PENEGAKAN HUKUM SEBAGAI UPAYA PERLINDUNGAN HUKUM TERHADAP PEKERJA ANAK SEBAGAI KORBAN EKSPLOITASI...

23
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 menyatakan bahwa “Tiap-tiap warga negara berhak atas pekerjaan dan penghidupan yang layak bagi kemanusiaan” 1 dan “Setiap orang berhak untuk bekerja dan mendapat imbalan dan perlakuan yang adil dan layak dalam hubungan kerja” 2 . Dari rumusan itu jelas bahwa setiap orang berhak untuk mendapatkan pekerjaan yang layak tanpa ada eksploitasi ataupun diskriminasi. Setiap orang yang dimaksud adalah semua subyek hukum dimana yang diketahui subyek hukum adalah semua orang yang memiliki hak dan kewajiban yang melekat pada mereka sejak mereka dilahirkan. 3 Dengan demikian setiap orang berhak mendapatkan pekerjaan tanpa terkecuali kaum rentan. Pengertian Kelompok Rentan tidak dirumuskan secara eksplisit dalam peraturan perundang- undangan, seperti tercantum dalam Pasal 5 ayat (3) Undang-Undang No.39 Tahun 1999 yang menyatakan 1 Pasal 27 Ayat (1) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. 2 Pasal 28 D ayat (2) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. 3 Prof. Dr. Peter Mahmud Marzuki,S.H., M.S., LL.M., 2013, Pengantar Ilmu Hukum, Kencana Prenada Media Group, Jakarta, Hlm. 206. 1

Transcript of PENEGAKAN HUKUM SEBAGAI UPAYA PERLINDUNGAN HUKUM TERHADAP PEKERJA ANAK SEBAGAI KORBAN EKSPLOITASI...

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia

Tahun 1945 menyatakan bahwa “Tiap-tiap warga negara

berhak atas pekerjaan dan penghidupan yang layak bagi

kemanusiaan”1 dan “Setiap orang berhak untuk bekerja dan

mendapat imbalan dan perlakuan yang adil dan layak dalam

hubungan kerja”2. Dari rumusan itu jelas bahwa setiap

orang berhak untuk mendapatkan pekerjaan yang

layak tanpa ada eksploitasi ataupun diskriminasi.

Setiap orang yang dimaksud adalah semua

subyek hukum dimana yang diketahui subyek hukum

adalah semua orang yang memiliki hak dan kewajiban

yang melekat pada mereka sejak mereka dilahirkan.3

Dengan demikian setiap orang berhak mendapatkan

pekerjaan tanpa terkecuali kaum rentan.

Pengertian Kelompok Rentan tidak dirumuskan

secara eksplisit dalam peraturan perundang-

undangan, seperti tercantum dalam Pasal 5 ayat (3)

Undang-Undang No.39 Tahun 1999 yang menyatakan

1 Pasal 27 Ayat (1) Undang-Undang Dasar Negara Republik IndonesiaTahun 1945.2 Pasal 28 D ayat (2) Undang-Undang Dasar Negara RepublikIndonesia Tahun 1945.3 Prof. Dr. Peter Mahmud Marzuki,S.H., M.S., LL.M., 2013, PengantarIlmu Hukum, Kencana Prenada Media Group, Jakarta, Hlm. 206.

1

bahwa “setiap orang yang termasuk kelompok masyarakat yang

rentan berhak memperoleh perlakuan dan perlindungan lebih

berkenaan dengan kekhususannya.” Dalam Penjelasan pasal

tersebut disebutkan bahwa yang dimaksud dengan

kelompok masyarakat yang rentan adalah orang

lanjut usia, anak-anak, fakir miskin, wanita hamil

dan penyandang cacat.

Sedangkan menurut Willem van Genugten

disebutkan bahwa yang tergolong ke dalam Kelompok

Rentan adalah: Refugees, Internally Displaced Persons (IDPs),

National Minorities, Migrant Workers, Indigenous Peoples,

Children, Women.4 Meskipun demikian, terdapat

persamaan nilai yang fundamental bagi semua orang

sehingga tidak boleh adanya perlakuan yang berbeda

atas dasar jenis kelamin, ras, kepercayaan dan

status sosial.5

Untuk menjawab itu dan melindungi persamaan

nilai fundamental terhadap kaum rentan, negara

mengambil langkah dengan mengundangkan berbagai

instrumen hukum untuk memberikan kepastian hukum

terhadap mereka yang rentan terhadap konflik.

4 Willem van Genugten J.M (ed), 1994, Human Rights Reference dalamIr. Iskandar Hoesin, 2003, Makalah tentang Perlindungan TerhadapKelompok Rentan (Wanita, Anak, Minoritas, Suku Terasing, Dll)Dalam Perspektif Hak Asasi Manusia. 5 Prof. Dr. Peter Mahmud Marzuki,S.H., M.S., LL.M., Op cit, Hlm. 207.

2

Kebijakan pemerintah Indonesia dalam

memberikan pelindungan terhadap anak yang

merupakan salah satu kaum rentan yang sering

menerima abuse, kekerasan, eksploitasi dan

diskriminasi adalah dengan mengeluarkan berbagai

peraturan perundang-undangan yang dapat

mengakomodir kepentingan-kepentingan anak.

Namun sebagian undang-undang sangat lemah

pelaksanaannya dalam memberikan kepastian

perlindungan hukum terhadap anak yang menerima

perlakuan abuse6, kekerasan, ekslpoitasi dan

diskriminasi. Hal ini dapat dilihat dari fakta

yang nampak dimana anak-anak sering menjadi

korban, baik dibidang ketenagakerjaan, human

trafficking, dan anak jalanan.

Pekerja anak dewasa ini sangat tinggi

jumlahnya, itu berdasarkan data dari ILO

(International Labour Organization) yang menyebutkan

bahwa ada sekitar 168 juta anak-anak menjadi

pekerja anak.7 Lebih dari setengahnya melakukan

pekerjaan yang menempatkan kesehatan dan

keselamatan mereka beresiko.

6 Abuse adalah perilaku yang dirancang untuk mengendalikan danmenaklukkan manusia yang lain melalui penggunaan ketakutan,penghinaan, dan lisan atau fisik, lihathttp://www.hc-sc.gc.ca/hppb/familyviolence/html/fvemotion_e.html. 7 http://www.ilo.org/global/statistics-and-databases/lang--en/index.htm, diakses pada tanggal 22 Desember 2014.

3

Untuk konteks Indonesia, per 2013 Komisi

Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) menyatakan ada

4,7 juta jiwa pekerja anak. Paling banyak di Papua

sebesar 34,7 persen dari total pekerja anak,

kemudian Sulawesi Utara 20,46 persen dan Sulawesi

Barat 19,82 persen.8

Dilihat dari lokasi kerja, dari total jumlah

itu, kisaran 1,1 juta anak bekerja di kawasan

perkotaan dan lainnya, 2,3 juta pekerja anak di

pedesaan. Dilihat dari jenis pekerjaan, umumnya

mereka bekerja sebagai Pekerja Rumah Tangga (PRT),

pekerja tambang, pekerja pabik, Anak Buah Kapal

(ABK) dan sebagainya. Mayoritas dari jenis

pekerjaan mereka menempatkan mereka bekerja dalam

situasi yang buruk, beresiko terhadap kesehatan

dan terabaikannya pemenuhan dan perlindungan

mereka sebagai anak-anak maupun pekerja. Mereka

dibayar dengan upah dibawah upah minimum regional

(UMR), bekerja dalam jangka waktu yang lama, tidak

mendapatkan asuransi dan lain sebagainya.9

Tingginya angka pekerja anak ini diikuti pula

dengan meningkatnya jumlah anak telantar dan anak

jalanan. Komnas mencatat saat ini jumlah anak

8 http://www.kpai.go.id/, diakses pada tanggal 22 Desember 2014.9 http://theindonesianinstitute.com/stop-pekerja-anak-sebagai-perlindungan-terhadap-anak/ diakses pada tanggal 22 desember 2014.

4

telantar mencapai 6,1 juta. Pada 2010 jumlahnya

hanya mencapai 4,5 juta.

Pasal 68-Pasal 75 Undang-Undang Nomor 13

Tahun 2003 Tentang Ketenagakerjaan secara

eksplisit menyatakan bahwa anak tidak boleh

dipekerjakan. Jikapun harus menjadi tenaga kerja,

ada kualifikasi-kualifikasi tertentu yang wajib

terpenuhi. Meskipun pengaturannya jelas, namun

tetap saja ada oknum yang yang menentang

ketentuan-ketentuan dalam undang-undang tersebut.

Jelas bahwa banyak faktor yang mendukung

mengapa perbuatan yang bertentangan dengan undang-

undang ini tetap ada dan tidak surut dalam

kenyataannya. Untuk itu perlu dilihat unsur-unsur

yang mempengaruhi mengapa anak sebagai tenaga

kerja rentan untuk menjadi korban eksploitasi di

bidang ketenagakerjaan dan perlu dilihat juga

unsur-unsur perlindungan hukumnya apakah telah

memadai dan mengakomodir kepentingan pekerja anak

dari tindakan-tindakan eksploitasi di bidang

ketenagakerjaan.

B. Permasalahan

Dari latar belakang diatas maka yang menjadi

fokus permasalahan dalam penulisan ini adalah:

5

1. Faktor apa yang menyebabkan pekerja anak rentan

menjadi korban eksploitasi dalam bidang

ketenagakerjaan?

2. Bagaimana penegakan hukum terhadap pekerja anak

sebagai korban eksploitasi dalam bidang

ketenagakerjaan sebagai upaya memberikan

perlindungan hukum?

6

BAB II

PEMBAHASAN

A. Pengertian Anak, Pekerja Anak dan Korban

1. Anak

Pengertian anak menurut Kamus Besar Bahasa

Indonesia adalah masih kecil (belum dewasa).

Sedangkan pengertian anak Menurut aspek

psikologi, anak adalah periode perkembangan

yang merentang dari masa bayi hingga usia lima

atau enam tahun, periode ini biasanya disebut

dengan periode prasekolah, kemudian berkembang

setara dengan tahun-tahun sekolah.10 Pengertian

anak menurut aspek ekonomi adalah golongan non-

produktif karena masih belum mampu menghasilkan

sistem perekonomian sendiri11

Pengertian anak berdasarkan peraturan

antara lain:

a.Pasal 45 KUHP bahwa anak yang belum dewasa

apabila seseorang tersebut belum berumur 16

tahun “.

10 http://www.psikologizone.com/fase-fase-perkembangan-manusia/06511465, diakses pada tanggal 22 Desember 2014.11 http://dilihatya.com/2589/pengertian-anak-menurut-para-ahli-adalah, diakses pada tanggal 22 Desember 2014.

7

b.Pasal 330 ayat (1) KUHperdata tidak secara

eksplisit menyebutkan pengertian anak tapi

dapat dipahami dari isi pasal in yang

menyatakan bahwa Seorang belum dapat

dikatakan dewasa jika orang tersebut umurnya

belum genap 21 tahun, kecuali seseorang

tersebut telah menikah sebelum umur 21 tahun.

c.Pasal 1 Angka 1 Undang-Undang No. 23 Tahun

2002 Tentang Perlindungan Anak bahwa anak

adalah seseorang yang belum berusia 18

(delapan belas) tahun, termasuk anak yang

masih dalam kandungan.

d.Pasal 1 Angka 26 Undnag-Undang No. 13 Tahun

2003 Tentang Ketenagakerjaan bahwa anak

adalah setiap orang yang berumur dibawah 18

(delapan belas) tahun.

e.Pasal 1 Angka 5 Undang-Undang No. 39 Tahun

1999 Tentang Hak Asasi Manusia bahwa anak

adalah setiap manusia yang berusia di bawah

18 (delapan belas) tahun dan belum menikah,

terrnasuk anak yang masih dalam kandungan

apabila hal tersebut adalah demi

kepentingannya.

f.Pasal 1 Angka 2 Undang-Undang No. 4 Tahun

1979 Tentang Kesejahteraan Anak bahwa anak

adalah seseorang yang belum mencapai umur 21

8

(dua puluh satu) tahun dan belum pernah

kawin.

g.Pasal 1 Angka 5 Undang-Undang No. 21 tahun

2007 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana

Perdagangan Orang

bahwa anak adalah seseorang yang belum

berusia 18 (delapan belas) tahun, termasuk

anak yang masih dalam kandungan.

h.Pasal 1 Angka 4 Undnag-Undang No. 44 tahun

2008 Tentang Pornografi bahwa anak adalah

seseorang yang belum berusia 18 (delapan

belas) tahun.

i.Pasal 1 Angka 1 Undang-Undang No. 3 TAHUN

1997 Tentang Pengadilan Anak bahwa anak

adalah orang yang dalam perkara Anak Nakal

telah mencapai umur 8 (delapan) tahun tetapi

belum mencapai umur 18 (delapan belas) tahun

dan belum pernah kawin.

j.Konvensi Hak-Hak Anak bahwa anak adalah

setiap manusia yang berusia di bawah 18

tahun, kecuali berdasarkan yang berlaku bagi

anak tersebut ditentukan bahwa usia dewasa

dicapai lebih awal.

Begitu banyaknya pengertian anak yang

termaktub dalam undang-undang. Hal ini secara

jelas mengisyaratkan bahwa pada dasarnya anak

9

adalah subyek hukum yang sangat rentan menerima

perlakuan kekerasan, eksploitasi, diskriminasi dan

abuse, sehingga patut untuk dilindungi dan

mendapatkan kesejahteraan sebagaimana yang

diamanatkan oleh UUD RI 1945.

Dari pengertian yang terdapat dalam beberapa

peraturan diatas, ruang lingkup seseorang dapat

dikatakan anak apabila telah memenuhi unsur-unsur

usia yang belum mencapai 18 tahun dan belum pernah

menikah.

2. Pekerja Anak

Definisi Pekerja Anak menurut ILO/IPEC adalah

anak yang bekerja pada semua jenis pekerjaan yang

membahayakan atau mengganggu fisik, mental,

intelektual dan moral. Konsep pekerja anak

didasarkan pada Konvensi ILO No. 138 mengenai usia

minimum untuk diperbolehkan bekerja yang

menggambarkan definisi internasional yang paling

komprehensif tentang usia minimum untuk

diperbolehkan bekerja, mengacu secara tidak

langsung pada “kegiatan ekonomi”. Konvensi ILO

menetapkan kisaran usia minimum dibawah ini dimana

anak-anak tidak boleh bekerja. Usia minimum

menurut Konvensi ILO No. 138 untuk negara-negara

dimana perekonomian dan fasilitas pendidikan

kurang berkembang adalah semua anak berusia 5 – 11

10

tahun yang melakukan kegiatan-kegiatan ekonomi

adalah pekerja anak sehingga perlu dihapuskan.

Anak-anak usia 12 – 14 tahun yang bekerja dianggap

sebagai pekerja anak, kecuali jika mereka

melakukan tugas ringan. Sedangkan usia sampai

dengan 18 tahun tidak diperkenankan bekerja pada

pekerjaan yang termasuk berbahaya

3. Korban

Pengertian korban menurut Kamus Lengkap

Bahasa Indonesia korban adalah sesuatu (orang,

binatang, dan sebagainya) yang menjadi penderita

karena dikenai perbuatan atau kejadian.12

Sebagai acuan definisi terkait korban

tertuang dalam kesepakatan internasional, yaitu

dalam rancangan deklarasi dan resolusi kongres

Perserikatan bangsa Bangsa (PBB) Ke 7, yang

kemudian menjadi resolusi MU PBB 40/34 tertanggal

29 Nopember 1995 tentang Declaration of Basic Principles of

Justice for Victim of Crime and Abuse of Power.13

Barda Nawawi Arief menterjemahkan sebagai

berikut, bahwa yang dimaksud dengan korban adalah

orang-orang, baik secara individual maupun

kolektif, yang menderita kerugian akibat perbuatan

12 Trisno Yuwono dan Pius Abdullah, Tanpa Tahun, Kamus Lengkap

Bahasa Indonesia Praktis, Arkola, Surabaya, Hlm. 294.

13Muhadar, 2006, Viktimisasi Kejahatan Dibidang Pertanahan, LaksBang

Pessindo, Yogyakarta, Hlm, 17-18.

11

(tidak berbuat) yang melanggar hukum pidana yang

berlaku di suatu negara, termasuk peraturan-

peraturan yang melarang penyalahgunaan kekuasaan.

Selain itu korban termasuk juga orang-orang yang

menjadi korban dari perbuatan-perbuatan (tidak

berbuat) yang walaupun belum merupakan pelanggaran

terhadap hukum pidana nasional yang berlaku,

tetapi sudah merupakan pelanggaran menurut norma-

norma hak asasi manusia yang diakui secara

internasional.14

Berdasarkan definisi yang diberikan oleh

Undang-Undang No.13 Tahun 2006 Tentang

Perlindungan Saksi dan Korban. Yang dimaksud

dengan Korban adalah seseorang yang mengalami

penderitaan fisik, mental, dan/atau kerugian

ekonomi yang diakibatkan oleh suatu tindak

pidana.15

Menurut Arif Gosita, pengertian korban adalah

mereka yang menderita jasmaniah dan rohaniah

sebagai akibat tindakan orang lain yang mencari

pemenuhan kepentingan diri sendiri atau orang lain

yang bertentangan dengan kepentingan dan hak asasi

14Barda Nawawi Arief, 1997, Beberapa Aspek Kebijakan Penegakan danPengembangan Hukum Pidana, (Kumpulan Makalah), ex Kerjasama IndonesiaBelanda Bidang Hukum, Semarang, Hlm, 51-52.15 Lihat Pasal 1 ayat 2 Undang-Undang No.13 Tahun 2006 Tentang

Perlindungan Saksi dan Korban.

12

yang menderita.16 Korban yang dimaksud oleh Arif

Gosita diantaranya individu, atau kelompok baik

swasta maupun pemerintah.

Pengertian korban menurut Stanciu yang

dikutip oleh Farhana menyatakan bahwa “the victim, in

the broad sense, is who suffer unjustly (from the latin victima,

which signifiers the creature offered in sacrifice to the gods). Thus,

the two characteristics traits of the victim are suffering and

injustice. Suffering must be unjust and not necessary illegal.”17

Menurut Mardjono, mengenai korban meliputi

pelanggaran terhadap hak asasi manusia yang

bersumber dari penyalahgunaan secara melawan hukum

kekuasaan ekonomi (illegal abuses of economic power)

seperti pelanggaran terhadap peraturan

ketenagakerjaan, penipuan konsumen, penyelewengan

dalam bidang perdagangan oleh perusahaan-

perusahaan transnasional dan sebagainya, dan

penyalahgunaan secara melawan hukum kekuasaan umum

(illegal abuse of public power), seperti pelanggaran

terhadap hak asasi manusia, penyalahgunaan

wewenang oleh alat penguasa dan sebagainya.18

16 Arif Gosita, 1985, Masalah Korban Kejahatan, CV. Akademika

Pressindo, Jakarta, Hlm. 41.

17 Angkasa, Kedudukan Korban Dalam Sistem Peradilan Pidana PendekatanViktimologis Terhadap Korban Tindak Pidana Perkosaan dalam Farhana, 2010,Aspek Perdagangan Orang Di Indonesia, Sinar Grafika, Jakarta, Hlm. 157.18 Mardjono Reksodiputro, Beberapa Catatan Umum Tentang Masalah Korban

dalam Ibid, Hlm. 158.

13

Pengertian korban tidak hanya sebatas

pengertian saja, tetapi ada juga ciri yang melekat

pada pengertian korban. Ciri yang dimaksud adalah

bahwa korban mengalami penderitaan (suffering) dan

ketidakadian (injustice).19

B. Faktor Anak Menjadi Korban Eksploitasi dalam

Bidang Ketenagakerjaan

Banyak faktor yang menyebabkan pekerja anak

menjadi rentan terhadap tindakan eksploitasi pada

bidang ketenagakerjaan. Faktor faktor tersebut

bisa saja datang dari internal anak itu sendiri,

dari pengusaha maupun dari instrumen hukumnya yang

tidak secara tegas mengatur mengenai perlindungan

hukum terhadap pekerja anak yang rentan terhadap

tindakan eksploitasi.

Para pengusaha mempekerjakan anak-anak,

karena anak dapat diupah rendah bila dibandingkan

dengan orang dewasa. Pertimbangan minimalisasi

biaya produksi dan prinsip ekonomi merupakan

alasan rasional yang pengusaha terapkan dalam

perekrutan anak sebagai tenaga kerja. Di samping

itu, memang timbul kesan adanya motif sosial di

antara pengusaha-pengusaha dalam merekrut

anak-anak, seakan-akan ingin menolong anak-anak

19 Ibid, Hlm. 157.

14

yang menganggur dengan menciptakan peluang kerja,

sehingga anak bisa mendapatkan penghasilan (upah).

Akan tetapi motif tersebut sebenarnya hanya

merupakan dalih, karena dengan cara itu anak

mendapat legitimasi dari lingkungannya untuk

mempekerjakan anak-anak.

Bentuk eksploitasi paling umum menyangkut

imbalan kerja (upah). Anak-anak cenderung menerima

upah rendah atau bahkan tidak diupah sama sekali,

meskipun melakukan jenis pekerjaan yang sama

dengan pekerja dewasa. Kondisi tersebut

menunjukkan bahwa bukan jenis pekerjaan yang

menentukan besar kecilnya upah yang diterima

tenaga kerja anak, tetapi status sebagai anak yang

menyebabkannya. Dalam struktur masyarakat, anak-

anak berada pada posisi yang subordinat terhadap

orang dewasa. Struktur sosial setempat yang

demikian menjadi faktor yang penting dalam

mencermati anak dari fenomena eksploitasi ekonomi.

Posisi subordinat yang mengandung hubungan

kekuasaan antar orang dewasa dengan anak-anak

diterapkan di seluruh bidang kehidupan, termasuk

dalam kegiatan ekonomi. Dengan demikian, fenomena

eksploitasi ekonomi terus dilihat dalam konteks

yang lebih luas, bukan hanya dalam konteks ekonomi

15

semata melainkan juga dalam konteks sosial,

politik, dan budaya setempat.

Disebutkan pula bahwa instrumen hukum

mengenai perlindungan hukum terhadap pekerja anak

juga mempengaruhi muncuknya tindakan eksploitasi.

Dalam Undang-Undnag No. 13 Tahun 2003 Tentang

Ketenagakerjaan menyebutkan bahwa Pengusaha

dilarang mempekerjakan anak, kecuali bagi anak

yang berumur antara 13 (tigabelas) tahun sampai

dengan 15 (limabelas) tahun untuk:

a. Melakukan pekerjaan ringan sepanjang tidak

mengganggu perkembangan dan kesehatan fisik,

mental dan sosial.20

b. Untuk menganggu bakat dan minat.

Pengusaha yang mempekerjakan anak untuk

mengembangkan bakat dan minatnya wajib memenuhi

syarat:21

1) Dibawah pengawasan langsung orang tua/wali,

2) Waktu kerja paling lama 3 (tiga) jam sehari,

3) Kondisi dan lingkungan kerja tidak mengganggu

perkembangan fisik, mental, sosial dan waktu

sekolah.

c. Khusus bagi anak yang berusia 14 tahun, untuk

pekerjaan yang merupakan bagian dari kurikulum20 Pasal 68 dan Pasal 69 Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 TentangKetenagakerjaan.21 Pasal 71 Ayat 2 Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 Tentang Ketenagakerjaan.

16

pendidikan atau pelatihan yang disahkan oleh

pejabat berwenang.

Dari pengertian anak diatas, terutama

pengertian anak menurut Undang-Undang No.13 Tahun

2003, bahwa anak adalah setiap orang yang berumur

dibawah 18 (delapan belas) tahun. Hal ini jelas

bahwa usia antara 15 (lima belas) tahun dan 18

(delapan belas) tahun adalah masih berstatus anak.

Namun dalam Undang-Undang ini tidak

dijelaskan apakah anak yang berumur di rentang

usia 15 (lima belas) tahun hingga 18 (delapan

belas) tahun boleh dipekerjakan atau dapat

dipekerjakan seperti orang dewasa.

Tentu saja ini dapat berimplikasi hilangnya

kekebalan hukum terhadap anak pada usia yang telah

disebutkan diatas. Dengan adanya kekosongan hukum

ini pemilik usaha dengan leluasa dapat

mempekerjakan anak di batasan umur 15 (lima belas)

tahun hingga 18 (delapan belas) tahun tanpa harus

dikenai sanksi pidana.

Perlindungan hukum yang diharapkan tidak

dapat menjamin hak anak yang berusia di rentang

itu. Dalam Undnag-Undang Nomor 39 Tahun 1999

Tentang HAM jelas menyatakan bahwa anak mempunyai

hak untuk memperoleh perlindungan dari

eksploitasi, tetapi nyatanya dalam Undang-Undang

17

No. 13 Tahun 2013 Tentang Ketenagakerjaan ini

menghilangkan hak anak yang berusia di rentang 15

(lima belas) tahun hingga 18 (delapan belas) tahun

dari eksploitasi dibidang ekonomi dan

ketenagakerjaan.

Pasal 71 Undang-Undang No. 13 Tahun 2013

menyebutkan bahwa hanya boleh mempekerjakan anak

untuk mengembangkan bakat dan minatnya yang pada

hakekatnya berfungsi untuk melindungi anak agar

pengemmbangan bakat dan minat anak yang muncul

pada usia tersebut tidak terhambat.

Ketentuan ini tidak secara jelas menyebutkan

jenis pekerjaan yang seperti apa untuk

mengembangkan bakat dan minatnya anak di usia

tersebut. Dengan tidak adanya spesifikasi mengenai

jenis pekerjaan yang bagaimana maka hal ini tentu

saja dapterhadap eksploitasi.

C. Penegakan Hukum Sebagai Upaya Memberikan

Perlindungan Hukum Terhadap Anak Sebagai Korban

Eksploitasi di Bidang Ketenagakerjaan

Untuk memberikan kepastian perlindungan hukum

terhadap pekerja anak sebagai korban eksploitasi,

maka dalam Undang-Undang No.13 Tahun 2003 setiap

pengusaha yang melakukan tindakan eksploitasi ini

diberikan sanksi pidana dan sanksi administratif.

18

Adapun ketentuan pidana yang termaktub dalam

undang-undang ini mengatur tindakan apa yang

tergolong dalam suatu tindak kejahatan atau tindak

pelanggaran. Dalam hal ini pengusaha dapat

diberikan sanksi apabila terbukti melakukan

tindakan eksploitasi terhadap pekerja anak.

Perbuatan pengusaha yang melanggar Pasal 68,

Pasal 69 Ayat (2) dan Pasal 75 merupakan tindak

kejahatan dengan sanksi pidana penjara minimal 1

tahun dan maksimal 4 tahun. Sedangkan ketentuan

Pasal 71 ayat (2) merupakan tindak pelanggaran

dengan sanksi pidana kurungan pasling singkat 1

bulan dan paling lama 12 bulan.

Mekanisme ini memberikan ruang kepada para

pengusaha yang melakukan tindakan eksploitasi

diberikan sanksi pidana yang tergolong ringan dan

tidak memberikan efek jera kepada pengusaha itu.

Sanksi pidana yang tergolong ringan ini tidak

berbanding lurus dengan akibat yang diterima oleh

pekerja anak sebagai korban. Tindakan eksploitasi

selalu memberikan dampak buruk untuk tumbuh

kembang anak, dalam hal ini tumbuh kembang anak

merupakan hak anak yang seharusnya dijaga penuh.

Untuk memberikan perlindungan hukum terhadap

hak tersebut, Pasal 189 undang-undang

ketenagakerjaan menyebutkan bahwa sanksi pidana

19

penjara, kurungan, dan/atau denda tidak

menghilangkan kewajiban pengusaha membayar hak-hak

dan/atau ganti kerugian kepada tenaga kerja atau

pekerja/buruh.

Kewajiban membayar hak-hak pekerja anak telah

tercantum dalam undang-undang ketenagakerjaan ini.

Hanya saja mengenai ganti kerugian tidak secara

gamblang disebutkan mekanismenya seperti apa dan

seberapa besar ganti kerugian yang dapat ditujukan

kepada pekerja anak sebagai korban. Ganti kerugian

dalam Pasal 189 juga tidak menyebutkan bahwa ganti

kerugian itu dapat berdasarkan putusan pengadilan

yang berkekuatan tetap atau dapat berdasarkan

keinginan pengusaha untuk memberikan ganti

kerugian.

Dengan ketidak-jelasan ini, pemberian

restitusi dan kompensasi sebagai upaya untuk

meringankan penderitaan korban tentu saja tidak

terpenuhi dengan baik. Dalam undang-undang ini

juga tidak disebutkan upaya rehabilitasi terhadap

pekerja anak yang menerima eksploitasi. Padahal

rehabilitasi ini merupakan unsur terpenting dalam

membalikkan keadaan pekerja anak yang trauma

psikis akibat tindakan eksploitasi tersebut.

Seharusnya dalam undang-undang ketenagakejaan ini

lebi eksplisit menjelaskan mengenai upaya-upaya

20

pemberian ganti kerugian, baik berupa uang ataupun

rehabilitasi.

Upaya yang dapat diberikan dalam memberikan

perlindungan hukum terhadap pekerja anak sebagai

korban adalah dengan:

1. Pemberian restitusi dan kompensasi.

2. Layanan konseling dan pelayanan/bantuan medis

sebbagai upaya rehabilitasi kejiwaan anak.

3. Pemberian bantuan hukum.

4. Pemberian informasi kepada korban dan

keluarganya berkaitan dengan proses pemeriksaan

tindakan yang dialami korban.

21

BAB III

PENUTUP

A. Kesimpulan

Adapun kesimpulan yang dari pembahasan di

atas adalah:

1. Faktor pekerja anak menjadi korban tindakan

eksploitasi itu muncul dari tindakan pengusaha

yang ingin mencari keuntungan sebesar-besarnya

dengan pengeluaran sekecil-kecilnya. Intrumen

hukum dalam memberikan penjelesan seperti apa

anak yang bekerja, batasan-batasannya dan

pekerjaan apa yang boleh dilakukan tidak jelas

dalam undang-undang ketenagakerjaan sehingga

kekosongan inilah yang menjadi alasan kuat

terjadinya tindakan eksploitasi terhadap

pekerja anak.

2. Ganti kerugian dan rehabilitasi terhadap

pekerja anak sebagai korban tidak dicantumkan

dengan jelas dalam undang-undang

22

ketenagkerjaan, sehingga upaya untuk

meringankan beban korban sungguh tidak memadai

B. Saran

Sebagai upaya pembaharuan hukum, diharapkan

perlindungan hukum dalam menegakan kepastian hukum

terhadap pekerja anak lebih banyak diatur dan

jangan sampai aturan itu sendiri yang memunculkan

korban.

23