POLITIK IDENTITAS DIASPORA MINANG DALAM KARYA

68
POLITIK IDENTITAS DIASPORA MINANG DALAM KARYA-KARYA PARA PERUPA KELOMPOK JENDELA DI YOGYAKARTA TAHUN 2000-2010 Hariyanto Jurusan Seni dan Desain, Fakultas Sastra Universitas Negeri Malang Abstrak Pemilihan topik artikel ini didasarkan pada suatu fakta bahwa beberapa kelompok perupa asal Minang termasuk Kelompok Jendela telah berhasil menduduki peringkat atas dalam reputasi mereka sebagai perupa. Para perupa Minang sebagai kaum diaspora telah menunjukkan identitasnya sebagai perupa dengan karya yang berbeda dengan kelompok lainnya. Tujuan dari penulisan artikel ini ingin mengetahui: politik identitas dan diaspora; perupa Minang di Yogyakarta; dan politik identitas dalam karya-karya Kelompok Jendela. Artikel ini membahas: politik identitas dan diaspora; diaspora Minang dalam seni rupa kontemporer Yogyakarta; politik identitas dalam karya- karya seni rupa Kelompok Jendela. Kata kunci : politik identitas, diaspora, Minang. I. Pendahuluan Perkembangan seni rupa kontemporer Indonesia era tahun 2000-an ditandai dengan munculnya perupa-perupa muda di forum internasional baik dalam biennale-biennale internasional, artfair, maupun di balai-balai lelang. Karya-

Transcript of POLITIK IDENTITAS DIASPORA MINANG DALAM KARYA

POLITIK IDENTITAS DIASPORA MINANG DALAM KARYA-KARYA PARAPERUPA KELOMPOK JENDELA DI YOGYAKARTA

TAHUN 2000-2010

HariyantoJurusan Seni dan Desain, Fakultas Sastra

Universitas Negeri Malang

AbstrakPemilihan topik artikel ini didasarkan padasuatu fakta bahwa beberapa kelompok perupaasal Minang termasuk Kelompok Jendela telahberhasil menduduki peringkat atas dalamreputasi mereka sebagai perupa. Para perupaMinang sebagai kaum diaspora telah menunjukkanidentitasnya sebagai perupa dengan karya yangberbeda dengan kelompok lainnya. Tujuan daripenulisan artikel ini ingin mengetahui:politik identitas dan diaspora; perupa Minangdi Yogyakarta; dan politik identitas dalamkarya-karya Kelompok Jendela. Artikel inimembahas: politik identitas dan diaspora;diaspora Minang dalam seni rupa kontemporerYogyakarta; politik identitas dalam karya-karya seni rupa Kelompok Jendela.Kata kunci : politik identitas, diaspora,Minang.

I. Pendahuluan

Perkembangan seni rupa kontemporer Indonesia era

tahun 2000-an ditandai dengan munculnya perupa-perupa muda

di forum internasional baik dalam biennale-biennale

internasional, artfair, maupun di balai-balai lelang. Karya-

karya perupa Indonesia banyak mendapat apresiasi dari

para pengamat internasional dan juga diminati oleh para

kolektor dengan nilai yang tinggi. Para perupa asal

Sumatera Barat yang merantau ke Jawa sebagian besar

menetap di Yogyakarta untuk mengembangkan karir. Mereka

membentuk organisasi Komunitas Seni Sakato sebagai wadah

untuk berkomunikasi sesama perupa Minang di perantauan. Di

dalam komunitas besar itu terdapat beberapa kelompok kecil

perupa seperti Kelompok Jendela, Kelompok Genta, Kelompok

Semoet, dan lain-lain. Kelompok Jendela merupakan kelompok

perupa pertama dari para perupa Minang yang telah berhasil

di forum internasional.

Para perupa Kelompok Jendela menciptakan gaya visual

yang berbeda dengan gaya dominan yang berkembang pada era

pasca reformasi. Pada era pasca reformasi para perupa

kontemporer di Yogyakarta dipengaruhi oleh suasana sosial-

politik yang berkembang pada saat itu. Ekspresi seni rupa

yang tampak dalam gaya visual para perupa merupakan

cerminan kehidupan sosial-politik nasional. Wacana sosial-

politik menjadi tema dominan dalam seni rupa kontemporer

Yogyakarta pada akhir tahun 1990-an. Para perupa Kelompok

Jendela tidak mengikuti arus yang dominan, mereka justru

menciptakan gaya visual yang menghindari tema-tema sosial-

politik disebabkan oleh pertimbangan pengalaman historis

dan budaya mereka. Gaya visual perupa etnis Minang ini

kemudian berpengaruh terhadap kelompok-kelompok perupa

Minang yang lain seperti Kelompok Genta dan Kelompok

Semoet. Keberadaan Kelompok Jendela yang menjadi

representasi identitas Minang kini menjadi setara dengan

gaya yang dominan di Jawa (Yogyakarta). Gaya non-politis

yang dikembangkan oleh perupa Kelompok Jendela ini pada

akhirnya dapat dipahami sebagai bentuk politik identitas

perupa etnis Minang di perantauan.

Keberhasilan Kelompok Jendela menembus forum

internasional dan menjadi incaran para kolektor merupakan

fenomena yang menarik. Kelompok Jendela merevitalisasi

nilai-nilai tradisi Minang dengan bahasa visual yang

berbeda dengan gaya yang sedang dominan dalam seni rupa

kontemporer Indonesia, khususnya di Yogyakarta. Identitas

budaya Minang yang tersirat dalam karya Kelompok Jendela

menjadi kekuatan yang dapat menjadi wacana alternatif dari

wacana yang berkembang saat ini. Mereka menyadari perlunya

identitas budaya sebagai kekuatan untuk bersaing di forum

global sehingga dapat mensejajarkan diri dengan perupa

dari komunitas lain maupun perupa internasional. Para

perupa Kelompok Jendela telah berhasil memainkan politik

identitas sehingga dapat menemukan identitas visual yang

saat ini berpengaruh dalam seni rupa kontemporer

Indonesia.

Politik identitas yang dikembangkan oleh para perupa

Kelompok Jendela melalui karya-karya yang dihasilkan

mereka merupakan fenomena yang menarik untuk dibahas. Daya

tarik mereka tidak hanya dari aspek visualnya saja tetapi

juga karena para perupa itu mewakili kelompok etnis Minang

yang memiliki relasi historis dengan sejarah Jawa.

Kelompok perupa Minang itu juga memiliki tradisi merantau

sehingga keberadaan mereka dapat dikategorikan sebagai

kaum diaspora yang pada saat ini sudah menjadi fenomena

global. Tulisan ini akan membahas tentang : politik

identitas dan diaspora; diaspora Minang dalam seni rupa

kontemporer Yogyakarta; dan politik identitas dalam karya

seni rupa Kelompok Jendela.

II. Politik Identitas dan Diaspora

Politik identitas adalah tindakan politis untuk

memajukan kepentingan anggota dari suatu kelompok yang

anggotanya memahami diri mereka sendiri mendapat tekanan

disebabkan karena identitas yang sama dan termarjinalkan

(seperti ras, etnisitas, agama, jender, orientasi seksual.1

Politik identitas sebagai sebuah mode pengorganisasian

sangat dekat berhubungan dengan gagasan bahwa beberapa

kelompok sosial telah mengalami tekanan yaitu bahwa

identitasnya sebagai seorang perempuan, atau sebagai

penduduk asli, misalnya membuat orang secara khusus

menjadi rawan terhadap imperialisme budaya (termasuk

penstereotipan, penghapusan, atau perampasan dari suatu

identitas kelompok), kejahatan, eksploitasi, marjinalisasi

atau tidak memiliki kekuasaan.2

1 Esiklopedia Wikipidia,http://en.wikipedia.org/wiki/Identity_politics , diakses 7September 2011.2 ? Young Iris Marion, Justice and the Politics of Difference (Princeton:Princeton University Press, 1990)

Eleanor Heartney menyatakan bahwa biennale seni rupa

kontemporer sebagai forum untuk presentasi karya seni rupa

yang berkembang luas saat ini sebagai cara untuk mereduksi

isu-isu sosial yang kompleks menjadi sebuah politik

identitas. Politik identitas menghindari determinasi

sosial ekonomi seperti kelas, agama, dan nasionalitas,

sebaliknya menyajikan model reduktif dari masyarakat

seperti pertempuran antara pihak yang tertekan dengan

pihak yang menekan.3

Masyarakat etnis Minang memiliki tradisi merantau

keluar daerah dan keluar negeri untuk memperbaiki kualitas

hidup mereka. Istilah diaspora berasal dari bahasa Yunani

kuno yang artinya, “penyebaran atau penaburan benih”

digunakan untuk merujuk kepada bangsa atau penduduk etnis

manapun yang terpaksa atau terdorong untuk meninggalkan

tanah air etnis tradisional mereka; penyebaran mereka di

berbagai bagian lain dunia, dan perkembangan yang

3 Eleanor Heartney, "Identity politics at the Whitney -Multiculturalism Explored in Whitney Museum of Modern Art's 1993 Biennial ArtExhibition" Art in America. (Mei, 1993). 166.

dihasilkan karena penyebaran dan budaya mereka.4 Makna asli

dari kata “diaspora” digunakan untuk merujuk secara khusus

kepada penduduk Yahudi yang dibuang dari Yudea pada 586 SM

oleh Babel, dan Yerusalem pada 135 M oleh Kekaisaran

Romawi. Istilah ini digunakan berganti-ganti untuk merujuk

kepada gerakan historis dari penduduk etnis Israel yang

tersebar, perkembangan budaya penduduk itu, atau penduduk

itu sendiri.

Kini istilah diaspora berlaku bagi semua etnis yang

hidup di luar tanah asalnya. Setelah era kolonial banyak

para imigran dari bekas jajahan Inggris melakukan migrasi

ke Inggris atau ke negara Barat lainnya. Sebagian di

antara imigran dari bekas negara jajahan Inggris itu

adalah kaum intelektual poskolonial. Para teoritisi

poskolonial pada umumnya berbicara tentang hubungan antara

budaya asal mereka (etnik/tradisi) dengan budaya Barat.

Edward Said membicarakan tentang stereotip pandangan orang

Barat terhadap orang Timur yang masih bersifat kolonialis

dan Orientalis, yang menganggap orang Timut sebagai

4 http://en.wikipedia.org, diakses 7 September 2011

”other” dan inferior.5 Stuart Hall menyoroti tentang

perlakuan orang Barat terhadap orang kulit hitam Afrika

dengan mengungkap representasi visual (sinema dan

fotografi) tentang orang hitam yang diproduksi budaya

Barat.6 Homi Bhabha membahas tentang budaya hibrida yang

dihasilkan oleh kaum diaspora.7

Identitas menjadi penting bagi kaum diaspora, karena

pengalaman sebagai kaum “terusir” yang mengalami krisis

identitas layak bicara tentang pengalamannya melalui

representasi. Karena menurut Stuart Hall identitas tidak

ditetapkan di luar, tetapi di dalam representasi.8 Terdapat

dua cara berpikir dalam melihat identitas budaya. Yang

pertama, mendefinisikan identitas budaya dalam pengertian

sebagai satu budaya bersama, sejenis suatu diri kolektif

5 Edward Said, Orientalism, (New York; Vintage Books, 1978),31-48.

6 Stuart Hall, “The Spectacle of ‘Other’”, dalam StuartHall, Representation : Cultural Representation and Signifying Practice (London:Sage, 2003). 223-290.

7 Homi K. Bhabha, The Location of Culture (New York: Routledge,2005). 200.

8 Stuart Hall, “Cultural Identity and Diaspora”, dalam,Ashcroft, Bill; Griffiths, Gareth; dan Tiffin, Helen, The Post-Colonial Studies Readers, edisi ke-2 (New York: Routledge, 2006).Maret 2011. 435-438.

yang benar, tersembunyi di samping banyak lainnya, lebih

ditekankan pada “diri-diri” yang superfisial atau

artifisial, yang mana masyarakat dengan sejarah dan

leluhurnya selalu dipegang pada umumnya. Dalam pengertian

ini identitas budaya kita mencerminkan pengalaman historis

umum dan kode-kode budaya bersama, yang menentukan kita

sebagai “satu masyarakat”, dengan kerangka berpikir dan

makna yang stabil, tidak berubah dan berkelanjutan, di

bawah bagian-bagian yang sedang berubah dari sejarah

aktual kita.

Cara melihat identitas yang kedua adalah dalam posisi

mengakui adanya banyak kesamaan, tetapi terdapat juga

bagian kritis dari perbedaan yang mendalam dan signifikan

yang menentukan “apakah kita telah menjadi”. Persoalan

identitas budaya menurut pengertian yang kedua ini adalah

persoalan “menjadi” sebagaimana “mengada”. Ini menjadi

milik masa depan juga milik masa lampau. Identitas budaya

datang dari suatu tempat, mempunyai sejarah. Tetapi

seperti setiap apapun yang mempunyai sejarah, mereka

mengalami transformasi yang konstan.9

Istilah “diaspora” menunjuk pada orang-orang yang

tidak hidup di tanah-airnya sendiri, orang-orang yang

terusir (Yahudi, Armenia dan Yunani), apapun sebab,

jumlah, organisasi, atau lamanya pengusiran. Pada

kesempatan lain istilah ini digunakan untuk menunjuk

sekelompok atau koloni ekspatriat, pelarian, migran elite,

pengusaha asing, pengungsi, buruh migran, pelintas-batas,

pekerja tamu, dan sekelompok etnik minoritas.10 Berdasarkan

pendapat Tololyan maka para perantau dari Minang dapat

dikategorikan sebagai kaum diaspora yang bekerja di daerah

lain dengan budaya yang berbeda.

Cohen mengkategorikan kaum diaspora ke dalam

beberapa jenis seperti: “diaspora korban” yang dialami

9 Stuart Hall, “Cultural Identity and Diaspora” dalam J.Rutherford , ed, Identity:Community, Culture, Difference (London: Lawrenceand Wishart, 1990), 222-237.

10 Khachig Tololyan, “Armenian Diaspora”, dalam MelvinEmber,Carol R. Ember,Ian Skoggard, ed, Encyclopedia of Diasporas: Immigrant and RefugeeCultures Around the World, (New York: Springer Science+Business MediaInc., 2005) 35-36.

oleh misalnya bangsa Yahudi, Afrika dan Armenia. “Diaspora

buruh”, yang dilakukan oleh buruh kontrak India.

“Diaspora perdagangan” yang dilakukan oleh bangsa Cina dan

Libanon. “Diaspora imperial” atau kekaisaran yang

dilakukan oleh bangsa Inggris, dan “Diaspora kultural”

yang dijalani oleh bangsa Karibia di luar tanah airnya.11

Para perantau Minang di Jawa sebagian besar berdagang

karena mereka memang memiliki etos dagang yang tinggi. Di

Yogyakarta para perantau asal Minang sebagian besar adalah

mahasiswa, intelektual, dan pekerja seni. Perupa-perupa

asal Minang bergabung dalam komunitas seni Sakato yang

jumlah anggotanya lebih dari seratus orang. Dengan

menggunakan kategori dari Cohen maka etnis Minang yang

merantau ke Jawa dapat dikategorikan sebagai ”diaspora

perdagangan” dan ”diaspora kultural”.

Kasus diaspora yang sering menimbulkan masalah sejak

zaman kolonial adalah diaspora Tionghoa yang sering

disebut dengan istilah peranakan. Sejarah sosial dari kaum

11 ? R. Cohen, Global diasporas: An introduction. (London: UCL Press,1997). x.

peranakan (diaspora) Tionghoa di Indonesia sudah banyak

ditulis, tetapi dalam bidang seni khususnya seni rupa

masih sedikit. Para kolektor dan pemilik galeri kebanyakan

berasal dari kaum peranakan. Kini di saat seni kontemporer

Indonesia berkembang sebagai bagian dari perkembangan di

Asia-Pasifik, peran mereka juga cukup signifikan baik

sebagai donatur/kolektor, seniman, kurator maupun pemilik

galeri. Peran kaum diaspora Tionghoa ini dalam mendorong

perkembangan seni rupa kontemporer di Indonesia telah

diangkat menjadi objek penelitian yang menarik untuk

desertasi doktor.12 Penelitian yang dilakukan Djatiprambudi

membuktikan bahwa mengkoleksi atau mengapresiasi karya

seni rupa sebagai bagian penting yang mendukung

kelangsungan hidup seni rupa dapat berfungsi sebagai

representasi identitas kelompok etnis Tionghoa. Para

perupa, kolektor, kurator, dan pemilik galeri yang berasal

dari keturunan Tionghoa telah berhasil memainkan politik

identitas dalam bidang seni rupa termasuk di dalamnya

12 ? Djuli Djatiprambudi, ”Komodifikasi Seni Rupa KontemporerIndonesia”, Jurnal Panggung Vol. 20, No. 1 (Januari-Maret 2010),45-61.

perdagangan barang seni. Komunitas diaspora Tionghoa di

Indonesia menurut Cohen termasuk ”diaspora perdagangan”

dan dengan berhasilnya memainkan politik identitas di

bidang seni rupa maka mereka layak disebut ”diaspora

kultural”.

III. Perupa ”Diaspora” Minang dalam Seni rupa KontemporerYogyakarta

Para perupa etnis Minangkabau dari Sumatera Barat

yang belajar di Jawa dan menetap di sana adalah kaum

diaspora yang memiliki ikatan kultural dengan tanah

asalnya. Karakteristik orang Minang yang positif adalah

berwatak egaliter, memiliki harga diri yang tinggi, suka

berdebat, dan yang menonjol adalah suka berdagang.13 Orang

Minang adalah pemeluk agama Islam yang taat dan pemegang

adat tradisi yang kuat. Orang Minang memiliki sifat

“dinamis“ karena suka berpindah tempat, dan berjiwa

wirausaha, mereka juga “modernis“ dalam pendidikan,

pekerjaan, pandangan politik, dan kesadaran media, tetapi

dalam waktu yang sama mereka bisa “konservatif“ karena13 Syamdani, PRRI, Pemberontak atau Bukan?, (Yogyakarta:Media

Presindo, 2008), 14-33.

berpegang kuat pada tradisi.14 Orang Minang berpandangan

bahwa Alam (Minangkabau) merupakan pusat, jantung,

sementara keberadaan rantau adalah untuk memperkaya Alam.15

Ciri-ciri yang dikemukakan oleh para penulis di atas

menunjukkan bahwa etnis Minang memiliki semangat kolektif

yang tinggi sehingga mampu bertahan hidup di perantauan

untuk memperbaiki nasib mereka dan juga untuk meningkatkan

martabat etnis mereka di mata etnis yang lain.

Dalam budaya Minang yang sarat dengan tradisi lisan

dikenal dengan pepatah-petitih, peribahasa, kata-kata

bijak yang mengandung filosofi yang tinggi. Kalimat “Alam

terkembang jadi guru“ merupakan kata-kata bijak yang

filosofis mengandung nilai edukasi dan moral yang tinggi.

Filosofi ini masih diyakini mampu menjadi semacam pelita

bagi para perantau Minang. Peribahasa “Di situ bumi

dipijak, di sana langit dijunjung“ menunjukkan bahwa orang

Minang dapat menyesuaikan diri dengan daerah yang baru.

14 Tsuyoshi Kato, Adat Minangkabau dan Merantau dalamPerspektif Sejarah, (Jakarta: Balai Pusaka,2005).167.

15 Syamdani. 14-33.

Masyarakat Minang di perantauan membentuk komunitas

yang tujuannya untuk sarana berkomunikasi dan

menjadikannya sebagai media untuk memelihara tradisi bagi

kepentingan identitas budaya mereka. Menurut Giddens

tradisi adalah medium identitas, apakah secara pribadi

atau kolektif, identitas mengasumsikan makna tetapi

identitas juga mengasumsikan proses konstan dari

rekapitulasi dan reinterpretasi. Identitas adalah

penciptaan konstansi dalam perjalanan waktu, yang

menghubungkan masa lalu dengan masa depan.16 Tradisi adalah

orientasi ke masa lalu, bahwa masa lalu memiliki pengaruh

besar, atau tradisi memiliki pengaruh besar terhadap masa

sekarang.17 Tradisi terkait dengan memori, terutama memori

kolektif (Giddens, 2003, 47).18 Pendapat Giddens ini sesuai

dengan karakter etnis Minang di perantauan yang masih

menjunjung tinggi tradisi dan menjadikan masalalu mereka

16 ? Anthony Giddens, Masyarakat Post-Tradisional,(Yogyakarta:IRCiCoD, 2003), 47, terjemahan Ali Nur Zaman, buku asli, Living in Post-Traditional Society, (Cambridge: Polity Press, 1994).

17 Giddens, 47.18 Giddens, 47.

sebagai sumber penciptaan dan pengembangan wacana dalam

berkesenian terutama di bidang seni rupa.

Pada era Orde Baru pemerintah mendorong pencarian

identitas nasional atau kepribadian nasional terhadap

kreasi seni melalui sumber tradisi. Unsur-unsur tradisi

terlihat hanya kulit luarnya saja yang menempel pada

bentuk-bentuk seni lukis modern. Karya-karya seni lukis

modern menjadi terkucil dari masyarakatnya dan dianggap

sebagai bentuk depolitisasi seni yang dilakukan oleh

pemerintah. Gerakan Seni Rupa Baru dan beberapa kelompok

pendukungnya melakukan koreksi dengan menciptakan karya-

karya alternatif yang kembali kepada nilai kemanusiaan.19

Karya alternatif yang bernilai kemanusiaan ini kemudian

menjadi arus utama dalam seni rupa kontemporer Indonesia.

Awal tahun 1990-an seni rupa kontemporer mulai

mendapat perhatian dari para perupa, kurator, galeri,

kolektor, balai lelang, dan institusi seni lainnya. Seni

rupa kontemporer berkembang pesat bersamaan dengan

19 Agus Burhan, “Kelahiran dan Perkembangan Gerakan SeniRupa Baru Indonesia“, Jurnal Panggung Vol. 20, No. 1 (Januari-Maret 2010). 1-23.

munculnya komodifikasi seni lukis di pasar internasional.

Seni lukis menjadi tanda simbolik yang dipercaya dapat

memproduksi makna representasi dalam dimensi sosial-

budaya. Dalam arti tertentu seni lukis dijadikan sebagai

tanda untuk membangun simbol sosial yang terkait dengan

kelas, status, kuasa, dan resistensi. Komodifikasi seni

rupa merupakan ruang sosio-kultural elite ekonomi dalam

upaya membangun representasi identitas etnik minoritas

dalam konstruksi kebudayaan kontemporer Indonesia.20 Jika

pada era Orde Baru pembentukan identitas nasional

ditekankan oleh pemerintah melalui institusi dan

aparaturnya, maka pada era reformasi yang berperan dalam

membentuk identitas budaya adalah institusi seni non-

pemerintah. Para kurator, kolektor, dan pemilik galeri

dari kalangan etnis Tionghoa berperan utama sebagai

konsumen atau apresiator seni rupa yang tidak jarang

mempengaruhi produksi seni rupa. Komunitas perupa Minang

yang didukung organisasi Sakato telah berperan sebagai

institusi produksi seni rupa yang melayani konsumen seni

20 Djatiprambudi, 45-61.

rupa. Perupa-perupa Minang yang telah berhasil sebagai

perupa internasional tentu saja telah bekerjasama dengan

para kurator dan pemilik galeri yang sebagian besar adalah

kaum diaspora Tionghoa.

Menurut Kahin diaspora Minang baru terjadi secara

besar-besaran setelah meletusnya peristiwa PRRI. Orang

Minang memiliki ajaran kultural yang mendorong para pemuda

untuk merantau yaitu mengalahkan “rantau nan batuah“ yang

memiliki arti kemenangan sosial di kampung.21 Para perupa

Minang yang belajar di Yogyakarta banyak di antara mereka

memilih menetap di kota itu untuk mengembangkan karir.

Para perupa asal Minang itu kemudian membentuk Komunitas

Seni Sakato yang diikuti dengan pembentukan kelompok

perupa yang lebih kecil seperti Kelompok Jendela. Etos

diaspora para perupa Minang di rantau yang penuh semangat

dan ulet merupakan bentuk praktek kultural mereka untuk

menaklukan “rantau nan batuah“ khususnya dalam art wold

(medan sosial seni) di Yogyakarta.

21 Audrey Kahin, Dari Pemberontakan ke Integrasi: Sumatera Barat dan Politik Indonesia, 1926-1998 (Jakarta: Yaysan Obor Indonesia, 2005), xv.

IV. Politik Identitas dalam Karya-karya Perupa Kelompok

Jendela

Identitas seni rupa kontemporer perupa Minang di

Yogyakarta seperti ’Kelompok Jendela’, ’Kelompok Genta’

dan ’Kelompok Semoet’ menunjukkan kekhususannya sendiri

dibanding identitas seni rupa kontemporer Yogyakarta pada

umumnya. Untuk melacak jejak identitas seni rupa oleh

perupa Minang maka dapat kita lihat karakter orang Minang

terutama para sastrawan dan perupa termasuk juga para

politisi asal Minang yang pernah jaya pada masa lampau.

Watak sastrawan asal Minang seperti Sutan Takdir

Alisyahbana, Abdul Muis, Hamka, Chairil Anwar, Usmar

Ismail dan Asrul Sani adalah berpikir merdeka dan berjiwa

pemberontak sehingga mereka berhasil di tingkat nasional

pada era Pujanga Baru.22 Karakteristik para politisi Minang

seperti Tan Malaka, Hatta, Sjahrir, Natsir, dan lain-lain

juga demikian, hal ini berbeda dengan karakteristik

22 Pernyataan Ketua Dewan Kesenian Sumatera Barat Dr HarrisEffendi Thahar pada seminar ”Menumbuhkembangkan Bakat dan KemauanMenulis Karya Sastra di Minangkabau”, lihat, Surat kabar Kompas,Minggu (16 November 2008), 12.

masyarakat Indonesia lainnya yang patrimonial dan feodal

sehingga menghambat demokrasi.23

Sejarah seni rupa modern Minang dimulai dengan

kemunculan Wakidi orang Jawa yang lahir di Palembang kira-

kira tahun 1889. Pada tahun 1893 ia belajar di sekolah

guru Bukit Tinggi yang merupakan satu-satunya di Sumatera

pada saat itu. Karena bakat artistik Wakidi yang menonjol,

ia dikirim oleh guru Belanda untuk belajar melukis kepada

pelukis Belanda Van Dijk di Semarang. Setelah belajar

melukis kepada Van Dijk kemudian Wakidi mengajar seni di

Bukit Tinggi hingga tahun 1950-an.24 Wakidi banyak

23 Zulfikri Suleman dan Kurniawan Junaedhie. ed, Demokrasiuntuk Indonesia: pemikiran politik Bung Hatta (Jakarta: Penerbit BukuKompas, 2010) , 53. Masyarakat lain di Indonesia dalam pikiranorang Minang lebih diarahkan ke orang-orang Jawa. Sepertidinyatakan Beckmann, musuh bersama orang Minang ketika zamankolonial adalah Belanda, sedangkan pada masa PRRI adalah orangJawa. Lihat, Franz Beckmann, dan Keebet von Benda. ”Ambivalentidentities: decentralization and Minangkabau politicalCommunities”, dalam Henk Schulte Nordholf, Geert Arendt vonKlinken, dan Gerry von Klinken. Renegotiating boundaries: local polities inPost-Soeharto Indonesia (Leiden: KITLV Press, 2007) , 417-442.

24 Claire Holt, Art in Indonesia, Continuities and Change, IthacaNew York: Cornell University Press, 1967. Lihat edisiterjemahan RM. Soedarsono, Melacak Jejak Perkembangan Seni diIndonesia (Bandung, Masyarakat Seni Pertunjukan Indonesia,2000). 507-532.

menghasilkan lukisan pemandangan alam dengan objek

panorama alam Minangkabau. Karya-karya Wakidi biasa

disejajarkan dengan karya-karya Abdullah Suriosubroto dan

Pirngadi yang tergolong dalam mooi Indie.

Perupa Minang setelah Wakidi baru muncul pada masa

revolusi yaitu Oesman Effendi dan Zaini yang menjadi

anggota SIM di Yogyakarta. Oesman Effendi, Zaini, dan

Nashar dikenal sebagai perupa (pelukis) Minang yang

menganut gaya non-representatif atau non-realis. Tiga

perupa Minang ini pada tahun 1950-an aktif di Badan

Musyawarah Kebudayaan Nasional (BMKN) sebuah badan non-

politik yang disubsidi oleh pemerintah. BMKN dinilai

kurang nasionalis dan condong pada ideologi liberal, sehingga

menjadi pesaing Lekra yang mendukung ideologi komunis dan

Lembaga Kesenian Nasional yang mendukung ideologi

nasionalis. Terdapat seorang perupa Minang yang menjadi

anggota Pelukis Rakyat yaitu Itji Tarmizi. Karya Tarmizi

Lelang Ikan (1958-1960), sebuah lukisan gaya realis termasuk

dalam koleksi Soekarno.25

25 Seno Joko Suyono, “Potret Diri Sang Pelukis Rakyat”,Majalah Tempo interaktif, 10 Desember 2001, online,

Pemikiran liberal para perupa BMKN ternyata sejajar

dengan pikiran Sutan Takdir Alisyahbana seorang tokoh

Pujangga Baru yang pada tahun 1935 memulai Polemik

Kebudayaan dengan melontarkan gagasan yang berupa ajakan

untuk mengubah masyarakat Indonesia yang ’statis’ menjadi

sebuah masyarakat yang ’dinamis’ dengan mengadopsi sikap-

sikap dan teknik-teknik Barat.26 Pandangan Sutan Takdir

Alisyahbana berseberangan dengan pandangan para

intelektual Jawa yang menghendaki agar bangsa Indonesia

tidak melupakan budaya tradisi. Sutan Takdir menganggap

para pemikir Jawa bersikap anti-intelektualisme, anti-

materialisme, dan anti-individualisme karena menghendaki

kembali kepada kepunyaan yang lama.27

http://majalah.tempointeraktif.com/id/arsip/3001/12/10/SR/mbm.20011210.SR86208.id.html. diakses28 Januari 2011.

26 Holt, 314.27 Tim redaksi majalah Tempo. ”Polemik kebudayaan, sesudah

50 tahun”, Majalah Tempo interaktif, 17 Mei 1986 http://majalah.tempointeraktif.com /id/ arsip /1986/05/17/ KL/mbm. 19860517.KL33483.id.html, diakses 28 Januari 2011. Lihat juga, KurieSuditomo, SJS. “Gaya Tuan STA Berpolemik”, Majalah Tempointeraktif (25 Februari, 2008), online,http://majalah.tempointeraktif.com/id/arsip/ 2008 /02/25/LYR/mbm.20080225.LYR126442.id.html diakses 28 Januari 2011.

Surat Kepercayaan Gelanggang yang dimuat

dalam majalah Siasat, 22 Oktober 1950 dianggap mewakili

pendirian, semangat, dan sikap estetik Angkatan ’45 yang

menerima pengaruh Barat merupakan kelanjutan dari

pandangan Sutan Takdir Alisyahbana. Konseptor dari surat

kepercayaan ini adalah Asrul Sani seorang sastrawan

Minang. Surat Kepercayaan Gelanggang dimaksudkan sebagai

reaksi atas publikasi Mukadimah Lekra (Lembaga Kebudayaan

Rakyat) yang dicetuskan 17 Agustus 1950.28 Kecenderungan ke

arah pembaratan dan universalisme dalam jangka waktu

tertentu merupakan ciri penulis non Jawa yang merantau ke

Jawa dan kehilangan akar budayanya.29

Karakteristik orang Minang yang tercermin dalam sikap

para sastrawan dan perupa bisa menjadi petunjuk dalam

melihat sikap dan kreasi para perupa asal Minang di

Yogyakarta. Pandangan budaya para senior yang dinamis,

modernis, universal, dan anti-tradisi sejajar dengan

28 Maman S. Mahayana, “Asrul Sani Konseptor SuratKepercayaan Gelanggang”,http://mahayana-mahadewa.com/2010/10/07/asrul-sani-konseptor-surat-kepercayaan-gelanggang/ diakses 28 Januari 2011.

29 Denys Lombard. Nusa Jawa Silang Budaya: Batas-batas Pembaratan(Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 2005) , 216-246.

keyakinan orang Minang dalam memeluk Islam yang modern.

Pilihan terhadap seni rupa non-representatif (abstrak)

sesuai dengan semangat modernisme yang menuntut estetika

universal dan larangan Islam terhadap penggambaran mahluk

hidup. Para perupa Muslim beranggapan bahwa seni abstrak

adalah sangat cocok bagi jiwa Islami.30

Perupa Minang di Yogyakarta yang berhasil diterima

oleh peminat seni rupa kontemporer di dalam dan luar

negeri antara lain adalah para anggota Kelompok Jendela,

Kelompok Genta dan Kelompok Semoet. Ketiga kelompok perupa

asal Minang ini dapat dikatakan menonjol perannya dalam

perkembangan seni rupa kontemporer Yogyakarta.

Keberhasilan mereka dalam art world seni rupa kontemporer

nasional maupun di kawasan Asia disebabkan usaha keras

mereka terutama dalam menampilkan karya yang berbeda

dengan arus utama. Pelopor dari semacam gerakan ini adalah

30 Holt, 319. Hadis Nabi yang berkaitan dengan gambarmisalnya ”Sesungguhnya para malaikat tidak memasuki suatu rumah yang didalamnya ada anjing dan gambar timbul (relief)”. (HR. Ahmad, At Tirmidzidan Ibnu Hibban); dan ”Barangsiapa membuat gambar di dunia, makaia akan dituntut agar meniupkan ruh di dalamnya pada hari kiamat,sedangkan ia bukan orang yang mampu meniupnya” (HR. Ahmad,Bukhari, dan Muslim). Lihat , Mahmud asy-Syafrowi. MengundangMalaikat ke rumah (Yogyakarta : Mutiara Media, 2010), 72-73.

para perupa dari Kelompok Jendela, sedangkan Kelompok

Genta dan Kelompok Semoet mengikutinya dengan gaya yang

tidak jauh berbeda.

Kelompok Jendela.

Kelompok Seni Rupa Jendela dibentuk pada tahun 1996 dengan

anggota yaitu : Handiwirman Saputra, Rudi Mantovani,

Jumaldi Alfi, Yunizar, dan Yusra Martunus. Kelima perupa

ini belajar di Institut Seni Indonesia di Yogyakarta

dengan program studi yang berbeda-beda: Handiwirman

berpendidikan kriya kayu, Rudi Mantovani dan Yusra

Martunus belajar seni patung, Jumaldi Alfi dan Yunizar

belajar seni lukis. Seni rupa kontemporer Yogyakarta pada

tahun 1990-an terjebak dalam ’seni berkomunikasi’ yang

kontekstual. Karya-karya dari perupa Kelompok Jendela

dianggap sebagai antitesis terhadap corak repesentasional

yang memiliki relasi dengan konteks sosial. Dengan

berbagai cara, mereka membongkar konvensi seni rupa untuk

mewujudkan jargon ’seni tanpa wilayah perbatasan’.31

Handiwirman lahir di Bukittinggi, 1975 adalah perupa

yang paling menonjol dalam Kelompok Jendela banyak

menciptakan seni objek dengan bahan-bahan yang sederhana

seperti spon, plastik, rambut, benang dan sebagainya.

Objek-objek dari bahan sederhana itu dibuat dengan teknik

jahit dan ikat. Bentuk-bentuk objek yang dihasilkan pada

umumnya tidak representasional dan tidak fungsional.

Sebagian objek yang diciptakan Handiwirman dibuat dengan

teknik cetak dengan bahan resin dan ada juga objek yang

berbentuk benda pakai tetapi ukurannya dibesarkan sehingga

menjadi tidak fungsional.

Kepeloporan Handiwirman dalam seni objek ditunjukkan

dalam pameran tunggal Apa Apanya Dong? tahun 2004 di Nadi

Gallery yang banyak mendapat perhatian dari publik seni

nasional. Pada tahun 2004 Majalah Tempo memberi

31 Raihul Fadjri. ”Antitesis Seni Rupa Kontemporer”, MajalahTempo, 08 Mei (2000), http://majalah.tempointeraktif.com/id /arsip/2000 /05 /08 /SR/ mbm.20000508.SR113243.id.html, diakses 31Januari 2011.

penghargaan kepada Handiwirman sebagai salah satu Tokoh

Tahun 2004 yang menjadi penyaji seni terbaik tahun 2004.

Handiwirman tampak menonjol di tengah seni rupa Indonesia

yang didominasi oleh ’ekspresionisme baru’ maupun ’seni

konseptual’. Sebagai antipoda terhadap keduanya, Handiwirman

menggagas lebih tajam, yaitu mempersoalkan dasar-dasar

representasi dan persepsi dalam seni rupa, ia juga

berekspresi lebih gemilang, karena ia mempunyai

keterampilan menggambar dan merakit.32

Jika para perupa pada umumnya mengambil objek dari

kehidupan nyata berupa manusia, binatang maupun benda-

benda, sementara Handiwirman membuat benda-benda dari

bahan sederhana kemudian benda ciptaannya itu dijadikan

objek lukisan. Objek-objek ciptaan Handiwirman kebanyakan

bukan benda pakai maupun benda hias karena bentuknya tidak

berhubungan dengan bentuk nyata, dan visualisasinya juga

tidak dihias secara konvensional dan tidak diberi warna.

32 Tim Tempo , ”Tiga Penguak Tabir”, Edisi KhususMajalah Tempo, (27 Desember 2004); lihat juga, ”Jalan Lain keEstetika”, Majalah Tempo, 27 (Desember 2004), online,http://majalah.tempointeraktif.com/id /arsip/ diakses 31 Januari2011.

Dalam perkembangan seni rupa kontemporer karya-karya

trimatra Handiwirman disebut sebagai seni objek. Objek-objek

hasil ciptaan Handiwirman tidak menampakkan ciri

monumental atau megah seperti karya patung konvensional.

Kebanyakan objek yang dibuatnya hanya menggunakan bahan

sederhana seperti spon, plastik, benang, rambut dan

sebagainya. Seorang pengamat menyebutkan bahwa karya-karya

Handiwirman sebagai ’estetika darurat’.33 Pemberian istilah

darurat ini karena Handiwirman memindahkan objek itu ke

permukaan kanvas yang berukuran besar. Lukisan-lukisan

yang ’mengabadikan’ atau merekam objek ciptaan Handiwirman

ini sepintas mirip lukisan alam benda yang realis,

sehingga Hendro Wiyanto mengelompokkan karyanya ke dalam

istilah pseudo still life.34

Objek-objek yang telah diciptakan oleh Handiwirman

yang kemudian menjadi model (objek) dalam lukisan-

lukisannya dapat dikelompokkan ke dalam beberapa seri

33 Alia Swastika. ”Melampaui Estetika Darurat”,dalamhttp://aliaswastika.multiply.com/reviews/item/111, diakses 4Februari 2011.

34 Hendro Wiyanto. ”Pseudo Still Life”, pengantar kuratorialpameran Pseudo Still Life, di Galeri Semarang, 30 April – 14 Mei 2005.

yaitu; seri mental, seri salon, seri sofa, dan seri

Tuturkarena. Pada seri mental obyek dibuat dari bahan

segumpal lempung hitam, segumpal kapas putih dan seutas

benang merah. Sesuai dengan karakter bahan maka gumpalan

lempung hitam selalu ditempatkan di bagian bawah,

sedangkan gumpalan kapas putih menempel di atasnya. Karya

Handiwirman yang tergolong pada seri salon, bahan yang

digunakan untuk membuat objek terdiri dari spon kuning dan

oranye, kapas putih, kain merah, dan benang merah. Bentuk-

bentuk objek yang diciptakan berciri non figuratif, non

geometrik, dan non representatif. Gumpalan spon sebagai

bentuk utama dibuat dari lembaran spon yang dijahit dengan

benang, sedangkan gumpalan kapas putih ditempelkan di

bagian tengah atau bagian atas gumpalan spon.

Gambar 1: Handiwirman, a. Sealer, 2009, objek 3D ; b.Menahan, 2007, lukisan akrilik (Sumber: a. forum,detik.com;

b. artvalue.com)

Objek yang tergolong dalam seri sofa lebih kongkrit

dibanding dengan seri-seri yang lain, sofa ditampilkan

secara nyata dengan bahan serat fiber dan resin,

sedangkan objek mirip manusia atau boneka yang tergolek di

atas sofa tidak nyata. Karya Handiwirman yang berjudul

Sofa & Pose No. 1, 2 & 3, (2004) merupakan contoh dari objek

dan lukisan yang dipamerkan secara bersamaan. Pada bagian

depan berjajar tiga sofa dengan masing-masing terdapat

semacam boneka yang posenya berbeda. Pada dinding di atas

jajaran sofa dipajang tiga lukisan yang masing-masing

terdapat objeknya yang nyata hasil karya Handiwirman.

Gambar 2 : Handiwirman, Sofa & Pose No. 1, 2 & 3, 2004 (Sumber: rogueart.asia)

Objek-objek pada seri Tuturkarena dibuat dari bahan

utama resin, cat akrilik, logam, kain, dan rambut.

Karakter dari objek dalam seri ini lebih padat dan keras

dengan bentuk dasar agak bulat-lonjong warna dominan

putih. Pada bentuk-bentuk objek dalam seri ini di

antaranya ada yang digurat bagian atasnya sehingga

hasilnya mengkerut ke dalam, pada objek yang lain disumpal

dengan kain secara horisontal seperti bentuk mulut.

Terdapat objek dalam seri ini yang diberi judul dengan

bahasa Jawa Merem dan Mingkem (2008). Pada tahun 2011

Handiwirman menyelenggarakan pameran tunggal dengan tajuk

No Roots, No Shoots di Nadi Gallery Jakarta. Semua karyanya

berupa instalasi dari berbagai material, semua karyanya

diberi judul berseri Tak Berakar, Tak Berpucuk-no 1 – no 7. Tajuk

pameran ini diambil dari pepatah Melayu termasuk Minang

yang berbunyi Ke atas tak berpucuk ke bawah tak berakar, di tengah-

tengah digerek kumbang. Pepatah ini bermakna kutukan atau

sumpah bagi orang yang tidak menepati janji, misalnya

tidak selamat hidupnya jika melanggar janji tersebut.

Gambar 3 : Tak berakar tak berpucuk No. 1 (Sumber: pasarseni.indonesiakreatif.net)

Rudi Mantovani lahir di Padang 1973, belajar seni

patung di Institut Seni Indonesia, karya yang dihasilkan

seni patung, seni objek, instalasi, dan seni lukis. Karya

yang dihasilkan Rudi Mantovani kebanyakan berupa lukisan

lanskap dan seni objek. Rudi sering menggunakan benda

temuan gitar listrik, seterika listrik, berbagai jenis

buah untuk menghasilkan seni objek yang diinginkan. Gitar

dan seterika dibuat seolah meleleh ke bawah, tangkai gitar

dibuat panjang hingga tiga meter, gitar dilengkungkan, dua

gitar masing-masing dilengkungkan dan disambung membentuk

huruf O. Rudi juga membuat gitar bertangkai sembilan dan

menyambung gitar akustik dengan gitar listrik dengan satu

tangkai. Objek ciptaan Rudi yang lain adalah membuat

tiruan berbagai macam buah seperti pisang, mentimun, apel,

dan semangka.

Pada karya Setelah Makan I (2006), Rudi membuat pisang

ukuran besar dalam kondisi setengah terkupas, dan bagian

yang terkupas dihias dengan motif batik parangrusak.35

Objek-objek buah

35 Mengapa Rudi Mantovani menghias buah pisang yang siapditelan itu dengan motif batik Jawa parangrusak? Apakah sekedarmain-main atau ada pesan yang tersembunyi?. Karya Rudi Mantovanibisa kita baca secara positif bahwa orang Minang misalnya atausuku lain setelah memahami budayanya sendiri (makanan utama)sebaiknya juga memahami budaya suku lainya seperti makan pisangAmbon rasa Jawa. Jika karya Rudi dibaca secara negatif, maka akandilihat bahwa dalam pandangan non-Jawa, orang Jawa itu sifatnyaparadoks, antara perkataan dan perbuatan tidak sama (antara kulityang bersih dan buahnya yang rumit) atau istilah kasarnyahipokrit.

Gambar 4: Rudi Mantofani, a. Setelah Makan 1.,2006, objek; b.Dessert, 2004, lukisan (Sumber: a. cp-foundation.org, b.artvalue.com)

yang lain seperti semangka, mentimun, dan apel ditampilkan

dalam kondisi dipotong melintang dan ada yang membujur.

Pada seni objek buah apel yang dibelah dua menjadi dua

bagian, penampang bagian yang tebal dan penampang bagian

yang tipis keduanya dilukis dengan objek pemandangan alam.

Hampir semua seni objek trimatra yang dihasilkan oleh Rudi

Mantovani kemudian dijadikan objek utama pada beberapa

lukisan lanskap. Seni objek berjudul : Setelah Makan I (2004-

2006), Lihat Isi (2004), dan Luas dan Terbatas 2 (2006) masing-

masing mejadi objek utama lukisan berjudul: Maka Jadi Besarlah

I (2005), Maka Jadi Besarlah 2 (2005), dan Luas dan Terbatas 1

(2005). Buah pisang dan buah mentimun atau labu dalam

lukisan-lukisan Rudi Mantovani mengalami pembesaran kedua

kalinya setelah dibesarkan menjadi seni objek trimatra

kemudian dibesarkan secara ilusif dalam lukisan.

Jumadi Alfi lahir di Lintau Sumatra Barat tahun 1973,

belajar melukis di Institut Seni Indonesia Yogyakarta.

Karya-karya Alfi pada awalnya mirip dengan grafiti yang

banyak menonjolkan coretan huruf dan simbol secara

spontan. Sejak tahun 1998 hingga 2010 Alfi sudah

menyelenggarakan pameran tunggal sebanyak lebih dari

sepuluh kali di Yogyakarta, Jakarta, Singapura,

Kualalumpur, dan beberapa negara lain. Dari karya-karya

yang sudah dihasilkan Alfi dapat dikenali ciri-ciri

umumnya misalnya pembagian bidang sebagian dibagi dua

seperti lukisan pemandangan, sebagian lagi tanpa ada

pembagian dan pada beberapa karya dibagi menjadi banyak

bidang kecil. Warna cenderung monokrom ada yang terang

seperti abu-abu dan gelap seperti biru, hijau, coklat, dan

merah. Bentuk-bentuk representasi yang sering muncul dalam

lukisan Alfi adalah batu, tengkorak, dan tipografi yang

kebanyakan sengaja dibuat tidak terbaca kecuali pada

karya-karya pameran tunggal Life/Art # 101: Never Ending Lessons.

Bentuk-bentuk lain yang sempat ditampilkan Alfi pada

karya-karyanya cukup beragam ada binatang babi, tubuh

manusia, bagian tubuh manusia, arca Budha di atas teratai,

kaktus, benda-benda buatan dan lain sebagainya. Pada

sebagian karyanya lebih didominasi coretan-coretan atau

goresan yang tidak berbentuk. Karya-karya Alfi merupakan

kombinasi dari beberapa gaya ungkap seperti lanskap,

grafiti, kaligrafi, alam benda, dan lukisan abstrak.

Bentuk yang paling dominan dalam karya-karya Alfi

adalah tengkorak manusia dan batu dengan latar belakang

atau kadang-kadang latar depan tipografi atau tulisan yang

sulit dibaca. Tengkorak kepala manusia dilukis dari arah

depan, kadang-kadang dari samping kiri atau kanan dengan

cara pelukisan yang realis maupun gaya lain seperti

deformatif dan gambar linier atau sketsa. Objek batu

selalu dilukis secara realis (volumetrik) dengan ukuran

kecil lebih sering sebagai objek yang berdiri sendiri.

Pada beberapa karya Alfi, objek batu dikombinasikan dengan

berbagai objek lain seperti : tengkorak, tubuh dan bagian

tubuh manusia, kaktus, sketsa benda buatan manusia, bunga

teratai, arca Budha, dan sebagainya.

Penggambaran objek batu dan tengkorak manusia yang

dominan dalam karya lukisan Alfi maupun presentasi

kerangka manusia pada instalasinya, menimbulkan suatu

pertanyaan bagi para pengamat. Objek-objek yang sering

berulang dalam suatu karya seni rupa pastilah memiliki

makna khusus setidaknya bagi perupanya sendiri. Alfi

menganggap lukisannya sebagai rumah yang dapat berfungsi

sebagai terapi personal, sehingga ia perlu dua rumah untuk

merepresentasikan keinginan bawah sadarnya.36 Tengkorak

dan batu serta objek lainnya dalam karya Alfi pasti36 Wawancara Rustika Herlambang dengan Jumaldi Alfi,

Yogyakarta, 21 November 2009, dimuat dihttp://rustikaherlambang.wordpress.com/2009/11/21/jumaldi-alfi/keinginan, diakses 18 Februari 2011.

memiliki makna simbolis. Menurut Alfi di dalam masyarakat

tradisional Minangkabau keberadaan batu digunakan sebagai

tanda otoritas bagi kaum yang lebih tua atau sebagai tanda

batas wilayah. Alfi menggunakan tanda batu dalam karya-

karyanya sebagai penanda batas antara dunia imajiner dan

dunia nyata.37 Dalam tradisi Minangkabau terdapat suatu

ungkapan yang menggambarkan karakter masyarakatnya yaitu

marukuk ambiek batu yang artinya, merunduk mengambil batu

untuk kemudian dilemparkan kepada sesuatu yang mengancam.

Makna lebih luas dari ungkapan itu, jika orang Minang

tidak berhasil melawan kekerasan dari luar, mereka seakan

tunduk pada pelaku kekerasan tersebut sampai suatu saat

ketika sudah memiliki kekuatan penuh, akan menghantam

orang atau kelompok pelaku kekerasan.38

Tempat kelahiran Alfi di Lintau, kabupaten Tanah Datar,

Sumatera Barat adalah daerah bekas kerajaan Pagaruyung

yang didirikan oleh Adityawarman yang memiliki hubungan

37 Carla Bianpoen. “Alfi Jumaldi: The stone as signifier”,Surat kabar The Jakarta Post (3 Februari 2008), online,http://www.thejakartapost.com/ news/2008/03/02/alfi-jumaldi-the-stone-signifier.html diakses 18 Februari 2011.

38 Syamdani. 32.

darah dengan Majapahit. Di daerah bekas kerajaan

Pagaruyung itu terdapat banyak batu prasasti peninggalan

Adityawarman yang memeluk agama Budha Tantrayana.

Prasasti-prasasti itu ditemukan di beberapa tempat yang

jumlahnya kurang lebih sekitar dua puluh buah, ditulis

dengan huruf Palawa. Selain prasasti juga ditemukan arca

Amoghapasa dan Siwa Bhairawa yang ganas sebagai perwujudan

Adityawarman. Pada arca ini Siwa berdiri di atas mayat

korban dan lapik tengkorak manusia. Menurut Soekmono arca

Amoghapasa dikirim dari Singasari oleh Kertanegara dalam

ekspedisi Pamalayu antara tahun 1275-1292. Pada alas arca

Amoghapasa terdapat prasasti berangka tahun 1286 yang

menceritakan, atas perintah Kertanegara dikirimkan arca

Amoghapasa dengan 13 pengikutnya.39

Batu-batu yang tertata secara melingkar seperti tempat

musyawarah terdapat di dekat komplek prasasti Pagaruyung,

di situ terdapat situs Batu Batikam sebuah batu yang

berlubang kena tikam pedang seorang datuk. Tradisi

prasasti di Minangkabau hanya ada pada masa Adityawarman39 R. Soekmono. Pengantar Sejarah Kebudayaan Indonesia 2

(Yogyakarta:Kanisius, edisi ketiga, 1981), 64-65.

karena tidak ditemukan prasasti yang ditulis sebelum dan

sesudah masa kekuasaannya. Prasasti-prasasti Adityawarman

merupakan jejak Majapahit di tanah Melayu yang baru bisa

dibaca sebagian saja, yang sebagian lagi belum ada yang

bisa membaca, sehingga sejarah Minangkabau yang

berhubungan dengan Majapahit sebagian masih kabur.40

Dalam masyarakat Minangkabau terdapat dua kelompok

marga keturunan kerajaan Pagaruyung yaitu Koto Piliang dan

Bodi Caniago. Berdasarkan Tambo Alam Minangkabau yang

ditulis oleh Datuk Batuah Sango dinyatakan bahwa pembagian

dua keselarasan itu berdasarkan hasil mufakat antara nenek

Datuk Ketumanggungan dengan Datuk Perpatih Nan Sabatang

dan Datuk Suri Dirajo. Pemerintahan Datuk Ketumanggungan

bernama Koto Piliang berasal dari kota pilihan, atau dari

kata yang tidak boleh dipalingkan. Pemerintahan Datuk Perpatih

40 Tradisi tulis (prasasti) dan tradisi visual (arca dancandi) di Minangkabau pada masa pra Islam hanya terjadi di zamanAdityawarman yang secara genealogis dan politis berhubungandengan Majapahit. Tambo-tambo Minangkabau yang ditulis pascaAdityawarman tidak banyak menyebut peran Adityawarman karena iaseorang ‘sumando’. Sumando dalam adat Minangkabau adalah laki-laki yang tidak memiliki hak waris dan otoritas kultural karenaberdasar tradisi matriliniat otoritas kultural hanya diberikankepada ninik mamak atau seorang paman dari keluarga ibu yangbergelar penghulu.

Nan Sabatang bernama Bodi Caniago yang berasal dari budi

yang berharga.41

Suasana alam Minangkabau khususnya di daerah bekas

kerajaan Pagaruyung di mana terdapat banyak batu prasasti

dan situs batu lainnya sangat membekas dalam pikiran Alfi.

Ketika sekolah di Yogyakarta ia semakin ingin tahu sejarah

daerah asalnya yang menurut orang Minang dirasakan tragis.

Tambo tentang sejarah Minangkabau yang sering diceritakan

oleh para orangtua kepada anak-anak di daerah asal Alfi

ikut memperkaya masalalunya. Dalam sejarah Indonesia telah

terjadi beberapa kali kontak fisik sebagai bentuk

perlawanan penguasa Minang terhadap pusat kekuasaan yang

berada di Jawa sejak zaman Singasari, Majapahit, hingga

pemerintah Republik Indonesia pada zaman Soekarno.

Ekspedisi Pamalayu ke Sumatera yang dilakukan atas

perintah Kertanegara dari Singosari pada tahun 1275-1292

tidak terdapat keterangan tentang banyaknya korban.

Setelah Adityawarman turun tahta pada tahun 1376,

41 Is Sikumbang. “Alam Minangkabau”, online, http://palantaminang. wordpress.com/sejarah-alam-minangkabau/b-alam-minangkabau/ diakses 19 Februari 2011.

penerusnya memutuskan untuk memisahkan diri dari

Majapahit. Pada tahun 1377 Hajam Wuruk berhasil menumpas

pemberontakan Pagaruyung. Dalam legenda-legenda

Minangkabau diceriterakan pertempuran dahsyat dengan

tentara Jawa di daerah Padang Sibusuk. Daerah bekas tempat

kejadian itu dinamakan demikian karena di tempat itu

dahulu banyak terdapat mayat yang bergelimpangan.42

Peristiwa yang paling mutakhir adalah pemberontakan

Pemerintahan Revolusioner Republik Indonesia (PRRI) yang

digagalkan oleh tentara Soekarno pada tahun 1958.

Pemberontakan yang melibatkan Central Intelligence Agency

(CIA) ini telah memakan korban ribuan tentara dari kedua

belah pihak dan para pendukung PRRI.43

Jumaldi Alfi Caniago sebagai keturunan marga Bodi

Caniago tentu memiliki hubungan emosional dengan sejarah

Minangkabau. Ia merasa gelisah memikirkan perjalanan hidup

42 Ensiklopedia Wapedia, “Adityawarman”,online, tersedia dihttp://wapedia.mobi/id/Adityawarman, diakses 19 Februari 2011.

43 Merle Calvin Ricklefs. Sejarah Indonesia modern 1200-2004(Jakarta: PT. Serambi Ilmu Semesta, 2007), 520, terjemahan daribuku A History of Modern Indonesia since 1200, Third Edition (Palgrave,2001), 312-422. Setelah peristiwa pemberontakan PRRI, dua partaiIslam yaitu Masjumi pimpinan Natsir dan PSI pimpinan Sjahrir(keduanya orang Minang) dibubarkan oleh Soekarno.

etnis Minang yang ia ketahui dari berbagai sumber seperti

mitos, legenda, tambo maupun cerita-cerita dari para

orangtua. Sumber-sumber sejarah yang ditulis oleh para

penulis di luar orang Minang memperkaya pemahaman Alfi

tentang daerah asalnya. Dalam kasus PRRI misalnya banyak

terjadi perbedaan pandangan dalam melihat kasus itu, para

penulis banyak melihat kasus ini sebagai pemberontakan,

tetapi para pelaku dan penulis etnis Minang menganggap

bukan pemberontakan.44

Alfi dan teman-temannya di Kelompok Jendela sudah

diingatkan oleh para orangtua mereka agar tidak mengikuti

aktivitas politik ketika belajar di Yogyakarta, namun

dianjurkan untuk mempelajari sejarah daerah asalnya. Para44 Penulis sejarah dari Barat menganggap PRRI sebagai

pemberontakan, lihat, Audrey R. Kahin. Dari pemberontakan ke integrasi:Sumatra Barat dan politik Indonesia, 1926-1998 (Jakarta: Yayasan OborIndonesia, 2005), 282-327, dari judul asli, Audrey R. Kahin.Rebellion to Integration, West Sumatra and the Indonesian Polity 1926-1998. Penulislain seperti Syamdani tidak melihat kasus PRRI sebagaipemberontakan ia justru menganggap peristiwa itu sebagai reaksidari etnis Minang yang memiliki karakter tidak mau ditekan.Lihat, Syamdani. PRRI, Pemberontak atau Bukan? (Yogyakarta: MediaPressindo, 2008), 14-33. Ventje Samual, seorang pelakupemberontakan Permesta yang bersama PRRI melawan pemerintah pusatmenganggap Permesta bukan pemberontakan, tetapi ia mengakuisebagai memberontak terhadap kezaliman, ia juga mengaku dibantuAmerika. Lihat, Herman Nicolas Ventje Sumual: "Permesta BukanPemberontakan", Majalah Tempo, (06 Desember 1999). 

perupa Kelompok jendela memenuhi harapan para orangtua

mereka, kemudian memfokuskan diri pada ekspresi individu

masing-masing anggotanya. Mereka sepakat untuk menolak

politik dan memilih seni rupa dengan memperkuat karya

mereka pada saat para perupa di Yogyakarta sedang

menyuarakan kritik sosial pasca reformasi tahun 1998.

Seorang penulis dan kurator dari Malaysia, Karim Raslan

memandang komitmen para perupa Kelompok Jendela itu nampak

subversive dan merupakan sebuah tindakan politik tingkat

tinggi.45

Alfi yang telah banyak membaca buku tentang sejarah

Minangkabau semakin mengetahui fakta sejarah yang

berhubungan dengan daerah itu. Ia berusaha mengakui

kembali budayanya, merayakannya, dan mengatasi melalui

pilihan profesinya sebagai perupa. Pada saat masyarakat

Minang berusaha memulihkan trauma terhadap ’Perang melawan

Jawa’, Alfi menunjukkan sensibilitas seninya tidak

45 Karim Raslan. “Looking for sanity amidst chaos”, Suratkabar tabloid The Star, Minggu (5 April 2009),online,http://thestar.com.my/lifestyle/story.asp?file=/2009/4/5/lifearts/3530459&sec=lifearts,diakses 20 Februari.

terpisah dengan biografi pribadinya.46 Karya-karya Alfi

merupakan refleksi dari fase dalam hidupnya seperti

terlihat pada seri Meditation, Poscards for the Past dan Signs dapat

dipahami sebagai aliran dari evolusi pribadinya, dalam

arti tertentu merupakan sebuah perjalanan mencari fakta

dan penyembuhan.47

Pada karya seri Reborn (2002), Poscard 003, 008, 009,

010 (2005), dan Meditasi 014(2005), Alfi menampilkan

berbagai ikon arca Budha dengan sikap amitaba dan wairocana,

kepala Budha, torso,

46 Karim Raslan. “Jumaldi Alfi: Life/Art #101: Never EndingLesson”, esei pada katalog pameran tungal Alfi di ValentineWillie Fine Art (VWFA) 21 – 28 Okt. 2010 di Kualalumpur. Lihathttp://www.vwfa.net/kl/offsiteDetail. php?oid=60 diakses 20Februari 2011.

47 Carla Bianpoen. “Alfi Jumaldi unfolds latest oeuvre inSingapore”, Surat kabar Jakart Post, http://www . Indonesian contemporary.com /Images /Press/ 159081214 Alfi_unfoldlatestoeuvre .pdf diakses 20 Februari 2011.

Gambar 5 : Jumaldi Alfi, a. Reborn, 2002; b. Postcard #009The 2nd Notes, 2005 (Sumber: a. 33ayction.com; b. mutualart.com)

teratai, kaktus, batu, dan benda-benda lainnya. Ikon-ikon

Budha dalam beberapa karya Alfi dapat dimaknai sebagai

suatu laku meditasi, sedangkan teratai sebagai lapik

memiliki makna kebijakan dan kecerdasan. Pendiri kerajaan

Pagaruyung adalah Adytyawarman seorang pemeluk Budha

Tantrayana.48 Bagi masyarakat Minangkabau yang menganut

kekerabatan matriliniat tidak begitu menganggap penting peran

Adityawarman karena ia hanyalah seorang sumando.49 Terdapat

satu karya Alfi yang memperkuat obsesinya tentang posisi

Adityawarman dalam sejarah Minangkabau yaitu karya

berjudul Datang dari Timur (2004). Karya ini terdiri dari 9

panel, di bagian tengah terdapat pemandangan dengan

latarbelakang gunung dan latardepan hamparan tanah kosong

yang di atasnya terdapat sebuah konstruksi rumah dalam

bentuk sketsa dan dikelilingi lima buah batu. Pada bagian

kiri atas terdapat siluet laki-laki berkepala gundul,

sementara di bagian bawahnya dilukiskan bunga teratai

48 Arca perwujudan Adityawarman ditemukan di Padang Roco,Sawahlunto, Sumatera Barat setinggi 3 meter merupakan arca Siwasebagai Bhairawa yang berdiri di atas mayat bayi dengan lapiktengkorak manusia. Tangan kiri memegang mangkuk darah dan tangankanan memegang belati.

49 Monaris Simangunsong dkk.. ”Kisah Telur di Batu Basurek”,Majalah Tempo online (14 November 1987). Orang sumando adalahlaki-laki atau menantu di keluarga istri dalam masyarakatMinangkabau yang tidak memiliki hak waris. Pada tahun 1950-anawal Menteri Pendidikan Mohamad Yamin hendak mendirikanUniversitas Adityawarman di Sumatera Barat,tetapi masyarakat disana menolaknya, sehingga pada tahun 1956 diganti menjadiUniversitas Andalas. Lihat, Kahin, 1-14. Fakta ini menunjukkanbahwa identitas etnis Minang secara sengaja dikaburkan darihubungannya dengan Majapahit.

merah. Alfi melukiskan laki-laki berkepala gundul pada

bagian kanan atas, sedangkan di bawahnya dilukiskan

pemandangan dengan warna biru gelap dengan objek utama

tangga di bagian kanan bawah. Laki-laki di atas teratai

identik dengan sang Budha, yang dalam konteks ini di mata

Barat dapat dianggap tokoh dari Timur. Dalam konteks

hubungan Minang dan Jawa maka arah timur berarti Majapahit

atau Jawa tempat Adityawarman tokoh pendiri Kerajaan

Pagaruyung berasal. Pemandangan di tengah merupakan alam

Minangkabau yang dilengkapi dengan konstruksi sejarah dan

budayanya, sedangkan batu-batu itu adalah prasasti dan

fakta historis peninggalan Adityawarman. Batu-batu kecil

itu juga bisa dibaca sebagai pengaruh budaya Jawa yang

dibawa Adityawarman tetapi ditempatkan di luar alam bawah

sadar masyarakat Minang.

Karya-karya Alfi yang lain banyak berhubungan dengan

masa lalunya atau masalalu orang Minang. Judul-judul yang

dipilih Alfi untuk karya semacam itu misalnya: Monument

Series (2006), Memoration Series (2006), Living in the Past (2006),

Seri Ingatan (2006), Build Back (2008), Monument Serie Memory

(2008), Melting Past (2009), dan Melting Memories (2011). Pada

beberapa seri karya tersebut Alfi tetap menampilkan ikon-

ikon tengkorak, batu, dan kaktus. Penanda yang paling

banyak muncul dalam karyanya adalah batu kecil yang lebih

sering diletakkan di bagian tepi dari bidang kanvas.

Menurut pengakuan Alfi, penanda batu dalam karya-karyanya

terinspirasi oleh mitos klasik Yunani yang ditulis oleh

Albert Camus yaitu Sisyphus.50 Mitos ini menceritakan

Sisyphus seorang raja dari Korintus karena

ketidakacuhannya terhadap para dewa ia dikutuk dan dihukum

dengan pekerjaan mendorong batu menuju ke puncak bukit

agar sampai di puncak menggelinding lagi ke bawah.

Pekerjaan yang harus diulang ini merupakan pekerjaan yang

tidak berguna dan tidak menghasilkan apa-apa. Camus

menganggap Sisyphus adalah pahlawan absurd. Dia mencintai

hidup dan membenci kematian. Perasaan absurd ini muncul

sebagai fungsi dari tubrukan antara dunia dan keinginan

yang kita buat sebagai makhluk rasional. Secara spesifik,

absurditas muncul dari konfrontasi antara “kebutuhan50 Jumaldi Alfi. dalam, “Through Jasmine’s Eyes”, Majalah

Indonesia Tatler, (September 2008) , 186.

manusia dan keheningan dunia yang tak rasional”51 Camus

menganggap bahwa absurditas harus mendorong pemberontakan

demi keadilan dan solidaritas manusia. ‘I Rebel therefore

we exist’.52 

Sejak awal tahun 2000-an, Alfi dengan tekun telah

’menggelindingkan’ batu-batu kecil ke kanvas-kanvasnya

secara berulang-ulang tanpa merasa bosan. Batu-batu kecil

itu selalu dilukiskan secara realis menandakan bahwa beban

sejarah masalalu itu benar-benar nyata dalam hidupnya.

Tengkorak-tengkorak dalam karyanya juga sering dilukis

secara realis sebagai tanda bahwa korban-korban dalam

sejarah daerah Minang pada pemberontakan Pagaruyung (tahun

1377) dan PRRI (tahun 1958) itu juga nyata. Tulisan-

tulisan dan corat-coret yang tak terbaca dalam kanvas-

kanvas Alfi menggambarkan kekaburan sejarah Minangkabau

yang tidak dialami secara langsung oleh Alfi. Kekaburan

sejarah disebabkan oleh beberapa hal misalnya keengganan

para ahli untuk membaca prasasti Adityawarman yang belum

51 Albert Camus. The Myth of Sisyphus & Other Essays, terjemahanJustin O’Brien (New York: Vintage Books, 1955) , 21.

52 Albert Camus. The Rebel , terjemahan Anthony Bower (NewYork, Vintage Books, 1956) , 22.

sempat diterjemahkan. Tambo dan mitos yang berkembang di

masyarakat Minang sering bersifat subjektif.53

Terdapat beberapa karya Alfi lainnya yang menarik

untuk diamati yaitu karya-karya yang menampilkan tanda

atau ikon tanaman kaktus. Pemunculan tanda kaktus pada

beberapa karya Alfi biasanya tidak berdiri sendiri, tetapi

tanda ini muncul bersama tanda lainnya seperti batu,

tengkorak, teks, manusia, dan tanda lainnya. Karya-karya

Alfi yang menampilkan tanda kaktus adalah: Silent but not Alone

(2008), I Believe a Miracle (2008, 2009), I Believe a Miracle (There was a

Good), (2009), Renewal Series 1-E (2009), I am Legend #1 dan #6

(2009), Born on July (2009), Fur Elise (2009), Night Walker (2009-

2010), dan Fort of Mind (2011).

53 Mitos tentang asal-usul suku Minangkabau yangmenceritakan tentang kerbau betina Minang menang setelah beradudengan kerbau jantan Jawa. Sebenarnya mitos ini bisa dibacasecara bebas yaitu bahwa budaya matriliniat Minang telahmemenangkan atau berhasil meniadakan hubungan darah dengankerajaan Majapahit karena kerajaan Jawa ini menganut budayapatriliniat. Mitos tentang tempat di Sumatera Barat yang bernamaPadang Sibusuk yang dipercaya sebagai tempat penguburan korbanpemberontakan Pagaruyung digambarkan seperti ‘Killing Field’korban pembantaian oleh tentara Kmer Merah. Persepsi yangberkembang di masyarakat Minang terhadap pemberontakan PRRIberbeda dengan persepsi masyarakat Indonesia pada umumnya. OrangMinang merasa tidak memberontak, mereka hanya ingin menuntutkeadilan dan menolak komunisme.

Kaktus adalah sejenis tanaman yang dapat tumbuh di

gurun-gurun tandus dan di tanah yang gersang. Tanaman ini

dapat menyimpan air sehingga mampu bertahan pada musim

kemarau. Kebanyakan jenis tanaman kaktus memiliki duri

yang tajam, tetapi pada saat tertentu menghasilkan bunga

yang indah. Tanda kaktus dalam karya-karya Alfi dapat

dibaca sebagai simbol kekuatan, ketabahan, dan kemampuan

bertahan hidup dalam menghadapi pluralitas budaya

sekaligus pluralitas seni. Persoalan hidup yang

dihadapinya semakin kompleks sehingga sebagai perupa asal

Minang yang menjalankan tugas kultural ‘merantau’, Alfi

dan kawan-kawan harus mampu bertahan di tengah dunia yang

semakin kompetitif.

Karya-karya Alfi yang juga menarik untuk diamati adalah

sejumlah karya yang bertema pujian atau penghormatan

terhadap tokoh tertentu terutama para perupa dari Barat

seperti misalnya Joseph Beuys, Martin Kippenbarger, Karel

Appel dan lain-lain. Beberapa karya Alfi yang menyanjung

tokoh tertentu adalah : Doa to Karel Appel (1995), Ode to Sisyphus

(2006), Ode to my Father (2006), Homage to Martin Kippenbarger

(2007), A Letter to Joseph Beuys (2008), Homage to Joseph Beuys

(2008), Fort of Soul, Fort of Mind, Homage to Baselitz (2008), dan

lain-lain. Pada pameran tunggal Jumaldi Alfi Life/Art #101: Never

Ending Lesson (2010), Alfi menyajikan karya seri blackboard,

yaitu sejumlah lukisan yang meniru papan tulis dan tulisan

dari kapur. Teks pada lukisan papan tulis itu sebagian

diambil dari pernyataan konseptual Josep Beuys dan tokoh

lainnya. Pernyataan para tokoh itu tidak ditulis apa

adanya oleh Alfi tetapi diparodikan sehingga maknanya

berubah.

Tanda akan munculnya karya-karya lukisan Alfi seri

blackboard sebenarnya dapat dilacak sejak tahun 2005 pada

karya Poscard 005 The Blackboard (2005), Colour Guide Series 'Hommage

To Beuys'(2007) dan A Letter to Joseph Beuys (2008). Pada karya

Homage to Beuys, Alfi sudah menampakkan simpati dan

penghormatan kepada Joseph Beuys dengan melukis papan

tulis dengan teks ‘I Knew the Moment Can Arrived to

Killing the Past’. Joseph Beuys adalah perupa Jerman pada

tahun 1970-an mengadakan kuliah-performance di beberapa kota

di Eropa dan Amerika dengan menggunakan elemen utama

gambar papan-tulis (blackboard drawing). Gambar papan-tulis

Beuys diinspirasi oleh gambar-gambar papan-tulis Rudolf

Steiner seorang penemu antroposofi dari Jerman yang pada

tahun 1920-an mengadakan kuliah umum di beberapa kota di

Eropa dengan menggunakan gambar papan-tulis. Gambar papan-

tulis Steiner merupakan bagian esensial dari proses

pengetahuan, sebuah proses di mana hal itu selalu

merupakan persoalan manifestasi spirit yang benar-benar

menggembirakan sebelum membayangkan, mengingat, dan

menghubungkan secara benar ke yang satu dengan lainnya.54

Melihat lebih dekat pada realitas proses kematian

pada peradaban dan melakukan latihan mengamati proses

kematian di alam seperti dideskripsikan dalam buku

Steiner, Knowledge of the Higher Worlds, How is it Achieved? , Beuys

menyatakan hal itu sebagai persyaratan untuk kebangkitan

spiritual manusia. Beuys mempercayai hal itu sebagai

54 Walter Kugler. ”Cosmic Poetry, Rudolf Steiner’sBlackboard Drawings” dalam Rudolf Steiner & Walter Kugler.Blackboard Drawing 1919-1924 (Forest Row, East Sussex: Rudolf SteinerPress, 2003) , 7-16.

sebuah dunia baru yang berkembang. Dunia baru itu adalah

’seni-patung kehangatan’ atau ’seni-patung sosial’.55

Papantulis adalah lambang dari otoritas kegurubesaran

dalam sistem Jerman di mana Beuys menjadi guru besar seni

rupa dan sebagai perupa. Simbol-simbol sains, terminologi

saintifik, dan tangan orang dewasa yang percaya diri,

semuanya menyatakan bahwa si penulis adalah orang

berpendidikan. Citra papantulis pada lukisan Twombly

menunjukkan kutub yang berbeda karena hanya berhubungan

dengan pengalaman biasa bukan suatu pengalaman dari

seseorang yang memiliki otoritas.56

Gambar papantulis Steiner dan Beuys memang bukan

lukisan seperti lukisan Alfi seri blackboard atau lukisan

citra papantulis Twombly. Gambar papantulis Steiner adalah

unsur penting dalam kuliah umumnya sebagai ahli

antroposofi, sedangkan gambar papantulis Beuys merupakan

unsur penting dalam performance dialogisnya. Lukisan

55 Joseph Beuys & Volker Harlan. What is Art? Conversation with JosephBeuys (Forest Row: Clairview Books, 2007) , 107-108.

56 Arthur C. Danto. The Madonna of the Future: Essays in a Pluralistic Artworld (Berkeley dan Los Angeles: University of California Press,2000) , 88-89.

papantulis Alfi dan Twombly dengan sengaja meniru citra

papantulis ke permukaan kanvas, kedua perupa ini tidak

menggunakan media lukisan mereka sebagai bagian dari

kuliah umum atau performance. Beuys lebih mengutamakan

proses atau aksi-aksi dalam performance, kuliah, atau

monolognya dibandingkan dengan artefak atau bentuk fisik

karyanya yang disimpan di museum. Sikap Beuys dalam

berkesenian merupakan bentuk perlawanan terhadap

konsumerisme. Beuys lebih tertarik dengan persoalan

kemanusiaan seperti yang ia kagumi dari pemikiran Rudolf

Steiner. Kuliah Steiner About Bees tahun 1923 melengkapi

titik awal keistimewaan estetika Beuys. Steiner melihat

koloni lebah sebagai model bagi perkembangan manusia.57

Gambar papan-tulis Beuys masih menimbulkan masalah

apakah itu bisa dikategorikan sebagai karya seni rupa atau

hanyalah gambar biasa di permukaan papan-tulis. Lukisan-

lukisan papan-tulis Alfi jelas merupakan karya seni rupa

yang memiliki nilai ekonomi sebagaimana karya Alfi yang

lain. Alfi juga menyamakan kondisi psikologis masyarakat57 David Hopkins. After Modern Art 1945-2000 (Oxford, New York:

Oxford University Press, 2000) , 88.

Minangkabau yang trauma terhadap peristiwa penumpasan

’pemberontakan PRRI’ dengan kondisi masyarakat Jerman

pasca Perang Dunia II. Keyakinan Beuys terhadap seni yang

dapat menyembuhkan luka masyarakat memberi inspirasi Alfi

untuk menjadikan karya-karyanya sebagai media untuk

menyembuhkan luka atau trauma pribadi meskipun dia sendiri

tidak mengalami. Beuys menjadikan biografinya sendiri

sebagai sekuen dari karya-karyanya dan menjadikan semua

realitas historis hilang di balik mitos pahlawan perupa

yang diciptakan sendiri.58

Alfi yang lahir tahun 1973 dan hanya beberapa tahun

tinggal di kampung halamannya, ia memiliki imajinasi yang

tinggi terhadap peristiwa ’pemberontakan PRRI’ tahun 1958.

Kisah hidupnya yang pribadi ditambah dengan trauma

masyarakat pasca peristiwa itu menjadi ramuan yang pas

untuk ’mengestetiskan’ peristiwa politik. Art world

internasional kini sepertinya tidak lagi membutuhkan karya

seni kreasi perupa Asia yang menampilkan budaya eksotik

sebagai tanda keliyanan. Tanda keliyanan dari seni rupa58 Stefan Germer. ”Haacke, Broodthaers, Beuys”, majalah

October, Vol. 45 (Summer, 1988), 63-75.

Asia ataupun Afrika adalah sikap kritis perupa terhadap

pemerintah dari negara asal mereka.59 Karya-karya Alfi

selalu dikaitkan dengan masalalu masyarakat Minangkabau

yang mengalami trauma sejarah yang didramatisir seakan-

akan merupakan ’perang melawan Jawa’ dan banyak menelan

korban di pihak masyarakat di Sumatera Barat.60

59 Rasheed Araeen. “A New Beginning: Beyond PostcolonialCultural Theory and Identity Politic”, dalam, Rasheed Araeen danSean Cubitt, ed, The Third Text Reader on Art, Culture and Theory (London,2002) , 333-346.

60 Lihat esei Karim Raslan, “Jumaldi Alfi: Life/Art #101:Never Ending Lesson”, online, http://www.vwfa.net, diakses 6 Maret2011.

Gambar 6: Jumaldi Alfi, a.  Life/Art #101: Never Ending Lesson, 2010,instalasi; b. How to Explain, 2010, lukisan

(Sumber: a. sangkringartspace.net, b. artinasia.com)

Salah satu karya Alfi pada seri blackboard yang masih

mempresentasikan simbol visual tengkorak manusia adalah

karya berjudul How to Explain. Karya Alfi ini diapropriasi

dari karya performance Beuys yang berjudul How to Explain

Pictures to Dead Hare tahun 1965. Pada karya Alfi digambarkan

sketsa tengkorak dengan garis skala, di samping sketsa

tengkorak digambarkan bagan grafik yang menunjukkan jumlah

sesuatu. Melalui karya ini Alfi ingin menjelaskan kepada

penonton tentang jumlah korban dalam peristiwa berdarah

di kampung halamannya.

Perupa anggota Kelompok Jendela yang lain adalah

Yunizar dan Yusra Martunus. Yunizar yang berlatar belakang

pendidikan seni lukis banyak menghasilkan karya lukisan

dengan gaya mirip Alfi dan beberapa karyanya menunjukkan

ciri seperti gambar anak-anak. Yusra Martunus dengan

keahlian seni patung banyak menghasilkan seni objek.

Sebagian karya seni objek yang dihasilkannya telah

diwujudkan dalam bentuk seni lukis. Pemindahan seni objek

tiga dimensional ke permukaan kanvas merupakan fenomena

baru yang dipelopori oleh perupa Kelompok Jendela.

Karya-karya perupa Kelompok Jendela yang fenomenal itu

jika diamati lebih jauh maka masih berkait dengan akar

budaya mereka yaitu Minang yang menjunjung tinggi adat dan

budaya tradisi yang bersumber pada kearifan lokal.

Filsafat yang berbunyi ‘Alam terkembang jadi guru’

merupakan sumber rujukan bagi masyarakat Minang termasuk

para perupa kelompok Jendela. Karya-karya Handiwirman

banyak mengeksploitasi benda-benda remeh yang kemudian

dibesarkan dalam bentuk seni objek dan lukisan alam benda.

Karya-karya Rudi Mantovani juga menonjolkan benda-benda

alam seperti buah-buahan yang dibesarkan dan pembesaran ,

pemanjangan, pembengkokan benda-benda temuan seperti

guitar dalam bentuk sei objek tiga dimensi. Rudi Mantovani

banyak menghasilkan karya seni lukis pemandangan yang

tidak berkait dengan keindahan alam Minangkabau. Karya-

karya Rudi Mantovani lebih mengutamakan segi keanehannya

dan parodinya dibandingkan dengan kelaziman sebuah karya

pemandangan.

Karya-karya Jumaldi Alfi lebih banyak berupa seni lukis

dan sedikit instalasi dengan banyak menampilkan simbol-

simbol dari alam dan kehidupan manusia. Alfi lebih peduli

terhadap sejarah budaya dan politik Minang yang jarana

disentuh oleh perupa lainnya. Bagi Alfi karya seni dapat

digunakan sebagai terapi penyembuhan terhadap luka-luka

sejarah suku bangsa Minang dalam sejarah Indonesia. Secara

visual karya-karya lukisan Alfi merupakan gabungan dari

grafiti, lukisan pemandangan, dan alam benda. Benda-benda

alam yang sering tampil dalam karya Alfi misalnya batu,

kaktus, dan teratai. Alfi juga sering menampilkan bentuk

binatang dan manusia (tengkorak, torso, dan tubuh utuh),

serta benda buatan manusia seperti patung Budha, rumah.

Salah satu ciri penting dari karya Alfi hádala

ditampilkannya teks yang Madang terbaca dan Madang tidak

terbaca.

Karya-karya para perupa Kelompok Jendela secara umum

masih bersumber dari tanah asal, alam atau ranah Minang

yang mereka tinggalkan. Alam Minangkabau dengan adat yang

ketat tetap menjadi landasan berkarya, sedangkan secara

visual disesuaikan dengan konteks ‘rantau’. Para perupa

Kelompok Jendela mengkombinasikan “root” atau akar budaya

Minang. Dengan “route” atau gerak dinamik dari kehidupan

rantau. Alam dan rantau, atau “root” dan “route” merupakan

kombinasi dari masa lalu dan masa kini yang harmonis.

V. Kesimpulan

Berdasarkan kajian terhadap masalah politik identitas

pada karya perupa Kelompok Jendela maka dapat disimpulkan

sebagai berikut :

1. Politik identitas yang diungkapkan para perupa diaspora

Minang (Kelompok Jendela) sebagai sesuatu yang

primordial, sebagai strategi dalam menghadapi persaingan

dalam art world di Yogyakarta dan internasional. Melalui

politik identitas para perupa Kelompok Jendela dan

perupa Minang lainnya dapat membedakan diri mereka

dengan yang lain. Politik identitas sekaligus juga

sebagai cara untuk merebut pasar yang selama ini

dikuasai oleh seni rupa gaya tertentu.

2. Kelompok Jendela dan perupa Minang di Yogyakarta telah

ikut andil dalam memperkaya pluralisme seni rupa

kontemporer di Yogyakarta. Reputasi mereka yang

fenomenal telah merangsang perupa dari komunitas lainnya

untuk terus kreatif sehingga semakin memperkuat art wolrd

Yogyakarta di forum internasional.

3. Politik identitas dalam karya-karya perupa Kelompok

Jendela secara visual dan wacana memiliki keberagaman.

Secara umum karya-karya mereka masih bersumber dari

budaya dan alam Minangkabau. Strategi visual yang

dilakukan sengaja menghindari seni rupa yang berbau

politik, namun demikian dengan sindiran yang lebih halus

karya mereka menyiratkan kritikan yang cukup tajam.

Daftar Pustaka :

Agus Burhan, “Kelahiran dan Perkembangan Gerakan Seni RupaBaru Indonesia“, Jurnal Panggung Vol. 20, No. 1, Januari-Maret 2010.

Alia Swastika. ”Melampaui Estetika Darurat”,dalamhttp://aliaswastika.multiply.com/reviews/item/111,diakses 4 Februari 2011

Bhabha, Homi K, The Location of Culture (New York: Routledge,2005).

Bianpoen Carla. “Alfi Jumaldi: The stone as signifier”,Surat kabar The Jakarta Post (3 Februari 2008),

Camus Albert. The Myth of Sisyphus & Other Essays, terjemahan JustinO’Brien (New York: Vintage Books, 1955)

Cohen, R. . Global diasporas: An introduction. (London: UCL Press,1997). Danto Arthur C.. The Madonna of the Future: Essays in a Pluralistic Art world (Berkeley dan Los Angeles: University of CaliforniaPress, 2000)

Djuli Djatiprambudi , “Representasi Identitas di MedanPasar Seni Lukis Indonesia”, ITB Jurnal. Visual Art.Vol. 1 D, No. 1, 2007.

--------------, ”Komodifikasi Seni Rupa KontemporerIndonesia”, Jurnal Panggung Vol. 20, No. 1, Januari-Maret 2010.

FindArticles.com. 31 Jan, 2009. (online) http://findarticles.com /p/ articles/mi_m1248/is_n5_v81/ai_13701438, diakses 28 Maret 2011.

Giddens, Anthony, Masyarakat Post-Tradisional,(Yogyakarta:IRCiCoD,

2003) terjemahan Ali Nur Zaman, buku asli, Living in Post-Traditional

Society, (Cambridge: Polity Press, 1994).

Hall, Stuart, “The Spectacle of ‘Other’”, dalam Hall,Stuart, Representation : Cultural Representation and Signifying Practice (London: Sage, 2003).

-------------- , “Cultural Identity and Diaspora”, dalam,Ashcroft, Bill; Griffiths, Gareth; dan Tiffin, Helen, The Post-ColonialStudies Readers, edisi ke-2 (New York: Routledge, 2006). Maret 2011.

---------------, “Cultural Identity and Diaspora” dalam J.Rutherford , ed, Identity:Community, Culture, Difference (London:Lawrence and Wishart, 1990).

Heartney, Eleanor, "Identity politics at the Whitney -multiculturalism explored in Whitney Museum of Modern Art's 1993Biennial art exhibition" Art in America.

Hopkins David. After Modern Art 1945-2000 (Oxford, New York:Oxford University Press, 2000)

Iris Marion, Young Justice and the Politics of Difference (Princeton: Princeton University Press, 1990).

Kahin. Audrey R., Dari pemberontakan ke integrasi: Sumatra Barat dan politik Indonesia, 1926-1998. (Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, 2005).Karim Raslan. “Looking for sanity amidst chaos”, Surat kabartabloid The Star, Minggu (5 April 2009)

Kato, Tsuyoshi, Adat Minangkabau dan Merantau dalam Perspektif

Walter Kugler. ”Cosmic Poetry, Rudolf Steiner’s BlackboardDrawings” dalam Rudolf Steiner & Walter Kugler. Blackboard Drawing1919- 1924 (Forest Row, East Sussex: Rudolf Steiner Press, 2003) Sejarah, (Jakarta: Balai Pusaka,2005.

Lombard Denys. Nusa Jawa Silang Budaya: Batas-batas Pembaratan(Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 2005)

Ricklefs, Merle Calvin. Sejarah Indonesia modern 1200-2004(Jakarta: PT. Serambi Ilmu Semesta, 2007)

R. Soekmono. Pengantar Sejarah Kebudayaan Indonesia 2 (Yogyakarta:Kanisius, edisi ketiga, 1981)

Said, Edward, Orientalism, (New York; Vintage Books, 1978).

Syamdani, PRRI, Pemberontak atau Bukan?, (Yogyakarta:MediaPresindo, 2008).

Tololyan, Khachig, “Armenian Diaspora”, dalam MelvinEmber,Carol R. Ember,Ian Skoggard, ed, Encyclopedia of Diasporas: Immigrantand Refugee Cultures Around the World, (New York: Springer Science+Business Media Inc., 2005).

Wikipidia, Ensiklopedia Bebas, http://en.wikipedia.org/wiki/Identity_ politics, diakses 17 Februari 2009.

Zulfikri Suleman dan Kurniawan Junaedhie. ed, Demokrasi untuk Indonesia: pemikiran politik Bung Hatta (Jakarta: Penerbit Buku Kompas, 2010)