TESIS PRAANGGAPAN DALAM PAMFLET SOSIALISASI ...

142
TESIS PRAANGGAPAN DALAM PAMFLET SOSIALISASI PELESTARIAN LINGKUNGAN DI KABUPATEN WAKATOBI: KAJIAN PRAGMATIK PRESUPPOSITIONS IN THE SOCIALIZATION PAMPHLET OF ENVIRONMENTAL CONSERVATION IN WAKATOBI REGENCY: A PRAGMATIC STUDY KARIM PROGRAM STUDI BAHASA INDONESIA FAKULTAS ILMU BUDAYA SEKOLAH PASCASARJANA UNIVERSITAS HASANUDDIN MAKASSAR 2017

Transcript of TESIS PRAANGGAPAN DALAM PAMFLET SOSIALISASI ...

TESIS

PRAANGGAPAN DALAM PAMFLET SOSIALISASIPELESTARIAN LINGKUNGAN DI KABUPATEN WAKATOBI:

KAJIAN PRAGMATIK

PRESUPPOSITIONS IN THE SOCIALIZATION PAMPHLETOF ENVIRONMENTAL CONSERVATION IN WAKATOBI

REGENCY: A PRAGMATIC STUDY

KARIM

PROGRAM STUDI BAHASA INDONESIAFAKULTAS ILMU BUDAYA

SEKOLAH PASCASARJANAUNIVERSITAS HASANUDDIN

MAKASSAR2017

PRAANGGAPAN DALAM PAMFLET SOSIALISASIPELESTARIAN LINGKUNGAN DI KABUPATEN WAKATOBI:

KAJIAN PRAGMATIK

Tesis

Sebagai Syarat Untuk Mencapai Gelar Magister

PROGRAM STUDI

BAHASA INDONESIA

Disusun dan diajukan oleh

KARIM

Kepada

SEKOLAH PASCASARJANAUNIVERSITAS HASANUDDIN

MAKASSAR2017

v

PRAKATA

Puji syukur patut dipanjatkan ke hadirat Allah Swt. yang telah

memberikan rahmat dan hidayah-Nya kepada penulis, sehingga tesis

yang berjudul “Praanggapan dalam Pamflet Sosiaalisasi Pelestarian

Lingkungan di Kabupaten Wakatobi: Kajian Pragmatik” ini dapat

diselesaikan dengan baik. Salawat dan salam senantiasa tercurahkan

kepada junjungan kita nabi besar Muhammad SAW beserta keluarga dan

para sahabatnya. Tesis ini disusun sebagai salah satu syarat guna

memperoleh gelar Magister Humaniora pada Program Studi Bahasa

Indonesia, Program Pascasarjana Universitas Hasanuddin Makassar.

Penulis menyadari bahwa dalam penulisan tesis ini masih banyak

ditemui hambatan. Akan tetapi, berkat bantuan dari berbagai pihak

sehingga hambatan-hambatan tersebut dapat diatasi. Oleh karena itu,

melalui lembaran ini, penulis sampaikan terima kasih dan penghargaan

yang setinggi-tingginya kepada:

1. Prof. Dr. Tadjuddin Maknun, S.U., selaku ketua komisi penasihat dan

kepada Dr. Hj. Asriani Abbas, M.Hum., sebagai ketua Program Studi

Magister Bahasa Indonesia dan selaku anggota komisi penasihat yang

telah memberikan bimbingan secara bertahap dan penuh kesabaran

sehingga penulisan tesis ini dapat diselesaikan dengan baik;

vi

2. Dr. Gusnawaty, M.Hum, Dr. Hj. Ery Iswary, M.Hum., dan Dr. Munira

Hasjim, M.Hum., atas segala saran dan kritikan yang konstruktif untuk

penyelesaian tesis ini;

3. kedua orang tua penulis, yaitu ayahanda La Hiri dan ibunda Haliana,

yang telah mencurahkan kasih sayang yang tidak ternilai harganya

sejak penulis dilahirkan hingga saat ini. Semoga keduanya selalu

dilimpahkan rahmat dan kesehatan dari Allah Swt. dan dipanjangkan

umur mereka;

4. kakak-kakak penulis, Hariyanto, S.H., bersama istri Merry Handayani,

Dinarti, S.Pd., bersama suami Muhammad Yunus, S.Pd., yang telah

memberikan dorongan dan dukungan kepada penulis untuk selalu

sabar dalam menjalani studi. Semoga mereka selalu diberikan oleh

Allah Swt. kesehatan, panjang umur, rezeki yang cukup;

5. Rizki Sasmala, S. Farm., Apt., sebagai sosok yang selama

penyelasaian studi selalu memotivasi dan percaya setiap keputusan

yang diambil penulis;

6. sahabat seperjuangan penulis di Program Studi Magister Bahasa

Indonesia, A. Aryana, M. Nawir, Sumiaty, Susiati, Risman, Taufik, A.

Yusdianti, Harziko, Sutrisno, Asrifal K., Raviqa, Rima, Nur Rahma Al-

Haqq, dan Nur Sariati yang tak henti-hentinya memberikan semangat

kepada penulis;

vii

7. rekan-rekan Magister Linguistik dan English Leanguage Study

program Pascasarjana Universitas Hasanuddin yang selalu

memberikan dukungan selama proses penyelesaian tesis ini;

8. Pak Nadir Ladjamudi, M.Pd., yang tak henti-hentinya memotivasi dan

menyemangati penulis untuk segera menyelesaikan studi;

9. Pak Muhtar, Pak Mullar, dan Daeng Nai yang selalu membantu dalam

pengurusan administrasi dan teknis selama menempuh pendidikan di

Program Pascasarjana, Fakultas Ilmu Budaya, Universitas

Hasanuddin;

10.seluruh dosen dan staf pegawai Program Magister Bahasa Indonesia

Universitas Hasanuddin, yang telah memberikan ilmu dan bantuan

dengan tulus kepada penulis selama ini.

Pada proses penulisan tesis ini, penulis menghadapi banyak

masalah dan hasilnya mungkin kurang sempurna. Oleh karena itu, penulis

mohon maaf atas semua kekurangan di dalam penulisan ini. Saran dan

kritikan dari semua pihak yang sifatnya membangun demi penyempurnaan

tesis ini, sangat penulis harapkan. Penulis berharap tesis ini dapat

bermanfaat bagi para pembaca dan bermanfaat bagi pengembangan

bahasa Indonesia yang lebih baik pada masa yang akan datang.

Makassar, Oktober 2017

Penulis

viii

ABSTRAK

KARIM. Praanggapan dalam Pamflet Sosialisasi Pelestarian Lingkungandi Kabupaten Wakatobi: Kajian Pragmatik (dibimbing oleh TadjuddinMaknun dan Asriani Abbas).

Penelitian ini bertujuan: (1) menjelaskan jenis praanggapan danbentuk kalimat dalam pamflet sosialisasi pelestarian lingkungan diKabupaten Wakatobi; (2) menguraikan penggunaan praanggapan, jeniskalimat dan maksud kalimat pada tiap-tiap penerbit pamflet sosialisasipelestarian lingkungan di kabupaten Wakatobi.

Penelitian ini bersifat deskriptif kualitatif yang mengkaji fenomenapraanggapan dengan pendekatan pragmatik. Data berupa data tulis yangbersumber dari pamflet sosialisasi pelestarian lingkungan di KabupatenWakatobi khususnya Kecamatan Wangi-wangi dan sekitarnya. Datadikumpulkan menggunakan metode simak melalui teknik rekam dan catat.Data dianalisis secara deskriptif kualitatif.

Hasil penelitian menunjukkan bahwa: (1) praanggapan yangterdapat dalam pamflet sosialisasi pelestarian lingkungan di KabupatenWakatobi terdiri atas praanggapan eksistensial, praanggapan faktif,praanggapan struktural, dan praanggapan konterfaktual. Adapun jeniskalimat yang digunakan pada pamflet sosialisasi pelestarian lingkungan diKabupaten Wakatobi terdiri atas deklaratif, interogatif, imperatif, danekslamatif sedangkan maksud pengutaraannya untuk memerintah danmenginformasikan; dan (2) Pengunaan praanggapan dan bentuk kalimatpada setiap penerbit pamflet sosialisasi pelestarian lingkungan diKabupaten Wakatobi jika dibandingkan antara Lembaga SwadayaMasyarakat (LSM) dan pemerintah, LSM lebih dominan menggunakanpraanggapan eksistensial berbentuk kalimat deklaratif sedangkanpemerintah menggunakan praanggapan faktif berbentuk imperatif.

Kata kunci: praanggapan, kalimat, pamflet pelestarian lingkungan,wakatobi

ix

ABSTRACT

KARIM. Presuppositions in the Socialization Pamphlet of EnvironmentalConservation in Wakatobi Regency: a Pragmatic Study (supervised byTadjuddin Maknun and Asriani Abbas).

This research aimed (1) to explain the types of presuppositions andsentence form in the pamphlet socialization of environmental conservationin Wakatobi Regency; (2) describes the use of presuppositions, sentencetypes and sentence meanings in each publisher of environmentalconservation pamphlet in Wakatobi Regency.

This research is a qualitative descriptive character that examinesthe phenomenon of pre-awareness with pragmatic approach. Data in theform of written data originating from pamphlets pamphlet socialization ofenvironmental conservation in Wakatobi Regency, especially DistrictWangi-Wangi and surrounding areas. Data were collected usingobservation method through tapping technique and record. Data wereanalyzed descriptively qualitative.

The results showed that: (1) the presuppositions contained in theenvironmental conservation pamphlet in Wakatobi District consisted ofexistential prejudices, factive presumptions, structural presuppositions,and counterfactual presuppositions. The types of sentences used in thepamphlet socialization of environmental conservation in WakatobiRegency consists of declarative, interrogative, imperative, and ekslamatifwhile the intention to rule and inform; and (2) The use of presuppositionsand sentence types in each publisher of environmental conservationpamphlet in Wakatobi Regency when compared between NGOs andgovernment, NGOs are more dominant to socialize environmentalconservation in Wakatobi Regency compared with the government.

Keywords: presuppositions, sentences, pamphlets of environmentalconservation, Wakatobi Regency

x

DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL .......................................................................................i

HALAMAN PENGAJUAN............................................................................ ii

HALAMAN PERSETUJUAN ...................................................................... iii

LEMBAR PERNYATAAN KEASLIAN TESIS .............................................vi

PRAKATA ...................................................................................................v

ABSTRAK ................................................................................................ viii

ABSTRACT................................................................................................ ix

DAFTAR ISI ................................................................................................x

DAFTAR TABEL .........................................................................................x

DAFTAR SINGKATAN DAN SIMBOL....................................................... xii

BAB I PENDAHULUAN.............................................................................. 1

A. Latar Belakang ................................................................................ 1

B. Rumusan Masalah .......................................................................... 9

C. Tujuan Penelitian ............................................................................ 9

D. Manfaat Penellitian.......................................................................... 9

BAB II TINJAUAN PUSTAKA................................................................... 11

A. Hasil Penelitian yang Relevan....................................................... 11

B. Landasan Teori ............................................................................. 15

1. Pragmatik................................................................................. 15

2. Pengertian Praanggapan ......................................................... 18

3. Pemerolehan Praanggapan ..................................................... 23

4. Jenis-jenis Praanggapan ......................................................... 26

xi

a. Praanggapan Eksistensial .................................................. 27

b. Praanggapan Faktif ............................................................ 28

c. Praanggapan Leksikal ........................................................ 29

d. Praanggapan Nonfaktif ....................................................... 29

e. Praanggapan Struktural...................................................... 30

f. Praanggapan Konterfaktual ................................................ 31

5. Bentuk Kalimat dan Maksud .................................................... 32

a. Kalimat Deklaratif ............................................................... 33

b. Kalimat Interogatif............................................................... 35

c. Kalimat Imperatif................................................................. 37

d. Kalimat Ekslamatif .............................................................. 38

6. Pengertian Pamflet .................................................................. 39

C. Kerangka Pikir............................................................................... 43

D. Definisi Operasional ...................................................................... 44

BAB III METODE PENELITIAN................................................................ 45

A. Jenis Penelitian dan Pendekatan .................................................. 45

B. Sumber Data dan Jenis Data ........................................................ 45

C. Lokasi dan Waktu Penelitian ......................................................... 46

D. Metode dan Teknik Pengumpulan Data ........................................ 46

E. Teknik Analisis Data...................................................................... 47

BAB IV HASIL PENELTIAN DAN PEMBAHASAN................................... 49

A. Praanggapan dan Bentuk Kalimat Pada Pamflet Sosialisasi

pelestarian Lingkungan di Kabupaten Wakatobi ........................... 49

xii

1. Praanggapan Eksistensial ....................................................... 50

2. Praanggapan Faktif.................................................................. 70

3. Praanggapan Leksikal ............................................................. 83

4. Praanggapan Struktural ........................................................... 85

5. Praanggapan Konterfaktual ..................................................... 91

B. Penggunaan Praanggapan, Bentuk Kalimat dan Maksud Kalimat

pada Tiap-tiap Penerbit Pamflet Sosialisasi Pelestarian Lingkungan

di Kabupaten Wakatobi ................................................................. 97

1. Lembaga Swadaya Masyarakat............................................... 97

2. Pemerintah .............................................................................. 99

3. Lembaga Swadaya Masyarakat dan Pemerintah .................. 100

BAB V PENUTUP .................................................................................. 102

A. Simpulan ..................................................................................... 102

B. Saran........................................................................................... 103

DAFTAR PUSTAKA............................................................................... 105

LAMPIRAN

xi

DAFTAR TABEL

Tabel 4.1. Penggunaan bentuk kalimat pada praanggapan eksistensial. 69

Tabel 4.1. Penggunaan bentuk kalimat pada praanggapan faktif.............83

Tabel 4.3. Penggunaan bentuk kalimat pada praanggapan leksikal.........85

Tabel 4.4. Penggunaan bentuk kalimat pada praanggapan struktural.....91

Tabel 4.5. Penggunaan bentuk kalimat pada praanggapan

konterfaktual.............................................................................96

Tabel 4.6. Rekapitulasi penggunaan praanggapan dan bentuk kalimat

pada pamflet yang diterbitkan LSM..........................................98

Tabel 4.7. Rekapitulasi penggunaan praanggapan dan bentuk kalimat

pada pamflet yang diterbitkan pemerintah...............................99

Tabel 4.8. Rekapitulasi penggunaan praanggapan dan bentuk kalimat

pada pamflet yang diterbitkan LSM dan

pemerintah..............................................................................100

xii

DAFTAR SINGKATAN DAN SIMBOL

PE : Praanggapan Eksistensial

PF : Praanggapan Faktif

PL : Praanggapan Leksikal

PN : Praanggapan Nonfaktif

PS : Praanggapan Struktural

PK : Praanggapan Konterfaktual

Dek : Kalimat Deklaratif

Imp : Kalimat Imperatif

Int : Kalimat Interogatif

Eks : Kalimat Ekslamatif

+ : Ditemukan (positif)

1

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Dewasa ini masalah lingkungan sering diperbincangkan.

Sebelumnya orang menduga masalah lingkungan lebih banyak

dipengaruhi faktor alam seperti iklim, yang mencakup temperatur, curah

hujan, kelembaban, dan tekanan udara. Belakangan mulai disadari bahwa

aktivitas manusia pun memengaruhi iklim dan lingkungan secara

signifikan. Sebagai contoh, penebangan hutan memengaruhi perubahan

suhu dan curah hujan secara lokal. Selain itu, penangkapan ikan

menggunakan alat tangkap tak ramah lingkungan seperti pukat harimau,

bom, bius, dan perburuan satwa langka yang berdampak terhadap

rusaknya ekosistem di perairan, baik terumbu karang maupun satwa

langka yang semakin berkurang. Aktivitas manusia semacam ini tentu saja

ada faktor yang melatarbelakanginya, misalnya motivasi ekonomi.

Hal yang memprihatinkan adalah rusaknya lingkungan akibat ulah

manusia. Pemerhati lingkungan sangat khawatir membayangkan bencana

besar yang akan melanda umat manusia akibat rusaknya lingkungan.

Kerusakan tersebut disebabkan oleh rendahnya kesadaran tentang

pentingnya melestarikan lingkungan di tengah masyarakat. Di tengah

kondisi tersebut, upaya pelestarian lingkungan telah dilaksanakan baik

pembenahan lahan hijau di perkotaan, pengawasan terhadap pembukaan

lahan pertanian dan pertambangan, dan pembentukan taman nasional.

2

Khususnya taman nasional, Pemerintah Indonesia telah membentuk

sebanyak 50 Taman Nasional salah satunya adalah Taman Nasional

Wakatobi (TNW).

Berkenaan dengan hal tersebut, Kabupaten Wakatobi adalah

Daerah Otonom Baru (DOB) hasil pemekaran dari Kabupaten Buton,

Sulawesi Tenggara pada tahun 2003. Seluruh wilayahnya merupakan

TNW yang terdiri dari 97% laut dan 3% darat. Berbagai penghargaan

yang diperoleh DOB ini antara lain: Green City Award dari Kementerian

Lingkungan Hidup pada tahun 2010, Penetapan Wakatobi sebagai Pusat

Biosfer Bumi dari UNESCO pada tahun 2012, dan sebagainya. Dalam hal

upaya pelestarian lingkungan, selain TNW juga gencar dilakukan

sosialisasi pelestarian lingkungan oleh Dinas Kelautan dan Perikanan

Kabupaten Wakatobi, Dinas Pariwisata Kabupaten Wakatobi, WWF-

Indonesia, The Nature of Confervation, dan berbagai Lembaga Swadaya

Masyarakat (LSM) lokal lainnya. Upaya pendampingan khususnya kepada

nelayan berupa pelatihan-pelatihan kerap dilakukan. Tidak cukup sampai

disitu, lembaga-lembaga tersebut juga melakukan sosialisasi melalui

pamflet, baliho, dan spanduk yang tersebar di ruang-ruang publik.

Pamflet merupakan salah satu media yang efektif dan efisien.

Pamflet dinilai lebih efektif karena pembuat pamflet dapat menuliskan

gagasan atau ide yang ada dipikiran mereka secara bebas dan spontan

tanpa perlu memikirkan unsur seni tulis maupun unsur seni rupanya,

sedangkan dinilai lebih efisien karena tidak memakan banyak tempat dan

3

biaya. Adapun dalam pembuatannya, informasi dalam pamflet ditulis

dalam bahasa yang ringkas dan dimaksudkan agar mudah dipahami

dalam waktu singkat (Slametrianto, 2009: 1).

Pamflet sosialisasi pelestarian lingkungan di kabupaten wakatobi

dipilih karena berkenaan dengan isu-isu aktual, adanya perbedaan

dengan pamflet lainnya, yaitu pamflet pelestarian lingkungan di kabupaten

wakatobi diterbitkan oleh lembaga-lembaga nonprofit sedangkan pamflet

lainnya diterbitkan oleh lembaga-lembaga atau perorangan yang

berorientasi profit. Selain itu, konsekuensi dari pamflet pelestarian

lingkungan di Kabupaten Wakatobi akan berdampak pada harmonisnya

hubungan manusia dengan alam jika bahasa dalam pamflet tersebut

mampu memengaruhi dengan efektif. Isi pamflet hakikatnya hasil kontruksi

realitas dengan bahasa sebagai perangkat dasarnya. Berdasarkan

fungsinya, bahasa bukan saja sebagai alat merepresentasikan realitas,

namun juga bisa menentukan relief seperti apa yang diciptakan oleh

bahasa tentang realitas tersebut, dengan arti bahasa dalam pamflet

mempunyai kemampuan untuk berperan membentuk opini publik.

Akibatnya, pamflet memiliki peluang yang besar memengaruhi makna dan

gambaran yang dihasilkan dari realitas yang dikonstruksikan. Dengan kata

lain, dapat menciptakan peristiwa, menafsirkan dan mengarahkan

kebenaran.

Berkaitan dengan hal di atas, unsur bahasa sangat penting dalam

pamflet karena penggunaan bahasa tertentu dalam pamflet dapat

4

membantu petutur agar dapat merasakan dan memahami maksud yang

disajikan pamflet. Satuan bahasa tersebut dapat berupa rangkaian kata

atau ujaran, berbentuk tulis. Dalam peristiwa komunikasi secara tulisan,

dapat dilihat bahwa wacana sebagai proses komunikasi antar penutur dan

petutur. Wacana tulis tersebut tidak hanya terpaku pada hal yang

disampaikan oleh penutur, namun juga konteks yang mengikuti dan

bagaimana pengaruhnya. Kadang-kadang makna wacana menjadi sulit

diterka karena pemahaman makna tersebut tidak hanya berasal dari

tuturan saja tetapi juga mesti ada pemahaman bersama antara penutur

dan petutur mengenai asumsi awal lahirnya tuturan. Sehingga untuk

memahami tuturan tersebut dapat diteliti praanggapannya.

Praanggapan diperoleh dari pernyataan yang disampaikan tanpa

perlu ditentukan apakah praanggapan tersebut benar atau salah.

Pemahaman mengenai praanggapan ini melibatkan dua partisipan utama,

yaitu penutur atau yang menyampaikan suatu pernyataan atau tuturan

dan lawan tutur dan biasanya diasosiasikan dengan pemilihan kata atau

diksi, frasa, dan struktur (Yule, 2014: 26). Gagasan Yule tersebut

memperlihatkan adanya indikasi terjadinya praanggapan yang aktual

ketika hal tersebut berkaitan dengan konteks dalam komunikasi.

Praanggapan dapat dikaji melalui dua kajian ilmu, yaitu Semantik dan

Pragmatik. Semantik merupakan kajian yang memaknai suatu tuturan

tanpa melihat adanya konteks. Adapun kajian pragmatik, makna tuturan

dikaji secara lengkap beserta konteks situasinya. Sehingga, untuk

5

mendapatkan pemahaman yang komprehensif tentang praanggapan

dibutuhkan pendekatan pragmatik. Hal ini perlu dilakukan mengingat

bahasa dalam pamflet para pengarang berusaha agar pesan yang

tertuang dalam pamflet dapat sampai kepada masyarakat.

Praanggapan hanya akan terjadi bila antara penutur atau penulis

dan petutur atau pembaca memiliki kesepemahaman (background

knowledge) yang sama. Jika keduanya tidak memiliki kesepehaman yang

sama, praanggapan tidak akan terjadi. Praanggapan digunakan dalam

suatu komunikasi atau wacana baik lisan maupun tulisan. Demikian pula

halnya dalam sebuah pamflet. Lahirnya sebuah pamflet tidak terlepas dari

penggunaan praanggapan. Oleh karena itu pembaca harus memahami

praanggapan untuk memahami maksud dalam sebuah pamflet tersebut.

Dalam memahami suatu bahasa yang dikaji menurut penuturnya,

tidak cukup hanya diklasifikasikan berdasarkan jenis praanggapannya

saja, tetapi juga harus bisa dipahami berdasarkan bentuk bahasa yang

digunakan dalam pamflet tersebut. Tujuannya agar diketahui maksud

tuturan tersebut. Bentuk bahasa yang digunakan dalam pamflet dapat

dilihat dari piranti linguistiknya yaitu: kata, frasa, dan kalimat.

Berikut ini contoh tuturan dalam pamflet sosialisasi pelestarian

lingkungan di Kabupaten Wakatobi.

Contoh (1)

Terumbu karang sehat, ikan berlimpah.

6

Konteks:Pamflet dipajang pada papan pusat informasi diperkampungan Bajo, Desa Mola, Kecamatan Wangi-wangiSelatan. Pamflet tersebut diterbitkan oleh LSM KomunitasMelihat Alam (Kamelia) Wakatobi.

Contoh (1) mencirikan jenis praanggapan eksistensial. Keberadaan

praanggapan eksistensial tidak hanya diasumsikan pada kalimat-kalimat.

Akan tetapi dapat lebih diperluas dengan mengidentifikasi keberadaan

sesuatu dalam sebuah tuturan. Penanda praanggapan eksistensial pada

contoh (1) merujuk pada satuan bahasa “terumbu karang”, yang

mengindikasikan keberadaan terumbu karang sebagai bagian dari

kehidupan masyarakat Bajo. Perlu diketahui bahwa masyarakat Bajo

dominan berprofesi sebagai nelayan sehingga pernyataan dalam kalimat

tersebut menyiratkan maksud bahwa terumbu karang dapat dibuktikan

keberadaannya. Jadi praanggapannya, yaitu “ada terumbu karang”.

Berdasarkan bentuk kalimat yang digunakan, maka contoh (1)

“terumbu karang sehat, ikan berlimpah” berbentuk kalimat deklaratif. Hal

ini tampak pada konten kalimat tersebut berupa pernyataan. Satuan

bahasa terumbu karang sehat dan ikan berlimpah merupakan pernyataan

hubungan sebab akibat. Artinya bahwa kalimat tersebut memberikan

informasi jika terumbu karang sehat maka berkonsekuensi terhadap

meningkatnya jumlah ikan. Merujuk pada konteks, maka contoh (1)

bermaksud memerintah masyarakat agar menjaga kelestarian terumbu

karang jika ingin mendapatkan ikan dalam jumlah besar.

7

Contoh (2)

Lobster, kepiting, dan rajungan dalam kondisi bertelur dilarangditangkap dan dijual.

Konteks: Lokasi pamflet di pasar ikan, Kelurahan Mandati III,Kecamatan Wangi-wangi Selatan. Pamflet tersebutditerbitkan oleh Pusat Penyuluhan Kelautan danPerikanan, Kemeterian Kelautan dan Perikanan RI (KKP).

Contoh (2) mencirikan jenis praanggapan faktif. Hal ini tampak

pada penggunaan kata kerja “dilarang” diikuti informasi yang

dipraanggapkan. Satuan bahasa “dilarang” bermakna memerintahkan

supaya tidak melakukan sesuatu sehingga dapat diasumsikan bahwa

sebelumnya masyarakat (nelayan) sering menangkap dan menjual lobster,

kepiting, dan rajungan dalam kondisi bertelur. Pemerolehan praanggapan

juga mengacu pada situasi pasar ikan yang ramai dikunjungi penjual dan

pembeli. Biasanya, penjual adalah para istri nelayan setempat. Oleh

karena itu, dapat dikatakan bahwa praanggapannya adalah “masyarakat

(nelayan) sering menangkap dan menjual lobster, kepiting, dan rajungan

dalam kondisi bertelur”.

Berdasarkan bentuk kalimat yang digunakan, maka contoh (2)

berbentuk kalimat imperatif. Hal ini tampak pada penggunaan satuan

lingual “dilarang” yang berarti perintah untuk tidak melakukan suatu

perbuatan. Jika merujuk pada konteks maka contoh (2) bermaksud

memerintah masyarakat agar tidak menangkap lobster, kepiting, dan

rajungan dalam kondisi bertelur.

8

Kedua contoh yang telah dideskripsikan dapat dicermati bahwa

tiap-tiap lembaga yang menerbitkan pamflet memiliki metode yang

berbeda dalam hal penyampaian informasi. Pada contoh (1), LSM Kamelia

menyampaikan kampanye pelestarian lingkungan dengan asumsi dasar

praanggapan eksistensial. Kemudian praanggapan ini direalisasikan

dengan menggunakan kalimat deklaratif yang dirmaksudkan untuk

memerintah. Artinya bahwa LSM menyampaikan pesan melalui pamflet

secara tak langsung. Lain halnya dengan contoh (2), penerbit pamflet

adalah pemerintah. Sebagai asumsi dasar lahirnya tulisan dalam pamflet,

yaitu praanggapan faktual. Kemudian praanggapan ini direalisasikan

dengan menggunakan kalimat imperatif yang dirmaksudkan untuk

memerintah. Artinya bahwa pemerintah menyampaikan pesan melalui

pamflet secara langsung.

Berkaitan dengan penjelasan yang telah dipaparkan menunjukkan

bahwa ada perbedaan penggunaan praanggapan dan bentuk kalimat

yang digunakan pada tiap-tiap penerbit pamflet. Hal tersebut disebabkan

oleh aspek di luar bahasa (makro) yang bersinggungan langsung dengan

bahasa, seperti pengetahuan bersama, konteks situasi, dan partisipan.

Sehingga penelitian ini menguraikan penggunaan praanggapan, bentuk

kalimat, dan maksud kalimat yang terdapat pada pamflet pada tiap-tiap

penerbit pamflet sosialisasi pelestarian lingkungan di Kabupaten

Wakatobi. Untuk memudahkan analisis penelitian ini maka peneliti

9

menitiberatkan pada analisis dan pendeskripsian kategori praanggapan

serta bentuk kalimat dalam lingkup kajian pragmatik.

B. Rumusan Masaalah

Berdasarakan latar belakang permasalahan yang telah dijelaskan

di atas, rumusan masalah dalam penelitian ini dirumuskan sebagai berikut.

1. Jenis praanggapan dan bentuk kalimat apa saja yang terdapat pada

pamflet sosialisasi pelestarian lingkungan di Kabupaten Wakatobi?

2. Bagaimanakah penggunaan praanggapan, bentuk kalimat dan maksud

kalimat yang terdapat pada pamflet pada tiap-tiap penerbit pamflet

sosialisasi pelestarian lingkungan di Kabupaten Wakatobi?

C. Tujuan Penelitian

Berdasarkan uraian pada rumusan masalah, tujuan dalam

penelitian dapat dideskripsikan berikut ini.

1. Menjelaskan jenis praanggapan dan bentuk kalimat yang terdapat pada

pamflet sosialisasi pelestarian lingkungan di Kabupaten Wakatobi.

2. Menguraikan penggunaan praanggapan, bentuk kalimat, dan maksud

kalimat yang terdapat pada pamflet pada tiap-tiap penerbit pamflet

sosialisasi pelestarian lingkungan di Kabupaten Wakatobi.

D. Manfaat Penelitian

Penelitian ini diharapkan dapat bermanfaat baik secara teoretis

maupun secara praktis.

10

1. Secara Teoretis

Secara teoretis, manfaat penelitian ini sebagai berikut:

a) pengembangan teori kebahasaan pada umumnya;

b) memberikan kontribusi teoretis dalam bidang pragmatik; dan

c) menambah khazanah ilmu bahasa terutama praanggapan.

2. Secara Praktis

Secara praktis, manfaat penelitian ini sebagai berikut:

d) pembaca dapat memahami tentang praanggapan dalam bahasa,

khususnya dalam pamflet;

e) menjadi bahan acuan bagi peneliti lain yang ingin mengkaji

mengenai masalah yang relevan dengan penelitian ini;

f) menjadi bahan perbandingan bagi penelitian kebahasaan

selanjutnya; dan

g) menjadi bahan rekomendasi kepada lembaga-lembaga terkait,

perihal peran pamflet sebagai sebagai media sosialisasi

pelestarian lingkungan di Kabupaten Wakatobi.

11

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

A. Hasil Penelitian yang Relevan

Penelitian yang berhubungan dengan praanggapan sudah ditulis

oleh beberapa peneliti sebelumnya seperti Hafid (2012), Winarni (2015),

dan Siahaan (2015).

Hafid (2012) menulis tesis dengan berjudul “Ragam Bahasa Iklan

pada Media Cetak”. Dalam penelitiannya aspek yang dianalisisis yaitu:

tindak tutur, praanggapan, implikatur, bentuk pilihan kata, dan faktor-faktor

yang memengaruhi penggunaan ragam bahasa iklan. Hasil penelitiannya

menunjukkan bahwa bentuk tindak tutur yang ditemukan pada iklan

berupa menetapkan atau menjelaskan, memerintahkan atau memohon,

dan berterima kasih. Bentuk praanggapan yang digunakan yaitu:

praanggapan eksistensial, faktif, dan struktural. Implikatur iklan dapat

membantu pembaca untuk mendapatkan suatu penjelasan yang tersirat

tentang sesuatu yang ditampilkan pengiklan sehingga pembaca dapat

memahami dan mengerti iklan sesuai konteks dan situasinya. Bentuk

pilihan kata yang ditemukan pada iklan berupa pilihan kata keterangan,

kata sifat, kata kerja, persona , ajakan, partikel konjungsi intrakalimat,

sinonim, kalimat interogatif, numeralia, kosakata dalam bahasa daerah

Makassar dan bahasa asing. Adapun faktor-faktor yang memengaruhi

ragam bahasa pada iklan pada media cetak yaitu: adanya pengaruh

komponen tutur yang meliputi: (1) waktu dan situasi, (2) pihak yang terlibat

12

di dalam tuturan, (3) maksud dan tujuan tuturan, (4) bentuk dan isi ujaran,

(5) nada dan cara pesan disampaikan, (6) bahasa yang digunakan, (7)

norma atau aturan, (8) jenis bentuk penyampaian, (9) konteks, dan (10)

sasaran yang dituju sebuah iklan.

Relevansi penelitian yang dilakukan Hafid (2014) dengan penelitian

ini ada pada kajiannya, yaitu pragmatik. Perbedaannya selain terletak

pada objek kajiannya, juga pada prioritas aspek yang dianalisis. Hafid

menganalisisi aspek tindak tutur, praanggapan, implikatur, bentuk pilihan

kata, dan faktor-faktor yang memengaruhi penggunaan ragam bahasa

iklan, sedangkan dalam penelitian ini berfokus pada analisis praanggapan

dan bentuk kalimat yang digunakan pada pamflet sosialisasi pelestarian

lingkungan di kabupaten Wakatobi dan objek kajiannya adalah teks pada

pamflet.

Penelitian yang berkaitan dengan praanggapan juga telah

dilakukan oleh Winarni (2015) dengan judul “Analisis Praanggapan

Pernyataan Humor dalam Stand Up Comedy Indonesia”. Penelitian ini

merumuskan jenis-jenis praanggapan yang muncul dalam pernyataan

humor dan kontribusi praanggapan dalam membantu terciptanya humor

pada Stand up comedy Indonesia. Berdasarkan penelitian yang dihasilkan

olehnya, ditemukan jenis-jenis praanggapan yaitu: eksistensial sebanyak

184, faktual sebanyak 18, leksikal sebanyak 82, stuktural sebanyak 11,

nonfaktual sebanyak 3, dan kontrafaktual sebanyak 11. Jumlah

13

praanggapan yang muncul pada 20 pernyataan comic sebanyak 309

praanggapan.

Walaupun praanggapan eksistensial paling dominan, tidak menjadi

kontribusi utama dalam proses penciptaan humor dalam stand up comedy.

Hal ini disebabkan oleh praanggapan eksistensial hanya menyebutkan

entitas-entitas dalam pernyataan comic. Salah satu yang menjadi

penyebab praanggapan eksistensial sering muncul dalam stand up

comedy karena comic sebagai pelawak tunggal sering melibatkan dirinya

sendiri sebagai sebuah entitas yang dibicarakan dalam stand up comedy

dengan cara monolog.

Praanggapan leksikal juga merupakan jenis praanggapan yang

cukup banyak muncul dalam pernyataan humor comic dalam stand up

comedy Indonesia. Hal ini disebabkan oleh praangapan leksikal

menggunakan cara tersirat dalam menyampaikan materi humor. Cara

tersirat dalam menyampaikan pernyataan humor inilah yang memiliki

potensi lebih besar dalam menimbulkan efek lucu bagi penerima humor.

Praanggapan leksikal ini yang paling memiliki kontribusi dalam membantu

menciptakan humor dalam Stand up comedy Indonesia. Kontribusi

praanggapan leksikal ini dapat terlihat dalam proses kognitif, mekanisme

semantis, dan dari segi kontekstual.

Winarni menyimpulkan bahwa praanggapan leksikal memiliki

kontribusi yang sangat penting dalam pernyataan humor stand up comedy

Indonesia. Maka dari itu, dalam setiap pernyataan comic selalu muncul

14

praanggapan leksikal. Dalam stand up comedy sebuah pernyataan akan

dapat disebut lucu jika ada makna lain yang berbeda dan bertentangan

dengan yang disampaikan tersirat oleh comic. Bahkan, jenis praanggapan

lain yang muncul dalam pernyataan comic tidak akan dapat menciptakan

efek lucu jika tidak ada kemunculan praanggapan leksikal dalam

pernyataan yang sama.

Perbedaan penelitian yang dilakukan oleh Winarni (2015) dengan

penelitian ini adalah objek materialnya dan analisis terhadap jenis

praanggapan yang berkontribusi dalam pernyataan humor. Adapun,

dalam penelitiaan ini selain mendeskripsikan jenis-jenis praanggapan dan

bentuk kalimat, juga berusaha menjelaskan penggunaan praanggapan,

bentuk kalimat dan maksud kalimat yang terdapat pada pamflet pada tiap-

tiap penerbit pamflet (penutur) dalam menyampaikan pesan.

Penelitian yang berkaitan dengan praanggapan dengan objek

material berbeda, juga dilakukan oleh Siahaan (2015) dalam tesisnya

berjudul “Pemakaian Praanggapan pada Tuturan Wisatawan Asing dalam

Berinteraksi dengan Penduduk Setempat di Ubud, Bali”. Hasil penelitian

tersebut memperlihatkan bahwa terdapat tujuh jenis praanggapan yang

ditemukan dari lima belas peristiwa tutur yaitu; praanggapan eksistensial,

praanggapan faktual, praanggapan leksikal, praanggapan struktural,

praanggapan pengandaian, praanggapan implikatif, dan praanggapan

waktu. Praanggapan struktural merupakan praanggapan yang paling

dominan berperan dalam peristiwa tutur ini. Penelitian ini juga menemukan

15

sebuah pola pemakaian praanggapan dari ketiga variabel tersebut yakni

praanggapan struktural diikuti dengan praanggapan eksistensial.

Kemudian praanggapan leksikal. Pemahaman sebuah praanggapan

dalam sebuah tuturan dapat dilihat dengan menerapkan teori perolehan

praanggapan (pemahaman bersama) sehingga makna komunikasi yang

sebenarnya dari penutur dapat dimengerti oleh petutur.

Dari berbagai penelitian tersebut, secara umum dapat dipahami

bahwa terdapat persamaan dan perbedaan. Hal ini dapat dilihat pada

aspek-aspek pokok permasalahannya. Hasil-hasil penelitian tersebut

memiliki persamaan dengan penelitian ini terutama pada pendeskripsian

jenis-jenis praanggapan melalui kajian pragmatik. Perbedaannya ialah

terletak pada objek material dan aspek kajian yang dititikberatkan.

Adapun, penelitian ini akan berusaha menguraikan penggunaan

praanggapan, bentuk kalimat dan maksud kalimat yang terdapat pada

pamflet pada tiap-tiap penerbit dalam menyampaikan pesannya.

B. Landasan Teori

1. Pragmatik

Para pakar pragmatik mendefinisikan istilah pragmatik ini secara

berbeda-beda. Yule (2014: 3) menyebutkan 4 definsi pragmatik, yaitu (1)

bidang yang mengkaji makna pembicara, (2) bidang yang mengkaji makna

menurut konteksnya; (3) bidang yang melebihi kajian tentang makna yang

diujarkan, mengkaji makna yang dikomunikasikan atau terkomunikasikan

oleh pembicara, dan (4) bidang yang mengkaji bentuk ekspresi menurut

16

jarak sosial yang membatasi partisipan yang terlibat dalam percakapan

tertentu. Menurut Levinson (1983: 9), ilmu pragmatik didefinisikan sebagai

kajian dari hubungan antara bahasa dan konteks yang mendasari

penjelasan pengertian bahasa. Di sini, pengertian/pemahaman bahasa´

menunjuk kepada fakta bahwa untuk mengerti sesuatu ungkapan/ujaran

bahasa diperlukan juga pengetahuan di luar makna kata dan hubungan

tata bahasanya, yakni hubungannya dengan konteks pemakaiannya.

Pragmatik ialah kajian tentang kemampuan pemakai bahasa mengaitkan

kalimat-kalimat dengan konteks-konteks yang sesuai bagi kalimat- kalimat

itu (Nababan, 1987: 2). Leech (2011: 8) mengemukakan bahwa pragmatik

sebagai studi meneliti makna dalam hubungannya dengan situasi-situasi

tutur (speech situations). Pragmatik meneliti mengenai makna tuturan

yang dikehendaki oleh penutur dengan menurut konteksnya. Konteks

dalam hal ini berfungsi sebagai dasar pertimbangan dalam

mendeskripsikan makna tuturan dalam rangka penggunaan bahasa dalam

komunikasi.

Menurut Levinson (dalam Tarigan, 1990: 33), pragmatik merupakan

telaah mengenai relasi antara bahasa dengan konteks yang merupakan

dasar bagi suatu catatan atau laporan pemahaman bahasa. Dengan kata

lain, pragmatik adalah telaah mengenai kemampuan pemakai bahasa

menghubungkan serta menyerasikan kalimat-kalimat dan konteks-konteks

secara tepat. Pendapat lain dikemukakan oleh Wijana (1996: 14) bahwa

pragmatik menganalisis tuturan, baik tuturan panjang, satu kata atau. Ia

17

juga mengatakan bahwa pragmatik sebagai cabang ilmu bahasa yang

mempelajari struktur bahasa secara eksternal, yakni bagaimana suatu

kebahasaan itu digunakan dalam komunikasi.

Hal senada juga di ungkapkan oleh Gusnawaty (2011:16)

pragmatik berfokus utama pada dua kunci, yakni penggunaan bahasa dan

konteksnya; dan makna yang ditimbulkan akibat interaksi sosial yang

bergantung pada hubungan solidaritas atau jarak antara interlekutor.

Penerapan pragmatik dalam kehidupan sehari-hari dapat diketahui

dengan menganalisis bentuk-bentuk penggunaan Bahasa, baik secara

lisan maupun tulisan yang berwujud tuturan. Menurut Cruse (dalam

Cummings, 2007: 3), pragmatik dapat dianggap berurusan dengan aspek-

aspek informasi (dalam pengertian yang luas) yang disampaikan melalui

bahasa yang (a) tidak dikodekan oleh konvensi yang diterima

secaraumum dalam bentuk-bentuk linguistik yang digunakan, namun (b)

juga muncul secara alamiah dari dan tergantung pada makna-makna yang

dikodekan secara konvensional dengan konteks tempat penggunaan

bentuk-bentuk tersebut (penekanan ditambahkan). Lebih lanjut, Rohmadi

(2014: 54) menjelaskan bahwa kajian pragmatik tidak dapat terlepas dari

konteks tuturan. Konteks yang dimaksudkan di sini adalah siapa yang

berbicara, kepada siapa, di mana, dan dalam situasi apa.

Beberapa pengertian tersebut dapat disimpulkan bahwa pragmatik

merupakan cabang ilmu bahasa yang mengkaji segala aspek makna

tuturan baik lisan maupun tulisan berdasarkan maksud penutur yang

18

dihubungkan dengan konteks bahasa dan konteks nonbahasa. Konteks ini

sangat memengaruhi makna satuan bahasa, mulai dari kata sampai pada

sebuah wacana.

2. Pengertian Praanggapan

Praanggapan (presuposisi) berasal dari kata to pre-suppose, yang

dalam bahasa Inggris berarti to suppose beforehand (menduga

sebelumnya), dalam arti sebelum pembicara atau penulis mengujarkan

sesuatu ia sudah memiliki dugaan sebelumnya tentang kawan bicara atau

hal yang dibicarakan. Stalnaker (dalam Yule. 1996: 39) berpendapat

bahwa praanggapan adalah apa yang digunakan penutur sebagai dasar

bersama bagi para peserta percakapan. Selain definisi tersebut, beberapa

definisi lain tentang praanggapan diantaranya adalah Levinson (dalam

Nababan, 1987: 48) memberikan konsep praanggapan yang disejajarkan

maknanya dengan presupposition sebagai suatu macam anggapan atau

pengetahuan latar belakang yang membuat suatu tindakan, teori, atau

ungkapan mempunyai makna. Adapun, menurut Cummings (2007: 42)

praanggapan adalah asumsi-asumsi atau inferensi-inferensi yang tersirat

dalam ungkapan linguistik tertentu.

Menurut Frege (dalam Mulyana 2005: 14) semua pernyataan

memiliki praanggapan, yaitu rujukan atau referensi dasar. Rujukan inilah

yang menyebabkan suatu ungkapan wacana dapat diterima atau

dimengerti oleh pasangan bicara, yang pada gilirannya komunikasi

tersebut akan dapat berlangsung dengan lancar. “Rujukan“ inilah yang

19

dimaksud sebagai “praanggapan“, yaitu anggapan dasar atau

penyimpulan dasar mengenai konteks dan situasi berbahasa yang

membuat bentuk bahasa menjadi bermakna bagi pendengar atau

pembaca. Praanggapan membantu pembicara menentukan bentuk-bentuk

bahasa (kalimat) untuk mengungkapkan makna atau pesan yang ingin

dimaksudkan. Jadi, semua pernyataan atau ungkapan kalimat, baik yang

bersifat positif maupun negatif, tetap mengandung anggapan dasar

sebagai isi dan substansi dari kalimat tersebut.

Givon (dalam Yule 1996: 29) berpendapat bahwa pengertian

praanggapan yang diperlukan dalam wacana adalah praanggapan

pragmatis, yaitu yang ditentukan batas-batasnya berdasarkan anggapan-

anggapan pembicara mengenai apa yang kemungkinan akan diterima

oleh pendengar tanpa tantangan. Menurut Andryanto (2014: 3)

Praanggapan merupakan sesuatu ujaran yang mengandung makna

kebenaran atau ketidakbenaran sesuai dengan tuturannya. Lebih lanjut

Baisu (2015: 133) berpendapat bahwa praanggapan adalah kesimpulan

atau asumsi awal penutur sebelum melakukan tuturan bahwa apa yang

akan disampaikan juga dipahami oleh mitra tutur.

Praanggapan memiliki ciri-ciri tertentu yang mudah dikenali. Ciri-ciri

tersebut adalah:

a. Tetap Benar Walaupun Dinegasikan

Ciri-ciri praanggapan yang mendasar adalah sifat kebenaran di

bawah penyangkalan (Yule, 2014: 45). Hal ini memiliki maksud bahwa

20

praanggapan suatu pernyataan akan tetap benar walaupun kalimat itu

dijadikan kalimat negatif atau dinegasikan. Sebagai contoh perhatikan

beberapa kalimat berikut ini.

1) Gitar Budi itu baru.2) Gitar Budi tidak baru.

Kalimat (2) bentuk negatif dari kalimat (1). Praanggapan kalimat (1)

adalah Budi memiliki gitar. Dalam kalimat (2) ternyata praanggapan itu

tidak berubah meski kalimat (2) mengandung penyangkalan, yaitu

dengan adanya kata negasi tidak dari kalimat (1) yaitu memiliki

praanggapan yang sama bahwa Budi memiliki gitar.

Wijana (dalam Nadar, 2009: 64) menyatakan bahwa sebuah

kalimat dinyatakan mempraanggapankan kalimat yang lain jika

ketidakbenaran kalimat yang kedua (kalimat yang dipraanggapankan)

mengakibatkan kalimat pertama tidak dapat dikatakan benar atau

salah. Untuk memperjelas pernyataan tersebut perhatikan contoh

berikut ini.

3) Istri pejabat itu cantik sekali.4) Pejabat itu mempunyai istri.

Kalimat (4) merupakan praanggapan dari kalimat (3). Kalimat

tersebut dapat dinyatakan benar atau salahnya bila pejabat tersebut

mempunyai istri. Namun, bila berkebalikan dengan kenyataan yang ada

(pejabat tersebut tidak mempunyai istri), kalimat tersebut tidak dapat

ditentukan kebenarannya. Hal ini berarti bahwa praanggapan yang

21

dihasilkan oleh penggunaan unsur leksikal tetap sama walaupun

kalimat yang berisi unsur leksikal tersebut ditiadakan.

b. Dapat Dibatalkan

Seperti halnya implikatur percakapan, praanggapan juga dapat

dibatalkan atau dihapus. Praanggapan dapat dihapus jika tidak sesuai

dengan: asumsi yang tersirat, implikatur percakapan, dan konteks

kebahasaan. Selanjutnya, praanggapan dapat ditunda karena adanya

argumen-argumen yang terkurangi oleh kemungkinan-kemungkinan

yang ada dalam wacana. Perhatikan contoh berikut:

5)“Saya tidak bisa datang pagi besok karena ada halangan”.

Tuturan tersebut diungkapkan seseorang kepada temannya. Teman

tersebut pasti akan mempunyai praanggapan mungkin dia akan

mengantar anaknya sekolah atau ada halangan lain. Akan tetapi jika

seseorang tersebut melanjutkan ucapannya “Saya ada rapat dinas

penting besok pagi”, maka praanggapan akan batal karena sudah

diberitahukan langsung oleh penuturnya sehingga lawan tutur tidak

memiliki praanggapan lagi terhadap pernyataan tersebut.

Setelah memahami pendapat dari beberapa ahli di atas, peneliti

dapat menyimpulkan bahwa praanggapan dimaknai secara berbeda dari

tiap-tiap ahli bahasa. Namun demikian, dapat dilihat bahwa para ahli

menampilkan beberapa kesamaan sudut pandang. Dari sekian pendapat

yang ada, peneliti cenderung pada pendapat yang dikemukakan oleh

22

Cummings (2007: 42) karena lebih sederhana dan mudah dipahami,

namun sudah menyeluruh. Sehingga dapat disimpulkan bahwa

praanggapan merupakan pengetahuan awal yang dimiliki oleh penutur

sebagai dasar melahirkan tuturan.

Setelah mengetahui pengertian praanggapan menurut beberapa

ahli seperti yang telah dikemukakan di atas, penulis berusaha

memaparkan jenis-jenis praanggapan. Menurut Nababan (1987: 60),

mula-mula pengkajian praanggapan dikerjakan oleh ahli-ahli falsafah

dengan pendekatan semantik. Belakangan ini, linguis dan ahli

antropologi/sosiologi dan psikologi mengkaji praanggapan ini dengan

pendekatan pragmatik.

Pendapat senada diungkapkan oleh Cummings (2007: 42) bahwa

memang ciri-ciri praanggapan itu sendirilah yang telah menyebabkan

pokok permasalahan ini diteliti baik dilihat dari perspektif semantik

maupun pragmatik. Selanjutnya, Marmaridou (dalam Cummings, 2007:

52) mengatakan bahwa perlakuan pragmatik didasarkan pada

ketidakcukupan semantik yang bergantung pada kebenaran untuk

menerangkan banyak fenomena praanggapan.

Beberapa pendapat di atas, tampak jelas bahwa tidak terdapat

perbedaan yang signifikan terhadap pendapat para ahli bahasa tersebut

tentang jenis-jenis praanggapan, hanya mungkin terdapat perbedaan

istilah saja. Penulis dapat mengambil simpulan bahwa jenis praanggapan

dapat dibedakan menjadi dua, yaitu praanggapan yang ditinjau dari segi

23

semantik dan praanggapan yang ditinjau dari segi pragmatik. Perbedaan

ini disebabkan sebagaimana yang telah dijelaskan oleh Marmaridou

(dalam Cummings, 2007: 52) di atas. Pada awalnya, praanggapan dikaji

berdasarkan ilmu semantik, jadi hanya berkutat pada makna leksikal dan

gramatikal saja. Namun, praanggapan semantik kurang dapat

menjelaskan pada aspek tertentu sehingga muncul pendapat baru ahli

bahasa yaitu praanggapan pragmatik yang telah mengaitkan aspek

konteks bahasa di dalam ujaran atau kalimat tersebut.

3. Pemerolehan Praanggapan

Untuk menemukan makna suatu teks dalam pamflet tidak sama

dengan menemukan makna suatu teks bacaan. Oleh karena itu kita harus

mengetahui penanda dari tiap-tiap praanggapan tersebut. Adapun

penanda yang mendukung kemunculan praanggapan terdiri dari tiga

unsur penting yaitu pengetahuan bersama, partisipan, dan konteks situasi

(Yule: 1996). Ketiga hal tersebut saling berkaitan dan merupakan

pembatas dalam menganalisis data tuturan ini:

a. Pengetahuan Bersama

Dalam memahami suatu tuturan, secara otomatis terdapat

suatu aturan tidak tertulis yang mengharuskan petutur memiliki

pemahaman mengenai struktur pengetahuan yang telah dimiliki

sebelumnya. Fungsi struktural ini berguna untuk melihat pola dalam

tuturan sehingga pemahaman yanng didapat sesuai dengan yang

diinginkan penutur (Yule, 1996: 85).

24

Salah satu unsur yang mendukung munculnya praanggapan

adalah memahami tuturan dalam adegan. Pengetahuan bersama ini

juga digunakan sebagai struktur yang membangun interpretasi yang

tidak muncul dalam teks atau tuturan. Untuk menyampaikan pesan

yang sesuai dengan tujuan penutur, pengetahuan bersama menjadi

sangat penting terutama untuk menghindari kesalahpahaman dalam

berkomunikasi. Segala hal yang berhubungan dan yang terjadi

selama tuturan berlangsung, bisa diasumsikan sebagai pengetahuan

bersama (Yule, 1996: 86 – 88).

b. Partisipan (Penutur dan Petutur)

Konsep penutur dan lawan tutur ini juga mencakup penulis dan

pembaca bila tuturan bersangkutan dikomunikasikan dengan media

tulisan. Aspek-aspek yang berkaitan dengan penutur dan lawan tutur

ini adalah usia, latar belakang, sosial ekonomi, jenis kelamin, tingkat

keakraban, dan sebagainya. Penutur adalah orang yang bertutur,

sementara mitra tutur adalah orang yang menjadi sasaran atau

kawan penutur.

Peran penutur dan mitra tutur dilakukan secara silih berganti,

penutur pada tahap tutur berikutnya dapat menjadi mitra tutur, begitu

pula sebaliknya sehingga terwujud interaksi dalam komunikasi.

Konsep tersebut juga mencakup penulis dan pembaca apabila

tuturan tersebut dikomunikasikan dalam bentuk tulisan. Aspek-aspek

yang terkait dengan penutur dan mitra tutur tersebut antara lain

25

aspek usia, latar belakang sosial, jenis kelamin, tingkat pendidikan,

dan tingkat keakraban. Aspek-aspek tersebut mempengaruhi daya

tangkap mitra tutur, produksi tuturan serta pengungkapan maksud.

Penutur dan mitra tutur dapat saling memahami maksud tuturan

apabila keduanya mengetahui aspek-aspek tersebut.

c. Konteks situasi

Halliday dan Hasan (1994: 62) membagi konteks situasi

menjadi tiga; yaitu (1) sebagai medan wacana, (2) sebagai pelibat

wacana, dan (3) sebagai sarana wacana. Medan wacana menunjuk

pada sesuatu yang sedang terjadi pada sifat (keformalan) tindakan

sosial yang sedang berlangsung. Medan wacana menunjuk kepada

orang yang mengambil bagian dalam peristiwa tutur, sedangkan

sarana tutur menunjuk kepada bagian yang diperankan oleh bahasa

seperti, organisasi teks, kedudukan dan fungsi yang dimiliki, saluran

yang digunakan, serta model retorikanya.

Selanjutnya Levinson (1983: 22-23) menjelaskan bahwa untuk

mengetahui sebuah konteks, seseorang harus membedakan antara

situasi aktual sebuah tuturan dalam semua keseragaman ciri-ciri

tuturan mereka dan pemilihan ciri-ciri tuturan tersebut secara budaya

dan linguistik yang berhubungan dengan produksi dan penafsiran

tuturan. Konteks ialah situasi atau latar terjadinya suatu komunikasi

(Mulyana, 2005:21). Menurutnya, konteks dianggap sebagai sebab

terjadinya suatu dialog, sehingga sesuatu yang berkaitan dengan

26

maksud tuturan sangat bergantung pada konteks yang

melatarbelakangi peristiwa komunikasi.

Oleh karena itu, bahasa hanya memiliki makna jika berada

dalam suatu konteks situasi. Makna sebuah ujaran diinterpretasikan

melalui sebuah ujaran dengan memperhatikan konteks, sebab

konteks yang akan menentukan makna sebuah ujaran berdasarkan

situasi. Artinya, konteks situasi sangat berpengaruh dalam

berinteraksi.

4. Jenis-jenis Praanggapan

Penelitian ini menggunakan teori yang diajukan oleh Yule (2014:

46-51) dalam menjelaskan jenis-jenis praanggapan yang terkandung

dalam pamflet. Menurut Yule, ada enam jenis praanggapan, yaitu:

praanggapan eksistensial, praanggapan faktif, praanggapan leksikal,

praanggapan nonfaktif, praanggapan struktural, dan praanggapan

konterfaktual.

Sebelumnya peneliti perkenalkan jenis-jenis praanggapan menurut

Levinson (1983). Levinson menyatakan adanya beberapa jenis-jenis

praanggapan yang masing-masing memiliki penanda dalam tuturan.

Praanggapan tersebut merupakan sesuatu yang diasumsikan oleh

penutur dalam sebuah pernyataan tuturan dan setelahnya akan ada

keterikutan (entailment) yang memiliki makna dan diasumsikan dalam

sebuah tuturan. Praanggpan juga diperlukan layaknya dua proposisi atau

usulan dalam sebuah tuturan.

27

Levinson (1983: 56) memaparkan sepuluh jenis praanggapan, yaitu

praanggapan eksistensial (existential presupposition), praanggapan

faktual (factive presupposition), praanggapan leksikal (lexical

presuppostion), praanggapan struktural (structural presupposition),

praanggapan tidak faktual (nonfactive presupposition) dan praanggapan

pengandaian (counter factual presuppostion), praanggapan iteratif

(iterative presupposition), praanggapan implikatif (implicative

presupposition), dan praanggapan waktu/temporal (temporal

presupposition).

Namun dalam penelitian ini, peneliti menggunakan teori dari Yule

(2014: 46-51) perihal jenis-jenis praanggapan dan akan dibantu oleh

proses pemerolehan praanggapan, situasi dan konteksnya pula demi

memperoleh makna praanggapan yang sebenarnya.

a. Praanggapan Eksistensial

Praanggapan eksistensial adalah praanggapan yang

menunjukkan eksistensi/ keberadaan/ jati diri referen yang diungkapkan

dengan kata yang definit. Jelasnya praanggapan ini tidak hanya

diasumsikan keberadaannya dalam kalimat-kalimat yang menunjukkan

kepemilikan, tetapi lebih luas lagi keberadaan atau eksistensi dari

pernyataan dalam tuturan tersebut. Praanggapan eksistensial

menunjukkan bagaimana keberadaan atas suatu hal dapat

disampaikan lewat praanggapan.

28

Contoh

6) Mobil itu berjalan.

Praanggapan dalam tuturan tersebut menyatakan keberadaan,

yaitu “ada mobil”.

b. Praanggapan Faktif

Praanggapan ini muncul dari informasi yang ingin disampaikan

dengan kata-kata yang menunjukkan suatu fakta atau berita yang

diyakini keberadaannya. Praanggapan faktif adalah praanggapan

dimana informasi yang dipraanggapkan mengikuti kata kerja dapat

dianggap sebagai suatu kenyataan. Kata-kata yang bisa menyatakan

fakta dalam tuturan ialah kata kerja yang dapat memberikan makna

pasti tuturan tersebut.

Contoh

7) Kami menyesal mengatakan kepadanya.

Praanggapan kalimat diatas adalah “kami mengatakan

kepadanya”. Pernyataan tersebut menjadi faktual karena telah

disebutkan dalam tuturan. Penggunaan kata mengatakan, mengetahui,

sadar, mau adalah kata-kata yang menyatakan sesuatu yang

dinyatakan sebagai sebuah fakta dari sebuah tuturan. Walaupun di

dalam tuturan tidak ada kata-kata tersebut, kefaktualan suatu tuturan

yang muncul dalam praanggapan bisa dilihat dari partisipan tutur,

konteks situasi, dan juga pengetahuan bersama.

29

c. Praanggapan Leksikal

Praanggapan leksikal dipahami sebagai bentuk praanggapan

yang menyatakan makna secara konvensional ditafsirkan dengan

praanggapan bahwa suatu makna lain (yang tidak dinyatakan)

dipahami. Praanggapan ini merupakan praanggapan yang didapat

melalui tuturan yang diinterpretasikan melalui penegasan dalam

tuturan. Berbeda dengan praanggapan faktif, tuturan yang merupakan

praanggapan leksikal dinyatakan dengan cara tersirat sehingga

penegasan atas praanggapan tuturan tersebut bisa didapat setelah

pernyataan dari tuturan tersebut. Terdapat beberapa satuan bahasa

yang digunakan sebagai penanda dalam praanggapan leksikal ini

seperti “memulai, menyelesaikan, melanjutkan, membawa,

meninggalkan, berhenti”.

Contoh

8) Mereka mulai mengeluh.

Praanggapan pada tuturan diatas adalah “Sebelumnya mereka

tidak mengeluh”. Praanggapan tersebut muncul dengan adanya

penggunaan kata ‘mulai’ bahwa sebelumnya tidak mengeluh namun

sekarang mengeluh.

d. Praanggapan Nonfaktif

Praanggapan nonfaktif adalah suatu praanggapan yang

diasumsikan tidak benar. Praanggapan ini masih memungkinkan

30

adanya pemahaman yang salah karena penggunaan kata-kata yang

tidak pasti atau ambigu.

Contoh

9) Andai aku seorang anggota DPR.

Dari tuturan diatas praanggapan yang muncul adalah “Aku bukan

anggota DPR”. Penggunaan ‘andai’ sebagai pengandaian bisa

memunculkan praanggapan non-faktif. Selain itu praanggapan yang

tidak faktual bisa diasumsikan melelui tuturan yang kebenarannya

masih diragukan dari fakta yang disampaikan.

e. Praanggapan Struktural

Praanggapan struktural mengacu pada sturktur kalimat-kalimat

tertentu telah dianalisis sebagai praanggapan secara tetap dan

konvensional bahwa bagian struktur itu sudah diasumsikan

kebenarannya. Hal ini tampak dalam kalimat tanya, secara

konvensional diinterpretasikan dengan kata tanya (kapan dan di mana)

sesudah diketahui sebagai masalah, pertanyaan alternatif (Alternative

Question), dan pertanyaan ya/tidak (Yes/No Question). Dengan kata

lain praanggapan ini dinyatakan dengan tuturan yang strukturnya jelas

dan langsung dipahami tanpa melihat kata-kata yang digunakan.

Contoh

10) Kemana Gayus bertamasya?

Tuturan di atas menunjukkan praanggapan yaitu “Gayus

bertamasya”. Praanggapan yang menyatakan ‘keberadaan’ sebagai

31

bahan pembicaraan yang dipahami oleh penutur melalui struktur

kalimat tanya yang menanyakan ‘kemana’.

f. Praanggapan konterfaktual

Praanggapan konterfaktual berarti bahwa yang dipraanggapkan

tidak hanya tidak benar, tetapi juga merupakan kebalikan (lawan) dari

benar atau bertolak belakang dengan kenyataan. Rahardi (2002: 42)

memberikan contoh yang berkaitan dengan praanggapan ini:

Tuturan yang berbunyi “kalau kamu sudah sampai Jakarta,

tolong aku diberi kabar. Jangan sampai lupa, aku tidak ada di rumah

karena bukan hari libur”. Tuturan itu tidak semata-mata dimaksudkan di

dalam tuturan itu melainkan ada sesuatu yang tersirat dari tuturan itu

yang harus dilakukannya, seperti misalnya mencari alamat kantor atau

nomor telepon si penutur. Praanggapan ini menghasilkan pemahaman

yang berkelebihan dari pernyataannya atau kontradiktif. Kondisi yang

menghasilkan praanggapan seperti ini biasanya dalam tuturannya

mengandung ‘if clause’ atau pengandaian. Hasil yang didapat menjadi

kontradiktif dari pernyataan sebelumnya.

Contoh

11) Kalau Angie mengaku, dia akan dipenjara.

Dari contoh di atas kita akan menemukan praanggapan yang

muncul adalah Angie tidak mengaku. Praanggapan tersebut muncul

dari kontradiksi kalimat dengan adanya penggunaan kata ‘kalau’.

32

Penggunaan kalau membuat praanggapan yang kontradiktif dari tuturan

yang disampaikan.

5. Bentuk Kalimat dan Maksud

Dalam memahami suatu bahasa yang akan dikaji menurut

penuturnya, tidak cukup hanya diklasifikasikan berdasarkan jenis

praanggapannya saja, tetapi juga harus bisa dipahami berdasarkan

bentuk kalimat yang digunakan dalam pamflet tersebut. Tujuannya agar

diketahui maksud tuturan tersebut.

Selain menjelaskan bentuk kalimat yang digunakan, penelitian ini

juga memaparkan maksud yang terkandung dalam pamflet sosialisasi

pelestarian lingkungan di Kabupaten Wakatobi. Adapun pengertian

maksud ialah: (1) sesuatu yang dikehendaki, atau dapat diartikan pula

sebagai tujuan; (2) arti; makna dari suatu perbuatan, perkataan, peristiwa

(Poerwadarminta, 2011: 865). Sehubungan dengan pragmatik, salah satu

hal yang dikaji ialah maksud penutur (speaker meaning) atau (speaker

sense), sehingga maksud yang diutarakan oleh penutur terikat dengan

situsasi tutur (Wijana, 1996: 3). Wijana (1996: 10-11) juga menyatakan

bahwa terdapat sejumlah aspek yang senantiasa harus dipertimbangkan

dalam studi pragmatik yang dikemukakan oleh Leech (1993: 20), di

antaranya ialah aspek mengenai tujuan tuturan.

Bentuk-bentuk kalimat yang diutarakan oleh penutur

dilatarbelakangi oleh maksud dan tujuan tertentu, sehingga di dalam

pragmatik, berbicara merupakan aktivitas yang berorientasi pada tujuan

33

(goal oriented activities). Adapun bentuk-bentuk kalimat yang bermacam-

macam dapat digunakan untuk menyatakan maksud yang sama, atau

bahkan sebaliknya. Oleh karena itu, mitra tutur harus mampu memahami

maksud yang disampaikan penutur guna mencapai tujuan tersebut.

Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa maksud adalah apa yang

dikehendaki penutur. Maksud tersebut dapat tersampaikan jika antara

penutur dan mitra tutur memiliki pemahaman dan pengetahuan yang

sama yang melatarbelakangi sebuah tuturan serta konteks situasi yang

terjadi dalam tuturan, sehingga apabila tidak terjadi kesinambungan di

dalamnya, maka maksud dari tuturan tersebut tidak akan tersampaikan

sebagaimana mestinya (Wijana, 2011: 15-16).

Kalimat adalah satuan gramatikal yang dibatasi oleh adanya jeda

panjang yang disertai nada akhir turun dan naik. Dalam wujud lisan

kalimat diucapkan dengan suara naik turun, keras lemah, disertai jeda,

dan diakhiri intonasi naik dan turun. Sedangkan dalam wujud tulisan

kalimat dimulai dengan huruf kapital dan diakhiri dengan tanda baca titik

(.), tanya (?), atau seru (!). Ramlan (2005: 23) membagi kalimat

berdasarkan bentuk sintaksisnya menjadi empat jenis yaitu: kalimat

deklaratif, kalimat interogatif, kalimat imperatif, dan kalimat ekslamatif.

a. Kalimat Deklaratif

Kalimat deklaratif (berita) adalah kalimat yang isinya

memberitahukan sesuatu kepada pembaca atau pendengar. Hal

tersebut sejalan dengan pendapat Cook (1971: 38) kalimat deklaratif

34

adalah kalimat yang dibentuk untuk menyiarkan informasi tanpa

mengharapkan respon tertentu. Selanjutnya Ramlan (2005: 27) kalimat

berita adalah kalimat yang fungsinya untuk memberitahukan sesuatu

kepada orang lain hingga tanggapan yang diharapkan hanyalah berupa

perhatian seperti tercermin pada pandangan mata yang menunjukan

adanya perhatian. Adapun ciri-ciri kalimat berita yaitu:

a) isinya memberitahukan tentang sesuatu;

b) intonasinya netral dengan nada suara berakhir turun;

c) tanggapan pembaca atau pendengar tidak ada (zero); dan

d) dalam tulisan, penulisan kalimat berita diawali dengan huruf kapital

dan diakhiri dengan tanda titik (.).

Contoh

12) Putri memiliki lima ekor kucing.13) Ada minuman segar di dalam kulkas.14) Suaramu bagus sekali.

Contoh (12) merupakan kalimat deklaratif dengan maksud

pengutaraannya untuk memberitakan. Kalimat tersebut dituturkan untuk

memberitakan bahwa penutur memiliki lima ekor kucing. Berbeda pada

contoh (13), jika diucapkan kepada seorang teman yang membutuhkan

minuman yang segar, maka tuturan tersebut merupakan tuturan

dengan kalimat deklaratif yang maksud pengutaraannya adalah

memerintah petutur. Tuturan tersebut dimaksudkan untuk memerintah

petutur agar mengambil minuman yang ada di dalam kulkas, sehingga

kalimat tersebut digunakan oleh penutur bukan hanya untuk

35

memberitakan bahwa ada minuman yang segar di dalam kulkas

melainkan tuturan tersebut dimaksudkan untuk memerintah lawan tutur

mengambil minuman yang ada di dalam kulkas. Tuturan tersebut

dilakukan oleh penutur agar petutur tidak merasa bahwa dirinya

diperintah.

Contoh (14) merupakan kalimat deklaratif yang sesuai dengan

maksud tuturannya, tetapi kata-kata yang menyusunnya tidak memiliki

makna yang sama dengan maksud penuturnya. kalimat Tersebut

dituturkan ketika petutur sedang bernyanyi dihadapannya, namun

penutur menggunakan contoh tersebut yang maksud pengutaraannya

bukan berarti memberitakan bahwa suara yang dimiliki oleh mitra tutur

bagus melainkan suara yang dimiliki oleh mitra tutur tidak bagus dan

bermaksud agar memerintah petutur untuk lebih baik diam daripada

bernyanyi.

b. Kalimat Interogatif

Kalimat interogatif (tanya) adalah kalimat yang berisi pertanyaan

seseorang kepada orang lain dengan tujuan memperoleh jawaban dari

pihak yang ditanya. Adapun ciri-ciri kalimat tanya yaitu:

a) isinya menanyakan sesuatu;

b) intonasi tanya dengan nada suara naik pada akhir kalimat;

c) tanggapannya berupa jawaban;

d) dapat pula menggunakan partikel –kah yang berfungsi untuk

memperluas pertanyaan; dan

36

e) dalam tulisan, kalimat interogatif diawali dengan huruf kapital dan

diakhiri dengan tanda tanya (?).

Contoh

15) Dimanakah letak pulau Sumatera?16) Dimana piringnya?17) Kakak mau beli kue tidak?

Contoh (15) merupakan kalimat interogatif yang maksud

pengutaraannya hanya untuk bertanya. Kalimat tersebut digunakan

dengan maksud bertanya untuk menerima penjelasan dimana letak

pulau Sumatera tersebut. Berbeda dengan contoh (16), kalimat tersebut

merupakan kalimat interogatif yang tidak sesuai dengan maksud

pengutaraannya, tetapi makna kata-kata yang menyusunnya sesuai

dengan apa yang dimaksudkan penutur. Jika tuturan tersebut dilakukan

oleh seorang ibu kepada seorang anak, maka tuturan tersebut tidak

hanya semata-mata untuk menanyakan dimana letak piring tersebut,

sehingga pada contoh tersebut merupakan tuturan yang bukan hanya

bermaksud untuk bertanya saja melainkan memerintah mitra tutur untuk

mengambilkan piring yang dimaksud.

Contoh (17) merupakan kalimat interogatif. Kalimat tersebut

dituturkan oleh seorang penjual kue dan pada saat itu melihat

seseorang yang lewat dihadapannya, sehingga maksud tuturan

tersebut bukan hanya semata-mata untuk bertanya kepada mitra tutur

melainkan menawarkan kue yang telah disajikannya kepada mitra tutur.

37

c. Kalimat Imperatif

Kalimat imperatif (perintah) adalah kalimat yang isinya menyuruh

memberikan perintah kepada petutur untuk melakukan sesuatu yang

dikehendaki penutur. Ramlan (2005: 39) mengemukakan bahwa

berdasarkan fungsinya dalam hubungan situasi, kalimat perintah

mengharapkan tanggapan yang berupa tindakan dari orang yang diajak

berbicara. Adapun ciri-ciri kalimat perintah yaitu:

a) isinya perintah untuk melakukan sesuatu berupa permohonan,

ajakan, larangan, ejekan, atau harapan;

b) intonasi perintah dengan nada suara naik pada akhir kalimat;

c) tanggapannya berupa perbuatan;

d) dapat pula menggunakan partikel –lah;

e) kata kerja yang mendukung isi perintah biasanya merupakan kata

dasar; dan

f) dalam tulisan, kalimat imperatif diakhiri dengan tanda seru (!).

Contoh

18) Makanlah nak!19) Radionya keraskan lagi! Aku mau belajar besok ada

ulangan.20) Tolong letakkan bunga itu di halaman!

Contoh (18) merupakan kalimat imperatif. kalimat Tersebut

merupakan kalimat yang dituturkan oleh ibu kepada anak yang isi

tuturannya berupa perintah untuk makan. Contoh (19) merupakan

kalimat imperatif namun makna kalimat tidak sesuai dengan maksud

38

pengutaraannya. Kalimat tersebut jika diutarakan oleh seorang kakak

kepada seorang adiknya, maka tuturan tersebut merupakan kalimat

imperatif. Tuturan tersebut merupakan tuturan yang berisi permintaan

agar radio yang telah didengarkan oleh adiknya dimatikan atau

memerintah mitra tutur agar mematikan radio yang sedang

didengarkan. Contoh (20) merupakan kalimat imperatif yang maksud

pengutaraannya adalah permintaan penutur terhadap petutur agar

meletakkan bungan di halaman.

d. Kalimat Ekslamatif

Kalimat ekslamatif (seruan) adalah kalimat yang isinya

mengungkapkan kekaguman perasaan. Kalimat seruan disebut juga

kalimat interjeksi. Adapun ciri-ciri kalimat seruan yaitu:

a) mengungkapkan rasa kagum seperti pujian, terkejut, takut, menyapa,

atau menawarkan sesuatu;

b) urutan kalimatnya yaitu predikat + subjek;

c) biasanya terdapat partikel –nya pada predikat;

d) biasanya terdapat kata seru di depan predikat;

e) intonasi menunjukan keheranan dengan diakhiri nada naik; dan

f) dalam tulisan, Kalimat ekslamatif diakhiri dengan tanda seru (!).

Contoh

21) Pintarnya anak itu!22) Alangkah indahnya rambutmu nak!

39

Contoh (21) merupakan kalimat ekslamatif yang maksud

pengutaraannya mengungkapkan kekaguman. Kalimat tersebut

digunakan dengan maksud mengagumi jika benar-benar “anak itu

pintar”. Berbeda dengan contoh (22), kalimat tersebut merupakan

kalimat ekslamatif yang tidak sesuai dengan maksud pengutaraannya,

tetapi makna kata-kata yang menyusunnya sesuai dengan apa yang

dimaksudkan penutur. Jika tuturan tersebut dilakukan oleh seorang ibu

kepada anak perempuannya dalam kondisi rambut acak-acakan, maka

tuturan merupakan tuturan yang bermaksud untuk memerintah anak

agar merapikan rambutnya.

6. Pengertian Pamflet

Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (Poerwadarminta, 2011:

1006) disebutkan bahwa pamflet adalah surat selebaran. Pamflet diartikan

sebagai tulisan yang dapat disertai dengan gambar atau tidak disertai

gambar, tanpa penyampulan maupun penjilidan, yang dicantumkan pada

selembar kertas di satu sisi atau kedua sisinya yang bertujuan untuk

mempengaruhi massa. Adapun menurut arti yang negatif (peyoratif),

pamflet adalah surat selebaran untuk menyerang seseorang atau mitra

tutur dengan cara membusuk-busukkan atau menghinanya. Pamflet juga

telah menjadi alat penting bagi protes politik dan kampanye.

Pamflet adalah tulisan yang dapat disertai dengan gambar atau

tidak, tanpa penyampulan maupun penjilidan, yang dicantumkan pada

selembar kertas di satu sisi atau kedua sisinya, lalu dilipat atau dipotong

40

setengah, sepertiga, atau bahkan seperempatnya, sehingga terlihat lebih

kecil (dapat juga disebut selebaran). Pamflet dapat pula terdiri dari

beberapa lembar kertas yang dilipat atau disatukan secara sederhana

sehingga menjadi sebuah buku kecil. Untuk dapat dikategorikan sebagai

sebuah pamflet, UNESCO mendefinisikannya sebagai keperluan publikasi

yang bisa terdiri dari 5 sampai 48 halaman tanpa sampul, bila lebih dari itu

disebut buku. Disebabkan oleh biayanya yang murah dan kemudahan

produksi serta distribusi, pamflet sering digunakan untuk mempopulerkan

ide-ide politik dan agama, atau untuk menyebarkan berita dan promosi /

iklan.

Pamflet adalah sebuah tulisan yang berisi tentang suatu informasi

yang terdiri dari tulisan termasuk gambar didalamnya yang umumnya

dibuat pada selebaran dan tidak dijilid atau dibukukan. Didalam pamflet

sendiri penggunaan gambar tidak wajib disertakan, gambar hanya

dijadikan tambahan untuk lebih menarik minat orang-orang dengan

pamflet yang diberikan. Pamflet umumnya digunakan sebagai media

promosi bagi beberapa perusahaan untuk memperkenalkan produknya ke

masyarakat. Banyak yang menggunakannya sebagai sarana promosi

karena selain menghemat pengeluaran juga mudah dibuat, hanya

memerlukan keterampilan berbahasa yang baik serta menarik. Tujuan dari

pamflet sendiri berbeda-beda antara satu dengan yang lainnya,

tergantung pamflet jenis apa yang dibuat. Misalnya Pamflet tentang

promosi, maka memiliki tujuan untuk memberikan informasi

41

mengenaiproduk, berbeda dengan pamflet tentang agama, biasanya berisi

tentang ilmu-ilmu agama.

Pamflet memiliki beberapa ciri sebagai berikut:

a. menggunakan bahasa yang singkat, padat dan jelas;

b. bersifat persuasif, artinya berisi ajakan untuk membeli produk atau

mentaati sesuatu;

c. ditulis dengan jelas supaya mudah dibaca; dan

d. hal-hal yang disampaikan biasanya mengenai hal-hal baru atau

terupdate.

Berikut ini adalah jenis-jenis pamflet yang terdapat di sekitar kita.

a. Pamflet Politik, berisi mengenai hal-hal yang berbau politik seperti

ajakan untuk memilih calon-calon pemimpin dan lainnya.

b. Pamflet Pendidikan, berisi tentang informasi-informasi yang

berhubungan dengan dunia pendidikan seperti contohnya acara

seminar, lomba-lomba akademik dan lainnya.

c. Pamflet Niaga, berisi mengenai informasi mengenai produk-produk,

disertai dengan kalimat ajakan untuk membeli produk tersebut.

d. Pamflet kegiatan, berisi tentang berbagai acara atau kegiatan seperti

misalnya seminar, pentas seni dan lainnya.

C. Kerangka Pikir

Penelitian ini merupakan penelitian pragmatik yang menelaah salah

satu unsur pragmatik, yaitu praanggapan yang terdapat pada pamflet

sosialisasi pelestarian lingkungan di Kabupaten Wakatobi. Selanjutnya

42

diklasifikasi berdasarkan jenis-jenis praanggapannya. Jenis praanggapan

tersebut meliputi praanggapan eksistensial, praanggapan faktif,

praanggapan leksikal, praanggapan nonfaktif, praanggapan struktural, dan

praanggapan konterfaktual.

Dalam memahami suatu bahasa yang dikaji menurut penuturnya,

tidak cukup hanya diklasifikasikan berdasarkan jenis praanggapannya

saja, tetapi juga harus bisa dipahami berdasarkan bentuk kalimat yang

digunakan dalam pamflet tersebut. Tujuannya agar diketahui latar

belakang terjadinya tuturan tersebut. Adapun jenis-jenis kalimat tersebut

yaitu: kalimat deklaratif, kalimat imperatif, kalimat interogatif, dan kalimat

ekslamatif. Penelitian selanjutnya mengarah pada pengungkapan maksud

yang terkandung dalam pamflet sosialisasi pelestarian lingkungan di

Kabupaten Wakatobi yang meliputi memberitakan, mengajak, memerintah,

membujuk, menanyakan, dan mengapresiasi.

Pada tahap akhir peneliti menganalisis penggunaan praanggapan,

bentuk kalimat, dan maksud kalimat dalam pamflet pada tiap-tiap penerbit

pamflet sosialisasi pelestarian lingkungan di Kabupaten Wakatobi. Hal

demikian dapat digambarkan melalui bagan kerangka pikir berikut ini.

43

Bagan Kerangka Pikir

Maksud

1. Memberitakan2. Mengajak3. Memerintah4. Membujuk5. Menanyakan6. Mengapresiasi

Jenis Praanggapan

1. Eksistensial2. Faktif3. Leksikal4. Nonfaktif5. Struktural6. konterfaktual

Bentuk Kalimat

1. Deklaratif2. Interogatif3. Imperatif4. Ekslamatif

Praanggapan dalam PamfletSosialisasi Pelestarian

Lingkungan di KabupatenWakatobi

Teks dalam Pamflet Sosialisasi PelestarianLingkungan di Kabupaten Wakatobi

44

D. Defenisi Operasional

Untuk menghindari perbedaan penafisran antara penulis dengan

pembaca, maka peneliti perlu mengemukakan definisi operasional berikut

ini.

1. Praanggapan adalah kesimpulan atau asumsi awal penutur sebelum

melakukan tuturan bahwa apa yang akan disampaikan juga dipahami

oleh petutur.

2. Kalimat adalah satuan gramatikal yang dibatasi oleh adanya jeda

panjang yang disertai nada akhir turun dan naik sedangkan dalam

wujud tulisan kalimat dimulai dengan huruf kapital dan diakhiri dengan

tanda baca titik (.), tanya (?), atau seru (!).

3. Maksud adalah sesuatu yang dikehendaki, atau dapat diartikan pula

sebagai tujuan.

4. Teks adalah satuan bahasa berupa bahasa tulis maupun berupa

bahasa lisan yang dihasilkan oleh interaksi atau komunikasi manusia.

5. Pamflet adalah media komunikasi yang bersifat visual (tulisan) yang

berisi tentang suatu informasi yang terdiri dari tulisan termasuk

gambar didalamnya yang umumnya dibuat pada selebaran dan tidak

dijilid atau dibukukan.

45

BAB III

METODE PENELITIAN

A. Jenis Penelitian dan Pendekatan

Penelitian ini termasuk penelitian deskriptif kualitatif. Artinya dalam

penelitian ini peneliti mengamati dan melakukan analisis terhadap kalimat-

kalimat dalam Pamflet Sosialisasi Pelestarian Lingkungan di Kabupaten

Wakatobi melalui pendekatan pragmatik. Kemudian, mendeskripsikan

jenis praanggapan, bentuk kalimat dan maksud, dan penggunaan

praanggapan, bentuk kalimat dan maksud kalimat yang terdapat pada

pamflet pada tiap-tiap penerbit pamflet sosialisasi pelestarian lingkungan

di Kabupaten Wakatobi.

Penelitian ini bersifat deskriptif karena mendeskripsikan jenis

praanggapan, menjelaskan bentuk kalimat dan maksud, dan menguraikan

penggunaan praanggapan, bentuk kalimat dan maksud kalimat yang

terdapat pada pamflet pada tiap-tiap penerbit pamflet sosialisasi

pelestarian lingkungan di Kabupaten Wakatobi.

B. Sumber Data dan Jenis Data

Sumber data yang digunakan untuk penelitian ini adalah Pamflet

Sosialisasi Pelestarian Lingkungan di Kabupaten Wakatobi sedangkan

jenis data penelitian ini adalah data tulisan, berupa kalimat-kalimat dalam

pamflet yang mengandung praanggapan.

46

C. Lokasi dan Waktu Penelitian

Lokasi penelitan yaitu wilayah Pulau Wangi-wangi dan sekitarnya,

yang meliputi semua ruang publik tempat terdapat pamflet sosialisasi

pelestarian lingkungan, seperti: Pantai Marina, Pasar Pagi Wanci, Pasar

Sentral Mandati, Pelabuhan Nelayan Bajo, dan pos-pos pusat informasi.

Peneliti menetap di lokasi penelitian untuk mengumpulkan data yang

diperlukan selama tiga minggu pada bulan agustus 2017.

D. Metode dan Teknik Pengumpulan Data

Sebelum melakukan penelitian, penulis memilih dan menentukan

metode dan teknik yang tepat dan mungkin dilaksanakan guna mencapai

tujuan penelitian, sehingga metode juga harus disesuaikan dengan teori

yang digunakan. Teknik dapat diartikan sebagai suatu cara yang kita

gunakan untuk memperoleh data.

Penulis melakukan pengamatan dan menyimak penggunaan

bahasa yang terdapat dalam pamflet-pamflet sosialisasi pelestarian

lingkungan di Kabupaten Wakatobi. Adapun metode simak dilakukan

dengan menyimak gambar-gambar atau foto-foto pamflet yang diperoleh

dari beberapa sumber yang berbeda, yaitu: pertama, berupa pamflet yang

dipajang di berbagai tempat utamanya ruang publik di Pulau Wangi-wangi,

Kabupaten Wakatobi. Kedua, media elektronik berupa internet dan media

sosial.

Metode tersebut, teknik yang dapat digunakan untuk melengkapi

metode simak tersebut antara lain.

47

1. Teknik Rekam

Teknik rekam yang dimaksud dalam penelitian ini yaitu

perekaman visual dengan cara memotret pamflet-pamflet sosialisasi

pelestarian lingkungan di Kabupaten Wakatobi. Perekaman dilakukan

dengan bantuan alat perekam, yakni berupa smart phone.

2. Teknik Catat

Data-data yang telah dikumpulkan melalui teknik rekam

selanjutnya dilakukan pencatatan pada kartu data.

E. Teknik Analisis Data

Menurut Mahsun (2012: 117), tahapan analisis data merupakan

tahapan yang sangat menentukan, karena kaidah yang mengatur

keberadaan objek penelitian harus sudah diperoleh. Metode yang

digunakan pada tahap ini ialah metode deskriptif. Metode deskriptif yaitu

penggambaran kenyataan yang ditemukan sebagaimana adanya. Tahap-

tahap analisis yang digunakan sebagai berikut:

1. mengidentifikasi kalimat-kalimat yang mengandung praanggapan;

2. mengklasifikasi data berdasarkan permasalahan yang ada, yakni

jenis-jenis presuposisi dan bentuk kalimatnya;

3. menganalisis data dengan pendeskripsian secara mendetail

permasalahan yang tedapat dalam data yang telah dikumpulkan

berdasarkan teori yang berkaitan dengan praanggapan sebagai dasar

pedoman analisis; dan

4. penyajian hasil analisis data. Salah satu tahap penyajian hasil analisis

48

data dilakukan secara informal, yakni mendeskripsikan hasil analisis

dengan menggunakan perumusan yang dituangkan dalam bentuk

tulisan dengan menggunakan kata-kata biasa.

49

BAB IV

HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

Secara umum penelitian ini berkaitan dengan aspek kebahasaan

yang terjadi di wilayah Kabupaten Wakatobi Propinsi Sulawesi Tenggara.

Aspek kebahasaan tersebut yakni jenis praanggapan dan penggunaan

modus pada pamflet sosialisasi pelestarian lingkungan.

Penelitian ini mengungkapkan jenis praanggapan pada pamflet

sosialisasi pelestarian lingkungan yaitu: (1) praanggapan eksistensial, (2)

praanggapan faktif, (3) praanggapan leksikal, (4) praanggapan struktural,

dan (5) praanggapan konterfaktual sedangkan praanggapan nonfaktif

tidak ditemukan. Selain itu penelitian juga mengungkapkan penggunaan

bentuk kalimat pada pamflet sosialisasi pelestarian lingkungan yaitu: (1)

kalimat deklaratif, (2) kalimat imperatif, (3) kalimat interogatif, dan (4)

kalimat ekslamatif sedangkan maksud pengutaraannya untuk memerintah

masyarakat tentang pentingnya melestarikan lingkungan. Untuk lebih

jelasnya akan diuraikan pada pembahasan berikut.

A. Praanggapan dan Bentuk Kalimat pada Pamflet Sosialisasi

Pelestarian Lingkungan di Kabupaten Wakatobi

Pada dasarnya semua pernyataan memiliki praanggapan, yaitu

rujukan atau referensi dasar. Rujukan inilah yang menyebabkan suatu

pernyataan dapat diterima atau dimengerti oleh pasangan bicara, yang

pada gilirannya komunikasi tersebut akan dapat berlangsung dengan

50

lancar. “Rujukan“ inilah yang dimaksud sebagai “praanggapan“, yaitu

anggapan dasar atau penyimpulan dasar mengenai konteks dan situasi

berbahasa yang membuat bentuk bahasa menjadi bermakna bagi

pendengar atau pembaca. Praanggapan membantu pembicara

menentukan bentuk-bentuk bahasa (kalimat) untuk mengungkapkan

makna atau pesan yang ingin dimaksudkan. Jadi, semua pernyataan atau

ungkapan kalimat, baik yang bersifat positif maupun negatif, tetap

mengandung anggapan dasar sebagai isi dan substansi dari kalimat

tersebut. Begitupun dengan kalimat-kalimat yang terdapat pada pamflet

sosialisasi pelestarian lingkungan di Kabupaten Wakatobi ditemukan lima

jenis praanggapan.

1. Praanggapan Eksistensial

Praanggapan eksistensial adalah praanggapan yang

menunjukkan eksistensi/keberadaan/jati diri referen yang

diungkapkan dengan kata yang definit. Penggunaan praanggapan

eksistensial dapat dilihat pada contoh berikut ini.

Contoh 1

(a) Habis senam pungut sampah.(b) Keren...!!!

Lokasi : Pantai Marina

Partisipan : LSM Kamelia, dan masyrakat pengunjung

Pantai MarinaWaktu : 2017Konteks : pamflet dipegang oleh anak sekolah dasar

(SD) pada saat senam pagi.

51

Contoh (1) mencirikan praanggapan eksistensial. Keberadaan

praanggapan eksistensial tidak hanya diasumsikan pada kalimat-

kalimat, akan tetapi dapat lebih diperluas dengan mengidentifikasi

keberadaan sesuatu dalam sebuah teks. Penanda praanggapan

eksistensial pada contoh di atas merujuk pada satuan bahasa

sampah, yang mengindikasikan bahwa ada sampah di pantai marina.

Jadi praanggapannya, yaitu ada sampah atau sampah berserakan di

Pantai Marina.

Bentuk kalimat yang digunakan pada butir (a) berbentuk

kalimat deklaratif. Hal ini tampak pada dua hal, yang pertama; isi

kalimat tersebut yang meberitakan suatu tindakan, kedua; fungsinya

untuk memberitahukan kepada orang lain hingga tanggapan yang

diharapkan hanyalah berupa perhatian. LSM Kamelia sebagai

penerbit pamflet menggunakan jasa anak-anak untuk memajang

pamflet dengan tujuan memberikan efek ketersinggungan kepada

pengunjung Pantai Marina. Asumsinya bahwa anak-anak saja sudah

turut berpartisipasi menjaga kebersihan, apalagi orang dewasa. Jika

merujuk pada konteks yang melingkupi contoh (1), maka kalimat

tersebut dimaksudkan untuk memerintah petutur agar turut serta

memelihara kebersihan Pantai Marina. Artinya bahwa LSM

menyampaikan pesan melalui pamflet secara tak langsung. Hal ini

dilakukan oleh penutur agar petutur tidak merasa bahwa dirinya

diperintah.

52

Adapun penggunaan bentuk kalimat pada butir (b) berbentuk

kalimat ekslamatif. Hal ini tampak pada penggunaan satuan bahasa

keren dan tanda seru (!). Satuan bahasa keren bermakna tampak

gagah dan tangkas. Adapun penggunaan satuan bahasa keren...!!!

pada contoh (2) bermakna pujian terhadap pengunjung Pantai

Marina jika melakukan hal sebagaimana pada butir (a). LSM Kamelia

sebagai penerbit pamflet menggunakan jasa anak-anak untuk

memajang pamflet dengan tujuan memberikan efek ketersinggungan

kepada pengunjung Pantai Marina. Asumsinya bahwa anak-anak

saja sudah turut berpartisipasi menjaga kebersihan, apalagi orang

dewasa. Berkaitan dengan penjelasan tersebut, maka contoh (2)

butir (b) digunakan oleh penutur untuk memerintah petutur

(pengunjung Pantai Marina) agar ikut serta dalam memelihara

kebersihan Pantai Marina. Artinya bahwa kalimat ekslamatif

digunakan penutur untuk menyampaikan pesan melalui pamflet

secara tak langsung. Hal ini dilakukan oleh penutur agar mitra tutur

tidak merasa bahwa dirinya diperintah.

Contoh 2

(a)Wakatobi bersih tanpa sampah.(b)Stop buang sampah ke laut.

Lokasi : Pantai MarinaPartisipan : LSM Kamelia, dan masyrakat pengunjung

Pantai MarinaWaktu : 2017Konteks : pamflet dipegang oleh anak sekolah dasar

(SD) pada saat senam pagi

53

Praanggapan eksistensial pada contoh (2) terdapat pada butir

(a). Keberadaan praanggapan tersebut tidak hanya diasumsikan

pada penanda satuan bahasa, akan tetapi dapat lebih diperluas

dengan mengidentifikasi keberadaan sesuatu hal melalui konteks

situasi dan pemahaman bersama. Sebagaimana diketahui bahwa

suatu kegiatan senam pagi yang melibatkan banyak orang selalu

menyisakan sampah. Sehingga dapat dipahami praanggapannya

yakni ada sampah. pernyataan tersebut bermakna jika ingin

mewujudkan wakatobi bersih, maka harus meniadakan sampah.

Bentuk kalimat yang digunakan pada butir (a) berbentuk

kalimat deklaratif. Hal ini tampak pada konten kalimat tersebut

berupa pernyataan. Pamflet pada contoh (2) diterbitkan oleh LSM

Kamelia, namun dalam upaya menyosialisasikan pelestarian

lingkungan melibatkan anak-anak dengan maksud pesan yang

disampaikan tercapai. Peran anak-anak dalam konteks ini sangatlah

penting sebab dapat menghasilkan beberapa manfaat. Manfaat

tersebut diantaranya: pendidikan anak sejak dini, memicu perhatian,

dan pengaruh psikologis kepada orang dewasa. Jadi, merujuk pada

konteks yang melingkupi contoh (3), maka kalimat tersebut

dimaksudkan untuk memerintah petutur agar turut serta memelihara

kebersihan Pantai Marina. Artinya bahwa LSM menyampaikan pesan

melalui pamflet secara tak langsung. Hal ini dilakukan oleh penutur

agar petutur tidak merasa bahwa dirinya diperintah.

54

Contoh 3

Sampahmu milikmu!!

Lokasi : Pantai MarinaPartisipan : LSM Kamelia, dan masyrakat pengunjung

Pantai MarinaWaktu : 2017Konteks : pamflet dipegang oleh anak perempuan dan

bapaknya pada saat senam pagi.

Contoh (3) memenuhi ciri praanggapan eksistensial yaitu

menunjukan kepemilikan dan keberadaan dari pernyataan tersebut.

Ciri yang menunjukan kepemilikan ditandai oleh satuan bahasa

sampahmu. Jika ditinjau dari aspek makna maka satuan bahasa

sampahmu bermakna kamu memiliki sampah, sehingga kehadiran

satuan bahasa milikmu hanya sebagai penegasan. Selanjutnya, ciri

yang menunjukan keberadaan yaitu pada satuan lingual sampahmu

yang dihubungkan dengan konteks. Konteks yang dimaksud adalah

situasi senam pagi pada biasanya menyisakan banyak sampah.

Berdasarkan penjelasan tersebut bisa diketahui praanggapannya

yakni ada sampah atau banyak sampah atau sapah berserakan.

Sehingga pernyataan tersebut dapat dimaknai bahwa sampah

merupakan tanggungjawab dari manusia itu sendiri untuk

membersihkannya.

Bentuk kalimat yang digunakan pada contoh (3) berbentuk

kalimat imperatif. Hal ini ditandai dengan penggunaan tanda seru (!).

Pamflet contoh (3) sampahmu milikmu!! diterbitkan oleh LSM

Kamelia. Lembaga tersebut melibatkan pihak lain (anak perempuan

55

dan bapaknya) dalam upaya menyosialisasikan kebersihan

lingkungan. Peran anak-anak sangat penting sebab dapat

menghasilkan beberapa manfaat. Manfaat tersebut diantaranya:

pendidikan anak sejak dini, memicu perhatian, dan pengaruh

psikologis kepada orang dewasa. Berkaitan dengan penjelasan

tersebut, maka contoh (5) digunakan oleh penutur bukan hanya

untuk meperingatkan kepemilikan sampah melainkan tuturan

tersebut dimaksudkan untuk memerintah petutur (pengunjung Pantai

Marina) untuk menjaga kebersihan. Artinya bahwa kalimat imperatif

digunakan penutur untuk menyampaikan pesan melalui pamflet

secara langsung.

Contoh 4

Nelayan yang gemar membom dan membius ikan adalahmusuh alam.

Lokasi : Pantai MarinaPartisipan : LSM Kamelia, dan masyrakat pengunjung

Pantai MarinaWaktu : 2017Konteks : pamflet dipegang oleh seorang pria dewasa

pada saat senam pagi

Contoh (4) mencirikan praanggapan eksistensial, walaupun

tidak terdapat kalimat yang menunjukan kepemilikan. Praanggapan

eksistensial dapat dipahami lebih luas lagi keberadaan sesuatu dari

pernyataan pada kalimat tersebut. Keberadaan yang dimaksud

adalah nelayan yang gemar mengebom dan membius ikan. Pada

lanjutan kalimatnya merupakan dakwaan terhadap nelayan tersebut

56

sebagai musuh alam. Dari penjelasan diatas dapat dipahami

praanggapannya yaitu ada nelayan yang sering mengebom dan

membius ikan atau nelayan belum memiliki kesadaran pentingnya

melestarikan lingkungan. Sehingga pernyataan tersebut dapat

dimaknai bahwa nelayan yang merusak biota laut mesti diperangi,

dalam hal ini perlunya kesadaran dari masyarakat untuk saling

mengingatkan betapa pentingnya melestarikan lingkungan.

Bentuk kalimat yang digunakan pada contoh (4) berbentuk

kalimat deklaratif. Hal ini tampak pada konten kalimat tersebut

berupa pernyataan. Satuan bahasa nelayan yang gemar membom

dan membius ikan merupakan pihak yang dianggap memusuhi alam.

Satuan bahasa alam bermakna lingkungan kehidupan. Secara

spesifik makna alam pada contoh (4) adalah manusia yang peduli

terhadap kelestarian kekayaan laut. Sejalan dengan penjelasan

tersebut, maka maksud kalimat tersebut adalah memerintah

pengunjung pantai Marina agar melestarikan kekayaan laut. Artinya

bahwa LSM menyampaikan pesan melalui pamflet secara tak

langsung.

Contoh 5

(a) Tak kenal maka tak sayang.(b) Lihatlah lebih dalam.(c) Lestarikan kekayaan lautmu.

Lokasi : perkampungan BajoPartisipan : LSM, dan masyarakat BajoWaktu : 2017Konteks : pamflet dipajang pada pusat informasi di

57

pelabuhan nelayan. Pelabuhan selalu ramaididatangi oleh masyarakat bajo yangmenunggu kerabat mereka pulang darimelaut. Selain itu banyak juga kalanganpenjual ikan yang menunggu nelayan danhendak membeli hasil tangkapannya. Isipamflet disertai gambar ikan-ikan dan terumbukarang.

Contoh (5), ungkapan tak kenal maka tak sayang pada butir

(a) merupakan bagian pengantar yang mengarahkan petutur untuk

mengenali. Pada bagian pengantar ini belum jelas apa yang akan

dikenali hingga sampai pada butir (b) yaitu lihatlah lebih dalam.

Kalimat tersebut menunjukan penjelasan yang masih samar-samar,

namun dapat dipahami melalui gambar ikan-ikan dan terumbu

karang dalam pamflet. Selain itu pada butir (c) disebutkan lestarikan

kekayaan lautmu, mengindikasikan maksud dari kalimat-kalimat

sebelumnya yaitu keberadaan kekayaan laut.

Merujuk pada ciri praanggpan eksistensial, maka

keberadaan jadi diri referen terletak pada kalimat butir (a) tak kenal

maka tak sayang dan butir (b) lihatlah lebih dalam. Adapun makna

pernyataan tersebut adalah menyuruh menyadari keberadaan

kekayaan laut. Berdasarkan penjelasan diatas dapat diketahui

praanggapannya yaitu ada kekayaan laut atau kekayaan laut belum

mendapat perhatian.

Bentuk kalimat yang digunakan pada contoh (5) butir (b)

berbentuk kalimat imperatif. Penanda kalimat imperatif pada butir (b)

58

tampak pada penggunaan partikel –lah pada satuan bahasa lihatlah

yang bermakna perintah untuk melihat. Secara konvensional satuan

bahasa lihatlah bermakna perintah untuk menjaga tetap seperti

keadaannya semula. Senada dengan uraian tersebut dapat dipahami

bahwa penutur bermaksud memerintah petutur khususnya

masyarakat Bajo agar menjaga kelestarian kekayaan laut. Artinya

bahwa kalimat imperatif digunakan penutur untuk menyampaikan

pesan melalui pamflet secara langsung.

Contoh 6

(a) Jaga dan cintai terumbu karang.(b) Mereka ada agar kami ada.

Lokasi : perkampugan BajoPartisipan : LSM, dan masyarakat BajoWaktu : 2017Konteks : pamflet dipajang pada pusat informasi di pos

informasi wisata komplek pendidikan dekatpintu gerbang perkampungan bajo. Isi pamfletdisertai gambar ikan-ikan dan terumbukarang.

Kedua kalimat pada contoh (6) ini mencirikan satu jenis

praanggapan yang sama yakni praanggapan eksistensial. Sebagai

penanda praanggapan eksistensial pada butir (a) yaitu satuan

bahasa terumbu karang. Adapun penanda praanggapan eksistensial

pada butir (b) tampak pada penggunaan satuan bahasa mereka ada

yang menunjukan eksistensi sesuatu walaupun tidak disebutkan

secara definit. Penggunaan satuan bahasa mereka ada merujuk

pada satuan bahasa terumbu karang pada butir (a). Sehingga dapat

59

diketahui praanggapannya yaitu ada terumbu karang atau terumbu

karang sebagai rumah ikan-ikan. Berdasarkan penjelasan tersebut

dapat dimaknai bahwa melestarikan terumbu karang dengan

sepenuh hati berkonsekuensi pada tersedianya ikan.

Bentuk kalimat yang digunakan pada butir (a) berbentuk

kalimat imperatif. Hal ini tampak pada penggunaan satuan bahasa

jaga dan cintai. Satuan bahasa jaga bermakna mempertahankan

keselamatan, dan satuan bahasa cintai bermakna menyuruh untuk

menyayangi. Berkaitan dengan penjelasan tersebut, maka contoh (6)

butir (a) digunakan oleh penutur untuk memerintah petutur

(pengunjung pasar) agar melestarikan terumbu karang. Artinya

bahwa kalimat imperatif digunakan penutur untuk menyampaikan

pesan melalui pamflet secara langsung.

Adapun penggunaan bentuk kalimat pada butir (b) berbentuk

kalimat deklaratif. Hal ini tampak pada konten kalimat berupa

pernyataan. Sebagai penandanya yaitu satuan bahasa mereka ada,

kemudian diikiuti oleh satuan bahasa agar kami ada. Satuan bahasa

mereka ada merujuk pada butir (a) yaitu terumbu karang sedangkan

kami ada merujuk pada gambar pamflet yaitu ikan. Merujuk pada

konteks yang melingkupi contoh (6), maka dapat dipahami bahwa

LSM (penutur) bermaksud memerintah masyarakat (petutur) agar

menjaga terumbu karang. Berdasarkan penjelasan tersebut, maka

dapat dipahami bahwa penutur menggunakan kalimat deklaratif yang

60

dimaksudkan untuk memerintah petutur. Artinya bahwa penutur

menyampaikan pesan melalui pamflet secara tak langsung. Hal ini

dilakukan oleh penutur agar petutur tidak merasa bahwa dirinya

diperintah.

Contoh 7

Jaga terumbu karang untuk anak cucu kita.

Lokasi : Pasar Sore WanciPartisipan : Kementerian Kelautan dan Perikanan, dan

Pengunjung pasarWaktu : 2017Konteks : pamflet dipajang pada pusat informasi dekat

penjualan ikan

Contoh (7) mencirikan praanggapan eksistensial, walaupun

tidak terdapat kalimat yang menunjukan kepemilikan. Praanggapan

eksistensial dapat dipahami lebih luas lagi keberadaan sesuatu dari

pernyataan pada kalimat tersebut. Hal ini ditandai dengan

penggunaan satuan bahasa jaga terumbu karang yang menunjukan

keberadaan terumbu karang. Dari penjelasan tersebut dapat

dipahami praanggapannya yaitu ada terumbu karang. Adapun

makna pernyataan tersebut adalah melestarikan terumbu karang

berkonsekuensi pada tersedianya kekayaan laut hingga masa

depan.

Bentuk kalimat yang digunakan pada contoh (7) berbentuk

kalimat imperatif. Hal ini tampak pada penggunaan satuan bahasa

jaga. Satuan bahasa jaga bermakna mempertahankan keselamatan.

Dengan demikian kalimat jaga terumbu karang untuk anak cucu kita

61

dapat dipahami bahwa Kementerian Kelautan dan Perikanan

sebagai penerbit pamflet berupaya memerintah pengunjung pasar

sore (penutur) agar memelihara terumbu karang demi kelanjutan

ekosistem perikanan sehingga dapat dinikmati hingga generasi

mendatang. Berkaitan dengan penjelasan tersebut, maka contoh (7)

digunakan oleh penutur untuk memerintah petutur (pengunjung

pasar) agar memelihara terumbu karang. Artinya bahwa kalimat

imperatif digunakan penutur untuk menyampaikan pesan melalui

pamflet secara langsung.

Contoh 8

(a) Terimakasih atas partisipasinya dalam melestarikanterumbu karang.

(b) Terumbu karang sehat, ikan berlimpah, masyarakatsejahtera.

Lokasi : Pasar Pagi WanciPartisipan : Kementerian Kelautan dan Perikanan,

Coremap II, dan pengunjung pasarWaktu : 2017Konteks : pamflet dipajang pada pusat informasi

Praanggapan eksistensial pada contoh (8) terdapat pada butir

(b). Sebagai penanda praanggapan eksistensial pada butir (b) yaitu

satuan bahasa terumbu karang. Satuan bahasa terumbu karang

disebutkan secara definit sebagai eksistensi jadi diri dengan hadirnya

satuan bahasa sehat, lalu diikuti penjelasan pada bagian kalimat

selanjutnya yakni ikan berlimpah, masyarakat sejahtera. Sehingga

dapat diketahui praanggapannya yaitu ada terumbu karang.

Berdasarkan pendeskripsian tersebut dapat dimaknai bahwa

62

penerbit pamflet melalui pamflet memberikan gambaran tentang

dampak baik ketika terumbu karang sehat. Dengan demikian bisa

lahir kesadaran masyarakat untuk melestarikan terumbu karang demi

kepentingan masyarakat itu sendiri.

Bentuk kalimat yang digunakan pada contoh (8) butir (b)

berbentuk kalimat deklaratif. Hal ini tampak pada konten kalimat

berupa pernyataan yang saling keterkaitan. Konten kalimat tersebut

memiliki hubungan konsekuensi logis satu dengan yang lain yaitu

satuan bahasa terumbu karang mengakibatkan ikan berlimpah, ikan

berlimpah mengakibatkan masyarakat sejahtera. Kalimat tersebut

memberikan pengetahuan pentingnya menjaga terumbu karang.

Berkenaan dengan penjelasan tersebut dan merujuk pada

konteks pamflet maka, contoh (8) butir (b) berbentuk kalimat

deklaratif yang dimaksudkan untuk memerintah (menyuruh)

masyarakat yang belum melakukan hal serupa agar tersentuh untuk

menjaga terumbu karang. Artinya bahwa penutur menyampaikan

pesan melalui pamflet secara tak langsung. Hal ini dilakukan oleh

penutur agar petutur tidak merasa bahwa dirinya diperintah.

Contoh 9

(a) Sayangi karang.(b) Jangan injak karang.

Lokasi : Pasar Pagi WanciPartisipan : Coremap II, dan pengunjung pasarWaktu : 2017Konteks : pamflet dipajang pada pusat informasi

63

Contoh (9) mencirikan praanggapan eksistensial. Hal ini

tampak pada butir (a) sayangi karang. Satuan bahasa sayangi

karang bermakna memerintah untuk menyayangi karang. Secara

definit keberadaan karang langsung disebutkan. Pada butir (b)

keberadaan karang semakin diperjelas yaitu jangan injak karang.

Dengan demikian dapat diketahui praanggapannya yaitu ada karang.

Berdasarkan pendeskripsian tersebut dapat dimaknai bahwa

penerbit pamflet melalui pamflet mengajak masyarakat agar

menyayangi karang dengan cara tidak merusak karang.

Bentuk kalimat yang digunakan pada contoh (9) butir (a) dan

butir (b), keduanya berbentuk kalimat imperatif. Satuan bahasa

sayangi karang pada butir (a) bermakna perintah untuk menjaga

karang sepenuh hati. Demikian halnya pada butir (b) jangan injak

karang merupakan bentuk kalimat imperatif. Hal ini tampak pada

penggunaan Satuan bahasa jangan yang bermakna kata yang

menyatakan larangan. Sejalan dengan uraian tersebut dan merujuk

pada konteks pamflet maka, contoh (9) dimaksudkan untuk

memerintah masyarakat agar tidak merusak karang. Artinya bahwa

kalimat imperatif digunakan penutur untuk menyampaikan pesan

melalui pamflet secara langsung.

Contoh 10

(a) Ala sagaa, heboka ako tey langento.(b) Ambil sebagian, simpan untuk hari esok

Lokasi : Pasar Sore, Wanci

64

Partisipan : Coremap II, WWF, RARE, dan pengunjungpasar

Waktu : 2017Konteks : pamflet dipajang pada pusat informasi.

Pamflet dilengkapi dengan gambar ikan-ikan.

Butir (a) merupakan bahasa Pulo yang berarti ambil

sebagian, simpan untuk hari esok sebagaimana pada butir (b). Pada

contoh tersebut mencirikan praanggapan eksistensial. Praanggapan

eksistensial dapat dipahami lebih luas lagi keberadaan sesuatu dari

pernyataan pada kalimat tersebut. Pernyataan ambil sebagian,

simpan untuk hari esok merupakan kalimat yang mengandung

perintah melakukan sesuatu terhadap suatu objek tertentu. Objek

tersebut dapat dipahami melalui gambar ikan-ikan pada pamflet.

Artinya bahwa keberadaan sesuatu merujuk pada ikan-ikan.

Sehingga praanggapannya adalah ada ikan yang sering diambil

dalam jumlah yang banyak atau perlunya mengambil ikan sesuai

kebutuhan. Perlu diketahui bahwa, nelayan setempat masih banyak

yang melakukan penangkapan ikan secara berlebihan maka kalimat

pada pamflet tersebut dapat diketahui praanggapannya yaitu masih

sering terjadi penangkapan ikan secara berlebihan. Jadi,

berdasarkan pendeskripsian tersebut dapat dimaknai bahwa

kegiatan penangkapan ikan mesti terukur sesuai kebutuhan demi

terjaminnya ketersediaan ikan.

Bentuk kalimat yang digunakan pada contoh (10) butir (a) dan

butir (b), keduanya berbentuk kalimat imperatif. Butir (a) merupakan

65

bahasa Pulo yang berarti ambil sebagian, simpan untuk hari esok

sebagaimana pada butir (b). Kalimat imperatif pada contoh tersebut

ditandai dengan penggunaan satuan bahasa ambil yang bermakna

pegang sesuatu lalu dibawa, dan satuan bahasa simpan yang

bermakna menaruh di tempat yang aman supaya tidak rusak.

Adapun satuan bahasa ambil sebagian merujuk pada ikan-ikan yang

terdapat pada gambar pamflet. Berdasarkan penjelasan tersebut dan

merujuk pada konteks pamflet maka, contoh (10) dimaksudkan

memerintah masyarakat agar menangkap ikan sesuai kebutuhan.

Artinya bahwa kalimat imperatif digunakan penutur untuk

menyampaikan pesan melalui pamflet secara langsung.

Contoh 11

(a) Sadarkah anda?(b) Betapa berharganya mereka jika sudah dikelola(c) Kenali potensi dan peluang investasi pulau-pulau kecil

indonesia

Lokasi : Pasar Sore, WanciPartisipan : Coremap II, WWF, RARE, dan pengunjung

pasarWaktu : 2017Konteks : pamflet dipajang pada pusat informasi dekat

penjualan ikan

Praanggapan eksistensial pada contoh (11) terdapat pada

butir (b) dan butir (c). Kalimat tanya sadarkah anda? pada butir (a)

merupakan bagian pengantar untuk menstimulus pikiran petutur

tentang sesuatu sebagaimana pada butir (b), namun pada butir (b)

belum tampak informasi yang jelas. Artinya bahwa satuan bahasa

mereka masih samar-samar. Hal ini menjadi jelas ketika pada butir

66

(c), yaitu satuan bahasa mereka merujuk pulau-pulau kecil.

Berdasarkan penjelasan tersebut dapat dipahami bahwa contoh (11)

butir (b) dan butir (c) mencirikan praanggapan eksistensial. Perlu

diketahui bahwa walaupun tidak disebutkan secara definit, namun

kedua pernyaataan tersebut dapat diketahui praanggapanya yaitu

ada pulau-pulau kecil atau potensi pulau-pulau kecil atau pulau-pulau

kecil berharga.

Bentuk kalimat yang digunakan pada contoh (11) butir (b)

berbentuk kalimat ekslamatif. Penanda kalimat ekslamatif pada butir

(b) tampak pada penggunaan satuan bahasa betapa, urutan kalimat

yaitu berharganya (predikat) + mereka (subjek), dan partikel –nya.

Satuan bahasa betapa bermakna kata seru penanda rasa heran,

kagum, sedih, dan sebagainya. Berkenaan dengan penjelasan

tersebut dan merujuk pada konteks yang melingkupi butir (b), maka

kalimat ekslamatif pada butir (b) bermaksud membujuk pengunjung

pasar (petutur) agar tertarik mengelola potensi dan peluang investasi

pulau-pulau kecil. Artinya bahwa kalimat ekslamatif digunakan

penutur untuk menyampaikan pesan melalui pamflet secara tak

langsung.

Adapun penggunaan bentuk kalimat pada contoh (11) butir (c)

berbentuk kalimat imperatif. Hal ini tampak pada penggunaan satuan

bahasa kenali. Satuan bahasa kenal bermakna tahu dan teringat

kembali mendapatkan sufiks –i menjadi kenali sehingga secara

67

konvensional bermakna perintah atau ajakan untuk mengetahui atau

mengingat kembali. Berkaitan dengan penjelasan tersebut dan

merujuk pada konteks yang melingkupi butir (c), maka kalimat

tersebut digunakan oleh penutur untuk memerintah petutur

(pengunjung pasar) agar menyadari, memahami lalu menjeput

peluang investasi pulau-pulau kecil. Artinya bahwa kalimat imperatif

digunakan penutur untuk menyampaikan pesan melalui pamflet

secara langsung.

Contoh 12

(a) Tahukah kamu laut indonesia sangat kaya?(b) Ikan melimpah nelayan sejahtera.

Lokasi : Pasar sentral,MandatiPartisipan : Coremap II, WWF, RARE, dan pengunjung

pasarWaktu : 2017Konteks : pamflet dipajang pada pusat informasi dekat

terminal

Praanggapan eksistensial pada contoh (12) terdapat pada

butir (b). Sebagai penanda praanggapan eksistensial pada butir (b)

yaitu satuan bahasa ikan melimpah. Satuan bahasa ikan melimpah

disebutkan secara definit sebagai eksistensi jadi diri, lalu diikuti

penjelasan pada bagian kalimat selanjutnya yakni nelayan sejahtera.

Sehingga dapat diketahui praanggapannya yaitu ada ikan.

Berdasarkan pendeskripsian tersebut dan mempertimbangkan

konteks yang meliputinya, maka dapat dimaknai bahwa penerbit

pamflet mengajak masyarakat agar melestarikan lingkungan demi

68

menjaga ketersediaan ikan yang nantinya berkonsekuensi pada

kesejahteraan nelayan.

Bentuk kalimat yang digunakan pada contoh (12) butir (b)

berbentuk kalimat deklaratif. Hal ini tampak pada konten kalimat

berupa pernyataan yang saling keterkaitan. Konten kalimat tersebut

memiliki hubungan konsekuensi logis satu dengan yang lain yaitu

satuan bahasa ikan berlimpah mengakibatkan nelayan sejahtera.

Kalimat tersebut memberikan pengetahuan pentingnya menjaga

kelestarian ikan. Berkenaan dengan penjelasan tersebut dan

merujuk pada konteks pamflet maka, contoh (20) butir (b) berbentuk

kalimat deklaratif yang dimaksudkan memberitahu pengunjung pasar

agar menyadari pentingnya menjaga kelestarian ikan. Selain itu,

kalimat tersebut juga bermaksud menyuruh masyarakat khususnya

nelayan agar menjaga kelestarian ikan tentunya dengan cara tidak

merusak termbu karang demi mewujudkan kehidupan yang

sejahtera. Artinya bahwa penutur menyampaikan pesan melalui

pamflet secara tak langsung. Hal ini dilakukan oleh penutur agar

petutur tidak merasa bahwa dirinya diperintah.

Dari penjelasan tersebut dapat digambarkan penggunaan

bentuk kalimat dan maksud pada tiap-tiap praanggapan eksistensial.

Hal ini dapat dilihat pada tabel 4.1. berikut ini.

69

Tabel 4.1. Penggunaan bentuk kalimat pada praanggapan eksistensial

Contoh

Bentuk Kalimat

MaksudDek Imp Int Eks

(1.a) Habis senam pungut sampah. + memerintah

(2.a) Wakatobi bersih tanpa sampah. + memerintah

(3) Sampahmu milikmu!! + memerintah

(4) Nelayan yang gemar membom danmembius ikan adalah musuh alam.

+ memerintah

(5.a)Tak kenal maka tak sayang. + memerintah

(5.b) Lihatlah lebih dalam. + memerintah

(6.a) Jaga dan cintai terumbu karang. + memerintah

(6.b) Mereka ada agar kami ada. + Memerintah

(7) Jaga terumbu karang untuk anak cucukita.

+ Memerintah

(8.b) Terumbu karang sehat, ikanberlimpah, masyarakat sejahtera.

+ Memerintah

(9.a) Sayangi karang. + Memerintah

(9.b) Jangan injak karang. + Memerintah

(10.a) Ala sagaa, heboka ako tey langento. + Memerintah

(10.b) Ambil sebagian, simpan untuk hariesok

+ Memerintah

(11.b) Betapa berharganya mereka jikasudah dikelola

+ Membujuk

(11.c) Kenali potensi dan peluanginvestasi pulau-pulau kecil Indonesia

+ Memerintah

12(b) Ikan melimpah nelayan sejahtera. + Memerintah

Jumlah 6 10 - 1

Pada tabel (4.1.) tampak bahwa terdapat tujuh belas

praanggapan eksistensial. Paraanggapan tersebut dominan

direalisasikan dengan menggunakan kalimat imperatif. Adapun

maksud dari keseluruhan praanggapan tersebut yaitu: memerintah

dan membujuk.

70

2. Praanggapan Faktif

Praanggapan faktif adalah praanggapan dimana informasi

yang dipraanggapkan mengikuti kata kerja dapat dianggap sebagai

suatu kenyataan. Praanggapan ini muncul dari informasi yang ingin

disampaikan dengan kata-kata yang menunjukkan suatu fakta atau

berita yang diyakini kebenarannya. Kata-kata yang bisa menyatakan

fakta dalam tuturan ialah kata kerja yang dapat memberikan makna

pasti tuturan tersebut. Penggunaan praanggapan faktif dapat dilihat

pada contoh berikut ini.

Contoh 13

Selamatkan laut indonesia dari sampah karena laut masadepan bangsa.

Lokasi : Perkampungan BajoPartisipan : Kementerian Kelautan dan Perikanan, dan

masyrakat BajoWaktu : 2017Konteks : hari peduli sampah nasional 2017

Contoh (13) mencirikan praanggapan faktif. Praanggapan ini

mengacu pada penanda satuan bahasa selamatkan. Penanda ini

bukanlah sebuah penanda umum yang dipaparkan sesuai dengan

teori pada bab sebelumnya. Praanggapan faktif ini dapat hadir dalam

sebuah pernyataan tanpa adanya penanda-penanda umum dengan

hadirnya penanda yang menunjukan kefaktualan, dukungan konteks

dan pemahaman bersama. Seperti halnya penggunaan satuan

bahasa selamatkan, secara konvensional dapat dimaknai sebagai

bentuk perintah yang berarti menyuruh membebaskan dari bahaya.

71

Selain itu, pernyataan tersebut disampaikan pada peringatan Hari

Peduli Sampah Nasional. Sampah merupakan persoalan yang belum

dapat ditanggulangi dengan baik di Wakatobi. Hal ini terbukti masih

banyak ditemukannya sampah di laut yang merupakan limbah

masyarakat. Berdasarkan penjelasan tersebut dapat dipahami

bahwa praanggapannya yakni laut indonesia khususnya wakatobi

sedang tercemari oleh sampah atau laut indonesia butuh perhatian

serius perihal penanganan sampah.

Bentuk kalimat yang digunakan pada contoh (13) berbentuk

kalimat imperatif. Hal ini tampak pada penggunaan satuan bahasa

selamatkan. Selamat bermakna terbebas dari bahaya. Adapun

penggunaan satuan lingual selamatkan secara konvensional

bermakna perintah atau ajakan untuk melakukan sesuatu sesuai

maksud penutur. Berdasarkan penjelasan tersebut dan merujuk pada

konteks yang melingkupi pamflet dapat dipahami bahwa contoh (13)

merupakan kalimat imperatif yang digunakan penutur dengan

maksud memerintah petutur agar menjaga kebersihan laut. Artinya

bahwa kalimat imperatif digunakan penutur untuk menyampaikan

pesan melalui pamflet secara langsung.

Contoh 14

(a) Save Turtle.(b) Lestarikan penyu dan jangan jadikan mereka buruan.

Lokasi : Pantai MarinaPartisipan : LSM Kamelia, dan masyrakat pengunjung

Pantai Marina

72

Waktu : 2017Konteks : pamflet dipegang oleh anak laki-laki dan

ibunya pada saat senam pagi.

Contoh (14) mencirikan praanggapan faktif. Praanggapan ini

mengacu pada penanda satuan bahasa save pada butir (a) dan

satuan bahasa lestarikan pada butir (b). Satuan bahasa save turtle

(bahasa inggris) pada butir (a) berarti selamatkan penyu. Penanda-

penanda ini bukanlah sebuah penanda umum yang dipaparkan

sesuai dengan teori di bab sebelumnya. Akan tetapi dapat dipahami

bahwa praanggapan faktif ini dapat hadir dalam sebuah pernyataan

tanpa adanya penanda-penanda umum dengan hadirnya penanda

yang menunjukan kefaktualan, dukungan konteks dan pemahaman

bersama. Seperti halnya penggunaan satuan bahasa save turtle dan

lestarikan secara konvensional dapat dimaknai sebagai bentuk

perintah yang berarti menyuruh membebaskan penyu dari bahaya.

Selain itu, di wilayah Wakatobi terdapat banyak pulau tempat

pemijahan penyu yang terancam akibat maraknya perburuan telur

penyu dan penyu. Hal ini terbukti masih banyak ditemukan kasus

pelanggaran perburuan penyu. Berdasarkan penjelasan tersebut

dapat dipahami bahwa praanggapannya yakni kelangsunagan

populasi penyu sedang terancam atau penyu dijadikan buruan.

Bentuk kalimat yang digunakan pada contoh (14) butir (a) dan

butir (b), keduanya berbentuk kalimat imperatif. Satuan bahasa save

turtle pada butir (a) berarti selamatkan penyu. Selamat bermakna

73

terbebas dari bahaya. Adapun penggunaan satuan lingual

selamatkan secara konvensional bermakna perintah atau ajakan

untuk melakukan sesuatu sesuai maksud penutur. Sama halnya

pada butir (b) berbentuk kalimat imperatif. Hal ini tampak pada

penggunaan satuan lingual lestarikan. Lestari bermakna tetap seperti

keadaannya semula. Adapun penggunaan satuan lingual lestarikan

bermakna perintah atau ajakan untuk menjaga tetap seperti

keadaannya semula.

LSM Kamelia sebagai penerbit pamflet melibatkan anak-anak

dalam upaya menyosialisasikan pelestarian penyu. Peran anak-anak

sangat penting sebab dapat menghasilkan beberapa manfaat.

Manfaat tersebut diantaranya: pendidikan anak sejak dini, memicu

perhatian, dan pengaruh psikologis kepada orang dewasa. Merujuk

pada konteks yang melingkupi contoh (14), maka kedua kalimat

tersebut dimaksudkan untuk memerintah petutur agar turut serta

melestarikan penyu. Artinya bahwa kalimat imperatif digunakan

penutur untuk menyampaikan pesan melalui pamflet secara

langsung.

Contoh 15

(a)Save me guys.(b)Ikan hiu adalah teman bukan untuk dimakan.

Lokasi : Pantai MarinaPartisipan : LSM Kamelia, dan masyrakat pengunjung

Pantai MarinaWaktu : 2017Konteks : pamflet dipegang oleh anak sekolah dasar

74

(SD) pada saat senam pagi.

praanggapan faktif pada contoh (15) terdapat pada butir (a).

Praanggapan ini mengacu pada penanda satuan bahasa save.

Satuan bahasa save me guys pada butir (a) berarti selamatkan saya

kawan. Satuan bahasa me merujuk pada ikan hiu pada butir (b).

Penanda ini bukanlah sebuah penanda umum yang dipaparkan

sesuai dengan teori di bab sebelumnya. Akan tetapi dapat dipahami

bahwa praanggapan faktif ini dapat hadir dalam sebuah pernyataan

tanpa adanya penanda-penanda umum dengan hadirnya penanda

yang menunjukan kefaktualan, dukungan konteks dan pemahaman

bersama. Seperti halnya penggunaan satuan bahasa save me guys,

secara konvensional bermakna perintah atau menyuruh

membebaskan ikan hiu dari bahaya.

Selain itu, di wilayah Wakatobi terdapat banyak ikan hiu yang

terancam akibat maraknya perburuan sirip ikan hiu. Sirip ikan hiu

merupakan salah satu komoditas yang terbilang mahal. Hal ini

terbukti masih banyak ditemukan transaksi jual beli komoditas

tersebut yang luput dari pantauan petugas. Berdasarkan penjelasan

tersebut dapat dipahami bahwa praanggapannya yakni

kelangsunagan populasi ikan hiu sedang terancam.

Bentuk kalimat yang digunakan pada contoh (15) butir (a)

berbentuk kalimat imperatif. Butir (a) save me guys yang berarti

selamatkan saya kawan. Selamat bermakna terbebas dari bahaya.

75

Adapun penggunaan satuan lingual selamatkan secara konvensional

bermakna perintah atau ajakan untuk melakukan sesuatu sesuai

maksud penutur. Satuan bahasa me pada kalimat tersebut bermakna

ikan hiu. Hal ini merujuk pada kalimat butir (b) yaitu ikan hiu adalah

teman bukan untuk dimakan. Merujuk pada konteks yang melingkupi

contoh (15), maka kedua kalimat tersebut dimaksudkan untuk

memerintah petutur agar turut serta melestarikan ikan hiu. Artinya

bahwa kalimat imperatif digunakan penutur untuk menyampaikan

pesan melalui pamflet secara langsung.

Contoh 16

Terapkan budaya buang sampah pada tempatnya.

Lokasi : MandatiPartisipan : LSM Kamelia, Dinas Kesehatan Kabupaten

Wakatobi, Pemerintah Daerah KabupatenWakatobi dan masyrakat pengunjung pasar

Waktu : 2017Konteks : Terminal pasar sentral Mandati.

Contoh (16) mencirikan jenis praanggapan faktif.

Praanggapan ini mengacu pada satuan bahasa terapkan. Penanda

ini bukanlah sebuah penanda umum yang dipaparkan sesuai dengan

teori di bab sebelumnya. Akan tetapi dapat dipahami bahwa

praanggapan faktif ini dapat hadir dalam sebuah pernyataan tanpa

adanya penanda-penanda umum dengan hadirnya penanda yang

menunjukan kefaktualan, dukungan konteks dan pemahaman

bersama. Seperti halnya penggunaan satuan bahasa terapkan

secara konvensional dapat dimaknai sebagai bentuk perintah untuk

76

mempraktikkan sesuatu. Secara keseluruhan contoh (16) bermakna

perintah untuk mempraktikkan budaya buang sampah pada

tempatnya. Hal ini mengindikasikan bahwa budaya buang sampah

pada tempatnya belum diterapkan oleh kalangan masyarakat

Wakatobi.

Bentuk kalimat yang digunakan pada contoh (16) berbentuk

kalimat imperatif. Hal ini tampak pada penggunaan satuan bahasa

terapkan. Adapun penggunaan satuan bahasa terapkan secara

konvensional bermakna perintah atau ajakan untuk mempraktikkan

sesuatu. Jadi, LSM Kamelia, Dinas Kesehatan Kabupaten Wakatobi,

Pemerintah Daerah Kabupaten Wakatobi sebagai penutur

bermaksud memerintah pengunjung pasar agar membuang sampah

pada tempatnya. Artinya bahwa kalimat imperatif digunakan penutur

untuk menyampaikan pesan melalui pamflet secara langsung.

Contoh 17

Bumi saja aku jaga, apalagi kamu.

Lokasi : Lapangan MerdekaPartisipan : LSM Kamelia, dan masyrakat peserta pawaiWaktu : 2017Konteks : hari bumi 2017. Pamflet dipegang oleh

perempuan dewasa.

Contoh (17) mencirikan praanggapan faktif, walaupun tidak

tampak penggunaan kata kerja yang menjadi ciri praanggapan faktif

dalam kontruksi kalimatnya. Kefaktualan suatu tuturan yang muncul

dalam praanggapan ini bisa juga dilihat dari partisipan tutur, konteks

77

situasi, dan juga pengetahuan bersama. Kontruksi kalimat tersebut

terdiri dari bumi saja aku jaga dan apalagi kamu. Pada satuan

bahasa bumi saja aku jaga bermakna aku menjaga bumi

(lingkungan) dan sesuatu selain bumi. Hal ini terlihat dari

penggunaan saja. Namun sesuatu selain bumi yang yang dimaksud

langsung disebutkan pada bagian akhir kalimat tersebut, yaitu

apalagi kamu. Satuan bahasa kamu merujuk pada pengunjung,

peserta, dan siapapun yang melihat kalimat tersebut. Mengingat

pemegang pamflet adalah perempuan dewasa, maka dapat

diasumsikan bahwa satuan bahasa kamu yang dimaksud adalah

lelaki dewasa.

Bentuk kalimat yang digunakan pada contoh (17) berbentuk

kalimat deklaratif. kalimat ini digunakan untuk memberitakan

sesuatu. Sebagaimana, kontruksi kalimat diatas yang terdiri dari

bumi saja aku jaga dan apalagi kamu. Pada satuan bahasa bumi

saja aku jaga bermakna aku menjaga bumi (lingkungan). Selanjutnya

pernyataan tersebut dikuatkan dengan hadirnya kata penghubung

apalagi sebagai penegasan suatu tindakan. Berdasarkan penjelasan

tersebut, maka contoh (17) bermaksud memerintah pengunjung

Lapangan Merdeka agar menjaga lingkungan. Artinya bahwa LSM

menyampaikan pesan melalui pamflet secara tak langsung. Hal ini

dilakukan oleh penutur agar petutur tidak merasa bahwa dirinya

diperintah.

78

Contoh 18

Mari selamatkan sumberdaya perikanan kita.

Lokasi : Perkampungan BajoPartisipan : Kementerian kelautan dan perikanan, dan

masyarakat bajoWaktu : 2017Konteks : pamflet dipajang pada pusat informasi di pos

kamling

Contoh (18) mencirikan praanggapan faktif. Praanggapan ini

mengacu pada penanda satuan bahasa mari selamatkan. Penanda

ini bukanlah sebuah penanda umum yang dipaparkan sesuai dengan

teori di bab sebelumnya. Akan tetapi dapat dipahami bahwa

praanggapan faktif dapat hadir dalam sebuah pernyataan tanpa

adanya penanda-penanda umum dengan hadirnya penanda yang

menunjukan kefaktualan, dukungan konteks dan pemahaman

bersama. Seperti halnya penggunaan satuan bahasa mari yang

bermakna kata seru untuk menyatakan ajakan. Selanjutnya satuan

bahasa selamatkan, secara konvensional satuan bahasa selamatkan

adalah bentuk perintah yang berarti menyuruh membebaskan dari

bahaya. Selain itu, sumber daya perikanan merupakan salah satu

sektor andalan Pemda Wakatobi belum dikelola secara maksimal

terutama pengawasan. Hal ini terbukti masih banyak ditemukan

pelanggaran yang dilakaukan oleh nelayan berupa penggunaan alat

tangkap tak ramah lingkungan. Berdasarkan penjelasan tersebut

dapat dipahami bahwa praanggapannya yakni sumberdaya

79

perikanan sedang terancam dan butuh penanggulangan secara

serius.

Bentuk kalimat yang digunakan pada contoh (18) berbentuk

kalimat imperatif. Hal ini tampak pada penggunaan satuan bahasa

mari dan selamatkan. Satuan bahasa mari bermakna kata seru untuk

menyatakan ajakan. Selanjutnya, satuan bahasa selamatkan

bermakna perintah atau ajakan agar terbebas dari bahaya. Dengan

demikian satuan bahasa mari selamatkan pada contoh (18) dapat

dipahami bahwa Kementerian Kelautan dan Perikanan sebagai

penerbit pamflet berupaya mengajak petutur (masyarakat bajo) agar

memelihara sumberdaya perikanan. Artinya bahwa kalimat imperatif

digunakan penutur untuk menyampaikan pesan melalui pamflet

secara tak langsung.

Contoh 5

(a) Tak kenal maka tak sayang.(b) Lihatlah lebih dalam.(c) Lestarikan kekayaan lautmu.

Lokasi : perkampungan BajoPartisipan : LSM, dan masyarakat BajoWaktu : 2017Konteks : pamflet dipajang pada pusat informasi di

pelabuhan nelayan. Pelabuhan selalu ramaididatangi oleh masyarakat bajo yangmenunggu kerabat mereka pulang darimelaut. Selain itu banyak juga kalanganpenjual ikan yang menunggu nelayan danhendak membeli hasil tangkapannya. Isipamflet disertai gambar ikan-ikan dan terumbukarang.

80

Contoh (5) butir (c) mencirikan praanggapan faktif.

Praanggapan ini mengacu pada penanda satuan bahasa lestarikan.

Penanda ini bukanlah sebuah penanda umum yang dipaparkan

sesuai dengan teori pada bab sebelumnya. Akan tetapi dapat

dipahami bahwa praanggapan faktif dapat hadir dalam sebuah

pernyataan tanpa adanya penanda-penanda umum dengan hadirnya

penanda yang menunjukan kefaktualan, dukungan konteks dan

pemahaman bersama. Seperti halnya penggunaan satuan bahasa

lestarikan. Secara konvensional satuan bahasa lestarikan bermakna

ajakan atau perintah untuk menjaga tetap seperti keadaannya

semula.

Selain itu, pamflet pada contoh tersebut dipajang di pusat

informasi pelabuhan nelayan yang sehari-hari selalu ramai, baik

nelayan maupun masyarakat yang akan memebeli ikan. Hal ini

dapat dipahami bahwa pernyataan dalam pamflet ditujukan kepada

masyarakat khususnya nelayan agar turut serta menjaga kelestarian

laut. Berdasarkan penjelasan tersebut menunjukan bahwa

penggunaan satuan bahasa lestarikan bermakna adanya kondisi

kekayaan laut membutuhkan penanganan atau pelestarian.

Sehingga praanggapannya yakni kekayaan laut sedang tidak baik.

Bentuk kalimat yang digunakan pada contoh (5) butir (c)

berbentuk kalimat imperatif. Penanda kalimat imperatif pada butir (c)

tampak pada penggunaan satuan bahasa lestarikan. Secara

81

konvensional satuan bahasa lestarikan bermakna ajakan atau

perintah untuk menjaga tetap seperti keadaannya semula. Senada

dengan uraian tersebut dapat dipahami bahwa penutur bermaksud

memerintah petutur khususnya masyarakat Bajo agar menjaga

kelestarian kekayaan laut. Artinya bahwa kalimat imperatif digunakan

penutur untuk menyampaikan pesan melalui pamflet secara

langsung.

Contoh 8

(a) Terimakasih atas partisipasinya dalam melestarikanterumbu karang.

(b) Terumbu karang sehat, ikan berlimpah, masyarakatsejahtera.

Lokasi : Pasar Pagi WanciPartisipan : Kementerian Kelautan dan Perikanan,

Coremap II, dan pengunjung pasarWaktu : 2017Konteks : pamflet dipajang pada pusat informasi

Praanggapan faktif pada contoh (8) terdapat pada butir (a).

Hal ini tampak pada penggunaan satuan lingual melestarikan pada

butir (a). Satuan lingual tersebut merupakan kata kerja yang diikuti

informasi yang dipraanggpakan. Selain itu, informasi yang

dipraanggapkan menjadi faktual diperkuat oleh satuan lingual terima

kasih pada butir (a). Artinya, terima kasih bermakna bentuk

penghargaan atas terealisasinya suatu tindakan melestarikan

terumbu karang. Butir (b) merupakan pernyataan hubungan

kausalitas dengan butir (a). Pada konteks ini, butir (b) sebagai

penegasan betapa pentingnya pelestarian terumbu karang. Melalui

82

penjelasan tersebut dapat diketahui praanggapannya yaitu

masyarakat berpartisipasi melestarikan terumbu karang.

Bentuk kalimat yang digunakan pada contoh (8) butir (a)

berbentuk kalimat ekslamatif. Penanda kalimat ekslamatif pada butir

(a) tampak pada penggunaan satuan bahasa terima kasih dan

partikel –nya pada satuan bahasa partisipasi. Satuan bahasa terima

kasih bermakna mengucap syukur; melahirkan rasa syukur atau

membalas budi setelah menerima kebaikan dan sebagainya.

Adapun satuan bahasa partisipasinya bermakna keikutsertaan yang

telah dilakukan. Secara lengkap, kalimat pada butir (a) dapat

dipahami bahwa rasa terimakasih ditujukan kepada pengunjung

pasar yang senantiasa menjaga kelestarian terumbu karang.

Berkenaan dengan penjelasan tersebut maka, kalimat ekslamatif

pada butir (a) bermaksud memberi pujian atau apresiasi kepada

masyarakat yang telah menjaga terumbu karang sekaligus menyindir

masyarakat yang belum melakukan hal serupa agar tersentuh untuk

menjaga terumbu karang. Artinya bahwa kalimat ekslamatif

digunakan penutur untuk menyampaikan pesan melalui pamflet

secara tak langsung. Hal ini dilakukan oleh penutur agar mitra tutur

tidak merasa bahwa dirinya diperintah.

Penjelasan tersebut dapat digambarkan penggunaan bentuk

kalimat dan maksud pada tiap-tiap praanggapan faktif. Hal ini dapat

dilihat pada tabel 4.2. berikut ini.

83

Tabel 4.2. Penggunaan bentuk kalimat pada praanggapan faktif

Contoh

Bentuk Kalimat

MaksudDek Imp Int Eks

(13) Selamatkan laut indonesia darisampah karena laut masa depan bangsa.

+ memerintah

(14.a) Save Turtle. + memerintah

(14.b) Lestarikan penyu dan jangan jadikanmereka buruan.

+ memerintah

(15.a) Save me guys. + memerintah

(16) Terapkan budaya buang sampah padatempatnya.

+ memerintah

(17) Bumi saja aku jaga, apalagi kamu. + memerintah

(18) Mari selamatkan sumberdayaperikanan kita.

+ mengajak

(5.c) Lestarikan kekayaan lautmu. + memerintah

(8.a) Terimakasih atas partisipasinya dalammelestarikan terumbu karang.

+ mengapresiasi

Jumlah 1 7 - 1

Pada tabel (4.2.) tampak bahwa terdapat sembilan

praanggapan faktif. Paraanggapan tersebut dominan direalisasikan

dengan menggunakan kalimat imperatif. Adapun maksud dari

keseluruhan praanggapan tersebut yaitu: memerintah,

mengapresiasi, dan mengajak.

3. Praanggapan Leksikal

Praanggapan leksikal dipahami sebagai bentuk praanggapan

yang menyatakan makna secara konvensional ditafsirkan dengan

praanggapan bahwa suatu makna lain (yang tidak dinyatakan)

dipahami. Terdapat beberapa satuan bahasa yang digunakan

84

sebagai penanda dalam praanggapan leksikal ini seperti “memulai,

menyelesaikan, melanjutkan, membawa, meninggalkan, berhenti”.

Contoh 2

(a)Wakatobi bersih tanpa sampah.(b)Stop buang sampah ke laut.

Lokasi : Pantai MarinaPartisipan : LSM Kamelia, dan masyrakat pengunjung

Pantai MarinaWaktu : 2017Konteks : pamflet dipegang oleh anak sekolah dasar

(SD) pada saat senam pagi.

Praanggapan leksikal pada contoh (2) terdapat pada butir (b).

Praanggapan ini mengacu pada penanda satuan bahasa stop.

Satuan bahasa stop (bahasa inggris) berarti penghentian atau

berhenti sehingga dapat diketahui praanggapannya bahwa

sebelumnya sering terjadi tindakan buang sampah ke laut atau

tingkat kesadaran masyarakat untuk melestarikan lingkungan masih

rendah.

Bentuk kalimat yang digunakan pada contoh (2) butir (b)

berbentuk kalimat imperatif. Hal ini ditandai dengan penggunaan

satuan bahasa stop yang bermakna penghentian atau hentikan.

Pamflet pada contoh (2) diterbitkan oleh LSM Kamelia, namun dalam

upaya menyosialisasikan pelestarian lingkungan melibatkan anak-

anak dengan maksud pesan yang disampaikan tercapai. Peran

anak-anak dalam konteks ini sangatlah penting sebab dapat

menghasilkan beberapa manfaat. Manfaat tersebut diantaranya:

85

pendidikan anak sejak dini, memicu perhatian, dan pengaruh

psikologis kepada orang dewasa. Artinya bahwa kalimat imperatif

digunakan penutur untuk menyampaikan pesan melalui pamflet

secara langsung.

Dari penjelasan tersebut dapat digambarkan penggunaan

bentuk kalimat dan maksud pada tiap-tiap praanggapan leksikal. Hal

ini dapat dilihat pada tabel 4.3. berikut ini.

Tabel 4.3. Penggunaan bentuk kalimat pada praanggapan leksikal

Contoh

Bentuk Kalimat

MaksudDek Imp Int Eks

(2.b) Stop buang sampah ke laut. + memerintah

Jumlah 1 - - -

Pada tabel (4.3.) tampak bahwa hanya satu praanggapan

leksikal. Paraanggapan tersebut direalisasikan dengan

menggunakan kalimat imperatif. Adapun maksud praanggapan

tersebut adalah memerintah.

4. Praanggapan Struktural

Praanggapan struktural adalah praanggapan yang secara

tetap dan konvensional bahwa bagian struktur itu sudah diasumsikan

kebenarannya. Dengan kata lain praanggapan ini dinyatakan dengan

tuturan yang strukturnya jelas dan langsung dipahami tanpa melihat

kata-kata yang digunakan. Hal ini tampak dalam kalimat tanya,

secara konvensional diinterpretasikan dengan kata tanya (kapan dan

86

di mana) sesudah diketahui sebagai masalah, pertanyaan alternatif

(Alternative Question), dan pertanyaan ya/tidak (Yes/No Question).

Penggunaan praanggapan struktural dapat dilihat pada contoh

berikut ini.

Contoh 22

(a) Kalian boleh tangkap kami, tapi kalian harus lestarikanrumah kami.

(b) Bagaimana??(c) Deal??

Lokasi : Pasar Pagi WanciPartisipan : Kementerian kelautan dan perikanan,

Lingkungan Hidup, LSM Coremap II, danmasyrakat pengunjung pasar

Waktu : 2017Konteks : pamflet dipajang pada pos informasi pasar

ikan. Pamflet bergambar ikan-ikan danterumbu karang

Praanggapan struktural pada contoh (22) terdapat pada butir

(b) dan butir (c). Hal ini tampak pada penggunaan satuan bahasa

bagaimana dan diikuti tanda tanya (?). Satuan bahasa bagaimana

bermakna kata tanya untuk menanyakan cara atau perbuatan.

Sebagaimana ciri praanggapan struktural yaitu mengandung

pertanyaan alternatif. Berdasarkan penjelasan tersebut dapat

dipahami bahwa satuan bahasa bagaimana? bermakna pertanyaan

yang memberikan alternatif dari dua kemungkinan sebagaimana

pada butir (a) yaitu kalian boleh tangkap kami dan kalian harus

lestarikan rumah kami. Adapun praanggapan struktural pada butir (c)

ditandai oleh penggunaan tanda tanya (?) yang mengikuti satuan

87

bahasa deal. Satuan bahasa deal (bahasa inggris) berarti janji atau

perjanjian. Secara konvensional, penggunaan satuan bahasa deal?

dapat dimaknai pertanyaan yang diajukan dengan mengharapkan

jawaban ya atau tidak. Dengan demikian butir (c) memenuhi ciri

praanggapan struktural yaitu mengandung pertanyaan ya/tidak.

Bentuk kalimat yang digunakan pada contoh (22) butir (b) dan

butir (c), keduanya berbentuk kalimat interogatif. Hal ini tampak pada

penggunaan kata tanya dan tanda tanya (?). Pada butir (b) bentuk

bagaimana bermakna kata tanya untuk menanyakan cara atau

perbuatan sebagaimana pada butir (a). Pada butir (c) deal berarti

perjanjian, jika ditambahkan tanda tanya (?) maka maknanya yaitu

menanyakan kesepakatan perjanjian sebagaimana pada butir (a).

Secara umum butir (a) dapat dipahami bahwa penerbit pamflet

membolehkan masyarakat menangkap ikan dengan syarat

menunaikan kewajiban memelihara terumbu karang yang merupakan

rumah bagi ikan-ikan. Artinya bahwa kewajiban memelihara terumbu

karang pada konteks kalimat tersebut hanya dikenakan kepada

masyarakat yang menangkap ikan. Berdasarkan penjelasan

tersebut, maka contoh (22) butir (b) dan (c) bermaksud memerintah

pengunjung pasar ikan agar melestarikan terumbu karang. Artinya

bahwa penutur menyampaikan pesan melalui pamflet secara tak

langsung. Hal ini dilakukan oleh penutur agar petutur tidak merasa

bahwa dirinya diperintah.

88

Contoh 11

(a) Sadarkah anda?(b) Betapa berharganya mereka jika sudah dikelola(a) Kenali potensi dan peluang investasi pulau-pulau kecil

indonesia

Lokasi : Pasar Sore, WanciPartisipan : Coremap II, WWF, RARE, dan pengunjung

pasarWaktu : 2017Konteks : pamflet dipajang pada pusat informasi dekat

penjualan ikan

Praanggapan struktural pada contoh (11) terdapat pada butir

(a). Sebagaimana diketahui bahwa praanggpan struktural mengacu

pada struktur kalimat telah dianalisis sebagai praanggapan secara

tetap dan konvensiaonal bahwa bagian struktur itu sudah

diasumsikan kebenarannya. Hal ini tampak pada penggunaan satuan

bahasa sadarkah dan diakhiri tanda tanya (?). Satuan bahasa

sadarkah anda? merupakan bentuk pertanyaan yang diajukan

dengan mengharapkan jawaban ya atau tidak. Dengan demikian

butir (c) memenuhi ciri praanggapan struktural yaitu mengandung

pertanyaan ya/tidak.

Bentuk kalimat yang digunakan pada contoh (11) butir (a)

berbentuk kalimat interogatif. Satuan bahasa sadar pada butir (a)

bermakna ingat kembali; tahu; dan mengerti, dan mendapat partikel -

kah yang berarti penanda kata tanya. Selain itu terdapat penggunaan

tanda tanya (?) pada akhir kalimat sebagai ciri kalimat interogatif.

Jadi kalimat sadarkah anda? bermakna pertanyaan kepada anda

untuk mengingat kembali sesuatu. Pada butir (b) betapa

89

berharganya mereka jika di kelola merupakan penjelasan dari butir

(a). Demikian halnya pada butir (c) kenali potensi dan peluang

investasi pulau-pulau kecil melengkapi penjelasan butir (b). Satuan

lingual mereka pada butir (b) merujuk pada butir (c) yaitu pulau-pulau

kecil.

Berdasarkan penjelasan tersebut dan merujuk pada konteks

yang melingkupi pamflet dapat dipahami bahwa contoh (11) butir (a)

berbentuk kalimat interogatif yang bermaksud menyegarkan

pengetahuan sekaligus meberitakan masyarakat tentang pentingnya

pengelolaan pulau-pulau kecil. Artinya bahwa kalimat interogatif

digunakan penutur untuk menyampaikan pesan melalui pamflet

secara tak langsung.

Contoh 12

(a) Tahukah kamu laut indonesia sangat kaya?(b) Ikan melimpah nelayan sejahtera.

Lokasi : Pasar sentral,MandatiPartisipan : Coremap II, WWF, RARE, dan pengunjung

pasarWaktu : 2017Konteks : pamflet dipajang pada pusat informasi dekat

terminal

Praanggapan struktural pada contoh (12) terdapat pada butir

(a). Sebagaimana diketahui bahwa praanggpan struktural mengacu

pada struktur kalimat telah dianalisis sebagai praanggapan secara

tetap dan konvensiaonal bahwa bagian struktur itu sudah

diasumsikan kebenarannya. Hal ini tampak dalam kalimat tanya

pada butir (a) yang diinterpretasikan dengan kata tanya tahukah

90

diketahui sebagai masalah dan diakhiri dengan tanda tanya (?).

Dengan kata lain praanggapan ini dinyatakan dengan kalimat yang

strukturnya jelas dan langsung dipahami tanpa melihat kata-kata

yang digunakan. Penjelasan tersebut menunjukkan praanggapan

yaitu laut indonesia sangat kaya. Praanggapan yang menyatakan

‘kebenaran’ sebagai bahan pembicaraan yang dipahami oleh penutur

melalui struktur kalimat tanya yang menanyakan tahukah.

Bentuk kalimat yang digunakan pada contoh (12) butir (a)

berbentuk kalimat interogatif. Hal ini tampak pada penggunaan

patikel –kah pada kata tahu dan diakhiri dengan tanya tanya (?).

pada butir (a) satuan bahasa tahu bermakna kenal; mengerti

sesudah mengalami dan mendapat partikel -kah yang berarti

penanda kata tanya. Pada butir (a) sangat kaya merujuk pada butir

(b) ikan melimpah. Berdasarkan penjelasan tersebut dan merujuk

pada konteks yang melingkupi pamflet dapat dipahami bahwa contoh

(12) butir (a) berbentuk kalimat interogatif yang bermaksud

meberitakan kekayaan laut indonesia dan dampaknya bagi

masyarakat sehingga masyarakat berpartisipasi menjaga kelestarian

ikan. Artinya bahwa kalimat interogatif digunakan penutur untuk

menyampaikan pesan melalui pamflet secara tak langsung.

Dari penjelasan tersebut dapat digambarkan penggunaan

bentuk kalimat dan maksud pada tiap-tiap praanggapan struktural.

Hal ini dapat dilihat pada tabel 4.4. berikut ini.

91

Tabel 4.4. Penggunaan bentuk kalimat pada praanggapan struktural

Contoh

Bentuk Kalimat

MaksudDek Imp Int Eks

(22.b) Bagaimana?? + memerintah

(22.c) Deal??. + memerintah

(11.a) Sadarkah anda? + memerintah

(12.a) Tahukah kamu laut indonesia sangatkaya?

+ memerintah

Jumlah - - 4 -

Pada tabel (4.4.) tampak bahwa terdapat empat praanggapan

struktural. Paraanggapan tersebut direalisasikan dengan

menggunakan kalimat interogatif. Adapun maksud dari keseluruhan

praanggapan tersebut adalah memerintah.

5. Praanggapan Konterfaktual

Praanggapan konterfaktual berarti bahwa yang

dipraanggapkan tidak hanya tidak benar, tetapi juga merupakan

kebalikan (lawan) dari benar atau bertolak belakang dengan

kenyataan. Praanggapan ini menghasilkan pemahaman yang

berkelebihan dari pernyataannya atau kontradiktif. Hasil yang didapat

menjadi kontradiktif dari pernyataan sebelumnya. Penggunaan

praanggapan konterfaktual dapat dilihat pada contoh berikut ini.

Contoh 15

(a) Save me guys.(b) Ikan hiu adalah teman bukan untuk dimakan.

Lokasi : Pantai MarinaPartisipan : LSM Kamelia, dan masyrakat pengunjung

92

Pantai MarinaWaktu : 2017Konteks : pamflet dipegang oleh anak sekolah dasar

(SD) pada saat senam pagi.

Contoh (15) butir (b) mencirikan praanggapan konterfaktual.

Praanggapan ini mengacu pada kalimat yang dipraanggapkan tidak

hanya tidak benar, tetapi juga merupakan kebalikan (lawan) dari

benar atau bertolak belakang dengan kenyataan. Pada contoh

tersebut kalimat yang dipraanggapkan yaitu ikan hiu adalah teman.

Pernyataan ini bertolak belakang dengan kenyataan bahwa

masyarakat wakatobi kerap melakukan perburuan terhadap ikan hiu

sebagai kebutuhan makanan. Berdasarkan penjelasan tersebut

dapat diketahui praanggapannya yaitu masyarakat sering makan

ikan hiu.

Bentuk kalimat yang digunakan pada contoh (15) butir (b)

berbentuk kalimat deklaratif. Hal ini tampak pada konten kalimat

berupa pernyataan. Sebagai penandanya yaitu satuan bahasa

adalah, kemudian diikiuti oleh informasi penjelasan teman bukan

untuk dimakan. Pamflet pada contoh (15) butir (b) diterbitkan oleh

LSM Kamelia, namun dalam upaya menyosialisasikan pelestarian

lingkungan melibatkan anak-anak dengan maksud pesan yang

disampaikan tercapai. Peran anak-anak dalam konteks ini sangatlah

penting sebab dapat menghasilkan beberapa manfaat. Manfaat

tersebut diantaranya: pendidikan anak sejak dini, memicu perhatian,

dan pengaruh psikologis kepada orang dewasa.

93

Jadi, merujuk pada konteks yang melingkupi contoh (15) butir

(b), maka kalimat tersebut dimaksudkan untuk memerintah petutur

agar menjaga kelestarian ikan hiu. Artinya bahwa LSM

menyampaikan pesan melalui pamflet secara tak langsung. Hal ini

dilakukan oleh penutur agar petutur tidak merasa bahwa dirinya

diperintah.

Contoh 20

Penyu adalah sahabat bukan untuk dimakan.

Lokasi : Pantai MarinaPartisipan : LSM Kamelia, dan masyarakat pengunjung

Pantai MarinaWaktu : 2017Konteks : pamflet dipegang oleh anak sekolah dasar

(SD) pada saat senam pagi.

Contoh (20) mencirikan praanggapan konterfaktual.

Praanggapan ini mengacu pada kalimat yang dipraanggapkan tidak

hanya tidak benar, tetapi juga merupakan kebalikan (lawan) dari

benar atau bertolak belakang dengan kenyataan. Pada contoh

tersebut kalimat yang dipraanggapkan yaitu penyu adalah sahabat.

Pernyataan ini bertolak belakang dengan kenyataan bahwa

masyarakat wakatobi kerap melakukan perburuan terhadap penyu

sebagai kebutuhan makanan. Berdasarkan penjelasan tersebut

dapat diketahui praanggapannya yaitu masyarakat sering makan

penyu.

Bentuk kalimat yang digunakan pada contoh (20) berbentuk

kalimat deklaratif. Hal ini tampak pada konten kalimat berupa

94

pernyataan. Sebagai penandanya yaitu satuan bahasa adalah,

kemudian diikuti oleh informasi penjelasan sahabat bukan untuk

dimakan. Pamflet pada contoh (20) diterbitkan oleh LSM Kamelia,

namun dalam upaya menyosialisasikan pelestarian lingkungan

melibatkan anak-anak dengan maksud pesan yang disampaikan

tercapai. Peran anak-anak dalam konteks ini sangatlah penting

sebab dapat menghasilkan beberapa manfaat. Manfaat tersebut

diantaranya: pendidikan anak sejak dini, memicu perhatian, dan

pengaruh psikologis kepada orang dewasa.

Jadi, merujuk pada konteks yang melingkupi contoh (20) butir

(b), maka kalimat tersebut dimaksudkan untuk memerintah petutur

agar menjaga kelestarian penyu. Artinya bahwa LSM menyampaikan

pesan melalui pamflet secara tak langsung. Hal ini dilakukan oleh

penutur agar petutur tidak merasa bahwa dirinya diperintah.

Contoh 19

(a) Kalian boleh tangkap kami, tapi kalian harus lestarikanrumah kami.

(b) Bagaimana??(a) Deal??

Lokasi : Pasar Pagi WanciPartisipan : Kementerian kelautan dan perikanan,

Lingkungan Hidup, LSM Coremap II, danmasyrakat pengunjung pasar

Waktu : 2017Konteks : pamflet dipajang pada pos informasi pasar

ikan. Pamflet bergambar ikan-ikan danterumbu karang

Contoh (19) mencirikan praanggapan konterfaktual.

Praanggapan konterfaktual berarti bahwa yang dipraanggapkan tidak

95

hanya tidak benar, tetapi juga merupakan kebalikan (lawan) dari

benar atau bertolak belakang dengan kenyataan. Hal ini tampak

pada butir (a) kalian boleh tangkap kami, tapi kalian harus lestarikan

rumah kami. Bentuk kalian merujuk pada nelayan, kami merujuk

pada ikan-ikan, dan rumah kami merujuk pada terumbu karang.

Pada bagian awal kalimat yakni kalian boleh tangkap kami bermakna

nelayan diizinkan menangkap ikan. Selanjutnya pada bagian akhir

kalimat yakni tapi kalian harus lestarikan rumah kami bermakna

prasyarat untuk menangkap ikan (bagian awal kalimat) yaitu

memelihara terumbu karang. Hal ini ditandai dengan penggunaan

bentuk tapi (tetapi) yang bermakna kata penghubung intrakalimat

untuk menyatakan hal yang bertentangan.

Berdasarkan penjelasan tersebut dapat ditemukan

praanggapan yang muncul adalah nelayan tidak melestarikan

lingkingan. Praanggapan tersebut muncul dari kontradiksi kalimat

dengan adanya penggunaan bentuk tapi. Penggunaan tapi membuat

praanggapan yang kontradiktif dari kalimat yang disampaikan.

Bentuk kalimat yang digunakan pada contoh (19) butir (a)

berbentuk kalimat imperatif. Hal ini tampak pada penggunaan satuan

bahasa harus lestarikan. Satuan bahasa kalian merujuk pada

nelayan, satuan bahasa boleh bermakna diizinkan, satuan bahasa

harus bermakna wajib, mesti (tidak boleh tidak), dan satuan bahasa

lestari bermakna tetap seperti keadaannya semula. Adapun

96

penggunaan satuan lingual lestarikan bermakna perintah atau ajakan

untuk menjaga tetap seperti keadaannya semula. Jadi satuan

bahasa harus lestarikan bermakna kewajiban menjaga sesuatu tetap

seperti keadaannya semula. Lalu satuan bahasa kami pada akhir

kalimat merujuk pada ikan-ikan. Secara umum butir (a) dapat

dipahami bahwa penerbit pamflet membolehkan masyarakat

menangkap ikan dengan syarat menunaikan kewajiban memelihara

terumbu karang yang merupakan rumah bagi ikan-ikan. Artinya

bahwa kewajiban memelihara terumbu karang pada konteks tersebut

hanya dikenakan kepada masyarakat yang menangkap ikan.

Berkaitan dengan penjelasan tersebut, maka contoh (19)

digunakan oleh penutur untuk membolehkan masyarakat menangkap

ikan. Selain itu, kalimat tersebut juga dimaksudkan untuk

memerintah petutur (pengunjung pasar) untuk melestarikan terumbu

karang. Artinya bahwa kalimat imperatif digunakan penutur untuk

menyampaikan pesan melalui pamflet secara langsung.

Dari penjelasan tersebut dapat digambarkan penggunaan

bentuk kalimat dan maksud pada tiap-tiap praanggapan

konterfaktual. Hal ini dapat dilihat pada tabel 4.5. berikut ini.

Tabel 4.5. Penggunaan bentuk kalimat pada praanggapan konterfaktual

Contoh

Bentuk Kalimat

MaksudDek Imp Int Eks

(15.b) Ikan hiu adalah teman bukanuntuk dimakan.

+ Memerintah

97

(20) Penyu adalah sahabat bukan untukdimakan.

+ Memerintah

(19.a) Kalian boleh tangkap kami, tapikalian harus lestarikan rumah kami.

+ Memerintah

Jumlah 2 1 - -

Pada tabel (4.5.) tampak bahwa terdapat tiga praanggapan

konterfaktual. Paraanggapan tersebut dominan direalisasikan

dengan menggunakan kalimat deklaratif. Adapun maksud dari

keseluruhan praanggapan tersebut adalah memerintah.

B. Penggunaan Praanggapan, Bentuk Kalimat dan Maksud Kalimat

pada Tiap-tiap Penerbit Pamflet Sosialisasi Pelestarian

Lingkungan di Kabupaten Wakatobi

Upaya pelestarian lingkungan di kabupaten Wakatobi melalui

pamflet dilakukan oleh Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) dan

Pemerintah. Pada penelitian ini, LSM yang menerbitkan pamflet yaitu:

komunitas melihat alam (Kamelia), Corremap, Rare, dan WWF,

sedangkan dari pemerintah yaitu: Kementerian Kelautan dan Perikanan,

Dinas Kesehatan Kabupaten Wakatobi, dan Pemerintah Daerah

Kabupaten Wakatobi. Selain itu, ditemukan juga pamflet yang diterbitkan

secara kolektif oleh LSM dan pemerintah. Berikut ini uraiannya.

1. Lembaga Swadaya Masyarakat

Sesuai dengan hasil analisis praanggapan, bentuk kalimat,

dan maksud kalimat yang telah dipaparkan sebelumnya, maka

penggunaan praanggapan, bentuk kalimat, dan maksud kalimat dari

98

setiap pamflet yang diterbitkan oleh LSM dapat digambarkan pada

tabel 4.6 dibawah ini.

Tabel 4.6. Rekapitulasi penggunaan praanggapan dan bentuk kalimatpada pamflet yang diterbitkan LSM.

Contoh Praanggapan Bentuk kalimat MaksudPE PF PL PN PS PK Dek Imp Int Eks

(1.a) + + Memerintah(1.b) - + Memerintah(2.a) + + Memerintah(2.b) + + Memerintah(3) + + Memerintah(4) + + Memerintah(5.a) + - Memerintah(5.b) + + Memerintah(5.c) + + Memerintah(6.a) + + Memerintah(6.b) + + Memerintah(9.a) + + Memerintah(9.b) + + Memerintah(10.a) + + Memerintah(10.b) + + Memerintah(11.a) + + Memerintah(11.b) + + Membujuk(11.c) + + Memerintah(12.a) + + Memerintah(12.b) + + Memerintah(14.a) + + Memerintah(14.b) + + Memerintah(15.a) + + Memerintah(15.b) + + Memerintah(17) + + Memerintah(20) + + MemerintahTotal 15 5 1 - 2 2 7 14 2 2(%) 57,7 19,2 3,8 7,7 7,7Dengan Total Praanggapan= 26 (100%)

Pada tabel (4.6.) tampak bahwa LSM menerbitkan 14 pamflet

dan terdiri dari 26 kalimat . Praanggapan yang digunakan yaitu:

57,7% praanggapan eksistensial, 19,2% praanggapan faktif, 3,8%

praanggapan leksikal, 7,7% praanggapan struktural, 7,7%

99

praanggapan konterfaktual. Bentuk kalimat yang digunakan yaitu:

tujuh kalimat deklaratif, empat belas kalimat imperatif, dua kalimat

interogatif, dan dua kalimat ekslamatif. Maksud kalimat tersebut

dominan untuk memerintah.

Berdasarkan uraian tersebut, maka terlihat bahwa

praanggapan eksistensial merupakan praanggapan yang dominan

digunakan oleh LSM. Ditinjau berdasarkan kelangsungan dan

ketaklangsungan kalimatnya, maka LSM menggunakan tiga belas

kalimat langsung dan dua belas kalimat tak langsung.

2. Pemerintah

Sesuai dengan hasil analisis praanggapan, bentuk kalimat,

dan maksud kalimat yang telah dipaparkan sebelumnya, maka

penggunaan praanggapan, bentuk kalimat, dan maksud kalimat dari

setiap pamflet yang diterbitkan oleh pemerintah dapat digambarkan

pada tabel 4.7 dibawah ini.

Tabel 4.7. Rekapitulasi penggunaan praanggapan dan bentuk kalimatpada pamflet yang diterbitkan Pemerintah.

Contoh Praanggapan Bentuk kalimat MaksudPE PF PL PN PS PK Dek Imp Int Eks

(7) + + Memerintah(13) + + Memerintah(18) + + MengajakTotal 1 2 - - - - - 3 - -(%) 33,3 66,7Dengan Total Praanggapan= 3 (100%)

100

Pada tabel (4.7.) tampak bahwa pemerintah menerbitkan tiga

pamflet yang terdiri dari tiga kalimat. Praanggapan yang digunakan

yaitu: 33,3% praanggapan eksistensial dan 66,7% praanggapan

faktif. Ketiga kalimat tersebut menggunakan bentuk kalimat imperatif

yang dimaksudkan memerintah dan mengajak. Berdasarkan uraian

tersebut, maka terlihat bahwa praanggapan faktif merupakan

praanggapan yang dominan digunakan oleh pemerintah. Ditinjau

berdasarkan kelangsungan dan ketaklangsungan kalimatnya, maka

pemerintah menggunakan kalimat langsung.

3. Lembaga Swadaya Masyarakat dan Pemerintah

Sesuai dengan hasil analisis praanggapan, bentuk kalimat,

dan maksud kalimat yang telah dipaparkan sebelumnya, maka

penggunaan praanggapan, bentuk kalimat, dan maksud kalimat dari

setiap pamflet yang diterbitkan oleh LSM dan pemerintah dapat

digambarkan pada tabel 4.8 dibawah ini.

Tabel 4.8. Rekapitulasi penggunaan praanggapan dan bentuk kalimatpada pamflet yang diterbitkan LSM dan Pemerintah .

Contoh Praanggapan Bentuk kalimat MaksudPE PF PL PN PS PK Dek Imp Int Eks

(8.a) + + mengapresiasi(8.b) + + Memerintah(16) + + Memerintah(19.a) + + Memerintah(19.b) + + Memerintah(19.c) + + Memerintah

Total 1 2 - - 2 1 1 2 2 1(%) 16,7 33,3 33,3 16,7Dengan Total Praanggapan= 6 (100%)

101

Pada tabel (4.8.) tampak bahwa LSM dan pemerintah

menerbitkan 3 pamflet secara kolektif yang terdiri dari enam kalimat.

Praanggapan yang digunakan yaitu: 16,7% praanggapan

eksistensial, 33,3% praanggapan faktif, 33,3% praanggapan

struktural, dan 16,7% praanggapan konterfaktual. Bentuk kalimat

yang digunakan yaitu: satu kalimat deklaratif, dua kalimat imperatif,

dua kalimat interogatif, dan satu kalimat ekslamatif. Maksud kalimat

tersebut dominan untuk memerintah. Ditinjau berdasarkan

kelangsungan dan ketaklangsungan kalimatnya, maka LSM dan

pemerintah menggunakan dua kalimat langsung dan empat kalimat

tak langsung.

102

BAB V

PENUTUP

A. Simpulan

Berdasarkan hasil uraian dan analisis data, dapat disimpulkan

beberapa hal yang menjadi temuan dalam penelitian ini. Adapun jumlah

pamflet pada penelitian ini yaitu 20 pamflet yang terdiri dari 35 kalimat.

Temuan tersebut terkait dengan dua tujuan utama penelitian ini, yaitu (1)

Jenis praanggapan dan bentuk kalimat, (2) penggunaan praanggapan,

bentuk kalimat dan maksud kalimat pada tiap-tiap penerbit pamflet yakni

LSM dan pemerintah. Kedua simpulan tersebut dapat diuraikan berikut ini.

Pertama, praanggapan yang terdapat pada pamflet sosialisasi

pelestarian lingkungan di Kabupaten Wakatobi terdiri atas empat jenis,

yaitu 48,6% praanggapan eksistensial, 25,7% praanggapan faktif, 2,8%

praanggapan leksikal, 11,4% praanggapan struktural, dan 8,6%

praanggapan konterfaktual sedangkan praanggapan nonfaktif tidak

ditemukan. Hal ini mengindikasikan bahwa penerbit pamflet di Wakatobi

baik pemerintah maupun LSM berusaha menyosialisasikan pelestarian

lingkungan secara riil. Artinya bahwa penerbit pamflet tidak menggunakan

praanggapan nonfaktif yang notabene sebagai suatu praanggapan yang

diasumsikan tidak benar atau memungkinkan adanya pemahaman yang

salah karena penggunaan kata-kata yang tidak pasti atau ambigu. Dalam

konteks tersebut dapat dipahami bahwa pemerintah dan LSM sangat

serius menangani permasalahan lingkungan. Adapun Bentuk kalimat yang

103

digunakan pada pamflet sosialisasi pelestarian lingkungan di Kabupaten

Wakatobi terdiri atas empat jenis, yaitu (1) kalimat deklaratif, (2) kalimat

interogatif, (3) kalimat imperatif, dan (4) kalimat ekslamatif. Sedangkan

keseluruhan maksud pengutaraannya untuk memerintah, membujuk,

mengajak, dan mengapresiasi.

Kedua, pengunaan praanggapan, bentuk kalimat dan maksud

pamflet sosialisasi pelestarian lingkungan di Kabupaten Wakatobi terdapat

pada LSM dan pemerintah. LSM dominan menggunakan praanggapan

eksistensial dan direalisasikan dengan kalimat deklaratif, kalimat imperatif,

kalimat interogatif, dan kalimat ekslamatif yang bermaksud memerintah,

membujuk, dan mengapresiasi sedangkan pemerintah dominan

menggunakan praanggapan faktif dan direalisasikan dengan kalimat

imperatif saja yang bermaksud memerintah dan mengajak. Secara

keseluruhan bentuk kalimat yang dominan digunakan yakni kalimat

imperatif yang dimaksudkan untuk memerintah. Hal ini menunjukan bahwa

pemerintah dan LSM menyosialisasikan pelestarian lingkungan di

Kabupaten Wakatobi menggunakan kalimat langsung (secara terus

terang).

B. Saran

Berdasarkan simpulan penelitian yang telah dilakukan sebelumnya

maka berikut ini disampaikan beberapa saran yang berkorelasi dengan

hasil penelitian ini.

104

Pertama, tujuan penelitian ini diharapkan mampu menjadi masukan

pengembangan dan pengajaran ilmu pragmatik, terutama pada teori

praanggapan (presupposition). Penggunaan temuan dalam penelitian ini

diharapkan dapat menjadi acuan dan selanjutnya dilakukan

penyempurnaan teori praanggapan dalam berbahasa dan ilmu pragmatik

itu sendiri. Oleh karena itu, disarankan kepada penulis lain yang ingin

meneliti yang ada kaitannya dengan penggunaan praanggapan berikut

bentuk kalimat pada pamflet untuk mengembangkannya lagi, misalnya

implikatur dan efektifitas pamflet.

Kedua, kajian mengenai praanggapan pada pamflet sosialisasi

pelestarian lingkungan di Kabupaten Wakatobi menggunakan jenis-jenis

praanggapan yang menunjukan eksistensi dan kondisi riil perihal

permasalah lingkungan. Adapun penggunaan kalimat disampaikan secara

terus terang atau cenderung represif. Oleh karena itu hendaknya

pemerintah dan LSM menggunakan bentuk-bentuk kalimat fungsional,

saran, dan himbauan agar masyarakat tidak merasa diperintah atau

ditekan demi tercapainya tujuan pamflet.

105

DAFTAR PUSTAKA

Alwi, Hasan. 1992. Modalitas dalam Bahasa Indonesia. Yogyakarta:Kanisius.

Andryanto, Sugeng Febry. 2014. “Analisis Praanggapan pada PercakapanTayangan “Sketsa” di Trans Tv”. Jurnal Penelitian Bahasa, SastraIndonesia dan Pengajarannya. Volume 2 Nomor 3. Surakarta:Universitas Sebelas Maret.

Baisu, Laode. 2015. “Praanggapan Tindak Tutur dalam Persidangan diKantor Pengadilan Negeri Kota Palu”. e-Jurnal Bahasantodea,Volume 3 Nomor 2, hlm 129-143. Palu: Universitas Tadulako.

Baskoro, Suryo B. R. 2014. “Pragmatik dan Wacana Korupsi”. JurnalHumaniora. Vol. 26, No. 1. Yogyakarta: Universitas Gajah Mada.

Cummings, Louise. 2007. Pragmatik Sebuah Perspektif Multidisipliner.Yogyakarta: Pustaka Pelajar.

Chaer, Abdul. 1994. Linguistik Umum. Jakarta: Rineka Cipta.

Cook, Walter A. 1971. Introduction to Tegmememics Analysis. Newyork:Holt, Rinehart, and Winston.

Djajasudarma, T. Fatimah. 1993. Metode Linguistik: Ancangan MetodePenelitian dan Kajian. Bandung: PT Eresco.

_________. 1999. Semantik 2, Pemahaman Ilmu Makna. Bandung: PT.Refika Aditama.

_________. 2012. Wacana dan Pragmatik. Bandung: Refika Aditama.

Felicia. 2013. “Analisis Makna Kanyouku yang Menggunakan Kanji Koshidalam Kodansha’s Dictionary of Basic Japanesse Idioms”. JurnalLingua Cultura. Vol. 7, No. 1. Jakarta: Binus University.

Gusnawaty. 2011. “Perilaku Kesantunan dalam Bahasa Bugis AnalisisSosiopragmatik”. Disertasi. Makassar: Pascasarjana UniversitasHasanuddin.

Hafid, Abdul. 2015. “Ragam Bahasa Iklan Pada Media Cetak”. Tesis tidakditerbitkan. Makassar: Program Pascasarjana UniversitasHasanuddin

106

Halliday, M.A.K. dan Hasan R. 1994. Bahasa, Konteks, dan Teks: Aspek-Aspek Bahasa dalam Pandangan Semiotik Sosial. TerjemahanBarori T. Yogyakarta: Gajah Mada University Press.

Halliday, M.A.K. 1985. An Introduction to Functional Grammar. London:Edwards Arnold.

Hasan, Mu’ammar. 2012. “Makna Leksikal dan Kontekstual dalam BentukMakian Bahasa Jawa Ngoko”. Jurnal Lingustika Akademika. Vol.1, No. 2. Bali: Universitas Udayana.

Hurford, R. James, dkk. 2008. Semantich: a Cousrsebook. Cambridge:Cambridge Univerity Press.

Kridalaksana, Harimurti. 1993. Kamus Linguistik. Jakarta Gramedia.

Kusumawati, Tri Indah. 2014. “Kata dan Pilihan Kata”. Jurnal Al-Irsyad.Vol. 4, No. 1. Sumatera Utara: IAIN Sumatera Utara.

Leech, Geoffrey N. 2011. Prinsip-Prinsip Pragmatik. Jakarta: UniversitasIndonesia-Pres.

Levinson, S.C. 1983. Pragmatics. London: Cambridge University Press.

Mahsun. 2012. Metode Penelitian Bahasa: Tahapan Strategi, Metode, danTekniknya (Edisi Revisi). Jakarta: Rajawali Pers.

Mulyana. 2005. Kajian Wacana: Teori, Metode dan Aplikasi Prinsip-PrinsipAnalisis Wacana. Yogyakarta: Tiara Wacana.

Nababan, P.W.J. 1987. Ilmu Pragmatik: Teori dan Penerapannya. Jakarta:Depdikbud.

Nadar, F.X. 2009. Pragmatik dan Penelitian Pragmatik. Yogyakarta: GrahaIlmu.

Pelawi, Bena Yusuf. 2009. “Aspek Semantik dan Pragmatik dalamTerjemahan”. Jurnal Lingua Cultura. Vol. 3, No. 2. Jakarta: BinusUniversity.

Poerwadarminta, 2011. KBBI Cetakan ke Delapan Belas Edisi IV. Jakarta:Gramedia Pustaka Utama.

Program Pascasarjana. 2015. Pedoman Penulisan Tesis dan Disertasi.Edisi 4. Makasaar: Universitas Hasanuddin.

107

Rahardi, Kunjana. 2002. Pragmatik: Kesantunan Imperatif BahasaIndonesia. Jakarta: Erlangga..

Rahyono, F.X. 2011. Studi Makna. Jakarta: Penaku.

Ramlan. M. 2005. Ilmu Bahasa Indonesia; Sintaksis. Yogyakarta. CVKaryono.

Rusminto, Nurlaksana Eko. 2012. Analisis Wacana Sebuah Kajian Teoritisdan Praktis. Bandar Lampung: Universitas Lampung.

Rohmadi, Muhammad. 2014. “Kajian Pragmatik Guru dan Siswa dalamPembelajaran Bahasa Indonesia”. Jurnal Poedogogia. Vol. 17,No.1. Surakarta: FKIP Univeersitas Sebelas Maret.

Samsuri. 1987. Analisis Bahasa. Jakarta: Erlangga.

Santoso, Anang. 2008. “Jejak Halliday dalam Linguistik Kritis dan AnalisisWacana Kritis”. Jurnal Bahasa dan Seni. Tahun ke-36, No. 1.Padang: Fakultas Bahasa dan Seni Universitas Negeri Padang.

Siahaan, Lusmiati. 2015. “Pemakaian Praanggapan pada TuturanWisatawan Asing dalam Berinteraksi Dengan Penduduk SetempatDi Ubud Bali”. Tesis. Surakarta: Universitas Sebelas Maret.

Slametrianto. 2009. Aplikasi Desain Grafis untuk Periklanan. Yogyakarta:Andi.

Subagyo, P. Ari. 2010. “Pragmatik Kritis: Paduan Pragmatik denganAnalisis Wacana Kritis”. Jurnal Masyarakat Linguistik Indonesia(MLI). Tahun ke-28 No. 2. Jakarta: Unika Atma Jaya.

Sudaryat, Yayat. 2004. Struktur Makna Prinsip-Prinsip Studi Semantik.Bandung: Raksa Cipta.

_________. 2009. Makna dan Wacana. Bandung: Yrama Widya.

Sudaryanto. 1986. Metode Linguistik - Bagian Pertama : Ke ArahMemahami Metode Linguistik. Yogyakarta: Gadjah MadaUniversity Press.

Sutopo, H.B. 2002. Metodeologi Penelitian Kualitatif. Surakarta: UNSPress.

108

_________. 1993. Metode dan Aneka Teknik Analisi Bahasa. Yogyakarta:Duta Wacana University Prees.

Trask, R.L. 1999. Key Concepts in Language and Linguistics. London:Routledge.

Ullmann, Stephen. 2014. Pengartar Pragmatik. Penerjemah: Sumarsono.Yogyakarta: Pustaka Pelajar.

Verhaar, J.W.M. 2010. Asas-Asas Linguistik Umum. Yogyakarta: GadjahMada University Press

Wijana, I Dewa Putu. 1996. Dasar-Dasar Pragmatik. Yogyakarta: AndiOffset.

Winarni, Lilis Wahyuni. 2015. “analisis praanggapan pernyataan humordalam stand up comedy indonesia”. Tesis tidak diterbitkan.Bandung: Sekolah Pascasarjana Universitas PendidikanIndonesia.

Yule, George. 2014. Pragmatik. Penerjemah Indah Fajar Wahyuni.Yogyakarta: Pustaka Pelajar.

___________. 1996. Analisis Wacana. Penerjemah Sutikno. Jakarta:Gramedia.

LAMPIRAN

Data 1

(a) Habis senam pungut sampah.

(b) Keren...!!!

Lokasi : Pantai Marina

Partisipan : LSM Kamelia, dan masyrakat pengunjung

Pantai Marina

Waktu : 2017

Konteks : pamflet dipegang oleh anak sekolah dasar

(SD) pada saat senam pagi.

Data 2

(a)Wakatobi bersih tanpa sampah.

(b)Stop buang sampah ke laut.

Lokasi : Pantai Marina

Partisipan : LSM Kamelia, dan masyrakat pengunjung

Pantai Marina

Waktu : 2017

Konteks : pamflet dipegang oleh anak sekolah dasar

(SD) pada saat senam pagi

Data 3

Sampahmu milikmu!!

Lokasi : Pantai Marina

Partisipan : LSM Kamelia, dan masyrakat pengunjung

Pantai Marina

Waktu : 2017

Konteks : pamflet dipegang oleh anak perempuan dan

bapaknya pada saat senam pagi.

Data 4

Nelayan yang gemar membom dan membius ikan adalah musuh alam.

Lokasi : Pantai Marina

Partisipan : LSM Kamelia, dan masyrakat pengunjung

Pantai Marina

Waktu : 2017

Konteks : pamflet dipegang oleh seorang pria dewasa

pada saat senam pagi

Data 5

(a) Tak kenal maka tak sayang.

(b) Lihatlah lebih dalam.

(c) Lestarikan kekayaan lautmu.

Lokasi : perkampungan Bajo

Partisipan : LSM, dan masyarakat Bajo

Waktu : 2017

Konteks : pamflet dipajang pada pusat informasi di

pelabuhan nelayan. Pelabuhan selalu ramai didatangi

oleh masyarakat bajo yang menunggu kerabat mereka

pulang dari melaut. Selain itu banyak juga kalangan

penjual ikan yang menunggu nelayan dan hendak

membeli hasil tangkapannya. Isi pamflet disertai gambar

ikan-ikan dan terumbu karang.

Data 6

(a) Jaga dan cintai terumbu karang.

(b) Mereka ada agar kami ada.

Lokasi : perkampugan Bajo

Partisipan : LSM, dan masyarakat Bajo

Waktu : 2017

Konteks : pamflet dipajang pada pusat informasi di pos

informasi wisata komplek pendidikan dekat pintu

gerbang perkampungan bajo. Isi pamflet disertai gambar

ikan-ikan dan terumbu karang.

Data 7

Jaga terumbu karang untuk anak cucu kita.

Lokasi : Pasar Sore Wanci

Partisipan : Kementerian Kelautan dan Perikanan, dan

Pengunjung pasar

Waktu : 2017

Konteks : pamflet dipajang pada pusat informasi dekat

penjualan ikan

Data 8

(a) Terimakasih atas partisipasinya dalam melestarikan

terumbu karang.

(b) Terumbu karang sehat, ikan berlimpah, masyarakat

sejahtera.

Lokasi : Pasar Pagi Wanci

Partisipan : Kementerian Kelautan dan Perikanan,

Coremap II, dan pengunjung pasar

Waktu : 2017

Konteks : pamflet dipajang pada pusat informasi

Data 9

(a) Sayangi karang.

(b) Jangan injak karang.

Lokasi : Pasar Pagi Wanci

Partisipan : Coremap II, dan pengunjung pasar

Waktu : 2017

Konteks : pamflet dipajang pada pusat informasi

Data 10

(a) Ala sagaa, heboka ako tey langento.

(b) Ambil sebagian, simpan untuk hari esok

Lokasi : Pasar Sore, Wanci

Partisipan : Coremap II, WWF, RARE, dan pengunjung

pasar

Waktu : 2017

Konteks : pamflet dipajang pada pusat informasi.

Pamflet dilengkapi dengan gambar ikan-ikan.

Data 11

(a) Sadarkah anda?

(b) Betapa berharganya mereka jika sudah dikelola

(c) Kenali potensi dan peluang investasi pulau-pulau kecil

indonesia

Lokasi : Pasar Sore, Wanci

Partisipan : Coremap II, WWF, RARE, dan pengunjung

pasar

Waktu : 2017

Konteks : pamflet dipajang pada pusat informasi dekat

penjualan ikan

Data 12

(a) Tahukah kamu laut indonesia sangat kaya?

(b) Ikan melimpah nelayan sejahtera.

Lokasi : Pasar sentral,Mandati

Partisipan : Coremap II, WWF, RARE, dan pengunjung

pasar

Waktu : 2017

Konteks : pamflet dipajang pada pusat informasi dekat

terminal

Data 13

Selamatkan laut indonesia dari sampah karena laut masa depan bangsa.

Lokasi : Perkampungan Bajo

Partisipan : Kementerian Kelautan dan Perikanan, dan

masyrakat Bajo

Waktu : 2017

Konteks : hari peduli sampah nasional 2017

Data 14

(a) Save Turtle.

(b) Lestarikan penyu dan jangan jadikan mereka buruan.

Lokasi : Pantai Marina

Partisipan : LSM Kamelia, dan masyrakat pengunjung

Pantai Marina

Waktu : 2017

Konteks : pamflet dipegang oleh anak laki-laki dan

ibunya pada saat senam pagi.

Data 15

(a)Save me guys.

(b)Ikan hiu adalah teman bukan untuk dimakan.

Lokasi : Pantai Marina

Partisipan : LSM Kamelia, dan masyrakat pengunjung

Pantai Marina

Waktu : 2017

Konteks : pamflet dipegang oleh anak sekolah dasar

(SD) pada saat senam pagi.

Data 16

Terapkan budaya buang sampah pada tempatnya.

Lokasi : Mandati

Partisipan : LSM Kamelia, Dinas Kesehatan Kabupaten

Wakatobi, Pemerintah Daerah Kabupaten Wakatobi dan

masyrakat pengunjung pasar

Waktu : 2017

Konteks : Terminal pasar sentral Mandati.

Data 17

Bumi saja aku jaga, apalagi kamu.

Lokasi : Lapangan Merdeka

Partisipan : LSM Kamelia, dan masyrakat peserta pawai

Waktu : 2017

Konteks : hari bumi 2017. Pamflet dipegang oleh

perempuan dewasa.

Data 18

Mari selamatkan sumberdaya perikanan kita.

Lokasi : Perkampungan Bajo

Partisipan : Kementerian kelautan dan perikanan, dan

masyarakat bajo

Waktu : 2017

Konteks : pamflet dipajang pada pusat informasi di pos

kamling

.

Data 19

(a) Kalian boleh tangkap kami, tapi kalian harus lestarikan

rumah kami.

(b) Bagaimana??

(c) Deal??

Lokasi : Pasar Pagi Wanci

Partisipan : Kementerian kelautan dan perikanan,

Lingkungan Hidup, LSM Coremap II, dan masyrakat

pengunjung pasar

Waktu : 2017

Konteks : pamflet dipajang pada pos informasi pasar

ikan. Pamflet bergambar ikan-ikan dan terumbu karang

Data 20

Penyu adalah sahabat bukan untuk dimakan.

Lokasi : Pantai Marina

Partisipan : LSM Kamelia, dan masyarakat pengunjung

Pantai Marina

Waktu : 2017

Konteks : pamflet dipegang oleh anak sekolah dasar (SD) pada

saat senam pagi.