Kajian Yuridis Dan Filosofis Perubahan Konstitusi Republik Indonesia Tahap Pertama Pasca Reformasi...
Transcript of Kajian Yuridis Dan Filosofis Perubahan Konstitusi Republik Indonesia Tahap Pertama Pasca Reformasi...
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Reformasi yang dimulai pada permulaan tahun 1997
oleh para mahasiswa dengan slogan “Reformasi Oleh
Rakyat” harus melalui berbagai hambatan dan reaksi
keras dari pemerintah. Meskipun demikian kemenangan
berpihak pada rakyat yang puncaknya ditandai dengan
lengsernya mantan Presiden Soeharto setelah 32 tahun
membangun pengaruh dan mengokohkan kekuasaannya.
Reformasi yang berkomitmen pada upaya perubahan menuju
perbaikan melatarbelakangi lahirnya tuntutan reformasi
total yang meliputi: reformasi politik, reformasi
ekonomi, reformasi hukum, reformasi budaya, reformasi
pendidikan dan reformasi keamanan. 1)
Reformasi konstitusional - dikonkritkan dengan
perubahan Undang-Undang Dasar atau konstitusi - sebagai
1) Laporan Senat ITB, Krisis Nasional, Reformasi Total, dan ITB, Bandung:Penerbit ITB, 1998, hlm. 5.
1
salah satu agenda reformasi merupakan langkah yang
membawa perubahan signifikan dalam sejarah
ketatanegaraan Republik Indonesia. Semula dalam rangka
melanggengkan kekuasaan penyelenggara negara maka
Undang-Undang Dasar 1945 (UUD) mengalami proses
“sakralisasi” atau tidak boleh “disentuh” dengan
berbagai ancaman dan stigma subversive yang dituduhkan
bagi yang akan menyentuhnya.2)
Proses pengkultusan tersebut memolakan masyarakat
menjadi bangsa yang tidak dinamis, hidup dalam
ketakutan dan terkungkung doktrin pemerintah, sehingga
tidak berani untuk mengemukakan pendapatnya. Nyata,
bahwa kerancuan yang terdapat dalam UUD 1945
menimbulkan multi tafsir tanpa bisa dikritisi demi
perbaikan. Bahkan, hanya pemerintah Orde Baru
(Soeharto) yang boleh menafsirkan makna yang terkandung
dalam UUD 1945, sementara Majelis Permusyawaratan
Rakyat (MPR) tinggal mengesahkan saja.3) Keadaan
2) Ni’matul Huda, Hukum Tata Negara Indonesia, Jakarta: RajaGrafindo, 2005, hlm. 137.
3) Ibid., hlm. 137.
2
demikian tentu telah membungkam aspirasi masyarakat
untuk waktu yang cukup lama.
Kondisi tersebut tidak berbeda jauh dengan kondisi
pada saat perubahan konstitusi berlangsung. MPR sebagai
lembaga negara yang memiliki kewenangan mengubah UUD
sebagaimana diamanatkan Pasal 3 UUD 1945, dinilai tidak
memahami isi dari konstitusi serta kerangka konseptual
negara yang akan dibangun (state and nation buildings conceptual
framework). 4) Tekad bulat MPR mengeluarkan TAP MPR Nomor
VIII/MPR/1998 yang isinya mencabut Ketetapan MPR
tentang Referendum sekali lagi mereduksi peranan
masyarakat untuk berpartisipasi secara langsung
menentukan muatan perubahan konstitusi.
Hasil perubahan konstitusi menuai kontroversi yang
terus berkembang di masyarakat. Beberapa di antaranya
mengenai anggapan tidak adanya landasan filosofis yang
kuat dan landasan yuridis yang tidak patuh pada jenjang
4) Dwi S. Nugroho, Problem Amandemen UUD’45 dan Gagasan DibentuknyaKomisi Konstitusi, www. UI.or.id. dikutip oleh Satria Adiguna, Kedudukandan Kewenangan Komisi Konstitusi Terhadap Perubahan Undang-undang Dasar 1945,(Skripsi Sarjana Fakultas Hukum Universitas Parahyangan, Bandung:2002), hlm.2.
3
perundang-undangan yang berlaku, karena faktor
ketergesaan MPR dalam memenuhi tuntutan reformasi dalam
waktu singkat. Tidak adanya naskah akademik yang
menjadi persyaratan pembentukan perundang-undangan
semakin memperjelas berbagai kekurangan dari sisi
prosedural dan substansial perubahan konstitusi itu
sendiri.
Indonesia sebagai negara hukum seharusnya tidak
membiarkan muatan konstitusi yang menjadi fundamental law
dan grundnorm bagi kehidupan bernegaranya sebagai
produk yang asal jadi. Sebagaimana diketahui, bahwa
UUD 1945 mengatur seruan paham konstitusi, yaitu
anatomi kekuasaan tunduk kepada hukum (supremasi
hukum). Dihubungkan dengan pendapat Wheare, dengan
menempatkan konstitusi pada kedudukan yang tinggi
(supreme) ada semacam jaminan bahwa:
“Konstitusi itu akan diperhatikan dan ditaati danmenjamin agar konstitusi tidak akan dirusak dandiubah begitu saja secara sembarangan. Perubahannyaharus dilakukan secara hikmat, penuh kesungguhandan pertimbangan yang mendalam. Agar maksud inidapat dilaksanakan dengan baik maka perubahannya
4
pada umumnya mensyaratkan adanya suatu proses danprosedur yang khusus atau istimewa.” 5)
Sebagaimana diketahui, menurut Sri Soemantri dalam
konstitusi sekurang-kurangnya berisi tiga kelompok
materi muatan: 6)
1. pengaturan tentang perlindungan hak-hak asasi
manusia:
2. pengaturan tentang susunan ketatanegaraan negara
yang bersifat mendasar;
3. pengaturan tentang pembagian dan pembatasan
tugas-tugas ketatanegaraan yang juga bersifat
mendasar.
Dengan demikian, perubahan konstitusi haruslah
memiliki dasar filosofis, yuridis, sosiologis dan
teknik pembuatan perundang-undangan yang baik
sebagaimana mestinya. Hal tersebut dikarenakan
konstitusi memuat hal-hal yang sangat mendasar dalam
kehidupan bernegara, maka perubahan terhadapnya akan
5) Wheare dalam Dahlan Thaib, dkk., Teori dan Hukum Konstitusi,Jakarta: Raja Grafindo, 2005, hlm 65.
6) Krisna Harahap, Konstitusi Republik Indonesia : Sejak Proklamasi hinggaReformasi, Bandung: Grafitri, 2004, hlm. ix.
5
berdampak secara langsung terhadap susunan
ketatanegaraan suatu negara.
Mengingat perubahan konstitusi dipengaruhi oleh
adanya gejolak reformasi maka tentu tidak hanya
dipengaruhi oleh aspek hukum saja melainkan sosial,
politik, budaya, terutama ekonomi. Konstitusi sebagai
Grundnorm merupakan kaidah tertinggi yang apabila
dihubungkan dengan teori murni tentang hukum maka
aspek tersebut di atas bukanlah merupakan faktor yang
dapat dibenarkan dalam memproduksinya. Salah satu
alasannya karena bagaimanapun juga konstitusi diakui
sebagai produk politik dan hukum sekaligus. Mengusung
aliran hukum positif, Hans Kelsen dengan grundnorm dan
teori murninya yang secara tegas dinyatakan, bahwa
hukum harus bebas dari anasir-anasir non legal. Di sisi
lain yang bertentangan terdapat aliran sosiological
jurisprudence yang menyatakan, bahwa hukum yang baik
adalah hukum yang mencerminkan atau sesuai dengan hukum
yang hidup dalam masyarakat atau living law. Pengertian
hukum yang hidup tersebut termasuk di dalamnya faktor-
6
faktor non legal yang oleh Hans Kelsen seolah-olah
merupakan faktor cacat dalam pembuatan hukum. Paparan
kedua aliran yang sekilas nampak bertentangan inilah
yang menarik untuk dipelajari sehingga dapat diketahui
landasan filosofis apakah yang digunakan para pelaku
perubahan konstitusi.
Menyadari eratnya kaitan antara era reformasi
sebagai situasi dan kondisi yang melatarbelakangi
perubahan konstitusi tersebut, maka perhatian
penelitian dipusatkan pada hasil perubahan konstitusi
tahap pertama sebagai preseden yang baik bagi perubahan
berikutnya. Hal ini dikarenakan perubahan tahap pertama
dititikberatkan pada hal-hal yang bersifat substansial
dan awal dari 4 (empat) tahap perubahan konstitusi.
Perubahan konstitusi sebagai salah satu bagian dari
teori konstitusi memiliki kedudukan yang penting dalam
pembelajaran mata kuliah Hukum Tata Negara. Adapun
sifat kajian dalam penulisan karya ilmiah ini
dimaksudkan sebagai suatu pembelajaran, penyelidikan
dan penelaahan mengenai baik buruknya suatu peristiwa
7
hukum yang menjadi objek kajian dan kesesuaian antara
das sollen, yaitu sistem dan prosedur perubahan konstitusi
sebagai suatu kaidah yang seharusnya dengan das sein yaitu
proses dan hasil dari perubahan tahap pertama itu
sendiri.
Ketidaksesuaian antara das sollen dan das sein
menghadirkan permasalahan yang memerlukan suatu
penelitian untuk mengkaji fakta secara yuridis,
filosofis dan sosiologis secara garis besar untuk
mendapatkan hasil yang objektif dan dapat
dipertanggungjawabkan. Dengan latar belakang masalah
yang telah diuraikan tersebut, maka penulis tertarik
untuk melakukan penelitian yang kemudian menuangkannya
ke dalam bentuk Skripsi dengan judul :
“ KAJIAN YURIDIS DAN FILOSOFIS PERUBAHANKONSTITUSI REPUBLIK INDONESIA TAHAP PERTAMA PASCAREFORMASI DIHUBUNGKAN DENGAN SISTEM DAN PROSEDURPERUBAHAN KONSTITUSI DAN PASAL 37 UNDANG-UNDANGDASAR 1945 ”
B. Identifikasi Masalah
8
Berdasarkan latar belakang masalah tersebut di
atas, dapat dirumuskan beberapa masalah sebagai berikut
:
1. Apa yang melatarbelakangi terjadinya perubahan
konstitusi Republik Indonesia ?
2. Bagaimanakah proses dilakukannya perubahan
konstitusi Republik Indonesia tahap pertama
pasca reformasi ?
3. Apakah perubahan konstitusi Republik Indonesia
tahap pertama tersebut sudah dilakukan sesuai
dengan sistem dan prosedur perubahan konstitusi
?
C. Maksud dan Tujuan Penelitian
Maksud dilakukannya penelitian ini adalah untuk
mempelajari kelebihan dan kekurangan perubahan
konstitusi tahap pertama.
Penelitian ini bertujuan untuk :
1. Mengetahui faktor-faktor yang melatarbelakangi
terjadinya perubahan konstitusi Republik
Indonesia.
9
2. Memperoleh deskripsi lengkap dan jelas mengenai
proses dilakukannya perubahan konstitusi
Republik Indonesia tahap pertama pasca
reformasi.
3. Mengetahui kesesuaian perubahan konstitusi
Republik Indonesia tahap pertama tersebut
dengan sistem dan prosedur perubahan
konstitusi.
D. Kegunaan Penelitian
Secara teoritis penelitian ini diharapkan dapat :
1. Memperkaya wacana dan khasanah keilmuan di
bidang hukum pada umumnya dan hukum tata negara
pada khususnya.
2. Menjadi referensi dalam membahas, menelaah
kembali atau mengkaji perubahan-perubahan
konstitusi yang telah, sedang dan akan
dilakukan.
Adapun kegunaan secara praktis antara lain :
10
1. Bagi pemerintah dan instansi yang berkompeten,
diharapkan dapat menjadi bahan informasi dan
pertimbangan dalam pengambilan dan penentuan
kebijaksanaan pembuatan, perubahan termasuk
pengembangan perundang-undangan, khususnya
Konstutisi di Indonesia.
2. Bagi peneliti lain, sebagai pemicu semangat
dalam mengkaji berbagai kebijakan yang
berdampak langsung terhadap khalayak ramai
maupun bahan referensi untuk mengadakan
penelitian lebih lanjut mengenai objek kajian
yang sama.
E. Metode Penelitian
Metode penelitian yang digunakan dalam penelitian
ini adalah :
1. Spefikasi Penelitian
Penelitian ini bersifat Deskriptif Analitis,
yaitu suatu metode yang menggambarkan atau
melukiskan permasalahan yang berkaitan dengan objek
11
penelitian kemudian dianalisis secara sistematis,
jelas dan lengkap.
2. Metode Pendekatan
Metode pendekatan yang digunakan dalam penelitian
ini adalah yuridis normatif dan filosofis yang
dimaksudkan sebagai pengkajian bahan-bahan hukum
khususnya hasil perubahan konstitusi tahap pertama
dari pandangan filsafat hukum.
Pendekatan yuridis normatif dititikberatkan pada
data sekunder yaitu data yang diperoleh melalui
bahan-bahan kepustakaan dengan berpegang pada segi-
segi yuridis dan asas-asas hukum.
Pendekatan filosofis dibatasi pada filsafat
khusus mengenai hukum atau filsafat hukum dengan
menggunakan pokok pemikiran para filsuf dari
beberapa aliran filsafat hukum yang relevan untuk
mengupas permasalahan. Berkaitan dengan hal ini
Sunaryati Hartono menyatakan bahwa ;
“ .............. dalam menemukan asas-asas hukum,kaidah-kaidah hukum dan teori-teori hukum baru(basic research), penggunaan metode penelitian sosial,
12
di samping metode penelitian normatif memberi bobotlebih pada penelitian yang bersangkutan.Namun demikian, supaya penulisan atau penelitianyang dilakukan benar-benar dinilai sebagai suatupenelitian hukum, penelitian itu bagaimanapun jugaharus menggunakan metode penelitian yang normatif.”7)
3. Teknik Pengumpulan Data
Studi Kepustakaan : teknik pengumpulan data
dilakukan dengan cara studi dokumen terhadap
berbagai sumber data sekunder, yaitu:
1) Bahan hukum primer yang digunakan : Undang-
Undang Dasar 1945 dan perundang-undangan di
bawahnya.
2) Bahan hukum sekunder yang digunakan : buku
literatur hukum, jurnal penelitian hukum,
laporan penelitian hukum, laporan hukum media
cetak atau media elektronik.
3) Bahan hukum tertier yang digunakan : kamus
hukum, kamus filsafat dan kamus umum bahasa
Indonesia.7) Sunaryati Hartono, Penelitian Hukum di Indonesia Pada Akhir Abad ke-
20, Bandung: Alumni, 1994, hlm.142.
13
4. Metode Analisis Data
Dalam memilih metode analisis data penulis tidak
hanya menggunakan metode analisis kualitatif
melainkan dilengkapi dengan analisis komprehensif
dan lengkap. Analisis data dilakukan secara
kualitatif, komprehensif, dan lengkap. Sebagaimana
dinyatakan oleh Abdulkadir Muhammad bahwa :
“ Analisis kualitatif artinya menguraikan datasecara bermutu dalam bentuk kalimat yang teratur,runtun, logis, dan tidak tumpang tindih, danefektif, sehingga memudahkan interpretasi datadan pemahaman hasil analisis. Komprehensifartinya analisis data secara mendalam dariberbagai aspek sesuai dengan lingkup penelitian.Lengkap artinya tidak ada bagian yang terlupakan,semuanya sudah masuk dalam analisis.” 8)
F. Kerangka Pemikiran
Secara singkat kronologis pembentukan UUD 1945
merupakan suatu hasil perjuangan dalam mewujudkan suatu
negara yang merdeka dan berdaulat oleh pendiri negara
Indonesia. Mereka memahami bahwa konstitusi dapat
8) Abdulkadir Muhammad, Hukum dan Penelitian Hukum, Bandung: CitraAditya Bakti, 2004, hlm.127.
14
dipersamakan dengan piagam kelahiran suatu negara baru
(a birth certificate).
Maka pada tanggal 16 Juli 1945 Putera Indonesia
berkumpul di Jakarta dalam Rapat persiapan Undang-
Undang Dasar sebagai bagian dari Panitia Persiapan
Kemerdekaan Indonesia (Dokuritsu Zyunbi Tyoosakai).
Hasilnya ditinjau kembali oleh Badan Penyelidik Usaha
Persiapan Kemerdekaan (Dokuritsu Zyunbi Iin Kai) tanggal 18
Agustus 1945. Dalam rapat persiapan Undang-Undang
Dasar tersebut dibentuk suatu Panitia Perancang Undang-
Undang Dasar yang diketuai oleh Ir. Soekarno beserta 18
anggota lainnya. Kemudian dalam rapat besar (sidang
pleno) dibentuk pula Panitia Kecil Perancang Undang-
Undang Dasar dengan Supomo sebagai ketua.9)
Indonesia sebagai negara hukum menempatkan Undang-
Undang Dasar 1945 atau konstitusi sebagai dasar dari
segala hukum yang kedudukannya merupakan peraturan
tertinggi dalam negara dengan muatan dasar-dasar
seluruh sistem hukum dalam negara itu. Dengan demikian,
9) Krisna Harahap, Konstitusi Republik..., Op. Cit., hlm.32.
15
Undang-Undang Dasar memuat peraturan-pokok mengenai
sendi-sendi pertama untuk menegakkan bangunan besar
yang bernama “negara”.10)
Kelestarian suatu konstitusi merupakan hal yang
didambakan beberapa pihak dengan tuntutan stabilitas
tinggi. Bagi sebagian pihak tersebut, perubahan hanya
akan mengganggu kemapanan yang selama ini didapat.
Meskipun demikian, waktu terus menuntut perkembangan
yang secara konstan membuka peluang untuk diadakan
perubahan menuju perbaikan di segala bidang, salah
satunya konstitusi negara.
Perkembangan zaman menjadi alasan untuk
menyesuaikan konstitusi dengan masanya, dan moment
reformasi adalah saat yang tepat. Lembaga negara
berwenang yaitu Majelis Permusyawaratan Rakyat bergegas
untuk melakukan persidangan dalam rangka persiapan
perubahan konstitusi. Sebagai syarat dilakukannya
perubahan konstitusi secara formal harus dipenuhi
10) Abu Daud Busro dan Abubakar Busro, Asas-Asas Hukum Tata Negara,Jakarta: Ghalia Indonesia, 1991, hlm. 49.
16
syarat filosofis, yuridis, dan sosiologis untuk
memperoleh produk legislatif yang baik.
Syarat tersebut tidak semata-mata dibebankan pada
perubahan konstitusi melainkan secara umum merupakan
syarat pembentukan perundang-undangan yang baik.
Bahkan, dengan menempatkan konstitusi sebagai kaidah
hukum tertinggi maka persyaratan untuk mengubahnya
secara umum memiliki persyaratan yang lebih sulit.
Pernyataan tersebut didasari oleh sifat konstitusi yang
dibedakan dari tingkat kesulitan untuk mengubahnya.
Semakin sulit persya-ratannya maka konstitusi tersebut
dikategorikan sebagai konstitusi yang rigid (kaku),
sebaliknya apabila persyaratannya tidak sulit maka
termasuk konstitusi yang flexible (luwes).
Indonesia sendiri memiliki persyaratan yang cukup
sulit dengan mempersyaratkan upaya referendum terlebih
dahulu sebelum dilakukan perubahan konstitusi.
Referendum yang dianggap menghambat reformasi
konstitusional itu dicabut dengan dikeluarkannya
Ketetapan MPR Nomor VIII/MPR/1998. Secara prosedural
17
apakah pencabutan TAP MPR tentang Referendum tersebut
dapat dibenarkan atau tidak menjadi permasalahan
yuridis.
Perubahan konstitusi yang dilakukan Majelis
Permusyawaratan Rakyat pada tahun 1999-2002 secara 4
tahap dilatarbelakangi tuntutan reformasi dan
demokratisasi di segala bidang. Tuntutan reformasi
konstitusional dilakukan sesegera mungkin setelah para
anggota dan pimpinan setuju merealisasikan hal tersebut
dengan persidangan MPR-RI secara terus-menerus untuk
mengubah konstitusi yang mengalami sakralisasi.
Sifat penelitian ini adalah kajian filosofis yang
berarti suatu penyelidikan secara filosofi digunakan
berdasarkan pada beberapa teori yang beberapa aliran
atau mazhab yang dianggap relevan untuk mengupas
permasalahan. Menurut pandangan Theo Huijbers :
“Filosofi adalah kegiatan intelektual yang metodisdan sistematis, secara refleksi menangkap maknayang hakiki dari keseluruhan yang ada. Objekfilosofi bersifat universal mencakup segala yangdialami manusia ( d.h.i. perubahan konstitusi,penulis). Berpikir filosofi adalah mencari arti
18
yang sebenarnya dari segala hal yang ada melaluipandangan cakrawala yang paling luas. Metodepemikiran filosofi adalah refleksi atas pengalamandan pengertian tentang suatu hal dalam cakrawalayang universal. Pengolahan pikirannya secarametodis dan sistematis. Tujuannya adalah kebenaranyang membahagiakan manusia. 11)
Karya tulis ini menggunakan pendekatan konsep
negara hukum sebagai grand theory, dengan didukung oleh
teori grundnorm dari Hans Kelsen aliran positivisme
hukum dan Living law dari aliran sosiological
jurisprudence sebagai middle range theory serta teori
perubahan Formal UUD sebagai applied theory.
GRAND THEORY
Konsep Negara Hukum
Penggunaan konsep negara hukum sebagai grand theory
adalah untuk menegaskan bahwa negara Indonesia yang
merupakan salah satu negara modern yang berdasarkan
atas hukum (rechtsstaat) tidak berdasarkan kekuasaan
(machtstaat), dan pemerintahan sistem konstitutional
yaitu berdasarkan sistem konstitusi (hukum dasar) bukan
11) Abdulkadir Muhammad, Op. Cit., hlm.1.
19
absolutisme (kekuasaan yang tidak terbatas). 12). Dengan
demikian, penelitian ini berpijak pada norma yang telah
ditetapkan secara konstitusional yaitu tercantum pada
Pasal 1 ayat (3) UUD 1945 setelah perubahan.
Sebelum mengalami perubahan, konsep negara hukum
Republik Indonesia tidak secara tersurat dimasukkan ke
dalam batang tubuh melainkan diuraikan dalam penjelasan
UUD 1945. Kemudian pada perubahan konstitusi tahap
ketiga, konsep negara hukum ditegaskan ke dalam Pasal 1
ayat (3) yaitu “Negara Indonesia adalah Negara Hukum”.
Konsekuensi yang mengikutinya adalah munculnya 3 (tiga)
prinsip dasar wajib dijunjung oleh setiap warga negara
yaitu supremasi hukum; kesetaraan di hadapan hukum; dan
penegakan hukum dengan cara-cara yang tidak
bertentangan dengan hukum.13)
Menurut FJ. Stahl sebagaimana dikutip oleh Oemar
Senoadji kemudian dikutip kembali oleh S.F. Marbun,
12) Penjelasan Undang-undang Dasar 194513) Redaksi,RPJMN Tahun 2004-2009,Jakarta: Sinar Grafika, 2005,
hlm. 85.
20
merumuskan unsur-unsur Rechtsstaat dalam arti klasik
sebagai berikut : 14)
a. perlindungan terhadap hak-hak asasi manusia,
b. pemisahan atau pembagian kekuasaan negara untuk
menjamin hak-hak asasi manusia,
c. pemerintahan berdasarkan peraturan,
d. adanya peradilan administratif.
Diberlakukannya negara hukum di Indonesia memberi
harapan tercapainya perlindungan hak-hak warga negara
dari kesewenangan pemerintahan yang besar
kemungkinannya untuk terjadi. Meskipun demikian,
realitas di lapangan membuktikan sebaliknya. Kesadaran
warga negara maupun birokrat negara bahwa Indonesia
memang Negara Hukum hampir tidak tampak ke permukaan.
Selanjutnya, negara hukum sebagai grand theory
digunakan juga untuk menggarisbawahi keberlakuan hukum
itu sendiri yaitu hukum berlaku untuk semua tanpa
kecuali. Hal yang harus dipahami sebagai “tanpa
kecuali” adalah bahwa dalam pembuatan, perubahan14) SF. Marbun, Peradilan Administrasi Negara dan upaya Administratif di
Indonesia, Yogyakarta: Liberty, 1997, hlm. 9.
21
konstitusi yang dilakukan oleh para ahli dan pejabat
negara sekalipun tetap harus sesuai dengan hukum yang
berlaku. Acuannya adalah sistem dan prosedur perubahan
konstitusi yang disepakati.
MIDDLE RANGE THEORY
Dengan tetap bertumpu pada konsep negara hukum
sebagai grand theory maka dipergunakan dua teori sebagai
middle range theory yang dianggap paling memiliki
keterkaitan. Kedua teori tersebut merupakan teori yang
lahir dari penggolongan aliran/mazhab filsafat hukum.
Sebagai salah satu cabang dari filsafat, yaitu filsafat
etika atau moral maka filsafat hukum memiliki tujuan
yang sama dengan filsafat pada umumnya yakni mencari
hakekat terdalam yang menjadi pokok penyelidikan.
Sedangkan penggunaan teori grundnorm dan living law
sebagai middle range theory diilhami dari pemikiran bahwa
suatu grundnorm atau kaidah tertinggi haruslah digali
dari kaidah-kaidah hukum yang hidup dan berkembang
dalam masyarakat itu sendiri atau living law.
22
1. Teori Grundnorm
Di Indonesia, grundnorm diwujudkan dalam Pancasila
yang sekaligus merupakan landasan ideal negara
Indonesia. Keberlakuan Pancasila melingkupi kehidupan
bernegara secara umum. Dengan adanya asas lex superior
derogat legi inferiori maka kaidah yang termuat dalam
Pancasila seharusnya menjadi acuan bagi peraturan-
peraturan di bawahnya.
Adapun kaidah dasar yang disebut grundnorm
dinyatakan dalam suatu konsep yaitu Pancasila yang
bersarikan aliran pikiran kekeluargaan dan merupakan
dasar filsafat bangsa Indonesia yang menjadi dasar
Pembukaan UUD 1945.
Pancasila yang dikemukakan pertama kali oleh Ir.
Soekarno bukan hasil dari keinginan pribadi semata
tetapi perwujudan dari jiwa bangsa yang sarat nuansa
kekeluargaan dan gotong-royong. Jiwa bangsa terpancar
dari kebiasaan-kebiasaan kemudian melahirkan hukum yang
senantiasa tumbuh dan berkembang dalam masyarakat,
23
hukum yang demikian disebut living law. Artinya suatu
grundnorm harus mendasarkan pada living law.
2. Teori Living Law
Sedangkan yang dimaksud dengan teori living law
sebagai teori yang dikembangkan oleh mazhab
sociological jurisprudence adalah suatu pemikiran bahwa
: “ Hukum yang baik adalah hukum yang sesuai dengan hukum yang
hidup dalam masyarakat.”
Pokok pikiran yang berusaha disampaikan adalah
bahwa faktor pembentuk hukum tidak semata-mata
ditentukan oleh faktor legal saja, melainkan faktor-
faktor lainnya. Sebagai aliran yang menggunakan cara
pendekatan dari hukum ke masyarakat, maka ia mengakui
adanya faktor politik dan faktor non legal lainnya yang
dapat mempengaruhi suatu hukum.
Asas yang erat dengan teori living law adalah asas
kedaulatan rakyat yang sebelum perubahan konstitusi
diwujudkan oleh Majelis Permusyawaratan Rakyat sebagai
pemegang sepenuhnya kedaulatan rakyat. Diubah atau
24
tidaknya hal tersebut tentu tidak mengurangi peranan
rakyat untuk berperan aktif menentukan kebijakan yang
secara langsung maupun tidak langsung terhadap
kehidupannya maupun demi kepentingan negara secara
luas. Dengan demikian, suatu peraturan yang baik adalah
yang dapat mengakomodir dan menengahi keinginan rakyat
yang beragam.
APPLIED THEORY
Abstraksi teori-teori tersebut memiliki teori
turunan atau derivasi dalam bentuk Perubahan Formal
Konstitusi atau Formal Amendment sebagai applied theory
yang sekaligus menjadi objek penelitian. Karena jaman
terus berkembang tersebut maka diperlukan suatu
instrumen untuk memperbaharui Undang-Undang Dasar
sebagai penyesuaian. Pembahasan perubahan konstitusi
tersebut dibatasi pada hasil perubahan tahap pertama.
Konstitusi dapat diartikan secara luas maupun
sempit. Menurut Krisna Harahap : 15)
15) Krisna Harahap, Konstitusi Republik..., Op. Cit., hlm.1.
25
“ Konstitusi dalam arti luas diartikan sebagaidokumen hukum (legal document) resmi dengan kedudukanyang sangat istimewa, baik bentuk tertulis (written)maupun tidak tertulis (unwritten). Sedangkan dalampengertian sempit, nama yang diberikan, yakniUndang-Undang Dasar (UUD) kepada dokumen hukum,dokumen politik yang berisi antara lain susunanorganisasi negara dan cara kerjanya.”
Sedangkan menurut A.A.H. Struycken, konstitusi
adalah Undang-Undang yang memuat garis-garis besar dan
asas-asas tentang organisasi daripada negara. Oleh
karena itu Struycken digolongkan sebagai penganut paham
bahwa konstitusi sama dengan Undang-Undang Dasar. 16)
Dalam karya ilmiah ini istilah konstitusi yang dimaksud
adalah konstitusi dalam pengertian sempit. Oleh karena
itu konstitusi dipersamakan dengan Undang-Undang Dasar.
Syarat pembentukan maupun perubahan peraturan
perundang-undangan yang baik harus memenuhi atau
memiliki landasan yang kuat. Syarat tersebut adalah:
1. landasan filosofis
2. landasan yuridis
3. landasan sosiologis
16) Abu Daud Busro dan Abubakar Busro, Op. Cit., hlm.74.
26
Mengenai kewenangan mengubah Undang-Undang Dasar/
konstitusi, di dalam UUD 1945 sendiri telah disediakan
diktum yang dapat digunakan MPR untuk mengubah
ketentuan konstitusi lama dengan konstitusi yang baru,
yakni melalui Pasal 3 UUD 1945, bahwa “ Majelis
Permusyawaratan Rakyat menetapkan Undang-Undang Dasar
dan garis-garis besar daripada haluan negara”.
27
Konstitusi /UUD 1945
Negara Hukum
( Grand Theory)
Grundnorm& Living Law
( Middle Range Theory)
Syarat PembentukanPerundang-undangan
yang baik
Founding Fathers( Era Kemerdekaan)
UUD 1945Sebelum Perubahan
Sistem dan Prosedur Perubahan
Kostitusi
SYARAT1. FILOSOFIS2. YURIDIS3. SOSIOLOGIS
Applied theoryLegal Amendment
MPR RI(Era Reformasi )
Latar Belakang Historis
UUD 1945Pasca Perubahan
G. Sistematika Penulisan
Pada bagian sistematika penulisan ini, untuk
mempermudah penelitian penulis membagi ke dalam Bab-bab
dan Sub bab sebagai berikut :
Bab I merupakan Bab Pendahuluan yang di dalamnya
membahas mengenai Latar Belakang Masalah, Identifikasi
Masalah, Maksud dan Tujuan Penelitian, Metode
Penelitian, Kerangka Pemikiran, dan Sistematika
Penulisan.
Bab II menguraikan berbagai teori yang digunakan
sebagai tinjauan pustaka mengenai Negara Hukum dan
Konstitusi Serta Landasan Filosofisnya ini diuraikan
Negara Hukum dengan Berbagai Pengertian, Ciri dan
Tujuan Negara Hukum serta Teori-teori Negara Hukum;
Kajian Teoritis Tentang Konstitusi meliputi Tinjauan
Secara Umum dan Teori Perubahan Konstitusi; Dasar
Filosofis Negara memuat Filsafat Hukum dan Negara serta
Pancasila Sebagai Dasar Filosofis Negara Republik
Indonesia.
29
Bab III memaparkan data faktual dan objektif yang
antara lain mengenai Perubahan Konstitusi Republik
Indonesia Tahap Pertama dengan menggambarkan Situasi
dan Kondisi Objektif Terjadinya Perubahan Konstitusi,
Notulensi Panitia Ad-Hoc I Badan Pekerja MPR RI dan
hasilnya berupa Perubahan Tahap Pertama Undang-Undang
Dasar 1945.
Bab IV menjadi inti dari penelitian yaitu merupakan
bab pembahasan melalui pengkajian Mengenai Perubahan
Konstitusi Republik Indonesia Tahap Pertama Pasca
Reformasi yang meliputi Latar Belakang, Proses
Perubahan Konstitusi Republik Indonesia Tahap Pertama
Pasca Reformasi serta Kajian Mengenai Perubahan dari
Sudut Filosofis, Yuridis dan Sosiologis.
Bab V sebagai bab terakhir dalam penulisan skripsi
ini adalah Kesimpulan dan Saran yang merupakan
kristalisasi dari pembahasan-pembahasan sebelumnya dan
saran yang diharapkan dapat bermanfaat bagi para pihak
yang terkait.
30
BAB II
NEGARA HUKUM DAN KONSTITUSI REPUBLIK INDONESIA SERTA
LANDASAN FILOSOFISNYA
A. Negara Hukum
Negara berasal dari kata statum (bahasa Latin) yang
artinya menempatkan dalam keadaan berdiri, kemudian
berkembang menjadi staat (bahasa Belanda dan Jerman).
Menurut Logeman, Negara adalah organisasi kekuasaan
yang bertujuan mengatur masyarakat dengan kekuasaannya
itu.17)
Secara umum, suatu negara biasanya memiliki tiga
unsur pokok yaitu : rakyat atau sejumlah orang ;
wilayah tertentu ; pemerintahan yang berwibawa dan
berdaulat. Sebagai unsur pelengkap ditambahkan
pengakuan oleh masyarakat internasional atau negara-
negara lain.18)
17) Ande Akhmad, Kumpulan Catatan Kuliah,(catatan kuliah FakultasHukum Universitas Padjajaran): Bandung, 2003, hlm. 93.
32
Hukum memiliki banyak definisi yang berbeda, oleh
karena itu Immanuel Kant menyatakan doktrinnya yang
terkenal “Noch suchen Die Juristen eine Devinition zu ihrem Begriffe
von Recht” yang menggambarkan hukum memiliki banyak segi
dan meliputi segala macam hal, maka tidak mungkin orang
dapat membuat definisi apa sebenarnya hukum itu.19)
Namun, secara sederhana Sri Soemantri menyatakan
hukum dapat dirumuskan sebagai seperangkat aturan
tingkah laku yang dapat tertulis dan tidak tertulis dan
dibedakan sebagai hukum publik dan hukum privat.20)
Konsep bernegara Indonesia adalah konsep negara
hukum yang juga dianut oleh hampir semua negara modern
saat ini. Seperti halnya sistem pemerintahan dan
bentuk negara yang dirumuskan pada pertama kali negara
ini dibentuk, maka konsep bernegara pun dirumuskan
bersamaan dengan momen tersebut. Secara lahiriah konsep
bernegara tidak tampak dalam setiap batang tubuh
18) Muhammad Tahir Azhary, Negara Hukum : Suatu Studi tentang Prinsip-Prinsipnya Dilihat dari Segi Hukum Islam, Implementasinya pada Periode NegaraMadinah dan Masa Kini, Jakarta: Kencana, 2003, hlm. 17.
19) M.L. Tobing, Sekitar Pengantar Ilmu Hukum, Jakarta: Erlangga,2005, hlm. 6.
20) Krisna Harahap, Konstitusi Republik, Op.cit.,hlm.10.
33
konstitusi RI, namun Pembukaan UUD 1945 telah
menyiratkan prinsip-prinsip dasar yang merupakan ciri-
ciri negara hukum formal dan negara hukum material.
Untuk lebih memahami beberapa konsep negara hukum
berdasarkan sistem hukum dunia, berikut ini dipaparkan
beberapa konsep negara hukum yang dianggap mewakili
sistem hukum terbesar di berbagai belahan dunia serta
konsep negara hukum Indonesia :
1. Rechtsstaat
Istilah rechtsstaat mulai populer sejak abad 19 di
Eropa yang saat itu tengah menganut paham negara hukum
dalam arti sempit, yakni negara yang segala sesuatunya
didasarkan pada hukum tertulis yang diwujudkan dalam
bentuk undang-undang. Kebutuhan masyarakat pada waktu
itu masih sangat sederhana maka peraturan yang tertuang
dalam undang-undang dianggap telah memenuhi segala
kebutuhan masyarakat.
Kebutuhan tersebut utamanya menyangkut soal
ketenteraman, keamanan dan ketertiban, sedangkan soal-
34
soal lainnya, penyelenggaraannya diserahkan sepenuhnya
pada warga. Negara dalam posisi seperti ini disebut
negara penjaga malam (nachtwakerstaat). Pada masa itu
peranan negara tidak begitu besar dan hukum
administrasi belum berkembang. Demikian pula kehadiran
peradilan administrasi belum merupakan kebutuhan yang
sangat urgen.21)
Dengan terjadinya perkembangan jaman yang pesat dan
disertai tuntutan kebutuhan hidup yang semakin
meningkat, peranan negara menjadi sangat diperlukan
untuk memenuhi kebutuhan dan kesejahteraan warganya.
Sejak memasuki negara modern pada abad 20, konsep
negara hukum formal ditinggalkan dan diganti dengan
konsep negara hukum dalam arti material. Berkembangnya
konsep negara hukum material sejalan dengan
perkembangan peranan negara yang semakin besar dan
luas, yakni menyelenggarakan kesejahteraan umum yang
21) S.F. Marbun, Op.cit., hlm.11.
35
disebut welfare state atau menurut istilah Lemaire disebut
bestuurzoorg.22)
Konsep rechtsstaat lahir dari suatu perjuangan
menentang absolutisme ketika masyarakat merasa tidak
adanya perlindungan terhadap hak asasi manusia dan
penguasa yang bertindak sewenang-wenang, sehingga
sifatnya revolusioner. Konsep rechtsstaat ini bertumpu
pada sistem hukum kontinental yang disebut civil law,
dengan demikian istilah rechtsstaat banyak dianut di
negara-negara Eropa Kontinental. Civil law menitikberatkan
pengoperasiannya pada administrasi. Hal tersebut
merupakan alasan mengapa negara Eropa Kontinental
memasukkan unsur peradilan administrasi sebagai salah
satu unsur rechtsstaat.
Dimasukannya unsur peradilan administrasi ke dalam
unsur rechtsstaat, dimaksudkan untuk memberikan
perlindungan hukum bagi warga masyarakat terhadap sikap
tindak pemerintah yang melanggar hak asasi dalam
lapangan administrasi negara. Konsekuensi logis yang
22) Ibid., hlm. 12.
36
lahir dari hal tersebut adalah bahwa perlindungan hukum
tidak bersifat sepihak, melainkan perlindungan hukum
bagi administasi negara yang telah bertindak benar dan
sesuai dengan hukum juga diberikan dengan porsi yang
sama. Timbal balik tersebut menegaskan bahwa dalam
suatu negara hukum perlindungan yang diberikan kepada
warga dan pejabat administrasi negara adalah sama.
Pemaparan konsep rechtsstaat di atas dipadatkan ke
dalam ciri-ciri dari seorang ahli dari kalangan ahli
Hukum Eropa Kontinental, Friedrich Julius Stahl yang
memberikan ciri-ciri rechtsstaat sebagai berikut : 23)
1. Pengakuan dan perlindungan terhadap hak asasimanusia.
2. Negara didasarkan pada teori trias politica.3. Pemerintahan didasarkan pada undang-undang.4. Ada peradilan administrasi negara yang bertugas
menangani kasus perbuatan melanggar hukum olehpemerintah ( onrechtmatige overheidsdaad ).
Selanjutnya Philipus M. Hadjon mengemukakan ciri-
ciri rechtsstaat sebagai berikut: 24)
23) F.J. Stahl dalam Marojahan Pandjaitan, Kerangka Teoritik TentangKonsep Negara Hukum, Teori Demokrasi, dan Teori Perundang-undangan, Makalah,hlm.1.
24) Ibid. ,hlm.4.
37
1. adanya undang-undang dasar atau konstitusi yangmemuat ketentuan tertulis tentang hubunganantara penguasa dan rakyat;
2. adanya pembagian kekuasaan negara, yang meliputi: kekuasaan pembuatan undang-undang yang adapada parlemen, kekuasaan kehakiman yang bebasyang tidak hanya menangani sengketa antaraindividu rakyat tetapi juga antara penguasa danrakyat, dan pemerintah yang mendasarkantindakannya atas undang-undang (wetmatigbestuur);
3. diakui dan dilindunginya hak-hak kebebasanrakyat (vrijgeidsrechten van de burger).
2. Rule of law
Istilah the rule of law mulai populer dengan terbitnya
sebuah buku dari Albert Venn Dicey tahun 1885 dengan
judul Introduction to the study of the law of the constitution.
Konsep the rule of law berkembang secara evolusioner yang
bertumpu pada sistem hukum yang disebut common law
dengan menitikberatkan pengoperasiannya pada judicial.
The rule of law banyak dikembangkan di negara-negara
dengan tradisi Anglo Saxon. 25)
Berbeda dengan konsep rechtsstaat yang memiliki
peradilan administrasi, maka rule of law dengan prinsip
persamaan di hadapan hukumnya tidak mengenal dan
25) Ibid.,hlm. 2.
38
ditemukan adanya unsur peradilan administrasi.
Argumentasi yang diketengahkan Dicey untuk hal itu
adalah bahwa persamaan dihadapan hukum atau penundukan
yang sama dari semua golongan kepada ordinary law of the land
yang dilaksanakan oleh ordinary court, ini berarti bahwa
tidak ada orang yang berada di atas hukum, baik pejabat
maupun warga negara biasa berkewajiban untuk menaati
hukum yang sama; tidak ada peradilan administrasi
negara.26)) Penekanan atas prinsip persamaan di hadapan
hukum (equality before the law) membuat arti peradilan
administrasi dianggap tidak signifikan.
Pada dasarnya Prinsip equality before the law menghendaki
agar prinsip persamaan antara rakyat dengan pejabat
administrasi negara harus juga tercermin dalam lapangan
peradilan. Pejabat administrasi atau Pemerintah atau
rakyat harus sama-sama tunduk kepada hukum dan
bersamaan kedudukannya di hadapan hukum.27) Prinsip
26) Suharizal dan Firdaus Arifin, Refleksi Reformasi Konstitusi 1999-2002, Bandung: Citra Aditya Bakti,2007,hlm.61.
27) S.F. Marbun, Op.cit., hlm.12.
39
equality before the law hanya salah satu ciri rule of law yang
dikemukakan oleh A.V. Dicey sebagai berikut : 28)
1. Supremasi hukum, dalam arti tidak boleh adakesewenang-wenangan sehingga seseorang hanyadapat dihukum jika melanggar hukum.
2. Kedudukan yang sama di depan hukum baik bagirakyat biasa maupun bagi pejabat.
3. Terjaminnya hak-hak asasi manusia oleh undang-undang dan keputusan-keputusan pengadilan.
Masih menurut Dicey, arti ciri pertama dari the rule of
law di atas adalah supremasi absolut atau predominasi dari
reguler law, untuk menentang pengaruh dari arbitary power dan
meniadakan kesewenang-wenangan, prerogatif atau
discretionary authority yang luas dari pemerintah; kedua,
konstitusi adalah hasil the ordinary law of the land bahwa
hukum konstitusi bukanlah sumber melainkan merupakan
konsekuensi dari hak-hak individu yang dirumuskan dan
ditegaskan oleh peradilan.29)
Demikian juga E.C.S. Wade mengetengahkan 3 ciri ruleof law, yakni : 30)
1. Mendahulukan hukum dan ketertiban dalammasyarakat daripada anarki.
28) Marojahan, Loc.cit.,hlm. 4.29) Suharizal dan Firdaus Arifin, Op.cit., hlm. 61.30) Marojahan, Loc.cit.,hlm. 4.
40
2. Pemerintahan harus dilaksanakan sesuai denganhukum.
3. Ada peraturan perundang-undangan yang dijadikandasar melaksanakan perbuatan.
3. Negara Hukum di Indonesia
Tanpa dicantumkannya konsep negara hukum dalam
batang tubuh UUD 1945 sekalipun, dengan sendirinya
dapat disimpulkan dan disepakati bersama bahwa prinsip-
prinsip dan ciri negara hukum yang termuat di pembukaan
menjadi isyarat nyata untuk menentukan Indonesia memang
menganut konsep negara hukum. Ketentuan yang menyatakan
bahwa Indonesia adalah negara yang berdasarkan atas
hukum (rechtsstaat) dan tidak berdasarkan kekuasaan
semata (machtstaat) ditemukan pada Penjelasan UUD 1945,
demikian pula ketentuan mengenai sistem pemerintahan
Indonesia. Dalam Penjelasan disebutkan bahwa sistem
Pemerintahan Indonesia menganut sistem konstitusional.
Artinya Pemerintah berdasarkan atas sistem Konstitusi
(Hukum Dasar), tidak berdasarkan absolutisme.
41
Di Indonesia, istilah negara hukum sering
diterjemahkan rechtsstaats atau the rule of law. Paham
rechtsstaats, pada dasarnya bertumpu pada sistem hukum
Eropa Kontinental.31) Apabila dimaknai sesuai dengan
Pembukaan UUD 1945 tersebut maka negara hukum yang
dimaksudkan di Indonesia adalah negara hukum yang
dijiwai oleh nilai-nilai religius, nilai-nilai
kemanusiaan, nilai-nilai kerakyatan dan nilai-nilai
keadilan.32) Tidak ingin tertinggal dengan konsep
negara hukum lainnya, Indonesia memiliki suatu unsur
pembeda yang menjiwai seluruh aktivitas negara
hukumnya. Unsur yang dimaksud adalah lima sila hasil
rumusan filosofis founding fathers yang dikenal dengan
Pancasila.
Pancasila yang menjiwai kehidupan bernegara
mendorong lahirnya istilah Negara Hukum Pancasila.
Sederhananya, Negara Hukum Pancasila adalah negara yang
berdasarkan Pancasila yang menjunjung tinggi faham
31) Suharizal dan Firdaus Arifin, Op.cit., hlm. 61.32) Naskah Akademik Kajian Komperehensif Komisi Konstitusi tentang Perubahan
Undang-undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 kajian komprehensif,Jakarta: Sekretariat Jenderal MPR RI,2004, hlm. 39.
42
kekeluargaan. Pancasila dan faham atau asas
kekeluargaan bukan merupakan satu konteks pengertian,
namun keduanya saling berhubungan erat. Hubungan
tersebut dinyatakan Sri Soemantri dalam Bunga Rampai
Hukum Tata Negara bahwa keduanya tidak dapat dibedakan
apalagi dipisahkan antara Negara Pancasila (negara yang
berdasarkan filsafat Pancasila) dan Negara
Kekeluargaan. Dengan perkataan lain, Negara
Kekeluargaan hanya terdapat dalam negara berdasarkan
Pancasila sedangkan negara yang berdasarkan Pancasila
selalu merupakan Negara kekeluargaan.33) Ciri lainnya
dari Negara Hukum Pancasila yang dipaparkan Senoadji
ialah adanya jaminan terhadap freedom of religion atau
kebebasan beragama. Tetapi, kebebasan beragama di
Negara Hukum Pancasila selalu dalam konotasi yang
positif, artinya tiada tempat bagi ateisme atau
propaganda anti agama di Bumi Indonesia. Ciri
berikutnya adalah tiada pemisahan yang rigid dan mutlak
antara agama dan negara.34)
33) Marojahan, Loc.cit.,hlm. 24.34) Muhammad Tahir Azhary, Op.cit.,hlm. 93.
43
Untuk mendapatkan pandangan yang menyeluruh
mengenai negara hukum Pancasila di Indonesia, berikut
ini dipaparkan hal-hal yang mengindikasikan Negara
Republik Indonesia sebagai Negara Hukum. Ketentuan-
ketentuan tersebut tersebar di dalam Undang-undang
Dasar 1945 baik dalam Pembukaan, Batang Tubuh maupun
Penjelasan sebagai berikut :35)
1. dalam Penjelasan UUD mengenai SistemPemerintahan Negara Indonesia, ditemukanpenekanan pada hukum (rechts) yang dihadapkandengan kekuasaan (macht). Artinya UUD 1945menempatkan penolakan terhadap hak-hakkemanusiaan. Rumusan yang terdapat padaPenjelasan UUD 1945 tersebut, sesungguhnyamerupakan penjabaran dari Pokok-pokok Pikiranyang terkandung dalam Pembukaan UUD 1945 yangmemuat cita hukum (rechtssidee).
2. penegasan penolakan terhadap kekuasaan yangbersifat absolutisme itu, kemudian dipagar dandikunci secara ketat perumusan sistempemerintahan yang berdasarkan atas konstitusi(hukum dasar). Dengan demikian negara hukummenurut UUD 1945 adalah negara hukum dengansistem konstitusional.
3. negara hukum yang dimaksud dalam Penjelasan UUD1945, bukanlah negara hukum dalam arti formalatau negara penjaga malam, tetapi negara hukumdalam arti luas yakni negara hukum dalam artimaterial. Sebab dalam alinea keempat PembukaanUUD 1945, disebutkan negara bukan sajamelindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh
35) S.F. Marbun, Op.cit., hlm.15-16.
44
tumpah darah Indonesia, tetapi juga harusmemajukan kesejahteraan umum dan mencerdaskankehidupan bangsa.
4. negara hukum yang dimaksud dalam Penjelasan UUD1945 harus sejalan dengan negara demokrasi,sehingga keduanya merupakan dua pilar yang tegaklurus dan saling menopang. Karena itu MPRsebagai pemegang kedaulatan rakyat harus benar-benar tercermin sebagai penjelmaan seluruhrakyat Indonesia, sehingga benar-benar terjaminsifat demokratisnya.
5. dalam negara hukum Indonesia menurut UUD 1945,kekuasaan Kepala Negara harus terbatas dan bukantak terbatas. Artinya Kepala Negara bukandiktator. Meskipun Kepala Negara tidakbertanggung jawab kepada Dewan PerwakilanRakyat, tetapi Kepala Negara harus memperhatikansungguh-sungguh suara Dewan Perwakilan Rakyat.Untuk menghindari Presiden bersifat absolut,kedudukan dan peranan DPR diletakkan pada posisiyang kuat, sehingga DPR tidak dapat dibubarkanoleh Presiden. DPR melakukan pengawasan terhadapPresiden dan bahkan memegang wewenang memberikanpersetujuan kepada Presiden dalam menetapkanundang-undang dan APBN. Hal ini mencerminkankuatnya kedudukan rakyat dalam sistemPemerintahan Negara Indonesia.
6. dalam Batang Tubuh UUD 1945 ditemukan jugabeberapa ketentuan mengenai rumusan hak-hakkemanusiaan yang dijelmakan dalam rumusan “hak-hak warganegara” dan kedudukan penduduk.
Mengingat bahwa konsep negara hukum Republik
Indonesia tidak secara tegas tercantum dalam batang
tubuh melainkan dalam penjelasan maka pada
perkembangannya konsep Negara Hukum memiliki tempat
45
tersendiri dalam batang tubuh UUD 1945 setelah
amandemen tahap ke-3 (tiga). Ketentuan tersebut
ditetapkan secara konstitusional di Pasal 1 ayat (3)
yaitu “Negara Indonesia adalah Negara Hukum”.
Persamaan pokok antara rechtsstaat dengan rule of law
adalah adanya keinginan untuk memberikan jaminan
terhadap hak-hak asasi manusia. Dengan demikian, dapat
ditarik benang merah bahwa inti konsep negara hukum
adalah negara yang segala tindak tanduk pelaksanaannya
tunduk pada peraturan hukum yang berlaku. Sedangkan
tujuan negara hukum pada intinya memiliki tujuan yang
sama dengan hakikat konstitusi tidak lain dari
perwujudan paham tentang konstitusi atau
konstitusionalisme yaitu pembatasan terhadap kekuasaan
pemerintah di satu pihak dan jaminan terhadap kekuasaan
pemerintahan di satu pihak dan jaminan terhadap hak-hak
warga negara manapun setiap penduduk di pihak lain.36)
B. Kajian Teoritis Tentang Konstitusi
36) Bagir Manan, Pertumbuhan dan Perkembangan Konstitusi Suatu Negara,Bandung: Mandar Maju,1995, hlm. 6.
46
1. Tinjauan Umum Konstitusi
Konstitusi bagi suatu negara hukum merupakan harga
mati yang tidak bisa ditawar lagi. Seperti yang telah
disinggung sebelumnya, negara hukum memerlukan
konstitusi untuk memuat aturan dasar yang menjadi
sumber berbagai peraturan di bawahnya. Bahkan menurut
Sri Soemantri, tidak ada satu Negara pun di dunia
sekarang ini yang tidak mempunyai konstitusi atau
Undang-Undang Dasar. Negara dan konstitusi merupakan
dua lembaga yang tidak dapat dipisahkan satu dengan
yang lainnya, demikian Sri Soemantri.37)
Berbicara konstitusi berarti berbicara mengenai
hukum, dan untuk pengertian hukum dapat dilihat dalam
penjelasan Undang-undang Dasar 1945, Bab Umum No. IV
yang dirumuskan sebagai berikut :38)
“ Undang-Undang Dasar hanya memuat aturan-aturanpokok, menurut garis-garis besar sebagai instruksikepada pemerintah pusat dan lain-lain penyelenggara
37) Sri Soemantri, Op.cit., hlm. 2.38) Toga Hutagalung, Hukum dan Keadilan dalam Pemahaman Filsafat
Pancasila dan UUD 1945, (Disertasi Fakultas Hukum UniversitasPadjajaran, Bandung), hlm. 24.
47
negara untuk menyelenggarakan kehidupan negara dankesejahteraan sosial.”
Dari penjelasan tersebut undang-undang dapat
diartikan hukum sebagai alat atau sarana dalam
penyelenggaraan negara dan kesejahteraan sosial.
Mengenai sumber hukum dapat dilihat dalam penjelasan
UUD 1945, Bab Umum No. III yang dirumuskan sebagai
berikut :
“ Pokok-pokok pikiran yang terkandung dalampembukaan meliputi suasana kebatinan dari UUDnegara Indonesia, pokok-pokok pikiran inimewujudkan cita-cita hukum negara, baik hukumtertulis (UUD) maupun tidak tertulis. 39)
Sedang fungsi hukum menurut UUD 1945 lebih
diperluas di dalam penjelasan pada Pasal 28,29 ayat 1
dan Pasal 34, sebagai berikut :
“ Pasal-pasal baik yang hanya mengenai warga negaramaupun yang mengenai seluruh penduduk memuat hasratbangsa Indonesia untuk membangun negara yangbersifat demokratis dan yang hendakmenyelenggarakan keadilan sosial danperikemanusiaan” 40)
1.1 Pengertian Konstitusi
39) Ibid., hlm.25.40) Ibid.
48
Konstitusi secara etimologis berasal dari bahasa
Latin yaitu constituo (tunggal), constituones (jamak).
Istilah konstitusi berasal dari bahasa Perancis
(constituer) yang berarti membentuk. Pemakaian istilah
konstitusi yang dimaksudkan ialah pembentukan suatu
negara atau menyusun dan menyatakan suatu negara.41)
Konstitusi merupakan segala ketentuan dan aturan
mengenai ketatanegaraan (Undang-Undang Dasar, dan
sebagainya, atau Undang-Undang Dasar suatu negara).42)
Berbeda halnya dengan konstitusionalisme, yaitu suatu
paham mengenai pembatasan kekuasaan dan jaminan hak-hak
rakyat melalui konstitusi.43) Pembatasan ini
dilatarbelakangi suatu pemikiran bahwa kekuasaan yang
terpusat pada satu tangan akan sulit mewujudkan cita-
cita bangsa yang mendambakan keadilan dan
kesejahteraan. Penyebabnya, menurut Lord Acton, power
tends to corrupt, absolute power corrupts absolutely.44)
41) Dahlan Thaib, dkk., Teori dan Hukum Konstitusi, Jakarta:RajaGrafindo, 2005, hlm.1.
42) Ibid., hlm 1.43) Ibid.44) Krisna Harahap, Konstitusi Republik, Op.cit., hlm.7.
49
Undang-Undang Dasar sering disebut dengan istilah
“konstitusi”. Sri Soemantri dalam disertasinya dan
Struycken merupakan beberapa ahli yang menganggap
konstitusi sama dengan Undang-Undang Dasar. Tetapi
pengertian konstitusi yang disamakan dengan Undang-
Undang Dasar, adalah suatu kekeliruan pandangan.45)
Sebab jika ditelusuri lebih jauh dalam kepustakaan,
ternyata ada perbedaan pengertian antara Undang-Undang
Dasar dan konstitusi.
Argumentasi tersebut dapat terlihat dari
perbandingan pengertian konstitusi dalam arti luas dan
sempit. Berikut menurut Krisna Harahap, konstitusi
dapat diartikan secara luas maupun sempit. Konstitusi
dalam arti luas diartikan sebagai dokumen hukum (legal
document) resmi dengan kedudukan yang sangat istimewa,
baik bentuk tertulis (written) maupun tidak tertulis
(unwritten). Sedangkan dalam pengertian sempit, nama
yang diberikan, yakni Undang-Undang Dasar (UUD) kepada
45) Abu Daud Busroh dan Abu Bakar Busroh, Op.cit., hlm. 41.
50
dokumen hukum, dokumen politik yang berisi antara lain
susunan organisasi negara dan cara kerjanya. 46)
Menurut Herman Heller, bahwa konstitusi mempunyai
arti yang lebih luas daripada Undang-Undang Dasar.
Konstitusi, sesungguhnya tidak hanya bersifat yuridis
semata-mata, melainkan juga sosiologis dan politis.
Sedangkan Undang-Undang Dasar, hanya merupakan sebagian
dari pengertian konstitusi, yakni die geschreiben verfassung
atau konstitusi yang ditulis.47) Sedangkan istilah
Undang – Undang Dasar merupakan terjemahan istilah yang
dalam bahasa Belandanya disebut Gronwet. Perkataan wet
diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia undang – undang
dan grond berarti tanah/dasar.48)
K.C. Wheare dalam buku Modern Constitution : 1966
mengartikan konstitusi sebagai keseluruhan sistem
ketatanegaraan dari suatu negara berupa kumpulan
46) Krisna Harahap, Konstitusi Republik Op. Cit., hlm.1.47) Dikutip oleh Moh. Kusnardi dan Harmaily Ibrahim dan
dikutip kembali oleh Abu Daud Busroh dan Abubakar Busro,Op.cit.,hlm.41.
48) Dahlan Thaib, dkk., Op.cit., hlm.7.
51
peraturan-peraturan yang membentuk, mengatur atau
memerintah dalam pemerintahan”. 49)
C.F. Strong dalam buku Modern Political Constitution : 1966
mendefinisikan konstitusi sebagai “A constitution is a
collection of principles according to which the powers of government, the
right of the government and the relation between the two are adjusted.”
50) Dari rumusan tersebut menunjukkan bahwa Strong telah
menafsirkan konstitusi dalam arti sempit, yakni berupa
sebuah naskah ataupun sekumpulan peraturan-peraturan
yang mengandung otoritas sebagai Hukum Tata Negara.51)
1.2 Materi Muatan Konstitusi
Struycken dalam bukunya Het Staatsrecht van Het Koninkrijk
der Nederlanden menyatakan bahwa Undang-Undang Dasar
sebagai Konstitusi tertulis merupakan sebuah dokumen
formal yang berisi:52)
1. Hasil perjuangan politik bangsa di waktu yanglampau.
2. Tingkat-tingkat tertinggi perkembanganketatanegaraan bangsa.
49) Ibid., hlm. 13.50) Ibid., hlm.12.51) Abu Daud Busroh dan Abu Bakar Busroh, Op.cit., hlm. 45.52) Dikutip oleh Sri Soemantri, Op.cit., hlm.2.
52
3. Pandangan tokoh-tokoh bangsa yang hendakdiwujudkan, baik untuk waktu sekarang maupun untukmasa yang akan datang.
4. Suatu keinginan, dengan mana perkembangankehidupan ketatanegaraan bangsa hendak dipimpin.
Menurut J.G. Steenbeek, sebagaimana dikutip Sri
Soemantri dalam disertasinya dan dikutip kembali oleh
Dahlan Thaib bahwa pada umumnya suatu konstitusi berisi
tiga hal pokok, yaitu : 53)
Pertama, adanya jaminan terhadap hak-hak asasi manusia
dan warga negaranya;
Kedua, ditetapkannya susunan ketatanegaraan suatu
negara yang bersifat fundamental;
Ketiga, adanya pembagian dan pembatasan tugas
ketatanegaraan yang juga bersifat
fundamental.
1.3 Fungsi, Kedudukan dan Tujuan Konstitusi
Mengenai fungsi dan kedudukan konstitusi, beberapa
penulis seperti C.F. Strong, K.C. Wheare, M. Rosenfeld
12, Henc van Maarseveen, Lawrence Beer, Sri Soemantri
53) Dahlan Thaib, dkk.,, Op.cit., hlm. 16.
53
dan Jimly Asshiddiqie memperlihatkan adanya pandangan
yang satu sama lain bertautan. Fungsi dan kedudukan
tersebut adalah :54)
1) Konstitusi berfungsi sebagai dokumen nasional
(national document) yang mengandung perjanjian luhur,
berisi kesepakatan-kesepakatan tentang politik,
hukum, pendidikan, kebudayaan, ekonomi,
kesejahteraan, dan aspek fundamental yang menjadi
tujuan negara.
2) Konstitusi sebagai piagam kelahiran negara baru (a
birth certificate of new state). Hal ini juga merupakan
bukti adanya pengakuan masyarakat internasional
ditandai dengan adanya ratifikasi terhadap
perjanjian-perjanjian internasional.
3) Konstitusi sebagai sumber hukum tertinggi.
Konstitusi mengatur maksud dan tujuan terbentuknya
suatu negara dengan sistem administrasinya melalui
adanya kepastian hukum yang terkandung dalam
pasal-pasalnya, unifikasi hukum nasional, social
54) Naskah Akademik..., Op.cit., hlm.17-18.
54
control, memberikan legitimasi atas berdirinya
lembaga-lembaga negara termasuk pengaturan tentang
pembagian dan pemisahan kekuasaan antara organ
legislatif, eksekutif, dan yudisial. Konstitusi
sebagai sumber hukum tidak saja berfungsi sebagai
a tool of social engineering, melainkan juga harus mampu
merespon secara kritis perubahan zaman.
4) Konstitusi sebagai identitas nasional dan lambang
persatuan. Konstitusi menjadi suatu sarana untuk
memperhatikan berbagai nilai dan norma suatu
bangsa dan negara, misalnya simbol demokrasi,
keadilan, kemerdekaan, negara hukum, yang
dijadikan sandaran untuk mencapai kemajuan dan
keberhasilan tujuan negara. Konstitusi suatu
negara diharapkan dapat menyatakan persepsi
masyarakat dan pemerintah, sehingga memperlihatkan
adanya nilai identitas kebangsaan, persatuan dan
kesatuan, perasaan bangga dan kehormatan sebagai
bangsa yang bermartabat. Konstitusi dapat
memberikan pemenuhan atas harapan-harapan sosial,
55
ekonomi dan kepentingan politik. Konstitusi tidak
saja menganut pembagian dan pemisahan kekuasaan
dalam lembaga-lembaga politik seperti legislatif,
eksekutif dan yudisial, akan tetapi juga mengatur
tentang penciptaan keseimbangan hubungan (check and
balances) diantaranya aparat pemerintah di pusat
maupun di daerah.
5) Konstitusi sebagai alat untuk membatasi kekuasaan.
Konstitusi dapat berfungsi untuk membatasi
kekuasaan, mengendalikan perkembangan dan situasi
politik yang selalu berubah, serta berupaya untuk
menghindarkan adanya penyalahgunaan kekuasaan.
Berdasarkan alasan tersebut, menjadi sangat
penting untuk diperhatikan seberapa jauh formulasi
pasal-pasal dalam konstitusi mengakomodasikan
materi muatan pokok dan penting sehingga dapat
mencegah timbulnya penafsiran yang beraneka ragam.
6) Konstitusi sebagai pelindung HAM dan kebebasan
warga negara. Konstitusi memberikan perlindungan
terhadap hak-hak asasi manusia dan hak-hak
56
kebebasan warga negara. Hal ini merupakan
pengejawantahan suatu negara hukum dengan ciri-
ciri equality before the law, non diskriminatif dan keadilan
hukum (legal justice) dan keadilan moralitas (social and
moral justice).
Konstitusi itu sendiri disebut-sebut sebagai
aturan yang memiliki keistimewaan dibandingkan dengan
peraturan lainnya, yang antara lain dikarenakan :55)
1) merupakan fundamental law, atau hukum yang palingmendasar dalam suatu negara
2) the highest law, merupakan hukum tertinggi3) a birth certificate, sama halnya akta kelahiran dari
suatu negara4) staatsfundamentalnorm, yaitu aturan - aturan dasar
mengenai negara.
Mengenai tujuan dibentuknya Konstitusi terdapat
beberapa pendapat yang akan diulas sebagaimana berikut:
1) C.F Strong, the object of a constitution in short, are to limit the
arbitary action of the government, to quarantee the rights of
governed, and to define the operation of the sovereign power; 56)
55) Krisna Harahap, Konstitusi Republik, Op.cit., hlm. 1-3.56) Dahlan Thaib, dkk., Op.cit., hlm 23.
57
2) Loeweinstain (political power and the government process),
yaitu suatu sarana dasar untuk mengawasi proses –
proses kekuasaan : 57)
a. “memberi pembatasan dan pengawasan terhadap
kekuasaan politik”
b. “ membebaskan kekuasaan dari kontrol mutlak
para penguasa”
Karena negara merupakan organisasi kekuasaan, maka
daripada itu di setiap negara ditemukan bermacam –
macam pusat kekuasaan dan kekuasaan itu sendiri
harus dibatasi dengan konstitusi/ UUD.
3) Hans Kelsen dan Hans Nawrasky (muridnya),
konstitusi bertujuan untuk mewujudkan 2 norma
utama yaitu staatsfundamentalnorm (norma fundamental
negara) dan staatsgrundgesetz (aturan dasar) ;
2. Teori Perubahan Konstitusi
Perubahan konstitusi merupakan suatu keniscayaan,
demikian para tokoh kenegaraan berkata, untuk itu
57) Ibid., hlm. 24.
58
konstitusi selalu mencantumkan bab mengenai perubahan
konstitusi. Walaupun konstitusi setiap negara dibuat
untuk jangka waktu yang lama, namun cepatnya
perkembangan masyarakat dalam berbagai sektor kehidupan
membuka mata untuk melakukan penyesuaian konstitusi
agar tidak tertinggal jauh dalam peradaban.
Sebelum memberi pemaparan lebih jauh, terlebih
dahulu dijelaskan arti perubahan dan amandemen itu
sendiri. Sri Soemantri menyimpulkan bahwa mengubah
maupun mengamandemen UUD adalah sama, yang dijelaskan
sebagaimana berikut :
Mengubah maupun perubahan berasal dari kata “ubah”yang berarti “lain” atau “beda”. Mengubahmengandung arti “menjadi lain (dr).” Sedangperubahan diartikan hal berubahnya sesuatu;pertukaran, peralihan.” Dalam hal itu, John M.Echols dan Hassal Shadily menyebutkan bahwa“amendement” adalah “amandemen”. Dengan mengikutipendapat kedua orang ahli bahasa ini “mengubahUndang-Undang Dasar” adalah sama dengan“mengamandemen Undang-Undang Dasar.”
Dalam Hukum Tata Negara Amerika Serikat “to amend the
Constitution” mengandung arti bukan saja mengubah sesuatu
59
juga menambahkan sesuatu yang belum diatur dalam
Konstitusi.58)
Perubahan konstitusi dapat dilakukan secara formal
dan tidak formal. Kedua cara tersebut dapat dibedakan
dari ada tidaknya ketentuan mengenai perubahan tersebut
dalam konstitusi itu sendiri. Dengan kata lain secara
yuridik, perubahan konstitusi dapat dilakukan apabila
dalam konstitusi itu telah ditetapkan tentang syarat
dan prosedur konstitusi. Perubahan konstitusi yang
ditetapkan dalam konstitusi disebut perubahan secara
formal (formal amendment). Di samping itu perubahan
konstitusi juga dapat dilakukan dengan cara yang tidak
formal yaitu oleh kekuatan-kekuatan yang bersifat
primer, penafsiran oleh pengadilan dan oleh kebiasaan
dalam bidang ketatanegaraan.59)
Perubahan ini dipengaruhi oleh sifat undang-undang
dasar itu sendiri yang terbagi dalam dua golongan,
yaitu undang-undang dasar yang rigid dan flexible.
Menentukan apakah undang-undang dasar tersebut58) Sri Soemantri,Op.Cit.,hlm.162.59) Naskah Akademik..., Op.cit., hlm.179.
60
tergolong flexible atau rigid dapat diukur dengan
mengajukan pertanyaan apakah undang-undang dasar itu mudah
atau tidak mudah mengikuti perkembangan zaman. Kalau mudah
maka undang-undang dasar itu flexible sebaliknya maka
sifatnya rigid.60)
2.1 Kewenangan Mengubah Konstitusi
Pada tahap pertama perubahan UUD 1945 kewenangan
untuk mengubah dimiliki oleh Majelis
Permusyawaratan Rakyat atas dasar Pasal 3 UUD 1945
yang berbunyi “ Majelis permusyawaratan Rakyat
menetapkan Undang-undang Dasar dan garis-garis
besar daripada haluan Negara.”
Tugas dan Wewenang MPR Pasal 3 dan Pasal
4Ketetapan MPR-RI No. I/MPR/1983 jo Ketetapan MPR-
RI No. II/MPR/1999 tentang Peraturan Tata-Tertib
Majelis Permusyawaratan Rakyat :
Pasal 3, Majelis mempunyai tugas :
1) menetapkan Undang-Undang Dasar;
60) Moh. Kusnardi dan Harmaily Ibrahim dalam Abu Daud Busrohdan Abubakar Busro, Op.cit., hlm. 46.
61
2) menetapkan Garis-Garis Besar Haluan Negara;
3) memilih dan mengangkat Presiden dan Wakil
Presiden.
Pasal 4, Majelis mempunyai wewenang :
f. mengubah Undang-undang Dasar.
Untuk keanggotaan MPR sendiri diatur dalam Pasal
2 ayat (1) “ Majelis Permusyawaratan Rakyat terdiri
dari anggota Dewan Perwakilan Rakyat dan anggota
Dewan Perwakilan Daerah yang dipilih melalui
pemilihan umum dan diatur lebih lanjut dengan
undang-undang.”
2.2 Sistem Perubahan Konstitusi
Dalam literatur Hukum Tata Negara dikenal dua
sistem perubahan konstitusi, yakni penggantian atau
perubahan secara menyeluruh (re-new) dan perubahan
dengan melakukan penambahan atau yang dikenal
dengan istilah addendum.
Sistem perubahan atau renewel adalah, apabila
suatu konstitusi (UUD) dilakukan perubahan (dalam
62
arti diadakan pembaruan), maka yang diberlakukan
adalah konstitusi yang baru secara keseluruhan. Di
antara negara yang menganut sistem ini adalah
Belanda, Jerman, dan Perancis.61) Perubahan UUD 1945
disepakati untuk diubah dengan cara addendum, yakni
perubahan UUD 1945 dilakukan dengan tetap
mempertahankan naskah asli UUD 1945 sebagaimana
terdapat dalam Lembaran Negara No. 75 Tahun 1959
hasil Dekrit Presiden 5 Juli 1959 dan naskah
perubahan-perubahan UUD 1945 diletakkan melekat
pada naskah asli.62)
Bahwa Undang-undang Dasar atau konstitusi dapat
diubah melalui jalan penafsiran dikemukakan oleh
K.C. Wheare yang merumuskan empat macam cara untuk
mengubah konstitusi, yaitu melalui :63)
1. beberapa kekuatan yang bersifat primer (some
primary force) ;
61) Dahlan Thaib,dkk., Op.cit., hlm. 67.62) Ni’matul Huda, Op.cit., hlm. 147.63) Sri Soemantri, Op.cit., hlm. 259.
63
2. perubahan yang diatur dalam konstitusi (formal
amandement);
3. penafsiran secara hukum (judicial interpretation) ;
4. kebiasaan dan kebiasaan yang terdapat dalam
bidang ketatanegaraan (usage and convention)
C.F. Strong juga mengemukakan empat macam cara
prosedur perubahan konstitusi, yaitu : 64)
1. perubahan konstitusi yang dilakukan olehpemegang kekuasaan legislatif, akan tetapimenurut pembatasan – pembatasan tertentu;
2. perubahan konstitusi yang dilakukan olehrakyat melalui suatu referendum;
3. perubahan konstitusi – dan ini berlaku dalamnegara serikat- yang dilakukan oleh sejumlahnegara – negara bagian;
4. perubahan konstitusi yang dilakukan dalamsuatu konvensi atau dilakukan oleh suatulembaga negara khusus yang dibentuk hanyauntuk keperluan perubahan.
2.3 Dasar Hukum dan Syarat Perubahan Konstitusi
RI
Tiap-tiap undang-undang dasar biasanya memuat
ketentuan yang menetapkan organ yang berhak
64) Ni’matul Huda, Op.cit, hlm. 68.
64
mengubah naskah undang-undang dasar itu sendiri dan
prosedur yang harus dilalui untuk mengadakan
perubahan itu.65) Dalam UUD 1945 terdapat satu pasal
yang khusus mengatur tentang cara perubahan UUD,
yaitu Pasal 37. BAB XVI Mengenai Perubahan Undang-
Undang Dasar Pasal 37 UUD 1945 menyebutkan :
(1) Untuk mengubah Undang-undang Dasar sekurang–kurangnya 2/3 daripada jumlah anggota MajelisPermusyawaratan Rakyat harus hadir.
(2) Putusan diambil dengan persetujuan sekurang-kurangnya 2/3 daripada jumlah anggota yanghadir.
Pasal 37 tersebut mengandung tiga norma, yaitu : 66)
1. bahwa wewenang untuk mengubah UUD ada pada MPRsebagai Lembaga Tertinggi
2. bahwa untuk mengubah UUD kuorum yang harusdipenuhi sekurang – kurangnya adalah 2/3 dariseluruh jumlah anggota MPR;
3. bahwa putusan tentang perubahan UUD adalah sahapabila disetujui oleh sekurang – kurangnya2/3 dari anggota MPR yang hadir.
65) Abu Daud Busroh dan Abubakar Busro, Op.cit., hlm. 46.66) Ni’matul Huda, Op.cit., hlm. 71.
65
C. Dasar Filosofis Negara (Filosofische Grondslag)
Filsafat yang menjadi pisau bedah dalam penelitian
ini memiliki perangkat tersendiri yang lazim
dipergunakan dalam menyelesaikan berbagai permasalahan
yang sifatnya bukan penyelesaian praktis. Bagaimana pun
juga, sifat abstrak dan hipotesis kajian filsafat tidak
dapat dipungkiri. Perangkat yang akan dipergunakan
dalam mengkaji secara filosofis perubahan konstitusi
tahap pertama ini akan dibatasi pada teori filsafat
hukum yang berkaitan pembahasan.
Undang-Undang Dasar merupakan bentuk hukum tertulis
yang secara umum merupakan bagian dari hukum dalam arti
luas. Untuk itu, dalam pemaparannya teori filsafat di
sini tidak secara kaku dan monoton menggunakan istilah
konstitusi atau Undang-Undang Dasar.
Sekedar untuk mengingat kembali pengertian filsafat
hukum, berikut ini diulas beberapa definisi filsafat
hukum sebagai berikut.
66
Soetikno (1976 : 10), merumuskan : 67)
“Filsafat hukum mencari hakikat daripada hukum, yang menyelidiki
kaidah hukum sebagai pertimbangan nilai-nilai”.
Purnadi Purbacaraka dan Soerjono Soekanto (1979 :
11), mengatakan : 68)
“Filsafat hukum adalah perenungan dan perumusan nilai-nilai;kecuali itu filsafat hukum juga mencakup penyerasian nilai-nilaimisalnya : penyerasian antara ketertiban dengan ketentraman,antara kebendaan dengan keakhlakan, dan antarakelanggengan/konservatisme dengan pembaharuan”.
Menurut Mahadi (1989 : 10) : 69)
“Filsafat hukum ialah falsafah tentang hukum, falsafah tentangsegala sesuatu di bidang hukum secara mendalam sampai ke akar-akarnya secara sistematis”
Beberapa teori filsafat hukum yang memiliki
keterkaitan dengan pembentukan undang-undang dasar yang
ideal adalah teori yang dikemukakan oleh F. von Savigny
(mazhab sejarah) dan Eugene Erlich (aliran sosiological
jurisprudence) dan Hans Kelsen (aliran positivisme
hukum). Inti pemikiran mazhab sejarah tersarikan dalam
buku von Savigny yang termashur “Von Beruf Unserer Zeit fur
67) Lili Rasjidi dan Ira Rasjidi, Dasar-dasar Filsafat dan Teori Hukum,Bandung : Citra Aditya Bakti, 2001, hlm. 2.
68) Ibid.69 Ibid. hlm. 3.
67
Gezetzgebung und Rechtswissenschaft” – Tentang tugas zaman
kita bagi pembentuk undang-undang dan ilmu hukum,
antara lain: 70)
Das Recht wird nicht gemacht, est ist und wird mit dem Volke- Hukumitu tidak dibuat, tetapi tumbuh dan berkembang bersamamasyarakat.
Lebih lanjut Savigny mengatakan hukum merupakan
salah satu faktor dalam kehidupan bersama suatu bangsa,
seperti bahasa, adat, moral, tatanegara. Oleh karena
itu hukum adalah sesuatu yang bersifat supra-
individual, suatu gejala masyarakat. Tetapi suatu
masyarakat lahir dalam sejarah, berkembang dalam
sejarah dan lenyap dalam sejarah. Nyatalah hukum yang
termasuk masyarakat ikut serta dalam perkembangan
organis itu. Lepas dari perkembangan masyarakat tidak
terdapat hukum sama sekali.71)
Eugene Erlich seorang teoretisi “free law” mengatakan
“Pusat dari bobot perkembangan hukum tidak terletak
dalam legislasi maupun keputusan Yudisial, tetapi dalam
70) Ibid., hlm. 65.71) Theo, Op.cit., hlm. 118.
68
masyarakat itu sendiri”. Menurutnya, di dalam
masyarakat manapun selalu terdapat lebih banyak hukum
ketimbang yang diekspresikan dalam proposisi-proposisi
hukum.72) Dengan demikian, konsepsi dasar tentang hukum
dan yang merupakan kunci bagi teorinya adalah apa yang
ia namakan living law. Hukum positif yang baik (dan
karenanya efektif) adalah hukum yang sesuai dengan living
law sebagai inner order dari masyarakat yang mencerminkan
nilai-nilai yang hidup di dalamnya.73)
Hans Kelsen dikenal dengan ajaran teori murni
tentang hukum yang pada intinya menghendaki hukum itu
harus dibersihkan dari anasir-anasir yang tidak yuridis
seperti etis, sosiologis, politis dan sebagainya.74)
Teori lainnya berasal dari murid Kelsen yaitu Adolf
Merkl dengan mengemukakan Stufenbau des Recht yang
mengutamakan adanya hierarkis daripada perundang-
undangan.75) Ajaran stufentheorie ini berpendapat bahwa
72) Ibid., hlm. 32.73) Mochtar Kusumaatmadja, Konsep-Konsep Hukum dalam Pembangunan,
Bandung: Alumni, 2002, hlm. 79.74) Ibid., hlm. 61 dengan mengutip Hans Kelsen dalam bukunya The
General Theory of Law and State. 75) Ibid., hlm. 60.
69
suatu sistem hukum adalah suatu hierarkis dari hukum di
mana suatu ketentuan hukum tertentu bersumber pada
ketentuan hukum lainnya yang lebih tinggi. Sebagai
ketentuan yang lebih tinggi adalah Grundnorm atau norma
dasar yang bersifat hipotesis. Ketentuan yang lebih
rendah adalah lebih konkret daripada ketentuan yang
lebih tinggi.76)
Dengan teori-teori tersebut dapat diketahui
bagaimana aplikasinya dalam pembentukan undang-undang
dasar di Indonesia beserta landasan filosofis yang
digunakan dihubungkan dengan pancasila yang dikatakan
sebagai dasar ideologis bangsa.
Pancasila Sebagai Dasar Filosofis Negara Republik
Indonesia
Pembukaan Undang-Undang Dasar 1945 adalah
pengejawantahan Pancasila, atau dengan kata lain inti
Pembukaan Undang-Undang Dasar 1945 adalah Pancasila.
Pembukaan Undang-Undang Dasar 1945 mengandung sumber
hukum religius, moral, kodrat dan filsafati. Karena itu76) Ibid.
70
intinya yaitu Pancasila oleh Ketetapan MPRS No.
XX/MPRS/1966 dikatakan sebagai sumber dari pada segala
sumber hukum.77)
Makna pembukaan adalah sebagai staatsfundalmentalnorm
dikarenakan memuat kaidah-kaidah negara yang
fundamental. Pembukaan ini tidak dapat diubah oleh
siapapun karena memuat pernyataan kemerdekaan yang
tidak dapat dicabut karena konsekuensinya dapat
membubarkan negara. Pembukaan ini sarat dengan nilai-
nilai yang bersifat historis yang erat kaitannya dengan
lahirnya suatu bangsa dan negara, perjuangan serta
cita-cita bangsa tersebut.78)
Kaitan pancasila dengan filsafat dimulai dengan
etika sebagai cabang filsafat atau cabang aksiologi
yang membicarakan manusia terutama tingkah laku dan
perbuatan yang dilakukan dengan sadar dilihat dari kaca
mata baik-buruk. Etika adalah filsafat moral atau
filsafat kesusilaan. Pancasila adalah dasar filasafat
77) Sunoto, Mengenal Filsafat Pancasila, Hanindita, Yogyakarta: 1990,hlm. 1.
78) Krisna Harahap, Konstitusi Repubik, Op.cit., hlm. 3.
71
Negara Republik Indonesia. Pancasila adalah kepribadian
bangsa Indonesia. Pancasila adalah ideologi bangsa
Indonesia. Pancasila adalah pandangan hidup bangsa
Indonesia. Pancasila adalah Jiwa bangsa Indonesia.79)
Pandangan hidup adalah pangkal bertolak dari
landasan kefilsafatan serta ukuran bagi norma kritik
yang mendasari atau menjiwai tata hukum. Karena itu,
pandangan yang dianut akan memberikan koheresi
(kesatupaduan) dan pengarahan pada keseluruhan proses-
proses sosial penormaan (pengkaidahan) peraturan-
peraturan hukum beserta dengan proses-proses
penerapannya dalam kehidupan bermasyarakat. Oleh
koheresi dan pengarahan itu maka keseluruhan peraturan-
peraturan hukum dan institusi-institusi (pranata-
pranata) hukum yang berlaku dan hidup dalam mayarakat
dalam proses kehidupannya akan mewujudkan diri menjadi
suatu kesatuan yang berstruktur, bersistem, dan
dinamis.80)
79) Sunoto, Op.cit., hlm. 2.80) Arif Sidartha, Filsafat Hukum Pancasila, Hand Out Kuliah
Filsafat Hukum, hlm 1.
72
Pandangan hidup bangsa Indonesia telah dirumuskan
secara padat dalam bentuk kesatuan rangkaian sila yang
dinamakan Pancasila. Nilai-nilai Pancasila yang telah
diwariskan kepada bangsa Indonesia merupakan puncak
dari nilai sosial dan budaya yang senantiasa melandasi
tata kehidupan sehari-hari. Tata nilai sosial budaya
yang telah berkembang dan dianggap baik, serta diyakini
kebenarannya ini dijadikan sebagai pandangan hidup dan
sumber nilai bagi bangsa Indonesia. Sumber nilai
tersebut antara lain adalah : keyakinan adanya Tuhan
YME, asas kekeluargaan, asas musyawarah mufakat, asas
gotong-royong, asas tenggang rasa.
Pancasila ditempatkan dalam Alinea IV Pembukaan UUD
1945 sebagai landasan kefilsafatan yang mendasari dan
menjiwai penyusunan ketentuan-ketentuan yang tercantum
dalam Undang-Undang dasar itu. Sebagai dasar negara,
Pancasila mempunyai kekuatan mengikat secara hukum
sehingga semua peraturan hukum/ketatanegaraan yang
bertentangan dengan Pancasila harus dicabut. Perwujudan
nilai-nilai Pancasila sebagai dasar negara, dalam
73
bentuk peraturan perundang-undangan bersifat imperatif
(mengikat) bagi warga negara Indonesia. Sehingga dengan
demikian, menurut Arief Sidharta Pancasila melandasi
dan seharusnya menjiwai kehidupan kenegaraan di
Indonesia, termasuk kegiatan menentukan dan
melaksanakan politik hukumnya. Karena itu, penyusunan
dan penerapan tata hukum di Indonesia sejak berlakunya
Undang-Undang Dasar itu harus dilandasi dan dijiwai
oleh Pancasila.81)
Pancasila adalah dasar filosofis bangsa yang
berakar dari nilai-nilai yang tumbuh dan berkembang di
masyarakat. Sebagai dasar negara, Pancasila mempunyai
kekuatan mengikat secara hukum. Sehingga sarana
peraturan hukum yang bertentangan dengan Pancasila
harus dicabut. Dalam tinjauan yuridis konstitusional,
Pancasila sebagai dasar negara berkedudukan sebagai
norma objektif dan norma tertinggi dalam negara, serta
sebagai sumber segala sumber hukum. Dengan kata lain
sumber dari pada sumber hukum etika yang berlaku di
81) Ibid., hlm 2.
74
Indonesia adalah Pancasila sebagaimana tertuang dalam
ketetapan MPRS No.XX/MPRS/1966, Jo. TAP MPR No.
V/MPR/1973 Jo. TAP MPR No. IX/MPR/1978. Penegasan
kembali Pancasila sebagai dasar negara tercantum dalam
TAP MPR No. XVIII/MPR/1998. Berikut ini dijelaskan
pokok-pokok pikiran setiap alinea dalam Pembukaan Dasar
Undang-Undang Dasar 1945.82)
Pembukaan Undang-Undang Dasar 1945
Alinea pertama : Kemerdekaan adalah hak segalabangsa. Penjajahan tidak sesuai dengan perikemanusiaan dan peri keadilan. Dari kalimat-kalimattersebut dapat diambil intinya yaitu berisi ajaranetika yang tinggi. Kecuali penjajah itu sendiri,siapa yang tidak mengakui bahwa kemerdekaan ituadalah hak segala bangsa. Demikian pula siapa yangtidak sependapat bahwa penjajahan tidak berperikemanusiaan dan tidak berperi keadilan.
Alinea kedua : Alinea ini menerangkan perjuanganbangsa Indonesia untuk menghancurkan penjajahan.Dari kalimat tersebut dapat diambil intinya yaitubahwa perjuangan bangsa Indonesia mengandung nilai-nilai yang luhur.
Alinea ketiga : Alinea ini menerangkan bahwakemerdekaan yang telah kita capai adalah hasilperjuangan bangsa Indonesia yang didasarkan atasnilai moral dan religius, terbuka dengan kalimat“dengan didorongkan oleh keinginan luhur untuk
82) Ibid., hlm. 2-3.
75
berkehidupan kebangsaan yang bebas dan atas berkatrakhmat Allah Yang Maha Esa”.
Alinea keempat : disusunnya kemerdekaan kebangsaanIndonesia dalam suatu Undang-Undang Dasar NegaraIndonesia. Disusunnya Negara Indonesia dalam bentukRepublik yang berkedaulatan rakyat.
Dibentuknya suatu Pemerintahan Negara Indonesia
yang :
melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruhtumpah darah Indonesia.untuk memajukan kesejahteraan umum mencerdaskan kehidupan bangsaikut melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkankemerdekaan, perdamaian abadi dan keadilan sosial
Negara Indonesia berdasarkan kepada :
Ketuhanan Yang Maha EsaKemanusiaan yang adil dan beradabPersatuan IndonesiaKerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaandalam permusyawaratan / perwakilanKeadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia
Di sinilah terdapat hakekat nilai moral Pancasila
yaitu :
ketuhanankemanusiaanpersatuankerakyatan
76
keadilanOleh karena kedudukannya yang demikian maka nilai-nilai tersebut merupakan norma, dan inilah pedomanyang harus kita pakai.
Keberadaan Pembukaan UUD 1945 memiliki keterkaitan
dengan hakikat konstitusi yang menurut Firman Hasan
dapat dilihat dari beberapa hal sebagai berikut : 83)
Pertama, melihat kepada makna dan arti konstitusi
sendiri. Salah satu hakekat konstitusi adalah sebagai
birth certificate, sama halnya akta kelahiran dari suatu
negara. dengan memaknai hakekat dari konstitusi
tersebut maka dapat dikaji bahwa keberadaan Pembukaan
UUD 1945 dapat dikatakan merupakan pencerminan dari
hakekat konstitusi sendiri. Hal ini dapat dibuktikan
dengan melihat isi yang terkandung dalam Pembukaan UUD
1945 yang berisi pernyataan atas kemerdekaan, yang
diwujudkan sebagai tanda kemerdekaan.
Kedua, sejarah pembentukan suatu undang-undang dasar
Pembentukan UUD suatu negara, selalu didahului dan
beriringan dengan sejarah berdirinya sutau negara.83) Firman Hasan, Kaitan Pembukaan dengan Hakikat Konstitusi,
Makalah,2003, hlm. 2.
77
Seperti halnya UUD 1945, yang dibentuk beriringan
dengan pernyataan kemerdekaan Indonesia.
Ketiga, ketegasan dalam undang-undang dasar itu
sendiri bahwa keberadaan Pembukaan suatu konstitusi
dinyatakan secara tegas dalam kontitusi. Pertama,
pernyatan itu dicantumkan secara tegas dalam salah satu
pasal pada bagian batang tubuh dari substansi
konstitusi sendiri, dan atau Kedua, dinyatakan secara
politik dalam bentuk hukum tertentu.
Untuk bentuk yang pertama, dapat dilihat ketentuan
yang termuat dalam Pasal II Aturan Tambahan Undang-
Undang Dasar 1945 hasil Perubahan Keempat, yang
menegaskan bahwa : dengan ditetapkannya Perubahan
Undang-Undang Dasar ini, Undang-Undang Dasar Negara
Republik Indonesia Tahun 1945 terdiri atas Pembukaan
dan pasal-pasal dalam bentuk yang kedua, dapat
dikemukakan berbagai bentuk hukum yang menjelaskan
tentang kedudukan hukum dari Pembukaan UUD 1945 sebelum
dilakukan Amandemen Pertama tahun 1999.
78
BAB III
PERUBAHAN KONSTITUSI REPUBLIK INDONESIA
TAHAP PERTAMA
A. Situasi dan Kondisi Objektif Terjadinya
Perubahan Konstitusi
Memaparkan situasi dan kondisi yang merupakan
bagian dari suatu peristiwa kehidupan akan memberikan
banyak sudut pandang. Setiap sudut menampilkan
pandangan yang kebenarannya bersifat relatif.
Relatifitas tersebut ditengarai dengan pola pikir
terbuka pada keadaan sesungguhnya tanpa harus menutup-
nutupi.
Sumber yang dianggap cukup representatif adalah
Pokok-pokok Reformasi Pembangunan Nasional sebagai
Garis-garis Besar Haluan Negara yang diterapkan oleh
Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) untuk dilaksanakan
oleh Presiden/Mandataris MPR sejak menjadi Ketetapan
MPR sampai dengan diselenggarakannya Sidang Umum MPR
80
hasil Pemilihan Umum 1999. Pelaksanaan Ketetapan
tersebut diawasi oleh Dewan Perwakilan Rakyat (DPR).
Eksplanasi berikut mengenai situasi dan kondisi
objektif terjadinya perubahan konstitusi disarikan dari
beberapa sumber.84)
Tongkat estafet kepemimpinan seharusnya diserahkan
kepada pihak yang memiliki kapasitas dan kapabilitas
yang lebih baik dari kepemimpinan sebelumnya. Selain
faktor individu para pemimpin prosedur pergantian
tersebut juga perlu diperhatikan. Prosedur yang sesuai
ketentuan dan konstitusional menentukan validitas hasil
perubahan itu sendiri. Pergantian pemerintah orde baru
kepada orde reformasi bukti memuncaknya pemberontakan
dari masyarakat yang merasa diperlakukan sewenang-
wenang. Pemicu lainnya adalah kasus penem-bakan
terhadap demonstran Universitas Trisakti Jakarta pada
12 Mei 1998 yang menumbalkan 4 mahasiswa terbunuh.
Pemerintah orde baru menjadikan negara ini seolah-olah
84) Diolah dari : Seketariat Jenderal MPR, Ketetapan MPR No.X/MPR/1998 tentang Pokok-pokok Reformasi Pembangunan Nasional sebagai Garis-Garis Besar Haluan Negara, Majelis Permusyawaratan Rakyat, 1998 ; berbagaimedia cetak dan elektronik.
81
negara model perompak (predatory state) yang siap
“memangsa” siapa saja penghalang jalan menuju
kekuasaan panjangnya.
Dari sektor politik Negara Kesatuan Republik
Indonesia yang menganut sistem pemerintahan
presidensial tendensius pada pemerintahan despotisme.
Berbagai sektor kehidupan masyarakat dikuasai oleh
golongan. Lembaga eksekutif mendominasi penyelenggaraan
negara dan kehidupan masyarakat dikarenakan kehidupan
politik belum memadai. Pemusatan kekuasaan menutup
kesempatan berkembangnya fungsi-fungsi politik secara
proporsional dan optimal yang mengakibatkan Indonesia
mengidap krisis struktural dan sistematik. Hal tersebut
diperburuk dengan praktik-praktik Korupsi, Kolusi dan
Nepotisme yang semakin merajalela.
Sektor ekonomi melahirkan banyak skandal yang
berujung pada krisis ekonomi dan moneter
berkepanjangan. Hilangnya kontrol rakyat di bidang
ekonomi khususnya terhadap konsentrasi aset dan akses
ekonomi pada kelompok yang berlindung di balik
82
kekuasaan, termasuk di dalamnya praktik-praktik ekonomi
distortif dan jatuhnya nilai tukar rupiah sampai ke
tingkat yang sangat rendah memperburuk keadaan
perekonomian nasional, seperti :
a. Terjadinya korupsi terbesar sepanjang sejarah
Indonesia di tubuh Pertamina pada paruh akhir
dekade 1970-an yang menguapkan utang luar
negeri sebesar US$ 10.4 milyar85)
b. Sejak regim Soeharto melalui IGGI (Inter
Governmental Group on Indonesia) pada 1967
hingga diubah namanya menjadi CGI (Consultative
Group on Indonesia) pada 1922- pemerintah RI
sudah menjadi pengutang dan pada tahun 2001
jumlah utang tersebut sebesar US$ 3.14
milyar.86)
Tidak jauh berbeda dengan penegakan hukum dalam
negeri yang tidak didukung secara optimal oleh lembaga-
lembaga peradilan dengan senantiasa memihak dan menjadi
85) Suryadi Rajab, Indonesia : Hilangnya Rasa Aman, Hak Asasi Manusia danTransisi Politik Indonesia, Jakarta: Perhimpunan Bantuan Hukum dan HakAsasi Manusia, 2002, hlm. 25.
86) Ibid., hlm. 36
83
alat para pihak berkuasa dan “bermodal besar”.
Sementara itu rakyat mulai mengadopsi perilaku pada
umumnya yaitu suap-menyuap di lingkungan peradilan.
Penyelenggaraan pemerintah yang seperti ini dikenal
sebagai birokrasi korupsi, kolusi dan nepotisme.
Sehubungan dengan hal di atas, Krisna Harahap
memberi fakta adanya korelasi yang erat antara tindak
pidana korupsi dan tingkat kemiskinan di negeri ini.
Faktanya bahwa sebagaimana diperkirakan Sumitro
Djojohadikusumo, 30% dari APBN setiap tahunnya masuk
saku para koruptor. Bahkan, menurutnya lagi,
berdasarkan laporan BPK dalam semester I tahun 2004,
prosentase penyimpangan APBN setahun sebelumnya telah
mencapai 50%.87) Oleh karena itu, Krisna menyatakan
bahwa perbuatan para koruptor dianggap telah menindas
hak asasi manusia dan perlu dikategorikan sebagai extra
ordinary crime yang memerlukan penanganan yang luar biasa
pula.88) Respon yang diberikan pemerintah adalah dengan
87 Krisna Harahap, Menuju Ketertiban Hukum yang Berkeadilan, PidatoPengukuhan Guru Besar Sekolah Tinggi Hukum Bandung, 2005, hlm. 9.
88) Ibid., hlm. 11.
84
mengeluarkan UU No.28 tahun 1999 tentang
Penyelenggaraan Negara yang Bersih dan Bebas dari
Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme. Penyelenggara negara
yang dimaksud mulai dari Pejabat Negara yang
menjalankan fungsi eksekutif, legislatif, atau
yudikatif dan pejabat lain yang fungsi dan tugas
pokoknya berkaitan dengan penyelenggaraan negara sesuai
dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang
berlaku. Dikeluarkannya UU No.28 tahun 1999 tersebut
adalah kepanjangan tangan dari amanat yang diberikan
oleh MPR melalui TAP MPR No. XI/MPR/1998 tentang
Penyelenggaraan Negara yang Bersih dan Bebas Korupsi,
Kolusi, dan Nepotisme. Di dalam UU No.28 tahun 1999 ini
dapat dilihat bahwa sanksi pidana dan administratif
ditujukan untuk memberi efek jera kepada setiap
penyelenggara yang melakukan tindak pidana korupsi,
kolusi dan nepotisme.
Dari sektor kebudayaan dan sosial secara perlahan
tapi pasti meruntuhkan pertahanan jati diri Indonesia
yang menjunjung tinggi adat timur. Menurut Suryadi
85
Rajab, menggolongkan pelanggaran hak-hak ekonomi,
sosial dan budaya, tidak mudah dilihat berdasarkan
kasus per kasus. Ia menuturkan bahwa hak-hak ekonomi,
sosial dan budaya dipandang sebagai hak-hak kolektif.
Hak sosial yang seharusnya didapatkan dapat berupa: hak
atas jaminan sosial; hak atas perlindungan keluarga
termasuk ibu dan anak; hak atas standar hidup yang
layak, pangan, sandang dan perumahan.89) Misalkan saja
diskriminasi terhadap perempuan yang sepanjang tahun
1997-2001, menunjukkan peningkatan yang signifikan.
Sebagai bukti banyaknya pelanggaran atas hak-hak
tersebut dapat dilihat dari data berikut:90)
Kekerasan Terhadap Perempuan
No Tahun Jumlah Kasus1 1997 642 1998 1013 1999 1134 2000 2325 2001 258
Sumber: Kompas, 19 Desember 2001
89) Suryadi Rajab, Op.cit., hlm. 136.90) Ibid., hlm. 154.
86
Bahkan di kalangan remaja telah membudaya gaya
hidup hedonis, pergaulan bebas, kenakalan remaja dan
narkoba, pencurian dan pengrusakan. Kondisi anak bangsa
yang memprihatinkan tersebut salah satunya diakibatkan
banyak beredarnya tontonan tidak mendidik yang
menampilkan unsur kekerasan, pornoaksi dan pornografi
baik dalam bentuk VCD, DVD maupun jenis media
elektronik lainnya. Ditambah dengan tidak efektifnya
Lembaga Sensor Film menyeleksi film-film yang di
tayangkan di stasiun televisi dengan muatan unsur yang
sama. Meskipun era globalisasi dan hak menikmati
kemajuan teknologi memiliki peran penting bagi kemajuan
bangsa, namun bersikap hati-hati untuk menyerap nilai-
nilai budaya asing adalah keharusan.
Peristiwa lain yang telah menorehkan luka dalam
sejarah kemanusiaan Indonesia adalah banyaknya
pelanggaran Hak Asasi Manusia (HAM) selang pemerintahan
Orde Baru. Pembunuhan masal yang dikenal dengan istilah
petrus (penembakan misterius) terhadap gabungan anak
liar (GALI) pada 1982-1983, pembantaian di Tanjungpriok
87
pada September 1984, pemberlakuan Daerah Operasi
Militer (DOM) di Aceh yang menumbalkan banyak nyawa.
Masa transisi dari pemerintahan Orde Baru kepada Orde
Reformasi juga diwarnai berbagai tindak kejahatan
seperti penjarahan, pembakaran bahkan pemerkosaan
massal yang disertai pembunuhan terhadap warga
keturunan Tionghoa.91)
Situasi dan kondisi yang demikian menuntut para
pembaharu melakukan suatu gerakan terorganisir dan
berkelanjutan. Gerakan yang digulirkan oleh para agen
perubahan, yaitu mahasiswa. Mahasiswa memulai agenda
pergerakannya pada tahun 1997 untuk menyelamatkan
bangsa dari keterpurukannya. Pergerakan tersebut
dikenal dengan reformasi. Reformasi diartikan sebagai
perubahan radikal untuk perbaikan (bidang sosial,
politik, atau agama) dalam suatu masyarakat atau
negara.92) Sedangkan Radikal itu sendiri diartikan,
secara menyeluruh atau habis-habisan; perubahan radikal
91) Suryadi Rajab, Op.cit., hlm. 11.92) Tim Penyusun Kamus Besar Pusat Pembinaan dan Pengembangan
Bahasa, Kamus Besar Bahasa Indonesia, Jakarta: Depdikbud RI, 1988, hlm.735.
88
yaitu perubahan yang amat keras menuntut perubahan
undang-undang, pemerintahan dan lain sebagainya.93)
Bedanya reformasi dengan revolusi dilihat dari
pengertiannya yaitu, perubahan ketatanegaraan
(pemerintahan atau keadaan sosial) yang dilakukan
dengan kekerasan (seperti dengan perlawanan
bersenjata); berevolusi, mengadakan perlawanan dibuat
mengubah ketatanegaraan (pemerintahan, keadilan
sosial).94)
Kenyataan ini mengakibatkan hilangnya kepercayaan
masyarakat terhadap penyelenggaraan negara yang
kekuasaan pelaksanaannya terpusat pada lembaga
eksekutif, sehingga tidak terdapat keseimbangan
pembagian kekuasaan dan fungsi pengawasan antar lembaga
negara. Konstitusi dijadikan alat pembenar ketimpangan
tersebut.
Sebut saja upaya regim Soeharto mempertahankan
kekuasaannya dengan mempolitisir makna Pasal 7 UUD 1945
yaitu “Presiden dan Wakil Presiden memegang jabatannya93) Ibid.,hlm. 718.94) Ibid., hlm. 747.
89
selama masa lima tahun, dan sesudahnya dapat dipilih
kembali”. Pasal tersebut melegitimasi Presiden dan
Wakilnya untuk menduduki jabatan yang sama dengan cara
apapun secara terus-menerus tanpa batas waktu. Bahkan,
menurut Pasal 14 UUD 1945 Presiden memiliki kewenangan
untuk memberi grasi, amnesti, abolisi dan rehabilitasi
yang tidak saja menggerogoti kewenangan Mahkamah Agung
tetapi disalahgunakan untuk membebaskan kroni-kroninya
dari jerat hukum.
Fakta bahwa Soeharto menjabat selama 32 tahun
justru semakin membelenggu rakyat dalam memperoleh hak-
hak dasarnya, karenanya diperlukan reformasi mendasar
di segala bidang terutama politik, ekonomi, hukum dan
sosial budaya. Reformasi konstitusional adalah bagian
dari reformasi hukum yang menghendaki perbaikan secara
mendasar yang dimulai dari sumber peraturan di
Indonesia.
Hal-hal tersebut di atas yang menjadi situasi dan
kondisi objektif terjadinya perubahan konstitusi.
Dengan demikian, ketika perubahan konstitusi
90
dilaksanakan sebagai salah satu tuntutan reformasi yang
sekaligus melatarbelakangi perubahan tersebut,
ditetapkanlah tujuan reformasi pembangunan nasional
antara lain :95)
1. Mewujudkan kedaulatan rakyat dalam seluruh sendikehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegaramelalui perluasan peningkatan partisipasi politikrakyat secara tertib untuk menciptakan stabilitasnasional.
2. Mengatasi krisis ekonomi dalam waktu sesingkat-singkatnya, terutama untuk menghasilkan stabilitasmoneter yang tanggap terhadap pengaruh global danpemulihan aktivitas usaha nasional.
3. menegakkan kedaulatan hukum yang demokratisberdasarkan nilai-nilai kebenaran dan keadilan,Hak Asasi Manusia menuju terciptanya ketertibanumum dan perbaikan sikap mental.
4. meletakkan dasar-dasar kerangka dan agendareformasi sosial budaya dalam usaha mewujudkanmasyarakat madani.
B. Notulensi Panitia Ad-Hoc III Badan Pekerja MPR
RI
Berlangsungnya suatu peristiwa hukum yang
konstitusional tidak begitu saja berlalu tanpa ada
rekam jejak sebagai upaya mendokumentasikannya.
Pendokumentasian melalui catatan notulen saat sidang
95) Sekretariat Jenderal MPR...Op.cit.
91
merupakan bukti tertulis dari awal hingga akhir
jalannya persidangan. Hasilnya disebut dengan
notulensi. Dalam penelitian ini, notulensi Sidang Umum
Majelis Permusyawaratan Rakyat yang terkait dengan
pembahasan adalah Risalah Rapat Badan Pekerja Panitia
Ad Hoc III.
Proses yang harus dilalui oleh Panitia Ad-Hoc
terdiri dari beberapa tingkat yang dilaksanakan secara
bertahap. Tahapan-tahapan ini mengacu pada mekanisme
pengambilan keputusan MPR yang terdapat pada Ketetapan
MPR No. II/MPR/1999 tentang Peraturan Tata Tertib
Majelis Permusyawaratan Rakyat.
Pengambilan keputusan majelis berdasarkan Ketetapan
di atas melalui empat tingkat pembahasan : 96)
a. Tingkat I
Pembahasan oleh badan pekerja (BP) majelis
terhadap bahan-bahan yang masuk. Hasil dari
pembahasan tersebut merupakan rancangan
96) Suharizal dan Firdaus Arifin, Op.cit., hlm. 86 Et. seqq.
92
keputusan majelis sebagai pokok pembicaraan di
tingkat II.
b. Tingkat II
Pembahasan dalam rapat paripurna majelis yang
didahului oleh penjelasan pimpinan dan
dilanjutkan dengan pemandangan umum fraksi-
fraksi.
c. Tingkat III
Pembahasan oleh komisi/panitia ad hoc majelis
terhadap semua hasil pembicaraan tingkat I dan
II. Hasil pembahasan tingkat III ini merupakan
rancangan keputusan majelis.
d. Tingkat IV
Pengambilan putusan oleh rapat paripurna majelis
setelah mendengar laporan dari pimpinan
komisi/panitia ad hoc majelis dan bilamana perlu
dengan kata terakhir dari fraksi-fraksi.
Pembahasan awal amandemen pertama dilakukan di
tingkat badan pekerja MPR. Mengacu pada Pasal 31 ayat
93
(2) Ketetapan MPR Nomor II/MPR/1999, badan pekerja
majelis, terdiri atas 90 orang yang sesungguhnya
mencerminkan pertimbangan jumlah anggota fraksi dalam
majelis. Sebagai alat kelengkapan majelis, badan
pekerja memiliki empat tugas pokok, yakni ;
1. mempersiapkan rancangan acara dan rancangan
putusan-putusan sidang umum, sidang tahunan atau
sidang istimewa.
2. memberikan saran dan pertimbangan kepada pimpinan
majelis menjelang sidang umum, sidang tahunan atau
sidang istimewa.
3. melaksanakan tugas-tugas yang diberikan oleh
majelis, sebagai mana dimaksud pada butir 1 dan 2.
4. membantu pimpinan majelis dalam rangka
melaksanakan tugas-tugas pimpinan majelis sesuai
dengan ketentuan perundang-undangan.
Komposisi Badan Pekerja (BP) MPR 1999-2004
No Nama Fraksi(Jumlah
Orang)
94
1Partai Demokrasi Indonesia
Perjuangan24
2 Partai Golongan Karya Reformasi 213 Partai Persatuan Pembangunan 84 Partai Kebangkitan Bangsa 75 Reformasi 66 Partai Bulan Bintang 27 Kesatuan Kebangsaan Indonesia 2
8Partai Perserikatan Daulat
Ummat1
9 Partai Demokrasi Kasih Bangsa 110 TNI/Polri 511 Utusan Golongan 9
PEMANDANGAN UMUM FRAKSI ATAS AMANDEMEN PERTAMA
Pada rapat ke-2 BP MPR tanggal 6 Oktober 1999
dilaksanakan pemandangan umum fraksi terhadap perubahan
95
UUD 1945. Pemandangan umum fraksi ini memiliki arti
yang sangat penting dalam upaya menuju desakralisasi
UUD 1945 di tingkat lembaga perwakilan. Makna tersebut
menjadi salah satu alasan untuk menelaah persepsi
partai politik pemenang pemilu 1999 terhadap publik
pressure (tuntutan masyarakat) menyangkut agenda
amandemen konstitusi Indonesia melalui fraksinya di
MPR. Berikut kesimpulan pemandangan umum seluruh fraksi
MPR RI yang diajukan sebagaimana materi perubahan UUD
1945.
1. Fraksi Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan
Menugaskan untuk membentuk ketetapan-ketetapan
MPR tentang :
a. Pembatasan kekuasaan presiden.
b. Pemberdayaan Dewan Perwakilan Rakyat.
c. Pemberdayaan Mahkamah Agung.
d. Pemberdayaan Badan Pemeriksa Keuangan.
e. Pemberdayaan daerah dalam rangka otonomi dan
desentralisasi.
96
f. Penegasan tugas dan fungsi Dewan Pertimbangan
Agung.
2. Fraksi Partai Golkar
a. Reformasi ketatanegaraan yang menjadi bagian
dari agenda reformasi nasional hendaknya
dimulai dengan melakukan amandemen 1945.
b. Amandemen UUD 1945 diarahkan bagi peneguhan
dan pelaksanaan asas konstitusionalisme yang
menempatkan konstitusi pada posisi sentral
dan tertinggi dalam penataan dan pengaturan
ketatanegaraan sekaligus menjadi pedoman
dalam penyelesaian masalah-masalah yang
timbul dalam proses ketatanegaraan.
c. Ikhtiar amandemen UUD 1945 ditujukan pada
tiga hal:
1) Meletakkan landasan konstitusionalyang lebih kukuh dalam perjuanganbangsa Indonesia mewujudkan kehidupanketatanegaraan yang lebih demokratisdan lebih menjunjung tinggi HAM.
2) Meningkatkan jaminan konstitusionalterhadap praktik ketatanegaraanIndonesia.
97
3) Mewadahi dan mengantisipasipeningkatan aspirasi dan kebutuhanrakyat, serta tantangan bangsasekaligus merespons perkembanganglobal.
d. Amandemen UUD 1945 hendaknya mempunyai
batasan, yakni hanya berlaku pada Batang
Tubuh dan Penjelasan UUD 1945. Sedangkan
Pembukaan UUD 1945 dibiarkan tetap.
e. Amandemen dilaksanakan oleh BP MPR, yang
kemudian membentuk panitia ad hoc guna
membahas agenda tersebut (89) secara rinci,
dan hasil amandemen dilampirkan pada akhir
naskah UUD 1945.
f. Sistem perubahan yang digunakan adalah sistem
amandemen, dalam arti Undang-undang lama
tetap ada dan perubahan-perubahan pasal yang
dilakukan berupa lampiran.
3. Fraksi Partai Kebangkitan Bangsa
a. Membentuk tim reformasi konstitusi yang
bertugas meneliti Batang Tubuh dan Penjelasan
Undang-undang Dasar 1945 yang dipandang perlu
98
diubah dan disempurnakan untuk disesuaikan
dengan aspirasi dan perkembangan masyarakat
serta keseimbangan pembagian kekuasaan antara
lembaga-lembaga tinggi negara guna mewujudkan
sistem pemerintahan yang demokratis.
b. Perubahan atau revisi Batang Tubuh dan
Penjelasan UUD 1945 harus mencerminkan asas-
asas demokrasi, HAM, dan aspirasi masyarakat.
c. Menunjuk BP MPR sebagai pelaksana dalam
menetapkan tim reformasi konstitusi. Tim
reformasi konstitusi menghasilkan rumusan
perubahan yang disahkan secara bertahap oleh
MPR dalam waktu selambat-lambatnya satu tahun
sejak berakhirnya SU MPR Tahun 1999.
4. Fraksi Partai Persatuan Pembangunan
a. Amandemen Batang Tubuh UUD 1945 untuk
mengevaluasi dan merevitalisasi isi batang
tubuh agar lebih sesuai dengan dinamika
99
perkembangan zaman yang berubah demikian
cepat.
b. Amandemen UUD 1945 dapat memberikan
redefinisi pengertian terhadap pasal-pasal
yang ada dalam Batang Tubuh UUD 1945 serta
perubahan/penambahan yang lebih melengkapi
dan menyempurnakan arti dan makna sebuah
konstitusi dan menghindari yang terjadi pada
masa lalu, yakni sebuah monopoli kekuasaan.
c. Amandemen harus dapat meminimalisir
pengertian bersayap dan mendua dari pasal-
pasal dalam Batang Tubuh UUD 1945.
d. Beberapa hal yang perlu dibenahi dalam Batang
Tubuh UUD 1945, khususnya yang mengatur
tentang:
1) Pemilu,2) MPR3) Kekuasaan Pemerintahan Negara,4) Kementerian Negara,5) Pemerintah Daerah,6) DPR,7) BPK,8) MA,9) HAM, dan
100
10) Perekonomian Negara.
e. amandemen Batang Tubuh UUD 1945 tidak secara
otomatis mengubah UUD 1945 karena perubahan
itu dibuat tidak terpisah dari UUD 1945.
5. Fraksi Reformasi
a. Proses amandemen UUD 1945 harus memerhatikan
beberapa hal penting, yakni:
1) Amandemen hanya mencakup batang tubuh,dengan tetap mempertahankan pembukaan,dan menghapus penjelasan, aturantambahan dan aturan peralihan yangtidak sesuai dengan sekarang.
2) Bentuk negara adalah negara kesatuanrepublik Indonesia dan sistempemerintahan adalah presidensial.
3) Bentuk amandemen diusulkan, sepertisistem Amerika Serikat, yaitu denganmencabut dan menyempurnakan pasal-pasal UUD.
4) Meneliti dan memilih Tap-Tap MPR yangsesungguhnya adalah amandemen UUD1945.
b. Terdapat 18 materi yang menjadi agenda
amandemen UUD 1945:
1) Bentuk dan Kedaulatan, serta sistempemilihan umum.
2) Peningkatan wewenang lembaga tertingginegara (MPR).
101
3) Pemilihan presiden dan wakil presiden,serta pembatasan kekuasaan presiden.
4) Peningkatan kewenangan Lembaga Parlemen(DPR).
5) Peningkatan kewenangan Lembaga Kehakiman(MA).
6) Peningkatan kewenangan Lembaga Keuangan(BPK).
7) Penegasan independensi Bank Indonesia.8) Penghapusan DPA.9) Perluasan penegakan Hak Asasi Manusia.10) Otonomi daerah, serta hubungan pusat
dan daerah.11) Sistem ekonomi Indonesia.12) Jaminan sosial.13) Pendidikan dan pengembangan sumber
daya manusia.
6. Fraksi Partai Bulan Bintang
FPBB tidak merinci secara tegas pasal-pasal dalam
Batang Tubuh UUD 1945 yang perlu diamandemen, tetapi
memberikan gambaran atas kecenderungan yang
berkembang di masyarakat menyangkut materi
amandemen. Oleh FPBB, kecenderungan tersebut
dielaborasi sehingga menjadi beberapa materi
amandemen, yakni:
a. Pembatasan kekuasaan eksekutif.b. Perluasan peranan MPR,DPR, dan BPK.c. Perwujudan kemandirian Mahkamah Agung dan
dipertim-bangkannya ide Mahkamah Konstitusi.
102
d. Peninjauan kembali DPA.e. Pemilihan umum.f. Independensi Bank Indonesia.g. Perluasan makna Hak Asasi Manusia.h. Jaminan sosial.i. Pendidikan dan SDM.j. Wilayah negara.k. Kementerian Negara.l. Sistem ekonomi negara.m. Otonomi daerah dan hubungan pusat-daerah.
7. Fraksi TNI/Polri
Fraksi TNI/Polri tidak memberikan penegasan atas
amandemen yang sedang dilakukan dan sikap untuk
“mempertahankan” UUD 1945, serta sikap sangat hati-
hati dalam mengambil keputusan terhadap amandemen
(dilakukan atau tidak) mendapat sorotan dari fraksi
ini. Juru bicara FTNI/Polri Taufiqurochman Ruki
menegaskan :
“Guna melaksanakan amandemen terhadap Undang-UndangDasar 1945, diperlukan suatu pengkajian yang mendalam dankepala dingin sehingga rumusan-rumusannya akan lugas dantidak multi interpretable, oleh karena itu majelis perlumemberikan waktu yang cukup kepada panitia ad hoc yangkhusus dibentuk untuk menyusun rancangan ketetapan MPRtentang Amandemen UUD 1945 sehingga hasilnya kelak dapatditerima oleh seluruh rakyat.”
8. Fraksi Kesatuan Kebangsaan Indonesia
103
a. Pembukaan Undang-Undang Dasar 1945 tidak bisa
diubah karena menyangkut eksistensi dan cita-
cita negara. Yang diubah hanya menyangkut
Batang tubuh UUD 1945, dan bentuk amandemen
adalah addendum.
b. Materi yang diamandemen adalah :
1) Menciptakan check and balances sehinggadiperlukan pemisahan dan pembatasankekuasaan yang jelas dan tegas antaraeksekutif, legislatif, dan yudikatif.
2) Masalah-masalah HAM perlu dipertegassecara detail dalam UUD 1945.
3) Mewujudkan otonomi daerah dalam negarakesatuan Republik Indonesia.
c. Amandemen UUD 1945 tidak dapat dilakukan
dengan tergesa-gesa. Untuk itu, diperlukan
Tap. MPR yang memberikan tugas khusus untuk
mengkaji secara teliti dan mendalam, serta
waktu yang cukup kepada panitia khusus, serta
dilaporkan pada sidang istimewa yang diadakan
untuk itu.
104
d. Sebagai tahap awal amandemen UUD 1945 adalah
melaksanakan perubahan Tap. MPR
No.III/MPR/1978 yang menyangkut :
1) presiden bukan satu-satunya mandatarisMPR, karena semua lembaga tinggi adalahmandataris MPR.
2) khusus MA memang mempunyai kebebasan,tetapi masalah-masalah tertentu harusdikonsultasikan kepada MPR.
3) pengangkatan/pemilihan Hakimagung/pimpinan BPK bukan oleh presiden.Presiden sebagai kepala negara hanyamenominasikan saja, melainkan yangmenetapkan adalah DPR.
4) DPA dan panglima TNI disahkan oleh MPR.5) Jaksa agung, kepolisian, duta besarm dan
lembaga-lembaga tinggi pemerintahanlainnya direkomendasikan oleh DPR dandisahkan oleh presiden.
6) perlu mengkaji keberadaan DPA, masihdiperlukan atau tidak.
7) penataan kembali hubungan lembaga tinggidan lembaga tertinggi sebagai bentuk checkand balances antara lembaga legislatif danlembaga eksekutif.
e. Bentuk amandemen adalah addendum, agar jejak
historis dan filosofis tidak hilang sehingga
jati diri bangsa dapat dipertahankan.
f. Prosedur amandemen idealnya disahkan oleh
50%+1 peserta sidang MPR. Untuk itu, perlu
amandemen terhadap Pasal 37 UUD 1945
105
sehingga ada pintu masuk untuk mengamandemen
pasal-pasal lainnya.
9. Fraksi Perserikatan Daulatul Ummah
a. Empat materi prioritas dalam amandemen UUD1945, yakni :1) Peningkatan wewenang lembaga tertinggi
negara (MPR).2) Pembatasan kekuasaan presiden, dan
pemilihian presiden dan wakil presidenyang lebih demokratis.
3) Peningkatan wewenang Lembaga Parlemen(DPR).
4) Peningkatan wewenang MA sebagai LembagaKehakiman.
b. Materi di luar materi prioritas, yaitu :
1) Bentuk dan kedaulatan negara, serta sistempemilu.
2) Penghapusan DPA.3) Penegasan independensi Bank Indonesia.4) Wilayah negara Republik Indonesia.5) Penegasan status penjelasan UUD 1945.
10. Fraksi Partai Demokrasi Kasih Bangsa
a. HAM yang sekarang diatur dalam Tap. MPR No.
XVII/MPR/1998 dimasukkan dalam UUD 1945.
b. MPR terdiri atas DPR dan Dewan Utusan Daerah,
yang dipilih langsung dalam Pemilu. Utusan
golongan dihapuskan.
106
c. Sistem Kabinet Parlementer.
d. Pembukaan UUD 1945 tetap.
e. Amandemen UUD 1945 dilaksanakan dengan
addendum-adendum.
f. Dibentuk komisi negara untuk amandemen UUD
1945, yang keanggotaannya terdiri atas MPR
dan para pakar yang diutus oleh partai-
partai.
11. Fraksi Utusan Golongan
a. Suatu konstitusi modern yang demokratis
minimum harus memiliki prinsip-prinsip
mengenai:
1) Pembagian kekuasaan dengan sistem check andbalance.
2) Pembatasan kekuasaan pemerintah (masajabatan, wewenang, dan lain-lain).
3) Pengakuan hak-hak politik rakyat(berkumpul, berserikat, dan mengeluarkanpendapat).
4) Pengakuan dan penghormatan terhadap hak-hak warga negara di mana setiap warganegara dijamin kesamaan hak dankewajibannya tanpa pembedaan kategorisosial apa pun (etnis, agama, gender, danpandangan politik).
107
b. UUD 1945 belum cukup kuat menjelaskan
komitmennya pada empat prinsip di atas.
c. Amandemen UUD 1945 dalam lingkup batang tubuh
dan penjelasannya, termasuk mukadimahnya.
d. Substansi amandemen UUD 1945 meliputi :
1) Pembatasan kekuasaan presiden dan Lembaga
Eksekutif.
2) Perluasan peran DPR.
Mayoritas materi yang diusulkan oleh partai politik
terdapat keseragaman. Di antaranya menyangkut agenda
pembenahan Lembaga Kepresidenan, peningkatan wewenang
lembaga tertinggi dan tinggi negara (selain presiden),
penegasan HAM dalam UUD, otonomi daerah dan Lembaga
Kehakiman. Kemudian, terdapat ide-ide baru guna
memperbaiki sistem tata negara Indonesia, misalnya,
usulan Mahkamah Konstitusi dan Dewan Perwakilan Daerah.
Namun, gagasan baru tersebut tidak diikuti dengan
pemaparan lebih lanjut, di antaranya menyangkut bentuk,
susunan dan mekanisme kerja yang dijalankan dua
institusi tersebut.
108
Kesepakatan untuk mengubah pembukaan (cukup hanya
batang tubuh) by design menjadi konsensus antarfraksi
yang terlihat pada pemandangan fraksi. Mayoritas fraksi
menyetujui untuk mempertahankan Pembukaan UUD 1945.
Kesimpulan Pembahasan Amandemen UUD 1945
PAH III BP MPR pada SU MPR 1999
No Materi yangDisepakati
Penjelasan
1 Perubahan UUD 1945 Semua fraksi sepakat untuk melakukanamandemen UUD 1945
2 Ruang Lingkup Pembukaan UUD 1945 tidakdiubah.
Yang diubah adalah Batang Tubuhdan Penjelasan UUD 1945.
Jika ada hal-hal yang bersifatnormatif dalam Penjelasan UUD1945, dimasukkan ke dalamBatang Tubuh UUD 1945.
3 Prioritas Semua fraksi sepakat, badanpekerja MPR melakukan amandemenUUD 1945 dengan prioritas padahal-hal yang mendesak sesuaidengan kesepakatan semuafraksi.
Mengenai amandemen UUD 1945lainnya bilamana perludilakukan dalam tahapberikutnya, dan dilaksanakanoleh BP MPR atau denganmembentuk suatu komisi khusus,dan selambat-lambatnya sudahselesai melaksanakan tugasnyapada 17 Agustus 2000.
4 Pokok-pokok materiyang menjadiprioritas
1. Pemberdayaan Lembaga TertinggiNegara MPRa. Pasal 1 ayat (2)
109
i. Pasal 14j. Pasal 15
3. Peninjauan kembali lembagatinggi negara dengan kekuasaankonsultatif (DPA) Pasal 16.
4. Pemberdayaan Lembaga Legislatif(DPR) a. Pasal 17 ayat (2)b. Pasal 19 ayat (1) dan (2)c. Pasal 20 ayat (1) dan (2)d. Pasal 21 ayat (1) dan (2)
5. Pemberdayaan BPK Pasal 23.6. pemberdayaan dan pertanggung-
jawaban Lembaga Kehakiman (MA)Pasal 24 dan 25.
Sumber (diolah) : Jurnal SU MPR 1999 Edisi 02 Tanggal 8
Oktober 1999
Pimpinan dan Anggota Panitia Ad Hoc III BP MPR
No Nama NomorAnggota Fraksi Jabatan
1 Harun Kamil,S.H. C-643 Utusan Golongan Ketua
2 Drs.H. Slamet EffendiYusuf A-332 Partai Golkar Wk.Ketua
3 H.Amin Aryoso,S.H. A-157 PDI Perjuangan Wk.Ketua
4 KH.Yusuf Muhammad Lc A-437 Kebangkitan Bangsa
Sekretaris
5 Hobes B-512 PDI Perjuangan Anggota
110
Sinaga,S.H.,M.H.6 Dr.Harjono,S.H.,MCL B-527 PDI Perjuangan Anggota
7 Prof. Dr.JE Sahetapy,S.H. A-208 PDI Perjuangan Anggota
8 Alberson Marle Sihaloho A-96 PDI Perjuangan Anggota
9 H. Julius Usman,S.H. A-98 PDI Perjuangan Anggota
10 Drs. Frans FH Matrutty B-568 PDI Perjuangan Anggota
11 Andi Mattalatta,S.H. A-373 Partai Golkar Anggota
12 Drs. Agun Gunandjar Sudarsa A-325 Partai Golkar Anggota
13 Hatta Mustafa B-508 Partai Golkar Anggota 14 Drs. TM Nurlif A-284 Partai Golkar Anggota 15 H. Zain Badjeber A-28 PPP Anggota
16 Drs.H. Lukman H. Saifuddin A-41 PPP Anggota
17 Dra. Hj. Khofifah Indar Parawansa A-449 Kebangkitan
Bangsa Anggota
18 Ir. M. Hatta Rajasa A-237 Reformasi Anggota
19 H. Patrialis Akbar, S.H.
A-223 Reformasi Anggota
20 Hamdan Zoelva, S.H. A-265 PBB Anggota 21 Drs. Anthonius Rahail A-282 Reformasi Anggota 22 Drs. H.Asnawi Latief A-1 PDU Anggota 23 G. Seto Harianto A-215 PDKB Anggota
24 Marsda TNI H. Hendi Tjasmadi
A-488 TNI/Polri Anggota
25 Dra. Valina Singka Subekti, M.A.
C-635 Utusan Golongan Anggota
Sumber: Jurnal SU MPR 1999 Edisi 02 tanggal 8 Oktober
1999
C. Perubahan Tahap Pertama Undang-Undang Dasar 1945
111
Perubahan Tahap Pertama yang menghasilkan 9 Pasal
(16 butir ketentuan baru) tersebut dipersandingkan
antara naskah UUD 1945 Asli dengan hasil perubahan
Tahap pertama UUD 1945.
Persandingan UUD 1945 Asli dan UUD 1945 Perubahan Tahap
Pertama
Naskah Asli Perubahan Tahap 1Dan perjuangan pergerakan kemerdekaan Indonesia telah sampailah kepada saat yang berbahagia dengan selamat sentausa mengantarkan rakyat Indonesia ke depan pintu gerbangkemerdekaan Negara Indonesia, yang merdeka, bersatu, berdaulat, adil dan makmur.Atas berkat rahkmat Allah Yang Maha Kuasa dan dengan didorongkan oleh keinginan luhur, supaya berkehidupan kebangsaan yang bebas, maka rakyat Indonesia menyatakan dengan ini kemerdekaannya.Kemudian daripada itu untuk membentuk suatu Pemerintahan Negara Indonesia yang melindungisegenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indomesia dan untuk memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskankehidupan bangsa, dan ikut melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi dan keadilan sosial, maka disusunlah Kemerdekaan Kebangsaan Indonesia
PEMBUKAAN(Preambule)
Bahwa sesungguhnya Kemerdekaan itu ialah hak segala bangsa dan oleh sebab itu, maka penjajahan di atas dunia harus dihapuskan, karena tidak sesuai dengan peri-kemanusiaan dan peri-keadilan.Dan perjuangan pergerakan kemerdekaan Indonesia telah sampailah kepada saat yang berbahagia dengan selamat sentausa mengantarkan rakyat Indonesia ke depan pintu gerbangkemerdekaan Negara Indonesia, yang merdeka, bersatu, berdaulat, adil dan makmur.Atas berkat rahkmat Allah Yang Maha Kuasa dan dengan didorongkan oleh keinginan luhur, supaya berkehidupan kebangsaan yang bebas, maka rakyat Indonesia menyatakan dengan ini kemerdekaannya.Kemudian daripada itu untuk membentuk suatu Pemerintahan Negara Indonesia yang melindungisegenap bangsa Indonesia dan
112
itu dalam suatu Undang-undang Dasar Negara Indonesia, yang terbentuk dalam suatu susunan Negara Republik Indonesia yang berkedaulatan rakyat dengan berdasarkan kepada Ketuhanan Yang Maha Esa, Kemanusiaan yang adil dan beradab, Persatuan Indonesia dan Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam Permusyawaratan/ Perwakilan, serta dengan mewujudkan suatu Keadilan Sosial bagj seluruh rakyat Indonesia.
UNDANG-UNDANG DASAR
Pasal 5(1)Presiden memegang kekuasaan
membentuk undang-undangdengan persetujuan DewanPerwakilan Rakyat.
Pasal 7Presiden dan Wakil Presiden
memegang jabatannya selama masalima tahun, dan sesudahnya dapat
dipilih kembali.
Pasal 9Sebelum memangku jabatannya, Presiden dan Wakil Presiden bersumpah menurut agama, atau berjanji dengan sungguh-sungguh di hadapan Majelis Permusyawaratan Rakyat atau Dewan Perwakilan Rakyat sebagai berikut :
Sumpah Presiden (Wakil Presiden): “ Demi Allah, saya bersumpah akan memenuhi kewajiban PresidenRepublik Indonesia (Wakil Presiden Republik Indonesia)
seluruh tumpah darah Indomesia dan untuk memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskankehidupan bangsa, dan ikut melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi dan keadilan sosial, maka disusunlah Kemerdekaan Kebangsaan Indonesiaitu dalam suatu Undang-undang Dasar Negara Indonesia, yang terbentuk dalam suatu susunan Negara Republik Indonesia yang berkedaulatan rakyat dengan berdasarkan kepada Ketuhanan Yang Maha Esa, Kemanusiaan yang adil dan beradab, Persatuan Indonesia dan Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam Permusyawaratan/ Perwakilan, serta dengan mewujudkan suatu Keadilan Sosial bagj seluruh rakyat Indonesia.
UNDANG-UNDANG DASAR
Pasal 5(3) Presiden berhak mengajukan
rancangan undang-undangkepada Dewan PerwakilanRakyat.
Pasal 7Presiden dan Wakil Presidenmemegang jabatan selama limatahun, dan sesudahnya dapatdipilih kembali dalam jabatan
yang sama, hanya untuk satu kalimasa jabatan.
Pasal 9(1)Sebelum memangku jabatannya,
Presiden dan Wakil Presiden bersumpah menurut agama, atau berjanji dengan sungguh-sungguh di hadapan
113
dengan sebaik-baiknya dan seadil-adilnya, memegang teguh Undang-undang Dasar dan menjalankan segala undang-undangdan peraturannya dengan selurus-lurusmya serta berbakti kepada Nusa dan Bangsa”.
Janji Presiden (Wakil Presiden) :“Saya berjanji dengan sungguh-sungguh akan memenuhi kewajiban Presiden Republik Indonesia (Wakil Presiden Republik Indonesia) dengan sebaik-baiknyadan seadil-adilnya, memegang teguh Undang-undang Dasar dan menjalankan segala undang-undangdan peraturannya dengan selurus-lurusnya serta berbakti kepada Nusa dan Bangsa”.
Pasal 13(1) Presiden mengangkat
duta dan konsul.(2) Presiden menerima
duta negara lain.
Pasal 14Presiden memberi grasi, amnesti,abolisi dan rehabilitasi.
Majelis Permusyawaratan Rakyat atau Dewan PerwakilanRakyat sebagai berikut :
Sumpah Presiden (Wakil Presiden):“ Demi Allah, saya bersumpah akan memenuhi kewajiban Presiden Republik Indonesia (Wakil Presiden Republik Indonesia) dengan sebaik-baiknya dan seadil-adilnya, memegang teguh Undang-undang Dasar dan menjalankan segala undang-undang dan peraturannya dengan selurus-lurusnya serta berbakti kepada Nusadan Bangsa”.
Janji Presiden (Wakil Presiden) :“Saya berjanji dengan sungguh-sungguh akan memenuhi kewajiban Presiden Republik Indonesia (Wakil Presiden Republik Indonesia) dengan sebaik-baiknyadan seadil-adilnya, memegang teguh Undang-undang Dasar dan menjalankan segala undang-undangdan peraturannya dengan selurus-lurusnya serta berbakti kepada Nusa dan Bangsa”.
(2) Jika Majelis Permusyawaratan Rakyat atau Dewan Perwakilan Rakyat tidak dapat mengadakan sidang, Presiden dan Wakil Presiden bersumpah di hadapan Pimpinan Majelis Permusyawaratan Rakyat
114
Pasal 15Presiden memberi gelaran, tanda jasa dan lain-lain tanda kehormatan.
Pasal 17(2) Menteri-menteri itu
diangkat dan diberhentikanoleh Presiden.
(3) Menteri-menteri itu memimpin deparemen pemerintahan.
Pasal 20(1) Tiap-tiap undang-
undang menghendaki persetujuan Dewan Perwakilan Rakyat.
(2) Jika sesuatu rancangan undang-undang tidak mendapat persetujuanDewan Perwakilan Rakyat, maka rancangan tadi tidak boleh dimajukan lagi dalampersidangan Dewan Perwakilan Rakyat masa itu.
Pasal 21(1) Anggota-anggota
Dewan Perwakilan Rakyatberhak memajukan rancanganundang-undang.
(2) Jika rancangan itu, meskipun disetujui oleh Dewan Perwakilan Rakyat,
dengan disaksikan oleh Pimpinan Mahkamah Agung.
Pasal 13(1) Dalam hal mengangkat
duta, Presiden memperhatikan pertimbanganDewan Perwakilan Rakyat.
(2) Presiden menerima penempatan duta negara lain dengan memperhatikan pertimbangan Dewan Perwakilan Rakyat.
Pasal 14(1) Presiden memberi
grasi dan rehabilitasi dengan memperhatikan pertimbangan Mahkamah Agung
(2) Presiden memberi amnesti dan abolisi denganmemperhatikan pertimbanganDewan Perwakilan Rakyat.
Pasal 15Presiden memberi gelar, tanda jasa, dan lain-lain tanda kehormatan yang diatur dengan undang-undang.
Pasal 17(2) Menteri-menteri itu
diangkat dan diberhentikanoleh Presiden.
(3) Setiap menteri membidangi urusan tertentudan pemerintahan.
Pasal 20(1) Dewan Perwakilan
Rakyat memegang kekuasaan membentuk undang-undang.
(2) Setiap rancangan undang-undang dibahas olehDewan Perwakilan Rakyat dan Presiden untuk mendapat persetujuan bersama.
(3) Jika rancangan
115
tidak disahkan oleh Presiden, maka rancangan tadi tidak boleh dimajukanlagi dalam persidangan Dewan Perwakilan Rakyat masa itu.
undang-undang itu tidak mendapat persetuuan bersama, rancangan undang-undang itu tidak boleh diajukan lagi dalam persidangan Dewan Perwakilan Rakyat masa itu.
(4) Presiden mengesahkanrancangan undang-undang yang telah disetujui bersama untuk menjadi undang-undang.
Pasal 21Anggota Dewan Perwakilan Rakyatberhak untuk mengajukan usulrancangan undang-undang.
Sumber (diolah) : krisna Harahap97)
Secara keseluruhan Perubahan Konstitusi Republik
Indonesia selama 4 (empat) tahap telah membawa
perubahan jumlah Bab, Pasal, Ayat dan sistematika
sebagaimana berikut :98)
Batang Tubuh UUD 1945
Sebelumperubahan
Setelahperubahan
Bab 16 21Pasal 37 73Ayat 49 170Aturan peralihan 4 pasal 3 pasalAturan tambahan 2 ayat 2 pasal
Dari segi sistematika juga telah dilakukan
perubahan yakni sebagai berikut :
97) Krisna Harahap, Konstitusi ..., Op.cit., hlm. 62-117.98) Ibid., hlm. 61.
116
Sebelum perubahan
- Pembukaan- Batang Tubuh- Penjelasan
Setelah perubahan
- Pembukaan- Pasal-pasal
(pengganti istilah batang tubuh)
Sejarah ketatanegaraan Indonesia mencatat pemberlakuan
Undang – Undang Dasar sebagai berikut :
No KonstitusiMasa berlaku
Awal berlaku Berakhir
1 UUD 1945 18 Agustus 1945
27 Desember 1949
2Konstitusi RIS
(Republik IndonesiaSerikat)
27 Desember 1949
17 Agustus 1950
3UUDS (Undang – Undang Dasar Sementara)
17 Agustus 1950 5 Juli 1959
4 UUD 1945 Sejak Dekrit Presiden Sekarang
117
BAB IV
KAJIAN MENGENAI PERUBAHAN KONSTITUSI
REPUBLIK INDONESIA TAHAP PERTAMA PASCA REFORMASI
A. Latar Belakang Perubahan Konstitusi Republik
Indonesia
Mengingat salah satu tujuan dari penelitian ini
adalah untuk mengetahui latar belakang terjadinya
perubahan konstitusi, maka untuk mendapatkan fakta yang
objektif penulis berupaya untuk mengelaborasikan fakta
lapangan berupa realitas dengan data. Arti realitas
dirumuskan Kant dengan mengidentikan yang real sebagai
apa yang selaras dengan kondisi-kondisi material
pengalaman. Sedangkan Pierce, di lain pihak,
mendefinisikan realitas sebagai apa yang diyakini oleh
komunitas peneliti pada akhir suatu deretan ideal
penelitian-penelitian.99)
99) Otje Salman dan Anton F. Susanto, Teori Hukum Mengingat,Mengumpulkan dan Membuka Kembali. Bandung : Refika Aditama, 2004,hlm. 26.
118
Setelah dipaparkan panjang lebar pada bab
sebelumnya mengenai situasi dan kondisi objektif
terjadinya perubahan konstitusi maka dapat dikemukakan
bahwa reformasi adalah faktor yang paling berpengaruh
terjadinya perubahan. Bagaimanapun juga, krisis
berkepanjangan di berbagai bidang kehidupan tidak akan
memiliki otoritas menjatuhkan Soeharto, jika tidak
didorong dengan gerakan frontal dari masyarakat luas
yang melebur dalam gerakan reformasi demi tercapai
reformasi total.
Latar belakang perubahan Konstitusi Republik
Indonesia dipusatkan kepada efektifitas konstitusi
selama 54 tahun. Efektifitas konstitusi sebagai
mercusuar penyelenggaraan negara dipengaruhi faktor
materi konstitusi yang tidak lagi sesuai dengan
perkembangan zaman dan pemerintah yang seakan diberi
kekuasaan yang sangat besar dari konstitusi tersebut.
Kekuasaan pada dasarnya bersifat abu-abu yaitu tidak
selamanya buruk atau baik.
119
Mochtar Kusumaatmadja menyandarkan sifat abu-abu
itu pada pemikiran bahwa kekuasaan bergantung kepada
bagaimana kita menggunakannya. Selanjutnya, Mochtar
mengutarakan kekuasaan merupakan unsur mutlak bagi
kehidupan masyarakat yang tertib, bahkan setiap bentuk
organisasi yang teratur. Menurutnya lagi, dikarenakan
sifat-sifat dan hakikatnya, untuk dapat bermanfaat
kekuasaan harus ditetapkan ruang lingkup, arah dan
batas-batasnya. Oleh karena itu kita membutuhkan hukum,
demikian Mochtar berpendapat. 100)
Hukum yang dimaksud mengacu pada sumber hukum
berbentuk UUD yang seharusnya menetapkan ruang lingkup,
arah dan batas-batas kekuasaan. UUD 1945 semula digagas
untuk membatasi dan membagi kekuasaan lembaga-lembaga
negara. Apabila Mochtar mengatakan bahwa hukum harus
menjadi batas bagi kekuasaan, maka itu berarti
kekuasaan harus tunduk pada hukum. Sejalan dengan
pemikiran tersebut, Dwidja Priyatno menyatakan bahwa
menurut cita-cita perjuangan kemerdekaan bangsa
100) Mochtar Kusumaatmadja, Op.cit., hlm. 8.
120
Indonesia yang bertekad menghapuskan penjajahan di muka
bumi berikut segala akibatnya, yang diinginkan adalah
bahwa negara R.I merupakan suatu negara hukum dimana
kekuasaan tunduk pada hukum.101)
Tidak demikian dengan kenyataan yang terjadi pada 2
penguasa di masa kepemimpinan silam, rupanya kekuasaan
berubah menjadi boomerang dan menyerang balik. Dikatakan
demikian karena kekuasaan disalahgunakan sebagai
justifikasi pengambilan kebijakan yang terkadang
merugikan negara seperti pada masa kepemimpinan
Soekarno yang diwarnai oleh arogansi penguasa. Secara
terang-terangan Soekarno menyatakan diri sebagai
Presiden Seumur Hidup dengan mengeluarkan TAP MPR RI
No.III/MPRS/1963 Tentang Pengangkatan Pemimpin Besar
Revolusi102) Bung Karno Menjadi Presiden Republik
Indonesia Seumur Hidup. Tidak berbeda jauh dengan
Soeharto, sebagai Presiden ke-2 RI yang belajar
101) Dwidja Priyatno, Hukum dan Kekuasaan, (bahan kuliah FilsafatHukum Sekolah Tinggi Hukum Bandung): Bandung, 2006, hlm. 4.
102) Berdasarkan Ketetapan No. XVII/MPRS/1966 dinyatakan bahwaPredikat Pemimpin Besar Revolusi tidak membawa wewenang hukum.Kemudian TAP MPRS RI No.III/MPRS/1963 ini dicabut oleh KetetapanNo. XXXV/MPRS/1967.
121
langsung dari pendahulunya, ia menafsirkan ketentuan
masa jabatan Presiden dalam Pasal 7 UUD 1945 yang
berbunyi “Presiden dan Wakil Presiden memegang
jabatannya selama masa lima tahun, dan sesudahnya dapat
dipilih kembali” sebagai pembenaran untuk menduduki
jabatan presiden secara terus-menerus tanpa dibatasi
oleh periode atau jangka waktu tertentu.
Kedua pemimpin RI tersebut mencirikan sifat khas
kekuasaan yakni, cenderung merangsang yang memilikinya
untuk lebih berkuasa lagi karena kekuasaan haus akan
lebih banyak lagi kekuasaan.103) Langkah nyata mencegah
sejarah kembali berulang adalah mengefisiensikan
batasan dan pembagian kekuasaan dengan bahasa yang
lugas juga tegas agar proses check and balances terlaksana.
Perlu diingat kembali pemusatan kekuasaan pada satu
tangan diibaratkan Lord Acton, power tends to corrupt,
absolute power corrupts absolutely.
Gagasan perubahan UUD 1945 mengemuka begitu
kencangnya sebagai tuntutan reformasi konstitusional.
103) Dwidja Priyatno, Op.cit., hlm. 3.
122
Jembatan pemikiran antara para perumus UUD 1945
terdahulu yaitu founding father dengan pemegang wewenang
mengubah UUD saat ini MPR adalah aspek historis
pembuatan UUD pertama kalinya. Sejak awal pembuatan UUD
1945 memang bersifat sementara, sebagaimana dinyatakan
oleh Ir. Soekarno selaku ketua Panitia Persiapan
Kemerdekaan Indonesia (PPKI), dalam rapat pertama
Agustus 1945, yang menyatakan sebagai berikut.104)
‘… tuan-tuan semuanya tentu mengerti bahwa Undang-Undang Dasar yang kita buat ini adalah Undang-Undang Dasar Sementara. Kalau boleh saya memakaiperkataan “ini adalah Undang-Undang Dasar Kilat”,nanti kalau kita telah bernegara dalam suasana yanglebih tentram, kita tentu akan mengumpulkan kembaliMPR yang dapat membuat Undang-Undang Dasar yanglebih sempurna …”.
Pernyataan di atas seakan menjadi “kartu As” yang
menjadi justifikasi MPR untuk mengubah konstitusi.
Suatu pernyataan yang sarat unsur ketergesaan karena
UUD 1945 dirumuskan founding fathers dalam situasi revolusi
antara Mei hingga Agustus 1945. Di dalamnya menyiratkan
harapan penyempurnaan konstitusi dilakukan MPR ketika
104) Mohamad Yamin, Naskah Undang-Undang Dasar 1945, Jakarta:YayasanPrapanca, hlm.410 dalam Ni’matul Hula, Op.cit., hlm. 139.
123
Indonesia telah bernegara dalam suasana yang lebih
tentram. Faktanya, perubahan konstitusi terjadi ketika
Indonesia justru berada dalam keadaan transisi dari
pemerintahan orde baru menuju orde reformasi yang juga
dituntut melakukan perbaikan di segala bidang secara
cepat kilat. Lantas, letak perbedaan keadaan darurat
zaman dahulu dengan masa kini ternyata sama saja.
Seringnya elite politik menyatakan bahwa perubahan
konstitusi dilakukan dalam waktu sempit meng-
indikasikan hal tersebut. Berikut ini sepenggal
pernyataan resmi MPR yang termuat dalam Kata Pengantar
Buku Risalah MPR tahun 1999 :105)
“ Sidang Umum Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR)yang dilangsungkan pada tanggal 1 sampai dengan 21Oktober 1999 yang lalu merupakan Sidang Umum hasilpemilihan umum yang dipercepat sebagaimana ditetapkandalam Sidang Istimewa MPR 1998 guna memenuhituntutan reformasi yang berlangsung di hampirseluruh Persada Nusantara. ... Tuntutan reformasi dandemokratisasi di segala bidang itu telah memaksa MPRmelakukan persidangan secara maraton”. (kursifpenulis)
Selain aspek historis di atas, latar belakang
perubahan dilihat secara filosofis yang menilai105) Risalah Sidang 1999: hlm. iii.
124
pentingnya perubahan UUD 1945 adalah pertama karena UUD
1945 adalah moment opname dari berbagai kekuatan
politik dan ekonomi yang dominan pada saat
dirumuskannya konstitusi itu. Setelah 54 tahun tentu
terdapat berbagai perubahan, baik di tingkat nasional
maupun global. Kedua, UUD 1945 disusun oleh manusia yang
kodratnya tidak akan pernah sampai kepada tingkat
kesem-purnaan sehingga pekerjaan yang dilakukan manusia
tetap memiliki berbagai kemungkinan kelemahan maupun
kekurangan.106) Alasan yang bersifat filosofis juga
diketengahkan oleh Abdul Mukthie Fadjar bahwa dalam UUD
1945 terdapat percampur-adukan beberapa gagasan yang
saling bertentangan, terlihat dari paham kedaulatan
rakyat dengan paham integralistik, dan antara paham
negara hukum dengan paham negara kekuasaan.107) Meskipun
bertentangan, kedua paham tersebut berjalan
berdampingan sebagai penyeimbang satu dengan lainnya.
Hanya saja, dalam suatu konstitusi yang menawarkan
106) Wawancara Bagir Manan di Panji Masyarakat,No.16 Tahun III,4Agustus 1999, hlm.21 dikutip kembali oleh Ni’matul Huda, Op.cit.,hlm. 139.
107) Sri Soemantri, Op..cit., hlm. 276.
125
jaminan atas kepastian hukum harus tegas menentukan
paham yang dianut oleh Indonesia, namun bukan berarti
penyeragaman paham yang dipaksakan. Pandangan dan paham
yang bertentangan perlu dielaborasi untuk mengakomodir
berbagai perspektif yang berbeda. Dihubungkan dengan
perubahan konstitusi maka perubahan ini dapat dijadikan
suatu media untuk merumuskan paham yang dipercaya
sebagai identitas masyarakat Indonesia.
Secara yuridis, perubahan konstitusi telah
diperkirakan terjadi sebagai suatu keniscayaan sehingga
secara normatif perumus UUD 1945 menyediakan Pasal 37
UUD 1945 mengenai perubahan UUD 1945. Perubahan zaman
tidak dapat dicegah begitupun perubahan konstitusi,
bahkan pemerintahan tyranical orde baru tidak mampu
membendung aspirasi masyarakat untuk meraih reformasi
konstitusional. Dorongan memperbarui UUD 1945
didasarkan pula pada kenyataan bahwa UUD 1945 sebagai
subsistem tatanan konstitusi dalam pelaksa-naannya
tidak berjalan sesuai dengan staatsidee mewujudkan negara
berdasarkan konstitusi, seperti tegaknya tatanan
126
demokrasi, negara berdasarkan atas hukum yang menjamin
hal-hal seperti hak asasi manusia, kekuasaan kehakiman
yang merdeka serta keadilan sosial bagi seluruh rakyat
Indonesia. Hal yang terjadi adalah etatisme,
otoriterisme, atau kediktatoran yang menggunakan UUD
1945 sebagai sandaran.108)
Secara substantif, UUD 1945 dinilai tidak efektif
dan banyak mengandung kelemahan antara lain; Pertama UUD
1945 memberikan kekuasaan yang terlalu besar kepada
kekuasaan eksekutif sehingga prinsip check and balances
tidak berjalan (executive heavy)109 ; Kedua rumusan
ketentuan UUD 1945 sebagian besar bersifat sangat
sederhana, umum, bahkan tidak jelas (vague) sehingga
banyak pasal yang menimbulkan multitafsir; Ketiga, unsur-
unsur dalam UUD 1945; Keempat, UUD 1945 terlalu
menekankan pada semangat penyelenggara Negara ; Kelima,
UUD 1945 memberikan atribusi kewenangan yang terlalu108) Bagir Manan, Teori dan Politik Konstitusi, Yogyakarta: Fakultas
Hukum UII Press, 2003, hlm. 11 dikutip oleh Ni’matul Huda, Op.cit.,hlm. 141.
109) Moh. Mahfud MD., Amandemen Konstitusi Menuju Reformasi TastaNegara, Yogyakarta: UII Press, 1999, hlm. 96-98. Lihat juga dalamBagir Manan, Teori .., Ibid., hlm.11-14 dalam Ni’matul Huda, Op.cit., hlm.142.
127
besar kepada Presiden untuk mengatur berbagai hal
penting dengan UU. Akibatnya, banyak UU yang
substansinya hanya menguntungkan si pembuatnya
(Presiden dan DPR) ataupun saling bertentangan satu
sama lain ; Keenam, banyak materi muatan yang penting
justru diatur di dalam Penjelasan UUD, tetapi tidak
tercantum di dalam pasal-pasal UUD 1945. Ketujuh, status
dan materi Penjelasan UUD 1945, persoalan ini sering
menjadi objek perdebatan tentang status Penjelasan
karena banyak materi Penjelasan yang tidak diatur di
dalam pasal-pasal UUD 1945, misalnya materi negara
hukum, istilah kepala negara dan kepala pemerintahan,
istilah mandataris MPR, pertanggungjawaban Presiden dan
seterusnya.110)
Hingga kini, sekalipun konstitusi telah mengalami
empat kali perubahan tetap saja dianggap sarat
kelemahan. Sehingga pada tahun 2007 timbul rencana
untuk melakukan perubahan kelima. Sesungguhnya sifat
jauh dari kesempurnaan tersebutlah yang mendorong
110) Ibid.
128
bangsa untuk senantiasa memperbaiki diri khususnya MPR
dalam melakukan pembaruan konstitusi. Nyatalah bahwa
faktor-faktor tersebut tidak hanya dilihat dari
perspektif legal saja melainkan faktor non legal
seperti historis, filosofis, dan sosial. Bahkan
pembuatan Undang-Undang Dasar didorong oleh kesadaran
politik yang tinggi mengenai keperluan pengaturan
penyelenggaraan pemerintahan negara sebaik mungkin.
B. Proses Perubahan Konstitusi Republik Indonesia
Tahap Pertama Pasca Reformasi
Setelah mendapat gambaran faktor-faktor yang
melatarbelakangi perubahan konstitusi, selanjutnya
perlu diketahui mengenai cara bagaimana perubahan itu
dilakukan. Tuntutan reformasi yang mendesak di seluruh
penjuru negeri membuat MPR -pada Sidang Istimewa 1998-
menetapkan percepatan pemilihan umum yang seharusnya
diselenggarakan pada tahun 2002 menjadi tahun 1999.
Percepatan tersebut diikuti dengan Sidang Umum MPR RI
129
hasil pemilihan umum yang dimaksud pada tanggal 1
sampai dengan 21 Oktober 1999.
1. Proses Pembuatan Putusan Majelis
Pembuatan putusan-putusan Majelis dilakukan
melalui empat tingkat pembicaraan, putusan ini
termasuk putusan Majelis dalam amandemen pertama
UUD 1945. Mengacu pada mekanisme pengambilan
keputusan MPR yang terdapat pada ketetapan MPR No.
II/MPR/1999 tentang Peraturan Tata Tertib Majelis
Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia.
Pengambilan keputusan majelis berdasarkan ketetapan
ini melalui empat tingkat pembicaraan:
a. Tingkat I
Pembahasan oleh Badan Pekerja Majelis terhadap
bahan-bahan yang masuk dan hasil dari pembahasan
tersebut merupakan Rancangan Keputusan Majelis
sebagai pokok Pembicaraan Tingkat II.
130
b. Tingkat II
Pembahasan oleh Rapat Paripurna Majelis yang
didahului oleh penjelasan Pimpinan dan
dilanjutkan dengan Pemandangan Umum Fraksi-
fraksi.
c. Tingkat III
Pembahasan oleh Komisi/Panitia Ad Hoc Majelis
terhadap semua hasil pembicaraan Tingkat I dan
II. Hasil pembahasan Tingkat III ini merupakan
Rancangan Ketetapan/Keputusan Majelis.
d. Tingkat IV
Pengambilan putusan oleh Rapat Paripurna Majelis
setelah mendengar laporan dari Pimpinan
Komisi/Panitia Ad Hoc Majelis dan bilamana perlu
dengan kata terakhir dari fraksi-fraksi.
Agar proses perubahan dapat tergambarkan dengan
baik, diperlukan kronologis perubahan dengan
memilih peristiwa yang terkait tanpa harus
kehilangan mata rantai. Kronologis perubahan
131
mencakup secara umum proses awal diajukannya usul
perubahan hingga disepakati hasil dari perubahan
tersebut. Berikut ini analisis perhitungan waktu
yang menjadi peta sepak terjang perubahan
konstitusi bersumber pada risalah rapat paripurna
MPR RI 1999:
132
No Tanggal Rapat Acara Peserta RapatHadir Tidak
1 1 Oktober 1999 Paripurna ke-1 Pengucapan Sumpah/ Janji Anggota MPR RI 644 12 3 Oktober 1999 Paripurna ke-3 Pembentukan Fraksi-fraksi MPR 650 23 3 Oktober 1999 Paripurna ke-4 Pemilihan Pimpinan MPR RI 650 24 4 Oktober 1999 Paripurna ke-5 Pengucapan Sumpah/Janji Pimpinan MPR RI 652 43
5 4 Oktober 1999 Paripurna ke-6 - Pembentukan Badan Pekerja MPR- Pengesahan Tugas BP MPR - -
6 6 Oktober 1999 BP MPR ke-2
- Pemandangan Umum Fraksi tentang Materi Sidang Umum
- Pembentukan Panitia Ad Hoc- Pemilihan Pimpinan Panitia Ad Hoc BP MPR- Membahas Materi Sidang Umum MPR Sesuai
bidang Tugas Panitia Ad Hoc BP MPR
78 8
7 7 Oktober 1999 Panitia Ad Hoc III ke-1
Pembahasan Perubahan Undang-Undang Dasar 1945/ Amandemen 26 1
8 8 Oktober 1999 Panitia Ad Hoc III ke-2
- Membahas Materi Sidang Umum MPR sesuai Bidang tugas Ad Hoc BP MPR 22 3
9 9 Oktober 1999 Panitia Ad Hoc III ke-3
- Pembahasan Amandemen Terhadap UUD 1945 23 2
10 10 Oktober 1999 Panitia Ad Hoc III ke-4
- Pembahasan Amandemen Terhadap UUD 1945 23 2
11 11 Oktober 1999 Panitia Ad Hoc III ke-5
- Pembahasan Amandemen Terhadap UUD 1945 23 2
12 12 Oktober 1999 Panitia Ad Hoc III ke-6
- Pembahasan Amandemen Terhadap UUD 1945 24 1
13 13Oktober 1999 Panitia Ad Hoc III ke-7
- Pembahasan Amandemen Terhadap UUD 1945 25 -
133
14 14 Oktober 1999 Rapat ke-3 BadanPekerja
- Laporan Panitia Ad Hoc BP MPR- Pengesahan Materi Sidang Umum Hasil BP
MPR- Penutupan Rapat-rapat BP MPR
84 -
Agenda Sidang Umum MPR RI
No Tanggal Rapat Acara Peserta RapatHadir Tidak
15 16 Oktober1999 Paripurna ke-10
- Pemandangan umum fraksi-fraksiterhadap Hasil-Hasil Badan PekerjaMPR
- Usul Pembentukan Komisi
498 197
16 16 Oktober1999
Paripurna ke-10 (lanjutan)
- Pemandangan Umum Fraksi-fraksiterhadap Hasil-Hasil Badan Pekerja MPR
- Usul Pembentukan Komisi498 197
17 17 Oktober1999
Paripurna ke-11 (lanjutan) Pembentukan Komisi-komisi Majelis 658 37
18 17 Oktober1999
Sidang Umum ke-1 KomisiC Pemilihan Pimpinan Komisi Majelis 131 39
19 18 Oktober1999
Sidang Umum ke-2 KomisiC Pembahasan Rantap Perubahan UUD 1945 135 38
20 19 Oktober1999 Paripurna ke-12 Laporan Komisi-komisi Majelis 653 42
21 19 Oktober1999
Paripurna ke-12 (lanjutan)
- Pendapat Akhir Fraksi-fraksi terhadapHasil Komisi-komisi
- Pengambilan Keputusan terhadapPertanggungjawaban Presiden RI Prof.B.J. Habibie
690 5
134
22 20 Oktober1999 Paripurna ke-14
- Pengucapan Sumpah Jabatan Presiden RI- Penyerahan Hasil-Hasil Sidang Umum MPR
RI kepada Presiden RI- Pidato Presiden RI
602 93
23 21 Oktober1999 Paripurna ke-16
- Pengucapan Sumpah Jabatan WakilPresiden Republik Indonesia
- Pidato Wakil Presiden RepublikIndonesia
- Pidato Penutupan Sidang Umum MPR
685 10
Sumber: diolah dari buku Risalah Rapat MPR tahun 1999
135
Perjalanan perubahan konstitusi diawali dengan
terbentuknya MPR hasil pemilihan umum yang
dipercepat pada tahun 1999 berdasarkan ketetapan
MPR sebelumnya dalam Sidang Istimewa MPR 1998 guna
memenuhi tuntutan reformasi yang secara sporadis
tersebar di setiap penjuru negeri. Tugas pertama
yang diemban para elite politik ini adalah mengadakan
Sidang Umum MPR dengan agenda pembahasan yang
strategis bagi perkembangan penyelenggaraan
pemerintahan negara. Salah satu agenda besar MPR
adalah upaya desakralisasi konstitusi dengan mengasah
perangkat perubahan UUD 1945 yang selama ini
dibiarkan berkarat. Pemberdayaan Pasal 37 UUD 1945
merupakan jalan menuju konstitusi yang
merefleksikan semangat reformasi. Karena itu usulan
pertama perubahan konstitusi diungkapkan pada Rapat
Badan Pekerja Majelis Permusyawaratan Rakyat (BP
MPR) yang ke-1 pada tanggal 6 Oktober 1999 ketika
masing-masing fraksi memberikan pandangan umum
mengenai Materi Sidang Umum MPR dan membentuk
kepanitiaan Ad Hoc.
Panitia Ad Hoc (PAH) bertugas untuk
mempersiapkan materi beserta rancangan ketetapan
(rantap) yang dibagi menjadi 3 bagian kepanitiaan.
PAH I bertugas mempersiapkan naskah materi GBHN;
PAH II bertugas mempersiapkan RANTAP MPR RI tentang
136
Garis-garis Besar Haluan Negara, RANTAP MPR RI Non
GBHN dan Rancangan Keputusan MPR RI tentang Jadwal
Acara Sidang Umum MPR RI tanggal 14 sampai dengan
21 Oktober 1999; PAH III bertugas mempersiapkan
Ketetapan MPR tentang Amandemen UUD 1945.
2. Pembahasan Tingkat Badan Pekerja MPR Panita Ad
Hoc III111)
Pembahasan perubahan konstitusi di tingkat PAH
III dilaksanakan dengan alokasi waktu 8 (delapan)
hari mulai tanggal 6 Oktober 1999 sampai dengan 13
Oktober 1999. Keanggotaan PAH III berjumlah 25 (dua
puluh lima) orang yang mencerminkan fraksi-fraksi
dalam Majelis. Diketuai oleh Harun Kamil,S.H.,
Wakil Ketua Drs. H. Slamet Effendi Yusuf dan H.
Amin Aryoso,S.H., serta Sekretaris Drs. KH. Yusuf
Muhammad, LMM.
Sebagai bahan bahasan, semua fraksi dalam PAH
III sepakat untuk menggunakan materi Pemandangan
Umum Fraksi-fraksi yang disampaikan dalam Rapat ke-
2 Badan Pekerja MPR (BP MPR) dan penjelasan
tambahan/pokok-pokok pikiran Fraksi-fraksi tentang
perubahan konstitusi yang disampaikan dalam rapat-
rapat Panitia Ad Hoc III BP MPR. Mekanisme
pembahasan yang diterapkan adalah sebagai berikut:111) Diolah dari Risalah Sidang 1999/Jilid 3: hlm. 77-85.
137
1. Tiap-tiap fraksi diberi kesempatan untuk
menyampaikan pokok-pokok pikiran mengenai materi
UUD 1945 yang diusulkan untuk
diamandemen/diubah.
2. Setelah dituangkan dalam Daftar Inventarisasi
Materi (DIM), selanjutnya materi UUD 1945 yang
diusulkan oleh tiap-tiap fraksi untuk
diamandemen/diubah dikompilasi oleh Tim Perumus,
yang keanggotaannya terdiri dari Pimpinan
Panitia Ad Hoc III dan wakil-wakil Fraksi yang
tidak terwakili dalam unsur pimpinan, tiap-tiap
Fraksi diwakili oleh 1 (satu) orang.
3. Hasil kompilasi materi amandemen/perubahan UUD
1945, setelah disepakati oleh forum Rapat
Panitia Ad Hoc III, kemudian dibahas sesuai
dengan urutan prioritas yang telah disepakati
oleh semua fraksi.
4. Materi yang telah disepakati akan dimintakan
persetujuan untuk disahkan dalam forum Rapat
Panitia Ad Hoc III.
Supaya lebih jelas, mekanisme tersebut
dielaborasikan dengan hasil rapat sebagaimana
berikut: pada tanggal 7 Oktober 1999, rapat pertama
PAH III belum membahas secara khusus pokok materi
konstitusi yang akan diubah karena pendapat yang
bersinggungan dengan materi perubahan tersebar
138
secara acak dan kurang mendalam. Pada rapat
tersebut para anggota masih berbicara mengenai
ruang lingkup perubahan. Ruang lingkup ini
dibutuhkan sebagai batasan dalam melakukan
perubahan. Hal seperti penentuan kuorum juga ramai
diperdebatkan sebagai suatu atensi terhadap sah
tidaknya hasil perubahan di kemudian hari. Pada
tahap ini seluruh fraksi setuju dilakukannya
amandemen dan menginventarisir materi dari setiap
fraksi dengan dihadiri oleh 26 orang dan 1 orang
absen.
Pada beberapa kali rapat yang dilaksanakan
secara maraton yaitu pada rapat PAH III ke-2 hingga
ke-7 pembahasan materi perubahan dilakukan secara
intensif dan cukup mendalam. Seluruh pembicaraan
didokumen-tasikan oleh notulen dan usulan setiap
fraksi dituangkan dalam Daftar Inventarisasi Materi
(DIM). Selanjutnya materi UUD 1945 yang diusulkan
oleh tiap-tiap fraksi tersebut dikompilasi yang
setelah disepakati oleh forum Rapat Panitia Ad Hoc
III, kemudian dibahas sesuai dengan urutan
prioritas yang telah disepakati oleh semua fraksi.
139
Materi yang telah disepakati akan dimintakan
persetujuan untuk disahkan dalam forum Rapat PAH
III pada rapat terakhir Panitia Ad Hoc tanggal 13
Oktober 1999. Mengenai keabsahan hasil rumusan PAH
III dapat dilihat dari perbandingan kehadiran
anggota yang pada setiap rapatnya bisa dikatakan
senantiasa memenuhi kuorum. Setelah PAH III
merampungkan tugasnya, maka pada Rapat ke-3 Badan
Pekerja MPR tanggal 14 Oktober 1999 seluruh Panitia
Ad Hoc dikumpulkan untuk melaporkan hasil kerja
masing-masing. Kemudian, dilanjutkan dengan
pembahasan di tingkat komisi C yang bekerja dari
tanggal 17-18 Oktober 1999.
3. Pembahasan Tingkat Komisi C MPR112)
Menindaklanjuti hasil kerja PAH III yang telah
dilaporkan di tingkat BP MPR, langkah berikutnya
adalah menjadikan Rancangan Putusan MPR tentang
Perubahan Undang-Undang Dasar 1945 hasil BP MPR
tersebut sebagai bahan bagi fraksi-fraksi MPR dalam
pemandangan umum fraksi pada sidang paripurna ke-10
112) Diolah dari Risalah Sidang 1999/Jilid 13: hlm. 34-45.
140
tanggal 16 Oktober 1999. Di samping itu, agenda
lainnya adalah usulan pembentukan komisi, maka
sehari setelahnya, tanggal 17 Oktober 1999 pada
Rapat Paripurna ke-11 (lanjutan) dibentuk Komisi-
komisi Majelis yang dibagi ke dalam 4 bagian.
Melalui Keputusan MPR No.5/MPR/1999 dibentuklah
komisi-komisi itu, salah satunya adalah Komisi C
yang bertugas untuk memusyawarahkan dan mengambil
putusan mengenai Rancangan Putusan MPR RI tentang
Perubahan UUD 1945. Rapat Komisi yang dilaksanakan
tanggal 18 Oktober 1999 telah berhasil menyepakati
hasil-hasil BP MPR atas amandemen UUD 1945. Hasil
kesepakatan tersebut akan dibawa ke dalam sidang
paripurna MPR tanggal 19 Oktober 1999.
Estimasi waktu kerja yang diberikan pada Komisi
C adalah 2 (dua) hari mulai tanggal 17 Oktober 1999
sampai dengan 18 Oktober 1999 dengan kekuatan 172
(seratus tujuh puluh dua) orang anggota yang
mencerminkan fraksi-fraksi dalam Majelis. Pimpinan
Komisi C : Ketua Dr. H. Zain Badjeber; Wakil Ketua
1. H. Amon Aryoso, S.H. ; 2. Drs. H. Slamet Effendy
Yusuf; 3. K.H. Kholil Bisri; 4. Drs. Rudi
Supriyatna; 5. Sutjipto, S.H.
Mekanisme yang diterapkan Komisi C dalam
melakukan pembahasan Rancangan Putusan MPR tentang
Perubahan Undang-Undang Dasar 1945, yakni:
141
1. Tiap-tiap fraksi diberi kesempatan untuk
menyampaikan pengantar musyawarah mengenai
Perubahan Undang-Undang Dasar 1945.
2. Untuk melakukan pembahasan pasal-pasal Undang-
Undang dasar 1945, Komisi C Majelis sepakat
untuk membentuk forum lobi yang keanggotaannya
terdiri dari Pimpinan Komisi Majelis dan wakil-
wakil fraksi.
3. Sebelum dimintakan persetujuan kepada forum
Rapat Komisi C Majelis, hasil kesepakatan dalam
forum lobi disosialisasikan terlebih dahulu
kepada masing-masing anggota fraksi.
4. Selanjutnya Komisi C Majelis membentuk Tim
Perumus yang bertugas menyerasikan materi
perubahan Undang-Undang Dasar Negara Republik
Indonesia Tahun 1945 dan bentuk serta susunan
perubahannya
Komisi C Majelis sepakat untuk mengubah bentuk
putusan yang semula Rancangan Putusan MPR tentang
Perubahan Undang-Undang Dasar 1945 diubah menjadi
Rancangan Perubahan Pertama Undang-Undang Dasar
Negara Republik Indonesia 1945. Judul ini diambil
Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia 1945
sebagaimana dibuat dalam Lembaran Negara No.V tahun
1959 dari Dekrit Presiden Tanggal 5 Juli 1959.
142
Rekomendasi lainnya adalah kesepakatan Komisi C
Majelis atas Rancangan Ketetapan MPR tentang
Penugasan Badan Pekerja MPR untuk melanjutkan
Perubahan Undang-Undang Dasar Negara Republik
Indonesia tahun 1945, sebagai dasar hukum bagi BP
MPR dalam mempersiapkan Rancangan Perubahan Kedua
Undang-Undang Dasar NKRI tahun 1945, yang hasilnya
harus sudah siap untuk dibahas dan disahkan dalam
Sidang Tahun Majelis tanggal 18 agustus Tahun 2000.
Selanjutnya, setiap fraksi diberi kesempatan
untuk menyampaikan pendapat akhir atas hasil
laporan Komisi C. Kesimpulan pendapat akhir
tersebut adalah disetujuinya Perubahan Pertama UUD
1945 NKRI yang tersirat dari pernyataan Ketua MPR,
Amin Rais sebagai berikut:
“ … Sidang Majelis yang saya hormati adapunRancangan-Rancangan Ketetapan MPR yang telahmendapatkan kesepakatan semua fraksi adalah: 1.Rancangan perubahan Undang-undang Dasar NegaraRepublik Indonesia Tahun 1945”.
Atas dasar persetujuan seluruh fraksi, maka
Pimpinan MPR RI menetapkan perubahan tahap pertama
UUD 1945 pada tanggal 19 Oktober 1999 bertempat di
Jakarta. Mengenai penerapan Pasal 37 UUD 1945
tentang perubahan konstitusi yang berfungsi juga
sebagai sistem dan prosedur perubahan akan dikaji
secara lebih khusus pada sub bab berikutnya.
143
C. Kajian Mengenai Perubahan Konstitusi Republik
Indonesia Tahap Pertama
Kajian113) pada penelitian ini diterjemahkan dengan
hasil dari suatu proses mempelajari, menyelidiki dan
menelaah perubahan konstitusi Republik Indonesia tahap
pertama dari sudut yuridis, filosofis dan sosiologis.
Ketiga sudut pandang ini diadopsi dari syarat
pembentukan peraturan perundang-undangan yang baik yang
mengupas kesesuaian fakta dan realitas dengan kaidah
atau norma yang seharusnya.
Dalam melakukan penelusuran peraturan terkait,
penulis memberi garis tegas antara peraturan pra dan
saat perubahan itu terjadi dengan peraturan yang lahir
setelah perubahan. Faktanya, saat penelitian ini
dilakukan tahap perubahan konstitusi telah melalui
empat tahap sedangkan yang menjadi objek penelitian
hanya tahap pertama saja. Bahkan rentang waktu antara
tahun 1999 hingga 2007 banyak terjadi perubahan
113) Lihat definisi kaji Tim Penyusun Kamus Besar PusatPembinaan dan Pengembangan Bahasa,, Op.cit., hlm. 377.
144
peraturan yang berkaitan dengan penelitian. Efektifitas
peraturan yang berlaku kemudian setelah perubahan tentu
saja dianggap tidak relevan. Kalaupun disinggung
sifatnya hanya sebagai komparasi atau ulasan saja namun
tidak dijadikan pedoman utama pengkajian.
1. Kajian dari Sudut Yuridis
Menurut sistem hukum Indonesia, peraturan
perundang-undangan (hukum tertulis) disusun dalam
suatu tingkatan yang disebut hierarki peraturan
perundang-undangan. Kedudukan UUD berdasarkan
“memorandum” DPRGR mengenai Sumber Tertib Hukum
Republik Indonesia dan Tata Urutan Peraturan
Perundangan Republik Indonesia yang dikukuhkan
dalam TAP MPRS No. XX/MPRS/1966, MPR dengan TAP MPR
No. V/MPR/1973 dan Lampiran II tentang “Tata Urutan
Peraturan Perundang-undangan Republik Indonesia”.114)
menempati urutan pertama yang berarti tertinggi.
114) Ni’matul Huda, Op.cit., hlm. 37
145
Tata urutan berdasarkan ketentuan di atas,
yakni :115)
- UUD 1945
- Ketetapan MPRS/MPR
- UU/Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang
- Peraturan Pemerintah
- Keputusan Presiden
115) Sebagai perbandingan, berikut ini pengaturan Tata UrutanPeraturan Perundang-undangan berdasarkan perkembangannya yangmemperlihatkan kedudukan UUD selalu berada di urutan teratas :
TAP MPR RI Nomor III/MPR/2000 tentang Sumber Hukum dan TataUrutan Peraturan Perundang-undangan Pasal 2 Tata urutan peraturanperundang-undangan merupakan pedoman dalam pembuatan aturan hukumdi bawahnya. Tata urutan peraturan perundang-undangan RepublikIndonesia adalah :
1. Undang-undang Dasar 1945 ;2. Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik
Indonesia;3. Undang-undang;4. Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang (Perpu);5. Peraturan Pemerintah;6. Keputusan Presiden;7. Peraturan Daerah.Jenis dan hierarki perundang-undangan berdasarkan UU No.10
tahun 2004 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan Pasal7 ayat (1) adalah sebagai berikut:
1. Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945;2. Undang-Undang/Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-
Undang;3. Peraturan Pemerintah;4. Peraturan Presiden;5. Peraturan Daerah.
146
- Peraturan-peraturan pelaksanaan lainnya seperti:
Peraturan Menteri, Instruksi Menteri, dan lain-
lainnya.
Menjadikan UUD 1945 sebagai bagian dari
peraturan perundang-undangan tidak seluruhnya
menyepakati. Menurut Maria Farida UUD 1945 tidak
tepat dikatakan sebagai peraturan perundang-
undangan karena UUD 1945 terdiri dari dua kelompok
norma hukum yaitu : (1) Pembukaan UUD 1945
merupakan staatsfundamentalnorm atau Norma Fundamental
Negara. (2) Batang Tubuh UUD 1945 merupakan
staatsgrundgesetz atau Aturan Dasar Negara/ Aturan
Pokok Negara yang merupakan garis-garis besar atau
pokok-pokok kebijaksanaan negara untuk menggariskan
tata cara membentuk peraturan perundang-undangan
yang mengikat umum.116) Dalam Pembahasan
selanjutnya, penulis mengkategorikan UUD sebagai
bagian dari peraturan perundang-undangan, dengan
demikian berlaku beberapa ketentuan yang sama116) Maria Farida Indriati Suprapto dalam Ni’matul Huda,
Op.cit.,hlm. 41.
147
antara UUD dan bentuk perundang-undangan lainnya.
Salah satunya ketentuan mengenai syarat pembentukan
atau pembuatan peraturan perundang-undangan yang
baik.
Syarat yuridis pembuatan peraturan perundang-
undangan adalah suatu keadaan yang dipersyaratkan
untuk dipenuhi karena menimbulkan akibat hukum.
Syarat-syarat itu bersifat mutlak karena tidak
terpenuhinya persyaratan tersebut dapat menjadikan
produk peraturan perundang-undangan menjadi tidak
sah. Syarat yang dimaksud dibagi menjadi 2 kategori
yaitu syarat material keharusan adanya kewenangan
dari pembuat peraturan perundang-undangan dan
syarat formil yang berhubungan dengan tata cara
meliputi : keharusan adanya kesesuaian bentuk atau
jenis peraturan perundang-undangan dengan materi
yang diaturnya; keharusan mengikuti prosedur atau
tata cara tertentu; keharusan tidak bertentangan
dengan peraturan perundang-undangan yang lebih
tinggi tingkatannya.
148
1.1. Keharusan adanya kewenangan dari pembuat
peraturan perundang-undangan.
Tolak ukur keabsahan produk politik adalah hasil
keputusan institusi politik baik melalui musyawarah
maupun pemungutan suara (voting). Proses serta
pengambilan keputusan politik tentunya didasarkan
atas Peraturan Tata Tertib, sehingga mekanisme itu
sendiri pada hakekatnya adalah kaidah yang bersifat
mengikat (legally binding).
Adanya kewenangan dari pembuat peraturan
perundang-undangan dari hierarki tertinggi hingga
terendah merupakan syarat material yang harus
dipenuhi. Lembaga yang memiliki kewenangan untuk
menetapkan dan mengubah UUD 1945 adalah Majelis
Permusyawaratan Rakyat (MPR). MPR ditunjuk Undang-
Undang Dasar sebagai penjelmaan seluruh Rakyat
Indonesia dan merupakan perwujudan dari kedaulatan
rakyat sebagaimana diatur dalam Pasal 1 ayat (2)
yaitu :
149
“ Kedaulatan adalah di tangan rakyat, dandilakukan sepenuhnya oleh MajelisPermusyawaratan Rakyat”.
Mengenai MPR dapat dilihat pokok pengaturannya
dalam Pasal 2 UUD 1945, dan mengenai keanggotaan
MPR diatur pasal 2 ayat (1) UUD 1945:
“ Majelis Permusyawaratan Rakyat terdiri atasanggota-anggota Dewan Perwakilan Rakyat ditambahdengan utusan-utusan dari daerah-daerah dangolongan-golongan menurut aturan yang ditetapkandengan Undang-undang”.
Pada tahap pertama perubahan UUD 1945 kewenangan
untuk mengubah dimiliki oleh Majelis
Permusyawaratan Rakyat atas dasar Pasal 3 UUD 1945
yang berbunyi :
“ Majelis permusyawaratan Rakyat menetapkanUndang-undang Dasar dan Garis-garis Besardaripada Haluan Negara.”
Tugas dan Wewenang MPR Pasal 3 dan Pasal 4
Ketetapan MPR RI No.I/MPR/1983 jo Ketetapan MPR-RI
No.II/MPR/1999 tentang Peraturan Tata-Tertib
Majelis Permusyawaratan Rakyat :
Pasal 3, Majelis mempunyai tugas :
150
1) menetapkan Undang-Undang Dasar;
2) menetapkan Garis-Garis Besar Haluan Negara;
3) memilih dan mengangkat Presiden dan Wakil
Presiden.
Pasal 4, Majelis mempunyai wewenang :
f. mengubah Undang-undang Dasar.
MPR membentuk Peraturan Tata Tertib yang
ditetapkan dalam Ketetapan MPR demi kemantapan tata
susunan dan tata laksana MPR. Setelah mengalami
beberapa kali perubahan maka peraturan yang berlaku
hingga saat ini adalah TAP MPR No.I/MPR/1983
mengenai Peraturan Tata Tertib Majelis
Permusyawaratan Rakyat berikut perubahan terakhir
yaitu TAP MPR No.II/MPR/1999 tentang Peraturan Tata
Tertib Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik
Indonesia. Dalam rangka melaksanakan tugas, MPR
mempunyai alat-alat kelengkapan majelis yang
disusun menurut pengelompokan kegiatan.
Berdasarkan Pasal 19 Tata Tertib MPR alat-alat
151
kelengkapan itu adalah: Pimpinan Majelis; Badan
Pekerja Majelis; Komisi Majelis; Panitia Ad Hoc
Majelis. Perubahan konstitusi dilakukan oleh
Majelis dalam suatu Sidang Umum di tanggal 14
Oktober 2007. Kronologis pada sub bab sebelumnya di
atas menjelaskan bahwa untuk menyodorkan suatu
Rancangan Ketetapan Perubahan Konstitusi pada SU
MPR telah melalui beberapa kepanitiaan.
Panitia Ad Hoc III berperan membuat ketetapan
perubahan UUD, kemudian diputuskan oleh Komisi C
yang bertugas untuk memusyawarahkan dan mengambil
putusan mengenai Rancangan Putusan MPR RI tentang
Perubahan UUD 1945. Selanjutnya, hasil kerja Komisi
C dilaporkan pada Rapat Paripurna yang melibatkan
seluruh anggota MPR. Apabila diurutkan dasar
kewenangannya dapat ditarik satu benang merah dasar
legitimasi pihak atau badan yang mengubah
konstitusi. Pada dasarnya pemberian wewenang
Panitia Ad Hoc III merujuk pada ketentuan yang
bertalian satu dengan lain. Berikut ini diuraikan
152
alur pemberian wewenang pelaksana teknis perubahan
konstitusi dalam tubuh MPR. Awalnya, Pimpinan
Majelis dengan berbagai tugas yang dibebankan
kepadanya dapat memanggil Anggota Badan Pekerja
Majelis untuk mengadakan sidang berdasarkan Pasal
29 Tata Tertib MPR. Badan Pekerja sendiri mempunyai
tugas membantu Pimpinan Majelis dalam rangka
melaksanakan tugas-tugas Pimpinan Majelis. Dasarnya
adalah Keputusan Pimpinan MPR RI No.1/PIMP.BP/1999
sebagai instrumen yuridis pembentukan Badan
Pekerja. Selanjutnya Pimpinan Badan Pekerja MPR-RI
mengeluarkan Keputusan Badan Pekerja MPR RI
No.2/BP/1999 untuk mensahkan keberadaan Panitia Ad
Hoc I, Panitia Ad Hoc, Panitia Ad Hoc III BP MPR-
RI. Terakhir kali, setelah PAH III melaporkan hasil
kerjanya, maka melalui Keputusan MPR No.5/MPR/1999
dibentuklah Komisi-komisi khususnya Komisi C yang
bertugas untuk memusyawarahkan dan mengambil
putusan mengenai Rancangan Putusan MPR RI tentang
Perubahan UUD 1945. Konklusinya bahwa syarat
153
kewenangan dari pembuat atau pelaku perubahan telah
diurai dan memiliki dasar hukum dalam
pelaksanaannya.
1.2. Keharusan Adanya Kesesuaian Bentuk atau Jenis
Peraturan Perundang-undangan dengan Materi yang
Diaturnya
Konstitusi sebagai hukum dasar merupakan dokumen
hukum dan politik sekaligus yang memuat dasar-dasar
atau ketentuan pokok hukum yang berlaku dalam suatu
negara. Dengan menempati hierarki teratas, maka
ketentuan pokok tersebut dijadikan sumber hukum
bagi peraturan perundang-undangan yang lebih
rendah.
Sesuai hakekat konstitusi, yaitu pembatasan
kekuasaan untuk mencegah kesewenang-wenangan
penyelenggara maka dirumuskan beberapa materi
muatan konstitusi yang mencerminkan prioritas atau
perhatian tinggi terhadap hal-hal yang dianggap
paling penting oleh ahli hukum. Hal mengenai
154
jaminan hak-hak asasi manusia (HAM) dan warga
negara, susunan ketatanegaraan dan pembagian tugas
ketatanegaraan yang fundamental. Sebagaimana
dikatakan J.G. Steenbeek, dikutip Sri Soemantri
dalam disertasinya dan dikutip kembali oleh Dahlan
Thaib bahwa pada umumnya suatu konstitusi berisi
tiga hal pokok, yaitu : 117)
Pertama, adanya jaminan terhadap hak-hak asasi
manusia dan warga negaranya;
Kedua, ditetapkannya susunan ketatanegaraan
suatu negara yang bersifat fundamental;
Ketiga, adanya pembagian dan pembatasan tugas
ketatanegaraan yang juga bersifat
fundamental.
Hal penting lainnya adalah bahwa untuk mengubah
konstitusi tidak berarti mengubah muatan dasar yang
menjadi ciri khasnya karena secara logis muatan
materi perubahan konstitusi harus tetap mencirikan
eksistensi konstitusi itu sendiri. Dengan kata117) Dahlan Thaib, dkk., Op.cit., hlm. 16.
155
lain, persyaratan keharusan adanya kesesuaian
bentuk atau jenis peraturan perundang-undangan
dengan materi yang diaturnya harus terpenuhi. Dalam
hal ini, perubahan konstitusi harus tetap memuat
kaidah-kaidah dasar yang dijadikan sumber bagi
peraturan dibawahnya bukan justru mengatur kaidah-
kaidah pelaksana atau teknis yang seharusnya diatur
dalam bentuk peraturan yang lebih rendah misalnya.
Ketetapan MPR.
Materi muatan pasal-pasal konstitusi pada
perubahan tahap pertama merupakan materi mendasar
yang diindikasikan secara jelas dari berubahnya
haluan penyelenggaraan pemerintahan negara yang
condong pada lembaga eksekutif atau executive heavy
menjadi legislative heavy. Selain itu, Pasal 7 UUD 1945
yang beberapa kali jadi payung pemimpin negara guna
memperpanjang “kontrak” kekuasaannya untuk jangka
waktu yang tidak ditentukan diubah dan dibatasi
menjadi “ Presiden dan Wakil Presiden memegang
jabatan selama lima tahun, dan sesudahnya dapat
156
dipilih kembali dalam jabatan yang sama, hanya
untuk satu kali masa jabatan”.
Prioritas materi perubahan konstitusi yang
ditawarkan oleh masing-masing anggota Ad Hoc tentu
saja tidak seluruhnya berhasil diubah. Faktor waktu
yang sempit membuat PAH III sepakat untuk memeras
prioritas yang telah disepakati sebelumnya. Pointer
prioritas perubahan PAH III sebagaimana dipaparkan
pada bab sebelumnya dielaborasi dengan hasil
perubahan tahap I untuk mengetahui apakah perubahan
telah menyentuh substansi prioritas tersebut adalah
:118)
Pertama : pembahasan mengenai pemberdayaan
lembaga tertinggi negara (MPR) yang
terdapat pada Pasal 1 ayat (2), Pasal 2
ayat (1) dan (2), dan Pasal 3 UUD 1945.
Kedua : adalah pengaturan kekuasaan
pemerintah negara dan pembatasan masa
jabatan presiden yang termuat dalam
118) Suharizal dan Firdaus Arifin, Op.cit., hlm. 61.
157
Pasal 5 ayat (1), Pasal 7, Pasal 9,
Pasal 13 ayat (1) dan (2), Pasal 14, dan
Pasal 15 UUD 1945.
Ketiga : mengenai pemberdayaan Lembaga Legislatif
(DPR) yang tercantum dalam Pasal 17 ayat
(2) dan (3), Pasal 20 ayat (1) dan (2),
dan Pasal 21 ayat (1) dan (2) UUD 1945.
Dengan teknik perubahan addendum, ketentuan dalam
UUD terdahulu hanya mengalami penambahan saja
dengan tetap memberlakukan naskah aslinya (sebelum
perubahan). Untuk itu, penambahan Pasal pada
perubahan pertama tetap mengacu pada muatan
sebelumnya tanpa mengubahnya dengan ketentuan yang
sama sekali baru. Setelah dibandingkan dengan UUD
1945 hasil perubahan, keseluruhan prioritas
ketentuan yang direncanakan PAH III untuk diubah
tidak terdapat kriteria baru yang menyimpang dari
materi yang seharusnya diatur sebuah UUD. Sehingga
perubahan konstitusi tahap pertama tidak mengubah
158
bentuk atau jenis peraturan perundang-undangan
dengan materi yang diaturnya dan dianggap telah
sesuai.
1.3. Keharusan Mengikuti Prosedur atau Tata Cara
Tertentu
Di negara hukum yang melandaskan segala
sesuatunya atas aturan, cukup menjamin keseriusan
para penyelenggara pemerintahan untuk menjalankan
fungsinya berdasarkan hukum yang berlaku. Bahkan,
penyelewengan sekalipun “bermain cantik” dengan
membuat peraturan penunjang terlebih dahulu agar
tampak legal. Berbagai peraturan tersebut memang
“legal” karena beberapa di antaranya dibuat melalui
prosedur yang ditentukan. Peraturan yang dibuat
melalui prosedur yang ditentukan tidak dengan
sendirinya menjamin “kebenaran material”, memberi
keadilan, dan mewakili kebutuhan rakyat. Terbukti
masih sering terjadi demonstrasi dan gugatan
terhadap para pejabat yang mengeluarkan ketetapan
159
atas nama masyarakat. Teori relatifitas berperan
kembali dalam menyikapi permasalahan ini. Dengan
demikian tidak selamanya produk legislatif yang
dibuat secara prosedural telah mencerminkan
keinginan dan kebutuhan masyarakat banyak begitupun
sebaliknya.
Menyelidiki kesesuaian proses perubahan
konstitusi tahap pertama dengan prosedur perubahan
dimulai dari perangkat yuridis mengenai prosedur
perubahan konstitusi yaitu BAB XVI Mengenai
Perubahan Undang-Undang Dasar Pasal 37 UUD 1945
yang menyebutkan :
(1) Untuk mengubah Undang-undang Dasar sekurang–kurangnya 2/3 daripada jumlah anggota MajelisPermusyawaratan Rakyat harus hadir.
(2) Putusan diambil dengan persetujuan sekurang-kurangnya 2/3 daripada jumlah anggota yanghadir.
Pasal 37 tersebut mengandung tiga norma, yaitu : 119)
1. bahwa wewenang untuk mengubah UUD ada pada MPRsebagai Lembaga Tertinggi
119) Ni’matul Huda, Op.cit., hlm. 71.
160
2. bahwa untuk mengubah UUD kuorum yang harusdipenuhi sekurang – kurangnya adalah 2/3 dariseluruh jumlah anggota MPR;
3. bahwa putusan tentang perubahan UUD adalah sahapabila disetujui oleh sekurang – kurangnya2/3 dari anggota MPR yang hadir.
Pasal perubahan di dalam UUD 1945 ini dianggap
sangat sederhana karena semata-mata hanya mengatur
segi pengambilan putusan. Ni’matul Huda,
menjelaskan bahwa karena sifatnya yang simple maka
sulit untuk menerapkan ketentuan Pasal 37 tersebut.
Hal ini dikarenakan tidak adanya penjelasan bagian
mana saja yang boleh dan tidak boleh untuk diubah,
bgaimana cara mengubahnya dan seterusnya. Lebih
lanjut dikatakan Ni’matul ketentuan lain menyangkut
perubahan UUD 1945 muncul kemudian melalui
interpretasi historis dan filosofis oleh ketetapan
MPRS No. XX/MPRS/1966, bahwa Pembukaan UUD 1945
dinyatakan tak dapat diubah. Perubahan UUD 1945 ini
disandarkan lebih lanjut kepada referendum dalam
Ketetapan MPR No.IV/MPR/1983 jo UU No. 5 Tahun 1985
161
dan kini sudah dicabut dengan ketetapan MPR No.
VIII/MPR/1998.120)
Dengan kata lain, di samping ketentuan Pasal 37
UUD 1945 terdapat satu persyaratan untuk mengubah
konstitusi dalam bentuk Ketetapan MPR No.I/MPR1983
jo Ketetapan MPR No. VII/MPR/1988 jo UU No. 5 tahun
1985 tentang Referendum. Dapat dilihat dari
konsideran UU No. 5 tahun 1985 bahwa Majelis
Permusyawaratan Rakyat berketetapan untuk
mempertahankan Undang-Undang Dasar 1945, tidak
berkehendak dan tidak akan melakukan perubahan
terhadapnya, sebagaimana dinyatakan dalam Ketetapan
Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia
Nomor I/MPR/1983 tentang Peraturan Tata Tertib
Majelis Permusyawaratan Rakyat, dan Ketetapan
Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia
Nomor IV/MPR/1983 tentang Referendum, namun untuk
melaksanakan Pasal 3 Ketetapan Majelis
Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia Nomor IV/
120) Ibid., hlm. 141.
162
MPR/1983 tentang Referendum, perlu dibentuk Undang-
undang yang mengatur referendum.
Referendum dalam ketentuan umum diartikan
sebagai kegiatan untuk meminta pendapat rakyat
secara langsung mengenai setuju atau tidak setuju
terhadap kehendak Majelis Permusyawaratan Rakyat
untuk mengubah Undang-Undang Dasar 1945. Mengenai
waktu dan tempat pelaksanaan referendum diatur
dalam Pasal 7 yang menyatakan pemungutan pendapat
rakyat dilaksanakan dalam 1 (satu) hari dan
serentak di seluruh wilayah Negara Republik
Indonesia. Penjelasan yang cukup menegangkan bagi
para anggota MPR atau siapapun yang berniat untuk
mengubah, bagaimana tidak, referendum adalah suatu
persyaratan yang sulit diwujudkan terlebih lagi
ketika pemerintahan berada di bawah kepemimpinan
tangan besi.
Meskipun demikian, referendum merupakan salah
satu cara perubahan konstitusi yang diakui
sebagaimana dirumuskan C.F. Strong bahwa perubahan
163
konstitusi dapat dilakukan oleh rakyat melalui
suatu referendum. Jadi tidak ada yang salah dengan
persyaratan ini hanya saja tidak untuk diterapkan
di Indonesia yang tingkat pluralismenya tinggi dan
wilayahnya yang luas, serta kondisi perekonomian
maupun politik yang tidak kondusif. Dengan adanya
syarat referendum maka Konstitusi Republik
Indonesia dikatakan bersifat rigid atau kaku karena
persyaratan untuk mengubah konstitusinya tergolong
sulit.
Menyadari persyaratan untuk melakukan referendum
mengganjal upaya reformasi konstitusional, tindakan
pertama MPR saat itu adalah sedikit demi sedikit
“mempreteli” atribut orde baru dengan mengeluarkan
Ketetapan MPR No. VIII/MPR/1998 yang isinya
mencabut Ketetapan MPR tentang Referendum. Tidak
berhenti di situ, MPR juga melakukan “penyelamatan”
atas situasi serba tidak pasti pasca kejatuhan
Soeharto atau keadaan transisi dengan mengeluarkan
Ketetapan MPR No. XIII/MPR/1998 tentang Pembatasan
164
Masa Jabatan Presiden dan Wakil Presiden dan
Ketetapan MPR No. XVII/MPR/1998 tentang Hak Asasi
Manusia.
Manfaat dikeluarkannya TAP MPR Nomor
VIII/MPR/1998 langsung terasa karena pencabutan
syarat referendum adalah langkah awal desakralisasi
konstitusi. Berbeda halnya dengan dua ketetapan
lainnya yang dianggap tidak taat asas, keduanya
baik Ketetapan MPR No. XIII/MPR/1998 tentang
Pembatasan Masa Jabatan Presiden dan Wakil Presiden
telah mengubah Pasal 7 UUD 1945 yang berbunyi : “
Presiden dan Wakil Presiden memegang jabatan selama
masa lima tahun, dan sesudahnya dapat dipilih
kembali”. dan Ketetapan MPR No. XVII/MPR/1998
tentang Hak Asasi Manusia telah diatur dalam Pasal
27, Pasal 28, Pasal 29 ayat (2) merupakan perubahan
di luar kerangka UUD 1945 (buiten de grondwet) karena
secara tidak langsung menyentuh muatan UUD 1945
sebagaimana dinyatakan Krisna Harahap.121)
121) Krisna Harahap, Konstitusi Republik, Op.cit., hlm. 60.
165
Asas yang disimpangi adalah asas lex superiori derogat
lege inferiori bahwa ketentuan yang lebih tinggi
derajatnya mengesampingkan ketentuan yang
derajatnya lebih rendah. Permasalahannya, mengacu
pada ketentuan tata urutan perundang-undangan yang
berlaku saat itu Ketetapan MPRS No.XX/MPRS/1966
menempatkan Ketetapan MPR pada urutan kedua setelah
UUD 1945. Oleh sebab itu, TAP MPR tidak mungkin
mengubah UUD 1945 yang tingkatannya lebih tinggi.
Jalan keluar permasalahan di atas adalah adanya
kesepakatan bahwa bentuk hukum perubahan UUD 1945
dinamakan perubahan UUD, yang merupakan produk
hukum baru dan tingkatannya sederajat dengan UUD.
Situasi demikian mengisyaratkan bahwa TAP MPRS
No.XX/MPRS/1966 tidak dapat lagi dipertahankan
sebagai sumber tertib hukum dan tata urut peraturan
perundang-undangan Indonesia.122) Itu artinya
ketetapan MPR yang telah mengubah ketentuan dalam
diberikan predikat atau istilah baru yaitu istilah
122) Suharizal dan Firdaus Arifin, Op.cit., hlm. 68.
166
perubahan UUD yang kedudukannya akan dijadikan
setingkat UUD.
Sejauh ini kesepakatan menjadikan perubahan UUD
sebagai produk hukum baru masih berupa wacana,
karena pengaturan tata urutan peraturan perundang-
undangan baik TAP MPR RI Nomor III/MPR/2000
tentang Sumber Hukum dan Tata Urutan Peraturan
Perundang-undangan maupun berdasarkan UU No.10 th
2004 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-
undangan tidak ada yang mencantumkan perubahan UUD
sebagai salah satu dari bentuk peraturan perundang-
undangan. Maka penyimpangan terhadap tata urutan
peraturan perundang-undangan tetaplah penyimpangan.
Pengaruh penyimpangan terhadap validitas
perubahan konstitusi secara umum disimpulkan tidak
lantas membatalkan hasil perubahan tahap pertama.
Karena persyaratan perubahan melalui referendum
dibuat dalam bentuk Ketetapan MPR dan dicabut dalam
bentuk yang sama. Sedangkan untuk Ketetapan MPR No.
XIII/MPR/1998 tentang Pembatasan Masa Jabatan
167
Presiden dan Wakil Presiden telah mengubah Pasal 7
UUD 1945 dianulir dengan memasukkannya dalam
perubahan konstitusi tahap pertama. Menanggapi hal
ini Mochamad Isnaeni R. menyatakan:123)
Kesalahan MPR 1997-2002 kemudian dikoreksi olehMPR-hasil pemilihan umum 1999- dalam Sidang Umum yangdiselenggarakan pada tanggal 14 Oktober sampaidengan 21 Oktober 1999 dan menghasilkanPerubahan Pertama UUD 1945 yang mengangkatrumusan Ketetapan MPR-RI No. XIII/MPR/1998tentang Pembatasan Masa Jabatan Presiden dan WakilPresiden Republik Indonesia (13 November 1998) dalamPerubahan Pasal 7 UUD 1945.
Kekuatan politik berperan sebagai alasan
pembenar dan melahirkan berbagai dalih klasik
seperti : persyaratan referendum telah membelenggu
kesempatan perubahan konstitusi; mencegah terulang
kembali praktek mendirikan dinasti (d.h.i
pembatasan masa jabatan presiden); membatasi ruang
gerak pemerintahan beserta kroni terdahulu yang
sewaktu-waktu dapat mengambil alih kekuasaan karena
kondisi negara yang belum stabil (masa transisi);
upaya memperbaiki tatanan kehidupan bernegara dalam
123) Mochamad Isnaeni R dalam Sri Soemantri, Op.cit., hlm. 267
168
waktu singkat. Keseluruhan alasan berbau politis
tersebut pada intinya menyelamatkan bangsa dari
praktik penyelewengan kekuasaan. Bahkan, Krisna
Harahap menuliskan bahwa yang sebenarnya, betapa
pun kakunya suatu konstitusi bila kekuatan politik
yang sedang berkuasa ingin mengubahnya, perubahan
akan terjadi, dan argumen ini berlaku untuk hal
sebaliknya.124)
Indonesia sebagai negara hukum seharusnya tidak
membiarkan muatan konstitusi yang menjadi
fundamental law dan grundnorm bagi kehidupan
bernegaranya sebagai produk yang asal jadi.
Sebagaimana diketahui, bahwa UUD 1945 mengatur
seruan paham konstitusi, yaitu anatomi kekuasaan
tunduk kepada hukum (supremasi hukum). Pada umumnya
negara seperti ini mensyaratkan cara mengubah yang
memerlukan prosedur yang lebih berat daripada
pembuatan undang-undang.
124) Krisna Harahap, Konstitusi Repubik, Op.cit., hlm. 9.
169
Dihubungkan dengan pendapat Wheare, menempatkan
konstitusi pada kedudukan yang tinggi (supreme) ada
semacam jaminan bahwa:
“Konstitusi itu akan diperhatikan dan ditaatidan menjamin agar konstitusi tidak akan dirusakdan diubah begitu saja secara sembarangan.Perubahannya harus dilakukan secara hikmat,penuh kesungguhan dan pertimbangan yangmendalam. Agar maksud ini dapat dilaksanakandengan baik maka perubahannya pada umumnyamensyaratkan adanya suatu proses dan proseduryang khusus atau istimewa.” 125)
Beranjak dari pemaparan di atas, langkah
berikutnya adalah menyesuai-kan sistem dan prosedur
perubahan konstitusi dengan pelaksanaan perubahan
itu sendiri, berikut ini cek silang kesesuaian
tersebut :
No. Sistem dan ProsedurPerubahan
Sistem dan Prosedurdalam Praktik
1 Cara perubahan konstitusi:
formal Amendment, yaitu
perubahan yang diatur dalam
konstitusi.
Cara perubahan konstitusi:
perubahan tahap pertama
dilakukan dengan cara formal
Amendment, perubahan diatur
dalam konstitusi yaitu Pasal125) Wheare dalam Dahlan Thaib, dkk., Op.cit., hlm 65.
170
37 ayat (1) dan (2) UUD 1945
mengenai Perubahan UUD 1945/
Konstitusi.
2 Sistem/teknik : Addendum,
ketentuan dalam UUD
terdahulu hanya mengalami
penambahan saja dengan
tetap memberlakukan naskah
aslinya (sebelum
perubahan).
Sistem/teknik : Addendum,
perubah-an terhadap 9 Pasal
(16 butir keten-tuan) tidak
menggantikan UUD 1945
melainkan berupa penambahan
dengan tetap memberlakukan
naskah aslinya.
3 Prosedur : berdasarkan
Pasal 37 UUD 1945 terdapat
3 norma, yakni:
1. Bahwa wewenang untukmengubah UUD ada padaMPR sebagai LembagaTertinggi
Prosedur : perubahan tahap
pertama didasarkan pada Pasal
37 UUD 1945, sebagaimana
berikut:
1. wewenang untuk mengubahUUD ada pada MPR sebagaiLembaga Tertinggi denganmembentuk Panitia Ad HocIII (PAH III) dengan tugasdan wewenang membicarakandan memusyawarahkan usulamandemen/ perubahan.Dasar yuridisnya adalahKeputusan Badan PekerjaMPR-RI No. 2/BP/1999.
Setelah PAH IIImelaporkan hasil kerjanya,maka melalui Keputusan MPRNo.5/MPR/1999, MPR mem-bentuk Komisi C yangbertugas untuk
171
2. Bahwa untuk mengubah UUDkuorum yang harusdipenuhi sekurang –kurangnya adalah 2/3dari seluruh jumlahanggota MPR;
3. Bahwa putusan tentangperubahan UUD adalah sahapabila disetujui olehsekurang – kurangnya 2/3dari anggota MPR yanghadir.
memusyawarahkan danmengambil putusan mengenaiRancangan Putusan MPR RItentang Perubahan UUD1945.
Selanjutnya, hasilkerja Komisi C dilaporkanpada Rapat Paripurna yangmelibatkan seluruh anggotaMPR.
2. Agenda Rapat Paripurna ke-12, adalah Laporan Komisi-komisi Majelis yangdilanjutkan agendaPendapat Akhir Fraksi-fraksi terhadap HasilKomisi-komisi. Di dalamnyadibahas mengenaikesepakatan seluruh fraksimengenai hasil kerjaKomisi C.Pada tahap ini perubahan
konstitusi yang sebenarnyatengah berlangsung, jadijumlah kuorum yangdibutuhkan untukmengetahui sah tidaknyaper-ubahan perludibuktikan dengan datayang kredibel sebagaimanaberikut :Berdasarkan rekapitulasi
daftar hadir RapatParipurna ke-12 sidangumum MPR-RI tahun 1999(lanjutan) pada hariselasa, 19 Oktober1999 :126) - jumlah anggota : 695 orang.
- hadir : 654 orang.- belum hadir : 41.- perhitungan minimal 2/3 X 695 = 463 orang.
126) Keterangan lebih lanjut lihat pada lampiran.
172
Kesimpulannya : Rapattelah memenuhi kuorum.
3. Hasil akhir perubahankonstitusi ditentukan padarapat yang sama yaituRapat Paripurna ke-12.Untuk menghitung syaratsah perubahan harusdisetujui oleh sekurang-kurangnya :- jumlah anggota yang hadir : 654 orang.
- 2/3 X 654 = 436 orang.Sesuai dengan Tata
Tertib MPR mengenaiPengambilan KeputusanMajelis yaitu Pasal 79ayat (1) dikata-kan bahwa“ pengambilan keputusanpada asasnya diusahakansejauh mungkin denganmusyawarah untuk mencapaimufakat; apabila tidakmungkin, putusan diambilberdasar-kan suaraterbanyak”. Cara pertama pengambilan
keputusan adalah melaluimusyawarah untuk mencapaimufakat, sedangkan votingatau keputusan berdasarkansuara terbanyak adalahalternatif kedua.Penerapannya padapengambilan keputusandalam perubahan tahappertama ini bahwapersetujuan majelis tidakdilakukan berdasarkanpengambilan suaraterbanyak, melainkanmusya-warah untuk mufakat.Karena itu voting tidakperlu dilakukan.Persetujuan majelis
disimpul-kan oleh Ketua
173
MPR RI, Amin Rais sebagaiberikut
“ … Sidang Majelis yang sayahormati adapun Rancangan-Rancangan Ketetapan MPR yangtelah mendapatkan kesepakatansemua fraksi adalah:
1. Rancangan perubahanUndang-undang DasarNegara Republik IndonesiaTahun 1945”.
Kesimpulannya, perubahankonstitusi tahap pertamatelah mendapat persetujuanmelaui musyawarah untukmufakat yang sah sebagaikeputusan bersama.
Sehubungan dengan tabel di atas yang memberikan
komparasi secara terbuka mengenai kesesuaian antara
ilmu teoritis dengan praktik di lapangan. Maka,
dapat disimpulkan bahwa perubahan tahap pertama
konstitusi Republik Indonesia telah sesuai dengan
sistem dan prosedur yang ditentukan. Di bawah ini
bagan prosedur perubahan UUD 1945 untuk memudahkan
mengetahui alur perubahan yang seharusnya dan
alternatif yang dapat digunakan. Prosedur perubahan
cara pertama adalah prosedur yang digunakan oleh
Majelis untuk perubahan tahap pertama.
174
d i t e r u s k a n
Ajukan usul perubahan
Anggota-anggotaMPR
45 orang
Majelis Permusyawaratan
Rakyat
dibahasDiterima/ditolak
Badan Pekerja MPR
dipersiapkan
diumumkanLembar NegaraMajelis
Permusyawaratan Rakyat
3/4 setuju
(5)
d i s a m p a i k a n
(3)melaporkan
(4)
BAGAN
Prosedur Perubahan UUD 1945127)
Cara I*
(1)
(2)
127 Sri Soemantri, Op.cit., hlm. 355-356
membentukPanitia Negaramempelajari &mempersiapkan
175
membentuk
m e m o r a n d u m
Ajukan usul perubahan
Anggota-anggotaDPR
30 orang
Dewan Perwakilan Rakyat
dibahasDiterima/ditolak
Badan Pekerja MPR dipersiapkan
Panitia Negara mempelajari & mempersiapkan
rancangan keputusan
diumumkanLembar NegaraMajelis
Permusyawaratan Rakyat
3/4 setuju
(5)
m e n y a m a i k a n
(3)Melaporkan
(4)
* Cara yang digunakan Perubahan UUD 1945 Tahap
Pertama.
BAGAN
Prosedur Perubahan UUD 1945
Cara II
(1)
(2)
176
1.4. Keharusan Tidak Bertentangan dengan Peraturan
Perundang-undangan yang Lebih Tinggi
Tingkatannya
Hierarki peraturan perundang-undangan yang berlaku
mengkukuhkan kedudukan Undang-Undang Dasar 1945 atau
Konstitusi berada pada tingkatan tertinggi.
Menempatkan konstitusi pada derajat tertinggi
berarti mengakui supremasi konstitusi (Supremasi Law)
yang artinya konstitusi harus ditaati baik oleh
rakyat maupun oleh alat-alat kelengkapan negara
termasuk juga bagi badan pembuat konstitusi itu
sendiri. Derajat tertinggi di antara peraturan
perundang-undangan lainnya yang disandang konstitusi
tidak membuat ia menjadi satu-satunya ketentuan
hukum yang dijadikan acuan. Kedudukan konstitusi
dalam suatu negara bisa dipandang dari dua aspek,
yaitu aspek hukum dan aspek moral.
Pertama, Konstitusi dilihat dari aspek hukum
mempunyai derajat tertinggi Supremasi. Dasar
178
pertimbangan supremasi konstitusi itu adalah karena
beberapa hal:128)
a. Konstitusi dibuat oleh Badan Pembuat Undang-Undang atau lembaga-lembaga.
b. Konstitusi dibentuk atas nama rakyat, berasaldari rakyat, kekuatan berlakunya dijamin olehrakyat, dan ia harus dilaksanakan langsungkepada masyarakat untuk kepentingan mereka.
c. Dilihat dari sudut hukum yang sempit yaitudari proses pembuatannya, konstitusiditetapkan oleh lembaga atau badan yangdiakui keabsahannya.
Mengenai pembuktian bahwa Indonesia termasuk
negara hukum yang memberlakukan dan melaksanakan
seluruh ketentuan di atas dapat dilihat pada
pembahasan sebelumnya.
Kedua, jika konstitusi dilihat dari aspek moral
landasan fundamental, maka konstitusi berada di
bawahnya. Dengan kata lain, konstitusi tidak boleh
bertentangan dengan nilai-nilai universal dari
etika moral. Oleh karena itu dilihat dari
constitutional philoshopy, apabila aturan konstitusi
bertentangan dengan etika moral, maka seharusnya
128) Dahlan Thaib, dkk., Op.cit., hlm 61.
179
konstitusi dikesampingkan. William H. Seward
mencontohkan bahwa konstitusi yang mengesahkan
perbudakan sudah sewajarnya tidak dituruti. Contoh
lain seandainya konstitusi melegalisir sistem
apartheid, dengan sendirinya ia bertentangan dengan
moral.129)
Kembali ke masalah kedudukan konstitusi yang
secara hukum dikatakan tidak ada aturan lain yang
lebih tinggi. Konsekuensi logis yang timbul, bahwa
terdapat kebuntuan dalam menelusuri bentuk
peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi
sehingga tidak perlu lagi dipermasalahkan.
Membandingkan konstitusi dilihat dari aspek moral,
maka kedudukan konstitusi tidak lagi superior. Ada
hal lain yang dianggap lebih fundamental dan
merupakan jati diri bangsa. Moral dijadikan
postulat dalam tindak tanduk manusia secara
universal. Dasar filosofis inilah yang
melatarbelakangi para pendiri negara merumuskan
129) K.C. Wheare dalam Ibid., hlm. 62.
180
konstitusi dalam bentuk tertulis yang disebut
Undang-Undang Dasar 1945.
Diumpamakan ruh, maka dasar filosofis ini
ditiupkan kepada UUD 1945 agar “lebih hidup” dan
mencerminkan jiwa bangsa. Nilai-nilai filosofis itu
digali dari aturan-aturan dasar yang tidak tertulis
yang berkembang dan terpelihara dalam praktik
ketatanegaraan yang keseluruhannya mengikat warga
negara sebagai hukum. Prinsip kenegaraan yang
berlandaskan Ketuhanan Yang Maha Esa; Kemanusiaan
yang adil dan beradab, Persatuan Indonesia dan
Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan
dalam Permusyawaratan/ Perwakilan, serta dengan
mewujudkan suatu Keadilan Sosial bagj seluruh rakyat
Indonesia sebagaimana termuat dalam Pembukaan UUD
1945. Lima prinsip ini dikenal dengan istilah
Pancasila.
Batang Tubuh UUD 1945 merupakan pengejawantahan
Pembukaan UUD 1945 dengan Pancasila di dalamnya.
Dengan demikian, perubahan terhadap Batang Tubuh UUD
181
1945 secara otomatis tidak boleh bertentangan dengan
Pembukaan UUD 1945 itu sendiri. Konklusi dari 9
pasal (16 diktum) yang diubah maka perubahan
konstitusi tahap pertama memiliki orientasi untuk
memberdayakan lembaga tertinggi negara; mengatur
kekuasaan pemerintah negara dan membatasi masa
jabatan presiden sekaligus kekuasaan yang menumpuk
di lembaga eksekutif; memberdayakan Lembaga Legislatif
(DPR).
Mengingat hasil perubahan tahap pertama konstitusi
yang pada hakekatnya upaya preventif terulangi
kediktatoran pemerintah dipengaruhi idealisme dan
semangat reformasi, maka Majelis mendominasi
keinginan untuk memper-sempit ruang gerak pemerintah
dalam arti sempit yang disimbolkan dengan kewenangan
presiden. Suatu pemikiran yang sewajarnya timbul
dari pihak manapun juga sepanjang tidak secara
konstitusional mempolitisir perubahan konstitusi
sebagai langkah untuk menghilangkan sebagian besar
kewenangan Presiden. Bila terjadi demikian, akal
182
sehat manapun tidak akan menerima hasil perubahan
tersebut sebagai preseden yang baik. Pada
prinsipnya, keberlakuan dari semua kaidah hukum yang
termasuk ke dalam sebuah tatanan hukum tertentu
timbul (berasal) dari konstitusi. Sedangkan, dilihat
secara moral konstitusi merupakan perwujudan dari
kaidah yang lebih tinggi yaitu Pancasila.
Dihubungkan dengan kaidah-kaidah dalam Pembukaan UUD
1945 atau Pancasila, maka perubahan tahap pertama
konstitusi disimpulkan tidak menyimpang dari koridor
hukum ataupun moral yang terkandung pada Pembukaan
UUD 1945 itu sendiri.
2. Kajian dari Sudut Filosofis
Setelah secara panjang lebar diuraikan mengenai
latar belakang dan proses MPR melakukan perubahan di
sub bab sebelumnya dan kajian yuridis yang dipaparkan
memberi suatu pernyataan bahwa secara umum perubahan
tahap pertama konstitusi telah memenuhi unsur-unsur
yuridis. Bila unsur yuridis adalah salah satu unsur
yang telah terpenuhi maka saatnya melakukan kajian
183
terhadap perubahan tahap pertama konstitusi dikaji
secara filosofis.
Berfikir secara filosofis berarti berfikir secara
sistematis dengan menggunakan logika berpikir yang baik
dan benar. Memberikan kejelasan tantang sifat khas
(hakikat) dari ide hukum atau cita-hukum (rechtssidee)
adalah tugas penting filsafat hukum. Mengingat filsafat
hukum adalah sebuah “sistem terbuka” yang di dalamnya
semua tema dipertautkan satu dengan lainnya.130)
Berkaitan dengan hal tersebut, maka kajian filosofis
ini akan membahas kajian filosofis perubahan konstitusi
secara umum; Pembukaan UUD 1945 dalam kerangka filsafat
hukum yang di dalamnya termuat alasan tidak diubahnya
Pembukaan UUD 1945 oleh MPR.
a. Kajian Umum Filosofis Perubahan Konstitusi Tahap
Pertama
Keadilan menjadi sesuatu yang sangat didamba-
dambakan oleh setiap manusia di manapun ia berada.
130) D.H.M. Meuwissen, Pengembangan Hukum, Ilmu Hukum, Teori Hukumdan Filsafat Hukum (diterjemahkan oleh B. Arief Sidharta), Bandung:Diktat Kuliah, 2006, hlm. 14.
184
Keadilan adalah suatu kebutuhan mengenai bagaimana ia
ingin diperlakukan dan kewajiban bagaimana ia harus
memper-lakukan orang yang lainnya. Dalam filsafat hukum
keadilan merupakan tujuan akhir yang ingin dicapai oleh
hukum, karena menurutnya hukum harus senantiasa
mencerminkan keadilan. Indonesia sebagai negara hukum
yang memiliki UUD 1945 atau konstitusi sebagai
perangkat yuridis sekaligus politis kehidupan bernegara
mencitakan keadilan, ketertiban dan kesejahteraan
bangsa.
Syarat atau unsur negara hukum menurut Philipus M.
Hadjon salah satunya adanya undang-undang dasar atau
konstitusi yang memuat ketentuan tertulis tentang
hubungan antara penguasa dan rakyat. Nada yang sama
dirumuskan Friedrich Julius Stahl dengan redaksional
pemerintahan didasarkan pada undang-undang.
Dielaborasikan dengan pandangan hukum alam yang diusung
Marsillius dalam bidang filsafat politik, yakni tentang
negara sebagai masyarakat yang lengkap. Menurut
Marsillius negara adalah rakyat, yang secara bebas
185
membangun hidup bersama melalui wakil-wakilnya demi
kepentingan umum. Tugas utama negara adalah membentuk
undang-undang yang adil. Kekuasaan legislatif yang
membentuk undang-undang itu harus dianggap sebagai
kekuasaan tertinggi. Kekuasaan eksekutif berada di
bawah kekuasaan legislatif.131)
Penerapan bahwa kekuasaan eksekutif lebih rendah
dari kekuasaan legislatif menginspirasi MPR pada
perubahan pertama konstitusi untuk memberi lembaga
legislatif kekuasaan yang lebih besar dan membatasi
kekuasaan. Kekuasaan eksekutif sebelum perubahan memang
sangat besar dan leluasa, hal ini mendorong terjadinya
penyalahgunaan kekuasaan dan terjadinya suatu sindrom
kekuasaan. Sindrom haus untuk meraih kekuasaan yang
lebih besar dan mempertahankannya dengan menghalalkan
segala apapun.
Menariknya, sindrom haus kekuasaan tidak memandang
bulu, itu artinya dengan kekuasaan yang besar pada
lembaga legislatif bukan berarti tidak akan terjadi
131) Theo Huijbers, Op.cit., hlm.53.
186
penyelewengan dan penyalahgunaan kekuasaan.
Kontradiktif dengan pendapat Marsillius, aliran
positivisme memiliki pembenaran atas besarnya kekuasaan
Presiden132) yang menjadi pucuk pimpinan negara. Jean
Bodin sebagai salah satu penganutnya melempar suatu ide
kedaulatan (souverainité). Maksudnya bahwa dalam negara
terdapat suatu kekuasaan atas warga-warga negara yang
dibatasi oleh suatu kekuasaan lain, pun pula tidak
terikat pada undang-undang. Menurut Bodin seorang raja
mempunyai kedaulatan itu.133)
Indonesia sebagai negara hukum harus memahami bahwa
hubungan antara negara dengan hukum merupakan hubungan
timbal balik. Hal ini dikemukakan oleh J.W.M. Engels
disadur oleh Krisna Harahap kekuasaan (negara) tanpa
hukum, tidak memiliki kewibawaan, sedangkan hukum tanpa
sanksi, sulit ditegakkan. Dalam hubungan tersebut,
hukum melegitimasi negara, sedangkan negara
132) Presiden sebagai istilah Pemimpin Negara berbentukRepublik atau Kesatuan, di negara Monarki atau Kerajaan dapatdisebut sebagai Raja, Sultan atau istilah lainnya.
133) Theo Huijbers, Op.cit., hlm. 57.
187
mempositifkan dan menegakkan hukum.134) Mengacu pada
syarat lainnya yaitu pembagian kekuasaan baik itu tugas
dan wewenang antar lembaga negara yang adil sehingga
proses check and balances dapat berjalan. Maka, bergesernya
pemusatan kekuasaan dari eksekutif menuju legislatif
pada perubahan pertama konstitusi tidak membawa
perubahan yang terlalu substansial apabila melihat efek
yang dapat terjadi dari pembagian yang tidak seimbang
atau tetap memusatkannya pada salah satu lembaga
negara. Kekuasaan yang terbagi secara proporsional
seharusnya menjadi prioritas MPR bukan lantas
menumpukkannya pada lembaga negara lain.
Di akhir pembahasan latar belakang perubahan
konstitusi tahap pertama sub bab sebelumnya disimpulkan
bahwa faktor yang melatarbelakangi perubahan tidak
hanya faktor legal saja melainkan faktor non legal
seperti historis, filosofis, dan sosial politis.
Keseluruhan faktor tersebut nyata mempengaruhi
perubahan konstitusi, karena demikianlah realitas134) J.W.M. Engels dalam Krisna Harahap, Konstitusi Republik,
Op.cit., hlm. 11.
188
situasi kondisi saat itu. Kemungkinan hasil perubahan
konstitusi condong pada salah satu faktor memang ada,
bahkan pada perubahan secara keseluruhan yaitu tahap
pertama hingga empat diakui sebagai produk legislasi
pesanan “sponsor domestik maupun asing” dan reformasi
yang kebablasan.
Beberapa aliran filsafat hukum membaca situasi
seperti ini sebagai suatu perenungan yang melahirkan
teori pembenaran atau mungkin menjadi anti tesis yang
menumbangkan teori lainnya sehingga didapat sintesis
yang baru. Bagaimana dengan Indonesia, aliran filsafat
hukum apa yang memberi pengaruh terhadap pola berpikir
para anggota majelis. Sehingga dengan sangat percaya
diri tidak membuat kajian filosofis terlebih dahulu
secara komprehensif sebelum melakukan perubahan.
Orientasi MPR pada perubahan tahap pertama adalah
pembatasan kekuasaan eksekutif yang hasilnya menggeser
kekuasaan tersebut pada kekuasaan legislatif. Tepat
atau tidaknya langkah MPR menggeser kekuasaan tersebut
189
diuji oleh teori filsafat hukum mengenai negara,
kekuasaan dan hukum itu sendiri.
Hukum, cenderung sulit untuk tidak keluar jalur
bila dipengaruhi oleh terlalu banyak faktor dan
kepentingan non hukum sebagaimana dikemukakan Hans
Kelsen dengan teori murni tentang hukumnya. Kelsen
mengatakan, bahwa hukum itu harus dibersihkan dari
anasir-anasir yang tidak yuridis seperti etis,
sosiologis, politis, ekonomi dan sebagainya. Dari unsur
etis berarti, konsepsi hukum Hans Kelsen tidak memberi
tempat bagi berlakunya suatu hukum alam. Etika
memberikan suatu penilaian tentang baik dan buruk.
Ajaran Kelsen menghindari diri dari soal penilaian ini.
Dari unsur sosiologis berarti bahwa ajaran hukum Hans
Kelsen tidak memberi tempat bagi hukum kebiasaan yang
hidup dan berkembang di dalam masyarakat.135)
Ajaran hukum Kelsen hanya memandang sollen yuridis
semata-mata yang sama sekali terlepas dari das
sein/kenyataan sosial. Hukum merupakan sollenskatagori
135) Lili Rasjidi, Dasar-dasar..., Op.cit., Hlm. 61.
190
dan bukan seinskatagori : orang menaati hukum karena ia
merasa wajib untuk menaatinya sebagai suatu kehendak
negara. Hukum itu tidak lain merupakan suatu kaidah
ketertiban yang menghendaki orang menaatinya
sebagaimana seharusnya. Yang membeli barang seharusnya
membayar. Apakah dalam kenyataan si pembeli itu
membayar atau tidak, itu soal yang menyangkut kenyataan
dalam masyarakat dan hal itu bukan menjadi wewenang
illmu hukum.136)
Indonesia sendiri bersumberkan hukum yang tidak
saja berbentuk tertulis melainkan yang tidak tertulis,
contohnya hukum adat yang hingga saat ini masih
berlaku. Bagi beberapa ahli tata negara, Indonesia
memiliki konsep negara hukum Pancasila137) dalam arti
negara yang berdasarkan filsafat Pancasila yang
menjunjung tinggi faham kekeluargaan. Bahkan, konsep
Pancasila digali dan diserap dari aspirasi dan jiwa
bangsa Indonesia lengkap dengan segala atribut
136) Ibid.137) Konsep negara Pancasila diutarakan oleh Sri Soemantri
dalam Bunga Rampai Hukum Tata Negara .
191
kebudayaan, ketuhanan, politik, ekonomi, dan
sosiologis. Di samping itu, nilai-nilai universal yang
terdapat dalam Pancasila sebagai sumber hukum material
berhubungan erat dengan teori hukum alam.
Situasi ini menjadi dilematis ketika ajaran teori
murni tentang hukum secara langsung maupun tidak
langsung mendapat tekanan dari aliran lainnya. Apabila
dihubungkan dengan faktor perubahan baik itu historis,
filosofis, dan sosial politis semuanya memiliki dasar
pembenarannya masing-masing. Logisnya, sumber hukum
tidak hanya berasal dari sumber hukum formal (wellbron)
saja melainkan sumber hukum material (kenbron). Bahkan
seharusnya sumber hukum formal mengacu pada sumber
hukum material tersebut untuk dijadikan Undang-Undang
Dasar yang merupakan wujud dari hukum formal.
Krisnayadi menyatakan bahwa sumber hukum material
merupakan faktor-faktor yang turut serta menentukan isi
hukum, dan faktor-faktor tersebut adalah faktor-faktor
ideal dan faktor kemasyarakatan. Faktor ideal adalah
pedoman yang tetap tentang keadilan yang harus ditaati
192
oleh pembentuk Undang-undang atau lembaga-lembaga
pembentuk hukum serta aparat pemerintah lainnya dalam
menjalankan tugas dan mengelola negara yaitu ketertiban
dan kesejahteraan umum. Faktor kemasyarakatan adalah
hal-hal yang aktual yang hidup dalam masyarakat berupa
kenyataan-kenyataan yang patuh pada ketentuan-ketentuan
yang berlaku dalam masyarakat tersebut.138)
Lebih lanjut Krisnayadi mengatakan, kenyataan yang
hidup tersebut merupakan bahan bagi perencana pembentuk
undang-undang dan dengan bantuan faktor ideal dijadikan
hukum. Tergolong dalam faktor kemasyarakatan meliputi
struktur ekonomi, kebiasaan yang telah membaku dalam
masyarakat yang terus tumbuh dan berkembang dan pada
tingkat tertentu ditaati sebagai pola tingkah laku yang
tetap, hukum positif, tata hukum negara lain, keyakinan
tentang agama dan kepercayaan kepada Tuhan Yang Maha
Esa termasuk juga kesusilaan dan kesadaran hukum
masyarakat.
138) Krisnajadi, Bab-bab Pengantar Ilmu Hukum Bagian I, Bandung :STHB Press, tanpa tahun, hlm. 71-72.
193
Melalui paradigma bahwa sumber konstitusi meliputi
sumber hukum formal dan material, maka perlu ditelusuri
dari mana kaidah konstitusi tersebut memperoleh
keberlakuannya. Kaidah konstitusi mewujudkan tataran
tertinggi yang memperoleh dan melandaskan
keberlakuannya dari grundnorm. Dwidja Priyatno
menyatakan, grundnorm memang landasan keberlakuan
tertinggi dari sebuah tatanan hukum, namun ia sendiri
bukanlah sebuah kaidah hukum karena ia tidak memiliki
positivitas. Grundnorm bukanlah kaidah yang ditetapkan
oleh orang (manusia) secara eksplisit ataupun secara
diam-diam. Lebih dari itu, ketidakpatuhan terhadap
grundnorm tidak terdapat sanksi (tidak ada sanksinya)
seperti yang terjadi pada kaidah-kaidah hukum.
Grundnorm adalah kaidah yang diandaikan dalam pemikiran
manusia dan bukan kaidah yang dikehendaki. Grundnorm
itu adalah sebuah kaidah hipotetikal, atau sebuah fiksi
sebagaimana yang telah dikatakan oleh Kelsen sendiri.
194
(Jadi, Grundnorm itu tidak gesetzt, melainkan
vorausgesetzt).139)
Terbentuknya grundnorm bagi ketatanegaraan Indonesia
diletakkan pertama kali oleh para pendiri bangsa dan
sejak saat itu menjadi postulat hukum tersendiri.
Paparan mengenai latar belakang perubahan konstitusi di
awal pembahasan menunjukkan, bahwa masa kemerdekaan
merupakan alasan utama dibentuknya konstitusi Indonesia
karena pembentukan UUD suatu negara selalu didahului
dan beriringan dengan sejarah berdirinya suatu negara.
Seperti halnya UUD 1945, yang dibentuk beriringan
dengan pernyataan kemerdekaan Indonesia.
Sedangkan penentu desakralisasi konstitusi di era
reformasi adalah reformasi itu sendiri. Menurut Dwidja,
sebuah tatanan hukum dapat kehilangan legimitasinya
jika terjadi revolusi karena tatanan hukum lama akan
terjungkal dan terbentuk sebuah tatanan hukum baru.
Revolusi di sini diartikan sebagai sebuah perubahan
139) Dwidja Priyatno, Grundnorm-nya Hans Kelsen, (bahan kuliahFilsafat Hukum Sekolah Tinggi Hukum Bandung): Bandung, 2006, hlm.1-3.
195
pemerintahan yang inkonstitusional; sebuah pemutusan
dengan tatanan hukum lama. Syaratnya adalah bahwa
revolusi itu berhasil dan mampu mempertahankan diri
terhadap pengemban kekuasaan (para penguasa) dan
tatanan hukum terdahulu, dengan kata lain: efektif.
Jika hal ini dipenuhi maka terdapatlah sebuah tatanan
hukum baru yang efektif yang bertumpu di atas sebuah
Grundnorm yang baru.140) Namun, perlu ditegaskan kembali
bahwa yang terjadi di Indonesia bukanlah revolusi
melainkan reformasi yang konstitusional sehingga
grundnorm yang lama masih tetap berlaku. Baik awal
kemerdekaan dan reformasi keduanya merupakan bukti
bahwa setiap peristiwa konstitusional dipengaruhi suatu
perjalanan waktu yang dibingkai oleh sejarah.
Dasar pembenaran faktor historis sebagai unsur yang
mempengaruhi perubahan konstitusi, karena faktor
sejarah sebagai suatu gejala masyarakat
melatarbelakangi perubahan konstitusi tidak akan lepas
dari pertimbangan seluruh teoritisi maupun praktisi
140) Dwidja Priyatno, Grundnorm-nya…, Ibid., hlm. 3.
196
dalam menyelenggarakan aktivitas ketatanegaraan.
Sejarah di masa lalu merupakan preseden bagi masa kini
dan masa depan. Oleh karena itu, tidaklah mungkin suatu
peristiwa ketatanegaraan yang konstitusional tidak
diimbangi dengan pertimbangan sejarah. Selain itu,
sejarah perlu untuk diketahui sebagai pembelajaran
masyarakat yang hidup kemudian. Sehingga masyarakat
masa kini dapat melakukan perbaikan, pengembangan ide,
gagasan dan penyempurnaan kekurangan di masa lalu.
Begitu pun dengan perubahan konstitusi tahap
pertama, hal ini dibenarkan oleh F. von Savigny, hukum
merupakan salah satu faktor dalam kehidupan bersama
suatu bangsa, seperti bahasa, adat, moral, tatanegara.
Oleh karena itu hukum adalah sesuatu yang bersifat
supra-individual, suatu gejala masyarakat. Tetapi suatu
masyarakat lahir dalam sejarah, berkembang dalam
sejarah dan lenyap dalam sejarah. Nyatalah hukum yang
termasuk masyarakat ikut serta dalam perkembangan
organis itu. Lepas dari perkembangan masyarakat tidak
197
terdapat hukum sama sekali.141) Konsep orisinil dari
mazhab sejarah ini adalah hukum itu tidak dibuat,
tetapi tumbuh dan berkembang bersama masyarakat.
Menurut von Savigny, untuk dapat merumuskan suatu
hukum yang sesuai dengan jiwa bangsa, perlu diselidiki
dulu apa sebenarnya semangat dan jiwa bangsa, manakah
keyakinan-keyakinan bangsa yang dapat menjadi dasar
sesuatu tatahukum yang memadai. Kalau hal ini
dilalaikan, maka timbullah bahaya adanya jurang antara
jiwa bangsa dan hukum yang terkandung dalam tatahukum
negara. Oleh karena hukum berkembang dalam sejarah,
maka menurut von Savigny terlebih dahulu perkembangan
hukum perlu dipelajari secara ilmiah historis, sebelum
hukum itu dikodifikasi.142) Begitu pula dengan Puchta,
murid von Savigny berpendapat bahwa hukum berazaskan
pada keyakinan bangsa, baik menurut isinya maupun
menurut ikatan materialnya. Artinya bahwa hukum timbul
dan berlaku oleh karena terikat pada jiwa bangsa.
Timbulnya itu terjadi dalam tiga bentuk. Hukum timbul141) Theo Huijbers, Op.cit., hlm. 118.142) Ibid., hlm. 119.
198
dari jiwa bangsa melalui undang-undang (yang dibentuk
oleh negara) dan melalui ilmu pengetahuan hukum (yang
merupakan karya ahli-ahli hukum).143)
Montesquieu melihat adanya hubungan yang erat
antara hukum alam dan situasi kongkret suatu bangsa.
Menurutnya undang-undang yang paling baik adalah
undang-undang yang paling cocok dengan suatu bangsa
tertentu.144) Mempertautkan seluruh alasan tersebut,
maka pada perubahan konstitusi tahap pertama yang telah
menggeser kekuasaan eksekutif kepada legislatif pada
umumnya secara filosofis dapat dibenarkan. Hal ini
dikarenakan grundnorm yang terdapat pada batang tubuh
UUD 1945 tidak mengalami perubahan yang mengubah kaidah
dasar yang terkandung di dalamnya. Terlebih apabila
dihubungkan dengan kondisi saat itu yang tengah
mengalami transisi memang sungguh-sungguh membutuhkan
sikap tegas untuk membatasi kekuasaan eksekutif
termasuk masa jabatan Presiden guna mencegah dan
menghindari diktatorialisme. 143) Ibid., hlm. 120.144) Ibid., hlm. 87.
199
Mengenai alasan pembenar perlunya faktor non legal
seperti unsur politis dan sosiologis akan dikemukakan
dalam kajian tersendiri yaitu kajian sosiologis.
Sedangkan penolakan Kelsen terhadap hukum alam
dihubungkan dengan nilai-nilai universal yang
terkandung dalam Pancasila dan Pembukaan UUD 1945
dijelaskan dalam sub di bawah ini.
b. Pembukaan Undang-Undang Dasar 1945 dalam
Kerangka Filsafat
Pembukaan Undang-Undang Dasar sebagai
staatsfundamentalnorm tidak-lah sama dengan grundnorm yang
berupa pasal-pasal muatan suatu UUD. Salah satu yang
membedakan keduanya adalah, bahwa Pembukaan tidak dapat
diubah oleh siapa pun sedangkan UUD masih membuka
peluang untuk diubah dengan tetap menyandarkan diri
pada Staatsfundamentalnorm.
Ketika berbicara kedudukan konstitusi dilihat dari
aspek moral landasan fundamental, maka konstitusi
berada di bawah nilai-nilai universal dari etika moral.
200
Nilai-nilai universal dimaksud berkaitan dengan hukum
alam yang berakar pada batin manusia atau masyarakat
yang lepas dari konvensi, perundang-undangan, atau
lain-lain alat kelembagaan.145) Nilai-nilai universal
itu menjadi constitutional philoshopy yang melandasi pendiri
negara Indonesia bertekad untuk merumuskan konstitusi
yang beretika dan bermoral dengan nama Pancasila.
Lebih lanjut, kelima sila itu dibuatkan suatu
bentuk yang lebih menyeluruh dan jelas berupa Pembukaan
Undang-Undang Dasar 1945. Sebagai pengejawantahan
Pancasila, maka inti Pembukaan Undang-Undang Dasar 1945
adalah Pancasila. Pancasila adalah dasar filasafat
Negara Republik Indonesia; kepribadian bangsa
Indonesia; dan ideologi bangsa Indonesia yang mempunyai
kekuatan mengikat secara hukum. Oleh karena itu,
seluruh pasal UUD 1945 seharusnya mengandung nilai
moral Pancasila. Mengutarakan fungsi Pancasila yang
sedemikian istimewa menimbulkan keingintahuan mengenai
teori apa yang melatarbelakangi arti pentingnya145) M. Shodiq Dahlan dalam Lili Rasjidi, Filsafat Hukum Mazhab dan
Refleksinya, Bandung: Remaja Karya, 1989, hlm. 18.
201
Pancasila dengan mencari tahu hakekat Pancasila dalam
ilmu filsafat hukum. Pancasila sebagai ketentuan yang
lebih tinggi disebut grundnorm atau norma dasar yang
bersifat hipotesis. Pancasila terkandung dalam Alinea
keempat Pembukaan Undang-Undang Dasar 1945.
Makna Pembukaan Undang-Undang Dasar 1945 erat
kaitannya dengan hakekat konstitusi. Salah satu hakekat
konstitusi adalah sebagai birth certificate, sama halnya
akta kelahiran dari suatu negara. Menurut Firman Hasan,
dengan memaknai hakekat dari konstitusi tersebut maka
dapat dikaji, bahwa keberadaan Pembukaan UUD 1945 dapat
dikatakan merupakan pencerminan dari hakekat konstitusi
sendiri. Hal ini dapat dibuktikan dengan melihat isi
yang terkandung dalam Pembukaan UUD 1945 yang berisi
pernyataan atas kemerdekaan, yang diwujudkan sebagai
tanda kemerdekaan.146)
Apabila ditelaah secara mendalam isi Pembukaan UUD
1945, maka dapat diketahui bahwa pembentukan negara
Republik Indonesia tidak semata-mata merupakan suatu
146) Firman Hasan, Op.cit., hlm. 2.
202
gejala dari revolusi rakyat Indonesia, tetapi mempunyai
tujuan tertentu yang lebih jauh dan mendalam.147) Kata-
kata dan kalimat dalam Pembukaan UUD 1945 mengandung
makna yang sangat mendalam, khususnya dalam konteks
perlindungan hak asasi manusia yang merupakan ciri
utama dari negara hukum.148)
Makna yang terkandung dalam setiap alinea Pembukaan
UUD 1945 memiliki kerangka berpikir yang luas dan
mendalam. Berkaitan dengan hal tersebut, Otje Salman
yang telah membuat telaah keilmuan untuk mengetahui
seberapa jauh muatan yang terkandung dalam setiap
alinea Pembukaan UUD 1945.149) Hasil telaahan beliau
akan dipaparkan di bawah ini.
Alinea pertama Pembukaan UUD 1945, secara
substansial mengandung pokok pikiran tentang “peri
keadilan”. Konsepsi berpikir dari makna kata tersebut,
sebenarnya mengarah pada konsepsi ideal dari tujuan
147) Kuntjoro Purbopranoto dalam Efran Helmi, Kajian Yuridis Normatifterhadap Difusi Hukum dan Akulturasi Hukum Dalam Proses Pelembagaan HukumMenuju Sistem Hukum Nasional Indonesia, (Disertasi Fakultas HukumUniversitas Parahyangan: Bandung), hlm. 30.
148 Ibid., hlm. 30-33.149) Otje Salman dalam Ibid., hlm. 30
203
masyarakat Indonesia, yang apabila dikaitkan dengan
konsepsi hukum alam sebagaimana dikatakan Dias
mengandung makna sebagaimana berikut:150)
1. Ide-ide yang menuntun perkembangan hukum dan
pelaksanaannya;
2. Suatu dasar dalam hukum yang bersifat moral,
yang menjaga agar tidak terjadi suatu pemisahan
secara total antara “yang ada sekarang” dan
“yang seharusnya”;
3. Suatu metode untuk menemukan hukum yang
sempurna;
4. Isi dari hukum yang sempurna, yang dapat
dideduksikan melalui akal;
5. Suatu kondisi yang harus ada bagi kehadiran
hukum.
Secara prinsip, peri keadilan merupakan upaya untuk
menentukan keadilan yang mutlak. Selain itu, peri
keadilan merupakan manifestasi dari upaya manusia yang
150) R.W.M. Dias dikutip Otje Salman dan dikutip kembali dalamIbid., hlm. 30.
204
merindukan adanya hukum yang lebih tinggi daripada
hukum positif.
Alinea kedua Pembukaan UUD 1945 mencerminkan konsep
pemikiran Aliran Utilitarianisme, yang diwakili oleh
Jeremy Bentham dan juga Rudolf von Jhering. Aliran
Utilitarianisme berpendapat bahwa tujuan hukum adalah
untuk mencapai kebahagiaan (kesejahteraan) bagi
masyarakat (the greatest happiness for the greatest number).
Pemikiran aliran tersebut tampak pada kata “adil dan
makmur” dalam alinea kedua Pembukaan UUD 1945.
Makna kata “adil dan makmur” harus dipahami sebagai
kebutuhan masyarakat Indonesia, baik jasmani maupun
rohani. Secara yuridis, hal ini menunjuk pada seberapa
besar kemampuan hukum untuk dapat memberikan
kemanfaatan kepada masyarakat. Dengan kata lain,
seberapa besar hukum mampu melaksanakan atau mencapai
hasil-hasil yang diinginkan, karena hukum dibuat oleh
negara dengan penuh kesadaran dan dimaksudkan untuk
mencapai tujuan tertentu.
205
Selanjutnya, alinea ketiga Pembukaan UUD 1945
mencerminkan pemikiran religius bangsa Indonesia, yaitu
masyarakat Indonesia merupakan masyarakat yang sangat
menjunjung tinggi nilai-nilai ke-Tuhanan. Hal ini
merupakan sesuatu yang bersifat alamiah, karena pada
dasarnya manusia memiliki rasa ingin tahu dan berupaya
untuk mengenal Tuhan, serta memiliki kecenderungan
untuk menolak ketidaktahuan. Pemikiran religius
tersebut tampak pada kalimat “atas berkat rahmat
Allah”.
Pemikiran dalam alinea ketiga Pembukaan UUD 1945 di
atas, pada dasarnya sejalan dengan konsepsi Thomas
Aquino mengenai hubungan antara manusia dengan Sang
Pencipta. Bagi Aquino, dunia ini diatur oleh tatanan
ke-Tuhanan. Hukum ke-tuhanan adalah hukum yang
tertinggi. Konsepsi Aquino tersebut mengandung makna
atau konsep hukum yang luas, sebagaimana dipahami dalam
penggolongan hukumnya, yaitu Lex Aeterna, Lex Divina, Lex
Naturalis, dan Lex Humana atau Lex Positiva.
206
Alinea keempat Pembukaan UUD 1945 mengandung sila-
sila Pancasila, yang merupakan dasar negara dan
pandangan hidup bangsa Indonesia. Secara substansial,
Pancasila merupakan konsep yang luhur dan murni.
Disebut konsep yang “luhur” karena mencerminkan nilai-
nilai bangsa Indonesia yang diwariskan secara turun-
temurun dan bersifat abstrak. Di lain pihak, disebut
konsep yang “murni” karena kedalaman substansinya yang
menyangkut beberapa aspek pokok, seperti agama,
ekonomi, ketahanan, sosial, dan budaya yang memiliki
corak particular.
Secara konsepsional, Pancasila dapat disebut
sebagai suatu sistem tentang semua hal, karena semua
yang tertuang dalam sila-silanya berkaitan erat dan
tidak dapat dipisahkan satu dengan yang lain. Dengan
kata lain, Pancasila merupakan suatu sistem yang
bersifat integral.
Pernyataan Kelsen yang tegas tidak memberi tempat
pada hukum alam, berbeda dengan Indonesia yang justru
mengadopsi hukum alam sebagai sumber hukum religius,
207
moral, kodrat dan filsafati sebagaimana terkandung
dalam Pembukaan Undang-Undang Dasar 1945. Pancasila
sebagai sumber dari segala sumber tertib hukum bagi
bangsa Indonesia dilegitimasi oleh ketetapan MPRS
No.XX/MPRS/1966 dan TAP MPR No.V/MPR/1973.
Meskipun kesesuaian perubahan tahap pertama
konstitusi secara yuridis telah menjadi satu nilai
tambah tersendiri, namun apabila ternyata setelah
dilakukan kajian filosofis dan hasil perubahan tidak
mencerminkan keadilan maka perubahan tidak ubahnya
sebagai tubuh tanpa jiwa. Untuk itu, kehendak pembentuk
Undang-Undang Dasar (founding fathers) yang tercantum
dalam teks Pembukaan Undang-Undang Dasar 1945 tetap
dipertahankan oleh MPR dengan tidak mengubahnya.
Berikut ini alasan dipertahankannya Pembukaan Undang-
Undang Dasar 1945 oleh MPR :151)
1. merupakan staatsfundamentalnorm yang pada hakikatnya
mengandung suasana kerohanian, sumber nilai,
151 Jawahir Thontowi dalam Krisna Harahap, KonstitusiRepublik, Op.cit., hlm. 4.
208
asas-asas, dan norma-norma yang merupakan satu
kesatuan dengan kandungan pasal-pasalnya;
2. merupakan perjanjian luhur seluruh suku bangsa
Indonesia (National Consensus) dan tidak dapat
diubah karena selain mengandung nilai-nilai
universal juga merupakan manifestasi
kesinambungan sejarah (historical continuity)
pengabdian dan pengorbanan pendiri bangsa
(founding fathers) pada awal pembentukan negara;
3. merupakan pernyataan luhur tentang kekuasaan,
pembatasan kekuasaan negara berdaulat dan
tujuannya dalam memperjuangkan kehidupan
bernegara dan tercapainya cita-cita luhur suatu
bangsa yang adil dan makmur berdasarkan kelima
pilar dasar negara
4. merupakan simbol kemenangan perjuangan politik
masa lalu menuju sistem pemerintahan yang
mandiri dengan menjunjung tinggi nilai-nilai
kemanusiaan, peradaban, dan perdamaian dunia;
209
5. merupakan sumber hukum tertinggi yang memberikan
arah dan kepastian pada konstruksi norma hukum
yang terdapat dalam berbagai peraturan
perundang-undangan di bawahnya.
Kemudian masih perlu dipikirkan kemungkinan adanya
kaidah hukum lain di luar Undang-Undang Dasar yang
harus dianggap mempunyai derajat sama dengan kaidah
Undang-Undang Dasar. Contoh dari kemungkinan ini adalah
rangkaian amandemen atau kaidah tambahan terhadap
Undang-Undang Dasar Amerika Serikat, yang dilihat dari
segi urutan waktu harus dianggap lebih tinggi
kedudukannya daripada Undang-Undang Dasar itu
sendiri.152)
3. Kajian dari Sudut Sosiologis
Dari unsur sosiologis, Hans Kelsen tidak memberi
tempat bagi hukum kebiasaan yang hidup dan berkembang
di dalam masyarakat. Sedangkan menurut teori Eugene
Erlich seorang teoretisi “free law” mengatakan “Pusat
dari bobot perkembangan hukum tidak terletak dalam152) Dahlan Thaib, dkk., Op.cit., hlm. 66.
210
legislasi maupun keputusan Yudisial, tetapi dalam
masyarakat itu sendiri”. Menurutnya, di dalam
masyarakat manapun selalu terdapat lebih banyak hukum
ketimbang yang diekspresikan dalam proposisi-proposisi
hukum. Dengan demikian, konsepsi dasar tentang hukum
dan yang merupakan kunci bagi teorinya adalah apa yang
ia namakan living law. Hukum positif yang baik (dan
karenanya efektif) adalah hukum yang sesuai dengan living
law sebagai inner order dari masyarakat yang mencerminkan
nilai-nilai yang hidup di dalamnya.
Secara yuridis kewenangan menetapkan dan mengubah
Undang-Undang Dasar didasarkan pada kepercayaan
masyarakat yang direpresentasikan oleh Majelis
Permusyawaratan Masyarakat (MPR). Sistem dan prosedur
yang dilalui MPR mencerminkan validitas produk hukum
dan politik yang dihasilkan. Banyak pihak menuduh
perubahan UUD terkait dengan banyak kepentingan
“sponsor” yang kebenarannya masih harus dibuktikan.
Namun, tanpa bisa menutup mata, anggota majelis yang
memang anggota partai politik terang-terangan sebagai
211
indikasi politis bahwa yang mereka perjuangkan di ruang
sidang sekalipun adalah kepentingan politik yang
menguntungkan hanya sebagian orang atau kelompok saja.
Dari seluruh perdebatan dalam sidang PAH III,
Komisi C, hingga Paripurna mencerminkan hal apa
sesungguhnya terjadi dan yang dipikirkan oleh para
anggota majelis dalam mengkonsep ulang konstitusi yang
dianggap usang tersebut. Masyarakat memang seringkali
dijadikan alasan fraksi dalam memberikan argumen
politiknya dan respon masyarakat terhadap hasil
perubahan tahap pertama konstitusilah yang menjadi batu
penguji.
Semula referendum merupakan cara perubahan
konstitusi yang memberi kesempatan kepada masyarakat
mengeluarkan pendapat dan menyampaikan aspirasi sebagai
wujud nyata keterlibatan masyarakat terhadap masa depan
kehidupan bernegara mereka. Melalui cara ini apa yang
disebut sebagai hal-hal yang aktual yang hidup dalam
masyarakat berupa kenyataan-kenyataan yang patuh pada
ketentuan-ketentuan yang berlaku dalam masyarakat
212
tersampaikan. Nyata bahwa proses perubahan konstitusi
yang ideal dilakukan dengan mengiden-tifikasikan nilai-
nilai dan hukum yang hidup dalam masyarakat (living law),
sehingga pertentangan antara norma lama dan norma baru
dapat diusahakan seminimal mungkin. Perubahan
konstitusi harus dapat mengartikulasikan keadaan masa
lalu, kini dan masa mendatang.153) Akhirnya, perubahan
konstitusi yang bercita-cita mensejahterakan rakyat
harus memiliki konotasi positif terhadap perkembangan
kehidupan masyarakat.
Menumbuhkan kesadaran hukum agar menjadi budaya
hukum masyarakat merupakan satu dari sekian agenda
reformasi dan ciri dari keberhasilan suatu perubahan
yang sejati. Dengan diubahnya UUD 1945 bukan berarti
secepat kilat mengubah haluan masyarakat akan kesadaran
berhukum. Bahkan pasca reformasi identik dengan
pembuatan/ rancangan undang-undang yang diekspektasikan
dapat menjadi jembatan menuju pembaharuan hukum.
Mengenai hal ini dinyatakan Habibie :
153) Naskah Akademik ..., Op.cit. hlm. 17.
213
Selain UU, masih ada tiga unsur lagi yang masihperlu direformasi, yakni: (1) Law enforcement(penegakan hukum); (b) Peningkatan kualitasaparatur, dan (c) Budaya hukum masyarakat. Janganartikan banyaknya kelahiran UU sama denganterlaksananya pembaharuan hukum.154)
Komposisi keanggotaan dalam setiap alat kelengkapan
diharapkan bisa mewakili seluruh kepentingan rakyat
Indonesia yang diwakili oleh utusan daerah, diwadahi
oleh sebuah golongan dan beberapa partai politik di
kancah politik nasional. Namun, dengan adanya komposisi
tersebut tidak lantas menjamin keberpihakan para wakil
rakyat kepada para konstituennya. Warna dan jumlah
keanggotaan tersebut ditentukan oleh suara yang
diperoleh dalam pemilu. Sudah menjadi rahasia umum para
wakil rakyat tidak lagi selantang dan sekukuh saat
ingin dicalonkan ketika berbicara mengenai kepentingan
rakyat yang sebenar-benarnya. Sebagian dari mereka
(MPR/DPR) lebih memilih kepentingan yang bersifat
kontemporer.
154) B.J. Habibie, Detik-detik yang Menentukan, Jakarta: THC Mandiri,2006, hlm. 165.
214
Contoh kasus yang mencoreng muka para wakil rakyat
di depan khalayak ramai adalah “insiden adu jotos”
anggota MPR di hari pertama Sidang Tahunan MPR pada 1-9
November tahun 2001 ketika Marah Simon (F-PDIP)
didorong dan hendak dipukul namun tidak kena oleh
seorang anggota “F-UD Persiapan”. Menanggapi “insiden”
ini Wakil Presiden Hamzah Haz menyatakan bahwa
keributan antar anggota MPR merupakan cerminan
hilangnya akhlak mulia (akhlakul karimah).155)
MPR mengeluarkan TAP MPR Nomor VIII/MPR/1998 yang
isinya mencabut Ketetapan MPR tentang Referendum
mereduksi peranan masyarakat untuk berpartisipasi
secara langsung menentukan muatan perubahan konstitusi.
Referendum seharusnya tetap dilaksanakan sebagai
kegiatan untuk meminta pendapat rakyat secara langsung
mengenai setuju atau tidak setuju terhadap kehendak
Majelis Permusyawaratan Rakyat untuk mengubah UUD 1945.
Tanpa mengeneralisasikannya sebagai akhlak
keseluruhan anggota MPR namun karena UUD 1945 merupakan
155) Suryadi Rajab, Op.cit., hlm. 33.
215
produk pemikiran anggota majelis, maka reputasi MPR
yang sarat kepentingan partainya dan beberapa
diantaranya bersikap tidak sewajarnya bukan jaminan
tinggi bahwa mereka berjuang untuk rakyat.. MPR mungkin
saja representasi dari rakyat namun dengan jumlah
penduduk Indonesia tahun 1999 sebesar 204.784.000
jiwa156) dan jumlah anggota MPR sebanyak 628 orang157)
maka perbandingan inilah yang objektif memperlihatkan
bahwa efektifitas waktu kerja MPR hanya 12 hari158)
ditambah tidak adanya naskah akademik sebagai
penelitian filosofis, yuridis dan sosiologis dapat
dinyatakan tidak berhasil dalam merepresentasikan
keinginan rakyat Indonesia tetapi lebih memihak pada
kepentingan politik.
156) www.bankdata.depkes.go.id.157) Berdasarkan daftar anggota MPR, lebih lanjut lihat dalam
lampiran.158) Tertanggal 6 Oktober 1999 yang menandai dibentuknya PAH
III hingga 19 Oktober 1999 yang merupakan tanggal ditetapkannyaperubahan tahap pertama UUD 1945. Dikurangi 1 hari yaitu tanggal15 Oktober 1999 karena agendanya tunggal yaitu Pemandangan UmumFraksi-fraksi Majelis Terhadap Pidato Pertanggungjawaban Presiden,sehingga waktu efektifnya adalah 12 hari.
216
Menurut Bryce, motif politik yang menonjol dalam
penyusunan Undang-Undang Dasar adalah:159)
1. Keinginan untuk menjamin hak-hak rakyat dan untuk
mengendalikan tingkah laku penguasa.
2. Keinginan untuk menggambarkan sistem pemerintahan
yang ada dalam rumusan yang jelas guna mencegah
kemungkinan perbuatan sewenang-wenang dari
penguasa di masa depan.
3. Hasrat dari pencipta kehidupan politik baru
menjamin atau mengamankan berlakunya cara
pemerintahan dalam bentuk yang permanen dan yang
dapat dipahami oleh warga Negara.
4. Hasrat dari masyarakat-masyarakat yang terpisah
untuk menjamin aksi bersama yang efektif dan
bersamaan dengan itu berkeinginan tetap
mempertahankan hak serta kepentingannya sendiri-
sendiri.
Unsur politis itu sendiri sebagai bagian dari
realitas politik yang membentuk situasi dan kondisi
159) K.C. Wheare dalam Dahlan Thaib, Op.cit., hlm. 65.
217
terjadinya perubahan konstitusi tahap pertama. Maka,
keterlibatan unsur politik tidak bisa dihindari karena
ia juga merupakan hal-hal yang aktual yang hidup dalam
masyarakat. Dengan demikian, menurut Dahlan Thaib,
Undang-Undang Dasar dibuat secara sadar sebagai
perangkat kaidah fundamental yang mempunyai nilai
politik lebih tinggi dari jenis kaidah lain karena
menjadi dasar bagi seluruh tata kehidupan Negara.
Dengan asumsi ini maka bagian-bagian lain dari tata
hukum harus sesuai atau tidak berlawanan dengan
Undang-Undang Dasar.160) Kembali pada fungsi hukum
menurut UUD 1945 lebih diperluas di dalam penjelasan
pada pasal 28,29, ayat 1 dan pasal 34, sebagai
berikut :161)
“ Pasal-pasal baik yang hanya mengenai warga negaramaupun yang mengenai seluruh penduduk memuat hasratbangsa Indonesia untuk membangun negara yangbersifat demokratis dan yang hendakmenyelenggarakan keadilan sosial danperikemanusiaan.”
160) Ibid., hlm. 66.161) Thoga Hutagalung, Op.cit., hlm. 25.
218
Benang merah yang berusaha ditarik adalah faktor
sosiologis yang diartikan sebagai faktor kemasyarakatan
yang berperan dalam pembentukan konstitusi itu sendiri.
Dalam kajian filosofis sebelumnya dikatakan bahwa
faktor kemasyarakatan adalah hal-hal yang aktual yang
hidup dalam masyarakat berupa kenyataan-kenyataan yang
patuh pada ketentuan-ketentuan yang berlaku dalam
masyarakat tersebut. Kemudian, Montesquieu melihat
adanya hubungan yang erat antara hukum alam dan situasi
kongkret suatu bangsa. Menurutnya undang-undang yang
paling baik adalah undang-undang yang paling cocok
dengan suatu bangsa tertentu. Oleh karena itu, hukum
yang ideal harus dibuat sesuai dengan kesadaran
masyarakat dan mencerminkan nilai-nilai yang hidup
dalam masyarakat yang dikristalisasi dalam teori living
law dari Eugene Ehrlich.
219
BAB V
KESIMPULAN DAN SARAN
A. KESIMPULAN
1. Perubahan konstitusi tahap pertama Republik
Indonesia dilatarbelakangi tidak hanya faktor
yuridis saja melainkan faktor non yuridis seperti:
a. Historis, bahwa UUD 1945 dibuat pada saat-saat
yang mendesak dan bersifat sementara untuk itu
founding fathers menyerahkan penyempurnaan UUD 1945
pada generasi berikutnya.
b. Yuridis, perubahan konstitusi telah
diperkirakan terjadi sebagai suatu keniscayaan
sehingga secara normatif perumus UUD 1945
menyediakan Pasal 37 UUD 1945 mengenai
perubahan UUD 1945.
c. Politis, tuntutan reformasi total mendesak MPR
segera melakukan percepatan Sidang Umum hasil
pemilu 1999 dan segera melakukan perubahan
konstitusi sebagai langkah awal revitalisasi
220
reformasi konstitusional khususnya dan
kehidupan bernegara pada umumnya.
d. Filosofis, bahwa UUD 1945 merupakan hasil
ciptaan manusia yang jauh dari sempurna
sehingga perubahan UUD 1945 perlu disesuaikan
dengan perkembangan dan perubahan zaman.
e. Secara substantif, UUD 1945 dinilai tidak
efektif dan banyak mengan-dung kelemahan
seperti : pemberian kekuasaan yang terlalu
besar pada lembaga eksekutif; rumusan yang
masih menimbulkan multitafsir; banyak materi
muatan yang penting justru diatur di dalam
Penjelasan UUD, tetapi tidak tercantum di dalam
pasal-pasal UUD 1945.
2. Proses perubahan konstitusi Republik Indonesia
tahap pertama disimpul-kan sebagai suatu proses
yang cukup singkat. Efektifitas waktu yang
dibutuhkan hanya 12 hari untuk merumuskan
perubahan konstitusi, yakni :
221
a. Dimulai dengan membentuk Badan Pekerja Majelis
Panitia Ad Hoc III yang bertugas mempersiapkan
Ketetapan MPR RI tentang Amandemen UUD 1945.
Hasil kerja PAH III dilaporkan pada Badan
Pekerja MPR.
b. MPR membentuh Komisi C yang bertugas untuk
memusyawarahkan dan mengambil putusan mengenai
Rancangan Putusan MPR RI tentang Perubahan UUD
1945.
c. Selanjutnya, hasil kerja Komisi C dilaporkan
pada Rapat Paripurna yang melibatkan seluruh
anggota MPR. Setelah mendapat persetujuan
anggota majelis melalui musyawarah untuk
mufakat, hasil perubahan pertama UUD NKRI 1945
ditetapkan pada tanggal 19 Oktober 1999.
3. Kajian terhadap perubahan tahap pertama konstitusi
dari sudut pandang yuridis, filosofis, dan
sosiologis adalah sebagai berikut :
a. Hasil Kajian Yuridis;
222
Kendatipun perubahan tahap pertama konstitusi
RI belum sepenuhnya sesuai dengan sistem dan
prosedur perubahan konstitusi, namun secara
formal perubahan konstitusi yang dilakukan
telah memenuhi seluruh unsur yuridis yang
dipersyaratkan, seperti:
1) Perubahan konstitusi dilakukan oleh MPR
sebagai lembaga yang berwenang;
2) Adanya kesesuaian antara materi perubahan
dengan bentuk atau jenis UUD;
3) Substansi perubahan telah memenuhi asas-asas
hukum;
4) Perubahan pertama konstitusi RI tidak
bertentangan dengan Pancasila.
b. Hasil Kajian Filosofis;
1) perubahan pertama konstitusi tidak hanya
dipengaruhi unsur yuridis saja tetapi
dipengaruhi pula oleh unsur-unsur non
yuridis, seperti filosofis, historis,
223
sosiologis, dan konsep universal dari aliran
hukum alam, serta living law dari mazhab
sejarah. Dengan demikian teori hukum murni
tentang hukum dari Hans Kelsen tidak
sepenuhnya dapat diberlakukan.
2) Pembukaan UUD 1945 dan atau Pancasila tidak
diubah, mengingat Pancasila memiliki
keseluruhan unsur di atas, dan merupakan
suatu sistem yang bersifat integral sebagai
konsep yang digali dan diserap dari aspirasi
dan jiwa bangsa Indonesia lengkap dengan
segala atribut kebudayaan, ketuhanan,
politik, ekonomi, dan sosiologis.
3) Prinsip-prinsip tersebut oleh MPR masih
dipegang teguh, sehingga perubahan tahap
pertama konstitusi telah sesuai dilakukan
secara filosofis.
c. Hasil Kajian Sosiologis:
1) Dihilangkannya referendum sebagai salah satu
persyaratan perubahan konstitusi.
224
2) Sehubungan dengan butir 1 (satu) di atas,
kepentingan politik masih lebih dominan
dibandingkan dengan keinginan dan kebutuhan
masyarakat pada umumnya, sehingga perubahan
pertama konstitusi belum mewakili seluruh
aspirasi kebutuhan dan mencerminkan nilai-
nilai yang hidup dalam masyarakat.
B. SARAN
1. Dengan perubahan konstitusi tahap pertama Republik
Indonesia yang tidak hanya dilatarbelakangi faktor
yuridis melainkan faktor non yuridis, maka
disarankan :
a) Banyaknya faktor non yuridis yang
melatarbelakangi perubahan konstitusi tahap
pertama Republik Indonesia membuat bias tujuan
perubahan itu sendiri. Walaupun, seluruh faktor
tersebut memang wajar adanya namun kaidah hukum
tetap harus menempati prioritas tertinggi
mengingat berlakunya supremasi hukum.
225
b) Meskipun UUD merupakan produk hukum dan
sekaligus produk politik, namun apabila
dominasi politik terlalu kuat maka dapat
memperlemah kekuatan hukum itu sendiri. Oleh
karena itu, anggota MPR sebaiknya memiliki
pengetahuan yang cukup mengenai konstitusi dan
bersikap objektif dalam memandang permasalahan
dan kebutuhan masyarakat dengan mengurangi
kepentingan golongan dan politiknya.
2. Dengan proses perubahan konstitusi Republik
Indonesia tahap pertama yang cukup singkat, maka
disarankan:
a) Prosedur perubahan konstitusi memang dapat
dikesampingkan asalkan asas hukumnya terpenuhi.
Namun demikian grundnorm tetap dijadikan acuan
bagi peraturan perundang-undangan di bawahnya
dan seharusnya naskah perubahan lebih
dipersiapkan dan dirumuskan secara matang
dengan naskah akademik yang jelas, tegas, dan
226
komprehensif. MPR sebagai pemegang kekuasaan
untuk mengubah UUD sebaiknya didampingi oleh
suatu komisi yang memiliki kom-petensi di
bidang konstitusi seperti komisi konstitusi
yang sifatnya tetap. Tujuannya agar setiap
pasal yang akan diubah dikaji terlebih dahulu
secara mendalam, komprehensif, dan profesional.
b) perubahan konstitusi tentunya mengikat secara
hukum dan berlaku bagi seluruh masyarakat
Indonesia. Dengan dimudahkannya prosedur dan
persyaratan perubahan konstitusi akan dapat
menimbulkan ketidakpastian hukum dan sistem
konstitusional itu sendiri.
3. Berdasarkan hasil kajian yuridis, filosofis dan
sosiologis tersebut disarankan:
a) Untuk memberlakukan supremasi hukum perlu
adanya suatu produk hukum yang baik, sesuai
dengan dasar yuridis,sosiologis, filosofis
serta perencanaan dan pembentukan Peraturan
227
perundang-undangan yang baik. Keseriusan MPR
untuk memenuhi seluruh syarat tersebut perlu
dibuktikan dengan mengkaji ulang seluruh hasil
perubahan konstitusi khususnya tahap pertama
dan juga tahap kedua, ketiga, serta keempat
sebagaimana dilakukan oleh Komisi Konstitusi.
Sehingga kinerja Komisi Konstitusi tidak
secara sepihak dikesampingkan dan sebatas
menjadi wacana saja.
b) Perlu dikaji ulang mengenai prosesi/alur
perencanaan perundang-undangan khususnya
Undang-Undang Dasar, termasuk perundang-
undangan tentang pemilihan umum serta
pelaksanaannya yang harus lebih transparan dan
konsekuen dengan asas Langsung, Umum, Bebas,
dan Rahasia atau dikenal dengan akronim LUBER
(tidak hanya lip service), mengingat pengisian
jabatan DPR dan atau MPR ditentukan oleh
proses tersebut.
228
DAFTAR PUSTAKA
A. Buku
Abdulkadir Muhammad, Hukum dan Penelitian Hukum,Bandung: Citra Aditya Bakti, 2004.
Abu Daud Busro dan Abubakar Busro, Asas-Asas HukumTata Negara, Jakarta: Ghalia Indonesia, 1991.
B.J. Habibie, Detik-detik yang Menentukan, Jakarta: THCMandiri, 2006.
Bagir Manan, Pertumbuhan dan Perkembangan Konstitusi SuatuNegara, Bandung: Mandar Maju,1995.
Dahlan Thaib, dkk., Teori dan Hukum Konstitusi, Jakarta:RajaGrafindo, 2005.
Krisna Harahap, Konstitusi Republik Indonesia : SejakProklamasi hingga Reformasi, Bandung: Grafitri,2004.
_______, Menuju Ketertiban Hukum yang Berkeadilan, PidatoPengukuhan Guru Besar Sekolah Tinggi HukumBandung, 2005,
Krisnajadi, Bab-bab Pengantar Ilmu Hukum Bagian I,Bandung : STHB Press, tanpa tahun.
Lili Rasjidi dan Ira Rasjidi, Dasar-dasar Filsafat danTeori Hukum, Bandung : Citra Aditya Bakti,2001.
_______, Filsafat Hukum Mazhab dan Refleksinya, Bandung:Remaja Karya, 1989.
M.L. Tobing, Sekitar Pengantar Ilmu Hukum, Jakarta:Erlangga, 2005.
229
Mochtar Kusumaatmadja, Konsep-Konsep Hukum dalamPembangunan, Bandung: Alumni, 2002.
Muhammad Tahir Azhary, Negara Hukum : Suatu Studi tentangPrinsip-Prinsipnya Dilihat dari Segi Hukum Islam,Implementasinya pada Periode Negara Madinah dan MasaKini, Jakarta: Kencana, 2003.
Ni’matul Huda, Hukum Tata Negara Indonesia, Jakarta:Raja Grafindo, 2005.
Redaksi,RPJMN Tahun 2004-2009,Jakarta: Sinar Grafika,2005.
Salman, Otje dan Anton F. Susanto, Teori HukumMengingat, Mengumpulkan dan Membuka Kembali.Bandung : Refika Aditama, 2004.
Senat ITB, Krisis Nasional, Reformasi Total, dan ITB, Bandung:Penerbit ITB, 1998.
SF. Marbun, Peradilan Administrasi Negara dan upayaAdministratif di Indonesia, Yogyakarta: Liberty,1997.
Suharizal dan Firdaus Arifin, Refleksi Reformasi Konstitusi1999-2002, Bandung: Citra Aditya Bakti,2007.
Sunaryati Hartono, Penelitian Hukum di Indonesia Pada AkhirAbad ke-20, Bandung: Alumni, 1994.
Sunoto, Mengenal Filsafat Pancasila, Hanindita,Yogyakarta: 1990.
Suryadi Rajab, Indonesia : Hilangnya Rasa Aman, Hak AsasiManusia dan Transisi Politik Indonesia, Jakarta:Perhimpunan Bantuan Hukum dan Hak AsasiManusia, 2002.
230
Theo Huijbers, Filsafat Hukum dalam Lintasan SejarahYogyakarta: Kanisius, 1986.
B. Makalah
Arif Sidartha, Filsafat Hukum Pancasila, Hand Out KuliahFilsafat Hukum.
Dwidja Priyatno, Grundnorm-nya Hans Kelsen, (bahankuliah Filsafat Hukum Sekolah Tinggi HukumBandung): Bandung, 2006.
_______, Hukum dan Kekuasaan, (bahan kuliah FilsafatHukum Sekolah Tinggi Hukum Bandung): Bandung,2006.
D.H.M. Meuwissen, Pengembangan Hukum, Ilmu Hukum, TeoriHukum dan Filsafat Hukum (diterjemahkan oleh B.Arief Sidharta), Bandung: Diktat Kuliah,2006.
Firman Hasan, Kaitan Pembukaan dengan Hakikat Konstitusi,Makalah,2003.
Marojahan Pandjaitan, Kerangka Teoritik Tentang KonsepNegara Hukum, Teori Demokrasi, dan Teori Perundang-undangan, Makalah.
C. Sumber-sumber Lain
Ande Akhmad, Kumpulan Catatan Kuliah,(catatan kuliahFakultas Hukum Universitas Padjajaran):Bandung, 2003.
Dwi S. Nugroho, Problem Amandemen UUD’45 dan GagasanDibentuknya Komisi Konstitusi, www. UI.or.id.dikutip oleh Satria Adiguna, Kedudukan danKewenangan Komisi Konstitusi Terhadap PerubahanUndang-undang Dasar 1945, (Skripsi SarjanaFakultas Hukum Universitas Parahyangan,Bandung: 2002).
231
Efran Helmi, Kajian Yuridis Normatif terhadap Difusi Hukum danAkulturasi Hukum Dalam Proses Pelembagaan HukumMenuju Sistem Hukum Nasional Indonesia, (DisertasiFakultas Hukum Universitas Parahyangan:Bandung).
Naskah Akademik Kajian Komperehensif Komisi Konstitusi tentangPerubahan Undang-undang Dasar Negara RepublikIndonesia Tahun 1945 kajian komprehensif, Jakarta:Sekretariat Jenderal MPR RI, 2004.
Risalah Sidang 1999/Jilid 1-14.
Toga Hutagalung, Hukum dan Keadilan dalam PemahamanFilsafat Pancasila dan UUD 1945, (Disertasi FakultasHukum Universitas Padjajaran: Bandung).
WJS. Poerwadarminta, Kamus Umum Bahasa Indonesia,Jakarta: Balai Pustaka, 1970.
www.bankdata.depkes.go.id
D. Peraturan Perundang-undangan
Undang-Undang Dasar 1945 Naskah Asli dan Hasil
Amandemen Keempat.
TAP MPR RI No.III/MPRS/1963 Tentang Pengangkatan
Pemimpin Besar Revolusi.
Ketetapan MPR No. X/MPR/1998 tentang Pokok-pokok
Reformasi Pembangunan Nasional sebagai Garis-
Garis Besar Haluan Negara.
Undang-Undang No. 28 tahun 1999 tentang
Penyelenggaraan Negara yang Bersih dan Bebas
dari Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme.
232
Lampiran 1REKAPITULASI DAFTAR HADIR
RAPAT PARIPURNA KE-12 SIDANG UMUM MPR-RI TAHUN 1999 (LANJUTAN)
HARI : SELASATANGGAL : 19 OKTOBER 1999WAKTU : 14.00 WIBTEMPAT : NUSANTARAACARA :
NO.URUT FRAKSI JUMLAH
ANGGOTA HADIR BELUMHADIR KETERANGAN
1 PDI PERJUANGAN 185 177 81. KUORUM BELUM
TERPENUHI2. KUORUM TELAH
TERPENUHI
2 PARTAI GOLKAR 182 176 63 PARTAI PERSATUAN PEMBANGUNAN 69 67 24 PARTAI KEBANGKITAN BANGSA 58 52 65 REFORMASI 48 44 46 PARTAI BULAN BINTANG 14 12 27 KESATUAN KEBANGSAAN INDONESIA 14 7 78 PERSERIKATAN DAULATUL UMMAH 9 9 -9 PARTAI DEMOKRASI KASIH BANGSA 38 38 -10 TNI/POLRI 38 38 -11 UTUSAN GOLONGAN 73 67 6
JUMLAH 695 654 41
JAKARTA, Oktober 1999
233
Lampiran 2
KEANGGOTAAN MPR MASA KEANGGOTAAN 1999-2004
NO NAMA PARTAI JUMLAHANGGOTA
1 PKU 12 PPP 583 PSII 14 PDI-P 1535 PDKB 56 PAN 347 MASYUMI 18 PBB 139 PK 710 PNU 511 IPKI 112 PNI MM 113 PDI 214 GOLKAR 12015 PP 116 PKB 5117 PDR 118 PKP 419 PBI 120 ABRI 3821 UTUSAN GOLONGAN 6522 UTUSAN DAERAH 65
Sumber : berdasarkan Daftar Hadir Anggota pada RapatParipurna ke-1 MPR RI
235