STUDI LINTAS BUDAYA KEPEMIMPINAN GAYA KOREA DI ...

128
STUDI LINTAS BUDAYA KEPEMIMPINAN GAYA KOREA DI INDONESIA Pada PT. Semarang Garment Tesis Diajukan sebagai salah satu syarat untuk menyelesaikan Program Pascasarjana pada program Magister Manajemen Pascasarjana Universitas Diponegoro Disusun oleh : NDARU RISDANTI, ST NIM. 12010111400165 PROGRAM STUDI MAGISTER MANAJEMEN PROGRAM PASCA SARJANA UNIVERSITAS DIPONEGORO SEMARANG 2013

Transcript of STUDI LINTAS BUDAYA KEPEMIMPINAN GAYA KOREA DI ...

STUDI LINTAS BUDAYA

KEPEMIMPINAN GAYA KOREA DI INDONESIA

Pada PT. Semarang Garment

Tesis

Diajukan sebagai salah satu syarat

untuk menyelesaikan Program Pascasarjana

pada program Magister Manajemen Pascasarjana

Universitas Diponegoro

Disusun oleh :

NDARU RISDANTI, ST

NIM. 12010111400165

PROGRAM STUDI MAGISTER MANAJEMEN

PROGRAM PASCA SARJANA

UNIVERSITAS DIPONEGORO

SEMARANG

2013

iii

PENGESAHAN TESIS

Yang bertandatangan di bawah ini menyatakan bahwa tesis berjudul :

STUDI LINTAS BUDAYA

KEPEMIMPINAN GAYA KOREA DI INDONESIA

Pada PT. Semarang Garment

yang disusun oleh Ndaru Risdanti, NIM 1201 0111 400 165

telah dipertahankan di depan Dewan Penguji pada tanggal 20 Desember 2013

dan dinyatakan telah memenuhi syarat untuk diterima.

Pembimbing Utama Pembimbing Anggota

Dr. Suharnomo, Msi Dr. Edy Rahardja, Msi

Semarang, 20 Desember 2013

Universitas Diponegoro

Program Pascasarjana

Program Studi Magister Manajemen

Ketua Program

Dr. Sugeng Wahyudi, MM

iv

HALAMAN MOTTO DAN PERSEMBAHAN

“ The seat of knowledge is in the head,

the seat of wisdom is in the heart”

-William Hazlitt-

“Seberapa keras kita berusaha, kita tidak akan

pernah bisa „membeli‟ waktu. Yang bisa kita lakukan

hanyalah menggunakan waktu secara bijaksana”

-Napoleon Hiell-

Persembahan

Bapak dan almarhumah Ibu tercinta yang selalu menginspirasi, senantiasa

memberi dorongan, doa dan kasih sayangnya

Kakak dan adik tersayang

Teman dan sahabat tersayang

v

ABSTRACT

The aim of this research is to investigate the Korean style of leadership in

Indonesia at one of the multi national companies in Indonesia. This kind of cross

cultural study need to be barried by the dimensions of national culture. In order to

get depht information about Korean Style of Leadership, there are six dimensions

of Kluchkhon & Strodtbeck’s concept and five dimensions of Parson’s theory

about national culture used in this research.

The objects of this study are the employees at a multinatonal company in

Semarang which consist of the expatriates manager from Korea and local

employees from Indonesia.

The result of this research shows the Korean managers’s style of

leadership in one of multi national companies from Korea located in Semarang,

Indonesia. Korean style of leadership in Indonesia include some dimensions of

how they see about nature of human, focus responsibility, relation to broad

environment, activity, time, space, afective or afective neutrality, universalim or

particularism, ascription or achievment, specify or not, and self oriented or

collective oriented.

Keywords: cross cultural study, leadership, Korean style leadership.

vi

ABSTRAKSI

Penelitian ini dimaksudkan untuk menganalisis mengenai kepemimpinan

gaya Korea di Indonesia pada salah satu perusahan multi nasional di Indonesia.

Penelitian lintas budaya ini sebaiknya dibatasi oleh beberapa dimensi terkait

budaya nasional. Untuk memperoleh kedalaman informasi mengenai

kepemimpinan gaya Korea, terdapat enam dimensi dari konsep Kluchkhon dan

Strodtbeck serta lima dimensi dari pola-pola Parson yang digunakan dalam

penelitian ini.

Objek pada penelitian ini adalah karyawan pada sebuah perusahaan multi

nasional di Semarang yang terdiri dari manajer ekspatriat dari Korea dan

karyawan lokal dari Indonesia.

Hasi peneletian ini menunjukkan kepemimpinan sesuai dengan gaya

manajer Korea pada perusahaan multi nasional yang berlokasi di Semarang

dimana mencakup dimensi mengenai bagaimana mereka melihat karakter dasar

manusia, fokus tanggung jawab, hubungannya dengan lingkungan, aktivitas,

waktu, ruang, afektif atau netralitas afektif, universalisme atau partikularisme,

askripsi atau prestasi, spesifitas atau kekaburan dan orientasi diri atau orientasi

kolektif.

Kata kunci : studi lintas budaya, kepemimpinan, kepemimpinan gaya korea.

vii

KATA PENGANTAR

Puji syukur kehadirat Allah SWT yang telah melimpahkan rahmat, taufiq

serta hidayah-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan tesis mengenai “Studi

Lintas Budaya, Kepemimpinan Gaya Korea di Indonesia”.

Adapun maksud dari penulisan tesis ini adalah sebagai salah satu syarat

untuk menyelesaikan studi pada Program Pasca Sarjana Magister Manajemen

Fakultas Ekonomi Universitas Diponegoro. Tesis ini dapat terselesaikan dengan

bantuan serta dukungan berbagai pihak. Pada kesempatan ini penulis ingin

mengucapkan banyak terima kasih kepada :

1. Bapak Dr.Sugeng Wahyudi, MM, selaku Direktur Program Studi Magister

Manajemen Universitas Diponegoro.

2. Bapak Dr. Suharnomo, MSi, selaku dosen pembimbing I yang telah

meluangkan waktu dan memberikan pengarahan, saran serta dukungan dalam

penyelesaian tesis ini.

3. Bapak Dr. Edy Rahardja, MSi, selaku dosen pembimbing II yang telah

meluangkan waktu dan memberikan pengarahan, saran serta dukungan dalam

penyelesaian tesis ini.

4. Segenap Bapak dan Ibu Dosen Program Studi Magister Manajemen Fakultas

Ekonomika dan Bisnis Universitas Diponegoro.

5. Bapak dan Almarhumah Ibu yang selalu memberikan doa, dukungan, fasilitas,

serta kasih sayang yang luar biasa hingga terselesaikannya tesis ini.

viii

6. Kakak dan adik yang selalu mendukung dan memberikan semangat dalam

penyelesaian tesis ini.

7. Tri Jatmniningsih, ST, teman baik yang memberikan bantuan dalam

penyelesaian tesis ini.

8. Renni, Ares, Wirda, Bila, Latifah, Dea dan Nisa yang selalu mendukung

dalam semangat dan doa sehingga tesis ini dapat terselesaikan dengan baik.

9. Teman-teman Program Studi Magister Manajemen Universitas Diponegoro

angkatan 40 pagi yang telah berbagi cerita dan kebersamaan.

10. Seluruh staf karyawan Program Studi Magister Manajemen Fakultas

Ekonomika dan Bisnis Universitas Diponegoro Semarang yang telah banyak

membantu penulis selama proses perkuliahan serta penyusunan tesis.

Penulis menyadari akan kekurangsempurnaan penulisan tesis ini. Oleh

sebab itu segala kritik maupun saran yang bersifat membangun sangat penulis

harapkan agar kelak dikemudian hari dapat menghasilkan karya yang lebih baik.

Akhir kata penulis berharap semoga tesis ini dapat bermanfaat bagi semua pihak

yang membacanya.

Semarang, Desember 2013

Penulis,

Ndaru Risdanti, ST

ix

DAFTAR ISI

Halaman

Halaman Judul ............................................................................................... i

Surat Pernyataan Keaslian Tesis .................................................................. ii

Halaman Persetujuan/Pengesahan ............................................................... iii

Halaman Motto/Persembahan ...................................................................... iv

Abstract ........................................................................................................... v

Abstraksi ......................................................................................................... vi

Kata Pengantar .............................................................................................. vii

Daftar Isi ......................................................................................................... ix

Daftar Tabel .................................................................................................... xii

Daftar Gambar ............................................................................................... xiii

BAB I Pendahuluan .................................................................................. 1

1.1 Latar Belakang ............................................................................... 1

1.2 Perumusan Masalah ....................................................................... 9

1.3 Tujuan Penelitian .......................................................................... 11

1.4 Kegunaan Penelitian....................................................................... 11

BAB II Tinjauan Pustaka .......................................................................... 12

2.1 Landasan Teori .............................................................................. 12

2.1.1 Kepemimpinan ...................................................................... 12

2.1.2 Beberapa Teori Kepemimpinan ............................................ 15

2.1.3 Gaya Kepemimpinan ............................................................. 21

2.1.4 Pemahaman Budaya .............................................................. 22

2.1.4.1 Budaya ...................................................................... 22

2.1.4.2 Budaya Nasional ....................................................... 26

2.1.4.3 Dimensi Keragaman Kultural ................................... 28

2.1.5 Kebudayaan Indonesia .......................................................... 40

x

2.1.6 Kebudayaan Korea ................................................................ 42

2.2 Penelitian Terdahulu ...................................................................... 47

2.3 Kerangka Pikir ............................................................................... 49

BAB III Metode Penelitian ......................................................................... 51

3.1 Pendekatan Penelitian .................................................................... 51

3.2 Variabel Penelitian dan Definisi Operasional ................................ 52

3.2.1 Variabel Penelitian .............................................................. 52

3.2.2 Definisi Operasional ............................................................ 52

3.3 Penentuan Populasi dan Sample .................................................... 59

3.3.1 Ukuran Populasi ................................................................... 59

3.3.2 Sampel ................................................................................... 57

3.3.3 Teknik Pengambilan Sampel................................................. 58

3.4 Jenis dan Sumber Data .................................................................. 58

3.5 Metode Pengumpulan Data ........................................................... 59

3.6 Metode Analisis Data ..................................................................... 62

3.7 Tahapan Pelaksanaan Kegiatan ..................................................... 69

BAB IV Hasil Penelitian dan Pembahasan ............................................... 71

4.1 Hasil Penelitian .............................................................................. 71

4.1.1 Gambaran Umum PT. Semarang Garment .......................... 71

4.1.2 Struktur Organisasi Perusahaan ............................................ 72

4.1.3 Lokasi Perusahaan ................................................................. 76

4.1.4 Aktivitas dalam PT. Semarang Garment ............................... 76

4.2 Pembahasan .................................................................................... 86

4.2.1.Profil Responden ................................................................... 87

4.2.2 Analisis dan Keabsahan Data ............................................... 87

4.2.3 Persepsi Manajer dari Korea dan Karyawan Lokal............... 88

4.2.4 Karakteristik Kepemimpinan Lintas Budaya Berdasarkan

Kluchkhon dan Strodtbeck serta Pola-pola Parson ............... 92

BAB V Kesimpulan .................................................................................... 105

5.1 Kesimpulan .................................................................................... 105

xi

5.2 Implikasi Kebijakan ....................................................................... 107

5.3 Keterbatasan Penelitian ................................................................. 111

5.4 Agenda Penelitian Mendatang ....................................................... 112

Daftar Pustaka

Lampiran

xii

DAFTAR TABEL

Halaman

Tabel 2.1 Cultural Orientation and Dimensions ...................................... 36

Tabel 4.1 Daftar Responden / Nara sumber ............................................. 87

Tabel 4.2 Hasil Analisis ........................................................................... 106

xiii

DAFTAR GAMBAR

Halaman

Gambar 2.1 Kerangka Pikir ........................................................................ 49

Gambar 4.1 Struktur Organisasi PT. Semarang Garment ............................ 73

Gambar 4.2 Proses Produksi PT. Semarang Garment ................................. 77

Gambar 4.3 Beberapa Kegiatan Produksi PT. Semarang Garment ............. 78

Gambar 4.4 Beberapa Kegiatan Pelatihan PT. Semarang Garment ............. 80

Gambar 4.5 Kegiatan Lain PT. Semarang Garment .................................... 81

1

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Pada awal tahun 2000 istilah Hallyu atau Korean Wave menjadi populer di

kawasan Asia Timur yang disebabkan oleh meledaknya musik pop dan serial

drama Korea. Istilah Korean Wave pertama kali muncul di Cina pada tahun 1997

melalui serial drama Korea yang ditayangkan di televisi nasional China. Korean

wave atau Hallyu adalah proses penyebaran nilai dan budaya popular Korea

Selatan ke seluruh dunia. Produk-produk Korean Wave yang populer adalah serial

drama TV, musik K-Pop, film, game dan fashion. Korea Selatan melalui film dan

musik, berusaha untuk menyebarkan citra baru yang positif mengenai negaranya

dan memperkenalkan budayanya ke seluruh dunia. Strategi tersebut dapat

dikatakan berhasil. Beberapa film dan serial drama Korea Selatan sukses di pasar

internasional. Dampak dari kesuksesan ini terlihat pada pertumbuhan ekonomi

dan pariwisata di Korea Selatan. Industri budaya memberi konstribusi terhadap

GDP Korea Selatan yang terus meningkat. Pada tahun 2000, industri budaya

memberikan konstribusi sebesar 3,6 % terhadap GDP Korea Selatan dan pada

tahun 2010 terjadi peningkatan yaitu 6,5 % dari total GDP.

Korean Wave merupakan salah satu contoh kesuksesan sebuah negara

dalam mengembangkan dan memanfaatkan kebudayaan secara maksimal untuk

mendukung pembangunan kesejahteraan dan kemakmuran negara. Korea Selatan

melalui Korean Wave secara bertahap mampu membangun citra positif Korea

2

Selatan di mata dunia internasional serta memberikan konstribusi terhadap

pendapatan nasional.

Kemajuan Korea Selatan tidak hanya ditunjukkan dengan citra budaya

positif yang mampu menembus seluruh penjuru dunia. Pembangunan yang cepat

terjadi di dalam negeri Korea begitu juga dalam dunia perekonomian dan bisnis.

Salah satu kekuatan ekonomi Korea Selatan digerakkan oleh sistem jaringan. Bila

bangsa China menggunakan akar jaringan rantau yang berbasis pada klan/marga,

dialek, lokalitas, perhimpunan dan terpenting kepercayaan. Bangsa Korea juga

menerapkan akar jaringan yang sama yakni kepercayaan yang lebih dikenal

dengan Chaebol. Jaringan Chaebol Korea merupakan konglomerasi korporasi

raksasa yang menguasai ekonomi Korea. Chaebol didukung oleh keluarga, namun

berbeda dengan Keiretsu di Jepang atau Grupo di Amerika Latin, para pemimpin

Chaebol hampir tidak pernah memegang posisi resmi/legal chaebol yang

dipegangnya. Diantara konglomerasi Chaebol adalah korporasi raksasa Samsung,

LG, Hyundai-Kia dan SK.

Selama empat dekade terakhir, pertumbuhan ekonomi Korea Selatan yang

menakjubkan telah menjadi bagian dari apa yang dijuluki sebagai ”Keajaiban di

Kawasan Asia Timur.” Korea Selatan akan mengambil posisi yang lebih positif

dengan visi yang lebih luas serta melaksanakan diplomasi global melalui

kerjasama secara aktif dengan masyarakat internasional.

Era globalisasi yang terjadi pada dunia internasional saat ini tidak hanya

membawa keterbukaan sebuah negara terhadap budaya negara lain, tetapi juga

memunculkan berbagai konsekuensi dalam setiap aspek kehidupan manusia,

termasuk dalam bidang bisnis dengan seluruh komponen yang mendukung bidang

3

tersebut. Saat ini para pimpinan bisnis dalam rangka mengelola organisasi

perusahaannya memerlukan visi dan perspektif internasional jika mereka

berkeinginan mencapai sukses dan memajukan perusahaannya. Tidak terkecuali

bagi para pelaku bisnis di Korea Selatan. Kesuksesan organisasi sangat ditentukan

oleh kemampuan pimpinan perusahaan untuk beradaptasi dalam lingkungan

internasional yang lebih luas, sangat dinamis, serta penuh dengan peluang dan

tantangan. Beberapa perusahaan besar di dalam negeri Korea Selatan telah

memperluas usahanya dengan membuka perusahaan-perusahaan yang

ditempatkan di luar negerinya (Multi National Corporation / MNC).

Sehubungan dengan arus globalisasi, berbagai strategi akan dilakukan oleh

perusahaan yang memiliki jangkauan operasi di berbagai negara atau lebih dikenal

dengan Multi Nasional Corporation (MNC). Strategi yang dilakukan oleh

perusahaan multi-nasionional, khususnya di Korea Selatan yakni dengan

meningkatkan daya saing produk yang mereka hasilkan, memberikan pengetahuan

tentang lingkungan internasional, mengamati strategi bersaing yang dilakukan

oleh para pesaing mereka, hingga perubahan kebijakan yang dilakukan terhadap

penilaian prestasi atau kinerja bagi seorang calon manajer yang akan

dipromosikan untuk menjalani penugasan luar negeri terlebih dahulu (expatriates)

agar mereka mampu dan memiliki pengalaman yang lebih luas dengan kondisi

lingkungan domestik pekerjaan yang mereka tekuni. Keberhasilan mereka

mengemban penugasan tersebut menjadi penilaian prestasi mereka untuk jabatan

yang lebih tinggi (promosi). Penugasan internasional menjadi semakin penting

saat ini dan telah menjadi bagian dari karir para manajer (managerial career).

4

Sebagai konsekuensi dari kondisi tersebut maka kompetensi kepemimpinan lintas

budaya sangat diperlukan dalam perusahaan yang beroperasi secara internasional.

Secara lebih nyata kondisi ini akan sangat mempengaruhi interaksi antara

manajer yang ditugaskan ke luar negeri (expatriates manager) dengan para

karyawan lokal mereka, yang kenyataannya sangat memerlukan berbagai tingkat

adaptasi dari pihak manajer maupun karyawan lokal mereka. Bagi para manajer,

hal tersebut sangat erat berhubungan dengan gaya kepemimpinan yang harus

diterapkan akibat dari perbedaan budaya yang mereka miliki. Demikian juga bagi

karyawan lokal mereka yang harus menerima dan menyesuaikan perilaku dengan

manajer dari luar negaranya. Keberhasilan dalam penyesuaian dari kedua belah

pihak merupakan kunci sukses bagi kinerja organisasi secara keseluruhan. Bagi

para manajer yang ditugaskan di luar negeri (expatriates manajer) tantangan

tersebut terasa lebih berat dan memiliki konsekuensi besar jika dibandingkan

dengan kondisi yang harus dialami para karyawan. Hal ini disebabkan oleh posisi

mereka sebagai pimpinan yang harus mampu mempengaruhi para karyawan agar

mereka bersedia untuk bekerjasama dalam melaksanakan operasional perusahaan,

dimana keberhasilan para manajer akan dievaluasi dan ditentukan bagi jenjang

karir mereka selanjutnya. Berbagai tantangan akan muncul bagi para manajer

yang ditugaskan di luar negeri (expatriates manajer), terutama yang berasal dari

kekuatan sosial budaya yang diwakili oleh perbedaan budaya baik budaya

nasional (negara) yang bersangkutan maupun perbedaan budaya organisasi yang

berlaku dalam menjalankan bisnis mereka.

Menurut Korea Chamber of Commerce and Indutry, di Indonesia saat ini

terdapat sekitar 1400 perusahaan Korea yang aktif beroperasi. Mulai dari

5

perusahaan global kelas dunia seperti Samsung, LG, Hyundai, sampai perusahaan

menengah dan kecil. Perusahaan Korea di Indonesia memperkerjakan sekitar

500,000 tenaga kerja di Indonesia, mulai dari level direktur, manager hingga ke

level karyawan biasa. Jumlah warga Korea yang menetap di Indonesia pun cukup

banyak yakni kurang lebih 30,000 orang. Perusahaan Korea berhasil

membuktikan dirinya sejajar dengan perusahaan kelas dunia lainnya. Produk

buatan Korea, khususnya elektronik dapat ditemukan di setiap rumah tangga di

seluruh dunia. Bahkan beberapa brand Korea telah mengalahkan brand Jepang

yang lebih dulu hadir dan menguasai pasar dunia, contohnya Samsung yang telah

menggeser dominasi Sony ataupun LG yang cukup dominan di Indonesia.

Perusahaan Korea dipengaruhi oleh kultur confusian yang kental.

Perusahaan Korea umumnya memiliki sistem hirarkhi yang tinggi dan

terdesentralisasi dalam beberapa orang key people termasuk para manager yang

bisa membuat keputusan. Deskripsi kerja, kewenanangan, dan hubungan kerja

antara atasan dan bawahan didasari oleh senioritas. Walaupun cukup banyak

orang Korea yang mengikuti pendidikan di luar negerinya, norma-norma sosial

Confusian masih dominan. Karekter perusahaan multinasional Korea tidak jauh

berbeda dengan perusahaan Jepang. Mereka mengutamakan kerja tim,

memperhatikan sikap atau prilaku dan sangat disiplin. Pada umumnya di

perusahaan multinasional Korea yang lebih muda atau junior amat menghormati

senior atau orang yang berumur lebih tua sehingga akan menjadi suatu hal yang

tabu jika melawan kata-kata dari orang yang lebih tua.

Budaya suatu masyarakat tercermin dalam cara hidup kelompok suatu

masyarakat, yang dapat diamati melalui manifestasinya, seperti pandangan

6

terhadap waktu, keluarga, kebiasaan berdagang (berbisnis) dan sebagainya. Haris

dan Morgan (1987, dalam Czinkota) menginventarisir elemen-elemen budaya

antara lain bahasa, kepercayaan, nilai dan sikap, perilaku dan kebiasaan,

keindahan, pendidikan dan sosial institusi. Budaya bertindak sebagai sumber

eksternal yang mempengaruhi perilaku karyawan pada kepribadian sehari-harinya

yang akibatnya mempengaruhi perilaku setiap orang dalam organisasi, karena

setiap orang membawa sepotong dunia luar ke tempat kerja. Secara keseluruhan,

dampak budaya masing-masing individu menciptakan perubahan dalam budaya

dari organisasi itu sendiri. (Trace and Bayer dalam Keyong, 2010). Memahami

nilai-nilai budaya penting untuk dimiliki anggota organisasi agar mampu

mengidentifikasi, memahami dan merespon perbedaan dalam berpikir, merasa dan

bertindak anggota organisasi lain dengan latar belakang budaya yang berbeda.

Bagi perusahaan multi nasional, pengetahuan budaya dan sensitivitas nilai-nilai

budaya adalah sebuah kebutuhan yang harus ditangani pada praktek manajemen

dan pelatihan. Perbedaan budaya nasional para manajer dalam suatu perusahaan

dengan karyawannya menciptakan keberagaman budaya dalam perusahaan.

Keberagaman ini akan membawa ikatan budaya yang melekat pada suatu

masyarakat berbeda dengan budaya yang melekat pada masyarakat lain. Dapat

kita ambil kesimpulan bahwa telah terjadi akulturasi budaya. Akulturasi adalah

proses sosial yang timbul bila suatu kelompok manusia dengan suatu kebudayaan

tertentu dihadapkan dengan unsur-unsur dari suatu kebudayaan asing yang

berbeda sedemikian rupa, sehingga unsur-unsur asing tersebut lambat laun

diterima dan diolah ke dalam kebudayaan sendiri (Koentjaraningrat, 1980).

7

Keberhasilan sistem manajemen sangat tergantung pada kemampuan

kepemimpinan yang dimiliki oleh pimpinan dan manajer dalam perusahaan yang

bersangkutan (leadership competence). Lebih jauh, keberhasilan kepemimpinan

tersebut akan sangat teruji dalam lingkungan asing atau internasional, hal ini

disebabkan karena dalam lingkungan tersebut akan terjadi perubahan terhadap

kekuatan eksternal yang akan mempengaruhi baik secara langsung maupun tidak

langsung pada kekuatan internal perusahaan. Sangat diperlukan kepemimpinan

yang efektif untuk perusahaan-persuahaan yang memiliki karyawan dari berbagai

latar belakang budaya nasional yang berbeda. Kepemimpinan itu sendiri akan

memiliki berbagai macam dampak antara lain kepuasan pengikut atau bawahan.

Untuk melihat lebih jauh mengenai kepemimpinan manajer dengan latar belakang

budaya Korea Selatan terhadap karyawan yang merupakan penduduk lokal

Indonesia akan dibatasi dengan dimensi-dimensi dari kerangka budaya

Kluckhohn dan Strodtbeck. Keenam dimensi tersebut nantinya akan digunakan

untuk menganalisis kepemimpinan gaya Korea yang diterapkan jajaran manajer

dengan latar belakang budaya nasional korea dan bagaimana penerimaan

masyarakat lokal (berkebudayaan Indonesia) terhadap kepemimpinan budaya

korea tersebut di Indonesia. Dengan adanya keragaman budaya dalam perusahaan

tersebut maka dibutuhkan analisis terhadap jajaran manajer ekspatriat

berkebangsaan Korea dan para karyawan lokal pada PT. Semarang Garment.

Perusahaan Multi Nasional PT. Semarang Garment adalah salah satu

perusahaan yang merupakan perluasan perusahaan Kukdong Corporation yang

berpusat di Seoul, Korea Selatan. Perusahaan tersebut dipimpin langsung oleh

seorang pimpinan berkewarganegaraan Korea yang bernama Byun Hyo Su

8

dengan jajaran manajer yang berkebangsaan Korea dan sejumlah karyawan lokal

dari Indonesia. Di dalam perusahaan tersebut pasti terjadi interaksi kepemimpinan

lintas budaya yang nyata antara manajer asing (expatriates manager) dan

bawahan lokal mereka.

Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh Hofstede, ciri budaya nasional

Korea Selatan antara lain 1) Korea Selatan yang menganggap beberapa orang

lebih superior dibandingkan dengan yang lain karena status sosial, gender, ras,

umur, pendidikan, kelahiran, pencapaian, latar belakang dan lainnya 2) Korea

Selatan yang cenderung menjunjung tinggi konformitas dan keamanan 3) Orang

Korea Selatan lebih suka menghindari risiko 4) Orang Korea Selatan selalu

mengikuti peraturan formal dan juga ritual yang berlaku di Korea Selatan 5) di

Korea Selatan, kepercayaan hanyalah diberikan kepada keluarga dan teman yang

terdekat 6) Masyarakat Korea Selatan menerima hubungan kekuasaan yang lebih

autokratik dan patrenalistik, bawahan mengenal kekuasaan orang lain melalui

formalitas, misalnya posisi hierarki. Kriteria budaya nasional Korea Selatan yang

demikian akan berbeda dengan budaya nasional Indonesia meskipun beberapa

dimensi budaya antar dua negara tersebut memiliki persamaan karena berada pada

payung besar budaya yang sama, yaitu budaya Asia.

Atas dasar itulah peneliti tertarik untuk mengambil tema penelitian

mengenai cross cultural leadership, khususnya kepemimpinan gaya Korea di

Indonesia yang mengambil obyek penelitian pada PT. Semarang Garment.

9

1.2 Rumusan Masalah

Kepemimpinan lintas budaya terjadi pada perusahaan multinasional yang

memperluas usahanya ke luar negeri. Pada PT. Semarang Garment terjadi

interaksi yang nyata antara jajaran manajer dengan latar belakang budaya Korea

Selatan dan karyawan yang berbudaya lokal Indonesia. Perbedaan budaya Korea

Selatan dan budaya Indonesia dapat dilihat dari berbagai aspek dalam perilaku

individu khususnya dalam suatu organisasi perusahaan. Perbedaan budaya

nasional dalam suatu perusahaan menimbulkan beberapa dampak dalam

organisasi perusahaan dikarenakan karakter individu yang terbentuk dari budaya

nasional masing-masing negara juga berbeda. Perbedaan manajemen Korea dan

Indonesia menjadi suatu masalah yang menarik untuk diteliti lebih lanjut. Dengan

adanya perbedaan budaya nasional antara pimpinan atau manajer yang

berkebudayaan Korea dengan karyawan yang berkebudayaan Indonesia perlu

adanya suatu proses adaptasi dari kedua belah pihak dan proses kepemimpinan

lintas budaya yang efektif.

Dalam hal ini, keenam dimensi Kluckhohn & Strodtbeck dan pola-pola

Parson yang digunakan untuk menganalisis kepemimpinan jajaran manajer

dengan latar belakang budaya nasional Korea Selatan pada perusahaan dengan

karyawan berpenduduk lokal dengan budaya nasional Indonesia di PT. Semarang

Garment. Selain itu dapat dilihat bagaimana karyawan lokal berbudaya Indonesia

menerima kepemimpinan dengan gaya Korea di lingkungan kerjanya.

Berdasarkan latar belakang tersebut, maka terdapat beberapa pertanyaan

penelitian sebagai fokus dari penelitian ini, yaitu sebagai berikut:

10

1. Bagaimana kepemimpinan gaya Korea ditinjau dari dimensi hubungannya

terhadap alam, orientasi waktu, sifat dasar manusia, orientasi aktivitas, fokus

aktivitas, dan konsepsi ruang sesuai dengan kerangka budaya Kluckhohn dan

Strodtbeck, serta dimensi afektivitas-netralitas afektif, universalisme-

partikularisme, ketersebaran-keterkhususan, askripsi-prestasi, orientasi

instrumental-ekspresif sesuai dengan pola-pola Parson yang diterapkan oleh

jajaran manajer ekspatriat berkebudayaan Korea Selatan di Indonesia pada

PT. Semarang Garment?

2. Bagaimana penerimaan karyawan lokal berbudaya Indonesia terhadap gaya

kempemimpinan gaya Korea yang diterapkan pada PT. Semarang Garment?

Mengacu kepada identifikasi di atas, maka fokus penelitian dapat dibatasi

pada kepemimpinan gaya Korea jajaran manajer di PT. Semarang Garment yang

merupakan manajer ekspatriat dari Korea Selatan terhadap karyawan lokal

berkebudayaan Indonesia di dalam perusahaan tersebut.

1.3. Tujuan Penelitian

Berdasarkan latar belakang masalah dan perumusan masalah di atas, maka

tujuan dari penelitian ini adalah guna menganalisis kepemimpinan gaya Korea

terhadap karyawan lokal berkebangsaan Indonesia di PT. Semarang Garment

Indonesia yang dibatasi dengan enam dimensi budaya dari Kluchkohn dan

Strodtbeck serta lima dimensi dari pola-pola Parson.

11

1.4. Kegunaan Penelitian

1. Bagi sosok pemimpin

Hasil penelitian ini diharapkan bisa dijadikan acuan dan arahan bagi seorang

pemimpin dalam menerapkan gaya kepemimpinan lintas budaya yang efektif

dalam perusahaan multi nasional.

2. Bagi pihak perusahaan

Hasil penelitian ini diharapkan bisa dijadikan sebagai salah satu dasar

pertimbangan dalam menentukan langkah dan kebijakan perusahaan multi

nasional.

3. Bagi peneliti lain

Diharapkan bisa dijadikan acuan dan pengetahuan untuk penelitian-penelitian

di bidang sumber daya manusia terutama yang berkenaan dengan

kepemimpinan lintas budaya.

4. Bagi masyarakat

Penelitian ini diharapkan membuka wawasan masyarakat perihal pentingnya

kepemimpinan lintas budaya yang efektif dalam memajukan sebuah

organisasi serta menambah pengetahuan masyarakat perihal kepemimpinan

gaya Korea di Indonesia.

5. Bagi peneliti

Dalam penelitian ini diharapkan peneliti dapat mengetahui lebih mendalam

gaya kepemimpinan lintas budaya seorang tokoh dan pemimpin sebuah

perusahaan multi nasional, khususnya perusahaan Korea di Indonesia.

12

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Landasan Teori

2.1.1 Kepemimpinan

Kepemimpinan merupakan tema yang popular, tanpa adanya pemimpin

para karyawan tidak akan dapat bekerja dengan baik, karena fungsi pemimpin di

sini diperlukan untuk mempengaruhi, memotivasi karyawan serta ikut serta dalam

proses pengambilan keputusan. Manajemen seringkali disamakan dengan

kepemimpinan. Abraham Zaleznik (dalam Robbins, 2002) misalnya, berpendapat

bahwa pemimpin dan manajemen sangat berbeda. Mereka berbeda dalam

motivasi, sejarah pribadi, dan cara berpikir serta bertindak. Zaleznik mengatakan

bahwa manajer cenderung mengambil sikap impersonal dan pasif terhadap tujuan,

sedangkan pemimpin mengambil sikap pribadi dan aktif terhadap tujuan.

Sedangkan Kotter (dalam Robbins, 2002) menganggap baik kepemimpinan dan

manajemen sama pentingnya bagi keefektifan organisasional yang optimal.

Namun ia yakin bahwa kebanyakan organisasi kurang dipimpin (underled) dan

terlalu ditata-olah (overmanaged). Munandar (2001) melihat kepemimpinan

sendiri lebih berhubungan dengan efektivitas sedangkan manajemen lebih

berhubungan dengan efisiensi. Kepemimpinan merupakan sesuatu yang penting

bagi manajer. Para manajer merupakan pemimpin (dalam organisasi mereka),

sebaliknya pemimpin tidak perlu menjadi manajer. Jadi definisi kepimimpinan

secara luas menurut Robbins (2002) yaitu sebagai kemampuan untuk

mempengaruhi suatu kelompok ke arah tercapainya tujuan. Menurut Siagian

13

(1995) kepemimpinan merupakan keterampilan dan kemampuan seseorang untuk

mempengaruhi orang lain, melalui komunikasi baik langsung, maupun tidak

langsung dengan maksud untuk menggerakan orang-orang tersebut agar dengan

penuh pengertian dan kesadaran bersedia mengikuti kehendak-kehendak

pemimpin tersebut. Menurut Stoner, et al (1995) kepemimpinan didefinisikan

sebagai proses pengarahan dan memepengaruhi aktivitas yang berkaitan dengan

tugas dari para anggota kelompok. Berdasarkan uraian tentang definisi

kepemimpinan di atas, menurut Nitisemito, 2001 (dalam Marcian, 2008) dapat

disimpulkan bahwa unsur kunci kepemimpinan adalah pengaruh yang dimiliki

seseorang dan akibat pengaruh itu bagi orang yang hendak dipengaruhi.

Kemampuan mempengaruhi adalah yang dominan dari kepemimpinan, dan

keberhasilan seorang pemimpin adalah bagaimana ia bisa memotivasi dan

menginspirasi orang lain. Teori-teori kepemimpinan dengan demikian dapat

diterapkan pada manajer. Dalam hal ini manajemen dapat kita anggap sebagai

kepemimpinan dalam perusahaan. Menurut Munandar (2001) kepemimpinan

merupakan pengertian yang meliputi segala macam situasi yang dinamis, yang

berisi:

a. Seorang manajer sebagai pemimpin yang mempunyai wewenang untuk

memimpin.

b. Bawahan yang dipimpin, yang membantu manajer sesuai dengan tugas

mereka masing-masing.

c. Tujuan atau sasaran yang harus dicapai oleh manajer bersama-sama dengan

bawahannya.

14

Efektifitas kepemimpinan biasanya dipertimbangkan dari segi tercapainya

suatu tujuan. Orang memandang kepemimpinan itu efektif atau tidak efektif dari

segi kepuasan yang diperoleh dari pengalaman pekerjaan seluruhnya. Penerimaan

dari pengarahan atau perintah seorang pemimpin sebagian besar tergantung dari

harapan para bawahannya, apabila mereka menanggapinya secara baik, maka akan

mendapatkan hasil yang menarik. Pemimpin yang baik harus memiliki empat

macam kualitas yaitu kejujuran, pandangan ke depan, mengilhami pengikutnya,

dan kompeten. Pemimpin yang tidak jujur tidak akan dipercaya dan akhirnya tidak

mendapat dukungan dari pengikutnya. Pemimpin yang memiliki pandangan ke

depan adalah pemimpin yang memiliki ke depan lebih baik. Pemimpin yang baik

juga harus mampu mengilhami pengikutnya dengan penuh antusiasme dan

optimisme. Pemimpin yang baik juga harus memiliki kompetensi dalam

menjalankan tugas secara efektif, mengerti kekuatannya, dan menjadi pembelajar

terus-menerus (Tampubolon, 2007). Selain itu, pemimpin yang efektif adalah

yang (1) bersikap luwes, (2) sadar mengenai diri, kelompok, dan situasi, (3)

memberi tahu bawahan tentang setiap persoalan dan bagaimana pemimpin pandai

dan bijak menggunakan wewenangnya, (4) mahir menggunakan pengawasan

umum di mana bawahan tersebut mampu menyelesaikan pekerjaan dalam batas

waktu yang ditentukan, (5) selalu ingat masalah mendesak, baik keefektifan

jangka panjang secara individual maupun kelompok sebelum bertindak, (6)

memastikan bahwa keputuan yang dibuat sesuai dan tepat waktu baik secara

individu maupun kelompok, (7) selalu mudah ditemukan bila bawahan ingin

membicarakan masalah dan pemimpin menunjukan minat dalam setiap

gagasannya, (8) menepati janji yang diberikan kepada bawahan, cepat menangani

15

keluhan, dan memberikan jawaban secara sungguh-sungguh dan tidak berbelit-

belit serta (9) memberikan petunjuk dan jalan keluar tentang metode/mekanisme

pekerjaan dengan cukup, meningkatkan keamanan dan menghindari kesalahan

seminimal mungkin.

2.1.2 Beberapa Teori Kepemimpinan

Bila berbicara mengenai kepemimpinan, maka terlebih dahulu harus

membahas teori-teori kepemimpinan. Robbins (1996) membagi teori mengenai

kepemimpinan ke dalam empat kategori, yaitu :

1. Teori Ciri Kepemimpinan (The Leadership Characteristic theory)

Teori Ciri Kepemimpinan adalah teori yang mencari ciri kepribadian,

sosial, fisik, atau intelektual yang memperbedakan pemimpin dari bukan

pemimpin. Dalam teori ini diidentifikasikan ciri-ciri yang dikaitkan secara

konsisten dengan kepemimpinan yaitu enam ciri yang cenderung membedakan

pemimpin dari bukan pemimpin adalah ambisi dan energi, hasrat untuk

memimpin, kejujuran dan integritas (keutuhan), percaya diri, kecerdasan, dan

pengetahuan yang relevan dengan pekerjaan. Di samping itu, riset baru-baru ini

memberikan bukti kuat bahwa orang-orang yang mempunyai sifat pemantauan

diri yang tinggi artinya sangat luwes dalam menyesuaikan perilaku mereka dalam

situasi yang berlainan, jauh lebih besar kemungkinannya untuk muncul sebagai

pemimpin dalam kelompok-kelompok ketimbang yang pemantauan dirinya

rendah.

16

2. Teori Perilaku Kepemimpinan (Behavioral Theories of Leadership)

Teori Perilaku Kepemimpinan adalah teori-teori yang mengemukakan

bahwa perilaku spesifik membedakan pemimpin dari bukan pemimpin. Adapun

teori-teori yang termasuk ke dalam Teori Perilaku Kepemimpinan adalah:

a. Studi-studi Kepemimpinan Ohio State

Menurut Yukl (1994) kuesioner penelitian tentang perilaku kepemimpinan

yang efektif telah didominasi oleh pengaruh dari kepemimpinan dari Ohio

State University. Sebuah sasaran utama untuk mengidentifikasi perilaku

kepemimpinan yang efektif. Analisis faktor dari jawaban kuesioner memberi

indikasi bahwa para bawahan memandang perilaku atasannya pertama-tama

dalam kaitannya dengan dua dimensi atau kategori arti dari perilaku, yang

kemudian disebut sebagai “consideration” dan “initiating structure”.

Kedua-duanya adalah kategori yang didefinisikan secara luas yang terdiri

atas sejumlah varietas yang luas mengenai jenis-jenis perilaku yang spesifik.

Consideration adalah tingkat sejauh mana seorang pemimpin bertindak

dengan cara ramah dan mendukung, memperlihatkan perhatian terhadap

bawahan, dan memperhatikan kesejahteraan mereka. Contohnya termasuk

melakukan kebaikan kepada bawahan, mempunyai waktu untuk

mendengarkan masalah para bawahan, mendukung atau berjuang untuk

seorang bawahan, berkonsultasi dengan bawahan mengenai hal yang penting

sebelum dilaksanakan, bersedia untuk menerima saran dari bawahan, dan

memperlakukan bawahan sebagai sesamanya.

Initiating structure (struktur memprakarasai) adalah tingkat sejauh mana

seorang pemimpin menentukan dan menstruktur perannya sendiri dan peran

17

dari para bawahan kearah pencapaian tujuan-tujuan formal kelompok.

Contohnya termasuk memberi kritik kepada pekerjaan yang jelek,

menekankan pentingnya memenuhi batas waktu, menugaskan bawahan,

mempertahankan standar-standar kinerja tertentu, meminta bawahan untuk

mengikuti prosedur-prosedur standar, menawarkan pendekatan baru terhadap

masalah, mengkoordinasi kegiatan-kegiatan bawahan, dan memastikan bahwa

bawahan bekerja sesuai dengan batas kemampuannya.

b. Telaah Universitas Michigan

Telaah kepemimpinan yang dilakukan pada Pusat Survei dan Survei

Universitas Michigan mempunyai riset yang serupa dengan riset yang

dilakukan di Ohio yaitu melokasi karakteristik perilaku pemimpin yang

tampaknya dikaitkan dengan ukuran keefektifan kinerja. Kelompok Michigan

juga membagi perilaku pemimpin ke dalam dua dimensi yaitu pemimpin

berorientasi karyawan dan pemimpin berorientasi produksi. Pemimpin yang

berorientasi karyawan (employee oriented leader) menekankan pada hubungan

antarpribadi, memberikan perhatian pribadi terhadap kebutuhan karyawan

dam menerima perbedaan individual di antara para anggota. Sebaliknya

pemimpin yang berorientasi produksi (production oriented leader) cenderung

menekankan aspek teknis atau tugas dari pekerjaan tertentu, perhatian utama

mereka adalah pada penyelesaian tugas kelompok mereka, dan anggota-

anggota kelompok adalah suatu alat untuk tujuan akhir itu.

c. Kisi-kisi Manajerial Blake & Mouton dan Studi Skandinavia

Suatu penggambaran grafis dari pandangan dua dimensi terhadap gaya

kepemimpinan dikembangkan oleh Blake dan Mouton. Mereka

18

mengemukakan Kisi Manajerial berdasarkan gaya “kepedulian akan orang”

dan “kepedulian akan produksi”, yang pada hakikatnya mewakili dimensi

pertimbangan dan struktur prakarsa dari Ohio atau dimensi berorientasi

karyawan dan berorientasi produksi dari Michigan. Kisi manajerial itu sendiri

merupakan suatu matriks sembilan kali sembilan yang membagankan delapan

puluh satu gaya kepemimpinan yang berlainan.

Berdasarkan penemuan-penemuan Blake dan Mouton, para manajer

berkinerja paling baik pada gaya 9,9 dimana perhatiannya pada produksi

tinggi tetapi perhatiannya pada karyawan juga tinggi, jika dibandingkan

dengan gaya 9,1 (tipe otoritas) atau gaya 1,9 (tipe laissez-faire).

Studi skandinavia mengatakan premis dasar mereka adalah bahwa dalam

suatu dunia yang berubah, pemimpin yang efektif akan menampakkan

perilaku yang berorientasi pengembangan (orients expansion). Mereka adalah

para pemimpin yang menghargai eksperimentasi, mencari gagasan baru, serta

membuat dan mengimplementasikan perubahan.

3. Teori Kontingensi (Contingency Theory)

Teori Kontingensi merupakan pendekatan kepemimpinan yang mendorong

pemimpin memahami perilakunya sendiri. Teori ini mengatakan bahwa

keefektifan sebuah kepemimpinan adalah fungsi dari berbagai aspek situasi

kepemimpinan (Ivancevich, Konopaske, Matteson, 2007). Adapun lima teori yang

termasuk ke dalam teori kontingensi adalah :

a. Model kontingensi Fiedler (Fiedler Contingency Model)

Mengemukakakan bahwa kinerja kelompok yang efektif bergantung pada

padanan yang tepat antara gaya si pemimpin dan sampai tingkat mana situasi

19

memberikan kendali dan pengaruh kepada si pemimpin. Fiedler menciptakan

instrument, yang disebutnya LPC (Least Preffered Co-Worker) yang

bermaksud mengukur apakah seseorang itu berorientasi tugas atau hubungan.

Kemudian setelah gaya kepemimpinan dasar individu dinilai melalui LPC

yang bermaksud mengukur apakah seseorang itu berorientasi tugas ataukah

hubungan, Fiedler mendefinisikan faktor-faktor hubungan pemimpin-

anggota, struktur tugas dan kekuasaan jabatan sebagai faktor situasi utama

yang menentukan efekftivitas kepemimpinan.

b. Teori Situasional Hersey dan Blanchad

Merupakan suatu teori kemungkinan yang memusatkan perhatian pada para

pengikut. Kepemimpinan yang berhasil dicapai dengan memilih gaya

kepemimpinan yang tepat, yang menurut argument Hersey dan Blanchard

bersifat tergantung pada tingkat kesiapan atau kedewasaan para pengikutnya.

Tekanan pada pengikut dalam keefektifan kepemimpinan mencerminkan

kenyataan bahwa para pengikutlah yang menerima baik atau menolak

pemimpin. Tidak peduli apa yang dilakukan si pemimpin itu, keefektifan

bergantung pada tindakan dari pengikutnya. Inilah dimensi penting yang

kurang ditekankan dalam kebanyakan teori kepemimpinan. Istilah kesiapan,

seperti didefinisikan oleh Hersey dan Blanchard, merujuk ke sejauh mana

orang mempunyai kemampuan dan kesiapan untuk menyelesaikan suatu tugas

tertentu.

c. Teori Pertukaran Pemimpin-Anggota

Menurut teori ini para pemimpin menciptakan kelompok-dalam dan

kelompok-luar, dan bawahan dengan status kelompok-dalam akan

20

mempunyai penilaian kinerja yang lebih tinggi, tingkat keluarnya karyawan

yang lebih rendah, dan kepuasan yang lebih besar bersama atasan mereka.

Hal pokok yang harus dicatat di sini adalah bahwa walaupun pemimpinlah

yang melakukan pemilihan, karakteristik pengikutlah yang mendorong

keputusan kategorisasi dari pemimpin.

d. Teori Jalur-Tujuan Robert House (House’s Path Goal Theory)

Merupakan teori bahwa perilaku seorang pemimpin dapat diterima baik oleh

bawahan sejauh mereka pandang sebagai suatu sumber dari atau kepuasan

segera atau kepuasan masa depan. Hakikat teori ini adalah bahwa merupakan

tugas si pemimpin untuk membantu pengikutnya dalam mencapai tujuan

mereka dan untuk memberikan pengarahan yang perlu dan / atau dukungan

guna memastikan tujuan mereka sesuai dengan sasaran keseluruhan dari

kelompok atau organisasi.

e. Teori Model Partisipasi-Pemimpin Vroom dan Yetton

Merupakan suatu teori kepemimpinan yang memberikan seperangkat aturan

untuk menentukan ragam dan banyaknya pengambilan keputusan partisipatif

dalam situasi-situasi yang berlainan.

4. Teori Neo-Karismatik (Neocharismatic Theories)

Merupakan teori kepemimpinan yang menekankan simbolisme, daya tarik

emosional, dan komitmen pengikut yang luar biasa. Teori-teori yang termasuk ke

dalam teori ini adalah

a. Teori Kepemimpinan Karismatik (Charismatic Leadership)

Teori Kepemimpinan Karismatik mengemukakan bahwa para pengikut

membuat atribusi dari kemampuan kepemimpinan yang heroic atau luar biasa

21

bila mereka mengamati perilaku-perilaku tertentu. Kepemimpinan karismatik

mungkin tidak selalu diperlukan untuk mencapai tingkat kinerja karyawan

yang tinggi. Mungkin paling tepat bila tugas dari pengikut memiliki suatu

komponen ideologis atau bila lingkungan melibatkan satu tingkat stress dan

ketidakpastian yang tinggi.

b. Teori Kepemimpinan Transformasional

Teori yang menyatakan bahwa pemimpin memberikan pertimbangan dan

ransangan intelektual yang diindividualkan dan yang memiliki karisma.

c. Teori Kepemimpinan Transaksional

Merupakan teori yang menyatakan bahwa pemimpin memandu atau

memotivasi pengikut mereka dalam arah tujuan yang ditegakkan dengan

memperjelas peran dan tuntutan tugas.

d. Teori Kepemimpinan Visioner (Visionary Leadership)

Teori dimana pemimpin memiliki kemampuan untuk menciptakan dan

mengkomunikasikan visi yang realistis, dapat dipercaya, dan menarik

mengenai masa depan bagi suatu organisasi atau unit organisasi, yang tumbuh

dan menjadi semakin baik di masa sekarang.

2.1.3 Gaya Kepemimpinan

Dalam mensukseskan kepemimpinan dalam organisasi, pemimpin perlu

memikirkan dan memperlihatkan gaya kepemimpinan yang akan diterapkan

kepada pegawainya (Mulyadi dan Rivai, 2009). Stoner, et al. (1995) memberikan

definisi tentang gaya kepemimpinan yaitu berbagai pola tingkah laku yang disukai

oleh pemimpin dalam proses mengarahkan dan mempengaruhi pekerja. Paul

22

Hersey dan K. H Blanchard, 1982 (dalam Marcian 2008) menyebutkan gaya

kepemimpinan adalah pola perilaku yang dilakukan oleh seseorang pada waktu

tertentu dan berupaya mempengaruhi aktivitas orang lain. Menurut Umar (2004)

gaya kepemimpinan adalah suatu cara atau teknik seseorang dalam menjalankan

suatu kepemimpinan dan dapat pula diartikan sebagai norma perilaku yang

digunakan seseorang pada saat orang tersebut mencoba mempengaruhi perilaku

orang lain seperti yang ia lihat, dalam hal ini usaha menselaraskan persepsi

diantara orang yang akan mempengaruhi perilaku dengan yang akan dipengaruhi

menjadi amat penting. Gaya atau cara/norma perilaku yang dipergunakan oleh

sesorang pada saat orang tersebut mencoba mempengaruhi perilaku orang lain

seperti yang ia inginkan, menurut Miftah Thoha (1994), disebut gaya

kepemimpinan. Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa gaya kepemimpinan

yaitu pola perilaku dan strategi yang disukai dan sering diterapkan pemimpin,

dengan menyatukan tujuan atau sasaran yang telah menjadi komitmen bersama

(Abdilah, 2011).

2.1.4 Pemahaman Budaya

2.1.4.1 Budaya

Setiap kelompok masyarakat tertentu akan mempunyai cara yang berbeda

dalam menjalani kehidupannya dengan sekelompok masyarakat yang lainnya.

Cara-cara menjalani kehidupan sekelompok masyarakat dapat

didefinisikansebagai budaya masyarakat tersebut. Satu definisi klasik mengenai

budaya adalah sebagai berikut: "budaya adalah seperangkat pola perilaku yang

secara sosial dialirkan secara simbolis melalui bahasa dan cara-cara lain pada

23

anggota dari masyarakat tertentu (Wallendorf & Reilly dalam Mowen, 1995). Di

lain sisi budaya menurut (Tyler dalam Mowen, 1995) merupakan “a complex

whole which includes knowledge, belief, art, law, morals, customs, and any other

capabilities and habits acquired by man as a member of society”.

Ada pula definisi yang menyatakan bahwa budaya adalah pola utuh

prilaku manusia dan produk yang dihasilkannya yang membawa pola pikir, pola

lisan, pola aksi, dan artifak, dan sangat tergantung pada kemampuan seseorang

untuk belajar, untuk menyampaikan pengetahunnya kepada generasi berikutnya

melalui beragam alat, bahasa, dan pola nalar. Kedua definisi tersebut menyatakan

bahwa budaya merupakan suatu kesatuan utuh yang menyeluruh, bahwa budaya

memiliki beragam aspek dan perwujudan, serta bahwa budaya dipahami melalui

suatu proses belajar (Keyong, 2010)

Definisi di atas menunjukkan bahwa budaya merupakan cara menjalani

hidup dari suatu masyarakat yang ditransmisikan pada anggota masyarakatnya

dari generasi ke generasi berikutnya. Proses transmisi dari generasi ke generasi

tersebut dalam perjalanannya mengalami berbagai proses distorsi dan penetrasi

budaya lain. Hal ini dimungkinkan karena informasi dan mobilitas anggota suatu

masyarakat dengan anggota masyarakat yang lainnya mengalir tanpa hambatan.

Interaksi antar anggota masyarakat yang berbeda latar belakang budayanya

semakin intens. Oleh karena itu, dalam proses transmisi budaya dari generasi ke

generasi, proses adaptasi budaya lain sangat dimungkinkan. Misalnya proses

difusi budaya populer di Indonesia terjadi sepanjang waktu. Kita bisa melihat

bagaimana remaja-remaja di Indonesia meniru dan menjalani budaya populer dari

negara-negara Barat, sehingga budaya Indonesia sudah tidak lagi dijadikan dasar

24

dalam bersikap dan berperilaku. Proses seperti inilah yang disebut bahwa budaya

mengalami adaptasi dan penetrasi budaya lain. Dalam hal-hal tertentu adaptasi

budaya membawa kebaikan, tetapi di sisi lain proses adaptasi budaya luar

menunjukkan adanya rasa tidak percaya diri dari anggota masyarakat terhadap

budaya sendiri.

Agar budaya terus berkembang, proses adaptasi seperti dijelaskan di atas

terus perlu dilakukan. Paradigma yang berkembang adalah bahwa budaya itu

dinamis dan dapat merupakan hasil proses belajar, sehingga budaya suatu

masyarakat tidak hadir dengan sendirinya. Proses belajar dan mempelajari budaya

sendiri dalam suatu masyarakat disebut enkulturasi (enculturati). Enkulturasi

menyebabkan budaya masyarakat tertentu akan bergerak dinamis mengikuti

perkembangan zaman. Sebaliknya sebuah masyarakat yang cenderung sulit

menerima hal-hal baru dalam masyarakat dan cenderung mempertahankan budaya

lama yang sudah tidak relevan lagi disebut sebagai akulturasi (acculturation).

Budaya yang ada dalam sekelompok masyarakat merupakan seperangkat

aturan dan cara-cara hidup. Dengan adanya aturan dan cara hidup/ anggota

dituntun untuk menjalani kehidupan yang serasi. Masyarakat diperkenalkan pada

adanya baik-buruk, benar-salah dan adanya harapan-harapan hidup. Dengan

aturan seperti itu orang akan mempunyai pijakan bersikap dan bertindak. Jika

tindakan yang dilakukan memenuhi aturan yang telah digariskan, maka akan

timbul perasaan puas dalam dirinya dalam menjalani kehidupan. Rasa bahagia

akan juga dirasakan oleh anggota masyarakat jika dia mampu memenuhi

persyaratan-persyaratan sosialnya. Orang akan sangat bahagia jika mampu

bertindak baik menurut aturan budayanya. Oleh karena itu, budaya merupakan

25

sarana untuk memuaskan kebutuhan anggota masyarakatnya. Kebudayaan,

menurut (Soemardjan, 2010) adalah semua hasil karya, rasa dan cipta masyarakat.

Mengacu pendapat tersebut, maka karya masyarakat akan menghasilkan teknologi

dan kebudayaan yang berwujud benda, misalnya rumah, makanan, senjata,

pakaian dan sebagainya.

Budaya kerja biasanya didapatkan disekolah ketika kita remaja, sedangkan

budaya organisasi didapatkan pada tahap akhir setelah kita menjadi karyawan dari

sebuah perusahaan, biasanya pada saat dewasa. Dalam proses pembelajaran, nilai

dikembangkan lebih awal untuk memainkan peran dalam proses penyeleksian dan

nilai apa saja yang diterapkan (Frits, 2002). Menurut (Hofstede, 2005) budaya

dapat diterapkan dalam beberapa cara yaitu:

a. Symbols merupakan kata-kata, gambar, gerak tubuh atau objek yang

membawa arti tertentu, hanya diakui oleh mereka yang berbagi budaya. Kata-

kata dalam bahasa atau jargon termasuk dalam kategori ini. Simbol

dimasukkan ke dalam lapisan, terluar dangkal.

b. Heroes, mengacu pada manusia, kematian, kenyataan atau imajiner, memiliki

karakter yang mulia dan sangat dipuji dalam suatu budaya dan dengan

demikian menjadi teladan dalam budaya tersebut.

c. Rituals adalah kegiatan kolektif secara teknis berlebihan dalam mencapai

tujuan yang diinginkan, tetapi yang dalam suatu budaya, dianggap sebagai

sosial penting misalnya tata cara berbicara dan menghormati orang lain.

d. Value mengacu pada manifestasi terdalam, atau inti dari budaya. Nilai adalah

kecenderungan yang luas untuk memilih negara tertentu melebihi

26

kecenderungannya dengan negara lain. Mereka adalah hal pertama anak-anak

belajar tanpa disadari.

Dalam keanekaragaman budaya terjadi perbedaan karakter, nilai hidup, dll,

sehingga mengelola perbedaan merupakan hal penting galam berhubungan dengan

pihak lain. Mengelola perbedaan berarti memungkinkan semua karyawan untuk

mewujudkan potensi-potensinya secara maksimum. Hal itu menitikberatkan

kepada perubahan budaya dan infrastruktur organisasi sedemikian rupa sehingga

karyawan dapat memberikan hasil produktivitas karyawan yang maksimal. Dasar

pemikiran rasional untuk mengelola perbedaan terletak pada hasil legal, sosial,

dan moral. Secara sederhana, alasan utama untuk mengelola perbedaan adalah

kemampuan untuk membangun dan memelihara usaha dalam lingkungan yang

kompetitif. Hal ini menjelaskan bahwa pentingnya perusahaan untuk mengelola

perbedaan dengan pertama kali meninjau ulang trend demografi yang

menimbulkan adanya perbedaan diantara tenaga kerja. (Robert, 2005)

2.1.4.2 Budaya Nasional

Budaya nasional merupakan pedoman dasar bagi karyawan untuk

memahami pekerjaan, dan pendekatan untuk melakukan pekerjaan serta harapan

karyawan untuk diperlakukan. Budaya nasional memiliki arti bahwa suatu cara

bertindak tertentu lebih disukai karena dinggap cocok dengan nilai-nilai budaya

daripada yang lain. Bila praktek manajemen. Tidak sesuai dengan budaya nasional

yang telah dipercaya dan dianut, karyawan akan merasa tidak enak, tidak puas,

tidak berkomitmen dan tidak menyukai. Karyawan akan merasa tidak suka atau

terganggu bila diminta oleh manajemen untuk bertindak yang tidak sesuai dengan

nilai-nilai budayanya. (Mas’ud, 2002).

27

Budaya merupakan sesuatu yang seharusnya dipelajari dan bukan untuk

diwariskan (Hofstede, 2005). Nilai yang mendalam akan mewakili perasaan yang

luas mengenai kebaikan dan kejahatan, keindahan dan kejelekan, rasional dan

irrasional. Praktek yang diperkenalkan biasanya melalui manusia, misalnya

kebiasaan kolektif disajikan dalam sesuatu yang terlihat seperti pakaian, bahasa,

dan jargon, simbol status, kriteria promosi, tata cara pertemuan, gaya komunikasi,

dan banyak lagi. Nilai-nilai dan praktek baik milik perangkat lunak suatu budaya,

ada juga hardware dalam bentuk bangunan, perlatan kantor, dan jenis kendaraan

yang mencerminkan karakteristik budaya.

Budaya nasional memiliki komposisi tingkat nilai lebih tinggi

dibandingkan dengan tingkat prakteknya, sedangkan budaya organisasi memiliki

tingkat praktek yang lebih beragam dibandingkan tingkat nilainya. Budaya

nasional adalah program yang pertama yang tertanam kedalam diri kita, nilai

merupakan komponen terdalam dari program tersebut. Pada saat kita dewasa

biasanya nilai-nilai sudah tertanam dengan baik sehingga sulit berubah.

Sistem bangsa telah diperkenalakan diseluruh dunia pada pertengahan

abad ke duapuluh, diikuti dengan sistem kolonial yang telah dikembangkan tiga

abad sebelumnya. Dalam periode kolonial, kemajuan teknologi negaranegara

Eropa Barat yang hanya disebarkan pada negara-negara mereka saja, sehingga

mereka membagi seluruh territorial wilayah didunia yang tidak memiliki kekuatan

politik. Batas wilayah antara sebelum kolonial dan sesudah kolonial ditentukan

oleh para penguasa kolonial dibanding dengan penduduk setempat. Oleh karena

itu, bangsa tidak dapat disamakan dengan masyarakat hisoris. Bentuk-bentuk asli

yang telah dikembangkan organisasi sosial, sebenarnya merupakan konsep

28

kebudayaan umum yang berlaku untuk seluruh masyarakat, dan bukan untuk

bangsa. Namun, banyak negara yang keutuhan historisnya dikembangkan bahkan

bila dalam negara tersebut terdiri-dari kelompok yang berbeda, mereka akan

menjadi kelompok minoritas yang kurang terintergrasi. Dalam bangsa yang telah

ada selama beberapa waktu ada kekuatan yang kuat terhadap intergrasi secara

berkelanjutan. Hal ini bisa dalam bentuk bahasa nasional yang dominan, media

massa umum, sistem pendidikan nasional, tentara nasional, sistem politik

nasional, representasi nasional di acara olahraga dengan simbolis yang kuat dan

emosional.

2.1.4.3 Dimensi Keragaman Kultural untuk Mengkaji Perbedaan

Budaya

Perbedaan budaya di antara komunitas perusahaan inti dan komunitas

petani plasma dijelaskan dengan bertolak dari adanya pergulatan di antara dua

prinsip yang disebut sebagai perekonomian dualistik. Pergulatan ini berakar dari

pertentangan antara kapitalisme barat yang modern dan tradisi pra-kapitalis.

Kapitalisme barat yang modern, muda, dan agresif yang dibangun di kota besar

berhadapan dengan tradisi pra-kapitalis yang tua yang berada di pedesaan (Boeke,

1983:11).

Menurut Boeke (1983:11), dalam situasi dualistik terdapat dua

karakteristik yang berbeda dalam konteks sosial ekonomi. Satu sisi merupakan

golongan masyarakat yang memiliki ikatan sosial asli dan organis, sistem

kesukuan tradisional, kebutuhan yang sifatnya terbatas dan bersahaja, serta prinsip

produksi pertanian yang sifatnya subsisten. Sisi lainnya adalah masyarakat yang

berorientasi keuntungan, bersaing usaha yang terorganisasikan, profesional,

29

bertumpu pada kapitalisasi dan industri mekanis, serta memandang rendah

dorongan atau motif ekonomi yang dikaitkan dengan motif sosial, etika, adat,

tradisi, suku, agama, dan sebagainya. Dalam kehidupan pertanian, kapitalisme

diasosiasikan dengan farmer yang berciri kota, sementara prakapitalisme

diasosiasikan dengan peasant yang berciri desa.

Dalam kerangka ini peasant merupakan masyarakat yang (1) hidup dari

mengolah tanah, (2) hidup menetap dalam komunitas pedesaan, (3) menggunakan

teknologi pertanian, seperti pacul, bajak, dan garu untuk melakukan produksi

pertanian, (4) memiliki hubungan dengan kota. Selain itu juga mengolah tanah

untuk tujuan subsistensi.

Kroeber dalam Foster (1967:2) mengemukakan bahwa peasant merupakan

bagian masyarakat dari suatu budaya yang hidup dalam kaitannya dengan pasar

dan pusat kota. Golongan masyarakat ini tidak lagi terisolasi, namun masih

memegang nilai tradisional. Sementara itu menurut Firth (Marzali, 1998:85),

sistem ekonomi peasant adalah sistem ekonomi yang menggunakan ketrampilan

dan pembagian kerja sederhana, memiliki keterbatasan akses ke pasar, alat

produksi dikuasai dan diorganisasikan secara nonkapitalistik, skala produsen

tergolong kecil dengan hubungan produksi bersifat lebih personal, dan perhatian

terhadap aspek sosial dan keagamaan lebih diutamakan daripada aspek materi.

Menurut Wolf (1983:2), peasant merupakan orang desa yang bercocok tanam dan

berternak di daerah pedesaan. Usaha tani tersebut tidak dilakukannya sebagai

petani farmer atau pengusaha pertanian (agricultural enterpreneur) karena tidak

dilakukan sebagai kegiatan bisnis untuk meraih keuntungan ekonomis, namun

dilakukan dalam kerangka pengelolaan rumah tangga.

30

Dalam melakukan produksi pertanian, peasant harus mengarahkan

kegiatannya untuk melayani keluarga dan masyarakat. Hal ini sebagaimana

dikemukakan oleh Diaz (1967:50), yaitu bahwa peasant sebagai man economic

harus mengarahkan aktivitasnya dalam dua ruang, yakni ruang keluarga dan ruang

masyarakat. Perhatian peasant terhadap keluarga dan masyarakatnya dikemukakan

pula oleh Popkins (1979:28), yaitu bahwa pihak-pihak yang menjadi perhatian

utama peasant adalah diri sendiri, keluarga, tetangga, dan komunitas desanya. Di

dalam ruang keluarga maupun ruang masyarakat, peasant memberi dukungan

dengan produksi usaha tani yang dilakukan dalam kondisi kesederhanaannya

dengan teknologi non-industri dan bertumpu pada rumah tangga (household

based), serta produksi pertanian berorientasi subsistensi (Elson, 1997:xix).

Menurut Scott (1981:7), usaha subsistensi adalah usaha tani yang mengutamakan

keamanan (safety first). Dalam kehidupan tertib sosial masyarakat, peasant perlu

selalu menjaga relasi antarrumah tangga dan memelihara keseimbangan antara

kepentingan keluarga dan masyarakat yang dapat mengikat peasant dengan

masyarakat yang lebih luas. Menurut Wolf (1983:170), dalam kerangka ini

upacara atau ritual memiliki suatu fungsi melegetimasi unit sosial dan relasi di

antara sesama warga desa. Selain itu dari sudut komunikasi sosial, hal ini dapat

mengukuhkan eksistensi peasant dalam komunitasnya. Sebagai produsen

pertanian berskala kecil, tindakan dan pilihan petani selalu dikaitkan dengan

sumber daya alam, seperti tanah, air, iklim, dan matahari. Dengan demikian

peasant memiliki hubungan yang kuat dengan sistem ekologis (Weizt (1971:19).

Kuatnya pertalian peasant dengan kondisi ekologis menciptakan pula prosedur

dalam melakukan usaha tani. Keadaan ini menyebabkan petani akan sangat

31

berhati-hati dalam menerima introduksi teknologi baru. Dalam pandangan

peasant, perubahan teknologi sekecil apapun akan membawa pada konsekuensi

yang tidak terantisipasi yang dapat mengancam sistem produksi pertanian (Weitz,

1971:9).

Dalam menerima teknologi baru yang berimplikasi adanya prosedur yang

berbeda dengan kebiasaan bertani, petani menggunakan pola pikir safety first

demi keamanan subsistensinya. Analisis Scott (1981:3) menemukan bahwa etika

subsistensi di kalangan petani Asia Tenggara merupakan akibat dari kehidupan

petani yang dekat dengan garis batas yang merupakan garis antara keamanan dan

risiko Oleh karena itu dapat dikemukakan bahwa dalam perspektif moral ekonomi

petani, peasant merupakan golongan petani yang selalu menentang risiko.

Soekartawi (2003:173) mengemukakan bahwa agribisnis terdiri dari petani

yang selalu melakukan upaya memaksimalkan pendapatan dengan penguasaan

sumber daya yang terbatas. Adapun cirinya, pertama, cepat mengadopsi inovasi

sehingga digolongkan sebagai pengadopsi awal (early adopters). Kedua, memiliki

derajat kosmopolitan yang tinggi. Ketiga, memiliki keberanian menanggung risiko

dalam berusaha tani. Keempat, memiliki sikap mau dan kemampuan mencoba

teknologi baru yang ditunjang oleh sumber daya yang memadai. Slamet (2003:16)

mengemukakan bahwa untuk peningkatan produksi dalam pembangunan

pertanian diperlukan teknologi maju. Oleh karena itu petani perlu mengadopsi

teknologi maju. Dalam perspektif penyuluhan pembangunan, petani maju adalah

petani yang memiliki kemampuan untuk memerankan diri sebagai warga negara

yang baik sesuai dengan profesinya, dan sanggup berswadaya untuk

meningkatkan kesejahteraannya sendiri dan masyarakatnya (Slamet, 2003:18).

32

Pambudy (2003:235) mengemukakan bahwa seorang usahawan agribisnis

merupakan orang yang mampu untuk menyelesaikan proses dari menghasilkan ide

kreatif, inovasi, hingga menghasilkan produk barang atau jasa untuk dapat

dipasarkan dengan keuntungan yang memadai. Selain sebagai petani komersial

berbudaya industri, farmer juga dapat digolongkan sebagai petani modern.

Menurut Suriasumantri (2000:384), masyarakat modern yang urban memiliki

indikator sebagai berikut, pertama, bersifat analitik. Di samping itu, sebagian

besar aspek kehidupannya dilandaskan pada asas efisiensi secara teknis maupun

ekonomis. Indikator ini menempatkan nilai teori dan nilai ekonomi pada posisi

penting. Nilai teori terkait dengan aspek penalaran, ilmu, dan teknologi,

sedangkan nilai ekonomi berpusat pada penggunaan sumber dan benda ekonomi

secara efektif dan efisien berlandaskan perhitungan yang bertanggung jawab.

Sementara itu pengambilan keputusan berlandas pada argumentasi kuat. Kekuatan

berpikir bersifat dominan yang mengabaikan penarikan kesimpulan dari intuisi,

perasaan, dan tradisi. Kedua, bersifat individual. Nilai sosial dan kekuasaan dalam

kerangka ini harus berorientasi pada kepercayaan diri sendiri serta keberanian

untuk mengambil keputusan sendiri. Hubungan antarmanusia bersifat individual,

sementara untuk mempertahankan hidup seseorang harus mampu bersaing secara

produktif. Perbedaan budaya lainnya dari peasant dan farmer lainnya dapat

dikaitkan dengan dikotomi budaya yang dapat dijelaskan dengan konsep orientasi

nilai dari Kluckhohn dan Strodtbeck, individualisme-kolektivisme, variabilitas

budaya Hofstede, Pola-pola Parsons, dan keketatan Struktral.

33

A. Orientasi Nilai dari Kluckhohn-Strodtbeck

Kluckhohn-Strodtbeck memunculkan dimensi orientasi nilai. Dimensi ini

terdiri dari orientasi sifat manusia, orientasi sifat orang, oientasi waktu, aktivitas,

dan orientasi relasional (Gudykunst dan Kim, 1997:78). Dimensi pertama adalah

orientasi sifat manusia yang terkait dengan sifat bawaan. Dalam dimensi ini,

manusia dipandang baik atau jahat atau campuran antara baik dan jahat yang

merupakan pembawaan sejak lahir. Dimensi kedua, orientasi relasi manusia dan

alam. Ada tiga jenis relasi, yaitu takluk, menyelaraskan, dan mengendalikan.

Dimensi ketiga, orientasi waktu. Dalam dimensi ini, kehidupan manusia dapat

berfokus pada masa lalu, masa kini, atau, masa depan. Orientasi yang kuat

terhadap masa lalu cenderung menonjol pada kelompok budaya yang

menempatkan tradisi dalam posisi yang utama, seperti pemujaan pada leluhur atau

yang memberi tekanan lebih pada kohesivitas keluarga. Dimensi keempat,

orientasi aktivitas. Menurut Kluckhon-Strodtbeck, orientasi aktivitas dapat

dipandang sebagai doing, being, dan being-in-becoming. Orientasi doing berfokus

pada jenis aktivitas yang memiliki keluaran eksternal yang dapat diukur. Oleh

karena itu aktivitas ini harus nyata. Dalam kerangka ini terdapat pula orientasi

pada capaian hasil. Dimensi kelima, orientasi relasional. Orientasi relasional

terkait dengan dimensi individualisme-kolektivisme. Keterkaitan itu adalah karena

cara orang berinteraksi memiliki fokus yang berbeda, yaitu ke arah individualisme

atau kolektivisme.

Kluckholn dan Strodtbeck (1961) membandingkan budaya berdasarkan

atas beberapa dimensi sebagai berikut :

34

1. Nature of People (Karakter dasar manusia)

Budaya yang berorientasi pada sifat manusia membagi karakter manusia

menjadi: baik, buruk, dan campuran antara baik dan buruk. Masyarakat Barat,

umumnya, memandang manusia memiliki karakter yang baik, sedangkan

masyarakat Timur (misalnya Cina) memandang manusia memiliki sifat baik

atau buruk. Orientasi seperti ini memiliki konsekuensi yang sangat berarti

dalam bersikap kepada orang lain, baik dalam aspek kepercayaan atau interaksi

dengan orang lain.

2. Relationship to The Environment (Hubungan dengan alam lingkungan)

Pada budaya yang berorientasi pada alam, berkaitan dengan cara manusia

memperlakukan lingkungannya. Manusia dapat menguasai atau mengungguli

lingkungan, hidup selaras dengan lingkungan, atau menaklukkan (subjugate)

lingkungannya. Masyarakat Barat berpendirian bahwa mereka dapat

mengendalikan lingkungan dan semua kekuatan alam (misalnya badai, banjir).

Masyarakat Timur berpendirian bahwa manusia harus hidup selaras dengan

lingkungannya dan bahkan memujanya. Orientasi terhadap lingkungan

mempengaruhi sikap manusia terhadap agama, estetika, kepemilikan benda,

kualitas hidup, dan hubungan terhadap manusia lainnya.

3. Activity Orientation (Orientasi Aktivitas)

Orientasi terhadap aktivitas manusia berkaitan dengan sikap manusia

terhadap suatu aktivitas atau kegiatan. Ada masyarakat yang berorientasi

“melakukan” (doing), misalnya masyarakat Amerika dan Jerman, mereka lebih

menekankan kepada aktivitas atau kegiatan, penyelesaian tugas, berkompetisi,

dan pencapaian tujuan. Selain itu ada masyarakat yang berorientasi “menjadi”

35

(being). Orang mmelakukan berbagai aktivitas secara spontan, memperturutkan

kesenangan, dan menunjukkan spontanitasnya sebagai ekspresi

kepribadiannya. Kelompok lainnya adalah kelompok masyarakat yang

berorientasi kepada “the being –in-becoming” (yang menjadi). Masyarakat ini

lebih tertarik kepada kehidupan spiritual daripada kehidupan material.

4. Time Orientation (Orientasi waktu)

Orientasi terhadap waktu berkaitan dengan dengan sikap manusia terhadap

waktu. Orang dapat memusatkan diri ada masa lampau, saat ini, atau masa

yang akan datang. Masyarakat Barat lebih berorientasi pada masa yang akan

datang (future). Mereka menganggap bahwa waktu sebagai sesuatu yang harus

dihargai, oleh karena itu harus dipergunakan secara efektif. Sebaliknya,

masyarakat Timur, lebih berorientasi kepada masa lalu (past) dan tradisi.

Mereka memuja leluhur dan memiliki tradisi keluarga yang kuat (misalnya

masyarakat Jepang dan Cina). Masyarakat yang berorientasi pada waktu

sekarang (present), percaya bahwa waktu sangat berarti. Orang Filipina,

Meksiko, dan Amerika Latin pada umumnya berorientasi pada waktu saat ini.

5. Focus of Responsibility (Fokus tanggung jawab)

Orientasi terhadap tanggung jawab pada orang lain merupakan aspek yang

sangat penting berkaitan dengan hubungan antar manusia dan paling

membedakan anatara budaya Barat dengan budaya Timur. Kluckhohn &

Strodtbeck, 1961, dalam Reisinger (2009: 130) menyebutkan tiga jenis

orientasi terhadap orang lain: (1) individualistik (tujuan-tujuan individu

mengatasi tujuan-tujuan kelompok); (2) collateral (individu merupakan bagian

dari suatu kelompok sosial yang diakibatkan oleh hubungan yang diperluas

36

secara menyamping (laterally); dan (3) linear (mengutamakan keberlanjutan

kelompok melalui penggantian waktu).

6. Conception of Space (Konsepsi tentang ruang)

Konsepsi keruangan menurut kerangka Kluchkohn dan Strodtbeck

berhubungan dengan kepemilikan ruang. Beberapa budaya menganggap bahwa

tempat atau ruang harus tetap dijaga sebagai milik pribadi, sementara

kebudayaan lain menganggap bahwa sebuah ruang/tempat sangat terbuka

bahkan sangat dianjurkan untuk mengembangkan bisnis di publik. Beberapa

kelompok masyarakat menggabungkan antara publik dan privat.

Table 2.1

Cultural Orientations and Dimensions

No. Dimensi Indikator

I Nature of humans (karakter dasar manusia)

Good/Evil: The basic nature of people is essentially good (lower score) or evil (higher score).

Changeable/Unchangeable: The basic nature of humans is changeable (higher score) from good to

evil or vice versa, or not changeable (lower score).

II Relationships among people / focus responsibility (Hubungan dengan orang lain / fokus tangungjawab)

Individual: Our primary responsibility is to and for ourselves as individuals, and next for our immediate families.

Collective: Our primary responsibility is to and for a larger extended group of people, such as an extended family or society.

Hierarchical: Power and responsibility are naturally unequally distributed throughout society; those higher in the hierarchy have power over and responsibility for those lower.

III Relation to broad environment (hubungan dengan lingkungan)

Mastery: We should control, direct and change the environment around us.

Subjugation: We should not try to change the basic direction of the broader environment around us, and we should allow ourselves to be influenced by a larger natural or supernatural element.

Harmony: We should strive to maintain a balance

37

among the elements of the environment, including ourselves.

IV Activity (aktivitas) Doing: People should continually engage in activity to accomplish tangible tasks.

Thinking: People should consider all aspects of a situation carefully and rationally before taking action.

Being: People should be spontaneous, and do everything in its own time.

V Time (waktu) Past: Our decision criteria should be guided mostly by tradition.

Present: Our decision criteria should be guided mostly by immediate needs and circumstances.

Future: Our decision criteria should be guided by predicted long term future needs and circumstances.

VI Space (ruang)

Public: The space around someone belongs to everyone and may be used by everyone.

Private: The space around someone belongs to that person and cannot be used by anyone else without permission.

Diadopsi dari Kluckholn and Strodbeck (1961) dalam See Lane et al. (2000)

B. Variabilitas Budaya Hofstede

Menurut Hofstede (1994:109), ketidakpastian dirasakan dan dipelajari oleh

seorang anggota budaya dari warisan budaya yang dipindahkan serta digerakkan

melalui institusi dasar, seperti keluarga dan sekolah. Perasaan itu direfleksikan ke

dalam nilai yang dipegang secara kolektif oleh anggota masyarakat, serta

kemudian menuntun pola perilaku kolektif suatu masyarakat yang tidak mudah

dipahami oleh masyarakat lainnya.

Para anggota budaya yang berderajat tinggi dalam menghindari

ketidakpastian memiliki toleransi yang rendah pada ketidakpastian dan sesuatu

yang sifatnya ambigu. Para anggota dari kelompok budaya ini juga memiliki

kebutuhan yang besar akan adanya peraturan formal dan kebenaran mutlak. Selain

itu juga kurang memberi toleransi pada ide atau perilaku yang menyimpang dari

38

peraturan formal. Sementara itu, orang dari kelompok budaya yang memiliki

derajat rendah dalam menghindari ketidakpastian akan memiliki karakteristik

yang berlawanan dengan orang-orang yang memiliki derajat tinggi dalam

menghindari ketidakpastian.

Dimensi maskulinitas-feminitas (Hofstede dalam Ting-Toomey, 1999:72)

terkait dengan masyarakat yang dengan jelas membedakan karakteristik peran

jender. Karakteristik seperti laki-laki lebih asertif, keras, dan memiliki fokus pada

keberhasilan material, sementara perempuan yang cenderung rendah hati, lembut,

dan berfokus pada kualitas hidup. Hofstede (1994:81) dalam konteks organisasi

mengemukakan bahwa pada kutub maskulin, terdapat kesempatan untuk meraih

pendapatan yang tinggi, pengakuan layak yang berkaitan dengan prestasi,

kemajuan menuju tataran pekerjaan yang lebih tinggi, serta memiliki tantangan

dalam pekerjaan. Sementara itu pada kutub feminin terdapat relasi kerja yang

baik, kerjasama yang baik, dan keamanan dalam melakukan pekerjaan. Suatu hal

lagi yang menjadi pembeda antara budaya maskulin dan feminin adalah pada cara

atau proses peranan jender didistribusikan dalam suatu kelompok budaya. Para

anggota budaya maskulin akan berorientasi pada ambisi, benda atau materi,

kekuasaan, dan ketegasan, sementara para anggota budaya feminin akan memberi

nilai yang tinggi pada kualitas hidup, pelayanan, perhatian pada orang lain di

dalam kelompok, dan pemeliharaan hubungan.

C. Pola-pola Parsons

Dimensi pola-pola Parsons berbentuk dikotomi situasi. Satu sisi dapat

dipilih oleh seorang pelaku komunikasi dengan mempertimbangkan konteks

situasinya. Pola ini terdiri dari afektivitas-netralitas afektif, universalisme-

39

partikularisme, ketersebaran-keterkhususan, askripsi-prestasi, orientasi

instrumental-ekspresif (Gudykunst dan Kim, 1997:78). Pertama, afektivitas-

netralitas afektif. Orentasi pola ini berkenaan dengan sifat kepuasan yang dicari

oleh manusia. Sisi afektivitas menjadi posisi dari orang yang mencari kepuasan

segera dari situasi yang ada. Kedua, universalisme-partikularisme. Orientasi

universalistik berfokus pada kategorisasi orang atau obyek dalam konteks

referensi universal, sedangkan orientasi partikularistik berfokus pada kategorisasi

orang atau obyek secara spesifik. Ketiga, ketersebaran-keterkhususan. Orientasi

ini berfokus pada cara orang memberi respon pada orang lain. Dengan orientasi

ketersebaran, respon holistik akan diberikan seseorang kepada orang lain,

sedangkan orientasi keterkhususan ditampakkan seseorang dengan memberi

respon terhadap orang lain dalam cara yang khusus Keempat, askripsi-prestasi.

Orientasi askripsi dari seseorang akan tampak ketika orang tersebut memandang

orang lain. Dengan orientasi askriptif, pandangan seseorang akan bertolak pada

prediksi sosiokultural, yakni dalam kerangka keanggotaan orang lain di dalam

kelompoknya, seperti jender, umur, ras, etnik, kasta, dan sebagainya. Sementara

orang dengan orientasi prestasi akan mendasarkan prediksi dalam kerangka

prestasi yang dapat diraih orang lain. Kelima, orientasi instrumental-ekspresif.

Orientasi instrumental ditampakkan oleh orang dalam interaksinya dengan orang

lain jika interaksi itu merupakan sarana untuk mencapai tujuan lainnya, sedangkan

orientasi ekspresif akan tampak pada orang yang interaksinya dengan orang lain

merupakan tujuannya.

Keketatan struktural merupakan dimensi yang berfokus pada norma,

aturan, dan batasan yang berlaku pada anggota suatu komunitas. Budaya yang

40

longgar hanya menerapkan sedikit peraturan dan batasan atas perilaku, sementara

di dalam budaya yang ketat aturan dan batasan perilaku, norma dan aturan budaya

cenderung jelas dan harus ditaati. Dalam budaya ketat, jika ada anggota

komunitas yang melanggar norma dan aturan budaya dikenakan sanksi.

Sebaliknya dalam komunitas budaya longgar, para anggota yang melanggarnya

tidak akan dikenai sanksi sekeras pada budaya ketat (Gudykunst dan Kim,

1997:81).

2.1.5 Kebudayaan Indonesia

Beragamnya budaya nasional di Indonesia secara otomatis mempengaruhi

gaya kepemimpinan lewat para pengikut. Pemimpin tidak dapat memilih gaya

kepemimpinan mereka, karena dikendalikan oleh kondisi budaya yang ternyata

diharapkan oleh pengikut mereka (Bowo, 2008). Untuk tipe kepemimpinan di

Indonesia, budaya nasional sangat kental diterapkan dalam gaya kepemimpinan

seseorang. Walaupun gaya kepemimpinan dari setiap suku atau budaya berbeda-

beda, namun demikian secara umum telah ada tipologi gaya kepemimpinan

nasional yang menunjukan adat ketimuran bangsa Indonesia (Bowo, 2008).

Menurut Munandar (2001) di Indonesia kita kenal sebelas ciri pribadi yang

diharapkan oleh seorang pemimpin, antara lain:

a. Takwa, menahan diri dari perbuatan yang dilarang oleh Tuhan Yang Maha

Esa dan taat kepada segala perintah-Nya.

b. Ing Ngarsa Sung Tuladha, sebagai pemula, orang yang berada di depan,

selalu memberi suri teladan kepada yang dipimpinnya.

41

c. Ing Madya Mangun Karsa, ditengah-tengah para anak buahnya ikut terjun

langsung bekerja sama bahu membahu, memberi dorongan, semangat.

d. Tut Wuri Handayani, dari belakang selalu memberi dorongan dam arahan

kepada apa yang diinginkan anak buahnya.

e. Waspada Purba Wisesa, selalu berhati-hati dalam segala kondisi, meneliti

dan membuat perkiraan keadaan secara terus-menerus.

f. Ambeg Para Maarta, pandai menentukan mana yang menurut ruang, waktu

dan keadaan patut didahulukan.

g. Prasaja, bersifat dan bersikap sederhana serta rendah hati dan correct.

h. Satya, loyalitas timbal-balik dan bersikap hemat, tidak ceroboh serta

memelihara kondisi materiil dengan kecermatan.

i. Gemi nastiti, hemat dan cermat, sadar dan mampu membatasi penggunaan

dan pengeluaran hanya untuk yang benar-benar diperlukan.

j. Belaka, bersifat dan bersikap terbuka, jujur dan siap menerima segala kritik

yang membangun, selalu mawas diri dan selalu siap

mempertanggungjawabkan perbuatannya.

k. Legawa, rela dan ikhlas untuk pada waktunya mengundurkan diri dari fungsi

kepemimpinannya dan diganti dengan suatu generasi baru yang telah

mewarisi kesepuluh ciri ini.

Ciri-ciri pribadi tersebut lebih berfungsi sebagai prinsip-prinsip yang harus

dijalankan, sehingga mempunyai makna sebagai pedoman yang sifatnya normatif.

De Bono, 1986 (dalam Munandar, 2001) berdasarkan wawancaranya

dengan lima puluh pria dan wanita yang sangat berhasil dalam bidangnya masing-

masing berkesimpulan bahwa ada empat macam faktor (dua ciri pribadi dan dua

42

lainnya merupakan faktor di luar dirinya) yang menentukan keberhasilan

seseorang atau sekelompok orang. Kedua ciri pribadi itu adalah:

a. A little madness, orang yang tahu dengan pasti dan jelas apa yang ia inginkan

dan memiliki dorongan yang sangat kuat untuk mencapai tujuannya.

b. Very talented, orang yang mempunyai bakat yang sangat menonjol di bidang

tertentu.

c. Rapid growth field. Orang yang bekerja dalam bidang yang berkembang

sangat cepat mempunyai peluang lebih banyak untuk berhasil, daripada orang

yang bekerja di bidang yang tidak dapat berkembang dengan cepat. Bidang

teknologi, khususnya komputer merupakan bidang yang cepat berkembang

dengan cepat. Keadaan ini memungkinkan bakat untuk berkembang.

d. Luck. Ada orang yang kebetulan berada di tempat pada saat yang tepat untuk

melakukan usahanya. Ada orang lain yang selalu kesulitan dalam memulai

usahanya.

Selain itu, ciri kebudayaan pribadi bangsa Indonesia lainnya yang sangat

banyak berpengaruh dalam kehidupan berorganisasi adalah bermusyawarah

menuju mufakat, dan memutuskan segala sesuatu atas dasar konsensus diantara

seluruh kelompok organik, sekurang-kurangnya diantara kelompok seangkatan

pengalaman (peer group).

2.1.6 Kebudayaan Korea

Berdasarkan sudut pandang antropologis dan sosiologis, karakteristik-

karakteristik kebudayaan tradisional Korea dengan fokus pada sistem keluarga

43

dan pengaruh yang ditimbulkan terhadap gaya manajemen korea atau budaya

organisasi, adalah sebagai berikut (Cho, 1995).

1. Keselarasan dan Stabilitas

Konfusianisme mengatur norma-norma perilaku bagi orang Korea yang telah

berlangsung selama 500 tahun Dinasti Chosun. Sampai saat ini pengaruh ajaran

konfusianisme masih besar peranannya dalam kehidupan keluarga dan sosial.

Menurut semangat dasar konfusianisme tradisional, loyalitas dan kewajiban antara

raja dan rakyatnya merupakan suatu keharusan, hubungan erat antara kedua orang

tua dan anakanak adalah penting dan perlu, peran-peran yang berbeda ada di

antara kaum tua dan kaum muda; dan harus ada keyakinan antara teman. Artinya

etika mengenai hubungan vertikal dan horisontal harus diamati agar bisa

menetapkan stabilitas dalam keluarga dan masyarakat melalui keselarasan (Hahn,

1988). Dengan demikian, konfusianisme memiliki pengaruh yang besar terhadap

ideologi manajemen, perilaku organisasi, sistem manajemen dan hubungan

manusia. Perusahaan Korea secara khas menekankan keselarasan, kesatuan dan

kerjasama, kreativitas dan pengembangan. Banyak sekali perusahaan mengaku

bahwa stabilitas sebagai tujuan utama karena latar belakang kultur (budaya)

manajemen, dimana keselarasan di kalangan para anggota dan pengembangan

keseluruhan organisasi yang stabil lebih disukai daripada moral progresif dan

pertumbuhan yang cepat. Sehubungan dengan latar belakang kebudayaan

tradisional tersebut maka orang korea lebih menekankan manajemen personalia

termasuk hubungan-hubungan manajemen tenaga kerja.

44

2. Suksesi yang Tidak Setara

Warisan kekayaan keluarga dalam sistem keluarga Korea berbentuk warisan

yang tidak setara di mana anak laki-laki tertua diberi perlakuan istimewa. Dalam

kehidupan keluarga Korea, ada sistem yang disebut keluarga utama yang akan

digantikan oleh anak-laki-laki tertua. Dari anak laki-laki kedua dan seterusnya ke

bawah, ada sistem yang disebut cabang dari keluarga tersebut. Pada waktu

tertentu, meskipun ada kekayaan yang cukup untuk didistribusikan secara merata

di kalangan anak laki-laki, lazimnya saham terbesar diberikan kepada anak laki-

laki tertua. Pembagian warisan yang tidak setara ini memiliki makna yang penting

ketika diterapkan pada suksesi suatu perusahaan. Namun demikian, dalam banyak

perusahaan di Korea, tidak semua otoritas pendiri dipindahkan kepada

penerusnya. Meskipun si penerus tidak mewarisi posisi tersebut, kekuasaan

memerintah yang mutlak dan pengaruh yang dulu dimiliki si pendiri tidak secara

langsung diterima oleh para anggota organisasi dan kelompok-kelompok

kepentingan lainnya. Jika suksesi tidak setara diterapkan dalam perusahaan maka

sebaiknya para penerima warisan yang akan meneruskan kepemimpinan diberikan

pembelajaran terlebih dahulu. Artinya pembelajaran yang dimaksud adalah ikut

dilibatkan seseorang calon pewaris (si penerus) dalam melakukan pengelolaan

usaha, membuat keputusan usaha, dengan tujuan agar calon pewaris (si penerus)

tidak awam sama sekali pada usaha orang tuanya dan bisa melanjutkan usahanya.

3. Eksklusivisme dan Sentralisasi Kekuasaan

Dalam kehidupan sosial tradisional Korea, pertalian darah dan status sosial

mengandung latar belakang sikap orang Korea yang menimbulkan suatu cara

berpikir yang eksklusif dan tertutup. Hal ini juga berlaku pada masyarakat Korea

45

secara umum di dalam kerangka kehidupan yang eksklusif dan tertutup yang

dipelihara tersebut, kekuasaan yang diperlukan untuk menjaga urutan keluarga

dikonsentrasikan pada kepala keluarga dan anggota keluarga yang tertua yang

membentuk suatu struktur otoritas kekuasaan yang tersentralisir. Dalam

melakukan ritus-ritus pengorbanan bagi pemujaan leluhur yang merupakan

perluasan dari ketaatan anak laki-laki atau perempuan, keluarga langsung

memiliki prioritas tersebut. Para kerabat dekat dan jauh, kaum manula dan kaum

muda semua dibedakan, begitu juga yang berhubungan darah dan yang tidak.

Bahkan di antara hubungan pribadi, orang-orang yang intim dan orang-orang yang

tidak intim juga dibedakan sehingga merangsang timbulnya fraksionalisme

(faham berdasarkan golongan). Prinsip tradisional sikap eksklusif dan sentralisasi

kekuasaan juga menimbulkan dampak yang besar terhadap struktur kekuasaan

dalam berbagai perusahaan bisnis Korea. Prinsip ini lebih jelas dipraktikkan oleh

individu atau kelompok yang memiliki hak kepemilikan atas perusahaan, ketika

mengamankan dan mempertahankan hak-hak pengelolaan.

4. Prinsip Senioritas

Prinsip ini digunakan dalam organisasi manajemen Korea sebagai standar

yang digunakan untuk meningkatkan atau menaikkan gaji yang didasarkan pada

prinsip personal. Prinsip personal adalah suatu prinsip yang dapat digunakan

secara universal dan berlaku pada semua orang ketika mengevaluasi seseorang

dalam kehidupan sosial Korea. Pertimbangan khusus diberikan pada personal

yang telah berdinas lama dan mengundurkan diri untuk kesejahteraan hidup

mereka. Prinsip senioritas dapat penulis katakan sebagai penghargaan yang

diberikan oleh perusahaan pada karyawan senior, karena mereka sudah ikut

46

berjuang membesarkan perusahaan, dan pengorbanannya selama ini diakui oleh

perusahaan dengan cara memberikan tingkat kesejahteraan lebih tinggi

dibandingkan karyawan junior. Peran anggota-anggota keluarga juga ditentukan

menurut derajat. Banyak kelas dan urutan derajat sangat ketat dalam keluarga

dengan kepala keluarga sebagai pusat. Masing-masing individu melakukan

kewajibannya sendiri menurut urutannya dalam derajat: ayah, suami, istri dan

anak (Shin, 1984).

5. Otoritas Patriarkal dan Keselarasan

Dalam kehidupan keluarga tradisional Korea, ayah memiliki hak sebagai

kepala keluarga dan hak sebagai ayah, sehingga ia menggunakan otoritas mutlak

dan sepihak (sistem patriarkal) untuk mengatur orang-orang di bawahnya guna

kesejahteraan keluarga. Namun demikian kepala keluarga tidak selalu

menggunakan otoritas sepihak, ia juga menekankan keselarasan, memperlakukan

keluarga dengan hangat, mengendalikan dan mendorong aktivitas anggota

keluarganya (dikendalikan juga oleh orang yang lebih tua) untuk memperoleh

kepatuhan mereka. Metode kontrol berdasarkan otoritas dan keselarasan dalam

kehidupan keluarga tradisional ini mempengaruhi kepemimpinan manajemen

dalam dua cara, yaitu: (1) para anggota perusahaan sadar bahwa otoritas

tradisional para senior dalam derajat ditetapkan secara luas; (2) dalam cara yang

sama, keselarasan sangat ditekankan dalam organisasi.

6. Kepatuhan dan Ketundukan

Norma-norma perilaku masyarakat Korea didasarkan pada konsep kepatuhan

anak-anak pada orang tua (terlihat jelas pada hubungan ayah dengan anak laki-

lakinya). Dalam kehidupan sehari-hari orang harus berbicara dengan penuh

47

hormat, bersikap beradap terhadap orang lain di luar keluarga yang lebih tua atau

memiliki posisi lebih tinggi. Seseorang harus mengidentifikasi dirinya dalam

kelompok sosial tersebut (sense of belonging), dan menunjukkan rasa hormat

pada orang-orang di atasnya. Cara berpikir tradisional ini mempengaruhi

hubungan vertikal antara para majikan dan karyawan. Anggota perusahaan Korea

menganggap hubungan vertikal lebih penting daripada hubungan horisontal.

Penekanan pada hubungan vertikal menimbulkan komunikasi ke bawah secara

sepihak dan merupakan alasan bagi timbulnya konsentrasi pengambilan keputusan

pada tingkattingkat atas organisasi tersebut.

2.2. Penelitian Terdahulu

Ada beberapa penelitian perihal kepemimpinan yang sudah dilakukan.

Akan tetapi, penelitian yang langsung meneliti model kepemimpinan seorang

pemimpin di suatu perusahaan, terutama perusahaan surat kabar, barulah sedikit.

Namun, untuk menambah khazanah keilmuan serta yang menjadi inspirasi saya

dalam melakukan penelitian tentang model kepemimpinan seorang pemimpin di

suatu perusahaan ini, maka saya akan menyebutkan beberapa penelitian bertema

kepemimpinan yang sudah pernah dilakukan, antara lain:

1. Vesa Suutari, Kusdi Raharjo, dan Timo Riikkila (2002)

Judul : The Chalenge of Cross-cultural Leadership Interaction: Finnish

expatriates in Indonesia

Meneliti interaksi kepemimpinan lintas budaya para manajer ekspatriat dari

Finlandia terhadap karyawan yang merupakan penduduk lokal dalam

perusahaan multi nasional dari Finlandia yang ada di Indonesia.

48

2. Lieh-Ching Chang (2002)

Judul : Cross-cultural Differences in Internasional Management Using

Kluckhohn-Strodtbeck Framework

Meneliti gaya kepemimpinan manajer internasional yang melakukan

pekerjaan di luar negerinya dan pentingnya bagi para manajer

internasional untuk mengetahui mengenai perbedaan budaya nasional di

masing-masing negara.

3. Yoo Keun Shin (1999)

Judul : The Traits and Leadership Styles of CEO’s in Korean Companies

Meneliti gaya kepemimpinan para CEO di beberapa perusahaan Korea dan

mengidenttifikasi bagaimana pengikutnya menerima gaya kepemimpinan

tersebut..

4. Rachel K (2004)

Judul : Culture, Intercultural Communication Competence, and Sales

Negotiation: a Qualitative Research Approach

Meneiliti perbedaan kebudayaan dalam perusahaan, kompetensi

komunikasi lintas budaya yang efektif dalam rangka meningkatkan

kualitas negosiasi antar karyawan baik di dalam perusahaan maupun ke

luar perusahaan untuk negosiasi penjualan.

5. Aya Fukushige dan David P. Spicer (2007)

Judul : Leadership Preference in Japan : An Exploratory Study

Meneliti mengenai preferensi kepemimpinan di Jepang dengan

menggunakan dimensi penilaian budaya Bass dan Avolio serta

mengidentifikasi para pengikut atau follower Jepang mengenai gaya

49

kepemimpinan kontemporer Jepang serta mengidentifikasi faktor-faktor

lain di luar dimensi Bass dan Avolio.

2.3. Kerangka Pikir

Adapun skema kerangka pikir teoretis dalam pandangan peneliti adalah

sebagai berikut:

Perusahaan internasional Kukdong Corporation memiliki perluasan usaha

yang berada di Semarang Indonesia berupa perusahaan multi nasional PT.

Semarang Garment. Perusahaan tersebut menempatkan pimpinan serta jajaran

manajer ekspatriat yang berasal dari negaranya yaitu Korea Selatan. Para

Sumber : Diadopsi dari Dimensi Budaya Kluckholn&Strodtbeck dan Pola-pola Parson, 2013

Home

Country

Korea

Host

Country

Indonesia

Budaya

nasional

Korea

Budaya

nasional

Indonesia

kepemimpin

an

followers

/pengikut

Proses

penerimaan

budaya

Bentuk

kepemimpin

an gaya

Korea di

Indonesia

Dimensi Kluckholn & Strodtbeck

Nature of humans

Focus responsibility

Relation to broad environment

Activity

Time

space

Pola-pola Parson

afektivitas-netralitas afektif

universalisme-partikularisme

ketersebaran-keterkhususan

askripsi-prestasi

orientasi instrumental-ekspresif

50

pemimpin ini membawahi sejumlah karyawan yang merupakan penduduk lokal.

Dengan demikian, perbedaan budaya yang ada merupakan suatu tantangan bagi

perusahaan, khususnya jajaran manajer yang sebaiknya memiliki kemampuan

kepemimpinan lintas budaya secara efektif agar mampu mengembangkan

perusahaan dan berinteraksi dengan baik bersama bawahannya meskipun dengan

latar belakang budaya yang berbeda. Kepemimpinan gaya Korea yang diterapkan

oleh manajer ekspatriat berkebudayaan Korea di perusahaan PT. Semarang

Garment dan bagaimana para pengikut lokal berkebudayaan Indonesia menerima

kepemimpinan tersebut merupakan fokus dari studi ini. Untuk mengidentifikasi

hal tersebut, penelitian ini akan dibatasi beberapa variabel budaya dari kerangka

Kluckholn& Strodtbeck serta pola-pola Parson.

51

BAB III

METODE PENELITIAN

3.1. Pendekatan Penelitian

Pendekatan penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah

pendekatan kualitatif. Menurut Moleong (2007), pendekatan penelitian kualitatif

merupakan penelitian yang bermaksud untuk memahami fenomena tentang apa

yang dialami oleh subjek penelitian, misalnya perilaku, persepsi, motivasi,

tindakan, dan lain-lain secara holistik dan dengan cara deskripsi dalam bentuk

kata-kata dan bahasa, pada suatu konteks khusus yang alamiah dan dengan

memanfaatkan berbagai metode alamiah.

Salah satu tujuan dari penelitian kualitatif adalah untuk meneliti suatu

objek secara mendalam. Hal ini sesuai dengan penelitian ini, dimana akan melihat

gaya kepemimpinan Korea di Indonesia secara mendalam melalui beberapa

variabel yang membatasi penelitian. Pendekatan yang digunakan terkait dengan

penelitian kualitatif ini adalah pendekatan studi kasus (case study) dimana

pendekatan yang demikian memusatkan diri secara intensif pada satu obyek

tertentu yang mempelajarinya sebagai suatu kasus. Dalam studi kasus, dapat

diperoleh dari semua pihak yang bersangkutan, dengan kata lain data dalam studi

ini dikumpulkan dari berbagai sumber (Nawawi, 2003). Studi kasus

mengumpulkan beberapa sumber dan hasil penelitian yang hanya berlaku pada

kasus yang diselidiki. Lebih lanjut Arikunto (1986) mengemukakan bahwa

metode studi kasus merupakan salah satu jenis pendekatan deskriptif, adalah

penelitian yang dilakukan secara intensif, terperinci dan mendalam terhadap suatu

52

individu, lembaga atau gejala tertentu dengan daerah atau subyek byang sempit.

Penelitian studi kasus dimaksudkan untuk mempelajari secara intensif tentang

latar belakang masalah keadaan dan posisi suatu peristiwa yang sedang

berlangsung saat ini, serta interaksi lingkungan unit sosial tertentu yang bersifat

apa adanya. Subyek yang diteliti relatif terbatas tetapi menggunakan variabel

dengan dimensi tertentu. Pendekatan studi kasus yang digunakan oleh peneliti

akan membantu dalam proses penyelesaian penelitian kualitatif yang melihat dan

mendalami sebuah studi lintas budaya, khususnya kepemimpinan gaya Korea di

Indonesia pada satu perusahaan.

3.2. Variabel Penelitian dan Definisi Operasional

3.2.1. Variabel Penelitian

Variabel penelitian pada dasarnya merupakan segala sesuatu yang

berbentuk apa saja yang ditetapkan oleh peneliti untuk dipelajari sehingga

diperoleh informasi tentang hal tersebut, kemudian ditarik kesimpulannya

(Sugiyono, 2008).

Penelitian ini akan menggunakan variabel penilaian budaya, khususnya

budaya nasional. Variabel tersebut menjadi pusat perhatian peneliti. Dengan

mengenali lebih jauh variabel tersebut, maka akan mudah melihat hakekat sebuah

masalah yang diteliti.

3.2.2. Definisi Operasional

Peneliti menggunakan pendekatan penelitian secara kualitatif

diakarenakan penelitian kualitatif bersifat fleksibel, luwes, dan terbuka

53

kemungkinan bagi suatu perubahan dan penyesuaian ketika proses penelitian

berjalan namun tetap dibatasi oleh variabel yang telah ditetapkan oleh peneliti.

Adapun penjelasan dari variabel yang peneliti gunakan, adalah:

Kerangka Budaya Kluckhohn dan Strodtbeck

Kluckholn dan Strodtbeck (1961) membandingkan budaya berdasarkan

atas beberapa dimensi sebagai berikut :

1. Nature of People

Budaya yang berorientasi pada sifat manusia membagi karakter manusia

menjadi: baik, buruk, dan campuran antara baik dan buruk. Masyarakat Barat,

umumnya, memandang manusia memiliki karakter yang baik, sedangkan

masyarakat Timur (misalnya Cina) memandang manusia memiliki sifat baik

atau buruk. Orientasi seperti ini memiliki konsekuensi yang sangat berarti

dalam bersikap kepada orang lain, baik dalam aspek kepercayaan atau interaksi

dengan orang lain.

2. Relationship to The Environment

Pada budaya yang berorientasi pada alam, berkaitan dengan cara manusia

memperlakukan lingkungannya. Manusia dapat menguasai atau mengungguli

lingkungan, hidup selaras dengan lingkungan, atau menaklukkan (subjugate)

lingkungannya. Masyarakat Barat berpendirian bahwa mereka dapat

mengendalikan lingkungan dan semua kekuatan alam (misalnya badai, banjir).

Masyarakat Timur berpendirian bahwa manusia harus hidup selaras dengan

lingkungannya dan bahkan memujanya. Orientasi terhadap lingkungan

mempengaruhi sikap manusia terhadap agama, estetika, kepemilikan benda,

kualitas hidup, dan hubungan terhadap manusia lainnya.

54

3. Activity Orientation

Orientasi terhadap aktivitas manusia berkaitan dengan sikap manusia

terhadap suatu aktivitas atau kegiatan. Ada masyarakat yang berorientasi

“melakukan” (doing) dimana mereka lebih menekankan kepada aktivitas atau

kegiatan, penyelesaian tugas, berkompetisi, dan pencapaian tujuan. Selain itu

ada masyarakat yang berorientasi “menjadi” (being). Orang mmelakukan

berbagai aktivitas secara spontan, memperturutkan kesenangan, dan

menunjukkan spontanitasnya sebagai ekspresi kepribadiannya. Kelompok

lainnya adalah kelompok masyarakat yang berorientasi kepada “thinking”

(yang memikirkan segala sesuatunya sebelum bertindak).

4. Time Orientation

Orientasi terhadap waktu berkaitan dengan dengan sikap manusia terhadap

waktu. Orang dapat memusatkan diri ada masa lampau, saat ini, atau masa

yang akan datang. Masyarakat Barat lebih berorientasi pada masa yang akan

datang (future). Mereka menganggap bahwa waktu sebagai sesuatu yang harus

dihargai, oleh karena itu harus dipergunakan secara efektif. Sebaliknya,

masyarakat Timur, lebih berorientasi kepada masa lalu (past) dan tradisi.

Mereka memuja leluhur dan memiliki tradisi keluarga yang kuat (misalnya

masyarakat Jepang dan Cina). Masyarakat yang berorientasi pada waktu

sekarang (present), percaya bahwa waktu sangat berarti.

5. Focus of Responsibility

Orientasi terhadap tanggung jawab pada orang lain merupakan aspek yang

sangat penting berkaitan dengan hubungan antar manusia. Kluckhohn &

Strodtbeck, 1961, dalam Reisinger (2009: 130) menyebutkan tiga jenis

55

orientasi terhadap orang lain: (1) individualistik (tujuan-tujuan individu

mengatasi tujuan-tujuan kelompok); (2) collateral (individu merupakan bagian

dari suatu kelompok sosial yang diakibatkan oleh hubungan yang diperluas

secara menyamping (laterally); dan (3) linear (mengutamakan keberlanjutan

kelompok melalui penggantian waktu).

6. Conception of Space

Konsepsi keruangan menurut kerangka Kluchkohn dan Strodtbeck

berhubungan dengan kepemilikan ruang. Beberapa budaya menganggap bahwa

tempat atau ruang harus tetap dijaga sebagai milik pribadi, sementara

kebudayaan lain menganggap bahwa sebuah ruang/tempat sangat terbuka

bahkan sangat dianjurkan untuk mengembangkan bisnis di publik. Beberapa

kelompok masyarakat menggabungkan antara publik dan privat.

Pola-pola Parson

1. Afektivitas-netralitas afektif

Orentasi pola ini berkenaan dengan sifat kepuasan yang dicari oleh

manusia. Sisi afektivitas menjadi posisi dari orang yang mencari kepuasan

segera dari situasi yang ada.

2. Universalisme-partikularisme.

Orientasi universalistik berfokus pada kategorisasi orang atau obyek dalam

konteks referensi universal, sedangkan orientasi partikularistik berfokus pada

kategorisasi orang atau obyek secara spesifik.

3. Ketersebaran-keterkhususan.

Orientasi ini berfokus pada cara orang memberi respon pada orang lain.

Dengan orientasi ketersebaran, respon holistik akan diberikan seseorang

56

kepada orang lain, sedangkan orientasi keterkhususan ditampakkan seseorang

dengan memberi respon terhadap orang lain dalam cara yang khusus.

4. Askripsi-prestasi.

Orientasi askripsi dari seseorang akan tampak ketika orang tersebut

memandang orang lain. Dengan orientasi askriptif, pandangan seseorang akan

bertolak pada prediksi sosiokultural, yakni dalam kerangka keanggotaan orang

lain di dalam kelompoknya, seperti jender, umur, ras, etnik, kasta, dan

sebagainya. Sementara orang dengan orientasi prestasi akan mendasarkan

prediksi dalam kerangka prestasi yang dapat diraih orang lain.

5. Orientasi instrumental-ekspresif.

Orientasi instrumental ditampakkan oleh orang dalam interaksinya dengan

orang lain jika interaksi itu merupakan sarana untuk mencapai tujuan lainnya,

sedangkan orientasi ekspresif akan tampak pada orang yang interaksinya

dengan orang lain merupakan tujuannya.

3.3. Penentuan Populasi dan Sampel

3.3.1. Ukuran Populasi

Populasi adalah wilayah generalisasi yang terdiri atas obyek/subyek yang

mempunyai kualitas dan karakteristik tertentu yang ditetapkan oleh peneliti untuk

dipelajari dan kemudian ditarik kesimpulannya (Sugiyono, 2008). Dalam

penelitian ini, populasi yang dimaksud adalah para pegawai dan jajaran

manajemen yang bekerja di perusahaan multi nasional PT. Semarang Garment.

57

3.3.2. Sampel

Sampel adalah bagian dari jumlah dan karakteristik yang dimiliki oleh

populasi tersebut (Sugiyono, 2008). Pelaksanaan wawancara mendalam pada

penelitian kualitatif memerlukan waktu cukup lama dan menggali informasi

secara detail, sehingga sampel yang digunakan biasanya dalam jumlah yang

terbatas. Untuk mendapat informan kunci yang tepat sesuai fokus penelitian, maka

informan diambil berdasarkan purposive sampling (pengambilan sampel sesuai

kebutuhan). Dengan dasar sampel yaitu jajaran manajer ekspatriat berkebudayaan

Korea dan karyawan lokal Indonesia pada PT. Semarang Garment Indonesia yang

paham kepemimpinan, sering berinteraksi dengannya atau merasakan

kepemimpinannya langsung, sudah bekerja PT. Semarang Garment Indonesia

minimal tiga tahun, serta bisa berbicara atau menjawab wawancara secara akurat.

Peneliti akan melakukan deteksi dini terhadap pemilihan sampel yang akurat

dengan penelusuran personal, misalnya mengajukan beberapa pertanyaan sesuai

kondisi nantinya, bersifat fleksibel.

Sumber informasi dalam penelitian akan diambil baik dari data primer

maupun sekunder. Dengan dasar kriteria di atas, peneliti menetapkan Sumber

Informasi Kunci (Key Informan), yaitu jajaran manajer ekspatriat PT. Semarang

Garment yang terdiri dari 3 orang manajer berkebangsaan dan berlatar belakang

budaya nasional Korea. Sumber Informasi Penunjang (Supportive Informan), yang

terdiri 7 orang karyawan perusahaan dengan latar belakang budaya lokal dan telah

bekerja minimal lima tahun di perusahaan tersebut.

Sementara penulis menetapkan sampel dalam penelitian ini hanya mengambil

orang –orang tersebut yang didasarkan dari adanya justifikasi sebagai berikut:

58

1. Jajaran manajer ekspatriat dengan latar belakang budaya Korea dimana

merupakan orang-orang yang melakukan kepemimpinan pada PT. Semarang

Garment karena mereka merupakan narasumber kunci.

2. Karyawan perusahaan PT. Semarang Garment dengan latar belakang budaya

lokal, untuk mengetahui implikasi kepemimpinan gaya Korea di PT.

Semarang Garment Indonesia.

3.3.3. Teknik Pengambilan Sampel

Teknik pengambilan sampel menggunakan Purposive Sampling, yaitu

pengambilan sampel sesuai kebutuhan yang sifatnya fleksibel, berdasar deteksi

awal peneliti terhadap kondisi responden sebagai sampel itu dan harus

representative mewakili populasi yang akan diteliti. Namun, harus sesuai dengan

patokan yang ditetapkan sebelumnya perihal posisi dan latar belakang budaya

nasionalnya di dalam perusahaan PT. Semarang Garment.

3.4. Jenis dan Sumber Data

Data yang diperlukan dalam penelitian ini berasal dari dua sumber, yaitu:

a. Data Primer

Data primer mengacu pada informasi yang diperoleh dari tangan pertama

oleh peneliti yang berkaitan dengan variabel untuk tujuan spesifik studi (Sekaran,

2006). Data ini berkaitan langsung dengan informan. Dalam penelitian ini, data

primer berupa data dari wawancara dengan karyawan pada PT. Semarang

Garment.

59

b. Data Sekunder

Data sekunder mengacu pada informasi yang dikumpulkan dari sumber

yang telah ada (Sekaran, 2006). Dalam penelitian ini, data sekunder berupa data

dari pihak internal baik yang dikumpulkan secara terpusat oleh perusahaan atau

dikumpulkan oleh komponen karyawan perusahaan, serta dari pihak eksternal

yang telah mengumpulkan dan mungkin mengalihkannya, yaitu dokumen foto,

CD, file dokumen digital, buku, artikel, dan lain-lain.

3.5. Metode Pengumpulan Data

Adapun metode pengumpulan data yang digunakan penelitian ini adalah:

a. Studi Kepustakaan

Studi pustaka merupakan metode pengumpulan data yang dilakukan

dengan membaca buku-buku, literatur, jurnal-jurnal, tulisan-tulisan atau

referensi lain yang diterbitkan secara umum yang berkaitan dengan penelitian

gaya kepemimpinan dan penerapan manajemen.

b. Wawancara (Interview)

Wawancara bertujuan mencatat opini, perasaan, emosi, dan hal lain

berkaitan dengan individu yang ada dalam organisasi. Peneliti dapat

memperoleh data yang lebih banyak sehingga peneliti dapat memahami budaya

melalui bahasa dan ekspresi pihak yang diwawancara dan dapat melakukan

klarifikasi atas hal-hal yang tidak diketahui. Hal pertama yang akan menjadi

perhatian peneliti saat melakukan interview adalah pihak yang harus

diwawancara. Untuk memperoleh data yang kredibel maka interview harus

60

dilakukan dengan Knowledgeable Respondent yang mampu menceritakan

dengan akurat kasus yang diteliti.

Hal kedua yang akan menjadi perhatian peneliti adalah membuat

responden mau bekerja sama baik dengan peneliti. Untuk merangsang pihak

lain mau meluangkan waktu untuk diinterview, maka perilaku pewawancara

dan responden harus selaras sesuai dengan perilaku yang diterima secara sosial,

sehingga ada kesan saling menghormati. Selain itu, interview harus dilakukan

dalam waktu dan tempat yang sesuai sehingga dapat menciptakan kenyamanan.

Data yang diperoleh dari wawancara umumnya berbentuk pernyataan yang

menggambarkan pengalaman, pengetahuan, opini dan perasaan pribadi. Untuk

memperoleh data ini, peneliti menggunakan metode wawancara standar yang

terskedul (Schedule Standardised Interview), interview standar tak terskedul

(Non Schedule Standardised Interview) atau interview informal (Non

Standardised Interview). Ketiga pendekatan tersebut dapat dilakukan dengan

teknik sebagai berikut: (a) Sebelum wawancara dimulai, memperkenalkan diri

dengan sopan untuk menciptakan hubungan baik. (b) Menunjukkan bahwa

responden memiliki kesan bahwa dia orang yang “penting”. (c) Menggali data

sebanyak mungkin. (d) Tidak mengarahkan jawaban. (e) Mengulangi

pertanyaan jika perlu. (f) Mengklarifikasi jawaban. (g) Mencatat interview

(Chariri, 2007).

Wawancara sebagai proses interaksi antara peneliti dengan informan

mempunyai peranan penting dalam penelitian kualitatif. Oleh sebab itu, teknik

wawancara yang akan peneliti lakukan tidak dengan suatu struktur yang ketat,

melainkan secara longgar, dengan mengajukan pertanyaan-pertanyaan yang

61

bersifat terbuka sehingga dapat diperoleh informasi yang lengkap dan

mendalam. Kelonggaran ini senantiasa memberi kesempatan kepada informan

untuk dapat memberikan jawaban secara bebas dan jujur. Wawancara semacam

ini dapat pula disebut sebagai indepth interviewing. Dengan teknik wawancara

ini akan mendorong terciptanya hubungan baik antara peneliti dengan informan

sehingga sangat membantu dalam upaya memperoleh informasi. Tujuan

wawancara adalah untuk mendapatkan informasi mengenai kepemimpinan

gaya Korea yang diterapkan di PT. Semarang Garment, hubungan antara

jajaran manajer ekspatriat dengan karyawan atau pekerja lokal, dan beberapa

hal lain yang berkaitan dengan fokus penelitian.

c. Participant Observation

Adapun tujuan observasi ini adalah untuk memperoleh data mengenai

penerapan model kepemimpinan lintas budaya di perusahaan PT. Semarang

Garment, dan keefektifan kepemimpinan tersebut, yang dilihat dari penilaian

orang-orang di sekitarnya yang dipadukan dengan referensi ilmiah yang ada.

d. Telaah Organisational Record

Metode pengumpulan data ini bisa mendukung data dari observasi dan

interview. Selain itu, telaah terhadap catatan organisasi dapat memberikan data

tentang konteks historis setting organisasi yang diteliti. Arsip dan catatan

organisasi merupakan bukti unik dalam studi kasus, yang tidak ditemui dalam

interview dan observasi. Sumber ini merupakan sumber data yang dapat

digunakan untuk mendukung data dari observasi dan interview. Selain itu,

telaah terhadap catatan organisasi dapat memberikan data tentang konteks

62

historis setting organisasi yang diteliti. Sumber datanya dapat berupa catatan

adminsitrasi, surat-menyurat, memo, agenda, dan dokumen lain yang relevan.

3.6. Metode Analisis Data

3.6.1. Uji Reliabilitas dan Validilitas

Dalam penelitian kualitatif, validitas dan reliabilitas sering dinamakan

Kredibilitas. Case Study (dasar penelitian kualitatif) memiliki dua kelemahan

utama: (a) Peneliti tidak dapat seratus persen independen dan netral dari research

setting; (b) Case Study sangat tidak terstruktur (messy) dan sangat interpretive.

Dalam Moleong (2007) menawarkan beberapa prosedur untuk meningkatkan

kredibilitas penelitian kualitatif, yaitu triangulation, disconfirming evidence,

research reflexivity, member checking, prolonged engagement in the field,

collaboration, the audit trail, thick and rich description dan peer debriefing.

Dalam peningkatan kredibilitas penelitian ini, maka peneliti memilih prosedur

triangulation. Prosedur ini dipilih karena disesuaikan dengan fokus penelitian

kualitatif yang dilakukan, yang berdasarkan case study dimana peneliti merupakan

instrument riset utama.

Prosedur triangulasi yaitu menggunakan berbagai pendekatan dalam

melakukan penelitian. Maksudnya, peneliti dapat menggunakan berbagai sumber

data, teori, dan metode agar informasi yang disajikan konsisten. Oleh karena itu,

untuk memahami dan mencari jawaban atas pertanyaan penelitian, peneliti dapat

mengunakan lebih dari satu teori, lebih dari satu metode (inteview, observasi dan

analisis dokumen). Di samping itu, peneliti melakukan interview manajer Korea

menginterpretasikan temuan dengan pihak lain, yaitu karyawan lokal.

63

3.6.2. Analisis Data

Dalam penelitian kualitatif, tidak ada pendekatan tunggal dalam analisis

data. Pemilihan metode sangat tergantung pada pertanyaan penelitian dan

kerangka penelitian yang mendasari penelitian. Untuk melakukan analisis, peneliti

menangkap, mencatat, menginterpretasikan dan menyajikan informasi. Satu hal

yang menjadi perhatian peneliti adalah analisis data ini tidak dapat dipisahkan dari

data collection. Oleh karena itu, ketika data mulai terkumpul dari nara sumber,

observasi dan literatur atau data pendukung, analisis data harus segera dilakukan

untuk menentukan pengumpulan data berikutnya. Adapun langkah analisis dapat

dilakukan sebagai berikut (Chariri, 2007):

a. Data Reduction

Intinya, mengurangi data yang tidak penting sehingga data yang terpilih dapat

diproses ke langkah selanjutnya. Ini karena data masih mentah, jumlahnya sangat

banyak, dan bersifat non-kuantitatif (sangat deskriptif) sehingga tidak dapat

digunakan secara langsung untuk analisis. Data reduction mencakup kegiatan

berikut ini:

1. Organisasi Data (Menentukan Kategori, Konsep, Tema, dan Pola atau

Pattern)

Data dari interview akan ditulis penulis lengkap dan dikelompokkan

menurut format tertentu (misal menurut jabatan struktural). Dengan cara ini,

peneliti dapat mengidentifikasi informasi sesuai pemberi informasi dengan

misalnya jabatan responden. Transkrip hasil interview kemudian dianalisis dan

key points akan ditandai untuk memudahkan coding dan pengklasifikasian.

Sedangkan data dari observasi dan arsip akan berupa catatan (field note).

64

Prosesnya tidak berbeda jauh dengan data hasil wawancara. Field note selama

observasi, diorganisir ke dalam form dengan judul tertentu, seperti tanggal,

jam, peristiwa, partisipan, deskripsi peristiwa, dimana terjadinya, bagaimana

terjadi, apa yang dikatakan, serta opini dan perasaan peneliti. Sementara itu,

data dari analisis catatan organisasi (arsip), diorganisir ke dalam format

tertentu untuk mendukung data dari observasi dan interview.

2. Coding Data

Data yang diperoleh dari langkah di atas, kemudian dikelompokkan ke

dalam tema tertentu dan diberi kode untuk melihat kesamaan pola temuan.

Coding harus dilakukan sesuai dengan kerangka teoritis yang dikembangkan

sebelumnya. Dengan cara ini, Coding memungkinkan peneliti untuk

mengkaitkan data dengan masalah penelitian.

3. Pemahaman (understanding) dan Mengujinya

Atas dasar coding, peneliti akan memulai memahami data secara detail dan

rinci. Proses ini dapat berupa “pemotongan” data hasil interview dan

dimasukkan ke dalam folder khusus sesuai dengan tema/pattern yang ada.

Hasil observasi dan analisis dokumen akan dimasukkan ke dalam folder yang

sama untuk mendukung pemahaman atas data hasil interview. Data kemudian

dicoba dicari maknanya/diinterpretasi. Dalam melakukan interpretasi, peneliti

berpegang pada koherensi antara temuan interview, observasi, dan analisis

dokumen.

b. Interpretasi

Hasil interpretasi kemudian dikaitkan dengan teori yang ada sehingga

interpretrasi tidak bersifat bias tetapi dapat dijelaskan oleh teori tersebut. Untuk

65

memudahkan analisis, peneliti akan menggunakan strtaegi dibawah ini, merujuk

dari Nuemen (2003):

1. Narrative (menceritakan secara detail kejadian dalam setting)

2. Ideal types (membandingkan data kualitatif dengan model kehidupan sosial

yang ideal)

3. Success approximation (mengkaitkan data dengan teori secara berulang-

ulang, sampai perbedaannya hilang)

4. Illustrative method (mengisi “kotak kosong” dalam teori dengan data

kualitatif)

5. Path Dependency and Contingency (memulai dengan hasil kemudian

melacak balik urutan kejadian untuk melihat jalur yang menjelaskan

kejadian tersebut)

6. Domain analysis (memasukkan istilah-istilah asli yang menunjukkan ciri

khas obyek yang diteliti)

7. Analytical Comparison (mengidentifikasi berbagai karakter dan temuan

kunci yang diperoleh, membandingkan persamaan dan perbedaan karakter

tersebut untuk menentukan mana yang sesuai dengan temuan kunci).

c. Triangulasi

Triangulasi adalah suatu pendekatan analisa data yang mensintesa data dari

berbagai sumber. Menurut Institute of Golbal Tech dijelaskan bahwa Triangulasi

mencari dengan cepat pengujian data yang sudah ada dalam memperkuat tafsir

dan meningkatkan kebijakan serta program yang berbasis pada bukti yang telah

tersedia.

66

Dengan cara menguji informasi dengan mengumpulkan data melalui metode

berbeda, oleh kelompok berbeda dan dalam populasi berbeda, penemuan mungkin

memperlihatkan bukti penetapan lintas data, mengurangi dampaknya dari

penyimpangan potensial yang bisa terjadi dalam satu penelitian tunggal.

Triangulasi menurut Susan Stainbackdalam Sugiyono (2007:330) merupakan

“the aim is not to determinate the truth about same social phenomenon, rather

than the purpose oftriangulation is to increase one’s understanding of what ever

is being investigated.” Dengan demikian triangulasi bukan bertujuan mencari

kebenaran, tapi meningkatkan pemahaman peneliti terhadap data dan fakta yang

dimilikinya.

Peneliti menggunakan triangulasi sebagai teknik untuk mengecek keabsahan

data. Dimana dalam pengertiannya triangulasi adalah teknik pemeriksaan

keabsahan data yang memanfaatkan sesuatu yang lain dalam membandingkan

hasil wawancara terhadap objek penelitian (Moloeng, 2004:330)

Triangulasi dapat dilakukan dengan menggunakan teknik yang berbeda

(Nasution, 2003:115) yaitu wawancara, observasi dan dokumen. Triangulasi ini

selain digunakan untuk mengecek kebenaran data juga dilakukan untuk

memperkaya data. Menurut Nasution, selain itu triangulasi juga dapat berguna

untuk menyelidiki validitas tafsiran peneliti terhadap data, karena itu triangulasi

bersifat reflektif.

Denzin (dalam Moloeng, 2004), membedakan empat macam triangulasi

diantaranya dengan memanfaatkan penggunaan sumber, metode, penyidik dan

teori. Pada penelitian ini, dari keempat macam triangulasi tersebut, peneliti hanya

menggunakan teknik pemeriksaan dengan memanfaatkan sumber.

67

Triangulasi dengan sumber artinya membandingkan dan mengecek balik

derajat kepercayaan suatu informasi yang diperoleh melalui waktu dan alat yang

berbeda dalam penelitian kualitatif (Patton,1987:331). Adapun untuk mencapai

kepercayaan itu, maka ditempuh langkah sebagai berikut :

1. Membandingkan data hasil pengamatan dengan data hasil wawancara

2. Membandingkan apa yang dikatakan orang di depan umum dengan apa yang

dikatakan secara pribadi.

3. Membandingkan apa yang dikatakan orang-orang tentang situasi penelitian

dengan apa yang dikatakannya sepanjang waktu.

4. Membandingkan keadaan dan perspektif seseorang dengan berbagai pendapat

dan pandangan masyarakat dari berbagai kelas.

5. Membandingkan hasil wawancara dengan isi suatu dokumen yang berkaitan.

Triangulation is qualitative cross-validation. It assesses the sufficiency of the

data according to the convergence of multiple data sources or multiple data

collection procedures (Wiliam Wiersma,1986). Triangulasi dalam pengujian

kredibilitas ini diartikan sebagai pengecekan data dari berbagai sumber dengan

berbagai cara, dan berbagai waktu. Dengan demikian terdapat triangulasi sumber,

triangulasi teknik pengumpulan data dan triangulasi waktu.

Penjelasan Triangulasi diatas sebagai berikut :

1. Triangulasi Sumber

Triangulasi sumber untuk menguji kredibilitas data dilakukan dengan cara

mengecek data yang telah diperoleh melalui beberapa sumber. Sebagai contoh,

untuk menguji kredibilitas data tentang gaya kepemimpinan seseorang, maka

pengumpulan dan pengujian adata yang telah diperoleh dilakukan ke bawahan

68

yang dipimpin, ke atasan yang menugasi, dan ke teman kerja yang merupakan

kelompok kerjasama. Data dari ketiga sumber tersebut, tidak bisa dirata-ratakan

seperti dalam penelitian kuantitatif, tetapi dideskripsikan, dikategorisasikan, mana

pandangan yang sama, mana pandangan yang berbeda, dan mana spesifik dari tiga

sumber data tersebut. Data yang telah dianalisis oleh peneliti sehingga

menghasilkan suatu kesimpulan selanjutnya dimintakan kesepakatan dengan tiga

sumber data tersebut.

2. Triangulasi Teknik

Triangulasi teknik untuk menguji kredibilitas data yang dilakukan dengan

cara mengecek data kepada sumber yang sama dengan teknik yang berbeda.

Misalnya data yang diperoleh dengan wawancara, lalu dicek dengan observasi,

dokumentasi, atau kuesioner. Bila dengan tiga teknik pengujian kredibilitas data

tersebut, menghasilkan data yang berbeda-beda, maka peneliti melakukan diskusi

lebih lanjut kepada sumber data yang bersangkutan atau yang lain. Atau mungkin

semua benar, karena sudut pandangnya berbeda-beda.

3. Triangulasi Waktu

Waktu juga sering mempengaruhi kredibilitas data. Data yang dikumpulkan

dengan teknik wawancara dipagi hari pada saat narasumber masih segar, belum

banyak masalah, sehingga akan memberikan data yang lebih valid dan lebih

kredibel. Untuk itu dalam rangka pengujian kredibilitas data dapat dilakukan

dengan cara melakukan pengecekan dengan wawancara, observasi, atau teknik

lain dalam waktu atau situasi yang berbeda. Bila hasil uji menghasilkan data yang

berbeda, maka dilakukan secara berulang-ulang sehingga sampai ditemukan

kepastian datanya.

69

Triangulasi juga dapat dilakukan dengan cara mengecek hasil penelitian, dari

peneliti lain yang diberi tugas melakukan pengumpulan data.

3.7. Tahapan Pelaksanaan Kegiatan Penelitian

A. Persiapan

Dalam tahapan awal penelitian ini, peneliti melakukan beberapa langkah

untuk membantu jalannya proses penelitian sebagai berikut :

a. Penyusunan Proposal.

b. Pengurusan Izin Penelitian.

c. Pemilahan Informasi Penelitian.

d. Penyusunan Jadwal Pelaksanaan Kegiatan.

e. Pengembangan Pedoman Pengumpulan Data.

B. Penelitian Lapangan

Dalam tahap penelitian lapangan, guna memenuhi kebutuhan data

penelitian, peneliti melakukan langkah-langkah berikut ini :

a. Memulai penelitian lapangan dengan benar dengan membekali diri terlebih

dahulu dari berbagai literatur.

b. Menentukan research setting.

c. Memasuki research site.

d. Melakukan sikap yang akomodatif ketika di research site.

e. Observasi dan pengumpulan data (mengembangkan sikap melihat dan

mendengar, serta taking notes).

f. Memfokuskan pada setting khusus.

g. Melakukan Field Interviews.

70

C. Menganalisis Data

Setelah pencarian data dirasa cukup dan sudah memenuhi kebutuhan untuk

dilakukan analisis maka langkah analisis data akan dilakukan peneliti dengan

urutan langkah berikut ini :

a. Melakukan analisis awal apabila data yang terkumpul telah memadai.

b. Mengembangkan reduksi data temuan.

c. Melakukan analisis data temuan.

d. Mengadakan pengayaan dan pendalaman data.

e. Melakukan interpretasi data berdasar teori yang ada.

f. Merumuskan kesimpulan akhir.

g. Menyiapkan penyusunan laporan penelitian dan menguji keabsahan data.

D. Penyusunan Laporan Penelitian

Setelah proses analisis data selesai dilakukan, dan diperoleh data yang

valid dan reliabel (kredibel), maka peneliti akan melakukan proses akhir dari

penelitian, yaitu menyusun laporan penelitian. Adapun langkah-langkah yang

ditempuh dalam menyusun laporan penelitian adalah sebagai berikut:

a. Prewriting (mengatur catatan atau literatur, membuat daftar ide, outlining,

melengkapi kutipan dan mengorganisasi komentar pada data analisis).

b. Composing (menuangkan ide dalam kertas sebagai draft pertama, dengan

memperhatikan kutipan, menyiapkan data untuk penyajian, serta membuat

pengantar dan konklusi).

c. Rewriting (mengevaluasi dan “memoles” laporan dengan memperbaiki

koherensi, proofreading atas salah tulis, mengecek kutipan, mengkaji kembali

style dan tone tulisan).

71

BAB IV

HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

STUDI LINTAS BUDAYA

KEPEMIMPINAN GAYA KOREA DI INDONESIA

4.1 Hasil Penelitian

4.1.1. Gambaran Umum PT. Semarang Garment

PT. Semarang Garment merupakan perluasan usaha dari perusahaan

internasional Kukdong Corporation yang berpusat di Seoul, Korea Selatan. Selain

PT. Semarang Garment, PT. Kukdong Corporation (sebagai head office) telah

memiliki perluasan usaha di Bekasi Jawa Barat, Indonesia tepatnya di Desa

Cikiwul, Bantar Gebang serta beberapa negara lain seperti Amerika Serikat dan

Meksiko. Untuk America Office, kantornya berlokasi di Wilshire Blvd, Los

Angeles. Sementara Mexico Office & Factory berlokasi di Rancho Los Soles

Atlico De Puebla, Mexico. PT. Semarang Garment sendiri terletak di wilayah

Desa Wujil Bergas, Kabupaten Semarang. Perusahaan tersebut memiliki 2572

karyawan. Di dalam perusahaan, mereka menempatkan pimpinan serta jajaran

manajer ekspatriat yang berasal dari negaranya yaitu Korea Selatan dan para

pemimpin ini membawahi sejumlah karyawan yang merupakan penduduk lokal.

Perusahaan yang memiliki luas area (factory site) kurang lebih 30.000 m2

dengan luas bangunan (factory building) 22.000 m2

tersebut bergerak di bidang

industri garment dan berdiri di Kabupaten Semarang sejak bulan September 2003.

Total produksi pakaian jadi yang dihasilkan dalam perusahaan tersebut kurang

72

lebih 700.000 pieces per bulannya. Negara tujuan eksport dari PT. Semarang

Garment antara lain Perancis, Jerman, Benelux, Inggris, Spanyol, Italia, Denmark,

Belanda, Australia, Jepang, dan Amerika. Produksi pakaian jadi yang telah siap

dikemas akan didistribusikan pada konsumer utama (main customers) seperti

Nike, Columbia, H&M, Walmart, Hema, D&D, Daiz, Elcorte Ingles, VF

Imagewear dan beberapa pembeli (buyer) lainnya.

4.1.2. Struktur Organisasi Perusahaan

PT. Semarang Garment memiliki dua buah factory pada satu area yang

sama. Perusahaan yang dipimpin langsung oleh seorang pimpinan yang juga

sebagai pemilik perusahaan yaitu Byun Hyo Su, berkebangsaan Korea Selatan dan

telah mengembangkan usahanya ke beberapa negara di dunia ini mempekerjakan

1451 karyawan pada factory I dan sejumlah 1121 karyawan pada factory II

sehingga total karyawan keseluruhan adalah 2572 orang yang merupakan

penduduk lokal. Struktur organisasi perusahaan yang terdapat pada PT. Semarang

Garment terdiri dari tiga struktur organisasi yang merupakan bagian dari

perusahaan, dimana terdapat struktur organisasi pada kantor (office) dan struktur

organisasi pada factory pertama dan factory kedua. Keseluruhan struktur

organisasi yang ada menggambarkan tatanan organisasi pada PT. Semarang

Garment.

73

Gambar 4.1

Struktur Organisasi PT. Semarang Garment 2013

A. Struktur Organisasi Office

Sumber : Hasil Observasi Peneliti, 2013

74

B. Struktur Organisasi Factory I

75

C. Struktur Organisasi Factory II

Sumber : Hasil Observasi Peneliti, 2013

76

4.1.3. Lokasi Perusahaan

Perusahaan yang bergerak di bidang industri garmen ini telah beroperasi

kurang lebih sepuluh tahun di Kabupaten Semarang. Lokasi PT. Semarang

Garment sendiri tepatnya berada pada :

Jalan : Jl. Soekarno Hatta Km.25

Desa : Desa Wujil

Kecamatan : Kecamatan Bergas

Kabupaten : Semarang

Propinsi : Jawa Tengah

Negara : Indonesia

Lokasi tersebut merupakan area yang telah disetujui untuk kegiatan

industri dan telah terdaftar serta mendapat sertifikasi dari pemerintah sebagai

lokasi untuk kegiatan operasional industri.

PT. Semarang Garment memiliki area dengan luas wilayah 30.000 m2

dimana terdapat bangunan untuk kantor (office), factory I dan factory II, serta

terdapat rumah inap (mess) bagi karyawan ekspatriat dari Korea Selatan dan

berbagai fasilitas pendukung operasional pabrik. Semuanya terletak pada satu

komplek yang sama, yaitu di area PT. Semarang Garment.

4.1.4. Aktivitas dalam Perusahaan Semarang Garment

Setiap perusahaan menjalankan aktivitas untuk mendukung operasional

perusahaan tersebut. PT. Semarang Garment memiliki berbagai kegiatan yang

dilakukan untuk menghasilkan produk dan manajemen dalam perusahaan sendiri.

77

4.1.4.1. Aktivitas Produksi

Berbagai kegiatan terjadi pada perusahaan, khususnya untuk mendukung

proses produksi. Perusahaan yang bergerak di bidang industri garmen ini memiliki

kegiatan produksi sebagai berikut :

Gambar 4.2

Proses Produksi pada PT. Semarang Garment

Sumber : Hasil observasi peneliti, 2013

Proses produksi dimulai dengan barang (bahan baku) yang datang

disimpan dalam gudang atau penyimpanan. Setelah itu disusun sebuah sample

yang akan disetujui oleh pusat dan dikonsultasikan dengan buyer. Jika telah

didapat sample yang dibutuhkan, akan masuk ke tahap autocad yaitu

penggambaran desain pasti yang akan digunakan sebagai acuan pembuatan

produk. Selanjutnya melalui proses cutting, printing¸ embroidery (jika diperlukan

materi atau produk yang berbordir) selanjutnya ke tahap penjahitan (sewing).

Setelah berupa pakaian jadi akan masuk ke tahap pengecekan (quality control)

Gudang Cutting

Embroidery

Sample Autocad

QC Printing Sewing

Ironing Packing Gudang Finishing

Spot Cleaning

Export

78

untuk dilihat dan ditinjau mengenai kualitas produk dan selanjutnya spot cleaning

hingga ironing. Setelah produk siap semuanya akan dilanjutkan ke tahap

pengemasan (packing) dan masuk ke gudang (finishing) sebelum pada akhirnya

akan diekspor.

Gambar 4.3

Beberapa Kegiatan Produksi Perusahaan PT. Semarang Garment

Sewing Department Embroidery Department

Warehouse Departement Cutting Department

Finishing Sumber : Hasil observasi peneliti, 2013

79

4.1.4.2. Aktivitas Pelatihan (Training)

Selain kegiatan produksi, juga terdapat kegiatan pelatihan pada PT.

Semarang Garment yang dilakukan secara berkala. Diantaranya terdapat pelatihan

terhadap karyawan yang merupakan fungsional perusahaan sebagai penjaga

keamanan (security) yaitu berupa pelatihan terkait dengan pengamanan di

lingkungan perusahaan. Selain itu juga terdapat pelatihan bagi karyawan baru

yang akan bergabung sebagai tenaga penjahit, pembordir, maupun tenaga untuk

desain di bagian autocad dan lainnya. Bagi karyawan yang telah bekerja di PT.

Semarang Garment juga memperoleh pelatihan mengenai abuse & harrasment

atau pelecehan dan kekerasan yang mungkin terjadi pada lingkungan kerja. Hal ini

dilakukan untuk upaya mencegah terjadinya kekerasan dan pelecehan pada

lingkungan kerja di PT. Semarang Garment.

Pelatihan lain yang juga diberikan pada karyawan di PT. Semarang

Garment antara lain, pelatihan menganai sistem pinjaman atau lean system, juga

pelatihan mengenai sistem gaji yang diterapkan di PT. Semarang Garment

(payroll system) serta berbagai pelatihan lain untuk mencegah keamanan,

kenyamanan serta kelancaran para karyawan dalam melakukan pekerjaan di PT.

Semarang Garment.

Keseluruhan pelatihan yang diberikan pada karyawan merupakan bentuk

pelatihan yang meningkatkan kemampuan atau keahlian karyawan serta pelatihan

untuk mengamankan diri dan menjadikan suasana kerja lebih nyaman serta

bertujuan untuk melancarkan kegiatan operasional perusahaan.

80

Gambar 4.4

Beberapa Kegiatan Pelatihan PT. Semarang Garment

EVACUATION DRILL FIRE DRILL

TRAINING PAYROLL SYSTEM TRAINING ABUSE AND HARASSMENT

TRAINING LEAN SYSTEM TRAINING CTPAT

Sumber : Hasil observasi peneliti, 2013

81

4.1.4.3. Aktivitas Penunjang Lainnya

PT. Semarang Garment juga memiliki kegiatan di dalam manajemen

perusahaan, seperti rapat rutin komitte, rapat komitte HSE, rapat dan pelatihan

dengan buyer. Selain itu, secara berkala akan ada kunjungan dan rapat dengan

pihak pemerintah dan kegiatan sertifikasi tertentu bagi perusahaan. Ketika tiba

waktunya peringatan hari buruh, juga terdapat acara yang diadakan perusahaan

bagi seluruh karyawan sebagai bentuk apresiasi perusahaan atas kinerja seluruh

karyawan selama bekerja di PT. Semarang Garment.

Gambar 4.4

Beberapa Kegiatan Lain PT. Semarang Garment

Bipartite Comitte Meeting & Training with Buyer

Government Visitation & Training

Human Right Celebration Day

Sumber : Hasil observasi peneliti, 2013

82

4.1.5. Produk PT. Semarang Garment

PT. Semarang Garment bergerak di bidang industri garmen dan telah

menjalankan usahanya di Semarang selama sepuluh tahun. Perusahaan ini

memiliki capital (paid up) sebesar US $ 2.000.000; dan line produksi sebanyak 33

sewing lines yqng terdiri dari 17 lines pada factory I dan 15 lines pada factory II.

Jumlah keseluruhan mesin yang digunakan untuk kegiatan produksi sebanyak

1447 mesin jahit (sewing machines) dengan 15 mesin komputer pembordiran.

Total produktivitas yang dilakukan pada PT. Semarang Garment kurang

lebih 700.000 pieces per bulan. Item-item yang diproduksi pada perusahaan ini,

antara lain knit sweat shirt, training suits, pants, polo shirts, T-shirts, dress skirtts,

cardigan, overall, lycra pants, body suit, dan night wear (pyjamas, night gown).

Produk-produk yang telah selesai diproduksi dan dikemas selanjutnya

akan diekspor ke negara-negara seperti Perancis, Jerman, Benelux, Inggris,

Spanyol, Italia, Denmark, Belanda, Australia, Jepang dan Amerika.

4.1.6. Kondisi Lingkungan Kerja pada Office PT. Semarang Garment

PT. Semarang Garment memiliki wilayah yang cukup luas namun

sebagian besar wilayahnya digunakan untuk kegiatan operasional pabrik.

Sementara ruang-ruang yang digunakan untuk kantor hanya sebagian kecil

wilayah dari keseluruhan bangunan di area Semarang Garment. Staff office yang

bekerja pada PT. Semarang Garment berjumlah 34 orang dan merupakan

karyawan lokal. Terdapat dua lantai yang merupakan bangunan office dan tempat

karyawan melakukan pekerjaannya. Lantai pertama digunakan untuk administrasi,

ruang autocad dan klinik kesehatan. Sementara lantai kedua digunakan untuk

83

kantor bagi staff yang lain. Terdapat pula ruangan bagi pimpinan utama

perusahaan, wakil pimpinan dan beberapa ruangan manajer, serta sebuah ruang

rapat atau meeting yang digunakan untuk rapat berkala dan menerima tamu-tamu

dari instansi tertentu pada lantai kedua tersebut. Bangunan yang digunakan untuk

office ini terletak di bagian depan dari area Semarang Garment dan terhubung

langsung dengan pabrik, tempat produksi. Pada kantor ini juga terdapat beberapa

pintu dan jendela yang langsung menghubungkan dengan pabrik sehingga kondisi

pabrik dan setiap aktivitas yang dilakukan dalam proses produksi dapat dilihat

secara langsung melalui jendela-jendela yang mengarah pada ruang-ruang

operasional di pabrik.

Terdapat beberapa pajangan dinding yang menghiasi sepanjang ruangan

yang digunakan untuk kantor tersebut. Diantaranya terdapat poster-poster

mengenai pedoman dalam berperilaku bagi karyawan maupun bagi pihak

manajemen yang dikeluarkan oleh Nike, Inc. yang merupakan buyer utama dari

PT. Semarang Garment.

Selain beberapa hal tersebut, PT. Semarang Garment juga memberikan

peringatan terhadap daerah atau area berbahaya tertentu dengan menggunakan tiga

bahasa, diantaranya bahasa Korea, bahasa Indonesia dan bahasa Inggris. Hal ini

terjadi pula pada kalimat mutiara yang terdapat tidak hanya pada satu ruangan,

tetapi terdapat hingga tiga buah pajangan sejenis di sepanjang kantor dimana

menyerukan kalimat “Orang rajin selalu mencari cara, orang malas selalu mencari

alasan.” Terdapat tiga bahasa dalam setiap pajangan yang ditempelkan pada sisi

ruangan tertentu pada kantor tersebut. Hal ini menunjukkan bahwa kalimat

tersebut menjadi kalimat yang dipegang oleh diri mereka sendiri dan

84

mengharapkan karyawan lain mengikuti pemikiran yang demikian. Kerajinan dan

semangat kerja sangat penting bagi orang Korea, khususnya para manajer dan

pimpinan yang berada di PT. Semarang Garment.

Pada dinding kantor juga terpajang beberapa foto pimpinan beserta wakil

pimpinan dengan seluruh jajaran manajer ekspatriat yang berkebangsaan Korea

dan piagam serta sertifikat yang diberikan oleh perusahaan buyer yang telah

bekerjasama dengan PT. Semarang Garment.

Ruangan pimpinan yang menyatu dengan bawahan juga ditemukan pada

PT. Semarang Garment. Ruang khusus hanya diadakan untuk pimpinan utama

atau presiden direktur dan wakil pimpinan atau wakil presiden direktur PT.

Semarang Garment. Untuk para manajer ruangan yang dimiliki terkesan menyatu

dengan karyawan (staff) lain namun deng space atau area yang sedikit lebih luas.

Tidak terdapat penyekat khusus antara ruang manajer dengan karyawan atau staff

yang lain.

Pada kantor tersebut hanya terdapat satu ruang rapat atau pertemuan yang

memiliki jendela-jendela yang langsung menghadap pada pabrik, tempat produksi.

Pada ruang pertemuan ini terdapat beberapa display dari sample produk yang siap

didistribusikan pada buyer, antara lain untuk Nike, Columbia, H&M, Walmart,

Hema, D&D, Daiz, Elcorte Ingles dan VF Imagewear.

Para manajer pabrik, untuk factory I maupun factory II memiliki ruangan

khusus yang terletak pada pabrik atau factory dan tidak memiliki ruangan khusus

di kantor atau office tersebut.

85

Gambar 4.5

Kondisi Lingkungan Office

Sumber: Hasil observasi peneliti, 2013

Ruangan manajer yang tidak terpisah dengan staff; Ruang pertemuan dengan display

sample produk dan jendela yang langsung menghadap ke pabrik, tempat produksi.

Serifikat dan piagam dari perusahaan buyer; kalimat mutiara sebagai filosofi kerja;

karyawan teladan 2012; peringatan; dan pedoman perilaku oleh Nike, Inc.

86

4.2. Pembahasan

Guna melengkapi penelitian mengenai kepemimpinan lintas budaya

khususnya kepemimpinan gaya Korea di Indonesia ini selain melakukan

observasi, menerangkan perilaku yang terlihat dan lingkungan fisik serta mencatat

gejala atau fenomena yang terjadi pada objek penelitian, tetapi juga

memperhatikan makna dari hal-hal tersebut bagi karyawan di perusahaan tersebut.

Untuk mengetahui kepemimpinan lintas budaya, khususnya

kepemimpinan gaya Korea di Indonesia pada PT. Semarang Garment, diperlukan

teknik pengumpulan data dengan dokumentasi berbagai bentuk data yang

dibutuhkan sebagai pendukung penelitian kualitatif. Analisis data terkait

kepemimpinan gaya Korea di Indonesia pada penelitian ini mengacu kerangka

pikir penelitian dan literatur yang mendukung. Mengenai sumber untuk mengkaji

kredibilitas data dilakukan dengan cara mengecek data yang telah diperoleh

melalui beberapa sumber. Dalam hal ini, guna menguji kredibilitas data tentang

gaya kepemimpinan Korea di Indonesia, dilakukan terhadap bawahan yang

dipimpin dan merupakan karyawan lokal dari Indonesia.

4.2.1. Profil Narasumber

Pada penelitian ini, peneliti melakukan penelitian terhadap objek

penelitian yang merupakan karyawan pada PT. Semarang Garment. Para

narasumber terdiri dari manajer ekspatriat perusahaan yang berasal dari Korea

Selatan dan karyawan lokal yang diantaranya adalah karyawan yang berhubungan

langsung dengan manajer ekspatriat, pekerja pabrik, hingga cleaning service dan

security yang merupakan penduduk lokal Indonesia pada PT. Semarang Garment

87

dengan masa kerja minimal 3 tahun. Terdapat jumlah total 10 narasumber untuk

penelitian kepemimpinan gaya Korea di PT. Semarang Garment.

Tabel 4.1

Daftar Nama Narasumber

Kode Nama Narasumber Jabatan/Divisi Masa Bekerja

R1 Kim Hak Hee

(Richard Kim)

Manager of

Factory I

5 tahun

R2 Byun Sang In General Manager,

Acc. Manager, Ex-

Im Manager

10 tahun

R3 Park Tae Seon Finishing

Manager

10 tahun

R4 Tri J. M/ Labor concern 5 tahun

R5 Ambar Sample Chief 5 tahun

R6 Hernowo Finishing Chief 8 tahun

R7 Endang S. Worker 5 tahun

R8 Winarni Worker 6 tahun

R9 Rini Cleaning service 10 tahun

R10 Hertanto Security 10 tahun

4.2.2. Analisis dan Keabsahan Data

Dalam menguji keabsahan data penelitian menggunakan teknik triangulasi.

Menurut lexy J. Moleong (2007) triangulasi adalah bentuk pemeriksaan

keabsahan data yang memanfaatkan sesuatu yang lain di luar data untuk keperluan

pengecekan atau sebagai pembanding terhadap data tersebut.

Denzin (1978) dalam Lexy J. Moleong (2007) membedakan empat macam

triangulasi sebagai teknik pemeriksaan atau pengecekan keabsahan data yang

memanfaatkan penggunaan sumber, metode, penyidik, dan teori yang mendukung.

Triangulasi dilakukan dengan wawancara, observasi langsung, observasi

tidak langsung. Observasi tidak langsung ini dimaksudkan untuk melakukan

88

pengamatan beberapa kajian agar diperoleh kemudahan dalam mencari titik temu

yang menghubungkan diantara kejadian tersebut. Teknik pengumpulan data yang

digunakan untuk melengkapi dalam memperoleh data primer dan sekunder.

Observasi dan interview digunakan untuk menjaring data primer yang berkaitan

dengan kepemimpinan gaya Korea di Indonesia.

4.2.3. Persepsi Pimpinan (Manajer) dan Karyawan

Dalam proses penelitian ini juga dilakukan analisis terhadap persepsi

pimpinan pada bawahannya serta persepsi bawahan terhadap pimpinannya dimana

terdapat perbedaan budaya antara kelompok pimpinan yang merupakan manajer

ekspatriat Korea dengan bawahan yang merupakan penduduk lokal Indonesia.

Setelah dilakukan pengumpulan dan reduksi data yang diperoleh dari hasil

wawancara dengan narasumber dan pengamatan lokasi dapat dianalisis mengenai

persepsi pimpinan terhadap bawahan begitu pula sebaliknya. Hal ini untuk

mendukung dan menguatkan hasil penelitian terkait kepemimpinan lintas budaya

khususnya kepemimpinan gaya Korea di Indonesia.

4.2.3.1. Persepsi Pimpinan (Manajer Ekspatriat Korea) terhadap

Karyawan

Manajer ekspatriat pada PT. Semarang Garment berasal dari Korea Selatan

dan kebanyakan dari mereka kurang mampu menggunakan bahasa Indonesia

maupun bahasa Inggris secara baik dan benar. Komunikasi terjalin dengan cukup

baik antara orang lokal dengan orang Korea khususnya terkait pekerjaan

meskipun mengalami kesulitan pada awalnya. Perbedaan budaya dan bahasa yang

terjadi antara karyawan lokal dengan atasannya yang berkebangsaan Korea

89

menimbulkan persepsi tersendiri bagi pimpinan, yaitu para manajer dari Korea

terhadap bawahannya yang merupakan karyawan lokal.

Para manajer memiliki anggapan tersendiri terhadap karyawan lokal di PT.

Semarang Garment. Penyesuaian yang cukup sulit dilakukan oleh manajer dari

Korea selama tahun-tahun awal mereka bekerja di perusahaan tersebut. Banyak

karyawan yang menurut mereka lamban dalam belajar dan bekerja juga sering

melakukan kesalahan. Hal ini bertentangan dengan sikap mereka yang rajin,

cekatan dan cepat dalam bekerja. Setelah berjalan beberapa tahun, seiring dengan

pelatihan dan pemahaman yang diberikan atasan pada karyawan, mereka mampu

bekerja dengan lebih cepat dan lebih baik.

Ketiga narasumber (R1, R2 dan R3) yang merupakan manajer ekspatriat

Korea berpendapat bahwa karyawan lokal sempat membuat mereka tertekan pada

awal tahun mereka bekerja di PT. Semarang Garment. Pendapat ketiga

narasumber diwakili R1 sebagai berikut :

“Each persons have each characteristics. Some of them learn quickly, some of

them is doing something slowly. Some is good some is not good. The first two

years i worked here i often found employees which often late, not fast, slowly

learning, not working. And i got alot of headache because of that. But now,

i’m not really headache and stressful anymore, they become more skillful.”

Selain itu, mereka juga menganggap orang Indonesia sangat baik dan ramah

dan membuat orang asing seperti mereka merasa nyaman dan dihargai oleh

karyawan. Ketiga narasumber (R1, R2 dan R3) juga memiliki pendapat yang sama

mengenai hal ini. Hal ini ditunjukkan dengan pernyataan R3 yang mewakili ketiga

narasumber sebagai berikut :

“Orang Indonesia di sini baik dan ramah. Sudah tidak banyak masalah

dengan pekerjaan sekarang. Mereka sudah bekerja dengan baik. Kami

melatih dan membuat karyawan lebih baik.”

90

Dengan pernyataan dari ketiga narasumber yang sejenis, dapat diketahui

bahwa mereka sudah mulai mampu beradaptasi dengan orang Indonesia seiring

pelatihan yang diberikan pada mereka dan menjadikan mereka karyawan yang

lebih baik dalam persepsi manajer.

Satu hal yang sulit diubah dari kebanyakan karyawan Indonesia adalah

penggunaan waktu yang tidak efektif dan efisien dalam pekerjaan. Hal ini

ditunjukkan dengan pernyataan narasumber 1 (R1) dalam wawancara yang telah

dilakukan sebagai berikut :

“Do you know the sentences “jam karet Indonesia”? Exactly often happen.

Pasti ada jam karet. In Korea when working we have to do

“balii..balii..ballii..”. our boss will tell us to do so. Balli means do it faster

and faster. Tapi di sini daripada on time, mereka santai-santai. Besok ada

lagi besok ada lagi.”

Menurut para manajer, kebiasaan karyawan dari Indonesia seringkali

menunda pekerjaan sehingga terkesan lama dalam pengerjaan. Bagi mereka jika

terdapat sisa waktu, mereka dapat menggunakannya untu pekerjaan lain atau

segera beristirahat jika tidak ada lagi yang dikerjakan.

Perbedaan cara kerja antara manajer dan bawahan menimbulkan

penyesuaian dari kedua belah pihak dan akhirnya tidak terjadi masalah yang

berarti.

4.2.3.2. Persepsi Karyawan terhadap Pimpinan (Manajer Ekspatriat

Korea)

Karyawan yang dimaksud merupakan karyawan perusahaan yang

berkebangsaan Indonesia dan sebagian besar merupakan warga sekitar Ungaran,

khususnya daerah Kecamatan Bergas yang sangat dekat dengan PT. Semarang

Garment. Komunikasi terjalin dengan cukup baik antara orang lokal dengan orang

Korea khususnya terkait pekerjaan meskipun mengalami kesulitan pada awalnya.

91

Perbedaan budaya dan bahasa yang terjadi antara karyawan lokal dengan

atasannya yang berkebangsaan Korea menimbulkan persepsi tersendiri bagi

karyawan lokal terhadap manajernya yang berkebangsaan Korea, khususnya

Korea Selatan.

Para karyawan memiliki anggapan tersendiri terhadap manajer ekspatriat

dari Korea di PT. Semarang Garment. Penyesuaian yang cukup sulit dilakukan

oleh karyawan lokal dari Korea selama tahun-tahun awal mereka bekerja di

perusahaan tersebut. Menurut karyawan lokal, manajer mereka pada dasarnya

cukup baik dan ingin seluruh karyawannya mengusahakan yang terbaik bagi

perusahaan.

Menurut tiga narasumber (R4, R5 dan R6) mereka menganggap manajer

dari Korea cukup baik dan mengupayakan hal yang baik bagi karyawannya seperti

diwakili oleh pernyataan R4 sebagai berikut :

“Pada dasarnya mereka baik dan tidak memberikan kesulitan untuk kami

(bawahannya) saat bekerja. Ketika kita berbuat salah, selama kita tahu

kesalahan kita dan segera mengakui serta minta maaf, mereka akan sangat

menghargai itu.”

“...Mereka cenderung membatasi diri dan menjaga jarak antara atasan

dengan bawahan di lingkungan kerja dan sangat serius...”

Selain itu, menurut karyawan lokal, para manajer dari Korea cenderung

bersikap serius saat bekerja dan memilih untuk membatasi diri dengan karyawan.

4.2.4. Karakteristik Kepemimpinan Lintas Budaya Berdasarkan

Kluchkholn dan Strodtbeck serta Pola-Pola Parson

Pembahasan mengenai studi lintas budaya khususnya kepemimpinan gaya

Korea di Indonesia pada PT. Semarang Garment dibatasi dimensi-dimensi yang

spesifik untuk melihat secara mendalam mengenai kepemimpinan dengan latar

92

belakang budaya Korea di Indonesia. Dimensi tersebut merupakan dimensi

budaya Kluchkhon dan Stridtbeck serta pola-pola Parson yang mendukung telaah

teori penelitian ini. Selanjutnya akan dianalisis mengenai pandangan setiap

narasumber yang merupakan manajer dari Korea terhadap gaya kepemimpinan

dengan latar belakang budaya Korea yang mereka upayakan serta pandangan

karyawan lokal yang menerima gaya kepemimpinan tersebut. Hal ini dilakukan

untuk mendukung studi lintas budaya yang dilakukan oleh peneliti.

4.2.4.1. Dimensi Budaya Kluchkhon & Strotdbeck

Dalam studi ini, digunakan enam dimensi Kluchkhon dan Strotdbeck untuk

mengamati dan menganalisis kepemimpinan gaya Korea di Indonesia. Berikut

akan diberikan pembahasan secara lengkap.

1. Nature of humans (karakter dasar manusia)

Terdapat dua pandangan terhadap karakter dasar manusia. Karakter yang

dimaksud adalah sifat dasar yang melekat pada diri manusia. Dimana yang

pertama memandang manusia memiliki sifat baik dan buruk di dalam dirinya,

sementara yang kedua memandang manusia memiliki sifat yang dapat berubah

atau tidak dapat berubah sama sekali.

Berdasarkan simpulan hasil wawancara terhadap narasumber dapat

diketahui bahwa pandangan orang Korea meyakini manusia memiliki karakter

baik dan buruk di dalam dirinya. Pada dasarnya mereka terlahir sama, namun

lingkungan, pendidikan dan banyak faktor lain yang menentukan sifat mana yang

berkembang dalam dirinya serta akan menjadi orang yang bagaimana nantinya.

93

Ketiga narasumber (R1, R2 dan R3) yang merupakan manajer dari Korea

memberikan pernyataan yang sama dan ditunjukkan oleh salah satu dari mereka,

yaitu pernyataan R1 sebagai berikut :

“The philosophy in our country, there are two kind of characteres of human

which are good and bad. Basically human being is born the same. But how do

they grow, it’s depending on their surrounding, their education from home,

school and society that determine what kind of person he will be.”

Pernyataan tersebut juga dibenarkan dan telah divalidasi oleh pernyataan

dari tiga narasumber yang merupakan bawahan mereka di PT. Semarang Garment,

yaitu (R4, R5 dan R6). Hal ini ditunjukkan dengan pernyataan mereka sebagai

berikut:

“Mereka percaya pada yin-yang, dimana karakter manusia ada dua yaitu

baik dan buruk.”

“Saya kurang tahu mengenai pandangan orang Korea mengenai ini. Tapi

yang saya tahu mereka menganut ajaran China yang percaya yin-yang, ada

karakter baik (positif) dan karakter buruk (negatif).”

Berdasarkan pernyataan dari narasumber yang merupakan manajer dari

Korea maupun narasumber karyawan lokal membenarkan pandangan manajer

Korea mengenai karakter dasar manusia tersebut. Hal tersebut membawa pada

kesimpulan bahwa manajer dari Korea pada PT. Semarang Garment memiliki

kecenderungan memandang manusia memiliki karakter dasar baik dan buruk di

dalam dirinya.

2. Relationship among people / focus responsibility (hubungan dengan

individu lain dan fokus tanggungjawab)

Orientasi terhadap tanggung jawab pada orang lain merupakan aspek yang

sangat penting berkaitan dengan hubungan antar manusia dan paling membedakan

antara budaya barat dengan budaya timur. Terdapat tiga jenis orientasi terhadap

orang lain, yaitu individualistik, dimana tujuan individu dianggap mampu

94

mengatasi tujuan kelompok. Selanjutnya collateral atau biasa disebut kolektif,

dimana individu merupakan bagian dari suatu kelompok sosial yang diakibatkan

hubungan yang diperluas secara menyamping. Kemudian yang terakhir adalah

hierarchical, dimana pembagian kekuasaan dan tanggungjawab secara alami

terbagi dalam kelompok berdasarkan hirarki atau kedudukan mereka dalam

sebuah organisasi. Mereka yang berada pada hirarki yang lebih tinggu memiliki

kekuasaan dan tanggungjawab pada mereka yang berada di hirarki lebih rendah.

Berdasarkan hasil olah data wawancara yang diperoleh peneliti, tampak

bahwa manajer dari Korea sangat menganggap tanggung jawab sebagai suatu hal

yang penting dan perlu dilakukan untuk masing-masing pekerjaan individu. Dapat

dilihat pula bahwa mereka juga memperhatikan hirarki atau kedudukan mereka

dalam sebuah struktur organisasi, dimana tanggung jawab juga terbagi

berdasarkan posisi mereka dalam suatu sistem sosial tertent. Hal ini ditunjukkan

dengan jawaban narasumber yang merupakan manajer dari Korea dan diwakili

oleh pernyataan narasumber 1 (R1) sebagai berikut :

“I want make an example in this. You see this watch. The watch has so many

materials that need to work together to make this watch is working. So as an

individual we have to do our best in our each job to get this company work.

This is the responsibility in my opinion. We have to work together in this

company to achieve the main goal of this company.”

“Responsibility. It’s clearly divided as the structure organization.”

Sementara itu, pernyataan dari narasumber yang merupakan karyawan lokal

baik yang berinteraksi langsung dengan manajer dari korea maupun karyawan

yang bekerja operasional di pabrik sebagian besar menyatakan bahwa pembagian

kerja berdasarkan struktur organisasi dan tanggungjawab individu dalam

pekerjaannya masing-masing akan membantu jalannya perusahaan. Pernyataan

tersebut diwakili oleh narasumber 5 (R5), sebagai berikut :

95

“Tanggung jawab dibagi berdasarkan posisi mereka dalam perusahaan dan

setiap orang memegang perannya masing-masing untuk kelangsungan

perusahaan.”

Hal ini lebih dikuatkan lagi dengan penyataan karyawan dari operasional

produksi yang merupakan narasumber 7 (R7) sebagai berikut :

“Tanggung jawab harus dilakukan. Orang Korea cukup tanggungjawab pada

bawahannya.”

Berdasarkan penjelasan di atas, dapat disimpulkan bahwa kepemimpinan gaya

Korea mengharapkan kebersamaan dan kerjasama yang baik di dalam pekerjaan untuk

mencapai tujuan perusahaan. Pastinya terdapat hirarki di dalam suatu struktur organisasi,

begitu pula pada PT. Semarang Garment. Mereka melakukan pembagian tanggungjawab

berdasarkan posisi mereka dalam struktur organisasi. Semakin tinggi hirarki mereka

semakin tinggi tanggung jawab yang dipegang karena menyangkut banyak orang di

bawahnya.

3. Relation to broad environment (hubungan dengan alam/lingkungan)

Pada dasarnya, seseorang memiliki cara pandang yang berbeda terkait

hubungannya dengan alam. Hal ini banyak dipengaruhi oleh budaya yang

melatarbelakangi individu tersebut dalam berhubungan dengan alam dan

lingkungan sekitar. Terdapat tiga kategori individu dalam kaitannya dengan sikap

mereka terhadap alam, yaitu mastery, subjugation, dan harmony. Mastery

merupakan sikap manusia yang menguasai, mengendalikan dan mengubah

lingkungan sesuai kebutuhan kita tanpa memperhatikan keselarasan lingkungan.

Sementara subjugation merupakan sikap yang ingin menaklukan lingkungan

namun tidak mengubah elemen-elemen dasar dalam alam. Kemudian yang

terakhir, harmony berarti hidup selaras dengan lingkungan alam maupun

lingkungan sekitar.

96

Berdasarkan hasil olah data wawancara yang diperoleh peneliti, tampak

bahwa manajer dari Korea memilih hidup selaras dan berdampingan dengan alam

juga lingkungan sekitar. Hal ini ditunjukkan dengan tidak banyak yang masalah

yang ditimbulkan dari kegiatan pabrik bagi alam maupun bagi lingkungan sekitar

sehingga semua dapat berjalan selaras tanpa saling merugikan.

Pernyataan yang mendukung tentang pandangan manajer dari Korea yang

berupaya hidup selaras dengan alam dapat disimpulka dari hasil wawancara

dengan narasumber 1, 2 dan 3 (R1, R2 dan R3) yang diwakili dengan pernyataan

dari R1 dan R2 :

“We need to live in harmony with the environment. In my opinion, our

company manage everything quiet well related with the environment and also

the surrounding. It shows that the surrounding do not complain about the

factory activity.”

“Kita harus menjaga lingkungan. Lingkungan harus tetap baik supaya kita

hidup nyaman di dalam lingkungan. Factory kami sudah memiliki manajemen

yang ramah lingkungan.”

Pernyataan tersebut dibenarkan oleh bawahan mereka yang merupakan

karyawan lokal. Mereka melihat bahwa manajer dari Korea memilih hidup selaras

dengan alam dan lingkungan sekitar mereka. Hal ini didukung oleh pernyataan

dari narasumber 4, 5, 6, 7, dan 8 (R4, R5, R6, R7, R8, R9 dan R10) yang

merupakan karyawan lokal. Berikut diwakili oleh R7 dan R4:

“Hubungan pabrik dengan lingkungan sekitar baik. Banyak pegawai yang

juga berasal dari daerah sekitar sini. Kegiatan pabrik tidak sampai

mengganggu masyarakat. Jam kerjanya juga jam 7 sampai jam 4 sore (sekitar

8 jam).”

“Manajemen pengolahan limbah dan sistem pembuangan di factory ini sudah

cukup baik dan tidak merugikan masyarakat sekitar.”

Dengan demikian dapat dikatakan bahwa manajer dari Korea memiliki

kepemimpinan gaya Korea yang mencoba selaras hidup dengan alam dan lingkungan

97

sekitar. Hal ini sesuai dengan budaya Timur yang kebanyakan diterapkan oleh negara-

negara Asia.

4. Activity (aktivitas)

Orientasi terhadap aktivitas manusia berkaitan dengan sikap manusia

terhadap suatu aktivitas atau kegiatan. Terdapat tiga kategori manusia berdasarkan

cara mereka melakukan aktivitas. Ada masyarakat yang berorientasi pada

pelaksanaan dan melakukan sesuatu (doing), ada pula mpatasyarakat yang

berpikir dan mempertimbangkan setiap keputusan yang akan dilakukan sebelum

melakukan tindakan (thingking) dan yang terakhir tipe masyarakat yang yang

melakukan segala sesuatu secara spontan dan pada waktu yang mereka tentukan

sendiri (being).

Melihat hasil dari olah data wawancara yang dilakukan pada manajer dari

Korea maupun karyawan lokal menunjukkan bahwa orang Korea cukup bijaksana

dalam bertindak, dimana mereka mempertimbangkan setiap keputusan yang akan

mereka ambil dengan cermat namun melakukan tindakan dengan cepat

setelahnya.

Untuk membuktikan hal tersebut, dapat dilihat pada pernyataan narasumber

1, 2 dan 3 (R1, R2 dan R3) yang diwakili oleh R2 dan R3 menyatakan bahwa :

“Kita perlu mempertimbangkan banyak hal dalam bertindak atau melakukan

sesuatu. Tetapi terus menjalankan yang seharusnya kita lakukan.”

“Pekerjaan harus diselesaikan karena merupakan bagian dari tanggung

jawab masing-masing. Think before act but don’t wait too long.”

Hal tersebut dibenarkan oleh bawahan yang berinteraksi langsung dengan manajer

dari Korea, yaitu narasumber 4, 5 dan 6 (R4, R5 dan R6) yang diwakili dengan

pernyataan dari R4 sebagai berikut :

“Saya melihat atasan saya (manajer) berusaha melakukan segala sesuatunya

dengan hati-hati (penuh pemikiran) tetapi mereka cepat dalam bertindak.”

98

Kesimpulan yang dapat ditarik dari karakter gaya kepemimpinan korea terkait

dengan cara mereka melakukan tindakan yaitu thingking, dimana mereka

mempertimbangkan setiap hal yang akan dilakukan tetapi memilih bertindak dengan

cepat.

5. Time (waktu)

Pada dimensi time atau waktu ini akan dianalisis bagaimana manajer dari

Korea menghargai sebuah waktu dan orientasi mereka terhadap masa lalu, saat ini

atau pun masa depan.

Berikut adalah pernyataan manajer dari Korea tentang waktu, yang diwakili

oleh narasumber 1 (R1) dan narasumber 3 (R3):

“Of course we believe our past and want to keep our tradition until now. But

the young generations now get a lot influenced by western culture. Korea have

5000 years history. Also history of each family is important for us.”

“Past made what we are now. The present (now) made what we are in the

future. I will keep my tradition from the past (of my country) to work in

everywhere even it’s abroad.”

“Jam kerja di Korea lebih panjang daripada orang Indonesia. Kebiasaan

kami bekerja dengan cepat dengan hasil yang baik.”

Melihat pernyataan tersebut dapat disimpulkan bahwa orang Korea sangat

menghargai sejarah dan tradisi dari negaranya. Jika memungkinkan akan terus dijaga dan

dilestarikan, tetapi tidak berarti setiap hal harus dilakukan berdasarkan tradisi dan adat-

istiadat setempat. Terlebih lagi bagi orang Korea yang hidup di luar negaranya, mereka

berusaha menyesuaikan diri dengan lingkungan sekitar dan budaya di negara dimana

mereka tinggal.

Hal ini didukung oleh pernyataan karyawan yang berinteraksi langsung dengan

manajer dari Korea dan diwakili dengan pernyataan dari narasumber 5 (R5) dan

narasumber 6 (R6) sebagai berikut:

“Perbedaan budaya, ras maupun gender dijembatani dengan peraturan kerja

bersama yang ada sehingga tidak ada yang merasa dirugikan. Mereka

berusahan menyesuaikan budaya kita.”

99

“Mereka (manajer) sangat menghargai waktu. Loyalitas orang Korea pada

pekerjaan sangat tinggi. Pernah ada kejadian dimana seorang manajer

sedang sakit, harus infus 2 jam istirahat di mess tetapi yang mengejutkan

setelah itu dia tetap kembali bekerja di factory.”

“Mereka (manajer) juga pernah bercerita pada saya, di pabrik-pabrik di

Korea jika sesorang wanita harus melahirkan bahkan tetap bekerja sampai

tiba saatnya dia melahirkan kemudian dibawa ke rumah sakit, tetapi 3 jam

setelah persalinan mereka siap kembali bekerja. Hal seperti ini terjadi di

Korea.”

Menyimpulkan pernyataan dari manajer Korea dan bawahan mereka yang

merupakan karyawan lokal, diketahui bahwa gaya kepemimpinan Korea memiliki

dedikasi pada pekerjaan yang sangat tinggi, menghargai waktu dan berusaha menjaga

tradisi mereka sekalipun harus menyesuaikan diri dengan lingkungan dimana dia tinggal

dan bekerja untuk hal-hal tertentu yang dianggap perlu.

6. Space (ruang)

Dimensi space atau keruangan ini membedakan pandangan orang terhadap

sebuah ruang, khususnya tempat bekerja di PT. Semarang Garment dan

bagaimana mereka menginginkan tempat tersebut agar tetap terjaga secara pribadi

(private) atau bisa berbagi dengan orang lain (public).

Beberapa diantara mereka menggunakan ruang tersendiri sebagai ruang

kerja namun ada beberapa manajer yang memiliki ruang kerja tanpa sekat dan

menyatu dengan karyawan lain yang merupakan bawahan dalam depertemen yang

sama. Hal tersebut ditunjukkan dengan pernyataan dari manajer Korea maupun

karyawan lokal yang diwakili oleh Narasumber 2 dan 4 (R2 dan R4) berikut :

“Saya suka ruang yang privat. Tetapi ruangan saya di sini sudah cukup buat

saya. Saya menyatu dengan pekerja yang lain.”- R2

“Terdapat ruang-ruang tertentu yang khusus bagi atasan dan tidak dapat

dimasuki oleh karyawan tanpa ijin terlebih dahulu kepada manajer.”- R4

Pernyataan perwakilan dari pihak manajer dan karyawan lokal tersebut

menunjukkan kriteria orang Korea dalam menentukan ruangannya.

100

4.2.4.2. Dimensi Budaya Pola-pola Parson

Selain menggunakan enam dimensi Kluchkhon dan Strotdbeck untuk

mengamati dan menganalisis kepemimpinan gaya Korea di Indonesia, juga

didukung oleh lima dimensi dari pola-pola Parson. Berikut akan diberikan

pembahasan secara lengkap.

1. Afektivitas – netralitas

Dimensi ini menentukan bagaimana pandangan orang terhadap sebuah

organisasi dimana kita menjadi bagian dari organisasi tersebut, apakah sebaiknya

menciptakan kenyamanan dan kepuasan emosional diantara anggota organisasi

atau sebaiknya bersikap netral dan tidak terlalu terikat dengan seluruh organisasi

tersebut.

Berdasarkan olah data hasil wawancara dengan narasumber yang

merupakan manajer dari Korea dan bawahan yang merupakan karyawan lokal

memiliki pernyataan jawaban yang hampir serupa. Hal ini ditunjukkan dengan

perwakilan pernyataan dari narasumber 1 (R1) dan narasumber (R4) sebagai

berikut :

“So far i’m satisfied with the people here. Only the first two years i felt stress

and alot of headache, but now i think we can work together profesionally.

I’m trying to act the same for all the employees. I don’t personally getting

close with one of them or some of them. I think i have to be fair to all the

employees.”- R1

Para manajer bersikap serius saat bekerja dan sangat menjaga jarak antara

atasan dengan bawahan.- R4

Menyimpulkan kedua pendapat tersebut yang berasal dari narasumber yang

memimpin (manajer dari Korea) dan bawahan (karyawan lokal) diketahui bahwa

kepemimpinan gaya Korea yang mereka terapkan di Semarang Garment memilih

101

hubungan yang lebih netral antara atasan dengan bawahan dan tidak terlalu

menjalin hubungan personal selain hubungan kerja.

2. Orientasi diri – orientasi kolektif

Orientasi diri mementingkan kepentingan individu. Sementara orientasi

kolektif mementingkan kepentingan kelompok dan orang lain yang menjadi

bagian kelompok tersebut.

Berdasarkan olah data hasil wawancara dengan narasumber yang

merupakan manajer dari Korea dan bawahan yang merupakan karyawan lokal

memiliki pernyataan jawaban yang hampir serupa. Hal ini ditunjukkan dengan

perwakilan pernyataan dari narasumber 1 (R3) dan narasumber (R6) sebagai

berikut :

“Kerja bersama penting untuk mencapai tujuan company. Masing-masing

orang punya pekerjaan yang harus selesai dengan baik untuk dapat membuat

factory ini berjalan baik.” – R3

“Kerjasama dan kerjakeras sangat ditekankan di company kami.” – R6

Menyimpulkan dari dua pernyataan dari kedua pihak tersebut, menunjukkan

bahwa orientasi kolektif merupakan salah satu kriteria kepemimpinan gaya Korea

yang diterapkan di PT. Semarang Garment.

3. Universalisme – partikularisme

Dimensi ini menentukan bagaimana seseorang melihat sesuatu. Ada yang

melihat sesuatu secara keseluruhan dan garis besarnya saja, sementara yang lain

melihat sesuatu secara spesifik. Dalam kaitannya dengan hubungan kerja di PT.

Semarang Garment, dimensi ini akan membantu dalam menganalisis bagaimana

gaya kepemimpinan Korea melihat dan memaknai hubungan dengan bawahan.

Apakah terjadi secara spesifik melebur dengan suku, agama dan kelompok

102

tertentu atau hubungan yang terjadi hanya mencakup standar-standar yang juga

diterapkan pada semua orang lain dan tidak terlalu mendalam.

Berdasarkan olah data hasil wawancara dengan narasumber yang

merupakan manajer dari Korea dan bawahan yang merupakan karyawan lokal

memiliki pernyataan jawaban yang saling mendukung dan menguatkan

pernyataan tersebut. Hal ini ditunjukkan dengan perwakilan pernyataan dari

narasumber 1 (R2) dan narasumber 6 (R6) sebagai berikut :

“Pembagian tanggung jawab sesuai struktur organisasi dan job masing-

masing pegawai.” – R2

“Saya bersikap netral pada seluruh karyawan dan berusaha berlaku sama

untuk semuanya.” – R6

“Keterlibatan antara manajer dengan bawahannya terjadi sebatas hubungan

kerja. Tetap ada jarak antara atasan dengan bawahan.” – R6

Menurut pernyataan kedua pihak, baik manajer dari maupun karyawan

lokal menekankan bahwa hubungan yang terjadi antara atasan dengan bawahan

hanya sebatas rekan kerja dan hubungan profesional yang dibatasi oleh aturan-

aturan umum selayaknya pada sebuah perusahaan dan saling menghormati

berdasarkan kedudukan di dalam struktur organisasi perusahaan, tidak ada

keterlibatan secara khusus yang melebihi hubungan kerja.

4. Askripsi – prestasi

Penilaian seorang individu didasarkan pada askripsi atau prestasi yang dia

peroleh. Dimensi akripsi-prestasi ini membantu peneliti dalam menganalisis

mengenai karakter kepemimpinan gaya Korea, apakah mereka memiliki

kecenderungan menilai orang lain berdasarkan klasifikasinya dalam masyarakat

atau sebuah prestasi yang dia peroleh sekalipun dia bukan dari kelas sosial yang

terpandang.

103

Berdasarkan olah data hasil wawancara dengan narasumber yang

merupakan manajer dari Korea dan bawahan yang merupakan karyawan lokal

memiliki pernyataan jawaban yang saling mendukung dan menguatkan

pernyataan tersebut. Hal ini ditunjukkan dengan perwakilan pernyataan dari

narasumber 1 (R1) dan narasumber 6 (R6) sebagai berikut :

“Different class of society does exist. Every person has a history and has a

tree of family. It’s very wide cases. I can’t say it in a word. Long time ago, we

have something like that. Kim family, Choi family, etc is famous as the rich

family. It was very common. Some name seen as rich families, some name seen

as lower social class by the society. But nowadays, they are judged by the

achievement they got. We have to see the people from the higher class so that

we able to try harder and work harder for someday to be one of them. I think

class of society in every part of the world does exist, even in America or in

Indonesia.”

“Saya pernah mendengar dari atasan saya bahwa terdapat klasifikasi sosial

di Korea. Nama “Kim” adalah nama yang dikenal keluarga kaya begitu pula

nama-nama lain dengan kelas sosial yang berbeda. Pemilik perusahaan

Semarang Garment ini bukan berasal dari keluarga dengan nama dan latar

belakang yang terpandang. “Byun” adalah nama dari kelas sosial yang cukup

bawah namun kerja kerasnya sejak muda membuahkan hasil hingga dia

menjadi orang yang terpandang saat ini.”

Berdasarkan justifikasi di atas, dapat dikatakan bahwa karakter manajer dari

Korea menyatakan masih melihat seseorang berdasarkan kedudukannya di dalam

kelas sosial. Hal ini lazim di Korea Selatan. Nama keluarga tertentu dengan

sejarah keluarganya dipandang sebagai keluarga kaya dan memiliki pengaruh di

Korea. Ada pula nama-nama lain dengan kelas sosial tertentu. Namun, seiring

berjalannya waktu dan perkembangan zaman dapat dikatakan bahwa pandangan

askriptif dari orang Korea mulai bergeser ke pandangan dengan orientasi prestasi

ketika melihat orang lain. Tidak dipungkiri jika nama sebuah keluarga masih

dipandang dan memiliki nilai tersendiri bagi mereka, tetapi pencapaian seseorang

hingga kini menjadi sukses juga menjadikan orang tersebut terpandang di Korea

Selatan.

104

5. Spesifitas – kekaburan

Hubungan dengan bawahan yang diterapkan oleh manajer dari Korea pada

PT. Semarang Garment dilakukan dengan keterlibatan yang cukup dekat dimana

kewajiban timbal-balik itu terbatas dan dibatasi dengan tepat (spesifik) atau

kepuasan yang diterima dan diberikan oleh pihak yang saling berhubungan sangat

luas sifatnya (kabur) tidak menentu.

Berdasarkan olah data hasil wawancara dengan narasumber yang

merupakan manajer dari Korea dan bawahan yang merupakan karyawan lokal

memiliki pernyataan jawaban yang saling mendukung dan menguatkan

pernyataan tersebut. Analisis untuk menentukan kriteria gaya kepemimpinan

Korea bersifat spesifik atau terdapat kekaburan hampir serupa dengan analisis

pada dimensi universalisme dan partikularisme. Hal ini ditunjukkan dengan

perwakilan pernyataan dari narasumber 1 (R2) dan narasumber 6 (R6) sebagai

berikut :

“Pembagian tanggung jawab sesuai struktur organisasi dan job masing-

masing pegawai.” – R2

“Saya bersikap netral pada seluruh karyawan dan berusaha berlaku sama

untuk semuanya.” – R6

“Keterlibatan antara manajer dengan bawahannya terjadi sebatas hubungan

kerja. Tetap ada jarak antara atasan dengan bawahan.” – R6

Menurut pernyataan kedua pihak, baik manajer dari Korea menekankan

bahwa hubungan yang terjadi antara atasan dengan bawahan hanya sebatas rekan

kerja dan hubungan profesional yang dibatasi oleh aturan-aturan umum

selayaknya pada sebuah perusahaan dan saling menghormati berdasarkan

kedudukan di dalam struktur organisasi perusahaan, tidak ada keterlibatan secara

khusus yang melebihi hubungan kerja. Sehingga dapat disimpulkan bahwa

105

hubungan timbal-balik yang terjadi adalah kewajiban yang terbatas dan dibatasi

dengan tepat sehingga hubungan yang demikian disebut spesifik dan sebatas

profesionalisme dalam pekerjaan.

Berikut adalah tabel yang merangkum keseluruhan hasil analisis yang

membahas mengenai kepemimpinan gaya Korea yang diterapkan di Indonesia

berdasarkan setiap dimensi yang telah dibahas sebelumnya.

Tabel 4.2

Hasil Analisis Mengenai Kepemimpinan Gaya Korea Berdasarkan Dimensi

Budaya Kluchkhon & Strodtbeck dan Pola-pola Parson

No Dimensi Kepemimpinan gaya

Korea yang diterapkan

Justifikasi

1. Karakter dasar

manusia

Percaya bahwa manusia

memiliki dua karakter :

baik dan buruk

R1, R2 dan R3 menyatakan

bahwa manajer dari Korea

meyakini dua macam karakter

: baik dam buruk di dalam diri

manusia (mengenai karakter

dasar manusia) dan dibenarkan

atau divalidasi oleh pernyataan

oleh R4, R5 dan R6.

2. Fokus

tanggungjawab

Tanggung jawab bersama

Kolektif/ berkelompok

Pernyataan R1, R2 dan R3

mengarah pada karakter

manajer Korea yang fokus

pada tanggung jawab kolektif

dan divalidasi oleh pernyataan

R4, R5, R6, R7 dan R8.

3. Hubungan dengan

lingkungan

harmony : hidup selaras

dengan alam

Pernyataan R1, R2 dan R3

mengarah pada karakter

manajer Korea dalam

hubungan dengan lingkungan

yang harmony dan divalidasi

oleh pernyataan R4 sampai

dengan R10 mengenai hal

tersebut.

4. Aktivitas Thinking :

mempertimbangkan setiap

aspek dalam mengambil

keputusan.

Pernyataan R1, R2 dan R3

mengarah pada karakter

aktivitas thinking dan

divalidasi oleh pernyataan R4,

R5dan R6.

5. Waktu Sangat menghargai Pernyataan R1, R2 dan R3

mengarah pada dimensi waktu

106

waktu

Tradisi dan sejarah

dipegang erat

yang menunjukkan karakter

manajer Korea sangat

memperhatikan past serta

menghargai setiap waktu yang

dimiliki. Tetapi juga

memikirkan masa depan, tidak

terpaku pada masa lalu. Hal ini

divalidasi oleh pernyataan R4

sampai dengan R9.

6. Ruang Lebih memilih ruang untuk

pribadi.

Pernyataan R1, R2 dan R3

mengarah pada dimensi ruang

yang menunjukkan manajer

Korea lebih memilih private

namun penyesuain dengan

kondisi yang ada telah

dilakukan. Hal ini divalidasi

oleh pernyataan R4 s.d. R6.

7. Afektivitas –

netralitas afektif

Netralitas afektif Pernyataan R1, R2 dan R3

mengarah pada dimensi

netralitas dimana

menunjukkan pandangan

manajer Korea yang afektif

dan hal ini telah divalidasi oleh

pernyataan R4 s.d. R10

8. Orientasi diri –

orientasi kolektif

Orientasi kolektif Pernyataan R1, R2 dan R3

menunjukkan bahwa manajer

Korea memiliki orientasi

kolektif. Hal ini divalidasi oleh

pernyataan R4 s.d. R6.

9. Universalisme –

partikularisme

Universalisme Pernyataan R1, R2 dan R3

menunjukkan bahwa manajer

Korea memiliki pandangan

universalisme dan telah

divalidasi oleh pernyataan R4

s.d. R6.

10. Askripsi – prestasi Askripsi yang mulai

bergeser pada prestasi

Pernyataan R1, R2 dan R3

menunjukkan bahwa manajer

Korea memiliki pandangan

askripsi namun mulai bergeser

pada prestasi. Hal ini telah

divalidasi oleh pernyataan R4

s.d. R6.

11. Spesifitas –

kekaburan

Spesifik. Pernyataan R1, R2 dan R3

menunjukkan bahwa manajer

Korea memiliki pandangan

spesifik dan telah divalidasi

oleh pernyataan R4 s.d. R6.

Sumber : Hasil Analisis Peneliti, 2013

107

BAB V

KESIMPULAN DAN SARAN

5.1 Kesimpulan

PT. Semarang Garment merupakan perluasan usaha dari perusahaan

internasional Kukdong Corporation yang berpusat di Seoul, Korea Selatan.

Perusahaan yang dipimpin langsung oleh seorang pimpinan yang juga sebagai

pemilik perusahaan yaitu Byun Hyo Su, berkebangsaan Korea Selatan ini telah

mengembangkan usahanya ke beberapa negara di dunia. Pada PT. Semarang

Garment terdapat 1451 karyawan pada factory I dan sejumlah 1121 karyawan

pada factory II sehingga total karyawan keseluruhan adalah 2572 orang yang

merupakan penduduk lokal.

Perusahaan ini memiliki pimpinan (presiden utama) dan jajaran manajer

yang merupakan orang Korea Selatan dan telah bekerja serta tinggal di sini sesuai

dengan penugasan yang mereka peroleh dari kantor pusat di Kukdong

Corporation, Seoul. Perbedaan budaya terjadi pada perusahaan ini, dimana

kepemimpinan di perusahaan tersebut memiliki latar belakang budaya Korea

sementara pengikut mereka adalah karyawan yang merupakan penduduk lokal

dengan latar belakang kebudayaan Indonesia, khususnya Jawa Tengah. Proses

kepemimpinan lintas budaya dari karakter kepemimpinan gaya Korea yang

disesuaikan dengan pengikut yang berkebudayaan lokal merupakan suatu

fenomena yang unik dan bagaimana mereka dapat melakukan kerja sama dengan

baik di tengah perbedaan yang ada merupakan sesuatu yang menarik.

108

Berdasarkan hasil analisis pada bab sebelumnya diketahui karakter gaya

kepemimpinan Korea yang diterapkan pada PT. Semarang Garment sesuai dengan

dimensi yang membatasi penelitian ini, yaitu dimensi budaya dari Kluchkhon dan

Strodtbeck serta pola-pola budaya Parson. Pada umumnya budaya Korea Selatan

merupakan bagian dari budaya Timur sehingga karakter gaya kepemimpinan yang

diterapkan tidak sulit untuk diikuti bagi karyawan lokal pada perusahaan tersebut.

5.2 Implikasi Kebijakan

1. Hasil penelitian ini menunjukkan mengenai karakter kepemimpinan gaya

Korea di Indonesia khususnya pada PT. Semarang Garment. Hal ini

bermanfaat bagi perusahaan jika mereka dapat mengelola perbedaan budaya

lokal dengan gaya kepemimpinan Korea dimana perusahaan tersebut

memiliki jajaran manajer dan pimpinan dari Korea, khususnya Korea Selatan

dan karyawan lokal yang kebanyakan merupakan penduduk Jawa Tengah.

2. Hasil analisis mengenai dimensi karakter dasar manusia menunjukkan bahwa

budaya Korea cenderung melihat manusia memiliki dua macam karakter di

dalam dirinya, baik dan buruk. Hal ini menentukan gaya atau karakter mereka

dalam berhubungan dengan orang lain. Tentunya mereka akan berhati-hati

dalam berhubungan dengan orang lain. Manajer dari Korea akan terlebih

dahulu membaca keadaan jika berkomunikasi dengan karyawan lokal dan

berusaha menguatkan sisi baik dari karyawan lokal dan membuat karyawan

lokal meninggalkan sisi buruknya dengan pelatihan yang diberikan dalam

perusahaan. Sebagian besar dari manajer Korea mempercayai bahwa

lingkungan yang baik dapat membawa seseorang tumbuh menjadi lebih baik.

109

Berdasarkan fakta tersebut, mereka akan mengupayakan lingkungan yang

baik, rajin, disiplin dan kerja keras dalam perusahaan agar diikuti oleh

karyawan lokal.

3. Hasil analisis mengenai fokus tanggung jawab membuktikan bahwa manajer

dari Korea menerapkan kepemimpinan dengan karakter yang mementingkan

tanggung jawab terhadap orang lain, yaitu tanggung jawab bersama dalam

kelompok. Hal ini berkaitan dengan kerja mereka yang memperhatikan

kualitas kerja sama dan kerja keras antar karyawan untuk memenuhi dan

mewujudkan target perusahaan.

4. Hasil analisis mengenai dimensi aktivitas menunjukkan bahwa dalam

melakukan tindakan, para manajer Korea cenderung mempertimbangkan

berbagai aspek yang terkait dengan tindakan tersebut. Kecenderungan untuk

berpikir dahulu (thinking) sebelum bertindak merupakan salah satu karakter

dari manajer Korea, namun hal ini tidak menjadikan mereka lamban dalam

bertindak. Segala pertimbangan dilakukan dengan baik dan tindakan cepat

dilaksanakan. Hal seperti ini juga sangat baik bagi perusahaan.

5. Hasil analisis mengenai hubungan dengan lingkungan menunjukkan bahwa

karakter manajer Korea memiliki pandangan yang sama dengan budaya

Timur pada umumnya yaitu senantiasa berkeinginan hidup selaras dengan

alam maupun lingkungan (harmony). Hal ini membantu dan memudahkan

interaksi perusahaan dengan lingkungan sekitar karena dengan manajemen

yang baik terhadap lingkungan akan meminimalkan konflik dengan

lingkungan masyarakat sekitar dan tidak mengganggu alam. Karakter seperti

110

ini merupakan hal yang positif bagi perusahaan maupun lingkungan di sekitar

perusahaan.

6. Hasil analisis mengenai dimensi waktu menunjukkan bahwa karakteristik

kepemimpinan gaya Korea memiliki apresiasi yang sangat tinggi terhadap

waktu dimana mereka memanfaatkan setiap waktu dengan baik, khususnya

untuk bekerja sesuai dengan prinsip mereka kerja keras untuk sesuatu yang

lebih baik. Selain itu, mereka juga berpegang pada masa lalu (past) sehingga

masih memegang tradisi dan kebudayaan dari negaranya yang memiliki

budaya Timur dan adat istiadat tersendiri. Hal ini tidak menjadikan mereka

terbelenggu dalam masa lalu, namun tradisi baik yang dipegang oleh

masyarakat Korea membawa mereka pada perilaku yang baik sesuai adat

ketimuran tetapi perencanaan terhadap masa depan juga sangat

dipertimbangkan dengan matang. Berdasarkan kriteria yang demikian,

pengaruh yang diberikan manajer dari Korea akan terasa postif bagi

lingkungan perusahaan dan memudahkan kerja sama dengan karyawan lokal.

7. Mengenai dimensi keruangan atau space, hasil analisis pada bab sebelumnya

menunjukkan bahwa karakter manajer Korea menginginkan sebuah ruang

yang terjaga secara privat untuk dirinya sendiri dan tidak terganggu dengan

karyawan lain. Keadaan pada PT. Semarang Garment menunjukkan bahwa

beberapa ruang manajer menyatu dengan karyawan lain tanpa diberi sekat

tersendiri menjadikan mereka mengubah pandangan mengenai ruang yang

bersifat pribadi dan menyesuaikan dengan keadaan dan lingkungan

perusahaan.

111

8. Terkait dengan afektivitas dan netralitas afektif, sesuai dengan hasil analisis,

menunjukkan bahwa karakter manajer Korea yang bersikap netralitas afektif

dimana terlihat secara jelas bagi karyawan jika mereka cukup membatasi diri

dengan karyawan khususnya di lingkungan kerja dan bersikap netral terhadap

seluruh karyawan. Sisi baik dari karakter yang demikian adalah terciptanya

netralitas dalam penilaian atasan terhadap bawahan karena tidak ada tendensi

tertentu terhadap kelompok tertentu di dalam perusahaan yang dianggap

memiliki hubungan lebih baik atau bahkan hubungan yang kurang baik

dengan atasan.

9. Karakter yang lain dari manajer dari Korea berdasarkan hasil analisis yang

telah dilakukan sebelumnya adalah kecenderungan mereka berorientasi pada

kelompok dan kerja sama tim sangat dipentingkan dalam perusahaan.

10. Terdapat pula kriteria yang menunjukkan pandangan universalisme yang

menjadi salah satu karakter manajer Korea di perusahaan Semarang Garment.

Hal ini hampir serupa dengan netralitas yang dilakukan oleh manajer terhadap

bawahan, tidak ada hubungan yang lebih dari hubungan profesional kerja bagi

atasan yang merupakan manajer dari Korea dengan karyawan lokal.

11. Askripsi merupakan suatu pandangan oleh masyarakat tertentu yang melihat

orang lain berdasarkan struktur tertentu di dalam sebuah lingkungan atau

berdasarkan sejarahnya di dalam masyarakat. Hal ini diakui oleh manajer dari

Korea bahwa pandangan tersebut memang ada di Korea, dimana sebuah nama

dengan marga tertentu memiliki pengaruh lebih dalam masyarakat dan sangat

dihargai, ada pula nama dengan marga tertentu yang dianggap kelas lebih

rendah dalam masyarakat. Perkembangan zaman membawa perubahan

112

mengenai pandangan tersebut. Pergeseran pandangan itu ditunjukkan dengan

pandangan terhadap seseorang yang mulai mempertimbangkan prestasi dalam

menilai orang lain sekalipun dari kelas sosial yang bagi mereka dari tingkatan

cukup rendah dalam masyarakat akan dipandang baik jika mereka memiliki

pencapaian tertentu dan dilihat oleh masyarakat lain.

12. Spesifik menunjukkan hubungan yang tercipta antara manajer dari Korea

dengan karyawan lokal sangat memperhatikan batasan tatanan dan aturan

yang telah ada dan disepakati bersama. Hubungan yang demikian dapat

dikatakan spesifik dan sebatas profesional kerja.

5.3 Keterbatasan Penelitian

1. Penelitian hanya mengambil objek penelitian pada satu perusahaan multi

nasional dari Korea di Indonesia.

2. Penelitian ini hanya dibatasi oleh dimensi budaya dari Kluchkhon &

Strodtbeck serta pola-pola budaya Parson. Untuk melihat kepemimpinan gaya

Korea dapat didukung dengan teori budaya nasional lain yang mendukung

kedalaman penelitian.

5.4 Agenda Penelitian Mendatang

1. Agenda penelitian mendatang diharapkan dapat meneliti mengenai

kepemimpinan gaya Korea pada beberapa perusahaan multi nasional dari

Korea di Indonesia untuk melengkapi justifikasi mengenai karakteristik

budaya dan gaya kepemimpinan dari Korea.

113

2. Dalam penelitian selanjutnya dapat pula digunakan teori budaya nasional

yang lain, seperti teori Bass dan Avolio maupu teori Hofstede yang

mendukung dalam penelitian mengenai kepemimpinan gaya Korea atau

karakteristik kepemimpinan negara lain di Indonesia.

3. Pengembangan penelitian juga dapat dilakukan mengenai kepemimpinan

lintas budaya dari negara selain Korea pada perusahaan multi nasional

tertentu yang lain di Indonesia.

DAFTAR PUSTAKA

Ajiferuke, M. And Boddewyn JJ, 1970, “Culture and Other Explanatory

Variables in Comparative Management Studies”, Academy of Management

Journal, Vol. 13, pp.153-163.

Aziati, Fadillah. 2011. Analisis Pengaruh Budaya Nasional, Kompetensi

Komunikasi Lintas Budaya, dan Budaya Organiasasi Terhadap Kompetensi

Negosiaasi Berbasis PSA (Problem Solving Approach). Universitas

Diponegoro. Semarang.

Ball, Donald A. et al., 2004, International Business, The Challenge of Global

Competition, Ninth Edition, McGraw-Hill Companies, Inc, New York.

Chang, Lieuh-Chiung, 2002, “Cross Cultural Differences in International

Management Using Kluckholn-Strodtbeck Framework”, Journal of

American Academy of Business, Cambridge, September 2002, Vol.2, No.1

Czinkota, Ronkainen and Moffet. 1994, International Business, Third Edition,

The Dryden Press.

Fukushige, A and David P Spicer, 2006, “Leadership Preferences in Japan: an

Exploratory Study”, Leadership and Organizational Development Journal,

Vol.28, No.6, pp 508-530

Hofstede, G. 1984, Culture’s Consequences: International Differences in Woek-

related Values. Sage Publication. Beverly Hills.

Hubbard, A. 2003. Accommodating diversity in training environment. Mortgage

Banking, 63 (4106).

Jauhari, Hadziq. 2010. Filosofi Tri Dharma Pada Kepemimpinan Budi Santoso di

Suara Merdeka. Universitas Diponegoro, Semarang.

Keunshin, Yoo, 1999, “The Traits and Leadership Styles of CEO’s in Korean

Companies”, International Studies of Management & Organization, Vol.28,

No.4 pg.40

Kim, Myung-Oak dan San Jaffe. 2010. The New Korea, Mengungkap

Kebangkitan Ekonomi Korea Selatan. Kompas Gramedia. Jakarta.

Koentjaraningrat. 1995. Manusia dan Kebudayaan di Indonesia. Jakarta :

Djambatan.

Kotler, J.P. & Heskett, J.L. 1992. Corporate culture & performance. New York:

Free Press.

Kusuma, Dewantya. 2011. Analisis Penerapan Filosofi Semar Sang Pamomong

Pada Era Kepemimpinan Kukrit Suryo Wicaksono di Suara Merdeka.

Universitas Diponegoro, Semarang.

Kumalaningrum, M.P. 1999. Multicultural organization; Strategi mengelola

keberagaman tenaga kerja. Usahawan, No. 2 Th. XXVII.

Littrel, Romie F, 2005, “Preferred Leadership Behaviours: Exploratory Results

from Romania, Germany, and the UK”, Journal of Management

Development, Vol. 24, No.5, pp. 421-442

Moleong, Lexy J. 2007. Metodologi Penelitian Kualitatif. PT. Remaja

Rosdakarya. Bandung.

Nursanti, T.D. 2000. Strategi pengelolaan menuju organisasi multiculture.

Usahawan, No. 11 Th. XXIX

Mas’ud, Fuad. 2004. Survai Diagnosis Organisasional Konsep & Aplikasi.

UNDIP. Semarang.

Pan, Yue and friends, 2010, “A Cross-cultural Investigation of Work Values

among Young Excecutives in China and the USA, Cross Cultural

Management: An Internasional Journal, Vo.17, No.3, pp. 283-298

Pihatin Lumbanraja, 2008. Tantangan Bagi Kepemimpinan Lintas Budaya,

Universitas Sumatera Utara, Sumatera Utara.

Rachel K. 2004. Culture, intercultural communication competence, and sales

negotiation: a qualitative research approach.

Robbins, Stephen P. dan Timothy A. Judge. 2008. Perilaku Organisasi. Salemba

Empat, Jakarta.

Seng, Ann Wang. 2013. Rahasia Bisnis Orang Korea. Jakarta : Noura Books.

Sugiarto, 2007. Pengaruh Kepemimpinan, Disiplin, dan Budaya Kerja Terhadap

Kepuasan Kerja Karyawan PT. Primatexco Indonesia. Universitas

Diponegoro. Semarang.

Sugiyono. 2008. Metode Penelitian Kuantitatif dan Kualitatif. Alfabeta, Bandung.

Suutari, Vesa and friends, 2002, “The Challenge of Cross-cultural Leadership

Interaction: Finnish Expatriates in Indonesia, Career Development

International, Vol.7, No.7, pp 415-429

Trompenaars, F., 1994, Riding the Waves of Culture. Understanding Cultural

Diversity in Business, The Economist Books, London.

Weinshall. 1993, Societal Culture and Management, New York: Walter de

Gruyter.

Yuki, G.A. 1994, Leadership in Organization. Prentice-Hall. Englewood Cliffs,

NJ.