Perilaku yang harus di terapkan pada stakeholder agar terjalin hubungan yang baik
KONSEKUENSI YURIDIS SUATU PRODUK HUKUM YANG DIBUAT TANPA DASAR KEWENANGAN YANG TIDAK JELAS
-
Upload
independent -
Category
Documents
-
view
5 -
download
0
Transcript of KONSEKUENSI YURIDIS SUATU PRODUK HUKUM YANG DIBUAT TANPA DASAR KEWENANGAN YANG TIDAK JELAS
KONSEKUENSI YURIDIS SUATU PRODUK HUKUM YANG DIBUAT
TANPA DASAR KEWENANGAN YANG TIDAK JELAS
MAKALAH
Untuk memenuhi tugas Politik Hukum
Program Studi Magister Hukum
Konsentrasi Hukum Kenegaraan
Disusun oleh:
ARYANI WIDHIASTUTI
14/371187/PHK/8175
PROGRAM PASCASARJANA FAKULTAS HUKUM
UNIVERSITAS GADJAH MADA
YOGYAKARTA
2014
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Negara Indonesia merupakan Negara hukum,
sebagaimana yang dijelaskan dalam Pasal 1 ayat (3)
Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun
1945 (selanjutnya disebut UUD NRI 1945). Sebagai
Negara hukum memberikan konsekuensi bahwa segala
kebijakan sebagai suatu politik hukum yang dibentuk
dan dilakukan dalam penyelenggaraan Negara harus
berlandaskan pada hukum yang telah dibuat. Untuk
melegitimasi berlakunya hukum maka diperlukan suatu
pembentukan peraturan perundang-undangan sebagai
produk hukum. Ada dua macam kelompok produk hukum1:
1. Regelling (Peraturan) adalah produk hukum tertulis
yang substansinya mempunyai daya ikat terhadap
sebagian/ seluruh penduduk wilayah Negara.
2. Beschikking (keputusan tata usaha Negara
(eksekutif) dan putusan (yudikatif)) adalah
1 Muchsan disampaikan dalam kuliah Politik Hukum pada Program Pascasarjana Magister Hukum Konsentrasi Kenegaraan Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta, 03 Oktober 2014
1
penetapan tertulis yang dibuat oleh pejabat TUN
mendasarkan diri pada peraturan perundang-undangan
yang lebih tinggi dan bersifat kongkret,
individual, final.
Sebagai suatu politik hukum, maka harus
memenuhi beberapa unsur diantaranya (1) Harus ada
perbuatan aparat yang berwenang, (2) setiap aparat
mempunyai fungsi, (3) adanya alternatif yang sudah
disediakan Negara untuk di pilih (4) harus ada
produk hukum baru yang lahir, (5) harus ada tujuan
Negara yang akan diwujudkan. Melihat unsur nomor (1)
bahwa produk hukum sebagai wujud kongkret sekaligus
sebagai upaya melegitimasi langkah kebijakan yang
diambil penyelenggara Negara dalam penyelenggaraan
Negara, harus dibuat oleh suatu aparat yang
berwenang. Lantas bagaimana apabila produk hukum
yang dibuat tersebut tidak berasal dari aparat yang
berwenang mengeluarkan produk hukum tersebut?
Berdasarkan latar belakang permasalahan diatas,
penulis akan melakukan suatu analisis terkait
konsekuensi yuridis suatu produk hukum yang dibuat
tanpa dasar kewenangan yang tidak jelas.
B. Rumusan masalah
1. Bagaimana kewenangan membuat suatu produk hukum?
2
2. Apakah konsekuensi yuridis suatu produk hukum
yang dibuat tanpa dasar kewenangan yang tidak
jelas?
3
BAB II
PEMBAHASAN
A. Kewenangan Membuat Suatu Produk Hukum
Telah dijelaskan diatas bahwa produk hukum
terdiri dari dua macam, yaitu peraturan (regelling)
dan keputusan TUN (beschikking). Peraturan merupakan
hukum yang bersifat in abstracto atau general norm yang
sifatnya mengikat umum (berlaku umum) dan tugasnya
adalah mengatur hal-hal yang bersifat umum2.
Berdasarkan penjelasan Pasal 1 angka 2 Undang-Undang
Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan
Perundang-undangan peraturan tertulis yang memuat
norma hukum yang mengikat secara umum dan dibentuk
atau ditetapkan oleh lembaga negara atau pejabat
yang berwenang melalui prosedur yang ditetapkan
dalam Peraturan Perundang-undangan.
Tata urutan peraturan perundang-undangan yang
berlaku di Indonesia saat ini, diatur dalam Undang-
Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan
Peraturan Perundang-Undangan. Ketentuan Pasal 7 ayat
(1) Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang
Pembentukan Peraturan Perundang-undangan menyebutkan
hierarki peraturan perundang-undangan yaitu:
1. UUD 1945;
2. Ketetapan MPR;
2 SF. Marbun dan Moh. Mahfud, Pokok-Pokok Hukum Administrasi Negara, Liberty, Yogyakarta, 1987, hlm. 94
4
3. UU/Perpu;
4. Peraturan Pemerintah;
5. Peraturan Presiden;
6. Perda Provinsi;
7. Perda Kabupaten/Kota.
Selain jenis peraturan perundang-undangan diatas,
masih terdapat peraturan perundang-undangan yang
lain yang dijelaskan dalam Pasal 8: “Jenis peraturan
perundang-undangan selain dalam ketentuan ini,
antara lain peraturan yang ditetapkan oleh MPR, DPR,
DPD, MA, MK, BPK, KY, Bank Indonesia, Menteri,
Kepala Badan, Lembaga, atau Komisi yang setingkat
yang dibentuk oleh UU atau pemerintah atas perintah
UU, DPRD Provinsi, Gubernur, DPRD Kabupaten/Kota,
Bupati/Walikota,Kepala Desa atau yang setingkat”.
Lebih lanjut dijelaskan dalam Pasal 8 ayat (2)
menyebutkan bahwa jenis peraturan perundang-undangan
sebagaimana dalam ketentuan ayat (1), tersebut
diakui keberadaannya dan mempunyai kekuatan hukum
mengikat sepanjang diperintahkan oleh peraturan
perundang-undangan yang lebih tinggi atau dibentuk
berdasarkan kewenangan. Kewenangan legislasi bagi
pemerintah atau administrasi Negara yang bersifat
mandiri, dalam arti hanya dibentuk oleh pemerintah
tanpa keterlibatan DPR, berwujud keputusan-keputusan
yang merupakan atau tergolong sebagai peraturan
perundang-undangan. Menurut Philipus M. Hadjon,
5
bentuk keputusan tata Negara demikan tidak merupakan
bagian dari perbuatan keputusan, tetapi termasuk
perbuatan tata usaha Negara di bidang pembuatan
peraturan3. Suatu produk hukum, meskipun dibuat oleh
pemerintah atau pejabat administrasi Negara,
tidaklah selalu merupakan suatu beschikking
(keputusan) namun produk hukum tersebut dapat
berbentuk peraturan yang bersifat mengatur secara
umum, layaknya peraturan perundang-undangan.
Sedangkan keputusan Tata Usaha Negara
(beschikking) menurut Pasal 1 angka 9 Undang-Undang
Nomor 51 Tahun 2009 tentang Perubahan Kedua Atas
Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1986 Tentang Peradilan
Tata Usaha Negara adalah suatu penetapan tertulis
yang dikeluarkan oleh badan atau pejabat tata usaha
negara yang berisi tindakan hukum tata usaha negara
yang berdasarkan peraturan perundang-undangan yang
berlaku, yang bersifat konkret, individual, dan
final, yang menimbulkan akibat hukum bagi seseorang
atau badan hukum perdata.
Istilah “keputusan” ini dalam beberapa
literature terkadang disebut sebagai “ketetapan”.
Namun dalam buku Ridwan HR disebutkan bahwa Djaenal
Hoesen dan Muchsan mengatakan bahwa penggunaan
istilah keputusan barang kali akan lebih tepat untuk3 Philipus M. Hadjon, Pemerintahan Menurut Hukum (Wet-en Rechtmatigheid
van Bestuur), makalah tidak dipublikasikan, dikutip dalam Ridwan HR, Hukum Administrasi Negara, PT Raja Grafindo Persada, Jakarta, 2006, hlm. 143-144
6
menghindari kesimpangsiuran pengertian dengan
istilah ketetapan. Menurutnya, di Indonesia istilah
ketetapan sudah memiliki pengertian teknis yuridis
yaitu sebagai ketetapan MPR yang berlaku ke luar dan
ke dalam4. Suatu keputusan dapat dibuat oleh organ
pemerintahan atau pejabat atat usaha negara yang
mempunyai wewenang untuk mengeluarkan suatu
keputusan tersebut. Lalu siapa yang termasuk dalam
organ pemerintahan atau pejabat tata usaha negara?
Pasal 1 angka 8 Undang-Undang Nomor 51 Tahun 2009
tentang Perubahan Kedua Atas Undang-Undang Nomor 5
Tahun 1986 Tentang Peradilan Tata Usaha Negara
menjelaskan, Badan atau Pejabat Tata Usaha Negara
adalah badan atau pejabat yang melaksanakan urusan
pemerintahan berdasarkan peraturan perundang-
undangan yang berlaku. Selanjutnya Indroharto
mengelompokkan organ pemerintahan atau tata usaha
Negara itu diantaranya5:
1. Instansi-instansi resmi pemerintah yang
berada di bawah Presiden sebagai kepala
eksekutif;
2. Instansi-instansi dalam lingkungan Negara di
luar lingkungan kekuasaan eksekutif yang
4 Djaenal Hoesen Koesoemahatmadja, Pokok-Pokok Hukum Tata Usaha Negara, Alumni, Bandung, 1979, hlm. 47, Muchsan, Beberapa Catatan tentang Hukum Administrasi Negaradan Peradilan Administrasi di Indonesia, Liberty, Yogyakarta, 1981, dalam Ridwan HR, Ibid., hlm. 143-144
5 Indroharto, Usaha Memahami Undang-Undang tentang Peradilan tata Usaha Negara, Sinar Harapan, Jakarta, 1993, hlm. 137
7
berdasarkan perturan perundang-undangan
melaksanakan tugas-tugas pemerintahan;
3. Badan-badan hukum perdata yang didirikan
oleh Pemerintah dengan maksud untuk
melaksanakan tugas-tugas pemerintahan;
4. Instansi-instansi yang merupakan kerja sama
antara pihak pemerintah dengan pihak swasta
yang melaksanakan tugas-tugas pemerintahan;
5. Lembaga-lembaga hukum swasta yang
berdasarkan peraturan perundang-undangan dan
sistem periiizinan melaksanakan tugas
pemerintahan.
Lembaga pemerintahan dalam membuat pengaturan
atau mengeluarkan keputusan harus dilandasi oleh
kewenangan yang diperoleh dari konstitusi secara
atribusi, delegasi atau mandat. Macam kewenangan
berdasarkan cara perolehan:
a. Bersifat orisinal
Kewenangan yang langsung diperoleh dari
peraturan perundang-undangan dan bersifat
permanen.
b. Bersifat non orisinal/ tidak asli
Kewenangan yang diperoleh dari peralihan/
pelimbapahn wewenang dan bersifat sementara.
Peralihan/ pelimoahan wewenang itu dikarenakan
adanya:
1) Delegasi
8
Pemberi delegasi disebut delegans. Penerima
delegasi disebut delegataris. Semua
kewenangan beralih pada delegataris.
2) Mandat
Pemberi mandat disebut mandans. Sedangkan
penerima mandat disebut mandataris. Dalam
member mandate, yang beralih hanya sebagian
kewenangan. Pertanggungjawaban ada di tangan
mandataris.
Wewenang yang diperoleh secara atribusi
bersifat asli yang berasal dari peraturan perundang-
undangan. Dengan kata lain, organ pemerintahan
memperoleh kewenangan secara langsung dari redaksi
pasal tertentu dalam suatu peraturan perundang-
undangan. Dalam hal atribusi, penerima wewenang
dapat menciptakan wewenang baru atau memperluas
wewenang yang sudah ada dengan tanggung jawab intern
dan ekstern pelaksanaan wewenang yang diatribusikan
sepenuhnya berada pada penerima wewenang
(atributaris). Ada delegasi, tidak ada penciptaan
wewenang, namun hanya ada pelimpahan wewenang dari
pejabat yang satu kepada pejabat yang lainnya.
Tanggungjawab yuridis tidak lagi berada pada pemberi
delegasi (delegans), tetapi beralih pada penerima
delegasi (delegataris). Sementara itu, pada mandate,
penerima mandate (mandataris) hanya bertindak untuk
dan atas nama pemberi mandate (mandans), tanggung
9
jawab akhir keputusan yang diambil mandataris tetap
berada pada mandans6. Perlu mendapat perhatian bahwa
kewenangan yang mendelegasikan kepada suatu alat
penyelenggaraan negara tidak dapat didelegasikan
lebih lanjut kepada alat penyelenggara negara lain,
kecuali jika oleh Undang-Undang yang mendelegasikan
kewenangan tersebut dibuka kemungkinan untuk itu.
Prinsip subdelegasi ini banyak diperdebatkan.
Pemikiran awal adalah , delegates non potest delegare ( the
delegate may not delegate), maka subdelegasi itu hanya
boleh dilakukan jika kewenangan untuk melakukannya
ditentukan secara tegas dalam undang-undang yang
memberikan delegasi pertama. Bagi pemikiran doktrin
pemisahan kekuasaan, membatasi eksekutif dari
kebutuhan untuk mengatur sendiri pelaksanaan tugas-
tugasnya di bidang eksekutif, dianggap tidak terlalu
relevan7
Sebagaimana terlihat pada ajaran Rousseau,
pembentukan peraturan negara yang mengikat warga
negara dan penduduk secara umum (dari segi adressat)
dan secara abstrak (dari segi hal yang diaturnya)
beserta sanksi pidana dan sanksi pemaksaannya pada
hakikatnya semua itu berasal dari fungsi legislatif
6 Ridwan HR, Ibid., hlm. 108-1097 Jimly Assiddiqie, Pokok-Pokok Hukum Tata Negara Indonesia Pasca Reformasi,Bhuana Ilmu Populer, Jakarta, 2007 dikutip dalam Totok Soeprijanto, Sepintas Kajian Tata Urutan Perundang-Undangan Dan Pendelegasian Wewenang Dalam Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 Tentang Pembentukkan Peraturan Perundang-Undangan, Pusdiklat Pengembangan Sumber Daya Manusia Badan Pendidikan dan Pelatihan Keuangan, Jakarta, hlm. 4
10
yang bersumber pada volonte generale. Dalam
perkembangan selanjutnya, ketika badan legislatif
sering terlambat mengikuti perkembangan masyarakat,
badan legislatif melimpahkan sebagian dari
kewenangan legislatifnya kepada badan eksekutif
sehingga badan eksekutif ikut pula membentuk
peraturan perundang-undangan. Hal ini merupakan
perkembangan revolusioner dari teori Trias Politica
Montesquieu yang menempatkan pemerintah hanya
sebagai pelaksana undang-undang. Bertitik tolak dari
penjelasan tersebut, maka pada hakikatnya kewenangan
pemerintah atau pejabat administrasi negara dalam
pembentukan peraturan perundang-undangan merupakan
kewenangan yang bersifat pelimpahan (delegated
authority) karena kewenangan asli (original authority)
pembentukan peraturan perundang-undangan ada pada
badan legislatif. Pendelegasian kewenangan
legislatif kepada pemerintah (eksekutif) atau
pejabat administrasi negara membuat pejabat
pemerintah atau pejabat administrasi negara memiliki
kewenangan legislatif seperti halnya pembentuk
undang-undang asli (badan legislatif)8. Mendasarkan
hal tersebut, dapat ditarik kesimpulan bahwa produk
hukum yang merupakan peraturan dibuat oleh badan
legislatif berasal dari kewenangan atribusi yang8 Arif Christiono Soebroto, Kedudukan Hukum Peraturan/Kebijakan Dibawah
Peraturan Menteri Perencanaan Pembangunan Nasional/Kepala Bappenas disampaikan dalam Workshop Peraturan Kebijakan di Kementerian PPN Bappenas,Jakarta, hlm. 2
11
langsung diberikan oleh peraturan perundang-
undangan, sedangkan produk hukum keputusan yang
berasal dari eksekutif atau pejabat administrasi
Negara berasal dari kewenangan yang diperoleh secara
delegasi.
B. Konsekuensi Yuridis Suatu Produk Hukum yang Dibuat
Tanpa Dasar Kewenangan Yang Tidak Jelas
Dalam perkuliahan dengan Prof. Muchsan dijelaskan
bahwa absahnya produk hukum harus memenuhi 2
persyaratan:
1. Bersifat materiil
a. Produk hukum yang lahir harus dibuat aparat
yang berwenang
b. Dalam penyusunannya tidak mengalami kekurangan
yuridis
c. Tujuan produk hukum sesuai dengan tujuan
dasarnya
2. Bersifat formil
a. Bentuk produk hukum harus sama dengan produk
hukum yang dikehendaki
b. Proses pembuatannya harus sama dengan yang
sudah diatur dalam peraturan
c. Semua persyaratan yang bersifat khusus harus
terakomodasi dalam produk hukum yang baru
lahir.
12
Dalam kajian ini, penulis akan fokus pada pembahasan
mengenai unsur “Produk hukum yang lahir harus dibuat
aparat yang berwenang”. Lalu bagaimana apabila
produk hukum tersebut dibuat tanpa kewenangan yang
tidak jelas?
Dalam merumuskan norma hukum yang kongkret
dalam suatu peraturan perundang-undangan maka harus
berpedoman pada suatu asas hukum. Asas-asas
pembentukan peraturan perundang-undangan yang baik
adalah asas hukum yang memberikan peoman dan
bimbingan bagi penuangan isi peraturan, ke dalam
bentuk dan susunan yang sesuai, tepat dalam
penggunaan metodenya, serta mengikuti proses dan
prosedur pembentukan yang telah ditentukan9.
I.C. van derv lies membagi asas-asas dalam
pembentukan peraturan Negara yang baik ke dalam
asas-asas yang formal dan yang material. Asas-asas
formal meliputi:
1. asas tujuan yang jelas
2. asas organ/lembaga yang tepat
3. asas perlunya pengaturan
4. asas dapat dilaksanakan
5. asas consensus
Sedangkan asas-asas material terdiri dari:
1. Asas tentang terminology dan sistematika yang
benar
9 Sudikno Mertokusumo, Penemuan Hukum (Sebuah Pengantar), Liberty,Yogyakarta, 2006, hlm. 11
13
2. Asas tentang dapat dikenali
3. Asas perlakuan yang sama dalam hukum
4. Asas kepastian hukum
5. Asas pelaksanaan hukum sesuai keadaan10
Mengenai asas-asas pembentukan peraturan perundang-
undangan dijabarkan pula oleh A. Hamid S. Attamimi,
yang menyebutnya sebagai asas-asas pembentukan
peraturan perundang-undangan yang patut,
diantaranya11:
1. Asas tujuan yang jelas;
2. Asas perlunya pengaturan;
3. Asas organ/lembaga dan materi muatan yang tepat;
4. Asas dapatnya dilaksanakan;
5. Asas dapatnya dikenali;
6. Asas perlakuan yang sama dalam hukum;
7. Asas kepastian hukum;
8. Asas pelaksanaan hukum sesuai keadaan
individual.
Sedangkan dalam Pasal 5 Undang-Undang Nomor 12 Tahun
2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-
Undangan juga menyebutkan, dalam membentuk Peraturan
Perundang-undangan harus dilakukan berdasarkan pada
asas Pembentukan Peraturan Perundang-undangan yang
baik, yang meliputi:10 I.C. Van Der Vlies, Het Wetsbegrip en Beginselen van Behoorlijke
regelgeving,’s-Gravenhage:Vuga 1984 hal 186 seperti dikutip oleh A.Hamid S. Attamimi, Peranan Keputusan Presiden Republik Indonesia dalam Penyelenggaraan Pemerintahan Negara, Disertasi Doktor Universitas Indonesia, Jakarta, 1990. hlm. 330
11 Ibid. hlm. 344-345
14
a. kejelasan tujuan;
b. kelembagaan atau pejabat pembentuk yang tepat;
c. kesesuaian antara jenis, hierarki, dan materi
muatan;
d. dapat dilaksanakan;
e. kedayagunaan dan kehasilgunaan;
f. kejelasan rumusan; dan
g. keterbukaan.
Berdasarkan penjelasan Pasal 5 huruf b, kelembagaan
atau organ pembentuk yang tepat diartikan bahwa
setiap jenis peraturan perundang-undangan harus
dibuat oleh lembaga /pejabat pembentuk peraturan
perundang-undangan yang berwenang. Dalam beberapa
pendapat ahli dan dalam peraturan perundang-undangan
Indonesia sendiri yaitu Undang-Undang Nomor 12 Tahun
2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-
Undangan, menyebutkan bahwa “organ yang tepat dalam
membuat peraturan perundang-undangan” merupakan
salah satu asas/unsur pembentukan peraturan
perundang-undangan yang baik. Apabila suatu
peraturan perundang-undangan tersebut dibuat oleh
pihak yang tidak mempunyai kewenangan yang jelas
sebagai pembuat peraturan perundang-undangan
tersebut maka tidak memenuhi salah satu asas
pembentukan peraturan perundang-undangan. Dengan
demikian, peraturan perundang-undangan tersebut
dapat dibatalkan atau batal demi hukum, sebagaimana
15
dijelaskan dalam penjelasan Pasal 5 huruf b, bahwa
apabila peraturan perundang-undangan tersebut dibuat
oleh lembaga/pejabat yang tidak berwenang, maka
Peraturan perundang-undangan tersebut dapat
dibatalkan atau batal demi hukum.
Begitupula dijelaskan oleh Totok Soeprijanto,
dalam ilmu hukum, perundang-undangan adalah sah
(valid) apabila dibuat oleh lembaga atau otoritas
yang berwenang membentuknya dan berdasarkan norma
yang lebih tinggi, sehingga berlaku norma yang lebih
rendah (inferior) dapat dibentuk oleh norma yang lebih
tinggi (superior), karena perundang-undangan
susunannya berjenjang-jenjang dan berlapis-lapis
membentuk suatu hierarki12. Maria Farida Indrati
dalam bukunya Ilmu Perundang-Undangan menjelaskan
dalam pembentukan peraturan perundang-undangan yang
berlaku saat ini (sejak era reformasi) terdapat
kecenderungan untuk meletakkan asas-asas hukum atau
asas-asas pembentukan peraturan perundang-undangan
tersebut di dalam salah satu pasal-pasal awal, atau
dalam Bab Ketenuan Umum (dalam hal ini Pasal 5
Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang
Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan). Apabila
hal tersebut dilakukan, maka hal itu tidaklah sesuai
dengan pendapat Paul Scholten (sebuah asas hukum
bukanlah sebuah aturan hukum), atau dengan perkataan
12 Totok Soeprijanto. Op. cit., hlm. 1
16
lain peraturan perundang-undangan tersebut sudah
menjadikan suatu asas huku atau asas pembentukan
peraturan perundang-undangan menjadi suatu norma
hukum. Sebagai suatu norma hukum hal tersebut akan
berakibat adanya suatu sanksi apabila asas-asas
tersebut tidak dipenuhi atau tidak dilaksanakan13.
Mengenai KTUN, melihat dari definisi KTUN dalam
Pasal 1 angka 9 Undang-Undang Nomor 51 Tahun 2009
tentang Perubahan Kedua Atas Undang-Undang Nomor 5
Tahun 1986 Tentang Peradilan Tata Usaha Negara,
diketahui bahwa KTUN memiliki unsur-unsur antara
lain:
1. penetapan tertulis;
2. dieluarkan oleh badan/pejabat TUN;
3. berlandaskan pada peraturan perundang-
undangan yang berlaku;
4. bersifat konkret, individual, dan final;
5. menimbulkan akibat hukum;
6. seseorang atau badan hukum perdata.
Pembuatan KTUN harus berdasarkan pada peraturan
perundang-undangan maupun berdasarkan pada wewenang
pemerintahan yang diberikan oleh epraturan
perundang-undangan. Tanpa dasar kewenangan,
pemerintah atau pejabat atat usaha Negara tidak
dapat membuat dan mengeluarkan KTUN, dan apabila
KTUN dikeluarkan oleh pemerintah atau pejabat yang
13 Maria Farida Indrati S, Ilmu Perundang-Undangan (Jenis, Fungsi, Materi muatan), Penerbit Kanisius, Yogyakarta,2007. Hlm. 264-265
17
tidak mempunyai wewenang, maka KTUN tersebut menjadi
tidak sah. Memahami beberapa penjabaran tersebut,
maka dapat disimpulkan bahwa suatu produk hukum baik
peraturan maupun KTUN, harus dikeluarkan oleh pihak
yang mempunyai kewenangan untuk mengeluarkan produk
hukum tersebut, apabila produk hukum tersebut
dikeluarkan oleh pihak yang tidak mempunyai
kewenangan yang jelas, maka produk hukum tersebut
menjadi tidak sah dan produk hukum tersebut dapat
dibatalkan atau batal demi hukum.
18
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
1. Kewenangan membuat suatu produk hukum oleh
Pemerintah maupun tata usaha Negara dapat berasal
dari kewenangan atribusi, mandat maupun delegasi.
Kewenangan atribusi merupakan bentuk kewenangan
yang langsung berasal dari peraturan perundang-
undangan kepada suatu lembaga
Negara/pemerintahan. Delegasi adalah pelimpahan
wewenang dari organ pemerintahan yang telah
memperoleh kewenangan secara atribusi kepada
organ pemerintahan lain. Sedangkan mandat berasal
dari perintah atasan untuk melakukan sesuatu.
2. Konsekuensi yuridis suatu produk hukum yang
dibuat tanpa dasar kewenangan yang tidak jelas
adalah produk hukum tersebut menjadi tidak sah
dan produk hukum tersebut dapat dibatalkan atau
batal demi hukum.
B. Saran
19
Dalam membuat dan mengeluarkan suatu produk hukum,
lembaga Negara/ organ Negara tersebut harus
mempunyai kewenangan yang jelas sebagai
lembaga/organ yang berwenang untuk membuat dan
mengeluarkan produk hukum, baik kewenangan tersebut
berasal dari atribusi, delegasi, mandat. Tujuannya
adalah agar produk hukum tersebut sah dan dapat
berlaku, mengikat subyek hukum produk hukum
tersebut.
DAFTAR PUSTAKA
A. Hamid S. Attamimi. 1990. Disertasi. Peranan KeputusanPresiden Republik Indonesia dalam Penyelenggaraan PemerintahanNegara. Jakarta: Universitas Indonesia
Arif Christiono Soebroto. Makalah. Kedudukan HukumPeraturan/Kebijakan Dibawah Peraturan Menteri PerencanaanPembangunan Nasional/Kepala Bappenas disampaikan dalamWorkshop Peraturan Kebijakan di Kementerian PPNBappenas. Jakarta
20
Indroharto. 1993. Usaha Memahami Undang-Undang tentangPeradilan tata Usaha Negara. Jakarta: Sinar Harapan
Maria Farida Indrati S,. 2007. Ilmu Perundang-Undangan(Jenis, Fungsi, Materi muatan). Yogyakarta: PenerbitKanisius
Ridwan HR, Hukum Administrasi Negara, PT Raja GrafindoPersada, Jakarta, 2006
SF. Marbun dan Moh. Mahfud. 1987. Pokok-Pokok HukumAdministrasi Negara. Yogyakarta: Liberty
Sudikno Mertokusumo. 2006. Penemuan Hukum (SebuahPengantar). Yogyakarta: Liberty
Totok Soeprijanto. Makalah. Sepintas Kajian Tata UrutanPerundang-Undangan Dan Pendelegasian Wewenang DalamUndang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 Tentang PembentukkanPeraturan Perundang-Undangan, Pusdiklat PengembanganSumber Daya Manusia Badan Pendidikan dan PelatihanKeuangan. Jakarta.
Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang PembentukanPeraturan Perundang-Undangan
Undang-Undang Nomor 51 Tahun 2009 tentang PerubahanKedua Atas Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1986 TentangPeradilan Tata Usaha Negara
21