KETERWAKILAN PEREMPUAN DALAM POLITIK DI ...

101
KETERWAKILAN PEREMPUAN DALAM POLITIK DI INDONESIA Studi Tentang Perolehan Suara Perempuan Partai PPP Di Provinsi DKI Jakarta Pada Pemilu 2014 Skripsi Diajukan untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh Gelar Sarjana Sosial (S.Sos) Oleh: Rizqi Abdurrahman Masykur 1112112000012 PROGRAM STUDI ILMU POLITIK FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA 2017

Transcript of KETERWAKILAN PEREMPUAN DALAM POLITIK DI ...

KETERWAKILAN PEREMPUAN DALAM POLITIK

DI INDONESIA

Studi Tentang Perolehan Suara Perempuan Partai PPP

Di Provinsi DKI Jakarta Pada Pemilu 2014

Skripsi

Diajukan untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh

Gelar Sarjana Sosial (S.Sos)

Oleh:

Rizqi Abdurrahman Masykur

1112112000012

PROGRAM STUDI ILMU POLITIK

FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK

UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH

JAKARTA

2017

KETERWAKILAN PEREMPUAN DALAM POLITIK

DI INDONESIA

Studi Tentang Perolehan Suara Perempuan Partai PPP

Di Provinsi DKI Jakarta Pada Pemilu 2014

Skripsi

Diajukan untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh

Gelar Sarjana Sosial (S.Sos)

Oleh:

Rizqi Abdurrahman Masykur

1112112000012

PROGRAM STUDI ILMU POLITIK

FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK

UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH

JAKARTA

2017

ii

i

PERNYATAAN BEBAS PLAGIARISME

Skripsi yang berjudul:

KETERWAKILAN PEREMPUAN DALAM POLITIK DI INDONESIA

Studi Tentang Perolehan Suara Perempuan Partai PPP Di Provinsi DKI

Jakarta Pada Pemilu 2014

1. Merupakan karya asli saya yang diajukan umtuk memenuhi salah satu

persyaratan memperoleh gelar Strata 1 di Universitas Islam Negeri (UIN)

Syarif Hidayatullah Jakarta.

2. Semua sumber yang saya gunakan dalam penulisan ini telah saya

cantumkan sesuai dengan ketentuan yang berlaku di Universitas Islam

Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta.

3. Jika kemudian hari terbukti bahwa karya saya ini bukan hasil karya saya

atau merupakan jiplakan dari karya orang lain, maka saya bersedia

menerima sanksi yang berlaku di Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif

Hidayatullah Jakarta.

Jakarta, 9 Januari 2017

Rizqi Abdurrahman Masykur

NIM: 111211200012

ii

PERSETUJUAN PEMBIMBING SKRIPSI

Dengan ini, Pembimbing Skripsi menyatakan bahwa mahasiswa:

Nama : Rizqi Abdurrahman Masykur

NIM : 1112112000012

Program Studi : Ilmu Politik

Telah menyelesaikan penulisan skripsi dengan judul:

KETERWAKILAN PEREMPUAN DALAM POLITIK DI INDONESIA

STUDI TENTANG PEROLEHAN SUARA PEREMPUAN PARTAI PPP DI

PROVINSI DKI JAKARTA PADA PEMILU 2014

dan telah diuji pada tanggal 9 Januari 2017.

Jakarta, 9 Januari 2017

Mengetahui,

Ketua Program Studi

Dr. Iding Rosyidin, M.Si.

NIP: 197010132005011003

Menyetujui,

Pembimbing,

Dra. Gefarina Djohan, MA.

NIP: 196310241999032001

ii

PENGESAHAN PANITIA SKRIPSI

SKRIPSI

KETERWAKILAN PEREMPUAN DALAM POLITIK DI INDONESIA

STUDI TENTANG PEROLEHAN SUARA PEREMPUAN PARTAI PPP DI

PROVINSI DKI JAKARTA PADA PEMILU 2014

Rizqi Abdurrahman Masykur

1112112000012

Telah dipertahankan dalam sidang ujian skripsi di Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu

Politik Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta pada tanggal 9

Januari 2017 Skripsi ini telah diterima sebagai salah satu syarat memperoleh gelar

Sarjana Sosial (S. Sos) Pada Program Studi Ilmu Politik.

Ketua, Sekretaris,

Dr. Iding Rosyidin, M.Si. Suryani. M.Si

NIP: 197010132005011003 NIP: 197704242007102003

Penguji I,

Dr. Haniah Hanafie, M.Si

NIP: 196105242000032002

Penguji II

Dr. A. Bakir Ihsan, M.Si.

NIP: 197204122003121002

Diterima dan dinyatakan memenuhi syarat kelulusan pada tanggal 9 Januari 2017

Ketua Program Studi

FISIP UIN Jakarta

Dr. Iding Rosyidin, M.Si.

NIP: 197010132005011003

iv

ABSTRAKSI

Skripsi ini berjudul Keterwakilan Perempuan Dalam Politik Di Indonesia:

Studi Tentang Perolehan Suara Perempuan Partai PPP di Provinsi DKI Jakarta

Pada Pemilu 2014. Indonesia sejak pemilu tahun 2004 telah menetapkan batas

minimum caleg perempuan dalam pencalonan legislati sebesar 30%, harapannya

tercapainya keterwakilan perempuan yang representatif. Namun setelah kebijakan

tersebut berjalan sampai pemilu tahun 2014 belum menampakkan hasil yang

cukup signifikan dalam keterwakilan perempuan di parlemen.

PPP secara nasional pada pemilu tahun 2014 berhasil meningkatkan

jumlah perempuan pada fraksinya menjadi 10 kursi dari 5 kursi pada pemilu 2009.

Namun hal ini berbanding terbalik dengan perolehan PPP pada kursi perempuan

di DPRD DKI Jakarta yang hanya memperoleh satu kursi untuk perempuan dari

10 kursi yang didapat. Penilitian ini membahas tentang upaya PPP dalam

meningkatkan keterwakilan perempuan khususnya, dan faktor-faktor penghambat

perolehan suara perempuan di DKI Jakarta pada umumnya.

Penelitian ini menggunakan metode kualitatif dengan analisis deskriptif

untuk menggambarkan permasalahan yang ada di PPP pada umumnya dan

wilayah DKI Jakarta khususnya tentang keterwakilan perempuan. Teori yang

penulis gunakan adalah teori gender tentang feminisme liberal dan konsepsi

patriarki, lalu teori kuota perempuan, serta terakhir teori oligarki partai politik.

Dalam penelitian ini penulis menemukan bahwa stereotipe masyarakat

tentang perempuan yang lemah, masih menjadi penyebab minimnya perolehan

suara perempuan secara umum dalam pemilu, pada partai PPP ditemukan bahwa

basis massa partai yang notabene banyak dari kalangan Islam tradisional

menyebabkan caleg perempuan kurang diminati, adapun satu perempuan yang

terpilih juga karena yang bersangkutan mempunyai modal sosial yaitu majlis

taklim sebagai basis massanya dan pada kenyataannya pada calon tersebut

merupakan bagian dari oligarki partai.

Kata kunci: Perempuan, Keterwakilan, Perolehan suara, PPP.

v

KATA PENGANTAR

Segala puji bagi Allah yang merajai segala raja dan menguasai segala ilmu

pengetahuan yang ada di muka bumi ini. Berkat rahman dan rahim-Nya penulis

dapat menyelesaikan tugas akhir di waktu yang tepat. Shalawat beserta salam

selalu dan terus terucah kepada Nabi Muhammad SAW yang telah membimbing

umatnya menuju jalan kebenaran yaitu Islam.

Skripsi merupakan awal dari kehidupan akademis penulis. Karena dari

skripsi ini penulis terpacu untuk memberikan karya tulis yang terbaik di masa

yang akan datang. Sadar bahwa skripsi ini masih banyak kekurangan di sana-sini,

penulis mengharapkan kritik dan saran. Penyelesaian sksipsi ini tentu tak lepas

dari campur tangan orang-orang di sekitar penulis baik langsung maupun tidak

langsung. Dengan bangga penulis ucapkan terima kasih yang kepada:

1. Rektor Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta Prof. Dr.

Dede Rosyada, MA.

2. Dekan Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik UIN Syarif

HidayatullahJakarta, Prof. Dr. Zulkifli, MA.

3. Ketua Prodi Ilmu Politik, Dr. Iding Rasyidin, M.Si, dan Sekretaris Prodi

Ilmu Politik, Suryani M.Si.

4. Dosen pembimbing Dra. Gefarina Djohan, MA, yang telah banyak

meluangkan waktu untuk berdiskusi dan bertukar pikiran dalam

membimbing penulis.

vi

5. Kedua orang tua penulis, Bapak Uung Masykur dan Ibu Watini terima

kasih atas doa dan pengorbanan yang telah diberikan kepada penulis

selama ini.

6. Kedua adik penulis, Fauzan Abdurrahman Masykur dan Ihsan

Abdurrahman Masykur yang selalu memberikan anasir-anasir baru

dalam penulisan skripsi ini.

7. Usep Hasan Sadikin selaku Peneliti pada Perludem (Perkumpulan Untuk

Pemilu dan Demokrasi). Terima kasih telah meluangkan waktu untuk

penulis wawancarai.

8. Drs. H. Arifuddin Halking, M.Si. selaku wakil ketua bidang OKK

(Organisasi, Keanggotaan, dan Kaderisasi) DPW PPP DKI Jakarta.

Terima kasih telah meluangkan waktu untuk penulis wawancarai.

9. H. Abdul Aziz Suaedy, S.E. selaku ketua DPW PPP DKI Jakarta.

Terima kasih telah meluangkan waktu untuk penulis wawancarai.

10. Hj. Marie Amadea Ismayani, S.Si. Ketua KPPI (kaukus Perempuan

Politik Indonesia) DKI Jakarta. Terima kasih telah meluangkan waktu

untuk penulis wawancarai.

11. Teman-teman Ilmu Politik 2012 kelas A, Alfia, Cendy, Amin, Fauzan,

Sambung, Fahrul, Ferry, Kartika, Faqih, Devi, Alice, Nisa, Ruhul,

Fahmi, Rozi, Zizi, Dipo, Rahmat, Hatta, Mabrur, Pakde fakih, Cak Ipul,

Helmi, Yusuf, Abrar dan teman-teman yang lain yang tak dapat penulis

sebutkan satu persatu. Terima kasih atas segalanya yang telah tercipta.

vii

12. Teman-teman Kontrakan Anti-Gober, Bang Yusran, Bang Isnan, Bang

Along, Ahmad Rifani, Fachry Fauzan, Afif Hasan N, Muslih Muhaimin,

Vanny El Rachman.

13. Teman-teman “lorong kemalingan ASPA”, Aziz, Rio, Fahmi, Rahmat

14. Teman-teman koloni KKN Lebah, terima kasih telah mewarnai

kehidupan penulis.

15. Teman-teman PK FISIP IMM, Ruhul, Neng Sofi, Fawaz, Aqil, Zul,

Rizki Ikhwani, Angga serta kanda Beni, kanda Farhan, kanda Reza dan

senior-senior komisariat yang lain terima kasih atas pengalaman yang

luar biasa yang telah penulis dapat. Maaf jika ada kesalahan laku dan

ucap dalam mengemban amanah di Komisariat.

16. Terakhir kepada semua pihak, yang tak bisa disebutkan satu persatu.

Terima kasih atas dukungan moral dan material selama penulis kuliah

dan menyusun skripsi ini.

Segala terima kasih penulis haturkan kepada mereka yang telah membatu

penulis menyusun skripsi ini. Semoga Allah yang maha bijaksana membalas

segala kebaikan serta melindunginya dari kejahatan dunia.

Jakarta, 9 Januari 2017

Penulis

Rizqi Abdurrahman Masykur

1112112000012

viii

DAFTAR ISI

ABSTRAK …………………………………………….….…….. iv

DAFTAR ISI …………………………….…..……………………. viii

DAFTAR TABEL ………..……………………….……………. x

BAB I PENDAHULUAN …..……….…………………………. 1

A. Pernyataan Masalah……..……………………………… 1

B. Pertanyaan Penelitian …….………………………..…… 8

C. Tujuan dan Manfaat Penelitian……….……………….… 8

D. Tinjauan Pustaka …….……..……….…………….…… 10

E. Metode Penelitian ..………….………..………………… 14

F. Sistematika Penulisan…………..……..……..…….……. 16

BAB II KERANGKA TEORI …………...……….……………… 18

A. Teori Gender dan Budaya Patriarki…………………….. 18

B. Teori Kuota Perempuan Dalam Politik ………………… 29

C. Teori Oligarki Dalam Partai Politik…….………………. 35

BAB III GAMBARAN UMUM TENTANG PPP DAN KIPRAHNYA DI

DKI JAKARTA………..……….……….…….…………….………….. 39

A. Profil PPP …..………………………….……………..…… 39

B. Platform PPP…....……..………..……….……….…..……. 44

C. PPP dan Perspektif Representasi Perempuan di Politik….… 45

BAB IV PPP DAN REPRESENTASI PEREMPUAN DALAM

PEMILU DI DKI JAKARTA..………..……..…….…….………….. 49

A. Perolehan Suara Untuk Caleg Perempuan

Pada Pileg 2014 di DKI Jakarta……………….……………….. 49

B. Faktor-faktor Penyebab Minimnya Perolehan Suara Untuk

Caleg Perempuan Pada Pileg 2014 di DKI Jakart…..……….. 60

1. Popularitas………………..…….……………….…… 65

2. Modal Sosial…………………………………………. 66

3. Oligarki Partai ………………………………………. 67

4. Stereotipe dan Budaya Patriarki …………………….. 69

C. PPP dan Perolehan Suara

Pada Pileg 2014 di DKI Jakarta............................................... 70

ix

BAB V PENUTUP .............................................................. ……………... 81

A. Kesimpulan ................................................................................. 81

B. Saran............................................................................................ 82

DAFTAR PUSTAKA ............................................................................... 85

LAMPIRAN

x

DAFTAR TABEL

Tabel IV.A.1 Prosentase keterwakilan Perempuan Pada Tahap Pencalonan

Legislatif DPRD DKI Jakarta Pada tahun 2014-2019…………………. 52

Tabel IV.A.2 Penempatan Nomor urut 1-3 Pada Perempuan Dalam Tahap

Pencalonan Legislatif DPRD DKI Jakarta Pada tahun 2014-2019……… 53

Tabel IV.A.3 Caleg Perempuan Terpilih DPRD DKI Jakarta 2014-2019… 55

Tabel IV.C.1 Caleg Terpilih PPP DPRD DKI Jakarta 2014-2019………… 73

Tabel IV.C.2Perbandingan Prosentase Jumlah Suara dan Kursi Perempuan

Dalam Fraksi di DPR RI dengan DPRD DKI Jakarta tahun 2014-2019….. 75

1

BAB I

PENDAHULUAN

A. Pernyataan Masalah

Manusia merupakan makhluk zoon politicon menurut filsuf Aristoteles

yang berarti makhluk sosial. Hal tersebut menandakan bahwa manusia

membutuhkan manusia lain untuk hidup serta bekerja sama.1 Pada perwujudannya

manusia terbagi dalam dua jenis yakni laki-laki dan perempuan. Namun

Aristoteles juga memberikan gambaran tentang perempuan, bahwa kehidupan

perempuan hanya bersifat fungsional, perempuan bagian untuk menyediakan

kebutuhan hidup.2 Pandangan Aristoteles tentang perempuan ini bertentangan

dengan apa yang dikatakannya sebagai zoon politicon. Sebagaimana diketahui

dalam alam demokrasi Yunani klasik perempuan tidak mendapatkan hak politik

bahkan suara, hanya laki-laki yang mempunyai keleluasaan dalam ruang publik

begitupun dalam politik. Kekuasaan yang besar didapat laki-laki bisa disebut

sebagai bentuk dari patriarki.

Patriarki atau patrilineal adalah sebuah paham dimana laki-laki dipandang

lebih superior dibanding dengan lawan jenisnya yakni perempuan. Paham ini

mungkin berkembang sudah sangat lama dan tampaknya sudah membudaya,

1Miriam Budiardjo, Dasar-Dasar Ilmu Politik, (Jakarta: Gramedia Pustaka

Utama, cetakan kedua, 2012), hal. 19 2M. Adji, Lina Meilinawati dan Baban Banita, Perempuan Dalam Kuasa

Patriarki, laporan penelitian/Buku Fakultas Sastra Universitas Padjajaran tahun 2009,

hal. 21

2

maka dari itu bisa disebut sebagai budaya patriarki atau patrilineal. Sejarawan

terkenal John Tosh menjabarkan bahwa patriarki adalah sebuah konsep dimana

kaum laki-laki memperbesar jaringan kekuasaannya dengan tanggungan kaum

perempuan baik dalam level fisik maupun sosial.3

Selanjutnya tesis tentang patriarki dikemukakan oleh Sylvia Walby,

menurutnya patriarki itu bisa dibedakan menjadi dua yakni patriarki privat dan

patriarki publik. Patriarki privat ialah patriarki yang terdapat pada keluarga,

sedangkan patriarki publik ialah bentuk patriarki yang berdiaspora dan meluas ke

wilayah-wilayah publik, seperti pengambilan kebijakan dan sebagainya yang

menjadikan pria lebih dominan di segala segi kehidupan tak terkecuali wilayah

politik.4

Menurut Gadis Arivia, sejarah tentang perempuan yang mulai peka dalam

menyuarakan hak-haknya bahkan menuntut partisipasi yang lebih dalam bidang

politik dapat dilacak pada tahun 1848, ketika itu perwakilan perempuan dari

seluruh dunia sebanyak kurang lebih 300 orang berkumpul dan mengadakan

konvensi dalam pertemuan Seneca Falls untuk mempertanyakan tentang hak-hak

perempuan dan kurangnya partisipasi perempuan dalam ranah politik.5

3Wacana: Jurnal Ilmu Pengetahuan Budaya, Vol. 10 No. 1, April 2008, UI Press,

hal. 42 4Jurnal KOMUNIKA, Vol, 8 No. I, 2005. LIPI, hal. 59

5Gadis Arivia, Feminisme: Sebuah Kata Hati (Jakarta: Kompas, 2006), hal. 12

3

Beberapa puluh tahun kemudian, partisipasi perempuan dalam ruang

publik mulai didengungkan kembali hal ini mungkin tindak lanjut dari pertemuan

Seneca Falls. Dimotori oleh Selandia Baru pada tahun 1894 yang memberikan

hak perempuan dalam memilih disusul oleh Australia dan dua negara Skandinavia

yakni Finlandia dan Norwegia dua puluh tahun setelahnya.6

Di Indonesia sendiri partisipasi perempuan dalam hal hak pilih misalnya,

sudah ada sejak pemilu pertama pada tahun 1955. Walaupun perempuan

dibolehkan dalam hal memilih namun tak serta merta juga keberadaan perempuan

dalam pemerintahan baik di eksekutif dan legislatif seimbang dengan laki-laki.

Gerakan perempuan pada masa Orde Lama dan Orde Baru hanya sebatas

emansipasi,7 dalam artian perempuan memperjuangkan hal-hal formal seperti

pendidikan, kesehatan dan sebagainya.

Barulah pada dekade 90an haluan dan arah gerakan perempuan mulai

berubah yang tadinya menyoroti hal-hal formal menjadi menyoroti hal-hal yang

bersifat kesetaraan gender seperti representasi perempuan dalam ruang publik

khususnya dalam politik. Gerakan perempuan pada masa ini sudah mulai

dimasuki oleh ideologi feminisme-feminisme Internasional yang concern pada

banyak permasalahan dan ketidakadilan yang dialami oleh perempuan.8

6Gadis Arivia, Feminisme: Sebuah Kata Hati, hal. 12

7Amelia Fauzia, Tentang perempuan Islam: Gerakan dan Wacana, ( Jakarta:

Gramedia Pustaka Utama), hal. 79 8Amelia Fauzia, Tentang perempuan Islam: Gerakan dan Wacana, hal. 79

4

Menurut Firmanzah, pergerakan di Indonesia yang memperjuangkan

tentang kesetaraan gender dan representasi perempuan dalam ranah politik tak

lepas dari terpaan-terpaan arus ideologi feminisme yang memang transnasional

dan mulai masuk ke berbagai belahan dunia yang pada umumnya adalah negara-

negara berkembang mengingat negara-negara ini dalam hal representasi

perempuan menunjukkan statistik yang tak sebesar negara-negara maju di

Amerika dan Eropa.

Agenda utama gerakan feminis adalah mensejajarkan perempuan dalam

partisipasi politik. Kaum feminis berontak terhadap dominasi laki-laki

yang terlalu kuat dalam dunia politik—dan sesungguhnya nyaris dalam

semua bidang kehidupan yang ‗penting‘, kecuali di beberapa bidang

seperti kecantikan—sehingga kurang memberikan ruang bagi kaum

perempuan untuk memperjuangkan nasib mereka. Dalam era sebelumnya,

kaum perempuan merupakan kaum marjinal dalam kehidupan politik.

Karena itu perlu ‗political will‘ untuk mengangkat dan meningkatkan

peran serta perempuan dalam dunia politik. Melalui jaringan internasional,

banyak LSM melakukan edukasi sekaligus memberikan ‗tekanan‘ kepada

negara-negara yang partisipasi perempuannya masih kurang dalam

kehidupan politik.9

Akhirnya setelah beberapa tahun bergulir reformasi, pemerintah

mengeluarkan peraturan yang merupakan jawaban pada kelompok-kelompok

yang menginginkan representasi perempuan lebih kuat dan terkesan seimbang

pada ranah legislatif. Pemerintah Indonesia dengan bijak telah meratifikasi

amanat konferensi Beijing yang menginginkan affirmative action dengan hadirnya

30% perempuan di parlemen. Keterwakilan perempuan mulai mendapat pijakan

9Firmanzah, Marketing politik antara pemahaman dan realitas (Jakarta: Yayasan

Obor Indonesia, 2008), hal. 33

5

hukumnya ketika DPR mensahkan UU No. 12/2003 pada awalnya tentang

pemilihan umum, dan sekarang memakai UU No. 8/2012 yang mengharuskan

partai politik mengirim minimal 30% caleg perempuan untuk berkontestasi di

ajang pemilu legislatif baik di DPR pusat sampai DPRD tingkat II atau tingkat

kabupaten/kota. Namun UU pemilihan umum tersebut tak serta merta meloloskan

30% pula ke kursi dewan hal inilah yang menjadi masalah, apakah keterwakilan

30% hanya sampai pada kuantitas calon perempuan dalam pemilu legislatif lalu

berhenti disana. Lantas bagaimana dengan representasi yang riil, yakni kuantitas

perempuan di dalam parlemen itu sendiri.

Hasil pemilu legislatif tahun 2014 suara perempuan di tingkat pusat yakni

DPR-RI sebesar 17.3% atau sama dengan 97 kursi dari 560 kursi yang

diperebutkan dalam 77 daerah pemilihan (Dapil), perolehan ini boleh dibilang

kurang menggembirakan,10

pasalnya jika membandingkan dengan perolehan yang

di dapat perempuan pada tahun 2009 yakni 18% atau memperoleh 103 kursi di

parlemen pusat, praktis apa yang didapat oleh caleg perempuan pada pileg di

tahun 2014 mengalami penurunan sebesar enam kursi dibanding apa yang didapat

pada tahun 2009 lalu.

Menurut Puskapol UI, penurunan hasil suara perempuan pada pileg tahun

2014 tersebut layak dikritisi karena jika membandingkan dengan ukuran tingkat

10

http://www.puskapol.ui.ac.id/publikasi_puskapol/analisis-perolehan-suara-

dalam-pemilu-2014-oligarki-politik-dibalik-keterpilihan-caleg-perempuan.html diunduh

pada 26 Mei 2016

6

pencalonan perempuan pada pileg 2009 dan 2014 yang mengalami tren kenaikan,

pileg 2009 hanya mencalonkan 33.6% perempuan untuk maju dalam kontestasi di

tingkat pusat sedangkan di pemilu berikutnya di tahun 2014 pencalonan

perempuan naik kurang lebih 4% ke prosentase 37% hal ini seiring dengan

peraturan dari KPU (Komisi Pemilihan Umum) yang lebih tegas tentang 30%

minimum perempuan dalam daftar calon legislatif dalam tiap partai. Temuan

dalam pemilu di atas menunjukkan bahwa hambatan dan tantangan bagi

keterpilihan perempuan dalam parlemen tidak secara otomatis teratasi dengan

dikeluarkannya peraturan teknis yang secara formal ditujukan untuk mengawal

proses pencalonan perempuan.11

Jika melihat hasil perolehan kursi yang didapat oleh perempuan di DPR RI

pada Pileg 2014 memang mengalami penurunan, namun hal ini tidak berlaku pada

Partai Persatuan Pembangunan (PPP) yang jumlah kursi perempuannya naik

sampai 100% dibanding dengan apa yang diraih partai tersebut pada Pileg 2009.

PPP berhasil mendapatkan 10 kursi untuk wakil perempuannya di DPR Pusat

jumlah tersebut sama dengan 26% dari keseluruhan kursi yang didapat oleh PPP

yakni sebesar 39 kursi.

Perolehan pada Pileg tahun 2014 tersebut bisa dikatakan mengalami

kenaikan yang cukup signifikan bagi PPP bila dilihat dari pemilu legislatif

11

http://www.puskapol.ui.ac.id/publikasi_puskapol/analisis-perolehan-suara-

dalam-pemilu-2014-oligarki-politik-dibalik-keterpilihan-caleg-perempuan.html diunduh

pada 26 Mei 2016

7

sebelumnya pada tahun 2009 yang hanya mendapatkan 5 kursi untuk perempuan

dari 38 kursi yang dimiliki oleh partai tersebut. Cukup baik bila melihat apa yang

dapat diraih PPP dalam Pileg 2014 terlebih untuk keterwakilan perempuan,

walaupun PPP bisa dibilang partai dengan perolehan suara nasional cukup kecil

yakni 6.63% dan menempati urutan 9 dari 10 partai nasional yang berhasil lolos

parliamentary treshold.

Apa yang terjadi pada keterwakilan perempuan Partai Persatuan

Pembangunan (PPP) dalam Pileg 2014 nampaknya tidak serta merta terjadi pula

di Pileg DPRD DKI Jakarta, PPP hanya bisa mendapatkan 10 persen suara untuk

perempuan dari 10 kursi yang didapatkan, artinya hanya ada satu calon

perempuan yang lolos ke DPRD DKI Jakarta dari partai PPP, perolehan tersebut

tidak terlalu menggembirakan dibandingkan dengan apa yang didapat PPP di

tingkat pusat. tetapi perlu diketahui bahwa PPP bukanlah satu-satunya partai yang

kurang dalam raihan kursi perempuan di DPRD DKI Jakarta masih ada Hanura,

PAN, Golkar, PKB, dan NasDem yang bahkan tidak mampu sama sekali meraih

kursi untuk calon perempuannya.

Ada beberapa hal mengapa perlunya representasi perempuan di suatu

instansi publik apalagi yang menyangkut dengan pembuatan kebijakan seperti

pada ranah legislatif ini. Perempuan diperlukan suaranya atau pendapatnya pada

tahap formulasi atau penggodokan kebijakan utamanya yang menyangkut anak-

anak dan perempuan itu sendiri. Sebagai contoh misalnya pembuatan kebijakan

8

mengenai KDRT dan kejahatan terhadap anak, jika anggota legislatif banyak

dalam segi kuantitas maka kebijakan yang diputuskan sesuai dengan apa yang

diharapkan.

B. Pertanyaan Penelitian

Atas dasar latar belakang masalah terdapat dua pertanyaan, sebagai

berikut:

1. Bagaimana kondisi umum perolehan suara pada perempuan dalam Pemilu

2014 di DKI Jakarta ?

2. Bagaimana political will partai PPP dalam peningkatan keterwakilan

perempuan pada pemilu 2014 di DKI Jakarta ?

C. Tujuan dan Manfaat Penelitian

1. Tujuan

a) Untuk menjelaskan kondisi umum perolehan suara pada

perempuan dalam Pemilu 2014 di DKI Jakarta, dan untuk

menjelaskan faktor-faktor umum penghambat perolehan suara

perempuan

b) Untuk menggambarkan sejauh mana political will dari PPP

kaitannya dengan affirmative action pada pemilu legislatif DPRD

DKI Jakarta tahun 2014.

9

2. Manfaat Penelitian

a) Manfaat Akademis

Manfaat akademis yang diharapkan adalah bahwa hasil penelitian

dapat dijadikan rujukan bagi upaya pengembangan ilmu politik, dan

berguna juga untuk menjadi referensi bagi mahasiswa yang

melakukan kajian terhadap fenomena pemilu dengan permasalahan

keterwakilan perempuan dalam parlemen.

b) Manfaat Praktis

Memberi informasi kepada masyarakat umumnya bahwa kebijakan

yang mendukung representasi perempuan dalam parlemen belumlah

cukup, kebijakan itu harus dibarengi dengan kesadaran segenap

elemen masyarakat dan institusi politik akan pentingnya kehadiran

perempuan dalam tiap rruang publik tak terkecuali institusi legislatif.

D. Tinjauan Pustaka

Literature review atau tinjauan pustaka adalah bahan rujukan dan bahan

pembeda penelitian yang penulis lakukan dengan orang lain yang meneliti seputar

masalah yang sama dan berkaitan. Tinjauan pustaka juga merupakan bukti bahwa

penelitian yang nantinya dilakukan orisinil atau tidak. Karena dalam penelitian ini

penulis akan mendalami permasalahan seputar mekanisme kebijakan partai dalam

mengakomodasi dan menempatkan caleg-caleg perempuan, serta bagaimana

partisipasi perempuan dipandang dalam sebuah partai politik.

10

Tinjauan pertama diambil dari sebuah Tesis yang berjudul Penerapan

Affirmative action sebagai Upaya Peningkatan Keterwakilan Perempuan dalam

Parlemen Indonesia, dari Irma latifah Sihite, Magister Ilmu Hukum UI 2011,

Tesis ini berisi tentang penerapan affirmative action di Indonesia yang dirasa

tidak berjalan beriringan dengan hasil yang dicapai dari kebijakan tersebut,

faktanya kurang lebih setengah penduduk Indonesia adalah perempuan namun

pada kenyataannya perempuan tidak dapat mengirimkan wakil yang representatif

dalam hal kuantitas di parlemen, alih–alih mendapatkan wakil yang representatif

secara kuantitas menembus batas 30% dari affirmative action pun tidak bisa.

Penjelasan selanjutnya menyebutkan bahwa masih kurangnya kemauan

politik dari partai politik dan pemerintah. Pendidikan politik terhadap perempuan

tidak berjalan secara optimal sehingga kesadaran politik mereka cenderung

rendah. Pemerintah dan seluruh elemen masyarakat harusnya bisa bersinergi

untuk lebih memperhatikan pendidikan politik bagi kaum perempuan.

Pembangunan kesadaran partai politik akan arti penting partisipasi perempuan,

sampai dengan jaminan hukum terhadapnya, hal ini berarti pengaplikasian

affirmative action harus sampai dari hulu ke hilir. Tesis ini adalah lingkup makro

(nasional) dari penelitian yang akan penulis teliti di DKI Jakarta (mikro) dengan

objek yakni partai PPP, lebih lanjut penelitian ini menggambarkan tentang

penerapan affirmative action, sedangkan penelitian penulis adalah tentang

11

menganalisis perolehan suara caleg perempuan sebagai ouput dari affirmative

action.

Tinjauan ke dua berasal dari Tesis Dina Anggita Lubis, Magister Studi

Pembangunan USU 2009, dengan judul Tesis yakni Partisipasi Politik

Perempuan Di DPD Partai Keadilan Sejahtera Kota Medan (Persoalan,

Hambatan, dan Strategi). Tesis ini dengan jelas menggambarkan keadaan dan

kondisi perempuan di DPP PKS Kota Medan yang secara Intelegensia dan potensi

sejajar dengan laki-laki namun secara kuantitas di ranah legislatif kota Medan

tertinggal dari laki-laki, hal ini menurut Dina disebabkan oleh faktor budaya, ini

yang paling dominan. Diikuti dengan faktor kurang dikenalnya caleg perempuan

PKS di Kota Medan. PKS harus mengejar ketertinggalannya dikarenakan setiap

orang mempunyai hak yang sama dan didukung oleh penerapan affirmative action

diharapkan perempuan PKS melihat celah yang ada tersebut untuk masuk ke

dalam ranah eksekutif, legislatif, dan yudikatif mengingat potensi yang ada dalam

perempuan DPP PKS Kota Medan yang amat sayang bila tidak digunakan dan

terlibat dalam pembangunan. Penelitian ini hampir sama dengan penelitian yang

penulis teliti, perbedaannya ada pada lokasi dan objek penelitian, lokasi yang

akan penulis ambil adalah Ibukota negara Indonesia dengan segala

kemajemukannya yang tentunya tantangan terhadap keterwakilan perempuan

akan berbeda pula dengan yang ada di Medan, dan yang akan penulis kaji sebagi

12

objek adalah partai PPP partai yang cukup dikatakan lebih ―senior‖ dibanding

dengan PKS.

Selanjutnya skripsi dari Mila Kamilatul Arsya, Ilmu Politik UIN Jakarta

2015 dengan judul; Keterwakilan Perempuan di Lembaga Legislatif. Skripsi ini

menampilkan gambaran mengenai representasi perempuan DPRD kota Depok

yang mencapai angka 38% pada pemilu tahun 2014 ini. Tentunya raihan yang

dicapai oleh Depok dalam keterwakilan perempuan sangat menggembirakan, hal

ini sekaligus membuat posisi perempuan cukup diperhitungkan dari segi kuantitas

di parlemen DPRD kota Depok, namun pertanyaan besarnya adalah apakah

dengan 38% representasi perempuan di parlemen kota depok tersebut diikuti

dengan kapasitas dan kapabilitas yang mumpuni dari masing-masing anggota

legislatif perempuan tersebut? ternyata dalam temuannya di kota Depok

menunjukkan bahwa representasi yang besar dan kapasitas tidak berjalan

beriringan, mengingat besarnya sebanyak 38% namun suara yang dihasilkan

mereka tidak kuat atau bisa dibilang kapasitas dan kapabilitas wakil perempuan

tersebut kurang, bahkan dalam tiga fungsi pokok parlemen yakni legislasi,

anggaran dan pengawasan. Perbedaan penelitian penulis dengan penelitian ini

adalah tentang fokus masalah penelitian, jika penelitian ini berfokus pada analisis

kapabilitas dan kapasitas caleg perempuan yang kuantitasnya mencapai 38% di

parlemen, maka penulis mengambil fokus pada tindakan apa yang dilakukan

institusi politik dalam hal ini partai politik untuk meningkatkan suara perempuan.

13

Tinjauan selanjutnya berkisar mengenai pola rekrutmen caleg dari skripsi

Wengky Saputra, Ilmu Politik FISIP Universitas Andalas (2012) dengan judul asli

Pola Rekrutmen Partai Politik (Studi: Dewan Pimpinan Cabang (DPC) Partai

Demokrat dalam Menetapkan Caleg Pada Pemilu Legislatif 2009 di Kabupaten

Agam). Hasil temuan yang amat penting dari skripsi ini adalah bahwa betapapun

proses penjaringan caleg dilaksanakan dengan kebebasan yang sama kepada

semua warga negara tetapi rekrutmen yang dilakukan oleh DPC partai Demokrat

kabupaten Agam pada Pileg tahun 2009 bersifat tertutup karena masih terdapat

oligarki yakni dominannya ketua DPC dalam menetapkan caleg. Penelitian ini

menarik karena bersinggungan dengan apa yang penulis teliti tentang perolehan

suara, Oligarki dalam partai seringkali mempengaruhi kebijakan partai dalam

proses penentuan nomor urut caleg yang biasanya cukup menentukan dalam besar

kecilnya perolehan suara suatu calon.

Literatur selanjutnya yakni skripsi dari Tresia Febriani, Jinayah Fakultas

Syari‘ah dan Hukum UIN Sunan Kalijaga (2015) berjudul; Kuota 30%

Keterwakilan Perempuan dalam Jabatan Publik Perspektif Etika Politik Islam,

menggambarkan tentang pandangan etika Islam yang berlandaskan Al-Quran dan

As-Sunnah terhadap anggota legislatif perempuan. Hasil penelitian ini sebetulnya

cukup mengejutkan yakni kuota 30% untuk perempuan perlu dievaluasi, karena

kuota 30% hanya membuat partai politik fokus pada peningkatan kuantitas bukan

kualitas sehingga kuota yang tujuan awalnya menjadi peluang berubah menjadi

14

paksaan, bahkan peneliti berani memberikan solusi untuk tidak perlu adanya

kuota 30%. Perbedaan penelitian ini dengan penelitian penulis adalah penelitian

ini menggunakan perspektif Islam sebagai kacamata berpikir sehingga mungkin

agak menafikan peran perempuan dalam politik maupun ruang publik lainnya.

E. Metode Penelitian

Penelitian ini dibuat dengan analisis data kualitatif, analisis data kualitatif

dilakukan apabila data empiris yang diperoleh adalah data kulitatif berupa

kumpulan berwujud kata-kata dan bukan rangkaian angka serta tidak dapat di

susun dalam kategori-kategori/struktur klasifikasi, analisis kualitatif

menggunakan kata-kata yang biasanya di susun ke dalam teks yang diperluas, dan

tidak menggunakan perhitungan matematis atau statistika sebagai alat bantu

tulis.12

Analisis kualitatif dapat menggali informasi secara dalam, oleh karena itu

wawancara yang dilakukan disebut deep interview atau wawancara mendalam.

1. Teknik Pengumpulan Data

a. Wawancara

Wawancara dengan terstruktur dan mendalam dilakukan untuk

mengetahui apa yang sebenarnya terjadi di dalam partai dan juga

perlakuannya terhadap caleg perempuan, penulis nantinya akan

mewawancarai para narasumber, narasumber ini terdiri dari para

12

Ulber Silalahi, Metode Penelitian Sosial, (Bandung: Refika Aitama, 2009), hal.

339

15

pengurus partai politik dan juga beberapa pegiat LSM yang concern

terhadap perjuangan perempuan dalam politik.

b. Dokumentasi

Literatur tentang berbagai permasalahan persoalan perempuan dan

politik khususnya dalam pemilu dirasa penting untuk memperkaya

data dan interpretasi penulis dalam karya skripsi ini.

2. Sumber dan Jenis Data

a. Data primer, data primer adalah data utama yang dipakai dalam

penulisan ini, data primer bersumber dari hasil wawancara terstruktur

dan mendalam antara penulis dengan para narasumber nantinya.

b. Data sekunder, data sekunder adalah data pendukung dan penunjang

dari data primer, yakni seperti buku-buku dan juga literatur yang

mendukung baik hard copy maupun soft seperti jurnal dan situs-situs

yang concern dengan masalah yang penulis angkat dalam skripsi ini.

3. Analisis Data Penelitian

Penelitian ini nantinya akan memakai teknik deksriptif analisis,

artinya penelitian akan menggambarkan secara apa adanya yang terjadi di

lapangan. penelitian yang bersifat deskriptif bertujuan menggambarkan

secara tepat sifat-sifat individu, keadaan, gejala, atau kelompok tertentu,

atau untuk menentukan frekuensi atau penyebaran suatu gejala atau

16

frekuensi adanya hubungan tertentu antara suatu gejala dan gejala lain

dalam masyarakat.13

F. Sistematika Penulisan

Guna mensistematisasi penulisan agar terlihat terstruktur dan rapih,

penulis akan memaparkan apa-apa yang akan dibahas pada penelitian ini,

terangkum dalam lima bab peneliti akan memusatkan perhatian pada observasi

yang penulis lakukan langsung dengan cara wawancara mendalam dan terstruktur

terhadap para narasumber.

Bab I, merupakan pendahuluan yang di dalamnya terdapat latar belakang

masalah, pertanyaan masalah yang akan menjadi fokus masalah ini, dan akan

dimuat juga tujuan dan manfaat dari penulisan ini, serta metodologi penelitian

yang akan dipakai juga sistematika penulisan dalam penelitian ini.

Bab II, penulis akan memaparkan secara umum tentang teori-teori yang

akan penulis pakai dalam penelitian ini, yakni teori kuota, teori patriarki dan juga

teori oligarki yang penulis ambil lewat sudut pandang oligarki dalam partai.

Bab III akan berisi penjelasan tentang fokus masalah yang penulis angkat

yakni perolehan suara perempuan pada PPP, yang akan penulis gambarkan mulai

dari sejarah pendirian partai, profil partai yang berisi platform partai dan juga

13

Ulber Silalahi, Metode Penelitian Sosial, hal. 28

17

penulis akan menggambarkan PPP kaitannya dengan pandangan terhadap

representasi perempuan, serta capaiannya dalam pemilu.

Bab IV, berisi analisis penulis dari wawancara terstrukttur yang telah

penulis lakukan dengan para narasumber, juga analisis penulis dari data-data

sekunder yakni semisal data-data dari hasil pemilu maupun data-data dari LSM

yang concern terhadap masalah yang penulis teliti.

Bab V, bab ini adalah bagian terakhir dari serangkaian bab yang ada

dalam penelitian ini, berisi tentang kesimpulan dari penelitian dan juga saran dari

penulis sendiri yang diharapkan solutif dalam menjawab permasalahan dalam

penelitian ini.

18

BAB II

KERANGKA TEORI

A. Teori Gender dan Budaya Patriarki

Pembahasan tentang gender biasanya dimaknai sebagai pemisahan

manusia ke dalam dua jenis yakni perempuan dan laki-laki. Padahal jika ditinjau

lebih lanjut makna yang seperti diatas tak ubahnya dengan istilah sex lantas apa

yang berbeda dari kedua istilah tersebut sex dan gender. Gender adalah

pemaknaan atas perempuan dan laki-laki yang didasari pada konstruksi sosial,

biasanya sering berkaitan dengan peran, sifat, tanggung jawab, nilai, perilaku,

mentalitas dan karakteristik emosional atas kedua jenis kelamin tersebut.14

Pembedaan atas gender ini seringkali menimbulkan ketidakadilan dalam

banyak aspek, semisal ketika perempuan bekerja mereka biasanya mendapat upah

lebih sedikit dibanding dengan laki-laki, juga ditempatkan di sektor yang

dianggap bisa dikerjakan oleh perempuan yang banyak dianggap sebagai makhluk

yang secara fisik dianggap lemah. Kemudian ada beban ganda (double burden)15

yang diterima perempuan ketika ia memutuskan untuk bekerja ia juga tidak boleh

melupakan yang menurut sebagian besar budaya masyarakat adalah tugas utama

dan pokok dari perempuan utamanya yang sudah berkeluarga yakni mengurus

14

Ida Rosyidah dan Hermawati, Relasi Gender dalam Agama-Agama (Jakarta:

UIN Jakarta Press, 2003), hal. 13 15

Mansour Fakih, Analisis Gender dan Transformasi Sosial (Yogyakarta: Pustaka

Pelajar, 1997), hal. 150

19

urusan domestik seperti urusan keluarga dan rumah, serta masih banyak

ketidakadilan lainnya yang diterima oleh perempuan.

Berbicara tentang gender tentu saja tak terlepas dari membincangkan

ketidakadilan pada perempuan yang terdapat di dalam masyarakat baik

masyarakat tradisonal, maupun modern sekalipun melingkupi banyak ruang privat

dan publik, ruang privat biasa dikenal dengan institusi keluarga, sedangkan ruang

publik ada berbagai macam sektornya tidak terkecuali dalam hal politik.

ketidakadilan dalam keluarga terletak pada diposisikannya perempuan (ibu/isteri)

dibawah dari laki-laki (ayah/suami).

Keadaan asimetris yang didapat perempuan ini tidak hanya dirasakan di

ruang privat dalam artian keluarga saja, tetapi juga banyak terdapat pada ruang

publik semisal ranah politik, perempuan sering terpinggirkan secara halus dengan

justifikasi stereotipe dan konstruksi sosial di masyarakat yang menyatakan bahwa

perempuan akan lebih baik dan berguna bila hanya mengurusi keluarga (privat)

dan sebisa mungkin tidak mempunyai banyak peranan di luar (publik) karena

dengan seperti itu membuat konsentrasinya terpecah antara memprioritaskan salah

satu ruang privat atau publik. Karena itu perempuan sering mendapat peran lebih

rendah (subordinat), yang terbatas sebagai ibu rumah tangga dan terasing dalam

urusan publik.16

16

Ian Adams, Ideologi Politik Mutakhir: Konsep, Ragam, Kritik, dan Masa

Depannya (Yogyakarta: Qalam, 2004), hal. 381

20

Ada beberapa ilmuwan sosial yang mengamini keterasingan perempuan di

ruang publik sebagai sesuatu yang wajar dan dianggap normal, John Locke

misalnya dengan tanpa alasan menegasikan akan hak-hak politik dan hak sipil ke

dalam hak perempuan. Lebih halus dari itu JJ. Rousseau memberikan alasan yang

agak pesimistis ke dalam diri perempuan, bahwa perempuan dengan sifat seksnya

yang sedemikian rupa lebih cocok untuk menjadi penyenang kaum laki-laki dan

mengurus keluarga ketimbang harus berjibaku di ranah publik dengan laki-laki.17

Argumen-argumen yang sedemikian naif tentang justifikasi perempuan

agar selalu berada di ranah privat baru dipertentangkan sehabis digulirkannya

Revolusi Perancis, revolusi ini membuka pandangan-pandangan umum

masyarakat Eropa tempo itu dan mengarahkannya kepada pandangan yang lebih

terbuka akan persamaan hak dan keadilan, yang berarti keterasingan perempuan

dan ketidakadilan yang diderita kaum tersebut perlahan harus digusur dan diganti

dengan hak-hak yang dibutuhkannya termasuk hak politik dan sipil.

Ideologi liberal adalah ideologi yang pertama-tama mendukung gerakan

kesetaraan dan keadilan yang dituntut oleh kaum perempuan, untuk selanjutnya

gerakan ini disebut gerakan feminis. Para pendukung feminis dengan sudut

pandang liberal berasumsi bahwa agar tercipta individu yang otonomi dan

17

Ian Adams, Ideologi Politik Mutakhir, hal. 381

21

independen haruslah didahului dengan terciptanya masyarakat yang adil,18

maka

dari itu kesetaraan dan keadilan pada perempuan atas hak-haknya diperlukan

untuk menunjang itu semua. Tujuan umum dari feminisme liberal adalah untuk

menciptakan masyarakat yang adil dan peduli tempat kebebasan berkembang.

Hanya di dalam masyarakat seperti itu, perempuan dan juga laki-laki dapat

mengembangkan diri.19

Kendatipun demikian gerakan feminis pada prakteknya

tetap merujuk pada teori yang ditulis oleh ilmuwan-ilmuwan yang mendukung

gerakan tersebut, semata-mata sebagai panduan untuk arah gerakan selanjutnya.

Menurut Mansour Fakih, pemikiran-pemikiran tentang feminisme terbagi

kedalam beberapa aliran yang berbeda satu dengan yang lainnya yakni feminisme

liberalis, feminisme radikal, feminisme marxis, serta feminisme sosialis. Keempat

aliran tersebut menurut Fakih bisa ditelaah dari dua paradigma besar dunia

keilmuan sosial yaitu paradigma fungsionalis atau status quo dan paradigma

sosiologi-konflik, kedua paradigma ini berkontribusi untuk menjelaskan

bagaimana feminisme menjadi aliran yang tak hanya sekadar praktik namun

berlandaskan pula pada ranah teori.20

Paradigma fungsionalisme atau status quo dapat menjelaskan aliran

feminisme liberal yang berfondasi pada keyakinan bahwa perempuan haruslah

18

Rosemarie Putnam Tong, Feminist Thought: Pengantar Paling Komprehensif

kepada Aliran Utama Pemikiran Feminis, (Yogyakarta: Jalasutra, 2004), hal. 16 19

Rosemarie Putnam Tong, Feminist Thought, hal. 18 20

Mansour Fakih, Analisis gender dan Transformasi Sosial, hal. 79

22

mendapatkan kesempatan dan hak yang sama dengan yang dimiliki oleh laki-laki,

metode inilah yang kiranya diadopsi untuk penerapan affirmative action di

Indonesia juga dipakai dalam landasan gerakan feminisme di Indonesia.

Paradigma fungsionalisme, paradigma ini juga dikenal sebagai paradigma

status quo yang berpandangan bahwa konflik mesti dihindari di setiap masyarakat

dan harus menjaga pola yang normatif karena pola yang non-normatif dianggap

akan melahirkan gejolak yang nantinya memunculkan konflik dalam masyarakat,

tokoh yang mempelopori ini adalah Talcott Parsons dan Robert Merton yang

harus dijaga menurut paradigma ini adalah equilibrium atau keseimbangan yang

menyangkut pula pada beberapa sistem yakni pendidikan, agama, keluarga hingga

struktur politik dan sebagainya, tak terkecuali kesetaraaan antara perempuan dan

laki-laki. Teori ini kemudian juga dapat menjelaskan tentang aliran feminisme

liberalis.21

Feminisme liberal adalah aliran yang mainstream di dunia, khususnya

dunia ketiga yang beranggapan bahwa perempuan semestinya diberi kesempatan

dan hak yang sama. Jika sudah diberi hak yang sama namun perempuan masih

dianggap pasif maka hal demikian adalah kesalahan dari perempuan sendiri,

aliran ini merasa perempuan harus diberi pemahaman dan pengetahuan mendalam

akan hak dan kesempatannya supaya perempuan dapat mencapai kesetaraan

dengan laki laki, namun banyak yang mengkritik aliran ini karena dianggap

21

Mansour Fakih, Analisis gender dan Transformasi Sosial, hal. 80

23

menafikan budaya patriarki yang membelenggu perempuan menjadi pasif

meskipun sudah diberi kesempatan dan haknya.

Feminisme liberal beranggapan bahwa sistem patriarki dapat dihancurkan

dengan cara mengubah sikap masing-masing individu, terutama sikap kaum

perempuan dalam hubungannya dengan laki-laki. Perempuan harus sadar dan

menuntut hak-haknya.22

Beberapa persoalan yang dituntut kesetaraannya pada

masa-masa awal gerakan feminisme adalah mengenai pendidikan, upah buruh

perempuan. Kemudian berlanjut pada abad ke 19 dengan hak-hak politik seperti

memilih pada pemilu dan lainnya.

Membincang feminisme liberal kurang lengkap jika tidak membawa nama

Mary Wollstonecraft (1759-1799) seorang penulis yang meletakkan dasar

feminisme liberal dalam karyanya A Vindication of the Rights of Woman.

Wollstonecraft yang hidup sekitar abad 18 mengatakan bahwa sudah selayaknya

perempuan dan laki-laki ditempatkan sama. Zaman Wollstonecraft hidup memang

zaman dimana perempuan dipandang sebelah mata sebagai makhluk yang lemah

secara fisik dan nalar.23

Mary Wollstonecraft menyangkal adanya pandangan bahwa kondisi

alamiah perempuan menyebabkan perempuan kurang memiliki intelektualitas dan

kemampuan fisik seperti laki-laki. Agar perempuan dapat berkembang seperti

22

Alfian Rokhmansyah, Pengantar Gender dan Feminisme Pemahaman Awal

Kritik Sastra Feminisme, (Yogyakarta: Garudhawaca, 2016), hal 51. 23

Rosemarie Putnam Tong, Feminist Thought, hal. 18

24

laki-laki, maka perempuan harus berpendidikan sama seperti laki-laki.24

Kesetaraan dan kesamaan perlakuan antara perempuan dan laki-laki menjadi

dasar pemikiran Wollstonecraft yang cenderung anti-mainstream pada zamannya.

Lebih lanjut Wollstonecraft mengemukakan bahwa wanita, khususnya dari

kalangan menengah, merupakan kelas tertindas yang harus bangkit dari belenggu

rumah tangga. Oleh kalangan feminis masa kini, Wollstonecraft dipandang

sebagai tokoh revolusioner yang menentang kekuasaan patriarkal.25

Wanita kelas

menengah bagi Wollstonecraft merupakan kelas yang paling tertindas karena pada

zamannya wanita-wanita borjuis hidup seperti dalam sangkar laki-laki meskipun

mempunyai kekayaan yang cukup langkahnya pada ruang publik dan

bersinggungan dengan masyarakat luas terbatas sehingga terkesan hanya sebagai

seremonial-seremonial belaka. Berbeda dengan wanita-wanita dari kalangan

bawah yang banyak bekerja umumnya sebagai buruh, meski terkena double

burden karena harus bekerja demi ketercukupan kebutuhan rumah tangga, tetapi

karena berada di lingkungan kerja (publik) praktis wanita-wanita tersebut dapat

berorganisasi, semisal mengikuti organisasi serikat buruh. Sehingga

kehidupannya tidak melulu berada dalam ruang privat.

24

M. Nuruzzaman, Kiai Husein Membela Perempuan, (Yogyakarta: Pustaka

Pesantren, 2005), hal. 20 25

Soenarjati Djajanegara, Kritik Sastra Feminisme: Sebuah Pengantar, (Jakarta:

Gramdeia Pustaka Utama, 2000), hal. 30

25

Dengan didapatkannya akses pendidikan bagi perempuan maka

perempuan seyogyanya bisa mandiri dari laki-laki, hal ini menurut Wollstonecraft

dapat menjauhkan diri dari orang yang memandang perempuan hanya sebatas

objek bukan manusia yang mempunyai nilai lebih. Satu abad setelah gagasan

feminisme liberal Wollstonecraft hadir, muncul pula gagasan dari John Stuart

Mill dan Harriet Taylor (Mill) yang menulis dan melanjutkan apa yang dicitakan

oleh Wollstonecraft.26

John Stuart Mill dan Taylor meyakini bahwa jika masyarakat ingin

mencapai kesetaraan seksual, atau keadilan gender, maka masyarakat harus

memberi perempuan hak politik dan kesempatan, serta pendidikan yang sama

yang dinikmati oleh laki-laki seperti kata Wollstonecraft. Lebih jauh Taylor

dalam Enfranchisement of Woman (1851) mengatakan bahwa tugas laki-laki dan

perempuan untuk ―mendukung‖ kehidupan.27

John Stuart Mill menjelaskan apa yang seharusnya dilakukan oleh

feminisme liberal dengan agak sedikit menyinggung tentang patriarki seperti yang

diungkapkan Rosemarie Putnam Tong dalam bukunya Feminist Thought: A More

Comprehensive Introduction (1998) yang telah diterjemahkan oleh penerbit

Jalasutra (2004) bahwa;

Mill berpikir lebih jauh daripada Wollstonecraft dalam menentang asumsi

tak berdasar atas superioritas intelektual laki-laki. Dengan menekankan

26Rosemarie Putnam Tong, Feminist Thought, hal.22

27Rosemarie Putnam Tong, Feminist Thought, hal.24

26

bahwa kemampuan intelektual laki-laki dan perempuan adalah sama

jenisnya, Wollstonecraft, bagaimanapun, menerima pemikiran bahwa

perempuan mungkin tidak akan mampu mencapai tingkat pengetahuan

yang sama dengan laki-laki. Mill menyampaikan pendapatnya ini dengan

tidak ada pengecualian sama sekali. Ia bersikeras bahwa perbedaan

pencapaian intelektual antara perempuan dan laki-laki adalah semata-mata

hasil dari pendidikan yang lebih lengkap yang diterima oleh laki-laki, dan

posisi laki-laki yang lebih diuntungkan (Patriarki).28

Selanjutnya adalah penjelasan tentang Budaya Patriarki sebagai bagian

yang tak terpisahkan dari diskursus tentang gender dan kesetaraan perempuan.

Patriarki sebenarnya adalah sebuah konsepsi yang amat tua, yang ada karena

stigma atau prasangka lebih tepatnya konstruksi sosial di masyrakat tentang

bagaimana laki-laki dan perempuan dilihat secara abstrak dan sangat kasar. Istilah

patriarki adalah istilah yang merujuk pada nilai-nilai atau sebuah sistem atas dasar

ke-bapak-an atau boleh dibilang nilai-nilai yang menitikberatkan pada laki-laki

sebagai unsur yang utama dalam suatu keluarga. Patriarki biasanya terjadi karena

terdapat pandangan atau pemahaman tentang gender yang salah sehingga

membuat laki-laki dipandang dan dianggap jauh lebih hebat dibanding

perempuan, juga gender membuat sifat-sifat yang ada dalam laki-laki dan

perempuan menjadi terkotak-kotakan. Anggapan tersebut menjadikan perempuan

ter-subordinasi atas laki-laki dan melahirkan patriarki, sederhananya

ketidakadilan dalam gender nantinya akan berujung pada tumbuhnya patriarki

secara luas di masyarakat.

28

Rosemarie Putnam Tong, Feminist Thought, hal.28

27

Sejarah hadirnya patriarki di masyarakat menurut Engels tidak terlepas

dari pemahaman manusia itu sendiri dengan kepemilikan pribadi, dan

pengetahuan masyarakat akan sistem kelas. Bahkan menurut Erich Fromm

patriarki sudah ada di masyarakat sejak 6000 tahun silam,29

kedua pernyataan dari

ilmuwan sosial tersebut sangat berdasar pasalnya kehidupan laki-laki dan

perempuan mulai terkotak-kotakan sejak zaman prasejarah dimana manusia

dahulu kala mulai berpindah dari food gathering menjadi food producing dan

budaya hidup nomaden juga mulai ditinggalkan dan beralih ke hidup menetap

dan bertahan hidup dengan cara food producing serta sesekali berburu. Sejak

itulah perempuan mulai terjebak dalam ranah privat dan laki-laki dapat leluasa

diranah privat maupun publik

Sylvia Walby mengkonsepsikan patriarki dalam enam bentuk yang

menjadikan patriarki seperti sebuah pandangan yang terstruktur. Pertama patriarki

dalam pembagian kerja, kedua patriarki dalam pembagian upah, patriarki dalam

hubungannya dengan keadaan seperti kejahatan perempuan, patriarki dalam

hubungannya dengan nafsu syahwat/kebirahian, patriarki dalam hubungannya

dengan suatu budaya yang meliputi, agama, media dan pendidikan.30

29

M. Adji, Lina Meilinawati dan Baban Banita, Perempuan dalam Kuasa

Patriarki Laporan Penelitian /Buku Fakultas Sastra Universitas Padjajaran tahun 2009,

hal. 9 30

Sylvia Walby, Theorizing Patriarchy, (Oxford: Basil Blackwell Ltd, 1990), hal.

177

28

Lebih lanjut Walby membedakan patriarki dalam dua bentuk yakni

patriarki privat dan patriarki publik, patriarki privat biasanya terdapat pada rumah

tangga, dimana kepala keluarga (laki-laki) memiliki andil yang lebih besar

daripada perempuan dalam urusan kebijakan atau keputusan yang menyangkut

dengan rumah tangga, sistem patriarki privat mengeksploitasi perempuan dengan

tidak mengizinkan istri memasuki ruang publik, semisal bekerja. Sementara itu

patriarki publik adalah bentuk patriarki yang didapat oleh perempuan dalam

domain yang lebih besar daripada rumah tangga, patriarki publik mengizinkan

perempuan memasuki ruang publik, dalam hal ini bekerja. Tetapi tetap terdapat

pemisahan dan eksploitasi pada perempuan, semisal upah yang tidak sama dengan

laki-laki, atau penghargaan yang tidak sama dengan laki-laki.31

Jika ditarik kembali dalam diskursus tentang politik, patriarki menjelma

dalam bentuk-bentuknya yang lain seperti pembatasan dan stigma-stigma negatif,

tercermin dalam pencalonan legislatif misalnya, perempuan sering mendapat

tanggapan dalam masyarakat bahwa mereka tidak pantas berada di wilayah politik

dan sebagainya yang cenderung mendiskreditkan perempuan. Akibatnya

keengganan perempuan memasuki domain tersebut dan menjadikan laki-laki

leluasa dalam merumuskan kebijakan dan seringkali menafikan perempuan dalam

banyak kebijakan yang dihasilkan dalam politik.

31

Sylvia Walby, Theorizing Patriarchy, hal. 179

29

B. Teori Kuota Perempuan Dalam Politik

Perjuangan perempuan lewat gerakan feminisme telah membuahkan hasil,

perlahan tapi pasti beberapa negara di dunia menerapkan priviledge sendiri bagi

ketersediaan kursi untuk perempuan ataupun dalam kontestasi pemilu legislatif,

nampaknya beberapa negara sadar betul bahwa demokrasi yang baik adalah

demokrasi yang merepresentasikan semua pihak tak terkecuali perempuan, maka

keterasingan perempuan dari dunia politik harus digusur dengan cara-cara yang

menyertakan keadilan dan kesetaraan bagi perempuan itu sendiri.

Kaum feminis berpandangan bahwa perempuan terus menerus terasing

dan kurang diikutsertakan dalam pengambilan keputusan adalah cermin dari

kurangnya keadilan yang diterima oleh mereka, di sisi lain laki-laki memegang

peranan yang cukup penting dan signifikan dalam hal tersebut. Kaum feminis juga

menganggap pengmarginalisasian perempuan dalam bidang politik hanya akan

membuat hakikat dari demokrasi semakin sempit, karena sejatinya demokrasi

menghimpun seluruh aspirasi dan representasi suara masyarakat bukan kaum

tertentu apalagi jenis kelamin tertentu.32

Kuota gender adalah jawaban atas tuntutan-tuntutan gerakan feminis yang

telah diperjuangkan sejak lama, dalam sejarahnya India adalah negara yang

pertama kali mengadopsi kuota gender untuk perempuan dalam politik pada tahun

32

Homa Hoodfaar dan Mona Tajali, Electoral Politics : Making Quota Work For

Women (London: WLUML, 2011) hal. 42

30

1930an, saat itu India yang masih dalam jajahan kolonial Inggris mengadopsi

kuota dalam kepegawaian pemerintahan rendahnya, semacam wilayah

adiministratif Kelurahan jika ingin disamakan dengan Indonesia. Barulah pada

tahun 1935 India memberikan kursi kepada perempuan untuk ranah legislatif

pusat yang terdiri dari berbagai macam kalangan dan kasta.33

Guna meningkatkan representasi perempuan dalam parlemen, kuota

gender adalah sebuah cara yang bisa dibilang amat baik dan cukup fleksibel.

Terlepas apapun pendekatannya dari mulai secara sukarela sampai yang terkesan

dipaksakan, biasanya negara-negara yang menerapkan kuota gender dengan

pendekatan yang terkesan dipaksakan adalah negara-negara dengan tingkat

demokrasi yang belum mapan atau belum stabil.

Negara-negara berkembang seperti Pakistan, Ghana, Bangladesh, Uganda,

adalah negara-negara awal yang menerapkan kuota perempuan di parlemen

dengan model reserved quotas,34

hal ini mungkin terkesan agak dipaksakan untuk

perempuan berpartisipasi dalam politik, namun cara ini dianggap paling ampuh

guna meningkatkan representasi perempuan secara signifikan dalam politik

khususnya parlemen pada negara-negara dunia ketiga. Pada dasarnya penerapan

kuota gender terbagi kedalam tiga jenis yang akan dijabarkan lebih lanjut yakni;

1. Political party quotas, 2. Legislative quotas, 3. Reserved seats.

33

Homa Hoodfaar dan Mona Tajali, Electoral Politics, hal. 43 34

Homa Hoodfaar dan Mona Tajali, Electoral Politics, hal. 43

31

1. Political Party Quotas

Sistem ini adalah sistem yang paling umum dalam penggunaan kuota

gender untuk meningkatkan representasi perempuan dalam parlemen. Sistem ini

secara sukarela dianut oleh partai dan bukan lewat mandat hukum atau

konstitusi,35

hal demikian menjadikan representasi perempuan dalam parlemen

nantinya lebih kuat secara kapasitas dan kapabilitas dibanding dua jenis

penerapan kuota gender lainnya. Pasalnya partai berhak menentukan dan

menyeleksi tiap kader perempuannya untuk berkontestasi dalam pemilu. Lebih

lanjut sistem ini umumnya diterapkan pada negara-negara yang demokrasinya

telah mapan seperti negara-negara Skandinavia di Eropa Barat.

Partai-partai yang menganut sistem ini secara sukarela umumnya partai

beraliran kiri, semisal Partai Buruh di Skotlandia dan sebagainya.36

Hal ini

ditunjukkan mungkin untuk menarik simpati masyarakat bahwa partai-partai yang

beraliran kiri peduli terhadap kesetaraan dan keadilan, bahkan untuk perempuan.

Sistem political party quotas juga paling cocok diterapkan dalam negara yang

memilih menggunakan jenis single-member district sebagai sistem

pemilihannya.37

35

Homa Hoodfaar dan Mona Tajali, Electoral Politics, hal. 46 36

Joni Lovenduski, Politik Berparas Perempuan (Yogyakarta: Kanisius, 2008),

hal. 225 37

Homa Hoodfaar dan Mona Tajali, Electoral Politics, hal. 47

32

2. Legislative Quotas

Jenis penerepan kuota perempuan ini tergolong jenis baru, kuota

perempuan melalui mandat dari hukum atau konstitusi negara yang memakainya

mensyaratkan minimum 30% dari total calon legislatif yang diajukan oleh partai

adalah perempuan, hal ini berlaku dalam seluruh partai tanpa terkecuali di negara

yang menerapkan sistem ini, negara-negara yang menerapkan sistem ini

cenderung negara berkembang seperti negara-negara di Amerika Latin, Timur

Tengah dan beberapa negara di Asia seperti Indonesia.38

Titik tekan dari penerapan kuota gender jenis ini adalah kekutan hukum

yang mengikatnya, jika sanksi terhadap partai yang tak menyertakan perempuan

pada calon legislatif seminimalnya 30% adalah lemah bahkan cenderung tidak ada

sanksi jangan harap bahwa representasi perempuan dalam parlemen di negara

tersebut akan naik dengan segera,39

masalah komposisi dan posisi calon legislatif

perempuan dalam penerapan kuota perempuan jenis ini memang pelik, pasalnya

kebanyakan negara yang menerapkan jenis ini memilih sistem pemilihan terbuka

dengan nomor urut sehingga biasanya partai menempatkan perempuan di posisi

―tak jadi‖ atau ―kritis‖.40

38

Homa Hoodfaar dan Mona Tajali, Electoral Politics, hal. 48 39

Zaitunah Subhan, Perempuan Dan Politik Dalam Islam (Yogyakarta: Pustaka

Pesantren, 2004), hal. 82 40

Zaitunah Subhan, Perempuan Dan Politik Dalam Islam, hal. 82

33

3. Reserved Quotas

Penerapan kuota perempuan jenis ini merupakan jenis yang amat

kontroversial kalau boleh dikatakan, pasalnya perempuan mendapat hak yang

lebih istimewa dalam kursi parlemen dibanding dengan dua jenis diatas, dalam

reserved quotas calon perempuan telah dipisahkan kursinya terlebih dahulu di

parlemen atau dalam istilah bahasa Indonesia telah diberi jatah terlebih dahulu,

dalam jenis ini perempuan telah mendapat jaminan kursi otomatis seperti di

Pakistan, dimana partai tiap mendapat jatah kursi untuk perempuan tentunya hal

ini berbeda dengan sistem political party quotas dan legislative quotas.41

Penjaminan kursi bagi perempuan dalam parlemen bukan tanpa alasan,

dikarenakan negara yang menerapkan kuota perempuan jenis ini adalah negara

yang rawan konflik dan keadaaan demokrasinya masih jauh dari kata stabil, agar

perempuan turut serta dan dapat menjadi representasi masayarakat dalam

parlemen perlu penerepan kuota jenis ini, walau agak terkesan dipaksakan karena

kuota jenis ini juga setidaknya diatur oleh konstitusi sebagaimana legislative

quotas namun kuota ini lebih menjamin kehadiran perempuan dalam parlemen,

negara-negara yang menganut penerepan kuota perempuan jenis ini adalah

Bangladesh, Pakistan, Rwanda, Afghanistan, dan Jordania.42

41

Mona Lena Krook, Quotas for women in politics : gender and candidate

selection reform worldwide (New York : Oxford University Press, 2009), hal. 57 42

Homa Hoodfaar dan Mona Tajali, Electoral Politics, hal. 49

34

Dari ketiga jenis penerapan kuota perempuan yang telah dijabarkan

berikut dapat disimpulkan bahwa penerapan kuota perempuan di tiap negara-

negara berbeda-beda tergantung dari tingkat demokrasinya, kalau boleh dikatakan

seperti itu. Negara dengan tingkat ke-stabilan nasional rendah sperti Rwanda dan

Pakistan membutuhkan penerapan kuota perempuan yang lebih ampuh serta lebih

ke arah dipakasakan agar representasi perempuan lebih terjamin keberadaannya.

Lain dengan yang terjadi di negara-negara Skandinavia, mereka lebih

memilih penerapan kuota perempuan yang lebih soft, lebih ke arah sukarela

dibanding kedua jenis yang lain, hal ini dimungkinkan karena negara-negara

tersebut telah stabil secara keamanan dan ekonomi. Adapun demokrasi yang

mereka jalankan terlihat lebih ajeg dibanding negara-negara yang lain sehingga

keterwakilan perempuan adalah isu yang dapat mereka angkat guna menaikkan

suara partai-partai mereka.

Jenis yang lain yakni legislative quotas membutuhkan kesungguhan dan

ketegasan dari penerapan konstitusi, namun jenis ini juga memungkinkan untuk

terjadi deviasi dalam perekrutan 30% calon legislatif perempuan, semisal oligarki

partai yang justru menjadikan calon-calon perempuan ini kekurangan kapasitas

dan kapabilitas apabila penjaringannya hanya melalui kedekatan dengan para elit

partai.

35

C. Teori Oligarki dalam Partai Politik.

Sejatinya ada dua sudut pandang dalam melihat oligarki secara abstrak,

dua ilmuwan berbeda zaman yakni Robert Michels dalam bukunya Political

Parties: A Sociological Study of The Oligarchical Tendencies of Modern

Democracy, memberikan gambaran bahwa oligarki yang ada dalam suatu

organisasi yakni kepartaian yang diangkat oleh Michels sebagai suatu kasus,

didapat karena kekuasaan yang tak tergantikan selama kurun waktu yang panjang

dan membuat kekuasaan yang didapat oleh penguasa tersebut seolah takdir yang

ada dalam dirinya, hal ini tentunya tak lepas dari kemalasan suatu massa untuk

kritis terhadap kekuasaan itu sendiri, dan membiarkan apa yang disebut Michels

sebagai ―terimakasih massa‖ secara lama kepada penguasa, hingga terjadilah

oligarki di suatu organisasi baik dalam kepartaian ataupun dalam negara.

Jeffrey A. Winters dalam bukunya Oligarchy menjelaskan oligarki tidak

seperti yang Michels jelaskan diatas, Winters melihat oligarki berpangkal kepada

kekayaan yang super melimpah yang didapat oleh sekelompok kecil minoritas

masyarakat dibanding dengan mayoritas masyarakat yang ada di sekitarnya.

Implikasi dari kekayaan yang melimpah ini adalah pengaruhnya si oligark (orang

yang melakukan oligarki) terhadap kekuasaan di suatu organisasi baik di partai

atupun di negara, jelas sudut pandang ini yang kelihatannya ter-alpa-kan dari

penjelasan Michels, bahkan Winters menyalahkan Michels yang menyebut

36

teorinya sebagai ―Hukum Besi Oligarki‖ adalah salah alamat, seharusnya teori elit

dan bukan oligarki.43

Tentunya dua ilmuwan sosial yang berbeda pandang tersebut merupakan

hal yang lumrah, terlebih keduanya menggunakan sudut pandang berbeda dalam

menyelami satu diskursus yakni oligarki, kemudian perbedaan bisa dilihat dari

dua zaman yang berbeda yang diambil oleh Michels dan Winters, Michels pada

akhir abad 19 dengan melihat partai sosialis di Jerman sebagai suatu kasus yang ia

angkat guna menjelaskan oligarki, sedangkan Winters melakukan penelitian pada

abad 20an yang dimana memang manusia-manusia kaya dan para multimiliuner

memegang peranan yang cukup signifikan untuk kekuasaan meskipun kadang

mereka tak berkuasa dalam pemerintahan.44

Penulis nantinya akan mengambil sudut pandang yang diambil oleh

Michels dalam melihat oligarki di partai politik, karena betapapun kekayaan

material berpengaruh terhadap kekuasaan tetap saja penguasa pada akhirnya yang

mengetok palu akan suatu kebijakan atau keputusan yang dilakukan suatu

organisasi baik partai politik maupun negara sekalipun. Lebih lanjut dari itu tiap

elit di partai politik pastinya memiliki kekayaan material yang banyak walaupun

mungkin tak semelimpah oligark yang digambarkan oleh Winters, jika keduanya

43

Jeffrey A. Winters, Oligarki (Jakarta : Gramedia Pustaka Utama, 2011), hal.

410 44

Jeffrey A. Winters, Oligarki, hal. 411

37

dikombinasikan antara kekuasaan dan kekayaan material maka tak ayal tahta sang

elit akan langgeng untuk waktu yang cukup lama.

Pertama-tama Michels dalam bukunya menyoroti masa jabatan yang lama

sebagai pangkal dari oligarki di tubuh organisasi partai politik, atas dasar itu

Michels menyatakan bahwa seharusnya massa memberikan batas waktu untuk

sebuah kekuasaan agar hakikat demokrasi berjalan semestinya, semakin lama

suatu jabatan diduduki, semakin besar pengaruh pemimpin atas massa dan karena

itu semakin besar pula kebebasannya, konsekuensinya adalah pemilihan secara

sering diperlukan untuk menghambat virus oligarki dalam satu organisasi.45

Michels menyalahkan kemalasan massa yang tidak membuat tandingan

dan sirkulasi kepemimpinan atas pemimpinnya atau bergerak menjadi oposisi atas

elit dari satu organisasi, inilah yang membuat menurutnya jabatan yang ada pada

elit tersebut seperti ditakdirkan oleh Tuhan.46

Lebih lanjut Michels menjelaskan

jika di setiap organisasi oligarki mencapai tingkat perkembangan lebih lanjut,

para pemimpin mulai mengidentifikasi dengan diri mereka lembaga-lembaga

kepartaian dan juga milik partai.47

Hal ini yang menurut Hanta Yuda persis dengan sebagaimana yang terjadi

di Indonesia. Figur pemimpin partai identik dengan partai itu sendiri, seperti

45

Robert Michels, Partai Politik: Kecenderungan Oligarkis dalam Birokrasi

(Jakarta: CV Rajawali, 1984), hal. 108 46

Robert Michels, Partai Politik, hal. 109 47

Robert Michels, Partai Politik, hal. 256

38

kuatnya personalisasi figur Megawati di PDIP dan Susilo Bambang Yudhoyono di

Partai Demokrat. Dengan konstelasi seperti ini, mudah untuk mentransformasikan

kehendak personal menjadi kehendak institusi. Bahkan pandangan dan harapan

pribadi figur sentral akan dimaknai sebagai ideologi bagi aktivis dan simpatisan

partai politik.48

Dengan semakin kuatnya kepemimpinan seseorang atau elit dalam tubuh

organisasi partai maka sejalan dengan itu kemungkinan untuk membentuk suatu

pola hubungan yang kolutif dan koruptif dalam tubuh partai politik terbuka

lebar.49

Kedekatan seseorang dengan pemimpin atau elit politik dalam suatu partai

menjadikan jenjang karir kader menjadi lebih cepat dan dihormati oleh yang lain.

Terakhir Michels memberi argumen bahwa organisasilah yang melahirkan

kekuasaan tokoh-tokoh yang terpilih atas para pemilih, para penerima mandat atas

para pemberi mandat, dan para wakil atas massa yang mengutus mereka.

Barangsiapa berbicara mengenai organisasi maka ia berbicara oligarki, lebih dari

itu Michels menambahkan bahwa organisasi lah yang menampilkan corak oligarki

walaupun dalam ranah kekuasaan yang demokrasi.50

48

Hanta yuda, Presdensialisme Setengah Hati: Dari Dilema Ke Kompromi

(Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 2010), hal. 123 49

Adhyaksa Dault, Menghadang Negara Gagal: Sebuah Ijtihad Politik,

Renungan Seorang Anak Bangsa. (Jakarta: Renebook, 2012), hal. 201 50

Robert Michels, Partai Politik, hal. 445

39

BAB III

GAMBARAN UMUM TENTANG PPP DAN KIPRAHNYA DI DKI

JAKARTA

A. Profil PPP

Pada tahun 1973 pemerintah melakukan penyederhanaan jumlah

organisasi politik menjadi tiga, yaitu Golkar, Partai Persatuan Pembangunan, dan

Partai Demokrasi Indonesia. Alasan yang dikemukakan pemerintah antara lain

adalah untuk memperkecil sumber potensi konflik di tengah masyarakat, dan juga

timbulnya ketidakstabilan di dalam masyarakat terutama di bidang politik. Tetapi

sudah umum juga diketahui bahwa itu merupakan bagian strategi pemerintah

untuk melemahkan peranan ideologi – termasuk yang berbau agama – di dalam

partai-partai politik.51

PPP atau Partai Persatuan Pembangunan adalah partai gabungan hasil dari

peraturan fusi partai pada awal Orde Baru dibawah kekuasaan Presiden Soeharto

terdapat satu partai lagi yang merupakan partai gabungan (fusi) yakni Partai

Demokrasi Indonesia atau PDI. Partai PPP pada awalnya dibentuk untuk

memfasilitasi masyarakat yang ideologinya berlandaskan pada agama, tentunya

PPP pada skema awal bukan ditujukan untuk partai Islam saja tetapi juga kepada

partai Kristen diantaranya Partai Katolik Indonesia dan Partai Kristen Indonesia

51

Jan S. Aritonang, Sejarah Perjumpaan Islam dan Kristen di Indonesia, (Jakarta:

BPK Gunung Mulia, 2004), hal. 377

40

(Parkindo). Pada perkembangan selanjutnya PPP diisi oleh penggabungan empat

partai, keseluruhannya partai Islam yakni; Partai Nadhlatul Ulama, Partai

Muslimin Indonesia (PARMUSI), Partai Syarikat Islam Indonesia (PSII), dan

Partai Islam Perti (persatuan tarbiyah Indonesia). Sedangkan Partai Katolik

Indonesia dan Parkindo lebih memilih PDI (Partai Demokrasi Indonesia) sebagai

saluran politiknya.52

Pendirian PPP diprakarsai oleh lima deklarator, empat dari masing-masing

partai yang berfusi menjadi PPP dan satu orang ketua fraksi Persatuan

Pembangunan di parlemen saat itu. Lima deklarator tersebut yakni; KH. Idham

Chalid (NU), H.M Syafaat Mintaredja (PARMUSI), H. Anwar Tjokroaminoto

(PSII), H Rusli Halil (PERTI), dan terakhir H. Mayskur, Ketua Kelompok

Persatuan Pembangunan DPR.53

Isi deklarasi menegaskan bahwa keempat partai

tersebut akan menyatu dalam pemilu dan di parlemen tetapi pada wilayah

organisasi tetap berjalan sendiri-sendiri.

Pada tanggal 3 Februari 1973 Idham Chalid terpilih menjadi Presiden

Partai dan Mintaredja sebagai Ketua Dewan Pusat. KH. Bisjri Sansuri terpilih

sebagai Rais Am (Ketua Umum) Majelis Syura (Dewan Konsultatif). Selama

periode awal fusi (1973-1978) kelompok-kelompok Islam dalam PPP masih

52

Saiful Mujani, Kuskridho Ambardi dan R William Liddle. Kuasa Rakyat:

Analisis tentang Perilaku Memilih dalam Pemilihan Legislatif dan Presiden Pasca-Orde

Baru, (Mizan Publika: Jakarta, 2012), hal. 119 53

http://ppp.or.id/page/ppp-dalam-lintasan-sejarah/index/ diunduh pada 18

Oktober 2016

41

bersatu dengan kuat, terutama dalam menanggapi isu yang menyangkut

kepentingan umat Islam di Indonesia.54

Tetapi kemudian menurut Jan S. Aritonang dalam bukunya Sejarah

Perjumpaan Islam dan Kristen di Indonesia menyatakan bahwa perpecahan PPP

dimulai setelah KH. Bisjri Sansuri meninggal ada tahun 1980. Perpecahan kian

meningkat pada masa selanjutnya, membuat PPP tidak mampu berfungsi penuh

sebagai penyalur aspirasi politik Islam.55

Membicarakan perpecahan yang terjadi di dalam tubuh PPP tidak lengkap

jika tidak membicarakan satu langkah besar yang ditempuh NU dalam sejarahnya

khususnya dalam bidang politik yakni ―kembali ke khittah 1926‖, langkah

tersebut ditempuh dikarenakan NU merasa ada ketidakadilan dalam pembagian

kursi parlemen. Hal ini membuat kemerosotan suara PPP pada pemilu 1987 dan

ditenggarai terjadi karena NU mendeklarasikan diri kembali ke khittah 1926, yang

diputuskan pada Muktamar ke-27 di Situbondo tahun 1984. Keputusan tersebut

mengandung arti bahwa warga NU memiliki kebebasan untuk masuk ke partai

politik mana pun.56

Efeknya langsung terasa bagi PPP suara partai Islam ini

langsung merosot cukup signifikan ke angka 15.97% atau hanya mendapat

13.701.428 suara sah nasional.

54

Jan S. Aritonang, Sejarah Perjumpaan Islam & Kristen, hal. 378 55

Jan S. Aritonang, Sejarah Perjumpaan Islam & Kristen, hal. 378 56

Fathurin Zen, NU Politik: Analisis Wacana Media, (Yogyakarta:LkiS, 2004),

hal. 36

42

Penyebabnya merosotnya suara PPP antara lain adalah pemerintahan Orde

Baru yang memaksakan azas tunggal pancasila sehingga lambang PPP berganti

dari Ka‘bah menjadi bintang, juga karena NU sudah keluar dari PPP membuat

ulama-ulama NU berpindah ke lain partai dalam preferensi politiknya praktis hal

ini diikuti oleh masyarakat tradisional NU.57

PPP sendiri sampai hari ini telah mengikuti sembilan kali perhelatan

pemilu dari tahun 1977, dengan perolehan suara yang cenderung menurun terlebih

lagi setelah NU kembali ke khittah 1926 perolehan suara PPP turun drastis dari

tahun ke tahun. Pada pemilu tahun 1977 merupakan pemilu dimana PPP meraih

suara sah nasional terbanyak selama PPP mengikuti perhelatan demokrasi ini,

pada tahun tersebut PPP mendapatkan 29.29% dan memperoleh 99 kursi dari 360

kursi yang diperebutkan. Pada saat itu suara PPP di DKI Jakarta bahkan

mengalahkan Golkar juga di Daerah Istimewa Aceh, hal ini terjadi karena banyak

tokoh dari Masyumi, partai yang dilarang pada akhir Orde Lama, tampil ke

permukaan dan mendukung PPP sebagai partai yang berazas Islam satu-satunya

saat itu.58

Seperti telah diketahui sebelumnya bahwa PPP adalah hasil fusi dari

beberapa partai Islam, hal inilah yang menyebabkan PPP sendiri berhaluan Islam

sekalipun tetap setia kepada UUD 1945 dan Pancasila baik pada zaman Orde Baru

57

Haniah Hanafie dan Suryani, Politik Inonesia, (Ciputat: Lemlit UIN Jakarta,

2011), hal. 110 58

Haniah Hanafie dan Suryani, Politik Inonesia, hal. 108

43

(karena memang tuntutan kebijakan azas tunggal) maupun setelah reformasi 1998,

PPP juga mendeklarasikan partainya sebagai ―Rumah Besar Umat Islam‖ partai

berlambang Ka‘bah ini walaupun sempat berubah lambang menjadi bintang pada

saat penerapan azas tunggal pancasila era Orde baru memang bisa disebut partai

Islam tertua yang masih survive dalam perpolitikan Indonesia hingga kini.

Setelah Pemilu tahun 2014 PPP diguncang persoalan yang cukup pelik,

yakni dualisme kepemimpinan. Terdapat dua Ketua Umum dari dua muktamar

yang berbeda antara muktamar Surabaya dan muktamar Jakarta. Persoalan

semakin pelik ketika kubu muktamar Jakarta yang dengan ketua umumnya Djan

Faridz menggugat pemerintah ke Mahkamah Konstitusi.59

Namun perlahan tapi pasti dengan campur tangan pemerintah yang

diwakili Wakil Presiden RI Jusuf Kalla hingga Menteri Hukum dan HAM

Yasonna Laoly, kemudian kemenkumham menginisiasi untuk mengaktifkan lagi

kepengurusan muktamar Bandung, yang dianggap menaungi kedua kubu antara

kubu muktamar Jakarta dan Surabaya untuk mengadakan Islah, dan terpilihlah

Romahurmuzy sebagai Ketua Umum dengan cara aklamasi pada muktamar Islah

Pondok Gede, dengan terbitnya surat kemenkumham bernomor M.HH-

06.11.012016.60

maka disahkan lah PPP yang diketuai Rohmahurmuzy.

59

http://nasional.kompas.com/read/2016/04/11/06350171/PPP.dan.Islah.yang.Tak

.Sempurna diunduh pada 14 Oktober 2016 60

http://nasional.kompas.com/read/2016/04/27/15241031/Menkumham.Sahkan.K

epengurusan.PPP.Hasil.Muktamar.Islah diunduh pada 14 Oktober 2016

44

Sementara itu kubu Djan Faridz menganggap mukatamar Pondok gede

hanya sebagai muktamar lucu-lucuan dan tetap menempuh jalan peradilan di

Mahkamah Konstitusi sebagai jalan keluar dari persoalan dualisme kepengurusan

ini. Meskipun Djan sendiri menurut Romahurmuzy akan diposisikan pada tempat

terhormat di kepengurusan yang baru untuk Djan.

B. Platform PPP

Visi

Terwujudnya masyarakat yang bertaqwa kepada Allah SWT dan negara

Indonesia yang adil, makmur, sejahtera, bermoral, demokratis, tegaknya

supremasi hukum, penghormatan terhadap Hak Asasi Manusia (HAM),

serta menjunjung tinggi harkat-martabat kemanusiaan dan keadilan sosial

yang berlandaskan kepada nilai-nilai keislaman.61

Misi

1. PPP berupaya mewujudkan masyarakat yang beriman kepada Allah SWT

lewat semangat ukhuwah islamiyah (persaudaraan sesama muslim).

2. PPP berupaya untuk memperjuangkan hak-hak asasi manusia dan

kewajiban dasar manusia sesuai dengan ukhuwah basyariyah

(persaudaraan sesama manusia).

3. PPP berupaya menjaga keutuhan dan kesatuan bangsa lewat semangat

ukhuwah wathaniyah (persaudaraan sebangsa).

61

http://ppp.or.id/page/visi-dan-misi-ppp/index/ diunduh pada 24 September

2016

45

4. PPP berupaya menciptakan iklim demokrasi yang sehat dengan kedaulatan

rakyat sebagai supremasi tertinggi dan ditegakkannya musyawarah untuk

mufakat.

5. PPP memperjuangkan dan mengupayakan Indonesia yang adil, makmur

dan diridhai Allah SWT sehingga menjadikan Indonesia negara yang

baldatun thayyibatun wa rabbun ghafur.62

C. PPP dan Perspektif Representasi Perwakilan Perempuan di Politik

PPP pada awal pelaksanaan kebijakan yang menyangkut batas minimum

kuota perempuan dalam pemilu tahun 2004 yakni UU. No 12 tahun 2003 boleh

dibilang tidak terlalu aware terhadap isu ini. Hal ini bisa dilihat dari pernyataan

Hamzah Haz di Media Indonesia dan Kompas pada 12 maret 2003.

―Sesungguhnya tidak perlu dikhawatirkan berapa orang yang dimunculkan, 60

persen pun kalau memang rakyat memberikan kepercayaan kepada politikus

perempuan di parlemen mengapa tidak? … sebab bukan kuota yang menentukan

tapi pemilihnya.”63

Lebih lanjut Ani Soetjipto menyampaikan bahwa;

Partai Persatuan Pembangunan secara jujur mengakui mereka memang

mengalami kesulitan menjaring caleg perempuan. Ini sebagian berkaitan

dengan terbatasnya kader parpol perempuan, tapi yang utama karena

kultur dan tradisi sebagai partai yang berbasiskan agama sehingga mereka

tidak spesifik membahas masalah perempuan. Isu perempuan, bagi

mereka, tidak popular untuk dijual pada konstituennya yang kebanyakan

berada di daerah pedesaan yang belum mengerti betul masalah kesetaraan

dan keadilan jender. Dalam proses internal, partai juga banyak masalah

62

http://ppp.or.id/page/visi-dan-misi-ppp/index/ diunduh pada 24 September 2016 63

Ani Widyani Soetjipto, Politik Perempuan Bukan Gerhana: Esai-esai pilihan

(Jakarta; Penerbit Buku Kompas, 2005), hal. 176

46

karena selama ini perempuan di Ormas pendukung PPP sulit masuk ke

jajaran pengambilan keputusan dan kepengurusan karena dinamika konflik

yang tinggi, kurangnya transparansi, dan arena lobi serta negosiasi yang

sering mengabaikan perempuan.64

Selepas pemilu tahun 2004, pemilu yang pertama kali mensyaratkan partai

untuk mencalonkan minimal 30% perempuan dengan legitimasi UU No. 12 tahun

2003 digelar, PPP dalam Muktamar ke IV memutuskan untuk mendirikan banom

(Badan Otonom) perempuan yang bernama WPP (Wanita Persatuan

Pembangunan). Hal ini tentunya menjadi angin segar bagi perempuan di PPP

untuk memiliki kesempatan dan peluang yang lebih besar dalam bidang

pengembangan dan pendidikan politik mereka.65

Kemudian pada pemilu terakhir tahun 2014 lalu didapati gambaran umum

mengenai perolehan suara dan kursi PPP yang menggembirakan untuk

perempuan. PPP memang secara suara sah nasional berada di urutan ke Sembilan

atau ke dua dari terkahir sebelum Partai Hanura yang berada pada posisi sepuluh

jumlah perolehan suara nasional, akan tetapi jika dilihat dari proporsi kursi

perempuan dan laki-laki pada fraksi partai di parlemen pusat Partai PPP

mempunyai 10 orang perempuan dari 39 total kursi yang dimilikinya, selebihnya

29 kursi dimiliki oleh laki-laki.66

64

Ani Widyani Soetjipto, Politik Perempuan Bukan Gerhana, hal. 212 65

Ani Widyani Soetjipto, Politik Perempuan Bukan Gerhana, hal. 79 66

www.puskapol.ui.ac.id/opini/menghadirkan-kepentingan-perempuan-dalam-

representasi-politik-di-indonesia.html diunduh pada 24 September 2016

47

Hal ini sungguh sebuah prestasi sendiri bagi partai berlambang Ka‘bah ini,

pasalnya PDI-Perjuangan pun yang notabene juara pemilu tahun 2014 lalu dengan

raihan suara 23 juta suara lebih hanya berhasil meloloskan perempuan dengan

prosentase sebesar 19,27% atau sama dengan 21 kursi dari 109 kursi yang diraih

oleh partai berlambang banteng dengan mocong putih tersebut.

Raihan kursi perempuan pada tingkat parlemen pusat di tahun 2014 lalu

juga melebihi apa yang pernah dicapai oleh Partai PPP di tahun 2009, jika pada

tahun 2009 proporsi kursi untuk perempuan hanya 5 kursi dari 38 kursi yang di

dapat oleh Partai PPP maka pada pemilu tahun 2014 lalu angka kursi perempuan

naik dua kali lipat dengan catatan jumlah keseluruhan kursi yang di dapat pada

pemilu 2009 hampir sama dengan apa yang di dapat partai tersebut pada 2014

selisihnya hanya sebesar satu kursi.

Perolehan suara caleg perempuan PPP pada tingkat pusat dalam pemilu

2014 lalu memang harus diberikan penghargaan yang tidak sedikit. Tetapi di sisi

lain yakni tingkat daerah atau provinsi khususnya DKI Jakarta suara caleg

perempuan PPP sangatlah minim, walaupun masih ada partai yang bahkan tidak

dapat menempatkan wakil perempuannya sama sekali di parlemen DKI Jakarta

pada pemilu legislatif 2014.

Kurangnya perwakilan perempuan secara kuantitatif di parlemen

seyogyanya ditanggapi dengan serius. Pasalnya dengan adanya keterwakilan

48

perempuan secara kuantitatif diharapkan akan berdampak langsung pada produk-

produk legislasi yang dihasilkan, dan tentunya diharapkan wakil perempuan juga

akan pro terhadap permasalahan-permasalahan yang dialami perempuan serta

memberikan solusi yang baik.

PPP sendiri dalam platform partainya pada bidang politik menekankan

bahwa PPP menghargai kebebasan berekspresi, berpendapat dan berorganisasi.

PPP juga menjunjung tinggi Hak Asasi Manusia (HAM). Dengan platform politik

yang demikian diharapkan PPP dapat berperan aktif mendukung kesetaraan

gender, dan serius pula mendukung affirmative action.

49

BAB IV

PPP DAN REPRESENTASI PEREMPUAN DALAM PEMILU DI DKI

JAKARTA

A. Perolehan Suara Untuk Caleg Perempuan Pada Pileg 2014 di DKI

Jakarta

Dalam alam demokrasi yang modern, representasi setiap masyarakat

menjadi penting, agar kebijakan yang akan dilaksanakan nantinya diterima oleh

seluruh masyarakat. Tidak terkecuali untuk representasi perempuan, keterlibatan

perempuan dalam pengambilan keputusan adalah sebuah sine qua non di dalam

demokrasi.67

Saat ini Indonesia telah menjalankan affirmative action (tindakan

khusus sementara) untuk meningkatkan representasi perempuan dalam hal

kuantitas lewat UU No. 8 tahun 2012 yang mana poin pentingnya adalah

―memaksa‖ partai politik untuk mengirimkan minimal 30% calon legislatif

perempuan di setiap tingkatan, dari pusat sampai kota/kabupaten, serta

kepengurusan dalam partai juga di isi minimal 30% perempuan.

Lebih lanjut angka 30% yang menjadi penekanan UU Pemilu tersebut

mengacu pada angka critical mass di banyak negara. Hal ini juga di jelaskan oleh

Perludem (perkumpulan untuk pemilu dan demokrasi) yang mengatakan bahwa

banyak negara dengan angka perempuan dalam parlemennya lebih dari 30% maka

kebijakannya juga lebih banyak berpihak pada perempuan, dan kebijakan yang

67

Chusnul Mar‘iyah dalam Julie Ballington (ed), (terj.), Perempuan di Parlemen:

Bukan Sekadar Jumlah, (Jakarta:International IDEA, 2002), hal. 1

50

penting pada aspek kehidupan lainnya seperti kesehatan, kekerasan pada

perempuan dan anak dan lain sebagainya bisa dihasilkan dengan lebih ramah

gender.68

Indonesia sendiri menganut apa yang dinamakan sebagai legislative quota

dalam affirmative action dengan sistem pemilu yang menyertakan daftar nama

calon legislatif atau yang seringkali disebut proporsional terbuka, serta dengan

sistem nomor urut yang menggunakan semi-zipper system. Sistem proporsional

terbuka dirasa tepat untuk menghadirkan representasi yang massif bagi

pencalonan perempuan. Karena menurut Richard E. Matland, proporsionalitas

sering dianggap paling baik kalau diraih dengan memanfaatkan daftar partai, di

mana partai-partai politik mengajukan daftar kandidat pada pemilihan tingkat

nasional atau regional, dan di mana ada banyak anggota dipilih dari setiap distrik,

dengan demikian kemungkinan representasi kelompok-kelompok minoritas

menjadi lebih besar.69

Namun ketika sistem proporsional disandingkan dengan sistem kepartaian

yang multipartai ekstrim, cita-cita agar perempuan mendapat kursi 30% di

parlemen menjadi seolah ―mental‖ kembali dikarenakan ketidaksinkronan antara

sistem pemilu dan sistem kepartaian seperti yang terjadi di Indonesia saat ini,

68

Wawancara dengan Usep Hasan Sadikin, Peneliti Perludem, Pegiat Isu-isu

keterwakilan Perempuan, 15 November 2016 jam 11:30-12:45, di Kantor Perludem

Tebet. 69

Richard E. Matland ―Meningkatkan partisipasi Politik Perempuan: Rekrutmen

Legislatif dan Sistem Pemilihan‖ dalam Julie Ballington (ed), (terj.), Perempuan di

Parlemen: Bukan Sekadar Jumlah, hal. 73

51

sebabnya adalah bila perolehan kursi tersebar ke banyak parpol hal demikian

menjadikan peluang perempuan lebih kecil karena parpol yang hanya mendapat

sedikit kursi.70

Hal ini juga diperkuat oleh pernyataan yang menyebutkan bahwa

sistem proporsional terbuka adalah sistem yang menekankan pada suara

terbanyak, pada akhirnya perempuan berjuang-sendiri-sendiri dan bukan hanya

mengalahkan laki-laki, tetapi juga bagaimana mengalahkan perempuan yang

lain.71

Pada akhirnya dapat diketahui bahwa kecilnya suara perempuan dalam

perolehan suara yang terjadi, dialami oleh seluruh partai yang berkontestasi dalam

pemilu. Sistem pemilihan proporsional terbuka dan sistem kepartaian yang multi

partai ekstrim kaitannya dengan affirmative action hanya menekankan

representasi pada tahap pencalonan saja dan bukan keterwakilan riil di parlemen.

Hal ini jelas suatu kelamahan UU pemilu di Indonesia yang penulis sebut sebagai

―akal-akalan representasi‖.

Perolehan suara perempuan dari tahun ke tahun cenderung fluktuatif tanpa

pernah menyentuh angka critical mass 30% di parlemen pada umumnya . Partai-

partai setelah ada UU Pemilu yang mengharuskan untuk menyertakan minimal

30% calon legislatif perempuan pada umumnya justru menjadikan angka 30%

70

Pramono, Sidik, ed., Meningkatkan Keterwakilan Perempuan: Penguatan

Kebijakan Afirmasi, Kemitraan partenership, hal. 6 71

Wawancara dengan Usep Hasan Sadikin, Peneliti Perludem, Pegiat Isu-isu

keterwakilan Perempuan, 15 November 2016 jam 11:30-12:45, di Kantor Perludem Tebet

52

sebagai patokan prosentase perempuan yang cukup. Tentunya hal tersebut

mengindikasikan tidak adanya political will dari partai untuk membuat angka

representasi pada tahap pencalonan jauh lebih besar dari 30% atau sampai pada

50%. Kenyataannya pada Pileg 2014 DPRD DKI Jakarta lalu prosentase terbesar

pada pencalonan perempuan dimiliki oleh partai PPP dengan prosentase 36% dari

calon yang diajukan, lebih jelasnya ada pada tabel di bawah ini;

Tabel IV.A.1

Prosentase Keterwakilan Perempuan Pada Tahap Pencalonan

Legislatif DPRD DKI Jakarta Pada tahun 2014-2019

Sumber: KPU DKI Jakarta

Dari data di atas kita dapat mengetahui bahwa; pertama, pencalonan

perempuan pada kontestasi Pileg 2014 DPRD DKI Jakarta yang terdiri dari 12

partai berkisar diangka 30%-36% dengan nilai tenngah 34%. Hal ini menandakan

bahwa semua partai yang berkontestasi di Pileg 2014 DPRD DKI Jakarta telah

53

melampaui sayarat administrasi 30% keterwakilan perempuam dalam pencalonan

legislatif.

Kedua, jika dianalisis lebih lanjut maka akan terlihat bahwa hampir semua

partai mencalonkan 106 caleg untuk memperebutkan 106 kursi yang ada di DPRD

DKI Jakarta, hanya partai PKS yang mencalonkan 101 caleg pada Pileg 2014

DPRD ini. Kontestan yang banyak tentunya membuat peluang terpilih akan

semakin kecil karena kursi akan relatif tersebar ke banyak partai.

Ketiga, partai PPP adalah partai yang paling banyak dalam hal pencalonan

perempuan pada Pileg 2014 DPRD ini, sebanyak 38 caleg perempuan atau 36%

dari proporsi kontestan Pileg pada partai PPP. Tetapi pencalonan yang banyak

oleh PPP layak dikritisi karena dari segi penempatan nomor urut caleg

perempuan, PPP sedikit kurang memprioritaskan perempuan dalam semi-zipper

System. Data lengkap penempatan nomor urut tiap partai dapat dilihat pada tabel

di halaman berikutnya.

Tabel IV.A.2

Penempatan Nomor urut 1-3 Pada Perempuan Dalam Tahap Pencalonan

Legislatif DPRD DKI Jakarta Pada tahun 2014-2019

No Partai Nomor Urut

1 2 3

1 NasDem 3 1 6

2 PKB - 1 9

3 PKS 1 - 9

4 PDI-Perjuangan 3 3 7

5 Golkar 1 1 8

6 Gerindra 2 3 5

54

7 Demokrat 1 6 5

8 PAN 2 1 7

9 PPP 1 2 8

10 Hanura - 1 9

11 PBB 1 2 8

12 PKPI 1 - 9

Jumalah 15 21 90

Sumber: KPU DKI Jakarta

Dari tabel penempatan nomor urut caleg perempuan 1-3 di atas kita dapat

mengetahui bahwa, PDI-Perjuangan adalah partai yang paling banyak

memprioritaskan perempuan pada nomor urut satu, tercatat sebanyak 3 caleg

perempuan ditempatkan oleh PDI-Perjuangan di nomor urut pertama, sedangkan

partai Demokrat adalah partai yang paling banyak menempatkan caleg perempuan

pada nomor urut dua.

Di sisi lain kita bisa melihat bahwa PPP di DKI Jakarta hanya

menempatkan satu caleg perempuan pada nomor urut satu dan dua orang caleg

perempuan pada nomor urutan ke dua, hal ini membuktikan bahwa PPP dalam

pencalonan anggota legislatifnya di DKI Jakarta kurang memprioritaskan

perempuan untuk maju di nomor urut pertama. Padahal nomor urut pertama masih

merupakan faktor determinan dan mendominasi keterpilihan calon legislatif

dalam Pileg 2014 ini, bisa dilihat pada tabel selanjutnya.

55

Tabel IV.A.3

Caleg Perempuan Terpilih DPRD DKI Jakarta 2014-2019

No. Nama Calon PARPOL DAPIL No. Urut Jml. Suara

1 Hj. Yusriah Dzinnun PKS DKI Jakarta 2 3 12.649

2 Hj. Rifkoh Abriani, S.Pdi PKS DKI Jakarta 8 1 12.982

3 Ellyzabeth CH. Mailoa PDI-Perjuangan DKI Jakarta 1 4 7.814

4 Meity Magdalena Ussu, MBA. PDI-Perjuangan DKI Jakarta 2 6 7.563

5 Hj. Ida Mahmudah PDI-Perjuangan DKI Jakarta 3 1 14.637

6 Hj. Indrawati Dewi PDI-Perjuangan DKI Jakarta 7 3 7.702

7 Yuke Yurike, MM. PDI-Perjuangan DKI Jakarta 8 2 8.902

8 Serelda Tambunan, S.I.P PDI-Perjuangan DKI Jakarta 8 3 8.124

9 Ong Yenny PDI-Perjuangan DKI Jakarta 9 11 18.931

10 CN. DR. Siegvrieda Lauwani PDI-Perjuangan DKI Jakarta 9 1 15.264

11 Merry Hotma, SH. PDI-Perjuangan DKI Jakarta 10 1 36.099

12 Nuraina GERINDRA DKI Jakarta 7 1 8,740

13 Ir. Endah Setia Dewi, MM. GERINDRA DKI Jakarta 8 3 4.683

14 Hj. Rani Maulani GERINDRA DKI Jakarta 9 1 8.478

15 Rina Aditya Sartika GERINDRA DKI Jakarta 10 2 12.991

16 Hj. Neneng Hasanah, SE. P DEMOKRAT DKI Jakarta 2 2 4,880

17 Nur Afni Sajim, SE. P DEMOKRAT DKI Jakarta 9 1 7.277

18 Hj. Nina Lubena PPP DKI Jakarta 4 7 5.358

Sumber: Pemilu 2014 Dalam Angka, KPU DKI Jakarta

Dari data tersebut dapat diketahui bahwa pertama, ada beberapa partai

yang tidak berhasil meloloskan caleg perempuannya yakni; Golkar, PKB,

NasDem, Hanura dan PAN, hal demikian dapat terjadi dikarenakan sistem

pemilu dengan daftar terbuka dan disandingkan dengan multi partai ekstrim

seperti yang terjadi di Indonesia membuat peluang perempuan untuk lolos

menjadi kecil, karena sebaran kursi yang ada diperebutkan oleh banyak partai

dengan banyak calon legislatif. Perludem merekomendasikan untuk

56

membatasi jumlah caleg dalam kontestasi Pileg, karena jika kontestan terlalu

banyak hanya akan memperkecil peluang seorang caleg untuk terpilih, dan

yang dirugikan dalam hal ini adalah caleg perempuan.72

Kedua, bahwa dengan absennya perempuan dalam lima partai (Golkar,

PKB, NasDem, Hanura dan PAN) tersebut membuat partai makin bercorak

patriarki. Kemungkinan hal ini akan berlanjut pada tataran pandangan fraksi

partai dalam parlemen tersebut yang juga akan bercorak patriarki. Hal demikian

juga dibenarkan Perludem, dengan menyatakan bahwa dalam konteks apapaun,

lembaga apapun bila tidak ada upaya pengarus utamaan gender atau afirmasi

perempuan akan diskriminatif karakter lebaganya, termasuk lembaga politik.73

Terlebih bila dalam suatu partai sama sekali tidak ada perempuan, maka semakin

besar peluang partai tersebut untuk tidak adil gender dalam setiap pandangan

kebijakan nantinya. Ketua KPPI DKI Jakarta juga menerangkan permasalahan

tersebut, sebagai berikut;

Itulah masalahnya (keterwakilan perempuan yang minim), bahwa

kenyataannya (perempuan) sangat sulit diberi kesempatan oleh teman-

teman kita sendiri (laki-laki) disana. Itu yang kita kejar (perjuangkan),

tentunya kita kejar dengan kapasitas yang kita punya dengan kemampuan

yang tidak hanya sekadarnya saja. Ini sekarang kan sedang diusulkan

bahwa undang-undang keterwakilan perempuan yang 30% perempuan itu

dimulai juga dari partai, yaitu kita mengusulkan tiap partai menempatkan

kader perempuannya di kepengurusan hariannya sebanyak 30%. Itu harus

72

Wawancara dengan Usep Hasan Sadikin, Peneliti Perludem, Pegiat Isu-isu

keterwakilan Perempuan, 15 November 2016 jam 11:30-12:45, di Kantor Perludem

Tebet. 73

Wawancara dengan Usep Hasan Sadikin

57

dimulai dari situ, kalau tidak susah untuk mendapat posisi yang setara dan

berimplikasi pada keterwakilan yang minim. Jadi tidak hanya dalam

undang-undang untuk memasukkan perempuan dalam kontestasi

pemilihan legislatif sebanyak 30%, tapi 30% itu harus diikuti juga oleh

kepengurusan partai, nah itulah yang sedang kita perjuangkan di DPR

RI.74

Ketiga, sepuluh dari delapan belas calon perempuan yang terpilih untuk

mengisi kursi DPRD DKI Jakarta tahun 2014-2019 adalah anggota baru yang

berarti delapan lebihnya adalah incumbent atau petahana, data ini cukup

menggembirakan pasalnya dari data ini menggambarkan bahwa terdapat sirkulasi

wakil rakyat perempuan di parlemen. Hal ini sebenarnya yang dijadikan alasan

oleh para aktivis perempuan mengapa memilih daftar terbuka, harus diakui bahwa

sistem daftar terbuka sukses untuk membuat para kontestan turun ke masyarakat,

mau tidak mau caleg perempuan juga ikut belajar tentang kampanye, konsolidasi

massa, berbicara tentang politik serta hal-hal yang berkenaan dengan pemilu. Ini

sebenarnya nilai tambah dari sistem proporsional daftar terbuka, Disadari atau

tidak pemilu dengan sistem proporsional terbuka membuat banyak perempuan

bisa berkesempatan berpolitik secara riil. 75

Keempat, didapati fakta bahwa nomor urut masih menjadi preferensi

politik bagi pemilih di Jakarta bahkan untuk caleg perempuan, hal tersebut terlihat

dari jumlah caleg yang lolos dari nomor urut kecil yakni 1-3 sebanyak 14 caleg, 4

74

Wawancara dengan Hj. Marie Amadea Ismayani, S.Si. Ketua KPPI (kaukus

Perempuan Politik Indonesia) DKI Jakarta, Sekaligus mantan Anggota DPRD DKI

Jakarta 2009-2014 Fraksi Demokrat. Pada tanggal 12 Januari 2017. 75

Wawancara dengan Usep Hasan Sadikin, Peneliti Perludem, Pegiat Isu-isu

keterwakilan Perempuan, 15 November 2016 jam 11:30-12:45, di Kantor Perludem

Tebet.

58

caleg lainnya berasal dari nomor urut besar. Menurut Ketua KPPI DKI Jakarta,

nomor urut memang masih determinan menjadi faktor terpilihnya calon legislatif,

di lain sisi perempuan sering ditempatkan di nomor urut ke tiga dalam semi-zipper

system, hal inilah yang menjadi landasan dari KPPI untuk menuntut partai

memprioritaskan perempuan dalam nomor urut satu.76

Sedangkan menurut Usep

nomor urut besar yang terpilih lebih disebabkan karena mempunyai modal massa

dan modal uang yang kuat, seperti yang ditegaskan dalam kutipan wawancara

berikut;

Saya cenderung ke yang nomor urut besar terpilih ini punya basis massa

dan modal uang yang banyak. Tapi gini ya ki, secara keseluruhan memang

iya nomor urut kecil masih jadi favorit orang karena kita kan susunan

calegnya hirarkis nomornya (kebawah), sedangkan masyarakat masih

banyak yang menganggap nomor urut satu itu yang paling bagus‖.77

Dengan daftar calon terbuka ini menjadi sebuah keuntungan sendiri bagi caleg

perempuan jika mendapat nomor urut kecil.

Kelima, PDI-Perjuangan adalah partai pemenang pemilu yang memiliki

jumlah perempuan terpilih paling banyak diantara partai-partai lain untuk DPRD

Jakarta, yakni sebanyak Sembilan orang atau setengah dari jumlah keseluruhan

perempuan terpilih DPRD DKI Jakarta, hal ini tentu saja diikuti dengan harapan

76

Wawancara dengan Hj. Marie Amadea Ismayani, S.Si. Ketua KPPI (kaukus

Perempuan Politik Indonesia) DKI Jakarta, Sekaligus mantan Anggota DPRD DKI

Jakarta 2009-2014 Fraksi Demokrat. Pada tanggal 12 Januari 2017. 77

Wawancara dengan Usep Hasan Sadikin, Peneliti Perludem, Pegiat Isu-isu

keterwakilan Perempuan, 15 November 2016 jam 11:30-12:45, di Kantor Perludem

Tebet.

59

bahwa PDI-Perjuangan dengan kuantitas perempuannya yang banyak akan

berperan penting dalam kebijakan-kebijakan yang adil gender, walaupun dalam

inisiasi kebijakan datangnya dari tiap-tiap komisi di parlemen, PDI-Perjuangan

setidaknya bisa memberi pandangan yang lebih ramah gender dalam pandangan

fraksi dibanding partai lain. Narasumber penulis dari Perludem mempunyai

pandangan lain, jika PDI-Perjuangan masih mengandalkan suplai kadernya

daripada aktivis, kemungkinan kebijakannya akan lebih adil gender. Tetapi perlu

diingat juga bahwa setiap partai mempunyai kecenderungan watak yang

patriarkis, meskipun dalam fraksi PDI-Perjuangan kuantitas perempuan lebih

besar dari partai lainnya di DPRD DKI Jakarta hal tersebut sebenarnya masih

belum menjamin.78

Keenam, didapati fakta bahwa dapil lima adalah dapil yang sama sekali

tidak menyumbangkan wakil perempuan atau bisa dibilang caleg perempuan tidak

mendapatkan kursi pada dapil ini. Penulis berasumsi bahwa di dapil ini masih

melekat budaya patriarki yang ditopang oleh agama, yang dimana keduanya

diakomodasi oleh budaya betawi, perlu diketahui juga bahwa daerah Jatinegara,

Duren Sawit dan Kramat jati, adalah daerah yang masih kental dengan budaya

betawi walaupun dari segi kependudukan umumnya wilayah Jakarta adalah

wilayah yang heterogen. Patriarki ini menjadi semakin susah ketika dia menyatu

78

Wawancara dengan Usep Hasan Sadikin, Peneliti Perludem, Pegiat Isu-isu

keterwakilan Perempuan, 15 November 2016 jam 11:30-12:45, di Kantor Perludem

Tebet.

60

dengan agama dan kedua ketika dia menyatu dengan kesukuan atau etnis, dan

Betawi ini nuansa agamanya cukup kental dalam etnis. Jika merujuk pada variable

equality dari freedom house ada kecenderungan demikian. Tentunya hipotesis

demikian harus di riset lebih jauh secara kuantitatif agar valid dan dapat diterima

secara keilmuan.79

B. Faktor-faktor Penyebab Minimnya Perolehan Suara Untuk Caleg

Perempuan Pada Pileg 2014 di DKI Jakarta

Menyoal kendala-kendala yang dihadapi oleh para caleg perempuan dan

terjadi pada umumnya di seluruh belahan dunia, penulis perlu mengutip tulisan-

tulisan Nadezhda Shvedova di Jurnal International IDEA tentang hal tersebut,

menurutnya perempuan yang ingin masuk dalam dunia politik, menemukan

kenyataan bahwa lingkungan politik, publik, budaya dan sosial sering tidak

bersahabat atau bahkan bermusuhan dengan mereka. Lebih lanjut Nadezhda

membagi kendala-kendala tersebut ke dalam tiga wilayah yakni kendala politik,

sosio-ekonomi, dan kendala ideologis-psikologis.80

Nadezhda mengkonsepsikan

kendala politik ke dalam lima bentuk yakni;

1. Politik masih terlalu ―maskulin‖, artinya politik seakan tercipta hanya

untuk kaum laki-laki, karena terlalu banyaknya laki-laki dalam politik

79

Wawancara dengan Usep Hasan Sadikin, Peneliti Perludem, Pegiat Isu-isu

keterwakilan Perempuan, 15 November 2016 jam 11:30-12:45, di Kantor Perludem

Tebet. 80

Nadezhda Shvedova, ―Kendala-kendala terhadap Partisipasi Perempuan dalam

Parlemen‖ dalam Julie Ballington (ed), (terj.), Perempuan di Parlemen: Bukan Sekadar

Jumlah, hal. 19

61

maka seakan sebuah hal yang tabu ketika perempuan masuk juga ke dalam

ruang politik.

2. Kurangnya dukungan partai, terbatasnya akses jaringan politik: partai

karena terlalu lama asyik dengan model ‖maskulin‖ ketika ada perempuan

masuk menjadikan perempuan terpinggir dan tak diindahkan, perempuan

yang bukan ―siapa-siapa‖ membuat geraknya terhambat, partai seringkali

hanya mementingkan perempuan yang ada ―kaitannya‖ dengan elit

meereka.

3. Kurangnya hubungan kerja sama, hubungan kerja sama antara organisasi

dan perempuan penting untuk perempuan dalam politik, karena biasanya

organisasi dapat mengusahakan keterwakilan perempuan lewat advokasi

ataupun lewat dukungan riil di dalam pemilu.

4. Tiadanya sistem pelatihan dan pendidikan yang dibangun dengan baik,

perempuan karena masih awam dalam ruang publik apalagi ruang politik

perlu bimbingan dan pengedukasian tentang politik secara mendalam.

5. Hakikat sistem pemilihan, sistem pemilihan juga penting untuk perempuan

dalam politik, di Indonesia sistem pemilihan yang memakai daftar

proporsional terbuka dengan nama calon lalu partai yang berkontestasi

62

memperebutkan kursi terlalu banyak (multipartai) membuat caleg

perempuan menjadi minim untuk terpilih pada pemilihan legislatif.81

Kemudian kendala selanjutnya yakni kendala sosio-ekonomi;

1. Kemiskinan dan pengangguran.

2. Kurangnya sumber-sumber keungan yang memadai.

3. Buta huruf dan terbatasnya akses ke pendidikan dan pemilihan profesi.

4. Beban ganda mengenai tugas rumah tangga dan kewajiban-kewajiban

professional.82

Kendala yang terakhir dalam pandangan Nadezhda adalah kendala

Ideologis dan psikologis;

1. Ideologi gender dan pola-pola kultural dalam masyarakat.

2. Kurangnya kepercayaan diri perempuan untuk mencalonkan diri.

3. Persepsi perempuan tentang politik sebagai permainan ―kotor‖.

4. Cara bagaiaman perempuan digambarkan dalam media massa.83

Hal-hal mengenai hambatan dalam konteks Indonesia selanjutnya

diterangkan oleh Khofifah Indar Parawansa, yang berpandangan bahwa dalam

81

Wawancara dengan Usep Hasan Sadikin, Peneliti Perludem, Pegiat Isu-isu

keterwakilan Perempuan, 15 November 2016 jam 11:30-12:45, di Kantor Perludem

Tebet. 82

Nadezhda Shvedova, ―Kendala-kendala terhadap Partisipasi Perempuan dalam

Parlemen‖, hal. 28 83

Nadezhda Shvedova, ―Kendala-kendala terhadap Partisipasi Perempuan dalam

Parlemen‖, hal. 32

63

negara yang menganut sistem patriarkal, seperti Indonesia, kesempatan

perempuan untuk menjadi politisi relatif terbatasi karena persepsi masyarakat

mengenai pembagian peran antara laki-laki dan perempuan, yang cenderung bias

kearah membatasi peran perempuan pada urusan rumah tangga. Ada empat faktor

utama menurut Khofifah yang mempengaruhi pola seleksi antara perempuan dan

laki-laki. Faktor pertama berhubungan dengan konteks budaya di Indonesia yang

masih kental asas patriarkalnya, faktor kedua berhubungan dengan proses seleksi

dalam partai politik, ketiga berhubungan dengan media yang berperan penting

dalam membangun opini publik mengenai pentingnya representasi perempuan

dalam parlemen, keempat tidak adanya jaringan antar organisasi massa, dan

selebihnya adalah faktor-faktor seperti pendidikan, pengaruh keluarga dan sistem

multi partai.84

Sesungguhnya sudah ada jalan keluar yang coba ditempuh yaitu dengan

berdirinya KPPI (Kaukus Perempuan Politik Indonesia) yang merupakan jaringan

antara perempuan pada partai-partai politik Indonesia dan umumnya aktivis

perempuan di Indonesia. Pikiran-pikiran seperti ini sebenarnya pernah

dimunculkan oleh Nadezhda dan Khofifah yamg memiliki relevansi dengan

problem-problem perempuan dalam politik dan khususnya pada proses

keterpilihan saat ini.

84

Khofifah Indar Parawansa, ―Hambatan terhadaap Partisipasi Politik Perempuan

di Indonesia‖ dalam Julie Ballington (ed), (terj.), Perempuan di Parlemen: Bukan Sekadar

Jumlah, hal. 49

64

Peneliti ingin memfokuskan masalah hambatan pada perempuan dalam

keterpilihan di parlemen ke dalam empat faktor yang menurut asumsi peneliti saat

ini penting untuk di telaah lebih lanjut, faktor-faktor penyebabnya secara umum

adalah popularitas dan memiliki modal sosial yang cukup atau tidak, hal ini sama-

sama penting bagi perempuan maupun laki laki, akan tetapi ada beberapa faktor

lain yang mungkin hanya menjadi hambatan bagi perempuan sementara tidak bagi

laki-laki, seperti masih banyak berkembangnya stereotip di masyarakat bahwa

perempuan belum pantas naik panggung untuk wilayah publik terlebih lagi

wilayah politik yang dominan diisi oleh laki-laki.

Hambatan selanjutnya adalah pengaruh oligarki yang besar pada suatu

parpol, oligarki bagi caleg perempuan bagai pisau bermata dua, di satu sisi

berguna di sisi lain bisa menghambat. Puskapol UI dalam kajiannya terhadap

pemilu 2014 menganggap ada korelasi antara oligarki dan keterpilihan caleg

perempuan, Puskapol menyebutkan bahwa jaringan kekerabatan dengan elit

politik menjadi kategori dengan nilai teringgi yakni 37% atas keterpilihan caleg

perempuan, bahkan menurut Puskapol UI lebih lanjut menerangkan bahwa pada

tahun 2009 indikasi peran oligarki dalam keterpilihan caleg perempuan sampai

pada angka 42%,85

tentunya dari segi kuantitas oligarki partai mempunyai peran

yang cukup signifikan dalam proses keterpilihan caleg perempuan, namun pada

85

http://www.puskapol.ui.ac.id/publikasi_puskapol/analisis-perolehan-suara-

dalam-pemilu-2014-oligarki-politik-dibalik-keterpilihan-caleg-perempuan.html diunduh

pada 26 Mei 2016

65

segi kualitas dikhawatirkan nantinya perempuan hanya menjadi perpanjangan

partai akan kebijakannya dan secara tidak langsung oligarki partai juga menafikan

caleg perempuan yang sebenarnya sangat diharapkan keberadaannya, yaitu caleg

perempuan yang kritis memperjuangkan hak kaumnyanya dalam parlemen.

Faktor-faktor penyebab kecilnya perolehan suara perempuan, yakni;

1. Popularitas

Popularitas dalam KBBI bisa disamakan dengan keterkenalan, jika ditarik

dalam wilayah politik pada tahapan pencalonan, popularitas diartikan sebagai

dikenal tidaknya calon legislatif oleh pemilih atau konstituennya. Popularitas dan

politik memang bersinggungan bahkan seringkali berjalan beriringan, jalan untuk

menjadi pemimpin atau wakil rakyat sekalipun harus mengandalkan popularitas.

M. Alfan Alfian dalam bukunya Menjadi Pemimpin Politik memasukkan

popularitas ke dalam hal yang patut diperbincangkan lebih serius.86

Popularitas bisa didapat oleh pengaruh seseorang dalam suatu masyarakat,

baik ia sebagai pembuat kebijakan bahkan publik figur sekalipun. Sistem pemilu

Indonesia yang kini menganut sistem proporsional terbuka mengharuskan calon

legislatif dikenal oleh masyarakat, karena itu popularitas menjadi aspek yang

penting bagi keterpilihan suatu calon terlebih saat ini sistem pemilu di Indonesia

menganut sistem proporional terbuka dimana calon harus diingat dan setidaknya

diketahui oleh sang pemilih nantinya agar dapat meraih banyak suara.

86M. Alfan Alfian, Menjadi Pemimpin Politik: Perbincangan Kepemimpinan dan

Kekuasaan, (Jakarta: Gramdeia Pustaka Utama, 2009), hal. 76

66

Asumsi tersebut dibenarkan oleh Perludem bahwa banyak dari pemilih

yang memilih caleg artis disebabkan oleh pemilih yang merasa ada keterikatan

dengan caleg tersebut karena mereka sering muncul di publik.87

Hal ini tentu saja

membuat partai politik melihat popularitas sebagai salah satu pertimbangan

rekrutmen calon legislatifnya hanya untuk menjadi vote getter, dan implikasinya

adalah partai mulai mengesampingkan aspek-aspek lainnya seperti kapasitas dan

kapabilitas. Popularitas tentu saja menjadi hambatan tersendiri bagi calon

perempuan utamanya yang berprofesi hanya diranah privat, kecuali calon

perempuan seperti publik figur yang sudah dikenal masyarakat.

2. Modal Sosial

Modal sosial merupakan serangkaian nilai-nilai atau norma-norma

informal yang dimiliki bersama di antara para anggota kelompok yang

memungkinkan terjalinnya kerjasama di antara mereka, bentuk yang nyata dari

hal tersebut adalah lahirnya suatu kepercayaan antar anggota kelompok.88

Modal

sosial menjadi penting bagi para calon legislatif bukan hanya untuk perempuan,

juga untuk laki-laki. Tentunya sudah menjadi rahasia umum bahwa caleg yang

terpilih adalah caleg-caleg yang memiliki modal sosial yang kuat, terlebih pada

87

Wawancara dengan Usep Hasan Sadikin, Peneliti Perludem, Pegiat Isu-isu

keterwakilan Perempuan, 15 November 2016 jam 11:30-12:45, di Kantor Perludem

Tebet.

88

Budi Winarno, Sistem Politik Indonesia Era Reformasi, (Yogyakarta: Media

Pressindo, 2007), hal. 52

67

negara yang memakai sistem proporsional dengan daftar terbuka seperti Indonesia

ini.

Tetapi perlu diingat juga bahwa bisa berlaku sebaliknya, modal sosial

yang kurang bisa menghambat calon dalam hal keterpilihan. inilah sebenarnya

yang menjadi hambatan bagi perempuan karena pada umumnya perempuan-

perempuan yang menjadi caleg tidak memiliki keterikatan yang kuat dengan

pemilih akibat dari seringnya perempuan berada di ruang privat, bukan publik.

Dalam sistem proporsional terbuka ini seharusnya ada keterikatan yang

kuat antara pemilih dengan caleg, bukan hanya semata-mata karena uang (money

politics) atau popularitas, karena masyarakat dewasa ini lebih menyikapi politik

uang secara ―nakal‖ maka modal sosial dirasa perlu dimiliki caleg, dan ini yang

sering tidak dimiliki oleh caleg perempuan pada umumnya.89

3. Oligarki Partai

Oligarki dapat dimaknai dengan melihat dua sisi kekuasaan. Pertama,

oligarki sebagai tatanan kekuasaan yang disusun secara memusat atas kendali

kelompok elit yang amat kecil. Kedua, oligarki diartikan sebagai tatanan elit

dalam jumlah kecil yang mampu menentukan kebijakansanaan publik,

89

Wawancara dengan Usep Hasan Sadikin, Peneliti Perludem, Pegiat Isu-isu

keterwakilan Perempuan, 15 November 2016 jam 11:30-12:45, di Kantor Perludem

Tebet.

68

pemahaman yang pertamalah yang berkaitan dengan partai dan sistem

rekrutmennya.90

Oligarki partai menjadi hambatan tersendiri untuk caleg yang bukan

berasal dari garis kekerabatan dengan elit partai dan juga yang mempunyai

materiil sedikit, hal ini digambarkan dengan jelas oleh Puskapol UI dalam

Analisisnya terhadap keterpilihan caleg perempuan. Rekrutmen caleg yang

condong untuk memilih jaringan kekerabatan praktis mengindikasikan stagnasi

sempitnya landasan rekrutmen caleg perempuan oleh partai. Ini semua

menandakan bahwa adanya ketergantungan perempuan pada basis kekuasaan laki-

laki.91

Politik masih identik dengan sifat maskulin, partai adalah sebuah institusi

dalam politik yang pada umumnya diisi oleh laki-laki yang dominan dan dalam

kuantitas yang mayoritas sedang perempuan hanya menjadi minoritas di

dalamnya. Jika partai memiliki oligarki yang cukup kuat bukan hanya

mempersempit rekrutmen caleg dengan dasar jaringan kekerabatannya melainkan

caleg yang berasal dari jaringan kekerabatan bila sudah terpilih akan menjadi

kepanjangan tangan dari partai di parlemen. kemudian ada persoalan bila caleg

yang terpilih bukan dari jaringan kekerabatan, besar kemungkinan untuk tidak

90

Syamsuddin Haris, ed. Pemilu Langsung Di tengah Oligarki Partai: Proses

Nominasi dan Seleksi Calon Anggota Legislatif Pemilu 2004 (Jakarta: Gramedia Pustaka

Utama, 2005), hal. 194 91

http://www.puskapol.ui.ac.id/publikasi_puskapol/analisis-perolehan-suara-

dalam-pemilu-2014-oligarki-politik-dibalik-keterpilihan-caleg-perempuan.html diunduh

pada 26 Mei 2016

69

mampu bersuara kritis akibat dari dominannya fraksi dalam kebijakan partai di

parlemen.92

4. Stereotip dan Budaya Patriarki

Stereotip didasarkan pada gambaran-gambaran yang sangat

disederhanakan mengenai seluruh kelompok masyarakat, hematnya stereotip

adalah gambaran umum yang dibentuk secara subjektif dan dibenarkan oleh

masyarakat sehingga menjadi suatu kebenaran umum.93

Stereotip dan budaya

patriarki menjadi variabel yang terkait satu sama lain. Masyarakat umum

menganggap bahwa tempat perempuan adalah pada ranah domestik atau privat

sedang politik adalah ranah publik yang biasanya secara kuantitas lebih banyak-

laki-laki ketimbang perempuan, maka tak pelak kecilnya perolehan suara

perempuan turut didasari oleh stereotip atau konstruksi sosial yang telah lama

melekat pada masyarakat dan selalu dipengaruhi oleh budaya patriarki. Perludem

juga menyatakan hal yang sama bahwa;

Budaya patriarki masih menjadi penyebab sulitnya keterpilihan

perempuan, sulitnya pemilih itu sadar pentingnya memilih perempuan

karena kebijakan pro gender, kebijakan pro perempuan, kebijakan pro

anak itu masih jauh di Indonesia, yah masih relevan, sangat relevan

malah.94

Lebih lanjut Ketua KPPI DKI Jakarta menambahkan bahwa;

92

Wawancara dengan Usep Hasan Sadikin, Peneliti Perludem, Pegiat Isu-isu

keterwakilan Perempuan, 15 November 2016 jam 11:30-12:45, di Kantor Perludem

Tebet. 93

Bernard T. Adeney, Etika Sosial Lintas Budaya, Yogyakarta: Pustaka Kanisius,

2000), hal. 292 94

Wawancara dengan Usep Hasan Sadikin, Peneliti Perludem, Pegiat Isu-isu

keterwakilan Perempuan, 15 November 2016 jam 11:30-12:45, di Kantor Perludem Tebet

70

(perempuan) hambatannya banyak, banyak sekali. Bahwa perempuan

selama ini dianggap tidak sejajar dengan kaum lelaki itu kan karena ada

hubungannya dengan agama ya mas yah, terus adat istiadat, sejak zaman

dulu adat timur kan memang kurang mengapresiasi perempuan dalam

ruang publik ya mas... iya dimana-mana masih seperti itu (Patriarki), dan

kita berjuang sangat keras untuk mengatasi masalah itu. Walaupun mereka

(laki-laki) mengatakan perempuan itu mempunyai potensi dalam politik,

tetapi tetap saja persaingan politik sangat ketat untuk kita mas. Ya balik

lagi kaitannya dengan faktor seperti agama yang masih sangat kuat bahwa

tidak bisa perempuan menjadi pemimpin.....95

Musdah Mulia dalam bukunya Menuju Kemandirian Politik Perempuan,

menyatakan bahwa, dunia politik selalu digambarkan dengan karakter maskulin:

keras rasional kompetitif, tegas, yang serba ―kotor‖ dan menakutkan sehingga

hanya pantas buat laki-laki. Implikasinya adalah perempuan menjadi terbelenggu

pada konstruksi sosial yang demikian dan pada akhirnya menyebabkan

perempuan terasing dalam polik dan lebih parahnya lagi banyak dari mereka

seakan a politis terhadap wilayah publik khususnya ranah politik.96

C. PPP dan Perolehan Suara Pada Pileg 2014 di DKI Jakarta

Pemilu tahun 2014 adalah pemilu yang ke 4 pasca reformasi pada tahun

1998. Dalam skala nasional pemilu ini diikuti oleh 11 partai politik namun tidak

semua partai politik yang ikut dalam pemilu ini lolos parliamentary tresshold

(PT). Terdapat dua partai yang tidak lolos PT yakni PBB dan PKPI karena jumlah

total suara nasional kedua partai ini tidak tembus lebih dari 2.5% suara sah

95

Wawancara dengan Hj. Marie Amadea Ismayani, S.Si. Ketua KPPI (kaukus

Perempuan Politik Indonesia) DKI Jakarta, Sekaligus mantan Anggota DPRD DKI

Jakarta 2009-2014 Fraksi Demokrat. Pada tanggal 12 Januari 2017. 96

Siti Musdah Mulia, Menuju Kemandirian Politik Perempuan: Upaya

Mengakhiri Depolitisasi Perempuan Di Indonesia (Yogyakarta: KIBAR Press, 2007),

hal. 173

71

nasional, artinya kedua partai ini tidak berhak menempatkan wakilnya dalam

dewan legislatif pusat atau Dewan Perwakilan Rakyat (DPR).

Pada Pileg DPRD DKI Jakarta terdapat 10 Dapil dari 5 Kota Administratif

dan 1 kabupaten yakni Kep. Seribu. Untuk kursi DPR pusat sendiri DKI Jakarta

mengirimkan 21 anggota legislatif yang berarti ada 7 Caleg yang lolos ke Senayan

di tiap Dapil yang terdiri dari tiga Dapil tersebut. Sementara itu untuk DPRD

DKI Jakarta sendiri terdapat 106 Caleg yang lolos untuk menjadi anggota dewan

untuk periode 2014-2019.

Sementara itu jika menyoal dengan representasi perempuan yang ada pada

daerah pemilihan di DKI Jakarta baik dalam pemilihan legislatif tingkat DPR

pusat dan DPRD provinsi kuantitasya lumayan baik. Artinya memang terdapat

30% atau lebih calon perempuan yang diajukan oleh partai.97

Hal ini sudah

termasuk cukup dan mengikuti persyaratan minimal pada UU No. 8 tahun 2012

tentang partai politik, tetapi yang menjadi persoalan adalah tidak sampai 30%

representasi perempuan yang lolos ke DPR atau DPRD pada daerah pemilihan

DKI Jakarta.

UU No. 8 tahun 2012 hanya menyoal tentang batas minimal calon

legislatif perempuan yang 30% tetapi tidak dapat menjamin calon legislatif

perempuan yang lolos ke DPR ataupun DPRD sebesar 30% juga. Dari daerah

97

Lihat Tabel IV.A.1 tentang Prosentase Keterwakilan Perempuan Pada Tahap

Pencalonan Legislatif DPRD DKI Jakarta Pada tahun 2014-2019

72

pemilihan DKI Jakarta ada empat orang calon legislatif perempuan yang lolos

untuk menjadi anggota dewan di DPR, sedangkan untuk DPRD terdapat delapan

belas calon legislatif perempuan.

PPP bisa dibilang adalah partai yang cukup kuat di Jakarta, pasalnya pada

pemilu tahun 2009 PPP masih termasuk dalam lima besar partai pemenang di

Jakarta dengan raihan 7 kursi, begitupun dengan pemilu sebelumnya yakni pemilu

2004. PPP sama raihannya dengan Golkar yakni 7 kursi, jika dipetakan raihan

kursi PPP dari tahun 2004, 2009, dan 2014 memang mengalami kenaikan

walaupun tidak signifikan setidaknya raihan kursinya sampai tahun 2014 tidak

pernah turun dari angka 7.

Secara umum PPP di DPR mengalami kenaikan kursi yang cukup

signifikan dalam hal representasi perempuan di parlemen, lain lagi bila menarik

kasus yang sama dengan partai yang sama namun dengan cakupan yang berbeda

yakni provinsi, dalam hal ini provinsi DKI Jakarta. PPP hanya berhasil

menempatkan satu orang wakil perempuannya di DPRD, raihan ini memang lebih

baik dari Partai yang lain semisal NasDem, PKB, Golkar, PAN, dan Hanura yang

sama sekali tidak berhasil meloloskan calon perempuannya untuk duduk di kursi

DPRD. Berikut adalah calon legislatif yang lolos dari PPP;

73

Tabel IV.C.1

Caleg Terpilih PPP DPRD DKI Jakarta 2014-2019

Nama Daerah pemilihan No. Urut Jumlah Suara

Riano P. Ahmad, S.H. DKI Jakarta 1 2 11.069

H. Maman Firmansyah, S.H DKI Jakarta 2 1 10.999

Hj. Nina Lubena DKI Jakarta 4 7 5.358

Belly Bilalusalam, S.H. DKI Jakarta 5 1 28.251

Drs. H. Samsudin DKI Jakarta 5 10 7.683

H. Matnoor Tindoan, S.H. DKI Jakarta 6 1 27.009

H. Ichwan Zayadi, S.E. DKI Jakarta 7 2 9.068

H. Rendhika D Harsono, M.Sc DKI Jakarta 8 1 11.057

H. Usman Helmy, S.H. DKI Jakarta 9 2 7.451

H. Lulung AL, S.H. DKI Jakarta 10 1 28.038

Sumber: KPU DKI Jakarta

Dari tabel di atas bisa dilihat bahwa; pertama, hampir sebagian besar

calon yang lolos adalah calon dengan nomor urut kecil hanya dua calon yang

lolos dengan nomor urut besar yakni Hj. Nina Lubena dari dapil empat dan Drs. H

Samsudin dari dapil lima, hal ini juga menandakan bahwa sebagian besar pemilih

PPP cenderung memilih berdasarkan nomor urut teratas, hal yang membuat

mereka terpilih tidak lain karena memiliki modal sosial yang kuat seperti yang

diutarakan oleh Arifuddin Halking;

74

Ya dia (Hj. Nina Lubena) punya masjid orang ini, dan memang suaminya

anggota DPR H. Sofyan Usman. Ya memang Majelis taklim sebagai

modal sosial di punya itu, punya majelis taklim artinya kan punya massa,

massa nya banyak bu Nina itu dan di rawat (koordinir) dan diperhatikan

dengan baik oleh dia, sehingga untuk modal sosial dia udah punya sebagai

caleg, kalau pak Syamsuddin itu kan dia dari Gerindra sekarang masuk

PPP dapat (kursi) dia karena punya duit, punya modal dan dia juga turun

(kampanye) ke bawah (masyarakat).98

Kedua, PPP tidak bisa meloloskan wakilnya pada dapil 3 yang melingkupi

tiga kecamatan yakni; kecamatan Tanjung Priok, Pademangan, dan Penjaringan

dengan total suara partai terendah dibanding dengan ke sembilan dapil yang lain

dengan 15.303 suara.

Ketiga, PPP meloloskan dua wakil sekaligus pada dapil 5, ini

menunjukkan bahwa dapil ini yakni wilayah Kecamatan Jatinegara, Duren Sawit,

dan Kramat Jati merupakan wilayah dengan basis massa pemilih PPP paling

banyak diantara 9 dapil yang lain dengan total suara 70.259 suara, di daerah ini

PPP hanya kalah dari PDI-Perjuangan. PPP di Jakarta Timur dan Jakarta selatan

menurut penuturan H. Arifuddin Halking adalah Dapil dengan kantong-kantong

suara PPP paling banyak dibanding Dapil lain di Jakarta, berikut kutipan

wawancara peneliti dengan narasumber;

Jakarta timur kan ada tiga dapil tapi empat kita dapat kursi. Iya memang

Jakarta timur ini semua lumbung suara PPP sebenarnya juga dengan dapil

di Jakarta selatan, Cuma kemarin kan selatan dua dapil kita dapat dua.

Jakarta selatan itu pada pemilu (1997) sebelum Orde Baru lengser menang

PPP kalah Golkar, itu Orde Baru masih berkuasa, bagaimana bukan basis?

98

Wawancara dengan Drs. H. Arifuddin Halking M. Si, Wakil Ketua Bidang

OKK DPW PPP Jakarta, 17 November di Kantor DPW PPP Jakarta, Buaran.

75

Keempat, calon perempuan yang lolos yakni Hj. Nina Lubena mendapat

suara paling kecil diantara 10 calon yang lolos tersebut dengan total suara 5.358.

Sebenarnya jika ditarik kembali kecilnya perolehan suara perempuan dalam hal

ini pada kasus PPP bisa terlihat dengan mengurutkan suara terkecil caleg per

dapil, hasilnya adalah terdapat tujuh caleg perempuan yang mendapat suara paling

kecil di tiap dapil yang ada di Jakarta tersebar dari dapil 1, 2, 3, 4, 5, 6, dan 10

sedangkan tiga dapil diataranya yakni dapil 7, 8, dan 9 perolehan suara paling

minim dimiliki caleg laki-laki, hal ini menandakan kecilnya perolehan suara

perempuan memang benar adanya, setidaknya itulah yang ditunjukkan oleh partai

PPP.

Tabel IV.C.2

Perbandingan Prosentase Jumlah Suara dan Kursi Perempuan Dalam Fraksi di

DPR RI dengan DPRD DKI Jakarta tahun 2014-2019

DPR

RI

DPRD DKI

Jakarta

no Partai Jumlah

kursi

partai

kursi

Perempuan

dalam

fraksi (%)

no Partai Jumlah

kursi

partai

Kursi

Perempuan

dalam

fraksi (%)

1 PDI-

Perjuangan

109 19 1 PDI-P 28 36

2 Golkar 91 17 2 Gerindra 15 27

3 Gerindra 73 25 3 PPP 10 10

4 Demokrat 61 21 4 PKS 11 18

5 PKB 47 21 5 Demokrat 10 20

6 PAN 49 18 6 Golkar 9 0

7 PKS 40 3 7 Hanura 10 0

8 NasDem 35 11 8 PKB 6 0

9 PPP 39 26 9 NasDem 5 0

10 Hanura 16 12 10 PAN 2 0

Sumber: Diolah dari data Puskapol UI dan KPU DKI Jakarta

76

Dari data di atas tersebut jelaslah bahwa raihan suara PPP yang minim di

tingkat nasional ternyata di sisi lain yakni keterwakilan perempuan memiliki

perolehan yang cukup baik bahkan perempuan PPP yang terbesar prosentasenya

dibanding partai lain, tetapi bila dibandingkan dengan raihan suara di DKI Jakarta

yang hampir mencapai 10% justru keterwakilan perempuannya minim, apalagi

jika disangkutkan dengan data bahwa PPP adalah partai yang paling banyak

mengirimkan wakil perempuan dalam tahap pencalonan sebanyak 36%.99

Bila ditelusuri lebih lanjut tentang caleg-caleg perempuan terpilih PPP

baik DPR RI maupun DPRD DKI Jakarta memang tidak bisa dilepaskan dari

temuan Puskapol UI yang menyatakan bahwa oligarki partai politik berperan

penting dalam terpilihnya calon-calon perempuan. Hal demikian juga bisa dilihat

dari partai PPP di DPR RI sendiri yang menunjukkan bahwa 6 dari 10 caleg yang

terpilih terindikasi merupakan kerabat dekat dari elit politik PPP nasional maupun

daerah.100

Pada DPRD DKI Jakarta sendiri satu-satunya perempuan terpilih dari

PPP juga menunjukkan indikasi demikian. Walaupun banyak dari mereka juga

berkarir dan menjadi kader sudah sejak lama di PPP namun tidak dipungkiri

bahwa kedekatan dengan elit partai membuat nilai lebih sendiri bagi mereka

99

Lihat Tabel IV.A.1 tentang Prosentase Keterwakilan Perempuan Pada Tahap

Pencalonan Legislatif DPRD DKI Jakarta Pada tahun 2014-2019 100

Indikasi Oligarki pada caleg terpilih perempuan PPP. Fatmawati Rusdi (Istri

Bupati Sidrap, Rusdi Masse), Kartikha Yudhisti (Putri Suryardhama Ali), Wardatul

Asriyah (Istri Suryadharma Ali), Ermalena (Staf Khusus Suryadharma Ali ketika

menjabat Menteri Koperasi&UKM 2004-2009 dan Menteri Agama 2009-2014), Irma

Narulita (Istri Dimyati Natakusuma), Nurhayati (Istri Suharso Monoarfa)

77

dibanding calon-calon perempuan lainnya yang tidak sama sekali memiliki

kedekatan dengan elit politik.

Membicarakan affirmative action dalam tubuh PPP peneliti menganalisis

wawancara peneliti dengan narasumber yakni Abdul Aziz sebagai ketua DPW

PPP DKI Jakarta, pertama-tama menurutnya ―afirmasi soal perempuan itu di

undang-undang paling tidak menjadi tindakan ―pemaksaan‖ buat partai,

pemaksaan dalam tanda kutip sehingga partai mau tidak mau harus mengikuti itu

(peraturan)‖101

memang afirmasi perempuan ini mempunyai kekuatan hukum atas

nama UU No. 8 tahun 2012 sehingga partai terpaksa bekerja keras untuk

memenuhi afirmasi perempuan tersebut, terlebih partai-partai yang memiliki basis

agama yang berorientasi tradisonal seperti PPP yang massanya cukup banyak.

Lebih lanjut Abdul Aziz memberikan kesan terhadap afirmasi perempuan ini

sebagai ―pemaksaan‖ berkonotasi positif untuk memberikan kesempatan kepada

perempuan berkiprah di politik secara langsung dalam pemilu.

Menurut Ani Soetjipto dalam bukunya Politik Bukan Gerhana: Esai-esai

pilihan 2005, membenarkan bahwa Partai Persatuan Pembangunan adalah partai

besar yang kesulitan untuk menjaring caleg perempuan,102

hal ini dimungkinkan

karena sejak awal partai ini menganggap isu keterwakilan adalah isu yang kurang

101

Wawancara dengan H. Abdul Aziz, SE. Ketua DPW PPP DKI Jakarta, 30

November 2016 102

Ani Widyani Soetjipto, Politik Perempuan Bukan Gerhana: Esai-esai pilihan

(Jakarta; Penerbit Buku Kompas, 2005) hal. 212

78

popular, sehingga bisa jadi partai ini tidak aware dengan isu-isu berbau gender,

PPP adalah partai Islam dengan visi-misi serta platform yang kental dan tak

terlepas dari Al-Quran dan As-Sunnah, terlebih dalam awal pembetukannya PPP

adalah partai fusi dari golongan yang boleh dibilang tradisional, maka dari itu isu-

isu seperti kesetaraan gender dan sebagainya yang dianggap sebagai bentuk

pemordenisasian pemikiran kurang begitu mendapat tempat dalam tubuh PPP.

Kemudian untuk meningkatkan representasi perempuan dalam PPP juga

guna mengedukasi perempuan, PPP membuat banom (badan otonom) yang

khusus menjadi lokus bagi wanita bernama WPP (wanita persatuan

pembangunan) seperti yang disampaikan juga oleh Abdul Aziz bahwa ―WPP

memang di design untuk melakukan pembinaan pada perempuan di PPP, jadi kan

secara realistis perempuan perlu diberikan pendalaman secara khusus materi

pembinaan, kepemimpinan dan sebagainya, WPP itu wadah positif buat

pemberdayaan perempuan di PPP.‖103

Dalam hal pencalonan Abdul Aziz mengungkapkan bahwa tidak ada

perlakuan khusus sama sekali untuk tiap caleg baik perempuan maupun laki-laki,

―tidak ada perbedaan, tidak ada perlakuan khusus itu pertama, karena kita

mengangggap sama semuanya, laki dan perempuan kita harus samakan

103

Wawancara dengan H. Abdul Aziz, SE. Ketua DPW PPP DKI Jakarta, 30

November 2016

79

kualitasnya, dari segi kualitas kapabilitas dan seterusnya itu sama‖104

hal ini

menurut hemat penulis sangat disayangkan, mengingat ketertinggalan antara laki-

laki dan perempuan selama ini harusnya bisa dihilangkan dengan priviledge

khusus untuk perempuan selain pendidikan kepemimpinan dan karakter yang di

dapat lewat WPP, seharusnya partai dalam hal ini PPP secara sadar

memprioritaskan perempuan dalam nomor urut partai yg memakai zipper 3

banding satu, atau dengan membuat proporsi perempuan jauh diatas 30% dalam

daftar caleg, hal ini bisa dilakukan jika ada political will dari PPP terkait

affirmative action.

Kemudian ketika peneliti menanyakan tentang raihan perempuan di PPP

yang hanya satu kursi apakah suatu capaian yang memang diharapkan atau tidak,

Abdul Aziz menjawab bahwa

Kita berharap tetap ada 30% (perempuan) yang masuk yah, mestinya tiga

kan yah tetapi karena pemilihan langsung (proporsional terbuka) baru satu

yang masuk…. kita sih proporsional saja mas dari sepuluh orang ini

mestinya 30% persen yang jadi ya perempuan, karena sesuai kan dengan

afirmasi perempuan.105

Pernyataan tersebut menurut penulis cenderung paradoks mengingat upaya yang

dilakukan PPP dalam hal afirmasi perempuan umumnya hanya menitik beratkan

kepada peran WPP, dan upaya dari PPP umumnya hanya mengikuti mandat dari

undang-undang yang ―memaksa‖ dalam konotasi positif.

104

Wawancara dengan H. Abdul Aziz, SE. Ketua DPW PPP DKI Jakarta, 30

November 2016. 105

Wawancara dengan H. Abdul Aziz, SE.

80

Secara umum raihan suara PPP di DKI Jakarta dalam Pileg tingkat DPRD

lumayan besar, PPP menempati urutan ketiga perolehan suara di DKI Jakarta

dibawah PDI-Perjuangan dan Gerindra walaupun dalam raihan kursi PPP kalah

satu kursi dengan PKS yang menempati peringkat keempat dalam kuantitas kursi

di parlemen,106

tetapi raihan suara yang lumayan besar itu jika dianalisis lebih

lanjut akan didapati fakta bahwa suara banyak terpusat di caleg laki-laki, hal

tersebut menurut pandangan penulis tidak lepas dari basis pemilih PPP yang

kebanyakan diisi oleh pemilih tradisional seperti yang diungkapkan oleh

Arifuddin Halking dalam petikan wawancara ―.....PPP ini masih banyak massa

yang tradisional.....‖107

sehingga preferensinya menurut hemat penulis banyak

dipengaruhi oleh pertama agama, kedua patriarki, dan budaya setempat (dalam hal

ini Betawi), adapun peran atau upaya PPP dan WPP yang kurang maksimal

dalam rangka afirmasi perempuan juga penulis rasa turut memberikan andil

terhadap kecilnya suara perempuan PPP pada pileg DPRD DKI tahun 2014 ini.

106

Wawancara dengan H. Abdul Aziz, SE. Ketua DPW PPP DKI Jakarta, 30

November 2016. 107

Wawancara dengan Drs. H. Arifuddin Halking M. Si, Wakil Ketua Bidang

OKK DPW PPP Jakarta, 17 November di Kantor DPW PPP Jakarta, Buaran.

81

BAB V

PENUTUP

A. Kesimpulan

1. Persoalan representasi perempuan di parlemen memang menjadi persoalan

yang, berlarut dan alot, affirmative action hadir pasca reformasi dengan

mensyaratkan partai menyertakan minimal 30% caleg perempuannya

untuk berkontestasi dalam pemilu. Hal tersebut dilaksanakan partai

dengan ogah-ogahan mengingat susahnya menjaring kader apalagi

perempuan untuk mau maju menjadi caleg pada pemilu legislatif. Dalam

penerapannya, kebijakan 30% caleg perempuan pada pemilu menunjukkan

terdapat peningkatan yang cukup berarti dalam hal kuantitas caleg di

parlemen, walaupun prosentasenya masih jauh dari 30% yang

diharapakan, tetapi setidaknya hal ini telah mendorong peningkatan minat

perempuan terhadap politik.

2. Berbicara tentang perolehan suara perempuan, budaya patriarki dan

stigma-stigma negatif pada perempuan dalam ruang politik rupanya masih

ditemui sebagai preferensi pemilih dalam pemilu 2014 di DKI Jakarta,

sehingga perolehan suara perempuan minim dan implikasinya adalah

sedikitnya perempuan yang masuk dalam parlemen sehingga tidak

mencapai 30% critical mass. Dimana angka 30% critical mass tersebut

82

mempunyai korelasi positif terhadap kebijakan-kebijakan yang akan

dikeluarkan nantinya akan pro terhadap kesetaraan dan keadilan gender.

3. Tuntutan keterwakilan perempuan minimal 30% dalam pemilu sudah

dilaksanakan oleh PPP DKI Jakarta, hal itu juga sesuai anjuran JUKLAK

(Petunjuk Pelaksanaan) DPP PPP. Perempuan dalam PPP juga telah

diberikan tempat khusus untuk pengembangan dan pengedukasian dalam

politik yakni WPPP, setelah sebelumnya hanya menjadi lokus dari

departemen wanita pada masa Orde Baru. Namun hal itu semua dirasa

belum cukup, mengingat keterwakilan perempuan di Fraksi PPP DPRD

DKI Jakarta belum mencapai 30%, bahkan pada tahun 2009 PPP DKI

Jakarta tidak mempunyai wakil perempuan dalam DPRD. Hal ini

menandakan belum ada upaya yang optimal dan serius dari seluruh

stakeholder PPP dalam penigkatan keterwakilan perempuan di parlemen.

B. Saran

1. Penerapan 30% minimal calon perempuan pemilu legislatif menemui

permasalahan ketika caleg perempuan yang terpilih tetap dibawah 30%.

Hal ini terjadi karena partai banyak menganggap 30% sebagai persyaratan

yang harus dilewati dengan cara normative. Sistem semi-zipper yang

mengharuskan minimal ada satu caleg perempuan di setiap tiga daftar

caleg sering dimaknai tekstual oleh partai politik, sehingga perempuan

sering ditempatkan pada nomor terakhir dalam semi-zipper tersebut,

83

padahal seharusnya perempuan mendapat prioritas pada nomor awal

dalam semi-zipper jika mengikuti affirmative action. Terlebih kontestan

pileg yang terlalu banyak juga akan menyulitkan perempuan dalam hal

keterpilihan. Penulis memberi solusi bahwa harus ada langkah yang

―radikal‖ untuk meningkatkan keterwakilan perempuan dalam politik

secara signifikan dengan cara, mengubah semi-zipper menjadi zipper

murni yang akan membuat daftar caleg selang-seling antara laki-laki dan

perempuan dan susunannya horizontal (kiri-kanan), serta pembatasan

kontestan pileg, dengan pembatasan kontestan pileg akan membuat

peluang caleg perempuan untuk terpilih semakin besar.

2. Memberikan pendidikan sadar gender dalam masyarakat, pendidikan ini

harus dilakukan bersama-sama. Bukan hanya oleh partai dan

penyelenggara pemilu atau LSM yang concern terhadap pemilu dan

perempuan saja, tetapi masyarakat juga dituntut aktif untuk sadar gender,

bahwa perempuan juga bisa dan mampu berkecimpung dalam ruang-ruang

publik khususnya dalam ruang politik, sebagai lokus pembuatan kebijakan

baik di tingkat legislatif maupun eksekutif.

3. Partai PPP harus menambah basis massa dari kalangan baru dan jangan

hanya terpaku pada basis tradisional saja. PPP juga harus mengintenskan

peran perempuan dalam pengambilan keputusan partai misalnya, dan

jangan hanya mengandalkan WPP sebagi lokus pengembangan dan

84

pemberdayaan perempuan saja, tetapi harus ditarik dalam kepengurusan

partai secara massif. Dalam hal keterwakilan perempuan, PPP DKI Jakarta

bisa menduplikasikan penempatan nomor urut di Dapil IV Jakarta yang

proporsinya 50:50 antara laki-laki dan perempuan ke semua Dapil yang

ada di Jakarta.

85

DAFTAR PUSTAKA

Adams, Ian, 2004. Ideologi Politik Mutakhir: Konsep, Ragam, Kritik, dan Masa

Depannya , Yogyakarta: Qalam.

Adeney, Bernard T. 2000 Etika Sosial Lintas Budaya, Yogyakarta: Pustaka

Kanisius.

Adji, M. Lina Meilinawati dan Baban banita. 2009. Perempuan Dalam Kuasa

Patriarki, laporan penelitian/Buku Fakultas Sastra Universitas Padjajaran.

Aritonang, Jan. S. 2004. Sejarah Perjumpaan Islam dan Kristen di Indonesia, ,

Jakarta: BPK Gunung Mulia.

Arivia, Gadis. 2006. Feminisme: Sebuah Kata Hati, Jakarta: Kompas.

A. Winters, Jeffrey. 2011. Oligarki , Jakarta : Gramedia Pustaka Utama.

Ballington, Julie., ed. 2002. Perempuan di Parlemen: Bukan Sekedar Jumlah,

Jakarta: International Idea.

Budiardjo, Miriam. 2012. Cetakan kedua, Dasar-Dasar Ilmu Politik, Jakarta:

Gramedia Pustaka Utama.

Dault, Adhyaksa. 2012. Menghadang Negara Gagal: Sebuah Ijtihad Politik,

Renungan Seorang Anak Bangsa. Jakarta: Renebook.

Djajanegara, Soenarjati. 2000. Kritik Sastra Feminisme: Sebuah Pengantar,

Jakarta: Gramdeia Pustaka Utama.

Fakih, Mansour. 1997. Analisis Gender dan Transformasi Sosial, Yogyakarta:

Pustaka Pelajar.

Fauzia, Amelia. 2004. Tentang perempuan Islam: Gerakan dan Wacana, Jakarta:

Gramedia Pustaka Utama.

Firmanzah. 2008. Marketing politik antara pemahaman dan realitas, Jakarta:

Yayasan Obor Indonesia.

Hanafie, Haniah dan Suryani. 2011. Politik Inonesia, Ciputat: Lemlit UIN Jakarta

86

Haris, Syamsuddin, ed. 2004 Pemilu Langsung Di tengah Oligarki Partai: proses

nominasi dan seleksi calon anggota legislatif Pemilu, Jakarta: Gramedia

Pustaka Utama.

Hoodfaar, Homa dan Mona Tajali. 2011. Electoral Politics : Making Quota Work

For Women , London: WLUML.

Krook, Mona Lena. 2009. Quotas For Women in Politics : Gender and

Candidate Selection Reform Worldwide , New York : Oxford University

Press.

Lovenduski, Joni. 2008. Politik Berparas Perempuan , Yogyakarta: Kanisius.

Mujani, Saiful, Kuskridho Ambardi dan R William Liddle. 2012. Kuasa Rakyat:

Analisis tentang Perilaku Memilih dalam Pemilihan Legislatif dan

Presiden Pasca-Orde Baru, Mizan Publika: Jakarta.

Mulia, Siti Musdah. 2007. Menuju Kemandirian Politik Perempuan (Upaya

Mengakhiri Depolitisasi Perempuan Di Indonesia), Yogyakarta: KIBAR

Pres

Nurruzzaman, M. 2005. Kiai Husein Membela Perempuan, Yogyakarta: Pustaka

Pesantren.

Pramono, Sidik, ed., 2014. Meningkatkan Keterwakilan Perempuan: Penguatan

Kebijakan Afirmasi, Kemitraan partenership.

Robert Michels, Robert. 1984. Partai Politik: Kecenderungan Oligarkis dalam

Birokrasi, Jakarta: CV Rajawali.

Rokhmansyah, Alfian, 2016. Pengantar Gender dan Feminisme Pemahaman

Awal Kritik Sastra Feminisme, Yogyakarta: Garudhawaca.

Rosyidah, Ida dan Hermawati. 2003. Relasi Gender dalam Agama-Agama ,

Jakarta: UIN Jakarta Press.

Silalahi, Ulber. 2009. Metode Penelitian Sosial, Bandung: Refika Aditama.

Subhan, Zaitunah. 2004. Perempuan Dan Politik Dalam Islam, Yogyakarta:

Pustaka Pesantren.

87

Tong, Rosemarie Putnam. 2004. Feminist Thought: Pengantar Paling

Komprehensif kepada Aliran Utama Pemikiran Feminis, Yogyakarta:

Jalasutra.

Walby, Sylvia. 1990. Theorizing Patriarchy, Oxford: Basil Blackwell Ltd.

Widyani Soetjipto, Ani. 2005. Politik Perempuan Bukan Gerhana: Esai-esai

pilihan , Jakarta; Penerbit Buku Kompas.

Winarno, Budi. 2007. Sistem Politik Indonesia Era Reformasi, (Yogyakarta:

Media Pressindo.

Yuda, Hanta. 2010. Presdensialisme Setengah Hati: Dari Dilema Ke Kompromi ,

Jakarta: Gramedia Pustaka Utama.

Zen, Fathurin. 2004. NU Politik: Analisis Wacana Media, Yogyakarta:LkiS.

Sumber Jurnal dan Website

Wacana: Jurnal Ilmu Pengetahuan Budaya, Vol. 10 No. 1,

KOMUNIKA, Vol, 8 No. I, 2005. LIPI

http://nasional.kompas.com/read/2016/04/11/06350171/PPP.dan.Islah.yang.Tak.S

empurna diunduh pada 14 Oktober 2016

http://nasional.kompas.com/read/2016/04/27/15241031/Menkumham.Sahkan.Kep

engurusan.PPP.Hasil.Muktamar.Islah diunduh pada 14 Oktober 2016

http://ppp.or.id/page/ppp-dalam-lintasan-sejarah/index/ diunduh pada 18 Oktober

2016

http://ppp.or.id/page/visi-dan-misi-ppp/index/ diunduh pada 24 September 2016

www.puskapol.ui.ac.id/opini/menghadirkan-kepentingan-perempuan-dalam-

representasi-politik-di-indonesia.html diunduh pada 24 September 2016

http://www.puskapol.ui.ac.id/publikasi_puskapol/analisis-perolehan-suara-dalam-

pemilu-2014-oligarki-politik-dibalik-keterpilihan-caleg-perempuan.html

diunduh pada 26 Mei 2016

88

Sumber Wawancara

Wawancara dengan Usep Hasan Sadikin, Peneliti Perludem, Pegiat Isu-isu

keterwakilan Perempuan, 15 November 2016 jam 11:30-12:45, di Kantor

Perludem Tebet

Wawancara dengan Drs. H. Arifuddin Halking M. Si, Wakil Ketua Bidang OKK

DPW PPP Jakarta, 17 November di Kantor DPW PPP Jakarta, Klender.

Wawancara dengan H. Abdul Aziz, SE. Ketua DPW PPP DKI Jakarta, 30

November 2016.

Wawancara dengan Hj. Marie Amadea Ismayani S.Si, Ketua KPPI (Kaukus

Perempuan Politik Indonesia) DKI Jakarta, 12 Januari 2017