KONSTRUKSI IDENTITAS BRAND MARLBORO DALAM PERSPEKTIF KONSUMEN
-
Upload
independent -
Category
Documents
-
view
3 -
download
0
Transcript of KONSTRUKSI IDENTITAS BRAND MARLBORO DALAM PERSPEKTIF KONSUMEN
KONSTRUKSI IDENTITAS BRAND MARLBORO DALAM PERSPEKTIF
KONSUMEN
Oleh :
Quina Asrin Muslimah
Ilmu komunikasi
Universitas Brawijaya
Malang
ABSTRACT
Indonesia has the third highest
number of smokers in the world. It was
noted that 61.4 million people in
Indonesia were smokers. Marlboro is
one of the global cigarette brands that
have potential market in Indonesia.
The number of consumers can be seen
that the Marlboro was ranked 9th in the
Top 100 Most Valuable Global Brands
2014. Marlboro ranked as the first
cigarette company in the world. Not
only in Indonesia, Marlboro have the
strong marketing in the world. Strong
marketing of Marlboro is a form of
message transmission successed by
brand identity Marlboro. The message
transmission brand identity accepted
by consumers as receiver with the
result is image and interpretation.
The purpose of this research is
to find and analyze the construction of
the brand identity Marlboro in the
consumer's perspective. This research
used qualitative data analysis based on
cognitive map belongs to Miles and
Huberman (2014). Researcher are
collecting data with in depth interview
and observation on thirteen loyal
customers Marlboro in Malang as
informants.
Based on the research that has
been done, the conclusion is the brand
identity of Marlboro in the consumer's
perspective as a foreign brand has
quality product, prestigious and
elegant. Marlboro symbolizes as
cowboy with masculinity. Cowboy is
also identical with the culture United
States. Prestigious and elegant of
Marlboro became an ideal reflection
for consumers. So consumers has
motivated to be a Marlboro smoker in
order to form self-image according to
their reflection of Marlboro smokers.
PENDAHULUAN
Industri pengolahan tembakau
dalam tahun 2008-2013 di Indonesia
termasuk dalam 15 besar Industri
besar menurut Badan Pusat Statistik
Indonesia. Meski dinilai sebagai
industri yang kontroversial, rokok
masih menjadi produk pemuas
kebutuhan masyarakat Indonesia. Hal
ini ditunjukkan dengan banyaknya
jumlah industri rokok di berbagai
wilayah Indonesia. Badan Pusat
Statistik mencatat pada tahun 2013
sebanyak 949 industri rokok yang
tersebar di Indonesia.
Meski pemerintah Indonesia
menghimbau masyarakat untuk tidak
merokok, ternyata jumlah perokok di
Indonesia dapat dikatakan tinggi.
Sindonews1 pernah melansir bahwa
tercatat 61,4 juta penduduk Indonesia
merupakan perokok aktif di mana 60
persen di antaranya pria dan hanya 4,5
persen perempuan di Indonesia
merupakan perokok, sehingga
Indonesia merupakan negara ketiga di
dunia dengan jumlah perokok
terbanyak (Rachmaningtyas, 2013).
Bahkan, Pusat Penelitian Kesehatan
Universitas Indonesia telah melakukan
beberapa survey mengenai kebiasaan
merokok di Jakarta dan Sukabumi pada
tahun 2011 dan menemukan bahwa
penduduk perokok usia 20 tahun ke
atas mencapai 68 persen laki-laki dan 8
persen perempuan (Reimondos dkk,
2012).
Kebutuhan akan produk rokok
yang tinggi di Indonesia menjadi
peluang yang besar bagi pemasar untuk
memasarkan rokok. Salah satu brand
rokok global yang memiliki pasar
cukup potensial di Indonesia adalah
Marlboro. Dalam website Philip
Morris2, PT Philip Morris Indonesia
(PT PMI) sebagai produsen Marlboro,
memulai kegiatan bisnis di Indonesia
pada bulan April 1984. Keberhasilan
pemasaran PT Philip Morris Indonesia
di Indonesia ditunjukkan dengan
pengakuisisian saham PT HM
Sampoerna hinggan 98,14 persen yang
artinya PT HM Sampoerna kini hampir
1 Sindonews.com merupakan salah satu media
massa online yang ada di Indonesia yang
bernaung pada PT MNC group. 2 http://www.pmi.com/ merupakan alamat situs
resmi PT Philip Morris Indonesia, PT Philip
Morris merupakan produsen dari Marlboro
seluruhnya milik dari PT Philip Morris
Indonesia. PT HM Sampoerna
merupakan salah satu perusahaan
rokok terkemuka di Indonesia yang
memiliki pangsa pasar sebesar 35,6
persen di Indonesia (Sekilas
Sampoerna, n.d.). Selain itu Marlboro
juga menduduki peringkat ke 9 dalam
Top 100 Most Valuable Global Brands
2014 yang dikutip peneliti dari situs
millwardbrown3. Dalam peringkat
sepuluh besar Top 100 Most Valuable
Global Brands 2014 tersebut,
Marlboro menempati peringkat
pertama sebagai perusahaan rokok di
dunia. Hal tersebut membuktikan
kuatnya pemasaran Marlboro tidak
hanya di Indonesia melainkan di dunia.
Marlboro sebagai brand yang
kuat tentunya didukung dengan brand
management yang baik. Kapferer
(2008, h.171) mengatakan bahwa
dalam kompetisi modern ini salah satu
alat dasar brand management adalah
identitas brand. Sedangkan menurut
Knapp (2001) seperti halnya
perencanaan awal untuk sebuah
bangunan, brand juga diawali dengan
pembentukan identitas. Seperti yang
diketahui brand atau merek merupakan
elemen penting dalam mengidentifikasi
suatu produk. Menurut Lamb, Hair,
McDaniel (2001, h.6) merek
merupakan suatu nama, istilah, simbol,
desain, atau gabungan keempatnya
yang mengindetifikasikan produk dan
untuk membedakan dengan para
pesaingnya. Maka dari itu
3MillwardBrown (www.millwardbrown.com)
adalah salah satu lembaga penelitian
terkemuka di dunia dan ahli dalam iklan yang
efektif, komunikasi pemasaran, media dan
penelitian ekuitas merek.
diperlukannya identitas brand sebagai
strategi pembeda dengan pesaingnya.
Marlboro mempresentasikan
produknya dengan bentuk fisik yang
berbeda dengan produk pesaingnya.
Logo Marlboro yang unik dan kemasan
produk yang menarik merupakan salah
satu aspek fisik yang menjadi bagian
dari identitas Marlboro. Menurut
Kapferer (2008, h.180) Marlboro
mempresentasikan bahwa perokok
sebagai pria yang sebenarnya,
disimbolkan sebagai cowboy of Wild
West. Hal ini menggambarkan
Marlboro sebagai produk Amerika
yang identik dengan koboi.
Persepsi akan brand Marlboro
di atas merupakan hasil konstruksi
identitas brand Marlboro. Dalam
proses komunikasi, Kapferer (2008,
h.172) menjelaskan bahwa interpretasi
dari identitas brand adalah kegiatan
mengirimkan pesan produk, aksi, serta
komunikasi brand. Dapat dikatakan
bahwa proses pengkonstrukisan
identitas brand dilakukan dengan
proses komunikasi brand itu sendiri.
Dalam proses komunikasi tersebut,
identitas brand berada dalam sisi
pengirim pesan (sender) yang
mentrasmisikan makna, tujuan dan
citra diri dari brand itu sendiri
(messages). Transmisi pesan identitas
brand tersebut diterima konsumen
sebagai receiver dengan hasil citra dan
interpretasi (Kapferer, 2008, h. 174).
Sender Messages Receiver
Gambar 1.1 Identitas dan Citra
Sumber : Diadopsi dari Kapferer (2008, h.174)
Pemaknaan dalam proses
komunikasi didapatkan melalui proses
persepsi. Persepsi menurut Schiffman
and Kanuk (2007, h.138) adalah “The
process by which an individual selects,
organizes, and interprets stimuli into
meaningful and coherent picture of the
world”. Persepsi adalah proses di mana
individu memilih, mengorganisir, dan
menginterpretasikan stimuli sehingga
menciptakan gambaran dunia dengan
makna. Kaitannya dengan proses
komunikasi identitas brand¸ persepsi
merupakan proses pemaknaan dari
pengkonstruksian identitas. Hasil dari
persepsi konsumen mengenai identitas
brand Marlboro dapat berupa citra
brand Marlboro yang merupakan
perspektif konsumen.
Penelitian-penelitian yang telah
ada mengenai persepsi konsumen
Brand identity
Other sources
of inspiration
-Mimircy
-Opportunism
-idealism
Signal Transmitted
- Product
- People
- Places
- Communication
Brand Image
berkaitan dengan brand banyak
ditinjau dari penelitian kuantitatif.
Misalnya pada penelitian yang
dilakukan oleh Schivinski &
Dabrowski (2013) dan Tran & Fabrize
(2013) yang mengkaji persepsi
konsumen terhadap brand dengan
menggunakan metode survei dengan
jenis penelitian kuantitatif. Peneliti
melihat masih jarang penelitian
pengkonstruksian identitas brand
dalam perspektif konsumen. Penelitian
ini mencoba menggali bagaimana
perspektif konsumen terhadap
konstruksi identitas sebuah brand.
Perspektif atau pandangan tersebut
merupakan hasil dari proses persepsi
atau pemaknaan.
TINJAUAN PUSTAKA
Komunikasi Pemasaran sebagai Alat
untuk Membangun Brand Image
Komunikasi pemasaran
didefinisikan Tjiptono (2008: h.219)
sebagai aktivitas pemasaran yang
berusaha menyebarkan informasi,
mempengaruhi / membujuk, dan atau
mengingatkan pasar sasaran atas
perusahaan dan produknya agar
bersedia menerima, dan loyal pada
produk yang ditawarkan perusahaan
yang bersangkutan. Aktivitas
komunikasi pemasaran secara umum
bertujuan untuk meningkatkan
konsumen suatu produk dari suatu
perusahaan dengan menyampaikan
pesan pemasaran hingga dapat
membujuk calon konsumenya. Shimp
(2003, h.4) menjelaskan tujuan dari
komunikasi pemasaran antara lain:
1. Membangkitkan keinginan akan
suatu kategori produk.
2. Menciptakan kesadaran akan merek
(brand awareness).
3. Mendorong sikap positif terhadap
produk dan mempengaruhi niat.
4. Memfasilitasi pembelian.
Aktivitas komunikasi pemasaran
Marlboro merupakan aspek penting
bagaimana perusahaan
mengkomunikasikan pesan–pesan
produk Marlboro kepada khalayak atau
konsumen untuk mencapai tujuan
perusahaan yakni peningkatan
pendapatan atas pembelian dari produk
Marlboro yang ditawarkan.
Pembentukan Brand Image
Serangkaian kegiatan
pemasaran yang dilakukan oleh
perusahaan akan menimbulkan suatu
brand awareness atau kesadaran merek
(Shimp, 2003, h.4), hal ini dikarenakan
kegiatan komunikasi pemasaran juga
bertujuan untuk memperkenalkan suatu
merek.. Brand awareness erat kaitanya
dengan brand image yakni citra merek
yang ditangkap oleh konsumen.
Menurut Tjiptono brand image
merupakan deskripsi tentang asosiasi
dan keyakinan konsumen terhadap
merek tertentu (Tjiptono, 2008, h.49).
Asosiasi tersebut secara sederhana
dapat muncul dalam bentuk pemikiran
atau citra tertentu yang dikaitkan
kepada suatu brand, sama halnya
ketika kita berpikir mengenai orang
lain (Shimp, 2003, h.12).
Brand merupakan sebuah
identitas sebuah produk. Dengan
adanya merek yang membuat produk
yang satu beda dengan yang lain
diharapkan akan memudahkan
konsumen dalam menentukan produk
yang akan dikonsumsinya. Identitas
suatu brand dapat dibentuk dengan
mempertimbangkan berbagai aspek di
dalam produk yang akan dipasarkan.
Kapferer (2008) menjelaskan identitas
brand dalam sebuah identitas brand
prism model. Kapferer menjelaskan
dalam sebuah identitas brand terdapat
enam dimensi yang digambarkan
sebagai berikut :
Gambar 2.2 : Enam Dimensi Identitas brand
Sumber : Diadopsi dari Kapferer‟s
Identitas brand Prism Model
Dalam prisma identitas brand tersebut,
Kapferer (2008) mengindentifikasi
enam aspek dalam identitas brand
yang dapat dilihat dari dua sisi yaitu
sumber (brand) dan penerima
(konsumen). Penjelasan mengenai
identitas brand dijelaskan sebagai
berikut :
Identitas brand dalam sisi produk
terdapat dua aspek didalamnya yaitu
aspek physique dan personality.
1. Physique : Merupakan
seperangkat bentuk fisik dari brand
dimana dapat membangkitkan pikiran
seseorang saat sebuah brand
disebutkan. Dapat dikatakan sebagai
identitas fisik dari sebuah brand,
misalkan saja kemasan dan berbagai
atribut yang melekat dalam brand
tersebut.
2. Personality : Merupakan karakter
dari brand yang mendefinisikan
kepribadian sebuah brand. Kapferer
(2008) menjelaskan dalam aspek ini
dibangun dengan komunikasi yang
terus-menerus dan secara bertahap
sehingga muncul karakter dalam brand
tersebut.
Dalam sisi konsumen terdapat dua
aspek yaitu reflection dan self image
sebagai hasil pancaran identitas brand
dari sebuah produk.
3. Reflection (dalam konsumen) ;
Aspek ini membuat sebuah sumber
untuk sterotip pengguna suatu brand.
Gambaran mengenai presentasi brand
pada konsumen. Misalnya saja coca-
cola yang dipandang sebagai produk
untuk kaum muda (Kapferer, 2008,
h.186).
4. Self-image : Bagaimana konsumen
melihat dirinya sendiri dibandingkan
dengan brand.
Dalam usaha membangun sebuah
identitas brand terdapat sisi
eksternalisasi yang tergambar dalam
aspek relation.
5. Relationship : Merupakan kekuatan
hubungan antara brand dengan
konsumen. Sebuah brand dapat
menyimbolkan sebuah hubungan antar
seseorang. Kapferer (2008, h.185)
mencontohkan brand Dior
menyimbolkan kemegahan dan
kemewahan, menurutnya Dior
memamerkan keinginan untuk bersinar
bagaikan emas.
Sedangkan dalam sisi internal terdapat
aspek culture,
6. Culture : Merupakan sistem
nilai dan prinsip dasar dimana sebuah
brand memiliki dasar perilakunya
(produk dan komunikasinya). Culture
ini adalah hubungan langsung antara
brand dengan organisasinya.
Dalam penjelasan Kapferer, brand
yang kuat dapat menyatukan 6 (enam)
aspek tersebut menjadi sebuah
kesatuan yang efektif. Prisma identitas
merek tersebut menunjukkan bahwa
semua aspek saling berkaitan dan
membentuk struktur yang baik.
Menurut Kapferer (2008),
merek / brand hanya ada bila mereka
berkomunikasi. Pada saat perusahaan
mengkomunikasikan suatu brand
dalam berupa aspek physique dan
personality dari brand tersebut, maka
akan terpancar suatu hubungan antara
brand dengan konsumen dan budaya
bagaimana brand tersebut
merepresentasikan dirinya.
Persepsi Konsumen dan Pentingnya
bagi Marketing Communication
Schiffman and Kanuk (2007,
h.138) mendefinisikan persepsi sebagai
“The process by which an individual
selects, organizes, and interprets
stimuli into meaningful and coherent
picture of the world”. Jadi persepsi
dapat diartikan sebagai proses dimana
individu memilih, mengorganisir, dan
menginterpretasikan stimuli sehingga
menciptakan gambaran dunia dengan
makna. Satu stimuli yang sama akan
dipersepsikan berbeda oleh dua
individu ketika individu tersebut
memilih, mengorganisir, dan
menginterpretasi stimuli tersebut.
Menurut Schiffman dan Kanuk (2007,
h.160) setiap persepsi manusia akan
berbeda untuk realitas yang sama,
terdapat faktor yang mempengaruhinya
yaitu sebagai berikut:
1. Perceptual selection, yaitu
secara ilmiah dan dengan tidak
sadar seseorang akan memilih
sendiri stimulus atau
rangsangan yang menarik dan
sesusai bagi dirinya
2. Perceptual Organization, yaitu
pada hakekatnya seseorang
akan menangkap stimulus yang
telah diseleksi sebagai kesatuan
yang utuh.
3. Perceptual Interpretation, yaitu
setiap orang mempunyai
interpretasi yang tidak sama
terhadap suatu fenomena yang
bersifat individual dan unik,
setelah ada seleksi dan
pengorganisasian stimulus yang
diterima.
Persepsi akan suatu produk
timbul karena adanya stimuli
pemasaran produk tersebut¸ salah
satu stimuli pemasaran itu adalah
brand image suatu produk.
Aktivitas komunikasi pemasaran
yang dilakukan dapat membentuk
sebuah brand image yang
kemudian dipersepsi oleh
konsumen dapat dilihat dari proses
pembentukan image yang
dijelaskan oleh John S. Nimpoeno
(dalam Soemirat & Ardianto, 2003,
h.115) sebagai berikut :
Gambar 2.3 : Proses Pembentukan Image
Sumber : diadopsi dari Soemirat & Ardianto, 2003, h.115
Model pembentukan image di
atas menunjukkan bagaimana stimulus
yang berasal dari luar dapat
mempengaruhi respon. Empat
komponen persepsi, kognisi, motivasi,
sikap disebut sebagai "picture in our
head" dan diartikan sebagai image
individu terhadap rangsang (Lipman,
dikutip dari Soemirat & Ardianto
2003). Persepsi diartikan sebagai hasil
pengamatan terhadap unsur lingkungan
yang dikaitkan dengan suatu proses
pemaknaan. Individu akan
memberikan makna terhadap
rangsangan berdasarkan
pengalamannya terhadap rangsangan.
Kaitannya dengan penelitian ini, dalam
kegiatan pemasaran Marlboro
konsumen akan memberikan makna
terhadap brand image Marlboro
berdasarkan pengalaman dan
pengetahuannya. Persepsi konsumen
akan positif apabila informasi yang
diberikan oleh rangsang dapat
memenuhi kognisi konsumen. Setelah
mempersepsi, proses pembentukan
image berlanjut pada kognisi, yaitu
suatu keyakinan diri konsumen
terhadap stimulus.
Selanjutnya motivasi dan sikap
akan memunculkan respon seperti
yang diinginkan oleh pemberi
rangsang. Motivasi dalam hal ini
adalah keadaan dalam pribadi
konsumen yang mendorong keinginan
untuk mencapai sesuatu.Sedangkan
sikap merupakan kecenderungan
konsumen untuk berperilaku dengan
cara-cara tertentu. Proses pembentukan
image pada akhirnya menghasilkan
perilaku, pendapat, atau tanggapan
tertentu.
Sebelum dan sesudah
melakukan pembelian, seorang
konsumen akan melakukan sejumlah
proses yang mendasari pengambilan
keputusan. Brand image dan persepsi
suatu produk yang telah ada dalam
pikiran konsumen merupakan salah
satu faktor yang mempengaruhi
konsumen dalam menentukan
keputusan pembelian.
METODOLOGI PENELITIAN
Jenis Penelitian
Jenis penelitian yang digunakan
peneliti yaitu penelitian deskriptif.
Penelitian deskriptif kualitatif
bertujuan untuk menggambarkan,
meringkaskan berbagai kondisi,
berbagai situasi, atau berbagai
fenomena realitas sosial yang ada di
masyarakat yang menjadi objek
penelitian, dan berupaya menarik
realitas itu kepermukaan sebagai suatu
ciri, karakter, sifat, model, tanda,atau
gambaran tentang kondisi, situasi,
ataupun fenomena tertentu (Bungin,
2011,h. 68).
Lokasi Penelitian
Peneliti memilih Kota Malang
sebagai lokasi penelitian, didasarkan
pada pertimbangan bahwa Kota
Malang merupakan kota dengan
pertumbuhan ekonomi yang pesat.
Fokus Penelitian
Sesuai dengan teori Kapferer
tentang prisma identitas
brand,penelitian ini bermaksud
mengetahui dan menganalisis
bagaimana persepsi konsumen
mengenai konstruksi identitas brand
Marlboro sesuai dengan ke-enam
aspek prisma identitas brand Kapferer
maka dalam penelitian ini peneliti
berfokus pada beberapa hal, yaitu:
1. Aspek physique identitas brand
Marlboro
2. Aspek personality identitas
brand Marlboro
3. Aspek cultureidentitas brand
Marlboro
4. Aspek relationshipidentitas
brand Marlboro
5. Aspek reflection identitas
brand Marlboro
6. Aspek self imageidentitas
brand Marlboro
Dengan demikian dapat diperoleh
gambaran tentang konstruksi identitas
brand Marlboro dalam perspektif
konsumen.
Teknik Pemilihan Informan
Penelitian ini menggunakan
teknik penentuan subjek dengan
purposive sampling.
Dalam penelitian ini, informan utama
yaitu konsumen produk Marlboro
dengan kriteria – kriteria tertentu yang
ditetapkan oleh peneliti, yakni :
1. Pria atau wanita yang berusia 21
atau di atas 21 tahun
Sesuai dengan yang tertera pada
situs Marlboro4 batasan usia yang
dapat mengakses situs tersebut dan
usia minimal perokok yang
ditetapkan oleh Marlboro yaitu 21
tahun, maka peneliti menetapkan
kriteria informan yang pertama
yaitu pria atau wanita berusia 21
atau di atas 21 tahun.
2. Merupakan konsumen Marlboro >
6 bulan
Kriteria yang peneliti tentukan
adalah konsumen Marlboro > 6
bulan. Hal ini dirasa peneliti perlu
karena selain menjadi konsumen
Marlboro, menjadi konsumen yang
loyal juga merupakan hal yang
penting dalam penelitian ini.
4www.marlboro.com : merupakan official
website rokok Marlboro
PEMBAHASAN
Ditemukan bahwa pada aspek
physique terdapat visualisasi sifat yaitu
kesan prestige dan elegan. Sifat elegan
berdasarkan hasil wawancara
didapatkan melalui penilaian kemasan
dari produk Marlboro. Sesuai dengan
hasil penelitian mengenai visualisasi
bentuk dari Marlboro yang dinilai
informan simple dan menarik,
merupakan hasil persepsi informan
sehingga terbentuk sifat elegan.
Perpaduan warna dan desain dari
produk Marlboro dinilai elegan oleh
konsumen.
Desain yang sederhana dan
kekontrasan pemilihan warna
merupakan stimuli yang kuat bagi
informan bagi persepsi mereka
mengenai visualisasi bentuk dari
produk Marlboro. Stimuli-stimuli
tersebut antara lain : segitiga M,
perpaduan warna merah dan putih,
warna yang mencolok, dan desain yang
sederhana. Sehingga mereka
mempersepsi bahwa visualisasi bentuk
dari Marlboro ialah simple, unik, dan
menarik.
Kesan prestige ditunjukkan dari
karakter Marlboro yaitu harga yang
mahal, keren, produk berkualitas, serta
menjadi suatu kebanggaan. Meski
harga dari produk Marlboro dinilai
mahal, informan tetap menjadi
konsumen loyal Marlboro. Hasil
wawancara pada aspek self image
bahwa para informan mensejajarkan
merokok dengan makanan. Efek
kecanduan dari rokok yang membuat
mereka terus mengkonsumsi Marlboro
ditunjang dengan sifat prestisius yang
ada pada Marlboro sendiri merupakan
faktor mereka menjadi konsumen
loyal.
Sifat prestisius sebagai faktor
yang mempengaruhi informan untuk
menjadi konsumen yang loyal ternyata
memiliki keterkaitan dengan analisis
pada aspek reflection. Secara spesifik,
pada aspek reflection ditemukan
bahwa informan membuat sebuah
sterotip pada pengguna brand
Marlboro. Streotip perokok Marlboro
didefinisikan sebagai lifestyle dan
prestige.
Pada aspek reflection terdapat
kondisi ideal para informan untuk
mengkonsumsi Marlboro yaitu pada
saat bersantai, nongkrong, dan
berkumpul dengan teman. Rasa
percaya diri (aspek self image) muncul
pada informan terutama saat dimana
mereka merasa pada kondisi ideal
untuk mengkonsumsi Marlboro.
Seperti yang dijelaskan oleh Kotler
(2007) bahwa salah satu faktor
perilaku konsumen dalam faktor sosial
yaitu kelompok acuan. Kelompok
acuan informan disini dimaksudkan
dimana informan yang mempunyai
kelompok sosial yaitu teman-teman
informan sesama perokok. Pada saat
berkumpul dengan kelompok sosial
informan, Marlboro merupakan
penunjang penampilan mereka dan
dapat menimbulkan rasa percaya diri.
Pada informan pria, menjadi
perokok Marlboro dapat menciptakan
kesan gentleman atau kelaki-lakian.
Hal ini merupakan pembentukan citra
diri informan sebagai perokok Marl
boro.
Walau merokok merupakan hal
yang wajar dilakukan bagi laki-laki,
namun dengan memilih menjadi
konsumen Marlboro informan merasa
terkesan gentleman.
Dari paparan di atas dapat
dilihat bahwa menjadi konsumen
Marlboro merupakan kebutuhan akan
citra diri konsumen agar terlihat seperti
refleksi mereka mengenai perokok
Marlboro. Hal ini juga berkaitan
dengan faktor psikologis informan
menurut Kotler (2007) mengenai
persepsi terhadap brand Marlboro
sehingga mereka terdorong (motivasi)
untuk mengkonsumsi Marlboro.
Persepsi akan streotip perokok
Marlboro membuat suatu dorongan
untuk menjadi konsumen Marlboro.
Informan memberikan
kepribadian pada Marlboro dengan tiga
sifat yaitu laki-laki, koboi, dan
kebanggan. Iklan Marlboro yang selalu
ditampilkan dengan koboi yang
berjenis kelamin laki-laki,
dipersepsikan oleh informan bahwa
merokok merupakan hal yang wajar
dilakukan oleh laki-laki. Laki-laki
diindentikan dengan sifat dengan
macho, tegas, dan maskulin. Ketiga
sifat tersebut terbentuk karena
pengaruh persepsi informan mengenai
sifat koboi itu sendiri.
Gambar 4.10 Iklan Billboard Koboi Marlboro
Sumber : http://www.takingontobacco.org/event/pmi09/worldtour/album/Indonesia/slides/Marlborobillboard.html
Koboi diidentikan oleh
informan sebagai Negara Amerika
Serikat berhubungan dengan persepsi
informan mengenai budaya yang
dibawa Marlboro yaitu budaya
Amerika. Bila dalam aspek
personality, karakter dari koboi yaitu
petualang, petarung, dan pengembala.
Maka dalam aspek culture koboi
dipresentasikan dengan sifat keren,
fearless atau tanpa rasa takut, dan suka
tantangan. Sifat koboi ini diperoleh
hasil pengetahuan informan pada film-
film Amerika yang memiliki tokoh
koboi.
Dalam jurnal “ Cigarette, Risk,
and American Culture” ( Brandt,
1999), Marlboro man menunjukkan
industri urban koboi pertama,
merupakan sebuah simbol modernisasi,
otonomi, kekuatan, dan seksualitas.
Merokok menjadi popular di Amerika
pada awal abad ke-20. Hingga pada
akhir abad ke-20, setengah dari semua
warga Amerika yang pernah merokok
telah berhenti merokok. Pemberitaan
Amerika menyatakan bahwa angka
kematian kanker paru-paru perokok
lebih tinggi 1000 persen dari yang
bukan perokok. Pada saat itu 42 persen
dari semua perokok dewasa Amerika
hanya 26 persen yang menjadi perokok
(Brandt, 1999, h.156). Dapat dilihat
bahwa perilaku merokok berawal dari
Amerika yang memperkenalkan
industri rokok hingga menjadi tren.
Hingga pada akhirnya justru di Negara
Amerika Serikat kebiasaan merokok
menjadi tidak popular kembali.
Indonesia sebagai negara ketiga
dengan jumlah perokok terbanyak di
dunia menandakan bahwa perokok
Indonesia masih sangat terpengaruh
pada citra perokok yang awal mula
muncul dari Negara Amerika.
Marlboro sebagai jenis rokok putihan
yang telah dipersepsikan oleh informan
sebagai brand rokok asing yang
berkualitas. Memperkuat citra perokok
putihan terutama perokok Marlboro
sehingga mereka menggambarkan
kepribadian Marlboro merupakan
sesuatu kebanggan bagi mereka.
Sebagai brand asing, Marlboro dinilai
lebih berkualitas dan lebih bernilai
baik segi harga, kualitas rasa, dan
kualitas produk.
Citra Marlboro yang kuat
nampak pula pada hasil penelitian
aspek relationship Marlboro dengan
informan. Hasil wawancara dengan
informan menyatakan bahwa informan
hanya mengetahui produsen Marlboro
tanpa pernah mengetahui ataupun
mengikuti kegiatan yang diadakan oleh
produsen. Informan banyak
mengetahui mengenai produsen
Marlboro tersebut melalui
sponshorship, konser, film serta event
yang pernah diadakan oleh Marlboro
melalui media tv, iklan maupun
internet. Hal ini menandakan bahwa
kegiatan yang dilakukan oleh produsen
Marlboro kepada konsumen masih
terbilang jarang. Sehingga peneliti
berkesimpulan bahwa relationship
antara produsen Marlboro dengan
konsumen masih rendah namun citra
yang terbangun sangat kuat.
Citra Marlboro yang kuat pada
informan menunjukkan tingkat brand
awareness yang tinggi. Informan
menyatakan mereka hanya mengetahui
Marlboro tanpa lebih jauh tentang
produsen Marlboro. Maka dapat
dinyatakan bahwa informan memiliki
pengetahuan tentang Marlboro hanya
sebatas sebagai konsumen dan
kesadaran akan adanya produk
Marlboro. Tingkat brand awareness
atau kesadaran merek yang tinggi
dapat meningkatkan brand equity
Marlboro.
Meski relationship antara
produsen Marlboro dengan konsumen
masih rendah namun kesadaran
informan akan brand Marlboro yang
tinggi mampu membuat informan
menjadi konsumen yang loyal.
Informan menyatakan produk
Marlboro yang berkualitas meski
dinilai harganya mahal. Namun
informan tetap bertahan menjadi
konsumen Marlboro. Maka dapat
dikatakan Marlboro memiliki ekuitas
merek yang kuat. Selain itu dapat
dilihat pula bahwa Marlboro selama
empat tahun terakhir mendapat posisi
sepuluh besar Top 100 Most Valuable
Global Brands dalam Millwardbrown5
. Ini menandakan pemasaran yang
berhasil dilakukan Marlboro dan
menciptakan nilai brand equity dari
Marlboro kuat di dunia.
KESIMPULAN
Berdasarkan hasil penelitian yang telah
dilakukan, peneliti menyimpulkan
beberapa hal mengenai konstruksi
identitas brand Marlboro dalam
perspektif konsumen, antara lain:
1. Aspek physique Marlboro dalam
perspektif konsumen terdapat
visualisasi bentuk yang simple dan
menarik. Sedangkan pada
visualisasi rasa terdapat
penggambaran bahwa produk
Marlboro mempunyai rasa yang
enak, ringan, dan lembut.
Penggambaran aspek physique
tersebut menimbulkan kesan
prestisius dan elegan menjadi
acuan dalam membentuk stereotip
perokok Marlboro.
2. Aspek reflection menggambarkan
tipe ideal perokok Marlboro yang
merupakan dorongan atau motivasi
untuk menjadi konsumen
Marlboro. Tipe ideal perokok
Marlboro ialah pekerja, anak muda,
dan mahasiswa. Marlboro
direfleksikan sebagai kebutuhan
lifestyle dan prestige.
3. Tujuan dari menjadi konsumen
Marlboro yaitu untuk pembentukan
citra diri atau self image informan
sesuai stereotip mereka mengenai
5 5MillwardBrown (www.millwardbrown.com)
adalah salah satu lembaga penelitian
terkemuka di dunia dan ahli dalam iklan yang
efektif, komunikasi pemasaran, media dan
penelitian ekuitas merek.
perokok Marlboro. Citra diri yang
dirasakan pada dibenak konsumen
Marlboro yaitu percaya diri, laki-
laki, dan sebuah kebutuhan dalam
mengikuti tren.
4. Aspek personality Marlboro
identik dengan koboi yang
menyimbolkan kelaki-lakian.
Koboi yang identik pula dengan
budaya atau culture Negara
Amerika Serikat menyimbolkan
modernisasi, otonomi, kekuatan,
dan seksualitas.
5. Aspek relationship Marlboro yang
rendah dikarenakan informan tidak
pernah terlibat dalam segala usaha
atau kegiatan pemasaran yang
dilakukan oleh produsen Marlboro.
Walaupun relationship Marlboro
yang rendah, namun citra Marlboro
yang kuat membentuk brand
equity yang kuat pula. Citra dan
brand equity Marlboro merupakan
kekuatan pemasaran Marlboro di
Indonesia.
Dari penelitian ini ditemukan
bahwa dorongan untuk menjadi
konsumen Marlboro yaitu untuk
pembentukan citra diri atau self image
sesuai stereotip mereka mengenai
perokok ideal Marlboro. Sehingga
apabila konsumen menjadi perokok
Marlboro akan timbul rasa percaya diri
di lingkungan sosialnya. Konsumen
memandang perokok Marlboro
memiliki citra yang prestisius,
keren¸elegan, dan laki-laki. Citra
Marlboro sebagai produk asing dengan
budaya Amerika Serikat membentuk
sifat laki-laki sesuai dengan citra koboi
yang ada pada Marlboro. Meski
relationship Marlboro rendah namun
brand equity Marlboro yang kuat,
membuat konsumen menilai Marlboro
sebagai produk yang lebih berkualitas
daripada produk lokal.
DAFTAR PUSTAKA
Aaker, A. D.(2009). Managing brand
equity : Capitalizing on the value of a
brand name. New York : The Free
Press.
Anusz, M.(2000). Kretek: The culture
and heritage of indonesia's
clove cigarettes, Singapore:
Equinox Publishing (Asia) .
Barber S., Adioetomo S.M., Ahsan A.,
Setynoaluri D.(2008). Tobacco
economics in Indonesia. Paris:
International union against
tuberculosis and lung disease
Barber S., Adioetomo S.M., Ahsan A.,
Setynoaluri D.(2008). Tobacco
economics in Indonesia. Paris:
International union against tuberculosis
and lung disease.
Barraclough, S.(1999). Women and
tobacco in Indonesia. Tobacco
Control. 8,327-332.
BPS kota Malang.(2012). Diakses pada
19 Juli 2014, dari
http://www.malangkota.bps.go.
id/?hal=berita_detilid=3.html
Brandt, A.M.(1999). The cigarette,
risk, and American culture.
Daedalus, 199(4). 155-176
Diakses pada 30 September
2014 dari
http://www.jstor.org/stable/200
25343
Bungin, B. (2011). Penelitian
kualitatif: Komunikasi,
ekonomi, kebijakan publik, dan
ilmu sosial lainnya, edisi 2.
Jakarta: Kencana.
Clow & Baack. (2010). Integrated
advertising, promotion, and marketing
communication. New Jersey : Pearson
Education
Country overview.(n.d.). Philip Morris
International. Diakses pada 1
oktober 2014 dari
http://www.pmi.com/marketpa
ges/pages/market_id_id.aspx
Fikriyah, S. & Febrijanto Y. (2012).
Faktor-faktor yang
mempengaruhi perilaku
merokok pada mahasiswa laki-
laki di asrama putra. Jurnal
STIKES, 5(1),1-11.
Kapferer, J.N. (2008). The new
strategic brand management :
Creating and sustaining brand
equity long term. London :
Kogan Page.
Knapp, D.E. (2001). The Brand
Mindset. Jogjakarta : ANDI
Kotler, P. & Keller, K. L. (2008).
Manajemen pemasaran edisi 12
jilid 2. Jakarta : Erlangga.
Kotler, P. & Keller, K. L .(2007).
Manajemen pemasaran edisi
12. Jakarta : PT Index.
Kotler, P. & Keller, K L.(2006).
Marketing management. Prentice Hall.
Kotler, Philip & Amstrong, G .(2007).
Dasar – dasar pemasaran edisi
9 jilid 1. Jakarta : PT Indeks.
Kriyantono, R. (2006). Teknik praktis
riset komunikasi. Jakarta :
Kencana Prenada Media
Group.
Kriyantono, R. (2010). Teknik praktis
riset komunikasi: disertai
contoh praktis riset media,
public relation, advertising,
komunikasi organisasi,
komunikasi pemasaran, edisi 1.
Jakarta: Kencana.
Lamb, Charles W, Jr. Joseph, F. Hair,
Jr & Carl, M. (2001).
Pemasaran. Jakarta : Salemba
Empat.
Miles, B. & Huberman, A.M.(2014).
Qualitative data analysis : a
method sourcebook, third
edition. Los Angeles : SAGE
Publication
Moleong, L.J. (2004). Metodologi
penelitian kualitatif. Bandung:
Remaja Rosdakarya.
Moleong, L.J. (2005). Metodologi
penelitian komunikasi edisi
revisi. Bandung: Remaja
Rodakarya.
Ng, N., L., Weinehall and A.
Öhman.(2007). „If I don‟t
smoke, I‟m not a real man‟:
Indonesian teenage boys‟ views
about smoking. Health
Education Research, 22(6),
794-804.
Nichter, M., S. Padmawati, M.
Danardono, N, Ng., Y.,
Prabandari, and M.
Nichter.(2009). Reading
culture from tobacco
advertisements in Indonesia.
Tobacco Control. 19, 98-107.
O‟Leary, Z.(2010). The essential guide
to doing your research project.
London : SAGE
Peraturan Pemerintah RI. (2013).
Pengamanan rokok bagi
kesehatan. Jakarta : Presiden
Republik Indonesia.
Rachmaningtyas, A. (2013, Mei 31) .
61,4 juta penduduk indonesia
perokok aktif. Sindonews.
Diakses pada 28 Oktober 2013
dari
http://nasional.sindonews.com/r
ead/2013/05/31/15/744854/61-
4 juta-penduduk-indonesia-
perokok-aktif
Regulasi tembakau.(n.d). Mengatur
produk-produk tembakau.
Diakses pada 20 Oktober 2014
dari
http://sampoerna.com/id_id/tob
acco_regulation/regulating_tob
baco_product/pages/regulating
_tobbaco_products.aspx
Reimondos, A. Utomo, D.I. Mc
Donald, P. Hull, T. Suparno, H.
Utomo, A. (2012) . Merokok
dan penduduk dewasa muda di
Indonesia. The 2010 Greater
Jakarta Transition to
Adulthood Survey. 02, 1-6.
Sarwono, W. S.(2009). Pengantar
psikologi umum. Jakarta : PT
Raja Grafindo Persada.
Schiffman. L.G. & Kanuk, L.L.(2007).
Consumen behaviour (9th
ed).
Pearson Prentice Hall.
Schivinski, B. & Dąbrowski, D.
(2013). The effect of social-
media communication on
consumer perceptions of
brands. GUT FME Working
Paper Series A, No.
12/2013(12).Gdansk (Poland):
Gdansk University of
Technology, Faculty of
Management and Economics.
Setiadi, N.J.(2008). Perilaku
konsumen. Jakarta : Prenada Media
Group.
Shimp, T.A.(2003). Periklanan dan
promosi, aspek tambahan
komunikasi terpadu buku 1&2.
Jakarta : Erlangga.
Soemirat,S.&Ardianto, E.(2003).
Dasar-dasar public relations.
Bandung : Remaja Rosdakarya.
Sugiyono.(2010). Metode penelitian
kuantitatif, kualitatif dan R&D.
Bandung : Alfabeta
Suryani, T.(2008). Perilaku konsumen
: Implikasi terhadap strategi
pemasaran.Yogyakarta :
Graha Ilmu
Tjiptono, F.(2008). Strategi
pemasaran. Yogyakarta: Penerbit
Andi.
Tran, T. P. Fabrize, R.O. (2013). The
Effect of The Foreign Brand on
Consumer Perception. Journal
of Marketing Development and
Competitiveness. 07, 23-36.
Walgito, B.(2004). Pengantar
psikologi umum. Yogyakarta :
ANDI
WHO (World Health Organisation)
.(2009). Indonesia (Ages 13-
15), Global Youth Tobacco
Survey (GYTS) Fact Sheet.
Diakses pada 20 Oktober 2014.
Dari
http://www.searo.who.int/Link
Files/GYTS_IndonesiaFactshee
t2009.pdf.
WHO (World Health
Organisation).(2011). WHO
Report on the Global Tobacco
Epidemic, 2011. Diakses pada
20 Oktober 2014 dari
http://www.
who.int/tobacco/global_report/2
011/en/index.html.