery!
!!
!!
32!
dari setiap fase dari siklus penting, apakah tujuannya adalah kerusakan jaringan
keseluruhan atau selektif.
Meskipun komponen dari siklus beku-mencair sulit untuk menggambarkan
dengan presisi dalam volume beku jaringan, peran masing- masing dalam cedera
cryogenic telah dievaluasi dalam banyak percobaan. (Robinson et al. 2001)
2.3.2.3 Tingkat pendinginan
Percobaan telah menunjukkan bahwa kristal intraseluler es, dianggap
mematikan bagi sel-sel, membentuk lebih dari berbagai tingkat pendinginan,
termasuk pada tingkat lambat [15,87]. Hal ini penting untuk pembekuan jaringan in
vivo karena banyak volume beku jaringan hanya akan memperlambat tingkat
pendinginan, yaitu sekitar 10 ° C / menit atau lebih lambat. Meskipun pendinginan
lambat cenderung menghasilkan es ekstraseluler, kristal besar, dianggap agak
berbahaya di suspensi sel, mungkin mematikan ketika terjadi dalam jaringan
dengan sel dikemas erat. Hanya jaringan dekat dengan permukaan pertukaran panas
dari cryoprobe beku cepat (Baust et al. 2004)..
2.3.2.4 Suhu jaringan
Suhu jaringan merupakan faktor kunci dalam menyebabkan cedera. Percobaan
in vivo menunjukkan bahwa stasis vaskuler setelah pencairan memodifikasi
interpretasi suhu mematikan bagi sel-sel dan telah memperkenalkan ukuran
ketidakpastian tentang tujuan suhu yang sesuai di cryosurgery. Sebagai panduan
untuk pengobatan neoplasma, banyak percobaan menunjukkan bahwa sekitar -20 °
!!
!!
33!
C adalah cukup untuk kerusakan jaringan harus dilihat dengan hati- hati.
Tentu saja kerusakan jaringan yang luas terjadi di kisaran -20 sampai -30°C, tapi
kerusakan sel tumor pada kisaran suhu tidak pasti dan tidak lengkap (Baust et al.
2004)
2.3.2.5 Durasi pembekuan
Durasi optimal pembekuan diperlukan untuk mengetahui berapa lama jaringan
harus dalam keadaan beku, tidak stabil, tetapi percobaan telah menunjukkan bahwa
perpanjangan pembekuan menghasilkan efek merusak yang lebih besar. Namun
demikian secara umum, durasi pembekuan tidak penting jika jaringan tersebut
diadakan pada suhu lebih dingin dari -50 ° C. Namun, menahan jaringan untuk
waktu yang lama di -10 ke -25 ° rentang C akan meningkatkan kerusakan karena
efek zat terlarut dan recystallization (Baust et al. 2004).
2.3.2.6 The thawing rate
Pencairan yang lambat dari jaringan yang beku merupakan faktor perusak
utama. Semakin lama durasi mencair, semakin besar kerusakan pada sel-sel karena
peningkatan efek zat terlarut dan pertumbuhan maksimal kristal es. Kristal es besar
membuat kekuatan geser yang mengganggu jaringan. Percobaan, menggunakan
jaringan in vivo, telah menunjukkan efek merusak dari pencairan lambat (Bickels
et al. 2001).
Whittaker menunjukkan bahwa kristal es intraseluler yang lebih besar dalam
siklus pembekuan kedua menunjukkan bahwa efek ini disebabkan waktu mencair
!!
!!
34!
yang lebih lama. Dilihat dari riwayat frostbite dan eksperimen in vivo, tingkat
pencairan harus selambat mungkin, yaitu, ditentukan oleh masukan dari panas
tubuh ke dalam lesi beku (Baust et al. 2004).
2.3.2.6 Repetisi dari freeze-thaw cycle
Sejak awal cryosurgery modern, laporan klinis awal tahun 1965 menekankan
perlunya pembekuan berulang dalam teknik cryosurgery kanker. Kesulitan dalam
menghancurkan kanker dengan pembekuan jelas bahwa sebuah percobaan awal.
Siklus kedua menghasilkan pendinginan jaringan lebih cepat dan lebih luas,
sehingga volume jaringan beku diperbesar dan perbatasan kerusakan jaringan
tertentu dipindahkan lebih dekat ke batas terluar volume beku (Bickels et al. 2001).
Bukti eksperimental mengkonfirmasikan efek destruktif meningkat dari siklus
kedua adalah substansial. Efek mematikan ditingkatkan siklus beku-mencair
diulang paling dicatat dalam suhu beku tinggi, yaitu, suhu jaringan di -20 ke -30 °
C jangkauan. Tentu saja itu adalah dalam kisaran ini yang efek merusak
peningkatan yang paling dibutuhkan. Pada suhu jaringan -40 sampai -50 ° C dan
dingin, suhu cukup rendah untuk menghancurkan jaringan dalam satu siklus.
Alasan utama untuk menggunakan siklus beku-mencair diulang adalah untuk
memperpanjang efek mematikan ke zona suhu beku hangat di pinggiran target
jaringan yang ditetapkan (Baust et al. 2004).
2.3.2.7 Interval diantara freeze-thaw cycles
Interval antara siklus beku-mencair merupakan faktor penting dalam cedera
jaringan Whittaker, dalam percobaan menggunakan siklus pembekuan berulang
!!
!!
35!
pada mukosa mulut hamster, telah menunjukkan bahwa intraseluler kristal es yang
lebih besar dengan meningkatnya waktu antara membeku (Baust et al. 2004).
2.3.3. Efek cryosurgery
2.3.3.1 Keuntungan cryosurgery
Keuntungan rekonstruksi menggunakan autograf yang diterapi nitrogen adalah
kemudahannya, osteokonduksi, waktu pengobatan yang pendek, pas secara
sempurna, perlekatan tendon dan ligamen mudah, dan stok tulang sesuai yang
digarapkan (Abdel Rahman et al. 2009). Pada penelitian didapatkan bahwa
penggunaan nitrogen cair memiliki angka kekambuhan yang lebih kecil
dibandingkan dengan tanpa perlakuan nitrogen cair (Yazawa et al. 2013).
Belakangan ini cryosurgery menggunakan nitrogen cair sangat sukses dalam
ablasi tumor hepar, prostat dan ginjal serta pengobatan paliatif lokal kanker
payudara. Cryosurgery menyebabkan kematian sel tumor langsung dengan cara
merusak membran sel dan organel serta merusak jaringan vaskularisasinya. Dengan
menurunkan suhu, sel tumor mengalami dehidrasi dan proteinnya hancur akibat
konsentrasi kelarutan yang tinggi, hasilnya adalah kerusakan membran dan
mengganggu sistem enzym dalam sel. Dengan pendinginan lebih cepat, kristal es
dalam sel, merusak membran sel dan organelnya secara efek mekanis (Abdel
Rahman et al. 2009). Kerusakan langsung terjadi melalui iskemia vaskuler
menghasilkan kematian sel. Kerusakan dinding sel vaskuler karena dehidrasi
seluler verivaskuler, meghasilkan penekanan pembuluh darah dan cidera mekanis,
atau kerusakan langsung pada sel endotel pembuluh darah. Kedua hal ini
!!
!!
36!
meningkatkan permeabilitas, edema, dan kaskade pembekuan yang menimbulkan
trombus mikro dalam pembuluh darah dan menyebabkan iskemia jaringan tumor
(Tsuchiya et al. 2010).
Pada studi eksperimental dikemukakan bahwa penanaman jaringan tumor yang
telah di terapi nitrogen cair dapat menghasilkan aktifasi sistem imunitas dan
menghambat pertumbuhan dan penyebaran tumor. Pada kelompok perlakuan
dengan nitrogen cair didapatkan bahwa pembentukan sitokin lebih besar
dibandingkan kontrol perlakuan nitrogen cair. Dikatakan bahwa tingkat interferon
gamma dan interleukin dua belas meningkat secara signifikan setelah diberikan
perlakuan nitrogen cair. Perlakuan nitrogen cair juga dapat menekan penyebaran
tumor ke abdominal (Tsuchiya et al. 2010)..
2.3.3.2 Komplikasi cryosurgery
Setiap tindakan, dan khususnya tindakan operasi yang baru akan menimbulkan
beberapa komplikasi. Cryosurgery adalah salah satunya. Komplikasi yang bisa
terjadi pada tindakan cryosurgery antara lain,
1.! Infeksi pada Luka
Eksisi intralesi pada tumor intramedular akan meninggalkan kavitas dengan
ruang yang banyak. Cryosurgery akan menyebabkan jaringan nekrosis, terlebih lagi
biasanya ahli bedah akan mengisi kavitas dengan graft atau terkadang
osteosynthesis. Semua faktor ini adalah mediator yang kuat untuk tempat
berkembangnya bakteri.
!!
!!
37!
Pada setiap tindakan bedah yang dilakukan implantasi benda asing, infeksi luka
post operatif adalah sesuatu yang harus diperhatikan. Angka kejadian infeksi luka
pada tindakan cryosurgery sekitar 4%.
Untuk mencegah terjadinya infeksi setelah tindakan cryosurgery, berikut
beberapa hal yang penting :
a.! Penggunaan antibiotik broad spektrum peri-operatif
b.! Drainase cairan pada luka yang cukup
c.! Dressing luka yang baik
d.! Penutupan luka yang baik
2.! Emboli Vena
Saat tindakan cryosurgery, nitrogen cair disemprot dan dituangkan ke dalam
kavitas tulang. Sejak saat itu terjadi titik pemanasan sekitar -195oC, gelembung
udara dari nitrogen secara cepat akan terbentuk pada suhu ruangan. Pada umumnya,
kapan pun gas masuk ke dalam tubuh, akan terjadi kerusakan pada intravascular.
Emboli gas dapat menyebabkan komplikasi hemodinamik yang serius (Dabak et al.
2003).
3.! Fraktur
Cryosurgery dianggap akan menurunkan kekuatan tulang, sehingga sering
menyebabkan fraktur post operatif. Di tahun 1960 an, pemula cryosurgery di bidang
tumor tulang melaporkan angka kejadian fraktur yang tinggi. Fraktur biasanya
terjadi 4-8 minggu setelah tindakan, tetapi bisa juga terjadi 8 bulan setelah
cryosurgery. Pengalaman dan pengembangan dalam teknik operasi telah
!!
!!
38!
menurunkan angka kejadian fraktur. Sejak menggunakan profilaksis osteosintesis,
terkadang kombinasi dengan bone graft dan bone cement, angka kejadian fraktur
sudah menurun drastis (Mohler et al. 2010).
4.! Kerusakan Epifisis
Tumor tulang jinak, khususnya bone cyst dan aneurismal bone cyst cenderung
terjadi pada pasien dengan tulang immature. Tumor ini biasanya terjadi di metafisis,
sering sampai epifisis. Kerusakan epifisis oleh tumor atau oleh cryosurgery sangat
mungkin menyebabkan kerusakan epifisis yang akan berdampak pada berhentinya
pertumbuhan tulang yang normal (Robinson et al. 2001).
Malawer dan Dunham melakukan review pada 25 pasien pediatrik dengan
tumor tulang jinak yang agresif, semua dilakukan cryosurgery. Mereka melihat
terdapat 2 pasien dengan kerusakan epifisis. Saat operasi tidak dilakukan usaha
pencegahan pada epifisis, focus utama operasi adalah kontrol tumor (Bickels et al.
2001).
Pengalaman kami mengindikasikan bahwa pembekuan pada bagian epifisis
akan menimbulkan kerusakan pada epifisis, bahkan meskipun temperatur tidak
terlalu rendah.
5.! Osteoarthritis Degeneratif
Beberapa tumor tulang seperti GCT dan Chondroblastoma hampir selalu
berlokasi di sendi besar. Kerusakan permukaan artikular, baik itu karena tumor atau
tindakan cryosurgery harus diantisipasi. Malawer et al melakukan percobaan pada
anjing, cryosurgery dapat menyebabkan nekrosis sekitar 7-12 mm pada permukaan
!!
!!
39!
kavitas tulang. Kesimpulan kami cryosurgery dapat merusak permukaan artikular
(Bickels et al. 1999).
6.! Kerusakan Saraf
Kelumpuhan pada saraf karena komplikasi cryosurgery, yang mana sudah
dikenali pada awal tindakan cryosurgery pada kasus tumor tulang. Marcove
melaporkan 9 dari 128 pasien mengalami kelumpuhan saraf setelah dilakukan terapi
cryosurgery . Jika saraf membeku, fungsinya akan terganggu sementara,
kebanyakan neuropraxia terjadi karena pembekuan akan kembali normal dalam
waktu 6 minggu-6 bulan (Schreuder HW et al. 2001).
2.3.3.2 Kerusakan Jaringan selama Cryosurgery
Costa et.al. (2011) cryosurgery liquid nitrogen pada diaphysis femur tikus
selama 2 menit menghasilkan nekrosis tulang yang jelas dibandingkan cryosurgery
1 menit. Ini menyebabkan tidak mungkin untuk dilakukan analisis histologi seperti
perubahan degeneratif pada kartilago artikular (Tsuchiya et al. 2010). Cryosurgery
menginduksi kematian sel tumor dengan menyebabkan kerusakan membran sel dan
organel, secara tidak langsung menyebabkan bahaya pada vaskular dengan
pembentukan trombosis pada pembuluh darah kecil (Tsuchiya et al. 2010)..
1.! Kerusakan!sel!langsung!!
Kerusakan sel langsung memiliki dua mekanisme, hipotesis minimum volume
dan destabilisasi membran selama pendinginan dan thawing. Saat terjadi
pendinginan secara bertahap, sel menjaga keseimbangannya terhadap tingginya
konsentrasi zat terlarut di ekstraseluler dengan osmosis sehingga sel mengerut.
!!
!!
40!
Dengan meningkatnya konsentrasi zat terlarut melebihi batas mengerut sel tersebut,
potensial gradien kimia menurun karena perpindahan garam ke sitoplasma,
sehingga menjadikan konsentrasi zat terlarut intraseluler yang tinggi. Selama proses
thawing, isi dari sel memiliki konsentrasi lebih tinggi dari ekstraseluler. Namun ada
kekurangan dari hipotesis ini, pertama tidak adanya volume minimum yang aktual
yang dapat diukur. Kedua, telah diobservasi bahwa derajat hemolisis yang sama
dapat terjadi pada volume sel yang berbeda menggunakan perbedaan konsentrasi
dengan gliserol. Oleh karena itu, mengerut sel dan re-expansion merupakan
penyebab kerusakan sel yang signifikan, pengurangan volume sel mungkin bukan
penyebab yang utama pada kerusakan sel (Whittaker 1984).
Mekanisme yang kedua adalah destabilisasi membran selama pembekuan dan
thawing. Dua bentuk kerusakan berbeda telah dilaporkan. Pertama fenomena
pertama terjadi pada suhu 0° sampai -5° C, saat protoplasma mengerut ke volume
minimal di mana hampir 80% air hilang. Selama thawing, sel mengalami re-expand
namun lisis sebelum mencapai volume aslinya. Bagaimanapun, saat sel di thawing,
sel tidak berespons secara osmotik dan tidak terjadi re-expand. Peneliti
menyampaikan bahawa membran telah rusak selama dehidrasi, menyebabkan
kegagalan air dan molekul terlarut untuk masuk ke membran selama re-expasion
osmotik(Yiu et al. 2007).
1.! Pembentukan es intraseluler
Selama pendinginan, bila derajat pendinginan cukup tinggi dapat menyebabkan
timbulnya es intraseluler. Mekanisme terjadinya proses ini masih kontroversial.
Teori protein-pore mengemukakan bahwa es ekstraseluler menyebar ke sitoplasma
!!
!!
41!
yang sangat dingin melalui aqueous pore dari membran sel. Bertambahnya sel
selama thawing dianggap sebagai penyebab kerusakan sel.
Teori surface-catalyzed menghipotesiskan bahwa interaksi antara es
ekstraseluler dan membran plasma, ditandai dengan sudut kontak antara membran
sel dan es, menyebabkan formasi es intraseluler. Teori terakhir adalah teori robekan
membran. Ini mengemukakan bahwa pembentukan es terjadi karena hasil dari
robekan membran saat tekanan kritis gradien osmotik seluruh membran selama
pembekuan. Sebagian besar cryobiologist setuju pembentukan es intraseluler
mematikan untuk sel, walaupun mekanisme sebenarnya belum diketahui. (Yiu et
al. 2007).
2.! Mekanisme kerusakan vaskular
Cohnheim mengatakan bahwa nekrosis pada jaringan dengan frostbite
disebabkan stasis dari aliran darah setelah thawing. Observasi lainnya mengatakan
bahwa perdarahan pada kulit manusia yang dibekukan berubah pada suhu -5°C di
daerah hiperemia dibanding keadaan normal sebelumnya dengan edema di
sekelilingnya jika dihangatkan pada suhu ruangan. Penelitian lainnya juga
memperlihatkan bahwa perubahan vaskularisasi setelah thawing dan pendinginan,
seperti peningkatan edema, stasis sirkulasi dan trombosis progresif, menyebabkan
nekrosis jaringan setelah fostbite (Yiu et al. 2007; Ramajayam & Kumar 2013).
3.! Kerusakan endotel pada cedera vaskular
Banyak penelitian telah dilakukan untuk mengetahui peran endotel sebagai
mediasi cryoinjury. Beberapa mekanisme telah dipaparkan, pertama endotel mikro
vaskuler hancur dalam satu jam. Agregasi platelet terjadi segera setelah thawing.
!!
!!
42!
Pembengkakan interstisial dan rekrutmen netrofil terjadi beberapa menit setelah
thawing, dilanjutkan dengan keluarnya sel darah merah dalam enam jam dan
terpisahnya endotel dalam 24 jam(Tsuchiya et al. 2010). Teori kedua berhubungan
dengan pembentukan radikal bebas, superoxide dismutase dan deferoxamine
memperbaiki viabilitas dari telinga kelinci setelah frostbite. Mikroskop elektron
menunjukkan bahwa kerusakan endotel, stasis vaskular, adhesi neutrofil dan
agregasi eritrosit terjadi pada kondisi tersebut. Teori lainnya adalah dengan aktifasi
neutrofil, terjadi penumpukan leukosit pada mikro vaskular menyebabkan
penyumbatan (Yiu et al. 2007).
Gambar 2.2. Diagram mekanisme cedera endotel karena pendinginan
2.4 VEGF
Vascular endothelial growth factor (VEGF), faktor pertumbuhan angiogenik
paling kuat, menstimulasi pembentukan pembuluh darah baru. Potensi dari VEGF
!!
!!
43!
eksogen untuk meningkatkan penyembuhan tulang dari fraktur terbuka tibia
(Eckardt et al. 2005). VEGF endogen disekresi dari sel endothelial, fibroblast,
osteoblast dan tipe sel lain dan ekspresinya, dan ekspresi dari reseptor ini, diregulasi
dengan hipoksia dan iskemia. VEGF berikatan dengan reseptor sel endothelial
permukaan, hasilnya pada pertumbuhan mereka, proliferasi dan migrasi. Efek
fisiologis termasuk meningkatnya angiogenesis, peningkatan permeabilitas
pembuluh darah dan vasodilatasi.
Dengan!mRNA!splicing!VEGF!dari!tikus!mempunyai!setidaknya!3!protein!
isoform,!VEGF120,!VEGF164!dan!VEGF188.!Dimana!VEGF120!tidak!berikatan!
dengan!heparan!sulfat!dan!berdifusi!secara!bebas.!VEGF188!berikatan!dengan!
heparin! dan! utamanya! berkaitan! dengan! permukaan! sel! dan! matriks!
ekstraseluler.!Dan!VEGF164!memiliki!sifat!diantara!VEGF120!dan!VEGF188.!
Pada! tikus! VEGF188! ! banyak! ditemukan! di! paru! –! paru,! hati! dan! jantung!
sedangkan!VEGF164!dan!VEGF120!banyak!ditemukan!pada!tak,!mata,!otot!dan!
ginjal!(Ng!et!al.!2001).!
VEGF! mempunyai! kemampuan! untuk! mengaktivasi! 2! reseptor!
tyrosinkinase!yang!berbeda,!yaitu!VEGF!receptor!1!(VEGF!R1/FltS1)!dan!VEGF!
receptor! 2! (VEGF!R2/FlkS1)! dan! aktivasi! reseptor! di! dalam! sel! endothelial,!
dimana!akan!menginduksi!fosforilasi!dan!memicu!migrasi!dari!sel!endothelial!
dan!proses!angiogenesis.!Osteoblas!diperkirakan!merupakan!sumber!penting!
dari!VEGF.! Produksi!VEGF!oleh! osteoblas! distimulasi! oleh! faktor! hormonal,!
faktor!mekanikal! dan! faktor! lingkungan.!Hipoksia! jaringan! juga!merupakan!
salah! satu! pemicu! utama! dari! produksi! VEGF! di! tulang.! Oateoblas!
!!
!!
44!
mengekspresikan!komponen!dari! jalur!Hipoxia'Inducible0Factor! (HIFS1)!dan!
hipoksia!dapat!meningkatkan!regulasi!ekpresi!VEGF!oleh!osteoblas.!Dengan!
peningkatan! ekspresi! HIFS1! pada! osteoblas! yang! matur! maka! ! poroses!
angiogenesis!dan!osteogenesis!juga!akan!meningkat.!Pada!percobaan!in!vivo!
peningkatan! ekpresi! HIFS1! menunjukkan! peningkatan! dari! volume! tulang!
yang! berbanding! lurus! dengan! jumlah! vaskularisasi! pada! tulang! (Clarkin!&!
Gerstenfeld!2013).!
Pemberian! VEGF! dapat! meningkatkan! osifikasi! endokontral! dan!
intramembranous!dan! juga!VEGF!meningkatkan!stem0cells0 recruitment!pada!
jaringan!tulang!yang!rusak(Almubarak!et!al.!2016).!
2.5 Bone Graft
Ada beberapa sumber untuk menggantikan tulang yang hilang. Sumber bone
graft yang paling umum adalah material autogenous bone graft. Autograft adalah
sumber yang kaya akan protein osteogenik, dan tidak ada penolakan, tapi awalnya,
graft ini mungkin tidak memiliki integritas structural yang optimal untuk
mempertahankan reduksi selama pembedahan intraoperative. Autograft tulang
kortikal menyediakan stabilitas yang lebih baik, tapi morbiditas donor signifikan.
Sediaan hydroxyapatite telah digunakan, tapi graft ini mungkin akan sulit
digunakan karena system pengirimannya, mereka tidak menyamarkan struktur
tulang berongga, dan waktu penyatuan kalsium fosfat sangat bervariasi tergantung
pada ukuran crystalline, struktur dan morfologi (Nandi et al. 2010).
!!
!!
45!
Pada tindakan pembedahan rekonstruksi memerlukan prosedur bone grafting
untuk mengembalikan volume tulang mendekati normal. Sumber tulang dapat
berasal dari inang sendiri (autograft), dari donor satu spesies (allograft), dari donor
spesies lain (xenograft) atau substitusi tulang seperti demineralized bone matrix
(Pei et al. 2012). Selain itu pembedahan rekonstuksi juga dapat menggunakan
prosthesis. Autologous bone grafting memiliki keterbatasan jumlah jaringan tulang
autograft yang tersedia, morbiditas pada lokasi donor, kualitas tulang yang tidak
dapat diprediksi, risiko perdarahan, bertambahnya waktu operasi dan risiko infeksi
pada lokasi donor. Hal tersebut menjadi suatu kelemahan yang signifikan dari
prosedur ini. Allograft dan xenograft juga memiliki kelemahan yaitu risiko infeksi
dan non-union (Bose et al. 2012).
Salah satu penanganan defek luas tulang yang saat ini sedang dikembangkan
adalah dengan bone tissue engineering. Dalam perkembangannya, prosedur bone
tissue engineering juga menggunakan faktor pertumbuhan sebagai bahan yang
berfungsi sebagai stimulator vaskularisasi (angiogenic growth factors) (Amini et al.
n.d.). Studi yang banyak dilakukan pada angiogenic growth factors dalam prosedur
bone tissue engineering yaitu vascular endothelial growth factor (VEGF)
Defek tulang yang cukup besar setelah reseksi dapat menimbulkan
berkurangnya fungsi ekstremitas yang bersangkutan. Sebaiknya dilakukan
rekonstruksi untuk mengembalikan atau memperbaiki fungsi ekstremitas yang
bersangkutan. Pilihan utama untuk rekonstruksi antara lain: bone graft autogenik
atau allogenik, dan endoprosthesis (Kamal et al. 2011).
!!
!!
46!
Dengan berkembangnya bedah mikro, maka dapat dilakukan bone graft yang
tervaskularisasi. Dengan tetap adanya aliran darah ke sel-sel bone graft, maka
pembentukan dan penyatuan tulang akan menjadi lebih baik. Teknik ini
memberikan perbaikan pada derajat keberhasilan operasi. Allograft merupakan
bentuk rekonstruksi menggunakan tulang mati (beku atau beku kering). Di negara
tertentu allograft sulit didapatkan karena alasan sosio-religius, maka dikembangkan
beberapa metode untuk menggunakan ulang tulang yang telah direseksi, yakni
dengan: radiasi, autoklav, dan nitrogen cair (Kamal et al. 2011).
Bone autograft merupakan standard optimum sebagai pembanding untuk setiap
bahan pengganti, karena dia memiliki 3 sifat sebagai osteokonduktif, osteoinduktif
dan osteogenesis. Adapun kelemahan dari penggunaan autograft antara lain nyeri
dari tempat donor dan berpotensial terjadinya komplikasi lokal seperti hematoma,
fraktur dan ketersediaan jumlahnya yang terbatas(Munthe & Suroto 2014).
Bone graft memiliki memiliki fungsi sebagai gap filler (pengisi celah) pada
bone defect. Pada saat bone graft bertaut dengan permukaan tulang maka jarak antar
fragmen tulang menjadi lebih kecil. Fiksasi yang stabil dan menurunnya gap antar
fragmen tulang akan menurunkan strain ratio pada fracture gap sehingga
penyembuhan tulang dapat tercapai. Auto bone graft dan allograft memiliki
perbedaan karakteristik di mana autograft memiliki ketiga karakteristik
osteoinduktif, osteokonduktif dan osteogenesis, sedangkan allograft hanya
memiliki sifat osteokonduktif dan osteoinduktif (Munthe & Suroto 2014).
!!
!!
47!
2.5.1 Hydroxyapatite
Tulang adalah komposit keramik organic-inorganik natural yang terisusun dari
kolagen fibril yang mengandung material embedded, tersusun dengan baik, nano
crystalline¸rod-like dengan panjang 25 – 50 nm. Hydroxyapatite secara kimia
serupa dengan matriks tulang inorganic – Ca10 (OH) 2(PO4)6. Struktur kimia yang
serupa antara Hydroxyapatite dengan tulang menyebabkan penggunaan
Hydroxyapatite sintetis sebagai substitute tulang (Zhou & Lee 2011).
Akhir akhir ini, Hydroxyapatite telah diaplikasikan dalam bidang biomedis,
termasuk untuk mengontrol pelepasan obat obatan dan bone tissue engineering
materials. Karena Hydroxyapatite mempunyai struktur kimia yang mirip dengan
komponen inorganic matriks tulang (Rauschmann et al. 2005), Hydroxyapatite
sintetik memiliki afinitas yang tinggi terhadap jaringan tubuh host yang keras.
Ikatan kimia dnegan jaringan host menyediakan kelebihan Hydroxyapatite pada
aplikasi klinis dibandingkan substitute tulang yang lain seperti allograft atau
implant metal. Kelebihan utama dari Hydroxyapatite sintetik pada aplikasi klinis
adalah biokompabilitasnya, tingkat biodegrabilitas yang rendah, dan kemampuan
osteokonduktif dan osteoinduktif yang baik. Sebuah studi yang dilakukan oleh
Taniguchi et al, menunjukkan bahwa Hydroxyapatite memiliki biokompabilitas
yang sangat baik dengan jaringan lunak seperti kulit, otot, dan gusi. Kapabilitas ini
membuat Hydroxyapatite sebagai kandidat ideal untuk implant ortopedi dan dental.
Hydroxyapatite sintetisn telah banyak digunakan untuk mereparasi jaringan keras.
Penggunaan umum termasuk untuk bone repair, bone augmentation dan juga untuk
melapisi implant, atau sebagai filler pada tulang. Akan tetapi kekuatan mekanis
!!
!!
48!
yang rendah dari Hydroxyapatite menghalangi penggunaannya untuk aplikasi load
bearing. Kemajuan pada ilmu pengetahuan dan nanotechnology telah
mengembangkan formasi dari Hydroxyapatite dengan ukuran nano (nanosized
HA).(Zhou & Lee 2011)
Nanocrystalline Hydroxyapatite memiliki fungsi yang lebih baik dan juga
tingkat densifikasi yang lebih baik karena luas permukaan yang lebih tinggi, dan
juga meningkatkan fracture toughness, dan juga property mekanikal. Terlebih lagi,
nano- Hydroxyapatite, dibandingkan dengan kristal yang lain, memiliki tinggal
bioaktivitas yang lebih baik, oleh karena itu, partikel Hydroxyapatite dapat
digunakan untuk implant jaringan dengan biokompabilitas yang lebih baik
dibandingkan dengan implant lain. Nanoteknologi mempunyai potensi yang secara
nyata meningkatkan fungsi Hydroxyapatite. Dorozhkin et al mengulas mengenai
teknologi dan perkembangan nanosized Hydroxyapatite nanocrystalline calcium
orthophosphates, yang terlibat dalam sintesis dan karakterisasi biomedik dan
aplikasi klinisnya. Moseke et al mengulas mengenai sintesis dan property dari
tetracalcium phosphate dalam aplikasi biomaterial seperti semen, keramik, dan
coating pada implant metal. (Zhou & Lee 2011)
Nano Ha telah memainkan peran yang penting dalam bidang biomedis oleh
karena property biologis dan biomekanikal yang superior. Perkembangan dari
material biomedik Hydroxyapatite akan menguntungkan dalam perkembangan
nanoteknologi. Beberapa metode untuk mensintesis Hydroxyapatite telah
berevolusi dalam beberapa decade terakhir. Pada masa depan, kemampuan untuk
fungsionalisasi dengan berbagai jenis molekul yang berbeda dengan dimensi yang
!!
!!
49!
berbeda, dan juga potensi sebagai struktur nano baik secara fisik maupun kimia,
akan memungkinkan untuk targeting selektif dari system biologis. (Zhou & Lee
2011)
Calcium sulfate merupakan salah satu jenis bone graft yang berfungsi sebagai
graft barrier, bukan biomaterial regeneratif yang sebenarnya namun dapat
menunjukkan derajat efektivitas yang cukup tinggi bila dikombinasikan dengan
beberapa biomaterial seperti faktor pertumbuhan (Thomas & Puleo 2009). Calcium
sulfate merupakan salah satu ceramic-based bone graft yang memiliki sifat
osteokonduktif dan tingkat resorpsi yang paling cepat sekitar 4 – 12 minggu
dibandingkan graft lainnya terkait dengan efek osmotiknya. Sehingga calcium
sulfat lebih sering digunakan sebagai graft extender dibandingkan penunjang
struktural pada bone defek (Phedy 2011).
Penggunaan calcium sulfate bersama dengan biomaterial lainnya dapat
meningkatkan sifat osteoinduktif dan osteokonduktifnya. Menurut Liu et al (2014),
penggunaan calcium sulfate sebagai karier untuk pelepasan VEGF pada defek
tulang dapat memberikan manfaat yang cukup besar dalam hal peningkatan
vaskularisasi dan pembentukan tulang baru sehingga terjadi mineralisasi matriks
osteoid dan regenerasi tulang. Prosedur ini memiliki potensi yang cukup besar
dalam bone tissue engineerin (Liu et al. 2014).
2.6 Kolagen
Matriks ekstraselular dari jaringan konektif terdiri dari susunan yang kompleks
yang terdiri dari berbagai jenis protein yang berbeda yang memiliki integritas
!!
!!
50!
struktur dan fungsi fisiologis yang berbeda. Susunan supramolecular dari elemen
fiber, mikrofibril, glikoproteinm, dan berbagai jenis molekul lainnya menentukan
karakteristik biofisik. Komposisi dan struktur berbeda beda antara jaringan konektif
yang satu dengan yang lain. Sintesis dari protein struktural dan komponen
glikoprotein yang berbeda, menghasilkan karakteristik jaringan fungsional dan
biologis yang unik pada tempat yang berbeda.(Gelse et al. 2003)(Aela & De 2000)
Nama “kolagen”, berasal dari terminologi protein yang membentuk susunan
triple helix dari tiga rantai polipeptida, dan semua jenis dari kolagen membentuk
struktur supramolecular pada matriks ekstraselular walaupun ukuran, fungsi, dan
distribusi jaringannya berbeda satu dengan yang lainnya. Sampai saat ini, terdapat
26 jenis kolagen yang berbeda secara genetic (Gao et al. 2013).
Berdasarkan struktur dan susunan supramolekularnya, kolagen dapat
dikelompokkan menjadi : fibril-forming collagens, fibril-associated collagnes
(FACIT), network-forming collagens, anchoring fibrils, transmembrane collagens,
basement membrane collagens, dan lain lain
Berbagai tipe kolagen dikarakterisasikan dengan kompleksitas dan perbedaan
dari struktur, ada atau tidaknya domain non-helical, susunan, dan fungsinya.
Keluarga terbesar dari kolagen, yang mencakup 90% dari keseluruhan jenis kolagen
adalah fibril-forming collagens. Kolagen fibril tipe I dan V berkontribusi terhadap
struktur tulang, sementara kolagen tipe II dan XI berkontribusi terhadap matriks
fibrilar dari articular cartilage. Stabilitas torisional dan tensile strength berperan
terhadap stabilitas dan integritas dari jaringan ini. Kolagen tipe IV memiliki
susunan triple helix yang lebih fleksibel. Kolagen mikrofibril tipe VI memiliki
!!
!!
51!
susunan disulfide dan berkontribusi terhadap hubungan filamen yang berikatan
dengan fibril kolagen lainnya. Fibril associated collagens (FACIT) dengan struktur
interrupted triplehelices seperti tipe IX, XII, dan XIV berhubungan dengan molekul
tunggal dengan fibril kolagen berukuran besar dan memaikan peran dalam regulasi
diameter fibril kolagen. Kolagen tipe VIII dan X membentuk susunan heksagonal,
sedangkan tipe XIII dan XVII menyusun membrane sel (Gelse et al. 2003; Kruger
et al. 2013).
Walaupun berbagai tipe kolagen mempunyai struktur yang sangat berbeda beda
antar satu dengan yang lainnya, semua anggota dari keluarga kolagen mempunyai
sebuah ciri khas: right-handed triple helix yang tersusun dari tiga buah rantai α. Hal
ini dapat tersusun dari tiga rantai yang saling identic (homotrimers), seperti tampak
pada kolagen II, III, VII, VIII, X, dan lainnya, atau dua atau lebih rantai yang
berbeda (heterotrimers), seperti yang tampak pada kolagen tipe I, IV, V, VI, IX,
dan XI. Setiap tiga dari rantai α di dalam molekul akan membentuk left handed
helix dengan 18 asam amino setiap putarannya. Ketiga rantai ini, dengan residu
yang relatif satu dengan yang lainnya, menggulung pada bagian sentral ke arah
kanan dan membentuk triple helix. Struktur yang dibutuhkan untuk pembentukan
triple helix adalah residu glycine, asam amino yang paling kecil, pada setiap posisi
ketiga dari rantai polipeptida, sehingga membentuk Glycine X-Y, Rantai α
berkumpul pada bagian tengah dengan suatu cara sehingga seluruh residu glycine
terposisikan pada bagian tengah triple helix, dan rantai lainnya menyusun posisi
bagian luar. Hal ini memungkinkan bentuk yang rapat dari molekul ini. Posisi X
dan Y sering diisi oleh proline dan hydroxyproline. Tergantung dari tipe kolagen,
!!
!!
52!
residu dari proline dan lysine dimodifikasi oleh post-translational enzymatic
hydroxylation. Isi dari 4-hydroxyproline penting untuk formasi dari ikatan
hydrogen intramolecular dan berkontribusi pada stabilitas triple helix. Beberapa
dari hydroxylysines akan dimodifikasi lebioh lanjut melalui proses glikosilasi.
Panjang dari bagian triple helix berbeda antar kolagen. Ikatan helix Gly X-Y yang
berulang adalah struktur yang mendominasi fibril forming collagens (I, II, III),
dimana pada panjang 300nm, tersusun atas 1000 asam amino. Pada kolagen tipe
lainnya, domain kolagen ini jauh lebih pendek dan mengandung struktur non-triple
helix. Oleh karena itu, kolagen tipe VI atau X mengandung triple helix dengan 200-
460 asa amino. Walaupun triple helix adalah fitur kunci dari seluruh kolagen dan
mewakili bagian utama dari fibril-forming collagen, domain non kolagen juga
merupakan komponen structural yang penting. Oleh karena itu, C-propeptida
memiliki peran yang pentiong dalam pembentukan triple helix¸dan N-propeptida
berperan dalam regulasi diameter fibril primer. Telopeptida non helical terlibat
dalam ikatan kovalen molekul kolagen dan juga ikatan struktur molekul dengan
matriks disekitarnya(Gao et al. 2013)(Aela & De 2000) .
2.6.1. Fibril forming collagens – Kolagen tipe I, II, III, V, dan XI
Kolagen kolagen ini dikarakterisasi dengan kemampuannya untuk membentuk
agregat supramolecular dengan karakteristik suprastruktur, dengan tipikal diameter
quarter-staggered fibril-array diantara 25-400 nm (Gelse et al. 2003). Pada
mikroskop electron, fibril didefenisikan sebagai pola banding dengan periodisitas
sekitar 70 nm, berdasarkan susunan monomer kolagen individual (Gao et al. 2013)
!!
!!
53!
Kolagen tipe I adalah tipe yang paling banyak dan tipe yang paling banyak di
pelajarin. Kolagen tipe I membentuk lebih dari 90% dari struktur organic tulang
dan merupakan kolagen utama dari tendon, kulit, ligamen, kornea dan jaringan
konektif intersisial, dengan pengecualian beberapa jaringan seperti kartilago hialin,
otak, dan badan vitreous. Triple Helix dari kolagen tipe I disusun oleh heterotrimer
oleh dua rantai α-1 yang identic dan satu rantai α2. Fiber triple helix tersusun
menjadi suatu komposit yang mengandung kolagen tipe III ( pada kulit dan jaringan
reticular) atau kolagen tipe V ( pada tulang, tendon, kornea). Pada organ, khususnya
tendon dan fascia, kolagen tipe I berperan dalam tensile stiffness, dan pada tulang
berperan dalam biomekanisnya yang berhubungan dengan load bearing, tensile
strength, dan torsional stiffness setelah proses kalsifikasi (Polewski et al. 2010).
Fibril forming kolagen tipe II didominasi oleh komponen kartilago hialin.
Akan tetapi, kolagen ini tidak spesifik terbatas pada kartilago, juga terdapat pada
badan vitreous, epitelium kornea, notochord, nucleus pulposus, dan epithelial
embrionik. Triple helix dari kolagen tipe II disusun oleh tiga rantai α1 yang
membentuk molekul homotrimerik yang berukuran dan memiliki properti
biomekanis yang sama dengan kolagen tipe I. Kolagen fibril pada kartilago
mewakili heterofibril yang mengandung kolagen tipe II, juga tipe XI, dan IX,
sehingga membatasi diameter fibril sekitar 15-50 nm. Dibandingkan dengan
kolagen tipe I, rantai kolagen tipe II menunjukkan jumlah hydroxylysine yang lebih
tinggi dan juga residu glucosyl dan galactosyl, yang memediasi interaksi dengan
proteoglikan ( komponen dari matriks kartilago hialin.
!!
!!
54!
Kolagen tipe III adalah homotrimer dari tiga rantai α 1 dan banyak terdapat
pada jaringan yang mengandung kolagen tipe I, kecuali tulang. Kolagen ini
merupakan komponen yang penting pada jaringan reticular pada jaringan intersisial
dari paru paru, liver, dermis, limpa, dan pembuluh darah. Molekul homotrimerik
ini juga berkontribusi dalam mixed fibril dengan kolagen tipe I dan banyak terdapat
pada jaringan elastik.
Kolagen tipe V dan XI dibentuk oleh heterotrimer dari tiga rantai α yang
berbeda, Kombinasi dari kolagen tipe V dan XI tampak pada berbagai jaringan.
Kolagen tipe V membentuk heterofibril dengan tipe I dan III dan berkontribusi
dalam pembentukan matriks tulang organic, stroma kornea dan matriks intersisial
dari otot, liver, paru paru, dan plasenta. Kolagen tipe XI banyak terdapat pada
articular cartilage(Wallace et al. 2010; Gao et al. 2013).
2.7 Hubungan VEGF, Calcium Sulfat dalam Pembentukan Sel Osteoblas dan
Matriks Osteoid
Vascular endothelial growth factor (VEGF) merupakan factor pertumbuhan
angiogenik paling kuat yang dapat menstimulasi pembentukan pembuluh darah
baru. Hal ini secara klinis berpengaruh pada proses pembentukan tulang. Penelitian
in vitro menyatakan bahwa VEGF dapat memicu proses angiogenesis dalam
pembentukan tulang melalui pengaruh bone morphogenetic protein (BMPs) dan
aktivasi langsung dari sel osteoblast. Deposisi VEGF pada defek kerusakan tulang
telah menunjukan peningkatan dari pembentukan matriks tulang pada defek burr
hole, fraktur femur pada mencit dan defek critical-sized dari radius Tikus. Hal ini
!!
!!
55!
mengindikasikan peran VEGF dalam meningkatkan penyembuhan dan regenerasi
tulang pada kelainan orthopaedi. Ekspresi faktor pertumbuhan seperti VEGF dapat
menstimulasi proses penyembuhan tulang melalui proses angiogenesis dan
osteogenesis. VEGF menginisiasi proses angiogenesis melalui invasi pembuluh
darah baru (neovaskularisasi) sehingga terjadi rangsangan perekrutan sel mesenkim
progenitor. Proses angiogenesis oleh VEGF ini juga merangsang BMP-2 untuk
memicu sel mesenkim progenitor untuk berdiferensiasi ke arah pembentukan
osteoblast. Selain itu, VEGF juga berperan meningkatkan ekspresi faktor
pertumbuhan dan sitokin sel endothelial, meningkatkan jumlah nodul dan aktivitas
alkaline phosphatase serta sehingga terjadi stimulasi, migrasi, proliferasi dari sel
osteoblast. VEGF juga membantu menghambat proses apoptosis sel osteoblast,
sehingga mineralisasi matriks osteoid dan bone regeneration akan terjadi.
Pada tindakan pembedahan rekonstruksi prosedur bone grafting dapat
dilakukan untuk mengembalikan volume tulang mendekati normal. Sumber tulang
dapat berasal dari inang sendiri (autograft), dari donor satu spesies (allograft), dari
donor spesies lain (xenograft) atau substitusi tulang seperti demineralized bone
matrix. Autologous bone grafting memiliki keterbatasan jumlah jaringan tulang
autograft yang tersedia, morbiditas pada lokasi donor, kualitas tulang yang tidak
dapat diprediksi, risiko perdarahan, bertambahnya waktu operasi dan risiko infeksi
pada lokasi donor. Hal tersebut menjadi suatu kelemahan yang signifikan dari
prosedur ini. Allograft dan xenograft juga memiliki kelemahan yaitu risiko infeksi
dan non-union.
!!
!!
56!
Bone graft memiliki memiliki fungsi sebagai gap filler (pengisi celah) pada
bone defect. Pada saat bone graft bertaut dengan permukaan tulang maka jarak antar
fragmen tulang menjadi lebih kecil. Fiksasi yang stabil dan menurunnya gap antar
fragmen tulang akan menurunkan strain ratio pada fracture gap sehingga
penyembuhan tulang dapat tercapai. Auto bone graft dan allograft memiliki
perbedaan karakteristik di mana autograft memiliki ketiga karakteristik
osteoinduktif, osteokonduktif dan osteogenesis, sedangkan allograft hanya
memiliki sifat osteokonduktif dan osteoinduktif (Munthe & Suroto 2014).
Calcium sulfate (CS) memiliki posisi yang unik dalam dunia material
regenerative. Calcium sulfate memiliki sejarah panjang secara klinis sebagai
biomaterial yang paling dikenal dan paling banyak digunakan. Biomaterial ini juga
dapat ditoleransi dengan baik dalam penggunaannya untuk regenerasi tulang.
calcium sulfate secara virtual akan mengalami resorpsi komplit secara in vivo tanpa
menimbulkan respon. Material mentah untuk membuat calcium sulfate relatif tidak
mahal dan tersedia dalam jumlah yang banyak, sebagai tambahan, calcium sulfate
dapat digunakan sebagai media pengantar untuk mengirimkan antibiotic dan agen
farmakologis yang lain, dan growth factors. (Thomas & Puleo 2009)(Rauschmann
et al. 2005)
Calcium sulfate juga dikenal dengan nama lain “gypsum” adalah mineral yang
terdii dari calcium sulfate dehydrate (CaSO4-2H2O). Material mentahnya diperoleh
dari berbagai proses penambangan. Sebelum digunakan dalam bidang medis,
calcium sulfate harus diperiksa terlebih dulu untuk ketidaksermpurnaannya, seperti
!!
!!
57!
dari silikat, lead, strontium, dan berbagai jenis material lainnya. (Thomas & Puleo
2009)
Apabila gypsum dipanaskan sampai suhu 100 C, ia akan kehilangan airnnya,
sebuah proses yang dikenal sebagai kalsinasi. Produk hasilnya dinamakan calcium
sulfate hemihydrate, yang juga dikenal sebagai Plaster of Paris.(Thomas & Puleo
2009)
Bentuk hemihidrat dari calcium sulfate eksis dalam dua bentuk, α dan β, yang
berbeda dalam bentuk kristal, area permukaan, dan lattice imperfections. Walaupun
material ini secara kimia identic, mereka berbeda dalam property fisiknya. Bentuk
α hemihidrat adalah dental stone, yang membentuk diagnostic casts. Bentuk ini
cukup keras dan lebih sulit larut dibandingkan dengan bentuk β hemihidrat. β
hemihidrat dikarakterisasikan dengan agregasi kristal irregular dengan pori kapilari
intersisial, dimana bentuk α hemihidrat mengandung banyak fragmen dan
berbentuk kristal batangan. Apabila hemihidral dicampur dengan air, bentuk
dihidrat akan terbentuk dengan reaksi eksotermik ringan. (Thomas & Puleo 2009)
Kurangnya respon yang signifikan dari host merupakan karakteristik penting
dari material yang biokompatibel. Banyak peneliti telah meneliti respons inflamasi
yang minimal dari implantasi calcium sulfate. Respon dalam bidang dental dan
ortopedi mengindikasikan bahwa resorpsi calcium sulfate cepat dan komplit jika
dibandingkan dengan material regenerative lainnya. Terdapat bukti bahwa resorpsi
calcium sulfate dapat dipercepat pada osteoporosis dan hal ini berpengaruh
terhadap osteokonduktivitas material ini (Thomas & Puleo 2009).
!!
!!
58!
Ion kalsium dilepaskan pada saat disolusi calcium sulfate, peningkatan lokal
dari ion kalsium akan meningkatkan pembentukan osteoblast dan fungsinya, dan
calcium sulfate dapat saja berperan sebagai stimulus diferensiasi osteoblast.
Stimulasi mekanoreseptor pada sel osteoblast (integrin dan calcium channels)
beserta dengan faktor pertumbuhan (TGF-β, IGF, bFGF, VEGF, PDGF, BMP) akan
menginduksi beberapa gen/faktor transkripsi yang mengatur pembentukan dan
diferensiasi osteoblast. Beberapa faktor transkripsi tersebut diaktivasi melaui
beberapa intracellular signaling pathways. p38 mitogen-activated protein kinase
(MAPK) dan mothers against decapentaplegic homolog (SMADs)pathways
menginduksi activator protein-1 (AP-1) dan Runx2, Wnt-β-cateninpathways dan
T-cell factor/lymphoid enhancer factor (TCF/LEF) menginduksi Runx2.
SedangkanPhospholipase-C (PLC)-protein kinase-A (PKA)pathways yang
menginduksi nuclear factor-κB (NF-κB)κ, cyclo-oxygenase-2 (Cox-2) dan cAMP
responsive element binding protein (CREB). Semua faktor transkripsi/gen spesifik
osteoblast ini penting dalam proses osteoblastogenesis sesuai dengan gambar 2.1
(Papachroni et al. 2009).
Osteoklas juga memiliki reseptor untuk mendeteksi kalsium, yang meregulasi
aktivitasnya berdasarkan konsentrasi kalsium lokal. Oleh karena itu, peningkatan
kalsium dapat menghambat aktivitas osteoklas. pH juga berperan dalam
osteogenesis disekitar implant calcium sulfate, lebih spesifiknya, peningkatan asam
berhubungan dengan disolusi calcium sulfate, sehingga menyebabkan
demineralisasi lokal, sehingga melepaskan growth factors yang sebelumnya
berikatan dengan matriks tulang. Pelepasan dari biomolekul, seperti BMP, akan
!!
!!
59!
meningkatkan diferensiasi osteoblastic dari sel mesenkimal sehingga meningkatkan
formasi tulang (Thomas & Puleo 2009).
Gambar 2.3 Diagram skematik interaksi dari beberapa Intracellular Signaling
Pathways (Papachroni et al. 2009).
Dressman adalah orang pertama yang melaporkan kegunaan dari calcium
sulfate sebagai material regenerative pada akhir abad ke 19. Selama 60 tahun
kemudian, Lillo dan Peltier menggunaan calcium sulfate untuk memperbaiki defek
tulang pada kanin dan melporkan bahwa calcium sulfate tidak mernimbulkan
pertumbuhan tulang kecuali apabila dilapisi oleh periosteum. Mereka juga
menemukan bahwa tidak adanya inflamasi dan morfologi tulang yang normal.
!!
!!
60!
Radentz dan Collins mengevaluasi penggunaan calcium sulfate sebagai grafts pada
defek tulang kanin dibandingkan dengan yang tidak diberikan graft. Subjek yang
mendapatkan calcium sulfate tampak penyembuhan yang dengan “seal”, yang
melindungi tempat defek dan mencegah down growth dari epithelium (Thomas &
Puleo 2009).
Sottosanti melaporkan penggunaan calcium sulfate sebagai Guided Tissue
Regeneration Barrier, yang berfungsi juga sebagai graft expander, calcium sulfate
sesuai dengan propertinya, dapat berfungsi sebagai GTR barrier hanya apabila
dilapisi dnegan material graft yang dapat berfungsi sebagai spacemaker ( cth :
autogenous bone). Selain berfungsi sebagai space filling dan barrier, calcium
sulfate juga diteliti dapat berfungsi sebagai media untuk agen terapeutik, seperti
antibiotic, obat bermolekul kecil, dan growth factor (Thomas & Puleo 2009).
!
61!!
!
BAB III
KERANGKA BERPIKIR, KERANGKA KONSEP DAN HIPOTESIS
3.1 Kerangka Berpikir
Ekspresi faktor pertumbuhan seperti VEGF dapat menstimulasi proses
penyembuhan tulang. Proses tersebut meliputi angiogenesis dan osteogenesis
dalam homeostasis tulang yang merupakan proses yang sinergis dan saling
melengkapi. VEGF menginisiasi proses angiogenesis melalui invasi pembuluh
darah baru (neovaskularisasi). Inisiasi neovaskularisasi ini difasilitasi oleh sel
endotel vaskuler akibat aktivasi IL-1, IL-6, TNF dan PAF serta aktivasi reseptor
VEGF yaitu Flt-1 dan Flk-1 sehingga terjadi rangsangan angiogenesis. Sekresi
Endothelin-1 oleh sel endothel juga dapat merangsang perekrutan sel mesenkim
progenitor. Proses angiogenesis oleh VEGF ini memicu sel mesenkim progenitor
untuk berdiferensiasi ke arah pembentukan osteoblast. Selain itu, VEGF juga
berperan meningkatkan ekspresi faktor pertumbuhan dan sitokin sel endothelial,
meningkatkan jumlah nodul dan aktivitas alkaline phosphatase sehingga terjadi
stimulasi, migrasi, proliferasi dari sel osteoblast. VEGF juga membantu
menghambat proses apoptosis sel osteoblast, sehingga terjadi mineralisasi matriks
osteoid yang memicuregenerasi tulang. Calcium sulfate sebagai suatu material
biokompatibel, dapat menciptakan lingkungan kaya kalsium yang dapat
menstimulasi osteoblast melalui aktivasi jalur signaling intraseluler (PLC-PKA
pathway) sehingga terjadi induksi gen spesifik osteoblast (NF-kB, Cox-2 dan
CREB) yang memicu proliferasi dan diferensiasi osteoblast. Disamping itu, calcium
62!!
!!
sulphate juga dapat berguna sebagai biomaterial penghantar growth factor seperti
VEGF. Pemberian VEGF dalam calcium sulfate dapat membantu proses regenerasi
tulang melalui stimulasi proliferasi dan diferensiasi osteoblast serta sintesis kolagen
tipe I yang dapat membantu regenerasi tulang yang mengalami defek.
Gambar 3.1. Bagan Kerangka Berpikir
Neovaskularisasi!
Stimulasi!Sel!MSC!
Sel!Osteoblast!
Stimulasi,!Proliferasi,!Differensiasi,!Kemotaktik.!
Inhibisi!Apoptosis!
Pelepasan!ion!Calcium!
Stimulasi!sintesis!kolagen!
tipe!I!
Scaffold!(calcium sulfate)!
VEGF!
infiltrasi!MSC!ke!subperiosteal,!diferensiasi!osteoblastik!
Sel!Endotel!S!Aktivasi!ILS1,!ILS6,!TNF!serta!PAF.!S!Aktivasi!reseptor!FltS1!dan!FlkS1!untuk!angiogenesis.!
Sekresi!EndothelinS1!
Aktivasi!jalur!signaling!intraseluler!(PLCSPKA!pathway)!
melalui!Calcium!Channel!
!!
Induksi!gen!spesifik!osteoblast!(NFSkB,!CoxS2!dan!
CREB)!!!
!
!
63!
3.2 Kerangka Konsep
Gambar 3.2. Bagan Kerangka Konsep
Calcium Sulfate
FAKTOR INTERNAL • Strain • Usia • Jenis kelamin • Berat badan • Hormonal • Penyakit!
FAKTOR EKSTERNAL • Nutrisi • Aktivitas fisik • Lingkungan!
Defek pada Tulang Femur Tikus yang dilakukan Bone Recycling dengan Nitrogen Cair!
Calcium Sulfate + VEGF
Bone0Healing0
Osteoblas!↑!
!!!!Kolagen!Tipe!I!↑!
!
Bone0Healing0
Osteoblas!!↑↑!
Kolagen!Tipe!I!↑↑!
!
TIKUS!PUTIH!
: Variabel Kendali : : Variabel Bebas : : Variabel Tergantung
!
!
64!
3.3 Hipotesis
1.! Pemberian VEGF dalam calcium sulfat meningkatkan jumlah sel osteoblast
pada defek tulang yang telah dilakukan bone recycling dengan nitrogen cair.
2.! Pemberian VEGF dalam calcium sulfat meningkatkan ekspresi kolagen tipe I
pada defek tulang yang telah dilakukan bone recycling dengan nitrogen cair.
!
!65!
BAB IV
METODE PENELITIAN
4.1 Rancangan Penelitian
Penelitian ini bertujuan membuktikan pemberian VEGF dalam calcium sulfate
meningkatkan jumlah sel osteoblas dan kadar kolagen tipe I pada defek tulang yang
telah dilakukan bone recycling dengan nitrogen cair. Penelitian ini dilakukan
dengan rancangan randomized post-test only control group design.
Gambar 4.1 Skema Rancangan Penelitian
P = populasi
S= Sampel
R= randomisasi
P1= pemberian calcium sulfate
P2 = pemberian calcium sulfate dan VEGF
O1= data akhir kelompok defek tulang yang telah dilakukan bone recycling
dengan nitrogen cair dan pemberian calcium sulfate
O2= data akhir kelompok defek tulang yang telah dilakukan bone recycling
dengan nitrogen cair dan pemberian calcium sulfate disertai VEGF.
O1
P S R
P1
P2 O2
!!
!!
65!
4.2 Lokasi dan Waktu Penelitian
Penelitian dilaksanakan pada dua tempat yaitu:
1.! Laboratorium Farmakologi Fakultas Kedoteran Universitas Udayana, Bali,
sebagai tempat perlakuan dan pemeliharan tikus.
2.! Laboratorium Patologi Veteriner Fakultas Kedokteran Hewan Universitas
Udayana sebagai tempat pemeriksaan histopatologis (jumlah osteoblas)
dan pemeriksaan imunohistokimia (ekspresi kolagen tipe I)
Waktu dilaksanakan penelitian mulai bulan Juni 2016 sampai bulan Agustus
2016.
4.3 Penentuan Sumber Data
4.3.1 Populasi
Populasi pada penelitian ini adalah tikus (Wistar rat).
4.3.2 Sampel Penelitian dan Cara Pengambilan Sampel
Sampel dalam penelitian ini adalah tikus yang memenuhi kriteria inklusi dan
eksklusi.
4.3.2.1 Kriteria inklusi
a.! Tikus jantan jenis Wistar rat berumur 8-12 minggu.
b.! Berat 200-250 gram.
c.! Tikus bergerak aktif dan tidak pincang.
!!
!!
66!
4.3.2.2 Kriteria Eksklusi dan Drop out
a.! Kriteria eksklusi: tikus sakit (gerakan tidak aktif) dan tidak mau makan saat
penelitian.
b.! Kriteria drop-out: tikus mati saat penelitian.
4.4 Besar Sampel Penelitian
Perhitungan besar sampel menurut Federer (Supranto, 2000)
(k-1)(r-1) > 15
(2-1)(r-1) > 15
1 (r-1) > 15
(r-1) > 15
r > 16
Dari perhitungan di atas didapatkan besar sampel minimal adalah 16. Dengan
pertimbangan kelompok hewan coba ada yang dropout maka ditambahkan pada
masing-masing kelompok 10% dari jumlah sampel minimal. Berdasarkan rumus di
atas digunakan sampel sebanyak 16 + 10% (16) = 18 ekor hewan coba untuk tiap
kelompok. Teknik pengambilan sampel digunakan cara Simple Random Sampling
karena populasi relatif homogen.
4.5 Variabel Penelitian
4.5.1 Klasifikasi variabel
a.! Variabel bebas : pemberian VEGF dan pemberian calcium sulfate
b.! Variabel tergantung : jumlah sel osteoblas dan jumlah kolagen tipe I
k : Jumlah macam perlakuan
r : Jumlah replikasi untuk tiap kelompok
!!
!!
67!
c.! Variabel kendali : Strain, jenis kelamin, umur, berat badan, makanan,
lingkungan.
4.5.2 Definisi Operasional Variabel
a.! Calcium Sulfate : Bone graft yang berupa pellets dengan merk “PerOssals”
yang merupakan serbuk calcium sulfate alpha-hemihydrate (CaSO4
1/2H2O) yang dicampur dengan nanocrystalline hydroxiapatite
(Ca10(PO4)6(OH)2) dengan rasio 48.5–51.5% (solid phase). Dengan
ukuran masing - masing pellets 6x6 milimeter.
b.! VEGF : Recombinant Rat Vascular Endothelial Growth Factor 164 (VEGF)
yang bersumber dari Mouse Myeloma cell line dengan Accession
#AAL07526.1 dengan nomer katalog 564-RV dan merek R&D Systems.
Dengan dosis 2 mikrogram per mililiter.
c.! Jumlah osteoblas (number of osteoblast per bone surface - N. OB/BS) adalah
jumlah sel osteoblast yang ditemukan dalam mikroskop berbanding dengan
luas permukaan tulang yang diperiksa dalam jumlah per millimeter
(Dempster, et al., 2013).
d.! Kolagen tipe I adalah tipe serat kolagen yang menyusun sebagian besar
matriks organik tulang yang diproduksi oleh osteoblas dan dikuantifikasi
dari jaringan tulang menggunakan pemeriksaan immunohistokimia yaitu
dengan anti-mouse collagen I antibody dan antibodi sekunder anti-mouse
IgG/biotin yang telah dikonjugasikan dengan horseradish peroxidase.
(Bode, 2000; Bosetti dkk, 2002). Metode!yang!digunakan!untuk!menilai!
ekspresi!kolagen!tipe!I!pada!penelitian!ini!adalah!dengan!metode!semiS
!!
!!
68!
kuantitatif! yaitu! berdasarkan! atas! ditemukannya! ekspresi! kolagen!
pada! matrik! ekstraseluler.! Pengamatan! terhadap! adanya! ekspresi!
kolagen! I! pada! kalus! tulang! fraktur! dilakukan! pada! lima! lapang!
pandang.!Adapun!interprestasinya!adalah!sebagai!berikut:!!!
i.! Ekspresi ringan (mild): jika ditemukan adanya ekspresi kolagen
terbatas pada 1 spikula.
ii.! Ekspresi sedang (moderate): jika ditemukan adanya ekspresi
kolagen pada 1-5 spikula (woven bone).
iii.! Ekspresi padat (severe): jika ditemukan adanya ekspresi kolagen
pada ˃ 5 spikula.
e.! Defek tulang femur tikus : adalah defek pada tulang femur tikus dengan
ukuran panjang lebih dari 5 mm.
f.! Bone Recycling : prosedur rekonstruksi tulang dengan menggunakan
nitrogen cair. Defek tulang femur tikus yang sudah di eksisi direndam dalam
nitrogen cair dengan suhu -197°C selama 20 menit, kemudian didiamkan
pada suhu ruangan selama 15 menit dan direndam pada cairan normal saline
selama 10 menit. Kemudian dilakukan reimplantasi dan fiksasi dengan K-
wire.
g.! Strain: adalah satu kumpulan binatang tikus yang memiliki kesamaan
genetik. Pada penelitian ini digunakan strain Wistar Rat.
h.! Jenis kelamin: adalah jenis kelamin jantan yang diketahui dari ciri anatomis
tikus.
i.! Umur: lama waktu hidup atau ada (sejak dilahirkan atau diadakan) yang
diketahui dari dokumen tikus.
!!
!!
69!
j.! Berat badan: massa tubuh meliputi otot, tulang, lemak, cairan tubuh, organ
dan lain-lain yang diukur menggunakan timbangan merk “Tanita” dengan
satuan kilogram.
k.! Makanan: segala bahan yang kita makan atau masuk ke dalam tubuh yang
membentuk atau mengganti jaringan tubuh, memberikan tenaga, atau
mengatur semua proses dalam tubuh. Diet normal tikus adalah pelet. Pelet
yang diberikan mengandung protein (20%), Lemak (5%), Karbohidrat
(45%), serat kasar (5%), serta vitamin dan mineral. Masing-masing tikus
mendapat diit 12-20 gr/hari (Smith, 1988).
l.! Lingkungan: daerah (kawasan dan sebagainya) yang termasuk didalamnya;
semua yang mempengaruhi pertumbuhan manusia atau hewan. Tikus
dipelihara pada kandang ukuran 40x30cm, dialasi dengan gerabah padi dan
diberikan diet normal berupa pelet dan air dua kali sehari.
4.6 Alat dan Bahan Penelitian
4.6.1 Alat Penelitian
1. Peralatan bedah minor: pinset anatomis dan sirurgis, scalpel atau mesh
no.20, gunting, klem, serta needle holder.
2. Sarung tangan steril
3. Doek steril
4. Bor listrik dan bone saw
5. Kasa Steril
6. Label nomor hewan coba
7. K – wire 1,2 mm
!!
!!
70!
8. Benang jahit tidak diserap (Nilon 4.0)
9. Pisau cukur bulu
4.6.2 Bahan Penelitian
1.! Spuit injeksi (1 cc dan 3 cc)
2.! Ketamine
3.! Antibiotik injeksi (Ceftriakson)
4.! Analgetik injeksi (Ketorolac)
5.! Antisepsis (Betadine)
6.! Alkohol 70%
7.! Aquabides
8.! Bone graft Calcium Sulfate/Hydroxiapatite (Perossal)
9.! Rat recombinant VEGF
10.!Nitrogen Cair
4.7 Cara Kerja
1.! Digunakan 30 ekor tikus putih (Wistar Rat) jantan, usia 4-5 bulan, berat
badan 200-250 gram dengan kesehatan yang baik yang ditandai dengan
gerakan aktif, bulu tidak kusam, serta memiliki respon yang baik terhadap
rangsangan sekeliling.
2.! Tikus diadaptasi selama 1 minggu.
3.! Tikus kemudian dibagi menjadi 3 kelompok, yaitu :
P1 : Kelompok Perlakuan 1 (dengan pemberian Calcium Sulfate saja).
P2 : Kelompok Perlakuan 2 (pemberian Calcium Sulfate dan VEGF).
!!
!!
71!
4.! Persiapan pembedahan diawali dengan dilakukan pencukuran terhadap
bulu hewan coba pada tungkai bawah kanannya.
5.! Pembedahan dimulai dengan pembiusan menggunakan bius umum dengan
ketamine berdosis 45 mg/kg berat badan intramuscular (Santoso, 2011).
6.! Dilakukan disinfeksi pada tungkai bawah kanan hewan coba dengan
betadine dan alkohol 70%.
7.! Dilakukan insisi kulit parapatellar median yang dilanjutkan dengan insisi
pada kapsul sendinya melalui midline melalui otot vastus medial sampai
dengan insersi patellar tendon, kemudian dilakukan retraksi patella ke
lateral pada posisi lutut ekstensi.
8.! Dilakukan pembuatan defek hemikortek sepanjang 1 cm pada diafisis
tulang femur kanan pada hewan coba dan dilakukan bone recycling dengan
nitrogen cair. Kemudian diberikan perlakuan sesuai dengan kelompok
hewan coba yang sudah ditetapkan.
9.! Kelompok perlakuan pertama diberikan calcium sulfate (Perossal) sebagai
bone graft. Kelompok perlakuan kedua diberikan calcium sulfate yang
sudah dicampur VEGF.
10.!Titik insersi fiksasi internal adalah intercondylar notch. Dilakukan insersi
K-wire 1,2 mm dengan menggunakan bor secara intramedullar, kemudian
wire dicabut. Dilakukan pembengkokan ujung wire secara manual
kemudian dipotong ujung wire tersebut. Ujung wire ditanam pada tulang
rawan sendi lutut, kemudian luka ditutup dengan benang nilon 4.0.
!!
!!
72!
11.!Setelah luka ditutup, diberikan gentamycin salep sebagai obat antibakteri
topikal serta diberikan injeksi antibiotika ceftriaxon 60mg/kg berat badan
selama 3 hari secara intramuskular.
12.!Penelitian dilakukan pada pagi hari pukul 09.00 WITA, pada hari pertama
penelitian.
13.!Kedua kelompok tikus dikandangkan di Laboratorium Veteriner Fakultas
Kedokteran Hewan Universitas Udayana dengan kandang ukuran
40x30cm, dialasi dengan gerabah padi dan diberikan diet normal berupa
pelet dan air dua kali sehari.
14.!Berat badan masing-masing tikus ditimbang setiap minggu selama
penelitian.
15.!Diet normal tikus adalah pelet. Pelet yang diberikan mengandung protein
(20%), Lemak (5%), karbohidrat (45%), serat kasar (5%), serta vitamin dan
mineral. Masing-masing tikus mendapat diit 12-20 gr/hari (Smith, 1988).
16.!Air minum diberikan secara ad libidum.
17.!Apabila dalam perjalanan tikus jatuh sakit maka tikus tersebut akan di
eksklusi dan dikonsulkan ke dokter hewan untuk penanganan lebih lanjut.
18.!Pada hari terakhir minggu ke-4, tikus disuntik sampai mati dengan
ketamine dosis lethal, 200 mg/kg berat badan intramuscular (Santoso,
2011).
19.!Femur tikus diambil dan dilakukan pengambilan sampel jaringan
pemeriksaan histopatologi untuk menilai jumlah sel osteoblas dan
pemeriksaan imunohistokimia untuk menilai kadar kolagen tipe I.
!!
!!
73!
4.8 Alur Penelitian
Gambar 4.2 Alur Penelitian
4.9 Analisa Data
Data yang didapatkan pada penelitian dianalisis sebagai berikut :
1.! Analisis Deskriptif
2.! Analisis Inferensial:
a.! Uji Normalitas data dengan menggunakan uji Shapiro Wilks untuk
mengetahui normalitas sebaran data penelitian.
b.! Uji Homogenitas data dengan menggunakan uji Levene’s Test untuk
mengetahui homogenitas varian data penelitian.
36 Tikus
Diadaptasi Selama 1 Minggu
Dilakukan pembuatan hemidefek pada tulang femur Tikus dan dilakukan bone recycling dengan nitrogen cair
18 Kelompok Kontrol
Pemberian Bone graft Calcium sulfate
18 Kelompok Perlakuan
Pemberian VEGF dalam Bone graft Calcium sulfate
Minggu ke 4, Sakrifasi dan pengambilan jaringan Pemeriksaan kadar Collagen type 1 dan Jumlah sel osteoblas
Analisa Data
!!
!!
74!
c.! Apabila didapatkan data berdistribusi normal dan homogen, maka
dilakukan uji parametrik menggunakan uji independent t-test. Namun
bila tidak berdistribusi normal atau data ordinal dapat dilakukan uji
non parametrik dengan uji Mann-Whitney U.
!!
75!!
BAB V
HASIL PENELITIAN
5.1 Analisis Sampel
Analisis penelitian mencakup sebaran data secara deskriptif, jumlah osteoblas
dan ekspresi kolagen tipe I. Selanjutnya data yang terkumpul dilakukan analisis
secara statistik dengan SPSS for Windows version 22.0.
5.1.1 Analisis deskriptif
Analisis data secara deskriptif bertujuan untuk memperoleh gambaran yang
lebih jelas mengenai distribusi dan simpangan baku dari masing-masing variabel
penelitian.
Tabel 5.1
Distribusi frekuensi subjek penelitian masing-masing kelompok
Kelompok Frekuensi (n) Persentase (%)
Kontrol (Kalsium Sulfat)
16 50.00
Perlakuan (Kalsium Sulfat dengan VEGF)
16 50.00
Total 32 100
Dari distribusi di atas dapat dilihat bahwa total jumlah subjek penelitian adalah
sebanyak 32 dengan kelompok kontrol dengan pemberian Calcium sulfate tanpa
VEGF adalah sebanyak 16 atau 50.00 % dari total seluruh subjek dan kelompok
perlakuan dengan pemberian Calcium sulfate dan VEGF sebanyak 16 atau 50.00%.
!!
!!
76!
Tabel 5.2
Rerata jumlah osteoblas pada masing-masing kelompok
Variabel
Kelompok
Kontrol dengan Kalsium Sulfat
(n=16) (Mean ± SD)
Perlakuan dengan Kalsium Sulfat dan
VEGF (n=16)
(Mean ± SD) Jumlah Osteoblas
284,937 ± 10,009
387,875 ± 17,587
Rerata jumlah osteoblas pada kelompok kontrol dengan kalsium sulfat adalah
sebesar 284,937 ± 10,009 sedangkan pada kelompok perlakuan dengan kalsium
sulfat dan VEGF memiliki rerata sebesar 387,875 ± 17,587.
Tabel 5.3
Persentase ekspresi Kolagen tipe I pada masing-masing kelompok
Ekspresi Kolagen Type I
Kelompok Kontrol dengan Kalsium Sulfat
n (%)
Perlakuan dengan Kalsium Sulfat dan VEGF
n (%) Tidak ada ekspresi Ekspresi Ringan Ekspresi Sedang Ekspresi Padat
16 (100%)
0 (0%)
0 (0%)
0 (0%)
0 (0%)
16 (100%)
0 (0%)
0 (0%)
Total 16 (100 %) 16 (100 %)
!!
!!
77!
Ekspresi kolagen tipe I pada kelompok perlakuan dengan kalsium sulfat dan VEGF
menunjukkan ekspresi ringan sebanyak 100 % (16) sedangkan pada kelompok
kontrol dengan kalsium sulfat tidak menunjukkan ekspresi kolagen tipe I.
5.2 Analisis Inferensial
Analisis! ini! bertujuan! untuk!melakukan! generalisasi! hasil! penelitian! ke!
populasi.!Uji! statistik! inferensial! yang!digunakan!pada!penelitian! ini! adalah!
independent0t'test!bila!data!berdistribusi!normal!dan!varian!datanya!homogen.!
Penilaian!hasil!uji!menggunakan!95%!CI!dan!nilai!p!pada!batas!kemaknaan!
0.05.!!
!!!!!!!!!5.2.1 Uji normalitas dan homogenitas
Variabel-variabel penelitian pada kelompok perlakuan dan kontrol dilakukan
uji normalitas. Dengan jumlah data sebanyak 32 (n < 50), maka uji normalitas yang
digunakan terhadap data hasil penelitian adalah Shapiro-Wilk test, sedangkan uji
homogenitas varian data dilakukan dengan menggunakan Levene’s test.
Tabel 5.4
Uji normalitas data variable jumlah osteoblas dengan Shapiro-Wilk
Variabel Kelompok N P Keterangan
Jumlah Osteoblas Kontrol 16 0,391 Normal
Perlakuan 16 0,477 Normal
Tabel di atas menunjukkan bahwa data diameter kalus, jumlah osteoblas
berdistribusi normal, dimana nilai p > 0,0
!!
!!
78!
Tabel 5.5
Uji Homogenitas varian data variabel-variabel penelitian dengan Levene’s Test
Variabel Kelompok N P Keterangan
Jumlah Osteoblas Perlakuan 16 0,142
Homogen
Kontrol 16
Tabel di atas menunjukkan bahwa data jumlah osteoblas memiliki varian data yang
homogen dimana nilai p sebesar 0,142 (p > 0,05).
5.2.2 Uji Independent T-Test
Untuk variabel numerik dilakukan uji kemaknaan untuk data dua kelompok
tidak berpasangan yaitu independent t-test untuk data yang berdistribusi normal.
Untuk mengetahui efek dari masing-masing variabel pada kelompok perlakuan dan
kontrol dilakukan dengan membandingkan rerata post-test dari masing-masing
kelompok.
Tabel 5.6 Hasil uji komparabilitas data post-test variabel penelitian untuk kelompok
perlakuan dan kontrol !
Variabel
Kelompok
Beda rerata
95% CI Nilai p
Perlakuan dengan Kalsium
Sulfat dan VEGF
(n = 16)
Kontrol dengan Kalsium
Sulfat (n = 16)
Jumlah Osteoblas
387,875 ± 17,587
284,937 ± 10,009
102.93750
92.605 - 113.269
0,000
Tabel di atas menunjukkan bahwa jumlah osteoblas pada kelompok perlakuan lebih
banyak dibandingkan dengan kelompok kontrol, dan perbedaan rerata antar
!!
!!
79!
kelompok perlakuan dan kontrol signifikan secara statistik dengan nilai p = 0,000
(p< 0,05).
5.2.3. Uji Mann-Whitney U
Untuk variabel ordinal dilakukan uji kemaknaan untuk data dua kelompok
dengan uji non-parametrik Mann-Withney U test. Untuk mengetahui efek dari
masing-masing variabel pada kelompok perlakuan dan kontrol dilakukan dengan
membandingkan mean rank dari masing-masing kelompok.
Tabel 5.7 Hasil uji komparabilitas data post-test variabel penelitian untuk kelompok
perlakuan dan kontrol !
Variabel
Mean Rank Nilai p Perlakuan dengan Kalsium Sulfat dan
VEGF (n = 16)
Kontrol dengan Kalsium Sulfat
(n = 16)
Ekspresi Kolagen Tipe I
24,50
8,50
0,000
Tabel di atas menunjukkan bahwa ekspresi kolagen tipe I pada kelompok perlakuan
memiliki mean rank lebih tinggi dibandingkan dengan kelompok kontrol, dan
perbedaan mean rank antar kelompok perlakuan dan kontrol signifikan secara
statistik dengan nilai p = 0,000 (p< 0,05).
!!
80!!
BAB VI
PEMBAHASAN HASIL PENELITIAN
Data hasil penelitian yang telah diolah dan dianalisis dengan metode
statistik sesuai dengan hipotesis penelitian yang telah dibuat. Berikutnya hasil
interpretasi data tersebut akan dibahas untuk mengetahui faktor-faktor yang
mempengaruhi hasil penelitian ini.
6.1. Subjek Penelitian
Untuk mengetahui dan menguji efek Vascular Endothelial Growth factor dalam
Calcium Sulfat terhadap sel Osteoblas dan Kolagen tipe I pada defek tulang femur
tikus setelah dilakukan bone recycling dengan nitrogen cair, maka dilakukan
penelitian pada tikus putih jenis wistar dengan jenis kelamin jantan umur 16-20
minggu dengan berat 200-250 gram dan dalam kondisi sehat tanpa cacat.
Sebagai hewan coba digunakan tikus sebanyak 32 ekor yang terbagi
menjadi 2 kelompok kelompok kontrol dan kelompok perlakuan masing-masing
berjumlah 16 ekor. Penelitian ini merupakan penelitian yang pertama kali
dilakukan, sebelumnya belum pernah ada yang meneliti tentang pengaruh Vascular
Endothelial Growth Factor dalam Calcium Sulfat terhadap sel Osteoblas dan
Kolagen tipe I pada defek tulang femur tikus setelah dilakukan bone recycling
dengan nitrogen cair.
!!
!!
81!
6.2. Hubungan VEGF dalam Calcium Sulfat dengan Sel Osteoblas Pada Defek
Tulang Femur Tikus Setelah Dilakukan Bone Recycling dengan Nitrogen
Cair.
Pada penelitian ini didapatkan rerata jumlah osteoblas lebih banyak pada
kelompok perlakuan VEGF dalam Calcium Sulfat pada defek tulang femur tikus
setelah dilakukan bone recycling dengan nitrogen cair dan terbukti berbeda secara
signifikan dibandingkan dengan kelompok kontrol tanpa pemberian VEGF dengan
nilai p = 0,000 (CI 95%: 92.605 - 113.269). Ini menunjukkan bahwa pemberian
VEGF dalam calcium sulfate dapat meningkatkan jumlah osteoblas pada defek
tulang femur tikus yang dilakukan bone recycling dengan nitrogen cair.
Penelitian ini sesuai sejalan dengan penelitian Liu et al (2014) yang
mengemukakan tentang peningkatan pembentukan tulang baru dan angiogenesis
yang signifikan secara statistik pada model defek tulang tikus yang diberikan
calcium sulfate dengan VEGF. Penelitian ini juga sejalan dengan studi lain oleh
Yang et al (2012) juga mengemukakan tentang efek dose-dependent VEGF
terhadap stimulasi peningkatan proliferasi osteoblast sampai lebih dari 70%. Pada
penelitian ini, jumlah osteoblast meningkat secara signifikan pada pemberian
calcium sulfate yang diberikan VEGF. Hal ini menunjukkan adanya peningkatan
vaskularisasi pada defek tulang yang dapat membantu meningkatkan proliferasi
osteoblast sehingga terjadi peningkatan pembentukan tulang baru.
Mekanisme peningkatan jumlah osteoblast yang dapat meningkatkan
pembentukan tulang dapat dijelaskan melalui efek calcium sulfate yang dapat
diaugmentasi dengan adanya VEGF. Calcium sulfate dapat meningkatkan formasi
!!
!!
82!
tulang melalui ikatan dengan tulang di sekitarnya dan kemudian meresopsi, dan
memberikan mekanisme untuk pertumbuhan tulang. Densitas mikrovaskular
meningkat pada defek tulang yang diterapi dengan calcium, menandakan efek
angiogenesis positif dari calcium sulfate. Di samping itu, ion kalsium dilepaskan
pada saat disolusi calcium sulfate, sehingga terjadi peningkatan lokal dari ion
kalsium yang akan meningkatkan pembentukan osteoblast dan fungsinya. Calcium
sulfat dapat berperan sebagai stimulus diferensiasi osteoblast. Stimulasi
mekanoreseptor pada sel osteoblast (integrin dan calcium channels) beserta dengan
faktor pertumbuhan (TGF-β, IGF, bFGF, VEGF, PDGF, BMP) akan menginduksi
beberapa gen/faktor transkripsi yang mengatur pembentukan dan diferensiasi
osteoblast (Papachroni et al. 2009).
Sedangkan vascular endothelial growth factor (VEGF) merupakan factor
pertumbuhan angiogenik paling kuat yang dapat menstimulasi pembentukan
pembuluh darah baru. Hal ini secara klinis berpengaruh pada proses pembentukan
tulang. Penelitian in vitro menyatakan bahwa VEGF dapat memicu proses
angiogenesis dalam pembentukan tulang melalui pengaruh bone morphogenetic
protein (BMPs) dan aktivasi langsung dari sel osteoblast. Deposisi VEGF pada
defek kerusakan tulang telah menunjukan peningkatan dari pembentukan matriks
tulang pada defek tulang femur pada tikus dan defek critical-sized dari radius Tikus.
Hal ini mengindikasikan peran VEGF dalam meningkatkan penyembuhan dan
regenerasi tulang. Ekspresi faktor pertumbuhan seperti VEGF dapat menstimulasi
proses penyembuhan tulang melalui proses angiogenesis dan osteogenesis. VEGF
menginisiasi proses angiogenesis melalui invasi pembuluh darah baru
(neovaskularisasi) sehingga terjadi rangsangan perekrutan sel mesenkim
!!
!!
83!
progenitor. Proses angiogenesis oleh VEGF ini juga merangsang BMP-2 untuk
memicu sel mesenkim progenitor untuk berdiferensiasi ke arah pembentukan
osteoblast. Selain itu, VEGF juga berperan meningkatkan ekspresi faktor
pertumbuhan dan sitokin sel endothelial, meningkatkan jumlah nodul dan aktivitas
alkaline phosphatase serta sehingga terjadi stimulasi, migrasi, proliferasi dari sel
osteoblast. VEGF juga membantu menghambat proses apoptosis sel osteoblast,
sehingga mineralisasi matriks osteoid dan bone regeneration akan terjadi. Efek dari
VEGF dalam Calcium Sulfat lebih meningkatkan jumlah sel Osteoblas daripada
hanya Calcium sulfat saja.
6.3. Hubungan VEGF dalam Calcium Sulfat dengan Kolagen Tipe I pada
Defek Tulang Femur Tikus Setelah Dilakukan Bone Recycling dengan
Nitrogen Cair.
Dari uji statistik menunjukkan ekspresi kolagen tipe I pada kelompok
perlakuan memiliki mean rank lebih tinggi dibandingkan dengan kelompok kontrol,
dan perbedaan mean rank antar kelompok perlakuan dan kontrol signifikan secara
statistik dengan nilai p = 0,000 (p< 0,05). Ini menunjukkan bahwa pemberian VEGF
dalam calcium sulfat dapat meningkatkan ekspresi Kolagen tipe I pada defek tulang
femur tikus setelah dilakukan bone recycling dengan nitrogen cair.
Penelitian ini sejalan dengan studi oleh Maes C. et al (2002) yang
mengemukakan pengaruh VEGF terhadap kadar ekspresi Cbfa1 dan mRNA
kolagen tipe I. Ekspresi kadar Cbfa1 dan mRNA kolagen tipe I akan menurun bila
ekspresi VEGF dihilangkan pada proses pembentukan tulang baru. Pada penelitian
Peng et al (2005), penghambatan VEGF dengan sFlt1 pada kasus fraktur femur pada
!!
!!
84!
tikus menyebabkan berkurangnya ukuran kalus, terutama pada fase remodelling
tulang. Sedangkan pemberian VEGF secara exogenous meningkatkan vaskularitas
dan kepadatan mineral pada kalus yang mengalami kalsifikasi. Hal ini
menunjukkan peran VEGF dalam meningkatkan pembentukan kolagen tipe I
sebagai matriks ekstraseluler untuk membantu pembentukan kalus.
VEGF merupakan mediator penting dalam tahap neovaskularisasi dari
pertumbuhan tulang endochondral dan morfogenesis lempeng pertumbuhan. VEGF
ini diekspresikan oleh sel-sel di tulang, seperti osteoklas, osteoblast dan kondrosit.
Osteoblas melakukan deposisi matriks tulang yang kaya akan kolagen tipe I, yang
mana nantinya akan termineralisasi.
Osteoblas mempunyai precursor mesenkimal yang sama dengan kondrosit dan
faktor regulasi yang spesifik. Seperti RUNX2 yang mendominasi control dari
diferensisasi osteoblast. Osteoblast yang sudah matang memproduksi matriks
tulang dan mengekspresikan kolagen tipe I yang berlimpah.
VEGF mempunyai peranan yang penting dalam fase remodelling dari tulang.
Pada fase remodelling pergantian dari woven bone menjadi lamellar bone
memerlukan perpaduan antara resorpsi tulang yang diperantarai oleh osteoclas dan
pembentukan tulang oleh osteoblas. VEGF mempengaruhi fungsi dari kedua sel
tersebut dan VEGF penting bagi fasa bone remodelling. VEGF berikatan dengan
VEGFR1 pada osteoklas dan meregulasi diferensiasi dan aktifasi.
Oleh karena itu, jika kadar VEGF berkurang pada fasa remodelling tulang
maka akan mengurangi sinyal dari proses angiogenik dan osteogenik secara tidak
langsung melalui inhibisi dari bone resorption.
!!
!85!
BAB VII
SIMPULAN DAN SARAN
7.1 Simpulan
Dari analisis data yang telah dilakukan dalam penelitian ini, dapat diperoleh
beberapa simpulan sebagai berikut:
1.! Jumlah osteoblas lebih banyak pada defek tulang femur tikus setelah
dilakukan bone recycling dengan nitrogen cair, kemudian diberikan
VEGF dalam Calcium Sulfate dibandingkan dengan pemberian Calcium
Sulfate saja.
2.! Jumlah ekspresi kolagen tipe I lebih banyak pada defek tulang femur
tikus setelah dilakukan bone recycling dengan nitrogen cair, kemudian
diberikan VEGF dalam Calcium Sulfate dibandingkan dengan
pemberian Calcium Sulfate saja.
7.2 Saran
Penelitian ini merupakan penelitian awal yang melakukan analasis terhadap
efek pemberian VEGF pada kasus defek tulang setelah dilakukan bone recycling
dengan nitrogen cair. Diharapkan adanya penelitian lanjutan pada manusia
sehingga pemberian VEGF dapat dipakai untuk membantu proses regenerasi dari
defek tulang.
!
!
86!
!DAFTAR PUSTAKA
Abdel Rahman, M., Bassiony, A. & Shalaby, H., 2009. Reimplantation of the resected tumour-bearing segment after recycling using liquid nitrogen for osteosarcoma. International Orthopaedics, 33(5), pp.1365–1370.
Aela, M.I.C.H. & De, B.O., 2000. Characterization of type I and type II and type
III collagens in human tissues, Almubarak, S. et al., 2016. Tissue engineering strategies for promoting vascularized
bone regeneration. Bone, 83, pp.197–209. Amini, A.R., Laurencin, C.T. & Nukavarapu, S.P., Bone tissue engineering: recent
advances and challenges. Critical reviews in biomedical engineering, 40(5), pp.363–408.
Barnes, G.L. et al., 1999. Growth factor regulation of fracture repair. Journal of
bone and mineral research": the official journal of the American Society for Bone and Mineral Research, 14(11), pp.1805–15.
Baust, J.G. et al., 2004. Cryosurgery - A putative approach to molecular-based
optimization. Cryobiology, 48(2), pp.190–204. Bayliss, L., Mahoney, D.J. & Monk, P., 2012. Normal bone physiology,
remodelling and its hormonal regulation. Surgery (Oxford), 30(2), pp.47–53. Bickels, J. et al., 1999. The role and biology of cryosurgery in the treatment of bone
tumors. A review. Acta orthopaedica Scandinavica, 70(3), pp.308–15. Bickels, J., Meller, I. & Kollender, Y., of Bone Tumors. , pp.1–9. Bickels, J., Meller, I. & Malawer, M., 2001. The Biology and Role of Cryosurgery
in the Treatment of Bone Tumors. , pp.135–146. Bose, S., Roy, M. & Bandyopadhyay, A., 2012. Recent advances in bone tissue
engineering scaffolds. Trends in Biotechnology, 30(10), pp.546–554. Carano, R.A.D. & Filvaroff, E.H., 2003. Angiogenesis and bone repair. Drug
Discovery Today, 8(21), pp.980–989. Clarke, B., 2008. Normal bone anatomy and physiology. Clinical journal of the
American Society of Nephrology": CJASN, 3 Suppl 3, pp.131–139.
!
!
87!
Clarkin, C.E. & Gerstenfeld, L.C., 2013. VEGF and bone cell signalling: An essential vessel for communication? Cell Biochemistry and Function, 31(1), pp.1–11.
Costa, F.W.G. et al., 2011. Histomorphometric assessment of bone necrosis
produced by two cryosurgery protocols using liquid nitrogen: an experimental study on rat femurs. Journal of applied oral science": revista FOB, 19(6), pp.604–9.
Crockett, J.C. et al., 2011. Bone remodelling at a glance. Journal of cell science,
124, pp.991–998. Dabak, N. et al., 2003. Early results of a modified technique of cryosurgery.
International Orthopaedics, 27(4), pp.249–253. Drosse, I. et al., 2008. Tissue engineering for bone defect healing: An update on a
multi-component approach. Injury, 39(SUPPL.2). Eckardt, H. et al., 2005. Recombinant human vascular endothelial growth factor
enhances bone healing in an experimental nonunion model. The Journal of bone and joint surgery. British volume, 87(10), pp.1434–1438.
Gao, C. et al., 2013. MSC-seeded dense collagen scaffolds with a bolus dose of
vegf promote healing of large bone defects. European Cells and Materials, 26, pp.195–207.
Gelse, K., Pöschl, E. & Aigner, T., 2003. Collagens - Structure, function, and
biosynthesis. Advanced Drug Delivery Reviews, 55(12), pp.1531–1546. Kamal, A., Putro, R. & Pattiata, R., 2011. Diagnosis and Treatment of Ewing
Sarcoma. Journal of Indonesian Orthopaedic, (71), pp.92–100. Kruger, T.E., Miller, A.H. & Wang, J., 2013. Collagen scaffolds in bone
sialoprotein-mediated bone regeneration. The Scientific World Journal, 2013(I), p.812718.
Lieberman, J.R. & Friedlaender, G.E., 2005. Bone regeneration and repair, Liu, J. et al., 2014. Calcium Sulfate Hemihydrate/Mineralized Collagen Loading
Vascular Endothelial Growth Factors and the In Vivo Performance in Rabbit Femoral Condyle Defects Model. Journal of Biomaterials and Tissue Engineering, 4(12), pp.1054–1062.
Maes,&C.&et&al.,&2002.&Impaired&angiogenesis&and&endochondral&bone&formation&in&
mice& lacking& the&vascular&endothelial&growth& factor& isoforms&VEGF164&and&
VEGF188.&Mechanisms*of*Development,&111(1–2),&pp.61–73
!
!
88!
McGonnell, I.M. et al., 2012. Physiology of Bone Formation, Remodeling, and Metabolism. In I. Fogelman, G. Gnanasegaran, & H. van der Wall, eds. Frontiers in endocrinology. Berlin, Heidelberg: Springer Berlin Heidelberg, p. 88.
Mohler, D.G. et al., 2010. Curettage and cryosurgery for low-grade cartilage tumors
is associated with low recurrence and high function. Clinical Orthopaedics and Related Research, 468(10), pp.2765–2773.
Munthe, R. & Suroto, H., 2014. Chip Freeze Dried Cancellous Bone Allograft as
Scaffold to Fill Small Bone Defect in Long Bone. Journal of Orthopaedic and Traumatology Surabaya, 3(1), pp.193–201.
Nandi, S.K. et al., 2010. Orthopaedic applications of bone graft & graft substitutes:
A review. Indian Journal of Medical Research, 132(7), pp.15–30. Ng, Y.S. et al., 2001. Differential expression of VEGF isoforms in mouse during
development and in the adult. Developmental dynamics": an official publication of the American Association of Anatomists, 220(2), pp.112–121.
Nishida, H., Tsuchiya, H. & Tomita, K., 2008. Re-implantation of tumour tissue
treated by cryotreatment with liquid nitrogen induces anti-tumour activity against murine osteosarcoma. The Journal of bone and joint surgery. British volume, 90(9), pp.1249–55.
Papachroni, K.K. et al., 2009. Mechanotransduction in osteoblast regulation and
bone disease. Trends in Molecular Medicine, 15(5), pp.208–216. Pearce, A.I. et al., 2007. Animal models for implant biomaterial research in bone:
A review. European Cells and Materials, 13(FEBRUARY), pp.1–10. Pei, F. et al., 2012. Evaluation of a biodegradable graft substitute in rabbit bone
defect model. Indian Journal of Orthopaedics, 46(3), p.266. Peng,&H.&et&al.,&2002.&Synergistic&enhancement&of&bone&formation&and&healing&by&
stem&cellOexpressed&VEGF&and&bone&morphogenetic&proteinO4.&Journal*of*Clinical*Investigation,&110(6),&pp.751–759.&
Phedy, P., 2011. Mesenchymal stem cells: Source of isolation, survival in
hydroxyapatite-calcium sulphate, and effect in healing of bone defect. Clinical Biochemistry, 44(13), p.S295.
Phillips, A.M., 2005. Overview of the fracture healing cascade. Injury, 36 Suppl
3(3), pp.S5-7. Polewski, M.D. et al., 2010. Inorganic pyrophosphatase induces type I collagen in
!
!
89!
osteoblasts. Bone, 46(1), pp.81–90. Prideaux, M., Findlay, D.M. & Atkins, G.J., 2016. Osteocytes: The master cells in
bone remodelling. Current Opinion in Pharmacology, 28, pp.24–30. Ramajayam, K.K. & Kumar, A., 2013. A novel approach to improve the efficacy
of tumour ablation during cryosurgery. Cryobiology, 67(2), pp.201–213. Rauschmann, M.A. et al., 2005. Nanocrystalline hydroxyapatite and calcium
sulphate as biodegradable composite carrier material for local delivery of antibiotics in bone infections. Biomaterials, 26(15), pp.2677–2684.
Robinson, D., Halperin, N. & Nevo, Z., 2001. Two freezing cycles ensure interface
sterilization by cryosurgery during bone tumor resection. Cryobiology, 43(1), pp.4–10.
Sipola, A., 2009. Effects of Vascular Endothelial Growth Factor (VEGF-A) And
Endostatin On Bone, Street, J. et al., 2002. Vascular endothelial growth factor stimulates bone repair by
promoting angiogenesis and bone turnover. Proceedings of the National Academy of Sciences of the United States of America, 99(15), pp.9656–61.
Thomas, M. V. & Puleo, D.A., 2009. Calcium sulfate: Properties and clinical
applications. Journal of Biomedical Materials Research Part B: Applied Biomaterials, 88B(2), pp.597–610.
Tsuchiya, H. et al., 2010. Pedicle frozen autograft reconstruction in malignant bone
tumors. Journal of Orthopaedic Science, 15(3), pp.340–349. Uchihashi, K. et al., 2013. Osteoblast migration into type I collagen gel and
differentiation to osteocyte-like cells within a self-produced mineralized matrix: A novel system for analyzing differentiation from osteoblast to osteocyte. Bone, 52(1), pp.102–110.
Wallace, J.M. et al., 2010. Distribution of type I collagen morphologies in bone:
Relation to estrogen depletion. Bone, 46(5), pp.1349–1354. Whittaker, D.K., 1984. Mechanisms of tissue destruction following cryosurgery.
Annals of the Royal College of Surgeons of England, 66(5), pp.313–318. Yang, Y. et al., 2015. In vitro evaluation of rhBMP-2-induced expression of VEGF
in human adipose-derived stromal cells. , 8(1), pp.222–230. Yang, Y.-Q. et al., 2012. The role of vascular endothelial growth factor in
ossification. International journal of oral science, 4(2), pp.64–8.
!
!
90!
Yazawa, M., Mori, T. & Kishi, K., 2013. A Comparison of Malignant Bone
Treatments for Reuse. , 2013(January), pp.49–52. Yiu, W.K. et al., 2007. Cryosurgery: A review. International Journal of Angiology,
16(1), pp.1–6. Zelzer, E. & Olsen, B.R., 2004. Multiple Roles of Vascular Endothelial Growth
Factor (VEGF) in Skeletal Development, Growth, and Repair. Current Topics in Developmental Biology, 65, pp.169–187.
Zhou, H. & Lee, J., 2011. Nanoscale hydroxyapatite particles for bone tissue
engineering. Acta Biomaterialia, 7(7), pp.2769–2781.
! 97!
Lampiran 4. Data Analisis SPSS
Data Deskriptif Osteoblast
Case%Processing%Summary!
Kelompok!
Cases!
Valid! Missing! Total!
N! Percent! N! Percent! N! Percent!
OsteoblastCount! Perelakuan! 16! 100.0%! 0! 0.0%! 16! 100.0%!
Kontrol! 16! 100.0%! 0! 0.0%! 16! 100.0%!
Descriptives!
Kelompok! Statistic! Std.!Error!
OsteoblastCount! Perelakuan! Mean! 387.8750! 4.39685!
95%!Confidence!Interval!for!
Mean!
Lower!Bound! 378.5033!
Upper!Bound! 397.2467!
5%!Trimmed!Mean! 388.7500!
Median! 390.0000!
Variance! 309.317!
Std.!Deviation! 17.58740!
Minimum! 347.00!
Maximum! 413.00!
Range! 66.00!
Interquartile!Range! 22.00!
! 98!
Skewness! T.891! .564!
Kurtosis! .827! 1.091!
Kontrol! Mean! 284.9375! 2.50245!
95%!Confidence!Interval!for!
Mean!
Lower!Bound! 279.6037!
Upper!Bound! 290.2713!
5%!Trimmed!Mean! 285.1528!
Median! 286.5000!
Variance! 100.196!
Std.!Deviation! 10.00979!
Minimum! 267.00!
Maximum! 299.00!
Range! 32.00!
Interquartile!Range! 18.25!
Skewness! T.201! .564!
Kurtosis! T1.195! 1.091!
Tests%of%Normality!
Kelompok!
KolmogorovTSmirnova! ShapiroTWilk!
Statistic! df! Sig.! Statistic! df! Sig.!
OsteoblastCount! Perelakuan! .141! 16! .200*! .943! 16! .391!
Kontrol! .135! 16! .200*! .949! 16! .477!
!
*.!This!is!a!lower!bound!of!the!true!significance.!
a.!Lilliefors!Significance!Correction!
%
! 102!
Independent%T?Test%Jumlah%Osteoblast%
Group%Statistics!
Kelompok! N! Mean! Std.!Deviation! Std.!Error!Mean!
OsteoblastCount! Perelakuan! 16! 387.8750! 17.58740! 4.39685!
Kontrol! 16! 284.9375! 10.00979! 2.50245!
! 103!
Independent%Samples%Test!
Levene's!Test!for!Equality!of!
Variances!
tTtest!for!Equality!of!
Means!
F! Sig.! t! df!
OsteoblastCount! Equal!variances!assumed! 2.274! .142! 20.347! 30!
Equal!variances!not!
assumed! 20.347! 23.795!
!
Independent%Samples%Test!
tTtest!for!Equality!of!Means!
Sig.!(2Ttailed)! Mean!Difference!
Std.!Error!
Difference!
OsteoblastCount! Equal!variances!assumed! .000! 102.93750! 5.05910!
Equal!variances!not!assumed! .000! 102.93750! 5.05910!
!
Independent%Samples%Test!
tTtest!for!Equality!of!Means!
95%!Confidence!Interval!of!the!Difference!
Lower! Upper!
OsteoblastCount! Equal!variances!assumed! 92.60543! 113.26957!
Equal!variances!not!assumed! 92.49126! 113.38374!
! 104!
Analisa'Data'Kolagen'Tipe'I'
'
'
Crosstabs'
Case'Processing'Summary!
Cases!
Valid! Missing! Total!
N! Percent! N! Percent! N! Percent!
KolagenTypeI!*!Kelompok! 32! 100.0%! 0! 0.0%! 32! 100.0%!
! 105!
KolagenTypeI'*'Kelompok'Crosstabulation!
Kelompok!
Total!Perlakuan! Kontrol!
KolagenTypeI! Tidak!Ada!Ekspresi! Count! 0! 16! 16!
%!within!KolagenTypeI! 0.0%! 100.0%! 100.0%!
%!within!Kelompok! 0.0%! 100.0%! 50.0%!
%!of!Total! 0.0%! 50.0%! 50.0%!
Ekspresi!Ringan! Count! 16! 0! 16!
%!within!KolagenTypeI! 100.0%! 0.0%! 100.0%!
%!within!Kelompok! 100.0%! 0.0%! 50.0%!
%!of!Total! 50.0%! 0.0%! 50.0%!
Total! Count! 16! 16! 32!
%!within!KolagenTypeI! 50.0%! 50.0%! 100.0%!
%!within!Kelompok! 100.0%! 100.0%! 100.0%!
%!of!Total! 50.0%! 50.0%! 100.0%!
! 106!
NPar'Tests'
Descriptive'Statistics!
N! Mean! Std.!Deviation! Minimum! Maximum!
Percentiles!
25th! 50th!(Median)! 75th!
KolagenTypeI! 32! 1.5000! .50800! 1.00! 2.00! 1.0000! 1.5000! 2.0000!
Kelompok! 32! 1.5000! .50800! 1.00! 2.00! 1.0000! 1.5000! 2.0000!
'
Mann?Whitney'Test'
Ranks!
Kelompok! N! Mean!Rank! Sum!of!Ranks!
KolagenTypeI! Perlakuan! 16! 24.50! 392.00!
Kontrol! 16! 8.50! 136.00!
Total! 32!
! 107!
Test'Statisticsa!
KolagenTypeI!
MannTWhitney!U! .000!
Wilcoxon!W! 136.000!
Z! T5.568!
Asymp.!Sig.!(2Ttailed)! .000!
Exact!Sig.![2*(1Ttailed!Sig.)]! .000b!
!
a.!Grouping!Variable:!Kelompok!
b.!Not!corrected!for!ties.!
! 110!
Gambar 5. Proses Approach Femur Tikus
Gambar 6. Sampling Graft Femur yang akan di Rendam Nitrogen Cair
! 113!
Gambar 12. VEGF
Gambar 13. Sampel Post Tindakan dan Sampel Selama Perawatan
Gambar 14. Pemanenan Sampel : Alat –Alat