Perlindungan hukum korban tindak pidana perdagangan orang

25
1 UPAYA PERLINDUNGAN KORBAN TINDAK PIDANA PERDAGANGAN ORANG MELALUI SISTEM PERADILAN PIDANA Bab I Pendahuluan 1. Latar Belakang Perdagangan manusia atau istilah Human Trafficking merupakan sebuah kejahatan yang sangat sulit diberantas dan disebut-sebut oleh masyarakat internasional sebagai bentuk perbudakan masa kini dan pelanggaran terhadap hak asasi manusia. Kejahatan ini terus menerus berkembang secara nasional maupun internasional. Dengan perkembangan dan kemajuan teknologi, informasi, komunikasi dan transportasi, maka semakin berkembang pula modus kejahatannya yang dalam beroperasinya sering dilakukan secara tertutup dan bergerak diluar hukum. Pelaku perdagangan orang (Trafficker) pun dengan cepat berkembang menjadi sindikasi lintas batas negara dengan cara bekerja yang mematikan. Perdagangan orang dapat mengambil korban dari siapapun, orang dewasa dan anak-anak, laki-laki maupun perempuan yang pada umumnya berada dalam situasi dan kondisi yang rentan. Modus yang digunakan kejahatan ini sangat beragam dan juga memiliki aspek kerja yang rumit. Korban trafficking seringkali digunakan untuk tujuan eksploitasi seksual (pelacuran dan pedophilia), dipakai serta bekerja pada tempat-tempat kasar yang

Transcript of Perlindungan hukum korban tindak pidana perdagangan orang

1

UPAYA PERLINDUNGAN KORBAN TINDAK PIDANA PERDAGANGANORANG MELALUI SISTEM PERADILAN PIDANA

Bab IPendahuluan

1. Latar Belakang

Perdagangan manusia atau istilah Human Trafficking

merupakan sebuah kejahatan yang sangat sulit diberantas

dan disebut-sebut oleh masyarakat internasional sebagai

bentuk perbudakan masa kini dan pelanggaran terhadap

hak asasi manusia. Kejahatan ini terus menerus

berkembang secara nasional maupun internasional. Dengan

perkembangan dan kemajuan teknologi, informasi,

komunikasi dan transportasi, maka semakin berkembang

pula modus kejahatannya yang dalam beroperasinya sering

dilakukan secara tertutup dan bergerak diluar hukum.

Pelaku perdagangan orang (Trafficker) pun dengan cepat

berkembang menjadi sindikasi lintas batas negara dengan

cara bekerja yang mematikan.

Perdagangan orang dapat mengambil korban dari

siapapun, orang dewasa dan anak-anak, laki-laki maupun

perempuan yang pada umumnya berada dalam situasi dan

kondisi yang rentan. Modus yang digunakan kejahatan ini

sangat beragam dan juga memiliki aspek kerja yang

rumit. Korban trafficking seringkali digunakan untuk

tujuan eksploitasi seksual (pelacuran dan pedophilia),

dipakai serta bekerja pada tempat-tempat kasar yang

2

memberikan gaji rendah seperti buruh perkebunan,

pembantu rumah tangga (PRT), pekerja restoran, tenaga

penghibur, perkawinan kontrak juga buruh anak.

Secara konstitusional negara wajib menyelenggarakan

perlindungan bagi warga negaranya. Sebagaimana

ditegaskan dalam pembukaan UUD 1945, salah satu tujuan

Pembentukan Pemerintahan Republik Indonesia adalah

melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah

darah Indonesia dan untuk memajukan kesejahteraan umum

dan mencerdaskan kehidupan bangsa. Perlunya diberikan

perlindungan hukum bagi korban kejahatan secara memadai

tidak saja merupakan isu nasional, tetapi juga

internasional. Perlindungan hukum bagi masyarakat

sangatlah penting karena masyarakat baik kelompok

maupun perorangan dapat menjadi korban kejahatan. Hal

ini merupakan bagian dari perlindungan kepada

masyarakat, yang dapat diwujudkan dalam berbagai

bentuk, seperti pemberian restitusi dan kompensasi,

pelayanan medis, dan bantuan hukum.

Pertumbuhan dan perkembangan kejahatan tidak terlepas

dari korban. Korban tidak saja dipahami sebagai objek

dari suatu kejahatan, akan tetapi dipahami sebagai

subjek yang perlu mendapat perlindungan baik secara

sosial dan hukum. Pada dasarnya korban adalah orang

baik sebagai individu, kelompok atau masyarakat yang

telah menderita kerugian secara langsung telah

3

terganggu akibat pengalamannya sebagai sasaran dari

kejahatan. Dalam beberapa kasus tindak pidana

perdagangan orang, masalah perlindungan terhadap korban

seringkali diabaikan oleh aparat-aparat hukum maupun

oleh masyarakat itu sendiri. Padahal perlindungan

korban perdagangan orang sangatlah penting agar tidak

terjadi perdagangan orang dengan korban yang sama.

Aparat hukum dan masyarakat seharusnya memperhatikan

korban perdagangan orang sejak dari proses peradilan

sampai kepada selesai proses peradilan.

Sistem peradilan pidana yang ada sekarang tidak

tertarik untuk memikirkan bagaimana pemulihan dampak

kejahatan yang dialami dan diderita oleh korbannya.

Merupakan aib bagi suatu bangsa jika setiap hari ribuan

warga negara menjadi korban dari suatu kejahatan dan

terlanggar hak-hak asasinya diterlantarkan, sementara

mereka sibuk untuk memikirkan perlindungan hukum,

konstitusional, dan hak-hak asasi bagi orang yang

melanggar hukum pidana, meskipun hal ini juga

diperlukan.

Polisi dan jaksa sebagai bagian sub-sistem peradilan

sebagai ‘pintu gerbang’ masuknya perkara pidana ke

pengadilan menunjukkan sikap yang kurang respek

terhadap korban/pelapor. Negara, dalam hal ini polisi

dan jaksa, memiliki peran yang dominan dan memonopoli

reaksi terhadap pelanggaran hukum pidana adalah wakil

4

sah dari masyarakat atau kepentingan publik,

sesungguhnya telah mengambil alih peran korban sebagai

pihak yang menderita karena kejahatan. Dominannya peran

negara tersebut tidak diikuti oleh pengaturan hukum

yang jelas mengenai hubungan hukum antara korban

kejahatan di satu pihak dengan negara di lain pihak.

Keadaan tersebut menjadi conditio sine qua non bagi nasib

korban kejahatan, yakni sebagai obyek yang pasif dalam

penyelenggaraan sistem peradilan pidana.

Peradilan pidana selama ini lebih mengutamakan

perlindungan kepentingan pelaku (offender oriented)

dilatarbelakangi oleh pandangan bahwa sistem peradilan

pidana diselenggarakan untuk mengadili tersangka dan

bukan melayani kepentingan korban. Kejahatan adalah

melangaar kepentingan publik dan reaksi terhadap

kejahatan menjadi minopoli negara sebagai reperesentasi

publik atau masyarakat. Pandangan tersebut mendominasi

dalam praktek hukum pidana yang mengakibatkan orang

yang terlanggar haknya dan menderita akibat kejahatan

diabaikan oleh sistem peradilan pidana. Nasib korban

kejahatan diibaratkan seperti oarang yang mengalami

bencana alam dan sistem peradilan pidana tidak

mempedulikan nasib orang yang menderita karena bencana

alam.

Perhatian dan partisipasi korban dalam prosedur

peradilan pidana adalah menjadi hal yang penting karena

5

fakta menunjukkan bahwa meningkatnya rata-rata

kriminalitas, relatif kecilnya jumlah perkara yang

diselesaikan oleh polisi, ada gejala semakin banyak

orang yang menjadi korban kejahatan dan mengalami

viktimisasi ulang, dan ada kecenderungan terjadinya

viktimisasi bersifat massal, maka semakin penting untuk

mengambil kebijakan hukum pidana yang tepat untuk

mengantisipasi problem yang dihadapi oleh korban

kejahatan. Adanya kriminalitas dapat dipastikan

menimbulkan kerugian pada korbannya, materiil dan

imateriil, tetapi setiap pelanggar hukum pidana belum

tentu bisa ditangkap dan dituntut ke pengadilan karena

berbagai alasan. Perhatian dan santunan kepada korban

kejahatan dapat mengurangi beban korban kejahatan pada

umumnya, sekaligus sebagai wujud tanggung jawab negara

terhadap rakyatnya dan tenggang rasa di antara anggota

masyarakat.

2. Rumusan Permasalahan

Bagaimanakah perlindungan korban tindak pidana

perdagangan orang melalui sistem peradilan pidana?

Bab IIPembahasan

1. Ruang Lingkup Korban Perdagangan Orang

6

Korban kejahatan seringkali identik dengan pihak

yang lemah, baik lemah secara fisik maupun mental,

secara ekonomis, politik dan sosial. Biasanya dikaitkan

dengan anak-anak, tidak berpendidikan, miskin, tidak

kenal hukum, tidak mempunyai perlindungan dan lain-

lain. Kondisi dan situasi korban dapat merangsang orang

atau kelompok lain melakukan kejahatan terhadap korban.

Ada kejahatan yang disadari oleh pelaku kejahatan,

tetapi ada kejahatan yang tidak disadari oleh korban

akan menimpa dirinya, begitu pula korban tindak pidana

perdagangan orang. Korban menyadari bahwa dapat terjadi

tindak pidana perdagangan orang terhadap dirinya

seperti tenaga kerja Indonesia dan ada yang tidak

menyadari karena ditipu atau dibujuk, sehingga terjadi

korban tindak pidana perdagangan orang.1

Dalam kamus Webster’s sebagaimana dikutip oleh

Farhana, disebutkan pengertian korban adalah:2

a. a person animal killed as a sacrifice to a god in a religious rite,

b. someone or samething killed, destroyed, injured or otherwise

harmed by, or suffering from, some act, condition, or circumstance

(victim of war),

c. a person who suffers some loss,

d. to make a victim of; specif, a) to kill, destroy, etc., as or like b)

sacrificial victim, c) to dupe or cheat.

1 Farhana, 2010. Aspek Hukum Perdagangan Orang di Indonesia,Jakarta,Sinar Grafika, hlm .154 2 Ibid

7

Dari pengertian korban di atas, bahwa:

a.orang atau binatang dikorbankan kepada dewa atau

didenda oleh orang lain; seseorang yang mengalami

penindasan, kerugian atau penderitaan;

b.seseorang yang dibunuh, dianiaya atau didenda oleh

orang lain; seseorang yang mengalami penindasan,

kerugian atau penindasan;

c.seseorang yang mengalami kematian atau luka-luka

dalam berusaha menyelamatkan diri;

d.seseorang yang diperdaya, ditipu atau mengalami

penderitaan; seseorang yang dipekerjakan atau

dimanfaatkan secara sewenang-wenang dan tidak

layak.

Pemahaman korban dalam Webster’s hampir mempunyai

kesamaan engan pengertian korban dalam Kamus Umum

Bahasa Indonesia, yaitu korban diartikan sebagai:

a.pemberian untuk menyatakan kebaktian (kerelaan

hati dan sebagainya);

b.orang yang menderita kecelekaan karena perbuatan

(hawa nafsu dan sebagainya) sendiri atau orang

lain;

c.orang yang mati

d.orang yang mati karena menderita kecelakaan,

karena tertimpa bencana alam.3

3 Ibid. hlm. 155

8

Dalam Declaration of Basic Principles of Justice for Victims of Crime

and Abuse of Power dinyatakan sebagai berikut:

a. victims means persons who, individually or collectively, have

suffered harm, including physical or menta injury, emotional

suffering, economic loss or omission that are inviolation of criminal

laws operative within member states, including those laws

proscribing abuse of power

b. a person may be considered a victim, under this Declaration,

regardless of whether the perpetratos is identified, apperehended,

prosecuted or convicted and regardless of the familial relationship

between the perpetrator and the victim. The term “victim” also

includes, where appropriate, the immediate family or dependents

of the direct victim and persons who have suffered harm in

intervening to assist victims in distress or to prevent victimzation4.

Berdasarkan pengertian di atas bahwa yang dimaksud

korban adalah seseorang baik individual ataupun

kolektif yang menderita kerugian, termasuk luka fisik

maupun mental, penderitaan mental, penderitaan

emosional, kerugian ekonomi ataupun terlanggarnya hak-

hak dasar yang disebabkan karena perbuatan yang

melanggar hukum pidana pada suatu Negara baik disengaja

maupun kelalaian.

Dengan kata lain, korban kejahatan dilihat dari

sifatnya ada yang individual dan ada yang kolektif.

Korban kejahatan dilihat dari jenisnya ada yang

4 Ibid

9

disengaja dan ada yang karena kelalaian. Demikian juga

halnya dengan korban terhadap perdagangan orang,

dilihat dari sifat dan jenisnya memiliki kesamaan

dengan korban kejahatan pada umumnya.

Deklarasi ini berlaku pada setiap warga negara tanpa

memandang atau membedakan apapun juga misalnya ras,

warna kulit, jenis kelamin, umur, bahasa, agama,

bangsa, politik atau pendapat lain, kepercayaan atau

kebiasaan budaya, kekayaan, asal usul suku bangsa atau

masyarakat maupun mereka yang tidak mempunyai

kemampuan.

Menurut Arif Gosita pengertian korban adalah sebagai

berikut:

“korban adalah mereka yang menderita jasmaniah ataurohaniah sebagai akibat tindakan orang lain yangmencari pemenuhan kepentingan diri sendiri atauorang lain yang bertentangan dengan kepentingan danhak asasi yang menderita. Mereka dapat berartiindividu atau kelompok baik swasta maupunpemerintah”.5

Dari pengertian korban yang disebutkan di atas,

tidak hanya sebatas pengertian saja, tetapi juga ada

ciri yang melekat pada pengertian korban. Ciri yang

dimaksud adalah bahwa korban mengalami penderitaan

(suffering) dan ketidakadilan (injustice).

5 Arif Gosita, 1985. Masalah Korban Kejahatan, Jakarta, Akademika Pressindo, hlm. 41

10

Luas sempinya pengertian korban kejahatan berkaitan

erat dengan sifat kejahatan itu sendiri. Korban

kejahatan pada mulanya hanya diartikan sebagai korban

dari kejahatan bersifat konvensional, seperti

pembunuhan, pemerkosaan, pencurian, dan penganiayaan,

kemudian diperluas pengertiannya menjadi kejahatan yang

nonkonvensional seperti terorisme, pembajakan,

kejahatan terorganisir, kejahatan terhadap kemanuisaan,

dan lain-lain termasuk korban terhadap tindak pidana

perdagangan orang.

Batasan pengertian korban kejahatan adalah bagian

yang tidak mudah untuk dirumuskan karena meliputi pada

aspek-aspek kehidupan yang luas. Oleh karena itu,

batasan pengertian korban terletak dalam undang-undang

yang mana pengertian korban dalam tindak pidana

perdagangan orang sama dengan pengertian korban pada

umumnya hanya korban tersebut akibat dari tindak pidana

perdaganga orang. Lebih rinci dinyatakan dalam Undang-

Undang Nomor 21 Tahun 2007 tentang Pemberantasan Tindak

Pidana Perdagangan Orang. Pasal 1 angka 3 adalah

undang-undang tersebut menyatakan bahwa korban adalah

seseorang yang mengalami penderitaan psikis, mental,

fisik, dan sosial yang diakibatkan tindak pidana

perdagangan. Pengertian korban yang disebutkan dalam

undang-undang di atas, sejalan dengan Undang-Undang

Nomor 13 Tahun 2006 tentang Perlindungan Saksi dan

11

Korban Pasal 1 angka 2 yang menyatakan bahwa korban

adalah seseorang yang mengalami penderitaan fisik,

mental atau kerugian ekonomi yang diakibatan oleh suatu

tindak pidana.6

Ruang lingkup mengenai korban kejahatan mencakup

tiga hal, yaitu siapa yang menjadi korban, penderitaan

atau kerugian apakah yang dialami korban kejahatan dan

siapa yang bertanggungjawab dan/atau bagaimana

penderitaan dan kerugian yang dialami korban dapat

dipulihkan.

Kerugian dan penderitaan korban suatu tindak pidana

dapat berupa materi, fisik, psikologis, dan sosial.

Pengelompokan kerugian atau penderitaan tersebut tidak

berarti bahwa seorang korban hanya mengalami salah satu

kerugian atau penderitaan saja karena pada beberapa

jenis tindak pidana dapat pula dijumpai berbagai

kerugian dan penderitaan yang dirasakan sekaligus,

termasuk korban tindak pidana perdagangan orang

mengalami beberapa kerugian dan penderitaan sekaligus,

kerugian materiil dan juga penderitaan psikis dan

fisik. Kerugian materi dapat berupa uang dan hilangnya

pendapatan yang seharusnya diperoleh. Di samping

kerugian yang diderita saat terjadinya tindak pidana

juga dapat terjadi kerugian materi setelah tindak

pidana terjadi. Kerugian atau penderitaan fisik yang

6 Farhana, op.cit. hlm 158

12

mudah terlihat dari penderitaan yang lainnya. Ini

mempunyai dampak yang bervariasi sesuai dengan tingkat

keseriusan luka yang diderita korban.

2. Sistem Peradilan Pidana

Dalam pandangan sistem peradilan pidana, terdapat

beberapa institusi penegak hukum yang ikut mengambil

peran dalam melakukan proses peradilan pidana

diantaranya adalah institusi Kepolisian, Kejaksaan,

Pengadilan dan Pemasyarakatan. Keempat institusi

tersebut seharusnya dapat bekerja sama dan

berkoordinasi dengan baik untuk mencapai tujuan

mewujudkan keadilan sebagaimana yang dicita-citakan

oleh semua pihak, paling tidak dapat menanggulangi

kejahatan atau mengendalikan terjadinya kejahatan agar

berada dalam batas-batas toleransi yang dapat diterima

masyarakat. Meskipun secara kelembagaan, insititusi ini

terpisah satu sama lainnya, namun tetap menjadi satu

kesatuan yang tak terpisahkan dalam jalinan sistem

peradilan pidana terpadu.

Proses pidana dapat dimaknai sebagai keseluruhan

tahapan pemeriksaan terhadap perkara pidana untuk

mengungkap perbuatan pidana yang terjadi dan mengambil

tindakan hukum kepada pelakunya. Proses peradilan

pidana melalui berbagai tahapan yang masing-masing

13

tahapan diwadahi oleh institusi dengan stuktur dan

kewenangan sendiri-sendiri. Dengan melalui berbagai

institusi, maka proses peradilan pidana dimulai dari

institusi Kepolisian, diteruskan ke institusi

Kejaksaan, sampai ke institusi pengadilan dan berakhir

ke institusi Lembaga Pemasyarakat. Masing-masing

institusi ini bertanggung jawab dan bekerja sesuai

dengan tugas dan kewajibannya.7

Dari keseluruhan rangkaian proses peradilan pidana

dapat dikelompokkan menjadi 4 tahap yakni 1) Tahap

Penyelidikan dan Penyidikan. Tahap ini menjadi tanggung

jawab institusi kepolisian. 2) tahap penuntutan, tahap

ini menjadi tanggung jawab institusi kejaksaan. 3)

Tahap Pemeriksaan, tahap ini menjadi tanggung jawab

institusi pengadilan dan 4) Tahap Eksekusi, tahap ini

menjadi Tanggung Jawab Lemabaga Pemasyarakatan.

3. Perlindungan Korban Tindak Pidana Perdagangan Orang

Melalui Sistem Peradilan Pidana

Dalam kajian terhadap upaya memberikan perlindungan

hukum bagi korban perdagangan orang, penghargaan atas

hak asasi manusia belum sepenuhnya dapat diwujudkan

bahkan ada kecenderungan untuk memperjualkan pihak

korban, termasuk keluarganya karena lemahnya mereka

dalam mempertahankan kedaulatan harga diri akibat

rendahnya pendidikan, kemiskinan, dan lain-lain. 7 Rusli Muhammad, 2011. Sistem Peradilan Pidana Indonesia, UII Press, Yogyakarta, hlm. 62

14

Dalam kaitannya dengan upaya pelindungan hukum

terhadap korban perdagangan orang, maka upaya

perlindungan hukum bagi masyarakat menjadi penting. Hal

tersebut disebabkan masyarakat baik kelompok maupun

perorangan dapat sewaktu-waktu menjadi korban kejahatan

perdagangan orang sebagai bagian dari perlindungan

kepada masyarakat, dapat diwujudkan dengan berbagai

bentuk dan model.

Pada dasarnya bentuk-bentuk dan model perlindungan

terhadap korban kejahatan dapat juga diberikan kepada

korban tindak pidana perdagangan orang, untuk lebih

mendalami bentuk perlindungan terhadap korban kejahatan

perdagangan orang, maka terdapat beberapa bentuk atau

model perlindungan yang dapat diberikan kepada korban,

yaitu sebagai berikut:8

a.Pemberian Restitusi dan Kompensasi

Setiap korban tindak pidana perdagangan orang atau

ahli warisnya berhak memperoleh restitusi dari

pelaku. Restitusi ini merupakan ganti kerugian atas

kehilangan kekayaan atau penghasilan, pederitaan,

biaya untuk tindakan perawatan medis dan/atau

psikologis dan/atau kerugian lain yang diderita

korban sebagai akibat perdagangan orang.

Dilihat dari kepentingan korban dalam konsep ganti

rugi terkandung dua manfaat, yaitu untuk memenuhi

8 Farhana, op.cit. hlm. 163

15

kerugian materiil dan segala biaya yang telah

dikeluarkan dan merupakan pemuasan emosional korban.

Adapun dilihat dari kepentingan pelaku, kewajiban

mengganti kerugian dipandang sebagai suatu bentuk

pidana yang dijatuhkan dan dirasakan sebagai suatu

konkret dan langsung berkaitan dengan kesalahan yang

diperbuat pelaku.

Pengertian restitusi menurut Undan-Undang Nomor 21

Tahun 2007 tentang Pemberantasan Tindak Pidana

Perdagangan Orang adalah pembayaran ganti kerugian

yang dibebankan kepada pelaku berdasarkan putusan

pengadilan yang berkekuatan hukum tetap atas

kerugian materiil dan/atau imateriil yang diderita

korban atau ahli warisnya. Restitusi lebih diarahkan

pada tanggung jawab pelaku terhadap akibat yang

ditimbulkan oleh kejahatan, sehingga sasaran

utamanya adalah menanggulangi semua kerugian yang

diderita korban. Tolok ukur untuk menentukan jumlah

atau besar kecilnya ganti kerugian tergantung pada

status sosial pelaku dan korban. Biasanya korban

dengan status sosial yang lebih rendah dengan

pelaku, akan mengutamakan ganti kerugian dalam

bentuk materi dan pemulihan harkat serta nama baik

akan lebih diutamakan bagi korban yang berstatus

sebaliknya.

16

Aturan atau undang-undang tidak menentukan dan

merumuskan secara tegas, Undang-Undang Nomor 21

Tahun 2007 tentang Pemberantasan Tindak Pidana

Perdagangan Orang hanya menjelaskan bahwa restitusi

adalah hak korban atau ahli warisnya dan restitusi

tersebut diberikan dn dicantumkan dalam amar putusan

pengadilan, tidak dijelaskan ukuran besar atau

indikator jumlah restitusi dan layak tidaknya ganti

rugi yang diberikan. Dari pasal 48 tersebut dapat

dilihat bahwa bentuk ganti kerugian yang disebut

restitusi itu dalambntuk uang. Dengan demikian,

tujuan ganti rugi, yaitu pemenuhan atas tuntutan

berupa imbalan sejumlah uang.

Selain restitusi, kompenasi dapat digunakan sebagai

bentuk lain perlindungan korba tindak pidana sebagai

ganti kerugian yang diberikan oleh negara. Ganti

kerugian oleh negara tersebut merupakan suatu

pembayaran pelayanan kesejahteraan, karena negara

bertanggungjawab dan berkewajiban secara moral untuk

melindungi masyarakatnya. Apabila anggota masyarakat

menjadi korban tindak pidana, maka pemerintah

dianggap gagal dalam memenuhi kewajibannya, yakni

mencegah dan melindungi masyarakat dari kejahatan.

b.Layanan Konseling dan Pelayanan/Bantuan Medis

Pada umumnya perlindugnan yang diberikan kepada

korban sebagai akibat tindak pidana perdagangan

17

orang dapat bersifat fisik maupun psikis. Akibat

yang bersifat psikis lebih lama untuk memulihkan

daripada akibat yang bersifat fisik. Pengaruh akibat

tindak pidana perdagangan orang dapat berlangsung

selama berbulan-bulan bahka bertahun-tahun. Untuk

sebagian korban pengaruh akibat itu tidak sampai

mencapai situasi yang stabil di mana ingatan akan

kejadian dapat diterima dengan satu cara atau cara

lain. Bagi sejumlah korban pengaruh akibat itu tidak

dapat keluar yang baik seperti tenggelam dalam

penderitaan yang disebut psikotrauma. Oleh karena

itu, diperlukan pendampingan atau konseling untuk

membantu korban dalam rangka memulihakan kondisi

psikologisnya seperti semula. Sebagai pendamping

korban harus bisa mngusahakan agar dirinya tetap

berpihak kepada korban dan tidak menghakiminya.

Prinsip-prinsip dalam pendampingan korban harus

benar-benar dikuasai pada saat mendampingi korban.

Korban dalam keadaan trauma diperlukan seseorang

yang dipercaya dan dapat menibulkan rasa aman bagi

dirinya.

Pelayanan medis diberikan kepada korban yang

menderita akibat suatu tindak pidana. Pelayanan

medis yang dimaksud dapat berupa pemeriksaan

kesehatan, pengobatan dan lapran tertulis atau

visum.

18

c.Bantuan Hukum

Korban tindak pidana termasuk tindak pidana

perdagangan orang hendaknya diberikan bantuan hukum.

Ketika korban memutuskan untuk menyelesaikan

kasusnya melalui jalur hukum, maka negara wajib

menfasilitasinya. Negara dalam hal ini mewakili

korban untuk melakukan penuntutan terhadap pelaku

tindak pidana. Lembaga Swadaya Masyarakat juga

mempunyai peran dalam pendampingan hukum terhadap

korban tidak pidana termasuk korban tindak pidana

perdagangan orang. Hal ini disebabkan karena banyak

dari korban tidak mengetahui hak-haknya dan langkah-

langkah hukum apa saja yang bisa mereka tempuh untuk

menyelesaikan kasus yang mereka hadapi. Prosedur

pelaporan ke pihak Polri kemudian bagaimana

medapatkan visum agar dapat dijadikan sebagai barang

bukti serta langkah-langkah hukum lain yang tidak

diketahui oleh korban karena tidak mempunyai

pengetahuan khusus untuk itu.

Dengan demikian, pemberian bantuan hukum terhadap

korban diberikan baik diminta ataupun tidak diminta

oleh korban karena masih banyak korban yang rendah

tingkat kesdaran hukum. Membiarkan korban tindak

pidana tidak memperoleh bantuan hukum yang layak

dapat berakibat semaki terpuruknya kondisi korban

19

tindak pidana termasuk tindak pidana perdagangan

orang.

d.Pemberian Informasi

Pemberian informasi kepada korban atau keluarganya

berkaitan dengan proses penyelidikan dan pemeriksaan

tindak pidana yang dialami korban. Pemberian

informasi ini memegang peranan dalam upaya

menjadikan masyarakat sebagai mitra aparat

kepolisian karena melalui informasi diharapkan

fungsi kontrol masyarakat terhadap kinerja

kepolisian dapat berjalan dengan efektif. Salah satu

upaya yang dilakukan oleh kepolisisan dalam

memberikan informasi kepada korban atau keluarganya

melalui web sites dibeberapa kantor kepolisian, baik

yang sifatnya kebijakan maupun operasional.

Dalam Declaration of Basic Principles of Justice for Victim of Crime

and Abuse of Power telah dirumuskan bentuk-bentuk

perlindungan yang dapat diberikan kepada korban,

yaitu acces to justice and fair treatment, restitution, compensation,

and assistance.9

Kesempatan untuk memperoleh keadilan dan perlakuan

adil (aces to justice and fair treatment) menurut deklarasi

tersebut baahwa korban harus diperlakukan dengan

kasih sayang dan dihormati martabatnya. Korban

berhak mandapat kesempatan menggunakan mekanisme

9 Farhana, op.cit. hlm. 168

20

keadilan dan memperoleh ganti rugi dengan segera

sesuai dengan perundangan nasional. Mekanisme

pengadilan dan administrasi ditegakkan untuk

memungkinkan korban mendapatkan ganti rugi baik

melalui prosedur formal maupun informal yang tepat

guna, adil, tidak mahal, dan terjangkau.10

Hal ini sesuai dengan asas yang terdapat dalam Hukum

Acara Pidana, yaitu peradilan cepat, sederhana,

biaya ringan. Ketersediaan proses pengadilan dan

administrasi, untuk mengatasi kebutuhan korban harus

dipermudah dengan memberitahu korban proses dan

kemajuan khususnya, memperbolehkna kekhawatiran para

korban dikemukakan dan dipertimbangkan tanpa

tersangka terhadap tertuduh dan sesuai dengan sistem

pengadilan pidana nasional, memberi bantuan

secukupnya kepada korban selama proses hukuman

dijalankan, mengambil tindakan untuk mengurangi

gangguan kepada korban, melindungi kebebasan pribadi

dan apabila perlu menjamin keselamatannya maupun

keselamatan keluarganya dan saksi-saksi dari

intimidasi dan tindakan balasan, menghindari

penundaan yang tidak perlu dalam penempatan kasus-

kasus dan pelaksanaan perintah atau keputusan yang

memberikan ganti rugi kepada korban.

10 Ibid

21

Selain bentuk-bentuk perlindungan perlindungan

korban tindak pidana dalam sistem peradilan pidana

sebagaimana telah di jelaskan di atas, terdapat pula

bentuk-bentuk perlindungan korban tindak pidana

sebagaimana ketentuan Undang-Undang Nomor 13 tahun 2006

tentang Perlindungan Saksi dan Korban sebagai ketentuan

umum perlindungan korban dan juga ketentuan Undang-

Undang Nomor 21 Tahun 2007 tentang Pemberantasan Tindak

Pidana Perdagangan Orang secara khusus.

1. Perlindungan Korban dalam Undang-Undang Nomor 13

Tahun 2006 tentang Perlindungan Saksi dan Korban

Hak-hak korban dalam undang-undang ini dinyatakan

Pasal 5 ayat (1) antara lain memperoleh pelinungan

atas keamanan pribadi, keluarga, dan harta bendanya,

serta bebas dari ancaman yang berkenaan dengan

kesaksian yang akan, sedang atau telah diberikannya;

ikut serta dalam proses memilih dan menentukan

bentuk perlindungan dan dukungan keamanan;

memberikan keteranan tanpa tekanan; mendapat

penerjemah; bebas dari pertanyaan yang menjerat;

mendapatkan informasi mengenai perkebangan kasus dan

putusan pengadilan; mendapat identitas baru dan

kediaman baru; memperoleh penggantin biaya

transportasi sesuai dengan kebutuhan; mendapat

22

nasihat hukum; memperoleh bantuan biaya hidup

sementara sampai batas waktu perlindungan berakhir.11

Dalam Pasal 5 ayat (2) disebutkan bahwa hak tersebut

diberikan kepada korban tindak pidana dalam kasus-

kasus tertentu sesuai dengan keputusan LPSK. Kasus-

kasus tertentu yang dimaksud antara lain, tindak

pidana korupsi, tindak pidan narkotika, tindak

pidana terorisme dan tindak pidana lain yang

mengakibatkan posisi korba dihadapkan pada situasi

yang sangat membahayakan, termasuk korban tindak

pidana perdagangan orang sering mengalami situasi

yang membahayakan.

2. Perlindungan Korban dalam Undang-Undang Nomor 21

Tahun 2007 tentang Pemberantasan Tindak Pidana

Perdagangan Orang.

Pelindungan kepada korban, selain diwujudkan dalam

bentuk dipidananya pelaku juga diwujudkan dalam

bentuk pemenuhan hak-hak korban tindak pidana

perdagangan orang dalam Undang-Undang Nomor 21 Tahun

2007 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan

Orang adalah sebagai berikut:

a. Hak kerahasiaan ientitas korban tindak pidana

perdagangan orang dan keluarganya sampai derajat

kedua (Pasal 44)

11 Lihat Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2006 tentang Perlindungan Saksi dan Korban.

23

b. Hak untuk mendapat perlindungan dari ancaman yang

membahayakan diri, jiwa dan/atau hartanya (Pasal

47)

c. Hak untuk mendapatkan restitusi (Pasal 48)

d. Hak untuk memperoleh rehabilitasi kesehatan,

rehabilitasi sosial, pemulangan, dan reintegrasi

sosial dari pemerintah (Pasal 51)

e. Korban yang berada di luar negeri berhak

dilindungi dan dipulangkan ke Indonesia atas

biaya negara (Pasal 54).

Bab IIIPenutup

1. Kesimpulan

24

Berdasarkan pembahasan tersebut diatas, penulis

berkesimpulan bahwa tentang upaya perlindungan korban

tindak pidana perdagangan orang melalui sistem

peradilan pidana telah ada disetiap tahapan peradilan

pidana. Upaya perlindungan tersebut diantaranya adalah:

a. Pemberian restitusi dan kompensasi

b. Layanan konseling dan pelayanan/bantuan medis

c. Bantuan hukum

d. Pemberian infomasi

Selain bentuk-bentuk perlindungan korban sebagaimana

disebutkan, terdapat pula bentuk-bentuk perlindungan

korban secara khusus oleh ketentuan Undang-Undang Nomor

13 Tahun 2006 tentang Perlindungan Saksi dan Korban,

juga terdapat dalam ketentuan Undang-Undang Nomor 21

Tahun 2007 tentang Penanggulangan Tindak Pidana

Perdagangan Orang. Bentuk-bentuk perlindungan tersebut

tentunya ditempuh melalui Sistem Peradilan Pidana

(SPP), yakni perlindungan tersebut terdapat pada

tahapan Penyelidikan dan Penyidikan, Penuntutan,

Pemeriksaan Pengadilan, dan Pemasyarakatan.

2. Saran

Dilihat dari bentuk-bentuk perlindungan korban yang

terdapat dalam Sistem Peradilan Pidana terhadap korban

tindak pidana perdagangan orang, tentunya belum dirasa

adil untuk pemenuhan hak-hak korban. Oleh karena itu

dalam tulisan ini penulis menyarankan perlu adanya

25

konsistensi oleh penegak hukum dalam Sistem Peradilan

Pidana untuk memberikan perlindungan terhadap korban

tindak pidana pada umumnya dan korban tindak pidana

perdagangan orang pada khususnya sehingga para korban

dapat melaksanakan hak dan kewajibannya secara

manusiawi.