GAMBARAN PENGHAYATAN PERAN IBU DALAM SOSIALISASI IDENTITAS GENDER ANAK PEREMPUAN KELUARGA TIONGHOA

131
i GAMBARAN PENGHAYATAN PERAN IBU DALAM SOSIALISASI IDENTITAS GENDER ANAK PEREMPUAN KELUARGA TIONGHOA Oleh Anastasia Setyaning A.S. 2008-070-048 Dipertahankan di hadapan Dewan Penguji Fakultas Psikologi Universitas Katolik Indonesia Atma Jaya di Jakarta pada tanggal.................................. Menyetujui, Pembimbing Skripsi Dr. Nani I.R. Nurrachman, Psikolog. Dekan Fakultas Psikologi Universitas Katolik Atma Jaya Dr. phil. Juliana Murniati Fakultas Psikologi Universitas Katolik Indonesia Atma Jaya, Jakarta Juli 2012

Transcript of GAMBARAN PENGHAYATAN PERAN IBU DALAM SOSIALISASI IDENTITAS GENDER ANAK PEREMPUAN KELUARGA TIONGHOA

i

GAMBARAN PENGHAYATAN PERAN IBU DALAM

SOSIALISASI IDENTITAS GENDER ANAK PEREMPUAN

KELUARGA TIONGHOA

Oleh

Anastasia Setyaning A.S.

2008-070-048

Dipertahankan di hadapan

Dewan Penguji Fakultas Psikologi

Universitas Katolik Indonesia Atma Jaya di Jakarta

pada tanggal..................................

Menyetujui, Pembimbing Skripsi

Dr. Nani I.R. Nurrachman, Psikolog.

Dekan Fakultas Psikologi

Universitas Katolik Atma Jaya

Dr. phil. Juliana Murniati

Fakultas Psikologi

Universitas Katolik Indonesia Atma Jaya, Jakarta

Juli 2012

ii

ABSTRAK

Anastasia Setyaning A.S. 2008-070-048

Gambaran Penghayatan Peran Ibu dalam Sosialisasi Identitas Gender Anak

Perempuan Keluarga Tionghoa

ix + 112 halaman, 11 tabel, 2 gambar

Bibliografi 49 (1978-2012)

Relasi paling awal yang dialami seorang manusia adalah hubungan dengan

ibunya (Chodorow, 1978). Melalui relasi dengan ibu, self anak terbentuk dan anak

memahami self-nya berdasarkan hubungan dirinya dengan ibu. Diri seorang ibu

sebagai perempuan adalah self-in relation (Chodorow, 1978). Maka secara

bersamaan ibu pun membentuk self dan pemahaman dirinya tentang self melalui

interaksi dengan anak-nya. Pada anak perempuan yang memiliki kesamaan

ketubuhan dengan ibu, perkembangan dirinya dibangun melalui connectedness

dengan ibu. Di pihak ibu, kesamaan ketubuhan ini menyebabkan hadirnya

kembali seluruh pengalaman hidup ibu sebagai perempuan. Berbeda dari

psikologi arus utama yang memandang self terbentuk melalui otonomi dan

keterpisahan dari pengasuh utama, psikologi perempuan melihat diri perempuan

terbentuk melalui relasi ibu dan anak perempuan.

Pada keluarga Tionghoa yang patriarkis, ibu dan anak perempuan

memiliki pengalaman dibedakan yang sama. Sebab perempuan dipandang sebagai

warga kelas dua dalam budaya Tionghoa (Meij, 2009). Pada konteks kehidupan

masyarakat Indonesia, perempuan Tionghoa bahkan mengalami dibedakan dua

kali. Pertama, dibedakan karena gendernya, kedua, dibedakan karena etnisnya.

Sementara perempuan keluarga Tionghoa tetap bertahan hidup dan menjalani

kehidupannya sehari-hari dari generasi ke genarasi. Setiap hari dalam keseharian

hidupnya, mereka mengalami pembedaan ini dari lingkungan sosial. Maka dalam

kondisi seperti ini, peneliti tertarik untuk mengetahui gambaran peran ibu dalam

sosialisasi identitas gender anak perempuan di keluarga Tionghoa. Sebab dengan

mengetahui peran ibu, dapat diketahui gambaran pembentukan identitas gender

yang dilakukan ibu kepada anak perempuan yang notabene memiliki kesamaan

ketubuhan dengan ibu. Selain itu, dengan mengetahui pengalaman ibu sebagai

anak dan perempuan, dapat ditelusuri bagaimana seorang ibu menginternalisasi,

merefleksikan, menginterpretasikan dan menghayati hidupnya. Pada akhirnya

keseluruhan proses ini mempengaruhi Ibu saat menjalani perannya.

Untuk memperoleh gambaran penghayatan peran ibu ini, dilakukan

penelitian dengan metode kualitatif, yaitu melalui wawancara mendalam (in-depth

interview) pada dua pasang ibu dan anak perempuan keluarga Tionghoa yang

berdomisili di Jakarta. Subjek dikontrol melalui pembatasan usia anak perempuan

yang terlibat dalam penelitian ini, yaitu dewasa muda (early adulthood).

Berdasarkan hasil penelitian, terlihat bahwa ibu menghayati perannya sebagai

agen perubahan bagi anak perempuannya sehingga anak perempuan tidak lagi

mengalami pembedaan karena gender seperti yang dialami ibunya.

iii

KATA PENGANTAR

Penelitian ini berawal dari kepedulian dan keingintahuan pribadi yang tak

dapat dilepaskan dari stimulus orang-orang dan lingkungan yang ada di sekitar

peneliti. Maka pertama-tama peneliti ingin berterima kasih pada (Alm.) Emak

Maria Gouw Giok Eng (1917-2005) yang memberikan paparan (exposure)

pertama bagaimana menjalani hidup sebagai perempuan peranakan Tionghoa-

Indonesia. Serta fasilitasi pembelajaran luar biasa yang telah diberikan oleh kedua

orang tua peneliti sampai hari ini, Stephanus Djoko Satriyo dan Anselma Wiwiek

Widiarti.

Pada saat menjalani proses penelitian, peneliti mengalami banyak proses

pembelajaran melalui kendala literatur, subyektivitas pribadi dan faktor individual

peneliti. Maka peneliti juga ingin berterima kasih pada orang-orang yang telah

berkontribusi secara akademis maupun moril dan emosional terhadap peneliti

sepanjang penulisan skripsi ini, yaitu :

1. Dr. Nani I.R.Nurrachman, Psikolog., pembimbing akademik sekaligus

pembimbing skripsi peneliti. Terima kasih untuk relasi menghidupkan

yang menstimulus rasa ingin tahu dan pembelajaran akan dinamika

dan kearifan hidup, dimulai dari diri sendiri.

2. Dra. Prilyani Pranaya. Terima kasih telah memberikan bantuan

literatur dan koneksi untuk menghubungi Ibu Myra Sidharta dan Prof.

Dr. Melani Budianta. Untuk Ibu Myra Sidharta dan Prof. Dr. Melani

Budianta, terima kasih untuk bantuan literatur dan pemikiran pada

tahap awal penelitian ini.

3. Dr. Sherley-Lim dari Gender Studies, University of California.

Pertemuan penuh kesan di Ubud Writers & Readers Festival pada

bulan Oktober 2011, dilanjutkan pertemuan pada Biennale Sastra

Komunitas Salihara, yang memberikan kontribusi pemikiran dan

bantuan literatur.

4. Aquino Hayunta, S. Sos. Terima kasih telah memfasilitasi perkenalan

dengan Diyah Wara, M.Si, ketua komunitas pemuda Ikatan Indonesia-

Tionghoa (INTI). Tempat peneliti berdiskusi menjelang pengambilan

data responden.

5. Perpustakaan Kajian Wanita Universitas Indonesia, Salemba yang

menyediakan berbagai literatur yang dibutuhkan peneliti untuk

menyusun kerangka penelitian.

6. Anggita Hotna Panjaitan yang memfasilitasi perkenalan dengan Farid

Hanggawan, S.H.. Terima kasih untuk kesedian berdiskusi dan bantuan

literatur tentang filsuf perempuan.

7. Ibu dan anak perempuan yang menjadi subjek penelitian ini. Mereka

menjadi pionir usaha dan kerinduan untuk memotret kehidupan ibu-

anak perempuan keluarga Tionghoa masa kini.

8. Teman-teman, karyawan dan dosen Fakultas Psikologi Unika Atma

Jaya yang memfasilitasi pembelajaran dan dukungan melalui interaksi

sehari-hari. Terutama untuk :

iv

- Sebastian Partogi, S.Psi, Raina Paramitha, S. Psi, Rebeka Pinaima,

S.Psi, Pithe Lim, S.Psi., dan Okki Sutanto, S.Psi.

- Grace Maria Sininta, S.Psi, Amelia Hartono, S.Psi, Kenny Ahldrin,

S.Psi, Anastasia Primasari, S. Psi, Cendy Sanada, Silvyana,

Griselda Jane, Marius Dion dan Almira Rahma.

- Sylvia Dewi Suryaganda dan Nadya Regina Pryana.

- Inez Kristanti, Tesar Gusmawan, Arnold Lukito, Gabriela Angie,

Edwin Nathaniel.

9. Stephani Fitria Winda Satriyo dan Maria Yohanna Widianti Satriyo.

Kedua adik peneliti, sparing partner tumbuh berkembang sebagai

perempuan, yang memberi ruang pemakluman dan pembelajaran

selama menyelesaikan skripsi. Keluarga besar Akong Lim Bun Jie

yang telah memberikan bantuan dan dukungan.

10. Bontor Humala, S.T.. Terima kasih untuk kesegaran, ketenangan,

keteguhan dan semangat yang peneliti peroleh melalui interaksi

bersama.

Hidup adalah proses bertanya. Jawaban hanyalah persinggahan dinamis

yang bisa berubah seiring dengan berkembangnya pemahaman kita (Dee, 2011).

Pada titik persinggahan saat ini, penelitian ini menjadi kulminasi pencarian dan

pertanyaan saya. Terima kasih yang dalam untuk transendensi yang

mengejewantah dalam Allah, Cinta dan alam semesta yang memungkinkan diri

saya untuk menjadikan ini ada.

Exploration is really the essence of the human spirit (Frank Borman).

Who looks outside, dreams. Who looks inside, awaken (Carl Jung).

Jakarta, Juli 2012

Peneliti

v

DAFTAR ISI

Halaman Pengesahan......................................................................................... i

Abstrak Skripsi.................................................................................................. ii

Kata Pengantar.................................................................................................. iii

Daftar Isi........................................................................................................... iv

Daftar Tabel...................................................................................................... v

Daftar Gambar.............................................. ................................................... vi

BAB I PENDAHULUAN................................................................................

I.A. Latar Belakang Masalah.................................................................

I.B. Perumusan Masalah........................................................................

I.C. Tujuan Penelitian............................................................................

I.D. Manfaat Penelitian.........................................................................

I.D.1. Manfaat Teoritis........................................................................

I.D.2. Manfaat Praktis.........................................................................

I.E. Sistematika Penulisan.....................................................................

1

1

10

10

10

10

10

11

BAB II LANDASAN TEORI..........................................................................

II.A. Psikologi Perempuan Berbeda dengan Psikologi Laki-Laki......

II.B. Psikologi Perkembangan Perempuan..........................................

II.B.1. Perkembangan Diri Sendiri.................................................

II.B.1.1. Teori Gender................................................................

II.B.1.1.1. Perspektif social-learning-theory.........................

II.B.1.1.2. Perspektif psikodinamika....................................

II.B.1.1.3. Perspektif developmental constructive...............

II.B.1.2. Sosialisasi Identitas Gender..................................

II.B.2 Reproduksi Peran Ibu.........................................................

II.B.2.1. Peran Ibu....................................................................

II.B.2.2. Interaksi Ibu dan Anak Perempuan............................

II.B.3. Perempuan dalam Budaya Tionghoa di Indonesia............

II.B.3.1. Terbentuknya Identitas Diri pada Perempuan di

Keluarga Tionghoa.......................................................

II.C. Kerangka Penelitian....................................................................

13

13

13

13

13

16

17

18

20

21

21

23

29

33

40

BAB III METODE PENELITIAN....................................................................

III.A. Jenis Penelitian......................................................................

III.B. Instrumen Penelitian..............................................................

III.C. Subjek Penelitian.....................................................................

III.C.1. Karakteristik Subjek.......................................................

III. D. Prosedur Penelitian...............................................................

III.D.1. Tahap Persiapan............................................................

III.D.2. Cara Memperoleh Subjek..............................................

III.D..3. Tahap Pelaksanaan.......................................................

III.E. Metode Analisis Data...............................................................

41

42

45

45

45

46

46

47

48

50

BAB IV HASIL PENELITIAN.......................................................................

IV.1. Deskripsi Latar Belakang Subyek.............................................

IV.2.1. Hasil Temuan Data Penelitian..........................................

IV.2.1.1. Latar Belakang Ibu Subyek Pertama........................

53

53

53

53

vi

IV.2.1.2. Latar Belakang Anak Perempuan Subyek

Pertama....................................................................

IV.2.1.3. Pengalaman Ibu sebagai Anak Perempuan

Keluarga Tionghoa.................................................

IV.2.1.4. Kesadaran akan Adanya Perubahan Nilai-nilai

yang Disosialisasikan..............................................

IV.2.1.5. Sosialisasi Identitas Gender pada Anak Perempuan

IV.2.1.6. Pengalaman Ibu dan Anak Perempuan dengan

Identitas Ke-Tionghoa-an.......................................

IV.2.2. Subyek Kedua.................................................................

IV.2.2.1. Latar Belakang Ibu Subyek Kedua........................

IV.2.2.2. Latar Belakang Anak Perempuan Subyek Kedua...

IV.2.2.3. Pengalaman Ibu sebagai Anak Perempuan

Keluarga Tionghoa................................................

IV.2.2.4. Kesadaran akan Adanya Perubahan Nilai-nilai

yang Disosialisasikan.............................................

IV.2.2.5. Sosialisasi Identitas Gender pada Anak Perempuan

IV.2.2.6. Pengalaman Ibu dan Anak Perempuan dengan

Identitas Ke-Tionghoa-an........................................

IV.3. Analisis Antar Subyek...........................................................

IV.3.1. Latar Belakang Kehidupan Ibu....................................

IV.3.2. Pengalaman Ibu sebagai Anak Perempuan di

Keluarga Tionghoa......................................................

IV.3.3. Kesadaran akan Adanya Perubahan Nilai-nilai

yang Disosialisasikan...................................................

IV.3.4. Sosialisasi Identitas Gender pada Anak Perempuan.....

IV.3.5. Pengalaman Ibu dan Anak Perempuan dengan

Identitas Ke-Tionghoa-an............................................

IV.4. Dinamika Penghayatan Peran Ibu dalam Sosialisasi

Identitas Gender Anak Perempuan Keluarga Tionghoa.......

56

58

60

62

64

67

67

71

72

75

75

79

82

85

85

89

91

95

98

100

BAB V KESIMPULAN, SARAN DAN DISKUSI...........................................

V.A. Kesimpulan................................................................................

V.B. Diskusi........................................................................................

V.C. Saran...........................................................................................

V.C.1. Saran Metodologis.............................................................

V.C.1.1. Pemilihan Subjek Penelitian........................................

V.C.2. Saran Praktis.....................................................................

108

108

109

112

112

112

Daftar Pustaka

Lampiran

vii

DAFTAR TABEL

Tabel IV.A.1. Deskripsi Latar Belakang Subyek..................................................52

Tabel IV.C.1.1. Perbandingan Latar Belakang Kehidupan Ibu.............................85

Tabel IV.C.1.2. Perbandingan Usia Menikah Ibu..................................................88

Tabel IV.C.1.3. Perbandingan Pendidikan Akhir Ibu............................................88

Tabel IV.C.2.1. Perbandingan Pengalaman Ibu sebagai Anak Perempuan Keluarga

Tionghoa......................................................................................89

Tabel IV.C.3.1. Perbandingan Perubahan Nilai-nilai yang Disosialisasikan........92

Tabel IV.C.3.2. Perbandingan Perubahan Nilai-nilai yang Disosialisasikan pada

Anak Perempuan..........................................................................93

Tabel IV.C.4.1. Perbandingan Sosialisasi Identitas Gender dari Ibu.....................95

Tabel IV.C.4.2. Perbandingan Sosialisasi Identitas Gender pada Anak

Perempuan....................................................................................97

Tabel IV.C.5.1. Perbandingan Pengalaman Ibu dengan Identitas Ke-Tionghoa-an

................................................................................................................................98

Tabel IV.C.5.2. Perbandingan Pengalaman Anak Perempuan dengan Identitas Ke-

Tionghoa-an...........................................................................................................98

viii

DAFTAR GAMBAR

Gambar 1.A.1. Dinamika relasi ibu dan anak perempuan dalam sosialisasi..........7

Gambar II.B.1. Dinamika Teori Penelitian...........................................................41

ix

DAFTAR LAMPIRAN

Surat Pernyataan Kesediaan Subjek

Panduan Pertanyaan

Tabel Analisa Perbandingan Ibu-Anak Perempuan

x

1

BAB I

PENDAHULUAN

I.A. Latar Belakang Masalah

Know Thy Self~Socrates (469-399 SM)

Manusia adalah makhluk yang senantiasa mempertanyakan dirinya, yang

selalu “menjadi” (becoming). Perjalanan manusia dalam mempertanyakan dan

mengenal dirinya dapat dilihat dari perjalanan sejarah manusia (Wibowo, 2009).

Di dalam ilmu psikologi, perjalanan sejarah seorang manusia dari konsepsi

sampai kematian dipelajari pada Psikologi Perkembangan. Pembelajaran

mengenai life-span development berisi informasi mengenai siapa diri kita,

mengapa kita menjadi seperti saat ini dan bagaimana seluruh pengalaman hidup

mempengaruhi masa depan kita (Santrock, 2008). Proses pembelajaran ini dapat

memunculkan isu dan pertanyaan terkait perkembangan diri manusia.

Pada diri peneliti, pertanyaan muncul dari hasil refleksi diri terhadap

pengalaman hidup selama dua puluh tahun sebagai perempuan dikaitkan dengan

materi Psikologi Perkembangan. Peneliti menyadari adanya perbedaan identitas

feminin yang diperoleh dalam interaksi di keluarga inti dengan ekspektasi

identitas feminin yang ada di lingkungan masyarakat.

Kedua orang tua peneliti sampai saat ini tidak pernah mendidik ketiga anak

perempuannya menggunakan batasan gender. Kedua orang tua terutama ibu,

mendidik anak perempuan dengan paradigma sebagai manusia ciptaan Tuhan

2

seluruh potensi diri dan talenta perlu dikembangkan dengan maksimal

(komunikasi pribadi, 9 April 2011). Segala usaha untuk memaksimalkan potensi

dan kemampuan diri dikaitkan dengan kebergunaan bagi sesama, lingkungan

sekitar, bangsa dan tanah air. Sementara di lingkungan masyarakat ada batasan

bagi anak perempuan untuk mengaktualisasikan diri karena identitas gendernya

(“Nasib Kartini”, 2012). Anak perempuan terikat oleh nilai-nilai kultural yang

membatasi pilihan dan kesempatan untuk mengaktualisasikan diri.

Melalui interaksi dengan teman sebaya sejak tingkat sekolah dasar hingga hari

ini yang dilegitimasi melalui komunikasi pribadi (12 April 2011), peneliti

memperoleh informasi bahwa pemahaman dan keyakinan yang dimiliki oleh

teman-teman perempuan mengenai bagaimana harus berpikir dan bertingkah laku

sebagai perempuan diperoleh dari ibu mereka. Seorang teman, Bunga (bukan

nama sebenarnya) memperoleh pengajaran dari ibunya bahwa seorang perempuan

semandiri apapun tetap harus mengurus dan memikirkan keluarganya. Sedangkan

teman lain, sebut saja Citra memperoleh pengajaran dari ibunya bahwa sebagai

perempuan harus bisa menjadi orang yang mandiri dan bisa berdiri di atas kaki

sendiri sehingga kehidupannya terutama dari segi keuangan tidak tergantung pada

suami. Teman lain bernama Sari diajari ibunya sejak kecil untuk bangun pagi dan

rajin membereskan kamar sebab ia seorang anak perempuan.

Teman lain, Mita, diminta ibunya untuk selalu menjaga kebersihan kuku

tangan dan kakinya sebab nanti mertua perempuan akan menilai menantunya dari

kebersihan kuku tangan dan kaki. Sementara Kasih, tidak diperbolehkan ibunya

menggaruk kulit tangannya jika digigit nyamuk. Sebab ibunya tidak ingin kulit

3

anaknya lecet dan menjadi jelek karena digaruk akibat gatal. Menurut ibunya,

salah satu aspek kecantikan perempuan adalah kebersihan dan kehalusan kulit.

Ada juga Jane yang sering diributkan oleh ibunya untuk menjaga berat badan.

Tapi jika ibunya melihat Jane makan terlalu sedikit, ia pun akan meributkannya

juga.

Melalui wawancara lebih lanjut, diketahui pengajaran para ibu kepada anak

perempuannya ini diperoleh dari pengalaman ibu sebagai perempuan. Pengalaman

yang berbeda-beda dari para ibu memunculkan pengasuhan yang berbeda pada

anak perempuan. Pengalaman ibu di budaya patriarki diwariskan kepada anak

perempuan yang memiliki kesamaan ketubuhan dengan ibu. Maka, Ibu akan

merasa tegang dan sangat khawatir bila anak perempuannya gagal memenuhi

tuntutan peran yang diharapkan oleh budaya patriarki (Poerwandari, 2011).

Seorang sosiolog dan psikoanalis feminis, Nancy Chodorow (1978)

berpendapat bahwa perempuan dan laki-laki mengalami perkembangan dan

sosialisasi berbeda karena pengalaman hidup mereka terkait dengan jenis kelamin.

Maka untuk memahami perkembangan manusia secara penuh hanya bisa dicapai

dengan memahami pengalaman laki-laki dan pengalaman perempuan secara

spesifik (Surrey, 1985).

Pengalaman ibu dan anak perempuan yang hidup di budaya patriarkis seperti

yang dipaparkan di atas tidak pernah dibahas dalam psikologi arus utama (Miller,

1986). Padahal relasi ibu dan anak perempuan mempengaruhi dasar dari struktur

utama self mereka (Surrey, 1985). Menurut Chodorow (1978) self dibentuk dari

4

relasi paling awal yang dialami manusia, yaitu hubungan dengan ibu. Selama

sembilan bulan di awal masa kehidupannya anak menjadi bagian (a part) dari

ketubuhan ibunya. Seiring dengan pertumbuhkembangan anak di dalam

kandungan ini eksistensi ibu mulai muncul, demikian telaah Nurrachman (2011)

terhadap Freud & Chodorow.

Secara spesifik, ibu dan anak perempuan memiliki ikatan yang lebih khusus

dibandingkan ibu dengan anak laki-laki (Chodorow, 1978). Dari segi biologis ibu

dan anak perempuan memiliki aspek ketubuhan yang sama sehingga identitas

feminin anak perempuan berkembang dalam konteks keterikatan dengan ibunya,

demikian telaah Nurrachman (2011) terhadap Chodorow. Identitas feminin anak

perempuan dipengaruhi oleh sosialisasi yang dialami dalam hidupnya. Salah satu

agen sosialisasi yang berperan bagi anak perempuan adalah ibunya sendiri. Hal-

hal yang ditransmisikan ibu terhadap anak perempuan di dalam proses sosialisasi

tersebut amat dipengaruhi oleh bagaimana ibu menginternalisasikan nilai budaya

dan masyarakat di mana ia berada (Chodorow, 1978).

Menariknya, jika dilihat dalam kehidupan sehari-hari di masyarakat peran

menjadi ibu telah dipersiapkan dan disosialisasikan kepada perempuan sejak ia

masih kanak-kanak (Hidajadi, 2010). Chodorow (1978) bahkan memaparkan

bahwa kemampuan untuk menjadi ibu “direproduksi” dari ibu kepada anak

perempuannya melalui struktur di dalam hubungan keluarga yang menciptakan

landasan psikologis untuk menjadi ibu (mothering). Misalnya saja, sejak kecil

anak perempuan diberikan mainan yang berkisar pada boneka-bonekaan dan alat-

alat memasak yang menstimulus munculnya perilaku mengasuh dan merawat

5

serta munculnya berbagai peraturan dan larangan agar perempuan tetap

mempunyai sikap yang diangggap pantas bagi seorang perempuan (Hidajadi,

2010). Terlihat bahwa secara psikologis perempuan dipersiapkan untuk menjadi

ibu melalui perkembangan situasi di mana ia bertumbuh kembang bersama

dengan perempuan yang mengasuhnya (Chodorow, 1978).

Ketika seorang perempuan menjadi ibu yang membesarkan anak perempuan, ia

akan bercermin pada dirinya sendiri dengan harapan bahwa anak perempuannya

memperoleh tempat di masyarakat yang patriarki ini (Hidajadi, 2010). Walaupun

demikian, pemahaman dan penghayatan konsep perempuan akan dipersepsi

berbeda-beda oleh perempuan itu sendiri. Perbedaan biopsikologis dan

pengalaman hidup yang melekat pada perempuan membawa konsekuensi pada

cara perempuan mempersepsi dan menghayati dunia realitas serta melakukan

aktivitas di dalamnya (Nurrachman, 2011). Akhirnya, muncul sosok Ibu sebagai

suatu peran dengan dua sisi identitas, yaitu sisi personal berupa konsep diri dan

sisi sosial di mana peran ibu dipengaruhi oleh mitos-mitos dan harapan

masyarakat. Hal ini merupakan telaah Nani Nurrachman terhadap Rubin (2011).

Bagi anak perempuan, figur ibu tampil sangat kuat sebagai stimulus dalam

kognisi anak, yaitu secara ketubuhan, cara berpikir, konsep, maupun dalam nilai

simbolik (Nurrachman, 2011). Di dalam interaksi ibu dan anak perempuan terjadi

proses sosialisasi gender (Corell, 2007) yang meliputi proses kognitif yang

mempengaruhi bagaimana ibu dan anak perempuan menerima, menginterpretasi

dan merespon dunia sosial mereka

6

Maka, pembentukan gender bukan hanya terjadi secara alamiah tetapi

dipengaruhi oleh sosialisasi ibu di dalam keluarga yang merupakan sistem sosial

pertama bagi anak (Gerungan, 2004). Konsep gender sendiri berada di tiga tahap

analisis, yaitu individual, interaksional, dan struktural (Risman, 1998).

Kajian terhadap berbagai penelitian mengenai gender dengan paradigma

psikologi sosial, memberikan pemahaman bahwa gender bukanlah sebuah atribut

menetap melainkan sebuah proses interaksi yang terus menerus terjadi (West &

Zimmerman, 1987). Gender juga dilihat sebagai suatu sistem yang multi-level

(Shelley, 2007). Dengan demikian, gender di tataran individu merupakan suatu

identitas yang diperoleh melalui interaksi sehari-hari di masyarakat berdasarkan

ekspektasi gender yang ada.

Terkait dengan interaksi, munculnya interaksi yang tidak seimbang secara

berulang antara laki-laki dan perempuan memunculkan keyakinan kultural

mengenai perbedaan gender (Eagly & Steffen, 1984 dan Ridgeway dalam Shelley,

2007). Keyakinan kultural mengenai perbedaan gender ini dibawa dan

ditransmisikan oleh ibu dalam interaksinya dengan anak perempuan. Selain

pengaruh keyakinan kultural, cohort kelahiran dan generasi di mana ibu tumbuh

dan berkembang juga akan mempengaruhi bagaimana ia menunjukkan perannya

sebagai ibu dan mentransmisikan sosialisasi gender kepada anak perempuannya

(Fischer, 1991).

Menurut Fischer (1991) ikatan di antara ibu dan anak perempuan, terutama

pada anak perempuan dewasa menjadikan peran ibu (mothering) sebagai hal

7

utama di dalam hidup mereka. Secara langsung maupun tidak langsung, hubungan

ini menjadi penghubung dari satu generasi ke generasi berikutnya. Hal ini dapat

dilihat dalam dinamika sebagai berikut.

Bio Psiko Sosio

Ibu

Agama lingkungan

Bio Psiko Sosio

Media

Anak Perempuan

Budaya

Tradisi

Ibu

Bio Psiko Sosio

Lingkungan

Agama

Anak

Bio Psiko Sosial Media

Gambar 1.A.1. Dinamika relasi ibu dan anak perempuan dalam sosialisasi

Pembelajaran, Penghayatan &

Kesadaran

Sosialisasi

8

Seperti yang telah dipaparkan di atas, perlu ditengarai bagaimana proses

sosialisasi peran gender dilakukan oleh ibu sebagai pengasuh pertama dan utama

anak perempuan. Hal ini perlu dilakukan untuk semakin memahami diri

perempuan sebagai manusia dengan keunikan dan karakteristik yang khas.

Sosialisasi peran gender yang diperoleh dari interaksi antara ibu dengan anak

perempuannya akan memberikan gambaran yang lebih kontekstual dan

komprehensif mengenai dinamika perempuan sebagai manusia.

Menurut Fischer (1991) ada beberapa variabel yang perlu dipertimbangkan

dalam melakukan penelitian antara ibu dan anak perempuan. Variabel tersebut

antara lain, cohort generasi ibu maupun anak perempuan seperti yang sudah

dipaparkan di atas, kelas sosial dan kultur. Woehrer dalam Fischer (1991)

memaparkan adanya perbedaan ekspektasi keluarga dan perilaku terkait dengan

etnisitas.

Indonesia sebagai negara multikultural memiliki keunikan dan kekhasan etnis

yang beragam. Setiap etnis memiliki karakteristiknya masing-masing. Interaksi

dan persinggungan antar etnis pun juga memunculkan dinamika dan karakteristik

yang unik. Di dalam penelitian terhadap peran ibu dalam sosialisasi gender

terhadap anak perempuan ini, penelitian akan difokuskan kepada satu etnis yaitu

etnis Tionghoa. Pemilihan ini berdasarkan kenyataan adanya pelekatan stereotipe

dua kali pada perempuan beretnis Tionghoa (Meij, 2009). Pertama pada

identitasnya sebagai perempuan, kemudian ditambahkan lagi dengan penghayatan

psikologis yang ditimbulkan dari internalisasi etnis Tionghoa di dalam dirinya.

9

Pelekatan stereotipe dua kali pada perempuan beretnis Tionghoa menyebabkan

munculnya perasaan didiskriminasi. Merasa berbeda dan didiskriminasi

mempengaruhi pemaknaan self pada perempuan Tionghoa seperti yang

dipaparkan Mely G. Tan (2008) dari hasil wawancara terhadap perempuan berusia

31 tahun yang berdomisili di Bali, "We are Indonesians of Chinese origin, but we

also know we are not Balinese. We are different from the Balinese, but then we

are not real Chinese either". Pada generasi muda Tionghoa di Indonesia juga

muncul kebingungan sebab mereka lebih melihat diri sebagai orang Indonesia

ketimbang Tionghoa. Mereka menyadari darah Tionghoa mereka walaupun

memiliki pengetahuan yang minim tentang tradisi dan budaya Tionghoa. Namun

mereka merasa diperlakukan berbeda dari mayoritas etnis lain yang ada di

Indonesia. Kondisi ini juga dirasakan oleh dua belas orang mahasiswa Fakultas

Psikologi Unika Atma Jaya dalam komunikasi pribadi (22 November 2011).

Kedekatan peneliti dengan budaya Tionghoa dikarenakan memiliki ibu yang

ber-etnis Tionghoa diharapkan dapat meningkatkan sensitivitas yang diperlukan

untuk memahami permasalahan di dalam penelitian ini. Selain itu melalui kajian

literatur ditemukan bahwa penelitian mengenai Tionghoa di Indonesia amatlah

minim, padahal mereka berkontribusi terhadap tujuh puluh persen sektor ekonomi

swasta Negara Indonesia (Tan, 2008). Maka, penelitian semacam ini diharapkan

dapat membantu masyarakat memahami perilaku manusia dari etnis yang telah

berasimilasi dan bersinggungan dengan masyarakat Indonesia lainnya. Pengakuan

akan ke-Bhinneka Tunggal Ika-an negara Indonesia perlu diwujudkan dalam

penelitian seperti ini.

10

Penelitian ini bertujuan untuk mendapatkan gambaran penghayatan peran ibu

dalam sosialisasi identitas gender anak perempuan keluarga Tionghoa. Jika tujuan

penelitian ini tercapai maka ilmu psikologi yang bertujuan untuk memahami

manusia (dirinya sendiri) berdasarkan interaksi antar manusia dapat semakin

terwujud dan dikembangkan. Terlebih tujuan dari psikologi perempuan secara

khusus, yaitu untuk memahami realitas kehidupan perempuan yang bersumber

dari pengalaman hidup individu perempuan. Secara bersamaan terjadi proses

refleksi atas pengalaman serta interaksi yang reflektif untuk menghasilkan temuan

serta pengetahuan ilmiah yang berspektif perempuan, serta lebih realistis dan

humanis (Nurrachman, 2011).

Untuk mencapai tujuan dari penelitian ini, maka penelitian ini dilakukan

dengan metode kualitatif yang bersifat deskriptif. Penelitian akan dilakukan

dengan teknik wawancara mendalam (in-depth interview) yang akan dilakukan

pada ibu dan anak perempuan usia dewasa muda yang berada dalam satu ikatan

keluarga kandung dan tinggal bersama di satu rumah.

I.B. Perumusan Masalah

“Bagaimana gambaran penghayatan peran Ibu dalam sosialisasi identitas gender

anak perempuan keluarga Tionghoa?

11

I.C. Tujuan Penulisan

Penulisan ini bertujuan untuk memahami secara mendalam mengenai peran ibu

dalam sosialisasi identitas gender anak perempuan. Dengan demikian tercipta

usaha memahami realitas kehidupan perempuan yang bersumber dari pengalaman

hidup individu perempuan.

I.D. Manfaat Penelitian

I.D.1. Manfaat Teoritis

Perolehan gambaran mengenai peran ibu dalam sosialisasi identitas gender

anak perempuan diharapkan memberi referensi dalam perkembangan psikologi

perempuan di Indonesia. Terutama mengenai pemahaman yang lebih mendalam

mengenai dinamika peran ibu dalam proses sosialisasi para calon ibu untuk

generasi selanjutnya, yaitu para anak perempuan.

1.D.2. Manfaat Praktis

1. Memberikan pemahaman kepada psikolog, aktivis dan konselor mengenai

peran ibu dalam sosialisasi identitas gender anak perempuan

2. Memberikan kesadaran pada ibu dan anak perempuan yang terlibat dalam

siklus ibu-anak secara berkelanjutan dalam memahami dinamika relasi dan peran

masing-masing di dalam relasi tersebut.

A. Sistematika Penulisan

Bab I berisi pendahuluan yang terdiri dari latar belakang, perumusan

masalah, tujuan dan manfaat penelitian serta sistematika penulisan. Pada Bab 1

12

diberikan pemaparan mengenai perlunya melakukan penelitian mengenai

gambaran peran ibu dalam sosialisasi identitas gender anak perempuan keluarga

Tionghoa. Bab II berisi tinjauan kepustakaan terkait dengan penelitian ini

mengenai paradigma psikologi perempuan, reproduksi peran ibu dan relasi ibu

dan anak perempuan di keluarga Tionghoa Indonesia. Bab III berisi metodologi

dan prosedur penelitian yang digunakan di dalam penelitian ini. Bab IV berisi

hasil penelitian berupa data yang didapatkan. Dalam bab tersebut akan dibahas

gambaran umum hasil penelitian maupun hasil penelitian secara detail serta

perbandingan antara satu data dengan data yang lain. Bab V berisi hasil penelitian

beserta kesimpulan, diskusi dan saran yang terkait dengan hasil penelitian ini.

13

BAB II

LANDASAN TEORI

II.A. Psikologi Perempuan Berbeda dengan Psikologi Laki-laki

Psikologi arus utama yang berkembang dewasa ini seringkali

menyamaratakan pengalaman hidup laki-laki dan perempuan, terlebih jika hal ini

dikuantifikasikan ke dalam angka. Laki-laki dan perempuan hanya menjadi

simbol jenis kelamin yang tak bermakna apa-apa pada hasil-hasil penelitian yang

dipublikasikan. Padahal jika ingin memahami manusia secara utuh, diperlukan

usaha untuk menyelami kehidupan perempuan maupun laki-laki secara holistik

pula (Nurrachman, 2011). Psikologi yang berkembang di Barat menurut

Nurrachman (2011) cenderung mengarah ke sifat andosentris di mana konsep-

konsep yang terbentuk memerlukan usaha rekonstruksi agar sesuai dengan

pemaknaan yang lebih tepat bagi perempuan.

Psikologi perempuan berbeda dari psikologi laki-laki, sebab perlu disadari

bahwa perbedaan pengalaman hidup perempuan tidak bisa dilepaskan dari faktor

biologis dirinya yang dikenai persepsi sosial-budaya lingkungannya. Perjalanan

perempuan untuk memahami dirinya masih berada dalam batasan-batasan objektif

ketubuhan dan lingkungan sosial budaya. Hal ini sangat jauh berbeda dari

pengalaman dan batasan yang diberikan kepada laki-laki di dalam masyarakat.

Tentu saja hal ini juga akan mempengaruhi bagaimana laki-laki mempersepsikan

diri dan dunia sosialnya. Pada perempuan, salah satu batasan yang dialaminya

adalah melalui perannya sebagai ibu (Nurrachman, 2011). Peran sebagai ibu yang

14

telah disosialisasikan pada anak perempuan sejak usia dini dan kemudian

dialaminya secara langsung, memunculkan diri (self) perempuan yang senantiasa

berada dalam bentuk ‘diri-dalam-relasi’ yang saling tarik menarik dengan diri

sebagai ‘aku’ yang mandiri (Nurrachman, 2011).

Melalui perspektif psikologi perempuan, diharapkan perempuan dapat

dipandang dan dipahami sebagai manusia dengan segala dinamika psike yang

dialaminya. Kecenderungan yang ada selama ini tinjauan mengenai perempuan

cenderung dilihat sebagai ‘yang lain’ oleh konstruksi sosial budaya masyarakat.

Oleh karena itu, tinjauan menggunakan faktor biospikososiokultural yang

berperan di dalam kehidupan perempuan diharapkan mampu memberikan konteks

untuk memahami perempuan sebagai subjek (Nurrachman, 2011) sekaligus untuk

memperoleh gambaran bagaimana perempuan “menyatakan diri” melalui

penghayatan dirinya.

Peneliti mengambil posisi sebagai perempuan dengan menggunakan

perspektif psikologi perempuan untuk melihat diri ibu dan anak perempuan dalam

keluarga Tionghoa secara holistik dan reflektif melalui penuturan mereka akan

pengalaman hidup sebagai perempuan. Perkembangan psikologi perempuan

secara teoritis akan dipaparkan di bawah ini.

II.B. Psikologi Perkembangan Perempuan

II.B.1. Perkembangan Diri Sendiri

II.B.1.1. Teori Gender

15

One is born female or male, but one is socialized to be feminine or masculine

(Cobb, 2000)

Gender merupakan salah satu bagian penting di dalam pembentukan konsep

diri (self concept) sebab gender memainkan peran penting dalam usaha manusia

untuk mendefinisikan dan menjalani dunia mereka (Sroufe, 1996). Salah satu

sarana penting untuk memahami diri adalah melalui pemahaman mengenai

gendernya. Proses identifikasi gender ini dimulai dari umur dua tahun (Cobb,

2000) di mana anak dapat mengidentifikasikan dirinya sebagai anak laki-laki atau

anak perempuan. Proses ini disebut sebagai labelisasi gender (gender labeling).

Sebagian besar anak-anak usia dini, kesulitan membedakan jenis kelamin (sex)

dengan gender. Jika jenis kelamin merujuk pada perbedaan biologis seperti sistem

reproduksi (Cobb, 2000), maka gender lebih menekankan pada pemahaman dan

pembentukan kultural mengenai apa yang disebut sebagai maskulin dan feminin.

Perbedaan gender ditentukan secara sosial melalui proses sosialisasi.

Pada rentang usia antara tiga sampai lima tahun, anak mulai

mengembangkan pemahaman mengenai gender constancy (Cobb, 2000).

Pemahaman ini sejalan dengan sex constancy di mana anak memahami bahwa

jenis kelamin merupakan suatu hal yang permanen dan tidak akan berubah

semata-mata berdasarkan cara seseorang berpakaian. Kemudian secara bertahap

muncul stereotipe gender (gender stereotyping) yang mengajarkan pada anak

mengenai tipe pakaian yang ia kenakan, mainan seperti apa yang cocok untuk

dimainkan serta membayangkan pekerjaan seperti apa yang dijalaninya sebagai

16

orang dewasa. Hal-hal seperti ini berkontribusi pada perkembangan identitas

gender anak sesuai dengan pengalaman mereka sebagai laki-laki maupun

perempuan (Cobb, 2000).

Perkembangan stereotipe gender pada anak terjadi melalui berbagai cara.

Secara umum ada tiga pandangan mengenai terbentuknya stereotipe gender, yaitu

perspektif social-learning-theory, perspektif psikodinamika dan perspektif

developmental constructive (Cobb, 2000).

II.B.1.1.1. Perspektif social-learning-theory

Social-learning-theory menekankan pentingnya peran kekuatan eksternal

dalam membentuk perilaku yang sesuai dengan gender di mana perilaku-perilaku

tersebut merupakan hasil dari suatu pembelajaran. Orang tua memiliki peran

penting dalam proses pembelajaran, baik sebagai model yang diimitasi oleh anak

maupun sebagai pemeran aktif dalam membentuk perilaku anak-anak mereka.

Secara sadar pada umumnya orang tua merasa tidak membeda-bedakan perilaku

dalam bersikap terhadap anak laki-laki dan anak perempuannya. Namun pada

sebuah penelitian yang mengobservasi perilaku ibu (Will, Self & Datan dalam

Cobb, 2000) ditemukan bahwa ibu akan memberikan mainan yang berbeda saat

berinteraksi dengan balita yang dianggap sebagai laki-laki dan perempuan.

Para ibu yang terlibat dalam penelitian ini berkata pada para peneliti

bahwa mereka tidak akan bersikap berbeda kepada anak laki-laki dan perempuan

mereka. Pada masa ini pula perilaku sesuai dengan jenis kelamin (sex-typed

behavior) mulai muncul di usia dua tahun (Sroufe, 1996). Walaupun pada

17

awalnya anak memiliki pemahaman yan terbatas mengenai perilaku sesuai gender,

namun pada usia tiga sampai empat tahun anak akan semakin mengetahui objek

dan aktivitas yang sesuai dengan gender serta semakin memunculkan perilaku

sesuai dengan jenis kelamin (sex-typed behavior).

II.B.1.1.2. Perspektif psikodinamika

Perspektif psikodinamika berawal dari pandangan aliran psikoanalisa

mengenai proses internalisasi mengenai perilaku melalui proses identifikasi.

Melalui identifikasi pada orang tua berjenis kelamin yang sama dengan dirinyaa

(same-sex parent), anak menginternalisasikan semua perilaku dan sikap dari orang

tuanya. Keinginan yang kuat untuk menjadi sama seperti orang tua dari gender

yang sama menyebabkan anak akan mengadopsi perilaku, sikap dan nilai-nilai

yang dimiliki oleh orang tuanya (Soufre, 1996). Proses pengadopsian ini

melibatkan elemen kognitif karena membutuhkan kemampuan anak untuk

mengenali persamaan gender antara dirinya dengan salah satu dari kedua orang

tuanya, lalu membuat abstraksi yang membantunya menggolongkan orangtuanya

sebagai laki-laki atau perempuan.

Chodorow (1978) melihat bahwa anak perempuan mendefinisikan

femininitasnya melalui persamaan yang dimiliki dengan ibunya. Teori Chodorow

berdasar pada asumsi Freudian di mana laki-laki dan perempuan memiliki

hubungan yang paling kuat dalam relasi dengan ibunya. Anak laki-laki

memisahkan diri dari ibunya dalam usaha mengidentifikasi diri, sedangkan anak

perempuan menekankan pada kesamaan antara dirinya dengan ibunya. Proses

18

identifikasi ini menjadi dasar dari perbedaan gender dan seksualitas pada masa

dewasa di kemudian hari. Perempuan akan cenderung mendefinisikan dirinya

dalam keterhubungan dengan orang lain, melihat orang lain dari kesamaan yang

dimilikinya serta memiliki kapasitas yang lebih besar untuk merasakan perasaan

orang lain (Soufre, 1996).

II.B.1.1.3. Perspektif developmental constructive

Pendekatan ini mengasumsikan anak-anak mengkonstruksikan identitas

seksual mereka dengan meniru perilaku orang lain yang sesuai gender secara

selektif, baik perilaku gender yang dilakukan oleh orang tuanya maupun oleh

orang lain. Persepsi selektif dan bukan identifikasi dianggap sebagai proses yang

bertanggung jawab pada perkembangan perilaku gender yang diharapkan (Marin

& Helverson, Bem dalam Cobb, 2000).

Proses persepsi yang selektif ini dibimbing oleh skema gender. Skema

gender merupakan suatu struktur kognitif yang mengarahkan proses pemerolehan

informasi mengenai dirinya sendiri. Skema gender bekerja sesuai dengan tingkat

kesiapan menerima informasi tertentu berdasarkan konsistensi dari suatu skema

gender seseorang . Melalui sebuah penelitian yang dilakukan Carol Martin dan

Halverson serta Bruce Carter dan Gary Levy dalam Cobb (2000) pada anak-anak

di taman kanak-kanak, ditemukan bahwa anak-anak dengan skema gender yang

lebih kuat dan solid memiliki kesulitan mengingat gambar dari suatu aktivitas

yang inkonsisten dengan peran jenis kelamin (sex roles) dan lebih mungkin

19

melakukan kesalahan pada jenis kelamin karakter yang sesuai dengan aktivitas

pada gambar yang mereka ingat kembali.

Sandra Bem dalam Cobb (2000) berpendapat bahwa gender memiliki

cognitive primacy melebihi kategori sosial lainnya karena pentingnya gender di

dalam suatu masyarakat. Perkembangan anak-anak menggunakan skema gender

dalam memproses informasi mengenai diri mereka dan anak-anak lain sedikit

banyak bergantung pada bagaimana gender dikembangkan dalam proses

sosialisasi di masyarakat. Selain itu, perkembangan konsep mengenai peran

gender juga dipengaruhi oleh tingkat kematangan kognitif serta berbagai

pengalaman yang diceritakan maupun diperlihatkan sebagai perilaku yang sesuai

untuk anak laki-laki dan anak perempuan.

Penelitian ini akan menggunakan perspektif social-learning theory dan

perspektif psikodinamika. Kedua perspektif ini digunakan untuk lebih memahami

permasalahan penelitian secara lebih komprehensif dan holistik. Sesuai dengan

teori Chodorow (1978) bahwa pembentukan identitas antara ibu dan anak

perempuan terbentuk dari interaksi di dalam relasi mereka. Ibu menjadi seorang

ibu dan berperilaku seperti ibu karena adanya kehadiran dari anak perempuan dan

anak perempuan berperilaku seperti perempuan karena adanya kehadiran ibu.

Kehadiran ibu dan anak perempuan memunculkan interaksi mutualisme

yang saling memunculkan identitas mereka masing-masing sebagai perempuan.

Di dalam diri mereka masing-masing terjadi pula perkembangan psikodinamika

sebagai individu yang menghayati diri di dalam relasi. Pemaknaan terhadap relasi

20

dengan ibu dan penghayatan terhadap diri pribadi (self) atas seluruh peristiwa

hidup yang dialami menjadi suatu proses tersendiri di dalam diri mereka masing-

masing. Dengan demikian, perspektis social learning theory dan psikodinamika

diperlukan dan relevan untuk memahami penelitian ini.

II.B.1.2. Sosialisasi Identitas Gender

Setelah mengetahui bagaimana gender dipahami anak sejak usia dini, perlu

dipahami pula bagaimana sosialisasi gender terjadi di dalam keluarga sebagai

lingkup sosial yang terkecil. Psikologi sosial tentang gender mempelajari

bagaimana gender dibentuk dan dipengaruhi melalui interaksi sosial (Correl,

2007). Selain dipengaruhi oleh interaksi sosial, sosialisasi gender juga melibatkan

proses kognitif (Correl, 2007). Gender mempengaruhi bagaimana kita menerima,

menginterpretasi dan memberikan respon pada dunia sosial di sekitar kita.

Sosialisasi gender juga melibatkan mekanisme bagaimana interaksi tersebut

didefinisikan dalam rangka transmisi makna mengenai gender. Oleh karena itu,

gender bukanlah semata-mata trait dari seorang individu saja melainkan prinsip

yang terorganisir di dalam semua sistem sosial, termasuk keluarga, pekerjaan,

sekolah, ekonomi, sistem hukum dan interaksi sehari-hari (Correl. 2007).

Para ilmuwan mengkonseptualisasikan gender sebagai institusi di dalam

tiga tingkatan analisis, yaitu tingkat individual, interaksional dan struktural

(Risman dalam Correl, 2007). Tingkat individual merujuk pada trait yang stabil

dari laki-laki dan perempuan yang muncul selama kurun waktu tertentu.

Perbedaan di tingkat individual dipercaya berakar dari perbedaan biologis atau

21

pada sosialisasi anak-anak di usia dini. Pada tingkat interaksional, dikaji

bagaimana perilaku sosial difasilitasi atau dibatasi oleh ekspektasi dari orang-

orang sesuai dengan trait mengenai laki-laki dan perempuan yang mereka miliki

di masyarakat mereka. Sedangkan pada tingkat struktural dikaji bagaimana pola di

tingkat makro, seperti posisi yang diharapkan orang di masyarakat atau imbalan

yang diperoleh dari posisi tersebut mengarahkan pada perbedaan-perbedaan

perilaku atau pengalaman yang dialami perempuan dan laki-laki. Perkembangan

penelitian akhir-akhir ini di dalam psikologi sosial mengenai gender sebagian

besar berfokus pada tingkat interaksional untuk melihat bagaimana ekspektasi

gender membentuk perilaku (Correl, 2007).

Penelitian ini akan menggunakan tingkatan analisis individual dan

interaksional. Tingkatan analisis individual diperlukan untuk memahami

karakteristik individu ibu dan anak perempuan, sedangkan tingkatan interaksional

diperlukan untuk memahami bagaimana interaksi antara anak maupun ibu di

dalam relasi mereka maupun dengan lingkungan sosial di sekitarnya membentuk

pola perilaku gender tertentu berdasarkan pandangan yang dimiliki oleh keluarga

Tionghoa mengenai perempuan sebagai ibu maupun anak.

II.2.2. Reproduksi Peran Ibu

II.2.2.1. Peran Ibu

Chodorow (1978) mengatakan Ibu memiliki peran penting sebagai

pengasuh pertama dan utama bagi anak sehingga ia menjadi sumber identifikasi

(identification) bagi anak. Ibu berperan sebagai pendidik pertama anak, konselor

22

dan menjadi sumber vital bagi dukungan emosional dan keibuan (Kraemer, 2006).

Melalui diri ibu sebagian besar manusia pertama kali belajar mengenal cinta,

kekecewaan, kekuatan dan kelembutann (Rich dalam Hirsch, 1981). Relasi ibu

dengan anak menstimulus pertumbuhkembangan anak sejak masa awal

pertumbuhkembangannya. Pada anak perempuan proses identifikasi terhadap

ibunya berlanjut sepanjang hidupnya, sementara anak laki-laki sejak masa awal

kehidupannya berusaha memisahkan diri dan menjadi berbeda dari ibunya.

Boyd dalam Bickmore (1995) mengatakan bahwa ibu menjadi role model

utama dan pendidik dalam nilai-nilai budaya (cultural values). Pengalaman ibu

bertahan hidup di dunia yang patriarki menjadi landasan baginya untuk

mentransmisikan nilai dan aturan terkait keperempuanan pada anak

perempuannya sehingga anak perempuannya juga dapat bertahan (survive) di

dunia ini (Gilbert & Webster dalam Bickmore, 1995). Pada ibu di kelompok

masyarakat (society) yang memberikan pengasuhan eksklusif serta menjadikan

hubungan ini paling bermakna bagi anaknya maka anak mampu

menumbuhkembangkan sense of self bertitik tolak pada hubungan dengan ibunya

(Chodorow, 1978). Cara ibu mengasuh melalui interaksi dengan anak menjadi

landasan bagi anak di kemudian harinya untuk mengembangkan hubungan intim

dan romantik berdasarkan pengalaman bersama ibu. Anak mendambakan

kebersatuan dalam hubungan bersama dengan orang lain seperti pengalamannya

bersama ibunya ketika ia masih kecil (Chodorow, 1978). Ketika anak menjadi ibu

di saat dewasa, ia akan mengulang kembali pengalaman ia bersama ibunya dahulu

kala. Maka pengalaman menjadi ibu dan ekspektasi yang dimiliki ibu dipengaruhi

23

oleh sejarah pengalaman di masa kecilnya, relasinya terdahulu dan relasinya saat

ini (Chodorow, 1978).

Ibu menjadi simbol ketergantungan, regresi, pasivitas dan minimnya

adaptasi terhadap realita. Menurut Chodorow (1978) dengan berbalik dari diri ibu

seseorang dapat menjadi wanita dan laki-laki dewasa. Sayangnya ibu seringkali

merasa bahwa dirinya memiliki kebersatuan (oneness) dengan anak. Anak juga

dipandangnya sebagai perluasan dari dirinya (extension of the self). Ibu perlu

mengetahui kapan saat yang tepat untuk membiarkan anaknya berdiferensiasi dari

dirinya dan mulai memisahkan diri. Pada situasi seperti ini ibu menciptakan

ambivalensi pada anak.

Di satu sisi ia harus memberikan kesempatan pada anaknya untuk

memisahkan diri dan berbeda dari dirinya tapi di sisi lain ia juga masih harus

membimbing anaknya hingga mencapai tahap pertumbuhkembangan yang

maksimal. Ibu menjadi figur yang sangat kuat tampil sebagai stimulus dalam

kognisi anak, khususnya pada anak perempuan secara ketubuhan, cara berpikir,

konsep, maupun dalam nilai simbolik (Nurrachman, 2011).

II.B.2.2. Interaksi Ibu dan Anak Perempuan

Ibu tercipta karena adanya kehadiran anak, anak pun terlahir karena

adanya ibu. Maka eksistensi Ibu dan anak sama-sama muncul di saat yang

bersamaan melalui interaksi mereka. Interaksi ibu dan anak memiliki kekhasan

sebab selama sembilan bulan pertama anak menjadi bagian (a part) dari

ketubuhan ibu di dalam kandungannya, demikian telaah Nurrachman (2011)

24

terhadap Freud & Chodorow. Lalu setelah anak lahir, ia muncul dalam sosok

tubuh yang berbeda dan terpisah dari ibu secara ketubuhan. Maka melalui proses

pertumbuhkembangan selanjutnya, anak akan belajar membentuk dan

mengembangkan diri pribadi yang secara fisik dan psikologis ‘terpisah’ (apart)

dari ibunya.

Proses ini bukanlah suatu hal yang mudah bagi ibu, sebab secara sadar

maupun tidak sadar ibu sering menganggap ada kemenyatuan (oneness) antara

dirinya dengan anak dan anak merupakan perluasan dari diri ibu (extension of the

self) (Chodorow, 1978). Anak perempuan yang memiliki aspek ketubuhan yang

sama dengan ibu akan semakin merasa sulit memisahkan diri dari ibu dalam

proses identifikasi yang dimulai sejak usia empat tahun ini (Nurrachman, 2011).

Memahami hubungan di antara mereka menjadi hal yang penting sebab ikatan

antara anak perempuan dengan ibunya merupakan relasi yang kompleks dan

saling ketergantungan. Ikatan ini seringkali menghambat anak perempuan untuk

membangun identitas dirinya sendiri (Bickmore, 1995). Dari sisi ibu, ia

mengembangkan hubungan dan identitas yang lebih kuat dengan anak

perempuannya sebagai perluasan dari dirinya sendiri. Menurut Carol Boyd dalam

Lucy Fisher pada Journal of Mother-Daughter Relationship (1995) sepanjang

hidupnya anak perempuan akan bergumul untuk memisahkan diri dari ibunya.

Berdasarkan pengalaman hidupnya sendiri sebagai perempuan, ibu

mendidik anak perempuan tergantung pada orang lain. Menurut Nice dalam

Bickmore (1995) ibu mendidik anak perempuannya untuk memenuhi kebutuhan

laki-laki dan menekan kebutuhannya sendiri. Perempuan dididik menjadi atraktif

25

dan perhatian, tidak terlihat lebih menonjol secara intelektual dibandingkan laki

laki dan selalu mencari penerimaan dari orang lain. Ikatan antara ibu dan anak

perempuan merupakan ikatan pertama dan paling mendasar dalam kehidupan

perempuan yang saling membentuk satu sama lain. Interaksi di dalam hubungan

ini seringkali menjadi kompleks, namun perempuan dewasa muda memiliki

kebutuhan untuk memahami ibunya sehingga dapat memahami dirinya sendiri

(Notar & McDaniel dalam Bickmore, 1995).

Pada interaksi yang kompleks ini masing-masing pihak memiliki

pemaknaan tersendiri terhadap interaksi mereka sehingga mereka pun memiliki

persepsi masing-masing yang berbeda di dalam relasi ini (Kraemer, 2006). Teori

psikoanalisa memandang interaksi ibu dan anak perempuan secara tidak sadar

menginternalisasikan nilai-nilai pengasuhan ibu (maternal values) dan pemaknaan

terhadap nilai dan perilaku yang dimunculkan ibu pada diri anak perempuan

(Boyd, 1989). Sementara teori social learning melihat bahwa anak perempuan

belajar menjadi ibu dan menjadi seperti ibunya melalui konsistensi dan penguatan

perilaku (reinforcement) yang diberikan ibu ketika ia meniru perilaku ibunya

(Weitzman dalam Boyd ,1984).

Ikatan antara ibu dan anak perempuan merupakan expresi yang yang jelas

dan detail tentang kedekatan (intimacy) dan keberjarakkan (distance), hasrat

(passion) dan kekerasan (violance). Hubungan yang paling pribadi sekaligus

paling universal di saat yang bersamaan (Boyd, 1989). Pada hubungan ini pula

anak perempuan memunculkan ambivalensi terhadap ibu sebagai musuh sekaligus

objek dari keinginan (object of desire). Hubungan yang ambivalen ini

26

mendominasi keseluruhan hidup perempuan, terutama dalam relasinya dengan

suami atau orang yang dicinta.

Sampai masa dewasa, ibu masih menjadi inner object yang penting bagi

anak perempuan dalam telaah object-relation psychologist. Dalam relasi ibu

dengan anak perempuannya, sebenarnya ibu juga sedang mengurai relasinya yang

belum terselesaikan dengan ibunya sendiri (Boyd, 1989). Interaksi antara ibu dan

anak perempuan merupakan suatu proses yang berkesinambungan dan

berkelanjutan. Menurut Jung dalam Boyd (1989), di dalam diri setiap ibu

bersemayam anak perempuan di dalam dirinya dan setiap anak perempuan

memiliki diri ibunya. Setiap perempuan mengalami proses putar balik ke belakang

terhadap ibunya dan ke depan menghadapi anak perempuannya.

Nurrachman (2011) dalam telaah terhadap teori Chodorow mengatakan

bahwa penghayatan keibuan merupakan sublimasi psikologis. Bagaimana

perempuan mengkonstruksi dan menghayati perannya sebagai ibu tidak terlepas

dari figur ibunya sendiri. Ibu menjadi aktor utama dalam dasar pembentukan

pribadi anak perempuan. Proses diferensiasi antara anak perempuan dengan

ibunya, akan menjadi landasan bagi anak perempuan untuk menjadi perempuan

yang berbeda dari ibunya (Nurrrachman, 2011).

Menjadi ibu merupakan proses yang dipelajari dan ditanamkan terus

menerus ke dalam diri perempuan. Dapat dilihat dalam kehidupan sehari-hari

bahwa peran menjadi ibu telah dipersiapkan sejak seorang perempuan masih

kanak-kanak (Hidajadi, 2010). Hal ini terlihat dari mainan yang diberikan pada

27

anak perempuan yang berkisar pada boneka-bonekaan dan alat-alat memasak serta

berbagai peraturan dan larangan yang dikenakan pada perempuan untuk tetap

mempunyai sikap yang dianggap pantas bagi seorang perempuan (Hidajadi,

2010). Jadi, anak perempuan sudah disosialisasikan sejak dini untuk menjadi

seorang perempuan dan bahkan seorang ibu di masa-masa mendatang.

Ketika seorang perempuan menjadi ibu yang harus membesarkan anak

perempuannya, ia akan bercermin pada dirinya sendiri dengan harapan bahwa

anak perempuannya memperoleh tempat di masyarakat yang patriarki ini

(Hidajadi, 2010). Pemahaman dan penghayatan konsep perempuan akan

dipersepsi berbeda-beda oleh perempuan itu sendiri. Perbedaan biopsikologis dan

pengalaman hidup yang melekat pada perempuan membawa konsekuensi pada

cara perempuan mempersepsi dan menghayati dunia realitas serta melakukan

aktivitas di dalamnya (Nurrachman, 2011).

Peran gender ini akan terbawa pada dinamika interpersonal antara ibu

dengan anak perempuannya. Ini mencakup bagaimana ibu dan anak perempuan

sebagai sesama perempuan menghadapi mitos dan stereotipi masyarakat dan

sejauh mana ibu dan anak perempuannya saling mengakui satu sama lain sebagai

indiividu (Nurrachman, 2011) dan mengembangkan identitas diri sebagai diri

pribadi yang sejati (real-self) berhadapan dengan diri perempuan yang diidealkan

masyarakat (idealized self). Sebagai contoh, Titi Sjuman-seorang aktris, musikus

dan seniman- dalam wawancara dengan majalah Femina (“4 Cinta”, 2011)

mengatakan untuk urusan cita-cita anak perempuannya bernama Miyake yang

28

berusia lima tahun, ia berkaca dari pengalamannya dahulu sebagai anak. Dulu,

orang tuanya tidak mengizinkan Titi menjadi musikus.

Padahal menurutnya setiap anak berhak memiliki kebebasan memilih cita-

cita. Maka ketika saat ini ia menjadi ibu bersama dengan suami yang berprofesi

sebagai musikus, ia merasa wajib memperkenalkan pengetahuan dasar musik pada

Miyake. Tetapi kalau anaknya tidak tertarik, ia tidak akan dipaksa. Walaupun

sejauh ini, anaknya senang musik dan sudah pandai bernyanyi. Dari pengalaman

Titi, dapat dilihat bahwa pengembangan diri pribadi perempuan mengacu pada

refleksi atas sosialisasi dan pengalaman yang diperolehnya semasa ketika ia

menjadi anak perempuan sampai akhirnya ia sendiri menjadi ibu dan kini melihat

ibunya melalui kacamata perempuan dewasa (Nurrachman, 2011).

Dalam kaitan relasi ibu dengan anak perempuan terlihat adanya hubungan

yang berkesinambungan antara ibu dan anak perempuan dari generasi ke generasi

mengenai peran gender. Proses identifikasi ini merupakan hasil dari pengajaran

secara sadar mengenai perbedaan gender yang merupakan fenomena pembelajaran

yang akan terjadi secara terus menerus (Chodorrow, 1978). Pada umumnya anak

perempuan akan mengembangkan identitas yang sama dengan ibunya ketika

beranjak dewasa melalui pengalamannya berinteraksi bersama dengan ibunya.

Namun, pengalaman dan ekspektasi mengenai pengasuhan sebagai ibu juga

dipengaruhi oleh pengalaman pribadi masa kecilnya, serta relasi masa lalu dan

masa kini secara eksternal maupun internal dengan keluarga ini (Chodorow,

1978). Seluruh sejarah dan relasi yang dimilikinya ini membentuk suatu realitas

psikologis dirinya sendiri.

29

Melalui pembahasan pada teori gender, teori peran ibu dan interaksi antara

ibu dan anak perempuan terlihat bahwa proses identifikasi gender pada diri anak

perempuan tidak dapat dipisahkan dari interaksi dengan ibunya. Hal ini sesuai

dengan pendapat Chodorow (1978) bahwa diri perempuan merupakan diri dalam

relasi. Penelitian yang ingin melihat bagaimana proses identitas gender pada anak

perempuan terbentuk ini tidak dapat dilepaskan dari interaksi ibu dan anak

perempuan melalui pola asuh yang disosialisasikan sejak kecil.

Oleh karena itu perspektif psikodinamika dan teori social learning serta

tingkatan analisis individual dan interaksional akan menjadi kerangka berpikir

dalam penelitian ini. Untuk dapat melihat terjadinya social learning secara lebih

kontekstual maka digunakan konteks sosial budaya di dalam keluarga Tionghoa.

Konteks sosial budaya ini secara langsung maupun tidak langsung menjadi

paradigma dalam memandang perempuan, sebagai entitas gender maupun dalam

peran sebagai ibu dan anak perempuan serta interaksi di antara mereka.

II.2.3. Perempuan dalam budaya Tionghoa di Indonesia

Paradigma perempuan dalam budaya Tionghoa di Indonesia tidak dapat

dilepaskan dari konteks sosial, politik dan budaya yang melingkupinya.

Pengalaman warga keturunan Tionghoa selama lebih dari tiga puluh dua tahun di

masa Orde Baru yang dibedakan menyebabkan penghayatan ke-Indonesiaan yang

berbeda dibandingkan dengan etnis lainnya di Indonesia (Tan, 2008). Analisis

Mely G. Tan terhadap Wang dalam Tan (2008) mengungkapkan adanya

kompleksitas sekaligus pengalaman kontradiktif bagi warga keturunan Tionghoa

30

di Indonesia di masa Orde Baru yang masih terasa implikasinya hingga hari ini.

Secara de jure, mereka tercatat sebagai Warga Negara Indonesia (WNI). Mereka

pun tinggal di daerah demografis Wilayah Kesatuan Republik Indonesia (NKRI)

namun mereka merasa berbeda dari orang Indonesia lainnya maupun dari orang

Cina “yang sebenarnya” (Tan, 2008). Seorang perempuan peranakan dari

Denpasar, Bali pada wawancara dengan Mely G. Tan dalam Tan (2008) berkata

seperti ini “We are Indonesian of Chinese origin; but we also know we are not

Balinese, but then we are not real Chinese either”. Pengalaman perempuan

sebagai ‘yang lain’ (the other) seperti yang dipopulerkan oleh Simone de

Beauvoir dalam The Second Sex (1949) tampaknya terjadi berlapis dua kali pada

perempuan keturunan Tionghoa di Indonesia. Pada lapisan pertama, ia menjadi

‘yang lain’ karena jenis kelaminnya dan pada lapisan kedua ia menjadi ‘yang lain’

karena keetnisitasannya.

Perlu disadari bahwa kelompok Indonesia Tionghoa merupakan suatu

komunitas yang tinggi tingkat keanekaragamannya. Namun sampai saat ini

masyarakat awam cenderung memperlakukan mereka sebagai etnik yang bercorak

tunggal (monolitik) (Dawis, 2009). Menurut Tan (2008), terdapat kontinum yang

luas di dalam kelompok Indonesia Tionghoa. Di satu sisi kontinum terdapat orang

Indonesia Tionghoa yang sudah berakulturasi secara penuh dengan budaya dan

komunitas lokal dan di sisi konitum lain masih ada mereka yang secara kultural

berorientasi Cina. Sebagian besar di antara mereka adalah para pengusaha papan

atas Indonesia.

31

Di tengah-tengah dua kontinum ini mayoritas Indonesia Tionghoa

termasuk dalam kelompok peranakan, yaitu mereka yang secara kultural lebih

berorientasi Indonesia. Mereka menggunakan bahasa Indonesia atau bahasa lokal

di rumah, tidak lagi berbicara dalam bahasa Cina dan memiliki pengetahuan yang

minim tentang agama dan tradisi Tionghoa (Tan, 2008). Kelompok Indonesia

Tionghoa seperti ini dapat ditemui di kota-kota besar. Mereka tidak meragukan

kewarganegaraan Indonesia mereka namun masih menyadari darah Cina di dalam

diri mereka. Bagaimana mereka menghayati identitas diri mereka di tengah

keadaan de jure bahwa mereka warga negara Indonesia tapi secara de facto masih

mengalami perlakuan dan pandangan yang berbeda dipengaruhi kuat oleh ajaran

dan pendidikan di dalam keluarga (Dawis, 2009).

Pada penelitian untuk disertasinya, Dawis melakukan focus group

discussion (FGD) pada orang Indonesia Tionghoa yang berasal dari lima belas

kota berbeda di Indonesia. Ia menemukan keragaman jawaban dari para

respondennya terkait pandangan dan rasa suka (likeness) bergaul dengan orang

bukan Tionghoa, pribumi dan hubungan Tionghoa-pribumi. Menurut Dawis

(2009) kesadaran mereka sebagai orang Tionghoa juga berbeda-beda tergantung

pada tempat di mana mereka dibesarkan dan agama yang dipeluk. Di sisi lain, ada

nilai budaya, tradisi dan adat tertentu yang juga menyatukan orang Indonesia

Tionghoa. Salah satu faktor penting yang menyatukan respondennya adalah

keluarga mereka.

Di dalam keluarga Indonesia Tionghoa terdapat nilai-nilai Konfusius yang

masih dianut dan diwariskan kepada anak-cucu. Di antaranya adalah nilai

32

penghormatan terhadap orangtua dan leluhur. Menurut mereka penghormatan

pada leluhur memberikan mereka restu untuk mendapatkan keberhasilan (Dawis,

2009). Pada perempuan di keluarga Tionghoa, ajaran untuk hormat dan tunduk

pada orang tua lebih ditekankan dan disosialisasikan dibandingkan pada anak laki-

laki (Sidharta, 1987). Pada kelompok peranakan Indonesia yang modern seorang

anak perempuan atau istri yang baik mampu memenuhi permintaan dari keluarga

terutama dari figur maskulin yaitu ayah dan suami. Mereka juga dituntut untuk

menjalankan peran tradisional sebagai anak perempuan, istri dan ibu dengan baik

(Sidharta, 1987).

Budaya patriarki di dalam keluarga Tionghoa menempatkan perempuan

sebagai liyan (Meij, 2009). Tradisi dan budaya memberikan hak istimewa pada

laki-laki untuk membawa nama dan kehormatan keluarga padahal perempuan

berperan besar untuk meneruskan dan mempertahankan tradisi keluarga. Melalui

perempuan nilai-nilai dalam tradisi keluarga diinternalisasikan terutama pada anak

perempuan. Terkait dengan nilai penghormatan terhadap orang tua, keputusan-

keputusan hidup anak perempuan di keluarga Tionghoa masih sangat dipengaruhi

oleh orang tuanya. Misalnya saja dalam memilih jodoh. Orang tua tidak pernah

berkeberatan jika anak perempuannya berteman dengan pribumi tapi tidak

memperkenankan anaknya menikah dengan pribumi. Agama menjadi salah satu

faktor yang menghalangi anak perempuan di keluarga Tionghoa menikah dengan

pribumi (Dawis, 2009). Orang tua pun lebih mengharapkan anak perempuannya

menikah dengan laki-laki Tionghoa sehingga nilai budaya dan tradisi dapat

dipertahankan.

33

Paham Konfusius memunculkan paham mengenai wanita yang sempurna

bagi orang Tionghoa, yaitu mengikuti aturan kepatuhan dalam ajaran Konghucu.

Menurut Sidharta (1987) sebagai gadis yang belum menikah, ia harus patuh

kepada ayahnya dan kakak lelaki tertuanya; kalau sudah menikah ia harus patuh

pada suaminya; dan kalau ia janda patuh kepada anak lelakinya. Tuntutan

terhadap perempuan di keluarga Tionghoa amatlah tinggi namun mereka tidak

diberikan akses dan kesempatan yang sama dengan anak laki-laki untuk membuat

keputusan di dalam hidupnya (Meij, 2009). Pada konteks ini, identitas diri mereka

sebagai perempuan di keluarga Indonesia Tionghoa pun mengalami pergumulan

sekaligus pertumbuhkembangan. Padahal di saat yang bersamaan mereka masih

mempertanyakan pula identitas mereka sebagai bagian dari warga negara

Indonesia. Proses pergumulan identitas mereka pun menjadi berlapis-lapis

disertai pengalaman menjadi liyan atau the other berlapis ganda. Penelitian ini

ingin melihat proses pembentukan identitas perempuan di keluarga Tionghoa

terkait dengan konteks dan situasi yang mereka hadapi.

II.2. 3.1.Terbentuknya Identitas Diri pada Perempuan di Keluarga Tionghoa

Salah satu tokoh yang berjasa dalam perkembangan teori kepribadian

adalah Erik Erikson. Menurut Feist (2006) Erikson menekankan pengaruh dari

lingkungan dan masyarakat (society influence) dalam perkembangan kepribadian

seseorang. Menurutnya, kapasitas seorang anak yang baru lahir memang penting

terhadap perkembangan kepribadiannya. Namun, kemunculan ego paling banyak

dibentuk dari lingkungan (society). Bahkan menurut Hall (1992) mengenai teori

Erikson, sejak lahir sampai kematiannya manusia dibentuk dan dipengaruhi oleh

34

lingkungan sosialnya yang berinteraksi secara fisik dan psikologis pada individu.

Oleh karena itu, ada suatu interaksi timbal balik (mutual) antara individu dan

lingkungannya sesuai dengan kapasitas masing-masing dalam mempersiapkan

seorang individu menjadi bagian dari budaya yang sedang berjalan (ongoing

culture).

Pada anak perempuan di keluarga Tionghoa, terdapat berbagai nilai dan

ajaran utama Konfusius yang mempengaruhi bagaimana perempuan diasuh,

dididik dan dipersiapkan untuk memenuhi pandangan mengenai perempuan

tersebut (Meij, 2009). Pada ajaran Konfusianisme sendiri menurut Meij (2009),

identitas diri seseorang merupakan hasil relasinya dengan orang lain sehingga

tidak ada diri yang berdiri sendiri. Dengan demikian, semua tindakan individu

harus berada dalam sebuah bentuk interaksi antara manusia dengan manusia

lainnya. Di dalam ajaran Konfusianisme secara khusus, fungsi dan peran

perempuan adalah subordinat laki-laki.

Pe-nomor-duaan perempuan merupakan sesuatu yang normal dalam tradisi

keluarga Tionghoa. Perempuan pada umumnya tidak dipandang sebagai anggota

keluarga yang berharga bila dibandingkan dengan laki-laki. Budaya patriarki

dalam tradisi keluarga Tionghoa menempatkan perempuan sebagai “liyan” (Meij,

2009). Walaupun tradisi dan budaya Tionghoa memberikan hak istimewa kepada

laki-laki sebagai pembawa nama dan kehormatan keluarga. Namun sebenarnya

perempuanlah yang meneruskan dan mempertahankan tradisi keluarga. Melalui

perempuan, tradisi keluarga dan dipertahankan dan nilai-nilai dalam tradisi

keluarga diinternalisasikan terutama pada anak perempuan.

35

Hal ini sesuai dengan apa yang dikatakan Chodorow (1978) dalam “The

Reproduction of Mothering”. Hubungan ibu dan anak perempuannya memiliki

kontinuitas antar generasi yang lebih besar dibandingkan ayah dengan anak laki-

lakinya. Untuk menjaga kontinuitas ini, maka anak perempuan di dalam keluarga

Tionghoa sejak kecil dipersiapkan untuk menghadapi pernikahan serta tunduk

pada otoritas ayahnya dan kemudian pada suaminya ketika sudah menikah

(Sidharta, 1987). Walaupun keluarga Tionghoa di Indonesia pada saat ini sudah

lebih modern daripada masa beberapa puluh tahun yang lalu, namun fokus

terhadap peran tradisional sebagai anak perempuan, istri maupun ibu masih terus

berlanjut sampai sekarang (Sidharta, 1987).

Di masa modern ini, peran tradisional perempuan sebagai anak, istri

maupun ibu di keluarga Tionghoa pun masih tidak dapat dilepaskan dari ajaran

Konfusius. Sikap patuh (obedient) masih dijunjung tinggi dan diharapkan dimiliki

oleh anak perempuan. Oleh karena itu, sikap ini pula yang disosialisasikan pada

anak perempuan dengan harapan akan terinternalisasi di dalam dirinya. Pada

proses sosialisasi dan internalisasi ini, setiap perempuan akan mengacu pada

pengalamannya sebagai anak yang tidak dapat dilepaskan dari peran ibu dalam

mendidiknya. Menurut Chodorow (1978) hubungan antara ibu dan anak

perempuan dapat dideskripsikan sebagai berikut, “the mother experience of her

child and the child’s experience of its mother”

Oleh karena itu, di dalam hal ini ada hubungan interdependensi antara ibu

dengan anak perempuannya. Ibu menganggap anak perempuannya sebagai satu

kesatuan (oneness) dengan dirinya sekaligus perpanjangan (extension) dari dirinya

36

(Chodorow, 1978). Penghayatan seperti ini tentunya akan mempengaruhi fondasi

awal perkembangan psikososial anak yang di dalam teori Erikson disebut sebagai

tahap basic trust vs basic mistrust (Cobb, 1992). Di tahap ini anak sedang belajar

membuat basis atau landasan dari identitas psikososialnya. Melalui relasi dengan

anak perempuan belajar mendefinisikan diri melalui relasi dengan ibunya

(Chodorow, 1978). Bahkan menurut Chodorow (1978) sepanjang kehidupan anak

perempuan nantinya, ia akan terus berusaha menciptakan pengalaman kedekatan

awal dan kebersatuan dengan ibunya. Kualitas dari relasi ibu dengan anak

perempuannya juga akan menjadi penentu sekaligus berinteraksi dengan seluruh

relasi anak perempuan di seluruh tahap perkembangan hidupnya. Chodorow

mengutip kalimat Fairbarn dalam Chodorow (1978) mengenai relasi anak dengan

ibunya sebagai berikut, “the foundation upon which all his/her future relationships

with love objects are based”.

Jika ibu kurang memiliki kesadaran akan identifikasi diri anak perempuan

sebagai entitas yang berbeda dari dirinya atau sebagai perpanjangan dari dirinya,

maka anak pun akan mengalami kebingungan dan kesulitan untuk mengenali

adanya perbedaan dirinya dengan ibunya (Chodorow, 1978). Ibu menjadi simbol

dependensi bagi anak perempuan sehingga untuk dapat bertumbuhkembang

menjadi wanita dewasa, anak perempuan perlu menciptakan diri yang berbeda

dari ibunya. Pada tahapan perkembangan psikososial Erikson, kondisi seperti ini

merupakan tahap dari autonomy vs shame and doubt (Cobb, 1992). Diperlukan

kesadaran ibu untuk mengetahui kapan dan bagaimana ia akan memfasilitasi anak

perempuannya untuk memiliki diri yang berbeda dari dirinya. Ibu harus

37

membimbing anak perempuannya untuk berpisah dan berbeda dari dirinya.

Namun hal ini tidaklah mudah. Terkadang, ibu memunculkan ambivalensi di

dalam diri anak perempuan karena secara tidak langsung mengarahkan anak

perempuan untuk menolak dirinya sekaligus menerima perhatian yang diberikan

oleh ibunya.

Pada tahap-tahap perkembangan anak perempuan selanjutnya pun, ibu

masih tetap berperan penting baginya. Sebab ibu harus peka dan tahu apa yang

dibutuhkan oleh anak perempuannya sekaligus apa yang bisa diperoleh anak

perempuan dari dirinya maupun relasi mereka (Chodorow, 1978). Ibu perlu

mengetahui kapan anak perempuannya sudah siap untuk berjarak dengan dirinya

dan mulai memiliki inisiatif untuk mengurus dirinya sendiri. Transisi pada masa

ini dapat menjadi suatu tahap yang sulit dan membingungkan. Di mana menurut

Erikson, pada tahapan ini anak sedang belajar mengenai initiative vs guilt. Inisiatif

dan otonomi akan memberikan anak perempuan kesempatan untuk memiliki

determinasi dan tujuan. Namun, tanpa memiliki pemahaman yang memadai

tentang tujuan (purpose) dari apa yang dilakukannya terlebih hanya dengan

meniru apa yang dilakukan ibu sebagai perempuan dewasa anak perempuan akan

terjebak dalam ritualisme (Cobb, 1992). Hal ini dapat berlanjut hingga usia

dewasa di mana perempuan sebagai wanita dewasa berusaha menampilkan

gambaran diri yang tidak sesuai dengan diri sejatinya (real-self).

Pada tahapan selanjutnya, ibu dan anak perempuan masih terus

mengembangkan hubungan yang saling melengkapi satu sama lain. Sebab

perempuan memperoleh penghargaan dari lingkungannya serta memenuhi

38

ekspetasi peran sebagai ibu jika mampu melakukan pengasuhan yang baik di mata

lingkungan sosialnya. Ibu berperan ganda sebagai pemberi maupun penerima dari

ekstensi dirinya yang ada pada anak perempuannya (Chodorow, 1978).

Pada lingkungan keluarga Tionghoa yang mengharapkan ibu berperan

penuh dan utama dalam mengasuh dan membesarkan anak, maka anak perempuan

menjadi titik tolak keberhasilan ibu menjalani perannya. Demi penghargaan akan

keberhasilan ini, mungkin saja ibu melakukan apa yang mestinya dilakukan anak

sebagai dirinya sendiri bukan sebagai ekstensi dari diri ibu. Secara langsung

maupun tidak langsung, hal ini akan mempengaruhi tahapan perkembangan

psikososial anak perempuan di masa industry vs inferiority (Hall, 1992).

Di saat yang bersamaan di mana anak perempuan seharusnya

mengembangkan rasa mampu dan kompeten terhadap dirinya sendiri, ibu juga

sedang berusaha untuk menunjukkan kemampuan dan kompetensinya sebagai ibu

baik bagi dirinya sendiri maupun lingkungan sosialnya. Selain hubungan dengan

anaknya, peran pengasuhan ibu juga dipengaruhi oleh hubungannya dengan

suami, pengalaman memiliki ketergantungan finansial, harapan terhadap

keseimbangan dalam perkawinan dan harapannya tentang peran gender itu sendiri

(Chodorow, 1978).

Proses ini terus berlanjut sampai pada tahap di mana anak perempuan

semakin berusaha untuk memantapkan identitas dirinya. Masa ini disebut oleh

Erikson dalam tahapan psikososialnya sebagai identitiy vs identity confusion

(Hall, 1992). Pada masa ini, anak perempuan semakin menyadari identitas dirinya

39

sendiri, yaitu bahwa dirinya adalah pribadi yang unik dan sedang dipersiapkan

untuk menjalani suatu peran yang bermakna di dalam lingkungan masyarakat.

Peran ini dapat dijalaninya dengan menyesuaikan diri ke dalam peran itu atau

melakukan inovasi untuk peran tersebut. Pada perempuan di keluarga Tionghoa

yang telah mengalami sosialisasi identitas sejak masa kecilnya memunculkan

pengalaman sadar (conscious) maupun tidak sadar (unconscious) sepanjang

pengalaman hidupnya. Di masa ini ia memiliki kebebasasn untuk memilih ingin

mendefinisikan dirinya seperi apa di masa sekarang dan apa yang ia harapkan

mengenai dirinya di masa yang akan datang.

Apa yang ia inginkan di masa saat ini maupun di masa yang akan datang,

tidak terlepas dari sejarah dirinya, relasi dirinya dengan ibunya, sejarah ibunya

sendiri maupun sejarah keluarga sebagai bagian dari suatu kelompok kolektif.

Persinggungan dari berbagai elemen ini dapat memunculkan suatu kebingungan

mengenai peran maupun identitas (Hall, 1992). Mudah sekali muncul perasaan

terisolasi, kosong, cemas dan tak berkeputusan terlebih jika ia menuruti dan

menghayati sikap kepatuhan yang disosialisasikan kepadanya sejak ia kecil.

Bahkan terkadang lingkungan sosial terasa menekan mereka untuk membuat

keputusan disertai dengan pertimbangan bagaimana orang lain memandang diri

mereka.

Muncul kemungkinan bahwa krisis identitas dialami oleh perempuan

dalam keluarga Tionghoa seumur hidupnya dalam proses tarik ulur antara diri

ideal dengan diri sejati dan dalam relasinya dengan orang lain. Kebutuhan untuk

mendefinisikan identitas dirinya, berangkat dari kebutuhan manusia untuk merasa

40

menjadi bagian atau milik dari suatu kelompok (Hall, 1992). Di dalam hal ini

perempuan di keluarga Tionghoa memiliki pilihan ingin menjadikan dirinya

bagian dari kelompok apa dan kelompok yang mana. Termasuk apakah ia dan

anak perempuannya berada dalam satu kelompok yang sama atau berbeda.

Penelitian ini ingin menelaah secara eksploratif mengenai proses

pembentukan identitas termasuk krisis identitas yang dialami perempuan di

keluarga Tionghoa Indonesia sebagai ibu maupun anak perempuan yang

mengalami perilaku berbeda secara ganda, pertama karena keperempuanannya di

dalam budaya patriarki Tionghoa dan kedua karena ke-Tionghoan-nya di dalam

konteks kehidupan di Indonesia.

II. B. Kerangka Penelitian

Alur berpikir dan dinamika teori yang digunakan dalam penelitian ini adalah

sebagai berikut.

41

Gambar II.B.1. Dinamika Teori Penelitian

Social learning theory dan

psikodinamika ibu-anak

perempuan (Chodorow, 1978)

42

BAB III

METODOLOGI PENELITIAN

III.A. Jenis Penelitian

Penelitian ini dilakukan untuk mengetahui bagaimana pola asuh

membentuk identitas gender ibu-anak perempuan di keluarga Tionghoa.

Gambaran pola asuh antara ibu-anak perempuan merupakan konteks dari

pengalaman hidup ibu sebagai perempuan yang memunculkan identitas gender

sebagai salah satu hasil dari pola asuh tersebut. Pengalaman hidup yang

diimplementasikan dalam pola asuh akan terus berulang dan terjadi terus menerus

di dalam keluarga dan masyarakat yang bersumber dari pengalaman hidup

individu.

Penelitian ini ingin melihat bagaimana pemaknaan ibu dan anak

perempuan di keluarga Tionghoa terhadap identitas gendernya yang

ditransmisikan melalui interaksi di dalam pola asuh. Penelitian ini menggunakan

keluarga Tionghoa sebagai konteks sosial budaya yang mempengaruhi paradigma

identitas gender di kelompok masyarakat tersebut. Proses pola asuh dan

pembentukan identitas gender dilihat sebagai suatu proses yang

berkesinambungan dari ibu ke anak perempuan secara turun temurun dengan

berbagai aspek yang meliputi mereka sehingga diperlukan cara berpikir holistik

untuk dapat menangkap kekayaan dan keragaman data.

43

Berdasarkan penjelasan di atas mengenai penelitian yang ingin melihat

makna di dalam konteks dan cara berpikir holistik, maka penelitian ini termasuk

dalam jenis penelitian kualitatif. Menurut Poerwandari (2008), penelitian

kualitatif memungkinkan munculnya pemahaman mengenai kompleksitas

perilaku dan penghayatan manusia sebab di dalam penelitian kualitatif, peneliti

memperlakukan manusia secara empatis sebagai makhluk yang memiliki

kesadaran dan pemahaman mengenai hidupnya sendiri. Menurut Creswell (2009)

penelitian kualitatif mengandung pengertian adanya penggalian dan pemahaman

makna terhadap apa yang terjadi pada individu maupun kelompok.

Selain itu, ciri-ciri dari penelitian kualitatif yang dipaparkan oleh

Poerwandari (2008) sesuai dengan karakteristik dan tujuan yang ingin dicapai

dalam penelitian ini. Ciri-ciri penelitian kualitatif antara lain mendasarkan diri

pada kekuatan narasi, melakukan studi dalam situasi alamiah, analisis bersifat

induktif karena berorientasi pada eksplorasi, penemuan dan logika induktif

sehingga pada akhirnya ditemukan pola hubungan dari kategori yang ada (Patton

dalam Poerwandari, 2008). Penelitian kualitatif juga bertujuan untuk memperoleh

pemahaman menyeluruh dan utuh mengenai fenomena yang diteliti dengan

mengasumsikan bahwa keseluruhan fenomena adalah suatu sistem yang

kompleks.

Berdasarkan pemaparan masalah di bagian latar belakang dan perumusan

masalah, dapat terlihat bahwa proses sosialisasi peran gender ini merupakan suatu

hal yang kompleks karena terjadi di berbagai tingkatan dan aspek kehidupan

antara ibu dengan anak maupun sebaliknya. Atas dasar kompleksitas inilah

44

diperlukan proses penelitian sirkuler sehingga proses penelitian mengenai peran

ibu dalam proses sosialisasi peran gender ini dapat ditelaah dengan baik.

Penelitian dengan topik ini belum pernah dilakukan sebelumnya di Indonesia

sehingga pertanyaan-pertanyaan khas pendekatan kualitaitf yang terbuka (open-

ended) diharapkan dapat menampung kekayaan dan kedalaman informasi yang

diperoleh dari para narasumber untuk diteruskan pada penelitian-penelitian

selanjutnya.

Penelitian kualitatif ini akan menggunakan paradigma kritikal sebab peneliti

menyadari bahwa berbagai kondisi sosial ekonomi mempengaruhi kehidupan

perempuan dalam usahanya untuk menghayati proses kehidupannya. Pada

paradigma ini, manusia dilihat memiliki kemampuan untuk memberikan

(menciptakan) arti terhadap kehidupan yang dialami, bahkan mampu mengubah

arti tersebut (Poerwandari, 2008). Dengan demikian, peneliti menyadari bahwa

ilmu tidak dapat dipisahkan dari nilai yang hidup di dalam masyarakat. Menurut

Poerwandari (2008), paradigma kritikal merupakan pendekatan yang cocok

digunakan untuk penelitian tentang perempuan.

Berdasarkan tujuannya, penelitian ini merupakan penelitian deskriptif

(Kumar, 1999). Sebab penelitian ini bertujuan untuk menghasilkan suatu

deskripsi atau gambaran mengenai proses sosialisasi gender dari ibu kepada anak

remaja perempuannya sehingga pada akhirnya ditemukan suatu siklus proses

sosialisasi yang berguna untuk memahami proses sosialisasi peran gender. Di

dalam penelitian deskriptif ini, tidak ada hipotesis awal yang digunakan.

45

III.B. Instrumen Penelitian

Berdasarkan jenis dan metode penelitian yang digunakan dalam penelitian

ini, maka pengumpulan data untuk penelitian ini akan menggunakan wawancara

dengan pedoman terstandar terbuka. Menurut Patton (dalam Poerwandari, 2008),

wawancara dengan pedoman terstandar terbuka adalah wawancara yang ditulis

rinci lengkap dengan set pertanyaan. Peneliti melaksanakan wawancara sesuai

sekuensi yang tercantum dan menanyakan dengan cara yang sama pada responden

yang berbeda. Namun untuk menggali jawaban yang terbatas digunakan

keluwesan peneliti untuk menggali data lebih dalam sesuai dengan karakteristik

responden. Hal ini bertujuan untuk memperoleh gambaran pemahaman dan

penghayatan subyek terhadap tema-tema yang terkait dengan penelitian ini.

Selain wawancara terstandar terbuka, instrumen lain yang digunakan dalam

penelitian ini adalah alat perekam. Alat perekam ini akan digunakan selama

proses wawancara berlangsung dan akan digunakan sesuai dengan izin subjek.

Sebelum dilakukan proses perekaman wawancara, subjek akan diminta untuk

mengisi lembar informed consent sebagai pernyataan kesediaan berpartisipasi di

dalam penelitian ini serta bersedia dilakukan proses perekaman terhadap

pengambilan data menggunakan teknik wawancara ini.

Menggunakan pendekatan dan paradigma seperti ini, maka metodologi yang

digunakan dalam penelitian ini adalah penelitian yang berfokus pada pemahaman

(verstehen) daripada pengukuran (Poerwandari, 2008).

III.C. Subjek Penelitian

46

III. C.1. Karakteristik Subjek

Subjek di dalam penelitian ini adalah ibu dan anak perempuan dari keluarga

Tionghoa Indonesia peranakan yang tinggal di Jakarta dengan kriteria sebagai

berikut :

Berbahasa Indonesia dalam interaksi sehari-hari antara ibu dan anak

perempuan.

Usia anak perempuan adalah dewasa muda (early adulthood) yaitu antara 20-

25 tahun (Santrock, 2008).

Pada usia dewasa muda, perempuan sedang memasuki tahap persiapan untuk

menikah dan menjadi ibu. Selain itu, identitas gender yang terbentuk relatif

sudah lebih kokoh dibandingkan remaja perempuan. Diharapkan hal ini

membuat subjek dapat lebih merefleksikan hidupnya.

Ibu dan anak perempuan tinggal bersama di dalam satu rumah dan dipastikan

bahwa ibu merupakan pengasuh utama anak

Ibu dari anak perempuan tersebut merupakan ibu rumah tangga.

III.D. Prosedur Penelitian

III.D.1. Tahap Persiapan

Pada bulan Januari 2012, peneliti mulai membuat panduan wawancara

berdasarkan kerangka teori yang telah dikumpulkan. Panduan wawancara memuat

pertanyaan peneliti yang terdiri dari latar belakang kehidupan subjek dan

pertanyaan-pertanyaan yang dibagi dalam empat aspek, yaitu gender, social-

learning, psikodinamika dan relasi ibu-anak perempuan. Melalui uji coba pada

47

responden dengan karakteristik serupa subjek penelitian dan umpan balik dari

dosen pembimbing dilakukan revisi pada panduan wawancara.

Akhir bulan Januari 2012 dihasilkan panduan wawancara yang telah

diperbaharui. Panduan wawancara ini menggunakan tahapan atau fase kehidupan

(sequence of life) untuk menggali data dari subjek. Alur pertanyaan menjadi lebih

kronologis dan mudah dipahami subjek. Panduan wawancara yang telah

diperbaharui ini diuji-cobakan pada pasangan ibu dan anak perempuan yang

sesuai dengan karakteristik penelitian ini.

Pencarian subjek penelitian telah dilakukan sejak bulan Desember 2012.

Pada pertengahan bulan Februari hingga pertengahan bulan April 2012 dilakukan

pengambilan data yang akhirnya menghasilkan data dari dua pasang ibu dan anak

perempuan keluarga Tionghoa. Peneliti melakukan initial contact dengan para

subjek penelitian dan menyiapkan informed consent sebagai bukti kesediaan

subjek untuk berpartisipasi dalam penelitian ini serta menyiapkan alat perekam.

III.D. 2. Cara Memperoleh Subjek

Subjek yang terlibat dalam penelitian ini pada akhirnya adalah dua pasang

ibu dan anak perempuan. Pencarian subjek dilakukan dengan bertanya pada

orang-orang di sekitar peneliti yang terdiri dari ibu, keluarga dan teman-teman

peneliti. Dari rekomendasi dan pertimbangan yang diberikan, peneliti melakukan

initial contact dengan calon subjek. Peneliti mengalami kesulitan untuk mencari

pasangan ibu dan anak perempuan yang bersedia untuk menjadi subjek penelitian.

48

Sebagian besar kendala ada pada ibu di mana mereka merasa keberatan

untuk menjadi subjek penelitian, sementara anak perempuan mereka sudah

bersedia untuk diwawancara. Ada juga ibu yang keberatan karena ia merasa sudah

tidak terlalu lekat dengan budaya Tionghoa sehingga takut tidak

merepresentasikan keluarga Tionghoa pada umumnya. Selain itu menentukan

waktu untuk mewawancarai subjek juga menjadi kendala tersendiri. Akhirnya

peneliti mengubah cara mencari subjek penelitian, yaitu dengan menghubungi

para ibu terlebih dahulu.

Di tengah kesulitan mencari subjek penelitian, ibu peneliti berinisiatif

melakukan rekomendasi dan initial contact pada orang-orang yang dirasa sesuai

dengan karakteristik subjek penelitian. Selanjutnya peneliti yang melakukan

initial contact dan membuat janji untuk mewawancarai. Peneliti menyadari ibu

peneliti memberikan akses untuk membuat para subjek penelitian bersedia terlibat

dalam penelitian ini. Hal ini bisa disebabkan karena kesamaan latar belakang etnis

maupun hubungan interpersonal yang telah lebih lama terjalin.

Subjek pertama, Ibu Lely merupakan ibu dari teman kerja ibu peneliti yang

kebetulan memiliki karakteristik sesuai dengan penelitian ini. Ibu Lely juga

memiliki anak perempuan, Retha, sesuai dengan karakteristik usia anak

perempuan dalam penelitian ini. Wawancara dilakukan terlebih dahulu pada Ibu

Lely kemudian dengan Retha pada waktu dan tempat yang terpisah.

Subjek kedua, Ibu Olga merupakan kerabat jauh dari peneliti yang

memiliki karakteristik sesuai dengan penelitian ini. Ia juga memiliki anak

49

perempuan, Shinta, sesuai dengan karakteristik usia anak perempuan dalam

penelitian ini. Wawancara dilakukan di rumah Ibu Olga pada waktu yang terpisah.

III.D.3. Tahap Pelaksanaan

Setelah subjek menyatakan kesediaannya untuk diwawancarai, peneliti dan

subjek membuat janji untuk melakukan wawancara sesuai dengan waktu dan

tempat yang disepakati. Sebelum wawancara, peneliti melakukan konfirmasi

kembali mengenai janji wawancara. Peneliti juga menyiapkan alat perekam,

informed consent dan panduan wawancara. Saat bertemu subjek, peneliti menjalin

rapport terlebih dahulu, meminta izin menggunakan alat perekam selama

wawancara lalu memulai wawancara menggunakan panduan yang telah dibuat

sebelumnya.

Adapun pelaksanaan wawancara adalah sebagai berikut :

Subjek Hari/Tanggal Tempat Durasi

Ibu Lely Sabtu, 25 Februari

2012

Foodcourt ITC

Kuningan, Jakarta

Selatan.

96 menit

(10. 55-11.51 WIB)

Kamis, 8 Maret

2012

Rumah Duka

Husada, Jakarta

Barat

18.30-20.00

(mengobrol di luar

wawancara saat

menunggu Retha,

anak

perempuannya

selesai bertugas

memotret pada

acara pemakaman

50

kerabat mereka)

Minggu, 15 April

2012

Rumah anak

pertama Ibu Lely

di Bekasi, Jakarta

Timur

60 menit

(09.48-10.48 WIB)

Retha Kamis, 8 Maret

2012

Rumah Duka

Husada, Jakarta

Barat

45 menit

(20.56-21.41 WIB

Minggu, 15 April

2012

Rumah anak

pertama Ibu Lely

(kakak Retha) di

Bekasi, Jakarta

Timur

60 menit

(11.00-12.00 WIB)

Ibu Olga Minggu, 18 Maret

2012

Rumah Ibu Olga

di Kelapa Gading,

Jakarta Utara

60 menit

(16.48-17.48)

Minggu, 8 April

2012

Rumah Ibu Olga

di Kelapa Gading,

Jakarta Utara

60 menit

(11.16-12.16)

Shinta Minggu, 18 Maret

2012

Rumah Ibu Olga

di Kelapa Gading,

Jakarta Utara

60 menit

(18.00-19.00)

Minggu, 8 April

2012

Rumah Ibu Olga

di Kelapa Gading,

Jakarta Utara

45 menit

(12.30-13.15)

Pada wawancara terakhir dengan Ibu Lely dan Retha, peneliti

menghabiskan setengah hari berinteraksi dengan keluarga mereka di rumah anak

pertama Ibu Lely. Peneliti bermain dengan cucu Ibu Lely dan berbincang-bincang

51

santai dengan Ibu Lely maupun Retha. Pada wawancara terakhir dengan Ibu Olga

dan Shinta, peneliti menghabiskan setengah hari di rumah keluarga Ibu Olga dan

diakhiri dengan makan bersama keluarga Ibu Olga.

III.E. Metode Analisis Data

Tahap analisis dan interpretasi data dilakukan dengan membuat transkrip

verbatim dari rekaman wawancara. Data verbatim ini berguna untuk mengolah

data lebih lanjut. Selain membuat verbatim, peneliti juga membuat timeline

kehidupan para subjek sehingga dapat mengetahui urutan kronologis peristiwa

hidup subjek. Setelah semua rekaman wawancara selesai dibuat dalam bentuk

verbatim, peneliti mengelompokkan dan membuat coding dari data yang ada.

Coding ini menghasilkan tema-tema sesuai dengan teori.

Lalu data verbatim ibu-anak perempuan dikelompokkan dan dibandingkan

dalam satu tabel berdasarkan kesamaan tema. Melalui cara seperti ini dapat

terlihat bagaimana dinamika ibu-anak perempuan dalam memahami dan

menghayati suatu tema yang sama. Dari pembuatan tabel perbandingan ini,

peneliti dapat memetakan bagian mana yang masih belum lengkap sehingga

dilakukan wawancara kedua untuk melengkapi data. Tabel perbandingan antar

subjek ini digunakan untuk membuat analisa dan interpretasi terhadap hasil

penelitian.

52

BAB IV

HASIL PENELITIAN

IV.A. Deskripsi Latar Belakang Subyek

Berdasarkan kode etik penelitian, maka identitas subyek ibu dan anak

perempuan dalam penelitian ini dirahasiakan dan ditulis menggunakan nama

samaran. Secara umum, gambaran karakteristik subyek dalam penelitian ini

adalah sebagai berikut :

Tabel IV.A.1. Deskripsi Latar Belakang Subyek

Subyek Pertama

Ibu Anak Perempuan

Nama Samaran Lely Retha

Tempat/Tgl Lahir Jakarta, 16 Mei 1958 Jakarta, 9 April 1990

Jenis Kelamin Perempuan Perempuan

Suku Bangsa Tionghoa, generasi ke-2 Tionghoa, generasi ke-3

Agama Katolik, dibaptis umur 24 tahun Katolik, dibaptis bayi

Pendidikan D1 Bahasa Mandarin S1 Desain Komunikasi Visual

Pekerjaan Karyawan accounting Freelance

Domisili Pamulang Pamulang

Anak ke- 4 dari 11 bersaudara 2 dari 3 bersaudara

Hobi Bercocok tanam Fotografi, melukis

Subyek Kedua

Ibu Anak Perempuan

Nama Samaran Olga Shinta

Tempat/Tgl Lahir Jakarta, 8 Oktober 1966 Jakarta, 6 April 1988

Jenis Kelamin Perempuan Perempuan

Suku Bangsa Tionghoa, generasi ke-3 Tionghoa, generasi ke-4

Agama Katolik Katolik, dibaptis bayi

Pendidikan SMK Pariwisata S1 Financial Accounting

Pekerjaan Wirausaha Karyawan

Domisili Kelapa Gading Kelapa Gading

Anak ke- 5 dari 6 bersaudara 1 dari 3 bersaudara

Hobi Membaca buku Wisata kuliner

53

IV.B. Hasil Temuan Data Penelitian

IV.B.1. Subyek Pertama

IV.B.1.1 Latar Belakang Ibu Subyek Pertama

Ibu Lely merupakan anak ke-4 dari sebelas bersaudara keluarga Tionghoa

generasi kedua bermarga Tjong di Indonesia dari garis ayahnya. Ibu dari Ibu Lely

menghabiskan masa kecilnya di Cina daratan dan baru tinggal di Jakarta sejak

usia 18 tahun. Ayahnya memenuhi kebutuhan keluarga dengan berjualan di

warung dekat rumah sementara ibunya secara penuh menjalani peran sebagai ibu

rumah tangga yang mengurus kesebelas anaknya (satu meninggal sewaktu bayi).

Ibu Lely menghabiskan masa kecil di daerah Jatinegara sampai sebelum ia

menikah di usia 24 tahun. Saat masih remaja, Ibu Lely menilai ibunya sebagai

orang yang terlalu keras karena terlalu banyak melarang, galak dan sering

mengomel. Oleh ibunya, sejak masih usia sekolah Ibu Lely diharuskan

mengerjakan pekerjaan rumah tangga mengurus dan membersihkan rumah

bersama dengan saudara-saudara perempuannya yang lain. Sementara saudara

laki-lakinya diperbolehkan tidak mengurus rumah dan bermain di luar rumah.

Ibu Lely sebenarnya ingin bisa bermain dan berkegiatan seperti itu, namun

apa daya pekerjaan rumah yang banyak membuat Ibu Lely harus segera pulang ke

rumah sehabis pulang sekolah. Ibu Lely menyadari betapa sibuk ibunya dalam

mengurus rumah tangga dan sepuluh anak. Maka sebagai anak perempuan ia

membantu membersihkan rumah dan mengurus kebutuhan rumah tangga.

54

Ibu Lely menuturkan bahwa dulu sehabis sekolah ia tidak diperkenankan

mengikuti kegiatan apapun karena harus membantu di rumah. Ibu Lely pernah

mengikuti latihan drum band di hari Minggu. Namun ia hanya bisa dua sampai

tiga kali mengikuti latihan. Latihan-latihan selanjutnya tidak bisa ia ikuti karena

latihan dilakukan di luar jam sekolah. Menurut Ibu Lely, sampai sekarang ia

masih hafal memainkan sebaris nada yang pernah ia pelajari dahulu ketika

mengikuti kegiatan drum band.

Ibu Lely menilai ibunya sebagai sosok yang kolot, kaku dan keras.

Menurutnya hal ini dipengaruhi oleh latar belakang ibunya yang sejak kecil telah

ditinggal oleh orang tuanya. Orang tua dari ibunya telah merantau terlebih dahulu

ke Indonesia, baru kemudian pada saat berumur 18 tahun ibunya menyusul ke

Jakarta. Ibu Lely merasa dirinya yang terbentuk hingga hari ini merupakan hasil

didikan ibunya yang kaku. Saat ini ketika anak-anak dari Ibu Lely suka mengeluh

ibu mereka kaku, ia menyadari kemungkinan disebabkan oleh didikan ibunya

kepada Ibu Lely yang kaku.

Pada zaman Ibu Lely dididik oleh ibunya, banyak aturan-aturan yang

kaku. Tidak ada tawar menawar untuk aturan yang sudah ditetapkan untuk anak-

anak. Anak-anak pun tidak diperkenankan bertanya atau membantah apa yang

sudah diperintahkan oleh orang tua. Bagi orang tua, yang penting anak-anak

mematuhi dan menjalankan apa yang mereka perintahkan.

Sosok ayah digambarkan Ibu Lely sebagai orang yang lebih sabar dan

tidak sekaku ibunya. Sewaktu kecil ia merasa ayahnya adalah ayah yang baik dan

55

tidak pernah marah. Ayah dari Ibu Lely selalu mengurusi kebutuhan sekolah dan

datang pada pertemuan sekolah anak-anaknya. Menurut Ibu Lely, hal ini

dikarenakan ibunya tidak lancar berbahasa Indonesia terutama dalam hal berbicara

dan baca-tulis sehingga ayahnya yang lebih sering berurusan dengan pihak

sekolah.

Perubahan pandangan terhadap ibunya dirasakan Ibu Lely setelah ia

menikah. Baru pada masa setelah menikah, ia dapat berterima kasih terhadap

ajaran dan didikan ibunya. Ia menjadi lebih memahami kekhawatiran orang tua

terutama ibunya. Hal-hal yang diajarkan oleh ibunya juga terasa berguna ketika ia

sudah menikah. Bahkan muncul perasaan bersalah pada dirinya ketika ibunya

meninggal terlalu cepat. Ibunya meninggal karena kanker payudara pada tahun

1997 tanpa sempat mengalami kebersamaan yang menyenangkan ketika anak-

anaknya sudah mulai mapan dalam hal kehidupan dan finansial.

Ibu Lely bertemu dengan suaminya dalam kegiatan di gereja. Sebelum

pernikahan ia dibaptis menjadi Katolik sekaligus mengalami naturalisasi

kewarganegaraan dan pergantian nama. Status suaminya yang sudah Warga

Negara Indonesia (WNI) memudahkan proses naturalisasi ini. Setelah menikah ia

sempat mengikuti kursus tata buku (akuntansi) di YAI. Kursusnya ini tidak selesai

karena ia hamil anak pertama dan sering mual-mual hebat sehingga akhirnya ia

berhenti kursus. Selama setahun ia tinggal di daerah Gang Pedati di Jatinegara.

Setahun kemudian ia menyusul suami yang bertugas di Cilacap. Anak pertamanya

lahir pada tanggal 21 Januari 1984. Sedangkan anak kedua dan ketiga lahir pada

tahun 9 April 1990 dan 12 November 1993.

56

Pada tahun 2002, di usia 44 tahun Ibu Lely berhenti bekerja dan

memutuskan untuk mengambil kuliah D1 Bahasa Mandarin. Beliau menjadi

lulusan terbaik bukan hanya untuk angkatannya saja, tapi untuk keseluruhan

angkatan di sekolah tersebut. Kemampuan berbahasa Mandarin ini menjadi modal

baginya untuk memberikan kursus Mandarin pada anak-anak di daerah tempat

tinggalnya. Dari hari Senin sampai Sabtu Ibu Lely memberi kursus pada anak-

anak dan uang yang terkumpul menjadi biaya untuk menghidupi keluarga

terutama ketika suaminya terkena stroke. Sejak tahun 2009 sampai sekarang ia

kembali bekerja di perusahaan. Berangur-angsur suaminya pun pulih dan dapat

bekerja kembali.

IV.B.1.2 Latar Belakang Anak Perempuan Subyek Pertama

Retha merupakan anak kedua dari tiga bersaudara. Ia mempunyai kakak

perempuan yang terpaut usia empat tahun dan adik perempuan yang usianya

terpaut tiga tahun. Ia menghabiskan hidupnya sampai saat ini tinggal di daerah

Pamulang dan bersekolah di sekolah Katolik dekat rumahnya dari TK-SMA.

Semasa usia TK-SD ibunya bekerja hingga malam sehingga ia banyak diasuh oleh

pembantu di rumah.

Retha merasa dirinya sewaktu kecil adalah anak yang bandel karena susah

makan. Menurutnya, ia tidak berselera makan karena masakan pembantunya yang

bercita rasa manis seperti masakan Jawa pada umumnya, sementara masakan

ibunya tidak seperti itu. Ia juga sering tidak tidur siang padahal disuruh oleh

ibunya.

57

Di malam hari, sepulang ibunya bekerja tugas-tugas sekolah Retha akan

dilihat oleh ibunya. Sampai kelas tiga SD, ibunya juga masih mengawasi dan

menemaninya dalam belajar. Pada suatu kesempatan, ibunya pernah menyabet

betis Retha dengan sapu lidi jika ia tidak serius dalam belajar. Namun

menurutnya, hal ini hanya dilakukan oleh ibu Lely pada dirinya saja. Pada masa

sekolah selanjutnya ia terbiasa belajar mandiri namun sesekali ibunya masih

menanyakan tentang perkembangan akademisnya.

Saat memasuki usia SMP, ayahnya mengalami stroke dan ibu Lely

berhenti bekerja. Kehadiran ibunya di rumah menyebabkan ia memiliki lebih

banyak waktu untuk mengobrol dengan ibunya. Ia pun jadi merasa lebih dekat

dengan ibunya di masa ini. Prestasi sekolah yang semasa SD hanya sepuluh besar

pun meningkat menjadi tiga besar karena dimonitor langsung oleh ibunya.

Menurut Retha, ibunya juga mengurus ayahnya yang mengalami stroke termasuk

melatih kemampuan motorik sang ayah mulai dari makan, berjalan, menulis,

membaca dan mengucapkan kata. Sambil mengurus anak-anak dan suami, ibu

mengambil kursus bahasa Mandarin yang kemudian menjadi mata pencaharian

utama keluarga sampai Retha memasuki masa SMA.

Selepas lulus SMA, Retha masuk ke jurusan Desain Komunikasi Visual

yang diinginkannya. Ia tidak diperbolehkan untuk menyewa kamar kos yang dekat

dengan kampusnya. Kedua orang tuanya menginginkan ia tetap pulang ke rumah

setiap hari walaupun jarak tempuh antara kampus dan rumahnya memakan waktu

dua jam setiap kali jalan. Ibunya juga tidak dengan mudah memperbolehkan

Retha menginap di rumah temannya. Biasanya Retha akan menginap di rumah

58

temannya jika pulang terlalu malam dari kampus dan sudak tidak ada angkutan

umum menuju rumahnya. Atau, jika ia sedang kerja kelompok dan keesokan

paginya harus mengikuti kelas di pagi hari. Pada waktu ia akan menginap di

rumah temannya, Retha akan memberitahu ibunya. Kemudian ibunya akan

bertanya di rumah siapa ia akan menginap dan siapa saja yang menginap

bersamanya. Jika teman-teman Retha tidak dikenal oleh ibunya, maka ia tidak

diperbolehkan menginap. Kemudian, ibunya akan berbicara dengan teman dari

Retha tersebut untuk mengkonfirmasi bahwa anaknya memang menginap di

rumah temannya.

Empat tahun yang lalu, Ibu Lely kembali bekerja kantoran setelah selama

enam tahun menghidupi keluarga dengan menjadi guru kursus Mandarin. Setahun

yang lalu kakak perempuan dari Retha menikah pada usia dua puluh enam tahun

dan meninggalkan rumah untuk hidup bersama dengan keluarga barunya.

Kakak perempuan Retha menikah dengan laki-laki keturunan Manado-

Jawa. Namun ibu dari Retha tetap menginginkan pernikahan menggunakan tata

cara dan adat Tionghoa. Sekarang ini setelah kepergian kakak perempuannya,

Retha banyak menggantikan tugas cicinya untuk mengurus dan memasak di

rumah. Bulan Februari yang lalu, Retha baru saja meraih gelar sarja di bidang

Desain Komunikasi Visual dengan kekhususan Desain Grafis.

IV.B.1. 3. Pengalaman Ibu sebagai Anak Perempuan di Keluarga Tionghoa

Ibu Lely sebagai anak keempat dari 10 bersaudara bertugas membantu

ibunya dalam mengurus kebutuhan rumah tangga. Mereka tidak punya pembantu

59

sehingga segala urusan rumah tangga dikerjakan sendiri oleh ibu dan anak-anak

perempuan. Ibu Lely melihat ibunya terus menerus terokupasi dengan pekerjaan-

pekerjaan rumah. Anak-anak yang sudah lebih besar dikerahkan untuk ikut

membantu, salah satunya adalah Ibu Lely. Ibu Lely menghabiskan waktunya di

luar waktu sekolah untuk mengerjakan pekerjaan rumah. Sebenarnya, ia ingin

sekali bisa mengikuti aktivitas di luar rumah seperti ekskul Drum Band yang

diadakan sekolahnya setiap hari Minggu. Namun karena kegiatan ini dilakukan di

luar jam sekolah maka Ibu Lely tidak dapat mengikutinya.

Sewaktu kecil, Ibu Lely merasa ibunya sebagai orang tua yang kolot, galak

dan cerewet serta tidak pandai bergaul. Ibu Lely merasa ibunya banyak mengatur

dan mengekang serta terlalu banyak melarang. Kebebasan sebagai anak

perempuan jarang ia rasakan. Sementara ia melihat sendiri bagaimana saudara

laki-lakinya diperbolehkan bermain dengan bebas dan tidak dibebankan tugas

membersihkan rumah seperti anak-anak perempuan.

Kalo anak perempuan, kerjaannya nggak berenti...nyapu, ngepel, nyuci

baju...Kalau anak laki, boleh tinggal makan...nggak usah ngapa-

ngapain...sampe kita nimba...pokoknya anak perempuan terus yang

kerja...Kalo anak laki, boleh ongkang-ongkang...Itu yang paling tante rasa

beda...

Ibu Lely juga sangat senang bersekolah. Sebenarnya ia ingin bersekolah

tinggi. Namun ketiadaan biaya membuatnya harus mengurungkan niatnya ini.

Selepas SMA Ibu Lely tahu bahwa ia tidak mungkin melanjutkan sekolah dan

harus bekerja. Ketika pada masa SMA ia mengalami penambahan waktu sekolah

berdasarkan aturan pemerintah, ia merasa senang sekali bisa memperlama waktu

60

sekolahnya. Padahal teman-temannya yang lain protes dan merasa keberatan

dengan penambahan lama sekolah ini. Tak lama setelah mulai bekerja, Ibu Lely

berkenalan dan kemudian menikah dengan suaminya pada umur dua puluh empat

tahun.

IV.B.1.4. Kesadaran akan Adanya Perubahan Nilai-nilai yang

Disosialisasikan

Ibu Lely menyadari adanya perubahan nilai-nilai dari yang ia alami

sebagai anak perempuan dengan apa yang ia tanamkan sebagai ibu kepada anak-

anak perempuannya. Ia merasa perubahan ini merupakan hasil dari

pengalamannya sebagai anak perempuan. Perubahan paling besar yang dirasakan

dan disosialisasikan terkait dengan kebebasan untuk beraktivitas dan

mengaktualisasikan diri dalam berbagai kegiatan.

Nggak tau deh tradisi atau nggak, saya mah ngejalanin hidup ngalir aja.

Apa yang bagus saya sampekan, yang dulu saya merasa saya nggak

nyaman saya ngga terapin. Apa yang dulu saya ngerasa saya kepengen

gini gini...saya coba berusaha kasih kebebasan ke anak-anak.

Retha menyadari adanya perubahan nilai yang disosialisasikan. Ia juga

mengetahui perubahan ini terjadi karena ibunya merasa ada hal-hal yang tidak

cocok dari pendidikan yang diberikan oleh popo (Ibu dari ibunya) terhadap

ibunya. Pengetahuan dan kesadaran ini membantu Retha untuk memahami

mengapa ibunya mendidik dan mendorong anak-anaknya seperti sekarang ini

untuk berkegiatan dan beraktivitas di luar rumah.

Kan mama berasa juga ya, dulu waktu sama Popo mama kan juga ada

yang nggak sreg. Kayak ya dia kan pengen keluar, pengen main sama

61

temen-temennya. Malu kalo harus di rumah terus, kuper

berasanya...Mama nggak mau anak-anaknya kuper. Makanya didorong

keluar, tapi dikontrol. Terus kayak organisasi, dulu mama ee...Popo itu

kan Chinesenya masih kentel sekali, jadi kalo dia tuh pegang, yang boleh

keluar tuh cuma anak cowo. Yang boleh ngapa-ngapain itu cuma anak

cowok. Dibela-belain sekolah ya anak cowo. Nah mama nggak mau kayak

gitu...jadi kan mama kebetulan punya anak perempuan semua, kita semua

apa ya...didorong untuk ikut organisasi-organisasi...biar nggak pemalu...

Mama kan merasa dia pemalu...

Ibu Lely menyadari adanya perbedaan cara mendidik antara anak pertama,

kedua dan ketiga walaupun sama-sama perempuan. Hal ini juga dirasakan oleh

Retha. Perbedaan ini berlandaskan prinsip yang dianut oleh Ibu Lely.

Prinsip tante gini lho...anak pertama harus dipegang sekali...Kalo anak

pertama sudah dipegang dengan baik, adik-adiknya udah tinggal ngikut.

Kalo anak pertama aja udah lepas, adiknya...kita mau ngajarin apapun

juga nggak ada guna...”itu kakak boleh, itu cici boleh, itu koko boleh”

gitu kan...anak pertama mau tidak mau harus kita pegang...semua hal

yang baik harus kita tanamkan. Kan nanti adiknya cuma liat contoh

kan...kalo ngeliat cicinya baik, udah nggak pake bilang “kok cici boleh,

aku nggak boleh, ma?” Sekarang malah kebalik...jadi, kakaknya yang

complain...”kok adeknya lebih longgar” (tertawa).

Secara spesifik, Retha merasa perbedaan ini muncul dalam keleluasaan untuk

menginap di rumah teman. Pada masa kakak perempuannya bersekolah, ia sama

sekali tidak diperkenankan untuk menginap di rumah temannya. Sementara Retha

diperbolehkan menginap dalam kondisi mendesak.

Iya. Cici kan dulu nggak boleh nginep sama sekali, nggak pernah sama

sekali...nggak boleh. Mau mama orangnya kenal pun, nggak boleh...kalo

aku masih boleh nginep tapi kalo bener-bener mepet, harus

nginep...banget...baru boleh nginep.

62

IV.B.1.5. Sosialisasi Identitas Gender pada Anak Perempuan

Ibu Lely merasa hal yang paling sering ia tanamkan kepada anak-anak

perempuannya adalah nilai kepercayaan. Sebab menurutnya kepercayaan adalah

suatu hal yang tidak bisa dibeli, sekaya apapun seseorang. Ia mewanti-wanti

jangan sampai kepercayaan tersebut dirusak. Ia juga menekankan pentingnya

ketepatan waktu.

Kalo kita udah janji sama orang, kita harus tepati...itu yang paling saya

tekankan ke anak-anak.

Hal serupa juga dirasakan oleh Retha. Ia merasa ibunnya menekankan nilai

kepercayaan ini kepada dirinya. Namun Retha memiliki pemaknaan yang berbeda

tentang kepercayaan yang ditanamkan oleh ibunya.

Ini sih kepercayaan...Mama kan orangnya...kalo Popo ke mama, mama

tuh ngak boleh ke mana-mana waktu dulu, waktu muda...nggak boleh

pergi-pergi...kalo aku boleh, selama mama tahu aku pergi sama

siapa...pulang jam berapa sama siapa. Eh pernah aku pulang jam tiga

pagi, tapi pulangnya dari gereja. Asal ngabarin sih mama gapapa.

Retha memaknai kepercayaan yang diberikan oleh ibunya sebagai kepercayaan

untuk beraktivitas di luar rumah. Kepercayaan ini merupakan hasil dari

pengalaman ibunya yang dahulu tidak diperbolehkan bepergian ke mana-mana

oleh ibunya. Retha juga merasa ibunya mengajarkan nilai kedisiplinan padanya.

Namun ia merasa ibunya tidak sekeras itu menanamkan kedisiplinan pada adiknya

yang merupakan anak ketiga.

63

Retha merasa sangat ditanamkan kedisiplinan oleh ibunya, terutama dalam

hal belajar.

Orang Chinese kan disiplin banget...apalagi kalo soal belajar itu mama

disiplin banget...Waktu aku SD tuh bener-bener...kalo pr belum selesai,

nggak boleh tidur. Trus setiap aku sakit, aku mau bolos kan kalo

sakit...biasanya bawaannya males kan...kalo kata mama tuh, kalo belum

pingsan itu masih harus masuk sekolah.

Sementara dari segi afeksi, Retha merasa ibunya bukanlah sosok ibu yang

sering memeluk atau melakukan kontak fisik dengan anaknya. Menurut Retha, hal

ini disebabkan karena ibunya dulu mendapat didikan dari ibunya seperti ini.

Mama tuh tipe orang yang jarang peluk-peluk orang...karena Popo

mungkin juga gitu. Popo anaknya banyak sekali, jadi dia jarang kontak

fisik sama anaknya...mungkin mama nggak terbiasa juga kontak fisik sama

anaknya.

Retha juga menyadari seiring dengan perkembangannya bahwa ia lebih

mendapatkan pendidikan seksualitas dari sekolah. Ia merasa beruntung bersekolah

di sekolah yang memberikan pendidikan seksualitas secara berkala dari jenjang

SD sampai SMA. Sebab ia baru menyadari kalau ibunya kurang memberikan

pendidikan seksualitas ini. Ia menduga karena ibunya sendiri pun merasa aneh dan

tidak biasa membicarakan hal ini saat bersama ibunya dahulu.

Menurut Retha, nilai-nilai yang ditanamkan ibunya ini dilakukan melalui

berbagai peristiwa hidup yang relevan. Namun tidak ada waktu khusus seperti

duduk bersama di meja makan untuk membicarakan hal-hal seperti ini. Sedangkan

menurut Ibu Lely apa yang ia lakukan merupakan suatu proses kehidupan yang

mengalir dan dijalani saja.

64

Berjalan begitu aja ya...Nggak pake nyontek dari siapa-siapa

sih...memang hukum alamnya kayak gitu kali ya...ya memang

kenyataannya kayak begitu.

IV.B.1.6. Pengalaman Ibu dan Anak Perempuan dengan Identitas Ke-

Tionghoa-an

Seiring dengan pertumbuhkembangannya sebagai perempuan, Ibu Lely

merasakan bagaimana hidup dengan identitas ke-Tionghoa-an. Pada awalnya Ibu

Lely bersekolah di sekolah Cina di daerah Jatinegara. Namun ketika terjadi

peristiwa G30S saat ia kelas 1 SD, Ibu Lely berhenti sekolah. Pada masa itu yang

masih ia ingat setiap sore ibunya akan mengikatkan kunci ke baju singletnya

setiap sore sehabis mandi. Sampai hari ini ia tidak tahu kunci apa yang diikatkan

pada bajunya. Kedua orang tuanya juga membakar buku-buku yang bergambar

Mao Ze Dong.

Sejak kecil ia merasa sebagai warga minoritas di mana identitas ke-

Tionghoa-an selalu melekat dengan dirinya. Ia berupaya untuk menjadi sama,

tetap saja pada kenyataannya tetap terjadi pembedaan. Hal ini ia rasakan sejak

kecil dalam lingkungan pergaulan dan masyarakat di mana ia berinteraksi.

Dulu, ketika Ibu Lely lewat di jalan ia sering sekali dikatai dengan sebutan

“Amoy”. Ia merasa sangat tidak nyaman dengan sebutan ini. Ia pun merasa

adanya tiga nama yang ia miliki membuatnya sudah dijauhi orang dari awal. Oleh

karena itu, ia berpikir dengan adanya pergantian nama ia dapat lebih diterima di

masyarakat. Namun ternyata setelah pergantian nama dan naturalisasi

kewarganegaraan pun nama marga Tionghoa-nya tetap diperlukan dalam setiap

65

pengurusan surat kewarganegaraan. Sementara untuk menghilangkan nama marga

dari surat-surat kewarganegaraan ini perlu mengurus ke departemen kehakiman.

Akhirnya Ibu Lely tetap menggunakan nama marga ini pada surat-surat

kewarganegaraan.

Sampai hari ini pun, Ibu Lely masih merasakan perbedaan perlakuan

karena identitas ke-Tionghoaan-nya. Ia merasa tidak nyaman jika menggunakan

angkutan umum di daerah dekat rumahnya di mana ia satu-satunya keturunan

Tionghoa yang ada di dalam angkot. Kondisinya sangat berbeda ia alami jika

menggunakan angkutan umum di daerah Daan Mogot dan sekitar Jakarta Barat

dekat kantornya. Di sini ia banyak menemukan orang keturunan Tionghoa yang

sama-sama menggunakan angkutan umum. Ia merasa lebih aman, nyaman dan

merasa memiliki teman.

Ia juga tidak nyaman jika harus berbelanja di supermarket dekat

rumahnya. Sebab jika ia masuk ke dalam supermarket ini, ia merasa dilihat

sebagai orang yang aneh dari atas sampai bawah oleh orang lain. Ia sendiri merasa

bahwa orang-orang melihat dirinya sebagai orang aneh berkulit putih dan bermata

sipit mau berbelanja ke supermarket itu. Ibu Retha mengatakan bahwa ia lebih

menikmati dan merasa nyaman berbelanja di Pasar Baru atau Glodok. Sebab di

dua tempat ini, keturunan Tionghoa bukanlah minoritas.

Secara spesifik pembedaan karena identitas Tionghoa ini ia alami sewaktu

peristiwa Kerusuhan Mei’98 dan dalam kepanitian Paskah bulan April 2012 yang

lalu.

66

Saya tuh temen-temen di kantor juga mayoritas orang Indonesia. Malah

waktu saya di proyek, dari karyawan yang sekitar dua ribuan saya tuh

Cina sendiri dan Kristen sendiri. Saya sih selama ini nggak pernah

merasa berbeda sama mereka, Cuma saya sedikit merasa nggak nyaman

dengan mereka pas waktu kerusuhan. Itu di kantor saya kan di pasang

parabola, karena salah satu fasiltasnya kan antena parabola. Kalo di

Indonesia sendiri kan banyak yang disortir, kalo di CNN kan apa

adanya...di situ saya baru menyadari bahwa ternyata keseharian kita yang

udah hampir sepuluh tahun selama ini kita nggak pernah merasa berbeda,

nggak tau ya kalo mereka...saya sih ngerasa nggak beda. Mereka bisa

ngomong “Rasain tuh Cina, Dasar Cina”, Buat saya nggak nyaman, tapi

saya jadi tau oh itu toh isi perut mereka, yang mereka selama ini pikirin

seperti itu. Cuma karena selama ini saya atasan mereka jadi mereka

nggak berani. Jadi dia ngomong, dia nggak sadar kalo saya Cina, krn kita

sama-sama nonton tivi juga. Nah dia ga sadar kalo yang dikatain Cina-

cina itu, saya termasuk bagian di dalamnya. Saya rasa sampe saat ini dia

nggak pernah sadar kalo secara nggak langsung dia melukai hati orang.

Pada kepanitian Paskah April 2012 lalu di antara para panitia yang sedang

mempersiapkan acara dan sempat bersitegang, keluar umpatan “Dasar Cina” di

dalam rapat. Umpatan ini ditujukan pada Ibu Lely selaku bendahara dan ketua

panitia yang juga merupakan keturunan Tionghoa. Ibu Lely sebenarnya merasa

tidak nyaman dengan peristiwa ini. Namun ia tidak mau memperpanjang masalah

sehingga ia menganggapnya sebagai angin lalu saja.

Sementara Retha merasa pada generasinya sekarang ini ia merasa sudah

lebih bisa berbaur dengan yang lainnya.

...generasi kita sebenernya kan udah ngeblend, kalo generasi sebelumnya

kan masih. Jadi kalo sekarang, aku nggak gitu merasa berbeda.

Retha masih mengalami beberapa peristiwa di mana identitas ke-Tionghoa-annya

menjadi bahan ledekan oleh temannya. Pada masa sekolah, teman yang

meledeknya ini justru adalah orang Tionghoa juga. Sementara dalam kehidupan

67

perkuliahan, ledekan menggunakan identitas ke-Tionghoa-an muncul dalam

stereotipe yang juga digunakan untuk suku-suku lain. Namun ia memaklumi ini

sebagai bagian dari dinamika perkembangan dewasa muda.

Santai-santai aja denger temen diomongin gitu. Anak muda kan becanda-

becanda aja. Soalnya mereka nggak cuma ke Cina doang sih, kalo

misalkan suka ngomongin orang di belakang, ah biasa Jawa...gitu...jadi

lebih buat becanda...kalo yang ngomongnya keras, biasa Batak.

Jadi...yaudah..

Retha merasa dari keluarga terutama oleh ibunya ditanamkan identitas ke-

Tionghoa-an ini. Retha menilai hal ini sebagai suatu hal yang baik sebab

menurutnya seorang manusia itu harus memiliki akar. Ia merasa kesadaran dan

penanaman akan akarnya ini membantunya pada masa SMP-SMA ketika proses

pencarian jati diri.

Kayak...kan banyak orang Chinese yang tinggal di Indonesia yang

akhirnya malu kalau dia Chinese, soalnya banyak kan yang “ah lu

Cina...lu Cina” gitu kan...kalo aku nggak. Karena aku proud jadi

Chinese...karena memang dididik sama mama ee...dikasih tau gitu makna-

maknanya apa, ini tuh bagus...

IV.B.2. Subyek Kedua

IV.B.2.1. Latar Belakang Ibu Subyek Kedua

Ibu Olga merupakan anak ke-5 dari enam bersaudara keluarga Tionghoa

bermarga Gouw generasi kedua di Indonesia dari garis ayahnya. Ia menghabiskan

masa kecil di daerah Tanah Abang. Sehari-hari orang tuanya berjualan sayur dan

makanan matang di pasar dekat rumah untuk memenuhi kebutuhan hidup. Setiap

hari kehidupan di keluarga Ibu Olga berjalan begitu sibuk dan padat.

68

Setiap hari kedua orang tua Ibu Olga bangun pukul dua pagi untuk mulai

memasak dan menyiapkan berbagai kebutuhan untuk berjualan. Sementara Ibu

Olga bangun pukul lima untuk menimba air, memasak, menyiapkan sarapan,

mencuci lalu pergi ke sekolah pada pukul 07.00. Sehabis pulang sekolah jam

12.00, ibu Olga ke pasar membantu orang tuanya atau membawa pulang alat-alat

masak yang sudah tidak dibutuhkan. Di rumah, ibu Olga mengerjakan berbagai

pekerjaan rumah untuk keperluan seluruh anggota keluarga. Ia melakukan

pekerjaan ini bersama dengan saudara perempuannya. Kakak dan adiknya yang

laki-laki diperbolehkan tidak membantu mengurus rumah. Kakaknya yang laki-

laki merupakan anak yang pintar di sekolah, sehingga ia diberikan kesempatan

untuk memakai waktunya untuk belajar. Sementara saudara-saudara lainnya yang

sekolahnya biasa saja mengerjakan pekerjaan rumah.

Menurut ibu Olga, di keluarga Tionghoa ditanamkan dan diharapkan

bahwa anak perempuan bisa melakukan pekerjaan rumah dan memasak. Sewaktu

kecil ia juga tidak diperkenankan bepergian ke luar rumah seperti anak muda di

zaman sekarang. Kegiatan di luar rumah hanyalah sekolah. Itu pun tidak ada les

atau kursus di luar jam sekolah. Di sisa waktu, ia melakukan berbagai pekerjaan

membereskan rumah.

Ibu Olga menilai ibunya sebagai sosok yang tegas dan keras. Ia tidak

diperkenankan bertanya apalagi membantah apa yang sudah diperintahkan oleh

ibunya. Pada masa kecilnya, ibunya dapat menentukan dengan siapa ia boleh

berteman. Bahkan jika ibunya tidak menyukai temannya atau menilai teman ibu

69

Olga yang bertandang ke rumah tidak sopan, maka ibunya dapat mengusir teman

ibu Olga dari rumah mereka.

Ibu Olga merasa rutinitas kehidupan yang sibuk setiap harinya

menyebabkan tidak adanya waktu untuk bercengkrama dengan kedua orang

tuanya. Semua berjalan begitu saja seperti mesin yang terus bergerak setiap

harinya. Oleh karena itu, proses pendidikan yang ia alami di rumah sebagian besar

bersumber dari pengamatan terhadap apa yang dilakukan oleh kedua orang

tuanya.

Sosok ayah digambarkan ibu Olga sebagai orang tua yang keras dan jarang

berinteraksi dengan anak. Ada masanya di mana ayah dari ibu Olga menghabiskan

waktu dengan mabuk-mabukan dan berjudi sementara ibunya membanting tulang

untuk memenuhi kebutuhan rumah tangga.

Ibu Olga merasa ia tidak memiliki privasi di dalam rumah. Hal ini juga

yang menyebabkannya memiliki keinginan untuk segera keluar dari rumah. Salah

satu jalan untuk keluar dari rumah menurut ibu Olga adalah dengan menikah

muda. Walaupun demikian, Ibu Olga merasa kesempatan untuk berkenalan dan

berinteraksi dengan teman dekatnya tidak sebebas zaman sekarang. Dulu ketika

pacarnya datang ke rumah, kedua orang tuanya ikut menemani di ruang tengah.

Bahkan ikut terlibat dengan pembicaraan mereka.

Ibu Olga berkenalan dengan suaminya dari teman mainnya. Suami ibu

Olga adalah kakak laki-laki dari teman main ibu Olga. Walaupun demikian,

hubungan ibu Olga dengan suaminya pada awalnya tidak disetujui oleh kedua

70

orang tuanya. Namun Ibu Olga merasa ia adalah orang yang berpendirian teguh

sehingga apa yang ia inginkan harus ia dapatkan. Ketika akhirnya ia direstui untuk

menikah, kedua orang tua ibu Olga mengatakan bahwa mereka tidak memiliki

uang sehingga kalau mau menikah ia harus mengusahakan sendiri. Pada masa itu,

di kalangan keluarga Tionghoa di lingkungan ibu Olga beredar anggapan bahwa

lebih penting menyelenggarakan pesta pernikahan dengan meriah daripada

mengurus surat-surat pernikahan. Biasanya mereka lebih malu pada tetangga jika

tidak membuat pesta yang meriah daripada khawatir tidak memiliki surat-surat

nikah. Namun ibu Olga berpendapat lain.

Menurut ibu Olga lebih penting membuat surat nikah daripada membuat

pesta pernikahan. Maka ibu Olga pun menikah dengan sederhana saja yang

penting surat-surat nikahnya jelas. Setelah menikah, ibu Olga tinggal di rumah

kontrakan bersama dengan suaminya. Pada umur 22 tahun, ibu Olga melahirkan

anaknya yang pertama.

Ibu Olga merasa tidak kesulitan memiliki anak di usia muda. Sebab dari

umur lima belas tahun ia sering mengurus anak dari kakak perempuannya yang

dititipkan di rumah ibunya. Kemudian tiga tahun berikutnya anak kedua lahir pada

tahun 1991 dan anak ketiga lahir pada tahun 1996.

Ibu Olga merasakan manfaat dari kehidupannya yang keras dan padat di

masa kecil ketika ia bekerja. Ia terbiasa hidup dengan jadwal dan rencana yang

rinci. Tujuh tahun pertama dalam pernikahannya ibu Olga bekerja sebagai

karyawan di perusahaan travel. Namun waktu yang tidak fleksibel dan jadwal

71

yang ketat sementara anak-anaknya masih kecil membuat ibu Olga berkeinginan

membuka usaha sendiri. Akhirnya ibu Olga bersama dengan suaminya mulai

membuka usaha sendiri yang terus berkembang dan dijalani sampai hari ini.

Saat ini kehidupan keluarga ibu Olga sangat mapan dan berkecukupan. Ia

dapat menyekolahkan anak-anaknya ke luar negeri dan selalu berlibur ke luar

negeri setiap liburan, disertai dengan aset-aset kepemilikan dan investasi yang

besar.

IV.B.2.2. Latar Belakang Anak Subyek Kedua

Shinta merupakan anak pertama dari tiga bersaudara. Ia mempunya dua

adik yang terpaut tiga dan tujuh setengah tahun. Ia menghabiskan masa kecilnya

tinggal di daerah Bekasi dan sejak SMP keluarganya bermukim di Kelapa Gading.

Selepas SMA, Shinta kuliah di Melbourne, Australia mengambil jurusal financial

accounting. Saat ini ia kembali ke Jakarta untuk bekerja dan membantu usaha

yang dirintis oleh kedua orang tuanya.

Shinta merasa ibunya jauh lebih keras mendidiknya saat ia masih kecil.

Tak jarang ia dipukul dan dikunci oleh ibunya di dalam kamar gelap jika ia

membantah. Namun beranjak dewasa ibunya semakin menempatkan dirinya

sebagai teman diskusi yang setara. Walaupun demikian ada keputusan-keputusan

hidupnya yang masih didominasi oleh ibunya. Salah satunya adalah

kepulangannya ke Jakarta untuk membantu usaha keluarga. Shinta sebenarnya

merasa lebih nyaman bekerja dan tinggal di Melbourne namun ibunya

menyuruhnya pulang untuk belajar mengurus usaha keluarga.

72

Setelah proses pertimbangan beberapa bulan, akhirnya ia menyetujui

keinginan ibunya untuk pulang kembali ke Jakarta. Shinta mengalami proses

penyesuaian yang tidak mudah saat kembali ke Jakarta. Bahkan sepanjang

pengambilan data pada bulan Maret 2012, isu ini sering ia utarakan. Ia merasa ada

kebebasan lebih yang bisa ia rasakan ketika tinggal sendiri. Selain itu kehidupan

di Melbourne menurutnya lebih teratur dan terprediksi daripada di Jakarta. Di

pihak lain, ia merasa bertanggung jawab juga untuk mengurus usaha keluarga

yang telah dirintis orang tuanya dan menghidupi keluarganya hingga hari ini.

IV.B.2. 3. Pengalaman Ibu sebagai Anak Perempuan di Keluarga Tionghoa

Ibu Olga menjalani rutinitas keseharian yang padat dari pukul lima pagi

sampai malam hari untuk bersekolah, membantu orang tua dan mengurus rumah.

Interaksi sehari-hari dengan orang tuanya terbilang minim karena orang tua lebih

fokus untuk memenuhi kebutuhan ekonomi keluarga.

“Sebetulnya mama tuh hampir nggak ngurus anak karena kita tuh

dikenain aturan, yang besar harus ngerawat yang kecil...Tapi kita belum

sempet besar pun udah bisa ngurus diri sendiri. Jadi sebenernya orang

tua lebih konsentrasi untuk cari uang, untuk uang sekolah, untuk

menghidupi anak-anaknya, untuk kasih kita.

Momen duduk bersama dengan orang tua pun hampir tidak ada. Sebab

semua sibuk menjalankan tugas masing-masing demi tercukupinya kebutuhan

rumah tangga.

Nggak pernah...kita hampir nggak pernah duduk berbicara. Karena

ee...masing-masing sibuk dengan pekerjaannya sendiri, trus orang tua

saya kalo malem pulang mereka sudah lelah, karena mereka kan kerjanya

lebih berat dari kita. Kita kan bangun jam lima, tapi orang tua jam dua

jam tiga, mereka udah bangun. Gitu...

73

Berbagai hal dipelajari ibu Olga dengan melihat bagaimana orang tuanya

berperilaku. Menurutnya orang zaman dulu dapat membuat anak melakukan apa

yang harus dilakukan tanpa banyak berdialog atau berdiskusi dengan anak. Tanpa

perlu diberitahu secara eksplisit, ibu Olga menyadari perannya sebagai anak

perempuan di dalam keluarga.

Jadi kalo perempuan di keluarga Tionghoa yang jelas tuh harus bisa

pekerjaan rumah, harus bisa masak. Ee...nggak boleh banyak pergi-pergi

kayak sekarang.

Ibu Olga tidak memiliki banyak waktu luang untuk dirinya sendiri. Setelah

pulang sekolah, ia harus segera pulang untuk menyelesaikan semua keperluan

rumah tangga dan hal-hal lain yang perlu dikerjakannya. Namun ia merasa

kehidupan seperti ini bukanlah suatu beban baginya. Sebab pada masa kecilnya, ia

merasa semua orang juga mengalami hal yang sama seperti dirinya. Selain itu,

tidak banyak kegiatan di luar rumah yang dapat dilakukan pada masa itu. Dengan

demikian, mengerjakan pekerjaan rumah tangga menjadi kegiatan keseharian ibu

Olga selain bersekolah.

Kondisi keuangan keluarga yang terbatas juga membuat ibu Olga tidak

dapat sering pergi berekreasi bersama keluarga. Bahkan ia tidak diberikan uang

saku sehari-hari oleh orang tuanya sehingga setiap hari ia selalu berjalan kaki dari

rumah ke sekolah sebab tidak memiliki uang untuk menggunakan kendaraan

umum. Pengalaman hidupnya membuat ibu Olga menyadari tugasnya sebagai

anak adalah menuruti perintah orang tua sehingga kehidupannya bisa lebih baik

dari orang tua.

74

Kita cuma punya tugas, apa yang ditugasin sama orang tua di rumah,

sekolah yang baik, udah...pulang ke rumah, cari jodoh yang baik supaya

kehidupan bisa lebih maju ke depannya.

Komunikasi yang minim dengan orang tua, membuat ibu Olga tidak

memiliki ruang untuk mengeluarkan pendapat maupun perasaannya. Apapun yang

dikatakan orang tua harus dituruti dan diterima tanpa ada kesempatan untuk

bertanya apalagi memprotes.

Kalo dulu, kita nggak boleh terbuka... Terus, banyak hal yang tabu.

Ee...apa namanya, kalo ngomong sama orang tua juga mesti diatur

omongannya. Trus, nggak boleh argue...Ya kalo orang tua bilang item ya

harus item...Kita nggak boleh nanya, kenapa harus item? Kenapa harus

putih? Nggak boleh...pokoknya kalo orang tua bilang A, ya A. Semua

harus A.

Pada interaksi di dalam keluarga, ibu Olga juga merasakan perbedaan

perlakuan antara dirinya dengan kakak laki-laki tertuanya yang berprestasi di

sekolah. Kakak laki-lakinya yang dinilai pintar dalam pelajaran di sekolah

diberikan keistimewaan untuk menggunakan waktunya hanya untuk belajar.

Sementara adik-adiknya yang biasa saja dalam pelajaran diharuskan tetap

mengerjakan pekerjaan rumah tangga. Ibu Olga menilai hal ini sebagai perbedaan

perlakuan karena tingkat intelegensi, bukan karena perbedaan gender,

Nah, ada kakak saya tuh yang satu, sangat pandai. Sekolahnya bagus, jadi

dia diistimewakan di rumah. Dia boleh nggak kerja. Dia boleh belajar

terus, sedangkan kita yang lainnya, yang sekolahnya biasa-biasa harus

meng-cover. Jadi yang sekolahnya biasa tuh punya beban yang lebih

berat dari yang sekolahnya luar biasa.

Secara garis besar, rutinitas hidup ibu Olga setiap harinya dari hari Senin

sampai Jum’at memiliki ritme yang sudah terprogram dan sistematis. Ia juga

75

mengupayakan untuk melakukan segala sesuatu sesuai dengan waktu yang telah

ditetapkan. Sebab jika ia terlambat, maka kegiatan berikutnya dapat terhambat.

...jam lima pagi, bangun masak air, bantu-bantu bawa sayur ke pasar,

deket kan sama rumah...trus balik ke rumah, mandi, berangkat

sekolah...Pulang sekolah kan harus langsung. Dulu sekolah ga kayak

jaman sekarang, pulang jam dua-jam tiga ya. Dulu jam dua belasan udah

pulang. Jam dua belas pulang sekolah, balik lagi ke pasar, ke tempat

orang tua saya dagang, saya bantuin lagi ngangkat barang, ee...nyuci,

ngepel, gitu...

Di malam minggu dan di hari Minggu, ibu Olga tetap bekerja membantu

orang tuanya. Bahkan di hari libur pekerjaannya jauh lebih berat sebab seluruh

waktu dihabiskan untuk membantu orang tua dan mengurus rumah.

Biarpun hari Minggu, saya nggak boleh punya ekstra bangun siang. Jam

lima harus jam lima, tetep. Malam minggu lebih berat karena nggak

sekolah kan. Jadi sepanjang hari bantu di tempat dagang.

Kebiasaan ibu Olga membantu orang tua ini membuatnya sejak kecil

sudah mahir memasak, membuat sambal dan mengurus rumah tangga. Selain itu,

ia juga sudah terbiasa melakukan tugas berat untuk anak seusianya seperti

mencuci kain lap yang terkena minyak babi dan sangat lengket, menjemur kulit

babi di atas genteng untuk dijadikan kerupuk, menggoreng kulit babi di atas wajan

panas dan menimba air untuk seluruh anggota keluarga. Menurut ibu Olga,

hampir semua pekerjaan kasar sudah pernah ia lakukan semasa kecilnya.

IV.B.2.4. Kesadaran akan Adanya Perubahan Nilai-nilai yang

Disosialisasikan

76

Ibu Olga menyadari perubahan nilai-nilai yang disosialisasikan pada

keluarga intinya saat ini. Perubahan-perubahan tersebut berasal dari

ketidakpuasannya sebagai anak di keluarganya terdahulu. Maka ketika

membangun keluarga sendiri ia berusaha memberikan keterbukaan dan kebebasan

yang dahulu ia rindukan.

Ya...pokoknya gini...ee...pasti kita ngedidik anak dari pengalaman kita,

tapi saya banyak mengambil hikmah, mana yang menurut saya tidak baik

dulu waktu pengalaman saya masih kecil, itu saya rubah.

Misalnya...seperti nggak pernah ngobrol sama anak, enggak. Saya sangat

deket sama anak-anak. Kita bisa becanda, kita bisa ngobrol apa-

apa...ngomong yang porno-porno bebas di sini. Ee...karena, dari dulu

saya punya prinsip semakin dilarang, semakin bikin orang penasaran.

Jadi saya membebaskan. Sampe yang menurut orang paling harus

dilarang, nggak saya larang. Ee...sampe sekarang pun saya menerapkan

hal itu.

Ibu Olga juga menyadari bahwa dulu ia tidak dekat dengan orang tuanya.

Menurutnya, hal ini dikarenakan kehidupan yang begitu sibuk dan keras sehingga

orang tuanya terfokus pada usaha untuk menghidupi keluarga. Oleh karena itu ibu

Olga berupaya agar di dalam keluarganya sekarang ia dapat menjalin kedekatan

dengan anak-anaknya melalui obrolan.

Entah di dalam hati mereka apa saya nggak pernah tau, tapi mungkin juga

ada penyesalan kan karena nggak pernah bisa deket sama anak, nggak

pernah punya waktu banyak duduk sama kita, mungkin kan...Jadi tuh semua

hal saya terapkan di dalam hidup saya yang sekarang...kita lebih deket,

segala hal bisa diskusi, sampe kita bisa ngomongin cowo gimana di

rumah...temen yang manapun boleh dateng...

Ibu Olga juga berupaya melakukan usaha preventif jika anak perempuannya

sampai hamil di luar nikah. Ia ingin agar anak-anaknya memberikan kepercayaan

terbesar kepada orang tua dan berusaha bersama-sama untuk mencari jalan keluar.

77

Bukan dengan bunuh diri, aborsi atau jalan keluar lain yang tanpa disertai

pemikiran matang.

...pada umumnya...saya membebaskan mereka untuk bicara untuk

melakukan apa pun, untuk membuat keputusan apa pun. Meskipun sampai

hal mengenai, kalau mereka punya anak di luar nikah bagaimana itu saya

udah diskusiin. Kebetulan anak saya tiga, perempuan. Jadi saya

mengatakan kepada mereka, bahwa kalaupun hal itu terjadi, orang yang

pertama kali harus kamu kasitahu adalah mama. Dan jangan kamu

merasa bahwa itu adalah suatu hal yang memalukan. Malu apa nggak itu

urusan kita. Yang jelas tuh nggak boleh melakukan satu tindakan bodoh,

misalnya aborsi atau bunuh diri.

Ibu Olga menginginkan anak-anaknya tidak memikirkan bagaimana pendapat

orang. Sebab ia ingin dapat menjadi partner bagi anak-anaknya untuk membantu

mereka menangani masalahnya.

Kalau mereka salah jalan, yang paling pertama musti menolong mereka,

menurut saya tuh kita. Jangan sampe karena kata-kata kita yang “jangan

sampe mencoreng, jangan sampe ini...” membuat mereka tuh nggak mau

ngomong, takut kan mencoreng...jadi bunuh diri, jadi aborsi itu saya

hindari. Jadi saya kasitau anak-anak no problem. Jadi jangan pikirin

bagaimana omongan orang, bagaimana omongan tetangga, jangan

peduli. Pokoknya kalau udah melakukan kesalahan, yaudah...kita sama-

sama betulin mesti gimana...gitu.

Walaupun demikian, Ibu Olga juga menyadari bahwa anak-anaknya tidak akan

bisa menjadi pribadi yang sekuat Ibu Olga. Ia sering merasa terlalu memanjakan

anak-anaknya dengan kehidupan yang terlalu nyaman.

Ee..saya lebih banyak bercerita sama mereka tentang kehidupan saya dulu

dan mengatakan bahwa kehidupan mereka jauh lebih baik, tapi kadang

saya merasa gagal mendidik anak karena saya merasa mereka tidak akan

bisa jadi seperti saya. Ee...orang kan nggak bisa sama, tapi saya mau

mereka bisa menerapkan falsafah hidup saya. Tapi saya merasa mereka

nggak bisa seperti itu karena saya udah membuat mereka hidup nyaman

78

dari kecil. Jadi saya yakin pasti mereka tidak akan bisa seperti saya,

karena saya salah mendidik.

Sewaktu anak-anaknya kecil, Ibu Olga tidak mengizinkan mereka memasak atau

menyeterika sebagaimana dulu ia melakukan aktivitas-aktivitas ini sejak usia dini.

Di masa sekarang, Ibu Olga berusaha menebus “kesalahannya” dengan mengajak

anaknya bekerja bersamanya. Diharapkan anak-anak Ibu Olga dapat mencontoh

bagaimana Ibu Olga menghadapi hidup sehari-hari.

Cuma saya berusaha memperbaiki kesalahan saya dengan cara mereka

bekerja di dekat saya, dan mereka melihat bagaimana saya menghandle

semua, bagaimana saya menghadapi masalah, bagaimana saya nepatin

janji ke orang, bagaimana berkomitmen, itu cara yang saya lakukan..

Shinta membenarkan bahwa ibunya sering menceritakan bagaimana pengalaman

hidupnya dahulu. Bahkan pengalaman hidup ibunya mempengaruhi keputusan

Shinta untuk melanjutkan sekolah.

Iya, dia sering banget kok nyeritain tentang pengalaman hidupnya, dulu

Oma bagaimana gitu...galak...Contohnya, dulu waktu aku kuliah, dulu tuh

selesai SMA tuh, aku ada pikiran kalo aku tuh nggak mau kuliah, mau

kerja aja...Cuma mama bilang, jaman dulu dia tuh pengen banget

kuliah...tapi nggak ada uangnya, nggak ada biaya. Sekarang bisa

nyekolahin anak, kenapa nggak gitu...pokoknya harus...karena ada

biayanya, harus sekolah...Pokoknya kayak gitu... Kayak dulu nggak bisa,

sekarang bisa, makanya dikerjain...Kesempatannya ada gitu...

Shinta mensyukuri kehidupannya di masa sekarang ini. Ia tidak bisa

membayangkan bagaimana hidup di zaman ibunya tanpa kemudahan hidup dan

kecanggihan teknologi seperti sekarang ini.

Kalo denger kayak gitu sih...selalu ngomong dalam hati, untung aku

nggak hidup di zaman yang itu... (tertawa). Kalo nggak, bisa gila...Jadi

kayak, bersyukur sih...kalo sekarang tuh nggak sesusah yang dulu,

79

sekarang nggak sekaku yang dulu. Jadi kayak segala tempat, mall gitu

lebih banyak...Kalo dulu kan, telpon aja nggak ada, hape nggak ada gitu.

Sekarang mikir, kalo nggak pake BB aja nih, gimana...kayak aneh...nggak

ada internet...jadi bersyukur...

IV.B.2.5. Sosialisasi Identitas Gender pada Anak Perempuan

Ibu Olga mendidik anak-anak perempuannya untuk memiliki sikap

menghormati, terutama pada yang lebih tua serta menjaga rasa kekeluargaan.

...cuma kalo yang saya tetep terapin adalah menghormati. Bagaimana

menghormati orang yang lebih tua dari kita. Bagaimana kita tetep

menjaga rasa kekeluargaan. Bagaimana yang muda ke yang tua harus

memanggil menurut tingkatannya. Soalnya, pada saat dia panggil orang

dengan tingkatannya, tidak dengan nama, itu secara tidak langsung

membuat orang tersebut sadar bahwa dia levelnya di mana.

Ibu Olga juga berusaha mengajarkan dan menanamkan nilai kerja keras

pada anak-anaknya dengan menceritakan kisah hidupnya yang penuh perjuangan

pada anak-anaknya. Hal ini dibenarkan oleh penuturan Shinta, anaknya.

Iya, dia sering banget kok nyeritain tentang pengalaman hidupnya, dulu

Oma bagaimana gitu...

Menurut ibu Olga dengan perubahan zaman dan kondisi, ia sangat yakin

bahwa anak-anaknya tidak akan sekuat dirinya. Oleh karena itu, ia merasa dengan

menceritakan kisah hidupnya, paling tidak anak-anaknya dapat mempelajari

falsafah hidupnya.

Namun bagi Shinta sendiri, ia merasa ada beban dan harapan lebih yang

diberikan padanya sebagai anak pertama di dalam keluarga. Sejak ia kecil, ia

selalu harus bertanggung jawab untuk kesalahan yang dilakukan oleh adiknya.

80

...aku sih ngerasanya karena anak pertama, rasanya tuh lebih beban...jadi

kayak dari dulu dari kecil, kalo misalnya adiknya kenapa gitu...padahal

bukan salah aku, tapi aku pasti diomelin...Katanya aku paling gede

gitu...jadi harus kasih contoh yang baik untuk adiknya, jadi adiknya nggak

seperti itu...gitu...jadi satu salah, semua kena...

Shinta merasa segala perilakunya harus menjadi contoh yang baik untuk

adik-adiknya. Menurutnya, ibu Olga sangat menekankan ini kepadanya.

...misalnya masalah pulang malem gitu, diomelin...dibilangnya itu bukan

contoh yang bener buat adiknya, pasti adiknya nanti ngikutin. Kalo nanti

dia udah gede, pasti dia nanya...kalo Cici boleh begitu, kenapa dia nggak.

Jadi dari dulu tuh ditanemin untuk jadi contoh yang baik untuk adiknya

karena anak paling besar.

Perlakuan seperti ini yang diterima Shinta sejak kecil lama kelamaan

membentuk proses berpikir, yang pada akhirnya mempengaruhi bagaimana Shinta

berperilaku. Ia terbiasa memikirkan dampak dari perilaku yang dilakukannya bagi

adik-adiknya.

Sampe sekarang sih masih terbebani gitu, cuma udah terbiasa...Jadi kayak

berjalannya waktu, udah jadi kebiasaan gitu...Setiap kali apa,

mikir...entar adiknya gimana yaa...harus gimana gitu... Jadi udah

terbiasa, apa ya...udah jadi kebiasaan idup aja gitu (tertawa).

Shinta merasa nilai kerja keras yang ditanamkan oleh ibunya merupakan bagian

dari nilai (value) yang dimiliki oleh orang Cina pada umumnya.

Aku rasa sih karena orang Cina, dari nenek moyangnya itu orangnya emang

pekerja keras dan konsisten...Kalo dari yang aku liat, menurut pandangan

aku, semua orang Cina itu pekerja keras...

Di saat ini Ibu Olga berusaha untuk memperlakukan anak secara setara. Hal ini

juga yang dirasakan oleh Shinta di mana ia merasa dapat berdiskusi dengan

ibunya. Termasuk memberi masukan mengenai cara berpakaian ibunya.

81

Begitu juga kita ke mama, Ih jangan pake itu sih ke mama, pake yang lain

lah yang lebih santai. Kayak saling kritik pakaiannya. Kalo misalnya mau

ke pesta, pake ini aja, pake ini aja. Walaupun tegas bisa juga jadi temen

yang seumuran.

Shinta menyadari hubungan yang setara dengan ibunya baru dirasakannya akhir-

akhir ini ketika semakin beranjak dewasa. Sementara pada waktu ia kecil, ibunya

tergolong tegas dalam mendisiplinkan anak. Terutama berkaitan dengan nilai

akademis di sekolah dan kepatuhan menjalani peraturan di rumah. Sosialisasi dan

pengkondisian seperti ini dari Ibu Olga terinternalisasi di dalam diri Shinta

sebagai nilai-nilai hidup yang membuatnya berusaha melakukan yang terbaik.

Karena mungkin...aku sendiri takut, tiap kali ambil raport, aduuh jangan

merah. Kalo merah, nggak tau nih diapain...takut digebukin gitu

(tertawa), takut diomelin...ntar bisa nggak boleh pergi jalan-

jalan...pokoknya jangan merah. Jadi kayak, mau nggak mau, berusaha

gitu supaya nilainya bagus...Supaya nantinya bisa seneng-seneng, jangan

sampe kayak haha hihi sekarang trus kalo nilainya jelek, ntar nggak bisa

berbuat apa-apa, nggak naik kelas lagi... belom lagi malunya kalo nggak

naik kelas...males lagi ngulang.

Shinta menyetujui pola hubungan seperti yang ia alami bersama ibunya. Anak

bisa berdiskusi dengan orang tua namun juga tetap hormat pada orang tua.

Aku sih setuju-setuju aja sih, nggak ada komplain.Menurut aku ada

saatnya orang tua bisa jadi temen, bisa ngomongin apa aja ya nggak

semuanya sih tapi bisa nggak takut mau cerita ke orang tua. Tapi dengan

mereka tegas, semacam ada boundaries, jadi kita tahu ada batasannya

walaupun dekat, nggak bisa kayak temen.

Shinta mengaku memiliki selera berpakaian yang sama dengan ibunya. Walaupun

demikian, Shinta tetap merasa adanya perbedaan antara dirinya dan ibunya

terutama dalam hal pemikiran. Menurut Shinta, ibunya sering mengkhawatirkan

82

hal-hal yang menurutnya tidak perlu dikhawatirkan. Salah satunya tentang masa

depan anak-anak perempuannya.

Yang sering bentrok sih masalah pemikiran aja...Mungkin karena aku

sempet sekolah di luar gitu. Kadang aku merasa mama suka worried hal-

hal yang seharusnya ga di-worried gitu...jadinya aku, yaudahlah...tapi

mama suka nggak terima. Tapi kalo hal-hal lain, nggak sih...jarang

berantem juga...Mama khawatirin...yah..gitulah...anak-anaknya...entar

bagaimana kalo misalnya udah kawin, kalo misalnya...pasangannya

jahat...atau ntar misalnya tinggal sendiri, kerja, nggak bisa menghasilkan

uang sendiri, yang susah, gitu-gitu lah...Kayak mama lebih khawatir kalo

nanti anaknya entar susah.

Menurut Shinta, kekhawatiran yang dimiliki Ibu Olga terhadap masa depan anak-

anaknya membentuk bagaimana perilaku Ibu Olga kepada anak-anaknya. Ibu

Olga menekankan pada ketiga anaknya untuk dapat hidup mandiri tanpa

bergantung pada orang lain.

Makanya mungkin dari dini, ditanemin ke anak-anaknya pokoknya kalo

apa-apa harus mandiri, bisa sendiri. Kayak kita nih, sebelum SMA,

sebelum umur 17 harus belajar nyetir, harus bisa naik mobil, jangan

bergantung sama supir. Jangan bergantung sama siapa-siapa, mungkin

karena cewek semua kali ya...mama khawatir...Jadi sebisa mungkin tuh

semua anaknya tidak bergantung sama orang lain. Jadi kalo misalnya

entar ditinggal sama orang lain, pasangannya, sama temennnya...itu

nggak yang gimana, masih bisa berdiri sendiri...

IV.B.2.6. Pengalaman Ibu dan Anak Perempuan dengan Identitas Ke-

Tionghoa-an

Ibu Olga dan Shinta memiliki pengalaman yang berbeda dalam hal identitas

ke-Tionghoan mereka. Ibu Olga pernah mengalami bersekolah di sekolah negeri

di tingkat sekolah dasar. Saat itu, ia satu-satunya keturunan Tionghoa di sekolah.

83

Bahkan di antara kakak dan adiknya, ibu Olga merupakan satu-satunya anak yang

pernah bersekolah di sekolah negeri.

Beliau mengakui pada awal mula masuk di sekolah negeri ia sering diledek

dan dilempari barang oleh teman-temanya. Namun hal ini tidak membuat Ibu

Olga gentar. Ia malah mendatangi teman yang melemparinya barang dan

mengajaknya untuk berkonfrontasi langsung. Lama-kelamaan teman-teman yang

sering meledeknya malah menjadi teman akrab Ibu Olga sampai sekarang.

Menurut Ibu Olga, sampai sekarang ia memiliki teman-teman akrab dari berbagai

latar belakang budaya dan suku.

Sementara Shinta merasa sebagai minoritas dengan identitas ke-

Tionghoaannya. Waktu di sekolah dasar, ia sempat bersekolah di sekolah Katolik

Strada yang mayoritas “pribumi”. Ia dan adiknya sering menjadi bahan ledekan.

Menurut Shinta ia merasa biasa saja diledek seperti itu. Namun ia merasa tidak

nyaman ketika diledek dengan sebutan “Mei Mei” saat berjalan di trotoar

sepulang mengikuti bimbingan belajar di SMAN 8.

Trus apalagi waktu SMA, aku kan sempet ikut les-lesan yang UMPTN, BTA

yang di SMA 8. Trus lagi jalan, trus ada abang-abang manggil...”Waah, Mei

Mei” yang ngatain Cina gitu...Sebenernya aku nggak seneng, tapi disautin

nggak perlu kan.

Di dalam pergaulan sehari-hari, Shinta merasa ibunya tidak memberikan batasan

atau larangan dalam berteman. Tetapi dalam memilih pasangan hidup, Ibu Olga

mewanti-wanti Shinta agar jangan mendapatkan pasangan yang beragama Islam.

Mama nggak pernah ngelarang aku untuk temenan sama siapa aja. Cuma

mungkin ya, emang dari sananya...setiap...bukan suku sih, tiap orang mungkin

84

kayak punya nggak suka yang sama ini... Mama cuma bilang dari dulu, kalo

berteman sama siapapun boleh. Cuma misalnya kalo mencari pasangan

hidup, mama ada nggak suka sama agama tertentu gitu. Jangan yang Islam

(suara mengecil). Mama cuma masalahin agama, tapi kalo yang lainnya

nggak pernah bilang, nggak boleh orang ini, nggak boleh orang itu.

Pengalaman Shinta berkuliah di Australia dan bertemu dengan teman-teman

sesama keturunan Cina dari Indonesia memberikannya perspektif lain. Dari cerita

teman-temannya ia mengetahui apa saja yang dialami teman-temannya saat

Kerusuhan Mei 1998. Sementara di saat itu, Shinta tidak mengalami apa-apa

karena ia tinggal di daerah Bekasi yang mayoritas adalah pribumi.

...waktu itu aku masih kelas 5 SD, jadi aku biasa aja, nggak ngerasa takut

atau apa. Lagian di komplek rumah juga nggak ada rusuh-rusuh kan,

tinggalnya di Bekasi. Temen-temen di Australi ada yang cerita gimana-

gimana, sampe ngumpet di loteng, balik ke Indo masih ada rasa trauma.

Tapi kalo aku sendiri nggak ada. Dia tinggal di daerah kota gitu, sampe

lari-lari ngumpet di loteng rumahnya. Abis itu dia kabur masuk ke gang-

gang, masuk ke rumah tetangga. Numpang duduk, nggak dikasih minum

atau apa...Cuma untuk sekedar numpang singgah. Denger kayak gitu sih

sedih...kenapa harus kayak gitu.

Ketika ditanya mengenai identitasnya, Shinta merasa ia berada di-antara (in

between) antara merasa sebagai orang Indonesia dan Australia.

Merasa in between, soalnya kalo bahasa Indonesia juga nggak bisa,

apalagi kalo nulis email resmi banyak yg ga tau bahasanya. Tapi kalo

dibilang kayak Australi, bahasa Inggrisnya juga nggak jago-jago amat.

Jadi bingung sih...in between. Kalo dibilang nggak suka Indonesia, tapi

aku hidup dan besar di sini. Kalo aku lebih suka tinggal di Australi tapi

sebenernya hidupnya juga nggak enak-enak amat di sana, mesti berjuang

juga.

Sementara Ibu Olga dapat dengan mantap dan yakin mengakui dirinya sebagai

orang Indonesia. Sebab ia lahir dan besar di Indonesia. Sampai mati pun akan

tetap menjadi orang Indonesia.

85

Merasa sebagai orang Indonesia karena saya tinggal di Indonesia, besar

di Indonesia, saya tau segala sesuatu tentang Indonesia dan akan

meninggal di sini. Jadi, saya orang Indonesia.

IV.C. Analisis Antar Subyek

IV.C.1. Latar Belakang Kehidupan Ibu

Pada tabel berikut ini, dapat dilihat gambaran latar belakang kehidupan Ibu Lely

dan Ibu Olga, beserta persamaan dan perbedaannya.

Tabel IV.C.1.1. Perbandingan Latar Belakang Kehidupan Ibu

Ibu Lely Ibu Olga

Latar Belakang

Keluarga

- Keluarga Tionghoa

generasi kedua di

Indonesia.

- Besar di daerah

Jatinegara, Jakarta

Timur

- Ayah berjualan beras

dan pedagang

kelontong. Sementara

ibu menjadi ibu

rumah tangga di

rumah.

- Anak ke-4 dari 10

bersaudara

- Keluarga Tionghoa

generasi ketiga di

Indonesia

- Besar di daerah

Tanah Abang, Jakarta

Pusat

- Ayah dan ibu

berjualan makanan

matang dan sayur-

sayuran di pasar.

- Anak ke-5 dari 6

bersaudara

Persamaan - Berasal dari keluarga Tionghoa yang besar di

Jakarta

- Mata pencaharian keluarga adalah berjualan

Perbedaan - Ibu dari Ibu Lely

adalah seorang ibu

rumah tangga.

- Ibu Lely dibesarkan

di Jatinegara yang

lebih kental

komunitas

Tionghoanya

- Ibu Lely lahir tahun

1958.

- Ibu dari Ibu Olga

berjualan sendiri,

terpisah dari usaha

suaminya

- Ibu Olga dibesarkan

di daerah Kebon

Kacang.

- Ibu Olga lahir tahun

1966

- Perbedaan tahun lahir ini berkontribusi pada

perbedaan pengalaman hidup mereka. Antara lain,

Ibu Lely masih mengalami bersekolah di sekolah

Cina. Sementara Ibu Olga yang lahir setelah

peristiwa G30S bersekolah di sekolah negeri

86

Kehidupan di dalam

keluarga

Ibu Lely

- Selesai sekolah harus

segera pulang ke

rumah untuk

membantu

mengerjakan urusan

rumah tangga dan

mengurus keluarga.

- Tidak diperkenankan

mengikuti kegiatan

lain di luar sekolah

- Ibu sangat kolot dan

kaku sementara Ayah

dinilai lebih sabar

dan baik. Apa yang

dikatakan dan

diperintahkan oleh

ibu tidak boleh

dibantah.

- Anak laki-laki di

dalam keluarga boleh

bermain dan tidak

membantu mengurus

pekerjaan rumah.

Sementara anak

perempuan

mengerjakan semua

urusan rumah tangga.

Ibu Olga

- Selesai sekolah harus

segera pulang ke

rumah untuk

membantu

mengerjakan urusan

rumah tangga dan

mengurus keluarga.

- Tidak diperkenankan

mengikuti kegiatan

lain di luar sekolah

- Jarang berinteraksi

bersama ayah dan

ibu. Namun menilai

Ibu sebagai orang

yang sangat keras.

Apa yang dikatakan

dan diperintahkan

oleh ibu tidak boleh

dibantah.

- Anak laki-laki di

dalam keluarga boleh

bermain dan tidak

membantu mengurus

pekerjaan rumah.

Sementara anak

perempuan

mengerjakan semua

urusan rumah tangga

Persamaan - Ibu Lely dan Ibu Olga diharuskan untuk segera

pulang ke rumah sesuai sekolah untuk membantu

mengerjakan urusan rumah tangga.

- Mereka tidak diperkenankan mengikuti kegiatan

lain di luar sekolah. Namun saudara laki-laki

mereka diperbolehkan untuk bermain di luar

rumah dan tidak mengerjakan pekerjaan rumah.

- Orang tua Ibu Lely dan Ibu Olga

mengembangkan pola asuh otoriter pada anak-

anaknya. Terutama para ibu yang menegakkan

peraturan dan memberikan konsekuensi hukuman

pada anak-anak tanpa banyak kompromi dan

diskusi.

- Ibu Olga dan Ibu Lely merasa ibu mereka banyak

melarang mereka melakukan hal yang mereka

87

sukai, terutama yang berkaitan dengan kebebasan

berpendapat dan berkegiatan di luar rumah.

Perbedaan - Ibu Lely membantu

ayahnya berjualan

sebatas menunggui

toko kelontong milik

ayahnya.

- Ibu Lely memiliki

keinginan yang tinggi

untuk mengikuti

kegiatan

ekstrakurikuler

sekolah seperti

bermain Drum Band.

- Ibu Lely menyadari

perbedaan karakter

ibu dan ayahnya.

- Aktivitas Ibu Lely

mengurus kebutuhan

rumah tangga

terbatas pada

kegiatan

membersihkan rumah

dan berbelanja ke

pasar. Beliau baru

bisa memasak

menjelang menikah.

- Ibu Olga tak hanya

mengerjakan

pekerjaan rumah

tangga saja, tetapi

juga ikut menyiapkan

keperluan untuk

orang tuanya

berjualan.

- Ibu Olga merasa

tidak terlalu merana

karena harus berdiam

di rumah.

- Ibu Olga merasa

tidak banyak

berinteraksi dengan

orang tuanya karena

padatnya aktivitas

berjualan setiap hari

- Ibu Olga melakukan

semua pekerjaan

kasar di rumah.Sejak

kecil, Ibu Olga sudah

terbiasa memasak

untuk kebutuhan

rumah tangga dan

berjualan.

Pada tabel IV.C.1.1., terlihat persamaan dan perbedaan latar belakang

keluarga Ibu Lely dan Ibu Olga. Perbedaan latar belakang keluarga ini

membentuk keunikan masing-masing. Namun ketika Ibu Lely dan Ibu Olga

masuk ke tahap pernikahan, keduanya menjalankan peran sebagai istri dan ibu

yang hampir serupa. Usaha keduanya menjalankan peran sebagai istri dan ibu

sejalan dengan teori social-learning dan reproduksi peran ibu (Chodorow, 1978).

88

Hasil pengalaman dan pembelajaran diimplementasikan ketka mereka sendiri

sudah menjalani peran sebagai ibu secara aktif. Deskripsi ini dapat dilihat pada

tabel IV.C.1.2. berikut ini.

Tabel IV.C.1.2. Perbandingan Usia Menikah Ibu

Usia Pada Saat

Menikah

Ibu Lely

- 24 tahun Ibu Olga

- 21 tahun

Persamaan - Ibu Lely dan Ibu Olga menikah pada rentang usia

dewasa muda (early adulthood).

- Ibu Lely dan Ibu Olga menikah setelah memiliki

pengalaman bekerja selama 1-3 tahun

- Setelah menikah, Ibu Lely dan Ibu Olga berpisah

dari keluarganya dan tinggal di rumah kontrakan

bersama suaminya.

- Anak pertama lahir di tahun pertama pernikahan.

- Setelah menikah, Ibu Lely dan Ibu Olga tetap

bekerja sekaligus menjalankan peran sebagai istri

dan ibu rumah tangga.

- Walaupun bekerja, Ibu Lely dan Ibu Olga setiap

hari selalu memasak untuk keluarganya

Perbedaan - Ibu Lely menikah

dengan teman

gerejanya.

- Setelah menikah, Ibu

Lely masih sering

bertanya pada ibunya

mengenai cara

memasak makanan.

Ia juga melibatkan

ibunya dalam

pengasuhan anak

pertamanya.

- Ibu Olga menikah

dengan kakak dari

teman baiknya.

- Ibu Olga mengurus

anaknya sendiri.

Pada Tabel IV.C.1.3. terlihat perbedaan pendidikan akhir Ibu Lely dan Ibu Olga,

bukan hanya dari gelar akademis saja tapi juga perbedaan pandangan dan perilaku

mereka terhadap pendidikan akademis.

Tabel IV.C.1.3. Perbandingan Pendidikan Akhir Ibu

89

Pendidikan Akhir - D1 - SMK

Persamaan - Pendidikan Ibu Lely dan Ibu Olga sebelum

menikah adalah SMA

Perbedaan - Ibu Lely melanjutkan

pendidikan D1

setelah 12 tahun

menikah, yaitu pada

saat ia berhenti

bekerja dari

pekerjaan

sebelumnya. Ia

mengisi waktu

luangnya dengan

sekolah Bahasa dan

Sastra Mandarin.

- Ijazah D1 ini menjadi

sarana memenuhi

kebutuhan rumah

tangga dengan

menjadi guru les

bahasa Mandarin

selama 9 tahun.

- Ibu Olga walaupun

telah memiliki uang

untuk melanjutkan

sekolah, merasa

sudah tidak memiliki

waktu dan tenaga. Ia

merasa lebih baik ia

memfokuskan diri

untuk

menyekolahkan

anaknya. Ibu Olga

memendam

keinginan untuk

mengambil jurusan

Hukum.

IV.C.2. Pengalaman Ibu sebagai Anak Perempuan Keluarga Tionghoa

Kehidupan sebagai anak perempuan keluarga Tionghoa membentuk

dinamika internal Ibu Lely dan Ibu Olga sebagai individu, maupun ekspektasi

terhadap lingkungan sekitar mereka. Pada Tabel IV.C.2.1. dideskripsikan

perbandingan pengalaman masa kecil Ibu Lely dan Ibu Olga.

Tabel IV.C.2.1. Perbandingan Pengalaman Ibu sebagai Anak Perempuan

Keluarga Tionghoa

Ibu Lely Ibu Olga

- Bertugas membantu ibunya dalam

mengurus kebutuhan rumah tangga.

Mereka tidak punya pembantu

sehingga segala urusan rumah

tangga dikerjakan sendiri oleh ibu

dan anak-anak perempuan.

- Menghabiskan waktunya di luar

- Mengerjakan berbagai pekerjaan

rumah untuk keperluan seluruh

anggota keluarga. Ia melakukan

pekerjaan ini bersama dengan

saudara perempuannya

- Menurut ibu Olga, di keluarga

Tionghoa ditanamkan dan

90

waktu sekolah untuk mengerjakan

pekerjaan rumah. - Ia ingin sekali

bisa mengikuti aktivitas di luar

rumah seperti ekskul Drum Band

yang diadakan sekolahnya setiap

hari Minggu. Namun karena

kegiatan ini dilakukan di luar jam

sekolah maka Ibu Lely tidak dapat

mengikutinya.

- Merasa ibunya sebagai orang tua

yang kolot, galak dan cerewet serta

tidak pandai bergaul. Ibu Lely

merasa ibunya banyak mengatur

dan mengekang serta terlalu banyak

melarang.

- Kebebasan sebagai anak

perempuan jarang ia rasakan.

Sementara ia melihat sendiri

bagaimana saudara laki-lakinya

diperbolehkan bermain dengan

bebas dan tidak dibebankan tugas

membersihkan rumah seperti anak-

anak perempuan.

- Ibu Lely sangat senang bersekolah.

Sebenarnya ia ingin bersekolah

tinggi. Namun ketiadaan biaya

membuatnya harus mengurungkan

niatnya ini. Selepas SMA Ibu Lely

tahu bahwa ia tidak mungkin

melanjutkan sekolah dan harus

bekerja

- Ibu Lely merasakan manfaat dari

didikan ibunya yang keras dan

disiplin setelah ia menikah dan

memiliki anak.

diharapkan bahwa anak perempuan

bisa melakukan pekerjaan rumah

dan memasak.

- Sewaktu kecil tidak diperkenankan

bepergian ke luar rumah seperti

anak muda di zaman sekarang.

Kegiatan di luar rumah hanyalah

sekolah. Itu pun tidak ada les atau

kursus di luar jam sekolah. Di sisa

waktu, ia melakukan berbagai

pekerjaan membereskan rumah.

- Ibu Olga menilai ibunya sebagai

sosok yang tegas dan keras. Ia tidak

diperkenankan bertanya apalagi

membantah apa yang sudah

diperintahkan oleh ibunya.

- Ibu Olga merasa rutinitas kehidupan

yang sibuk setiap harinya

menyebabkan tidak adanya waktu

untuk bercengkrama dengan kedua

orang tuanya.

- Ibu Olga merasa ia tidak memiliki

privasi di dalam rumah. Hal ini juga

yang menyebabkannya memiliki

keinginan untuk segera keluar dari

rumah. Salah satu jalan untuk

keluar dari rumah menurut ibu Olga

adalah dengan menikah muda.

- Ibu Olga memiliki cita-cita untuk

berkuliah di fakultas hukum.

Namun akhirnya ia hanya

bersekolah sampai SMK agar dapat

langsung bekerja.

- Ibu Olga merasakan manfaat dari

kehidupannya yang keras dan padat

di masa kecil ketika ia bekerja. Ia

terbiasa hidup dengan terjadwal dan

rencana yang rinci.

Dari perbandingan tabel, secara umum terlihat kehidupan yang dialami Ibu

Lely dan Ibu Olga sebagai anak perempuan keluarga Tionghoa banyak

91

dipengaruhi oleh kondisi ekonomi keluarga yang terbatas. Maka sebagai bagian

dari anggota keluarga Ibu Lely dan Ibu Olga ikut membantu menopang kehidupan

keluarga dengan mengerjakan pekerjaan rumah tangga, maupun berjualan.

Menurut Kim (2003), keluarga Tionghoa yang berlandaskan ajaran

Konfusius menjunjung tinggi sikap berbakti dan hormat anak kepada keluarga dan

orang tua sekalipun harus mengorbankan impian dan ambisi diri sendiri. Terlihat

bagaimana Ibu Lely dan Ibu Olga diharapkan dan diajarkan sebagai anak

perempuan keluarga Tionghoa untuk memenuhi ekspektasi dan tuntutan keluarga.

Seringkali ekspektasi keluarga tidak sesuai dengan keinginan mereka sendiri.

Meij (2009) mengatakan anak-anak di keluarga Tionghoa memiliki nilai

penghormatan yang tinggi terhadap orang tuanya. Tak heran muncul perilaku

mendahulukan dan mematuhi keinginan orang tua dibandingkan keinginan diri

sendiri.

Ibu Lely dan Ibu Olga tetap berusaha mematuhi dan menjalankan apa yang

diinginkan oleh keluarganya. Namun di dalam diri mereka, terjadi proses refleksi

dan internalisasi yang memunculkan kesadaran adanya perbedaan antara

ekspektasi keluarga dengan keinginan pribadi. Hal inilah yang memunculkan

perbedaan sosialisasi identitas gender ketika Ibu Lely dan Ibu Olga menjadi ibu

bagi anak-anak perempuannya.

IV.C.3. Kesadaran akan Adanya Perubahan Nilai-nilai yang Disosialisasikan

Pada tabel IV.C.3.1. dapat dilihat perbandingan kesadaran akan perubahan

nilai-nilai yang disosialisasikan Ibu Lely dan Ibu Olga kepada anak-anak

92

perempuannya. Perubahan ini muncul dari pengalaman diri Ibu Lely dan Ibu Olga

yang dimodifikasi sehingga sesuai dengan apa yang mereka harapkan namun tidak

dapat mereka peroleh sewaktu dahulu menjadi anak perempuan.

Tabel IV.C.3.1. Perbandingan Perubahan Nilai-nilai yang Disosialisasikan

pada Ibu

Ibu Lely Ibu Olga

- Ibu Lely menyadari adanya

perubahan nilai-nilai dari yang ia

alami sebagai anak perempuan

dengan apa yang ia tanamkan

sebagai ibu kepada anak-anak

perempuannya. Ia merasa

perubahan ini merupakan hasil dari

pengalamannya sebagai anak

perempuan.

- Perubahan paling besar yang

dirasakan dan disosialisasikan

terkait dengan kebebasan untuk

beraktivitas dan

mengaktualisasikan diri dalam

berbagai kegiatan.

- Ibu Lely juga menyadari adanya

perbedaan cara mendidik antara

anak pertama, kedua dan ketiga

walaupun sama-sama perempuan.

- Ibu Olga menyadari perubahan

nilai-nilai yang disosialisasikan

pada keluarga intinya saat ini.

Perubahan-perubahan tersebut

berasal dari ketidakpuasannya

sebagai anak di keluarganya

terdahulu.

- Ketika membangun keluarga

sendiri ia berusaha memberikan

keterbukaan dan kebebasan yang

dahulu ia rindukan.

- Ibu Olga menyadari bahwa dulu ia

tidak dekat dengan orang tuanya.

Hal ini dikarenakan kehidupan

yang begitu sibuk dan keras

sehingga orang tuanya terfokus

pada usaha untuk menghidupi

keluarga.

- Ibu Olga berupaya agar di dalam

keluarganya sekarang ia dapat

menjalin kedekatan dengan anak-

anaknya melalui obrolan.

- Ibu Olga menyadari bahwa anak-

anaknya tidak akan bisa menjadi

pribadi yang sekuat Ibu Olga. Ia

sering merasa terlalu memanjakan

anak-anaknya dengan kehidupan

yang terlalu nyaman.

Perubahan dimulai melalui keputusan Ibu Lely dan Ibu Olga memilih

sendiri pasangan hidupnya. Ibu Lely dan Ibu Olga sudah tidak mengalami

perjodohan seperti yang dituliskan Meij (2009) dalam disertasinya. Keberanian

untuk memilih jodoh atas kehendak sendiri menjadikan pernikahan sebagai sarana

93

aktualisasi bagi Ibu Lely dan Ibu Olga untuk mengaktualisasikan diri. Selain itu,

pernikahan juga menjadi sarana menyalurkan keinginan terpendam yang tidak

terfasilitasi ketika dulu menjadi anak perempuan. Kini, dengan peran sebagai ibu

mereka memiliki hak dan kebebasan untuk mendidik anak-anak perempuan sesuai

keinginan mereka.

Perubahan sosialisasi melalui pola asuh disadari oleh Retha, anak dari Ibu

Lely dan Shinta, anak dari Ibu Olga seperti tampak dalam tabel IV.C.3.2. berikut

ini.

Tabel IV.C.3.2. Perbandingan Perubahan Nilai-nilai yang Disosialisasikan

pada Anak Perempuan

Retha Shinta

- Retha menyadari adanya perubahan

nilai yang disosialisasikan. Ia

mengetahui perubahan ini terjadi

karena ibunya merasa ada hal-hal

yang tidak cocok dari pendidikan

yang diberikan oleh popo (Ibu dari

ibunya) terhadap ibunya.

- Pengetahuan dan kesadaran ini

membantu Retha untuk memahami

mengapa ibunya mendidik dan

mendorong anak-anaknya seperti

sekarang ini untuk berkegiatan dan

beraktivitas di luar rumah.

Perbedaan ini berlandaskan prinsip

yang dianut oleh Ibu Lely.

- Shinta membenarkan bahwa ibunya

sering menceritakan bagaimana

pengalaman hidupnya dahulu.

Bahkan pengalaman hidup ibunya

mempengaruhi keputusan Shinta

untuk melanjutkan sekolah.

- Shinta mensyukuri kehidupannya di

masa sekarang ini. Ia tidak bisa

membayangkan bagaimana hidup di

zaman ibunya tanpa kemudahan

hidup dan kecanggihan teknologi

seperti sekarang ini.

- Kesadaran akan perubahan nilai-

nilai yang disosialisasikan

dirasakan Shinta lebih dipengaruhi

karena posisinya sebagai anak

pertama serta pengalamannya

pernah mencicipi kehidupan di luar

negeri.

Shinta memiliki penghayatan yang berbeda dengan Retha dalam hal

kesadaran akan perubahan nilai-nilai yang disosialisasikan. Dari hasil wawancara,

94

tampak bagaimana posisi Shinta sebagai anak pertama mendapatkan tekanan dan

tuntutan yang lebih tinggi dibandingkan adik-adiknya. Sebenarnya hal ini juga

terjadi pada anak perempuan di keluarga Ibu Lely. Retha, sebagai anak kedua

menyadari bagaimana kakak perempuannya lebih dilarang dan dibatasi dalam

bergaul serta dituntut untuk memberi contoh yang baik bagi adik-adiknya.

Terlepas dari perbedaan penghayatan Retha dan Shinta yang disebabkan

oleh urutan kelahiran, terlihat bagaimana perubahan nilai-nilai yang

disosialisasikan. Dari pengalaman Ibu Lely dan Ibu Olga sebagai anak perempuan

keluarga Tionghoa dengan pengalaman Retha dan Shinta sebagai anak dari Ibu

Lely dan Ibu Olga terlihat perubahan nilai terjadi karena pengalaman para ibu.

Hal ini sesuai dengan telaah Nani Nurrachman (2011) terhadap teori

Chodorow, yaitu proses menjadi ibu merupakan suatu sublimasi psikologis dari si

ibu. Hal-hal yang dahulu mereka rindukan sebagai anak perempuan seperti

kebebasan berpendapat dan kedekatan dengan orang tua, dikejewantahkan oleh

Ibu Lely dan Ibu Olga dalam interaksi mereka dengan anak-anaknya saat ini.

Retha dan Shinta pun menyadari adanya perubahan nilai yang

disosialisasikan oleh ibu mereka. Kesadaran ini diperoleh dari cerita pengalaman

hidup ibu yang diceritakan kepada Retha dan Shinta. Kemudian, Retha dan Shinta

membandingkan dengan pengalaman mereka sendiri sebagai anak perempuan.

Proses naratif (story telling) membantu anak perempuan untuk merefleksi,

mengevaluasi dan mengkonstruksi dirinya sendiri.

95

Pada dinamika ini, self-in relation (Chodorow, 1978) berperan dalam

membantu Ibu Lely dan Ibu Olga merefleksikan, mengevaluasi dan

mengkonstruksi kehidupan mereka sebagai anak perempuan, terutama dalam

relasi dengan ibu. Pada Retha dan Shinta, self-in relation (Chodorow, 1978)

berperan dalam memahami sejarah hidup ibu mereka dan apa yang mereka alami

saat ini sebagai anak perempuan. Hal ini tercermin dalam sosialisasi identitas

gender yang terjadi pada para responden penelitian.

IV.C.4. Sosialisasi Identitas Gender pada Anak Perempuan

Pada tabel IV.C.4.1. terdapat perbandingan sosialisasi identitas gender

yang diberikan oleh Ibu Lely dan Ibu Olga kepada anak perempuannya.

Sosialisasi identitas gender ini dipengaruhi nilai-nilai pengasuhan dan pengalaman

Ibu Lely dan Ibu Olga yang terinternalisasi di dalam diri. Ibu Lely dan Ibu Olga

mengkombinasikan nilai-nilai yang mereka anggap baik dari keluarga Tionghoa,

seperti nilai kepercayaan, kejujuran, kedisiplinan dan kerja keras dengan lebih

melibatkan unsur afeksi dan dialog dengan anak.

Tabel IV.C.4.1. Perbandingan Sosialisasi Identitas Gender dari Ibu

Ibu Lely Ibu Olga

- Ibu Lely merasa hal yang paling

sering ia tanamkan kepada anak-

anak perempuannya adalah nilai

kepercayaan. Sebab menurutnya

kepercayaan adalah suatu hal yang

tidak bisa dibeli, sekaya apapun

seseorang

- Menurut Ibu Lely apa yang ia

lakukan merupakan suatu proses

kehidupan yang mengalir dan

dijalani saja.

- Kakak dan adiknya yang laki-laki

diperkenankan tidak membantu

mengurusi rumah. Kakaknya yang

laki-laki merupakan anak yang

pintar di sekolah, sehingga ia

diberikan kesempatan untuk

memakai waktunya untuk belajar.

- Ibu Olga mendidik anak-anak

perempuannya untuk memiliki

sikap menghormati, terutama pada

yang lebih tua serta menjaga rasa

96

- Nilai-nilai yang disosialisasikan

lebih disadari oleh Retha, anak ibu

Lely daripada Ibu Lely sendiri.

kekeluargaan.

- Ibu Olga juga berusaha

mengajarkan dan menanamkan

nilai kerja keras pada anak-

anaknya dengan menceritakan

kisah hidupnya yang penuh

perjuangan pada anak-anaknya.

Pada Ibu Lely-Retha, menariknya kesadaran akan nilai-nilai yang

disosialisasikan lebih muncul pada diri Retha daripada ibunya. Pada proses

wawancara, Retha lebih dapat mengelaborasi nilai-nilai yang ia rasakan

disosialisasikan oleh ibunya daripada ibunya sendiri. Sementara Ibu Olga terlihat

lebih sadar, tahu dan meyakini apa yang disosialisasikan pada anak

perempuannya.

Sublimasi psikologis melalui peran Ibu seperti dalam teori Chodorow

(1978) tidak serta merta membuat para ibu steril dari pengalaman masa lalunya.

Pada Ibu Lely terlihat bagaimana kekakuan pola asuh ibunya masih

mempengaruhi Ibu Lely dalam berinteraksi dengan anak perempuannya,

walaupun Ibu Lely sudah berusaha untuk lebih terbuka dengan anak. Ibu Olga

yang terbiasa dengan pola asuh otoriter juga tidak dengan mudah dapat berdiskusi

setara dengan anak. Di masa anak-anak lebih kecil, Ibu Olga masih sering

mendisiplinkan anak dengan pukulan atau hukuman fisik. Ketika Shinta beranjak

dewasa, Ibu Olga baru lebih dapat berdiskusi setara dan dua arah dengan anaknya.

Pemahaman sosialisasi identitas gender pada diri anak perempuan, Retha

dan Shinta dapat dilihat pada tabel IV.C.4.2. berikut ini.

97

Tabel IV.C.4.2. Perbandingan Sosialisasi Identitas Gender pada Anak

Perempuan

Retha Shinta

- Ia merasa ibunya menekankan nilai

kepercayaan ini kepada dirinya.

Namun Retha memiliki pemaknaan

yang berbeda tentang kepercayaan

yang ditanamkan oleh ibunya.

- Retha memaknai kepercayaan yang

diberikan oleh ibunya sebagai

kepercayaan untuk beraktivitas di

luar rumah.

- Kepercayaan ini merupakan hasil

dari pengalaman ibunya yang

dahulu tidak diperbolehkan

bepergian ke mana-mana oleh

ibunya.

- Retha juga merasa ibunya

mengajarkan nilai kedisiplinan

padanya. Walaupun ia merasa

ibunya tidak sekeras itu

menanamkan kedisiplinan pada

adiknya yang merupakan anak

ketiga.

- Dari segi afeksi, Retha merasa

ibunya bukanlah sosok ibu yang

sering memeluk atau melakukan

kontak fisik dengan anaknya.

Menurut Retha, hal ini disebabkan

karena ibunya dulu mendapat

didikan dari ibunya seperti ini

- Ia menyadari kalau ibunya kurang

memberikan pendidikan seksualitas

ini. Ia menduga karena ibunya

sendiri pun merasa aneh dan tidak

biasa membicarakan hal ini saat

bersama ibunya dahulu.

- Nilai-nilai yang ditanamkan ibunya

ini dilakukan melalui berbagai

peristiwa hidup yang relevan.

Namun tidak ada waktu khusus

seperti duduk bersama di meja

makan untuk membicarakan hal-

- Shinta merasa nilai kerja keras

yang ditanamkan oleh ibunya

merupakan bagian dari nilai

(value) yang dimiliki oleh orang

Cina pada umumnya.

- Shinta juga diajarkan untuk

menghormati orang yang lebih tua.

- Menurut Shinta, ibunya sangat

menekankan pada ketiga anaknya

untuk dapat hidup mandiri tanpa

bergantung pada orang lain.

- Pada waktu ia kecil, ibunya

tergolong tegas dalam

mendisiplinkan anak. Terutama

berkaitan dengan nilai akademis di

sekolah dan kepatuhan menjalani

peraturan di rumah

- Shinta merasa dapat mengobrol

dengan akrab dan berdiskusi

secara setara dengan ibunya.

- Shinta menyadari hubungan yang

setara dengan ibunya baru

dirasakannya akhir-akhir ini ketika

semakin beranjak dewasa.

Sementara pada waktu ia kecil,

ibunya tergolong tegas dalam

mendisiplinkan anak

- Shinta menyetujui pola hubungan

seperti yang ia alami bersama

ibunya. Anak bisa berdiskusi

dengan orang tua namun juga tetap

hormat pada orang tua.

- Shinta merasa adanya perbedaan

98

hal seperti ini.

- Retha merasa dirinya berbeda

dengan ibunya dalam hal

pembawaan diri, kepribadian dan

cara bergaul. Ibu cenderung kaku

sementara ia merasa dirinya

sebagai orang yang supel dan

cerewet dalam bergaul.

antara dirinya dan ibunya terutama

dalam hal pemikiran. Menurut

Shinta, ibunya sering

mengkhawatirkan hal-hal yang

menurutnya tidak perlu

dikhawatirkan. Salah satunya

tentang masa depan anak-anak

perempuannya.

IV.C.5. Pengalaman Ibu dan Anak Perempuan dengan Identitas Ke-

Tionghoa-an

Identitas ke-Tionghoa-an dimaknai berbeda oleh Ibu Lely dan Ibu Olga.

Pemaknaan yang berbeda ini terkait dengan pengalaman hidup Ibu Lely dan Ibu

Olga sebagai perempuan keturunan Tionghoa di Indonesia.

Tabel IV.C.5.1. Perbandingan Pengalaman Ibu dengan Identitas Ke-

Tionghoa-an

Ibu Lely Ibu Olga

- Sejak kecil ia merasa sebagai warga

minoritas di mana identitas ke-

Tionghoa-an selalu melekat dengan

dirinya. Walaupun ia berupaya

untuk menjadi sama, tetap saja pada

kenyataannya tetap terjadi

pembedaan. Hal ini ia rasakan sejak

kecil dalam lingkungan pergaulan

dan masyarakat yang di mana ia

berinteraksi.

- Dulu, ketika Ibu Lely lewat di jalan

ia sering sekali dikatai dengan

sebutan “Amoy”. Ia merasa sangat

tidak nyaman dengan sebutan ini.

- Ia pun merasa adanya tiga nama

yang ia miliki membuatnya sudah

dijauhi orang dari awal.

- Ia berpikir dengan adanya

pergantian nama ia dapat lebih

diterima di masyarakat. Namun

ternyata setelah pergantian nama

dan naturalisasi kewarganegaraan

- Ibu Olga pernah mengalami

bersekolah di sekolah negeri di

tingkat sekolah dasar. Saat itu, ia

satu-satunya keturunan Tionghoa

di sekolah. Bahkan di antara

kakak dan adiknya, ibu Olga

merupakan satu-satunya anak

yang pernah bersekolah di sekolah

negeri.

- Ibu Olga dapat dengan mantap

dan yakin mengakui dirinya

sebagai orang Indonesia. Sebab ia

lahir dan besar di Indonesia.

Sampai mati pun akan tetap

menjadi orang Indonesia.

99

pun nama marga Tionghoa-nya

tetap diperlukan dalam setiap

pengurusan surat kewarganegaraan.

- Sampai hari ini pun, Ibu Lely masih

merasakan perbedaan perlakuan

karena identitas ke-Tionghoaan-

nya.

Pada Retha dan Shinta, pengalaman dan penghayatan Ibu tentang ke-

Tionghoa-an mempengaruhi penanaman nilai ke-Tionghoaan pada diri mereka.

Namun pengalaman individual mereka juga mempengaruhi penghayatan Retha

dan Shinta terhadap identitas ke-Tionghoaan.

Tabel IV.C.5.2. Perbandingan Pengalaman Anak Perempuan dengan

Identitas Ke-Tionghoa-an

Retha Shinta

- Retha merasa pada generasinya

sekarang ini ia merasa ia sudah

lebih bisa berbaur dengan yang

lainnya.

- Retha masih mengalami beberapa

peristiwa di mana identitas ke-

Tionghoa-annya menjadi bahan

ledekan oleh temannya.

- Pada masa sekolah, teman yang

meledeknya ini justru adalah orang

Tionghoa juga. Sementara dalam

kehidupan perkuliahan, ledekan

menggunakan identitas ke-

Tionghoa-an muncul dalam

stereotipe yang juga digunakan

untuk suku-suku lain. Namun ia

memaklumi ini sebagai bagian dari

dinamika perkembangan dewasa

muda.

- Retha merasa dari keluarga

terutama oleh ibunya ditanamkan

identitas ke-Tionghoa-an ini.

- Retha menilai hal ini sebagai suatu

hal yang baik sebab menurutnya

- Shinta merasa sebagai minoritas

dengan identitas ke-Tionghoaannya.

Waktu di sekolah dasar ia sempat

bersekolah di sekolah strada yang

mayoritas “pribumi”. Ia dan adiknya

sering menjadi bahan ledekan

- Ia merasa tidak nyaman ketika

diledek dengan sebutan “Mei Mei”

saat berjalan di trotoar sepulang

mengikuti bimbingan belajar di

SMAN 8.

- Ketika ditanya mengenai

identitasnya, Shinta merasa ia

berada di antara (in between) antara

merasa sebagai orang Indonesia dan

Australia.

- Shinta merasa ibunya tidak

menanamkan identitas ke-

Tionghoaan secara khusus karena

sudah banyak tradisi yang tidak

dilakukan

100

seorang manusia itu harus memiliki

akar. Ia merasa kesadaran dan

penanaman akan akarnya ini

membantunya pada masa SMP-

SMA ketika proses pencarian jati

diri.

- Retha merasa ibunya tidak

memberikan batasan untuk

berteman dengan siapa saja.

Namun ibunya menginginkan

anaknya mendapatkan pasangan

yang juga keturunan Tionghoa.

Seandainya bukan keturunan

Tionghoa, tapi bisa berbaur dengan

keluarga mereka.

- Shinta merasa ibunya tidak

memberikan batasan untuk

berteman dengan siapa saja. Namun

untuk memilih pasangan hidup

jangan memilih yang beragama

Islam.

IV.D. Dinamika Penghayatan Peran Ibu dalam Sosialisasi Gender pada

Anak Perempuan di Keluarga Tionghoa

Ibu Lely dan Ibu Olga memperlihatkan bagaimana pengalaman hidup

mereka sebagai anak perempuan keluarga Tionghoa membentuk persepsi dan

perilaku mereka dalam berbagai keputusan hidup, terutama ketika mendidik anak

perempuannya. Ibu Lely dan Ibu Olga sama-sama lahir dan besar di Jakarta pada

kurun waktu tahun 1958-1966. Saat itu Indonesia baru memasuki dasawarsa

kedua sebagai Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI). Masyarakat

Indonesia sedang merintis kehidupan di negara ini sehingga mayoritas masyarakat

berjuang keras untuk memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari. Hal ini juga dialami

oleh keluarga Ibu Lely dan Ibu Olga. Kehadiran mereka sebagai keluarga

keturunan Tionghoa generasi kedua dan ketiga membuat orang tua mereka bekerja

keras demi menghidupi kebutuhan keluarga. Pada zaman itu pengendalian jumlah

101

keluarga melalui kontrasepsi belum tersosialisasi seperti sekarang. Ibu Olga lahir

sebagai anak dari enam bersaudara, Ibu Lely lahir dari sepuluh bersaudara.

Pendidikan yang rendah membatasi lapangan pekerjaan yang dapat

dijalani oleh orang tua mereka. Maka pekerjaan kasar dan berat pun dilakukan

untuk menyokong kebutuhan keluarga. Ibu Lely dan Ibu Olga lahir dan tumbuh

berkembang dalam kondisi prihatin yang seperti ini. Membantu jalannya

kehidupan rumah tangga dengan melakukan pekerjaan-pekerjaan domestik

menjadi aktivitas keseharian mereka sejak usia belia sebagai anak perempuan

keluarga Tionghoa.

Saudara laki-laki mereka boleh tidak ikut membantu di rumah. Bahkan

cenderung tidak diberikan tuntutan untuk membantu pekerjaan rumah tangga dan

dibebaskan untuk bermain. Ruang kebebasan dan kesempatan untuk

mengaktualisasikan diri begitu terbatas bagi Ibu Lely dan Ibu Olga. Sebab di mata

orang tua mereka yang utama adalah bagaimana menjaga kehidupan keluarga

sebagai satu entitas tetap berlangsung. Praktis tak ada ruang privat atau hak

sebagai individu.

Di dalam kehidupan keluarga Tionghoa yang kolektif, tak ada kesempatan

bagi mereka untuk mengaktualisasikan diri. Otoritas orang tua dan sikap

kepatuhan yang besar membuat mereka mematuhi saja permintaan dan peraturan

orang tua tanpa berani untuk membantah. Terasa ada kesenjangan kekuasaan di

dalam keluarga di mana orang tua menjadi atasan dan anak hanyalah bawahan

102

yang harus selalu menurut. Namun melalui pengalaman hidup seperti ini

sebenarnya keloyalitasan mereka kepada keluarga sedang dibentuk dan diasah.

Dari tampak luar perilaku mereka, Ibu Lely dan Ibu Olga tampak

menjalani kehidupan sebagai anak perempuan dengan penuh kepatuhan dan rasa

tanggung jawab kepada keluarga. Walaupun demikian, di dalam menjalani

perannya sebagai anak perempuan mereka menyimpan ketidaknyamanan dan

ketidaksetujuan atas pola asuh yang mereka alami. Diri perempuan mereka dalam

budaya kolektif menunjukkan bagaimana diri (self) perempuan didefinisikan

melalui hubungan mereka dengan orang lain. Meski mereka tidak nyaman dan

tidak setuju dengan kehidupan yang mereka jalani tapi mereka tidak begitu saja

mengeluarkan protes atau penolakan. Mereka tetap berusaha melakukan segala hal

yang diinginkan orang tua mereka.

Mereka menyadari tak ada jalan lain untuk mengaktualisasikan diri dan

menjalani hidup berdasarkan kepenuhan hak mereka selain dengan menikah.

Menikah dirasakan oleh Ibu Lely dan Ibu Olga sebagai sarana untuk membangun

hidup yang baru di atas tangan, kaki dan kehendak mereka sendiri. Ibu Lely dan

Ibu Olga tetap berupaya menjalani peran mereka sebagai istri dan partner dari

suami. Namun kehidupan keluarga inti mereka yang sekarang terlebih dengan

kehadiran anak-anak memberikan mereka ruang gerak baru untuk memaknai

kehidupan.

Pengalaman hidup sebagai anak perempuan di keluarga Tionghoa menjadi

sarana reflektif untuk mengambil hal-hal baik dan mentransformasi hal-hal negatif

103

yang mereka alami. Kini ketika menjadi ibu, mereka memiliki kuasa dan hak

penuh untuk mendidik dan memberikan pengalaman hidup pada anak-anak

perempuan mereka sesuai dengan keinginan terpendam mereka.

Ibu Lely yang mendambakan kebebasan untuk beraktualisasi di luar

rumah, mendorong dan memberikan kebebasan pada anak-anaknya untuk

mengaktualisasikan diri melalui kegiatan organisasi dan gereja. Ibu Lely yang

begitu ingin sekolah namun tak memiliki kesempatan dan biaya berusaha sekuat

tenaga untuk dapat menyekolahkan ketiga anaknya hingga menjadi sarjana.

Ibu Olga yang mendambakan keterbukaan di dalam keluarga berusaha

membangun hubungan yang akrab dengan anak-anaknya. Interaksi dengan anak-

anak diisi dengan obrolan, diskusi dan aktivitas yang membuat Ibu Olga merasa

dekat dengan anak-anak. Meskipun tetap ada kedisiplinan dan peraturan yang

ditegakkan di dalam keluarga namun Ibu Lely maupun Ibu Olga memberi

sentuhan personal mereka dalam mengemas interaksi dengan anak-anak.

Melalui penuturan Ibu Lely dan Ibu Olga atas pengalaman hidup mereka

terlihat bagaimana proses transformasi atas kehidupan di keluarga Tionghoa.

Agen transformasi ini adalah Ibu Lely dan Ibu Olga sendiri yang telah merasakan

bagaimana dididik sebagai anak perempuan. Lalu saat mereka memiliki anak

perempuan, mereka yang paling tahu hal apa yang ingin mereka ubah dan hal

yang yang tetap mereka pertahankan dalam mendidik anak-anaknya.

Secara garis besar, terjadi perubahan pemaknaan diri sebagai perempuan

di dalam keluarga Tionghoa. Anak perempuan tidak lagi menjadi warga kelas dua.

104

Mereka kini memiliki hak yang sama seperti anak laki-laki. Mereka memiliki

kesempatan yang sama untuk mengaktualisasikan diri dan mewujudkan cita-cita.

Bibit-bibit kesetaraan di dalam keluarga mulai terlihat meskipun anak perempuan

tetap diberikan tuntutan untuk dapat mengurus rumah dan keluarga. Namun

implementasinya tidak sekaku pada generasi Ibu Lely dan Ibu Olga.

Hasil analisa ini sesuai perkataan Nani Nurrachman (2011) bahwa proses

hamil dan melahirkan adalah proses biologis, namun menjadi ibu adalah sublimasi

psikologis. Ibu Lely dan Ibu Olga membuktikan bagaimana tekanan, konflik dan

pengalaman yang tidak mengenakkan sebagai anak perempuan mentransformasi

pola asuh, penanaman nilai dan sosialisasi gender pada anak-anak perempuan

mereka.

Sosialisasi identitas gender yang dialami oleh Retha dan Shinta, anak dari

Ibu Lely dan Ibu Olga, dapat dikatakan sebagai sosialisasi gender yang umum.

Mereka dipandang sebagai entitas individu, bukan lagi sebagai anak perempuan

karena jenis kelamin. Bagi ibunya, Retha dan Shinta adalah individu yang punyak

hak penuh untuk mengaktualisasikan diri serta mewujudkan cita-cita yang mereka

inginkan. Tak ada lagi batasan mengaktualisasikan diri karena tuntutan untuk

segera menikah. Bahkan Ibu Olga berani membebaskan anaknya untuk menikah

atau melajang. Baginya yang penting apapun pilihan hidup anaknya memberikan

kebahagian bagi diri mereka sendiri.

Ketika kesempatan untuk mengaktualisasikan diri menjadi begitu terbuka

lebar dari pihak keluarga inti, Retha dan Shinta ternyata masih mengalami

105

hambatan dari lingkungan masyarakat. Hambatan ini muncul dari identitas etnis

mereka sebagai keturunan Tionghoa di Indonesia. Sampai hari ini stereotipe dan

prasangka (prejudice) terhadap etnis Tionghoa secara nyata masih dirasakan

Retha dan Shinta dalam interaksi mereka di masyarakat.

Isu kesetaraan bagi mereka bukan lagi berkutat pada identitas gender,

tetapi pada identitas keetnisan. Hal ini menjadi suatu penemuan baru dalam

penelitian ini. Sebab pada awalnya peneliti melihat fenomena identitas gender

menghalangi anak perempuan di keluarga Tionghoa untuk mengaktualisasikan

diri. Ternyata pada Retha dan Shinta sebagai subjek penelitian, mereka lebih

merasakan ketimpangan pada penerimaan diri mereka di dalam ke-Indonesia-an.

Retha dan Shinta merupakan potret dari segregasi dan diskriminasi etnis

Tionghoa dalam masyarakat yang masih terjadi sampai hari ini meskipun rezim

Orde Baru sudah berakhir. Ketidaksetaraan di dalam masyarakat ini memberikan

ketidaknyamanan bagi mereka. Namun dari hasil observasi sebenarnya tampak

adanya represi dan rasionalisasi terhadap ketidaknyamanan ini.

Akhirnya, pengalaman berinteraksi di dalam masyarakat menjadi hal yang

tidak nyaman bagi mereka. Hal ini tdialami oleh Ibu Lely, Retha dan Shinta.

Bentuk wajah dan ciri-ciri fisik mereka yang menunjukkan identitas ke-Tionghoa-

an memunculkan pelecehan verbal melalui ledekan “Amoy” atau “Mei-Mei” dari

orang “pribumi” atau mereka sebut dengan “abang-abang” saat berpapasan di

jalan umum.

106

Dampak dari pelecehan verbal dan prasangka ini secara nyata terlihat pada

Ibu Lely yang merasa tidak nyaman jika berada dalam situasi yang mayoritas

adalah “pribumi”. Ia cenderung menghindari tempat-tempat umum seperti

angkutan umum dan pusat perbelanjaan yang mayoritas didatangi oleh “pribumi”.

Terlihat bagaimana ketidaknyamanan Ibu Lely yang merasa di-Cina-kan oleh

masyarakat mempengaruhi perilaku dan keputusan dalam aktivitas hidupnya.

Berbeda dari yang lain, Ibu Olga merasa sebagai orang Indonesia dan

nyaman tinggal di negara ini. Ia merasa seluruh kebutuhan hidup dapat terpenuhi

dengan tinggal di negara ini. Saat ini ia juga menikmati kehidupan yang

berkecukupan. Status sosial ekonomi kemungkinan memberikan kontribusi

kenyamanan bagi Ibu Olga. Namun jika dilihat dari generasi migrasi, keluarga Ibu

Olga secara turun temurun telah lebih lama menetap di Indonesia. Melalui

penelusuran historis ditemukan nenek dari Ibu Olga sehari-hari menggunakan

pakaian kebaya dan ibunya menggunakan rok-kemeja. Sementara nenek dari Ibu

Lely masih tinggal di Cina. Nenek dan ibu dari Ibu Lely dalam keseharian masih

menggunakan pakaian Cina.

Melalui penelitian ini terlihat bagaimana dinamika peran penghayatan ibu

telah mampu mentransformasi sosialisasi gender pada anak perempuan di

keluarga Tionghoa. Transformasi ini tergolong cepat sebab terjadi pada satu

generasi sesudah para ibu. Terlihat bagaimana ibu menjadi agen sosialisasi yang

aktif bagi anak-anak perempuannya. Keberhasilan ibu sebagai transformator tidak

terlepas dari kehadiran anak yang melegitimasi kemampuan para ibu merubah

107

pemaknaan hidup secara internal. Perubahan di dalam internal diri mereka

merubah konteks eksternal kehidupan mereka.

Dari segi pendidikan formal, Ibu Lely sempat mengenyam pendidikan dasar

di sekolah Cina berbahasa Mandarin. Sementara Ibu Olga yang lahir setelah

peristiwa G-30S, mengenyam pendidikan di sekolah negeri dan sekolah Katolik.

Penelitian ini tidak secara khusus membahas dampak dari sosialisasi identitas

yang diperoleh melalui pendidikan formal. Namun dari penuturan Ibu Lely dan

Ibu Olga terlihat bagaimana modalitas pribadi mempengaruhi cara coping ketika

mengalami diskriminasi.

Pada Ibu Lely yang memiliki ibu yang kaku dan tidak bisa bergaul, ia

kesulitan untuk menyikapi diskriminasi yang ia alami. Akhirnya ia menjustifikasi

diri pada label ke-Cina-an yang diberikan oleh lingkungan terhadapnya, meskipun

ia sendiri merasa tidak nyaman. Ia merasa tidak berdaya terhadap lingkungan

sosialnya, namun ia mentransmisikan rasa tidak suka dan tidak terima terhadap

perlakuan ini kepada anak perempuannya. Maka pada Retha ia mengakui lebih

merasa Cina ketimbang Indonesia ataupun Cina-Indonesia meskipun dalam

praktek kehidupan sehari-hari ia lebih fleksibel dan mampu beradaptasi

dibandingkan ibunya.

Pada Ibu Olga, ia juga mengalami diskriminasi saat bersekolah di sekolah

negeri. Namun ia tidak larut dalam perasaan sebagai korban. Ia menyikapi

diskriminasi ini dengan mendatangi teman-teman sekolah yang mem-bully Ibu

Olga. Setelah beberapa kali melakukan proses seperti ini, Ibu Olga akhirnya

108

diterima oleh teman-teman non-Tionghoa, bahkan mereka masih berteman akrab

sampai sekarang. Maka, modalitas ibu sebagai individu amatlah penting untuk

mendefinisikan diri sesuai pengalaman, penghayatan dan interpretasinya. Serta

untuk menghadapi lingkungan sosial yang membedakan mereka.

Para ibu berhasil mensosialisasikan identitas gender yang lebih setara pada

anak perempuannya. Namun dari segi budaya Tionghoa para ibu telah mereduksi

internalisasi identitas ke-Tionghoa-an. Tradisi dalam budaya Tionghoa yang

berkaitan dengan penggunaan nama Tionghoa, ritual dalam merayakan hari besar

budaya Tionghoa dan nilai-nilai keluhuran Konfusius yang menjadi dasar

kehidupan keluarga Tionghoa. Sementara di sisi lain, nilai komunal keluarga tetap

diharapkan dan dijunjung tinggi.

109

BAB V

KESIMPULAN, SARAN DAN DISKUSI

V.A. KESIMPULAN

Peran Ibu di keluarga Tionghoa adalah sebagai agen perubahan.

Perubahan ini berasal dari pengalaman mereka sebagai anak perempuan yang

dibedakan dari anak laki-laki. Kondisi mereka sebagai anak di keluarga yang

patriarkis menyebabkan mereka tidak memiliki kuasa untuk mengubah keadaan.

Mereka berusaha menjalani peran sebagai anak dengan patuh. Namun secara

psikologis di dunia internal (psyche), tersimpan penolakan terhadap peristiwa

hidup yang dialami.

Perubahan baru bisa dilakukan ketika anak perempuan menikah dan

membentuk keluarga baru berdasarkan keputusan mereka sendiri. Pernikahan

dipandang sebagai sarana untuk melepaskan diri dari tekanan di keluarga

terdahulu. Ketika anak perempuan membentuk keluarga sendiri, posisi mereka

berubah dari anak menjadi istri dan ibu dari keluarga baru. Mereka tidak lagi

menempati posisi yang inferior.

Maka kekuasaan penuh terhadap keputusan hidup ada di tangan mereka.

Peran sebagai ibu memberikan mereka keleluasaan dan kebebasan untuk

mendidik anak berdasarkan apa yang mereka inginkan. Termasuk apa yang

mereka inginkan namun tidak dapat mereka alami sebagai anak perempuan dahulu

kala.

110

Peran ibu sebagai agen perubahan, memberikan implikasi adanya

perubahan sosialisasi identitas gender pada anak perempuan di keluarga

Tionghoa. Ibu mendidik anak perempuan tanpa pembedaan gender dengan

memberikan kebebasan dan keterbukaan. Dengan demikian anak perempuan

dalam penelitian ini tidak lagi merasa dirinya berbeda dengan laki-laki dalam

mengaktualisasikan diri.

V.B. Diskusi

Pengalaman Ibu yang tidak mengenakkan pada waktu ia sebagai anak dan

tidak adanya kesempatan mewujudkan aspirasinya, mempengaruhi cara Ibu

membesarkan dan mendidik anaknya. Melalui perspektif psikodinamika, terlihat

Ibu melakukan proyeksi pada anaknya. Ini menjadi landasan pola asuh yang Ibu

berikan kepada anak perempuan mereka. Kebebasan dan keterbukaan yang tidak

mereka dapatkan sebagai anak, kini mereka berikan kepada anak perempuan

mereka. Perubahan ini menyebabkan identitas gender dipahami secara setara

antara laki-laki dan perempuan, mereka menyadari bahwa mereka memiliki hak

yang sama dengan laki-laki untuk berkembang dan mengaktualisasikan diri.

Namun di sisi lain mereka menyadari bahwa identitas ke-Tionghoa-an

mereka memberikan batasan untuk mengaktualisasikan diri di dalam masyarakat.

Melalui penelitian ini terlihat masalah baru yang lebih krusial, yaitu bagaimana

identitas etnis menghalangi aktualisasi diri para perempuan Tionghoa di

masyarakat

111

Pada tahun 1979 dan 1984, Myra Sidharta pernah membuat tulisan

“Wanita Peranakan Cinta” dan “The Making of Indonesian Chinese Woman”

yang menceritakan bagaimana kehidupan perempuan Tionghoa Indonesia dari

tahun 1920-an, 1940-an hingga 1970-an. Pada perkembangan zaman sekarang ini,

tulisan tersebut tidak lagi relevan untuk memahami perempuan Tionghoa di masa

kini. Oleh karena itu, penelitian ini diharapkan dapat menjadi awal dari penelitian

selanjutnya untuk mengkonstruksi apa artinya menjadi perempuan Tionghoa-

Indonesia di masa kini.

Menurut peneliti, identitas keetnisan dibebankan kepada para perempuan

Tionghoa Indonesia semata-mata karena tampilan fisik mereka yang berkulit

kuning langsat dan bermata sipit. Padahal di dalam diri mereka sendiri, belum

tentu mereka masih menghayati nilai-nilai ke-Tionghoa-an mereka seperti yang

ditemukan dari subyek penelitian ini. Maka pertanyaan yang muncul kemudian

adalah siapa yang berhak menentukan identitas keetnisan seseorang?

Merujuk pada teori pembentukan diri (self) yang terjadi melalui suatu hasil

interaksi. Bagaimana tarik menarik antara diri (self) yang dihayati oleh individu

dengan diri (self) yang dipandang dan diekspektasi oleh lingkungan sekitarnya?

Di titik mana perempuan Tionghoa Indonesia dapat memantapkan definisi

mengenai dirinya?

Pada titik ini sesungguhnya tersimpan isu laten yang lebih krusial. Jika

menurut teori Erikson (Santrock, 2008) seorang individu mempertanyakan

mengenai identitas dirinya di masa remaja pada tahap identity vs identity

112

confusion. Maka pada perempuan Tionghoa Indonesia pertanyaan mengenai

identitasnya masih terus bergulir di sepanjang rentang kehidupannya.

Terlebih lagi jika menyadari bahwa perempuan mendefinisikan dirinya

dalam hubungannya dengan orang lain atau self-in relation. Bagaimana orang lain

memberikan penilaian dan justifikasi akan mempengaruhi bagaimana perempuan

mendefinisikan dirinya. Tak heran jika ibu Lely, salah satu subyek penelitian

lebih merasa dirinya sebagai Cina ketimbang merasa sebagai orang Indonesia

dengan alasan “sebab dari kecil saya sudah di-Cina-Cinakan oleh orang-orang di

sekitar saya”.

Terdeteksi suatu gejala kebingungan di titik mana seharusnya perempuan

Tionghoa berpijak. Sebagai bagian dari masyarakat timur yang menjunjung

kolektivisme, diri (self) didefinisikan melalui interdependen dengan sistem sosial

yang melingkupinya (Aronson, 2008). Dimulai dari interdependen dalam lingkup

terkecil, yaitu keluarga sampai interdependen dalam cakupan yang lebih luas

seperti di dalam masyarakat Indonesia.

Maka di tengah keberhasilan para ibu sebagai transformator sosialisasi gender

sesungguhnya tersimpan isu laten mengenai identitas diri perempuan Tionghoa.

Sesungguhnya saat ini mereka sedang dan masih bergelut dalam upaya

mendefinisikan identitas diri. Diri (self) yang menjadi (becoming) masih menjadi

tema utama hidup mereka. Pergumulan masih akan terus berlangsung. Pertanyaan

selanjutnya adalah apakah pergumulan ini sungguh disadari oleh para perempuan

Tionghoa ataukah mereka menatap lurus ke depan mengabaikan dinamika internal

113

mereka yang selama ini memang cenderung diabaikan akibat represi dan

rasionalisasi terhadap pengalaman hidup yang tidak mengenakkan sebagai orang

keturunan Tionghoa di dalam masyarakat Indonesia.

Terkait dengan pemaparan Fischer (1991) pada Bab 1 penelitian ini

mengenai variabel-variabel yang perlu dipertimbangkan dalam penelitian

mengenai ibu dan anak perempuan, peneliti tertarik untuk melakukan penelitian

serupa pada etnis-etnis lain di Indonesia dengan mempertimbangkan faktor

demografi. Penelitian lintas budaya mengenai ibu dan anak perempuan dapat

menjadi sarana untuk mengetahui kondisi riil dan kontekstual mengenai

perubahan nilai-nilai yang ada di keluarga sebagai sistem terkecil dalam

masyarakat namun memiliki peran serta dampak yang signifikan dalam

pertumbuhkembangan manusia.

Penelitian ini memberikan kesadaran pada peneliti mengenai relevansi

pendapat R.A. Kartini pada kehidupan perempuan hingga zaman ini,

“...Perempuan sebagai pendukung peradaban! Saya yakin sungguh bahwa

dari perempuan akan timbul pengaruh besar, yang baik atau buruk akan

berakibat besar bagi kehidupan. Dari perempuanlah manusia itu pertama-tama

menerima pendidikan. Di pangkuan perempuanlah seseorang mulai belajar

merasa, berpikir dan berkata-kataa...dan bagaimanakah ibu-ibu dapat mendidik

anak-anaknya, kalau mereka sendiri tidak berpendidikan?” (Surat kepada

Nyonya M.C.E. Ovink-Soer, 2 November 1900 dalam Sulastin, 1977).

V.C. SARAN

114

Peneliti menyadari bahwa penelitian ini belum sempurna. Adapun

kelemahan penelitian ini antara lain:

1. Keterbatasan literatur dan sumber terkini di bidang psikologi perempuan

Walaupun gerakan psikologi perempuan telah dimulai sejak tahun 1970-an

namun masih sedikit penelitian dalam bidang ini terlebih dalam konteks

Indonesia. Itu sebabnya peneliti sering menggunakan literatur lama atau

sumber literatur yang dominan dari penelitian tertentu di dalam penulisan

penelitian ini. Tulisan Ibu Myra Sidharta ‘The Making of Indonesian

Chinese Woman” didapatkan peneliti melalui korespondensi langsung

dengan beliau karena tidak dapat menemukan tulisan ini di perpustakaan

atau toko buku saat ini.

Di bawah ini akan dipaparkan saran metodologis untuk penelitian

selanjutnya maupun saran praktis.

V.C.1. Saran Metodologis

V.C.1.2. Pemilihan Subjek Penelitian

Walaupun topik penelitian ini merupakan topik umum namun ternyata cukup sulit

untuk menemukan subyek penelitian pasangan ibu dan anak perempuan yang

bersedia untuk menjadi responden. Subyek penelitian dituntut memiliki

kemampuan verbalisasi yang baik sehingga dapat menjelaskan pengalaman hidup

yang dialaminya. Selain itu, tanpa disadari kedua responden dalam penelitian ini

memiliki tiga anak perempuan, tanpa memiliki anak laki-laki. Pada penelitian

115

selanjutnya jenis kelamin anak dari ibu yang menjadi responden sebaiknya

diperhatikan juga agar mendapatkan data yang lebih komprehensif mengenai

pengasuhan ibu terhadap anak perempuan maupun anak laki-laki. Bahkan juga

dapat dilakukan penelitian perbandingan pola asuh ibu terhadap anak perempuan

dan anak laki-laki. Sebab menurut teori self-in relation Chodorow (1978)

dikatakan anak perempuan dan anak laki-laki membentuk self melalui relasi

dengan ibu. Anak perempuan membentuk self dengan connectedness pada ibu,

sementara anak laki-laki membentuk self dengan separation pada ibu.

V.C.2. Saran Praktis

1. Diperlukan keterbukaan dan ketergerakan dari dalam diri disertai dukungan

sosial yang kondusif sehingga para perempuan Tionghoa dapat belajar

mengakrabi dirinya sendiri.

2. Ibu dan anak perempuan dapat saling bersinergi dalam merekonstruksi

pemaknaan diri. Kebebasan yang telah dimiliki perempuan Tionghoa Indonesia

masa kini untuk mentransformasi hidupnya maupun anak-anaknya

3. Kesadaran dari ibu dan anak perempuan jika dimanfaatkan secara maksimal

dapat berguna untuk mentransformasi kehidupan masyarakat dan lingkungan

sekitarnya.

4. Modalitas diri seorang perempuan sangat mempengaruhi kemampuannya dalam

mengasuh anak. Sayangnya di masa kini, masih banyak perempuan yang take it

for granted dalam hal menikah, mengasuh anak dan menjadi ibu. Padahal melalui

116

relasi dengan diri ibu, diri manusia terbentuk dan dibentuk. Melalui penelusuran

literatur ditemukan konstruk baru, yaitu Psychological Readiness to Motherhood

(“Psychological Readiness”, 2010). Penelitian tentang ini pun masih minim.

Secara umum, hasil penelitian ini berguna bagi para pembuat kebijakan,

konselor dan aktivis bahwa usaha merubah tatanan kehidupan sosial yang makro,

seharusnya dimulai dari lingkup keluarga. Di dalam keluarga, ibu menjadi

protagonis kebudayaan yang memodifikasi, merevisi dan mentransformasi

kehidupan. Perubahan dimulai dari keluarga dan diprakarsai oleh ibu. Maka

mendidik anak-anak, remaja, dan dewasa muda perempuan yang nantinya akan

menjadi ibu adalah suatu keabsolutan demi mencapai perubahan yang maksimal.

Hal ini sesuai dengan peribahasa Afrika, “If you educate a man you

educate an individual, but if you educate a woman you educate a nation”.

1

DAFTAR PUSTAKA

4 Cinta Titi Sjuman. 23-29 April 2011. Femina, hlm58.

Arbaningsih, D. (2005). Kartini dari Sisi Lain: Melacak Pemikiran Kartini

tentang Emansipasi Bangsa. Jakarta: Penerbit Buku Kompas.

Aronson, A. (2008). Social Psychology (7th ed.). Boston: Mc-Graw Hill.

Brouwer, M.A. (et, al.). (1982). Kepribadian dan Perubahannya. Jakarta: PT.

Gramedia.

Beasley, C. (2005). Gender & sexuality: critical theories, critical thinkers. Sage

Publications: London

Berk, L. (1997). Child development. Allyn & Bacon: Boston.

Carteret, M. (2011). Culture and family dynamic. Diakses pada tanggal 8 Juli

2012 dari http://www.dimensionsofculture.com/2010/11/culture-and-family-

dynamics/

Chodorow, N. (1978). The reproduction of mothering. California: The University

of California.

Correl, S., et al. (2007). The social psychology of gender: advanced in group

process. Vol, 24. Elsevier: Los Angeles

Creswell, J. (1994). Research design qualitative & quantitave approaches. Sage

Publications: California.

Cobb, N.J. (2001). The Child: infants, children, and adolescents. California:

Mayfield Publishing Company.

Dawis, A. (2008). Orang Tionghoa Indonesia Mencari Identitas. Jakarta:

Gramedia.

2

Dawis, A. (2012). The portrait of inspiring indonesian-chinese woman. Jakarta:

BIP-Gramedia

Field, P. & Marck, P. (1994). Uncertain motherhood: negotiating the risks of the

childbearing years. Canada: SAGE Publications.

Fischer, L. R. (1991). Between mothers and daughters. Marriage and

Family Review. 16, 237-248.

Gerungan, W. A. (2004). Psikologi Sosial. Bandung: Refika Aditama

Gould, M. (2011). Socialization in families. The process of socialization, 92-94.

Handayani, C. & Novianto, A. (2004). Kuasa Wanita Jawa. Yogyakarta: LK3IS.

Hidajat, L. Panduan Penyusunan dan Penulisan Skripsi. Jakarta: Unika Atma

Jaya

Kretchmer, J. (2011). Gender Socialization. The process of socialization, 97-107.

Kumar, R. (1999). Research methodology: a step-by-step guide for beginner.

London: Sage Publications.

Meij, L.S. (2009). Perempuan Tionghoa Pasca Kolonial. Jakarta: Obor.

Miller, J.M. (1986). Toward a new psychology of woman. Boston: Beacon Press.

Nasib Kartini Kini. (2012, 21 April). Diakses pada 8 Juli 2012 dari

http://bola.kompas.com/read/2012/04/21/02230296/Nasib.Kartini.Kini.

Kim, J.M. (2003). Structural family therapy and its implication for asian american

family. The Family Journal, 11, 388-391.

Komunikasi pribadi, dilakukan pada tanggal 9 April 2011.

Komunikasi pribadi, dilakukan pada tanggal 12 April 2011.

Komunikasi pribadi, dilakukan pada tanggal 22 November 2011.

3

Lan, T.J. (2005, Mei). Chinese studies and identity building: Dimanakah Tempat

Untuk Studi tentang ‘Orang Cina di Indonesia’?. Makalah disampaikan dalam

Seminar Atma Jaya ‘Chinese Studies and Identity Building”, Jakarta 10 Mei

2005.

Lim, S.G. (1996). Among the white moonfaces: memoirs of an asian american

woman. Singapura: Times Editions-Marshal Cavendish.

Newman, B.M. & Newman, P. (2012). Development through life: a psychosocial

approach. California: Wadsworth.

Nurrachman, N. & Bachtiar, I. (Ed). 2011. Psikologi Perempuan: Pendekatan

Kontekstual Indonesia. Jakarta: Penerbit Universitas Atma Jaya.

Psychological readiness to motherhood. (2010, 1 September). Diakses pada

tanggal 5 Juli 2012 dari http://socyberty.com/psychology/psychological-

readiness-to-motherhood/

Poerwandari, K. (2008). Pendekatan Kualitatif untuk Penelitian Perilaku

Manusia. Jakarta: LP3UI.

Risman, B.J. (2004). Gender as a social structure: theory wrestling with activism.

Gender & Society, Vol. 18 No. 4, 429-450.

Sadli, S. (2010). Berbeda tetapi Setara: Pemikiran tentang Kajian Perempuan.

Dalam Bachtiar, I. (Ed.). Jakarta: Kompas.

Santrock, J. (2008). Life-span development (10th edition). Sage Publication:

California.

Shelley, J (Eds.). (2007). An introduction to the social psychology of gender. Vol.

24, 1-18.

Sroufe, L., et al. (1996). Child development: it’s nature and course. Mc-Graw

Hill: New York.

4

Surrey, J.L. (1985). Self-in-relation: a theory of woman development. Diakses

pada tanggal 8 Juli 2012 dari

http://www.wcwonline.org/pdf/previews/preview_13sc.pdf

Sidartha, M. (1987). The making of indonesian chinese woman. Leiden: KITLV

Press.

Tan, M.G. (2008). Etnis Tionghoa di Indonesia: Kumpulan Tulisan. Jakarta:

Yayasan Obor.

Weskott, M. (1989). Female relationality & the idealized self. The American

Journal of Psychoanalysis, Vol.49, No.3.

West, C. & Zimmerman, D.H. (1987). Doing gender: gender and society. Diakses

pada 13 November 2011 dari http://gas.sagepub.com/content/1/2/

Wibowo, S. (Ed.). (2009). Manusia: Teka-teki yang Mencari Solusi. Yogyakarta:

Penerbit Kanisius.

Yayasan Jurnal Perempuan. (2001). Jurnal Perempuan No. 16: Ibu dan Anak

Perempuan. Jakarta: Yayasan Jurnal Perempuan

Yayasan Jurnal Perempuan. (2001). Jurnal Perempuan No. 20: Perempuan dan

Spiritualitas. Jakarta: Yayasan Jurnal Perempuan.

Yayasan Jurnal Perempuan. (2001). Jurnal Perempuan No. 22: Perempuan dalam

Perkawinan. Jakarta: Yayasan Jurnal Perempuan.

5