Identitas Sepak Bola sebagai City Branding
Transcript of Identitas Sepak Bola sebagai City Branding
1
1
Identitas Sepak Bola sebagai City Branding
Fajar Junaedi (Dosen Ilmu Komunikasi Universitas Muhammadiyah Yogyakarta, e-mail
Abstrak Arema ‘Agama Kedua”, begitu judul sebuah film dokumenter tentang klub Arema yang berasal dari Kota Malang. Judul film ini mengartikulasikan tentang bagaimana sepak bola dimaknai sebagai budaya bersama oleh para penggemarnya. Dalam konteks Malang, atribut Arema seperti syal, kaos dan pernak-pernik lainnya telah menjadi souvenir khas yang mulai menggeser apel yang sebelumnya dikenal sebagai brand kota Malang. Tidak hanya di Malang, demam sepak bola melanda hampir seluruh kota besar di Indonesia. Di Surabaya, toko-toko merchandise bonek bertebaran di berbagai pelosok kota. Demikian juga di Bandung, Jakarta, Semarang dan Solo. Kegairahan penduduk kota untuk menjadi pendukung tim dari kota mereka telah melahirkan potensi baru dalam city branding, yaitu city branding dengan memanfaatkan identitas sepak bola klub lokal. Tulisan ini berusaha mengangkat tentang bagaimana identitas sepak bola lokal dimanfaatkan sebagai city branding, dengan melihat dari pendekatan sosiologi dan kultural suporter, seperti dengan melihat peluang city branding melalui politik identitas dari komunitas suporter. Fenomena yang menarik adalah diangkatnya local wisdom dalam politik identitas komunitas suporter sepak bola. Keywords : sepak bola, branding, kota
Pendahuluan : Kue Renyah Sports Marketing
Olahraga telah berkembang menjadi industri yang kian berkembang.
Olahraga tidak lagi dimaknai sebagai semata-mata aktivitas untuk menjaga
kesehatan tubuh, namun olahraga juga berartikulasi sebagai sebuah industri
budaya. Olahraga digunakan oleh kalangan industri sebagai media untuk
meningkatkan awareness, image bahkan revenue. Perputaran uang di ranah sports
Paper ini dipresentasikan dalam National Conference on City and Branding di Universitas Brawijaya 24 Januari 2012 dan dimuat dalam Buku Proceeding Strategi Communicaton Branding di Era Industri Kreatif, Jurusan Ilmu Komunikasi FISIP Universitas Brawijaya. ISBN 978-602-203-124-0 halaman 55 – 64.
2
marketing terasa kian renyah dan ditaksir mencapai triliunan rupiah. Betapa tidak,
setiap perusahaan setidaknya menggelontorkan dana sekitar puluhan hingga
ratusan miliar rupiah (Cakram Komunikasi, Desember 2005).
Beberapa contoh perusahaan yang menggelontorkan anggaran dalam jumlah
besar dalam kegiatan yang berelasi dengan olahraga adalah sebagai berikut. Bank
Mandiri mensponsori Liga Indonesia di tahun 2004 dengan gelontoran dana 20
milyar rupiah. Posisi Bank Mandiri digantikan oleh Djarum Super sejak tahun 2005.
nama Liga Indonesia pun berganti menjadi Djarum Super Liga Indonesia. Dalam
kompetisi sepak bola ini, Djarum mengucurkan dana sebesar 25 milyar rupiah. Di
cabang olahraga yang lain, LA Menthol, salah satu produksi Djarum, bermain dengan
mengelontorkan dana sebesar 10 milyar rupiah dalam mendukung LA Menthol
Volley Beach. Di cabang bola basket, Djarum mengucurkan dana sebesar 8 milyar
rupiah untuk mensponsori LA Light Street Ball (Cakram Komunikasi, Desember
2005).
Kompetisi dalam sports marketing antar perusahaan pemasang iklan kian
seru, karena kompetitor cenderung untuk tidak tinggal diam melihat pesaingnya
memasang iklan dalam ukuran raksasa dalam event olahraga yang mereka sponsori.
PT. HM Sampoerna adalah salah satu pesaing Djarum yang agresif bermain dalam
sports marketing di berbagai cabang olahraga, diantaranya Dji Sam Soe Copa
Indonesia, A Mild Indonesia Basket Ball League, Sampoerno Hijau Proliga dan A Mild
Billiard International. Dana yang digelontorkan untuk semua kegiatan sports
marketing tersebut mencapai 110 milyar rupiah (Cakram Komunikasi, Desember
2005).
3
3
Wismilak juga tidak ketinggalan dalam meramaikan sports marketing.
Perusahaan ini mem-branding kejuaraan tenis internasional Tenis Wismimak
Internasional Bali. Kejuaraan yang awalnya bernama Wismilak Open ini dikemas
dalam brand yang semakin menginternasional setelah berganti nama (Cakram
Komunikasi, Desember 2005).
Diantara berbagai cabang olahraga, sepak bola menjadi cabang olahraga yang
paling banyak diperebutkan dalam sports marketing. Minuman softdrink, Coca Cola
adalah salah satu brand yang menyadari kekuatan sepak bola. Brand ini berusaha
membangun brand connection dengan menjadi official partner FIFA World Cup
sejak tahun 1978 sampai dengan tahun 2022 (Marketing,07/X/Juli 2010).
Demam sepak bola yang melanda seluruh masyarakat dunia, tidak terkecuali
Indonesia benar-benar digunakan oleh Coca Cola untuk meningkatkan revenue dan
sekaligus memperkuat merek. Perusahaan global ini tidak hanya menjadi sponsor
yang memasang brand di pinggir stadion, namun secara aktif dan massif
mengadakan berbagai event untuk memperkuat brand-nya. Coca Cola adalah sebuah
contoh bagaimana perusahaan global menyadari potensi olahraga, terutama sepak
bola dalam memperkuat brand.
Program yang dilakukan Coca Cola selama penyelenggaraan Piala Dunia
bukan sekedar untuk meningkatkan revenue. Tujuan yang ingin dicapai oleh Coca
Cola adalah membangun brand connection dengan sepak bola dan Piala Dunia, serta
memperkuat asosiasi Coca Cola dengan event tersebut (Marketing,07/X/Juli 2010).
Olahraga di era industri budaya ini nyaris tidak dapat melangsungkan event
dalam skala besar tanpa dukungan brand yang mendukung penyelenggaraannya.
Paper ini dipresentasikan dalam National Conference on City and Branding di Universitas Brawijaya 24 Januari 2012 dan dimuat dalam Buku Proceeding Strategi Communicaton Branding di Era Industri Kreatif, Jurusan Ilmu Komunikasi FISIP Universitas Brawijaya. ISBN 978-602-203-124-0 halaman 55 – 64.
4
Bagi brand, olahraga adalah salah satu kesempatan terbaik untuk memperkuat
brand equity. Melalui olahraga, perusahaan dapat melakukan brand activation yang
melibatkan partisipasi publik. Kraft Fooda Indonesia melalui Biskuat adalah salah
satu perusahaan yang menyadari potensi olah raga sebagai bagaian dari kegiatan
brand activation. Perusahaan ini menggelar event bertajuk Biskuat Akademi Juara.
Dalam event ini, anak-anak dari seluruh Indonesia dilibatkan dalam kompetisi
untuk terpilih mengikuti Arsenal International Soccer Festival, sebuah turnamen
sepak bola antar sekolah sepak bola Arsenl yang tersebar di 30 negara
(Marketing,07/X/Juli 2010).
Potensi sepak bola sebagai brand inilah yang semestinya bisa digunakan oleh
pemerintah daerah dan kalangan industri di daerah. Tidak bisa dipungkiri bahwa
sepak bola adalah olahraga paling populer di Indonesia. Di tengah prestasi sepak
bola Indonesia yang measih terseok-seok serta pengelolaan kompetisi sepak bola
profesional oleh Persatuan Sepak bola Seluruh Indonesia (PSSI) yang carut marut,
penonton tetap saja membanjiri stadion.
Apalagi, klub sepak bola tidak bisa lagi menyusu ke pemerintah daerah
dengan kucuran dana Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD).
Ditutupnya kran penyaluran uang rakyat untuk klub sepak bola profesional melalui
APBD ini telah menyebabkan klub harus berusaha menggali pendanaan dari yang
lain. Dalam konteks inilah sebenarnya, klub sepak bola di berbagai daerah bisa
menjadikan klub sebagai brand yang menarik bagi sponsor, sekaligus brand bagi
kota asal klub tersebut. Ini berarti adalah menjadikan sepak bola sebagai city
branding.
5
5
Sepak Bola Lokal sebagai Brand Kota
Jika Anda ke kota Malang sepuluh tahun yang lalu dan kemudian Anda
mencari oleh-oleh untuk kerabat Anda di rumah apa yang akan Anda cari?
Jawabannya tentu adalah apel, buah yang tumbuh subur di kota ini. Namun kini jika
Anda ke Malang, oleh-oleh apa yang akan Anda bawa untuk anggota keluarga di
rumah? Jawabannya bukan lagi hanya apel, namun bisa kaos Arema, boneka singa,
syal Arema dan pernak-pernik lain yang berhubungan dengan Arema Malang,
sebuah klub sepak bola yang berdiri sejak tahun 1987.
Sama ketika Anda pergi ke Surabaya dan dihadapkan pada pertanyaan
serupa yaitu oleh-oleh apa untuk anggota keluarga di rumah? Jawaban paling
mudah adalah mencari kaos Persebaya, boneka buaya, syal Persebaya dan pernak-
pernik lain yang berhubungan dengan klub yang berdiri sejak tahun 1927 ini.
Coba perhatikan saat klub-klub bertanding. Stadion-stadion yang dihuni
klub-klub besar selalu dipenuhi oleh suporternya. Aremania memenuhi Stadion
Gajayana dan Stadion Kanjuruhan, Bonek memenuhi Stadion Gelora Sepuluh
November, Bobotoh memenuhi Stadion Siliwangi dan Stadion Si Jalak Harupat dan
The Jak memenuhi tribun Gelora Bung Karno.
Selain fenomena melimpahnya suporter yang datang ke stadion, fenomena
lain adalah maraknya toko-toko merchandise klub sepak bola lokal. Di toko-toko
seperti ini berbagai pernak-pernik klub dijual ke suporter untuk dibawa ke stadion
Paper ini dipresentasikan dalam National Conference on City and Branding di Universitas Brawijaya 24 Januari 2012 dan dimuat dalam Buku Proceeding Strategi Communicaton Branding di Era Industri Kreatif, Jurusan Ilmu Komunikasi FISIP Universitas Brawijaya. ISBN 978-602-203-124-0 halaman 55 – 64.
6
maupun dibeli oleh wisatawan sebagai oleh-oleh. Berbagai atribut klub, mulai dari
kaos, syal, bendera, gantungan kunci, boneka, tali handphone dan stiker tersedia di
berbagai toko merchandise klub.
Toko-toko yang menjual merchandise klub ini tersebar mulai dari kawasan
sekitar stadion saat pertandingan berlangsung maupun saat tidak ada pertandingan
serta kawasan lain yang jauh dari stadion. Pedagang kaki lima juga tidak ketinggalan
menggelar barang dagangannya di lapak-lapak di pinggir jalan.
Saat pernak-pernik klub dikenakan oleh para pembeli, maka sebenarnya
bukan hanya nama klub yang terangkat, namun juga nama kota. Ini
mengindikasikan adanya potensi sepak bola lokal sebagai brand identity bagi kota
tersebut yang sekaligus menjadi city branding bagi kota asal klub tersebut.
Brand dapat diartikan sebagai sebuah nama, istilah, tanda, simbol atau fitur-
fitur lain yang mengindikasikan penjual jasa atau barang berbeda dengan yang lain
(O’Giunn,2006:21). Dalam konteks sepak bola lokal, pengertian brand ini
berartikulasi pada nama, istilah, tanda, simbol atau fitur-fitur lain yang berbeda
antar satu klub dengan klub yang lain. Perbedaan ini juga menunjukan perbedaan
kota asal brand tersebut. Sebagai contoh, Arema Malang selalu identitik dengan
nama Arema dan Aremania, julukan Singo Edan, logo singa dan warna biru. Di sisi
yang lain, Persebaya selalu identik dengan nama Persebaya, julukan Bajul Ijo, logo
buaya dan warna hijau. Perbedaan keduanya lalu bukan hanya semata-mata
perbedaan klub, namun juga kota.
Brand menjadi aset paling berharga dari perusahaan atau lembaga
(O’Giunn,2006:21). Dalam konteks kota, brand tidak hanya bisa dimaknai sebagai
7
7
sekedar brand dari klub, namun juga brand dari kota. Untuk memperlihatkan
tentang kekuatan brand dari klub yang mampu berperan sebagai brand kota, kita
dapat menoleh ke klub-klub di luar negeri. Manchester United, klub tersukses di
Liga Inggris adalah salah satu contoh klub sepak bola yang memiliki brand global
yang kuat. Klub berjuluk Red Devils (Setan Merah) ini bukan hanya berhasil
mengangkat prestasi klub, namun juga menjadi brand ambassador dari Kota
Manchester. Nama kota ini bisa jadi lebih dikenal, setidaknya lebih sering disebut,
daripada ibukota Inggris, London.
Di Spanyol, Real Madrid berhasil menjulangkan nama ibukota Spanyol
tersebut. Hampir setiap minggu nama Madrid akan muncul di berbagai media
massa, terutama jika Real Madrid bermain dalam liga-liga yang diikutinya. Tidak
ketinggalan adalah Barcelona, sebuah klub asal Catalan, Spanyol yang memiliki
nama yang identik seratus persen dengan nama kota mereka berasal. Sebagaimana
dengan Madrid, nama Barcelona selalu disebut di berbagai media massa terutama
jika Barcelona bermain dalam liga-liga yang mereka turut serta.
Kemilau dunia sepak bola jugalah yang mendorong Roman Abramovich
dengan seolah semudah membalik telapak tangan membeli saham Chelsea pada
bulan Juli 2003 sebesar 59,3 pound. Ia juga melunasi hutang klub yang menumpuk
sampai 80 juta pound. Chealsea, klub semenjana dari Kota London, tiba-tiba menjadi
penantang serius dari Manchester United, Arsenal dan Liverpool di tahun 2000-an
(Atmakusumah,2006:233). Stamford Bridge, stadion yang menjadi markas Chelsea
sontak menjadi riuh oleh suporter yang membanjiri stadion untuk menonton aksi
pemain sepak bola papan atas. Sebagai brand, Chelsea menjadi brand yang
Paper ini dipresentasikan dalam National Conference on City and Branding di Universitas Brawijaya 24 Januari 2012 dan dimuat dalam Buku Proceeding Strategi Communicaton Branding di Era Industri Kreatif, Jurusan Ilmu Komunikasi FISIP Universitas Brawijaya. ISBN 978-602-203-124-0 halaman 55 – 64.
8
mendunia yang sanggup menarik sponsor besar seperti Samsung untuk menjadi
sponsor.
Loyalitas suporter pada klub bisa jadi melebihi loyalitas brand (brand
loyality). Loyalitas brand terjadi ketika konsumen secara teratur menjadi konsumen
brand tertentu dan sekaligus melakukan eksklusi atas brand yang lain yang menjadi
kompetitor. Loyalitas ini dapat terlaksana karena kebiasaan, karena nama brand
yang sudah melekat di memori konsumen, karena konsumen memiliki asosiasi
dengan brand dan karena konsumen sudah memiliki makna yang dalam atas brand
yang mereka beli (O’Giunn,2006:24). Loyalitas suporter pada klub adalah loyalitas
yang bahkan bisa jadi dipertaruhkan sampai titik darah penghabisan atau menjadi
”agama kedua”. Suporter datang ke stadion dengan memakai atribut klub yang
didukungnya. Di stadion mereka bernyanyi dan bersorak meneriakan nama klub
kesayangannya sampai sembilan puluh menit pertandingan berlangsung. Saat
bernyanyi tidak jarang mereka meneriakan makian untuk klub rivalnya.
Bagi suporter sepak bola, klub lawan adalah pihak yang dimusuhi dan
dianggap sebagai rival. Proses inilah yang menjadikan loyalitas suporter pada klub
dari kotanya melebihi loyalitas mereka pada brand-brand lain yang mereka
konsumsi. Adalah kecil kemungkinan, suporter mengenakan atribut dari klub yang
mereka anggap sebagai rival. Suporter Arema tidak mungkin memakai kaos
Persebaya, dan begitu juga sebaliknya selama kedua klub ini masih menjadi rival.
9
9
Brand sebagai Aktivitas Budaya : Cerita tentang Singa dan Wong Mangap
Klub sepak bola telah menjadi brand ikonik (iconic brand) bagi kota klub
tersebut berasal. Brand ikonik ini terbangun melalui aktivitas kultural
(Holt,2004:207). Logo singa yang dimiliki Arema Malang adalah salah satu contoh
tentang kekuatan klub sepak bola yang menjadi brand ikonik. Logo singa ini
awalnya berasal dari pendirian Arema Malang pada tahun 1987. Para pendiri klub
ini menjadikan singa sebagai logo Arema Malang, dengan alasan sederhana yaitu
bahwa klub ini berdiri di bulan Agustus yang memiliki rasi bintang Leo. Rasi bintang
ini sesuai namanya dilambangkan dengan singa.
Sebagai brand yang terbentuk dari aktivitas kultural, logo ini kemudian
dihubungkan dengan mitos dan kebudayaan yang berkembang di Malang dan
sekitarnya. Kerajaan Singasari yang dalam bahasa Jawa dibaca Singosari adalah
artefak budaya yang paling terkait dengan Arema. Kata singa dimaknai sebagai kata
yang relevan dengan pemberian logo singa sebagai logo Arema Malang. Ini
sebenarnya agak unik, karena singa sebagai hewan tidak berasal dari Indonesia.
Bagi orang Jawa, kata singo acapkali digunakan untuk merujuk harimau. Hal ini
memperlihatkan adanya kearifan lokal (local wisdom) yang diserap dalam
pembentukan identitas dari brand klub sepak bola di Indonesia.
Julukan Arema dengan kata Singo Edan juga muncul sebagai aktivitas
kultural. Julukan ini muncul dengan sendirinya dari kalangan media massa di awal
berdirinya Arema. Julukan ini tetap bertahan dan juga bertambah variasi dengan
penggunaan bahasa walikan, sebuah gaya bahasa khas Malang, dengan sebutan
Paper ini dipresentasikan dalam National Conference on City and Branding di Universitas Brawijaya 24 Januari 2012 dan dimuat dalam Buku Proceeding Strategi Communicaton Branding di Era Industri Kreatif, Jurusan Ilmu Komunikasi FISIP Universitas Brawijaya. ISBN 978-602-203-124-0 halaman 55 – 64.
10
Ongis Nade.
Penamaan suporter Arema dalam nama Aremania juga muncul sebagai
aktivitas budaya. Awalnya nama suporter resmi dari Arema adalah Arema Fans
Club, namun tidak begitu bergaung. Adalah Ovan Tobing yang kemudian
memadukan kata Arema dan Mania yang digabung dalam kata Aremania.
Penggunaan akhiran mania inilah yang kemudian banyak ditiru oleh komunitas
suporter lain, seperti Slemania, Deltamania, Lamania dan sebagainya.
Sebuah fakta yang menarik adalah bahwa logo singa lebih terkenal daripada
tugu kota Malang yang menjadi logo resmi dari pemerintah kota Malang. Fakta ini
bisa membuktikan kekuatan sepak bola sebagai brand yang mengakar kuat bagi
sebuah kota.
Contoh lain tentang kekuatan brand sepak bola yang dibangun dari aktivitas
budaya adalah ikon wong mangap (orang yang mulutnya terbuka) yang dimiliki
Persebaya Surabaya. Logo dari klub ini sebenarnya adalah gambar buaya dan ikan
hiu yang mengapit tugu pahlawan. Selain logo ini ada logo lain yang lebih identik
dengan klub ini. Logo tersebut adalah gambar wong mangap, yaitu gambar seorang
laki-laki dengan ikat kepala Persebaya dan berteriak dengan urat-urat di wajah yang
terlihat kekar. Rambut laki-laki yang ada di gambar wong mangap terurai panjang
mengembang tidak beraturan.
Tidak banyak yang tahu tentang sejarah ikon ini. Jika ditelusuri ikon ini
berasal dari keberhasilan Persebaya menembus final Divisi Utama Perserikatan di
pertengahan dekade 1980-an. Jawa Pos, sebuah koran yang saat itu sedang
berkembang di Surabaya, mengkoordinir tret, tret, tret, yaitu sebuah even untuk
11
11
menggerakan suporter Persebaya ke Senayan (nama Gelora Bung Karno di masa
Orde Baru). Dahlan Iskan, pemilik Jawa Pos merasa perlu adanya ikom dan atribut
klub yang mampu memperlihatkan Persebaya berbeda dengan klub lain. Akhirnya,
Mister Muhtar, jurnalis Jawa Pos yang bertanggung jawab atas desain membuat ikon
wong mangap. Gambar yang dibuat hanya dalam waktu satu malam tersebut tidak
merujuk pada figur tertentu, namun sebaliknya justru merujuk figus arek-arek
Suroboyo di tahun 1945. Alasan itulah yang menyebabkan rambut dalam wong
mangap terurai panjang tidak beraturan lengkap dengan ikat kepala. Gambar yang
dibuat oleh Mister Muhtar kemudian disempurnakan oleh desainer Jawa Pos yang
lain yaitu Budiono menjadi gambar wong mangap yang dikenal saat ini.
Julukan bonek (bondo nekat) pada suporter Persebaya juga bukan proses
yang didesain dalam riset jangka panjang. Julukan ini kali pertama ditulis oleh
Slamet Oerip Pribadi untuk berita-berita di Jawa Pos tentang tour away suporter
Persebaya ke Jakarta dalam putaran final Divisi Utama. Istilah bonek awalnya
digunakan untuk merujuk keberanian suporter Persebaya dalam perjalanan tour
away-nya. Istilah ini kemudian menjadi identik dengan suporter Persebaya dengan
beragam artikulasinya. Penamaan bonek ini juga memperlihatkan adanya
penyerapan kearifan lokal yang bersumber pada semangat perjuangan arek-arek
Suroboyo dalam pertempuran 10 November 1945.
Dari dua cerita di atas, kita bisa melihat bahwa dalam ranah sepak bola lokal,
konsumen lebih aktif dalam berinteraksi dengan klub yang diasosiasikan sebagai
brand. Dalam konteks lebih luas, sebenarnya ada dua cara bagaimana makna brand
diinternalisasi oleh konsumen. Perspektif pertama menyebutkan bahwa lembaga
Paper ini dipresentasikan dalam National Conference on City and Branding di Universitas Brawijaya 24 Januari 2012 dan dimuat dalam Buku Proceeding Strategi Communicaton Branding di Era Industri Kreatif, Jurusan Ilmu Komunikasi FISIP Universitas Brawijaya. ISBN 978-602-203-124-0 halaman 55 – 64.
12
menciptakan makna simbolik bagi produk yang mereka ciptakan dan kemudian
menyuntikannya dalam “dunia yang diatur secara kultural”. Perspektif kedua
menyebutkan bahwa konsumen secara aktif mennggunakan cara kreatif untuk
mengkombinasikan dan mengadaptasi makna sesuai kehidupan mereka (Schoeder
[ed],2006:103). Perspektif kedua ini agaknya lebih tepat dalam memahami
bagaimana proses klub sepak bola di Indonesia menjadi brand bagi kota tempat
klub tersebut berasal.
Dalam cerita tentang singa, kita bisa melihat bagaimana publik di Kota
Malang secara kreatif melakukan kombinasi atas gambar singa. Singa bisa
dipadukan dengan angka 1987 yang menjadi tahun berdirinya Arema. Singa juga
bisa dipadukan dengan tanda tangan pemain Arema sebagaimana yang populer di
tahun 2010 dan 2011 dalam kaos Arema yang bergambar singa dan tanda tangan
pemain Arema. Singa juga bisa diwujudkan dalam boneka, gantungan kunci, tali
handphone dan sebagainya yang berhubungan dengan dengan singa. Kreativitas
inilah menjadikan brand klub sepak bola menjadi lebih kuat karena muncul dari
bawah, bukan dari kebijakan manajemen klub. Tanpa diperintah, publik yang
menggemari Arema memakai berbagai atribut Arema, saat mereka di Malang
maupun di luar Malang.
Dalam cerita tentang wong mangap juga tidak jauh berbeda dengan cerita
tentang singa. Wong mangap yang dibuat dalam waktu satu malam menjadi brand
yang melekat dengan Surabaya. Setiap melihat gambar wong mangap, ingatan
publik selalu Kota Surabaya. Wong mangap kemudian secara kreatif dibuat dalam
berbagai model, mulai wong mangap dengan gaya rastafarian, wong mangap dengan
13
13
kepada tengkorak, wong wangap yang dikombinasikan dengan gambar Viking dan
sebagainya.
Penutup
Adalah tidak dapat disangkal bahwa sepak bola adalah olahraga yang paling
banyak digandrungi. Popularitas sepak bola sebagai olahraga paling populer
sebenarnya membuka peluang bagi pemerintah kota dan stake horder-nya untuk
menjadikan sepak bola sebagai brand.
Memang, sepak bola di Indonesia sedang mengalami keterpurukan. Salah
kelola terutama karena kapitalisme semu bernama APBD yang menggerogoti
kompetisi sepak bola Indonesia telah membuat prestasi sepak bola Indonesia jalan
di tempat. Meninggalkan penggunaan APBD untuk kompetisi sepak bola profesional
adalah keharusan yang mutlak, karena dengan masih tergantung pada APBD sepak
bola tidak akan maju dan kompetitif sebagaimana yang bisa kita lihat di liga-liga di
benua biru yang dikelola secara profesional.
Untuk inilah, sebenarnya identitas yang melekat pada klub sepak bola di
sebuah kota bisa dikelola sebagai brand kota tersebut. Klub sepak bola bisa
mengajak stake holder yang terkait untuk membangun sepak bola sebagai brand.
Suporter sepak bola dengan sendirinya sudah datang ke stadion, membeli berbagai
pernak-pernik klub dan mengenakannya di berbagai kesempatan. Sebuah peluang
yang bisa dikelola dengan profesional dengan keterlibatan berbagai pihak, mulai
Paper ini dipresentasikan dalam National Conference on City and Branding di Universitas Brawijaya 24 Januari 2012 dan dimuat dalam Buku Proceeding Strategi Communicaton Branding di Era Industri Kreatif, Jurusan Ilmu Komunikasi FISIP Universitas Brawijaya. ISBN 978-602-203-124-0 halaman 55 – 64.
14
dari klub, pemerintah kota, kalangan industri dan sebagainya.
Daftar Pustaka
Holt, Douglas B. (2004). How Brands Become Icon : The Principles of Cultural
Branding. Boston, Harvard Business School Press
Natakusumah, Arief (2008). Drama itu Bernama Sepak Bola : Gambaran Silang
Sengkarut Olahraga, Politik dan Budaya. Jakarta, Elex Media Komputindo.
O’Guinn, Thomas C. (2006). Advertising and Integrated Brand Promotion. Mason,
Thomson
Schroeder, Jonathan E and Morling, Miriam Salzer [ed] (2006). Brand Culture.
London, Routhledge.
--- (2005). Boom Sports Marketing. Cakram edisi Desember 2005.
---(2010). Meraup Untung dari Seasonal Marketing. Marketing No. 07/X/Juli 2010