HALAMAN SAMPUL SKRIPSI ANALISIS YURIDIS RAMSAR ...

174
i HALAMAN SAMPUL SKRIPSI ANALISIS YURIDIS RAMSAR CONVENTION 1971 TERHADAP PERLINDUNGAN HUTAN MANGROVE DI INDONESIA OLEH: GALANG RAMADHAN B 111 14 053 DEPARTEMEN HUKUM INTERNASIONAL FAKULTAS HUKUM UNIVERSITAS HASANUDDIN MAKASSAR 2018

Transcript of HALAMAN SAMPUL SKRIPSI ANALISIS YURIDIS RAMSAR ...

i

HALAMAN SAMPUL

SKRIPSI

ANALISIS YURIDIS RAMSAR CONVENTION 1971 TERHADAP

PERLINDUNGAN HUTAN MANGROVE DI INDONESIA

OLEH:

GALANG RAMADHAN

B 111 14 053

DEPARTEMEN HUKUM INTERNASIONAL

FAKULTAS HUKUM

UNIVERSITAS HASANUDDIN

MAKASSAR

2018

ii

HALAMAN JUDUL

ANALISIS YURIDIS RAMSAR CONVENTION 1971 TERHADAP

PERLINDUNGAN HUTAN MANGROVE DI INDONESIA

Diajukan sebagai Skripsi dalam Penyelesaian Studi Strata Satu

Pada Departemen Hukum Internasional

Program Studi Ilmu Hukum

OLEH

GALANG RAMADHAN

B 111 14 053

FAKULTAS HUKUM

UNIVERSITAS HASANUDDIN

MAKASSAR

2018

iii

iv

v

vi

KATA PENGANTAR

Assalamu’alaikum Warahmatullahi Wabarakatu,

Alhamdulillahi Rabbil Alamin, segala puji bagi Allah SWT, Tuhan

semesta alam atas segala limpahan rahmat, hidayah dan karunia yang

senantiasa membimbing langkah penulis agar mampu menyelesaikan

skripsi ini sebagai salah satu syarat tugas akhir pada jenjang studi Strata

Satu (S1) pada Program Studi Ilmu Hukum di Fakultas Hukum Universitas

Hasanuddin. Salam dan shalawat kepada Rasulullah Muhammad S.A.W.

yang selalu menjadi teladan agar setiap langkah dan perbuatan kita selalu

berada di jalan kebenaran dan bernilai ibadah di sisi Allah SWT. Semoga

semua hal yang penulis lakukan berkaitan dengan skripsi ini juga bernilai

ibadah di sisi-Nya.

Pada kesempatan ini, penulis ingin mengucapkan terimakasih yang

tiada terhingga kepada kedua orang tua penulis, kepada Tettaku Marsuki

Rapi dan Ibunda Hasnah Jinne yang senantiasa merawat, mendidik dan

memotivasi penulis dengan penuh kasih sayang. Kepada kakak-kakak

penulis, Muh.Tahir Nur, S.E., Haslinda, Hamsinah, Sultan dan Halijah

yang turut serta memotivasi penulis dalam menyelesaikan skripsi ini.

Selain itu, penulis juga mengucapkan terima kasih kepada:

1. Prof. Dr. Dwia Ariestina Palubuhu, M.A. selaku Rektor

Universitas Hasanuddin dan segenap jajarannya.

2. Prof. Dr. Farida Pattitingi, S.H., M.Hum. selaku Dekan Fakultas

vii

Hukum Universitas Hasanuddin beserta para wakil dekan,

yaitu Prof. Dr. Ahmadi Miru, S.H., M.H., Dr. Syamsuddin

Muchtar, S.H., M.H., dan Prof.Dr.Hamzah Halim, S.H., M.H.

atas segala bentuk bantuan dan dukungan yang telah

diberikan kepada penulis.

3. Prof. Dr. Juajir Sumardi, S.H.,M.H. dan Dr. Maskun, S.H., LLM.

Selaku pembimbing penulis dalam penyelesaian skripsi ini

yang senantiasa memotivasi dan sabar membimbing penulis.

4. Prof. Dr. Marcel Hendrapaty, S.H., M.H., Prof. Dr. Alma

Manuputty, S.H., M.H. dan Dr. Laode Abdul Gani, S.H.,M.H.

selaku dewan penguji skripsi penulis atas segala masukan dan

arahannya dalam penyelesaian skripsi ini.

5. Prof. Dr. Suryaman Mustari Pide, S.H.,M.H. selaku penasehat

akademik penulis yang telah memberikan bimbingan kepada

penulis selama di bangku kuliah.

6. Segenap dosen Fakultas Hukum Universitas Hasanuddin yang

telah membimbing dan memberikan pengetahuan, nasehat

serta motivasi kepada penulis selama menempuh pendidikan

di Fakultas Hukum Universitas Hasanuddin. Serta seluruh

staff/pegawai akademik yang senantiasa dengan sabar

membantu penulis dalam penyelesaian skripsi ini.

7. Pihak Perpustakaan Hukum Unhas, Ibu Nurhidayah,

S.Hum.,M.M dan Kakak Nurdin,S.IP yang rela direpotkan oleh

viii

penulis selama proses perkuliahan dan penyusunan skripsi ini.

8. Dewan Pembina, Pengawas dan Pengurus Beasiswa Yayasan

Karya Salemba Empat yang telah banyak membantu penulis

baik dalam hal bantuan Finansial maupun pelatihan-pelatihan

yang diberikan.

9. Pihak Balai Penelitian dan Pengembangan Lingkungan Hidup

dan Kehutanan (BP2LHK) Makassar serta Yayasan Hutan

Biru-Blueforest yang telah berkenan untuk memfasilitasi

penulisan ini pada tahap penelitian.

10. Keluarga Muh. Idris Leo dan Hasrah Kenna yang telah

menjaga dan merawat penulis selama masa-masa

perkuliahan.

11. Sahabat-sahabatku, Alif Imam Dzaki, S.H., Moch.Arief Agus,

S.H., dan Kun Arfandi Akbar Anzari, S.H. yang telah menjadi

sahabat bureng dalam perkuliahan maupun dalam kompetisi-

kompetisi yang diikuti penulis.

12. Sahabat-sahabat Beauty and the Beast, Rezky Amalia

Syafiin,Huriah Nur Insani, Kun Arfandi Akbar Anzari S.H., Dian

Qhalbi Pratidina,S.H. Ayu Ashari, Viyani Annisa Permatasari

Maasba, Mithayani Suci Isnaeni Arifin, Annisa Fadilah Rosadi,

Andi Nurul Asmi,S.H., Ridwan Purwo Saputro,S.H., dan A.Muh

Yunansyah. Terima kasih untuk segala kegilaan yang telah kita

ciptakan bersama.

ix

13. Kakanda,Teman-teman dan adik-adik di LDA MPM FH-UH

kakanda Hidayat Pratama Putra,S.H.,M.H., Afif Mahmud,

S.H.,M.H. Yahya Muhaymin Hatta,S.H., Muh. Asyraf, Reynaldi,

S.H. Teman-teman pengurus, Nurkhalish Daud, Suyanto,

Asrullah, A.Ikhsan Alfakih,S.H., Moch,Arief Agus,S.H., Aditya

Nugraha, Muh.Yusran, Muh.Afdal Magfirah, Muh.Idris,

A.Muh.Irvan. Serta adik-adik Supardi, Supriadi,Muslim, Auzan,

Fauzan, dan lain-lain yang tidak bisa disebutkan satu persatu.

14. Senior andalan GH a.k.a XXX Girls Return Arif Rachman

Nur,S.H., Nurhalida Zaenal,S.H., Siti Syahrani Nasiru,S.H.,

Melisa, S.H., Nurindah Damai Lestari,S.H. Kun Arfandi Akbar

Anzari,S.H. Yang senantiasa memberikan dukungan dan

pembelajaran hidup yang sangat bermakna.

15. Teman-teman Pecinta Imam, A.Muh. Ikhsan S.H., Abd. Azis

Alwi, Syamsuriadi Syarief, Moch.Arief Agus,S.H., Muh Afdal

Magfirah, Ahmad Jazuly, Yacob Efendy, Fitrahansyah, Yudi

Reynaldi, Ridwan Purwo Saputro, S.H., A.Muh.Yunansyah,

Fauzan Cakra Darmawan, Anugrah,S.H., Hasyim Hamid dan

Anriyan Ridwan Tahir. Yang telah menjadi wadah

pengembangan diri penulis dalam menjalani kehidupan.

16. Klinik Hukum Universitas Hasanuddin, Khususnya Ibu Birkah

Latif,S.H,.LL.M, Bapak Achmad, S.H.M.H. dan

Dr.Maskun,S.H.LL.M yang begitu saya kagumi dan telah

x

memberikan penulis banyak pembelajaran dan kesempatan

yang besar dalam mengembangkan diri. Serta teman-teman

klinik yang begitu luar biasa,Arief, Kholish, Ira Muin, Enab,

Rahmi, Dilla,Dian, Ira P, Ningsih, Wana, Tuti, Anti, Aurel, Anita,

Matet dan lain-lain .

17. Klinik PKM Fakultas Hukum Unhas, ibu Amaliyah, S.H,M.H, ibu

Dr. Ratnawati Sudirman, S.H.M.H, serta teman-teman The

Mentors Nilasari, Windaryani, Rezky Amalia S, Kun Arfandi,

S.H., Jemmi, S.H, Mirdawati,S.H., Ayu Ashari, Ruslianto

Sumule,S.H.,Anugrah,S.H.,Juhardiyanti, Surya Yudistira dan

Ramdan Yulia. Terima kasih untuk pengalaman luar biasa

yang telah kita lakukan bersama.

18. Teman-teman bagian Hukum Internasional, yaitu Alif,

Sheby,Anrose, Indah, Ipul, Ira, Enab, Tuti, Angel, Dettol,

Sharon, Yati, Riska,dan lain-lain. Terima kasih atas semua

bantuan, pelajaran, dan kerja samanya.

19. Senior, teman-teman dan adik-adik di Paguyuban KSE Unhas,

Kak Rio, Kak Chid, Kak Typo, Kak Indah, Oka, Darmin, Irfan,

Uki,Kiki,Yuyun,Wulan,Anti, Dian, Ulva, Mage, Edna, Tita, Ekki,

Ayu, Amran, Fifit,Faldi, Dasti, dan lain-lain yang tidak bisa

disebutkan satu persatu. Terima kasih atas segala dukungan

serta kerjasamanya selama ini.

20. Sahabat-sahabatku di UGoesP, Nasrullah,Riefqy, Abash,

xi

Awal, Awi, Dian, Nanang, Tiwi, Evi, Mey dan lain-lain yang

tidak bisa disebutkan satu persatu. Terima kasih untuk

persahabatan yang telah kita jalin sejak masa SMA hingga

sekarang.

21. Teman-teman seangkatan 2014 (Diplomasi). Terima kasih atas

segala bantuan, keceriaan, pertemanan, pengetahuan, dan

seluruh pengalaman selama ini.

22. Teman-teman dan Supervisor Delegasi KKN Tematik

Kebangsaan Gorontalo Unhas. Sahabat-sahabatku yang luar

biasa menginspirasi PACE SQUAD, Inggrid Heksa (UNMUL),

Mega Shintya (UNS), Devi Putri (UNDANA), Sadrak

Enninggugop (UNMUS), Satrio Setiawan serta Yun Paca

(UNG) dan DPL yang luar biasa bapak Manda

Rohandi,M.Kom. Dan tentunya seluruh warga Desa Panggulo

yang telah menerima dan mendukung kami selama

melaksanakan KKN.

Semoga Allah SubhanahuWata’ala senantiasa membalas segala

kebaikan yang telah diberikan dengan penuh rahmat dan hidayah-Nya.

Akhir kata, penulis mengucapkan mohon maaf yang sedalam-dalamnya

jika skripsi ini masih terdapat banyak kekurangan, namun semoga ada

manfaat yang dapat diambil, terutama dalam perkembangan hukum di

Indonesia.

xii

ABSTRAK

Galang Ramadhan (B111 14 053), Analisis Yuridis Ramsar Convention 1971 terhadap Perlindungan Hutan Mangrove di Indonesia. Dibimbing oleh Juajir Sumardi sebagai Pembimbing I dan Maskun sebagai Pembimbing II.

Penelitian ini bertujuan untuk: 1) mengetahui bagaimana perlindungan

hukum hutan mangrove menurut Ramsar Convention 1971; dan untuk 2)

mengetahui implementasi Ramsar Convention 1971 terhadap

perlindungan hutan mangrove di Indonesia.

Penelitian ini merupakan penelitian normatif yang menggunakan data

primer dan data sekunder. Data tersebut dikumpulkan melalui metode

wawancara dan studi kepustakaan yang kemudian di analisis secara

kualitatif dan disajikan secara deskriptif.

Berdasarkan hasil penelitian menunjukkan bahwa: 1) Ramsar Convention

1971 telah meletakkan dasar pengaturan terkait perlindungan hukum

hutan mangrove; 2) Pada dasarnya Indonesia telah melaksanakan segala

kewajibannya sebagaimana diatur dalam Konvensi ini. Namun masih

terdapat berbagai permasalahan terkait implementasi Konvensi ini. Oleh

karena itu, dibutuhkan komitmen dan kinerja yang lebih dari seluruh pihak

terkait dalam memberikan perlindungan terhadap hutan mangrove di

Indonesia.

Kata kunci: Ramsar Convention 1971, Hutan Mangrove, Perlindungan Hukum

xiii

ABSTRACT

Galang Ramadhan (B111 14 053), Juridical Analysis Of Ramsar Convention 1971 toward the Protection of Mangrove Forest in Indonesia. Supervised by Juajir Sumardi as Supervisor I and Maskun as Supervisor II.

The purpose of this Research is 1) to determine how the legal protection

of mangrove forest according Ramsar Convention 1971; and 2) to

determine implementation of Ramsar Convention 1971 toward the

protection of mangrove forest in Indonesia.

This is a normative research that use primary and secondary data. Data is

collected through interview method and literature study which is analyzed

qualitatively and presented descriptively.

Based on the research shows that: 1) The Ramsar Convention 1971 had

set the basis of regulations related to legal protection of mangrove forest;

2) Basically, Indonesia has carry out all its obligations as regulated in this

convention. However, there are still various problems related to the

implementation of this Convention. Therefore, it requires stronger

commitment and performance from all related parties to provide protection

of mangrove forest in Indonesia.

Keywords: Ramsar Convention 1971, Mangrove Forest, Legal Protection

xiv

DAFTAR ISI

HALAMAN SAMPUL ................................................................................ i

HALAMAN JUDUL ...................................................................................ii

PENGESAHAN SKRIPSI .........................................................................iii

PERSETUJUAN PEMBIMBING ...............................................................iv

PERSETUJUAN MENEMPUH UJIAN SKRIPSI........................................v

KATA PENGANTAR ................................................................................vi

ABSTRAK ...............................................................................................xii

DAFTAR ISI ........................................................................................... xiv

DAFTAR GAMBAR ............................................................................... xvii

DAFTAR TABEL .................................................................................. xviii

DAFTAR AKRONIM DAN SINGKATAN ................................................ xix

BAB I. PENDAHULUAN ...........................................................................1

A. Latar Belakang Masalah .....................................................................1

B. Rumusan Masalah ............................................................................13

C. Tujuan Penelitian ..............................................................................13

D. Manfaat Penelitian ............................................................................14

BAB II. TINJAUAN PUSTAKA ...............................................................15

A. Hukum Lingkungan Internasional .....................................................15

1. Pengertian Hukum Lingkungan Internasional ................................15

2. Objek Hukum Lingkungan Internasional ........................................16

3. Subjek Hukum Lingkungan Internasional ......................................19

4. Sumber-sumber Hukum Lingkungan Internasional ........................21

5. Prinsip-prinsip Hukum Lingkungan Internasional ...........................22

B. Perjanjian Internasional ....................................................................30

1. Pengertian Perjanjian Internasional ...............................................30

xv

2. Konvensi (Convention) ..................................................................32

3. Implementasi Perjanjian Internasional dalam Hukum Nasional .....33

C. Hutan Mangrove ...............................................................................35

1. Pengertian Hutan Mangrove..........................................................35

2. Jenis-jenis Mangrove ....................................................................37

3. Fungsi dan Manfaat Hutan Mangrove ...........................................39

4. Kondisi Hutan Mangrove ..............................................................41

5. Faktor Penyebab Kerusakan Hutan Mangrove di Indonesia ..........45

D. Ramsar Convention 1971 .................................................................49

1. Latar Belakang Lahirnya Ramsar Convention 1971 ......................49

2. Tujuan Ramsar Convention 1971 ..................................................52

3. Situs Ramsar ................................................................................53

BAB III. METODE PENELITIAN ............................................................57

A. Lokasi Penelitian ...........................................................................57

B. Tipe Penelitian ..............................................................................57

C. Jenis dan Sumber Data ................................................................58

D. Teknik Pengumpulan Data ...........................................................60

E. Analisis Data .................................................................................60

BAB IV. HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN ...............................61

A. Perlindungan Hukum Hutan Mangrove Menurut Ramsar Convention 1971 ..................................................................................................61

1. Komitmen Utama dalam Ramsar Convention 1971 .......................61

2. Resolution 5.1:The Kushiro Statement and the Framework for the Implementation of the Convention ................................................68

3. Resolution VII.21: Enhancing the Conservation and Wise Use of Intertidal Wetlands .......................................................................70

4. Resolution VIII.11: Guidance for Identifying and Designating Peatlands, Wet Grasslands, Mangroves and Coral Reefs as Wetlands of International Importance ...........................................72

xvi

5. Resolution VIII.32: Conservation, Integrated Management,and Sustainable Use of Mangrove Ecosystems and their Resources ..78

B. Implementasi Ramsar Convention 1971 terhadap Perlindungan Hutan Mangrove di Indonesia ....................................................................82

1. Praktik Implementasi Ramsar Convention 1971 terhadap Perlindungan Hutan Mangrove di Indonesia .................................82

a. Implementasi dalam Penetapan Situs Ramsar Indonesia .........82

b. Implementasi Wise Use Wetlands dalam Perlindungan Hutan Mangrove di Indonesia ..............................................................85

c. Implementasi dalam Upaya Reserve and Training terhadap Perlindungan Hutan Mangrove di Indonesia ............................ 110

d. Implementasi dalam Kerjasama Internasional Perlindungan Hutan Mangrove Indonesia ..................................................... 113

e. Upaya Konservasi Mangrove Indonesia .................................. 118

2. Analisis Implementasi Ramsar Convention 1971 terhadap Perlindungan Hutan Mangrove di Indonesia ............................... 122

a. Implikasi Pengesahan Ramsar Convention 1971 melalui Keputusan Presiden ................................................................ 123

b. Konflik Kewenangan Pengelolaan Hutan Mangrove di Indonesia ................................................................................................... 124

c. Permasalahan Kelembagaan Pengelolaan Hutan Mangrove di Indonesia .............................................................................. 126

d. Belum Optimalnya Upaya Konservasi Hutan Mangrove di Indonesia ................................................................................ 127

e. Lemahnya Pengawasan dan Penegakan Hukum .................... 129

BAB V. PENUTUP ................................................................................ 133

A. Kesimpulan ................................................................................. 133

B. Saran .......................................................................................... 135

DAFTAR PUSTAKA.............................................................................. 136

LAMPIRAN ........................................................................................... 144

xvii

DAFTAR GAMBAR

Gambar 1. Bakau (Rhizopora sp.). .......................................................... 39

Gambar 2. Tancang (Bruguiera sp.) ........................................................ 39

Gambar 3. Bogem (Sonneratia sp.) ......................................................... 39

Gambar 4. Api-api (Avicennia sp.) ........................................................... 39

Gambar 5. Kelembagaan Pengelolaan Ekosistem Mangrove berdasarkan Perpres Nomor 73 Tahun 2012 ............................................ 104

Gambar 6. Pelaksanaan Penanaman Mangrove Tahun 2012-2016 ...... 119

xviii

DAFTAR TABEL

Tabel 1. Publikasi Perkiraan Luas Hutan Mangrove di Indonesia ............ 44

Tabel 2. Kriteria Situs Ramsar Untuk Kepentingan Internasional ............. 55

Tabel 3. Situs Ramsar Indonesia ............................................................. 83

Tabel 4. Target Pemulihan Ekosistem Mangrove................................... 119

xix

DAFTAR AKRONIM DAN SINGKATAN

AEWA : African-Eurasian Migratory Waterbird Agreement

Bakosurtanal : Badan Koordinasi Survei dan Pemetaan Nasional

BAPPENAS : Badan Perencanaan Pembangunan Nasional

BPHM : Balai Pengelolaan Hutan Mangrove

BP2LHK : Balai Penelitian dan Pengembangan Lingkungan

Hidup dan Kehutanan

DAS : Daerah Aliran Sungai

DLHK : Dinas Lingkungan Hidup Kota

Dirjen : Direktorat Jenderal

FAO : Food and Agricultural Organization

HPH : Hak Pengusahaan Hutam

ICBP : International Council for Birds Preservation

IUCN : International Union for Conservation of Nature and

Natural Resources

ISME : International Society for Mangrove Ecosystems

IWRB : International Waterfowl Research Bureau

LSM : Lembaga Swadaya Masyarakat

KKP : Kementrian Kelautan dan Perikanan

KLHK : Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan

KNLB : Komite Nasional Pengelolaan Ekosistem Lahan

Basah

LAPAN : Lembaga Antariksa dan Penerbangan Nasional

MoU : Memorandum of Understanding

NGO : Non Governmental Organization

xx

OECD : Organisation for Econommic Co-operation and

Development

REDD : Reducing Emissions from Deforestation and Forest

Degradation

SNPEM : Strategi Nasional Pengelolaan Ekosistem Mangrove

TN : Taman Nasional

UNESCO : United Nations Educational, Scientific and Cultural

Organization

WCED : World Commission on Environent and Development

WCMC : World Conservation Monitoring Center

WII : Wetlands International Indonesia

WSSD : World Summit on Sutainable Development

1

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Lingkungan hidup merupakan aspek yang sangat penting bagi

kehidupan manusia dan mahluk hidup lainnya. Hal ini dianggap sangat

penting karena apa yang terjadi terhadap lingkungan hidup akan sangat

memengaruhi kehidupan mahluk hidup yang tinggal didalamnya.

Termasuk juga dalam hal ini apabila terjadi kerusakan terhadap

lingkungan hidup. Kerusakan lingkungan hidup, baik secara langsung

maupun tidak langsung akan memengaruhi pola dan tata kehidupan

mahluk hidup, termasuk manusia. Memandang pentingnya hal ini, maka

sudah sewajarnya lingkungan hidup yang ada harus selalu dijaga dan

dilestarikan.

Kebakaran hutan, pemanasan global, hilangnya keanekaragaman

hayati baik didarat maupan dilaut, perubahan iklim, kekeringan,

pencemaran air maupun udara dan timbulnya penyakit-penyakit baru

merupakan contoh nyata terjadinya kerusakan lingkungan yang

mengancam kehidupan umat manusia. Faktanya sebagian besar

kerusakan yang terjadi disebabkan oleh perbuatan manusia. Perilaku

hidup manusia yang lalai, egois dan tidak bertanggungjawab dalam

mengeksploitasi sumber daya alam menjadi faktor utama semakin

tingginya laju kerusakan lingkungan.

2

Richard Stewart dan James E Krier membagi masalah lingkungan

kedalam tiga hal:1 Pertama, pencemaran lingkungan (pollution); Kedua,

penggunaan atau pemanfaatan lahan yang salah (land missue); dan

ketiga, pengerukan secara berlebihan yang menyebabkan habisnya

sumber daya alam (natural resource depletion). Jika ditarik lurus,

terganggunya kualitas lingkungan, seperti habisnya sumber daya alam,

tercemar serta rusaknya lingkungan, tidak terlepas dari pemanfaatan

sumber daya alam yang serampangan dan berlebihan (over exploitation of

natural resources).

Kasus-kasus lingkungan klasik seperti kasus penyakit Minamata

dan Itai-itai di Jepang, ledakan reaktor nuklir Chernobyl di Rusia, bocornya

pabrik pestisida di Bhopal, India hingga kasus-kasus lingkungan diera

milenial seperti kasus kebakaran hutan yang melanda kawasan hutan

gambut di Pulau Sumatera dan Kalimantan, Indonesia serta sederet

kasus-kasus lingkungan yang lain yang tentunya bukan hanya

menimbulkan kerugian materil tetapi juga korban jiwa.

Maraknya kasus-kasus lingkungan yang terjadi memicu kesadaran

masyarakat internasional akan pentingnya menjaga kualitas lingkungan

yang sehat. Kesadaran inilah yang kemudian berperan dalam tumbuh dan

berkembangnya hukum lingkungan internasional. Hukum lingkungan

internasional merupakan upaya masyarakat global untuk meletakkan

landasan dan strategi melalui aturan dan prinsip-prinsip hukum untuk

1 Richard Stewart dan James E Krier dalam Laode M Syarief dan

Andri.G.Wibisana (ed), 2015, Hukum Lingkungan: Teori, Legislasi dan Studi Kasus, USAID, Jakarta, hlm.2.

3

mengatasi kemerosotan kualitas lingkungan hidup yang semakin parah

dan memprihatinkan.2

Hukum lingkungan internasional sebagai suatu perangkat hukum

yang mengatur hubungan transnasional tentang pengelolaan lingkungan

hidup telah berkembang dengan pesat semenjak diproklamirkannya

Deklarasi Stockhlom 1972. Deklarasi ini telah berhasil meletakkan dasar-

dasar hukum lingkungan internasional modern, dimana pertumbuhan

hukum lingkungan internasional semakin intensif dengan lahirnya

deklarasi Rio 1992 dan Deklarasi Pembangunan Berkelanjutan pada KTT

Bumi atau World Summit on Sutainable Development (WSSD), yang

menekankan pada penciptaan dan pembentukan sikap-sikap pemerintah

di dunia terhadap pola pembangunan berkelanjutan.3

Lahirnya deklarasi ini kemudian menjadi pemicu kesadaran

masyarakat internasional terkait pentingnya menjaga lingkungan hidup

sebagai bagian tak terpisahkan dari kehidupan umat manusia. Selain itu,

deklarasi ini juga ikut andil dalam lahirnya Konvensi-Konvensi

internasional yang berkonsentrasi terhadap perlindungan lingkungan

hidup. Diantara beberapa Konvensi internasional tersebut antara lain

Convention on International Trade in Endangered Species (CITES),

Convention on Bilogycal Diversity, Climate Change Convention dan lain-

lain.

2 Sefriani, 2016, Peran Hukum Internasional dalam Hubungan Internasional

Kontemporer, Rajawali Pers, Jakarta, hlm.277. 3 Ibid, hlm.2.

4

Salah satu aspek lingkungan yang sangat menarik untuk dikaji

secara lebih mendalam adalah permasalahan lahan basah (Wetland).

Menurut pasal 1 Ramsar Convention 1971 yang dimaksud dengan lahan

basah adalah:

“Areas of marsh, fen, peatland or water, whether natural or artificial,

permanent or temporary, with water that is static or flowing, fresh

brackish or salt, including areas of marine water the depth of which

at low tide does not exceed six meters”

(Daerah-daerah rawa, payau, lahan gambut, dan perairan; tetap

atau sementara; dengan air yang tergenang atau mengalir; tawar,

payau, atau asin; termasuk wilayah perairan laut yang

kedalamannya tidak lebih dari enam meter pada waktu surut),4

Pengertian tersebut menunjukkan bahwa cakupan lahan basah di

wilayah pesisir meliputi terumbu karang, padang lamun, dataran lumpur

dan dataran pasir, mangrove, wilayah pasang surut, maupun estuari.

Sedangkan di daratan cakupan lahan basah meliputi rawa-rawa baik air

tawar maupun gambut, danau, sungai, dan lahan basah buatan seperti

kolam, tambak, sawah, embung, dan waduk.5

Lahan basah memiliki peranan yang sangat penting bagi kehidupan

manusia. Fungsi lahan basah tidak saja dipahami sebagai pendukung

kehidupan secara langsung, seperti sumber air minum dan habitat

beraneka ragam mahluk, tapi juga memiliki berbagai fungsi ekologis

4 Lihat Pasal 1 Ramsar Convention 1971

5 Komite Nasional Pengelolaan Ekosistem Lahan Basah,2004, Strategi Nasional

dan Rencana Aksi Pengelolaan Lahan Basah di Indonesia, Deputi Bidang Pelestarian Lingkungan, Kementerian Lingkungan Hidup, Jakarta, hlm.1.

5

seperti pengendali banjir, pencegah intrusi air laut, erosi, pencemaran,

dan pengendali iklim global.6

Pengaturan mengenai ekosistem lahan basah secara global

terdapat dalam suatu Konvensi Internasional yang diinisiasi oleh IUCN

(International Union for Conservation of Nature and Natural Resources).

Konvensi ini dikenal dengan nama Conventions on Wetlands of

International Importance, especially as Waterfowl Habitat atau yang lebih

dikenal dengan nama Ramsar Convention 1971.7

Konvensi ini merupakan Konvensi internasional pertama yang

mengatur habitat tertentu. Adapun tujuan dari Konvensi ini adalah untuk

melindungi dan melestarikan lahan basah yang penting bagi dunia

internasional khusususnya sebagai habitat burung air. Untuk itu, semua

negara peserta harus menunjuk lahan-lahan basah tertentu dalam

wilayahnya untuk dimasukkan dalam daftar Wetland Of International

Importance atau yang lebih dikenal dengan istilah Situs Ramsar dengan

memperhatikan signifikansinya dalam ekologi, botani, zoologi dan

hidrologi.8

Misi yang ingin dicapai oleh Konvensi ini adalah memberikan

perlindungan dan pemanfaatan secara bijaksana (wise use) setiap lahan

basah melalui implementasi rencana aksi lokal dan nasional, dan

kerjasama internasional sebagai sebuah usaha mencapai pembangunan

6 Ibid

7 G.V.T Matthews, 1993, The Ramsar Convention on Wetlands: its History and

Development, Ramsar Convention Bureau, Gland, Switzerland hlm.5. 8 Lihat pasal 2 ayat 1-2 Ramsar Convention 1971

6

berkelanjutan di dunia.9 Konsep penggunaan secara bijak (wise use)

dalam Konvensi ini berlaku untuk semua lahan basah dan sumber daya

alam lainnya terkait lahan basah disetiap wilayah negara peserta , tidak

hanya situs-situs yang ditunjuk sebagai wetlands of international

importance. Penerapan ini sangat penting untuk memastikan bahwa lahan

basah dapat terus memberikan peran vital dalam mendukung

pemeliharaan ekosistem, keanekaragaman hayati, dan kesejahteraan

manusia untuk generasi mendatang.10

Melihat betapa pentingnya lahan basah dalam menunjang

kehidupan manusia , maka upaya untuk menjaga kelestariaannya pun

harus menjadi fokus utama. Namun, yang terjadi justru sebaliknya,

konversi lahan basah yang telah terjadi diberbagai belahan dunia telah

menjadi faktor utama terjadi kerusakaan terhadap jutaan lahan basah di

dunia. Data menunjukkan sekitar 64% lahan basah dunia telah hilang dan

dapat terus meningkat apabila tidak diperhatikan dengan baik. Padahal

lebih dari satu miliar orang di seluruh dunia mencari nafkah langsung dari

lahan basah ini.11

Indonesia memiliki sekitar 40,5 juta hektar lahan basah sehingga

tergolong sebagai negara dengan lahan basah terluas di Asia setelah

9 Anonim, 2016, An Introduction to the Ramsar Convention on Wetlands, 7th ed.

(previously The Ramsar Convention Manual), Gland, Switzerland, Ramsar Convention Secretariat,hlm.9.

10 Ramsar Liquid Assets, 2011, 40 years of the Convention on Wetlands, Ramsar

Convention Secretariat Rue Mauverney 28 CH – 1196, Gland, Switzerland, hlm. 11. 11

Anonim, 2014, The Ramsar CEPA Programme, https://www.ramsar.org/activity/the-ramsar-cepa-programme, diakses pada 27 Desember 2017

7

China.12 Oleh karena itu, sebagai wujud tanggung jawab serta kepedulian

Indonesia terhadap perlindungan lahan basah, maka diratifikasilah

Ramsar Convention 1971 ini. Indonesia meratifikasi Konvensi Ramsar

pada tanggal 19 Oktober 1991 melalui Keputusan Presiden Nomor 48

Tahun 1991 tentang Pengesahan Convention on Wetlands of International

Importance especially as Waterfowl Habitat dan menetapkan Taman

Nasional Berbak di Jambi sebagai Situs Ramsar pertama di Indonesia.13

Dan mulai berlaku (entry into force) di Indonesia sejak 8 Agustus tahun

1992. Ratifikasi ini menunjukkan bahwa pemerintah Indonesia ingin turut

andil dalam melestarikan ekosistem lahan basah yang ada di Indonesia,

sebagai bagian penting ekosistem dunia.

Hingga tahun 2017, terdapat tujuh situs ramsar yang ada di

Indonesia yaitu Taman Nasional Berbak (Jambi), Taman Nasional

Sembilang (Sumatera Selatan), Taman Suaka Margasatwa Pulau Rambut

(DKI Jakarta), Taman Nasional Danau Sentarum (Kalimantan Barat),

Taman Nasional Rawa Aopa Watumohai (Sulawesi Tenggara), Taman

Nasional Wasur (Papua) dan yang terbaru adalah Taman Nasional

Tanjung Puting (Kalimantan Tengah) yang ditetapkan pada bulan Januari

12

Komite Nasional Pengelolaan Ekosistem Lahan Basah, Op.cit., hlm. IV. 13 Wetland international, 2013, Laporan Kegiatan Peringatan Hari Lahan Basah

Sedunia, 2 Februari 2012 Di Desa Reroroja Kecamatan Magepanda Kabupaten Sikka, https://www.ramsar.org/sites/default/files/documents/pdf/wwd/12/Indonesia_report.pdf, diakses pada 02 januari 2018..

8

2014.14 Adapun total luas wilayah yang menjadi situs ramsar di Indonesia

yaitu 1.372.976 hektar.15

Salah satu lahan basah yang banyak terdapat di Indonesia adalah

hutan mangrove yang memiliki beragam manfaat, baik dari sisi ekologi

maupun ekonomi. Lebih dari sekedar untuk memenuhi kebutuhan hidup

masyarakat pesisir, ekosistem mangrove merupakan sumberdaya lahan

basah wilayah pesisir dan menjadi sistem penyangga kehidupan dan

kekayaan alam yang nilainya sangat tinggi. Oleh karena itu, perlu upaya

perlindungan, pelestarian dan pemanfaatan secara lestari untuk

kesejahteraan masyarakat.

Ekosistem mangrove mempunyai fungsi ekologis dan ekonomis.

Fungsi ekologis hutan mangrove antara lain sebagai pelindung garis

pantai, mencegah intrusi air laut, habitat (tempat tinggal), tempat mencari

makan (feeding ground), tempat asuhan dan pembesaran (nursery

ground), tempat pemijahan (spawning ground) bagi aneka biota perairan,

serta sebagai pengatur iklim mikro.16 Hutan mangrove juga berperan

dalam menyerap karbondioksida dan menghasilkan oksigen. Kemampuan

hutan mangrove menyerap karbondioksida ini sangat berguna dalam

14

Yus Rusila Noor, 2016, Lahan Basah untuk masa depan kita, https://indonesia.wetlands.org/id/berita/opini-lahan-basah-untuk-masa-depan-kita/, dikases pada 27 Desember 2017.

15 Lihat https://www.ramsar.org/wetland/indonesia, diakses pada 20 Desember

2017. 16

Abdul Hafidz Holii, 2010, Analisa Kebijakan Pengelolaan Pesisir Dan Mangrove Di Teluk Tomini Wilayah Propinsi Gorontalo, Tomini Bay Sustainable Coastal Livelihoods and Management (SUSCLAM), Gorontalo, hlm.1.

9

usaha mengurangi pemanasan global.17 Sedangkan dari segi ekonomi,

hutan mangrove merupakan penghasil keperluan rumah tangga, penghasil

keperluan industri, dan penghasil bibit.18

Adapun perkiraan luas mangrove di seluruh dunia sangat beragam.

Beberapa peneliti seperti Lanly menyebutkan bahwa luas mangrove di

seluruh dunia adalah sekitar 15 juta hektar, sedangkan Spalding,

menyebutkan 18,1 juta hektar. Benua Asia merupakan wilayah dengan

luas hutan mangrove terbesar di duna , yakni diperkirakan antara 32%

sampai 41.5% mangrove dunia.19

Namun seiring dengan pertambahan jumlah penduduk dan

perkembangan industri, kawasan hutan mangrovepun semakin terancam.

Berdasarkan data yang dikeluarkan oleh Food and Agricultural

Organization (FAO), diseluruh dunia telah kehilangan sekitar 3,6 juta

hektar hutan mangrove dari 18,8 juta hektar pada tahun 1980 menjadi

15,2 juta hektar pada tahun 2005. Hal ini setara dengan menghilangnya

20% keseluruhan hutan mangrove yang ada.20 Bahkan menurut data dari

17

Natalia Trita Agnika, 2016, Lahan Basah Asset Penting Bagi Lingkungan Hidup, https://www.wwf.or.id/?45402/Lahan-Basah-Aset-Penting-bagi-Lingkungan-Hidup, diakses pada 30 Desember 2017.

18 Abdul Hafidz Holii, Loc.cit. 19

Spalding dalam Yus Rusila Noor, M. Khazali dan I N.N. Suryadiputra, 2006, Panduan Pengenalan Mangrove di Indonesia, Wetland International (Indonesia Programme), Bogor, hlm.1.

20 FAO, 2008, Loss of mangroves alarming 20 percent of mangrove area

destroyed since 1980 – rate of loss slowing, http://www.fao.org/newsroom/en/news/2008/1000776/index.html, diakses pada tanggal 28 Desember 2017.

10

Wetlands Internasional sebanyak 67% dari mangrove yang dulunya ada,

telah hilang ataupun mengalami degradasi.21

Indonesia sendiri dikenal sebagai negara dengan ekosistem

mangrove terluas di dunia serta memiliki keanekaragaman hayati yang

paling tinggi. Dengan panjang garis pantai sebesar 95,181 kilometer

persegi, Indonesia mempunyai luas mangrove sebesar 3.489.140,68

hektar di tahun 2015. Jumlah ini setara dengan 23% ekosistem mangrove

dunia yaitu dari total luas 16.530.000 hektar.22 Bukan hanya dari segi luas

wilayah, hutan mangrove di Indonesia juga kaya akan keberagaman

spesies. Menurut FAO, ada 48 spesies mangrove di Indonesia, yang

membuat Indonesia menjadi pusat penting keanekaragaman hayati

mangrove di dunia.23

Namun, ternyata dari luas mangrove di Indonesia, diketahui hanya

1.671.140,75 hektar yang berada dalam kondisi baik, sedangkan areal

sisanya seluas 1.817.999,93 hektar dalam kondisi rusak.24 Dalam

pertemuan International Conference on Sustainable Mangrove Ecosystem

in Bali, 18-21 April 2017 lalu, Kementerian Lingkungan Hidup dan

Kehutanan (KLHK), yang diwakili oleh Dirjen Pengendalian DAS dan

Hutan Lindung, Hilman Nugroho, menguraikan bahwa setiap tahunnya

21

Wetlands international, 2017, More Mangrove Please, https://indonesia.wetlands.org/id/berita/more-mangroves-please/, diakses pada 30 Desember 2017.

22 Data ini dikemukakan oleh Direktur Bina Pengelolaan Kawasan Ekosistem

Esensial, Antung Deddy Radiansyah pada komunikasi publik di Gedung Manggala Wanabakti, Jakarta, (Selasa, 14/03/2017, diakses melalui http://ppid.menlhk.go.id/siaran_pers/browse/561 pada tanggal 27 November 2017

23 Akhmad Solihin (Dkk),2013, Laut Indonesia dalam Krisis, Greenpeace

Southeast Asia (Indonesia), Jakarta, hlm.1. 24

Antung Deddy Radiansyah, Loc.cit.

11

Indonesia kehilangan 5 - 6% luasan mangrove atau setara dengan sekitar

200.000 hektar pertahun.25

Pemanfaatan sumberdaya mangrove yang tidak didasarkan

kepentingan ekologis, pada kenyataannya merupakan ancaman terbesar

bagi tingginya laju kerusakan hutan mangrove di Indonesia. Hilangnya

kawasan hutan mangrove ini banyak disebabkan karena konversi lahan

menjadi tambak, penggunaan kayu mangrove untuk bahan industri, kayu

bakar dan reklamasi pantai yang makin marak. Selain itu, Pertumbuhan

penduduk yang tinggi dan pesatnya kegiatan pembangunan di pesisir

dengan berbagai peruntukan (pemukiman, perikanan, pelabuhan, dan

lain-lain), juga semakin meningkatkan tekanan ekologis terhadap

ekosistem pesisir, khususnya ekosistem hutan mangrove.26

Pemerintah juga dinilai memiliki andil besar mendorong degradasi

hutan mangrove melalui berbagai kebijakan yang cenderung mendukung

dan mamanjakan para petambak. Penghancuran kawasan mangrove

secara masif dimulai ketika pemerintah pusat mencanangkan program

Intam tahun 1984 yang tersebar di 12 provinsi. Program ini memicu

ekstensifikasi tambak udang yang berdampak pada penghancuran hutan

mangrove secara besar-besaran untuk dijadikan tambak.27 Ironisnya,

25

Lihat https ://indonesia.wetlands.org/id/berita/international-conference-on-sustainable-mangrove-ecosystem/, diakses pada 27 November 2017.

26 Bengen dalam Maulinna Kusumo Wardhani,2011, Kawasan Konservasi

Mangrove: Suatu Potensi Ekowisata, Jurnal KELAUTAN, Volume 4, No.1 April 2011, hlm. 61.

27 Wahyu Chandra, 2014, Kebijakan Pemerintah Picu Degradasi Hutan

Mangrove,https://www.mongabay.co.id/2014/03/26/kebijakan-pemerintah-picu-degradasi-hutan-mangrove/, diakses pada 28 Desember 2017.

12

ketika terjadi penurunan produksi tambak akibat berbagai macam

penyakit, tambak-tambak ini ditinggalkan begitu saja., dan kemudian para

petambak ini memperluas ekspansi ke daerah-daerah lain. Hal ini tentu

sangat berpengaruh terhadap semakin luasnya wilayah hutan mangrove

yang mengalami kerusakan.

Kerusakan hutan mangrove hampir terjadi diseluruh wilayah

Indonesia. Di Pulau Jawa misalnya, berdasarkan data dari Reducing

Emissions from Deforestation and Forest Degradation (REDD), yang

menyatakan titik terparah kerusakan hutan mangrove di pulau Jawa

terjadi di kawasan pantai utara (Pantura) dimana 3,7% mangrove rusak

pertahunnya.28 Sementara itu di Sulawesi Selatan, kondisi hutan

mangrove tidak kalah memprihatinkan. Pada 1970-an, masih terdapat

sekitar 214 ribu hektar hutan mangrove, sementara di 2014 diperkirakan

hanya tersisa 23 ribu hektar. Sedangkan di Tanjung Panjang,Gorontalo.

Hutan mangrove di kawasan cagar alam ini berkurang drastis, dari 3.000

hektar tersisa 200 hektar.29 Hal ini bertambah ironis melihat statusnya

sebagai cagar alam yang sepatutnya mendapat perlindungan khusus,

namun justru mengalami kerusakan yang tinggi.

Semakin tingginya laju kerusakan hutan mangrove ini tentunya

akan menimbulkan berbagai dampak negatif. Adapun dampak yang telah

dirasakan dalam beberapa dekade terakhir adalah dengan meningkatnya

28

Imam Solehudin,2017, Duh Kerusakan Hutan Mangrove di Pulau Jawa Makin Parah, https://www.jawapos.com/read/2017/09/09/156036/duh-kerusakan-hutan-

mangrove-di-pulau-jawa-makin-parah, diakses pada 27 Desember 2017. 29 Wahyu Chandra, Loc.cit.

13

suhu global dan kenaikan permukaan laut. Efek ini pada akhirnya

berkontribusi pada peningkatan kejadian cuaca ekstrem dan terjadinya

bencana alam, seperti angin topan dan banjir parah.30 Salah satu

contohnya adalah terjadinya abrasi yang menyebabkan hilangnya tiga

desa dikawasan Pantai Muara Gembong, Bekasi. Hal ini diketahui sebagai

akibat dari 93,5% hutan mangrove yang ada dikawasan tersebut beralih

fungsi menjadi tambak dan lahan pertanian31 Kondisi ini menjadi bukti

nyata bahwa di Indonesia mengalami laju kerusakan hutan mangrove

yang sangat masif dan tentunya sangat mengancam kehidupan.

Melihat tingginya laju kerusakan hutan mangrove di Indonesia serta

dampak negatif yang ditimbulkan, tentunya memunculkan pertanyaan

besar terkait sejauh mana peran dan komiten Indonesia selaku negara

yang telah meratifikasi Ramsar Convention 1971 ini dalam memberikan

perlindungan hukum terhadap hutan mangrove di Indonesia, sebagai

bagian penting dari lahan basah dunia.

B. Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang masalah tersebut, rumusan masalah

yang dapat dikemukakan adalah sebagai berikut:

30

IUCN, 2017, Mangroves and REDD New Component,

https://www.iucn.org/news/asia/201711/mangroves-and-redd-new-component-mff, diakses pada 20 Desember 2017.

31Anonim,2013, Mangrove Muara Gembong Rusak Parah 3 Desa Hilang

https://www.mongabay.co.id/2013/03/11/mangrove-muara-gembong-rusak-parah-3-desa-hilang/, diakses pada 20 Desember 2017.

14

1. Bagaimanakah perlindungan hukum hutan mangrove menurut

Ramsar Convention 1971?

2. Bagaimanakah implementasi Ramsar Convention 1971

terhadap perlindungan hutan mangrove di Indonesia?

C. Tujuan Penelitian

Tujuan penelitian skripsi ini adalah:

1. Untuk mengetahui bagaimana perlindungan hukum hutan

mangrove menurut Ramsar Convention 1971.

2. Untuk mengetahui implementasi Ramsar Convention 1971

terhadap perlindungan hutan mangrove di Indonesia.

D. Manfaat Penelitian

Adapun manfaat penelitian ini adalah:

1. Manfaat akademis dari penelitian ini yaitu diharapkan dapat

menjadi referensi acuan mengenai penelitian lain yang terkait

dengan Ramsar Convention 1971 terhadap perlindungan hutan

mangrove di Indonesia.

2. Manfaat praktis dari penelitian ini yaitu diharapkan dapat

menghasilkan rekomendasi untuk para pembuat kebijakan

dalam menyusun pengaturan lainnya tentang bagaimana

perlindungan hukum terkait hutan mangrove berdasarkan

Ramsar Convention 1971.

15

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

A. Hukum Lingkungan Internasional

1. Pengertian Hukum Lingkungan Internasional

Hukum lingkungan dapat diartikan sebagai seperangkat aturan

yang ditujukan kepada kegiatan-kegiatan yang memengaruhi kualitas

lingkungan, baik secara alami maupn buatan manusia, sebagaimana

dikemukakan oleh Mac Adrews dan Chia Lin Sien berikut ini:32

The nature of environmental law is such that the subject defies precies delineation. As a simple working definition, we might say that environmental law is the set of legal rules addressed spesifically to activities which potentially affect the quality of environment, whether natural or man-made. But it will be immediately apparent that even such a general definition raises a host of subsidiary issues which, in some cases, call for drawing of essentially arbitrary lines.

Sementara itu, secara lebih spesifik Ida bagus wyasa putra

mendefinisikan hukum lingkungan internasional sebagai:33

Hukum lingkungan internasional adalah keseluruhan kaedah,azas-azas, lembaga-lembaga dan proses-proses yang mewujudkan kaedah tersebut dalam kenyataan. Hukum atau keseluruhan kaedah dan azas yang dimaksud adalah keseluruhan kaedah dan azas yang terkandung dalam perjanjian-perjanjian internasional maupun kebiasaan internasional, yang berobjek pada lingkungan hidup, yang oleh masyarakat internasional, yaitu masyarakat Negara-negara, termasuk subjek hukum internasional bukan Negara, diwujudkan dalam kehidupan bermasyarakat melalui lembaga-lembaga dan proses kemasyarakatan internasional.

32

Siti Sundari Rangkuti dalam Muhammad Akib, 2014, Hukum Lingkungan Perspektif Global dan Nasional, PT Raja Grafindo Persada, Jakarta, hlm.55.

33 Ida Bagus Wyasa Putra, 2003, Hukum Lingkungan Internasional dalam

Perspektif Bisnis Internasional, Refika Aditama, Bandung, hlm.1.

16

Pengertian mengenai hukum lingkungan internasional juga

dikemukakan oleh Alexandre Kiss yang menyatakan bahwa:34

International environmental law is a branch of public international law. While agreements devoted to aspects of environmental protection have developed their own particularities, the structures and norms of international law provide the basic legal framework for the field. Within this framework, international rules having quite varied objectives often need to be includes as aa part of international environmental law, because they have a significant environmental impact. The first treaties, for example, were primarily intended to pervert conflict between fishermen of different nationalities and to protect local economies. Fulfillment of these objecctives nonetheless fostered concept of sustainable exploitation, permitting then maintenance and renewal of fish stocks. Similiry, norms to standardize the performance of internal combustion engines, originally adopted by the European Union in order to facilitate trade within region, have led to cleaner technology and reductions in engine noise and the emission of noxious gases. In sum, the field of international environmental law encompasses large arts of public international law as well as being subsumed within its basic structure.

2. Objek Hukum Lingkungan Internasional

Menurut Ida Bagus Wyasa Putra, objek hukum internasional

berdasarkan pendekatan hukum internasional dan ekologi, dapat

diklasifikasikan atas tiga bagian yaitu:35

a. Lingkungan Hidup Sebagai Bagian Wilayah Suatu Negara

(Under National Juridiction)

Dijelaskan bahwa sebagai suatu wilayah suatu Negara, lingkungan

hidup tunduk pada kedaulatan dan yurisdiksi suatu Negara, karenanya

terhadap lingkungan hidup dalam status demikian berlakulah prinsip-

34

Alexandre Kiss dan Dinah Shelton, 2007, Guide to International Environmental Law, Koninklijke Brill NV, Leiden,Belanda, hlm.1.

35 Ida Bagus Wyasa Putra, Op.cit, hlm.6-9.

17

prinsip kedaulatan dan yurisdiksi Negara, sebagaimana yang dijelaskan

dalam resolusi umum PBB No.3281 (XXIX) tentang Charter of Economic

Rights and Duties of States bahwa “Every state has and shall freely

exercises full permanent sovereignty, including prosession, use and

disposal, over all its wealth, natural resources and economic activities”

Namun demikian, kedaulatan suatu Negara atas haknya dalam

pemanfaatan sumber daya alamnya tersebut yang merupakan bagian

wilayahnya tetap diimbangi dengan kewajiban untuk memastikan bahwa

pemanfaatan sumber daya alam tersebut tidak menimbulkan kerugian

terhadap Negara atau pihak lain yang berada diluar wilayah yurisdiksinya.

Sebagaimana yang termuat dalam prinsip 21 Deklarasi Stockholm 1972

(Declaration of the United Nations Conference on the Human

Environment) bahwa:

“states have, in accordance with charter of the united nations and the principles of international law the sovereign right to exploit their own natural resources pursuant to their own environmental and developmental policies, and the responsibility to ensure that activities within their jurisdiction or control do not cause damage to the environment of other states or of areas beyond the limits of national jurisdictions ”

b. Lingkungan Hidup yang berada diluar wilayah suatu Negara

(beyond the limits of national jurisdiction)

Lingkungan hidup yang berada di luar wilayah suatu Negara baik

karena sifatnya yang tidak mungkin dikuasai maupun karena masyarakat

ineternasional menyepakati untuk tidak menempatkan kawasan-kawasan

18

demikian itu sebagai bagian wilayahnya adalah seperti laut bebas (high

sea) dan ruang angkasa (outer space ).

Terhadap kedudukan lingkungan hidup demikian itu berlakulah

kesepakatan negara-negara, baik yang dikukuhkan melalui suatu

perjanjian maupun yang lahir dari hukum kebiasaan internasional

(international customary law).

c. Lingkungan Hidup sebagai Suatu Keseluruhan (Global

Environment)

Sejak tahun 1970-an berkembang pandangan tentang lingkungan

hidup, lebih tegas lagi disebutkan sebagai lingkungan hidup bumi, sebagai

suatu keseluruhan (wholeness), yang diberi lingkungan hidup global

(global environment). Pandangan ini memandang lingkungan hidup bumi

sebagai suatu ekosistem besar, tempat satu-satunya dimana manusia

hidup dan menggantungkan kehidupannya, yang keberlanjutan daya

dukungnya tergantung pada stabilitas kualitas elemen-elemennya. World

Commission on Environment and Development (WCED) dalam laporan

studinya yang diberi judul Our Common Future menulis permulaan

laporan dengan menyatakan:

“In the middle of the 20th century, we saw our planet from space for first tim …. From space, we see a small and fragile ball dominated not by human activity and edifice but by a pattern of clauds, oceans, greeny, and soils. … we can see and study the earth as an organism whose health depends on the health of all it parts.

Pandangan demikian melahirkan konsep baru dalam pengaturan

internasional perihal pemanfaatan dan perlindungan lingkungan hidup,

19

yang antara lain ditandai dengan lahirnya konsep global environment,

lingkungan hidup sebagai warisan bersama ummat manusia (common

heritage of mankind), lingkungan hidup sebagai objek kepentingan

bersama (common interest), krisis global (global atau interlocking crisis),

usaha bersama untuk mengatasi masalah lingkungan (common efforts),

dan lain-lain.

Oleh karenanya pandangan tentang konsep global environment

semakin menguat, bahwa elemen-elemen lingkungan global pada

hakikatnya merupakan satu kesatuan yang tidak terpisahkan dan

membentuk serta memengaruhi kualitas lingkungan hidup secara

keseluruhan, yaitu lingkungan hidup yang teridiri dari elemen-elemen

yang berada di dalam wilayah suatu negara, seperti air, tanah, hutan,

flora, fauna dan keragaman hayati, dan elemen-elemen lain yang karena

sifat atau letaknya tidak dapat dijadikan objek pemilikan suatu negara,

seperti ozon, udara yang senantiasa bergerak, lapisan atmosfir, dan

elemen-elemen lain yang berada di luar wilayah setiap negara. Sehingga

memungkinkan gerakan-gerakan, usaha-usaha dan partisipasi yang

bersifat internasional, yang menembus batas-batas kedaulatan negara,

untuk bersama-sama mengatur pemanfaatan dan pengelolaan elemen-

elemen lingkungan hidup bumi.

3. Subjek Hukum Lingkungan Internasional

Berdasarkan definisi hukum lingkungan internasional yang telah

dijelaskan sebelumnya, bahwa hukum lingkungan internasional

20

merupakan bagian dari hukum internasional publik, oleh karenanya

hukum internasional merupakan kerangka dasar dari hukum lingkungan

internasional. Sehingga subjek hukum lingkungan internasional adalah

subjek hukum internasional pada umumnya, seperti negara-negara,

organisasi-organisasi internasional, dan subjek-subjek hukum

internasional bukan negara lainnya.

Adapun yang dimaksud bahwa hukum lingkungan internasional

memiliki corak tersendiri, hal tersebut dideskripsikan melalui objek hukum

lingkungan internasional yang telah dijelaskan sebelumnya36 Sehingga

dalam konteks hukum lingkungan internasional, ada peningkatan peran

subjek-subjek bukan negara, terutama subjek-subjek privat yang

sebenarnya tidak diterima sebagai subjek hukum internasional, sebab

atas dasar konsep Global Environment yang dideskripsikan dalam objek

hukum lingkungan internasional, ada pemberian kesempatan dan

pengakuan oleh negara-negara terhadap peran subjek-subjek seperti itu,

dan atas dasar gerakan humanisme universal yang lahir dari konsep

Global Environment yang menempatkan manusia sebagai suatu

keseluruhan atau mengatasnamakan keseluruhan untuk bergerak

bersama-sama dalam gerakan lingkungan internasional untuk menetukan

sikap terhadap tindakan yang bersifat merusak lingkungan hidup.37

36 Ibid, hlm.10. 37

Yusran Adrian Nisar, 2016, “Implementasi Convention on Biological Diversity

1992 Pada Sektor Kelautan di Indonesia”, Skripsi, Sarjana Hukum, Fakultas Hukum Universitas Hasanuddin, Makassar,hlm.28.

21

4. Sumber-Sumber Hukum Lingkungan Internasional38

Sebagaimana halnya dengan sumber-sumber hukum internasional,

hukum lingkungan internasional memiliki sumber-sumber hukum seperti

perjanjian internasional, hukum kebiasaan internasional, prinsip hukum

umum, putusan mahkamah internasional, dan doktrin para ahli yang

disebutkan dalam Pasal 38 statuta mahkamah internasional. Meskipun

hanya diatur dalam statuta mahkamah internasional, sumber- sumber

hukum tersebut telah diterima dan diakui sebagai suatu sumber hukum

yang menciptakan aturan yang mengikat bagi negara-negara.

Hanya saja Pasal 38 tidak secara eksplisit mengatur sumber-

sumber hukum tersebut secara hirarkis, khususnya diantara tiga sumber

hukum pertama yang disebutkan, yang ada adalah hubungan keterkaitan

yang kompleks. Umumnya, Perjanjian internasional diinterpretasikan

sesuai dengan hukum kebiasaan yang memungkinkan, namun dengan

perjanjian pula suatu hukum kebiasaan juga dapat diubah asalkan tidak

bertentangan dengan prinsip-prinsip hukum yang ada.

Praktik masyarakat internasional saat ini banyak mengandalkan

aktivitas-aktivitas organisasi-organisasi internasional yang berbeda yang

dapat berkontribusi terhadap perkembangan aturan hukum baru,

khususnya dengan mengadopsi non-binding text (naskah tidak mengikat)

atau non binding normative instrument (instrumen hukum tidak mengikat)

atau umumnya dikenal sebagai soft law. Instrumen hukum seperti itulah

38 Alexandre Kiss dan Dinah Shelton, Op.cit., hlm. 3-16.

22

saat ini yang banyak memegang peranan dalam pembentukan hukum

internasional pada umumnya dan hukum lingkungan khususnya.

Instrumen hukum tersebut banyak digunakan sebab dinilai lebih

fleksibel sehingga seluruh kehendak subjek hukum internasional bahkan

termasuk subjek hukum yang tidak diterima sebagai subjek hukum

internasional. Subjek-subjek hukum tersebut dapat menempatkan

normative statements (pernyataan- pernyataan hukum) dan persetujuan-

persetujuan. Bahkan instrumen hukum demikian dinilai lebih mudah sebab

negosiasi atau perundingan dalam memformulasikannya dapat lebih cepat

daripada dalam bentuk perjanjian lainnya. Instrumen hukum seperti itu

juga dinilai lebih mudah untuk diimplementasikan, selain itu peserta

perunding akan mudah menggunakan tekanan politik untuk memengaruhi

peserta lainnya walau tidak ada tuntutan untuk menyesuaikan norma

hukum yang termuat dengan hukum nasional suatu negara peserta,

sehingga instrumen hukum tersebut sarat dengan nilai pengetahuan

ilmiah dan dinilai lebih ampuh dapat mendorong kesadaran publik untuk

melakukan perlindungan terhadap lingkungan hidup.

5. Prinsip-prinsip Hukum Lingkungan Internasional

a. Prinsip Pembangunan Berkelanjutan (Sustainable

Development)

Pengertian dari sustainable development adalah pembangunan

yang memenuhi kebutuhan generasi sekarang tanpa mengurangi

kemampuan generasi yang akan datang dalam memenuhi kebutuhannya.

23

Definisi ini diberikan oleh World Commision on Environment and

Development (WCED) atau Komisi Dunia untuk Lingkungan dan

Pembangunan sebagaimana tersaji dalam laporan komisi yang terkenal

dengan komisi “Brutland” yang terumuskan berupa : “if it meets the needs

of the present without compromising the ability of future generation to

meet their own needs” (pembangunan yang berusaha memenuhi

kebutuhan hari ini, tanpa mengurangi kemampuan generasi mendatang

untuk memenuhi kebutuhan mereka).39

b. Prinsip Keadilan Antargenerasi ( Principle of Intergenerational

Equity)

Berdasarkan prinsip ini negara dalam harus melestarikan dan

menggunakan lingkungan serta sumber daya alam bagi kemanfaatan

generasi sekarang dan mendatang. Prinsip keadilan antargenerasi ini

terumuskan dalam Prinsip 3 yang menyatakan hak untuk melakukan

pembangunan dilakukan dengan memenuhi kebutuhan generasi

sekarang tanpa mengurangi kemampuan generasi mendatang dalam

memenuhi kebutuhannya. (the right to development must be fulled so as

to equitably meet developmental and environmental needs of present and

future generations).40

Beberapa elemen kunci dari intergenerational principle ini terurai

dalam rumusan yang dibuat oleh suatu konferensi internasional di

39

Laode M Syarief, Maskun, dan Birkah Latif, 2015, Evolusi Kebijakan dan

Prinsip-prinsip Lingkungan Global, dalam Laode.M Syarief Andri G Wibisana (ed), Hukum Lingkungan: Teori, Legislasi, dan Studi Kasus, USAID-Kemitraan, Jakarta, hlm.49.

40 N.H.T Siahaan dalam ibid, hlm.50.

24

Canberra pada 13-16 November 1994 yang lazim disebut Fenner

Coference on the Environment. Prinsip ini dirumuskan dalam konferensi

tersebut:41

1) Setiap masyarakat di dunia ini antara satu generasi dengan

generasi lainnya berada dalam kemitraan (global partnership);

2) Generasi kini tidak semestinya memberikan beban

eksternalitas pembangunan bagi generasi berikutnya;

3) Setiap generasi mewarisi sumber-sumber alam dan habitat

yang berkualitas dan mewariskannya pula pada generasi

selanjutnya dengan mana generasi ini memiliki kesempatan

yang setara dalam kualitas fisik, ekologi, ekonomi, dan sosial;

4) Generasi kini tidak boleh mewariskan generasi selanjutnya

sumber-sumber alam yang tidak dapat dibarui secara pasti

(eksak).

c. Prinsip Keadilan Intragenerasi ( Principle of Intragenerational

Equity)

Keadilan intragenerasi merupakan keadilan yang ditujukan pada

mereka yang hidup di dalam satu generasi. Keadilan intragenerasi ini

terkait dengan distribusi sumber daya secara adil, yang berlaku pada

tingkat nasional maupun internasional.42 Lebih dari itu, disamping terkait

41

Ibid, hlm.49-50. 42

R. C. Bishop, Endangered Species and Uncertainty: the Economics of a Sale Minimum Standard”. Amerian Journal of Agricultural Economics, dikutip dalam Andri G. Wibisana, “Elemen-elemen Pembangunan Berkelanjutan dan Penerapannya dalam

25

dengan distribusi sumber daya dan manfaat/ hasil pembangunan. Konsep

keadilan intragenerasi juga bisa dikaitkan dengan distribusi risiko/biaya

sosial dari sebuah kegiatan pembangunan.

Keadilan intragenerasi merupakan prioritas pertama dari

pembangunan berkelanjutan. Hal ini, menurut Langhelle, ditunjukkan

dalam bagian pertama dari definisi pembangunan berkelanjutan, yaitu

“development that meets the needs of the present…”. Bagian inilah yang

menunjukkan adanya komitmen dari negara-negara terhadap keadilan,

termasuk redistribusi dari pihak yang kaya kepada yang miskin, baik

dalam level nasional, maupun internasional. Selanjutnya, Prof. Ben Boer,

pakar hukum lingkungan dari Universitas Sidney, menunjuk kepada

gagasan bahwa masyarakat dan tuntutan kehidupan lain dalam satu

generasi memiliki hak untuk memanfaatkan sumber alam dan menikmati

lingkungan yang bersih serta sehat. Keadilan intragenerasi dapat

diartikan, baik secara nasional, maupun internasional.43

d. Prinsip Kehati-hatian (Precautionary Principle)44

Pernyataan tentang prinsip ini terdapat dalam Deklarasi Rio (Rio

Declaration) yang dianggap sebagai salah satu ketentuan yang paling

penting, yaitu pada prinsip 15 yang berbunyi:

“In order to protect the environment, the precautionary principle

shall be widely applied by states according to their capabilities.

Where there are threats of serious or irreversible damage, lack of

Hukum Lingkungan”, 2013 akan dipublikasikan dalam Jurnal Hukum dan Pembangunan (forthcoming), hlm. 22. 43

N.H. T Siahaan, Op. cit., hlm.53. 44

Alexandre Kiss dan Dinah Shelton, Op.cit. ,hlm. 94-95.

26

full scientific certainty shall not be used a reason for postponing

cost-effective measures to prevent environmental degradation.”

Bahwa dalam rangka melindungi lingkungan hidup, prinsip kehati-

hatian harus diterapakan secara luas oleh negara-ngeara sesuai dengan

kemampuan mereka. Dimana ada ancaman kerusakan yang serius atau

ireversibel, kurangnya kepastian ilmiah tidak boleh dijadikan alasan untuk

menunda langkah-langkah pembiayaan efektif untuk mencegah terjadinya

degradasi lingkungan hidup. Perumusan prinsip ini memang masih relatif

baru, tetapi sejak tahun 1992 prinsip ini telah muncul hampir di seluruh

instrumen hukum yang berkaitan dengan perlindungan lingkungan hidup.

Pada umumnya prinsip ini dianggap sebagai pengembangan dari

prinsip pencegahan yang tetap menjadi asas umum untuk hukum

lingkungan. Dalam hal ini yang dimaksud dengan kehati-hatian berarti

mempersiapkan untuk suatu potensi, hal yang tidak tentu, atau bahkan

ancaman hipotesis, ketika ada bukti yang takterbantahkan bahwa

kerusakan akan terjadi. Tindakan demikian merupakan bentuk

pencegahan yang didasari pada kemungkinan ataupun kontinjensi, tetapi

tidak sertamerta dapat menghilangkan semua resiko yang diklaim, sebab

ada klaim resiko yang kurang ilmiah, seperti ramalan bintang atau

penglihatan-penglihatan fisik.

e. Prinsip Pencemar Membayar (Polluter Pays Principle)45

Prinsip ini berusaha menekankan agar kerugian yang timbul akibat

pencemaran lingkungan hidup ditanggung pihak yang melakukan

45

Ibid, hlm. 95-97.

27

pencemaran. Prinsip ini dirumuskan oleh the Organisation for Econommic

Co-operation and Development (OECD) sebagai sebuah prinsip dengan

pendekatan ekonomi dan merupakan langkah yang paling efisien untuk

mengalokasikan biaya dari pencegahan pencemaran dan langkah-

langkah pengendalian yang diajukan oleh otoritas publik terhadap negara-

negara anggota. Hal ini dimaksudkan untuk mendorong penggunaan yang

rasional terhadap sumber daya lingkungan hidup yang langka dan untuk

menghindari penyimpangan-penyimpangan dalam perdagangan

perdagangan internasional dan penanaman modal.

Rumusan prinsip ini termuat dalam Rio Declaration pada prinsip 16

yang berbunyi:

“National authorities should endeavor to promote the internalization

of environmental costs and the use of economic instruments, taking

into account the approach that the polluter should, in principle, bear

the cost of pollution, with regard to the public interest and without

distorting international trade and investment.”

Bahwa Otoritas nasional harus berusaha mempromosikan

internalisasi biaya lingkungan hidup dan penggunaan instrumen ekonomi,

dengan mempertimbangkan pendekatan yang pencemar harus, pada

prinsipnya, menanggung biaya pencemaran, dengan memperhatikan

kepentingan umum dan tanpa mendistorsi perdagangan internasional dan

penanaman modal.

f. Prinsip Langkah Pencegahan (Principle of Preventive Action)

Prinsip ini menyatakan bahwa lebih baik mencegah kerusakan

lingkungan daripada menanggulangi kerusakan lingkungan dan/atau

28

memberikan ganti rugi atas kerusakan lingkungan.46 Prinsip ini

dirumuskan dalam prinsip 11 Rio Declaration on Environment and

Development yang menyatakan “States shall enact effective

environmental legislation….” Prinsip ini menekankan pentingnya langkah-

langkah antisipasi untuk mencegah kerusakan lingkungan dan setiap

negara diberi kewajiban untuk mencegah terjadinya kerusakan lingkungan

dan tidak boleh membiarkan kerusakan lingkungan terjadi47

Prinsip ini menentukan bahwa setiap negara diberi kewajiban

untuk mencegah terjadinya kerusakan lingkungan dan tidak boleh

melakukan pembiaran terjadinya kerusakan lingkungan yang bisa berasal

dari kejadian di dalam negerinya dan kemudian menyebabkan terjadinya

kerusakan lingkungan.48

g. Prinsip Pencegahan Dini (Precautionary Principle)49

Prinsip ini menyatakan bahwa tidak adanya temuan atau

pembuktian ilmiah yang konklusif dan pasti, tidak dapat dijadikan alasan

untuk menunda upaya-upaya mencegah kerusakan lingkungan. Dalam

rumusan Prinsip 15 Deklarasi Rio dinyatakan sebagai berikut:

”In order to protect the environment, the precautionary approach shall be widely applied by States according to their capabilities. Where are threats of serious or irreversible damage, lack of full scientic certainty shall not be used as a reason for postponing cost-effective measures to prevent environment degradation”.

46 Elli Louka, 2006, International Environmental Law: Fairness, Effectiveness, and

World Order, Cambridge University Press, New York, hlm. 50. 47

Laode M Syarief dan Andri.G. Wibisana (ed), Op.cit, hlm.61. 48

ibid 49

Ibid, hlm.62.

29

Prinsip ini merupakan jawaban atas kebijakan pengelolaan

lingkungan yang didasarkan kepada satu hal yang perlu dalam melakukan

prevensi atau penanggulangan hanya akan dapat dilakukan jika telah

benar-benar dapat diketahui dan dibuktikan. Sungguh sangat merugikan

sekali jika sesuatu yang sudah berpotensi atau sudah terjadi kerusakan

lingkungan, baru dapat diambil sebuah keputusan setelah diketahui atau

dibuktikan lebih dahulu secara pasti.

h. Prinsip Kedaulatan dan Tanggung Jawab Negara (Sovereign

Rights and Environmental Responsibility)50

Di dalam Deklarasi Rio terdapat perumusan prinsip mengenai

kedaulatan negara untuk mengelola atau memanfaatkan sumber daya

alam tanpa merugikan negara lain (right to explosit resources but

responsible do not to cause damage to the environment of other states)

yang tercantum pada prinsip 2. Secara korelasi prinsip 2 ini diadopsi dari

Deklarasi Stockholm, yaitu pada prinsip 21 yang berbunyi:

States have, in accordance with the Charter of the United Nations and the principles of international law, the sovereign right to exploit their own resources pursuant to their own environmental and developmental policies, and the responsibility to ensure that activities within their jurisdiction or control do not cause damage to the environment of otherStates or of areas beyond the limits of national jurisdiction.

Pada dasarnya prinsip tanggungjawab negara ini memiliki dua dimensi,

yaitu:

1) Memeberikan hak kedaulatan kepada negara untuk memanfaatkan

50 Ibid, hlm.64.

30

Sumber daya alam berdasarkan kebijakan lingkungan masing-

masing;

2) Memberikan tanggung jawab kepada negara untuk memastikan

bahwa aktivitas dalam yurisdiksinya tidak akan menyebabkan

kerusakan lingkungan negara-negara lainnya atau kawasan diluar

batas yurisdiksi nasional.

B. Perjanjian Internasional

1. Pengertian Perjanjian Internasional

Merujuk pada Vienna Convention on the Law of Treaties 1969,

pengertian perjanjian internasional yaitu:51

“Treaty as an international agreement concluded between states in written form and governed by international law, whether embodied in a single instrument or in two or more related instruments and what ever its particular designation”.

Hal ini berarti perjanjian internasional merupakan suatu persetujuan

yang dibuat antar negara dalam bentuk tertulis dan diatur oleh hukum

internasional, apakah dalam instrumen tunggal atau dua atau lebih

instrumen yang berkaitan apapun nama yang diberikan padanya.

Sementara itu, Undang-undang Nomor 24 Tahun 2000 tentang

Perjanjian Internasional, memberikan definisi tersendiri untuk perjanjian

internasional yaitu perjanjian dalam bentuk dan nama tertentu, yang diatur

51 Lihat pasal 2 ayat 1 (a) Vienna Convention on the Law of Treaties 1969

31

dalam hukum internasional yang dibuat secara tertulis serta menimbulkan

hak dan kewajiban dibidang hukum publik.52

Pada kerangka teoritis Mochtar Kusumaatmadja merumuskan

definisi perjanjian internasional yaitu perjanjian yang diadakan antara

anggota masyarakat bangsa-bangsa dan bertujuan mengakibatkan akibat

hukum tertentu.53

Suatu perjanjian internasional disebut sebagai perjanjian

internasional apabila perjanjian itu diadakan oleh anggota-anggota

masyarakat internasional sehingga suatu perjanjian internasional dapat

diadakan antara negara dengan negara lain atau negara-negara lain,

antara negara dengan organisasi internasional, antara organisasi

internasional yang satu dengan organisasi internasional lainnya, antara

negara atau organisasi internasional dengan subjek hukum internasional

lain seperti Vatikan (Tahta Suci), Organisasi Pembebasan, Kaum

Beligerensi, ataupun subjek hukum bukan negara (Non States Entities).54

Terdapat berbagai istilah atau nomenklatur yang dapat digunakan

pada perjanjian internasional. Ada istilah yang dinamakan Treaty atau

traktat, Agreement atau persetujuan, Convention atau Konvensi,

Covenant atau kovenan, Declaration atau deklarasi, Protocol atau

protokol, Pact atau pakta, Act atau akta, Statue atau statuta, Charter atau

52

Lihat pasal 1 ayat 1 Undang-undang Nomor 24 Tahun 2000 tentang

Perjanjian Internasional 53

Mochtar Kusumastmadja dan Etty R. Agoes, 2003, Pengantar Hukum Internasional, PT Alumni, Bandung, hlm. 117.

54 Muhammad Ashri, 2012, Hukum Perjanjian Internasional, Arus Timur,

Makassar,hlm.3.

32

piagam, Memorandum of Understanding (MoU) atau nota kesepahaman,

Exchange of notes atau pertukaran nota, Modus Vivendi, Letter of Intent

serta masih banyak istilah atau penamaan yang dapat dipakai pada

pengertian perjanjian internasional.55

2. Konvensi (Convention)

Konvensi merupakan salah satu nomenklatur atau penamaan dari

perjanjian internasional yang diakui dalam statuta mahkamah

internasional, yang diatur dalam pasal 38 ayat 1. Konvensi adalah bentuk

perjanjian internasional yang mengatur hal-hal yang penting dan resmi

yang bersifat multilateral. Konvensi biasanya bersifat Law Making Treaty

yang dengan pengertian yang meletakkan kaidah-kaidah hukum bagi

masyarakat internasional.56

Pengertian Konvensi secara terminologi, yaitu:57

a. Dalam pengertian umum, terminologi convention juga mencakup

pengertian perjanjian internasional secara umum. Dalam hal ini

pasal 38 Statuta Mahkamah Internasional menggunakan

international conventions sebagai salah satu sumber hukum

internasional. Dengan demikian pengertian umum convention

dapat disamakan dengan pengertian umum treaty;

b. Dalam pengertian khusus, terminologi convention yang dalam

bahasa Indonesia desebut sebgai “Konvensi, digunakan

55

Ibid, hlm.10. 56

Damos Dumoli Agusman, 2010, Hukum Perjanjian internasional: Kajian Teori dan raktik Indonesia, PT Refika Aditama, Bandung, hlm.33.

57 Muhammad Ashri, Op.cit., hlm.15.

33

sebagai penamaan bagi perjanjian multilateral yang melibatkan

sejumlah besar negara peserta sebagai peserta perjanjian.

Disamping itu, instrumen hukum internasional yang

dirundingkan atas prakarsa dan disepakati melalui organisasi

internasional, umumnya juga diberi nama Konvensi.

Pada umumnya Konvensi ini digunakan untuk perjanjian-perjanjian

internasional multilateral yang mengatur tentang masalah yang besar dan

penting dan dimaksudkan untuk berlaku sebagai kaidah hukum

internasional yang dapat berlaku secara luas, baik dalam lingkup regional

maupun umum.58

3. Implementasi Perjanjian Internasional dalam Hukum Nasional

Terkait pengertian implementasi perjanjian internasional , Anderas

Pramudianto menjelaskan adanya hubungan antara hukum internasional

dengan hukum nasional disebabkan oleh adanya tindakan implementasi.

Kemudian ia mengutip pendapat Siswanto terkait pengertian implementasi

dalam konteks ini, yaitu bahwa implementasi merupakan berlakunya

hukum internasional ke dalam hukum nasional.59 Kemudian Boer Mauna

menjelaskan bahawa yang dimaksud dengan implementasi perjanjian

internasional adalah membuat ketentuan-ketentuan untuk menampung

apa yang diatur di dalam perjanjian yang telah diterima. Tanpa adanya

58

I Wayan Parthiana, 2002, Perjanjian Internasional bagian 1, Mandar Maju, Bandung,hlm.28.

59 Andreas Pramudianto, 2014, Hukum Perjanjian Lingkungan Internasional

(Implementasi Hukum Perjanjian Lingkungan Internasional Bidang Lingkungan Hidup di Indonesia), Setara Press, Malang,hlm.199.

34

perundang-undangan nasional yang menampung ketentuan-ketentuan

yang terdapat dalam perjanjian-perjanjian di mana Indonesia telah

menjadi pihak, maka perjanjian tersebut tidak dapat dilaksanakan dan

tidak ada gunanya60

Andreas Pramudianto menambahkan bahwa upaya tersebut yaitu

upaya menerapkan atau memberlakukan perjanjian internasional ke

dalam hukum nasional yaitu di antaranya melalui pembentukan perangkat

hukum nasional tindak lanjut membentuk perangkat perundang-undangan

nasional, baik sektor maupun daerah, perangkat pengaturan sistem

kelembagaan atau institusi serta praktek dan putusan peradilan yang

menyatakan keberadaan dokumen atau perjanjian internasional yang

ditegaskan melalui putusannya.61

Sehingga dapat disimpulkan bahwa implementasi hukum

internasional atau perjanjian internasional ke dalam hukum nasional dapat

terlaksana melalui pengaturan hukum internasional atau perjanjian

internasional tertentu ke dalam peraturan perundang-undangan atau

sistem hukum nasional diikuti dengan penegakan hukum, berkaitan

dengan pembentukan sistem kelembagaan atau institusi dalam hal

tertentu dan juga persoalan aparatur penegak hukum.

60

Boer Mauna, 2003, Hukum Internasional (Pengertian, Peranan dan Fungsi Dalam Era Dinamika Global), PT. Almuni, Bandung, hlm. 145.

61 Andreas Pramudianto, Op.cit., hlm.200.

35

C. Hutan Mangrove

1. Pengertian Hutan Mangrove

Undang-undang Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan

mengartikan hutan sebagai suatu kesatuan ekosistem berupa hamparan

lahan berisi sumber daya alam hayati yang didominasi pepohonan dalam

persekutuan alam lingkungannya, yang satu dengan lainnya tidak dapat

dipisahkan.62 Adapula yang mendefinisikan hutan sebagai suatu kawasan

yang ditumbuhi dengan lebat oleh pepohonan dan tumbuhan lainnya,

yang berfungsi sebagai penampung karbondioksida (Carbon Dioxide

Sink), habitat hewan, modulator arus hidrologika, serta pelestari tanah dan

merupakan salah satu aspek biosfer bumi yang paling penting.63

Sedangkan kata mangrove merupakan perpaduan Bahasa Melayu

manggi-manggi dan bahasa Arab el-gurm menjadi mang-gurm, keduanya

sama-sama berarti Avicennia (api-api), pelatinan nama Ibnu Sina, seorang

dokter Arab yang banyak mengidentifikasi manfaat obat tumbuhan

mangrove.64 Sedangkan menurut Macnae kata mangrove merupakan

perpaduan Bahasa Portugis mangue (tumbuhan laut) dan bahasa Inggris

grove (belukar), sehingga mangrove dapat diartikan sebagai belukar yang

tumbuh di tepi laut. 65

62

Lihat Pasal 1 UU No.41 tahun 1999 Tentang Kehutanan 63

Abdul Muis Yusuf dan Muhammad Taufik Makarao, 2011, Hukum Kehutanan di Indonesia, Rineka Cipta, Jakarta, hlm.18.

64 Jayatissa, L.P., F. Dahdouh-Guebas, and N. Koedam. 2002. A review of the

floral composition and distribution of mangroves in Sri Lanka. Botanical Journal of the Linnean Society 138, hlm.23.

65 Macnae, W. 1968. A general account of the fauna and flora of mangrove

swamps and forests in the Indo-West-Pacific region. Advances in Marine Biology 6, hlm. 73.

36

Mangrove merupakan komunitas vegetasi pantai tropika yang

didominasi oleh beberapa spesies pohon bakau yang mampu tumbuh dan

berkembang pada kawasan pasang surut pantai berlumpur. Komunitas ini

pada umumnya tumbuh pada kawasan intertidal dan supertidal yang

mendapat aliran air yang mencukupi, dan terlindung dari gelombang besar

dan arus pasang surut yang kuat. Karena itu hutan mangrove banyak

dijumpai di pantai-pantai teluk yang dangkal, estuaria, delta dan kawasan-

kawasan pantai yang terlindung.66

Hutan mangrove dikenal juga dengan istilah tidal forest, coastal

woodland, vloedbosschen dan hutan payau (bahasa Indonesia). Selain itu,

hutan mangrove oleh masyarakat Indonesia dan negara Asia Tenggara

lainnya yang berbahasa Melayu sering disebut dengan hutan bakau.

Penggunaan istilah hutan bakau untuk hutan mangrove sebenarnya

kurang tepat, karena bakau hanyalah nama lokal dari marga Rhizophora,

sementara hutan mangrove disusun dan ditumbuhi oleh banyak marga

dan jenis tumbuhan lainnya. Oleh karena itu, penyebutan hutan mangrove

dengan hutan bakau sebaiknya dihindari.67

Hutan mangrove adalah hutan yang tumbuh di air payau,dan

dipengaruhi oleh pasang-surut air laut. Hutan ini tumbuh khususnya di

tempat-tempat di mana terjadi pelumpuran dan akumulasi bahan organik.

66

Yuniarti S dalam Konny Rusdianti dan Satyawan Sunito, 2012, Konversi Lahan Hutan Mangrove Serta Upaya Penduduk Lokal Dalam Merehabilitasi Ekosistem Mangrove (Mangrove Forest Conservation and The Role of Local Community in Mangrove Ecosytems Rehabilitations), Sodality: Jurnal Sosiologi Pedesaan Vol. 6, No. 1 2012, hlm.3.

67Kusmana dalam Irwanto, 2010, Hutan Mangrove dan Manfaatnya,

irwantomangrove.webs.com, diakses pada15 November 2017.

37

Baik di teluk-teluk yang terlindung dari gempuran ombak, maupun di

sekitar muara sungai di mana air melambat dan mengendapkan lumpur

yang dibawanya dari hulu.68

Menurut Soerianegara hutan mangrove mempunyai pengertian

sebagai hutan yang tumbuh di daerah pantai, biasanya terdapat di

daearah teluk dan di muara sungai yang dicirikan oleh: 1) tidak

terpengaruh iklim; 2) dipengaruhi pasang surut; 3) tanah tergenang air

laut; 4) tanah rendah pantai; 5) hutan tidak mempunyai struktur tajuk; 6)

jenis-jenis pohonnya biasanya terdiri dari Api-api (Avicenia sp.), Pedada

(Sonneratia sp.), Bakau (Rhizophora sp.), Lacang (Bruguiera sp.), Nyirih

(Xylocarpus sp.) dan Nipah (Nypa sp.).69

2. Jenis- jenis Mangrove

Indonesia sebagai negara pusat keanekaragaman hayati di dunia

tercatat memiliki 202 jenis tumbuhan mangrove, meliputi 89 jenis pohon,

5 jenis palma, 19 jenis pemanjat, 44 jenis herba tanah, 44 jenis epifit dan

1 jenis paku. Dari 202 jenis tersebut, 43 jenis (diantaranya 33 jenis pohon

dan beberapa jenis perdu) ditemukan sebagai mangrove sejati (true

mangrove), sementara jenis lain ditemukan disekitar mangrove dan

dikenal sebagai jenis mangrove ikutan (associate mangrove).70

Mangrove merupakan suatu komponen ekosistem yang terdiri atas

68

Nurhenu Karuniastuti, 2013, Peranan Hutan Mangrove Bagi Lingkungan Hidup, Forum Manajemen Vol. 06 No. 1 2013, Diakses Dalam Http://Pusdiklatmigas.Esdm.Go.Id/File/M1_Peranan_Hutan__________Nurhenu_K.Pdf

69 ibid

70 Yus Rusila Noor, M. Khazali dan I N.N. Suryadiputra, Op.cit .,hlm.2.

38

komponen mayor dan komponen minor. Komponen mayor merupakan

komponen yang terdiri atas mangrove sejati, yakni mangrove yang hanya

dapat hidup di lingkungan mangrove (pasang surut). Komponen minor

merupakan komponen mengrove yang dapat hidup di luar lingkungan

mangrove (tidak langsung kena pasang surut air laut). Mangrove yang

merupakan komponen mayor disebut juga dengan mangrove sejati,

sedangkan mangrove yang termasuk komponen minor disebut dengan

mangrove ikutan.71

Adapun Yang termasuk mangrove sejati meliputi Acanthaceae,

Pteridaceae, Plumbaginaceae, Myrsinaceae, Loranthaceae,

Avicenniaceae, Rhizophoraceae, Bombacaceae, Euphorbiaceae,

Asclepiadaceae, Sterculiaceae, Combretaceae, Arecaceae, Myrtaceae,

Lythraceae, Rubiaceae, Sonneratiaceae, Meliaceae. Sedangkan untuk

mangrove ikutan meliputi Lecythidaceae, Guttiferae, Apocynaceae,

Verbenaceae, Leguminosae, Malvaceae, Convolvulaceae,

Melastomataceae.72

Dari sekian banyak jenis mangrove di Indonesia, jenis mangrove

yang banyak ditemukan antara lain adalah jenis Api-api (Avicennia sp.),

Bakau (Rhizophora sp.), Tancang (Bruguiera sp.), dan Bogem atau

Pedada (Sonneratia sp.), merupakan tumbuhan mangrove utama yang

banyak dijumpai.

71

Lihat http://indonesia.wetlands.org/Infolahanbasah/Spesies,Mangrove/, diakses pada tanggal 3 Januari 2018 Pukul 08:20 WITA.

72 Yus Rusila Noor, M. Khazali dan I N.N. Suryadiputra, Op.cit, hlm.10.

39

Gambar 1. Bakau (Rhizopora sp.)

73 Gambar 2.Tancang (Bruguiera sp.)74

Gambar 3. Bogem (Sonneratia sp.)75 Gambar 4. Api-api (Avicennia sp.)76

3. Fungsi dan Manfaat Hutan Mangrove

Hutan Mangrove memberikan perlindungan kepada berbagai

organisme baik hewan darat maupun hewan air untuk bermukim dan

berkembang biak. Hutan Mangrove dipenuhi pula oleh kehidupan lain

seperti mamalia, amfibi, reptil, burung, kepiting, ikan, primata, serangga

dan sebagainya. Selain menyediakan keanekaragaman hayati

73

Anonim, 2016, Sat 1.Png https, //i0.wp.com/agroteknologi.web.id/wp-content/uploads/2016/03/sat1-1.png?fit=547%2C353, diakses pada 02 Januari 2018.

74 Arief Rudiyanto,2016 ,Lindur Mangrove Tancang Bruguiera-Gymnorrhiz.

http://www.biodiversitywarriors.org/lindur-mangrove-tancang-bruguiera-gymnorrhiza.html, diakses pada 02 Januari 2018.

75 Arief Rudiyanto,2016 Bogem, Apel Mangrove Sonneratia alba,

http://www.biodiversitywarriors.org/bogem-prapat-padada-bogem-prepat-apel-mangrove.html, diakses pada 02 Januari 2018.

76 Universitas Multi Media Nusantara, 2014, Jenis-jenis tanaman di hutan

Mangrove, https://wearemangroove.weebly.com/blog/-jenis-jenis-tanaman-di-hutan-mangrove, diakses pada diakses pada 02 Januari 2018.

40

(biodiversity), ekosistem mangrove juga sebagai plasma nutfah

(geneticpool) dan menunjang keseluruhan sistem kehidupan di sekitarnya.

Habitat mangrove merupakan tempat mencari makan (feeding ground)

bagi hewan-hewan tersebut dan sebagai tempat mengasuh dan

membesarkan (nursery ground), tempat bertelur dan memijah (spawning

ground) dan tempat berlindung yang aman bagi berbagai ikan-ikan kecil

serta kerang (shellfish) dari predator.77

Berikut beberapa fungsi dan manfaat dari hutan mangrove yaitu:78

a. Fungsi dan manfaat hutan mangrove secara fisik antara lain;

1) Penahan abrasi pantai.

2) Penahan intrusi (peresapan) air laut ke daratan.

3) Penahan badai dan angin yang bermuatan garam.

4) Menurunkan kandungan karbondioksida (CO2) di udara

(pencemaran udara).

5) Penghambat bahan-bahan pencemar (racun) diperairan

pantai.

b. Fungsi dan manfaat hutan bakau secara biologi antara lain;

1) Tempat hidup biota laut, baik untuk berlindung, mencari

makan, pemijahan maupun pengasuhan.

2) Sumber makanan bagi spesiesspesies yang ada di sekitarnya.

3) Tempat hidup berbagai satwa lain, misal kera, buaya, dan

burung.

77

Irwanto, 2010,Hutan Mangrove dan Manfaatnya, irwantomangrove.webs.com, diakses pada15 November 2017

78 Yus Rusila Noor, M. Khazali dan I N.N. Suryadiputra Op.cit hlm.3-4.

41

c. Fungsi dan manfaat hutan bakau secara ekonomi antara lain;

1) Tempat rekreasi dan pariwisata.

2) Sumber bahan kayu untuk bangunan dan kayu bakar.

3) Penghasil bahan pangan seperti ikan, udang, kepiting, dan

lainnya.

4) Bahan penghasil obat-obatan seperti daun Bruguiera sexangula

yang dapat digunakan sebagai obat penghambat tumor.

5) Sumber mata pencarian masyarakat sekitar seperti dengan

menjadi nelayan penangkap ikan dan petani tambak.

4. Kondisi Hutan Mangrove

a. Kondisi Hutan Mangrove di Dunia

Saat ini di seluruh dunia terjadi peningkatan hilangnya sumberdaya

mangrove yang disebabkan adanya pemanfaatan yang tidak

berkelanjutan serta pengalihan peruntukan. Berdasarkan data yang

dikeluarkan FAO, total wilayah mangrove telah menurun dari 18,8 juta

hektar pada tahun 1980 menjadi 15,2 juta hektar pada tahun 2005. Benua

Asia menderita kerugian terbesar sejak tahun 1980, dengan lebih dari 1,9

juta hektar hutan mangrove hancur, terutama karena adanya perubahan

dalam penggunaan lahan. Amerika Utara dan Tengah dan Afrika juga

berkontribusi secara signifikan terhadap penurunan luas mangrove,

dengan kehilangan masing-masing sekitar 690.000 dan 510.000 hektar

42

selama 25 tahun terakhir.79 Sementara itu, Sekitar 17% mangrove di

Benua Australia telah hancur sejak pemukiman Eropa. Mangrove di dekat

pusat-pusat pengembangan telah hancur dan rusak secara sistematik,

salah satunya Teluk Moreton yang terletak di dekat kota Brisbane dimana

diperkirakan 20% wilayah mangrove di daerah tersebut terkena

reklamasi.80

Adapun penyebab hilangnya kawasan hutan mangrove ini antara

lain konversi lahan, konsentrasi penguasaan lahan, industri budidaya

udang, industri pertambakan garam, proyek pariwisata, bendungan,

industri kelapa sawit dan perkebunan gula, ekstraksi minyak dan gas dan

konstruksi jalan layan dan pelabuhan besar.81

b. Kondisi Hutan Mangrove di Indonesia

Data perkiraan luas areal mangrove di Indonesia sangat beragam

sehingga sulit untuk mengetahui secara pasti seberapa besar penurunan

luas areal mangrove tersebut. Meskipun mangrove tidak terlalu sulit untuk

dikenali dari foto penginderaan jarak jauh dan dipetakan, kenyataannya

memperoleh data yang memadai mengenai luas mangrove pada masa

79

FAO, 2008, Loss of mangroves alarming 20 percent of mangrove area

destroyed since 1980 – rate of loss slowing,

http://www.fao.org/newsroom/en/news/2008/1000776/index.html, diakses pada 12

Desember 2017. 80

Mangrove Watch Australia, 2013, Mangrove Watch, A New Monitoring Program that Partners Mangrove Scientists and Community Participants,http://www.mangrovewatch.org.au/index.php?option=com_content&view=category&layout=blog&id=26&Itemid=300161, diakses pada 02 Januari 2018.

81 The World Rainforest Movement, 2014, “Blue Carbon” and “Blue REDD”:

Transforming coastal ecosystems into merchandise, Redmanglar Internacional, Kiara,

CPP, Canco Montevideo, Uruguay, hlm.7.

43

yang lalu dan saat ini tidak terlalu mudah. Departemen Kehutanan pada

tahun 1997 menyebutkan luas yang diambil dari berbagai sumber berkisar

antara 2,49-4,25 juta hektar. Namun, terdapat jumlah luasan mangrove

yang lain yaitu 4,54 juta hektar yang berasal dari ISME (International

Society for Mangrove Ecosystems) dan 3,53 juta hekar yang berasal dari

Proyek Inventarisasi Hutan Nasional.82

Perbedaan perkiraan luas tersebut setidaknya dipengaruhi oleh tiga

hal.83 Pertama, sangat sedikit dilakukan penghitungan areal mangrove

berdasarkan kondisi yang sebenarnya di alam, sehingga data yang

sebenarnya telah kadaluwarsa dan diacu berulang-ulang. Kedua,

perkiraan luas untuk Irian jaya yang merupakan komponen luasan

terbesar sangat berbeda antara satu penulis dengan penulis lainnya,

mulai dari 1,38 - 2,94 juta hektar. Hal ini kembali disebabkan kurang

tersedianya data serta peta yang memadai. Ketiga, adanya perbedaan

metode yang digunakan dalam menduga luasan mangrove.

Salah satu publikasi terbaru tentang status mangrove Indonesia

adalah buku Peta Mangrove Indonesia (Indonesian Mangrove Atlas) yang

diterbitkan oleh Badan Koordinasi Survei dan Pemetaan Nasional

(Bakosurtanal) pada tahun 2009. Badan ini yakin bahwa angka yang

disajikan untuk wilayah mangrove nasional dalam publikasi ini adalah

yang paling akurat karena perkiraan ini didasarkan pada analisis satelit

yang mencakup seluruh wilayah pesisir Indonesia. Perkiraan luas

82

Yus Rusila Noor, M. Khazali dan I N.N. Suryadiputra Op.cit, hlm 23 83

ibid

44

mangrove bangsa selama lima tahun terakhir disajikan pada di bawah

ini.84

Tabel 1. Publikasi Perkiraan Luas Hutan Mangrove di Indonesia.

Source and year of

Publication

Mangrove Estimate Data Source

Area (ha) Year

Giesen et al (2006)

2,930,000 2000 FAO (2003); Spalding et

al. (1997)

FAO (2007) 2,900,000 2005

Dephut (2003) and other supporting sources

RLPS-MoF (2007) 7,758,410 2000

Peta sistem lahan nasional 1995 – 2000

Spalding (2010) 3,062,300 2003 MoF (2003)

Bakosurtanal (2009)

3,244,018 2009 Satellite Images Analysis

Terlepas dari perdebatan tentang luas hutan mangrove yang ada di

Indonesia, maka hal yang perlu diketahui adalah fakta terkait tingginya laju

kerusakan hutan mangrove yang terjadi di Indonesia. Studi literatur yang

dilakukan oleh Widodo menunjukkan bahwa hutan mangrove di Indonesia

menyusut secara drastis dari total luas 5,21 juta menjadi 3,24 juta hektar

dalam lima tahun (1982-1987). Penurunan ini berlanjut sampai hanya 2,5

juta hektar pada tahun 1993. Sementara itu Anwar dan Gunawan pada

2006, menyatakan bahwa laju kerusakan mangrove di Indonesia telah

mencapai 530.000 hektar pertahunnya. Hal ini membuktikan laju

kerusakan jauh lebih cepat dari laju rehabilitasi mangrove, yang

diperkirakan hanya sekitar 1.973 hektar pertahun.85

84 Muhammad Ilman, Iwan Tri Cahyo Wibisono, dan I Nyoman N. Suryadiputra,

2011, State of the art information on mangrove ecosystems in Indonesia, Bogor: Wetlands International Indonesia Programme,hlm.2.

85 Ibid, hlm.3.

45

Sementara itu Direktur Bina Pengelolaan Kawasan Ekosistem

Esensial, Antung Deddy Radiansyah menyatakan bahwa hingga tahun

2015 luas hutan mangrove di Indonesia hanya tersisa 3.489.140,68 hektar

Namun, ternyata dari luas mangrove di Indonesia, diketahui hanya

1.671.140,75 hektar yang berada dalam kondisi baik, sedangkan areal

sisanya seluas 1.817.999,93 hektar dalam kondisi rusak.86

5. Faktor Penyebab Kerusakan Hutan Mangrove di Indonesia87

a. Tambak Udang

Budidaya udang merupakan salah satu usaha yang paling diminati

yang dilakukan di daerah mangrove. Penebangan pohon mangrove untuk

dijadikan tambak udang menjadi penyebab terbesar hilangnya mangrove

di Indonesia. Menurut data yang dikeluarkan oleh Kementerian Kehutanan

pada tahun 2005, ekspansi tambak telah bertanggung jawab atas

penghancuran hutan mangrove sekitar 750 ribu hektar. Dengan

menggunakan perkiraan moderat (1,5 juta hektar) dari penipisan tutupan

hutan mangrove di Indonesia, ini berarti bahwa ekspansi tambak telah

menyumbang 50% dari hilangnya mangrove di Indonesia.

b. Pengembangan Perkebunan Kelapa Sawit

Euforia untuk pengembangan perkebunan kelapa sawit telah

menyebar ke seluruh wilayah Indonesia. Hal ini memacu pembukaan

hutan (termasuk hutan mangrove) menjadi perkebunan kelapa sawit.

86

Deddy Radiansyah, Loc.cit. 87

Muhammad Ilman, Iwan Tri Cahyo Wibisono, dan I Nyoman N. Suryadiputra,

Op.cit, hlm.4-10.

46

Wetlands International Indonesia Programme (WIIP) telah mengidentifikasi

setidaknya tiga kasus konversi tutupan lahan dari mangrove ke kelapa

sawit, yaitu: 1) Di Sumatera Utara, 2.000 hektar hutan mangrove telah

dikonversi menjadi perkebunan kelapa sawit. 2) Di Bandar Pasir Mandoge

(Kabupaten Asahan), hutan mangrove di sepanjang pantai telah

dikonversi menjadi perkebunan kelapa sawit baik oleh masyarakat

setempat maupun oleh perusahaan swasta. Sayangnya, tidak ada angka

yang tersedia untuk area yang dikonversi. Dan 3) Di Aceh Tamiang

(Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam), 17.000 hektar (sekitar 85% dari

total 20.000 hektar) hutan mangrove telah dikonversi menjadi kelapa

sawit.

c. Konversi Mangrove Menjadi Lahan Pertanian

Di Indonesia, diperkirakan sekitar 200.000 hektar hutan mangrove

dikonversi untuk pertanian pada tahun 1969 - 1974 (Burung dan

Ongkosongo, 1980). Konversi fungsi hutan mangrove ke lahan pertanian

tercatat di beberapa provinsi seperti Jawa Tengah, Jawa Barat,

Kalimantan Selatan dan Sumatera Selatan. Di provinsi-provinsi ini, hutan

mangrove benar-benar ditebang dan lahannya digunakan untuk sawah

dan hortikultura.

d. Konversi Mangrove menjadi Tambak Garam

Meski tidak meluas, beberapa hutan mangrove di Indonesia juga

telah dikonversi menjadi tambak garam. Tambak garam di Indonesia

diperkirakan mencakup sekitar 36.000 hektar di berbagai provinsi -

47

provinsi di Indonesia seperti Nanggroe Aceh Darussalam, Jawa Barat,

Jawa Tengah, Jawa Timur, Bali, Nusa Tenggara Barat (NTB), Nusa

Tenggara Timur (NTT), Sulawesi Selatan dan Sulawesi Tengah.

e. Pembangunan di Wilayah Pesisir

Perencanaan tata ruang wilayah pesisir merupakan salah satu

alasan mengapa ekosistem mangrove dapat dikorbankan untuk proyek

pembangunan. Giesen pada tahun 2006 menyatakan bahwa kontribusi

perkembangan pesisir terhadap konversi ekosistem mangrove untuk

tujuan lain sangat besar, yakni sekitar 1,1 juta hektar.

Situasi ini semakin diperburuk pada era reformasi dan

desentralisasi pemerintah yang dimulai pada tahun 1998, karena

pemerintah daerah memperoleh kebebasan yang sangat besar untuk

mengendalikan pembangunan daerah mereka. Keinginan kuat untuk

mempercepat pembangunan ekonomi pesisir di daerah mereka telah

mendorong pemerintah daerah untuk mengambil jalan pintas dengan

mengorbankan ekosistem mangrove.

f. Pembalakan

Seperti halnya hutan terestrial, hutan mangrove juga ditebang, baik

secara legal maupun ilegal. Pembalakan legal biasanya dilakukan oleh

perusahaan kayu yang memiliki Hak Pengusahaan Hutan (HPH)

sementara pembalakan liar biasanya dilakukan oleh anggota masyarakat.

Hal ini menyebabkan deforestasi dan degradasi hutan mangrove.

7. Pertambangan

48

Informasi tentang kegiatan penambangan di ekosistem mangrove di

Indonesia sangat terbatas. Namun, faktor pertambangan yang merusak

hutan mangrove ini dapat dilihat dari beberapa kasus. Di Provinsi Bangka

Belitung, kegiatan penambangan timah di tahun 2009/2010 menimbulkan

70 persen dari total 122.000 hektar hutan mangrove terdegradasi. Pada

tahun 2007, empat perusahaan pertambangan batubara yang beroperasi

di provinsi Kalimantan Selatan (PT BCMP, PT Borneo Inter Nusa, CV

Antara, CV Rahma dan PT Adibara Pelsus) dilaporkan telah

menghancurkan hutan mangrove di Pantai Serongga, Kabupaten

Kotabaru Dilaporkan bahwa kegiatan penambangan batubara ini juga

menyebabkan bahan kimia berbahaya bagi hutan mangrove dan

ekosistem lainnya di wilayah Kabupaten Kota Baru. Selain itu, hutan

mangrove di Pulau Batam dilaporkan telah mengalami degradasi parah

akibat penggalian pasir.

g. Bencana Alam

Terletak di "ring of fire" yang aktif secara vulkanologis, Indonesia

dikenal sebagai negara yang sangat rentan terhadap bencana. Bencana

alam ini juga bertanggungjawab atas kerusakan berbagai jenis ekosistem,

yang menyebabkan penurunan kualitas lingkungan. Dari bencana yang

disebutkan di atas, tsunami merupakan ancaman terbesar bagi ekosistem

pesisir, termasuk hutan mangrove. BAPPENAS (Badan Perencanaan

Pembangunan Nasional) melaporkan bahwa hutan mangrove yang hancur

akibat tsunami berjumlah 25.000 hektar. Angka yang berbeda dilaporkan

49

oleh LAPAN yang menyatakan bahwa kawasan hutan mangrove yang

hancur akibat tsunami adalah sebanyak 32.000 hektar, yang sebagian

besar berada di pesisir utara dan timur Aceh.

D. Ramsar Convention 1971

1. Latar Belakang Lahirnya Ramsar Convention 1971

Konvensi Ramsar tahun 1971 merupakan suatu instrumen

perjanjian internasional yang telah dibuat dan dibentuk untuk memobilisasi

tindakan dan melindungi wilayah lahan basah dari kehilangan yang cepat

di seluruh dunia. Konvensi ini diawali oleh diselenggarakannya konferensi

MAR pada tahun 1962 di Camargue, Perancis. Konferensi ini

diselenggarakan oleh International Union for Conservation of Nature and

Natural Resources (IUCN), International Waterfowl Research

Bureau (IWRB) dan International Council for Birds Preservation (ICBP)

menyusul kekhawatiran akan tingginya laju reklamasi pada daerah rawa-

rawa dan lahan basah lainnya di Eropa yang menyebabkan menurunnya

populasi burung air.88

Delapan tahun berikutnya, teks Konvensi kembali dinegosiasikan

melalui serangkaian pertemuan internasional diantaranya (St.Andrews,

1963; Noordwijk, 1966; Leningrad, 1968; Morges, 1968; Vienna, 1969;

Moscow, 1969; Espoo, 1970), yang diselenggarakan oleh IWRB dibawah

bimbingan G.V.T Mattewes dari Belanda. Pada awalnya Konvensi ini

dikhususkan pada perlindungan habitat unggas air tetapi kemudian

88 Ramsar Secretariat, 2016, An Introduction to the Ramsar Convention on

Wetlands, 7th ed. (previously The Ramsar Convention Manual). Ramsar Convention Secretariat, Gland, Switzerland., hlm.19.

50

berkembang pada konservasi habitat lahan basah atas saran seorang ahli

hukum bernama Cyrille de Klemm. Akhirnya pada tahun 1971 diadakan

sebuah pertemuan internasional yang diselenggarakan oleh Eskandar

Firouz Direktur Iran’s Game and Fisherman Department. Pertemuan ini

berhasil mendeklarasikan lahirnya Conventions on Wetlands of

International Importance, especially as Waterfowl Habitat atau yang lebih

dikenal dengan sebutan Ramsar Convention. Konvensi yang terdiri atas

12 pasal ini ditandatangani di Kota Ramsar, Iran oleh 18 negara peserta

yang hadir pada pertemuan tersebut dan dinyatakan berlaku bada bulan

September 1975 setelah deposit terakhir dilaksanakan oleh pemerintah

yunani.89

Konvensi ini berada dalam daftar perjanjian internasional United

Nations Educational, Scientific and Cultural Organization (UNESCO) yang

mewakili organisasi internasional dibawah Perserikatan Bangsa-bangsa.

Kedudukan Sekretariat Jenderal Konvensi ini berada di kota Gland, Swiss

dan memiliki kantor cabang di kota Slambridge, Inggris..90

Sejak diadopsi, Konvensi Ramsar ini telah diubah sebanyak dua

kali melalui Paris Protocol pada Desember 1982 serta melalui

Amandemen Regina pada tahun 1987. Protokol Paris diadopsi pada

Konferensi Luar Biasa Para Pihak yang diadakan di markas besar

UNESCO di Paris pada bulan Desember 1982. Protokol ini, mulai berlaku

89 ibid 90

Dugan, P.J, 1987, The World Wetland Resources – Status and Trend, dalam Aspect Juridiques de la Protection des Zones Humides, UICN-Union Mondiale Pour la Nature, Gland, Swiss hlm 6.

51

pada tahun 1986, yang menetapkan sebuah prosedur untuk mengubah

Konvensi dengan menambahkan Pasal 10 bis. Sedangkan Amandemen

Regina menghasilkan amandemen Pasal 6 dan 7 yang diterima pada

Konferensi Luar Biasa Para Pihak yang diadakan di Regina, Kanada,

pada tahun 1987. Hal ini tidak memengaruhi prinsip-prinsip dasar

Konvensi, namun hanya terkait dengan operasinya. Secara singkat,

amandemen tersebut mendefinisikan wewenang konferensi para pihak,

pembentukan Komite Tetap Internasional, dan Sekretariat Permanen serta

anggaran untuk Konvensi tersebut. Amandemen ini sendiri mulai berlaku

pada tanggal 1 Mei 1994.91

Terkait ketentuan untuk mengikatkan diri dalam Konvensi ini diatur

dalam pasal 9 yang menyatakan:

1. This Convention shall remain open for signature indefinitely. 2. Any member of the United Nations or of one of the Specialized

Agencies or of the International Atomic Energy Agency or Party to the Statute of the International Court of Justice may become a Party to this Convention by: a) signature without reservation as to ratification; b) signature subject to ratification followed by ratification; c) accession.

3. Ratification or accession shall be effected by the deposit of an instrument of ratification or accession with the Director-General of the United Nations Educational, Scientific and Cultural Organization (hereinafter referred to as “the Depositary”).

Kemudian dalam pasal 10 mengatur bahwa:

1. This Convention shall enter into force four months after seven States have become Parties to this Convention in accordance with paragraph 2 of Article 9.

2. Thereafter this Convention shall enter into force for each Contracting Party four months after the day of its signature without

91 Anonim , Op.cit, hlm.19.

52

reservation as to ratification, or its deposit of an instrument of ratification or accession.

2. Tujuan Ramsar Convention 1971

Tujuan dari terbentuknya Konvensi ini adalah untuk mencegah alih

fungsi lahan dan menghindari hilangnya lahan basah baik saat ini maupun

di masa yang akan datang92, mengingat fungsi lahan basah yang sangat

penting sebagai pengendali tata air dan habitat bagi flora dan fauna yang

khas.93

Ramsar Convention 1971 sebagai Konvensi Internasional yang

pertama mengenai lahan basah, ternyata telah mampu menarik perhatian

berbagai pemerintah dan masyarakat internasional khususnya dalam

menangani sumber-sumber alam yang ada pada lahan basah dan hewan

migrasi (migran spesies) yang sangat tergantung pada sumber-sumber

makanan di lahan basah. Hal ini berkaitan dengan adanya peningkatan

kerusakan serta polusi yang terjadi secara lintas batas terhadap lahan

basah ini. Sehingga menuntut adanya penyelesaian secara internasional

dengan perlunya melibatkan kerjasama antarnegara khususnya dalam

pengelolaan serta pelestarian flora serta fauna yang termasuk dalam

kategori spesies migran.94

Tindakan-tindakan untuk melaksanakan Konvensi telah dilakukan

antara lain dengan membentuk Ramsar Convention`s Database. Dengan

92

Lihat bagian Desiring The Contracting parties Ramsar Convention 1971 93

Lihat bagian Considering The Contracting parties Ramsar Convention 1971 94

Ade Masya Eta, 2014, Wetland International, http://studioriau.com/uk/artikel/lingkungan/wetland-international.html, diakses pada 12 desember 2017.

53

suatu kerjasama antara World Conservation Monitoring Center (WCMC)

dan dengan IWRB telah dikembangkan suatu konsep data dasar lokasi

lahan basah berdasarkan Konvensi Ramsar. Dengan dukungan

pemerintah Swiss dan Inggris proyek ini telah didemonstrasikan dalam

pertemuan keempat para pihak penandatangan Konvensi Ramsar di kota

Montreux , Swiss tahun 1990.95

3. Situs Ramsar

Situs ramsar atau Ramsar Sites, yaitu areal konservasi dan

pemanfaatan lahan basah. Situs Ramsar ini dikenal secara global, dan

mencakup lahan basah pesisir dan darat dari semua jenis di enam wilayah

Ramsar. Situs ramsar pertama di dunia terdapat di Semenanjung Cobourg

di Australia, yang ditetapkan pada tahun 1974. Sedangkan Situs terbesar

adalah Ngiri-Tumba-Maindombe di Republik Demokratik Kongo dan Teluk

Ratu Maud di Kanada, Situs ini masing-masing mencakup lebih dari

60.000 kilometer persegi. Adapun Negara dengan situs terbanyak adalah

Inggris dengan 170 situs. Saat ini terdapat 2.290 Situs Ramsar dengan

total luas lahan basah yang didaftarkan sekitar 225.411.940 hektar yang

tersebar di 169 negara.96

Ketika sebuah negara menyetujui Konvensi Ramsar ini, maka

negara tersebut harus menunjuk setidaknya satu lahan basah sebagai

lahan basah untuk kepentingan internasional. Informasi tentang Situs

Ramsar pertama ini dikirim dengan dokumen aksesi ke UNESCO, tempat

95

ibid 96

Lihat https://www.ramsar.org/sites-countries/ramsar-sites-around-the-world,

diakses pada 28 Desember 2017, Pukul 12:01 WITA.

54

penyimpanan Konvensi.97 Ketentuan penunjukan Situs Ramsar ini diatur

dalam pasal 2 Konvensi ini:

Each contracting party shall designate suitable wetlands within is territory for inclusion in a list of wetlands of international importance, hereinafter referred to as the “list”….the boundaries of each wetland shall be precisely described and also delimated on a map and they incorporate riparian and coasta zones adjacent to wetlands,and islands or bodies of marine water deeper than six metres.. (Masing-masing Pihak harus menunjuk lahan basah yang sesuai di dalam wilayahnya untuk dimasukkan dalam Daftar Lahan Basah yang Penting, yang selanjutnya disebut "Daftar"… Batas-batas setiap lahan basah harus dijelaskan secara tepat. dan juga dibatasi pada peta dan mereka mungkin menggabungkan daerah tepi sungai dan pesisir yang berdekatan dengan lahan basah, dan pulau atau badan air laut lebih dalam dari enam meter saat air surut tergeletak di dalam lahan basah) [...].

Sementara dalam Pasal 2 ayat 2 menyatakan:

wetlands should be selected for the list account of their international significance in terms of ecology, botany,zoology, limnology, or hydrology…(Lahan basah harus dipilih untuk Daftar tersebut karena kepentingan internasional mereka dalam hal ekologi, botani, zoologi, limnologi atau hidrologi.)

Oleh karena itu, setiap lahan basah yang memenuhi setidaknya

satu dari kriteria untuk sebagai lahan basah yang penting secara

Internasional dapat ditunjuk oleh otoritas nasional yang sesuai untuk

ditambahkan ke Daftar Ramsar.

97

Lihat https://www.ramsar.org/sites-countries/designating-ramsar-sites, diakses

pada 27 Desember 2017 Pukul 12:01 WITA.

55

Tabel 2. Kriteria Ramsar untuk Kepentingan Internasional.98

A Keterwakilan langka atau unik, yaitu :

Kriteria 1

Lahan basah tersebut merupakan suatu contoh keterwakilan, langka atau unik dari tipe lahan basah alami atau yang mendekati alami, sesuai dengan karakteristik wilayah biogeografisnya.

B Konservasi keanekaragaman hayati, yaitu:

Kriteria 2

Lahan basah tersebut mendukung spesies rentan,

langka atau hampir langka, atau ekologi komunitas

yang terancam.

Kriteria 3

Lahan basah tersebut mendukung populasi jenis-jenis tumbuhan dan/ atau hewan yang penting bagi pemeliharaan keanekaragaman hayati di wilayah biogeografi yang sesuai,

Kriteria 4

Lahan basah tersebut mendukung jenis-jenis

tumbuhan dan/ atau hewan yang kritis dalam

siklus hidupnya atau merupakan tempat

perlindungan bagi jenis-jenis tersebut saat

melewati masa kritis dalam siklus hidupnya

C Kriteria khusus Waterfowl (Burung Air), yaitu :

Kriteria 5

Lahan basah tersebut secara teratur

mendukung/dihuni oleh 20.000 atau lebih jenis

burung air

Kriteria 6

Lahan basah tersebut secara teratur

mendukung/dihuni oleh individu-individu dari satu

spesies/sub spesies burung air hingga 1% dari

total populasi spesies/sub spesies burung air

tersebut.

D Kriteria khusus ikan, yaitu :

Kriteria 7

Lahan basah tersebut mendukung/dihuni oleh

proporsi yang nyata dari species/sub species/famili

ikan-ikan asli, perkembangan sejarah kehidupan

dan interaksi satu sama lainnya sehingga

menunjukan adanya nilai-nilai atau kontribusi

penting dari lahan basah tersebut terhadap

98 Ramsar Convention Secretariat , Op.cit, hlm 44.

56

keanekaragaman hayati global.

Kriteria 8

Lahan basah tersebut merupakan sumber

makanan yang penting bagi ikan-ikan, tempat

berpijah dan asuhan dan/atau sebagai jalur

migrasi untuk stok ikan yang berada di lahan

basah tersebut atau tempat lain di luar lahan

basah tersebut.

57

BAB III

METODE PENELITIAN

A. Lokasi Penelitian

Berdasarkan judul skripsi penulis “Analisis Yuridis Ramsar

Convention 1971 terhadap Perlindungan Hutan Mangrove di Indonesia”

dengan pertimbangan bahwa data yang dibutuhkan sebagai bahan

penulisan, maka penulis merencanakan penelitian akan dilaksanakan di

lokasi penelitian sebagai berikut:

1. Balai Penelitian dan Pengembangan Lingkungan Hidup dan

Kehutanan Makassar

2. Yayasan Hutan Biru-Blueforest

3. Perpustaakan Fakultas Hukum Universitas Hasanuddin

B. Tipe Penelitian

Penelitian ini merupakan penelitian normatif (normative research)

yang didukung dengan data primer yang diperoleh melalui metode

wawancara sebagai data penunjang. Penelitian ini menggunakan

beberapa metode pendekatan, yaitu:

1. Pendekatan perundang-undangan (statute approach), yaitu dengan

menelaah peraturan perundang-undangan99 yang berkaitan dengan

isu hukum yang diteliti yakni Ramsar Convention 1971 terhadap

perlindungan hutan mangrove di Indonesia.

99

Peter Mahmud Marzuki, 2007, Penelitian Hukum, Jakarta : Kencana, hlm. 96.

58

2. Pendekatan sejarah (historical approach), yaitu dengan pelacakan

sejarah aturan hukum dari waktu ke waktu100 terkait perlindungan

hutan mangrove di Indonesia. Hal ini berguna bagi peneliti untuk

membangun suatu argumentasi hukum dan memecahkan isu yang

diteliti.

3. Pendekatan perbandingan (comparative approach), yaitu dengan

mengadakan studi perbandingan hukum.101Menurut Van

Apeldoorn, perbandingan hukum merupakan suatu ilmu bantu bagi

ilmu hukum dogmatik dalam arti bahwa untuk menimbang dan

menilai aturan-aturan hukum dan putusan-putusan pengadilan yang

ada dengan sistem hukum lain.102

C. Jenis dan Sumber Data

Jenis data yang digunakan dalam penelitian ini adalah:

1. Data Primer, yaitu data yang diperoleh di lapangan melalui hasil

wawancara langsung dengan pihak-pihak terkait yang berwenang

di bidangnya.

2. Data sekunder, yaitu data yang diperoleh dari studi kepustakaan

terhadap bebagai macam bahan bacaan yang berkaitan dengan

objek kajian dalam skripsi ini antara lain berupa buku, jurnal, artikel,

dan karya-karya tulis dalam bentuk media cetak dan media internet.

Penelitian ini menggunakan bahan hukum primer dan bahan hukum

sekunder yang dilengkapi dengan bahan nonhukum yang terkait isu

100

Ibid, hlm.166. 101

Ibid, hlm.172. 102 P. Van. Dijk, dalam Ibid, hlm. 173.

59

hukum yang dikaji. Sumber yang digunakan dalam penelitian ini terdiri

dari:

1. Bahan hukum primer yang terdiri dari peraturan perundang-

undangan yang terkait dengan permasalahan yang dikaji. Adapun

bahan hukum primer yang digunakan dalam penulisan ini adalah:

a. Ramsar Convention 1971 (Conventions on Wetlands of

International Importance, Especially as Waterfowl Habitat);

b. Undang-undang Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan;

c. Undang-undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan

dan Pengelolaan Lingkungan Hidup;

d. Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2014 Tentang Perubahan

Atas Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2007 Tentang

Pengelolaan Wilayah Pesisir Dan Pulau-Pulau Kecil

e. Peraturan Presiden Republik Indonesia Nomor 73 Tahun 2012

Tentang Strategi Nasional Pengelolaan Ekosistem Mangrove.

2. Bahan hukum sekunder te rdiri dari literatur-literatur yang terkait

dengan permasalahan yang dikaji yang berasal dari buku-buku,

jurnal, surat kabar, pendapat ahli dan artikel dari internet.

3. Bahan nonhukum meliputi data yang relevan dengan isu hukum

yang diteliti.

60

D. Teknik Pengumpulan Data

Adapun tekhnik pengumpulan data yang akan digunakan oleh penulis

adalah sebagai berikut :

1. Penelitian Pustaka (Literature Research), teknik mengumpulkan

data ini dilakukam dengan penelitian pustaka, denga cara

mempelajari, mendalami, dan menganalisis dari sejumlah bahan

bacaan, baik buku, jurnal, majalah, koran,internet atau karya tulis

lainnya yang relevan dengan topik, fokus atau variabel penelitian.

Dari penelitian kepustakaan ini diharapkan diperoleh landasan teori

mengenai kajian dan analisis dari perspektif hukum internasional;

2. Penelitian Lapangan (Field Research), teknik ini dilakukan dengan

cara melakukan interview (wawancara) guna memperoleh informasi

yang diperlukan dan lebih meyakinkan karena dilakukan dengan

cara bertanya langsung dengan narasumber yang dianggap

memiliki kemampuan dan pengetahuan mengenai masalah yang

dibahas dalam skripsi ini.

E. Analisis Data

Data yang telah diperoleh baik data primer maupun data sekunder diolah

dan dianalisis secara kualitatif, kemudian selanjutnya data tersebut

diuraikan secara deskriptif guna memperoleh gambaran yang dapat

dipahami dan terarah perihal implementasi Ramsar Convention 1971

terhadap perlindungan hutan mangrove di Indonesia.

61

BAB IV

HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

A. Perlindungan Hukum Hutan Mangrove menurut Ramsar

Convention 1971

Ramsar Convention 1971 merupakan instrumen hukum

internasional yang lahir atas dasar kepedulian masyarakat internasional

akan pentingnya menjaga lingkungan demi kelangsungan manusia kini

dan dimasa yang akan datang. Sebagai perjanjian internasional yang

berkonsentrasi pada lahan basah dunia, menjadikan Konvensi ini sangat

penting dalam rangka perlindungan dan pengelolaan lahan basah

khususnya terkait hutan mangrove di berbagai belahan dunia.

1. Komitmen Utama dalam Ramsar Convention 1971

Ramsar Convention 1971, berupaya untuk mendorong setiap

negara anggota untuk aktif dalam memberikan perlindungan terhadap

ekosistem lahan basah termasuk didalamnya hutan mangrove yang

memegang peranan penting dalam menunjang kehidupan. Dalam

Konvensi ini sendiri, terdapat empat komitmen utama yang harus

dijalankan oleh setiap negara anggota konvensi, yaitu:

a. Listed Sites

Kewajiban pertama menurut Konvensi ini adalah masing-masing

anggota harus menunjuk lahan basah yang cocok dalam wilayahnya untuk

dimasukkan dalam daftar lahan basah penting Internasional, selanjutnya

62

disebut “List”.103 Penunjukan setidaknya satu lahan basah untuk

dimasukkan dalam list merupakan kewajiban yang harus dilakukan pada

saat penandatanganan Konvensi ini atau ketika menyerahkan instrumen

ratifikasi atau aksesi.104 Dengan kriteria lahan basah yang didaftarkan

harus memiliki nilai penting secara internasional dalam hal ekologi, botani,

zoologi, limnologi atau hidrologi.105

Kemudian pasal 3 ayat 2 dijelaskan bahwa setiap anggota harus

menginformasikan sedini mungkin jika terjadi perubahan karakter ekologis

lahan basah di wilayahnya, termasuk di dalamnya perubahan terhadap

lahan basah yang dimasukkan pada “List”, baik sedang dalam proses

perubahan atau ada tanda-tanda berubah sebagai hasil dari

perkembangan teknologi, polusi atau gangguan manusia lainnya.

Informasi tentang perubahan tersebut harus disampaikan sesegera

mungkin pada organisasi atau pemerintah yang bertanggung jawab, lalu

diteruskan kembali pada biro yang telah ditunjuk.

b. Wise Use Wetlands

Berdasarkan Pasal 3 ayat 1 dari Konvensi para anggota wajib

merumuskan dan melaksanakan perencanaan yang telah dibuat untuk

mengkampanyekan konservasi lahan basah yang telah masuk dalam

“List”, dan sejauh mungkin melakukan pemanfaatan lahan basah secara

bijaksana di wilayah mereka. Konsep “wise use” berlaku untuk semua

103

Lihat Pasal 2 ayat 1 Ramsar Convention 1971 104

Lihat Pasal 2 ayat 4 Ramsar Convention 1971 105

Lihat Pasal 2 ayat 3 Ramsar Convention 1971

63

lahan basah dan sumber daya air di suatu wilayah dari setiap negara

peserta, tidak hanya pada lokasi yang ditetapkan sebagai lahan basah

untuk kepentingan internasional. Penerapan konsep ini sangat penting

untuk memastikan bahwa lahan basah dapat terus memberikan peran

vitalnya dalam mendukung pemeliharaan keanekaragaman hayati dan

kesejahteraan manusia.

Dalam COP Ke-3 di Regina, Canada pada 1987, diadopsi sebuah

definisi dari wise use of wetlands yaitu:

“The wise use of wetlands is their sustainable utilization for the

benefit of humankind in a way compatible with the maintenance of

the natural properties of the ecosystem”.

Ketentuan wise use wetlands ini berlaku untuk semua lahan basah

dan sistem pendukungnya di dalam wilayah negara anggota, baik lahan

basah yang ditunjuk sebagai Situs Ramsar maupun keseluruhan lahan

basah lainnya. Konsep penggunaan bijaksana ini berupaya untuk

merumuskan dan mengimplementasikan kebijakan lahan basah sebagai

bagian integral dari pembangunan yang berkelanjutan.

Dalam menerapkan konsep wise use of wetlands ini, maka pada

COP Ke-empat ditetapkan sebuah panduan terkait implementasi dari

konsep wise use tersebut, yaitu:106

106Lihat Recommendation 4.10: Guidelines for the implementation of the wise use

concept

64

1. Pembentukan kebijakan lahan basah nasional. Kebijakan nasional

ini terkait, (1) tindakan untuk meningkatkan kelembagaan dan

pengaturan organisasi; (2) tindakan untuk menunjuk suatu Undang-

undang dan kebijakan pemerintah; (3) tindakan untuk

meningkatkan pengetahuan dan kesadaran terhadap lahan basah

dan nilai-nilainya; (4) tindakan untuk meninjau status, dan

mengidentifikasi prioritas untuk semua lahan basah dalam konteks

nasional dan (5) tindakan untuk mengatasi masalah di lokasi lahan

basah tertentu.

2. Melaksanakan tindakan prioritas di tingkat nasional. Tindakan

prioritas yang dimaksud yaitu: (1) mengidentifikasi masalah yang

membutuhkan perhatian paling mendesak; (2) mengambil tindakan

terhadap satu atau lebih masalah dan (3) mengidentifikasi lokasi

lahan basah yang membutuhkan tindakan paling mendesak.

3. Melaksanakan tindakan prioritas pada lokasi lahan basah tertentu.

Tindakan prioritas yang dimaksud adalah: (1) integrasi dari awal

pertimbangan lingkungan dalam perencanaan proyek yang

mungkin mempengaruhi lahan basah (termasuk penilaian penuh

dampak lingkungan mereka sebelum persetujuan); (2) evaluasi

berkelanjutan selama pelaksanaannya; dan (4) implementasi penuh

tindakan lingkungan yang diperlukan

.

65

c. Reserves and Training

1) Reserves

Pasal 4 ayat 1 menetapkan bahwa setiap anggota wajib

mempromosikan konservasi lahan basah dan burung air dengan

mendirikan cagar alam pada lahan basah, baik mereka termasuk dalam

list atau tidak, dan melakukan pengamanan yang memadai.

Dalam COP Ke-4 di Montreux, Swiss menghasilkan rekomendasi

tentang Establishment of wetland reserves yang mengakui bahwa

pembentukan cagar alam di lahan basah dengan beragam jenis dan

ukurannya memiliki peran dalam mempromosikan pendidikan konservasi

dan kesadaran publik akan pentingnya konservasi lahan basah dan tujuan

Konvensi itu sendiri. Oleh karena itu, melalui rekomendasi ini mendesak

negara peserta Konvensi untuk:107

1. membentuk jaringan nasional cagar alam yang mencakup lahan

basah baik yang terdaftar maupun yang tidak terdaftar;

2. membuat kerangka hukum yang memadai, atau meninjau

mekanisme hukum yang ada untuk definisi, pendirian dan

perlindungan yang efektif dari cagar alam lahan basah;

3. mengembangkan program pendidikan konservasi yang terkait

dengan jaringan cadangan lahan basah;

107

Ramsar Convention secretariat, 2004, The Ramsar Convention Manual: a Guide

to the Convention on Wetlands (Ramsar, Iran, 1971), 3rd ed. Gland, Switzerland: Ramsar

Convention Secretariat, hlm.43.

66

4. menginventalisir cadangan lahan basah nasional dengan merinci

lokasi dan nilainya; dan

5. mengembangkan dan menerapkan rencana manajemen terpadu

untuk cadangan lahan basah.

2) Training

Pasal 4 ayat 5 dari Konvensi menyatakan bahwa para anggota

wajib mempromosikan pelatihan personil untuk meningkatkan kompetensi

di bidang penelitian lahan basah, manajemen dan pengamanan.

Personil yang terlatih tersebut, khususnya di bidang manajemen,

pendidikan dan administrasi sangat penting dalam menunjang konservasi

yang efektif serta penggunaan lahan basah yang bijaksana. Jenis-jenis

pelatihan relevansi khusus untuk para profesional yang terlibat dalam

praktik penggunaan bijaksana adalah:108

1. pelatihan manajemen terpadu (menyatukan spesialis dari berbagai

bidang untuk menghasilkan pemahaman dan pendekatan umum);

2. pelatihan tentang pengelolaan lahan basah (termasuk informasi

tentang teknik paling terkini);

3. pelatihan untuk staf lapangan (mencakup pemahaman dasar

konsep penggunaan bijaksana, penegakan hukum, dan kesadaran

publik)

Kegiatan pelatihan ini harus bersifat katalitik, melibatkan organisasi

pemerintah dan non-pemerintah, mentransfer pengetahuan yang

108 Ibid,hlm 43-44.

67

diperoleh, misalnya, dari tingkat daerah ke pelatih potensial di tingkat

lokal. Buku pedoman pelatihan dan materi sumber lainnya harus

dikembangkan dan diperbarui sebagai proses yang berkelanjutan.

d. International Cooperation

Pasal 5 Konvensi Ramsar menyatakan bahwa para anggota akan

saling berkonsultasi tentang pelaksanaan kewajiban yang timbul dari

Konvensi terutama pada lahan basah yang membentang melalui lebih dari

satu negara anggota atau pada sistem air lintas negara. Negara anggota

akan berusaha untuk mengkoordinasikan dan mendukung kebijakan

mengenai konservasi lahan basah, serta flora dan fauna yang ada di

dalamnya, saat ini maupun di masa-masa mendatang.

Untuk membantu para anggota dalam pelaksanaan kewajiban

Konvensi ini, COP ke-7 (Mei 1999) mengadopsi panduan untuk kerja

sama internasional dibawah Konvensi Ramsar (Resolusi VII.19). Panduan

mencakup bidang-bidang berikut:

a) Mengelola lahan basah dan cekungan sungai bersama;

b) Mengelola secara bersama spesies-spesies yang terkait dengan

lahan basah;

c) Ramsar bekerja dalam kemitraan dengan Konvensi dan lembaga

lingkungan internasional / regional;

d) Berbagi pengalaman dan informasi;

e) Bantuan internasional untuk mendukung konservasi dan

pemanfaatan lahan basah secara bijak.

68

2. Resolution 5.1 The Kushiro Statement and the framework for

the Implementation of the Convention

Resolusi 5.1 disepakati pada COP Ke-5 Konvensi yang

dilaksanakan di Kushiro, Jepang pada 1993. Resolusi ini merupakan

ketentuan yang bertujuan untuk menjabarkan isi Konvensi sebagai

kerangka untuk pelaksanaan Konvensi Ramsar. Adapun bebarapa

ketentuan yang disepakati dalam resolusi ini yaitu sebagai berikut:109

a) Konservasi lahan basah

Setiap negara anggota melaksanakan konservasi lahan basah, yang

meliputi:

1) Menunjuk suatu lahan basah untuk ditetapkan kedalam daftar lahan

basah untuk kepentingan internasional;

2) merumuskan dan melaksanakan perencanaan sehingga dapat

mempromosikan konservasi situs-situs yang terdaftar;

3) memberi saran kepada sekretariat tentang setiap perubahan

karakter ekologis dari situs-situs yang terdaftar;

4) mengkompensasi hilangnya sumber lahan basah jika lahan basah

yang terdaftar dihapus atau dibatasi;

5) menggunakan kriteria Ramsar untuk mengidentifikasi lahan basah

yang penting secara internasional;

6) menggunakan datasheet Ramsar dan sistem klasifikasi untuk

mendeskripsikan situs-situs yang terdaftar; untuk

109 Lihat Resolution 5.1 The Kushiro Statement and the framework for the

Implementation of the Convention, hlm 3-4.

69

mempertimbangkan langkah-langkah dan manajemen yang tepat

setelah penunjukan dan, bila perlu, untuk menggunakan Rekaman

Montreux dan [Mekanisme Penasihat Ramsar], untuk merumuskan

dan melaksanakan perencanaan sehingga dapat mempromosikan

penggunaan lahan basah secara bijak;

7) mengadopsi dan menerapkan panduan untuk penerapan konsep

penggunaan yang bijaksana, terutama dalam hal elaborasi dan

implementasi kebijakan lahan basah nasional, dan panduan

tambahan tentang penggunaan yang bijaksana;

8) membuat penilaian dampak lingkungan sebelum transformasi lahan

basah;

9) membangun cagar alam di lahan basah dan melakukan

pengawasan terhadap cagar alam tersebut;

10) meningkatkan populasi unggas air melalui pengelolaan lahan

basah yang sesuai;

11) membuat inventarisasi lahan basah nasional yang akan

mengidentifikasi lokasi utama untuk keanekaragaman hayati lahan

basah; penelitian, manajemen, dan pengawasan.

b) Promosi kerjasama internasional dalam konservasi lahan

basah

1) mempromosikan konservasi lahan basah dengan

menggabungkan kebijakan nasional yang berpandangan jauh

ke depan dengan aksi internasional terkoordinasi;

70

2) berkonsultasi dengan pihak-pihak lainnya tentang pelaksanaan

kewajiban yang timbul dari Konvensi, terutama mengenai lahan

basah dan sistem air bersama dan spesies yang dibagikan;

3) mempromosikan keprihatinan konservasi lahan basah dengan

lembaga bantuan pembangunan;

4) membangun proyek-proyek restorasi lahan basah.

c) Membina komunikasi tentang konservasi lahan basah

1) mendorong penelitian dan pertukaran data;

2) menghasilkan laporan nasional untuk konferensi para pihak;

3) meningkatkan jumlah pihak penandatangan.

d) Mendukung kerja dari Konvensi

1) untuk mengadakan dan menghadiri konferensi para pihak;

2) untuk mengadopsi Protokol Paris dan Amandemen Regina;

3) untuk memberikan kontribusi keuangan pada anggaran

Konvensi dan dana hibah.

3. Resolution VII.21: Enhancing the Conservation and Wise Use

of Intertidal Wetlands

Resolusi ini disepakati pada COP7 Ramsar Convention di San Jose

Costa Rica pada 10-18 Mei 1999. Resolusi ini berfokus pada peningkatan

konservasi dan pemanfaatan secara bijaksana lahan basah intertidal

termasuk didalamnya mangrove, tidal flat, rawa-rawa dan padang lamun

yang memiliki nilai ekonomi,sosial dan lingkungan terutama untuk

71

perikanan, keanekaragaman hayati, perlindungan pantai, rekreasi,

pendidikan, dan dalam kaitannya dengan kualitas air.

Berdasarkan ketentuan dari resolusi ini setiap negara peserta

memilki kewajiban untuk:110

a. mendokumentasikan tingkat kehilangan lahan basah intertidal yang

telah terjadi di masa lalu dan menginventarisir lahan basah

intertidal yang tersisa serta status konservasi mereka;

b. bekerjasama dengan Biro Ramsar, Mitra Organisasi Internasional,

dan kelompok yang relevan untuk menyebarkan informasi tentang

tingkat kehilangan lahan basah intertidal dan dampaknya serta

strategi pengembangan alternatif untuk daerah intertidal yang

tersisa agar dapat membantu mempertahankan karakter

ekologinya;

c. meninjau dan memodifikasi kebijakan yang ada yang berdampak

buruk terhadap lahan basah intertidal, berusaha memperkenalkan

langkah-langkah untuk konservasi jangka panjang dan memberikan

saran tentang keberhasilan atau sebaliknya dari tindakan-tindakan

yang telah dilakukan dalam Laporan Nasional mereka ke Ramsar

COP8;

d. mengidentifikasi dan menetapkan lahan basah intertidal khususnya

tidal flat yang lebih besar dan luas sebagai lahan basah untuk

kepentingan internasional serta memprioritaskan situs-situs yang

110

Lihat Resolution VII.21: Enhancing the conservation and wise use of intertidal wetlands hlm 2.

72

penting bagi penduduk asli dan komunitas lokal, dan mereka yang

memegang spesies lahan basah yang terancam secara global

seperti didorong oleh Resolusi VII.11; dan

e. menangguhkan promosi, pembuatan fasilitas baru, dan perluasan

aktivitas tambak yang tidak lestari dan berbahaya bagi lahan basah

pesisir sampai saat penilaian dampak lingkungan dan sosial dari

kegiatan tersebut dilaksanakan dan mengidentifikasi langkah-

langkah yang ditujukan untuk membangun sistem budidaya tambak

berkelanjutan yang selaras dengan lingkungan dan masyarakat

setempat.

4. Resolution VIII.11: Guidance for identifying and designating

peatlands, wet grasslands, mangroves and coral reefs as

Wetlands of International Importance

Lahan gambut, mangrove dan terumbu karang diakui oleh Global

Review of Wetland Resources and Priorities for Wetland Inventory dalam

laporan COP7 sebagai salah satu ekosistem lahan basah yang paling

rentan dan terancam akibat semakin meningkatnya laju degradasi dan

hilangnya habitat. Oleh karena itu, dibutuhkan tindakan prioritas yang

mendesak untuk memastikan konservasi dan penggunaan yang

bijaksana.111

111

Lihat bagian introduction Resolution VIII.11: Guidance for identifying and designating peatlands, wet grasslands, mangroves and coral reefs as Wetlands of International Importance, hlm.1.

73

Berdasarkan hal tersebut dalam COP Ke-8 di Kota Valencia

Spanyol pada November 2002 disepakati suatu resolusi tentang panduan

tambahan terkait identifikasi dan penunjukan lahan gambut, padang

rumput basah, hutan mangrove, dan terumbu karang sebagai Wetlands of

International Importance (Situs Ramsar).

Resolusi VIII.11 ini pada pokoknya mengatur tentang identifikasi

dan penunjukan mangrove serta penerapan kriteria Ramsar dalam

menetapkan suatu kawasan mangrove sebagai wetlands international

importance.

a. Identifikasi dan Penunjukan Mangrove

Identifikasi mangrove yang dimaksud meliputi definisi, fungsi dan

faktor penyebab kerusakan mangrove. Dari identifikasi definisi, mangrove

yang dimaksud adalah tanaman berkayu yang toleran garam dengan

adaptasi morfologi, fisiologis, dan reproduktif yang memungkinkan mereka

untuk menjajah habitat litoral. Yang termasuk kedalam lahan basah laut /

pesisir (hutan basah intertidal) dalam sistem klasifikasi Ramsar untuk tipe

lahan basah.

Mangrove menjalankan fungsi yang penting terkait dengan

pengaturan air tawar, penyedia nutrisi, dan berperan dalam pengendalian

pencemaran melalui kemampuannya dalam menyerap polutan. Mangrove

juga berperan dalam menjaga siklus kehidupan dari berbagai macam

hewan seperti ikan,burung dan krustasea. Dari segi ekonomi Mangrove

mangrove merupakan sumber mata pencaharian yang sangat penting,

74

sarana perikanan komersial dan rekreasi, selain itu juga mangrove

menyediakan banyak barang dan jasa baik langsung dan tidak langsung

kepada masyarakat. Adapun faktor yang menyebabkan terdegradasinya

hutan mangrove adalah praktek eksploitasi yang tidak berkelanjutan,

perusakan habitat, perubahan hidrologi serta faktor meningkatnya polusi.

b. Penerapan Kriteria Ramsar pada Mangrove untuk ditetapkan

sebagai Wetlands of International Importance

Dalam menetapkan suatu kawasan mangrove sebagai Wetlands of

International Importance, maka harus memperhatikan beberapa hal,

yaitu:112

1. Prioritas khusus harus diberikan pada mangrove yang membentuk

bagian dari ekosistem yang utuh dan berfungsi secara alami serta

mencakup jenis lahan basah lainnya, seperti terumbu karang,

padang lamun, dataran pasang surut, laguna pantai, dataran

garam, dan/atau kompleks estuari, hal ini penting untuk menjaga

bagian-bagian ekosistem mangrove. Dalam sebagian besar

keadaan, tidak diperbolehkan penetapan hutan mangrove sebagai

situs Ramsar tanpa menyertakan bagian terkait lainnya dari

ekosistem pesisir.

2. Jaringan situs yang ingin didaftarkan memiliki nilai lebih dari

wilayah hutan mangrove yang hanya merupakan bagian kecil yang

dikelola secara individual, karena mangrove tersebut berkontribusi

112

Lihat bagian Applying the Ramsar Criteria to mangroves dalam Ramsar COP8 Resolution VIII.11, hlm 9-10.

75

pada penguatan bentang alam dan bentang laut secara

keseluruhan. Penunjukan area mangrove yang mencakup seluruh

bentang alam dan bentang laut merupakan hal yang berharga

untuk menjaga proses pesisir yang penting. Dan pertimbangan

harus pula diberikan apabila penetapan Situs Ramsar tersebut

merupakan bagian dari kerangka kerja manajemen pengelolaan

zona pesisir.

3. Dalam menentukan batas-batas yang tepat untuk penunjukan

lokasi, haruslah mempertimbangkan beberapa aspek berikut:

a. pencantuman bagian habitat yang kritis, komunitas tertentu,

atau bentang alam yang berfokus pada tindakan konservasi dan

manajemen;

b. ketentuan untuk tindakan konservasi dalam bagian bentang

alam yang didominasi manusia, karena wilayah yang didominasi

manusia yang lebih ramah dapat membantu mengurangi efek

negatif;

c. ketentuan untuk konservasi dan penggunaan yang bijaksana

dari area yang luas dengan akses manusia yang relatif terbatas

d. masuknya seluruh unit bentang alam (kompleks laguna-

estuarin, dataran garam, delta atau mudflat / sistem tidal flat);

e. pemeliharaan ketahanan hidrografi dan kualitas air, termasuk

dalam konteks pengelolaan daerah aliran sungai (DAS);

76

f. ketentuan terkait dampak kenaikan permukaan laut dan

perubahan iklim yang disebabkan perbuatan manusia yang

mungkin menyebabkan hilangnya habitat dan proses genetik;

dan

g. pertimbangan kemungkinan perpindahan mangrove kearah

daratan sebagai respon terhadap kenaikan permukaan laut.

4. Dalam menerapkan kriteria 1 Ramsar pada mangrove, perhatian

khusus harus diberikan pada proses pendataan wilayah yang

berada dalam kondisi asli atau memiliki kepentingan biogeografi

atau untuk kepentingan ilmu pengetahuan serta kebutuhan

perlindungan;

5. Konservasi mangrove harus dibagi berdasarkan unit penggunaan

yang paling tepat seperti untuk perlindungan, restorasi,

pemahaman dan kenikmatan warisan alam, dan konservasi yang

menekankan pada pemanfaatan berkelanjutan. Ukuran minimum

sebuah situs adalah yang memiliki keragaman jenis habitat

terbesar, termasuk habitat yang mendukung spesies rentan, langka

atau hampir langka, atau ekologi komunitas yang terancam.

"Kealamian" harus dipertimbangkan ketika memilih situs kandidat,

yaitu, sejauh mana suatu area telah terlindungi atau belum

mengalami perubahan yang disebabkan manusia. Proses ekologi,

demografi dan genetik juga harus dipertimbangkan karena hal ini

77

dapat menjaga ketahanan struktural dan fungsional serta kapasitas

yang dapat mempertahankan diri dari lokasi yang ditentukan.

6. Ketika mendefinisikan batas situs, harus dipertimbangkan bahwa

semakin kompleks suatu sistem maka situs yang besar tersebut

haruslah efektif dalam menjalankan tujuan konservasi. Namun,

definisi batas akan menjadi lebih sulit apabila unit tersebut semakin

kecil. Jika ragu, situs harus dibuat lebih besar daripada yang lebih

kecil.

7. Untuk mangrove, perhatian khusus harus diberikan pada

penerapan kriteria 7 dan 8 karena sistem mangrove sangat penting

sebagai tempat pemeliharaan dan pengasuhan untuk ikan dan

kerang. Dan penerapan kriteria 4 sebagai pengakuan atas fakta

bahwa karena ekologi yang kompleks, geomorfologi dan struktur

fisik tersebut mangrove dapat bertindak sebagai tempat

perlindungan dan berperan penting bagi kelangsungan hidup dari

banyak spesies yang bermigrasi mapun yang tidak bermigrasi.

Penentuan daerah-daerah tersebut harus mempertimbangkan

bahwa habitat yang berbeda dari kompleks pesisir mangrove,

padang lamun, dan terumbu karang memiliki nilai penting dalam

siklus hidup dari berbagai spesies yang berbeda.

78

5. Resolution VIII.32: Conservation, Integrated Management, and

Sustainable Use of Mangrove Ecosystems and their Resources

Pada November 2002 COP Ke-8 Ramsar Convention dilaksanakan

di Kota Valencia Spanyol, dimana dalam pertemuan ini disepakati suatu

resolusi VIII.32 tentang konservasi, pengelolaan terpadu dan pemanfaatan

berkelanjutan ekosistem mangrove dan sumber dayanya.

Resolusi VIII.32 ini melahirkan beberapa ketentuan yang ditujukan

bagi setiap negara anggota dan juga pihak terkait lainnya, dalam

melaksanakan konservasi, pengelolaan terpadu dan pemanfaatan

berkelanjutan ekosistem mangrove dan sumber dayanya. Ketentuan

tersebut antara lain:113

a) Meminta negara anggota untuk mengakaji ulang ekosistem

mangrove di wilayahnya dan bersedia untuk mengubah kebijakan

dan strategi nasional mereka yang dapat membahayakan ekosistem

ini, dan menerapkan langkah-langkah untuk melindungi dan

mengembalikan nilai dan fungsinya bagi populasi manusia,

mengenali haknya, penggunaan adat istiadat, pemeliharaan

keanekaragaman hayati, dan bekerjasama di tingkat internasional

untuk menyetujui strategi regional dan global terhadap perlindungan

mangrove;

113 Lihat Resolution VIII.32: Conservation, integrated management, and

sustainable use of mangrove ecosystems and their resources

79

b) Juga meminta negara anggota untuk mengkampanyekan konservasi

ekosistem mangrove di wilayah mereka, pengelolaan terpadu dan

penggunaan yang berkelanjutan dalam konteks kerangka kebijakan

dan peraturan nasional dan agar sesuai dengan penilaian lingkungan

dan strategi dari kegiatan yang dapat mempengaruhi, baik secara

langsung atau tidak langsung struktur dan fungsi ekosistem

mangrove;

c) Mendesak negara anggota untuk memperbaharui informasi

mengenai tutupan ekosistem mangrove, status konservasinya,

bentuk dan tingkat penggunaannya kemudian memberikan informasi

tersebut ke Biro Ramsar dan (Convention of Scientific and Technical

Review Panel / STRP) untuk membantu tugas mereka seperti yang

disebut dalam Resolusi VIII.8 tentang status dan kecenderungan di

lahan basah;

d) Juga mendesak negara angota yang memiliki ekosistem mangrove di

dalam wilayahnya untuk bertukar informasi yang berkaitan dengan

konservasi, pengelolaan terpadu dan penggunaan berkelanjutan,

terutama apabila melibatkan partisipasi penuh masyarakat lokal dan

masyarakat adat;

e) Meminta Biro Ramsar dan STRP sebagai badan resmi dan para

pihak untuk berkontribusi dalam menginisiasi pertukaran teknologi

ramah lingkungan sebagai upaya pengelolaan ekosistem mangrove

secara lestari dan menyediakannya pagi para penggunanya.

80

f) Juga meminta negara anggota yang memiliki ekosistem mangrove di

dalam wilayahnya termasuk wilayah-wilayah tanggungannya, sesuai

dengan kapasitas dan peraturan nasional mereka, agar menunjuk

ekosistem mangrove yang memenuhi kriteria untuk dimasukkan

kedalam daftar lahan basah untuk kepentingan internasional.

Sehingga menciptakan sebuah jaringan nasional dan internasional

yang koheren dari situs Ramsar yang ditunjuk sebagaimana

disyaratkan dalam kerangka strategis dan visi untuk daftar lahan

basah yang penting secara Internasional (Resolusi VII.11), dan juga

memperluas situs ramsar yang sangat penting bagi penduduk lokal

dan masyarakat adat dalam hal keberadaan dan nilai-nilai adat

mereka;

g) Juga meminta semua pihak terkait untuk menyadari pentingnya

ekosistem mangrove bagi burung migrasi maupun nonmigrasi, dan

menunjuk suatu wilayah sebagai Situs Ramsar yang memenuhi

syarat berdasarkan kriteria 4, 5, dan 6 dalam kerangka strategis

yang disahkan melalui Resolusi VII.11. Sehingga dapat berkontribusi

pada pembentukan kerjasama jaringan skala besar dari Situs

Ramsar sesuai dengan rencana kerja gabungan Konvensi Ramsar,

Convention on Migratory Species, dan African-Eurasian Migratory

Waterbird Agreement (AEWA) sebagaimana disahkan melalui

Resolusi VIII.5 dan Konvensi lainnya atau perjanjian terkait ;

81

h) Mendorong semua pihak terkait agar memeperhitungkan situs

Ramsar yang berkaitan dengan ekosistem mangrove dalam Rencana

pengelolaan, menerapkan New Guidelines for management planning

for Ramsar sites and other wetlands dan panduan lainnya yang

diadopsi oleh pertemuan ini (Resolusi VIII.1, VIII.4, dan VIII.14),

faktor ekologi dan sosio-ekonomi yang terjadi di daerah aliran sungai

dan zona lindung dimana mereka terkait, dan memastikan bahwa

perencanaan dan pengelolaan penggunaan lahan tidak berdampak

buruk pada ekosistem mangrove, seperti melalui pengenalan

polutan, modifikasi aliran air, masuknya sedimen dan spesies

eksotis;

i) Juga mendorong semua pihak terkait untuk mengenali sepenuhnya

peran ekosistem mangrove dalam mengurangi perubahan iklim dan

kenaikan permukaan laut terutama di daerah dataran rendah dan

pulau kecil negara-negara berkembang, dan merencanakan

pengelolaan termasuk tindakan adaptasi yang diperlukan untuk

memastikan bahwa ekosistem mangrove dapat merespon dampak

yang disebabkan oleh perubahan iklim dan kenaikan permukaan air

laut;

j) Mendesak semua pihak terkait untuk mengidentifikasi faktor-faktor

yang dapat menurunkan kualitas ekosistem mangrove yang berada

diwilayahnya dan berupaya mengembalikan ekosistem tersebut.

Dengan menggunakan panduan mengenai masalah ini yang diadopsi

82

melalui pertemuan ini (Resolusi VIII.16), sehingga mereka dapat

menyampaikan jangkauan nilai dan fungsinya; dan

k) Meminta Biro Ramsar untuk melakukan semua upaya yang mungkin

untuk mendapatkan sumber keuangan dan memajukan kerja sama

teknis untuk mengenalkan konservasi, pengelolaan terpadu, dan

pemanfaatan ekosistem mangrove secara berkelanjutan serta

sumber daya yang dimilikinya melalui kemitraan dan kesepakatan

yang ada dengan organisasi internasional dan regional.

B. Implementasi Ramsar Convention 1971 terhadap Perlindungan

Hutan Mangrove di Indonesia

Telah dijelaskan sebelumnya, bahwa terdapat komitmen utama

yang harus dijalankan oleh setiap anggota dari Ramsar Convention

sebagai wujud tanggung jawab dalam perlindungan lahan basah termasuk

hutan mangrove yang menjadi objek kajian utama dalam penulisan ini.

Berikut uraian terkait implementasi Ramsar Convention 1971 terhadap

perlindungan hutan mangrove di Indonesia.

1. Praktik Implementasi Ramsar Convention 1971 Terhadap

Perlindungan Hutan Mangrove di Indonesia

a. Implementasi dalam Penetapan Situs Ramsar Indonesia

Kewajiban pertama dari setiap negara yang mengikatkan diri dalam

Ramsar Convention 1971 adalah menetapkan lahan basah yang berada

diwilayah negaranya sebagai lahan basah untuk kepentingan internasional

83

(Situs Ramsar). Indonesia sendiri hingga tahun 2017 telah memiliki tujuh

Situs Ramsar dengan luas 1,372,976 ha.

Tabel 3. Situs Ramsar Indonesia

Site Date of

designation

Region,

province, state Area Coordinates

Berbak National

Park 19/11/1991 Jambi Province,

Sumatra

162,700

ha

01°24'S

104°16'E

Danau Sentarum

Wildlife reserve 30/08/1994

West

Kalimantan

80,000

ha

00°51'N

112°06'E

Wasur National

Park 16/03/2006

Merauke

Regency

413,810

ha

08°38'S

140°23'E

Sembilang

National Park 03/06/2011

South Sumatra

Province

202,896

ha

01°57'S

104°36'E

Rawa Aopa

Watumohai

National Park

06/03/2011

Province of

South East

Sulawesi

105,194

ha

04°28'S

121°59'E

Pulau Rambut

Wildlife Reserve 11/11/2011

DKI Jakarta

Province 90 ha

05°58'S

106°42'E

Tanjung Puting

National Park 12/11/2013

Central

Kalimantan

408,286

ha

03°03'S

112°00'E

Dari ketujuh situs Ramsar yang dimiliki oleh Indonesia tersebut, terdapat

beberapa situs yang memiliki hutan mangrove didalamnya, yaitu:

1) Taman Nasional Rawa Aopa Watumohai (Sulawesi Tenggara)

Taman Nasional Rawa Aopo Watumohai ditetapkan sebagai Situs

Ramsar pada 6 Maret 2011 dengan luas 105.194 ha yang terletak di

Sulawesi Tenggara. Lahan basah di taman nasional ini terdiri atas

ekosistem hutan mangrove, hutan pantai, dan hutan rawa air tawar. Aneka

satwa yang hidup di kawasan pelestarian alam ini di antaranya burung

kacamata Sulawesi (Zosterops consobrinorum), maleo (Macrocephalon

84

maleo), dan berbagai satwa langka lainnya. Adapun luas Hutan mangrove

yang berada dalam kawasan ini adalah sekitar 6.000 ha.114

Salah satu kebijakan konservasi yang telah ditetapkan oleh

pengelola TNRAW adalah mengoptimalkan potensi kawasan dalam

rangka mendukung kesejahteraan masyarakat secara berkelanjutan dan

menjamin keberadaan keanekaragaman hayati melalui peningkatan

pengelolaan jenis. Balai Taman Nasional Rawa Aopa Watumohai telah

menyusun rencana pengelolaan Taman Nasional jangka menengah

(RPJM TNRAW) antara lain: (1) pengembangan kawasan konservasi dan

ekosistem esensial dan (2) pengembangan konservasi spesies dan

genetik.115

2) Suaka Margasatwa Pulau Rambut (DKI Jakarta)

Suaka Margasatwa Pulau Rambut ditetapkan Situs Ramsar

Keenam yang dimiliki oleh Indonesia pada tanggal pada 11 November

2011 dengan luas wilayah 90 ha.116 Sebagai salah satu rantai penting

lahan basah di sepanjang Jalur Terbang Asia Timur-Australasia, situs ini

merupakan tempat transit penting bagi burung air terutama dari oktober

hingga desember yang bermigrasi dari belahan bumi utara ke Australia.

Situs Ramsar ini memiliki 15 spesies mangrove yang membentuk

114

Rini Purwanti, 2011, Nilai Manfaat Hutan Mangrove Taman Nasioanl Rawa AOPA Watumohai: Balai Penelitian Kehutanan Makassar, hlm 22.

115Kangkuso Analuddin dkk, 2016, Struktur Hutan Mangrove Sebagai Habitat

Hewan Endemik Anoa Dataran Rendah (Bubalus Sp.) Di Taman Nasional Rawa Aopa Watumohai, Jurnal Biowallacea, Vol. 3 (2), Hal : 384-395, Oktober, 2016, hlm 385

116 Ramsar, 2012, Indonesias Newest Ramsar Site,

https://www.ramsar.org/news/indonesias-newest-ramsar-site, diakses pada 13 Februari 2018

85

komunitas kompleks dan menyediakan habitat bagi banyak burung air,

termasuk Little Cormorant (Phalacrocorax niger), Glossy Ibis (Plegadis

falcinellus), dan ardeidae seperti Night Heron (Nycticorax nycticorax).117

3) Taman Nasional Tanjung Puting di Kalimantan Tengah118

Taman Nasional Tanjung Puting di Kalimantan Tengah merupakan

Situs Ramsar terbaru yang dimiliki oleh Indonesia. Taman Nasional ini

ditetapkan sebagai Situs Ramsar pada 12 November 2013 dengan total

luas wilayah 408.286 ha. Taman ini adalah salah satu kawasan

konservasi terpenting di Kalimantan Tengah, berfungsi sebagai tempat

penampungan air dan merupakan salah satu habitat terbesar yang tersisa

dari orangutan Kalimantan Pongo pygmaeus yang terancam punah. Situs

ini terdiri dari tujuh jenis rawa, termasuk hutan rawa gambut, hutan hujan

tropis dataran rendah, hutan rawa air tawar dan juga hutan mangrove dan

hutan pantai. Ini mendukung sejumlah besar spesies endemik flora dan

fauna yang beradaptasi dengan lingkungan rawa gambut yang dominan

asam.

b. Implementasi Wise Use Wetlands dalam Perlindungan Hutan

Mangrove di Indonesia

Penerapan wise use wetlands sebagai upaya perlindungan lahan

basah khususnya bagi hutan mangrove sangat berkaitan erat dengan

117

ibid 118

Marina Monzeglio, 2014, Pemerintah Indonesia Mengukuhkan TN Tanjung Putting di Kalimantan Tengah sebagai Situs Ramsar, https://indonesia.wetlands.org/id/news/pemerintah-indonesia-mengukuhkan-tn-tanjung-puting-di-kalimantan-tengah-sebagai-situs-ramsar/, diakses pada 15 Februari 2018

86

tersedianya peraturan-peraturan serta kelembagaan yang efektif dalam

mewujudkan penggunaan secara bijaksana dari hutan mangrove yang

ada. Oleh karena itu, Indonesia sendiri telah memiliki beberapa peraturan

perundang-undangan serta lembaga-lembaga terkait dalam upaya

perlindungan hutan mangrove di Indonesia, sebagai bentuk penerapan

wise use wetlands.

1) Peraturan perundang-undangan terkait Perlindungan Hutan

Mangrove Indoesia

a) Undang-Undang Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan

Penyelenggaraan kehutanan berasaskan manfaat dan lestari,

kerakyatan, keadilan, kebersamaan, keterbukaan, dan keterpaduan.119

Yang bertujuan untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat yang

berkeadilan dan berkelanjutan dengan menjamin keberadaan hutan

dengan luasan yang cukup dan sebaran yang proporsional,

mengoptimalkan aneka fungsi hutan yang meliputi fungsi konservasi,

fungsi lindung, dan fungsi produksi untuk mencapai manfaat lingkungan,

sosial, budaya, dan ekonomi, yang seimbang dan lestari, meningkatkan

kemampuan untuk mengembangkan kapasitas dan keberdayaan

masyarakat secara partisipatif, berkeadilan, dan berwawasan lingkungan

sehingga mampu menciptakan ketahanan sosial dan ekonomi serta

ketahanan terhadap akibat perubahan eksternal.120

119

Lihat Pasal 2 UU Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan 120

Lihat Pasal 3 UU Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan

87

Dalam pasal 13 UU/41/1999 tentang Kehutanan juga menjelaskan

terkait inventarisasi hutan yang dilaksanakan untuk mengetahui dan

memperoleh data dan informasi tentang sumber daya, potensi kekayaan

alam hutan, serta lingkungannya secara lengkap. Inventarisasi ini

dilakukan dengan survei mengenai status dan keadaan fisik hutan, flora

dan fauna, sumber daya manusia, serta kondisi sosial masyarakat di

dalam dan di sekitar hutan meliputi inventarisasi hutan tingkat nasional,

tingkat wilayah, tingkat daerah aliran sungai, dan tingkat unit pengelolaan.

Kemudian dalam rangka pengelolaan hutan, UU ini mengatur

bahwa pengelolaan hutan meliputi kegiatan tata hutan dan penyusunan

rencana pengelolaan hutan, pemanfaatan hutan dan penggunaan

kawasan hutan rehabilitasi dan reklamasi hutan, dan perlindungan hutan

dan konservasi alam. Sementara itu, dalam penjelasan pasal 41 UU

Kehutanan ini sendiri menegaskan bahwa rehabilitasi hutan bakau dan

hutan rawa perlu mendapat perhatian yang sama sebagaimana pada

hutan lainnya. Artinya pengelolaan kawasan hutan mangrove juga harus

menjadi fokus dalam hal menjaga kawasan hutan di Indonesia.

Serangkaian aturan dalam UU Kehutanan tersebut tentunya sangat

bersinergi dengan ketentuan yang ditetapkan oleh Ramsar Convention,

mulai dari upaya konservasi, perencanaan, pengelolaan dan inventarisasi

dari setiap lahan basah termasuk didalamnya hutan mangrove.

88

b) Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2014 Tentang Perubahan

Atas Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2007 Tentang

Pengelolaan Wilayah Pesisir Dan Pulau-Pulau Kecil

Mangrove merupakan bagian penting dari sumber daya pesisir dan

pulau-pulau kecil yang tentunya perlu mendapatkan perlindungan dan

pelestarian. Dalam pasal 1 angka 19 menyatakan bahawa konservasi

wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil adalah upaya pelindungan,

pelestarian, dan pemanfaatan wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil serta

ekosistemnya untuk menjamin keberadaan, ketersediaan, dan

kesinambungan sumber daya pesisir dan pulau-pulau kecil dengan tetap

memelihara dan meningkatkan kualitas nilai dan keanekaragamannya.

Pengelolaan wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil sebagaimana

dimaksud dalam UU ini adalah suatu pengoordinasian perencanaan,

pemanfaatan, pengawasan, dan pengendalian sumber daya pesisir dan

pulau-pulau kecil yang dilakukan oleh Pemerintah dan Pemerintah

Daerah, antarsektor, antara ekosistem darat dan laut, serta antara ilmu

pengetahuan dan manajemen untuk meningkatkan kesejahteraan rakyat.

Selain itu dalam UU ini juga mewajibkan Pemerintah Pusat dan

Pemda untuk memfasilitasi pemberian izin lokasi dan izin pengelolaan

kepada masyarakat lokal dan masyarakat tradisional melalui pemanfaatan

pemanfaatan ruang dan sumber daya Perairan Pesisir dan perairan pulau-

pulau kecil, untuk pemenuhan kebutuhan hidup sehari-hari. Hal ini

mengindikasikan bahwa selain upaya konservasi, UU ini juga

89

mengamanatkan pemanfaatan secara lestari khususnya bagi masyarakat

lokal.121

c) Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan

dan Pengelolaan Lingkungan Hidup

Implementasi Ramsar Convention dalam Undang-undang

perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup (UUPPLH) sendiri dapat

dilihat asas, ruang lingkup serta tujuannya. Dimana dalam UUPPLH

memiliki asas122 kelestarian dan keberlanjutan, keterpaduan, manfaat,

kehatihatian, keadilan, partisipatif dan kearifan lokal serta ruang lingkup

yang meliputi meliputi perencanaan, pemanfaatan, pengendalian,

pemeliharaan, pengawasan dan penegakan hukum. Hal ini tentu sejalan

dengan misi yang dicapai dalam Ramsar Convention yaitu perlindungan

dan penggunaan secara bijaksana dan berkelanjutan dari setiap lahan

basah termasuk didalamnya kawasan hutan mangrove.

Selain itu, tujuan dari dari UUPLH sendiri sangat berkorelasi

dengan perlindungan hutan mangrove sebagai bagian penting lahan

basah dunia, yaitu:123

1) Melindungi wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia dari pencemaran dan kerusakan lingkungan hidup;

2) Menjamin kelangsungan kehidupan makhluk hidup dan kelestarian ekosistem;

121

Lihat Pasal 20 ayat 1 dan 2 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2014 Tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2007 Tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir Dan Pulau-Pulau Kecil

122 Lihat Pasal 2 Undang-undang No.32 tahun 2009 Perlindungan dan

Pengelolaan Lingkungan Hidup 123

Lihat Pasal 3 Undang-undang No.32 tahun 2009 Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup

90

3) Menjaga kelestarian fungsi lingkungan hidup; 4) Mencapai keserasian, keselarasan, dan keseimbangan lingkungan

hidup; 5) Mengendalikan pemanfaatan sumber daya alam secara bijaksana. 6) Mengantisipasi isu lingkungan global.

d) Undang-undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintah

Daerah

Undang-undang 23 tahun 2014 ini merupakan peraturan pengganti

UU Pemerintah Daerah yang lama yakni UU 32 tahun 2004 tentang

Pemerintah Daerah. Lahirnya UU Pemda yang baru ini membawa

pengaruh besar terkait kewenangan pengelolaan hutan antara pemerintah

provinsi dengan pemerintah kabuten/kota.

Kemudian dalam pasal 14 ayat 1 dan 2 yang menyatakan

Penyelenggaraan Urusan Pemerintahan bidang kehutanan, kelautan,

serta energi dan sumber daya mineral dibagi antara Pemerintah Pusat

dan Daerah Provinsi. Sementara kewenangan pemerintah kab/kota hanya

berkaitan dengan pengelolaan taman hutan raya (Tahura). Implikasi

tersebut tentunya juga berpengaruh terkait kewenangan pengelolaan

hutan mangrove yang sebelumnya menjadi kewenangan dari pemerintah

kabupaten/kota menjadi kewenangan dari pemerintah provinsi.

e) Peraturan Pemerintah Nomor 45 Tahun 2004 tentang

Perlindungan Hutan

Penyelenggaraan perlindungan hutan sebagaimana yang diatur

dalam PP ini bertujuan untuk menjaga hutan, hasil hutan, kawasan hutan

91

dan lingkungannya, agar fungsi lindung, fungsi konservasi, dan fungsi

produksi, tercapai secara optimal dan lestari. Dengan prinsip mencegah

dan membatasi kerusakan hutan serta mempertahankan dan menjaga

hak-hak negara, masyarakat, dan perorangan atas hutan, kawasan dan

hasil hutan.

f) Peraturan Pemerintah Nomor 76 Tahun 2008 tentang

Rehabilitasi dan Reklamasi Hutan

Peraturan pemerintah tentang rehabilitasi dan reklamasi hutan ini

dapat dimaknai sebagai upaya pemerintah Indonesia dalam menjalankan

kewajibannya selaku bagian dari Konvensi Ramsar yang berfokus pada

upaya perlindungan dan penggunaan yang bijaksana setiap lahan basah

yang ada khususnya hutan mangrove yang memiliki peran sangat vital.

Adapun yang dimaksud dengan rehabilitasi hutan dan lahan adalah

upaya untuk memulihkan, mempertahankan dan meningkatkan fungsi

hutan dan lahan sehingga daya dukung, produktivitas dan peranannya

dalam mendukung sistem penyangga kehidupan tetap terjaga. Sementara

itu reklamasi hutan merupakan usaha untuk memperbaiki atau

memulihkan kembali lahan dan vegetasi hutan yang rusak agar dapat

berfungsi secara optimal sesuai dengan peruntukannya. Melalui peraturan

ini, diharapkan mampu menjembatani upaya pemulihan hutan yang

mengalami kerusakan serta meningkatkan peran hutan dalam menyangga

kehidupan.

92

g) Keputusan Presiden Republik Indonesia Nomor 48 Tahun 1991

Tentang Pengesahan Convention On Wetlands Of

International Importance Especially As Waterfowl Habitat

Keppres No.48 tahun 1991 ini merupakan dasar pemberlakuan

Ramsar Convention 1971 di Indonesia. Melalui Ratifikasi ini maka,

Indonesia memiliki tanggung jawab dalam melaksanakan segala

ketentuan dari Konvensi ini. Adapun dasar pertimbangan Indonesia dalam

mengikatkan dalam Konvensi ini adalah:

1. bahwa di Ramsar, Iran, pada tanggal 2 Pebruari 1971 telah diterima

Convention on Wetlands of International Importance especcially as

Waterfowl Habitat sebagai hasil Konferensi United Nations

Educational, Scientific and Cultural Organization (UNESCO)

mengenai lahan basah dipandang dari kepentingan internasional

khususnya sebagai habitat burung air;

2. bahwa Konvensi tersebut bertujuan melestarikan lahan basah

berikut flora dan faunanya yang pelaksanaannya memerlukan

keterpaduan antar kebijaksanaan internasional.

h) Peraturan Presiden Republik Indonesia Nomor 73 Tahun 2012

Tentang Strategi Nasional Pengelolaan Ekosistem Mangrove

Upaya perlindungan, pelestarian dan pemanfaatan ekosistem

mangrove tertuang dalam Peraturan Presiden Nomor 73 Tahun 2012

tentang Strategi Nasional Pengelolaan Ekosistem Mangrove dimana

dijelaskan bahwa untuk menyelenggarakan pengelolaan ekosistem

93

mangrove berkelanjutan yang merupakan bagian integral dari pengelolaan

wilayah pesisir yang terpadu dengan pengelolaan DAS diperlukan

koordinasi, integrasi, sinkronisasi dan sinergi lintas sektor, instansi dan

lembaga. Pengelolaan ekosistem mangrove berkelanjutan adalah semua

upaya perlindungan, pengawetan dan pemanfaatan lestari melalui proses

terintegrasi untuk mencapai keberlanjutan fungsi-fungsi ekosistem

mangrove bagi kesejahteraan masyarakat.

Dengan adanya Strategi Nasional Pengelolaan Ekosistem

Mangrove (SNPEM) ini maka diharapkan pengelolaan ekosistem

mangrove menjadi bagian integral dari perencanaan pembangunan

nasional, seperti pada pasal 2 ayat (1) yaitu SNPEM bertujuan untuk

mensinergikan kebijakan dan program pengelolaan ekosistem mangrove

yang meliputi bidang ekologi, sosial ekonomi, kelembagaan, dan

peraturan perundang-undangan untuk menjamin fungsi dan manfaat

ekosistem mangrove secara berkelanjutan bagi kesejahteraan

masyarakat.

i) Peraturan Presiden Nomor 121 Tahun 2012 Tentang

Rehabilitasi Wilayah Pesisir Dan Pulau-Pulau Kecil

Rehabilitasi Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil merupakan

proses pemulihan dan perbaikan kondisi ekosistem atau populasi yang

telah rusak walaupun hasilnya dapat berbeda dari kondisi semula.124

124

Pasal 1 ayat 1 Keputusan Presiden Nomor 121 Tahun 2012 Tentang Rehabilitasi Wilayah Pesisir Dan Pulau-Pulau Kecil

94

Rehabilitasi wajib dilakukan oleh Pemerintah, Pemerintah Daerah, dan

orang yang memanfaatkan secara langsung atau tidak langsung wilayah

pesisir dan pulau-pulau kecil. Apabila pemanfaatan wilayah pesisir dan

pulau-pulau kecil mengakibatkan kerusakan ekosistem atau populasi yang

melampaui kriteria kerusakan ekosistem atau populasi. Rehabilitasi ini

sendiri meliputi terumbu karang, mangrove, padang lamun,estuari, laguna

dan lain-lain.

Dalam Perpres ini kegiatan rehabilitasi dilakukan melalui tiga

tahapan. Pertama perencanaan yakni dengan melakukan kegiatan

identifikasi penyebab kerusakan, identifikasi tingkat kerusakan dan

penyusunan rencana rehabilitasi. Kemudian tahapan pelaksanaan dengan

melakukan pengayaan sumber daya hayati, perbaikan habitat,

perlindungan spesies biota laut agar tumbuh dan berkembang secara

alami, dan ramah lingkungan. Sedangkan pada tahapan pemeliharaan

dilakukan dengan cara menjaga dan mempertahankan komponen biotik

ekosistem atau populasi, menjaga keserasian siklus alamiah komponen

abiotik, menjaga dan mempertahankan keseimbangan lingkungan fisik,

dan/atau mempertahankan dan menjaga kondisi ekosistem atau populasi

yang telah direhabilitasi dari pengaruh alam atau kegiatan manusia.

Perpres ini menunjukkan bahwa pengelolaan hutan mangrove

sebagai objek rehabilitasi kawasan pesisir dan pulau-pulau kecil

merupakan wujud tanggung jawab pemerintah dalam menyediakan

regulasi khususnya bagi kawasan mangrove yang telah mengalami

95

kerusakan. Hal ini tentu sangat sejalan dengan tujuan yang dicapai oleh

Konvensi Ramsar yakni mengkampanyekan dan melaksanakan

konservasi ekosistem lahan basah termasuk mangrove sehingga tercapai

pengelolaan terpadu dan penggunaan yang berkelanjutan.

j) Peraturan Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Republik

Indonesia selaku ketua Pengarah tim koordinasi nasional

pengelolaan ekosistem mangrove Nomor 47 tahun 2017 tentang

kebijakan, strategi, program dan indikator kinerja pengelolaan

ekosistem mangrove nasional.

Pemerintah menegaskan pentingnya pengelolaan ekosistem

mangrove melalui penerbitan Peraturan Menteri Koordinator Bidang

Perekonomian (Permenko) No.4 Tahun 2017 tentang Kebijakan, Strategi,

Program dan Indikator Kinerja Pengelolaan Ekosistem Mangrove Nasional

(Stranas Mangrove).

Permenko ini mengatur berbagai sasaran, strategi, program dan

kegiatan pada empat nilai penting pengelolaan ekosistem mangrove yaitu

ekologi, sosial ekonomi, kelembagaan dan perundang-undangan.

Permenko ditujukan sebagai pedoman dan acuan bagi pemerintah,

pemerintah daerah provinsi maupun kabupaten/kota dan para pihak lain

dalam mengelola ekosistem mangrove sesuai dengan karakteristik daerah

masing-masing.

96

2) Pihak-Pihak Terkait Perlindungan Hutan Mangrove Indonesia

a. Pihak Pemerintah

1. Kementrian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK)

Kewenangan KLHK dalam pengelolaan dan pemanfaatan hutan

mangrove didasarkan pada statusnya sebagai hutan. Dimana dalam

Pasal 1 ayat 2 UU kehutanan menyatakan bahwa hutan adalah suatu

kesatuan ekosistem berupa hamparan lahan berisi sumber daya alam

hayati yang didominasi pepohonan dalam persekutuan alam

lingkungannya, yang satu dengan lainnya tidak dapat dipisahkan.

Kemudian dalam Pasal 10 ayat 2 Pengurusan hutan meliputi

kegiatan penyelenggaraan perencanaan kehutanan, pengelolaan hutan,

penelitian dan pengembangan, pendidikan dan latihan, serta penyuluhan

kehutanan,dan pengawasan. Hal ini juga didukung melalui Pepres nomor

16 tahun 2015 tentang Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan

yang menyatakan bahwa KLHK mempunyai tugas menyelenggarakan

urusan pemerintahan di bidang lingkungan hidup dan kehutanan. Yaitu

dengan menyelenggarakan fungsi perumusan, penetapan, pelaksanaan,

koordinasi dan sinkronisasi pelaksanaan kebijakan, serta pelaksana

bimbingan teknis dan supervisi atas pelaksanaan urusan

penyelenggaraan pemantapan kawasan hutan dan lingkungan hidup

secara berkelanjutan, pengelolaan konservasi sumber daya alam dan

ekosistemnya.125

125

Lihat Pasal 2 Perpres Nomor 16 tahun 2015 tentang Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan

97

Dalam menjalankan fungsinya dalam hal pengelolaan, KLHK

membentuk Balai Pengelolaan Hutan Mangrove (BPHM) yang merupakan

Unit Pelaksana Teknis (UPT) Kementerian Kehutanan yang berada di

bawah Direktorat Jenderal Bina Pengelolaan DAS dan Perhutanan Sosial.

Balai Pengelolaan Hutan Mangrove dibentuk berdasarkan Peraturan

Menteri Kehutanan Nomor:P.04/Menhut-II/2007. BPHM mempunyai tugas

melaksanakan penyusunan rencana dan program, pengembangan

kelembagaan, pengelolaan sistem informasi, pemantauan dan evaluasi

pengelolaan hutan mangrove. Sedangkan fungsinya adalah sebagai

berikut :

1) Penyusunan rencana dan program rehabilitasi, perlindungan,

pengawetan dan pemanfaatan lestari hutan mangrove;

2) Pelaksanaan inventarisasi, identifikasi, koleksi, sortasi, pengelolaan

informasi sumberdaya hutan mangrove;

3) Pemantauan dan evaluasi pengelolaan hutan mangrove;

4) Pengembangan kelembagaan yang meliputi model, sumberdaya

manusia, jejaring kerja dan penyebarluasan informasi

5) Pelaksanaan urusan tata usaha Balai.

2. Kementrian Kelautan dan Perikanan (KKP)

Kementerian Kelautan dan Perikanan memiliki kewenangan atas

mangrove dalam mengelola hutan/ekosistem hutan mangrove

berdasarkan kawasannya atau ekosistemnya yaitu wilayah pesisir.

Wilayah Pesisir sendiri adalah daerah peralihan antara ekosistem darat

98

dan laut yang dipengaruhi oleh perubahan di darat dan laut. Dimana

diketahui bahwa ekosistem mangrove berada pada wilayah ini. Sehingga

hal inilah yang mendasari KKP memiliki wewenang dalam pengelolaan

hutan mangrove sebagai bagian dari sumberdaya pesisir.

Dalam menjalankan tugas menyelenggarakan perumusan dan

pelaksanaan kebijakan dibidang pengelolaan ruang laut, konservasi

keanekaragaman hayati serta pengelolaan pesisir dan pulau-pulau kecil,

KKP membentuk Direktorat Jenderal Pengelolaan Ruang Laut.126 Pada

tahun 2016 terdapat beberapa program di Direktorat Jenderal

Pengelolaan Ruang Laut yang secara langsung menyasar masyarakat

yang bertujuan untuk meningkatkan kesejahteraan, melestarikan

lingkungan dan sumber daya alam laut dan pesisir serta peningkatan

kemampuan adaptasi terhadap perubahan iklim yang secara umum

dengan hasil output yang sangat memuaskan.127

Khusus dibidang pengelolaan mangrove, Ditjen PRL juga

melaksanakan rehabilitasi ekosistem pesisir dengan penanaman

Mangrove 496.930 Batang. Serta membangun pusat restorasi dan

pembelajaran mangrove dan dua lokasi traking mangrove yang berlokasi

di Kab. Pengandaran dan Kab. Sinjai.128

126

Lihat pasal 9 Peraturan Presiden Nomor 63 Tahun 2015 Tentang Kementerian Kelautan Dan Perikanan

127Brahmantya Satyamurti Poerwadi, 2017, Siaran Pers Nomor : SP. /PRL/I/2017

Refleksi 2016 dan Outlook 2017 Upaya Direktorat Jenderal Pengelolaan Ruang Laut dalam Memacu Pembangunan Sektor Kelautan dan Perikanan, http://kkp.go.id/djprl/artikel/890-refleksi-2016-dan-outlook-2017-upaya-direktorat-jenderal-pengelolaan-ruang-laut-dalam-memacu-pembangunan-sektor-kelautan-dan-perikanan, diakses pada 20 Maret 2018

128 ibid

99

3. Pemerintah Daerah

Mengingat kebanyakan hutan mangrove berada didaerah-daerah,

maka pihak yang tidak kalah penting dalam pengelolaan hutan mangrove

tentunya adalah Pemerintah Daerah. Telah dijelaskan sebelumnya bahwa

lahirnya UU 23 tahun 2014 tentang Pemerintah Daerah membawa

pengaruh yang besar terkait pengelolaan hutan termasuk hutan mangrove

yang semula merupakan kewenangan pemerintah daerah kabupaten/kota

menjadi kewenangan pemerintah daerah provinsi.

Dalam hal perizinan di sektor kehutanan, provinsi mempunyai dua

kategori kewenangan perizinan. Pertama, izin pemanfaatan hutan yang

wataknya tidak eksploitatif sehingga tidak memberikan pengaruh signifikan

terhadap perubahan tutupan maupun bentangan alam dalam kawasan

hutan. Termasuk dalam kategori ini adalah Izin Usaha Pemanfaatan

Kawasan (IUPK), Izin Usaha Pemanfaatan Jasa Lingkungan (IUPJL)

kecuali pemanfaatan penyimpanan dan/atau penyerapan karbon tetap

merupakan kewenangan pemerintah pusat, dan Izin pemungutan hasil

hutan bukan kayu (IPHHBK). Kedua, izin pemanfaatan hutan yang

implikasi penggunaannya akan mempengaruhi tutupan hutan. Termasuk

dalam kategori ini adalah Izin Pemungutan Hasil Hutan Kayu (IPHHK) dan

Izin Pemanfaatan Kayu (IPK) pada kawasan Hutan Produksi Konversi dan

kawasan hutan dengan Izin Pinjam Pakai.

Secara khusus kewenangan pada tingkat implementasi di sektor

kehutanan berkaitan erat dengan kewenangan terkait dengan Kesatuan

100

Pengelolaan Hutan (KPH). Kewenangan yang sebelumnya berada di

bawah Kabupaten/Kota maupun Provinsi saat ini semuanya ditarik ke

Provinsi. Hal ini mempunyai implikasi bahwa provinsi yang akan

menjalankan fungsi-fungsi KPH yakni merancang tata hutan dan

penyusunan rencana pengelolaan hutan, pemanfaatan hutan,

penggunaan kawasan hutan, rehabilitasi hutan dan reklamasi, dan

perlindungan hutan dan konservasi alam sesuai dengan konteks yurisdiksi

provinsi.

4. Komite Nasional Pengelolaan Ekosistem Lahan Basah

(KNLB)129

Komite ini dibentuk berdasarkan Keputusan Menteri Kehutanan No.

226/Kpts-VI/94 tanggal 9 Mei 1994. Komite ini merupakan suatu komite

yang bersifat adhoc yang beranggotakan instansi-instansi dari

Departemen Kehutanan, Departemen Pertanian, Kementerian Lingkungan

Hidup, BPN, Departemen Perhubungan, LIPI, TNI, Departemen Dalam

Negeri, Departemen Permukiman dan Prasarana Wilayah, Departemen

Pertambangan dan Energi, Bakosurtanal, dan Wetlands International-

Indonesia Programme.

Tugas dari KNLB yang terbentuk pada tahun 1994 tersebut

diantaranya :

1) Merumuskan kebijaksanaan dan langkah-langkah penanganan

masalah pemanfaatan sumberdaya alam dan ekosistem-ekosistem

129

Komite Nasional Pengelolaan Ekosistem Lahan Basah, Op.cit hlm 49-50.

101

lahan basah sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang

berlaku;

2) Menyusun strategi nasional pengelolaan sumberdaya alam dan

ekosistem-ekosistem lahan basah secara terpadu melalui upaya

pemanfaatan dan pelestarian sumberdaya alam dan ekosistem-

ekosistem lahan basah secara serasi, selaras, dan seimbang;

3) Mengembangkan dan menetapkan kriteria pengelolaan

sumberdaya alam dan ekosistem-ekosistem lahan basah

berdasarkan strategi nasional tersebut;

4) Mengembangkan dan menetapkan prosedur pengelolaan

sumberdaya alam dan ekosistem-ekosistem lahan basah beserta

prosedur pengendaliannya;

5) Meneliti masalah yang timbul dalam pemanfaatan sumberdaya

alam dan ekosistem-ekosistem lahan basah di daerah-daerah, dan

memberikan pengarahan serta saran pemecahannya kepada

pemerintah daerah.

Kemudian menindaklanjuti keputusan Menteri Kehutanan tentang

pembentukan komite nasional pengelolaan ekosistem lahan basah, maka

dikeluarkan pula Keputusan Direktur Jenderal PHPA selaku Ketua I

Komite Nasional Pengelolaan Ekosistem Lahan Basah, Nomor

105/Kpts/DJ-VI/1995 tanggal 22 Mei 1995 tentang Tim Pelaksana

Kesekretariatan dan Konsultan Teknis Komite Nasional Pengelolaan

Ekosistem Lahan Basah.

102

Saat ini baik KNLB maupun tim pelaksana kesekretariatannya tidak

berjalan sesuai dengan yang diharapkan. Kendala tersebut terjadi antara

lain karena nama-nama yang tercantum dalam tim pelaksana sudah tidak

berada pada posisi sebagai pengelola lahan basah atau pada institusinya

dan karena terbentuknya institusi-institusi baru (seperti Departemen

Kelautan dan Perikanan) yang belum terakomodir dalam komite tersebut,

padahal DKP merupakan salah satu pemangku kepentingan utama di

dalam pengelolaan lahan basah di Indonesia.

e) Tim Koordinasi Nasional Pengelolaan Ekosistem Mangrove

Dalam rangka pelaksanaan Peraturan Presiden Nomor 73 Tahun 2012

tentang Strategi Nasional Pengelolaan Ekosistem Mangrove (SNPEM)

maka dibentuklah Tim Koordinasi Nasional Pengelolaan Ekosistem

Mangrove yang selanjutnya disebut Tim Koordinasi Nasional.130 Adapun

susunan keanggotaan Tim Koordinasi Nasional terdiri atas dua bagian

yaitu:

1) Pengarah

Tim pengarah ini bertugas untuk memberikan arahan dalam

penyusunan kebijakan, strategi, program, dan indikator kinerja

pengelolaan mangrove serta menetapkan kebijakan, strategi, program,

dan indikator kinerja pengelolaan mangrove. Tim pengarah ini diketuai

oleh Menteri Koordinator Bidang Perekonomian, dengan anggota yang

terdiri dari Menteri Dalam Negeri, Menteri Keuangan, Menteri Lingkungan

130

Lihat Pasal 4 Peraturan Presiden Nomor 73 Tahun 2012 tentang Strategi Nasional Pengelolaan Ekosistem Mangrove

103

Hidup, Menteri Pekerjaan Umum dan Menteri Perencanaan Pembangunan

Nasional/Kepala Badan Perencanaan Pembangunan nasional;

2) Pelaksana

Sementara itu, tim pelaksana memiliki tugas dalam menyusun

kebijakan, strategi, program, dan indikator kinerja pengelolaan mangrove

serta mengoordinasikan pelaksanaan SNPEM yang menyangkut

perencanaan, pengelolaan, pembinaan, pengendalian, pengawasan,

pelaporan dan sosialisasi; dan mengoordinasikan penyiapan dukungan

pembiayaan/anggaran untuk pelaksanaan SNPEM.

Adapun susunan tim dari tim pelaksana ini, terdiri atas ketua dari

Menteri Kehutanan, Menteri KKP selaku ketua Alternate, Sekretaris dari

Direktur Jenderal Bina Pengelolaan DAS dan Perhutanan Sosial,

Kementerian Kehutanan, dan Wakil Sekretaris Direktur Jenderal Kelautan,

Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil, Kementerian Kelautan dan Perikanan,

serta jajaran anggota. Untuk mendukung pelaksanaan tugas Tim

Koordinasi Nasional, ketua pelaksana membentuk Kelompok Kerja

Mangrove Tingkat Nasional (KKMN).

Dalam melaksanakan SNPEM di provinsi maupun

kabupaten/kota,maka Gubernur, Bupati/Walikota menetapkan strategi

pengelolaan ekosistem mangrove tingkat provinsi dan kabupaten/kota

serta membentuk Tim Koordinasi Strategi Pengelolaan Ekosistem

Mangrove Tingkat Provinsi dan Kabupaten/Kota. Untuk mendukung

pelaksanaan tugas tim koordinasi strategi pengelolaan ekosistem

104

mangrove tingkat provinsi dan kabupeten/kota, maka ketua tim koordinasi

strategi pengelolaan ekosistem mangrove provinsi dan kabupeten/kota

membentuk kelompok kerja mangrove tingkat provinsi serta

kabupeten/kota.

Hubungan kerja antara Tim Koordinasi Tingkat Nasional, Tim

Koordinasi Tingkat Provinsi, dan Tim Koordinasi Tingkat Kabupaten/Kota

bersifat koordinatif dan konsultatif. Sementara dalam hal pendanaan yang

diperlukan untuk melaksanakan Strategi Nasional Pengelolaan Ekosistem

Mangrove dibebankan kepada Anggaran Pendapatan Belanja Negara

dan/atau Anggaran Pendapatan Belanja Daerah serta sumber lain yang

sah dan tidak mengikat sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-

undangan.

Gambar 5.Kelembagaan pengelolaan ekosistem mangrove berdasarkan Perpres 73 tahun 2012.

105

b. Non Governmental Organization (NGO)

Perlindungan dan pengelolaan hutan mangrove tidak hanya

menjadi tanggung jawab pihak pemerintah semata. Melainkan pula

membutuhkan peran berbagai pihak dalam mendukung upaya tersebut.

Salah satunya adalah peran lembaga non pemerintahan/ Non

Governmental Organization (NGO). Berikut adalah dua NGO yang banyak

bergerak dibidang perlindungan dan pengelolaan hutan mangrove di

Indonesia.

1. Blue Forests

Blue Forests merupakan salah satu organisasi nirlaba yan semula

bernama MAP (Mangrove Action Project) yang merupakan afiliasi dari

MAP di Florida, Amerika Serikat. Blue Forests ini pada awalnya hanya

berfokus pada upaya restorasi dan rehabilitasi mangrove di Indonesia.

Namun, kemudian berkembang bukan hanya pada kawasan mangrove

semata, melainkan pula pada alur sungai yang tentunya berdampak pada

mangrove. Tidak hanya itu, NGO ini juga senantiasa berupaya untuk

mendorong resialiasi dari masyarakat khususnya masyarakat pesisir

dengan prinsip global to local and local to global.

Berdasarkan hasil wawancara dengan Direktur Blue Forests,

Yusran Nurdin Massa, menyatakan bahwa terdapat 4 program utama

yang diajalankan Blue Forests di Indonesia. Pertama, Restorasi dan

Rehabilitasi Mangrove, yang bertujuan untuk memastikan tercapainya

upaya restorasi dan rehabilitasi terhadap kawasan hutan mangrove yang

106

mengalami kerusakan serta menjaga kawasan hutan mangrove yang ada

agar tetap lestari. Kedua, Livelihood yang berupaya untuk mendorong

masyarakat, khususnya masyarakat pesisir dalam memanfaatkan

mangrove yang ada disekitarnya tentunya melalui pemanfaatan secara

lestari sehingga masyarakat dapat berdaya secara ekologi.

Kemudian ketiga adalah pendidikan lingkungan hidup, dimana Blue

Forests senantiasa mendorong masyarakat agar menjaga lingkungan

dengan menerapkan metode cara belajar particapotory action, yaitu

belajar dan melakukan aksi. Hal ini penting agar masyarakat bukan hanya

memiliki pengetahuan terhadap perlindungan mangrove melainkan juga

masyarakat didorong untuk terlibat aktif melakukan aksi nyata dalam

menjaga kawasan mangrove. Sedangkan program yang terakhir adalah

advokasi dan penyebarluasan informasi. Dalam program ini Blue Forests

berupaya untuk menjembatani pihak pemerintah dengan masyarakat, agar

kebijakan yang ada mampu mengakomodasi kemampuan masyarakat.

Dalam melaksanakannya, maka dibutuhkan kapasitas yang setara dari

pemerintah dengan masyarakat.

Kantor pusat Blue Forests berada di Makassar dengan beberapa

kantor cabang yang terletak di Demak, Jogja dan Timika. Blue Forests

sendiri telah menjalankan programnya diberbagai wilayah Indonesia

seperti di Tomohon Sulawesi Utara, Tanah langkat, Tanakeke Sulawesi

selatan dan beberapa wilayah di Papua dan telah merestorasi 512 ha

kawasan mangrove. Selain itu juga, Blue Forests juga berhasil

107

meningkatkan kapasitas masyarakat dalam memanfaatkan mangrove

melalui pembuatan produk olahan mangrove dengan tentunya melalui

pamanfaatan secara lestari.

2. Wetlands International Indonesia

Wetlands International Indonesia (WII) adalah lembaga yang

bergerak dalam kegiatan perlindungan, dan rehabilitasi ekosistem lahan

basah, penyadartahuan dan peningkatan kapasitas multistakeholder,

pemberdayaan dan peningkatan ekonomi masyarakat, serta advokasi

kebijakan lahan basah. WII sendiri merupakan bagian dari Wetlands

International yang merupakan organisasi non pemerintah yang bersifat

global dan bergerak di bidang konservasi dan restorasi lahan basah dunia.

Dalam perkembangannya Wetland International Indonesia telah banyak

berperan dalam berbagi upaya dalam perlindungan dan pengelolaan

hutan Mangrove Indonesia, diantaranya:

a) Restorasi Mangrove

Wetlands International telah bekerja dalam upaya pelestarian

ekosistem mangrove selama lebih dari 30 tahun, termasuk di Indonesia

yang memiliki mangrove terluas di dunia. Pada dekade pertama, peran

WII lebih ditujukan kepada kegiatan inventarisasi untuk memetakan

berbagai lokasi penting wilayah mangrove, termasuk potensi dan

kondisinya. Salah satu capaian penting WII adalah memfasilitasi

108

pengukuhan 2 (dua) Taman Nasional lahan basah di Sumatra, yang

kemudian juga ditunjuk sebagai lokasi Ramsar di Indonesia.131

Dekade selanjutnya, lebih ditujukan untuk mempertahankan ekosistem

mangrove yang masih baik. Pada saat yang sama melakukan rehabilitasi

dan restorasi terhadap ekosistem mangrove yang telah mengalami

kerusakan dengan mengikutsertakan secara aktif masyarakat lokal dan

pemerintah daerah setempat. Lebih dari 4 juta bibit, termasuk di lokasi

yang terkena dampak tsunami di Flores dan Nangroe Aceh Darussalam,

telah ditanami mangrove bersama masyarakat lokal melalui mekanisme

program Bio-Rights.132

b) Advokasi

Selain melakukan upaya restorasi mangrove, WII juga senantiasa

menjalin kerjasama dengan berbagai pihak dalam mengadakan advokasi.

Salah satunya bekerjasama dengan Dinas Lingkungan Hidup Kota

(DLHK) Serang dan Wetlands International Indonesia (WII) mengadakan

lokakarya bertajuk “Penguatan kebijakan Daerah untuk Perlindungan

Ekosistem Mangrove Kota Serang”. Lokakarya ini dilatar belakangi oleh

absennya kebijakan daerah yang melindungi kawasan ekosistem

mangrove di Kota Serang. Untuk itu, lokakarya ini menjadi ajang

penggalangan dukungan rencana penyusunan produk hukum daerah

131

Anggita kalistaningsih, 2017, More Mangrove Please, https://indonesia.wetlands.org/id/berita/more-mangroves-please/, diakses pada 23 Maret 2018

132 Ibid

109

terkait rehabilitasi dan pengelolaan ekosistem mangrove di Kota Serang

yang akan diusung oleh DLHK.133

c) Pelibatan Masyarakat

Keterlibatan masyarakat dalam kegiatan rehabilitasi mangrove

merupakan suatu keniscayaan untuk mendukung tingkat keberhasilan

yang tinggi. Wetlands International telah melakukan kegiatan

pemerangkapan sedimen untuk pertumbuhan alami mangrove tersebut di

wilayah Banten, Flores, Sulawesi Utara dan Jawa Tengah.

Upaya tersebut dilakukan dengan teknologi sederhana, tidak terlalu

mahal dan menggunakan bahan-bahan yang tersedia setempat.

Masyarakat diikutsertakan secara penuh dalam berbagai kegiatan

tersebut, dan untuk mereka yang mengikuti kegiatan kemudian diberikan

pinjaman tanpa bunga untuk modal kerja guna meningkatkan mata

pencaharian masyarakat. Jika dalam waktu tertentu yang disepakati

kegiatan rehabilitasi yang dilaksanakan oleh masyarakat membuahkan

hasil yang mencukupi, maka kemudian pinjaman tanpa bunga tersebut

akan dirubah menjadi hibah. Mekanisme pinjaman tanpa bunga bersyarat

tersebut dikenal sebagai mekanisme Bio-Rights.134

133

Anonim, 2017, Siaran pers lokakarya penguatan kebijakan daerah untuk perlindungan ekosistem mangrove di Kota Serang, https://indonesia.wetlands.org/id/news/siaran-pers-lokakarya-penguatan-kebijakan-daerah-untuk-perlindungan-ekosistem-mangrove-di-kota-serang/, diakses pada 24 Maret 2018 Pukul 22:43 WITA.

134Nyoman Suyadiputra, 2017, Keterlibatan Masyarakat pada kegiatan

Rehabilitasi Mangrove, https://indonesia.wetlands.org/id/news/keterlibatan-masyarakat-kegiatan-rehabilitasi-mangrove/, diakses pada 24 Maret 2018.

110

c. Implementasi dalam Upaya Reserve and Training terhadap

Perlindungan Hutan Mangrove Indonesia

1. Reserve

Merujuk pada Pasal 4 ayat 1 bahwa setiap anggota wajib

mempromosikan konservasi lahan basah dan burung air dengan

mendirikan cagar alam pada lahan basah, baik mereka termasuk dalam

“List” atau tidak, dan melakukan pengamanan yang memadai. Dalam hal

ini, Indonesia sendiri telah menjalankan komitmen tersebut melalui upaya

perlindungan dan pengelolaan mangrove yang berada dalam kawasan

perlindungan. Baik itu Cagar alam, suaka margasatwa maupun taman

nasional yang tersebar diberbagai provinsi Indonesia. seperti di Cagar

alam Riung, Kepulauan Karimata, Tanjung Panjang Pohuwatu, TN

Kepulauan Seribu, TN Karimun Jawa dan TN Bunaken, TN Kep.Togean,

Suaka Margasatwa Muara angke dan lain-lain yang memiliki beragam

vegetasi mangrove didalamnya.135

Namun, permasalahan tata kelola menjadi permasalahan besar

dalam perlindungan hutan mangrove. Dimana kawasan konservasi yang

seharusnya menjadi pusat perlindungan mangrove justru ditelantarkan

dan banyak mengalami perubahan peruntukan. Hal ini dikemukakan oleh

Direktur Blue Forests, yang menyatakan bahwa hutan mangrove yang

berada dalam kawasan konservasi, juga rentan mengalami kerusakan.

135

Dirjen Perlindungan Hutan Dan Konservasi Alam, 2014,Stasitik Direktorat Jenderal PHKA tahun 2014, Jakarta:: Kementrian kehutanan, Sekretariat Dirjen Perlindungan Hutan dan Konservasi Alam, hlm. 25-26.

111

Contohnya Cagar Alam Tanjung Panjang, Pohuwatu, Gorontalo, yang

dulunya memiliki luasan mangrove sekitar 3.000 hektar kini tersisa 500

hektar saja. Selain itu, Suaka Margasatwa di Mampie di Polewali Mandar,

Sulawesi Barat dimana mangrovenya dikonversi menjadi tambak dan

ketika tidak produktif lagi kemudian ditelantarkan. Contoh paling unik

adalah di kawasan Taman Nasional Rawa Aopa Watumohai di Sulawesi

Tenggara (Situs Ramsar). Dimana didalam kawasan tersebut

mangrovenya cukup terjaga namun sangat berbeda dengan yang terjadi di

luar kawasan.

Hal ini mengindikasikan masih belum terciptanya tata kelola

kawasan konservasi yang baik di Indonesia, sehingga mengakibatkan

banyak kawasan konservasi yang ada belum mampu menjaga fungsinya

dalam memberikan perlindungan.

2. Training

Dalam pasal 4 ayat 5 dari Konvensi menyatakan bahwa para

anggota wajib mempromosikan pelatihan personil untuk meningkatkan

kompetensi di bidang penelitian lahan basah, manajemen dan

pengamanan. Dalam menerapkan kewajiban ini, pihak-pihak terkait

pengelolaan hutan mangrove di Indonesia sendiri memiliki program-

program tersendiri terkait upaya pelatihan personil ini.

Seperti halnya KLHK yang memiliki Badan Penyuluhan dan

Pengembangan SDM (PSD2M) yang berperan dalam menjamin

ketersediaan SDM yang cukup dengan kualitas yang memadai sesuai

112

dinamika pembangunan LHK. Pada tahun 2016, telah diselenggarakan

pendidikan dan pelatihan (Diklat) yang dimaksudkan untuk

mengembangkan dan meningkatkan kualitas SDM yang terampil,

professional, berdedikasi, jujur serta amanah dan berakhlak mulia.. Selain

pelatihan kepada staf KLHK, diadakan pula kegiatan penyuluhan yang

meliputi peningkatan kelas Kelompok Tani Hutan (KTH) dari pemula

menjadi madya, pembentukan lembaga pemagangan LP2UKS, fasilitasi

pos penyuluhan kehutanan desa dan pemberdayaan masyarakat desa

konservasi. Hal ini sebagai wadah peningkatan kapasitas masyarakat

untuk ikut andil dalam menjaga lingkungan.136

Dalam rangka meningkatkan intensitas penguasaan teknologi dan

diseminasi informasi mangrove, KLHK juga mengembangkan Pusat

Rehabilitasi Mangrove (Mangrove Centre). Pusat rehabilitasi mangrove ini

berperan dalam mempertahankan fungsi mangrove sebagai penyangga

kestabilan ekosistem daerah pesisir. Selain itu juga berfungsi membantu

dalam bidang pendidikan sebagai laboratorium alam untuk penelitian dan

konservasi berbagai jenis mangrove dan fauna yang ada di dalamnya.

Selain itu mangrove center juga dapat dijadikan sebagai tempat ekowisata

yang pro lingkungan.

136

Sekretariat Jenderal Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan, 2017, Statistik Lingkungan Hidup Dan Kehutanan Tahun 2016, Jakarta: Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan,hlm.307.

113

d. Implementasi dalam Kerjasama Internasional Perlindungan

Hutan Mangrove Indonesia

1. Kerjasama Indonesia dengan JICA

Kementerian Kehutanan Melalui Direktorat Jenderal Bina

Pengelolaan Daerah Aliran Sungai dan Perhutanan Sosial (BPDASPS)

bekerjasama dengan Japan International Cooperation Agency (JICA)

terkait pengelolaan hutan mangrove di Indonesia. Kerjasama dengan

pemerintah Jepang sudah dimulai Sejak tanggal 1 Desember 1992

mengenai pengembangan hutan mangrove hingga tahun 1999. Adapun

hasil kerjasama ini adalah dihasilkannya manual silviculture, nursery,

mangrove handbook, dan model pengelolaan mangrove yang

berkelanjutan.137

Setelah itu kerjasama dilanjutkan dengan proyek Mangrove

Information Center Project (MIC) semenjak bulan Mei 2001 sampai Mei

2004 dengan perpanjangan selama 2 tahun (s.d Mei 2006). Output yang

didapatkan melalui kegiatan ini adalah Gedung Mangrove Information

Center yang berlokasi di Bali, didalamnya terdapat museum mangrove

dan informasi mengenai ekosistem mangrove di Indonesia dan juga di

seluruh dunia. Selain itu juga terdapat beberapa training program yang

sampai saat ini masih dipergunakan untuk kepentingan peningkatan SDM

di bidang konservasi hutan mangrove. Kerjasama tahap berikutnya

137 Budi hidayat, 2011, Kemenhut-JICA Jalin Proyek MECS, http://redd-

indonesia.org/index.php?option=com_content&view=article&id=356:kemenhut-jica-jalin-kerjasama-proyek-mecs&catid=35:berita-dari-kementrian-kehutanan-&Itemid=75, diakses pada 24 Maret 2018.

114

dimulai dari Januari 2007 sampai dengan Januari 2010 dengan proyek

berjudul Sub Sectoral program on Mangrove Project. Dari proyek ini

dihasilkan panduan untuk pembentukan model area pengelolaan

mangrove yang berkelanjutan.138

Kemudian pada tahun 2011 kerjasama dilanjutkan dengan

menyepakati proyek kerjasama teknis, yaitu “The Project on Mangrove

Ecosystem Conservation and Sustainable Use in The ASEAN Region

(MECS)”. Kerjasama ini berlangsung selama 3 tahun (s.d bulan Juni

2014). MECS bertujuan membanguan mekanisme berbagi pengalaman

dan pembelajaran (Shared-Learning) terhadap konservasi mangrove

sebagai bagian dari pengelolaan wilayah pesisir di negara -negara Asia

Tenggara. Metode Shared – Learning Workshop dipromosikan sebagai

salah satu cara untuk memperkuat kapasitas dan kolaborasi antar dinas

terkait serta masyarakat di Indonesia khususnya dan di wilayah Asia

Tenggara pada umumnya.139

138

Ibid 139

Pande Gede Aditya Parama Putra, dkk, 2016, Peranan JICA dalam Konservasi Mangrove di Indonesia Sebagai Bagian dari Program The Project For Mangrove Ecosystem Conservation And Sustainable Use in the ASEAN Region (MECS), Bali: Fakultas Ilmu Sosial Dan Ilmu Politik Universitas Udayana, hlm.2.

115

2. Science for Protection of Indonesian Coastal Ecosystems

(SPICE)

SPICE merupakan sebuah program kerjasama antara Leibniz-

Zentrum für Marine Tropenökologie (ZMT), sebuah lembaga penelitian

Jerman yang berfokus pada upaya perlindungan dan pemanfaatan

berkelanjutan ekosistem pesisir tropis dengan Kementerian Riset dan

Teknologi RI (Kemenristek) serta Kementerian Kelautan dan Perikanan RI

(KKP).

Program SPICE ini bertujuan untuk mengatasi isu-isu ilmiah, sosial

dan ekonomi terkait dengan pengelolaan ekosistem pesisir Indonesia

serta sumber daya yang tersedia. Program ini sendiri telah dilaksanakan

dalam 3 tahap, yaitu SPICE Tahap I (2003-2007), SPICE Tahap II (2007-

2010) dan SPICE Tahap III yang tengah berjalan (Maret 2012 - Pebruari

2015). SPICE Tahap I memfokuskan pembelajaran mengenai struktur dan

fungsi ekosistem pesisir yang meliputi hutan mangrove, terumbu karang,

sistem pesisir dan rawa gambut serta berbagai perubahan yang dialami

karena faktor manusia. SPICE Tahap II memfokuskan pada ilmu-ilmu

alam yang dilengkapi dengan ilmu sosial yang bertujuan untuk memahami

dimensi sosial perubahan ekosistem pesisir, untuk menganalisis dinamika

sosial ekologis serta meningkatkan keketerkaitan antara penelitian dan

pembuatan keputusan. Sedangkan SPICE Tahap III mengangkat topik

penelitian mengenai:

116

a) Dampak pencemaran laut terhadap keanekaragaman hayati dan

kehidupan pesisir;

b) Penyerapan karbon di laut-laut Indonesia dan maknanya secara

global;

c) Pemahaman dan pengelolaan ketahanan terumbu karang serta

sistem sosial yang terkait;

d) Pengaruh terestrial (kebumian/terkait tanah) ekologi mangrove dan

keberlanjutan sumber daya mangrove;

e) Iklim vs antropogenik (emisi gas yang bersumber dari aktivitas

manusia, seperti penggundulan hutan) yang berdampak terhadap

perubahan lingkungan dan mempengaruhi laut Indonesia, pesisir

dan ekosistem darat;

f) Potensi energi terbarukan di laut Indonesia.140

SPICE Final Conference dilaksanakan pada tanggal 20-21 Januari

2016 di Universitas Udayana, Denpasar, Bali. Konferensi ini bertujuan

untuk mempresentasikan kegiatan-kegiatan dalam fase SPICE I (2003-

2007), SPICE II (2008-2011), dan SPICE III (2012-2015).Berbagai topik

yang dipresentasikan dalam konferensi ini, yakni (1) Carbon

Sequestration,(2) Marine Geology and Biogeochemistry, (3) Renewable

Energy, (4) Governance of Coastal and Marine Ecosystems, (5)

Understanding Ecological and Socio Economic Dynamics of Mangrove

Ecosystems Under Pressure, (6) Pollution, Aquaculture,(7) Stakeholder

Consultation, dan (8) Coral Reef-Based Ecosystems.Kemristekdikti, KKP,

140

Anonim, 2014, Kerjasama Pengelolaan Ekosistem Pesisir Indonesia sebagai salah satu upaya memperkuat ketahanan pangan Indonesia, https://www.kjrihamburg.de/index.php?option=com_content&view=article&id=461:kerjasama-pengelolaan-ekosistem-pesisir-indonesia-sebagai-salah-satu-upaya-memperkuat-ketahanan-pangan-indonesia&catid=42&lang=id&Itemid=407, diakses pada 18 April 2018

117

BPPT, LIPI dan berbagai universitas sebagai pelaksana program SPICE

turut berpartisipasi dalam konferensi akhir SPICE tersebut.141

3. International Conference on Sustainable Mangrove

Ecosystem

Dalam rangka pengelolaan ekosistem mangrove berkelanjutan

untuk mencapai pengelolaan hutan lestari, maka pada tanggal 18-21 April

2017, bertempat di Provinsi Bali dilaksanakan International Conference on

Sustainable Mangrove Ecosystem. Konferensi internasional ini

dilaksanakan bersama oleh International Timber Trade Organization

(ITTO), Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK), dan

International Society for Mangrove Ecosystem (ISME). Berkolaborasi

dengan the Center for International Forestry Research (CIFOR), the Asia-

Pacific Network for Sustainable Forest Management and Rehabilitation

(APFNet), AFoCo, dan lainnya.142

Konferensi yang dihadiri oleh 272 dari 24 negara ini bertujuan untuk

mempromosikan pengelolaan ekosistem mangrove dengan membangun

pembelajaran dari banyak inisiatif dan proyek-proyek dari dalam dan luar

negeri yang telah dilakukan untuk perlindungan, restorasi, pengelolaan

dan pemanfaatan hutan mangrove dan jasa ekosistem serta

141

Kemenristekdikti, 2016, Kerjasama Riset Indonesia-Jerman Untuk Melindungi Ekosistem Perairan Indonesia https://ristekdikti.go.id/12-tahun-kerjasama-riset-indonesia-jerman-untuk-melindungi-ekosistem-perairan-indonesia/, diakses pada 25 Maret 2018

142 Luh De Suryani, 2017, begini Rekomendasi untuk pelestarian ekosistem

mangrove dunia, http://www.mongabay.co.id/2017/04/24/begini-rekomendasi-untuk-pelestarian-ekosistem-mangrove-dunia/, diakses pada 12 Maret 2018.

118

mengidentifikasi cara-cara meningkatkan mata pencaharian masyarakat

sekitar hutan mangrove untuk kesejahteraan.143

Dalam konferensi ini dihasilkan beberapa rekomendasi terkait

upaya pelestarian ekosistem mangrove dunia, yaitu:144 1) promosi

pengelolaan ekosistem mangrove; 2) mengatasi adaptasi dan mitigasi

perubahan iklim; 3) pemulihan hutan mangrove dan ekosistem

terdegradasi; 4) meningkatkan mata pencaharian masyarakat terkait

mangrove; 5) penguatan tata kelola, penegakan hukum dan sistem

pemantauan; 6) valuasi jasa lingkungan; dan 7) penelitian dan pendidikan

untuk pembangunan berkelanjutan ekosistem mangrove.

e. Upaya Konservasi Mangrove Indonesia

Salah satu aspek penting dalam melihat sejauhmana komitmen

Indonesia dalam melaksanakan Konvensi Ramsar adalah terkait upaya

konservasi yang dilakukan Indonesia melalui program restorasi dan

rehabilitasi. Mengingat banyak kawasan hutan mangrove yang telah

mengalami kerusakan akibat berbagai faktor khususnya akibat alih fungsi

lahan mangrove untuk peruntukan lain yang tidak lestari.

Berdasarkan data yang dikeluarkan oleh KLHK, dari tahun 2012

hingga tahun 2016 KLHK telah melaksanakan kegiatan penanaman

mangrove seluas 22.261 ha diberbagai wilayah Indonesia.

143

Direktorat BPEE, 2017, http://ksdae.menlhk.go.id/berita/594/konferensi-internasional-ekosistem-mangrove-, berkelanjutan.html, diakses pada 12 Maret 2018

144 Leh De Suryani, Op.cit.

119

Gambar 6. Pelaksanaan Penanaman Mangrove Tahun 2012 – 2016145

Kemudian dalam Permenko No.4 Tahun 2017 tentang Kebijakan,

Strategi, Program dan Indikator Kinerja Pengelolaan Ekosistem Mangrove

Nasional (Stranas Mangrove), Dengan memperhatikan kondisi ekosistem

mangrove yang rusak cukup luas yakni sebesar 1,80 juta hektar serta laju

kerusakan yang cukup tinggi maka ditetapkan target tutupan mangrove

yang baik pada tahun 2045 sebesar 3,49 juta hektar, dengan tahapan

sebagai berikut:

Tabel 4. Target Pemulihan Ekosistem Mangrove

No Tahun Luas Mangrove yang baik (juta ha)

1 2017 1,69

2 2019 1,75

3 2024 1,95

4 2029 2,27

5 2034 2,69

6 2039 3,15

7 2044 3,47

8 2045 3,49

145

Sekretariat Jenderal Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan, Op.cit,

hlm 136

120

Ditengah target pemulihan ekosistem mangrove yang ditetapkan

pemerintah tersebut, kemungkinan kegagalan restorasi mangrove juga

mengancam upaya tersebut. Sebagaimana yang dikemukakan oleh

Yusran (Direktur Blue Forests) yang menyatakan bahwa dari sekian

banyak upaya restorasi yang dilakukan pemerintah, presentase

keberhasilan mangrove yang tumbuh hanya sekitar 10 %.

Berdasarkan hasil wawancara, terdapat beberapa faktor yang

menyebabkan kegagalan restorasi mangrove di Indonesia. Pertama,

penanaman dilakukan di lokasi yang masyarakat setempat tidak

mendukung. Dalam kondisi ini, masyarakat akan cenderung menjadikan

wilayah restorasi sebagai lokasi pengembangan ekonomi sesaat, seperti

pembukaan tambak. Kedua, penanaman jenis tunggal, sehingga tidak

fungsional dan menyediakan manfaat yang minimum. Ketiga, penanaman

jenis yang salah di tempat yang salah, tidak memperhatikan pasang surut,

ombak, tingkat erosi maupun kondisi substrat. Keempat, penanaman di

lokasi yang akar permasalahan hilangnya mangrove belum teratasi.

Kelima, penanaman di lokasi yang secara alami sedang berlangsung

proses regenerasi, sehingga dapat mengganggu proses regenerasi

tersebut. Dan terakhir, penanaman di lokasi yang secara historis tidak

pernah diketahui sebagai lokasi tumbuhnya mangrove.

Hal ini juga didukung dengan pernyataan yang dikemukakan oleh

Rini Purwanti selaku staf peneliti di Lembaga penelitian dan

pengembangan lingkungan hidup dan Kehutanan Makassar. Yang

121

mengakui bahwa upaya restorasi mangrove yang dilakukan oleh

pemerintah masih belum berjalan efektif disebabkan karena:146

1. Program penanaman bibiit mangrove diberbagai kawasan hanya

berorientasi pada pelaksanaan “Proyek” semata. Maksudnya

penanaman yang dilakukan tidak diimbangi dengan upaya

pemeliharaan yang berkelanjutan.

2. Faktor masih mininimnya pengetahuan masyarakat akan

pentingnya kawasan hutan mangrove sebagai penyangga

kehidupan. Akibatnya, keterlibatan masyarakat juga masih rendah.

3. Faktor ekonomi, dimana masyarakat menganggap bahwa

mangrove yang ditanam akan mengurangi kawasan penanaman

rumput laut yang menjadi komoditi utama sebagaian masyarakat

pesisir.

Oleh karena itu, menurut Yusran dibutuhkan enam langkah

strategis dalam mendukung tata kelola mangrove yang baik di Indonesia,

yaitu:147

1) Pertama, mendorong moratorium konversi mangrove untuk

peruntukan lain. Moratorium yang dimaksud bukan moratorium

penebangan mangrove, tapi (penghentian) konversi untuk

peruntukan lain, karena ternyata dilahan konsesi mangrove yang

ada di Indonesia terlihat bahwa jika logging-nya dikelola dengan

baik justru mangrove-nya bisa tumbuh dengan baik juga;

146

Hasil wawancara dengan Rini Purwanti selaku staf peneliti BP2LHK Makassar tanggal 9 April 2018

147 Hasil Wawancara dengan Yusran Nurdin Massa ( Direktur Blue Forests)

Tanggal 3 April 2018

122

2) Kedua, adalah perbaikan tata kelola kawasan konservasi

mangrove, Taman Nasional, Cagar Alam dan Suaka matgastwa.

Selama ini, banyak kawasan yang ditetapkan sebagai kawasan

perlindungan mangrove namun ternyata ditelantarkan;

3) Ketiga, adalah program konservasi perlindungan mangrove harus

berbasis masyarakat. Karena selama ini banyak program

konservasi atau rehabilitasi yang gagal karena tidak melibatkan

masyarakat sekitar;

4) Keempat, adalah perlu ada upaya rehabilitasi kembali lahan

tambak yang terlantar menjadi hutan mangrove, karena sekitar 60

persen mangrove di Indonesia hilang karena dikonversi menjadi

tambak;

5) Kelima, adalah perbaikan perencanaan dan pelaksanaan

rehabilitasi di Indonesia untuk meningkatkan tingkat keberhasilan;

6) Terakhir adalah penguatan dan pemberdayaan pembudidaya

tambak menuju tata kelola budidaya berkelanjutan. Bagaimana

mengelola tambak secara efisien dan menghasilkan di suatu

kawasan tertentu yang tidak merangsang untuk perambahan

wilayah.

2. Analisis Implementasi Ramsar Convention 1971 terhadap

Perlindungan Hutan Mangrove di Indonesia

Pada dasarnya Indonesia telah menjalankan kewajibannya

sebagaimana yang ditetapkan dalam Konvensi Ramsar. Namun, tidak

dapat dipungkuri bahwa masih terdapat banyak permasalahan, sehingga

mengakibatkan belum optimalnya perlindungan hutan mangrove di

Indonesia. Berikut merupakan beberapa analisis yang penulis uraikan

terkait faktor-faktor penyebab belum optimalnya pelaksanaan Ramsar

123

Convention 1971 dalam memberikan perlindungan terhadap hutan

mangrove di Indonesia.

a. Implikasi Pengesahan Ramsar Convention 1971 melalui

Keputusan Presiden

Konsekuensi ikut sertanya suatu negara dalam suatu perjanjian

internasional adalah kesediaannya untuk mengimplementasikan kedalam

hukum nasional. Adapun yang dimaksud implementasi atau penerapan

perjanjian internasional pada peraturan perundang-undangan adalah

membuat ketentuan-ketentuan untuk menampung ketentuan-ketentuan

yang terdapat dalam perjanjian yang diterima. Tanpa adanya perundang-

undangan nasional yang menampung ketentuan-ketentuan yang terdapat

dalam perjanjian dimana suatu negara menjadi pihak didalamnya, maka

perjanjian tersebut tidak ada gunanya.148

Permasalahan yang kemudian muncul dalam implementasi

Konvensi Ramsar di Indonesia adalah terkait cara pengesahannya yang

hanya menggunakan Keppres. Padahal materi muatan yang diatur dalam

Konvensi ini terkait masalah lingkungan hidup yang pada hakikatnya

merupakan permasalahan kompleks yang harusnya disahkan dengan

menggunakan UU. Terlepas dari pengesahan Konvensi ini yang diadakan

sebelum lahirnya UU No.24 Tahun 2000 tentang Perjanjian Internasional

yang mengamanatkan perjanjian internasional yang muatannya terkait

148 Kholish Roisah, Op.cit hlm. 88.

124

lingkungan hidup harus disahkan dengan undang-undang.149 Namun

ketika melihat betapa pentingnya Konvensi dalam memberikan

perlindungan lahan basah di Indonesia, tentunya menimbulkan persepsi

bahwa ada ketidakseriusan pemerintah pada saat itu untuk menjaga lahan

basah termasuk mangrove yang ada di Indonesia.

Implikasi dari pengesahan Konvensi Ramsar ini yang hanya

menggunakan Keppres tentunya sangat berkaitan erat dalam kedudukan

hukum dari Konvensi dalam tata hukum nasional. Hal ini karena

kedudukannya sebagai Keppres telah mempersulit untuk dikeluarkannya

Undang-undang maupun Peraturan Pemerintah guna

mengimplementasikan Konvensi ini. Sehingga produk hukum setingkat

Undang-undang maupun peraturan pemerintah yang memiliki tujuan yang

sama dengan Konvensi ini tidak bisa merujuk atau mendasarkan pada

Konvensi Ramsar ini. Sehingga hingga saat ini, penggunaan Konvensi

Ramsar sebagai dasar pengelolaan mangrove di Indonesia pun belum

ada.

b. Konflik Kewenangan dalam Pengelolaan Hutan Mangrove

Indonesia

Salah satu permasalahan dalam pengelolaan mangrove yang

terjadi selama ini di Indonesia adalah terkait tumpang tindih kewenangan

antara satu lembaga dengan lembaga lain yang disebabkan karena

149

Lihat Pasal 10 bagian (c) Undang-undang Nomor 24 Tahun 2000 tentang Perjanjian Internasional

125

adanya ketidaksinkronan antara satu peraturan dengan peraturan lainnya

dalam hal pengelolaan hutan mangrove. Khususnya konflik kewenangan

yang terjadi antara KLHK dengan KKP yang sama-sama memiliki

kewenangan dalam pengelolaan hutan mangrove.

KLHK sendiri mengklaim bahwa pengelolaan hutan mangrove

merupakan kewenanganya, hal ini didasarkan pada status mangrove

sebagai hutan sebagaimana diatur dalam UU No.41 tahun 1999 tentang

kehutanan. Sementara itu, Kementerian Kelautan dan Perikanan juga

beranggapan bahwa mereka memiliki kewenangan dalam mengelola

hutan/ekosistem hutan mangrove berdasarkan kawasannya atau

ekosistemnya (wilayah pesisir), dimana habitat dari mangrove berada

pada wilayah pesisir sebagaimana yang diatur dalam UU No.1 Tahun

2014 tentang Perubahan atas Undang-undang Nomor 27 Tahun 2007

tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil. Hal inilah

yang kemudian memunculkan konflik kewenangan dalam pengelolaan

hutan mangrove di Indonesia.

Namun pada dasarnya pemerintah telah berupaya untuk mengatasi

konflik kewenangan tersebut dengan mengeluarkan Peraturan Menteri

Koordinator Bidang Perekonomian (Permenko) No.4 Tahun 2017 tentang

Kebijakan, Strategi, Program dan Indikator Kinerja Pengelolaan Ekosistem

Mangrove Nasional (Stranas Mangrove). Permenko ini mengatur berbagai

sasaran, strategi, program dan kegiatan pada empat nilai penting

pengelolaan ekosistem mangrove yaitu ekologi, sosial ekonomi,

126

kelembagaan dan perundang-undangan. Permenko ditujukan sebagai

pedoman dan acuan bagi pemerintah, pemerintah daerah provinsi

maupun kabupaten/kota dan para pihak lain dalam mengelola ekosistem

mangrove sesuai dengan karakteristik daerah masing-masing. Diharapkan

melalui Permenko ini dapat memperbaiki ketidaksinkronan peraturan yang

ada dan mampu mendorong kerjasama dari berbagai pihak dalam rangka

pengelolaan ekosistem mangrove di Indonesia.

c. Permasalahan Kelembagaan Pengelolaan Hutan Mangrove di

Indonesia

Pengelolaan hutan mangrove yang multisektoral tentunya

membutuhkan koordinasi yang kuat antar lembaga maupun badan-badan

pelaksana agar dapat menjalankan fungsinya dengan baik. Namun,

berkaca pada masih tingginya laju kerusakan hutan mangrove di

Indonesia, padahal telah dibentuk bebagai lembaga maupun badan

pelaksana, tentunya menimbulkan pertanyaan besar terkait efektifitas dari

kelembagaan tersebut dalam menjalankan fungsinya selaku pihak yang

memiliki tanggung jawab dalam pengelolaan mangrove.

Lemahnya koordinasi antar sektor serta adanya egoisme sektoral

pada dasarnya merupakan akar dari kurang efektifnya badan-badan

pelaksana pengelolaan dan perlindungan hutan mangrove baik itu

Kelompok Kerja Mangrove Tingkat Nasional, Provinsi maupun

Kabupaten/Kota serta Balai Pengelolaan Hutan Mangrove (BPHM) dalam

127

menjalankan tugas dan fungsinya masing-masing.

Permasalahan lain yang juga mendera kelembagaan pengelolaan

mangrove Indonesia adalah sudah tidak berfungsinya lagi Komite

Nasional Pengelolaan Ekosistem Lahan Basah (KNLB) maupun tim

pelaksana kesekretariatannya. Hal ini tentu sangat merugikan, karena

pada dasarnya komite ini merupakan wujud implementasi dari

kelembagaan pengelola lahan basah Indonesia.

Melihat serangkaian permasalahan kelembagaan pengelolaan dan

perlindungan hutan mangrove di Indonesia tersebut, maka sudah

sepatutnya pemerintah bergerak secara cepat dalam memperbaiki tata

kelola kelembagaan yang ada, karena apabila tidak ditangani dengan baik

maka akan berdampak pada semakin tingginya laju kerusakan mangrove

di Indonesia.

d. Belum Optimalnya Upaya Konservasi Mangrove Indonesia

Faktor yang tidak kalah penting dalam perlindungan hutan

mangrove di Indonesia adalah upaya pemerintah terkait konservasi

mangrove yang ada. Hal ini sangat penting dalam proses menjaga dan

menghentikan laju kerusakan mangrove yang terus menerus terjadi. Tidak

dapat dipungkuri bahwa minimnya lahan basah Indonesia yang

didaftarkan sebagai Situs Ramsar khususnya kawasan yang memiliki

hutan mangrove menjadi pertanyaan besar, terkait komitmen pemerintah

Indonesia dalam menyelamatkan lahan basah dunia. Terlebih lagi banyak

128

kawasan konservasi mangrove di Indonesia yang seharusnya menjadi

tempat perlindungan, justru mengalami kerusakan yang diakibatkan oleh

tata kelola serta penegakan hukum yang masih lemah.

Upaya restorasi yang juga dicanangkan pemerintahpun masih

belum berjalan optimal dalam memperbaiki kawasan hutan mangrove

yang mengalami kerusakan. Dimana penanaman mangrove yang

dilakukan tidak memperhatikan kondisi penanaman, kemudian tidak

diimbangi dengan proses pemeliharaan yang baik sehingga persentase

keberhasilan restorasi yang dilakukan juga masih sangat minim.

Hal yang tidak kalah penting dalam mencapai keberhasilan

konservasi mangrove di Indonesia adalah pelibatan masyarakat,

khususnya masyarakat pesisir dalam menjaga dan turut serta mengelola

hutan mangrove. Hal ini penting mengingat kegagalan restorasi mangrove

sebagaimana yang dijelaskan sebelumnya sedikit banyak dipengaruhi

oleh minimnya pelibatan masyarakat baik dalam hal pengambilan

kebijakan maupun ditahap pengeloaan hutan mangrove.

Selain itu, menguatkan kembali nilai-nilai keraifan lokal yang

memiliki kaitan dengan upaya menjaga lingkungan juga harus senantiasa

digalakkan. Contohnya yang kearifan lokal yang telah turun-temurun

dipahami dan dijalankan oleh masyarakat lokal Tanakeke untuk menjaga

sebagian dari wilayah hutan mangrovenya dalam bentuk hutan mangrove

yang dilestarikan/dilindungi (local community-based protected mangrove

129

forest) dalam bentuk hutan mangrove yang tidak boleh diganggu (“bangko

panganreang” dan “bangko tappampang”).150

Selain itu, pemerintah seharusnya menjalin kerjasama yang kuat

dengan NGO yang sudah teruji dalam melaksanakan konservasi

mangrove, agar keberhasilan yang telah dicapai oleh NGO ini dapat pula

diterapkan oleh pemerintah. Sehingga target perbaikan kawasan hutan

mangrove yang ditatapkan ditahun 2045 tersebut dapat benar-benar

terwujud.

e. Lemahnya Pengawasan dan Penegakan Hukum

Lemahnya pengawasan dan penegakan terhadap pelaksanaan

hukum baik ditingkat masyarakat maupun pemerintah juga berperan besar

dalam meningkatnya laju kerusakan hutan mangrove di Indonesia.

Meskipun pada dasarnya telah banyak peraturan yang dikeluarkan oleh

pemerintah terkait perlindungan hutan mangrove, namun pada

kenyataannya peraturan-peraturan tersebut, banyak tidak

diimplementasikan dengan baik.

Lemahnya penegakan hukum dibidang kehutanan dapat diamati

dari hanya sedikit pelanggaran hukum di bidang kehutanan yang berhasil

dituntut dan para pengusaha sebagai pelaku utama justru dapat

150

Irwansyah, Maskun, Birkah Latif, Irham Rapy, 2013, Kajian EfektifitasRegulasi Pemanfaatan Hutan Mangrove di Kabupaten Takalar, Jurnal Penelitian Hukum Fakultas Hukum Unhas, Vol. 2 (1).

130

menghindari hukuman. Bukti lemahnya pengawasan dan penegakan

hukum ini dapat dilihat dari beberapa kasus dibawah ini:

1. Pengerusakan hutan mangrove terjadi di kawasan hutan pesisir

Mangrove di Aceh Tamiang. Dari 24.013,5 ha total luas kawasan

hutan mangrove yang mencakup 109,24 ha hutan lindung, serta

18.904,26 ha hutan produksi, 80% berada dalam kondisi rusak akibat

berbagai aktifitas ilegal. Seperti perambahan dan illegal logging.

Perambahan dilakukan untuk pembukaan perkebunan kelapa sawit

serta pembangunan tambak. Sedangkan hasil dari illegal logging

dijadikan sebagai bahan baku arang. Aktifitas illegal logging sebagian

besarnya dibiayai oleh pemilik dapur arang yang saat ini telah

mencapai lebih dari 200 unit, dan secara umum di indikasikan tidak

memiliki izin. Lemahnya pengawasan dan penegakan hukum menjadi

faktor utama, aktifitas ilegal tersebut terus terjadi. Terlebih,

masyarakat mengakui oknum pemerintah ikut terlibat dan memiliki

usaha dapur arang di lokasi.151

2. Kasus pembabatan hutan mangrove juga terjadi di dusun Kuri

Lompo, Desa Nisombalia, Kecamatan Marusu, Kabupaten Maros,

Sulsel. Dimana kawasan hutan mangrove yang berada diwilayah

tersebut telah dialihkan menjadi tanah garapan dan telah terbit surat

ketetapan pajak. Pembabatan hutan mangrove diwilayah ini telah

151

Muhammad Nur. 2018, Seluas 85% Kawasan Hutan Mangrove Aceh Tamiang Rusak, http://walhiaceh.or.id/seluas-85-kawasan-hutan-mangrove-aceh-tamiang-rusak/, diakses pada 12 april 2018.

131

dilakukan secara sistematis, bahkan didukung oleh pemerintah

setempat. Padahal di Kabupaten Maros sendiri telah terbit Perda

terkait perlindungan mangrove.152

3. Lemahnya penegakan hukum juga tercermin dalam rendahnya

tuntutan jaksa terhadap terdakwa pelaku pembalakan dan reklamasi

liar di hutan mangrove dalam kawasan konservasi Tahura Ngurah

Rai khususnya di Kelurahan Tanjung Benoa Bali 11 Desember 2017

yang kemarin. Dalam tuntutannya, Jaksa hanya menuntut terdakwa

Made Wijaya delapan bulan penjara dan denda Rp.10 juta serta lima

terdakwa lainnya dengan enam bulan penjara. Padahal dalam

Undang-undang nomor 18 tahun 2013 tentang Pencegahan Dan

Pemberantasan Perusakan Hutan hukumannya paling singkat satu

tahun dan paling lama lima tahun penjara. Hal ini berbanding terbalik

dengan yang terjadi di Probolinggo, Jawa Timur 2014 yang lalu,

dimana seorang nenek berusia 58 tahun divonis dua tahun penjara

dan denda Rp.2 miliar karena menebang tiga pohon mangrove untuk

kayu api.153 Minimnya tuntutan jaksa ini bertolak belakang dengan

semangat pemerintah khususnya Menteri Lingkungan Hidup dan

152

Muh basir, 2018,Tak hanya dibabat Lahan Mangrove di Maros ternyata telah

dialihfungsikan, http://www.inikata.com/tak-hanya-dibabat-lahan-mangrove-di-maros-ternyata-telah-dialifungsikan/, diakses pada 12 April 2018.

153 Kabarnusa.com, 2017, FPM Kecewa, Pelaku Reklamasi Liar di Tanjung

Benoa Dituntut Ringan, https://www.kabarnusa.com/2017/12/fpm-kecewa-pelaku-reklamasi-liar-di.html, diakses pada 12 April 2018.

132

Kehutanan dalam menjaga lingkungan dan memerangi perusakan

lingkungan.

Lemahnya pengawasan serta penegakan hukum terhadap pihak

yang dengan sengaja melakukan pengerusakan dan konversi lahan

mangrove ini menjadi suatu bukti nyata bahwa Pemerintah Indonesia

masih belum optimal dalam memberikan perlindungan terhadap hutan

mangrove yang ada.

133

BAB V

PENUTUP

A. Kesimpulan

1. Ramsar Convention 1971 merupakan instrumen hukum

internasional yang memiliki tujuan untuk menyelamatkan lahan

basah termasuk hutan mangrove dari laju kerusakan yang semakin

hari semakin terancam akibat ulah manusia. Konvensi Ramsar

telah meletakkan dasar pengaturan terkait perlindungan hutan

mangrove. Dimana dalam menjalankan Konvensi ini setiap negara

anggota memiliki kewajiban untuk senantiasa melindungi hutan

mangrove yang ada diwilahyahnya sebagai bagian dari lahan

basah untuk kepentingan internasional. Kewajiban tersebut antara

lain listed sites, wise use wetlands, reserve and training,

international cooperation yang dimuat dalam Konvensi maupun

ketentuan-ketentuan lainnya yang diatur melalui resolusi-resolusi

yang ditetapkan.

2. Pada dasarnya Indonesia telah melaksanakan segala

kewajibannya sebagaimana diatur dalam Konvensi ini. Mulai dari

impelementasi dalam hal penetapan lahan basah yang dimiliki

Indonesia sebagai Situs Ramsar, terdapatnya berbagai peraturan

perundang-undangan serta kelembagaan yang berfokus pada

perlindungan dan pengelolaan hutan mangrove serta implementasi

dalam hal pencadangan dan pelatihan serta kerjasama

134

internasional sebagai wujud tanggung jawab Indonesia dalam

menjaga hutan mangrove yang ada. Namun, tidak dapat dipungkuri

masih banyak dijumpai permasalahan-permasalahan perlindungan

hutan mangrove di Indonesia. Mulai dari tidak adanya peraturan

pelaksana dari Ramsar Convention 1971, tidak sinkronnya antara

satu peraturan dengan peraturan lainnya dalam hal kewenangan

pengelolaan mangrove, serta adanya tumpang tindih kewenangan

antara lembaga-lembaga terkait perlindungan mangrove. Ditambah

lagi dengan lemahnya pengawasan dan penegakan hukum serta

kurang berhasilnya upaya-upaya konservasi mangrove yang

dilaksanakan. Oleh karena itu, dibutuhkan perhatian serius dari

berbagai pihak untuk turut andil dalam mengimplementasikan

Konvensi Ramsar ini di Indonesia, sehingga tujuan dari Konvensi

ini dapat betul-betul terlaksana di Indonesia.

B. Saran

1. Menyarankan kepada Pemerintah Indonesia untuk lebih

menguatkan komitmennya selaku negara peratifikasi Konvensi

Ramsar khususnya dalam hal perlindungan hutan mangrove. Mulai

dari perbaikan tata kelola kelembagaan, penguatan kerjasama baik

ditingkat lokal, regional maupun internasional serta mendaftarkan

lebih banyak lahan basah termasuk hutan mangrove yang dimiliki

Indonesia sebagai Situs Ramsar;

135

2. Menyarankan kepada pemerintah untuk menyetujui moratorium

konversi lahan mangrove. Hal ini penting dalam menjaga kawasan

hutan mangrove yang tersisa dari ancaman konversi lahan

mangrove untuk peruntukan lain;

3. Pelibatan masyarakat khususnya masyarakat pesisir maupun

lembaga non pemerintah baik dalam hal pengambilan kebijakan

pengelolaan hutan mangrove maupun dalam rangka upaya

konservasi hutan mangrove di Indonesia.

136

DAFTAR PUSTAKA

Buku:

Abdul Muis Yusuf dan Muhammad Taufik Makarao. 2011. Hukum Kehutanan di Indonesia. Rineka Cipta. Jakarta.

Alexandre Kiss dan Dinah Shelton. 2007. Guide to International Environmental Law, Koninklijke Brill NV. Leiden,Belanda.

Andreas Pramudianto. 2014. Hukum Perjanjian Lingkungan Internasional (Implementasi Hukum Perjanjian Lingkungan Internasional Bidang Lingkungan Hidup di Indonesia). Setara Pres. Malang.

Boer Mauna. 2003. Hukum Internasional (Pengertian, Peranan dan Fungsi Dalam Era Dinamika Global). PT. Almuni. Bandung.

Damos Dumoli Agusman. 2010. Hukum Perjanjian internasional: Kajian Teori dan raktik Indonesia. PT Refika Aditama. Bandung.

Dirjen Perlindungan Hutan Dan Konservasi Alam. 2014. Stasitik Direktorat Jenderal PHKA tahun 2014. Jakarta. Kementrian kehutanan. Sekretariat Dirjen Perlindungan Hutan dan Konservasi Alam.

Elli Louka. 2006. International Environmental Law: Fairness, Effectiveness, and World Order. Cambridge University Press. New York

G.V.T Matthews. 1993. The Ramsar Convention on Wetlands: its History and Development. Ramsar Convention Bureau. Gland, Switzerland.

Ida Bagus Wyasa Putra. 2003. Hukum Lingkungan Internasional dalam Perspektif Bisnis Internasional. Refika Aditama. Bandung.

I Wayan Parthiana. 2002. Perjanjian Internasional bagian 1. Mandar Maju Bandung.

Komite Nasional Pengelolaan Ekosistem Lahan Basah. 2004. Strategi Nasional dan Rencana Aksi Pengelolaan Lahan Basah di Indonesia. Deputi Bidang Pelestarian Lingkungan, Kementerian Lingkungan Hidup. Jakarta.

Laode M Syarief dan Andri G. Wibisana. 2015. Hukum Lingkungan: Teori, Legislasi dan studi kasus.USAID. Jakarta.

Mochtar Kusumastmadja dan Etty R. Agoes. 2003. Pengantar Hukum Internasional. PT Alumni. Bandung.

137

Muhammad Akib. 2014. Hukum Lingkungan Perspektif Global dan Nasional. PT Raja Grafindo Persada. Jakarta.

Muhammad Ashri. 2012. Hukum Perjanjian Internasional. Arus Timur. Makassar.

Muhammad Ilman. Iwan Tri Cahyo Wibisono, and I Nyoman N. Suryadiputra. 2011. State of the art information on mangrove ecosystems in Indonesia. Wetlands International Indonesia Programme. Bogor.

Peter Mahmud Marzuki. 2007. Penelitian Hukum. Kencana. Jakarta.

Ramsar Liquid Assets. 2011. 40 years of the Convention on Wetlands. Ramsar Ramsar Convention Secretariat Rue Mauverney 28 CH – 1196 Gland, Switzerland.

Ramsar Secretariat. 2016. An Introduction to the Ramsar Convention on Wetlands, 7th ed. (previously The Ramsar Convention Manual). Ramsar Convention Secretariat, Gland, Switzerland.

Sefriani. 2016. Peran Hukum Internasional dalam Hubungan Internasional Kontemporer. Rajawali Pers.Jakarta.

Sekretariat Jenderal Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan. 2017. Statistik Lingkungan Hidup Dan Kehutanan Tahun 2016. Jakarta. Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan.

Sukanda Husin. 2016. Hukum Lingkungan Internasional. Rajawali Pers. Jakarta.

Yus Rusila Noor, M. Khazali dan I N.N. Suryadiputra. 2006. Panduan Pengenalan Mangrove di Indonesia. Wetland International Indonesia Programme. Bogor.

Peraturan Perundang-undangan

Undang-undang Nomor 41 tahun 1999 tentang Kehutanan

Undang-undang Nomor 1 tahun 2014 tentang Perubahan atas Undang-undang Nomor 27 tahun 2007 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-pulau Kecil

Undang-undang Nomor 32 tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup

Undang-undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintah Daerah

138

Peraturan Pemerintah Nomor 45 tahun 2004 tentang Perlindungan Hutan

Peraturan Pemerintah Nomor 76 tahun 2008 tentang Rehabilitasi dan Reklamasi Hutan

Keputusan Presiden Republik Indonesia Nomor 48 Tahun 1991 Tentang Pengesahan Convention On Wetlands Of International Importance Especially As Waterfowl Habitat

Peraturan Presiden Republik Indonesia Nomor 73 Tahun 2012 Tentang Strategi Nasional Pengelolaan Ekosistem Mangrove

Peraturan Presiden Nomor 121 Tahun 2012 Tentang Rehabilitasi Wilayah Pesisir Dan Pulau-Pulau Kecil

Peraturan Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Republik Indonesia selaku ketua Pengarah tim koordinasi nasional pengelolaan ekosistem Nomor 47 tahun 2017 tentang kebijakan, strategi, program dan indikator kinerja pengelolaan ekosistem mangrove nasional.

Perjanjian internasional

Vienna Convention on the Law of Treaties 1969

Ramsar Convention 1971 (Conventions on Wetlands of International Importance, especially as Waterfowl Habitat)

Stockholm Declaration 1972

Rio Declaration 1992

Recommendation 4.10: Guidelines for the implementation of the wise use concept

Resolution 5.1 The Kushiro Statement and the framework for the Implementation of the Convention

Resolution VII.21: Enhancing the conservation and wise use of intertidal wetlands

Resolution VIII.11: Guidance for identifying and designating peatlands, wet grasslands, mangroves and coral reefs as Wetlands of International Importance

Resolution VIII.32: Conservation, integrated management, and sustainable use of mangrove ecosystems and their resources

139

Jurnal

Irwansyah,Maskun, Birkah Latif, Irham Rapy. 2013. Kajian Efektifitas Regulasi Pemanfaatan Hutan Mangrove di Kabupaten Takalar. Jurnal Penelitian Hukum Fakultas Hukum Unhas, Vol. 2 (1).

Jayatissa, L.P., F. Dahdouh-Guebas, and N. Koedam. 2002. A review of the floral composition and distribution of mangroves in Sri Lanka. Botanical Journal of the Linnean Society.

Kangkuso Analuddin dkk. 2016. Struktur Hutan Mangrove Sebagai Habitat Hewan Endemik Anoa Dataran Rendah (Bubalus Sp.) Di Taman Nasional Rawa Aopa Watumohai. Jurnal Biowallacea, Vol. 3 (2), Hal : 384-395, Oktober, 2016.

Maulinna Kusumo Wardhani.2011. Kawasan Konservasi Mangrove: Suatu Potensi Ekowisata. Jurnal Kelautan, Volume 4. No.1 April 2011.

Nurhenu Karuniastuti. 2013. Peranan Hutan Mangrove Bagi Lingkungan Hidup. Jurnal Forum Manajemen Vol. 06 No. 1 2013.

NKT Martuti. 2013. Keanekaragam Mangrove Di Wilayah Tapak, Tugurejo, Semarang. Jurnal MIPA Universitas Negeri Semarang Volume 36 No.2 Oktober 2013.

R. C. Bishop 2013. Endangered Species and Uncertainty: the Economics of a Sale Minimum Standard. Amerian Journal of Agricultural Economics, dikutip dalam Andri G. Wibisana. “Elemen-elemen Pembangunan Berkelanjutan dan Penerapannya dalam Hukum Lingkungan”.

Yuniarti S dalam Konny Rusdianti dan Satyawan Sunito. 2012. Konversi Lahan Hutan Mangrove Serta Upaya Penduduk Lokal Dalam Merehabilitasi Ekosistem Mangrove (Mangrove Forest Conservation and The Role of Local Community in Mangrove Ecosytems Rehabilitations). Sodality: Jurnal Sosiologi Pedesaan Vol. 6, No. 1 2012.

Artikel Ilmiah

Abdul Hafidz Holii. 2010. Analisa Kebijakan Pengelolaan Pesisir Dan Mangrove Di Teluk Tomini Wilayah Propinsi Gorontalo. Gorontalo.Tomini Bay Sustainable Coastal Livelihoods and Management (SUSCLAM).

140

Akhmad Solihin, dkk. Laut Dalam Indonesia Dalam Krisis. Greenpeace Southeast Asia (Indonesia). Jakarta.

Dugan, P.J. 1987. The World Wetland Resources – Status and Trend, dalam Aspect Juridiques de la Protection des Zones Humides, UICN-Union Mondiale Pour la Nature, Gland, Swiss.

Macnae, W. 1968. A general account of the fauna and flora of mangrove swamps and forests in the Indo-West-Pacific region. Advances in Marine Biology.

Pande Gede Aditya Parama Putra, dkk. 2016. Peranan JICA dalam Konservasi Mangrove di Indonesia Sebagai Bagian dari Program The Project For Mangrove Ecosystem Conservation And Sustainable Use in the ASEAN Region (MECS). Bali. Fakultas Ilmu Sosial Dan Ilmu Politik Universitas Udayana.

The World Rainforest Movement. 2014. “Blue Carbon” and “Blue REDD”: Transforming coastal ecosystems into merchandise. Montevideo, Uruguay: Redmanglar Internacional, Kiara, CPP, Canco.

Internet

Ade Masya Eta. 2014. Wetland International. http://studioriau.com/uk/artikel/lingkungan/wetlandinternational.html.

Anggita Kalistaningsih. 2017. More Mangrove Please. https://indonesia.wetlands.org/id/berita/more-mangroves-please/.

Anonim. 2013. Mangrove Muara Gembong Rusak Parah 3 Desa Hilang https://www.mongabay.co.id/2013/03/11/mangrove-muara-gembong-rusak-parah-3-desa-hilang/.

Anonim. 2014. The Ramsar CEPA Programme. https://www.ramsar.org/activity/the-ramsar-cepa-programme.

Anonim. 2014. Kerjasama Pengelolaan Ekosistem Pesisir Indonesia sebagai salah satu upaya memperkuat ketahanan pangan Indonesia,https://www.kjrihamburg.de/index.php?option=com_content&view=article&id=461:kerjasama-pengelolaan-ekosistem-pesisir-indonesia sebagai-salah-satu-upaya-memperkuat-ketahanan-pangan indonesia&catid=42&lang=id&Itemid=407.

Anonim. 2016. Sat 1.Png https, //i0.wp.com/agroteknologi.web.id/wp-content/uploads/2016/03/sat1-1.png?fit=547%2C353.

141

Anonim. 2017. Siaran pers lokakarya penguatan kebijakan daerah untuk perlindungan ekosistem mangrove di Kota Serang. https://Indonesia.wetlands.org/id/news/siaran-pers-lokakarya penguatan-kebijakan-daerah-untuk-perlindungan-ekosistem-mangrove-di-kota-serang/.

Arief Rudiyanto. 2016. Bogem, Apel Mangrove Sonneratia alba. http://www.biodiversitywarriors.org/bogem-prapat-padada-bogem-prepat-apel-mangrove.html.

Lindur Mangrove Tancang Bruguiera-Gymnorrhiz. http://www.biodiversitywarriors.org/lindur-mangrove-tancang-bruguiera-gymnorrhiza.html.

Brahmantya Satyamurti Poerwadi. 2017. Siaran Pers Nomor : SP. /PRL/I/2017 Refleksi 2016 dan Outlook 2017 Upaya Direktorat Jenderal Pengelolaan Ruang Laut dalam Memacu Pembangunan Sektor Kelautan dan Perikanan, http://kkp.go.id/djprl/artikel/890-refleksi-2016-dan-outlook-2017-upaya-direktorat-jenderal-pengelolaan-ruang-laut-dalam-memacu-pembangunan-sektor-kelautan-dan-perikanan

Budi Hidayat. 2011. Kemenhut-JICA Jalin Proyek MECS, http://redd-Indonesia.org/index.php?option=com_content&view=article&id=356:kemenhut-jica-jalin-kerjasama-proyek-mecs&catid=35:berita-dari-kementrian-kehutanan-&Itemid=75.

Direktorat BPEE. 2017. http://ksdae.menlhk.go.id/berita/594/konferensi-internasional-ekosistem-mangrove-, berkelanjutan.html.

Direktur Bina Pengelolaan Kawasan Ekosistem Esensial, Antung Deddy Radiansyah pada komunikasi publik di Gedung Manggala Wanabakti, Jakarta diakses melalui http://ppid.menlhk.go.id/siaran_pers/browse/561.

FAO. 2008. Loss of mangroves alarming 20 percent of mangrove area destroyed since 1980 – rate of loss slowing, http://www.fao.org/newsroom/en/news/2008/1000776/index.html.

Imam Solehudin. 2017. Duh Kerusakan Hutan Mangrove di Pulau Jawa MakinParah.https://www.jawapos.com/read/2017/09/09/156036/duh-kerusakan-hutan-mangrove-di-pulau-jawa-makin-parah.

Irwanto. 2010. Hutan Mangrove dan Manfaatnya, irwantomangrove.webs.com

142

IUCN. 2017. Mangroves and REDD New Component, https://www.iucn.org/news/asia/201711/mangroves-and-redd-new-component-mff.

Kabarnusa.com. 2017. FPM Kecewa, Pelaku Reklamasi Liar di Tanjung Benoa Dituntut Ringan, https://www.kabarnusa.com/2017/12/fpm-kecewa-pelaku-reklamasi-liar-di.html.

Kemenristekdikti. 2016. Kerjasama Riset Indonesia-Jerman Untuk Melindungi Ekosistem Perairan Indonesia https://ristekdikti.go.id/12-tahun-kerjasama-riset-Indonesia-jerman-untuk-melindungi-ekosistem-perairan-Indonesia/.

Luh De Suryani.2017. Begini Rekomendasi Untuk Pelestarian Ekosistem Mangrove Dunia. http://www.mongabay.co.id/2017/04/24/begini-rekomendasi-untuk-pelestarian-ekosistem-mangrove-dunia/.

Mangrove Watch Australia. 2013. Mangrove Watch, A New Monitoring Program that Partners Mangrove Scientists and Community Participants,http://www.mangrovewatch.org.au/index.php?option=com_content&view=category&layout=blog&id=26&Itemid=300161.

Marina Monzeglio. 2014. Pemerintah Indonesia Mengukuhkan TN Tanjung Putting di Kalimantan Tengah sebagai Situs Ramsar. https://Indonesia.wetlands.org/id/news/pemerintah-Indonesia-mengukuhkan-tn-tanjung-puting-di-kalimantan-tengah-sebagai-situs-ramsar/.

Muh Basir. 2018. Tak hanya dibabat Lahan Mangrove di Maros ternyata telah dialihfungsikan, http://www.inikata.com/tak-hanya-dibabat-lahan-mangrove-di-maros-ternyata-telah-dialifungsikan/.

Muhammad Nur. 2018. Seluas 85% Kawasan Hutan Mangrove Aceh Tamiang Rusak. http://walhiaceh.or.id/seluas-85-kawasan-hutan-mangrove-aceh-tamiang-rusak/.

Natalia Trita Agnika. 2016. Lahan Basah Asset Penting Bagi Lingkungan Hidup. https://www.wwf.or.id/?45402/Lahan-Basah-Aset-Penting-bagi-Lingkungan-Hidup.

Nyoman Suyadiputra. 2017. Keterlibatan Masyarakat pada kegiatan Rehabilitasi Mangrove. https://Indonesia.wetlands.org/id/news/keterlibatan-masyarakat-kegiatan-rehabilitasi-mangrove/

Ramsar. 2013. Laporan Kegiatan Peringatan Hari Lahan Basah Sedunia, 2 Februari 2012 Di Desa Reroroja Kecamatan Magepanda Kabupaten Sikka.

143

https://www.ramsar.org/sites/default/files/documents/pdf/wwd/12/Indonesia_report.pdf.

Ramsar. Ramsar sites around the world. https://www.ramsar.org/sites-countries/ramsar-sites-around-the-world.

.2012. Indonesias Newest Ramsar Site. https://www.ramsar.org/news/Indonesias-newest-ramsar-site. Ramsar. Wetland Indonesia. https://www.ramsar.org/wetland/Indonesia. Universitas Multi Media Nusantara. 2014. Jenis-jenis tanaman di hutan

Mangrove, https://wearemangroove.weebly.com/blog/-jenis-jenis-tanaman-di-hutan-mangrove.

Wahyu Chandra. 2014. Kebijakan Pemerintah Picu Degradasi Hutan Mangrove. https://www.mongabay.co.id/2014/03/26/kebijakan-pemerintah-picu-degradasi-hutan-mangrove/.

Wetlands International. international sustainable mangrove ecosystem https://Indonesia.wetlands.org/id/berita/international-conference-on-sustainable-mangrove-ecosystem/.

.Apa lahan basah itu. https://Indonesia.wetlands.org/id/wetlands/apa-lahan-basah-itu/.

2017. More Mangrove Please. https://Indonesia.wetlands.org/id/berita/more-mangroves-please/.

Yus Rusila Noor. 2016. Lahan Basah untuk masa depan kita, https://Indonesia.wetlands.org/id/berita/opini-lahan-basah-untuk-masa-depan-kita/.

144

LAMPIRAN-LAMPIRAN

145

Convention on Wetlands of International Importance especially as Waterfowl Habitat

Ramsar, Iran, 2.2.1971 as amended by the Protocol of 3.12.1982 and the Amendments of 28.5.1987

Paris, 13 July 1994 Director, Office of International Standards and Legal Affairs United Nations Educational, Scientific and Cultural Organization (UNESCO)

The Contracting Parties,

RECOGNIZING the interdependence of Man and his environment; CONSIDERING the fundamental ecological functions of wetlands as regulators of water regimes and as habitats supporting a characteristic flora and fauna, especially waterfowl; BEING CONVINCED that wetlands constitute a resource of great economic, cultural, scientific, and recreational value, the loss of which would be irreparable; DESIRING to stem the progressive encroachment on and loss of wetlands now and in the future; RECOGNIZING that waterfowl in their seasonal migrations may transcend frontiers and so should be regarded as an international resource; BEING CONFIDENT that the conservation of wetlands and their flora and fauna can be ensured by combining far-sighted national policies with co-ordinated international action;

Have agreed as follows:

Article 1

146

1. For the purpose of this Convention wetlands are areas of marsh, fen, peatland or water, whether natural or artificial, permanent or temporary, with water that is static or flowing, fresh, brackish or salt, including areas of marine water the depth of which at low tide does not exceed six metres. 2. For the purpose of this Convention waterfowl are birds ecologically dependent on wetlands.

Article 2

1. Each Contracting Party shall designate suitable wetlands within its territory for inclusion in a List of Wetlands of International Importance, hereinafter referred to as "the List" which is maintained by the bureau established under Article 8. The boundaries of each wetland shall be precisely described and also delimited on a map and they may incorporate riparian and coastal zones adjacent to the wetlands, and islands or bodies of marine water deeper than six metres at low tide lying within the wetlands, especially where these have importance as waterfowl habitat. 2. Wetlands should be selected for the List on account of their international significance in terms of ecology, botany, zoology, limnology or hydrology. In the first instance wetlands of international importance to waterfowl at any season should be included. 3. The inclusion of a wetland in the List does not prejudice the exclusive sovereign rights of the Contracting Party in whose territory the wetland is situated. 4. Each Contracting Party shall designate at least one wetland to be included in the List when signing this Convention or when depositing its instrument of ratification or accession, as provided in Article 9. 5. Any Contracting Party shall have the right to add to the List further wetlands situated within its territory, to extend the boundaries of those wetlands already included by it in the List, or, because of its urgent national interests, to delete or restrict the boundaries of wetlands already included by it in the List and shall, at the earliest possible time, inform the organization or government responsible for the continuing bureau duties specified in Article 8 of any such changes. 6. Each Contracting Party shall consider its international responsibilities for the conservation, management and wise use of migratory stocks of waterfowl, both when designating entries for the List and when exercising its right to change entries in the List relating to wetlands within its territory

147

Article 3

1. The Contracting Parties shall formulate and implement their planning so as to promote the conservation of the wetlands included in the List, and as far as possible the wise use of wetlands in their territory. 2. Each Contracting Party shall arrange to be informed at the earliest possible time if the ecological character of any wetland in its territory and included in the List has changed, is changing or is likely to change as the result of technological developments, pollution or other human interference. Information on such changes shall be passed without delay to the organization or government responsible for the continuing bureau duties specified in Article 8. Article 4

1. Each Contracting Party shall promote the conservation of wetlands and waterfowl by establishing nature reserves on wetlands, whether they are included in the List or not, and provide adequately for their wardening. 2. Where a Contracting Party in its urgent national interest, deletes or restricts the boundaries of a wetland included in the List, it should as far as possible compensate for any loss of wetland resources, and in particular it should create additional nature reserves for waterfowl and for the protection, either in the same area or elsewhere, of an adequate portion of the original habitat. 3. The Contracting Parties shall encourage research and the exchange of data and publications regarding wetlands and their flora and fauna. 4. The Contracting Parties shall endeavour through management to increase waterfowl populations on appropriate wetlands. 5. The Contracting Parties shall promote the training of personnel competent in the fields of wetland research, management and wardening. Article 5

The Contracting Parties shall consult with each other about implementing obligations arising from the Convention especially in the case of a wetland extending over the territories of more than one Contracting Party or where a water system is shared by Contracting Parties. They shall at the same time endeavour to coordinate and support present and future policies and regulations concerning the conservation of wetlands and their flora and fauna.

148

Article 6

1. There shall be established a Conference of the Contracting Parties to review and promote the implementation of this Convention. The Bureau referred to in Article 8, paragraph 1, shall convene ordinary meetings of the Conference of the Contracting Parties at intervals of not more than three years, unless the Conference decides otherwise, and extraordinary meetings at the written requests of at least one third of the Contracting Parties. Each ordinary meeting of the Conference of the Contracting Parties shall determine the time and venue of the next ordinary meeting. 2. The Conference of the Contracting Parties shall be competent:

a) to discuss the implementation of this Convention; b) to discuss additions to and changes in the List; c) to consider information regarding changes in the ecological character of wetlands included in the List provided in accordance with paragraph 2 of Article 3; d) to make general or specific recommendations to the Contracting Parties regarding the conservation, management and wise use of wetlands and their flora and fauna; e) to request relevant international bodies to prepare reports and statistics on matters which are essentially international in character affecting wetlands; f) to adopt other recommendations, or resolutions, to promote the functioning of this Convention.

3. The Contracting Parties shall ensure that those responsible at all levels for wetlands management shall be informed of, and take into consideration, recommendations of such Conferences concerning the conservation, management and wise use of wetlands and their flora and fauna. 4. The Conference of the Contracting Parties shall adopt rules of procedure for each of its meetings. 5. The Conference of the Contracting Parties shall establish and keep under review the financial regulations of this Convention. At each of its ordinary meetings, it shall adopt the budget for the next financial period by a two-third majority of Contracting Parties present and voting. 6. Each Contracting Party shall contribute to the budget according to a scale of contributions adopted by unanimity of the Contracting Parties present and voting at a meeting of the ordinary Conference of the Contracting Parties.

149

Article 7

1. The representatives of the Contracting Parties at such Conferences should include persons who are experts on wetlands or waterfowl by reason of knowledge and experience gained in scientific, administrative or other appropriate capacities. 2. Each of the Contracting Parties represented at a Conference shall have one vote, recommendations, resolutions and decisions being adopted by a simple majority of the Contracting Parties present and voting, unless otherwise provided for in this Convention. Article 8

1. The International Union for Conservation of Nature and Natural Resources shall perform the continuing bureau duties under this Convention until such time as another organization or government is appointed by a majority of two-thirds of all Contracting Parties. 2. The continuing bureau duties shall be, inter alia:

a) to assist in the convening and organizing of Conferences specified in Article 6; b) to maintain the List of Wetlands of International Importance and to be informed by the Contracting Parties of any additions, extensions, deletions or restrictions concerning wetlands included in the List provided in accordance with paragraph 5 of Article 2; c) to be informed by the Contracting Parties of any changes in the ecological character of wetlands included in the List provided in accordance with paragraph 2 of Article 3; d) to forward notification of any alterations to the List, or changes in character of wetlands included therein, to all Contracting Parties and to arrange for these matters to be discussed at the next Conference; e) to make known to the Contracting Party concerned, the recommendations of the Conferences in respect of such alterations to the List or of changes in the character of wetlands included therein.

Article 9

1. This Convention shall remain open for signature indefinitely. 2. Any member of the United Nations or of one of the Specialized Agencies or of the International Atomic Energy Agency or Party to the Statute of the International Court of Justice may become a Party to this Convention by:

a) signature without reservation as to ratification; b) signature subject to ratification followed by ratification; c) accession.

150

3. Ratification or accession shall be effected by the deposit of an instrument of ratification or accession with the Director-General of the United Nations Educational, Scientific and Cultural Organization (hereinafter referred to as "the Depositary"). Article 10

1. This Convention shall enter into force four months after seven States have become Parties to this Convention in accordance with paragraph 2 of Article 9. 2. Thereafter this Convention shall enter into force for each Contracting Party four months after the day of its signature without reservation as to ratification, or its deposit of an instrument of ratification or accession. Article 10 bis

1. This Convention may be amended at a meeting of the Contracting Parties convened for that purpose in accordance with this article. 2. Proposals for amendment may be made by any Contracting Party. 3. The text of any proposed amendment and the reasons for it shall be communicated to the organization or government performing the continuing bureau duties under the Convention (hereinafter referred to as "the Bureau") and shall promptly be communicated by the Bureau to all Contracting Parties. Any comments on the text by the Contracting Parties shall be communicated to the Bureau within three months of the date on which the amendments were communicated to the Contracting Parties by the Bureau. The Bureau shall, immediately after the last day for submission of comments, communicate to the Contracting Parties all comments submitted by that day. 4. A meeting of Contracting Parties to consider an amendment communicated in accordance with paragraph 3 shall be convened by the Bureau upon the written request of one third of the Contracting Parties. The Bureau shall consult the Parties concerning the time and venue of the meeting. 5. Amendments shall be adopted by a two-thirds majority of the Contracting Parties present and voting. 6. An amendment adopted shall enter into force for the Contracting Parties which have accepted it on the first day of the fourth month following the date on which two thirds of the Contracting Parties have

151

deposited an instrument of acceptance with the Depositary. For each Contracting Party which deposits an instrument of acceptance after the date on which two thirds of the Contracting Parties have deposited an instrument of acceptance, the amendment shall enter into force on the first day of the fourth month following the date of the deposit of its instrument of acceptance. Article 11

1. This Convention shall continue in force for an indefinite period. 2. Any Contracting Party may denounce this Convention after a period of five years from the date on which it entered into force for that party by giving written notice thereof to the Depositary. Denunciation shall take effect four months after the day on which notice thereof is received by the Depositary. Article 12

1. The Depositary shall inform all States that have signed and acceded to this Convention as soon as possible of:

a) signatures to the Convention; b) deposits of instruments of ratification of this Convention; c) deposits of instruments of accession to this Convention; d) the date of entry into force of this Convention; e) notifications of denunciation of this Convention.

2. When this Convention has entered into force, the Depositary shall have it registered with the Secretariat of the United Nations in accordance with Article 102 of the Charter. IN WITNESS WHEREOF, the undersigned, being duly authorized to that effect, have signed this Convention. DONE at Ramsar this 2nd day of February 1971, in a single original in the English, French, German and Russian languages, all texts being equally authentic* which shall be deposited with the Depositary which shall send true copies thereof to all Contracting Parties.

* Pursuant to the Final Act of the Conference to conclude the Protocol, the Depositary provided the second Conference of the Contracting Parties with official versions of the Convention in the Arabic, Chinese and Spanish languages, prepared in consultation with interested Governments and with the assistance of the Bureau.

152

153

154