ANALISIS YURIDIS TERHADAP STATUS HAK KEPEMILIKAN ...
-
Upload
khangminh22 -
Category
Documents
-
view
2 -
download
0
Transcript of ANALISIS YURIDIS TERHADAP STATUS HAK KEPEMILIKAN ...
Jurnal Hukum & Pembangunan 51 No. 2 (2021): 399-414
ISSN: 0125-9687 (Cetak) E-ISSN: 2503-1465 (Online)
Tersedia versi daring: http://jhp.ui.ac.id
DOI: http://dx.doi.org/10.21143/jhp.vol51.no2.3057
ANALISIS YURIDIS TERHADAP STATUS HAK KEPEMILIKAN
PERMUKIMAN PENDUDUK DI ATAS AIR
Irman*, Oksep Adhayanto**, Rany Kartika Sari***, Suryadi****
*,**,***,**** Dosen Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, Universitas Maritim Raja Ali Haji
Korespondensi: [email protected]; [email protected]; [email protected];
Naskah dikirim: 24 Juni 2020
Naskah diterima untuk diterbitkan: 24 September 2020
Abstract
This research was conducted to examine whether Settlement on the water can be given
ownership status as the right to land in the UUPA. The purpose of this study is to find
out and analyze settlements on water, can the status of land rights be given as
stipulated in the legislation, and with the hope that people who have houses and
settlements on the water can obtain proof of ownership of land and buildings on the
water. The research method used is normative research, with a statutory approach
and a historical approach. The results showed that although the Regulation of the
Minister of Agrarian and Spatial Planning / Head of the National Land Agency of the
Republic of Indonesia Number 17 of 2016 concerning Land Arrangement in Coastal
Areas and Small Islands provides an opportunity to be given the right to land against
settlements on the water in legal concept This is contrary to the UUPA which only
regulates the types of land rights that are only granted to land and buildings that
stand on land. Keywords: Settlements on water, Land Rights, UUPA.
Abstrak
Penelitian ini dilakukan untuk mengkaji apakah Permukiman di atas air dapat
diberikan status hak kepemilikan sebagaimana hak atas tanah dalam UUPA. Tujuan
penelitian ini untuk mengetahui dan menganalisa permukiman di atas air dapatkah
diberikan status hak atas tanah sebagaimana diatur dalam peraturan perundang-
undangan, dan dengan harapan masyarakat yang memiliki rumah dan permukiman di
atas air dapat memperoleh bukti kepemilikan hak milik atas tanah dan bangunan di
atas air. Metode Penelitian yang digunakan adalah penelitian normatif, dengan
pendekatan perundang-undangan (Statute Approach) dan pendekatan sejarah
(Historical Approach). Hasil penelitian menunjukkan bahwa meskipun Peraturan
Menteri Agraria Dan Tata Ruang/Kepala Badan Pertanahan Nasional Republik
Indonesia Nomor 17 Tahun 2016 tentang Penataan Pertanahan di Wilayah Pesisir dan
Pulau-Pulau Kecil memberi peluang untuk dapat diberikan hak atas tanah terhadap
permukiman di atas air namun secara konsep hukum hal tersebut bertentangan dengan
UUPA yang hanya mengatur jenis hak-hak atas tanah yang hanya diberikan atas tanah
maupun bangunan yang berdiri di atas tanah. Kata kunci: Permukiman di atas air, Hak Atas Tanah, UUPA.
400 Jurnal Hukum & Pembangunan Tahun ke-51 No.2 April-Juni 2021
I. PENDAHULUAN
Indonesia terdiri dari 17.840 pulau dengan garis pantai sepanjang 95.181 km2
selain itu memiliki luas laut sebesar 5,8 Juta km2 yang terbagi atas laut territorial
seluas 0,8 juta km2, laut nusantara 2,3 juta km2 dan ZEE 2,7juta km2 menjadikan
Indonesia sebagai salah satu Negara kepulauan terbesar. Atas fakta tersebut, maka
setidaknya dapat diketahui bahwa Negara Indonesia tidak hanya sekedar terdiri atas
tanah daratan saja melainkan laut dengan batas-batasnya serta ruang angkasa di
atasnya yang menjadi fokus dalam aspek hukum agraria.
Mengingat aspek hukum pertanahan merupakan bagian dari ruang lingkup ilmu
hukum yang lebih besar yakni Hukum Agraria. Dikatakan sebagai bagian dari Agraria
dengan dasar bahwa memahami masalah agraria bukan hanya menyangkut tanah saja
yang menjadi objek pengaturannya, melainkan BARAKATD (Bumi, Air, Ruang
Angkasa yang Terkandung di dalamnya) sebagaimana ketentuan Pasal 1 ayat (4), (5)
dan (6) Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Pokok-Pokok Agraria yang
menyebutkan Bumi sebagai bagian dari agraria selain memiliki permukaan yang
disebut Tanah juga memiliki alas bawah yakni perairan dan alas atas yakni ruang
angkasa. A.P. Parlindungan1, menyatakan bahwa pengertian agraria mempunyai ruang
lingkup, yaitu dalam arti sempit bisa berwujud hak atas tanah, atau pun pertanian saja,
sedangkan Pasal 1 dan 2 UUPA dalam pengertian yang meluas yaitu bumi, air, ruang
angkasa dan kekayaan alam yang terkandung didalamnya.
Sebagai negara kepulauan terbesar, Indonesia tidak hanya dikenal sebagai
negara agraris melainkan juga negara maritim. Salah satu daerah yang bercirikan
kepulauan adalah Provinsi Kepulauan Riau. Secara keseluruhan wilayah di Provinsi
Kepulauan Riau seluas 8.201,72 km² dengan persentase hampir 90% lautan dan 10%
permukaan daratan. Pembagian wilayahnya terdiri dari : 5 (lima) Kabupaten dan 2
(dua) Kota, 52 kecamatan serta 299 kelurahan/desa dengan jumlah 2.408 pulau besar
(30% diantaranya pulau belum bernama).2
Menurut Jawas Dwijo Putro dan M. Nurhamsyah, manusia dalam menempati
lingkungan huniannya disesuaikan dengan preferensi lingkungan yang menyangkut
pemahaman karakteristik alam dan manusia serta hubungan timbal baliknya.
Penyesuaian ini memunculkan konsep bermukim yang memperlihatkan cara
masyarakat beradaptasi dengan lingkungan dan membentuk pola permukiman 3 .
Apabila dilihat dari segi kependudukan pada sebagian wilayah di Kepulauan Riau
masih terdapat penduduk yang pemukimannya berada di atas air. Hal lazim terlihat
dikarenakan salah satu faktor mata pencaharian penduduknya yakni sebagai nelayan
dan aktivitas banyak dilakukan di atas air (laut). Keberadaan permukiman di atas air
sudah sejak lama secara turun temurun dan tetap eksis keberadaanya hingga saat ini
oleh karena itu negara turut berperan penting untuk memelihara, melindungi, serta
memberikan jaminan kepastian hukum terhadap masyarakat yang tinggal di
permukiman di atas air. Secara defisini pemukiman di atas air adalah rumah yang
berdiri di atas perairan pesisir, secara umum masyarakat di Provinsi Kepulauan Riau
1 A.P. Parlindungan, Komentar atas Undang-Undang Pokok Agraria dilengkapi PP 40 dan 41
Tahun 1996, (Bandung: Mandar Maju, 1998) hal. 5. Lihat juga. Basri, Penataan dan Pengelolaan
Wilayah Kelautan Perspektif Otonomi Daerah dan Pembangunan Berkelanjutan, “Jurnal Perspektif”,
Vol. XVIII No. 3, 2013. hal. 181-182. 2 Kepulauan Riau, https://id.m.wikipidea.org/wiki/Kepulauan_Riau, diakses pada Senin 17
Desember 2019 3 Jawas Dwijo Putro dan M. Nurhamsyah, Pola Permukiman Tepian Air Studi Kasus : Desa
Sepuk Laut, Punggur Besar dan Tanjung Saleh Kecamatan Sungai Kakap, Kabupaten Kubu Raya,
“Jurnal Langkau Betang”, Vol. 2, No.1, 2015, hal. 65.
Analisis Yuridis Terhadap Status Hak: Irman, Oksep Adhayanto, Rany Kartika Sari, Suryadi 401
menyebut rumah di atas air adalah “rumah pelantar”. Berikut ini gambar pemukiman
di atas air yang berada di perairan pesisir Kota Tanjungpinang.
Gambar 1. Pemukiman di Atas Air Kota Tanjungpinang
Banyaknya permukiman di atas air juga disebabkan realita bahwa wilayah yang
ada di pinggir pantai terus mencari alternatif baru sebagai tempat menampung
kegiatan perkotaan. Upaya manusia mempertimbangkan akan terbatasnya daratan
sebagai tempat aktifitas utama manusia, baik sebagai sarana pemukiman, industri,
perdagangan dan lain sebagainya menjadi dorongan berkembangnya permukiman
dipesisir4. Kenyataan banyak terdapat permukiman di atas air pada sebagian wilayah
Kepulauan Riau juga tidak terlepas dari konsepsi hukum yang menghargai dan
menjunjung tinggi apa yang disebut dengan konsepsi masyarakat hukum adat
sebagaimana ketentuan Pasal 1 ayat (33) Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2014
tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2007 tentang Pengelolaan
Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil yang berbunyi : “Masyarakat hukum adat
adalah sekelompok orang yang secara turun-temurun bermukim di wilayah geografis
tertentu di Negara Kesatuan Republik Indonesia karena adanya ikatan pada asal-usul
leluhur, hubungan yang kuat dengan tanah, wilayah, sumber daya alam, memiliki
pranata pemerintahan adat, dan tatanan hukum adat di wilayah adatnya sesuai dengan
ketentuan peraturan perundang-undangan.”
Upaya Pemerintah dalam rangka memberikan kepastian hukum bagi warga
negaranya dalam konteks ini lebih ditujukan pada masyarakat perairan wilayah pantai,
pesisir dan pulau-pulau terimplementasi melalui berbagai produk peraturan
perundang-undangan yang dikeluarkan5. Esensi dari keberadaan peraturan yang dibuat
tersebut lebih berorientasi pada bagaimana pengelolaan wilayah pesisir dan pulau-
pulau kecil dilakukan agar dapat dimanfaatkan secara optimal sumber daya alam dan
keanekaragaman hayati laut. Sedangkan apabila dilihat dari aspek hukum pertanahan-
agraria dapat dikatakan Undang-Undang tersebut belum memberikan pengaturan yang
4 Moch. Chairul Huda, 2013, Pengaturan Perizinan Reklamasi Pantai Terhadap Perlindungan
Lingkungan Hidup, “Jurnal Perspektif”, Vol. XVIII. No. 2, 2013, hal. 126. 5 Peraturan perundang-undangan yang dimaksud antara lain yaitu; Undang-Undang Nomor 27
Tahun 2007 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil, Undang-Undang Nomor 1
Tahun 2014 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2007 tentang Pengelolaan
Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil; Peraturan Pemerintah Nomor 40 Tahun 1996 tentang HGU,
HGB dan Hak Pakai Atas Tanah, Peraturan Pemerintah Nomor 62 Tahun 2010 tentang Pemanfaatan
Pulau-Pulau Kecil Terluar; dan Peraturan Menteri Agraria dan Tata Ruang/Kepala BPN RI Nomor 17
Tahun 2016 tentang Penataan Pertanahan di Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil.
402 Jurnal Hukum & Pembangunan Tahun ke-51 No.2 April-Juni 2021
lebih jelas terutama menyangkut pemberian jenis alas hak untuk permukiman di atas
air bagi wilayah yang berbasis perairan-kelautan.
Hipotesa penulis, permasalahan dari aspek hukum berkaitan dengan isu dibidang
pertanahan yang terjadi pada daerah bercirikan perairan kepulauan adalah mengenai
pemberian status hak atas permukiman penduduk yang berada di atas permukaan air
karena faktanya memang di daerah Kepulauan Riau masih banyak ditemukan
permukiman penduduk yang berada di atas air dan sebagai sampel berdasarkan data
dari Dinas Perumahan Rakyat, Kawasan Permukiman, Kebersihan dan Pertamanan
(PERKIM) Kota Tanjungpinang bahwa untuk permukiman di atas air sekitar 200
rumah di atas air tersebut sudah memperoleh sertifikat Hak Milik dan sisanya masih
banyak rumah belum memperoleh sertifikat dengan salah satu alasan masih terkendala
proses perizinan.6 Bahkan dibeberapa daerah menerapkan kebijakan berbeda dalam
pemberian alas hak terhadap permukiman di atas air7 seperti di Kelurahan Kamboja
Kota Tanjungpinang dimana terdapat masyarakat yang memperoleh sertifikat
meskipun bermukim di atas air8.
Further explained by the Head of the Cambodian Village Head that some of the
people living in coastal areas have a certificate as proof of ownership of land
rights and some of them do not have proof of ownership of land rights but only
occupy the land by paying Land and Building Tax to the government. This was
justified by one of the residents who lived in the coastal area of the Cambodian
Village, Mrs. Juhainah stated that they (Juhainah, ed: author) were only
charged to pay the United Nations, even that was only partially. In an effort to
obtain legal certainty regarding the rights to their land, Juhainah has submitted
an application to issue a certificate of ownership to the village head.9
Perolehan sertifikat hak milik terhadap bangunan/rumah/permukiman di atas air
sebagaimana data di atas pada satu sisi adalah hal yang wajar sebab dari segi peraturan
sendiri memang Peraturan Menteri Agraria Dan Tata Ruang/Kepala Badan Pertanahan
Nasional Republik Indonesia Nomor 17 Tahun 2016 tentang Penataan Pertanahan di
Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil memberikan pengaturan bahwa : “permukiman
di atas air bagi masyarakat hukum adat pada perairan pesisir dapat dilakukan
pemberian Hak Atas Tanah sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan”.
Akan tetapi problematik yang muncul apabila dipandang dari segi hukum keberadaan
Pasal yang demikian dapat diduga menyalahi ketentuan dari Undang-Undang Nomor 5
Tahun 1960 tentang Pokok-Pokok Dasar Agraria yang selanjutnya disingkat dengan
UUPA. Berdasarkan pada uraian tersebut maka yang menjadi permasalahan dalam
penelitian ini apakah terhadap permukiman di atas air dapat diberikan status hak atas
tanah sebagaimana yang diamanatkan oleh Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960
6 Hasil dialog melalui Kegiatan Diskusi Publik dengan Tema “Penataan Pemukimaan di
Wilayah Pesisir” yang diselenggarakan oleh DPRD dan Dinas Perumahan Rakyat, Kawasan
Permukiman, Kebersihan dan Pertamanan (PERKIM) Kota Tanjungpinang bekerja sama dengan Prodi
Ilmu Hukum Universitas Maritim Raja Ali Haji (UMRAH) pada Rabu, 28 November 2018.
7 Kebijakan berbeda yang dimaksud adalah, ada daerah yang justru tidak mengeluarkan
sertifikat sebagai bukti hak kepemilikan seseorang atas bangunan yang didirikan di atas air dan dilain
kasus ada yang justru hanya memberikan hak pakai maupun hak pengelolaan terhadap permukimandi
atas air . lihat pada Ulfa Amalyah Usman, “Status Hukum Penguasaan Perairan Pesisir Untuk
Permukiman Penduduk Di Kelurahan Tallo Kota Makassar”. Skripsi, Universitas Hassanudin, 2017,
hal. 56 8 Agung Ramadhan Saputra, Oksep Adhayanto, Marnia Rani. 2018. Status Of Rights On
Community Land In Settlement Of Coastal Areas Of Cambodian”, Prossiding International Conference
of Law And Free Trade 2018, , 1stAceh Global Conference (AGC 2018), hal. 87 9 Ibid.
Analisis Yuridis Terhadap Status Hak: Irman, Oksep Adhayanto, Rany Kartika Sari, Suryadi 403
tentang Pokok-Pokok Dasar Agraria dan Peraturan Menteri Agraria Dan Tata
Ruang/Kepala Badan Pertanahan Nasional Republik Indonesia Nomor 17 Tahun 2016
tentang Penataan Pertanahan di Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil?. Adapun
tujuan dari penelitian ini untuk mengetahui dan menganalisa permukiman di atas air
dapatkah diberikan status hak atas tanah sebagaimana yang diamanatkan oleh Undang-
Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Pokok-Pokok Dasar Agraria dan Peraturan
Menteri Agraria Nomor 17 Tahun 2016 tentang Penataan Pertanahan di Wilayah
Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil dengan harapan masyarakat yang memiliki rumah dan
permukiman di atas air dapat memperoleh bukti kepemilikan hak milik atas tanah dan
bangunan di atas air.
II. METODE PENELITIAN
Meotde penelitian ini adalah penelitian normatif yang mengacu kepada noma-
norma hukum di dalam peraturan perundang-undangan yang berlaku. Fokus penelitian
ini adalah aturan hukum tentang pertanahan yakni Undang-Undang Nomor 5 Tahun
1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria serta aturan hukum mengenai
pengelolaan dan penataan pertanahan diwilayah pesisir dan pulau-pulau kecil yakni
Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2014 tentang Perubahan Atas Undang-Undang
Nomor 27 Tahun 2007 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil
dan Peraturan Menteri Agraria Dan Tata Ruang/Kepala Badan Pertanahan Nasional
Republik Indonesia Nomor 17 Tahun 2016 tentang Penataan Pertanahan di Wilayah
Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil. Pengumpulan bahan hukum dalam penelitian ini
melalui Studi Pustaka dan Studi Dokumen yang terdiri atas bahan hukum primer,
bahan hukum sekunder serta bahan hukum tersier. dengan dasar jenis penelitian di
atas, maka pendekatan penelitian yang digunakan melalui pendekatan perundang-
undangan (Statute Approach) dan pendekatan sejarah (Historical Approach). Analisis
yang digunakan adalah analisis kualitatif atau analisis yuridis-normatif yaitu
memberikan pemaparan, uraian, serta gambaran hasil penelitian yang dilakukan
dengan mengacu pada ketentuan perundang-undangan yang berlaku.
III. HASIL PENELITIAN
3.1. Tanah dan jenis Hak Atas Tanah Menurut Undang-Undang Nomor 5
Tahun 1960
Tanah menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia adalah permukaan bumi,
keadaan bumi disuatu tempat, bahan-bahan dari bumi, dasar, sawah dan lahan. 10
Definisi lain tanah adalah ruang daratan yang memiliki wujud nyata, digunakan,
dikuasai dan menjadi tempat kehidupan dan penghidupan.11 Selain itu menurut Pasal 4
ayat (1) dinyatakan bahwa :
“atas dasar hak menguasai dari negara sebagaimana yang dimaksud dalam
Pasal 2, ditentukan adanya macam-macam hak atas permukaan bumi, yang
disebut tanah, yang dapat diberikan kepada dan dipunyai oleh orang-orang, baik
sendiri maupun bersama-sama dengan orang lain serta badan-badan hukum”.
10 A.K.Muda, Ahmad, Kamus Besar Bahasa Indonesia (Jakarta: Reality Publisher, 2006), hal.
515 11 Bernhard Limbong, Politik Pertanahan, (Jakarta: Marghareta Pustaka, 2014), hal. 310
404 Jurnal Hukum & Pembangunan Tahun ke-51 No.2 April-Juni 2021
Dari pasal di atas dapat diketahui bahwa tanah adalah permukaan bumi yang di
dalamnya dapat dikuasai atau di haki oleh orang perseorangan maupun badan hukum.
Sejalan dengan Boedi Harsono yang berpendapat bahwa pada tanah terdapat asas
perlekatan yaitu bangunan dan benda / tanaman yang terdapat di atasnya merupakan
satu kesatuan dengan tanah, serta merupakan bagian dari tanah. 12 Adanya asas
perlekatan antara tanah dan segala sesuatu yang berada di atasnya maka memberikan
hak penguasaan kepada subjek hukum untuk menguasai (memiliki) tanah tersebut.
Penguasaan hak atas tanah baik oleh individu, badan hukum maupun negara
diatur dalam Pasal 1 ayat (3) jo Pasal 9 Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang
Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria yang berbunyi : “Hubungan antara bangsa
Indonesia dengan Bumi, Air dan Ruang Angkasa yang terkandung didalamnya adalah
hubungan yang bersifat abadi”. Maksud dari pasal tersebut bahwa hanya Warga
Negara Indoesia saja yang sepenuhnya memiliki hubungan (memiliki dan menguasai)
hak atas tanah di bumi pertiwi serta Negara sebagai wadah organisasi kekuasaan
rakyat turut memiliki hak menguasai negara atas tanah-tanah di Indonesia sebagai
perwujudan dari ketentuan Pasal 33 ayat (3) Undang-Undang Dasar Negara Republik
Indonesia Tahun 1945. Tentu saja adanya hak menguasai negara ini dalam rangka
mengatur hubungan hukum orang dengan “Bumi, Air, Ruang Angkasa yang
Terkandung di dalamnya”, menyelenggarakan peruntukan, penggunaan dan
pemeliharaan Bumi, Air, Ruang Angkasa yang Terkandung di dalamnya itu sendiri.
Pasal 16 ayat (1) Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar
Pokok-Pokok Agraria mengatur jenis-jenis hak atas tanah yang berlaku di Indonesia,
diantaranya: (a) Hak milik, (b) Hak Guna Usaha (HGU), (c) Hak Guna Bangunan
(HGB), (d) Hak Pakai, (e) Hak Membuka Tanah, (f) Hak Memungut Hasil Hutan, dan
(g) Hak-hak lain yang tidak termasuk dalam hak-hak tersebut di atas yang akan
ditetapkan dengan undang-undang serta hak-hak yang sifatnya sementara yang
tersebut dalam Pasal 53 UUPA13 .
Selanjutnya pada Pasal 16 ayat (2) selain hak atas tanah, Undang-Undang
Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria juga memberikan
pengaturan mengenai hak-hak atas air dan ruang angkasa sebagai penjabaran lebih
lanjut atas ketentuan Pasal 4 ayat (3) Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang
Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria, yakni sebagai berikut: (a) hak guna air14; (b)
hak pemeliharaan dan penangkapan ikan; dan (c) hak guna ruang angkasa15.
12 Supriadi, Hukum Agraria, (Jakarta: Sinar Grafika, 2009), hal. 3 13 Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 Tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria,
Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1960 Nomor 104, Tambahan Lembaran Negara Nomor
2043, Pasal 53 Ayat (1) “menyatakan bahwa hak yang sifatnya sementara sebagaimana yang dimaksud
dalam Pasal 16 ayat (1) huruf h, ialah hak gadai, hak usaha bagi hasil, hak menumpang dan hak sewa
tanah pertanian yang diatur untuk membatasi sifat-sifatnya yang bertentangan dengan undang-undang
ini dan hak tersebut diusahakan hapusnya didalam waktu yang singkat” 14 Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 Tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria,
Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1960 Nomor 104, Tambahan Lembaran Negara Nomor
2043, Pasal 47 menyebutkan hak guna air adalah hak untuk memperoleh air untuk keperluan tertentu
dan/atau mengalirkan air itu di atas tanah orang lain yang kemudian diatur lebih lanjut dengan peraturan
pemerintah 15 Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 Tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria,
Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1960 Nomor 104, Tambahan Lembaran Negara Nomor
2043, Pasal 48 menyebutkan hak guna ruang angkasa adalah hak untuk mempergunakan tenaga dan
unsur-unsur dalam ruang angkasa guna usaha-usaha memelihara dan memperkembangkan kesuburan
bumi, air serta kekayaan alam yang terkandung didalamnya dan hal-hal lai yang bersangkutan dengan
itu.
Analisis Yuridis Terhadap Status Hak: Irman, Oksep Adhayanto, Rany Kartika Sari, Suryadi 405
Di dalam praktek dikenal pula adanya hak pengelolaan yang bersumber pada
UUPA dimana perumusan mengenai hak pengelolaan dituangkan dalam Pasal 3
Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 5 Tahun 1974 tentang Ketentuan-Ketentuan
Mengenai Penyediaan dan Pemberian Tanah Untuk Keperluan Perusahaan, dengan
mengubah seperlunya ketentuan dalam Peraturan Menteri Agraria Nomor 9 Tahun
1965 tentang Pelaksanaan Konversi Hak Penguasaan atas Tanah Negara dan ketentuan
tentang kebijaksanaan. Selanjutnya, hak pengelolaan di dalam Pasal 2 ayat 1 huruf (a)
berisikan wewenang untuk:
1. Merencanakan peruntukkan dan penggunaan tanah yang bersangkutan;
2. Menggunakan tanah tersebut untuk keperluan pelaksanaannya usahanya;
3. Menyerahkan bagian-bagian daripada tanah itu kepada pihak ketiga menurut
persyaratan yang ditentukan oleh perusahaan pemegang hak tersebut, yang
meliputi segi-segi peruntukkan, penggunaan, jangka waktu dan keuangannya,
dengan ketentuan bahwa pemberian hak atas tanah kepada pihak ketiga yang
bersangkutan dilakukan oleh pejabat-pejabat yang berwenang.
Tabel 1: Jenis Hak Atas Tanah Menurut UUPA
No
Jenis
Hak Atas
Tanah
Definisi Subjek Hak Atas
Tanah Jangka Waktu
1 Hak
Milik
Pasal 20 UUPA: hak
turun temurun, terkuat
dan terpenuh yang
dapat dipunyai orang
atas tanah. Hak milik
dapat beralih dan
dialihkan kepada pihak
lain.
Pasal 21 UUPA :
WNI, Badan Hukum
dan WNA karena
pewarisan tanpa
wasiat, percampuran
perkawinan.
Tidak ada jangka
waktu. Bahkan
dapat beralih,
terhapus apabila
jatuh kepada
negara, tanah
musnah.
2 HGU Pasal 28 UUPA: Hak
yang diberikan atas
tanah yang luasnya
minimal 5Ha dengan
ketentuan bahwa jika
luasnya 25Ha / lebih
harus memakai
investasi modal yang
layak dan teknik
perusahaan yang baik
sesuai perkembangan
zaman.
Pasal 30 ayat (1)
UUPA :
WNI dan Badan
Hukum yang
didirikan menurut
hukum Indonesia dan
berkedudukan di
Indonesia.
Pasal 29 ayat
(1),(2) dan (3) :
Diberikan waktu
paling lama 25
tahun. Untuk
perusahaan 35
tahun. Dan masa
perpanjangan
paling lama 25
tahun
3 HGB Pasal 35 UUPA : hak
guna bangunan adalah
hak untuk mendirikan
dan mempunyai
bangunan – bangunan
atas tanah yang bukan
miliknya sendiri
Pasal 36 ayat (1)
UUPA :
WNI dan Badan
Hukum yang
didirikan menurut
hukum Indonesia dan
berkedudukan di
Indonesia
Pasal 35 ayat (1)
dan (2): jangka
waktu paling
lama 30 tahun +
perpanjangan 20
tahun.
406 Jurnal Hukum & Pembangunan Tahun ke-51 No.2 April-Juni 2021
4 Hak
Pakai
Pasal 41 UUPA: hak
untuk menggunakan
dan/atau memungut
hasil dari tanah yang
dikuasai secara
langsung oleh negara
atau tanah milik orang
lain, yang memberi
wewenang dan
kewajiban yang
ditentukan dalam
keputusan
pemberiannya oleh
pejabat yang
berwenang
memberikannya atau
dalam perjanjian
dengan pemilik
tanahnya, yang bukan
perjanjian sewa-
menyewa atau
perjanjian pengolahan
tanah, segala sesuatu
asal tidak bertentangan
dengan jiwa dan
ketentuan uu ini.
Pasal 42 UUPA :
WNI, Orang asing
yang berkedudukan
di Indonesia, badan
hukum yang
didirikan menurut
hukum Indonesia dan
berkedudukan di
Indonesia serta badan
hukum asing yang
memiliki perwakilan
di Indonesia.
Pasal 41 ayat (2)
Jangka waktu
tertentu atau
selama tanahnya
dipergunakan
untuk keperluan
tertentu, atau
dengan Cuma-
Cuma, dengan
pembayaran atau
pemberian jasa
berupa apapun.
3.2. Penataan Pertanahan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil.
Ada beberapa pengertian mengenai wilayah pesisir. Secara umum terdapat
kesepakatan bahwa wilayah pesisir adalah suatu wilayah peralihan antara daratan dan
laut16. Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok
Agraria yang merupakan aturan induk pertanahan secara umum tidak mengatur
mengenai jenis hak atas tanah diwilayah pesisir maupun pulau-pulau kecil. Bahkan
ketentuan pada bagian penjelasan Pasal 16 ayat (1) huruf h memberikan penjelasan
bahwa jenis hak lainnya yang tidak termasuk dalam hak yang sebagaimana diatur pada
pasal 16 ayat (1) huruf a sampai huruf g adalah: “hak gadai, hak usaha bagi hasil, hak
menumpang dan hak sewa tanah pertanian yang diatur untuk membatasi sifat-sifatnya
yang bertentangan dengan undang-undang ini dan hak tersebut diusahakan hapusnya
didalam waktu yang singkat”.
Atas dasar Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tidak mengatur, maka pada
tahun 2007 lalu, Pemerintah mengeluarkan Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2007
tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil yang kemudian diubah
menjadi Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2014 tentang Perubahan Atas Undang-
Undang Nomor 27 Tahun 2007 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau
Kecil. Turunan UU tersebut lahirlah Peraturan Menteri Agraria Dan Tata
Ruang/Kepala Badan Pertanahan Nasional Republik Indonesia Nomor 17 Tahun 2016
tentang Penataan Pertanahan di Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil. Perbedaan dari
16 Rokhmin Dahuri, et.al., 2001, Pengelolaan Sumberdaya Wilayah Pesisir dan Lautan Secara
Terpadu, (Jakarta: Pradnya Paramita, 2001), hal. 6
Analisis Yuridis Terhadap Status Hak: Irman, Oksep Adhayanto, Rany Kartika Sari, Suryadi 407
kedua aturan ini yaitu Peraturan Kepala BPN Tersebut di atas lebih memberikan
pengaturan dari aspek hukum pertanahan sedangkan Undang-Undang Nomor 1 Tahun
2014 yang lebih banyak mengatur teknis pengelolaan dan pemanfaatan SDA hayati
laut diwilayah pesisir. Untuk itu, Kehadiran undang-undang sektoral diharapkan
mampu mendukung agenda-agenda reforma agraria, khususnya access reform17.
Pasal 2 dan Pasal 3 Peraturan Menteri Agraria Dan Tata Ruang/Kepala Badan
Pertanahan Nasional Republik Indonesia Nomor 17 Tahun 2016 tentang Penataan
Pertanahan di Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil mengatur bahwa penataan
pertanahan di wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil adalah dalam rangka memberikan
arahan dan batasan yang bertujuan untuk memberikan kepastian mengenai
penguasaan, pemilikan, penggunaan dan pemanfaatan tanah di wilayah pesisir dan
pulau-pulau kecil dalam rangka pemberian hak. Ruang lingkup penataan
pertanahannya dibedakan menjadi 2 (dua), yaitu :
a. Penataan pertanahan di Wilayah Pesisir18;
Penataan pertanahan di Wilayah Pesisir dilakukan dengan pemberian Hak Atas
Tanah pada Pantai dan Perairan pesisir yang diukur dari garis pantai kearah laut
sejauh batas laut wilayah provinsi. Pemberian hak atas tanah pada pantai Hanya
dapat diberikan untuk bangunan yang harus ada di wilayah pesisir pantai, yakni:
(1) Bangunan untuk pertahanan dan keamanan; (2) Pelabuhan atau dermaga; (3)
Tower penjaga keselamatan pengunjung pantai; (4) Tempat tinggal masyarakat
hukum adat atau anggota masyarakat yg secara turun temurun sudah bertempat
tinggal ditempat tersebut dan/atau (5) Pembangkit tenaga listrik. Sedangkan
pemberian hak atas tanah pada perairan pesisir hanya dapat diberikan untuk
bangunan yang harus ada di wilayah perairan pesisir, yakni: (1) Program
strategis negara; (2) Kepentingan umum; (3) Permukiman di atas air bagi
masyarakat hukum adat; dan/atau (4) Pariwisata.
Adanya pengecualian terhadap wilayah pesisir yang tidak dapat diberikan hak
atas tanah apabila memenuhi ketentuan bangunan terletak diluar batas wilayah
laut provinsi, instalasi eksplorasi dan eksploitasi minyak bumi, gas,
pertambangan, panas bumi, instalasi kabel bawah laut, jaringan pipa dan
jaringan transmisi lainnya dan/atau bangunan terapung.
b. Penataan pertanahan di Pulau-Pulau kecil19.
Hak atas tanah dapat diberikan terhadap pulau-pulau kecil. dengan ketentuan
bahwa setidaknya 70% dari luas pulau tersebut, atau sesuai dengan arahan
RTRW provinsi/kabupaten/kota dan/atau rencana zonasi pulau kecil tersebut;
selain itu sisanya yakni 30% luas pulau kecil yang ada dikuasai langsung oleh
negara dan digunakan serta dimanfaatkan untuk kawasan lindung, area public
atau kepentingan masyarakat dan syarat terakhir harus mengalokasikan 30% dari
luas pulau untuk kawasan lindung.
17 Muhammad Ilham Arisaputra, “Access Reform Dalam Kerangka Reforma Agraria Untuk
Mewujudkan Keadilan Sosial, “Jurnal Perspektif”, Vol. XXI, No. 2, 2016, hal. 90. 18 Indonesia, Peraturan Menteri Agraria dan Tata Ruang/ Kepala BPN RI Nomor 17 Tahun 2016
tentang Penataan Pertanahan di Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil, Berita Negara Republik
Indonesia Tahun 2016 Nomor 573, Pasal 1 Ayat (1) “bahwa Wilayah Pesisir dimaknai sebagai daerah
peralihan antara ekosistem darat dan laut yang dipengaruhi oleh perubahan didarat dan laut” 19 Indonesia, Peraturan Menteri Agraria dan Tata Ruang/ Kepala BPN RI Nomor 17 Tahun 2016
tentang Penataan Pertanahan di Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil, Berita Negara Republik
Indonesia Tahun 2016 Nomor 573, Pasal 1 Ayat (5) “bahwa pulau-pulau kecil dimaknai sebagai pulau –
pulau kecil yang memiliki titik-titik dasar koordinat geografis yang menghubungkan garis pangkal lurus
kepulauan sesuai dengan hukum internasional dan nasional”
408 Jurnal Hukum & Pembangunan Tahun ke-51 No.2 April-Juni 2021
Sebagai bentuk pengecualian dari persyaratan di atas, maka negara melalui
pemerintah dapat secara utuh demi kepentingan nasional menguasai dan
memanfaatkan pulau-pulau kecil. Kepentingan nasional yang dimaksud ditujukan
dalam rangka: (a) Pertahanan dan keamanan; (b) Kedaulatan negara; (c) Pertumbuhan
ekonomi; (d) Sosial dan budaya; (e) Fungsi dan daya dukung lingkungan hidup; dan
(f) Pelestarian warisan dunia.
Tantangan bagi pemerintah daerah di Indonesia terutama yang provinsinya
berbentuk kepulauan seperti Kepulauan Riau adalah bagaimana daerah Kabupaten dan
provinsi mempersiapkan masterplan perencanaan pengelolaan wilayah pesisir mereka.
Mulai dari wilayah yang terdiri dari pulau-pulau, berada dikawasan perbatasan negara
sampai dengan besarnya potensi pencemaran dan perusakan lingkungan laut yang
nantinya akan berdampak kepada wilayah pesisir sebagai satu kesatuan ekosistem
wilayah laut20.
Pasal 11 ayat (2) Peraturan Menteri Agraria Dan Tata Ruang/Kepala Badan
Pertanahan Nasional Republik Indonesia Nomor 17 Tahun 2016 tentang Penataan
Pertanahan di Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil mengatur persyaratan sebagai
berikut:
a) Peruntukannya sesuai dengan RTRW provinsi/kabupaten/kota, atau Rencana
zonasi pulau-pulau kecil;
b) Mendapat rekomendasi dari pemerintah provinsi/kabupaten/kota dalam hal
belum diatur mengenai peruntukan tanah dalam RTRW; dan
c) Memenuhi ketentuan perizinan dari instansi terkait.
Peraturan Menteri Agraria Dan Tata Ruang/Kepala Badan Pertanahan Nasional
Republik Indonesia Nomor 17 Tahun 2016 tentang Penataan Pertanahan di Wilayah
Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil memberikan peluang untuk dapat diberikan hak atas
tanah terhadap permukiman di atas air dan itu ditujukan bagi masyarakat hukum adat.
Pemberian status hak atas permukiman di atas air adalah dalam rangka memberikan
jaminan kepastian hukum bagi masyarakat yang bermukim di wilayah perairan.
Pemberian hak atas tanah yang dimaksud tentu saja berdasarkan ketentuan UUPA
sebagai induk dari aturan pertanahan, PP Nomor 40 Tahun 1996 tentang HGU, HGB
dan Hak Pakai atas tanah turut memperhatikan Peraturan Menteri Negara
Agraria/Kepala BPN RI No 3 Tahun 1999 tentang Pelimpahan Kewenangan dan
Pembatalan Keputusan Pemberian Hak Atas Tanah Negara.
Dalam UU No. 1 Tahun 2011 tentang Kawasan Permukiman, disebutkan bahwa:
“permukiman merupakan bagian lingkungan hidup diluar kawasan lindung, yang
berupa kawasan perkotaan maupun pedesaan, serta berfungsi sebagai lingkungan
tempat tinggal dan tempat kegiatan yang mendukung perikehidupan dan kehidupan”.
Adapun tujuan diselenggarakannya kawasan permukiman menurut Pasal 3 ayat (1) UU
Nomor 1 Tahun 2011, yaitu: memberikan kepastian hukum dalam penyelenggaraan
perumahan dan kawasan pemukiman.
Berkaitan dengan permukiman di atas air yang dapat diberikan status hak atas
tanah menurut Peraturan Menteri Agraria Dan Tata Ruang/Kepala Badan Pertanahan
Nasional Republik Indonesia No. 17 Tahun 2016 tentang Penataan Pertanahan di
Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil di atas, apabila dipandang dari segi yuridis
maka jenis hak atas tanah yang diatur oleh UUPA menjadi tidak dapat diberikan dan
diberlakukan untuk permukiman yang berada di atas air.
20 Maria Maya Lestari, Potensi dan Tantangan Pengelolaan Sumber Daya Kelautan Dalam
Penciptaan Masyarakat Pesisir Yang Siap Menjawab Perkembangan Zaman. “Jurnal Selat”, Vol. 1
No. 1, 2013, hal. 10
Analisis Yuridis Terhadap Status Hak: Irman, Oksep Adhayanto, Rany Kartika Sari, Suryadi 409
Ada beberapa alasan yang dapat penulis kemukakan terkait dengan tumpang
tindihnya ketentuan Peraturan Menteri Agraria Dan Tata Ruang/Kepala Badan
Pertanahan Nasional Republik Indonesia No. 17 Tahun 2016 tentang Penataan
Pertanahan di Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil dengan UU No. 5 Tahun 1960
tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria yaitu:
1. Harus terdapat persamaan persepsi terlebih dahulu mengenai konsepsi dari
Tanah. Hukum agraria memang secara tegas menyatakan dalam ketentuan
Pasal 1 ayat (2) UUPA bahwa: “Seluruh bumi, air, ruang angkasa, termasuk
kekayaan alam yang terkandung didalamnya dalam wilayah Republik
Indonesia sebagai karunia Tuhan Yang Maha Esa”. Bunyi pasal tersebut sangat
jelas membedakan permukaan bumi yang dalam konteks ini diartikan sebagai
tanah dengan sumber daya alam lain seperti air, ruang angkasa serta kekayaan
alam lainnya. Selain itu secara definitif bahasa, tanah sebagaimana telah
disebutkan sebelumnya diartikan sebagai permukaan bumi, keadaan bumi
disuatu tempat, bahan-bahan dari bumi, dasar, sawah dan lahan.21 Definisi lain
tanah adalah Ruang daratan yang memiliki wujud nyata, digunakan, dikuasai
dan menjadi tempat kehidupan dan penghidupan.22 atas penjelasan berdasarkan
bunyi aturan serta harfiah kata, maka kurang tepat jika terhadap permukiman di
atas air diberikan hak atas tanah sebagaimana ketentuan UUPA serta kurang
tepat pula apabila disamakan dengan permukiman pada umumnya yang berdiri
atau dibangun di atas tanah.
2. Undang-Undang Pokok Agraria sendiri telah jelas mengatur jenis hak atas
tanah berdasarkan ketentuan Pasal 16 ayat (1), antara lain : (a) Hak milik; (b)
Hak Guna Usaha (HGU); (c) Hak Guna Bangunan (HGB); (d) Hak Pakai; (e)
Hak Membuka Tanah; (f) Hak Memungut Hasil Hutan; dan (f) Hak-hak lain
yang tidak termasuk dalam hak-hak tersebut di atas yang akan ditetapkan
dengan undang-undang serta hak-hak yang sifatnya sementara yang tersebut
dalam Pasal 53 UUPA.
3. Apabila ditelaah dari segi aturan, maka tidak satupun dari jenis hak atas tanah
yang diatur oleh UUPA tersebut mengatur pemberian hak terhadap
permukiman yang berada di atas air meskipun dalam pasal berbeda UUPA
mengatur mengenai Hak Guna Air dan Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2007
tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil mengatur
mengenai Hak Pengusahaan Perairan Pesisir (HP-3), namun keberadaan dari
jenis hak guna air serta HP-3 tersebut bukan ditujukan untuk memberikan
legalitas kepemilikan terhadap permukiman di atas air. Sehingga dipandang
tidak tepat apabila terhadap permukiman di atas air diberikan hak atas tanah
sebagaimana menurut ketentuan UUPA.
4. Ditinjau dari sisi Politik Hukumnya maka Undang-Undang Nomor 23 Tahun
2014 tentang Pemerintahan Daerah, memuat suatu politik hukum tentang
pengelolaan wilayah kelautan di daerah yang berada dalam wewenang
pemerintah daerah provinsi, bukan lagi menjadi wewenang pemerintah daerah
otonom yaitu pemerintah kab/kota. Hal ini menjadikan politik hukum
pengelolaan wilayah kelautan di daerah bersifat sentralistik, bukan lagi sesuai
dengan Konstitusi dimana penyelenggaraan otonomi daerah dilaksanakan
secara desentralisasi, melainkan otonomi dijalankan dengan dekonsentrasi. Hal
21 A.K.Muda, Ahmad, Op.,Cit. hal.515. 22 Bernhard Limbong. Op.,Cit. hal 310
410 Jurnal Hukum & Pembangunan Tahun ke-51 No.2 April-Juni 2021
ini berimplikasi pada pengabaian keberagaman karakteristik masyarakat daerah
khususnya dalam pengelolaan wilayah kelautan di daerah23.
Atas beberapa alasan di atas, apabila intansi dibidang pertanahan pada suatu
daerah yang secara khusus merupakan daerah perairan dan/atau kepulauan,
mengeluarkan sertifikat terhadap permukiman di atas air yang ada diwilayahnya dalam
rangka memberikan jaminan kepastian hukum pada warga negara dan juga sebagai
bentuk pengakuan negara terhadap eksistensi masyarakat yang telah ada lama serta
turun temurun hidup diwilayah tersebut maka kebijakan mengeluarkan atau
memberikan alas hak yang demikian itu dipandang tidak efektif untuk memberikan
kepastian hukum bagi masyarakat permukiman di atas air itu sendiri. Hal ini
dikarenakan masih belum terdapat keseragaman kebijakan disemua daerah dalam hal
pemberian status hak terhadap permukiman di atas air (apakah dengan memberikan
atau tidak memberikan sertifikat hak milik, hak pakai, atau hak pengelolaan).
Argumentasi penulis ini didasarkan kepada rekomendasi yang disampaikan oleh Amir
Sofwan24, yang menyebutkan bahwa pemberian hak atas tanah di pesisir pantai dapat
diberikan dengan memperhatikan beberapa hal serta pendapat Arisaputra yang
menyebutkan bahwa:
Mengenai status tanah pantai yang dikuasai masyarakat di Indonesia pada
umumnya adalah tanah dengan status hak milik negara atau di kuasai oleh
negara. Akan tetapi, masyarakat yang berdomisili di wilayah tersebut telah
menempati dengan kurun waktu yang cukup lama, yakni rata-rata kurang lebih
30 (tiga puluh) tahun. Secara garis besar status tanah pantai yang di tempati oleh
masyarakat hanya diberi hak pakai dan hak pengelolaan, dengan syarat harus
mematuhi semua aturan yang berlaku. Dengan kata lain bahwa jika suatu waktu
pemerintah ingin mengambil alih tanah tersebut, maka masyarakat yang
bermukim di wilayah tersebut harus menyerahkannya25.
Sebagai contoh, bagi masyarakat nelayan, pemberian hak pengelolaan atas
seluruh wilayah Kota Batam kepada OB/BP Batam merupakan kebijakan yang tidak
bijaksana. Hal ini karena penetapan hak pengelolaan tersebut tidak memberikan
dampak posisif sama sekali kepada masyarakat bahkan sebaliknya yaitu sangat
merugikan mereka. Misalnya, sampai sekarang, masyarakat tidak bisa mengurus dan
mendapatkan legalitas atas tanah dan rumah (sertipikat) yang sudah dihuni selama
puluhan tahun26.
Menurut Mustafa Bola27:
“Disputes over land ownership rights have grown to be the case that
predominates in the judiciary in Indonesia. Land disputes are unavoidable in
today. This is due to the various needs of land is very high today while the
23 Sari Wiji Astuti, Reorientasi Politik Hukum Pengelolaan Wilayah Kelautan Di Daerah
Menurut Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 Tentang Pemerintahan Daerah: Mendukung Visi
Negara Maritim Di Daerah, “Jurnal Selat”, Vol. 3 No. 1, 2015. hal. 389 24 Amir Sofwan, 2016, “Implementasi Kebijakan Pertanahan Di Wilayah Pesisir (Lokasi Studi
Kota Pangkal Pinang, Kota Tanjungpinang dan Kabupaten Wakatobi”. Tesis Universitas Terbuka, hal.
114-129 25 Muhammad Ilham Arisaputra, 2015.” Penguasaan Tanah Pantai Dan Wilayah Pesisir Di
Indonesia”. Jurnal Perspektif Hukum, Vol. 15 No. 1 Mei, hal. 40. 26 Agus Riyanto dan Padrisan Jamba, Peran Negara Dalam Penyelesaian Konflik Agraria (Studi
Kasus Kampung Tua/Nelayan di atasHak Pengelolaan Badan Pengusahaan Batam), “Jurnal Selat”,
Vol. 5, No. 1, 2017, hal. 113-114. 27 Mustafa Bola, Legal Standing of Customary Land in Indonesia: A Comparative Study of Land
Administration Systems, “Hasanuddin Law Review”, Vol. 3, Issue 2, 2017, hal. 176.
Analisis Yuridis Terhadap Status Hak: Irman, Oksep Adhayanto, Rany Kartika Sari, Suryadi 411
number of area is limited. It requires improvements in structuring land use for
the welfare of community and especially its legal certainty. For that, various
efforts made by the government, which is working to solve land disputes quickly
to avoid the accumulation of land disputes, which can be detrimental to the
community such as land cannot be used because the land in dispute. During the
conflict, land which became the object of conflict are usually in a state of status
quo. As a result, a decline in the quality of land resources which could harm the
interests of many parties and not achieving the principle of land benefit”.
Atas dasar beberapa alasan di atas dan fakta belum adanya keseragaman
kebijakan dari instansi pertanahan mengenai pemberian status hak kepemilikan
terhadap permukiman di atas air, maka dalam rangka memberikan kepastian hukum
terhadap masyarakat yang permukimannya di atas air memperoleh apa yang dikenal
dengan SKT (Surat Keterangan Tanah). Akan tetapi terdapat perbedaan persepsi
dimasyarakat terhadap Surat Keterangan Tanah (SKT) dan Sertifikat Hak Milik.
Sebagian masyarakat memandang bahwa SKT yang dimilikinya sama kekuatan
hukumnya dengan sertifikat.
Based on interviews with the Head of the Cambodian Village, it was found that
some people living in the coastal areas of the Cambodian Village perceived that
the Land Certificate was issued by the Lurah as a proof of legal ownership of
land rights. Further explained by the Cambodian Lurah, that the Land
Certificate issued by the Kelurahan was limited to a statement explaining the
identity of the community using state land, land use, land area and boundaries,
and years of land use28.
Sertifikat tanah itu sendiri menurut Mhd. Yamin Lubis dan Abd. Rahim Lubis
berfungsi sebagai alat bukti hak, yang mana menyatakan tanah itu telah di administrasi
oleh negara lalu diberikan buktinya kepada orang yang mengadministrasi tanah
tersebut 29 . Sedangkan manfaat yang diperoleh dengan diterbitkannya sertifikat
dikemukakan oleh Maria S.W. Sumardjono, yaitu dapat mengurangi kemungkinan
timbulnya sengketa dengan pihak lain, serta memperkuat posisi tawar-menawar
apabila hak-hak atas tanah diperlukan oleh pihak lain untuk kegiatan pembangunan,
serta mempersingkat proses peralihan hak dan pembebanan hak atas tanah. Bagi
seseorang yang memegang hak atas tanah dan memiliki sertifikat mempunyai nilai
lebih. Sebab dibandingkan dengan alat bukti tertulis lain, sertifikat dapat juga
merupakan tanda bukti hak yang kuat, yang artinya harus dianggap benar sampai
dibuktikan sebaliknya di pengadilan30. Untuk itu selain perlunya kebijakan yang tepat
dalam memberikan status kepemilikan atas permukiman di atas air, disisi lain
dibutuhkan pula sosialisasi terhadap masyarakat yang bermukim di atas air dalam
memandang bukti legalitas kepemilikan atas tanah dalam rangka tercapainya jaminan
kepastian dan perlindungan hukum bagi masyarakat tersebut.
IV. KESIMPULAN
28 Agung Ramadhan, Loc., Cit. 29 Mhd. Yamin Lubis dan Abd. Rahim Lubis, Hukum Pendaftaran Tanah, (Bandung: Mandar
Maju, 2008), hal. 204 30 Maria S.W. Sumardjono, 2005, Kebijakan Pertanahan antara Regulasi dan Implementasi,
(Jakarta: Penerbit Buku Kompas, 2005), hal. 202
412 Jurnal Hukum & Pembangunan Tahun ke-51 No.2 April-Juni 2021
Berdasarkan uraian di atas, maka perumusan permasalahan dapat diberikan
solusinya dengan mengambil kesimpulan sebagai berikut:
1. Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Pokok-Pokok Dasar Agraria
merupakan aturan induk untuk seluruh aturan pertanahan di Indonesia. Penjabaran
lebih lanjut mengenai pertanahan diatur didalam peraturan di bawahnya, termasuk
pada Peraturan Menteri Agraria dan Tata Ruang/ Kepala BPN RI Nomor 17
Tahun 2016 tentang Penataan Pertanahan di Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau
Kecil yang memberikan kemungkinan peluang untuk permukiman di atas air
diberikan hak atas tanah sebagaimana yang diatur menurut peraturan perundang-
undangan. Permukiman di atas air sendiri merupakan jenis permukiman yang
memiliki keunikan karena tidak semua daerah di Indonesia memiliki karakteristik
wilayah yang persentase perairan lebih besar daripada wilayah daratan selain itu
permukiman jenis tersebut telah ada secara turun temurun berpuluh atau bahkan
ratusan tahun lalu disuatu wilayah yang berbasis kepulauan. Dalam konteks
masyarakat hukum adat dan hak yang diperoleh secara turun temurun, pengaturan
tersebut dapat memberikan jaminan akan kepastian hukum. Sehingga merupakan
hal yang patut diapresiasi pengaturan terkait dapat diberikannya status hak atas
permukiman di atas air karena berarti negara bertujuan untuk memberikan
jaminan kepastian hukum bagi warga negaranya serta turut mengakui keberadaan
masyarakat hukum adat yang masih hidup dan berkembang di Indonesia sampai
saat ini.
2. Hal yang perlu diperhatikan oleh negara dalam rangka mewujudkan kepastian dan
perlindungan hukum terhadap masyarakat yang pemukimannya di atas air adalah
pemberian legalitas kepemilikan hak yang tepat. Apabila hak atas tanah diberikan
untuk permukiman yang berada di atas air justru dipandang terjadi tumpang tindih
penerapan peraturan sebagaimana yang terjadi di Kelurahan Kamboja Kota
Tanjungpinang. Sebab UUPA, PP No. 40 Tahun 1996 serta peraturan pertanahan
lainnya hanya memberikan hak milik, HGU, HGB dan Hak Pakai atas tanah atau
bangunan yang berdiri di atas tanah. Secara konseptual hukum maka akan terjadi
kerancuan apabila permukiman di atas air diberikan sertifikat hak milik yang jelas
dikeluarkan oleh instansi pertanahan namun objek yang di hak-i oleh Sertifikat
Hak Milik atas tanah justru berada di atas air, pelu ada rumusan kebijakan yang
tepat menyikapi persoalan ini agar kepastian hukum bagi mereka yang tinggal
pada permukiman di atas air dapat terwujud. Lebih lanjut penyuluhan maupun
sosialisasi bidang pertanahan kepada instansi maupun masyarakat menjadi penting
untuk dilakukan pemerintah daerah setempat mengingat aspek pertanahan adalah
hal penting dan sangat krusial yang disatu sisi berpotensi menyangkut pertanahan
kerap menimbulkan problematik hukum tersendiri.
DAFTAR PUSTAKA
Buku dan Jurnal
Agung Ramadhan Saputra, Oksep Adhayanto, Marnia Rani. 2018. Status Of Rights On
Community Land In Settlement Of Coastal Areas Of Cambodian”, Prossiding
International Conference of Law And Free Trade 2018, , 1stAceh Global
Conference (AGC 2018).
Agus Riyanto dan Padrisan Jamba, Peran Negara Dalam Penyelesaian Konflik
Agraria (Studi Kasus Kampung Tua/Nelayan di atasHak Pengelolaan Badan
Pengusahaan Batam), “Jurnal Selat”, Vol. 5, No. 1, 2017.
Analisis Yuridis Terhadap Status Hak: Irman, Oksep Adhayanto, Rany Kartika Sari, Suryadi 413
A.K.Muda, Ahmad, Kamus Besar Bahasa Indonesia (Jakarta: Reality Publisher,
2006).
Amir Sofwan, 2016, “Implementasi Kebijakan Pertanahan Di Wilayah Pesisir (Lokasi
Studi Kota Pangkal Pinang, Kota Tanjungpinang dan Kabupaten Wakatobi”.
Tesis Universitas Terbuka.
A.P. Parlindungan, Komentar atas Undang-Undang Pokok Agraria dilengkapi PP 40
dan 41 Tahun 1996, Bandung: Mandar Maju, 1998.
Basri, Penataan dan Pengelolaan Wilayah Kelautan Perspektif Otonomi Daerah
dan Pembangunan Berkelanjutan, “Jurnal Perspektif”, Vol. XVIII No. 3,
2013.
Bernhard Limbong, Politik Pertanahan, Jakarta: Marghareta Pustaka, 2014.
Jawas Dwijo Putro dan M. Nurhamsyah, Pola Permukiman Tepian Air Studi Kasus :
Desa Sepuk Laut, Punggur Besar dan Tanjung Saleh Kecamatan Sungai Kakap,
Kabupaten Kubu Raya, “Jurnal Langkau Betang”, Vol. 2, No.1, 2015.
Maria Maya Lestari, Potensi dan Tantangan Pengelolaan Sumber Daya Kelautan
Dalam Penciptaan Masyarakat Pesisir Yang Siap Menjawab Perkembangan
Zaman. “Jurnal Selat”, Vol. 1 No. 1, 2013.
Moch. Chairul Huda, 2013, Pengaturan Perizinan Reklamasi Pantai Terhadap
Perlindungan Lingkungan Hidup, “Jurnal Perspektif”, Vol. XVIII. No. 2,
2013.
Muhammad Ilham Arisaputra, “Access Reform Dalam Kerangka Reforma Agraria
Untuk Mewujudkan Keadilan Sosial, “Jurnal Perspektif”, Vol. XXI, No. 2,
2016.
Maria S.W. Sumardjono, 2005, Kebijakan Pertanahan antara Regulasi dan
Implementasi, Jakarta: Penerbit Buku Kompas, 2005.
Muhammad Ilham Arisaputra, 2015.” Penguasaan Tanah Pantai Dan Wilayah Pesisir
Di Indonesia”. Jurnal Perspektif Hukum, Vol. 15 No. 1 Mei.
Mustafa Bola, Legal Standing of Customary Land in Indonesia: A Comparative Study
of Land Administration Systems, “Hasanuddin Law Review”, Vol. 3, Issue 2,
2017.
Mhd. Yamin Lubis dan Abd. Rahim Lubis, Hukum Pendaftaran Tanah, Bandung:
Mandar Maju, 2008.
Ulfa Amalyah Usman, “Status Hukum Penguasaan Perairan Pesisir Untuk
Permukiman Penduduk Di Kelurahan Tallo Kota Makassar”. Skripsi,
Universitas Hassanudin, 2017,
Rokhmin Dahuri, et.al., 2001, Pengelolaan Sumberdaya Wilayah Pesisir dan Lautan
Secara Terpadu, Jakarta: Pradnya Paramita, 2001.
Supriadi, Hukum Agraria, Jakarta: Sinar Grafika, 2009.
Sari Wiji Astuti, Reorientasi Politik Hukum Pengelolaan Wilayah Kelautan Di
Daerah Menurut Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 Tentang
Pemerintahan Daerah: Mendukung Visi Negara Maritim Di Daerah, “Jurnal
Selat”, Vol. 3 No. 1, 2015.
Peraturan Perundang-undangan
Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 Tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok
Agraria, Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1960 Nomor 104,
Tambahan Lembaran Negara Nomor 2043.
Indonesia, Peraturan Menteri Agraria dan Tata Ruang/ Kepala BPN RI Nomor 17
Tahun 2016 tentang Penataan Pertanahan di Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau
Kecil, Berita Negara Republik Indonesia Tahun 2016 Nomor 573.
414 Jurnal Hukum & Pembangunan Tahun ke-51 No.2 April-Juni 2021
Internet dan Wawancara
Kepulauan Riau, https://id.m.wikipidea.org/wiki/Kepulauan_Riau, diakses pada Senin
17 Desember 2019.
Hasil dialog melalui Kegiatan Diskusi Publik dengan Tema “Penataan Pemukimaan di
Wilayah Pesisir” yang diselenggarakan oleh DPRD dan Dinas Perumahan
Rakyat, Kawasan Permukiman, Kebersihan dan Pertamanan (PERKIM) Kota
Tanjungpinang bekerja sama dengan Prodi Ilmu Hukum Universitas Maritim
Raja Ali Haji (UMRAH) pada Rabu, 28 November 2018