tinjauan yuridis tentang penerapan ancaman pidana mati dalam
-
Upload
khangminh22 -
Category
Documents
-
view
0 -
download
0
Transcript of tinjauan yuridis tentang penerapan ancaman pidana mati dalam
Denny Latumaerissa, Tinjauan Yuridis Tentang Penerapan…………………. Jurnal Sasi Vol. 20 No. 1. Bulan Januari-Juni 2014
8
TINJAUAN YURIDIS TENTANG PENERAPAN ANCAMAN PIDANA MATI DALAM
TINDAK PIDANA KORUPSI
Oleh: Denny Latumaerissa
ABSTRACT
Corruption has become a complex phenomenom in Indonesia which frequently involves the
government officials, legislative and judicative. Members, bankers, conglomerates, and also
corporation that misuse the state’s finance. As a result, Indonesia must suffer from a huge
loss which directly affects the people’s economy. This criminal act, somehow, must be teckled
seriously as it has become a national issue. In addressing that problem, the writer specifically
focuses on three crusial sections which composed. Of the regulation of death penalty based on
law, the development of thoughts regarding the existence of death penalty, and also factors
that influence the implementation of death penalty on corruption. As a conclusion, the writer
points out that overcoming the act of corrupt which refers to an extraordinary crime has been
regulated in law of Indonesian Number 31 years 1999 juncto law number 20 year 2001 as an.
Effort to solve the corruption. The threat of death penalty which becomes the hardest penalty
is settled as a sort of main criminal based om article 10 substantive of law. Moreover, the
discussion of death penalty in law number 31 year 1999 juncto law number 20 year 2001
about counter-corruption, is also stated in article 2 verse (2), however its implementation
depends on the requirement indicated in the law. Last but not least is the substantial factor
that impedes the implementation of the death penalty which points out the lack of seriousness
of legislative members in formulating the sanction of dead penalty as stated in law number 31
year 1999 juncto law number 20 year 2001, which indeed prevent the law enforcement to be
implemented successfully in Indonesia
Keyword: regulation of death penalty, corruption
A. LATAR BELAKANG.
Korupsi merupakan musuh bagi setiap
negara di dunia. Korupsi yang telah
mengakar akan membawa konsekuensi
terhambatnya pembangunan di suatu negara.
Ketidakberhasilan pemerintah memberantas
korupsi akan semakin melemahkan citra
pemerintah dimata masyarakat. Dalam
pelaksanaannya dapat terlihat dalam bentuk
ketidakpercayaan dan ketidakpatuhan
masyarakat terhadap hukum, dan
bertambahnya jumlah angka kemiskinan di
negara tersebut.
Di berbagai belahan dunia, korupsi
selalu mendapatkan perhatian yang lebih
dibandingkan dengan tindak pidana lainnya
karena dampak negatif yang terjadi dan yang
ditimbulkan oleh tindak pidana ini.
Menyadari kompleksnya permasalahan
korupsi di tengah-tengah krisis multi-
dimensional serta ancaman nyata yang pasti
akan terjadi, yaitu dampak dari kejahatan
ini. Maka tindak pidana korupsi dapat
dikatakan merupakansalah satu
permasalahan nasional yang harus dihadapi
secara sungguh- sungguh melalui
keseimbangan langkah- langkah yang tegas
dengan melibatkan semua potensi yang ada
dalam masyarakat khususnya pemerintah
dan aparat penegak hukum.
Denny Latumaerissa, Tinjauan Yuridis Tentang Penerapan…………………. Jurnal Sasi Vol. 20 No. 1. Bulan Januari-Juni 2014
9
Di Indonesia, dampak atau akibat yang
ditimbulkan oleh korupsi ini sangat banyak
sekali dan dapat menyentuh berbagai bidang
kehidupan. Korupsi merupakan masalah
serius, tindak pidana ini dapat
membahayakan stabilitas dan keamanan
masyarakat, membahayakan pembangunan
sosial ekonomi,dan juga politik, serta dapat
merusak nilai-nilai demokrasi dan moralitas
karena lambat laun perbuatan ini
memberikan ancaman yang sangat besar
terhadap cita-cita menuju masyarakat adil
dan makmur1.
Di tengah upaya pembangunan nasional
di berbagai bidang, aspirasi masyarakat
untuk memberantas korupsi dan bentuk
penyimpangan lainnya semakin meningkat,
karena dalam kenyataan adanyaperbuatan
korupsi telah menimbulkan kerugian negara
yang sangat besar yang pada gilirannya
dapat berdampak pada timbulnya krisis di
berbagai bidang.
Selain itu akibat dari korupsi
menurut Gunnar Myrdal yaitu 2:
a. Korupsi memantapkan dan memperbesar
masalah-masalah yang menyangkut
kurangnya hasrat untuk terjun dibidang
usaha dan mengenai kurang tumbuhnya
pasaran nasional;
b. Korupsi mempertajam permasalahan
masyarakat plural sedang bersamaan
dengan itu kesatuan negara bertambah
lemah. Juga karena turunnya martabat
pemerintah,tendesi-tendesi itu membaha-
yakan stabilitas politik;
c. Korupsi mengakibatkan turunnya disiplin
sosial.
Pelaku korupsi pada umumnya
menyalahgunakan kekuasaan atau
jabatannya untuk kepentingan pribadinya.
Korupsi dikategorikan sebagai kejahatan
kerah putih (white collar crime) mengingat
pelaku korupsi yang mempunyai status
social dan kedudukan yang terhormat. Istilah
1Evi hartanti, Tindak Pidana Korupsi, (Jakarta :
Sinar Grafika, 2007), Hal 1.
2 Andi Hamzah, Pemberantasan
Korupsi,(Jakarta : Rajagrafindo persada, 2007), Hal
22.
tersebut pertama kali diciptakan oleh Edwin
H. Sutherland dalam suatu presidential
addres di depan American Sociological
Society pada tahun 1939, yang menyatakan
bahwa white collar crime adalah kejahatan
yang dilakukan oleh orang-orang yang
terhormat dan status sosial yang tinggi
dalam kaitan dengan okupasinya
(jabatannya).3
Terkait dengan tindak pidana korupsi, di
keluarkanya Undang-Undang Nomor 31
Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak
Pidana Korupsi, kemudian direvisi dengan
Undang-undang Nomor 20 Tahun 2001
tentang Perubahan Atas Undang-Undang
Nomor 31 Tahun 1999 tentang
Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi
dimaksudkan untuk menanggulangi tindak
pidana korupsi. Di dalam Undang-Undang
ini diatur tentang bentuk-bentuk atau
jenis-jenis tindak pidana korupsi yang
disertai dengan ancaman pidananya baik
berupa pidana denda, penjara bahkan pidana
mati.
Dalam hukum positif Indonesia kita
mengenal dengan adanya hukuman mati
atau pidana mati. Dalam KUHP Bab II
mengenai Pidana, pasal 10 menyatakan
mengenai macam-macam bentuk pidana,
yaitu terdiri dari pidana pokok dan pidana
tambahan. Pidana mati termasuk jenis
pidana pokok yang menempati urutan yang
pertama. Pidana mati merupakan pidana
yang terberat karena menyangkut nyawa.
Pidana mati merupakan satu jenis pidana
dalam usianya, setua usia kehidupan
manusia dan paling kontroversial dari semua
sistem pidana, baik di negara-negara yang
menganut system Common law, maupun
Negara yang menganut Civil Law.
Mempersoalkan hukuman mati dalam
hukum pidana sebagai sarana mencapai
tujuan dari hukum pidana itu sendiri, telah
banyak menimbulkan perdebatan antar
sesama ahli hukum pidana, diantara mereka
3Muladi, Hak Asasi Manusia, Politik dan Sistem
Peradilan Pidana, (Semarang: Universitas
Diponegoro, 2002), Hal. 159.
Denny Latumaerissa, Tinjauan Yuridis Tentang Penerapan…………………. Jurnal Sasi Vol. 20 No. 1. Bulan Januari-Juni 2014
10
ada yang pro dan juga ada yang kontra
terhadap penggunaan sarana pidana mati
sebagai sarana untuk mencapai tujuan
hukum pidana yaitu memberikan rasa aman,
memberikan keadilan dan sebagainya.
Di dalam KUHP Indonesia membatasi
kemungkinan dijatuhkannya pidana mati
atas beberapa kejahatan yang berat-berat
saja. Yang dimaksudkan dengan kejahatan-
kejahatan yang berat itu adalah :4
1. Pasal 104 ( makar terhadap Presiden dan
Wakil Presiden )
2. Pasal 111 ayat (2) ( membujuk negara
asing untuk bermusuhan atau berperang )
3. Pasal 124 (tentang melindungi musuh
atau menolong musuh waktu perang )
4. Pasal 140 ayat ( 3) ( makar terhadap raja
atau kepala negara-negara sahabat.)
5. Pasal 140 ayat (3) dan pasal 340 (tentang
pembunuhan berencana )
6. Pasal 365 ayat (4) (pencurian dengan
kekerasan yang mengakibatkan luka berat
atau mati)
7. Pasal 368 ayat (2) (pemerasan dengan
kekerasan yang mengakibatkan luka berat
atau mati)
8. Pasal 444 (pembajakan di laut, pesisirdan
sungai yang mengakibatkan kematian).
Selain terhadap kejahatan yang diatur
dalam KUHP, ancaman pidana mati juga
diatur dalam undang-undang hukum pidana
diluar KUHP, yakni salah satunya adalah
Undang-undang Nomor 31 Tahun 1999 jo
undang-undang Nomor 20 Tahun 2001
tentang Pemberantasan Tindak Pidana
Korupsi. Namun pemberatan terhadap
perbuatan atau tindak pidana korupsi hanya
terhadap perbuatan memperkaya diri sendiri
atau orang lain atau suatu korporasi (Pasal 2
Undang-undang Nomor 31 Tahun 1999) saja
yang dikenakan ancaman pidana mati.
Sedangkan di dalam tindak pidana korupsi
dapat dikategorikan atau dikelompokkan
dalam 7 jenis tindak pidana, yakni :5
4 http://www.hukumonline.com/, diakses
tanggal 1 Juli 2015 5Komisi Pemberantas Korupsi, Memahami Untuk
Membasmi, (Jakarta : Komisi Pemberantasan Korupsi,
2006), Hal.15.
1. Kerugian keuangan negara
2. Suap – Menyuap
3. Penggelapan dalam jabatan
4. Pemerasan
5. Perbuatan curang
6. Benturan kepentingan dalam pengadaan
7. Gratifikasi
Pidana mati dalam tindak pidana
korupsi hanya ditujukan pada jenis tindak
pidana kerugian keuangan Negara, hal
itupun diterapkan bila ada pemberatan.
Ketentuan mengenai pidana mati dalam
Undang-undang Nomor 31 Tahun 1999,
diatur dalam Pasal 2 ayat (1) dan (2).
Ketentuan Pasal 2 ayat Ayat (1) mengatur
bahwa “Setiap orang yang secara melawan
hukum melakukan perbuatan memperkaya
diri sendiri atau orang lain atau suatu
korporasi yang dapat merugikan keuangan
negara atau perekonomian negara, dipidana
dengan pidana penjara seumur hidup atau
pidana penjara paling singkat 4 (empat)
tahun dan paling lama 20 (dua puluh) tahun
dan denda paling sedikit Rp 200.000.000,00
(dua ratus juta rupiah) dan paling banyak Rp
1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah)”.
Sedangkan ayat (2) mengatur bahwa “Dalam
hal tindak pidana korupsi sebagaimana
dimaksud dalam ayat (1) dilakukan dalam
keadaan tertentu, pidana mati dapat
dijatuhkan.
Dalam penjelasan Pasal 2 ayat (2)
Undang-undang No. 31 Tahun 1999
menyatakan bahwa yang dimaksud dengan
"keadaan tertentu" dalam ketentuan ini
sebagai pemberatan bagi pelaku tindak
pidana korupsi apabila tindak pidana
tersebut dilakukan pada waktu negara
dalam keadaan bahaya sesuai dengan
undang-undang yang berlaku, pada waktu
terjadi bencana alam nasional, sebagai
pengulangan tindak pidana korupsi, atau
pada waktu negara dalam keadaan krisis
ekonomi dan moneter.
Denny Latumaerissa, Tinjauan Yuridis Tentang Penerapan…………………. Jurnal Sasi Vol. 20 No. 1. Bulan Januari-Juni 2014
11
B. PEMBAHASAN
1. Peraturan Pidana Mati Dalam
Perundang-Undangan
Muladi menyatakan bahwa hukum
pidana tidak boleh hanya berorientasi
pada perbuatan manusia saja
(daadstrafrecht), sebab dengan demikian
hukum pidana menjadi tidak manusiawi
dan mengutamakan pembalasan. Pidana
hanya diorientasikan pada pemenuhan
unsur tindak pidana didalam perundang-
undangan6.
Hukum pidana juga tidak benar
apabila hanya memperhatikan si pelaku
saja (daderstrafrecht}, sebab dengan
demikian penerapan hukum pidana akan
berkesan memanjakan penjahat dan
kurang memperhatikan kepentingan yang
luas, yaitu kepentingan masyarakat,
kepentingan negara , dan kepentingan
korban tindak pidana. Dengan demikian
maka yang paling tepat secara integral
hukum pidana harus melindungi berbagai
kepentingan diatas, sehingga hukum
pidana yang dianut harus daad-
daderstafrech.
Gambaran tentang penerapan teori
integratif dalam pemidanaan nampak dari
pemahaman Tim Perancang KUHP
Nasional dalam merumuskan pidana mati
dalam konsep KUHP baru. Dari
pengalaman empiris sampai saat ini
terbukti bahwa, Indonesia termasuk
kelompok retensionis terhadap pidana
mati, de jure dan de facto. Masalahnya
adalah bagaimana caranya menjaga
keseimbangan perasaan antara kaum
retensionis dan kaum abolisionis di
kalangan masyarakat yang di Indonesia
yang masing-masing jumlahnya sangat
banyak.
Sehubungan dengan kenyataan
diatas, konsep rancangan KUHP
mengeluarkan pidana mati dari stelsel
6 J.E Sahetapy, Pidana Mati Dalam Negara
Pancasila,(Bandung:Citra Aditya, 2007). Hal. 8.
pidana pokok dan mencantumkannya
sebagai pidana pokok yang bersifat
khusus atau sebagai pidana eksepsional.
Penempatan pidana mati terlepas dari
paket pidana pokok dipandang penting,
karena merupakan kompromi dari
pandangan retensionis dan abolisionis.
Pidana mati sebagai salah satu jenis
pidana yang paling kontroversial selalu
mendapat sorotan dari berbagai kalangan
di seluruh dunia. Bermacam-macam
pendapat dan alasan dikemukakan untuk
mendukung dan menentang pidana mati.
Di Indonesia yang berlaku KUHP buatan
pemerintah Belanda sejak 1 Januari 1918,
dalam pasal 10 masih mencantumkan
pidana mati dalam pidana pokoknya,
padahal di Belanda sendiri pidana mati
sudah dihapuskan pada tahun 1870. Hal
tersebut tak diikuti di Indonesia karena
keadaan khusus di Indonesia menuntut
supaya penjahat yang terbesar dapat
dilawan dengan pidana mati.
Ancaman pidana mati di Indonesia
bersumber pada pada Wetboek van
Strafrecht yang disahkan sebagai Kitab
Undang-undang Hukum Pidana (KUHP)
oleh Pemerintah Hindia Belanda pada
tanggal 1 Januari 1918. Pemberlakuan
KUHP tersebut didasarkan pada
ketentuan Pasal I Aturan Peralihan
Undang-Undang Dasar 1945 (sekarang
UUDNRI 1945) yang menyatakan segala
peraturan perundang-undangan yang ada
masih tetap berlaku selama belum
diadakan yang baru menurut UUDNRI
1945 dan dikuatkan dengan
Undang-Undang nomor 1 Tahun 1946
tentang pemberlakukan Wetboek van
Strafrecht menjadi KUHP.7
Pada tahun 1964 pemerintah
menerbitkan Undang-Undang nomor
2/PNPS/1964 LN 1964 No. 38 yang
kemudian ditetapkan menjadi
7Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1946 tentang
Peraturan Hukum Pidana, Lembaran-Negara Tahun
1958 Nomor 127.
Denny Latumaerissa, Tinjauan Yuridis Tentang Penerapan…………………. Jurnal Sasi Vol. 20 No. 1. Bulan Januari-Juni 2014
12
Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1969
tentang Tata Cara Pelaksanaan Pidana
Mati Yang Dijatuhkan Oleh Pengadilan
Di Lingkungan Peradilan Umum Dan
Militer. Dalam Undang-Undang itu
disebutkan bahwa pelaksanaan eksekusi
terhadap terpidana hukuman mati
dilakukan dengan cara ditembak hingga
mati. Karena sebelumnya tidak pernah
ada pengaturan mengenai bagaimana
eksekusi harus dilakukan. Pada pasca
reformasi 1998, pengadilan di Indonesia
masih menjatuhkan pidana mati. Pidana
mati diancam pada beberapa tindak
pidana. Hal ini disebabkan masih adanya
berbagai peraturan perundang-undangan
yang memuat pidana mati yang
sebenarnya merupakan produk pra
reformasi namun masih saja berlaku
pasca reformasi, hal tersebut dapat kita
lihat pada berbagai Undang-undang
dibawah ini:
Tabel 1
Perundang-undangan RI yang
Memiliki Ancaman Pidana Hukuman
Mati
N
o
Peratura
n
Keterangan
1
KUH
Pidana
Makar
Mengajak atau menghasut
negara lain untuk menyerang RI
Melindungi musuh atau
menolong musuh yang
berperang
melawan RI
Membunuh kepala negara
sahabat
Pembunuhan berencana
Pencurian dengan kekerasan
oleh dua orang atau lebih
berkawan pada waktu malam
dengan merusak rumah yang
mengakibatkan orang luka berat
atau mati
Pembajakan di laut, di tepi laut,
di sungai sehingga ada
orang yang mati
Menganjurkan pemberontakan
atau huru hara pada buruh
terhadap perusahaan pertahanan
negara waktu perang
Melakukan penipuan dalam
menyerahkan barang-barang
di saat perang
Pemerasan dengan kekerasan
2. UU
Darurat
No. 12/
1951
Senjata api
3 TapPres
No. 5/
1959
Wewenang Jaksa Agung/Jaksa
Tentara Agung dalam hal
memperberat ancaman hukuman
mati terhadap tindak pidana
yang membahayakan
pelaksanaan perlengkapan
sandang pangan.
4 Perpu
No. 21/
1959
Memperberat ancaman hukuman
terhadap tindak pidana ekonomi
5 UU No.
11/PNPS
/1963
Pemberantasan kegiatan
subversif
6 UU No.
4/1976
Perubahan dan penambahan
beberapa pasal dalam KUHP
bertalian dengan perluasan
berlakunya ketentuan
perundang-undangan pidana
kejahatan penerbangan dan
kejahatan terhadap
sarana/prasarana penerbangan
7 UU No.
5/ 1997
Psikotropika
8 UU No.
22/1997
Narkotika
9 UU No.
31/1999
Pemberantasan Korupsi
10 UU No.
26/2000
Pengadilan HAM
11 UU No.
15/2003
Pemberantasan Tindak Pidana
Terorisme
Sumber: Litbang Kontras.
Sebagai akibat dari masih
diberlakukannya pidana mati dalam
instrumen hukum nasional Indonesia, maka
eksekusi pidana mati terhadap terpidana
terus terjadi hingga kini. Kontroversi
mengenai pidana mati di Indonesia juga
tidak pernah berhenti hingga saat ini. Pidana
mati di Indonesia dianggap tidak melalui
proses peradilan yang independen, imparsial
dan bersih. Praktek pidana mati di Indonesia
selama ini masih dinilai bias kelas dan
diskriminasi. Pidana mati tidak pernah
Denny Latumaerissa, Tinjauan Yuridis Tentang Penerapan…………………. Jurnal Sasi Vol. 20 No. 1. Bulan Januari-Juni 2014
13
menjangkau pelaku dari kelompok elit yang
tindak kejahatannya pada umumnya bisa
dikategorisasikan sebagai kejahatan serius
atau luar biasa.8
2. Perkembangan Pemikiran Terhadap
Eksistensi Pidana Mati
Hukum pidana ialah hukum yang mengatur
tentang pelanggaran-pelanggaran dan
kejahatan-kejahatan terhadap kepentingan umum,
perbuatan mana diancam dengan hukuman yang
merupakan suatu penderitaan atau siksaan.9 Hal
senada dan terperinci juga dikemukakan oleh
Moeljatno 10 , dimana menurutnya hukum
pidana adalah bagian daripada keseluruhan
hukum yang berlaku di suatu negara, yang
mengadakan dasar-dasar dan aturan-aturan
untuk:
1. Menentukan perbuatan mana yang tidak
boleh dilakukan, yang dilarang, yang
disertai ancaman atau sanksi yang berupa
pidana tertentu bagi barangsiapa yang
melanggar larangan tersebut;
2. Menentukan kapan dan dalam hal-hal apa
kepada mereka yang telah melanggar
larangan-larangan itu dapat dikenakan
atau dijatuhi pidana sebagaimana yang
telah diancamkan;
3. Menentukan dengan cara bagaimana
pengenaan pidana itu dapat dilaksanakan
apabila ada orang yang disangka telah
melanggar larangan tersebut.
Pemidanaan berasal dari kata “pidana”
yang sering diartikan pula dengan hukuman.
Pemidanaan diartikan dengan penghukuman.
Kalau orang mendengar kata
8Sampai saat ini di Indonesia, hakim belum
pernah menjatuhkan putusan hukuman mati terhadap
pelaku tindakpidana korupsi. Hal ini berbeda dengan
tindak pidana lainnya yang sama-sama merupakan
kejahatn luar biasa (extra ordinary crime), yaitu
tindak pidana terorisme, dan tindak pidana narkoba.
Dalam kedua tindak pidana tersebut, beberapa kasus
sudah diberikan hukuman mati.
9 C.S.T. Kansil, Pengantar ilmu hukum
dan tata hukum Indonesia, (Jakarta: Balai Pustaka,
1984) Hal. 257
10 Moeljatno dalam Bambang
Poernomo,Asas-asas Hukum Pidana,(Jakarta:Ghalia
Indonesia, Jakarta, 1978), Hal. 16.
“penghukuman”, biasanya yang dimaksud
adalah penderitaan yang diberikan kepada orang
yang melanggar hukum pidana.
Pemidanaan atau pengenaan pidana
berhubungan erat dengan kehidupan seseorang di
dalam masyarakat.11 Tujuan dari pidana itu untuk
mencegah timbulnya kejahatan atau pelanggaran.
Kejahatan-kejahatan yang berat dan hukuman
mati dalam sejarah hukum pidana merupakan dua
komponen permasalahan yang sangat berkaitan. Hal
ini tampak dalam Kitab Undang-undang Hukum
Pidana Indonesia yang mengancam
kejahatan-kejahatan yang berat itu dengan pidana
mati.12
Kejahatan tidak boleh dibiarkan merajalela
di dalam pergaulan hidup, apalagi jika dikaitkan
dengan akibat-akibat dari kejahatan tersebut
baik berupa kehilangan harta, harga diri ataupun
nyawa. Tidak ada satu negarapun yang tidak
mengalami tindak kejahatan, apakah itu negara
berkembang ataupun negara yang sedang
berkembang,. Tidak dapat diharapkan kejahatan
akan lenyap di muka bumi ini. Namun
demikian tidak berarti bahwa sikap terhadap
kejahatan tidak perlu dilakukan usaha
penanggulangan. Salah satu cara untuk
menanggulangi kejahatan ialah dengan hukum
pidana.13
Pidana mati mendapat reaksi karena tata
cara pelaksanaan pidana mati tersebut yang
dianggap tidak manusiawi. Pelaksanaan atau
eksekusi hukuman mati dilakukan dengan cara
yang sangat kejam, seperti disalib,
ditenggelamkan di laut, dibakar hidup-hidup,
dilempari batu sampai meninggal (hukum rajam),
ditombak dan dimasukkan ke dalam karung berisi
anjing, ayam jago, ular berbisa, serta beruk.
Eksekusi hukuman mati yang paling terkenal
dilakukan terhadap filsuf Yunani Socrates pada
11 Djoko Prakoso dan Nurwachid, Studi tentang
pendapat-pendapat mengenai efektivitas Pidana Mali
di Indonesia dewasa ini, (Jakarta:Ghalia Indonesia,
1984), Hal. 13. 12 Ibid 13 Ninik Widiyanti dan Panji Anoraga,
Perkembangan Kejahatan dan Masalahnya ditinjau
dari segi kriminologi dan sosial, (Jakarta : PT.
Pradnya Paramita, 1987), Hal. 9.
Denny Latumaerissa, Tinjauan Yuridis Tentang Penerapan…………………. Jurnal Sasi Vol. 20 No. 1. Bulan Januari-Juni 2014
14
tahun 399 SM dengan menggunakan minuman
berisi racun.
Pidana mati di Indoneisa telah ada pada masa
kerajaan-kerajaan, pemberlakuan pidana mati di
Indonesia masih mengacu pada KUHP yang
merupakan warisan Kolonial Belanda.
Menurut Pasal 11 KUHP, pidana mati
dijalankan dengan cara menjerat ditiang
gantungan pada leher terpidana, kemudian
algojo menjatuhkan papan tempat terpidana
berdiri. Akan tetapi sejak penjajahan Jepang
di Indonesia, melalui Stablaad 1945 Nomor
123, pidana mati dijalankan dengan jalan
menembak mati terpidana, hal ini kemudian
diperkuat dengan Undang-Undang nomor
2/PNPS/Tahun 1964, Lembaran Negara
1964 Nomor 83, (ditetapkan menjadi
Undang-Undang nomor 5 Tahun 1969) yang
menetapkan bahwa pelaksanaan pidana mati
dirubah dengan cara ditembak mati.
Mekanisme pelaksanaan pidana mati
sebagaimana ditetapkan di dalam pasal 2-16
UU No. 2/PNPS/1964, adalah sebagai
berikut14:
1. Dalam jangka waktu tiga kali dua puluh
empat jam sebelum saat pidana mati itu
dilaksanakan, jaksa tinggi atau jaksa yang
bersangkutan harus memberitahukan
kepada terpidana tentang akan
dilaksanakannya pidana mati tersebut.
Apabila terpidana berkeinginan untuk
mengemukakan sesuatu, maka keterangan
atau pesannya itu diterima oleh jaksa
tinggi atau jaksa tersebut;
2. Apabila terpidana merupakan seorang
wanita yang sedang hamil, maka
pelaksanaan dari pidana mati harus
ditunda hingga anak yang dikandungnya
itu telah lahir;
3. Tempat pelaksanaan pidana mati itu
ditentukan oleh Menteri Kehakiman,
yakni di daerah hukum dari pengadilan
tingkat pertama yang telah memutuskan
pidana mati yang bersangkutan;
14Ekaputra, Mohammad dan Abul Khair, Sistem
Pidana Di Dalam KUHP Dan Pengaturannya
Menurut Konsep KUHP Baru, (Medan : USU Press,
2010), Hal.34-35
4. Kepala Polisi dari daerah yang
bersangkutan bertanggung jawab
mengenai pelaksanaan dari pidana mati
tersebut setelah mendengar nasehat dari
jaksa tinggi atau dari jaksa yang telah
melakukan penuntutan pidana mati pada
peradilan tingkat pertama;
5. Pelaksanaan pidana mati itu dilakukan
oleh suatu regu penembak Polisi di bawah
pimpinan dari seorang perwira Polisi;
6. Kepala Polisi dari daerah yang
bersangkutan (atau perwira yang ditunjuk)
harus menghadiri pelaksanaan dari pidana
mati itu, sedang pembela dari terpidana
atas permintaannya sendiri atau atas
permintaan dari terpidana dapat
menghadirinya;
7. Pelaksanaan dari pidana mati itu tidak
boleh dilakukan di muka umum;
8. Penguburan jenazah terpidana diserahkan
kepada keluarga atau kepada sahabat-
sahabat terpidana, dan harus dicegah
pelaksanaan dari penguburan yang
bersifat demonstratif, kecuali demi
kepentingan umum maka jaksa tinggi atau
jaksa yang bersangkutan dapat
menentukan lain;
9. Setelah pelaksanaan dari pidana mati itu
selesai dikerjakan, maka jaksa tinggi atau
jaksa yang bersangkutan harus membuat
berita acara mengenai pelaksanaan pidana
mati tersebut, dimana isi dari berita acara
tersebut kemudian harus dicantumkan di
dalam surat keputusan dari Pengadilan
yang bersangkutan
Penjatuhan pidana mati menurut
pemidanaan dalam KUHP, selalu
dialternatifkan dengan jenis pidana lainnya
yaitu pidana penjara, baik pidana penjara
seumur hidup maupun pidana penjara
selama-lamanya 20 tahun (pidana penjara
sementara waktu 20 tahun), hal ini dapat
dilihat dalam perumusan Pasal 340 KUHP
tentang pembunuhan berencana.
Eksistensi pidana mati di Indonesia
mendapat tanggapan dari berbagai pakar ahli
hukum pidana, krimonologi dan victimologi,
bahkan masyarakat terutama yang
berhubungan dengan falsafah pemidanaan,
Denny Latumaerissa, Tinjauan Yuridis Tentang Penerapan…………………. Jurnal Sasi Vol. 20 No. 1. Bulan Januari-Juni 2014
15
bahwa pemidanaan bukan hanya bertujuan
agar terpidana menjadi jera, tetapi juga
harus memperhatikan korban, sehingga
berkembanglah pendekatan teori restrtoaktif
justice.15
Pidana mati menurut pandangan
abolisionis, karena tidak sesuai dengan
Falsafah bangsa Indonesia yakni Pancasila,
namun di pihak yang masih
mempertahankan pidana mati bahwa pidana
mati tersebut tidak bertentangan dan dapat
dipertanggungjawabkan dalam falsafah
Pancasila. Senada dengan itu menurut
Bambang Poernomo16 , meng- emukakan
pandangannya tentang pidana mati dapat
dipertanggungjawabkan dalam negara
Pancasila, yang diwujudkan sebagai
perlindungan individu sekaligus juga
melindungi masyarakat demi terciptanya
keadilan dan kebenaran dalam hukum
berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa.
Eksistensi pidana mati masih diperlukan
pada masa mendatang dan tidak dikaitkan
dengan tujuan utama dari pemidanaan serta
pidana mati hanya dapat dijatuhkan sebagai
upaya terakhir untuk mengayomi
masyarakat. Untuk itulah dalam
menjatuhkan pemidanaan terhadap pidana
mati yang bersifat khusus, Hakim harus
mempertimbangkan secara seksama segala
hal yang menyangkut pribadi terpidana,
keluarga dan lingkungannya. Mengenai
manfaat dan keburukan yang akan timbul
dengan dijatuhkannya pidana mati tersebut,
hendaknya dalam masa penantian sebelum
dilaksakannya pidana mati, yaitu saat
nyawanya akan direnggut, terpidana mati
harus tetap dihormati hak hak asasinya,
dengan cara memperoleh pembinaan seperti
layaknya narapidana lainnya.
15 Arief. Bernard Sidharta. Analisis Filosofikal
Terhadap Hukuman Mati di Indonesia. Makalah
disampaikan dalam lokakarya yang diselenggarakan
oleh Komisi Hak Asasi Manusia, (Bandung, 7
Desember 2005). 16 Bambang Poernomo. Hukum Pidana,
Kumpulan Karangan Ilmia, (Jakarta: Bina Aksara,
1982), Hal. 17.
Pidana mati pada Rancangan KUHP
masuk dalam pidana khusus, sedangkan
dalam KUHP yang masih berlaku sampai
dengan sekarang ini pidana mati masuk
dalam pidana pokok (Pasal 10 KUHP)17
3. Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi
Penerapan Pidana Mati Dalam
Tindak Pidana Korupsi
Pidana mati adalah pidana yang terberat,
hal ini dikarenakan pelaksanaanya berupa
penyerangan terhadap hak hidup bagi manusia,
yang sesungguhnya hak ini hanya dapat
dicabut ditangan Tuhan, maka tidak heran
sejak dulu sampai sekarang menimbulkan
perdapat pro dan kontra..
Pandangan yang kontra terhadap
penerapan hukuman mati (abolisonism) di
Indonesia, memandang bahwasanya pidana
mati sangat bertentangan dengan Hak Asasi
Manusia, sebagaimana dicantumkan dalam
Pasal 28A, dan 28I UUD 1945, Pasal 4 dan
Pasal 9 Undang-undang Nomor 39 Tahun
1999, dan Pasal 3 DUHAM.
Sementara itu pandangan yang pro akan
pidana mati beranggapan bahwa pidana mati
masih harus dipertahankan dan diterapkan
hanya pada kejahatan yang luar biasa (extra
ordinary crime) seperti tindak pidana korupsi,
untuk diterapkan, kelompok ini menganggap
bahwa hukuman mati akan memberikan efek
jera (detteren effect), sehingga akan
mencegah terulangnya tindak pidana serupa
oleh oleh orang lain. Perdebatan dua arus
kuat tersebut, pada dasarnya bisa ditarik titik
temunya, point penting keduanya adalah,
bagaimana agar manusia sebagai subjek
peradaban ini, dilindungi harkat dan
martabatnya sebagai manusia, sehingga
produktifitas peradabannya akan terus
berlangsung, dan eksistensinya sebagai
manusia dapat dipertahankan.
Mahkamah Konstitusi sendiri pernah
memutuskan bahwa hukuman mati tidak
bertentangan Undang-Undang Dasar, dalam
kasus pengujian Undang-undang Narkotika
terhadap Pasal 28A, dan Pasal 28I ayat (1)
17 Lihat RUU KUHP versi tahun 2010
Denny Latumaerissa, Tinjauan Yuridis Tentang Penerapan…………………. Jurnal Sasi Vol. 20 No. 1. Bulan Januari-Juni 2014
16
UUD RI Tahun 1945, sebagaimana uraian
berikut:18
“Menimbang pula bahwa dengan
memperhatikan sifat irrevocable pidana mati,
terlepas dari pendapat Mahkamah perihal
tidak bertentanganya pidana mati dengan
UUD 1945 bagi kejahatan-kejahatan tertentu
dalam undang-undang Narkotika yang
dimohonkan pengujian dalam permohonan a
quo, Mahkamah berpendapat bahwa ke
depan, dalam rangka pembaharuan hokum
pidana nasional dan harmonisasi peraturan
perundangundangan yang terkait dengan
pidana mati, maka perumusan, penerapan,
maupun pelaksanaan pidana mati dalam
system peradilan pidana di Indonesia
hendaklah memperhatikan dengan
sungguh-sungguh hal-hal berikut:
a) Pidana mati bukan lagi merupakan pidana
pokok, melainkan sebagai pidana yang
bersifat khusus dan alternatif;
b) Pidana mati dapat dijatuhkan dengan
masa percobaan selama sepuluh tahun
yang apabila terpidana berkelalukuan
terpuji dapat diubah dengan pidana
penjara seumur hidup atau selama 20
tahun;
c) Pidana mati tidak dapat dijatuhkan
terhadap anak-anak yang belum dewasa;
d) Eksekusi pidana mati terhadap perempuan
hamil dan seseorang yang sakit
jiwaditangguhkan sampai perempuan
hamil tersebut melahirkan dan terpidana
yang sakit jiwa tersebut sembuh”
Mengkritisi perdebatan-perdebatan di
atas, menurut hemat penulis, marilah kita
bersama-sama bijak dalam memperhatikan
korban yang hak hidupnya terampas oleh
pelaku, serta potensi hilangnya hak hidup
bagi yang lain, idealnya merupakan
pertimbangan tersendiri dalam menentukan
kesimpulan apakah hukuman mati tersebut
bertentangan dengan HAM atau tidak.
Interprestasi parsial (sepenggal) akan
pelarangan hukuman mati atau klaim
terjadinya pelanggaran HAM atas hukuman
mati, akan menjadi penafsiran yang dangkal
18 Lihat Putusan MK No. 2-3/PUU-V/2007.
dan tidak proporsional dalam konteks
perlindungan hak hidup atas nama
perlindungan HAM. Selanjutnya menurut
penulis paradigma yang terbentuk sebagai
indikator penilaian pro n kontra hukuman
mati sebenarnya terletak pada kepentingan
dan cara pandangan terhadap pidana mati itu
sendiri
Salah satu undang-undang yang masih
memberlakukan ancaman pidana mati
adalah Undang-Undang nomor 31 Tahun
1999 jo Undang-Undang Nomor 20 Tahun
2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana
Korupsi. Kebijakan formulasi pasal-pasal
yang berkaitan dengan kedua hal ini tentu
didasarkan pada pemikiran dan
dilatarbelakangi oleh keinginan untuk
memberantas tindak pidana korupsi.19
Pemberlakuan ancaman pidana mati
dalam Undang-Undang Nomor 31 Tahun
1999 tentang Pemberantasan Tindak
Pidana Korupsi jo Undang-undang Nomor
20 Tahun 2001 tentang Perubahan Atas
Undang-undang Nomor 31 Tahun 1999
tentang Pemberantasan Tindak Pidana
Korupsi, pada Pasal 2 ayat (2)
menyebutkan “Dalam hal tindak pidana
korupsi sebagaimana dimaksud dalam ayat
(1) dilakukan dalam keadaan tertentu,
pidana mati dapat dijatuhkan”. Tindak
pidana yang dimaksudkan dalam ayat (1)
yakni setiap orang yang secara melawan
hukum melakukan perbuatan memperkaya
diri sendiri atau orang lain atau suatu
korporasi yang dapat merugikan keuangan
negara atau perekonornian negara.
Ancaman pidana mati yang terdapat
dalam Pasal 2 ayat (2) ternyata boleh
diterapkan dengan syarat yakni adanya
alasan pemberatan pidana terhadap pelaku
tindak pidana korupsi. Pembuat
undang-undang memasukan “keadaan
tertentu” sebagai alasan pemberatan. Dalam
penjelasan pasal ini yang dimaksud dengan
"keadaan tertentu" dalam ketentuan ini
sebagai pemberatan bagi pelaku tindak
19 www.journal.trisakti.ac.id/index.php/hukum/arti
cle/download/7/7, diakses tanggal 1 juli 2015
Denny Latumaerissa, Tinjauan Yuridis Tentang Penerapan…………………. Jurnal Sasi Vol. 20 No. 1. Bulan Januari-Juni 2014
17
pidana korupsi apabila tindak pidana
tersebut dilakukan pada waktu negara dalam
keadaan bahaya sesuai dengan
undang-undang yang berlaku, pada waktu
terjadi bencana alam nasional, sebagai
pengulangan tindak pidana korupsi, atau
pada waktu negara dalam keadaan krisis
ekonomi dan moneter.
Pada Undang-Undang nomor 20 Tahun
2001 tentang Perubahan Atas
Undang-undang Nomor 31 Tahun 1999
tentang Pemberantasan Tindak Pidana
Korupsi, bahwa substansi dari Pasal 2 ayat
(2) tetap yang mengalami perubahan
hanya dalam penjelasan pasalnya saja.
Dalam undang-undang ini yang
dimaksudkan dengan “keadaan tertentu”
yakni keadaan yang dapat dijadikan alasan
pemberatan pidana bagi pelaku tindak
pidana korupsi yaitu apabila tindak pidana
tersebut dilakukan terhadap dana-dana yang
diperuntukkan bagi penanggulangan
keadaan bahaya, bencana alam nasional,
penanggulangan akibat kerusuhan sosial
yang meluas, penanggulangan krisis
ekonomi dan moneter, dan pengulangan
tindak pidana korupsi.
Faktor-faktor sehingga penerapan
ancaman pidana mati tidak diterapkan dalam
tindak pidana korupsi yakni
undang-undang 20 sendiri dimana pembuat
kebijakan legislatif kurang serius dalam
perumusan ancaman pidana mati terlihat
dari adanya syarat yang menjadi alasan
pemberatan sehingga pidana mati dapat
diterapkan. Hal tersebut dapat dilihat dari
penjelasan pasal 2 ayat (2) Undang-Undang
nomor 20 Tahun 2001, yakni pemberatan
tersebut dilakukan dalam keadaan tertentu.
Yang dimaksudkan dalam keadaan tertentu
yakni :
1. Dilakukan terhadap dana-dana yang
diperuntukkan bagi penanggulangan
keadaan bahaya;
20 Soerjono Soekanto, Faktor-faktor yang
Mempengaruhi Terhadap Penegakan Hukum, ctk
Keempat, (Jakarta : PT Raja Grafindo Persada, 2002),
Hal. 55.
Keadaan bahaya ini juga perlu
penafsiran, hal ini menambah ketidak
jelasan dari undang-undang tersebut.
2. Bencana alam nasional;
Bencana nasional ini juga perlu
penafsiran apakah bencana alam di
suatu provinsi mempengaruhi provinsi
yang lain sehingga dapat dikatakan
bencana nasional.
3. Penanggulangan akibat kerusuhan
sosial yang meluas
Kerusuhan sosial yang meluas, kata
meluas ini juga menjadi tidak jelas.
4. Penanggulangan krisis ekonomi dan
moneter, dan;
Krisis ekonomi dan moneter ini juga
menjadi hal yang tidak pasti, karena
kapan suatu negara mengalami krisis
ekonomi dan moneter.
5. Pengulangan tindak pidana korupsi.
Hal ini dapat diterima, karena
pengulanggan (residivis) dalam tindak
pidana korupsi
Syarat-syarat tersebut menurut penulis,
masih multi tafsir, hal ini tentunya
berimplikasi pada belum adanya
penjatuhan pidana mati terhadap pelaku
tindak pidana korupsi. Idealnya didalam
UU tipikor harus dengan tegas dirumuskan
lebih luas lagi terkait dengan pidana mati,
sehingga ada tolak ukur bagi penegak
hukum dalam menafsirkan berapa kerugian
negara yang dapat diberikan sanksi pidanan
mati.
C. P E N U T U P
Penanggulangan tindak pidana korupsi
yang merupakan kejahatan luar biasa (extra
ordinary crime) membutuhkan kemauan dan
keseriusan semua pihak, baik eksekutif,
legislatif maupun yudikatif. Kebijakan
penanggulangan kejahatan luar biasa ini
harus ditopang dengan perundang-
undangan yang luar biasa juga. Undang-
Undang Nomor 31 Tahun 1999 jo
Undang-undang Nomor 20 Tahun 2001
tentang pemberantasan tindak pidana
korupsi hadir dalam upaya
pemberantasan tindak pidana korupsi.
Denny Latumaerissa, Tinjauan Yuridis Tentang Penerapan…………………. Jurnal Sasi Vol. 20 No. 1. Bulan Januari-Juni 2014
18
Ancaman pidana mati yang
merupakan pidana terberat dalam stelsel
hukum pidana kita, yakni pada Pasal 10
KUHP yang memposisikan pidana mati
dalam jenis pidana pokok. Ancaman
pidana mati ini di alternatifkan dengan
pidana penjara seumur hidup dan pidana
penjara dalam batas waktu tertentu yakni
15 tahun bahkan sampai 20 tahun dan
berlaku pada tindak pidana tertentu saja.
Pidana mati di dalam Undang-Undang
nomor 31 tahun 1999 jo Undang-Undang
nomor 20 Tahun 2001 tentang
pemberantasan tindak pidana korupsi
terdapat pada Pasal 2 ayat (2), namun
penjatuhan atau penerapannya
tergantung dari syarat yang ditentukan
dalam undang-undang korupsi tersebut.
Adapun syarat-syaratnya yaitu
dilakukan terhadap dana-dana yang
diperuntukkan bagi penanggulangan
keadaan bahaya, Bencana alam nasional,
Penanggulangan akibat kerusuhan sosial
yang meluas, Penanggulangan krisis
ekonomi dan moneter, Pengulangan tindak
pidana korupsi. Syarat-syarat tersebut masih
multi tafsir, hal ini tentunya berimplikasi
pada belum adanya penjatuhan pidana
mati terhadap pelaku tindak pidana
korupsi. Idealnya didalam UU tipikor harus
dengan tegas dirumuskan lebih luas lagi
terkait dengan pidana mati, sehingga ada
tolak ukur bagi penegak hukum dalam
menafsirkan berapa kerugian negara yang
dapat diberikan sanksi pidanan mati.
Berdasarkan uraian tersebut diatas,
maka diharapkan para anggota legislatif
(DPR) dapat meninjau dan merevisi
kembali Undang-Undang Pemberantasan
Tindak Pidana Korupsi, agar para koruptor
yang merugikan keuangan negara pada
indikator tertentu, dapat dihukumsampai
dengan hukuman mati demi kemajuan dan
keselamatan Negara Indonesia dari jurang
kehancuran yang disebabkan oleh
membudayanya korupsi.
DAFTAR PUSTAKA
Buku
Ekaputra, Mohammad dan Khair, Abul,
2010, Sistem Pidana Di Dalam KUHP
Dan Pengaturannya Menurut Konsep
KUHP Baru, Medan : USU Press
Hamzah, Andi, 2007, Pemberantasan
Korupsi,Jakarta : Rajagrafindo persada
Hartanti, Evi, 2007, Tindak Pidana
Korupsi, Jakarta : Sinar Grafika.
Muladi, 2002, Hak Asasi Manusia, Politik
dan Sistem Peradilan Pidana,
Semarang: Universitas Diponegoro.
Prakoso, Djoko dan Nurwachid, 1984, Studi
tentang pendapat-pendapat mengenai
efektivitas Pidana Mati di Indonesia
dewasa ini, Jakarta:Ghalia Indonesia,
Poernomo, Bambang, 1978, Asas-asas
Hukum Pidana, Jakarta:Ghalia
Indonesia
_________________, 1982, Hukum Pidana,
Kumpulan Karangan Ilmia, Jakarta :
Bina Aksara
Sahetapy, J.E, 2007 Pidana Mati Dalam
Negara Pancasila, Bandung:Citra
Aditya
Widiyanti, Ninik dan Anoraga, Panji,
1987 Perkembangan Kejahatan dan
Masalahnya ditinjau dari segi
kriminologi dan sosial, Jakarta : PT.
Pradnya Paramita
Peraturan Perundang-Undangan
Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1946
tentang Peraturan Hukum Pidana,
Lembaran-Negara Tahun 1958 Nomor
127.
Putusan MK No. 2-3/PUU-V/2007.
RUU KUHP tahun 2010
Lain-lain
Bernard Sidharta, Arief, 2005, Analisis
Filosofikal Terhadap Hukuman Mati
di Indonesia
http://www.hukumonline.com/
www.journal.trisakti.ac.id/index.php/hukum/
article/download/7/7,