Kajian Yuridis Dan Filosofis Perubahan Konstitusi Republik Indonesia Tahap Pertama Pasca Reformasi...

235
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Reformasi yang dimulai pada permulaan tahun 1997 oleh para mahasiswa dengan slogan “Reformasi Oleh Rakyat” harus melalui berbagai hambatan dan reaksi keras dari pemerintah. Meskipun demikian kemenangan berpihak pada rakyat yang puncaknya ditandai dengan lengsernya mantan Presiden Soeharto setelah 32 tahun membangun pengaruh dan mengokohkan kekuasaannya. Reformasi yang berkomitmen pada upaya perubahan menuju perbaikan melatarbelakangi lahirnya tuntutan reformasi total yang meliputi: reformasi politik, reformasi ekonomi, reformasi hukum, reformasi budaya, reformasi pendidikan dan reformasi keamanan. 1) Reformasi konstitusional - dikonkritkan dengan perubahan Undang-Undang Dasar atau konstitusi - sebagai 1) Laporan Senat ITB, Krisis Nasional, Reformasi Total, dan ITB, Bandung: Penerbit ITB, 1998, hlm. 5. 1

Transcript of Kajian Yuridis Dan Filosofis Perubahan Konstitusi Republik Indonesia Tahap Pertama Pasca Reformasi...

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Reformasi yang dimulai pada permulaan tahun 1997

oleh para mahasiswa dengan slogan “Reformasi Oleh

Rakyat” harus melalui berbagai hambatan dan reaksi

keras dari pemerintah. Meskipun demikian kemenangan

berpihak pada rakyat yang puncaknya ditandai dengan

lengsernya mantan Presiden Soeharto setelah 32 tahun

membangun pengaruh dan mengokohkan kekuasaannya.

Reformasi yang berkomitmen pada upaya perubahan menuju

perbaikan melatarbelakangi lahirnya tuntutan reformasi

total yang meliputi: reformasi politik, reformasi

ekonomi, reformasi hukum, reformasi budaya, reformasi

pendidikan dan reformasi keamanan. 1)

Reformasi konstitusional - dikonkritkan dengan

perubahan Undang-Undang Dasar atau konstitusi - sebagai

1) Laporan Senat ITB, Krisis Nasional, Reformasi Total, dan ITB, Bandung:Penerbit ITB, 1998, hlm. 5.

1

salah satu agenda reformasi merupakan langkah yang

membawa perubahan signifikan dalam sejarah

ketatanegaraan Republik Indonesia. Semula dalam rangka

melanggengkan kekuasaan penyelenggara negara maka

Undang-Undang Dasar 1945 (UUD) mengalami proses

“sakralisasi” atau tidak boleh “disentuh” dengan

berbagai ancaman dan stigma subversive yang dituduhkan

bagi yang akan menyentuhnya.2)

Proses pengkultusan tersebut memolakan masyarakat

menjadi bangsa yang tidak dinamis, hidup dalam

ketakutan dan terkungkung doktrin pemerintah, sehingga

tidak berani untuk mengemukakan pendapatnya. Nyata,

bahwa kerancuan yang terdapat dalam UUD 1945

menimbulkan multi tafsir tanpa bisa dikritisi demi

perbaikan. Bahkan, hanya pemerintah Orde Baru

(Soeharto) yang boleh menafsirkan makna yang terkandung

dalam UUD 1945, sementara Majelis Permusyawaratan

Rakyat (MPR) tinggal mengesahkan saja.3) Keadaan

2) Ni’matul Huda, Hukum Tata Negara Indonesia, Jakarta: RajaGrafindo, 2005, hlm. 137.

3) Ibid., hlm. 137.

2

demikian tentu telah membungkam aspirasi masyarakat

untuk waktu yang cukup lama.

Kondisi tersebut tidak berbeda jauh dengan kondisi

pada saat perubahan konstitusi berlangsung. MPR sebagai

lembaga negara yang memiliki kewenangan mengubah UUD

sebagaimana diamanatkan Pasal 3 UUD 1945, dinilai tidak

memahami isi dari konstitusi serta kerangka konseptual

negara yang akan dibangun (state and nation buildings conceptual

framework). 4) Tekad bulat MPR mengeluarkan TAP MPR Nomor

VIII/MPR/1998 yang isinya mencabut Ketetapan MPR

tentang Referendum sekali lagi mereduksi peranan

masyarakat untuk berpartisipasi secara langsung

menentukan muatan perubahan konstitusi.

Hasil perubahan konstitusi menuai kontroversi yang

terus berkembang di masyarakat. Beberapa di antaranya

mengenai anggapan tidak adanya landasan filosofis yang

kuat dan landasan yuridis yang tidak patuh pada jenjang

4) Dwi S. Nugroho, Problem Amandemen UUD’45 dan Gagasan DibentuknyaKomisi Konstitusi, www. UI.or.id. dikutip oleh Satria Adiguna, Kedudukandan Kewenangan Komisi Konstitusi Terhadap Perubahan Undang-undang Dasar 1945,(Skripsi Sarjana Fakultas Hukum Universitas Parahyangan, Bandung:2002), hlm.2.

3

perundang-undangan yang berlaku, karena faktor

ketergesaan MPR dalam memenuhi tuntutan reformasi dalam

waktu singkat. Tidak adanya naskah akademik yang

menjadi persyaratan pembentukan perundang-undangan

semakin memperjelas berbagai kekurangan dari sisi

prosedural dan substansial perubahan konstitusi itu

sendiri.

Indonesia sebagai negara hukum seharusnya tidak

membiarkan muatan konstitusi yang menjadi fundamental law

dan grundnorm bagi kehidupan bernegaranya sebagai

produk yang asal jadi. Sebagaimana diketahui, bahwa

UUD 1945 mengatur seruan paham konstitusi, yaitu

anatomi kekuasaan tunduk kepada hukum (supremasi

hukum). Dihubungkan dengan pendapat Wheare, dengan

menempatkan konstitusi pada kedudukan yang tinggi

(supreme) ada semacam jaminan bahwa:

“Konstitusi itu akan diperhatikan dan ditaati danmenjamin agar konstitusi tidak akan dirusak dandiubah begitu saja secara sembarangan. Perubahannyaharus dilakukan secara hikmat, penuh kesungguhandan pertimbangan yang mendalam. Agar maksud inidapat dilaksanakan dengan baik maka perubahannya

4

pada umumnya mensyaratkan adanya suatu proses danprosedur yang khusus atau istimewa.” 5)

Sebagaimana diketahui, menurut Sri Soemantri dalam

konstitusi sekurang-kurangnya berisi tiga kelompok

materi muatan: 6)

1. pengaturan tentang perlindungan hak-hak asasi

manusia:

2. pengaturan tentang susunan ketatanegaraan negara

yang bersifat mendasar;

3. pengaturan tentang pembagian dan pembatasan

tugas-tugas ketatanegaraan yang juga bersifat

mendasar.

Dengan demikian, perubahan konstitusi haruslah

memiliki dasar filosofis, yuridis, sosiologis dan

teknik pembuatan perundang-undangan yang baik

sebagaimana mestinya. Hal tersebut dikarenakan

konstitusi memuat hal-hal yang sangat mendasar dalam

kehidupan bernegara, maka perubahan terhadapnya akan

5) Wheare dalam Dahlan Thaib, dkk., Teori dan Hukum Konstitusi,Jakarta: Raja Grafindo, 2005, hlm 65.

6) Krisna Harahap, Konstitusi Republik Indonesia : Sejak Proklamasi hinggaReformasi, Bandung: Grafitri, 2004, hlm. ix.

5

berdampak secara langsung terhadap susunan

ketatanegaraan suatu negara.

Mengingat perubahan konstitusi dipengaruhi oleh

adanya gejolak reformasi maka tentu tidak hanya

dipengaruhi oleh aspek hukum saja melainkan sosial,

politik, budaya, terutama ekonomi. Konstitusi sebagai

Grundnorm merupakan kaidah tertinggi yang apabila

dihubungkan dengan teori murni tentang hukum maka

aspek tersebut di atas bukanlah merupakan faktor yang

dapat dibenarkan dalam memproduksinya. Salah satu

alasannya karena bagaimanapun juga konstitusi diakui

sebagai produk politik dan hukum sekaligus. Mengusung

aliran hukum positif, Hans Kelsen dengan grundnorm dan

teori murninya yang secara tegas dinyatakan, bahwa

hukum harus bebas dari anasir-anasir non legal. Di sisi

lain yang bertentangan terdapat aliran sosiological

jurisprudence yang menyatakan, bahwa hukum yang baik

adalah hukum yang mencerminkan atau sesuai dengan hukum

yang hidup dalam masyarakat atau living law. Pengertian

hukum yang hidup tersebut termasuk di dalamnya faktor-

6

faktor non legal yang oleh Hans Kelsen seolah-olah

merupakan faktor cacat dalam pembuatan hukum. Paparan

kedua aliran yang sekilas nampak bertentangan inilah

yang menarik untuk dipelajari sehingga dapat diketahui

landasan filosofis apakah yang digunakan para pelaku

perubahan konstitusi.

Menyadari eratnya kaitan antara era reformasi

sebagai situasi dan kondisi yang melatarbelakangi

perubahan konstitusi tersebut, maka perhatian

penelitian dipusatkan pada hasil perubahan konstitusi

tahap pertama sebagai preseden yang baik bagi perubahan

berikutnya. Hal ini dikarenakan perubahan tahap pertama

dititikberatkan pada hal-hal yang bersifat substansial

dan awal dari 4 (empat) tahap perubahan konstitusi.

Perubahan konstitusi sebagai salah satu bagian dari

teori konstitusi memiliki kedudukan yang penting dalam

pembelajaran mata kuliah Hukum Tata Negara. Adapun

sifat kajian dalam penulisan karya ilmiah ini

dimaksudkan sebagai suatu pembelajaran, penyelidikan

dan penelaahan mengenai baik buruknya suatu peristiwa

7

hukum yang menjadi objek kajian dan kesesuaian antara

das sollen, yaitu sistem dan prosedur perubahan konstitusi

sebagai suatu kaidah yang seharusnya dengan das sein yaitu

proses dan hasil dari perubahan tahap pertama itu

sendiri.

Ketidaksesuaian antara das sollen dan das sein

menghadirkan permasalahan yang memerlukan suatu

penelitian untuk mengkaji fakta secara yuridis,

filosofis dan sosiologis secara garis besar untuk

mendapatkan hasil yang objektif dan dapat

dipertanggungjawabkan. Dengan latar belakang masalah

yang telah diuraikan tersebut, maka penulis tertarik

untuk melakukan penelitian yang kemudian menuangkannya

ke dalam bentuk Skripsi dengan judul :

“ KAJIAN YURIDIS DAN FILOSOFIS PERUBAHANKONSTITUSI REPUBLIK INDONESIA TAHAP PERTAMA PASCAREFORMASI DIHUBUNGKAN DENGAN SISTEM DAN PROSEDURPERUBAHAN KONSTITUSI DAN PASAL 37 UNDANG-UNDANGDASAR 1945 ”

B. Identifikasi Masalah

8

Berdasarkan latar belakang masalah tersebut di

atas, dapat dirumuskan beberapa masalah sebagai berikut

:

1. Apa yang melatarbelakangi terjadinya perubahan

konstitusi Republik Indonesia ?

2. Bagaimanakah proses dilakukannya perubahan

konstitusi Republik Indonesia tahap pertama

pasca reformasi ?

3. Apakah perubahan konstitusi Republik Indonesia

tahap pertama tersebut sudah dilakukan sesuai

dengan sistem dan prosedur perubahan konstitusi

?

C. Maksud dan Tujuan Penelitian

Maksud dilakukannya penelitian ini adalah untuk

mempelajari kelebihan dan kekurangan perubahan

konstitusi tahap pertama.

Penelitian ini bertujuan untuk :

1. Mengetahui faktor-faktor yang melatarbelakangi

terjadinya perubahan konstitusi Republik

Indonesia.

9

2. Memperoleh deskripsi lengkap dan jelas mengenai

proses dilakukannya perubahan konstitusi

Republik Indonesia tahap pertama pasca

reformasi.

3. Mengetahui kesesuaian perubahan konstitusi

Republik Indonesia tahap pertama tersebut

dengan sistem dan prosedur perubahan

konstitusi.

D. Kegunaan Penelitian

Secara teoritis penelitian ini diharapkan dapat :

1. Memperkaya wacana dan khasanah keilmuan di

bidang hukum pada umumnya dan hukum tata negara

pada khususnya.

2. Menjadi referensi dalam membahas, menelaah

kembali atau mengkaji perubahan-perubahan

konstitusi yang telah, sedang dan akan

dilakukan.

Adapun kegunaan secara praktis antara lain :

10

1. Bagi pemerintah dan instansi yang berkompeten,

diharapkan dapat menjadi bahan informasi dan

pertimbangan dalam pengambilan dan penentuan

kebijaksanaan pembuatan, perubahan termasuk

pengembangan perundang-undangan, khususnya

Konstutisi di Indonesia.

2. Bagi peneliti lain, sebagai pemicu semangat

dalam mengkaji berbagai kebijakan yang

berdampak langsung terhadap khalayak ramai

maupun bahan referensi untuk mengadakan

penelitian lebih lanjut mengenai objek kajian

yang sama.

E. Metode Penelitian

Metode penelitian yang digunakan dalam penelitian

ini adalah :

1. Spefikasi Penelitian

Penelitian ini bersifat Deskriptif Analitis,

yaitu suatu metode yang menggambarkan atau

melukiskan permasalahan yang berkaitan dengan objek

11

penelitian kemudian dianalisis secara sistematis,

jelas dan lengkap.

2. Metode Pendekatan

Metode pendekatan yang digunakan dalam penelitian

ini adalah yuridis normatif dan filosofis yang

dimaksudkan sebagai pengkajian bahan-bahan hukum

khususnya hasil perubahan konstitusi tahap pertama

dari pandangan filsafat hukum.

Pendekatan yuridis normatif dititikberatkan pada

data sekunder yaitu data yang diperoleh melalui

bahan-bahan kepustakaan dengan berpegang pada segi-

segi yuridis dan asas-asas hukum.

Pendekatan filosofis dibatasi pada filsafat

khusus mengenai hukum atau filsafat hukum dengan

menggunakan pokok pemikiran para filsuf dari

beberapa aliran filsafat hukum yang relevan untuk

mengupas permasalahan. Berkaitan dengan hal ini

Sunaryati Hartono menyatakan bahwa ;

“ .............. dalam menemukan asas-asas hukum,kaidah-kaidah hukum dan teori-teori hukum baru(basic research), penggunaan metode penelitian sosial,

12

di samping metode penelitian normatif memberi bobotlebih pada penelitian yang bersangkutan.Namun demikian, supaya penulisan atau penelitianyang dilakukan benar-benar dinilai sebagai suatupenelitian hukum, penelitian itu bagaimanapun jugaharus menggunakan metode penelitian yang normatif.”7)

3. Teknik Pengumpulan Data

Studi Kepustakaan : teknik pengumpulan data

dilakukan dengan cara studi dokumen terhadap

berbagai sumber data sekunder, yaitu:

1) Bahan hukum primer yang digunakan : Undang-

Undang Dasar 1945 dan perundang-undangan di

bawahnya.

2) Bahan hukum sekunder yang digunakan : buku

literatur hukum, jurnal penelitian hukum,

laporan penelitian hukum, laporan hukum media

cetak atau media elektronik.

3) Bahan hukum tertier yang digunakan : kamus

hukum, kamus filsafat dan kamus umum bahasa

Indonesia.7) Sunaryati Hartono, Penelitian Hukum di Indonesia Pada Akhir Abad ke-

20, Bandung: Alumni, 1994, hlm.142.

13

4. Metode Analisis Data

Dalam memilih metode analisis data penulis tidak

hanya menggunakan metode analisis kualitatif

melainkan dilengkapi dengan analisis komprehensif

dan lengkap. Analisis data dilakukan secara

kualitatif, komprehensif, dan lengkap. Sebagaimana

dinyatakan oleh Abdulkadir Muhammad bahwa :

“ Analisis kualitatif artinya menguraikan datasecara bermutu dalam bentuk kalimat yang teratur,runtun, logis, dan tidak tumpang tindih, danefektif, sehingga memudahkan interpretasi datadan pemahaman hasil analisis. Komprehensifartinya analisis data secara mendalam dariberbagai aspek sesuai dengan lingkup penelitian.Lengkap artinya tidak ada bagian yang terlupakan,semuanya sudah masuk dalam analisis.” 8)

F. Kerangka Pemikiran

Secara singkat kronologis pembentukan UUD 1945

merupakan suatu hasil perjuangan dalam mewujudkan suatu

negara yang merdeka dan berdaulat oleh pendiri negara

Indonesia. Mereka memahami bahwa konstitusi dapat

8) Abdulkadir Muhammad, Hukum dan Penelitian Hukum, Bandung: CitraAditya Bakti, 2004, hlm.127.

14

dipersamakan dengan piagam kelahiran suatu negara baru

(a birth certificate).

Maka pada tanggal 16 Juli 1945 Putera Indonesia

berkumpul di Jakarta dalam Rapat persiapan Undang-

Undang Dasar sebagai bagian dari Panitia Persiapan

Kemerdekaan Indonesia (Dokuritsu Zyunbi Tyoosakai).

Hasilnya ditinjau kembali oleh Badan Penyelidik Usaha

Persiapan Kemerdekaan (Dokuritsu Zyunbi Iin Kai) tanggal 18

Agustus 1945. Dalam rapat persiapan Undang-Undang

Dasar tersebut dibentuk suatu Panitia Perancang Undang-

Undang Dasar yang diketuai oleh Ir. Soekarno beserta 18

anggota lainnya. Kemudian dalam rapat besar (sidang

pleno) dibentuk pula Panitia Kecil Perancang Undang-

Undang Dasar dengan Supomo sebagai ketua.9)

Indonesia sebagai negara hukum menempatkan Undang-

Undang Dasar 1945 atau konstitusi sebagai dasar dari

segala hukum yang kedudukannya merupakan peraturan

tertinggi dalam negara dengan muatan dasar-dasar

seluruh sistem hukum dalam negara itu. Dengan demikian,

9) Krisna Harahap, Konstitusi Republik..., Op. Cit., hlm.32.

15

Undang-Undang Dasar memuat peraturan-pokok mengenai

sendi-sendi pertama untuk menegakkan bangunan besar

yang bernama “negara”.10)

Kelestarian suatu konstitusi merupakan hal yang

didambakan beberapa pihak dengan tuntutan stabilitas

tinggi. Bagi sebagian pihak tersebut, perubahan hanya

akan mengganggu kemapanan yang selama ini didapat.

Meskipun demikian, waktu terus menuntut perkembangan

yang secara konstan membuka peluang untuk diadakan

perubahan menuju perbaikan di segala bidang, salah

satunya konstitusi negara.

Perkembangan zaman menjadi alasan untuk

menyesuaikan konstitusi dengan masanya, dan moment

reformasi adalah saat yang tepat. Lembaga negara

berwenang yaitu Majelis Permusyawaratan Rakyat bergegas

untuk melakukan persidangan dalam rangka persiapan

perubahan konstitusi. Sebagai syarat dilakukannya

perubahan konstitusi secara formal harus dipenuhi

10) Abu Daud Busro dan Abubakar Busro, Asas-Asas Hukum Tata Negara,Jakarta: Ghalia Indonesia, 1991, hlm. 49.

16

syarat filosofis, yuridis, dan sosiologis untuk

memperoleh produk legislatif yang baik.

Syarat tersebut tidak semata-mata dibebankan pada

perubahan konstitusi melainkan secara umum merupakan

syarat pembentukan perundang-undangan yang baik.

Bahkan, dengan menempatkan konstitusi sebagai kaidah

hukum tertinggi maka persyaratan untuk mengubahnya

secara umum memiliki persyaratan yang lebih sulit.

Pernyataan tersebut didasari oleh sifat konstitusi yang

dibedakan dari tingkat kesulitan untuk mengubahnya.

Semakin sulit persya-ratannya maka konstitusi tersebut

dikategorikan sebagai konstitusi yang rigid (kaku),

sebaliknya apabila persyaratannya tidak sulit maka

termasuk konstitusi yang flexible (luwes).

Indonesia sendiri memiliki persyaratan yang cukup

sulit dengan mempersyaratkan upaya referendum terlebih

dahulu sebelum dilakukan perubahan konstitusi.

Referendum yang dianggap menghambat reformasi

konstitusional itu dicabut dengan dikeluarkannya

Ketetapan MPR Nomor VIII/MPR/1998. Secara prosedural

17

apakah pencabutan TAP MPR tentang Referendum tersebut

dapat dibenarkan atau tidak menjadi permasalahan

yuridis.

Perubahan konstitusi yang dilakukan Majelis

Permusyawaratan Rakyat pada tahun 1999-2002 secara 4

tahap dilatarbelakangi tuntutan reformasi dan

demokratisasi di segala bidang. Tuntutan reformasi

konstitusional dilakukan sesegera mungkin setelah para

anggota dan pimpinan setuju merealisasikan hal tersebut

dengan persidangan MPR-RI secara terus-menerus untuk

mengubah konstitusi yang mengalami sakralisasi.

Sifat penelitian ini adalah kajian filosofis yang

berarti suatu penyelidikan secara filosofi digunakan

berdasarkan pada beberapa teori yang beberapa aliran

atau mazhab yang dianggap relevan untuk mengupas

permasalahan. Menurut pandangan Theo Huijbers :

“Filosofi adalah kegiatan intelektual yang metodisdan sistematis, secara refleksi menangkap maknayang hakiki dari keseluruhan yang ada. Objekfilosofi bersifat universal mencakup segala yangdialami manusia ( d.h.i. perubahan konstitusi,penulis). Berpikir filosofi adalah mencari arti

18

yang sebenarnya dari segala hal yang ada melaluipandangan cakrawala yang paling luas. Metodepemikiran filosofi adalah refleksi atas pengalamandan pengertian tentang suatu hal dalam cakrawalayang universal. Pengolahan pikirannya secarametodis dan sistematis. Tujuannya adalah kebenaranyang membahagiakan manusia. 11)

Karya tulis ini menggunakan pendekatan konsep

negara hukum sebagai grand theory, dengan didukung oleh

teori grundnorm dari Hans Kelsen aliran positivisme

hukum dan Living law dari aliran sosiological

jurisprudence sebagai middle range theory serta teori

perubahan Formal UUD sebagai applied theory.

GRAND THEORY

Konsep Negara Hukum

Penggunaan konsep negara hukum sebagai grand theory

adalah untuk menegaskan bahwa negara Indonesia yang

merupakan salah satu negara modern yang berdasarkan

atas hukum (rechtsstaat) tidak berdasarkan kekuasaan

(machtstaat), dan pemerintahan sistem konstitutional

yaitu berdasarkan sistem konstitusi (hukum dasar) bukan

11) Abdulkadir Muhammad, Op. Cit., hlm.1.

19

absolutisme (kekuasaan yang tidak terbatas). 12). Dengan

demikian, penelitian ini berpijak pada norma yang telah

ditetapkan secara konstitusional yaitu tercantum pada

Pasal 1 ayat (3) UUD 1945 setelah perubahan.

Sebelum mengalami perubahan, konsep negara hukum

Republik Indonesia tidak secara tersurat dimasukkan ke

dalam batang tubuh melainkan diuraikan dalam penjelasan

UUD 1945. Kemudian pada perubahan konstitusi tahap

ketiga, konsep negara hukum ditegaskan ke dalam Pasal 1

ayat (3) yaitu “Negara Indonesia adalah Negara Hukum”.

Konsekuensi yang mengikutinya adalah munculnya 3 (tiga)

prinsip dasar wajib dijunjung oleh setiap warga negara

yaitu supremasi hukum; kesetaraan di hadapan hukum; dan

penegakan hukum dengan cara-cara yang tidak

bertentangan dengan hukum.13)

Menurut FJ. Stahl sebagaimana dikutip oleh Oemar

Senoadji kemudian dikutip kembali oleh S.F. Marbun,

12) Penjelasan Undang-undang Dasar 194513) Redaksi,RPJMN Tahun 2004-2009,Jakarta: Sinar Grafika, 2005,

hlm. 85.

20

merumuskan unsur-unsur Rechtsstaat dalam arti klasik

sebagai berikut : 14)

a. perlindungan terhadap hak-hak asasi manusia,

b. pemisahan atau pembagian kekuasaan negara untuk

menjamin hak-hak asasi manusia,

c. pemerintahan berdasarkan peraturan,

d. adanya peradilan administratif.

Diberlakukannya negara hukum di Indonesia memberi

harapan tercapainya perlindungan hak-hak warga negara

dari kesewenangan pemerintahan yang besar

kemungkinannya untuk terjadi. Meskipun demikian,

realitas di lapangan membuktikan sebaliknya. Kesadaran

warga negara maupun birokrat negara bahwa Indonesia

memang Negara Hukum hampir tidak tampak ke permukaan.

Selanjutnya, negara hukum sebagai grand theory

digunakan juga untuk menggarisbawahi keberlakuan hukum

itu sendiri yaitu hukum berlaku untuk semua tanpa

kecuali. Hal yang harus dipahami sebagai “tanpa

kecuali” adalah bahwa dalam pembuatan, perubahan14) SF. Marbun, Peradilan Administrasi Negara dan upaya Administratif di

Indonesia, Yogyakarta: Liberty, 1997, hlm. 9.

21

konstitusi yang dilakukan oleh para ahli dan pejabat

negara sekalipun tetap harus sesuai dengan hukum yang

berlaku. Acuannya adalah sistem dan prosedur perubahan

konstitusi yang disepakati.

MIDDLE RANGE THEORY

Dengan tetap bertumpu pada konsep negara hukum

sebagai grand theory maka dipergunakan dua teori sebagai

middle range theory yang dianggap paling memiliki

keterkaitan. Kedua teori tersebut merupakan teori yang

lahir dari penggolongan aliran/mazhab filsafat hukum.

Sebagai salah satu cabang dari filsafat, yaitu filsafat

etika atau moral maka filsafat hukum memiliki tujuan

yang sama dengan filsafat pada umumnya yakni mencari

hakekat terdalam yang menjadi pokok penyelidikan.

Sedangkan penggunaan teori grundnorm dan living law

sebagai middle range theory diilhami dari pemikiran bahwa

suatu grundnorm atau kaidah tertinggi haruslah digali

dari kaidah-kaidah hukum yang hidup dan berkembang

dalam masyarakat itu sendiri atau living law.

22

1. Teori Grundnorm

Di Indonesia, grundnorm diwujudkan dalam Pancasila

yang sekaligus merupakan landasan ideal negara

Indonesia. Keberlakuan Pancasila melingkupi kehidupan

bernegara secara umum. Dengan adanya asas lex superior

derogat legi inferiori maka kaidah yang termuat dalam

Pancasila seharusnya menjadi acuan bagi peraturan-

peraturan di bawahnya.

Adapun kaidah dasar yang disebut grundnorm

dinyatakan dalam suatu konsep yaitu Pancasila yang

bersarikan aliran pikiran kekeluargaan dan merupakan

dasar filsafat bangsa Indonesia yang menjadi dasar

Pembukaan UUD 1945.

Pancasila yang dikemukakan pertama kali oleh Ir.

Soekarno bukan hasil dari keinginan pribadi semata

tetapi perwujudan dari jiwa bangsa yang sarat nuansa

kekeluargaan dan gotong-royong. Jiwa bangsa terpancar

dari kebiasaan-kebiasaan kemudian melahirkan hukum yang

senantiasa tumbuh dan berkembang dalam masyarakat,

23

hukum yang demikian disebut living law. Artinya suatu

grundnorm harus mendasarkan pada living law.

2. Teori Living Law

Sedangkan yang dimaksud dengan teori living law

sebagai teori yang dikembangkan oleh mazhab

sociological jurisprudence adalah suatu pemikiran bahwa

: “ Hukum yang baik adalah hukum yang sesuai dengan hukum yang

hidup dalam masyarakat.”

Pokok pikiran yang berusaha disampaikan adalah

bahwa faktor pembentuk hukum tidak semata-mata

ditentukan oleh faktor legal saja, melainkan faktor-

faktor lainnya. Sebagai aliran yang menggunakan cara

pendekatan dari hukum ke masyarakat, maka ia mengakui

adanya faktor politik dan faktor non legal lainnya yang

dapat mempengaruhi suatu hukum.

Asas yang erat dengan teori living law adalah asas

kedaulatan rakyat yang sebelum perubahan konstitusi

diwujudkan oleh Majelis Permusyawaratan Rakyat sebagai

pemegang sepenuhnya kedaulatan rakyat. Diubah atau

24

tidaknya hal tersebut tentu tidak mengurangi peranan

rakyat untuk berperan aktif menentukan kebijakan yang

secara langsung maupun tidak langsung terhadap

kehidupannya maupun demi kepentingan negara secara

luas. Dengan demikian, suatu peraturan yang baik adalah

yang dapat mengakomodir dan menengahi keinginan rakyat

yang beragam.

APPLIED THEORY

Abstraksi teori-teori tersebut memiliki teori

turunan atau derivasi dalam bentuk Perubahan Formal

Konstitusi atau Formal Amendment sebagai applied theory

yang sekaligus menjadi objek penelitian. Karena jaman

terus berkembang tersebut maka diperlukan suatu

instrumen untuk memperbaharui Undang-Undang Dasar

sebagai penyesuaian. Pembahasan perubahan konstitusi

tersebut dibatasi pada hasil perubahan tahap pertama.

Konstitusi dapat diartikan secara luas maupun

sempit. Menurut Krisna Harahap : 15)

15) Krisna Harahap, Konstitusi Republik..., Op. Cit., hlm.1.

25

“ Konstitusi dalam arti luas diartikan sebagaidokumen hukum (legal document) resmi dengan kedudukanyang sangat istimewa, baik bentuk tertulis (written)maupun tidak tertulis (unwritten). Sedangkan dalampengertian sempit, nama yang diberikan, yakniUndang-Undang Dasar (UUD) kepada dokumen hukum,dokumen politik yang berisi antara lain susunanorganisasi negara dan cara kerjanya.”

Sedangkan menurut A.A.H. Struycken, konstitusi

adalah Undang-Undang yang memuat garis-garis besar dan

asas-asas tentang organisasi daripada negara. Oleh

karena itu Struycken digolongkan sebagai penganut paham

bahwa konstitusi sama dengan Undang-Undang Dasar. 16)

Dalam karya ilmiah ini istilah konstitusi yang dimaksud

adalah konstitusi dalam pengertian sempit. Oleh karena

itu konstitusi dipersamakan dengan Undang-Undang Dasar.

Syarat pembentukan maupun perubahan peraturan

perundang-undangan yang baik harus memenuhi atau

memiliki landasan yang kuat. Syarat tersebut adalah:

1. landasan filosofis

2. landasan yuridis

3. landasan sosiologis

16) Abu Daud Busro dan Abubakar Busro, Op. Cit., hlm.74.

26

Mengenai kewenangan mengubah Undang-Undang Dasar/

konstitusi, di dalam UUD 1945 sendiri telah disediakan

diktum yang dapat digunakan MPR untuk mengubah

ketentuan konstitusi lama dengan konstitusi yang baru,

yakni melalui Pasal 3 UUD 1945, bahwa “ Majelis

Permusyawaratan Rakyat menetapkan Undang-Undang Dasar

dan garis-garis besar daripada haluan negara”.

27

Bagan Kerangka Pemikiran :

28

Konstitusi /UUD 1945

Negara Hukum

( Grand Theory)

Grundnorm& Living Law

( Middle Range Theory)

Syarat PembentukanPerundang-undangan

yang baik

Founding Fathers( Era Kemerdekaan)

UUD 1945Sebelum Perubahan

Sistem dan Prosedur Perubahan

Kostitusi

SYARAT1. FILOSOFIS2. YURIDIS3. SOSIOLOGIS

Applied theoryLegal Amendment

MPR RI(Era Reformasi )

Latar Belakang Historis

UUD 1945Pasca Perubahan

G. Sistematika Penulisan

Pada bagian sistematika penulisan ini, untuk

mempermudah penelitian penulis membagi ke dalam Bab-bab

dan Sub bab sebagai berikut :

Bab I merupakan Bab Pendahuluan yang di dalamnya

membahas mengenai Latar Belakang Masalah, Identifikasi

Masalah, Maksud dan Tujuan Penelitian, Metode

Penelitian, Kerangka Pemikiran, dan Sistematika

Penulisan.

Bab II menguraikan berbagai teori yang digunakan

sebagai tinjauan pustaka mengenai Negara Hukum dan

Konstitusi Serta Landasan Filosofisnya ini diuraikan

Negara Hukum dengan Berbagai Pengertian, Ciri dan

Tujuan Negara Hukum serta Teori-teori Negara Hukum;

Kajian Teoritis Tentang Konstitusi meliputi Tinjauan

Secara Umum dan Teori Perubahan Konstitusi; Dasar

Filosofis Negara memuat Filsafat Hukum dan Negara serta

Pancasila Sebagai Dasar Filosofis Negara Republik

Indonesia.

29

Bab III memaparkan data faktual dan objektif yang

antara lain mengenai Perubahan Konstitusi Republik

Indonesia Tahap Pertama dengan menggambarkan Situasi

dan Kondisi Objektif Terjadinya Perubahan Konstitusi,

Notulensi Panitia Ad-Hoc I Badan Pekerja MPR RI dan

hasilnya berupa Perubahan Tahap Pertama Undang-Undang

Dasar 1945.

Bab IV menjadi inti dari penelitian yaitu merupakan

bab pembahasan melalui pengkajian Mengenai Perubahan

Konstitusi Republik Indonesia Tahap Pertama Pasca

Reformasi yang meliputi Latar Belakang, Proses

Perubahan Konstitusi Republik Indonesia Tahap Pertama

Pasca Reformasi serta Kajian Mengenai Perubahan dari

Sudut Filosofis, Yuridis dan Sosiologis.

Bab V sebagai bab terakhir dalam penulisan skripsi

ini adalah Kesimpulan dan Saran yang merupakan

kristalisasi dari pembahasan-pembahasan sebelumnya dan

saran yang diharapkan dapat bermanfaat bagi para pihak

yang terkait.

30

31

BAB II

NEGARA HUKUM DAN KONSTITUSI REPUBLIK INDONESIA SERTA

LANDASAN FILOSOFISNYA

A. Negara Hukum

Negara berasal dari kata statum (bahasa Latin) yang

artinya menempatkan dalam keadaan berdiri, kemudian

berkembang menjadi staat (bahasa Belanda dan Jerman).

Menurut Logeman, Negara adalah organisasi kekuasaan

yang bertujuan mengatur masyarakat dengan kekuasaannya

itu.17)

Secara umum, suatu negara biasanya memiliki tiga

unsur pokok yaitu : rakyat atau sejumlah orang ;

wilayah tertentu ; pemerintahan yang berwibawa dan

berdaulat. Sebagai unsur pelengkap ditambahkan

pengakuan oleh masyarakat internasional atau negara-

negara lain.18)

17) Ande Akhmad, Kumpulan Catatan Kuliah,(catatan kuliah FakultasHukum Universitas Padjajaran): Bandung, 2003, hlm. 93.

32

Hukum memiliki banyak definisi yang berbeda, oleh

karena itu Immanuel Kant menyatakan doktrinnya yang

terkenal “Noch suchen Die Juristen eine Devinition zu ihrem Begriffe

von Recht” yang menggambarkan hukum memiliki banyak segi

dan meliputi segala macam hal, maka tidak mungkin orang

dapat membuat definisi apa sebenarnya hukum itu.19)

Namun, secara sederhana Sri Soemantri menyatakan

hukum dapat dirumuskan sebagai seperangkat aturan

tingkah laku yang dapat tertulis dan tidak tertulis dan

dibedakan sebagai hukum publik dan hukum privat.20)

Konsep bernegara Indonesia adalah konsep negara

hukum yang juga dianut oleh hampir semua negara modern

saat ini. Seperti halnya sistem pemerintahan dan

bentuk negara yang dirumuskan pada pertama kali negara

ini dibentuk, maka konsep bernegara pun dirumuskan

bersamaan dengan momen tersebut. Secara lahiriah konsep

bernegara tidak tampak dalam setiap batang tubuh

18) Muhammad Tahir Azhary, Negara Hukum : Suatu Studi tentang Prinsip-Prinsipnya Dilihat dari Segi Hukum Islam, Implementasinya pada Periode NegaraMadinah dan Masa Kini, Jakarta: Kencana, 2003, hlm. 17.

19) M.L. Tobing, Sekitar Pengantar Ilmu Hukum, Jakarta: Erlangga,2005, hlm. 6.

20) Krisna Harahap, Konstitusi Republik, Op.cit.,hlm.10.

33

konstitusi RI, namun Pembukaan UUD 1945 telah

menyiratkan prinsip-prinsip dasar yang merupakan ciri-

ciri negara hukum formal dan negara hukum material.

Untuk lebih memahami beberapa konsep negara hukum

berdasarkan sistem hukum dunia, berikut ini dipaparkan

beberapa konsep negara hukum yang dianggap mewakili

sistem hukum terbesar di berbagai belahan dunia serta

konsep negara hukum Indonesia :

1. Rechtsstaat

Istilah rechtsstaat mulai populer sejak abad 19 di

Eropa yang saat itu tengah menganut paham negara hukum

dalam arti sempit, yakni negara yang segala sesuatunya

didasarkan pada hukum tertulis yang diwujudkan dalam

bentuk undang-undang. Kebutuhan masyarakat pada waktu

itu masih sangat sederhana maka peraturan yang tertuang

dalam undang-undang dianggap telah memenuhi segala

kebutuhan masyarakat.

Kebutuhan tersebut utamanya menyangkut soal

ketenteraman, keamanan dan ketertiban, sedangkan soal-

34

soal lainnya, penyelenggaraannya diserahkan sepenuhnya

pada warga. Negara dalam posisi seperti ini disebut

negara penjaga malam (nachtwakerstaat). Pada masa itu

peranan negara tidak begitu besar dan hukum

administrasi belum berkembang. Demikian pula kehadiran

peradilan administrasi belum merupakan kebutuhan yang

sangat urgen.21)

Dengan terjadinya perkembangan jaman yang pesat dan

disertai tuntutan kebutuhan hidup yang semakin

meningkat, peranan negara menjadi sangat diperlukan

untuk memenuhi kebutuhan dan kesejahteraan warganya.

Sejak memasuki negara modern pada abad 20, konsep

negara hukum formal ditinggalkan dan diganti dengan

konsep negara hukum dalam arti material. Berkembangnya

konsep negara hukum material sejalan dengan

perkembangan peranan negara yang semakin besar dan

luas, yakni menyelenggarakan kesejahteraan umum yang

21) S.F. Marbun, Op.cit., hlm.11.

35

disebut welfare state atau menurut istilah Lemaire disebut

bestuurzoorg.22)

Konsep rechtsstaat lahir dari suatu perjuangan

menentang absolutisme ketika masyarakat merasa tidak

adanya perlindungan terhadap hak asasi manusia dan

penguasa yang bertindak sewenang-wenang, sehingga

sifatnya revolusioner. Konsep rechtsstaat ini bertumpu

pada sistem hukum kontinental yang disebut civil law,

dengan demikian istilah rechtsstaat banyak dianut di

negara-negara Eropa Kontinental. Civil law menitikberatkan

pengoperasiannya pada administrasi. Hal tersebut

merupakan alasan mengapa negara Eropa Kontinental

memasukkan unsur peradilan administrasi sebagai salah

satu unsur rechtsstaat.

Dimasukannya unsur peradilan administrasi ke dalam

unsur rechtsstaat, dimaksudkan untuk memberikan

perlindungan hukum bagi warga masyarakat terhadap sikap

tindak pemerintah yang melanggar hak asasi dalam

lapangan administrasi negara. Konsekuensi logis yang

22) Ibid., hlm. 12.

36

lahir dari hal tersebut adalah bahwa perlindungan hukum

tidak bersifat sepihak, melainkan perlindungan hukum

bagi administasi negara yang telah bertindak benar dan

sesuai dengan hukum juga diberikan dengan porsi yang

sama. Timbal balik tersebut menegaskan bahwa dalam

suatu negara hukum perlindungan yang diberikan kepada

warga dan pejabat administrasi negara adalah sama.

Pemaparan konsep rechtsstaat di atas dipadatkan ke

dalam ciri-ciri dari seorang ahli dari kalangan ahli

Hukum Eropa Kontinental, Friedrich Julius Stahl yang

memberikan ciri-ciri rechtsstaat sebagai berikut : 23)

1. Pengakuan dan perlindungan terhadap hak asasimanusia.

2. Negara didasarkan pada teori trias politica.3. Pemerintahan didasarkan pada undang-undang.4. Ada peradilan administrasi negara yang bertugas

menangani kasus perbuatan melanggar hukum olehpemerintah ( onrechtmatige overheidsdaad ).

Selanjutnya Philipus M. Hadjon mengemukakan ciri-

ciri rechtsstaat sebagai berikut: 24)

23) F.J. Stahl dalam Marojahan Pandjaitan, Kerangka Teoritik TentangKonsep Negara Hukum, Teori Demokrasi, dan Teori Perundang-undangan, Makalah,hlm.1.

24) Ibid. ,hlm.4.

37

1. adanya undang-undang dasar atau konstitusi yangmemuat ketentuan tertulis tentang hubunganantara penguasa dan rakyat;

2. adanya pembagian kekuasaan negara, yang meliputi: kekuasaan pembuatan undang-undang yang adapada parlemen, kekuasaan kehakiman yang bebasyang tidak hanya menangani sengketa antaraindividu rakyat tetapi juga antara penguasa danrakyat, dan pemerintah yang mendasarkantindakannya atas undang-undang (wetmatigbestuur);

3. diakui dan dilindunginya hak-hak kebebasanrakyat (vrijgeidsrechten van de burger).

2. Rule of law

Istilah the rule of law mulai populer dengan terbitnya

sebuah buku dari Albert Venn Dicey tahun 1885 dengan

judul Introduction to the study of the law of the constitution.

Konsep the rule of law berkembang secara evolusioner yang

bertumpu pada sistem hukum yang disebut common law

dengan menitikberatkan pengoperasiannya pada judicial.

The rule of law banyak dikembangkan di negara-negara

dengan tradisi Anglo Saxon. 25)

Berbeda dengan konsep rechtsstaat yang memiliki

peradilan administrasi, maka rule of law dengan prinsip

persamaan di hadapan hukumnya tidak mengenal dan

25) Ibid.,hlm. 2.

38

ditemukan adanya unsur peradilan administrasi.

Argumentasi yang diketengahkan Dicey untuk hal itu

adalah bahwa persamaan dihadapan hukum atau penundukan

yang sama dari semua golongan kepada ordinary law of the land

yang dilaksanakan oleh ordinary court, ini berarti bahwa

tidak ada orang yang berada di atas hukum, baik pejabat

maupun warga negara biasa berkewajiban untuk menaati

hukum yang sama; tidak ada peradilan administrasi

negara.26)) Penekanan atas prinsip persamaan di hadapan

hukum (equality before the law) membuat arti peradilan

administrasi dianggap tidak signifikan.

Pada dasarnya Prinsip equality before the law menghendaki

agar prinsip persamaan antara rakyat dengan pejabat

administrasi negara harus juga tercermin dalam lapangan

peradilan. Pejabat administrasi atau Pemerintah atau

rakyat harus sama-sama tunduk kepada hukum dan

bersamaan kedudukannya di hadapan hukum.27) Prinsip

26) Suharizal dan Firdaus Arifin, Refleksi Reformasi Konstitusi 1999-2002, Bandung: Citra Aditya Bakti,2007,hlm.61.

27) S.F. Marbun, Op.cit., hlm.12.

39

equality before the law hanya salah satu ciri rule of law yang

dikemukakan oleh A.V. Dicey sebagai berikut : 28)

1. Supremasi hukum, dalam arti tidak boleh adakesewenang-wenangan sehingga seseorang hanyadapat dihukum jika melanggar hukum.

2. Kedudukan yang sama di depan hukum baik bagirakyat biasa maupun bagi pejabat.

3. Terjaminnya hak-hak asasi manusia oleh undang-undang dan keputusan-keputusan pengadilan.

Masih menurut Dicey, arti ciri pertama dari the rule of

law di atas adalah supremasi absolut atau predominasi dari

reguler law, untuk menentang pengaruh dari arbitary power dan

meniadakan kesewenang-wenangan, prerogatif atau

discretionary authority yang luas dari pemerintah; kedua,

konstitusi adalah hasil the ordinary law of the land bahwa

hukum konstitusi bukanlah sumber melainkan merupakan

konsekuensi dari hak-hak individu yang dirumuskan dan

ditegaskan oleh peradilan.29)

Demikian juga E.C.S. Wade mengetengahkan 3 ciri ruleof law, yakni : 30)

1. Mendahulukan hukum dan ketertiban dalammasyarakat daripada anarki.

28) Marojahan, Loc.cit.,hlm. 4.29) Suharizal dan Firdaus Arifin, Op.cit., hlm. 61.30) Marojahan, Loc.cit.,hlm. 4.

40

2. Pemerintahan harus dilaksanakan sesuai denganhukum.

3. Ada peraturan perundang-undangan yang dijadikandasar melaksanakan perbuatan.

3. Negara Hukum di Indonesia

Tanpa dicantumkannya konsep negara hukum dalam

batang tubuh UUD 1945 sekalipun, dengan sendirinya

dapat disimpulkan dan disepakati bersama bahwa prinsip-

prinsip dan ciri negara hukum yang termuat di pembukaan

menjadi isyarat nyata untuk menentukan Indonesia memang

menganut konsep negara hukum. Ketentuan yang menyatakan

bahwa Indonesia adalah negara yang berdasarkan atas

hukum (rechtsstaat) dan tidak berdasarkan kekuasaan

semata (machtstaat) ditemukan pada Penjelasan UUD 1945,

demikian pula ketentuan mengenai sistem pemerintahan

Indonesia. Dalam Penjelasan disebutkan bahwa sistem

Pemerintahan Indonesia menganut sistem konstitusional.

Artinya Pemerintah berdasarkan atas sistem Konstitusi

(Hukum Dasar), tidak berdasarkan absolutisme.

41

Di Indonesia, istilah negara hukum sering

diterjemahkan rechtsstaats atau the rule of law. Paham

rechtsstaats, pada dasarnya bertumpu pada sistem hukum

Eropa Kontinental.31) Apabila dimaknai sesuai dengan

Pembukaan UUD 1945 tersebut maka negara hukum yang

dimaksudkan di Indonesia adalah negara hukum yang

dijiwai oleh nilai-nilai religius, nilai-nilai

kemanusiaan, nilai-nilai kerakyatan dan nilai-nilai

keadilan.32) Tidak ingin tertinggal dengan konsep

negara hukum lainnya, Indonesia memiliki suatu unsur

pembeda yang menjiwai seluruh aktivitas negara

hukumnya. Unsur yang dimaksud adalah lima sila hasil

rumusan filosofis founding fathers yang dikenal dengan

Pancasila.

Pancasila yang menjiwai kehidupan bernegara

mendorong lahirnya istilah Negara Hukum Pancasila.

Sederhananya, Negara Hukum Pancasila adalah negara yang

berdasarkan Pancasila yang menjunjung tinggi faham

31) Suharizal dan Firdaus Arifin, Op.cit., hlm. 61.32) Naskah Akademik Kajian Komperehensif Komisi Konstitusi tentang Perubahan

Undang-undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 kajian komprehensif,Jakarta: Sekretariat Jenderal MPR RI,2004, hlm. 39.

42

kekeluargaan. Pancasila dan faham atau asas

kekeluargaan bukan merupakan satu konteks pengertian,

namun keduanya saling berhubungan erat. Hubungan

tersebut dinyatakan Sri Soemantri dalam Bunga Rampai

Hukum Tata Negara bahwa keduanya tidak dapat dibedakan

apalagi dipisahkan antara Negara Pancasila (negara yang

berdasarkan filsafat Pancasila) dan Negara

Kekeluargaan. Dengan perkataan lain, Negara

Kekeluargaan hanya terdapat dalam negara berdasarkan

Pancasila sedangkan negara yang berdasarkan Pancasila

selalu merupakan Negara kekeluargaan.33) Ciri lainnya

dari Negara Hukum Pancasila yang dipaparkan Senoadji

ialah adanya jaminan terhadap freedom of religion atau

kebebasan beragama. Tetapi, kebebasan beragama di

Negara Hukum Pancasila selalu dalam konotasi yang

positif, artinya tiada tempat bagi ateisme atau

propaganda anti agama di Bumi Indonesia. Ciri

berikutnya adalah tiada pemisahan yang rigid dan mutlak

antara agama dan negara.34)

33) Marojahan, Loc.cit.,hlm. 24.34) Muhammad Tahir Azhary, Op.cit.,hlm. 93.

43

Untuk mendapatkan pandangan yang menyeluruh

mengenai negara hukum Pancasila di Indonesia, berikut

ini dipaparkan hal-hal yang mengindikasikan Negara

Republik Indonesia sebagai Negara Hukum. Ketentuan-

ketentuan tersebut tersebar di dalam Undang-undang

Dasar 1945 baik dalam Pembukaan, Batang Tubuh maupun

Penjelasan sebagai berikut :35)

1. dalam Penjelasan UUD mengenai SistemPemerintahan Negara Indonesia, ditemukanpenekanan pada hukum (rechts) yang dihadapkandengan kekuasaan (macht). Artinya UUD 1945menempatkan penolakan terhadap hak-hakkemanusiaan. Rumusan yang terdapat padaPenjelasan UUD 1945 tersebut, sesungguhnyamerupakan penjabaran dari Pokok-pokok Pikiranyang terkandung dalam Pembukaan UUD 1945 yangmemuat cita hukum (rechtssidee).

2. penegasan penolakan terhadap kekuasaan yangbersifat absolutisme itu, kemudian dipagar dandikunci secara ketat perumusan sistempemerintahan yang berdasarkan atas konstitusi(hukum dasar). Dengan demikian negara hukummenurut UUD 1945 adalah negara hukum dengansistem konstitusional.

3. negara hukum yang dimaksud dalam Penjelasan UUD1945, bukanlah negara hukum dalam arti formalatau negara penjaga malam, tetapi negara hukumdalam arti luas yakni negara hukum dalam artimaterial. Sebab dalam alinea keempat PembukaanUUD 1945, disebutkan negara bukan sajamelindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh

35) S.F. Marbun, Op.cit., hlm.15-16.

44

tumpah darah Indonesia, tetapi juga harusmemajukan kesejahteraan umum dan mencerdaskankehidupan bangsa.

4. negara hukum yang dimaksud dalam Penjelasan UUD1945 harus sejalan dengan negara demokrasi,sehingga keduanya merupakan dua pilar yang tegaklurus dan saling menopang. Karena itu MPRsebagai pemegang kedaulatan rakyat harus benar-benar tercermin sebagai penjelmaan seluruhrakyat Indonesia, sehingga benar-benar terjaminsifat demokratisnya.

5. dalam negara hukum Indonesia menurut UUD 1945,kekuasaan Kepala Negara harus terbatas dan bukantak terbatas. Artinya Kepala Negara bukandiktator. Meskipun Kepala Negara tidakbertanggung jawab kepada Dewan PerwakilanRakyat, tetapi Kepala Negara harus memperhatikansungguh-sungguh suara Dewan Perwakilan Rakyat.Untuk menghindari Presiden bersifat absolut,kedudukan dan peranan DPR diletakkan pada posisiyang kuat, sehingga DPR tidak dapat dibubarkanoleh Presiden. DPR melakukan pengawasan terhadapPresiden dan bahkan memegang wewenang memberikanpersetujuan kepada Presiden dalam menetapkanundang-undang dan APBN. Hal ini mencerminkankuatnya kedudukan rakyat dalam sistemPemerintahan Negara Indonesia.

6. dalam Batang Tubuh UUD 1945 ditemukan jugabeberapa ketentuan mengenai rumusan hak-hakkemanusiaan yang dijelmakan dalam rumusan “hak-hak warganegara” dan kedudukan penduduk.

Mengingat bahwa konsep negara hukum Republik

Indonesia tidak secara tegas tercantum dalam batang

tubuh melainkan dalam penjelasan maka pada

perkembangannya konsep Negara Hukum memiliki tempat

45

tersendiri dalam batang tubuh UUD 1945 setelah

amandemen tahap ke-3 (tiga). Ketentuan tersebut

ditetapkan secara konstitusional di Pasal 1 ayat (3)

yaitu “Negara Indonesia adalah Negara Hukum”.

Persamaan pokok antara rechtsstaat dengan rule of law

adalah adanya keinginan untuk memberikan jaminan

terhadap hak-hak asasi manusia. Dengan demikian, dapat

ditarik benang merah bahwa inti konsep negara hukum

adalah negara yang segala tindak tanduk pelaksanaannya

tunduk pada peraturan hukum yang berlaku. Sedangkan

tujuan negara hukum pada intinya memiliki tujuan yang

sama dengan hakikat konstitusi tidak lain dari

perwujudan paham tentang konstitusi atau

konstitusionalisme yaitu pembatasan terhadap kekuasaan

pemerintah di satu pihak dan jaminan terhadap kekuasaan

pemerintahan di satu pihak dan jaminan terhadap hak-hak

warga negara manapun setiap penduduk di pihak lain.36)

B. Kajian Teoritis Tentang Konstitusi

36) Bagir Manan, Pertumbuhan dan Perkembangan Konstitusi Suatu Negara,Bandung: Mandar Maju,1995, hlm. 6.

46

1. Tinjauan Umum Konstitusi

Konstitusi bagi suatu negara hukum merupakan harga

mati yang tidak bisa ditawar lagi. Seperti yang telah

disinggung sebelumnya, negara hukum memerlukan

konstitusi untuk memuat aturan dasar yang menjadi

sumber berbagai peraturan di bawahnya. Bahkan menurut

Sri Soemantri, tidak ada satu Negara pun di dunia

sekarang ini yang tidak mempunyai konstitusi atau

Undang-Undang Dasar. Negara dan konstitusi merupakan

dua lembaga yang tidak dapat dipisahkan satu dengan

yang lainnya, demikian Sri Soemantri.37)

Berbicara konstitusi berarti berbicara mengenai

hukum, dan untuk pengertian hukum dapat dilihat dalam

penjelasan Undang-undang Dasar 1945, Bab Umum No. IV

yang dirumuskan sebagai berikut :38)

“ Undang-Undang Dasar hanya memuat aturan-aturanpokok, menurut garis-garis besar sebagai instruksikepada pemerintah pusat dan lain-lain penyelenggara

37) Sri Soemantri, Op.cit., hlm. 2.38) Toga Hutagalung, Hukum dan Keadilan dalam Pemahaman Filsafat

Pancasila dan UUD 1945, (Disertasi Fakultas Hukum UniversitasPadjajaran, Bandung), hlm. 24.

47

negara untuk menyelenggarakan kehidupan negara dankesejahteraan sosial.”

Dari penjelasan tersebut undang-undang dapat

diartikan hukum sebagai alat atau sarana dalam

penyelenggaraan negara dan kesejahteraan sosial.

Mengenai sumber hukum dapat dilihat dalam penjelasan

UUD 1945, Bab Umum No. III yang dirumuskan sebagai

berikut :

“ Pokok-pokok pikiran yang terkandung dalampembukaan meliputi suasana kebatinan dari UUDnegara Indonesia, pokok-pokok pikiran inimewujudkan cita-cita hukum negara, baik hukumtertulis (UUD) maupun tidak tertulis. 39)

Sedang fungsi hukum menurut UUD 1945 lebih

diperluas di dalam penjelasan pada Pasal 28,29 ayat 1

dan Pasal 34, sebagai berikut :

“ Pasal-pasal baik yang hanya mengenai warga negaramaupun yang mengenai seluruh penduduk memuat hasratbangsa Indonesia untuk membangun negara yangbersifat demokratis dan yang hendakmenyelenggarakan keadilan sosial danperikemanusiaan” 40)

1.1 Pengertian Konstitusi

39) Ibid., hlm.25.40) Ibid.

48

Konstitusi secara etimologis berasal dari bahasa

Latin yaitu constituo (tunggal), constituones (jamak).

Istilah konstitusi berasal dari bahasa Perancis

(constituer) yang berarti membentuk. Pemakaian istilah

konstitusi yang dimaksudkan ialah pembentukan suatu

negara atau menyusun dan menyatakan suatu negara.41)

Konstitusi merupakan segala ketentuan dan aturan

mengenai ketatanegaraan (Undang-Undang Dasar, dan

sebagainya, atau Undang-Undang Dasar suatu negara).42)

Berbeda halnya dengan konstitusionalisme, yaitu suatu

paham mengenai pembatasan kekuasaan dan jaminan hak-hak

rakyat melalui konstitusi.43) Pembatasan ini

dilatarbelakangi suatu pemikiran bahwa kekuasaan yang

terpusat pada satu tangan akan sulit mewujudkan cita-

cita bangsa yang mendambakan keadilan dan

kesejahteraan. Penyebabnya, menurut Lord Acton, power

tends to corrupt, absolute power corrupts absolutely.44)

41) Dahlan Thaib, dkk., Teori dan Hukum Konstitusi, Jakarta:RajaGrafindo, 2005, hlm.1.

42) Ibid., hlm 1.43) Ibid.44) Krisna Harahap, Konstitusi Republik, Op.cit., hlm.7.

49

Undang-Undang Dasar sering disebut dengan istilah

“konstitusi”. Sri Soemantri dalam disertasinya dan

Struycken merupakan beberapa ahli yang menganggap

konstitusi sama dengan Undang-Undang Dasar. Tetapi

pengertian konstitusi yang disamakan dengan Undang-

Undang Dasar, adalah suatu kekeliruan pandangan.45)

Sebab jika ditelusuri lebih jauh dalam kepustakaan,

ternyata ada perbedaan pengertian antara Undang-Undang

Dasar dan konstitusi.

Argumentasi tersebut dapat terlihat dari

perbandingan pengertian konstitusi dalam arti luas dan

sempit. Berikut menurut Krisna Harahap, konstitusi

dapat diartikan secara luas maupun sempit. Konstitusi

dalam arti luas diartikan sebagai dokumen hukum (legal

document) resmi dengan kedudukan yang sangat istimewa,

baik bentuk tertulis (written) maupun tidak tertulis

(unwritten). Sedangkan dalam pengertian sempit, nama

yang diberikan, yakni Undang-Undang Dasar (UUD) kepada

45) Abu Daud Busroh dan Abu Bakar Busroh, Op.cit., hlm. 41.

50

dokumen hukum, dokumen politik yang berisi antara lain

susunan organisasi negara dan cara kerjanya. 46)

Menurut Herman Heller, bahwa konstitusi mempunyai

arti yang lebih luas daripada Undang-Undang Dasar.

Konstitusi, sesungguhnya tidak hanya bersifat yuridis

semata-mata, melainkan juga sosiologis dan politis.

Sedangkan Undang-Undang Dasar, hanya merupakan sebagian

dari pengertian konstitusi, yakni die geschreiben verfassung

atau konstitusi yang ditulis.47) Sedangkan istilah

Undang – Undang Dasar merupakan terjemahan istilah yang

dalam bahasa Belandanya disebut Gronwet. Perkataan wet

diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia undang – undang

dan grond berarti tanah/dasar.48)

K.C. Wheare dalam buku Modern Constitution : 1966

mengartikan konstitusi sebagai keseluruhan sistem

ketatanegaraan dari suatu negara berupa kumpulan

46) Krisna Harahap, Konstitusi Republik Op. Cit., hlm.1.47) Dikutip oleh Moh. Kusnardi dan Harmaily Ibrahim dan

dikutip kembali oleh Abu Daud Busroh dan Abubakar Busro,Op.cit.,hlm.41.

48) Dahlan Thaib, dkk., Op.cit., hlm.7.

51

peraturan-peraturan yang membentuk, mengatur atau

memerintah dalam pemerintahan”. 49)

C.F. Strong dalam buku Modern Political Constitution : 1966

mendefinisikan konstitusi sebagai “A constitution is a

collection of principles according to which the powers of government, the

right of the government and the relation between the two are adjusted.”

50) Dari rumusan tersebut menunjukkan bahwa Strong telah

menafsirkan konstitusi dalam arti sempit, yakni berupa

sebuah naskah ataupun sekumpulan peraturan-peraturan

yang mengandung otoritas sebagai Hukum Tata Negara.51)

1.2 Materi Muatan Konstitusi

Struycken dalam bukunya Het Staatsrecht van Het Koninkrijk

der Nederlanden menyatakan bahwa Undang-Undang Dasar

sebagai Konstitusi tertulis merupakan sebuah dokumen

formal yang berisi:52)

1. Hasil perjuangan politik bangsa di waktu yanglampau.

2. Tingkat-tingkat tertinggi perkembanganketatanegaraan bangsa.

49) Ibid., hlm. 13.50) Ibid., hlm.12.51) Abu Daud Busroh dan Abu Bakar Busroh, Op.cit., hlm. 45.52) Dikutip oleh Sri Soemantri, Op.cit., hlm.2.

52

3. Pandangan tokoh-tokoh bangsa yang hendakdiwujudkan, baik untuk waktu sekarang maupun untukmasa yang akan datang.

4. Suatu keinginan, dengan mana perkembangankehidupan ketatanegaraan bangsa hendak dipimpin.

Menurut J.G. Steenbeek, sebagaimana dikutip Sri

Soemantri dalam disertasinya dan dikutip kembali oleh

Dahlan Thaib bahwa pada umumnya suatu konstitusi berisi

tiga hal pokok, yaitu : 53)

Pertama, adanya jaminan terhadap hak-hak asasi manusia

dan warga negaranya;

Kedua, ditetapkannya susunan ketatanegaraan suatu

negara yang bersifat fundamental;

Ketiga, adanya pembagian dan pembatasan tugas

ketatanegaraan yang juga bersifat

fundamental.

1.3 Fungsi, Kedudukan dan Tujuan Konstitusi

Mengenai fungsi dan kedudukan konstitusi, beberapa

penulis seperti C.F. Strong, K.C. Wheare, M. Rosenfeld

12, Henc van Maarseveen, Lawrence Beer, Sri Soemantri

53) Dahlan Thaib, dkk.,, Op.cit., hlm. 16.

53

dan Jimly Asshiddiqie memperlihatkan adanya pandangan

yang satu sama lain bertautan. Fungsi dan kedudukan

tersebut adalah :54)

1) Konstitusi berfungsi sebagai dokumen nasional

(national document) yang mengandung perjanjian luhur,

berisi kesepakatan-kesepakatan tentang politik,

hukum, pendidikan, kebudayaan, ekonomi,

kesejahteraan, dan aspek fundamental yang menjadi

tujuan negara.

2) Konstitusi sebagai piagam kelahiran negara baru (a

birth certificate of new state). Hal ini juga merupakan

bukti adanya pengakuan masyarakat internasional

ditandai dengan adanya ratifikasi terhadap

perjanjian-perjanjian internasional.

3) Konstitusi sebagai sumber hukum tertinggi.

Konstitusi mengatur maksud dan tujuan terbentuknya

suatu negara dengan sistem administrasinya melalui

adanya kepastian hukum yang terkandung dalam

pasal-pasalnya, unifikasi hukum nasional, social

54) Naskah Akademik..., Op.cit., hlm.17-18.

54

control, memberikan legitimasi atas berdirinya

lembaga-lembaga negara termasuk pengaturan tentang

pembagian dan pemisahan kekuasaan antara organ

legislatif, eksekutif, dan yudisial. Konstitusi

sebagai sumber hukum tidak saja berfungsi sebagai

a tool of social engineering, melainkan juga harus mampu

merespon secara kritis perubahan zaman.

4) Konstitusi sebagai identitas nasional dan lambang

persatuan. Konstitusi menjadi suatu sarana untuk

memperhatikan berbagai nilai dan norma suatu

bangsa dan negara, misalnya simbol demokrasi,

keadilan, kemerdekaan, negara hukum, yang

dijadikan sandaran untuk mencapai kemajuan dan

keberhasilan tujuan negara. Konstitusi suatu

negara diharapkan dapat menyatakan persepsi

masyarakat dan pemerintah, sehingga memperlihatkan

adanya nilai identitas kebangsaan, persatuan dan

kesatuan, perasaan bangga dan kehormatan sebagai

bangsa yang bermartabat. Konstitusi dapat

memberikan pemenuhan atas harapan-harapan sosial,

55

ekonomi dan kepentingan politik. Konstitusi tidak

saja menganut pembagian dan pemisahan kekuasaan

dalam lembaga-lembaga politik seperti legislatif,

eksekutif dan yudisial, akan tetapi juga mengatur

tentang penciptaan keseimbangan hubungan (check and

balances) diantaranya aparat pemerintah di pusat

maupun di daerah.

5) Konstitusi sebagai alat untuk membatasi kekuasaan.

Konstitusi dapat berfungsi untuk membatasi

kekuasaan, mengendalikan perkembangan dan situasi

politik yang selalu berubah, serta berupaya untuk

menghindarkan adanya penyalahgunaan kekuasaan.

Berdasarkan alasan tersebut, menjadi sangat

penting untuk diperhatikan seberapa jauh formulasi

pasal-pasal dalam konstitusi mengakomodasikan

materi muatan pokok dan penting sehingga dapat

mencegah timbulnya penafsiran yang beraneka ragam.

6) Konstitusi sebagai pelindung HAM dan kebebasan

warga negara. Konstitusi memberikan perlindungan

terhadap hak-hak asasi manusia dan hak-hak

56

kebebasan warga negara. Hal ini merupakan

pengejawantahan suatu negara hukum dengan ciri-

ciri equality before the law, non diskriminatif dan keadilan

hukum (legal justice) dan keadilan moralitas (social and

moral justice).

Konstitusi itu sendiri disebut-sebut sebagai

aturan yang memiliki keistimewaan dibandingkan dengan

peraturan lainnya, yang antara lain dikarenakan :55)

1) merupakan fundamental law, atau hukum yang palingmendasar dalam suatu negara

2) the highest law, merupakan hukum tertinggi3) a birth certificate, sama halnya akta kelahiran dari

suatu negara4) staatsfundamentalnorm, yaitu aturan - aturan dasar

mengenai negara.

Mengenai tujuan dibentuknya Konstitusi terdapat

beberapa pendapat yang akan diulas sebagaimana berikut:

1) C.F Strong, the object of a constitution in short, are to limit the

arbitary action of the government, to quarantee the rights of

governed, and to define the operation of the sovereign power; 56)

55) Krisna Harahap, Konstitusi Republik, Op.cit., hlm. 1-3.56) Dahlan Thaib, dkk., Op.cit., hlm 23.

57

2) Loeweinstain (political power and the government process),

yaitu suatu sarana dasar untuk mengawasi proses –

proses kekuasaan : 57)

a. “memberi pembatasan dan pengawasan terhadap

kekuasaan politik”

b. “ membebaskan kekuasaan dari kontrol mutlak

para penguasa”

Karena negara merupakan organisasi kekuasaan, maka

daripada itu di setiap negara ditemukan bermacam –

macam pusat kekuasaan dan kekuasaan itu sendiri

harus dibatasi dengan konstitusi/ UUD.

3) Hans Kelsen dan Hans Nawrasky (muridnya),

konstitusi bertujuan untuk mewujudkan 2 norma

utama yaitu staatsfundamentalnorm (norma fundamental

negara) dan staatsgrundgesetz (aturan dasar) ;

2. Teori Perubahan Konstitusi

Perubahan konstitusi merupakan suatu keniscayaan,

demikian para tokoh kenegaraan berkata, untuk itu

57) Ibid., hlm. 24.

58

konstitusi selalu mencantumkan bab mengenai perubahan

konstitusi. Walaupun konstitusi setiap negara dibuat

untuk jangka waktu yang lama, namun cepatnya

perkembangan masyarakat dalam berbagai sektor kehidupan

membuka mata untuk melakukan penyesuaian konstitusi

agar tidak tertinggal jauh dalam peradaban.

Sebelum memberi pemaparan lebih jauh, terlebih

dahulu dijelaskan arti perubahan dan amandemen itu

sendiri. Sri Soemantri menyimpulkan bahwa mengubah

maupun mengamandemen UUD adalah sama, yang dijelaskan

sebagaimana berikut :

Mengubah maupun perubahan berasal dari kata “ubah”yang berarti “lain” atau “beda”. Mengubahmengandung arti “menjadi lain (dr).” Sedangperubahan diartikan hal berubahnya sesuatu;pertukaran, peralihan.” Dalam hal itu, John M.Echols dan Hassal Shadily menyebutkan bahwa“amendement” adalah “amandemen”. Dengan mengikutipendapat kedua orang ahli bahasa ini “mengubahUndang-Undang Dasar” adalah sama dengan“mengamandemen Undang-Undang Dasar.”

Dalam Hukum Tata Negara Amerika Serikat “to amend the

Constitution” mengandung arti bukan saja mengubah sesuatu

59

juga menambahkan sesuatu yang belum diatur dalam

Konstitusi.58)

Perubahan konstitusi dapat dilakukan secara formal

dan tidak formal. Kedua cara tersebut dapat dibedakan

dari ada tidaknya ketentuan mengenai perubahan tersebut

dalam konstitusi itu sendiri. Dengan kata lain secara

yuridik, perubahan konstitusi dapat dilakukan apabila

dalam konstitusi itu telah ditetapkan tentang syarat

dan prosedur konstitusi. Perubahan konstitusi yang

ditetapkan dalam konstitusi disebut perubahan secara

formal (formal amendment). Di samping itu perubahan

konstitusi juga dapat dilakukan dengan cara yang tidak

formal yaitu oleh kekuatan-kekuatan yang bersifat

primer, penafsiran oleh pengadilan dan oleh kebiasaan

dalam bidang ketatanegaraan.59)

Perubahan ini dipengaruhi oleh sifat undang-undang

dasar itu sendiri yang terbagi dalam dua golongan,

yaitu undang-undang dasar yang rigid dan flexible.

Menentukan apakah undang-undang dasar tersebut58) Sri Soemantri,Op.Cit.,hlm.162.59) Naskah Akademik..., Op.cit., hlm.179.

60

tergolong flexible atau rigid dapat diukur dengan

mengajukan pertanyaan apakah undang-undang dasar itu mudah

atau tidak mudah mengikuti perkembangan zaman. Kalau mudah

maka undang-undang dasar itu flexible sebaliknya maka

sifatnya rigid.60)

2.1 Kewenangan Mengubah Konstitusi

Pada tahap pertama perubahan UUD 1945 kewenangan

untuk mengubah dimiliki oleh Majelis

Permusyawaratan Rakyat atas dasar Pasal 3 UUD 1945

yang berbunyi “ Majelis permusyawaratan Rakyat

menetapkan Undang-undang Dasar dan garis-garis

besar daripada haluan Negara.”

Tugas dan Wewenang MPR Pasal 3 dan Pasal

4Ketetapan MPR-RI No. I/MPR/1983 jo Ketetapan MPR-

RI No. II/MPR/1999 tentang Peraturan Tata-Tertib

Majelis Permusyawaratan Rakyat :

Pasal 3, Majelis mempunyai tugas :

1) menetapkan Undang-Undang Dasar;

60) Moh. Kusnardi dan Harmaily Ibrahim dalam Abu Daud Busrohdan Abubakar Busro, Op.cit., hlm. 46.

61

2) menetapkan Garis-Garis Besar Haluan Negara;

3) memilih dan mengangkat Presiden dan Wakil

Presiden.

Pasal 4, Majelis mempunyai wewenang :

f. mengubah Undang-undang Dasar.

Untuk keanggotaan MPR sendiri diatur dalam Pasal

2 ayat (1) “ Majelis Permusyawaratan Rakyat terdiri

dari anggota Dewan Perwakilan Rakyat dan anggota

Dewan Perwakilan Daerah yang dipilih melalui

pemilihan umum dan diatur lebih lanjut dengan

undang-undang.”

2.2 Sistem Perubahan Konstitusi

Dalam literatur Hukum Tata Negara dikenal dua

sistem perubahan konstitusi, yakni penggantian atau

perubahan secara menyeluruh (re-new) dan perubahan

dengan melakukan penambahan atau yang dikenal

dengan istilah addendum.

Sistem perubahan atau renewel adalah, apabila

suatu konstitusi (UUD) dilakukan perubahan (dalam

62

arti diadakan pembaruan), maka yang diberlakukan

adalah konstitusi yang baru secara keseluruhan. Di

antara negara yang menganut sistem ini adalah

Belanda, Jerman, dan Perancis.61) Perubahan UUD 1945

disepakati untuk diubah dengan cara addendum, yakni

perubahan UUD 1945 dilakukan dengan tetap

mempertahankan naskah asli UUD 1945 sebagaimana

terdapat dalam Lembaran Negara No. 75 Tahun 1959

hasil Dekrit Presiden 5 Juli 1959 dan naskah

perubahan-perubahan UUD 1945 diletakkan melekat

pada naskah asli.62)

Bahwa Undang-undang Dasar atau konstitusi dapat

diubah melalui jalan penafsiran dikemukakan oleh

K.C. Wheare yang merumuskan empat macam cara untuk

mengubah konstitusi, yaitu melalui :63)

1. beberapa kekuatan yang bersifat primer (some

primary force) ;

61) Dahlan Thaib,dkk., Op.cit., hlm. 67.62) Ni’matul Huda, Op.cit., hlm. 147.63) Sri Soemantri, Op.cit., hlm. 259.

63

2. perubahan yang diatur dalam konstitusi (formal

amandement);

3. penafsiran secara hukum (judicial interpretation) ;

4. kebiasaan dan kebiasaan yang terdapat dalam

bidang ketatanegaraan (usage and convention)

C.F. Strong juga mengemukakan empat macam cara

prosedur perubahan konstitusi, yaitu : 64)

1. perubahan konstitusi yang dilakukan olehpemegang kekuasaan legislatif, akan tetapimenurut pembatasan – pembatasan tertentu;

2. perubahan konstitusi yang dilakukan olehrakyat melalui suatu referendum;

3. perubahan konstitusi – dan ini berlaku dalamnegara serikat- yang dilakukan oleh sejumlahnegara – negara bagian;

4. perubahan konstitusi yang dilakukan dalamsuatu konvensi atau dilakukan oleh suatulembaga negara khusus yang dibentuk hanyauntuk keperluan perubahan.

2.3 Dasar Hukum dan Syarat Perubahan Konstitusi

RI

Tiap-tiap undang-undang dasar biasanya memuat

ketentuan yang menetapkan organ yang berhak

64) Ni’matul Huda, Op.cit, hlm. 68.

64

mengubah naskah undang-undang dasar itu sendiri dan

prosedur yang harus dilalui untuk mengadakan

perubahan itu.65) Dalam UUD 1945 terdapat satu pasal

yang khusus mengatur tentang cara perubahan UUD,

yaitu Pasal 37. BAB XVI Mengenai Perubahan Undang-

Undang Dasar Pasal 37 UUD 1945 menyebutkan :

(1) Untuk mengubah Undang-undang Dasar sekurang–kurangnya 2/3 daripada jumlah anggota MajelisPermusyawaratan Rakyat harus hadir.

(2) Putusan diambil dengan persetujuan sekurang-kurangnya 2/3 daripada jumlah anggota yanghadir.

Pasal 37 tersebut mengandung tiga norma, yaitu : 66)

1. bahwa wewenang untuk mengubah UUD ada pada MPRsebagai Lembaga Tertinggi

2. bahwa untuk mengubah UUD kuorum yang harusdipenuhi sekurang – kurangnya adalah 2/3 dariseluruh jumlah anggota MPR;

3. bahwa putusan tentang perubahan UUD adalah sahapabila disetujui oleh sekurang – kurangnya2/3 dari anggota MPR yang hadir.

65) Abu Daud Busroh dan Abubakar Busro, Op.cit., hlm. 46.66) Ni’matul Huda, Op.cit., hlm. 71.

65

C. Dasar Filosofis Negara (Filosofische Grondslag)

Filsafat yang menjadi pisau bedah dalam penelitian

ini memiliki perangkat tersendiri yang lazim

dipergunakan dalam menyelesaikan berbagai permasalahan

yang sifatnya bukan penyelesaian praktis. Bagaimana pun

juga, sifat abstrak dan hipotesis kajian filsafat tidak

dapat dipungkiri. Perangkat yang akan dipergunakan

dalam mengkaji secara filosofis perubahan konstitusi

tahap pertama ini akan dibatasi pada teori filsafat

hukum yang berkaitan pembahasan.

Undang-Undang Dasar merupakan bentuk hukum tertulis

yang secara umum merupakan bagian dari hukum dalam arti

luas. Untuk itu, dalam pemaparannya teori filsafat di

sini tidak secara kaku dan monoton menggunakan istilah

konstitusi atau Undang-Undang Dasar.

Sekedar untuk mengingat kembali pengertian filsafat

hukum, berikut ini diulas beberapa definisi filsafat

hukum sebagai berikut.

66

Soetikno (1976 : 10), merumuskan : 67)

“Filsafat hukum mencari hakikat daripada hukum, yang menyelidiki

kaidah hukum sebagai pertimbangan nilai-nilai”.

Purnadi Purbacaraka dan Soerjono Soekanto (1979 :

11), mengatakan : 68)

“Filsafat hukum adalah perenungan dan perumusan nilai-nilai;kecuali itu filsafat hukum juga mencakup penyerasian nilai-nilaimisalnya : penyerasian antara ketertiban dengan ketentraman,antara kebendaan dengan keakhlakan, dan antarakelanggengan/konservatisme dengan pembaharuan”.

Menurut Mahadi (1989 : 10) : 69)

“Filsafat hukum ialah falsafah tentang hukum, falsafah tentangsegala sesuatu di bidang hukum secara mendalam sampai ke akar-akarnya secara sistematis”

Beberapa teori filsafat hukum yang memiliki

keterkaitan dengan pembentukan undang-undang dasar yang

ideal adalah teori yang dikemukakan oleh F. von Savigny

(mazhab sejarah) dan Eugene Erlich (aliran sosiological

jurisprudence) dan Hans Kelsen (aliran positivisme

hukum). Inti pemikiran mazhab sejarah tersarikan dalam

buku von Savigny yang termashur “Von Beruf Unserer Zeit fur

67) Lili Rasjidi dan Ira Rasjidi, Dasar-dasar Filsafat dan Teori Hukum,Bandung : Citra Aditya Bakti, 2001, hlm. 2.

68) Ibid.69 Ibid. hlm. 3.

67

Gezetzgebung und Rechtswissenschaft” – Tentang tugas zaman

kita bagi pembentuk undang-undang dan ilmu hukum,

antara lain: 70)

Das Recht wird nicht gemacht, est ist und wird mit dem Volke- Hukumitu tidak dibuat, tetapi tumbuh dan berkembang bersamamasyarakat.

Lebih lanjut Savigny mengatakan hukum merupakan

salah satu faktor dalam kehidupan bersama suatu bangsa,

seperti bahasa, adat, moral, tatanegara. Oleh karena

itu hukum adalah sesuatu yang bersifat supra-

individual, suatu gejala masyarakat. Tetapi suatu

masyarakat lahir dalam sejarah, berkembang dalam

sejarah dan lenyap dalam sejarah. Nyatalah hukum yang

termasuk masyarakat ikut serta dalam perkembangan

organis itu. Lepas dari perkembangan masyarakat tidak

terdapat hukum sama sekali.71)

Eugene Erlich seorang teoretisi “free law” mengatakan

“Pusat dari bobot perkembangan hukum tidak terletak

dalam legislasi maupun keputusan Yudisial, tetapi dalam

70) Ibid., hlm. 65.71) Theo, Op.cit., hlm. 118.

68

masyarakat itu sendiri”. Menurutnya, di dalam

masyarakat manapun selalu terdapat lebih banyak hukum

ketimbang yang diekspresikan dalam proposisi-proposisi

hukum.72) Dengan demikian, konsepsi dasar tentang hukum

dan yang merupakan kunci bagi teorinya adalah apa yang

ia namakan living law. Hukum positif yang baik (dan

karenanya efektif) adalah hukum yang sesuai dengan living

law sebagai inner order dari masyarakat yang mencerminkan

nilai-nilai yang hidup di dalamnya.73)

Hans Kelsen dikenal dengan ajaran teori murni

tentang hukum yang pada intinya menghendaki hukum itu

harus dibersihkan dari anasir-anasir yang tidak yuridis

seperti etis, sosiologis, politis dan sebagainya.74)

Teori lainnya berasal dari murid Kelsen yaitu Adolf

Merkl dengan mengemukakan Stufenbau des Recht yang

mengutamakan adanya hierarkis daripada perundang-

undangan.75) Ajaran stufentheorie ini berpendapat bahwa

72) Ibid., hlm. 32.73) Mochtar Kusumaatmadja, Konsep-Konsep Hukum dalam Pembangunan,

Bandung: Alumni, 2002, hlm. 79.74) Ibid., hlm. 61 dengan mengutip Hans Kelsen dalam bukunya The

General Theory of Law and State. 75) Ibid., hlm. 60.

69

suatu sistem hukum adalah suatu hierarkis dari hukum di

mana suatu ketentuan hukum tertentu bersumber pada

ketentuan hukum lainnya yang lebih tinggi. Sebagai

ketentuan yang lebih tinggi adalah Grundnorm atau norma

dasar yang bersifat hipotesis. Ketentuan yang lebih

rendah adalah lebih konkret daripada ketentuan yang

lebih tinggi.76)

Dengan teori-teori tersebut dapat diketahui

bagaimana aplikasinya dalam pembentukan undang-undang

dasar di Indonesia beserta landasan filosofis yang

digunakan dihubungkan dengan pancasila yang dikatakan

sebagai dasar ideologis bangsa.

Pancasila Sebagai Dasar Filosofis Negara Republik

Indonesia

Pembukaan Undang-Undang Dasar 1945 adalah

pengejawantahan Pancasila, atau dengan kata lain inti

Pembukaan Undang-Undang Dasar 1945 adalah Pancasila.

Pembukaan Undang-Undang Dasar 1945 mengandung sumber

hukum religius, moral, kodrat dan filsafati. Karena itu76) Ibid.

70

intinya yaitu Pancasila oleh Ketetapan MPRS No.

XX/MPRS/1966 dikatakan sebagai sumber dari pada segala

sumber hukum.77)

Makna pembukaan adalah sebagai staatsfundalmentalnorm

dikarenakan memuat kaidah-kaidah negara yang

fundamental. Pembukaan ini tidak dapat diubah oleh

siapapun karena memuat pernyataan kemerdekaan yang

tidak dapat dicabut karena konsekuensinya dapat

membubarkan negara. Pembukaan ini sarat dengan nilai-

nilai yang bersifat historis yang erat kaitannya dengan

lahirnya suatu bangsa dan negara, perjuangan serta

cita-cita bangsa tersebut.78)

Kaitan pancasila dengan filsafat dimulai dengan

etika sebagai cabang filsafat atau cabang aksiologi

yang membicarakan manusia terutama tingkah laku dan

perbuatan yang dilakukan dengan sadar dilihat dari kaca

mata baik-buruk. Etika adalah filsafat moral atau

filsafat kesusilaan. Pancasila adalah dasar filasafat

77) Sunoto, Mengenal Filsafat Pancasila, Hanindita, Yogyakarta: 1990,hlm. 1.

78) Krisna Harahap, Konstitusi Repubik, Op.cit., hlm. 3.

71

Negara Republik Indonesia. Pancasila adalah kepribadian

bangsa Indonesia. Pancasila adalah ideologi bangsa

Indonesia. Pancasila adalah pandangan hidup bangsa

Indonesia. Pancasila adalah Jiwa bangsa Indonesia.79)

Pandangan hidup adalah pangkal bertolak dari

landasan kefilsafatan serta ukuran bagi norma kritik

yang mendasari atau menjiwai tata hukum. Karena itu,

pandangan yang dianut akan memberikan koheresi

(kesatupaduan) dan pengarahan pada keseluruhan proses-

proses sosial penormaan (pengkaidahan) peraturan-

peraturan hukum beserta dengan proses-proses

penerapannya dalam kehidupan bermasyarakat. Oleh

koheresi dan pengarahan itu maka keseluruhan peraturan-

peraturan hukum dan institusi-institusi (pranata-

pranata) hukum yang berlaku dan hidup dalam mayarakat

dalam proses kehidupannya akan mewujudkan diri menjadi

suatu kesatuan yang berstruktur, bersistem, dan

dinamis.80)

79) Sunoto, Op.cit., hlm. 2.80) Arif Sidartha, Filsafat Hukum Pancasila, Hand Out Kuliah

Filsafat Hukum, hlm 1.

72

Pandangan hidup bangsa Indonesia telah dirumuskan

secara padat dalam bentuk kesatuan rangkaian sila yang

dinamakan Pancasila. Nilai-nilai Pancasila yang telah

diwariskan kepada bangsa Indonesia merupakan puncak

dari nilai sosial dan budaya yang senantiasa melandasi

tata kehidupan sehari-hari. Tata nilai sosial budaya

yang telah berkembang dan dianggap baik, serta diyakini

kebenarannya ini dijadikan sebagai pandangan hidup dan

sumber nilai bagi bangsa Indonesia. Sumber nilai

tersebut antara lain adalah : keyakinan adanya Tuhan

YME, asas kekeluargaan, asas musyawarah mufakat, asas

gotong-royong, asas tenggang rasa.

Pancasila ditempatkan dalam Alinea IV Pembukaan UUD

1945 sebagai landasan kefilsafatan yang mendasari dan

menjiwai penyusunan ketentuan-ketentuan yang tercantum

dalam Undang-Undang dasar itu. Sebagai dasar negara,

Pancasila mempunyai kekuatan mengikat secara hukum

sehingga semua peraturan hukum/ketatanegaraan yang

bertentangan dengan Pancasila harus dicabut. Perwujudan

nilai-nilai Pancasila sebagai dasar negara, dalam

73

bentuk peraturan perundang-undangan bersifat imperatif

(mengikat) bagi warga negara Indonesia. Sehingga dengan

demikian, menurut Arief Sidharta Pancasila melandasi

dan seharusnya menjiwai kehidupan kenegaraan di

Indonesia, termasuk kegiatan menentukan dan

melaksanakan politik hukumnya. Karena itu, penyusunan

dan penerapan tata hukum di Indonesia sejak berlakunya

Undang-Undang Dasar itu harus dilandasi dan dijiwai

oleh Pancasila.81)

Pancasila adalah dasar filosofis bangsa yang

berakar dari nilai-nilai yang tumbuh dan berkembang di

masyarakat. Sebagai dasar negara, Pancasila mempunyai

kekuatan mengikat secara hukum. Sehingga sarana

peraturan hukum yang bertentangan dengan Pancasila

harus dicabut. Dalam tinjauan yuridis konstitusional,

Pancasila sebagai dasar negara berkedudukan sebagai

norma objektif dan norma tertinggi dalam negara, serta

sebagai sumber segala sumber hukum. Dengan kata lain

sumber dari pada sumber hukum etika yang berlaku di

81) Ibid., hlm 2.

74

Indonesia adalah Pancasila sebagaimana tertuang dalam

ketetapan MPRS No.XX/MPRS/1966, Jo. TAP MPR No.

V/MPR/1973 Jo. TAP MPR No. IX/MPR/1978. Penegasan

kembali Pancasila sebagai dasar negara tercantum dalam

TAP MPR No. XVIII/MPR/1998. Berikut ini dijelaskan

pokok-pokok pikiran setiap alinea dalam Pembukaan Dasar

Undang-Undang Dasar 1945.82)

Pembukaan Undang-Undang Dasar 1945

Alinea pertama : Kemerdekaan adalah hak segalabangsa. Penjajahan tidak sesuai dengan perikemanusiaan dan peri keadilan. Dari kalimat-kalimattersebut dapat diambil intinya yaitu berisi ajaranetika yang tinggi. Kecuali penjajah itu sendiri,siapa yang tidak mengakui bahwa kemerdekaan ituadalah hak segala bangsa. Demikian pula siapa yangtidak sependapat bahwa penjajahan tidak berperikemanusiaan dan tidak berperi keadilan.

Alinea kedua : Alinea ini menerangkan perjuanganbangsa Indonesia untuk menghancurkan penjajahan.Dari kalimat tersebut dapat diambil intinya yaitubahwa perjuangan bangsa Indonesia mengandung nilai-nilai yang luhur.

Alinea ketiga : Alinea ini menerangkan bahwakemerdekaan yang telah kita capai adalah hasilperjuangan bangsa Indonesia yang didasarkan atasnilai moral dan religius, terbuka dengan kalimat“dengan didorongkan oleh keinginan luhur untuk

82) Ibid., hlm. 2-3.

75

berkehidupan kebangsaan yang bebas dan atas berkatrakhmat Allah Yang Maha Esa”.

Alinea keempat : disusunnya kemerdekaan kebangsaanIndonesia dalam suatu Undang-Undang Dasar NegaraIndonesia. Disusunnya Negara Indonesia dalam bentukRepublik yang berkedaulatan rakyat.

Dibentuknya suatu Pemerintahan Negara Indonesia

yang :

melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruhtumpah darah Indonesia.untuk memajukan kesejahteraan umum mencerdaskan kehidupan bangsaikut melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkankemerdekaan, perdamaian abadi dan keadilan sosial

Negara Indonesia berdasarkan kepada :

Ketuhanan Yang Maha EsaKemanusiaan yang adil dan beradabPersatuan IndonesiaKerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaandalam permusyawaratan / perwakilanKeadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia

Di sinilah terdapat hakekat nilai moral Pancasila

yaitu :

ketuhanankemanusiaanpersatuankerakyatan

76

keadilanOleh karena kedudukannya yang demikian maka nilai-nilai tersebut merupakan norma, dan inilah pedomanyang harus kita pakai.

Keberadaan Pembukaan UUD 1945 memiliki keterkaitan

dengan hakikat konstitusi yang menurut Firman Hasan

dapat dilihat dari beberapa hal sebagai berikut : 83)

Pertama, melihat kepada makna dan arti konstitusi

sendiri. Salah satu hakekat konstitusi adalah sebagai

birth certificate, sama halnya akta kelahiran dari suatu

negara. dengan memaknai hakekat dari konstitusi

tersebut maka dapat dikaji bahwa keberadaan Pembukaan

UUD 1945 dapat dikatakan merupakan pencerminan dari

hakekat konstitusi sendiri. Hal ini dapat dibuktikan

dengan melihat isi yang terkandung dalam Pembukaan UUD

1945 yang berisi pernyataan atas kemerdekaan, yang

diwujudkan sebagai tanda kemerdekaan.

Kedua, sejarah pembentukan suatu undang-undang dasar

Pembentukan UUD suatu negara, selalu didahului dan

beriringan dengan sejarah berdirinya sutau negara.83) Firman Hasan, Kaitan Pembukaan dengan Hakikat Konstitusi,

Makalah,2003, hlm. 2.

77

Seperti halnya UUD 1945, yang dibentuk beriringan

dengan pernyataan kemerdekaan Indonesia.

Ketiga, ketegasan dalam undang-undang dasar itu

sendiri bahwa keberadaan Pembukaan suatu konstitusi

dinyatakan secara tegas dalam kontitusi. Pertama,

pernyatan itu dicantumkan secara tegas dalam salah satu

pasal pada bagian batang tubuh dari substansi

konstitusi sendiri, dan atau Kedua, dinyatakan secara

politik dalam bentuk hukum tertentu.

Untuk bentuk yang pertama, dapat dilihat ketentuan

yang termuat dalam Pasal II Aturan Tambahan Undang-

Undang Dasar 1945 hasil Perubahan Keempat, yang

menegaskan bahwa : dengan ditetapkannya Perubahan

Undang-Undang Dasar ini, Undang-Undang Dasar Negara

Republik Indonesia Tahun 1945 terdiri atas Pembukaan

dan pasal-pasal dalam bentuk yang kedua, dapat

dikemukakan berbagai bentuk hukum yang menjelaskan

tentang kedudukan hukum dari Pembukaan UUD 1945 sebelum

dilakukan Amandemen Pertama tahun 1999.

78

79

BAB III

PERUBAHAN KONSTITUSI REPUBLIK INDONESIA

TAHAP PERTAMA

A. Situasi dan Kondisi Objektif Terjadinya

Perubahan Konstitusi

Memaparkan situasi dan kondisi yang merupakan

bagian dari suatu peristiwa kehidupan akan memberikan

banyak sudut pandang. Setiap sudut menampilkan

pandangan yang kebenarannya bersifat relatif.

Relatifitas tersebut ditengarai dengan pola pikir

terbuka pada keadaan sesungguhnya tanpa harus menutup-

nutupi.

Sumber yang dianggap cukup representatif adalah

Pokok-pokok Reformasi Pembangunan Nasional sebagai

Garis-garis Besar Haluan Negara yang diterapkan oleh

Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) untuk dilaksanakan

oleh Presiden/Mandataris MPR sejak menjadi Ketetapan

MPR sampai dengan diselenggarakannya Sidang Umum MPR

80

hasil Pemilihan Umum 1999. Pelaksanaan Ketetapan

tersebut diawasi oleh Dewan Perwakilan Rakyat (DPR).

Eksplanasi berikut mengenai situasi dan kondisi

objektif terjadinya perubahan konstitusi disarikan dari

beberapa sumber.84)

Tongkat estafet kepemimpinan seharusnya diserahkan

kepada pihak yang memiliki kapasitas dan kapabilitas

yang lebih baik dari kepemimpinan sebelumnya. Selain

faktor individu para pemimpin prosedur pergantian

tersebut juga perlu diperhatikan. Prosedur yang sesuai

ketentuan dan konstitusional menentukan validitas hasil

perubahan itu sendiri. Pergantian pemerintah orde baru

kepada orde reformasi bukti memuncaknya pemberontakan

dari masyarakat yang merasa diperlakukan sewenang-

wenang. Pemicu lainnya adalah kasus penem-bakan

terhadap demonstran Universitas Trisakti Jakarta pada

12 Mei 1998 yang menumbalkan 4 mahasiswa terbunuh.

Pemerintah orde baru menjadikan negara ini seolah-olah

84) Diolah dari : Seketariat Jenderal MPR, Ketetapan MPR No.X/MPR/1998 tentang Pokok-pokok Reformasi Pembangunan Nasional sebagai Garis-Garis Besar Haluan Negara, Majelis Permusyawaratan Rakyat, 1998 ; berbagaimedia cetak dan elektronik.

81

negara model perompak (predatory state) yang siap

“memangsa” siapa saja penghalang jalan menuju

kekuasaan panjangnya.

Dari sektor politik Negara Kesatuan Republik

Indonesia yang menganut sistem pemerintahan

presidensial tendensius pada pemerintahan despotisme.

Berbagai sektor kehidupan masyarakat dikuasai oleh

golongan. Lembaga eksekutif mendominasi penyelenggaraan

negara dan kehidupan masyarakat dikarenakan kehidupan

politik belum memadai. Pemusatan kekuasaan menutup

kesempatan berkembangnya fungsi-fungsi politik secara

proporsional dan optimal yang mengakibatkan Indonesia

mengidap krisis struktural dan sistematik. Hal tersebut

diperburuk dengan praktik-praktik Korupsi, Kolusi dan

Nepotisme yang semakin merajalela.

Sektor ekonomi melahirkan banyak skandal yang

berujung pada krisis ekonomi dan moneter

berkepanjangan. Hilangnya kontrol rakyat di bidang

ekonomi khususnya terhadap konsentrasi aset dan akses

ekonomi pada kelompok yang berlindung di balik

82

kekuasaan, termasuk di dalamnya praktik-praktik ekonomi

distortif dan jatuhnya nilai tukar rupiah sampai ke

tingkat yang sangat rendah memperburuk keadaan

perekonomian nasional, seperti :

a. Terjadinya korupsi terbesar sepanjang sejarah

Indonesia di tubuh Pertamina pada paruh akhir

dekade 1970-an yang menguapkan utang luar

negeri sebesar US$ 10.4 milyar85)

b. Sejak regim Soeharto melalui IGGI (Inter

Governmental Group on Indonesia) pada 1967

hingga diubah namanya menjadi CGI (Consultative

Group on Indonesia) pada 1922- pemerintah RI

sudah menjadi pengutang dan pada tahun 2001

jumlah utang tersebut sebesar US$ 3.14

milyar.86)

Tidak jauh berbeda dengan penegakan hukum dalam

negeri yang tidak didukung secara optimal oleh lembaga-

lembaga peradilan dengan senantiasa memihak dan menjadi

85) Suryadi Rajab, Indonesia : Hilangnya Rasa Aman, Hak Asasi Manusia danTransisi Politik Indonesia, Jakarta: Perhimpunan Bantuan Hukum dan HakAsasi Manusia, 2002, hlm. 25.

86) Ibid., hlm. 36

83

alat para pihak berkuasa dan “bermodal besar”.

Sementara itu rakyat mulai mengadopsi perilaku pada

umumnya yaitu suap-menyuap di lingkungan peradilan.

Penyelenggaraan pemerintah yang seperti ini dikenal

sebagai birokrasi korupsi, kolusi dan nepotisme.

Sehubungan dengan hal di atas, Krisna Harahap

memberi fakta adanya korelasi yang erat antara tindak

pidana korupsi dan tingkat kemiskinan di negeri ini.

Faktanya bahwa sebagaimana diperkirakan Sumitro

Djojohadikusumo, 30% dari APBN setiap tahunnya masuk

saku para koruptor. Bahkan, menurutnya lagi,

berdasarkan laporan BPK dalam semester I tahun 2004,

prosentase penyimpangan APBN setahun sebelumnya telah

mencapai 50%.87) Oleh karena itu, Krisna menyatakan

bahwa perbuatan para koruptor dianggap telah menindas

hak asasi manusia dan perlu dikategorikan sebagai extra

ordinary crime yang memerlukan penanganan yang luar biasa

pula.88) Respon yang diberikan pemerintah adalah dengan

87 Krisna Harahap, Menuju Ketertiban Hukum yang Berkeadilan, PidatoPengukuhan Guru Besar Sekolah Tinggi Hukum Bandung, 2005, hlm. 9.

88) Ibid., hlm. 11.

84

mengeluarkan UU No.28 tahun 1999 tentang

Penyelenggaraan Negara yang Bersih dan Bebas dari

Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme. Penyelenggara negara

yang dimaksud mulai dari Pejabat Negara yang

menjalankan fungsi eksekutif, legislatif, atau

yudikatif dan pejabat lain yang fungsi dan tugas

pokoknya berkaitan dengan penyelenggaraan negara sesuai

dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang

berlaku. Dikeluarkannya UU No.28 tahun 1999 tersebut

adalah kepanjangan tangan dari amanat yang diberikan

oleh MPR melalui TAP MPR No. XI/MPR/1998 tentang

Penyelenggaraan Negara yang Bersih dan Bebas Korupsi,

Kolusi, dan Nepotisme. Di dalam UU No.28 tahun 1999 ini

dapat dilihat bahwa sanksi pidana dan administratif

ditujukan untuk memberi efek jera kepada setiap

penyelenggara yang melakukan tindak pidana korupsi,

kolusi dan nepotisme.

Dari sektor kebudayaan dan sosial secara perlahan

tapi pasti meruntuhkan pertahanan jati diri Indonesia

yang menjunjung tinggi adat timur. Menurut Suryadi

85

Rajab, menggolongkan pelanggaran hak-hak ekonomi,

sosial dan budaya, tidak mudah dilihat berdasarkan

kasus per kasus. Ia menuturkan bahwa hak-hak ekonomi,

sosial dan budaya dipandang sebagai hak-hak kolektif.

Hak sosial yang seharusnya didapatkan dapat berupa: hak

atas jaminan sosial; hak atas perlindungan keluarga

termasuk ibu dan anak; hak atas standar hidup yang

layak, pangan, sandang dan perumahan.89) Misalkan saja

diskriminasi terhadap perempuan yang sepanjang tahun

1997-2001, menunjukkan peningkatan yang signifikan.

Sebagai bukti banyaknya pelanggaran atas hak-hak

tersebut dapat dilihat dari data berikut:90)

Kekerasan Terhadap Perempuan

No Tahun Jumlah Kasus1 1997 642 1998 1013 1999 1134 2000 2325 2001 258

Sumber: Kompas, 19 Desember 2001

89) Suryadi Rajab, Op.cit., hlm. 136.90) Ibid., hlm. 154.

86

Bahkan di kalangan remaja telah membudaya gaya

hidup hedonis, pergaulan bebas, kenakalan remaja dan

narkoba, pencurian dan pengrusakan. Kondisi anak bangsa

yang memprihatinkan tersebut salah satunya diakibatkan

banyak beredarnya tontonan tidak mendidik yang

menampilkan unsur kekerasan, pornoaksi dan pornografi

baik dalam bentuk VCD, DVD maupun jenis media

elektronik lainnya. Ditambah dengan tidak efektifnya

Lembaga Sensor Film menyeleksi film-film yang di

tayangkan di stasiun televisi dengan muatan unsur yang

sama. Meskipun era globalisasi dan hak menikmati

kemajuan teknologi memiliki peran penting bagi kemajuan

bangsa, namun bersikap hati-hati untuk menyerap nilai-

nilai budaya asing adalah keharusan.

Peristiwa lain yang telah menorehkan luka dalam

sejarah kemanusiaan Indonesia adalah banyaknya

pelanggaran Hak Asasi Manusia (HAM) selang pemerintahan

Orde Baru. Pembunuhan masal yang dikenal dengan istilah

petrus (penembakan misterius) terhadap gabungan anak

liar (GALI) pada 1982-1983, pembantaian di Tanjungpriok

87

pada September 1984, pemberlakuan Daerah Operasi

Militer (DOM) di Aceh yang menumbalkan banyak nyawa.

Masa transisi dari pemerintahan Orde Baru kepada Orde

Reformasi juga diwarnai berbagai tindak kejahatan

seperti penjarahan, pembakaran bahkan pemerkosaan

massal yang disertai pembunuhan terhadap warga

keturunan Tionghoa.91)

Situasi dan kondisi yang demikian menuntut para

pembaharu melakukan suatu gerakan terorganisir dan

berkelanjutan. Gerakan yang digulirkan oleh para agen

perubahan, yaitu mahasiswa. Mahasiswa memulai agenda

pergerakannya pada tahun 1997 untuk menyelamatkan

bangsa dari keterpurukannya. Pergerakan tersebut

dikenal dengan reformasi. Reformasi diartikan sebagai

perubahan radikal untuk perbaikan (bidang sosial,

politik, atau agama) dalam suatu masyarakat atau

negara.92) Sedangkan Radikal itu sendiri diartikan,

secara menyeluruh atau habis-habisan; perubahan radikal

91) Suryadi Rajab, Op.cit., hlm. 11.92) Tim Penyusun Kamus Besar Pusat Pembinaan dan Pengembangan

Bahasa, Kamus Besar Bahasa Indonesia, Jakarta: Depdikbud RI, 1988, hlm.735.

88

yaitu perubahan yang amat keras menuntut perubahan

undang-undang, pemerintahan dan lain sebagainya.93)

Bedanya reformasi dengan revolusi dilihat dari

pengertiannya yaitu, perubahan ketatanegaraan

(pemerintahan atau keadaan sosial) yang dilakukan

dengan kekerasan (seperti dengan perlawanan

bersenjata); berevolusi, mengadakan perlawanan dibuat

mengubah ketatanegaraan (pemerintahan, keadilan

sosial).94)

Kenyataan ini mengakibatkan hilangnya kepercayaan

masyarakat terhadap penyelenggaraan negara yang

kekuasaan pelaksanaannya terpusat pada lembaga

eksekutif, sehingga tidak terdapat keseimbangan

pembagian kekuasaan dan fungsi pengawasan antar lembaga

negara. Konstitusi dijadikan alat pembenar ketimpangan

tersebut.

Sebut saja upaya regim Soeharto mempertahankan

kekuasaannya dengan mempolitisir makna Pasal 7 UUD 1945

yaitu “Presiden dan Wakil Presiden memegang jabatannya93) Ibid.,hlm. 718.94) Ibid., hlm. 747.

89

selama masa lima tahun, dan sesudahnya dapat dipilih

kembali”. Pasal tersebut melegitimasi Presiden dan

Wakilnya untuk menduduki jabatan yang sama dengan cara

apapun secara terus-menerus tanpa batas waktu. Bahkan,

menurut Pasal 14 UUD 1945 Presiden memiliki kewenangan

untuk memberi grasi, amnesti, abolisi dan rehabilitasi

yang tidak saja menggerogoti kewenangan Mahkamah Agung

tetapi disalahgunakan untuk membebaskan kroni-kroninya

dari jerat hukum.

Fakta bahwa Soeharto menjabat selama 32 tahun

justru semakin membelenggu rakyat dalam memperoleh hak-

hak dasarnya, karenanya diperlukan reformasi mendasar

di segala bidang terutama politik, ekonomi, hukum dan

sosial budaya. Reformasi konstitusional adalah bagian

dari reformasi hukum yang menghendaki perbaikan secara

mendasar yang dimulai dari sumber peraturan di

Indonesia.

Hal-hal tersebut di atas yang menjadi situasi dan

kondisi objektif terjadinya perubahan konstitusi.

Dengan demikian, ketika perubahan konstitusi

90

dilaksanakan sebagai salah satu tuntutan reformasi yang

sekaligus melatarbelakangi perubahan tersebut,

ditetapkanlah tujuan reformasi pembangunan nasional

antara lain :95)

1. Mewujudkan kedaulatan rakyat dalam seluruh sendikehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegaramelalui perluasan peningkatan partisipasi politikrakyat secara tertib untuk menciptakan stabilitasnasional.

2. Mengatasi krisis ekonomi dalam waktu sesingkat-singkatnya, terutama untuk menghasilkan stabilitasmoneter yang tanggap terhadap pengaruh global danpemulihan aktivitas usaha nasional.

3. menegakkan kedaulatan hukum yang demokratisberdasarkan nilai-nilai kebenaran dan keadilan,Hak Asasi Manusia menuju terciptanya ketertibanumum dan perbaikan sikap mental.

4. meletakkan dasar-dasar kerangka dan agendareformasi sosial budaya dalam usaha mewujudkanmasyarakat madani.

B. Notulensi Panitia Ad-Hoc III Badan Pekerja MPR

RI

Berlangsungnya suatu peristiwa hukum yang

konstitusional tidak begitu saja berlalu tanpa ada

rekam jejak sebagai upaya mendokumentasikannya.

Pendokumentasian melalui catatan notulen saat sidang

95) Sekretariat Jenderal MPR...Op.cit.

91

merupakan bukti tertulis dari awal hingga akhir

jalannya persidangan. Hasilnya disebut dengan

notulensi. Dalam penelitian ini, notulensi Sidang Umum

Majelis Permusyawaratan Rakyat yang terkait dengan

pembahasan adalah Risalah Rapat Badan Pekerja Panitia

Ad Hoc III.

Proses yang harus dilalui oleh Panitia Ad-Hoc

terdiri dari beberapa tingkat yang dilaksanakan secara

bertahap. Tahapan-tahapan ini mengacu pada mekanisme

pengambilan keputusan MPR yang terdapat pada Ketetapan

MPR No. II/MPR/1999 tentang Peraturan Tata Tertib

Majelis Permusyawaratan Rakyat.

Pengambilan keputusan majelis berdasarkan Ketetapan

di atas melalui empat tingkat pembahasan : 96)

a. Tingkat I

Pembahasan oleh badan pekerja (BP) majelis

terhadap bahan-bahan yang masuk. Hasil dari

pembahasan tersebut merupakan rancangan

96) Suharizal dan Firdaus Arifin, Op.cit., hlm. 86 Et. seqq.

92

keputusan majelis sebagai pokok pembicaraan di

tingkat II.

b. Tingkat II

Pembahasan dalam rapat paripurna majelis yang

didahului oleh penjelasan pimpinan dan

dilanjutkan dengan pemandangan umum fraksi-

fraksi.

c. Tingkat III

Pembahasan oleh komisi/panitia ad hoc majelis

terhadap semua hasil pembicaraan tingkat I dan

II. Hasil pembahasan tingkat III ini merupakan

rancangan keputusan majelis.

d. Tingkat IV

Pengambilan putusan oleh rapat paripurna majelis

setelah mendengar laporan dari pimpinan

komisi/panitia ad hoc majelis dan bilamana perlu

dengan kata terakhir dari fraksi-fraksi.

Pembahasan awal amandemen pertama dilakukan di

tingkat badan pekerja MPR. Mengacu pada Pasal 31 ayat

93

(2) Ketetapan MPR Nomor II/MPR/1999, badan pekerja

majelis, terdiri atas 90 orang yang sesungguhnya

mencerminkan pertimbangan jumlah anggota fraksi dalam

majelis. Sebagai alat kelengkapan majelis, badan

pekerja memiliki empat tugas pokok, yakni ;

1. mempersiapkan rancangan acara dan rancangan

putusan-putusan sidang umum, sidang tahunan atau

sidang istimewa.

2. memberikan saran dan pertimbangan kepada pimpinan

majelis menjelang sidang umum, sidang tahunan atau

sidang istimewa.

3. melaksanakan tugas-tugas yang diberikan oleh

majelis, sebagai mana dimaksud pada butir 1 dan 2.

4. membantu pimpinan majelis dalam rangka

melaksanakan tugas-tugas pimpinan majelis sesuai

dengan ketentuan perundang-undangan.

Komposisi Badan Pekerja (BP) MPR 1999-2004

No Nama Fraksi(Jumlah

Orang)

94

1Partai Demokrasi Indonesia

Perjuangan24

2 Partai Golongan Karya Reformasi 213 Partai Persatuan Pembangunan 84 Partai Kebangkitan Bangsa 75 Reformasi 66 Partai Bulan Bintang 27 Kesatuan Kebangsaan Indonesia 2

8Partai Perserikatan Daulat

Ummat1

9 Partai Demokrasi Kasih Bangsa 110 TNI/Polri 511 Utusan Golongan 9

PEMANDANGAN UMUM FRAKSI ATAS AMANDEMEN PERTAMA

Pada rapat ke-2 BP MPR tanggal 6 Oktober 1999

dilaksanakan pemandangan umum fraksi terhadap perubahan

95

UUD 1945. Pemandangan umum fraksi ini memiliki arti

yang sangat penting dalam upaya menuju desakralisasi

UUD 1945 di tingkat lembaga perwakilan. Makna tersebut

menjadi salah satu alasan untuk menelaah persepsi

partai politik pemenang pemilu 1999 terhadap publik

pressure (tuntutan masyarakat) menyangkut agenda

amandemen konstitusi Indonesia melalui fraksinya di

MPR. Berikut kesimpulan pemandangan umum seluruh fraksi

MPR RI yang diajukan sebagaimana materi perubahan UUD

1945.

1. Fraksi Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan

Menugaskan untuk membentuk ketetapan-ketetapan

MPR tentang :

a. Pembatasan kekuasaan presiden.

b. Pemberdayaan Dewan Perwakilan Rakyat.

c. Pemberdayaan Mahkamah Agung.

d. Pemberdayaan Badan Pemeriksa Keuangan.

e. Pemberdayaan daerah dalam rangka otonomi dan

desentralisasi.

96

f. Penegasan tugas dan fungsi Dewan Pertimbangan

Agung.

2. Fraksi Partai Golkar

a. Reformasi ketatanegaraan yang menjadi bagian

dari agenda reformasi nasional hendaknya

dimulai dengan melakukan amandemen 1945.

b. Amandemen UUD 1945 diarahkan bagi peneguhan

dan pelaksanaan asas konstitusionalisme yang

menempatkan konstitusi pada posisi sentral

dan tertinggi dalam penataan dan pengaturan

ketatanegaraan sekaligus menjadi pedoman

dalam penyelesaian masalah-masalah yang

timbul dalam proses ketatanegaraan.

c. Ikhtiar amandemen UUD 1945 ditujukan pada

tiga hal:

1) Meletakkan landasan konstitusionalyang lebih kukuh dalam perjuanganbangsa Indonesia mewujudkan kehidupanketatanegaraan yang lebih demokratisdan lebih menjunjung tinggi HAM.

2) Meningkatkan jaminan konstitusionalterhadap praktik ketatanegaraanIndonesia.

97

3) Mewadahi dan mengantisipasipeningkatan aspirasi dan kebutuhanrakyat, serta tantangan bangsasekaligus merespons perkembanganglobal.

d. Amandemen UUD 1945 hendaknya mempunyai

batasan, yakni hanya berlaku pada Batang

Tubuh dan Penjelasan UUD 1945. Sedangkan

Pembukaan UUD 1945 dibiarkan tetap.

e. Amandemen dilaksanakan oleh BP MPR, yang

kemudian membentuk panitia ad hoc guna

membahas agenda tersebut (89) secara rinci,

dan hasil amandemen dilampirkan pada akhir

naskah UUD 1945.

f. Sistem perubahan yang digunakan adalah sistem

amandemen, dalam arti Undang-undang lama

tetap ada dan perubahan-perubahan pasal yang

dilakukan berupa lampiran.

3. Fraksi Partai Kebangkitan Bangsa

a. Membentuk tim reformasi konstitusi yang

bertugas meneliti Batang Tubuh dan Penjelasan

Undang-undang Dasar 1945 yang dipandang perlu

98

diubah dan disempurnakan untuk disesuaikan

dengan aspirasi dan perkembangan masyarakat

serta keseimbangan pembagian kekuasaan antara

lembaga-lembaga tinggi negara guna mewujudkan

sistem pemerintahan yang demokratis.

b. Perubahan atau revisi Batang Tubuh dan

Penjelasan UUD 1945 harus mencerminkan asas-

asas demokrasi, HAM, dan aspirasi masyarakat.

c. Menunjuk BP MPR sebagai pelaksana dalam

menetapkan tim reformasi konstitusi. Tim

reformasi konstitusi menghasilkan rumusan

perubahan yang disahkan secara bertahap oleh

MPR dalam waktu selambat-lambatnya satu tahun

sejak berakhirnya SU MPR Tahun 1999.

4. Fraksi Partai Persatuan Pembangunan

a. Amandemen Batang Tubuh UUD 1945 untuk

mengevaluasi dan merevitalisasi isi batang

tubuh agar lebih sesuai dengan dinamika

99

perkembangan zaman yang berubah demikian

cepat.

b. Amandemen UUD 1945 dapat memberikan

redefinisi pengertian terhadap pasal-pasal

yang ada dalam Batang Tubuh UUD 1945 serta

perubahan/penambahan yang lebih melengkapi

dan menyempurnakan arti dan makna sebuah

konstitusi dan menghindari yang terjadi pada

masa lalu, yakni sebuah monopoli kekuasaan.

c. Amandemen harus dapat meminimalisir

pengertian bersayap dan mendua dari pasal-

pasal dalam Batang Tubuh UUD 1945.

d. Beberapa hal yang perlu dibenahi dalam Batang

Tubuh UUD 1945, khususnya yang mengatur

tentang:

1) Pemilu,2) MPR3) Kekuasaan Pemerintahan Negara,4) Kementerian Negara,5) Pemerintah Daerah,6) DPR,7) BPK,8) MA,9) HAM, dan

100

10) Perekonomian Negara.

e. amandemen Batang Tubuh UUD 1945 tidak secara

otomatis mengubah UUD 1945 karena perubahan

itu dibuat tidak terpisah dari UUD 1945.

5. Fraksi Reformasi

a. Proses amandemen UUD 1945 harus memerhatikan

beberapa hal penting, yakni:

1) Amandemen hanya mencakup batang tubuh,dengan tetap mempertahankan pembukaan,dan menghapus penjelasan, aturantambahan dan aturan peralihan yangtidak sesuai dengan sekarang.

2) Bentuk negara adalah negara kesatuanrepublik Indonesia dan sistempemerintahan adalah presidensial.

3) Bentuk amandemen diusulkan, sepertisistem Amerika Serikat, yaitu denganmencabut dan menyempurnakan pasal-pasal UUD.

4) Meneliti dan memilih Tap-Tap MPR yangsesungguhnya adalah amandemen UUD1945.

b. Terdapat 18 materi yang menjadi agenda

amandemen UUD 1945:

1) Bentuk dan Kedaulatan, serta sistempemilihan umum.

2) Peningkatan wewenang lembaga tertingginegara (MPR).

101

3) Pemilihan presiden dan wakil presiden,serta pembatasan kekuasaan presiden.

4) Peningkatan kewenangan Lembaga Parlemen(DPR).

5) Peningkatan kewenangan Lembaga Kehakiman(MA).

6) Peningkatan kewenangan Lembaga Keuangan(BPK).

7) Penegasan independensi Bank Indonesia.8) Penghapusan DPA.9) Perluasan penegakan Hak Asasi Manusia.10) Otonomi daerah, serta hubungan pusat

dan daerah.11) Sistem ekonomi Indonesia.12) Jaminan sosial.13) Pendidikan dan pengembangan sumber

daya manusia.

6. Fraksi Partai Bulan Bintang

FPBB tidak merinci secara tegas pasal-pasal dalam

Batang Tubuh UUD 1945 yang perlu diamandemen, tetapi

memberikan gambaran atas kecenderungan yang

berkembang di masyarakat menyangkut materi

amandemen. Oleh FPBB, kecenderungan tersebut

dielaborasi sehingga menjadi beberapa materi

amandemen, yakni:

a. Pembatasan kekuasaan eksekutif.b. Perluasan peranan MPR,DPR, dan BPK.c. Perwujudan kemandirian Mahkamah Agung dan

dipertim-bangkannya ide Mahkamah Konstitusi.

102

d. Peninjauan kembali DPA.e. Pemilihan umum.f. Independensi Bank Indonesia.g. Perluasan makna Hak Asasi Manusia.h. Jaminan sosial.i. Pendidikan dan SDM.j. Wilayah negara.k. Kementerian Negara.l. Sistem ekonomi negara.m. Otonomi daerah dan hubungan pusat-daerah.

7. Fraksi TNI/Polri

Fraksi TNI/Polri tidak memberikan penegasan atas

amandemen yang sedang dilakukan dan sikap untuk

“mempertahankan” UUD 1945, serta sikap sangat hati-

hati dalam mengambil keputusan terhadap amandemen

(dilakukan atau tidak) mendapat sorotan dari fraksi

ini. Juru bicara FTNI/Polri Taufiqurochman Ruki

menegaskan :

“Guna melaksanakan amandemen terhadap Undang-UndangDasar 1945, diperlukan suatu pengkajian yang mendalam dankepala dingin sehingga rumusan-rumusannya akan lugas dantidak multi interpretable, oleh karena itu majelis perlumemberikan waktu yang cukup kepada panitia ad hoc yangkhusus dibentuk untuk menyusun rancangan ketetapan MPRtentang Amandemen UUD 1945 sehingga hasilnya kelak dapatditerima oleh seluruh rakyat.”

8. Fraksi Kesatuan Kebangsaan Indonesia

103

a. Pembukaan Undang-Undang Dasar 1945 tidak bisa

diubah karena menyangkut eksistensi dan cita-

cita negara. Yang diubah hanya menyangkut

Batang tubuh UUD 1945, dan bentuk amandemen

adalah addendum.

b. Materi yang diamandemen adalah :

1) Menciptakan check and balances sehinggadiperlukan pemisahan dan pembatasankekuasaan yang jelas dan tegas antaraeksekutif, legislatif, dan yudikatif.

2) Masalah-masalah HAM perlu dipertegassecara detail dalam UUD 1945.

3) Mewujudkan otonomi daerah dalam negarakesatuan Republik Indonesia.

c. Amandemen UUD 1945 tidak dapat dilakukan

dengan tergesa-gesa. Untuk itu, diperlukan

Tap. MPR yang memberikan tugas khusus untuk

mengkaji secara teliti dan mendalam, serta

waktu yang cukup kepada panitia khusus, serta

dilaporkan pada sidang istimewa yang diadakan

untuk itu.

104

d. Sebagai tahap awal amandemen UUD 1945 adalah

melaksanakan perubahan Tap. MPR

No.III/MPR/1978 yang menyangkut :

1) presiden bukan satu-satunya mandatarisMPR, karena semua lembaga tinggi adalahmandataris MPR.

2) khusus MA memang mempunyai kebebasan,tetapi masalah-masalah tertentu harusdikonsultasikan kepada MPR.

3) pengangkatan/pemilihan Hakimagung/pimpinan BPK bukan oleh presiden.Presiden sebagai kepala negara hanyamenominasikan saja, melainkan yangmenetapkan adalah DPR.

4) DPA dan panglima TNI disahkan oleh MPR.5) Jaksa agung, kepolisian, duta besarm dan

lembaga-lembaga tinggi pemerintahanlainnya direkomendasikan oleh DPR dandisahkan oleh presiden.

6) perlu mengkaji keberadaan DPA, masihdiperlukan atau tidak.

7) penataan kembali hubungan lembaga tinggidan lembaga tertinggi sebagai bentuk checkand balances antara lembaga legislatif danlembaga eksekutif.

e. Bentuk amandemen adalah addendum, agar jejak

historis dan filosofis tidak hilang sehingga

jati diri bangsa dapat dipertahankan.

f. Prosedur amandemen idealnya disahkan oleh

50%+1 peserta sidang MPR. Untuk itu, perlu

amandemen terhadap Pasal 37 UUD 1945

105

sehingga ada pintu masuk untuk mengamandemen

pasal-pasal lainnya.

9. Fraksi Perserikatan Daulatul Ummah

a. Empat materi prioritas dalam amandemen UUD1945, yakni :1) Peningkatan wewenang lembaga tertinggi

negara (MPR).2) Pembatasan kekuasaan presiden, dan

pemilihian presiden dan wakil presidenyang lebih demokratis.

3) Peningkatan wewenang Lembaga Parlemen(DPR).

4) Peningkatan wewenang MA sebagai LembagaKehakiman.

b. Materi di luar materi prioritas, yaitu :

1) Bentuk dan kedaulatan negara, serta sistempemilu.

2) Penghapusan DPA.3) Penegasan independensi Bank Indonesia.4) Wilayah negara Republik Indonesia.5) Penegasan status penjelasan UUD 1945.

10. Fraksi Partai Demokrasi Kasih Bangsa

a. HAM yang sekarang diatur dalam Tap. MPR No.

XVII/MPR/1998 dimasukkan dalam UUD 1945.

b. MPR terdiri atas DPR dan Dewan Utusan Daerah,

yang dipilih langsung dalam Pemilu. Utusan

golongan dihapuskan.

106

c. Sistem Kabinet Parlementer.

d. Pembukaan UUD 1945 tetap.

e. Amandemen UUD 1945 dilaksanakan dengan

addendum-adendum.

f. Dibentuk komisi negara untuk amandemen UUD

1945, yang keanggotaannya terdiri atas MPR

dan para pakar yang diutus oleh partai-

partai.

11. Fraksi Utusan Golongan

a. Suatu konstitusi modern yang demokratis

minimum harus memiliki prinsip-prinsip

mengenai:

1) Pembagian kekuasaan dengan sistem check andbalance.

2) Pembatasan kekuasaan pemerintah (masajabatan, wewenang, dan lain-lain).

3) Pengakuan hak-hak politik rakyat(berkumpul, berserikat, dan mengeluarkanpendapat).

4) Pengakuan dan penghormatan terhadap hak-hak warga negara di mana setiap warganegara dijamin kesamaan hak dankewajibannya tanpa pembedaan kategorisosial apa pun (etnis, agama, gender, danpandangan politik).

107

b. UUD 1945 belum cukup kuat menjelaskan

komitmennya pada empat prinsip di atas.

c. Amandemen UUD 1945 dalam lingkup batang tubuh

dan penjelasannya, termasuk mukadimahnya.

d. Substansi amandemen UUD 1945 meliputi :

1) Pembatasan kekuasaan presiden dan Lembaga

Eksekutif.

2) Perluasan peran DPR.

Mayoritas materi yang diusulkan oleh partai politik

terdapat keseragaman. Di antaranya menyangkut agenda

pembenahan Lembaga Kepresidenan, peningkatan wewenang

lembaga tertinggi dan tinggi negara (selain presiden),

penegasan HAM dalam UUD, otonomi daerah dan Lembaga

Kehakiman. Kemudian, terdapat ide-ide baru guna

memperbaiki sistem tata negara Indonesia, misalnya,

usulan Mahkamah Konstitusi dan Dewan Perwakilan Daerah.

Namun, gagasan baru tersebut tidak diikuti dengan

pemaparan lebih lanjut, di antaranya menyangkut bentuk,

susunan dan mekanisme kerja yang dijalankan dua

institusi tersebut.

108

Kesepakatan untuk mengubah pembukaan (cukup hanya

batang tubuh) by design menjadi konsensus antarfraksi

yang terlihat pada pemandangan fraksi. Mayoritas fraksi

menyetujui untuk mempertahankan Pembukaan UUD 1945.

Kesimpulan Pembahasan Amandemen UUD 1945

PAH III BP MPR pada SU MPR 1999

No Materi yangDisepakati

Penjelasan

1 Perubahan UUD 1945 Semua fraksi sepakat untuk melakukanamandemen UUD 1945

2 Ruang Lingkup Pembukaan UUD 1945 tidakdiubah.

Yang diubah adalah Batang Tubuhdan Penjelasan UUD 1945.

Jika ada hal-hal yang bersifatnormatif dalam Penjelasan UUD1945, dimasukkan ke dalamBatang Tubuh UUD 1945.

3 Prioritas Semua fraksi sepakat, badanpekerja MPR melakukan amandemenUUD 1945 dengan prioritas padahal-hal yang mendesak sesuaidengan kesepakatan semuafraksi.

Mengenai amandemen UUD 1945lainnya bilamana perludilakukan dalam tahapberikutnya, dan dilaksanakanoleh BP MPR atau denganmembentuk suatu komisi khusus,dan selambat-lambatnya sudahselesai melaksanakan tugasnyapada 17 Agustus 2000.

4 Pokok-pokok materiyang menjadiprioritas

1. Pemberdayaan Lembaga TertinggiNegara MPRa. Pasal 1 ayat (2)

109

i. Pasal 14j. Pasal 15

3. Peninjauan kembali lembagatinggi negara dengan kekuasaankonsultatif (DPA) Pasal 16.

4. Pemberdayaan Lembaga Legislatif(DPR) a. Pasal 17 ayat (2)b. Pasal 19 ayat (1) dan (2)c. Pasal 20 ayat (1) dan (2)d. Pasal 21 ayat (1) dan (2)

5. Pemberdayaan BPK Pasal 23.6. pemberdayaan dan pertanggung-

jawaban Lembaga Kehakiman (MA)Pasal 24 dan 25.

Sumber (diolah) : Jurnal SU MPR 1999 Edisi 02 Tanggal 8

Oktober 1999

Pimpinan dan Anggota Panitia Ad Hoc III BP MPR

No Nama NomorAnggota Fraksi Jabatan

1 Harun Kamil,S.H. C-643 Utusan Golongan Ketua

2 Drs.H. Slamet EffendiYusuf A-332 Partai Golkar Wk.Ketua

3 H.Amin Aryoso,S.H. A-157 PDI Perjuangan Wk.Ketua

4 KH.Yusuf Muhammad Lc A-437 Kebangkitan Bangsa

Sekretaris

5 Hobes B-512 PDI Perjuangan Anggota

110

Sinaga,S.H.,M.H.6 Dr.Harjono,S.H.,MCL B-527 PDI Perjuangan Anggota

7 Prof. Dr.JE Sahetapy,S.H. A-208 PDI Perjuangan Anggota

8 Alberson Marle Sihaloho A-96 PDI Perjuangan Anggota

9 H. Julius Usman,S.H. A-98 PDI Perjuangan Anggota

10 Drs. Frans FH Matrutty B-568 PDI Perjuangan Anggota

11 Andi Mattalatta,S.H. A-373 Partai Golkar Anggota

12 Drs. Agun Gunandjar Sudarsa A-325 Partai Golkar Anggota

13 Hatta Mustafa B-508 Partai Golkar Anggota 14 Drs. TM Nurlif A-284 Partai Golkar Anggota 15 H. Zain Badjeber A-28 PPP Anggota

16 Drs.H. Lukman H. Saifuddin A-41 PPP Anggota

17 Dra. Hj. Khofifah Indar Parawansa A-449 Kebangkitan

Bangsa Anggota

18 Ir. M. Hatta Rajasa A-237 Reformasi Anggota

19 H. Patrialis Akbar, S.H.

A-223 Reformasi Anggota

20 Hamdan Zoelva, S.H. A-265 PBB Anggota 21 Drs. Anthonius Rahail A-282 Reformasi Anggota 22 Drs. H.Asnawi Latief A-1 PDU Anggota 23 G. Seto Harianto A-215 PDKB Anggota

24 Marsda TNI H. Hendi Tjasmadi

A-488 TNI/Polri Anggota

25 Dra. Valina Singka Subekti, M.A.

C-635 Utusan Golongan Anggota

Sumber: Jurnal SU MPR 1999 Edisi 02 tanggal 8 Oktober

1999

C. Perubahan Tahap Pertama Undang-Undang Dasar 1945

111

Perubahan Tahap Pertama yang menghasilkan 9 Pasal

(16 butir ketentuan baru) tersebut dipersandingkan

antara naskah UUD 1945 Asli dengan hasil perubahan

Tahap pertama UUD 1945.

Persandingan UUD 1945 Asli dan UUD 1945 Perubahan Tahap

Pertama

Naskah Asli Perubahan Tahap 1Dan perjuangan pergerakan kemerdekaan Indonesia telah sampailah kepada saat yang berbahagia dengan selamat sentausa mengantarkan rakyat Indonesia ke depan pintu gerbangkemerdekaan Negara Indonesia, yang merdeka, bersatu, berdaulat, adil dan makmur.Atas berkat rahkmat Allah Yang Maha Kuasa dan dengan didorongkan oleh keinginan luhur, supaya berkehidupan kebangsaan yang bebas, maka rakyat Indonesia menyatakan dengan ini kemerdekaannya.Kemudian daripada itu untuk membentuk suatu Pemerintahan Negara Indonesia yang melindungisegenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indomesia dan untuk memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskankehidupan bangsa, dan ikut melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi dan keadilan sosial, maka disusunlah Kemerdekaan Kebangsaan Indonesia

PEMBUKAAN(Preambule)

Bahwa sesungguhnya Kemerdekaan itu ialah hak segala bangsa dan oleh sebab itu, maka penjajahan di atas dunia harus dihapuskan, karena tidak sesuai dengan peri-kemanusiaan dan peri-keadilan.Dan perjuangan pergerakan kemerdekaan Indonesia telah sampailah kepada saat yang berbahagia dengan selamat sentausa mengantarkan rakyat Indonesia ke depan pintu gerbangkemerdekaan Negara Indonesia, yang merdeka, bersatu, berdaulat, adil dan makmur.Atas berkat rahkmat Allah Yang Maha Kuasa dan dengan didorongkan oleh keinginan luhur, supaya berkehidupan kebangsaan yang bebas, maka rakyat Indonesia menyatakan dengan ini kemerdekaannya.Kemudian daripada itu untuk membentuk suatu Pemerintahan Negara Indonesia yang melindungisegenap bangsa Indonesia dan

112

itu dalam suatu Undang-undang Dasar Negara Indonesia, yang terbentuk dalam suatu susunan Negara Republik Indonesia yang berkedaulatan rakyat dengan berdasarkan kepada Ketuhanan Yang Maha Esa, Kemanusiaan yang adil dan beradab, Persatuan Indonesia dan Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam Permusyawaratan/ Perwakilan, serta dengan mewujudkan suatu Keadilan Sosial bagj seluruh rakyat Indonesia.

UNDANG-UNDANG DASAR

Pasal 5(1)Presiden memegang kekuasaan

membentuk undang-undangdengan persetujuan DewanPerwakilan Rakyat.

Pasal 7Presiden dan Wakil Presiden

memegang jabatannya selama masalima tahun, dan sesudahnya dapat

dipilih kembali.

Pasal 9Sebelum memangku jabatannya, Presiden dan Wakil Presiden bersumpah menurut agama, atau berjanji dengan sungguh-sungguh di hadapan Majelis Permusyawaratan Rakyat atau Dewan Perwakilan Rakyat sebagai berikut :

Sumpah Presiden (Wakil Presiden): “ Demi Allah, saya bersumpah akan memenuhi kewajiban PresidenRepublik Indonesia (Wakil Presiden Republik Indonesia)

seluruh tumpah darah Indomesia dan untuk memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskankehidupan bangsa, dan ikut melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi dan keadilan sosial, maka disusunlah Kemerdekaan Kebangsaan Indonesiaitu dalam suatu Undang-undang Dasar Negara Indonesia, yang terbentuk dalam suatu susunan Negara Republik Indonesia yang berkedaulatan rakyat dengan berdasarkan kepada Ketuhanan Yang Maha Esa, Kemanusiaan yang adil dan beradab, Persatuan Indonesia dan Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam Permusyawaratan/ Perwakilan, serta dengan mewujudkan suatu Keadilan Sosial bagj seluruh rakyat Indonesia.

UNDANG-UNDANG DASAR

Pasal 5(3) Presiden berhak mengajukan

rancangan undang-undangkepada Dewan PerwakilanRakyat.

Pasal 7Presiden dan Wakil Presidenmemegang jabatan selama limatahun, dan sesudahnya dapatdipilih kembali dalam jabatan

yang sama, hanya untuk satu kalimasa jabatan.

Pasal 9(1)Sebelum memangku jabatannya,

Presiden dan Wakil Presiden bersumpah menurut agama, atau berjanji dengan sungguh-sungguh di hadapan

113

dengan sebaik-baiknya dan seadil-adilnya, memegang teguh Undang-undang Dasar dan menjalankan segala undang-undangdan peraturannya dengan selurus-lurusmya serta berbakti kepada Nusa dan Bangsa”.

Janji Presiden (Wakil Presiden) :“Saya berjanji dengan sungguh-sungguh akan memenuhi kewajiban Presiden Republik Indonesia (Wakil Presiden Republik Indonesia) dengan sebaik-baiknyadan seadil-adilnya, memegang teguh Undang-undang Dasar dan menjalankan segala undang-undangdan peraturannya dengan selurus-lurusnya serta berbakti kepada Nusa dan Bangsa”.

Pasal 13(1) Presiden mengangkat

duta dan konsul.(2) Presiden menerima

duta negara lain.

Pasal 14Presiden memberi grasi, amnesti,abolisi dan rehabilitasi.

Majelis Permusyawaratan Rakyat atau Dewan PerwakilanRakyat sebagai berikut :

Sumpah Presiden (Wakil Presiden):“ Demi Allah, saya bersumpah akan memenuhi kewajiban Presiden Republik Indonesia (Wakil Presiden Republik Indonesia) dengan sebaik-baiknya dan seadil-adilnya, memegang teguh Undang-undang Dasar dan menjalankan segala undang-undang dan peraturannya dengan selurus-lurusnya serta berbakti kepada Nusadan Bangsa”.

Janji Presiden (Wakil Presiden) :“Saya berjanji dengan sungguh-sungguh akan memenuhi kewajiban Presiden Republik Indonesia (Wakil Presiden Republik Indonesia) dengan sebaik-baiknyadan seadil-adilnya, memegang teguh Undang-undang Dasar dan menjalankan segala undang-undangdan peraturannya dengan selurus-lurusnya serta berbakti kepada Nusa dan Bangsa”.

(2) Jika Majelis Permusyawaratan Rakyat atau Dewan Perwakilan Rakyat tidak dapat mengadakan sidang, Presiden dan Wakil Presiden bersumpah di hadapan Pimpinan Majelis Permusyawaratan Rakyat

114

Pasal 15Presiden memberi gelaran, tanda jasa dan lain-lain tanda kehormatan.

Pasal 17(2) Menteri-menteri itu

diangkat dan diberhentikanoleh Presiden.

(3) Menteri-menteri itu memimpin deparemen pemerintahan.

Pasal 20(1) Tiap-tiap undang-

undang menghendaki persetujuan Dewan Perwakilan Rakyat.

(2) Jika sesuatu rancangan undang-undang tidak mendapat persetujuanDewan Perwakilan Rakyat, maka rancangan tadi tidak boleh dimajukan lagi dalampersidangan Dewan Perwakilan Rakyat masa itu.

Pasal 21(1) Anggota-anggota

Dewan Perwakilan Rakyatberhak memajukan rancanganundang-undang.

(2) Jika rancangan itu, meskipun disetujui oleh Dewan Perwakilan Rakyat,

dengan disaksikan oleh Pimpinan Mahkamah Agung.

Pasal 13(1) Dalam hal mengangkat

duta, Presiden memperhatikan pertimbanganDewan Perwakilan Rakyat.

(2) Presiden menerima penempatan duta negara lain dengan memperhatikan pertimbangan Dewan Perwakilan Rakyat.

Pasal 14(1) Presiden memberi

grasi dan rehabilitasi dengan memperhatikan pertimbangan Mahkamah Agung

(2) Presiden memberi amnesti dan abolisi denganmemperhatikan pertimbanganDewan Perwakilan Rakyat.

Pasal 15Presiden memberi gelar, tanda jasa, dan lain-lain tanda kehormatan yang diatur dengan undang-undang.

Pasal 17(2) Menteri-menteri itu

diangkat dan diberhentikanoleh Presiden.

(3) Setiap menteri membidangi urusan tertentudan pemerintahan.

Pasal 20(1) Dewan Perwakilan

Rakyat memegang kekuasaan membentuk undang-undang.

(2) Setiap rancangan undang-undang dibahas olehDewan Perwakilan Rakyat dan Presiden untuk mendapat persetujuan bersama.

(3) Jika rancangan

115

tidak disahkan oleh Presiden, maka rancangan tadi tidak boleh dimajukanlagi dalam persidangan Dewan Perwakilan Rakyat masa itu.

undang-undang itu tidak mendapat persetuuan bersama, rancangan undang-undang itu tidak boleh diajukan lagi dalam persidangan Dewan Perwakilan Rakyat masa itu.

(4) Presiden mengesahkanrancangan undang-undang yang telah disetujui bersama untuk menjadi undang-undang.

Pasal 21Anggota Dewan Perwakilan Rakyatberhak untuk mengajukan usulrancangan undang-undang.

Sumber (diolah) : krisna Harahap97)

Secara keseluruhan Perubahan Konstitusi Republik

Indonesia selama 4 (empat) tahap telah membawa

perubahan jumlah Bab, Pasal, Ayat dan sistematika

sebagaimana berikut :98)

Batang Tubuh UUD 1945

Sebelumperubahan

Setelahperubahan

Bab 16 21Pasal 37 73Ayat 49 170Aturan peralihan 4 pasal 3 pasalAturan tambahan 2 ayat 2 pasal

Dari segi sistematika juga telah dilakukan

perubahan yakni sebagai berikut :

97) Krisna Harahap, Konstitusi ..., Op.cit., hlm. 62-117.98) Ibid., hlm. 61.

116

Sebelum perubahan

- Pembukaan- Batang Tubuh- Penjelasan

Setelah perubahan

- Pembukaan- Pasal-pasal

(pengganti istilah batang tubuh)

Sejarah ketatanegaraan Indonesia mencatat pemberlakuan

Undang – Undang Dasar sebagai berikut :

No KonstitusiMasa berlaku

Awal berlaku Berakhir

1 UUD 1945 18 Agustus 1945

27 Desember 1949

2Konstitusi RIS

(Republik IndonesiaSerikat)

27 Desember 1949

17 Agustus 1950

3UUDS (Undang – Undang Dasar Sementara)

17 Agustus 1950 5 Juli 1959

4 UUD 1945 Sejak Dekrit Presiden Sekarang

117

BAB IV

KAJIAN MENGENAI PERUBAHAN KONSTITUSI

REPUBLIK INDONESIA TAHAP PERTAMA PASCA REFORMASI

A. Latar Belakang Perubahan Konstitusi Republik

Indonesia

Mengingat salah satu tujuan dari penelitian ini

adalah untuk mengetahui latar belakang terjadinya

perubahan konstitusi, maka untuk mendapatkan fakta yang

objektif penulis berupaya untuk mengelaborasikan fakta

lapangan berupa realitas dengan data. Arti realitas

dirumuskan Kant dengan mengidentikan yang real sebagai

apa yang selaras dengan kondisi-kondisi material

pengalaman. Sedangkan Pierce, di lain pihak,

mendefinisikan realitas sebagai apa yang diyakini oleh

komunitas peneliti pada akhir suatu deretan ideal

penelitian-penelitian.99)

99) Otje Salman dan Anton F. Susanto, Teori Hukum Mengingat,Mengumpulkan dan Membuka Kembali. Bandung : Refika Aditama, 2004,hlm. 26.

118

Setelah dipaparkan panjang lebar pada bab

sebelumnya mengenai situasi dan kondisi objektif

terjadinya perubahan konstitusi maka dapat dikemukakan

bahwa reformasi adalah faktor yang paling berpengaruh

terjadinya perubahan. Bagaimanapun juga, krisis

berkepanjangan di berbagai bidang kehidupan tidak akan

memiliki otoritas menjatuhkan Soeharto, jika tidak

didorong dengan gerakan frontal dari masyarakat luas

yang melebur dalam gerakan reformasi demi tercapai

reformasi total.

Latar belakang perubahan Konstitusi Republik

Indonesia dipusatkan kepada efektifitas konstitusi

selama 54 tahun. Efektifitas konstitusi sebagai

mercusuar penyelenggaraan negara dipengaruhi faktor

materi konstitusi yang tidak lagi sesuai dengan

perkembangan zaman dan pemerintah yang seakan diberi

kekuasaan yang sangat besar dari konstitusi tersebut.

Kekuasaan pada dasarnya bersifat abu-abu yaitu tidak

selamanya buruk atau baik.

119

Mochtar Kusumaatmadja menyandarkan sifat abu-abu

itu pada pemikiran bahwa kekuasaan bergantung kepada

bagaimana kita menggunakannya. Selanjutnya, Mochtar

mengutarakan kekuasaan merupakan unsur mutlak bagi

kehidupan masyarakat yang tertib, bahkan setiap bentuk

organisasi yang teratur. Menurutnya lagi, dikarenakan

sifat-sifat dan hakikatnya, untuk dapat bermanfaat

kekuasaan harus ditetapkan ruang lingkup, arah dan

batas-batasnya. Oleh karena itu kita membutuhkan hukum,

demikian Mochtar berpendapat. 100)

Hukum yang dimaksud mengacu pada sumber hukum

berbentuk UUD yang seharusnya menetapkan ruang lingkup,

arah dan batas-batas kekuasaan. UUD 1945 semula digagas

untuk membatasi dan membagi kekuasaan lembaga-lembaga

negara. Apabila Mochtar mengatakan bahwa hukum harus

menjadi batas bagi kekuasaan, maka itu berarti

kekuasaan harus tunduk pada hukum. Sejalan dengan

pemikiran tersebut, Dwidja Priyatno menyatakan bahwa

menurut cita-cita perjuangan kemerdekaan bangsa

100) Mochtar Kusumaatmadja, Op.cit., hlm. 8.

120

Indonesia yang bertekad menghapuskan penjajahan di muka

bumi berikut segala akibatnya, yang diinginkan adalah

bahwa negara R.I merupakan suatu negara hukum dimana

kekuasaan tunduk pada hukum.101)

Tidak demikian dengan kenyataan yang terjadi pada 2

penguasa di masa kepemimpinan silam, rupanya kekuasaan

berubah menjadi boomerang dan menyerang balik. Dikatakan

demikian karena kekuasaan disalahgunakan sebagai

justifikasi pengambilan kebijakan yang terkadang

merugikan negara seperti pada masa kepemimpinan

Soekarno yang diwarnai oleh arogansi penguasa. Secara

terang-terangan Soekarno menyatakan diri sebagai

Presiden Seumur Hidup dengan mengeluarkan TAP MPR RI

No.III/MPRS/1963 Tentang Pengangkatan Pemimpin Besar

Revolusi102) Bung Karno Menjadi Presiden Republik

Indonesia Seumur Hidup. Tidak berbeda jauh dengan

Soeharto, sebagai Presiden ke-2 RI yang belajar

101) Dwidja Priyatno, Hukum dan Kekuasaan, (bahan kuliah FilsafatHukum Sekolah Tinggi Hukum Bandung): Bandung, 2006, hlm. 4.

102) Berdasarkan Ketetapan No. XVII/MPRS/1966 dinyatakan bahwaPredikat Pemimpin Besar Revolusi tidak membawa wewenang hukum.Kemudian TAP MPRS RI No.III/MPRS/1963 ini dicabut oleh KetetapanNo. XXXV/MPRS/1967.

121

langsung dari pendahulunya, ia menafsirkan ketentuan

masa jabatan Presiden dalam Pasal 7 UUD 1945 yang

berbunyi “Presiden dan Wakil Presiden memegang

jabatannya selama masa lima tahun, dan sesudahnya dapat

dipilih kembali” sebagai pembenaran untuk menduduki

jabatan presiden secara terus-menerus tanpa dibatasi

oleh periode atau jangka waktu tertentu.

Kedua pemimpin RI tersebut mencirikan sifat khas

kekuasaan yakni, cenderung merangsang yang memilikinya

untuk lebih berkuasa lagi karena kekuasaan haus akan

lebih banyak lagi kekuasaan.103) Langkah nyata mencegah

sejarah kembali berulang adalah mengefisiensikan

batasan dan pembagian kekuasaan dengan bahasa yang

lugas juga tegas agar proses check and balances terlaksana.

Perlu diingat kembali pemusatan kekuasaan pada satu

tangan diibaratkan Lord Acton, power tends to corrupt,

absolute power corrupts absolutely.

Gagasan perubahan UUD 1945 mengemuka begitu

kencangnya sebagai tuntutan reformasi konstitusional.

103) Dwidja Priyatno, Op.cit., hlm. 3.

122

Jembatan pemikiran antara para perumus UUD 1945

terdahulu yaitu founding father dengan pemegang wewenang

mengubah UUD saat ini MPR adalah aspek historis

pembuatan UUD pertama kalinya. Sejak awal pembuatan UUD

1945 memang bersifat sementara, sebagaimana dinyatakan

oleh Ir. Soekarno selaku ketua Panitia Persiapan

Kemerdekaan Indonesia (PPKI), dalam rapat pertama

Agustus 1945, yang menyatakan sebagai berikut.104)

‘… tuan-tuan semuanya tentu mengerti bahwa Undang-Undang Dasar yang kita buat ini adalah Undang-Undang Dasar Sementara. Kalau boleh saya memakaiperkataan “ini adalah Undang-Undang Dasar Kilat”,nanti kalau kita telah bernegara dalam suasana yanglebih tentram, kita tentu akan mengumpulkan kembaliMPR yang dapat membuat Undang-Undang Dasar yanglebih sempurna …”.

Pernyataan di atas seakan menjadi “kartu As” yang

menjadi justifikasi MPR untuk mengubah konstitusi.

Suatu pernyataan yang sarat unsur ketergesaan karena

UUD 1945 dirumuskan founding fathers dalam situasi revolusi

antara Mei hingga Agustus 1945. Di dalamnya menyiratkan

harapan penyempurnaan konstitusi dilakukan MPR ketika

104) Mohamad Yamin, Naskah Undang-Undang Dasar 1945, Jakarta:YayasanPrapanca, hlm.410 dalam Ni’matul Hula, Op.cit., hlm. 139.

123

Indonesia telah bernegara dalam suasana yang lebih

tentram. Faktanya, perubahan konstitusi terjadi ketika

Indonesia justru berada dalam keadaan transisi dari

pemerintahan orde baru menuju orde reformasi yang juga

dituntut melakukan perbaikan di segala bidang secara

cepat kilat. Lantas, letak perbedaan keadaan darurat

zaman dahulu dengan masa kini ternyata sama saja.

Seringnya elite politik menyatakan bahwa perubahan

konstitusi dilakukan dalam waktu sempit meng-

indikasikan hal tersebut. Berikut ini sepenggal

pernyataan resmi MPR yang termuat dalam Kata Pengantar

Buku Risalah MPR tahun 1999 :105)

“ Sidang Umum Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR)yang dilangsungkan pada tanggal 1 sampai dengan 21Oktober 1999 yang lalu merupakan Sidang Umum hasilpemilihan umum yang dipercepat sebagaimana ditetapkandalam Sidang Istimewa MPR 1998 guna memenuhituntutan reformasi yang berlangsung di hampirseluruh Persada Nusantara. ... Tuntutan reformasi dandemokratisasi di segala bidang itu telah memaksa MPRmelakukan persidangan secara maraton”. (kursifpenulis)

Selain aspek historis di atas, latar belakang

perubahan dilihat secara filosofis yang menilai105) Risalah Sidang 1999: hlm. iii.

124

pentingnya perubahan UUD 1945 adalah pertama karena UUD

1945 adalah moment opname dari berbagai kekuatan

politik dan ekonomi yang dominan pada saat

dirumuskannya konstitusi itu. Setelah 54 tahun tentu

terdapat berbagai perubahan, baik di tingkat nasional

maupun global. Kedua, UUD 1945 disusun oleh manusia yang

kodratnya tidak akan pernah sampai kepada tingkat

kesem-purnaan sehingga pekerjaan yang dilakukan manusia

tetap memiliki berbagai kemungkinan kelemahan maupun

kekurangan.106) Alasan yang bersifat filosofis juga

diketengahkan oleh Abdul Mukthie Fadjar bahwa dalam UUD

1945 terdapat percampur-adukan beberapa gagasan yang

saling bertentangan, terlihat dari paham kedaulatan

rakyat dengan paham integralistik, dan antara paham

negara hukum dengan paham negara kekuasaan.107) Meskipun

bertentangan, kedua paham tersebut berjalan

berdampingan sebagai penyeimbang satu dengan lainnya.

Hanya saja, dalam suatu konstitusi yang menawarkan

106) Wawancara Bagir Manan di Panji Masyarakat,No.16 Tahun III,4Agustus 1999, hlm.21 dikutip kembali oleh Ni’matul Huda, Op.cit.,hlm. 139.

107) Sri Soemantri, Op..cit., hlm. 276.

125

jaminan atas kepastian hukum harus tegas menentukan

paham yang dianut oleh Indonesia, namun bukan berarti

penyeragaman paham yang dipaksakan. Pandangan dan paham

yang bertentangan perlu dielaborasi untuk mengakomodir

berbagai perspektif yang berbeda. Dihubungkan dengan

perubahan konstitusi maka perubahan ini dapat dijadikan

suatu media untuk merumuskan paham yang dipercaya

sebagai identitas masyarakat Indonesia.

Secara yuridis, perubahan konstitusi telah

diperkirakan terjadi sebagai suatu keniscayaan sehingga

secara normatif perumus UUD 1945 menyediakan Pasal 37

UUD 1945 mengenai perubahan UUD 1945. Perubahan zaman

tidak dapat dicegah begitupun perubahan konstitusi,

bahkan pemerintahan tyranical orde baru tidak mampu

membendung aspirasi masyarakat untuk meraih reformasi

konstitusional. Dorongan memperbarui UUD 1945

didasarkan pula pada kenyataan bahwa UUD 1945 sebagai

subsistem tatanan konstitusi dalam pelaksa-naannya

tidak berjalan sesuai dengan staatsidee mewujudkan negara

berdasarkan konstitusi, seperti tegaknya tatanan

126

demokrasi, negara berdasarkan atas hukum yang menjamin

hal-hal seperti hak asasi manusia, kekuasaan kehakiman

yang merdeka serta keadilan sosial bagi seluruh rakyat

Indonesia. Hal yang terjadi adalah etatisme,

otoriterisme, atau kediktatoran yang menggunakan UUD

1945 sebagai sandaran.108)

Secara substantif, UUD 1945 dinilai tidak efektif

dan banyak mengandung kelemahan antara lain; Pertama UUD

1945 memberikan kekuasaan yang terlalu besar kepada

kekuasaan eksekutif sehingga prinsip check and balances

tidak berjalan (executive heavy)109 ; Kedua rumusan

ketentuan UUD 1945 sebagian besar bersifat sangat

sederhana, umum, bahkan tidak jelas (vague) sehingga

banyak pasal yang menimbulkan multitafsir; Ketiga, unsur-

unsur dalam UUD 1945; Keempat, UUD 1945 terlalu

menekankan pada semangat penyelenggara Negara ; Kelima,

UUD 1945 memberikan atribusi kewenangan yang terlalu108) Bagir Manan, Teori dan Politik Konstitusi, Yogyakarta: Fakultas

Hukum UII Press, 2003, hlm. 11 dikutip oleh Ni’matul Huda, Op.cit.,hlm. 141.

109) Moh. Mahfud MD., Amandemen Konstitusi Menuju Reformasi TastaNegara, Yogyakarta: UII Press, 1999, hlm. 96-98. Lihat juga dalamBagir Manan, Teori .., Ibid., hlm.11-14 dalam Ni’matul Huda, Op.cit., hlm.142.

127

besar kepada Presiden untuk mengatur berbagai hal

penting dengan UU. Akibatnya, banyak UU yang

substansinya hanya menguntungkan si pembuatnya

(Presiden dan DPR) ataupun saling bertentangan satu

sama lain ; Keenam, banyak materi muatan yang penting

justru diatur di dalam Penjelasan UUD, tetapi tidak

tercantum di dalam pasal-pasal UUD 1945. Ketujuh, status

dan materi Penjelasan UUD 1945, persoalan ini sering

menjadi objek perdebatan tentang status Penjelasan

karena banyak materi Penjelasan yang tidak diatur di

dalam pasal-pasal UUD 1945, misalnya materi negara

hukum, istilah kepala negara dan kepala pemerintahan,

istilah mandataris MPR, pertanggungjawaban Presiden dan

seterusnya.110)

Hingga kini, sekalipun konstitusi telah mengalami

empat kali perubahan tetap saja dianggap sarat

kelemahan. Sehingga pada tahun 2007 timbul rencana

untuk melakukan perubahan kelima. Sesungguhnya sifat

jauh dari kesempurnaan tersebutlah yang mendorong

110) Ibid.

128

bangsa untuk senantiasa memperbaiki diri khususnya MPR

dalam melakukan pembaruan konstitusi. Nyatalah bahwa

faktor-faktor tersebut tidak hanya dilihat dari

perspektif legal saja melainkan faktor non legal

seperti historis, filosofis, dan sosial. Bahkan

pembuatan Undang-Undang Dasar didorong oleh kesadaran

politik yang tinggi mengenai keperluan pengaturan

penyelenggaraan pemerintahan negara sebaik mungkin.

B. Proses Perubahan Konstitusi Republik Indonesia

Tahap Pertama Pasca Reformasi

Setelah mendapat gambaran faktor-faktor yang

melatarbelakangi perubahan konstitusi, selanjutnya

perlu diketahui mengenai cara bagaimana perubahan itu

dilakukan. Tuntutan reformasi yang mendesak di seluruh

penjuru negeri membuat MPR -pada Sidang Istimewa 1998-

menetapkan percepatan pemilihan umum yang seharusnya

diselenggarakan pada tahun 2002 menjadi tahun 1999.

Percepatan tersebut diikuti dengan Sidang Umum MPR RI

129

hasil pemilihan umum yang dimaksud pada tanggal 1

sampai dengan 21 Oktober 1999.

1. Proses Pembuatan Putusan Majelis

Pembuatan putusan-putusan Majelis dilakukan

melalui empat tingkat pembicaraan, putusan ini

termasuk putusan Majelis dalam amandemen pertama

UUD 1945. Mengacu pada mekanisme pengambilan

keputusan MPR yang terdapat pada ketetapan MPR No.

II/MPR/1999 tentang Peraturan Tata Tertib Majelis

Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia.

Pengambilan keputusan majelis berdasarkan ketetapan

ini melalui empat tingkat pembicaraan:

a. Tingkat I

Pembahasan oleh Badan Pekerja Majelis terhadap

bahan-bahan yang masuk dan hasil dari pembahasan

tersebut merupakan Rancangan Keputusan Majelis

sebagai pokok Pembicaraan Tingkat II.

130

b. Tingkat II

Pembahasan oleh Rapat Paripurna Majelis yang

didahului oleh penjelasan Pimpinan dan

dilanjutkan dengan Pemandangan Umum Fraksi-

fraksi.

c. Tingkat III

Pembahasan oleh Komisi/Panitia Ad Hoc Majelis

terhadap semua hasil pembicaraan Tingkat I dan

II. Hasil pembahasan Tingkat III ini merupakan

Rancangan Ketetapan/Keputusan Majelis.

d. Tingkat IV

Pengambilan putusan oleh Rapat Paripurna Majelis

setelah mendengar laporan dari Pimpinan

Komisi/Panitia Ad Hoc Majelis dan bilamana perlu

dengan kata terakhir dari fraksi-fraksi.

Agar proses perubahan dapat tergambarkan dengan

baik, diperlukan kronologis perubahan dengan

memilih peristiwa yang terkait tanpa harus

kehilangan mata rantai. Kronologis perubahan

131

mencakup secara umum proses awal diajukannya usul

perubahan hingga disepakati hasil dari perubahan

tersebut. Berikut ini analisis perhitungan waktu

yang menjadi peta sepak terjang perubahan

konstitusi bersumber pada risalah rapat paripurna

MPR RI 1999:

132

No Tanggal Rapat Acara Peserta RapatHadir Tidak

1 1 Oktober 1999 Paripurna ke-1 Pengucapan Sumpah/ Janji Anggota MPR RI 644 12 3 Oktober 1999 Paripurna ke-3 Pembentukan Fraksi-fraksi MPR 650 23 3 Oktober 1999 Paripurna ke-4 Pemilihan Pimpinan MPR RI 650 24 4 Oktober 1999 Paripurna ke-5 Pengucapan Sumpah/Janji Pimpinan MPR RI 652 43

5 4 Oktober 1999 Paripurna ke-6 - Pembentukan Badan Pekerja MPR- Pengesahan Tugas BP MPR - -

6 6 Oktober 1999 BP MPR ke-2

- Pemandangan Umum Fraksi tentang Materi Sidang Umum

- Pembentukan Panitia Ad Hoc- Pemilihan Pimpinan Panitia Ad Hoc BP MPR- Membahas Materi Sidang Umum MPR Sesuai

bidang Tugas Panitia Ad Hoc BP MPR

78 8

7 7 Oktober 1999 Panitia Ad Hoc III ke-1

Pembahasan Perubahan Undang-Undang Dasar 1945/ Amandemen 26 1

8 8 Oktober 1999 Panitia Ad Hoc III ke-2

- Membahas Materi Sidang Umum MPR sesuai Bidang tugas Ad Hoc BP MPR 22 3

9 9 Oktober 1999 Panitia Ad Hoc III ke-3

- Pembahasan Amandemen Terhadap UUD 1945 23 2

10 10 Oktober 1999 Panitia Ad Hoc III ke-4

- Pembahasan Amandemen Terhadap UUD 1945 23 2

11 11 Oktober 1999 Panitia Ad Hoc III ke-5

- Pembahasan Amandemen Terhadap UUD 1945 23 2

12 12 Oktober 1999 Panitia Ad Hoc III ke-6

- Pembahasan Amandemen Terhadap UUD 1945 24 1

13 13Oktober 1999 Panitia Ad Hoc III ke-7

- Pembahasan Amandemen Terhadap UUD 1945 25 -

133

14 14 Oktober 1999 Rapat ke-3 BadanPekerja

- Laporan Panitia Ad Hoc BP MPR- Pengesahan Materi Sidang Umum Hasil BP

MPR- Penutupan Rapat-rapat BP MPR

84 -

Agenda Sidang Umum MPR RI

No Tanggal Rapat Acara Peserta RapatHadir Tidak

15 16 Oktober1999 Paripurna ke-10

- Pemandangan umum fraksi-fraksiterhadap Hasil-Hasil Badan PekerjaMPR

- Usul Pembentukan Komisi

498 197

16 16 Oktober1999

Paripurna ke-10 (lanjutan)

- Pemandangan Umum Fraksi-fraksiterhadap Hasil-Hasil Badan Pekerja MPR

- Usul Pembentukan Komisi498 197

17 17 Oktober1999

Paripurna ke-11 (lanjutan) Pembentukan Komisi-komisi Majelis 658 37

18 17 Oktober1999

Sidang Umum ke-1 KomisiC Pemilihan Pimpinan Komisi Majelis 131 39

19 18 Oktober1999

Sidang Umum ke-2 KomisiC Pembahasan Rantap Perubahan UUD 1945 135 38

20 19 Oktober1999 Paripurna ke-12 Laporan Komisi-komisi Majelis 653 42

21 19 Oktober1999

Paripurna ke-12 (lanjutan)

- Pendapat Akhir Fraksi-fraksi terhadapHasil Komisi-komisi

- Pengambilan Keputusan terhadapPertanggungjawaban Presiden RI Prof.B.J. Habibie

690 5

134

22 20 Oktober1999 Paripurna ke-14

- Pengucapan Sumpah Jabatan Presiden RI- Penyerahan Hasil-Hasil Sidang Umum MPR

RI kepada Presiden RI- Pidato Presiden RI

602 93

23 21 Oktober1999 Paripurna ke-16

- Pengucapan Sumpah Jabatan WakilPresiden Republik Indonesia

- Pidato Wakil Presiden RepublikIndonesia

- Pidato Penutupan Sidang Umum MPR

685 10

Sumber: diolah dari buku Risalah Rapat MPR tahun 1999

135

Perjalanan perubahan konstitusi diawali dengan

terbentuknya MPR hasil pemilihan umum yang

dipercepat pada tahun 1999 berdasarkan ketetapan

MPR sebelumnya dalam Sidang Istimewa MPR 1998 guna

memenuhi tuntutan reformasi yang secara sporadis

tersebar di setiap penjuru negeri. Tugas pertama

yang diemban para elite politik ini adalah mengadakan

Sidang Umum MPR dengan agenda pembahasan yang

strategis bagi perkembangan penyelenggaraan

pemerintahan negara. Salah satu agenda besar MPR

adalah upaya desakralisasi konstitusi dengan mengasah

perangkat perubahan UUD 1945 yang selama ini

dibiarkan berkarat. Pemberdayaan Pasal 37 UUD 1945

merupakan jalan menuju konstitusi yang

merefleksikan semangat reformasi. Karena itu usulan

pertama perubahan konstitusi diungkapkan pada Rapat

Badan Pekerja Majelis Permusyawaratan Rakyat (BP

MPR) yang ke-1 pada tanggal 6 Oktober 1999 ketika

masing-masing fraksi memberikan pandangan umum

mengenai Materi Sidang Umum MPR dan membentuk

kepanitiaan Ad Hoc.

Panitia Ad Hoc (PAH) bertugas untuk

mempersiapkan materi beserta rancangan ketetapan

(rantap) yang dibagi menjadi 3 bagian kepanitiaan.

PAH I bertugas mempersiapkan naskah materi GBHN;

PAH II bertugas mempersiapkan RANTAP MPR RI tentang

136

Garis-garis Besar Haluan Negara, RANTAP MPR RI Non

GBHN dan Rancangan Keputusan MPR RI tentang Jadwal

Acara Sidang Umum MPR RI tanggal 14 sampai dengan

21 Oktober 1999; PAH III bertugas mempersiapkan

Ketetapan MPR tentang Amandemen UUD 1945.

2. Pembahasan Tingkat Badan Pekerja MPR Panita Ad

Hoc III111)

Pembahasan perubahan konstitusi di tingkat PAH

III dilaksanakan dengan alokasi waktu 8 (delapan)

hari mulai tanggal 6 Oktober 1999 sampai dengan 13

Oktober 1999. Keanggotaan PAH III berjumlah 25 (dua

puluh lima) orang yang mencerminkan fraksi-fraksi

dalam Majelis. Diketuai oleh Harun Kamil,S.H.,

Wakil Ketua Drs. H. Slamet Effendi Yusuf dan H.

Amin Aryoso,S.H., serta Sekretaris Drs. KH. Yusuf

Muhammad, LMM.

Sebagai bahan bahasan, semua fraksi dalam PAH

III sepakat untuk menggunakan materi Pemandangan

Umum Fraksi-fraksi yang disampaikan dalam Rapat ke-

2 Badan Pekerja MPR (BP MPR) dan penjelasan

tambahan/pokok-pokok pikiran Fraksi-fraksi tentang

perubahan konstitusi yang disampaikan dalam rapat-

rapat Panitia Ad Hoc III BP MPR. Mekanisme

pembahasan yang diterapkan adalah sebagai berikut:111) Diolah dari Risalah Sidang 1999/Jilid 3: hlm. 77-85.

137

1. Tiap-tiap fraksi diberi kesempatan untuk

menyampaikan pokok-pokok pikiran mengenai materi

UUD 1945 yang diusulkan untuk

diamandemen/diubah.

2. Setelah dituangkan dalam Daftar Inventarisasi

Materi (DIM), selanjutnya materi UUD 1945 yang

diusulkan oleh tiap-tiap fraksi untuk

diamandemen/diubah dikompilasi oleh Tim Perumus,

yang keanggotaannya terdiri dari Pimpinan

Panitia Ad Hoc III dan wakil-wakil Fraksi yang

tidak terwakili dalam unsur pimpinan, tiap-tiap

Fraksi diwakili oleh 1 (satu) orang.

3. Hasil kompilasi materi amandemen/perubahan UUD

1945, setelah disepakati oleh forum Rapat

Panitia Ad Hoc III, kemudian dibahas sesuai

dengan urutan prioritas yang telah disepakati

oleh semua fraksi.

4. Materi yang telah disepakati akan dimintakan

persetujuan untuk disahkan dalam forum Rapat

Panitia Ad Hoc III.

Supaya lebih jelas, mekanisme tersebut

dielaborasikan dengan hasil rapat sebagaimana

berikut: pada tanggal 7 Oktober 1999, rapat pertama

PAH III belum membahas secara khusus pokok materi

konstitusi yang akan diubah karena pendapat yang

bersinggungan dengan materi perubahan tersebar

138

secara acak dan kurang mendalam. Pada rapat

tersebut para anggota masih berbicara mengenai

ruang lingkup perubahan. Ruang lingkup ini

dibutuhkan sebagai batasan dalam melakukan

perubahan. Hal seperti penentuan kuorum juga ramai

diperdebatkan sebagai suatu atensi terhadap sah

tidaknya hasil perubahan di kemudian hari. Pada

tahap ini seluruh fraksi setuju dilakukannya

amandemen dan menginventarisir materi dari setiap

fraksi dengan dihadiri oleh 26 orang dan 1 orang

absen.

Pada beberapa kali rapat yang dilaksanakan

secara maraton yaitu pada rapat PAH III ke-2 hingga

ke-7 pembahasan materi perubahan dilakukan secara

intensif dan cukup mendalam. Seluruh pembicaraan

didokumen-tasikan oleh notulen dan usulan setiap

fraksi dituangkan dalam Daftar Inventarisasi Materi

(DIM). Selanjutnya materi UUD 1945 yang diusulkan

oleh tiap-tiap fraksi tersebut dikompilasi yang

setelah disepakati oleh forum Rapat Panitia Ad Hoc

III, kemudian dibahas sesuai dengan urutan

prioritas yang telah disepakati oleh semua fraksi.

139

Materi yang telah disepakati akan dimintakan

persetujuan untuk disahkan dalam forum Rapat PAH

III pada rapat terakhir Panitia Ad Hoc tanggal 13

Oktober 1999. Mengenai keabsahan hasil rumusan PAH

III dapat dilihat dari perbandingan kehadiran

anggota yang pada setiap rapatnya bisa dikatakan

senantiasa memenuhi kuorum. Setelah PAH III

merampungkan tugasnya, maka pada Rapat ke-3 Badan

Pekerja MPR tanggal 14 Oktober 1999 seluruh Panitia

Ad Hoc dikumpulkan untuk melaporkan hasil kerja

masing-masing. Kemudian, dilanjutkan dengan

pembahasan di tingkat komisi C yang bekerja dari

tanggal 17-18 Oktober 1999.

3. Pembahasan Tingkat Komisi C MPR112)

Menindaklanjuti hasil kerja PAH III yang telah

dilaporkan di tingkat BP MPR, langkah berikutnya

adalah menjadikan Rancangan Putusan MPR tentang

Perubahan Undang-Undang Dasar 1945 hasil BP MPR

tersebut sebagai bahan bagi fraksi-fraksi MPR dalam

pemandangan umum fraksi pada sidang paripurna ke-10

112) Diolah dari Risalah Sidang 1999/Jilid 13: hlm. 34-45.

140

tanggal 16 Oktober 1999. Di samping itu, agenda

lainnya adalah usulan pembentukan komisi, maka

sehari setelahnya, tanggal 17 Oktober 1999 pada

Rapat Paripurna ke-11 (lanjutan) dibentuk Komisi-

komisi Majelis yang dibagi ke dalam 4 bagian.

Melalui Keputusan MPR No.5/MPR/1999 dibentuklah

komisi-komisi itu, salah satunya adalah Komisi C

yang bertugas untuk memusyawarahkan dan mengambil

putusan mengenai Rancangan Putusan MPR RI tentang

Perubahan UUD 1945. Rapat Komisi yang dilaksanakan

tanggal 18 Oktober 1999 telah berhasil menyepakati

hasil-hasil BP MPR atas amandemen UUD 1945. Hasil

kesepakatan tersebut akan dibawa ke dalam sidang

paripurna MPR tanggal 19 Oktober 1999.

Estimasi waktu kerja yang diberikan pada Komisi

C adalah 2 (dua) hari mulai tanggal 17 Oktober 1999

sampai dengan 18 Oktober 1999 dengan kekuatan 172

(seratus tujuh puluh dua) orang anggota yang

mencerminkan fraksi-fraksi dalam Majelis. Pimpinan

Komisi C : Ketua Dr. H. Zain Badjeber; Wakil Ketua

1. H. Amon Aryoso, S.H. ; 2. Drs. H. Slamet Effendy

Yusuf; 3. K.H. Kholil Bisri; 4. Drs. Rudi

Supriyatna; 5. Sutjipto, S.H.

Mekanisme yang diterapkan Komisi C dalam

melakukan pembahasan Rancangan Putusan MPR tentang

Perubahan Undang-Undang Dasar 1945, yakni:

141

1. Tiap-tiap fraksi diberi kesempatan untuk

menyampaikan pengantar musyawarah mengenai

Perubahan Undang-Undang Dasar 1945.

2. Untuk melakukan pembahasan pasal-pasal Undang-

Undang dasar 1945, Komisi C Majelis sepakat

untuk membentuk forum lobi yang keanggotaannya

terdiri dari Pimpinan Komisi Majelis dan wakil-

wakil fraksi.

3. Sebelum dimintakan persetujuan kepada forum

Rapat Komisi C Majelis, hasil kesepakatan dalam

forum lobi disosialisasikan terlebih dahulu

kepada masing-masing anggota fraksi.

4. Selanjutnya Komisi C Majelis membentuk Tim

Perumus yang bertugas menyerasikan materi

perubahan Undang-Undang Dasar Negara Republik

Indonesia Tahun 1945 dan bentuk serta susunan

perubahannya

Komisi C Majelis sepakat untuk mengubah bentuk

putusan yang semula Rancangan Putusan MPR tentang

Perubahan Undang-Undang Dasar 1945 diubah menjadi

Rancangan Perubahan Pertama Undang-Undang Dasar

Negara Republik Indonesia 1945. Judul ini diambil

Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia 1945

sebagaimana dibuat dalam Lembaran Negara No.V tahun

1959 dari Dekrit Presiden Tanggal 5 Juli 1959.

142

Rekomendasi lainnya adalah kesepakatan Komisi C

Majelis atas Rancangan Ketetapan MPR tentang

Penugasan Badan Pekerja MPR untuk melanjutkan

Perubahan Undang-Undang Dasar Negara Republik

Indonesia tahun 1945, sebagai dasar hukum bagi BP

MPR dalam mempersiapkan Rancangan Perubahan Kedua

Undang-Undang Dasar NKRI tahun 1945, yang hasilnya

harus sudah siap untuk dibahas dan disahkan dalam

Sidang Tahun Majelis tanggal 18 agustus Tahun 2000.

Selanjutnya, setiap fraksi diberi kesempatan

untuk menyampaikan pendapat akhir atas hasil

laporan Komisi C. Kesimpulan pendapat akhir

tersebut adalah disetujuinya Perubahan Pertama UUD

1945 NKRI yang tersirat dari pernyataan Ketua MPR,

Amin Rais sebagai berikut:

“ … Sidang Majelis yang saya hormati adapunRancangan-Rancangan Ketetapan MPR yang telahmendapatkan kesepakatan semua fraksi adalah: 1.Rancangan perubahan Undang-undang Dasar NegaraRepublik Indonesia Tahun 1945”.

Atas dasar persetujuan seluruh fraksi, maka

Pimpinan MPR RI menetapkan perubahan tahap pertama

UUD 1945 pada tanggal 19 Oktober 1999 bertempat di

Jakarta. Mengenai penerapan Pasal 37 UUD 1945

tentang perubahan konstitusi yang berfungsi juga

sebagai sistem dan prosedur perubahan akan dikaji

secara lebih khusus pada sub bab berikutnya.

143

C. Kajian Mengenai Perubahan Konstitusi Republik

Indonesia Tahap Pertama

Kajian113) pada penelitian ini diterjemahkan dengan

hasil dari suatu proses mempelajari, menyelidiki dan

menelaah perubahan konstitusi Republik Indonesia tahap

pertama dari sudut yuridis, filosofis dan sosiologis.

Ketiga sudut pandang ini diadopsi dari syarat

pembentukan peraturan perundang-undangan yang baik yang

mengupas kesesuaian fakta dan realitas dengan kaidah

atau norma yang seharusnya.

Dalam melakukan penelusuran peraturan terkait,

penulis memberi garis tegas antara peraturan pra dan

saat perubahan itu terjadi dengan peraturan yang lahir

setelah perubahan. Faktanya, saat penelitian ini

dilakukan tahap perubahan konstitusi telah melalui

empat tahap sedangkan yang menjadi objek penelitian

hanya tahap pertama saja. Bahkan rentang waktu antara

tahun 1999 hingga 2007 banyak terjadi perubahan

113) Lihat definisi kaji Tim Penyusun Kamus Besar PusatPembinaan dan Pengembangan Bahasa,, Op.cit., hlm. 377.

144

peraturan yang berkaitan dengan penelitian. Efektifitas

peraturan yang berlaku kemudian setelah perubahan tentu

saja dianggap tidak relevan. Kalaupun disinggung

sifatnya hanya sebagai komparasi atau ulasan saja namun

tidak dijadikan pedoman utama pengkajian.

1. Kajian dari Sudut Yuridis

Menurut sistem hukum Indonesia, peraturan

perundang-undangan (hukum tertulis) disusun dalam

suatu tingkatan yang disebut hierarki peraturan

perundang-undangan. Kedudukan UUD berdasarkan

“memorandum” DPRGR mengenai Sumber Tertib Hukum

Republik Indonesia dan Tata Urutan Peraturan

Perundangan Republik Indonesia yang dikukuhkan

dalam TAP MPRS No. XX/MPRS/1966, MPR dengan TAP MPR

No. V/MPR/1973 dan Lampiran II tentang “Tata Urutan

Peraturan Perundang-undangan Republik Indonesia”.114)

menempati urutan pertama yang berarti tertinggi.

114) Ni’matul Huda, Op.cit., hlm. 37

145

Tata urutan berdasarkan ketentuan di atas,

yakni :115)

- UUD 1945

- Ketetapan MPRS/MPR

- UU/Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang

- Peraturan Pemerintah

- Keputusan Presiden

115) Sebagai perbandingan, berikut ini pengaturan Tata UrutanPeraturan Perundang-undangan berdasarkan perkembangannya yangmemperlihatkan kedudukan UUD selalu berada di urutan teratas :

TAP MPR RI Nomor III/MPR/2000 tentang Sumber Hukum dan TataUrutan Peraturan Perundang-undangan Pasal 2 Tata urutan peraturanperundang-undangan merupakan pedoman dalam pembuatan aturan hukumdi bawahnya. Tata urutan peraturan perundang-undangan RepublikIndonesia adalah :

1. Undang-undang Dasar 1945 ;2. Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik

Indonesia;3. Undang-undang;4. Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang (Perpu);5. Peraturan Pemerintah;6. Keputusan Presiden;7. Peraturan Daerah.Jenis dan hierarki perundang-undangan berdasarkan UU No.10

tahun 2004 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan Pasal7 ayat (1) adalah sebagai berikut:

1. Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945;2. Undang-Undang/Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-

Undang;3. Peraturan Pemerintah;4. Peraturan Presiden;5. Peraturan Daerah.

146

- Peraturan-peraturan pelaksanaan lainnya seperti:

Peraturan Menteri, Instruksi Menteri, dan lain-

lainnya.

Menjadikan UUD 1945 sebagai bagian dari

peraturan perundang-undangan tidak seluruhnya

menyepakati. Menurut Maria Farida UUD 1945 tidak

tepat dikatakan sebagai peraturan perundang-

undangan karena UUD 1945 terdiri dari dua kelompok

norma hukum yaitu : (1) Pembukaan UUD 1945

merupakan staatsfundamentalnorm atau Norma Fundamental

Negara. (2) Batang Tubuh UUD 1945 merupakan

staatsgrundgesetz atau Aturan Dasar Negara/ Aturan

Pokok Negara yang merupakan garis-garis besar atau

pokok-pokok kebijaksanaan negara untuk menggariskan

tata cara membentuk peraturan perundang-undangan

yang mengikat umum.116) Dalam Pembahasan

selanjutnya, penulis mengkategorikan UUD sebagai

bagian dari peraturan perundang-undangan, dengan

demikian berlaku beberapa ketentuan yang sama116) Maria Farida Indriati Suprapto dalam Ni’matul Huda,

Op.cit.,hlm. 41.

147

antara UUD dan bentuk perundang-undangan lainnya.

Salah satunya ketentuan mengenai syarat pembentukan

atau pembuatan peraturan perundang-undangan yang

baik.

Syarat yuridis pembuatan peraturan perundang-

undangan adalah suatu keadaan yang dipersyaratkan

untuk dipenuhi karena menimbulkan akibat hukum.

Syarat-syarat itu bersifat mutlak karena tidak

terpenuhinya persyaratan tersebut dapat menjadikan

produk peraturan perundang-undangan menjadi tidak

sah. Syarat yang dimaksud dibagi menjadi 2 kategori

yaitu syarat material keharusan adanya kewenangan

dari pembuat peraturan perundang-undangan dan

syarat formil yang berhubungan dengan tata cara

meliputi : keharusan adanya kesesuaian bentuk atau

jenis peraturan perundang-undangan dengan materi

yang diaturnya; keharusan mengikuti prosedur atau

tata cara tertentu; keharusan tidak bertentangan

dengan peraturan perundang-undangan yang lebih

tinggi tingkatannya.

148

1.1. Keharusan adanya kewenangan dari pembuat

peraturan perundang-undangan.

Tolak ukur keabsahan produk politik adalah hasil

keputusan institusi politik baik melalui musyawarah

maupun pemungutan suara (voting). Proses serta

pengambilan keputusan politik tentunya didasarkan

atas Peraturan Tata Tertib, sehingga mekanisme itu

sendiri pada hakekatnya adalah kaidah yang bersifat

mengikat (legally binding).

Adanya kewenangan dari pembuat peraturan

perundang-undangan dari hierarki tertinggi hingga

terendah merupakan syarat material yang harus

dipenuhi. Lembaga yang memiliki kewenangan untuk

menetapkan dan mengubah UUD 1945 adalah Majelis

Permusyawaratan Rakyat (MPR). MPR ditunjuk Undang-

Undang Dasar sebagai penjelmaan seluruh Rakyat

Indonesia dan merupakan perwujudan dari kedaulatan

rakyat sebagaimana diatur dalam Pasal 1 ayat (2)

yaitu :

149

“ Kedaulatan adalah di tangan rakyat, dandilakukan sepenuhnya oleh MajelisPermusyawaratan Rakyat”.

Mengenai MPR dapat dilihat pokok pengaturannya

dalam Pasal 2 UUD 1945, dan mengenai keanggotaan

MPR diatur pasal 2 ayat (1) UUD 1945:

“ Majelis Permusyawaratan Rakyat terdiri atasanggota-anggota Dewan Perwakilan Rakyat ditambahdengan utusan-utusan dari daerah-daerah dangolongan-golongan menurut aturan yang ditetapkandengan Undang-undang”.

Pada tahap pertama perubahan UUD 1945 kewenangan

untuk mengubah dimiliki oleh Majelis

Permusyawaratan Rakyat atas dasar Pasal 3 UUD 1945

yang berbunyi :

“ Majelis permusyawaratan Rakyat menetapkanUndang-undang Dasar dan Garis-garis Besardaripada Haluan Negara.”

Tugas dan Wewenang MPR Pasal 3 dan Pasal 4

Ketetapan MPR RI No.I/MPR/1983 jo Ketetapan MPR-RI

No.II/MPR/1999 tentang Peraturan Tata-Tertib

Majelis Permusyawaratan Rakyat :

Pasal 3, Majelis mempunyai tugas :

150

1) menetapkan Undang-Undang Dasar;

2) menetapkan Garis-Garis Besar Haluan Negara;

3) memilih dan mengangkat Presiden dan Wakil

Presiden.

Pasal 4, Majelis mempunyai wewenang :

f. mengubah Undang-undang Dasar.

MPR membentuk Peraturan Tata Tertib yang

ditetapkan dalam Ketetapan MPR demi kemantapan tata

susunan dan tata laksana MPR. Setelah mengalami

beberapa kali perubahan maka peraturan yang berlaku

hingga saat ini adalah TAP MPR No.I/MPR/1983

mengenai Peraturan Tata Tertib Majelis

Permusyawaratan Rakyat berikut perubahan terakhir

yaitu TAP MPR No.II/MPR/1999 tentang Peraturan Tata

Tertib Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik

Indonesia. Dalam rangka melaksanakan tugas, MPR

mempunyai alat-alat kelengkapan majelis yang

disusun menurut pengelompokan kegiatan.

Berdasarkan Pasal 19 Tata Tertib MPR alat-alat

151

kelengkapan itu adalah: Pimpinan Majelis; Badan

Pekerja Majelis; Komisi Majelis; Panitia Ad Hoc

Majelis. Perubahan konstitusi dilakukan oleh

Majelis dalam suatu Sidang Umum di tanggal 14

Oktober 2007. Kronologis pada sub bab sebelumnya di

atas menjelaskan bahwa untuk menyodorkan suatu

Rancangan Ketetapan Perubahan Konstitusi pada SU

MPR telah melalui beberapa kepanitiaan.

Panitia Ad Hoc III berperan membuat ketetapan

perubahan UUD, kemudian diputuskan oleh Komisi C

yang bertugas untuk memusyawarahkan dan mengambil

putusan mengenai Rancangan Putusan MPR RI tentang

Perubahan UUD 1945. Selanjutnya, hasil kerja Komisi

C dilaporkan pada Rapat Paripurna yang melibatkan

seluruh anggota MPR. Apabila diurutkan dasar

kewenangannya dapat ditarik satu benang merah dasar

legitimasi pihak atau badan yang mengubah

konstitusi. Pada dasarnya pemberian wewenang

Panitia Ad Hoc III merujuk pada ketentuan yang

bertalian satu dengan lain. Berikut ini diuraikan

152

alur pemberian wewenang pelaksana teknis perubahan

konstitusi dalam tubuh MPR. Awalnya, Pimpinan

Majelis dengan berbagai tugas yang dibebankan

kepadanya dapat memanggil Anggota Badan Pekerja

Majelis untuk mengadakan sidang berdasarkan Pasal

29 Tata Tertib MPR. Badan Pekerja sendiri mempunyai

tugas membantu Pimpinan Majelis dalam rangka

melaksanakan tugas-tugas Pimpinan Majelis. Dasarnya

adalah Keputusan Pimpinan MPR RI No.1/PIMP.BP/1999

sebagai instrumen yuridis pembentukan Badan

Pekerja. Selanjutnya Pimpinan Badan Pekerja MPR-RI

mengeluarkan Keputusan Badan Pekerja MPR RI

No.2/BP/1999 untuk mensahkan keberadaan Panitia Ad

Hoc I, Panitia Ad Hoc, Panitia Ad Hoc III BP MPR-

RI. Terakhir kali, setelah PAH III melaporkan hasil

kerjanya, maka melalui Keputusan MPR No.5/MPR/1999

dibentuklah Komisi-komisi khususnya Komisi C yang

bertugas untuk memusyawarahkan dan mengambil

putusan mengenai Rancangan Putusan MPR RI tentang

Perubahan UUD 1945. Konklusinya bahwa syarat

153

kewenangan dari pembuat atau pelaku perubahan telah

diurai dan memiliki dasar hukum dalam

pelaksanaannya.

1.2. Keharusan Adanya Kesesuaian Bentuk atau Jenis

Peraturan Perundang-undangan dengan Materi yang

Diaturnya

Konstitusi sebagai hukum dasar merupakan dokumen

hukum dan politik sekaligus yang memuat dasar-dasar

atau ketentuan pokok hukum yang berlaku dalam suatu

negara. Dengan menempati hierarki teratas, maka

ketentuan pokok tersebut dijadikan sumber hukum

bagi peraturan perundang-undangan yang lebih

rendah.

Sesuai hakekat konstitusi, yaitu pembatasan

kekuasaan untuk mencegah kesewenang-wenangan

penyelenggara maka dirumuskan beberapa materi

muatan konstitusi yang mencerminkan prioritas atau

perhatian tinggi terhadap hal-hal yang dianggap

paling penting oleh ahli hukum. Hal mengenai

154

jaminan hak-hak asasi manusia (HAM) dan warga

negara, susunan ketatanegaraan dan pembagian tugas

ketatanegaraan yang fundamental. Sebagaimana

dikatakan J.G. Steenbeek, dikutip Sri Soemantri

dalam disertasinya dan dikutip kembali oleh Dahlan

Thaib bahwa pada umumnya suatu konstitusi berisi

tiga hal pokok, yaitu : 117)

Pertama, adanya jaminan terhadap hak-hak asasi

manusia dan warga negaranya;

Kedua, ditetapkannya susunan ketatanegaraan

suatu negara yang bersifat fundamental;

Ketiga, adanya pembagian dan pembatasan tugas

ketatanegaraan yang juga bersifat

fundamental.

Hal penting lainnya adalah bahwa untuk mengubah

konstitusi tidak berarti mengubah muatan dasar yang

menjadi ciri khasnya karena secara logis muatan

materi perubahan konstitusi harus tetap mencirikan

eksistensi konstitusi itu sendiri. Dengan kata117) Dahlan Thaib, dkk., Op.cit., hlm. 16.

155

lain, persyaratan keharusan adanya kesesuaian

bentuk atau jenis peraturan perundang-undangan

dengan materi yang diaturnya harus terpenuhi. Dalam

hal ini, perubahan konstitusi harus tetap memuat

kaidah-kaidah dasar yang dijadikan sumber bagi

peraturan dibawahnya bukan justru mengatur kaidah-

kaidah pelaksana atau teknis yang seharusnya diatur

dalam bentuk peraturan yang lebih rendah misalnya.

Ketetapan MPR.

Materi muatan pasal-pasal konstitusi pada

perubahan tahap pertama merupakan materi mendasar

yang diindikasikan secara jelas dari berubahnya

haluan penyelenggaraan pemerintahan negara yang

condong pada lembaga eksekutif atau executive heavy

menjadi legislative heavy. Selain itu, Pasal 7 UUD 1945

yang beberapa kali jadi payung pemimpin negara guna

memperpanjang “kontrak” kekuasaannya untuk jangka

waktu yang tidak ditentukan diubah dan dibatasi

menjadi “ Presiden dan Wakil Presiden memegang

jabatan selama lima tahun, dan sesudahnya dapat

156

dipilih kembali dalam jabatan yang sama, hanya

untuk satu kali masa jabatan”.

Prioritas materi perubahan konstitusi yang

ditawarkan oleh masing-masing anggota Ad Hoc tentu

saja tidak seluruhnya berhasil diubah. Faktor waktu

yang sempit membuat PAH III sepakat untuk memeras

prioritas yang telah disepakati sebelumnya. Pointer

prioritas perubahan PAH III sebagaimana dipaparkan

pada bab sebelumnya dielaborasi dengan hasil

perubahan tahap I untuk mengetahui apakah perubahan

telah menyentuh substansi prioritas tersebut adalah

:118)

Pertama : pembahasan mengenai pemberdayaan

lembaga tertinggi negara (MPR) yang

terdapat pada Pasal 1 ayat (2), Pasal 2

ayat (1) dan (2), dan Pasal 3 UUD 1945.

Kedua : adalah pengaturan kekuasaan

pemerintah negara dan pembatasan masa

jabatan presiden yang termuat dalam

118) Suharizal dan Firdaus Arifin, Op.cit., hlm. 61.

157

Pasal 5 ayat (1), Pasal 7, Pasal 9,

Pasal 13 ayat (1) dan (2), Pasal 14, dan

Pasal 15 UUD 1945.

Ketiga : mengenai pemberdayaan Lembaga Legislatif

(DPR) yang tercantum dalam Pasal 17 ayat

(2) dan (3), Pasal 20 ayat (1) dan (2),

dan Pasal 21 ayat (1) dan (2) UUD 1945.

Dengan teknik perubahan addendum, ketentuan dalam

UUD terdahulu hanya mengalami penambahan saja

dengan tetap memberlakukan naskah aslinya (sebelum

perubahan). Untuk itu, penambahan Pasal pada

perubahan pertama tetap mengacu pada muatan

sebelumnya tanpa mengubahnya dengan ketentuan yang

sama sekali baru. Setelah dibandingkan dengan UUD

1945 hasil perubahan, keseluruhan prioritas

ketentuan yang direncanakan PAH III untuk diubah

tidak terdapat kriteria baru yang menyimpang dari

materi yang seharusnya diatur sebuah UUD. Sehingga

perubahan konstitusi tahap pertama tidak mengubah

158

bentuk atau jenis peraturan perundang-undangan

dengan materi yang diaturnya dan dianggap telah

sesuai.

1.3. Keharusan Mengikuti Prosedur atau Tata Cara

Tertentu

Di negara hukum yang melandaskan segala

sesuatunya atas aturan, cukup menjamin keseriusan

para penyelenggara pemerintahan untuk menjalankan

fungsinya berdasarkan hukum yang berlaku. Bahkan,

penyelewengan sekalipun “bermain cantik” dengan

membuat peraturan penunjang terlebih dahulu agar

tampak legal. Berbagai peraturan tersebut memang

“legal” karena beberapa di antaranya dibuat melalui

prosedur yang ditentukan. Peraturan yang dibuat

melalui prosedur yang ditentukan tidak dengan

sendirinya menjamin “kebenaran material”, memberi

keadilan, dan mewakili kebutuhan rakyat. Terbukti

masih sering terjadi demonstrasi dan gugatan

terhadap para pejabat yang mengeluarkan ketetapan

159

atas nama masyarakat. Teori relatifitas berperan

kembali dalam menyikapi permasalahan ini. Dengan

demikian tidak selamanya produk legislatif yang

dibuat secara prosedural telah mencerminkan

keinginan dan kebutuhan masyarakat banyak begitupun

sebaliknya.

Menyelidiki kesesuaian proses perubahan

konstitusi tahap pertama dengan prosedur perubahan

dimulai dari perangkat yuridis mengenai prosedur

perubahan konstitusi yaitu BAB XVI Mengenai

Perubahan Undang-Undang Dasar Pasal 37 UUD 1945

yang menyebutkan :

(1) Untuk mengubah Undang-undang Dasar sekurang–kurangnya 2/3 daripada jumlah anggota MajelisPermusyawaratan Rakyat harus hadir.

(2) Putusan diambil dengan persetujuan sekurang-kurangnya 2/3 daripada jumlah anggota yanghadir.

Pasal 37 tersebut mengandung tiga norma, yaitu : 119)

1. bahwa wewenang untuk mengubah UUD ada pada MPRsebagai Lembaga Tertinggi

119) Ni’matul Huda, Op.cit., hlm. 71.

160

2. bahwa untuk mengubah UUD kuorum yang harusdipenuhi sekurang – kurangnya adalah 2/3 dariseluruh jumlah anggota MPR;

3. bahwa putusan tentang perubahan UUD adalah sahapabila disetujui oleh sekurang – kurangnya2/3 dari anggota MPR yang hadir.

Pasal perubahan di dalam UUD 1945 ini dianggap

sangat sederhana karena semata-mata hanya mengatur

segi pengambilan putusan. Ni’matul Huda,

menjelaskan bahwa karena sifatnya yang simple maka

sulit untuk menerapkan ketentuan Pasal 37 tersebut.

Hal ini dikarenakan tidak adanya penjelasan bagian

mana saja yang boleh dan tidak boleh untuk diubah,

bgaimana cara mengubahnya dan seterusnya. Lebih

lanjut dikatakan Ni’matul ketentuan lain menyangkut

perubahan UUD 1945 muncul kemudian melalui

interpretasi historis dan filosofis oleh ketetapan

MPRS No. XX/MPRS/1966, bahwa Pembukaan UUD 1945

dinyatakan tak dapat diubah. Perubahan UUD 1945 ini

disandarkan lebih lanjut kepada referendum dalam

Ketetapan MPR No.IV/MPR/1983 jo UU No. 5 Tahun 1985

161

dan kini sudah dicabut dengan ketetapan MPR No.

VIII/MPR/1998.120)

Dengan kata lain, di samping ketentuan Pasal 37

UUD 1945 terdapat satu persyaratan untuk mengubah

konstitusi dalam bentuk Ketetapan MPR No.I/MPR1983

jo Ketetapan MPR No. VII/MPR/1988 jo UU No. 5 tahun

1985 tentang Referendum. Dapat dilihat dari

konsideran UU No. 5 tahun 1985 bahwa Majelis

Permusyawaratan Rakyat berketetapan untuk

mempertahankan Undang-Undang Dasar 1945, tidak

berkehendak dan tidak akan melakukan perubahan

terhadapnya, sebagaimana dinyatakan dalam Ketetapan

Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia

Nomor I/MPR/1983 tentang Peraturan Tata Tertib

Majelis Permusyawaratan Rakyat, dan Ketetapan

Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia

Nomor IV/MPR/1983 tentang Referendum, namun untuk

melaksanakan Pasal 3 Ketetapan Majelis

Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia Nomor IV/

120) Ibid., hlm. 141.

162

MPR/1983 tentang Referendum, perlu dibentuk Undang-

undang yang mengatur referendum.

Referendum dalam ketentuan umum diartikan

sebagai kegiatan untuk meminta pendapat rakyat

secara langsung mengenai setuju atau tidak setuju

terhadap kehendak Majelis Permusyawaratan Rakyat

untuk mengubah Undang-Undang Dasar 1945. Mengenai

waktu dan tempat pelaksanaan referendum diatur

dalam Pasal 7 yang menyatakan pemungutan pendapat

rakyat dilaksanakan dalam 1 (satu) hari dan

serentak di seluruh wilayah Negara Republik

Indonesia. Penjelasan yang cukup menegangkan bagi

para anggota MPR atau siapapun yang berniat untuk

mengubah, bagaimana tidak, referendum adalah suatu

persyaratan yang sulit diwujudkan terlebih lagi

ketika pemerintahan berada di bawah kepemimpinan

tangan besi.

Meskipun demikian, referendum merupakan salah

satu cara perubahan konstitusi yang diakui

sebagaimana dirumuskan C.F. Strong bahwa perubahan

163

konstitusi dapat dilakukan oleh rakyat melalui

suatu referendum. Jadi tidak ada yang salah dengan

persyaratan ini hanya saja tidak untuk diterapkan

di Indonesia yang tingkat pluralismenya tinggi dan

wilayahnya yang luas, serta kondisi perekonomian

maupun politik yang tidak kondusif. Dengan adanya

syarat referendum maka Konstitusi Republik

Indonesia dikatakan bersifat rigid atau kaku karena

persyaratan untuk mengubah konstitusinya tergolong

sulit.

Menyadari persyaratan untuk melakukan referendum

mengganjal upaya reformasi konstitusional, tindakan

pertama MPR saat itu adalah sedikit demi sedikit

“mempreteli” atribut orde baru dengan mengeluarkan

Ketetapan MPR No. VIII/MPR/1998 yang isinya

mencabut Ketetapan MPR tentang Referendum. Tidak

berhenti di situ, MPR juga melakukan “penyelamatan”

atas situasi serba tidak pasti pasca kejatuhan

Soeharto atau keadaan transisi dengan mengeluarkan

Ketetapan MPR No. XIII/MPR/1998 tentang Pembatasan

164

Masa Jabatan Presiden dan Wakil Presiden dan

Ketetapan MPR No. XVII/MPR/1998 tentang Hak Asasi

Manusia.

Manfaat dikeluarkannya TAP MPR Nomor

VIII/MPR/1998 langsung terasa karena pencabutan

syarat referendum adalah langkah awal desakralisasi

konstitusi. Berbeda halnya dengan dua ketetapan

lainnya yang dianggap tidak taat asas, keduanya

baik Ketetapan MPR No. XIII/MPR/1998 tentang

Pembatasan Masa Jabatan Presiden dan Wakil Presiden

telah mengubah Pasal 7 UUD 1945 yang berbunyi : “

Presiden dan Wakil Presiden memegang jabatan selama

masa lima tahun, dan sesudahnya dapat dipilih

kembali”. dan Ketetapan MPR No. XVII/MPR/1998

tentang Hak Asasi Manusia telah diatur dalam Pasal

27, Pasal 28, Pasal 29 ayat (2) merupakan perubahan

di luar kerangka UUD 1945 (buiten de grondwet) karena

secara tidak langsung menyentuh muatan UUD 1945

sebagaimana dinyatakan Krisna Harahap.121)

121) Krisna Harahap, Konstitusi Republik, Op.cit., hlm. 60.

165

Asas yang disimpangi adalah asas lex superiori derogat

lege inferiori bahwa ketentuan yang lebih tinggi

derajatnya mengesampingkan ketentuan yang

derajatnya lebih rendah. Permasalahannya, mengacu

pada ketentuan tata urutan perundang-undangan yang

berlaku saat itu Ketetapan MPRS No.XX/MPRS/1966

menempatkan Ketetapan MPR pada urutan kedua setelah

UUD 1945. Oleh sebab itu, TAP MPR tidak mungkin

mengubah UUD 1945 yang tingkatannya lebih tinggi.

Jalan keluar permasalahan di atas adalah adanya

kesepakatan bahwa bentuk hukum perubahan UUD 1945

dinamakan perubahan UUD, yang merupakan produk

hukum baru dan tingkatannya sederajat dengan UUD.

Situasi demikian mengisyaratkan bahwa TAP MPRS

No.XX/MPRS/1966 tidak dapat lagi dipertahankan

sebagai sumber tertib hukum dan tata urut peraturan

perundang-undangan Indonesia.122) Itu artinya

ketetapan MPR yang telah mengubah ketentuan dalam

diberikan predikat atau istilah baru yaitu istilah

122) Suharizal dan Firdaus Arifin, Op.cit., hlm. 68.

166

perubahan UUD yang kedudukannya akan dijadikan

setingkat UUD.

Sejauh ini kesepakatan menjadikan perubahan UUD

sebagai produk hukum baru masih berupa wacana,

karena pengaturan tata urutan peraturan perundang-

undangan baik TAP MPR RI Nomor III/MPR/2000

tentang Sumber Hukum dan Tata Urutan Peraturan

Perundang-undangan maupun berdasarkan UU No.10 th

2004 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-

undangan tidak ada yang mencantumkan perubahan UUD

sebagai salah satu dari bentuk peraturan perundang-

undangan. Maka penyimpangan terhadap tata urutan

peraturan perundang-undangan tetaplah penyimpangan.

Pengaruh penyimpangan terhadap validitas

perubahan konstitusi secara umum disimpulkan tidak

lantas membatalkan hasil perubahan tahap pertama.

Karena persyaratan perubahan melalui referendum

dibuat dalam bentuk Ketetapan MPR dan dicabut dalam

bentuk yang sama. Sedangkan untuk Ketetapan MPR No.

XIII/MPR/1998 tentang Pembatasan Masa Jabatan

167

Presiden dan Wakil Presiden telah mengubah Pasal 7

UUD 1945 dianulir dengan memasukkannya dalam

perubahan konstitusi tahap pertama. Menanggapi hal

ini Mochamad Isnaeni R. menyatakan:123)

Kesalahan MPR 1997-2002 kemudian dikoreksi olehMPR-hasil pemilihan umum 1999- dalam Sidang Umum yangdiselenggarakan pada tanggal 14 Oktober sampaidengan 21 Oktober 1999 dan menghasilkanPerubahan Pertama UUD 1945 yang mengangkatrumusan Ketetapan MPR-RI No. XIII/MPR/1998tentang Pembatasan Masa Jabatan Presiden dan WakilPresiden Republik Indonesia (13 November 1998) dalamPerubahan Pasal 7 UUD 1945.

Kekuatan politik berperan sebagai alasan

pembenar dan melahirkan berbagai dalih klasik

seperti : persyaratan referendum telah membelenggu

kesempatan perubahan konstitusi; mencegah terulang

kembali praktek mendirikan dinasti (d.h.i

pembatasan masa jabatan presiden); membatasi ruang

gerak pemerintahan beserta kroni terdahulu yang

sewaktu-waktu dapat mengambil alih kekuasaan karena

kondisi negara yang belum stabil (masa transisi);

upaya memperbaiki tatanan kehidupan bernegara dalam

123) Mochamad Isnaeni R dalam Sri Soemantri, Op.cit., hlm. 267

168

waktu singkat. Keseluruhan alasan berbau politis

tersebut pada intinya menyelamatkan bangsa dari

praktik penyelewengan kekuasaan. Bahkan, Krisna

Harahap menuliskan bahwa yang sebenarnya, betapa

pun kakunya suatu konstitusi bila kekuatan politik

yang sedang berkuasa ingin mengubahnya, perubahan

akan terjadi, dan argumen ini berlaku untuk hal

sebaliknya.124)

Indonesia sebagai negara hukum seharusnya tidak

membiarkan muatan konstitusi yang menjadi

fundamental law dan grundnorm bagi kehidupan

bernegaranya sebagai produk yang asal jadi.

Sebagaimana diketahui, bahwa UUD 1945 mengatur

seruan paham konstitusi, yaitu anatomi kekuasaan

tunduk kepada hukum (supremasi hukum). Pada umumnya

negara seperti ini mensyaratkan cara mengubah yang

memerlukan prosedur yang lebih berat daripada

pembuatan undang-undang.

124) Krisna Harahap, Konstitusi Repubik, Op.cit., hlm. 9.

169

Dihubungkan dengan pendapat Wheare, menempatkan

konstitusi pada kedudukan yang tinggi (supreme) ada

semacam jaminan bahwa:

“Konstitusi itu akan diperhatikan dan ditaatidan menjamin agar konstitusi tidak akan dirusakdan diubah begitu saja secara sembarangan.Perubahannya harus dilakukan secara hikmat,penuh kesungguhan dan pertimbangan yangmendalam. Agar maksud ini dapat dilaksanakandengan baik maka perubahannya pada umumnyamensyaratkan adanya suatu proses dan proseduryang khusus atau istimewa.” 125)

Beranjak dari pemaparan di atas, langkah

berikutnya adalah menyesuai-kan sistem dan prosedur

perubahan konstitusi dengan pelaksanaan perubahan

itu sendiri, berikut ini cek silang kesesuaian

tersebut :

No. Sistem dan ProsedurPerubahan

Sistem dan Prosedurdalam Praktik

1 Cara perubahan konstitusi:

formal Amendment, yaitu

perubahan yang diatur dalam

konstitusi.

Cara perubahan konstitusi:

perubahan tahap pertama

dilakukan dengan cara formal

Amendment, perubahan diatur

dalam konstitusi yaitu Pasal125) Wheare dalam Dahlan Thaib, dkk., Op.cit., hlm 65.

170

37 ayat (1) dan (2) UUD 1945

mengenai Perubahan UUD 1945/

Konstitusi.

2 Sistem/teknik : Addendum,

ketentuan dalam UUD

terdahulu hanya mengalami

penambahan saja dengan

tetap memberlakukan naskah

aslinya (sebelum

perubahan).

Sistem/teknik : Addendum,

perubah-an terhadap 9 Pasal

(16 butir keten-tuan) tidak

menggantikan UUD 1945

melainkan berupa penambahan

dengan tetap memberlakukan

naskah aslinya.

3 Prosedur : berdasarkan

Pasal 37 UUD 1945 terdapat

3 norma, yakni:

1. Bahwa wewenang untukmengubah UUD ada padaMPR sebagai LembagaTertinggi

Prosedur : perubahan tahap

pertama didasarkan pada Pasal

37 UUD 1945, sebagaimana

berikut:

1. wewenang untuk mengubahUUD ada pada MPR sebagaiLembaga Tertinggi denganmembentuk Panitia Ad HocIII (PAH III) dengan tugasdan wewenang membicarakandan memusyawarahkan usulamandemen/ perubahan.Dasar yuridisnya adalahKeputusan Badan PekerjaMPR-RI No. 2/BP/1999.

Setelah PAH IIImelaporkan hasil kerjanya,maka melalui Keputusan MPRNo.5/MPR/1999, MPR mem-bentuk Komisi C yangbertugas untuk

171

2. Bahwa untuk mengubah UUDkuorum yang harusdipenuhi sekurang –kurangnya adalah 2/3dari seluruh jumlahanggota MPR;

3. Bahwa putusan tentangperubahan UUD adalah sahapabila disetujui olehsekurang – kurangnya 2/3dari anggota MPR yanghadir.

memusyawarahkan danmengambil putusan mengenaiRancangan Putusan MPR RItentang Perubahan UUD1945.

Selanjutnya, hasilkerja Komisi C dilaporkanpada Rapat Paripurna yangmelibatkan seluruh anggotaMPR.

2. Agenda Rapat Paripurna ke-12, adalah Laporan Komisi-komisi Majelis yangdilanjutkan agendaPendapat Akhir Fraksi-fraksi terhadap HasilKomisi-komisi. Di dalamnyadibahas mengenaikesepakatan seluruh fraksimengenai hasil kerjaKomisi C.Pada tahap ini perubahan

konstitusi yang sebenarnyatengah berlangsung, jadijumlah kuorum yangdibutuhkan untukmengetahui sah tidaknyaper-ubahan perludibuktikan dengan datayang kredibel sebagaimanaberikut :Berdasarkan rekapitulasi

daftar hadir RapatParipurna ke-12 sidangumum MPR-RI tahun 1999(lanjutan) pada hariselasa, 19 Oktober1999 :126) - jumlah anggota : 695 orang.

- hadir : 654 orang.- belum hadir : 41.- perhitungan minimal 2/3 X 695 = 463 orang.

126) Keterangan lebih lanjut lihat pada lampiran.

172

Kesimpulannya : Rapattelah memenuhi kuorum.

3. Hasil akhir perubahankonstitusi ditentukan padarapat yang sama yaituRapat Paripurna ke-12.Untuk menghitung syaratsah perubahan harusdisetujui oleh sekurang-kurangnya :- jumlah anggota yang hadir : 654 orang.

- 2/3 X 654 = 436 orang.Sesuai dengan Tata

Tertib MPR mengenaiPengambilan KeputusanMajelis yaitu Pasal 79ayat (1) dikata-kan bahwa“ pengambilan keputusanpada asasnya diusahakansejauh mungkin denganmusyawarah untuk mencapaimufakat; apabila tidakmungkin, putusan diambilberdasar-kan suaraterbanyak”. Cara pertama pengambilan

keputusan adalah melaluimusyawarah untuk mencapaimufakat, sedangkan votingatau keputusan berdasarkansuara terbanyak adalahalternatif kedua.Penerapannya padapengambilan keputusandalam perubahan tahappertama ini bahwapersetujuan majelis tidakdilakukan berdasarkanpengambilan suaraterbanyak, melainkanmusya-warah untuk mufakat.Karena itu voting tidakperlu dilakukan.Persetujuan majelis

disimpul-kan oleh Ketua

173

MPR RI, Amin Rais sebagaiberikut

“ … Sidang Majelis yang sayahormati adapun Rancangan-Rancangan Ketetapan MPR yangtelah mendapatkan kesepakatansemua fraksi adalah:

1. Rancangan perubahanUndang-undang DasarNegara Republik IndonesiaTahun 1945”.

Kesimpulannya, perubahankonstitusi tahap pertamatelah mendapat persetujuanmelaui musyawarah untukmufakat yang sah sebagaikeputusan bersama.

Sehubungan dengan tabel di atas yang memberikan

komparasi secara terbuka mengenai kesesuaian antara

ilmu teoritis dengan praktik di lapangan. Maka,

dapat disimpulkan bahwa perubahan tahap pertama

konstitusi Republik Indonesia telah sesuai dengan

sistem dan prosedur yang ditentukan. Di bawah ini

bagan prosedur perubahan UUD 1945 untuk memudahkan

mengetahui alur perubahan yang seharusnya dan

alternatif yang dapat digunakan. Prosedur perubahan

cara pertama adalah prosedur yang digunakan oleh

Majelis untuk perubahan tahap pertama.

174

d i t e r u s k a n

Ajukan usul perubahan

Anggota-anggotaMPR

45 orang

Majelis Permusyawaratan

Rakyat

dibahasDiterima/ditolak

Badan Pekerja MPR

dipersiapkan

diumumkanLembar NegaraMajelis

Permusyawaratan Rakyat

3/4 setuju

(5)

d i s a m p a i k a n

(3)melaporkan

(4)

BAGAN

Prosedur Perubahan UUD 1945127)

Cara I*

(1)

(2)

127 Sri Soemantri, Op.cit., hlm. 355-356

membentukPanitia Negaramempelajari &mempersiapkan

175

membentuk

m e m o r a n d u m

Ajukan usul perubahan

Anggota-anggotaDPR

30 orang

Dewan Perwakilan Rakyat

dibahasDiterima/ditolak

Badan Pekerja MPR dipersiapkan

Panitia Negara mempelajari & mempersiapkan

rancangan keputusan

diumumkanLembar NegaraMajelis

Permusyawaratan Rakyat

3/4 setuju

(5)

m e n y a m a i k a n

(3)Melaporkan

(4)

* Cara yang digunakan Perubahan UUD 1945 Tahap

Pertama.

BAGAN

Prosedur Perubahan UUD 1945

Cara II

(1)

(2)

176

177

1.4. Keharusan Tidak Bertentangan dengan Peraturan

Perundang-undangan yang Lebih Tinggi

Tingkatannya

Hierarki peraturan perundang-undangan yang berlaku

mengkukuhkan kedudukan Undang-Undang Dasar 1945 atau

Konstitusi berada pada tingkatan tertinggi.

Menempatkan konstitusi pada derajat tertinggi

berarti mengakui supremasi konstitusi (Supremasi Law)

yang artinya konstitusi harus ditaati baik oleh

rakyat maupun oleh alat-alat kelengkapan negara

termasuk juga bagi badan pembuat konstitusi itu

sendiri. Derajat tertinggi di antara peraturan

perundang-undangan lainnya yang disandang konstitusi

tidak membuat ia menjadi satu-satunya ketentuan

hukum yang dijadikan acuan. Kedudukan konstitusi

dalam suatu negara bisa dipandang dari dua aspek,

yaitu aspek hukum dan aspek moral.

Pertama, Konstitusi dilihat dari aspek hukum

mempunyai derajat tertinggi Supremasi. Dasar

178

pertimbangan supremasi konstitusi itu adalah karena

beberapa hal:128)

a. Konstitusi dibuat oleh Badan Pembuat Undang-Undang atau lembaga-lembaga.

b. Konstitusi dibentuk atas nama rakyat, berasaldari rakyat, kekuatan berlakunya dijamin olehrakyat, dan ia harus dilaksanakan langsungkepada masyarakat untuk kepentingan mereka.

c. Dilihat dari sudut hukum yang sempit yaitudari proses pembuatannya, konstitusiditetapkan oleh lembaga atau badan yangdiakui keabsahannya.

Mengenai pembuktian bahwa Indonesia termasuk

negara hukum yang memberlakukan dan melaksanakan

seluruh ketentuan di atas dapat dilihat pada

pembahasan sebelumnya.

Kedua, jika konstitusi dilihat dari aspek moral

landasan fundamental, maka konstitusi berada di

bawahnya. Dengan kata lain, konstitusi tidak boleh

bertentangan dengan nilai-nilai universal dari

etika moral. Oleh karena itu dilihat dari

constitutional philoshopy, apabila aturan konstitusi

bertentangan dengan etika moral, maka seharusnya

128) Dahlan Thaib, dkk., Op.cit., hlm 61.

179

konstitusi dikesampingkan. William H. Seward

mencontohkan bahwa konstitusi yang mengesahkan

perbudakan sudah sewajarnya tidak dituruti. Contoh

lain seandainya konstitusi melegalisir sistem

apartheid, dengan sendirinya ia bertentangan dengan

moral.129)

Kembali ke masalah kedudukan konstitusi yang

secara hukum dikatakan tidak ada aturan lain yang

lebih tinggi. Konsekuensi logis yang timbul, bahwa

terdapat kebuntuan dalam menelusuri bentuk

peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi

sehingga tidak perlu lagi dipermasalahkan.

Membandingkan konstitusi dilihat dari aspek moral,

maka kedudukan konstitusi tidak lagi superior. Ada

hal lain yang dianggap lebih fundamental dan

merupakan jati diri bangsa. Moral dijadikan

postulat dalam tindak tanduk manusia secara

universal. Dasar filosofis inilah yang

melatarbelakangi para pendiri negara merumuskan

129) K.C. Wheare dalam Ibid., hlm. 62.

180

konstitusi dalam bentuk tertulis yang disebut

Undang-Undang Dasar 1945.

Diumpamakan ruh, maka dasar filosofis ini

ditiupkan kepada UUD 1945 agar “lebih hidup” dan

mencerminkan jiwa bangsa. Nilai-nilai filosofis itu

digali dari aturan-aturan dasar yang tidak tertulis

yang berkembang dan terpelihara dalam praktik

ketatanegaraan yang keseluruhannya mengikat warga

negara sebagai hukum. Prinsip kenegaraan yang

berlandaskan Ketuhanan Yang Maha Esa; Kemanusiaan

yang adil dan beradab, Persatuan Indonesia dan

Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan

dalam Permusyawaratan/ Perwakilan, serta dengan

mewujudkan suatu Keadilan Sosial bagj seluruh rakyat

Indonesia sebagaimana termuat dalam Pembukaan UUD

1945. Lima prinsip ini dikenal dengan istilah

Pancasila.

Batang Tubuh UUD 1945 merupakan pengejawantahan

Pembukaan UUD 1945 dengan Pancasila di dalamnya.

Dengan demikian, perubahan terhadap Batang Tubuh UUD

181

1945 secara otomatis tidak boleh bertentangan dengan

Pembukaan UUD 1945 itu sendiri. Konklusi dari 9

pasal (16 diktum) yang diubah maka perubahan

konstitusi tahap pertama memiliki orientasi untuk

memberdayakan lembaga tertinggi negara; mengatur

kekuasaan pemerintah negara dan membatasi masa

jabatan presiden sekaligus kekuasaan yang menumpuk

di lembaga eksekutif; memberdayakan Lembaga Legislatif

(DPR).

Mengingat hasil perubahan tahap pertama konstitusi

yang pada hakekatnya upaya preventif terulangi

kediktatoran pemerintah dipengaruhi idealisme dan

semangat reformasi, maka Majelis mendominasi

keinginan untuk memper-sempit ruang gerak pemerintah

dalam arti sempit yang disimbolkan dengan kewenangan

presiden. Suatu pemikiran yang sewajarnya timbul

dari pihak manapun juga sepanjang tidak secara

konstitusional mempolitisir perubahan konstitusi

sebagai langkah untuk menghilangkan sebagian besar

kewenangan Presiden. Bila terjadi demikian, akal

182

sehat manapun tidak akan menerima hasil perubahan

tersebut sebagai preseden yang baik. Pada

prinsipnya, keberlakuan dari semua kaidah hukum yang

termasuk ke dalam sebuah tatanan hukum tertentu

timbul (berasal) dari konstitusi. Sedangkan, dilihat

secara moral konstitusi merupakan perwujudan dari

kaidah yang lebih tinggi yaitu Pancasila.

Dihubungkan dengan kaidah-kaidah dalam Pembukaan UUD

1945 atau Pancasila, maka perubahan tahap pertama

konstitusi disimpulkan tidak menyimpang dari koridor

hukum ataupun moral yang terkandung pada Pembukaan

UUD 1945 itu sendiri.

2. Kajian dari Sudut Filosofis

Setelah secara panjang lebar diuraikan mengenai

latar belakang dan proses MPR melakukan perubahan di

sub bab sebelumnya dan kajian yuridis yang dipaparkan

memberi suatu pernyataan bahwa secara umum perubahan

tahap pertama konstitusi telah memenuhi unsur-unsur

yuridis. Bila unsur yuridis adalah salah satu unsur

yang telah terpenuhi maka saatnya melakukan kajian

183

terhadap perubahan tahap pertama konstitusi dikaji

secara filosofis.

Berfikir secara filosofis berarti berfikir secara

sistematis dengan menggunakan logika berpikir yang baik

dan benar. Memberikan kejelasan tantang sifat khas

(hakikat) dari ide hukum atau cita-hukum (rechtssidee)

adalah tugas penting filsafat hukum. Mengingat filsafat

hukum adalah sebuah “sistem terbuka” yang di dalamnya

semua tema dipertautkan satu dengan lainnya.130)

Berkaitan dengan hal tersebut, maka kajian filosofis

ini akan membahas kajian filosofis perubahan konstitusi

secara umum; Pembukaan UUD 1945 dalam kerangka filsafat

hukum yang di dalamnya termuat alasan tidak diubahnya

Pembukaan UUD 1945 oleh MPR.

a. Kajian Umum Filosofis Perubahan Konstitusi Tahap

Pertama

Keadilan menjadi sesuatu yang sangat didamba-

dambakan oleh setiap manusia di manapun ia berada.

130) D.H.M. Meuwissen, Pengembangan Hukum, Ilmu Hukum, Teori Hukumdan Filsafat Hukum (diterjemahkan oleh B. Arief Sidharta), Bandung:Diktat Kuliah, 2006, hlm. 14.

184

Keadilan adalah suatu kebutuhan mengenai bagaimana ia

ingin diperlakukan dan kewajiban bagaimana ia harus

memper-lakukan orang yang lainnya. Dalam filsafat hukum

keadilan merupakan tujuan akhir yang ingin dicapai oleh

hukum, karena menurutnya hukum harus senantiasa

mencerminkan keadilan. Indonesia sebagai negara hukum

yang memiliki UUD 1945 atau konstitusi sebagai

perangkat yuridis sekaligus politis kehidupan bernegara

mencitakan keadilan, ketertiban dan kesejahteraan

bangsa.

Syarat atau unsur negara hukum menurut Philipus M.

Hadjon salah satunya adanya undang-undang dasar atau

konstitusi yang memuat ketentuan tertulis tentang

hubungan antara penguasa dan rakyat. Nada yang sama

dirumuskan Friedrich Julius Stahl dengan redaksional

pemerintahan didasarkan pada undang-undang.

Dielaborasikan dengan pandangan hukum alam yang diusung

Marsillius dalam bidang filsafat politik, yakni tentang

negara sebagai masyarakat yang lengkap. Menurut

Marsillius negara adalah rakyat, yang secara bebas

185

membangun hidup bersama melalui wakil-wakilnya demi

kepentingan umum. Tugas utama negara adalah membentuk

undang-undang yang adil. Kekuasaan legislatif yang

membentuk undang-undang itu harus dianggap sebagai

kekuasaan tertinggi. Kekuasaan eksekutif berada di

bawah kekuasaan legislatif.131)

Penerapan bahwa kekuasaan eksekutif lebih rendah

dari kekuasaan legislatif menginspirasi MPR pada

perubahan pertama konstitusi untuk memberi lembaga

legislatif kekuasaan yang lebih besar dan membatasi

kekuasaan. Kekuasaan eksekutif sebelum perubahan memang

sangat besar dan leluasa, hal ini mendorong terjadinya

penyalahgunaan kekuasaan dan terjadinya suatu sindrom

kekuasaan. Sindrom haus untuk meraih kekuasaan yang

lebih besar dan mempertahankannya dengan menghalalkan

segala apapun.

Menariknya, sindrom haus kekuasaan tidak memandang

bulu, itu artinya dengan kekuasaan yang besar pada

lembaga legislatif bukan berarti tidak akan terjadi

131) Theo Huijbers, Op.cit., hlm.53.

186

penyelewengan dan penyalahgunaan kekuasaan.

Kontradiktif dengan pendapat Marsillius, aliran

positivisme memiliki pembenaran atas besarnya kekuasaan

Presiden132) yang menjadi pucuk pimpinan negara. Jean

Bodin sebagai salah satu penganutnya melempar suatu ide

kedaulatan (souverainité). Maksudnya bahwa dalam negara

terdapat suatu kekuasaan atas warga-warga negara yang

dibatasi oleh suatu kekuasaan lain, pun pula tidak

terikat pada undang-undang. Menurut Bodin seorang raja

mempunyai kedaulatan itu.133)

Indonesia sebagai negara hukum harus memahami bahwa

hubungan antara negara dengan hukum merupakan hubungan

timbal balik. Hal ini dikemukakan oleh J.W.M. Engels

disadur oleh Krisna Harahap kekuasaan (negara) tanpa

hukum, tidak memiliki kewibawaan, sedangkan hukum tanpa

sanksi, sulit ditegakkan. Dalam hubungan tersebut,

hukum melegitimasi negara, sedangkan negara

132) Presiden sebagai istilah Pemimpin Negara berbentukRepublik atau Kesatuan, di negara Monarki atau Kerajaan dapatdisebut sebagai Raja, Sultan atau istilah lainnya.

133) Theo Huijbers, Op.cit., hlm. 57.

187

mempositifkan dan menegakkan hukum.134) Mengacu pada

syarat lainnya yaitu pembagian kekuasaan baik itu tugas

dan wewenang antar lembaga negara yang adil sehingga

proses check and balances dapat berjalan. Maka, bergesernya

pemusatan kekuasaan dari eksekutif menuju legislatif

pada perubahan pertama konstitusi tidak membawa

perubahan yang terlalu substansial apabila melihat efek

yang dapat terjadi dari pembagian yang tidak seimbang

atau tetap memusatkannya pada salah satu lembaga

negara. Kekuasaan yang terbagi secara proporsional

seharusnya menjadi prioritas MPR bukan lantas

menumpukkannya pada lembaga negara lain.

Di akhir pembahasan latar belakang perubahan

konstitusi tahap pertama sub bab sebelumnya disimpulkan

bahwa faktor yang melatarbelakangi perubahan tidak

hanya faktor legal saja melainkan faktor non legal

seperti historis, filosofis, dan sosial politis.

Keseluruhan faktor tersebut nyata mempengaruhi

perubahan konstitusi, karena demikianlah realitas134) J.W.M. Engels dalam Krisna Harahap, Konstitusi Republik,

Op.cit., hlm. 11.

188

situasi kondisi saat itu. Kemungkinan hasil perubahan

konstitusi condong pada salah satu faktor memang ada,

bahkan pada perubahan secara keseluruhan yaitu tahap

pertama hingga empat diakui sebagai produk legislasi

pesanan “sponsor domestik maupun asing” dan reformasi

yang kebablasan.

Beberapa aliran filsafat hukum membaca situasi

seperti ini sebagai suatu perenungan yang melahirkan

teori pembenaran atau mungkin menjadi anti tesis yang

menumbangkan teori lainnya sehingga didapat sintesis

yang baru. Bagaimana dengan Indonesia, aliran filsafat

hukum apa yang memberi pengaruh terhadap pola berpikir

para anggota majelis. Sehingga dengan sangat percaya

diri tidak membuat kajian filosofis terlebih dahulu

secara komprehensif sebelum melakukan perubahan.

Orientasi MPR pada perubahan tahap pertama adalah

pembatasan kekuasaan eksekutif yang hasilnya menggeser

kekuasaan tersebut pada kekuasaan legislatif. Tepat

atau tidaknya langkah MPR menggeser kekuasaan tersebut

189

diuji oleh teori filsafat hukum mengenai negara,

kekuasaan dan hukum itu sendiri.

Hukum, cenderung sulit untuk tidak keluar jalur

bila dipengaruhi oleh terlalu banyak faktor dan

kepentingan non hukum sebagaimana dikemukakan Hans

Kelsen dengan teori murni tentang hukumnya. Kelsen

mengatakan, bahwa hukum itu harus dibersihkan dari

anasir-anasir yang tidak yuridis seperti etis,

sosiologis, politis, ekonomi dan sebagainya. Dari unsur

etis berarti, konsepsi hukum Hans Kelsen tidak memberi

tempat bagi berlakunya suatu hukum alam. Etika

memberikan suatu penilaian tentang baik dan buruk.

Ajaran Kelsen menghindari diri dari soal penilaian ini.

Dari unsur sosiologis berarti bahwa ajaran hukum Hans

Kelsen tidak memberi tempat bagi hukum kebiasaan yang

hidup dan berkembang di dalam masyarakat.135)

Ajaran hukum Kelsen hanya memandang sollen yuridis

semata-mata yang sama sekali terlepas dari das

sein/kenyataan sosial. Hukum merupakan sollenskatagori

135) Lili Rasjidi, Dasar-dasar..., Op.cit., Hlm. 61.

190

dan bukan seinskatagori : orang menaati hukum karena ia

merasa wajib untuk menaatinya sebagai suatu kehendak

negara. Hukum itu tidak lain merupakan suatu kaidah

ketertiban yang menghendaki orang menaatinya

sebagaimana seharusnya. Yang membeli barang seharusnya

membayar. Apakah dalam kenyataan si pembeli itu

membayar atau tidak, itu soal yang menyangkut kenyataan

dalam masyarakat dan hal itu bukan menjadi wewenang

illmu hukum.136)

Indonesia sendiri bersumberkan hukum yang tidak

saja berbentuk tertulis melainkan yang tidak tertulis,

contohnya hukum adat yang hingga saat ini masih

berlaku. Bagi beberapa ahli tata negara, Indonesia

memiliki konsep negara hukum Pancasila137) dalam arti

negara yang berdasarkan filsafat Pancasila yang

menjunjung tinggi faham kekeluargaan. Bahkan, konsep

Pancasila digali dan diserap dari aspirasi dan jiwa

bangsa Indonesia lengkap dengan segala atribut

136) Ibid.137) Konsep negara Pancasila diutarakan oleh Sri Soemantri

dalam Bunga Rampai Hukum Tata Negara .

191

kebudayaan, ketuhanan, politik, ekonomi, dan

sosiologis. Di samping itu, nilai-nilai universal yang

terdapat dalam Pancasila sebagai sumber hukum material

berhubungan erat dengan teori hukum alam.

Situasi ini menjadi dilematis ketika ajaran teori

murni tentang hukum secara langsung maupun tidak

langsung mendapat tekanan dari aliran lainnya. Apabila

dihubungkan dengan faktor perubahan baik itu historis,

filosofis, dan sosial politis semuanya memiliki dasar

pembenarannya masing-masing. Logisnya, sumber hukum

tidak hanya berasal dari sumber hukum formal (wellbron)

saja melainkan sumber hukum material (kenbron). Bahkan

seharusnya sumber hukum formal mengacu pada sumber

hukum material tersebut untuk dijadikan Undang-Undang

Dasar yang merupakan wujud dari hukum formal.

Krisnayadi menyatakan bahwa sumber hukum material

merupakan faktor-faktor yang turut serta menentukan isi

hukum, dan faktor-faktor tersebut adalah faktor-faktor

ideal dan faktor kemasyarakatan. Faktor ideal adalah

pedoman yang tetap tentang keadilan yang harus ditaati

192

oleh pembentuk Undang-undang atau lembaga-lembaga

pembentuk hukum serta aparat pemerintah lainnya dalam

menjalankan tugas dan mengelola negara yaitu ketertiban

dan kesejahteraan umum. Faktor kemasyarakatan adalah

hal-hal yang aktual yang hidup dalam masyarakat berupa

kenyataan-kenyataan yang patuh pada ketentuan-ketentuan

yang berlaku dalam masyarakat tersebut.138)

Lebih lanjut Krisnayadi mengatakan, kenyataan yang

hidup tersebut merupakan bahan bagi perencana pembentuk

undang-undang dan dengan bantuan faktor ideal dijadikan

hukum. Tergolong dalam faktor kemasyarakatan meliputi

struktur ekonomi, kebiasaan yang telah membaku dalam

masyarakat yang terus tumbuh dan berkembang dan pada

tingkat tertentu ditaati sebagai pola tingkah laku yang

tetap, hukum positif, tata hukum negara lain, keyakinan

tentang agama dan kepercayaan kepada Tuhan Yang Maha

Esa termasuk juga kesusilaan dan kesadaran hukum

masyarakat.

138) Krisnajadi, Bab-bab Pengantar Ilmu Hukum Bagian I, Bandung :STHB Press, tanpa tahun, hlm. 71-72.

193

Melalui paradigma bahwa sumber konstitusi meliputi

sumber hukum formal dan material, maka perlu ditelusuri

dari mana kaidah konstitusi tersebut memperoleh

keberlakuannya. Kaidah konstitusi mewujudkan tataran

tertinggi yang memperoleh dan melandaskan

keberlakuannya dari grundnorm. Dwidja Priyatno

menyatakan, grundnorm memang landasan keberlakuan

tertinggi dari sebuah tatanan hukum, namun ia sendiri

bukanlah sebuah kaidah hukum karena ia tidak memiliki

positivitas. Grundnorm bukanlah kaidah yang ditetapkan

oleh orang (manusia) secara eksplisit ataupun secara

diam-diam. Lebih dari itu, ketidakpatuhan terhadap

grundnorm tidak terdapat sanksi (tidak ada sanksinya)

seperti yang terjadi pada kaidah-kaidah hukum.

Grundnorm adalah kaidah yang diandaikan dalam pemikiran

manusia dan bukan kaidah yang dikehendaki. Grundnorm

itu adalah sebuah kaidah hipotetikal, atau sebuah fiksi

sebagaimana yang telah dikatakan oleh Kelsen sendiri.

194

(Jadi, Grundnorm itu tidak gesetzt, melainkan

vorausgesetzt).139)

Terbentuknya grundnorm bagi ketatanegaraan Indonesia

diletakkan pertama kali oleh para pendiri bangsa dan

sejak saat itu menjadi postulat hukum tersendiri.

Paparan mengenai latar belakang perubahan konstitusi di

awal pembahasan menunjukkan, bahwa masa kemerdekaan

merupakan alasan utama dibentuknya konstitusi Indonesia

karena pembentukan UUD suatu negara selalu didahului

dan beriringan dengan sejarah berdirinya suatu negara.

Seperti halnya UUD 1945, yang dibentuk beriringan

dengan pernyataan kemerdekaan Indonesia.

Sedangkan penentu desakralisasi konstitusi di era

reformasi adalah reformasi itu sendiri. Menurut Dwidja,

sebuah tatanan hukum dapat kehilangan legimitasinya

jika terjadi revolusi karena tatanan hukum lama akan

terjungkal dan terbentuk sebuah tatanan hukum baru.

Revolusi di sini diartikan sebagai sebuah perubahan

139) Dwidja Priyatno, Grundnorm-nya Hans Kelsen, (bahan kuliahFilsafat Hukum Sekolah Tinggi Hukum Bandung): Bandung, 2006, hlm.1-3.

195

pemerintahan yang inkonstitusional; sebuah pemutusan

dengan tatanan hukum lama. Syaratnya adalah bahwa

revolusi itu berhasil dan mampu mempertahankan diri

terhadap pengemban kekuasaan (para penguasa) dan

tatanan hukum terdahulu, dengan kata lain: efektif.

Jika hal ini dipenuhi maka terdapatlah sebuah tatanan

hukum baru yang efektif yang bertumpu di atas sebuah

Grundnorm yang baru.140) Namun, perlu ditegaskan kembali

bahwa yang terjadi di Indonesia bukanlah revolusi

melainkan reformasi yang konstitusional sehingga

grundnorm yang lama masih tetap berlaku. Baik awal

kemerdekaan dan reformasi keduanya merupakan bukti

bahwa setiap peristiwa konstitusional dipengaruhi suatu

perjalanan waktu yang dibingkai oleh sejarah.

Dasar pembenaran faktor historis sebagai unsur yang

mempengaruhi perubahan konstitusi, karena faktor

sejarah sebagai suatu gejala masyarakat

melatarbelakangi perubahan konstitusi tidak akan lepas

dari pertimbangan seluruh teoritisi maupun praktisi

140) Dwidja Priyatno, Grundnorm-nya…, Ibid., hlm. 3.

196

dalam menyelenggarakan aktivitas ketatanegaraan.

Sejarah di masa lalu merupakan preseden bagi masa kini

dan masa depan. Oleh karena itu, tidaklah mungkin suatu

peristiwa ketatanegaraan yang konstitusional tidak

diimbangi dengan pertimbangan sejarah. Selain itu,

sejarah perlu untuk diketahui sebagai pembelajaran

masyarakat yang hidup kemudian. Sehingga masyarakat

masa kini dapat melakukan perbaikan, pengembangan ide,

gagasan dan penyempurnaan kekurangan di masa lalu.

Begitu pun dengan perubahan konstitusi tahap

pertama, hal ini dibenarkan oleh F. von Savigny, hukum

merupakan salah satu faktor dalam kehidupan bersama

suatu bangsa, seperti bahasa, adat, moral, tatanegara.

Oleh karena itu hukum adalah sesuatu yang bersifat

supra-individual, suatu gejala masyarakat. Tetapi suatu

masyarakat lahir dalam sejarah, berkembang dalam

sejarah dan lenyap dalam sejarah. Nyatalah hukum yang

termasuk masyarakat ikut serta dalam perkembangan

organis itu. Lepas dari perkembangan masyarakat tidak

197

terdapat hukum sama sekali.141) Konsep orisinil dari

mazhab sejarah ini adalah hukum itu tidak dibuat,

tetapi tumbuh dan berkembang bersama masyarakat.

Menurut von Savigny, untuk dapat merumuskan suatu

hukum yang sesuai dengan jiwa bangsa, perlu diselidiki

dulu apa sebenarnya semangat dan jiwa bangsa, manakah

keyakinan-keyakinan bangsa yang dapat menjadi dasar

sesuatu tatahukum yang memadai. Kalau hal ini

dilalaikan, maka timbullah bahaya adanya jurang antara

jiwa bangsa dan hukum yang terkandung dalam tatahukum

negara. Oleh karena hukum berkembang dalam sejarah,

maka menurut von Savigny terlebih dahulu perkembangan

hukum perlu dipelajari secara ilmiah historis, sebelum

hukum itu dikodifikasi.142) Begitu pula dengan Puchta,

murid von Savigny berpendapat bahwa hukum berazaskan

pada keyakinan bangsa, baik menurut isinya maupun

menurut ikatan materialnya. Artinya bahwa hukum timbul

dan berlaku oleh karena terikat pada jiwa bangsa.

Timbulnya itu terjadi dalam tiga bentuk. Hukum timbul141) Theo Huijbers, Op.cit., hlm. 118.142) Ibid., hlm. 119.

198

dari jiwa bangsa melalui undang-undang (yang dibentuk

oleh negara) dan melalui ilmu pengetahuan hukum (yang

merupakan karya ahli-ahli hukum).143)

Montesquieu melihat adanya hubungan yang erat

antara hukum alam dan situasi kongkret suatu bangsa.

Menurutnya undang-undang yang paling baik adalah

undang-undang yang paling cocok dengan suatu bangsa

tertentu.144) Mempertautkan seluruh alasan tersebut,

maka pada perubahan konstitusi tahap pertama yang telah

menggeser kekuasaan eksekutif kepada legislatif pada

umumnya secara filosofis dapat dibenarkan. Hal ini

dikarenakan grundnorm yang terdapat pada batang tubuh

UUD 1945 tidak mengalami perubahan yang mengubah kaidah

dasar yang terkandung di dalamnya. Terlebih apabila

dihubungkan dengan kondisi saat itu yang tengah

mengalami transisi memang sungguh-sungguh membutuhkan

sikap tegas untuk membatasi kekuasaan eksekutif

termasuk masa jabatan Presiden guna mencegah dan

menghindari diktatorialisme. 143) Ibid., hlm. 120.144) Ibid., hlm. 87.

199

Mengenai alasan pembenar perlunya faktor non legal

seperti unsur politis dan sosiologis akan dikemukakan

dalam kajian tersendiri yaitu kajian sosiologis.

Sedangkan penolakan Kelsen terhadap hukum alam

dihubungkan dengan nilai-nilai universal yang

terkandung dalam Pancasila dan Pembukaan UUD 1945

dijelaskan dalam sub di bawah ini.

b. Pembukaan Undang-Undang Dasar 1945 dalam

Kerangka Filsafat

Pembukaan Undang-Undang Dasar sebagai

staatsfundamentalnorm tidak-lah sama dengan grundnorm yang

berupa pasal-pasal muatan suatu UUD. Salah satu yang

membedakan keduanya adalah, bahwa Pembukaan tidak dapat

diubah oleh siapa pun sedangkan UUD masih membuka

peluang untuk diubah dengan tetap menyandarkan diri

pada Staatsfundamentalnorm.

Ketika berbicara kedudukan konstitusi dilihat dari

aspek moral landasan fundamental, maka konstitusi

berada di bawah nilai-nilai universal dari etika moral.

200

Nilai-nilai universal dimaksud berkaitan dengan hukum

alam yang berakar pada batin manusia atau masyarakat

yang lepas dari konvensi, perundang-undangan, atau

lain-lain alat kelembagaan.145) Nilai-nilai universal

itu menjadi constitutional philoshopy yang melandasi pendiri

negara Indonesia bertekad untuk merumuskan konstitusi

yang beretika dan bermoral dengan nama Pancasila.

Lebih lanjut, kelima sila itu dibuatkan suatu

bentuk yang lebih menyeluruh dan jelas berupa Pembukaan

Undang-Undang Dasar 1945. Sebagai pengejawantahan

Pancasila, maka inti Pembukaan Undang-Undang Dasar 1945

adalah Pancasila. Pancasila adalah dasar filasafat

Negara Republik Indonesia; kepribadian bangsa

Indonesia; dan ideologi bangsa Indonesia yang mempunyai

kekuatan mengikat secara hukum. Oleh karena itu,

seluruh pasal UUD 1945 seharusnya mengandung nilai

moral Pancasila. Mengutarakan fungsi Pancasila yang

sedemikian istimewa menimbulkan keingintahuan mengenai

teori apa yang melatarbelakangi arti pentingnya145) M. Shodiq Dahlan dalam Lili Rasjidi, Filsafat Hukum Mazhab dan

Refleksinya, Bandung: Remaja Karya, 1989, hlm. 18.

201

Pancasila dengan mencari tahu hakekat Pancasila dalam

ilmu filsafat hukum. Pancasila sebagai ketentuan yang

lebih tinggi disebut grundnorm atau norma dasar yang

bersifat hipotesis. Pancasila terkandung dalam Alinea

keempat Pembukaan Undang-Undang Dasar 1945.

Makna Pembukaan Undang-Undang Dasar 1945 erat

kaitannya dengan hakekat konstitusi. Salah satu hakekat

konstitusi adalah sebagai birth certificate, sama halnya

akta kelahiran dari suatu negara. Menurut Firman Hasan,

dengan memaknai hakekat dari konstitusi tersebut maka

dapat dikaji, bahwa keberadaan Pembukaan UUD 1945 dapat

dikatakan merupakan pencerminan dari hakekat konstitusi

sendiri. Hal ini dapat dibuktikan dengan melihat isi

yang terkandung dalam Pembukaan UUD 1945 yang berisi

pernyataan atas kemerdekaan, yang diwujudkan sebagai

tanda kemerdekaan.146)

Apabila ditelaah secara mendalam isi Pembukaan UUD

1945, maka dapat diketahui bahwa pembentukan negara

Republik Indonesia tidak semata-mata merupakan suatu

146) Firman Hasan, Op.cit., hlm. 2.

202

gejala dari revolusi rakyat Indonesia, tetapi mempunyai

tujuan tertentu yang lebih jauh dan mendalam.147) Kata-

kata dan kalimat dalam Pembukaan UUD 1945 mengandung

makna yang sangat mendalam, khususnya dalam konteks

perlindungan hak asasi manusia yang merupakan ciri

utama dari negara hukum.148)

Makna yang terkandung dalam setiap alinea Pembukaan

UUD 1945 memiliki kerangka berpikir yang luas dan

mendalam. Berkaitan dengan hal tersebut, Otje Salman

yang telah membuat telaah keilmuan untuk mengetahui

seberapa jauh muatan yang terkandung dalam setiap

alinea Pembukaan UUD 1945.149) Hasil telaahan beliau

akan dipaparkan di bawah ini.

Alinea pertama Pembukaan UUD 1945, secara

substansial mengandung pokok pikiran tentang “peri

keadilan”. Konsepsi berpikir dari makna kata tersebut,

sebenarnya mengarah pada konsepsi ideal dari tujuan

147) Kuntjoro Purbopranoto dalam Efran Helmi, Kajian Yuridis Normatifterhadap Difusi Hukum dan Akulturasi Hukum Dalam Proses Pelembagaan HukumMenuju Sistem Hukum Nasional Indonesia, (Disertasi Fakultas HukumUniversitas Parahyangan: Bandung), hlm. 30.

148 Ibid., hlm. 30-33.149) Otje Salman dalam Ibid., hlm. 30

203

masyarakat Indonesia, yang apabila dikaitkan dengan

konsepsi hukum alam sebagaimana dikatakan Dias

mengandung makna sebagaimana berikut:150)

1. Ide-ide yang menuntun perkembangan hukum dan

pelaksanaannya;

2. Suatu dasar dalam hukum yang bersifat moral,

yang menjaga agar tidak terjadi suatu pemisahan

secara total antara “yang ada sekarang” dan

“yang seharusnya”;

3. Suatu metode untuk menemukan hukum yang

sempurna;

4. Isi dari hukum yang sempurna, yang dapat

dideduksikan melalui akal;

5. Suatu kondisi yang harus ada bagi kehadiran

hukum.

Secara prinsip, peri keadilan merupakan upaya untuk

menentukan keadilan yang mutlak. Selain itu, peri

keadilan merupakan manifestasi dari upaya manusia yang

150) R.W.M. Dias dikutip Otje Salman dan dikutip kembali dalamIbid., hlm. 30.

204

merindukan adanya hukum yang lebih tinggi daripada

hukum positif.

Alinea kedua Pembukaan UUD 1945 mencerminkan konsep

pemikiran Aliran Utilitarianisme, yang diwakili oleh

Jeremy Bentham dan juga Rudolf von Jhering. Aliran

Utilitarianisme berpendapat bahwa tujuan hukum adalah

untuk mencapai kebahagiaan (kesejahteraan) bagi

masyarakat (the greatest happiness for the greatest number).

Pemikiran aliran tersebut tampak pada kata “adil dan

makmur” dalam alinea kedua Pembukaan UUD 1945.

Makna kata “adil dan makmur” harus dipahami sebagai

kebutuhan masyarakat Indonesia, baik jasmani maupun

rohani. Secara yuridis, hal ini menunjuk pada seberapa

besar kemampuan hukum untuk dapat memberikan

kemanfaatan kepada masyarakat. Dengan kata lain,

seberapa besar hukum mampu melaksanakan atau mencapai

hasil-hasil yang diinginkan, karena hukum dibuat oleh

negara dengan penuh kesadaran dan dimaksudkan untuk

mencapai tujuan tertentu.

205

Selanjutnya, alinea ketiga Pembukaan UUD 1945

mencerminkan pemikiran religius bangsa Indonesia, yaitu

masyarakat Indonesia merupakan masyarakat yang sangat

menjunjung tinggi nilai-nilai ke-Tuhanan. Hal ini

merupakan sesuatu yang bersifat alamiah, karena pada

dasarnya manusia memiliki rasa ingin tahu dan berupaya

untuk mengenal Tuhan, serta memiliki kecenderungan

untuk menolak ketidaktahuan. Pemikiran religius

tersebut tampak pada kalimat “atas berkat rahmat

Allah”.

Pemikiran dalam alinea ketiga Pembukaan UUD 1945 di

atas, pada dasarnya sejalan dengan konsepsi Thomas

Aquino mengenai hubungan antara manusia dengan Sang

Pencipta. Bagi Aquino, dunia ini diatur oleh tatanan

ke-Tuhanan. Hukum ke-tuhanan adalah hukum yang

tertinggi. Konsepsi Aquino tersebut mengandung makna

atau konsep hukum yang luas, sebagaimana dipahami dalam

penggolongan hukumnya, yaitu Lex Aeterna, Lex Divina, Lex

Naturalis, dan Lex Humana atau Lex Positiva.

206

Alinea keempat Pembukaan UUD 1945 mengandung sila-

sila Pancasila, yang merupakan dasar negara dan

pandangan hidup bangsa Indonesia. Secara substansial,

Pancasila merupakan konsep yang luhur dan murni.

Disebut konsep yang “luhur” karena mencerminkan nilai-

nilai bangsa Indonesia yang diwariskan secara turun-

temurun dan bersifat abstrak. Di lain pihak, disebut

konsep yang “murni” karena kedalaman substansinya yang

menyangkut beberapa aspek pokok, seperti agama,

ekonomi, ketahanan, sosial, dan budaya yang memiliki

corak particular.

Secara konsepsional, Pancasila dapat disebut

sebagai suatu sistem tentang semua hal, karena semua

yang tertuang dalam sila-silanya berkaitan erat dan

tidak dapat dipisahkan satu dengan yang lain. Dengan

kata lain, Pancasila merupakan suatu sistem yang

bersifat integral.

Pernyataan Kelsen yang tegas tidak memberi tempat

pada hukum alam, berbeda dengan Indonesia yang justru

mengadopsi hukum alam sebagai sumber hukum religius,

207

moral, kodrat dan filsafati sebagaimana terkandung

dalam Pembukaan Undang-Undang Dasar 1945. Pancasila

sebagai sumber dari segala sumber tertib hukum bagi

bangsa Indonesia dilegitimasi oleh ketetapan MPRS

No.XX/MPRS/1966 dan TAP MPR No.V/MPR/1973.

Meskipun kesesuaian perubahan tahap pertama

konstitusi secara yuridis telah menjadi satu nilai

tambah tersendiri, namun apabila ternyata setelah

dilakukan kajian filosofis dan hasil perubahan tidak

mencerminkan keadilan maka perubahan tidak ubahnya

sebagai tubuh tanpa jiwa. Untuk itu, kehendak pembentuk

Undang-Undang Dasar (founding fathers) yang tercantum

dalam teks Pembukaan Undang-Undang Dasar 1945 tetap

dipertahankan oleh MPR dengan tidak mengubahnya.

Berikut ini alasan dipertahankannya Pembukaan Undang-

Undang Dasar 1945 oleh MPR :151)

1. merupakan staatsfundamentalnorm yang pada hakikatnya

mengandung suasana kerohanian, sumber nilai,

151 Jawahir Thontowi dalam Krisna Harahap, KonstitusiRepublik, Op.cit., hlm. 4.

208

asas-asas, dan norma-norma yang merupakan satu

kesatuan dengan kandungan pasal-pasalnya;

2. merupakan perjanjian luhur seluruh suku bangsa

Indonesia (National Consensus) dan tidak dapat

diubah karena selain mengandung nilai-nilai

universal juga merupakan manifestasi

kesinambungan sejarah (historical continuity)

pengabdian dan pengorbanan pendiri bangsa

(founding fathers) pada awal pembentukan negara;

3. merupakan pernyataan luhur tentang kekuasaan,

pembatasan kekuasaan negara berdaulat dan

tujuannya dalam memperjuangkan kehidupan

bernegara dan tercapainya cita-cita luhur suatu

bangsa yang adil dan makmur berdasarkan kelima

pilar dasar negara

4. merupakan simbol kemenangan perjuangan politik

masa lalu menuju sistem pemerintahan yang

mandiri dengan menjunjung tinggi nilai-nilai

kemanusiaan, peradaban, dan perdamaian dunia;

209

5. merupakan sumber hukum tertinggi yang memberikan

arah dan kepastian pada konstruksi norma hukum

yang terdapat dalam berbagai peraturan

perundang-undangan di bawahnya.

Kemudian masih perlu dipikirkan kemungkinan adanya

kaidah hukum lain di luar Undang-Undang Dasar yang

harus dianggap mempunyai derajat sama dengan kaidah

Undang-Undang Dasar. Contoh dari kemungkinan ini adalah

rangkaian amandemen atau kaidah tambahan terhadap

Undang-Undang Dasar Amerika Serikat, yang dilihat dari

segi urutan waktu harus dianggap lebih tinggi

kedudukannya daripada Undang-Undang Dasar itu

sendiri.152)

3. Kajian dari Sudut Sosiologis

Dari unsur sosiologis, Hans Kelsen tidak memberi

tempat bagi hukum kebiasaan yang hidup dan berkembang

di dalam masyarakat. Sedangkan menurut teori Eugene

Erlich seorang teoretisi “free law” mengatakan “Pusat

dari bobot perkembangan hukum tidak terletak dalam152) Dahlan Thaib, dkk., Op.cit., hlm. 66.

210

legislasi maupun keputusan Yudisial, tetapi dalam

masyarakat itu sendiri”. Menurutnya, di dalam

masyarakat manapun selalu terdapat lebih banyak hukum

ketimbang yang diekspresikan dalam proposisi-proposisi

hukum. Dengan demikian, konsepsi dasar tentang hukum

dan yang merupakan kunci bagi teorinya adalah apa yang

ia namakan living law. Hukum positif yang baik (dan

karenanya efektif) adalah hukum yang sesuai dengan living

law sebagai inner order dari masyarakat yang mencerminkan

nilai-nilai yang hidup di dalamnya.

Secara yuridis kewenangan menetapkan dan mengubah

Undang-Undang Dasar didasarkan pada kepercayaan

masyarakat yang direpresentasikan oleh Majelis

Permusyawaratan Masyarakat (MPR). Sistem dan prosedur

yang dilalui MPR mencerminkan validitas produk hukum

dan politik yang dihasilkan. Banyak pihak menuduh

perubahan UUD terkait dengan banyak kepentingan

“sponsor” yang kebenarannya masih harus dibuktikan.

Namun, tanpa bisa menutup mata, anggota majelis yang

memang anggota partai politik terang-terangan sebagai

211

indikasi politis bahwa yang mereka perjuangkan di ruang

sidang sekalipun adalah kepentingan politik yang

menguntungkan hanya sebagian orang atau kelompok saja.

Dari seluruh perdebatan dalam sidang PAH III,

Komisi C, hingga Paripurna mencerminkan hal apa

sesungguhnya terjadi dan yang dipikirkan oleh para

anggota majelis dalam mengkonsep ulang konstitusi yang

dianggap usang tersebut. Masyarakat memang seringkali

dijadikan alasan fraksi dalam memberikan argumen

politiknya dan respon masyarakat terhadap hasil

perubahan tahap pertama konstitusilah yang menjadi batu

penguji.

Semula referendum merupakan cara perubahan

konstitusi yang memberi kesempatan kepada masyarakat

mengeluarkan pendapat dan menyampaikan aspirasi sebagai

wujud nyata keterlibatan masyarakat terhadap masa depan

kehidupan bernegara mereka. Melalui cara ini apa yang

disebut sebagai hal-hal yang aktual yang hidup dalam

masyarakat berupa kenyataan-kenyataan yang patuh pada

ketentuan-ketentuan yang berlaku dalam masyarakat

212

tersampaikan. Nyata bahwa proses perubahan konstitusi

yang ideal dilakukan dengan mengiden-tifikasikan nilai-

nilai dan hukum yang hidup dalam masyarakat (living law),

sehingga pertentangan antara norma lama dan norma baru

dapat diusahakan seminimal mungkin. Perubahan

konstitusi harus dapat mengartikulasikan keadaan masa

lalu, kini dan masa mendatang.153) Akhirnya, perubahan

konstitusi yang bercita-cita mensejahterakan rakyat

harus memiliki konotasi positif terhadap perkembangan

kehidupan masyarakat.

Menumbuhkan kesadaran hukum agar menjadi budaya

hukum masyarakat merupakan satu dari sekian agenda

reformasi dan ciri dari keberhasilan suatu perubahan

yang sejati. Dengan diubahnya UUD 1945 bukan berarti

secepat kilat mengubah haluan masyarakat akan kesadaran

berhukum. Bahkan pasca reformasi identik dengan

pembuatan/ rancangan undang-undang yang diekspektasikan

dapat menjadi jembatan menuju pembaharuan hukum.

Mengenai hal ini dinyatakan Habibie :

153) Naskah Akademik ..., Op.cit. hlm. 17.

213

Selain UU, masih ada tiga unsur lagi yang masihperlu direformasi, yakni: (1) Law enforcement(penegakan hukum); (b) Peningkatan kualitasaparatur, dan (c) Budaya hukum masyarakat. Janganartikan banyaknya kelahiran UU sama denganterlaksananya pembaharuan hukum.154)

Komposisi keanggotaan dalam setiap alat kelengkapan

diharapkan bisa mewakili seluruh kepentingan rakyat

Indonesia yang diwakili oleh utusan daerah, diwadahi

oleh sebuah golongan dan beberapa partai politik di

kancah politik nasional. Namun, dengan adanya komposisi

tersebut tidak lantas menjamin keberpihakan para wakil

rakyat kepada para konstituennya. Warna dan jumlah

keanggotaan tersebut ditentukan oleh suara yang

diperoleh dalam pemilu. Sudah menjadi rahasia umum para

wakil rakyat tidak lagi selantang dan sekukuh saat

ingin dicalonkan ketika berbicara mengenai kepentingan

rakyat yang sebenar-benarnya. Sebagian dari mereka

(MPR/DPR) lebih memilih kepentingan yang bersifat

kontemporer.

154) B.J. Habibie, Detik-detik yang Menentukan, Jakarta: THC Mandiri,2006, hlm. 165.

214

Contoh kasus yang mencoreng muka para wakil rakyat

di depan khalayak ramai adalah “insiden adu jotos”

anggota MPR di hari pertama Sidang Tahunan MPR pada 1-9

November tahun 2001 ketika Marah Simon (F-PDIP)

didorong dan hendak dipukul namun tidak kena oleh

seorang anggota “F-UD Persiapan”. Menanggapi “insiden”

ini Wakil Presiden Hamzah Haz menyatakan bahwa

keributan antar anggota MPR merupakan cerminan

hilangnya akhlak mulia (akhlakul karimah).155)

MPR mengeluarkan TAP MPR Nomor VIII/MPR/1998 yang

isinya mencabut Ketetapan MPR tentang Referendum

mereduksi peranan masyarakat untuk berpartisipasi

secara langsung menentukan muatan perubahan konstitusi.

Referendum seharusnya tetap dilaksanakan sebagai

kegiatan untuk meminta pendapat rakyat secara langsung

mengenai setuju atau tidak setuju terhadap kehendak

Majelis Permusyawaratan Rakyat untuk mengubah UUD 1945.

Tanpa mengeneralisasikannya sebagai akhlak

keseluruhan anggota MPR namun karena UUD 1945 merupakan

155) Suryadi Rajab, Op.cit., hlm. 33.

215

produk pemikiran anggota majelis, maka reputasi MPR

yang sarat kepentingan partainya dan beberapa

diantaranya bersikap tidak sewajarnya bukan jaminan

tinggi bahwa mereka berjuang untuk rakyat.. MPR mungkin

saja representasi dari rakyat namun dengan jumlah

penduduk Indonesia tahun 1999 sebesar 204.784.000

jiwa156) dan jumlah anggota MPR sebanyak 628 orang157)

maka perbandingan inilah yang objektif memperlihatkan

bahwa efektifitas waktu kerja MPR hanya 12 hari158)

ditambah tidak adanya naskah akademik sebagai

penelitian filosofis, yuridis dan sosiologis dapat

dinyatakan tidak berhasil dalam merepresentasikan

keinginan rakyat Indonesia tetapi lebih memihak pada

kepentingan politik.

156) www.bankdata.depkes.go.id.157) Berdasarkan daftar anggota MPR, lebih lanjut lihat dalam

lampiran.158) Tertanggal 6 Oktober 1999 yang menandai dibentuknya PAH

III hingga 19 Oktober 1999 yang merupakan tanggal ditetapkannyaperubahan tahap pertama UUD 1945. Dikurangi 1 hari yaitu tanggal15 Oktober 1999 karena agendanya tunggal yaitu Pemandangan UmumFraksi-fraksi Majelis Terhadap Pidato Pertanggungjawaban Presiden,sehingga waktu efektifnya adalah 12 hari.

216

Menurut Bryce, motif politik yang menonjol dalam

penyusunan Undang-Undang Dasar adalah:159)

1. Keinginan untuk menjamin hak-hak rakyat dan untuk

mengendalikan tingkah laku penguasa.

2. Keinginan untuk menggambarkan sistem pemerintahan

yang ada dalam rumusan yang jelas guna mencegah

kemungkinan perbuatan sewenang-wenang dari

penguasa di masa depan.

3. Hasrat dari pencipta kehidupan politik baru

menjamin atau mengamankan berlakunya cara

pemerintahan dalam bentuk yang permanen dan yang

dapat dipahami oleh warga Negara.

4. Hasrat dari masyarakat-masyarakat yang terpisah

untuk menjamin aksi bersama yang efektif dan

bersamaan dengan itu berkeinginan tetap

mempertahankan hak serta kepentingannya sendiri-

sendiri.

Unsur politis itu sendiri sebagai bagian dari

realitas politik yang membentuk situasi dan kondisi

159) K.C. Wheare dalam Dahlan Thaib, Op.cit., hlm. 65.

217

terjadinya perubahan konstitusi tahap pertama. Maka,

keterlibatan unsur politik tidak bisa dihindari karena

ia juga merupakan hal-hal yang aktual yang hidup dalam

masyarakat. Dengan demikian, menurut Dahlan Thaib,

Undang-Undang Dasar dibuat secara sadar sebagai

perangkat kaidah fundamental yang mempunyai nilai

politik lebih tinggi dari jenis kaidah lain karena

menjadi dasar bagi seluruh tata kehidupan Negara.

Dengan asumsi ini maka bagian-bagian lain dari tata

hukum harus sesuai atau tidak berlawanan dengan

Undang-Undang Dasar.160) Kembali pada fungsi hukum

menurut UUD 1945 lebih diperluas di dalam penjelasan

pada pasal 28,29, ayat 1 dan pasal 34, sebagai

berikut :161)

“ Pasal-pasal baik yang hanya mengenai warga negaramaupun yang mengenai seluruh penduduk memuat hasratbangsa Indonesia untuk membangun negara yangbersifat demokratis dan yang hendakmenyelenggarakan keadilan sosial danperikemanusiaan.”

160) Ibid., hlm. 66.161) Thoga Hutagalung, Op.cit., hlm. 25.

218

Benang merah yang berusaha ditarik adalah faktor

sosiologis yang diartikan sebagai faktor kemasyarakatan

yang berperan dalam pembentukan konstitusi itu sendiri.

Dalam kajian filosofis sebelumnya dikatakan bahwa

faktor kemasyarakatan adalah hal-hal yang aktual yang

hidup dalam masyarakat berupa kenyataan-kenyataan yang

patuh pada ketentuan-ketentuan yang berlaku dalam

masyarakat tersebut. Kemudian, Montesquieu melihat

adanya hubungan yang erat antara hukum alam dan situasi

kongkret suatu bangsa. Menurutnya undang-undang yang

paling baik adalah undang-undang yang paling cocok

dengan suatu bangsa tertentu. Oleh karena itu, hukum

yang ideal harus dibuat sesuai dengan kesadaran

masyarakat dan mencerminkan nilai-nilai yang hidup

dalam masyarakat yang dikristalisasi dalam teori living

law dari Eugene Ehrlich.

219

BAB V

KESIMPULAN DAN SARAN

A. KESIMPULAN

1. Perubahan konstitusi tahap pertama Republik

Indonesia dilatarbelakangi tidak hanya faktor

yuridis saja melainkan faktor non yuridis seperti:

a. Historis, bahwa UUD 1945 dibuat pada saat-saat

yang mendesak dan bersifat sementara untuk itu

founding fathers menyerahkan penyempurnaan UUD 1945

pada generasi berikutnya.

b. Yuridis, perubahan konstitusi telah

diperkirakan terjadi sebagai suatu keniscayaan

sehingga secara normatif perumus UUD 1945

menyediakan Pasal 37 UUD 1945 mengenai

perubahan UUD 1945.

c. Politis, tuntutan reformasi total mendesak MPR

segera melakukan percepatan Sidang Umum hasil

pemilu 1999 dan segera melakukan perubahan

konstitusi sebagai langkah awal revitalisasi

220

reformasi konstitusional khususnya dan

kehidupan bernegara pada umumnya.

d. Filosofis, bahwa UUD 1945 merupakan hasil

ciptaan manusia yang jauh dari sempurna

sehingga perubahan UUD 1945 perlu disesuaikan

dengan perkembangan dan perubahan zaman.

e. Secara substantif, UUD 1945 dinilai tidak

efektif dan banyak mengan-dung kelemahan

seperti : pemberian kekuasaan yang terlalu

besar pada lembaga eksekutif; rumusan yang

masih menimbulkan multitafsir; banyak materi

muatan yang penting justru diatur di dalam

Penjelasan UUD, tetapi tidak tercantum di dalam

pasal-pasal UUD 1945.

2. Proses perubahan konstitusi Republik Indonesia

tahap pertama disimpul-kan sebagai suatu proses

yang cukup singkat. Efektifitas waktu yang

dibutuhkan hanya 12 hari untuk merumuskan

perubahan konstitusi, yakni :

221

a. Dimulai dengan membentuk Badan Pekerja Majelis

Panitia Ad Hoc III yang bertugas mempersiapkan

Ketetapan MPR RI tentang Amandemen UUD 1945.

Hasil kerja PAH III dilaporkan pada Badan

Pekerja MPR.

b. MPR membentuh Komisi C yang bertugas untuk

memusyawarahkan dan mengambil putusan mengenai

Rancangan Putusan MPR RI tentang Perubahan UUD

1945.

c. Selanjutnya, hasil kerja Komisi C dilaporkan

pada Rapat Paripurna yang melibatkan seluruh

anggota MPR. Setelah mendapat persetujuan

anggota majelis melalui musyawarah untuk

mufakat, hasil perubahan pertama UUD NKRI 1945

ditetapkan pada tanggal 19 Oktober 1999.

3. Kajian terhadap perubahan tahap pertama konstitusi

dari sudut pandang yuridis, filosofis, dan

sosiologis adalah sebagai berikut :

a. Hasil Kajian Yuridis;

222

Kendatipun perubahan tahap pertama konstitusi

RI belum sepenuhnya sesuai dengan sistem dan

prosedur perubahan konstitusi, namun secara

formal perubahan konstitusi yang dilakukan

telah memenuhi seluruh unsur yuridis yang

dipersyaratkan, seperti:

1) Perubahan konstitusi dilakukan oleh MPR

sebagai lembaga yang berwenang;

2) Adanya kesesuaian antara materi perubahan

dengan bentuk atau jenis UUD;

3) Substansi perubahan telah memenuhi asas-asas

hukum;

4) Perubahan pertama konstitusi RI tidak

bertentangan dengan Pancasila.

b. Hasil Kajian Filosofis;

1) perubahan pertama konstitusi tidak hanya

dipengaruhi unsur yuridis saja tetapi

dipengaruhi pula oleh unsur-unsur non

yuridis, seperti filosofis, historis,

223

sosiologis, dan konsep universal dari aliran

hukum alam, serta living law dari mazhab

sejarah. Dengan demikian teori hukum murni

tentang hukum dari Hans Kelsen tidak

sepenuhnya dapat diberlakukan.

2) Pembukaan UUD 1945 dan atau Pancasila tidak

diubah, mengingat Pancasila memiliki

keseluruhan unsur di atas, dan merupakan

suatu sistem yang bersifat integral sebagai

konsep yang digali dan diserap dari aspirasi

dan jiwa bangsa Indonesia lengkap dengan

segala atribut kebudayaan, ketuhanan,

politik, ekonomi, dan sosiologis.

3) Prinsip-prinsip tersebut oleh MPR masih

dipegang teguh, sehingga perubahan tahap

pertama konstitusi telah sesuai dilakukan

secara filosofis.

c. Hasil Kajian Sosiologis:

1) Dihilangkannya referendum sebagai salah satu

persyaratan perubahan konstitusi.

224

2) Sehubungan dengan butir 1 (satu) di atas,

kepentingan politik masih lebih dominan

dibandingkan dengan keinginan dan kebutuhan

masyarakat pada umumnya, sehingga perubahan

pertama konstitusi belum mewakili seluruh

aspirasi kebutuhan dan mencerminkan nilai-

nilai yang hidup dalam masyarakat.

B. SARAN

1. Dengan perubahan konstitusi tahap pertama Republik

Indonesia yang tidak hanya dilatarbelakangi faktor

yuridis melainkan faktor non yuridis, maka

disarankan :

a) Banyaknya faktor non yuridis yang

melatarbelakangi perubahan konstitusi tahap

pertama Republik Indonesia membuat bias tujuan

perubahan itu sendiri. Walaupun, seluruh faktor

tersebut memang wajar adanya namun kaidah hukum

tetap harus menempati prioritas tertinggi

mengingat berlakunya supremasi hukum.

225

b) Meskipun UUD merupakan produk hukum dan

sekaligus produk politik, namun apabila

dominasi politik terlalu kuat maka dapat

memperlemah kekuatan hukum itu sendiri. Oleh

karena itu, anggota MPR sebaiknya memiliki

pengetahuan yang cukup mengenai konstitusi dan

bersikap objektif dalam memandang permasalahan

dan kebutuhan masyarakat dengan mengurangi

kepentingan golongan dan politiknya.

2. Dengan proses perubahan konstitusi Republik

Indonesia tahap pertama yang cukup singkat, maka

disarankan:

a) Prosedur perubahan konstitusi memang dapat

dikesampingkan asalkan asas hukumnya terpenuhi.

Namun demikian grundnorm tetap dijadikan acuan

bagi peraturan perundang-undangan di bawahnya

dan seharusnya naskah perubahan lebih

dipersiapkan dan dirumuskan secara matang

dengan naskah akademik yang jelas, tegas, dan

226

komprehensif. MPR sebagai pemegang kekuasaan

untuk mengubah UUD sebaiknya didampingi oleh

suatu komisi yang memiliki kom-petensi di

bidang konstitusi seperti komisi konstitusi

yang sifatnya tetap. Tujuannya agar setiap

pasal yang akan diubah dikaji terlebih dahulu

secara mendalam, komprehensif, dan profesional.

b) perubahan konstitusi tentunya mengikat secara

hukum dan berlaku bagi seluruh masyarakat

Indonesia. Dengan dimudahkannya prosedur dan

persyaratan perubahan konstitusi akan dapat

menimbulkan ketidakpastian hukum dan sistem

konstitusional itu sendiri.

3. Berdasarkan hasil kajian yuridis, filosofis dan

sosiologis tersebut disarankan:

a) Untuk memberlakukan supremasi hukum perlu

adanya suatu produk hukum yang baik, sesuai

dengan dasar yuridis,sosiologis, filosofis

serta perencanaan dan pembentukan Peraturan

227

perundang-undangan yang baik. Keseriusan MPR

untuk memenuhi seluruh syarat tersebut perlu

dibuktikan dengan mengkaji ulang seluruh hasil

perubahan konstitusi khususnya tahap pertama

dan juga tahap kedua, ketiga, serta keempat

sebagaimana dilakukan oleh Komisi Konstitusi.

Sehingga kinerja Komisi Konstitusi tidak

secara sepihak dikesampingkan dan sebatas

menjadi wacana saja.

b) Perlu dikaji ulang mengenai prosesi/alur

perencanaan perundang-undangan khususnya

Undang-Undang Dasar, termasuk perundang-

undangan tentang pemilihan umum serta

pelaksanaannya yang harus lebih transparan dan

konsekuen dengan asas Langsung, Umum, Bebas,

dan Rahasia atau dikenal dengan akronim LUBER

(tidak hanya lip service), mengingat pengisian

jabatan DPR dan atau MPR ditentukan oleh

proses tersebut.

228

DAFTAR PUSTAKA

A. Buku

Abdulkadir Muhammad, Hukum dan Penelitian Hukum,Bandung: Citra Aditya Bakti, 2004.

Abu Daud Busro dan Abubakar Busro, Asas-Asas HukumTata Negara, Jakarta: Ghalia Indonesia, 1991.

B.J. Habibie, Detik-detik yang Menentukan, Jakarta: THCMandiri, 2006.

Bagir Manan, Pertumbuhan dan Perkembangan Konstitusi SuatuNegara, Bandung: Mandar Maju,1995.

Dahlan Thaib, dkk., Teori dan Hukum Konstitusi, Jakarta:RajaGrafindo, 2005.

Krisna Harahap, Konstitusi Republik Indonesia : SejakProklamasi hingga Reformasi, Bandung: Grafitri,2004.

_______, Menuju Ketertiban Hukum yang Berkeadilan, PidatoPengukuhan Guru Besar Sekolah Tinggi HukumBandung, 2005,

Krisnajadi, Bab-bab Pengantar Ilmu Hukum Bagian I,Bandung : STHB Press, tanpa tahun.

Lili Rasjidi dan Ira Rasjidi, Dasar-dasar Filsafat danTeori Hukum, Bandung : Citra Aditya Bakti,2001.

_______, Filsafat Hukum Mazhab dan Refleksinya, Bandung:Remaja Karya, 1989.

M.L. Tobing, Sekitar Pengantar Ilmu Hukum, Jakarta:Erlangga, 2005.

229

Mochtar Kusumaatmadja, Konsep-Konsep Hukum dalamPembangunan, Bandung: Alumni, 2002.

Muhammad Tahir Azhary, Negara Hukum : Suatu Studi tentangPrinsip-Prinsipnya Dilihat dari Segi Hukum Islam,Implementasinya pada Periode Negara Madinah dan MasaKini, Jakarta: Kencana, 2003.

Ni’matul Huda, Hukum Tata Negara Indonesia, Jakarta:Raja Grafindo, 2005.

Redaksi,RPJMN Tahun 2004-2009,Jakarta: Sinar Grafika,2005.

Salman, Otje dan Anton F. Susanto, Teori HukumMengingat, Mengumpulkan dan Membuka Kembali.Bandung : Refika Aditama, 2004.

Senat ITB, Krisis Nasional, Reformasi Total, dan ITB, Bandung:Penerbit ITB, 1998.

SF. Marbun, Peradilan Administrasi Negara dan upayaAdministratif di Indonesia, Yogyakarta: Liberty,1997.

Suharizal dan Firdaus Arifin, Refleksi Reformasi Konstitusi1999-2002, Bandung: Citra Aditya Bakti,2007.

Sunaryati Hartono, Penelitian Hukum di Indonesia Pada AkhirAbad ke-20, Bandung: Alumni, 1994.

Sunoto, Mengenal Filsafat Pancasila, Hanindita,Yogyakarta: 1990.

Suryadi Rajab, Indonesia : Hilangnya Rasa Aman, Hak AsasiManusia dan Transisi Politik Indonesia, Jakarta:Perhimpunan Bantuan Hukum dan Hak AsasiManusia, 2002.

230

Theo Huijbers, Filsafat Hukum dalam Lintasan SejarahYogyakarta: Kanisius, 1986.

B. Makalah

Arif Sidartha, Filsafat Hukum Pancasila, Hand Out KuliahFilsafat Hukum.

Dwidja Priyatno, Grundnorm-nya Hans Kelsen, (bahankuliah Filsafat Hukum Sekolah Tinggi HukumBandung): Bandung, 2006.

_______, Hukum dan Kekuasaan, (bahan kuliah FilsafatHukum Sekolah Tinggi Hukum Bandung): Bandung,2006.

D.H.M. Meuwissen, Pengembangan Hukum, Ilmu Hukum, TeoriHukum dan Filsafat Hukum (diterjemahkan oleh B.Arief Sidharta), Bandung: Diktat Kuliah,2006.

Firman Hasan, Kaitan Pembukaan dengan Hakikat Konstitusi,Makalah,2003.

Marojahan Pandjaitan, Kerangka Teoritik Tentang KonsepNegara Hukum, Teori Demokrasi, dan Teori Perundang-undangan, Makalah.

C. Sumber-sumber Lain

Ande Akhmad, Kumpulan Catatan Kuliah,(catatan kuliahFakultas Hukum Universitas Padjajaran):Bandung, 2003.

Dwi S. Nugroho, Problem Amandemen UUD’45 dan GagasanDibentuknya Komisi Konstitusi, www. UI.or.id.dikutip oleh Satria Adiguna, Kedudukan danKewenangan Komisi Konstitusi Terhadap PerubahanUndang-undang Dasar 1945, (Skripsi SarjanaFakultas Hukum Universitas Parahyangan,Bandung: 2002).

231

Efran Helmi, Kajian Yuridis Normatif terhadap Difusi Hukum danAkulturasi Hukum Dalam Proses Pelembagaan HukumMenuju Sistem Hukum Nasional Indonesia, (DisertasiFakultas Hukum Universitas Parahyangan:Bandung).

Naskah Akademik Kajian Komperehensif Komisi Konstitusi tentangPerubahan Undang-undang Dasar Negara RepublikIndonesia Tahun 1945 kajian komprehensif, Jakarta:Sekretariat Jenderal MPR RI, 2004.

Risalah Sidang 1999/Jilid 1-14.

Toga Hutagalung, Hukum dan Keadilan dalam PemahamanFilsafat Pancasila dan UUD 1945, (Disertasi FakultasHukum Universitas Padjajaran: Bandung).

WJS. Poerwadarminta, Kamus Umum Bahasa Indonesia,Jakarta: Balai Pustaka, 1970.

www.bankdata.depkes.go.id

D. Peraturan Perundang-undangan

Undang-Undang Dasar 1945 Naskah Asli dan Hasil

Amandemen Keempat.

TAP MPR RI No.III/MPRS/1963 Tentang Pengangkatan

Pemimpin Besar Revolusi.

Ketetapan MPR No. X/MPR/1998 tentang Pokok-pokok

Reformasi Pembangunan Nasional sebagai Garis-

Garis Besar Haluan Negara.

Undang-Undang No. 28 tahun 1999 tentang

Penyelenggaraan Negara yang Bersih dan Bebas

dari Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme.

232

Lampiran 1REKAPITULASI DAFTAR HADIR

RAPAT PARIPURNA KE-12 SIDANG UMUM MPR-RI TAHUN 1999 (LANJUTAN)

HARI : SELASATANGGAL : 19 OKTOBER 1999WAKTU : 14.00 WIBTEMPAT : NUSANTARAACARA :

NO.URUT FRAKSI JUMLAH

ANGGOTA HADIR BELUMHADIR KETERANGAN

1 PDI PERJUANGAN 185 177 81. KUORUM BELUM

TERPENUHI2. KUORUM TELAH

TERPENUHI

2 PARTAI GOLKAR 182 176 63 PARTAI PERSATUAN PEMBANGUNAN 69 67 24 PARTAI KEBANGKITAN BANGSA 58 52 65 REFORMASI 48 44 46 PARTAI BULAN BINTANG 14 12 27 KESATUAN KEBANGSAAN INDONESIA 14 7 78 PERSERIKATAN DAULATUL UMMAH 9 9 -9 PARTAI DEMOKRASI KASIH BANGSA 38 38 -10 TNI/POLRI 38 38 -11 UTUSAN GOLONGAN 73 67 6

JUMLAH 695 654 41

JAKARTA, Oktober 1999

233

Kepala Bagian Persidangan Paripurna

234

Lampiran 2

KEANGGOTAAN MPR MASA KEANGGOTAAN 1999-2004

NO NAMA PARTAI JUMLAHANGGOTA

1 PKU 12 PPP 583 PSII 14 PDI-P 1535 PDKB 56 PAN 347 MASYUMI 18 PBB 139 PK 710 PNU 511 IPKI 112 PNI MM 113 PDI 214 GOLKAR 12015 PP 116 PKB 5117 PDR 118 PKP 419 PBI 120 ABRI 3821 UTUSAN GOLONGAN 6522 UTUSAN DAERAH 65

Sumber : berdasarkan Daftar Hadir Anggota pada RapatParipurna ke-1 MPR RI

235