perbedaan stabilitas emosi pada perempuan karir yang sudah menikah dan perempuan karir yang belum...
-
Upload
independent -
Category
Documents
-
view
1 -
download
0
Transcript of perbedaan stabilitas emosi pada perempuan karir yang sudah menikah dan perempuan karir yang belum...
1
Perbedaan Stabilitas Emosi pada Perempuan Karir yang Sudah Menikah dan
Perempuan Karir yang Belum Menikah
IRMA RUSLIYANI
Program Studi Psikologi Universitas Brawijaya Malang
ABSTRACT
This study was aimed to determine the difference of emotional stability between
married career-women and single career-women. This quantitative study was conducted
with quesioner method. The subjects who participated on this study were 50 married
career women anda 50 single career-women. The emotional stability scale from
Chaturvedi and Chander was used for data collection on this study. The result was
analysed by using independent-sample t-tes. The result showed that score t=1.776,
p=0.79,p>0.05, which showing no significant difference exists between married career-
women and single career-women. The extended analysis was conducted about ration
among dimensions. It is found that there was significant ratio of tolerance between
married career-women and single women-career t=2.272, p=0.025, <p=0.05. therefore,
married career-women has higher tolerance than single career-women. There was no
significant ratio among the rest dimensions.
Keyword : Emotional Stability, Career Women, Status Married and Single.
ABSTRAK
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui perbedaan stabilitas emosi pada
perempuan karir yang sudah menikah dan belum menikah. Jenis penelitian yang
digunakan dalam penelitian ini adalah penelitian kuantitatif. Subjek yang terlibat dalam
penelitian ini adalah perempuan karir yang sudah menikah sebnayak 50 orang dan yang
belum menikah sebanyak 50 orang. Alat pengumpulan data berupa skala stabilitas
emosi dari Chaturverdi dan Chander. Analisis data dilakukan dengan teknik statistik uji
beda atau independent –sample t-tes. Hasil analisi menunjukkan bahwa tidak ada
perbedaan stabilitas emosi yang signifikan antara perempuan karir yang sudah menikah
dan perempuan karir yang belum menikah t=1.776, p=0.79, p<0.05. Peneliti melakukan
analisis tambahan berupa perbandingan skor tiap dimensi stabilitas emosi ditemukan
bahwa terdapat perbedaan yang signifikan pada dimensi toleransi antara perempuan
karir yang sudah menikah dan belum menikah t=2.272, p=0.025, p<0.05. Dengan
demikian, dapat dipahami bahwa perempuan karir yang sudah menikah mempunyai
sikap toleransi yang lebih tinggi dari sikap toleransi perempuan karir yang belum
menikah. Sementara itu, tidak terdapat perbedaan yang signifikan pada dimensi lainnya.
Kunci: Stabilitas emosi, Perempuan karir, Status Menikah dan Belum Menikah.
2
PENDAHULUAN
Manusia menjalani hidupnya dalam berbagai rentang kehidupan. Salah satunya
adalah rentang hidup yang dijalani oleh setiap individu adalah pada masa dewasa.
Menurut Hurlock (1999) masa dewasa merupakan waktu yang paling lama dialami
setiap manusia dalam rentang kehidupan. Pada masa dewasa ini individu memiliki rasa
tanggung jawab yang besar dalam kehidupannya. Menurut Papalia (2009) bahwa pada
usia dewasa merupakan usia yang paling sulit untuk dilalui oleh individu karena usia ini
ditandai dengan tanggung jawab yang berat dan beragam serta dituntut peran dan
tanggung jawab sebagai orang yang menjalankan rumah tangga, departemen maupun
perusahaan, merawat orang tua, membesarkan anak, dan mulai menata karir. Salah satu
tuntutan dan tanggung jawab pada usia dewasa adalah pernikahan. Menurut Mulder
(dalam Putri, 2010) setiap orang dihadapkan pada keharusan untuk menikah dan
tekanan pada perempuan untuk menikah sangat tinggi. Pada usia dewasa ini pernikahan
sangatlah penting dan menjadi salah satu harapan masyarakat yang harus di penuhi,
namun tidak semua perempuan memenuhi harapan dari masyarakat dan masih hidup
melajang walaupun batas usia untuk siap menikah sudah melebihi batas yang telah
ditetapkan untuk menikah.
Menurut Hurlock (1999) pernikahan merupakan pola yang normal dalam kehidupan
orang dewasa. Pada umumnya perempuan dewasa memiliki dua pilihan untuk meniti
karir atau membina rumah tangga. Dengan berkembangnya era globalisasi
mengakibatkan seseorang harus bekerja keras untuk memenuhi kebutuhan. Dunia kerja
menuntut kualifikasi profesionalitas untuk meraih kesempatan kerja. Kaum perempuan
mempunyai hak yang sama dengan pria dalam memasuki dunia kerja. Persamaan hak antara
pria dan perempuan khususnya di Indonesia, belum semuanya terwujud (dalam Siwi, 2005).
Menurut Indriana, Indrawati dan Ayuningsih (2007) kemajuan ilmu pengetahuan dan
teknologi serta gerakan emansipasi perempuan inilah yang diduga telah melahirkan
perubahan peran perempuan. Perempuan sudah mempunyai hak dan kewajiban serta
kesempatan yang setara dengan pria untuk berpartisipasi dalam segala bidang
pembangunan, hal ini terlihat jelas pada peningkatan angka kerja kaum perempuan dari
tahun ketahun. Menurut Kartono (2007) emansipasi berasal dari kata “emanci patio”
yang artinya kebebasan. Emansipasi perempuan, kebanyakan kaum perempuan sekarang
ini memilih untuk menghabiskan masa mudanya untuk menuntut ilmu, bekerja dan
bersosialisasi, sehingga pada era global ini membuat kedudukan antara pria dan
perempuan sama, perempuan pun dapat menentukan pilihan hidupnya sendiri. Menurut
Kaunang dan Lovihan (2010) perempuan yang sudah menikah adalah perempuan yang
membina sebuah keluarga dan menjalankan salah satu dari tugas perkembangan pada
usia yang sudah siap untuk menikah. Seiring dengan berjalannya waktu pada saat ini
banyak perempuan yang menikah meniti karir atau memilih untuk peran ganda.
Menurut Pardani (2010), peran ganda sebagai pekerja maupun ibu rumah tangga
mengakibatkan tuntutan yang lebih dari biasanya terhadap perempuan, karena terkadang
para perempuan menghabiskan waktu tiga kali lipat dalam mengurus rumah tangga
dibandingkan dengan pasangannya yang bekerja pula. Penyeimbangan tanggung jawab
ini cenderung lebih memberikan tekanan hidup bagi perempuan bekerja karena selain
menghabiskan banyak waktu dan energi, tanggung jawab ini memiliki tingkat kesulitan
pengelolaan yang tinggi.
3
Konsekuensinya, jika perempuan kehabisan energi maka keseimbangan mentalnya
terganggu sehingga dapat menimbulkan stres. Menurut Pardani (2010) mengungkapkan
bahwa para perempuan yang bekerja dikabarkan sebagai pihak yang mengalami stres
lebih tinggi dibandingkan dengan pria. Hal itu dapat disebabkan karena perempuan
bekerja menghadapi konflik peran sebagai perempuan karir sekaligus ibu rumah tangga.
Stres yang dimaksud disini adalah stres yang menyebabkan ketegangan/penderitaan
psikis sehingga menimbulkan kecemasan. Tuntutan pada perempuan karir yang sudah
menikah pada umumnya adalah bagaimana membagi antara pekerjaan dan rumah
tangga (peran ganda). Perempuan karir yang sudah menikah harus memiliki kemampuan
untuk mengontrol emosinya dengan baik ketika ia mengalami masalah di tempat
kerjanya maka dia harus bersifat professional atau tidak membawa masalah di pekerjaan
ke rumah. Hurlock (1999) perempuan yang memiliki peran ganda harus pandai
menyesuaikan diri antara pekerjaan dan mengurus rumah tangga. Dari tuntutan peran
ganda ini akan menimbulkan konflik dalam kehidupannya.
Perempuan dewasa belum menikah adalah perempuan yang belum menjalani
kehidupan rumah tangga. Pada umumnya perempuan dewasa yang belum menikah yang
bekerja banyak yang masih melajang. Alasannya adalah karena masih melajang atau
belum menikah. Alasan perempuan dewasa yang belum menikah salah satunya adalah
karir atau belum mendapatkan pasangan. Menurut Dariyo (dalam Indriana, Indrawati &
Ayuningsih, 2007) alasan yang menyebabkan perempuan yang belum menikah salah
satunya adalah sudah terlanjur meniti karir, ingin menjalani hidup secara bebas, selain
itu perempuan yang belum menikah atau melajang, dengan jenjang karir dan gaji yang
tinggi akan menentukan kriteria yang tinggi untuk pria yang akan menjadi pasangan
hidupnya dan akan menolak lawan jenisnya
Perempuan karir yang belum menikah memiliki tuntutan dalam masyarakat yaitu
untuk menikah (dalam Hurlock, 1999). Perempuan karir yang belum menikah dalam
penelitian ini termasuk dalam katagori dewasa dini, dimana pertikahan termasuk dalam
salah satu tugas perkembangan. Sebagai upaya pemenuhan tugas –tugas perkembangan
tersebut dilakukan oleh perempuan karir salah satunya melalui menjalin hubungan
dengan laki-laki atau perempuan (pacaran). Selain itu tuntutan atau tanggunga jawab ini
untuk memenuhi tugas perkembangan pada usia dewasa dini. Menurut Lakoy (2009)
perempuan bekerja yang belum menikah pada usia rata-rata usia 20 sampai dengan 34
tahun, memiliki tuntutan yang harus di penuhi yaitu, tuntutan untuk menikah. Hal ini
sesuai dengan teori Mangkuprawira (dalam Yuniati, 2013) berbagai tuntutan mendorong
mereka untuk berkarir, terutama bagi perempuan yang telah menginjak usia dewasa
dini. Sesuai dengan usia perkembangannya, mereka memiliki tugas yang harus
diselesaikan yaitu mulai bekerja dan menikah
Berdasarkan dari tuntutan ini, apakah akan mempengaruhi stabilitas emosi pada
perempuan karir yang belum menikah. Perempuan karir yang belum menikah
kebanyakan memilih meniti karir terlebih dahulu. Hal ini sesuai dengan pendapat
Indriana, Indrawati dan Ayuningsih (2010) perempuan karir yang belum menikah dan
terlanjur meniti karir di pekerjaan ingin menjalani kehidupan bebas. Statusnyan tidak
menikah ini akan berpengaruh pada Stabilitas emosi ketika individu menghadapi
cemooh dari teman-temannya (dalam Hurlock, 1999).
Peneliti mencoba melakukan penelitian untuk mengetahui tentang perbedaan
stabilitas emosi pada perempuan karir yang sudah menikah dan perempuan karir yang
4
belum menikah. Stabilitas emosi menurut penulis sangat menarik terutama bagi
perempuan karir karena perempuan karir tidak hanya memiliki peran sebagai
perempuan bekerja dan ibu rumah tangga. Masing- masing peran tersebut memiliki
tanggung jawab dan tuntutan sendiri, untuk membagi peran antara karir dan keluarga,
sedangkan perempuan karir yang belum menikah memiliki tuntutan dalam masyarakat
yaitu untuk menikah dan tuntutan untuk memenuhi dalam salah satu tugas
perkembangannya. Berdasarkan tuntutan yang harus mereka penuhi ini apakah akan
mempengaruhi stabilitas emosinya.
Berdasarkan uraian diatas maka peneliti tertarik untuk melakukan penelitian yang
berjudul Stabilitas emosi pada perempuan karir yang sudah menikah dan perempuan
karir yang belum menikah.
A. Rumusan Masalah
Apakah terdapat perbedaan stabilitas emosi pada perempuan karir yang
sudah menikah dan perempuan karir yang belum menikah.
B. Tujuan penelitian
Mengetahui perbedaan stabilitas emosi pada perempuan karir yang sudah
menikah dan perempuan karir yang belum menikah.
C. Manfaat penelitian
1. Manfaat Teoritis
Penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat dan sumbangan yang
berarti bagi kemajuan ilmu pengetahuan khususnya pada dibidang psikologi
terutama berkenaan dengan perbedaan stabilitas emosi pada perempuan karir
yang sudah menikah dan perempuan karir yang belum menikah.
2. Manfaat praktis
a. Bagi peneliti
Memperoleh pengetahuan tentang perbedaan stabilitas emosi pada
perempuan karir yang sudah menikah dan perempuan karir yang belum
menikah.
b. Bagi Akademik
Sebagai sarana untuk mengembangkan ilmu pengetahuan dan dapat
menjadi landasan atau sebagai bahan informasi untuk penelitian selanjutnya
yang berhubungan dengan perbedaan stabilitas emosi pada perempuan karir
yang sudah menikah dan perempuan karir yang belum menikah.
c. Bagi Instansi
Memberikan informasi mengenai perbedaan stabilitas emosi pada
perempuan karir yang sudah menikah dan perempuan karir yang belum
menikah.
KAJIAN PUSTAKA
1. a. Pernikahan
Menurut Faizah (2012) pernikahan ialah suatu ikatan lahir batin antara
seorang laki-laki dengan seorang perempuan sebagai sepasang suami-istri
dengan tujuan untuk membentuk rumah tangga (keluarga) tujuan
membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal berdasarkan
5
ketuhanan yang maha esa. Menurut Dariyo (2005) perkawinan merupakan
ikatan yang syah antara laki-laki dengan perempuan dewasa untuk
menjalani kehidupan rumah tangga bersama, setelah individu melalui proses
pacaran atau tunangan, masing-masing individu telah sepakat untuk
meninggalkan kedua orangtuanya dan menjadi satu dengan pasangan
hidupnya untuk jangka waktu selama-lamanya.
b. Perubahan terjadi setelah pernikahan
Beberapa perubahan yang mungkin terjadi setelah pernikahan yaitu :
1. Status sosial
Menurut Hurlock (1999) status sosial yang terjadi setelah pernikahan
adalah dewasa yang sudah berumah tangga, bekerja dan memiliki anak,
hubungan dengan teman-temannya akan menjadi renggang. Perempuan
yang sudah berkeluarga akan lebih mencurahkan waktunya dengan
keluarga.
2. Finansial
Menurut Simon (dalam Alteza & Hidayati, 2010) perempuan yang
sudah menikah akan tanggung jawab pada tugas rumah tangga, dan
memikirkan mencari materi untuk kebutuhan keluargannya. Menurut
White dan Rogers (2000) perempuan yang telah bekerja sebelum
menikah biasanya akan terus bekerja, karena konstribusi perempuan
dalam hal pendapatan keluarga menjadi hal penting yang dapat
meningkatkan keutuhan rumah tangga.
3. Tanggung jawab / peran
Perempuan yang sudah menikah memiliki tanggung jawab kepada
keluarga dan anak-anaknya. Menurut Mauthner (dalam Chandara, 2011)
bahwa, pria maupun perempuan telah meningkatkan komitmennya
terhadap pekerjaan atau perawatan terhadap anak, situasi pekerjaan dan
pemenuhan kebutuhan keluarganya.
4. Biologis
Menurut Papalia (2009) setelah menikah kebutuhan biologis sangat
diperlukan untuk menjaga keharmonisan dalam rumah tangga. Menurut
Walgito (2000) faktor-faktor biologis pada perkawinan, yaitu :
1. Kesehatan
Keadaan kesehatan seseorang adalah salah satu faktor penting
dalam
perkawinan dan merupakan faktor esensial dalam perkawinan.
2. Keturunan
Keturunan merupakan persoalan yang sangat penting dalam
pernikahan, karena dalam pernikahan pasangan suami istri
menginginkan keturunan yang baik, oleh karena itu keturunan
merupakan faktor yang sangat penting dalam pernikahan.
3. Sexsual Fitnes
Berkaitan dengan apakah individu dapat memlakukan hubungan
seksual secara wajar atau tidak.
2. Pengertian Emosi
6
Emosi adalah hasil persepsi seseorang terhadap perubahan-perubahan yang
terjadi dalam tubuh sebagai respon terhadap berbagai rangsangan yang datang
dari luar. Menurut Tavris dan Wade (2007) emosi adalah situasi stimulus
seseorang yang melibatkan perubahan pada tubuh, wajah, aktivitas pada otak,
penilaian kognitif, perasaan subjektif dan kecenderungan melakukan tindakan
yang dibentuk oleh peraturan-peraturan yang terdapat di suatu kebudayaan.
Menurut Feldman (2012) fungsi-fungsi yang penting dari emosi :
a) Mempersiapkan kita untuk bertindak.
Emosi bertindak merupakan runtutan antara kejadian yang terjadi di
lingkungan dan bagaimana respon yang keluar dari dalam diri kita.
b) Membentuk perilaku di masa depan.
Emosi adalah pembelajaran yang menfasilitasi diri kita dan membantu
kita dalam membuat respons yang sesuai di masa depan.
c) Membantu kita berinteraksi secara efektif dengan orang lain.
Emosi yang dapat dirasakan untuk berkomunikasi melalui perilaku verbal
dan non-verbal, sehingga emosi kita dapat dilihat oleh orang lain.
Perilaku tersebuat bisa menjadi pertanda bagi orang lain, sehingga
mereka mengerti apa yang sedang dialami individu dan membantu
mereka memprediksikan perilaku individu tersebut di masa depan.
3. Teori-teori Emosi Menurut Sobur (2003) teori-teori emosi menurut para ahli psikologi,
yaitu:
a. Menurut Schachter dan Singer.
Emosi merupakan fungsi dari reaksi didalam tubuh tertentu,
dalam teori ini menyatakan bahwa tiap emosi yang dirasakan
individu dapat dirasakan dari kondisi dalam tubuhnya dan individu
akan memberikan interprestasinya.
b. Menurut James-Lange.
Emosi merupakan akibat dari persepsi seseorang terhadap
perubahan-perubahan yang terjadi didalam tubuh sebagai respons
terhadap berbagai rangsangan yang datang dari luar, misalnya jika
seseorang melihat harimau maka denyut jantungnya berdebar dengan
kencang, respons-respon dalam tubuh ini kemudian akan
dipersepsikan dan menimbulkan rasa takut.
c. Menurut Cannon-Bard.
Emosi akan timbul bersama-sama dengan reaksi fisiologi (hati
berdebar, tekanan darah naik, nafas semakin cepat) tetapi emosi akan
timbul tergantung pada aktivitas otak atau aktivitas sentral dalam
tubuh.
4. Stabilitas emosi
1. Pengertian Stabilitas Emosi
Menurut Hurlock (1999) stabilitas emosi memiliki beberapa kriteria
yaitu emosi yang dapat diterima di dalam lingkungan sosial, emosi
terhadap pemahaman diri dan emosi dalam penggunaan kecerdasan
mental seseorang, yaitu:
a. Emosi secara sosial yang dapat diterima di lingkungan sosial.
7
Individu yang dapat mengontrol ekspresi yang tidak sesuai
dengan nilai-nilai sosial yang dimiliki di dalam dirinya yang dapat
diterima di lingkungan sosial.
b. Emosi terhadap pemahaman diri.
Individu yang emosinya stabil mampu belajar dan mengontrol
emosi sesuai dengan kebutuhan serta menyesuaian diri di lingkungan
sosial.
c. Emosi dalam penggunaan kecerdasan mental.
Individu yang emosinya stabil mampu menilai situasi secara
cermat sebelum memberikan respon secara emosional di
lingkungannya.
Menurut Thorndike dan Hagen (dalam Chaturvedi & Chander,
2010) stabilitas emosi adalah karakteristik individu yang
mencerminkan tentang keadaan suasanan hati, niat, minat, optimis,
keceriaan, ketenangan, perasaan keadaan yang baik, tidak merasa
bersalah, khawatir atau kesepian, bebas dari rasa bersedih. Sedangkan
menurut Simon stabilitas emosi adalah proses kepribadian seseorang
untuk menunjukkan rasa emosional yang baik antara psikis maupun
pribadi, bagaimana seseorang dapat mengembangkan dan memahami
setiap masalah-masalah dalam kehidupan, mengembangkan pemikiran
yang berorientasi pada realitas yang membantu dalam memahami
realitas kehidupan.
2. Faktor- Faktor Yang Mempengaruhi Stabilitas Emosi
Menurut Hurlock (1999) faktor yang mempengaruhi stabilitas emosi adalah:
a. Fisik
Seseorang dalam kondisi sehat secara jasmani cenderung untuk
tidak mudah marah dan cepat tersinggung. Individu akan merasa
nyaman dan tentram dalam kondisi jasmaniahnya yang sehat, tapi
individu menjadi cepat marah dan cepat tersinggung apabila ada
salah satu anggota kondisi kurang sehat secara medis. Hal ini yang
dapat menimbulkan individu cepat marah karena merasa ada
sesuatu yang membuat dirinya tidak nyaman.
b. Kondisi lingkungan.
Kondisi lingkungan tempat individu yang dapat menerima di
lingkungan tersebut akan membuat individu mengalami stabilan
dalam emosi, namun apabila lingkungan tidak dapat menerima
kehadiran individu maka individu merasa tidak dianggap oleh
lingkungan dan hal ini menyebabkan individu merasa tidak
berhargai.
c. Faktor pengalaman.
Berdasarkan dari pengalaman individu bisa mengetahui
bagaiman anggapan orang lain dalam berbagai macam ungkapan
tentang emosi. Individu akan mempelajari bagaimana cara
mengungkapkan emosi yang dapat diterima di lingkungan sosial
dan bagaimana emosi yang tidak dapat diterima di lingkungan
sosial. Hal ini berkaitan dengan kondisi norma budaya yang ada
8
dilingkungan tempat tinggal individu. Individu mampu mempelajari
kondisi lingkungan di tempat tinggal, antar satu daerah dengan
daerah yang lain.
3. Stabilitas Emosi pada Pernikahan dan Pekerjaan
Perempuan karir yang sudah menikah terutama pada perempuan yang
memiliki peran ganda harus dapat menontrol emosinya dengan baik.
Menurut Tanganing dan Hapsariyanti (2009) pada perkawinan, peran
emosi sangatlah penting, karena jika dapat mengontrol emosi dengan
baik, maka pasangan akan dapat menyesuaikan diri dengan baik dengan
pasangannya. Perempuan yang sudah menikah di dalam pekerjaannya,
perempuan professional diharapkan agresif, kompetitif, dan dapat
berkomitmen dalam pekerjaan, sedangkan di rumah, perempuan sering
kali diharapkan untuk merawat anak, menyayangi, dan menjaga suami
dan anaknya (dalam Alteza & Hidayati, 2010).
Menurut Miler (dalam Lovihan & Kaunang) perempuan yang menikah
memiliki peran ganda antara pekerjaan dan mengurus keluarga. Stabilitas
emosi dalam pekerjaan adalah bagaimana individu mengontrol emosinya
ketika ditempat kerjanya dan bagaimana pada saat mendapatkan konflik,
agar tidak membawa permasalahan kedalam pekerjaan, selain itu individu
harus memiliki kecerdasan emosional berarti kemampuan seseorang
mendeteksi atau mengontrol emosi dengan baik ditempat kerjanya (dalam
Chandra, 2011).
Perempuan karir yang belum menikah juga harus dapat mengontrol
emosinya dengan baik. Menurut Putri (2010) perempuan karir yang single
atau belum menikah harus dapat mengontrol emosi dengan baik terhadap
kehidupan lingungan sosialnya, seperti masyarakat yang memandang lain
tentang statusnya yang belum menikah dan mengontrol emosi ketika
menghadapi permasalahan dilingkungan sosial terutama ketika dicemooh
atau di pandang lain oleh masyarakat terkait dengan statusnya. Hal ini
sependapat dengan Halim dkk (2011) perempuan karir harus dapat
mengontrol emosi dangan baik ketika dihadapi permasalahan di
lingkungan sosial dan ditempat kerjanya terkait dengan statusnya.
4. Ciri-ciri Stabilitas Emosi
Menurut Wahlroos (dalam Andriani, 2007) ciri-ciri stabilitas emosi adalah
:
a. Tidak melukai diri sendiri atau orang lain dengan tindakan atau
perkataan baik sadar atau tidak sadar, sebaliknya akan membantu
orang lain atau dirinya sendiri dengan perkatanya.
b. Individu yang memiliki emosi yang baik mempunyai kebiasan untuk
memilih.
c. Orang yang memiliki emosional yang sehat mempunyai konsep diri
yang positif.
d. Dapat menunda pemenuhan kebutuhan.
e. Mampu mengevaluasi kenyataan emosional dan memahami
perasaannya sendiri dan orang lain.
9
f. Dapat menjalin hubungan emosional yang mendalam dan tahan
lama.
g. Fleksibel dan luas dan mau belajara dari pengalaman.
h. Memiliki antusiasme dan memiliki minat pada aspek kehidupan
yang konstruktif dan menantang
i. Menerima dengan sesama dan mengidentifikasikan diri dengan
semua umat manusia.
j. Terikat pada dirinya sendiri.
5. Pengertian Perempuan Karir
Menurut Rissdy (dalam Kaunang & Lovihan, 2010) perempuan karir
adalah mereka yang bekerja, tetapi ia juga mengejar atau
mempertahankan suatu posisi dan sosial (akualitas diri), dan cenderung
menomerduakan keluarga.
Menurut Martlin (2003) perempuan karir dibedakan menjadi dua katagori
yaitu:
1. Employed women (perempuan karir) seseorang perempuan yang
berkarir untuk mendapatkan bayaran, baik mendapat gaji dari orang
lain atau berkakir untuk dirinya sendiri.
2. Nonemployed (Perempuan non karir) seseorang perempuan yang
bekerja tidak untuk mendapatkan bayaran, seperti bekerja untuk
keluarganya sendiri atau menjadi sukarelawan pada suatu
organisasi. Individu dalam hal ini, tidak menerima gaji dari jasa
yang telah diberikan.
6. Pengertian Perempuan Karir yang Belum Menikah
Menurut Jayantini (dalam Lovihan & Kaunang, 2010) ciri-ciri
perempuan karir menurut seseorang penulis inggris adalah mereka tidak
suka berumah tangga, tidak suka berfungsi sebagai ibu, emosinya
berbeda dengan perempuan non karir dan biasanya menjadi perempuan
yang melankolis.
7. Faktor-faktor Yang Menyebabkan Perempuan Karir belum
menikah
Menurut Hurlock (1999) faktor-faktor yang penyebab perempuan karir
belum menikah, yaitu:
a. Rasa takut untuk menikah (membentuk suatu hubungan keluarga
baru)
Karena menyadari bahwa usianya yang telah setengah baya.
Hurlock menyatakan bahwa semakin mendekati usia, periode usia
madya semakin terasa lebih menakutkan dilihat dari seluruh
kehidupan manusia.
b. Usia dewasa madya merupakan usia yang berbahaya
Masa dewasa madya merupakan masa yang sulit bagi seseorang dan
mengalami kesusahan fisik akibat bekerja yang berlebihan sehingga
kurang memperhatikan pernikahan di usia yang sudah masuk usia
madya.
c. Masa Workaholic
10
Masa dimana seseorang lebih banyak menghabiskan waktu untuk
bekerja tanpa memperhatikan hal lain yaitu seperti pernikahan.
d. Masa berprestasi dalam pekerjaan atau sukses.
Hal yang menyebabkan perempuan karir tidak memikirkan
penikahan salah satunya apabila perempuan tersebut merupakan
perempuan yang berhasil dalam hal pekerjaan, maka perempuan
tersebut akan berambisi lebih maju lagi dalam pekerjaan, sehingga
melupakan pernikahan.
e. Pernikahan menimbulkan berbagai masalah dalam kehidupan.
Hal lain yang menyebabkan perempuan karir belum menikah
mendengar dari temanya tentang penceraian, sehingga mereka takut
untuk menikah.
8. Perempuan Karir Yang Sudah Menikah
Menurut Djuniarti dan Imanoviani (dalam Sulastrie & Abas, 2012)
status pernikahan adalah keadaan suatu kondisi yang menjelaskan
apakah seseorang individu telah bersatu dalam membangun sistem
keluarga secara keseluruhan yang disebut dengan menikah, sedangkan
belum menikah adalah belum bersatu dalam membangun sistem keluarga
disebut sebagai single.
9. Perbedaan Stabilitas Emosi Pada Perempuan Karir yang
Sudah menikah dan Perempuan Karir yang Belum Menikah
Perempuan karir yang sudah menikah adalah perempuan yang bekerja
dan sudah menjalin suatu pernikahan. Perempuan yang memiliki peran
ganda seringkali dihadapai dengan konfik. Seperti pendapat teori
Santrock (2002) Perempuan dengan peran ganda dapat memiliki
keuntungan dan kerugian bagi individu, perempuan dengan peran ganda
dapat berkontribusi pada hubungan yang lebih setara antara suami dan
istri dan meningkatkan rasa harga diri bagi perempuan. Di antara
kerugian yang mungkin terjadi pada perempuan dengan peran ganda
adalah tuntutan adanya waktu dan tenaga tambahan, konflik antara peran
pekerjaan dan peran keluarga, persaingan kompetitif antara suami dan
istri, serta tentang pemenuhan kebutuhan anak. Perempuan karir yang
sudah menikah harus memiliki kemampuan untuk mengontrol emosi
dengan professional agar tidak membawa permasalahan di pekerjaan ke
dalam kehidupan rumah tangganya dan dukungan dari keluarga sangat
penting bagi perempuan karir yang sudah menikah yang memiliki
tuntutan peran ganda.
Perempuan yang belum menikah ini memiliki tuntutan dalam
masyarakatnya yaitu pernikahan, pernikahan adalah merupakan salah
satu tugas perkembangan pada masa dewasa awal yang harus di penui.
Seperti yang dikemukakan oleh lakoy (2009) perempuan karir yang
belum menikah memiliki tuntutan yaitu untuk menikah. Menurut
Hurlock (1999) perempuan karir yang belum menikah pada masa
dewasa awal dikatakan juga sebagai masa-masa yang sulit dan
bermasalah. Hal ini dikarenakan seseorang harus mengadakan
11
penyesuaian dengan peran barunya (perkawinan VS pekerjaan). Jika ia
tidak bisa mengatasinya, maka akan menimbulkan masalah.
Metode Penelitian
Pendekatan yang digunakan dalam penelitian ini adalah pendekatan kuantitatif.
Metode kuantitatif adalah data penelitian berupa angka-angka dan analisis menggunakan
statistik (dalam Sugiyono, 2011). Jenis pendekatan yang digunakan dalam penelirian
ini bersifat komparatif (perbandingan). Populasi dalam penelitian ini adalah
perempuan karir yang belum menikah dan perempuan karir yang sudah menikah.
Jumlah sample yang digunakan dalam penelitian ini adalah 60 untuk Try Out dan
100 untuk penelitian. Penelitian ini menggunakan teknik jenis penarikan sampel,
purposive sampling, dikarenakan penentuan sampel dengan menggunakan
kriteria-kriteria tertentu. Adapun kriteria dalam menentukan sampel ini yaitu:
a.Perempuan yang bekerja: Jenis pekerjaan : karyawan, pengajar/dosen dan
manajer. b.Perempuan karir pada masa / tahap perkembangan dewasa awal dan
madya usia 20 sampai dengan 45 tahun dan c. berdomisili di wilayah kota
Malang. Instrumens dalam penelitian ini menggunakan 1 skala yaitu skala
Chaturvedi dan Chader (2010) : 1. Pesimis VS Optimis, 2. Apatis VS Empati, 3.
Dependence VS Autonom, 4. Anxiety VS Calm, 5. Agresi VS Toleransi. Tersusun
dalam 35 butir soal dengan bentuk skala Likert dan diperoleh nilai Cronbach
Alpha sebesar 0.904.
Analisis data yang digunakan dalam penelitian ini mengunakan uji asumsi dan
uji hipotesis. Uji asumsi terdiri dari: uji normalitas dan uji homogenitas kemudian
uji hipotesis mengunakan independent- sample t-test.
Hasil
Berdasarkan perrhitungan yang dilakukan menggunakan SPSS 17.0 for windows,
Berdasarkan hasil penelitian diketahui bahwa tidak ada perbedaan stabilitas emosi yang
signifikan antara perempuan karir yang sudah menikah dan belum menikah, nilai
(p=0.79, p>0,05). Berdasarkan hasil uji normalitas, diperoleh Hasil uji normalitas
menunjukkan bahwa skor stabilitas emosi, baik pada kelompok subjek perempuan karir
yang sudah menikah (p=0.2, p>0.05) dan perempuan karir yang belum menikah (p= 0.2,
p>0.05) terdistribusi secara normal. dari hasil uji Homogenitas Hasil uji homogenitas
terhadap skor stabilitas emosi pada dua kelompok subjek menggunakan Levene’s test
menunjukkan bahwa varians skor stabilitas emosi pada dua kelompok subjek bersifat
setara (F=0.575, p=0.450, p> 0.05). hasil dari penelitian tambahan berupa perbandingan
skor toleransi pada perempuan karir yang sudah menikah dan belum menikah, terdapat
perbedaan skor toleransi yang signifikan antara perempuan karir yang sudah menikah
dan perempuan yang belum menikah. (p=0.025, p<0.05). Sementara itu, tidak terdapat
perbedaan yang signifikan pada dimensi lainnya.
DISKUSI
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui apakah terdapat perbedaan stabilitas
emosi pada perempuan karir berstatus menikah dan berstatus single. Menurut
Cattel dan Goldberg (dalam Halim dkk, 2011) stabilitas emosi digunakan untuk
mengukur kemampuan individu dalam mengendalikan stres, kecemasan, depresi
dan bagaimana cara individu dalam menghadapi masalah. Sedangkan menurut
Thorndike dan Hagen (dalam Chaturvedi & Chander, 2010) stabilitas emosi
12
seseorang ditandai oleh suasanan hati yang tidak buruk, niat, minat, optimis,
keceriaan, ketenangan, perasaan keadaan yang baik, bebas dari rasa bersalah,
khawatir atau kesepian, bebas dari khayalan dan suasana hati. Sedangkan menurut
Simon stabilitas emosi adalah sebuah proses di mana kepribadian seseorang untuk
menunjukkan rasa emosional yang baik antara psikis maupun pribadi, bagaimana
seseorang dapat mengembangkan dan memahami setiap masalah-masalah dalam
kehidupan, mengembangkan pemikiran yang berorientasi pada realitas yang
membantu dalam memahami realitas kehidupan (dalam Chaturvedi & Chander,
2010).
Berdasarkan hasil penelitian diketahui bahwa tidak ada perbedaan stabilitas
emosi yang signifikan antara perempuan karir yang sudah menikah dan belum
menikah, nilai (p=0.79, p>0,05). tidak terdapat perbedaan yang signifikan antara
perempuan karir yang sudah dan belum menikah memiliki tuntutan peran yang
berbeda-beda. Tuntutan pada perempuan karir yang sudah menikah adalah
tuntutan memiliki peran ganda, yaitu harus mampu membagi peran antara
keluarga dan pekerjaan. Menurut Lakoy (2009) perempuan yang bekerja dengan
status menikah, dihadapkan pada tuntutan multi peran (sebagai isteri, ibu dan
sebagai pekerja) dimana masing-masing peran memerlukan waktu dan tenaga
ekstra. Perempuan karir yang sudah menikah yang memiki peran ganda hasus
pintar dalam mengelola emosi. Hal ini sesuai dengan teori yang dikemukakan oleh
Kartini (1994) perempuan yang memiliki peran ganda atau perempuan dalam dua
karir, yaitu perempuan yang harus pintar dalam mengatur tugas pekerjaannya
dengan rumah tangganya.
Sedangkan tuntutan pada perempuan karir yang belum menikah yaitu tuntutan
untuk menikah. Perempuan karir yang belum menikah, memiliki tuntutan-tuntutan
yang harus di penuhi yaitu tuntutan untuk menikah dan membina keluarga.
Perempuan karir yang belum menikah pada usia 20 sampai dengan 34 memiliki
tuntutan-tuntutan yang harus dipenuhi, yaitu tuntutan untuk menikah. Hal ini
sesuai dengan teori yang dikemukakan oleh Lakoy (2009) perempuan bekerja
yang belum menikah pada usia rata-rata 25 sampai dengan 40 tahun selalu
dihadapkan pada tuntutan akan tugas perkembangan dan juga tuntutan masyarakat
yang sepatutnya dipenuhi oleh setiap perempuan usia dewasa yaitu tuntutan untuk
menikah. Oleh karena itu dapat disimpulkan berdasarkan dari hasil penelitian
stabilitas emosi pada perempuan karir yang sudah menikah dan perempuan karir
yang belum menikah memiliki stabilitas emosi yang sama karena hal ini sebabkan
mereka merupakan usia mereka berada pada usia dewasa. Hal ini sesuai dengan
teori Yanti (2010) ketika sudah berumur 30-an, seseorang akan cenderung stabil
dan tenang dalam emosi.
Menurut Lovihan dan Kaunang (2010) perempuan karir yang belum menikah
harus bisa mengontrol emosi dengan baik, yang dimaksud mengontrol emosi
yaitu menghadapi permasalahan di lingkungan mengenai statusnya. Hal ini sesuai
dengan teori yang dikemukakan oleh Halim dkk (2011) perempuan karir harus
dapat mengontrol emosi dangan baik ketika dihapai permasalahan di lingkungan
sosial mengenai statusnya. Dalam penelitian ini terdapat subjek berusia dewasa
awal 20 sampai 30 tahun dan dewasa madya. Setiap individu dalam mengontrol
13
emosi diantara kedua status tersebut juga pasti berbeda (dalam Kamasanthi,
2008).
Menurut Papalia et.al., (1995) sejak usia 20 tahun (dewasa awal) individu
memiliki kepribadian dan gaya hidup yang relatif stabil dan mulai mengambil
peran baru sebagai pekerja. Selain itu muncul pula keinginan untuk membina
hubungan intim yang mengarah pada pernikahan sehingga pada umumnya di usia
ini individu menikah dan menjadi orang tua. Tahap perkembangan dalam
penelitian ini terdapat dua tahap perkembanga yaitu pada masa dewasa awal(20
sampai dengan 40) dan dewasa madya (35 tahun keatas). Tugas perkembanga
pada dewasa awal menurut Havighurst (dalam Hurlock, 1999) memiliki calon
suami, belajar menjadi suami dan istri, mulai berumah tangga,belajar mengurus
anak, mulai bekerja dan bertanggung jawab. Menurut Santrock (2007) orang
dewasa muda termasuk dalam masa transisi, baik transisi secara fisik (physically
role trantition), transisi secara intelektual (cognitive transtition), serta transisi
peran sosial (social role transtition).
Menurut Havighurst (dalam Hurlock, 1999) tugas perkembangan dewasa
madya meliputi: tugas yang berkaitan dengan perkembangan fisik, tugas yang
berkaitan dengan perubahan minat, tugas yang berkaitan dengan penyesuaian
kejurusan dan tugas yang berkaiatan dengan kehidupan keluarga. Perempuan karir
dalam penelitian ini terdapat dua kategori yaitu perempuan karir yang sudah
menikah dan perempuan karir yang belum menikah. Perempuan karir yang sudah
menikah adalah perempuan yang menjalin sebuah pernikahan dan bekerja atau
perempuan yang memiliki dual karir. Menurut Kamasanthi (2008) perempuan
karir yang berstatus peran ganda, membutuhkan komitmen yang tinggi baik
sebagai pekerja maupun sebagai ibu rumah tangga. Apabila berada di rumah,
seorang pekerja akan dituntut komitmennya untuk memberikan perhatian pada
anggota keluarganya yang lain, seperti suami dan anak. Di tempat kerja, mereka
pun harus mempunyai komitmen dan tanggung jawab atas pekerjaan yang
dipercayakan. Sedangkan perempuan karir yang belum menikah dapat
dikategorikan sebagai kategori perempuan yang tidak terikat dalam pernikahan.
Perempuan karir yang belum menikah lebih bebas dalam mengembangkan karir
untuk mencapai kaemajuan karir yang lebih besar di bandingkan perempuan karir
yang sudah menikah. Hal ini sesuai dengan penelitian Lovihan dan Kaunang
(2010) perempuan karir yang belum menikah atau belum pernah menjadi suami
atau istri lebih berpeluangb untuk mencapai kemajuan karir yang lebih besar.
Jabatan dalam penelitian ini yaitu jabatan responden dibagi menjadi 3
tingkatan manajer, karyawan dan duru/ dosen. Menurut penelitian Harahap (2010)
usia, jenis kelamin dan jabatan mempengaruhi kinerja seseorang, dimana kinerja
ini berpengaruh pada stabilitas emosi, dukungan keluarga, motivasi kerja
seseorang. Jabatan dalam penelitian ini adalah karyawan pada perempuan dewasa
awal usia 20 sampai dengan 30 tahun sebanyak 75%. Menurut penelitian
Kamasanthi (2008) karyawan Apabila karyawati telah memiliki sikap yang negatif
terhadap persoalan yang dihadapi, maka ia akan cenderung mempunyai
motivasiyang rendah untuk melakukan kewajiban dan rutinitasnya sebagai
karyawati dan juga ibu rumah tangga karena mereka akan mudah untuk tidak
konsentrasi, pasif, yang pada akhirnya mereka akan mudah menyerah pada
14
keadaan dan juga pada lingkungannya. Jika sudah demikian maka karyawati akan
memiliki komitmen yang rendah terhadap perusahaan.
Berikut ini adalah hasil diskusi berdasarkan analisis tambahan berupa
perbandingan dimensi yang diketahui bahwa terdapat perbedaan pada aspek
toleransi yang signifikan antara perempuan karir yang sudah menikah dan belum
menikah, dimana perempuan karir yang sudah menikah memiliki sikap toleransi
yang lebih tinggi dibandingkan perempuan karir yang belum menikah. Perempuan
karir yang sudah menikah memiliki peran ganda, yang mana mereka dituntut
untuk memiliki kematangan emosi yang lebih tinggi, karena kematangan emosi
yang baik akan menunjukkan sikap toleransi yang tinggi. Hal ini sejalan dengan
penelitian oleh Marlina (2013) bahwa perempuan yang sudah menikah harus
dapat mengontrol emosinya dengan baik, secara psikologis individu yang
memiliki kematangan emosi yang stabil membuat individu dapat berpikir secara
matang kemudian menimbulkan sikap toleransi yang tinggi. Perempuan karir
yang sudah menikah memiliki tuntutan yang harus dipenuhi, yaitu tuntutan untuk
mampu membagi waktu antara pekerjaan dan keluarga. Hal ini diperlukan untuk
menghindari terjadinya konflik. Menurut Rahmatika (2012) berpendapat bahwa,
pasangan yang sama-sama bekerja harus saling belajar untuk saling bertoleransi
dan memahami sehingga pasangan semakin menyayangi dan merasakan kepuasan
dalam hubungan, rasa puas ini adalah hal yang sangat penting dalam perkawinan
pada perempuan karir yang bekerja agar dalam perkawinannya tidak terjadi
konfik.
Hal ini sesuai dengan penelitian Septiana (2011) perempuan yang bekerja yang
sudah menikah memiliki sikap toleransi yang tinggi dibanding perempuan yang
bekerja belum menikah, karena perempuan yang bekerja dapat menjalankan tugas
sebagai ibu rumah tangga dan memiliki karir. Perempuan karir yang belum
menikah pada penelitian ini sikap toleransi lebih rendah dibandingkan perempuan
karir yang sudah menikah. Perempuan karir yanng belum menikah memiliki
tingkat toleransi yang lebih rendah dibandingkan dengan perempuan karir yang
sudah menikah karena perempuan karir yang belum menikah tidak memiliki
tuntutan seperti pada perempuan karir yang sudah menikah yang harus memiliki
tanggung jawab antara pekerjaan dan rumah tangga, selain mereka harus bisa
menghadapi permasalahan di tempat kerja dengan baik, mereka juga harus
menghadapi konflik peran sosial yang ada di masyarakat dimana seharusnya
perempuan memiliki kodrat sebagai seorang istri dan ibu. Sedangkan perempuan
karir yang belum menikah memiliki toleransi yang rendah berdasarkan dengan
lingkungan sosialnya, apabila lingkungan sosial menerima statusnya yaitu belum
menikah, maka akan menimbulkan sikap toleransi yang tinggi. Hal ini sesuai
dengan Putri (2010) menyatakan bahwa, perempuan karir yang belum menikah
menghadapi berbagai permasalahan dilingkungan sosial terutama ketika dicemooh
atau dipandang lain oleh masyarakat terkait tentang statusnya. Menurut
Santianawati (2007) menyatakan bahwa lingkungan dengan penerimaan sosial
yang baik akan dapat membantu individu untuk menyesuaikan dirinya dengan
lebih baik. Perempuan karir yang belum menikah dan berada pada lingkungan
penerimaan sosial baik dan tidak mempersoalkan statusnya yang belum menikah
akan membuat perempuan karir yang belum menikah lebih bisa menerima diri apa
15
adanya dan dapat berbaur dengan lebih baik dengan lingkungan sosialnya.
Keadaan lingkungan yang baik, damai, tentram, penuh penerimaan, penuh
pengertian dan lingkungan yang mampu membantu proses penyesuaian diri dan
bertanggung jawab serta otoritas. Dampak positif dari penerimaan lingkungan
yang baik bagi perempuan karir yang belum menikah adala munculnya pikiran
positif, rasa empati dan bersikap toleransi terhadap kelemahan-kelemahan yang
dimilikinya (dalam Santianawati, 2007).
Perempuan karir yang belum menikah pada masa dewasa awal jika merasa
terisolasi di lingkungan sosialnya maka sikap toleransi terhadap lingkungan sosial
rendah. Hal ini sependapat dengan teori Menurut Heralita (2009) Sementara itu,
dipihak lain jika perempuan dewasa yang belum menikah pada usia dewasa awal
yang belum menikah merasa terisolasi karena mereka cenderung takut untuk
terlibat dalam keintiman dengan pasangan, karena mereka tidak percaya diri
akbibatnya mereka akan menghindar dan menutup diri dari pergaulan. Hal ini
akan membuat sikap toleransi pada perempuan karir yang belum menikah rendah.
Menurut Yanti(2010) permpuan karir yang belum menikah merupakan masa
keterasingan sosial dimana mereka mengalami “Krisis Isolasi” mereka merasa
tersinggir dari kelompok sosial.
Alat ukur yang digunakan dalam penelitian ini menggunakan dimensi dan
indikator milik Chturvedi dan Chader (2010). Skala stabilitas emosi memiliki 5
dimensi, yaitu 1. Pesimis vs Optimis, 2. Apatis vs Empati, 3. Dependence vs
Autonomy, 4. Anxiety vs Calm dan 5. Agresi vs Toleransi.
Daftar Pustaka
Chaturvedi, M., & Chander, R. (2010). Development Of Emotional Stability
Scale. Journal
Industrial Psychiatry of India, Vol 19 No 1, 37-40. Sumber:
http://www.ncbi.nlm.nih.gov.
Diunduh Pada Tanggal 20 Febuari 2013.
Dariyo, A. (2005). Memahami Bimbingan, Konseling dan Terapi Perkawinan
untuk
Pemecahan Masalah Perkawinan. Jurnal Psikologi, Vol 03 No 2. 70-78
Hurlock, E. B. (1999). Psikologi perkembangan Suatu pendekatan Sepanjang Rentang
Kehidupan. Edisi kelima. Jakarta : Erlangga.
Papalia, D. E. (2009). Perkembangan Manusia (Hutman Development). Buku kedua.
Jakarta:Salemba Humanika.
Putri, O.S. (2010). Kesiapan Menikah Pada Wanita Dewasa Madya Yang Bekerja.
Fakultas
Psikologi Universitas Sumatra Utara. Skripsi: Tidak diterbitkan
16
Siwi, T. (2005). Pengaruh Komitmen Profesi, Partisipasi Anggaran, Dan Self-Efficacy
Terhadap Konflik Peran(Studi Empiris Pada Wanita Karir Di Yogjakarta). Skripsi :
Tidak Diterbitkan
Santrock, J.W. (2002). Life Span Development Perkembangan Masa Hidup Jilid II.
Edisi
kelima. Jakarta : Erlangga.
Kartini. (1994). Pemimpin & Kepemimpinan : apakah Pemimpin Abnormal itu?. Edisi
ke 2.
Jakarta : Raja Grafindo Persada.
Pardani, N . (2010). Analisis Tingkat Stress wanita Karir Dalam Peran Gandanya
Dengan
Regresi Logistik Ordinal (Studi Kasus Pada Tenaga Kerja Wanita di Rs. Mardi
Rahayu
Kudus). Skripsi Tidak Diterbitkan.
Yanti. (2010). Perkembangan Sosial-Emosional Pada Masa Dewasa. Artikel.
Feldman, R.S. (2012). Pengantar Psikologi. Buku II. Edisi kesepuluh. Penerbit Jakarta
:
Salemba Humanika
Faizah (2012). Nikah Siri dalam Perspektif Undang-undang Perkawinan. Journal ilmu
hukum, vol 02 No 02, 1-12.
Herlita. (2009). Teori Ericson- Keintiman vs Isolasi. Artikel
Harahap. (2010). Pengaruh Kinerja Karyawan yang Belum Menikah dan yang Sudah
Menikah. Universitas Sumatra Utara. Skripsi : tidak diterbitkan
Halim W.F, Zainal A, Khairudin, Shahrazad W., Nasir & Fatimah. (2011). Emotional
Stability And Conscientiousness As Predictors Towards Job Performance. Jurnal
School
Of Psychology and Human Development,Faculty Of social Sciences And
Humanities, Vol
19 No. 0128-7702
17
Ivancevich, M.J., Konopaske R., & Matteson T.M. (2006). Perilaku dan Manajmen
Organisasi. Edisi ketujuh. Jakarta: Erlangga.
Santianawati, G.(2007). Penyesuaian diri Wanita Bekerja Yang Belum Menikah
Ditinjau
Dari Persepsi Terhadap Perrimaan sosial. Universitas Katolik Soegijapranata
Semarang.
Skripsi : Tidak diterbitkan
Septianingsih, L. 2011. Analisis perbandingan kemampuan entrepreneurship antara
pengusaha wanita dan pria pada usaha kecil dan menengah di Kecamatan Kota
Kudus.
Skripsi: Tidak diterbitkan
Sugiyono. (2009). Metode Penelitian Kuantitatif Kualitatif dan R&D. Bandung:
AlfaBeta.
Marlina, N. (2013) Hubungan Antara Tingkat Pendidikan Orangtua Dan Kematangan
Emosi
Dengan Kecenderungan Menikah Dini. Jurnal Psikologi Universitas Ahmad
Dahlan, Vol
- No -. 01-16. Sumber : uad-journal.com. Diunduh pada Tanggal 08 April 2014.
Kaunang, W.O.R., & Lovihan K.A.M. (2010). Perbedaan Perilaku Asertif pada Wanita
Karier yang Sudah Menikah Dengan yang Belum Menikah Di Minahasa. Jurnal
Psikologi
Universitas Negri Manado dan Universitas Negri Gorontalo, Vol 7 No 4.
1693-9034.
Kamasanthi, T. (2008). Hubungan Locus of Contrl Dengan Komitmen Organisasi Pada
Karyawati yang Belum Berumah Tangga Di PT X Tanggerang. Jurnal psikologi.
Lakoy, S. F. (2009) Psychological Well-Being Perempuan Bekerja dengan Status
Menikah dan Belum Menikah. Jurnal Psikologi Vol 7, No2