tinjauan yuridis tentang penerapan ancaman pidana mati dalam

11
Denny Latumaerissa, Tinjauan Yuridis Tentang Penerapan…………………. Jurnal Sasi Vol. 20 No. 1. Bulan Januari-Juni 2014 8 TINJAUAN YURIDIS TENTANG PENERAPAN ANCAMAN PIDANA MATI DALAM TINDAK PIDANA KORUPSI Oleh: Denny Latumaerissa ABSTRACT Corruption has become a complex phenomenom in Indonesia which frequently involves the government officials, legislative and judicative. Members, bankers, conglomerates, and also corporation that misuse the state’s finance. As a result, Indonesia must suffer from a huge loss which directly affects the people’s economy. This criminal act, somehow, must be teckled seriously as it has become a national issue. In addressing that problem, the writer specifically focuses on three crusial sections which composed. Of the regulation of death penalty based on law, the development of thoughts regarding the existence of death penalty, and also factors that influence the implementation of death penalty on corruption. As a conclusion, the writer points out that overcoming the act of corrupt which refers to an extraordinary crime has been regulated in law of Indonesian Number 31 years 1999 juncto law number 20 year 2001 as an. Effort to solve the corruption. The threat of death penalty which becomes the hardest penalty is settled as a sort of main criminal based om article 10 substantive of law. Moreover, the discussion of death penalty in law number 31 year 1999 juncto law number 20 year 2001 about counter-corruption, is also stated in article 2 verse (2), however its implementation depends on the requirement indicated in the law. Last but not least is the substantial factor that impedes the implementation of the death penalty which points out the lack of seriousness of legislative members in formulating the sanction of dead penalty as stated in law number 31 year 1999 juncto law number 20 year 2001, which indeed prevent the law enforcement to be implemented successfully in Indonesia Keyword: regulation of death penalty, corruption A. LATAR BELAKANG. Korupsi merupakan musuh bagi setiap negara di dunia. Korupsi yang telah mengakar akan membawa konsekuensi terhambatnya pembangunan di suatu negara. Ketidakberhasilan pemerintah memberantas korupsi akan semakin melemahkan citra pemerintah dimata masyarakat. Dalam pelaksanaannya dapat terlihat dalam bentuk ketidakpercayaan dan ketidakpatuhan masyarakat terhadap hukum, dan bertambahnya jumlah angka kemiskinan di negara tersebut. Di berbagai belahan dunia, korupsi selalu mendapatkan perhatian yang lebih dibandingkan dengan tindak pidana lainnya karena dampak negatif yang terjadi dan yang ditimbulkan oleh tindak pidana ini. Menyadari kompleksnya permasalahan korupsi di tengah-tengah krisis multi- dimensional serta ancaman nyata yang pasti akan terjadi, yaitu dampak dari kejahatan ini. Maka tindak pidana korupsi dapat dikatakan merupakansalah satu permasalahan nasional yang harus dihadapi secara sungguh- sungguh melalui keseimbangan langkah- langkah yang tegas dengan melibatkan semua potensi yang ada dalam masyarakat khususnya pemerintah dan aparat penegak hukum.

Transcript of tinjauan yuridis tentang penerapan ancaman pidana mati dalam

Denny Latumaerissa, Tinjauan Yuridis Tentang Penerapan…………………. Jurnal Sasi Vol. 20 No. 1. Bulan Januari-Juni 2014

8

TINJAUAN YURIDIS TENTANG PENERAPAN ANCAMAN PIDANA MATI DALAM

TINDAK PIDANA KORUPSI

Oleh: Denny Latumaerissa

ABSTRACT

Corruption has become a complex phenomenom in Indonesia which frequently involves the

government officials, legislative and judicative. Members, bankers, conglomerates, and also

corporation that misuse the state’s finance. As a result, Indonesia must suffer from a huge

loss which directly affects the people’s economy. This criminal act, somehow, must be teckled

seriously as it has become a national issue. In addressing that problem, the writer specifically

focuses on three crusial sections which composed. Of the regulation of death penalty based on

law, the development of thoughts regarding the existence of death penalty, and also factors

that influence the implementation of death penalty on corruption. As a conclusion, the writer

points out that overcoming the act of corrupt which refers to an extraordinary crime has been

regulated in law of Indonesian Number 31 years 1999 juncto law number 20 year 2001 as an.

Effort to solve the corruption. The threat of death penalty which becomes the hardest penalty

is settled as a sort of main criminal based om article 10 substantive of law. Moreover, the

discussion of death penalty in law number 31 year 1999 juncto law number 20 year 2001

about counter-corruption, is also stated in article 2 verse (2), however its implementation

depends on the requirement indicated in the law. Last but not least is the substantial factor

that impedes the implementation of the death penalty which points out the lack of seriousness

of legislative members in formulating the sanction of dead penalty as stated in law number 31

year 1999 juncto law number 20 year 2001, which indeed prevent the law enforcement to be

implemented successfully in Indonesia

Keyword: regulation of death penalty, corruption

A. LATAR BELAKANG.

Korupsi merupakan musuh bagi setiap

negara di dunia. Korupsi yang telah

mengakar akan membawa konsekuensi

terhambatnya pembangunan di suatu negara.

Ketidakberhasilan pemerintah memberantas

korupsi akan semakin melemahkan citra

pemerintah dimata masyarakat. Dalam

pelaksanaannya dapat terlihat dalam bentuk

ketidakpercayaan dan ketidakpatuhan

masyarakat terhadap hukum, dan

bertambahnya jumlah angka kemiskinan di

negara tersebut.

Di berbagai belahan dunia, korupsi

selalu mendapatkan perhatian yang lebih

dibandingkan dengan tindak pidana lainnya

karena dampak negatif yang terjadi dan yang

ditimbulkan oleh tindak pidana ini.

Menyadari kompleksnya permasalahan

korupsi di tengah-tengah krisis multi-

dimensional serta ancaman nyata yang pasti

akan terjadi, yaitu dampak dari kejahatan

ini. Maka tindak pidana korupsi dapat

dikatakan merupakansalah satu

permasalahan nasional yang harus dihadapi

secara sungguh- sungguh melalui

keseimbangan langkah- langkah yang tegas

dengan melibatkan semua potensi yang ada

dalam masyarakat khususnya pemerintah

dan aparat penegak hukum.

Denny Latumaerissa, Tinjauan Yuridis Tentang Penerapan…………………. Jurnal Sasi Vol. 20 No. 1. Bulan Januari-Juni 2014

9

Di Indonesia, dampak atau akibat yang

ditimbulkan oleh korupsi ini sangat banyak

sekali dan dapat menyentuh berbagai bidang

kehidupan. Korupsi merupakan masalah

serius, tindak pidana ini dapat

membahayakan stabilitas dan keamanan

masyarakat, membahayakan pembangunan

sosial ekonomi,dan juga politik, serta dapat

merusak nilai-nilai demokrasi dan moralitas

karena lambat laun perbuatan ini

memberikan ancaman yang sangat besar

terhadap cita-cita menuju masyarakat adil

dan makmur1.

Di tengah upaya pembangunan nasional

di berbagai bidang, aspirasi masyarakat

untuk memberantas korupsi dan bentuk

penyimpangan lainnya semakin meningkat,

karena dalam kenyataan adanyaperbuatan

korupsi telah menimbulkan kerugian negara

yang sangat besar yang pada gilirannya

dapat berdampak pada timbulnya krisis di

berbagai bidang.

Selain itu akibat dari korupsi

menurut Gunnar Myrdal yaitu 2:

a. Korupsi memantapkan dan memperbesar

masalah-masalah yang menyangkut

kurangnya hasrat untuk terjun dibidang

usaha dan mengenai kurang tumbuhnya

pasaran nasional;

b. Korupsi mempertajam permasalahan

masyarakat plural sedang bersamaan

dengan itu kesatuan negara bertambah

lemah. Juga karena turunnya martabat

pemerintah,tendesi-tendesi itu membaha-

yakan stabilitas politik;

c. Korupsi mengakibatkan turunnya disiplin

sosial.

Pelaku korupsi pada umumnya

menyalahgunakan kekuasaan atau

jabatannya untuk kepentingan pribadinya.

Korupsi dikategorikan sebagai kejahatan

kerah putih (white collar crime) mengingat

pelaku korupsi yang mempunyai status

social dan kedudukan yang terhormat. Istilah

1Evi hartanti, Tindak Pidana Korupsi, (Jakarta :

Sinar Grafika, 2007), Hal 1.

2 Andi Hamzah, Pemberantasan

Korupsi,(Jakarta : Rajagrafindo persada, 2007), Hal

22.

tersebut pertama kali diciptakan oleh Edwin

H. Sutherland dalam suatu presidential

addres di depan American Sociological

Society pada tahun 1939, yang menyatakan

bahwa white collar crime adalah kejahatan

yang dilakukan oleh orang-orang yang

terhormat dan status sosial yang tinggi

dalam kaitan dengan okupasinya

(jabatannya).3

Terkait dengan tindak pidana korupsi, di

keluarkanya Undang-Undang Nomor 31

Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak

Pidana Korupsi, kemudian direvisi dengan

Undang-undang Nomor 20 Tahun 2001

tentang Perubahan Atas Undang-Undang

Nomor 31 Tahun 1999 tentang

Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi

dimaksudkan untuk menanggulangi tindak

pidana korupsi. Di dalam Undang-Undang

ini diatur tentang bentuk-bentuk atau

jenis-jenis tindak pidana korupsi yang

disertai dengan ancaman pidananya baik

berupa pidana denda, penjara bahkan pidana

mati.

Dalam hukum positif Indonesia kita

mengenal dengan adanya hukuman mati

atau pidana mati. Dalam KUHP Bab II

mengenai Pidana, pasal 10 menyatakan

mengenai macam-macam bentuk pidana,

yaitu terdiri dari pidana pokok dan pidana

tambahan. Pidana mati termasuk jenis

pidana pokok yang menempati urutan yang

pertama. Pidana mati merupakan pidana

yang terberat karena menyangkut nyawa.

Pidana mati merupakan satu jenis pidana

dalam usianya, setua usia kehidupan

manusia dan paling kontroversial dari semua

sistem pidana, baik di negara-negara yang

menganut system Common law, maupun

Negara yang menganut Civil Law.

Mempersoalkan hukuman mati dalam

hukum pidana sebagai sarana mencapai

tujuan dari hukum pidana itu sendiri, telah

banyak menimbulkan perdebatan antar

sesama ahli hukum pidana, diantara mereka

3Muladi, Hak Asasi Manusia, Politik dan Sistem

Peradilan Pidana, (Semarang: Universitas

Diponegoro, 2002), Hal. 159.

Denny Latumaerissa, Tinjauan Yuridis Tentang Penerapan…………………. Jurnal Sasi Vol. 20 No. 1. Bulan Januari-Juni 2014

10

ada yang pro dan juga ada yang kontra

terhadap penggunaan sarana pidana mati

sebagai sarana untuk mencapai tujuan

hukum pidana yaitu memberikan rasa aman,

memberikan keadilan dan sebagainya.

Di dalam KUHP Indonesia membatasi

kemungkinan dijatuhkannya pidana mati

atas beberapa kejahatan yang berat-berat

saja. Yang dimaksudkan dengan kejahatan-

kejahatan yang berat itu adalah :4

1. Pasal 104 ( makar terhadap Presiden dan

Wakil Presiden )

2. Pasal 111 ayat (2) ( membujuk negara

asing untuk bermusuhan atau berperang )

3. Pasal 124 (tentang melindungi musuh

atau menolong musuh waktu perang )

4. Pasal 140 ayat ( 3) ( makar terhadap raja

atau kepala negara-negara sahabat.)

5. Pasal 140 ayat (3) dan pasal 340 (tentang

pembunuhan berencana )

6. Pasal 365 ayat (4) (pencurian dengan

kekerasan yang mengakibatkan luka berat

atau mati)

7. Pasal 368 ayat (2) (pemerasan dengan

kekerasan yang mengakibatkan luka berat

atau mati)

8. Pasal 444 (pembajakan di laut, pesisirdan

sungai yang mengakibatkan kematian).

Selain terhadap kejahatan yang diatur

dalam KUHP, ancaman pidana mati juga

diatur dalam undang-undang hukum pidana

diluar KUHP, yakni salah satunya adalah

Undang-undang Nomor 31 Tahun 1999 jo

undang-undang Nomor 20 Tahun 2001

tentang Pemberantasan Tindak Pidana

Korupsi. Namun pemberatan terhadap

perbuatan atau tindak pidana korupsi hanya

terhadap perbuatan memperkaya diri sendiri

atau orang lain atau suatu korporasi (Pasal 2

Undang-undang Nomor 31 Tahun 1999) saja

yang dikenakan ancaman pidana mati.

Sedangkan di dalam tindak pidana korupsi

dapat dikategorikan atau dikelompokkan

dalam 7 jenis tindak pidana, yakni :5

4 http://www.hukumonline.com/, diakses

tanggal 1 Juli 2015 5Komisi Pemberantas Korupsi, Memahami Untuk

Membasmi, (Jakarta : Komisi Pemberantasan Korupsi,

2006), Hal.15.

1. Kerugian keuangan negara

2. Suap – Menyuap

3. Penggelapan dalam jabatan

4. Pemerasan

5. Perbuatan curang

6. Benturan kepentingan dalam pengadaan

7. Gratifikasi

Pidana mati dalam tindak pidana

korupsi hanya ditujukan pada jenis tindak

pidana kerugian keuangan Negara, hal

itupun diterapkan bila ada pemberatan.

Ketentuan mengenai pidana mati dalam

Undang-undang Nomor 31 Tahun 1999,

diatur dalam Pasal 2 ayat (1) dan (2).

Ketentuan Pasal 2 ayat Ayat (1) mengatur

bahwa “Setiap orang yang secara melawan

hukum melakukan perbuatan memperkaya

diri sendiri atau orang lain atau suatu

korporasi yang dapat merugikan keuangan

negara atau perekonomian negara, dipidana

dengan pidana penjara seumur hidup atau

pidana penjara paling singkat 4 (empat)

tahun dan paling lama 20 (dua puluh) tahun

dan denda paling sedikit Rp 200.000.000,00

(dua ratus juta rupiah) dan paling banyak Rp

1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah)”.

Sedangkan ayat (2) mengatur bahwa “Dalam

hal tindak pidana korupsi sebagaimana

dimaksud dalam ayat (1) dilakukan dalam

keadaan tertentu, pidana mati dapat

dijatuhkan.

Dalam penjelasan Pasal 2 ayat (2)

Undang-undang No. 31 Tahun 1999

menyatakan bahwa yang dimaksud dengan

"keadaan tertentu" dalam ketentuan ini

sebagai pemberatan bagi pelaku tindak

pidana korupsi apabila tindak pidana

tersebut dilakukan pada waktu negara

dalam keadaan bahaya sesuai dengan

undang-undang yang berlaku, pada waktu

terjadi bencana alam nasional, sebagai

pengulangan tindak pidana korupsi, atau

pada waktu negara dalam keadaan krisis

ekonomi dan moneter.

Denny Latumaerissa, Tinjauan Yuridis Tentang Penerapan…………………. Jurnal Sasi Vol. 20 No. 1. Bulan Januari-Juni 2014

11

B. PEMBAHASAN

1. Peraturan Pidana Mati Dalam

Perundang-Undangan

Muladi menyatakan bahwa hukum

pidana tidak boleh hanya berorientasi

pada perbuatan manusia saja

(daadstrafrecht), sebab dengan demikian

hukum pidana menjadi tidak manusiawi

dan mengutamakan pembalasan. Pidana

hanya diorientasikan pada pemenuhan

unsur tindak pidana didalam perundang-

undangan6.

Hukum pidana juga tidak benar

apabila hanya memperhatikan si pelaku

saja (daderstrafrecht}, sebab dengan

demikian penerapan hukum pidana akan

berkesan memanjakan penjahat dan

kurang memperhatikan kepentingan yang

luas, yaitu kepentingan masyarakat,

kepentingan negara , dan kepentingan

korban tindak pidana. Dengan demikian

maka yang paling tepat secara integral

hukum pidana harus melindungi berbagai

kepentingan diatas, sehingga hukum

pidana yang dianut harus daad-

daderstafrech.

Gambaran tentang penerapan teori

integratif dalam pemidanaan nampak dari

pemahaman Tim Perancang KUHP

Nasional dalam merumuskan pidana mati

dalam konsep KUHP baru. Dari

pengalaman empiris sampai saat ini

terbukti bahwa, Indonesia termasuk

kelompok retensionis terhadap pidana

mati, de jure dan de facto. Masalahnya

adalah bagaimana caranya menjaga

keseimbangan perasaan antara kaum

retensionis dan kaum abolisionis di

kalangan masyarakat yang di Indonesia

yang masing-masing jumlahnya sangat

banyak.

Sehubungan dengan kenyataan

diatas, konsep rancangan KUHP

mengeluarkan pidana mati dari stelsel

6 J.E Sahetapy, Pidana Mati Dalam Negara

Pancasila,(Bandung:Citra Aditya, 2007). Hal. 8.

pidana pokok dan mencantumkannya

sebagai pidana pokok yang bersifat

khusus atau sebagai pidana eksepsional.

Penempatan pidana mati terlepas dari

paket pidana pokok dipandang penting,

karena merupakan kompromi dari

pandangan retensionis dan abolisionis.

Pidana mati sebagai salah satu jenis

pidana yang paling kontroversial selalu

mendapat sorotan dari berbagai kalangan

di seluruh dunia. Bermacam-macam

pendapat dan alasan dikemukakan untuk

mendukung dan menentang pidana mati.

Di Indonesia yang berlaku KUHP buatan

pemerintah Belanda sejak 1 Januari 1918,

dalam pasal 10 masih mencantumkan

pidana mati dalam pidana pokoknya,

padahal di Belanda sendiri pidana mati

sudah dihapuskan pada tahun 1870. Hal

tersebut tak diikuti di Indonesia karena

keadaan khusus di Indonesia menuntut

supaya penjahat yang terbesar dapat

dilawan dengan pidana mati.

Ancaman pidana mati di Indonesia

bersumber pada pada Wetboek van

Strafrecht yang disahkan sebagai Kitab

Undang-undang Hukum Pidana (KUHP)

oleh Pemerintah Hindia Belanda pada

tanggal 1 Januari 1918. Pemberlakuan

KUHP tersebut didasarkan pada

ketentuan Pasal I Aturan Peralihan

Undang-Undang Dasar 1945 (sekarang

UUDNRI 1945) yang menyatakan segala

peraturan perundang-undangan yang ada

masih tetap berlaku selama belum

diadakan yang baru menurut UUDNRI

1945 dan dikuatkan dengan

Undang-Undang nomor 1 Tahun 1946

tentang pemberlakukan Wetboek van

Strafrecht menjadi KUHP.7

Pada tahun 1964 pemerintah

menerbitkan Undang-Undang nomor

2/PNPS/1964 LN 1964 No. 38 yang

kemudian ditetapkan menjadi

7Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1946 tentang

Peraturan Hukum Pidana, Lembaran-Negara Tahun

1958 Nomor 127.

Denny Latumaerissa, Tinjauan Yuridis Tentang Penerapan…………………. Jurnal Sasi Vol. 20 No. 1. Bulan Januari-Juni 2014

12

Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1969

tentang Tata Cara Pelaksanaan Pidana

Mati Yang Dijatuhkan Oleh Pengadilan

Di Lingkungan Peradilan Umum Dan

Militer. Dalam Undang-Undang itu

disebutkan bahwa pelaksanaan eksekusi

terhadap terpidana hukuman mati

dilakukan dengan cara ditembak hingga

mati. Karena sebelumnya tidak pernah

ada pengaturan mengenai bagaimana

eksekusi harus dilakukan. Pada pasca

reformasi 1998, pengadilan di Indonesia

masih menjatuhkan pidana mati. Pidana

mati diancam pada beberapa tindak

pidana. Hal ini disebabkan masih adanya

berbagai peraturan perundang-undangan

yang memuat pidana mati yang

sebenarnya merupakan produk pra

reformasi namun masih saja berlaku

pasca reformasi, hal tersebut dapat kita

lihat pada berbagai Undang-undang

dibawah ini:

Tabel 1

Perundang-undangan RI yang

Memiliki Ancaman Pidana Hukuman

Mati

N

o

Peratura

n

Keterangan

1

KUH

Pidana

Makar

Mengajak atau menghasut

negara lain untuk menyerang RI

Melindungi musuh atau

menolong musuh yang

berperang

melawan RI

Membunuh kepala negara

sahabat

Pembunuhan berencana

Pencurian dengan kekerasan

oleh dua orang atau lebih

berkawan pada waktu malam

dengan merusak rumah yang

mengakibatkan orang luka berat

atau mati

Pembajakan di laut, di tepi laut,

di sungai sehingga ada

orang yang mati

Menganjurkan pemberontakan

atau huru hara pada buruh

terhadap perusahaan pertahanan

negara waktu perang

Melakukan penipuan dalam

menyerahkan barang-barang

di saat perang

Pemerasan dengan kekerasan

2. UU

Darurat

No. 12/

1951

Senjata api

3 TapPres

No. 5/

1959

Wewenang Jaksa Agung/Jaksa

Tentara Agung dalam hal

memperberat ancaman hukuman

mati terhadap tindak pidana

yang membahayakan

pelaksanaan perlengkapan

sandang pangan.

4 Perpu

No. 21/

1959

Memperberat ancaman hukuman

terhadap tindak pidana ekonomi

5 UU No.

11/PNPS

/1963

Pemberantasan kegiatan

subversif

6 UU No.

4/1976

Perubahan dan penambahan

beberapa pasal dalam KUHP

bertalian dengan perluasan

berlakunya ketentuan

perundang-undangan pidana

kejahatan penerbangan dan

kejahatan terhadap

sarana/prasarana penerbangan

7 UU No.

5/ 1997

Psikotropika

8 UU No.

22/1997

Narkotika

9 UU No.

31/1999

Pemberantasan Korupsi

10 UU No.

26/2000

Pengadilan HAM

11 UU No.

15/2003

Pemberantasan Tindak Pidana

Terorisme

Sumber: Litbang Kontras.

Sebagai akibat dari masih

diberlakukannya pidana mati dalam

instrumen hukum nasional Indonesia, maka

eksekusi pidana mati terhadap terpidana

terus terjadi hingga kini. Kontroversi

mengenai pidana mati di Indonesia juga

tidak pernah berhenti hingga saat ini. Pidana

mati di Indonesia dianggap tidak melalui

proses peradilan yang independen, imparsial

dan bersih. Praktek pidana mati di Indonesia

selama ini masih dinilai bias kelas dan

diskriminasi. Pidana mati tidak pernah

Denny Latumaerissa, Tinjauan Yuridis Tentang Penerapan…………………. Jurnal Sasi Vol. 20 No. 1. Bulan Januari-Juni 2014

13

menjangkau pelaku dari kelompok elit yang

tindak kejahatannya pada umumnya bisa

dikategorisasikan sebagai kejahatan serius

atau luar biasa.8

2. Perkembangan Pemikiran Terhadap

Eksistensi Pidana Mati

Hukum pidana ialah hukum yang mengatur

tentang pelanggaran-pelanggaran dan

kejahatan-kejahatan terhadap kepentingan umum,

perbuatan mana diancam dengan hukuman yang

merupakan suatu penderitaan atau siksaan.9 Hal

senada dan terperinci juga dikemukakan oleh

Moeljatno 10 , dimana menurutnya hukum

pidana adalah bagian daripada keseluruhan

hukum yang berlaku di suatu negara, yang

mengadakan dasar-dasar dan aturan-aturan

untuk:

1. Menentukan perbuatan mana yang tidak

boleh dilakukan, yang dilarang, yang

disertai ancaman atau sanksi yang berupa

pidana tertentu bagi barangsiapa yang

melanggar larangan tersebut;

2. Menentukan kapan dan dalam hal-hal apa

kepada mereka yang telah melanggar

larangan-larangan itu dapat dikenakan

atau dijatuhi pidana sebagaimana yang

telah diancamkan;

3. Menentukan dengan cara bagaimana

pengenaan pidana itu dapat dilaksanakan

apabila ada orang yang disangka telah

melanggar larangan tersebut.

Pemidanaan berasal dari kata “pidana”

yang sering diartikan pula dengan hukuman.

Pemidanaan diartikan dengan penghukuman.

Kalau orang mendengar kata

8Sampai saat ini di Indonesia, hakim belum

pernah menjatuhkan putusan hukuman mati terhadap

pelaku tindakpidana korupsi. Hal ini berbeda dengan

tindak pidana lainnya yang sama-sama merupakan

kejahatn luar biasa (extra ordinary crime), yaitu

tindak pidana terorisme, dan tindak pidana narkoba.

Dalam kedua tindak pidana tersebut, beberapa kasus

sudah diberikan hukuman mati.

9 C.S.T. Kansil, Pengantar ilmu hukum

dan tata hukum Indonesia, (Jakarta: Balai Pustaka,

1984) Hal. 257

10 Moeljatno dalam Bambang

Poernomo,Asas-asas Hukum Pidana,(Jakarta:Ghalia

Indonesia, Jakarta, 1978), Hal. 16.

“penghukuman”, biasanya yang dimaksud

adalah penderitaan yang diberikan kepada orang

yang melanggar hukum pidana.

Pemidanaan atau pengenaan pidana

berhubungan erat dengan kehidupan seseorang di

dalam masyarakat.11 Tujuan dari pidana itu untuk

mencegah timbulnya kejahatan atau pelanggaran.

Kejahatan-kejahatan yang berat dan hukuman

mati dalam sejarah hukum pidana merupakan dua

komponen permasalahan yang sangat berkaitan. Hal

ini tampak dalam Kitab Undang-undang Hukum

Pidana Indonesia yang mengancam

kejahatan-kejahatan yang berat itu dengan pidana

mati.12

Kejahatan tidak boleh dibiarkan merajalela

di dalam pergaulan hidup, apalagi jika dikaitkan

dengan akibat-akibat dari kejahatan tersebut

baik berupa kehilangan harta, harga diri ataupun

nyawa. Tidak ada satu negarapun yang tidak

mengalami tindak kejahatan, apakah itu negara

berkembang ataupun negara yang sedang

berkembang,. Tidak dapat diharapkan kejahatan

akan lenyap di muka bumi ini. Namun

demikian tidak berarti bahwa sikap terhadap

kejahatan tidak perlu dilakukan usaha

penanggulangan. Salah satu cara untuk

menanggulangi kejahatan ialah dengan hukum

pidana.13

Pidana mati mendapat reaksi karena tata

cara pelaksanaan pidana mati tersebut yang

dianggap tidak manusiawi. Pelaksanaan atau

eksekusi hukuman mati dilakukan dengan cara

yang sangat kejam, seperti disalib,

ditenggelamkan di laut, dibakar hidup-hidup,

dilempari batu sampai meninggal (hukum rajam),

ditombak dan dimasukkan ke dalam karung berisi

anjing, ayam jago, ular berbisa, serta beruk.

Eksekusi hukuman mati yang paling terkenal

dilakukan terhadap filsuf Yunani Socrates pada

11 Djoko Prakoso dan Nurwachid, Studi tentang

pendapat-pendapat mengenai efektivitas Pidana Mali

di Indonesia dewasa ini, (Jakarta:Ghalia Indonesia,

1984), Hal. 13. 12 Ibid 13 Ninik Widiyanti dan Panji Anoraga,

Perkembangan Kejahatan dan Masalahnya ditinjau

dari segi kriminologi dan sosial, (Jakarta : PT.

Pradnya Paramita, 1987), Hal. 9.

Denny Latumaerissa, Tinjauan Yuridis Tentang Penerapan…………………. Jurnal Sasi Vol. 20 No. 1. Bulan Januari-Juni 2014

14

tahun 399 SM dengan menggunakan minuman

berisi racun.

Pidana mati di Indoneisa telah ada pada masa

kerajaan-kerajaan, pemberlakuan pidana mati di

Indonesia masih mengacu pada KUHP yang

merupakan warisan Kolonial Belanda.

Menurut Pasal 11 KUHP, pidana mati

dijalankan dengan cara menjerat ditiang

gantungan pada leher terpidana, kemudian

algojo menjatuhkan papan tempat terpidana

berdiri. Akan tetapi sejak penjajahan Jepang

di Indonesia, melalui Stablaad 1945 Nomor

123, pidana mati dijalankan dengan jalan

menembak mati terpidana, hal ini kemudian

diperkuat dengan Undang-Undang nomor

2/PNPS/Tahun 1964, Lembaran Negara

1964 Nomor 83, (ditetapkan menjadi

Undang-Undang nomor 5 Tahun 1969) yang

menetapkan bahwa pelaksanaan pidana mati

dirubah dengan cara ditembak mati.

Mekanisme pelaksanaan pidana mati

sebagaimana ditetapkan di dalam pasal 2-16

UU No. 2/PNPS/1964, adalah sebagai

berikut14:

1. Dalam jangka waktu tiga kali dua puluh

empat jam sebelum saat pidana mati itu

dilaksanakan, jaksa tinggi atau jaksa yang

bersangkutan harus memberitahukan

kepada terpidana tentang akan

dilaksanakannya pidana mati tersebut.

Apabila terpidana berkeinginan untuk

mengemukakan sesuatu, maka keterangan

atau pesannya itu diterima oleh jaksa

tinggi atau jaksa tersebut;

2. Apabila terpidana merupakan seorang

wanita yang sedang hamil, maka

pelaksanaan dari pidana mati harus

ditunda hingga anak yang dikandungnya

itu telah lahir;

3. Tempat pelaksanaan pidana mati itu

ditentukan oleh Menteri Kehakiman,

yakni di daerah hukum dari pengadilan

tingkat pertama yang telah memutuskan

pidana mati yang bersangkutan;

14Ekaputra, Mohammad dan Abul Khair, Sistem

Pidana Di Dalam KUHP Dan Pengaturannya

Menurut Konsep KUHP Baru, (Medan : USU Press,

2010), Hal.34-35

4. Kepala Polisi dari daerah yang

bersangkutan bertanggung jawab

mengenai pelaksanaan dari pidana mati

tersebut setelah mendengar nasehat dari

jaksa tinggi atau dari jaksa yang telah

melakukan penuntutan pidana mati pada

peradilan tingkat pertama;

5. Pelaksanaan pidana mati itu dilakukan

oleh suatu regu penembak Polisi di bawah

pimpinan dari seorang perwira Polisi;

6. Kepala Polisi dari daerah yang

bersangkutan (atau perwira yang ditunjuk)

harus menghadiri pelaksanaan dari pidana

mati itu, sedang pembela dari terpidana

atas permintaannya sendiri atau atas

permintaan dari terpidana dapat

menghadirinya;

7. Pelaksanaan dari pidana mati itu tidak

boleh dilakukan di muka umum;

8. Penguburan jenazah terpidana diserahkan

kepada keluarga atau kepada sahabat-

sahabat terpidana, dan harus dicegah

pelaksanaan dari penguburan yang

bersifat demonstratif, kecuali demi

kepentingan umum maka jaksa tinggi atau

jaksa yang bersangkutan dapat

menentukan lain;

9. Setelah pelaksanaan dari pidana mati itu

selesai dikerjakan, maka jaksa tinggi atau

jaksa yang bersangkutan harus membuat

berita acara mengenai pelaksanaan pidana

mati tersebut, dimana isi dari berita acara

tersebut kemudian harus dicantumkan di

dalam surat keputusan dari Pengadilan

yang bersangkutan

Penjatuhan pidana mati menurut

pemidanaan dalam KUHP, selalu

dialternatifkan dengan jenis pidana lainnya

yaitu pidana penjara, baik pidana penjara

seumur hidup maupun pidana penjara

selama-lamanya 20 tahun (pidana penjara

sementara waktu 20 tahun), hal ini dapat

dilihat dalam perumusan Pasal 340 KUHP

tentang pembunuhan berencana.

Eksistensi pidana mati di Indonesia

mendapat tanggapan dari berbagai pakar ahli

hukum pidana, krimonologi dan victimologi,

bahkan masyarakat terutama yang

berhubungan dengan falsafah pemidanaan,

Denny Latumaerissa, Tinjauan Yuridis Tentang Penerapan…………………. Jurnal Sasi Vol. 20 No. 1. Bulan Januari-Juni 2014

15

bahwa pemidanaan bukan hanya bertujuan

agar terpidana menjadi jera, tetapi juga

harus memperhatikan korban, sehingga

berkembanglah pendekatan teori restrtoaktif

justice.15

Pidana mati menurut pandangan

abolisionis, karena tidak sesuai dengan

Falsafah bangsa Indonesia yakni Pancasila,

namun di pihak yang masih

mempertahankan pidana mati bahwa pidana

mati tersebut tidak bertentangan dan dapat

dipertanggungjawabkan dalam falsafah

Pancasila. Senada dengan itu menurut

Bambang Poernomo16 , meng- emukakan

pandangannya tentang pidana mati dapat

dipertanggungjawabkan dalam negara

Pancasila, yang diwujudkan sebagai

perlindungan individu sekaligus juga

melindungi masyarakat demi terciptanya

keadilan dan kebenaran dalam hukum

berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa.

Eksistensi pidana mati masih diperlukan

pada masa mendatang dan tidak dikaitkan

dengan tujuan utama dari pemidanaan serta

pidana mati hanya dapat dijatuhkan sebagai

upaya terakhir untuk mengayomi

masyarakat. Untuk itulah dalam

menjatuhkan pemidanaan terhadap pidana

mati yang bersifat khusus, Hakim harus

mempertimbangkan secara seksama segala

hal yang menyangkut pribadi terpidana,

keluarga dan lingkungannya. Mengenai

manfaat dan keburukan yang akan timbul

dengan dijatuhkannya pidana mati tersebut,

hendaknya dalam masa penantian sebelum

dilaksakannya pidana mati, yaitu saat

nyawanya akan direnggut, terpidana mati

harus tetap dihormati hak hak asasinya,

dengan cara memperoleh pembinaan seperti

layaknya narapidana lainnya.

15 Arief. Bernard Sidharta. Analisis Filosofikal

Terhadap Hukuman Mati di Indonesia. Makalah

disampaikan dalam lokakarya yang diselenggarakan

oleh Komisi Hak Asasi Manusia, (Bandung, 7

Desember 2005). 16 Bambang Poernomo. Hukum Pidana,

Kumpulan Karangan Ilmia, (Jakarta: Bina Aksara,

1982), Hal. 17.

Pidana mati pada Rancangan KUHP

masuk dalam pidana khusus, sedangkan

dalam KUHP yang masih berlaku sampai

dengan sekarang ini pidana mati masuk

dalam pidana pokok (Pasal 10 KUHP)17

3. Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi

Penerapan Pidana Mati Dalam

Tindak Pidana Korupsi

Pidana mati adalah pidana yang terberat,

hal ini dikarenakan pelaksanaanya berupa

penyerangan terhadap hak hidup bagi manusia,

yang sesungguhnya hak ini hanya dapat

dicabut ditangan Tuhan, maka tidak heran

sejak dulu sampai sekarang menimbulkan

perdapat pro dan kontra..

Pandangan yang kontra terhadap

penerapan hukuman mati (abolisonism) di

Indonesia, memandang bahwasanya pidana

mati sangat bertentangan dengan Hak Asasi

Manusia, sebagaimana dicantumkan dalam

Pasal 28A, dan 28I UUD 1945, Pasal 4 dan

Pasal 9 Undang-undang Nomor 39 Tahun

1999, dan Pasal 3 DUHAM.

Sementara itu pandangan yang pro akan

pidana mati beranggapan bahwa pidana mati

masih harus dipertahankan dan diterapkan

hanya pada kejahatan yang luar biasa (extra

ordinary crime) seperti tindak pidana korupsi,

untuk diterapkan, kelompok ini menganggap

bahwa hukuman mati akan memberikan efek

jera (detteren effect), sehingga akan

mencegah terulangnya tindak pidana serupa

oleh oleh orang lain. Perdebatan dua arus

kuat tersebut, pada dasarnya bisa ditarik titik

temunya, point penting keduanya adalah,

bagaimana agar manusia sebagai subjek

peradaban ini, dilindungi harkat dan

martabatnya sebagai manusia, sehingga

produktifitas peradabannya akan terus

berlangsung, dan eksistensinya sebagai

manusia dapat dipertahankan.

Mahkamah Konstitusi sendiri pernah

memutuskan bahwa hukuman mati tidak

bertentangan Undang-Undang Dasar, dalam

kasus pengujian Undang-undang Narkotika

terhadap Pasal 28A, dan Pasal 28I ayat (1)

17 Lihat RUU KUHP versi tahun 2010

Denny Latumaerissa, Tinjauan Yuridis Tentang Penerapan…………………. Jurnal Sasi Vol. 20 No. 1. Bulan Januari-Juni 2014

16

UUD RI Tahun 1945, sebagaimana uraian

berikut:18

“Menimbang pula bahwa dengan

memperhatikan sifat irrevocable pidana mati,

terlepas dari pendapat Mahkamah perihal

tidak bertentanganya pidana mati dengan

UUD 1945 bagi kejahatan-kejahatan tertentu

dalam undang-undang Narkotika yang

dimohonkan pengujian dalam permohonan a

quo, Mahkamah berpendapat bahwa ke

depan, dalam rangka pembaharuan hokum

pidana nasional dan harmonisasi peraturan

perundangundangan yang terkait dengan

pidana mati, maka perumusan, penerapan,

maupun pelaksanaan pidana mati dalam

system peradilan pidana di Indonesia

hendaklah memperhatikan dengan

sungguh-sungguh hal-hal berikut:

a) Pidana mati bukan lagi merupakan pidana

pokok, melainkan sebagai pidana yang

bersifat khusus dan alternatif;

b) Pidana mati dapat dijatuhkan dengan

masa percobaan selama sepuluh tahun

yang apabila terpidana berkelalukuan

terpuji dapat diubah dengan pidana

penjara seumur hidup atau selama 20

tahun;

c) Pidana mati tidak dapat dijatuhkan

terhadap anak-anak yang belum dewasa;

d) Eksekusi pidana mati terhadap perempuan

hamil dan seseorang yang sakit

jiwaditangguhkan sampai perempuan

hamil tersebut melahirkan dan terpidana

yang sakit jiwa tersebut sembuh”

Mengkritisi perdebatan-perdebatan di

atas, menurut hemat penulis, marilah kita

bersama-sama bijak dalam memperhatikan

korban yang hak hidupnya terampas oleh

pelaku, serta potensi hilangnya hak hidup

bagi yang lain, idealnya merupakan

pertimbangan tersendiri dalam menentukan

kesimpulan apakah hukuman mati tersebut

bertentangan dengan HAM atau tidak.

Interprestasi parsial (sepenggal) akan

pelarangan hukuman mati atau klaim

terjadinya pelanggaran HAM atas hukuman

mati, akan menjadi penafsiran yang dangkal

18 Lihat Putusan MK No. 2-3/PUU-V/2007.

dan tidak proporsional dalam konteks

perlindungan hak hidup atas nama

perlindungan HAM. Selanjutnya menurut

penulis paradigma yang terbentuk sebagai

indikator penilaian pro n kontra hukuman

mati sebenarnya terletak pada kepentingan

dan cara pandangan terhadap pidana mati itu

sendiri

Salah satu undang-undang yang masih

memberlakukan ancaman pidana mati

adalah Undang-Undang nomor 31 Tahun

1999 jo Undang-Undang Nomor 20 Tahun

2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana

Korupsi. Kebijakan formulasi pasal-pasal

yang berkaitan dengan kedua hal ini tentu

didasarkan pada pemikiran dan

dilatarbelakangi oleh keinginan untuk

memberantas tindak pidana korupsi.19

Pemberlakuan ancaman pidana mati

dalam Undang-Undang Nomor 31 Tahun

1999 tentang Pemberantasan Tindak

Pidana Korupsi jo Undang-undang Nomor

20 Tahun 2001 tentang Perubahan Atas

Undang-undang Nomor 31 Tahun 1999

tentang Pemberantasan Tindak Pidana

Korupsi, pada Pasal 2 ayat (2)

menyebutkan “Dalam hal tindak pidana

korupsi sebagaimana dimaksud dalam ayat

(1) dilakukan dalam keadaan tertentu,

pidana mati dapat dijatuhkan”. Tindak

pidana yang dimaksudkan dalam ayat (1)

yakni setiap orang yang secara melawan

hukum melakukan perbuatan memperkaya

diri sendiri atau orang lain atau suatu

korporasi yang dapat merugikan keuangan

negara atau perekonornian negara.

Ancaman pidana mati yang terdapat

dalam Pasal 2 ayat (2) ternyata boleh

diterapkan dengan syarat yakni adanya

alasan pemberatan pidana terhadap pelaku

tindak pidana korupsi. Pembuat

undang-undang memasukan “keadaan

tertentu” sebagai alasan pemberatan. Dalam

penjelasan pasal ini yang dimaksud dengan

"keadaan tertentu" dalam ketentuan ini

sebagai pemberatan bagi pelaku tindak

19 www.journal.trisakti.ac.id/index.php/hukum/arti

cle/download/7/7, diakses tanggal 1 juli 2015

Denny Latumaerissa, Tinjauan Yuridis Tentang Penerapan…………………. Jurnal Sasi Vol. 20 No. 1. Bulan Januari-Juni 2014

17

pidana korupsi apabila tindak pidana

tersebut dilakukan pada waktu negara dalam

keadaan bahaya sesuai dengan

undang-undang yang berlaku, pada waktu

terjadi bencana alam nasional, sebagai

pengulangan tindak pidana korupsi, atau

pada waktu negara dalam keadaan krisis

ekonomi dan moneter.

Pada Undang-Undang nomor 20 Tahun

2001 tentang Perubahan Atas

Undang-undang Nomor 31 Tahun 1999

tentang Pemberantasan Tindak Pidana

Korupsi, bahwa substansi dari Pasal 2 ayat

(2) tetap yang mengalami perubahan

hanya dalam penjelasan pasalnya saja.

Dalam undang-undang ini yang

dimaksudkan dengan “keadaan tertentu”

yakni keadaan yang dapat dijadikan alasan

pemberatan pidana bagi pelaku tindak

pidana korupsi yaitu apabila tindak pidana

tersebut dilakukan terhadap dana-dana yang

diperuntukkan bagi penanggulangan

keadaan bahaya, bencana alam nasional,

penanggulangan akibat kerusuhan sosial

yang meluas, penanggulangan krisis

ekonomi dan moneter, dan pengulangan

tindak pidana korupsi.

Faktor-faktor sehingga penerapan

ancaman pidana mati tidak diterapkan dalam

tindak pidana korupsi yakni

undang-undang 20 sendiri dimana pembuat

kebijakan legislatif kurang serius dalam

perumusan ancaman pidana mati terlihat

dari adanya syarat yang menjadi alasan

pemberatan sehingga pidana mati dapat

diterapkan. Hal tersebut dapat dilihat dari

penjelasan pasal 2 ayat (2) Undang-Undang

nomor 20 Tahun 2001, yakni pemberatan

tersebut dilakukan dalam keadaan tertentu.

Yang dimaksudkan dalam keadaan tertentu

yakni :

1. Dilakukan terhadap dana-dana yang

diperuntukkan bagi penanggulangan

keadaan bahaya;

20 Soerjono Soekanto, Faktor-faktor yang

Mempengaruhi Terhadap Penegakan Hukum, ctk

Keempat, (Jakarta : PT Raja Grafindo Persada, 2002),

Hal. 55.

Keadaan bahaya ini juga perlu

penafsiran, hal ini menambah ketidak

jelasan dari undang-undang tersebut.

2. Bencana alam nasional;

Bencana nasional ini juga perlu

penafsiran apakah bencana alam di

suatu provinsi mempengaruhi provinsi

yang lain sehingga dapat dikatakan

bencana nasional.

3. Penanggulangan akibat kerusuhan

sosial yang meluas

Kerusuhan sosial yang meluas, kata

meluas ini juga menjadi tidak jelas.

4. Penanggulangan krisis ekonomi dan

moneter, dan;

Krisis ekonomi dan moneter ini juga

menjadi hal yang tidak pasti, karena

kapan suatu negara mengalami krisis

ekonomi dan moneter.

5. Pengulangan tindak pidana korupsi.

Hal ini dapat diterima, karena

pengulanggan (residivis) dalam tindak

pidana korupsi

Syarat-syarat tersebut menurut penulis,

masih multi tafsir, hal ini tentunya

berimplikasi pada belum adanya

penjatuhan pidana mati terhadap pelaku

tindak pidana korupsi. Idealnya didalam

UU tipikor harus dengan tegas dirumuskan

lebih luas lagi terkait dengan pidana mati,

sehingga ada tolak ukur bagi penegak

hukum dalam menafsirkan berapa kerugian

negara yang dapat diberikan sanksi pidanan

mati.

C. P E N U T U P

Penanggulangan tindak pidana korupsi

yang merupakan kejahatan luar biasa (extra

ordinary crime) membutuhkan kemauan dan

keseriusan semua pihak, baik eksekutif,

legislatif maupun yudikatif. Kebijakan

penanggulangan kejahatan luar biasa ini

harus ditopang dengan perundang-

undangan yang luar biasa juga. Undang-

Undang Nomor 31 Tahun 1999 jo

Undang-undang Nomor 20 Tahun 2001

tentang pemberantasan tindak pidana

korupsi hadir dalam upaya

pemberantasan tindak pidana korupsi.

Denny Latumaerissa, Tinjauan Yuridis Tentang Penerapan…………………. Jurnal Sasi Vol. 20 No. 1. Bulan Januari-Juni 2014

18

Ancaman pidana mati yang

merupakan pidana terberat dalam stelsel

hukum pidana kita, yakni pada Pasal 10

KUHP yang memposisikan pidana mati

dalam jenis pidana pokok. Ancaman

pidana mati ini di alternatifkan dengan

pidana penjara seumur hidup dan pidana

penjara dalam batas waktu tertentu yakni

15 tahun bahkan sampai 20 tahun dan

berlaku pada tindak pidana tertentu saja.

Pidana mati di dalam Undang-Undang

nomor 31 tahun 1999 jo Undang-Undang

nomor 20 Tahun 2001 tentang

pemberantasan tindak pidana korupsi

terdapat pada Pasal 2 ayat (2), namun

penjatuhan atau penerapannya

tergantung dari syarat yang ditentukan

dalam undang-undang korupsi tersebut.

Adapun syarat-syaratnya yaitu

dilakukan terhadap dana-dana yang

diperuntukkan bagi penanggulangan

keadaan bahaya, Bencana alam nasional,

Penanggulangan akibat kerusuhan sosial

yang meluas, Penanggulangan krisis

ekonomi dan moneter, Pengulangan tindak

pidana korupsi. Syarat-syarat tersebut masih

multi tafsir, hal ini tentunya berimplikasi

pada belum adanya penjatuhan pidana

mati terhadap pelaku tindak pidana

korupsi. Idealnya didalam UU tipikor harus

dengan tegas dirumuskan lebih luas lagi

terkait dengan pidana mati, sehingga ada

tolak ukur bagi penegak hukum dalam

menafsirkan berapa kerugian negara yang

dapat diberikan sanksi pidanan mati.

Berdasarkan uraian tersebut diatas,

maka diharapkan para anggota legislatif

(DPR) dapat meninjau dan merevisi

kembali Undang-Undang Pemberantasan

Tindak Pidana Korupsi, agar para koruptor

yang merugikan keuangan negara pada

indikator tertentu, dapat dihukumsampai

dengan hukuman mati demi kemajuan dan

keselamatan Negara Indonesia dari jurang

kehancuran yang disebabkan oleh

membudayanya korupsi.

DAFTAR PUSTAKA

Buku

Ekaputra, Mohammad dan Khair, Abul,

2010, Sistem Pidana Di Dalam KUHP

Dan Pengaturannya Menurut Konsep

KUHP Baru, Medan : USU Press

Hamzah, Andi, 2007, Pemberantasan

Korupsi,Jakarta : Rajagrafindo persada

Hartanti, Evi, 2007, Tindak Pidana

Korupsi, Jakarta : Sinar Grafika.

Muladi, 2002, Hak Asasi Manusia, Politik

dan Sistem Peradilan Pidana,

Semarang: Universitas Diponegoro.

Prakoso, Djoko dan Nurwachid, 1984, Studi

tentang pendapat-pendapat mengenai

efektivitas Pidana Mati di Indonesia

dewasa ini, Jakarta:Ghalia Indonesia,

Poernomo, Bambang, 1978, Asas-asas

Hukum Pidana, Jakarta:Ghalia

Indonesia

_________________, 1982, Hukum Pidana,

Kumpulan Karangan Ilmia, Jakarta :

Bina Aksara

Sahetapy, J.E, 2007 Pidana Mati Dalam

Negara Pancasila, Bandung:Citra

Aditya

Widiyanti, Ninik dan Anoraga, Panji,

1987 Perkembangan Kejahatan dan

Masalahnya ditinjau dari segi

kriminologi dan sosial, Jakarta : PT.

Pradnya Paramita

Peraturan Perundang-Undangan

Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1946

tentang Peraturan Hukum Pidana,

Lembaran-Negara Tahun 1958 Nomor

127.

Putusan MK No. 2-3/PUU-V/2007.

RUU KUHP tahun 2010

Lain-lain

Bernard Sidharta, Arief, 2005, Analisis

Filosofikal Terhadap Hukuman Mati

di Indonesia

http://www.hukumonline.com/

www.journal.trisakti.ac.id/index.php/hukum/

article/download/7/7,