Wisatawan Mancanegara Anak-anak Dewasa Wisatawan Domestik Anak-anak Bus Transportasi Mobil Motor...
Transcript of Wisatawan Mancanegara Anak-anak Dewasa Wisatawan Domestik Anak-anak Bus Transportasi Mobil Motor...
0
Komponen Produk Pariwisata sebagai Daya Tarik
Wisata
Desa Penglipuran, Bangli
Dosen:
Dr. Ir. AAP. Agung Suryawan Wiranatha, MSc
Mahasiswa:
Sulistyawati 139 077 1018
I Nyoman Budiartha 149 077 1007
Putu Agung Prianta 149 077 1006
Ni Luh Ramaswati Purnawan 149 077 1005
I Made Sarjana 149 077 1004
PROGRAM DOKTOR PARIWISATA
UNIVERSITAS UDAYANA
DENPASAR
OKTOBER 2014
1
Tugas Studi Lapangan
Lokasi : Desa Wisata Penglipuran, Bangli
Theme : Community Based Tourism
Aspek Yang Dipelajari:
1. Attraction
2. Amenities
3. Accessibility
4. Image and Character
5. Price
6. Human Resource
Analisis : SWOT (Expert Judgement & Interview Visitor)
Laporan : Paper Kelompok Untuk Dipresentasikan
Laporan Akhir : Berbentuk Artikel Untuk Jurnal
2
1. Pendahuluan
Desa Penglipuran, terletak di Kelurahan Kubu, Kecamatan Bangli,
Kabupaten Bangli, Propinsi Bali, dengan ketinggian 500-600 m di atas pemukaan
laut dan koordinat GPS 8,0292893° LS, 115,03036° BT serta memiliki batas-batas
fisik wilayah sebagai berikut: Desa Adat Kayu Bihi di sebelah utara, Desa Adat
Kubu di sebelah timur, Desa Adat Gunaksa di sebelah selatan, dan Desa Adat
Cekeng di sebelah barat. Desa Penglipuran berjarak 5 km arah utara dari Kota
Bangli dan 45 km dari kota Denpasar. Luas Desa Penglipuran adalah 112 Ha, 9
Ha digunakan sebagai pemukiman warga dan sisanya adalah hutan dan tanah
tegalan atau ladang.
Desa Penglipuran terletak tepat di bawah dataran tinggi Gunung Batur dan
dikelilingi oleh hutan bambu serta memiliki karakteristik daerah berupa lahan
pertanian yang subur. Desa Penglipuran termasuk dalam salah satu desa di Bali
yang masih melestarikan budaya tradisional dalam komunitas lokal. Arsitektur
tradisional di Desa Penglipuran dipelihara dengan baik dan dikelola oleh
masyarakat setempat. Keunikan dan potensi yang dimiliki Desa Penglipuran
tersebut, menjadikannya sebagai salah satu daya tarik wisata kabupaten Bangli
sejak tahun 1993.
Gambar 1. Wilayah Desa Penglipuran Sumber: Dokumentasi Kelompok
3
Dalam pengembangan pariwisata untuk meningkatkan kualitas produk/jasa
Desa Penglipuran, perlu dipahami konsep produk pariwisata. Menurut Suwantoro
(2004: 48-49), produk pariwisata adalah keseluruhan pelayanan yang diperoleh
dan dirasakan atau dinikmati wisatawan semenjak meninggalkan tempat
tinggalnya, sampai ke daerah tujuan wisata yang telah dipilihnya dan kembali ke
tempat berangkat semula. Adapun yang termasuk dalam produk pariwisata
diantaranya berupa atraksi, amenitas, aksesibilitas, sumber daya manusia (SDM),
citra/image, harga. Semua produk pariwisata tersebut merupakan suatu strategi
yang sangat penting digunakan untuk memanjakan pengunjung dalam hal ini
memberikan nilai dan citra yang tinggi sehingga pengunjung menjadi tertarik
terhadap objek wisata Desa Penglipuran.
Gambar 2. Peta Wilayah Desa Penglipuran
Sumber: Dokumentasi Kelompok
4
Mengacu pada uraian tersebut, maka dalam upaya mengembangkan produk
wisata Desa Penglipuran, diperlukan upaya pemaparan produk pariwisata yang
dimiliki Desa Penglipuran dan menganalisis permasalahan yang ada pada masing-
masing produk pariwisata. Analisis permasalahan dilakukan agar dapat diperoleh
solusi atau upaya pengembangan produk pariwisata sehingga pariwisata Desa
Penglipuran menjadi pariwisata yang berkelanjutan dan menjadi daya tarik
wisatawan.
2. Tujuan
Tugas ini memiliki tujuan yang dibedakan menjadi tujuan umum dan tujuan
khusus. Adapun Tujuan umumnya yaitu untuk mengetahui dan memahami
berbagai komponen produk pariwista sebagai daya tarik wisata Desa Penglipuran,
Bangli. Tujuan khusus yang ingin diperoleh diantaranya:
1) Mengetahui dan memahami analisis SWOT pada atraksi wisata Desa
Penglipuran, permasalahan serta solusi/upaya menanggulangi
pengembangannya.
2) Mengetahui dan memahami analisis SWOT pada amenitas Desa Penglipuran,
permasalahan serta solusi/upaya menanggulangi pengembangannya.
3) Mengetahui dan memahami analisis SWOT pada aksesibilitas Desa
Penglipuran, permasalahan serta solusi/upaya menanggulangi
pengembangannya.
4) Mengetahui dan memahami analisis SWOT pada SDM Desa Penglipuran,
permasalahan serta solusi/upaya menanggulangi pengembangannya.
5) Mengetahui dan memahami analisis SWOT pada citra/image Desa
Penglipuran, permasalahan serta solusi/upaya menanggulangi
pengembangannya.
6) Mengetahui dan memahami analisis SWOT pada harga produk pariwisata
Desa Penglipuran, permasalahan serta solusi/upaya menanggulangi
pengembangannya.
5
3. Analisis SWOT pada Atraksi Wisata
Menurut Yoeti (2002: 5), atraksi wisata merupakan sesuatu yang menarik
untuk dilihat, dirasakan, dinikmati dan dimiliki oleh wisatawan, yang dibuat oleh
manusia dan memerlukan persiapan terlebih dahulu sebelum diperlihatkan kepada
wisatawan. Yang termasuk ke dalam atraksi wisata yaitu: A) Natural attraction:
meliputi landscape, pemandangan laut, pantai, iklim dan fitur geografis di suatu
daerah tujuan wisata, B) Cultural attraction: meliputi sejarah, cerita rakyat,
agama, kesenian dan upacara khusus, festival, C) Social attractions: anatar lain
meliputi cara hidup, populasi penduduk, bahasa, pertemuan sosial, D) Built
attraction: meliputi bangunan bersejarah, arsitektur modern, monumen, taman,
kebun, dan marina.
3.1 Analisis SWOT pada Natural Attraction Desa Penglipuran
Berikut analisis kekuatan (strengths), kelemahan (weaknesses), peluang
(opportunity) dan ancaman (threats) pada natural attraction Desa Penglipuran:
3.1.1 Analisis Kekuatan Natural Attraction Desa Penglipuran
Natural attraction meliputi landscape, pemandangan laut, pantai, iklim dan
fitur geografis di suatu daerah tujuan wisata. Natural attraction yang dapat
dijumpai di Desa Penglipuran berupa landscape hutan bambu yang mengelilingi
desa, iklim tropis yang sejuk dengan suhu udara berkisar antara 18º-32º Celcius
dan udara yang segar tanpa polusi kendaraan.
Hutan bambu yang mengelilingi desa Penglipuran memiliki luas 75 Ha yang
terdiri dari berbagai jenis bambu yang ada di Bali seperti bambu petung, jajang,
tali. Peranan hutan bambu di Desa Penglipuran sangat penting karena memiliki
fungsi ekologis yaitu sebagai penahan tanah agar tidak longsor. Masyarakat Desa
Penglipuran juga memanfaatkan bambu sebagai bahan bangunan yaitu sebagai
bahan atap dan dinding, sebagai bahan baku kerajinan dan untuk keperluan
pelaksanaan upacara adat. Biasanya di hutan bambu ini, wisatawan duduk-duduk
atau berfoto-foto sambil menikmati suasana hutan bambu.
Desa Penglipuran berada pada dataran tinggi (antara 500-600 meter di atas
permukaan laut) dan memiliki curah hujan rata-rata setiap tahunnya antara 2000-
2500 milimeter. Fitur geografis ini menyebabkan Desa Penglipuran beriklim
6
tropis relatif sejuk dengan suhu rata-rata berkisar antara 18 0 - 32 0 Celcius. Tak
hanya sejuk, Desa Penglipuran juga memiliki udara segar bebas dari polusi
kendaraan. Kesejukan dan kesegaran udara merupakan salah satu daya tarik Desa
Penglipuran di mata wisatawan. Khusus di desa Penglipuran diberlakukan
ketentuan yaitu koridor Desa hanya diperuntukkan bagi pejalan kaki. Kendaraan
seperti mobil tidak boleh masuk ke koridor desa. Kendaraan beroda dua yaitu
motor hanya boleh masuk ke koridor desa di luar waktu yang sudah ditetapkan
yaitu antara pukul 9.00-19.00 WITA. Aturan tersebut diberlakukan untuk menjaga
suasana asri dan udara segar alami, sehingga benar-benar bebas dari polusi.
Pemerintah Kabupaten Bangli atas usulan masyarakat Desa Penglipuran
membangun jalan yang melingkari desa (ring road) dan dapat diakses melalui
bagian belakang masing-masing pekarangan rumah masyarakat Desa Penglipuran.
Kendaraan yang dimiliki masyarakat Desa Penglipuran diletakkan di bagian
belakang rumah. Dengan adanya jalan melingkar, koridor Desa dapat terbebas
dari polusi kendaraan namun masyarakat tetap memiliki dan dapat mengakses
kendaraan miliknya.
Gambar 3. Hutan Bambu Sumber: Dokumentasi Kelompok
7
3.1.2 Analisis Kelemahan Natural Attraction Desa Penglipuran
Permasalahan yang dihadapi Desa Penglipuran terkait dengan natural
attraction yaitu semakin berkurangnya lahan hutan bambu. Berkurangnya lahan
hutan bambu disebabkan semakin bertambahnya jumlah masyarakat Desa
Penglipuran.
3.1.3 Analisis Ancaman Natural Attraction Desa Penglipuran
Dengan bertambahnya jumlah masyarakat Desa Penglipuran, maka hutan
bambu dijadikan sebagai alternatif lahan untuk membangun rumah atau bangunan
lainnya. Dalam awig-awig yang telah disepakati, anak pertama laki-laki memiliki
hak atas rumah (pewaris). Anak kedua, ketiga dan seterusnya dapat membangun
rumah di belakang areal rumah anak pertama atau di wilayah hutan bambu milik
orang tuanya.
3.1.4 Analisis Peluang Natural Attraction Desa Penglipuran
Berdasarkan kelemahan dan ancaman yang ditemukan pada natural
attraction Desa Penglipuran, perlu di buat peraturan yang tegas mengenai
pemanfaatan lahan hutan bambu. Selain itu, desa Penglipuran juga dapat
melakukan budidaya bambu yang terdapat di Desa Penglipuran maupun semua
Gambar 4. Tegalan Yang Dulunya Ditumbuhi Bambu Dibangun Garasi Sumber: Dokumentasi Kelompok
8
jenis bambu yang ada di Bali bahkan di Indonesia. Pemerintah maupun lembaga
lainnya dapat membantu membangun sebuah museum bambu sebagai daya tarik
wisata buatan yang menekankan pada keindahan hutan bambu Desa Penglipuran
dan upaya pelestarian dan edukasi bagi masyarakat luas tentang keragaman jenis
bambu yang ada di Bali dan Indonesia Untuk merealisasikan hal tersebut, perlu
juga dilakukan kerjasama dengan instansi terkait seperti: Dinas Perhutanan,
Pertanian atau Perkebunan.
3.2 Analisis SWOT pada Cultural Attraction Desa Penglipuran
Berikut analisis kekuatan (strengths), kelemahan (weaknesses), peluang
(opportunity) dan ancaman (threats) pada cultural attraction Desa Penglipuran:
3.2.1 Analisis Kekuatan Cultural Attraction Desa Penglipuran
Cultural attraction: meliputi sejarah, cerita rakyat, agama, kesenian, upacara
khusus, festival. Cultural attraction yang dapat dijumpai di Desa Penglipuran
yaitu sejarah, cerita rakyat, kesenian berupa tari-tarian, upacara khusus yaitu
upacara penguburan mayat (ngaben) yang berbeda dengan upacara ngaben
masyarakat Bali pada umumnya.
Sejarah Desa Adat Penglipuran dimulai sejak 700-an tahun yang lalu, yaitu
pada zaman kerajaan Bangli. Menurut penuturan para sesepuh/penglingsir, Desa
Penglipuran merupakan sepihan dari Desa Bayung Gede, Kintamani. Kata
Penglipuran berasal dari kata Pengeling dan Pura. Pengeling berasal dari kata
eling yang berarti ingat/mengingat. Pura berarti tempat/benteng/tanah leluhur.
Jadi Penglipuran artinya ingat kepada tanah leluhur/ tempat asal mulanya. Hal ini
didasarkan pada alasan bahwa pendahulu/leluhur Desa Penglipuran berasal dari
Desa Bayung Gede, Kintamani.
Jarak antara Kota Bangli dengan Desa Bayung Gede sangat jauh (sekitar 25
km) dan perjalanan jaman dulu hanya dapat dilakukan dengan berjalan kaki atau
naik kuda, maka untuk memudahkan komunikasi dibuatlah semacam
peristirahatan di daerah Kubu (4,5 km) dari kota Bangli. Dari waktu ke waktu
akhirnya warga ini terus bertambah banyak karena sudah ada yang berkeluarga.
Sebelum bernama Penglipuran, desa ini dulunya bernama Desa Kubu Bayung
9
yang artinya orang Bayung yang tinggal di wilayah Kubu. Selanjutnya penduduk
terus bertambah dan sepakat untuk membuat desa sendiri dan terlepas dari
kewajiban desa asalnya (Bayung Gede) serta membuat tempat suci sendiri (Pura
Kahyangan Tiga). Dalam penataan pola tata ruang desa, konsepnya tetap sama
dengan konsep desa leluhurnya yang ada di desa Bayung Gede. Berdasarkan
sejarah tersebut, Desa Penglipuran sering dikunjungi oleh peneliti-peneliti
maupun pelajar yang ingin lebih mendalami tentang sejarah desa Penglipuran
maupun meneliti persamaan maupun perbedaan antara kebudayaan masyarakat
Desa Penglipuran dengan leluhurnya yaitu masyarakat Desa Bayung Gede.
Berdasarkan hasil wawancara dengan I Nengah Moneng (September, 2014)
selaku ketua pengelola pariwisata Penglipuran, masyarakat Penglipuran memiliki
cerita rakyat yang berkaitan dengan adanya hutan bambu di Desa Penglipuran.
Sekitar abad ke-16, seorang kesatria bernama Panji Sakti bersama pasukannya
berniat untuk menyerang kerajaan Bangli. Di suatu tempat, Panji Sakti bersama
pasukkannya melihat cahaya api berkobaran di arah Kerajaan Bangli berada.
Karena ketakutan, upaya penyerangan gagal dilakukan, dan persenjataan yang
terbuat dari bambu ditancapkan di tempat tersebut. Senjata yang ditancapkan
tersebutlah yang dipercayai masyarakat Penglipura tumbuh menjadi hutan bambu.
Gambar 5. Wawancara Kelompok dengan Bapak Moneng selaku Pengelola Pariwisata Desa Penglipuran
Sumber: Dokumentasi Kelompok
10
Kesenian berupa tari-tarian. Tari-tarian yang dipertunjukan ada dua jenis
yaitu tari-tarian yang dipentaskan untuk menghibur wisatawan yang datang dan
tari-tarian yang khusus dipentaskan pada saat pelaksanaan upacara. Tari-tarian
yang dipentaskan untuk menghibur para wisatawan diantaranya tari Barong, tari
Panyebrahma, tari Sekar Tunjung, Joged Bumbung. Tari-tarian yang berkaitan
dengan pelaksanaan upacara yaitu tari Baris. Tari Baris diiringi oleh alat musik
gambelan yang dimainkan oleh sekelompok orang yang disebut dengan Sekaa
Gambelan. Adapun jenis Tari Baris yang ada di Desa Adat Desa Penglipuran:
1) Tari Baris Jojor adalah tari Baris yang ditarikan oleh Sekaa Teruna atau
penari yang belum berkeluarga atau belum kawin dengan bersenjatakan jojor
atau tombak dan biasanya ditarikan oleh 16 orang penari.
2) Tari Baris Bedil adalah tari Baris yang ditarikan oleh penari yang sudah
berkeluarga atau sudah kawin yang bersenjatakan bedil yang terbuat dari kayu.
Tari Baris Bedil biasanya ditarikan oleh 16 orang penari
3) Tari Baris Presi adalah tari Baris yang ditarikan oleh penari yang sudah
berkeluarga atau sudah kawin dan menggunakan Presi sebagai senjata. Tari
Baris Presi biasanya ditarikan oleh 4 orang penari
Seperti daerah lain yang ada di Bali, di Penglipuran juga mengadakan
upacara yang biasa disebut ngaben. Namun ada yang membedakan ritual ngaben
di Penglipuran dengan ngaben di daerah lainnya. Ritual ngaben di daerah lain
Gambar 6. Tari Baris Bedil Sumber: Dokumentasi Kelompok
11
dilakukan dengan cara membakar mayat, sedangkan ritual ngaben di Penglipuran
dilakukan dengan cara menguburkan mayat. Sebelum upacara penguburan, mayat
diletakkan di tempat jenazah tersebut sebelum bah/menghembuskan nafas
terakhirnya, entah itu di Bale Loji atau di umah paon, tidak boleh meletakkan
mayat di Bale Sakanem karena merupakan bale adat yang digunakan juga untuk
pengubengan maturan untuk Pura Dalem Pingit.
Sebelum dilakukan penguburan lebih dulu jenazah dimandikan di natah
pekarangan atau di sisi kauh dari bale adat yang berada di perempatan desa. Lalu
penguburan menunggu adanya dewasa penguburan yang dimohon kepada Ida
Peranda di Griya Manuaba, Kubu-Bangli. Proses upacara setelah metanem adalah
mengaturkan punjungan di setra dan umah paon. Punjungan yang diwadahi
dulang diletakkan di atas plangkan tempat tidur pada sisi kaja. Upacara
selanjutnya adalah metuun yang dilaksanakan dua belas hari setelah upacara
penguburan di Bale Sakanem. Upacara ngaben yang dilaksanakan di Penglipuran
adalah pembakaran pada simbol jenazah yang disebut pengadeg/pengawak yang
umumnya dilaksanakan secara masal/ngerit. Pelaksanaan ngaben ini setiap 2-3
tahun sekali, atau jika ada jero kebayan yang meninggal saat itu maka langsung
bisa dilaksanakan ngaben ngerit. Jika yang di-aben adalah Jero Kebayan maka
menggunakan sarana banteng dianggep sebagai tumbakan tertinggi.
Gambar 7. Pelaksanaan Upacara Adat Di Penglipuran Sumber: Dokumentasi Kelompok
12
Upacara adat lainnya yang dilaksanakan adalah Ngusaba Nangkan yakni
upacara yang dilaksanakan setiap lima tahun sekali menggunakan sarana bawi
(babi) yang dihaturkan di setiap gedong masing-masing satu ekor babi. Jero
Kebayan Alitan menambahkan Ngusaba Nangkan dilaksanakan bisa juga setiap
tiga tahun sekali, tergantung pada kemampuan ekonomi desa saat. Sedangkan
Ngusaba Paruman adalah upacara pakeling yang dilaksanakan setiap satu tahun
sekali. Setiap ngusaba di Desa Penglipuran pasti mengundang desa bebanuan,
seperti Bayung Gede, Kubu, Tanggahan Gunung, Kintamani, Kayubihi, Sulahan,
Cekeng, dan Numbuan. Sesuhunan Jero Gede/barong/rangda/celulu/telek juga
dipastikan datang (lunga) ke desa Pengotan, Sulahan, Pura Puncak Kembar
Baturiti.
3.2.2 Analisis Kelemahan Cultural Attraction Desa Penglipuran
Masyarakat Penglipuran memiliki beragam jenis tarian sakral yang masing-
masing tarian tersebut memiliki makna dan ciri khas tertentu sehingga menarik
untuk ditonton. Namun, keindahan tarian tersebut hanya dapat dinikmati pada
waktu dan tempat yang menyesuaikan dengan aktivitas upacara masyarakat.
3.2.3 Analisis Ancaman Cultural Attraction Desa Penglipuran
Keindahan tarian sakral Desa Penglipuran hanya dapat dinikmati pada waktu
dan tempat yang menyesuaikan dengan aktivitas upacara masyarakat. Jika
wisatawan yang berkunjung bertepatan dengan pelaksanaan upacara maka akan
dapat menyaksikan pentas tari sakral di Penglipuran. Keterbatasan tersebut,
menyebabkan wisatawan sulit untuk mengabadikan kesenian tarian sakral khas
Penglipuran.
3.2.4 Analisis Peluang Cultural Attraction Desa Penglipuran
Diperlukan sosialisasi tentang pelaksanaan upacara di desa Penglipuran
sehingga wisatawan dapat menentukan waktu yang tepat untuk berkunjung
sekaligus sebagai daya tarik budaya yang akan menambah kunjungan wisatawan
domestik maupun mancanegara. Sosialisasi tersebut dapat dilakukan secara
langsung kepada wisatawan, atau menambahkan informasi di berbagai tempat
strategis di Desa Penglipuran atau melalui media internet.
13
3.3 Analisis SWOT pada Social Attractions Desa Penglipuran
Berikut analisis kekuatan (strengths), kelemahan (weaknesses), peluang
(opportunity) dan ancaman (threats) pada social attraction Desa Penglipuran:
3.3.1 Kekuatan Social Attractions Desa Penglipuran
Social attractions: meliputi cara hidup, populasi penduduk, bahasa,
pertemuan sosial. Social Attractions yang dijumpai di Desa Penglipuran yaitu cara
hidup masyarakat Desa Penglipuran terkait norma-norma social yang berlaku.
Mata pencaharian penduduk Desa Penglipuran sebagian besar adalah bertani
dan beternak, selebihnya ada yang bekerja sebagai tukang, pengrajin, pegawai,
serta pedagang. Wisatawan di Desa Penglipuran dapat berinteraksi dan ikut dalam
cara hidup masyarakat Desa Penglipuran seperti kegiatan memasak masakan khas
Bali, mejejaitan, membuat penjor, membuat gebogan, bermain permainan
tradisional Bali dengan anak-anak Desa Penglipuran, berternak, berkebun dan
berjualan hasil olahan masyarakat Desa Penglipuran. Melalui kegiatan ini
wisatawan dapat merasakan keramah tamahan masyarakat Desa Penglipuran dan
sekaligus mendapat pengalaman dan pengetahuan baru mengenai budaya Desa
Penglipuran maupun budaya Bali.
Berdasarkan Data Tahun 2012 Bulan September, Jumlah penduduk Desa
Penglipuran sebanyak 927 orang dengan jumlah KK 232 orang. Desa Penglipuran
sebagai salah satu Desa Bali Aga memiliki tata nilai dan norma yang kuat sebagai
landasan hidup masyarakat dalam keseharian serta dapat memberikan
pengetahuan bagi wisatawan yang berkunjung. Kehidupan masyarakat
Penglipuran sangat menekankan pada asas egaliter dalam menentukan setiap
kebijakan. Hal ini terbukti dari tidak adanya sistem kasta yang membedakan
lapisan sosial masyarakat. Status dan peran tertinggi disebut dengan Jero
Kebayan, yang dipilih dengan asas demokrasi.
Desa Penglipuran memiliki aturan unik terkait perkawinan. Desa ini
melarang warga laki-lakinya untuk memiliki istri lebih dari satu. Salah satu bagian
dari awig-awig (aturan adat) desa yang berbunyi “tan kadadosang madue istri
langkung ring asiki” yang berarti warga adat tak boleh beristri lebih dari satu. Jika
ada warga yang melanggar, maka dia akan di-sepekang (dikucilkan) dari
14
pemukiman warga umumnya. Tempat pengucilan ini disebut Karang Memadu
atau tempat untuk orang beristri lebih dari satu yang berlokasi di ujung Selatan
desa. Warga menganggap lahan ini kotor atau leteh. Di karang memadu tersebut,
warga akan membuatkan gubuk sementara sebagai tempat tinggal bagi warga
yang melanggar aturan tersebut. Nyatanya hingga saat ini, belum ada satu pun
warga yang berani melanggar awig-awig ini. Belum ada lelaki Penglipuran yang
berani beristri lebih dari satu. Akibatnya, Karang Memadu itu pun belum pernah
digunakan hingga saat ini. Lahan itu hanya berupa tanah kosong dengan alang-
alang liar tumbuh di sana yang mengidentifikasikan bahwa tak ada warga adat
yang berani melanggar aturan tersebut.
Gambar 8. Karang Memadu
Sumber: Dokumentasi Kelompok
Awig–awig Desa Adat Penglipuran adalah hukum adat yang harus
dijalankan oleh seluruh warga Penglipuran, dalam pengendalian daerah teritorial
kependudukan Warga Panglipuran diatur untuk tidak menikah dengan penduduk
tetangga yang berada disekitar Desa Batur-Kintamani, Desa Kubu-Bangli dan
Desa Tanggahan Gunung-Bangli di sebelah sungai Sangsang. Warga Panglipuran
juga dilarang melaksanakan perkawinan antarwarga yang laki-laki tinggal
15
berhadapan atau tinggal di sebelah utara dari rumah Gadis. Karena tetangga-
tetangganya tersebut sudah dianggap sebagai keluarga sendiri.
Bagi warga yang ingin menikah dengan orang di luar Panglipuran, dengan
ketentuan bila mempelai laki-laki dari Panglipuran maka mempelai perempuan
yang dari daerah lain harus masuk menjadi bagian dari adat Panglipuran. Yang
menarik adalah jika mempelai perempuan dari Desa Panglipuran dan laki-lakinya
dari adat yang lain, maka bisa saja laki-laki tersebut masuk ke dalam adat
Panglipuran dan hidup di Desa Panglipuran tetapi dengan konsekuensi laki-laki
tersebut dianggap wanita oleh warga lainnya. Maksudnya tugas-tugas adat yang
dilaksanakan adalah tugas untuk para wanita bukan tugas para lelaki.
Berdasarkan hasil wawancara dengan Jero Kubayan (September, 2014),
Desa Penglipuran dipimpin oleh seorang pemimpin yang disebut Bendesa Adat
dan dibantu oleh Penyarikan. Sistem organisasi desa disebut Ulu Apad yang
merupakan salah satu Sistem Organisasi Bali tertua. Dalam sistem itu, ada 76
anggota menjadi wakil desa. Bagian atas 12 anggota yang disebut Kanca Roras.
Imam desa disebut Jero Kubayan, ada dua Jero Kubayan mereka Jero Kubayan
Mucuk dan Jero Kubayan Nyoman.
Gambar 9. Wawancara Kelompok dengan Bapak Gunawan selaku Jero Kabayan Desa Penglipuran
Sumber: Dokumentasi Kelompok
16
Gambar 10. Struktur Organisasi Desa Penglipuran Sumber: Dokumentasi Kelompok
3.3.2 Kelemahan Social Attractions Desa Penglipuran
Acara yang dilakukan masyarakat Desa Penglipuran dapat memberikan
peluang untuk meningkatkan kuantitas kunjungan. Namun walaupun demikian,
acara-acara tersebut tidak dipublikasikan kepada masyarakat luas, padahal
peluang tersebut dapat dikembangkan dan dimaksimalkan oleh masyarakat
Penglipuran sehingga dapat dijadikan salah satu atraksi kehidupan sosial
masyarakat pedesaan.
3.3.3 Ancaman Social Attractions Desa Penglipuran
Dengan hanya menjual alam dan isinya secara apa adanya lamban laun
menyebabkan wisatawan meninggalkan Desa Penglipuran untuk beralih ke daerah
wisata lainnya yang menawarkan pengalaman lebih menyenangkan dan baru.
3.3.4 Peluang Social Attractions Desa Penglipuran
Diperlukan sosialisasi tentang Social Attractions di desa Penglipuran
sehingga wisatawan mengetahui dan semakin tertarik mengunjungi Desa
Penglipuran karena Desa Penglipuran memiliki suatu atraksi yang mampu
memberikan pengalaman baru bagi para wisatawan. Sosialisasi tersebut dapat
dilakukan secara langsung kepada wisatawan, atau menambahkan informasi di
berbagai tempat strategis di Desa Penglipuran atau melalui media internet.
17
3.4 Analisis SWOT Built Attraction Desa Penglipuran
Berikut analisis kekuatan (strengths), kelemahan (weaknesses), peluang
(opportunity) dan ancaman (threats) pada built attraction Desa Penglipuran:
3.4.1 Kekuatan Built Attraction Desa Penglipuran
Built attraction meliputi bangunan bersejarah, arsitektur modern, monumen,
taman, kebun, marina. Built attraction yang dapat dijumpai di Desa Penglipuran
yaitu bangunan bersejarah berupa rumah adat yang masih asli dan dijaga oleh
masyarakat Penglipuran maupun rumah adat yang telah dimodifikasi dengan
arsitektur modern.Ada juga monument, taman dan kebun.
Arsitektur rumah masyarakat Desa Penglipuran dan Tugu Pahlawan. Meski
Desa Penglipuran saat ini sudah tersentuh modernisasi yakni perubahan ke arah
kemajuan namun arsitektur rumah masyarakat Desa Penglipuran masih tradisional
dan unik. Dikatakan unik karena pintu gerbang khas Bali (angkul-angkul) yang
merupakan akses menuju rumah yang berada di setiap pekarangan terlihat
seragam dan tertata rapi mulai dari ujung utama desa sampai bagian hilir desa,
saling berhadapan dan dipisahkan dengan jalan utama desa menambah keteraturan
letak bangunan Desa Penglipuran. Keseragaman dapat terlihat dari bentuk dan
bahan yaitu bahan tanah atau batu alam dan atap dari bambu.
Semua masyarakat Desa Penglipuran menempati pekarangan rumah tinggal
yang hampir sama dan dibatasi tembok rendah (1,25 meter). Lebar pekarangan
rata-rata 8 meter. Semua tanah-tanah pekarangan adalah milik desa adat. Di dalam
satu pekarangan terdapat lebih dari satu kepala keluarga dengan beberapa unit
bangunan seperti paon, bale saka nem, bale loji dan tempat persembahyangan
berupa turus lumbung atau merajan. Penataan fisik dan struktur desa ini tidak
terlepas dari budaya masyarakatnya yang sudah diwariskan secara turun temurun
dan tetap menganut falsafah Tri Hita Karana. Sebuah falsafah dalam agama Hindu
yang selalu menjaga keharmonisan hubungan antara manusia dengan manusia,
manusia dengan lingkungan dan manusia dengan Tuhan. Tampilan fisik arsitektur
rumah masyarakat Desa Penglipuran terutama pada bangunan angkul-angkul,
paon, bale saka nem masih tradisional dan alami yaitu menggunakan tanah pol-
18
polan untuk bagian angkul-angkul dan tembok penyengker rumah, atap bambu,
dinding dari gedek bambu.
Built attraction lainnya yang dapat dijumpai di Desa Penglipuran yaitu tugu
Pahlawan. Monumen ini didirikan pada tahun 1959 untuk memperingati perang
Revolusi di Kabupaten Bangli yang dipimpin oleh Kapten Anak Agung Anom
Muditha yang terletak disebelah selatan Desa Penglipuran. Luas Monumen ini 1,5
Ha dengan bangunan style Bali dengan balai Cura Yudha yang merupakan tempat
aktifitas tertentu dan tempat parkir. Monumen ini dibangun oleh masyarakat Desa
Penglipuran untuk mengenang Kapten Anak Agung Anom Muditha beserta
pasukannya yang gugur dalam menghadapi Tentara NICA selama zaman Revolusi
pada tanggal 20 Nopember 1947.
Taman yang ada di Penglipuran terletak di dekat Home Stay, tepatnya di
dekat jalan yang menuju rurung gede. Taman tersebut dimanfaatkan oleh
masyarakat Penglipuran dan wisatawan untuk beristirahat sejenak atau melakukan
acara-acara tertentu, seperti membuat sarana dan prasana upacara. Ditaman
tersebut tumbuh beberapa pohon besar dan rindang serta disediakan pula beberapa
meja dan kursi taman sehingga taman tersebut tepat dijadikan tempat
peristirahatan sejenak. Selain itu, masyarakat Penglipuran juga memiliki kebun
Gambar 11. Bangunan Dapur Tradisional Masyarakat Penglipuran Sumber: Dokumentasi Kelompok
19
yang dibuat sepanjang rurung gede. Kebun tersebut ditanami bunga dan tanaman
penghijau, sehingga memberikan kesan asri.
3.4.2 Kelemahan Built Attraction Desa Penglipuran
Permasalahan terkait Built Attraction yang dihadapi Desa Penglipuran yaitu
berubahnya arsitektur rumah masyarakat Desa Penglipuran. Dulu masyarakat
Desa Penglipuran memiliki tempat persembahyangan berupa turus lumbung, saat
ini kebanyakan masyarakat Desa Penglipuran telah mengubah turus lumbung
menjadi merajan berbahan bata merah atau batu paras dengan banyak ornamen
ukiran maupun prada.
Gambar 12. Turus Lumbung Masyarakat Penglipuran
Sumber: Dokumentasi Kelompok
Gambar 13. Sanggah Modern Masyarakat Penglipuran
Sumber: Dokumentasi Kelompok
20
Dinding bangunan pun banyak yang telah diubah menggunakan batako. Ada
beberapa yang berupaya menampilkan kesan alami dan tradisional dengan cara
membungkus dinding beton menggunakan gedek bambu namun ada pula hanya
mencat atau membiarkan dinding batako tanpa finishing. Perubahan ini terjadi
seiring dengan meningkatnya kesejahteraan masyarakat Desa Penglipuran. Desa
Penglipuran sebenarnya sudah memiliki aturan yang mengatur tentang arsitektur
rumah di Desa Penglipuran yaitu angkul-angkul, paon, bale saka nem. Ketiga
bangunan ini memang telah ditetapkan dalam awig-awig yaitu tidak boleh dirubah
bentuknya atau dimodifikasi ke arah modern, sedangkan bangunan lainnya boleh
dirubah tetapi masih terkesan alami. Upaya yang dilakukan oleh masyarakat Desa
Penglipuran untuk menghasilkan kesan alami diantaranya dengan cara
membungkus beton dengan gedek bambu atau menggunakan paras cokelat yang
menyerupai warna tanah pol-polan. Namun ada juga yang tidak mengindahkan
awig-awig tersebut dengan hanya memfinishing dinding dengan cat atau
membiarkan tanpa finishing. Selain perubahan bahan, terdapat pula penambahan
bangunan seperti bale bengong, warung/kios, homestay dan garasi.
Gambar 14. Angkul-angkul dan Tembok Penyengker
Sumber: Dokumentasi Kelompok
21
Menurut peraturan Desa Penglipuran, masyarakat dilarang untuk
membangun warung/ kios yang terlihat oleh wisatawan dari luar pekarangan,
sehingga disarankan masyarakat untuk membuat warung/kios di dalam
pekarangan. Namun berdasarkan hasil observasi, terlihat adanya pelanggaran
yaitu sebuah pembangunan bangunan warung yang terletak tepat di samping Barat
jalan utama atau rurung gede dan tidak dibatasi dengan tembok penyengker.
Gambar 15. Warung Yang Terlihat Dari Jalan
Sumber: Dokumentasi Kelompok
3.4.3 Ancaman Built Attraction Desa Penglipuran
Perkembangan masyarakat dan pesatnya pengaruh globalisasi menimbulkan
keinginan dalam diri masyarakat Desa Penglipuran untuk mengubah bangunan
tradisional menjadi lebih modern. Perubahan yang terjadi saat ini masih cukup
kecil intensitasnya, namun dikhawatirkan ke depannya perubahan yang terjadi
akan semakin banyak dan semakin menuju ke arah modern. Perubahan yang
paling banyak terjadi yaitu pada tempat persembahyangan.
Pihak pengelola Desa maupun masyarakat yang sangat menjunjung
pelestarian desa Penglipuran, kurang mau atau kurang berani menegur pihak-
pihak yang melakukan perubahan bangunan karena takut terjadi perselisihan. Di
sisi lain, terdapat kekhawatiran dalam diri masyarakat Penglipuran jika terjadi
penurunan kunjungan wisatawan karena daya tarik utama yakni pola pemukiman
22
Penglipuran yang mulai hilang sehingga terkesan sama seperti pemukiman
masyarakat Bali pada umumnya.
Gambar 16. Pembangunan Warung Yang Terlihat Dari Jalan
Sumber: Dokumentasi Kelompok
3.4.4 Peluang Built Attraction Desa Penglipuran
Seharusnya desa Penglipuran menetapkan awig-awig dengan lebih tegas dan
lebih berani dalam memberikan sanksi jika terjadi pelanggaran karena hal tersebut
akan memberikan pengaruh terhadap kunjungan wisatawa. Wisatawan domestic
maupun mancanegara mengunjungi desa Penglipuran karena keaslian dan
keunikan desa tersebut. Saat ini pengelola Desa membutuhkan adanya pihak
ketiga yaitu pihak luar untuk membantu dalam upaya menjaga kelestarian
arsitektur rumah Desa Penglipuran agar tidak semakin menuju ke arah modern.
4. Analisis SWOT pada Amenitas
Amenitas merupakan segala fasilitas pendukung yang bisa memenuhi
kebutuhan dan keinginan wisatawan selama berada di destinasi. Amenitas
berkaitan dengan ketersediaan sarana akomodasi untuk menginap serta restoran
atau warung untuk makan dan minum. Kebutuhan lain yang mungkin juga
diinginkan dan diperlukan oleh wisatawan, seperti toilet umum, rest area, tempat
parkir, klinik kesehatan, dan sarana ibadah (http://jejakwisata.com/tourism-
studies/tourism-in-general/213-4a--yang--wajib--dimilki--oleh--sebuah--destinasi-
23
wisata.html). Berdasarkan pengertian tersebut berikut dianalisis kekuatan
(strengths), kelemahan (weaknesses), peluang (opportunity) dan ancaman
(threats) pada Amenitas di Desa Penglipuran:
4.1 Kekuatan Amenitas Desa Penglipuran
Amenitas yang ada di Desa Penglipuran yaitu homestay, rumah makan atau
restaurant, pos jaga, warung/kios, tempat parkir, tempat registrasi pengunjung,
toilet umum. Homestay di Desa Penglipuran dikelola oleh masyarakat desa itu
sendiri. Homestay terletak di dekat wantilan desa dan di dalam pekarangan rumah
masyarakat Desa Penglipuran. Terdapat empat tipe homestay dengan harga yang
bervariasi. Rumah makan/restaurant terdapat di beberapa pekarangan rumah
masyarakat Desa Penglipuran. Menu yang ditawarkan cukup beragam dengan
harga yang relatif terjangkau, diantaranya nasi goreng, mie goreng, soto, lalapan,
tipat cantok, rujak. Selain rumah makan juga terdapat warung atau kios.
Gambar 17. Rumah Makan Di Dalam Pekarangan Masyarakat Penglipuran
Sumber: Dokumentasi Kelompok
Dari 76 rumah yang ada di Desa Penglipuran, berdasarkan hasil observasi
yang dilakukan penulis, 50 di antaranya telah mengembangkan usaha dengan
membuka warung atau kios yang menjual makanan ringan dan minuman khas
Desa Penglipuran yakni loloh cemcem. Selain itu, ada pula yang menjual
cendramata seperti keben, miniatur rumah tradisional dan angkul-angkul Desa
Penglipuran, serta cendera mata khas Bali lainnya.
24
Gambar 18. Loloh Cemcem Minuman Khas Penglipuran
Sumber: Dokumentasi Kelompok
Gambar 19. Keben Khas Penglipuran Sumber: Dokumentasi Kelompok
Gambar 20. Miniatur Rumah Tradisional Desa Penglipuran
Sumber: Dokumentasi Kelompok
25
Gambar 21. Cenderamata Khas Bali Tradisional Desa Penglipuran Sumber: Dokumentasi Kelompok
Akomodasi pariwisata lainnya yaitu pos jaga yang berfungsi sebagai
pengamanan lingkungan, terletak di sebelah Barat pintu masuk Desa Penglipuran.
Tempat parkir juga tersedia di Desa Penglipuran yang terbagi dalam tiga tempat,
yaitu parkir di area Pura Puseh, parkir untuk tamu atau wisatawan, dan parkir
untuk pengunjung TMP (Taman Makam Pahlawan). Masing-masing tempat parkir
dihubungkan oleh jalan yang berada di pinggir desa (ring road) Desa Penglipuran.
Ada juga tempat registrasi pengunjung terletak di sisi barat dari pos jaga yang
berfungsi sebagai tempat pendaftaran dan administrasi bagi pengunjung yang akan
masuk ke Desa Penglipuran. Toilet umum juga disediakan dan terdiri dari dua
unit, yang terletak di dekat areal parkir pengunjung TMP dan di sisi barat dari
kantor registrasi pengunjung. Desa Penglipuran juga sudah dilengkapi dengan
tempat sampah yang merupakan sumbangan dari Pemerintah Kabupaten Bangli.
Gambar 22. Toilet Umum Desa Penglipuran Sumber: Dokumentasi Kelompok
26
Gambar 23. Tempat Sampah Desa Penglipuran Sumber: Dokumentasi Kelompok
4.2 Kelemahan Amenitas Desa Penglipuran
Sebagai desa wisata, Desa Penglipuran telah menyediakan berbagai sarana
dan prasara pariwisata yang dibutuhkan untuk kenyamanan wisatawan. Walaupun
demikian masih terdapat beberapa kekurangan yang nampak dari pengadaan
sarana dan prasana tersebut. Salah satunya yaitu pada papan nama Desa
Penglipuran. Papan nama yang seharusnya menjadi penanda atau penunjuk
terhalang oleh pedagang dan pembeli yang sedang duduk-duduk.
Gambar 24. Papan Nama yang Terhalang
Sumber: Dokumentasi Kelompok
Dari hasil observasi ditemukan bahwa tidak ada staft yang berjaga di pos
jaga, sehingga diperlukan perbaikan dalam meningkatkan keamanan wisatawan
baik di pagi maupun di malam hari. Selain itu, wisatawan yang menginap di
Home Stay yang dikelola oleh Desa Penglipuran kurang mendapatkan privacy
27
karena jalan di depan penginapan tersebut terbuka untuk umum, sehingga
masyarakat atau wisatawan yang berkunjung lainnya dapat dengan bebas
memasuki kawasan Home Stay.
Berdasarkan pengalaman penulis saat menginap di Home Stay yang dikelola
oleh Desa Penglipuran kurang memberikan privacy bagi wisatawan, hal ini
terbukti dari adanya wisatawan yang sering lalu lalang di depan kamar dan
mendorong pintu kamar sehingga memberikan kesan kurang aman bagi wisatawan
untuk menginap di Home Stay milik desa. Selain permasalahan tersebut,
permasalahan lainnya yaitu kurangnya fasilitas toilet umum pada saat Desa
Penglipuran sedang dalam situasi padat pengunjung. Fasilitas seperti sarana
ibadah juga cukup penting mengingat wisatawan yang berkunjung juga ada yang
berasal dari luar pulau misalnya pulau Jawa yang rata-rata penduduknya beragama
Islam.
Gambar 25. Exterior dan Interior Home Stay Desa Penglipuran
Sumber: Dokumentasi Kelompok
4.3 Ancaman Amenitas Desa Penglipuran
Permasalahan keamanan wisatawan merupakan suatu hal yang perlu
diantisipasi karena dapat menjadi suatu ancaman berkurangnya jumlah wisatawan
yang datang untuk menginap. Ancaman lainnya terkait amenitas yaitu Desa
Penglipuran telah memiliki cukup banyak amenitas sebagai daya tarik wisata.
Sayangnya elemen amenitas seperti homestay, warung/kios menjamur seiring
dengan meningkatnya jumlah wisatawan yang datang dan menggunakan bahan-
bahan konstruksi yang tidak mencerminkan kehidupan masyarakat pedesaan
28
sebagaimana yang dibayangkan oleh wisatawan. Tanpa ada pengawasan atau
pembatasan dikhawatirkan Desa Penglipuran akan menerima kedatangan
wisatawan yang melebihi daya tampung.
4.4 Peluang Amenitas Desa Penglipuran
Solusi yang direkomendasikan oleh kelompok (penulis) yang menginap
adalah ditutupnya salah satu akses masuk atau diberikan penjagaan agar
wisatawan yang menginap merasa aman dan nyaman. Guna mengantisipasi
banyaknya wisatawan yang berkunjung ke Penglipuran maka jumlah toilet umum
perlu ditambah, serta disediakan fasilitas ibadah berupa tempat ber-wudhu dan
tempat beribadah umat Muslim.
Guna mengantisipasi menjamurnya homestay, warung/kios menjamur
seiring dengan meningkatnya jumlah wisatawan yang datang, sebaiknya Desa
Penglipuran menggunakan konsep daya tampung (carrying capacity) dan bukan
konsep permintaan (demand) dalam menerima wisatawan dan membangun
pariwisata, artinya tidak boleh menerima wisatawan yang melebihi daya tampung
dari objek wisata dan tidak menerima seluruh wisatawan berdasarkan permintaan
dari pengelola jasa pariwisata seperti hotel, biro perjalanan wisata dan perusahaan
yang bergerak dalam aktivitas petualangan karena kedatangan wisatawan yang
berlebihan akan berdampak kepada masyarakat lokal dan lingkungan.
5. Analisis SWOT pada Aksesibilitas
Tamin (1997: 52) menyatakan bahwa aksesibilitas adalah konsep yang
menggabungkan sistem pengaturan tata guna lahan secara geografis dengan sistem
jaringan transportasi yang menghubungkannya. Menurut Magribi (1999: 74),
aksesibilitas adalah ukuran kemudahan yang meliputi waktu, biaya, dan usaha
dalam melakukan perpindahan antara tempat-tempat atau kawasan. Berdasarkan
pengertian tersebut berikut dianalisis kekuatan (strengths), kelemahan
(weaknesses), peluang (opportunity) dan ancaman (threats) pada aksesibilitas di
Desa Penglipuran:
29
5.1 Kekuatan Aksesibilitas Desa Penglipuran
Aksesibilitas berupa jalan di Desa Penglipuran terbagi dalam tiga jenis, yaitu
jalan sekunder yang merupakan ring road desa, koridor tengah desa (rurung
gede), serta jalan setapak/gang. Rurung gede merupakan jalan menanjak dari pintu
masuk desa menuju arah utara dari Desa Penglipuran (arah pura Penataran).
Perbedaan tinggi pada rurung gede dibuat secara bertingkat sebanyak 15 tingkat
ketingggian yang semuanya memiliki ukuran yang relatif sama. Perkerasan pada
jalan menggunakan material paving selebar ±2,5 m, di sisi jalan ditanam rumput
selebar ±80 cm, dan saluran air selebar ±30 cm pada sepanjang jalan.
5.2 Kelemahan Aksesibilitas Desa Penglipuran
Koridor Desa Penglipuran yang dilalui wisatawan perlu dikaji ulang karena
jalan tanjakan tersebut sulit dilalui oleh wisatawan lanjut usia, akibat struktur
bahan yang terbuat dari batu kali dan semen cukup licin untuk dilalui.
Gambar 26. Akses Jalan Yang Menanjak Dan Sulit Dilalui Lansia
Sumber: Dokumentasi Kelompok
5.3 Ancaman Aksesibilitas Desa Penglipuran
Aksesibiltas berupa koridor yang terkesan licin menyebabkan wisatawan
merasa takut terjatuh dan memilih untuk melalui jalan dipinggir yang ditanami
rumput oleh masyarakat, sehingga rumput tersebut gundul dan mati.
30
5.4 Peluang Aksesibilitas Desa Penglipuran
Solusi yang dapat ditawarkan yakni pada koridor desa ditambahkan tangga
dijalan tersebut sehingga tidak merusak rumput dan dapat dilalui wisatawan lanjut
usia. Aksesibilitas di wilayah Desa Penglipuran sudah cukup baik dan telah
tertata. Akan tetapi aksesibilitas menuju Desa Penglipuran masih perlu mendapat
perhatian. Akses jalan yang baik saja tidak cukup, tanpa diiringi dengan akses
jalan yang lancar maupun ketersediaan sarana transportasi. Bagi individual tourist,
transportasi umum sangat penting karena kebanyakan mengatur perjalanannya
sendiri tanpa bantuan travel agent, sehingga sangat bergantung kepada sarana dan
fasilitas publik.
6. Analisis SWOT pada Sumber Daya Manusia
Menurut Hasibuan (2003: 244) SDM adalah kemampuan terpadu dari daya
pikir dan daya fisik yang dimiliki individu. Menurut Abdurrahmat Fathoni (2006:
8) SDM merupakan modal dan kekayaan yang terpenting dari setiap kegiatan
manusia. Manusia sebagai unsur terpenting mutlak dianalisis dan dikembangkan.
Berdasarkan pengertian tersebut berikut dianalisis kekuatan (strengths),
kelemahan (weaknesses), peluang (opportunity) dan ancaman (threats) pada SDM
di Desa Penglipuran:
6.1 Kekuatan SDM Desa Penglipuran
Masyarakat Desa Penglipuran telah berupaya melakukan pengembangan diri
dengan ikut berpartisipasi aktif dalam proses perencanaan, pembangunan,
pelestarian, dan pengevaluasian terhadap pembangunan pariwisata di daerahnya.
Dalam artian pengembangan pariwisata di Desa Penglipuran sudah menerapkan
konsep pariwisata berbasis masyarakat atau Community Based Tourism (CBT).
Konsep CBT diwujudkan melalui pengelola pariwisata yang kepengurusannya
terdiri dari beberapa masyarakat Desa Penglipuran dan berbagai pengembangan
yang dilakukan oleh pengelola pariwisata harus sepengetahuan seluruh
masyarakat Desa melalui Kelian adat Desa.
Seiring dengan masuk dan berkembangnya pariwisata di Desa Penglipuran,
masyarakat Desa Penglipuran juga telah mengembangkan kemampuan di bidang
31
pariwisata dengan mengikuti berbagai pelatihan yang diselenggarakan oleh
pemerintah atau institusi terkait. Salah satu pelatihan yang diikuti adalah
pembuatan kelepon (jajanan tradisional yang terbuat dari olahan ketela ungu) dan
cara pemasaran minuman tradisional yakni loloh cemcem yang terbuat dari sari
daun Cemceman (Spondias pinata KURZ) sebagai oleh-oleh khas Desa
Penglipuran. Dulu di Desa Penglipuran juga terdapat yayasan Bambu yang
bernama Yayasan Bambu Lestari. Yayasan ini memberikan pelatihan kepada
siswa yang berasal dari luar dan tiga orang dari Penglipuran tentang budidaya
bambu melalui membuat berbagai macam kerajinan yeng memiliki nilai ekonomi
bagi masyarakat. Walaupun pelatihan tersebut bertaraf nasional namun hanya
berlangsung selama tiga bulan, dan pasca pelatihan tidak ada kegiatan lanjutan
yang dilakukan.
6.2 Kelemahan SDM Desa Penglipuran
Dilihat dari SDM, Yayasan Bambu hanya memberikan pelatihan
mengawetkan dan memproduksi kerajinan bambu tanpa memberikan pelatihan
pemasaran produk bambu yang telah dibuat sehingga masyarakat tetap tidak
berkembang dan Yayasan Bambu saat ini sudah tidak beroperasi lagi. Berdasarkan
hal tersebut, perlu dilakukan kegiatan serupa secara berkala tidak hanya meliputi
pelatihan pengawetan dan membuat kerajinan bambu tetapi juga mencangkup
pemasaran hasil kerajinan bambu. Pemerintah juga telah memberikan pelatihan
SDM Desa Penglipuran agar mampu memanfaatkan perkembangan pariwisata
untuk meningkatkan perekonomian dan kesejahteraan hidup, akan tetapi pelatihan
yang diberikan sifatnya hanya sementara, tidak berkelanjutan sehingga
manfaatnya kurang bisa diterima oleh masyarakat Desa Penglipuran.
6.3 Ancaman SDM Desa Penglipuran
Sebagai pihak yang berhubungan langsung dengan daerah pariwisata dan
wisatawan peningkatan kualitas SDM masyarakat sedemikian penting harus
dilakukan mencakup pengetahuan, sikap dan keterampilan. Keterbatasan kualitas
SDM yang dimiliki terutama pada sektor pariwisata yaitu lemahnya pengetahuan
32
dan keterampilan tentang kepariwisataan berujung pada lemahnya arah
pengembangan pariwisata yang disusun.
6.4 Peluang SDM Desa Penglipuran
Pemerintah maupun lembaga lainnya harusnya membuat program
pengembangan kemampuan dan pelatihan dengan lebih serius dan tepat guna.
Berdasarkan hasil wawancara dengan Ibu Wayan Sriniti (September, 2014)
selaku pemilik rumah makan di Penglipuran, perlu dibuatkan suatu koperasi yang
dapat membantu masyarakat dalam meningkatkan perekonomian dan
kesejahteraan masyarakat Penglipuran. Selain itu, program pengembangan SDM
yang diberikan juga tidak hanya untuk peningkatan perekonomian dan
kesejahteraan tetapi juga untuk peningkatan kesadaran akan pentingnya menjaga
tradisi dan asset budaya yang dimiliki serta pelatihan pengembangan kepribadian
agar dapat menjadi tuan rumah yang ramah dan memiliki sopan santun.
Pemerintah juga sebaiknya tidak hanya menjadikan Desa Penglipuran sebagai aset
wisata guna meningkatkan PAD, tetapi juga harus memikirkan kesejahteraan
masyarakat Desa Penglipuran.
Gambar 27. Wawancara Kelompok dengan Ibu Wayan Sriniti
Sumber: Dokumentasi Kelompok
7. Analisis SWOT pada Citra/image
Kotler (2000: 599) menyatakan bahwa citra adalah “the set beliefs, ideas,
and impressions that a person hold of on object“. Sedangkan menurut Aacker &
Myers (2000: 116), citra adalah “The total impression of what person a group of
33
people think and know about or object“. Dari definisi-definisi tersebut, maka
dapat diambil pengertian umum dari citra yaitu hasil evaluasi dalam diri seseorang
berdasarkan persepsi dan pemahaman terhadap gambaran yang telah diolah,
diorganisasikan, dan disimpan dalam benak seseorang. Citra dapat diukur melalui
pendapat, kesan atau respon seseorang dengan tujuan untuk mengetahui secara
pasti apa yang ada dalam pikiran setiap individu mengenai suatu objek,
bagaimana memahaminya dan apa yang disukai atau yang tidak disukai dari objek
tersebut. Suatu citra bisa sangat kaya makna atau sederhana saja. Setiap orang bisa
melihat citra suatu objek berbeda-beda, tergantung pada persepsi yang ada pada
dirinya mengenai objek tersebut atau sebaliknya citra bisa diterima relatif sama.
Berdasarkan pengertian tersebut berikut dianalisis kekuatan (strengths),
kelemahan (weaknesses), peluang (opportunity) dan ancaman (threats) pada
citra/image di Desa Penglipuran:
7.1 Kekuatan Citra/Image Desa Penglipuran
Penghargaan Kalpataru sempat diraih Desa Penglipuran dalam kategori
Penyelamat Lingkungan pada tahun 1995. Pemberian penghargaan didasarkan
pada kemampuan masyarakat Desa Penglipuran menjaga kelestarian alam dan
menjaga tradisi-tradisi budaya yang ada. Desa Penglipuran juga pernah masuk
dalam sembilan pemenang Citra Pesona Award 2013. Sederet prestasi yang
pernah diraih oleh Desa Penglipuran mampu membangun kesan atau citra yang
baik di mata wisatawan sebagai salah satu desa wisata yang menarik untuk
dikunjungi.
7.2 Kelemahan Citra/Image Desa Penglipuran
Sejak ditetapkan sebagai desa wisata tahun 1993, Desa Penglipuran telah
membangun citra yang baik bagi masyarakat lokal maupun internasional. Hal ini
terbukti dari banyaknnya tokoh-tokoh terkenal yang berkunjung ke Penglipuran,
seperti Ibu Negara Ani Yudoyono, Harmoko, Sri Muliani, Jero Wacik, Mari
Pangestu, perwakilan UNESCO, Perdana Menteri Suriname, Kedutaan Belgia,
dan tokoh-tokoh lainnya. Sayangnya, kurang ada dokumentasi yang dimiliki Desa
Penglipuran.
34
Gambar 28. Kunjungan Ibu Negara Ani Yudhoyono
Sumber: Dokumentasi Pak Moneng
7.3 Ancaman Citra/Image Desa Penglipuran
Kurangnya inovasi penggunaan teknologi informasi seperti belum
menggunakan foto atau video untuk mengenalkan pariwisata Desa Penglipuran
merupakan bentuk kurangnya inovasi pariwisata yang telah dilakukan. Hal ini
dapat menjadi ancaman menurunnya wisatawan Desa Penglipuran akibat kalah
bersaing dari segi promosi dengan detinasi wisata lainnya.
7.4 Peluang Citra/Image Desa Penglipuran
Desa Penglipuran membutuhkan pengelolaan khusus yang menangani
dokumentasi kunjungan tokoh-tokoh dunia dan dipublikasikan kepada masyarakat
akan dapat dijadikan strategi pemasaran yang tepat untuk pengembangan
pariwisata Penglipuran sebagai desa wisata yang dinilai baik oleh dunia.
8. Analisis SWOT pada Harga
Harga adalah suatu alat ukur bagi konsumen untuk melakukan penilaian
terhadap suatu produk. Produk wisata bersifat komparatif sehingga konsumen bisa
menilai dengan bantuan harga (http://riskiidrussetiadi. blogspot.com/2012/11/
penyusunan-harga- paket-wisata.html). Harga produk wisata yang murah di suatu
destinasi wisata tentunya dapat meringankan biaya yang akan dikeluarkan
wisatawan dan menyebabkan wisatawan tertarik untuk mengunjungi destinasi
35
wisata tersebut. Berdasarkan pengertian tersebut berikut dianalisis kekuatan
(strengths), kelemahan (weaknesses), peluang (opportunity) dan ancaman
(threats) pada harga di Desa Penglipuran:
8.1 Kekuatan Harga Produk Pariwisata Desa Penglipuran
Harga yang ditawarkan di Desa Penglipuran relative murah. Harga tiket
masuk berkisar Rp. 1000,- Rp10.000,- tergantung ketentuan sebagai berikut:
Tabel 1. Daftar Harga Tiket Berkunjung Ke Desa Desa Penglipuran
Jenis Wisatawan Tarif Masuk Wisatawan
Mancanegara Dewasa Rp. 10.000
Anak-anak Rp. 7.500
Wisatawan Domestik Dewasa Rp. 7.500
Anak-anak Rp. 5.000
Transportasi Bus Rp. 5.000
Mobil Rp. 2.000 Motor Rp. 1.000
Gambar 29. Tempat Pembayaran Tiket Kunjungan
Sumber: Dokumentasi Kelompok
Selain harga tiket masuk yang murah, dapat juga ditemukan berbagai
cendramata, makanan, dan minuman khas Desa Penglipuran dengan harga yang
bersahabat. Harga cendramata yang ditawarkan di kios-kios kecil masyarakat
berkisar antara puluhan ribu hingga ratusan ribu rupiah, sedangkan harga makanan
dan minuman yang dijual yakni Rp. 5.000,- hingga Rp. 50.000,-. Fasilitas kamar
yang ditawarkan cukup lengkap karena telah dilengkapi dengan jaringan internet
Sumber: Pengelola Pariwisata Desa Panglipuran
36
dengan harga yang ditawarkan yakni sekitar Rp. 100.000, -hingga Rp. 500.000,-
per malam. Dengan harga yang ditawarkan tersebut, wisatawan dapat menikmati
keindahan Desa Penglipuran tanpa mengeluarkan biaya yang besar. Harga maket
rumah Rp. 250.000 sampai Rp. 350.000, maket angkul-angkul Rp. 150.000
sampai Rp. 200.000.
8.2 Kelemahan Harga Produk Pariwisata Desa Penglipuran
Permasalahan yang timbul di Desa Penglipuran yaitu uang yang dikeluarkan
wisatawan belum sepenuhnya memberikan manfaat ekonomi secara langsung dan
adil kepada masyarakat lokal (host community) karena hanya 5% masyarakat lokal
bekerja di sektor pariwisata. Hanya sedikit usaha perekonomian masyarakat lokal
yang berhubungan langsung dengan industri pariwisata. Warung-warung yang ada
disekitar daerah objek wisata hanya diperuntukan untuk masyarakat lokal dan
wisatawan domestik dan bukan untuk wisatawan manca negara karena warung-
warung tersebut tidak memiliki standar internasional.
Berdasarkan hasil wawancara dengan I Wayan Supad (September, 2014)
selaku Bendesa Adat Penglipuran, terdapat ketidakterimaan masyarakat tentang
pembagian retribusi yang dihasilkan Desa Penglipuran dengan Pemerintah
Kabupaten Bangli. Cara pembagian pendapatan tersebut adalah 20% dari total
pendapatan perbulan diberikan kepada petugas penjaga tiket masuk, yang pada hal
ini dibebankan kepada Sekaa Truna Yowana Bhakti yang nantinya dibagi lagi
sebesar 15% untuk yang bertugas dan 5 % untuk kas Sekaa Truna Yowana Bhakti.
Kemudian sebesar 60% untuk pemerintah daerah Kabupaten Bangli. Dan sisanya
sebesar 20% untuk Desa Adat Penglipuran. Masyarakat Penglipuran
menginginkan agar pemerintah mendapat 40%, namun hal tersebut sulit terealisasi
karena pemerintah Kabupaten Bangli masih mengalami kendala jika mengubah
kebijakan tersebut, disamping PAD-nya relatih kecil.
37
Gambar 30. Wawancara kelompok dengan Bapak Supad selaku Bendesa Adat
Sumber: Dokumentasi Kelompok
8.3 Ancaman Harga Produk Pariwisata Desa Penglipuran
Semakin banyak orang Penglipuran yang enggan berpartisipasi dalam
kegiatan wisata di Desa Penglipuran karena secara ekonomi dianggap tidak terlalu
banyak membawa manfaat guna meningkatkan kesejahteraannya.
8.4 Peluang Harga Produk Pariwisata Desa Penglipuran
Harga yang ditawarkan untuk tiket masuk perlu dievalusi untuk dibuatkan
suatu kebijakan baru yang sesuai dengan perkembangan pariwisata saat ini.
Berdasarkan data di lapangan ditemukan bahwa Desa Penglipuran belum pernah
melakukan peningkatan harga tiket masuk walaupun pariwisata di desa tersebut
telah berkembang sejak tahun 1993. Hal ini patut dikaji kembali agar kedatangan
wisatawan mampu memberikan retrubusi dan kontribusi yang sesuai dengan
upaya masyarakat Penglipuran dalam membangun desa. Kebijakan mengenai
pembagian hasil dengan Pemerintah Daerah juga perlu dikaji ulang agar tidak
merugikan masyarakat Desa Penglipuran sebagai pelaku pariwisata.
38
9. Kesimpulan
Berdasarkan uraian yang telah dilakukan dapat ditarik kesimpulan terdapat
enam komponen produk pariwisata sebagai daya tarik wisata Desa penglipuran,
Bangli yakni: atraksi, amenitas, aksesibilitas, SDM, citra/image, harga. Setelah
dilakukan analisis SWOT pada keenam komponen tersebut diperoleh kesimpulan
yaitu:
1. Atraksi wisata pada Desa Penglipuran yaitu natural attraction, cultural
attraction, social attractions dan built attraction.
A) Natural attraction berupa landscape hutan bambu yang mengelilingi desa,
iklim tropis yang sejuk dan udara yang segar tanpa polusi kendaraan.
Tetapi terdapat kelemahan yaitu saat ini lahan hutan bambu semakin
berkurangnya akibat kurangnya kesadaran masyarakat tentang pentingnya
hutan bambu. Jika tidak segera dicarikan solusi lambat laun seluruh lahan
hutan bambu menjadi habis dan punah. Solusi yang dapat dilakukan yaitu
dengan membuat peraturan yang tegas mengenai pemanfaatan lahan hutan
bambu atau dapat melakukan budidaya bambu maupun membuat daya
tarik wisata baru yaitu Museum Bambu.
B) Cultural attraction yang dapat dijumpai di Desa Penglipuran yaitu sejarah,
cerita rakyat, kesenian berupa tari-tarian, upacara khusus yaitu upacara
penguburan mayat (ngaben) yang berbeda dengan upacara ngaben
masyarakat Bali pada umumnya. Kelemahan dari cultural attraction Desa
Penglipuran yaitu hanya dapat dinikmati pada waktu dan tempat yang
menyesuaikan. Keterbatasan tersebut, menyebabkan wisatawan sulit untuk
mengabadikan kesenian khas Penglipuran. Diperlukan sosialisasi tentang
pelaksanaan upacara di desa Penglipuran sehingga wisatawan dapat
menentukan waktu yang tepat untuk berkunjung sekaligus sebagai daya
tarik budaya yang akan menambah kunjungan wisatawan domestik
maupun mancanegara
C) Social Attractions yang dijumpai di Desa Penglipuran yaitu cara hidup
masyarakat Desa Penglipuran. Namun walaupun demikian, wisatawan
banyak yang tidak mengetahui adanya acara-acara karena kurang
39
dipublikasikan. Dengan hanya menjual alam dan isinya secara apa adanya
lamban laun menyebabkan wisatawan meninggalkan Desa Penglipuran
untuk beralih ke daerah wisata lainnya yang menawarkan pengalaman
lebih menyenangkan dan baru. Diperlukan sosialisasi tentang Social
Attractions di desa Penglipuran sehingga wisatawan mengetahui dan
semakin tertarik mengunjungi Desa Penglipuran.
D) Built attraction yang dapat dijumpai di Desa Penglipuran yaitu bangunan
bersejarah berupa rumah adat yang masih asli dan dijaga oleh masyarakat
Penglipuran maupun rumah adat yang telah dimodifikasi dengan arsitektur
modern. Ada juga monument, taman dan kebun. Permasalahan terkait
Built Attraction yang dihadapi Desa Penglipuran yaitu berubahnya
arsitektur rumah masyarakat Desa Penglipuran. seiring perkembangan
masyarakat dan pesatnya pengaruh globalisasi. Ancaman yang
dikhawatirkan adalah terjadi penurunan kunjungan wisatawan karena daya
tarik utama yakni pola pemukiman Penglipuran yang mulai hilang
sehingga terkesan sama seperti pemukiman masyarakat Bali pada
umumnya. Seharusnya desa Penglipuran menetapkan awig-awig dengan
lebih tegas dan lebih berani dalam memberikan sanksi jika terjadi
pelanggaran karena hal tersebut akan memberikan pengaruh terhadap
kunjungan wisatawa.
2. Amenitas yang ada di Desa Penglipuran yaitu homestay, rumah makan atau
restaurant, pos jaga, warung/kios, tempat parkir, tempat registrasi
pengunjung, toilet umum. Sayangnya sarana dan prasarana yang disediakan
tidak disertai dengan keamanan. Fasilitas toilet umum masih kurang
jumlahnya dan tidak ada fasilitas beribadah bagi umat Muslim. Ancaman
lainnya terkait amenitas yaitu menjamurnya homestay, warung/kios seiring
dengan meningkatnya jumlah wisatawan yang datang dan menggunakan
bahan-bahan konstruksi yang tidak mencerminkan kehidupan masyarakat
pedesaan sebagaimana yang dibayangkan oleh wisatawan. Tanpa ada
pengawasan atau pembatasan dikhawatirkan Desa Penglipuran akan menerima
kedatangan wisatawan yang melebihi daya tampung.
40
Solusi yang direkomendasikan adalah ditutupnya salah satu akses masuk atau
diberikan penjagaan agar wisatawan yang menginap merasa aman dan
nyaman. Guna mengantisipasi banyaknya wisatawan yang berkunjung ke
Penglipuran maka jumlah toilet umu perlu ditambah, serta disediakan fasilitas
ibadah berupa tempat ber-wudhu dan tempat beribadah umat Muslim. Guna
mengantisipasi menjamurnya homestay, warung/kios menjamur seiring
dengan meningkatnya jumlah wisatawan yang datang, sebaiknya Desa
Penglipuran menggunakan konsep daya tampung (carrying capacity) dan
bukan konsep permintaan (demand) dalam menerima wisatawan dan
membangun pariwisata.
3. Aksesibilitas berupa jalan di Desa Penglipuran terbagi dalam tiga jenis, yaitu
jalan sekunder yang merupakan ring road desa, koridor tengah desa (rurung
gede), serta jalan setapak/gang. Aksesibiltas berupa koridor yang terkesan
licin menyebabkan wisatawan merasa takut terjatuh dan memilih untuk
melalui jalan dipinggir yang ditanami rumput oleh masyarakat, sehingga
rumput tersebut gundul dan mati. Solusi yang dapat ditawarkan yakni pada
koridor desa ditambahkan tangga dijalan tersebut sehingga tidak merusak
rumput dan dapat dilalui wisatawan lanjut usia. Aksesibilitas menuju Desa
Penglipuran juga masih perlu mendapat perhatian. Akses jalan yang baik saja
tidak cukup, tanpa diiringi dengan akses jalan yang lancar maupun
ketersediaan sarana transportasi.
4. Masyarakat Desa Penglipuran juga telah berupaya melakukan pengembangan
diri dengan ikut berpartisipasi aktif dalam proses perencanaan, pembangunan,
pelestarian, dan pengevaluasian terhadap pembangunan pariwisata di
daerahnya. Seiring dengan masuk dan berkembangnya pariwisata di Desa
Penglipuran, masyarakat Desa Penglipuran telah mengembangkan
kemampuan di bidang pariwisata dengan mengikuti berbagai pelatihan yang
diselenggarakan oleh pemerintah atau institusi terkait. Sayangnya pelatihan
yang diselenggarakan oleh pemerintah atau institusi terkait tidak tepat sasaran
dan tidak dilakukan secara berkala. Dikhawatirkan SDM akan memiliki
keterbatasan pengetahuan dan keterampilan tentang kepariwisataan berujung
41
pada lemahnya arah pengembangan pariwisata yang disusun. Pemerintah
maupun lembaga lainnya harusnya membuat program pengembangan
kemampuan dan pelatihan dengan lebih serius dan tepat guna.
5. Sederet prestasi yang pernah diraih oleh Desa Penglipuran mampu
membangun kesan atau citra yang baik di mata wisatawan maupun tokoh-
tokoh terkenal. Sayangnya, tidak ada banyak dokumentasi mengenai
kunjungan tokoh-tokoh yang datang ke Desa Penglipuran. Hal ini dapat
menjadi ancaman menurunnya wisatawan Desa Penglipuran akibat kalah
bersaing dari segi promosi dengan detinasi wisata lainnya. Desa Penglipuran
membutuhkan pengelolaan khusus yang menangani dokumentasi kunjungan
tokoh-tokoh dunia dan dipublikasikan kepada masyarakat sehingga dapat
dijadikan strategi pemasaran untuk pengembangan pariwisata Penglipuran
6. Dengan harga yang ditawarkan Desa Penglipuran meliputi harga tiket masuk,
harag cenderamata, harga penginapan, wisatawan dapat menikmati keindahan
Desa Penglipuran tanpa mengeluarkan biaya yang besar. Permasalahan yang
timbul di Desa Penglipuran yaitu uang yang dikeluarkan wisatawan belum
sepenuhnya memberikan manfaat ekonomi secara langsung dan adil kepada
masyarakat local. Dikhawatirkan semakin banyak orang Penglipuran yang
enggan berpartisipasi dalam kegiatan wisata di Desa Penglipuran karena
secara ekonomi dianggap tidak terlalu banyak membawa manfaat guna
meningkatkan kesejahteraannya. Kebijakan pembagian hasil perlu dikaji ulang
agar membawa manfaat bagi masyarakat selaku pelaku pariwisata.
42
DAFTAR PUSTAKA
Aaker, David A, Myers, John G. 2000. Advertising Management. New Jersey:
Pretince Hall. Fathoni. 2006. Dasar-dasar Pembinaan. Jakarta: Rineka Cipta. Hasibuan, M. 2003. Manajemen Sumber Daya Manusia. Jakarta: PT.Bumi
Aksara. Khoiron, Roni. 2012. 4A yang Wajib Untuk Pariwisata. Diakses Dalam:
http://jejakwisata.com/tourism-studies/tourism-in-general/213-4a-yang-wajib-dimilki-oleh-sebuah-destinasi-wisata.html. 9 September 2014.
Kotler, Philip. 2000. Manajemen Pemasaran. Jakarta: PT. Prenhallindo Magribi, Muhammad. 1999. Geografi Transportasi. Yogyakarta: Fakultas Pasca
Sarjana. UGM. Setiadi. 2012. Penyusunan harga paket wisata. Diakses dalam:
Http://riskiidrussetiadi. blogspot.com/2012/11/penyusunan-harga-paket-wisata.html. 9 September 2014.
Suwantoro, Gamal. 2004. Dasar-dasar Pariwisata. Yogyakarta: Andi. Tamin, O.Z. 1997. Perencanaan dan Pemodelan Transportasi. Bandung: Teknik
Sipil Institut Teknologi Bandung. Yoeti, Oka A. 2002. Perencanaan Strategis Pemasaran: Daerah Tujuan Wisata.
Jakarta: Pradnya Paramita.