BAB IV HASIL ANALISIS YURIDIS PUTUSAN MAHKAMAH ...

22
77 BAB IV HASIL ANALISIS YURIDIS PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI NOMOR 101/PUU-VII/2009 TENTANG LEGALITAS ADVOKAT A. Pertimbangan Hakim Mahkamah Konstitusi dalam menetapkan Putusan Nomor 101/PUU-VII?2009? Kekuasaan kehakiman di negara Indonesia menurut Undang- undang Dasar 1945 merupakan kekuasaan yang merdeka yang dilakukan oleh sebuah Mahkamah Agung, Mahkamah Knstitusi, dan badan peradilan yang berada dibawahnya untuk menyelenggarakan peradilan guna menegakkan hukum dan keadilan. Menurut Jimly Asshiddiqie kekuasaan kehakiman merupakan ciri pokok Negara hukum, karena salah satu prinsip penting Negara hukum adalah adanya jaminan penyelenggaraan kekuasaan kehakiman yang merdeka, bebas dari pengaruh kekuasaan lainnya untuk menyelenggarakan peradilan guna menegakkan hukum dan keadilan. 1 1 Bachtiar, Problematika Implementasi Mahkamah Konstitusi, (Jakarta, Raih Asa Sukses, 2015), h. 89

Transcript of BAB IV HASIL ANALISIS YURIDIS PUTUSAN MAHKAMAH ...

77

BAB IV

HASIL ANALISIS YURIDIS PUTUSAN MAHKAMAH

KONSTITUSI NOMOR 101/PUU-VII/2009 TENTANG

LEGALITAS ADVOKAT

A. Pertimbangan Hakim Mahkamah Konstitusi dalam

menetapkan Putusan Nomor 101/PUU-VII?2009?

Kekuasaan kehakiman di negara Indonesia menurut Undang-

undang Dasar 1945 merupakan kekuasaan yang merdeka yang

dilakukan oleh sebuah Mahkamah Agung, Mahkamah Knstitusi, dan

badan peradilan yang berada dibawahnya untuk menyelenggarakan

peradilan guna menegakkan hukum dan keadilan.

Menurut Jimly Asshiddiqie kekuasaan kehakiman merupakan

ciri pokok Negara hukum, karena salah satu prinsip penting Negara

hukum adalah adanya jaminan penyelenggaraan kekuasaan kehakiman

yang merdeka, bebas dari pengaruh kekuasaan lainnya untuk

menyelenggarakan peradilan guna menegakkan hukum dan keadilan.1

1 Bachtiar, Problematika Implementasi Mahkamah Konstitusi, (Jakarta, Raih

Asa Sukses, 2015), h. 89

78

Pasal 24 ayat (1) UUD 1945 menyatakan secara tegas dan jelas

bahwa “kekuasaan kehakiman merupakan kekuasaan yang merdeka

untuk menyelenggarakan peradilan guna menegakkan hukum dan

keadilan”. Selanjutnya pasal 24 ayat (2) UUD 1945 dinyatakan bahwa

“kekuasaan kehakiman oleh sebuah Mahkamah Agung dan badn

peradilan yang ada dibawahnya dalam lingkungan peradilan umum,

lingkungan peradilan agama, lingkungan peradilan militer, lingkungan

peradilan tata usaha negara dan oleh sebuah Mahkamah Konstitusi.2

Dalam memberikan pertimbangan atas suatu putusan, hakim

harus mempertimbangkan segala macam aspek yang berifat yuridis,

filosofis, dan sosiologis, sehingga keadilan yang ingin dicapai dapat

dipertanggungjawabkan dalam putusan hakim yang berorientasi pada

keadilan hukum (legal justice), keadilan moral (moral justice), dan

keadilan masyarakat (social justice).

Aspek yuridis merupakan aspek yang kedudukannya sangat

penting hal ini dikarenakan aspek yuridis berpatokan kepada undang-

undang yang berlaku, dan hakim sebagai aplikator undang-undang

yang berkaitan dengan perkara yang sedang dihadapi. Pertimbangan

hakim bersifat yuridis didasarkan pada fakta-fakta yang terungkap

2 Jimmly Asshiddiqie, Konstitusi & Konstitusionalisme Indonesia, (Jakarta,

Sinar Grafika), h. 204-205

79

dalam persidangan oleh undang-undang yang terdapat dalam putusan.

Mahkammah dalam pertimbangan hukumnya memperhatikan legal

standing pemohon, pokok permohonan yang dirugikan oleh Pasal 4

ayat (1) UU Nomor 18 Tahun 2003 Tentang Advokat yang berbunyi

“Sebelum menjalankan profesinya, advokat wajib bersumpah menurut

agamanya atau berjanji dengan sungguh-sungguh disidang terbuka

pengadilan tinggi diwilayah domisili hukumnya”. Setelah para

pemohon mengikuti seluruh persyaratan untuk menjadi advokat dan

telah dilantik serta diangkat, akan tetapi tidak dapat diambil sumpahnya

dan tidak bisa mendampingi klien dalam menyelasaikan perkaranya.

Landasan filosofis menggambarkan bahwa keputusan yang

dibentuk mempertimbangkan pandangan hidup kesadaran dan cita

hukum yang meliputi suasana kebatinan serta filasafah bangsa

Indonesia yang bersumber dari pancasila dan pembukaan Undang-

undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.3 Dalam putusan

Nomor 101/PUU-VII/2009 akibat dikeluarkannya KMA Nomor

052/KMA/V/2009 yang hanya berdasarkan penafsiran hukum ketua

MA-RI yang mendalilkan bahwa KMA 052 adalah bermuara dari

substansi pasal 4 UU No. 18 Tahun 2009 tentang advokat, oleh sebab

3 Muhammad Ishom, Pengantar Legal Standing Drafting (Serang, IAIN

SMHB, 2014), h.174

80

itu pengambilan sumpah advokat yang tidak sesuai dengan KMA 052

tidak diperkenankan untuk beracara dipengadilan, dan advokat baru

yang sudah dilantik dan diangkat sumpahnya oleh organisasi advokat

sebelum berlakunya KMA 052 tetap tidak diakui eksistensinya dan

termasuk tidak dapat menjalankan profesinta sebagai advokat untuk

beracara dipengadilan.

Sedangkan aspek sosiologis mempertimbangkan tata nilai

budaya yang hidup dalam masyarakat. Landasan sosiologis ialah

menggambarkan bahwa keputusan yang dibentuk untuk memenuhi

kebutuhan masyarakat dalam berbagai aspek. 4

Bahwa penafsiran hukum yang dilakukan oleh ketua MA-RI

terhadap pasal 4 ayat (1) UU Advokat No. 18 Tahun 2003 dengan

mengeluarkan surat KMA Nomor 052/KMA/V/2009 juncto Nomor

052/KMA/V/2009 merupakan hal yang bertentangan dengan ketentuan

hukum yang berlaku dan telah memasuki tahap judicial review yang

merupakan otoritas dari pembuatan Undang-undang hal ini semata-

mata karena ketentuan pasal 4 ayat (1) UU advokat No. 18 Tahun 2003

berada dibawah otoritas kewenangan MA-RI, sehingga MA-RI merasa

4 Muhammad Ishom, Pengantar Legal Standing Drafting (Serang, IAIN

SMHB, 2014), h.174

81

berhak untuk mencampuri mengenai pengambilan sumpah para

kandidat advokat yang akan diambil sumpahnya.

Undang-undang Advokat Nomor 18 Tahun 2003 yang dimohon

untuk uji materil (judicial review) oleh para pemohon termaktub dalam

pasal 4 UU Nomor 18 Tahun 2003 yang dipandang sangat krusial,

berimplikasi diskriminatif serta melanggar hak konstitusional para

pemohon yang sangat merugikan status para pemohon dan

bertentangan dengan berdasarkan pasal:

Pasal 27 ayat (2):

Tiap-tiap warga Negara berhak atas pekerjaan dan penghidupan

yang layak bagi kemanusiaan.

Pasal 28D ayat (1):

Setiap orang berhak atas pengakuan, jaminan, perlindungan, dan

kepastian hukum yang adil serta perlakuan yang sama dihadapan

hukum.

Pasal 28I ayat (2), (4), dan (5):

(2) Setiap orang berhak bebas dari perlakuan yang bersifat

diskriminatif atas dasar apapun dan berhak mendapatkan

perlindungan terhadap perlakuan yang bersifat diskriminatif itu.

(4) Perlindungan, pemajuan, penegakkan dan pemenuhan hak asasi

manusia adalah tanggung jawab Negara, terutama pemerintah.

82

(5) Untuk menegakkan dan melindungi hak asasi manusia sesuai

prinsip hukum yang demokratis, maka pelaksanaan hak asasi

manusia dijamin, diatur, dan dituangkandalam peraturan

perundang-undangan.5

Berdasarkan uraian yang telah dijabarkan secara jelas dalam

posita untuk uji materil (judicial review) oleh para pemohon untuk dan

atas nama seluruh kepentingan hukum untuk para pemohon khususnya

umumnya untuk para kandidat Advokat Indonesia yang pada saat itu

telah dilantik dan diambil sumpahnya tetapi belum dapat beracara di

pengadilan. Dalam hal ini memohon kepada Majelis Hakim

Mahkamah Konstitusi yang memeeriksa dan mengadili perkara ini

agardapat memberikan putusan dalam petitum yang dimohonkan oleh

para pemohon yang amarnya berbunyi sebagai berikut:

1. Mengabulkan permohonan dari para pemohon tersebut

2. Menyatakan bahwa pasal 4 ayat (1) UU Advokat Nomor 18

Tahun 2003 bertentangan terhadap UUD 1945

3. Menyatakan bahwa pasal 4 ayat (1) UU Advokat Nomor 18

Tahun 2003 tidak mempunyai kekuatan hukum yang mengikat.6

5 Salinan Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 101/PUU-VII/2009

6 Salinan Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 101/PUU-VII/2009

83

Berdasarkan permasalahan yang terjadi di kalangan advokat

yang tidak dapat beracara di pengadilan karena tidak dapat diambil

sumpahnya dalam hal ini pemohonn mengajukan gugatan pokok

permohonannya yaitu sebagai berikut:

1. Bahwa para pemohon mengajukan permohonan pengujian

(constitisional review) ketentuan Pasal 4 ayat (1) UU Nomor 18

Tahun 2003 tentang advokat, yang berbunyi “sebelum

menjalankan profesinya, advokat wajib berumpah menurut

agamanya atau berjanji dengan sungguh-sungguh disidang

terbuka pengadilan tinggi diwilayah domisili hukumnya”,

terhadap UUD 1945.

2. Bahwa manurut para pemohon, surat keputusan pengangkatan

advokat oleh organisasi advokat yang telah dilantik dan

diangkat menjadi advokat, tidak serta merta dapat berpraktik

atau beracara dipengadilan, karena harus diambil sumpahnya

terlebih dahulu oleh ketua pengadilan tinggi di wilayah hukum

masing-masing, hal ini dianggap dapat menimbulkan kerancuan

hak dan wewenang pendidikan dan pengangkatan dan

pelantikan advokat yang seutuhnya diberikan kepada organisasi

advokat.

84

3. Bahwa menurut para pemohon ketentuan a quo telah menutup

pintu hukum dan kecil kemungkinan bagi para kandidat advokat

untuk diangkat atau disumpah sebagai advokat karena terbitnya

surat edaran keetua MA-RI Nomor 052/KMA/V/2009 yang

memerintah kepada ketua pengadilan tinggi diseluruh Indonesia

untuk menunda pengambilan sumpah bagi para kandidat

advokat, hal ini dianggap telah mencampuri wewenang

organisasi advokat.

4. Ketentuan a quo dianggap telah mencederai kemandirian dan

hak-hak konstitusional para kandidat advokat karena ketentuan

a quo baik langsung maupun tidak langsung dianggap

bertentangan dengan ketentuan pasal 27 ayat (2), pasal 28D ayat

(1), pasal 28I ayat (2), (4) dan (5) UUD 1945.7

Berdasarkan uraian-uraian permohonan dalam dokumen

putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 101/PUU-VII/2009, maka

setelah mempertimbangkan dalil-dalil para pemohon beserta alat bukti

tulis maupun ahli yang diajukan, keterangan pemerintah, dan

keterangan pihak terkait, serta kesimpulan tertulis para pemohon

bahwa majelis hakim berpendapat sebagai berikut:

7 Salinan Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 101/PUU-VII/2009

85

a. Bahwa isu hukum utama permohonan para pemohon adalah

apakah norma hukum yang terkandung dalam pasal 4 ayat (1)

UU advokat bertentangan dengan UUD 1945,

b. Bahwa sebelum mempertimbangkan isu hukum mahkamah

akan mengemukakan hal-hal sebagai berikut:

1) UUD 1945 sebagai hukum tertinggi dalam NKRI telah

memberikan jaminan dan perlindungan bagi setiap warga

Negara hak untuk bekerja dan penghidupan yang layak bagi

kemanusiaan [Pasal 27 ayat (2), juncto pasal 28D ayat (2)],

hak untuk hidup serta mempertahankan hidup dan

kehidupannya (pasal 28A) hak mengembangkan diri melalui

pemenuhan kebutuhan dasarnya [pasal 28C ayat (1)], serta

hak atas perlindungan dan jaminan kepastian hukum yang

adil [pasal 28D ayat (1)], oleh karena itu tidak boleh ada

ketentuan hukum yang berada dibawah UUD 1945 yang

langsung atau tidak langsung menegasi hak untuk bekerja

yang dijamin oleh konstitusi tersebut atau memuat hambatan

bagi seseorang untik bekerja apapun bidang

pekerjaan/profesi pekerjaannya, agar bisa memenuhi

kebutuhan hidupnya yang layak bagi kemanusiaan.

2) Pasal 1 angka 1 UU advokat menyatakan, “advokat adalah

orang yeng berprofesi memberi jasa hukum, baik didalam

maupun diluar pengadilan yang memenuhi persyaratabn

berdadarkan ketentuan undang-undang”. Selanjutnya pasal

3 ayat (1) UU advokat menentukan 9 persyaratan yang dapat

diangkat menjadi advokat, sedangkan pasal 3 ayat (2)

menyatakan “advokat yang telah diangkat berdasarkan

persyaratan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat

menjalankan praktiknya dengan mengkhususkan diri pada

bidang tertentu sesuai dengan persyaratan yang ditentukan

oleh peraturan perundang-undangan” pasal 5 ayat (1) UU

advokat memberikan status kepada advokat sebagai penegak

hukum yang bebas dan mandiri yang dijamin oleh hukum

dan peraturan perundang-undangan.

86

3) Seseorang yang menjadi advokat pada dasarnya adalah

untuk memenuhi haknya sebagai warganegara untuk bekerja

dan memenuhi kehidupan yang layak bagi kemanusiaan,

serta yang bersangkutan sudah dapat menjalankan profesi

pekerjaannya setelah memenuhi persyaratan yang

ditentukan oleh pasal 3 ayat (1) UU Advokat Pasal 3 ayat

(2) UU Advokat.

4) Mengenai sumpah atau janji yang harus diucapkan atau

diikrarkan oleh seseorang yang menjalankan pekerjaan,

jabatan atau suatu profesi tertentu merupakan hal yang

lazim dalam suatu organisasi atau institusi yang

pelaksanaanya sesuai dengan ketentuan yang berlaku bagi

organisasi/konstitusi yang berkaitan dengan peraturan

perundang-undangan yang berlaku.

c. Bahwa terkait dengan isu hukum mahkamah berpendapat

sebaga berikut:

1) Keharusan bagi advokat untuk mengambil sumpah sebelum

menjalankan profesinya merupakan hal yang lazim dalam

organisasi dan suatu jabatan/pekerjaan profesi yang tidak

ada kaitannya dengan masalah konstitusionalitas suatu

norma yang dimohonkan pengujian, sehingga tidak

bertentangan dengan UUD 1945.

2) Ketentuan bahwa pengambilan sumpah bagi para advokat

harus disidang terbuka pengadilan tinggi diwilayah

hukumnya merupakan pelanjutan dari ketentuan yang

berlaku sebelum lahirnya UU advokat yang memang

pengangkatannya dilakukan oleh pemerintah in casu

menteri kehakiman atau menteri hukum dan HAM. Setelah

lahirnya UU advokat yang menentukan bahwa

pengangkatan advokat dilakukan oleh organisasi advokat

[pasal 2 ayat (2) UU advokat] bukan lagi oleh pemerintah.

Akan tetapi, mengingat profesi advokat telah diposisikan

secara formalsebagai penegak hukum [pasal 5 UU advokat]

dan dalam rangka melindungi para klien dari kemungkinan

penyalahgunaan profesi advokat, maka ketentuan yang

87

tercantum dalam pasa 4 ayat (1) UU advokat tersebut juga

konstitusional.

3) Ketentuanj yang mewajibkan para advokat sebelum

menjalankan profesinya harus sumpah sebagaimana diatur

dalam pasal 4 ayat (1) UU advokat, tidak boleh

menimbulkan hambatan bagi para advokat untuk bekerja

atau menjalankan profesinya yang dijamin oleh UUD

1945.pasal 3 ayat (2) UU advokat telah menyatakan bahwa

advokat yang telah diangkat berdasarkan syarat-syarat yang

ditentukan oleh UU advokat dapat menjalankan praktiknya

sesuai dengan bidang-bidang yang dipilih.

d. Bahwa dengan demikian, keharusan bagi advokat untuk

mengambil sumpah sebelum menjalankan profesinya tidak ada

kaitannya dengan persoalan konstitusionalitas norma, demikian

juga mengenai keharusan bahwa pengambilan sumpah itu harus

dilakukan disidang terbuka pengadilan tinggi diwilayah domisili

hukumnya, sepanjang ketentuan dimaksud tidak menegasi hak

warga Negara in casu para calon advokat untuk bekerja yang

dijamin oleh UUD 1945.

e. Bahwa terjadinya hambatan yang dialami oleh para pemohon

untk bekerja dalam profesi advokat pada dasarnya bukan karena

adanya norma hukum yang terkandung dalam pasal 4 ayat (1)

UU advokat, melainkan disebabkan oleh penerapan norma

dimaksud sebagai akibat adanay Surat Mahkamah Agung yang

melarang pengadilan tinggi mengambil sumpah para calon

advokat sebelum organisasi advokat bersatu.

f. Bahwa penyelenggaraan sidang terbuka pengadilan tinggi untuk

mengambil sumpah bagi para advokat sebelum menjalankan

profesinya sebagaimana yang tercantum dalam pasal 4 ayat (1)

UU advokat merupakan kewajiban atributif yang diperintahkan

oleh undang-undang sehingga tidak ada alasan untuk tidak

menyelenggarakannya. Namun demikian, pasal 28 ayat (1) UU

advokat juga mengamanatkan adanya organisasi advokat yang

merupakan satu-satunya wadah profesi advokat sehingga para

advokat dan organisasi-organisasi advokat yang saat ini secara

88

de facto yaitu Perhimpunan Advokat Indonesia (PERADI), dan

Kongres Advokat Indonesia (KAI), harus mengupayakan

terwujudnya organisasi advokat sebagaimana dimaksud pasa 28

ayat (1)

g. Berdasarkan pasal 4 ayat (1) UU advokat adalah konstitusional

sepanjang frasa “disidang terbuka pengadilan tinggi diwilayah

domisili hukumnya” harus dimaknai sebagai kewajiban yang

diperinytahkan oleh undang-undang untuk dilaksanakan oleh

pengadilan tinggi tanpa mengaitkannya dengan adanya dua

organisasi advokat yang secara de facto ada dan sama-sama

mengklaim sebagai organisasi advokat yang sah menurut UU

advokat.

h. Bahwa untuk mendorong terbentuknya suatu organisasi advokat

yang merupakan satu-satunya wadah profesi advokat

sebagaimana ditentukan pasal 28 ayat (1) UU advokat, maka

kewajiban pengadilan tinggi untuk mengambil sumpah terhadap

para calon advokat tanpa memperhatikan organisasi advokat .

i. Bahwa apabila dalam jangka waktu 2 tahun organisasi advokat

sebagaimana dimaksud pasal 28 ayat (1) UU advokat belum

juga terbentuk, maka perselisihan tentang organisasi advokat

yang sah diselesaikan melalui peradilan umum.8

Setelah mempelajari permohonan para pemohon dan seluruh

argumentasi yang digunakan sebagai landasan untuk mendukung serta

mempertimbangkannya maka Mahkamah Konstitusi dalam amar

putusannya mengabulkan permohonan para pemohon untuk sebagian

Dalam putusan ini Mahkamah Konstitusi dalam amar

putusannya mengabulkan permohonan untuk sebagian karena menurut

Hakim Mahkamah Konstitusi Undang-undang yang bertentangan

8 Salinan Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 101/PUU-VII/2009

89

dengan UUD 1945 hanyalah Pasal 4 ayat 1 Undang-undang Nomor 18

Tahun 2003 tentang advokat adalah bertentangan dengan Undang-

Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 sepanjang

tidaak di penuhi frasa di sidang terbuka pengadilan tinggi di wilayah

domisili hukumnya. Tidak dimaknai bahwa pengadilan tinggi atas

perintah Undang-Undang wajib mengambil sumpah bagi para advokat

sebelum menjalankan profesinya tanpa mengaitkan dengan

keanggotaan organisasi advokat yang pada saat ini secara de facto ada,

dan dalam jangka 2 (dua) tahun sejak amar putusan ini di ucapkan,

maka dengan itu hakim Mahkamah Konstitusi menolak permohonan

para pemohon untuk selain dan selebihnya

B. Akibat Hukum dari Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor

101/PUU-VII/2009

Sebagaimana putusan peradilan pada umumnya, Mahkamah

Konstitusi sebagai negative legislator dapat mengabulkan dan menolak

suatu permohonan para pemohon. Permohonan dapat ditolak oleh

Mahkamah Konstitusi karena tidak memenuhi syarat yang telah di

haruskan.9 Dalam hal ini putusan Mahkamah Konstitusi akan

9 Maruarar Siahaan, Hukum Acara Mahkamah Konstitusi, (Jakarta, Sinar

Grafika, 2012), h 218

90

membawa akibat tertentu yang mempengaruhi suatu keadaan hukum,

hak dan kewenangan. Putusan Mahkamah Konstitusi dalam pengujian

undang-undang adalah bersifat declaratife constitutief artinya putusan

Mahkamah Konstitusi tersebut menciptakan suatu keadilan hukum baru

atau menjadikan suatu keadaan hukum posisi demikian yang

menempatkan Mahkamah Konstitusi sebagai peradilan yang bersifat

final.

Akibat hukum yang timbul dari suatu putusan hakim jika

menyangkut pengujian terhadap Undang-undang dalam pasal 58

Undang-undang Mahkamah Konstitusi yang berbunyi “Undang-

undang yang diuji oleh Mahkamah Konstitusi tetap berlaku sebelum

ada putusan yang menyatakan bahwa undang-undang tersebut

bertentangan dengan Undang-undang Dasar Negara Republik

Indonesia”.10

Putusan hakim Mahkamah Konstitusi yang menyatakan suatau

undang-undang bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak mempunyai

kekuatan hukum mengikat tidak boleh berlaku, akibat hukum yang

timbul dari putusan tersebut diucapkan dalam sidang terbuka untuk

umum, akibat hukum yang timbul dari berlakunya satu undang-undang

10

Pasal 58 Undang-undang No.4 Tahun 2014 Tentang Mahkamah Konstitusi

91

sejak diundangkan sampai diucapkannya putusan yang menyatakan

undang-undang tersebut tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat.

Dengan adanya perkara ini berdampak kurang baik terhadap

beberapa kandidat calon anggota advokat karena mereka tidak dapat

meakukan tugasnya sebagai advokat untuk membantu menangani

perkara klien dalam pengadilan sehingga para calon advokat ini merasa

bahwa hak konstitusionalnya telah dirugikan.

Berdasarkan permohonan yang telah diajukan oleh pemohon

dalam perkara pengujian materil (judicial review) terhadap pasal ayat

(1), (2), dan (3), yang di anggap bertentangan dengan pasal 27 ayat (2),

pasal 28D ayat (1), pasal 28I ayat (2), (4), (5) Undang-undang Dasar

Negara Republik Indonesia berdasarkan kewenangan Mahkamah

Konstitusi serta alasan-alsan yang diuraikan Mahkamah Konstitusi

dalam amar putusannya menyatakan:

Menyatakan mengabulkan permohonan para pemohon untuk

sebagian

Menyatakan pasal 4 ayat (1) undng-undang nomor 18 Tahun

2003 tentang advokat (Lembaran Negara Republik Indonesia

Tahun 2003 Nomor 49 tambahan lembaran Negara Republik

Indonesia Nomor 4288) adalah bertentangan dengan Undang-

92

Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945

sepanjang tidak dipenuhi syarat bahwa frasa “di sidang terbuka

pengadilan tinggi diwilayah domisili hukumnya” tidak

dimaknai bahwa pengadilan tinggi atas perintah undang-undang

wajib mengambil sumpah bagi para advokat sebelum

menjalankan profesinya tanpa mengaitkan dengan keanggotaan

orgnisasi advokat yang pada saat itu secara de facto ada dalam

jangka 2 (dua) tahun sejak amar putusan ini diucapkan.

Menyatakan pasal 4 ayat (1) undng-undang nomor 18 Tahun

2003 tentang advokat (Lembaran Negara Republik Indonesia

Tahun 2003 Nomor 49 tambahan lembaran Negara Republik

Indonesia Nomor 4288) tidak mempunyai kekuataan hukum

yang mengikat sepanjang frasa “di sidang terbuka pengadilan

tinggi diwilayah domisili hukumnya” tidak dimaknai bahwa

pengadilan tinggi atas perintah undang-undang wajib

mengambil sumpah bagi para advokat sebelum menjalankan

profesinya tanpa mengaitkan dengan keanggotaan orgnisasi

advokat yang pada saat itu secara de facto ada dalam jangka 2

(dua) tahun sejak amar putusan ini diucapkan.

93

Menyatakan apabila dalam jangka waktu 2 (dua) tahun

organisasi advokat sebagaimana dimaksud dalam pasal 28 ayat

(1) UU advokat belum juga dibentuk, maka perselisihan tentang

organisasi advokat yang sah diselesaikan melalui peradilan

umum.

Menolak permohonan para pemohon untuk selain dan

selebihnya

Memerintah amar putusan ini dalam berita Negara Republik

Indonesia sebagaimana mestinya.

Setelah mempelajari secara seksama permohonan para pemohon

dan seluruh argumentasi yang digunakan sebagai landasan untuk

mendukung dalil-dalil serta telah mempertimbangkannya maka

Mahkamah Konstitusi dalam amar putusannya mengabulkan

permohonan para pemohon untuk sebagia. Artinya dalam pasal-pasal

yang diajukan para pemohon yang dianggap tidak sesuai dengan

Undang-undang Dasar Negara Republik Indonesia.

Para pemohon mengajukan permohonan pengujian pasal 4 ayat

(1), bahwa menurut para pemohon, surat keputusan pengangkatan

advokat oleh organisasi advokat yang telah dilantik dan diangkat

menjadi advokat tidak dapat berpraktik atau beracara dipengadilan,

94

karena harus diambil sumpahnya terlebih dahulu oleh ketua pengadilan

tinggi di wilayah hukum domisili masing-masing hal demikian

dianggap akan menimbulkan kerancuan pengangkatan dan pelantikan

advokat yang seharusnya diberikan kepada organisasi advokat. Dengan

terbitnya surat edaran Ketua Mahkamah Agung Republik Indonesia

nomor 052/KMA/V/2009 yang berisi suatu perintah kepada ketua

pengadilan tinggi di seluruh Indonesia untuk menunda pengambilan

sumpah bagi para kandidat advokat, hal tersebut menurut para

pemohon dianggap telah mencampuri kewenangan organisasi advokat.

pemohon Ketentuan a quo tersebut telah menciderai hak-hak

konstitusional para kandidat advokat, ketentuan a quo diangap telah

menimbulkan kerugian baik secara moril, materil, tenaga dan pikiran

karena dianggap bertentangan dengan ketentuan pasal 27 ayat (2), pasal

28D ayat (1), pasal 24I ayat (2), ayat (4), dan ayat (5) Undang-undang

Dasar 1945.

Berdasarkan materi muatan ketenuan pasal 4 ayat (1) Undang-

undang Nomor 18 Tahun 2003 tentang advokat, yang dianggap oleh

para pemohon dianggap bertentangan dengan ketentuan pasal 27 ayat

(2), pasal 28Dayat (1), pasal 28I ayat (2), ayat (4) dan ayat (5) Undang-

undang Dasar 1945. Seluruh uraian para pemohon berkaitan dengan

95

surat edaran Ketua Mahkamah Agung Nomor 052/KMA/V/2009 yang

menyatakan “Ketua Mahkamah Agung meminta kepada ketua

pengadilan tinggi untuk tidak terlibat secara langsung terhadap

perselisihan didalam organisasi advokat, dalam arti ketua pengadilan

tinggi tidak mengambil sumpah advokat baru sebagaimana yang

ditentukan dalam pasal 4 Undang-undang Nomor 18 tentang advokat.

alasan dikeluarkannya KMA nomor 052/KMA/V/2009 didasari adanya

keinginan agar ketua pengadilan tinggi tidak terlibat lagsung terhadp

perselisihan yang dialami oleh para advokat khususnya yang berkaitan

dengan organisasi advokat diantaranya Perhimpunan Advokat

Indonesia (PERADI) dengan Kongres Advokat Indonesia (KAI).

Pada dasarnya permohonan para pemohon tidak ada kaitannya

dengan masalah konstitusional berlakunya ketentuan pasal 4 ayat (1)

undang-undang Nomor 18 tahun 2003 tentang advokat, tetapi berkaitan

dengan keberadaan surat edaran ketua Mahkmah Agung Nomor

052/KMA/V/2009 yang dianggap telah mencampuri independeni para

pemohon serta menghalangi aktifitas para pemohon sevagai calon

kandidat advokat untuk dilantik sebagai advokat yang sah.

Bahwa dengan hal tersebut Ketua Mahkamah Konstitusi dalam

amar putusan hanya mengabulkan untuk sebagian karena menurut

96

ketua mahkamah konstitusi para pemohon melakukan perlawanan atau

menggugat urat edaran nomor 052/KMA/V/2009 tersebut kelembaga

peradialan atau melakukan upaya administratif lainnya supaya surat

edaran ketua mahkamah agung tersebut dapat ditinjau kembali, atau

para advokat segera mengakhiri konflik internal dengan membentuk

organisasi advokat sebagaimana ditentukan dalam Undang-undang

Advokat .

Berdasarkan putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 101/PUU-

VII/2009 tentang gugatan dalam perkara pengujian Undang-Undang

Nomor 18 Tahun 2003 tentang advokat terhadap Undang-Undang

Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, menurut penulis

gugatan yang diajukan oleh para pemohon ini merupakan bentuk

pembelaan diri para advokat yang merasa hak konstitusionalnya telah

dirugikan oleh ketentuan pasal 4 ayat 1 UU Nomor 18 Tahun 2003

diangap sangat bertentangan dengan Undang-Undang Negara Republik

Indonesia.

Dengan adanya gugatan yang telah diajukan oleh para

pemohon, hakim mahkamah konstitusi melakukan judicial review

pasal-pasal yang dianggap telah merugikan para pemohon, dengan ini

97

hakim Mahkamah Konstitusi memiliki wewenang untuk memeriksa,

mengadili, dan perkara konstitusi pada tingkat pertama dan terakhir.

Perkara ini muncul karena terbitnya KMA Nomor

052/KMA/V/2009 yang diajukan kepada para ketua pengadilan tinggi

di seluruh Indonesia. Inti dari isi KMA 052 tersebut adalah hal yang

merugikan hak konstitusional para pemohon bahwa ketua Mahkamah

Agung meminta kepada ketua pengadilan tinggi untuk tidak terlibat

secara langsung terhadap perselisihan didalam organisasi advokat,

dalam arti ketua pengadilan tinggi tidak mengambil sumpah advokat

baru sebagaimana yang ditentukan dalam pasal 4 Undang-Undang

advokat nomor 18 tahun 2003 tentang advokat. walaupun demikian,

seharusnya advokat yang telah diambil sumpahnya tidak bisa dihalangi

untuk beracara di pengadilan tetapi apabila advokat yang telah dilantik

dan diambil sumpahnya melakukan pelanggaran dan menyimpang dari

ketantuan pasal yang telah ditetapkan maka sumpahnya dianggap tidak

sah sehingga yang bersangkutan tidak dibenarkan untuk beracara

disebuah pengadilan.

Hakim Mahkamah Konstitusi dalam amar putusannya

mengabulkan gugatan para pemohon dengan sebagian hal ini

dikarenakan bahwa pasal-pasal yang diajukan untuk judicial review

98

tidak semanya bertentangan terhadap Undang-Undang Dasar Negara

Republik Indonesia, tetapi karena adanya konflik antar organisasi

advokat yang berlarut-larut sehingga ketua Mahkamah Agung

mengeluarkan KMA 052 merupakan cara untuk mengatasi konflik yang

terjadi terhadap organisasi advokat.