Perlindungan tenaga kerja anak 2012

40
KEMENTRIAN PENDIDIKAN DAN KEBUDAYAAN UNIVERSITAS GADJAH MADA FAKULTAS HUKUM “Perlindungan Hukum Serta Realita Tenaga Kerja Anak di Sektor Nonformal” DISUSUN UNTUK MEMENUHI TUGAS HUKUM PERLINDUNGAN TENAGA KERJA WANITA,CACAT DAN ANAK Disusun Oleh : Nama :Renatha Febrianti Nim : 09/282083/HK/18072 1

Transcript of Perlindungan tenaga kerja anak 2012

KEMENTRIAN PENDIDIKAN DAN KEBUDAYAAN

UNIVERSITAS GADJAH MADA

FAKULTAS HUKUM

“Perlindungan Hukum Serta Realita Tenaga

Kerja Anak di Sektor Nonformal”

DISUSUN UNTUK MEMENUHI TUGAS

HUKUM PERLINDUNGAN TENAGA KERJA WANITA,CACAT DAN

ANAK

Disusun Oleh :

Nama :Renatha Febrianti

Nim : 09/282083/HK/18072

1

Yogyakarta

2012

BAB I

PENDAHULUAN

I.1 LATAR BELAKANG MASALAH

Permasalahan sosial anak merupakan fenomena yang telah

menjadi isu, dan gerakan global yang bersifat kemanusiaan

(humanity). Kondisi ini tercermin dari perhatian bangsa-bangsa

di dunia untuk memberikan perlindungan dari perilaku

diskriminasi dan eksploitasi. Menurut perkiraan ILO

(International Labour Organization), sekitar 250 juta anak berusia

antara 5 sampai 14 tahun ambil bagian dalam aktivitas

ekonomi di negara-negara berkembang. Anak yang bekerja purna

waktu sebanyak 120 juta. Selebihnya adalah anak yang bekerja

tetapi juga bersekolah atau melakukan kegiatan non ekonomis.

Asia merupakan wilayah yang memiliki jumlah pekerja anak

2

tertinggi di dunia, yaitu 61 %, sedangkan sisanya 32 % di

Afrika dan 7 % di Amerika Latin.1

Indonesia termasuk negara peratifikasi Konvensi

Internasional tentang Hak-Hak Anak. Tentu saja ini bukan

sekedar kesepakatan-kesepakatan yang tidak akan pernah

sepakat. Tapi kesepakatan yang mengandung sebuah amanat.

Kehidupan anak-anak dijamin oleh konvensi internasional

sehingga mereka berhak menikmati hak-haknya dan terlindung

secara optimal. Berkaitan dengan pekerja anak, Pasal 32

Konvensi Hak Anak tersebut menegaskan bahwa anak harus

dilindungi dari “eksploitasi ekonomi dan dari pelaksanaan

setiap pekerjaan yang mungkin berbahaya atau mengganggu

pendidikan anak atau merugikan kesehatan atau perkembangan

fisik, mental, spritual, moral, atau sosial.” Dengan

demikian pemerintah Indonesia bertanggung jawab untuk

melindungi hak-hak anak terutama pekerja anak sebagaimana

tercantum pada KHA tersebut.

Menurut data Badan Pusat Statistik pada tahun 2001 dari

sekitar 20,86 juta penduduk usia 10-14 tahun, sebanyak 6,34%1 http://repository.usu.ac.id/bitstream/123456789/22489/5/Chapter%20I.pdf diakses tanggal 6 Juni 2012

3

aktif dalam kegiatan ekonomis. Sebanyak 34,76 persen

penduduk usia 10-14 tahun tidak bersekolah lagi dan 3,21%

tidak/belum pernah bersekolah dari data Sakernas 2003,

terlihat jumlah pekerja anak-anak (di bawah usia 15 tahun)

mencapai 556,526 orang. Kalau digunakan batasan dari UU No.

13 tentang ketenagakerjaan tahun 2003, dimana disebutkan

yang termasuk pekerja anak-anak (PA) adalah mereka yang

berusia di bawah 18 tahun maka jumlahnya akan semakin besar.

Angka dari Sakernas (2003) menunjukkan para PA yang didaerah

pedesaan jauh lebih banyak yaitu sebesar 79% dibanding

diperkotaan yakni sebesar 21%.

Dilihat dari jenis pekerjaannya, sebanyak 62% bekerja

di sektor pertanian, 19% diindustri dan 19% disektor jasa

(Sjafri, 2008). Menurut Direktur Ekskutif Organisasi Buruh

Internasional (ILO) untuk Standar, Prinsip, dan Hak Dasar di

Tempat Kerja, Kari Tapioka saat jumpa pers bersama Menteri

Tenaga Kerja dan Transmigrasi (Mennakertrans) bahwa

keterlibatan anak di bawah 17 tahun sebagai pekerja dipicu

banyak faktor. Salah satunya adalah kemiskinan yang diderita

orangtua atau keluarga anak-anak tersebut. Oleh karena itu,

4

pemberdayaan ekonomi keluarga menjadi perhatian serius untuk

dibenahi.

Sekalipun kemiskinan merupakan pendorong anak-anak

terjun ke dunia kerja,tetapi kenyataan menunjukkan bahwa

tidak semua orang miskin membiarkan anak-anaknya terjun ke

dunia kerja. Berarti, ada faktor-faktor lain yang ikut

mempengaruhi terjunnya anak-anak ke dunia kerja. Terdapat

lima sektor prioritas dalam hasil pertemuan yang dilakukan

oleh Organisasi Perburuhan Internasional (ILO) melalui

Program Internasional Penghapusan Pekerja Anak (IPEC) pada

tahun 2002.

Kelima sektor ini meliputi anak- anak yang terlibat

penjualan, pembuatan dan perdagangan obat-obat terlarang di

Jakarta, perdagangan anak untuk dilacurkan di Jawa, pekerja

anak di sektor perikanan lepas pantai Sumatera Utara, di

pertambangan Kalimantan Timur, dan sektor alas kaki di Jawa

Barat.2 Selain anak laki-laki, anak perempuan yang menjadi

pekerja anak menghadapi situasi yang lebih kompleks dan

lebih buruk. Selain menghadapi lingkungan kerja orang

2 www.tempo.co/interaktif-permasalahanpekerjaanak diakses tanggal 6 Juni2012

5

dewasa, yang memungkinkan dieksploitasi sebagaimana pekerja

anak laki-laki, pekerja anak perempuan juga menghadapi

berbagai bentuk eksploitasi dan pelecehan seksual dalam

bentuk verbal, psikis maupun fisik.

Berdasarkan uraian diatas, penulis tertarik untuk

mengajukan makalah dengan judul “PERLINDUNGAN HUKUM SERTA

REALITA TENAGA KERJA ANAK DI SEKTOR NONFORMAL”.

I.2 RUMUSAN MASALAH

1. Bagaimana realita keadaan para pekerja anak di sektor

nonformal ?

2. Bagaimana pengaturan perlindungan hukum terhadap

pekerja anak di Indonesia?

I.3 TUJUAN

1. Objektif

a. Untuk mengetahui keadaan nyata pekerja anak di

sektor nonformal

6

b. Untuk mengetahui pengaturan perlindungan hukum

terhadap pekerja anak di Indonesia

2. Subyektif

a. Untuk menambah pengetahuan penulis tentang segala

hal yang berkaitan dengan perlindungan hukum dan

keadaan nyata pekerja anak di sektor nonformal

b. Untuk memenuhi tugas hukum perlindungan tenaga

kerja wanita,cacat dan anak

I.4 MANFAAT

1. Akademisi

Makalah ini dapat memberi kontribusi pengembangan ilmu

pengetahun umumnya pada ilmu pengetahuan hukum dan

khususnya pada ilmu hukum ketenagakerjaan

2. Manfaat praktis

Makalah mengenai “PERLINDUNGAN HUKUM SERTA REALITA

TENAGA KERJA ANAK DI SEKTOR NONFORMAL” diharapkan dapat

digunakan sebagai pertimbangan pemerintah dalam

mengevaluasi perlindungan hukum bagi pekerja anak di

Indonesia.

7

BAB II

PEMBAHASAN

II.1 Realita keadaan para pekerja anak di sektor

nonformal

Padatnya penduduk Indonesia serta ketidakstabilan

ekonomi menyebabkan tingginya angka kemiskinan. Hal tersebut

adalah salah satu factor pemicu membludaknya anak yang

menjadi pekerja atau tenaga kerja anak. Undang-undang telah

memahami keresahan tersebut dengan diberikannya ruang

pengaturan terhadap tenaga kerja anak. Pengaturan yang

sebenarnya berisi perlindungan bagi anak-anak yang terpaksa

harus bekerja karena peliknya masalah ekonomi. Namun,jauh

panggang dari api. Realita yang terjadi dimasyarakat sangat

berbeda dengan aturan yang telah ditegaskan dalam Undang-

Undang Nomer 13 Tahun 2003 tentang ketenagakerjaan.

8

Berikut artikel yang memuat realita permasalahan tenaga

kerja anak di Indonesia

berita utama Hapuskan Pekerja Anak di Indonesia

Pekerja anak masih jadi masalah besar. Tingginya angka kemiskinan mendorong para orang tua untuk memaksa anak-anaknya bekerja demi membantu perekonomian keluarga. - inilah.com/Wirasatria Oleh: Jabar - Senin, 4 Juni 2012 | 08:06 WIB

INILAH.COM, Bandung - Pekerja anak masih jadi masalah besar di dunia, termasuk Indonesia. Tingginya angka kemiskinan mendorong para orang tua untuk memaksa anak-anaknya bekerja demi membantu perekonomian keluarga.

Di Indonesia misalnya, dengan angka kemiskinan mencapai 30,02 juta jiwa, setidaknya terdapat 1,7 juta pekerja anak yang berusia di bawah 18 tahun. Sedangkan di seluruh dunia,

9

angkanya cukup mencengangkan, yakni mencapai 215 juta pekerja anak.

Selain bekerja di sektor ekonomi nonformal, banyak dari mereka dipekerjakan atau bahkan diperbudakkan, masuk dalam dunia pelacuran, pornografi dan perjudian, pelibatan pada narkoba, serta pekerjaan berbahaya lainnya. Bukan hanya di dalam negeri atau di kota/kabupaten tempat mereka berada, banyak pula anak yang dipekerjakan secara ilegal ke luar negeri.

Karena itu, masalah pekerja anak ini mendapat perhatian khusus lembaga internasional yang menangani tenaga kerja, Organisasi Buruh Internasional (ILO). Dalam Konvensi 138 dan182 tentang kerja paksa, pekerja anak, dan hak-hak serta perlindungan anak, ILO bertekad menghapuskan pekerja anak.

Konvensi ini pun telah diratifikasi oleh pemerintah Indonesia, baik dalam UU ketenagakerjaan maupun UU perlindungan anak, termasuk Keppres No 59/2002 tentang Rencana Aksi Nasional Penghapusan Bentuk-Bentuk Pekerjaan Terburuk Anak.

Mengacu pada hal tersebut, pemerintah melalui Kementerian Tenaga Kerja dan Transmigrasi (Kemenakertrans) akan menarik para pekerja anak tersebut untuk dikembalikan ke bangku sekolah.

Tahun ini misalnya, secara nasional Kemenakertrans menargetkan menarik 10.750 pekerja anak di 21 provinsi. Sedangkan untuk Jabar, mencapai 2.070 pekerja anak yang berada di 14 kabupaten/kota. Dan ditargetkan pada 2015 mendatang, sudah tidak ada lagi pekerja anak di Indonesia.

Ada asap, tentu ada api. Fenomena pekerja anak pun demikian,tidak muncul dengan sendirinya. Maraknya pekerja anak tidak lepas dari himpitan kemiskinan yang mendera masyarakat. Jangankan untuk menyekolahkan, sekadar bertahan hidup pun sulit bagi mereka. Kondisi ini akhirnya memaksa

10

mereka untuk mempekerjakan anak-anaknya.

Padahal dampak yang diterima anak-anak yang dipekerjakan tersebut, teramat besar. Selain kehilangan masa kanak-kanaknya serta kesempatan untuk mengenyam pendidikan, merekapun rentan mendapatkan perlakukan tidak semestinya. Mulai dari eksploitasi dalam pekerjaan hingga pelecehan seksual. Dan yang paling menyedihkan, masa depan suram menanti mereka.

Tentunya ini tidak bisa dibiarkan berlangsung terus. Niat pemerintah yang ingin menghapuskan keberadaan pekerja anak, wajib mendapatkan dukungan, baik dari pemerintah daerah setempat maupun semua elemen masyarakat, termasuk dunia usaha.

Penghapusan atau abolition, menjadi satu-satunya pendekatan yang harus dilakukan. Karena pada dasarnya setiap anak tidakboleh bekerja dalam kondisi apa pun, karena anak punya hak yang seluas-luasnya untuk bersekolah dan bermain, serta mengembangkan dirinya seoptimal mungkin. Negara tentu berkewajiban memberikan perlindungan kepada anak-anak sehingga mereka tidak harus bekerja, serta menjamin mereka tetap sekolah.

*Tulisan Fokus InilahKoran, Senin (4/6/2012)

Seperti yang telah diuraikan dalam artikel diatas

mengenai keprihatinan permasalah pekerja anak di Indonesia.

Perlindungan telah diberikan lewat Undang-Undang. Seperti

dalam Undang-Undang Nomer 13 Tahun 2003 tentang

ketenagakerjaan pasal 68 sampai dengan pasal 75 yang

berisi :

Paragraf 2

11

Anak Pasal 68

Pengusaha dilarang mempekerjakan anak. Pasal 69

(1) Ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 68 dapat

dikecualikan bagi anak yang

berumur antara 13 (tiga belas) tahun sampai dengan 15 (lima

belas) tahun untuk

melakukan pekerjaan ringan sepanjang tidak mengganggu

perkembangan dan

kesehatan fisik, mental, dan sosial.

(2) Pengusaha yang mempekerjakan anak pada pekerjaan ringan

sebagai -mana dimaksud

dalam ayat (1) harus memenuhi persyaratan :

a. izin tertulis dari orang tua atau wali;

b. perjanjian kerja antara pengusaha dengan orang tua atau

wali;

c. waktu kerja maksimum 3 (tiga) jam;

d. dilakukan pada siang hari dan tidak mengganggu waktu

sekolah;

e. keselamatan dan kesehatan kerja;

f. adanya hubungan kerja yang jelas; dan

g. menerima upah sesuai dengan ketentuan yang berlaku.

12

(4) Ketentuan sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) huruf a,

b, f, dan g dikecualikan bagi

anak yang bekerja pada usaha keluarganya. Pasal 70

(1) Anak dapat melakukan pekerjaan di tempat kerja yang

merupakan bagian dari

kurikulum pendidikan atau pelatihan yang disahkan oleh

pejabat yang berwenang.

(2) Anak sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) paling sedikit

berumur 14 (empat belas)

tahun.

(3) Pekerjaan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dapat

dilakukan dengan syarat :

a. diberi petunjuk yang jelas tentang cara pelaksanaan

pekerjaan serta bimbingan dan

pengawasan dalam melaksanakan pekerjaan; dan

b. diberi perlindungan keselamatan dan kesehatan kerja. Pasal 71

(1) Anak dapat melakukan pekerjaan untuk mengembangkan bakat

dan minatnya.

(2) Pengusaha yang mempekerjakan anak sebagaimana dimaksud

dalam ayat (1) wajib

memenuhi syarat :

a. di bawah pengawasan langsung dari orang tua atau wali;

13

b. waktu kerja paling lama 3 (tiga) jam sehari; dan c.

kondisi dan lingkungan kerja tidak mengganggu perkembangan

fisik, mental,

sosial, dan waktu sekolah.

(3) Ketentuan mengenai anak yang bekerja untuk mengembangkan

bakat dan minat

sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dan ayat (2) diatur

dengan Keputusan Menteri.

Pasal 72

Dalam hal anak dipekerjakan bersama-sama dengan

pekerja/buruh dewasa, maka tempat

kerja anak harus dipisahkan dari tempat kerja pekerja/buruh

dewasa. Pasal 73

Anak dianggap bekerja bilamana berada di tempat kerja,

kecuali dapat dibuktikan

sebaliknya. Pasal 74

(1) Siapapun dilarang mempekerjakan dan melibatkan anak pada

pekerjaan-pekerjaan

yang terburuk.

(2) Pekerjaan-pekerjaan yang terburuk yang dimaksud dalam

ayat (1) meliputi : 14

a. segala pekerjaan dalam bentuk perbudakan atau

sejenisnya;

b. segala pekerjaan yang memanfaatkan, menyediakan, atau

menawarkan anak untuk

pelacuran, produksi pornografi, pertunjukan porno, atau

perjudian;

c. segala pekerjaan yang memanfaatkan, menyediakan, atau

melibatkan anak untuk

produksi dan perdagangan m inuman keras, narkotika,

psikotropika, dan zat adiktif

lainnya; dan/atau

d. semua pekerjaan yang membahayakan kesehatan,

keselamatan, atau moral anak.

(3) Jenis-jenis pekerjaaan yang membahayakan kesehatan,

keselamatan, atau moral anak

sebagaimana di -maksud dalam ayat (2) huruf d ditetapkan

dengan Keputusan Menteri. Pasal 75

(1) Pemerintah berkewajiban melakukan upaya penanggulangan

anak yang bekerja di luar

hubungan kerja.

(2) Upaya penanggulangan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1)

diatur dengan

Peraturan Pemerintah.

15

Pelaksanaan dari aturan Undang-Undang tersebut tidak

sepenuhnya ditegakkan dengan baik. Banyak anak yang masih

dipekerjakan dengan pekerjaan terburuk yang dilarang dalam

Undang-Undang ketenagakerjaan itu. Begitu banyak anak

bekerja pada jenis pekerjaan terburuk (UU 13 Thn 2003 Pasal

74 : 2) :

1. Perbudakan

2. Pelacuran,produksi pornografi,pertunjukkan porno atau

perjudian

3. Narkotika

4. Pekerjaan yg membahayakan kesehatan,keselamatan dan moral

anak

Begitupula mengenai waktu kerja dan perlindungan lain

terhadap hak-hak pekerja anak tidak sepenuhnya ditegakkan

dengan baik terutama bagi anak yang menjadi tenaga kerja di

sektor nonformal. Misalnya,pembantu rumah tangga,penjual

asongan,penjajak koran maupun pekerjaan lain dimana anak

menjadi subyek pekerja utama untuk membantu ekonomi keluarga

ataupun untuk anak tersbut bertahan hidup karena kesulitan

ekonomi dan tinngkat pendidikan yang rendah.

Pengertian dari anak itu sendiri adalah : usia dibawah

18 tahun (pasal 1 angka 26 uu 13 thn 2003). Di indonesia

pelibatan anak dalam sektor informal bukan saja karena motif

ekonomi,faktor pendukung lainnya adalah karena kebiasaan

atau kultural. Anak di desa,terbiasa dilibatkan dalam

kegiatan pekerjaan baik di rumah ataupun di luar rumah.

16

Misalnya : membantu orang tua di sawah atau di peternakan

dan unit kegiatan yang biasa dilakukan warga desa lainnya.

Sungguh menyedihkan realita pekarja anak di Indonesia

meski sudah ada aturan hukum yang melindungi namun tetap

saja itu tidak berjalan secara efektif. Padahal anak adalah

hasil buah perkawinan yang menjadi buah hati keluarga

dimana nantinya akan menjadi sumber daya manusia masa

mendatang yang akan

mengemban tugas melanjutkan perjuangan bangsa dalam

mewujudkan cita-cita

bangsa. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 23 tahun 2002

menyebutkan

bahwa yang masuk kategori anak adalah seseorang yang belum

berusia 18 tahun.

Mengingat masa kanak-kanak merupakan proses pertumbuhan

baik fisik maupun

jiwa, maka untuk menghindari rentannya berbagai perilaku

yang mengganggu

pertumbuhan anak tersebut maka UU No 4 tahun 1979 tentang

kesejahteraan anak

mengatakan anak pada dasarnya mempunyai hak yang harus

dipenuhi oleh

keluarganya yaitu orang tuanya, dimana hak-hak itu

meliputi : hak atas

kesejahteraan, perlindungan, pengasuhan dan bimbingan.

17

Seharusnya keluargalah yang berfungsi memnuhi kebutuhan

ekonomi anak dan hak-hak anak tersebut. Tapi tidak semua

keluarga dapat memenuhi

kebutuhan ekonomi keluarga baik itu kebutuhan sandang,

pangan, papan sampai pendidikan anak di karenakan bapak yang

berfungsi sebagai kepala keluarga tidak bisa lagi memenuhi

kebutuhan ekonomi keluarga di karenakan penghasilannya di

bawah rata-rata. Karena tidak memiliki penghasilan yang

cukup, mau tidak mau terjadi suatu fenomena di suatu

perkotaan yang melibatkan anak-anak yang terlibat dalam

mencari uang setiap harinya untuk keluarga.

Kini masa kanak-kanak yang seharusnya adalah masa yang

dipergunakan

untuk sekolah guna menuntut ilmu yang akan menjadi bekal

hidupnya dikemudian

hari dan masa dimana melewati umur untuk mulai belajar

mengenal dan

memahami segala hal tentang kehidupan. Kehidupan yg dilewati

dengan penuh

keceriaan, kepolosan, tanpa beban berat dan masalah yang

biasa membelit orang

dewasa harus di ganti dengan kehilangan masa kecilnya dan

kehilangan hak

untuk belajar, bermain dan bersosialisasi dengan teman

seumurannya dan kasih

sayang dari orang tua dikarenakan faktor ekonomi atau

18

kemiskinan sehinggga

mereka memiliki tanggung jawab mencari penghasilan tambahan

buat keluarga

dengan cara harus bekerja atau diharuskan bekerja. Usia yang

belum sepantasnya

memiliki tanggung jawab untuk bekerja dan memberikan

kontribusi berupa uang

kepada keluarga harus dilakukan anak.

Pembangunan di Negara Indonesia di belakangnya tidak

terlepas dari

perkotaan dan masalah sosial karena setiap perkembangan kota

selalu di ikuti oleh

masyarakat sosial. Semakin maju suatu Negara maka masalah

sosial akan semakin

kompleks. Salah satu masalah sosial itu adalah masalah anak

bekerja yang sering

disebut dengan masalah pekerja anak. Hal ini di pertegas

oleh Muhammad Joni

dan Zulchaina mengatakan pembangunan ekonomi membuat masalah

lain yang mengejutkan, di antaranya adalah anak jalanan,

pemulung, pekerja anak, eksploitasi seks anak sebagai

pekerja seks anak, perdagangan anak, penculikan anak,

perlakuan kekerasan dan penyiksaan terhadap anak.

Pekerja anak adalah adanya hubungan kerja yang jelas

dan menerima upah

sesuai dengan ketentuan yang berlaku serta adanya

19

keselamatan dan kesehatan

kerja (Kepmenaker No.Kep.115/Men/VII/2004). Tapi pekerja

anak yang dimaksud

disini gambarannya adalah anak-anak miskin bukan dari

golongan orang kaya

yang melakukan pekerjaan yang rutin untuk orang tua atau

orang lain, yang

membutuhkan sejumlah besar waktu, dengan menerima imbalan

atau tidak.

pekerjaan yang tak seharusnya dialami anak-anak yang bekerja

di usia dini.

Hal ini di pertegas oleh Bellamy (dalam Nachrowi,

2004:1) mengatakan bahwa anak-anak yang bekerja di usia

dini, yang biasanya berasal dari keluarga miskin, dengan

pendidikan yang terabaikan, sesungguhnya akan melestarikan

kemiskinan, karena anak yang bekerja tumbuh menjadi seorang

dewasa yang terjebak dalam pekerjaan yang tak terlatih, dan

dengan upah yang sangat buruk. Tjandraningsih mengatakan

mengapa anak-anak bekerja ditinjau dari sisi penawaran

dan permintaan dimana sisi penawaran mengatakan bahwa

kemiskinan merupakan penyebab utama mendorong anak untuk

bekerja demi kelangsungan hidup diri dan keluarganya

sedangkan pada sisi permintaan mempekerjakan anakanak

dianggap sebagai pencari nafkah kedua.

Fenomena pekerja anak,tidak muncul dengan sendirinya.

Maraknya pekerja anak tidak lepas dari himpitan kemiskinan

20

yang mendera masyarakat. Jangankan untuk menyekolahkan,

sekadar bertahan hidup pun sulit bagi mereka. Kondisi ini

akhirnya memaksa mereka untuk mempekerjakan anak-anaknya.

Padahal dampak yang diterima anak-anak yang dipekerjakan

tersebut, teramat besar. Selain kehilangan masa kanak-

kanaknya serta kesempatan untuk mengenyam pendidikan, mereka

pun rentan mendapatkan perlakukan tidak semestinya. Mulai

dari eksploitasi dalam pekerjaan hingga pelecehan seksual.

Dan yang paling menyedihkan, masa depan suram menanti

mereka.

Akibat dari kemiskinan itu untuk membantu mencukupkan

kebutuhan

hidup anak ikut memberikan kontribusi kepada keluarga.

Secara sederhana kontribusi anak dalam bekerja dapat

diartikan sebagai keikutsertaan anak memberikan

penghasilan dalm bentuk uang dari pekerjaan anak tersebut.

Kemiskinan itu sendiri diartikan sebagai suatu keadaan

ketika sesorang tidak sanggup memelihara dirinya sendiri

sesuai dengan taraf hidup kelompok dan juga tidak mampu

memanfaatkan tenaga mental maupun fisiknya dalam kelompok

tersebut. Pada masyarakat yang susunan organisasi

bersahaja,kemiskinan mungkin tidak menjadi masalah sosial

karena mereka menganggap bahwa semuanya telah ditakdirkan.

Kemiskinan menjadi masalah sosial ketika mereka sadar bahwa

mereka telah gagal untuk memperoleh lebih dari apa yang

telah dimilikinya dan perasaan akan ketidakadilan. Dalam

21

masyarakat modern,kemiskinan dilihat sebagai suatu keadaan

dimana seseorang tidak memiliki harta yang cukup untuk

memenuhi standar kehidupan yang ada di lingkungannya.3 Hal

tersebut menjadi pemicu maraknya pekerja anak.

Pekerja anak di Indonesia banyak dipekerjakan di sektor

pekerjaan informal menurut Hendri Saparini dan M. Chatib

Basri dari Universitas Indonesia menyebutkan bahwa ciri-ciri

tenaga kerja sektor informal adalah sebagai berikut :

a. Tenaga kerja bekerja pada segala jenis pekerjaan tanpa

ada perlindungan negara dan atas usaha tersebut tidak

dikenakan pajak.

b.Pekerja tidak menghasilkan pendapatan yang tetap,

c.Tempat bekerja tidak terdapat keamanan kerja (job

security)

d. Tempat bekerja tidak ada status permanen atas pekerjaan

tersebut dan unit usaha atau lembaga yang tidak berbadan

hukum.

Sedangkan ciri-ciri kegiatan informal adalah mudah

masuk, artinya setiap orang dapat kapan saja masuk ke jenis

usaha informal ini, bersandar pada sumber daya lokal,

biasanya usaha milik keluarga, operasi skala kecil, padat

karya, keterampilan diperoleh dari luar sistem formal

sekolah dan tidak diatur dan pasar yang kompetitif. Contoh

dari jenis kegiatan sektor informal antara lain pedagang

3 Kun maryati dan juju suryawati “sosiologi sma” hlm 32

22

kaki lima (PKL), becak, penata parkir, pengamen dan anak

jalanan, pedagang pasar, buruh tani dan lainnya.

Tiga faktor munculnya pekerja anak :

1. Faktor ekonomi : membantu ekonomi orangtua atau menjadi

penompang ekonomi keluarga

2. Faktor Motivasi : dorongan untuk bekerja karena ingin

menikmati hasil usaha yang lebih dari yang mampu

diberikan orangtua

3. Faktor kultural : realita masyarakat yg memandang anak

sebagai potensi keluarga

II.2 Pengaturan perlindungan hukum terhadap pekerja

anak di Indonesia

Aturan hukum yang mengatur masalah pekerja anak di

Indonesia memang sudah ada. Bahkan pada masa kolonial

Belanda, sebenarnya pernah ada aturan hukum yang melarang

untuk mempekerjakan anak di bawah umur, antara lain:

(1).Ordonantie 17 Desember 1952 (Stb. No.647) yang

diperbaharui dengan Ordonantie No.9 tahun 1949 mengenai

peraturan tentang pembatasan kerja anak-anak, (2).

Ordonantie 27 Februari 1926 (Stb. No.87) mengenai peraturan

23

tentang pekerjaan anak dan orang muda kapal. Akan tetapi,

aturan-aturan ini masih memuat pengecualian yang membuat

aspek perlindungan terhadap anak tidak konsisten. Sebagai

contoh, pasal 2 Ordonantie 27 Februari 1926 yang

menyebutkan: ”anak dibawah umur 12 tahun tidak boleh

menjalankan pekerjaan kapal, kecuali bila ia bekerja pada

pengawasan ahlinya atau keluarga sampai derajat ketiga”.

Peraturan-peraturan ini memang sudah dinyatakan tidak

berlaku lagi melalui Undang-undang Nomor 13 Tahun 2003

tentang Ketenagakerjaan. Akan tetapi hal ini dapat

memberikan gambaran bahwa upaya perlindungan pekerja anak

secara konsisten, terutama di Indonesia merupakan suatu hal

yang baru.

Secara umum upaya perlindungan anak khususnya pekerja

anak merupakan upaya perlindungan terhadap Hak Asasi

Manusia. Instrumen hukum yang merupakan landasan

perlindungan Hak asasi manusia sebagai isu global adalah the

1948 Universal Declaration Of Human Right (DUHAM). Deklarasi

ini merupakan perjanjian payung hak

24

asasi manusia yang merupakan peraturan utama dalam mengatur

perlindungan hak asasi manusia. Secara khusus masalah

perlindungan anak diatur dalam The Convention On The Rights

Of The Child atau konvensi hak anak.

Instrumen Hukum perlindungan tenaga kerja anak

Walaupun belum ada peraturan yang secara spesifik dan

komprehensif melindungi pekerja anak di Indonesia, namun

beberapa peraturan perundang-undangan yang ada dapat

digunakan sebagai landasan kebijakan dalam melindungi

pekerja anak di Indonesia. Adapun aturan-aturan tersebut

adalah:

1. Undang-undang Nomor 20 Tahun 1999 tentang Ratifikasi

ILO Convention No.138 Concerning Minimum Age for Admission

to Employment the Abolition of Forced Labour atau Konvensi

ILO No. 138 Mengenai Usia Minimum Untuk Diperbolehkan

Bekerja Tahun 1973.

Konvensi ini telah diadopsi oleh konferensi umum ILO

pada tanggal 26 Juni 1973, dan Indonesia telah meratifikasi

konvensi ini melalui Undang-undang Nomor 20 Tahun 1999.

Konvensi ini sendiri, seperti yang tercantum dalam alenia

keempat pembukaannya, dimaksudkan untuk menetapkan suatu

naskah umum mengenai batasan umur yang secara berangsur-

angsur akan menggantikan naskah-naskah yang ada yang berlaku

pada sektor ekonomi yang terbatas. Hal ini karena sebelumnya

memang sudah ada rumusan tentang batasan umur minimal untuk25

bekerja, hanya saja rumusan itu berbeda-beda untuk setiap

jenis dan sektor kerja. Alenia keempat pembukaan ini juga

menyebutkan bahwa tujuan dari konvensi ini sendiri adalah

untuk menghapus anak sebagai pekerja pada

kegiatan ekonomi secara keseluruhan.

Dalam rangka perlindungan terhadap anak sebagai

pekerja, konvensi memuat beberapa asas yang antara

lain:

a. Asas penghapusan kerja anak, dirumuskan dalam Pasal 1

yang mengamanatkan kepada setiap anggota untuk mengambil

kebijakan secara nasional untuk menjamin penghapusan

kebijakan anak sebagai pekerja secara efektif. Selain itu,

setiap anggota diwajibkan untuk secara progresif menaikan

usia minimum untuk diperbolehkan bekerja sampai pada suatu

tingkat yang sesuai dengan kebutuhan perkembangan fisik dan

mental orang muda.

b. Asas perlindungan, dalam Pasal 2 dirumuskan bahwa usia

minimum untuk diperbolehkan bekerja adalah 15 tahun. Umur 15

tahun ini diadopsi dari usia sekolah wajib. Pasal 2 juga

menyatakan bahwa tidak seorang pun yang berada di bawah usia

wajib diperbolehkan bekerja atau masuk bekerja dalam suatu

jabatan pada wilayah negara anggota ILO. Pasal ini juga

memuat larangan untuk bekerja pada alat angkutan yang ada

pada wilayah negara tersebut. Pasal 3 konvensi merumuskan

bahwa untuk jenis pekerjaan yang dapat membahayakan

kesehatan, keselamatan, atau moral orang muda, batasan umur

26

tidak boleh kurang dari 18 tahun. Pasal 3 juga merumuskan

bahwa jenis-jenis pekerjaan yang berbahaya harus ditetapkan

dengan peraturan perundang-undangan nasional. 2. Undang-undang Nomor 1 Tahun 2000 tentang Ratifikasi ILO

Convention No. 182 Concerning the Prohibition and

Intermediate Action for the Elimination of The Worst Forms

of Child Labour Atau Konvensi ILO No.182 Mengenai Pelarangan

dan Tindakan Segala Penghapusan Bentuk-bentuk Pekerjaan

Terburuk Pada Anak Tahun 1999.

Rumusan instrumen internasional yang ditetapkan oleh

ILO sebagai kelanjutan dari upaya perlindungan pekerja yang

telah dirumuskan oleh konvensi sebelumnya adalah konvensi

ILO No.182. konvensi ini lahir berdasarkan pertimbangan

bahwa dipandang perlu adanya instrumen ketenagakerjaan yang

baru untuk menghapus bentuk-bentuk pekerjaan terburuk bagi

anak. Beberapa muatan asas yang berkaitan dengan

perlindungan anak terhadap eksploitasi anak sebagai pekerja

dalam konvensi ini adalah asas perlindungan, asas

pencegahan, asas penerapan secara efektif, dan asas

kerjasama nasional. Konvensi ini juga memuat norma-norma

yang berkaitan langsung dengan konsep perlindungan anak

sebagai pekerja. Pasal 1 mewajibkan negara angota untuk

mengambil tindakan segera dan efektif untuk menjamin

pelarangan dan penghapusan bentuk-bentuk terburuk kerja anak

sebagai hal yang mendesak. Selanjutnya dalam pasal 3

27

dirumuskan istilah ”bentuk-bentuk pekerjaan terburuk bagi

anak” yang mengandung pengertian:

a. Segala bentuk perbudakan atau praktek-praktek sejenis

perbudakan, seperti perdagangan anak,kerja ijon,

perhambaan serta kerja paksa atau wajib kerja, termasuk

pengerahan anak-anak secara paksa atau wajib untuk

dimanfaatkan dalam konflik bersenjata;

b. Pemanfaatan, penyediaan atau penawaran anak untuk

pelacuran, untuk produksi pornografi, atau untuk

pertunjukan-pertunjukan porno;

c. Pemanfaatan, penyediaan atau penawaran anak untuk

kegiatan haram, khususnya untuk produksi dan perdagangan

obat-obatan sebagaimana diatur dalam perjanjian

internasional yang relevan;

d. Pekerjaan yang sifatnya atau lingkungan tempat pekerjaan

itu dilakukan dapat membahayakan kesehatan, keselamatan,

atau moral anak-anak.

Pasal lain yang berkaitan dengan asas

perlindungan anak sebagai pekerja adalah pasal 4

yang merumuskan bahwa untuk pekerjaan berbahaya harus diatur

oleh peraturan atau undang-undang nasional, juga

mensyaratkan bahwa negara-negara peserta wajib untuk

melakukan identifikasi tempat-tempat adanya bentuk-bentuk

pekerjaan terburuk tersebut berada. Lebih lanjut pasal ini

juga merumuskan adanya peninjauan berkala dan revisi tentang

jenis-jenis pekerjaan terburuk tersebut. Hal ini membuka

28

peluang masuknya rumusan baru tentang jenis-jenis pekerjaan

terburuk bagi anak. Untuk hal-hal yang berkaitan dengan

penerapan secara efektif diatur dalam Pasal 5, Pasal 6 dan

Pasal 7. Pada prinsipnya konvensi ILO No.182 mencoba

memberikan rumusan perlindungan terhadap anak sehingga anak

tidak dipekerjakan.

3. Keputusan Presiden Nomor 36 Tahun 1990 tentang

Ratifikasi Konvensi Hak-Hak Anak Tahu 1989 Atau Convention

on The Rights of The Child setelah DUHAM dicetuskan, 5 tahun

kemudian para aktivis HAM melalui negara-negara anggota

berhasil mendesak agar PBB mau mencetuskan suatu perjanjian

untuk perlindungan hak anak. Konvensi yang kemudian dikenal

sebagai konvensi hak anak itu dicetuskan setelah melihat

bahwa ternyata tidak serta merta DUHAM juga melindungi

harkat anak-anak sebagai manusia. Konvensi hak anak disahkan

oleh majelis umum PBB pada tanggal 20 November 1989. setahun

kemudian, pada tahun 1990 Indonesia meratifikasi konvensi

ini melaui Kepres No.36 tahun 1990.

Menurut UNICEF, materi hukum mengenai hak-hak anak

dalam konvensi hak anak dapat dikelompokan dalam empat

kategori hak-hak anak, yaitu :

a. Hak terhadap kelangsungan hidup (survival rights),

yaitu hak-hak yang meliputi hak untuk melestarikan dan

mempertahankan hidup (the rights of life) dan hak untuk

memperoleh standar kesehatan tertinggi dan perawatan sebaik-

29

baiknya (the rights to the highest standart of health and

medical care attainable);

b. Hak terhadap perlindungan (protection rights), yaitu

hak-hak anak dalam konvensi hak anak yang meliputi

perlindungan dari diskriminasi, tindak kekerasan, dan

keterlantaran bagi anak yang tidak mempunyai keluarga bagi

anak-anak pengungsi;

c. Hak untuk tumbuh kembang (development rights), yaitu

hak-hak yang meliputi segala bentuk pendidikan(formal dan

informal) dan hak untuk mencapai standar hidup yang

layak bagi perkembangan fisik, mental, spiritual, moral,

dan sosial anak;

d. Hak untuk berpartisipasi (participation rights), yaitu

hak-hak yang meliputi hak untuk menyatakan pendapat dalam

segala hal yang mempengaruhi anak (the rights of a child to

express his view in all matter affecting that child);

Mengenai hak kelangsungan hidup diatur dalam Pasal 6

dan 24. selain itu pasal-pasal yang relevan dengan hak ini

adalah Pasal 7, Pasal 8, Pasal 9, Pasal 19, Pasal 20, Pasal

21, Pasal 23, Pasal 26, Pasal 27, Pasal 30, Pasal 32, Pasal

33, Pasal 34, Pasal 35, dan Pasal 38 (Muhammad Joni, 2001:

35).

Hak terhadap perlindungan (Protection rights) dalam konvensi

hak anak, dikemukakan atas tiga kategori,

yaitu:

30

a) Pasal-pasal mengenai larangan diskriminasi anak,

meliputi Pasal 2, Pasal 7, Pasal 23 dan Pasal 30;

b) Pasal-pasal mengenai larangan eksploitasi anak,

meliputi Pasal 10, Pasal 11, Pasal 16, Pasal 19, Pasal 20,

Pasal, 21, Pasal 25, Pasal 32, Pasal 33, Pasal 34, Pasal 35,

Pasal 36, Pasal 37, Pasal 39 dan Pasal 40;

c) Pasal-pasal mengenai krisis dan keadaan darurat anak,

meliputi Pasal 10, Pasal 22, Pasal 25, Pasal 38 dan Pasal

39;

Mengenai hak untuk tumbuh kembang (development rights)

dalam konvensi hak anak pada intinya terdapat hak untuk

memperoleh akses pendidikan dalam segala bentuk dan

tingkatan (education rights), dan hal yang berkaitan dengan

taraf hidup anak secara memadai untuk perkembangan fisik,

mental, spiritual, moral, dan sosial anak (the rights to

standart of living).

Hak anak atas pendidikan diatur dalam Pasal 28 dan

Pasal 29, sedangkan hak untuk tumbuh kembang mengacu pada

beberapa pasal, yaitu pasal 17 (hak untuk memperoleh

informasi), Pasal 28 dan Pasal 29 (hak untuk memperoleh

pendidikan), Pasal 31 (hak untuk bermain dan rekreasi),

Pasal 14 (hak kebebasan berfikir, berhati nurani, dan

beragama), Pasal 5, 6, 13, 14, dan 15 (hak untuk

pengembangan kepribadian social dan psikologis), Pasal 2 dan

Pasal 7 (hak atas identitas, nama, dan kebangsaan), Pasal 24

(hak atas kesehatan dan pengembangan fisik),Pasal 12 dan

31

Pasal 13 (hak untuk didengar), serta Pasal 9, 10, dan 11

(hak untuk keluarga).

Dari penjelasan diatas terlihat bahwa perlindungan anak

dari eksploitasi ekonomi merupakan bagian dari hak terhadap

kelangsungan hidup (survival rights). Lebih lanjut konvensi

juga menentukan langkah-langkah yang harus diambil, yaitu

antara lain:

a. Menentukan umur minimum atau umur-umur minimum untuk

ijin bekerja;

b. Menetapkan peraturan-peraturan yang tepat mengenai jam-

jam kerja dan syarat-syarat perburuhan;

c. Menentukan hukuman atau sanksi-sanksi lain yang tepat

untuk menjamin pelaksanaannya yang efektif;

Disini berarti negara penanggung jawab perlidungan anak

harus mampu mengambil kebijakan baik secara yuridis, sosial,

serta melakukan kerjasama internasional dalam rangka

melindungi hak anak dari eksploitasi ekonomi. Hal ini

tentunya termasuk harmonisasi hukum nasional terhadap

instrumen hukum internasional yang mengatur perlindungan

anak dari eksploitasi ekonomi.

4. Undang-undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi

Manusia

Undang-undang ini merupakan undang-undang organik tentang

perlindungan hak asasi manusia dari UUD 1945 hasil amandemen

IV. Rumusan mengenai hak anak disebutkan dalam pasal 52 yang

32

menyatakan bahwa setiap anak berhak atas perlindungan orang

tua, keluarga, masyarakat, dan negara. Selain itu pasal ini

juga menyebutkan bahwa hak anak adalah hak asasi manusia

sehigga demi kepentingan anak, hak tersebut harus diakui dan

dilindungi oleh hukum bahkan sejak dalam kandungan.

Pasal 58 menyebutkan bahwa setiap anak berhak untuk

mendapatkan perlindungan hukum dari segala bentuk kekerasan

fisik atau mental, penelantaran, perlakuan buruk, dan

pelecehan seksual selama dalam pengasuhan orang tuanya atau

walinya, atau pihak lain manapun yang bertanggung jawab atas

pengasuhan anak tersebut, pasal ini merupakan rumusan

perlindungan hak anak yang harus dilindungi oleh hukum.

Beberapa pasal lain dalam UU HAM yang memuat ketentuan

perlindungan anak, terutama dalam bentuk perlindungan

terhadap anak sebagai pekerja adalah Pasal 64 dan Pasal 65.

Pasal 64 berbunyi: ”setiap anak berhak untuk memperoleh

perlindungan dari kegiatan eksploitasi ekonomi dan setiap

pekerjaan yang membahayakan dirinya, sehingga dapat

mengganggu pendidikan, kesehatan fisik, moral,

kehidupan sosial dan mental spritualnya”.dan Pasal 65

berbunyi: ”setiap anak berhak untuk memperoleh perlindungan

dari kegiatan eksploitasi dan pelecehan seksual,

penculikan, perdagangan anak, serta dari segala bentuk

penyalahgunaan narkotika, psikotropika, dan zat adiktif

lainnya”.

33

5. Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1979 tentang Kesejahteraan

Anak

Undang-undang Nomor 4 Tahun 1979, seperti dijelaskan dalam

Pasal 1, bertujuan menciptakan suatu tata kehidupan dan

penghidupan anak yang dapat menjamin pertumbuhan dan

perkembangan anak dengan wajar, baik secara rohani,

jasmani, maupun sosial. Karena itu anak harus

diberikan perlindungan secara khusus untuk melindungi

dari hal-hal yang dapat membahayakan kesejahteraan mereka.

Masalah perlindungan anak sebagai pekerja memang tidak

diatur dalam rumusan undang-undang tentang kesejahteraan

anak. Hanya saja jika kita melihat permasalahan pekerja anak

dalam kerangka perlindungan anak, maka akan ditemukan bahwa

pekerja anak sebagai suatu hal yang bertentangan dengan

undang-undang ini. Contohnya Pasal 2 ayat (4) yang

merumuskan bahwa anak memiliki hak atas perlindungan dari

lingkungan hidup yang dapat membahayakan atau menghambat

pertumbuhan dan perkembangan dengan wajar. Rumusan ini

berkaitan erat dengan dengan konsep perlindungan anak

sebagai pekerja. Di banyak tempat, anak yang bekerja akan

selalu berada dalam kondisi yang tidak menguntungkan dan

tereksploitasi. Begitu juga dengan kondisi kerja yang dapat

membahayakan atau menghambat pertumbuhan dan perkembangannya

secara wajar.

34

6. Undang-undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan

Anak

Undang-undang tentang perlindungan anak ini ditetapkan pada

tahun 2002,dua belas tahun setelah Indonesia menyatakan

meratifikasi konvensi hak anak. Dari lamanya rentang waktu

ini terlihat kurang seriusnya pemerintah untuk benar-benar

melakukan perlindungan terhadap hak-hak anak. Pasal 2

menyebutkan bahwa perlindungan anak bertujuan menjamin

terpenuhinya hak-hak anak agar dapat hidup, tumbuh,

berkembang, dan berpartisipasi secara optimal sesuai dengan

harkat dan martabat kemanusiaan, serta mendapat perlindungan

dari kekerasan dan diskriminasi, demi terwujudnya anak

Indonesia yang berkualitas, berakhlak mulia, dan sejahtera,

selanjutnya Pasal 20 mewajibkan kepada negara,

pemerintah, masyarakat, kelurga dan orangtua untuk

ikut bertanggung jawab terhadap perlindungan anak.

Bagian lain dari undang-undang ini merumuskan ancaman

pidana bagi pelaku eksploitasi anak, termasuk orang yang

mengetahui adanya eksploitasi. Pasal-pasal dalam undang-

undang ini sangat berkaitan dengan rumusan perlindungan anak

sebagai pekerja. Terutama dengan kaitan jenis-jenis

pekerjaan terburuk bagi anak seperti yang dimaksudkan dalam

konvensi ILO No. 182. dengan adanya ketentuan pidana dalam

undang-undang ini, maka perlindungan terhadap anak terutama

dalam hal anak sebagai pekerja, diharapkan dapat terlaksana.

Memang undang-undang ini tidak mengatur secara khusus

35

mengenai perlindungan anak sebagai pekerja. Akan tetapi

ketentuan-ketentuan konvensi ILO No.138 dan konvensi ILO

No.182 telah dijadikan dasar hukum adanya undang-undang ini

.

7. Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan

Rumusan perlindungan anak sebagai pekerja dalam undang-

undang ini ditemukan dalam Pasal 68, yaitu:”pengusaha

dilarang mempekerjakan anak”.bagian lain dari undang-undang

ini, yaitu pasal 185 memuat rumusan pidana bagi siapapun

yang melanggar ketentuan Pasal 68 dengan ancaman pidana satu

sampai empat tahun penjara dan/ atau denda Rp.100.000.000,-

(seratus juta rupiah) sampai Rp.400.000.000,- (empat ratus

juta rupiah). Hanya saja Pasal 68 kemudian menjadi

kontradiktif dengan pengecualian yang diberikan oleh Pasal

69. Pasal 69 memungkinkan adanya penyimpangan dari rumusan

Pasal 68 yang sebenarnya sudah cukup tegas melindungi hakhak

anak sebagai pekerja. Sedangkan rumusan mengenai larangan

eksploitasi anak diatur dalam Pasal 74 yang memuat larangan

untuk mempekerjakan dan melibatkan anak pada pekerjaan-

pekerjaan terburuk.. Pelanggaran terhadap ketentuan ini,

seperti diatur dalam pasal 183 merupakan tindak pidana

kejahatan yang diancam dengan pidana penjara dua sampai lima

tahun dan/atau denda antara Rp.200.0000.000,- (dua ratus

juta rupiah) sampai Rp.500.000.000,- (lima ratus juta

rupiah).

36

Undang-undang ini juga mengatur perlindungan anak yang

bekerja diluar hubungan kerja (Pasal 75), yang mewajibkan

pemerintah untuk melakukan upaya penanggulangan terhadap

anak-anak yang bekerja diluar hubungan kerja. Pasal ini juga

menetapkan bahwa upaya penanggulangan ini diatur lebih

lanjut dalam peraturan pemerintah.

BAB III

PENUTUP

III.1 KESIMPULAN

Pelibatan anak sebagai pekerja sesungguhnya bukan hanya

terkait motif ekonomi tapi ada faktor pendorong lainnya.

Motif ekonomi yang menjadi pemicu nyata harus disikapi

dengan teliti dan cermat. Kenyataan yang terjadi memang para

pekerja anak masih banyak diekspliotasi dengan semena-mena

tanpa ada pihak yang memperhatikkan hak-hak pekerja anak.

Perlindungan bagi anak sebagai pekerja pada dasarnya telah

diatur secara umum dalam beberapa rumusan pasal di instrumen

hukum terkait. Namun hal tersebut tidaklah cukup. Sekian

banyak aturan hukum yang telah dirumuskkan dan diberlakukan

tidak dapat mengurangi fenomena pekerja anak yang terus

bertambah di Indonesia. Khususnya fenomena pekerja anak di

sektor nonformal yang sulit untuk di data dan dicegah oleh

pemerintah.

37

III.2 SARAN

Pemerintah Indonesia perlu merumuskan Undang-Undang yang

mengatur khusus terkait pekerja anak. Mengingat tidak dapat

dihindarinya ledakan pekerja anak di Indonesia. Hal tersebut

juga dalam rangka memenuhi amanat konvensi-konvensi

Internasional dikarenakan Undang-Undang tenaga kerja dirasa

belum cukup untuk memberi perlindungan bagi pekerja anak.

Dalam kaitannya dengan upaya penghapusan pekerja anak.

Pemerintah tidak boleh hanya membuat aturan larangan

melainkan merumuskan upaya penurunan angka kemiskinan dan

penurunan faktor yang mendorong anak sebagai pekerja.

Seperti faktor kultural dan faktor lainnya. Hal ini

memerlukkan peran serta juga dari masyarakat untuk memahami

bahwa mempekerjakan anak adalah hal yang harus dihindari.

Pemahaman tersebut harus disosialisasikan oleh pemerintah

melalui penyebaran informasi seluas-luasnya ataupun melalui

pendidikan langsung bagi keluarga.

Anak adalah anugrah penerus bangsa. Mulai dari anak dan

pemuda bangsa ini bangkit dan melawan. Oleh karena itu

segala perlindungan terhadap hak anak harus dibuat secara

cermat sesuai realita yang terjadi di lapangan begitu juga

pemerintah dapat melibatkan peran serta masyarakat.

38

III.3 LAMPIRAN

Foto realita pekerja anak

39

40