Wisatawan Mancanegara Anak-anak Dewasa Wisatawan Domestik Anak-anak Bus Transportasi Mobil Motor...

43
Komponen Produk Pariwisata sebagai Daya Tarik Wisata Desa Penglipuran, Bangli Dosen: Dr. Ir. AAP. Agung Suryawan Wiranatha, MSc Mahasiswa: Sulistyawati 139 077 1018 I Nyoman Budiartha 149 077 1007 Putu Agung Prianta 149 077 1006 Ni Luh Ramaswati Purnawan 149 077 1005 I Made Sarjana 149 077 1004 PROGRAM DOKTOR PARIWISATA UNIVERSITAS UDAYANA DENPASAR OKTOBER 2014

Transcript of Wisatawan Mancanegara Anak-anak Dewasa Wisatawan Domestik Anak-anak Bus Transportasi Mobil Motor...

0    

Komponen Produk Pariwisata sebagai Daya Tarik

Wisata

Desa Penglipuran, Bangli

Dosen:

Dr. Ir. AAP. Agung Suryawan Wiranatha, MSc

Mahasiswa:

Sulistyawati 139 077 1018

I Nyoman Budiartha 149 077 1007

Putu Agung Prianta 149 077 1006

Ni Luh Ramaswati Purnawan 149 077 1005

I Made Sarjana 149 077 1004

           

 

PROGRAM DOKTOR PARIWISATA

UNIVERSITAS UDAYANA

DENPASAR

OKTOBER 2014

1    

Tugas Studi Lapangan

Lokasi : Desa Wisata Penglipuran, Bangli

Theme : Community Based Tourism

Aspek Yang Dipelajari:

1. Attraction

2. Amenities

3. Accessibility

4. Image and Character

5. Price

6. Human Resource

Analisis : SWOT (Expert Judgement & Interview Visitor)

Laporan : Paper Kelompok Untuk Dipresentasikan

Laporan Akhir : Berbentuk Artikel Untuk Jurnal

2    

1. Pendahuluan

Desa Penglipuran, terletak di Kelurahan Kubu, Kecamatan Bangli,

Kabupaten Bangli, Propinsi Bali, dengan ketinggian 500-600 m di atas pemukaan

laut dan koordinat GPS 8,0292893° LS, 115,03036° BT serta memiliki batas-batas

fisik wilayah sebagai berikut: Desa Adat Kayu Bihi di sebelah utara, Desa Adat

Kubu di sebelah timur, Desa Adat Gunaksa di sebelah selatan, dan Desa Adat

Cekeng di sebelah barat. Desa Penglipuran berjarak 5 km arah utara dari Kota

Bangli dan 45 km dari kota Denpasar. Luas Desa Penglipuran adalah 112 Ha, 9

Ha digunakan sebagai pemukiman warga dan sisanya adalah hutan dan tanah

tegalan atau ladang.

Desa Penglipuran terletak tepat di bawah dataran tinggi Gunung Batur dan

dikelilingi oleh hutan bambu serta memiliki karakteristik daerah berupa lahan

pertanian yang subur. Desa Penglipuran termasuk dalam salah satu desa di Bali

yang masih melestarikan budaya tradisional dalam komunitas lokal. Arsitektur

tradisional di Desa Penglipuran dipelihara dengan baik dan dikelola oleh

masyarakat setempat. Keunikan dan potensi yang dimiliki Desa Penglipuran

tersebut, menjadikannya sebagai salah satu daya tarik wisata kabupaten Bangli

sejak tahun 1993.

Gambar 1. Wilayah Desa Penglipuran Sumber: Dokumentasi Kelompok

3    

Dalam pengembangan pariwisata untuk meningkatkan kualitas produk/jasa

Desa Penglipuran, perlu dipahami konsep produk pariwisata. Menurut Suwantoro

(2004: 48-49), produk pariwisata adalah keseluruhan pelayanan yang diperoleh

dan dirasakan atau dinikmati wisatawan semenjak meninggalkan tempat

tinggalnya, sampai ke daerah tujuan wisata yang telah dipilihnya dan kembali ke

tempat berangkat semula. Adapun yang termasuk dalam produk pariwisata

diantaranya berupa atraksi, amenitas, aksesibilitas, sumber daya manusia (SDM),

citra/image, harga. Semua produk pariwisata tersebut merupakan suatu strategi

yang sangat penting digunakan untuk memanjakan pengunjung dalam hal ini

memberikan nilai dan citra yang tinggi sehingga pengunjung menjadi tertarik

terhadap objek wisata Desa Penglipuran.

Gambar 2. Peta Wilayah Desa Penglipuran

Sumber: Dokumentasi Kelompok  

4    

Mengacu pada uraian tersebut, maka dalam upaya mengembangkan produk

wisata Desa Penglipuran, diperlukan upaya pemaparan produk pariwisata yang

dimiliki Desa Penglipuran dan menganalisis permasalahan yang ada pada masing-

masing produk pariwisata. Analisis permasalahan dilakukan agar dapat diperoleh

solusi atau upaya pengembangan produk pariwisata sehingga pariwisata Desa

Penglipuran menjadi pariwisata yang berkelanjutan dan menjadi daya tarik

wisatawan.

2. Tujuan

Tugas ini memiliki tujuan yang dibedakan menjadi tujuan umum dan tujuan

khusus. Adapun Tujuan umumnya yaitu untuk mengetahui dan memahami

berbagai komponen produk pariwista sebagai daya tarik wisata Desa Penglipuran,

Bangli. Tujuan khusus yang ingin diperoleh diantaranya:

1) Mengetahui dan memahami analisis SWOT pada atraksi wisata Desa

Penglipuran, permasalahan serta solusi/upaya menanggulangi

pengembangannya.

2) Mengetahui dan memahami analisis SWOT pada amenitas Desa Penglipuran,

permasalahan serta solusi/upaya menanggulangi pengembangannya.

3) Mengetahui dan memahami analisis SWOT pada aksesibilitas Desa

Penglipuran, permasalahan serta solusi/upaya menanggulangi

pengembangannya.

4) Mengetahui dan memahami analisis SWOT pada SDM Desa Penglipuran,

permasalahan serta solusi/upaya menanggulangi pengembangannya.

5) Mengetahui dan memahami analisis SWOT pada citra/image Desa

Penglipuran, permasalahan serta solusi/upaya menanggulangi

pengembangannya.

6) Mengetahui dan memahami analisis SWOT pada harga produk pariwisata

Desa Penglipuran, permasalahan serta solusi/upaya menanggulangi

pengembangannya.

5    

3. Analisis SWOT pada Atraksi Wisata

Menurut Yoeti (2002: 5), atraksi wisata merupakan sesuatu yang menarik

untuk dilihat, dirasakan, dinikmati dan dimiliki oleh wisatawan, yang dibuat oleh

manusia dan memerlukan persiapan terlebih dahulu sebelum diperlihatkan kepada

wisatawan. Yang termasuk ke dalam atraksi wisata yaitu: A) Natural attraction:

meliputi landscape, pemandangan laut, pantai, iklim dan fitur geografis di suatu

daerah tujuan wisata, B) Cultural attraction: meliputi sejarah, cerita rakyat,

agama, kesenian dan upacara khusus, festival, C) Social attractions: anatar lain

meliputi cara hidup, populasi penduduk, bahasa, pertemuan sosial, D) Built

attraction: meliputi bangunan bersejarah, arsitektur modern, monumen, taman,

kebun, dan marina.

3.1 Analisis SWOT pada Natural Attraction Desa Penglipuran

Berikut analisis kekuatan (strengths), kelemahan (weaknesses), peluang

(opportunity) dan ancaman (threats) pada natural attraction Desa Penglipuran:

3.1.1 Analisis Kekuatan Natural Attraction Desa Penglipuran

Natural attraction meliputi landscape, pemandangan laut, pantai, iklim dan

fitur geografis di suatu daerah tujuan wisata. Natural attraction yang dapat

dijumpai di Desa Penglipuran berupa landscape hutan bambu yang mengelilingi

desa, iklim tropis yang sejuk dengan suhu udara berkisar antara 18º-32º Celcius

dan udara yang segar tanpa polusi kendaraan.

Hutan bambu yang mengelilingi desa Penglipuran memiliki luas 75 Ha yang

terdiri dari berbagai jenis bambu yang ada di Bali seperti bambu petung, jajang,

tali. Peranan hutan bambu di Desa Penglipuran sangat penting karena memiliki

fungsi ekologis yaitu sebagai penahan tanah agar tidak longsor. Masyarakat Desa

Penglipuran juga memanfaatkan bambu sebagai bahan bangunan yaitu sebagai

bahan atap dan dinding, sebagai bahan baku kerajinan dan untuk keperluan

pelaksanaan upacara adat. Biasanya di hutan bambu ini, wisatawan duduk-duduk

atau berfoto-foto sambil menikmati suasana hutan bambu.

Desa Penglipuran berada pada dataran tinggi (antara 500-600 meter di atas

permukaan laut) dan memiliki curah hujan rata-rata setiap tahunnya antara 2000-

2500 milimeter. Fitur geografis ini menyebabkan Desa Penglipuran beriklim

6    

tropis relatif sejuk dengan suhu rata-rata berkisar antara 18 0 - 32 0 Celcius. Tak

hanya sejuk, Desa Penglipuran juga memiliki udara segar bebas dari polusi

kendaraan. Kesejukan dan kesegaran udara merupakan salah satu daya tarik Desa

Penglipuran di mata wisatawan. Khusus di desa Penglipuran diberlakukan

ketentuan yaitu koridor Desa hanya diperuntukkan bagi pejalan kaki. Kendaraan

seperti mobil tidak boleh masuk ke koridor desa. Kendaraan beroda dua yaitu

motor hanya boleh masuk ke koridor desa di luar waktu yang sudah ditetapkan

yaitu antara pukul 9.00-19.00 WITA. Aturan tersebut diberlakukan untuk menjaga

suasana asri dan udara segar alami, sehingga benar-benar bebas dari polusi.

Pemerintah Kabupaten Bangli atas usulan masyarakat Desa Penglipuran

membangun jalan yang melingkari desa (ring road) dan dapat diakses melalui

bagian belakang masing-masing pekarangan rumah masyarakat Desa Penglipuran.

Kendaraan yang dimiliki masyarakat Desa Penglipuran diletakkan di bagian

belakang rumah. Dengan adanya jalan melingkar, koridor Desa dapat terbebas

dari polusi kendaraan namun masyarakat tetap memiliki dan dapat mengakses

kendaraan miliknya.

Gambar 3. Hutan Bambu Sumber: Dokumentasi Kelompok

 

7    

3.1.2 Analisis Kelemahan Natural Attraction Desa Penglipuran

Permasalahan yang dihadapi Desa Penglipuran terkait dengan natural

attraction yaitu semakin berkurangnya lahan hutan bambu. Berkurangnya lahan

hutan bambu disebabkan semakin bertambahnya jumlah masyarakat Desa

Penglipuran.

3.1.3 Analisis Ancaman Natural Attraction Desa Penglipuran

Dengan bertambahnya jumlah masyarakat Desa Penglipuran, maka hutan

bambu dijadikan sebagai alternatif lahan untuk membangun rumah atau bangunan

lainnya. Dalam awig-awig yang telah disepakati, anak pertama laki-laki memiliki

hak atas rumah (pewaris). Anak kedua, ketiga dan seterusnya dapat membangun

rumah di belakang areal rumah anak pertama atau di wilayah hutan bambu milik

orang tuanya.

3.1.4 Analisis Peluang Natural Attraction Desa Penglipuran

Berdasarkan kelemahan dan ancaman yang ditemukan pada natural

attraction Desa Penglipuran, perlu di buat peraturan yang tegas mengenai

pemanfaatan lahan hutan bambu. Selain itu, desa Penglipuran juga dapat

melakukan budidaya bambu yang terdapat di Desa Penglipuran maupun semua

Gambar 4. Tegalan Yang Dulunya Ditumbuhi Bambu Dibangun Garasi Sumber: Dokumentasi Kelompok

 

8    

jenis bambu yang ada di Bali bahkan di Indonesia. Pemerintah maupun lembaga

lainnya dapat membantu membangun sebuah museum bambu sebagai daya tarik

wisata buatan yang menekankan pada keindahan hutan bambu Desa Penglipuran

dan upaya pelestarian dan edukasi bagi masyarakat luas tentang keragaman jenis

bambu yang ada di Bali dan Indonesia Untuk merealisasikan hal tersebut, perlu

juga dilakukan kerjasama dengan instansi terkait seperti: Dinas Perhutanan,

Pertanian atau Perkebunan.

3.2 Analisis SWOT pada Cultural Attraction Desa Penglipuran

Berikut analisis kekuatan (strengths), kelemahan (weaknesses), peluang

(opportunity) dan ancaman (threats) pada cultural attraction Desa Penglipuran:

3.2.1 Analisis Kekuatan Cultural Attraction Desa Penglipuran

Cultural attraction: meliputi sejarah, cerita rakyat, agama, kesenian, upacara

khusus, festival. Cultural attraction yang dapat dijumpai di Desa Penglipuran

yaitu sejarah, cerita rakyat, kesenian berupa tari-tarian, upacara khusus yaitu

upacara penguburan mayat (ngaben) yang berbeda dengan upacara ngaben

masyarakat Bali pada umumnya.

Sejarah Desa Adat Penglipuran dimulai sejak 700-an tahun yang lalu, yaitu

pada zaman kerajaan Bangli. Menurut penuturan para sesepuh/penglingsir, Desa

Penglipuran merupakan sepihan dari Desa Bayung Gede, Kintamani. Kata

Penglipuran berasal dari kata Pengeling dan Pura. Pengeling berasal dari kata

eling yang berarti ingat/mengingat. Pura berarti tempat/benteng/tanah leluhur.

Jadi Penglipuran artinya ingat kepada tanah leluhur/ tempat asal mulanya. Hal ini

didasarkan pada alasan bahwa pendahulu/leluhur Desa Penglipuran berasal dari

Desa Bayung Gede, Kintamani.

Jarak antara Kota Bangli dengan Desa Bayung Gede sangat jauh (sekitar 25

km) dan perjalanan jaman dulu hanya dapat dilakukan dengan berjalan kaki atau

naik kuda, maka untuk memudahkan komunikasi dibuatlah semacam

peristirahatan di daerah Kubu (4,5 km) dari kota Bangli. Dari waktu ke waktu

akhirnya warga ini terus bertambah banyak karena sudah ada yang berkeluarga.

Sebelum bernama Penglipuran, desa ini dulunya bernama Desa Kubu Bayung

9    

yang artinya orang Bayung yang tinggal di wilayah Kubu. Selanjutnya penduduk

terus bertambah dan sepakat untuk membuat desa sendiri dan terlepas dari

kewajiban desa asalnya (Bayung Gede) serta membuat tempat suci sendiri (Pura

Kahyangan Tiga). Dalam penataan pola tata ruang desa, konsepnya tetap sama

dengan konsep desa leluhurnya yang ada di desa Bayung Gede. Berdasarkan

sejarah tersebut, Desa Penglipuran sering dikunjungi oleh peneliti-peneliti

maupun pelajar yang ingin lebih mendalami tentang sejarah desa Penglipuran

maupun meneliti persamaan maupun perbedaan antara kebudayaan masyarakat

Desa Penglipuran dengan leluhurnya yaitu masyarakat Desa Bayung Gede.

Berdasarkan hasil wawancara dengan I Nengah Moneng (September, 2014)

selaku ketua pengelola pariwisata Penglipuran, masyarakat Penglipuran memiliki

cerita rakyat yang berkaitan dengan adanya hutan bambu di Desa Penglipuran.

Sekitar abad ke-16, seorang kesatria bernama Panji Sakti bersama pasukannya

berniat untuk menyerang kerajaan Bangli. Di suatu tempat, Panji Sakti bersama

pasukkannya melihat cahaya api berkobaran di arah Kerajaan Bangli berada.

Karena ketakutan, upaya penyerangan gagal dilakukan, dan persenjataan yang

terbuat dari bambu ditancapkan di tempat tersebut. Senjata yang ditancapkan

tersebutlah yang dipercayai masyarakat Penglipura tumbuh menjadi hutan bambu.

Gambar 5. Wawancara Kelompok dengan Bapak Moneng selaku Pengelola Pariwisata Desa Penglipuran

Sumber: Dokumentasi Kelompok  

10    

Kesenian berupa tari-tarian. Tari-tarian yang dipertunjukan ada dua jenis

yaitu tari-tarian yang dipentaskan untuk menghibur wisatawan yang datang dan

tari-tarian yang khusus dipentaskan pada saat pelaksanaan upacara. Tari-tarian

yang dipentaskan untuk menghibur para wisatawan diantaranya tari Barong, tari

Panyebrahma, tari Sekar Tunjung, Joged Bumbung. Tari-tarian yang berkaitan

dengan pelaksanaan upacara yaitu tari Baris. Tari Baris diiringi oleh alat musik

gambelan yang dimainkan oleh sekelompok orang yang disebut dengan Sekaa

Gambelan. Adapun jenis Tari Baris yang ada di Desa Adat Desa Penglipuran:

1) Tari Baris Jojor adalah tari Baris yang ditarikan oleh Sekaa Teruna atau

penari yang belum berkeluarga atau belum kawin dengan bersenjatakan jojor

atau tombak dan biasanya ditarikan oleh 16 orang penari.

2) Tari Baris Bedil adalah tari Baris yang ditarikan oleh penari yang sudah

berkeluarga atau sudah kawin yang bersenjatakan bedil yang terbuat dari kayu.

Tari Baris Bedil biasanya ditarikan oleh 16 orang penari

3) Tari Baris Presi adalah tari Baris yang ditarikan oleh penari yang sudah

berkeluarga atau sudah kawin dan menggunakan Presi sebagai senjata. Tari

Baris Presi biasanya ditarikan oleh 4 orang penari

Seperti daerah lain yang ada di Bali, di Penglipuran juga mengadakan

upacara yang biasa disebut ngaben. Namun ada yang membedakan ritual ngaben

di Penglipuran dengan ngaben di daerah lainnya. Ritual ngaben di daerah lain

Gambar 6. Tari Baris Bedil Sumber: Dokumentasi Kelompok

 

11    

dilakukan dengan cara membakar mayat, sedangkan ritual ngaben di Penglipuran

dilakukan dengan cara menguburkan mayat. Sebelum upacara penguburan, mayat

diletakkan di tempat jenazah tersebut sebelum bah/menghembuskan nafas

terakhirnya, entah itu di Bale Loji atau di umah paon, tidak boleh meletakkan

mayat di Bale Sakanem karena merupakan bale adat yang digunakan juga untuk

pengubengan maturan untuk Pura Dalem Pingit.

Sebelum dilakukan penguburan lebih dulu jenazah dimandikan di natah

pekarangan atau di sisi kauh dari bale adat yang berada di perempatan desa. Lalu

penguburan menunggu adanya dewasa penguburan yang dimohon kepada Ida

Peranda di Griya Manuaba, Kubu-Bangli. Proses upacara setelah metanem adalah

mengaturkan punjungan di setra dan umah paon. Punjungan yang diwadahi

dulang diletakkan di atas plangkan tempat tidur pada sisi kaja. Upacara

selanjutnya adalah metuun yang dilaksanakan dua belas hari setelah upacara

penguburan di Bale Sakanem. Upacara ngaben yang dilaksanakan di Penglipuran

adalah pembakaran pada simbol jenazah yang disebut pengadeg/pengawak yang

umumnya dilaksanakan secara masal/ngerit. Pelaksanaan ngaben ini setiap 2-3

tahun sekali, atau jika ada jero kebayan yang meninggal saat itu maka langsung

bisa dilaksanakan ngaben ngerit. Jika yang di-aben adalah Jero Kebayan maka

menggunakan sarana banteng dianggep sebagai tumbakan tertinggi.

Gambar 7. Pelaksanaan Upacara Adat Di Penglipuran Sumber: Dokumentasi Kelompok

 

12    

Upacara adat lainnya yang dilaksanakan adalah Ngusaba Nangkan yakni

upacara yang dilaksanakan setiap lima tahun sekali menggunakan sarana bawi

(babi) yang dihaturkan di setiap gedong masing-masing satu ekor babi. Jero

Kebayan Alitan menambahkan Ngusaba Nangkan dilaksanakan bisa juga setiap

tiga tahun sekali, tergantung pada kemampuan ekonomi desa saat. Sedangkan

Ngusaba Paruman adalah upacara pakeling yang dilaksanakan setiap satu tahun

sekali. Setiap ngusaba di Desa Penglipuran pasti mengundang desa bebanuan,

seperti Bayung Gede, Kubu, Tanggahan Gunung, Kintamani, Kayubihi, Sulahan,

Cekeng, dan Numbuan. Sesuhunan Jero Gede/barong/rangda/celulu/telek juga

dipastikan datang (lunga) ke desa Pengotan, Sulahan, Pura Puncak Kembar

Baturiti.

3.2.2 Analisis Kelemahan Cultural Attraction Desa Penglipuran

Masyarakat Penglipuran memiliki beragam jenis tarian sakral yang masing-

masing tarian tersebut memiliki makna dan ciri khas tertentu sehingga menarik

untuk ditonton. Namun, keindahan tarian tersebut hanya dapat dinikmati pada

waktu dan tempat yang menyesuaikan dengan aktivitas upacara masyarakat.

3.2.3 Analisis Ancaman Cultural Attraction Desa Penglipuran

Keindahan tarian sakral Desa Penglipuran hanya dapat dinikmati pada waktu

dan tempat yang menyesuaikan dengan aktivitas upacara masyarakat. Jika

wisatawan yang berkunjung bertepatan dengan pelaksanaan upacara maka akan

dapat menyaksikan pentas tari sakral di Penglipuran. Keterbatasan tersebut,

menyebabkan wisatawan sulit untuk mengabadikan kesenian tarian sakral khas

Penglipuran.

3.2.4 Analisis Peluang Cultural Attraction Desa Penglipuran

Diperlukan sosialisasi tentang pelaksanaan upacara di desa Penglipuran

sehingga wisatawan dapat menentukan waktu yang tepat untuk berkunjung

sekaligus sebagai daya tarik budaya yang akan menambah kunjungan wisatawan

domestik maupun mancanegara. Sosialisasi tersebut dapat dilakukan secara

langsung kepada wisatawan, atau menambahkan informasi di berbagai tempat

strategis di Desa Penglipuran atau melalui media internet.

13    

3.3 Analisis SWOT pada Social Attractions Desa Penglipuran

Berikut analisis kekuatan (strengths), kelemahan (weaknesses), peluang

(opportunity) dan ancaman (threats) pada social attraction Desa Penglipuran:

3.3.1 Kekuatan Social Attractions Desa Penglipuran

Social attractions: meliputi cara hidup, populasi penduduk, bahasa,

pertemuan sosial. Social Attractions yang dijumpai di Desa Penglipuran yaitu cara

hidup masyarakat Desa Penglipuran terkait norma-norma social yang berlaku.

Mata pencaharian penduduk Desa Penglipuran sebagian besar adalah bertani

dan beternak, selebihnya ada yang bekerja sebagai tukang, pengrajin, pegawai,

serta pedagang. Wisatawan di Desa Penglipuran dapat berinteraksi dan ikut dalam

cara hidup masyarakat Desa Penglipuran seperti kegiatan memasak masakan khas

Bali, mejejaitan, membuat penjor, membuat gebogan, bermain permainan

tradisional Bali dengan anak-anak Desa Penglipuran, berternak, berkebun dan

berjualan hasil olahan masyarakat Desa Penglipuran. Melalui kegiatan ini

wisatawan dapat merasakan keramah tamahan masyarakat Desa Penglipuran dan

sekaligus mendapat pengalaman dan pengetahuan baru mengenai budaya Desa

Penglipuran maupun budaya Bali.

Berdasarkan Data Tahun 2012 Bulan September, Jumlah penduduk Desa

Penglipuran sebanyak 927 orang dengan jumlah KK 232 orang. Desa Penglipuran

sebagai salah satu Desa Bali Aga memiliki tata nilai dan norma yang kuat sebagai

landasan hidup masyarakat dalam keseharian serta dapat memberikan

pengetahuan bagi wisatawan yang berkunjung. Kehidupan masyarakat

Penglipuran sangat menekankan pada asas egaliter dalam menentukan setiap

kebijakan. Hal ini terbukti dari tidak adanya sistem kasta yang membedakan

lapisan sosial masyarakat. Status dan peran tertinggi disebut dengan Jero

Kebayan, yang dipilih dengan asas demokrasi.

Desa Penglipuran memiliki aturan unik terkait perkawinan. Desa ini

melarang warga laki-lakinya untuk memiliki istri lebih dari satu. Salah satu bagian

dari awig-awig (aturan adat) desa yang berbunyi “tan kadadosang madue istri

langkung ring asiki” yang berarti warga adat tak boleh beristri lebih dari satu. Jika

ada warga yang melanggar, maka dia akan di-sepekang (dikucilkan) dari

14    

pemukiman warga umumnya. Tempat pengucilan ini disebut Karang Memadu

atau tempat untuk orang beristri lebih dari satu yang berlokasi di ujung Selatan

desa. Warga menganggap lahan ini kotor atau leteh. Di karang memadu tersebut,

warga akan membuatkan gubuk sementara sebagai tempat tinggal bagi warga

yang melanggar aturan tersebut. Nyatanya hingga saat ini, belum ada satu pun

warga yang berani melanggar awig-awig ini. Belum ada lelaki Penglipuran yang

berani beristri lebih dari satu. Akibatnya, Karang Memadu itu pun belum pernah

digunakan hingga saat ini. Lahan itu hanya berupa tanah kosong dengan alang-

alang liar tumbuh di sana yang mengidentifikasikan bahwa tak ada warga adat

yang berani melanggar aturan tersebut.

Gambar 8. Karang Memadu

Sumber: Dokumentasi Kelompok

Awig–awig Desa Adat Penglipuran adalah hukum adat yang harus

dijalankan oleh seluruh warga Penglipuran, dalam pengendalian daerah teritorial

kependudukan Warga Panglipuran diatur untuk tidak menikah dengan penduduk

tetangga yang berada disekitar Desa Batur-Kintamani, Desa Kubu-Bangli dan

Desa Tanggahan Gunung-Bangli di sebelah sungai Sangsang. Warga Panglipuran

juga dilarang melaksanakan perkawinan antarwarga yang laki-laki tinggal

15    

berhadapan atau tinggal di sebelah utara dari rumah Gadis. Karena tetangga-

tetangganya tersebut sudah dianggap sebagai keluarga sendiri.

Bagi warga yang ingin menikah dengan orang di luar Panglipuran, dengan

ketentuan bila mempelai laki-laki dari Panglipuran maka mempelai perempuan

yang dari daerah lain harus masuk menjadi bagian dari adat Panglipuran. Yang

menarik adalah jika mempelai perempuan dari Desa Panglipuran dan laki-lakinya

dari adat yang lain, maka bisa saja laki-laki tersebut masuk ke dalam adat

Panglipuran dan hidup di Desa Panglipuran tetapi dengan konsekuensi laki-laki

tersebut dianggap wanita oleh warga lainnya. Maksudnya tugas-tugas adat yang

dilaksanakan adalah tugas untuk para wanita bukan tugas para lelaki.

Berdasarkan hasil wawancara dengan Jero Kubayan (September, 2014),

Desa Penglipuran dipimpin oleh seorang pemimpin yang disebut Bendesa Adat

dan dibantu oleh Penyarikan. Sistem organisasi desa disebut Ulu Apad yang

merupakan salah satu Sistem Organisasi Bali tertua. Dalam sistem itu, ada 76

anggota menjadi wakil desa. Bagian atas 12 anggota yang disebut Kanca Roras.

Imam desa disebut Jero Kubayan, ada dua Jero Kubayan mereka Jero Kubayan

Mucuk dan Jero Kubayan Nyoman.

Gambar 9. Wawancara Kelompok dengan Bapak Gunawan selaku Jero Kabayan Desa Penglipuran

Sumber: Dokumentasi Kelompok

16    

Gambar 10. Struktur Organisasi Desa Penglipuran Sumber: Dokumentasi Kelompok

3.3.2 Kelemahan Social Attractions Desa Penglipuran

Acara yang dilakukan masyarakat Desa Penglipuran dapat memberikan

peluang untuk meningkatkan kuantitas kunjungan. Namun walaupun demikian,

acara-acara tersebut tidak dipublikasikan kepada masyarakat luas, padahal

peluang tersebut dapat dikembangkan dan dimaksimalkan oleh masyarakat

Penglipuran sehingga dapat dijadikan salah satu atraksi kehidupan sosial

masyarakat pedesaan.

3.3.3 Ancaman Social Attractions Desa Penglipuran

Dengan hanya menjual alam dan isinya secara apa adanya lamban laun

menyebabkan wisatawan meninggalkan Desa Penglipuran untuk beralih ke daerah

wisata lainnya yang menawarkan pengalaman lebih menyenangkan dan baru.

3.3.4 Peluang Social Attractions Desa Penglipuran

Diperlukan sosialisasi tentang Social Attractions di desa Penglipuran

sehingga wisatawan mengetahui dan semakin tertarik mengunjungi Desa

Penglipuran karena Desa Penglipuran memiliki suatu atraksi yang mampu

memberikan pengalaman baru bagi para wisatawan. Sosialisasi tersebut dapat

dilakukan secara langsung kepada wisatawan, atau menambahkan informasi di

berbagai tempat strategis di Desa Penglipuran atau melalui media internet.

17    

3.4 Analisis SWOT Built Attraction Desa Penglipuran

Berikut analisis kekuatan (strengths), kelemahan (weaknesses), peluang

(opportunity) dan ancaman (threats) pada built attraction Desa Penglipuran:

3.4.1 Kekuatan Built Attraction Desa Penglipuran

Built attraction meliputi bangunan bersejarah, arsitektur modern, monumen,

taman, kebun, marina. Built attraction yang dapat dijumpai di Desa Penglipuran

yaitu bangunan bersejarah berupa rumah adat yang masih asli dan dijaga oleh

masyarakat Penglipuran maupun rumah adat yang telah dimodifikasi dengan

arsitektur modern.Ada juga monument, taman dan kebun.

Arsitektur rumah masyarakat Desa Penglipuran dan Tugu Pahlawan. Meski

Desa Penglipuran saat ini sudah tersentuh modernisasi yakni perubahan ke arah

kemajuan namun arsitektur rumah masyarakat Desa Penglipuran masih tradisional

dan unik. Dikatakan unik karena pintu gerbang khas Bali (angkul-angkul) yang

merupakan akses menuju rumah yang berada di setiap pekarangan terlihat

seragam dan tertata rapi mulai dari ujung utama desa sampai bagian hilir desa,

saling berhadapan dan dipisahkan dengan jalan utama desa menambah keteraturan

letak bangunan Desa Penglipuran. Keseragaman dapat terlihat dari bentuk dan

bahan yaitu bahan tanah atau batu alam dan atap dari bambu.

Semua masyarakat Desa Penglipuran menempati pekarangan rumah tinggal

yang hampir sama dan dibatasi tembok rendah (1,25 meter). Lebar pekarangan

rata-rata 8 meter. Semua tanah-tanah pekarangan adalah milik desa adat. Di dalam

satu pekarangan terdapat lebih dari satu kepala keluarga dengan beberapa unit

bangunan seperti paon, bale saka nem, bale loji dan tempat persembahyangan

berupa turus lumbung atau merajan. Penataan fisik dan struktur desa ini tidak

terlepas dari budaya masyarakatnya yang sudah diwariskan secara turun temurun

dan tetap menganut falsafah Tri Hita Karana. Sebuah falsafah dalam agama Hindu

yang selalu menjaga keharmonisan hubungan antara manusia dengan manusia,

manusia dengan lingkungan dan manusia dengan Tuhan. Tampilan fisik arsitektur

rumah masyarakat Desa Penglipuran terutama pada bangunan angkul-angkul,

paon, bale saka nem masih tradisional dan alami yaitu menggunakan tanah pol-

18    

polan untuk bagian angkul-angkul dan tembok penyengker rumah, atap bambu,

dinding dari gedek bambu.

Built attraction lainnya yang dapat dijumpai di Desa Penglipuran yaitu tugu

Pahlawan. Monumen ini didirikan pada tahun 1959 untuk memperingati perang

Revolusi di Kabupaten Bangli yang dipimpin oleh Kapten Anak Agung Anom

Muditha yang terletak disebelah selatan Desa Penglipuran. Luas Monumen ini 1,5

Ha dengan bangunan style Bali dengan balai Cura Yudha yang merupakan tempat

aktifitas tertentu dan tempat parkir. Monumen ini dibangun oleh masyarakat Desa

Penglipuran untuk mengenang Kapten Anak Agung Anom Muditha beserta

pasukannya yang gugur dalam menghadapi Tentara NICA selama zaman Revolusi

pada tanggal 20 Nopember 1947.

Taman yang ada di Penglipuran terletak di dekat Home Stay, tepatnya di

dekat jalan yang menuju rurung gede. Taman tersebut dimanfaatkan oleh

masyarakat Penglipuran dan wisatawan untuk beristirahat sejenak atau melakukan

acara-acara tertentu, seperti membuat sarana dan prasana upacara. Ditaman

tersebut tumbuh beberapa pohon besar dan rindang serta disediakan pula beberapa

meja dan kursi taman sehingga taman tersebut tepat dijadikan tempat

peristirahatan sejenak. Selain itu, masyarakat Penglipuran juga memiliki kebun

Gambar 11. Bangunan Dapur Tradisional Masyarakat Penglipuran Sumber: Dokumentasi Kelompok  

19    

yang dibuat sepanjang rurung gede. Kebun tersebut ditanami bunga dan tanaman

penghijau, sehingga memberikan kesan asri.

3.4.2 Kelemahan Built Attraction Desa Penglipuran

Permasalahan terkait Built Attraction yang dihadapi Desa Penglipuran yaitu

berubahnya arsitektur rumah masyarakat Desa Penglipuran. Dulu masyarakat

Desa Penglipuran memiliki tempat persembahyangan berupa turus lumbung, saat

ini kebanyakan masyarakat Desa Penglipuran telah mengubah turus lumbung

menjadi merajan berbahan bata merah atau batu paras dengan banyak ornamen

ukiran maupun prada.

Gambar 12. Turus Lumbung Masyarakat Penglipuran

Sumber: Dokumentasi Kelompok

Gambar 13. Sanggah Modern Masyarakat Penglipuran

Sumber: Dokumentasi Kelompok

20    

Dinding bangunan pun banyak yang telah diubah menggunakan batako. Ada

beberapa yang berupaya menampilkan kesan alami dan tradisional dengan cara

membungkus dinding beton menggunakan gedek bambu namun ada pula hanya

mencat atau membiarkan dinding batako tanpa finishing. Perubahan ini terjadi

seiring dengan meningkatnya kesejahteraan masyarakat Desa Penglipuran. Desa

Penglipuran sebenarnya sudah memiliki aturan yang mengatur tentang arsitektur

rumah di Desa Penglipuran yaitu angkul-angkul, paon, bale saka nem. Ketiga

bangunan ini memang telah ditetapkan dalam awig-awig yaitu tidak boleh dirubah

bentuknya atau dimodifikasi ke arah modern, sedangkan bangunan lainnya boleh

dirubah tetapi masih terkesan alami. Upaya yang dilakukan oleh masyarakat Desa

Penglipuran untuk menghasilkan kesan alami diantaranya dengan cara

membungkus beton dengan gedek bambu atau menggunakan paras cokelat yang

menyerupai warna tanah pol-polan. Namun ada juga yang tidak mengindahkan

awig-awig tersebut dengan hanya memfinishing dinding dengan cat atau

membiarkan tanpa finishing. Selain perubahan bahan, terdapat pula penambahan

bangunan seperti bale bengong, warung/kios, homestay dan garasi.

Gambar 14. Angkul-angkul dan Tembok Penyengker

Sumber: Dokumentasi Kelompok

21    

Menurut peraturan Desa Penglipuran, masyarakat dilarang untuk

membangun warung/ kios yang terlihat oleh wisatawan dari luar pekarangan,

sehingga disarankan masyarakat untuk membuat warung/kios di dalam

pekarangan. Namun berdasarkan hasil observasi, terlihat adanya pelanggaran

yaitu sebuah pembangunan bangunan warung yang terletak tepat di samping Barat

jalan utama atau rurung gede dan tidak dibatasi dengan tembok penyengker.

Gambar 15. Warung Yang Terlihat Dari Jalan

Sumber: Dokumentasi Kelompok

3.4.3 Ancaman Built Attraction Desa Penglipuran

Perkembangan masyarakat dan pesatnya pengaruh globalisasi menimbulkan

keinginan dalam diri masyarakat Desa Penglipuran untuk mengubah bangunan

tradisional menjadi lebih modern. Perubahan yang terjadi saat ini masih cukup

kecil intensitasnya, namun dikhawatirkan ke depannya perubahan yang terjadi

akan semakin banyak dan semakin menuju ke arah modern. Perubahan yang

paling banyak terjadi yaitu pada tempat persembahyangan.

Pihak pengelola Desa maupun masyarakat yang sangat menjunjung

pelestarian desa Penglipuran, kurang mau atau kurang berani menegur pihak-

pihak yang melakukan perubahan bangunan karena takut terjadi perselisihan. Di

sisi lain, terdapat kekhawatiran dalam diri masyarakat Penglipuran jika terjadi

penurunan kunjungan wisatawan karena daya tarik utama yakni pola pemukiman

22    

Penglipuran yang mulai hilang sehingga terkesan sama seperti pemukiman

masyarakat Bali pada umumnya.

Gambar 16. Pembangunan Warung Yang Terlihat Dari Jalan

Sumber: Dokumentasi Kelompok

3.4.4 Peluang Built Attraction Desa Penglipuran

Seharusnya desa Penglipuran menetapkan awig-awig dengan lebih tegas dan

lebih berani dalam memberikan sanksi jika terjadi pelanggaran karena hal tersebut

akan memberikan pengaruh terhadap kunjungan wisatawa. Wisatawan domestic

maupun mancanegara mengunjungi desa Penglipuran karena keaslian dan

keunikan desa tersebut. Saat ini pengelola Desa membutuhkan adanya pihak

ketiga yaitu pihak luar untuk membantu dalam upaya menjaga kelestarian

arsitektur rumah Desa Penglipuran agar tidak semakin menuju ke arah modern.

4. Analisis SWOT pada Amenitas

Amenitas merupakan segala fasilitas pendukung yang bisa memenuhi

kebutuhan dan keinginan wisatawan selama berada di destinasi. Amenitas

berkaitan dengan ketersediaan sarana akomodasi untuk menginap serta restoran

atau warung untuk makan dan minum. Kebutuhan lain yang mungkin juga

diinginkan dan diperlukan oleh wisatawan, seperti toilet umum, rest area, tempat

parkir, klinik kesehatan, dan sarana ibadah (http://jejakwisata.com/tourism-

studies/tourism-in-general/213-4a--yang--wajib--dimilki--oleh--sebuah--destinasi-

23    

wisata.html). Berdasarkan pengertian tersebut berikut dianalisis kekuatan

(strengths), kelemahan (weaknesses), peluang (opportunity) dan ancaman

(threats) pada Amenitas di Desa Penglipuran:

4.1 Kekuatan Amenitas Desa Penglipuran

Amenitas yang ada di Desa Penglipuran yaitu homestay, rumah makan atau

restaurant, pos jaga, warung/kios, tempat parkir, tempat registrasi pengunjung,

toilet umum. Homestay di Desa Penglipuran dikelola oleh masyarakat desa itu

sendiri. Homestay terletak di dekat wantilan desa dan di dalam pekarangan rumah

masyarakat Desa Penglipuran. Terdapat empat tipe homestay dengan harga yang

bervariasi. Rumah makan/restaurant terdapat di beberapa pekarangan rumah

masyarakat Desa Penglipuran. Menu yang ditawarkan cukup beragam dengan

harga yang relatif terjangkau, diantaranya nasi goreng, mie goreng, soto, lalapan,

tipat cantok, rujak. Selain rumah makan juga terdapat warung atau kios.

Gambar 17. Rumah Makan Di Dalam Pekarangan Masyarakat Penglipuran

Sumber: Dokumentasi Kelompok

Dari 76 rumah yang ada di Desa Penglipuran, berdasarkan hasil observasi

yang dilakukan penulis, 50 di antaranya telah mengembangkan usaha dengan

membuka warung atau kios yang menjual makanan ringan dan minuman khas

Desa Penglipuran yakni loloh cemcem. Selain itu, ada pula yang menjual

cendramata seperti keben, miniatur rumah tradisional dan angkul-angkul Desa

Penglipuran, serta cendera mata khas Bali lainnya.

24    

Gambar 18. Loloh Cemcem Minuman Khas Penglipuran

Sumber: Dokumentasi Kelompok

Gambar 19. Keben Khas Penglipuran Sumber: Dokumentasi Kelompok

Gambar 20. Miniatur Rumah Tradisional Desa Penglipuran

Sumber: Dokumentasi Kelompok  

25    

Gambar 21. Cenderamata Khas Bali Tradisional Desa Penglipuran Sumber: Dokumentasi Kelompok

Akomodasi pariwisata lainnya yaitu pos jaga yang berfungsi sebagai

pengamanan lingkungan, terletak di sebelah Barat pintu masuk Desa Penglipuran.

Tempat parkir juga tersedia di Desa Penglipuran yang terbagi dalam tiga tempat,

yaitu parkir di area Pura Puseh, parkir untuk tamu atau wisatawan, dan parkir

untuk pengunjung TMP (Taman Makam Pahlawan). Masing-masing tempat parkir

dihubungkan oleh jalan yang berada di pinggir desa (ring road) Desa Penglipuran.

Ada juga tempat registrasi pengunjung terletak di sisi barat dari pos jaga yang

berfungsi sebagai tempat pendaftaran dan administrasi bagi pengunjung yang akan

masuk ke Desa Penglipuran. Toilet umum juga disediakan dan terdiri dari dua

unit, yang terletak di dekat areal parkir pengunjung TMP dan di sisi barat dari

kantor registrasi pengunjung. Desa Penglipuran juga sudah dilengkapi dengan

tempat sampah yang merupakan sumbangan dari Pemerintah Kabupaten Bangli.

Gambar 22. Toilet Umum Desa Penglipuran Sumber: Dokumentasi Kelompok

 

26    

Gambar 23. Tempat Sampah Desa Penglipuran Sumber: Dokumentasi Kelompok

4.2 Kelemahan Amenitas Desa Penglipuran

Sebagai desa wisata, Desa Penglipuran telah menyediakan berbagai sarana

dan prasara pariwisata yang dibutuhkan untuk kenyamanan wisatawan. Walaupun

demikian masih terdapat beberapa kekurangan yang nampak dari pengadaan

sarana dan prasana tersebut. Salah satunya yaitu pada papan nama Desa

Penglipuran. Papan nama yang seharusnya menjadi penanda atau penunjuk

terhalang oleh pedagang dan pembeli yang sedang duduk-duduk.

Gambar 24. Papan Nama yang Terhalang

Sumber: Dokumentasi Kelompok

Dari hasil observasi ditemukan bahwa tidak ada staft yang berjaga di pos

jaga, sehingga diperlukan perbaikan dalam meningkatkan keamanan wisatawan

baik di pagi maupun di malam hari. Selain itu, wisatawan yang menginap di

Home Stay yang dikelola oleh Desa Penglipuran kurang mendapatkan privacy

27    

karena jalan di depan penginapan tersebut terbuka untuk umum, sehingga

masyarakat atau wisatawan yang berkunjung lainnya dapat dengan bebas

memasuki kawasan Home Stay.

Berdasarkan pengalaman penulis saat menginap di Home Stay yang dikelola

oleh Desa Penglipuran kurang memberikan privacy bagi wisatawan, hal ini

terbukti dari adanya wisatawan yang sering lalu lalang di depan kamar dan

mendorong pintu kamar sehingga memberikan kesan kurang aman bagi wisatawan

untuk menginap di Home Stay milik desa. Selain permasalahan tersebut,

permasalahan lainnya yaitu kurangnya fasilitas toilet umum pada saat Desa

Penglipuran sedang dalam situasi padat pengunjung. Fasilitas seperti sarana

ibadah juga cukup penting mengingat wisatawan yang berkunjung juga ada yang

berasal dari luar pulau misalnya pulau Jawa yang rata-rata penduduknya beragama

Islam.

Gambar 25. Exterior dan Interior Home Stay Desa Penglipuran

Sumber: Dokumentasi Kelompok

4.3 Ancaman Amenitas Desa Penglipuran

Permasalahan keamanan wisatawan merupakan suatu hal yang perlu

diantisipasi karena dapat menjadi suatu ancaman berkurangnya jumlah wisatawan

yang datang untuk menginap. Ancaman lainnya terkait amenitas yaitu Desa

Penglipuran telah memiliki cukup banyak amenitas sebagai daya tarik wisata.

Sayangnya elemen amenitas seperti homestay, warung/kios menjamur seiring

dengan meningkatnya jumlah wisatawan yang datang dan menggunakan bahan-

bahan konstruksi yang tidak mencerminkan kehidupan masyarakat pedesaan

28    

sebagaimana yang dibayangkan oleh wisatawan. Tanpa ada pengawasan atau

pembatasan dikhawatirkan Desa Penglipuran akan menerima kedatangan

wisatawan yang melebihi daya tampung.

4.4 Peluang Amenitas Desa Penglipuran

Solusi yang direkomendasikan oleh kelompok (penulis) yang menginap

adalah ditutupnya salah satu akses masuk atau diberikan penjagaan agar

wisatawan yang menginap merasa aman dan nyaman. Guna mengantisipasi

banyaknya wisatawan yang berkunjung ke Penglipuran maka jumlah toilet umum

perlu ditambah, serta disediakan fasilitas ibadah berupa tempat ber-wudhu dan

tempat beribadah umat Muslim.

Guna mengantisipasi menjamurnya homestay, warung/kios menjamur

seiring dengan meningkatnya jumlah wisatawan yang datang, sebaiknya Desa

Penglipuran menggunakan konsep daya tampung (carrying capacity) dan bukan

konsep permintaan (demand) dalam menerima wisatawan dan membangun

pariwisata, artinya tidak boleh menerima wisatawan yang melebihi daya tampung

dari objek wisata dan tidak menerima seluruh wisatawan berdasarkan permintaan

dari pengelola jasa pariwisata seperti hotel, biro perjalanan wisata dan perusahaan

yang bergerak dalam aktivitas petualangan karena kedatangan wisatawan yang

berlebihan akan berdampak kepada masyarakat lokal dan lingkungan.

5. Analisis SWOT pada Aksesibilitas

Tamin (1997: 52) menyatakan bahwa aksesibilitas adalah konsep yang

menggabungkan sistem pengaturan tata guna lahan secara geografis dengan sistem

jaringan transportasi yang menghubungkannya. Menurut Magribi (1999: 74),

aksesibilitas adalah ukuran kemudahan yang meliputi waktu, biaya, dan usaha

dalam melakukan perpindahan antara tempat-tempat atau kawasan. Berdasarkan

pengertian tersebut berikut dianalisis kekuatan (strengths), kelemahan

(weaknesses), peluang (opportunity) dan ancaman (threats) pada aksesibilitas di

Desa Penglipuran:

29    

5.1 Kekuatan Aksesibilitas Desa Penglipuran

Aksesibilitas berupa jalan di Desa Penglipuran terbagi dalam tiga jenis, yaitu

jalan sekunder yang merupakan ring road desa, koridor tengah desa (rurung

gede), serta jalan setapak/gang. Rurung gede merupakan jalan menanjak dari pintu

masuk desa menuju arah utara dari Desa Penglipuran (arah pura Penataran).

Perbedaan tinggi pada rurung gede dibuat secara bertingkat sebanyak 15 tingkat

ketingggian yang semuanya memiliki ukuran yang relatif sama. Perkerasan pada

jalan menggunakan material paving selebar ±2,5 m, di sisi jalan ditanam rumput

selebar ±80 cm, dan saluran air selebar ±30 cm pada sepanjang jalan.

5.2 Kelemahan Aksesibilitas Desa Penglipuran

Koridor Desa Penglipuran yang dilalui wisatawan perlu dikaji ulang karena

jalan tanjakan tersebut sulit dilalui oleh wisatawan lanjut usia, akibat struktur

bahan yang terbuat dari batu kali dan semen cukup licin untuk dilalui.

Gambar 26. Akses Jalan Yang Menanjak Dan Sulit Dilalui Lansia

Sumber: Dokumentasi Kelompok

5.3 Ancaman Aksesibilitas Desa Penglipuran

Aksesibiltas berupa koridor yang terkesan licin menyebabkan wisatawan

merasa takut terjatuh dan memilih untuk melalui jalan dipinggir yang ditanami

rumput oleh masyarakat, sehingga rumput tersebut gundul dan mati.

30    

5.4 Peluang Aksesibilitas Desa Penglipuran

Solusi yang dapat ditawarkan yakni pada koridor desa ditambahkan tangga

dijalan tersebut sehingga tidak merusak rumput dan dapat dilalui wisatawan lanjut

usia. Aksesibilitas di wilayah Desa Penglipuran sudah cukup baik dan telah

tertata. Akan tetapi aksesibilitas menuju Desa Penglipuran masih perlu mendapat

perhatian. Akses jalan yang baik saja tidak cukup, tanpa diiringi dengan akses

jalan yang lancar maupun ketersediaan sarana transportasi. Bagi individual tourist,

transportasi umum sangat penting karena kebanyakan mengatur perjalanannya

sendiri tanpa bantuan travel agent, sehingga sangat bergantung kepada sarana dan

fasilitas publik.

6. Analisis SWOT pada Sumber Daya Manusia

Menurut Hasibuan (2003: 244) SDM adalah kemampuan terpadu dari daya

pikir dan daya fisik yang dimiliki individu. Menurut Abdurrahmat Fathoni (2006:

8) SDM merupakan modal dan kekayaan yang terpenting dari setiap kegiatan

manusia. Manusia sebagai unsur terpenting mutlak dianalisis dan dikembangkan.

Berdasarkan pengertian tersebut berikut dianalisis kekuatan (strengths),

kelemahan (weaknesses), peluang (opportunity) dan ancaman (threats) pada SDM

di Desa Penglipuran:

6.1 Kekuatan SDM Desa Penglipuran

Masyarakat Desa Penglipuran telah berupaya melakukan pengembangan diri

dengan ikut berpartisipasi aktif dalam proses perencanaan, pembangunan,

pelestarian, dan pengevaluasian terhadap pembangunan pariwisata di daerahnya.

Dalam artian pengembangan pariwisata di Desa Penglipuran sudah menerapkan

konsep pariwisata berbasis masyarakat atau Community Based Tourism (CBT).

Konsep CBT diwujudkan melalui pengelola pariwisata yang kepengurusannya

terdiri dari beberapa masyarakat Desa Penglipuran dan berbagai pengembangan

yang dilakukan oleh pengelola pariwisata harus sepengetahuan seluruh

masyarakat Desa melalui Kelian adat Desa.

Seiring dengan masuk dan berkembangnya pariwisata di Desa Penglipuran,

masyarakat Desa Penglipuran juga telah mengembangkan kemampuan di bidang

31    

pariwisata dengan mengikuti berbagai pelatihan yang diselenggarakan oleh

pemerintah atau institusi terkait. Salah satu pelatihan yang diikuti adalah

pembuatan kelepon (jajanan tradisional yang terbuat dari olahan ketela ungu) dan

cara pemasaran minuman tradisional yakni loloh cemcem yang terbuat dari sari

daun Cemceman (Spondias pinata KURZ) sebagai oleh-oleh khas Desa

Penglipuran. Dulu di Desa Penglipuran juga terdapat yayasan Bambu yang

bernama Yayasan Bambu Lestari. Yayasan ini memberikan pelatihan kepada

siswa yang berasal dari luar dan tiga orang dari Penglipuran tentang budidaya

bambu melalui membuat berbagai macam kerajinan yeng memiliki nilai ekonomi

bagi masyarakat. Walaupun pelatihan tersebut bertaraf nasional namun hanya

berlangsung selama tiga bulan, dan pasca pelatihan tidak ada kegiatan lanjutan

yang dilakukan.

6.2 Kelemahan SDM Desa Penglipuran

Dilihat dari SDM, Yayasan Bambu hanya memberikan pelatihan

mengawetkan dan memproduksi kerajinan bambu tanpa memberikan pelatihan

pemasaran produk bambu yang telah dibuat sehingga masyarakat tetap tidak

berkembang dan Yayasan Bambu saat ini sudah tidak beroperasi lagi. Berdasarkan

hal tersebut, perlu dilakukan kegiatan serupa secara berkala tidak hanya meliputi

pelatihan pengawetan dan membuat kerajinan bambu tetapi juga mencangkup

pemasaran hasil kerajinan bambu. Pemerintah juga telah memberikan pelatihan

SDM Desa Penglipuran agar mampu memanfaatkan perkembangan pariwisata

untuk meningkatkan perekonomian dan kesejahteraan hidup, akan tetapi pelatihan

yang diberikan sifatnya hanya sementara, tidak berkelanjutan sehingga

manfaatnya kurang bisa diterima oleh masyarakat Desa Penglipuran.

6.3 Ancaman SDM Desa Penglipuran

Sebagai pihak yang berhubungan langsung dengan daerah pariwisata dan

wisatawan peningkatan kualitas SDM masyarakat sedemikian penting harus

dilakukan mencakup pengetahuan, sikap dan keterampilan. Keterbatasan kualitas

SDM yang dimiliki terutama pada sektor pariwisata yaitu lemahnya pengetahuan

32    

dan keterampilan tentang kepariwisataan berujung pada lemahnya arah

pengembangan pariwisata yang disusun.

6.4 Peluang SDM Desa Penglipuran

Pemerintah maupun lembaga lainnya harusnya membuat program

pengembangan kemampuan dan pelatihan dengan lebih serius dan tepat guna.

Berdasarkan hasil wawancara dengan Ibu Wayan Sriniti (September, 2014)

selaku pemilik rumah makan di Penglipuran, perlu dibuatkan suatu koperasi yang

dapat membantu masyarakat dalam meningkatkan perekonomian dan

kesejahteraan masyarakat Penglipuran. Selain itu, program pengembangan SDM

yang diberikan juga tidak hanya untuk peningkatan perekonomian dan

kesejahteraan tetapi juga untuk peningkatan kesadaran akan pentingnya menjaga

tradisi dan asset budaya yang dimiliki serta pelatihan pengembangan kepribadian

agar dapat menjadi tuan rumah yang ramah dan memiliki sopan santun.

Pemerintah juga sebaiknya tidak hanya menjadikan Desa Penglipuran sebagai aset

wisata guna meningkatkan PAD, tetapi juga harus memikirkan kesejahteraan

masyarakat Desa Penglipuran.

Gambar 27. Wawancara Kelompok dengan Ibu Wayan Sriniti

Sumber: Dokumentasi Kelompok

7. Analisis SWOT pada Citra/image

Kotler (2000: 599) menyatakan bahwa citra adalah “the set beliefs, ideas,

and impressions that a person hold of on object“. Sedangkan menurut Aacker &

Myers (2000: 116), citra adalah “The total impression of what person a group of

33    

people think and know about or object“. Dari definisi-definisi tersebut, maka

dapat diambil pengertian umum dari citra yaitu hasil evaluasi dalam diri seseorang

berdasarkan persepsi dan pemahaman terhadap gambaran yang telah diolah,

diorganisasikan, dan disimpan dalam benak seseorang. Citra dapat diukur melalui

pendapat, kesan atau respon seseorang dengan tujuan untuk mengetahui secara

pasti apa yang ada dalam pikiran setiap individu mengenai suatu objek,

bagaimana memahaminya dan apa yang disukai atau yang tidak disukai dari objek

tersebut. Suatu citra bisa sangat kaya makna atau sederhana saja. Setiap orang bisa

melihat citra suatu objek berbeda-beda, tergantung pada persepsi yang ada pada

dirinya mengenai objek tersebut atau sebaliknya citra bisa diterima relatif sama.

Berdasarkan pengertian tersebut berikut dianalisis kekuatan (strengths),

kelemahan (weaknesses), peluang (opportunity) dan ancaman (threats) pada

citra/image di Desa Penglipuran:

7.1 Kekuatan Citra/Image Desa Penglipuran

Penghargaan Kalpataru sempat diraih Desa Penglipuran dalam kategori

Penyelamat Lingkungan pada tahun 1995. Pemberian penghargaan didasarkan

pada kemampuan masyarakat Desa Penglipuran menjaga kelestarian alam dan

menjaga tradisi-tradisi budaya yang ada. Desa Penglipuran juga pernah masuk

dalam sembilan pemenang Citra Pesona Award 2013. Sederet prestasi yang

pernah diraih oleh Desa Penglipuran mampu membangun kesan atau citra yang

baik di mata wisatawan sebagai salah satu desa wisata yang menarik untuk

dikunjungi.

7.2 Kelemahan Citra/Image Desa Penglipuran

Sejak ditetapkan sebagai desa wisata tahun 1993, Desa Penglipuran telah

membangun citra yang baik bagi masyarakat lokal maupun internasional. Hal ini

terbukti dari banyaknnya tokoh-tokoh terkenal yang berkunjung ke Penglipuran,

seperti Ibu Negara Ani Yudoyono, Harmoko, Sri Muliani, Jero Wacik, Mari

Pangestu, perwakilan UNESCO, Perdana Menteri Suriname, Kedutaan Belgia,

dan tokoh-tokoh lainnya. Sayangnya, kurang ada dokumentasi yang dimiliki Desa

Penglipuran.

34    

Gambar 28. Kunjungan Ibu Negara Ani Yudhoyono

Sumber: Dokumentasi Pak Moneng

7.3 Ancaman Citra/Image Desa Penglipuran

Kurangnya inovasi penggunaan teknologi informasi seperti belum

menggunakan foto atau video untuk mengenalkan pariwisata Desa Penglipuran

merupakan bentuk kurangnya inovasi pariwisata yang telah dilakukan. Hal ini

dapat menjadi ancaman menurunnya wisatawan Desa Penglipuran akibat kalah

bersaing dari segi promosi dengan detinasi wisata lainnya.

7.4 Peluang Citra/Image Desa Penglipuran

Desa Penglipuran membutuhkan pengelolaan khusus yang menangani

dokumentasi kunjungan tokoh-tokoh dunia dan dipublikasikan kepada masyarakat

akan dapat dijadikan strategi pemasaran yang tepat untuk pengembangan

pariwisata Penglipuran sebagai desa wisata yang dinilai baik oleh dunia.

8. Analisis SWOT pada Harga

Harga adalah suatu alat ukur bagi konsumen untuk melakukan penilaian

terhadap suatu produk. Produk wisata bersifat komparatif sehingga konsumen bisa

menilai dengan bantuan harga (http://riskiidrussetiadi. blogspot.com/2012/11/

penyusunan-harga- paket-wisata.html). Harga produk wisata yang murah di suatu

destinasi wisata tentunya dapat meringankan biaya yang akan dikeluarkan

wisatawan dan menyebabkan wisatawan tertarik untuk mengunjungi destinasi

35    

wisata tersebut. Berdasarkan pengertian tersebut berikut dianalisis kekuatan

(strengths), kelemahan (weaknesses), peluang (opportunity) dan ancaman

(threats) pada harga di Desa Penglipuran:

8.1 Kekuatan Harga Produk Pariwisata Desa Penglipuran

Harga yang ditawarkan di Desa Penglipuran relative murah. Harga tiket

masuk berkisar Rp. 1000,- Rp10.000,- tergantung ketentuan sebagai berikut:

Tabel 1. Daftar Harga Tiket Berkunjung Ke Desa Desa Penglipuran

Jenis Wisatawan Tarif Masuk Wisatawan

Mancanegara Dewasa Rp. 10.000

Anak-anak Rp. 7.500

Wisatawan Domestik Dewasa Rp. 7.500

Anak-anak Rp. 5.000

Transportasi Bus Rp. 5.000

Mobil Rp. 2.000 Motor Rp. 1.000

Gambar 29. Tempat Pembayaran Tiket Kunjungan

Sumber: Dokumentasi Kelompok

Selain harga tiket masuk yang murah, dapat juga ditemukan berbagai

cendramata, makanan, dan minuman khas Desa Penglipuran dengan harga yang

bersahabat. Harga cendramata yang ditawarkan di kios-kios kecil masyarakat

berkisar antara puluhan ribu hingga ratusan ribu rupiah, sedangkan harga makanan

dan minuman yang dijual yakni Rp. 5.000,- hingga Rp. 50.000,-. Fasilitas kamar

yang ditawarkan cukup lengkap karena telah dilengkapi dengan jaringan internet

Sumber: Pengelola Pariwisata Desa Panglipuran

 

36    

dengan harga yang ditawarkan yakni sekitar Rp. 100.000, -hingga Rp. 500.000,-

per malam. Dengan harga yang ditawarkan tersebut, wisatawan dapat menikmati

keindahan Desa Penglipuran tanpa mengeluarkan biaya yang besar. Harga maket

rumah Rp. 250.000 sampai Rp. 350.000, maket angkul-angkul Rp. 150.000

sampai Rp. 200.000.

8.2 Kelemahan Harga Produk Pariwisata Desa Penglipuran

Permasalahan yang timbul di Desa Penglipuran yaitu uang yang dikeluarkan

wisatawan belum sepenuhnya memberikan manfaat ekonomi secara langsung dan

adil kepada masyarakat lokal (host community) karena hanya 5% masyarakat lokal

bekerja di sektor pariwisata. Hanya sedikit usaha perekonomian masyarakat lokal

yang berhubungan langsung dengan industri pariwisata. Warung-warung yang ada

disekitar daerah objek wisata hanya diperuntukan untuk masyarakat lokal dan

wisatawan domestik dan bukan untuk wisatawan manca negara karena warung-

warung tersebut tidak memiliki standar internasional.

Berdasarkan hasil wawancara dengan I Wayan Supad (September, 2014)

selaku Bendesa Adat Penglipuran, terdapat ketidakterimaan masyarakat tentang

pembagian retribusi yang dihasilkan Desa Penglipuran dengan Pemerintah

Kabupaten Bangli. Cara pembagian pendapatan tersebut adalah 20% dari total

pendapatan perbulan diberikan kepada petugas penjaga tiket masuk, yang pada hal

ini dibebankan kepada Sekaa Truna Yowana Bhakti yang nantinya dibagi lagi

sebesar 15% untuk yang bertugas dan 5 % untuk kas Sekaa Truna Yowana Bhakti.

Kemudian sebesar 60% untuk pemerintah daerah Kabupaten Bangli. Dan sisanya

sebesar 20% untuk Desa Adat Penglipuran. Masyarakat Penglipuran

menginginkan agar pemerintah mendapat 40%, namun hal tersebut sulit terealisasi

karena pemerintah Kabupaten Bangli masih mengalami kendala jika mengubah

kebijakan tersebut, disamping PAD-nya relatih kecil.

37    

Gambar 30. Wawancara kelompok dengan Bapak Supad selaku Bendesa Adat

Sumber: Dokumentasi Kelompok

8.3 Ancaman Harga Produk Pariwisata Desa Penglipuran

Semakin banyak orang Penglipuran yang enggan berpartisipasi dalam

kegiatan wisata di Desa Penglipuran karena secara ekonomi dianggap tidak terlalu

banyak membawa manfaat guna meningkatkan kesejahteraannya.

8.4 Peluang Harga Produk Pariwisata Desa Penglipuran

Harga yang ditawarkan untuk tiket masuk perlu dievalusi untuk dibuatkan

suatu kebijakan baru yang sesuai dengan perkembangan pariwisata saat ini.

Berdasarkan data di lapangan ditemukan bahwa Desa Penglipuran belum pernah

melakukan peningkatan harga tiket masuk walaupun pariwisata di desa tersebut

telah berkembang sejak tahun 1993. Hal ini patut dikaji kembali agar kedatangan

wisatawan mampu memberikan retrubusi dan kontribusi yang sesuai dengan

upaya masyarakat Penglipuran dalam membangun desa. Kebijakan mengenai

pembagian hasil dengan Pemerintah Daerah juga perlu dikaji ulang agar tidak

merugikan masyarakat Desa Penglipuran sebagai pelaku pariwisata.

38    

9. Kesimpulan

Berdasarkan uraian yang telah dilakukan dapat ditarik kesimpulan terdapat

enam komponen produk pariwisata sebagai daya tarik wisata Desa penglipuran,

Bangli yakni: atraksi, amenitas, aksesibilitas, SDM, citra/image, harga. Setelah

dilakukan analisis SWOT pada keenam komponen tersebut diperoleh kesimpulan

yaitu:

1. Atraksi wisata pada Desa Penglipuran yaitu natural attraction, cultural

attraction, social attractions dan built attraction.

A) Natural attraction berupa landscape hutan bambu yang mengelilingi desa,

iklim tropis yang sejuk dan udara yang segar tanpa polusi kendaraan.

Tetapi terdapat kelemahan yaitu saat ini lahan hutan bambu semakin

berkurangnya akibat kurangnya kesadaran masyarakat tentang pentingnya

hutan bambu. Jika tidak segera dicarikan solusi lambat laun seluruh lahan

hutan bambu menjadi habis dan punah. Solusi yang dapat dilakukan yaitu

dengan membuat peraturan yang tegas mengenai pemanfaatan lahan hutan

bambu atau dapat melakukan budidaya bambu maupun membuat daya

tarik wisata baru yaitu Museum Bambu.

B) Cultural attraction yang dapat dijumpai di Desa Penglipuran yaitu sejarah,

cerita rakyat, kesenian berupa tari-tarian, upacara khusus yaitu upacara

penguburan mayat (ngaben) yang berbeda dengan upacara ngaben

masyarakat Bali pada umumnya. Kelemahan dari cultural attraction Desa

Penglipuran yaitu hanya dapat dinikmati pada waktu dan tempat yang

menyesuaikan. Keterbatasan tersebut, menyebabkan wisatawan sulit untuk

mengabadikan kesenian khas Penglipuran. Diperlukan sosialisasi tentang

pelaksanaan upacara di desa Penglipuran sehingga wisatawan dapat

menentukan waktu yang tepat untuk berkunjung sekaligus sebagai daya

tarik budaya yang akan menambah kunjungan wisatawan domestik

maupun mancanegara

C) Social Attractions yang dijumpai di Desa Penglipuran yaitu cara hidup

masyarakat Desa Penglipuran. Namun walaupun demikian, wisatawan

banyak yang tidak mengetahui adanya acara-acara karena kurang

39    

dipublikasikan. Dengan hanya menjual alam dan isinya secara apa adanya

lamban laun menyebabkan wisatawan meninggalkan Desa Penglipuran

untuk beralih ke daerah wisata lainnya yang menawarkan pengalaman

lebih menyenangkan dan baru. Diperlukan sosialisasi tentang Social

Attractions di desa Penglipuran sehingga wisatawan mengetahui dan

semakin tertarik mengunjungi Desa Penglipuran.

D) Built attraction yang dapat dijumpai di Desa Penglipuran yaitu bangunan

bersejarah berupa rumah adat yang masih asli dan dijaga oleh masyarakat

Penglipuran maupun rumah adat yang telah dimodifikasi dengan arsitektur

modern. Ada juga monument, taman dan kebun. Permasalahan terkait

Built Attraction yang dihadapi Desa Penglipuran yaitu berubahnya

arsitektur rumah masyarakat Desa Penglipuran. seiring perkembangan

masyarakat dan pesatnya pengaruh globalisasi. Ancaman yang

dikhawatirkan adalah terjadi penurunan kunjungan wisatawan karena daya

tarik utama yakni pola pemukiman Penglipuran yang mulai hilang

sehingga terkesan sama seperti pemukiman masyarakat Bali pada

umumnya. Seharusnya desa Penglipuran menetapkan awig-awig dengan

lebih tegas dan lebih berani dalam memberikan sanksi jika terjadi

pelanggaran karena hal tersebut akan memberikan pengaruh terhadap

kunjungan wisatawa.

2. Amenitas yang ada di Desa Penglipuran yaitu homestay, rumah makan atau

restaurant, pos jaga, warung/kios, tempat parkir, tempat registrasi

pengunjung, toilet umum. Sayangnya sarana dan prasarana yang disediakan

tidak disertai dengan keamanan. Fasilitas toilet umum masih kurang

jumlahnya dan tidak ada fasilitas beribadah bagi umat Muslim. Ancaman

lainnya terkait amenitas yaitu menjamurnya homestay, warung/kios seiring

dengan meningkatnya jumlah wisatawan yang datang dan menggunakan

bahan-bahan konstruksi yang tidak mencerminkan kehidupan masyarakat

pedesaan sebagaimana yang dibayangkan oleh wisatawan. Tanpa ada

pengawasan atau pembatasan dikhawatirkan Desa Penglipuran akan menerima

kedatangan wisatawan yang melebihi daya tampung.

40    

Solusi yang direkomendasikan adalah ditutupnya salah satu akses masuk atau

diberikan penjagaan agar wisatawan yang menginap merasa aman dan

nyaman. Guna mengantisipasi banyaknya wisatawan yang berkunjung ke

Penglipuran maka jumlah toilet umu perlu ditambah, serta disediakan fasilitas

ibadah berupa tempat ber-wudhu dan tempat beribadah umat Muslim. Guna

mengantisipasi menjamurnya homestay, warung/kios menjamur seiring

dengan meningkatnya jumlah wisatawan yang datang, sebaiknya Desa

Penglipuran menggunakan konsep daya tampung (carrying capacity) dan

bukan konsep permintaan (demand) dalam menerima wisatawan dan

membangun pariwisata.

3. Aksesibilitas berupa jalan di Desa Penglipuran terbagi dalam tiga jenis, yaitu

jalan sekunder yang merupakan ring road desa, koridor tengah desa (rurung

gede), serta jalan setapak/gang. Aksesibiltas berupa koridor yang terkesan

licin menyebabkan wisatawan merasa takut terjatuh dan memilih untuk

melalui jalan dipinggir yang ditanami rumput oleh masyarakat, sehingga

rumput tersebut gundul dan mati. Solusi yang dapat ditawarkan yakni pada

koridor desa ditambahkan tangga dijalan tersebut sehingga tidak merusak

rumput dan dapat dilalui wisatawan lanjut usia. Aksesibilitas menuju Desa

Penglipuran juga masih perlu mendapat perhatian. Akses jalan yang baik saja

tidak cukup, tanpa diiringi dengan akses jalan yang lancar maupun

ketersediaan sarana transportasi.

4. Masyarakat Desa Penglipuran juga telah berupaya melakukan pengembangan

diri dengan ikut berpartisipasi aktif dalam proses perencanaan, pembangunan,

pelestarian, dan pengevaluasian terhadap pembangunan pariwisata di

daerahnya. Seiring dengan masuk dan berkembangnya pariwisata di Desa

Penglipuran, masyarakat Desa Penglipuran telah mengembangkan

kemampuan di bidang pariwisata dengan mengikuti berbagai pelatihan yang

diselenggarakan oleh pemerintah atau institusi terkait. Sayangnya pelatihan

yang diselenggarakan oleh pemerintah atau institusi terkait tidak tepat sasaran

dan tidak dilakukan secara berkala. Dikhawatirkan SDM akan memiliki

keterbatasan pengetahuan dan keterampilan tentang kepariwisataan berujung

41    

pada lemahnya arah pengembangan pariwisata yang disusun. Pemerintah

maupun lembaga lainnya harusnya membuat program pengembangan

kemampuan dan pelatihan dengan lebih serius dan tepat guna.

5. Sederet prestasi yang pernah diraih oleh Desa Penglipuran mampu

membangun kesan atau citra yang baik di mata wisatawan maupun tokoh-

tokoh terkenal. Sayangnya, tidak ada banyak dokumentasi mengenai

kunjungan tokoh-tokoh yang datang ke Desa Penglipuran. Hal ini dapat

menjadi ancaman menurunnya wisatawan Desa Penglipuran akibat kalah

bersaing dari segi promosi dengan detinasi wisata lainnya. Desa Penglipuran

membutuhkan pengelolaan khusus yang menangani dokumentasi kunjungan

tokoh-tokoh dunia dan dipublikasikan kepada masyarakat sehingga dapat

dijadikan strategi pemasaran untuk pengembangan pariwisata Penglipuran

6. Dengan harga yang ditawarkan Desa Penglipuran meliputi harga tiket masuk,

harag cenderamata, harga penginapan, wisatawan dapat menikmati keindahan

Desa Penglipuran tanpa mengeluarkan biaya yang besar. Permasalahan yang

timbul di Desa Penglipuran yaitu uang yang dikeluarkan wisatawan belum

sepenuhnya memberikan manfaat ekonomi secara langsung dan adil kepada

masyarakat local. Dikhawatirkan semakin banyak orang Penglipuran yang

enggan berpartisipasi dalam kegiatan wisata di Desa Penglipuran karena

secara ekonomi dianggap tidak terlalu banyak membawa manfaat guna

meningkatkan kesejahteraannya. Kebijakan pembagian hasil perlu dikaji ulang

agar membawa manfaat bagi masyarakat selaku pelaku pariwisata.

42    

DAFTAR PUSTAKA

Aaker, David A, Myers, John G. 2000. Advertising Management. New Jersey:

Pretince Hall. Fathoni. 2006. Dasar-dasar Pembinaan. Jakarta: Rineka Cipta. Hasibuan, M. 2003. Manajemen Sumber Daya Manusia. Jakarta: PT.Bumi

Aksara. Khoiron, Roni. 2012. 4A yang Wajib Untuk Pariwisata. Diakses Dalam:

http://jejakwisata.com/tourism-studies/tourism-in-general/213-4a-yang-wajib-dimilki-oleh-sebuah-destinasi-wisata.html. 9 September 2014.

Kotler, Philip. 2000. Manajemen Pemasaran. Jakarta: PT. Prenhallindo Magribi, Muhammad. 1999. Geografi Transportasi. Yogyakarta: Fakultas Pasca

Sarjana. UGM. Setiadi. 2012. Penyusunan harga paket wisata. Diakses dalam:

Http://riskiidrussetiadi. blogspot.com/2012/11/penyusunan-harga-paket-wisata.html. 9 September 2014.

Suwantoro, Gamal. 2004. Dasar-dasar Pariwisata. Yogyakarta: Andi. Tamin, O.Z. 1997. Perencanaan dan Pemodelan Transportasi. Bandung: Teknik

Sipil Institut Teknologi Bandung. Yoeti, Oka A. 2002. Perencanaan Strategis Pemasaran: Daerah Tujuan Wisata.

Jakarta: Pradnya Paramita.