proses perencanaan gerakan pemberontak united
-
Upload
khangminh22 -
Category
Documents
-
view
0 -
download
0
Transcript of proses perencanaan gerakan pemberontak united
PROSES PERENCANAAN GERAKAN PEMBERONTAK UNITED
LIBERATION MOVEMENT FOR WEST PAPUA (ULMWP) UNTUK MERAIH
DUKUNGAN ORGANISASI REGIONAL MELANESIAN SPEARHEAD
GROUP (MSG) PADA TAHUN 2014-2016
SKRIPSI
Untuk Memenuhi Sebagian Persyaratan Memperoleh Gelar Sarjana Ilmu
Hubungan Internasional Pada Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik dengan
Minat Utama Global Transformation
OLEH:
RIFQY PRADHANA
115120400111049
PROGRAM STUDI HUBUNGAN INTERNASIONAL
FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK
UNIVERSITAS BRAWIJAYA
MALANG
2018
i
LEMBAR PERNYATAAN ORISINALITAS
Nama : Rifqy Pradhana
NIM : 115120400111049
Menyatakan bahwa skripsi yang berjudul “PROSES PERENCANAAN
GERAKAN UNITED LIBERATION MOVEMENT FOR WEST PAPUA
(ULMWP) UNTUK MERAIH DUKUNGAN ORGANISASI REGIONAL
MELANESIAN SPEARHEAD GROUP (MSG) TAHUN 2014-2016” merupakan
hasil karya sendiri. Hal-hal yang bukan merupakan bagian dari karya saya dalam
skripsi ini telah diberi citasi dan ditunjukkan dalam daftar pustaka.
Apabila dikemudikan hari terbukti terdapat penyataan saya yang tidak benar,
maka saya bersedia menerima sanksi akademik berupa pencabutan skripsi dan gelar
yang saya peroleh melalui skripsi ini.
Malang, 17 Desember 2018
Rifqy Pradhana
NIM. 115120400111049
ii
KATA PENGANTAR
Puji syukur penulis panjatkan kepada Allah SWT yang telah memberikan
rahmat dan hidayah-Nya sehingga penulis mampu menyelesaikan skripsi yang
berjudul “PROSES PERENCANAAN GERAKAN UNITED LIBERATION
MOVEMENT FOR WEST PAPUA (ULMWP) UNTUK MERAIH DUKUNGAN
ORGANISASI REGIONAL MELANESIAN SPEARHEAD GROUP (MSG)
TAHUN 2014-2016” sebagai salah satu syarat dalam memperoleh gelar sarjana
Hubungan Internasional pada Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas
Brawijaya Malang. Tidak lupa penulis mengucapkan terima kasih kepada semua
pihak yang terkait secara langsung maupun tidak langsung telah membantu
terselesaikannya skripsi ini:
1. Bapak Prof. Dr. Unti Ludigdo, SE., M.Si., Ak. selaku Dekan Fakultas Ilmu
Sosial dan Ilmu Politik Universitas Brawijaya.
2. Bapak Aswin Ariyanto Aziz, S.IP., M.DevSt. selaku Ketua Program Studi
Hubungan Internasional, Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas
Brawijaya.
3. Bapak Reza Triarda, S.Sos., MA. selaku pembimbing utama dan Bapak Wishnu
Mahendra Wiswayana, S.IP., M.Si. selaku pembimbing pendamping.
iii
4. Bapak Aswin Ariyanto Aziz, S.IP., M.DevSt. selaku ketua majelis penguji dan
Ibu Firstyarinda Valentina Indraswari, S.Sos., M.Si. selaku sekretaris majelis
penguji.
Penulis menyadari bahwa penyusunan skripsi ini masih jauh dari kesempurnaan.
Oleh karena itu, penulis sangat mengharapkan saran dan kritik yang bersifat
membangun demi hasil yang lebih baik. Pada akhirnya penulis berharap skripsi
dengan tema kebijakan luar negeri ini, dapat memberikan manfaat yang sebaik-
baiknya bagi penulis dan rekan-rekan mahasiswa, khususnya untuk civitas Ilmu
Hubungan Internasional Universitas Brawijaya. Semoga skripsi ini dapat memberikan
ilmu, wawasan, serta inspirasi bagi para peneliti hubungan internasional selanjutnya
Malang, 10 Desember 2018
Penulis
iv
PROSES PERENCANAAN GERAKAN UNITED LIBERATION
MOVEMENT FOR WEST PAPUA (ULMWP) UNTUK MERAIH DUKUNGAN
ORGANISASI REGIONAL MELANESIAN SPEARHEAD GROUP (MSG)
TAHUN 2014-2016
ABSTRAK
Keberadaan kelompok pemberontak di suatu wilayah adalah sebuah
permasalahan yang banyak dialami oleh berbagai negara dan tidak terkecuali
Indonesia. Papua Barat menjadi sebuah daerah yang mengalami konflik ini karena
beragamnya versi sejarah yang diklam sebagai sebuah fakta oleh berbagai kelompok
kepentingan. Keberadaan United Liberation Movement for West Papua (MSG)
sebagai sebuah organisasi separatis diyakini sebagai salah satu bentuk pemberontakan
(insurgency) di Papua Barat yang bergerak dengan menggunakan model pendekatan
diplomasi ke arah negara-negara pasifik terutamanya anggota-anggota Melanesian
Spearhead Group (MSG) sejak tahun 2014 hingga 2016. ULMWP mendekati MSG
dengan tujuan untuk mendapatkan keanggotaan penuh di organisasi tersebut dan
mendapatkan dukungan terkait usaha menekan Pemerintah Indonesia agar bersedia
memberikan kebebasan bagi ULMWP untuk melaksanakan act of self-determination
di wilayah Papua Barat. Dinamika pemberontakan ini sangat menarik untuk diteliti
melalui perspektif Hubungan Internasional terutamanya terkait proses perencanaan
gerakan dan strategi yang diambil oleh ULMWP dalam usahanya mencapai
kepentingan agar mampu memberikan masukan pada pemerintah dalam merumuskan
strategi terbaik yang mampu difungsikan untuk melawan kelompok pemberontak.
Penulis menggunakan konsep insurgent planning milik Faranik Miraftab yang berada
dalam tulisan Padraic O’Brien untuk mengidentifikasi proses perencanaan yang
dilakukan oleh ULMWP.
Kata Kunci: Kelompok Pemberontak, ULMWP, MSG, Insurgent Planning, Faranik
Miraftab, Padraic O’Brien
v
THE PAPUA UNITED LIBERATION MOVEMENT FOR WEST
MOVEMENT (ULMWP) PLANNING PROCESS TO ACHIEVE SUPPORT
FROM REGIONAL MELANESIAN SPEARHEAD GROP (MSG)
ORGANIZATIONS ON 2014-2016
ABSTRACT
The existence of rebel groups in a region is a problem that is experienced by
many countries and Indonesia is no exception. West Papua has become an area that
has experienced this conflict because of the diverse versions of history that are
claimed as facts by various interest groups. The existence of the United Liberation
Movement for West Papua (MSG) as a separatist organization is believed to be one
form of insurgency in West Papua that moves by using a diplomatic approach to the
pacific countries especially the Melanesian Spearhead Group (MSG) members since
2014 to 2016. ULMWP approached the MSG with the aim of obtaining full
membership in the organization and getting support related to efforts to pressure the
Indonesian Government to be willing to give freedom to the ULMWP to implement
the act of self-determination in the West Papua region. The dynamics of this rebellion
are very interesting to be examined through the perspective of International Relations,
especially related to the movement planning process and the strategies taken by
ULMWP in their efforts to achieve the interests of being able to provide input to the
government in formulating the best strategies capable of fighting rebel groups. The
author uses Faranik Miraftab's insurgent planning concept which is in Padraic
O’Brien's writing to identify the planning process carried out by ULMWP.
Key Words: Insurgent Group, ULMWP, MSG, Insurgent planning, Faranik
Miraftab, Padraic O’Brien,.
vi
DAFTAR ISI
HALAMAN PERSETUJUAN……………………………………………………... i
HALAMAN PENGESAHAN……………………………………………………… ii
LEMBAR PENYATAAN ORISINALITAS……………………………………... iii
KATA PENGANTAR……………………………………………………………... iv
ABSTRAK…………………………………………………………………………. vi
ABSTRACT……………………………………………………………………….. vii
DAFTAR ISI……………………………………………………………………… viii
DAFTAR SINGKATAN…………………………………………………………… x
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 LATAR BELAKANG .................................................................................. 1
1.2 Rumusan Masalah ........................................................................................ 6
1.3 Tujuan Penelitian ......................................................................................... 6
1.4 Batasan Penelitian ....................................................................................... 6
1.5 Manfaat Penelitian ....................................................................................... 7
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 STUDI TERDAHULU ................................................................................. 8
2.2 KAJIAN TEORI ......................................................................................... 15
2.2.1. INSURGENT ........................................................................................... 16
2.2.2 KKB DI PAPUA BARAT ........................................................................ 18
2.2.3 BELLIGERENT ....................................................................................... 19
2.2.4 IDENTIFIKASI ULMWP ....................................................................... 20
2.2.2 KONSEP INSURGENT PLANNING ...................................................... 22
MOBILISASI, IDENTITAS, DAN TUNTUTAN ........................................... 23
OFFICIAL PLANNING DAN ALTERNATIVES ......................................... 25
KONDISI BUATAN .......................................................................................... 26
LOKALISM ........................................................................................................ 28
vii
2.3 OPERASIONALISASI KONSEP ............................................................. 29
2.4 ALUR PEMIKIRAN .................................................................................. 31
2.5 ARGUMEN UTAMA ................................................................................. 31
BAB III
METODE PENELITIAN
3.1 JENIS PENILITAN ........................................................................................ 32
3.2 METODE ANALISA DATA .......................................................................... 32
3.3 METODE PENGUMPULAN DATA ............................................................ 32
3.4 SISTEMATIKA PENULISAN ....................................................................... 33
BAB IV
GAMBARAN UMUM
SEJARAH PERGERAKAN ULMWP .................................................................... 35
4.1 SEJARAH PEPERA DAN PROSESNYA .................................................... 37
4.2 BENTUK PERLAWAN TERHADAP INDONESIA ................................... 47
BAB V
ANALISA STRATEGI ULMWP DALAM MERAIH DUKUNGAN
ORGANISASI KAWASAN MSG PADA TAHUN 2014-2016B TERKAIT
TUNTUTAN HAK MENENTUKAN NASIB SENDIRI ....................................... 55
5.1 MOBILISASI, IDENTITAS DAN TUNTUTAN .......................................... 57
5.2 Official Planning and Alternatives ................................................................ 66
5.3 KONDISI BUATAN ........................................................................................ 69
5.4 LOKALISM ..................................................................................................... 76
BAB VI
KESIMPULAN ......................................................................................................... 78
SARAN BAGI PENELITIAN SELANJUTNYA ............................................... 80
DAFTAR PUSTAKA ................................................................................................ 81
viii
DAFTAR SINGKATAN
ULMWP : United Liberation Movement for West Papua
MSG : Melanesian Spearhead Group
ETA : Euskadi ta Askatasuna
FLQ : Front de Libération du Québec
PBB : Persatuan Bangsa-Bangsa
PEPERA : Penentuan Pendapat Rakyat
PLO : Palestine Liberation Organization
KKB : Kelompok Kriminal Bersenjata
NKRI : Negara Kesatuan Republik Indonesia
NPWP : National Parliament of West Papua
NRFPB : Negara Republik Federal Papua Barat
GAM : Gerakan Aceh Merdeka
OPM : Organisasi Papua Merdeka
MOA : Military Operation Area
UNTEA : United Nation Temporary Executive Authority
WPNCL : West Papua National Coalition for Liberation
VOC : Vereenigde Oost-Indische Compagnie
1
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 LATAR BELAKANG
Indonesia merupakan negara yang terdiri dari banyak pulau. Menurut Badan
Pusat Statistik, ada 17.504 pulau yang dimiliki Indonesia.1 Dari sekian banyak jumlah
pulau yang ada, beberapa memliki sejarah kelam tentang gerakan pembebasan.
Berbagai contoh gerakan separatis tersebut antara lain seperti Gerakan Aceh Merdeka
(GAM) di Aceh, Republik Maluku Selatan (RMS), dan juga Organisasi Papua
Merdeka (OPM) di Papua. Pada tulisan ini akan dibahas tentang gerakan pembebasan
yang memfokuskan pergerakannya di Papua Barat beserta alasan mengapa organisasi
tersebut menarik untuk diteliti.
Papua terkenal dengan sejarah PEPERA (Penentuan Pendapat Rakyat)-nya
yang terjadi pada pasca era penjajahan Belanda di Indonesia. Kejelasan fakta sejarah
dibalik PEPERA ini sering menjadi perdebatan, bahkan hingga sekarang ini.
PEPERA yang dilaksanakan dengan terpimpin oleh presiden ke-2 Republik Indonesia
1 https://www.bps.go.id/linkTabelStatis/view/id/1366 diakses pada 29 September 2016
2
Bapak Suharto dinilai tidak merepresentasikan suara keseluruhan warga Papua Barat
karena hanya melibatkan sebagian kecil perwakilan warga Papua Barat.2
Sejarah PEPERA akhirnya menjadi sebuah masalah yang terus diungkit oleh
beberapa kalangan di Papua, bahkan hal itu menjadi salah satu alasan dari
pembentukan organisasi pembebasan/separatis di Papua Barat. Berbagai organisasi
pun bermunculan dengan mengusung berbagai strategi pembebasan, diantaranya
adalah Free Papuan Organisation / Organisasi Papua Merdeka (OPM) dengan
strategi militer bergerilya di hutan-hutan pedalaman Papua Barat, Papuan Presidium
Council/Presidium Dewan Papua (PDP) yang melaksanakan kongres warga Papua
pada tahun 2000, dan masih banyak lagi organisasi-organisasi pembebasan lain.3
Perseteruan antara pemerintah Indonesia dengan berbagai organisasi separatis
di Papua Barat merupakan hal yang masih terjadi hingga sekarang, Akan tetapi
strategi yang dilakukan oleh mayoritas organisasi separatis Papua Barat hanya
menghasilkan dukungan kedaerahan seperti yang sudah dijabarkan secara singkat
pada paragraf di atas. Faktanya, bila sebuah wilayah menginkan pengakuan
kemerdekaan, pengakuan dari dalam negeri bukan menjadi satu-satunya hal yang
dicari, namun juga dari dunia Internasional. Bentuk pengakuan bisa berupa
2 Drooglever, Pieter. The pro- and anti-plebiscite campaigns in West Papua: Before and after 1969
dalam buku Comprehending West Papua. Univesity of Sydney. 2011. Hlm.22 3 Viartasiwi, Nino. The Prospect of Mediation in West Papua-Indonesia Conflict Transformation.
Artikel: Ritsumeikan Univesity. Jepang. 2013. Hlm. 4.
3
pengakuan langsung ataupun penerimaan sebuah wilayah tersebut ke dalam suatu
Organisasi Internasional.4
Dari sekian banyak organisasi pembebasan di Papua, United Liberation
Movement for West Papua (ULMWP) merupakan salah satu yang menarik utuk
dipelajari. ULMWP adalah sebuah gerakan yang dibentuk dari gabungan 3 organisasi
separatis besar di Papua Barat, yaitu Federal Republic of West Papua / Negara
Republik Federal Papua Barat (NRFPB), West Papua National Coalition for
Liberation (WPNCL) , dan National Parliament of West Papua (NPWP).5 Dalam
website resmi ULMWP disebutkan bahwa organisasi ini dibentuk dengan tujuan
untuk memperjuangkan hak menentukan nasib sendiri sekaligus menampik klaim dari
pemerintah Indonesia yang menyatakan bahwa organisasi separatis di Papua tidak
memiliki satu kesatuan dan terpecah kedalam banyak fraksi.6
Terkait dengan ULMWP, baru-baru ini muncul berita menarik yang
diberitakan pada tanggal 3 Mei 2016 lalu. Warta berita online internasional bbc.com
memberitakan bahwa ULMWP mengadakan konfrensi pers di sebuah hotel bintang
empat di kawasan pusat kota Westminster, London, Inggris. Tak hanya dihadiri oleh
wartawan setempat, pertemuan itu juga dihadiri oleh beberapa anggota parlemen
Inggris, perwakilan parlemen Australia, dan juga perwakilan dari negara-negara
kawasan pasifik yang tergabung dalam keanggotaan MSG, pertemuan ini diyakini
4 Solomon, Michael E. Xavier Journal of Politics, Vol. III, No. 1. Xavier University.2012. Hlm.50.
5 https://www.ulmwp.org/about-ulmwp yang diakses pada 27 September 2016.
6 Ibid.
4
sebagai sebuah cara yang ditempuh oleh ULMWP dalam mendapatkan dukungan
internasional.7 Benny Wenda selaku juru bicara ULMWP beranggapan bahwa satu-
satunya solusi damai yang mungkin bisa ditempuh oleh kedua belah pihak yang
bertikai (pemerintah Indonesia dengan ULMWP) adalah dengan proses penentuan
nasib sendiri melalui pemungutan suara/referendum yang diawasi secara
Internasional.8
Wenda juga bependapat bahwa menurut resolusi dewan keamanan PBB no.
1514 dan 1541 yang pada masa lalu digunakan sebagai dasar referendum d Timor
Leste seharusnya juga mampu menjadi dasar diberlakukannya hal yang sama di
Papua Barat.9 Senada dengan Benny Wenda, Utusan khusus Kepulauan Solomon,
Rex Horoi juga berpendapat bahwa pihaknya akan membantu ULMWP dalam
pembentukan koalisis di kawasan Pasifik serta dunia untuk segera mengambil
langkah selanjutnya, karena menurutnya perjuangan Papua Barat sudah terlalu
lama.10
Pertemuan tersebut menghasilkan “Westminster Declaration for an
International Supervised for Independence” yang berisi:11
I. Declare that continued human rights violations in West Papua are
unacceptable.
7 http://www.bbc.com/indonesia/dunia/2016/05/160503_dunia_papua_london diakses pada 27
September 2016. 8 Ibid.
9 Ibid.
10 Ibid.
11 https://www.ulmwp.org/declaration-internationally-supervised-vote-independence yang diakses
pada 1 Oktober 2016.
5
II. Warn that without international action the West Papuan people risk
extinction.
III. Reiterate the right of the people of West Papua to genuine self-
determination.
IV. Declare the 1969 ‘Act of Free Choice’ to be a gross violation of this
principle.
V. Call for an internationally supervised vote on self-determination in
accordance with UN General Assembly Resolutions 1514 and 1541 (XV).
Deklarasi tersebut ditandatangani oleh Benny Wenda selaku juru bicara ULMWP,
beserta perwakilan dari negara-negara yang mengikuti jalannya pertemuan seperti
Vanuatu, Kep.Solomon, Papua Nugini, juga beberapa anggota parlemen Inggris, dan
Australia:12
Relasi yang terjalin antara ULMWP dan beberapa negara-negara anggota
MSG tersebut menunjukkan hubungan State dan Non-State actors dalam sebuah
dinamika Hubungan Internasional, dan menjadi satu fakta menarik untuk dipelajari
lebih lanjut.
Terlepas dari hasil akhir seperti apa yang akan terjadi dan kenyataan bahwa
belum dapat dipastikan apakah rencana penentuan nasib sendiri akan benar-benar
dilakukan, namun fakta-fakta terjabar di atas menunjukkan keseriusan dari pihak
ULMWP untuk meraih dukungan yang bersifat eksternal khususnya dari pihak
organisasi kawasan MSG. Lalu langkah apakah yang akan diambil oleh ULMWP
untuk mendapatkan dukungan tersebut? Perencanaan seperti apa saja yang sudah dan
akan diformulasikan oleh ULMWP? Beberapa pertanyaan tersebut menjadi fondasi
12
Ibid (Lorne, 1989)
6
terciptanya penelitian ini yang sekaligus memberikan justifikasi tentang urgensi
penelitian.
1.2 Rumusan Masalah
Untuk melakukan penelitian dan melanjutkan penulisan tentang pokok
bahasan yang sudah dijelaskan, penulis memiliki sebuah pertanyaan inti yang
difungsikan untuk menjadi rumusan masalah, kurang lebih tertuang dalam sebuah
kalimat pertanyaan,” Bagaimana proses perencanaan United Liberation
Movement for West Papua (ULMWP) untuk meraih dukungan Melanesian
Spearhead Group (MSG) pada tahun 2014-2016? “.
1.3 Tujuan Penelitian
Penelitian ini dilakukan untuk mengetahui bagaimana proses perencanaan
yang dilakukan oleh sebuah gerakan separatis dalam meraih tujuannya yaitu
mendapatkan dukungan dari sebuah organisasi kawasan untuk mendapatkan hak
menentukan nasib sendiri dapat dianalisa menggunakan sebuah konsep/teori
akademis.
1.4 Batasan Penelitian
Penelitian ini memiliki ruang lingkup penelitian dari tahun 2014-2016,
adapaun penjelasan dari pengambilan keputusan tersebut adalah sebagai berikut,
1) Diawali pada tahun 2014 karena pada tahun tersebutlah Organisasi ULMWP
terbentuk.
7
2) Diakhiri pada tahun 2016 karena pada tahun tersebutlah dilakukannya sebuah
pertemuan yang menghasilkan deklarasi yang penulis anggap sebagai satu
pencapaian dari usaha pemberontakan yang sudah dilakukan.
3) Adapun pelengkapan data terkait sejarah akan dilakukan mulai tahun 1960-an
karena sejarah di Papua Barat (yang mereka percayai sebagai fakta) pada
rentang waktu tersebut sering dijadikan sebagai alasan pembenaran dalam
melakukan setiap aksi pemberontakan ULMWP.
1.5 Manfaat Penelitian
1. Manfaat Teoritis
Secara Teoritis penelitian ini diharapkan mampu memberikan pengetahuan
tentang isu-isu yang berkaitan dengan gerakan sepratis dan menjadikan tulisan
ini sebagai salah satu media pembelajaran bagi penulis dalam menggunakan
teori-teori dalam Hubungan Internasional untuk menjelaskan permasalahan
ini.
2. Manfaat Praktis
Secara praktis tulisan ini diharapkan mampu menjadi salah satu sumber
bacaan pagi peneliti lain yang tertarik untuk meneliti tentang pergerakan
sebuah kelompok separatis, khususnya dalam usaha mereka untuk
mendapatkan pengakuan kedaulatan dan dukungan dari pihak internasional.
8
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 STUDI TERDAHULU
Penelitian pada studi terdahulu ini menjadi salah satu acuan penulis dalam
melakukan penelitian sehingga penulis dapat memperkaya teori, sumber data dan
jenis data yang digunakan dalam mengkaji penelitian yang dilakukan. Oleh karena
itu, penulis mengangkat beberapa penelitian sebagai referensi dalam memperkaya
bahan kajian pada penelitian penulis. Berikut merupakan penelitian terdahulu berupa
beberapa jurnal terkait dengan penelitian yang dilakukan penulis.
Studi terdahulu yang akan pernulis gunakan adalah sebuah tulisan karya
Lorne Weston dari McGill University, Montreal, Amerika Serikat yang berjudul The
FLQ: THE LIFE AND TIMES OF A TERRORIST ORGANIZATION.13
Pada
tulisannya, Lorne membahas tentang permasalahan separatis yang terjadi di Quebec,
Canada. Menurut banyak pihak, konflik ini dimulai dengan adanya pemberontakan
revolusi secara diam-diam dan sembunyi-sembunyi di Quebec pada tahun 1960.14
Tapi ternyata, akar dari peristiwa tersebut sudah dimulai hampir 200 tahun
sebelumnya, yaitu pada tahun 1763 terkait permasalahan keturunan, budaya, dan
13
Weston, Lorne. The FLQ: THE LIFE AND TIMES OF A TERRORIST ORGANIZATION. McGill
University. 1989. 14
Ibid. hlm 34. (Valencia, 2012)
9
bahasa yang diam-diam disuarakan oleh para French Quebeckers (sebutan untuk
warga Quebec keturunan Perancis).15
Kembali pada tahun 1960, seperti yang sudah dijelaskan sebelumnya, isu yang
telah lama terpendam tersebut kembali disuarakan dan mencapai titik klimaksnya
pada tahun tersebut. Dan lagi, hal tersebut juga dipicu dengan meninggalnya Maurice
Duplessis, seorang pemimpin partai konservatif Union Nationale Party yang
merepresi berkembanganya kebudayaan dan nilai-nilai sosial kaum French
Quebeckers pada masa kepemimpinannya sejak tahun 1944-1959. Selain
meninggalnya seorang figur repressor, pemicu lain munculnya gerakan pembebasan
di Quebec juga dipicu oleh faktor ekonomi para French-Canadian, faktanya French-
Canadian memiliki pendapatan 35% lebih kecil dari pada mayoritas English-
Canadian.16
Selain itu Quebec memiliki tingkat pengangguran sebesar 40% dari total
warga Kanada, dan para Francophones menguasai kurang dari 20% ekonomi di
Quebec.17
Faktor-faktor pemicu tersebut akhirnya meningkatkan keinginan para French-
Canadians untuk membuat sebuah provinsi atau daerah otonomi, dan bahkan bila
mungkin membuat sebuah negara Quebec yang terpisah dari Kanada.18
Hal ini
jugalah yang akhirnya memunculkan banyak gerakan pembebasan bawah tanah yang
15
Ibid. hlm 35. 16
Ibid. hlm 36. 17
Ibid. 18
Ibid, hlm 37.
10
salah satu diantaranya adalah the Front de Libération du Québec (FLQ).19
Lorne
kemudian membahas secara lebih mendalam tentang FLQ, khusnya dari segi strategi
yang digunakan oleh FLQ dalam membantu gerakan pembebasan di Quebec.
Sebelum kemunculannya pada tahun 1963, ada 2 organisasi penting lain yaitu the
Comité de Libération Nationale (CLN) dan the Réseau de Résistance (RR), keduanya
memiliki peran penting sebagai fondasi FLQ.20
CLN menjalankan fungsinya sebagai
organisasi penyebar propaganda dan berhasil membuat sebuah surat kabar
independen bernama, La Cognée, yang nantinya berubah nama menjadi La Victoire
pada era FLQ.21
Berbeda dengan CLN, RR berperan lebih ke arah sabotase, dan vandalisme,
aksi yang tercatat dalam sejarah Quebec adalah momen keberhasilan mereka
membom sebuah stasiun radio berbahasa inggris di Montreal.22
Pada 8 Maret 1963,
muncullah FLQ yang merupakan organisasi bentukan dari gabungan kedua organisasi
tersebut beserta beberapa organisasi bawah tanah yang lain, momen kemunculan FLQ
bisa terbilang cukup berani dengan keberhasilan mereka melakukan penyerangan
kepada 3 anggota militer Kanada dengan menggunakan sebuah botol molotov koktail
yang bertuliskan FLQ.23
FLQ kemudian menjelma sebagai sebuah organisasi bawah
19
Ibid. 20
Ibid. 21
Ibid. hlm 38. 22
Ibid. 23
Ibid. hlm 39.
11
tanah vital yang sering melakukan aksi pemboman dan terorisme selama hampir satu
dekade.24
Penulis beranggapan bahwa Lorne dengan gamblang menjelaskan proses
berjalannya sebuah strategi pembebasan dalam tulisannya tersebut, terutamanya
strategi yang bersifat violence seperti yang digunakan oleh FLQ. Namun sebuah
quotes penting yang membedakan antara strategi violence ini dengan strategi non-
violance adalah kedekatan violance dengan terminologi terrorism, dan sebuah hal
menarik yang juga perlu digaris bawahi adalah bahwa strategi violence dan terrorism
ini sering kali menggunakan operasi yang bersifat secrecy, tidak ada aksi demo besar-
besaran di jalanan. Bila saja ada militan yang tertangkap, maka biasanya tidak akan
lebih dari 2 atau 3 oeang saja, dan akan sulit diterka bila ternyata aksi tersebut
merupakan bagian kecil dari aksi kelompok yang lebih besar nantinya.25
Fakta
menarik lain yang bisa penulis pelajari dari tulisan tersebut adalah kenyataan bahwa
ras, dan kebudayaan, serta ekonomi seringkali berperan penting untuk memicu
munculnya gejolak separatis dari sebuah daerah di suatu negara. Disamping itu
penulis juga mempelajari tentang perbedaan besar antara aksi terorisme sebuah
kelompok teroris dan violence terrorism dari gerakan separatis.
Secara singkat dapat penulis simpulkan bahwa violence terorism dalam aksi
separatis dilakukan untuk menyebarkan terror kepada negara, dan masyarakat dengan
satu tujuan yaitu mendapatkan perhatian dari pemerintah sehingga mampu menuntut
24
Ibid. 25
Ibid. hlm 14.
12
kepentingannya untuk mendapatkan pengakuan kemerdekaan. Namun pure terrorism
pada sebuah kelompok kriminal lebih mengarah kepada aksi kriminal yang seringkali
dikaitkan dengan material demands dan adapun bila memiliki kepentingan atau
tuntutan lain tidak berhubungan sama sekali dengan tuntutan akan hak kemerdekaan.
Studi terdahulu berikutnya adalah thesis penelitian berjudul The Basque
National Liberation Movement and the Cease of ETA’s Armed Activity karya Leonor
Gonzales Valencia yang diterbitkan oleh University of Oslo untuk mendapatkan gelar
Master pada studi konflik dan perdamaian.26
Leonor memfokuskan penelitiannya
pada strategi gencatan senjata dengan pihak pemerintah Spanyol yang dilakukan oleh
Euskadi ta Askatasuna (ETA), ETA sendiri merupakan pasukan bersenjata dari
organisasi separatis the Basque National Liberation Movement (MNLV).27
Berbeda
dengan ULMWP, MNLV di basque menggunakan dua jenis pendekatan dalam
mendapatkan usaha pengakuan kedaulatan, yaitu violence dan non-violence.28
ETA
yang merupakan objek penelitian dalam tulisan ini menggunakan pendekatan
violence yaitu dengan memanfaatkan kekuatan militer untuk melawan pihak
oposisi.29
Leonor juga menjelaskan bahwa kasus Basque layak untuk dipelajari
sebagai satu bentuk usaha nyata yang terjadi di dalam kehidupan mayarakat global
terkait pencapaian keamanan. Leonor menggunakan metode wawancara sebagai cara
untuk mendapatkan sumber data utama dalam penelitiannya, hal ini dilakukan agar
26
Valencia, Leonor Gonzales. The Basque National Liberation Movement and the Cease of ETA’s
Armed Activity. University of Oslo. 2012. 27
Ibid. Abstract hlm v. 28
Ibid. hlm 3. 29
Ibid. hlm 5 (Boyle & Englebert, 2016)
13
medapatkan hasil data yang senyata mungkin untuk nantinya dapat dielaborasikan ke
dalam penelitian.
Leonor menggunakan dua jenis konsep yang difungsikan sebagai metodologi
penelitian. Pertama adalah konsep Realism, Realist berpendapat bahwa semua objek
yang terlibat di dalam konflik ini adalah aktor rasional.30
Maka dasar rasional itulah
yang digunakan oleh ETA untuk menghentikan aktifitas militernya (gencatan
senjata). Karena sejak pendiriannya pada tahun 1959 hingga rencana pemboman Kio
Tower, Madrid menggunakan 1300 kg peledak yang berhasil di halau oleh polisi
setempat pada Januari 2010, aksi ETA tidak memberikan hasil yang positif melainkan
sebaliknya.31
Strategi yang diharapkan mampu menekan pemerintah Spanyol untuk
memberikan pengakuan kedaulatan tersebut nyatanya malah menghasilkan banyak
korban jiwa dan tahanan politik, sebuah hasil yang tidak diharapkan oleh ETA.
Keputusan untuk merubah strategipun dirasa cocok dengan pendekatan rasional aktor
Realist.32
Konsep kedua adalah Humanism. Humanist berpendapat bahwa pada
dasarnya semua manusia adalah makhluk yang cinta damai, kekerasan adalah bentuk
aksi kebrutalan yang dihasilkan dari tekanan (baik dari dalam maupun luar) yang
dirasakan oleh objek tersebut.33
Berdasarkan hal tersebut, Leonor berusaha melihat
masalah ini dari sisi yang berbeda bila dibandingkan dengan pendekatan sebelumnya.
30
Ibid. hlm 79. 31
Ibid. hlm 82. 32
Ibid. hlm 84. 33
Ibid. hlm 85.
14
Leonor berpendapat bahwa adanya gerakan grass roots bernama the Abertzale left
yang mengusung strategi pergerakan politik lebih mendapatkan dukungan dari pada
aksi militer yang dilakukan oleh ETA.34
Di sisi lain the Abertzale left juga bekerja
atas dasar kepercayaan yang dikuatkan dengan dukungan dari pihak asing. Adanya
dukungan dari pihak asing yang dengan tertulis dibuktikan oleh The Gernika Accord
tersebut secara tidak langsung menyadarkan ETA bahwa pendekatan non-violence
berfungsi lebih baik dari pada violence.35
Leonor berpendapat bahwa perubahan sikap
tersebut menjadi bukti bahwa secara Humanist pihak ETA memiliki dasar cinta
damai, pengaruh eksternal dari adanya keberhasilan the Abertzale left dalam
menggunakan strategi non-violance berhasil meminimalisir aksi kebrutalan ETA.36
Sebagai penutup, Leonor berpendapat bahwa meningkatnya jumlah kaum
oposisi terhadap ETA dan meningkatnya tekanan pada MNLV membuat mereka
merubah manuver strategi ke arah non-violence sebagai pendekatan yang lebih
rasional dalam mendapatkan pengakuan kemerdekaan.37
Sama halnya dengan
penelitian yang akan penulis lakukan, thesis ini juga membahas tentang gerakan
separatis dan strategi yang digunakan oleh suatu gerakan separatis. Namun hal yang
membedakan tulisan ini dengan penelitian penulis adalah fokus utama penelitian yang
berupa analisis faktor penyebab perubahan strategi dari violence ke non-violence.
34
Ibid. hlm 90. 35
Ibid. 36
Ibid. hlm 91. 37
Ibid. hlm 92.
15
Selain mendapatkan banyak informasi terkait penelitian, pendekatan dan teori
maupun konsep yang digunakan oleh peneliti lain dalam meneliti permasalahan
terkait sebuah gerakan separatis, lewat studi terdahulu ini penulis juga secara tidak
langsung dapat membuktikan bahwa penelitian tentang sebuah gerakan separatis
merupakan sebuah penelitian yang memiliki urgensi untuk diteliti bila melihat dari
banyaknya penelitian yang dilakukan pada sebuah gerakan separatis. Penelitian
dengan fokus utama gerakan separatis juga mampu dilakukan dengan berbagai
rumusan masalah seperti pencarian motif, pendeskripsian strategi yang digunakan,
analisa kegagalan dan keberhasilan suatu gerakan separatis, dampak gerakan separatis
terhadap masyarakat dalam negeri dan luar negeri, dampak terhadap domestik dan
luar negeri atau bahkan penelitian tentang cara yang digunakan sebuah negara untuk
melawan gerakan separatis di daerah yurisdiksinya. Satu hal yang penulis sayangkan
dari proses pembelajaran studi terdahulu ini adalah kegagalan penulis dalam
menemukan teori/konsep/model penelitian yang tepat dan mampu digunakan untuk
menjelaskan penelitian yang penulis lakukan.
2.2 KAJIAN TEORI
Untuk mengupas lebih dalam tentang rumusan masalah yang penulis sudah
tentukan di bab sebelumnya, diperlukan sebuah konsep atau teori yang relevan
dengan kasus yang diangkat. Pada studi terdahulu penulis mempelajari bahwa sebuah
gerakan separatis itu berfungsi layaknya badan representasi bagi suatu kelompok
masyarakat dalam mencapai tujuan politiknya, dan juga bila dilihat dengan perspektif
16
lain, sebuah gerakan separatis memiliki strategi yang berdasar kepada keputusan
aktor-aktor yang berada di dalamnya untuk melihat strategi apa yang patut digunakan
guna mencapai tujuan yang mereka perjuangkan. Namun sebelum membahas tenang
konsep yang akan digunakan, akan terlebih dahulu penulis jelaskan tentang
bagaimana studi Hubungan Internasional melihat dan mendefinisikan kelompok
separatis.
2.2.1. INSURGENT
Studi Hubungan Internasional telah mengenalkan kita kepada
berbagai jenis aktor, mulai dari yang tergolong sebagai state actors
maupun non-state actors. Berbagai perkembangan telah terjadi,
semakin banyak aktor bermunculan, dan salah satunya adalah
kemunculan kelompok insurgent.
Kelompok Insurgent sendiri memiliki arti sebagai sebuah
kelompok yang berbasis politik/militer, atau bahkan keduanya, dan
berusaha untuk menguasai secara keseluruhan atau sebagian sumber
daya milik negara yang nantinya digunakan untuk melawan
pemerintah yang berkuasa.38
Aktivitas yang dikategorisasikan sebagai mobilitas politik
seperti pembuatan propaganda, recruitment kader politik, pembuatan
organisasi politik baik yang bersifat terbuka, maupun yang
38
Citasi dari Central Intelligent Agency (CIA), Guide to the Analysis of Insurgency, 1980 yang berada
pada sebuah research paper Byman, Daniel, Trends in outsie Support for Insurgent Movements,
National Security Research Division, RAND, 2001, hlm 4.
17
tersembunyi, serta aktifitas politik internasional. Semua itu didesain
untuk melemahkan pengaruh pemerintahan yang berkuasa dan
diwaktu yang sama meningkatkan kontrol dan legitimasi kelompok
insurgent tersebut di daerah yang ingin mereka kuasai.39
Terkadang kita sulit membedakan sebuah kelompok apakah
mereka tergolong sebagai insurgent, belligerent atau hanya sebuah
kelompok kriminal biasa. Satu hal yang menjadi poin penting dalam
mengidentifikasi sebuah kelompok insurgent adalah adanya agenda
politik untuk menguasai sebuah kawasan, merubah kebijakan dan
mengganti kepemimpinan dari rezim yang berkuasa menjadi sebuah
rezim baru.40
Meski cara yang digunakan itu bersifat violence seperti
mobilisasi militer, sabotase, pergerakan gerilya, ataupun yang bersifat
non-violence seperti mobilitas politik yang mencari dukungan
eksternal dari luar negeri, maupun propaganda, selama aktifitas yang
dilakukan bertujuan untuk medapatkan kepentingan yang tersebut
diatas, maka mereka dapat dikategorisasikan sebagai sebuah kelompok
insurgent.41
39
Ibid. hlm 5. 40
Ibid. 41
Ibid. hlm 6.
18
2.2.2 KELOMPOK KRIMINAL BERSENJATA (KKB) DI
PAPUA BARAT
Penggunaan istilah selanjutnya yang digunakan untuk
mengidentifikasi sebuah gerakan di Papua Barat adalah Kelompok
Kriminal Bersenjata (KKB). Dalam warta berita online disebutkan
bahwa KKB adalah sebuah kelompok perpanjangan tangan dari
kelompok lain yang memiliki kepentingan politik, jadi meskipun
modus yang dilakukan oleh KKB bersifat violence namun tidak bisa
serta merta dianggap sebagai sebuah kelompok kriminal biasa karena
kelompok ini bersifat terorganisir, memiliki jaringan di dalam dan luar
negeri, juga berlandaskan agenda politik dalam setiap aksi-aksi
kriminalnya.42
KKB mulai muncul ke permukaan karena adanya peristiwa
penembakan yang menewaskan 31 pekerja di Nduga, Papua Barat
pada Desember 2018. Men-support penjelasan sebelumnya, mantan
Kepala Badan Intelijen Negara (BIN) Jendral Purnawirawan
Hendropriyono menyebut bahwa KKB merupakan teroris dan bukan
kelompok kriminal biasa karena kelompok ini sudah menyerang warga
sipil yang tidak bersenjata.43
42
https://nasional.kompas.com/read/2017/11/23/12152141/kkb-di-papua-bermuatan-politik-siapa-di-
belakangnya diakses pada 22 Desember 2018. 43
https://www.liputan6.com/news/read/3805738/hendropriyono-kkb-papua-itu-teroris-bukan-
kelompok-kriminal-biasa diakses pada 22 Desember 2018.
19
Dari penjelasan tersebut dapat dikatakan bahwa usaha
pemerintah untuk melabeli KKB ini sebagai sebuah kelompok
kriminal biasa tidak bisa terpenuhi karena adanya muatan politik yang
mendasari aksinya. Mengacu pada penjelasan tentang insurgent, dapat
dikatakan bahwa KKB merupakan sebuah kelompok insurgent karena
memenuhi poin-poin sebagai sebuah gerakan yang bersifat politis dan
militer serta memiliki agenda politik berisikan tuntutan kepada
pemerintah yang berkuasa di daerahnya.
2.2.3 BELLIGERENT
Belligerent secara harfiah juga berarti sebagai sebuah
kelompok pemberontakan. Berbeda dengan insurgent, belligerent
sudah memiliki pengakuan secara politik dari pihak pemerintah
berkuasa. Pengakuan yang dimaksutkan tidak hanya terbatas di dalam
wilayah yurisdiksi negara namun juga pengakuan secara
Internasional.44
Kelompok ini mampu mendapatkan pengakuan tersebut karena
sudah mencapai tingkat kemapanan tinggi ditinjau dari segi politik,
organisasi, militer, dan nampak sebagai sebuah kesatuan politik
mandiri.45
44
Boer Mauna. Hukum Internasional Pengertian, Peranan, dan Fungsi dalam Era Dinamika Global.
Bandung: Alumni, 2003. Hlm. 79. 45
Thontowi, Jawahir dan Thontowi, Pranoto. Hukum Internasional Kontemporer, Bandung: Refika
Aditama, 2006. Hlm. 104
20
Sama seperti kelompok pemberontakan lain, Belligerent
awalnya timbul dari sebuah gerakan yang ada di dalam suatu negara
seperti aksi pemberontakan bersenjata terhadap pemerintahan yang
berkuasa. Pemberontakan tersebut kemudian dianggap sebagai sebuah
permasalahan internal dari suatu negara, adapun usaha intervensi dari
negara lain akan dianggap sebagai sebuah tindakan yang tidak
dibenarkan oleh aturan Hukum Internasional.46
Bila sebuah kelompok
pemberontak sudah mendapatkan status belligerent itu berarti mereka
sudah secara sah dan legal berhak untuk masuk ke dalam forum
Internasional. Cara yang biasa ditempuh untuk mendapatkan status ini
adalah dengan mendapatkan dukungan dari pihak Internasional, bisa
melalui negara ketiga, dan juga organisasi Internasional.47
Status ini
juga secara tidak langsung merubah status mereka yang berawal dari
sebuah kelompok pemberontak menjadi negara baru dalam subjek
hukum internasional.48
2.2.4 IDENTIFIKASI ULMWP
Setelah membabarkan pengertian tentan insurgent, belligerent
dan juga KKB, penulis dapat menyimpulkan bahwa ULMWP
termasuk ke dalam kelompok pemberontakan dengan status insurgent.
46
Parthian, I Wayan. Pengantar Hukum Internasional.Bandung: Mandar Maju, 1990. Hlm. 82.
47 Ibid.
48 Ibid. Hlm 125
21
Keputusan itu didasari pada fakta bahwa belum adanya pengakuan
secara politik dari pemerintah Indonesia untuk meningkatkan status
mereka sebagai kelompok belligerent. Contoh kasus sebuah organisasi
pembebasan (kelompok pemberontak) yang mendapatkan status
belligerent adalah Palestine Liberation Organisation (PLO) yang
beroperasi sejak tahun 1948. Kelompok yang memperjuangkan hak
kemerdekaan Palestina dari kekuasaan Israel telah mendapatkan
pengakuan masyarakat Internasional sejak 15 November tahun 1988
walaupun hingga sekarangpun belum ada wilayah yurisdiksi yang jelas
di dalam pemerintahannya.49
Dalam penjelasan terkait KKB, penulis menilai bahwa
ULMWP tidak melakukan aksi militer/bersenjata seperti yang
dilakukan oleh KKB, meskipun dalam pengkaitan unsur politik
terdapat asumsi dari berbagai pihak akan keterlibatan organisasi lain
dibelakang KKB yang bisa jadi salah satunya adalah ULMWP.
Berdasar pada hal tersebut penulis berkesimpulan bahwa baik
ULMWP maupun KKB tergolong sebagai sebuah kelompok
pemberontak berstatus insurgent namun keterkaitan antara keduanya
masih berada pada taraf asumsi.
49
Ibid
22
2.2.2 KONSEP INSURGENT PLANNING
Setelah mengetahui pengertian tentang kelompok insurgent,
bahasan selanjutnya adalah mengenai konsep yang akan digunakan
untuk menjawab fokus utama penelitian. Insurgent Planning Conceps
milik Faranak Miraftab yang penulis temukan dalam tulisan thesis
karya Padraic O’brien adalah konsep yang akan digunakan dalam
penelitian ini. Konsep ini menjelaskan tentang bagaimana sebuah
kelompok insurgent melakukan perencanaan untuk menggulingkan
rezim yang berkuasa.50
Insurgent Planning berangkat dari berbagai studi terdahulu
tentang planning, Grabow dan Heskin beranggapan bahwa planning
merupakan sebuah aktivitas yang awalnya diawali dari official
planning yang merupakan agenda milik kaum elitist dan kemudian
berujung pada tuntutan akan adanya perubahan sosial. Perubahan
sosial tersebut terjadi pada kelompok-kelompok yang merasa
termajinalkan di dalam proses tersebut.51
Studi lain yang ditulis oleh
Friedman mengatakan bahwa sebuah komunitas, kelompok aktivis,
dan bahkan warga sipil akhirnya bertransformasi menjadi
seorang/sekelompok planners yang bisa saja menjalankan aktifitasnya
untuk mensupport atau bahkan melawan official planning process
50
O’Brien, Padraic, Insurgent Planning and Rural Transformation: a comparison of Social Movements
in Venezuela and Brazil. The University of Guelph, Canada, 2014. Hlm 7. 51
Ibid.
23
yang dilakukan oleh otoritas pemerintahan.52
Friedman akhirnya
menginspirasi banyak pemikiran tentang studi planning untuk berpikir
tentang planning process yang lebih radikal.
Berdasarkan penjabaran dari studi tersebut, Faranik Miraftab
memformulasikan sebuah konsep yang bernama Insurgent Planning
untuk menjelaskan proses pembuatan strategi sebuah kelompok
insurgent. Lebih lanjut lagi O’Brien menuliskan bahwa Miraftab
menawarkan 4 variabel penting dalam mengaplikasikan konsep ini, (1)
Mobilisasi, Identitas dan Tuntutan; (2) Official Planning and
Alternatives; (3) Kondisi Buatan dan (4) Lokalism.53
MOBILISASI, IDENTITAS, DAN TUNTUTAN
Variabel pertama dalam pengaplikasian konsep ini adalah
mengidentifikasi pola mobilisasi, pembuatan identitas, dan pementuan
permintaan/tuntutan kepada rezim yang berkuasa, ketiga element ini
seperti terpisah namun sebenarnya berkaitan.54
Meir, Sweet, dan
Chakars meneliti tentang kaum etnis minoritas yang menderita karena
berbagai kebijakan pemerintah/rezim penguasa yang tidak sejalan.
Kaum-kaum ini akhirnya membentuk sebuah pergerakan yang
52
Ibid. 53
Ibid, hlm 15. 54
Ibid, hlm 16.
24
berdasar pada kesamaan nasib, etnis dan budaya untuk melawan rezim
berkuasa yang mereka anggap sebagai penekan.55
Studi tersebut juga menjelaskan bahwa identitas tidak hanya
terbentuk melalui kesamaan ras dan etnis, namun juga disuatu waktu
terbentuk karena adanya kesaaman gender dan kelas yang
mendapatkan tekanan dari pihak rezim yang berkuasa. Seperti contoh
kasus Buryat dalam penelitian Sweet dan Chakars di sana terdapat
kelompok pemberontakan yang sudah menjadi sasaran negara serta
bangsa lain dan sedang berjuang untuk mempertahankan budaya dan
mata pencahariannya, perjuangan untuk mempertahankan dan
memperkuat identitas mereka adalah inti dari perencanaan
pemberontak. Secara singkat rasa identitas kolektif yang relatif kuat
dapat ditemukan dalam kasus ini, bersamaan dengan hal tersebut
berdirilah fakta bahwa masyarakat yang bersangkutan telah
memutuskan untuk memobilisasi melawan ketidakadilan yang
dirasakan.
Satu poin penting juga dikemukakan O’Brien dalam
tulisannya, dia mengatakan bahwa kesadaran politik atau political
awareness seringkali terbentuk setelah adanya interaksi antara
kelompok insurgent dengan pihak eksternal.56
Dinamika tersebut
55
Ibid, hlm 17. 56
Ibid.
25
akhirnya memunculkan agenda/goals dan sets of demands yang
dimana ditujukan kepada pemerintahan yang berkuasa. Tulisan
Miraftab dan Meir, menggambarkan komunitas yang diteliti telah
mencoba melawan penggusuran yang mereka alami mereka dan
melakukan tindakan mengorganisir tuntutan yang tidak hanya
membahas tentang penghentian penggusuran tetapi juga
memperkenalkan akses ke sejumlah layanan dan meningkatkan
investasi sosial di komunitas mereka.57
OFFICIAL PLANNING DAN ALTERNATIVES
Variabel berikutnya adalah pembuatan alternative planning.
Kelompok insurgent membuat alternative planning dengan melihat
kebijakan pemerintah, atau dapat dikatakan sebagai jawaban atas
kebijakan pemerintah yang sedang berjalan (official planning).58
Tujuan dari pembuatan rencana (alternative planning) ini adalah selain
untuk mendapatkan demands juga untuk menekan dan merubah
kebijakan yang ada, bisa juga dikategorisasikan sebagai
countermeasures.59
Miraftab mengidentifikasi insurgent planning sebagai sebuah
proses yang bersifat “transgressive” dengan adanya praktik yang
melewati batasan-batasan formal. Menanggapi hal tersebut dalam
57
Ibid. 58
Ibid, hlm 18. 59
Ibid.
26
tulisannya O’Brien menjelaskan tentang studi kasus di Santo Domingo
dan Indonesia yang digunakan oleh Sleto dan Beard. Pada kedua kasus
tersebut sebenarnya tidak ditemukan adanya tekanan yang dilakukan
oleh pihak rezim penguasa, namun disaat yang sama tidak ditemukan
juga manfaat kebijakan pemerintah (official planning) yang dirasakan
oleh kelompok objek penelitian. Berdasarkan hal itu, akhirnya
kelompok tersebut melakukan pembuatan alternatives planning dalam
bentuk usaha mempertahankan lahan tinggal untuk melawan official
planning penggusuran yang dilakukan oleh pemerintah (kasus Beard).
Pada studi lain milik Sweet dan Chakars yang meneliti tentang
kondisi perlawanan rakyat Buryat di Russia juga menjelaskan tentang
adanya usaha pemerintah Russia untuk menekan kelompok
masyarakat Buryat. Kebijakan seperti kolektivisasi pertanian,
sentralisasi, penggabungan daerah teritori Buryat dengan daerah lain
dan juga penunjukan gubernur pilihan pemerintah yang tidak melalui
sistem pemilu yang sah menjadi alasan dibentuknya Kongres Buryat
sebagai bentuk perlawanan terhadap kebijakan-kebijakan tersebut.
KONDISI BUATAN
Variabel ketiga yang umum untuk semua kasus insurgent
planning adalah penggunaan strategi dan tindakan yang bergantung
pada ruang yang diciptakan dan diundang, kedua hal itu adalah istilah
27
yang digunakan oleh Miraftab. Pola kondisi buatan ini bisa dikatakan
sebagai fase resistensi yang terdiri dari strategi dan praktik yang
bertujuan menghentikan atau memperlambat serangan.60
Di dalam
tulisan Sletto, aspek ini tidak dibahas secara eksplisit tetapi dapat
ditemukan dalam penolakan penduduk daerah kumuh terhadap otoritas
penyelenggara gerakan sosial. Namun apa yang menjadikan penolakan
ini bagian dari proses perencanaan adalah bahwa hal itu diikuti oleh
ketahanan dan rekonstruksi.
Disebutkan dalam sumber lain, Meir menggambarkan strategi
Badui dalam menggunakan lembaga hukum untuk membuat hak
konstitusional dapat dihormati secara lebih luas. Secara lebih lanjut
dijelaskan, tindakan politik langsung, penyediaan layanan, dan
pembangunan organisasi seperti upaya warga Badui atau Durban dan
permukiman kumuh Santo Domingo untuk membangun organisasi
mereka sendiri sebagai upaya memenuhi kebutuhan mereka. Akhirnya,
strategi dan praktik yang termasuk dalam kategori rekonstruksi
menambah dimensi lain pada konsep insurgent planning. Meir
menyebut ini sebagai upaya untuk "Menghadirkan interpretasi realitas
historis dan kontemporer (komunitas) yang berbeda dari yang
disajikan oleh pembentukan perencanaan sepanjang tahun".61
60
Ibid, hlm 20. 61
Ibid, hlm 21.
28
Seperti pada kasus penduduk daerah kumuh di Jakarta, Cape
Town, Durban dan Santo Domingo Norte dan Badui di Negev,
misalnya, semuanya gerakan di daerah tersebut menentang upaya
resmi untuk tidak melegitimasi hak dan kewarganegaraan mereka
karena mereka hidup dalam keadaan informal atau nomaden yang
tidak diterima oleh negara. Komunitas-komunitas ini menjawab bahwa
mereka memiliki klaim historis atas tanah tempat mereka tinggal,
seperti dalam kasus Badui, atau bahwa keberadaan mereka sebagai
sebuah komunitas tidak kalah sahnya dengan keberadaan sebuah
negara yang telah gagal dalam tanggung jawabnya dalam
menyediakan kebutuhan kelangsungan hidup dan pemenuhan hak
mereka.62
LOKALISM
Variabel keempat pada konsep ini yang dapat dipelajari dari
studi kasus yang sudah ada adalah dimensi lokal (lokalism). Dalam
kasus-kasus yang dipelajari oleh Beard, Meth, Miraftab, dan Sletto,
hampir semua terjadi di tingkat lingkungan lokal, dengan masyarakat
yang berurusan dengan dan menujukan tindakan serta tuntutan mereka
sebagian besar ke pihak berwenang setempat. Pada kasus lain yang
dipelajari oleh Meir, banyak desa dan dusun dari satu daerah terlibat
62
Ibid, hlm 22.
29
dalam proses pemberontakan, dan mereka juga sebagian besar
berurusan dengan otoritas regional.63
Berbeda dengan kasus yang sudah disebutkan di atas, Sweet
dan Chakars menjelaskan bahwa kasus Buryat melibatkan berbagai
gerakan yang tampak bersinggungan dan berkaitan dengan tingkat
otoritas yang lebih tinggi, baik pemerintah federal Rusia atau republik
Buryat. Jadi dalam variabel ini Buryat sebagai sebuah kasus tidaklah
memenuhi persyaratan untuk memenuhi variabel lokalism.
2.3 OPERASIONALISASI KONSEP
63
Ibid.
KONSEP VARIABEL INDIKATOR
Mobilisasi,
Identitas dan
Tuntutan
- ULMP melakukan proses pemobilisasian
masa, pembuatan identitas, dan
perumusan tuntutan gerakan dengan
cara-cara yang terorganisir, baik itu yang
sesuai maupun bertentangan dengan
norma hukum yang berjalan di daerah
Papua Barat.
Official
Planning
- ULMWP melakukan proses pembuatan
kebijakan alternatif yang ditujukan untuk
30
INSURGENT
PLANNING
and
Alternatives
melawan kebijakan dan segala bentuk
keputusan rezim yang sedang dilawan
(Pemerintah Indonesia).
Kondisi
Buatan
- ULMWP melakukan pembuatan sebuah
situasi yang dimana situasi buatan
tersebut berupa tindakan yang berfungsi
sebagai bentuk resistensi untuk
menghalau serangan yang diterima dari
rezim penguasa.
Lokalism - ULMWP melakukan pemberontakan
terhadap pemerintah lokal maupun
regional yang diikuti oleh masyarakat di
daerahnya.
31
2.4 ALUR PEMIKIRAN
2.5 ARGUMEN UTAMA
Proses perencanaan gerakan yang dilakukan oleh ULMWP untuk
mendapatkan dukungan negara-negara anggota MSG terkait rencana pentuan nasib
sendiri menggunakan 4 proses yang terdiri dari (1) Mobilisasi, Identitas, dan
Tuntutan, proses ini nantinya dilakukan dengan menggunakan propaganda yang
bersifat menyerang ke arah Pemerintah Indonesia untuk mengumpulkan simpatisan
aksi pemberontakan, membentuk status keidentitasan kelompok, dan juga membentuk
tuntutan yang mereka ajukan kepada Pemerintah Indonesia terkait rencana
INSURGENT
PLANNING:
1. MOBILISASI,
IDENTITAS &
TUNTUTAN
2. OFFICIAL
PLANNING &
ALTERNATIVES
3. KONDISI
BUATAN
4. LOKALISM
ULMWP FINAL GOALS:
ACT OF SELF
DETERMINATION
MENDEKATI
NEGARA-NEGARA
ANGGOTA MSG
PROSES
PETENCANAAN
32
pelaksanaan referendum. Poin berikutnya adalah (2) Official Planning and
Alternatives, pada proses ini nantinya akan dilakukan pembuatan kebijakan alternatif
yang difungsikan sebagai bentuk perlawanan terhadap segala bentuk kebijakan
penekan milik Pemerintah Indonesia serta (3) Invented Spaces, pada proses ini pihak
ULMWP akan memanfaatkan Westminster Declaration untuk menjadi ruang/kondisi
buatan dari hal-hal yang mereka klaim sebagai suatu kebenaran sebagai bentuk aksi
resistensi dalam perlawanan mereka terhadap kebijakan Pemerintah Indonesia. Dan
terakhir adalah (4) Lokalism yang dilakukan oleh ULMWP dengan melibatkan
masyarakat lokal untuk melawan pemerintahan lokal maupun regional
33
BAB III
METODE PENELITIAN
3.1 JENIS PENILITAN
Jenis penelitian yang akan digunakan adalah penelitian kualitatif, yaitu
penelitian yang didasarkan pada sumber temuan data yang tidak bersifat statistik atau
penghitungan.64
Selain bersifat non statistik, penelitian metode kualitatif juga bersifat
deskriptif yang berarti penelitian yang menggambarkan secara cermat mengenai
individu atau kelompok tertentu tentang gejala yang terjadi.65
3.2 METODE ANALISA DATA
Penelitian ini menggunakan metode analisa data bersifat kualitatif. Hal itu di dasari
dengan anggapan bahwa metode kualitatif lebih peka dan lebih dapat menyesuaikan
diri dengan banyak penajaman pengaruh pola-pola nilai yang dihadapi dan situasi
yang berubah-ubah selama penelitian berlangsung.66
3.3 METODE PENGUMPULAN DATA
Dalam penelitian ini metode pengumpulan data yang akan penulis gunakan
adalah studi pustaka. Karena penelitian ini dilakukan pada sebuah gerakan separatis
64
Strauss, Anselm & Juliet Corbin, 2003. Dasar-dasar Penelitian Kualitatif. Yogyakarta. Pustaka
Pelajar. 65
Koentjaraningrat. 1993. Metode-metode Penelitian Masyarakat. PT. Gramedia Pustaka Utama.
Jakarta. 66
Moleong, Lexy J. (2007) Metodologi Penelitian Kualitatif, Penerbit PT Remaja Rosdakarya
Offset, Bandung (Unity)
34
yang secara logika tidak dapat dijangkau secara langsung, maka penulis akan
menggunakan studi pustaka sebagai metode pengumpulan data penelitian. Studi
pustaka yang dimaksudkan disini adalah berita dari surat kabar, baik bersifat online
maupun offline bila nantinya dapat ditemukan seiring berlangsungnya penelitian.
Selain berita, sumber berupa tesis, buku dan jurnal juga akan digunakan bila nantinya
ditemukan sebuah data yang relevan dengan penelitian yang dilakukan.
3.4 SISTEMATIKA PENULISAN
BAB I PENDAHULUAN
Berisi tentang penjelasan secara singkat dan jelas tentang asal mula
terbentuknya permasalahan yang diteliti, selain itu pada bab ini penulis
juga mencantumkan rumusan masalah dari penelitian yang akan
dilakukan.
BAB II TINJAUAN PUSTAKA
Berisi tentang penjelasan konsep yang akan digunakan sebagai alat
dalam mengupas permasalahan serta menjawab rumusan masalah yang
sudah ditentukan sebelumnya.
BAB III METODE PENELITIAN
Berisi tentang penjelasan jenis penilitan dan teknik pengumpulan data,
serta sistematika penulisan yang akan penulis gunakan dalam
menyusun tulisan ini
35
BAB IV GAMBARAN UMUM
Berisi tentang pembahasan yang lebih mendalam mengenai dinamika
perkembangan ULMWP dari awal pembentukan hingga pelaksanaan
konferensi di Inggris.
BAB V ANALISA
Berisi tentang analisis menggunakan konsep yang sudah ditentukan
guna menjelaskan bagaimana strategi dari pihak ULMWP untuk
mendapatkan dukungan dari negara-negara pasifik (anggota MSG)
dalam rencananya melakukan referendum.
BAB VI KESIMPULAN
Pada bab ini akan penulis tuliskan hasil akhir berupa kesimpulan dan
saran dari penelitian yang telah dilakuka
36
BAB IV
GAMBARAN UMUM
SEJARAH PERGERAKAN ULMWP
United Liberation Movement for West Papua (ULMWP) adalah sebuah
orgnisasi separatis yang berbasis di Papua Barat. ULMWP sendiri terbentuk dengan
dasar “The Saralana Declaration on West Papua Unity” yang merupakan hasil dari
pertemuan the Summit on West Papuan Unification pada tanggal 30 November
hingga 6 Desember 2014 yang kemudian berhasil meng-unifikasi beberapa organisasi
seperti Federal Republic of West Papua/Negara Republik Federal Papua Barat
(NRFPB), West Papua National Coalition for Liberation (WPNCL), dan National
Parliament of West Papua (NPWP) menjadi ULMWP.67
Deklarasi tersebut
ditandatangani di Vanuatu pada tanggal 6 Desember 2014 oleh perwakilan ULMWP
dan disaksikan oleh perwakilan pemerintah Vanuatu, Malvatumauri National Council
of Chiefs, gereja Kristen Vanuatu, serta the Pacific Conference of Churches.68
Pembentukan Organisasi ULMWP ini dilakukan karena anjuran dari pihak
Melanesian Spearhead Group (MSG) setelah sebelumnya memutuskan satu kebijakan
hasil dari pertemuan anggota MSG di Port Moresby, Papua Nugini pada Juni 2014.
Kebijakan yang dimaksutkan disini adalah menghimbau pihak kelompok separatis
67
https://www.ulmwp.org/about-ulmwp yang diakses pada 1 Oktober 2018 68
Saralana Declaration on West Papua Unity yang didapatkan dalam bentuk pdf yang diunduh dari
laman https://www.ulmwp.org/representatives
37
Papua Barat untuk terlebih dahulu menggabungkan diri ke dalam satu organisasi
pembebasan yang utuh dan tidak terpecah sebelum nantinya mendaftarkan diri
sebagai anggota organisasi kawasan MSG. Dalam deklarasi yang sama juga
disebutkan bahwa pihak ULMWP membentuk badan sekretariat pada awal berdirinya
organisasi yang beranggotakan 5 orang yaitu, Benny Wenda, Jacob Rumbiak, Leone
Tanggahma, Octovianus Mote, dan Rex Rumalek, ke lima orang tersebut sebelumnya
berpengalaman sebagai mantan pengurus dari 3 organisasi yang ber-unifikasi menjadi
ULMWP.69
Selanjutnya akan penulis jelaskan mengenai sejarah PEPERA dan prosesnya,
serta bentuk perlawanan masyarakat Papua Barat terhadap Pemerintah Indonesia pada
proses persiapan PEPERA di tahun 1960-an, hal ini penulis rasa patut untuk
dimasukkan ke dalam tulisan pada bab ini karena turbulensi sejarah dan klaim
sepihak dari ULMWP adalah sesuatu yang sering dibuat sebagai motif pembenaran
dalam setiap pergerakannya.
4.1 SEJARAH PEPERA DAN PROSESNYA
Sebelum penulis menjelaskan secara lebih lanjut mengenai PEPERA 1969
yang dijadikan sebagai salah satu alasan sejarah dari terciptanya aksi separatis ini,
akan terlebih dahulu penulis ulas mengenai sejarah penjajahan di tanah Papua. Seperti
halnya Indonesia, daerah Papua Barat bertahun-tahun yang lalu juga masuk ke dalam
wilayah teritori penjajahan Belanda sejak tahun 1828.70
Meski begitu, Papua Barat
69
Ibid. 70
http://www.un.org/en/peacekeeping/missions/past/unsfbackgr.html diakses pada 29 September 2016
38
tidak mendapatkan pengakuan kemerdekaan disaat yang sama dengan Indonesia yang
kala itu diakui kemerdekaannya oleh Belanda pada tahun 1949.71
Bertahun-tahun
kemudian daerah tersebut akhirnya menjadi sengketa antara pemerintah Indonesia
dengan Belanda, pemerintah Indonesia beranggapan bahwa Papua Barat seharusnya
ikut serta menjadi bagian teritori Indonesia. Dilain sisi, pemerintah Belanda
beranggapan bahwa Papua bukan merupakan bagian dari Indonesia dan sudah
seharusnya warga Papua Barat berhak menentukan nasibnya sendiri dimasa depan.
Dengan dalih tersebutlah Pemerintah Belanda memutuskan bahwa perwakilan
Pemerintah Belanda akan tetap memerintah wilayah Papua Barat hingga mereka
dianggap layak dan mampu untuk menentukan nasib mereka sendiri. 72
Sengketa tersebut akhirnya bergulir hingga ke tingkat Internasional dengan
melibatkan Persatuan Bangsa Bangsa (PBB) sebagai penengahnya. Papua Barat
ditetapkan oleh PBB sebagai wilayah/teritori yang tidak memiliki pemerintahan pada
tahun 1950-1962.73
Pada periode tersebut, pemerintah Belanda masih berperan
mengatur jalannya pemerintahan di Papua Barat, namun desakan dari pemerintah
(Budiarjo & Liong, 1988)Indonesia yang kala itu dipimpin oleh Presiden Soekarno
terus menekan pemerintah Belanda agar membuka kesempatan melakukan
pembicaraan terkait wacana penarikan wilayah Papua Barat ke Indonesia, beliau
beranggapan bahwa Indonesia berhak memiliki teritori yang dulu dikuasai oleh
71
Ibid. 72
Ibid. 73
Saltford, John. The United Nations and the Indonesian Takeover of West Papua, 1962-1969: The
Anatomy of Betrayal. 2002. Hlm 61.
39
Vereenigde Oost-Indische Compagnie (VOC) dan itu termasuk wilayah Papua
Barat.74
Meskipun mendapatkan desakan yang kuat, pemerintah Belanda tetap
beranggapan bahwa Papua Barat bukanlah bagian dari Indonesia karena kultur
mereka yang berbeda dengan warga Asia, Papua Barat dianggap lebih dekat dengan
kultur negara-negara Pasifik/Melanesia.75
Terlepas dari konflik yang terjadi antara pemerintah Belanda dengan
Indonesia, PBB terus mengupayakan perumusan perjanjian yang diharapkan mampu
menjadi solusi bagi permasalahan ini. Hingga akhirnya disetujuilah sebuah perjanjian
bernama perjanjian New York pada tahun 1962.76
Salah satu isi perjanjian tersebut
adalah penyerahan kekuasaan sementara atas wilayah Papua Barat dari pemerintah
Belanda kepada United Nation Temporary Executive Authority (UNTEA) terhitung
sejak 1 Oktober 1962. Akan tetapi, wewenang UNTEA hanya berjalan hingga 1 Mei
1963 dan kemudian digantikan oleh pemerintahan Propinsi Irian Barat yang diawasi
oleh Indonesia.77
Poin lain dalam perjanjian New York adalah dilaksanakannya “Act
of Freedom”/ Penentuan Pendapat Rakyat (PEPERA) yang dilaksanakan pada 15 Juli
1969 di Merauke dan berakhir pada tanggal 2 Agustus di Jayapura pada tahun yang
74
Ibid. 75
Ibid. 76
Drooglever, Pieter. The pro- and anti-plebiscite campaigns in West Papua: Before and after 1969
dalam buku Comprehending West Papua. Univesity of Sydney. 2011. Hlm 11. 77
Ibid. Hlm 17.
40
sama.78
Pasca pelaksanaan PEPERA tersebutlah akhirnya ditetapkan bahwa Papua
Barat resmi tegabung kedalam wilayah teritori Indonesia.
Akan tetapi permaslahan tidak berhenti sampai di situ, meskipun sengketa
antara Pemerintah Belanda dan Indonesia sudah terselesaikan, namun ternyata banyak
warga Papua Barat yang mempertanyakan hasil PEPERA yang mereka anggap
memiliki banyak kejanggalan. PEPERA yang dilaksanakan secara terstruktur dan
terpimpin oleh presiden Republik Indonesia (RI) ke-2 Bapak Suharto dinilai tidak
merepresentasikan keseluruhan suara warga Papua Barat karena hanya melibatkan
sebagian kecil dari keseluruhan warga Papua Barat.79
Seperti yang sudah tertulis pada
bagian pendahuluan, warga yang dianggap memiliki hak suara dan sah menurut
peraturan penyelenggaraan PEPERA hanya berjumlah 1026 orang dari anggota
Dewan Musyawarah Papua (DMP), jumlah tersebut sangatlah kecil bila dibandingkan
dengan keseluruhan total warganya yang berjumlah kurang lebih 800.000 jiwa pada
kala itu.80
Selain menyangsikan pelaksanaan dan hasil PEPERA, proses berlangsungnya
persiapan PEPERA oleh pemerintah Indonesia pada 1 Mei 1963 – 15 Juli 1969 (pasca
era kepemimpinan UNTEA) juga di klaim menyisakan banyak sejarah kelam dan
pengalaman pahit bagi warga Papua Barat. Hal pertama yang terjadi setelah
pemindahan kekuasaan dari UNTEA ke pemerintah Indonesia adalah aksi
78
Ibid. Hlm 24. 79
Ibid, hlm 22. 80
Lihat Bab 1 hlm 2 untuk merujuk pada alasan pembuatan DMP dan peraturan penyelenggaraan
PEPERA.
41
pembakaran artifak yang berkaitan dengan kehidupan masyarakat Papua, pembakaran
buku sekolah, dan bendera Papua, peristiwa ini terjadi di alun-alun ibu kota dan
diawasi oleh Rusiah Sardjono, Mentri Kebudayaan Indonesia waktu itu. Hampir
10.000 orang hadir dan menyaksikan pembakaran benda yang oleh Bapak Sardjono
sebut sebagai „colonial identity‟.81
Keesokan harinya dilakukanlah pembuatan Indonesian-appointed regional
assembly yang anggotanya berasal dari pilihan Pemerintah Indonesia dan ditambah
mantan anggota New Guinea Council (Badan serupa yang dibentuk pada era
kepemimpian UNTEA). Pada bulan yang sama juga keluar Keputusan Presiden
(KEPRES) No. 8 tahun 1963 yang secara spesifik menyebutkan untuk menempatkan
Papua Barat pada kondisi karantina politik seperti yang terangkum pada beberapa
poin berikut ini,
(Artikel 1. Paragraf 3) ……Pelarangan pembuatan partai politik baru atau partai
cabang di Irian Barat selama masa ini (1963-1969).
(Artikel 2) Di dalam wilayah Irian Barat pada masa ini (1953-1969) di larang untuk
menyelenggarakan aktifitas politik baik dalam bentuk perkumpulan, pertemuan,
demonstrasi atau pencetakan, publikasi, pengumuman, penerbitan, penyebaran,
pertukaran atau pembuatan artikel public, gambar atau foto tanpa se-ijin aparat
pemerintahan yang sudah ditunjuk oleh presiden.
81
Budiarjo, Carmel dan Liong, Liem Soei. West Papua: The Obliteration of a People. TAPOL. 1988.
Hlm 15. (htt2)
42
(Artikel 3. Paragraf 2) Terkait partai politik di Irian Barat yang dibentuk sebelum
pertanggal 1 Mei tahun 1963, mereka hanya akan diakui sebagai partai yang sah
apabila patuh pada KEPRES No. 7 tahun 1963 tentang pengkondisian dan
penyederhanaan partai, dan juga KEPRES No. 13 tahun 1963 tentang pengakuan,
pengawasan dan pembubaran partai.82
Perlu digaris bawahi bahwa KEPRES NO.7 tahun 1963 hanya mengakui 10
partai politik asal Indonesia dan dari keseluruhan partai tersebut tidak ada satupun
yang beroperasi di wilayah Papua Barat. Hal ini memperkuat bukti mengenai adanya
agenda pemerintah Indonesia pada masa itu untuk menekan dan mengkarantina
segala bentuk aktifitas politik yang ada di wilayah Papua Barat.83
Beberapa minggu
kemudian muncul peraturan lain yang lebih menekan yaitu peraturan anti-subversi,
(Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) subversi berarti gerakan dalam usaha
atau recana menjatuhkan kekuasaan yang sah dengan cara di luar undang-undang.84
)
melalui KEPRES No. 11 tahun 1963 yang berbunyi,”Jenis subversi yang dimaksut
dalam peraturan ini mengarah ke hampir semua tindakan yang berujung pada tujuan-
tujuan untuk melakukan revolusi, baik itu yang bersifat pasif sekalipun.” Peraturan
ini membuka jalan bagi otoritas pemerintahan Indonesia di Papua Barat untuk
melakukan tindakan represif dengan dalih demokrasi terpimpin dengan tujuan un
82
Ibid. Hlm 16. 83
Ibid. 84
https://kbbi.web.id/subversi yang diakses pada 10 November 2018.
43
(Anari, 2011)tuk melawan dan memberikan tuntutan hukuman mati kepada siapapun
di wilayah tersebut yang terbukti melakukan kampanye tentang hak warga Papua.85
Masuk pada tahun 1965 Indonesia disibukkan dengan permasalahan
penumpasan Partai Komunis Indonesia (PKI), Komando Operasi untuk Pemulihan
Keamanan dan Ketertiban (Kopkamtib) menjadi ujung tombak penumpasan gerakan
PKI. Seperti yang sudah dijelaskan sebelumnya, PKI sebagai sebuah partai yang
berbasis di Indonesia juga tidak memiliki jejak operasi di tanah Papua, dan
terminologi „keterlibatan PKI‟ yang difungsikan untuk menggerakkan semua elemen
masyarakat agar turut andil dalam penumpasan PKI juga tidak berlaku di Papua
Barat. Akan tetapi strategi serupa ternyata juga dilakukan di Papua Barat untuk mem-
branding para warga Papua yang dicurigai memiliki koneksi dalam aksi politik dan
terlibat dalam sebuah aksi bersenjata pada awal tahun 1960-an, branding yang diberi
nama Gerakan Pengacau Liar (GPL) itu menjadi justifikasi dalam penangkapan
banyak warga Papua Barat.86
Menurut wawancara yang dilakukan pada tahun 1981 dengan narasumber
Eliezer Bonay (Gubernur pertama Papua Barat hasil pilihan pemerintah Indonesia),
beliau mengatakan,
“Pada awal tersiarnya berita akan adanya act of self determination
pada tahun 1969 hasil dari New York Agreement, banyak warga
Papua Barat kala itu yang beranggapan bahwa mereka nantinya
akan benar-benar memiliki kesempatan untuk menentukan nasib
85
Budiarjo. Op.Cit hlm 16. 86
Ibid.
44
mereka sendiri, namun anggapan itu sirna tak lama setelah
kedatangan Indonesia. Banyak hal di luar dugaan, kebrutalan,
pencurian, penyiksaan, penganiayaan yang sebelumnya tidak
terjadi. Di berbagai tempat banyak orang di tangkap, semua
penjara penuh.87
”
Setelah menetapkan berbagai aturan untuk menekan perkembangan politik di
Papua Barat, agenda selanjutnya yang dilakukan adalah proses persiapan PEPERA
yang dijalankan dengan 3 tahapan yaitu,
(Tahap Pertama) pada 24 Maret tahun 1969, untuk melakukan konsultasi dengan
dewan Kapubaten Jayapura mengenai tata cara penyelenggaraan PEPERA.
(Tahap Kedua) pada bulan Juli tahun 1969, untuk memilih anggota Dewan
Musyawarah PEPERA (DMP) dengan anggota yang berjumlah 1026, terdiri dari 983
pria dan 43 wanita.
(Tahap Ketiga) pelaksanaan PEPERA yang diawali pada tanggal 14 Juli 1969 di
Kabupaten Merauke dan berakhir pada tanggal 4 Agustus 1969 di Jayapura.88
Seperti yang sudah dijelaskan sebelumnya bahwa jumlah peserta PEPERA
yang tergabung dalam DMP dianggap tidak mewakili keseluruhan warga Papua
Barat, namun tidak hanya itu, fakta bahwa anggota DMP seluruhnya merupakan
pilihan dari pihak Indonesia dan dilaporkan memilih dibawah intimidasi serta
ancaman pembunuhan dari pihak militer Indonesia di pimpinan OPSUS (Badan
87
Ibid. Hlm 17. 88
Anari, John. Analisis Penyebab Konflik Papua dan Solusinya Secara Hukum Internasional. WPLO.
2011. Hlm 145
45
Intelijen KOSTRAD) Bapak Ali Murtopo menjadi alasan lain untuk menolak hasil
PEPERA.89
Peraturan penetapan anggota DMP sendiri sudah penulis jelaskan di Bab
I, tetapi secara lebih terperinci proses itu dilaksanakan dengan peraturan 1) menunjuk
panitia DMP dari pihak warga Papua Barat sebanyak 9 warga dari tiap Kabupaten, 2)
karena jumlah kabupaten di Papua Barat kala itu adalah 8, maka ditetapkanlah 72
orang sebagai anggota Panitia Pembentukan DMP 3) Meski sudah menetapkan
anggota Panitia Pembentukan DMP, namun keputusan akan siapa yang dianggap
pantas untuk masuk ke dalam keanggotaan akhir (1026 orang) tetap berada di tangan
pemerintah Indonesia.90
Untuk memastikan hasil PEPERA yang didapatkan nantinya sesuai dengan
keinginan awal, pihak pemerintah Indonesia mengirimkan tim evalusi persiapan
PEPERA yang diketuai oleh Sudjarwo Tjondronegoro, SH. Tim ini kemudian
bekerjasama dengan anggota Dewan Perwakilan Rakyat Gotong Royong (DPRGR)
Propinsi Irian Barat untuk melakukan tugasnya berkeliling ke setiap Kabupaten dan
bertemu dengan beberapa tokoh masyarakat serta pemuka adat di sana. Tim evaluasi
persiapan PEPERA menekankan kepada perwakilan tokoh masyarakat dan pemuka
adat bahwa PEPERA hanyalah sebuah formalitas untuk memenuhi New York
Agreement, maka dari itu suara mutlak secara aklamasi dibutuhkan agar terlihat
seragam. Agenda yang dilakukan dari tanggal 24 Maret sampai 11 April tahun 1969
itu juga menekankan bahwa semua anggota DMP nantinya harus memilih Papua
89
Ibid. 90
Ibid, hlm 146.
46
Barat sebagai bagian integral dari Indonesia. Kolaborasi dengan OPSUS yang
berperan dalam mengumpulkan anggota DMP kedalam satu kamp penampungan
khusus dan memberikan intimidasi kepada anggota DMP selama prosesnya menjadi
satu kunci kesuksesan PEPERA yang berakhir pada 4 Agustus 1969.91
Teknis pelaksanaan PEPERA itu sangat berbeda jauh dengan kesepakatan
awal yang tercantum pada Artikel XVIII New York Agreement, pada artikel tersebut
dijelaskan bahwa Indonesia seharusnya wajib mengakomodasi seluruh warga Papua
Barat yang dianggap layak sebagai orang dewasa baik itu laki-laki ataupun
perempuan, dan tidak berasal dari status kewarganegaraan asing untuk ikut serta
dalam agenda pelaksanaan act of self determination. Lebih jauh dijelaskan bahwa
semua penduduk yang memiliki hak adalah mereka yang menjadi warga tetap di
daerah tersebut terhitung dari tahun 1945 dan juga mereka yang memutuskan untuk
kembali ke daerah asalnya setelah pemutusan kekuasaan Pemerintah Belanda.92
Selain Artikel XVIII, Artikel XXI pada poin nomor 1 juga menerangkan
tentang kewajiban UNTEA dan Indonesia sebagai pengawas PEPERA untuk
memastikan terpenuhinya hak kebebasan bagi warga Papua Barat, hak itu termasuk
pada kebebasan untuk berbicara, kebebasan untuk bergerak dan berkumpul. Poin ini
berlaku sejak masa pemindahan kekuasaan ke UNTEA.93
91
Ibid. 92
New York Agreement. Agreement Between the Republic of Indonesia and the Kingdom of the
Netherlands Concerning West New Guinea (West Irian). New York. 1962. 93
Ibid.
47
Fakta sejarah yang diyakini sebagai bentuk kekerasan terhadap kemanusian,
serta penyalahan wewenang dan pengingkaran perjanjian oleh Pemerintah Indonesia
itu menjadi dasar terciptanya berbagai gerakan separatis di Papua Barat yang salah
satunya adalah ULMWP. Lebih lanjut mengenai ULMWP, selain data-data yang
sudah penulis jabarkan di awal bab ini, ternyata ada fakta menarik yang penulis
temukan di tulisan lain. Dalam tulisan Zahidi dan Musfiroh disebutkan bahwa
WPNCL (salah satu dari 3 Ogranisasi awal ULMWP) memiliki afiliasi dengan
Organisasi Papua Merdeka (OPM).94
Penjelasan dari temuan ini akan penulis lakukan
di bab selanjutnya karena OPM memiliki peran dalam menjalankan fungsi mobilisasi,
identitas, dan tuntutan, serta menjadi penggagas dimulainya hubungan dengan MSG.
4.2 BENTUK PERLAWAN TERHADAP INDONESIA
Poin penting pada sub bab ini adalah menjelaskan sejarah tentang apa yang
terjadi di sela proses persiapan PEPERA, uraian ini penulis masukkan ke dalam bab
ini untuk mengetahui bentuk-bentuk konfrontasi yang terjadi antara Pemerintah
Indonesia dan pemberontak Papua Barat pada rentang waktu 1960-1969 sebagai
bentuk penolakan akan adanya aksi kekerasan yang diklaim telah dilakukan oleh
pihak militer Indonesia terhadap banyak warga Papua Barat. Selain itu
pemberontakan bersenjata pada kala itu akan dijelaskan dengan tujuan untuk
mengetahui keefektifan gerakan dalam mencapai tujuan yang diinginkan
menggunakan cara yang bersifat violence.
94
Zahadi, M. Syaprin dan Musfiroh. The Melanesian Spearhead Group in terms of Indonesia‟s
Interest. University of Muhammadiyah Malang. Malang. Hlm. 169.
48
Sejarah perlawanan untuk memperjuangkan kemerdekaan oleh warga Papua
Barat sudah berlangsung sejak lama bahkan tercatat sejak sebelum dan sesudah
kedatangan otoritas pemerintah Indonesia di Papua Barat pada tahun 1963. Meski
begitu cara yang di lakukan berbeda-beda, ada aktor seperti Nicholas Jouwe, Marcus
Kaisiepo dan Herman Womsiwor yang memutuskan untuk meninggalkan Papua
Barat dan bertolak ke Belanda dengan harapan nantinya mendapatkan kesempatan
masuk ke dalam forum Internasional dan menyuarakan tentang self determination
untuk mendapatkan bantuan Internasional. Ada pula yang berpikiran seperti Eliezer
Bonay yang memutuskan untuk bekerja sama dengan pemerintah Indonesia karena
menurutnya itulah respon yang tepat untuk kepentingan warga Papua. Di luar itu
banyak juga yang berharap dengan adanya New York Agreement, PBB dapat ikut
campur secara langsung dalam proses berjalannya act of self-determination dan
akhirnya membantu mereka menghasilkan kemerdekaan bagi Papua Barat.95
Untuk memahami lebih lanjut tentang perlawanan yang dilakukan pada masa
itu, akan penulis jelaskan beberapa peristiwa penting yang terjadi di beberapa
kawasan Papua Barat tepatnya di Manokwari dan sekitarnya. Kebanyakan dari
peristiwa tersebut adalah peristiwa bersenjata, satu contoh yang dihadapi oleh sebuah
operasi militer yang bergerak di Papua Barat sejak tahun 1962-1970 yaitu Batalion
XVII/Komando Militer Regional Cendrawasih. Menurut catatan Komando Militer
Cendrawasih, awal penerjunan batalion 641 dan 642 di Manokwari pada tahun 1964
95
Ibid. hlm 18.
49
berujung pada keributan dan demostrasi serta pemasangan berbagai jenis poster yang
mendukung self determination di daerah Manokwari, Sorong, Ayamaru, Teminabuan,
Bintuni, Fak-Fak, Kaimana, Kokonao dan beberapa tempat lainnya. Aksi ini juga
diikuti dengan adanya upaya pencurian senjata milik polisi setempat.96
Aksi terus terjadi dengan melibatkan lebih banyak warga Papua pada
pertengahan tahun 1965. Bahkan aksi pemberontakan tersebut mampu memaksa
Pemerintah Indonesia mengambil keputusan untuk keluar dari keanggotaan PBB dan
merilis pengumuman sepihak dari Bapak Sukarno yang kala itu beranggapan bahwa
tidak diperlukan lagi adanya penyelenggaraan PEPERA karena menurut beliau
seluruh warga Papua Barat sudah setuju untuk bergabung dengan Indonesia. Sebuah
penyataan yang menurut banyak pihak merefleksikan ketakutan dari Bapak Presiden
akan hasil akhir PEPERA yang nantinya memiliki kemungkinan besar tidak sesuai
dengan apa yang diharapkan.97
Namun keputusan tersebut segera direvisi oleh
Presiden Indonesia ke-2 Bapak Suharto. Setelah mendapatkan status kepemimpinan
tertinggi di Pemerintahan Indonesia pada bulan Oktober tahun 1965, Suharto segera
mencabut status penguduran diri Indonesia dari PBB dan memutuskan untuk
melanjutkan persiapan PEPERA pada tahun 1969. Dengan terpilihnya Suharto yang
berlatar belakang militer sebagai Presiden, bertambah pulalah intensifitas operasi
militer untuk melawan pemberontakan bersenjata di wilayah Papua Barat.98
96
Ibid. 97
Ibid. 98
Ibid, hlm 20.
50
Pada tahun itu juga terjadi sebuah insiden besar bernama “Insiden Kebar”
dimana warga Papua yang bekerja di sektor pertanian dan perhutanan melancarkan
serangan pada saat adanya pengibaran bendera kepada tentara Indonesia. Setelah
berhasil menewaskan beberapa tentara Indonesia, mereka kemudian masuk ke hutan
dengan juga membawa senjata api hasil curian dari barak militer Indonesia. Dua hari
berselang, pasukan warga Papua berjumlah 400 orang yang dipimpin oleh Ferry
Awom keluar dari hutan dan melakukan penyerangan ke barak batalion 641 di Arfai,
Manokwari. Serang ini akhirnya memaksa pihak militer Indonesia untuk membuat
sebuah operasi counter-insurgency di Papua Barat bernama Operasi Sadar pada
tanggal 4 Agustus 1965. Operasi yang berawal di daerah Manokwari ini akhirnya
menyebar ke daerah Merauke, Jayapura, dan Jayawijaya untuk melawan dan
menghalau lebih banyak pemberontakan yang terjadi.99
Pada tahun berikutnya (1966), kekuatan pasukan pemberontak Ferry Awom
meningkat dengan keberhasilan mereka mendapatkan lebih banyak dukungan dari
putera-putera daerah (warga Papua) yang berada di dalam militer Indonesia, di dalam
badan kepolisian dan juga badan pegawai negeri sipil. Hal ini mendasari keberanian
mereka untuk bertindak lebih ofensif dengan menyerang lebih banyak barak dan
merebut lebih banyak senjata milik tentara Indonesia. Pada tahun 1967 Ferry Awom
berhasil mengumpulkan anggota pasukan gerilya sebanyak 14.000 orang, dengan
1000 diantaranya dipersenjatai dengan senjata api. Perkembangan jumlah pasukan
99
Ibid, hlm 18.
51
musuh itu memaksa pihak militer Indonesia untuk meresponnya dengan operasi
khusus bernama Operasi Bratayudha. Berbeda dengan Operasi Sadar yang memang
ditugaskan untuk melawan seluruh bentuk pemberontakan, Operasi Bratayudha ini
hanya memfokuskan diri untuk melawan pemberontakan Ferry Awom.100
Puncak
terbesar dari konfrontasi yang terjadi antara Operasi Militer Cendrawasih (Operasi
Bratayudha) dan pasukan pemberontakan Ferry Awom terjadi pada akhir tahun 1967
yang ditandai dengan penyerangan sebuah desa di Manokwari dengan menggunakan
strategi pemboman dari udara, aksi ini dilaporkan menewaskan sejumlah kurang lebih
3.500 jiwa dan berhasil meratakan seluruh bangunan di desa tersebut.101
Ferry Awom terbukti sebagai salah satu lawan terberat pasukan militer
Indonesia, hal itu terlihat dari kenyataan bahwa dia tidak menyerah dan terus
melakukan perlawanan bahkan setelah Operasi Bratayudha berhasil melakukan
pembomban di desa yang menjadi salah satu basis pasukan pemberontak. Fakta ini
melatar belakangi terpilihnya Brigadir Jenderal Sarwo Edhie sebagai Komandan
Pasukan Cedrawasih pada tahun 1968. Sarwo Edhie adalah salah satu orang
kepercayaan Suharto di dalam korps militer Indonesia karena beliau berhasil
menumpas ribuan orang yang dicurigai sebagai penolak terpilihnya Suharto menjadi
Presiden RI ke-dua. Sarwo Edhie kemudian dipercayai untuk menumpas tuntas
gerakan pemberontakan Ferry Awom menggunakan strategi operasi militer baru
100
Ibid, hlm 19. 101
Ibid.
52
bernama Operasi Wibawa.102
Operasi Wibawa dibebankan misi untuk berhasil
menumpas pemberontakan Ferry Awom sebelum dilaksanakannya PEPERA pada
tahun 1969, operasi ini dibagi kedalam empat tingkatan (four stages) yang
berlangsung dalam kurun waktu 3 bulan dan dimulai pada bulan-bulan akhir di tahun
1968.
(Tingkat Pertama) Melanjutkan penumpasan pasukan pemberontak Ferry Awom di
daerah Majembo-Anggi-Afui, dan memperkuat pasukan territorial dengan anggota
yang mampu dipercaya.
(Tingkat Kedua) Untuk mengkonsolidasi warga sipil di kawasan Bird’s Head
Region (daerah kekuasaan pemberontak) agar tidak terkontaminasi dengan faham
pemberontakan dan separatisme yang ada. Selain itu bertanggung jawab juga untuk
meningkatkan level Nasionalisme Indonesia bagi warga di dalam wilayah tersebut
dan melakukan segala aktifitas militer yang dibutuhkan untuk memenangkan
PEPERA.
(Tingkat Ketiga) (1) Menjalankan PEPERA (2) Melindungi berjalannya aktifitas
tersebut dari ancaman serangan fisik yang mungkin terjadi.
102
Ibid, hlm 20.
53
(Tingkat Keempat) Melindungi kemenangan yang akan didapatkan dalam PEPERA
dari kemungkinan segala bentuk ancaman, dan mempersiapkan segala cara untuk
menghadapinya, baik berupa penekanan dan penumpasan.103
Dengan berlakunya Operasi Wibawa, menigkat pula konfrontasi yang terjadi
antara pihak militer Batalion Cendrawasih dengan pasukan pemberontakan Ferry
Awom. Pada pelaksanaan tingkat pertama dilaporkan bahwa Operasi Wibawa
berhasil memusnahkan banyak kamp gerilya milik pasukan pemberontakan dan
sekaligus menangkap dan membunuh ribuan tentara pemberontak.104
Namun seiring
dengan semakin mendekatnya hari pelaksanaan PEPERA, perlawanan juga mulai
muncul dari simpatisan Ferry Awom di daerah lain. Dilaporkan pada bulan April
tahun 1969 terjadi usaha pelarian dari
populasi daerah Kalimaro yang berada di
sebelah timur laut Merauke. Para warga ini berusaha untuk menyeberang ke
perbatasan Papua Nugini yang pada saat itu merupakan daerah perlindungan
Australia. Namun usaha itu tidak sepenuhnya berhasil, banyak warga yang tertangkap
dan dibunuh saat menolak untuk diamankan.105
Saat Operasi Wibawa dibentuk untuk menumpas pergerakan pasukan Ferry
Awom, ternyata kenyataan di lapangan berbeda dengan apa yang diperkirakan
sebelumnya. Bentuk perlawanan di daerah lain juga dilaporkan muncul di banyak
tempat seperti di daerah Dubu yang ditetapkan sebagai sebuah tempat pelatihan
103
Ibid, hlm 21 104
Ibid. 105
Ibid.
54
militer gerilya bagi anak muda Papua Barat yang mengingkan untuk bergabung ke
dalam pemberontakan. Pasukan pengintai dari korps militer Indonesia yang awalnya
dikirim untuk mengawasi daerah tersebut juga dilaporkan hilang dan tidak kembali,
bahkan usaha untuk mengirim pasukan kedua sebagai bentuk followup juga
dilaporkan tidak memberikan hasil karena daerah tersebut ditemukan kosong dan
sudah ditinggalkan tepat pada saat kedatangan pasukan kedua.106
Pemberontakan
bersenjata Ferry Awom penulis jelaskan secara terperinci karena banyak meng-cover
peristiwa konfrontasi dengan pihak militer Indonesia dan dianggap sebagai salah satu
pemberontak yang sulit untuk dilawan pada tahun 1965 sampai dengan 1969, selain
itu Ferry Awom juga dianggap menginspirasi terciptanya banyak gerakan
pemberontakan bersifat militer/menggunakan kekerasan pada waktu itu. Akan tetapi
semua pemberontakan tersebut tidak membuat kelompok insurgent di Papua Barat
berhasil memukul mundur pasukan militer Indonesia, menggagalkan terjadinya
PEPERA tahun 1969, maupun mendapatkan kemenangan di PEPERA.
Dari penjabaran di atas dapat ditarik kesimpulan bahwa pada masa lalu
tepatnya saat terjadinya proses persiapan PEPERA, bentuk pemberontakan yang
banyak dilakukan di Papua Barat masa lampau adalah dengan menggunakan jalan
kekerasan, namun tidak membuahkan hasil positif/yang sesuai dengan tujuan awal
pemberontakan. Asumsi penulis mengatakan bahwa ada indikasi perubahan strategi
pemberontakan dari yang bersifat violence ke arah non-violence yang digunakan oleh
106
Ibid.
55
kelompok pemberontakan separatis di Papua Barat, hal itu serupa dengan yang terjadi
pada kasus di studi terdahulu yang meneliti tentang perubahan strategi
pemberontakan ETA karena alasan lebih besarnya kerugian yang dialami bila
dibandingkan dengan hasil yang didapat. Lebih lanjut lagi menurut penulis, ULMWP
adalah sebuah kelompok pemberontakan di masa kini yang mengadopsi perubahan
tersebut.
56
BAB V
ANALISA STRATEGI ULMWP DALAM MERAIH DUKUNGAN
ORGANISASI KAWASAN MSG PADA TAHUN 2014-2016B TERKAIT
TUNTUTAN HAK MENENTUKAN NASIB SENDIRI
Berdasarkan penjelasan pada bab sebelumnya dapat dilihat bahwa sejarah
Papua Barat dan Indonesia diawali dengan timbulnya banyak konfrontasi yang
berkaitan dengan usaha Indonesia untuk memasukkan Papua Barat ke dalam wilayah
yurisdiksi Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) melawan usaha warga Papua
Barat untuk melakukan self-determination yang diwujudkan dengan menggunakan
aksi pemberontakan (insurgent act) dalam bentuk gerakan separatisme. Pada bab ini
akan dilakukan analisa data temuan yang terkait dengan penelitian menggunakan
konsep yang penulis pilih yaitu insurgent planning. Semua data yang dianalisis di
tulisan ini adalah kejadian yang terjadi sebelum dibuatnya deklarasi Westminster di
London, Inggris pada 3 Mei 2016 untuk memberikan justifikasi pada jawaban dari
penelitian strategi yang dilakukan oleh ULMWP untuk meraih dukungan negara-
negara anggota MSG pada tahun 2014-2016.
57
5.1 MOBILISASI, IDENTITAS DAN TUNTUTAN
Variabel ini akan membantu penulis untuk menjelaskan pola awal dari
insurgent planning yaitu proses mobilisasi massa, pembuatan identitas kelompok dan
pemformulasian tuntutan terhadap rezim yang berkuasa. Ketiga poin dalam variabel
ini memiliki satu kesatuan hubungan meski nampak terpisah.
Sesuai dengan kalimat temuan di bab sebelumnya, penulis menemukan fakta
bahwa Organisasi Papua Merdeka (OPM) memiliki afiliasi dengan salah satu dari 3
Organisasi awal United Nation Liberation Movement for West Papua (ULMWP)
yaitu West Papuan National Coalition for Liberation (WPNCL).107
OPM telah ada di
Papua Barat sejak tahun 1984, Organisasi tersebut juga telah melakukan berbagai
strategi untuk mendapatkan dukungan terhadap aksi separatisnya, baik yang bersifat
soft maupun hard. Penulis akan memfokuskan penjabaran pada aksi-aksi yang
bersifat soft karena cara inilah yang nantinya diadopsi oleh ULMWP.
Aksi yang bersifat soft dilakukan diantaranya dengan cara penyebaran
propaganda untuk membuat warga Papua Barat membenci Pemerintahan Indonesia.
Propaganda yang menyatakan bahwa Papua adalah Daerah Operasi Militer/Military
Operation Area (MOA), penyebaran propaganda bahwa pendirian Freeport adalah
sebuah bentuk tidak memihaknya Pemerintah Indonesia dengan kesejahteraan warga
asli Papua Barat dan berbagai propaganda lain sukses meningkatkan jumlah
107
Ibid.
58
simpatisan aksi OPM.108
Ini adalah satu dari berbagai cara melakukan proses
mobilization guna mendapatkan sejumlah simpatisan baru di dalam sebuah gerakan
separatis dan pemberontakan (separatist and insurgent movement). Keterlibatan OPM
pada pembuatan ULMWP tidak hanya terletak pada influence dan afiliasinya dengan
Organisasi WPNCL saja, selain kedua hubungan itu penulis juga menemukan fakta
bahwa OPM adalah organiasasi yang pertama kali membuka pintu komunikasi
dengan pihak negara-negara anggota MSG. Hal tersebut tidaklah mengagetkan
melihat alasan dibalik pendekatan itu adalah adanya kedekatan secara rasial yang
dirasakan oleh OPM dengan masyarakat di negara-negara anggota MSG.109
Di
samping itu pengakuan dari pihak Internasional adalah salah satu syarat mutlak yang
harus dimiliki sebuah kelompok di suatu daerah untuk mendapatkan pengakuan
kedaulatan selain pengakuan dari dalam negeri, dan mendekati MSG adalah satu
upaya pemenuhan syarat tersebut.
Benang merah hubungan antara OPM dengan ULMWP mulai terlihat dengan
pungutusan WPNCL sebagai organisasi yang mewakili OPM pada proses pendaftaran
keanggotaan MSG yang tepatnya dilakukan di bulan Juni tahun 2013, proses ini
berlangsung dengan juga mengajak serta 2 organisasi cikal bakal ULWMP lain yaitu
gerakan yang dibentuk dari gabungan 3 organisasi separatis besar di Papua Barat,
yaitu Federal Republic of West Papua / Negara Republik Federal Papua Barat
108
Ibid, hlm 168. 109
Ibid.
59
(NRFPB), dan National Parliament of West Papua (NPWP).110
Namun seperti yang
sudah dijelaskan sebelumnya bahwa MSG menolak pendaftaran tersebut dengan
alasan belum adanya sebuah organisasi tunggal yang mampu menjadi respresentator
Papua Barat di dalam keanggotan MSG dan kemudian menyarankan ke-3 Organisasi
tersebut untuk melebur menjadi sebuah Organisasi baru hingga pada akhirnya
terbentuklah ULMWP.
ULMWP kemudian memobilsasi simpatisannya dengan cara-cara yang
bersifat soft dan non-violence menggunakan propaganda, mereka mewujudkannya
dengan membuat sebuah website resmi yang beralamat di https://www.ulmwp.org,
website itu memuat banyak berita mengenai sejarah ULMWP, sejarah pergerakan
pemberontakan di Papua Barat, Visi dan Misi ULMWP, motif dan alasan mengapa
mereka ingin memperjuangkan kemerdakaan, serta berbagai propaganda lain yang
mampu memberikan ULMWP legitimasi dalam menjalankan aksi serta menarik
orang-orang yang simpati dengan kondisi yang mereka alami. Satu perbedaan besar
yang penulis lihat dari cara OPM dan ULMWP dalam proses mobilization adalah
pada target sasaran simpatisan baru ULMWP yang tidak terbatas di daerah Papua
Barat saja, namun melintasi batas ruang dan waktu memanfaatkan kemajuan
teknologi internet, perlu diingat juga bahwa bahasa yang digunakan di dalam tulisan
disetiap rubrik di website tersebut adalah Bahasa Inggris yang berarti mereka
mengharapkan adanya simpatisan dari berbagai belahan dunia.
110
Ibid, hlm 169.
60
Beberapa upaya penyebaran propaganda untuk menempatkan mereka diposisi
victim (korban) salah satunya seperti propaganda polemik penamaan provinsi Papua
Barat. Dalam website tersebut dijelaskan bahwa awalnya daerah tersebut diberi nama
Netherland New Guinea selama masa pendudukan Belanda. Masih menurut
ULMWP, mereka memposisikan Pemerintah Belanda sebagai pihak yang benar-
benar sepenuh hati mempersiapkan kemerdekaan bagi rakyat Papua Barat dengan
merubah nama daerah tersebut menjadi West Papua.111
Lebih lanjut dalam tulisan
yang sama terlihat agenda untuk menjadikan Indonesia sebagai „penjahat‟ dan rezim
penekan dengan menuliskan “Following the Indonesian invasion in 1962…..West
Papua was named Irian Jaya by the Indonesians”,112
kalimat itu memberi kesan
bahwa penugasan Indonesia sebagai pengawas proses PEPERA menggantikan
UNTEA adalah sebuah usaha penaklukan dan penjajahan baru dengan menggunakan
kalimat following the Indonesian invasion in 1962. Tulisan itu ditutup dengan kalimat
“……the overwhelming majority of the Papuan people
would like to see an independent West Papua.”113
Selain tulisan di atas, ada kalimat lain pada tulisan berbeda namun mengindikasikan
maksut yang sama yaitu,
“….many young people have left their villages to study at
universities across West Papua and Indonesia and are
111
https://www.ulmwp.org/background yang diakses pada 10 Desember 2018. 112
Ibid 113
Ibid.
61
interacting with Indonesians and the global community to
gain support for this struggle for freedom.”114
Gambar 1. Foto yang diklaim sebagai bukti adanya dukungan warga Papua Barat
terhadap gerakan ULMWP
Sumber: https://www.ulmwp.org/150000-west-papuans-sign-pro-ulmwp-petition-
amid-crackdown
Kedua kalimat itu penulis nilai sebagai bentuk usaha ULMWP untuk
memobilisasi simpati warga Papua Barat agar mereka tergerak hatinya dan
memutuskan untuk bergabung ke dalam perjuangan separatis, alasan dari penilaian
itu adalah adanya penekanan dan klaim dari pihak ULMWP bahwa masih banyak
warga Papua Barat yang berusaha dan berjuang untuk mencapai kemerdekaan tanpa
menyebutkan sumber data yang valid akan klaim tersebut. Dalam ilmu propaganda,
hal ini termasuk ke dalam black propaganda yang berarti informasi di dalam sebuah
tulisan berasal dari sebuah aktifitas yang tidak diketahui, di mana aktifitas yang
114
Ibid.
62
diklaim terjadi merupakan sebuah aktifitas yang dipalsukan atau sengaja
disembunyikan.115
Propaganda ini akan berjalan efektif dan memberikan hasil bagi ULMWP
selama apa yang mereka klaim sebagai fakta tidak terbukti sebagai sebuah hal yang
palsu, dan berdampak negatif apabila yang terjadi adalah sebaliknya. Selain
propaganda di atas, ULMWP juga menerbitkan berita yang mengklaim
keberhasilannya dalam mengumpulkan sekitar 150.000 petisi dari warga Papua Barat
yang mendukung aksi ULMWP pada tanggal 17 Juni 2015. Klaim tersebut
memperlihatkan pola mobilisasi yang dilakukan oleh ULMWP dengan berusaha
menggalang dukungan dari masyarakat daerah. Berita itu menjelaskan bahwa 157.427
warga Papua Barat mendukung upaya ULMWP untuk menjadi representasi mereka di
dalam organisasi kawasan MSG. Lebih lanjut lagi keberhasilan dalam mengumpulkan
dukungan warga Papua Barat itu diklaim oleh ULMWP berjumlah 100 kali lipat lebih
banyak dari pada jumlah anggota DMP pilihan Pemerintah Indonesia yang kala itu
difungsikan sebagai perwakilan masyarakat Papua Barat yang memiliki hak suara
pada PEPERA tahun 1969.116
115
Gray, T. dan Martin, B. Backfires: White, Black and Grey. Schoold of Social Science, Media and
Communication University of Wollongong. Australia. Hlm 9. 116
https://www.ulmwp.org/150000-west-papuans-sign-pro-ulmwp-petition-amid-crackdown yang
diakses pada 22 Desember 2018
63
Hal selanjutnya adalah pembentukan identitas kelompok dalam variabel
mobilisasi, identitas dan tuntutan. Pada poin ini argumen ULMWP mengadopsi
pemikiran yang sudah ada sejak jaman penjajahan Belanda yaitu anggapan bahwa
sesuai kondisi rasial dan kesamaan budaya, Papua Barat lebih dekat dengan negara-
negara kawasan Melanesia bila dibandingkan dengan Asia.117
Selain itu ULMWP
juga berusaha untuk „memposisikan‟ diri berada di dalam perkumpulan negara
Melanesia seperti kalimat kutipan dari Octavianus Mote berikut ini.
“I thank our leaders in Melanesian, especially the leaders
from Solomon Islands, Vanuatu, and FLNKS (Front de
Libération Nationale Kanak et Socialiste – New
Caledonia) for publicly supporting us in this quest. Your
public support for our struggle gives our people hope that
you have heard our cries, they affirm that we are part of
this Melanesian family.”118
Kalimat pada akhir wawancara itu mengindikasikan akan adanya usaha untuk
semakin mendekatkan status ke Melanesia-nan bagi warga Papua Barat dengan
menyebut perwakilan MSG itu sebagai Melanesian Family. Bukan hanya itu,
ULMWP juga berusaha untuk memberikan kesan bahwa pihak negara-negara
117
Saltford, John. The United Nations and the Indonesian Takeover of West Papua, 1962-1969: The
Anatomy of Betrayal. 2002. Hlm 61. 118
https://www.ulmwp.org/west-papua-makes-history-political-recognition yang diakses pada 10
Desember 2018
64
Gambar 2. Demonstrasi Warga Papua Barat yang mendukung aksi ULMWP
Melanesia (yang mereka klaim serumpun dengan warga Papua Barat) adalah pihak
yang memberikan mereka harapan dan membantu perjuangan mereka.
Selain kesamaan ras dan budaya, identitas lain yang ingin disuarakan oleh
ULMWP adalah identitas sebagai kelompok yang terjajah seperti Bangsa Palestina.
Pada tulisan di website resminya, ULMWP berusaha untuk menekan pihak
Pemerintah Indonesia dengan membandingkan kesamaan kondisi „terjajah‟ antara
Papua Barat dan Palestina, dan sekaligus mempertanyakan mengapa pihak Indonesia
mendukung kemerdekaan Palestina sedangkan mereka tidak memperdulikan kondisi
Papua Barat yang sama-sama terjajah (menurut klaim ULMWP).119
“……taken over
forcefully in 1962, annexed illegally in 1969….”120
adalah sebuah kalimat yang
menegaskan akan adanya penjajahan dan pemaksaan hasil dari proses act of self
determination di masa lalu, hal ini memberikan mereka justifikasi untuk mem-
branding diri mereka sebagai sebuah bangsa/kelompok yang terjajah. Disampin itu,
ini
adalah satu contoh kalimat yang digunakan untuk merujuk pada keadaan sejarah di
era transisi kepemimpinan di Papua Barat dari UNTEA ke Indonesia. Hal ini
sekaligus memberikan kesempatan untuk menjustifikasi penulisan sejarah di Bab IV
yang di mana penulis sama sekali tidak mencari pembenaran sejarah melainkan lebih
kepada penyajian bukti akan „versi sejarah‟ yang diyakini dan digunakan oleh
119
https://www.ulmwp.org/4618-2 yang diakses pada 10 Desember 2018. 120
Ibid.
65
ULMWP dalam memformulasikan propaganda-nya, karena turbulensi dalam sejarah
adalah salah satu hal yang sangat dimanfaatkan ULMWP dalam setiap kampanyenya
.Gambar 2. Dukungan Warga Papua Barat yang Turun Ke Jalan
Sumber: Sumber: https://www.ulmwp.org/4618-2
Secara umum dapat disimpulkan bahwa identitas yang ingin mereka sematkan ke
masyarakat Papua Barat adalah 1) Bukan Asia melainkan Melanesia, dan 2) Sebuah
bangsa/kelompok yang sedang terjajah dan berjuang meraih kemerdekaan. Setelah
melakukan usaha mobilisasi, dan pembentukan identitas, ULMWP secara vokal
menyuarakan tuntutan mereka kepada Pemerintah Indonesia untuk mendapatkan hak
melakukan proses referendum ulang. Tuntutan ini sangat jelas terlihat sejak
dicetuskannya Saralana Declaration pada awal pembentukan ULMWP di Vanuatu
tahun 2014 yang dituliskan sebagai berikut,
“We declare and claim that all West Papuan, both inside
and outside West Papua, are united under this new body
66
and that we will continue our struggle for
Independence.”121
Poin tersebut menjelaskan tuntutan ULMWP untuk mendapatkan pengakuan
kemerdekaan yang mereka buat dalam bentuk deklarasi. Usaha tersebut juga mereka
perkuat dengan penandatanganan deklarasi oleh perwakilan aktor-aktor yang mereka
undang.
Pada variabel pertama ini penulis beranggapan bahwa ULMWP berhasil
menjalankan ke 3 prosesnya dengan baik karena terdapat kejelasan aksi pada setiap
prosesnya.
5.2 Official Planning and Alternatives
Variabel berikutnya yang digunakan untuk menjelaskan kasus ini adalah
adanya proses Official Planning dan Alternatives. Sebelumnya dijelaskan bahwa
tujuan dari pembuatan rencana milik kelompok pemberontak (alternative planning)
ini adalah selain untuk mendapatkan demands juga untuk menekan dan merubah
kebijakan yang ada (official planning), bisa juga dikategorisasikan sebagai
countermeasures.122
Pada kasus ULMWP ini, Pemerintah Indonesia sebagai rezim
yang memiliki otoritas di daerah Papua Barat tentu saja akan melakukan berbagai
cara untuk menghalangi tercapainya tujuan dari ULMWP dalam mendapatkan
121
SARALANA DECLARATION ON WEST PAPUAN UNITY. ULMWP. Vanuatu. 2014. Paragraf
ke-3. 122
O‟Brien, Padraic, Insurgent Planning and Rural Transformation: a comparison of Social
Movements in Venezuela and Brazil. The University of Guelph, Canada, 2014. Hlm 18.
67
pengakuan kemerdekaan, baik itu yang berasal dari dalam maupun dari luar. Bila
pada penjabaran konsep diterangkan bahwa alternatives planning bertujuan untuk
melawan official planning, maka dalam kasus ini penulis berpendapat bahwa
ULMWP terkesan selalu berada selangkah dibelakang Pemerintah Indonesia.
Contoh nyata adalah saat ULMWP melakukan usaha pendekatan dan
menginginkan untuk memiliki keanggotaan tetap dalam Organisasi kawasan MSG.
Sebelum keinginan itu berhasil dilakukan, Indonesia sudah terlebih dahulu masuk ke
dalam keanggotaan MSG sebagai associate member hasil dari keputusan pada KTT
ke-20 MSG di Honiara, Kepulauan Solomon pada tahun 2015.123
Dan pada
kesempatan yang sama ULMWP tidak berhasil meningkatkan level keanggotaanya
yang akhirnya hanya berakhir dengan status keanggotaan observer.124
Namun ULMWP tidak berhenti sampai disitu, mereka tetap melakukan upaya
alternatives planning seperti yang terjadi di Vanuatu pada tanggal 29 April tahun
2016 lalu. Mereka menggelar sebuah pergerakan sosial dengan agenda “Calling for
West Papua’s full membership of the Melanesian Spearhead Group (MSG)” yang
diikuti oleh simpatisan ULMWP di Vanuatu.125
Gerakan ini juga didukung oleh
pernyataan Perdana Menteri Vanuatu Hon. Charlot Salwai dan jajaran
pemerintahannya yang menyerukan hal seupa yaitu desakan untuk memberikan
123
https://www.kemlu.go.id/id/berita/Pages/ULMWP-Gagal-Menjadi-Anggota-Penuh-MSG.aspx
diakses pada 11 Desember 2018. 124
Ibid. 125
https://www.ulmwp.org/mass-rally-vanuatu-calls-west-papuas-msg-membership yang diakses pada
11 Desember 2018.
68
keanggotaan penuh bagi ULMWP di MSG. Meskipun sudah melakukan aksi yang
sifatnya Internasional, namun pihak ULMWP masih belum mampu merubah
keputusan terkait keanggotaannya di MSG.
Selain itu ULMWP juga melakukan perlawanan terhadap kebijakan
pemerintah Indonesia dengan membuat sebuah kantor di daerah Wamena pada bulan
Februari 2016 lalu sebagai bentuk penegasan tentang adanya dukungan dari pihak
perwakilan MSG yaitu Perdana Menteri Kepulauan Solomon, Hon. Manasseh
Sogavare.126
Keberadaan sebuah bangunan fisik yang merepresentasikan suatu
kelompok juga penulis anggap sebagai satu usaha untuk meningkatkan posisi tawar
dari kelompok tersebut karena sudah mampu memperlihatkan eksistensinya kepada
masyarakat dan pemerintah, hal itulah yang penulis anggap sebagai alasan lain
didirikannya kantor tersebut.
126
https://www.ulmwp.org/opening-ulmwp-office-wamena-west-papua yang diakses pada 22
Desember 2018
Gambar 3. Proses peresmian kantor ULMWP di Wamena
Sumber: https://www.ulmwp.org/opening-ulmwp-office-
wamena-west-papua
69
Namun seperti yang sudah terjadi sebelumnya, Pemerintah Indonesia selalu
melakukan respon cepat sebagai bentuk reaksi terhadap kebijakan alternatif milik
ULMWP. Pemerintah berhasil mengamankan panitia utama acara yaitu Markus
Haluk dan Edison Waromi, serta melepas papan nama kantor tersebut. Lewat Menteri
Koordinasi Kemaritiman Luhut Binsar Panjaitan disampaikan bahwa pemerintah
Indonesia menghendaki ULMWP untuk keluar dari wilayah Papua Barat. Meski telah
mendapatkan ancaman seperti itu namun pihak ULMWP terus melakukan upaya
untuk mengkampanyekan “penentuan nasib sendiri” dan menolak untuk
meninggalkan Papua Barat, malah sebaliknya pihak ULMWP justru melayangkan
tuntutan dengan bunyi yang sama (meninggalkan tanah Papua Barat) ke Pemerintah
Indonesia.127
Pada variabel ini penulis berpendapat bahwa ULMWP sudah melakukan
berbagai cara dan dapat dikatakan memenuhi indikator pada variabel ke-dua
meskipun pada prakteknya pihak pemerintahan rezim lawan juga terus melakukan
penekanan.
5.3 KONDISI BUATAN
Variabel terakhir pada teori ini yang menjelaskan tentang proses perencanaan
kelompok pemberontak adalah kondisi buatan, variabel ini menerangkan tentang
pembuatan sebuah kondisi yang nantinya bisa memberikan keuntungan pada gerakan
127
Ibid.
70
kelompok tersebut. Variabel ini dijalankan dengan aksi yang berfungsi sebagai
resistensi terhadap serangan pihak rezim penguasa.
Berdasarkan penjabaran variabel tersebut, dapat kita lihat bahwa usaha yang
menyerupai keadaan dalam contoh studi kasus telah coba dilakukan juga oleh
ULMWP pada saat mengadakan pertemuan di Westminster, London Inggris tanggal 2
Mei 2016 lalu. Pertemuan itu merupakan suatu bentuk usaha „merealisasikan‟
keadaan yang mereka rasakan dan berusaha untuk menggunakannya sebagai senjata
melawan rezim penguasa.
Adapun isi lengkap dari Westminster Declaration adalah sebagai berikut,
Pasal I) Declare that continued human rights violations in West Papua are
unacceptable.
Pasal II) Warn that without International action the West Papuan people risk
extinction.
Pasal III) Reiterate the right of the people of West Papua to genuine self
determination.
Pasal IV) Declare the 1969 ‘Act of Free Choice’ to be a gross violation of this
principle.
71
Pasal V) Call for an internationally supervised vote on self determination in
accordance with UN General Assembly Resolution 1514 and 1541 (XV).128
Adapun pihak yang menandatangani deklarasi tersebut adalah sebagai berikut,129
1. Benny Wenda, United Liberation Movement for West Papua
2. The Hon. Samuela „Akilisi Pohiva, PM of Tonga
3. The Hon. Bruno Leignkone, Minsiter of Foreign Affairs, Vanuatu
4. The Hon. Ralph Regenvanu, Minister for Lands, Vanuatu
5. Gary Juffa, Governor of the Northern Province, Papua New Guinea
6. Ambassador Rex Horoi, Special Envoy on West Papua, signing on behalf of The
Hon Manasseh Sogavare, PM of the Solomon Islands
7. Lord Alton, UK House of Lords
8. Lord Harries, UK House of Lords and former Bishop of Oxford
9. The Rt Hon Andrew Smith MP, UK Parliament
10. Alan Whitehead MP, UK Parliament
11. Nick Brown MP, UK Parliament
12. Caroline Lucas, MP, UK Parliament
13. Senator Richard Di Natale, Leader of the Australian Greens
14. Senator Scott Ludlam, Australian Parliament
15. Senator Robert Simms, Australian Parliament
16. Senator Frances Bedford, Australian Parliament
17. Bart Staes, MEP, Belgium
18. Catherine Delahunty MP, New Zealand
19. Deputy Prime Minister Joe Natuman of Vanuatu
20. Dr Rupert Roopnaraine MP, Minister of Education Guyana
Dalam asumsi penulis, langkah ini diharapkan mampu memberikan tekanan
pada pihak Pemerintah Indonesia dan sekaligus memperlihatkan tingkat dukungan
Internasional terhadap rencana pelaksanaan referendum dengan dipublikasikannya
daftar penanda tangan Westminster Declaration. Deklarasi ini juga sekaligus
128
https://www.ulmwp.org/declaration-internationally-supervised-vote-independence yang diakses
pada 11 Desember 2018. 129
Ibid.
72
menunjukkan keseriusan gerakan pemberontakan yang dilakukan oleh ULMWP
sebagai sebuah gerakan yang mampu mengancam kedaulatan NKRI.
Sebagai tambahan berikut adalah analisa kondisi yang berusaha dibuat
(invented spaces) oleh ULMWP sebagai pemenuhan variabel ke-3 ditinjau dari setiap
pasal dalam Westminster Declaration,
Pasal I) Berusaha membuat pembenaran bahwa ada tindak kekerasan dan
pelanggaran Hak Asasi Manusia yang terjadi di Papua Barat.
Pasal II) Berusaha mendapatkan bantuan asing terkait isu yang sedang dihadapi
karena tanpa hal itu masyarakat Papua Barat berada diambang kemusnahan.
Pasal III) Berusaha meyakinkan pihak Internasional akan hak mereka untuk
melakukan referendum ulang.
Pasal IV) Berusaha meyakinkan pihak Internasional bahwa PEPERA tahun 1969
adalah penyelewengan pada hak „penentuan nasib sendiri‟.
Pasal V) Berusaha mendapatkan dukungan dari PBB untuk mengawasi jalannya
proses referendum bila nantinya berhasil mewujudkannya.
73
Menurut analisa penulis, deklarasi itu dibuat sebagai salah satu bentuk
invented spaces yang melegitimasi poin-poin ULMWP mengenai kondisi masyarakat
Papua Barat yang masih berada di dalam penjajahan, mengalami tindak
penyelewengan terhadap kebebasan menentukan nasib sendiri, dan memposisikan diri
mereka sebagai korban dari penekanan rezim Pemerintah Indonesia. ULMWP
membuat sebuah kondisi di mana Pemerintah Indonesia diklaim tidak mampu
menyelesaikan permasalahan yang terjadi di Papua Barat dan juga melakukan banyak
kejahatan di masa lalu yang mencederai perasaan masyarakat Papua Barat, sehingga
satu-satunya solusi dari kondisi tersebut adalah dengan melakukan proses penentuan
nasib sendiri.
Gambar 4. Sampul buku laporan ULMWP
Sumber: https://www.ulmwp.org/historic-choice-west-papua-
human-rights-pacific-diplomacy-pacific-island-forum-melanesian-
spearhead-group
74
Pasca dibuatnya deklarasi Westminster, ULMWP juga mengeluarkan sebuah
tulisan dalam bentuk laporan yang menggaris bawahi tentang diplomasi di kawasan
pasifik dan sejarah tentang hak asasi manusia di Papua Barat. Dalam tulisan tersebut
dijelaskan bahwa pihak ULMWP menyayangkan adanya usaha mengkriminalisasi
gerakan ULMWP dari pihak Pemerintah Indonesia lewat keputusan Presiden Joko
Widodo.130
Meski begitu, penulis tidak dapat mengidentifikasi label kriminal seperti
apa yang disematkan ke ULMWP apakah sama dengan KKB atau tidak, namun
mengacu dari penjabaran pada bab sebelumnya, penulis menilai bahwa ULMWP
tidak termasuk ke dalam profil pengidentifikasian KKB karena tidak melibatkan
perlawanan dengan senjata api dalam pergerakannya. Akan tetapi hal itu bisa saja
berubah bila nantinya ditemukan keterkaitan antara pihak ULMWP dengan KKB
yang sudah teridenfikasi.
Kembali kepada laporan ULMWP, pada tulisan tersebut disebutkan tentang
latar belakang konflik di Papua Barat dari sudut pandang ULMWP yang dijelaskan
melalui 5 poin yaitu 1) Sejarah Kelam 2) Pelanggaran Hak Asasi Manusia 3) Ketidak
adilan ekonomi 4) Migrasi dan 5) Rasisme Institusional.131
Poin 1) sebagai kampanye
andalannya ULMWP menjelaskan tentang PEPERA 1969, 2) menjelaskan tentang
adanya estimasi korban jiwa dari konflik bersenjata di Papua Barat hingga hari ini
yang berjumlah kurang lebih 500.000 jiwa dan jumlah yang diculik oleh militer
130
https://www.ulmwp.org/historic-choice-west-papua-human-rights-pacific-diplomacy-pacific-island-
forum-melanesian-spearhead-group yang diakses pada 22 Desember 2018 131
Macleod, Jason Moiwend, Rosa dan Pilbrow, Jasmine. A HISTORIC CHOICE: WEST PAPUA, HUMAN RIGHTS AND PACIFIC DIPLOMACY AT THE PACIFIC ISLAND. ULMWP: 2016. Hlm 11
75
Indonesia yang berjumlah 100.000 jiwa, 3) menjelaskan tentang kerugian ekonomi
yang dirasakan oleh masyarakat Papua Barat akan adanya perusahaan yang tidak pro-
masyarakat Papua seperti penambangan minyak, gas, mineral dan kayu yang diklaim
telah merengut secara illegal tanah-tanah milik masyarakat asli Papua Barat, 4)
menjelaskan tentang “slow motion” genosida dengan program transmigrasi penduduk
di luar pulau Papua sejak tahun 1971 yang menyebabkan prosentase penduduk asli
Papua Barat terhitung pada tahun 2010 hanya berjumlah 48,73%, hal tersebut
dianggap menjadi dasar anggapan akan terminologi “minoritas di daerah asal”. Poin
terakhir 5) menjelaskan tentang klaim pihak ULMWP akan kurangnya pelayanan jasa
seperti keamanan, pendidikan, dan kesehatan. Hal tersebut di temui di daerah Papua
Barat namun diklaim tidak sepenuh hati diperuntukkan bagi masyarakat asli Papua.132
Selain menjelaskan tentang poin latar belakang, dalam laporan yang sama
juga ditemukan tentang resolusi perdamaian menurut ULMWP yang bisa diwujudkan
dengan keanggotaan penuh ULMWP di MSG.133
Dalam poin tersebut dituliskan
tentang klaim ULMWP yang sudah mendapatkan dukungan secara penuh dari
FLNKS dan Kepulauan Solomon, serta Vanuatu. ULMWP kemudian mendesak Fiji
dan Papua Nugini untuk ikut memberikan dukungannya kepada ULMWP, dan
sekaligus memberikan penjelasan bahwa proses ini bukanlah dimaksutkan untuk
memutuskan hubungan bilateral dengan Indonesia, tetapi malah menyamakan
132
Ibid. 133
Ibid, hlm 17.
76
kekuatan antara Papua Barat dan Indonesia untuk menciptakan keadaan yang lebih
stabil.134
Penjabaran singkat tentang isi laporan yang membahas tentang proses
diplomatik ULMWP ke kawasan pasifik tersebut dapat dilihat sebagai sebuah usaha
ULMWP untuk membuat satu kondisi resistensi akan tekanan pemerintah Indonesia
yang terus menggagalkan usaha diplomatik ke kawasan pasifik dan juga resistensi
akan sulitnya usaha yang dilakukan oleh ULMWP untuk masuk ke dalam
keanggotaan penuh MSG dengan menimbulkan kesan bahwa Vanuatu dan Kepulauan
Solomon tetap memberikan dukungan kepada ULMWP terlepas adanya fakta
penolakan dari Fiji dan Papua Nugini. Keadaan buatan ini penulis anggap dibuat oleh
ULMWP untuk memberikan kesan bahwa semua persiapan pemberontakan ULMWP
berjalan dengan baik dan adapun beberapa permasalahan kecil dalam prosesnya
tidaklah sebuah penghalang yang berarti untuk memuluskan agendanya mendapatkan
dukungan negara anggota MSG.
5.4 LOKALISM
Pada variabel ini penulis tidak menemukan sebuah data yang mampu
dikategorisasikan sebagai pemenuhan indikator. Hal ini dikarenakan meski ada proses
pelibatan masyarakat lokal Papua Barat dalam gerakannya, namun ULMWP sama
sekali tidak melakukan pemberontakan yang ditujukan kepada pemerintah lokal
134
Ibid, hlm 18.
77
Papua Barat. Justifikasi tersebut diambil dari tulisan O‟Brien yang juga
mengidentifikasi studi kasus Sweet dan Chakars mengenai isu Buryat yang tidak
memenuhi variabel lokalism karena bentuk perlawanannya yang ditujukan kepada
pemerintah pusat Rusia dan bukan lokal seperti pada kasus gelandangan di Jakarta
78
BAB VI
KESIMPULAN
Setelah melakukan pencarian data, penjabaran konsep dan analisis, penulis
berakhir pada kesimpulan bahwa ULMWP sebagai sebuah studi kasus dalam
penelitian yang menggunakan konsep insurgent planning telah berhasil memenuhi 3
dari ke-4 variabel konsep yaitu 1) Mobilisasi, Identitas, dan Tuntutan 2) Official and
Alternatives Planning 3) Kondisi Buatan dan 4) Lokalism. Dari pemenuhan variabel
itu sudah bisa dikatakan bahwa ULMWP melakukan strategi pencapaian kepentingan
yang sesuai dengan konsep insurgent planning namun gagal mendapatkan hasil yang
diharapkan sehingga tidak mampu dikatakan sebagai sebuah gerakan pemberontakan
yang berhasil sesuai dengan kriteria konsep insurgent planning.
Berdasarkan hal tersebut penulis memiliki kesimpulan akhir untuk menjawab
rumusan masalah sebagai berikut.
Strategi yang dilakukan oleh ULMWP untuk mendapatkan dukungan negara-negara
anggota MSG pada tahun 2014-2016 bersifat soft yang berarti tidak menggunakan
konfrontasi bersenjata dalam melawan pihak rezim pemerintah maupun mencapai
tujuannya untuk mendapatkan hak menentukan nasib sendiri. Proses strategi itupun
mampu dijelaskan secara deskriptif menggunakan 3 dari 4 proses variabel yang
terdiri dari,
79
(1) Mobilisasi, Identitas, dan Tuntutan, proses ini dilakukan dengan menggunakan
propaganda yang bersifat menyerang ke arah Pemerintah Indonesia untuk
mengumpulkan simpatisan aksi pemberontakan, membentuk status keidentitasan
kelompok, dan juga membuat tuntutan yang mereka ajukan kepada negara-negara
anggota MSG serta Pemerintah Indonesia terkait rencana penentuan nasib sendiri.
(2) Official Planning and Alternatives, pada proses ini dilakukan pembuatan
kebijakan alternatif yang difungsikan sebagai bentuk perlawanan terhadap segala
bentuk kebijakan/strategi milik Pemerintah Indonesia yang menghalangi usaha
ULMWP baik untuk bergabung secara penuh dalam keanggotaan MSG maupun
rencana penentuan nasib sendiri.
(3) Kondisi Buatan, pada proses ini pihak ULMWP memanfaatkan Westminster
Declaration dan laporan diplomasi politik di Pasifik untuk menjadi kondisi buatan
dari hal-hal yang mereka klaim sebagai suatu kebenaran dan penjustifikasian dalam
permberontakan mereka terhadap kebijakan Pemerintah Indonesia serta usaha
ULMWP untuk bergabung dalam keanggotaan MSG.
1 variabel yang tidak terpenuhi adalah lokalism karena tidak ditemukan
adanya bentuk perlawanan terhadap pemerintah lokal di Papua Barat meskipun pada
prakteknya ULMWP melibatkan masyarakat Papua Barat.
Tulisan ini diharapkan mampu memberikan masukan berupa data dan konsep bagi
penelitian yang akan dilakukan oleh peneliti lain bila nantinya ditemukan kesamaan
80
kasus atau rumusan masalah yang akan diteliti, dan juga pembelajaran mengenai
strategi pemberontakan kepada siapapun yang membacanya.
SARAN BAGI PENELITIAN SELANJUTNYA
1) Penulis menyarankan para peneliti selanjutnya untuk melanjutkan penelitian
pasca terjadinya Westminster Declaration karena banyak sekali data terkait
ULMWP pada tahun-tahun berikutnya (2017 dan 2018) berdasarkan
pencarian yang penulis temui selama melakukan penilitian, namun karena
penelitian ini penulis batasi hingga terlaksananya Westminster Declaration
maka data-data tersebut tidak penulis cantumkan ke dalam penelitian ini.
2) Penulis juga menyarankan peneliti selanjutnya untuk meneruskan penelitian
terkait ULMWP bila di masa depan telah keluar keputusan mengenai jadi atau
tidaknya pelaksanaan referendum yang direncanakan oleh ULMWP untuk
melengkapi penelitian ini.
Demikian tulisan ini dibuat untuk memberikan manfaat sebesar-besarnya baik
kepada pembaca maupun peneliti di masa depan.
81
DAFTAR PUSTAKA
BUKU & JURNAL
Anari, J. (2011). Analisis Penyebab Konflik Papua dan Solusinya Secara ukum
Internasional. WPLO.
Boer Mauna. Hukum Internasional Pengertian, Peranan, dan Fungsi dalam Era
Dinamika Global. Bandung: Alumni, 2003
Boyle, K., & Englebert, P. (2016). The Primacy of Politics in Separatist Dynamics.
Budiarjo, C., & Liong, L. (1988). West Papua: The Obliteration of a People.
TAPOL.
Daniel, B. (2001). (CIA) Guide to the Analysis of Insurgency. Trends in Outside
Support for Insurgent Movements, National Security Research Division.
Drooglever, P. (2011). Comprehending West Papua. The pro- and anti-plebiscite
campaigns in West Papua: Before and After 1969 .
Gaffar, A. (2000). Politik Indonesia: Transisi Menuju Demokrasi. Yogyakarta.
Gray, T., & Martin, B. (n.d.). Backfires: White, Black, and Grey. School of Social
Science, Media and Communication. University of Wollongong Australia.
Koentjaraningrat. (1993). Metode-metode Penelitian Masyarakat. Jakarta:
Pt.Gramedia Pustaka Utama.
Lorne, W. (1989). The FLQ: THE LIFE AND TIMES OF A TERRORIST
ORGANIZATION. McGIll University.
Meleong, L. (n.d.). Metodologi Penelitian Kualitatif. Bandung: Penerbit PT Remaja
Rosdakarya Offset.
Nation, U. (1962). New York Agreement. Agreement Between the Republic of
Indonesia and the Kingdom of the Netherlands Concerning West New Guinea
(West Irian). New York.
New York Agreement. Agreement Between the Republic of Indonesia and the
Kingdom of the Netherlands Concerning West New Guinea (West Irian).
(1962). New York.
82
Padraic, O. (2014). Insurgent Planning and Rural Transformation: a compariso of
Social Movements in Venezuela and Brazil. The University of Guelph,
Canada.
Saltford, J. (2002). The United Nations and the Indonesian Takeover of West Papua,
1962-1969: The Anatomy of Betrayal.
Solomon, M. (2012). Journal of Politics, Vol. III, No. 1. Xavier University.
Strauss, A., & Juliet, C. (2003). Dasar-dasar Penelitian Kualitatif. Yogyakarta:
Pustaka Pelajar.
Unity, S. D. (n.d.). Retrieved from http://www.ulmwp.org/representatives
Valencia, L. G. (2012). The Basque National Liberation Movement and the Case of
ETA's Armed Activity. University of Oslo.
Viartasiwi, N. (2013). The Prospect of Medication in West Papa-Indonesia Conflict
Transformation. Reimekan University, 4.
Zahadi, M., & Musfiroh. (n.d.). The Melanesian Spearhead Group in terms of
Indonesia's Interest. Malang: University of Muhammadiyah Malang.
WEBSITE
https://www.bbc.com/indonesia/dunia/2016/05/160503.
https://www.bps.go.id/link/TabelStatis/view/id/1366.
https://kbbi.web.id/subversi
https://www.kemlu.go.id/id/berita/Pages/ULMWP-Gagal-Menjadi-Anggota-Penuh-
MSG.aspx
https://www.ulmwp.org/4618-2
https://www.ulmwp.org/about-ulmwp.
https://www.ulmwp.org/background
https://www.ulmwp.org/declaration-internationally-supervised-vote-independence.
https://www.ulmwp.org/mass-rally-vanuatu-calls-west-papuas-msg-membership
http://www.un.org/en/peacekeeping/missions/past/unsfbackgr.html
https://www.ulmwp.org/west-papua-makes-history-political-recognition