PENEGAKAN HUKUM SEBAGAI UPAYA PERLINDUNGAN HUKUM TERHADAP PEKERJA ANAK SEBAGAI KORBAN EKSPLOITASI...
Transcript of PENEGAKAN HUKUM SEBAGAI UPAYA PERLINDUNGAN HUKUM TERHADAP PEKERJA ANAK SEBAGAI KORBAN EKSPLOITASI...
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia
Tahun 1945 menyatakan bahwa “Tiap-tiap warga negara
berhak atas pekerjaan dan penghidupan yang layak bagi
kemanusiaan”1 dan “Setiap orang berhak untuk bekerja dan
mendapat imbalan dan perlakuan yang adil dan layak dalam
hubungan kerja”2. Dari rumusan itu jelas bahwa setiap
orang berhak untuk mendapatkan pekerjaan yang
layak tanpa ada eksploitasi ataupun diskriminasi.
Setiap orang yang dimaksud adalah semua
subyek hukum dimana yang diketahui subyek hukum
adalah semua orang yang memiliki hak dan kewajiban
yang melekat pada mereka sejak mereka dilahirkan.3
Dengan demikian setiap orang berhak mendapatkan
pekerjaan tanpa terkecuali kaum rentan.
Pengertian Kelompok Rentan tidak dirumuskan
secara eksplisit dalam peraturan perundang-
undangan, seperti tercantum dalam Pasal 5 ayat (3)
Undang-Undang No.39 Tahun 1999 yang menyatakan
1 Pasal 27 Ayat (1) Undang-Undang Dasar Negara Republik IndonesiaTahun 1945.2 Pasal 28 D ayat (2) Undang-Undang Dasar Negara RepublikIndonesia Tahun 1945.3 Prof. Dr. Peter Mahmud Marzuki,S.H., M.S., LL.M., 2013, PengantarIlmu Hukum, Kencana Prenada Media Group, Jakarta, Hlm. 206.
1
bahwa “setiap orang yang termasuk kelompok masyarakat yang
rentan berhak memperoleh perlakuan dan perlindungan lebih
berkenaan dengan kekhususannya.” Dalam Penjelasan pasal
tersebut disebutkan bahwa yang dimaksud dengan
kelompok masyarakat yang rentan adalah orang
lanjut usia, anak-anak, fakir miskin, wanita hamil
dan penyandang cacat.
Sedangkan menurut Willem van Genugten
disebutkan bahwa yang tergolong ke dalam Kelompok
Rentan adalah: Refugees, Internally Displaced Persons (IDPs),
National Minorities, Migrant Workers, Indigenous Peoples,
Children, Women.4 Meskipun demikian, terdapat
persamaan nilai yang fundamental bagi semua orang
sehingga tidak boleh adanya perlakuan yang berbeda
atas dasar jenis kelamin, ras, kepercayaan dan
status sosial.5
Untuk menjawab itu dan melindungi persamaan
nilai fundamental terhadap kaum rentan, negara
mengambil langkah dengan mengundangkan berbagai
instrumen hukum untuk memberikan kepastian hukum
terhadap mereka yang rentan terhadap konflik.
4 Willem van Genugten J.M (ed), 1994, Human Rights Reference dalamIr. Iskandar Hoesin, 2003, Makalah tentang Perlindungan TerhadapKelompok Rentan (Wanita, Anak, Minoritas, Suku Terasing, Dll)Dalam Perspektif Hak Asasi Manusia. 5 Prof. Dr. Peter Mahmud Marzuki,S.H., M.S., LL.M., Op cit, Hlm. 207.
2
Kebijakan pemerintah Indonesia dalam
memberikan pelindungan terhadap anak yang
merupakan salah satu kaum rentan yang sering
menerima abuse, kekerasan, eksploitasi dan
diskriminasi adalah dengan mengeluarkan berbagai
peraturan perundang-undangan yang dapat
mengakomodir kepentingan-kepentingan anak.
Namun sebagian undang-undang sangat lemah
pelaksanaannya dalam memberikan kepastian
perlindungan hukum terhadap anak yang menerima
perlakuan abuse6, kekerasan, ekslpoitasi dan
diskriminasi. Hal ini dapat dilihat dari fakta
yang nampak dimana anak-anak sering menjadi
korban, baik dibidang ketenagakerjaan, human
trafficking, dan anak jalanan.
Pekerja anak dewasa ini sangat tinggi
jumlahnya, itu berdasarkan data dari ILO
(International Labour Organization) yang menyebutkan
bahwa ada sekitar 168 juta anak-anak menjadi
pekerja anak.7 Lebih dari setengahnya melakukan
pekerjaan yang menempatkan kesehatan dan
keselamatan mereka beresiko.
6 Abuse adalah perilaku yang dirancang untuk mengendalikan danmenaklukkan manusia yang lain melalui penggunaan ketakutan,penghinaan, dan lisan atau fisik, lihathttp://www.hc-sc.gc.ca/hppb/familyviolence/html/fvemotion_e.html. 7 http://www.ilo.org/global/statistics-and-databases/lang--en/index.htm, diakses pada tanggal 22 Desember 2014.
3
Untuk konteks Indonesia, per 2013 Komisi
Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) menyatakan ada
4,7 juta jiwa pekerja anak. Paling banyak di Papua
sebesar 34,7 persen dari total pekerja anak,
kemudian Sulawesi Utara 20,46 persen dan Sulawesi
Barat 19,82 persen.8
Dilihat dari lokasi kerja, dari total jumlah
itu, kisaran 1,1 juta anak bekerja di kawasan
perkotaan dan lainnya, 2,3 juta pekerja anak di
pedesaan. Dilihat dari jenis pekerjaan, umumnya
mereka bekerja sebagai Pekerja Rumah Tangga (PRT),
pekerja tambang, pekerja pabik, Anak Buah Kapal
(ABK) dan sebagainya. Mayoritas dari jenis
pekerjaan mereka menempatkan mereka bekerja dalam
situasi yang buruk, beresiko terhadap kesehatan
dan terabaikannya pemenuhan dan perlindungan
mereka sebagai anak-anak maupun pekerja. Mereka
dibayar dengan upah dibawah upah minimum regional
(UMR), bekerja dalam jangka waktu yang lama, tidak
mendapatkan asuransi dan lain sebagainya.9
Tingginya angka pekerja anak ini diikuti pula
dengan meningkatnya jumlah anak telantar dan anak
jalanan. Komnas mencatat saat ini jumlah anak
8 http://www.kpai.go.id/, diakses pada tanggal 22 Desember 2014.9 http://theindonesianinstitute.com/stop-pekerja-anak-sebagai-perlindungan-terhadap-anak/ diakses pada tanggal 22 desember 2014.
4
telantar mencapai 6,1 juta. Pada 2010 jumlahnya
hanya mencapai 4,5 juta.
Pasal 68-Pasal 75 Undang-Undang Nomor 13
Tahun 2003 Tentang Ketenagakerjaan secara
eksplisit menyatakan bahwa anak tidak boleh
dipekerjakan. Jikapun harus menjadi tenaga kerja,
ada kualifikasi-kualifikasi tertentu yang wajib
terpenuhi. Meskipun pengaturannya jelas, namun
tetap saja ada oknum yang yang menentang
ketentuan-ketentuan dalam undang-undang tersebut.
Jelas bahwa banyak faktor yang mendukung
mengapa perbuatan yang bertentangan dengan undang-
undang ini tetap ada dan tidak surut dalam
kenyataannya. Untuk itu perlu dilihat unsur-unsur
yang mempengaruhi mengapa anak sebagai tenaga
kerja rentan untuk menjadi korban eksploitasi di
bidang ketenagakerjaan dan perlu dilihat juga
unsur-unsur perlindungan hukumnya apakah telah
memadai dan mengakomodir kepentingan pekerja anak
dari tindakan-tindakan eksploitasi di bidang
ketenagakerjaan.
B. Permasalahan
Dari latar belakang diatas maka yang menjadi
fokus permasalahan dalam penulisan ini adalah:
5
1. Faktor apa yang menyebabkan pekerja anak rentan
menjadi korban eksploitasi dalam bidang
ketenagakerjaan?
2. Bagaimana penegakan hukum terhadap pekerja anak
sebagai korban eksploitasi dalam bidang
ketenagakerjaan sebagai upaya memberikan
perlindungan hukum?
6
BAB II
PEMBAHASAN
A. Pengertian Anak, Pekerja Anak dan Korban
1. Anak
Pengertian anak menurut Kamus Besar Bahasa
Indonesia adalah masih kecil (belum dewasa).
Sedangkan pengertian anak Menurut aspek
psikologi, anak adalah periode perkembangan
yang merentang dari masa bayi hingga usia lima
atau enam tahun, periode ini biasanya disebut
dengan periode prasekolah, kemudian berkembang
setara dengan tahun-tahun sekolah.10 Pengertian
anak menurut aspek ekonomi adalah golongan non-
produktif karena masih belum mampu menghasilkan
sistem perekonomian sendiri11
Pengertian anak berdasarkan peraturan
antara lain:
a.Pasal 45 KUHP bahwa anak yang belum dewasa
apabila seseorang tersebut belum berumur 16
tahun “.
10 http://www.psikologizone.com/fase-fase-perkembangan-manusia/06511465, diakses pada tanggal 22 Desember 2014.11 http://dilihatya.com/2589/pengertian-anak-menurut-para-ahli-adalah, diakses pada tanggal 22 Desember 2014.
7
b.Pasal 330 ayat (1) KUHperdata tidak secara
eksplisit menyebutkan pengertian anak tapi
dapat dipahami dari isi pasal in yang
menyatakan bahwa Seorang belum dapat
dikatakan dewasa jika orang tersebut umurnya
belum genap 21 tahun, kecuali seseorang
tersebut telah menikah sebelum umur 21 tahun.
c.Pasal 1 Angka 1 Undang-Undang No. 23 Tahun
2002 Tentang Perlindungan Anak bahwa anak
adalah seseorang yang belum berusia 18
(delapan belas) tahun, termasuk anak yang
masih dalam kandungan.
d.Pasal 1 Angka 26 Undnag-Undang No. 13 Tahun
2003 Tentang Ketenagakerjaan bahwa anak
adalah setiap orang yang berumur dibawah 18
(delapan belas) tahun.
e.Pasal 1 Angka 5 Undang-Undang No. 39 Tahun
1999 Tentang Hak Asasi Manusia bahwa anak
adalah setiap manusia yang berusia di bawah
18 (delapan belas) tahun dan belum menikah,
terrnasuk anak yang masih dalam kandungan
apabila hal tersebut adalah demi
kepentingannya.
f.Pasal 1 Angka 2 Undang-Undang No. 4 Tahun
1979 Tentang Kesejahteraan Anak bahwa anak
adalah seseorang yang belum mencapai umur 21
8
(dua puluh satu) tahun dan belum pernah
kawin.
g.Pasal 1 Angka 5 Undang-Undang No. 21 tahun
2007 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana
Perdagangan Orang
bahwa anak adalah seseorang yang belum
berusia 18 (delapan belas) tahun, termasuk
anak yang masih dalam kandungan.
h.Pasal 1 Angka 4 Undnag-Undang No. 44 tahun
2008 Tentang Pornografi bahwa anak adalah
seseorang yang belum berusia 18 (delapan
belas) tahun.
i.Pasal 1 Angka 1 Undang-Undang No. 3 TAHUN
1997 Tentang Pengadilan Anak bahwa anak
adalah orang yang dalam perkara Anak Nakal
telah mencapai umur 8 (delapan) tahun tetapi
belum mencapai umur 18 (delapan belas) tahun
dan belum pernah kawin.
j.Konvensi Hak-Hak Anak bahwa anak adalah
setiap manusia yang berusia di bawah 18
tahun, kecuali berdasarkan yang berlaku bagi
anak tersebut ditentukan bahwa usia dewasa
dicapai lebih awal.
Begitu banyaknya pengertian anak yang
termaktub dalam undang-undang. Hal ini secara
jelas mengisyaratkan bahwa pada dasarnya anak
9
adalah subyek hukum yang sangat rentan menerima
perlakuan kekerasan, eksploitasi, diskriminasi dan
abuse, sehingga patut untuk dilindungi dan
mendapatkan kesejahteraan sebagaimana yang
diamanatkan oleh UUD RI 1945.
Dari pengertian yang terdapat dalam beberapa
peraturan diatas, ruang lingkup seseorang dapat
dikatakan anak apabila telah memenuhi unsur-unsur
usia yang belum mencapai 18 tahun dan belum pernah
menikah.
2. Pekerja Anak
Definisi Pekerja Anak menurut ILO/IPEC adalah
anak yang bekerja pada semua jenis pekerjaan yang
membahayakan atau mengganggu fisik, mental,
intelektual dan moral. Konsep pekerja anak
didasarkan pada Konvensi ILO No. 138 mengenai usia
minimum untuk diperbolehkan bekerja yang
menggambarkan definisi internasional yang paling
komprehensif tentang usia minimum untuk
diperbolehkan bekerja, mengacu secara tidak
langsung pada “kegiatan ekonomi”. Konvensi ILO
menetapkan kisaran usia minimum dibawah ini dimana
anak-anak tidak boleh bekerja. Usia minimum
menurut Konvensi ILO No. 138 untuk negara-negara
dimana perekonomian dan fasilitas pendidikan
kurang berkembang adalah semua anak berusia 5 – 11
10
tahun yang melakukan kegiatan-kegiatan ekonomi
adalah pekerja anak sehingga perlu dihapuskan.
Anak-anak usia 12 – 14 tahun yang bekerja dianggap
sebagai pekerja anak, kecuali jika mereka
melakukan tugas ringan. Sedangkan usia sampai
dengan 18 tahun tidak diperkenankan bekerja pada
pekerjaan yang termasuk berbahaya
3. Korban
Pengertian korban menurut Kamus Lengkap
Bahasa Indonesia korban adalah sesuatu (orang,
binatang, dan sebagainya) yang menjadi penderita
karena dikenai perbuatan atau kejadian.12
Sebagai acuan definisi terkait korban
tertuang dalam kesepakatan internasional, yaitu
dalam rancangan deklarasi dan resolusi kongres
Perserikatan bangsa Bangsa (PBB) Ke 7, yang
kemudian menjadi resolusi MU PBB 40/34 tertanggal
29 Nopember 1995 tentang Declaration of Basic Principles of
Justice for Victim of Crime and Abuse of Power.13
Barda Nawawi Arief menterjemahkan sebagai
berikut, bahwa yang dimaksud dengan korban adalah
orang-orang, baik secara individual maupun
kolektif, yang menderita kerugian akibat perbuatan
12 Trisno Yuwono dan Pius Abdullah, Tanpa Tahun, Kamus Lengkap
Bahasa Indonesia Praktis, Arkola, Surabaya, Hlm. 294.
13Muhadar, 2006, Viktimisasi Kejahatan Dibidang Pertanahan, LaksBang
Pessindo, Yogyakarta, Hlm, 17-18.
11
(tidak berbuat) yang melanggar hukum pidana yang
berlaku di suatu negara, termasuk peraturan-
peraturan yang melarang penyalahgunaan kekuasaan.
Selain itu korban termasuk juga orang-orang yang
menjadi korban dari perbuatan-perbuatan (tidak
berbuat) yang walaupun belum merupakan pelanggaran
terhadap hukum pidana nasional yang berlaku,
tetapi sudah merupakan pelanggaran menurut norma-
norma hak asasi manusia yang diakui secara
internasional.14
Berdasarkan definisi yang diberikan oleh
Undang-Undang No.13 Tahun 2006 Tentang
Perlindungan Saksi dan Korban. Yang dimaksud
dengan Korban adalah seseorang yang mengalami
penderitaan fisik, mental, dan/atau kerugian
ekonomi yang diakibatkan oleh suatu tindak
pidana.15
Menurut Arif Gosita, pengertian korban adalah
mereka yang menderita jasmaniah dan rohaniah
sebagai akibat tindakan orang lain yang mencari
pemenuhan kepentingan diri sendiri atau orang lain
yang bertentangan dengan kepentingan dan hak asasi
14Barda Nawawi Arief, 1997, Beberapa Aspek Kebijakan Penegakan danPengembangan Hukum Pidana, (Kumpulan Makalah), ex Kerjasama IndonesiaBelanda Bidang Hukum, Semarang, Hlm, 51-52.15 Lihat Pasal 1 ayat 2 Undang-Undang No.13 Tahun 2006 Tentang
Perlindungan Saksi dan Korban.
12
yang menderita.16 Korban yang dimaksud oleh Arif
Gosita diantaranya individu, atau kelompok baik
swasta maupun pemerintah.
Pengertian korban menurut Stanciu yang
dikutip oleh Farhana menyatakan bahwa “the victim, in
the broad sense, is who suffer unjustly (from the latin victima,
which signifiers the creature offered in sacrifice to the gods). Thus,
the two characteristics traits of the victim are suffering and
injustice. Suffering must be unjust and not necessary illegal.”17
Menurut Mardjono, mengenai korban meliputi
pelanggaran terhadap hak asasi manusia yang
bersumber dari penyalahgunaan secara melawan hukum
kekuasaan ekonomi (illegal abuses of economic power)
seperti pelanggaran terhadap peraturan
ketenagakerjaan, penipuan konsumen, penyelewengan
dalam bidang perdagangan oleh perusahaan-
perusahaan transnasional dan sebagainya, dan
penyalahgunaan secara melawan hukum kekuasaan umum
(illegal abuse of public power), seperti pelanggaran
terhadap hak asasi manusia, penyalahgunaan
wewenang oleh alat penguasa dan sebagainya.18
16 Arif Gosita, 1985, Masalah Korban Kejahatan, CV. Akademika
Pressindo, Jakarta, Hlm. 41.
17 Angkasa, Kedudukan Korban Dalam Sistem Peradilan Pidana PendekatanViktimologis Terhadap Korban Tindak Pidana Perkosaan dalam Farhana, 2010,Aspek Perdagangan Orang Di Indonesia, Sinar Grafika, Jakarta, Hlm. 157.18 Mardjono Reksodiputro, Beberapa Catatan Umum Tentang Masalah Korban
dalam Ibid, Hlm. 158.
13
Pengertian korban tidak hanya sebatas
pengertian saja, tetapi ada juga ciri yang melekat
pada pengertian korban. Ciri yang dimaksud adalah
bahwa korban mengalami penderitaan (suffering) dan
ketidakadian (injustice).19
B. Faktor Anak Menjadi Korban Eksploitasi dalam
Bidang Ketenagakerjaan
Banyak faktor yang menyebabkan pekerja anak
menjadi rentan terhadap tindakan eksploitasi pada
bidang ketenagakerjaan. Faktor faktor tersebut
bisa saja datang dari internal anak itu sendiri,
dari pengusaha maupun dari instrumen hukumnya yang
tidak secara tegas mengatur mengenai perlindungan
hukum terhadap pekerja anak yang rentan terhadap
tindakan eksploitasi.
Para pengusaha mempekerjakan anak-anak,
karena anak dapat diupah rendah bila dibandingkan
dengan orang dewasa. Pertimbangan minimalisasi
biaya produksi dan prinsip ekonomi merupakan
alasan rasional yang pengusaha terapkan dalam
perekrutan anak sebagai tenaga kerja. Di samping
itu, memang timbul kesan adanya motif sosial di
antara pengusaha-pengusaha dalam merekrut
anak-anak, seakan-akan ingin menolong anak-anak
19 Ibid, Hlm. 157.
14
yang menganggur dengan menciptakan peluang kerja,
sehingga anak bisa mendapatkan penghasilan (upah).
Akan tetapi motif tersebut sebenarnya hanya
merupakan dalih, karena dengan cara itu anak
mendapat legitimasi dari lingkungannya untuk
mempekerjakan anak-anak.
Bentuk eksploitasi paling umum menyangkut
imbalan kerja (upah). Anak-anak cenderung menerima
upah rendah atau bahkan tidak diupah sama sekali,
meskipun melakukan jenis pekerjaan yang sama
dengan pekerja dewasa. Kondisi tersebut
menunjukkan bahwa bukan jenis pekerjaan yang
menentukan besar kecilnya upah yang diterima
tenaga kerja anak, tetapi status sebagai anak yang
menyebabkannya. Dalam struktur masyarakat, anak-
anak berada pada posisi yang subordinat terhadap
orang dewasa. Struktur sosial setempat yang
demikian menjadi faktor yang penting dalam
mencermati anak dari fenomena eksploitasi ekonomi.
Posisi subordinat yang mengandung hubungan
kekuasaan antar orang dewasa dengan anak-anak
diterapkan di seluruh bidang kehidupan, termasuk
dalam kegiatan ekonomi. Dengan demikian, fenomena
eksploitasi ekonomi terus dilihat dalam konteks
yang lebih luas, bukan hanya dalam konteks ekonomi
15
semata melainkan juga dalam konteks sosial,
politik, dan budaya setempat.
Disebutkan pula bahwa instrumen hukum
mengenai perlindungan hukum terhadap pekerja anak
juga mempengaruhi muncuknya tindakan eksploitasi.
Dalam Undang-Undnag No. 13 Tahun 2003 Tentang
Ketenagakerjaan menyebutkan bahwa Pengusaha
dilarang mempekerjakan anak, kecuali bagi anak
yang berumur antara 13 (tigabelas) tahun sampai
dengan 15 (limabelas) tahun untuk:
a. Melakukan pekerjaan ringan sepanjang tidak
mengganggu perkembangan dan kesehatan fisik,
mental dan sosial.20
b. Untuk menganggu bakat dan minat.
Pengusaha yang mempekerjakan anak untuk
mengembangkan bakat dan minatnya wajib memenuhi
syarat:21
1) Dibawah pengawasan langsung orang tua/wali,
2) Waktu kerja paling lama 3 (tiga) jam sehari,
3) Kondisi dan lingkungan kerja tidak mengganggu
perkembangan fisik, mental, sosial dan waktu
sekolah.
c. Khusus bagi anak yang berusia 14 tahun, untuk
pekerjaan yang merupakan bagian dari kurikulum20 Pasal 68 dan Pasal 69 Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 TentangKetenagakerjaan.21 Pasal 71 Ayat 2 Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 Tentang Ketenagakerjaan.
16
pendidikan atau pelatihan yang disahkan oleh
pejabat berwenang.
Dari pengertian anak diatas, terutama
pengertian anak menurut Undang-Undang No.13 Tahun
2003, bahwa anak adalah setiap orang yang berumur
dibawah 18 (delapan belas) tahun. Hal ini jelas
bahwa usia antara 15 (lima belas) tahun dan 18
(delapan belas) tahun adalah masih berstatus anak.
Namun dalam Undang-Undang ini tidak
dijelaskan apakah anak yang berumur di rentang
usia 15 (lima belas) tahun hingga 18 (delapan
belas) tahun boleh dipekerjakan atau dapat
dipekerjakan seperti orang dewasa.
Tentu saja ini dapat berimplikasi hilangnya
kekebalan hukum terhadap anak pada usia yang telah
disebutkan diatas. Dengan adanya kekosongan hukum
ini pemilik usaha dengan leluasa dapat
mempekerjakan anak di batasan umur 15 (lima belas)
tahun hingga 18 (delapan belas) tahun tanpa harus
dikenai sanksi pidana.
Perlindungan hukum yang diharapkan tidak
dapat menjamin hak anak yang berusia di rentang
itu. Dalam Undnag-Undang Nomor 39 Tahun 1999
Tentang HAM jelas menyatakan bahwa anak mempunyai
hak untuk memperoleh perlindungan dari
eksploitasi, tetapi nyatanya dalam Undang-Undang
17
No. 13 Tahun 2013 Tentang Ketenagakerjaan ini
menghilangkan hak anak yang berusia di rentang 15
(lima belas) tahun hingga 18 (delapan belas) tahun
dari eksploitasi dibidang ekonomi dan
ketenagakerjaan.
Pasal 71 Undang-Undang No. 13 Tahun 2013
menyebutkan bahwa hanya boleh mempekerjakan anak
untuk mengembangkan bakat dan minatnya yang pada
hakekatnya berfungsi untuk melindungi anak agar
pengemmbangan bakat dan minat anak yang muncul
pada usia tersebut tidak terhambat.
Ketentuan ini tidak secara jelas menyebutkan
jenis pekerjaan yang seperti apa untuk
mengembangkan bakat dan minatnya anak di usia
tersebut. Dengan tidak adanya spesifikasi mengenai
jenis pekerjaan yang bagaimana maka hal ini tentu
saja dapterhadap eksploitasi.
C. Penegakan Hukum Sebagai Upaya Memberikan
Perlindungan Hukum Terhadap Anak Sebagai Korban
Eksploitasi di Bidang Ketenagakerjaan
Untuk memberikan kepastian perlindungan hukum
terhadap pekerja anak sebagai korban eksploitasi,
maka dalam Undang-Undang No.13 Tahun 2003 setiap
pengusaha yang melakukan tindakan eksploitasi ini
diberikan sanksi pidana dan sanksi administratif.
18
Adapun ketentuan pidana yang termaktub dalam
undang-undang ini mengatur tindakan apa yang
tergolong dalam suatu tindak kejahatan atau tindak
pelanggaran. Dalam hal ini pengusaha dapat
diberikan sanksi apabila terbukti melakukan
tindakan eksploitasi terhadap pekerja anak.
Perbuatan pengusaha yang melanggar Pasal 68,
Pasal 69 Ayat (2) dan Pasal 75 merupakan tindak
kejahatan dengan sanksi pidana penjara minimal 1
tahun dan maksimal 4 tahun. Sedangkan ketentuan
Pasal 71 ayat (2) merupakan tindak pelanggaran
dengan sanksi pidana kurungan pasling singkat 1
bulan dan paling lama 12 bulan.
Mekanisme ini memberikan ruang kepada para
pengusaha yang melakukan tindakan eksploitasi
diberikan sanksi pidana yang tergolong ringan dan
tidak memberikan efek jera kepada pengusaha itu.
Sanksi pidana yang tergolong ringan ini tidak
berbanding lurus dengan akibat yang diterima oleh
pekerja anak sebagai korban. Tindakan eksploitasi
selalu memberikan dampak buruk untuk tumbuh
kembang anak, dalam hal ini tumbuh kembang anak
merupakan hak anak yang seharusnya dijaga penuh.
Untuk memberikan perlindungan hukum terhadap
hak tersebut, Pasal 189 undang-undang
ketenagakerjaan menyebutkan bahwa sanksi pidana
19
penjara, kurungan, dan/atau denda tidak
menghilangkan kewajiban pengusaha membayar hak-hak
dan/atau ganti kerugian kepada tenaga kerja atau
pekerja/buruh.
Kewajiban membayar hak-hak pekerja anak telah
tercantum dalam undang-undang ketenagakerjaan ini.
Hanya saja mengenai ganti kerugian tidak secara
gamblang disebutkan mekanismenya seperti apa dan
seberapa besar ganti kerugian yang dapat ditujukan
kepada pekerja anak sebagai korban. Ganti kerugian
dalam Pasal 189 juga tidak menyebutkan bahwa ganti
kerugian itu dapat berdasarkan putusan pengadilan
yang berkekuatan tetap atau dapat berdasarkan
keinginan pengusaha untuk memberikan ganti
kerugian.
Dengan ketidak-jelasan ini, pemberian
restitusi dan kompensasi sebagai upaya untuk
meringankan penderitaan korban tentu saja tidak
terpenuhi dengan baik. Dalam undang-undang ini
juga tidak disebutkan upaya rehabilitasi terhadap
pekerja anak yang menerima eksploitasi. Padahal
rehabilitasi ini merupakan unsur terpenting dalam
membalikkan keadaan pekerja anak yang trauma
psikis akibat tindakan eksploitasi tersebut.
Seharusnya dalam undang-undang ketenagakejaan ini
lebi eksplisit menjelaskan mengenai upaya-upaya
20
pemberian ganti kerugian, baik berupa uang ataupun
rehabilitasi.
Upaya yang dapat diberikan dalam memberikan
perlindungan hukum terhadap pekerja anak sebagai
korban adalah dengan:
1. Pemberian restitusi dan kompensasi.
2. Layanan konseling dan pelayanan/bantuan medis
sebbagai upaya rehabilitasi kejiwaan anak.
3. Pemberian bantuan hukum.
4. Pemberian informasi kepada korban dan
keluarganya berkaitan dengan proses pemeriksaan
tindakan yang dialami korban.
21
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Adapun kesimpulan yang dari pembahasan di
atas adalah:
1. Faktor pekerja anak menjadi korban tindakan
eksploitasi itu muncul dari tindakan pengusaha
yang ingin mencari keuntungan sebesar-besarnya
dengan pengeluaran sekecil-kecilnya. Intrumen
hukum dalam memberikan penjelesan seperti apa
anak yang bekerja, batasan-batasannya dan
pekerjaan apa yang boleh dilakukan tidak jelas
dalam undang-undang ketenagakerjaan sehingga
kekosongan inilah yang menjadi alasan kuat
terjadinya tindakan eksploitasi terhadap
pekerja anak.
2. Ganti kerugian dan rehabilitasi terhadap
pekerja anak sebagai korban tidak dicantumkan
dengan jelas dalam undang-undang
22