REPRESENTASI IDENTITAS KULTURAL DALAM LAGU ...

10
32 Prolitera, 1(1): Juli 2018, ISSN 26216795 PROLITERA Jurnal Penelitian Pendidikan, Bahasa, Sastra, dan Budaya Program Studi Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia, STKIP Santu Paulus Ruteng, e-mail: [email protected] Available online: http://jurnal.stkipsantupaulus.ac.id/index.php/jpro/ REPRESENTASI IDENTITAS KULTURAL DALAM LAGU-LAGU POP MANGGARAI Ans. Prawati Yuliantari, Siprianus Sion, Hilaria Serlina Galung, Maria Trifina Endang, Oktavianus Agung Program Studi Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia STKIP Santu Paulus Ruteng E-mail: [email protected] Abstrak Salah satu cara orang Manggarai untuk melukiskan dinamika yang terjadi dalam kehidupan sosial, politik, dan budayanya adalah melalui lagu tradisional yang berakar dari tradisi tutur ( oral tradition). Hal itu berkaitan dengan fungsi lagu dalam masyarakat Manggarai sebagai sarana untuk meneruskan nilai-nilai dari para orang tua kepada anak-anaknya. Selain berfungsi sebagai alat penerus tradisi dan sarana untuk mengekspresikan dinamika masyarakat, lagu-lagu itu juga menampilkan identitas kultural orang Manggarai. Representasi identitas berupa kebiasaan, adat istiadat, nilai-nilai, dan norma-norma itu ditampilkan dalam lirik lagu pop daerah Manggarai. Berdasarkan fenomena itu maka terdapat dua pertanyaan penelitian, yaitu: apa bentuk- bentuk identitas kultural yang diperlihatkan dalam musik pop Manggarai dan bagaimana identitas kultural itu ditampilkan dalam lirik lagu-lagu pop Manggarai. Untuk menjawab pertanyaan-pertanyaan ini dipergunakan metode discourse analysis guna mengidentifikasi, mengungkap, dan menganalisis identitas budaya yang berhubungan dengan kehidupan masyarakat. Hasil dari penelitian ini dapat diketahui bentuk-bentuk identitas kultural yang terdapat dalam lagu-lagu pop daerah Manggarai. Kata Kunci: discourse analysis, lagu, pop, Manggarai Abstract One of the ways Manggaraian describes the dynamics of social, politics, and cultural life are through traditional songs that are rooted in oral tradition. It is related to the song function in the Manggarai community as a means to pass on the values of the parents to their children. More than means of succession of traditions and expressing the dynamics of society, these songs also display the cultural identity of Manggarai people. The representation of identity in the form of customs, values, and norms are displayed in the lyrics of Manggarai pop songs. Based on this phenomenon, there are two research questions, namely: what are the forms of cultural identity shown in Manggarai pop music and how the cultural identity is displayed in the lyrics of Manggarai pop songs. To answer these questions, discourse analysis method is used to identify, reveal, and analyze the cultural identity associated with community life. The results of this study is the forms of cultural identity contained in Manggarai pop songs. Keywords: discourse analysis, song, pop, Manggarai

Transcript of REPRESENTASI IDENTITAS KULTURAL DALAM LAGU ...

32

Prolitera, 1(1): Juli 2018, ISSN 26216795

PROLITERA

Jurnal Penelitian Pendidikan, Bahasa, Sastra, dan Budaya

Program Studi Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia,

STKIP Santu Paulus Ruteng, e-mail: [email protected]

Available online: http://jurnal.stkipsantupaulus.ac.id/index.php/jpro/

REPRESENTASI IDENTITAS KULTURAL

DALAM LAGU-LAGU POP MANGGARAI

Ans. Prawati Yuliantari, Siprianus Sion, Hilaria Serlina Galung,

Maria Trifina Endang, Oktavianus Agung

Program Studi Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia

STKIP Santu Paulus Ruteng

E-mail: [email protected]

Abstrak

Salah satu cara orang Manggarai untuk melukiskan dinamika yang terjadi dalam kehidupan sosial, politik, dan

budayanya adalah melalui lagu tradisional yang berakar dari tradisi tutur (oral tradition). Hal itu berkaitan

dengan fungsi lagu dalam masyarakat Manggarai sebagai sarana untuk meneruskan nilai-nilai dari para orang

tua kepada anak-anaknya. Selain berfungsi sebagai alat penerus tradisi dan sarana untuk mengekspresikan

dinamika masyarakat, lagu-lagu itu juga menampilkan identitas kultural orang Manggarai. Representasi

identitas berupa kebiasaan, adat istiadat, nilai-nilai, dan norma-norma itu ditampilkan dalam lirik lagu pop

daerah Manggarai. Berdasarkan fenomena itu maka terdapat dua pertanyaan penelitian, yaitu: apa bentuk-

bentuk identitas kultural yang diperlihatkan dalam musik pop Manggarai dan bagaimana identitas kultural itu

ditampilkan dalam lirik lagu-lagu pop Manggarai. Untuk menjawab pertanyaan-pertanyaan ini dipergunakan

metode discourse analysis guna mengidentifikasi, mengungkap, dan menganalisis identitas budaya yang

berhubungan dengan kehidupan masyarakat. Hasil dari penelitian ini dapat diketahui bentuk-bentuk identitas

kultural yang terdapat dalam lagu-lagu pop daerah Manggarai.

Kata Kunci: discourse analysis, lagu, pop, Manggarai

Abstract

One of the ways Manggaraian describes the dynamics of social, politics, and cultural life are through

traditional songs that are rooted in oral tradition. It is related to the song function in the Manggarai community

as a means to pass on the values of the parents to their children. More than means of succession of traditions

and expressing the dynamics of society, these songs also display the cultural identity of Manggarai people. The

representation of identity in the form of customs, values, and norms are displayed in the lyrics of Manggarai

pop songs. Based on this phenomenon, there are two research questions, namely: what are the forms of cultural

identity shown in Manggarai pop music and how the cultural identity is displayed in the lyrics of Manggarai

pop songs. To answer these questions, discourse analysis method is used to identify, reveal, and analyze the

cultural identity associated with community life. The results of this study is the forms of cultural identity

contained in Manggarai pop songs.

Keywords: discourse analysis, song, pop, Manggarai

Prolitera: Jurnal Penelitian Pendidikan Bahasa, Sastra, dan Budaya, 1 (1) 2018, hal. 32– 41

33

PENDAHULUAN

Tindakan para pemusik Manggarai untuk

menggambarkan situasi sosial sekaligus menyatakan

pendapat terhadap kondisi yang mereka lihat melalui

berbagai karya sebenarnya merupakan bagian integral

dari fungsi musik dalam kehidupan masyarakat

(Merriam, 1964). Lagu atau nyanyian dalam budaya

Manggarai tak hanya sebagai sarana hiburan, namun

juga untuk meneruskan nilai-nilai dari generasi yang

lebih tua kepada anak-anaknya. Penggunaan lagu-lagu

ini berhubungan dengan tidak dikenalnya budaya tulis

dalam masyarakat Manggarai. Beberapa bentuk

nyanyian tradisional seperti dere juga berisi hubungan

manusia dengan sesamanya dan alam semesta (Deki,

2011). Orang Manggarai melukiskan dinamika yang

terjadi dalam kehidupan sosial, politik, dan budayanya

melalui berbagai kesenian tradisional. Salah satu

sarana yang paling banyak digunakan adalah lagu

tradisional yang berakar dari tradisi tutur (oral

tradition).

Selain berfungsi sebagai penerus nilai-nilai dari

para orang tua kepada anak-anaknya, lagu-lagu itu

juga menampilkan identitas kultural orang Manggarai.

Representasi identitas itu berupa kebiasaan, adat

istiadat, nilai-nilai, dan norma-norma yang

membedakan masyarakat Manggarai dengan

komunitas yang berasal dari wilayah lain. Identitas

kultural itu dapat dilihat dalam lirik lagu-lagunya.

Dalam musik populer Manggarai (musik pop

Manggarai) pola-pola lagu tradisional tetap

dipertahankan. Nilai-nilai lama yang telah

direaktualisasikan sesuai dengan perkembangan jaman

menjadi tema-tema dalam teks syairnya. Pemunculan

nilai-nilai itu secara tidak langsung memperlihatkan

kondisi masyarakatnya. Berbagai perubahan dan

pergeseran orientasi hidup penduduk lokal mengubah

juga sebagian identitas kulturalnya. Kenyataan sosial

itu terekam dalam lirik-lirik lagu pop Manggarai,

sehingga musik pop Manggarai dapat dikatakan

sebagai gambaran mutakhir tentang kondisi

masyarakatnya.

Berdasarkan fungsi dan peran lagu dalam

masyarakat Manggarai serta posisi lagu-lagu pop

daerah Manggarai di tengah masyarakat, maka

terdapat dua permasalahan yang perlu dijawab,

pertama, apa bentuk-bentuk identitas kultural yang

diperlihatkan dalam musik pop Manggarai? Kedua,

bagaimana identitas kultural itu ditampilkan dalam

teks lagu-lagu pop Manggarai?

Dengan melihat permasalahan yang ada, maka

tujuan penelitian ini adalah: pertama: mengidentifikasi

identitas kultural Manggarai yang terdapat dalam teks

lagu-lagu pop Manggarai. Kedua, mengkaji dan

menganalisis bentuk-bentuk identitas kultural yang

terdapat dalam teks lagu-lagu itu. Ketiga, mengkaji

dan menganalisis identitas kultural yang ada dalam

teks itu dengan menggunakan teori discourse analysis.

Keempat, mendorong penelitian lanjutan yang

menggunakan lirik-lirik lagu sebagai obyek kajian.

Penelitian ini perlu dilakukan karena kurangnya

kajian budaya pop, terutama musik pop lokal di

Indonesia. Penelitian dengan menggunakan metode

discourse analysis dalam lirik lagu pop Manggarai

diperlukan karena melalui penelitian ini dapat

diketahui bentuk-bentuk identitas kultural masyarakat

Mnggarai yang terkandung dalam lagu-lagu itu.

Penelitian ini menargetkan identifikasi nilai-

nilai kultural yang terdapat dalam lagu-lagu pop

Manggarai yang menjadi obyek kajian. Kedua,

mengidentifikasi reaktualisasi identitas kultural

Manggarai dalam obyek kajian. Ketiga, melakukan

interpretasi terhadap hasil-hasil temuan tentang

identitas budaya Manggarai dalam lirik lagu-lagu itu.

Dengan tujuan-tujuan yang ditetapkan ini, maka

kontribusi penelitian ini terhadap bidang keilmuan,

khususnya kajian musik dan teks adalah penggunaan

metode discourse analysis tidak hanya dapat

diterapkan dalam teks karya sastra, tetapi juga dalam

teks lagu-lagu. Selain itu penelitian ini juga

bermanfaat untuk bahan kajian terhadap budaya pop,

terutama lagu-lagu pop daerah.

Terdapat dua manfaat pada penelitian ini, yaitu

manfaat secara teoretis dan praktis. Manfaat

Teoretisnya adalah penelitian ini dapat dipergunakan

oleh para peneliti lain sebagai salah satu referensi

untuk mengkaji berbagai permasalahan sosial budaya

yang ada kaitannya dengan musik popular. Kedua,

penggunaan metode discourse analysis dalam kajian

lirik musik pop daerah dapat menjadi alternatif bagi

kajian musik, terutama yang berbicara dalam konteks

masyarakat lokal. Manfaat Praktis: pertama, sebagai

daerah yang berada jauh dari pusat pemerintahan

informasi mengenai Manggarai sulit diperoleh, oleh

karenanya penelitian ini berguna bagi pihak-pihak

yang membutuhkan informasi tentang masyarakat

Manggarai. Kedua, syair-syair lagu pop Manggarai

yang mencerminkan aspirasi, kondisi, dan situasi

masyarakat menjadi sumber informasi atas dinamika

Yuliantari, Sion, Galung, Endang, Agung, Representasi Identitas Kultural…

34

masyarakat, sehingga dapat menjadi masukan bagi

para stakeholder di Manggarai dalam menetapkan

kebijakan yang berpihak pada masyarakat. Sementara

luaran yang diharapkan dari penelitian ini berupa

laporan penelitian dan artikel pada jurnal yang belum

terakreditasi.

Seni tidak bisa dipisahkan dari masyarakat. Seni

merupakan bentuk ekspresi individu maupun

kelompok di dalam masyarakat. Dinamika kehidupan

sebuah masyarakat terlihat dalam karya seninya, hal

itu menurut Merriam (1964) merupakan salah satu

fungsi seni. Selain itu, seperti terlihat dalam berbagai

peristiwa penting di dunia, seni juga dapat mengubah

sebuah kondisi dan mendorong perubahan sosial.

Musik sebagai salah satu bagian dari seni juga

mempunyai fungsi yang berhubungan dengan

masyarakatnya. Dalam kajian tentang musik rakyat,

Lomax dalam Roy (2010) mengatakan bahwa fungsi

pertama musik adalah menciptakan perasaan aman

untuk para pendengarnya dengan menyuarakan

kondisi wilayah dan kehidupan masyarakatnya.

Penggambaran kondisi wilayah dan kehidupan

masyarakat itu merupakan bagian dari konstruksi

identitas melalui hasil karya seni.

Lebih jauh dikemukakan oleh Connell &

Gibson (2003) bahwa para seniman, bahkan seluruh

komunitas dapat merepresentasikan diri mereka

sendiri dan pengalaman-pengalamannya melalui

musik, termasuk lirik-lirik yang dituliskannya, seperti

halnya karya sastra. Tujuan sebuah masyarakat

merepresentasikan dirinya melalui lagu adalah untuk

kepentingan strategis tertentu, seperti melawan

hegemoni musik transnasional, melakukan

indigenisasi dan reteritorialisasi, serta melakukan

hibriditas antara musik lokal dan global (Yuliantari,

2016).

Dalam penelitian itu dikemukakan bahwa arti

musik adalah sebuah sistem interaksi, artinya arti dari

musik baru dapat ditemukan dalam konteks hubungan

antara individu-individu dalam sebuah kelompok,

karena interpretasi terhadap musik terjadi setelah

adanya interaksi (Tekman, Boer, & Fischer, 2012).

Masyarakat Manggarai menggunakan musik untuk

berinteraksi dengan sesamanya secara tradisional, dan

konsep-konsep itu masih terdapat dalam lagu-lagu

musik pop daerah, meskipun terdapat pergeseran

orientasi dan tujuan dari pewarisan nilai-nilai budaya

dari generasi ke generasi menjadi media hiburan dan

komoditas budaya pop.

Identitas budaya yang ditampilkan dalam hasil

budaya sebuah masyarakat selalu merupakan gagasan

ideal dari masyarakatnya, sesuatu yang harus

dilakukan. Meskipun demikian realitas kehidupan

juga dituangkan dalam lirik-lirik lagu. Hal itu yang

ditampilkan dalam musik pop daerah di berbagai

wilayah, sesuai dengan pendapat Frith (2006), “The

experience of pop music is an experience of identity

[…] Music, […] symbolizes and offers the immediate

experience of collective identity” (hlm. 122-123). Pop

musik merupakan gambaran pengalaman sebuah

masyarakat, termasuk di dalamnya identitas budaya

yang dikontruksikan oleh masyarakatnya.

Dalam penelitian tentang musik, salah satu

bentuk metode analisisnya dengan menggunakan

discourse analysis. Menurut Shuker (2001) discourse

analysis adalah metode untuk menganalisis pola-pola

bahasa dan fungsi sosialnya. Metode ini berusaha

mencari asumsi-asumsi, sistem kepercayaan, dan

hubungan makna-makna yang tersembunyi dalam

wacana tertentu. Oleh sebab itu metode ini

dipergunakan dalam analisis lirik dalam lagu-lagu

karena lirik lagu adalah bahasa tampilan. Penerapan

discourse analysis secara praktis dilakukan oleh Gee

(2011). Dalam bukunya diberikan contoh-contoh

penggunaan metode ini untuk mengkaji berbagai

obyek penelitian seperti lagu, film, dan bahan kajian

teks. Buku lainnya adalah pengantar pada teori dan

praktek discourse analysis juga ditulis oleh Gee (Gee,

2011 ). Dalam buku kedua dijabarkan dasar

teoretisnya serta bagaimana hal itu diterapkan dalam

kajian ilmiah.

Beberapa penelitian tentang lagu pop daerah di

Indonesia telah dilakukan oleh para ahli. Hibriditas

musik daerah dengan alat musik Barat yang

menghasilkan musik pop daerah dilakukan oleh

Sutton (2013). Obyek kajian dalam artikel ini adalah

simponi kecapi yang berasal dari Sulawesi Selatan

dan campur sari yang berasal dari Jawa Tengah.

Keduanya mengalami hibriditas karena kepentingan

pemasaran dan penyesuaian format dengan industri

musik modern. Musik pop Manggarai disinggung

dalam sebuah bagian tulisan Kanisius Teobaldus Deki

dalam konteks tuturan sastra lisan (Deki, 2011).

Melalui tulisan ini diperoleh periodisasi musik pop

Manggarai dari awal kemunculannya sampai tahun

Prolitera: Jurnal Penelitian Pendidikan Bahasa, Sastra, dan Budaya, 1 (1) 2018, hal. 32– 41

35

2000-an. Riset tentang lagu Minang dilakukan oleh

Barendregt (2002), berisi konsep lagu Minang sebagai

pelepas rindu terhadap kampung halaman dan

memunculkan semangat kekerabatan bagi orang-orang

Minang yang tinggal di dalam maupun luar wilayah

Sumatera Barat.

Kajian tentang hubungan industri rekaman dan

tradisi lisan dilakukan oleh Suryadi (2010). Obyek

kajiannya adalah industri musik tradisional di

Minangkabau. Persoalan yang diangkat adalah

perekaman tradisi lisan menggunakan berbagai

teknologi rekaman seperti VCD (Video Compact

Disc) dan kaset dan dampaknya terhadap popularitas

dan distribusinya dalam masyarakat. Tulisan Suryadi

(2015) lainnya merupakan bagian dari disertasinya.

Riset itu berbicara tentang pengaruh perusahaan

rekaman yang ada di daerah terhadap budaya lokal

dalam hubungannya dengan berbagai media lainnya.

Kajian tentang musik pop Indonesia

dilakukan oleh beberapa peneliti seperti Bodden

(2005) tentang rap di Indonesia dan perannya dalam

akhir masa pemerintahan Orde Baru. Kajian tentang

modernitas dan musik Indonesia dilakukan oleh

(Wallach & Clinton, 2013). Berbagai persoalan music

di Indonesia dituliskan oleh keduanya, baik jenis

musik sampai sampul lagu yang merepresentasikan

genre tertentu. Penelitian Baulch tentang musik pria

dewasa (Baulch, 2010) mengamati berbagai artikel

tentang musik yang ada dalam majalah musik Rolling

Stone Indonesia (RSI). Tenyata music yang didengar

oleh para pria dewasa yang menjadi pangsa pasar

majalah itu menampilkan relasi antara genre dan kelas

sosial tertentu.

METODE

Penelitian ini merupakan jenis penelitian

kualitatif terhadap lirik lagu-lagu pop daerah

Manggarai dengan menggunakan metode discourse

analysis. Menurut Shuker (2001) lirik lagu adalah

bahasa tampilan sehingga metode ini dapat

dipergunakan untuk menganalisis pola-pola bahasa

dan fungsi sosialnya. Selain itu metode ini juga sesuai

untuk menemukan asumsi-asumsi, sistem

kepercayaan, dan hubungan makna-makna yang

tersembunyi dalam wacana tertentu. Oleh sebab itu

metode discourse analysis dapat mengidentifikasi

identitas budaya yang termuat dalam lirik lagu dan

mengungkap serta menganalisis identitas budaya yang

ditampilkan oleh para penulis lagu pop daerah

Manggarai yang berhubungan dengan kehidupan

masyarakatnya.

Penelitian ini dilakukan dengan melalui

beberapa tahapan: pertama, tahap pengumpulan

sumber primer dan sekunder. Sumber primer dalam

penelitian ini adalah teks lagu-lagu pop Manggarai

dengan rentang temporal antara tahun 1970-an-1990-

an, seturut dengan periodisasi musik pop daerah

Manggarai yang dirumuskan oleh Deki (2011), yaitu

musik Manggarai yang telah menggunakan alat musik

modern. Berdasarkan periodisasi itu maka sampel

yang dipakai adalah lagu-lagu milik musikus

Manggarai yang terkenal pada periode tersebut.

Sumber sekunder berupa sumber-sumber pustaka

yang berasal dari jurnal ilmiah, buku, serta majalah

baik cetak maupun online. Tahap kedua berupa tahap

olah data, pada tahap ini dilakukan pemilihan dan

pemilahan, serta pembuatan kategori serta penyusunan

catalog terhadap data-data yang diperoleh melalui

analisis terhadap isi lirik lagu-lagu yang menjadi

sampel penelitian. Tahap ketiga berupa tahap

interpretasi, yaitu kategori yang sudah disusun dalam

catalog kemudian dihubungkan dan diinterpretasikan

sesuai dengan konteks yang ada sehingga dapat

memperlihatkan identitas budaya yang berusaha

ditampilkan oleh para penulis lagu-lagu pop daerah

Manggarai.

Teknik pengumpulan data primer dalam

penelitian ini menggunakan purposive sampling, yaitu

pemilihan sampel berdasarkan tujuan tertentu

(Arikunto, 2010). Berdasarkan teknik ini maka

diambil tiga orang penyanyi yang terkenal pada

masanya yaitu Makarius Arus untuk periode 1970-an,

Daniel Anduk pada masa 1980-an, dan Feliks Edon

pada tahun 1990-an. Dari masing-masing penyanyi

diambil 2 (dua) lagu dengan tema yang mewakili dan

sesuai dengan permasalahan yang diangkat dalam

penelitian. Selain sampel data primer yang telah

ditentukan di atas, sebagai referensi dipergunakan

juga sumber-sumber pustaka dari buku dan hasil

penelitian dalam jurnal-jurnal ilmiah.

Data yang berupa teks lirik lagu-lagu pop

daerah Manggarai dikumpulkan, kemudian

diklasifikasikan berdasarkan tema-tema yang

ditemukan dan dirumuskan selama proses

pengumpulan data. Setelah itu lirik lagu-lagu itu

dimasukkan dalam katalog yang dibuat berdasarkan

kategori tertentu. Pada tahap ini identifikasi terhadap

nilai-nilai budaya lokal dapat diperoleh. Tahap

Yuliantari, Sion, Galung, Endang, Agung, Representasi Identitas Kultural…

36

selanjutnya adalah menghubungkan masing-masing

kategori yang sesuai untuk dilakukan interpretasi. Hal

ini dilakukan untuk mengetahui identitas kultural yang

berusaha ditampilkan dalam teks lirik lagu-lagu pop

Manggarai.

REPRESENTASI IDENTITAS KULTURAL

DALAM LAGU-LAGU POP MANGGARAI

Identitas yang dimiliki oleh suatu kelompok

masyarakat ditampilkan untuk menunjukkan

perbedaannya dari masyarakat lainnya. Oleh sebab

itu, identitas perlu direpresentasikan dalam simbol-

simbol kultural yang dikenal oleh masyarakatnya.

Berdasarkan definisinya dalam ilmu sosial:

“[representation] in a more nuanced

meaning, which has

linked the practices and norms of

representing and which may,

for example, be used in the mass media, in

order to present

images of particular social groups.” (Edgar & Sedgwick, 2008, hlm. 294)

Dalam hal ini, representasi dalam media

massa yaitu lagu pop daerah yang

diperdengarkan kepada khalayak menggunakan

radio, tape recorder, maupun internet berfungsi

untuk menampilkan imaji atau gambaran tentang

kelompok sosial tertentu. Selain itu, bahasa juga

berfungsi sebagai “the representation of

thoughts in language, sekaligus “the linguistic

representation of the world of empirical

experience.” (hlm. 294) Representasi identitas kultural yang

ditampilkan melalui lagu pop Manggarai antara lain:

aktivitas masyarakat yang terlihat dalam lagu-lagu

Daniel Anduk berjudul “Daeng Tapa.” Dalam lagu

itu digambarkan aktivitas masyarakat yang sedang

membakar ubi kayu yang dalam bahasa lokal disebut

daeng. Lagu “Daeng Tapa” menunjukkan hasil bumi

lokal sebagai bagian dari identitas masyarakat.

Aktivitas membakar ubi kayu menjadi penanda bagi

aktivitas masyarakat yang penting sehingga diangkat

dalam lagu, tetapi aktivitas itu bukan saja sebagai

bentuk aktivitas, melainkan bermakna untuk

menikmati hidup. Memakan ubi menjadikan

seseorang merasa menikmati hidup sekaligus

menunjukkan kemauan untuk bekerja keras demi

kehidupan mereka untuk memenuhi kebutuhannya.

Lagu itu juga menunjukkan bahwa ubi kayu

menjadi representasi dari pola kehidupan

masyarakat. Bahasan pertama, menunjuk daerah

tertentu di Manggarai Barat, yaitu Kempo. Hal itu

terlihat dalam teks, “Daeng kempo daeng o,” yang

berarti ubi yang berasal dari wilayah Kempo.

Pemilihan wilayah Kempo sebagai lokasi dapat

berhubungan dengan kondisi wilayah yang subur.

Hal ini terlihat dalam bagian lain teks yaitu, “lole

daeng daeng e.” Kesuburan itu menimbulkan

kenikmatan bagi masyarakat yang tinggal di daerah

itu. Kata, “daeng a wusak koe tuka’g daeng e,”

menunjukkan makanan dapat mendukung kehidupan

dan menjamin kesejahteraannya.

Selain menampilkan hal bersifat harafiah,

terdapat pula beberapa pesan secara filosofis seperti:

“Neka na’as tombo data Nyia nuk nai rum,” dan

“Neka imbis tombo nipi. Nyia nuk nai rum.” Dari dua

teks itu dapat terlihat bahwa masyarakat Manggarai

mengidealkan kehidupan yang harmonis dengan

masyarakat sekitar. Omongan orang jangan menjadi

penghalang relasi sosial, sesuatu yang telah terjadi

tidak perlu dipersoalkan. Demikian juga kepercayaan

yang tidak pada tempatnya dan cenderung kontra

produktif seperti pembicaraan tentang mimpi. Hal-

hal seperti itu menghambat relasi sosial dan aktivitas

individu, sehingga setiap orang harus berpegang

teguh terhadap prinsip dan hati nuraninya dalam

menghadapi berbagai persoalan.

Bentuk identitas lainnya yang ditampilkan

adalah hubungan kekerabatan. Relasi terdekat

dengan anggota keluarga ini terdapat dalam lagu

“Katarina” oleh Makarius dan Daniel Anduk dengan

lagu “Hop Hau Ngom,” dan Feliks Edon dengan lagu

“So Aso.” Sistem kekerabatan pada lagu “Katarina”

terlihat pada kata-kata,

Weta ge...a...

Ee,,,e,,,e a

Kata weong na’i

ge...e...e

Ca’it weta leca ho’o

gee....

Gelang ka’t benta’n

Saudariku

Ee….e….e a

Kata sedih hati ku

Saudari tunggal

Cepat dipanggil Tuhan

Adikku tersayang

Cepat sekali pergi

Prolitera: Jurnal Penelitian Pendidikan Bahasa, Sastra, dan Budaya, 1 (1) 2018, hal. 32– 41

37

gea..

Cait weta momang

ho’o gee....

Gelang ka’t mora’n ge

a...

Pada lagu di atas ditunjukkan bahwa sang

tokoh dan Katarina mempunyai hubungan

kekerabatan sebagai kakak dan adik. Sebutan “weta”

menunjukkan bahwa Katarina adalah saudara

perempuan. Kata “weta leca” menyatakan bahwa

Katarina adalah saudari satu-satunya, sehingga

sesuai dengan teks keseluruhan lagu, kematiannya

membawa kesedihan mendalam bagi saudara laki-

lakinya.

Selain pada teks di atas, identifikasi

kekerabatan juga terdapat dalam syair:

Kata weong nai ge....e...e

Awo Bea Ngawang.....

Awo Bea Ngawang

Bea Ngawang rei anak’n

e.....

Weta ge.....a......

Kata merana hati ku

Di Bea Ngawang

Di Bea Ngawang

Bea Ngawang tanya

anakmu

Adikku

Di lagu itu juga menampilkan bahwa

Katarina telah berkeluarga dan memiliki anak yang

tinggal jauh dari orang tua. Kepergian Katarina ke

rumah sakit yang berada di Goloworok

menyebabkan anak-anaknya menderita dan selalu

bertanya-tanya tentang kondisinya. Berdasarkan teks

lagu di atas, ditunjukkan juga bila sang tokoh, yaitu

paman dari anak-anak Katarina, mempunyai

hubungan yang erat dengan keponakan-

keponakannya, karena dalam budaya Manggarai,

keluarga lelaki sebagai pemberi istri (wife giver)

mempunyai kewajiban untuk melindungi saudara

perempuan dan keturunannya (Deki, 2011).

Relasi kekerabatan juga terdapat dalam lagu

“Hop Hau Ngom,” tulisan Daniel Anduk. Lagu itu

menunjukkan peran ayah sebagai tokoh sentral

dalam keluarga. Anak dalam lagu itu merasa

kehilangan ketika ayahnya meninggal dunia karena

kehilangan tokoh yang menjadi panutan dan

pelindung keluarga. Posisi itu tidak tergantikan oleh

orang lain. Hal ini dapat terlihat dalam bait,

Ho’o hau ngom ho kini engkau telah pergi

ema.....

Ho’o hau ngom go

ema ge....

Toe kin pung ca’n

laki anak

imi amas deming

ema ata kami ga

Ho;o hau ngom ho

ema....

Ho’o hau ngom go

ema ge...

Toe ki pung ca’n laki

anak

imi amas deming

ema ata kami ga

ayah

kini engkau telah pergi

ayahku

belum satu pun anakmu

yang ambil istri

malu kami percayakan

ayah orang lain

kini engkau telah pergi

ayah

kini engkau telah pergi

ayahku

belum satu pun anakmu

yang menikah

malu kami percayakan

ayah orang lain

Selain memiliki peran sentral yang tidak

tergantikan, kesedihan yang ditimbulkan oleh

kehilangan orang tua menyebabkan kehidupan sang

tokoh menderita. Tokoh dalam lagu ini

mendefinisikan kehilangan itu sebagai kemalangan

yang menimpa hidupnya dan berpengaruh terhadap

nasibnya di dunia.

Ho’o hau ngom go

ema ge...

Toe di pung laki anak

dading’m

kanang ata pait ami

musi mai tenang

ema

kini engkau telah pergi

ayahku

belum satu pun anakmu

yang ambil istri

duka selalu menimpa

kami jika ingat ayah

Hal lain yang terlihat dalam lagu ini adalah

posisi ayah yang penting dalam kehidupan sebuah

keluarga. Kedudukan itu tidak tergantikan oleh orang

lain, meskipun termasuk kerabat atau kenalan. Peran

penting ayah ini berhubungan dengan relasi sosial

dan kultural dengan masyarakat di lingkungannya.

Ayah menjadi kepala keluarga, pemimpin, dan

penghubung antara anak-anaknya dengan generasi

sebelumnya. Peran ini terlihat dalam teks:

Ho’o hau ngom ho

ema.....

Ho’o hau ngom go

ema ge....

Toe kin pung ca’n laki

anak

imi amas deming ema

kini engkau telah pergi

ayahku

kini engkau telah pergi

ayahku

belum satu pun anakmu

yang ambil istri

kebingungan kami

Yuliantari, Sion, Galung, Endang, Agung, Representasi Identitas Kultural…

38

ata kami ga mengharapkan orang tua

orang lain

Selain lagu di atas, system kekerabatan juga

terdapat dalam lagu Daniel Anduk lainnya, yaitu

“Mose Lalo.” Dalam lagu yang berbicara tentang

seorang pemuda yang hidup sebatangkara,

ditunjukkan bahwa keluarga sebagai pusat kehidupan

kekerabatan dalam masyarakat Manggarai

mempunyai dimensi konflik. Hal ini dapat

disebabkan oleh berbagai faktor seperti kemiskinan,

ketidakharmonisan dalam keluarga, anak di luar

perkawinan, atau berbagai persoalan lainnya. Dalam

konteks lagu ini, anak lelaki dalam sebuah

perkawinan ditinggalkan oleh keluarganya karena

faktor penikahan yang tidak harmonis. Hal ini

terlihat dalam teks:

deeee mose lalo

deeee mose lalo

lalo ledong one leso

lalo pencang one

wejang

deee mose hanang

deee mose hanang

mose hanang kaeng tana

lingi-lengot kaeng lino

kawe ema agu ameee

coo ame toe haeng

kawe laku ende bo ende

toe repeng

mori baeng aku ta deee

mori baeng anak meee

Hidup sebatang kara

Hidup sebatang kara

Sebatang kara hidup

sengsara

Ditinggal sendirian

Hidup sendiri

Hidup sendiri

Hidup sendiri di dunia

Sunyi senyap tinggal di

dunia

Mencari bapa dan sanak

saudara

Mencari sanak saudara

tidak ada

Kucari ibu, tapi ibu

tidak kutemukan

Tuhan kasihanilah aku

Tuhan kasihanilah

anakmu

Dalam lagu di atas, sang anak laki-laki

berusaha mencari sanak-saudara atau keturunan dari

ayahnya, tetapi tidak ditemukannya seperti dalam

teks, “kawe ema agu ameee, coo ame toe haeng.”

Demikian juga ketika mencari ibu dan keluarga

besarnya, “kawe laku ende bo ende toe repeng.”

Ekspoitasi kesedihan dalam lagu di atas

menjadi tujuan utama, sehingga menghilangkan

realitas, bahwa di Manggarai eratnya system

kekerabatan menyebabkan anak-anak menjadi

tanggung-jawab bersama seluruh klan. Ketiadaan

seorang ayah atau ibu dapat digantikan secara

fungsional oleh paman atau bibi seorang anak atau

kakek dan neneknya. Kondisi seorang anak seperti

dalam lagu di atas termasuk hal yang jarang terjadi

dalam realitas kemasyarakatan.

System kekerabatan juga terdapat pada lagu

“So Aso.” Dalam lagu ini ditampilkan keluarga besar

yang berhubungan dengan sang tokoh. Hal itu

terlihat dalam teks di bawah ini:

So inang so amang so 4x

Sooo inang sooo amang

So aso inang so aso

amang soo2x

Inang dalu cibal le

Amang dalu lamba ee

Siri sok ee toe pening one

peti manuk kiokok

kiokok kiii oo

So inang so amang so 4x

Sooo inang sooo amang

So aso inang so aso

amang soo2x

Hai bibi hai paman

Hai bibi hai paman

Hai bibi hai paman

Bibi dalu Cibal

Paman dalu

Lambaleda

Bisik-bisik tidak

punya ayam

peliharaan

Hai bibi hai paman

Hai bibi hai paman

Hai bibi hai paman

Melalui lagu ini Feliks Edon

menggambarkan hubungan kekerabatan di luar

keluarga inti. Melihat sebutannya, yaitu “Inang” dan

“Amang” hal itu mengindikasikan hal yang serupa

dengan lagu “Katarina,” yaitu pentingnya posisi

“anak rona” dalam system kekerabatan di daerah ini.

Anak rona sebagai wife giver berperan penting

menentukan posisi seseorang dalam masyarakat.

Penyebutan lokasi dalam konteks keluarga ini

menunjukkan banyaknya hubungan kekerabatan

yang dimiliki baik yang berasal dari Cibal maupun

yang dari Lambaleda.

Selain hubungan kekerabatan hal lain yang

dikemukakan di sini adalah kritik terhadap kebiasaan

masyarakat tertentu yang menghabiskan waktunya

dengan berbisik-bisik atau bergossip sehingga

menghabiskan waktu. Akibat dari perbuatan itu

adalah tidak tercukupinya kebutuhan hidup. Hal ini

tercermin dalam syair lagu, “Siri sok ee toe pening

one peti manuk.” Kebiasaan bergossip membuat

keluarga paman dan bibi sang tokoh tidak dapat

memelihara ayam.

Bagi masyarakat Manggarai hewan

peliharaan sangat dibutuhkan karena berguna untuk

kebutuhan sehari-hari maupun acara adat tertentu.

Prolitera: Jurnal Penelitian Pendidikan Bahasa, Sastra, dan Budaya, 1 (1) 2018, hal. 32– 41

39

Ayam berguna untuk berbagai ritus adat seperti teing

hang, memberi makan arwah nenek moyang, we’e

mbaru, selamatan pendirian rumah, acara pergantian

tahun, dan lain sebagainya. Keluarga yang tidak

punya hewan peliharaan membutuhkan biaya lebih

besar untuk mengadakan hewan kurban.

Terdapat identifikasi tempat tertentu yang

berada di wilayah Manggarai seperti terlihat dalam

lagu “Daeng Tapa” yaitu Kempo, seperti yang

terdapat dalam syair, “Daeng kempo daeng o”.

Dalam hal ini wilayah Kempo ditunjukkan sebagai

daerah yang subur sehingga menghasilkan ubi kayu

yang enak dan dalam jumlah besar sehingga

menyejahterakan masyarakat seperti dalam teks,

“De....daeng ngenggo lako na”.

Dalam lagu “Katarina” tempat yang

ditampilkan adalah Lida, Goloworok, Bea Nawang.

Lida menunjuk lokasi tempat tinggal sang tokoh

yang berada di sebelah barat dari Goloworok. Hal ini

terdapat dalam teks, “Sale Barat Lida..... Sale Barat

Lida...Barat Lida re’i inang’m....e”. Goloworok

adalah tempat di mana adik perempuan satu-satunya

itu di rumah sakit, hal itu terdapat dalam teks “Eta

Golo Worok..... Eta Golo Worok....Golo Worok do

tombo’m e.” Sementara Bea Ngawang adalah tempat

tinggal anak-anak Katarina, hal ini terlihat dari kata-

kata “Awo Bea Ngawang..... Awo Bea Ngawang, Bea

Ngawang rei anak’n e.” Pemilihan Goloworok dan

Lida tidak mempunyai konotasi tertentu selain

menunjukkan jauhnya lokasi itu dengan sang tokoh

sehingga menimbulkan kepedihan ketika Katarina

meninggal dan sang tokoh tidak dapat

mengunjunginya lebih awal. Sementara Bea Nawang

menunjukkan jika anak-anak Katarina tinggal di

tempat berbeda karena ibunya harus tinggal di rumah

sakit seperti terdapat dalam teks, “Awo Bea

Ngawang, Bea Ngawang rei anak’n e.”

Dalam lagu “So Aso” karangan Feliks Edon,

lokasi yang ditunjuk meliputi dua wilayah yaitu

Cibal dan Lamba. Hal ini dapat dilihat dalam teks,

“Inang dalu cibal le, Amang dalu lamba ee.” Lagu

ini menunjukkan banyaknya kerabat yang dimiliki

oleh sang tokoh. Di sini Cibal dan Lamba(leda)

adalah dua dalu yang cukup luas, sehingga

mengindikasikan hubungan dengan orang yang

berasal dari berbagai wilayah.

Dalu adalah system pemerintahan lokal yang

setara dengan kecamatan dalam stuktur

pemerintahan pusat. Berbeda dengan kecamatan

yang condong bersifat administratif, kedaluan

bersifat geopolitik. Pemerintah kedaluan lebih

mandiri dan mempunyai otoritas yang besar terhadap

wilayahnya. Hal ini disebabkan karena dalu

bertanggungjawab terhadap wilayahnya secara

ekonomi, sosial, dan politis terhadap pimpinan yang

lebih tinggi, yaitu raja (Toda, 2011). Kedaluan Cibal

dan Lamba(leda) mempunyai kekuasaan politik yang

besar di Manggarai sebelum kedatangan Belanda

pada abad XIX. Kekuasaan keduanya surut setelah

pemerintah Hindia Belanda memaklumkan system

pemerintahan baru yang berpusat di Ruteng.

Pada lagu “Ngkiong Ta” tidak disebutkan

lokasi secara spesifik, tetapi himbauan untuk

menjaga lingkungan diberlakukan secara umum

karena lokasi yang disebutkan tidak bersifat

definitive. Hal itu terdapat dalam teks di bawah ini:

Senget Runing

Ngkiong Neka Poka

Puar

Boto Mora Usang

Lawa Eee Eee

Kudut Kembus

Tedeng Wae Teku

Aku Mboas Wae

Woang Dite Gaa

Runing Ngkong,

Ngkong Ee Ie Aa

Aoo Uoo Uoa

Ngkiong Eee

Senget Runing

Ngkiong Neka Tapa

Satar

Dengar suara Ngkiong

jangan membabat hutan

Agar tidak kurang hujan

Supaya mata air tetap

mengalir

Tetap mengalir air

sumber kehidupan

Suara ngkiong Ngkong

Ee Ie Aa

Aoo Uoo Uoa Ngkiong

Eee

Dengar suara Ngkiong

jangan membakar semak-

semak

Dalam teks di atas lokasi yang disebutkan

adalah puar (hutan), wae teku (mata air), dan satar

(semak-semak). Selain itu disebutkan juga poco atau

hutan belantara. Keempat lokasi itu terdapat di

seluruh Manggarai Raya dan identik dengan wilayah

Manggarai yang subur.

Penempatan lokasi-lokasi dalam lagu

Manggarai tidak hanya terdapat dalam lagu pop,

tetapi hal itu terdapat juga dalam genre lagu lain

seperti rap. Penggunaan tempat dalam rap Manggarai

juga menjadi bagian untuk menunjukkan identitas

para rapper (Yuliantari A. P., 2015). Jika para

rapper menggunakan tempat sebagai usaha

menunjukkan kredibilitasnya dalam ruang dan

Yuliantari, Sion, Galung, Endang, Agung, Representasi Identitas Kultural…

40

tempat (Yuliantari A. P., 2016), para penyanyi pop

daerah Manggarai menggunakan tempat sebagai

representasi dari berbagai kepentingan seperti jarak,

kemakmuran suatu tempat, dan geopolitics.

Keanekaragaman representasi tempat dalam pop

Manggarai disebabkan karena tidak adanya konvensi

fungsi ruang dan tempat seperti dalam lagu rap

Manggarai.

Bagian lain yang disebutkan dalam lagu pop

Manggarai adalah pentingnya menjaga kelestarian

lingkungan hidup. Dalam teks lagu “Ngkiong Ta,”

lokasi yang disebutkan adalah puar (hutan), wae teku

(mata air), dan satar (semak-semak). Tiga lokasi ini

berhubungan erat dengan kehidupan masyarakat

Manggarai yang agraris. Hutan berfungsi untuk

resapan air sehingga sumber mata air dapat terus

hidup. Hal ini penting karena masyarakat di desa

menggantungkan air minum dari mata air, bukan

menggunakan sumur. Demikian juga semak-semak

harus dijaga agar tidak terjadi tanah longsor. Hutan

juga menjadi sumber kayu bakar. Pembabatan hutan

dapat menyebabkan hancurnya ekologi. Termasuk

hilangnya hewan-hewan penghuni hutan yang

berperan membantu petani memberantas hama

tanaman, seperti ular dan burung hantu yang menjadi

lawan tikus.

Dalam teks lainnya disebutkan “Dere Ngkiong

Taaa Ngkiong Le Poco.” Meskipun mempunyai

terjemahan yang sama antara puar dan poco tetapi

pada kenyataannya keduanya.

PENUTUP

Lagu atau nyanyian dalam budaya Manggarai

tak hanya sebagai sarana hiburan, namun juga untuk

meneruskan nilai-nilai dari generasi yang lebih tua

kepada anak-anaknya. Penggunaan lagu-lagu ini

berhubungan dengan tidak dikenalnya budaya tulis

dalam masyarakat Manggarai.

Analisis terhadap lagu-lagu pop daerah

Manggarai dapat dilakukan dengan menggunakan

metode discourse analysis. Penggunaan metode ini

memungkinkan untuk mengupas identitas kultural

masyarakat yang ditampilkan dalam teks-teks lagu

pop daerah. Identitas ini direpresentasikan dengan

menggunakan lagu karena meluasnya penggunaan

media massa baik audio maupun visual.

Identitas kultural masyarakat yang semula

diwariskan dengan menggunakan cara konvensional,

yaitu berbagai bentuk kesenian tradisional kemudian

diganti oleh media modern. Melalui media yang baru

representasi identitas itu dapat menjangkau berbagai

kalangan di lokasi yang lebih luas, sehingga teks lagu

pop daerah menjadi media efektif untuk

merepresentasikan identitas kultural orang Manggarai.

DAFTAR PUSTAKA

Arikunto, S. (2010). Prosedur Penelitian: Suatu

Pendekatan Praktik. Jakarta: Rineka Cipta.

Barendregt, B. (2002). The sound of longing for

home: Redefining a sense of community

through Minang popular music. Bijdragen

tot de Taal-, Land- en Volkenkunde 158

(2002), no: 3, Leiden, 411-450.

Baulch, E. (2010). Music for the Pria Dewasa:

Changes and Continuities in Class and Pop

Music Genre. Journal of Indonesian Social

Sciences and Humanities Vol. 3, 2010, pp.

99-130, 99-130.

Bodden, M. (2005). Rap in Indonesian Youth Music

of the 1990s: ‘‘Globalization,’’ ‘‘Outlaw

Genres,’’ and Social Protest. Asian Music:

Summer/Fall 2005, 1-26.

Connell, J., & Gibson, C. (2003). Sound Tracks:

Popular Music, Identity, and Place. London:

Routledge.

Davis, H. (2004). Stuart Hall. London: SAGE

Publication.

Deki, K. T. (2011). Tradisi Lisan Orang Manggarai:

Membidik Persaudaraan Dalam Bingkai

Sastra. Jakarta: Parrhesia.

Edgar, A., & Sedgwick, P. (2008). Cultural Theory:

The Key Concepts. London: Routledge.

Frith, S. (2006). Music and Identity. In S. Hall, & P.

d. Gay, Questions of Cultural Identity (pp.

108-127). London: SAGE Publications Inc. .

Gee, J. P. (2011 ). An introduction to Discourse

Analysis: Theory and Method. London:

Routledge.

Gee., J. P. (2011). How to do Discourse Analysis : a

Toolkit . London: Routledge.

Merriam, A. P. (1964). The Anthropology of Music.

Evanston: Northwestern University Press.

Prolitera: Jurnal Penelitian Pendidikan Bahasa, Sastra, dan Budaya, 1 (1) 2018, hal. 32– 41

41

Procter, J. (2006). Stuart Hall. New York:

Routledge.

Roy, W. G. (2010). Reds, Whites and Blues: Social

Movement, Folk Music, and Race in the

United States. Princeton: Princeton

University Press.

Shuker, R. (2001). Popular Music: The Key

Concepts. New York: Routledge.

Suryadi. (2010). The Impact of the West Sumatran

regional recording industry on Minangkabau

oral literature. Wacana, Vol. 12 No. 1 (April

2010), 35—69.

Suryadi. (2015). The Recording Industry and

“regional” Culture in Indonesia: The case of

Minangkabau. Wacana Vol. 16 No. 2 , 479-

509.

Sutton, R. A. (2013). Musical Genre and Identity in

Indonesia: Simponi Kecapi and Campur

Sari. Asian Music, Volume 44, Number 2,

Summer/Fall 2013, 81-94.

Tekman, H. G., Boer, D., & Fischer, R. (2012).

Values, Functions of Music, and Musical

Preferences. Proceedings of the 12th

International conference on Music

Perception and Cognition and the 8th

Triennial Conference Of the European

Society for the Cognitive Science of Music

(hlm. 372-377). Thessaloniki: Tanpa

Penerbit.

Toda, D. N. (2011). Manggarai Mencari

Pencerahan Historiografi. Ende: Nusa

Indah.

Wallach, J., & Clinton, E. (2013). History,

Modernity, and Music Genre in Indonesia:

Popular Music Genres in the Dutch East

Indies and Following Independence. Asian

Music Vol. 44 Number 2 Summer/ Fall 2013,

3-23.

Yuliantari, A. P. (2015). Ruteng is da City:

Representasi Lokalitas dalam Musik Rap

Manggarai. Resital Vol. 16 No. 2 Agustus

2015, 65-74.

Yuliantari, A. P. (2016). Hibriditas Budaya

Amerika: Studi Transnasional Musik Rap

pada Masyarakat Manggarai di Nusa

Tenggara Timur. Yogyakarta: Universitas

Gadjah Mada, unpublished dissertation.