KONSTRUKSI IDENTITAS BRAND MARLBORO DALAM PERSPEKTIF KONSUMEN

15
KONSTRUKSI IDENTITAS BRAND MARLBORO DALAM PERSPEKTIF KONSUMEN Oleh : Quina Asrin Muslimah Ilmu komunikasi Universitas Brawijaya Malang ABSTRACT Indonesia has the third highest number of smokers in the world. It was noted that 61.4 million people in Indonesia were smokers. Marlboro is one of the global cigarette brands that have potential market in Indonesia. The number of consumers can be seen that the Marlboro was ranked 9th in the Top 100 Most Valuable Global Brands 2014. Marlboro ranked as the first cigarette company in the world. Not only in Indonesia, Marlboro have the strong marketing in the world. Strong marketing of Marlboro is a form of message transmission successed by brand identity Marlboro. The message transmission brand identity accepted by consumers as receiver with the result is image and interpretation. The purpose of this research is to find and analyze the construction of the brand identity Marlboro in the consumer's perspective. This research used qualitative data analysis based on cognitive map belongs to Miles and Huberman (2014). Researcher are collecting data with in depth interview and observation on thirteen loyal customers Marlboro in Malang as informants. Based on the research that has been done, the conclusion is the brand identity of Marlboro in the consumer's perspective as a foreign brand has quality product, prestigious and elegant. Marlboro symbolizes as cowboy with masculinity. Cowboy is also identical with the culture United States. Prestigious and elegant of Marlboro became an ideal reflection for consumers. So consumers has motivated to be a Marlboro smoker in order to form self-image according to their reflection of Marlboro smokers. PENDAHULUAN Industri pengolahan tembakau dalam tahun 2008-2013 di Indonesia termasuk dalam 15 besar Industri besar menurut Badan Pusat Statistik Indonesia. Meski dinilai sebagai industri yang kontroversial, rokok masih menjadi produk pemuas kebutuhan masyarakat Indonesia. Hal ini ditunjukkan dengan banyaknya jumlah industri rokok di berbagai wilayah Indonesia. Badan Pusat Statistik mencatat pada tahun 2013 sebanyak 949 industri rokok yang tersebar di Indonesia.

Transcript of KONSTRUKSI IDENTITAS BRAND MARLBORO DALAM PERSPEKTIF KONSUMEN

KONSTRUKSI IDENTITAS BRAND MARLBORO DALAM PERSPEKTIF

KONSUMEN

Oleh :

Quina Asrin Muslimah

Ilmu komunikasi

Universitas Brawijaya

Malang

ABSTRACT

Indonesia has the third highest

number of smokers in the world. It was

noted that 61.4 million people in

Indonesia were smokers. Marlboro is

one of the global cigarette brands that

have potential market in Indonesia.

The number of consumers can be seen

that the Marlboro was ranked 9th in the

Top 100 Most Valuable Global Brands

2014. Marlboro ranked as the first

cigarette company in the world. Not

only in Indonesia, Marlboro have the

strong marketing in the world. Strong

marketing of Marlboro is a form of

message transmission successed by

brand identity Marlboro. The message

transmission brand identity accepted

by consumers as receiver with the

result is image and interpretation.

The purpose of this research is

to find and analyze the construction of

the brand identity Marlboro in the

consumer's perspective. This research

used qualitative data analysis based on

cognitive map belongs to Miles and

Huberman (2014). Researcher are

collecting data with in depth interview

and observation on thirteen loyal

customers Marlboro in Malang as

informants.

Based on the research that has

been done, the conclusion is the brand

identity of Marlboro in the consumer's

perspective as a foreign brand has

quality product, prestigious and

elegant. Marlboro symbolizes as

cowboy with masculinity. Cowboy is

also identical with the culture United

States. Prestigious and elegant of

Marlboro became an ideal reflection

for consumers. So consumers has

motivated to be a Marlboro smoker in

order to form self-image according to

their reflection of Marlboro smokers.

PENDAHULUAN

Industri pengolahan tembakau

dalam tahun 2008-2013 di Indonesia

termasuk dalam 15 besar Industri

besar menurut Badan Pusat Statistik

Indonesia. Meski dinilai sebagai

industri yang kontroversial, rokok

masih menjadi produk pemuas

kebutuhan masyarakat Indonesia. Hal

ini ditunjukkan dengan banyaknya

jumlah industri rokok di berbagai

wilayah Indonesia. Badan Pusat

Statistik mencatat pada tahun 2013

sebanyak 949 industri rokok yang

tersebar di Indonesia.

Meski pemerintah Indonesia

menghimbau masyarakat untuk tidak

merokok, ternyata jumlah perokok di

Indonesia dapat dikatakan tinggi.

Sindonews1 pernah melansir bahwa

tercatat 61,4 juta penduduk Indonesia

merupakan perokok aktif di mana 60

persen di antaranya pria dan hanya 4,5

persen perempuan di Indonesia

merupakan perokok, sehingga

Indonesia merupakan negara ketiga di

dunia dengan jumlah perokok

terbanyak (Rachmaningtyas, 2013).

Bahkan, Pusat Penelitian Kesehatan

Universitas Indonesia telah melakukan

beberapa survey mengenai kebiasaan

merokok di Jakarta dan Sukabumi pada

tahun 2011 dan menemukan bahwa

penduduk perokok usia 20 tahun ke

atas mencapai 68 persen laki-laki dan 8

persen perempuan (Reimondos dkk,

2012).

Kebutuhan akan produk rokok

yang tinggi di Indonesia menjadi

peluang yang besar bagi pemasar untuk

memasarkan rokok. Salah satu brand

rokok global yang memiliki pasar

cukup potensial di Indonesia adalah

Marlboro. Dalam website Philip

Morris2, PT Philip Morris Indonesia

(PT PMI) sebagai produsen Marlboro,

memulai kegiatan bisnis di Indonesia

pada bulan April 1984. Keberhasilan

pemasaran PT Philip Morris Indonesia

di Indonesia ditunjukkan dengan

pengakuisisian saham PT HM

Sampoerna hinggan 98,14 persen yang

artinya PT HM Sampoerna kini hampir

1 Sindonews.com merupakan salah satu media

massa online yang ada di Indonesia yang

bernaung pada PT MNC group. 2 http://www.pmi.com/ merupakan alamat situs

resmi PT Philip Morris Indonesia, PT Philip

Morris merupakan produsen dari Marlboro

seluruhnya milik dari PT Philip Morris

Indonesia. PT HM Sampoerna

merupakan salah satu perusahaan

rokok terkemuka di Indonesia yang

memiliki pangsa pasar sebesar 35,6

persen di Indonesia (Sekilas

Sampoerna, n.d.). Selain itu Marlboro

juga menduduki peringkat ke 9 dalam

Top 100 Most Valuable Global Brands

2014 yang dikutip peneliti dari situs

millwardbrown3. Dalam peringkat

sepuluh besar Top 100 Most Valuable

Global Brands 2014 tersebut,

Marlboro menempati peringkat

pertama sebagai perusahaan rokok di

dunia. Hal tersebut membuktikan

kuatnya pemasaran Marlboro tidak

hanya di Indonesia melainkan di dunia.

Marlboro sebagai brand yang

kuat tentunya didukung dengan brand

management yang baik. Kapferer

(2008, h.171) mengatakan bahwa

dalam kompetisi modern ini salah satu

alat dasar brand management adalah

identitas brand. Sedangkan menurut

Knapp (2001) seperti halnya

perencanaan awal untuk sebuah

bangunan, brand juga diawali dengan

pembentukan identitas. Seperti yang

diketahui brand atau merek merupakan

elemen penting dalam mengidentifikasi

suatu produk. Menurut Lamb, Hair,

McDaniel (2001, h.6) merek

merupakan suatu nama, istilah, simbol,

desain, atau gabungan keempatnya

yang mengindetifikasikan produk dan

untuk membedakan dengan para

pesaingnya. Maka dari itu

3MillwardBrown (www.millwardbrown.com)

adalah salah satu lembaga penelitian

terkemuka di dunia dan ahli dalam iklan yang

efektif, komunikasi pemasaran, media dan

penelitian ekuitas merek.

diperlukannya identitas brand sebagai

strategi pembeda dengan pesaingnya.

Marlboro mempresentasikan

produknya dengan bentuk fisik yang

berbeda dengan produk pesaingnya.

Logo Marlboro yang unik dan kemasan

produk yang menarik merupakan salah

satu aspek fisik yang menjadi bagian

dari identitas Marlboro. Menurut

Kapferer (2008, h.180) Marlboro

mempresentasikan bahwa perokok

sebagai pria yang sebenarnya,

disimbolkan sebagai cowboy of Wild

West. Hal ini menggambarkan

Marlboro sebagai produk Amerika

yang identik dengan koboi.

Persepsi akan brand Marlboro

di atas merupakan hasil konstruksi

identitas brand Marlboro. Dalam

proses komunikasi, Kapferer (2008,

h.172) menjelaskan bahwa interpretasi

dari identitas brand adalah kegiatan

mengirimkan pesan produk, aksi, serta

komunikasi brand. Dapat dikatakan

bahwa proses pengkonstrukisan

identitas brand dilakukan dengan

proses komunikasi brand itu sendiri.

Dalam proses komunikasi tersebut,

identitas brand berada dalam sisi

pengirim pesan (sender) yang

mentrasmisikan makna, tujuan dan

citra diri dari brand itu sendiri

(messages). Transmisi pesan identitas

brand tersebut diterima konsumen

sebagai receiver dengan hasil citra dan

interpretasi (Kapferer, 2008, h. 174).

Sender Messages Receiver

Gambar 1.1 Identitas dan Citra

Sumber : Diadopsi dari Kapferer (2008, h.174)

Pemaknaan dalam proses

komunikasi didapatkan melalui proses

persepsi. Persepsi menurut Schiffman

and Kanuk (2007, h.138) adalah “The

process by which an individual selects,

organizes, and interprets stimuli into

meaningful and coherent picture of the

world”. Persepsi adalah proses di mana

individu memilih, mengorganisir, dan

menginterpretasikan stimuli sehingga

menciptakan gambaran dunia dengan

makna. Kaitannya dengan proses

komunikasi identitas brand¸ persepsi

merupakan proses pemaknaan dari

pengkonstruksian identitas. Hasil dari

persepsi konsumen mengenai identitas

brand Marlboro dapat berupa citra

brand Marlboro yang merupakan

perspektif konsumen.

Penelitian-penelitian yang telah

ada mengenai persepsi konsumen

Brand identity

Other sources

of inspiration

-Mimircy

-Opportunism

-idealism

Signal Transmitted

- Product

- People

- Places

- Communication

Brand Image

berkaitan dengan brand banyak

ditinjau dari penelitian kuantitatif.

Misalnya pada penelitian yang

dilakukan oleh Schivinski &

Dabrowski (2013) dan Tran & Fabrize

(2013) yang mengkaji persepsi

konsumen terhadap brand dengan

menggunakan metode survei dengan

jenis penelitian kuantitatif. Peneliti

melihat masih jarang penelitian

pengkonstruksian identitas brand

dalam perspektif konsumen. Penelitian

ini mencoba menggali bagaimana

perspektif konsumen terhadap

konstruksi identitas sebuah brand.

Perspektif atau pandangan tersebut

merupakan hasil dari proses persepsi

atau pemaknaan.

TINJAUAN PUSTAKA

Komunikasi Pemasaran sebagai Alat

untuk Membangun Brand Image

Komunikasi pemasaran

didefinisikan Tjiptono (2008: h.219)

sebagai aktivitas pemasaran yang

berusaha menyebarkan informasi,

mempengaruhi / membujuk, dan atau

mengingatkan pasar sasaran atas

perusahaan dan produknya agar

bersedia menerima, dan loyal pada

produk yang ditawarkan perusahaan

yang bersangkutan. Aktivitas

komunikasi pemasaran secara umum

bertujuan untuk meningkatkan

konsumen suatu produk dari suatu

perusahaan dengan menyampaikan

pesan pemasaran hingga dapat

membujuk calon konsumenya. Shimp

(2003, h.4) menjelaskan tujuan dari

komunikasi pemasaran antara lain:

1. Membangkitkan keinginan akan

suatu kategori produk.

2. Menciptakan kesadaran akan merek

(brand awareness).

3. Mendorong sikap positif terhadap

produk dan mempengaruhi niat.

4. Memfasilitasi pembelian.

Aktivitas komunikasi pemasaran

Marlboro merupakan aspek penting

bagaimana perusahaan

mengkomunikasikan pesan–pesan

produk Marlboro kepada khalayak atau

konsumen untuk mencapai tujuan

perusahaan yakni peningkatan

pendapatan atas pembelian dari produk

Marlboro yang ditawarkan.

Pembentukan Brand Image

Serangkaian kegiatan

pemasaran yang dilakukan oleh

perusahaan akan menimbulkan suatu

brand awareness atau kesadaran merek

(Shimp, 2003, h.4), hal ini dikarenakan

kegiatan komunikasi pemasaran juga

bertujuan untuk memperkenalkan suatu

merek.. Brand awareness erat kaitanya

dengan brand image yakni citra merek

yang ditangkap oleh konsumen.

Menurut Tjiptono brand image

merupakan deskripsi tentang asosiasi

dan keyakinan konsumen terhadap

merek tertentu (Tjiptono, 2008, h.49).

Asosiasi tersebut secara sederhana

dapat muncul dalam bentuk pemikiran

atau citra tertentu yang dikaitkan

kepada suatu brand, sama halnya

ketika kita berpikir mengenai orang

lain (Shimp, 2003, h.12).

Brand merupakan sebuah

identitas sebuah produk. Dengan

adanya merek yang membuat produk

yang satu beda dengan yang lain

diharapkan akan memudahkan

konsumen dalam menentukan produk

yang akan dikonsumsinya. Identitas

suatu brand dapat dibentuk dengan

mempertimbangkan berbagai aspek di

dalam produk yang akan dipasarkan.

Kapferer (2008) menjelaskan identitas

brand dalam sebuah identitas brand

prism model. Kapferer menjelaskan

dalam sebuah identitas brand terdapat

enam dimensi yang digambarkan

sebagai berikut :

Gambar 2.2 : Enam Dimensi Identitas brand

Sumber : Diadopsi dari Kapferer‟s

Identitas brand Prism Model

Dalam prisma identitas brand tersebut,

Kapferer (2008) mengindentifikasi

enam aspek dalam identitas brand

yang dapat dilihat dari dua sisi yaitu

sumber (brand) dan penerima

(konsumen). Penjelasan mengenai

identitas brand dijelaskan sebagai

berikut :

Identitas brand dalam sisi produk

terdapat dua aspek didalamnya yaitu

aspek physique dan personality.

1. Physique : Merupakan

seperangkat bentuk fisik dari brand

dimana dapat membangkitkan pikiran

seseorang saat sebuah brand

disebutkan. Dapat dikatakan sebagai

identitas fisik dari sebuah brand,

misalkan saja kemasan dan berbagai

atribut yang melekat dalam brand

tersebut.

2. Personality : Merupakan karakter

dari brand yang mendefinisikan

kepribadian sebuah brand. Kapferer

(2008) menjelaskan dalam aspek ini

dibangun dengan komunikasi yang

terus-menerus dan secara bertahap

sehingga muncul karakter dalam brand

tersebut.

Dalam sisi konsumen terdapat dua

aspek yaitu reflection dan self image

sebagai hasil pancaran identitas brand

dari sebuah produk.

3. Reflection (dalam konsumen) ;

Aspek ini membuat sebuah sumber

untuk sterotip pengguna suatu brand.

Gambaran mengenai presentasi brand

pada konsumen. Misalnya saja coca-

cola yang dipandang sebagai produk

untuk kaum muda (Kapferer, 2008,

h.186).

4. Self-image : Bagaimana konsumen

melihat dirinya sendiri dibandingkan

dengan brand.

Dalam usaha membangun sebuah

identitas brand terdapat sisi

eksternalisasi yang tergambar dalam

aspek relation.

5. Relationship : Merupakan kekuatan

hubungan antara brand dengan

konsumen. Sebuah brand dapat

menyimbolkan sebuah hubungan antar

seseorang. Kapferer (2008, h.185)

mencontohkan brand Dior

menyimbolkan kemegahan dan

kemewahan, menurutnya Dior

memamerkan keinginan untuk bersinar

bagaikan emas.

Sedangkan dalam sisi internal terdapat

aspek culture,

6. Culture : Merupakan sistem

nilai dan prinsip dasar dimana sebuah

brand memiliki dasar perilakunya

(produk dan komunikasinya). Culture

ini adalah hubungan langsung antara

brand dengan organisasinya.

Dalam penjelasan Kapferer, brand

yang kuat dapat menyatukan 6 (enam)

aspek tersebut menjadi sebuah

kesatuan yang efektif. Prisma identitas

merek tersebut menunjukkan bahwa

semua aspek saling berkaitan dan

membentuk struktur yang baik.

Menurut Kapferer (2008),

merek / brand hanya ada bila mereka

berkomunikasi. Pada saat perusahaan

mengkomunikasikan suatu brand

dalam berupa aspek physique dan

personality dari brand tersebut, maka

akan terpancar suatu hubungan antara

brand dengan konsumen dan budaya

bagaimana brand tersebut

merepresentasikan dirinya.

Persepsi Konsumen dan Pentingnya

bagi Marketing Communication

Schiffman and Kanuk (2007,

h.138) mendefinisikan persepsi sebagai

“The process by which an individual

selects, organizes, and interprets

stimuli into meaningful and coherent

picture of the world”. Jadi persepsi

dapat diartikan sebagai proses dimana

individu memilih, mengorganisir, dan

menginterpretasikan stimuli sehingga

menciptakan gambaran dunia dengan

makna. Satu stimuli yang sama akan

dipersepsikan berbeda oleh dua

individu ketika individu tersebut

memilih, mengorganisir, dan

menginterpretasi stimuli tersebut.

Menurut Schiffman dan Kanuk (2007,

h.160) setiap persepsi manusia akan

berbeda untuk realitas yang sama,

terdapat faktor yang mempengaruhinya

yaitu sebagai berikut:

1. Perceptual selection, yaitu

secara ilmiah dan dengan tidak

sadar seseorang akan memilih

sendiri stimulus atau

rangsangan yang menarik dan

sesusai bagi dirinya

2. Perceptual Organization, yaitu

pada hakekatnya seseorang

akan menangkap stimulus yang

telah diseleksi sebagai kesatuan

yang utuh.

3. Perceptual Interpretation, yaitu

setiap orang mempunyai

interpretasi yang tidak sama

terhadap suatu fenomena yang

bersifat individual dan unik,

setelah ada seleksi dan

pengorganisasian stimulus yang

diterima.

Persepsi akan suatu produk

timbul karena adanya stimuli

pemasaran produk tersebut¸ salah

satu stimuli pemasaran itu adalah

brand image suatu produk.

Aktivitas komunikasi pemasaran

yang dilakukan dapat membentuk

sebuah brand image yang

kemudian dipersepsi oleh

konsumen dapat dilihat dari proses

pembentukan image yang

dijelaskan oleh John S. Nimpoeno

(dalam Soemirat & Ardianto, 2003,

h.115) sebagai berikut :

Gambar 2.3 : Proses Pembentukan Image

Sumber : diadopsi dari Soemirat & Ardianto, 2003, h.115

Model pembentukan image di

atas menunjukkan bagaimana stimulus

yang berasal dari luar dapat

mempengaruhi respon. Empat

komponen persepsi, kognisi, motivasi,

sikap disebut sebagai "picture in our

head" dan diartikan sebagai image

individu terhadap rangsang (Lipman,

dikutip dari Soemirat & Ardianto

2003). Persepsi diartikan sebagai hasil

pengamatan terhadap unsur lingkungan

yang dikaitkan dengan suatu proses

pemaknaan. Individu akan

memberikan makna terhadap

rangsangan berdasarkan

pengalamannya terhadap rangsangan.

Kaitannya dengan penelitian ini, dalam

kegiatan pemasaran Marlboro

konsumen akan memberikan makna

terhadap brand image Marlboro

berdasarkan pengalaman dan

pengetahuannya. Persepsi konsumen

akan positif apabila informasi yang

diberikan oleh rangsang dapat

memenuhi kognisi konsumen. Setelah

mempersepsi, proses pembentukan

image berlanjut pada kognisi, yaitu

suatu keyakinan diri konsumen

terhadap stimulus.

Selanjutnya motivasi dan sikap

akan memunculkan respon seperti

yang diinginkan oleh pemberi

rangsang. Motivasi dalam hal ini

adalah keadaan dalam pribadi

konsumen yang mendorong keinginan

untuk mencapai sesuatu.Sedangkan

sikap merupakan kecenderungan

konsumen untuk berperilaku dengan

cara-cara tertentu. Proses pembentukan

image pada akhirnya menghasilkan

perilaku, pendapat, atau tanggapan

tertentu.

Sebelum dan sesudah

melakukan pembelian, seorang

konsumen akan melakukan sejumlah

proses yang mendasari pengambilan

keputusan. Brand image dan persepsi

suatu produk yang telah ada dalam

pikiran konsumen merupakan salah

satu faktor yang mempengaruhi

konsumen dalam menentukan

keputusan pembelian.

METODOLOGI PENELITIAN

Jenis Penelitian

Jenis penelitian yang digunakan

peneliti yaitu penelitian deskriptif.

Penelitian deskriptif kualitatif

bertujuan untuk menggambarkan,

meringkaskan berbagai kondisi,

berbagai situasi, atau berbagai

fenomena realitas sosial yang ada di

masyarakat yang menjadi objek

penelitian, dan berupaya menarik

realitas itu kepermukaan sebagai suatu

ciri, karakter, sifat, model, tanda,atau

gambaran tentang kondisi, situasi,

ataupun fenomena tertentu (Bungin,

2011,h. 68).

Lokasi Penelitian

Peneliti memilih Kota Malang

sebagai lokasi penelitian, didasarkan

pada pertimbangan bahwa Kota

Malang merupakan kota dengan

pertumbuhan ekonomi yang pesat.

Fokus Penelitian

Sesuai dengan teori Kapferer

tentang prisma identitas

brand,penelitian ini bermaksud

mengetahui dan menganalisis

bagaimana persepsi konsumen

mengenai konstruksi identitas brand

Marlboro sesuai dengan ke-enam

aspek prisma identitas brand Kapferer

maka dalam penelitian ini peneliti

berfokus pada beberapa hal, yaitu:

1. Aspek physique identitas brand

Marlboro

2. Aspek personality identitas

brand Marlboro

3. Aspek cultureidentitas brand

Marlboro

4. Aspek relationshipidentitas

brand Marlboro

5. Aspek reflection identitas

brand Marlboro

6. Aspek self imageidentitas

brand Marlboro

Dengan demikian dapat diperoleh

gambaran tentang konstruksi identitas

brand Marlboro dalam perspektif

konsumen.

Teknik Pemilihan Informan

Penelitian ini menggunakan

teknik penentuan subjek dengan

purposive sampling.

Dalam penelitian ini, informan utama

yaitu konsumen produk Marlboro

dengan kriteria – kriteria tertentu yang

ditetapkan oleh peneliti, yakni :

1. Pria atau wanita yang berusia 21

atau di atas 21 tahun

Sesuai dengan yang tertera pada

situs Marlboro4 batasan usia yang

dapat mengakses situs tersebut dan

usia minimal perokok yang

ditetapkan oleh Marlboro yaitu 21

tahun, maka peneliti menetapkan

kriteria informan yang pertama

yaitu pria atau wanita berusia 21

atau di atas 21 tahun.

2. Merupakan konsumen Marlboro >

6 bulan

Kriteria yang peneliti tentukan

adalah konsumen Marlboro > 6

bulan. Hal ini dirasa peneliti perlu

karena selain menjadi konsumen

Marlboro, menjadi konsumen yang

loyal juga merupakan hal yang

penting dalam penelitian ini.

4www.marlboro.com : merupakan official

website rokok Marlboro

PEMBAHASAN

Ditemukan bahwa pada aspek

physique terdapat visualisasi sifat yaitu

kesan prestige dan elegan. Sifat elegan

berdasarkan hasil wawancara

didapatkan melalui penilaian kemasan

dari produk Marlboro. Sesuai dengan

hasil penelitian mengenai visualisasi

bentuk dari Marlboro yang dinilai

informan simple dan menarik,

merupakan hasil persepsi informan

sehingga terbentuk sifat elegan.

Perpaduan warna dan desain dari

produk Marlboro dinilai elegan oleh

konsumen.

Desain yang sederhana dan

kekontrasan pemilihan warna

merupakan stimuli yang kuat bagi

informan bagi persepsi mereka

mengenai visualisasi bentuk dari

produk Marlboro. Stimuli-stimuli

tersebut antara lain : segitiga M,

perpaduan warna merah dan putih,

warna yang mencolok, dan desain yang

sederhana. Sehingga mereka

mempersepsi bahwa visualisasi bentuk

dari Marlboro ialah simple, unik, dan

menarik.

Kesan prestige ditunjukkan dari

karakter Marlboro yaitu harga yang

mahal, keren, produk berkualitas, serta

menjadi suatu kebanggaan. Meski

harga dari produk Marlboro dinilai

mahal, informan tetap menjadi

konsumen loyal Marlboro. Hasil

wawancara pada aspek self image

bahwa para informan mensejajarkan

merokok dengan makanan. Efek

kecanduan dari rokok yang membuat

mereka terus mengkonsumsi Marlboro

ditunjang dengan sifat prestisius yang

ada pada Marlboro sendiri merupakan

faktor mereka menjadi konsumen

loyal.

Sifat prestisius sebagai faktor

yang mempengaruhi informan untuk

menjadi konsumen yang loyal ternyata

memiliki keterkaitan dengan analisis

pada aspek reflection. Secara spesifik,

pada aspek reflection ditemukan

bahwa informan membuat sebuah

sterotip pada pengguna brand

Marlboro. Streotip perokok Marlboro

didefinisikan sebagai lifestyle dan

prestige.

Pada aspek reflection terdapat

kondisi ideal para informan untuk

mengkonsumsi Marlboro yaitu pada

saat bersantai, nongkrong, dan

berkumpul dengan teman. Rasa

percaya diri (aspek self image) muncul

pada informan terutama saat dimana

mereka merasa pada kondisi ideal

untuk mengkonsumsi Marlboro.

Seperti yang dijelaskan oleh Kotler

(2007) bahwa salah satu faktor

perilaku konsumen dalam faktor sosial

yaitu kelompok acuan. Kelompok

acuan informan disini dimaksudkan

dimana informan yang mempunyai

kelompok sosial yaitu teman-teman

informan sesama perokok. Pada saat

berkumpul dengan kelompok sosial

informan, Marlboro merupakan

penunjang penampilan mereka dan

dapat menimbulkan rasa percaya diri.

Pada informan pria, menjadi

perokok Marlboro dapat menciptakan

kesan gentleman atau kelaki-lakian.

Hal ini merupakan pembentukan citra

diri informan sebagai perokok Marl

boro.

Walau merokok merupakan hal

yang wajar dilakukan bagi laki-laki,

namun dengan memilih menjadi

konsumen Marlboro informan merasa

terkesan gentleman.

Dari paparan di atas dapat

dilihat bahwa menjadi konsumen

Marlboro merupakan kebutuhan akan

citra diri konsumen agar terlihat seperti

refleksi mereka mengenai perokok

Marlboro. Hal ini juga berkaitan

dengan faktor psikologis informan

menurut Kotler (2007) mengenai

persepsi terhadap brand Marlboro

sehingga mereka terdorong (motivasi)

untuk mengkonsumsi Marlboro.

Persepsi akan streotip perokok

Marlboro membuat suatu dorongan

untuk menjadi konsumen Marlboro.

Informan memberikan

kepribadian pada Marlboro dengan tiga

sifat yaitu laki-laki, koboi, dan

kebanggan. Iklan Marlboro yang selalu

ditampilkan dengan koboi yang

berjenis kelamin laki-laki,

dipersepsikan oleh informan bahwa

merokok merupakan hal yang wajar

dilakukan oleh laki-laki. Laki-laki

diindentikan dengan sifat dengan

macho, tegas, dan maskulin. Ketiga

sifat tersebut terbentuk karena

pengaruh persepsi informan mengenai

sifat koboi itu sendiri.

Gambar 4.10 Iklan Billboard Koboi Marlboro

Sumber : http://www.takingontobacco.org/event/pmi09/worldtour/album/Indonesia/slides/Marlborobillboard.html

Koboi diidentikan oleh

informan sebagai Negara Amerika

Serikat berhubungan dengan persepsi

informan mengenai budaya yang

dibawa Marlboro yaitu budaya

Amerika. Bila dalam aspek

personality, karakter dari koboi yaitu

petualang, petarung, dan pengembala.

Maka dalam aspek culture koboi

dipresentasikan dengan sifat keren,

fearless atau tanpa rasa takut, dan suka

tantangan. Sifat koboi ini diperoleh

hasil pengetahuan informan pada film-

film Amerika yang memiliki tokoh

koboi.

Dalam jurnal “ Cigarette, Risk,

and American Culture” ( Brandt,

1999), Marlboro man menunjukkan

industri urban koboi pertama,

merupakan sebuah simbol modernisasi,

otonomi, kekuatan, dan seksualitas.

Merokok menjadi popular di Amerika

pada awal abad ke-20. Hingga pada

akhir abad ke-20, setengah dari semua

warga Amerika yang pernah merokok

telah berhenti merokok. Pemberitaan

Amerika menyatakan bahwa angka

kematian kanker paru-paru perokok

lebih tinggi 1000 persen dari yang

bukan perokok. Pada saat itu 42 persen

dari semua perokok dewasa Amerika

hanya 26 persen yang menjadi perokok

(Brandt, 1999, h.156). Dapat dilihat

bahwa perilaku merokok berawal dari

Amerika yang memperkenalkan

industri rokok hingga menjadi tren.

Hingga pada akhirnya justru di Negara

Amerika Serikat kebiasaan merokok

menjadi tidak popular kembali.

Indonesia sebagai negara ketiga

dengan jumlah perokok terbanyak di

dunia menandakan bahwa perokok

Indonesia masih sangat terpengaruh

pada citra perokok yang awal mula

muncul dari Negara Amerika.

Marlboro sebagai jenis rokok putihan

yang telah dipersepsikan oleh informan

sebagai brand rokok asing yang

berkualitas. Memperkuat citra perokok

putihan terutama perokok Marlboro

sehingga mereka menggambarkan

kepribadian Marlboro merupakan

sesuatu kebanggan bagi mereka.

Sebagai brand asing, Marlboro dinilai

lebih berkualitas dan lebih bernilai

baik segi harga, kualitas rasa, dan

kualitas produk.

Citra Marlboro yang kuat

nampak pula pada hasil penelitian

aspek relationship Marlboro dengan

informan. Hasil wawancara dengan

informan menyatakan bahwa informan

hanya mengetahui produsen Marlboro

tanpa pernah mengetahui ataupun

mengikuti kegiatan yang diadakan oleh

produsen. Informan banyak

mengetahui mengenai produsen

Marlboro tersebut melalui

sponshorship, konser, film serta event

yang pernah diadakan oleh Marlboro

melalui media tv, iklan maupun

internet. Hal ini menandakan bahwa

kegiatan yang dilakukan oleh produsen

Marlboro kepada konsumen masih

terbilang jarang. Sehingga peneliti

berkesimpulan bahwa relationship

antara produsen Marlboro dengan

konsumen masih rendah namun citra

yang terbangun sangat kuat.

Citra Marlboro yang kuat pada

informan menunjukkan tingkat brand

awareness yang tinggi. Informan

menyatakan mereka hanya mengetahui

Marlboro tanpa lebih jauh tentang

produsen Marlboro. Maka dapat

dinyatakan bahwa informan memiliki

pengetahuan tentang Marlboro hanya

sebatas sebagai konsumen dan

kesadaran akan adanya produk

Marlboro. Tingkat brand awareness

atau kesadaran merek yang tinggi

dapat meningkatkan brand equity

Marlboro.

Meski relationship antara

produsen Marlboro dengan konsumen

masih rendah namun kesadaran

informan akan brand Marlboro yang

tinggi mampu membuat informan

menjadi konsumen yang loyal.

Informan menyatakan produk

Marlboro yang berkualitas meski

dinilai harganya mahal. Namun

informan tetap bertahan menjadi

konsumen Marlboro. Maka dapat

dikatakan Marlboro memiliki ekuitas

merek yang kuat. Selain itu dapat

dilihat pula bahwa Marlboro selama

empat tahun terakhir mendapat posisi

sepuluh besar Top 100 Most Valuable

Global Brands dalam Millwardbrown5

. Ini menandakan pemasaran yang

berhasil dilakukan Marlboro dan

menciptakan nilai brand equity dari

Marlboro kuat di dunia.

KESIMPULAN

Berdasarkan hasil penelitian yang telah

dilakukan, peneliti menyimpulkan

beberapa hal mengenai konstruksi

identitas brand Marlboro dalam

perspektif konsumen, antara lain:

1. Aspek physique Marlboro dalam

perspektif konsumen terdapat

visualisasi bentuk yang simple dan

menarik. Sedangkan pada

visualisasi rasa terdapat

penggambaran bahwa produk

Marlboro mempunyai rasa yang

enak, ringan, dan lembut.

Penggambaran aspek physique

tersebut menimbulkan kesan

prestisius dan elegan menjadi

acuan dalam membentuk stereotip

perokok Marlboro.

2. Aspek reflection menggambarkan

tipe ideal perokok Marlboro yang

merupakan dorongan atau motivasi

untuk menjadi konsumen

Marlboro. Tipe ideal perokok

Marlboro ialah pekerja, anak muda,

dan mahasiswa. Marlboro

direfleksikan sebagai kebutuhan

lifestyle dan prestige.

3. Tujuan dari menjadi konsumen

Marlboro yaitu untuk pembentukan

citra diri atau self image informan

sesuai stereotip mereka mengenai

5 5MillwardBrown (www.millwardbrown.com)

adalah salah satu lembaga penelitian

terkemuka di dunia dan ahli dalam iklan yang

efektif, komunikasi pemasaran, media dan

penelitian ekuitas merek.

perokok Marlboro. Citra diri yang

dirasakan pada dibenak konsumen

Marlboro yaitu percaya diri, laki-

laki, dan sebuah kebutuhan dalam

mengikuti tren.

4. Aspek personality Marlboro

identik dengan koboi yang

menyimbolkan kelaki-lakian.

Koboi yang identik pula dengan

budaya atau culture Negara

Amerika Serikat menyimbolkan

modernisasi, otonomi, kekuatan,

dan seksualitas.

5. Aspek relationship Marlboro yang

rendah dikarenakan informan tidak

pernah terlibat dalam segala usaha

atau kegiatan pemasaran yang

dilakukan oleh produsen Marlboro.

Walaupun relationship Marlboro

yang rendah, namun citra Marlboro

yang kuat membentuk brand

equity yang kuat pula. Citra dan

brand equity Marlboro merupakan

kekuatan pemasaran Marlboro di

Indonesia.

Dari penelitian ini ditemukan

bahwa dorongan untuk menjadi

konsumen Marlboro yaitu untuk

pembentukan citra diri atau self image

sesuai stereotip mereka mengenai

perokok ideal Marlboro. Sehingga

apabila konsumen menjadi perokok

Marlboro akan timbul rasa percaya diri

di lingkungan sosialnya. Konsumen

memandang perokok Marlboro

memiliki citra yang prestisius,

keren¸elegan, dan laki-laki. Citra

Marlboro sebagai produk asing dengan

budaya Amerika Serikat membentuk

sifat laki-laki sesuai dengan citra koboi

yang ada pada Marlboro. Meski

relationship Marlboro rendah namun

brand equity Marlboro yang kuat,

membuat konsumen menilai Marlboro

sebagai produk yang lebih berkualitas

daripada produk lokal.

DAFTAR PUSTAKA

Aaker, A. D.(2009). Managing brand

equity : Capitalizing on the value of a

brand name. New York : The Free

Press.

Anusz, M.(2000). Kretek: The culture

and heritage of indonesia's

clove cigarettes, Singapore:

Equinox Publishing (Asia) .

Barber S., Adioetomo S.M., Ahsan A.,

Setynoaluri D.(2008). Tobacco

economics in Indonesia. Paris:

International union against

tuberculosis and lung disease

Barber S., Adioetomo S.M., Ahsan A.,

Setynoaluri D.(2008). Tobacco

economics in Indonesia. Paris:

International union against tuberculosis

and lung disease.

Barraclough, S.(1999). Women and

tobacco in Indonesia. Tobacco

Control. 8,327-332.

BPS kota Malang.(2012). Diakses pada

19 Juli 2014, dari

http://www.malangkota.bps.go.

id/?hal=berita_detilid=3.html

Brandt, A.M.(1999). The cigarette,

risk, and American culture.

Daedalus, 199(4). 155-176

Diakses pada 30 September

2014 dari

http://www.jstor.org/stable/200

25343

Bungin, B. (2011). Penelitian

kualitatif: Komunikasi,

ekonomi, kebijakan publik, dan

ilmu sosial lainnya, edisi 2.

Jakarta: Kencana.

Clow & Baack. (2010). Integrated

advertising, promotion, and marketing

communication. New Jersey : Pearson

Education

Country overview.(n.d.). Philip Morris

International. Diakses pada 1

oktober 2014 dari

http://www.pmi.com/marketpa

ges/pages/market_id_id.aspx

Fikriyah, S. & Febrijanto Y. (2012).

Faktor-faktor yang

mempengaruhi perilaku

merokok pada mahasiswa laki-

laki di asrama putra. Jurnal

STIKES, 5(1),1-11.

Kapferer, J.N. (2008). The new

strategic brand management :

Creating and sustaining brand

equity long term. London :

Kogan Page.

Knapp, D.E. (2001). The Brand

Mindset. Jogjakarta : ANDI

Kotler, P. & Keller, K. L. (2008).

Manajemen pemasaran edisi 12

jilid 2. Jakarta : Erlangga.

Kotler, P. & Keller, K. L .(2007).

Manajemen pemasaran edisi

12. Jakarta : PT Index.

Kotler, P. & Keller, K L.(2006).

Marketing management. Prentice Hall.

Kotler, Philip & Amstrong, G .(2007).

Dasar – dasar pemasaran edisi

9 jilid 1. Jakarta : PT Indeks.

Kriyantono, R. (2006). Teknik praktis

riset komunikasi. Jakarta :

Kencana Prenada Media

Group.

Kriyantono, R. (2010). Teknik praktis

riset komunikasi: disertai

contoh praktis riset media,

public relation, advertising,

komunikasi organisasi,

komunikasi pemasaran, edisi 1.

Jakarta: Kencana.

Lamb, Charles W, Jr. Joseph, F. Hair,

Jr & Carl, M. (2001).

Pemasaran. Jakarta : Salemba

Empat.

Miles, B. & Huberman, A.M.(2014).

Qualitative data analysis : a

method sourcebook, third

edition. Los Angeles : SAGE

Publication

Moleong, L.J. (2004). Metodologi

penelitian kualitatif. Bandung:

Remaja Rosdakarya.

Moleong, L.J. (2005). Metodologi

penelitian komunikasi edisi

revisi. Bandung: Remaja

Rodakarya.

Ng, N., L., Weinehall and A.

Öhman.(2007). „If I don‟t

smoke, I‟m not a real man‟:

Indonesian teenage boys‟ views

about smoking. Health

Education Research, 22(6),

794-804.

Nichter, M., S. Padmawati, M.

Danardono, N, Ng., Y.,

Prabandari, and M.

Nichter.(2009). Reading

culture from tobacco

advertisements in Indonesia.

Tobacco Control. 19, 98-107.

O‟Leary, Z.(2010). The essential guide

to doing your research project.

London : SAGE

Peraturan Pemerintah RI. (2013).

Pengamanan rokok bagi

kesehatan. Jakarta : Presiden

Republik Indonesia.

Rachmaningtyas, A. (2013, Mei 31) .

61,4 juta penduduk indonesia

perokok aktif. Sindonews.

Diakses pada 28 Oktober 2013

dari

http://nasional.sindonews.com/r

ead/2013/05/31/15/744854/61-

4 juta-penduduk-indonesia-

perokok-aktif

Regulasi tembakau.(n.d). Mengatur

produk-produk tembakau.

Diakses pada 20 Oktober 2014

dari

http://sampoerna.com/id_id/tob

acco_regulation/regulating_tob

baco_product/pages/regulating

_tobbaco_products.aspx

Reimondos, A. Utomo, D.I. Mc

Donald, P. Hull, T. Suparno, H.

Utomo, A. (2012) . Merokok

dan penduduk dewasa muda di

Indonesia. The 2010 Greater

Jakarta Transition to

Adulthood Survey. 02, 1-6.

Sarwono, W. S.(2009). Pengantar

psikologi umum. Jakarta : PT

Raja Grafindo Persada.

Schiffman. L.G. & Kanuk, L.L.(2007).

Consumen behaviour (9th

ed).

Pearson Prentice Hall.

Schivinski, B. & Dąbrowski, D.

(2013). The effect of social-

media communication on

consumer perceptions of

brands. GUT FME Working

Paper Series A, No.

12/2013(12).Gdansk (Poland):

Gdansk University of

Technology, Faculty of

Management and Economics.

Setiadi, N.J.(2008). Perilaku

konsumen. Jakarta : Prenada Media

Group.

Shimp, T.A.(2003). Periklanan dan

promosi, aspek tambahan

komunikasi terpadu buku 1&2.

Jakarta : Erlangga.

Soemirat,S.&Ardianto, E.(2003).

Dasar-dasar public relations.

Bandung : Remaja Rosdakarya.

Sugiyono.(2010). Metode penelitian

kuantitatif, kualitatif dan R&D.

Bandung : Alfabeta

Suryani, T.(2008). Perilaku konsumen

: Implikasi terhadap strategi

pemasaran.Yogyakarta :

Graha Ilmu

Tjiptono, F.(2008). Strategi

pemasaran. Yogyakarta: Penerbit

Andi.

Tran, T. P. Fabrize, R.O. (2013). The

Effect of The Foreign Brand on

Consumer Perception. Journal

of Marketing Development and

Competitiveness. 07, 23-36.

Walgito, B.(2004). Pengantar

psikologi umum. Yogyakarta :

ANDI

WHO (World Health Organisation)

.(2009). Indonesia (Ages 13-

15), Global Youth Tobacco

Survey (GYTS) Fact Sheet.

Diakses pada 20 Oktober 2014.

Dari

http://www.searo.who.int/Link

Files/GYTS_IndonesiaFactshee

t2009.pdf.

WHO (World Health

Organisation).(2011). WHO

Report on the Global Tobacco

Epidemic, 2011. Diakses pada

20 Oktober 2014 dari

http://www.

who.int/tobacco/global_report/2

011/en/index.html.