ANALISIS YURIDIS TERHADAP STATUS HAK KEPEMILIKAN ...

16
Jurnal Hukum & Pembangunan 51 No. 2 (2021): 399-414 ISSN: 0125-9687 (Cetak) E-ISSN: 2503-1465 (Online) Tersedia versi daring: http://jhp.ui.ac.id DOI: http://dx.doi.org/10.21143/jhp.vol51.no2.3057 ANALISIS YURIDIS TERHADAP STATUS HAK KEPEMILIKAN PERMUKIMAN PENDUDUK DI ATAS AIR Irman*, Oksep Adhayanto**, Rany Kartika Sari***, Suryadi**** *,**,***,**** Dosen Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, Universitas Maritim Raja Ali Haji Korespondensi: [email protected]; [email protected]; [email protected]; [email protected] Naskah dikirim: 24 Juni 2020 Naskah diterima untuk diterbitkan: 24 September 2020 Abstract This research was conducted to examine whether Settlement on the water can be given ownership status as the right to land in the UUPA. The purpose of this study is to find out and analyze settlements on water, can the status of land rights be given as stipulated in the legislation, and with the hope that people who have houses and settlements on the water can obtain proof of ownership of land and buildings on the water. The research method used is normative research, with a statutory approach and a historical approach. The results showed that although the Regulation of the Minister of Agrarian and Spatial Planning / Head of the National Land Agency of the Republic of Indonesia Number 17 of 2016 concerning Land Arrangement in Coastal Areas and Small Islands provides an opportunity to be given the right to land against settlements on the water in legal concept This is contrary to the UUPA which only regulates the types of land rights that are only granted to land and buildings that stand on land. Keywords: Settlements on water, Land Rights, UUPA. Abstrak Penelitian ini dilakukan untuk mengkaji apakah Permukiman di atas air dapat diberikan status hak kepemilikan sebagaimana hak atas tanah dalam UUPA. Tujuan penelitian ini untuk mengetahui dan menganalisa permukiman di atas air dapatkah diberikan status hak atas tanah sebagaimana diatur dalam peraturan perundang- undangan, dan dengan harapan masyarakat yang memiliki rumah dan permukiman di atas air dapat memperoleh bukti kepemilikan hak milik atas tanah dan bangunan di atas air. Metode Penelitian yang digunakan adalah penelitian normatif, dengan pendekatan perundang-undangan (Statute Approach) dan pendekatan sejarah (Historical Approach). Hasil penelitian menunjukkan bahwa meskipun Peraturan Menteri Agraria Dan Tata Ruang/Kepala Badan Pertanahan Nasional Republik Indonesia Nomor 17 Tahun 2016 tentang Penataan Pertanahan di Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil memberi peluang untuk dapat diberikan hak atas tanah terhadap permukiman di atas air namun secara konsep hukum hal tersebut bertentangan dengan UUPA yang hanya mengatur jenis hak-hak atas tanah yang hanya diberikan atas tanah maupun bangunan yang berdiri di atas tanah. Kata kunci: Permukiman di atas air, Hak Atas Tanah, UUPA.

Transcript of ANALISIS YURIDIS TERHADAP STATUS HAK KEPEMILIKAN ...

Jurnal Hukum & Pembangunan 51 No. 2 (2021): 399-414

ISSN: 0125-9687 (Cetak) E-ISSN: 2503-1465 (Online)

Tersedia versi daring: http://jhp.ui.ac.id

DOI: http://dx.doi.org/10.21143/jhp.vol51.no2.3057

ANALISIS YURIDIS TERHADAP STATUS HAK KEPEMILIKAN

PERMUKIMAN PENDUDUK DI ATAS AIR

Irman*, Oksep Adhayanto**, Rany Kartika Sari***, Suryadi****

*,**,***,**** Dosen Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, Universitas Maritim Raja Ali Haji

Korespondensi: [email protected]; [email protected]; [email protected];

[email protected]

Naskah dikirim: 24 Juni 2020

Naskah diterima untuk diterbitkan: 24 September 2020

Abstract

This research was conducted to examine whether Settlement on the water can be given

ownership status as the right to land in the UUPA. The purpose of this study is to find

out and analyze settlements on water, can the status of land rights be given as

stipulated in the legislation, and with the hope that people who have houses and

settlements on the water can obtain proof of ownership of land and buildings on the

water. The research method used is normative research, with a statutory approach

and a historical approach. The results showed that although the Regulation of the

Minister of Agrarian and Spatial Planning / Head of the National Land Agency of the

Republic of Indonesia Number 17 of 2016 concerning Land Arrangement in Coastal

Areas and Small Islands provides an opportunity to be given the right to land against

settlements on the water in legal concept This is contrary to the UUPA which only

regulates the types of land rights that are only granted to land and buildings that

stand on land. Keywords: Settlements on water, Land Rights, UUPA.

Abstrak

Penelitian ini dilakukan untuk mengkaji apakah Permukiman di atas air dapat

diberikan status hak kepemilikan sebagaimana hak atas tanah dalam UUPA. Tujuan

penelitian ini untuk mengetahui dan menganalisa permukiman di atas air dapatkah

diberikan status hak atas tanah sebagaimana diatur dalam peraturan perundang-

undangan, dan dengan harapan masyarakat yang memiliki rumah dan permukiman di

atas air dapat memperoleh bukti kepemilikan hak milik atas tanah dan bangunan di

atas air. Metode Penelitian yang digunakan adalah penelitian normatif, dengan

pendekatan perundang-undangan (Statute Approach) dan pendekatan sejarah

(Historical Approach). Hasil penelitian menunjukkan bahwa meskipun Peraturan

Menteri Agraria Dan Tata Ruang/Kepala Badan Pertanahan Nasional Republik

Indonesia Nomor 17 Tahun 2016 tentang Penataan Pertanahan di Wilayah Pesisir dan

Pulau-Pulau Kecil memberi peluang untuk dapat diberikan hak atas tanah terhadap

permukiman di atas air namun secara konsep hukum hal tersebut bertentangan dengan

UUPA yang hanya mengatur jenis hak-hak atas tanah yang hanya diberikan atas tanah

maupun bangunan yang berdiri di atas tanah. Kata kunci: Permukiman di atas air, Hak Atas Tanah, UUPA.

400 Jurnal Hukum & Pembangunan Tahun ke-51 No.2 April-Juni 2021

I. PENDAHULUAN

Indonesia terdiri dari 17.840 pulau dengan garis pantai sepanjang 95.181 km2

selain itu memiliki luas laut sebesar 5,8 Juta km2 yang terbagi atas laut territorial

seluas 0,8 juta km2, laut nusantara 2,3 juta km2 dan ZEE 2,7juta km2 menjadikan

Indonesia sebagai salah satu Negara kepulauan terbesar. Atas fakta tersebut, maka

setidaknya dapat diketahui bahwa Negara Indonesia tidak hanya sekedar terdiri atas

tanah daratan saja melainkan laut dengan batas-batasnya serta ruang angkasa di

atasnya yang menjadi fokus dalam aspek hukum agraria.

Mengingat aspek hukum pertanahan merupakan bagian dari ruang lingkup ilmu

hukum yang lebih besar yakni Hukum Agraria. Dikatakan sebagai bagian dari Agraria

dengan dasar bahwa memahami masalah agraria bukan hanya menyangkut tanah saja

yang menjadi objek pengaturannya, melainkan BARAKATD (Bumi, Air, Ruang

Angkasa yang Terkandung di dalamnya) sebagaimana ketentuan Pasal 1 ayat (4), (5)

dan (6) Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Pokok-Pokok Agraria yang

menyebutkan Bumi sebagai bagian dari agraria selain memiliki permukaan yang

disebut Tanah juga memiliki alas bawah yakni perairan dan alas atas yakni ruang

angkasa. A.P. Parlindungan1, menyatakan bahwa pengertian agraria mempunyai ruang

lingkup, yaitu dalam arti sempit bisa berwujud hak atas tanah, atau pun pertanian saja,

sedangkan Pasal 1 dan 2 UUPA dalam pengertian yang meluas yaitu bumi, air, ruang

angkasa dan kekayaan alam yang terkandung didalamnya.

Sebagai negara kepulauan terbesar, Indonesia tidak hanya dikenal sebagai

negara agraris melainkan juga negara maritim. Salah satu daerah yang bercirikan

kepulauan adalah Provinsi Kepulauan Riau. Secara keseluruhan wilayah di Provinsi

Kepulauan Riau seluas 8.201,72 km² dengan persentase hampir 90% lautan dan 10%

permukaan daratan. Pembagian wilayahnya terdiri dari : 5 (lima) Kabupaten dan 2

(dua) Kota, 52 kecamatan serta 299 kelurahan/desa dengan jumlah 2.408 pulau besar

(30% diantaranya pulau belum bernama).2

Menurut Jawas Dwijo Putro dan M. Nurhamsyah, manusia dalam menempati

lingkungan huniannya disesuaikan dengan preferensi lingkungan yang menyangkut

pemahaman karakteristik alam dan manusia serta hubungan timbal baliknya.

Penyesuaian ini memunculkan konsep bermukim yang memperlihatkan cara

masyarakat beradaptasi dengan lingkungan dan membentuk pola permukiman 3 .

Apabila dilihat dari segi kependudukan pada sebagian wilayah di Kepulauan Riau

masih terdapat penduduk yang pemukimannya berada di atas air. Hal lazim terlihat

dikarenakan salah satu faktor mata pencaharian penduduknya yakni sebagai nelayan

dan aktivitas banyak dilakukan di atas air (laut). Keberadaan permukiman di atas air

sudah sejak lama secara turun temurun dan tetap eksis keberadaanya hingga saat ini

oleh karena itu negara turut berperan penting untuk memelihara, melindungi, serta

memberikan jaminan kepastian hukum terhadap masyarakat yang tinggal di

permukiman di atas air. Secara defisini pemukiman di atas air adalah rumah yang

berdiri di atas perairan pesisir, secara umum masyarakat di Provinsi Kepulauan Riau

1 A.P. Parlindungan, Komentar atas Undang-Undang Pokok Agraria dilengkapi PP 40 dan 41

Tahun 1996, (Bandung: Mandar Maju, 1998) hal. 5. Lihat juga. Basri, Penataan dan Pengelolaan

Wilayah Kelautan Perspektif Otonomi Daerah dan Pembangunan Berkelanjutan, “Jurnal Perspektif”,

Vol. XVIII No. 3, 2013. hal. 181-182. 2 Kepulauan Riau, https://id.m.wikipidea.org/wiki/Kepulauan_Riau, diakses pada Senin 17

Desember 2019 3 Jawas Dwijo Putro dan M. Nurhamsyah, Pola Permukiman Tepian Air Studi Kasus : Desa

Sepuk Laut, Punggur Besar dan Tanjung Saleh Kecamatan Sungai Kakap, Kabupaten Kubu Raya,

“Jurnal Langkau Betang”, Vol. 2, No.1, 2015, hal. 65.

Analisis Yuridis Terhadap Status Hak: Irman, Oksep Adhayanto, Rany Kartika Sari, Suryadi 401

menyebut rumah di atas air adalah “rumah pelantar”. Berikut ini gambar pemukiman

di atas air yang berada di perairan pesisir Kota Tanjungpinang.

Gambar 1. Pemukiman di Atas Air Kota Tanjungpinang

Banyaknya permukiman di atas air juga disebabkan realita bahwa wilayah yang

ada di pinggir pantai terus mencari alternatif baru sebagai tempat menampung

kegiatan perkotaan. Upaya manusia mempertimbangkan akan terbatasnya daratan

sebagai tempat aktifitas utama manusia, baik sebagai sarana pemukiman, industri,

perdagangan dan lain sebagainya menjadi dorongan berkembangnya permukiman

dipesisir4. Kenyataan banyak terdapat permukiman di atas air pada sebagian wilayah

Kepulauan Riau juga tidak terlepas dari konsepsi hukum yang menghargai dan

menjunjung tinggi apa yang disebut dengan konsepsi masyarakat hukum adat

sebagaimana ketentuan Pasal 1 ayat (33) Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2014

tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2007 tentang Pengelolaan

Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil yang berbunyi : “Masyarakat hukum adat

adalah sekelompok orang yang secara turun-temurun bermukim di wilayah geografis

tertentu di Negara Kesatuan Republik Indonesia karena adanya ikatan pada asal-usul

leluhur, hubungan yang kuat dengan tanah, wilayah, sumber daya alam, memiliki

pranata pemerintahan adat, dan tatanan hukum adat di wilayah adatnya sesuai dengan

ketentuan peraturan perundang-undangan.”

Upaya Pemerintah dalam rangka memberikan kepastian hukum bagi warga

negaranya dalam konteks ini lebih ditujukan pada masyarakat perairan wilayah pantai,

pesisir dan pulau-pulau terimplementasi melalui berbagai produk peraturan

perundang-undangan yang dikeluarkan5. Esensi dari keberadaan peraturan yang dibuat

tersebut lebih berorientasi pada bagaimana pengelolaan wilayah pesisir dan pulau-

pulau kecil dilakukan agar dapat dimanfaatkan secara optimal sumber daya alam dan

keanekaragaman hayati laut. Sedangkan apabila dilihat dari aspek hukum pertanahan-

agraria dapat dikatakan Undang-Undang tersebut belum memberikan pengaturan yang

4 Moch. Chairul Huda, 2013, Pengaturan Perizinan Reklamasi Pantai Terhadap Perlindungan

Lingkungan Hidup, “Jurnal Perspektif”, Vol. XVIII. No. 2, 2013, hal. 126. 5 Peraturan perundang-undangan yang dimaksud antara lain yaitu; Undang-Undang Nomor 27

Tahun 2007 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil, Undang-Undang Nomor 1

Tahun 2014 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2007 tentang Pengelolaan

Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil; Peraturan Pemerintah Nomor 40 Tahun 1996 tentang HGU,

HGB dan Hak Pakai Atas Tanah, Peraturan Pemerintah Nomor 62 Tahun 2010 tentang Pemanfaatan

Pulau-Pulau Kecil Terluar; dan Peraturan Menteri Agraria dan Tata Ruang/Kepala BPN RI Nomor 17

Tahun 2016 tentang Penataan Pertanahan di Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil.

402 Jurnal Hukum & Pembangunan Tahun ke-51 No.2 April-Juni 2021

lebih jelas terutama menyangkut pemberian jenis alas hak untuk permukiman di atas

air bagi wilayah yang berbasis perairan-kelautan.

Hipotesa penulis, permasalahan dari aspek hukum berkaitan dengan isu dibidang

pertanahan yang terjadi pada daerah bercirikan perairan kepulauan adalah mengenai

pemberian status hak atas permukiman penduduk yang berada di atas permukaan air

karena faktanya memang di daerah Kepulauan Riau masih banyak ditemukan

permukiman penduduk yang berada di atas air dan sebagai sampel berdasarkan data

dari Dinas Perumahan Rakyat, Kawasan Permukiman, Kebersihan dan Pertamanan

(PERKIM) Kota Tanjungpinang bahwa untuk permukiman di atas air sekitar 200

rumah di atas air tersebut sudah memperoleh sertifikat Hak Milik dan sisanya masih

banyak rumah belum memperoleh sertifikat dengan salah satu alasan masih terkendala

proses perizinan.6 Bahkan dibeberapa daerah menerapkan kebijakan berbeda dalam

pemberian alas hak terhadap permukiman di atas air7 seperti di Kelurahan Kamboja

Kota Tanjungpinang dimana terdapat masyarakat yang memperoleh sertifikat

meskipun bermukim di atas air8.

Further explained by the Head of the Cambodian Village Head that some of the

people living in coastal areas have a certificate as proof of ownership of land

rights and some of them do not have proof of ownership of land rights but only

occupy the land by paying Land and Building Tax to the government. This was

justified by one of the residents who lived in the coastal area of the Cambodian

Village, Mrs. Juhainah stated that they (Juhainah, ed: author) were only

charged to pay the United Nations, even that was only partially. In an effort to

obtain legal certainty regarding the rights to their land, Juhainah has submitted

an application to issue a certificate of ownership to the village head.9

Perolehan sertifikat hak milik terhadap bangunan/rumah/permukiman di atas air

sebagaimana data di atas pada satu sisi adalah hal yang wajar sebab dari segi peraturan

sendiri memang Peraturan Menteri Agraria Dan Tata Ruang/Kepala Badan Pertanahan

Nasional Republik Indonesia Nomor 17 Tahun 2016 tentang Penataan Pertanahan di

Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil memberikan pengaturan bahwa : “permukiman

di atas air bagi masyarakat hukum adat pada perairan pesisir dapat dilakukan

pemberian Hak Atas Tanah sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan”.

Akan tetapi problematik yang muncul apabila dipandang dari segi hukum keberadaan

Pasal yang demikian dapat diduga menyalahi ketentuan dari Undang-Undang Nomor 5

Tahun 1960 tentang Pokok-Pokok Dasar Agraria yang selanjutnya disingkat dengan

UUPA. Berdasarkan pada uraian tersebut maka yang menjadi permasalahan dalam

penelitian ini apakah terhadap permukiman di atas air dapat diberikan status hak atas

tanah sebagaimana yang diamanatkan oleh Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960

6 Hasil dialog melalui Kegiatan Diskusi Publik dengan Tema “Penataan Pemukimaan di

Wilayah Pesisir” yang diselenggarakan oleh DPRD dan Dinas Perumahan Rakyat, Kawasan

Permukiman, Kebersihan dan Pertamanan (PERKIM) Kota Tanjungpinang bekerja sama dengan Prodi

Ilmu Hukum Universitas Maritim Raja Ali Haji (UMRAH) pada Rabu, 28 November 2018.

7 Kebijakan berbeda yang dimaksud adalah, ada daerah yang justru tidak mengeluarkan

sertifikat sebagai bukti hak kepemilikan seseorang atas bangunan yang didirikan di atas air dan dilain

kasus ada yang justru hanya memberikan hak pakai maupun hak pengelolaan terhadap permukimandi

atas air . lihat pada Ulfa Amalyah Usman, “Status Hukum Penguasaan Perairan Pesisir Untuk

Permukiman Penduduk Di Kelurahan Tallo Kota Makassar”. Skripsi, Universitas Hassanudin, 2017,

hal. 56 8 Agung Ramadhan Saputra, Oksep Adhayanto, Marnia Rani. 2018. Status Of Rights On

Community Land In Settlement Of Coastal Areas Of Cambodian”, Prossiding International Conference

of Law And Free Trade 2018, , 1stAceh Global Conference (AGC 2018), hal. 87 9 Ibid.

Analisis Yuridis Terhadap Status Hak: Irman, Oksep Adhayanto, Rany Kartika Sari, Suryadi 403

tentang Pokok-Pokok Dasar Agraria dan Peraturan Menteri Agraria Dan Tata

Ruang/Kepala Badan Pertanahan Nasional Republik Indonesia Nomor 17 Tahun 2016

tentang Penataan Pertanahan di Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil?. Adapun

tujuan dari penelitian ini untuk mengetahui dan menganalisa permukiman di atas air

dapatkah diberikan status hak atas tanah sebagaimana yang diamanatkan oleh Undang-

Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Pokok-Pokok Dasar Agraria dan Peraturan

Menteri Agraria Nomor 17 Tahun 2016 tentang Penataan Pertanahan di Wilayah

Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil dengan harapan masyarakat yang memiliki rumah dan

permukiman di atas air dapat memperoleh bukti kepemilikan hak milik atas tanah dan

bangunan di atas air.

II. METODE PENELITIAN

Meotde penelitian ini adalah penelitian normatif yang mengacu kepada noma-

norma hukum di dalam peraturan perundang-undangan yang berlaku. Fokus penelitian

ini adalah aturan hukum tentang pertanahan yakni Undang-Undang Nomor 5 Tahun

1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria serta aturan hukum mengenai

pengelolaan dan penataan pertanahan diwilayah pesisir dan pulau-pulau kecil yakni

Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2014 tentang Perubahan Atas Undang-Undang

Nomor 27 Tahun 2007 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil

dan Peraturan Menteri Agraria Dan Tata Ruang/Kepala Badan Pertanahan Nasional

Republik Indonesia Nomor 17 Tahun 2016 tentang Penataan Pertanahan di Wilayah

Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil. Pengumpulan bahan hukum dalam penelitian ini

melalui Studi Pustaka dan Studi Dokumen yang terdiri atas bahan hukum primer,

bahan hukum sekunder serta bahan hukum tersier. dengan dasar jenis penelitian di

atas, maka pendekatan penelitian yang digunakan melalui pendekatan perundang-

undangan (Statute Approach) dan pendekatan sejarah (Historical Approach). Analisis

yang digunakan adalah analisis kualitatif atau analisis yuridis-normatif yaitu

memberikan pemaparan, uraian, serta gambaran hasil penelitian yang dilakukan

dengan mengacu pada ketentuan perundang-undangan yang berlaku.

III. HASIL PENELITIAN

3.1. Tanah dan jenis Hak Atas Tanah Menurut Undang-Undang Nomor 5

Tahun 1960

Tanah menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia adalah permukaan bumi,

keadaan bumi disuatu tempat, bahan-bahan dari bumi, dasar, sawah dan lahan. 10

Definisi lain tanah adalah ruang daratan yang memiliki wujud nyata, digunakan,

dikuasai dan menjadi tempat kehidupan dan penghidupan.11 Selain itu menurut Pasal 4

ayat (1) dinyatakan bahwa :

“atas dasar hak menguasai dari negara sebagaimana yang dimaksud dalam

Pasal 2, ditentukan adanya macam-macam hak atas permukaan bumi, yang

disebut tanah, yang dapat diberikan kepada dan dipunyai oleh orang-orang, baik

sendiri maupun bersama-sama dengan orang lain serta badan-badan hukum”.

10 A.K.Muda, Ahmad, Kamus Besar Bahasa Indonesia (Jakarta: Reality Publisher, 2006), hal.

515 11 Bernhard Limbong, Politik Pertanahan, (Jakarta: Marghareta Pustaka, 2014), hal. 310

404 Jurnal Hukum & Pembangunan Tahun ke-51 No.2 April-Juni 2021

Dari pasal di atas dapat diketahui bahwa tanah adalah permukaan bumi yang di

dalamnya dapat dikuasai atau di haki oleh orang perseorangan maupun badan hukum.

Sejalan dengan Boedi Harsono yang berpendapat bahwa pada tanah terdapat asas

perlekatan yaitu bangunan dan benda / tanaman yang terdapat di atasnya merupakan

satu kesatuan dengan tanah, serta merupakan bagian dari tanah. 12 Adanya asas

perlekatan antara tanah dan segala sesuatu yang berada di atasnya maka memberikan

hak penguasaan kepada subjek hukum untuk menguasai (memiliki) tanah tersebut.

Penguasaan hak atas tanah baik oleh individu, badan hukum maupun negara

diatur dalam Pasal 1 ayat (3) jo Pasal 9 Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang

Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria yang berbunyi : “Hubungan antara bangsa

Indonesia dengan Bumi, Air dan Ruang Angkasa yang terkandung didalamnya adalah

hubungan yang bersifat abadi”. Maksud dari pasal tersebut bahwa hanya Warga

Negara Indoesia saja yang sepenuhnya memiliki hubungan (memiliki dan menguasai)

hak atas tanah di bumi pertiwi serta Negara sebagai wadah organisasi kekuasaan

rakyat turut memiliki hak menguasai negara atas tanah-tanah di Indonesia sebagai

perwujudan dari ketentuan Pasal 33 ayat (3) Undang-Undang Dasar Negara Republik

Indonesia Tahun 1945. Tentu saja adanya hak menguasai negara ini dalam rangka

mengatur hubungan hukum orang dengan “Bumi, Air, Ruang Angkasa yang

Terkandung di dalamnya”, menyelenggarakan peruntukan, penggunaan dan

pemeliharaan Bumi, Air, Ruang Angkasa yang Terkandung di dalamnya itu sendiri.

Pasal 16 ayat (1) Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar

Pokok-Pokok Agraria mengatur jenis-jenis hak atas tanah yang berlaku di Indonesia,

diantaranya: (a) Hak milik, (b) Hak Guna Usaha (HGU), (c) Hak Guna Bangunan

(HGB), (d) Hak Pakai, (e) Hak Membuka Tanah, (f) Hak Memungut Hasil Hutan, dan

(g) Hak-hak lain yang tidak termasuk dalam hak-hak tersebut di atas yang akan

ditetapkan dengan undang-undang serta hak-hak yang sifatnya sementara yang

tersebut dalam Pasal 53 UUPA13 .

Selanjutnya pada Pasal 16 ayat (2) selain hak atas tanah, Undang-Undang

Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria juga memberikan

pengaturan mengenai hak-hak atas air dan ruang angkasa sebagai penjabaran lebih

lanjut atas ketentuan Pasal 4 ayat (3) Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang

Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria, yakni sebagai berikut: (a) hak guna air14; (b)

hak pemeliharaan dan penangkapan ikan; dan (c) hak guna ruang angkasa15.

12 Supriadi, Hukum Agraria, (Jakarta: Sinar Grafika, 2009), hal. 3 13 Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 Tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria,

Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1960 Nomor 104, Tambahan Lembaran Negara Nomor

2043, Pasal 53 Ayat (1) “menyatakan bahwa hak yang sifatnya sementara sebagaimana yang dimaksud

dalam Pasal 16 ayat (1) huruf h, ialah hak gadai, hak usaha bagi hasil, hak menumpang dan hak sewa

tanah pertanian yang diatur untuk membatasi sifat-sifatnya yang bertentangan dengan undang-undang

ini dan hak tersebut diusahakan hapusnya didalam waktu yang singkat” 14 Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 Tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria,

Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1960 Nomor 104, Tambahan Lembaran Negara Nomor

2043, Pasal 47 menyebutkan hak guna air adalah hak untuk memperoleh air untuk keperluan tertentu

dan/atau mengalirkan air itu di atas tanah orang lain yang kemudian diatur lebih lanjut dengan peraturan

pemerintah 15 Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 Tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria,

Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1960 Nomor 104, Tambahan Lembaran Negara Nomor

2043, Pasal 48 menyebutkan hak guna ruang angkasa adalah hak untuk mempergunakan tenaga dan

unsur-unsur dalam ruang angkasa guna usaha-usaha memelihara dan memperkembangkan kesuburan

bumi, air serta kekayaan alam yang terkandung didalamnya dan hal-hal lai yang bersangkutan dengan

itu.

Analisis Yuridis Terhadap Status Hak: Irman, Oksep Adhayanto, Rany Kartika Sari, Suryadi 405

Di dalam praktek dikenal pula adanya hak pengelolaan yang bersumber pada

UUPA dimana perumusan mengenai hak pengelolaan dituangkan dalam Pasal 3

Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 5 Tahun 1974 tentang Ketentuan-Ketentuan

Mengenai Penyediaan dan Pemberian Tanah Untuk Keperluan Perusahaan, dengan

mengubah seperlunya ketentuan dalam Peraturan Menteri Agraria Nomor 9 Tahun

1965 tentang Pelaksanaan Konversi Hak Penguasaan atas Tanah Negara dan ketentuan

tentang kebijaksanaan. Selanjutnya, hak pengelolaan di dalam Pasal 2 ayat 1 huruf (a)

berisikan wewenang untuk:

1. Merencanakan peruntukkan dan penggunaan tanah yang bersangkutan;

2. Menggunakan tanah tersebut untuk keperluan pelaksanaannya usahanya;

3. Menyerahkan bagian-bagian daripada tanah itu kepada pihak ketiga menurut

persyaratan yang ditentukan oleh perusahaan pemegang hak tersebut, yang

meliputi segi-segi peruntukkan, penggunaan, jangka waktu dan keuangannya,

dengan ketentuan bahwa pemberian hak atas tanah kepada pihak ketiga yang

bersangkutan dilakukan oleh pejabat-pejabat yang berwenang.

Tabel 1: Jenis Hak Atas Tanah Menurut UUPA

No

Jenis

Hak Atas

Tanah

Definisi Subjek Hak Atas

Tanah Jangka Waktu

1 Hak

Milik

Pasal 20 UUPA: hak

turun temurun, terkuat

dan terpenuh yang

dapat dipunyai orang

atas tanah. Hak milik

dapat beralih dan

dialihkan kepada pihak

lain.

Pasal 21 UUPA :

WNI, Badan Hukum

dan WNA karena

pewarisan tanpa

wasiat, percampuran

perkawinan.

Tidak ada jangka

waktu. Bahkan

dapat beralih,

terhapus apabila

jatuh kepada

negara, tanah

musnah.

2 HGU Pasal 28 UUPA: Hak

yang diberikan atas

tanah yang luasnya

minimal 5Ha dengan

ketentuan bahwa jika

luasnya 25Ha / lebih

harus memakai

investasi modal yang

layak dan teknik

perusahaan yang baik

sesuai perkembangan

zaman.

Pasal 30 ayat (1)

UUPA :

WNI dan Badan

Hukum yang

didirikan menurut

hukum Indonesia dan

berkedudukan di

Indonesia.

Pasal 29 ayat

(1),(2) dan (3) :

Diberikan waktu

paling lama 25

tahun. Untuk

perusahaan 35

tahun. Dan masa

perpanjangan

paling lama 25

tahun

3 HGB Pasal 35 UUPA : hak

guna bangunan adalah

hak untuk mendirikan

dan mempunyai

bangunan – bangunan

atas tanah yang bukan

miliknya sendiri

Pasal 36 ayat (1)

UUPA :

WNI dan Badan

Hukum yang

didirikan menurut

hukum Indonesia dan

berkedudukan di

Indonesia

Pasal 35 ayat (1)

dan (2): jangka

waktu paling

lama 30 tahun +

perpanjangan 20

tahun.

406 Jurnal Hukum & Pembangunan Tahun ke-51 No.2 April-Juni 2021

4 Hak

Pakai

Pasal 41 UUPA: hak

untuk menggunakan

dan/atau memungut

hasil dari tanah yang

dikuasai secara

langsung oleh negara

atau tanah milik orang

lain, yang memberi

wewenang dan

kewajiban yang

ditentukan dalam

keputusan

pemberiannya oleh

pejabat yang

berwenang

memberikannya atau

dalam perjanjian

dengan pemilik

tanahnya, yang bukan

perjanjian sewa-

menyewa atau

perjanjian pengolahan

tanah, segala sesuatu

asal tidak bertentangan

dengan jiwa dan

ketentuan uu ini.

Pasal 42 UUPA :

WNI, Orang asing

yang berkedudukan

di Indonesia, badan

hukum yang

didirikan menurut

hukum Indonesia dan

berkedudukan di

Indonesia serta badan

hukum asing yang

memiliki perwakilan

di Indonesia.

Pasal 41 ayat (2)

Jangka waktu

tertentu atau

selama tanahnya

dipergunakan

untuk keperluan

tertentu, atau

dengan Cuma-

Cuma, dengan

pembayaran atau

pemberian jasa

berupa apapun.

3.2. Penataan Pertanahan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil.

Ada beberapa pengertian mengenai wilayah pesisir. Secara umum terdapat

kesepakatan bahwa wilayah pesisir adalah suatu wilayah peralihan antara daratan dan

laut16. Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok

Agraria yang merupakan aturan induk pertanahan secara umum tidak mengatur

mengenai jenis hak atas tanah diwilayah pesisir maupun pulau-pulau kecil. Bahkan

ketentuan pada bagian penjelasan Pasal 16 ayat (1) huruf h memberikan penjelasan

bahwa jenis hak lainnya yang tidak termasuk dalam hak yang sebagaimana diatur pada

pasal 16 ayat (1) huruf a sampai huruf g adalah: “hak gadai, hak usaha bagi hasil, hak

menumpang dan hak sewa tanah pertanian yang diatur untuk membatasi sifat-sifatnya

yang bertentangan dengan undang-undang ini dan hak tersebut diusahakan hapusnya

didalam waktu yang singkat”.

Atas dasar Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tidak mengatur, maka pada

tahun 2007 lalu, Pemerintah mengeluarkan Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2007

tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil yang kemudian diubah

menjadi Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2014 tentang Perubahan Atas Undang-

Undang Nomor 27 Tahun 2007 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau

Kecil. Turunan UU tersebut lahirlah Peraturan Menteri Agraria Dan Tata

Ruang/Kepala Badan Pertanahan Nasional Republik Indonesia Nomor 17 Tahun 2016

tentang Penataan Pertanahan di Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil. Perbedaan dari

16 Rokhmin Dahuri, et.al., 2001, Pengelolaan Sumberdaya Wilayah Pesisir dan Lautan Secara

Terpadu, (Jakarta: Pradnya Paramita, 2001), hal. 6

Analisis Yuridis Terhadap Status Hak: Irman, Oksep Adhayanto, Rany Kartika Sari, Suryadi 407

kedua aturan ini yaitu Peraturan Kepala BPN Tersebut di atas lebih memberikan

pengaturan dari aspek hukum pertanahan sedangkan Undang-Undang Nomor 1 Tahun

2014 yang lebih banyak mengatur teknis pengelolaan dan pemanfaatan SDA hayati

laut diwilayah pesisir. Untuk itu, Kehadiran undang-undang sektoral diharapkan

mampu mendukung agenda-agenda reforma agraria, khususnya access reform17.

Pasal 2 dan Pasal 3 Peraturan Menteri Agraria Dan Tata Ruang/Kepala Badan

Pertanahan Nasional Republik Indonesia Nomor 17 Tahun 2016 tentang Penataan

Pertanahan di Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil mengatur bahwa penataan

pertanahan di wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil adalah dalam rangka memberikan

arahan dan batasan yang bertujuan untuk memberikan kepastian mengenai

penguasaan, pemilikan, penggunaan dan pemanfaatan tanah di wilayah pesisir dan

pulau-pulau kecil dalam rangka pemberian hak. Ruang lingkup penataan

pertanahannya dibedakan menjadi 2 (dua), yaitu :

a. Penataan pertanahan di Wilayah Pesisir18;

Penataan pertanahan di Wilayah Pesisir dilakukan dengan pemberian Hak Atas

Tanah pada Pantai dan Perairan pesisir yang diukur dari garis pantai kearah laut

sejauh batas laut wilayah provinsi. Pemberian hak atas tanah pada pantai Hanya

dapat diberikan untuk bangunan yang harus ada di wilayah pesisir pantai, yakni:

(1) Bangunan untuk pertahanan dan keamanan; (2) Pelabuhan atau dermaga; (3)

Tower penjaga keselamatan pengunjung pantai; (4) Tempat tinggal masyarakat

hukum adat atau anggota masyarakat yg secara turun temurun sudah bertempat

tinggal ditempat tersebut dan/atau (5) Pembangkit tenaga listrik. Sedangkan

pemberian hak atas tanah pada perairan pesisir hanya dapat diberikan untuk

bangunan yang harus ada di wilayah perairan pesisir, yakni: (1) Program

strategis negara; (2) Kepentingan umum; (3) Permukiman di atas air bagi

masyarakat hukum adat; dan/atau (4) Pariwisata.

Adanya pengecualian terhadap wilayah pesisir yang tidak dapat diberikan hak

atas tanah apabila memenuhi ketentuan bangunan terletak diluar batas wilayah

laut provinsi, instalasi eksplorasi dan eksploitasi minyak bumi, gas,

pertambangan, panas bumi, instalasi kabel bawah laut, jaringan pipa dan

jaringan transmisi lainnya dan/atau bangunan terapung.

b. Penataan pertanahan di Pulau-Pulau kecil19.

Hak atas tanah dapat diberikan terhadap pulau-pulau kecil. dengan ketentuan

bahwa setidaknya 70% dari luas pulau tersebut, atau sesuai dengan arahan

RTRW provinsi/kabupaten/kota dan/atau rencana zonasi pulau kecil tersebut;

selain itu sisanya yakni 30% luas pulau kecil yang ada dikuasai langsung oleh

negara dan digunakan serta dimanfaatkan untuk kawasan lindung, area public

atau kepentingan masyarakat dan syarat terakhir harus mengalokasikan 30% dari

luas pulau untuk kawasan lindung.

17 Muhammad Ilham Arisaputra, “Access Reform Dalam Kerangka Reforma Agraria Untuk

Mewujudkan Keadilan Sosial, “Jurnal Perspektif”, Vol. XXI, No. 2, 2016, hal. 90. 18 Indonesia, Peraturan Menteri Agraria dan Tata Ruang/ Kepala BPN RI Nomor 17 Tahun 2016

tentang Penataan Pertanahan di Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil, Berita Negara Republik

Indonesia Tahun 2016 Nomor 573, Pasal 1 Ayat (1) “bahwa Wilayah Pesisir dimaknai sebagai daerah

peralihan antara ekosistem darat dan laut yang dipengaruhi oleh perubahan didarat dan laut” 19 Indonesia, Peraturan Menteri Agraria dan Tata Ruang/ Kepala BPN RI Nomor 17 Tahun 2016

tentang Penataan Pertanahan di Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil, Berita Negara Republik

Indonesia Tahun 2016 Nomor 573, Pasal 1 Ayat (5) “bahwa pulau-pulau kecil dimaknai sebagai pulau –

pulau kecil yang memiliki titik-titik dasar koordinat geografis yang menghubungkan garis pangkal lurus

kepulauan sesuai dengan hukum internasional dan nasional”

408 Jurnal Hukum & Pembangunan Tahun ke-51 No.2 April-Juni 2021

Sebagai bentuk pengecualian dari persyaratan di atas, maka negara melalui

pemerintah dapat secara utuh demi kepentingan nasional menguasai dan

memanfaatkan pulau-pulau kecil. Kepentingan nasional yang dimaksud ditujukan

dalam rangka: (a) Pertahanan dan keamanan; (b) Kedaulatan negara; (c) Pertumbuhan

ekonomi; (d) Sosial dan budaya; (e) Fungsi dan daya dukung lingkungan hidup; dan

(f) Pelestarian warisan dunia.

Tantangan bagi pemerintah daerah di Indonesia terutama yang provinsinya

berbentuk kepulauan seperti Kepulauan Riau adalah bagaimana daerah Kabupaten dan

provinsi mempersiapkan masterplan perencanaan pengelolaan wilayah pesisir mereka.

Mulai dari wilayah yang terdiri dari pulau-pulau, berada dikawasan perbatasan negara

sampai dengan besarnya potensi pencemaran dan perusakan lingkungan laut yang

nantinya akan berdampak kepada wilayah pesisir sebagai satu kesatuan ekosistem

wilayah laut20.

Pasal 11 ayat (2) Peraturan Menteri Agraria Dan Tata Ruang/Kepala Badan

Pertanahan Nasional Republik Indonesia Nomor 17 Tahun 2016 tentang Penataan

Pertanahan di Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil mengatur persyaratan sebagai

berikut:

a) Peruntukannya sesuai dengan RTRW provinsi/kabupaten/kota, atau Rencana

zonasi pulau-pulau kecil;

b) Mendapat rekomendasi dari pemerintah provinsi/kabupaten/kota dalam hal

belum diatur mengenai peruntukan tanah dalam RTRW; dan

c) Memenuhi ketentuan perizinan dari instansi terkait.

Peraturan Menteri Agraria Dan Tata Ruang/Kepala Badan Pertanahan Nasional

Republik Indonesia Nomor 17 Tahun 2016 tentang Penataan Pertanahan di Wilayah

Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil memberikan peluang untuk dapat diberikan hak atas

tanah terhadap permukiman di atas air dan itu ditujukan bagi masyarakat hukum adat.

Pemberian status hak atas permukiman di atas air adalah dalam rangka memberikan

jaminan kepastian hukum bagi masyarakat yang bermukim di wilayah perairan.

Pemberian hak atas tanah yang dimaksud tentu saja berdasarkan ketentuan UUPA

sebagai induk dari aturan pertanahan, PP Nomor 40 Tahun 1996 tentang HGU, HGB

dan Hak Pakai atas tanah turut memperhatikan Peraturan Menteri Negara

Agraria/Kepala BPN RI No 3 Tahun 1999 tentang Pelimpahan Kewenangan dan

Pembatalan Keputusan Pemberian Hak Atas Tanah Negara.

Dalam UU No. 1 Tahun 2011 tentang Kawasan Permukiman, disebutkan bahwa:

“permukiman merupakan bagian lingkungan hidup diluar kawasan lindung, yang

berupa kawasan perkotaan maupun pedesaan, serta berfungsi sebagai lingkungan

tempat tinggal dan tempat kegiatan yang mendukung perikehidupan dan kehidupan”.

Adapun tujuan diselenggarakannya kawasan permukiman menurut Pasal 3 ayat (1) UU

Nomor 1 Tahun 2011, yaitu: memberikan kepastian hukum dalam penyelenggaraan

perumahan dan kawasan pemukiman.

Berkaitan dengan permukiman di atas air yang dapat diberikan status hak atas

tanah menurut Peraturan Menteri Agraria Dan Tata Ruang/Kepala Badan Pertanahan

Nasional Republik Indonesia No. 17 Tahun 2016 tentang Penataan Pertanahan di

Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil di atas, apabila dipandang dari segi yuridis

maka jenis hak atas tanah yang diatur oleh UUPA menjadi tidak dapat diberikan dan

diberlakukan untuk permukiman yang berada di atas air.

20 Maria Maya Lestari, Potensi dan Tantangan Pengelolaan Sumber Daya Kelautan Dalam

Penciptaan Masyarakat Pesisir Yang Siap Menjawab Perkembangan Zaman. “Jurnal Selat”, Vol. 1

No. 1, 2013, hal. 10

Analisis Yuridis Terhadap Status Hak: Irman, Oksep Adhayanto, Rany Kartika Sari, Suryadi 409

Ada beberapa alasan yang dapat penulis kemukakan terkait dengan tumpang

tindihnya ketentuan Peraturan Menteri Agraria Dan Tata Ruang/Kepala Badan

Pertanahan Nasional Republik Indonesia No. 17 Tahun 2016 tentang Penataan

Pertanahan di Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil dengan UU No. 5 Tahun 1960

tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria yaitu:

1. Harus terdapat persamaan persepsi terlebih dahulu mengenai konsepsi dari

Tanah. Hukum agraria memang secara tegas menyatakan dalam ketentuan

Pasal 1 ayat (2) UUPA bahwa: “Seluruh bumi, air, ruang angkasa, termasuk

kekayaan alam yang terkandung didalamnya dalam wilayah Republik

Indonesia sebagai karunia Tuhan Yang Maha Esa”. Bunyi pasal tersebut sangat

jelas membedakan permukaan bumi yang dalam konteks ini diartikan sebagai

tanah dengan sumber daya alam lain seperti air, ruang angkasa serta kekayaan

alam lainnya. Selain itu secara definitif bahasa, tanah sebagaimana telah

disebutkan sebelumnya diartikan sebagai permukaan bumi, keadaan bumi

disuatu tempat, bahan-bahan dari bumi, dasar, sawah dan lahan.21 Definisi lain

tanah adalah Ruang daratan yang memiliki wujud nyata, digunakan, dikuasai

dan menjadi tempat kehidupan dan penghidupan.22 atas penjelasan berdasarkan

bunyi aturan serta harfiah kata, maka kurang tepat jika terhadap permukiman di

atas air diberikan hak atas tanah sebagaimana ketentuan UUPA serta kurang

tepat pula apabila disamakan dengan permukiman pada umumnya yang berdiri

atau dibangun di atas tanah.

2. Undang-Undang Pokok Agraria sendiri telah jelas mengatur jenis hak atas

tanah berdasarkan ketentuan Pasal 16 ayat (1), antara lain : (a) Hak milik; (b)

Hak Guna Usaha (HGU); (c) Hak Guna Bangunan (HGB); (d) Hak Pakai; (e)

Hak Membuka Tanah; (f) Hak Memungut Hasil Hutan; dan (f) Hak-hak lain

yang tidak termasuk dalam hak-hak tersebut di atas yang akan ditetapkan

dengan undang-undang serta hak-hak yang sifatnya sementara yang tersebut

dalam Pasal 53 UUPA.

3. Apabila ditelaah dari segi aturan, maka tidak satupun dari jenis hak atas tanah

yang diatur oleh UUPA tersebut mengatur pemberian hak terhadap

permukiman yang berada di atas air meskipun dalam pasal berbeda UUPA

mengatur mengenai Hak Guna Air dan Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2007

tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil mengatur

mengenai Hak Pengusahaan Perairan Pesisir (HP-3), namun keberadaan dari

jenis hak guna air serta HP-3 tersebut bukan ditujukan untuk memberikan

legalitas kepemilikan terhadap permukiman di atas air. Sehingga dipandang

tidak tepat apabila terhadap permukiman di atas air diberikan hak atas tanah

sebagaimana menurut ketentuan UUPA.

4. Ditinjau dari sisi Politik Hukumnya maka Undang-Undang Nomor 23 Tahun

2014 tentang Pemerintahan Daerah, memuat suatu politik hukum tentang

pengelolaan wilayah kelautan di daerah yang berada dalam wewenang

pemerintah daerah provinsi, bukan lagi menjadi wewenang pemerintah daerah

otonom yaitu pemerintah kab/kota. Hal ini menjadikan politik hukum

pengelolaan wilayah kelautan di daerah bersifat sentralistik, bukan lagi sesuai

dengan Konstitusi dimana penyelenggaraan otonomi daerah dilaksanakan

secara desentralisasi, melainkan otonomi dijalankan dengan dekonsentrasi. Hal

21 A.K.Muda, Ahmad, Op.,Cit. hal.515. 22 Bernhard Limbong. Op.,Cit. hal 310

410 Jurnal Hukum & Pembangunan Tahun ke-51 No.2 April-Juni 2021

ini berimplikasi pada pengabaian keberagaman karakteristik masyarakat daerah

khususnya dalam pengelolaan wilayah kelautan di daerah23.

Atas beberapa alasan di atas, apabila intansi dibidang pertanahan pada suatu

daerah yang secara khusus merupakan daerah perairan dan/atau kepulauan,

mengeluarkan sertifikat terhadap permukiman di atas air yang ada diwilayahnya dalam

rangka memberikan jaminan kepastian hukum pada warga negara dan juga sebagai

bentuk pengakuan negara terhadap eksistensi masyarakat yang telah ada lama serta

turun temurun hidup diwilayah tersebut maka kebijakan mengeluarkan atau

memberikan alas hak yang demikian itu dipandang tidak efektif untuk memberikan

kepastian hukum bagi masyarakat permukiman di atas air itu sendiri. Hal ini

dikarenakan masih belum terdapat keseragaman kebijakan disemua daerah dalam hal

pemberian status hak terhadap permukiman di atas air (apakah dengan memberikan

atau tidak memberikan sertifikat hak milik, hak pakai, atau hak pengelolaan).

Argumentasi penulis ini didasarkan kepada rekomendasi yang disampaikan oleh Amir

Sofwan24, yang menyebutkan bahwa pemberian hak atas tanah di pesisir pantai dapat

diberikan dengan memperhatikan beberapa hal serta pendapat Arisaputra yang

menyebutkan bahwa:

Mengenai status tanah pantai yang dikuasai masyarakat di Indonesia pada

umumnya adalah tanah dengan status hak milik negara atau di kuasai oleh

negara. Akan tetapi, masyarakat yang berdomisili di wilayah tersebut telah

menempati dengan kurun waktu yang cukup lama, yakni rata-rata kurang lebih

30 (tiga puluh) tahun. Secara garis besar status tanah pantai yang di tempati oleh

masyarakat hanya diberi hak pakai dan hak pengelolaan, dengan syarat harus

mematuhi semua aturan yang berlaku. Dengan kata lain bahwa jika suatu waktu

pemerintah ingin mengambil alih tanah tersebut, maka masyarakat yang

bermukim di wilayah tersebut harus menyerahkannya25.

Sebagai contoh, bagi masyarakat nelayan, pemberian hak pengelolaan atas

seluruh wilayah Kota Batam kepada OB/BP Batam merupakan kebijakan yang tidak

bijaksana. Hal ini karena penetapan hak pengelolaan tersebut tidak memberikan

dampak posisif sama sekali kepada masyarakat bahkan sebaliknya yaitu sangat

merugikan mereka. Misalnya, sampai sekarang, masyarakat tidak bisa mengurus dan

mendapatkan legalitas atas tanah dan rumah (sertipikat) yang sudah dihuni selama

puluhan tahun26.

Menurut Mustafa Bola27:

“Disputes over land ownership rights have grown to be the case that

predominates in the judiciary in Indonesia. Land disputes are unavoidable in

today. This is due to the various needs of land is very high today while the

23 Sari Wiji Astuti, Reorientasi Politik Hukum Pengelolaan Wilayah Kelautan Di Daerah

Menurut Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 Tentang Pemerintahan Daerah: Mendukung Visi

Negara Maritim Di Daerah, “Jurnal Selat”, Vol. 3 No. 1, 2015. hal. 389 24 Amir Sofwan, 2016, “Implementasi Kebijakan Pertanahan Di Wilayah Pesisir (Lokasi Studi

Kota Pangkal Pinang, Kota Tanjungpinang dan Kabupaten Wakatobi”. Tesis Universitas Terbuka, hal.

114-129 25 Muhammad Ilham Arisaputra, 2015.” Penguasaan Tanah Pantai Dan Wilayah Pesisir Di

Indonesia”. Jurnal Perspektif Hukum, Vol. 15 No. 1 Mei, hal. 40. 26 Agus Riyanto dan Padrisan Jamba, Peran Negara Dalam Penyelesaian Konflik Agraria (Studi

Kasus Kampung Tua/Nelayan di atasHak Pengelolaan Badan Pengusahaan Batam), “Jurnal Selat”,

Vol. 5, No. 1, 2017, hal. 113-114. 27 Mustafa Bola, Legal Standing of Customary Land in Indonesia: A Comparative Study of Land

Administration Systems, “Hasanuddin Law Review”, Vol. 3, Issue 2, 2017, hal. 176.

Analisis Yuridis Terhadap Status Hak: Irman, Oksep Adhayanto, Rany Kartika Sari, Suryadi 411

number of area is limited. It requires improvements in structuring land use for

the welfare of community and especially its legal certainty. For that, various

efforts made by the government, which is working to solve land disputes quickly

to avoid the accumulation of land disputes, which can be detrimental to the

community such as land cannot be used because the land in dispute. During the

conflict, land which became the object of conflict are usually in a state of status

quo. As a result, a decline in the quality of land resources which could harm the

interests of many parties and not achieving the principle of land benefit”.

Atas dasar beberapa alasan di atas dan fakta belum adanya keseragaman

kebijakan dari instansi pertanahan mengenai pemberian status hak kepemilikan

terhadap permukiman di atas air, maka dalam rangka memberikan kepastian hukum

terhadap masyarakat yang permukimannya di atas air memperoleh apa yang dikenal

dengan SKT (Surat Keterangan Tanah). Akan tetapi terdapat perbedaan persepsi

dimasyarakat terhadap Surat Keterangan Tanah (SKT) dan Sertifikat Hak Milik.

Sebagian masyarakat memandang bahwa SKT yang dimilikinya sama kekuatan

hukumnya dengan sertifikat.

Based on interviews with the Head of the Cambodian Village, it was found that

some people living in the coastal areas of the Cambodian Village perceived that

the Land Certificate was issued by the Lurah as a proof of legal ownership of

land rights. Further explained by the Cambodian Lurah, that the Land

Certificate issued by the Kelurahan was limited to a statement explaining the

identity of the community using state land, land use, land area and boundaries,

and years of land use28.

Sertifikat tanah itu sendiri menurut Mhd. Yamin Lubis dan Abd. Rahim Lubis

berfungsi sebagai alat bukti hak, yang mana menyatakan tanah itu telah di administrasi

oleh negara lalu diberikan buktinya kepada orang yang mengadministrasi tanah

tersebut 29 . Sedangkan manfaat yang diperoleh dengan diterbitkannya sertifikat

dikemukakan oleh Maria S.W. Sumardjono, yaitu dapat mengurangi kemungkinan

timbulnya sengketa dengan pihak lain, serta memperkuat posisi tawar-menawar

apabila hak-hak atas tanah diperlukan oleh pihak lain untuk kegiatan pembangunan,

serta mempersingkat proses peralihan hak dan pembebanan hak atas tanah. Bagi

seseorang yang memegang hak atas tanah dan memiliki sertifikat mempunyai nilai

lebih. Sebab dibandingkan dengan alat bukti tertulis lain, sertifikat dapat juga

merupakan tanda bukti hak yang kuat, yang artinya harus dianggap benar sampai

dibuktikan sebaliknya di pengadilan30. Untuk itu selain perlunya kebijakan yang tepat

dalam memberikan status kepemilikan atas permukiman di atas air, disisi lain

dibutuhkan pula sosialisasi terhadap masyarakat yang bermukim di atas air dalam

memandang bukti legalitas kepemilikan atas tanah dalam rangka tercapainya jaminan

kepastian dan perlindungan hukum bagi masyarakat tersebut.

IV. KESIMPULAN

28 Agung Ramadhan, Loc., Cit. 29 Mhd. Yamin Lubis dan Abd. Rahim Lubis, Hukum Pendaftaran Tanah, (Bandung: Mandar

Maju, 2008), hal. 204 30 Maria S.W. Sumardjono, 2005, Kebijakan Pertanahan antara Regulasi dan Implementasi,

(Jakarta: Penerbit Buku Kompas, 2005), hal. 202

412 Jurnal Hukum & Pembangunan Tahun ke-51 No.2 April-Juni 2021

Berdasarkan uraian di atas, maka perumusan permasalahan dapat diberikan

solusinya dengan mengambil kesimpulan sebagai berikut:

1. Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Pokok-Pokok Dasar Agraria

merupakan aturan induk untuk seluruh aturan pertanahan di Indonesia. Penjabaran

lebih lanjut mengenai pertanahan diatur didalam peraturan di bawahnya, termasuk

pada Peraturan Menteri Agraria dan Tata Ruang/ Kepala BPN RI Nomor 17

Tahun 2016 tentang Penataan Pertanahan di Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau

Kecil yang memberikan kemungkinan peluang untuk permukiman di atas air

diberikan hak atas tanah sebagaimana yang diatur menurut peraturan perundang-

undangan. Permukiman di atas air sendiri merupakan jenis permukiman yang

memiliki keunikan karena tidak semua daerah di Indonesia memiliki karakteristik

wilayah yang persentase perairan lebih besar daripada wilayah daratan selain itu

permukiman jenis tersebut telah ada secara turun temurun berpuluh atau bahkan

ratusan tahun lalu disuatu wilayah yang berbasis kepulauan. Dalam konteks

masyarakat hukum adat dan hak yang diperoleh secara turun temurun, pengaturan

tersebut dapat memberikan jaminan akan kepastian hukum. Sehingga merupakan

hal yang patut diapresiasi pengaturan terkait dapat diberikannya status hak atas

permukiman di atas air karena berarti negara bertujuan untuk memberikan

jaminan kepastian hukum bagi warga negaranya serta turut mengakui keberadaan

masyarakat hukum adat yang masih hidup dan berkembang di Indonesia sampai

saat ini.

2. Hal yang perlu diperhatikan oleh negara dalam rangka mewujudkan kepastian dan

perlindungan hukum terhadap masyarakat yang pemukimannya di atas air adalah

pemberian legalitas kepemilikan hak yang tepat. Apabila hak atas tanah diberikan

untuk permukiman yang berada di atas air justru dipandang terjadi tumpang tindih

penerapan peraturan sebagaimana yang terjadi di Kelurahan Kamboja Kota

Tanjungpinang. Sebab UUPA, PP No. 40 Tahun 1996 serta peraturan pertanahan

lainnya hanya memberikan hak milik, HGU, HGB dan Hak Pakai atas tanah atau

bangunan yang berdiri di atas tanah. Secara konseptual hukum maka akan terjadi

kerancuan apabila permukiman di atas air diberikan sertifikat hak milik yang jelas

dikeluarkan oleh instansi pertanahan namun objek yang di hak-i oleh Sertifikat

Hak Milik atas tanah justru berada di atas air, pelu ada rumusan kebijakan yang

tepat menyikapi persoalan ini agar kepastian hukum bagi mereka yang tinggal

pada permukiman di atas air dapat terwujud. Lebih lanjut penyuluhan maupun

sosialisasi bidang pertanahan kepada instansi maupun masyarakat menjadi penting

untuk dilakukan pemerintah daerah setempat mengingat aspek pertanahan adalah

hal penting dan sangat krusial yang disatu sisi berpotensi menyangkut pertanahan

kerap menimbulkan problematik hukum tersendiri.

DAFTAR PUSTAKA

Buku dan Jurnal

Agung Ramadhan Saputra, Oksep Adhayanto, Marnia Rani. 2018. Status Of Rights On

Community Land In Settlement Of Coastal Areas Of Cambodian”, Prossiding

International Conference of Law And Free Trade 2018, , 1stAceh Global

Conference (AGC 2018).

Agus Riyanto dan Padrisan Jamba, Peran Negara Dalam Penyelesaian Konflik

Agraria (Studi Kasus Kampung Tua/Nelayan di atasHak Pengelolaan Badan

Pengusahaan Batam), “Jurnal Selat”, Vol. 5, No. 1, 2017.

Analisis Yuridis Terhadap Status Hak: Irman, Oksep Adhayanto, Rany Kartika Sari, Suryadi 413

A.K.Muda, Ahmad, Kamus Besar Bahasa Indonesia (Jakarta: Reality Publisher,

2006).

Amir Sofwan, 2016, “Implementasi Kebijakan Pertanahan Di Wilayah Pesisir (Lokasi

Studi Kota Pangkal Pinang, Kota Tanjungpinang dan Kabupaten Wakatobi”.

Tesis Universitas Terbuka.

A.P. Parlindungan, Komentar atas Undang-Undang Pokok Agraria dilengkapi PP 40

dan 41 Tahun 1996, Bandung: Mandar Maju, 1998.

Basri, Penataan dan Pengelolaan Wilayah Kelautan Perspektif Otonomi Daerah

dan Pembangunan Berkelanjutan, “Jurnal Perspektif”, Vol. XVIII No. 3,

2013.

Bernhard Limbong, Politik Pertanahan, Jakarta: Marghareta Pustaka, 2014.

Jawas Dwijo Putro dan M. Nurhamsyah, Pola Permukiman Tepian Air Studi Kasus :

Desa Sepuk Laut, Punggur Besar dan Tanjung Saleh Kecamatan Sungai Kakap,

Kabupaten Kubu Raya, “Jurnal Langkau Betang”, Vol. 2, No.1, 2015.

Maria Maya Lestari, Potensi dan Tantangan Pengelolaan Sumber Daya Kelautan

Dalam Penciptaan Masyarakat Pesisir Yang Siap Menjawab Perkembangan

Zaman. “Jurnal Selat”, Vol. 1 No. 1, 2013.

Moch. Chairul Huda, 2013, Pengaturan Perizinan Reklamasi Pantai Terhadap

Perlindungan Lingkungan Hidup, “Jurnal Perspektif”, Vol. XVIII. No. 2,

2013.

Muhammad Ilham Arisaputra, “Access Reform Dalam Kerangka Reforma Agraria

Untuk Mewujudkan Keadilan Sosial, “Jurnal Perspektif”, Vol. XXI, No. 2,

2016.

Maria S.W. Sumardjono, 2005, Kebijakan Pertanahan antara Regulasi dan

Implementasi, Jakarta: Penerbit Buku Kompas, 2005.

Muhammad Ilham Arisaputra, 2015.” Penguasaan Tanah Pantai Dan Wilayah Pesisir

Di Indonesia”. Jurnal Perspektif Hukum, Vol. 15 No. 1 Mei.

Mustafa Bola, Legal Standing of Customary Land in Indonesia: A Comparative Study

of Land Administration Systems, “Hasanuddin Law Review”, Vol. 3, Issue 2,

2017.

Mhd. Yamin Lubis dan Abd. Rahim Lubis, Hukum Pendaftaran Tanah, Bandung:

Mandar Maju, 2008.

Ulfa Amalyah Usman, “Status Hukum Penguasaan Perairan Pesisir Untuk

Permukiman Penduduk Di Kelurahan Tallo Kota Makassar”. Skripsi,

Universitas Hassanudin, 2017,

Rokhmin Dahuri, et.al., 2001, Pengelolaan Sumberdaya Wilayah Pesisir dan Lautan

Secara Terpadu, Jakarta: Pradnya Paramita, 2001.

Supriadi, Hukum Agraria, Jakarta: Sinar Grafika, 2009.

Sari Wiji Astuti, Reorientasi Politik Hukum Pengelolaan Wilayah Kelautan Di

Daerah Menurut Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 Tentang

Pemerintahan Daerah: Mendukung Visi Negara Maritim Di Daerah, “Jurnal

Selat”, Vol. 3 No. 1, 2015.

Peraturan Perundang-undangan

Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 Tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok

Agraria, Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1960 Nomor 104,

Tambahan Lembaran Negara Nomor 2043.

Indonesia, Peraturan Menteri Agraria dan Tata Ruang/ Kepala BPN RI Nomor 17

Tahun 2016 tentang Penataan Pertanahan di Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau

Kecil, Berita Negara Republik Indonesia Tahun 2016 Nomor 573.

414 Jurnal Hukum & Pembangunan Tahun ke-51 No.2 April-Juni 2021

Internet dan Wawancara

Kepulauan Riau, https://id.m.wikipidea.org/wiki/Kepulauan_Riau, diakses pada Senin

17 Desember 2019.

Hasil dialog melalui Kegiatan Diskusi Publik dengan Tema “Penataan Pemukimaan di

Wilayah Pesisir” yang diselenggarakan oleh DPRD dan Dinas Perumahan

Rakyat, Kawasan Permukiman, Kebersihan dan Pertamanan (PERKIM) Kota

Tanjungpinang bekerja sama dengan Prodi Ilmu Hukum Universitas Maritim

Raja Ali Haji (UMRAH) pada Rabu, 28 November 2018