TEORI KEBENARAN MURTAḌÁ MUṬAHARĪ (Mengkaji ...

140
TEORI KEBENARAN MURTAÁ MUAHARĪ (Mengkaji Konsep dan Kritiknya terhadap Barat) Diajukan kepada Sekolah Pascasarjana UIN Syarif Hidayatullah Jakarta sebagai salah satu syarat untuk melaksanakan Ujian Tesis Disusun Oleh HAIRUS SALEH NIM : 21151200100045 Dosen Pembimbing: Prof. Dr. Amsal Bakhtiar, M.A PROGRAM MAGISTER PENGKAJIAN ISLAM KONSENTRASI PEMIKIRAN ISLAM SEKOLAH PASCASARJANA UNIVERSITAS ISLAM NEGERI (UIN) SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA 2020

Transcript of TEORI KEBENARAN MURTAḌÁ MUṬAHARĪ (Mengkaji ...

TEORI KEBENARAN MURTAḌÁ MUṬAHARĪ

(Mengkaji Konsep dan Kritiknya terhadap Barat)

Diajukan kepada Sekolah Pascasarjana UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

sebagai salah satu syarat untuk melaksanakan Ujian Tesis

Disusun Oleh

HAIRUS SALEH

NIM : 21151200100045

Dosen Pembimbing:

Prof. Dr. Amsal Bakhtiar, M.A

PROGRAM MAGISTER PENGKAJIAN ISLAM

KONSENTRASI PEMIKIRAN ISLAM

SEKOLAH PASCASARJANA

UNIVERSITAS ISLAM NEGERI (UIN) SYARIF HIDAYATULLAH

JAKARTA

2020

i

KATA PENGANTAR

Rasa syukur yang amat sangat mendalam, penulis haturkan kepada Allah

SWT atas segala rahmat dan petunjuk-Nya maka tesis dengan judul “Teori

Kebenaran menurut Murtaḍá Muṭahharī” dapat diselesaikan. Shalawat serta salam

senantiasa selalu tercurahkan kepada Nabi Muhammad Saw. Dalam kesempatan ini

penulis mengucapkan terimakasih yang tak terhingga kepada Ayahanda Abdul

Mu’im dan ibunda tercinta Hamidah dan Darmasiah, Istri Shofiatul Jannah yang

selalu memberikan motivasi kepada penulis serta anak saya Syahida Humaira Khair

yang selalu membuat semangat.

Penulisan tesis ini pada dasarnya untuk memenuhi salah satu persyaratan

dalam memperoleh gelar Magister Pemikiran Islam pada Sekolah Pascasarjana

Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta. Sebagaimana manusia

yang tidak luput dari penulisan tesis ini merupakan suatu respons terhadap

banyaknya pendapat yang membahas teori kebenaran baik dari Barat hingga Islam.

Sehingga dari perdebatan-perdebatan mengenai kebenaran tersebut, penulis ingin

mengkaji lebih mendalam tentang kebenaran menurut Murtaḍá Muṭahharī dalam

teori kebenarannya yang komprehensif.

Tentunya, proses penulisan tesis ini tentunya melibatkan banyak kalangan,

untuk itu kami merasa perlu mengucapkan terima kasih kepada semua pihak yang

telah membantu menyelesaikan skripsi ini, terutama penulis sampaikan kepada:

1. Segenap civitas akademika UIN Syarif Hidayatullah Jakarta: Prof. Dr. Amani

Lubis (Rektor UIN Jakarta), Prof. Dr. Jamhari, M.A. (Direktur Sekolah

Pascasarjana UIN Jakarta), Arif Zamhari, M.Ag., Ph.D. (Ketua Jurusan

Magister Pengkajian Islam Sekolah Pascasarjana UIN Jakarta).

2. Prof. Dr. Amsal Bakhtiar, M.A. sebagai pembimbing, mengayomi, dan

memberikan ide dan gagasan yang konstruktif dalam penyelesaian tesis ini.

3. KH. Holilur Rahman dan keluarga, serta KH. Fauzi Tijani dan keluarga yang

telah banyak membantu dalam proses penyelesaian studi.

4. Pimpinan dan segenap civitas akademika SPS UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

yang telah banyak membantu kelancaran administrasi dan birokrasi.

5. Teman-teman seperjuangan di sekolah Pascasarjana UIN Syarif Hidayatullah

Jakarta, Mohammad Firdaus, Helmi Hidayatullah, Moh. Robith Rosfan yang

telah berbagi ilmu, keceriaan, dan berbagi kisah dengan penulis.

6. Semua pihak yang tidak mungkin penulis sebutkan satu persatu. Semoga

kebaikan selalu bersama kita semua.

Pada akhir pengantar ini, penulis mengharapkan saran dan masukan dari

para pembaca agar karya ini lebih baik lagi. Semoga karya ini memberi kontribusi

positif terhadap perkembangan filsafat Islam.

Jakarta, 29 Desember 2019

Hairus Saleh

vii

ABSTRAK

Kebenaran merupakan kesesuaian antara “pembawa kebenaran” dengan

realitas sebagaimana adanya. Realitas bisa berupa objek materi, rasional maupun

intuitif. Setiap kebenaran mempunyai ranahnya masing-masing. Kebenaran intuitif

didapat melalui hati, ia tak dapat diukur oleh teori-teori empiris, begitu juga

sebaliknya. Namun antara berbagai kebenaran tersebut tidak dapat dipertentangkan.

Justru di antara tiga kebenaran tersebut terjadi saling berhubungan dan saling

menguatkan.

Temuan penelitian ini mengkonfirmasi temuan penelitian Mulyadi

Kartanegara, Imron Mustofa yang menyatakan bahwa kebenaran merupakan

kesesuaian antara “pembawa kebenaran” dengan realitas, berupa realitas fisik dan

realitas nonfisik. Kebenaran fisik harus diukur dengan materi, kebenaran nonfisik

diukur menggunakan kaidah-kaidah logika jika berkaitan dengan logika dan diukur

oleh pengalaman batin jika karakteristik objeknya adalah realitas metafisik.

Temuan penelitian ini berbeda dengan temuan penelitian Achmad Charris

Zubair yang mengatakan kebenaran merupakan kesesuaian dengan realitas,

kesesuaian dengan kaidah-kaidah logika dan mempunyai manfaat. Juga sekaligus

membantah apa yang ditemukan oleh Saifuddin bahwa dalam menentukan

kebenaran antara filsafat dan agama terdapat perbedaan. Sedangkan Murtaḍá justru

menjadikan al-Qur’an sebagai dasar pemikirannya.

Metode yang digunakan dilihat dari tujuan penyelenggaraan penelitian ini

ialah deskriptif analitik. Penelitian deskriptif adalah penelitian yang dilakukan untuk

mengkaji lebih detail tentang suatu gejala. Sedangkan pendekatan yang digunakan

ialah pendekatan filosofis.

Tujuan dari penelitian ini adalah untuk memahami teori kebenaran menurut

Murtaḍá Muṭahharī dan untuk mengetahui bagaimana cara mencapai kebenaran

Murtaḍá Muṭahharī. Secara praktis, penelitian ini akan mempermudah dan

memperjelas pemahaman masyarakat terhadap pemikiran Murtaḍá Muṭahharī

tentang kebenaran. Sedangkan manfaat akademik penelitian ini ialah memperkaya

khazanah kajian-kajian akademik.

Kata Kunci: teori kebenaran, kebenaran intuitif, kebenaran empiris, kebenaran

rasional.

viii

م ل خ م الر ل ال ة

منح جاء با مع الحواقع قيقة هي تطابق ب يح كانه أنح يكون كائنا ماديا، أوح .املوجودالح الحواقع بإمحسيا لنيا أوح حدح قيقة ا ا ا ع حدد ة ك ل و . عقح سيدة بعم يدة الحق حب، ول ي تأتد .الح دح قيقة الح تسب الح تكح

يح ح ت ة . قياس ا بالند ياا التد ح يييدة، والحعكح قائق الحم ح الح .ولكند، ل ت ل أنح تكوحن الحمعار ة ب يحقائق اللدل . م حتيطح ب عحض ا بي عحضة وي عزز ب عحض ا ب عحضا ب ح ك ل ه الح

ا الحياحث ث الندتائج الدت و إلي ح غل رل ت ؤكد ن تائج ه ا الحي ح ، عمل ن مصطلفلى و موايل دةي كل رتل نةي منح جاء با مع الحواقع فعحل، إمدا أنح يكوحن الحواقع ماديا قة هي عيار ح عن التدطابق ب يح قي ح الد ان دحا بأند الح

ماد ي دام .و إمدا ي ح ت ح الحماديدة يتمل قياس ا باسح قيقة ي ح قة الحماديدة يب أنح ت قاس بالحمادد ، أمدا الح قي ح الحق واعد الحمنحطق إذا كانتح م حتيطة بالحمنحطق ويتمل قياس ا بالتد ح بة الحياطنيدة إذا كانتح خ ائص الحموح وع هي

.(ميتافيزيقيدةح )حقيقةح يحييدةح ث لححد ث عنح ن تائج الحي ح قيقة هي التدطابق رحاتحت ف ن تائج ه ا الحي ح زب يح الد ح قال أند الح

اومع الحواقع والت دوافق مع ق واعد الحمنحطق ت اد من ح ث ن ما . إمحكان الحسح سيحف ق در كما أند ه ا الحي حين يحن ف تحديحدهاحيحث الد الد الح حس ة و ب يح قيقة محت فح ب يح نما كان . قال أند الح يحع الحق حآن ملتلضلىب ي ح

ته .أساسا ل كحتنادا ي ي اسح ي التد ح ث ع أسح وح الحو ح ث، تسي ط يقة ه ا الحي ح يل . د الحي ح ث الحو ح الحي ح

ج الح حس يد ث الحمن ح دم الحي ح ت ح اراا الحمعح و ة، كما يسح ي حوحل ااح راسة بالت د ح .هو الدقة منح ج ة ن قي ح ومعح فة كيح يدة الحو ول ملتلضلى مطخهخلةيهد ه ال سالة هو ف مح ن يدة الح

قيقة عا منح . انيه إل الح تي ح تمع و الت دوح ي مح ف الحسح يح الحم ح ع إل تسح ث يسح ت ارة، ه ا الحي ح وباخح قيقة ملتلضلى مطخهخلةيفكح اما ل . عن الح ث ي عحتي إسح زانة أمدا منح حيحث الح وائد الحع حميدة فإند ه ا الحي ح

.الحي وح الحع حميدة ساسيدة لنيدة : الحعياراا الح قيقة الحعقح قيقة التد ح يييدة، الح سيدة، الح دح قة الح قي ح قة، الح قي ح .ن يدة الح

ix

ABSTRACT

Truth is a conformity between "truth bearer" and reality as it is. Reality can

be a material object, rational or intuitive. Every truth has its own realm. Intuitive

truth is obtained through heart, it cannot be measured by empirical theories, and vice

versa. However, various truths cannot be contested. In fact, the three truths are

interconnected and mutually reinforcing.

The findings of this study confirm the research findings by Mulyadi

Kartanegara, Imron Mustofa, stating that truth is a match between "truth bearer"

with reality, in the form of physical reality and non-physical reality. Physical truth

must be measured by matter, non-physical truth is measured using the rules of logic

if it is related to logic and measured by inner experience if the characteristics of the

object are metaphysical reality.

The findings of this study are different from the findings of Achmad Charris

Zubair's research stating that truth is conformity with reality, conformity with the

rules of logic, and having benefits. This research findings, at the same time, also

deny what was found by Saifuddin that there were differences in determining the

truth between philosophy and religion. Whereas, Murtaḍá actually makes the Qur'an

as the basis of his thought.

The method used in this study was analytic descriptive. Descriptive research

is research conducted to examine in more detail about a symptom. The approach

used was a philosophical approach.

This research aims to comprehend the truth theory according to Murtaḍá

Muṭahharī and to find out how to achieve the truth of Murtaḍá Muṭahharī.

Practically, this research will facilitate and clarify people's understanding of

Murtaḍá Muṭahharī's thoughts about truth. While academically, this research aims to

enrich the treasury of academic studies.

Keywords: theory of truth, intuitive truth, empirical truth, rational truth.

xi

DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR ........................................................................................... i

PERNYATAAN BEBAS PLAGIARISME ........................................................ ii

LEMBAR PENGECEKAN PLAGIARISME ................................................. iii

LEMBAR PERNYATAAN PERBAIKAN ........................................................ iv

PERSETUJUAN PEMBIMBING ....................................................................... v

PERSETUJUAN HASIL UJIAN TESIS ........................................................... vi

ABSTRAK BAHASA INDONESIA ................................................................. vii

ABSTRAK BAHASA ARAB .......................................................................... viii

ABSTRAK BAHASA INGGRIS ....................................................................... ix

PEDOMAN TRANSLITERASI ......................................................................... x

DAFTAR ISI ........................................................................................................ xi

BAB I PENDAHULUAN ..................................................................................... 1

A. Latar Belakang Masalah .................................................................................. 1

B. Identifikasi Masalah ...................................................................................... 11

C. Rumusan Masalah .......................................................................................... 11

D. Batasan Masalah ............................................................................................ 11

E. Tujuan Penelitian ........................................................................................... 11

F. Manfaat Penelitian ......................................................................................... 12

G. Kajian Pustaka ............................................................................................... 12

H. Metodologi Penelitian ..................................................................................... 15

I. Sistematika Pembahasan ................................................................................ 16

BAB II TEORI KEBENARAN DARI BERBAGAI PANDANGAN ............. 19

A. Model-model Kebenaran ............................................................................... 19

B. Berbagai Macam Teori Kebenaran ................................................................ 27

C. Pandangan Islam tentang Kebenaran ............................................................. 36

D. Pandangan Barat tentang Kebenaran ............................................................. 45

BAB III LATAR BELAKANG MURTAḌÁ MUṬAHARĪ ............................ 53

A. Biografi .......................................................................................................... 53

B. Latar belakang Pemikiran dan Karyanya ....................................................... 58

C. Peran Murtaḍá Muṭahharī dalam Pemikiran Islam ........................................ 65

BAB IV KONSTRUKSI TEORI KEBENARAN MURTAḌÁ MUṬAHARĪ ....

A. Pandangan tentang Kebenaran ....................................................................... 69

xii

1. Pandangan Murtaḍá Muṭahharī tentang Korespondensi, Koherensi ....... 69

2. Persoalan Pembawa Kebenaran .............................................................. 73

3. Pandangan Murtaḍá tentang Fakta .......................................................... 74

4. Sumber-sumber Kebenaran ..................................................................... 76

B. Berbagai Model Kebenaran dan Ruang Lingkupnya ..................................... 78

1. Kebenaran Materi .................................................................................... 78

2. Kebenaran Logis ..................................................................................... 80

3. Kebenaran Intuitif ................................................................................... 81

C. Metode Pembuktian Kebenaran ..................................................................... 83

1. Metode Eksperimen ................................................................................ 83

2. Metode Koherensi ................................................................................... 85

3. Metode Pengalaman Batin ...................................................................... 86

D. Kebenaran dan Fitrah Manusia ...................................................................... 87

1. Hubungan Kebenaran dengan Kesucian Jiwa ......................................... 87

2. Hal-hal yang Menghalangi Seseorang terhadap Kebenaran ................... 88

BAB V KRITIK MURTAḌÁ MUṬAHARĪ TERHADAP BARAT .............. 91

A. Kritik Murtaḍá Muṭahharī terhadap Teori Kebenaran Karl Marx ................. 91

B. Kritik Murtaḍá Muṭahharī terhadap Teori Kebenaran René Descartes .......... 96

C. Kritik Murtaḍá Muṭahharī terhadap Teori Kebenaran Auguste Comte ....... 100

BAB VI PENUTUP .......................................................................................... 107

A. Kesimpulan .................................................................................................. 107

B. Kritik dan Saran ........................................................................................... 108

DAFTAR PUSTAKA ....................................................................................... 109

GLOSARI ......................................................................................................... 120

INDEKS ............................................................................................................ 121

BIODATA ......................................................................................................... 123

1

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Kebenaran pada dasarnya merupakan fitrah bagi setiap manusia. Manusia

dikatakan oleh Murtaḍá Muṭahharī sebagai makhluk yang diciptakan untuk selalu

mencari kebenaran.1 Pencarian kebenaran bagi manusia merupakan pembeda dari

hewan. Dalam tiap hidupnya manusia terus mencintai kebenaran. Manusia setiap

saat selalu mendambakan kebenaran, bahkan menurut Fahruddin Faiz dalam diri

manusia sebenarnya telah tertanam kebenaran. Maka tidak heran jika kemudian

dalam setiap langkah manusia selalu dimotivasi oleh pencarian akan kebenaran.

Peperangan yang terjadi antara Islam dan Kristen beberapa abad lalu juga

dilandaskan pada keyakinan akan kebenaran ajaran agamanya masing-masing.

Bahkan dalam setiap individu mempunyai kepercayaan akan kebenaran berdasarkan

pengalaman sendiri.2 Misalkan satu individu mengatakan bahwa sate sangat enak,

sedangkan yang lainnya mengatakan tidak enak. Keduanya sama-sama benar

berdasarkan kesukaan masing-masing. Namun jika setiap orang mempunyai

kebenaran yang berbeda pada setiap individu, lalu kebenaran yang mana yang

hendak dijadikan patokan?

Istilah “kebenaran” dapat digunakan sebagai suatu kata benda yang konkret

maupun abstrak. Truth adalah sebutan kebenaran dalam bahasa Inggris. Varitas

(bahasa Latin) dan eletheid (bahasa Yunani) merupakan lawan kata dari kesalahan,

kesesatan, kepalsuan dan terkadang juga opini.3 Kebenaran dapat juga disebut

sebagai al-ḥaq (bahasa Arab) yang mengandung arti Naqid al-bāṭil. Naqid al- bāṭil yang mengandung arti lawan dari yang rusak, sesat, salah atau batal.

4 Dalam kamus

bahasa Indonesia, kata kebenaran diartikan sebagai sebuah kata yang menunjukkan

kepada sebuah keadaan yang cocok dengan yang sesungguhnya. Dalam arti suatu

keadaan yang benar-benar ada.5 Abbas Hamami mengatakan bahwa jika seseorang

menuturkan kebenaran, yang dimaksud ialah berupa proposisi yang benar. Proposisi

maksudnya adalah makna yang dikandung dalam suatu pernyataan atau statement.

Jika seseorang menyatakan kebenaran bahwa proposisi yang diuji pasti memiliki

kualitas, sifat atau karakteristik, hubungan dan nilai, maka hal yang demikian itu

karena kebenaran tidak dapat begitu saja terlepas dari kualitas, sifat, hubungan dan

nilai itu sendiri.

Joachim memahami kebenaran bukan berdasarkan kesesuaian suatu hal

dengan fakta, melainkan keselarasan dengan berbagai pengetahuan yang sudah ada

1 Nur Idam Laksono, “Tasawuf Untuk Kemanusiaan : Kajian Terhadap Konsep

Fitrah Murtaḍá Muṭahharī”, dalam Attanwir, v. 05, n0. 02, September 2015, h. 23. 2 Jujun S. Suriasumantri, Ilmu dalam Perspektif: Sebuah Kumpulan Karangan

tentang Hakikat Ilmu, (Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, 2006), h. 10. 3 Lorens Bagus, Kamus Filsafat, (Jakarta: Gramedia, 1996), h. 412.

4 Ibnu Manzhur, Lisān al-‘ Arab, (Beirut: Dār Shādir, 1412/1992), Jilid 10, h. 49-

58. 5 Tim Penyusun Kamus PPPB, Kamus Besar Bahasa Indonesia, (Jakarta, Balai

Pustaka, 1994), h. 114.

2

sebelumnya. “Truth in its essential nature is that systematic coherence with is the

character of a significant whole.”6 Teori ini mengisyaratkan kebenaran koheren di

mana suatu kebenaran dari pembawa kebenaran7 diukur berdasarkan hubungan-

hubungan pembawa kebenaran dengan pembawa kebenaran lain yang sebelumnya

sudah teruji kebenarannya. Pandangan berbeda dengan pandangan para pragmatisme

yang menilai kebenaran sebagai sebuah hasil yang memuaskan keinginan dan tujuan

manusia. Kebenaran dalam versi koherensi dapat disajikan dengan saling

keterhubungan yang sistematik, konsistensi, selaras, serta kecocokan antara suatu

pernyataan dengan lainnya yang lebih dahulu diakui, diterima, dan diketahui

kebenarannya. Loren Bagus mengatakan bahwa dasar kebenaran adalah yang ada

atau eksistensi.8 Kebenaran dapat ditemukan dengan beberapa cara di antaranya

ialah oleh akal sehat, intuitif, trial and error, otoritas, prasangka dan wahyu.

Dari beberapa pandangan yang telah dibahas tadi, ditemukan term yang

sering kali digunakan dalam menjelaskan makna dari kebenaran; di antaranya ialah;

compatibility, objective process, coherence with significant whole, practical effect,

dan correspondence. Dari situlah dapat kita katakan bahwa kebenaran adalah

persesuaian antara realitas dan teori yang dapat dibuktikan secara objektif, dapat

diterima oleh banyak orang serta dapat memiliki manfaat praktis.

Kebenaran yang berkaitan dengan intelektual dan realitas dibagi menjadi

tiga9 yaitu pertama kebenaran berkaitan dengan etika. Kebenaran dalam tataran ini

menunjukkan hubungan antara hal yang dikatakan dengan hal yang dirasakan atau

dipikirkan. Kedua kebenaran yang berkaitan dengan logika. Kebenaran dalam

tataran ini menunjukkan hubungan antara keputusan dan realitas objektif. Kebenaran

ini berkaitan dengan logika, epistemologi dan psikologi. Ketiga adalah kebenaran

yang berkaitan dengan yang ada, yaitu dalam tingkat ontologis.

Perdebatan tentang kebenaran tampaknya sudah terjadi sejak zaman Yunani

kuno. Perdebatan itu kemudian merambah kepada pemikiran selanjutnya. Kajian

tentang teori kebenaran dalam kajian filsafat dan lainnya terus mengalami

perdebatan yang menarik. Dalam Islam sendiri pun terdapat dinamika itu. Ada yang

mengatakan kebenaran dapat dicapai menggunakan rasio, indera, hati dan lainnya.

Masing-masing mempunyai pendapat dan argumen yang berbeda, tidak terkecuali

Murtaḍá Muṭahharī. Ia menyajikan teori kebenaran yang cukup menarik. Ia pun

mengajukan kritik-kritiknya kepada filosof Islam maupun Barat seperti Plato.

Di antara yang menarik lainnya dari pembahasan tentang teori kebenaran

menurut Murtaḍá ialah bahwa tulisan-tulisannya termasuk juga tulisan tentang teori

kebenaran merupakan bentuk refleksi dari berbagai kegelisahan intelektual dan

merupakan reaksi terhadap dinamika sosial yang terjadi pada saat ia hidup. Pada

6 Peter Brophy, Narrative-based Practice, (New York: Rutledge, 2016), h. 72.

7 Pembawa kebenaran ialah hal-hal yang bisa mempunyai nilai kebenaran, yaitu hal

macam apa yang bisa benar atau salah. Di antaranya ialah keyakinan, proposisi, penilaian,

laporan teori, pernyataan, gagasan, kegiatan pikiran, ucapan. Richard L. Kirkham, Theories

of Truth, (Cambridge, Massachusetts Institute of Technology Press (MIT Press), 1992), h.

54. 8 Lorens Bagus, Kamus Filsafat ..., h. 86.

9 Suparlan Suhartono, Filsafat Ilmu Pengetahuan, (Jogjakarta: Ar-Ruzz Media,

2008), h. 93-95.

3

masa Murtaḍá hidup di Iran, partai Tudeh (partai komunis Iran) kerap kali

menyebarkan berbagai propaganda untuk mempengaruhi masyarakat Islam Iran agar

menjadikan materialisme sebagai ideologi dan landasan hidup.10

Terbukti pada

waktu itu, anak-anak muda Iran mulai menerimanya sebagai kebenaran, dan

menganggap ajaran Islam tidak relevan lagi dengan zaman.

Melihat kenyataan tersebut, Murtaḍá kemudian melancarkan kritik-kritik

tajam dalam rangka mengembalikan pemahaman masyarakat yang menurutnya telah

melalui jalan yang sesat sebagaimana kesesatan para materialisme. Salah satu tokoh

Barat yang dikritik ialah Karl Marx, Plato, Descartes, Auguste Comte dan lainnya.

Sebelum Plato sebenarnya sudah terjadi pembahasan tentang kebenaran di

masyarakat Yunani kuno. Kajian kebenaran itu dimulai oleh kaum Sofis, dengan

mengatakan bahwa kebenaran adalah relatif. Kebenaran dapat diciptakan oleh

permainan retorika. Sedangkan retorika sebenarnya tidak peduli terhadap kebenaran

hakiki.11

Maka kebenaran bagi kaum sofis hanya sebatas dalam retorika. Satu

kebenaran akan berubah menjadi salah dalam waktu yang berbeda ketika dibantah

oleh kalimat-kalimat yang lebih dapat memberikan keyakinan. Namun kemudian

Plato mengoreksinya.

Bagi Plato kebenaran bersifat pasti dan tidak berubah-ubah. Kebenaran tidak

dipengaruhi oleh permainan kata, tidak pula dipengaruhi oleh perjalanan waktu dan

perubahan tempat. Kebenaran yang berubah-ubah adalah kebenaran palsu dan

menipu. Alasannya adalah kebenaran itu pasti dan tidak berubah, maka ia tidak

berasal dari sesuatu yang berubah setiap saat, akan tetapi berasal dari sesuatu yang

tetap.12

Kebenaran menurutnya adalah berasal dari dunia idea yang memang sudah

ada sebelumnya.13

Pernyataan Plato ini merupakan sebuah tanggapan terhadap

filosof sebelumnya yang menganggap bahwa dunia terus berubah. Hal tersebut

kemudian mengilhami Plato untuk tidak menetapkan materi sebagai landasan

kebenaran karena ia berubah-ubah. Di samping itu, Plato juga memandang bahwa

materi hanyalah sebuah bayangan dari apa yang ada dalam dunia idea.14

Maka dari

itu ia tidak bisa dijadikan sebagai landasan kebenaran.

Pemikiran Plato ini banyak mempengaruhi pemikiran-pemikiran umat

manusia sesudahnya termasuk umat Islam seperti Ibn „Arabī dan tokoh lainnya.

Dalam tradisi mistis Islam seperti pemikiran Ibn „Arabī pun meletakkan kebenaran

pada pengalaman batin yang metafisik dalam istilah Plato pengalaman langsung

tentang idea-idea. Seseorang akan mendapatkan kebenaran hakiki hanya ketika ia

meninggalkan keduniaan, tanpa itu kebenaran tidak akan pernah ia capai. Ibn „Arabī

menilai indera dan akal tidak mampu menyerap objek-objek eksternal secara

10

Hamid Algar, Murtaḍá Muṭahharī: Sang Mujahid, Sang Mujtahid, penerjemah.

Haidar Bagir, (Bandung: Mizan, 1988), h. 32. 11

A. Setyo WiboWo, “Pengantar Sejarah Filsafat Yunani: Sofisme”, makalah

filsafat, Komunitas Salihara, Maret 2016, h. 13. 12

Simon Petrus L. Tjahjadi, Petualangan Intelektual: Konfrontasi dengan Para

Filsuf dari Zaman Yunani hingga Zaman Modern, (Yogyakarta: Kanisius; 2008), h. 27. 13

Linda Smith & William Raeper, Ide-Ide Filsafat dan Agama, Dulu dan Sekarang,

(Yogyakarta: Kanisius; 2004), h. 17. 14

Jan Hendrik Rapar, Pengantara Filsafat, cet. ke-14, (Yogyakarta: Kanisius,

2010), 47.

4

langsung. Keduanya mempunyai keterbatasan-keterbatasan sehingga tidak akan

mampu menangkap objek metafisik yang merupakan wujud hakiki. Maka untuk

mendapatkan kebenaran, manusia hendaknya menyerap langsung objek-objek

tersebut melalui hati.15

Itulah yang disebut dengan pengalaman batin secara

langsung.

Seorang filosof asal Yunani yang juga terkenal hingga saat ini adalah

Aristoteles. Pengaruhnya terhadap perkembangan pemikiran dunia tidak diragukan

lagi. Dalam kajian tentang kebenaran, Aristoteles berpikir berbeda dengan

pendahulunya, Plato. Ia mengatakan kebenaran merupakan sesuatu pengetahuan atau

pernyataan yang terdapat kesesuaian atau identik dengan realitas satu sama

lainnya.16

Lebih jelasnya ia membedakan kebenaran dengan kekeliruan dengan

mengatakan “ketika seseorang mengatakan sesuatu yang tidak ada, atau yang tidak

ada sebagaimana adanya, maka ucapan tersebut merupakan kebohongan. Sebaliknya

mengatakan sesuatu yang ada sebagai ada, atau hal yang tidak ada sebagai hal yang

tidak ada merupakan kebenaran”.17

Dalam kalimat tersebut Aristoteles ingin

mengatakan bahwa kebenaran merupakan persesuaian antara pembawa kebenaran

dengan kenyataan. Suatu pernyataan dianggap benar jika sesuatu yang dinyatakan di

dalamnya berhubungan atau punya keterkaitan dengan kenyataan. Pemikiran

Aristoteles tersebut tampaknya berangkat dari pemikirannya yang mengatakan

bahwa pengetahuan atau pernyataan dalam akal bukan merupakan ide bawaan, akan

tetapi hasil dari abstraksi ide yang terdapat dalam bentuk benda-benda berdasarkan

hasil tangkapan indra. Itulah mengapa Adelbert Snijders mengemukakan bahwa

Aristoteles merupakan salah satu tokoh filosof yang mempertahankan keyakinan

bahwa segala pengetahuan diperoleh melalui indra.18

Naqīb al-„Aṭās menambahkannya, konsep korespondensi seperti yang

diungkapkan oleh Aristoteles dan pengikut setelahnya, merupakan konsep

kebenaran yang terlalu sederhana. Baginya kebenaran tidak hanya sekedar

kesesuaian antara pernyataan atau suatu pengetahuan dengan realitas, akan tetapi

lebih dari itu kebenaran juga seharusnya diikuti dengan manfaatnya. Fakta baginya

bisa saja diciptakan oleh manusia, maka bisa saja fakta berada pada tempat yang

salah. Maka dari itu, kebenaran yang sesungguhnya ialah kebenaran yang kemudian

membawa manfaat. Terdapat indikator-indikator tentang manfaat, yaitu

mendekatkan kepada Allah, dapat membantu manusia merealisasikan tujuan-

tujuannya, dapat memberikan pedoman kepada manusia dan dapat menyelesaikan

persoalan umat.19

Naqīb al-„Aṭās tampaknya menggabungkan konsep kebenaran

15

Ibn „Arabī, Futūḥāt al-Makkiyyah, ed. Maḥmūd Matrajī. Volume 8, (Bayrūt: Dār

al-Fikr, 2002), v. i, h. 288. 16

J. Sudarminta, Epistemologi Dasar, (Yogyakarta: Kanisius, 2002), h. 128. 17

A. Sonny Keraf dan Mikhael Dua, Ilmu Pengetahuan: Sebuat Tinjauan Filosofis

(Yogyakarta: Kanisius, 2010), cet. ke-10, h. 66. 18

Adelbert Snijders, Manusia dan Kebenaran: Sebuah Filsafat Pengetahuan,

(Yogyakarta: Kanisius, 2010), h. 51. 19

Achmad Charris Zubair, Filsafat Ilmu Menurut Konsep Islam, dalam Jurnal

Filsafat UGM, Maret 1997, h. 39. Diakses pada tanggal 04 September 2019 dari

https://jurnal.ugm.ac.id/wisdom/article/download/31650/19181

5

korespondensi dengan pragmatisme, meskipun konsep pragmatismenya berbeda

dengan pragmatisme Barat.

Sebagai bapak logika, Aristoteles juga menawarkan konsep lain selain yang

telah dijelaskan di atas yaitu konsep kebenaran yang kebenarannya tidak diukur oleh

realitas, namun diukur berdasarkan kaidah-kaidah logika. Menurutnya kebenaran

juga bisa didapatkan ketika suatu pernyataan atau suatu pengetahuan koheren20

atau

konsisten dengan pernyataan sebelumnya yang dianggap benar atau sesuai dengan

kaidah-kaidah logika yang telah diuji kebenarannya.21

Teori kebenaran ini kemudian

banyak mempengaruhi pemikiran Islam. Tokoh-tokoh Islam yang mendapatkan

pengaruh pemikiran logika Aristoteles menurut Zainun Kamal di antaranya adalah

al-Fārābī, al-Ghazālī, Ibnu Rushd dan lainnya.

Al-Fārābī dapat dikatakan sebagai tokoh pemikir Islam pertama yang

meletakkan dasar-dasar teori kebenaran Aristoteles dalam dunia Islam. Ia juga

memberikan komentar-komentar yang begitu menawan atasnya. Secara garis besar,

pandangan al-Fārābī tentang teori kebenaran dapat dijabarkan bahwa suatu

kebenaran dapat kita temukan dengan menggunakan logika. Baginya logika telah

memberikan aturan-aturan yang dengannya kita dapat membedakan kebenaran dan

kesalahan. Dengan logika pola seseorang dapat memperoleh cara yang benar dalam

berpikir yang benar.22

Teori kebenaran ini oleh al-Fārābī digunakan untuk

membuktikan keberadaan Tuhan. Keberadaan Tuhan dikatakan benar ketika

argumen tentang keberadaannya sesuai dengan kaidah-kaidah logika. Dapat juga

dikatakan keberadaan Tuhan adalah benar ketika memiliki argumen-argumen

rasional.

Ibnu Sīnā sebagai filosof muslim yang mendapatkan gelar Syeikh Utama

filsafat juga mendapat pengaruh dari Aristoteles mengenai cara mencari kebenaran.

Untuk mendapatkan kebenaran dan mengetahui kekeliruan kita hendaknya

menggunakan akal atau logika.23

Maka bagi kedua tokoh tersebut, logika dapat

dikatakan sebagai alat untuk mengukur kebenaran. Dalam mengomentari teori

kebenarannya Aristoteles, ternyata Ibnu Sīnā memberikan pengayaan-pengayaan

yang luar biasa. Ibnu Sīnā mengembangkan teori kebenaran logis menjadi sebagai

suatu disiplin ilmu yang berdiri sendiri.

Filosof muslim yang kemudian mendewakan akalnya dalam mendapatkan

kebenaran adalah al-Rāzī. Al-Rāzī sangat mengagumi akal dan memujanya sehingga

cukup dengan akal, seseorang sudah mampu mendapatkan kebenaran. Kebenaran

baginya hanyalah semata-mata karena kesesuaiannya dengan kaidah-kaidah logika.

Ia bahkan ia tidak mempercayai wahyu dan mengatakan bahwa al-Qur‟an bukan

mukjizat. Bahwa menurutnya tanpa hal tersebut akal sudah mampu menemukan

20

Daldiyono, Bagaimana Dokter Berpikir dan Bekerja, (Jakarta: Gramedia, 2006),

h. 169. 21

Juliansyah Noor, Metodologi Penelitian, (Jakarta: Kencana, 2011), h. 7. 22

Zainun Kamal, Ibn Taymiyah Versus Para Filosof Polemik Logika, (Jakarta: Raja

Grafindo Persada, 2006), h. 57. 23

Zainun Kamal, Ibn Taymiyah Versus Para Filosof ..., h. 60.

6

kebenaran.24

Pemikiran al-Rāzī tentang kebenaran ini tampaknya cukup ekstrem,

hingga tidak mengakui kebenaran selain kebenaran yang dihasilkan oleh akal.

Melihat filosof terdahulu yang begitu ekstrem memuja kemegahan teori

kebenaran Aristoteles berupa kebenaran logis, al-Ghazālī kemudian mengkritiknya.

Meskipun pada dasarnya al-Ghazālī juga mengakui keampuhan teori logika

Aristoteles dalam mencapai suatu kebenaran, namun di sisi lain al-Ghazālī

mengoreksinya. Baginya teori kebenaran Aristoteles itu memang mampu

memberikan kepada kita suatu jalan untuk mencapai kebenaran. Artinya logika

dapat digunakan untuk mengukur benar tidaknya suatu perkara, namun teori

kebenaran Aristoteles ini mempunyai kemampuan terbatas. Logika tidak dapat

mengukur kebenaran semua perkara. Terdapat banyak hal yang tidak dapat diukur

oleh teori kebenaran ini, terutama persoalan-persoalan yang bersifat metafisik.25

Di sinilah tampaknya al-Ghazālī menambahkan bahwa dalam rangka

mengukur kebenaran persoalan tidak hanya dapat menggunakan logika, tetapi

menggunakan intuisi. Ketika menghadapi persoalan metafisika maka hendaknya

menggunakan tolok ukur yang sesuai dengan karakter persoalan, maka intuisi adalah

cara memperoleh kebenaran yang tepat dalam mencapai kebenaran metafisika. Di

sinilah al-Ghazālī menunjukkan bahwa logika tak berdaya ketika menghadapi

metafisika.

Perdebatan tentang teori kebenaran tidak hanya terjadi pada pemikir muslim

tetapi juga di pemikiran Barat. Bahkan pemikiran-pemikiran Barat tentang teori

kebenaran bahkan sampai pada titik puncak sehingga lahir konsep yang tidak

mengakui kebenaran tentang keberadaan Tuhan. Namun dalam kaitannya dengan

teori kebenaran rasional, para filosof Barat yang mengkaji dan menggunakannya

sebagai landasan pengetahuannya ialah filosof Descartes, Spinoza, Hegel dan

lainnya.

Dalam kajian tentang teori kebenaran, Descartes melandaskannya pada akal.

Akal adalah satu-satunya alat untuk mendapatkan suatu kebenaran. Maka di sinilah

ia ingin mengatakan bahwa hanya dengan melalui berpikir manusia akan sampai

pada kebenaran hakiki. Kebenaran materi atau kebenaran yang didasarkan pada

materi menurutnya tidak dapat dikatakan sebagai kebenaran, karena indra (alat yang

digunakan untuk menangkapnya) cenderung menipu dan keliru. Maka seseorang

yang melandaskan kebenarannya pada indra maka mustahil sampai pada kebenaran.

Ia kemudian mencontohkan tentang warna langit. Ketika langit dilihat pada

siang hari, ia berwarna biru, padahal ia tidak berwarna biru. Maka dengan demikian

Descartes mengatakan bahwa semakin jelas suatu ide dalam akal budi, maka

semakin jelas sesuai ide tersebut dengan realitas.26

Pandangan Descartes ini

tampaknya menolak secara total peran indera dalam menangkap kebenaran. Maka

dunia materi oleh Descartes dinilai sebagai penampakan nisbi dan tidak dapat

dijadikan sebagai landasan kebenaran.

24

Harun Nasution, Falsafat dan Mistisisme dalam Islam, (Jakarta: Bulan bintang,

2008), h. 14. 25

Zainun Kamal, Ibn Taymiyah Versus Para Filosof ..., h. 63. 26

A. Soony Keraf dan Michael Dua, Ilmu Pengetahuan: Sebuah Tinjauan Filosofis,

(Yogyakarta: Kanisius, 2001), h. 45.

7

Tentu saja teori kebenaran yang berlandaskan atas rasionalitas Descartes ini

tidak diterima setiap filosof di Barat. Terbukti lahir para kritikus-kritikus yang

melancarkan penolakan-penolakan dan menawarkan teori kebenaran lainnya.

Pemikiran mereka justru menjadikan apa yang ditolak oleh rasionalisme sebagai

landasan kebenaran.

Jika rasionalisme seperti dijelaskan tadi mencampakkan materi, akan tetapi

filosof seperti Karl Marx dan Engels justru menjadikan materi sebagai inti dari

realitas atau fakta. Apa yang selama ini oleh Descartes, Spinoza dan teman-

temannya dianggap sebagai realitas sejati, oleh Marx dan Engels tak dianggap

sebagai realitas. Maka bagi Marx dan Engels yang ada hanyalah sesuatu yang dapat

ditangkap oleh indera atau yang biasa kita sebut materi.27

Dengan demikian realitas

sejati adalah sesuatu yang bersifat materi.28

sedangkan materi adalah sesuatu yang

ditangkap atau diamati oleh pancaindra.29

Dalam melihat kebenaran pun berlandaskan materi. Segala yang tidak

mempunya bentuk materi olehnya dianggap sebagai kebohongan dan kekeliruan.

Maka kebenaran bagi mereka adalah kesesuaian dengan fakta. Sedangkan fakta

adalah segala sesuatu yang dapat ditangkap oleh pancaindra. Suatu pernyataan atau

teori dianggap benar adanya ketika ia mempunyai bukti materiil atau fakta. Segala

sesuatu yang tidak terdapat fakta di dalamnya, maka sesuatu itu adalah

kebohongan.30

Termasuk teori tentang ketuhanan. Keberadaan Tuhan akan dikatakan

benar ketika Tuhan dapat dibuktikan secara materi. Jika ia tidak dapat dibuktikan

secara materi maka keberadaan Tuhan adalah kebohongan. Maka begitulah mereka

mengatakan bahwa Tuhan tidak ada. Kesimpulannya adalah fakta/materi adalah

faktor yang menentukan kebenaran.

Jika memang hanyalah benda yang ada, dan setiap kebenaran harus

dibuktikan menggunakan eksperimen maka manusia terutama masyarakat beragama

akan banyak kehilangan kebenaran. Karena teori-teori keagamaan selama ini

dibangun atas dasar rasionalitas dan kesaksian batin. Banyak ajaran-ajaran dari

agama yang tidak ada relevansinya dengan materi, ajaran agama bersifat metafisik.

Metafisik adalah sesuatu yang tidak dapat dibuktikan secara eksperimen atau dengan

pengamatan pancaindra.

Teori ini tentunya tidak digunakan oleh filosof muslim dalam menentukan

kebenaran tentang keberadaan Tuhan. Teori kebenaran yang mengandalkan indera

sebagai ujung tombak kebenaran banyak mendapatkan tantangan dari kalangan umat

Islam. Secara umum pemikir Islam mengungkapkan kelemahan-kelemahan indra

dalam menangkap realitas.

Umat Islam yang mengungkap kelemahan-kelemahan indra ialah Ibnu Sīnā.

Baginya sesuatu yang bersifat materi mempunyai kelemahan-kelemahan. Terkadang

27

Franz Magnis Suseno, Dalam Bayang-Bayang Lenin: Enam Pemikiran Marxisme

Dari Lenin Sampai Tan Malaka, (Jakarta: Gramedia, 2016), cet. iii, h. 22-24. 28

Bryan Magee, The Story of Philosophy, Penerjemah Marcus Widodo dan

Hardono Hadi (Yogyakarta: Kanisius, 2012), cet. ke-5, h. 36. 29

Oesman Arif, Dasar-Dasar Ilmu Filsafat Timur dan Barat, (Solo: Matakin,

2009), h. 129. 30

Jujun S. Suriasumantri, Ilmu dalam Perspektif, (Jakarta: Gramedia, 1978), h. 70.

8

materi tampak kepada manusia tidak sebagaimana adanya. Di antara kekeliruan yang

dapat muncul pada materi di antaranya ialah 1. Kekeliruan karena jarak objek yang

terlalu jauh dari jarak moderat. 2. Posisi objek yang terlalu jauh dari jarak moderat.

3. Karena pencahayaan yang terlalu terang dari pencahayaan moderat. 4. Karena

ukuran objek yang terlalu kecil atau terlalu besar dari ukuran moderat. 5. Karena

keburaman yang terlalu pekat. 6. Karena transparansi yang terlalu kuat dari moderat.

7. karena lamanya memandang yang berada di luar batas moderat dan 8. Karena

kondisi mata yang tak memungkinkan akibat kerusakan yang melampaui batas

moderat.31

Ketika sesuatu yang tampak kepada manusia adalah sesuatu yang tidak

sebagaimana adanya, maka hal yang tampak tersebut bukanlah kenyataan hakiki.

Maka Ibnu Sīnā mengelompokkan kenyataan menjadi 3 golongan di antaranya ialah

kenyataan yang secara niscaya tidak berkaitan dengan materi dan gerak, kenyataan

yang meskipun pada dasarnya imateriil tetapi terkadang mengadakan kontak dengan

materi dan gerak dan kenyataan yang secara niscaya berhubungan dengan materi dan

gerak.32

Tidak hanya Ibnu Sīnā yang mengungkap kelemahan indra, tetapi juga al-

Ghazālī. Dalam pandangannya, materi tidak bisa dijadikan landasan realitas, karena

pancaindra yang dijadikan alat penangkap pengetahuan tentang materi kerap kali

menipu seseorang. Ia menilai pancaindra memiliki keterbatasan dan tidak dapat

mencapai kebenaran.33

Tongkat yang lurus akan tampil bengkok ketika dimasukkan

ke dalam air, padahal aslinya tidak bengkok. Tidak hanya itu, bintang yang oleh

manusia dilihat sebagai benda kecil ternyata ia sangat besar. Apa yang dikatakan

oleh al-Ghazālī menunjukkan bahwa materi yang merupakan sesuatu yang ditangkap

pancaindra tidak dapat dijadikan landasan kebenaran, karena ia sering keliru.

Immanuel Kant justru sangat ekstrem dengan mengatakan kebenaran hakiki

tidak akan pernah manusia dapatkan. Baginya melandaskan kebenaran pada

kenyataan adalah hal yang mustahil, karena kenyataan hakiki tidak dapat diketahui

oleh manusia. Kenyataan yang biasa manusia bahas hanyalah “kenyataan yang

diketahui”. “Kenyataan yang diketahui” bukan lah kenyataan sebenarnya, karena

manusialah yang sebenarnya memberikan isi dan bentuk kepada kenyataan tersebut

dan menjauhkan kita dari kenyataan yang sebenarnya.34

Dari berbagai keterangan di atas tampaknya terdapat sebagian pemikiran

para tokoh yang cukup ekstrem dalam mengonsep teori kebenarannya. Seperti teori

kebenaran Plato yang menolak kemampuan indra sebagai alat penangkap kebenaran

materi. Di sebabkan karena materi yang terus berubah. Di sisi lain Karl Marx dan

Engles menafikan kebenaran selain materi.

Pemikiran materialisme ini hadir di tengah masyarakat muslim Iran. Ajaran-

ajarannya terus dihembuskan kepada masyarakat. Banyak pemuda-pemuda mulai

31

Mulyadi Kartanegara, Pengantar Epistemologi Islam, (Bandung: Mizan, 2003), h.

77. 32

Mulyadi Kartanegara, Pengantar Epistemologi Islam ..., h. 43. 33

M. Solihin. Perkembangan Pemikiran Filsafat Dari Klasik Hingga Modern

(Bandung: Pustaka Setia, 2007), h. 43. 34

Adelbert Snijders, Manusia Kebenaran ..., h. 20.

9

terpengaruh oleh ajaran-ajaran materialisme dan ajaran-ajaran Barat lainnya. Ajaran-

ajaran Barat yang oleh Murtaḍá dianggap sebagai ajaran menyesatkan justru menjadi

idola umat muslim. Hal tersebut membuat Murtaḍá mengkaji dan mengkritik ajaran-

ajaran Barat tanpa menghilangkan objektivitasnya. Terbukti meskipun ajaran-ajaran

Barat ia katakan menyesatkan, namun ajaran-ajaran yang dianggapnya benar tetap ia

ambil sisi kebenaran dari pemikiran-pemikiran tersebut.

Maka Murtaḍá Muṭahharī muncul sebagai kritikus dan penyatu dari berbagai

pandangan Barat yang menyesatkan. Ia tampil sebagai sosok pengkritik teori idea

Plato dan membela materialisme Marx. Serta mengkritik materialisme Marx dan

membela idealisme Plato. Pemikiran-pemikiran tentang teori kebenarannya banyak

tertulis dalam bukunya yang berjudul Mas'ala-ye Syenokh (Mengenal Epistemologi).

Murtaḍá mengkritik teori kebenaran Plato yang mendasarkan kebenaran hanya

semata-mata pada dunia idea. Teori Plato yang mengatakan kebenaran hanyalah ada

di dunia idea adalah tidak benar. Plato sama saja dengan mengingkari kebenaran

yang sudah di depan mata dan dilakukan setiap hari. Keputusan Plato dalam

menghapus kebenaran materi adalah keputusan yang tidak bijak, mengingat terdapat

kebenaran selain yang Plato sampaikan.

Dalam membuktikan kebenaran fisik Murtaḍá mencontohkan tentang ilmu

kedokteran dikatakan bahwa “sesuatu itu” adalah penyebab munculnya penyakit

kanker. Ini dapat dikatakan benar ketika “sesuatu itu” memang terbukti secara lahir

dapat menyebabkan munculnya penyakit kanker. Sebaliknya jika tidak maka ia tidak

benar.35

Dalam penelitian kedokteran pembuktian-pembuktian seperti itu telah

terbukti mampu menciptakan ilmu yang tidak terbayangkan sebelumnya.

Meskipun Murtaḍá menolak ekstremisme Plato dalam menyajikan teori

kebenaran dengan menolak teori kebenaran materialis secara total, namun dalam

buku epistemologinya Murtaḍá tidak melontarkan penolakan terhadap teori

kebenaran Plato. Itu artinya Murtaḍá mengakui bahwa terdapat kebenaran idea,

tetapi juga mengakui bahwa terdapat kebenaran materi.

Dari sinilah tampak bahwa Marx dan Engels mempunyai posisi ruang dalam

pemikiran Murtaḍá. Di tengah masyarakat muslim yang mengkritik teori kebenaran

materialisme, Murtaḍá tampil sebagai sosok yang membelanya dan menjelaskan

secara objektif tentang teori kebenaran kedua. Murtaḍá mengakui dalam kekeliruan

teori Marx masih terdapat serpihan-serpihan kebenaran yang mungkin kita abaikan.

Meskipun teori materialisme Marx dan Engels telah menghantam teori

metafisika Islam, namun tampaknya Murtaḍá mencoba untuk objektif menilai teori

mereka dengan tidak menolak keseluruhan dari teori materialisme. Tampak dalam

bukunya ia dalam teori materialisme terdapat sisi kebenaran yang telah terbukti

secara nyata. Bahkan kebenaran materi telah diakui oleh al-Qur‟an.36

Dari sini lah

tampaknya analisa Murtaḍá tidak dipengaruhi oleh keyakinannya.

Dalam merumuskan teori-teori ini, Murtaḍá juga tidak hanya mengandalkan

analisa akalnya. Tetapi dalam tiap bahasannya banyak menyertakan ayat-ayat

sebagai landasan berpijaknya. Tidak heran jika banyak orang menilai teori

35

Murtaḍá Muṭahharī, Pengantar Epistemologi Islam, Penerjemah Muḥammad

Jawad Bafaqih, (Jakarta: Shadra Press, 2010), h. 216-217. 36

Murtaḍá Muṭahharī, Pengantar Epistemologi Islam ..., h. 78.

10

kebenaran Murtaḍá ini adalah teori kebenaran yang bersifat Qur‟ani. Sebuah teori

kebenaran yang lahir dari rahim ayat-ayat Qur‟an.

Di sisi lain Murtaḍá mengkritik kebenaran kesepakatan (ulama) seperti yang

dilakukan Ahlussunnah. Kesepakan para ulama bisa saja menghasilkan sesuatu yang

tidak benar, padahal kebenaran bukan terjadi karena disepakati, tetapi disepakati

karena ia benar. Dalam mengkritik teori ijmaʻ Ahlussunnah, ia menyoroti kasus

penentuan hukum Ahlussunnah yang berubah-ubah dalam gurun waktu tertentu.

Menurutnya kebenaran tentang hukum Allah tidak pernah berubah dari waktu ke

waktu, jika ada perubahan maka sudah pasti salah satunya ada yang salah.37

Pada akhirnya menurut Murtaḍá kebenaran tidak selamanya terjadi

kesesuaian antara pernyataan atau teori dengan realitas eksternal.38

Baginya terdapat

juga kebenaran yang tak dapat dikaitkan dengan realitas eksternal seperti lingkaran,

segi 10, kebenaran tentang keberadaan Tuhan. Semua yang disebutkan Murtaḍá

terakhir ini adalah sesuatu yang memang tidak mempunyai realitas materi sehingga

ia tidak dapat dibuktikan dengan eksperimen atau pembuktian lain yang bersifat

materi.

Bahkan terdapat suatu teori yang mengatakan bahwa kebenaran merupakan

suara mayoritas yang berada di wilayah tersebut. Kebenaran baginya merupakan

adalah mayoritas, suatu kebenaran yang berada di luar diri seseorang.39

Itu artinya,

jika mayoritas mengatakan bahwa suatu pembawa kebenaran adalah benar, maka

benar pula pembawa kebenaran tersebut. Sebagaimana dikatakan oleh Jean Jacques

Rousseau bahwa suara mayoritas merupakan tolok ukur dari kebenaran.40

Kepentingan umum yang tertuang dalam suara mayoritas merupakan landasan

dalam menentukan benar tidaknya sesuatu. Jika mayoritas menganggap suatu konten

benar, maka ia adalah benar.

Perdebatan-perdebatan tersebut membuat penulis ingin mengkaji lebih

mendalam teori tentang kebenaran yang dikhususkan pada pemikiran Murtaḍá

Muṭahharī tentang kebenaran. Muṭahharī dalam teori kebenarannya menawarkan

pandangan yang komprehensif. Baginya kebenaran tidak hanya bisa dikategorikan

sebagai kebenaran materiil, tetapi ada empat kebenaran. Di antaranya kebenaran

yang dimaksud ialah kebenaran yang berkaitan dengan indra yaitu kebenaran

materiil, akal yaitu kebenaran logis, hati yaitu kebenaran yang jiwa dan sejarah yaitu

kebenaran suatu kisah dengan bukti-bukti sejarah.41

Keempat kebenaran yang

dipaparkannya ialah kebenaran yang sudah dilegitimasi oleh al-Qur‟an. Yang

menarik dari teori kebenaran Muṭahharī ialah teori kebenaran yang ia sajikan sangat

komprehensif, filosofis dan melandaskan teorinya pada al-Qur‟an.

37

Murtaḍá Muṭahharī, Pengantar Epistemologi Islam ..., h. 246-247. 38

Murtaḍá memahami realitas eksternal adalah yang bersifat materi sebagaimana

Aristoteles jelaskan. 39

Ridwan Zachrie dan Wijayanto, Korupsi mengorupsi Indonesia: sebab, akibat,

dan prospek pemberantasan, (Bandung: Gramedia, 2013), h. 902. 40

Simon Petrus L. Tjahjadi, Petualangan Intelektual ..., h. 265-269. 41

Murtaḍá Muṭahharī, Mengenal Epistemologi: Sebuah Pembuktian Terhadap

Rapuhnya Pemikiran Asing dan Kokohnya Pemikiran Islam, Penerjemah M.J. Bafaqih,

(Jakarta: Lentera, 2001), h. 87.

11

Sepak terjang pemikiran Murtaḍá dalam teori kebenaran ini, tampaknya

cukup menarik jika dibahas lebih jauh dan detail. Maka dari itu, penulis

menginginkan untuk membedahnya sampai tuntas dalam penelitian kali ini. Maka

penulis memutuskan untuk meneliti teori kebenaran Murtaḍá dengan judul

penelitian “Teori Kebenaran Murtaḍá Muṭahharī”.

B. Identifikasi Masalah

1. Terdapat banyak pendapat yang membahas teori kebenaran mulai dari Barat

hingga Islam.

2. Teori kebenaran yang ditawarkan oleh materialisme sangat ekstrem memandang

landasan kebenaran satu-satunya hanyalah materi.

3. Teori kebenaran idealisme juga ekstrem. Ia memandang landasan dari kebenaran

adalah hanya idea.

4. Dalam Islam seperti sufi, menganggap kebenaran yang hakiki hanyalah

pengalaman batin bersama Tuhan.

5. Filosof muslim sebagian menganggap bahwa akal adalah landasan paling baik

untuk mendapatkan kebenaran.

6. Murtaḍá Muṭahharī mengkritik konsep-konsep filosof Barat dan muslim. di

samping mengkritik ia juga menerima sebagian pendapat-pendapat mereka.

7. Terjadi penolakan radikal kepada pemikiran Barat oleh sebagian kalangan umat

Islam.

C. Rumusan Masalah

Berdasarkan identifikasi masalah di atas, penulis kemudian merumuskannya

ke dalam perumusan masalah di antaranya ialah bagaimana konsep kebenaran

menurut Murtaḍá Muṭahharī dan kritiknya terhadap teori kebenaran Barat?

D. Batasan Masalah

Dalam penelitian ini, penulis membatasi masalah penelitian pada pemikiran

Murtaḍá Muṭahharī tentang kebenaran. Di antara kebenarannya yang akan dibahas

ialah mengenai landasan-landasan kebenaran Murtaḍá Muṭahharī seperti alat-alat

dalam mendapatkan kebenaran, prinsip-prinsip kebenaran, serta bagaimana cara

mencapai kebenaran yang ditulis oleh Murtaḍá dalam buku primernya.

Di samping itu juga penulis akan menambahkan pembahasan tentang

kritiknya terhadap pemikiran Barat tentang kebenaran. Adapun pemikiran Barat

yang akan dikritik oleh Murtaḍá Muṭahharī ialah pemikiran tentang kebenaran

menurut materialisme yang diwakili oleh Karl Marx, rasionalisme seperti Descartes

dan empirisme yaitu Auguste Comte.

E. Tujuan Penelitian

Tujuan dari penelitian ini adalah

1. Untuk memahami teori kebenaran menurut Murtaḍá Muṭahharī.

a. Untuk memahami indikator-indikator kebenaran menurut Murtaḍá

Muṭahharī

b. Untuk mengetahui langkah-langkah untuk mencapai kebenaran

12

F. Manfaat Penelitian

1. Signifikansi Penelitian

Penelitian ini dapat memberikan kontribusi filsafat Islam berupa

pengayaan penelitian di bidang filsafat Islam terutama kajian teori kebenaran.

2. Manfaat Penelitian

Secara praktis, penelitian ini akan mempermudah dan memperjelas

pemahaman masyarakat terhadap pemikiran Murtaḍá Muṭahharī tentang konsep

kebenaran. Selain itu, penelitian ini juga dapat menjadi landasan bagi masyarakat

dalam melakukan verifikasi suatu ilmu pengetahuan sehingga benar tidaknya suatu

pengetahuan dapat diidentifikasi dengan baik.

Sedangkan manfaat akademik. Penelitian ini tentu akan memperkaya

khazanah kajian-kajian akademik. Dengan adanya kajian ini, setidaknya

masyarakat akan mempunyai tawaran penjelasan baru tentang konsep kebenaran

Murtaḍá Muṭahharī dan mengetahui lebih detail kritiknya terhadap pemikiran

Barat.

G. Kajian Pustaka

Kajian tentang teori kebenaran bukanlah sesuatu tema yang baru dalam

kajian tentang filsafat, begitu juga kajian tentang pemikiran Murtaḍá Muṭahharī.

Maka dari itu, penelitian-penelitian yang satu tema dan satu tokoh dengan penelitian

ini akan saya paparkan di bawah. Selain sebagai bahan bacaan, penelitian terdahulu

ini akan disajikan oleh penulis sebagai gambaran tentang posisi penelitian ini di

antara berbagai kajian tentang teori kebenaran dan Murtaḍá Muṭahharī.

Di antara berbagai penelitian yang setema di antaranya adalah penelitian

yang mendekati penelitian penulis ialah penelitian yang berjudul “Prinsip-prinsip

Epistemologi dalam Pemikiran Murtaḍá Muṭahharī” ditulis oleh Syahrul Nizar

Saragih dalam penelitian tesisnya pada tahun 2005. Penelitian tersebut sebenarnya

lebih fokus kepada epistemologi Murtaḍá Muṭahharī dalam kaitannya dengan

rangkaian ideologi dan pandangan alam. Menurutnya epistemologi merupakan

bagian penting dari rangkaian ideologi dan pandangan alam. Ideologi baginya

adalah berisi tentang muatan panduan, peraturan dan cara orang memandang hidup.

Sedangkan isi ideologi berasal dari pandangan alam. Pandangan alam adalah bentuk

dari suatu kesimpulan, penafsiran hasil kajian, yang ada pada orang berkenaan

dengan alam semesta, manusia masyarakat dan sejarah.

Penelitian ini jelas berbeda dengan penelitian penulis, karena penelitian

yang dilakukan oleh Nizar berfokus pada epistemologi secara global. Epistemologi

yang ia jelaskan menyangkut peran dan posisi epistemologi dalam ideologi dan

pandangan alam. Penelitian penulis fokus pada teori kebenaran yang meliputi

definisi, cara mendapatkan kebenaran unsur-unsur dasar kebenaran yang kemudian

dikaitkan dengan kritiknya terhadap pemikiran Barat tentang kebenaran. Penelitian

penulis ini justru akan melengkapi penelitian yang telah dilakukan oleh Nizar.

Penelitian tersebut sangat berarti bagi penelitian ini sebagai pengayaan bacaan dan

informasi yang nanti akan semakin memperkuat analisa dalam penelitian ini.

Penelitian satu tokoh dengan penulis ialah penelitian Ahmad Faqihuddin,

mahasiswa S2 UIN Syarif Hidayatullah dengan judul penelitian “Kritik Murtaḍá

13

Muṭahharī terhadap Marxisme”. Penelitian tesis ini dilakukan pada tahun 2008

dengan yang dibimbing oleh Prof. Dr. Zainun Kamal dan Prof. Dr. Amsal Bakhtiar.

Dalam penelitiannya penelitian ini fokus pada kritik terhadap teori materialisme

sejarah dan ekonomi Karl Marx. Menurut pemahaman Ahmad dalam mengkaji

kritik Murtaḍá, ia mengatakan bahwa unsur-unsur hewani dalam diri manusia

menurut Murtaḍá tetap tidak berubah sejak permulaan sejarah hingga sekarang.

Namun pembawaan manusiawinya secara bertahap berkembang. Ia akan mampu

membebaskan dirinya dari ikatan-ikatan bendawi dan ekonomi serta cenderung ke

arah keimanan dan kesempurnaan rohani. Dasar berpijak perkembangan sejarah

bukanlah perjuangan-perjuangan untuk kepentingan kelas dan keuntungan duniawi,

melainkan perjuangan ideologi dan rohani yang berdasarkan keimanan kepada

Allah.

Dalam memandang ekonomi dan agama, Karl Marx mengatakan bahwa

agama adalah merupakan hasil penderitaan masyarakat terhadap ekonomi dan

penindasan penguasa. Dalam ajaran agama terdapat doktrin kesabaran dan

mendorong pasivitas yang nanti justru akan membuat masyarakat terus menerus ada

dalam kemiskinan. Sedangkan menurut Murtaḍá Muṭahharī memandang justru

agama menjadi lokomotif kemajuan di bidang ekonomi dan mengajarkan kepada

umatnya agar cepat tidak menyerah.

Penelitian ini berbeda dengan penelitian penulis, karena penelitian Ahmad

fokus pada kajian dan kritik Murtaḍá Muṭahharī terhadap materialisme khususnya

tentang sejarah dan ekonomi. Sedangkan penulis fokus pada kajian tentang teori

kebenaran Murtaḍá Muṭahharī. Namun penelitian tersebut oleh penulis akan

dijadikan sebagai bahan bacaan untuk menambah pengetahuan tentang pemikiran

Murtaḍá, sehingga pemahaman penulis terhadap teori kebenarannya lebih detail dan

mendalam.

Akademisi yang meneliti pemikiran Murtaḍá Muṭahharī adalah Nurmala

Buamona mahasiswa S2 jurusan pemikiran pendidikan Islam pada UIN Jogja

dengan judul Pemikiran Murtaḍá Muṭahharī tentang Etika dan Implementasinya

dalam Pembentukan Karakter. Dalam penelitiannya ia mengatakan bahwa yang

mengatur kekuatan manusia adalah akal. Akal merupakan sumber dari etika yang

melahirkan kehendak dan menjadi hakim mutlak perilaku manusia. Keadilan

menjadi landasannya dan agama sebagai jalan yang mengantarkan manusia menuju

sempurna. Penelitian ini cukup jelas, terdapat perbedaan tema yang dibahas,

meskipun tokoh yang dibahas sama.

Penelitian yang dilakukan oleh Achmad Charris Zubair dalam jurnal Jurnal

Filsafat UGM, Maret 1997 dengan judul “Filsafat Ilmu menurut Konsep Islam”

merupakan penelitian yang satu tema dengan penulis. Dalam uraiannya, Charris

mengatakan bahwa suatu hal dapat dikatakan mengandung kebenaran apabila ia

mempunyai manfaat dalam arti luas. Suatu kebenaran akan menjadi sebagai

kebenaran sesungguhnya jika sesuai dengan tuntutan-tuntutan kearifan dan keadilan.

Itu berarti bahwa kebenaran bukan hanya suatu korespondensi antara pernyataan

dengan fakta, akan tetapi kebenaran harus didasarkan pada penafsiran yang benar

dan itu pasti mengandung suatu manfaat yang sesungguhnya. Di antara manfaat

yang dimaksud ialah pertama, mendekatkan pada kebenaran Allah. Kedua, dapat

14

membantu umat merealisasikan tujuan-tujuannya. Ketiga, ialah dapat memberikan

pedoman bagi manusia dan terakhir ialah menyelesaikan persoalan umat. Kebenaran

seperti yang ditawarkan oleh positivisme seperti rekayasa genetika. Teori rekayasa

genetika tidak dapat dikatakan sebagai kebenaran meskipun ia berdasarkan fakta

yang benar, karena ia dibangun di atas premis-premis yang didasarkan pada

penafsiran yang salah tentang hakikat manusia.

Kajian tentang kebenaran yang lain yang ditemukan oleh penulis ialah hasil

penelitian mahasiswa Pascasarjana IAIN Ar-Raniry yang bernama Saifuddin dengan

judul “Kajian Agama Dan Filsafat Tentang Kajian Kebenaran”. Penelitian tersebut

menyoroti tentang suara publik yang mempertentangkan antara jalan agama dan

filsafat dalam mencapai kebenaran. Dalam penelitian yang terbitkan pada jurnal

Islam Futura ini disebutkan bahwa terdapat perbedaan-perbedaan pada pola dasar

antara agama dan filsafat. Di antaranya ialah agama didasarkan pada wahyu yang

bersifat absolut sedangkan filsafat mendasarkan pada pemikiran atau akal universal.

Perbedaan tersebut bukan merupakan pertentangan. Ketika kita mengkajinya lebih

mendalam maka akan justru saling menguatkan antara satu dengan yang lainnya.

Perspektif berbeda dari keduanya akan melahirkan keragaman dalam pemahaman

dan itu akan memperkuat sebuah argumen tentang sesuatu. Bahwa perbedaan itu

akan membuktikan kebenaran sesuatu yang sama.

Contoh dari apa yang dijelaskan di atas adalah mengenai kajian tentang

pembuktian kebenaran keberadaan Tuhan. Agama menggunakan argumen tekstual

dalam membuktikannya, sedangkan para filosof menggunakan akal. Dan ternyata

dalam kajian ketuhanan dalam Islam, terdapat kesamaan hasil. Antara filsafat dan

agama sama-sama menemukan kebenaran bahwa tuhan adalah ada. Hanya saja

argumennya yang berbeda. Penelitian ini diterbitkan pada tahun 2008 pada Jurnal

Futura vol. Ii No. 2. Meskipun temanya sama-sama membahas tentang kebenaran,

akan tetapi ia fokus pada komparasi kebenaran antara agama dan filsafat. Sehingga

pembahasannya sangat berbeda dengan penulis akan tetapi kajiannya sangat dekat,

sehingga kajian ini bisa dijadikan sebagai pengayaan informasi tentang teori

kebenaran.

Kajian berikutnya ialah hasil penelitian Imron Mustofa. Ia merupakan

akademisi yang pernah meneliti tentang kebenaran yang kemudian ia publikasikan

di Jurnal Kalimah dengan judul “Konsep Kebenaran Ibnu Sīnā”. Tulisan tersebut

tertuang dalam jurnal tepatnya pada Vol. 15, No. 1, Maret 2017. Dalam kajiannya ia

menyimpulkan bahwa kebenaran merupakan keterhubungan atau kesesuaian antaran

ilmu, kenyataan dan perasaan. Kebenaran menurutnya terbagi menjadi tiga yaitu

kebenaran wahyu, kebenaran yang dapat dibuktikan eksistensinya dan kebenaran

filsafat. Kebenaran berawal dari persepsi inderawi, kemudian akal. Ini adalah tahap

pembukaan. Meskipun demikian, pengetahuan kebenaran diperoleh melalui jalur di

luar akal manusia yaitu intuisi atau emanasi dari akal aktif yaitu akal yang terpisah

dari materi.

Tema penelitian ini sama yaitu membahas tentang teori kebenaran hanya

saja tokoh yang diangkat berbeda. Dalam setiap tokoh tentunya mempunyai khas-

15

khas tersendiri termasuk dalam pemikiran Murtaḍá Muṭahharī yang mempunyai

perbedaan pendapat dengan Pemikir Islam yang lain termasuk dengan Ibnu Sīnā.

Meskipun Muṭahharī juga mengutip pemikiran Ibnu Sīnā ketika membahas tentang

teori kebenaran, namun kenyataannya teorinya tidak sama persis dengan teori Ibnu

Sīnā. Kalau Muṭahharī beranggapan bahwa indra mempunyai peran penting

sebagaimana pentingnya akal dan hati dalam mendapatkan kebenaran yang bersifat

materi, sedangkan Ibnu Sīnā mengatakan bahwa pentingnya indra terdapat di

permulaan, akan tetapi kebenaran didapatkan dari intuisi atau emanasi dari akal aktif

yang terpisah dari materi.

Setelah penulis kumpulkan dan amati hasil penelitian yang dianggap

mempunyai kesamaan tema, penulis tidak menemukan penelitian yang benar-benar

sama persis dengan penelitian yang akan penulis lakukan. Maka penelitian yang

akan dilakukan di sini bukanlah pengulangan penulisan, akan tetapi justru akan

memperkaya kekayaan pembahasan yang telah dilakukan oleh para peneliti

terdahulu. Tentunya penelitian-penelitian terdahulu tersebut akan penulis jadikan

sebagai referensi yang akan menambah wawasan penulis sehingga penelitian ini

menjadi lebih baik.

H. Metodologi Penelitian

a) Bentuk Penelitian

Jika dilihat dari sumber datanya dapat dikatakan sebagai penelitian

kepustakaan. Dikatakan sebagai penelitian kepustakaan karena penelitian ini

mengkaji pemikiran yang ada dalam tulisan Murtaḍá Muṭahharī. Sebagai mana

dikatakan oleh Kun Zachrun Istanti bahwa penelitian kepustakaan dilakukan

untuk mencari dan meneliti naskah-naskah, artikel-artikel ataupun sumber-

sumber tertulis lainnya yang ada hubungannya dengan masalah penelitian, baik

yang tersimpan di perpustakaan maupun di museum.42

Dilihat dari perspektif analisisnya maka penelitian ini termasuk kepada

penelitian kualitatif. Penelitian kualitatif menurut Subroto43

adalah metode

pengkajian atau metode penelitian suatu masalah yang tidak didesain atau

dirancang menggunakan prosedur-prosedur statistik. Sedangkan menurut Eko

Sugiarto penelitian kualitatif ialah jenis penelitian yang temuan-temuannya

tidak diperoleh melalui prosedural statistik atau bentuk hitungan lainnya dan

bertujuan mengungkapkan gejala secara holistik-kontekstual melalui

pengumpulan data dari latar alami dengan memanfaatkan diri peneliti sebagai

instrumen kunci.44

42

Kun Zachrun Istanti, Metode Penelitian Filologi dan Penerapannya,

(Yogyakarta: Elmatera, 2010), h. 51. 43

Edi Subroto, Pengantar Metode Penelitian Linguistik Struktural (Solo: LPP dan

UPT Penerbit dan Pencetakan UNS, 2007), h. 5. 44

Eko Sugiarto, Menyusun Proposal Penelitian Kualitatif, Kripsi dan Tesis

(Yogyakarta: Suaka Media, 2015), h. 8. Diakses dari

https://books.google.co.id/books?id=jWjvDQAAQBAJ&printsec=frontcover&dq=penelitian

+kualitatif+adalah&hl=id&sa=X&ved=0ahUKEwjbhf6AwJHdAhVJOY8KHQvBA5gQ6AE

INDAB#v=onepage&q=penelitian%20kualitatif%20adalah&f=false.

16

Sedangkan kalau dilihat dari tujuan penyelenggaraan penelitian ini

dapat dikategorikan sebagai penelitian deskriptif analitik. Penelitian deskriptif

adalah penelitian yang dilakukan untuk memberi gambaran lebih detail tentang

suatu gejala.

b) Sumber Data

Sumber data dibedakan menjadi 2, yaitu sumber data primer dan

sekunder. Sumber data primer adalah sumber data utama yang berkaitan

langsung dengan pemikiran tokoh seperti karya tokoh yang akan dikaji. Dalam

penelitian ini sumber primer dari penelitian ini adalah buku karya Murtaḍá

Muṭahharī yang membahas tentang teori kebenaran. Karya-karyanya ialah

Neraca Kebenaran dan Kebatilan, Pengantar Epistemologi, Manusia dan

Takdirnya, Jejak-jejak Rohani dan lainnya.

Sumber data sekunder adalah data pendukung yang tidak berkaitan

langsung dengan penulis. Data sekunder dari penelitian ini adalah buku-buku

yang membahas teori kebenaran yang berasal dari buku-buku filosof muslim

dan filosof Barat. Di samping itu juga, hasil penelitian-penelitian peneliti

tentang teori kebenaran.

c) Pengumpulan Data

Dalam penelitian ini penulis mengumpulkan data melalui pembacaan

yang seksama terhadap teks-teks pemikiran yang dianggap berkaitan dengan

tema penelitian. Setelah membaca dengan seksama, hasil pemahaman

kemudian dikumpulkan. Setelah dikumpulkan kemudian, diklasifikasikan

sesuai dengan sub-sub pembahasan.

d) Pendekatan

Penelitian ini menggunakan pendekatan filsafat. Tujuannya ialah untuk

mengkaji secara mendalam pemikiran teori kebenaran Murtaḍá Muṭahharī yang

memang ia menulisnya dari sudut pandang filosofis. Pendekatan filsafat dalam

penelitian ini sangat penting untuk menganalisa pemikiran Murtaḍá Muṭahharī

serta kritiknya terhadap pemikiran Barat.

e) Analisis data

Penulis mengklasifikasikan tema-tema berdasarkan daftar isi. Data-data

yang sudah diklasifikasikan kemudian dibahas dan dianalisa kekuatan

argumennya dengan cara mengujinya menggunakan teori-teori lain tentang

kebenaran yang sudah diakui.

Teori kebenarannya sudah diungkap kemudian menelisik argumen-

argumen Muṭahharī dalam mengkritik pemikiran Barat. Sejauh mana kekuatan

argumentasinya dalam mengkritik mereka atau malah lebih lemah dari argumen

mereka. Dalam menganalisanya menggunakan pendekatan filosofis untuk

mendapatkan hasil yang mendalam.

I. Sistematika Pembahasan

Bab i pendahuluan, latar belakang masalah, identifikasi masalah, batasan

masalah, rumusan masalah, tujuan penelitian, manfaat penelitian, studi pendahuluan,

metodologi penelitian, sistematika penulisan.

17

Bab ii membahas tentang teori kebenaran. Pada bab ini akan membahas dua

hal, yaitu pandangan filosof Islam tentang kebenaran dan pandangan filosof Barat

tentang kebenaran. Pemikiran tokoh Islam tentang teori kebenaran yang akan

dibahas di sini meliputi pandangan al-Ghazālī, Ibnu Sīnā, Muḥammad Naqīb al-

„Aṭās, Muḥammad Taqī Miṣbāḥ Yazdī dan Mula Shadra. Sedangkan pandangan

tokoh Barat ialah meliputi René Descartes sebagai wakil dari rasionalisme, Bertrand

Russel dan Francis Bacon sebagai wakil dari empirisme, Charles S. Peirce

pragmatisme.

Biografi Murtaḍá Muṭahharī dibahas pada bab iii. Di antara bagian-

bagiannya ialah riwayat hidup dan pendidikan Muṭahharī. Pada sub bab ini dibahas

secara tuntas riwayatnya, mulai dari sejak lahir hingga ia wafat. Di samping itu juga

akan dibahas tentang guru-guru yang mempengaruhinya. Juga pemikiran seperti apa

yang mempengaruhinya. Serta juga akan dibahas kondisi sosial pada setiap

perjalanan hidupnya.

Sub bab bagian dua membahas tentang daftar karyanya serta resensi dari

karya-karyanya. Karya-karya Murtaḍá Muṭahharī cukup banyak, tetapi akan penulis

sajikan satu persatu sesuai dengan kemampuan penulis. Kemudian pada sub bab

bagian tiga, penulis akan membahas peran Murtaḍá Muṭahharī dalam pemikiran

Islam. Sumbangan apa saja yang ia berikan kepada pemikiran perkembangan Islam.

Bab berikutnya ialah bab iv. Bab ini berisi tentang Epistemologi Kebenaran,

Prinsip-Prinsip Kebenaran, Metode Mencari Kebenaran dan Kritik Murtaḍá

Muṭahharī kepada Barat. Epistemologi kebenaran yang di maksud di sini adalah

landasan dasar dari teori kebenarannya. Bagaimana prosesnya sehingga dia

berkesimpulan sebagaimana ia pahami tentang teori kebenaran. Prinsip-prinsip

kebenaran di sini membahas tentang apa saja hal-hal yang membuat suatu teori atau

pengetahuan itu benar. Pembahasan selanjutnya ialah hubungan kebenaran dengan

fitrah seseorang.

Dalam bab v akan dibahas tentang kritik Murtaḍá Muṭahharī kepada Barat.

Barat yang dimaksud ialah pemikiran tentang kebenaran tokoh-tokoh populer seperti

Karl Marx, Descartes dan Comte. Ketiga tokoh ini banyak dikritik olehnya di

berbagai bukunya.

Sedangkan bab terakhir ialah bab penutup yang berisi tentang kesimpulan

dari hasil penelitian yang penulis lakukan. Di samping itu juga berisi tentang saran

dan kritikan penulis terhadap hasil penelitian.

18

19

BAB II

TEORI KEBENARAN DARI BERBAGAI PANDANGAN

A. Model-model Kebenaran

Secara garis besar, kebenaran dapat disusun menjadi empat model yang

secara makna dan sumbernya berbeda. Di antaranya ialah kebenaran empiris,

kebenaran logis, kebenaran etis dan kebenaran metafisika.1

1. Kebenaran Empiris

Kata empiris sebenarnya berasal dari bahasa Yunani yaitu empeiria yang

berarti berpengalaman dalam, berkenalan dengan dan terampil untuk.2 Aliran

filsafat yang membahas tentang pengalaman disebut dengan empirisme.

Empirisme merupakan ide atau pengetahuan berasal dari pengalaman manusia.

Bagi aliran ini pengetahuan merupakan abstraksi dari berbagai pengalaman

manusia. Karena pengetahuan adalah abstraksi dari pengalaman, maka relasi

pengalaman dengan pengetahuan menjadi penentu kebenaran suatu pengetahuan.

Oleh karena itu kebenaran empirik dapat kita pahami sebagai kebenaran yang

dapat kita temukan pada level pengalaman empiris. Pengalaman empiris dapat

didefinisikan sebagai pengalaman yang kita temui dalam keseharian kita.

Kebenaran ini juga dapat dikatakan dengan kebenaran faktual. Faktual dalam

pengertian di sini adalah segala sesuatu yang dapat dirasakan atau dijangkau oleh

pancaindra. Konsekuensi dari konsep kebenaran empirik mengakibatkan tidak satu

pun pengetahuan yang benar kecuali pengetahuan yang bersifat indrawi. Dalam

rangka membuktikan kebenaran pengetahuan, mau tidak mau ilmuwan harus

menyajikan bukti-bukti empiris yang dapat diverifikasi melalui pancaindra.3 Rasa

asin pada garam akan dikatakan sebuah pengetahuan yang benar hanya ketika rasa

asin pada garam tersebut dapat diuji melalui pengalaman langsung mengenai rasa

asin yaitu dengan cara mencicipi garam tersebut, jika garam rasanya memang asin

maka pengetahuan tentang garam asin dapat dibenarkan.

Memperkuat kuat argumen tentang kebenaran empirik, tokoh empirisme

John Lock mengatakan bahwa manusia dilahirkan dalam kondisi tidak mengetahui

apapun. Otak manusia kosong seperti kertas putih yang kosong yang belum terisi

apapun. John Lock mengistilahkan keadaan tersebut dengan tabula rasa (kertas

kosong).4 Kemudian dalam perjalanan hidupnya, manusia terus mendapatkan

pengetahuan melalui pengalaman-pengalaman empiris. Dari pengalaman indra

1 Yvonna S. Lincoln dan Egon G. Guba, Naturalistic Inquiry, (London: Sage

Publications, 1985), h. 14-15. Diakses pada Agustus 2019 dari

https://books.google.co.id/books?id=2oA9aWlNeooC&pg=PA14&lpg=PA14&dq=julienne+

ford+Lincoln+dan+Guba&source=bl&ots=0tpzX9S6wn&sig=ACfU3U1hFNRtXzpcXsuc1kj

_L05VWq-

fXw&hl=en&sa=X&ved=2ahUKEwjR_6OHzqDkAhWRiHAKHYyFBdYQ6AEwC3oECAk

QAQ#v=onepage&q=julienne%20ford%20Lincoln%20dan%20Guba&f=false 2 Lorens Bagus, Kamus Filsafat, (Jakarta: Gramedia, 2005), h. 197.

3 Mahfud Junaedi, Paradigma Baru Filsafat Pendidikan Islam, (Depok: Kencana,

2017), h. 33. 4 Ahmad Tafsir, Filsafat Umum: Akal dan Hati Sejak Thales sampai Capra,

(Bandung: Remaja Rosdakarya, 2002), h. 177.

20

itulah pengetahuan manusia didapatkan.5 Frederick Suppe mengatakan bahwa

dunia atau hal empiris merupakan awal mula dari terbentuknya proposisi. Maka

proposisi yang benar adalah proposisi yang benar-benar menegaskan secara

empiris tentang dunia.

Di sini lah tampak bahwa indra mempunyai posisi yang sangat penting

dalam mendapatkan pengetahuan, hingga ia dapat menentukan benar tidaknya

suatu pernyataan. Sedangkan batas-batas dari kebenaran empirik ini adalah sejauh

pancaindra mampu menunjukkan fakta empirisnya.6 Seandainya seseorang tidak

dapat menggunakan pengalaman indranya, maka ia tidak akan pernah sampai pada

kebenaran dari suatu pengetahuan. Seseorang tersebut tidak akan mendapatkan

pengetahuan yang benar. Semakin banyak pengalamannya maka semakin banyak

juga ia dapat membuktikan kebenaran suatu pengetahuan.

Bahkan bagi penganut kebenaran empirik kebenaran pengetahuan rasional

sekalipun seperti teori kausalitas, kebenarannya tidak dapat dikaji dan dibuktikan

oleh logika. Premis yang mengatakan bahwa semua manusia mati, Andi adalah

manusia. Jadi Andi pasti mati. Menurut kebenaran empiris tidak dapat dikatakan

benar begitu saja. Muḥammad tidak dapat digeneralisir premis pertama secara

tidak benar, sebab kita belum tahu apakah kematian berlaku bagi masing-masing

individu manusia seperti telah kita duga.7 Maka untuk membuktikan kebenarannya

ialah kita harus melihat bahwa memang Muḥammad adalah manusia yang mati.

Bagi penganut kebenaran empirik, teori kausalitas bukan berasal dari akal karena

akal tidak mampu menciptakan pengetahuan sendiri. Teori kausalitas merupakan

hasil dari pengalaman manusia, sehingga dalam menguji kebenarannya harus

dibuktikan secara empiris.8 Batu yang dilepaskan akan jatuh ke bawah. pernyataan

ini sebenarnya bukan berasal dari akal, tetapi berasal dari pengelaman manusia

yang melihat batu yang dilepaskan kemudian jatuh ke bawah. Di situlah

sebenarnya jika ingin membuktikan bahwa batu yang dilepaskan akan jatuh ke

bawah, maka seseorang harus melakukan percobaan. Dengan melakukan

percobaan, maka jelas kebenarannya. jika memang batu yang dilepaskan jatuh ke

bawah, maka pengetahuan tersebut benar adanya.

Penganut positivisme seperti Rudolf Carnap dan Moritz Schlick, bahkan

mengatakan dengan tegas bahwa hanya putusan-putusan ilmiah yang dapat

diverifikasi secara empiris yang dapat dianggap sebagai pengetahuan yang benar.

Karena untuk mengetahui kebenaran suatu putusan ilmiah harus menggunakan

metode verifikasi. Ketika putusan-putusan ilmiah telah diuji dengan kenyataan

yang dapat diamati oleh indra, dan ternyata putusan-putusan tersebut sesuai dengan

5 K. Bertens, Ringkasan Sejarah Filsafat, (Yogyakarta: Kanisius, 2011), h. 50.

6 Mukhtar latif, Orientasi Ke Arah Pemahaman Filsafat Ilmu, (Jakarta: Prenada

Media Group, 2016), h. 101. 7 Sayyid Muḥammad Bāqir al-Ṣadr, Falsafatunā. Penerjemah M. Nur mufid bin Ali,

(Bandung: Mizan, 1995), h. 41. 8 Ahmad Tafsir, Filsafat Umum ...,h.183-184.

21

kenyataan yang ditangkap oleh indra, maka putusan itu sudah diverifikasi dan

kebenarannya sudah dikuatkan.9

Teori kebenaran empirik berdampak besar terhadap pengetahuan manusia.

Teori-teori non-indrawi selama ini yang banyak dianut oleh manusia menjadi salah

menurut pandangan empirisme, termasuk pengetahuan tentang agama. Teori-teori

yang disajikan oleh agama banyak pembahasan tentang sesuatu yang tidak tampak.

Ketika kita membahas tentang ilmu agama, tampaknya ilmuwan akan mengalami

kesulitan dalam membuktikan setiap teori yang terdapat dalam ajaran agama jika ia

menggunakan pendekatan empiris.

Kajian agama yang paling abstrak ialah kajian tentang Tuhan. Teori agama

mengatakan bahwa Tuhan adalah ada. Lalu bagaimana seseorang membuktikan

keberadaan Tuhan melalui pengalaman manusia sedangkan Ia begitu abstrak.

Dalam rangka menguji benar tidaknya pengetahuan tentang keberadaan Tuhan

menggunakan pendekatan kebenaran empirik, seseorang harus menunjukkan bukti-

bukti empiris mengenai keberadaan Tuhan berupa wujud Tuhan, tempat

tinggalNya dan pengalaman lain yang dapat dijangkau oleh indera. Jika seseorang

tidak dapat menunjukkan hal-hal empiris mengenai Tuhan, maka selama itu juga

pernyataan tentang “Tuhan ada” adalah salah. Keberadaan Tuhan menurut

kebenaran empiris tidak dapat dipertanggung jawabkan sehingga Tuhan dapat

dikatakan tidak ada. Maka tidak heran jika David Hume menolak tentang

keberadaan Tuhan.10

Jika agama dikaji menggunakan pendekatan kebenaran

empiri maka agama akan kehilangan sisi kebenarannya. Bahkan dampaknya,

manusia akan banyak kehilangan pengetahuan. Pengetahuan manusia tentang

agama dan pengetahuan metafisika lain yang sudah bertahan ribuan tahun akan

musnah begitu saja.

2. Kebenaran Logis

Kebenaran logis11

merupakan kebenaran yang didasarkan pada akal sehat

dan dibangun berdasarkan konstruksi argumen logika. Di sini terdapat syarat agar

pengetahuan yang dicapai oleh akal mampu mencapai kebenaran yaitu akal yang

sehat. Akal yang tidak sehat hanya akan mencapai kebenaran palsu, seperti cermin

rusak yang tidak akan mampu menampilkan objek dengan sebenar-benarnya.

Fahruddi Faiz12

mengatakan bahwa akal sehat berarti akal yang lurus, jujur dan

tidak memihak. Akal yang tidak sehat akan mengantarkan kita kepada

9 Muchamad Iksan, “Epistemologi Mencari Kebenaran Dengan Pendekatan

Transendental”, Proceeding Seminar Nasional Pengembangan Epistemologi Ilmu Hukum,

April 2015, ISBN 978-602-72446-0-3, h. 34. 10

Ahmad Tafsir, Filsafat Umum ..., h.183. 11

Istilah logis berasal dari bahasa latin yaitu logos yang berarti perkataan atau

sabda. Di samping itu, logik juga berasal dari bahasa Yunani Kuno yang berarti logos yang

berarti hasil pertimbangan akal pikiran yang diutarakan lewat kata dan dinyatakan dalam

bahasa. Mukhtar Latif, Orientasi Ke Arah Pemahaman Filsafat Ilmu ..., h. 155. Lorens

Bagus, Kamus Filsafat, (Jakarta: Gramedia, 2005), h. 519. 12

Fahruddin Faiz adalah dosen filsafat Islam pada Prodi Aqidah dan Filsafat Islam

Universitas Islam Negeri Sunan Kalijaga.

22

pembenaran-pembenaran atau yang biasa kita sebut dengan rasionalisasi.13

Rasionalisasi adalah ketidakbenaran yang kemudian diberikan alasan-alasan

rasional sehingga pengetahuan itu tampak seakan-akan benar.

Kebenaran logis adalah persoalan apakah proses validasi berlangsung

sesuai dengan kaidah-kaidah berpikir. Jadi kebenaran ini ditentukan oleh aturan-

aturan logika.14

Logika itu sendiri mengkaji hubungan antara pernyataan-

pernyataan yang berupa kalimat-kalimat atau rumusan-rumusan, sehingga dapat

ditentukan apakah suatu itu adalah benar atau salah. Dalam kajian logika, benar

tidaknya suatu pernyataan lebih mengarah kepada bentuk. Sedangkan kalimat yang

mempunyai nilai kebenaran disebut dengan proposisi. Proposisi hanya mempunyai

satu nilai kebenaran, yaitu benar atau salah dan tidak bisa keduanya.15

Proposisi, menurut logika tradisional Aristoteles, harus terdiri atas tiga

bagian, yaitu subyek, predikat, dan kopula. Kopula adalah suatu tanda yang

menyatakan hubungan di antara subyek dan predikat. Hubungan yang dinyatakan

oleh kopula mungkin berupa afirmasi (pembenaran), artinya kopula menyatakan

bahwa di antara subyek dan predikat memang terdapat suatu hubungan, dan

mungkin pula kopula menyatakan negasi (pengingkaran), artinya kopula

menyatakan bahwa antara subyek dan predikat tidak terdapat suatu hubungan

apapun.16

Contoh dari proposisi ialah “semua pencuri adalah penjahat”. Pada contoh

tersebut dapat ditentukan bahwa term semua “pencuri” adalah subyek, term

“penjahat” adalah predikat. Sedangkan term “adalah” merupakan kopula17

. Ketika

suatu proposisi telah terbukti benar, suatu kesimpulan baru yang sebelumnya tidak

diketahui. Proses ini disebut dengan penalaran.18

Contoh dari penalaran di

antaranya yaitu:

Semua pencuri adalah penjahat. (a adalah c) (Premis mayor)

Andi adalah pencuri. (b adalah a) (Premis minor)

Jadi Andi adalah penjahat. (b adalah c) (Konklusi)

13

Fakhruddin Faiz, Teori Kebenaran, video youtube ke-1 menit ke 25.48, 17

Desember 2015. Diakses pada 19 Juli 2019.

https://www.youtube.com/watch?v=hCNvfg_4P-o 14

Y.P Hayon, Kesesatan Berpikir, (Surakarta: Tiga Pena Mandiri, 2012), h. 35. 15

Muhammad Rakhmat, Pengantar Logika Dasar, (Bandung: Logoz Publishing,

2013), h. 57. 16

Muhammad Roy Purwanto, Ilmu Mantiq, (Yogyakarta: Universitas Islam

Indonesia, 2019), h. 67. 17

Dalam sistem bahasa Inggris dan Arab, istilah kopula bisa berupa “to be” (is, are,

am) atau ẓamir (huwa, huma, hum dan seterusnya), sedangkan dalam tata bahasa Indonesia

kopula (seperti kata “adalah”) tidak begitu diperlukan karena pengertiannya sudah

terkandung dalam susunan subyek dan predikat. Misalnya proposisi “Ali adalah seorang

nelayan”, term “adalah” itu dapat dihilangkan dan tidak merubah arti. Akan tetapi dalam

pembahasan logika dengan pengantar bahasa Indonesia ini, kata “adalah” yang merupakan

kopula, harus tetap ditampilan demi menjaga persyaratan proposisi. Partap Sing Mehra dan

Jazir Burhan, Pengantar Logika, (Jakarta: Binatjipta, 1968), h. 34-5. 18

R.G. Soekadijo, Logika Dasar: Tradisional, Simbolik dan Induktif, (Jakarta:

Gramedia, 1985), h. 6.

23

Pada contoh di atas merupakan contoh penalaran yang terdiri dari tiga

proposisi, yaitu dua buah proposisi dasar dan satu buah proposisi yang

merupakan kesimpulan dari kedua proposisi awal. Proposisi kesimpulan

disebut konklusi dan dua proposisi dasar disebut dengan premis (premis

mayor dan minor). Tiap-tiap proposisi terdiri dari dua term, dan karena itu

silogisme meski mempunyai enam term. Namun pada dasarnya, ia hanya

terdiri dari tiga term, yang masing-masing diulang dua kali, yaitu term

mayor (major term), term minor (minor term), dan term tengah (middle

term), yang dilambangkan dengan M. Menurut Aristoteles, term mayor

adalah term yang menjadi predikat pada konklusi, sedangkan term minor

adalah term yang menjadi subyek pada konklusi. Selanjutnya, premis yang

terdapat term mayornya disebut premis mayor, dan premis yang terdapat

term minornya disebut premis minor.19

Pembahasan di atas merupakan suatu contoh penalaran yang tepat dan

menghasilkan kesimpulan yang tepat, karena susunan premis-premisnya sudah

dilakukan dengan tepat atau struktur proposisi dalam premis tetap. Meskipun

proposisi pada premis-premis adalah benar, namun ketika penyusunan tidak tepat

atau strukturnya berubah-ubah, maka dapat dipastikan kesimpulan yang dihasilkan

akan salah.20

Seperti susunan premis-premisnya salah meskipun setiap premisnya

benar, yaitu:

Semua pegawai negeri adalah penerima gaji. (benar)

Semua pegawai swasta adalah penerima gaji. (benar)

Jadi pegawai negeri adalah pegawai swasta. (salah)

Contoh penalaran salah yang disebabkan oleh struktur yang berubah ialah:

Ada puteri sala yang wanita luwes

R.S Ani adalah puteri sala

Jadi R.S Ani adalah wanita luwes

Bentuk kebenaran logis ini tidak memerlukan objek materi untuk

membuktikan kebenarannya, karena kebenaran dan kesalahan murni terdapat

dalam pikiran. Aturan-aturan logislah yang menjadi penentu kebenaran. Hal ini

dapat kita pahami bahwa nalar akal tampaknya dapat mengantarkan manusia pada

kebenaran yang pasti. 21

Lebih jauh dari itu, kebenaran logis dapat kita pahami

sebagai kebenaran yang masuk akal. Kebenaran yang dimaksud merupakan

pernyataan hipotesis yang secara logis atau matematis sejalan dengan pernyataan

lain yang telah diketahui sebagai suatu kebenaran.22

Jadi dalam kajian level

kebenaran ini, kekuatan proposisi dalam menentukan dirinya benar atau salah ialah

19

Muhammad Roy Purwanto, Ilmu Mantiq, (Yogyakarta: Universitas Islam

Indonesia, 2019), h. 71. 20

R.G. Soekadijo, Logika Dasar: Tradisional, Simbolik dan Induktif, (Jakarta:

Gramedia, 1985), h. 8. 21

Ahmad Zainul Hamdi, Tujuh Filsuf Muslim: Pembuka Pintu Gerbang Filsafat

Barat Modern, (Yogyakarta: Pustaka Pesantren, 2004), h. 135. 22

A. Susanto, Filsafat Ilmu: Suatu Kajian dalam Dimensi Ontologis, Epistemologis

dan Aksiologis, (Jakarta: Bumi Aksara, 2013), h. 89.

24

argumen-argumen rasional yang secara logis sangat kuat dan sudah diakui

sebelumnya sebagai suatu kebenaran. Kekuatan pengalaman atau benda-benda

fisik tidak menjadikan suatu pernyataan benar atau salah. Suatu pernyataan akan

tetap dianggap benar, meskipun tidak mempunyai bukti empiris berupa fakta-fakta

fisik. Fakta-fakta empiris seperti pengalaman manusia dan benda fisik lainnya

hanyalah menjadi penguat dari argumen-argumen logis. Suparlan mengatakan

bahwa kebenaran level ini merupakan kebenaran yang ditandai oleh adanya

gambaran yang jelas dan tegas tentang sesuatu itu dalam pikiran. Kebenaran ini

berprinsip bahwa kebenaran dapat ditangkap atau dikenal oleh akal karena adanya

kejelasan dan kepastian yang dihasilkan oleh kemampuan berpikir itu sendiri.23

3. Kebenaran Etik

Kebenaran etik adalah kebenaran yang berdasarkan etika. Landasan

kebenaran ini berbeda dengan apa yang telah dijelaskan sebelumnya. Yang

terpenting pada level kebenaran ini adalah kesesuaian suatu

pernyataan/prilaku/teori dengan norma-norma etis. Secara umum, norma-norma

etis terdapat dua bagian di antaranya ialah etika universal dan etika relatif/lokal.

Dengan demikian, kebenaran etik pun dapat dibagi dua, kebenaran etik universal

dan kebenaran etik lokal. Etika universal meyakini suatu nilai-nilai yang bersifat

konstan dan tidak terikat dengan syarat atau kondisi tertentu. Suatu tindakan dapat

dikatakan sebagai perilaku yang benar berdasarkan tolok ukur “keutamaan”.

Keutamaan memungkinkan manusia memilih perilaku yang tepat dan universal.24

Contoh dari etika universal di antaranya ialah membunuh sesama manusia. Dalam

tatanan kebenaran etik, perilaku membunuh tidak dapat dibenarkan karena

bertentangan dengan etika. Membunuh dalam kajian etika dilarang dan termasuk

prilaku yang buruk.

Level norma etika yang lain ialah etik relatif, yaitu suatu norma etika yang

tolok ukur kebaikan dan keburukannya bersesuaian dengan keadaan sosial pada

suatu tempat.25

Maka setiap suku tampaknya mempunyai kebenaran etik masing-

masing. Istilah lain ialah kebenaran etik merupakan kebenaran yang dihasilkan dari

hasil kesepakatan sosial. Orang Indonesia ketika bertemu dengan guru maka murid

harus mencium tangan, menunduk bahkan dalam memanggilnya harus

menggunakan bahasa yang halus dan sopan, perilaku seperti ini bagi orang

Indonesia dianggap benar. Tetapi berbeda dengan di Australia, di sana murid yang

mencium tangan, menunduk dan memanggil dosen menggunakan bahasa yang

halus dan sopan justru diyakini oleh gurunya sebagai murid yang ingin

menciptakan jarak dengan guru, maka perilaku tersebut dikatakan sebagai perilaku

yang salah. Satu perilaku yang sama tampaknya mempunyai sisi kebenaran yang

berbeda sesuai dengan wilayahnya. Kebenaran relatif ini akan mengalami

perubahan-perubahan sesuai dengan konteks dan kesepakatan-kesepakatan sosial

yang ada.

23

Suparlan Suhartono, Filsafat Ilmu Pengetahuan: Persoalan Eksistensi dan

Hakikat Ilmu Pengetahuan, (Jogjakarta: Ar Ruzz Media, 2005), h. 82. 24

K. Bertens, “Kata Pengantar” dalam Aristoteles, Nicomachean Ethics: Sebuah

Kitab Suci Etika. Penerjemah Embun Kenyowati, (Jakarta: Teraju, 2004), h. viii. 25

K. Bertens, Etika, (Jakarta: Gramedia, 2007), h. 279.

25

Kebenaran ini didukung oleh filosof Barat yang mengatakan bahwa

sebenarnya kebenaran bukan tentang seberapa jauh subjek menangkap objek,

melainkan seberapa sesuai subjek dengan ranah praktis. Pandangan ini datang dari

penganut realisme. Mereka memandang realitas sebagai suatu yang bersifat plastis

atau berubah-ubah serta selalu mendapatkan pengaruh dari keadaan praktis seperti

ekonomi dan kultur.26

Maka teori kebenaran etis mempunyai pandangan yang

sejalan dengan teori ini bahwa kebenaran dapat kita lihat melalui etika yang bisa

jadi aturan-aturannya berbeda antara wilayah yang satu dengan yang lainnya.

Selain itu, kebenaran etika juga mengalami perubahan dari masa ke masa.

Fakta di masyarakat, nilai-nilai etika yang dilandaskan pada agama diakui sebagai

kebenaran dan diterapkan dalam kehidupan. Bagi muslim Indonesia misalnya,

berboncengan dengan lawan jenis di luar nikah diakui sebagai kesalahan dalam

bergaul antara pria dan wanita. Pengakuan tersebut berlandaskan pada nilai-nilai

etika keagamaan. Fenomena ini terwujud dalam fakta di masyarakat yang dapat

diamati dalam kehidupan sehari-hari pada era pra globalisasi.

Sebaliknya, di era globalisasi nilai-nilai kebenaran khususnya kebenaran

etika bergaul dan berpakaian antara pria dan wanita menurut Islam sudah mulai

ditinggalkan oleh sebagian anggota masyarakat remaja yang terwujud dalam fakta.

Sebagai contoh ajaran Islam (larangan mendekati zina) sebagai suatu ajaran yang

mengandung nilai kebenaran mutlak, kini telah ditinggalkan oleh sebagian remaja

yang berpola pikir kebarat-baratan. Islam juga mengajarkan nilai sopan santun

yang mengandung nilai kebenaran tentang keharusan kaum wanita untuk menutup

aurat, namun dalam faktanya, sebagian remaja kita telah menganggap ajaran itu

tidak benar atau kuno, sehingga mereka berpakaian sangat seksi. Karena itu dapat

disimpulkan bahwa nilai kebenaran agama mengalami krisis dan kesenjangan

dengan kenyataan atau fakta yang diamati dalam kehidupan sehari-hari di

masyarakat.

4. Kebenaran Metafisik

Ibn Rushd mendefinisikan metafisika sebagai pengetahuan tentang wujud.

Metafisika adalah bagian dari ilmu teoritis. Ia mempelajari kemaujudan secara

mutlak; prinsip nonbendawi hal-hal fisis yang dapat dirasakan seperti kesatuan,

kemajemukan, kemampuan, aktualisasi dan sebagainya; sebab-sebab segala yang

ada di samping Tuhan dan wujud-wujud suci. Jadi metafisika mempelajari tentang

sebab-sebab tertinggi dari hal tertentu yang jauh melampaui jangkauan indra.27

Kebenaran metafisik merupakan kebenaran tentang hal-hal di balik dunia

fisik. Maka kebenaran dalam versi ini menggali suatu kebenaran yang tidak dapat

dijangkau secara logis dan empiris. Kajian logika dan empiris hanya mampu

mencapai kebenaran-kebenaran terbatas. Kebenaran logis hanya sampai pada

kebenaran sejauh kemampuan akal menjangkau. Sedangkan akal tidak dapat

mencapai seluruh realitas wujud. Ada sesuatu yang tidak bisa dicapai oleh

26

Akhyar Yusuf Lubis, Paradigma Positivisme dalam Epistemologi Pasca

Positivisme, dalam Heraty Noerhadi, Berpijak Kepada Filsafat: Kumpulan Sinopsis

Disertasi Program Pascasarjana Filsafat Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya Universitas

Indonesia, (Depok: Komunitas Bambu, 2013), h. 317-318. 27

MM Syarif, Para Filosof Muslim, (Bandung: Mizan, 1996), h. 226.

26

perantara rasional bahkan silogisme rasional sendiri pada saat tertentu tidak bisa

menjelaskan atau mendefinisikan sesuatu yang diketahuinya.28

Sedangkan

kebenaran empiris hanya mencapai kebenaran yang sifatnya pengalaman

keseharian melalui pancaindra. Kedua kebenaran itu oleh pengikut metafisika

dianggap sebagai kebenaran nisbi, karena kebenaran selain yang metafisik

hanyalah bayangan yang terus berubah-ubah. Kebenaran yang hakiki bagi para

metafisika ialah kebenaran di balik materi dan jangkauan akal.

Bagi Suhrawardi pengetahuan yang kebenaran merupakan pengetahuan

yang dipahami subjek yang dilihat secara langsung tanpa penghalang apapun.

Menurutnya objek dapat dipahami secara valid hanya ketika subjek merasakan

langsung tentang objeknya.29

Agar sesuatu dapat diketahui, sesuatu harus dilihat

seperti apa adanya, sehingga pengetahuan yang diperoleh memungkinkannya

untuk tidak butuh definisi. Misalnya warna merah. Warna merah hanya bisa

diketahui jika terlihat seperti apa adanya dan sama sekali tidak bisa didefinisikan

oleh dan untuk orang yang tidak pernah melihat sebagaimana adanya.

Sebuah pengetahuan yang benar hanya bisa dicapai lewat hubungan

langsung tanpa halangan antaran subjek yang mengetahui dengan objek yang

diketahui. Teori ini sekaligus membantah teori para ilmuwan sebelumnya yang

mengatakan bahwa kebenaran merupakan kesesuaian antara konsepsi dengan

realitas objek, karena objek adalah independen dan terpisah dengan subjek. Namun

pemikiran tentang kebenaran korespondensi menurut Suhrawardī mempunyai

kelemahan-kelemahan di antaranya ialah teori kebenaran tersebut tidak dapat

mencapai kebenaran dikarenakan kedua kebenaran tadi menunjuk pada sesuatu

yang tidak hadir, objeknya menjadi terbatas karena tidak semua objek bisa

dikonsepsikan atau didefinisikan, validitasnya tidak terjamin karena apa yang ada

dalam konsep mental ternyata tidak pernah identik dengan realitas objektif yang

ada di luar pikiran dan terikat pada ruang dan waktu.30

Bahkan Karen Armstrong dalam buku tentang Sejarah Tuhan mengatakan

bahwa kebenaran tertinggi berupa kebenaran Tuhan menurutnya tidak dapat

diungkap dalam kata-kata maupun konsep. Kebenaran Ilahi hanya didapatkan

melalui pewahyuan kepada kita melalui pengalaman. Kebenaran puncak dari

metafisika tidak dapat digambarkan melalui kata-kata dan tidak dapat dipikirkan

oleh akal, akan tetapi sesuatu yang dengannya kata-kata diucapkan dan sesuatu

yang dengannya akal berpikir. Mustahil untuk berbicara kepada Tuhan yang

semalaikat ini atau berpikir mengenai dia, menjadikannya objek pikiran semata. Ia

adalah realitas yang hanya bisa dicerna dalam puncak perasaan orisinal yang

melampaui kesadaran diri.31

Kebenaran dalam versi ini menurut Haidar Baqir

adalah kebenaran pasti dan otoritatif, namun kebenarannya tidak berlaku bagi

28

H.A Khudori Soleh, Filsafat Islam: Dari Klasik Hingga Kontemporer,

(Yogyakarta: Ar-Ruzz Media, 2016), h. 139. 29

H.A Khudori Soleh, Filsafat Islam ..., h. 148-149. 30

H.A Khudori Soleh, Filsafat Islam ..., h. 148. 31

Karen Armstrong, Sejarah Tuhan: Kisah 4.000 Tahun Pencarian Tuhan dalam

Agama-Agama Manusia. Penerjemah Zaimul Am, (Bandung: Mizan, 2011), h. 68.

27

orang-orang yang berada di luarnya. Keadaan tersebut hanya bisa ditangkap hanya

oleh orang-orang yang mengalaminya.32

Dalam rangka menemukan kebenaran, teori kebenaran metafisika juga

mempunyai teori kehadiran. Di mana kebenaran merupakan kehadiran objek pada

subjek. Ketika objek sudah hadir dalam diri subjek, sejak itulah sesungguhnya

suatu konsep tidak diperlukan suatu pengujian kesesuaian. Karena antara objek dan

subjek sudah bersatu dalam subjek.33

Dalam rangka membuktikan kebenaran ini

sesungguhnya tidak memerlukan perantara apapun, baik indra maupun akal.

Kebenaran dalam bentuk ini sesungguhnya merupakan kebenaran yang pasti dan

hakiki, karena subjek langsung menyatu dengan objek yang memang hadir dalam

subjek. Maka teori korespondensi maupun koherensi yang digaungkan oleh para

filosof dan saintis Barat, pada pengetahuan ini tampaknya tidak berlaku.

Puncak kebenaran metafisik ini ialah suatu eksistensi yang hakiki,

kebenaran wujud Ilahi yang pasti dan tidak berubah. Kebenaran-kebenaran

semacam ini merupakan kebenaran hakiki yang langsung dilimpahkan oleh Yang

Maha Suci ke dalam jiwa seseorang.34

Oleh karena itu, kebenaran versi ini adalah

kebenaran yang tidak mungkin tidak benar. Kebenaran gaib ini, memang tak

terkatakan dan tidak dapat dijelaskan, namun dapat dimiliki oleh orang yang

hatinya suci. Kebenaran pada teori metafisika selalu mempersepsikan dirinya yang

terbaik, berada pada keabadian yang tidak pernah berakhir. Hakikat atau kesejatian

adalah bentuk lain dari eksistensi Tuhan. Hakikat kebenaran agama adalah fitrah

yang tidak terpisahkan dengan keberadaan Tuhan sebagai sumber dari kebenaran.

Kesejatian merupakan kebenaran yang hakiki, senantiasa terhubung kepada Sang

Pencipta. Agama pasti bersumber dari yang Maha Benar.

B. Berbagai Macam Teori Kebenaran

Perdebatan tentang teori kebenaran di Barat berkembang cukup baik.

Perkembangan itu ditandai oleh lahirnya banyak teori kebenaran yang tiap teori itu

mempunyai karakteristik yang unik. Secara garis besar, teori kebenaran Barat dapat

kita klasifikasikan dalam beberapa kategori, di antara aliran yang dimaksud ialah

teori korespondensi, teori koherensi, teori pragmatis.35

1. Teori Kebenaran Korespondensi

Teori kebenaran korespondensi merupakan teori yang cukup tua

dibandingkan teori-teori lainnya seperti materialisme, pragmatisme dan lainnya.

Bahkan Philip T. Dunwoody mengatakan teori ini merupakan teori kebenaran

32

Haidar Baqir, Epistemologi Tasawuf: Sebuah Pengantar, (Bandung: Mizan,

2017), h. 18. 33

Zaprulkhan, Filsafat Islam: Sebuah Kajian Tematis, (Jakarta: Raja Grafindo

Persada, 2014), h. 135-136. 34

Ahmad Baiquni dan Azam Bakhtiar, Epistemologi Tasawuf: Sebuah Pengantar,

(Bandung: Mizan, 2017), h. 62, 35

Zamrulkhan, Filsafat Ilmu: Sebuah Analisis Kontemporer, (Jakarta: Raja

Grafindo, 2016), h. 107.

28

tertua.36

Unsur-unsur teori ini sudah ada pada zaman sebelum Masehi, yaitu sejak

filosof Heraklitus (535-475 SM). Kemudian diteruskan oleh Aristoteles (384-322

SM), juga tampak dalam pandangan Thomas Aquinas dan didukung oleh para filsuf

Inggris sejak abad pertengahan pada waktu pencerahan.37

Aristoteles menekankan

pentingnya pengamatan terhadap pemahaman kita tentang fenomena alam dan

memberikan definisi korespondensi yang berpendapat bahwa pernyataan atau

proposisi yang benar mencerminkan realitas itu sendiri.38

Bahwa sesuatu yang benar

itu adalah sesuatu yang menunjukkan objek apa adanya. Kalimat Aristoteles yang

terkenal ialah “To say of what is that it is not, or of what is not that it is, is false,

while to say of what is that it is, and of what is not that it is not, is true”.39

Maka

kepercayaan kita perlu sesuai dengan kenyataan dan juga tidak bertentangan dengan

diri sendiri, karena kita mengalami satu realitas.

Para peneliti seperti Jamin Asay mendefinisikan teori kebenaran

korespondensi sebagai suatu teori yang menjadikan fakta sebagai penentu

kebenaran. Dalam pandangan korespondensi, sesuatu dapat dikatakan sebagai benar

ketika ia mempunyai relevansi atau kesesuaian dengan fakta-fakta.40

Pengetahuan

seseorang akan benar manakala apa yang diketahuinya merujuk kepada objek atau

realitas tertentu. Dengan demikian kebenaran adalah kesesuaian antara pengetahuan

dengan fakta yang sebenarnya tentang apa yang diketahui. Dalam teori

korespondensi antara pengetahuan dan fakta seharusnya terdapat kesamaan. Jika

sesuatu tersebut tidak mempunyai fakta, maka sejak itu pula sesuatu itu salah.41

Tidak salah ketika kita mengatakan bahwa kebenaran merupakan ungkapan tentang

realitas objek apa adanya.

Posisi manusia terhadap teori kebenaran ini adalah sebagai subjek

penangkap konsepsi fakta. Fakta atau realitas ditangkap oleh manusia kemudian

dikelola pikiran. Di situlah awal mula terbentuknya konsep atau pengetahuan. Maka

pada hakikatnya pengetahuan atau konsep merupakan abstraksi dari apa yang ada di

dunia. Pikiran pada teori ini hanyalah sebatas menerima pengetahuan dari objek.

36

Philip T. Dunwoody, “Theories of Truth as Assessment Criteria in Judgment and

Decision Making”, dalam Judgment and Decision Making, vol. 4, no. 2, March 2009, h. 117. 37

C. Verhaak dan Haryono Iman, Filsafat Ilmu Pengetahuan, Telaah Atas Cara

Kerja Ilmu-ilmu, (Jakarta: Gramedia, 1989), h. 122-123. 38

Neal V. Dawson, “Correspondence and Coherence in Science: A Brief Historical

Perspective”, dalam Judgment and Decision Making, vol. 4, no. 2, March 2009, h. 126-133.

Diakses pada 01 Agustus 2019 dari http://journal.sjdm.org/ccdg/ccdg.html. 39

Dr Chris Henry, “The Politics of (Post) Truth: Theories of Truth in Contemporary

Philosophy”, h. 2. Diakses pada 20 Agustus 2019 dari

https://www.cumberlandlodge.ac.uk/sites/default/files/public/The%20Politics%20of%20%28

Post%29%20Truth%20-%20Philosophy%20Resources.pdf 40

Jamin Asay, The Primitivist Theory of Truth, (New york: Cambridge University

Press, 2013), h. 12. Diakses dari

https://books.google.co.id/books?id=3VICAQAAQBAJ&pg=PA12&dq=Theories+of+Truth

&hl=en&sa=X&ved=0ahUKEwi3z9K43I3iAhUIXisKHYLpAXYQ6AEITDAG#v=onepage

&q=Theories%20of%20Truth&f=false. 41

J. W. Gercke dkk, “Philosophical Theories of Truth and The Logical Status of

Intra-Biblical Fallacies of Contextomy”, in Jurnal In Die Skriflig, vol. 43, no. 4, 2009, h.

784.

29

Pikiran tidak dapat membuat pengetahuan sendiri, karena tanpa fakta pengetahuan

yang benar tidak akan terwujud. Oleh karena itu, objek nyata menjadi penentu benar

tidaknya suatu pengetahuan.

Fakta dapat kita pahami sebagai hal-hal yang bersifat duniawi, sebagaimana

dijelaskan oleh Hamdani.42

Panca Indra merupakan alat yang digunakan untuk

menangkap suatu fakta. Fakta-fakta yang dialami langsung oleh pancaindra, kita

sebut sebagai fakta empiris.43

Madura merupakan salah satu pulau yang berada di

Jawa Timur adalah fakta. Bola jatuh dari atas ke bawah adalah fakta. Matahari terbit

adalah fakta. Fakta merupakan segala sesuatu yang ada di dunia ini dan dapat

dialami oleh indra. Karena pengetahuan hanya didapatkan dari fakta-fakta maka,

pengamatan, percobaan atau pengujian empiris menjadi penting dalam menguji

kebenaran suatu pengetahuan dalam rangka mengungkap fakta yang sesungguhnya.

Metode dalam mencapainya disebut metode observasi. Pengetahuan yang terungkap

hanya melalui dan setelah pengalaman dan percobaan empiris.44

Tanpa dapat

dibuktikan secara empiris, maka pengetahuan tersebut adalah salah.

Dampak dari teori ini adalah seluruh proposisi, pernyataan atau pengetahuan

sebaik apapun jika tidak dapat menunjukkan suatu fakta empiris, maka pernyataan

itu tidak dianggap sebagai kebenaran bahkan pernyataan itu tidak dinamakan

pengetahuan melainkan hanya sebatas keyakinan. Keyakinan tidak dapat

dikategorikan sebagai pengetahuan karena tidak dapat diuji secara empiris. Misalkan

pernyataan tentang wanita baik akan dikatakan sebagai pernyataan yang benar dan

ilmiah hanya ketika pernyataan itu diikuti oleh bukti-bukti yang menunjukkan

bahwa wanita tersebut adalah baik. Berdasarkan gagasan di atas dapat kita pahami

bahwa pengetahuan/pernyataan merupakan potret dari realitas yang ada di dunia.

Semakin lengkap suatu pengetahuan menggambarkan suatu realitas dunia, maka

semakin benar teori tersebut. Fakta sentris dalam penentuan kebenaran ini

dipengaruhi oleh para empirisme yang memang dalam mengkaji pengetahuan

menggunakan korespondensi.

Richard L. Kirkham, seorang profesor filsafat di Georgia State University

membagi teori korespondensi menjadi dua bagian yaitu korespondensi sebagai

korelasi dan korespondensi sebagai kongruensi.45

Pertama, korespondensi sebagai

korelasi merupakan pandangan yang mengatakan bahwa setiap pembawa

kebenaran46

adalah berkorelasi dengan sebuah keadaan. Jika keadaan yang

dikorelasikan dengan sebuah pembawa kebenaran benar-benar mewujud, maka

pembawa kebenaran adalah benar, kalau tidak ia adalah salah. Sebuah pembawa

kebenaran secara keseluruhan berkorelasi dengan sebuah keadaan secara

keseluruhan. Kedua, korespondensi sebagai kongruensi yang menyatakan bahwa

42

Hamdani, Filsafat Sains, (Bandung, Pustaka Setia, 2011, h. 40. 43

Jujun S. Suria Sumantri, Ilmu dalam Perspektif: Sebuah Kumpulan Karangan

tentang Hakikat Ilmu, (Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, 2009), h. 5. 44

A. Sonny Keraf dan Mikchael Dua, Ilmu Pengetahuan: Sebuah Tinjauan

Filosofis, (Yogyakarta: Kanisius, 2010), h. 67. 45

Richard L. Kirkham, Teori-Teori Kebenaran. Penerjemah M. Khozim, (Bandung:

Nusa Media, 2013), h. 179. 46

Pembawa kebenaran seperti proposisi, kalimat atau apa pun yang dipandang

sebagai pembawa kebenaran.

30

terdapat keserupaan struktural antara pembawa kebenaran dan fakta-fakta yang

mereka korespondensikan ketika pembawa kebenaran adalah benar. Ia mengatakan

bahwa struktur keyakinan seperti proposisi dan lainnya mencerminkan atau

menggambarkan struktur fakta dengan cara-cara sebagaimana sebuah peta

mencerminkan struktur bagian-bagian dunia yang dipetakannya.47

Meskipun teori ini banyak digunakan masyarakat dalam menentukan

kebenaran dalam hidupnya, akan tetapi teori ini mempunyai kelemahan yang

mendasar. Thomas Kuhn misalnya mengatakan bahwa kebenaran sebenarnya tidak

dapat dikatakan sebagai kesesuaian antara pengetahuan/teori dengan realitas karena

menurutnya setiap pengetahuan/teori dipengaruhi oleh paradigma yang dianut

subjek. Subjek yang berbeda dalam memandang realitas yang sama tampaknya tidak

dapat dibandingkan, karena realitas akan dipahami berbeda sesuai dengan paradigma

subjek dan situasi pada waktu subjek menangkap realitas. Objek yang sama akan

melahirkan nilai yang berbeda ketika situasi dan keadaan tempat objek diteliti.

Demikian juga dengan teori, teori akan dinilai berbeda oleh subjek yang berbeda

ditambah pula dengan perbedaan situasi dan kondisi di mana teori tersebut diuji.48

Kuhn juga membantah teori gagasan korespondensi tentang “kebenaran

alam dapat diketahui oleh manusia”. Albert Einstein (1879-1955 M) mengklaim

bahwa alam semesta pasti dapat dimengerti oleh manusia dan dapat dirumuskan

dalam suatu teori yang menjadi pengetahuan. Tuhan tidak akan menciptakan alam

semesta yang tidak dapat dipahami. Namun kendala yang dialami manusia adalah

bahwa untuk dapat mengerti sepenuhnya tentang alam, manusia mengalami

kesulitan. 49

Namun teori-teori semacam yang dikatakan oleh Einstein tidak mungkin

seseorang capai. Teori pada dasarnya hanyalah bentuk memodelkan realita menjadi

suatu dugaan terhadapnya. Maka teori sebenarnya tidak pernah sampai pada realitas

dan tidak pernah sebangun dengan realitas. Sehingga menjadikan kesesuaian antara

pengetahuan dengan realitas adalah bentuk kemustahilan nyata.50

Jika kita

menggunakan ukuran kesesuaian ini sebagai landasan kebenaran maka kebenaran

tidak akan pernah dicapai.

Selain itu kritikan berikutnya ialah mengenai hakikat fakta yang dijadikan

landasan. Faktanya pancaindra yang dijadikan sandaran utama oleh teori ini

mempunyai banyak kelemahan-kelemahan. Pernyataan tentang ukuran “bintang

sangat besar” ketika dibuktikan secara empiris bintang menampakkan diri kepada

mata manusia sebagai benda kecil yang bercahaya. Padahal pada hakikatnya bintang

sangat besar, hanya jarak yang jauh membuat bintang tampak kecil. Di sinilah

tampaknya teori korespondensi mengalami permasalahan. Teori korespondensi

47

Richard L. Kirkham, Teori-Teori Kebenaran ..., h. 180. 48

Frederick Suppe, “Facts An Empirical Truth, Canadian Journal of Philoshophy”,

Vol. iii, No. 2, Desember 1973, h. 197. 49

Neal V. Dawson, “Correspondence and Coherence in Science: A Brief Historical

Perspective”, in Jurnal Judgment and Decision Making, vol. 4, no. 2, March 2009. Diakses

pada tanggal 01 Agustus 2019 dari http://journal.sjdm.org/ccdg/ccdg.html. 50

Eko Wijaya, Evolusi Kebudayaan Menurut Richard Dawkins, dalam Toeti Heraty

Noerhadi, Berpijak Kepada Filsafat: Kumpulan Sinopsis Disertasi Program Pascasarjana

Filsafat Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya Universitas Indonesia, (Depok: Komunitas

Bambu, 2013), h. 219-220.

31

tampaknya tidak selamanya menyajikan kebenaran. Ternyata ada proposisi-proposisi

yang tidak dapat dijangkau oleh teori korespondensi. Oleh karena itu, teori

korespondensi kemudian mendapat kritikan dari kaum rasionalis yang kemudian

melahirkan teori kebenaran koherensi.

2. Teori Kebenaran Koherensi

Kata koherensi dalam bahasa Inggris ialah coherence yang mengandung arti

sticking together, consistent (especially of speech, thought, reasoning), clear, easy

to understand. Sedangkan dalam bahasa Latin kata koherensi ialah cohaerere yang

berarti melekat, tetap menyatu, bersatu.51

Istilah koherensi dapat kita artikan sebagai

suatu hubungan yang terjadi disebabkan oleh adanya gagasan (prinsip, relasi, aturan,

konsep) yang sama.52

Teori kebenaran koherensi merupakan teori kebenaran yang

menjadikan suatu konsep atau aturan rasional sebagai tolok ukur kebenaran.

Sedangkan tokoh pengembang awal teori koherensi menurut Jujun adalah

Aristoteles dan Plato.53

Hal tersebut yang kemudian menyebabkan teori ini menjadi sangat berbeda

dengan teori korespondensi yang telah dijelaskan sebelumnya. Teori korespondensi

menjadikan realitas sebagai tolok ukur kebenaran, sedangkan teori koherensi tidak

menjadikan realitas materi sebagai tolok ukur kebenaran. Teori kebenaran koherensi

bisa dikatakan sebagai teori kebenaran yang berlevel kebenaran logik54

, yaitu suatu

kebenaran yang berdasarkan kaidah-kaidah logika. Teori ini juga dapat disebut

dengan teori logis. Logika dijadikan sebagai landasan ilmu oleh para ilmuwan

setelah Aristoteles. Bahkan Poerwantana mengatakan bahwa logika menjadi mutlak

bagi seseorang untuk mencapai kebenaran.55

Ia mengatakan begitu karena hal-hal

yang logis kebenarannya lebih pasti dan tidak berubah-ubah dibandingkan dengan

teori kebenaran lain. Pengetahuan yang benar menurut teori ini adalah pengetahuan

yang mempunyai relasi yang sudah ada. Maka sesungguhnya, pernyataan, teori atau

pengetahuan dianggap benar kalau sejalan dengan pernyataan, teori atau

pengetahuan yang sudah ada dan kebenarannya sudah diuji. Dengan kata lain, jika

proposisi tersebut sejalan, meneguhkan dan konsisten dengan teori yang sudah benar

sebelumnya.56

Pernyataan akan dianggap benar jika ia mempunyai kesesuaian atau

51

Peter L. Angles, A Dictionary of Philosophy, (London: Harper & Row Publishers,

1981), h. 40; lihat juga Lorenz Bagus, Kamus Filsafat ..., h. 470. 52

Peter L. Angles, A Dictionary of Philosophy ..., h. 40; lihat juga Lorenz Bagus,

Kamus Filsafat ..., h. 470. 53

Jujun S. Suriasumantri, Filsafat Ilmu: Sebuah Pengantar Populer, cet. ke-20,

(Jakarta: Pustaka Sinar Harapan, 2014), h. 57. 54

Sedangkan pemikiran tentang logos universal pertama kali digagas oleh

Heraclitus. Teori ini cukup populer dan menjadi perbincangan sejak pada masa Aristoteles

karena memang teori logika dirumuskan dengan baik oleh Aristoteles. Teori logika ini awal

mulanya berasal dari buku Aristoteles yang berjudul “Organon” yang kemudian menjadi

landasan ilmu logika berikutnya. Poerwantana Dkk, Seluk-Beluk Filsafat Islam, (Bandung,

PT Remaja Rosdakarya, 1994), h. 25-26. 55

Poerwantana Dkk, Seluk-Beluk Filsafat Islam, (Bandung, PT Remaja Rosdakarya,

1994), h. 25-26. 56

A. Sonny Keraf dan Mikhael Dua, Ilmu Pengetahuan: Sebuah Tinjauan Filosofis,

h. 68.

32

konsisten dengan kaidah-kaidah logika atau pernyataan yang sebelumnya sudah

diakui kebenarannya.57

Dengan begitu teori ini juga disebut dengan istilah the

consistence theory of truth.58

Kebenaran model ini biasanya dipakai dalam menentukan kebenaran

matematika. Penjumlahan 2+2 = 4 adalah benar sesuai dengan teori matematika.

Penjumlahan ini tidak membutuhkan bukti empiris. Kalaupun terdapat 2 sapi + 2

sapi = 4 sapi. Tambahan sapi di sana hanyalah penguat dan tidak mengubah status

kebenaran penjumlahan tersebut. Hal yang membuat salah suatu pernyataan ialah

ketika tidak konsisten dengan sebelumnya yang dianggap benar contohnya ketika

2+2 = 5. Dalam teori kebenaran ini, hubungan antara pernyataan dengan realitas

tidak lagi menjadi suatu pernyataan benar atau salah, tetapi hubungan antara

pernyataan dengan pernyataan sebelumnyalah yang menjadikannya benar atau

salah.59

Jadi kebenaran koherensi menerangkan bahwa kebenaran merupakan

kesesuaian suatu pernyataan dengan pernyataan lain yang sudah lebih dahulu

diketahui, diterima dan diakui sebagai kebenaran dan ia merupakan sebuah

keputusan akan dianggap benar oleh teori ini jika mendapat penyaksian dari putusan

lain yang lebih dulu sudah diketahui, diterima dan diakui kebenarannya.60

Amsal

Bakhtiar menambahkan bahwa teori ini juga dapat dinamakan sebagai teori

penyaksian (justifikasi) tentang kebenaran, karena satu putusan dianggap benar

apabila mendapat penyaksian-penyaksian (pembenaran) oleh putusan-putusan

lainnya yang terdahulu yang sudah diketahui kebenarannya.61

Namun menurut Bochenski dalam buku Suparlan Suhartono menerangkan

bahwa kebenaran teori koherensi justru terletak pada adanya kesesuaian antara suatu

benda atau hal dengan pikiran atau idea.62

Inilah yang disebut dengan kebenaran

ontologis. Yaitu kebenaran yang tolok ukurnya berada pada dunia idea. Teori ini

memang dibuat oleh para filosof idealisme yang pada doktrin dasar mengatakan

bahwa kebenaran hakiki hanyalah kebenaran idea yang tidak pernah berubah.

Sehingga tidak heran ketika idea dijadikan landasan kebenaran pada teori ini. Idea

sebagaimana kita ketahui dari Plato, merupakan kebenaran yang hakiki karena

bentuknya yang tidak berubah-ubah sehingga kepastian kebenaran dapat

dipertanggung jawabkan. Suatu contoh ialah kucing yang benar bukanlah kucing

partikular yang kita lihat, kucing yang benar adalah kucing yang ideal, yang abstrak,

yang merupakan substansi universal dari semua kucing yang ada. Kucing yang

tampak pada manusia hanyalah kucing partikular yang merupakan gambaran atau

citra atau perwujudan dari yang ideal, maka kucing partikular adalah kebenaran

57

Jujun S. Suriasumantri, Filsafat Ilmu: Sebuah Pengantar Populer ..., h. 57. 58

Endang Saifuddin Anshari, Ilmu Filsafat dan Agama, (Surabaya: PT. Bina Ilmu,

1987), h. 23. 59

Ahmad Atabik, “Teori Kebenaran Perspektif Filsafat Ilmu: Sebuah Kerangka

Untuk Memahami Konstruksi Pengetahuan Agama”, dalam Fikrah, Vol. 2, No. 1, Juni 2014, h.

260. 60

Biyanto, Filsafat Ilmu dan Ilmu Keislaman, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2015),

h. 161. 61

Amsal Bakhtiar, Filsafat Ilmu, (Jakarta: Rajagrafindo Press, 2012), h. 117. 62

Suparlan Suhartono, Filsafat Ilmu Pengetahuan, (Jogjakarta: Ar-Ruzz Media,

2008), h. 84.

33

palsu.63

Kucing pada dunia materi dapat dikatakan benar sebagai kucing manakala ia

sesuai dengan realitas aslinya, yaitu idea tentang kucing. Demikian juga teori-teori

logika yang oleh para filosof dikatakan sebagai ilmu pasti yang sangat meyakinkan.

Plato dan Aristoteles adalah dua tokoh yang mengembangkan teori koherensi awal

yang kemudian digunakan dalam menyusun ilmu ukur oleh Euclid.64

Untuk

selanjutnya teori koherensi digunakan oleh kaum idealis seperti FH. Bradly (1846-

1924 M).

Ada yang menarik dalam buku yang disajikan oleh C. Verhaak S.J. Ilmu

logika yang selama ini diyakini oleh banyak orang sebagai ilmu yang pasti, justru ia

buktikan sebagai salah satu bagian dari ilmu yang nisbi. Teori aksioma sistem yang

dikembangkan oleh Euklides65

justru mendapatkan bantahan dari Girolami Saccheri

(1667-1733

M). Girolami pada akhirnya mampu membuktikan kesalahan teori

Euklides. Teori Euklides mengatakan bahwa jumlah sudut ketiga sudut segi tiga

ialah 180 derajat, namun oleh Girolami Saccheri66

dapat dibuktikan dengan dua

bentuk hasil penelitian. Di antaranya ialah pertama ialah bahwa jumlah ketiga sudut

segi tiga adalah kurang dari 180 derajat. Sedangkan bentuk kedua ialah jumlah

ketiga sudut segi tiga tersebut ialah kurang dari 180 derajat. Ternyata keduanya

berhasil mengembangkan suatu ilmu ukur tanpa kontradiksi.67

Pembuktian

kekeliruan dari teori matematika awal tersebut merupakan bukti kenisbian atau

63

Bertrand Russel, Sejarah Filsafat Barat. Penerjemah Wajiz Anwar, (Yogyakarta:

Yayasan al-Jami‟ah, 1968), h. 70. 64

Nurani Soyomukti, Pengantar Filsafat Umum: dari Pendekatan Historis,

Pemetaan Cabang-Cabang Filsafat, Pertarungan Pemikiran, Memahami Filsafat Cinta,

hingga Panduan Berpikir Kritisi Filosofis, (Jogjakarta: ar-Ruzz Media, 2016), h. 175. 65

Euklides merupakan matematikawan yang lahir di Alexandria, Mesir. Alexandria

juga disebut dengan istilah Iskandariyyah. Tahun lahir dan meninggalnya belum diketahui

pasti, tetapi ia dikabarkan hidup sekitar abad ke-4 SM. Secara spesifik, Euklides disebut

sebagai bapak geometri karena ia telah mengemukakah teori bilangan dan geometri yang

cukup berpengaruh pada ilmuwan sesudahnya. Diakses dari http://journal-sport-

q.lautan.info/id4/800-685/Euklides_22880_stikom-bali_journal-sport-q-lautan.html 66

Girolami Saccheri merupakan matematikawan asal Italia. Ia dianggap sebagai

ilmuwan yang karyanya dianggap sebagai buku pertama dalam geometri non-Euclid. Namun,

pada abad ke-18 ia diketahui sebagian besar karyanya merujuk kepada tulisan Naṣīr al-Dīn

(1201-1274 M). Naṣīr al-Dīn adalah matematikawan muslim ternama Persia yang menjadi

pengikut dan komentator Omar Khayyām (1048-1131 M). Melihat kerangka di atas, maka

Omar Khayyām dianggap sebagai pelopor bagi Girolami Saccheri dalam meletakkan dasar

geometri non-Euclid. Maka ilmuwan yang pertama mengkritik Euklides/Euclid bukanlah

Girolami, melainkan ʻUmar Khayyam. ʻUmar Khayyam adalah matematikawan, astronom

sekaligus penyair. Ia menulis lebih dari 2000 buku. Salah satu kontribusi terbesar Khayyam

dalam matematika tentang geometri tertuang dalam bukunya yang berjudul “Fī Sharkma

Ashkālā min Muṣādarat Kitāb Uqlidis”. Dalam buku I risalahnya, Omar mengkritik teori

Euclid tentang garis sejajar, sedangkan dalam buku II dan III, dia menghubungkan dengan

teori perbandingan dan ukuran. Muchammad Abrori, “Matematikawan Muslim Terkemuka”,

dalam Kaunia IV, no. 2 Oktober 2008, h. 214. Review buku Mohaini Mohamed,

Matematikawan Muslim Terkemuka, (Jakarta: Salemba Empat, 2001). 67

C. Verhaak S.J dan Haryono Imam, Filsafat Ilmu Pengetahuan, (Jakarta:

Gramedia, 1991), h. 87-89.

34

ketidakpastian ilmu pasti. Bahwa logika pada dasarnya merupakan ilmu yang juga

tidak dapat mencapai kepastian mutlak. Logika yang diklaim sebagai satu-satunya

ilmu pasti ternyata terdapat celah-celah yang dapat meruntuhkan kepastiannya,

sehingga posisi teori ini sama seperti kenisbian teori lainnya. Demikian ungkap C.

Verhaak dan R. Haryono Imam.

Perbedaan mendasar antara teori koherensi dengan teori korespondensi ialah

kebenaran teori korespondensi ditentukan oleh objek dari pernyataan tersebut.

Sedangkan kebenaran teori koherensi ditentukan oleh subjek. Jika untuk

membuktikan kebenaran menurut teori korespondensi harus langsung melihat objek

dari proposisi tersebut, jika tidak ditemukan objek itu maka proposisi itu salah. Teori

koherensi tidak memerlukan itu, bagi teori korespondensi, kebenaran cukup hanya

dengan menggunakan logika.

3. Teori Kebenaran Pragmatis

Teori kebenaran pragmatis merupakan teori baru yang lahir di Amerika pada

abad ke-20 M. Pencetus pertamanya ialah Charles S. Pierce (1839-1914 M). Teori

tersebut kemudian dikembangkan oleh William James (1842-1910 M) dan John

Dewey (1859-1952 M).68

Teori kebenaran pragmatis mencurahkan perhatian pada

dampak dari suatu pengetahuan, teori atau pernyataan. Ia menawarkan kebenaran

praktis di mana manfaat secara praktis menjadi tolok ukur kebenaran. Kebenaran

pragmatis justru terfokus pada manfaat atau dampak terhadap kehidupan.69

Teori

kebenaran pragmatis adalah teori mengajarkan bahwa pernyataan atau pengetahuan

yang benar adalah pernyataan yang dapat membuktikan dirinya sebagai benar

dengan perantara akibat-akibatnya yang bermanfaat secara praktis.70

Selama suatu

pernyataan itu bermanfaat bagi manusia, selama itu juga pernyataan itu akan dinilai

sebagai kebenaran.

Charles S. Pierce71

justru memahami teori ini sebagai teori objektif dan

impersonal, karena memang teori ini tidak didasarkan hanya semata-mata atas

pandangan ilmuwan atau kelompok yang otoritatif, tetapi berdasarkan pengamatan

terhadap praktek-praktek yang diteliti secara ketat. Ketika praktek-praktek tersebut

memang merespons dan berdampak sesuai dengan kehidupan nyata pada

masyarakat, maka di situlah sebenarnya letak kebenaran objektif. Di mana keadaan

suatu teori ditentukan oleh realitas yang berkaitan dengan banyak masyarakat, bukan

hanya ditentukan oleh individu-individu seperti para ilmuwan.72

Ketika teori para

68

Fauziah Nurdin, “Kebenaran Menurut Pragmatisme dan Tanggapannya Terhadap

Islam”, dalam Islam Futura 13. No. 2, Februari 2014, h. 186. 69

Harun Hadiwijono, Sari Sejarah Filsafat Barat 2, (Yogyakarta: Kanisius,1989),

130-132. 70

Beniharmoni Herafa, “Kebenaran Hukum Perspektif Filsafat Hukum”, dalam

Komunikasi Hukum 2, no. 1, Februari 2016, h. 17. 71

Charles S. Peirce merupakan bagian dari tokoh pendiri pragmatisme yang berasal

dari Amerika. Pragmatisme berasal dari bahasa inggris yaitu pragmatic yang berarti

berkaitan dengan hal yang bersifat praktis. A. Mangun Harjana, Isme-isme dalam Etika dari

A Sampai Z, (Yogyakarta: Kanisius, 1996), 189. 72

R Ormerod, “The History and Ideas of Pragmatism”, dalam The Operational

Research Society 57, no. 8, 2006, h. 892.

35

ilmuwan menjadi dogma yang dapat menentukan benar salah, maka sesungguhnya

apa yang ia katakan hanyalah berdasarkan praktek ilmiahnya yang bersifat individu.

Apa yang secara individu dilakukan oleh para ilmuwan tidak akan sampai pada

kebenaran. Terbukti selama ribuan tahun para ilmuwan terus menerus mengubah

pernyataan mereka, tampaknya pada pandangan ini kebenaran juga berubah. Teori

kebenaran pragmatis ini sebenarnya suatu teori yang sangat realistis. Bahkan Pierce

mengatakan bahwa kebenaran ilmu hanya dapat dipahami melalui interaksi sosial,

karena itu merupakan keprihatinan komunitas.73

Tolok ukurnya berdasarkan kondisi-

kondisi yang langsung menyentuh pada kehidupan masyarakat, tidak seperti teori

lainnya yang spekulatif dan mengesampingkan kehidupan manusia.

Teori kebenaran pragmatis oleh Peirce ini dilatarbelakangi oleh pribadinya.

Ia pada dasarnya bukan hanya sosok filosof, lebih dari itu ia juga seorang saintis

khususnya di bidang fisika yang banyak berkecimpung di laboratorium. Di samping

itu, itu adalah seorang yang mempunyai keyakinan moral yang begitu kuat.74

Maka

tidak heran ketika ia kemudian mempunyai pemikiran yang fokus pada manfaat.

Dalam pandangannya tentang teori kebenaran ia mengatakan bahwa teori/pernyataan

dapat dikatakan sebagai benar apabila teori tersebut mempunyai manfaat. Maka

untuk mengukur kebenaran suatu pernyataan ialah dengan cara melihat fungsinya

dalam kehidupan praktis. Penyataan atau pengetahuan dapat dikatakan benar apabila

ia dipercaya dapat memberikan kegunaan praktis dalam kehidupan sehari-hari.75

Seperti yang dikatakan Bacon bahwa pengetahuan menjadi tidak berarti ketika ia

tidak mampu mengubah manusia kepada kehidupan yang lebih baik.76

Teori kebenaran pragmatisme Pierce ini jika dikaitkan dengan keyakinan

tampaknya menarik. Suatu keyakinan atau kepercayaan dapat dikatakan benar

selama ia dapat membawa hasil terbaik bagi kehidupan seseorang seperti dapat

meningkatkan kesuksesan dan lainnya. Namun apabila keyakinan itu justru

sebaliknya maka keyakinan itu adalah salah. Dari yang telah dipaparkan di atas

tampaknya dapat kita pahami bahwa teori kebenaran pragmatisme yang ditawarkan

oleh Charle S. Pierce ini bersifat relatif. Suatu pernyataan yang sama akan menjadi

benar dan salah dalam situasi dan kondisi berbeda yang membuat fungsi atau

manfaat dari suatu pernyataan atau teori itu juga berubah. Kebenaran menurut

perspektif teori pragmatis ialah tidaklah tetap, kebenaran akan terus berubah-ubah

sesuai dengan perubahan fungsi dan dampaknya dalam kehidupan sehari-hari.

Selama dampak tidak berubah, selama itu pula kebenaran atau kekeliruan tidak akan

berubah.77

Seorang filosof kelahiran New York, William James menguatkan penjelasan

tentang teori kebenaran pragmatis dengan mengatakan “that it is useful because it is

73

Rodliyah Khuza‟i, Dialog Epistemologi Mohammad Iqbal Dan Charles S. Peirce

..., h. 88. 74

Titus, dkk, Persoalan-persoalan Filsafat, Penerjemah H.M. Rasjidi, (Jakarta:

Bulan Bintang, 1984), h. 341. 75

Fauziah Nurdin, “Kebenaran Menurut Pragmatisme dan Tanggapannya Terhadap

Islam”, dalam Islam Futura 13, no. 2, Februari 2014, h. 192. 76

Nunu Burhanuddin, “Pemikiran Epistemologi Barat: dari Plato Sampai Gonseth”,

dalam Intizar 21, no. 1, Januari 2015, h. 137. 77

Fauziah Nurdin, Kebenaran Menurut Pragmatisme ..., h. 186.

36

true' or that 'it is true because it is useful.” (bahwa itu berguna karena itu benar atau

bahwa itu benar karena itu berguna.)78

Tanpa ada kegunaan maka pengetahuan tidak

akan mungkin dikatakan benar, karena kebenaran akan selalu manfaat yang baik

buat manusia. Kebenaran dalam pandangan teori ini adalah nyata dan merasuk ke

dalam kehidupan manusia. Struktur realitas tidak mempunyai nilai nyata pada

kehidupan, karena ia tidak tampak, sehingga ia tidak dapat menentukan kebenaran.

Justru kondisi yang memiliki nilai nyata adalah pengetahuan yang sesuai dengan

kondisi di mana kita menerima kalimat tersebut sebagai benar. Apa yang ingin kita

ketahui adalah seberapa dapat diterima penerimaan kita. Biasanya teori semacam ini

berkaitan untuk mengungkap praktek sosial yang ada di balik penilaian kita tentang

apa yang diterima. Jadi kita menyebut teori semacam itu sebagai teori kebenaran

"pragmatis".

Teori kebenaran pragmatis ini menekankan pada konsekuensi praktis. Oleh

karenanya kebenaran yang sudah dibuktikan melalui teori korespondensi maupun

koherensi tidak dapat diterimakan manakala dalam prakteknya tidak dapat

diterapkan atau justru memberikan malapetaka bagi kehidupan. Teori, bagi teori

kebenaran ini, tidak lebih penting daripada manfaat dalam praktek.79

Karena dunia

praktek lebih real daripada teori. Justru yang dibutuhkan manusia sesungguhnya

manfaat atau dampak baik terhadap kehidupan. Fungsi praktis justru menjadi tujuan

dalam setiap teori, karena teori dibuat hanya untuk melahirkan kebaikan-kebaikan

praktis bagi umat manusia. Suatu teori atau pengetahuan dikatakan benar karena ia

bermanfaat, jadi pengetahuan itu bermanfaat karena ia adalah benar.80

Jenis lain dari teori pragmatis menganggap kebenaran sebagai semacam

keadaan yang berharga. Dengan demikian, menerima hal-hal tertentu mungkin

sangat berharga bagi kelangsungan hidup kita sehingga kita menganggap apa yang

kita terima adalah benar. Tetapi seperti yang dicatat oleh berbagai filsuf, tidak ada

alasan bahwa apa yang berharga bagi kelangsungan hidup kita perlu ada

hubungannya dengan cara dunia ini, yang akan menjadi kegagalan teori. Tentu saja,

pragmatis dapat menjawab bahwa tidak masuk akal untuk berbicara tentang cara

dunia terlepas dari praktek kita.

C. Pandangan Islam tentang Kebenaran

1. Kebenaran menurut Al-Ghazālī

Nama lengkap al-Ghazālī (1058-1111 M) ialah Abû Ḥâmid Muḥammad ibn

Muḥammad al-Ghazālī. Dalam kaitannya dengan kebenaran ia mengatakan bahwa

indra tampaknya bisa saja mencapai kebenaran sesuai dengan jangkauannya. Indra

hanya mampu menangkap kebenaran-kebenaran yang bersifat lahir seperti apa yang

terdapat pada alam. Setiap indra masing-masing mempunyai daya tangkap terhadap

kebenaran yang berbeda.81

Indra perasa bagi manusia berfungsi sebagai suatu alat

78

William James, “Pragmatism: A New Name For Some Old Ways Of Thinking”,

February 2013. Artikel diakses pada 15 Agustus 2019 dari

https://www.gutenberg.org/files/5116/5116-h/5116-h.htm#link2H_4_0008 79

R Ormerod, “The History and Ideas of Pragmatism”, dalam The Operational

Research Society 57, no. 8, 2006, h. 894. 80

R Ormerod, “The History and Ideas of Pragmatism ..., h. 894. 81

Ahmad Zainul Hamdi, Tujuh Filsuf Muslim ..., h. 157-158.

37

yang dapat menangkap kebenaran dari suatu rasa seperti panas, dingin, kasar, lunak,

kering, basah dan sebagainya, namun alat ini tidak dapat menjangkau alam warna.

Warna merupakan daerah jangkauan alat penglihatan (mata). Bagi mata, kering,

lunak dan lainnya seakan tidak ada, padahal ada hanya saja mata tidak dapat

menangkapnya. Maka sebenarnya kebenaran empiris ini dapat dijangkau indra

sesuai porsinya masing-masing.

Dari konsep ini tampaklah bahwa ia tidak menolak kebenaran empiris.

Pengakuannya terhadap kebenaran empiris ditandai oleh pengakuannya terhadap

realitas materi. Al-Ghazālī membagi realitas menjadi realitas materi yang ia sebut

dengan „ālam al-syahādah dan realitas immateri yang ia namai dengan ‘ālam al-

malakūt atau ‘ālam al-ghaib.82

Alam materi adalah alam yang tampak pada mata dan

indra. Maka kebenaran ini, harus diverifikasi berdasarkan pancaindra. Namun, ia

kemudian meletakkan kebenaran materi sebagai kebenaran yang berada pada level

kebenaran rendah. Meskipun demikian, ia tetap menerima kebenaran materi sesuai

porsi indra.83

Ia mengatakan demikian karena alat yang digunakan sebagai

penangkap kebenaran materi (indra) mempunyai berbagai kekurangan yang

memungkinkannya sering keliru dalam mengungkap suatu fakta. Tongkat yang

dicelupkan ke dalam air menampakkan diri kepada mata sebagai tongkat yang

bengkok. Pada kasus ini indra menangkap realitas yang keliru, karena pada dasarnya

tongkat tersebut adalah lurus.

Di samping kebenaran materi, ia juga mengatakan bahwa terdapat

kebenaran logis yang ditangkap oleh akal. Akal mampu menangkap yang tidak

ditangkap oleh indra. Kebenaran level ini dinilai olehnya sebagai kebenaran lebih

tinggi dari kebenaran materi. Akal oleh al-Ghazālī disebut sebagai cahaya di atas

cahaya. Ia mengatakan bahwa akal tidak akan bertentangan dengan syara‟. Maka

dari itu akal tidak mungkin menetapkan sesuatu yang tidak dapat diterima

kebenarannya oleh syara‟. Demikian pula dengan syara‟, ia tidak mungkin

menetapkan suatu kebenaran yang tidak dapat dibuktikan oleh akal. Syarat akal

mampu menangkap kebenaran ialah cemerlang, kritis dan mandiri bukan akal yang

taklid kepada pendapat seorang pemikir besar muslim, tanpa mengkajinya terlebih

dahulu.84

Maka jika syarat ini tercapai maka kebenaran yang diperoleh melalui akal

tidak akan bertentangan dengan iman. Ia kemudian menyerukan untuk mencari

kebenaran dengan cara berpikir dengan nalar yang bebas. Meskipun demikian,

keinginan al-Ghazālī adalah mencari kebenaran yang hakiki, yaitu kebenaran yang

tidak diragukan lagi termasuk mencari melalui akal, seperti sepuluh lebih banyak

daripada tiga. Namun al-Ghazālī ragu. Sekiranya ada orang yang mengatakan bahwa

tiga lebih banyak daripada sepuluh dengan mengatakan bahwa tongkat bisa berubah

menjadi ular, dan hal itu memang terjadi, al-Ghazālī merasa kagum akan realitas

82

A. Khudori Soleh, Wacana Baru Filsafat Islam, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar,

2004), h. 84-85. 83

A. Khudori Soleh, Wacana Baru Filsafat Islam ..., h. 85. 84

Yusuf Qardhawi, al-Ghazālī antara Pro dan Kontra. Penerjemah Hasan Abrori,

(Surabaya: Pustaka Progressif, 1996), h. 25.

38

tersebut, tetapi sungguhpun demikian keyakinannya bahwa sepuluh lebih banyak

dari tiga tidak akan goyang. Kebenaran seperti inilah yang ingin dicari al-Ghazālī.85

Akal dapat menunjukkan kebenaran seorang Nabi. Namun sebenarnya akal

mempunyai batasan-batasan tersendiri. Akal mempunyai rel-rel yang tidak dapat ia

lampaui begitu saja. Batasan-batasan akal di antaranya ialah pada permasalahan

mengenai Allah dan hari akhir. Maka mengenai hal yang berkaitan dengan Allah,

seperti mu‟jizat Allah, akal tidak dapat menentangnya. Peran akal dalam hal tersebut

adalah membenarkan atau menetapkan apa yang telah Allah mu‟jizatkan. Alasan

akal harus menerima wahyu adalah wahyu bersifat maʻsūm atau terpelihara

kebenarannya, sedangkan akal tidak. Maka sesungguhnya akal tidak dapat

menjangkau fenomena batin. Akal hanya mampu memikirkan sesuatu yang nyata

berdasarkan pengertian-pengertian dasar (awwalī), Kant menyebutnya dengan istilah

kategori.86

Tidak mampunya dalam menangkap kebenaran yang bersifat batin seperti

ketidakmampuan pendengaran dalam mengenali warna-warna, tidak mampunya

penglihatan mengenali suara atau tidak mampunya seluruh pancaindra di dalam

mengenali hal-hal yang rasional (maʻqūlāt). Jadi fenomena batin adalah ranah yang

bukan lagi area akal, akan tetapi sudah area hati, maka dari itu akal tidak bisa

mencapainya.87

Bagi al-Ghazālī intuisi menempati posisi di atas akal. Intuisi dapat

menangkap wahyu yang kebenarannya lebih pasti dibandingkan akal. Sedangkan

akal tidak dapat menangkapnya, karena akal terlalu lemah untuk menangkap realitas

wahyu.88

Akal hanya dapat mengiakan segala yang datang dari wahyu. Alasan inilah

yang kemudian menjadikannya memilih untuk menjadi sufi dibandingkan menjadi

filosof. Pada kondisi ini yaitu dalam rangka mencapai kebenaran intuitif, al-Ghazālī

menegaskan bahwa kebenaran batin hanya bisa dicapai melalui dhauq89

. Dhauq

merupakan kekuatan batin yang dengannya ia mendapatkan pengalaman secara

langsung yang berada di luar jangkauan akal.90

Maka pengetahuan yang benar menurutnya merupakan hasil dari pencerahan

Ilahi.91

Ketika Tuhan menjaga hati, dada tercerahkan dan misteri alam spiritual

tersingkap, dan tabir kesalahan sirna dan realitas hal-hal yang ilahi bersinar dalam

hati. Sekali hati menjadi pemilik kebenaran, pikiran pun memperoleh kepastian.

Sebagaimana dikatakan al-Ghazālī:

ا العقلي را عقبار ةا بوبوةها بها قلا ميا وعلينا ا الر ر ورويهار لر ت ا,اور ر اداللن ارماوكرياذاكا نظمر

ورا,ا و وليرا كالنا . لا نبواوقذفرا راولقلاذفا الصت92ا

85

Amsal Bakhtiar, Filsafat Agama, (Jakarta: RajaGrafindo Persada, 2007), h. 28. 86

Ahmad Zainul Hamdi, Tujuh Filsuf Muslim ..., h. 155-156. 87

Yusuf Qardhawi, al-Ghazālī antara Pro dan Kontra ..., h. 27. 88

Seyyed Hossein Nasr, Ensiklopedi Tematis Filsafat Islam. Penerjemah Tim

Penerjemah Mizan, (Bandung: Mizan, 2003), h. 321. 89

Henri Bergson menyebut istilah zhauq (mata hati) dengan kata intuisi. Ahmad

Zainul Hamdi, Tujuh Filsuf Muslim ..., h. 161. 90

Ahmad Zainul Hamdi, Tujuh Filsuf Muslim ..., h. 157. 91

Seyyed Hossein Nasr, Ensiklopedi Tematis Filsafat Islam ..., h. 320. 92

al-Ghazālī, al-Munqidh min al-Ḍalāl, (Bairūt: Dāru al-Kutub al-ʻIlmiyyah, 1988),

h. 29.

39

“Kebenaran-kebenaran rasional diperoleh kembali karena saya

memperoleh kembali keyakinan terhadap kepastian dan

kepatutannya untuk dipercaya. Ini tidak diperoleh melalui

demonstrasi yang sistematis atau argumen yang tertata, tetapi

melalui cahaya yang diberikan oleh Allah yang maha tinggi ke

dalam dada.”

Dalam kutipan tersebut tampak bahwa ia ingin mengatakan bahwa cahaya

yang Allah tuangkan dalam dada seseorang akan menyingkap tirai batin. Ketika tirai

batin sudah tersingkap, maka tampaklah segala berbagai kepastian-kepastian.

Maka, tidak heran ketika pada akhir hayatnya ia berlabuh pada keyakinan

terhadap tasawuf dengan berkata “saya memahami sejelas-jelasnya bahwa para sufi

adalah orang-orang yang mempunyai pengalaman yang benar... apa yang masih ada

pada saya tidak akan tercapai melalui ajaran-ajaran lisan dan studi, tetapi hanya

melalui pengalaman langsung dan menapaki jalan sufi.”93

Keadaan ini dapat

menyingkap objek pengetahuan sehingga tidak lagi menyisakan keraguan, tidak lagi

mengusung kemungkinan kesalahan, dan tidak memberikan ruang dalam jiwa untuk

mengetahui berdasarkan perkiraan.94

Pencapaian kondisi ini akan meniscayakan

seorang sufi memperoleh pencerahan jiwa atau batin dan pada gilirannya akan

mampu menangkap pengetahuan dan kebenaran lewat pengalaman intuitif.95

Kebenaran ini olehnya dianggap sebagai kebenaran objektif. Pemikiran ini

yang kemudian oleh Khodari disebut sebagai pemikirannya berbeda dengan

Aristoteles maupun Platonik.96

Baginya kebenaran bukan terletak pada seseorang

yang mengatakannya melainkan kebenaran terletak pada diri kebenaran itu sendiri.

Kepada Kamil bin Ziad ia mengatakan “jangan engkau pandang kebenaran itu

karena orang yang mengatakannya, akan tetapi pandanglah kebenaran itu karena

suatu kebenaran (siapa pun yang mengatakannya). Selama seseorang mengatakan

bahwa suatu kebenaran itu –apabila terjadi pertentangan dengan pendapat orang

yang kesohor sebelumnya- adalah dengan melihat siapa yang mengatakan, sudah

pasti dia akan jatuh pada kesesatan.”97

Dari apa yang disampaikan di atas, tampaklah sudah bahwa sesungguhnya

al-Ghazālī membagi kebenaran menjadi 3, yaitu kebenaran yang dapat dicapai

melalui indra, kebenaran yang dapat dicapai melalui akal dan kebenaran yang

diperoleh dari pengalaman batin. Kebenaran yang terakhir adalah kebenaran hakiki,

di mana yang ditangkap langsung oleh intuisi adalah objek hakiki berupa wujud

Tuhan. Kebenaran empiris merupakan kebenaran pada level paling rendah.

Sedangkan kebenaran akal adalah kebenaran yang berlevel di antara kebenaran

intuitif dan kebenaran empiris.

93

Seyyed Hossein Nasr, Ensiklopedi Tematis Filsafat Islam ..., h. 328. 94

Al-Ghazālī, Tahāfut al-Falāsifah. Penerjemah Ahmad Maimun, (Yogyakarta:

Grup Relasi Inti Media, 2015), h. xxxii. 95

Amin Hasan, “Menyusuri Hakikat Kebenaran: Kajian Epistemologi atas Konsep

Intuisi dalam Tasawuf al-Ghazali”, dalam At-Ta’dib, vol. 7, no. 2, Desember 2012, h. 198-

199. 96

A. Khudori Soleh, Wacana Baru Filsafat Islam ..., h. 89. 97

Yusuf Qardhawi, al-Ghazālī antara Pro dan Kontra ..., h. 42.

40

2. Kebenaran menurut Ibnu Sīnā

Nama lengkap Ibnu Sīnā (980-1037 M) ialah Abû 'Alî al-Husayn bin

'Abdullâh bin Sīnā. Di Barat ia dipanggil dengan nama Avicenna.98

Meskipun ia

lahir di Uzbekistan, ia digolongkan sebagai salah satu filosof besar Islam Persia,

karena ia hidup dan mati di Persia (Iran). Sebagai salah satu Filosof Persia yang

berpikiran cemerlang, maka ia menjadi salah satu tokoh yang sangat dihormati oleh

Murtaḍá Muṭahharī.99

Sebagai salah satu filosof besar, Ibnu Sīnā telah merumuskan

bangunan tentang teori kebenaran yang sudah tercantum dalam karya-karyanya.

Dalam kajian filsafat, Ibnu Sīnā menyebut kebenaran dengan istilah hikmah.

Lebih lanjut Ibnu Sīnā mengatakan bahwa kebenaran merupakan adanya

keterhubungan antara ilmu, kenyataan dan perasaan. Istilah ilmu oleh Imron

Mustofa dibahasakan dengan istilah cara berpikir. Sedangkan kata lain dari

kenyataan adalah al-ḥaqīqah. Perasaan ia sebut dengan kata intuisi. Berdasarkan

yang dijelaskan tadi, tampaknya kebenaran kemudian dapat kita bagi tiga di

antaranya ialah pertama kebenaran bersifat intuitif atau kebenaran dari wahyu.

Kedua, kebenaran yang bersifat rasional atau kebenaran dari filsafat. Sedangkan

yang terakhir ialah kebenaran yang bersifat eksistensial atau kebenaran yang

eksistensinya dapat dibuktikan.100

Pertanyaan berikutnya yang muncul ialah bagaimana cara mengetahui

kebenaran. Bagi Ibnu Sīnā untuk mengetahui kebenaran ialah dengan cara

mengetahui eksistensi dari suatu hal. Eksistensi kebenaran menurutnya akan

memperjelas apa yang benar dan apa yang salah. Maka tidak heran ketika Seyyed

Husein Nasr menjelaskan bahwa eksistensi Ibnu Sīnā merupakan penentu dari segala

hakikat dan menentukan segala kualitas sesuatu yang ada. Sedangkan syarat untuk

mengetahui tentang eksistensi yang salah dan yang benar ialah pengetahuan yang

mempuni tentang hal tersebut. Maka dari itu dibutuhkan akal dan wahyu untuk

mencapai kebenaran. Akal bagi manusia biasa, sedangkan wahyu bagi manusia yang

diberi kesempatan langka oleh Allah untuk mendapat pengetahuan tanpa usaha dari

dia sendiri.101

Tanpa keduanya manusia tidak akan pernah sampai pada kebenaran.

Akal bagi Ibnu Sīnā mempunyai kemampuan untuk mengetahui kebenaran

yang hakiki. Jika akal berfungsi dengan baik dan benar, maka seseorang pasti akan

menemukan kebenaran. Kebenaran yang hakiki itu tidak akan pernah bertentangan

dengan wahyu.102

Tampaknya akal mempunyai posisi tinggi bagi Ibnu Sīnā

dibandingkan dengan lainnya seperti indra dan hati. Oleh karena itu seseorang yang

menggunakan akal seperti para filosof mempunyai posisi yang tinggi baginya

98

Syahruddin el-Fikri, “Sejak Kecil, Ibnu Sīnā Belajar Menghafal al-Quran”, artikel

diakses pada 28 Agustus 2019 dari https://www.republika.co.id/berita/dunia-islam/islam-

digest/17/03/18/on01bn313-sejak-kecil-ibnu-sina-belajar-menghafal-alquran 99

Penghormatan tersebut terejawantahkan dalam kegigihan Murtaḍá dalam

mempelajari dan mendalami al-shifā‟ karya Ibnu Sīnā. Achmad Chumaedi, “Pemikiran

Murtaḍá Muṭahharī Tentang Negara dan Masyarakat serta Pandangannya terhadap Revolusi

Islam Iran”, dalam Journal of Government and Civil Society, vol. 2, no. 1, April 2018, h. 36 100

Imron Mustofa, “Konsep Kebenaran Ibnu Sīnā”, dalam Kalimah, vol. 15, no. i,

Maret 2017, h. 4-5. 101

Seyyed Hossein Nasr, Ensiklopedi Tematis Filsafat Islam ..., h. 290. 102

Imron Mustofa, “Konsep Kebenaran Ibnu Sīnā” ..., h. 5.

41

dibandingkan dengan manusia lainnya. Bahkan Ibnu Sīnā menganjurkan manusia

agar berfilsafat jika hendak mencapai kebenaran hakiki. Tanpa berfilsafat sulit

rasanya untuk mendapatkan kebenaran hakiki.

Penerapan kebenaran teori kebenaran ini tampak pada pembuktian Ibnu Sīnā

terhadap keberadaan jiwa. Ibnu Sīnā setuju jika jiwa merupakan wujud yang

keberadaannya tidak dapat diragukan lagi. Akan tetapi untuk membuktikannya

secara materi, yaitu wujud materi jiwa dipertanyakan maka Ibnu Sīnā dan lainnya

akan mengalami kesulitan bahkan tidak dapat membuktikannya. Namun Ibnu Sīnā

mencoba membuktikan keberadaan jiwa melalui pendekatan logika.

Menurutnya jiwa dapat dibuktikan dengan 4 argumen di antaranya ialah

dalil alam kejiwaan, dalil aku dan kesatuan gejala-gejala kejiwaan, dalil

kelangsungan dan dalil orang terbang dan orang tergantung di udara. Dalam

argumentasi yang berikan oleh Ibnu Sīnā, tidak ada menunjukkan adanya unsur

materi dari jiwa. Yang ada adalah argumen penguatan-penguatan yang rasional.

Selama suatu alasan itu telah memenuhi kaidah-kaidah logika yang tepat dan secara

logika berargumen kuat, maka selama itu pula suatu itu dapat dikatakan benar. Ibnu

Sīnā menerima kebenaran tentang jiwa melalui penjelasan rasional. Ibnu Sīnā ingin

menunjukkan bahwa jiwa mempunyai hakikatnya sendiri. Pembuktian keberadaan

jiwa olehnya dikatakan merupakan pembuktian secara langsung karena pikiran tidak

memerlukan perantara untuk mengenali dirinya sendiri. Maka ketika jiwa berpikir,

maka ketika itu juga jiwa ada, karena pemikirannya sama benar dengan wujudnya.103

Teori kebenaran ini tampaknya sama dengan yang dikatakan oleh Descartes

yang mengatakan “aku berpikir maka aku ada”. Namun apakah betul Descartes telah

mendapat pengaruh dari Ibnu Sīnā? Menurut Hanafi, tidak ada bukti-bukti yang

menjelaskan bahwa Descartes terpengaruh oleh pemikiran Ibnu Sīnā. Kemungkinan

yang terjadi ialah Descartes membaca teori jiwa Augustinus yang ketepatan teorinya

mempunyai kemiripan dengan Ibnu Sīnā. Namun Furlani sebenarnya masih

membuka kemungkinan hal tersebut terjadi, yaitu Descartes membaca karangan

Ibnu Sīnā melalui Guillaume Averni.104

3. Kebenaran menurut Syed Muḥammad Naqīb al-‘Aṭās

Naqīb al-„Aṭās (1931 M) adalah seorang filosof yang lahir di Bogor dan

berkiprah di Malaysia. Dalam menanggapi tentang kebenaran ia pun mengatakan

bahwa manusia pada dasarnya mampu mencapai kebenaran-kebenaran terutama

kebenaran tentang pengetahuan yang bersifat materi. Bahkan kebenaran yang

manusia capai hingga kini terus mengalami perkembangan yang begitu pesat. Akan

tetapi apakah kebenaran yang telah dicapai umat manusia kini itu merupakan

kebenaran hakiki? Menurut Naqīb al-„Aṭās, kebenaran yang dicapai manusia pada

dunia modern ini tampaknya bukanlah kebenaran hakiki, mengingat kebenaran

hakiki itu adalah kebenaran suatu pengetahuan yang mempunyai pengaruh langsung

terhadap individu manusia karena menyangkut identitas dan nasibnya. Salah satu

tandanya ialah terbebasnya seseorang dari ketundukan terhadap tuntutan fisik,

karena ia cenderung kepada sekularisme dan ketidakadilan yang berdampak pada

103

Ahmad Hanafi, Pengantar Filsafat Islam, (Jakarta: PT. Bulan Bintang, 1996), h.

130. 104

Ahmad Hanafi, Pengantar Filsafat Islam ..., h. 31.

42

pengabaian terhadap kebenaran jiwa. Manusia secara fisik cenderung melupakan

alam sejatinya serta mengabaikan tujuan hakikinya.105

Maka Naqīb al-„Aṭās

memandang bahwa dunia modern ini mengalami krisis kebenaran yang begitu parah

karena kebenaran telah kehilangan esensinya. Maka kebenaran yang ditawarkan oleh

modernisme adalah kebenaran semu. Hal-hal yang menyebabkan itu terjadi adalah

terlalu menonjolnya kebenaran materi, mementingkan hal yang bersifat jasmani dan

kemudian meninggalkan bahkan menghancurkan rohani.

Lalu seperti apa kebenaran yang hakiki menurutnya? Baginya kebenaran

hakiki bukan hanya kesesuaian antara suatu teori dengan realitas atau fakta. Lebih

dari itu, kebenaran baginya adalah kebenaran yang juga diimbangi dengan manfaat

dari kebenaran suatu teori tersebut. Maka kebenaran hakiki adalah keserasian antara

pernyataan, fakta dengan penilaian. Ukuran manfaat tidaknya suatu

teori/ilmu/pernyataan adalah dapat dinilai dari 4 aspek106

yaitu 1) kebenaran tersebut

mampu semakin mendekatkan diri seseorang kepada Allah (sebagai penguat ia

mengutip hadis)107

, 2) dapat membatu manusia merealisasikan tujuannya (QS: al-

Taubah: 40)108

dapat menjadi pedoman bersama (mengutip hadis ) dan 4) dapat

menyelesaikan persoalan umat (QS Luqmān: 30).

Tampaknya pengutipan ayat dan hadis dalam membatasi istilah manfaat, ia

ingin menunjukkan bahwa dalam Islam sudah diatur sedemikian rupa mengenai

batasan-batasan tersebut. Maka pembatas yang diambil dai al-Qur‟an dan hadis itu

merupakan penekanan bahwa batasan itu batasan dalam menentukan kebenaran

dalam Islam. Bahkan ia mengatakan bahwa wahyu mempunyai sisi kebenaran yang

mutlak.109

Secara ringkas ia menekankan bahwa pengetahuan yang benar menurut

al-„Aṭās adalah pengetahuan yang mempunyai makna koheren dengan unit-unit

makna dan konsep-konsep kunci lainnya yang terdapat dalam sistem konseptual al-

Qur‟an.110

Maka dari itu kebenaran menurut Islam akan dikatakan benar apabila ia

mengandung manfaat dalam arti luas sebagai mana dijelaskan tadi.

Fakta bagi al-„Aṭās sepertinya tidak menjadi satu-satunya landasan dalam

menentukan kebenaran. Fakta tidak dapat menjadi satu-satunya landasan kebenaran

hakiki karena menurut al-„Aṭās fakta dapat juga dibuat oleh manusia sehingga fakta

bisa saja berada pada tempat yang tidak benar. Maka kebenaran harus meliputi

105

Wan Mohd Nor Wan Daud, Islamisasi Ilmu-Ilmu Kontemporer Dan Peran

Universitas Islam Dalam Konteks Dewesternisasi Dan Dekolonisasi, (Bogor: Universitas

Ibnu Khaldun Bogor, 2013), h. 18. 106

Achmad Charris Zubair, Filsafat Ilmu Menurut Konsep Islam, dalam Jurnal

Filsafat, Maret 1997, h. 39. 107

Nabi Saw bersabda: Sesungguhnya Allah ditaati dan. disembah dengan ilmu.

Begitu juga kebaikan dunia dan akhirat bersama ilmu, sebagaimana kejahatan dunia dan

akhirat karena kebodohan. 108

Dan kalimat Allah Itulah yang tinggi. (Q.S at-Taubah: 40). Kemudian ia

menambahkan dengan hadis Nabi saw bersabda: Barang siapa mati ketika sedang mencari

ilmu untuk menghidupkan Islam maka di surga ia sederajat di bawah para nabi. 109

Salafudin, “Islamisasi Ilmu Pengetahuan”, dalam Forum Tarbiyah 11, no. 2,

Desember 2013, h. 207. 110

Muḥammad Naqīb Al-„Aṭās, Filsafat dan Praktek Pendidikan Islam Syed M.

Naqīb al-‘Aṭās. Penerjemah Hamid Fahmy dkk, (Bandung: Mizan, 2003), h. 150.

43

wilayah jasmani dan rohani sekaligus. Suatu pernyataan bisa saja benar menurut

fakta akan tetapi bisa menjadi salah ketika pernyataan itu didasarkan pada penafsiran

yang salah terhadap manusia seperti rekayasa genetika. Meskipun teori rekayasa

genetika dari sudut pandang ilmu pengetahuan benar, premis-premisnya memenuhi

standar ilmu pengetahuan karena telah menggambarkan realitas yang benar, namun

menurut Naqīb ia tetap saja salah karena teori rekayasa genetika itu telah keliru

dalam menafsirkan hakikat manusia. Kekeliruan dalam menafsirkan hakikat

manusia disebabkan oleh penggunaan akal yang tidak sehat. Maka kemudian al-

„Aṭās menjadikan akal sehat sebagai salah satu syarat mencapai kebenaran. Akal

sehat menjadi penting bukan karena pikiran manusia sering keliru, tetapi pikiran

manusia kerap sekali dipengaruhi oleh estimasi dan imajinasi.111

Teori kebenaran al-„Aṭās merupakan suatu kritik terhadap teori kebenaran

Barat yang cenderung materialistik dan bahkan menafikan sisi metafisika.

Materialisme Barat yang mengajarkan pengetahuan yang sangat materialistik

mengakibatkan tidak mengakui kebenaran di luar itu. Bahwa tidak ada entitas-

entitas nonmateri seperti Tuhan.112

Keadaan ini seakan membuat pilihan kepada

kaum beragama agar memilih keyakinannya atau ilmu pengetahuan agama yang

banyak menyumbangkan pengetahuan bagi umat manusia. Padahal Islam juga

mengajarkan ilmu pengetahuan yang bersifat materi, rasional tanpa harus

meninggalkan pengetahuan jasmani. Maka Islam mengakui terdapat kebenaran

materi selain juga mengakui kebenaran rohani. Maka Islam sesungguhnya

menawarkan keseimbangan antara rohani dan jasmani, karena keduanya merupakan

saling melengkapi. Islam memberikan perhatian penuh kepada manusia dari aspek

lahir maupun batin.

Jika memang demikian, perbedaan mendasar dari peletakan teori kebenaran

antara Barat dan Islam adalah berada pada pemahaman Islam dan Barat terhadap

realitas. Islam mengakui terdapat realitas di luar materi yang biasa kita sebut dengan

realitas metafisik, sedangkan ilmuwan Barat modern terutama materialisme hanya

mengakui realitas materi. Maka dari itu fakta atau realitas di luar materi seperti

sesuatu yang metafisika tidak pernah dianggap materialisme. Karena tidak ada

realitas metafisik maka kebenaran metafisika pun dianggap tidak nyata dan salah.

Hal ini akan berdampak besar, teori kebenaran materialisme kemudian

berkesimpulan bahwa Tuhan, sebagai sesuatu yang bersifat immateri, merupakan

suatu dhāt yang keberadaannya tidak dapat dibenarkan. Berbeda dengan konsep

Islam yang dikatakan oleh al-„Aṭās, justru bagi kebenaran akan keberadaan Tuhan

menjadi tujuan akhir dari kebenaran yang hakiki. Ini lah sesungguhnya yang

membedakan konsep kebenaran Islam dan konsep kebenaran Barat.

Di kesempatan lain al-„Aṭās mengatakan bahwa seseorang akan sampai pada

kebenaran yang sesungguhnya ketika dalam diri seseorang terus terjadi ketiadaan

karakteristik madhmūmah (tercela) dan menguatnya karakteristik maḥmūdah

(terpuji). Ketika karakteristik sebagaimana dijelaskan tadi tercapai maka dengan

sendirinya semua informasi yang tidak benar dan salah akan hilang. Hal itu

disebabkan karena dalam unifikasi dengan al-ḥaq, dengan sendirinya semua yang

111

Muḥammad Naqīb Al-„Aṭās, Filsafat dan Praktek Pendidikan ..., h. 159. 112

Lorens Bagus, Kamus Filsafat ..., h. 594.

44

tidak sesuai dengan kebenaran akan hilang. Dengan penampakan kebenaran,

seseorang akan mengetahui mana yang benar dan mana yang salah, sehingga yang

salah dapat diabaikan dan yang benar dapat disimpan. Dengan demikian yang tersisa

hanyalah informasi yang benar dan telah dibenarkan oleh kebenaran, sehingga

seseorang yang sampai pada keyakinan yang dilandasi oleh pengalaman langsung

(ḥaq al-yaqīn).

Keadaan ini hanya dicapai ketika seseorang sampai pada tingkat fanā’ al-

fanā’. Tingkat al- fanā’ ini keadaan seseorang dalam kondisi mukāshafah. Dalam

kondisi ini seorang hamba sesungguhnya sudah „mati‟, namun dihidupkan kembali

dalam keadaan dan tingkat kemanusiaan yang lebih tinggi dengan kehidupannya di

sisi Tuhan. Ini lah yang disebut kebenaran yang didapatkan dari pengalaman

langsung (ḥaq al-yaqīn), yaitu suatu kebenaran yang kebenarannya sudah tidak

dapat diragukan lagi.

Ketika jiwa sampai, semua informasi yang salah akan hilang, sedangkan

yang tersisa hanyalah sesuatu yang dilandaskan oleh kebenaran mutlak sebagai

substratmu/dasar dari segala yang wujud. Pemahaman ini adalah ilmu yang tidak

bisa salah karena ia dilandaskan oleh ḥaq al-yaqīn sehingga akan memahami makna

dan arti setiap wujud dalam jiwanya. Keadaan ini akan menyingkap pengetahuan

hakiki yang rahasia dan ilmu di balik ciptaan Allah. Ini menurut al-„Aṭās bukan lah

kebenaran pengetahuan ilusi, tapi mempunyai realitas ontologis. Di sini lah

seseorang akan mencapai hakikat alam semesta dalam tingkat kebenaran tertinggi

sesuai dengan pemahaman metafisika waḥdatul al-wujūd yang berdasarkan al-

Qur‟an, sunnah dan para imam serta awliyā’ yang telah terlihat dengan akal dan

mencicipi dengan dhauqnya tentang pengalaman mukāshafah.

4. Kebenaran menurut Muḥammad Taqī Miṣbāḥ Yazdī

Miṣbāḥ Yazdī (1914 M) merupakan filosof kontemporer yang merupakan

murid dari Ṭabáṭabáī. Dalam hal kebenaran, Muhsin Labib mengatakan bahwa

kebenaran bagi Yazdī adalah persepsi yang sesuai dan sepenuhnya menyingkap

realitas sesuatu, sedangkan kekeliruan adalah anggapan (atau kepercayaan) yang

tidak sejalan dengan realitas.113

Yazdī kemudian mengatakan bahwa terdapat

pengetahuan yang memerlukan pembuktian mengenai keberadaan realitas dari

pengetahuan tersebut. Pengetahuan yang perlu pembuktian seperti itu disebut

pengetahuan dengan perantara. Subjek dan objek pada pengetahuan ini adalah

terpisah. Objek atau realitas berada di luar subjek. Sehingga pembuktian

kebenarannya harus disesuaikan dengan realitas yang terdapat di luar subjek. Jadi

realitas pada level ini dapat dikatakan tersingkap manakala pernyataan sesuai

dengan realitas objek.

Ada pula pengetahuan tanpa perantara yang kemudian ia sebut sebagai

pengetahuan ḥuḍūri. Pengetahuan merupakan pengetahuan di mana suatu objek

hadir langsung dan menyatu dengan subjek dalam persepsi seseorang melalui

pengalaman mental.114

Penjelasan ini dilontarkan oleh Muhsin ketika menjelaskan

113

Muhsin Labib, Pemikiran Filsafat M.T Miṣbāḥ Yazdī, (Jakarta: Sadra Press,

2011), h. 160. 114

M.T Miṣbāḥ Yazdī, Iman Semesta. Penerjemah Ahmad Marzuki Amin, (Jakarta:

al-Huda, 2005), h. 23.

45

tentang ilmu ḥuḍūri Miṣbāḥ Yazdī. Menurut Miṣbāḥ kekeliruan persepsi mudah

dibayangkan apabila terdapat penyulih antara pelaku persepsi dan entitas yang

dipersepsi. Dalam kasus pengetahuan perolehan inilah bisa timbul pertanyaan

apakah bentuk dan konsep yang menegahi antara subjek dan objek telah benar-benar

menyanterkan objek secara tepat dan sempurna atau tidak. Sebelum bentuk dan

konsep terbukti benar-benar sesuai dengan objek yang dipersepsikan, kepastian akan

kesahihan persepsi tidak akan pernah didapatkan. Akan tetapi, dalam hal objek atau

suatu yang dipersepsikan hadir tanpa perantara atau bahkan menunggal dengan

eksistensi pelaku persepsi, kekeliruan tidaklah dapat dibayangkan. Tidak mungkin

timbul pertanyaan ihwal apakah pengetahuan subjek telah sesuai dengan objek yang

diketahui, mengingat dalam kasus ini subjek pengetahuan identik dengan objek yang

diketahui.115

Aktivitas dan proses mental yang berlangsung kilat itu berbeda dengan

hadirnya ketakutan sebagai pengetahuan presentasional. Tetapi keseiringan dan

keserentakannya dengan pengetahuan presentasional sering menjebak orang dalam

kerancuan. Orang kerap menyangka bahwa karena ia menemukan keadaan takut

dalam dirinya melalui pengetahuan dengan kehadiran, ia pun mengetahui sebab

ketakutan tersebut melalui pengetahuan dengan kehadiran. Padahal, apa yang

dicerap melalui pengetahuan dengan kehadiran senantiasa bersifat sederhana, tanpa

bentuk dan konsep, dan bebas dari segala macam penafsiran dan penjabaran. Itulah

sebabnya mengapa pengetahuan dengan kehadiran tidak mungkin keliru.116

Sebaliknya, penafsiran seketika yang mengiringi hadirnya ketakutan dalam diri itu

merupakan persepsi-persepsi perolehan (dari informasi yang telah atau baru kita

terima dari luar diri kita) sehingga tidak menjamin kebenaran dan kesesuaiannya

dengan realitas yang sesungguhnya.

Teori kebenaran yang menjelaskan bahwa kebenaran merupakan kesesuaian

antara pernyataan dengan persepsi menurutnya tidak berlaku dalam teori kebenaran

huduri. Teori kebenaran korespondensi menurutnya hanya berlaku pada pernyataan

atau proposisi yang dapat dibandingkan dengan alam luar. Sedangkan proposisi-

proposisi metafisika tidak memiliki objek realitas eksternal yang bisa dijadikan

patokan kesesuaian. Dalam hal ini Yazdī tidak menolak korespondensi, karena

dalam tulisan Muhsin Labib dikatakan bahwa pengetahuan bagi Yazdī adalah

keyakinan yang selaras dengan realitas.117

D. Pandangan Barat tentang Kebenaran

1. Pandangan Kebenaran René Descartes (Rasionalisme)

Descartes (1596-1650 M) dijuluki sebagai bapak filsafat modern dan peletak

fondasi metode rasional untuk penelitian filosofis. Pemikirannya berkecenderungan

pada idealisme Platonian dan realisme Aristotelian. Namun, ia kemudian meyakini

bahwa pemikiran Platonian dan Aristotelian mempunyai kelemahan sehingga

melahirkan ketidakpastian. Di sinilah ia kemudian mencoba menemukan fondasi

kebenaran ilmu pengetahuan yang absolut dan pasti. Ketidakpastian pengetahuan

115

Muhsin Labib, Pemikiran Filsafat M.T Miṣbāḥ Yazdī ..., h.159-160. 116

Muhsin Labib, Pemikiran Filsafat M.T Miṣbāḥ Yazdī ..., h.159-160. 117

Muhsin Labib, Pemikiran Filsafat M.T Miṣbāḥ Yazdī ..., h.155.

46

melahirkan perdebatan. Sedangkan sumber perdebatan itu adalah adanya kebenaran

mutlak yang menjadi titik tolak yang tidak terbantahkan dalam menyusun ilmu

pengetahuan. Maka Descartes kemudian menjadikan akal sebagai dasar bagi ilmu

pengetahuan yang pasti serta mempertimbangkan segala hal di bawah pertimbangan

akal budi demi mendapatkan suatu kebenaran mutlak yang pasti.118

Baginya rasio merupakan sumber pengetahuan yang teramati dan terukur,

oleh karena itu rasio mampu menemukan kebenaran hakiki. Ketika garam

dicelupkan ke dalam air, garam tidak tampak kepada mata. Bagi mata garam tidak

ada. Namun rasio mampu mengetahuinya bahwa garam ada dan menyatu dengan air.

Pada contoh ini ditunjukkan bahwa sesungguhnya rasio lebih mampu menemukan

kebenaran daripada pengalaman indra. Rasio mampu menangkap hakikat, walaupun

wujud lahirnya telah berubah. Dalam hal ini, kebenaran justru terletak bukan pada

yang tampak, tetapi pada sesuatu yang tidak tampak dan itu hanya ditangkap oleh

rasio. Karena berbagai kasus kekeliruan yang dihasilkan oleh pengalaman indra,

maka pengetahuan yang dihasilkannya akan selalu menimbulkan keragu-raguan.

Sedangkan kebenaran adalah kepastian yang mutlak dan tidak berubah meskipun

dipengaruhi oleh ruang dan waktu.

Dalam rangka melahirkan kebenaran yang pasti, kokoh dan tidak

meragukan, Descartes menggunakan metode kesangsian. Suatu metode pencari

kebenaran dengan cara meragukan segala bentuk keyakinan yang ada.119

Descartes

mengatakan bahwa kita sering kali ditipu oleh pengalaman, bahkan meragukan

pemikiran rasional. Menurutnya bisa saja ada “setan jahat” yang menipu, yang bisa

memalsukan penalaran dan kebenaran secara sistematik, sehingga sesuatu yang

salah akan tampak sebagai kebenaran. Untuk membuktikan bahwa ia tidak tertipu,

maka Descartes bertolak dari adanya eksistensi Tuhan yang menjamin karena

menurutnya hanya Tuhan yang dapat menjamin bahwa ide-ide kita yang jelas dan

terpilah memang benar dan kita tidak ditipu oleh setan jahat.120

Begitu Descartes membuktikan adanya eksistensi Tuhan, maka ia merasa

memiliki dasar untuk mengakui: adanya tubuh kita yang berbeda dari rasio; bahwa

ide kita mengenai dunia luar adalah benar. Di sini tampak bahwa Aristoteles

mengandaikan bahwa adanya Tuhan menjadi ukuran segala pengetahuan, termasuk

menjamin aku yang menyangsikan dapat mencapai kebenaran.121

Setelah meragukan

segalanya bahkan dirinya sendiri, maka bagi Descartes ada sesuatu yang tidak dapat

diragukan keberadaannya, yakni bahwa saya sedang ragu. Adapun adanya saya ragu

itu secara langsung membuktikan adanya saya yang berpikir. “Aku berpikir”

merupakan kebenaran yang tidak dapat diragukan lagi.122

Descartes ingin

mengatakan bahwa kebenaran sesungguhnya bukan berada di luar subjek, akan

tetapi berada dalam diri subjek sendiri.

118

Akhyar Yusuf Lubis, Filsafat Ilmu: Klasik Hingga Kontemporer, (Depok:

Rajawali Press, 2016), h. 94-96. 119

James Garvey, 20 Karya Filsafat Terbesar. Penerjemah C.P Mulyatno Pr,

(Yogyakarta: Kanisius, 2010), h. 56-67. 120

Akhyar Yusuf Lubis, Filsafat Ilmu ..., h. 100. 121

F. Budi Hardiman, Filsafat Modern: Dari Machiavaelli Sampai Nietzsche,

(Jakarta: Gramedia, 2007), h. 40. 122

Akhyar Yusuf Lubis, Filsafat Ilmu ..., h. 101.

47

Berdasarkan penjelasan di atas tampak bahwa “dapat diragukan” merupakan

salah satu cara dalam menentukan kepastian dan ketidakpastian segala sesuatu.

Usaha meragukan itu akan berhenti bila ada sesuatu yang tidak dapat diragukan lagi.

Usaha meragukan itu disebut metodik, karena keraguan yang diterapkan di sini,

merupakan cara yang digunakan oleh penalaran reflektif filosofis untuk mencapai

kebenaran. Bagi Descartes, kekeliruan tidak terletak pada kegagalan melihat sesuatu,

melainkan di dalam mengira tahu apa yang tidak diketahuinya, atau mengira tidak

tahu apa yang diketahuinya.123

Kebenaran baginya hanya didapatkan ketika ia

terbebas dari segala bentuk bayang-bayang keraguan. Dengan kata lain ia

mengatakan bahwa segala sesuatu yang dapat diterima dengan jelas melalui rasio

adalah benar.

Dalam pencarian kebenaran ini, Descartes mengibaratkan dirinya sebagai

orang yang berjalan sendirian dalam kegelapan. Ia tidak menggunakan apapun

sebagai pemandu, kecuali pikirannya sendiri. Dan karena ia tidak dibantu oleh

apapun, maka ia sudah siap kalau langkah pencariannya sedemikian lambat. Ia juga

sudah siap kalau hanya dapat menghasilkan sangat sedikit kemajuan, yang penting

adalah bahwa kemajuan itu akan sama sekali tanpa kekeliruan. Untuk itu, Descartes

menerapkan prinsip yang sangat ketat dalam pencariannya, yakni ia hanya akan

menerima pengetahuan yang jelas dan terpilah-pilah dan tidak mengizinkan sedikit

pun dugaan masuk ke dalam penalarannya. Menurutnya, ketidakpastian yang terjadi

dalam ilmu dan filsafat disebabkan karena para ilmuwan tidak puas dengan

pengetahuan yang jelas dan terpilah-pilah dan karena itu mencampur pengetahuan

itu dengan dugaan-dugaan spekulatif. Hasilnya adalah bahwa kesimpulan yang

ditarik dari cara demikian adalah kesimpulan yang didasarkan atas sejumlah

proposisi yang tidak jelas dan karena itu menjadi tidak pasti.124

Terdapat empat aturan yang dapat menjamin kepastian kebenaran yang

terangkum dalam prinsip metodologisnya. Di antaranya125

ialah Pertama, jangan

menerima apapun sebagai hal yang benar, kecuali jika kita mengenalnya secara jelas

dan terpilah berdasarkan rasio. Kita hanya menerima kebenaran yang pasti seperti

dalam matematika. Kedua, harus menganalisis sekecil mungkin, agar dapat

memecahkan masalah lebih mudah dan lebih baik. Ketiga, menata masalah dari

yang paling sederhana dan mudah dimengerti kemudian maju sedikit demi sedikit ke

tingkat yang lebih kompleks dan sulit. Keempat, merinci keseluruhan dan

mengevaluasi kembali secara umum sampai kita yakin bahwa kesimpulan yang kita

ambil tidak mengabaikan satu hal/masalah apapun. Selalu periksa kembali dengan

teliti apakah ada kesalahan ilmiah serta kesesuaian mendasar antara hukum alam

dengan hukum-hukum matematika.

123

Nunu Burhanuddin, “Pemikiran Epistemologi Barat: dari Plato Sampai

Gonseth”, dalam Jurnal Intizar 21, No. 1, 2015, h. 137. 124

Fitzerald Kennedy Sitorus, “RasionalismeRené Descartes: “Saya Berpikir, Maka

Saya Ada””, Makalah untuk Kelas Filsafat Filsafat Modern di Serambi Salihara, Sabtu, 12

November 2016. h. 7. 125

James Garvey, 20 Karya Filsafat Terbesar ..., h. 55.

48

2. Pandangan Bertrand Russel Empirisme tentang Kebenaran

Bertrand Russel (1872-1970 M) mengatakan bahwa fakta material sifatnya

mandiri dan tidak terpengaruh oleh ide. Ada tidak suatu ide, fakta materi tetaplah

ada. Sehingga jika ide dapat dikatakan benar, maka harus sesuai dengan fakta yang

ada.126

Dalam kaitannya dengan bahasa atau kalimat-kalimat, ia juga menekankan

bahwa kalimat atau bahasa yang benar adalah kalimat yang mendeskripsikan

kenyataan atau fakta.127

Kenyataan oleh Russel dijadikan sebagai syarat mutlak

suatu kebenaran dari proposisi.

Mengenai fakta Russell mengatakan bahwa fakta adalah segala sesuatu yang

di dunia. Matahari adalah fakta. Fattah makan nasi adalah fakta. Sakit gigi adalah

suatu fakta. Fakta adalah sesuatu yang ada apakah tiap orang berpikir tentang itu

atau pun tidak. Jika terdapat suatu pernyataan jika ia tidak dukung oleh adanya fakta

maka ia sebut pernyataan itu salah, jika didukung oleh fakta maka pernyataan itu

benar. Pernyataan Wafi pergi ke pasar. Jika memang faktanya Wafi pergi ke pasar,

maka pernyataan itu benar. Russell memandang bahwa fakta adalah faktor yang

menentukan suatu pernyataan benar. Fakta membuat suatu pernyataan menjadi benar

atau salah.128

Namun fakta tidak dapat dikatakan sebagai benar atau salah. Yang

dapat dikatakan benar dan salah adalah proposisi, karena fakta adalah

mengungkapkan fakta.129

Di sinilah ia mengatakan bahwa proposisi adalah sepadan

dengan dunia.

Dalam kaitannya dengan kepercayaan, Russel tampaknya mendefinisikan

kebenaran sebagai suatu hubungan tertentu antara kepercayaan dengan suatu fakta

atau lebih di luar kepercayaan. Jika tidak ada hubungan antara kepercayaan dengan

fakta di luarnya maka kepercayaan itu salah.130

Benar dan salah tampaknya tidak

tergantung kepada subjek tertentu, karena Russell mengatakan bahwa meskipun

tidak ada seorang pun yang mengakui suatu kebenaran, kebenaran akan tetap ada.131

Lebih lanjut kemudian ia memberikan contoh sebagai berikut. Seseorang sedang

tidur kemudian orang lain meneriakkan kebakaran. Seketika seseorang yang tidur

bangun dan langsung pergi keluar rumah. Kepergian dia keluar rumah adalah reaksi

atas kepercayaan dia atas terjadinya kebakaran. Ketika seseorang tersebut

memverifikasi kepercayaan itu dan memang terjadi kebakaran di rumah tersebut,

maka kepercayaannya benar dan sebaliknya. Namun ketika ia pergi begitu saja tanpa

memverifikasinya, maka kepercayaan itu akan tetap benar kalau memang benar-

benar terjadi kebakaran. Kepercayaan akan salah ketika tidak ada fakta tentang

kebakaran meskipun semua orang mengatakan ada kebakaran.

126

Nurani Soyomukti, Pengantar Filsafat Umum, h. 176. 127

Harry Hamersma, Tokoh-Tokoh Filsafat Barat Modern, (Jakarta: Gramedia,

1992), h. 136. 128

Bertrand Russell, Fakta, Kepercayaan, Kebenaran dan Pengetahuan, dalam

buku Ilmu dalam Perspektif. Penerjemah Jujun S. Suriasumantri, (Jakarta: Yayasan Obor,

2009), h. 70-71. 129

K. Bertens, Filsafat Barat Kontemporer: Inggris-Jerman, (Jakarta: Gramedia,

2002), h. 29-30. 130

Bertrand Russell, Fakta, Kepercayaan, Kebenaran dan Pengetahuan ..., h. 76. 131

Bertrand Russell, Fakta, Kepercayaan, Kebenaran dan Pengetahuan ..., h. 77.

49

Richard L. Kirkham kemudian menjelaskan lebih detail bahwa keyakinan

adalah hubungan di antara empat hal yang berbeda. Pertama, adalah subjek, orang

yang memiliki keyakinan tersebut. Kedua, dan ketiga adalah dua istilah objek. Objek

pertama beranalogi dengan subjek kalimat; ia adalah perkara yang dianggap oleh

orang yang yakin sebagai melakukan sesuatu kepada sesuatu yang lain. Objek

lainnya ialah analog dengan objek kalimat; ia adalah perkara yang dianggap terkena

sesuatu yang dilakukan atasnya. Keempat, adalah relasi objek yang secara mendasar

analog dengan kata kerja sebuah kalimat. Adalah relasi yang berdiri di antara dua

istilah objek. Jadi keyakinan Rahman bahwa “Andi mencintai Inayah” merupakan

relasi kompleks antara Rahman, si subjek; Andi, istilah Objek; Inayah; istilah objek

lainnya dan mencintai relasi objek.132

Menurut Richard suatu keyakinan bagi Russell dapat dikatakan benar ketika

sebuah keyakinan mempunyai satu kesatuan kompleks lainnya, di mana relasi salah

satu objek keyakinan mengandung objek lainnya. Jadi keyakinan benar ketika ia

berkorespondensi dengan sebuah kompleks berasosiasi tertentu dan salah ketika

tidak demikian. Kesatuan kompleks ini disebut dengan fakta yang berkorespondensi

dengan keyakinan. Jadi kebenaran sebenarnya mengandung kecocokan di antara dua

relasi yang kompleks. Pertama adalah hubungan empat-istilah keyakinan yang

berdiri antara Rahman, andi, Inayah dan mencintai. Yang kedua adalah hubungan

tiga-istilah yang disebut dengan “fakta” yang hanya mengandung andi, Inayah dan

mencintai. Jika terdapat hubungan tiga istilah semacam itu dan arahnya adalah sama

dengan hubungan empat-istilah dalam keyakinan Rahman, maka keyakinan itu

benar. Jika tidak terdapat hubungan tiga-istilah dengan istilah dan arah yang sama,

maka keyakinan itu salah. Dengan kata lain, jika di dunia ekstramental Andi benar-

benar mencitai Inayah, maka keyakinan Rahman bahwa Andi demikian adalah

benar.133

Untuk lebih jelasnya kami menyediakan diagram yang dapat dipelajari

dengan baik, yaitu:

Teori Russell tentang keyakinan yang benar

Barisan paling kiri pada diagram di atas menjelaskan bahwa keyakinan

Rahman tentang Andi mencintai Inayah berikut keempat istilahnya. Panah vertikal

132

Richard, Teori-Teori Kebenaran ..., h. 180-181. 133

Richard, Teori-Teori Kebenaran ..., h. 182.

50

melambangkan arahnya. Di sebelah kanan adalah fakta bahwa Andi mencintai

Inayah berikut ketiga istilahnya dan panah vertikal menunjukkan arahnya. (Tanda

sama dengan yang besar menunjukkan identitas) kedua hubungan itu (keyakinan dan

fakta) bisa dikatakan sejalan karena masing-masing dari kedua istilah objeknya,

Andi dan Rahman, muncul dalam kedua hubungan itu, dan hubungan objeknya,

mencintai, muncul di dalam keduanya, dan keyakinan serta fakta memiliki arah yang

sama. Jika salah satu dari syarat ini tidak terpenuhi keyakinan akan salah. Dengan

begitu keyakinan akan salah jika arah faktanya berbeda (jika Inayah mencintai Andi)

atau jika salah satu istilah objeknya berbeda (jika Andi mencitai Romlah) atau jika

hubunga n objeknya berbeda (jika Andi membenci Inayah).

Meskipun Russell tampaknya begitu yakin atas teori yang disampaikan

tentang teori kebenaran, namun tampaknya ia tetap mengakui keterbatasan-

keterbatasan manusia dalam menggapainya. Menurutnya meskipun menurut

manusia terdapat suatu kebenaran namun ketepatan yang sempurna dalam ilmu

pengetahuan yaitu tentang kebenarannya tidak dapat dicapai. Baginya usaha

manusia yang mungkin dalam hal itu adalah terus menerus mengurangi keraguan-

keraguan kekaburan-kekaburan antara kebenaran dan kesalahan. Yang terjadi ialah

proses menuju pada kebenaran yang sempurna.134

3. Kebenaran menurut Charles Sanders Peirce (Pragmatisme)

Charles S. Peirce (1839-1914 M) merupakan bagian dari tokoh pragmatisme

Amerika, namun kemudian ia mengubah nama pragmatisme menjadi

pragmatisisme.135

Ia pada dasarnya bukan hanya sosok filosof, lebih dari itu ia juga

seorang saintis khususnya di bidang fisika yang banyak berkecimpung di

laboratorium. Di samping itu, ia adalah seorang yang mempunyai keyakinan moral

begitu kuat.136

Latar belakangnya sebagai fisikawan dan moralis tampaknya

mempengaruhi pemikirannya yang bercorak ilmiah dan etis.

Menurut Mustaqim, kebenaran oleh Peirce dibagi menjadi dua; Pertama,

kebenaran transendental (Trancendental Truth), yaitu kebenaran yang menetap pada

benda itu sendiri. Kedua, kebenaran kompleks (Complex Truth), yaitu kebenaran

dalam pernyataan. Kebenaran kompleks dibagi menjadi kebenaran etis atau

psikologis yaitu keselarasan pernyataan dengan apa ya ng diimani pembicara, dan

kebenaran logis atau literal, yaitu keselarasan pernyataan dengan realitas yang

didefinisikan. Semua kebenaran pernyataan ini harus diuji dengan konsekuensi

praktis melalui pengalaman.137

134

Bertrand Russell, Fakta, Kepercayaan, Kebenaran dan Pengetahuan ..., h. 75. 135

Richard, Teori-Teori Kebenaran ..., h. 117. 136

Titus, Smit dan Nolan, Persoalan-persoalan Filsafat,.., 341. 137

Peniel Maiaweng, “Manfaat Kebenaran Perbuatan: Suatu Analisis Terhadap

Ajaran Filsafat Pragmatisme”, Researchgate, April 2013, h. 8. Diakses pada 16 Agustus 2019

dari https://www.researchgate.net/publication/318056102

51

Bagi peirce, kebenaran tidak cukup hanya dianalisa menggunakan metode

ilmiah seperti disebutkan di atas. Lebih dari itu, kebenaran ilmu juga harus dapat

dipahami melalui interaksi sosial, karena itu merupakan keprihatinan komunitas.138

Pada akhirnya konsekuensi sosial ini menjadi kekuatan buat Pierce dalam rangka

menentukan kebenaran. Peirce kemudian membedakan antara keraguan dan

keyakinan. Orang yang yakin pasti berbeda dengan orang ragu minimal dari dua hal:

feeling and behavior. Orang yang ragu selalu merasa tidak nyaman dan akan

berupaya untuk menghilangkan keraguan itu untuk menemukan keyakinan yang

benar.139

Dalam pandangannya tentang teori kebenaran ia mengatakan bahwa

teori/pernyataan dapat dikatakan sebagai benar apabila teori tersebut mempunyai

manfaat. Maka untuk mengukur kebenaran suatu pernyataan ialah dengan cara

melihat fungsinya dalam kehidupan praktis. Penyataan atau pengetahuan dapat

dikatakan benar apabila ia dipercaya dapat memberikan kegunaan praktis dalam

kehidupan sehari-hari.140

Dalam hal ini, Seperti yang dikatakan Bacon bahwa

pengetahuan menjadi tidak berarti ketika ia tidak mampu mengubah manusia kepada

kehidupan yang lebih baik.141

Dalam hal ini, dampak positif menjadi justifikasi

kebenaran suatu pengetahuan.

Teori kebenaran pragmatisme Pierce ini jika dikaitkan dengan keyakinan

tampaknya menarik. Suatu keyakinan atau kepercayaan dapat dikatakan benar

selama ia dapat membawa hasil terbaik bagi kehidupan seseorang seperti dapat

meningkatkan kesuksesan dan lainnya. Namun apabila keyakinan itu justru

sebaliknya maka keyakinan itu adalah salah. Dari yang telah dipaparkan di atas

tampaknya dapat kita pahami bahwa teori kebenaran pragmatisme yang ditawarkan

oleh Charle S. Pierce ini bersifat relatif. Suatu pernyataan yang sama akan menjadi

benar dan salah dalam situasi dan kondisi berbeda yang membuat fungsi atau

manfaat dari suatu pernyataan atau teori itu juga berubah.

138

Rodliyah Khuza‟i, Dialog Epistemologi Mohammad Iqbal dan Charles S. Peirce

..., h. 88. 139

Mustakim, “Pragmatisme dalam Filsafat Kontemporer: Analisa atas pemikiran

Charles S. Peirce”, dalam al-Mabsut 3, No. 1, 2012, h. 11. 140

Fauziah Nurdin, “Kebenaran Menurut Pragmatisme Dan Tanggapannya

Terhadap Islam”, dalam Islam Futura 13, no. 2, Februari 2014, h. 192. 141

Nunu Burhanuddin, “Pemikiran Epistemologi Barat: dari Plati Sampai Gonseth”,

dalam Intizar 21, no. 1, Januari 2015, h. 137.

52

53

BAB III

LATAR BELAKANG MURTAḌÁ MUṬAHARĪ

A. Biografi

Sabara1 dan Maryam Shamsaei sepakat bahwa Murtaḍá Muṭahharī

adalah seorang pemikir tingkat tinggi, filsuf, ahli hukum dan seorang Islamolog

langka2 yang lahir pada tanggal 2 Februari 1920 M, bertepatan dengan 12

Jumādīl Ūlá 1228 H dan meninggal dunia pada 1 Mei 1997. Pertama kali ia

menghirup udara bumi tepatnya di daerah Fariman, dekat kota Mashhad, Iran.3

Mashhad merupakan salah satu kota yang dianggap suci oleh pengikut Syiah

Imāmiyah.4 Orang tua Murtaḍá merupakan seorang ulama Syiah terkemuka dan

dihormati, yaitu Shaykh Muḥammad Ḥusayn Muṭahharī.5 Muḥammad Ḥusayn

adalah orang pertama yang memperkenalkannya kepada ilmu pengetahuan. Ia

berada dalam bimbingan ayahnya sampai usia 12 tahun setelah kelahirannya.6

Muḥammad Ḥusayn Muṭahharī bukan hanya sekedar orang tua baginya,

tetapi juga menjadi seorang guru yang mempunyai perhatian cukup tinggi

terhadap pendidikan anaknya, sehingga ia selalu membimbing Murtaḍá dengan

baik.7 Keadaan tersebut merupakan suasana hidup di masa kecilnya. Murtaḍá

sejak lahir sudah berada di lingkungan keilmuan, maka tidak heran jika Misri A.

Muchsin meyakini bahwa Murtaḍá merupakan filosof besar yang sudah dibentuk

sejak ia lahir dan besar di tengah dan dalam praktek ajaran Syiah khususnya

Syiah Imāmiyah. Sosio-pemikiran keagamaan yang didapatkan olehnya

kemudian menjadikannya tumbuh sebagai penganut Syiah Imāmiyah yang

konsisten di kemudian hari.8

Pada tahun 1932 M Murtaḍá Muṭahharī belajar di madrasah tempat

kelahirannya yaitu Fariman,9 di sanalah ia mendapatkan ilmu tentang membaca,

1 Sabara, Pemikiran Tasawuf Murtaḍá Muṭahharī, Relasi dan Kesatuan antara

Intelektualitas (Ilmu), Spiritualitas (Iman) dan Moralitas (Akhlak), (Makasar: Balai

Penelitian dan Pengembangan Makasar, t.h), h. 150. 2 Maryam Shamsaei and Mohd Hazim Shahb, “Philosophical Study on Two

Contemporary Iranian Muslim Intellectual Responses to Modern Science and Technology”,

dalam International Journal Of Environmental & Science Education, vol. 12, no. 4, 2017, h.

881. 3 Haidar Baqir, Murtaḍá Muṭahharī Sang Mujahid, (Bandung: Yayasan Muṭahharī,

1998), h. 26. 4 Murtaḍá Muṭahharī, Kritik Islam terhadap Marxisme. Penerjemah Akmal Kamil,

(Jakarta: al-Huda Islamic Centre, 2005), h. 278. 5 Haidar Baqir, Murtaḍá Muṭahharī ..., h. 25.

6 Syamsuri, “Manusia Sempurna Perspektif Murtaḍá Muṭahharī”, Laporan

Penelitian Dosen, (Ciputat: Fakultas Ushuluddin dan Filsafat, Universitas Islam Negeri

Jakarta, 2001), h. 8. 7 Dewan Ensiklopedi Islam, Ensiklopedi Islam, (Jakarta: Ichtiar Baru Van Hoeve,

1997), h. 313. 8 Misri A. Muchsin, Filsafat Sejarah dalam Islam Landasan Konsepsi dan

Prospektif, (Banda Aceh: ar-Raniry Press 2005), h. 154. 9 Sanusi Ismail, Filsafat Sejarah Wacana Tentang Kausalitas dan Kebebasan dalam

Kehidupan Kolektif, (Banda Aceh: ar- Raniry Press, 2012), h. 77.

54

menulis, surat-surat pendek al-Qur‟an dan pengantar sastra Arab.10

Tampaknya,

ilmu-ilmu yang didapatkan itulah yang kemudian menjadi bekal dan bahkan

mampu mempengaruhi perkembangan intelektualnya.

Pada periode berikutnya, terdapat beberapa figur yang turut mendidik

Muṭahharī di antaranya ialah Mirza Mahdi Syahidi Razavi, Ayatullah Khomaeni,

Ayatullah Boroujerdi, dan Ayatullah Muhammad Husain Ṭabāṭabā‟ī.11

Mirza

Mahdi Syahidi Razavi merupakan sosok yang memberikan ilmu tentang filsafat

tradisional. Setelah menyelesaikan pendidikan dasar tersebut, ia kemudian

berpetualang ke Hawzah Mashhad untuk melanjutkan pelajaran agama. Tempat

itu adalah pusat pendidikan agama Syiah, di masanya. Di Hawzah Mashhad

tersebut, Muṭahharī telah menunjukkan kecerdasan dan keseriusan dalam upaya

mempelajari ilmu-ilmu Islam. Di sana, ia juga telah menunjukkan minat besar

terhadap filsafat dan Irfan. Selama di Mashhad, beliau banyak terinspirasi oleh

kepribadian seorang filsuf Islam tradisional ternama kala itu, Mirza Mehdi

Syahidi Razavi.12

Setelah itu, pada 1936 ia pindah ke kota Qom, yang merupakan pusat

intelektual dan spiritual Islam Syiah di Iran, ia belajar ilmu-ilmu keislaman dan

filsafat di universitas di sana. Ia belajar filsafat, hukum, sastra, fikih dan berbagai

disiplin ilmu lainnya.13

Murtaḍá Muṭahharī menunjukkan minat yang cukup besar

terhadap filsafat dan ilmu pengetahuan modern. Ia mempelajari pemikiran

Aristoteles, Will Durant, Betrand Russel, Sigmud Freud, Alexis Carrel, Erich

Fromm, Einsten dan pemikiran-pemikiran tokoh Barat lainnya.14

Ketika Muṭahharī belajar di Qom, ia belajar di bawah bimbingan

Ayatullah Boroujerdi dan Khomeini.15

Muṭahharī mengikuti kuliah-kuliah

Ayatullah Boroujerdi (sebagai direktur lembaga pengajaran di Qom) mengenai

filsafat dan irfan. Muṭahharī mengenal lebih jauh pribadi Imam Khomeini di

lembaga ini, sebagaimana yang dipaparkannya:

"Ketika di Qom, aku menemukan pribadi yang kudambakan.

Kusadari bahwa dahaga jiwaku akan terpuasi oleh air mata air murni

pribadi itu. Meskipun aku belum menyelesaikan tahap-tahap awal

belajarku, dan belum memadai untuk mempelajari ilmu-ilmu rasional

(ma'qulat), kuliah-kuliah etika yang diberikan oleh pribadi tercinta itu

pada setiap Kamis dan Jum‟at yang tidak terbatas oleh etika dalam arti

10

Dewan Ensiklopedi Islam, Ensiklopedi Islam, (Jakarta: Ichtiar Baru Van Hoeve,

1997), h. 313. 11

Dedi Inwansyah, "Resonansi Pemikiran Pemimpin Islam Syiah dalam Dunia

Pendidikan Indonesia: Studi Tentang SMA Plus Muṭahharī”, dalam Akademika, vol. 19, no.

01, Januari-Juni 2014, h. 81. 12

Muhsin Labib, Filosof Sebelum dan Sesudah Mulla Shadra, (Jakarta: Lentera,

2005), h. 278. 13

Sanusi Ismail, Filsafat Sejarah Wacana Tentang Kausalitas dan Kebebasan

dalam Kehidupan Kolektif ..., h. 77. 14

Sanusi Ismail, Filsafat Sejarah Wacana Tentang Kausalitas dan Kebebasan

dalam Kehidupan Kolektif ..., h. 77. 15

Jalaluddin Rakhmat, Kata Pengantar dalam Murtaḍá Muṭahharī, Perspektif al-

Qur’an tentang Manusia dan Agama, (Bandung: Mizan, 1992), h. 8.

55

akademis yang kering, namun yang menyangkut ʻirfān dan perjalanan

spiritual. Kuliah-kuliah itu ekstase pada diriku, yang pengaruh-

pengaruhnya kurasakan sampai senin atau selasa berikutnya. Sebagian

kepribadian intelektual dan spiritualku terbentuk oleh pengaruh kuliah-

kuliah itu dan kuliah-kuliah yang lain yang kuikuti selama 12 tahun dari

guru spiritual itu".16

Guru lainnya di Qom adalah mufassir al-Qur‟an dan filosof yaitu

Ayatullah Sayyid Muḥammad Husein Ṭabāṭabā‟ī. Sebagian dari materi kuliah

Ṭabāṭabā’ī yang diikuti olehnya adalah filsafat materialisme dan al-Shifāʻ

karangan Ibnu Sīnā. Berkat kecerdasannya yang luar biasa, tradisi keilmuan

Barat dan Timur dikuasai oleh Muṭahharī.17

Khomeini merupakan guru yang mempunyai hubungan yang sangat

dekat dengannya. Sang Imam adalah pengajar muda yang mempunyai kedalaman

dan keluasan wawasan keislaman dan kemampuan menyampaikannya kepada

orang lain dengan sangat baik. Kehebatannyalah yang menjadikan pelajaran-

pelajaran Khomeini, terutama pelajaran mengenai irfan, meninggalkan bekas

yang amat kuat dalam hati Muṭahharī. Bahkan materi yang disampaikan

Khomeini itu masih terngiang-ngiang di telinganya sampai beberapa hari setelah

mendengarkannya.

Pada sekitar tahun 1946 M, imam Khomeini mulai memberikan kuliah

pada sekelompok kecil siswa, salah satunya adalah Muṭahharī di madrasah

Faiziyah mengenai dua teks utama filsafat asfār al-Arbaʻah karya Mulla Sadra

dan Syarhi man Zuma tulisan Mulla Hadi Sabsavari. Keikutsertaan Murtaḍá

dalam kelompok belajar ini berlangsung hingga tahun 1951 M, sehingga ia dapat

membina hubungan lebih dekat dengan Imam Khomeini. Pada tahun 1946, Imam

Khomeini memberikan kuliah resmi pertamanya mengenai fikih dan ushul

tentang bab hujjah-hujjah rasional dari jilid kedua Kifāyat al-Uṣūl-nya Akhund

Khurasani.18

Tidak hanya Khomeini yang menjadi gurunya. Bahkan ʻAllamah

Ṭabāṭabā‟ī yang juga merupakan ulama besar di masanya juga menjadi guru

favorit Muṭahharī di bidang filsafat dan irfan. Sedangkan pemikiran ʻAllamah

juga dipengaruhi kajian-kajian mengenai Nahj al-Balāghah. Nahj al-Balāghah

merupakan kumpulan wacana, pidato, surah-surah dan kata-kata bijak khalîfah

keempat dan imam pertama dalam madzhab Syiah, „Alī bin Abī Ṭālib.19

Murtaḍá Muṭahharī meninggalkan kota Qom pada tahun 1952 kemudian

menetap di Taheran, menikah dengan putri Ayatullah Ruhani.20

Di tempat

16

Haidar Baqir, Murtaḍá Muṭahharī ..., h. 29. 17

Haidar Bagir, Murtaḍá Muṭahharī ..., h. 32. 18

Haidar Baqir, Murtaḍá Muṭahharī ..., h. 31-32. 19

Haidar Baqir, Membincang Metodologi Ayatullāh Murtaḍá Muṭahharī,

(Yogyakarta: UGM, 2004), h. 2. 20

Haidar Baqir, Murtaḍá Muṭahharī ..., h. 29-30.

56

tersebut, ia belajar di bawah bimbingan Ayatullah Boroujerdi dan Khomeini.21

Tentunya kepindahan tersebut beralasan yang kuat.

Di antara faktor-faktor yang menjadikannya pindah ialah pertama, guru

yang menjadi curahan perhatiannya, Mirza Mehdi Syahidi Razawi wafat pada

tahun 1936. Kedua, Kemunduran yang dialami Hawzah Mashhad. Ketiga, adanya

tekanan-tekanan destruktif dari pemerintah tirani yaitu raja Reza Khan, terhadap

seluruh lembaga-lembaga ke-Islam-an, termasuk Hawzah Mashhad.22

Kerajaan

Persia kala itu menganggap bahwa eksistensi berbagai institusi Islam tersebut

dapat mengganggu stabilitas politis negara.23

Setelah meninggalkan kota Qom, Muṭahharī mengajar filsafat dan

teologi keislaman di Universitas Taheran dan Madrasah Yi Marvi, yang

merupakan salah satu lembaga pendidikan ternama di kota tersebut. Selain itu,

Muṭahharī juga aktif dalam organisasi-organisasi ilmiah. Pada tahun 1960, ia

mendirikan kelompok diskusi di bawah pengawasan Ayatullāh Talegani dan

Mahdi Bazargan. Organisasi ini menyelenggarakan kuliah-kuliah bagi

masyarakat kelas menengah seperti dokter, insinyur, dan lainnya. Hal ini

bertujuan untuk menyajikan relevansi dan kontekstualisasi Islam dengan

persoalan Islam kontemporer di samping untuk memancing munculnya ide-ide

reformasi dari ulama. Pada tahun 1965, Muṭahharī mendirikan Ḥusayniyah al-

Irsyad bersama Ali Syariati, Hossen Nasr. Dalam kelompok ini, Muṭahharī

menjabat sebagai Anggota Badan Pengarah, Dosen dan juga penyumbang artikel-

artikel. Akan tetapi, kelompok ini tidak berlangsung lama karena Muṭahharī

keluar dari kelompok ini disebabkan tidak adanya kecocokan pemikiran dengan

Ali Syariati.24

Muṭahharī juga aktif dalam kegiatan politik. Sejak masih mahasiswa di

Qom ia telah menjadi bagian dari anggota Fida'iyan al-Islam, organisasi Islam

militan di Iran yang berdiri pada tahun 1945. Ketika perjuangan melanda seluruh

Iran, pada tahun 1948-1950, Muṭahharī termasuk salah satu tokoh dan penggerak

pro kemerdekaan lewat Fida'iyah al-Islam. Pada 6 Juni 1963 M secara terang-

terangan Muṭahharī menunjukkan diri sebagai politikus dan intelektual yang

bersebrangan dengan Syah Pahlevi, penguasa Iran, sehingga dijebloskan ke

dalam penjara.25

Karena itu, Muṭahharī mempunya andil besar dalam pergerakan revolusi

Iran yang dipelopori oleh Imam Khomeini. Muṭahharī yang mendampingi sang

Imam ketika pulang dari pengasingannya di Paris, Prancis bahkan ia adalah

penasihat sekaligus tangan kanan sang Imam. Muṭahharī seorang ideolog dan

pemimpin spiritual kedua Republik Islam Iran setelah Khomeini. Ketika revolusi

Iran diproklamasikan pada 12 Januari 1979, Muṭahharī masuk sebagai anggota

21

Jalaluddin Rahmat, “Kata Pengantar”, dalam Murtaḍá Muṭahharī, Perspektif al

Qur’ān tentang Manusia dan Agama, (Bandung: Mizan, 1992), h. 8. 22

Muhsin, Filosof ..., h. 279. 23

Murtaḍá Muṭahharī, Mutiara Wahyu. Penerjemah Shaykh Alī al-Ḥamīd, (Bogor:

Cahaya, 2004), h. 155-156. 24

Editor A. Khudari Saleh, Pemikiran Islam Kontemporer, (Yogyakarta: Jendela,

2003), h. 277. 25

Editor A. Khudari Saleh, Pemikiran Islam Kontemporer ..., h. 277.

57

dewan, namun tiga setengah bulan pasca proklamasi, ia terbunuh. Muṭahharī

meninggal pada 1 Mei 1979 akibat tembakan sekelompok teroris (Furqān)26

anti

Khomeini.27

Pengabdian Muṭahharī kepada revolusi Islam dihentikan secara brutal

terhadap dirinya yang mengakibatkan ia terbunuh. Riwayat tragedi ini bermula

pada 1972, Muṭahharī menerbitkan sebuah buku berjudul "'Ilah Girayish ba

Maddigari" (Alasan-Alasan Berpaling ke Materialisme), sebuah karya penting

yang menganalisa latar belakang historis materialisme di Eropa dan Iran. Selama

revolusi, ia menulis pengantar bagi edisi kedelapan buku itu, yang menyerang

penyimpangan-penyimpangan atas pemikiran Hafiz dan Hallaj yang terjadi

dalam beberapa golongan masyarakat Iran, dan menolak interpretasi-interpretasi

materialistik terhadap al-Qur‟an. Sumber interpretasi-interpretasi itu adalah

kelompok Furqān, yang berupaya menyangkal konsep-konsep asasi al-Qur‟an,

seperti transendensi ilahiah dan realitas akhirat. Dalam kasus-kasus semacam itu,

nada Muṭahharī selalu bersifat persuasif dan mengimbau, tidak berang ataupun

mengutuk. Ia malah mengajak Furqān dan kelompok-kelompok lain yang

berkepentingan untuk menanggapi tulisannya. Tanggapan mereka atas tulisannya

tak lain adalah penembakan atas dirinya.28

Ancaman untuk membunuh semua yang menentang mereka (kelompok

Furqān) termaktub dalam penerbitan Furqān. Setelah terbitnya edisi baru ilal-i

Girayish ba Maddigari, Muṭahharī tampaknya merupakan tanda kesyahidan

dirinya. Menurut kesaksian putranya, Mujtaba bahwa Muṭahharī terlepas dari

masalah-masalah duniawi pada saat menjelang tragedi tersebut. Ia kian

memperbanyak salat malam dan membaca al-Qur‟an. Ia juga bermimpi berjumpa

dengan Rasulullah Saw bersama Imam Khomeini.29

Pada tanggal 1 Mei 1997 M, Muṭahharī ditembak mati oleh pengikut

Furqān.30

Hamid Algar dalam bukunya menjelaskan Muṭahharī dibunuh ketika ia

pergi ke rumah Dr. Yadullah Sahabi bersama anggota-anggota lain dari Dewan

Revolusi Islam. Pada sekitar pukul 10:30 malam, ia dengan peserta lain bertemu

Ir. Katira'i, meninggalkan rumah Sahabi. Muṭahharī berjalan sendirian menuju

jalan kecil terdekat, tempat parkir mobil yang akan membawanya pulang,

Muṭahharī tiba-tiba mendengar suara asing memanggilnya. Ketika menengok ke

arah suara itu, sebuah peluru menembus kepalanya, masuk ke bawah telinga

kanan dan keluar di atas alis mata kiri. Ia meninggal hampir seketika. Meski

sempat dilarikan ke rumah sakit terdekat, namun tak ada lagi yang bisa dilakukan

26

Kelompok Furqān adalah kelompok yang menyatakan diri sebagai pendukung

suatu Islam Progresif, yang bebas dari apa yang mereka sebut "pengaruh menyimpang

ulama". Hamid Algar, “Hidup dan Karya Murtaḍá Muṭahharī”, dalam Haidar Bagir, Murtaḍá

Muṭahharī Sang Mujahid Sang Mujtahid ..., h. 45. 27

Hamid Algar, “Hidup dan Karya Murtaḍá Muṭahharī”, dalam Haidar Bagir,

Murtaḍá Muṭahharī Sang Mujahid Sang Mujtahid ..., h. 278. 28

Hamid Algar, Hidup dan Karya Murtaḍá Muṭahharī ..., h. 46. 29

Hamid Algar, Hidup dan Karya Murtaḍá Muṭahharī ..., h. 47. 30

Jhn L. Esposito, The Oxford Encyclopedia of The Modern Islamic Word,

diterjemahkan menjadi Ensiklopedi Oxford Dunia Islam Modern,. Penerjemah Eva Y. N.,

dkk, jilid. 4, (Bandung: Mizan, 2001), h. 128.

58

selain berduka cita atasnya. Pada hari berikutnya, jasadnya disemayamkan di

rumah sakit, dan pada hari Kamis, di tengah-tengah perkampungan luas, jasadnya

dibawa untuk disalatkan, pertama di Universitas Taheran dan kemudian ke Qom

untuk dimakamkan, di sebelah makam Syaikh Abdul Karim Ha'iri.31

B. Latar Belakang Pemikiran dan Karyanya

1. Latar Belakang Pemikiran

Murtaḍá Muṭahharī merupakan sosok pemikir, ulama yang memiliki

kualitas dalam penguasaan keilmuannya. Bahkan Muhsin Labib mengatakan

bahwa Muṭahharī merupakan Salah satu ikon pemikiran filsafat produk Hawzah

di Qom yang mendunia. Bahkan ia menjadi lebih mendunia lagi setelah ia

wafat.32

Muṭahharī ialah sosok yang begitu cinta terhadap filsafat, teologi dan

tasawuf (irfan). Kecintaan itu lahir ketika ia berada dan belajar di Mashhad33

,

dan tertanam dalam dirinya sepanjang hidupnya dan membentuk pandangan

menyeluruhnya tentang agama.34

Guru di Mashhad yang menjadi perhatian khusus Muṭahharī ialah

seorang guru filsafat, Mahdi Syahidi Razavi.35

Mahdi bisa dikatakan sebagai

guru pertama Muṭahharī di bidang filsafat. Tokoh berikutnya yang menjadi

peracik pemikiran Muṭahharī adalah Imam Khomeini. Ia bertemunya ketika

berada di Qom36

. Di Kota inilah ia mendapat bimbingan dari Imam Khomeini

untuk menjadi pemimpin revolusi Islam. Imam Khomeini dan Muṭahharī sama-

sama menekuni semua segi ilmu pengetahuan tradisional, akan tetapi keduanya

tidak terjebak di dalamnya. Keduanya mengkaji Islam dengan wawasan luas,

yaitu Islam sebagai suatu sistem menyeluruh bagi kehidupan dan keimanan

dengan penekanan kepada segi-segi filosofis dan mistikal. Di samping itu,

keduanya menampakkan kesetiaan penuh kepada pranata keagamaan, yang

diwarnai oleh suatu kesadaran akan perlunya pembaharuan, suatu keinginan

akan perubahan sosial dan politik yang menyeluruh. Tidak hanya itu, langkah-

langkah keduanya juga disertai kesadaran akan strategi, waktu dan kemampuan

31

Hamid Algar, Hidup dan Karya Murtaḍá Muṭahharī ..., h. 47. 32

Muhsin Labib, Pemikiran Filsafat M.T Miṣbāḥ Yazdī, (Jakarta: Sadra Press,

2011), h. 57. 33

Mashhad adalah kota kedua terbesar di Iran dan merupakan salah satu kota suci

Syiah. Pada waktu Muṭahharī pindah ke sana, Mashhad merupakan sebuah wilayah yang

menjadi pusat ziarah dan belajar. Di tempat inilah ia mulai berkenalan dengan filsafat Islam

dan ilmu rasional. Muhsin Labib, Pemikiran Filsafat M.T Miṣbāḥ Yazdī, h. 57. 34

Hamid Algar, Hidup dan Karya Murtaḍá Muṭahharī ..., h. 26-27. 35

M. Said Marsaoly, “Memotret Muṭahharī Lebih Dekat: Sebuah Biografi”,

pengantar dalam Murtaḍá Muṭahharī, Mengapa Kita Diciptakan. Penerjemah Mustamin Al

Mandary, (Yogyakarta: Rausyan Fikr Institute, 2013), h. 4. 36

Qom adalah sebuah kota di Iran yang mendapat julukan kota sejuta ulama. Saat

ini Qom menjadi pusat ilmu pengetahuan dan pendidikan Syiah terbesar di dunia. Diakses

pada 01 Oktober 2019 dari https://id.wikipedia.org/wiki/Qom.

59

untuk menggapai ke luar lingkup kaum religius tradisional dan memperoleh

perhatian serta kesetiaan dari kaum berpendidikan sekuler.37

Imam Khomeini merupakan salah satu sosok yang mewarnai

pemikirannya terutama di bidang filsafat dan irfan (tasauf). Bahkan apa yang

sampaikan oleh Imam Khomeini membawa kesan begitu mendalam hingga

terngiang-ngiang dalam benaknya hingga beberapa Minggu setelah

mendengarkan pelajar darinya.38

Selain Imam Khomeini, Muḥammad Husein

Ṭabāṭabā‟ī juga merupakan guru yang berpengaruh padanya. Muṭahharī

mengikuti kuliah-kuliahnya mengenal al-Shifāʻ Ibnu Sīnā dari tahun 1950-1953,

Muṭahharī juga mengikuti pertemuan-pertemuan Kamis malam di bawah

bimbingannya. Materi pertemuan ini adalah filsafat materialis, yang menjadi

pilihan sekelompok ulama tradisional.39

Untuk mengetahui latar belakang pemikiran Muṭahharī, harus melihat

pada problem-problem yang dihadapinya semasa hidupnya yang penuh

perjuangan. Secara historis, bahwa kota Qom menjadi pusat keilmuan Muṭahharī

yang mengkristal sedikit demi sedikit. Pada waktu itu, kecondongan kepada

peradaban Barat telah berakar kuat dan melanda seluruh lapisan masyarakat.

Masyarakat menjauhi kebudayaan yang asli yang menjelma menjadi sebuah

masyarakat yang mengalami metamorfosis (perubahan bentuk) dan kehilangan

identitas. Tibalah sekarang masa panen penjajah dari apa yang ditanamnya sejak

awal yaitu pemerintahan dinasti Qajar.

Dampak-dampak kejahatan dan tipu daya berjangka panjang juga

dilakukan oleh penjajah mulai tampak secara berangsur-angsur, mengubah

bangsa pemberani pewaris peradaban tinggi menjadi bangsa lemah. Pusat

keagamaan menjadi kehilangan efektivitasnya dan slogan lama kolonial

mengenai pemisahan agama dari politik mulai mengakar dalam masyarakat. Itu

diakibatkan oleh tersebarnya propaganda-propaganda buruk anti para agamawan

dan ketidakberhasilan para agamawan itu sendiri dalam melaksanakan peranan

mereka dalam gerakan nasional. Itulah sebabnya Islam dijauhkan dari medan

perjuangan sosial hingga sebagian agamawan juga menyerah kepada pikiran ini.

Mereka mengira bahwa campur tangan dalam urusan-urusan politik dan sosial

tidaklah layak.40

Hal tersebut menyebabkan terbatasnya pikiran dan peradaban Islam

dalam kungkungan hukum-hukum dan masalah-masalah ibadah perseorangan

yang mengenainya ditulis risalah-risalah amaliah dan darinya dibuang masalah-

masalah jihad dan 'amar maʻrūf nahi al-munkar. Selain itu, Universitas menjadi

asing dari agama. Sebaiknya, agama dalam lingkungan universitas dianggap

pertanda kemunduran, dan penentangan terhadap kemajuan. Kebudayaan

mendominasi masyarakat, menyebabkan munculnya gerakan-gerakan

menyimpang. Maka tersebarlah ideologi-ideologi asing seperti marxisme dan

eksistensialisme, gerakan-gerakan nasionalisme dan peniruan bahkan Freudisme

37

Hamid Algar, Hidup dan Karya Murtaḍá Muṭahharī ..., h. 31. 38

Muhsin Labib, Pemikiran Filsafat M.T Miṣbāḥ Yazdī ..., h. 57. 39

Hamid Algar, Hidup dan Karya Murtaḍá Muṭahharī ..., h. 31-32. 40

Haidar Baqir, Murtaḍá Muṭahharī Sang Mujahid Sang Mujtahid ..., h. 54.

60

yang mengajarkan kebebasan seksual. Kemiskinan mencapai puncaknya hingga

segala macam pikiran diimpor dari Barat termasuk yang sudah tak lagi berharga

di masyarakat yang menciptakannya.41

Pemerintah Pahlevi juga mengalihkan perhatian masyarakat Islam Iran

dari pengaruh keislaman melalui kampanye-kampanye yang memupuk

nasionalisme masyarakat, menggencarkan propaganda melawan hukum-hukum

syariat Islam dan para ulama. Hal itu dilakukan tidak lain hanyalah untuk

memperkokoh kekuasaan Pahlevi.42

Namun para ulama Iran tidak hanya diam,

termasuk filosof Murtaḍá. Dalam situasi seperti inilah Muṭahharī terjun ke

medan kegiatan sosial. Ia memahami betul bahwa situasi-situasi ini saling

berkaitan satu sama lain. Muṭahharī melihat, di balik situasi ini terdapat sebuah

sistem yang cermat dan budaya yang bertumpu atas filsafat tertentu. Sehingga

Muṭahharī memahami bahwa tidaklah mungkin menanggulangi keadaan tersebut

kecuali dengan membutuhkan dasar ideologis dan filosofis serta kebudayaan

Barat yang mendominasi.43

Pemikiran Muṭahharī sangat bercorak filosofis. Muṭahharī merupakan

seorang pemikir Syi'i yang amat percaya kepada rasionalisme dan pendekatan

filosofis yang menandai mazhabnya. Muṭahharī membantah penyataan sebagian

pengamat yang menyatakan bahwa rasionalisme dan kecenderungan kepada

filsafat lebih merupakan unsur ke Persia-an dari pada keislaman. Muṭahharī

menunjukkan bahwa semuanya itu berada di jantung ajaran Islam, sebagaimana

ditunjukkan oleh al-Qur‟an, hadis Nabi dan ajaran para Imam.44

Mazhab Filsafat yang diikutinya adalah Mazhab filsafat Mulla Sadra

yaitu filsafat al-ḥikmat al-mutaʻāliyah (transendent theosophy) yang berupaya

memadukan metode-metode wawasan spiritualitas dengan metode-metode

deduksi filosofis.45

Kemampuannya yang mendalam dalam bidang filsafat sangat luar

biasa, sebagaimana yang dikatakan Jalaluddin Rakhmat: "Selagi menjadi

mahasiswa, Muṭahharī menunjukkan minat yang besar pada filsafat dan ilmu

pengetahuan modern. Gurunya yang utama dalam filsafat Ṭabāṭabā‟ī. Ia juga

mengenal aliran filsafat sejak Aristoteles sampai Sartre. Ia membaca sebelas

jilid buku berjudul Kisah Peradaban, Kelezatan Filsafat, dan buku-buku

lainnya karya Will Durant. Muṭahharī menelaah tulisan Sigmund Freud,

Bertrand Russel, Albert Einstein, Erich Fromm, Alexis Carrel, dan para pemikir

Barat lainnya.46

Selain itu, corak pemikiran filosofisnya tidak lepas dari perkembangan

pemikiran filsafat di Persia. Tentang pemikiran filsafat di Iran, Sayyed Hossein

Nasr menulis: "Filsafat Islam terus berkembang di Iran sebagai tradisi yang

41

Haidar Baqir, Murtaḍá Muṭahharī Sang Mujahid Sang Mujtahid ..., h. 54-55. 42

Haidar Baqir, Murtaḍá Muṭahharī Sang Mujahid Sang Mujtahid ..., h. 55. 43

Haidar Baqir, Murtaḍá Muṭahharī Sang Mujahid Sang Mujtahid ..., h. 55-56. 44

Muḥammad Nur, Murtaḍá Muṭahharī Kritik atas Moralitas Barat, (Kendal:

Penelitian Kompetitif Individual, 2016), h. 9. 45

Haidar Baqir, Murtaḍá Muṭahharī Sang Mujahid Sang Mujtahid ..., h.34. 46

Jalaluddin Rakhmat, Kata Pengantar dalam Murtaḍá Muṭahharī, Perspektif al-

Qur’an tentang Manusia dan Agama ..., h. 8.

61

hidup setelah apa yang dikenal dengan abad pertengahan, dan terus bertahan

sampai dewasa ini. Malahan, telah terjadi kebangkitan kembali filsafat Islam

selama masa dinasti Safawi, dengan munculnya tokoh-tokoh seperti Mir Damad

dan Mulla Sadra. Kebangkitan yang kedua terjadi selama abad ke-13 H yang

diprakarsai oleh Mulla Ali Nuri, Haji Mulla Hadi Sabziwari, dan lain-lain.

Tradisi ini berlanjut secara kuat di Universitas-Universitas hingga masa

pemerintahan Pahlevi.”47

Muṭahharī mulai mempelajari filsafat materialis khususnya marxisme

setelah mempelajari ilmu-ilmu rasional. Pada tahun 1946 ia mempelajari

terjemahan-terjemahan Persia literatur Marxis yang diterbitkan oleh partai

Tudeh, organisasi Marxis besar di Iran dan ketika itu merupakan suatu kekuatan

penting di area politik. Selain itu, ia juga membaca tulisan Taqi Arani, ahli teori

utama partai Tudeh, maupun penerbitan Marxis dalam bahasa Arab yang

berasal dari Mesir. Awalnya Muṭahharī kesulitan memahami teks-teks ini,

sebab ia belum mengenal terminologi filsafat modern. Akan tetapi, ia terus

berusaha keras dengan menyusun sinopsis buku yang berjudul Elementary

Principles of Philosophy karya Georges Pulitzer, akhirnya ia menguasai seluruh

masalah filsafat materialis.48

Bagi Muṭahharī, filsafat merupakan suatu pola religiusitas yang

merupakan suatu jalan untuk memahami dan merumuskan Islam. Pandangan

Muṭahharī mengenai Islam bersifat filosofis tidak berarti menyiratkan bahwa ia

tidak memiliki spiritualitas atau ia menafsirkan dogma samawi secara filosofis,

atau ia menerapkan terminologi filosofis pada semua wilayah masalah

keagamaan. Akan tetapi, ia juga memandang peralihan ilmu pengetahuan dan

pemahaman sebagai tujuan dan manfaat utama agama. Oleh sebab itu, ia

memberikan keutamaan tertentu kepada filsafat di antara disiplin-disiplin yang

dikaji di lembaga keagamaan. Karena itu, ia sangat berbeda dengan ulama yang

lain yang menjadikan fikih segala-galanya dari kurikulum dan dengan kaum

modernis yang memandang filsafat sebagai cermin pengacauan Helenis ke

dalam dunia Islam.49

Karakteristik yang menjadi tipikal Muṭahharī adalah kedalaman

pengertiannya tentang Islam, keluasannya tentang filsafat, sains modern dan

keterlibatannya yang non-kompromis terhadap keyakinan dan ideologinya.

Karakteristik tersebut terjalin secara sistematis. Fuqahahnya dalam Islam dan

pengetahuannya tentang sumber peradaban Barat membuatnya menjadi ideolog

yang tangguh. Hal ini terlihat kerangka filosofis yang disebut wilāyatu al-

fāqih.50

Pemerintahan fakih (wilāyatu al-fāqih) adalah masalah yang segera

bisa disepakati dan tidak perlu dibuktikan lagi. Karena bagi orang yang sudah

47

Sayyed Hossein Nasr, Islam Tradisi di Tengah Kancah Dunia Modern.

Penerjemah Luqman Hakim, cet, ke-1 (Bandung: Penerbit Pustaka, 1994), h. 195. 48

Hamid Algar, Hidup dan Karya Murtaḍá Muṭahharī ..., h. 32. 49

Hamid Algar, Hidup dan Karya Murtaḍá Muṭahharī ..., h. 34. 50

Murtaḍá Muṭahharī, Manusia dan Agama: Membumikan Kitab Suci ..., h.15.

62

tahu syari‟at Islam tanpa ragu akan menerima wilāyat al-fāqih . Adapun

wilāyatu al-fāqih ditegakkan atas empat prinsip dasar yaitu:51

Pertama: Allah adalah hakim mutlak pada alam semesta dan segala

isinya termasuk manusia yang ditempatkanNya di bumi, Allah merupakan

penguasa tunggal bagi umat Islam.

Kedua: Kepemimpinan manusia (qiyādah bashariyah) yang

mewujudkan kepemimpinan Allah di bumi adalah para Nabi. Para nabi

menyebarkan dan melaksanakan hukum Allah sejak Nabi Adam sampai Nabi

Muḥammad SAW.

Ketiga: Garis imāmah melanjutkan garis kenabian dalam memimpin

umat. Untuk menjalankan kepemimpinan ilahiah diperlukan manusia-manusia

suci yang fāqih tentang syariat Islam serta mewarisi perjuangan Rasulullah

SAW. Menurut paham Syiah bahwa ada 12 imam yang maʻṣūm setelah Nabi

Muḥammad wafat. Salah satu dari para imam tersebut saat ini dalam keadaan

ghaib akan tetapi suatu saat nanti akan kembali sebagai Imam Mahdi al-

Muntaẓar.

Keempat: Pada saat Imam ghaib maka kepemimpinan dilanjutkan oleh

para fuqaha. Pada mereka dipercayakan kepemimpinan atas umat.

Menurut 'Ain Najaf dalam kitab Qiyādatul ʻUlamā wal Ummah bahwa

tugas dan kewajiban ulama seperti Muṭahharī dalam kerangka wilāyat al-fāqih

sangatlah berat karena memiliki tugas-tugas yang berat yaitu:52

1. Tugas intelektual

2. Tugas bimbingan keagamaan

3. Tugas komunikasi dengan umat

4. Tugas menegakkan syiar Islam

5. Tugas mempertahankan hak-hak umat

6. Tugas berjuang melawan musuh-musuh Islam dan kaum muslimin.

Muṭahharī menyadari tugas berat yang harus ia emban untuk umat

bangsanya (Iran). Muṭahharī berjuang dengan semangat yang luar biasa dengan

dijiwai falsafah wilāyat al-fāqih ia merasa perlu menyelamatkan bangsanya dari

ideologi Barat yang menurutnya berbahaya. Ia mengkritik ideologi Barat seperti

Marxisme, eksistensialisme, dan kapitalisme yang ia anggap menyimpang dari

nilai-nilai etika Islam.53

Maryam Shamsaei dalam tulisannya bahkan mengatakan bahwa Pada

saat Muṭahharī hidup, berkembang dua kelompok pemikiran Islam yang

berbeda bahkan bertentangan. Golongan-golongan tersebut di antaranya ialah

tradisionalis, modernis. Masing-masing golongan saling menentang satu sama

lainnya. Tradisionalis mencoba menolak berbagai pemikiran dari Barat,

termasuk konsep kebenaran dari Barat. Mereka mengatakan bahwa segala

produk yang datang dari Barat bertentangan dengan Islam. Islamisasi pemikiran

Barat tak dapat dilakukan karena keduanya merupakan dua hal yang tak

mungkin bisa disatukan. Para modernis menentang dan menolak berbagai

51

Murtaḍá Muṭahharī, Manusia dan Agama: Membumikan Kitab Suci ..., h. 17. 52

'Ain Najaf, Qiyādatul ʻUlamā wal Ummah, (Taheran: Hikmah, t. th), 17. 53

Muḥammad Nur, Murtaḍá Muṭahharī Kritik atas Konsep Moralitas Barat, h. 13.

63

pandangan tradisionalis. Mereka meyakini bahwa modernitas tidak dapat digali

dari teks-teks agama, oleh karena itu agama harus mengambil keputusan

dengan memperbaharui dan menyesuaikan dengan pemikiran modern.

Pemikiran Barat modern tidak semua bertentangan dengan Islam, maka umat

Islam bisa mengambilnya tanpa membahayakan Islam. Namun, Muṭahharī

mempunyai pandangan-pandangan berbeda. Ia justru memadukan antara

modernitas dengan tradisional. Dengan kata lain, mereka mencoba menemukan

kebutuhan dan makna baru dunia modern dalam teks-teks agama lama dan

menyiratkan bahwa konsep-konsep baru, memang ada dalam konteks agama

jauh sebelum peradaban Barat muncul.54

2. Karya-karyanya

Murtaḍá Muṭahharī cukup produktif dalam menghasilkan karya. Ia

mempunyai karya yang cukup banyak. Karya-karyanya baik hasil ceramahnya

maupun tulisannya mencapai lebih dari 200 karya dalam berbagai bidang

seperti filsafat, kalam, sosiologi, sejarah, antropologi dan etika.55

Tulisan

tersebut terdiri dari tulisan sendiri dan juga banyak akumulasi dari pidato-

pidatonya yang kemudian diterbitkan menjadi buku.

Di antara buku-buku karya Murtaḍá Muṭahharī di antaranya ialah:

a. Bidang Filsafat

Muqaddimah bar Jahan Bihi al- Islam, (Muqaddimah Pandangan

Dunia Islam), sebuah karya yang berisikan kumpulan dari tujuh pembahasan

mengenai pandangan dunia Islam tentang manusia, makna dan tujuan

hidupnya, hubungannya dengan Allah SWT dan alam semesta, peranannya

dalam masyarakat, sejarah dan sebagainya.56

Asyna'iba Ulum al-Islam t.p. (Pengantar Ilmu-Ilmu Islam. 2003).

Buku ini berisi telaah inklusif tentang pokok-pokok berbagai cabang ilmu-

ilmu Islam, seperti; Ushul Fikih, Hikmah Amaliah, Fikih, Logika, Kalam,

Irfan, dan Filsafat.57

Usul Falsafah wa Rawisy Riyalism (Prinsip Filsafat dan Aliran

Realisme), karya ini merupakan buku filsafat Muṭahharī yang terpenting.58

Al-ʻAdl al-Ilâhi (Qom, 1981). Dalam buku ini, Muṭahharī melakukan

eksplorasi atas tema penting dalam khazanah tentang ilmu-ilmu keislaman,

sekaligus mendemonstrasikan wawasan luasnya untuk membuktikan

penyataan bahwa keadilan merupakan sejenis "pandangan dunia" (world

view). Dalam buku ini ia juga mengkaji keadilan ini berdasarkan pendekatan

naqliah maupun aqliah dan menunjukkan betapa tema keadilan ini merupakan

rahasia sumber sejati dalam pemikiran dunia Islam. Kemudian diterbitkan

54

Maryam Shamsaei, “Two Iranian Intellectuals: Ayatollah Morteza Motahari and

Dr. Abdol-Karim Soroush and Islamic Democracy Debate”, dalam IOSR Journal of

Humanities and Social Science, vol. 1, no. 2, 2012, h. 30. 55

Mulyadi Kertanegara, Nalar Religius, (Jakarta: Erlangga, 2007), h. 280. 56

Abdillah Hasan, Tokoh Mashur Dunia Islam, (Surabaya: Jawara, 2004), h. 299. 57

Nihaya, Sinergitas Filsafat dan Teologi Murtaḍá Muṭahharī ..., h. 112. 58

Nina Arnando, Ensiklopedia Islam, (Jakarta: Ichtiar Baru Van Hoeve, 2005), h.

135.

64

dalam bahasa Indonesia pada tahun 1992 dengan judul keadilan Ilahi: Atas

Pandangan Dunia Islam.59

Al-Fitrah (Taheran, 1410 H). Buku ini diterjemahkan ke dalam

bahasa Indonesia dengan judul Fitrah dan diterbitkan pada tahun 1998. Buku

ini memaparkan dengan sangat jelas tentang pemahaman jati diri manusia.

Selain itu, dalam buku ini juga memberikan jawaban mendasar atas berbagai

pertanyaan yang menyangkut keberagaman.

Falsafah e-ahkhlak (Falsafah Akhlak). Buku ini menjelaskan tentang

korelasi antara filsafat, agama dan akhlak, selain menjelaskan landasan akhlak

dalam Islam, Muṭahharī juga menjelaskan bagaimana pandangan Filosof

Barat terhadap akhlak.

b. Tasawuf

Khatemiat t.p (terjemah Indonesia Kenabian Terakhir, 2001).

Dalam buku ini Muṭahharī membedah secara khas, analitis, kritis akurat, dan

komprehensif membungkam keraguan bagi mereka yang meragukan posisi

nabi Muḥammad Saw di tengah segelintir nabi yang membawa risalah dan

tugas khas serta ribuan nabi yang tak dikenal lainnya yang datang tanpa

membawa risalah. Peran imam dan ulama sebagai pewaris nabi di dalam buku

ini juga dibahas dan ditempatkan pada posisi benar.

Dastane Rastan (Cerita Orang Bijak). Buku ini merupakan salah

satu karya terbaik Muṭahharī di Iran pada tahun 1965. Muṭahharī membahas

kumpulan cerita orang saleh yang dikutip dari berbagai sumber keislaman

seperti hadis, sejarah para Imam, dan para tokoh Islam lainnya.60

c. Fikih

Nizamu al-Huquqi al-Mar'ah fi al-Islam (t.p) dalam penerjemahan

Inggris The Right of Women in Islam (Taheran 1981). Buku ini sudah

diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia dengan judul Duduk Perkara

Poligami dan diterbitkan pada tahun 2007. Dalam buku ini, Muṭahharī

menyajikan beberapa topik pembahasan seputar hak-hak wanita dalam Islam,

di antaranya mengenai soal warisan, lamaran, mahar, nafkah, poligami dan

sebagainya dengan gayanya yang khas dan analitis, kritis, akurat, dan

komprehensif. Muṭahharī menjelaskan pula betapa syariat Islam betul-betul

sesuai dengan kodrat dan martabat manusia, dan mengomentari betapa

gagasan-gagasan Barat hanyalah propaganda, palsu dan omong kosong.

Mas'alah al-Hijab (Taheran1407 H). Buku ini telah diterjemahkan ke

dalam bahasa Indonesia menjadi Wanita dan Hijab, 2008. Pembahasan dalam

buku ini berisi tentang uraian Muṭahharī tentang masalah hijab, yang mana

secara keseluruhan buku ini membahas lima persoalan penting seputar hijab,

yaitu perintah mengenakan hijab,filsafat hijab, berbagai protes dan kritikan,

dan batas-batas hijab dalam Islam. Dalam buku ini Muṭahharī mengulas

59

Nihaya, “Sinergitas Filsafat dan Teologi Murtaḍá Muṭahharī”, dalam Sulesana,

vol. 8. no 1, 2013. h. 112. 60

Juliawati, “Esensi Manusia dalam Perspektif Murtaḍá Muṭahharī”, (Skripsi

Fakultas Ushuluddin dan Filsafat, Universitas Islam Negeri Jakarta, 2018), h. 24.

65

dengan gayanya yang khas dan memaparkan dengan lengkap segala yang

berkaitan dengan tema tersebut.

C. Peran Murtaḍá Muṭahharī dalam Pemikiran Islam

Murtaḍá Muṭahharī merupakan seorang pemikir yang mengabdikan

hidupnya untuk perjuangan ideologi dan politik.61

Selain itu, ia juga seorang

cendekiawan muslim yang memiliki pengetahuan dan wawasan luas tentang

berbagai hal. Syamsuri menyebutkan bahwa ia adalah intelektual muslim yang

taat beragama, moderat, dan terbuka serta senantiasa berkeinginan untuk

mengembangkan dan memperluas wawasan berpikir generasi muda Islam Iran

dan meningkatkan kualitas pendidikan mereka.62

Pada tahun 1332 pemerintah yang berkuasa melakukan propagandanya

secara masif untuk melawan hukum-hukum Islam. Sehingga Muṭahharī menulis

berbagai karya yang membahas masalah-masalah fundamental berbagai

permasalahan Islam dalam rangka untuk mencegah meluasnya kerusakan.

Contoh upaya-upayanya ialah tentang masalah hak-hak wanita yang digembor-

gemborkan oleh orang-orang yang berambisi politik sehingga memenuhi media

sosial untuk mengubah pemikiran para pemuda. Untuk itu, Muṭahharī

memberikan ceramah-ceramah lewat khotbahnya dan kedua bukunya yang

berjudul Hak-Hak Wanita dalam Islam dan Hijab.63

Karya tentang hijab tersebut

ditulisnya tepat pada 1347 M di kala pemerintah menghina hijab untuk

menjadikan muslimah sebagai barang dagangan dalam melayani syahwat pria

serta menjauhkah masyarakat dari nilai-nilai Islam dan mengikuti tren Barat.

sesungguhnya karya tentang hijab merupakan suatu respons terhadap realitas

dalam rangka mengembalikan umat Islam pada ajaran Islam. Ia menulis dalam

buku tersebut:

"Ketelanjangan adalah penyakit zaman ini. Cepat atau lambat,

ketelanjangan itu sendiri akan menunjukkan tanda-tanda penyakitnya.

Meskipun kita meniru Barat dengan taklid buta, orang-orang Barat yang

lebih dahulu dari kita dalam bidang ini akan menunjukkan hakikat

ketelanjangan ini. Tetapi, saya khawatir sudah akan terlalu terlambat

bila kita menunggunya.”64

Selain itu, untuk menjauhkan Islam dari masyarakat Iran, pemerintah

Iran membangkitkan nasionalisme dan rasialisme. Dengan membangkitkan

keduanya, pemerintah berharap langkah tersebut akan melemahkan semangat

keagamaan rakyat Iran. Pemerintah memaparkan masalah kemandirian

kebudayaan asli Iran dan terpisahnya dari Islam, serta perjuangan bangsa Iran

dalam melindungi warisan budayanya dari pengaruh kebudayaan Islam.

Muṭahharī menanggapi soal ini melalui tulisannya yang berjudul Pelayanan

61

Haidar Bagir, Murtaḍá Muṭahharī Sang Mujahid, (Bandung: Yayasan Muṭahharī,

1988), h. 56-58. 62

Syamsuri, “Manusia Sempurna Perspektif Murtaḍá Muṭahharī” ..., h. 15. 63

Haidar Bagir, Murtaḍá Muṭahharī Sang Mujahid ..., h. 58. 64

Haidar Bagir, Murtaḍá Muṭahharī Sang Mujahid ..., h. 62.

66

Timbal Balik antara Islam dan Iran. Muṭahharī memaparkan bahwa rencana

jahat penguasa untuk mengikis keislaman rakyat Iran dan menggantinya dengan

nasionalisme. 65

Dalam masa itu, pembakaran warisan-warisan kultural dan ilmiah Iran

oleh bangsa Arab ketika menaklukkan Iran menjadi obyek pembicaraan di

media sosial sehingga Muṭahharī menulis kitab Pembakaran Kitab-Kitab di Iran

dan Alexandria. Ia membahas dan membuktikan bahwa semuanya itu adalah

dusta. Ia akhir tulisannya ia mengatakan:

"sesungguhnya propaganda pembakaran kitab-kitab di Iran dan

Alexandria secara berangsur-angsur telah menjadi suatu alat untuk

menyerang Islam. Dibalik itu semua terdapat taktik penjajah. Penjajah

tidak akan berhasil di bidang politik maupun ekonomi, kecuali bila ia

berhasil dalam penjajahan budaya. Faktor pertama untuk keberhasilan

dalam hal itu adalah menghilangkan hubungan rakyat dengan

kebudayaan dan kebudayaan asli mereka. Lewat pengalamannya,

penjajah telah memahami dan meyakini bahwa kebudayaan yang

diandalkan dan ideologi yang dibanggakan oleh masyarakat adalah

kebudayaan dan ideologi Islam.”66

Ketika pemikiran Barat tersebar di antara orang-orang yang

menjalankan agama. Muncul serangan-serangan terhadap pemikiran filsafat

untuk memperkenalkan logika Barat sebagai alat mengetahui isi al-Qur‟an.

Sehingga untuk menghadapi hal tersebut, Muṭahharī menulis kitab Ushul

Falsafah untuk menerangkan tentang filsafat Islam. Ia menjelaskan keotentikan

kandungan filsafat Islam dibandingkan filsafat Barat.67

Selain itu, gerakan serupa juga dilakukan dengan menggunakan

serangan melalui ideologi Marxisme. Muṭahharī menghadapinya dengan

perlawanan logis terhadap pokok-pokok pikiran Marxis yang merupakan

sumbernya. Itulah sebabnya ia lebih memperhatikan filsafat Marxisme daripada

lainnya. Muṭahharī sangat memahami paham Marxisme dikarenakan

pengetahuannya yang sangat luas terhadap filsafat Eropa. Ia menjelakan ide-ide

baru dalam pembahasan dan kritik filosofisnya terhadap Marxisme. Terdapat

pidato-pidato dan artikelnya yang membahas khusus materialisme dan

marxisme. Tidak hanya itu, Muṭahharī memulai perjuangannya melawan

Marxisme dengan bukunya Ushul Falsafah. Ia menghabiskan waktu untuk

meneliti Marxisme, ia mengetahui perbedaan Marxisme dari filsafat ilahiah.68

65

Haidar Bagir, Murtaḍá Muṭahharī Sang Mujahid ..., h. 59. 66

Haidar Bagir, Murtaḍá Muṭahharī Sang Mujahid ..., h. 63. 67

Haidar Bagir, Murtaḍá Muṭahharī Sang Mujahid ..., h. 72. 68

Haidar Bagir, Murtaḍá Muṭahharī Sang Mujahid ..., h. 79.

67

Sebelum revolusi, masyarakat Iran tidak memiliki konsep mengenai

pusat-pusat ilmiah keagamaan. Padahal pada saat itu, terjadi penyebaran

ideologi menyesatkan di tengah masyarakat seperti ajaran bahwa setiap orang

yang memiliki al-Qur‟an, terjemahannya dan sebuah kamus diperboleh untuk

menafsirkan ayat-ayat al-Qur‟an dan menerangkan hukum-hukum syariat. Hal

ini oleh Muṭahharī dipandang sebagai suatu hal yang menimbulkan masalah

besar. Oleh karena itu, untuk mengenalkan ilmu-ilmu Islam, ia menulis buku

yang berupaya menerangkan sesederhana mungkin pokok-pokok dan tema-tema

bangunan pemikiran Islam yang terdiri dari filsafat, kalam, teologi, logika, ushul

fikih, irfan, dan akhlak. Hal tersebut dapat mencegah penyimpangan yang timbul

akibat keengganan merenung dan ketidakmampuan pemikiran, di samping

menguatkan bangunan-bangunan pemikiran dan keyakinan.69

Muṭahharī lahir pada kondisi yang tepat, yaitu masa di mana ajaran

Islam mendapatkan serangan yang bertubi-tubi baik dari aspek pemikiran

maupun politik. Pada kondisi tersebut, Muṭahharī hadir untuk melawan serangan

untuk mengembalikan pemahaman umat Islam terhadap ajaran Islam yang

sesungguhnya. Pada perjuangan tersebut, Muṭahharī telah menghibahkan

pemikiran, jiwa, raga bahkan nyawanya demi Islam. Hal tersebut tampak pada

kegigihannya berjuang tanpa takut pada siapapun, bahkan ia ditembak mati oleh

musuhnya.

69

Haidar Bagir, Murtaḍá Muṭahharī Sang Mujahid ..., h. 80-81.

68

69

BAB IV

KONSTRUKSI TEORI KEBENARAN MURTAḌÁ MUṬAHARĪ

A. Pandangan tentang Kebenaran

1. Pandangan Murtaḍá Muṭahharī tentang Korespondensi, Koherensi

Mencari kebenaran1 bagi Murtaḍá adalah fitrah. Pencarian kebenaran

menurutnya lahir karena dorongan kesadaran diri. Kesadaran diri membuat

seseorang mendambakan kebenaran.2 Kesadaran diri seseorang dalam kaitannya

dengan dunia yaitu dari mana, di mana, dan ke mana akan mendorongnya untuk

menemukan posisi dirinya dalam dunia. Ia akan menyadari dan menemukan bahwa

ia hanyalah satu bagian kecil saja dari suatu keseluruhan besar bernama dunia.

Seseorang akan melihat bahwa ia bukanlah suatu pulau merdeka: ia, sebaliknya tak

merdeka: ia tidak datang, hidup dan meninggal sekehendak dirinya. Seseorang

akan berusaha mengidentifikasikan posisinya dalam suatu keseluruhan semacam

itu. Kesadaran tersebut oleh Ali dikatakan sebagai penyemangat perjuangan yang

paling sejati dan paling sublim untuk menemukan kebenaran. Jenis kesadaran

inilah yang mampu membangkitkan seseorang ke arah pengetahuan dan

kebenaran, yang memberi seseorang kesentosaan dan jaminan dalam tindak, serta

yang menggelisahkan seseorang dengan nyala api keraguan dan ketidakpastian.3

Berbagai teori kebenaran telah lahir di berbagai belahan dunia, baik di

Barat maupun di dunia Islam, namun sebagian teori kebenaran bersifat parsial.

Murtaḍá Muṭahharī menolak segala bentuk reduksi kebenaran. Pandangan-

pandangan ekstrim pada satu teori kebenaran menjadikan definisi dan pemahaman

terhadap kebenaran mengalami keterbatasan, maka seseorang yang melakukan hal

tersebut, ia tidak akan mencapai kebenaran yang sempurna. Seperti yang dilakukan

oleh para filosof Barat seperti Bertrand Russel. Bertrand Russel menolak

kebenaran yang berlandaskan pada objek yang tidak tampak, karena sesuatu yang

tidak tampak, dianggap olehnya sebagai sesuatu yang tidak berguna.4 Murtaḍá

tidak hanya menyudutkan filosof Barat, ia pun mengkritik siapa pun5 yang

menolak tiga kebenaran6 yang ditawarkan olehnya. Kebenaran yang hanya

1 Kebenaran merupakan hal yang fundamental, maka dari itu menerima kebenaran

oleh Murtaḍá dijadikan sebagai suatu syarat untuk menjadi seorang muslim. Nur Idam

Laksono, “Tasawuf untuk Kemanusiaan: Kajian terhadap Konsep Fitrah Murtaḍá

Muṭahharī”, dalam Attanwir, v. 05, no. 02, September 2015, h. 22. 2 Murtaḍá Muṭahharī, Filsafat Agama dan Kemanusiaan. Penerjemah Arif Maulawi,

(Yogyakarta: Rausyanfikr, 2013), h. 123. 3 Murtaḍá Muṭahharī, Manusia dan Agama. Penerjemah Haidar Bagir, (Bandung:

Mizan, 2007), h. 175. 4 Nur Idam Laksono, “Tasawuf untuk Kemanusiaan: Kajian terhadap Konsep Fitrah

Murtaḍá Muṭahharī”, dalam Attanwir, vol. 05, no. 02, September 2015, h. 27. 5 Siapa pun di sini merujuk kepada seluruh manusia yang hanya menerima salah

satu dari kebenaran termasuk intelektual muslim jika memang ia tidak menerima kebenaran

secara utuh. 6 Tiga kebenaran yang dimaksud ialah kebenaran intuitif, kebenaran rasional dan

kebenaran empiris. Baginya ketiga kebenaran tersebut adalah kebenaran yang benar-benar

benar.

70

menerima satu kebenaran (dari ketiga kebenaran) adalah oleh Murtaḍá dikatakan

sebagai kebenaran persial. Ketika teori kebenaran yang dianut kemudian menolak

teori kebenaran lain padahal teori yang ditolak tersebut juga merupakan kebenaran

hakiki, maka teori kebenaran tersebut menjadi salah.

Bagi Murtaḍá kebenaran7 merupakan persesuaian antara pengetahuan

dengan hakikat sebagaimana adanya atau menalar sebagaimana seharusnya.

Kebenaran merupakan pengetahuan yang sesungguhnya tentang suatu hal seperti

tentang alam, benda dan wujud lainnya. Kemudian ia menguatkan dengan sabda

Nabi, “ya Allah, perlihatkan kepadaku segala sesuatu sebagaimana yang

sesungguhnya”.8 Kebenaran itu ada pada sejauh mana subjek mempunyai

pengetahuan mengenai objek.9 Dalam kesempatan ini Murtaḍá tampak tidak

membatasi cara dan objek kebenaran, namun yang jelas ia mensyaratkan

pengetahuan hakiki tentang suatu hal. Tampak bahwa teori kebenaran Murtaḍá

sangat terbuka dan akomodatif terhadap berbagai teori kebenaran yang ada.

Murtaḍá sepertinya ingin mengolaborasikan banyak teori kebenaran yang

kontradiktif baik di Barat maupun di dunia Islam.

Dugaan penulis kemudian diperkuat oleh berbagai teori yang diungkapkan

Murtaḍá dalam beberapa bukunya. Dalam buku “Manusia dan Alam Semesta”,

Murtaḍá memberikan penegasan bahwa kebenaran merupakan persesuaian antara

persepsi tentang segala sesuatu yang didapatkan melalui indra dan akal, dengan

realitas eksternal.10

Jika pembawa kebenaran tidak sesuai dengan realitas11

eksternal, maka ia adalah salah. Kesesuaian ini oleh Murtaḍá disebut sebagai

haqīqah (kebenaran hakiki), sementara yang tidak sesuai disebut khaṭa’

(kesalahan).12

Dalam penjelasan ini, kebenaran ia asosiasikan dengan teori

7 Kebenaran bagi Murtaḍá adalah sesuatu yang sangat penting, sehingga ia

mewanti-wanti agar kebenaran dijaga dengan baik dan tidak disalahgunakan. Seseorang oleh

Murtaḍá diminta untuk tidak pernah menyembunyikan kebenaran demi kepentingan diri

sendiri. Namun ia memperbolehkan menyembunyikan kebenaran demi kebenaran itu sendiri.

Jika kebenaran dimungkinkan akan disalahgunakan, maka hendaknya disembunyikan.

Penyembunyian kebenaran ini tidak dikatakan sebagai perbuatan bohong, karena Murtaḍá

menilai kebohongan merupakan perbuatan tidak benar. Jadi kegiatan berbohong adalah

dilarang, namun menyembunyikan kebenaran tidaklah dilarang. Yang dimaksud

menyembunyikan di sini ialah adakalanya kita diam ketika mengucapkan kebenaran akan

mengakibatkan keburukan meningkat. Murtaḍá Muṭahharī, Teologi dan Falsafah Hijab,

(Yogyakarta: Rausyanfikr Institute, 2013), h. 113. 8 Murtaḍá Muṭahharī, Fitrah: Menyingkap Hakikat, Potensi dan Jati Diri Manusia.

Penerjemah H. Afif Muhammad, (Jakarta: Lentera, 2008), h. 71. 9 Suparlan Suhartono, Filsafat Ilmu Pengetahuan: Persoalan Eksistensi dan

Hakikat Ilmu Pengetahuan, (JogJakarta: Ar Ruzz Media, 2005), h. 82. 10

Murtaḍá Muṭahharī, Manusia dan Alam Semesta. Penerjemah Ilyas Hasan,

(Jakarta: Lentera Basritama, 2002), h. 51. 11

Realitas mempunyai berbagai pandangan yang berbeda. Materialisme

memandang, realitas sejati hanyalah yang bersifat materi. Rasionalisme memandang realitas

sejati adalah yang bersifat rasional. Namun pandangan Murtaḍá tentang realitas akan dibahas

dalam bagian khusus. 12

Murtaḍá Muṭahharī, Pengantar Filsafat Islam: Filsafat Teoritis dan Filsafat

Praktis. Penerjemah M. Ilyas, (Yogyakarta: Rausyanfikr, 2003), h. 71-72.

71

kebenaran korespondensi, di mana kebenaran diukur oleh seberapa besar

kesesuaian pembawa kebenaran dengan realitas yang ada.

Murtaḍá menegaskan bahwa persesuaian pembawa kebenaran dengan

realitas eksternal tidak selalu menjadi penentu kebenaran. Persesuaian antara

pembawa kebenaran dengan realitas eksternal tidak selamanya dapat mengukur

kebenaran. Tolok ukur tersebut hanya bisa digunakan pada permasalahan yang

bersifat indrawi, alamiah dan eksperimental. Dalam masalah yang bersifat indrawi

seperti ilmu kedokteran, teori kebenaran ini dapat digunakan. Misalnya terdapat

teori yang mengatakan bahwa A merupakan penyebab kanker. Jika di alam

objektif sesuatu benar-benar dapat menyebabkan timbulnya penyakit kanker, maka

pengetahuan itu sama dengan objek realitas eksternal, tetapi jika tidak maka

pengetahuan itu adalah pengetahuan yang salah dan tidak semua pengetahuan

memiliki bentuk seperti itu.13

Murtaḍá mengatakan bahwa teknik pengujian

kebenaran menggunakan korespondensi seperti yang dijelaskan di atas tersebut

tidak dapat diterapkan pada persoalan yang bersifat rasional. Padahal menurutnya,

persoalan rasional merupakan salah satu pengetahuan yang kebenarannya tidak

dapat diragukan.

Contoh perkara rasional yaitu luas setengah lingkaran adalah sekian, tidak

mempunyai realitas eksternal seperti yang terjadi pada ilmu kedokteran. Dalam hal

pengetahuan rasional ini ialah kebenarannya dapat dikatakan sebagai kesesuaian

antara alam mental dengan alam mental itu sendiri.14

Yakni kebenaran rasional

merupakan suatu kebenaran yang bersesuaian dengan hukum-hukum rasional

lainnya yang telah diterima kebenarannya. “Diterima kebenaran” dipahami oleh

Amsal Bakhtiar sebagai hal yang telah disepakati bersama sebagai suatu

kebenaran, terutama oleh komunitas matematika.15

Pada permasalahan rasional

seperti ini prinsip korespondensi menjadi tidak berarti, ia tidak dapat menentukan

kebenaran yang bersifat rasional, karena hal semacam ini tidak berada di luar dari

diri kita. Sesuatu yang bersifat rasional berada dalam diri kita.

Kesesuaian antara pembawa kebenaran dengan realitas ternyata tidak juga

menjamin kebenaran yang sesungguhnya. Pendekatan materi semata dan

pendekatan rasional semata dalam kebenaran telah terbukti melakukan penyesatan-

penyesatan, seperti yang telah dilakukan oleh empirisme dan materialisme. Maka

Murtaḍá menambahkan bahwa kebenaran tidak hanya terpaku pada persesuaian

tertentu, namun lebih dari itu kebenaran sejati ditandai oleh tercerahkannya hati

manusia terhadap hal-hal yang hakiki.16

Di sinilah lahir kolaborasi teori kebenaran

mulai dari Barat yang materialis, rasionalis hingga Islam yang intuitif. Murtaḍá

mengatakan, pada diri manusia ada sifat kehewanan dan kemanusiaannya.

Karakteristik khas dari kemanusiaannya ialah iman dan ilmu. Manusia mempunyai

13

Murtaḍá Muṭahharī, Epistemologi Islam, h. 216. 14

Murtaḍá Muṭahharī, Epistemologi Islam, h. 217. 15

Amsal Bakhtiar, Filsafat Ilmu, (Jakarta: Rajagrafindo Press, 2012), h. 118. 16

Murtaḍá Muṭahharī, Manusia dan Alam Semesta ..., h. 54.

72

gerakan menuju ke arah kebenaran-kebenaran dan wujud-wujud suci. Manusia

tidak bisa hidup tanpa menyucikan dan memuja sesuatu.17

Kebenaran intuitif diberikan tempat oleh Murtaḍá Muṭahharī. Ia mengakui

bahwa terdapat kebenaran intuitif sebagaimana yang ditawarkan oleh Ibnu ʻArabī.

Hanya saja, Murtaḍá tidak kemudian menerima sepenuhnya pemikiran Ibnu

ʻArabī. Konsep kebenaran yang ditawarkan oleh Ibnu ʻArabī menurutnya terlalu

ekstrem terhadap kebenaran intuitif hingga meniadakan kebenaran yang lain.

Pernyataan-pernyataan tersebut merupakan bentuk kritik Murtaḍá terhadap bagian-

bagian tertentu dari teori kebenaran intuitif Ibnu ʻArabī. Di situlah Murtaḍá

menilai bahwa kebenaran yang diusung oleh para sufi yang hanya menerima

kebenaran intuitif tersebut tidak berlandaskan al-Qur‟an.18

Kolaborasi berbagai teori kebenaran tersebut tidak mengejutkan mengingat

Murtaḍá memang fokus pada menanggapi problematika umat Islam yang sedang

bermasalah dan menghadapi dilema, sehingga ia mencoba mengembangkan harga

diri Muslim Iran. Dunia Muslim pada saat itu tidak memiliki ulama terkemuka

yang bisa berintegrasi pemikiran keagamaan dengan pemikiran Barat. Muṭahharī

menerima tantangan melalui pendekatan filosofis.19

Oleh karena itu, Murtaḍá

mencoba untuk merangkul beberapa teori besar Barat dan digabungkan dengan

teori filsafat Islam. Tidak hanya itu, Murtaḍá juga mendamaikan filsafat dan

tasawuf yang awalnya mempunyai perbedaan yang sangat mendasar. Murtaḍá

merupakan seorang filosof yang menurut peneliti ia mengikuti madzhab teosofi

(al-ḥikmat al-muta„ālīyah) Mullā Ṣadrā yang berupaya memadukan metode-

metode wawasan spiritualitas dengan metode-metode deduksi filosofis.20

Pemikiran Murtaḍá merupakan sebuah perpaduan antara filsafat dan tasawuf,

sehingga dalam teori kebenarannya pun merupakan penggabungan antar keduanya.

Bahkan lebih dari itu, Murtaḍá sangat terbuka kepada kebenaran yang

berasal dari filosof-filosof Barat seperti materialisme dengan tetap menyaring hal-

hal yang keliru dari pemikiran mereka. Dengan tegas Murtaḍá mengatakan bahwa

kebenaran bisa didapatkan dari manapun. Ia berargumen bahwa Islam adalah

agama yang realistis. Arti kata Islam ialah tunduk, patuh dan menerima. Ini

menunjukkan bahwa syarat pertama menjadi seorang muslim ialah menerima

realitas dan kebenaran. Islam menolak setiap bentuk keras kepala, taklid buta dan

egoisme. Seorang muslim sejati harus dengan gairah menerima kebenaran dari

manapun kebenaran itu didapatkan. Sejauh menyangkut menuntut ilmu

pengetahuan, seorang muslim tidak memiliki prasangka dan sikapnya tidak berat

17

Murtaḍá Muṭahharī, Bedah Tuntas Fitrah. Mengenal Jati Diri, Hakikat dan

Potensi Kita, (Jakarta : Citra, 2011), h. 15. 18

Mohd Shaiful Ramze Endut, “Ali Shari‟ati and Morteza Motahhari‟s Ideological

Influences on Intellectual Discourse and Activism in Indonesia”, dalam International

Proceedings “Asian Public Intelectuals”, 2009/2010, h. 212. Diakses pada 12 oktober 2019

dari http://www.api-fellowships.org/body/international_ws_proceedings/09/P5-Mohd.pdf 19

Mohd Shaiful Ramze Endut, “Ali Shari‟ati and Morteza Motahhari‟s Ideological

Influences on Intellectual Discourse and Activism in Indonesia”, dalam International

Proceedings “Asian Public Intelectuals”, 2009/2010, h. 208. Diakses pada 12 oktober 2019

dari http://www.api-fellowships.org/body/international_ws_proceedings/09/P5-Mohd.pdf 20

Haidar Bagir, Murtaḍá Muṭahharī Sang Mujahid Sang Mujtahid, h. 34.

73

sebelah. Kebenaran tidak hanya terbatas pada masa tertentu, dan juga tidak hanya

terbatas pada wilayah tertentu atau dari orang tertentu. Nabi menyerukan agar

umat Islam menerima ilmu pengetahuan dari seorang penyembah berhala

sekalipun.21

Maka tidak heran ketika dalam karyanya ia banyak mengutip filosof-

filosof Barat.

2. Persoalan Pembawa Kebenaran

Pembawa kebenaran tidak dapat dilepaskan dari kebenaran itu sendiri,

karena kebenaran didapatkan melalui pembawa kebenaran. Pembawa kebenaran

dalam bahasa Inggris ialah Truth Bearers. Richard mengartikannya sebagai

masalah mencari tahu hal macam apa yang bisa mempunyai nilai kebenaran, yaitu

hal macam apa yang bisa benar atau salah.22

Maka dalam teori kebenaran, tidak

semua hal dapat diuji kebenarannya.

Dalam pandangan Murtaḍá hal-hal yang dapat diuji kebenarannya di

antaranya; pertama ialah persepsi atau rasa.23

Kedua adalah kalimat. Persepsi ia

pahami sebagai gambaran mengenai alam eksternal yang kita dapatkan melalui

indera dan akal. Persepsi menurut Murtaḍá, dapat diuji apakah persepsi tentang

segala sesuatu itu sesuai dengan realitas eksternal atau tidak. Di situlah persepsi

dapat dilacak kebenarannya melalui kesesuaian persepsi dengan kenyataan.

Kalimat menurut Murtaḍá merupakan salah satu yang dapat dicek

kebenarannya, namun terdapat kriteria tertentu agar kalimat dapat dijadikan

sebagai pembawa kebenaran. Kalimat yang dapat diuji kebenaran dan

kekeliruannya ia istilahkan dengan qadhiyah. Qadhiyah adalah Murakkab tām

khabar.24

Untuk memahami definisi dari Murakkab, tām dan khabar sebaiknya

penulis akan membahasnya secara runtun.

Kajian tentang tiga istilah tersebut berawal dari pembahasan tentang Qaul.

Qaul ialah kata yang merujuk kepada suatu arti tertentu. Jadi suatu kata yang

mewakili arti tertentu ia dinamakan qaul. Jika kata tidak merefleksikan apapun,

maka ia dinamakan muhmal. Kata “kucing” adalah qaul, karena ia merujuk kepada

makna tertentu. Kata “lalihu” bukanlah qaul, melainkan muhmal karena ia tak

berarti apapun.25

Muṭahharī kemudian membagi Qaul menjadi 2 bagian, yaitu mufrad dan

Murakkab (kompositif, susunan kata). Mufrad disebut juga dengan istilah kata

tunggal atau singular, sedangkan Murakkab disebut juga kata jamaʻ atau kata yang

tersusun (susunan kata). Jika qaul memiliki beberapa bagian dan masing-masing

21

Murtaḍá Muṭahharī, Manusia dan Alam Semesta ..., h. 60. 22

Richard L. Kirkham, Theories of Truth, (Cambridge: Massachusetts Institute of

Technology Press (MIT Press), 1992), h. 54. 23

Murtaḍá Muṭahharī, Pengantar Filsafat Islam: Filsafat Teoritis Dan Filsafat

Praktis. Penerjemah M. Ilyas, (Yogyakarta: Rausyanfikr, 2003), h. 71. 24

Murtaḍá Muṭahharī, Belajar Konsep Logika: Menggali Struktur Berpikir ke Arah

Konsep Filsafat. Penerjemah Ibrahim Husein Al-Habsyi, (Yogyakarta: Rausyanfikr Institute,

2013), h. 43. 25

Murtaḍá Muṭahharī, Belajar Konsep Logika ..., h. 41.

74

menunjukkan bagian tertentu dari arti, disebut Murakkab. Jika tidak menunjukkan

bagian tertentu, maka disebut dengan mufrad.26

Susunan kata yang oleh Muṭahharī disebut sebagai Murakkab terbagi

menjadi tām dan nāqiṣ. Murakkab tām ialah susunan kata yang mencakup dan

menjelaskan maksud dengan sempurna. “Apa pun engkau akan pergi bersamaku?”

Atau contoh “Ilham datang ke sini” adalah contoh dari tām. Sedangkan nāqiṣ tidak

ialah susunan kata yang menunjukkan suatu makna tapi tidak sempurna. Istilah

tidak sempurna dapat kita pahami sebagai susunan kata yang tidak mempunyai

subjek dan predikat. “Air gula” merupakan contoh dari nāqiṣ. Susunan kata “air

gula” merupakan dua kata tanpa diikuti oleh tambahan apapun, sehingga

pendengar akan menunggu tambahan dari pembicara dan akan bertanya kenapa?

Sementara itu, Murakkab naqis terkadang panjang namun tidak menjelaskan

maksud pembicaraan dengan sempurna.27

Murakkab tām dibagi menjadi khabar (deklarasi/proposisi) dan inshak

(komposisi originatif). Murakkab tām khabar ialah susunan kata sempurna yang

menceritakan suatu hakikat tertentu. Bisa dikatakan menjelaskan tentang hal yang

telah sedang akan terjadi selalu ada atau akan selalu ada. Contoh. Saya tahun lalu

telah pergi haji. Saya tahun depan akan mendapat gelar sarjana. Saya sekarang

masih sakit. Air membeku karena turunnya suhu udara. Tām yang insyaf ialah

murakkab yang tidak menceritakan suatu hakikat tertentu, tapi Murakkab tersebut

yang mewujudkan suatu hakikat yang baru. Seperti pergilah engkau. Datanglah

engkau. Akankah engkau bersamaku.28

Murakkab tām khabar –karena menceritakan dan memberikan informasi

mengenai sesuatu– ada kemungkinan berita atau narasi tersebut cocok dengan

yang terjadi, mungkin juga tidak. Seperti ketika kita mengatakan, saya tahun lalu

pergi haji. Bisa jadi memang betul tahun lalu pergi haji dan khabar tersebut

menjadi benar, bisa juga tidak demikian dan khabar tersebut menjadi bohong atau

salah. Adapun Murakkab inshaf karena tidak menceritakan sesuatu melainkan

dengan sendirinya mengadakan suatu hal baru. Tidak memiliki hal, yang cocok

dengannya atau tidak, di alam luar. Dengan demikian bagi insyaf kebenaran atau

kebohongan tidak memiliki arti apapun.29

Penjelasan-penjelasan di atas memberikan pemahaman kepada kita bahwa

kalimat yang bisa diverifikasi kebenarannya disebut sebagai Qadhiyah. Sedangkan

qadhiyah itu sendiri ialah kalimat sempurna dan mempunyai makna atau arti

tertentu yang jika kita verifikasi akan tampak salah dan benarnya. Dengan kata

lain, qadhiyah adalah susunan kata sempurna yang menceritakan suatu kenyataan

di masa lalu, kini dan mendatang dengan kemungkinan benar atau salah.

3. Pandangan Murtaḍá tentang Fakta

Pemahaman terhadap fakta bagi Murtaḍá merupakan hal yang sangat

penting, bahkan pemahaman tersebut mempunyai pengaruh yang signifikan

26

Murtaḍá Muṭahharī, Belajar Konsep Logika ... h. 42. 27

Murtaḍá Muṭahharī, Belajar Konsep Logika ..., h. 42. 28

Murtaḍá Muṭahharī, Belajar Konsep Logika ..., h. 42. 29

Murtaḍá Muṭahharī, Belajar Konsep Logika ..., h. 43.

75

terhadap benar tidaknya suatu pembawa kebenaran.30

Kebenaran hanya akan

menjadi sebuah impian, manakala pencari kebenaran dalam memahami fakta tidak

tepat. Kekeliruan seperti ini terjadi pada Feuerbach. Feuerbach memahami suatu

agama sebagai produk interaksi sosial, sehingga ia memandang bahwa agama

sebagai produk sosial dan menjauhkannya dari Tuhan.31

Sejak awal Feuerbech telah menjauhkan agama dari ketuhanan, sehingga

wajar ketika ia mengatakan bahwa agama lahir karena keterasingan manusia dari

dirinya. Hal ini seperti kekeliruan tentang angka 13 yang diasumsikan sebagai

fakta yang menyimpan kejadian-kejadian kecelakaan. Padahal menurut Murtaḍá

angka 13 tidak lain adalah sama seperti angka yang lain. Maka asumsi tentang

angka 13 yang menyimpan kajian naas adalah objek yang keliru karena tidak logis.

Jika suatu teori dilandaskan pada objek yang keliru, maka konsep yang

ditawarkannya pun akan keliru.

Menurut Murtaḍá, apa yang disebut sebagai fakta? Murtaḍá mengatakan

bahwa fakta merupakan sesuatu yang dengan dirinya ia bernilai sebagai fakta.

Secara fitrah, ia memang tercipta sebagai sebuah fakta. Pernyataan Murtaḍá ini

disampaikan ketika ia mengkritik konsep fakta eksistensialisme. Eksistensialis

memahami fakta sebagai hal yang dapat diciptakan oleh manusia. Sesuatu yang

abstrak dan metafisik dapat dikatakan sebagai fakta ketika manusia telah

memberikan realitas dan hakikat kepada sesuatu tersebut.32

Seperti halnya

perubahan seseorang ketika telah diberikan realitas baru kepadanya. Manusia akan

berubah menjadi manusia lebih unggul ketika ia telah diberikan realitas yang lebih

unggul.

Murtaḍá menolak apa yang dikatakan oleh eksistensialis. Fakta yang

hakiki menurut Murtaḍá merupakan fakta yang sejak awal ia tercipta sebagai fakta.

Manusia menurutnya akan tetap menjadi sebagai manusia walau diberi tambahan

apapun terhadapnya. Ketika fakta dipahami sebagai sesuatu yang berubah, maka

teori-teori tentang fakta tersebut juga akan mengalami perubahan-perubahan.

Ketika teori terus menerus mengalami perubahan, maka pengujian terhadap

kebenaran suatu teori tidak dapat dilakukan.33

Baginya fakta yang dapat dijadikan objek sebuah pembawa kebenaran

ialah meliputi hal fisik dan nonfisik 34

yang kemudian ia sebut sebagai fakta di luar

dirinya (fakta eksternal atau eksistensi eksternal) dan yang terdapat dalam dirinya

(eksistensi mental). Fakta eksternal merupakan ialah fakta yang terlepas dari

mental manusia. Fakta eksternal merupakan suatu fakta yang meskipun seseorang

tidak memikirkannya, ia akan tetap ada. Di antara fakta fisik ialah bumi, langit,

30

Murtaḍá Muṭahharī, Fitrah: Menyingkap Hakikat, Potensi dan Jati Diri Manusia.

Penerjemah H. Afif Muhammad, (Jakarta: Lentera, 2008), h. 153-157. 31

Robert C.Solomon dan Kathleen M.Higgins, Sejarah Filsafat. Penerjemah Saut

Pasaribu, (Yogyakarta: Yayasan Bentang Budaya), h. 405. Liat juga di L. Feuerbach,

Lectures on the Essence of Religion, Harper and Row, (New York, 1967, h. 22. 32

Murtaḍá Muṭahharī, Fitrah: Menyingkap Hakikat, Potensi dan Jati Diri Manusia.

Penerjemah H. Afif Muhammad, (Jakarta: Lentera, 2008), h. 145-150. 33

Murtaḍá Muṭahharī, Epistemologi Islam, h. 219. 34

Murtaḍá Muṭahharī, Pengantar Filsafat Islam: Filsafat Teoritis Dan Filsafat

Praktis. Penerjemah M. Ilyas, (Yogyakarta: Rausyanfikr, 2003), h. 21.

76

bintang, matahari, bulan, mendung, binatang dan segala yang ada di sekitar

manusia yang dapat ditangkap oleh indra. Q.S. Yunus ayat 101.35

Fakta internal merupakan fakta yang berada di dalam mental seseorang,

seperti pengetahuan-pengetahuan yang sudah pasti seperti lingkaran, segi empat

dll.36

Murtaḍá mengakui adanya realitas-realitas nonfisik yang tidak dapat

diketahui melalui indra, tetapi ia dapat diketahui melalui unsur lain manusia.37

Murtaḍá juga memaparkan bahwa realitas mental bukan hanya lahir dan berasal

dari mental itu sendiri, melainkan juga bisa merupakan sebuah abstraksi dari

realitas eksternal. Abstraksi tentang gunung yang ada dalam mental kita

merupakan suatu realitas mental dan hakiki, karena ia merupakan suatu esensi dari

benda-benda eksternal dalam mental kita.38

Dari pembagian tentang realitas tersebut, Murtaḍá tampaknya

menyamakan Tuhan dengan benda lain sebagai sama-sama mempunyai realitas.

Tuhan yang transenden dan wujud lainnya mempunyai realitasnya sendiri,

termasuk Tuhan. Murtaḍá kemudian memperjelas maksud dari teorinya dengan

membuat beberapa perbedaan antara realitas selain Tuhan, dengan Tuhan itu

sendiri. Ia mengatakan bahwa yang membedakan dari Tuhan dan yang selainnya

ialah Tuhan adalah wájib al-wujūd dan ada dengan sendirinya, maka benda-benda

lain selain Tuhan hanyalah sebagai ada karena sesuatu yang lain dan merupakan

akibat dari wájib al-wujūd. Tuhan meliputi dan mencakup segala sesuatu. Jadi

segala sesuatu adalah nama, kualitas dan manifestasi dari Tuhan, bukan berada di

samping Tuhan.39

Lebih rinci ia mengklasifikasikan fakta universal terbagi menjadi empat di

antaranya ialah fakta materi (tabi’ah atau nasut), fakta ideal (mithál), fakta rasional

(uṣūl), dan fakta ketuhanan (ulūhiyah). Fakta materi adalah realitas yang berada

dalam ruang dan waktu yakni sesuatu yang dapat ditangkap oleh indra. Fakta ideal

adalah fakta yang lebih tinggi dari fakta materi yang memiliki berbedagai bentuk

dan dimensi, namun tidak memiliki gerak, waktu dan perubahan. Sedangkan fakta

rasional ialah alam makna, yang terlepas dari berbagai bentuk dan bayangan, dan

di atas alam ideal.40

4. Sumber-sumber Kebenaran

Murtaḍá mengakui terdapat tiga sumber yang dapat digunakan untuk

memperoleh pengetahuan yang benar, yaitu indra, akal dan hati. Apa-apa yang

ditangkap oleh 3 hal tersebut, Murtaḍá akui bahwa ia adalah kebenaran. Dalam hal

ini, berbeda dengan beberapa filosof lain yang cenderung hanya menerima apa-apa

yang berasal satu sumber saja dan mencampakkan sesuatu yang berasal dari

35

Murtaḍá Muṭahharī, Manusia dan Alam Semesta: Konsep Islam tentang Jagat

Raya. Penerjemah Ilyas Hasan, (Jakarta: Lentera, 2002), h. 47. 36

Murtaḍá Muṭahharī, Pengantar Filsafat Islam ..., h. 69-70. 37

Murtaḍá Muṭahharī, Filsafat Agama dan Kemanusiaan. Penerjemah Arif

Maulawi, (Yogyakarta: Rausyanfikr, 2013), h. 79. 38

Murtaḍá Muṭahharī, Pengantar Filsafat Islam: Filsafat Teoritis dan Filsafat

Praktis. Penerjemah M. Ilyas, (Yogyakarta: Rausyanfikr, 2003), h. 70. 39

Murtaḍá Muṭahharī, Pengantar Ilmu-ilmu Islam, h. 377. 40

Murtaḍá Muṭahharī, Pengantar Filsafat Islam, h. 63.

77

sumber lainnya. Kaum materialisme seperti Karl Marx, menolak akal dan hati

sebagai suatu yang dapat melahirkan kebenaran. Para sufi hanya menerima hati

sebagai sumber satu-satunya yang dapat menemukan kebenaran. Plato yang

merupakan bapak filosof idealisme hanya mengakui akal sebagai instrumen

kebenaran.41

Padahal menurut Murtaḍá semua alat-alat tersebut dapat digunakan

dalam mencapai kebenaran. Alat-alat mempunyai ranah masing-masing yang

antara satu dengan yang lainnya saling melengkapi. Di sisi lain Muṭahharī

mengindikasikan superioritas epistemologi Islam yang selain mengakui validitas

indera sebagai instrumen dan sumber pengetahuan, juga mengakui validitas akal

dan hati.

Murtaḍá mengatakan bahwa indra, akal dan hati merupakan suatu alat

yang dapat dipergunakan sebagai untuk mendapatkan kebenaran. Melalui tiga alat

tersebut manusia mendapatkan pengetahuan yang benar.42

Al-Qur‟an tidak pernah

menyatakan alat pengetahuan hanyalah indra dan rasio. Demikian pula tidak

mengatakan bahwa alat pengetahuan itu hanya hati. Karena al-Qur‟an beranggapan

masing-masing alat itu memiliki wilayah yang berbeda. Berbagai wilayah tidak

sama dengan berbagai topik.43

Sebagaimana disebutkan dalam Q.S. al-Naḥl ayat

78 dan al-„Ankabūt ayat 69 dan al-Shams ayat 1-10, al-Qur‟an mengatakan

manusia mempunyai tiga alat yang dapat digunakan semaksimal mungkin sesuai

dengan ranah kemampuannya. Masing-masing mempunyai kelebihan dan

kekurangan serta antara satu dengan yang lainnya saling melengkapi.

Demikian pula dengan persepsi akal. Akal mempunyai tempat sendiri

dalam mencapai kebenaran. Ketika akal telah bekerja dengan baik dan sesuai

dengan aturan-aturan berpikir yang telah teruji, maka persepsi yang ia dapatkan

akan benar. Maka argumen rasional kita tersebut dapat kita katakan sebagai

kebenaran. Contohnya ialah ketika kita menjual bolpoin, kita kemudian

mengklasifikasi bolpoin kita berdasarkan bentuknya. Proses pemetaan ini

sebenarnya yang disebut dengan kinerja akal dan pikiran. Ketika proses ini

dikerjakan dengan baik, teliti dan sesuai dengan aturan-aturan yang ada, konsep

akal tersebut dapat dikatakan benar dan sesuai dengan kenyataan44

Indra hanya bisa menjangkau kebenaran-kebenaran yang bersifat fisik

yang terbatasi oleh ruang dan waktu. Akal bisa menjangkau apa yang bersifat

rasional seperti klasifikasi, silogisme, demonstrasi dan berbagai argumen logika

lainnya. Sedangkan hati merupakan alat untuk menjangkau kebenaran yang

bersifat intuitif seperti ilham, wahyu, hikmah, Tuhan, dan hal-hal lain yang berada

di balik alam materi.45

Murtaḍá mengibarat beberapa alat tersebut bagaikan cermin. Cermin

menangkap hal-hal yang ada di hadapannya manakala cermin tersebut dalam

41

Murtaḍá Muṭahharī, Pengantar Filsafat Islam ..., h. 54. 42

Murtaḍá Muṭahharī, Epistemologi Islam ..., h. 55-54. 43

Murtaḍá Muṭahharī, Falsafath Kenabian. Penerjemah Ahsin Muhahham, (Jakarta:

Pustaka Hidayah. 1991), h. 94. 44

Murtaḍá Muṭahharī, Pengantar Filsafat Islam: Filsafat Teoritis Dan Filsafat

Praktis. Penerjemah M. Ilyas, (Yogyakarta: Rausyanfikr, 2003), h. 72. 45

Murtaḍá Muṭahharī, Epistemologi Islam, h. 77-79.

78

kondisi yang baik dan bersih. Ketika cermin tersebut rusak dan kotor, maka ia

tidak dapat menangkap objek sebagai mana mestinya.46

Pada saat itu pula alat-alat

ini tidak akan pernah sampai pada kebenaran. Panca indra tidak akan pernah

mampu menangkap objek dengan baik ketika ia rusak atau terdapat sesuatu yang

menghalanginya. Begitu pula ketika hati dan akal kotor maka ia pun tidak akan

mampu mencapai kebenaran. Lebih detailnya, penulis jelaskan pada pembahasan

berikutnya.

B. Berbagai Model Kebenaran dan Ruang Lingkupnya

1. Kebenaran Meteri

Kebenaran materi merupakan kebenaran yang penentu kebenarannya

berada pada objek yang bersifat materi.47

Kebenaran ini juga dapat dikatakan

sebagai kebenaran empiris di mana kebenaran ditentukan oleh pengalaman-

pengalaman langsung terhadap realitas yang bersifat materi. Murtaḍá Muṭahharī

mengakui teori ini, meskipun ada beberapa pemikiran penganutnya ia tolak.

Kebenaran ini oleh Murtaḍá dikatakan sebagai kebenaran seperti kebenaran

lainnya.

Meskipun tidak sedikit pemikir Islam yang menolak sepenuhnya dari

kebenaran materi ini, namun menurut Murtaḍá kebenaran yang berpangkal pada

indra tersebut dapat diterima kebenarannya. Baginya indra mempunyai peran

tersendiri dalam menentukan kebenaran. Ia menjelaskan bahwa persepsi indra

banyak yang dapat kita katakan sebagai kebenaran yang nyata.48

Hal-hal yang

bersifat indrawi merupakan bagian dari kenyataan yang tak dapat kita pungkiri.

Siang dan malam merupakan suatu fakta, dan persepsi tentangnya dapat kita

verifikasi kebenarannya.

Ketika seseorang dalam persepsinya mengatakan siang telah tiba, dan

ketika kita keluar rumah ternyata keadaan memang siang, maka persepsi indrawi

tersebut adalah kebenaran. Pada titik ini sebenarnya tidak ada yang dapat

membantah keberadaan kebenaran materi, karena kebenarannya dapat dirasakan

secara langsung oleh manusia.49

Teori kebenaran materi ini merupakan teori yang

bersifat sederhana, karena kebenaran ini berasal dari interaksi langsung antara

indra dengan objek, maka tidak ada keraguan ataupun sanggahan.50

Kebenaran materi memang tidak dapat dipungkiri. Kebenaran itu adalah

nyata dan ada, namun kebenaran yang berbasis pada materi mempunyai batasan-

batasan tertentu. Kebenaran materi mempunyai ruang lingkup hanya pada hal-hal

46

Murtaḍá Muṭahharī, Epistemologi Islam, h. 165-166. 47

Adanya kebenaran selalu dihubungkan dengan pengetahuan manusia mengenai

objek. Jadi, kebenaran itu ada pada sejauh mana subjek mempunyai pengetahuan mengenai

objek. Sedangkan pengetahuan berasal mula dari banyak sumber. Sumber-sumber itu

kemudian sekaligus berfungsi sebagai ukuran kebenaran. Suparlan Suhartono, Filsafat Ilmu

Pengetahuan: Persoalan Eksistensi dan Hakikat Ilmu Pengetahuan, (JogJakarta: Ar Ruzz

Media, 2005), h. 82. 48

Murtaḍá Muṭahharī, Pengantar Filsafat Islam: Filsafat Teoritis Dan Filsafat

Praktis. Penerjemah M. Ilyas, (Yogyakarta: Rausyanfikr, 2003), h. 72. 49

Murtaḍá Muṭahharī, Pengantar Epistemologi Islam, h. 142. 50

Murtaḍá Muṭahharī, Pengantar Epistemologi Islam, h. 142.

79

yang bersifat materi, meskipun jangkauannya juga terbatas. Seperti halnya

telinga yang hanya mampu menangkap frekuensi suara dengan kecepatan 16000-

32000/detik.51

Gelombang di luar itu tidak dapat ditangkap oleh telinga meskipun

gelombang tersebut ada. Jika dalam menangkap realitas materi saja pancaindra

masih terbatas, apalagi untuk menangkap realitas metafisik, maka itu tidak

mungkin dilakukan. Oleh karena itu, menggunakan kebenaran materi sebagai

standar kebenaran immateri adalah keputusan yang tidak tepat, bahkan ia akan

menyesatkan.

Pada kenyataannya manusia telah mengakui kebenaran nonmateri seperti

kebenaran metafisik. Pengetahuan empiris ini tidak dapat menjangkau kebenaran

yang bersifat metafisik.52

Kebenaran yang basis materi hanyalah sebagian dari

keseluruhan kebenaran. Murtaḍá mengibaratkannya dengan pandangan tentang

gajah, kebenaran materi seperti hanya menangkap kebenaran tentang telinga

gajah. Jadi kebenaran yang ia dapatkan tentang gajah hanyalah sebagian dari

kebenaran tentang gajah secara keseluruhan. Kebenaran materi hanyalah bersifat

khusus atau partikular. Wajar ketika kebenaran materi selalu berubah-ubah atau

direvisi oleh teori-teori yang lebih baru yang mampu meruntuhkan teori

sebelumnya.

Objek kebenaran fisik terus menerus berubah-ubah setiap saat. Segala

sesuatu yang ada di alam ini tidak tetap. Ia selalu berbeda dalam dua kesempatan

berbeda. Maka kebenaran materi akan juga selalu berubah sesuai dengan

perubahan objeknya.53

Kerap kita menemukan teori ilmiah selalu direvisi oleh

teori ilmiah lain yang lebih baru, hal itu terjadi karena materi selalu berubah,

sehingga kebenarannya pun akan selalu berubah.

Namun pada kesempatan berikutnya, Murtaḍá kemudian melanjutkan,

sesungguhnya perubahan hukum lama kepada yang baru bukanlah tanda bahwa

hukum yang lama itu keliru, namun hukum tersebut berganti kepada hukum baru

yang berbeda. Perbedaan itu disebabkan oleh perubahan objek syarat-syarat yang

tersedia. Jadi hukum yang lama benar sesuai dengan keadaan ketika penelitian,

kemudian hukum yang kedua benar sesuai dengan keadaan yang terbaru. Dua

hukum tersebut tidak saling menafikan, tetapi secara materi objeknya telah

berubah.54

Kebenaran materi sesungguhnya terikat dalam kerangka sejumlah

syarat tertentu dan terbatas, sehingga teori yang sama belum tentu bisa diterapkan

kepada objek yang sama dalam waktu dan keadaan yang berbeda, karena objek

tersebut juga telah ikut berubah sesuai perubahan waktu dan keadaan.

51

Murtaḍá Muṭahharī, Filsafat Moral Islam: Kritik atas Berbagai Pandangan

Moral. Penerjemah Muhammad Babul Ulum dan Edi Hendri M, (Jakarta: al-Huda, 2004), h.

159. 52

Murtaḍá Muṭahharī, Manusia dan Alam Semesta: Konsep Islam Tentang Jagat

Raya. Penerjemah Ilyas Hasan, (Jakarta: Lentera, 2002), h. 51. 53

Murtaḍá Muṭahharī, Filsafat Moral Islam: Kritik atas Berbagai Pandangan

Moral. Penerjemah Muhammad Babul Ulum dan Edi Hendri M, (Jakarta: al-Huda, 2004), h.

158. 54

Murtaḍá Muṭahharī, Keadilan Ilahi: Asas Pandangan Dunia Islam. Penerjemah

Muhammad Abdul Mun‟im al-Khaqani, (Bandung: Mizan, 2009), h. 129.

80

Ruang lingkup kebenaran materi bisanya tertuju kepada objek yang

bersifat materi. Di mana pembawa kebenarannya merujuk kepada apa-apa yang

bersifat materi di antaranya ialah bersifat partikular atau satu persatu, bersifat

lahiriah atau materialis, bersifat sekarang dan berhubungan dengan kawasan atau

lingkungan tertentu.55

Berdasarkan objek yang menjadi tolok ukur kebenaran ini,

ciri-cirinya ialah bersifat terbatas, berubah-ubah, ditentukan, bergantung dan

relatif.56

Menurut Murtaḍá ruang lingkup jangkauan kebenaran materi ialah

terbatasi oleh partikel-partikel kecil hingga besar, ruang dan waktu. Di luar

jangkauan tersebut, kebenaran materi tidak mampu merabanya. Kebenaran materi

juga mengalami perubahan-perubahan sesuai situasi dan kondisi. Kita tahu

bahwa objek materi terus berubah, pada saat itu pula kebenaran tentangnya terus

juga berubah dan bersifat partikular.

2. Kebenaran Logis

Sebagaimana telah dijelaskan sepintas pada kesempatan sebelumnya

bahwa kebenaran logis merupakan suatu kebenaran yang diukur oleh sejauh

mana pembawa kebenaran koheren dengan berbagai teori lain yang

kebenarannya sudah diverifikasi. Murtaḍá memasukkan kebenaran ini sebagai

bentuk kebenaran hakiki, karena kebenarannya tidak dapat diragukan. Ia

menguatkan pendapatnya dengan mengungkap suatu penemuan tentang planet

Neptune yang pada mulanya ditemukan melalui akal. Planet Neptune merupakan

sebuah planet yang ditemukan berdasarkan analisa akal yang dilakukan oleh ahli

matematika dan astronomi tatkala memperhatikan berbagai sistem tata surya. Ia

mengatakan “pada bagian angkasa, mesti ada suatu garis orbit yang lain, dan ada

sebuah planet yang melintas garis orbit itu, dan mustahil sistem tata surya ini

hanya berdiri dari planet ini saja. Jadi planet Neptune pertama kali ditemukan

dari analisa akal. Terbukti setelah ditemukan teleskop planet Neptune tersebut

memang ada, itu berarti kebenaran logis juga dapat dipertanggung jawabkan.57

Dalam kasus ini, antara kebenaran logis dengan kebenaran empiris bertemu pada

satu titik, yaitu kebenaran hakiki.

Meskipun kebenaran ini digolongkan kebenaran hakiki, kemungkinan

kekeliruan tetap masih ada jika terdapat hal-hal yang bisa mengakibatkan ia

keliru. Akal sebagai alat yang mampu menalar dan menemukan kebenaran dapat

mencapai kebenaran jika akal memiliki lebih dari satu informasi58

(konsep) yang

oleh Murtaḍá disebut sebagai maklum. Selanjutnya ialah adanya penghubung di

antara maklum-maklum tersebut.

Teori kebenaran logis ini pada dasarnya tidak berkaitan dengan realitas

materi. Ia hanya bertumpu kepada teori-teori abstrak, namun ada kalanya teori

yang abstrak tersebut berkaitan dengan fakta materi seperti pada teori yang

dilahirkan dari deduksi yang ditemukan melalui eksperimen. Pada keadaan ini,

maka kebenaran logis secara otomatis berkaitan dengan materi. Misalnya teori

tentang sebab dari suatu akibat. Menurut Murtaḍá, sejauh ia menyangkut dimensi

55

Murtaḍá Muṭahharī, Pengantar Epistemologi Islam, h. 127-129. 56

Murtaḍá Muṭahharī, Manusia dan Alam Semesta ..., h. 60-64. 57

Murtaḍá Muṭahharī , Pengantar Epistemologi Islam, h. 208. 58

Informasi ini bisa didapatkan melalui berpikir atau melalui pancaindra.

81

material dunia ini, sistem sebab-akibat bersifat material, namun sejauh

menyangkut dimensi spiritual dunia ini, sistem sebab akibatnya bersifat

nonmateri. Ketika suatu proposisi berkaitan dengan materi di mana ia merupakan

suatu abstraksi dari realitas materi, maka pada waktu itu pula kebenaran logis

berkaitan dengan materi. Namun, kemudian ia menegaskan bahwa antara dua

sistem tersebut tidak bertentangan. Masing-masing sistem ada tempatnya

sendiri.59

Hal ini tidak lepas dari prinsip logika Murtaḍá dalam mengkaji tentang

proposisi. Ia menjelaskan bahwa dalam logika proposisi dibagi menjadi dua yaitu

proposisi afirmatif dan proposisi negatif. Dalam proposisi afirmatif, keputusan

pikiran kita pastilah jelas, baik kita membenarkan dan mengonfirmasikan

eksistensi subjek dalam proposisi maupun melekatkan predikat dan sifat tertentu

padanya. Misalkan Mahmud sedang berdiri. Proposisi afirmatif terdapat

keputusan dan penegasan akal tentang adanya hubungan objektif antara subjek

dan predikat. Sedangkan dalam proposisi negatif, ke-ada-an hubungan luar itu

ditolak oleh akal. Oleh karena itu, inti proposisi negatif bukan menyatakan

adanya “hubungan tiada” antara subjek dan predikat di alam luar. Sebaliknya,

proposisi negatif bertujuan untuk menegaskan bahwa hubungan antara afirmasi

antara subjek dan predikat yang ada dalam bentuk konseptual dalam benak kita

tidak terwujud di alam luar.

Dengan kata lain, apa yang ditegaskan dan dibenarkan dalam proposisi

afirmatif ialah penjelmaan hubungan subjek dan predikat dalam realitas

eksternal. Sementara dalam proposisi negatif apa yang ditegaskan adalah

ketiadaan atau tidak terjadinya hubungan tersebut. Proposisi afirmatif bermaksud

menegaskan korespondensi hubungan subjek predikat dalam proposisi dengan

realitas eksternal, sementara proposisi negatif menegaskan ketiadaan

korespondensi semacam ini. Sehingga contoh Mahmud tidak berdiri bukan

merupakan proposisi negatif dari proposisi Mahmud sedang berdiri, melainkan

proposisi afirmatif. Hal itu disebabkan karena Mahmud tidak berdiri merupakan

bentuk afirmasi atau penegasan atas ketidak berdirian Mahmud. Jadi bukan

menafikan proposisi yang awal. Bentuk proposisi negatif dari Mahmud sedang

berdiri ialah tidak benar Mahmud sedang berdiri. Yang proposisi tersebut

kemudian dapat dipahami bahwa di dunia Mahmud berdiri tidak terwujud dalam

dunia eksternal.60

Jadi proposisi negatif ialah suatu proposisi yang menafikan

seluruh kandungan proposisi afirmasi.

3. Kebenaran Intuitif

Irfan merupakan istilah yang sering kita temukan dalam pembahasan

tentang pengetahuan intuitif di kalangan pemikir syiah.61

Demikian juga Murtaḍá

dalam membahas tentang pengetahuan intuitif ia cenderung kepada pengetahuan

intuitif. Baginya pengetahuan intuitif merupakan pengetahuan yang digapai

59

Murtaḍá Muṭahharī, Manusia dan Alam Semesta, h. 188. 60

Murtaḍá Muṭahharī, Filsafat Hikmah. Penerjemah Tim Penerjemah Mizan,

(Bandung: Mizan, 2002), h. 141-143. 61

Sabara, “Pemikiran Tasawuf Murtaḍá: Relasi Dan Kesatuan Antara

Intelektualitas, Spiritualitas dan Moralitas”, dalam al-Fikr, vol. 20, no. 1, 2016, h. 151.

82

melalui pengalaman dan kesaksian langsung. Murtaḍá kemudian menyamakan

pengetahuan ini dengan ilmu hasil eksperimen di laboratorium, yaitu sama-sama

dapat dialami secara langsung.62

Perbedaannya ialah kalau pengetahuan intuitif

bersifat metafisik, sedangkan pengetahuan empiris bersifat materialis. Kemudian

Murtaḍá meneruskan dalam halaman yang sama bahwa seorang yang meniti jalan

irfan mencari kepastian dan kebenaran pandangan secara langsung.63

Dari apa yang telah disampaikan itu, kita dapatkan bahwa kebenaran

intuitif merupakan suatu pengetahuan sebagaimana adanya tentang suatu realitas

yang didapatkan dari pengalaman langsung melalui perjalanan batin. Dalam

perjalanan spiritual, seseorang akan sampai pada tahap di mana seseorang akan

mampu melihat berbagai hal yang bersifat metafisik. Pada saat itulah, kebenaran

metafisik akan tersingkap kepadanya.64

Murtaḍá ingin menjelaskan pula bahwa

sesungguhnya terdapat objek metafisik yang tak terjangkau oleh indra dan akal.

Objek tersebut hanya ditangkap oleh hati setelah menempuh jalan spiritual.

Kebenaran ini oleh Murtaḍá kemudian dianalogikan dengan kebenaran

materi, di mana kebenaran materi didapatkan ketika pembawa kebenaran telah

dibuktikan secara langsung. Dalam kajian kebenaran intuitif pun demikian, suatu

kebenaran hanya dapat didapatkan jika seseorang mengalami secara langsung,

namun yang membedakannya ialah alat dan objeknya berbeda. Kebenaran materi

ditangkap melalui indra karena objeknya bersifat materi, sedangkan kebenaran

intuitif dicapai menggunakan hati, karena objeknya berupa realitas nonfisik.65

Dalam hal ini, Murtaḍá sepertinya menyamakan status kebenaran intuitif dengan

kebenaran materi sebagai kebenaran yang seharusnya sama-sama diterima.

Menerima kebenaran intuitif ini sebenarnya tidak kemudian

menghilangkan peran akal. Dalam teori kebenaran intuitif, Murtaḍá memandang

bahwa akal justru dihidupkan, sebagai salah satu pendorong terjadinya penyucian

hati.66

Baginya kebenaran intuitif ini tidak hanya berkaitan murni dengan hati,

akan tetapi juga disertai oleh partisipasi akal melalui argumentasi dan penalaran.

Akan tetapi porsi hati lebih banyak dari pada akal.67

Pemahaman ini kemudian

diperkuat oleh hasil penelitian Jamaluddin Rahmat yang mengatakan bahwa

meskipun Murtaḍá mengakui bahwa terdapat kebenaran yang bisa dicapai oleh

hati melalui jalan spiritual, akan tetapi ia menolak adanya teori yang hanya

mengakui kebenaran intuitif. Bahkan Murtaḍá mengatakan tidak ada pencerahan

rohani yang sejati bila tidak dapat diuji secara akliah. Jadi keterkaitan kebenaran

yang satu dengan yang lainnya sangat penting untuk benar-benar memastikan

62

Murtaḍá Muṭahharī, Pengantar Ilmu-ilmu Islam, h. 419. 63

Murtaḍá Muṭahharī, Pengantar Ilmu-ilmu Islam, h. 419. 64

Murtaḍá Muṭahharī, Filsafat Moral Islam: Kritik atas Berbagai Pandangan

Moral. Penerjemah Muhammad Babul Ulum dan Edi Hendri M, (Jakarta: al-Huda, 2004), h.

157-158. 65

Murtaḍá Muṭahharī, Pengantar Ilmu-ilmu Islam, h. 378. 66

Murtaḍá Muṭahharī, Epistemologi Islam, h. 92. 67

Murtaḍá Muṭahharī, Pengantar Filsafat Islam, h. 54.

83

kebenaran teori tersebut. Akal baginya tidak menghalangi pencapaian kebenaran

intuitif, justru sangat membantu hati dalam menemukan kebenaran hakiki.68

Namun, menurut penulis peran akal dalam pencapaian kebenaran intuitif

tidak masuk pada inti, akan tetapi akal hanya berperan dalam penyampaian

kebenaran setelah hati telah menemukannya dalam pengalaman mistik.69

Akal

berfungsi sebagai suatu alat yang merasionalisasikan hasil pengalaman mistik

agar juga dapat dipahami oleh akal dan dapat diterima oleh orang lain. Itu berarti

peran akal terhadap kebenaran intuitif berada di luar kebenaran intuitif, tetapi ia

hanya sebagai pelengkap dan media agar kebenaran yang sudah didapatkan

melalui pengalaman langsung, dapat dipahami oleh yang lain.

C. Metode Pembuktian Kebenaran

1. Metode Eksperimen.

Salah satu cara untuk mendapatkan kebenaran menurut Murtaḍá ialah

dengan cara observasi atau eksperimen terhadap berbagai fakta yang terkandung

dalam pembawa kebenaran. Metode observasi merupakan suatu upaya

mencocokkan antara pembawa kebenaran dengan fakta berupa materi. Metode ini

berasal dari keyakinan bahwa manusia dilahirkan dalam kondisi tidak mengetahui

apapun. Bayi yang dilahirkan seperti kertas putih yang tanpa ada satu pun

goresan.70

Kemudian menangkap pengetahuan dari realitas eksternal. Karena

pengetahuan manusia berasal dari realitas eksternal, maka untuk membuktikan

kebenarannya ialah dengan cara mencocokkan pengetahuan tersebut dengan

realitas berupa mengalami langsung atau melakukan eksperimen terhadap objek-

objek yang berkaitan dengan pengetahuan.

Untuk memperkuat pernyataannya, Murtaḍá kemudian menyuguhkan

contoh pembuktian tentang penggerak kehidupan masyarakat. Ketika seseorang

ingin membuktikan penggerak kehidupan masyarakat, maka sebaiknya disaksikan

secara langsung dengan cara hadir dan merasuk di tengah masyarakat. Di situlah

menurut Murtaḍá kebenaran akan siapa yang menggerakkan roda kehidupan

masyarakat ialah elemen-elemen yang tak pernah diduga sebelumnya.71

Di sinilah

sebenarnya tampak bahwa Murtaḍá mengungkap kebenaran dengan cara melihat

objek secara langsung melalui pengalaman empiris berupa melebur bersama

masyarakat.

68

Murtaḍá Muṭahharī, Manusia Sempurna: Pandangan Islam Tentang Hakikat

Manusia. Penerjemah M. Hashem, (Jakarta: Lentera, 2001), h. 13-12. 69

Murtaḍá Muṭahharī, Pengantar Ilmu-ilmu Islam, h. 377. 70

Murtaḍá mendadak menjadi seorang materialisme seakan menentang para idealis

seperti Plato dan lainnya. Penyataan ini tidak hanya disebut satu kali, penulis menemukan

bahwa Murtaḍá mengatakan “manusia terlahir dalam kondisi tidak mengetahui apapun”

sebanyak dua kali. Pertama di buku “Pengantar Epistemologi Islam” dan buku “Fitrah” dan

menambahkan argumen dengan mendasarkan kepada an-Nahl ayat 78. Murtaḍá Muṭahharī,

Pengantar Epistemologi Islam, h. 72. Lihat juga di buku Fitrah: Menyingkap Hakikat,

Potensi dan Jati Diri Manusia, (Jakarta: Lentera, 2008), h. 45. 71

Murtaḍá, Neraca Kebenaran Dan Kebatilan: Menjelajah Alam Pikiran Islam.

Penerjemah Najib Husain Alydrus, (Bogor: IPABI, 2001), h. 53.

84

Kebenaran yang bersifat materi dapat dicapai dengan metode eksperimen

dan cara mengukur kebenarannya pun dengan cara percobaan praktis.72

Dalam

buku “Pengantar Epistemologi Islam”, ia memperinci dalam sebuah contoh

pembuktian kebenaran sederhana. Untuk mengecek kebenaran pembawa

kebenaran “saya melihat meja di ruang sidang”, maka menggunakan cara

menyaksikan secara langsung meja tersebut di ruang sidang. Pembawa kebenaran

itu akan benar manakala di ruang sidang benar-benar ada kursi yang dimaksud.73

Metode ini hanya berlaku untuk menguji kebenaran pembawa kebenaran yang

berkaitan dengan fakta materi yang dapat dirasakan oleh pancaindra. Namun,

jangkauan metode ini sangat terbatas, bahkan dalam membuktikan kebenaran

tentang virus, indra masih membutuhkan alat seperti mikroskop.74

Itu adalah bukti

keberbatasan jangkauan metode ini. Karena untuk membuktikan hal-hal yang

bersifat materi saja terbatas, maka metode ini tidak dapat digunakan pada hal-hal

yang sama sekali tidak mempunyai objek materi seperti hal-hal rasional.

Terdapat kasus-kasus pengetahuan yang objeknya bersifat materi, namun

objek-objek tersebut sudah musnah atau tidak mungkin untuk mencapainya.

Contohnya ialah pengetahuan tentang keberadaan Napoleon pada beberapa abad

silam. Objek-objek dari pengetahuan tentang keberadaan Napoleon sudah musnah

ditelan masa, sehingga untuk mengalami langsung mengenai keberadaannya

adalah hal yang mustahil. Maka untuk mengecek kebenarannya bukan dengan

pembuktian materi, karena ia telah musnah dan tidak mungkin dialami oleh indra.

Hal yang bisa dilakukan ialah membuktikannya menggunakan argumen qiyas

rasional yang dilandaskan pada bukti-bukti peninggalan yang mendukung.75

Pengetahuan tentang keberadaan Napoleon tersebut tidak didasarkan pada

observasi atau eksperimen, melainkan berdasarkan tanda-tanda atau petunjuk yang

didapatkan berupa peninggalan-peninggalan sejarah dan lainnya. Ketika fakta-

fakta materinya sudah tidak lengkap bahkan sudah musnah maka untuk mencapai

kebenaran dari kasus tersebut ialah dengan cara rasional berupa argumen-argumen

qiyas.

Teori ini tampak jelas bahwa Murtaḍá terpengaruh oleh teori kebenaran

yang digagas oleh Bertrand Russell. Namun kemudian Murtaḍá memanfaatkan

teori kebenaran itu untuk mempertahankan teori tentang keberadaan Tuhan. Bahwa

dalam rangka memahami dan mengetahui tentang keberadaan Tuhan, seseorang

tidak perlu mengetahui langsung tentang Tuhan, namun bisa dengan

mengetahuinya melalui tanda-tanda seperti yang telah dikatakan oleh Bertrand

Russell. Ketika kita mengingkari pengetahuan yang dihasilkan melalui tanda

tersebut, maka sebenarnya kita telah mengingkari kebenaran yang telah terbukti

72

Murtaḍá Muṭahharī, Pengantar Filsafat Islam: Filsafat Teoritis Dan Filsafat

Praktis. Penerjemah M. Ilyas, (Yogyakarta: Rausyanfikr, 2003), h. 130. 73

Murtaḍá Muṭahharī, Pengantar Epistemologi Islam, h. 142. 74

Kadek Agus Kamiana dkk, “Pengembangan Augmented Reality Book Sebagai

Media Pembelajaran Virus Berbasis Android”, dalam Karmapati, vol. 8, no. 2, 2019, h. 165. 75

Murtaḍá Muṭahharī, Pengantar Epistemologi Islam, h. 131.

85

ribuan tahun dan manusia akan kehilangan sekitar 90% dari total pengetahuan

manusia.76

2. Metode Koherensi

Murtaḍá tidak hanya mengandalkan eksperimen sebagai satu-satunya

neraca bagi kebenaran. Lebih dari itu, ia juga mengamini teori Aristoteles yang

menjabarkan tentang ilmu atau teori-teori yang sudah diterima sebelumnya sebagai

bagian dari neraca kebenaran.77

Ilmu pengetahuan bagi Murtaḍá dapat dijadikan

sebagai tolok ukur kebenaran. Suatu pengetahuan dapat kita katakan benar

manakala setelah kita teliti terdapat koherensi antara teori tersebut dengan teori-

teori atau ilmu-ilmu yang sebelumnya sudah diakui kebenarannya. Ia berargumen

bahwa suatu teori dapat diukur oleh suatu ilmu, ilmu yang dijadikan sebagai neraca

akan butuh kepada neraca lain yang juga berupa ilmu hingga sampai pada keadaan

di mana ilmu tersebut tidak dapat dijadikan suatu neraca lagi.

Inilah yang disebut dengan metode koherensi dalam mencapai kebenaran.

Metode ini biasanya digunakan untuk mengetahui kebenaran pembawa kebenaran

yang berkaitan dengan realitas mental. Misalkan saja dalam membuktikan teori

sebab dari sebuah akibat. Kita dapat membuktikannya melalui argumen teoritis

yang validitasnya tentang sebab tersebut sudah teruji. Karena menurut Murtaḍá,

akibat bukan selalu berupa sebab dan akibat materi. Sejauh menyangkut dimensi

material dunia ini, sistem sebab akibat bersifat material, namun sejauh menyangkut

dimensi spiritual dunia ini, sistem sebab akibatnya bersifat nonmateri. Antara dua

sistem tidak bertentangan. Masing-masing sistem ada tempatnya sendiri.78

Ketika Murtaḍá menanggapi penyataan yang beredar tentang kemajuan

peradaban Barat yang dianggap sebagai bukti kebenaran teori-teori Barat, Murtaḍá

membuktikannya dengan teori koherensi. Muṭahharī menolak anggapan tersebut,

baginya kemajuan peradaban Barat bukanlah bukti validitas kebenaran ajaran

filsafat Barat. Dengan meminjam logika Bertrand Russell, Muṭahharī menjelaskan

bahwa pengetahuan yang benar akan berujung pada eksperimen yang benar pula,

namun bukan berarti bila eksperimennya benar maka pengetahuannya juga pasti

benar. Inilah yang dinamakan dengan logika lazim ‟am (keterkaitan yang lebih

universal). Memperjelas pernyataan di atas perhatikan keempat pernyataan di

bawah79

:

a. Jika bola maka bulat. Ini adalah pernyataan yang benar. Semua bola mesti

bentuknya bulat. Jika bulat maka bola. Ini adalah pernyataan yang salah.

Tidak semua yang berbentuk bulat itu adalah bola.

b. Jika bukan bola maka tidak bulat. Pernyataan ini juga salah. Jika tidak bulat

maka bukan bola. Pernyataan ini benar. Argumentasi Muṭahharī selanjutnya

menegaskan bahwa filsafat yang benar (hakikat) akan menghasilkan

peradaban yang unggul, adalah pernyataan yang benar sama seperti

pernyataan satu. Pernyataan yang mengatakan bahwa, peradaban yang unggul

76

Murtaḍá Muṭahharī, Pengantar Epistemologi Islam, h. 136-137. 77

Murtaḍá Muṭahharī, Pengantar Epistemologi Islam, h. 217. 78

Murtaḍá Muṭahharī, Manusia dan Alam Semesta, h. 188. 79

Murtaḍá Muṭahharī, Pengantar Epistemologi Islam, (Jakarta: Shadra Press,

2010), h. 272-273.

86

sebagai bukti kebenaran filsafat yang melandasinya, ini adalah pernyataan

yang salah sama seperti pernyataan nomor dua di atas.

3. Metode Pengalaman Batin

Dalam kajian kebenaran logis, kebenaran dari hal-hal yang bersifat

matematis dan hal-hal yang menggunakan argumen deduktif (qiyasi) diperoleh dan

diukur menggunakan melalui logika formal.80

Sedangkan cara yang paling baik

untuk menemukan kebenaran dalam kajian irfan ialah dengan cara mengalami

langsung yaitu melakukan perjalanan mendekati kebenaran hakiki.81

Namun, untuk

mencapai itu tidak mudah, seseorang harus menyiapkan berbagai perangkat berupa

pembersihan dan penyucian jiwa.82

Adapun prosesnya ialah diawali oleh irādah. Irādah berarti kehendak dan

kemauan. Makna lain darinya ialah merupakan munculnya suatu hasrat dan

keinginan kuat serta ingin berpegang teguh pada jalan yang membimbing menuju

kebenaran serta menstimulasi jiwa untuk mencapai tujuannya yang hakiki. Ada

pun hasrat dan keinginan ini bisa dilahirkan melalui argumen atau keimanan.83

Kemudian ia melanjutkan dengan mengutip ʻAbdurrazzāq al-Khasyānī,

menurutnya irādah merupakan gejolak api cinta. Manakala api telah disulut ke

dalam kalbu, manusia pun mulai menanggapi seruan kebenaran. bahkan irādah

kemudian ia pahami sebagai suatu tanggapan terhadap seruan kebenaran atas

kemauan dan kehendak sendiri.84

Ibnu Sīnā mendefinisikan irādah sebagai

kerinduan yang dirasakan manusia tatkala mendapati dirinya kesepian dan tak

berdaya serta ingin bersatu dengan kebenaran sehingga dia tidak lagi merasa

kesepian dan tak berdaya.85

Tahap berikutnya ialah riyāḍah (kehendak dan kemauan). Riyāḍah dalam

kebenaran intuisi dipahami sebagai latihan spiritual dalam rangka menyingkirkan

segala sesuatu selain Allah yang menghalang-halangi di jalan spiritual. Kemudian

menundukkan jiwa yang menyuruh berbuat kejahatan kepada jiwa yang tenang.

Serta melembutkan jiwa batiniah dengan tujuan membuatnya siap menerima

pencerahan.86

Ada pun di antara tahapnya ialah yaqḍoh (kesadaran), taubah

(bertaubat), tafakkur (merenung dan berpikir) serta muhasabah (introspeksi diri).87

Setelah tahapan-tahapan tersebut sudah dilalui dengan baik, sesungguhnya ia telah

melakukan sebuah perjalanan spiritual.

Di antara perjalanan spiritual yang dimaksud Murtaḍá ialah perjalanan dari

makhluk menuju Tuhan. Perjalanan bersama Tuhan dalam Tuhan. Perjalanan dari

Tuhan menuju makhluk dan perjalanan dalam makhluk bersama Tuhan. Dalam

80

Murtaḍá Muṭahharī, Pengantar Filsafat Islam: Filsafat Teoritis dan Filsafat

Praktis. Penerjemah M. Ilyas, (Yogyakarta: Rausyanfikr, 2003), h. 130. 81

Murtaḍá Muṭahharī, Pengantar Ilmu-ilmu Islam, h. 419. 82

Murtaḍá Muṭahharī, Filsafat Hikmah, h. 113. 83

Murtaḍá Muṭahharī dan Ṭabáṭabáī, Menapak Jalan Spiritual. Penerjemah M.S

Nasrullah, (Bandung: Pustaka Hidayah, 1997), h. 66. 84

Murtaḍá Muṭahharī dan Ṭabáṭabáī, Menapak Jalan Spiritual, h. 67. 85

Murtaḍá Muṭahharī dan Ṭabáṭabáī, Menapak Jalan Spiritual, h. 68. 86

Murtaḍá Muṭahharī dan Ṭabáṭabáī, Menapak Jalan Spiritual, h. 68. 87

Murtaḍá Muṭahharī, Pengantar Epistemologi Islam, h. 110.

87

perjalanan kedua, sang arif mengenal dan mengetahui nama-nama dan sifat Allah,

dan dia sendiri pun dinapasi oleh sifat-sifat ini. Dalam perjalanan ketika, dia

kembali ke makhluk guna membimbing mereka, tetapi tidak terpisah dari Allah.

Dalam perjalanan keempat, dia melakukan perjalanan di tengah-tengah orang

banyak, tetapi disertai Allah. Dalam perjalanan ini, sang arif tetap bersama orang

banyak serta membantu mereka untuk mendekati dan menghampiri Allah.88

D. Kebenaran dan Fitrah Manusia

1. Hubungan Kebenaran dengan Kesucian Jiwa

Kesucian jiwa merupakan hal yang sangat penting bagi Murtaḍá dalam

kaitannya dengan teori kebenaran. Hati menurutnya mampu mempengaruhi

berbagai unsur dalam diri manusia seperti akal. Jiwa berpengaruh terhadap

kejernihan akal. Semakin suci jiwa seseorang, maka akal seseorang akan semakin

terang.89

Jiwa dan akal mempunyai keterkaitan yang cukup erat hingga mampu

menentukan kecerahan akal. Jiwa bagaikan lampu dalam ruangan yang berfungsi

memberikan cahaya bagi objek agar akal mampu menangkap objek dengan benar.

Ketika lampu ruangan hidup, maka akal dapat menangkap objek sebagaimana

adanya, namun bila gelap maka akal tak akan bisa menangkap objek dengan benar.

Pada keadaan gelap inilah seseorang akan terjerumus pada kesalahan yang

dianggap sebagai kebenaran. Keadaan seperti ini yang banyak terjadi pada para

filosof Barat.

Menyucikan jiwa merupakan langkah pengembalian fungsi jiwa kepada

hakikatnya, yaitu meletakkan jiwa kepada keadaan, peran dan fungsi sebagaimana

mestinya. Dalam kondisi ini, jiwa menjadi suatu hakikat yang bijak dan jauh dari

berbagai kecenderungan-kecenderungan yang menghalangi pada pencapaian

kebenaran. Pada saat seperti ini, akal menjadi mampu mengambil sikap yang tepat

menilai segala sesuatu sebagaimana fakta yang benar-benar sesuai dengan

keadaan.90

Murtaḍá menyebutkan bahwa kesucian menjadi penyebab

keharmonisan atau keseimbangan antara hati dan akal, sehingga keduanya dapat

menangkap kebenaran objektif.91

Hanya dengan keseimbangan itu seseorang dapat

menangkap kebenaran yang sesungguhnya.

Jiwa yang suci sebenarnya dapat mencegah kecenderungan-kecenderungan

hati dalam menilai sesuatu. Ketika dalam jiwa telah terjadi kecenderungan, maka

kecenderungan tersebut kemudian menguasai akal, keadaan itu menghalangi akal

untuk menangkap objek sebagai mana mestinya.92

Lebih detail Murtaḍá

menjelaskan bahwa setiap orang dapat menerima kebenaran dan pada saat itu pula

ia dapat menolaknya. Akal bisa menerima kebenaran dengan jelas dan gamblang

karena ada banyak bukti penguatnya, namun hati dan jiwanya dapat menolak

88

Murtaḍá Muṭahharī dan Ṭabáṭabáī, Menapak Jalan Spiritual. h. 72. 89

Murtaḍá Muṭahharī, Pengantar Epistemologi Islam, h. 107. 90

Murtaḍá Muṭahharī, Ceramah-Ceramah Seputar Persoalan Penting Agama dan

Kehidupan. Penerjemah Ahmad Subandi, (Jakarta: Lentera Basritama, 2000), h. 289. 91

Murtaḍá Muṭahharī, Ceramah-Ceramah Seputar Persoalan Penting Agama dan

Kehidupan. Penerjemah Ahmad Subandi, (Jakarta: Lentera Basritama, 2000), h. 288. 92

Murtaḍá Muṭahharī, Ceramah-Ceramah Seputar Persoalan Penting Agama dan

Kehidupan. Penerjemah Ahmad Subandi, (Jakarta: Lentera Basritama, 2000), h. 292.

88

kebenaran itu karena keangkuhan dan kesombongan. Keangkuhan dan

kesombongan adalah tanda kekotoran jiwa.93

Hanya dengan kesucian jiwa, akal menjadi merdeka dari berbagai

kecenderungan baik berupa cinta, benci dan fanatisme lain. Akal yang bersih dan

akan menjadi objektif, dan di situlah seseorang dapat menemukan kebenaran yang

sesungguhnya. Oleh karena itu, ketika seseorang ingin mengkaji suatu

pengetahuan hakiki (pengetahuan yang benar), hendaknya terlebih dahulu ia

menjadi seorang manusia sejati. Manusia sejati hanya didapatkan dengan

penyucian jiwa. Apa yang disampaikan oleh Murtaḍá merupakan ajaran Islam

yang tertuang dalam Q.S. al-Shams ayat 1-10.94

Penyucian jiwa oleh Murtaḍá disebut sebagai tazkiyatun nafs. Jiwa yang

suci akan menampakkan kepada manusia berbagai kebijaksanaan ilahi dan lainnya,

manusia dapat menyingkapnya dengan penyucian jiwa yang. Penyucian jiwa bagi

Murtaḍá merupakan sebuah cara untuk menangkap objek-objek transenden seperti

keilahian, jalan serta jalur yang mesti dilewati. Penyucian jiwa ternyata merupakan

sebuah cara yang ampuh dalam melenyapkan berbagai debu yang menghalangi

pandangan manusia terhadap kebenaran intuitif.95

2. Hal-hal yang Menghalangi Seseorang terhadap Kebenaran

Secara fitrah manusia mempunyai potensi untuk dapat mengetahui

berbagai objek sebagaimana adanya. Namun pada realitasnya terdapat tabir yang

menutupi objek sehingga ia tidak dapat mengetahuinya sebagaimana adanya.96

Hal-hal yang menghalangi tersebut di antaranya ialah :

a. Prasangka-prasangka97

Murtaḍá mengatakan bahwa persepsi tentang realitas yang didasarkan

kepada prasangka-prasangka yang belum pasti maka hal tersebut akan

mengantarkan seseorang kepada pengetahuan yang salah. Dalam mencari

kebenaran, seseorang hendaknya persepsi tentang realitas didasarkan kepada

pengetahuan pasti. Prasangka-prasangka akan menjadi semacam tabula yang

menjadi hijáb bagi kebenaran yang hendak dicapai.

Dalam rangka menguatkan apa yang dikatakannya, Murtaḍá kemudian

mengutip ucapan filosof, meskipun ia tidak menyebutkan nama filosofnya.

Dalam kutipannya dikatakan “aku baru menganggap sesuatu itu sebagai realitas,

kalau sesuatu itu sudah jelas bagiku. Aku tak mau tergesa-gesa, menghubungkan

gagasan dan kecenderungan. Aku hanya menerima apa yang sudah jelas bagiku,

sehingga tak ada lagi keraguan tentangnya. Tidak hanya itu, ia juga mengutip 2

ayat al-Qur‟an yaitu Q.S. al-An‟ám ayat 116 dan Q.S. al-Isra‟ ayat 36.

93

Murtaḍá Muṭahharī, Keadilan Ilahi: Asas Pandangan Dunia Islam, (Bandung

Mizan, 2009), h. 320. 94

Murtaḍá Muṭahharī, Pengantar Epistemologi Islam, h. 64-65. 95

Murtaḍá Muṭahharī, Pengantar Epistemologi Islam, h. 61. 96

Murtaḍá Muṭahharī, Fitrah: Menyingkap Hakikat Potensi dan Jati Diri Manusia.

Penerjemah H. Afif Muhammad, (Jakarta: Lentera, 2008), h. 65. 97

Murtaḍá Muṭahharī, Manusia dan Alam Semesta: Konsep Islam Tentang Jagat

Raya. Penerjemah Ilyas Hasan, (Jakarta: Lentera, 2002), h. 43-44.

89

b. Hawa Nafsu

Nafsu menjadi salah satu yang menghambat seseorang mencapai

kebenaran. Hawa nafsu dalam diri seseorang dapat membuat sikap seseorang

tidak netral dan cenderung kepada kekeliruan. Firman Allah dalam Q.S. An-

Najm ayat 23.

c. Tergesa-gesa

Untuk mencapai suatu kebenaran dibutuhkan berbagai argumen yang

kuat dan lengkap, maka kesimpulan yang tergesa-gesa akan menjerumuskan

seseorang kepada kekeliruan. Ketergesa-gesaan berpotensi melahirkan

kesimpulan yang tidak benar. Sebagaimana dijelaskan dalam Q.S. Al-Isra‟ ayat

85 dan Q.S. Yūnus ayat 39.

d. Tepaku pada Masa Lalu

Murtaḍá menekankan bahwa berpikir independen sangat penting, karena

menerima begitu saja apa yang telah masa lalu lakukan belum tentu benar. Apa

yang telah dilakukan orang-orang masa lalu tidak dapat dipastikan benar. Allah

berfirman dalam Q.S. al-Baqarah 170.

e. Fanatisme

Murtaḍá mengatakan bahwa fanatisme merupakan satu hal yang

membuat jiwa dan pikiran menjadi berwarna. Ketika hati dan pikiran berwarna,

maka ia akan menangkap objek tidak sebagaimana mestinya, akan tetapi

menangkap objek sesuai dengan warna yang menodainya. Karena objek telah

ditangkap sesuai warna jiwa dan pikiran, maka pengetahuan tentang objek

tersebut dapat dipastikan tidak sesuai dengan apa yang ada.98

Maka pengetahuan

yang didapatkan adalah salah, karena tidak sesuai dengan yang ada.

Begitu pula kecintaan dan kebencian menurutnya akan merusak

kemurnian jiwa dan pikiran. Kecintaan dan fanatisme terhadap suatu tokoh

sebenarnya akan mempersempit jangkauan seseorang dalam mencapai

kebenaran. Fanatisme membuat cara berpikir seseorang tidak merdeka dan

menjadikan pola pikir seseorang menjadi tumpul. Padahal berbagai kemungkinan

salah masih sangat terbuka mengingat tokoh tersebut tidak maksum. Q.S. al-

Ahzáb ayat 67.99

Menanggapi tentang fanatisme terhadap tokoh, Muṭahharī menjelaskan

apa yang dikatakan oleh Ali. Ia menjelaskan bahwa kebenaran tidak diukur oleh

pribadi seseorang. Kebesaran seseorang, reputasi baik seseorang, atau hina

tidaknya seseorang tidak dapat dijadikan sebagai tolok ukur benar tidaknya apa

yang dia rumuskan. Menurutnya, kemuliaan dan kebesaran seseorang diukur

justru oleh kebenaran dari apa yang ia katakan dan lakukan. Penjelasan tersebut

kemudian dapat kita pahami bahwa kebenaran hanya dapat diukur oleh

98

Murtaḍá Muṭahharī, Pengantar Epistemologi Islam, h. 167. 99

Murtaḍá Muṭahharī, Manusia dan Alam Semesta, (Jakarta: Lentera Basritama,

2002), h. 43-44.

90

kebenaran itu sendiri.100

Seseorang akan tahu orang yang benar ketika seseorang

telah menemukan kebenaran itu sendiri.

Kemudian Muṭahharī mengutip tulisan Michael Na‟imah tentang Imam

Ali. Kemudian Muṭahharī mengatakan bahwa Imam Ali merupakan contoh nyata

dari seseorang yang memasrahkan jiwa raganya bagi kebenaran di mana pun dan

dalam kondisi apapun. Maka Imam Ali merupakan suatu contoh bahwa

kebenaran akan memuliakan seseorang.101

Murtaḍá tampak ingin menjelaskan

bahwa Imam Ali merupakan sosok yang telah tahu akan kebenaran, sehingga ia

memasrahkan jiwa dan raganya pada kebenaran. Murtaḍá menggambarkan Imam

Ali sebagai contoh seseorang yang telah menemukan kebenaran.

100

Murtaḍá Muṭahharī, Tema-tema Pokok Nahj al-Balaghah. Penerjemah Arif

Mulyadi, (Jakarta: Islamic Center Jakarta, 2002), h. 26. 101

Murtaḍá Muṭahharī, Tema-tema Pokok Nahj al-Balaghah, h. 27.

91

BAB V

KRITIK MURTAḌÁ MUṬAHARĪ TERHADAP TEORI KEBENARAN

BARAT

A. Kritik Murtaḍá Muṭahharī terhadap Teori Kebenaran Karl Marx

Karl Marx adalah seorang filosof yang terkenal dengan filsafat

materialisme. Materialisme sebagai dasar berpikir Karl Marx untuk

mengembangkan konsep-konsep dalam berbagai dimensi kehidupan manusia

termasuk tentang kebenaran.1 Yang dimaksud dengan Materialisme ialah suatu

sistem pemikiran menjelaskan bahwa materi merupakan satu-satunya keberadaan

yang mutlak dan menolak keberadaan apapun selain materi. Konsep fakta ini yang

kemudian menjadi dasar dari teori kebenaran Karl Marx. Untuk membahas lebih

dalam mengenai hal tersebut, penulis akan sajikan teori Karl Marx mengenai

materialisme dialektika yang menjadi pokok pemikirannya. Materialisme

dialektika merupakan respons terhadap konsep manusia Hegel yang mengatakan

bahwa jiwa merupakan esensi dari manusia. Karl Marx menyanggah dan

mengatakan bahwa manusia adalah makhluk materi yang dapat dikaji secara

materi pula.2 Bisa dikatakan bahwa konsep materialisme Karl Marx merupakan

sebuah reaksi terhadap interpretasi idealistik Hegel terhadap kenyataan.3

Ide yang dikatakan Hegel sebagai penentu kebenaran dari berbagai hal,

oleh Karl Marx dijungkir balikkan. Karl Marx mengatakan bahwa realitas sejati

yang biasa dikatakan sebagai fakta berada di luar persepsi manusia, maka yang

menjadi penentu terakhir dari kebenaran ialah kenyataan materi. Bagi Marx,

kebenaran ide ditentukan oleh keberadaan objek materi. Sedangkan filsafat

idealisme menegaskan tentang kesadaran yang didasarkan pada ide-ide dan

mengingkari adanya realitas di belakang ide-ide manusia4 Pandangan ini sama

sekali tidak menyentuh kenyataan konkret masyarakat. Bukan alam yang

tergantung pada pikiran tetapi pikiran lah yang ditentukan oleh alam. Alam

menjadi dasar yang mutlak bagi pikiran. Marx menempatkan pengetahuan sebagai

proses-proses material. Proses-proses materi tersebut, jika dikaitkan dengan

masyarakat disebut sebagai kerja.5

Karl Marx mengkritik aktivitas manusia yang saat itu ia pahami sebagai

sosok yang selalu membentuk ide-ide salah tentang dirinya sendiri. Mereka

merancang hubungan-hubungan menurut ide-ide mereka sendiri tentang Tuhan,

tentang manusia. Hasil pemikiran telah terlepas dari tangan mereka, mereka

1 Fuadi, “Metode Historis: Suatu Kajian Filsafat Materialisme Karl Marx”, dalam

Substantia, vol. 17, No. 2, Oktober 2015, h. 220. 2 T. Z. Lavine, Pertualangan Filsafat dari Socrates ke Sartre, (Yogyakarta: Penerbit

Jendela, 2002), h. 46. 3 Yohanes Bahari, “Karl Marx, Sekelumit Tentang Hidup dan Pemikirannya”,

dalam Jurnal Pendidikan Sosiologi dan Humaniora, vol. 1, no 1, April 2010, h. 5. 4 Ali Maksum, Pengantar Filsafat dari Masa ke Masa Klasik Hingga

Posmodernisme, (Jogjakarta: Ar-Ruzz Media, 2015), h. 154. 5 Sastria Wibowo, Kebenaran Sebagai Konstruksi Sosial, dalam Jurnal GEMA, vol.

30, no , April 2006, h. 102.

92

membungkukkan diri di bawah ciptaan.6 Karl Marx mengajak membebaskan

mereka dari tahayul-tahayul, ide-ide, dogma-dogma marilah melawan kekuasaan,

kaidah-kaidah atau konsep-konsep idealisme, dan sikap-sikap mengultuskan ide.

Akan tetapi Karl Marx menginginkan materi sebagai realitas empiris yang hakiki.

Konsep tersebut yang kemudian membuat Karl Marx dan pengikutnya tidak dapat

menerima kebenaran tentang keberadaan Tuhan, karena dianggap sebagai hayalan

dan tidak dapat dibuktikan secara materi.

Pandangan tersebut kemudian merambah kepada pandangan Marx tentang

sejarah yang kemudian dikenal dengan materialisme historis. Materialisme historis

berpendapat bahwa perilaku manusia ditentukan oleh kedudukan materi, bukan

pada ide. Karl Marx menempatkan kata sejarah dengan maksud menjelaskan

berbagai tingkat perkembangan ekonomi masyarakat yang terjadi sepanjang

zaman. Sedangkan materialisme yang dimaksud Marx adalah mengacu pada

pengertian benda sebagai kenyataan yang pokok. Marx tetap konsekuen memakai

kata historical materialism untuk menunjukkan sikapnya yang bertentangan

dengan filsafat idealisme.7

Manusia sebagai makhluk sejarah hidup dalam kondisi-kondisi alam yang

berbeda. Metode historis harus dimulai dari dasar alamiah dan perubahan di

sepanjang sejarah melalui aktivitas manusia. Kondisi alamiah itu menentukan

seluruh tingkat perubahan, baik yang sifatnya perkembangan kemajuan maupun

kemunduran. Semua kondisi alamiah ini harus diungkapkan dengan metode

historis.8 Prinsip dasar teori ini ialah It is not consciousness that determines life,

but life that determines consciousness.9 “Bukan kesadaran manusia untuk

menentukan keadaan sosial, melainkan sebaliknya keadaan sosiallah yang

menentukan kesadaran manusia”.

Berdasarkan prinsip di atas, tampak jelas bahwa keterasingan manusia atas

dirinya yang memuja yang abstrak (seperti yang telah dijelaskan pada paragraf

awal), disebabkan oleh prilakunya sendiri. Tuhan yang selalu dipuja menurutnya,

hanyalah ciptaan manusia sendiri.10

Lebih lanjut Marx berkeyakinan bahwa untuk

memahami sejarah dan arah perubahan, tidak perlu memperhatikan apa yang

dipikirkan oleh manusia, tetapi bagaimana dia bekerja dan berproduksi.11

Dengan

6 Mansour Faqih, Jalan Lain Manifesto Intelektual Organik, (Yogyakarta: Pustaka

Pelajar, 2002), h. 5. 7 Nanang Martono, Sosiologi Perubahan Sosial Perspektif Klasik, Modern,

Posmodern, dan Poskolonial, (Jakarta: Rajawali Press, 2014), h. 45. 8 Djojohadikusumo Sumitro, Perkembangan Pemikiran Ekonomi, (Jakarta: Yayasan

Obor Indonesia, 1991), h. 209. 9 Jack Cohen dkk, (eds.), Marx and Engels Collected Works, vol. 5, (United

Kingdom: Lawrence and Wishart), h. 37. Lihat juga pada Elmadağ Polis Meslek Yüksek

Okulu, “Karl Marx and Ralf Dahrendorf: A Comparative Perspective on Class Formation

and Conflict”, dalam Eskişehir Osmangazi Üniversitesi Iibf Dergisi, Agustus 2014, vol. 9,

no. 2, h. 158. 10

Daniel L Pals, Seven Theories of Religion, (New York: Oxford University Press,

1996), h. 133. 11

William Ebenstein, Isme-Isme yang Mengguncang Dunia: Komunisme, Fasisme,

Kapitalisme, Sosialisme, (Yogyakarta: Narasi, 2006), h. 13.

93

melihat cara manusia itu bekerja dan berproduksi. Dengan melihat cara manusia

itu bekerja dan berproduksi, dapat menentukan cara manusia berpikir.12

Karl Marx menekankan bahwa produksi merupakan dasar dari setiap

tatanan sosial. Maka kelas-kelas dalam tatanan masyarakat diklasifikasikan dan

ditentukan oleh apa yang dihasilkan, bagaimana ia dihasilkan, dan dipertukarkan.

Dalil pokok yang digunakannya dalam menganalisa masyarakat ialah penafsiran

ekonominya tentang historis. Produksi barang dan jasa merupakan yang membantu

manusia dalam hidupnya. Pertukaran barang-barang dan jasa-jasa ini adalah dasar

dari segala proses dan lembaga sosial. Karl Marx tidak menuduh faktor ekonomi

adalah satu-satunya yang penting dalam proses pembentukan historis. Ia

mendakwakan faktor ekonomi adalah yang terpenting sebagai dasar untuk

membangun superstruktur kebudayaan, perundang-undangan, pemerintahan, dan

diperkuat oleh ideologi-ideologi politik, sosial, keagamaan, kesusastraan dan

arsitek yang sejalan. Secara umum, Karl Marx melukiskan hubungan di antara

kondisi-kondisi materil kehidupan manusia dan ide-ide manusia.13

Apa yang

dikonsepsikan Marx tampak jelas ingin menekankan bahwasanya hanya materilah

yang dapat mengubah masyarakat.14

Bagi Karl Marx, kebenaran adalah sesuatu yang sungguh-sungguh praktis.

Aktivitas yang menjadi dasar hubungan manusia dengan dunia, yang membentuk

kebenaran adalah kerja. Pernyataan epistemologis yang terpenting baginya adalah

realitas sosial, politik, ekonomi yang dipikirkan oleh masyarakat semua itu

mempengaruhi situasi aktual dalam pekerjaan, dan akan mempengaruhi kebenaran

itu sendiri.15

Baginya, tindakan praktis manusia sangat penting bagi datangnya suatu

kebenaran, untuk itu ia mengemukakan mengenai masalah alienasi (keterasingan)

dalam dunia pekerjaan. Jika pekerjaan menjadi sarana perealisasi diri manusia,

seharusnya bekerja memberikan kegembiraan dan kepuasan. Namun, yang terjadi

justru sebaliknya. Untuk itulah sangat ditunggu tindakan praktis yang akan

menghancurkan alienasi dan mewujudkan kebenaran. Dengan demikian, kebenaran

menurut Marx adalah terwujudnya realitas sosial yang menghancurkan alienasi

tersebut. Kebenaran merupakan konstruksi sosial, yang mewujud dalam kesadaran

akan adanya alienasi dan menghancurkannya. Dalam konsepnya, Marx berbicara

kebenaran yang tidak muluk dan abstrak, tetapi hadir konkret di tengah kehidupan

masyarakat. Kebenaran harus membawa manusia pada kebebasan dan perwujudan

diri, yang dapat dirasakan langsung dalam suatu situasi sosial.16

Hal tersebut merupakan konsekuensi dari konsep materialisme Karl Marx

yang berkeyakinan bahwa segala macam gejala yang ada di dunia ini mempunyai

satu dasar yang sama, yaitu materi. D. N. Aidit menekankan bahwa dunia semesta

12

I. B. Wirawan, Teori-Teori Sosial dalam Tiga Paradigma, (Jakarta:

Prenadamedia, 2014), h. 10. 13

William Ebenstein, Isme-Isme yang Mengguncang Dunia ..., h. 6. 14

Irzum Farihah, “Filsafat Materialisme Karl Marx: Epistemologi Dialectical and

Historical Materialism”, dalam Fikrah, vol. 3, no. 2, Desember 2015, h. 439. 15

Wahyu Sastria Wibowo, “Kebenaran Sebagai Konstruksi Sosial”, h. 102. Lihat,

Richard Campbell, Truth and Historicity , (Oxford: Oxford University Press, 1992), h. 323. 16

Sastria Wibowo, Kebenaran Sebagai Konstruksi Sosial ..., h. 103.

94

ini pada hakikatnya adalah materi dan realitas materi ini adalah satu-satunya dunia

yang nyata.17

Ia kemudian menambahkan bahwa materi dalam kajian filsafat tidak

hanya terbatas pada benda-benda alam saja atau struktur dari segala sesuatu di

dunia, melainkan pula menyangkut berbagai hal yang ada di luar pikiran dan tidak

tergantung kepada kesadaran manusia, tidak diciptakan dan dikendalikan oleh

sesuatu ide apapun. Oleh karena itu, materi dalam pengertian Karl Marx ialah

meliputi juga gejala-gejala sosial.18

Penjelasan ini memberikan pengayaan

terhadap penjabaran tentang materialisme historis Karl Marx yang mengatakan

bahwa perubahan masyarakat disebabkan oleh perilaku manusia itu sendiri.

Perilaku di sini dengan jelas merupakan bentuk materi sebagaimana dijelaskan

oleh Aidit.

Murtaḍá Muṭahharī mengkritik konsep manusia yang digagas oleh

materialisme yang memandang manusia hanya dari sisi materinya tanpa

memandang kemungkinan jiwanya. Menurutnya memandang manusia dari segi

materinya saja, hanya akan memahami manusia sebagian saja. Menanggap

sebagian adalah keseluruhan jelas merupakan kekeliruan.19

Manusia bagi Murtaḍá

tidak hanya materi berupa badan dan prilakunya, melainkan juga terdiri dari jiwa.

Keduanya saling menyempurnakan. Tubuh dan jiwa menurutnya saling

mempengaruhi, maka antara sistem spiritual dan materi juga terjadi saling

hubungan yang sama. Murtaḍá memahami revolusi masyarakat bergerak menuju

kemerdekaan, kemandirian, dan supremasi jiwa yang semakin besar.20

Maka

konsep tentang manusia yang benar menurut Murtaḍá ialah konsep yang

menyentuh unsur materi maupun nonmateri. Maka dari itu, perubahan sosial yang

dikatakan oleh Marx adalah keliru, karena perubahan tersebut tidak hanya

dipengaruhi oleh prilaku dan hal materi, tetapi juga dipengaruhi oleh tatanan sosial

dan jiwa individu masyarakat yang juga ikut membentuk hidup manusia.

Pandangan Karl Marx tentang materi berimplikasi pada kepercayaan

mengenai keberadaan Tuhan. Menurutnya Tuhan hanyalah pelarian yang

diciptakan masyarakat karena kesulitan hidupnya yang sedang dilanda kemiskinan.

Oleh karena itu, Marx kemudian berkesimpulan bahwa Tuhan tidak ada. Pemikiran

itu jelas berangkat kegagalan Marx dalam membuktikanNya secara materi. Karena

Tuhan tak mempunyai realitas materi, maka jelas kebenaran tentang keberadaan

Tuhan adalah salah. Murtaḍá mengkritik pemikiran ini, baginya mengharapkan

Tuhan berada di laboratorium dan berada bersama benda-benda materi adalah hal

yang keliru karena Tuhan bukanlah materi. Mengukur keberadaan Tuhan dengan

indra adalah hal yang mustahil, karena ruang lingkupnya berbeda antara materi dan

nonmateri. Mengukur kebenaran Tuhan dengan indra, sama saja dengan mengukur

panas dengan penggaris. Mengukur panas dengan penggaris tidak akan pernah

17

D. N. Aidit, Tentang Marxisme, (Jakarta: Akademi Ilmu Sosial Aliarcham, 1962),

h. 29. 18

D. N. Aidit, Tentang Marxisme, h. 29. 19

Ahmad Maliki dan Damardjadi Supadjar, "Manusia dalam Eksistensialisme

Murtaḍá Muṭahharī”, dalam Humanika, vol. 18, no. 1, Januari 2005, h. 152. 20

Murtaḍá Muṭahharī, Manusia dan Alam Semesta. Penerjemah Ilyas Hasan,

(Jakarta: Lentera Basritama, 2002), h. 7-8.

95

sampai pada kebenaran, karena objek dan alat yang digunakan tidak tepat.21

Sama

halnya dengan mengukur kebenaran tentang keberadaan Tuhan.

Skema kekeliruan Karl Marx

Tuhan menurutnya tidak dapat dikaji melalui indra, melainkan langsung

dialami secara batin melalui hati. Hati dapat menangkap keberadaan Tuhan secara

objektif. Di samping itu juga tanda-tanda keberadaannya juga bisa didapatkan

melalui akal. Sesuatu yang tidak tampak dan tidak terlihat oleh mata, bukan berarti

ia tidak ada. Tidak semua orang yang mengakui kebenaran dari keberadaan

Amerika melihat langsung Amerika. Bagi mereka yang tidak pernah pergi ke

Amerika, kebenaran tentang keberadaan Amerika didapatkan melalui tanda-tanda

keberadaannya seperti dari berbagai informasi yang mutawattir dari orang-orang

dan melalui gambar-gambar hasil kamera. Kebenaran melalui tanda-tanda tersebut

oleh Murtaḍá tidak dikatakan sebagai kebenaran materi seperti yang dikatakan

oleh Karl Marx, tetapi ia merupakan kebenaran rasional, yang kebenarannya

didapatkan melalui argumen tanda-tanda yang didapatkan tentang hal tersebut.22

Murtaḍá membuktikan bahwa akal juga mampu mencapai kebenaran yang sama

seperti kebenaran yang dicapai oleh indra. Pada akhirnya pandangan kebenaran

tentang hal tersebut dapat dipertanggung jawabkan juga sebagaimana kebenaran

materi. Hal tersebut adalah tanda bahwa tidak semua yang tidak bisa dilihat oleh

indra adalah tidak ada.

Dalam hal ini Murtaḍá tidak menolak kebenaran materi Karl Marx, yang ia

tolak adalah klaim bahwa yang hakiki hanyalah kebenaran materi dan secara

membabibuta mengukur segala realitas berdasarkan materi semata. Murtaḍá ingin

membuktikan bahwa kebenaran materi mempunyai batasan-batasan sesuai dengan

porsinya. Mata mempunyai batasan sejauh mata memandang, sama halnya dengan

indra-indra lain yang juga mempunyai batasan-batasan. Keterbatasan itu terbukti

pada butuhnya indra pada alat-alat lain seperti mikroskop untuk menambah daya

pandang mata.23

Pada aspek yang lain, kebenaran juga bisa didapatkan melalui

21

Murtaḍá Muṭahharī, Falsafath Kenabian. Penerjemah Ahsin Muhahham, (Jakarta:

Pustaka Hidayah. 1991), h. 94. 22

Murtaḍá Muṭahharī, Epistemologi Islam, h. 131. 23

Murtaḍá Muṭahharī, Filsafat Moral Islam: Kritik atas Berbagai Pandangan

Moral. Penerjemah Muhammad Babul Ulum dan Edi Hendri M, (Jakarta: al-Huda, 2004), h.

159.

96

akal dan intuisi.24

Sebagai mana telah dijelaskan oleh Murtaḍá, bahwa kebenaran

yang didapatkan melalui akal juga merupakan kebenaran hakiki sebagaimana

kebenaran materi yang diagungkan oleh Karl Marx. Pada pembahasan ini, Murtaḍá

mencontohkan kebenaran teori rasional dalam menemukan planet Neptune.25

Murtaḍá kemudian menambahkan, bahwa kebenaran materi yang

disampaikan Marx mempunyai keterbatasan sejauh mata menjangkau. Sehingga

terkadang, teori-teori materialisme tak mampu membaca suatu kebenaran tertentu

yang belum diteliti atau yang belum ia jangkau. Murtaḍá mencontohkan kebenaran

mu’jizat seperti kelahiran Nabi Isa. Kalau ditinjau dari perspektif materialisme,

kelahiran Nabi Isa dari Maryam adalah keliru dan bertentangan dengan ilmu

pengetahuan. Menurut Murtaḍá fenomena tersebut bukanlah kekeliruan. ia

kemudian mengatakan bahwa perbedaan suatu keadaan dengan teori ilmiah tidak

berarti keadaanlah yang keliru, karena alam tidak mungkin berjalan tanpa adanya

sistem atau hukum alam. Keadaan tersebut menjelaskan bahwa ilmu pengetahuan

belum sampai pada tahapan tersebut. Mu’jizat tidak mungkin menabrak hukum

alam.26

Pada kesempatan berikutnya, Murtaḍá kemudian melanjutkan,

sesungguhnya perubahan hukum lama kepada yang baru bukanlah tanda bahwa

hukum yang lama itu keliru, namun hukum tersebut berganti kepada hukum baru

yang berbeda. Perbedaan itu disebabkan oleh perubahan objek dan syarat-syarat

yang tersedia. Jadi hukum yang lama benar sesuai dengan keadaan ketika

penelitian, kemudian hukum yang kedua benar sesuai dengan keadaan yang

terbaru. Dua hukum tersebut tidak saling menafikan, tetapi secara materi objeknya

telah berubah.27

Kebenaran materi sesungguhnya terikat dalam kerangka sejumlah

syarat tertentu dan terbatas, sehingga teori yang sama belum tentu bisa diterapkan

kepada objek yang sama dalam waktu dan keadaan yang berbeda, karena objek

tersebut juga telah ikut berubah sesuai perubahan waktu dan keadaan.

B. Kritik Murtaḍá Muṭahharī terhadap Teori Kebenaran René Descartes

René Descartes (1596-1650 M) merupakan tokoh rasional Barat yang

cukup terkenal. Ia mencoba mencari kebenaran yang hakiki melalui akal. Ia

berkeyakinan bahwa kebenaran dan kesesatan terletak dalam idea yang sudah

tertanam sejak ia lahir.28

Cogito ergo sum29

merupakan ungkapan yang menjadi

semboyan dalam teori kebenarannya. sedangkan metode dalam menemukan

24

Murtaḍá Muṭahharī, Pengantar Filsafat Islam, h. 54. 25

Murtaḍá Muṭahharī , Pengantar Epistemologi Islam, h. 208. 26

Murtaḍá Muṭahharī, Keadilan Ilahi: Asas Pandangan Dunia Islam. Penerjemah

Muhammad Abdul Mun’im al-Khaqani, (Bandung: Mizan, 2009), h. 130. 27

Murtaḍá Muṭahharī, Keadilan Ilahi ..., h. 129. 28

Ernita Dewi, “Meretas Makna Kebenaran Dalam Diskursus Filosofis”, dalam

Substantia, vol. 12, no. 1, April 2010, h. 350. 29

Cogito ergo sum merupakan pernyataan yang berasal dari bahasa latin. Arti dari

kalimat tersebut ialah aku berpikir, karena itu aku ada. Emma Dysmala Somantri,

“Epistemologi Hukum Islam Rasional-Empirik”, dalam Wawasan Hukum, vol. 26, no. 01,

Februari 2012, h. 490.

97

kebenaran disebut dengan “le daute methodique” (metode kesangsian).30

Mochammad Arifin mengatakan bahwa metode Descartes ini dalam kajian

epistemologi disebut dengan fondasionalisme, yaitu sebuah paham yang

mengatakan bahwa semua pengetahuan bertolak dari sebuah dasar atau fondasi

yang kebenarannya bersifat pasti dan berfungsi sebagai tolok ukur bagi semua

pengetahuan lainnya.31

Namun terdapat tambahan pendapat lain yang mengatakan

bahwa kepastian kebenaran tentang aku berpikir, maka aku ada didapatkan melalui

metode yang disebut sebagai Cartesian Doubt atau metode keraguan Descartes.32

Metode keraguan33

ialah proposisi apapun adalah salah (false) atau layak

dipertanyakan kebenarannya. Metode keraguan ini telah mampu mengantarkan

Descartes pada tahap pengetahuan yang kebenarannya tidak dapat diragukan lagi.

Keraguan menunjukkan suatu tindakan sikap mental murni yang

mempertanyakan dengan menanggapinya, ketidaksediaan untuk menyatakan atau

menerimanya. Descartes menggunakan keraguan untuk mulai mengatasi keraguan.

Salah satu cara untuk menentukan sesuatu yang pasti dan tidak dapat diragukan

ialah melihat seberapa jauh bisa diragukan. Keraguan bila diteruskan sejauh-

jauhnya, akhirnya akan membuka tabir yang tidak bisa diragukan, kalau hal itu

ada.34

Metode keraguan, pada dasarnya oleh Descartes hendak dijadikan suatu

tangga untuk menemukan metode yang ampuh dalam mencari kepastian dari

kebenaran hakiki suatu pengetahuan dan memastikan bahwa sesuatu yang ada itu

benar-benar ada dan bukan hanya khayalan semata. Metode ini kemudian menjadi

suatu fondasi dasar dari dalam rangka mencapai kebenaran yang hakiki.35

Descartes mengawali metode ini dengan meragukan dan menyingkirkan

berbagai keyakinan, pengalaman yang telah tertanam dalam diri kita.36

Menurut

Descartes kebenaran memang ada, namun itu dapat dikenal apabila jiwa kita bebas

dari pemikiran masa lalu, dan baru bernilai apabila secara metodis

diperkembangkan seperti dalam matematika.37

Hal tersebut menunjukkan bahwa

30

F. Budi Hardiman, Filsafat Modern: Dari Machiavelli sampai Nietzshe, (Jakarta:

Gramedia, 2007), h. 38. 31

Mochammad Arifin, “Epistemologi Rasionalisme Rene Descartes Dan

Relevansinya Terhadap Penafsiran al-Qur`An”, dalam Ilmu Ushuluddin, vol.17, no. 2, Juli-

Desember 2018, h. 148. 32

Ahmad Tafsir, Filsafat Umum, (Bandung: Remaja Rosdakarya, 1998), h. 111 33

Keraguan adalah keadaan gelisah dan tidak puas dari mana kita berjuang untuk

membebaskan diri dan menjadi yakin, sedangkan yang keyakinan adalah keadaan tenang dan

puas yang mana kita tidak ingin menghindari atau untuk mengubah suatu kepercayaan apa

pun. Sebaliknya, kita berpegang teguh, bukan hanya untuk percaya, tetapi untuk percaya apa

yang kita percaya. Afga Sidiq Rifai, “Kebenaran dan Keraguan dalam Studi Keislaman”,

dalam The Journal of Religious Research (JPA), vol. 20, no. 1, Januari-Juni 2019, h. 99. 34

Afga Sidiq Rifai, “Kebenaran dan Keraguan dalam Studi Keislaman”, dalam The

Journal of Religious Research (JPA), vol. 20, no. 1, Januari - Juni 2019, h. 99. 35

Cahaya Khaeroni, “Epistemologi Rasionalisme Rene Descarte Dan Relevansinya

Terhadap Pendidikan Islam”, dalam Didaktika Religia, vol. 2, no. 2 Tahun 2014, h. 189. 36

René Descartes, Meditations on First Philosophy, translator Elizabeth S. Haldane,

(Sydney: Cambridge University Press, 1911), h. 6. 37

Harun Hadiwijono, Sari Sejarah Filsafat Barat 2, (Yogyakarta: Penerbit Yayasan

Kanisius, 1980), h. 19.

98

Descartes berkeyakinan bahwa segala pengetahuan yang ada dalam diri seseorang

dapat diragukan. Cara untuk meragukan dan menolak berbagai pengetahuan

tersebut dapat dilakukan dengan menemukan alasan untuk meragukan pengetahuan

tersebut. Ketika kebenaran yang baru telah ditemukan dengan menggunakan alasan

tersebut, maka kebenaran pengetahuan yang lama yang berada dalam diri kita

dengan sendirinya akan hilang. Apapun yang “saya” terima sebagai hal yang

paling benar harus “saya” yakinkan baik dalam sense maupun melalui perasaan

tersebut. Akan tetapi seiring berjalannya waktu, saya menemukan bahwasanya

perasaan dan sense “saya” ternyata menipu. Akan bisa bijak jika “saya” tidak

mempercayai orang atau apapun yang telah menipu saya.38

Begitulah perkataan

Descartes.

Ketika “saya” menyangsikan segala hal, setidaknya yang tidak dapat

disangsikan ialah bahwa “saya sedang menyangsikan”. Saya sedang menyangsikan

segala sesuatu merupakan suatu kenyataan yang tidak dapat diragukan lagi, ia

bukanlah tipuan. Justru kesangsian ini menurut Descartes, yang membuktikan

kepada diri kita bahwa kita adalah nyata. Selama kita ini sangsi, kita akan

merasakan makin pasti bahwa kita benar-benar nyata-nyata ada dan meyakinkan.

Meskipun mau dibahasakan dan ditutupi sedemikian rupa, kepastian bahwa “aku

yang menyangsikan” itu ada tak bisa dibantah.39

Kesangsian ini akan menyadarkan

kita bahwa saya sangsikan. Kesangsian secara langsung menyatakan adanya

saya.40

Sedangkan keberadaan saya merupakan kebenaran yang lahir dari keraguan

yang sudah tidak dapat diragukan. Dengan kata lain Descartes memahami

kebenaran hakiki menurutnya merupakan keraguan yang tidak dapat diragukan

lagi.41

Descartes menjadikan dalil keraguan sebagai dalil keyakinan, sebagaimana

pernyataan yang dikemukakan oleh Descartes ‛Meskipun saya meragukan indera

dan akal serta meragukan adanya alam semesta ini, namun dalam diri saya masih

tetap tegak satu hakikat yang tidak mungkin mengandung keraguan, karena hakikat

tersebut semakin menambah keyakinan setiap kali saya bertambah ragu. Hakikat

itu ialah sesungguhnya saya sedang ragu-ragu. Artinya saya sedang berpikir,

karena keraguan adalah pemikiran; sedangkan pemikiran hanya terjadi dari zat

yang sedang berpikir. Zat yang berpikir itu adalah saya, sehingga kalaupun saya

meragukan tentang apakah saya sedang berpikir ataupun tidak, tetapi keraguan itu

sendiri merupakan dalil bahwa saya sedang berpikir. Kebenaran itu menurutnya

adalah keraguan yang tidak dapat diragukan lagi.42

Puncaknya Descartes sampai

pada ketetapan tentang adanya Tuhan dan mengetahui semua sifat

kesempurnaannya yang mesti ada menurut akal pikiran. Descartes merasa yakin,

38

René Descartes, Meditations on First Philosophy, h. 7. 39

F. Budi Hardiman, Filsafat Modern: Dari Machiavelli sampai Nietzsche,

(Jakarta: Gramedia, 2007), h. 38. 40

Berlen, Ringkasan Sejarah Filsafat, (Yogyakarta: Kanisius, 1979), h. 45. 41

Ernita Dewi, “Meretas Makna Kebenaran dalam Diskursus Filosofis”, dalam

Substantia, vol. 12, no. 2, Oktober 2010, h. 350. 42

Mursyid Fikri, “Rasionalisme Descartes dan Implikasinya Terhadap Pemikiran

Pembaharuan Islam Muhammad Abduh”, dalam Tarbawi, vo. 3, no. 2, Juli-Desember 2018,

h. 136.

99

semua kebenaran itu ada dan kebenaran-kebenaran tersebut dikenal dengan cahaya

yang terang dari akal budi.43

Kebenaran dapat dipahami melalui perantara khusus

yang diperoleh dengan teknik deduktif.

Penjelasan-penjelasan di atas dapat disimpulkan bahwa Descartes begitu

meyakini kebenaran yang hakiki hanya didapatkan melalui proses rasional dengan

metode kesangsian. Secara otomatis, berbagai pengetahuan di luar itu telah

terbukti membuat Descartes tertipu sehingga dapat diragukan kebenarannya.

Ketika keraguan itu muncul, maka pada saat itu pula pengetahuan itu bukanlah

kebenaran, karena baginya kebenaran adalah sesuatu yang pasti dan meyakinkan.

Dalam suatu kebenaran, tidak terdapat keraguan sedikit pun. Akal mempunyai

kedudukan istimewa bagi Descartes, hingga ia mengatakan bahwa tanpa

pengalaman, akal dengan mandiri sebenarnya mampu menemukan pengetahuan

(kebenaran). Menurut Descartes aktivitas akal sebenarnya lebih dulu dari

pengalaman inderawi, inilah yang kemudian ia sebut sebagai kebenaran apriori.

Dalam teori Innatenya Descartes menyatakan, sejak manusia lahir, akal sebenarnya

sudah punya norma-norma atau standar-standar yang bisa membimbing

pemiliknya untuk menemukan pengetahuan (kebenaran).44

Konsep Descartes tentang keraguan terhadap diri dibantah oleh Murtaḍá.

Murtaḍá mengkritiknya dengan menjelaskan bahwa mengetahui diri sendiri

menurut Murtaḍá ialah fitrah. Lahirnya ego sama dengan lahirnya sadar diri. Ego

adalah realitas. Realitas itu sendiri ialah mengenal diri. Maka pengetahuan seperti

ini tidak dapat dibayangkan keraguannya. Maka mustahil adanya keraguan dalam

kasus seperti ini. Di sinilah Descartes melakukan kesalahan yang sangat

fundamental. Dia tidak tahu bahwa “aku ada” tak menimbulkan keraguan,

sehingga tidak perlu meniadakannya dengan perkataan “aku berpikir, maka aku

ada”.45

Selain itu Murtaḍá menyoroti pandangan Descartes yang menolak indra

sebagai salah satu instrumen dalam meraih kebenaran, maka baginya tidak ada

kebenaran materi. Hal tersebut dibantah oleh Murtaḍá bahwa instrumen

pengetahuan tidak hanya indra, tetapi akal dan hati. Itu berarti kebenaran tidak

hanya didapatkan melalui akal, melainkan juga dengan indra dan hati.46

Menurut

Murtaḍá kita tidak dapat menafikan apa yang memang sudah nyata kita tahu dan

alami tentang fungsi indra dan hati dalam meraih kebenaran. Menurut Murtaḍá,

fakta tentang garam asin merupakan suatu kebenaran hakiki yang tidak bisa kita

pungkiri. Ia menambahkan seseorang tidak dapat memungkiri adanya siang dan

malam. Kesemuanya merupakan kebenaran empiris, di mana kebenarannya

didapatkan melalui pengalaman langsung melalui indra.47

Hal tersebut dapat

43

Harry Hamersma, Tokoh-Tokoh Filsafat Barat Modern, (Jakarta: Gramedia,

1992), h. 8. 44

Aguk Irawan MN, “Filsafat Pragmatisme-Kontemporer: Ikhtiar Awal Memahami

Teori Charles Sanders Peirce”, vol.10, no.1, September 2013, h, 4. 45

Murtaḍá Muṭahharī, Manusia dan Alam Semesta. Penerjemah Ilyas Hasan,

(Jakarta: Lentera Basritama, 2002), h. 250. 46

Murtaḍá Muṭahharī, Epistemologi Islam, h. 57. 47

Murtaḍá Muṭahharī, Pengantar Filsafat Islam: Filsafat Teoritis dan Filsafat

Praktis. Penerjemah M. Ilyas, (Yogyakarta: Rausyanfikr, 2003), h. 72.

100

dibuktikan dan diuji kebenarannya oleh orang lain. Suparlan dalam bukunya

mendukung pernyataan ini, kebenaran materi juga kebenaran hakiki yang ruang

lingkupnya sesuai dengan objek yang bersifat materi.48

Di samping itu pula, menurut Murtaḍá mengkritik teori Descartes tentang

akal sebagai satu-satunya sumber kebenaran. menurut Murtaḍá, akal memang ada

kalanya dapat membuktikan kebenaran secara pasti seperti adanya kepastian

tentang hasil dari 2+2 adalah 4. Tanpa indra pun akal dapat menemukan kebenaran

itu secara pasti dan meyakinkan. Namun pengetahuan tentang penjumlahan

tersebut bukan telah tertanam sejak lahir seperti yang dikatakan Descartes,

melainkan ia lahir seiring dengan pertumbuhan dalam mempelajari hal-hal yang

bersifat rasional. Pada mulanya manusia tidak mempunyai pengetahuan tentang

apapun, baru kemudian pada perkembangannya, pengetahuan mereka terus

bertambah.49

Hal tersebut dikuatkan bahwa anak yang masih kecil, belum belajar

tentang hal tersebut, maka ketika kita bertanya kepadanya mengenai penjumlahan

tersebut, maka anak kecil tersebut tidak bisa menjawabnya. Jika memang

pengetahuan tersebut sudah ada sejak lahir, seharusnya anak kecil sudah tahu

tentang penjumlahan tersebut.

Kritik berikutnya ialah bahwa berbagai teori kebenaran tertanam dalam

akal manusia, semuanya lahir dari akal itu sendiri, begitu kata Descartes. Murtaḍá

membantahnya dengan mengatakan bahwa teori-teori abstrak (konsep rasional)

yang tertanam di dalam akal seseorang, adakalanya merupakan abstraksi dari objek

indra atau materi yang pada tahap tertentu telah kehilangan sifat dan identitas

materinya.50

Di antaranya ialah teori-teori yang berkaitan dengan benda-benda

materi seperti konsep tentang kucing hitam. Karena konsep tersebut berasal dari

materi, maka untuk menguji kebenaran konsep tersebut, juga harus diverifikasi

kesesuaian konsep tersebut dengan materi yang bersangkutan. Murtaḍá

menekankan bahwa kebenaran pada dasarnya mempunyai ranah yang berbeda-

beda berdasarkan pada objek kajiannya. Kebenaran materi yang berkaitan dengan

indra dan objek materi hanya dapat dibuktikan melalui pengamatan indra.

Demikian pula dengan kajian yang bersifat rasional, yang hanya bisa dibuktikan

melalui dialog antar teori dalam akal.

C. Kritik Murtaḍá Muṭahharī terhadap Teori Kebenaran Auguste Comte

Auguste Comte (1798–1857 M) adalah salah satu tokoh positivisme yang

melandaskan pemikirannya pada fakta-fakta yang teramati.51

Dalam hal

pengetahuan, Auguste Comte tampaknya hanya menerima pengetahuan yang

bersifat faktual. Ia memahami fakta sebagai sesuatu yang lepas dari kesadaran

individu. Fakta positif merupakan suatu fakta yang riil, nyata dan dapat diuji atau

48

Suparlan Suhartono, Filsafat Ilmu Pengetahuan: Persoalan Eksistensi dan

Hakikat Ilmu Pengetahuan, (Jogjakarta: Ar Ruzz Media, 2005), h. 82. 49

Murtaḍá Muṭahharī, Fitrah: Menyingkap Hakikat, Potensi dan Jati Diri Manusia,

(Jakarta: Lentera, 2008), h. 45. 50

Murtaḍá Muṭahharī, Teori Pengetahuan: Catatan Kritis Atas Berbagai Isu

Epistemologis, penerjemah Muhammad Jawad Bafaqih, (Jakarta: Sadra Press, 2019), h. 76. 51

F. Budi Hardiman, Filsafat Modern, h. 204.

101

diverifikasi oleh setiap orang yang mau membuktikannya.52

Kenyataan baginya

adalah segala hal yang faktual. Karena kenyataan yang diakui Comte hanyalah

yang aktual empiris saja, maka pengetahuan dan konsep yang benar hanyalah yang

berlandaskan pada objek faktual.53

Hal ini yang kemudian Auguste Comte dapat dikategorikan sebagai filosof

empirisme. Kaum Empiris meyakini bahwa semesta adalah segala sesuatu yang

hadir melalui data inderawi, dengan kata lain pengetahuan manusia harus berawal

dari pengamatan empiris-inderawi. Positivisme mengembangkan klaim empiris

tentang pengetahuan secara ekstrem dengan mengatakan bahwa puncak

pengetahuan manusia adalah ilmu-ilmu berdasarkan pada fakta-fakta keras, terukur

dan teramati.54

Comte mengatakan bahwa suatu pembawa kebenaran dapat

dikatakan benar manakala pernyataan itu telah diverifikasinya hingga sampai pada

kebenaran yang dimaksud.55

Dampak dari pemikirannya yang hanya menerima

kebenaran pengetahuan yang berdasarkan pada fakta positif itu kemudian

menjadikannya menolak berbagai pengetahuan di luarnya, termasuk kebenaran

metafisik.

Di tengah pemikiran yang begitu materialistik, Comte menyebutkan bahwa

masyarakat sebenarnya mengalami proses-proses yang terus menerus mengalami

perubahan sesuai dengan konsensus. Masyarakat menurutnya disatukan dalam

naungan sebuah konsensus. Penerapan metode positif dalam masyarakat tersebut

menjelaskan kepada kita bahwa dalam metode positif terdapat peran kesepakatan

dalam menentukan kebenaran. Hal ini akan melahirkan bahwa ketika suatu teori

secara empiris dianggap benar oleh masyarakat, maka di saat itu pula teori tersebut

benar adanya. Dalam kesempatan yang berbeda, kebenaran tersebut bisa berbeda

dengan yang pertama ketika masyarakat telah menyepakati teori yang berbeda.

Maka kedua kebenaran yang dianggap oleh masyarakat yang berbeda tersebut

sama-sama menemukan kebenaran berdasarkan masyarakat tertentu yang memang

berbeda.56

Pemikiran ini kemudian dikritik oleh Murtaḍá. Comte tampaknya lupa

bahwa pada dasarnya fakta dipengaruhi oleh sudut pandang seseorang. Fakta yang

dijadikan landasan kebenaran Comte merupakan perspektif dari manusia tentang

suatu fakta. Maka sesungguhnya pada setiap masa, pandangan tentang fakta akan

terus mengalami perubahan sesuai dengan kemampuan dan kondisi manusia. Maka

secara tidak langsung, kebenaran yang dirumuskan oleh Comte adalah kebenaran

yang disepakati. Hal tersebut sejalan dengan apa yang telah diungkapkan

Muhammad Chabibi, yang mengatakan bahwa kebenaran menurut Comte

52

Koento Wibisono. Arti Perkembangan menurut Positivisme Comte, (Yogyakarta:

Gadjah Mada University Press, 1996), h. 17. 53

F. Budi Hardiman, Filsafat Modern, h. 213. 54

Muhammad Chabibi, “Hukum Tiga Tahap Auguste Comte dan Kontribusinya

terhadap Kajian Sosiologi Dakwah”, dalam Nalar, vol. 3, no. 1, Juni 2019, h. 15-16. 55

Ichwan Supandi Aziz, "Karl Raimund Popper dan Auguste Comte (Suatu

Tinjauan Tematik Problem Epistemologi dan Metodologi)”, dalam Jurnal Filsafat, no. 3,

Desember 2003, h. 256. 56

Muhammad Chabibi, “Hukum Tiga Tahap Auguste Comte dan Kontribusinya

terhadap Kajian Sosiologi Dakwah”, h. 17.

102

ditentukan oleh seberapa besar masyarakat menerima dan bersepakat atas

kebenaran tersebut. Teori bumi sebagai pusat orbit tata surya yang dirumuskan

oleh Ptolemaios merupakan kebenaran. Teori Copernicus dan Galileo juga

merupakan suatu kebenaran, karena masyarakat menerimanya sesuai dengan

masanya.57

Hal semacam ini dikritik oleh Murtaḍá. Menurut Murtaḍá kebenaran

adalah tidak plural dan tidak mengalami perubahan-perubahan.58

Kritik Murtaḍá terhadap Comte tampaknya salah alamat, karena kebenaran

yang dihasilkan dari kesepakatan masyarakat tersebut tampaknya berlaku pada

praktek metode sains positivis terhadap realitas sosial yang begitu kompleks dan

mempunyai karakteristik yang berbeda dengan ilmu alam. Menurut Ulfatun

Hasanah, Perbedaan karakteristik antara ilmu alam dan sosial ialah sebagai berikut.

(1) gejala sosial lebih kompleks dibandingkan gejala alam. Jika seorang guru,

misalnya, menghukum anak didiknya dengan merotan, maka hukum-hukum ilmu

kimia, ilmu alam dan ilmu fisiologi mungkin mampu menerangkan sebagian dari

kejadian tersebut, tetapi hal yang lebih asasi dari itu tidak akan terjangkau oleh

penjelasan tersebut, (2) seorang ahli ilmu kimia atau ahli fisika bisa mengulangi

kejadian yang sama tiap waktu dan mengamati suatu kejadian secara langsung,

sedangkan ahli ilmu sosial tidak mungkin melihat, mendengar, meraba, mencium

atau menangkap gejala yang sudah terjadi di masa lalu. Seorang ahli ilmu jiwa

tidak mungkin mencampurkan ramuan-ramuan ke dalam tabung reaksi untuk bisa

merekonstruksi masa kanak-kanak seorang manusia dewasa, (3) gejala fisik pada

umumnya bersifat seragam dan gejala tersebut dapat diamati sekarang, sementara

gejala sosial banyak yang unik, kompleks dan sukar untuk terulang, (4) gejala fisik

seperti halnya unsur kimia bukanlah suatu individu, melainkan suatu barang mati,

sehingga ahli ilmu alam tidak perlu memperhitungkan tujuan atau motif dari planet

atau lautan. Akan tetapi, seorang ahli ilmu sosial harus mempelajari manusia yang

memiliki tujuan, keinginan dan pilihan, sehingga gejala sosial selalu berubah

sesuai dengan tindakan manusia yang didasari keinginan dan pilihan tersebut.59

Penjelasan Ulfatun memberikan penjelasan kepada kita bahwa dalam ilmu

pengetahuan sosial memang berlaku perubahan-perubahan fakta yang disebabkan

oleh pengaruh keinginan, tujuan dan pilihan kolektif dari manusia. Di situlah

sebenarnya lahir kesepakatan-kesepakatan dan perubahan dari masa ke masa yang

kemudian berdampak kepada kebenaran dari teori tersebut. Inilah yang disoroti

oleh Murtaḍá. Akan tetapi pada dasarnya Auguste Comte berbeda dalam

menyikapi pengetahuan alam tidaklah sama, karena objeknya merupakan benda

mati yang tak memeliki perubahan-perubahan keinginan.

Pada paragraf selanjutnya Ulfatun melanjutkan dengan kalimat yang

tampak seperti bertentangan dengan yang ia utarakan. Menurutnya meskipun teori

kebenaran pengetahuan positivis dilandaskan pada kenyataan faktual, namun

pengetahuan kita pada prinsipnya tak pernah selesai dan relatif, sesuai dengan sifat

57

Murtaḍá Muṭahharī, Pengantar Epistemologi Islam, h. 221-222. 58

Murtaḍá Muṭahharī, Filsafat Hikmah: Pengantar Kepada Pemikiran Sadra,

Penerjemah Tim Penerjemah Mizan, (Bandung: Mizan, 2002), h. 77. 59

Ulfatun Hasanah, “Kontribusi Pemikiran Auguste Comte (Positivisme) terhadap

Dasar Pengembangan Ilmu Dakwah”, dalam Al-I’lam, vol. 2, no 2, Maret 2019, h. 75.

103

relatif dan semangat positif.60

Pandangan ini mengarah kepada teori kebenaran

pengetahuan sains positivis. Pendapat ini kemudian dikuatkan oleh Chabibi yang

mengatakan bahwa pada tahap perkembangan manusia pada level tertinggi yang

Comte sebut sebagai tahap positif, manusia tampil sebagai sosok yang percaya

terhadap data-data empiris sebagai sumber akhir dari kebenaran pengetahuan.

Namun yang menarik ialah Chabibi mengatakan bahwa kebenaran tersebut bersifat

sementara dan tidak mutlak.61

Pandangan ini merupakan argumen yang ikut serta dalam menguatkan

pendapat Murtaḍá yang mengatakan bahwa pandangan Comte tentang kebenaran

adalah relatif. Maka dari itu, Murtaḍá mengatakan bahwa kebenaran yang relatif

tidak dapat dipertanggung jawabkan, karena akan terdapat kebenaran yang

berubah-ubah dan akan melahirkan lebih dari satu kebenaran dalam waktu dan

kondisi yang berbeda. Dalam pandangan Murtaḍá Muṭahharī, kebenaran adalah

tidak berubah dan hanya satu. Jadi ketika ada dua teori tentang suatu hal, maka

salah satu dari teori tersebut adalah keliru.62

Murtaḍá kemudian memberikan contoh kekeliruan tentang kebenaran

relatif yaitu tentang relativisme suhu yang dirasakan dua individu dalam kondisi

dan keadaan yang berbeda. Pada air dengan suhu tertentu (800), dua orang yang

berbeda akan merasakan temperatur yang berbeda. Ketika orang kedua kondisi

tangannya sebelum menyentuh air, ia memegang es, maka ia akan merasakan suhu

lebih dingin dari pada orang pertama. Pada saat itu akan muncul dua kebenaran

yang berbeda. Kebenaran tersebut menurut Murtaḍá adalah semu, karena suhu

yang sebenarnya adalah 800. Di situlah sebenarnya kebenaran merupakan hal yang

tidak berubah dan satu. Itulah yang disebut kebenaran hakiki oleh Murtaḍá.63

Kritik lain dari Murtaḍá terhadap Comte ialah tentang fanatisme Auguste

Comte terhadap kebenaran positif. Sebenarnya dalam kritik ini, Murtaḍá tidak

menyebut nama Comte secara spesifik. Ia hanya mengkritik berbagai pandangan

yang fanatik pada satu pandangan kebenaran yang kemudian menolak pandangan

kebenaran hakiki lainnya.

Di berbagai literatur telah disebutkan bahwa Auguste Comte dengan teori

positifnya telah memberikan implikasi yang luar biasa, bahwa kebenaran selain

kebenaran positif tidak dapat dikatakan sebagai kebenaran hakiki, karena ia anggap

sebagai pengetahuan yang melebihi kenyataan faktual berupa materi. Jika memang

demikian, maka manusia akan kehilangan banyak pengetahuan, karena pada

kenyataannya manusia menganut pengetahuan yang tak berkaitan dengan objek

empiris. Menurut Murtaḍá, selain kebenaran positif yang dikatakan Comte,

terdapat beberapa kebenaran hakiki yang seharusnya juga diterima sebagai

kebenaran sebagaimana kebenaran teori positif. Kebenaran tersebut di antaranya

ialah kebenaran rasional dan kebenaran metafisik.64

60

Ulfatun Hasanah, “Kontribusi Pemikiran Auguste Comte (Positivisme) terhadap

Dasar Pengembangan Ilmu Dakwah”, h. 75. 61

Muhammad Chabibi, “Hukum Tiga Tahap Auguste Comte dan Kontribusinya

terhadap Kajian Sosiologi Dakwah”, h. 20. 62

Murtaḍá Muṭahharī, Pengantar Epistemologi Islam, h. 251. 63

Murtaḍá Muṭahharī, Pengantar Epistemologi Islam, h. 251-253. 64

Murtaḍá Muṭahharī, Manusia dan Alam Semesta, h. 188.

104

Manusia tidak dapat menolak kebenaran dua kebenaran tambahan ini,

karena fakta pengetahuan tidak hanya bersifat materi belaka, namun juga bersifat

non materi berupah objek akal dan objek hati yang metafisik. Hal tersebut juga

merupakan suatu realitas. Setelah ditelusuri lebih dalam, Comte ternyata juga

menerima pengetahuan yang bersifat rasional, meskipun dalam teori positifnya ia

menolak berbagai pengetahuan di luar positif. Ketika ia membagi pengetahuan,

Comte justru menjadikan matematika sebagai salah satu pengetahuan yang paling

valid yang kebenarannya tak dapat diragukan dan bahkan matematika oleh Comte

dianggap sebagai dasar ilmu yang lain.65

Bukankah matematika merupakan bagian

dari pengetahuan yang tak berobjek kasar.

Irham Nugroho mempunyai pendapat yang berbeda mengenai pembagian

matematika sebagai ilmu. Irham justru mengatakan bahwa Comte tidak

mengategorikan matematika sebagai sebuah ilmu pengetahuan layaknya biologi,

melainkan suatu alat berpikir logik.66

Meskipun Comte memandang matematika

bukanlah ilmu, tetapi ia memberikan posisi yang begitu tinggi kepada matematika

hingga logika ia klaim mempunyai peranan yang amat penting dalam rangka

pengelolaan data-data empiris yang didapatkan melalui pengalaman langsung pada

objek materi. Pandangan Ichwan Supandi Aziz ini tampak sejalan dengan pendapat

Irham mengenai status matematika dalam teori positivis.67

Jika kita amati tulisan Comte yang telah ditulis ulang oleh Harriet

Martineau dengan berjudul The Positive Philosophy of Auguste Comte, dijelaskan

bahwa Comte menyebut matematika sebagai perfect science. Secara jelas Comte

mengatakan bahwa matematika merupakan bagian dari ilmu (science).68

Penyebutan istilah ilmu atau sains terhadap matematika tidak hanya satu kali,

melainkan beberapa kali seperti yang di tuliskan pada halaman yang sama ia

menyebut dengan istilah science of Magnitudes. Pada halaman 67 ia kembali

menyebut matematika sebagai ilmu dengan istilah mathematical science.69

Berdasarkan ini, tampak jelas bahwa Comte menganggap matematika sebagai

sains seperti biologi dan lainnya.

Meskipun Comte benar-benar tidak menjadikan matematika sebagai ilmu,

namun menurut Horkheimer, Comte sebarnya tidak konsisten dengan teorinya dan

ia menganggap Comte telah diam-diam membangun sebuah teori yang begitu

kontemplatif dan membangun mitos baru berupa rasionalitas instrumental.70

Ketika

Comte menganalisa masyarakat sosial menggunakan teori positif, di situlah Comte

telah memasukkan nilai-nilai masyarakat yang kemudian melahirkan perubahan-

65

Harry Hamersma, Tokoh-Tokoh Filsafat Barat Modern, h. 56. 66

Irham Nugroho, “Positivisme Auguste Comte: Analisa Epistemologis dan Nilai

Etisnya Terhadap Sains”, dalam Cakrawala, vol. xi, no. 2, Desember 2016, h. 172. 67

Ichwan Supandi Aziz, "Karl Raimund Popper Dan Auguste Comte (Suatu

Tinjauan Tematik Problem Epistemologi dan Metodologi)”, dalam Jurnal Filsafat, no. 3,

Desember 2003, h. 254. 68

Harri Martineau, The Positive Philosophy of Auguste Comte, (Kitchener: Batoche

Books, 2000), h. 56. 69

Harri Martineau, The Positive Philosophy of Auguste Comte , h. 67. 70

Luthfiyah, “Kritik Modernitas Menuju Pencerahan: Perspektif Teori Kritis

Mazhab Frankfurt”, dalam Tajdid, vol. 2, no. 1, April 2018, h. 281-282.

105

perubahan pada teori tersebut. hal ini menunjukkan inkonsistensi Comte yang pada

awalnya mengatakan bahwa kebenaran hakiki adalah bebas nilai. Di sinilah

sebenarnya teori kebenaran pengetahuan yang dibangun Comte pada dasarnya

telah melebihi realitas faktual itu sendiri. Oleh karena itu, Comte telah melanggar

aturan yang dibuatnya sendiri.71

Penjelasan di atas menjelaskan bahwa kebenaran bagi Murtaḍá tidak hanya

didapatkan pada pengetahuan yang diraih oleh pancaindra, namun juga terdapat

kebenaran lain yang kebenarannya dapat dipertanggung jawabkan seperti

kebenaran logis dan kebenaran metafisik. Keduanya adalah kebenaran yang

mempunyai ranah masing-masing. Cara membuktikannya pun sesuai dengan

ranahnya, sehingga kebenaran tentangnya akan tersingkap.

71

Ulfatun Hasanah, “Kontribusi Pemikiran Auguste Comte (Positivisme) terhadap

Dasar Pengembangan Ilmu Dakwah”, h. 77.

106

107

BAB VI

PENUTUP

A. Kesimpulan

Diskusi tentang teori kebenaran Murtaḍá Muṭahharī telah disajikan dari bab

i hingga bab v. Berdasarkan kajian tersebut, dapat disimpulkan bahwa kebenaran

menurut Murtaḍá Muṭahharī merupakan persesuaian antara pembawa kebenaran

dengan hakikat sebagaimana adanya. Dengan kata lain, dapat dipahami bahwa

kebenaran terletak pada sejauh mana subjek mempunyai pengetahuan tentang objek.

Murtaḍá mengatakan bahwa objek tidak hanya berupa materi, tetapi juga bisa berupa

hal yang bersifat rasional dan intuitif. Kebenaran yang bersifat materi dapat

dibuktikan dengan adanya persesuaian tentang adanya konsep siang dan malam yang

kemudian dapat dibuktikan oleh indra bahwa terdapat siang dan malam. Namun juga

terdapat realitas yang tak bersifat materi seperti segi empat. Segi empat adalah

realitas immateri yang dalam menguji kebenarannya menggunakan argumen

rasional. Segi empat dapat dikatakan benar bukan karena ada materi yang berbentuk

segi empat, namun segi empat dikatakan benar ketika ia bersesuaian dengan konsep

rasional yang sudah baku mengenai karakteristik segi empat. Begitu pula dengan

kebenaran intuitif, seperti hakikat Tuhan. Hakikat Tuhan secara mendalam tidak

dapat dicapai melalui pengelaman empiris maupun rasional karena bersifat

transenden. Maka kebenaran tentang hakikat Tuhan, hanya bisa dicapai melalui

pengalaman spiritual secara langsung melalui hati. Kesemua kebenaran tersebut

tidak saling bertentangan, justru akan saling melengkapi karena antara satu dengan

yang lainnya mempunyai ranah masing-masing. Pembeda antara teori kebenaran

Murtaḍá dengan yang lain ialah Murtaḍá mengkompromikan teori kebenaran Islam

dan Barat yang pada mulanya saling meniadakan. Murtaḍá mengambil sisi

kebenaran yang ada pada teori Barat.

Kritik Murtaḍá mengacu pada pandangan Barat yang menerima kebenaran

hanya dari satu aspek dan menolak kebenaran lainnya, pencampuradukan metode

pembuktian kebenaran dengan objek yang tak seharusnya, sehingga menghasilkan

teori yang salah. Demikian juga kritiknya terhadap Karl Marx. Ia mengatakan bahwa

Marx telah melakukan kesalahan karena telah mengukur semua kebenaran

berdasarkan materi belaka dan membuktikan kebenaran objek immateri seperti

kebenaran Tuhan dengan pembuktian berdasarkan indra. Menurut Murtaḍá

membuktikan objek yang bersifat immateri hanya bisa dibuktikan menggunakan alat

yang bersifat immateri pula seperti akal dan hati. Jika ingin mengetahui kebenaran

tentang keberadaan Tuhan, maka dengan logika melalui tanda-tanda yang telah ada.

Jika ingin Tahu secara langsung tentang kebenaran Tuhan, maka harus mengalami

langsung secara batin. Kritik Murtaḍá terhadap Descartes tertuju pada teori

Descartes yang mengatakan bahwa satu-satunya tolok ukur kebenaran sudah

tertanam dalam benak seseorang sejak lahir. Murtaḍá mengatakan yang ada sejak

lahir dalam diri seseorang hanyalah potensi untuk mencapai kebenaran rasional.

Dalam perjalanan hidup manusia, potensi tersebut dapat diasah sehingga lahirlah

pengetahuan dan kebenaran seiring dengan perjalanan waktu. Berkaitan dengan

konsep Descartes tentang “aku berpikir, maka aku ada”, Murtaḍá menilai Descartes

108

telah melakukan kesalahan. Kesalahan tersebut terdapat pada keraguan terhadap diri.

Menurut Murtaḍá, untuk mencapai kebenaran tentang keberadaan diri seseorang

tidak perlu meragukannya, karena keberadaan aku (yang oleh Murtaḍá juga disebut

dengan mengenal diri) tidak menimbulkan keraguan sama sekali, sehingga tidak

mungkin keberadaan diri dapat diragukan. Dengan meragukan diri itu,

sesungguhnya Descartes telah melakukan kesalahan fatal. Auguste Comte tentang

kebenaran empirisnya. Murtaḍá mengklaim bahwa kebenaran yang ditawarkan oleh

Comte adalah nisbi. Menurutnya pandangan yang ditawarkan oleh Comte adalah

kebenaran perspektif tentang fakta. Karena kebenaran tersebut adalah perspektif,

maka setiap saat akan terus mengalami perubahan, sesuai dengan kemampuan dan

kondisi manusia. Maka secara tidak langsung, teori positivisme Comte oleh Murtaḍá

diklaim sebagai kebenaran kesepakatan, karena landasan kebenarannya tergantung

sejauh mana, kebenaran tersebut diterima oleh masyarakat. Padahal menurut

Murtaḍá kebenaran tidak mengenal masa dan perubahan. Kebenaran bagi Murtaḍá

ialah tidak mengalami perubahan.

B. Kritik dan Saran

1. Kritik

Dalam membahas teori kebenaran, Murtaḍá menjelaskan bahwa terdapat

hal-hal yang dapat menghalangi seseorang sampai pada kebenaran hakiki. Salah

satu dari hal-hal tersebut ialah fanatisme. Dalam kajian fanatisme Murtaḍá

menekankan bahwa fanatisme terhadap apapun, baik terhadap tokoh maupun

madzhab akan menghalangi seseorang pada kebenaran. Fanatisme baginya akan

mempersempit pengetahuan seseorang, membuat seseorang tidak merdeka serta

menjadikan pola pikir seseorang menjadi tumpul. Di situlah sebenarnya awal

mula tertutupnya seseorang dari kebenaran.

Pada kenyataannya Murtaḍá sendiri telah melakukan yang dilarangnya

yaitu berupa fanatisme terhadap sosok Imam Ali. Dalam buku “Epistemologi

Islam”, Murtaḍá secara tegas mengatakan bahwa segala hal yang keluar dari

Imam Ali adalah kebenaran dan dapat dijadikan suatu hujjah. Hal ini kemudian

membuat penulis berpikir bahwa dalam pemikiran Murtaḍá tentang kebenaran

terdapat kemungkinan bias fanatisme tersebut.

2. Saran

Perlu diadakan penelitian lebih lanjut mengenai sisi teori kebenaran yang

terdampak bias fanatisme Murtaḍá Muṭahharī terhadap tokoh seperti yang telah

dijelaskan pada kritik.

Para akademisi perlu mengkaji lebih dalam lagi mengenai teori

kebenaran Murtaḍá untuk mengembangkan lebih baik lagi. Di samping itu juga

perlu penelitian mengenai pengaruh teori kebenaran atau secara umum dampak

pemikiran Murtaḍá terhadap masyarakat Indonesia, mengingat pemikiran

Murtaḍá telah diajarkan di berbagai kampus dan buku bukunya telah tersebar di

berbagai penjuru Indonesia.

109

DAFTAR PUSTAKA

Referensi Buku

Al-Attas, Muhammad Naquib, Filsafat dan Praktek Pendidikan Islam Syed M.

Naquib al-Attas (Hamid Fahmy, dkk., terj.), (Bandung: Mizan, 2003).

Algar, Hamid, “Hidup dan Karya Murtaḍá Muṭahharī”, dalam Murtaḍá

Muṭahharī, Filsafat Hikmah (Tim Penerjemah Mizan, terj.), (Bandung:

Mizan, 2002).

Angles, Peter L., A Dictionary of Philosophy, (London: Harper & Row

Publishers, 1981).

Anshari, Endang Saifuddin, Ilmu Filsafat dan Agama, (Surabaya: PT. Bina Ilmu,

1987).

Arif, Oesman, Dasar-Dasar Ilmu Filsafat Timur dan Barat, (Solo: Matakin,

2009).

Armstrong, Karen, Sejarah Tuhan: Kisah 4.000 Tahun Pencarian Tuhan dalam

Agama-Agama Manusia (Zaimul Am, terj.), (Bandung: Mizan, 2011).

Arnando, Nina, Ensiklopedia Islam, (Jakarta: Ichtiar Baru Van Hoeve, 2005).

Asay, Jamin, The Primitivist Theory of Truth, (New york: Cambridge University

Press, 2013).

https://books.google.co.id/books?id=3VICAQAAQBAJ&pg=PA12&dq=

Theories+of+Truth&hl=en&sa=X&ved=0ahUKEwi3z9K43I3iAhUIXis

KHYLpAXYQ6AEITDAG#v=onepage&q=Theories%20of%20Truth&f

=false.

Bagir, Haidar, “Suatu Pengantar Kepada Filsafat Islam Pasca Ibn Rusyd”, dalam

Murtaḍá Muṭahharī, Filsafat Hikmah (Tim Penerjemah Mizan, terj.),

(Bandung: Mizan, 2002).

..........., Murtaḍá Muṭahharī Sang Mujahid, (Bandung: Yayasan Muṭahharī,

1988).

Bagus, Loren, Kamus Populer Filsafat, (Jakarta: Gramedia, 1996).

Baiquni, Ahmad, & Bakhtiar, Azam, Epistemologi Tasawuf: Sebuah Pengantar,

(Bandung: Mizan, 2017).

Bakhtiar, Amsal, Filsafat Agama, (Jakarta: RajaGrafindo Persada, 2007).

..........., Filsafat Ilmu, (Jakarta: Rajagrafindo Press, 2012).

Baqir, Haidar, Epistemologi Tasawuf: Sebuah Pengantar, (Bandung: Mizan,

2017).

..........., Membincang Metodologi Ayatullâh Murtaḍá Muṭahharī, (Yogyakarta:

UGM, 2004).

Berlen, Ringkasan Sejarah Filsafat, (Yogyakarta: Kanisius, 1979).

Bertens, K., Etika, (Jakarta: Gramedia, 2007).

..........., Filsafat Barat Kontemporer: Inggris-Jerman, (Jakarta: Gramedia, 2002).

110

..........., Kata Pengantar, dalam Aristoteles, Nicomachean Ethics: Sebuah Kitab

Suci Etika (Embun Kenyowati, terj.), (Jakarta: Teraju, 2004).

..........., Ringkasan Sejarah Filsafat, (Yogyakarta: Kanisius, 2011.

Biyanto, Filsafat Ilmu dan Ilmu Keislaman, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2015).

Brophy, Peter, Narrative-based Practice, (New York: Rutledge, 2016).

Cohen, Jack dkk, (eds.), Marx and Engels Collected Works, vol. 5,

(United Kingdom: Lawrence and Wishart).

Daldiyono, Bagaimana Dokter Berpikir dan Bekerja, (Jakarta: Gramedia, 2006).

Descartes, René, Meditations on First Philosophy (Elizabeth S. Haldane, tran.),

(Sydney: Cambridge University Press, 1911).

Driyarkara, Karya Lengkap Driyarkara, (Jakarta: Kompas, 2006).

Dua, A. Sonny Keraf dan Mikhael, Ilmu Pengetahuan: Sebuat Tinjauan Filosofis

(Yogyakarta: Kanisius, 2010).

Esposito, Jhn L., The Oxford Encyclopedia of The Modern Islamic Word (Eva Y.

N., dkk, terj.), jilid. 4, (Bandung: Mizan, 2001).

Faqih, Mansour, Jalan Lain Manifesto Intelektual Organik, (Yogyakarta:

Pustaka Pelajar, 2002).

Garvey, James 20 Karya Filsafat Terbesar (C.P Mulyatno Pr., terj.),

(Yogyakarta: Kanisius, 2010).

al-Ghazālī, al-Munqidh min al-Ḍalāl, (Bairūt: Dāru al-Kutub al-ʻIlmiyyah,

1988).

..........., Tahafut al-Falasifah (Ahmad Maimun, terj.), (Yogyakarta: Grup Relasi

Inti Media, 2015).

Hadiwijono, Harun, Sari Sejarah Filsafat Barat 2, (Yogyakarta: Kanisius,1989).

Hamdani, Filsafat Sains, (Bandung, Pustaka Setia, 2011)

Hamdi, Ahmad Zainul, Tujuh Filsuf Muslim: Pembuka Pintu Gerbang Filsafat

Barat Modern, (Yogyakarta: Pustaka Pesantren, 2004).

Hamersma, Harry, Tokoh-Tokoh Filsafat Barat Modern, (Jakarta: Gramedia,

1992).

Harahap, Syahrin, Metodologi Studi Tokoh Pemikiran Islam, (Jakarta: Istiqamah

Mulya Press, 2006).

Hardiman, F. Budi, Filsafat Modern: Dari Machiavaelli Sampai Nietzsche,

(Jakarta: Gramedia, 2007).

Harjana, A.Mangun, Isme-isme dalam Etika dari A Sampai Z, (Yogyakarta:

Kanisius, 1996).

Hartoko, Dick, Kamus Populer Filsafat, (Jakarta: Rajawali, 1986).

Hasan, Abdillah, Tokoh Mashur Dunia Islam, (Surabaya: Jawara, 2004).

Higgins, Robert C.Solomon dan Kathleen M., Sejarah Filsafat (Saut Pasaribu,

terj.), (Yogyakarta: Yayasan Bentang Budaya).

111

Islam, Dewan Ensiklopedi, Ensiklopedi Islam, (Jakarta: Ichtiar Baru Van Hoeve,

1997).

Ismail, Sanusi, Filsafat Sejarah Wacana Tentang Kausalitas dan Kebebasan

dalam Kehidupan Kolektif, (Banda Aceh: ar- Raniry Press, 2012).

Istanti, Kun Zachrun, Metode Penelitian Filologi dan Penerapannya,

(Yogyakarta: Elmatera, 2010).

J. Sudarminta, Epistemologi Dasar, (Yogyakarta: Kanisius, 2002).

Junaedi, Mahfud, Paradigma Baru Filsafat Pendidikan Islam, (Depok: Kencana,

2017).

Kamal, Zainun, Ibn Taymiyah Versus Para Filosof Polemik Logika, (Jakarta:

Raja Grafindo Persada, 2006).

Kartanegara, Mulyadhi, Nalar Religius; Memahami Hakikat Tuhan, Alam, dan

Manusia, (Jakarta: Erlangga, 2007).

Kartanegara, Mulyadi Pengantar Epistemologi Islam, (Bandung: Mizan, 2003).

..........., Nalar Religius, (Jakarta: Erlangga, 2007).

Keraf, A. Sonny, & Dua, Mikchael, Ilmu Pengetahuan: Sebuah Tinjauan

Filosofis, (Yogyakarta: Kanisius, 2010).

Khuza‟i, Rodliyah, Dialog Epistemologi Mohammad Iqbal Dan Charles S.

Peirce, (Bandung: Refika Aditama, 2007).

Kirkham, Richard L., Theories of Truth, (Cambridge: Massachusetts Institute of

Technology Press (MIT Press), 1992).

Labib, Muhsin, Filosof Sebelum dan Sesudah Mulla Shadra, (Jakarta: Lentera,

2005).

..........., Pemikiran Filsafat M.T Miṣbāḥ Yazdī, (Jakarta: Sadra Press, 2011).

Latif, Mukhtar Orientasi Ke Arah Pemahaman Filsafat Ilmu, (Jakarta: Prenada

Media Group, 2016).

Lubis, Akhyar Yusuf, Filsafat Ilmu: Klasik Hingga Kontemporer, (Depok:

Rajawali Press, 2016).

..........., Paradigma Positivisme dalam Epistemologi Pasca Positivisme, dalam

Heraty Noerhadi (ed.), Berpijak Kepada Filsafat: Kumpulan Sinopsis

Disertasi Program Pascasarjana Filsafat Fakultas Ilmu Pengetahuan

Budaya Universitas Indonesia, (Depok: Komunitas Bambu, 2013).

M. Solihin, Perkembangan Pemikiran Filsafat Dari Klasik Hingga Modern

(Bandung: Pustaka Setia, 2007).

Magee, Bryan, The Story of Philosophy, Penerjemah Marcus Widodo dan

Hardono Hadi (Yogyakarta: Kanisius, 2012).

Manzhur, Ibnu, Lisān al-‘ Arab, (Beirut: Dār Shādir, 1412/1992).

Marsaoly, M. Said, “Memotret Muṭahharī Lebih Dekat: Sebuah Biografi”,

pengantar dalam Murtaḍá Muṭahharī, Mengapa Kita Diciptakan

(Mustamin Al Mandary, terj.), (Yogyakarta: Rausyan Fikr Institute,

2013).

112

Martineau, Harri, The Positive Philosophy of Auguste Comte, (Kitchener:

Batoche Books, 2000).

Mishbah, Yazdi, M.T., Iman Semesta (Ahmad Marzuki Amin, terj.), (Jakarta: al-

Huda, 2005).

Muchsin, Misri A., Filsafat Sejarah dalam Islam Landasan Konsepsi dan

Prospektif, (Banda Aceh: ar-Raniry Press 2005).

Muṭahharī, Murtaḍá, Bedah Tuntas Fitrah. Mengenal Jati Diri, Hakikat dan

Potensi Kita, (Jakarta : Citra, 2011).

..........., Belajar Konsep Logika: Menggali Struktur Berpikir ke Arah Konsep

Filsafat (Ibrahim Husein Al-Habsyi, terj.), (Yogyakarta: Rausyanfikr

Institute, 2013).

..........., Ceraman-Ceramah Seputar Persoalan Penting Agama dan Kehidupan

(Ahmad Subandi, terj.), (Jakarta: Lentera Basritama, 2000).

..........., Falsafath Kenabian (Ahsin Muhahham, terj.), (Jakarta: Pustaka Hidayah.

1991).

..........., Filsafat Agama dan Kemanusiaan (Arif Maulawi, terj.), (Yogyakarta:

Rausyanfikr, 2013).

..........., Filsafat Hikmah: Pengantar Kepada Pemikiran Sadra (Tim Penerjemah

Mizan terj.), (Bandung: Mizan, 2002).

..........., Filsafat Moral Islam: Kritik atas Berbagai Pandangan Moral

(Muhammad Babul Ulum dan Edi Hendri M, terj.), (Jakarta: al-Huda,

2004).

..........., Fitrah: Menyingkap Hakikat Potensi dan Jati Diri Manusia (H. Afif

Muhammad, terj.), (Jakarta: Lentera, 2008).

..........., Keadilan Ilahi: Asas Pandangan Dunia Islam (Muhammad Abdul

Mun’im al-Khaqani, terj.), (Bandung: Mizan, 2009).

..........., Kenabian Terakhir (Muhammad Jawad Bafaqih, terj.), (Jakarta: Lentera,

2001).

..........., Kritik Islam terhadap Materialisme (Akmal Kamil, terj), (Jakarta: al-

Huda Islamic Centre, 2005).

..........., Manusia dan Alam Semesta: Konsep Islam tentang Jagat Raya (Haidar

Bagir, terj.), (Bandung: Mizan, 2007).

..........., Manusia Sempurna: Pandangan Islam Tentang Hakikat Manusia (M.

Hashem, terj.), (Jakarta: Lentera, 2001).

..........., Mengenal Epistemologi: Sebuah Pembuktian Terhadap Rapuhnya

Pemikiran Asing dan Kokohnya Pemikiran Islam (M.J. Bafaqih, terj.),

(Jakarta: Lentera, 2001).

..........., Mutiara Wahyu (Syekh Ali al-Hamid, terj.), (Bogor: Cahaya, 2004).

..........., Neraca Kebenaran Dan Kebatilan: Menjelajah Alam Pikiran Islam

(Najib Husain Alydrus, terj.), (Bogor: IPABI, 2001).

..........., Pengantar Epistemologi Islam, (Jakarta: Shadra Press, 2010).

113

..........., Pengantar Filsafat Islam: Filsafat Teoritis dan Filsafat Praktis (M.

Ilyas, terj.), (Yogyakarta: Rausyanfikr, 2003).

..........., Pengantar Ilmu-Ilmu Islam (Ibrahim Husein Al-Habsy, terj.), (Jakarta:

Pustaka Zahra, 2003).

..........., Tema-tema Pokok Nahj al-Balaghah (Arif Mulyadi, terj.), (Jakarta:

Islamic Center Jakarta, 2002).

..........., Teologi dan Falsafah Hijab, (Yogyakarta: Rausyanfikr Institute, 2013).

..........., Teori Pengetahuan: Catatan Kritis Atas Berbagai Isu Epistemologis

(Muhammad Jawad Bafaqih, terj.), (Jakarta: Sadra Press, 2019).

Najaf, 'Ain, Qiyadatul 'Ulama wal Ummah, (Taheran: Hikmah, t. th).

Nasr, Sayyed Hossein, Islam Tradisi di Tengah Kancah Dunia Modern (Luqman

Hakim, terj.), cet, ke-1 (Bandung: Penerbit Pustaka, 1994).

..........., “Pengantar”, dalam Muhammad Husein Thabathaba‟i, Hikmah Islam

(Husein Anis Al-Habsy, Bandung: Mizan, 1993).

..........., Ensiklopedi Tematis Filsafat Islam (Tim Penerjemah Mizan, terj.),

(Bandung: Mizan, 2003).

Nasution, Harun, Falsafat dan Mistisisme dalam Islam, (Jakarta: Bulan bintang,

2008).

..........., Filsafat Agama, (Jakarta: Bulan Bintang, 1973).

Noor, Juliansyah, Metodologi Penelitian, (Jakarta: Kencana, 2011).

Nur, Muḥammad, Murtaḍá Muṭahharī Kritik atas Moralitas Barat, (Kendal:

Penelitian Kompetitif Individual, 2016).

Pals, Daniel L, Seven Theories of Religion, (New York: Oxford University

Press, 1996).

Penerbit Marja, “Tentang Penulis”, dalam Murtaḍá Muṭahharī, ‘Ali Bin Abi

Thalib; Kekuatan dan Kesempurnaannya, (Zulfikar Ali, Bandung:

Penerbit Marja, 2005).

Poerwantana Dkk, Seluk-Beluk Filsafat Islam, (Bandung, PT Remaja

Rosdakarya, 1994).

Qardhawi, Yusuf, al-Ghazâlî antara Pro dan Kontra (Hasan Abrori, terj.),

(Surabaya: Pustaka Progressif, 1996).

Raeper, Linda Smith & William, Ide-Ide Filsafat dan Agama, Dulu dan

Sekarang, (Yogyakarta: Kanisius; 2004).

Rakhmat, Jalaluddin, “Murtaḍá Muṭahharī; Sebuah Model Buat „Ulama”, dalam

Murtaḍá Muṭahharī, Manusia dan Agama (Haidar Bagir, Bandung:

Mizan, 1995.

..........., Kata Pengantar dalam Murtaḍá Muṭahharī, Perspektif al-Qur’an

tentang Manusia dan Agama, (Bandung: Mizan, 1992).

Rapar, Jan Hendrik, Pengantara Filsafat, cet. ke-14, (Yogyakarta: Kanisius,

2010).

114

Richard, Teori-Teori Kebenaran (M. Khozim, terj.), (Bandung: Nusa Media,

2013).

Runes, Bagobert D, Dictionary of Philosophy, (Tottawa New Jersey: Adam‟s &

Co, 1971).

Russel, Bertrand, Sejarah Filsafat Barat (Wajiz Anwar, terj.), (Yogyakarta:

Yayasan al-Jami‟ah, 1968).

..........., Fakta, Kepercayaan, Kebenaran dan Pengetahuan, dalam buku Ilmu

dalam Perspektif (Jujun S. Suriasumantri, terj.), (Jakarta: Yayasan Obor,

2009).

Saleh, Editor A. Khudari, Pemikiran Islam Kontemporer, (Yogyakarta: Jendela,

2003).

Shadr, Sayyid Muhammad Baqir Ash, Falsafatuna (M. Nur mufid bin Ali, terj.),

(Bandung: Mizan, 1995).

Snijders, Adelbert, Manusia dan Kebenaran: Sebuah Filsafat Pengetahuan,

(Yogyakarta: Kanisius, 2010).

Soleh, A. Khudori, Wacana Baru Filsafat Islam, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar,

2004).

..........., Filsafat Islam: Dari Klasik Hingga Kontemporer, (Yogjakarta: Ar-

Rusyd Media, 2016).

Soyomukti, Nurani, Pengantar Filsafat Umum: dari Pendekatan Historis,

Pemetaan Cabang-Cabang Filsafat, Pertarungan Pemikiran, Memahami

Filsafat Cinta, hingga Panduan Berpikir Kritisi Filosofis, (Jogjakarta:

ar-Ruzz Media, 2016).

Subroto, Edi, Pengantar Metode Penelitian Linguistik Struktural (Solo: LPP dan

UPT Penerbit dan Pencetakan UNS, 2007).

Sugiarto, Eko, Menyusun Proposal Penelitian Kualitatif, Kripsi dan Tesis

(Yogyakarta: Suaka Media, 2015), h. 8. Diakses dari

https://books.google.co.id/books?id=jWjvDQAAQBAJ&printsec=frontc

over&dq=penelitian+kualitatif+adalah&hl=id&sa=X&ved=0ahUKEwjb

hf6AwJHdAhVJOY8KHQvBA5gQ6AEINDAB#v=onepage&q=peneliti

an%20kualitatif%20adalah&f=false.

Suhartono, Suparlan, Filsafat Ilmu Pengetahuan: Persoalan Eksistensi dan

Hakikat Ilmu Pengetahuan, (Jogjakarta: Ar-Ruzz Media, 2008).

Sumantri, Jujun S. Suria, Filsafat Ilmu: Sebuah Pengantar Populer, (Jakarta:

Pustaka Sinar Harapan, 2014).

..........., Ilmu dalam Perspektif: Sebuah Kumpulan Karangan tentang Hakikat

Ilmu, (Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, 2009).

Susanto, A., Filsafat Ilmu: Suatu Kajian dalam Dimensi Ontologis,

Epistemologis dan Aksiologis, (Jakarta: Bumi Aksara, 2013).

Suseno, Franz Magnis, Dalam Bayang-Bayang Lenin: Enam Pemikiran

Marxisme Dari Lenin Sampai Tan Malaka, (Jakarta: Gramedia, 2016).

Syarif, MM., Para Filosof Muslim, (Bandung: Mizan, 1996).

115

Ṭabáṭabáī dan Muṭahharī, Murtaḍá, Menapak Jalan Spiritual. Penerjemah M.S

Nasrullah, (Bandung: Pustaka Hidayah, 1997).

Tafsir, Ahmad, Filsafat Umum: Akal dan Hati Sejak Thales sampai Capra,

(Bandung: Remaja Rosdakarya, 2002).

Tim Penyusun Kamus PPPB, Kamus Besar Bahasa Indonesia, (Jakarta, Balai

Pustaka, 1994).

Tjahjadi, Simon Petrus L., Petualangan Intelektual: Konfrontasi dengan Para

Filsuf dari Zaman Yunani hingga Zaman Modern, (Yogyakarta:

Kanisius; 2008).

Verhaak, C., & Iman, Haryono, Filsafat Ilmu Pengetahuan, Telaah Atas Cara

Kerja Ilmu-ilmu, (Jakarta: Gramedia, 1989).

Wibisono, Koento, Arti Perkembangan menurut Positivisme Comte,

(Yogyakarta: Gadjah Mada University Press, 1996).

Wijaya, Eko, Evolusi Kebudayaan Menurut Richard Dawkins, dalam Toeti

Heraty Noerhadi (ed.), Berpijak Kepada Filsafat: Kumpulan Sinopsis

Disertasi Program Pascasarjana Filsafat Fakultas Ilmu Pengetahuan

Budaya Universitas Indonesia, (Depok: Komunitas Bambu, 2013).

Zachrie, Ridwan dan Wijayanto, Korupsi mengorupsi Indonesia: sebab, akibat,

dan prospek pemberantasan, (Bandung: Gramedia, 2013).Aidit, D. N.,

Tentang Marxisme, (Jakarta: Akademi Ilmu Sosial Aliarcham,

1962).

Zahra, Tim Pustaka, Biografi Murtaḍá Muṭahharī, dalam Murtaḍá Muṭahharī,

Pengantar Ilmu-Ilmu Islam (Ibrahim Husein al Habsyi, dkk., terj.),

(Jakarta: Pustaka Zahra, 2003).

Zamrulkhan, Filsafat Ilmu: Sebuah Analisis Kontemporer, (Jakarta: Raja

Grafindo, 2016).

Referensi Jurnal Ilmiah

Arifin, Mochammad, “Epistemologi Rasionalisme Rene Descartes Dan

Relevansinya Terhadap Penafsiran al-Qur`An”, dalam Ilmu Ushuluddin,

vol.17, no. 2, Juli-Desember 2018.

Atabik, Ahmad, “Teori Kebenaran Perspektif Filsafat Ilmu: Sebuah Kerangka

Untuk Memahami Konstruksi Pengetahuan Agama”, dalam Jurnal

Fikrah, Vol. 2, No. 1, Juni 2014.

Aziz, Ichwan Supandi, "Karl Raimund Popper dan Auguste Comte (Suatu

Tinjauan Tematik Problem Epistemologi dan Metodologi)”, dalam Jurnal

Filsafat, no. 3, Desember 2003.

Burhanuddin, Nunu, “Pemikiran Epistemologi Barat: dari Plati Sampai

Gonseth”, dalam Jurnal Intizar, vol. 21, no. 1, Januari 2015.

Chabibi, Muhammad, “Hukum Tiga Tahap Auguste Comte dan Kontribusinya

terhadap Kajian Sosiologi Dakwah”, dalam Nalar, vol. 3, no. 1, Juni

2019.

116

Dawson, Neal V., “Correspondence and Coherence in Science: A Brief

Historical Perspective”, in Jurnal Judgment and Decision Making, vol. 4,

no. 2, March 2009. Diakses dari http://journal.sjdm.org/ccdg/ccdg.html.

Diakses pada tanggal 01 Agustus 2019.

Dewi, Ernita, “Meretas Makna Kebenaran Dalam Diskursus Filosofis”, dalam

Substantia, vol. 12, no. 1, April 2010.

Dunwoody, Philip T., “Theories of Truth as Assessment Criteria in Judgment

and Decision Making”, dalam jurnal Judgment and Decision Making,

Vol. 4, No. 2, March 2009.

Farihah, Irzum, “Filsafat Materialisme Karl Marx: Epistemologi

Dialectical and Historical Materialism”, dalam Fikrah, vol. 3, no.

2, Desember 2015.

Fikri, Mursyid, “Rasionalisme Descartes dan Implikasinya Terhadap Pemikiran

Pembaharuan Islam Muhammad Abduh”, dalam Tarbawi, vo. 3, no. 2,

Juli-Desember 2018.

Gercke, J. W., dkk., “Philosophical Theories of Truth and The Logical Status of

Intra-Biblical Fallacies of Contextomy”, dalam Jurnal In die Skriflig,

Vol. 43, No. 4, 2009.

Hartono, Rudhy, “Ilmu dan Epistemologi”, dalam Jurnal Al-Huda, vol. III. vo. 9,

2003,

Hasan, Amin, “Menyusuri Hakikat Kebenaran: Kajian Epistemologi atas Konsep

Intuisi dalam Tasawuf al-Ghazali”, dalam Jurnal At-Ta‟dib, vol. 7, no. 2,

Desember 2012.

Hasanah, Ulfatun, “Kontribusi Pemikiran Auguste Comte (Positivisme) terhadap

Dasar Pengembangan Ilmu Dakwah”, dalam Al-I‟lam, vol. 2, no 2,

Maret 2019.

Henry, Chris, “The Politics of (Post) Truth: Theories of Truth in Contemporary

Philosophy”. Diakses dari

https://www.cumberlandlodge.ac.uk/sites/default/files/public/The%20Po

litics%20of%20%28Post%29%20Truth%20-

%20Philosophy%20Resources.pdf

Herafa, Beniharmoni, “Kebenaran Hukum Perspektif Filsafat Hukum”, dalam

Jurnal Komunikasi Hukum, Vol. 2, No. 1, Februari 2016.

Inwansyah, Dedi, "Resonansi Pemikiran Pemimpin Islam Syiah Dalam Dunia

Pendidikan Indonesia: Studi Tentang SMA Plus Mutahhari”, dalam

Akademika, vol. 19, no. 01, Januari-Juni 2014.

Irawan MN, Aguk, “Filsafat Pragmatisme-Kontemporer: Ikhtiar Awal

Memahami Teori Charles Sanders Peirce”, vol.10, no.1, September

2013.

Ja‟far, Muhammad, “Pandangan Muṭahharī Tentang Agama, Sejarah, Al Quran

dan Muhammad”, dalam Jurnal Kajian Ilmu-Ilmu Islam Al-Huda, Vol.

III. No. 11. 2005.

117

James, William, “Pragmatism: A New Name For Some Old Ways Of Thinking”,

February, 2013. Diakses dari

https://www.gutenberg.org/files/5116/5116-h/5116-

h.htm#link2H_4_0008

Kamiana, Kadek Agus dkk, “Pengembangan Augmented Reality Book Sebagai

Media Pembelajaran Virus Berbasis Android”, dalam Karmapati, vol. 8,

no. 2, 2019.

Khaeroni, Cahaya, “Epistemologi Rasionalisme Rene Descarte Dan

Relevansinya Terhadap Pendidikan Islam”, dalam Didaktika Religia, vol.

2, no. 2 Tahun 2014.

Labib, Muhsin, “Hawzah Ilmiyah Qom; Ladang Peternakan Filosof Muslim

Benua Lain”, dalam Jurnal Kajian Ilmu-ilmu Islam Al-Huda, Vol. III.

No.9. 2003.

Laksono, Nur Idam, “Tasawuf untuk Kemanusiaan: Kajian terhadap Konsep

Fitrah Murtaḍá Muṭahharī”, dalam Attanwir, v. 05, no. 02, September

2015.

Luthfiyah, “Kritik Modernitas Menuju Pencerahan: Perspektif Teori Kritis

Mazhab Frankfurt”, dalam Tajdid, vol. 2, no. 1, April 2018, h. 281-282.

Maiaweng, Peniel, “Manfaat Kebenaran Perbuatan: Suatu Analisis Terhadap

Ajaran Filsafat Pragmatisme”, dalam Jurnal Researchgate, April 2013.

Diakses dari https://www.researchgate.net/publication/318056102

Muchammad Abrori, Book Review dari buku “Matematikawan Muslim

Terkemuka” oleh Mohaini Mohamed, dalam Jurnal Kaunia, Vol. IV, No.

2 Oktober 2008.

Mustakim, “Pragmatisme dalam Filsafat Kontemporer: Analisa atas pemikiran

Charles S. Peirce”, dalam Jurnal al-Mabsut, Vol. 3, No. 1, 2012.

Nihaya, “Sinergitas Filsafat dan Teologi Murtaḍá Muṭahharī”, dalam Sulesana,

vol. 8. no 1, 2013.

Nugroho, Irham, “Positivisme Auguste Comte: Analisa Epistemologis dan Nilai

Etisnya Terhadap Sains”, dalam Cakrawala, vol. xi, no. 2, Desember

2016.

Nur, Muḥammad, Murtaḍá Muṭahharī Kritik atas Konsep Moralitas Barat,

dalam Didaktika Islamika, vol. 8, no. 2, Agustus 2016.

Nurdin, Fauziah, “Kebenaran Menurut Pragmatisme dan Tanggapannya

Terhadap Islam”, dalam Jurnal Islam Futura, Vol. 13. No. 2, Februari

2014.

Okulu, Elmadağ Polis Meslek Yüksek, “Karl Marx and Ralf Dahrendorf:

A Comparative Perspective on Class Formation and Conflict”,

dalam Eskişehir Osmangazi Üniversitesi Iibf Dergisi, Agustus

2014.

Ormerod, R, “The History and Ideas of Pragmatism”, in Journal of the

Operational Research Society, Vol. 57, No. 8, 2006.

118

Rifai, Afga Sidiq, “Kebenaran Dan Keraguan Dalam Studi Keislaman”, dalam

The Journal of Religious Research (JPA), vol. 20, no. 1, Januari - Juni

2019.

Sabara, “Pemikiran Tasawuf Murtaḍá: Relasi Dan Kesatuan Antara

Intelektualitas, Spiritualitas dan Moralitas”, dalam al-Fikr, vol. 20, no. 1,

2016.

Salafudin, “Islamisasi Ilmu Pengetahuan”, dalam Jurnal Forum

Tarbiyah, Vol. 11, No. 2, Desember 2013.

Shahb, Maryam Shamsaei and Mohd Hazim, “Philosophical Study on Two

Contemporary Iranian Muslim Intellectual Responses to Modern Science

and Technology”, dalam International Journal Of Environmental &

Science Education, vol. 12, no. 4, 2017.

Shamsaei, Maryam, “Two Iranian Intellectuals: Ayatollah Morteza Motahari and

Dr. Abdol-Karim Soroush and Islamic Democracy Debate”, dalam IOSR

Journal of Humanities and Social Science, vol. 1, no. 2, 2012.

Somantri, Emma Dysmala, “Epistemologi Hukum Islam Rasional–Empirik”,

dalam Wawasan Hukum, vol. 26, no. 01, Februari 2012.

Supadjar, Ahmad Maliki dan Damardjadi, "Manusia dalam Eksistensialisme

Murtaḍá Muthadha Muṭahharī”, dalam Humanika, v. 18, no. 1, Januari

2005.

Suppe, Frederick, “Facts An Empirical Truth”, dalam Canadian Journal

of Philoshophy, Vol. iii, No. 2, Desember 1973.

Zubair, Achmad Charris, Filsafat Ilmu Menurut Konsep Islam, dalam Jurnal

Filsafat UGM, Maret 1997, h. 39. Diakses pada tanggal 04 September

2019 dari https://jurnal.ugm.ac.id/wisdom/article/download/31650/19181

Referensi Majalah

Beik, Abdullah, “Murtaḍá Muṭahharī; Muslim dalam Aqidah, Syari‟ah dan

Akhlaq”, dalam majalah Al-Isyraq No.4/Th.I, Jumadhil Akhir-Rajab,

1417 H

Rastan, Sastan, “Syahid Murtaḍá Muṭahharī; Pembangkit Kebangunan

Intelektual Islam”, dalam majalah Yaum Al-Quds, No. 9, Ramadhan

1403.

Referansi Makalah dan Karya Tulis Ilmiah

Endut, Mohd Shaiful Ramze, “Ali Shari‟ati and Morteza Motahhari‟s Ideological

Influences on Intellectual Discourse and Activism in Indonesia”, dalam

International Proceedings “Asian Public Intelectuals”, 2009/2010, h.

212. Diakses pada 12 oktober 2019 dari http://www.api-

fellowships.org/body/international_ws_proceedings/09/P5-Mohd.pdf

Iksan, Muchamad, Epistemologi Mencari Kebenaran Dengan Pendekatan

Transendental, Prosiding Seminar Nasional, ISBN 978-602-72446-0-3.

119

Sitorus, Fitzerald Kennedy, “RasionalismeRené Descartes: Saya Berpikir, Maka

Saya Ada”. Makalah disampaikan dalam Kelas Filsafat Filsafat Modern

Di Serambi Salihara, Sabtu, 12 November 2016.

Syamsuri, “Manusia Sempurna Perspektif Murtaḍá Muṭahharī”, Laporan

Penelitian Dosen, (Ciputat: Fakultas Ushuluddin dan Filsafat,

Universitas Islam Negeri Jakarta, 2001).

Referensi Dari Situs Terpercaya

Fakhruddin Faiz, Teori Kebenaran, video youtube ke-1 menit ke 25.48, 17

Desember 2015. Diakses pada 19 Juli 2019.

https://www.youtube.com/watch?v=hCNvfg_4P-o

http://journal-sport-q.lautan.info/id4/800-685/Euklides_22880_stikom-

bali_journal-sport-q-lautan.html

120

GLOSARI

Fakta : Sesuatu yang dengan dirinya ia bernilai sebagai

fakta atau kenyataan.

Fakta eksternal : Fakta yang terlepas dari mental manusia. Contohnya

bumi, langit, bintang, matahari, bulan, mendung dll.

Fakta internal : Fakta yang berada di dalam mental seseorang,

seperti pengetahuan-pengetahuan yang sudah pasti

seperti lingkaran, segi empat dll.

Koherensi : Teori kebenaran yang menjadikan idea sebagai tolok

ukur.

Korespondensi : Teori kebenaran yang menjadikan realitas (biasanya

memahami realitas sebagai realitas empiris) sebagai

tolok ukur.

Materi : Suatu yang meliputi benda-benda alam atau segala

yang dapat ditangkap oleh indra.

Muhmal : Suatu kata yang tak menunjukkan arti apa pun.

Pembawa kebenaran : Hal-hal yang bisa mempunyai nilai kebenaran, yaitu

hal macam apa yang bisa benar atau salah, seperti

proposisi, kalimat atau apa pun yang dipandang

sebagai pembawa kebenaran.

Qadhiyah : Kalimat sempurna dan mempunyai bermakna atau

arti tertentu yang jika kita verifikasi akan tampak

salah dan benarnya.

Qaul : Kata yang merujuk kepada suatu arti tertentu.

Rasionalisasi

: Ketidakbenaran yang kemudian diberikan alasan-

alasan rasional sehingga ia tampak seakan-akan

benar.

Tersibak

: Tersingkapnya tabir jiwa sehingga tidak ada lagi

halangan untuk mencapai kebenaran hakiki.

Pengertian Awwali : Pengertian dasar

121

INDEKS

A

Abstraksi 79

Aristoteles 5, 6, 7, 11, 25, 28, 32, 34,

41, 48, 56, 64, 88

Ayatullah Boroujerdi 55, 56, 58

Ayatullah Ruhani 58

B

Barat 6, 8, 14, 18, 19, 23, 34, 35, 37,

47, 49, 50, 53, 57, 62, 63, 64, 65,

66, 67, 68, 69, 70, 72, 73, 74, 75,

89, 91, 104, 106, 112

Berpikir 6, 34, 49, 76

Bertrand Russel 19, 34, 49, 50, 52, 64,

89, 96

C

Charles S. Pierce 35, 36

D

Dimensi 23

E

Eksistensi 23, 42, 73, 81

Empiris 20, 108

Empirisme 20, 49

Euklides 34

F

Fanatisme 93, 94

Filsafat Praktis 73, 76, 78, 79, 80, 81,

82, 88, 89

Fitrah 2, 67, 72, 73, 75, 77, 78, 87, 91,

92

G

al-Ghazālī 6, 7, 9, 18, 38, 39, 40, 41

al-Qur‟an 75, 80, 93

H

Hati 20, 81, 91

Hikmah 65, 67, 85, 109

I

Ibnu Sīnā 6, 9, 16, 18, 41, 42, 43, 57,

62

Imāmiyah 55, 56

Irfan 56, 61, 67, 68, 85

Islam 2, 3, 4, 5, 6, 7, 9, 10, 11, 12, 13,

15, 16, 18, 19, 20, 26, 27, 28, 32,

35, 36, 38, 39, 40, 41, 42, 43, 44,

45, 53, 55, 56, 58, 59, 60, 61, 62,

63, 64, 65, 66, 67, 68, 69, 70, 72,

73, 74, 75, 76, 78, 79, 80, 81, 82,

83, 84, 85, 86, 87, 88, 89, 90, 91,

92, 93, 102, 103, 104, 105, 106,

107, 109, 111

J

Jalan Spiritual 90, 91

K

Karl Marx 4, 8, 10, 14, 15, 80, 96, 97,

98, 99, 100, 102

Kebenaran 2, 3, 4, 5, 7, 8, 10, 11, 15,

16, 18, 19, 20, 22, 23, 24, 25, 26,

27, 28, 33, 35, 36, 37, 38, 39, 40,

41, 42, 47, 49, 50, 52, 53, 72, 73,

75, 77, 80, 81, 82, 83, 85, 86, 87,

91, 92, 101, 102, 103, 104, 105,

107, 111

Kenyataan 10, 50, 108

Keraguan 103, 104

Kesadaran 72

Khomeini 56, 57, 58, 59, 60, 61

Koherensi 32, 88

Konsep 2, 6, 15, 16, 40, 42, 44, 66, 72,

74, 75, 76, 77, 79, 82, 83, 92, 96

122

Korespondensi 28

Kritik 14, 19, 55, 63, 66, 82, 83, 86,

96, 103, 107, 108, 109, 111, 112

L

Logika 6, 7, 32, 35, 67, 68, 76, 77

M

Materialisme 45, 59, 73, 96

Metodologi 6, 17, 58, 108, 112

Mirza Mahdi Syahidi Razavi 55

Miṣbāḥ Yazdī 19, 46, 47, 61, 62

Murtaḍá Muṭahharī 2, 3, 4, 10, 11, 12,

13, 14, 15, 16, 17, 18, 19, 41, 55,

56, 57, 58, 59, 60, 61, 62, 63, 64,

65, 66, 67, 68, 69, 70, 71, 72, 73,

74, 75, 76, 77, 78, 79, 80, 81, 82,

83, 84, 85, 86, 87, 88, 89, 90, 91,

92, 93, 94, 96, 102, 103, 106, 107,

108, 109, 111

N

Naqīb al-„Aṭās 5, 19, 43, 44

Neptune 84

O

Objek 31, 46, 50, 83, 86, 88

P

Pemahaman 21, 22, 46, 77, 86

Pembawa Kebenaran 75

Pendekatan 18, 22, 34, 74

Pengalaman 20, 89

Pengetahuan3, 5, 8, 22, 23, 25, 29, 30,

31, 32, 33, 35, 44, 46, 50, 52, 73,

81, 82, 107

Pernyataan 4, 31, 33, 40, 50, 75, 78,

89

Persesuaian 74

Plato 4, 5, 10, 23, 24, 32, 33, 37, 49,

80, 87

Proposisi afirmatif 85

Q

Qom 56, 57, 58, 59, 60, 61, 62, 67

R

Rasional 103

Realitas 73

S

Subjek 31, 46

T

Tasawuf 2, 27, 28, 40, 55, 68, 72, 85

Teori 3, 6, 9, 10, 12, 15, 18, 21, 22,

23, 27, 28, 30, 31, 32, 33, 34, 35,

36, 37, 43, 45, 47, 51, 52, 53, 82,

84, 98, 100, 106, 107, 109, 112

Teori Kebenaran 12, 23, 28, 30, 31,

32, 33, 35, 51, 52

W

William James 35, 37