Penyebab dan Permulaan Perang Sipil di Sri Lanka (1983-2009) berdasarkan Teori Protracted Social...

21
Penyebab dan Permulaan Perang Sipil di Sri Lanka (1983-2009) Disusun untuk Memenuhi Tugas Makalah Akhir Mata Kuliah Perdamaian dan Resolusi Konflik Disusun oleh: Tiara Maharanie (1206210856) Program Studi S1 Reguler Ilmu Hubungan Internasional Semester Genap 2013/2014

Transcript of Penyebab dan Permulaan Perang Sipil di Sri Lanka (1983-2009) berdasarkan Teori Protracted Social...

Penyebab dan Permulaan Perang Sipil di

Sri Lanka (1983-2009)Disusun untuk Memenuhi Tugas Makalah Akhir Mata Kuliah

Perdamaian dan Resolusi Konflik

Disusun oleh:

Tiara Maharanie (1206210856)

Program Studi S1 Reguler Ilmu Hubungan Internasional

Semester Genap 2013/2014

DEPARTEMEN ILMU HUBUNGAN INTERNASIONAL

FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK

UNIVERSITAS INDONESIA

2014BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Perang Sipil Sri Lanka merupakan konflik berkepanjangan yang

berlangsung selama lebih dari 25 tahun, tepatnya sepanjang periode

1983 hingga 2009. Konflik terbuka saat kelompok militan Liberation

Tigers of Tamil Eelam (LTTE) melalukan pemberontakan terhadap

pemerintah sebagai upaya mendirikan negara Tamil merdeka yang

disebut Tamil Eelam di wilayah Utara dan Timur Sri Lanka. Seperti

namanya, LTTE merupakan organisasi militan yang dibentuk oleh

etnis Tamil sebagai etnis minoritas yang beragama Hindu, terhadap

pemerintah yang mayoritas dipegang oleh etnis terbesar yaitu

Sinhala dan mayoritas beragama Budha.

Akar permasalahan konflik Sri Lanka berawal dari masa

pendudukan kolonial Inggris, ketika Sri Lanka masih bernama

Ceylon. Perbedaan posisi antara Sinhala dan Tamil pada masa

kolonial memberikan ketegangan bagi hubungan sosial dan politik

antar keduanya. Pasca Ceylon merdeka pada 1948, Parlemen Ceylon

mengeluarkan regulasi yang disebut sebagai Akta Kewarganegaraan

Ceylon yang memberikan bentuk diskriminasi bagi minoritas Tamil

dengan membuat mereka hampir tidak mungkin mendapatkan hak

warganegara. Sekitar lebih dari 700.000 warga Tamil dibuat stateless.

1

Selama tiga dekade berikutnya, lebih dari 300.000 warga Tamil

dideportasi kembali ke India. Kemudian, pada 1956 Perdana Menteri

S. W. R. D. Bandaranaike menetapkan bahasa Sinhala sebagai bahasa

nasional menggantikan bahasa Inggris. Hal ini dianggap sebagai

bentuk diskriminasi lain bagi Tamil untuk mencegah Tamil Sri Lanka

bekerja sebagai pegawai negeri sipil dan layanan publik lainnya.

Tidak hanya itu, beragam bentuk diskriminasi lain terhadap

Tamil muncul dan semakin meningkat. Hal ini menjadi faktor

eskalasi gerakan separatis, yang puncaknya terjadi pada 1983

ketika LTTE melakukan penyerangan yang menewaskan 13 tentara Sri

Lanka. Peristiwa tersebut menimbulkan kericuhan anti-Tamil di

ibukota Kolombo. Ratusan warga meninggal, ribuan melarikan diri,

dan hal ini menjadi awal konflik yang disebut sebagai “Perang

Eelam Pertama”.

Selama lebih dari 25 tahun, konflik berkempanjangan terjadi,

bahkan terdapat empat fase konflik hingga mencapai “Perang Eelam

Keempat”. Konflik ini tentu mempengaruhi kondisi internal Sri

Lanka, baik terhadap masyarakat, lingkungan, ekonomi, dan politik

domestik maupun internasional. Disinyalir, konflik berkepanjangan

tersebut telah menghabiskan biaya sebesar 1.443 rupee Sri Lanka,

termasuk untuk peningkatan anggaran militer, biaya kerusakan dan

rekonstruksi, serta hilangnya output ekonomi dan pariwisata. Sejak

1983, diperkirakan sebanyak 70.000 warga meninggal akibat konflik—

mayoritas adalah warga etnis Tamil, Sinhala, dan Muslim.

1.2 Perumusan Masalah

Dari latar belakang tersebut, muncul pertanyaan “Bagaimana

gambaran secara umum dan penyebab perang sipil di Sri Lanka?”.

Maka, dalam tulisan ini yang menjadi fokus adalah apa saja

penyebab konflik terjadi, mulai dari keterlibatan aktor, interest,

2

dan bagaimana proses pecahnya konflik. Dengan berangkat dari

ketiga hal tersebut, makalah ini akan menganalisis mengenai bentuk

awal konflik di Sri Lanka yang berlangsung selama periode 1983 –

2009.

1.3 Kerangka Teori

1.3.1 Teori Protracted Social Conflict

Pada pertengahan 1990-an, fokus analisis kajian perang dan

perdamaian mulai banyak dikaitkan dengan istilah internal conflicts, new

wars, small wars, civil wars, ethnic conflict, humanitarian, dan sebagainya.

Menurut Holsti dikutip oleh Ramsbotham, status dan peran

masyarakat dalam suatu negara serta nature dari weak state merupakan

gambaran perang saat ini dan masa depan, dimana hal ini berbeda

dengan pemahaman tradisional yang fokus pada kajian perang dan

perdamaian yang bersifat inter-state. Berkaitan dengan hal ini, Edward

Azar dengan teori protracted social conflict (PSC), memahami konflik

sebagai, “the prolonged and often violent struggle by communal groups for such basic

needs as security, recognition and acceptance, fair access to political institutions and

economic participation”.1 Dalam hal ini, Azar berpendapat bahwa konflik

modern cenderung bersifat intra-state, dan dipamahi dalam empat

variabel prekondisi konflik.2

Pertama, konflik diakibatkan oleh adanya communal content, yaitu

unit analisa yang menjadi fokus pada PSC dengan melihat identity group

– misalnya kelompok ras, agama, etnik, budaya, dan sebagainya.

Dalam hal ini, hubungan antara identity group dengan negara yang

1 Adward Azar dalam Oliver Ramsbotham, “The Analysis of Protracted SocialConflict: A Tribute to Edward Azar,” Review of International Studies 31 (2005): 113.2 Hugh Miall, Oliver Ramsbotham, dan Tom Woodhouse, Contemporary Conflict Resolution: thePrevention, Management, and Transformation of Deadly Conflicts 2nd edition (Cambridge: PolityPress, 2005), 85-88.

3

menjadi inti permasalahannya, dan bagaimana kepentingan dan

kebutuhan individu dimediasikan melalui kelompok sosial.

Kedua, menganalisa adanya perampasan akan kebutuhan dasar

manusia. Keluhan masyarakat akibat kekurangan kebutuhan biasanya

diekspresikan secara kolektif, dan kegagalan negara dalam merespon

keluhan tersebut membuat konflik semakin berlarut-larut. Dalam hal

ini, ‘kebutuhan’ bersifat ontologi dan non-negotiable, yang mencakup

kebutuhan akan keamanan, kemudahan ekonomi, dan kebebasan.

Sehingga apabila konflik terjadi, maka akan cenderung bersifat

intens, kejam, dan irasional.

Ketiga, pemerintahan dan peran negara berperan besar dalam

memberikan satisfaction atau frustation bagi kebutuhan individu atau

identity group. Sebagian besar negara yang mengalami PSC cenderung

dianggap sebagai pemerintahan yang parokial, otoriter, dan rapuh

yang gagal dalam menyediakan kebutuhan dasar manusia. Keempat,

adalah international linkages. Hal ini mengacu pada pemahaman bahwa

negara modern, khususnya weak state, rentan akan kekuatan

internasional yang bergerak sebagai global community yang ikut serta

dalam permasalahan sosial dan politik domestik, dan memiliki

pengaruh besar terhadap posisi dan peran negara dalam sistem

internasional.

Terpenuhinya keempat variabel menurut Azar kemudian tidak

semerta-merta menimbulkan konflik yang dijelaskan dalam PSC,

dimana Ia juga menambahkan terdapat faktor lain yang menjadi

inisiasi akan suatu konflik. Hal tersebut adalah aksi dan strategi

komunal, aksi dan strategi negara, serta mekanisme konflik.3

Lebih lanjut, Azar berpendapat bahwa PSC cenderung banyak

terjadi di negara-negara berkembang. Hal ini biasanya ditandai

3 Miall, Ramsbotham, dan Woodhouse, Contemporary Conflict Resolution, 87.

4

dengan negara yang memiliki pertumbuhan populasi cepat dan

keterbatasan rosurce base, memiliki keterbatasan kapasitas politik,

tradisi hierarki, aturan birokratik yang metropolitan centres, serta

adanya represi politik.4

BAB II

PEMBAHASAN

2.1 Sejarah Penyebab Konflik di Sri Lanka

Perang sipil Sri Lanka merupakan konflik yang berawal pada 23

Juni 1983, dengan munculnya kelompok Gerakan Pejuang Pembebasan

Macan Tamil (Liberation Tigers of Tamil Eelam/LTTE) atau yang biasa juga

4 Miall, Ramsbotham, dan Woodhouse, Contemporary Conflict Resolution, 87.

5

disebut Macan Tamil (Tamil Tigers). LTTE merupakan organisasi militan

independen yang berjuang mendirikan negara Tamil yang disebut

“Tamil Eelam” di wilayah Utara dan Timur Sri Lanka. Setelah 26

tahun konflik berjalan, militer Sri Lanka menyatakan kemenangannya

atas LTTE pada Mei 2009, membawa perang sipil berakhir.5

Konflik Sri Lanka dapat dianggap sebagai contoh konflik yang

sangat kompleks, dimana konflik etnis, ekonomi, politik, budaya,

dan agama telah memicu pemberontakan dan tindak kekerasan. Adapun,

akar penyebab gerakan yang diinisiasi oleh LTTE disebabkan

beberapa faktor yang terjadi sejak masa kolonial Inggris. Secara

historis, hal ini erat kaitannya dengan kepentingan dan konflik

etnis antara Sinhala sebagai mayoritas di Sri Lanka (82% dari

total penduduk per 2001), dengan Tamil yang merupakan masyarakat

minoritas (9,4%).6

Pasca kemerdekaan dari kolonial Inggris pada 1948, kebangkitan

nasionalis oleh Sinhala terjadi dengan tujuan mengembalikan bahasa

lokal, budaya, dan agama yang telah ditekan selama pemerintahan

kolonial. Kebangkitan ini terjadi tidak hanya terhadap

kolonialisme Inggris, tapi juga terhadap etnis Tamil yang telah

menikmati posisi istimewa selama masa kolonial.7 Tepat setelah

kemerdekaan, Parlemen Ceylon8 mengeluarkan regulasi yang disebut

sebagai “Akta Kewarganegaraan Ceylon”, yang memberikan bentuk

diskriminasi pertama bagi minoritas Tamil dengan membuat mereka5 Asoka Bandarage, The Separatist Conflict in Sri Lanka Terrorism, Ethnicity, Political Economy, (New York: Routledge, 2009), 1. 6 Jayshree Bajoria, “The Sri Lankan Conflict,” Council on Foreign Relations, http://www.cfr.org/terrorist-organizations-and-networks/sri-lankan-conflict/p11407 (diakses pada 2 Juni 2014).7 Camilla Orjuella, “Building Peace in Sri Lanka: A Role for Civil Society,” Journal of Peace Research, no. 2 (2003): 198. 8 Ceylon adalah nama yang merujuk pada wilayah Sri Lanka sejak masa pendudukan koloni Belanda di Sri Lanka, sebelum akhirnya Ceylon berubah menjadi Sri Lanka pada 1972, bersamaan dengan ditetapkannya Budha sebagai agama utama di negara tersebut.

6

hampir tidak mungkin mendapatkan hak warganegara. Sekitar lebih

dari 700.000 warga Tamil dibuat stateless. Selama tiga dekade

berikutnya, lebih dari 300.000 warga Tamil dideportasi kembali ke

India.9 Pada 1956, Perdana Menteri S. W. R. D. Bandaranaike

mengeluarkan “Sinhala Only Act”, yaitu sebuah aturan yang mengubah

bahasa Inggris menjadi bahasa Sinhala sebagai bahasa nasional. Hal

ini kemudian dianggap sebagai bentuk diskriminasi lain bagi Tamil

untuk mencegah mereka bekerja sebagai pegawai negeri sipil dan

layanan publik lainnya. Masyarakat berbahasa Tamil menilai aturan

ini sebagai diskriminasi linguistik, budaya, dan ekonomi terhadap

mereka. Banyak dari masyarakat berbahasa Tamil dipaksa untuk

mengundurkan diri karena tidak fasih berbahasa Sinhala. Hal ini

menjadi pemicu awal kerusuhan Gal Oya pada 1956 dan 1958.10 Adapun,

peta persebaran wilayah dengan penduduk berbahasa Tamil dapat

dilihat pada gambar berikut.

9 Anne Noronha Dos Santos, Military Intervention and Secession in South Asia: the Cases of Bangladesh, Sri Lanka, Kashmir, and Pubjab, (Connecticut: Praeger Security International, 2007), 45. 10 Anne Noronha Dos Santos, Military Intervention and Secession in South Asia: the Cases of Bangladesh, Sri Lanka, Kashmir, and Pubjab, 43-44.

7

Dari peta tersebut, terlihat bahwa wilayah Utara Sri Lanka

merupakan wilayah yang di dominasi oleh masyarakat berbahasa

Tamil. Hal ini erat kaitannya dengan letak geografis Sri Lanka

yang berbatasan langsung dengan India di bagian Utara, yaitu

negara asal masyarakat Tamil Sri Lanka. Undang-undang “Akta

Kewarganegaraan Ceylon” dan “Sinhala Only Act” memberikan ruang

yang semakin terbuka bagi masyarakat Sinhala untuk aktif dalam

politik dan menduduki jabatan pemerintahan. Hal ini terlihat dari

kursi parlemen yang diisi oleh 80 persen etnis Sinhala, dimana

kecenderungan ini terus berlanjut, mengarahkan Parlemen Sri Lanka

lebih dilihat sebagai “Dewan Sinhala”.11

Selanjutnya, pada tahun 1970, kebijakan standarisasi dalam

sektor pendidikan perguruan tinggi dijalankan. Melalui kebijakan

ini, standar penerimaan universitas diberlakukan untuk memperbaiki

11 Anne Noronha Dos Santos, Military Intervention and Secession in South Asia: the Cases of Bangladesh, Sri Lanka, Kashmir, and Pubjab, 45.

8

Sumber: Edgar O’Ballance,The Cyanide War: Tamil Insurrection in Sri Lanka 1973-1988 (London: Brassey’s,

jumlah proporsional terhadap mahasiswa Tamil di Sri Lanka. Secara

resmi, kebijakan itu dimaksudkan untuk mengurangi jumlah mahasiswa

Tamil di berbagai universitas, yang selama beberapa tahun

belakangan justru mendominasi, khususnya di ilmu-ilmu alam yang

dianggap krusial dalam pembangunan negara. Hal ini membuat

masyarakat etnis Sinhala “kalah saing”. Oleh sebab itu,

Universitas Ceylon menerapkan standar nilai sebesar 250 dari total

nilai 400 bagi calon mahasiswa Tamil yang ingin masuk ke fakultas

IPA, dan nilai 229 untuk etnis Sinhala.12 Aturan ini menyebabkan

jumlah mahasiswa Tamil yang masuk ke perguruan tinggi khususnya

pada program IPA menurun drastis.13 Bentuk lain dari diskriminasi

yang dijalankan pemerintah adalah melalui dukungan kolonisasi

terhadap wilayah tradisional Tamil oleh para petani Sinhala,

pelarangan impor media berbahasa Tamil, dan penetapan Budha

sebagai agama utama pada 1978. Dalam hal ini, Budha merupakan

agama yang mayoritas dipegang oleh etnis Sinhala, sedangkan Tamil

mayoritas beragama Hindu dan Kristen.14

Pada bulan Mei 1981, pemerintah melalui polisi dan militer

membakar perpustakaan Jaffna15, mengakibatkan kerusakan lebih dari

90.000 buku, termasuk gulungan perkamen yang menjadi nilai sejarah

bagi etnis Tamil. Peristiwa ini kemudian menjadi salah satu titik

balik utama dalam meyakinkan warga Tamil bahwa pemerintah tidak

12 Asoka Bandarage, The Separatist Conflict in Sri Lanka Terrorism, Ethnicity, Political Economy, 53-54.13 Nira Wickremasinghe, Sri Lanka in the Modern Age: A History of Contested Identities. (Honolulu, University of Hawaii Press, 2006), 32.14 Red Pepper, “Background to Brutality,” Red Pepper, http://www.redpepper.org.uk/Background-to-brutality/ (diakses pada 1 Juni 2014).15 Jaffna adalah ibukota provinsi Sri Lanka Utara. Pada masa Perang Sipil, Jaffna merupakan kota kedua terbesar di Sri Lanka, setelah Kolombo.

9

bisa melindungi mereka atau warisan budayanya, sehingga semakin

menguatkan alasan untuk melalukan gerakan separatisme.16

Segala kebijakan diatas mengarahkan Sri Lanka untuk menjadi

Negara Sinhala, yang mana masyarakat minoritas kemudian merasa

dianaktirikan. Oleh karena itu, etnis Tamil kemudian melakukan

berbagai protes, yang berawal dari proses non-kekerasan. Namun

pada akhir 1970-an, semakin banyak kelompok militan muncul yang

tidak menuntut kesamaan hak dalam negara Sri Lanka, melainkan

berjuang untuk membangun negara sendiri dan hak menentukan nasib

sendiri (self-determination).17 Salah satu kelompok militan ini bernama

LTTE, yaitu salah satu aktor utama dalam konflik berkepanjangan

Sri Lanka. Puncaknya, pada tahun 1983, 13 tentara pemerintah

terbunuh atas penyerangan LTTE, yang kemudian menimbulkan skeptis

anti-Tamil. Peristiwa ini menjadi awal mula konflik, yang disebut

sebagai “Perang Eelam Pertama”.18

2.2 Pecahnya Perang Sipil Sri Lanka

Berangkat dari berbagai permasalahan dan diskriminasi

sebagaimana yang telah dijelaskan sebelumnya, pemuda Tamil di

bagian Utara dan Timur Sri Lanka membentuk kelompok-kelompok

militan. Kelompok ini dibentuk secara independen dari kepemimpinan

Colombo Tamil. Dalam hal ini, militan paling menonjol adalah

kelompok Tamil New Tigers (TNT) yang dibentuk pada 1972. Dalam

perkembangannya, TNT mengubah nama menjadi LTTE, yang kemudian

16 Camilla Orjuella, “Building Peace in Sri Lanka: A Role for Civil Society,” Journal of Peace Research, 67.17 Sri Lanka Campaign: For Peace & Justice, “History of Conflict,” Sri Lanka Campaign, http://www.srilankacampaign.org/historyoftheconf.htm (diakses pada 1 Juni 2014)18 Neil DeVotta, “Control Democracy, Institutional Decay, and the Quest for Eelam: Exploring Ethnic Conflict in Sri Lanka,” Pacific Affairs, no. 1 (2000): 56.

10

dikenal sebagai militan utama yang terlibat dalam pecahnya perang

sipil Sri Lanka. Operasi besar pertama yang dijalankan oleh LTTE

adalah pembunuhan walikota Jaffna, yaitu Alfred Duraiappah pada

tahun 1975.19

Modus operandi yang dijalankan oleh LTTE adalah pembunuhan

elit-elit pemerintah, dimana setelah peristiwa 1975, pembunuhan

kembali dijalankan oleh pemimpin LTTE terhadap M. Canagaratnam

sebagai anggota parlemen pada 1977. Pada 23 Juli 1983, LTTE

meluncurkan serangan mematikan ke markas tentara Sri Lanka di luar

kota Thirunelveli, menewaskan seorang perwira dan 2 prajurit. Hal

ini menjadi titik awal konflik dimulai, dimana pemerintah

menanggapi dengan sentimen “nasionalisme”nya untuk melalukan

serangan balik dan pembantaian di Kolombo dan berbagai wilayah

lain, yang diperkirakan menyebabkan 3.000 warga Tamil tewas.

Selain itu, masyarakat Sri Lanka yang mulai skeptis dan anti-Tamil

melakukan pembakaran pada bisnis-bisnis yang dimiliki oleh warga

Tamil, khususnya di Kolombo.20

Selanjutnya, kekerasan terus terjadi pada tahun-tahun

berikutnya. pada 1984, LTTE melakukan penyerangan dan pembantaian

di Kent and Dollar Farm, mengakibatkan ribuan warga yang sedang

tertidur dibunuh dengan kapak di kepala. Kemudian pembantaian

Anuradhapura pada 1985, dilakukan dengan penembakan dan membunuh

146 warga sipil dalam kuil Budha Jaya Sri Maha Bodhi. Terkait hal

ini, pemerintah kemudian merespon balik dengan menggunakan perahu

Kumudini dimana lebih dari 23 warga sipil Tamil tewas. Seiring

waktu, LTTE semakin berkembang dengan melakukan gabungan dengan

kelompok militan Tamil lainnya. Namun di sisi lain, warga etnis

19 Asoka Bandarage, The Separatist Conflict in Sri Lanka Terrorism, Ethnicity, Political Economy, 1. 20 Paul A. Povlock, “A Guerilla War at Sea: The Sri Lankan Civil War,” Small Wars Journal, (2011): 9

11

Tamil yang tidak setuju dengan tindak kekerasan yang dilancarkan

LTTE memilih untuk pro dengan pemerintah, untuk tergabung dalam

militer maupun politik, yang pada intinya menentang visi LTTE

untuk mendirikan negara independen.21

Upaya pembicaraan damai antara pemerintah dan LTTE mulai

dilakukan di Thimphu pada 1985, namun sesaat setelahnya upaya

tersebut gagal dan perang berlanjut. Sepanjang Mei-Juni 1987,

militer Sri Lanka melancarkan operasi ofensif yang disebut

“Operasi Pembebasan” atau “Vadamarachchi Operation”, untuk

meningkatkan kontrolnya di wilayah Jaffna dari pihak LTTE. Operasi

ini menjadi tindakan ofensif pertama yang menandai perang

konvensional Sri Lanka sejak masa kemerdekaan. Operasi itupun

berhasil, namun pemimpin LTTE, Prabhakaran lolos dari

penyerangan.22

Kekerasan antara pemerintah dan LTTE terus berlanjut selama

puluhan tahun, menyebabkan ratusan ribu korban meninggal,

kerusakan di berbagai infrastruktur, dan permasalahan sosial

lainnya. Setiap kali pemerintah Sri Lanka mencoba menekan Tamil,

pergoalakan konflik menjadi lebih kuat. Selama periode 1983-2009,

setidaknya perang sipil Sri Lanka sampai pada “Perang Eelam

Keempat” pada tahun 2006.23 Selain itu, konflik antara pemerintah

Sri Lanka dan LTTE menjadi perang sipil yang paling lama terjadi

di Asia, bertahan selama kurang lebih 26 tahun.24 Akibat berbagai

penyerangan, teror, dan pembunuhan yang dijalankan, LTTE kemudian21 Sri Lanka Campaign: For Peace & Justice, “History of the Conflict,” http://www.srilankacampaign.org/historyoftheconf.htm.22 Asoka Bandarage, The Separatist Conflict in Sri Lanka Terrorism, Ethnicity, Political Economy, 15.23 Reuters, “TIMELINE: Sri Lanka’s 25-Year Civil War,” Reuters, http://www.reuters.com/article/2009/05/17/us-srilanka-war-timeline-sb-idUSTRE54F16620090517 (diakses pada 2 Juni 2014).24 A.J.V. Chandrakanthan, “Eelam Tamil Nationalism: an Inside View,” dalam Sri Lankan Tamil Nationalism: Its Origin and Development in the 19th and 20th Centuries, ed. A. Jeyaratnam Wilson (Canada: UBC Press, 2000), 158.

12

dianggap sebagai kelompok teroris oleh banyak negara. Namun

sebaliknya, tindakan yang dijalankan oleh pemerintah terhadap

etnis Tamil juga dapat dikatakan sebagai tindak kejahatan, dimana

serangan terhadap warga Tamil pada 1983 digambarkan dalam laporan

Mahkamah Internasional sebagai kekerasan yang sebanding dengan

tindak genosida.25 Adapun, selama konflik berlangsung, keterlibatan

aktor eksternal seperti India, Norwegia, Amerika Serikat, dan

Jepang mewarnai konflik yang terjadi. Setelah proses escalation-

descalation yang panjang selama puluhan tahun, pada Mei 2009

pemerintah akhirnya mengumumkan kemenangannya atas LTTE. Pemimpin

LTTE, Velupillai Prabhakaran, dinyatakan tewas dan kelompok

tersebut menyatakan langkah penurunan senjata.26

2.3 Analisis Perang Terbuka Selama Konflik Sri Lanka

Dalam pergolakan konflik yang terjadi di Sri Lanka, terdapat

banyak pembelajaran yang dapat dipetik sebagai modal analisa dalam

tulisan ini, khususnya menurut kacamata teori Protracted Social Conflict

(PSC). Dalam teori tersebut, konflik dipahami sebagai bentuk

kekerasan yang berkepanjangan, violent struggle, dan melibatkan

kelompok komunal. Adapun hal ini dikarenakan terbatasnya pemenuhan

kebutuhan dasar masyarakat kebutuhan dasar yang meliputi keamanan,

pengakuan, penerimaan, dan akses yang adil. Apabila dilihat dalam

konteks konflik di Sri Lanka, maka hal-hal yang disebutkan dalam

PSC sangat tergambarkan. Sebagaimana yang telah dijelaskan,

konflik Sri Lanka berawal pada konflik kepentingan antara etnis

Sinhala dan Tamil yang meliputi hampir seluruh aspek kehidupan.

Berawal dari akses politik yang dikuasai oleh Sinhala sejak 1948,25 Yoki Rakaryan Sukarjaputra, Auman terakhir Macan Tamil: Perang Sipil Sri Lanka 1976-2009 (Jakarta: PT. Kompas Media Nusantara, 2010), 97-9826 Camilla Orjuella, “Building Peace in Sri Lanka: A Role for Civil Society,” Journal of Peace Research, 199.

13

Tamil kemudian menjadi pihak yang “dianaktirikan” melalui

kebijakan-kebijakan yang cenderung menyulitkan masyarakat Tamil.

Adapun regulasi yang tercantum dalam Akta Kewarganegaraan Ceylon

menjadi faktor awal yang memicu ketegangan terjadi. Dalam konteks

Sri Lanka, seluruh penyebab konflik yang disampaikan saling

terkait satu sama lain, yang secara kumulatif memicu eskalasi

kelompok komunal untuk menentang pemerintah.

Upaya pemerintah untuk “mengembalikan” bahasa lokal, budaya,

dan agama yang telah ditekan selama pemerintahan kolonial pada

akhirnya hanya menjadikan etnis non-Sinhala sulit mendapatkan

akses terhadap kebutuhan dasar, seperti pengakuan, penerimaan,

akses yang adil, dan keamanan. Hal-hal seperti pemberlakuan

“Sinhala Only Act” yang mengatur bahasa nasional menjadikan

masyarakat non-Sinhala termarjinalkan, khususnya warga Tamil. Dari

sini, terlihat bahwa pembangunan negara pasca kemerdekaan yang

dijalankan oleh pemerintah justru menimbulkan masalah baru yang

berujung pada perang sipil. Adapun, hal ini menggambarkan tentang

bagaimana situasi perang konvensional, dimana konflik tidak lagi

banyak terjadi antarnegara, melainkan di dalam negara yang

cenderung melibatkan kelompok etnis. Selain itu, penjelasan Azar

yang menyatakan bahwa konflik modern cenderung terjadi di negara

berkembang terlihat pula dalam kasus ini. Hal tersebut tidak lain

dikarenakan negara-negara berkembang cenderung instabil pasca

peninggalan pemerintah kolonial dan “gagap” terhadap sistem

kekuasaan yang telah lama dipegang oleh pihak asing. Apabila

ditelusuri dalam literatur, pernyataan ini sesuai dengan pemikiran

Nye mengenai konflik kontemporer.27

27 Joseph S. Nye, Understanding International conflicts,: An Introduction to Theory and History, (NewYork: Pearson Longman, 2009), 164.

14

Terkait dengan pemenuhan kebutuhan dasar khususnya akses yang

adil, pemerintahan Sri Lanka pasca kemerdekaan telah sangat

membatasi akses yang adil bagi sebagian masyarakat yang berada di

wilayahnya. Meski tidak secara eksplisit, namun pemberlakuan

Sinhala Only Act berakibat pada terbatasnya ruang gerak dan

partisipasi masyarakat non-bahasa Sinhala dalam karir, terutama

politik. Dalam pemerintahan Sri Lanka, berbahasa Sinhala secara

fasih merupakan syarat penting. Oleh karena itu, kesempatan karir

politik dan ekonomi di Sri Lanka pada akhirnya hanya mengarah

kepada hanya sebagian kelompok masyarakat. Selain itu, terkait

kebutuhan pengakuan dan penerimaan, lagi-lagi hal ini sangat

terbatas bagi warga Tamil. pengakuan warganegara dan penerimaan

etnis Tamil sebagai bagian dari Sri Lanka menjadi harta yang harus

dikejar melalui perang. Pada akhirnya, identifikasi ciri konflik

berkepanjangan dalam teori PSC terlihat dari berbagai pemicu

perang sipil di Sri Lanka.

Adapun penyebab konflik yaitu communal content dalam teori PSC

terlihat dalam konflik kepentingan antara Sinhala dan Tamil.

Sinhala, sebagai etnis asli wilayah Sri Lanka yang mayoritas

beragama Budha, menjadi pihak yang banyak merepresi masyarakat

Tamil, yang mana tindakan-tindakan tersebut dilegitimasi melalui

pemerintahan. Dalam konteks tertentu, hal ini tidak dapat

disalahkan sepenuhnya terhadap Sinhala atau pemerintah, karena

pada dasarnya pemerintah memiliki legitimasi dan justifikasi

terhadap tindakan yang diambil, khususnya terkait kondisi internal

negara. Di sisi lain, pemberontakan oleh kelompok-kelompok

militan, khususnya LTTE merupakan wujud akumulasi kepentingan dan

kebutuhan individu yang dimediasikan melalui kelompok. Dalam hal

ini, Prabhakaran sebagai pemimpin LTTE adalah yang paling berperan

15

dalam mengumpulkan kekuatan militan. Oleh karena itu, saat aturan

dan sikap pemerintah terhadap pihak tertentu dirasa merugikan dan

bahkan mendiskriminasi, maka terjadilah pemberontakan untuk

merevisi sistem yang ada, atau bahkan memisahkan diri sepenuhnya

untuk kemudian menentukan nasib sendiri, terlepas dari

pemerintahan yang ada. Dalam kasus konflik antara pemerintah Sri

Lanka dan LTTE, sejak awal LTTE tidak berusaha merevisi sistem dan

kondisi yang ada, melainkan memang bertujuan melakukan gerakan

separatis dan pengakuan terhadap wilayah klaimnya.

Pernyataan diatas kemudian mengarah pada fakta lain, bahwa

saat negara telah mencapai tahap frustation dalam memenuhi kebutuhan

dasar masyarakat atau pihak tertentu di wilayahnya, hal ini

mengakibatkan konflik semakin berlarut-larut dan perang yang

terjadi pun bersifat intens, kejam, dan irasional. Hal tersebut

terlihat dari bagaimana pada awalnya LTTE tidak melakukan dialog

atau bentuk komunikasi lain dalam menyelesaikan masalah, melainkan

langsung melancarkan tindak pembunuhan terhadap walikota Jaffna,

yang diikuti oleh pembunuhan dan pembantaian lainnya. Di sisi

lain, tindakan serupa justru menjadi respon balik pemerintah, yang

malah membalas peristiwa-peristiwa tersebut dengan cara

pembantaian terhadap masyarakat sipil Tamil dan menyebabkan ribuan

korban meninggal. Hal ini tentu menyalahi hak asasi manusia oleh

keduanya, dan sebagaimana yang telah dikatakan, konflik yang

terjadi pada akhirnya bersifat balas-membalas dan cenderung

semakin parah dalam perkembangannya—mengakibatkan konflik semakin

berlarut-larut.

Meski dalam tulisan ini hanya sedikit menyinggung keterlibatan

aktor internasional, namun bukan berarti konflik di Sri Lanka

terbebas dari ikut campur pihak eksternal. Melainkan, sejak awal

16

konflik terjadi, keterlibatan India sebagai negara tetangga yang

memiliki hubungan budaya dan kepentingan dengan masyarakat Tamil

mewarnai konflik yang ada. Bahkan, India sempat memihak kedua

pihak di waktu yang berbeda. Selain itu, keterlibatan Norwegia

juga menjadi hal yang perlu dipahami, dimana Norwegia pada 2002

berhasil menjadi mediator dalam pembicaraan perdamaian antara

pemerintah dan LTTE. Namun karena keterbatasan dalam tulisan ini,

maka hal-hal tersebut tidak banyak disinggung, karena fokus dalam

tulisan ini sendiri adalah penyebab dan awal konflik yang kemudian

di analisa dengan teori PSC.

BAB III

KESIMPULAN

Pada kesimpulannya, dapat dikatakan bahwa gambaran secara umum

penyebab konflik yang terjadi di Sri Lanka adalah akibat adanya

ketidaksetaraan sikap pemerintah terhadap masyarakat di Sri Lanka,

khususnya terhadap masyarakat etnis Tamil yang di eksklusi karena

dianggap “berbeda” dengan budaya lokal yang selalui dikaitkan

dengan etnis Sinhala sebagai dominan. Pada kenyataannya, aturan-

aturan yang dijalankan oleh pemerintah cenderung menyulitkan etnis

Tamil untuk mendapatkan akses terhadap kebutuhan dasar, seperti

keamanan, pengakuan, penerimaan, dan akses yang adil (meliputi

akses terhadap politik dan ekonomi). Akibat akumulasi konfliktual

kepentingan antar keduanya, masyarakat Tamil kemudian menginisiasi

berbagai pergerakan anti-pemerintah sebagai protes ketidaksetaraan

tersebut. Hal ini diikuti dengan semakin berkembangnya

ketidakpuasan mayoritas masyarakat Tamil terhadap pemerintah Sri

Lanka, yang membawa aksi perlawanan semakin besar dan berujung

17

pada gerakan separatis dan bentuk direct violence yang semakin brutal.

Puncaknya, salah satu kelompok militan yang bernama LTTE yang

mendominasi gerakan anti-pemerintah melakukan penyerangan,

pembunuhan, dan pembantaian terhadap pihak-pihak pemerintah dan

sipil, membawa konflik terbuka dan terjadi berlarut-larut selama

26 tahun. Hal ini tidak lain dikarenakan aksi-aksi yang dijalankan

oleh LTTE justru mendapat respon balik yang dapat dikatakan serupa

oleh pemerintah, mengakibatkan penyelesaian konflik semakin sulit

tercapai.

Daftar Pustaka

Sumber Tulis

Azar, Adward, “The Analysis of Protracted Social Conflict: A

Tribute to Edward Azar,” Review of International Studies 31, ed. Oliver

Ramsbotham (2005): 113.

Bandarage, Asoka. The Separatist Conflict in Sri Lanka Terrorism, Ethnicity, Political

Economy. New York: Routledge, 2009.

Chandrakanthan, A.J.V. “Eelam Tamil Nationalism: an Inside View,”

dalam Sri Lankan Tamil Nationalism: Its Origin and Development in the 19th and

20th Centuries, ed. A. Jeyaratnam Wilson. Canada: UBC Press, 2000.

DeVotta, Neil. “Control Democracy, Institutional Decay, and the

Quest for Eelam: Exploring Ethnic Conflict in Sri Lanka,” Pacific

Affairs, no. 1 (2000): 55-76.

Dos Santos, Anne Noronha. Military Intervention and Secession in South Asia: the

Cases of Bangladesh, Sri Lanka, Kashmir, and Pubjab. Connecticut: Praeger

Security International, 2007.

18

Miall, Hugh, Oliver Ramsbotham, dan Tom Woodhouse. Contemporary

Conflict Resolution: the Prevention, Management, and Transformation of Deadly

Conflicts, 2nd edition. Cambridge: Polity Press, 2005.

Nye, Joseph S. Understanding International conflicts,: An Introduction to Theory and

History. New York: Pearson Longman, 2009.

O’Ballance, Edgar. The Cyanide War: Tamil Insurrection in Sri Lanka 1973-1988.

London: Brassey’s, 1989.

Orjuella, Camilla. “Building Peace in Sri Lanka: A Role for Civil

Society.” Journal of Peace Research, no. 2 (2003): 195-212.

Povlock, Paul A. “A Guerilla War at Sea: The Sri Lankan Civil

War,” Small Wars Journal, (2011): 1-51.

Sukarjaputra, Yoki Rakaryan. Auman terakhir Macan Tamil: Perang Sipil Sri

Lanka 1976-2009. Jakarta: PT. Kompas Media Nusantara, 2010.

Wickremasinghe, Nira. Sri Lanka in the Modern Age: A History of Contested

Identities. Honolulu, University of Hawaii Press, 2006.

Sumber Elektronik

Bajoria, Jayshree. “The Sri Lankan Conflict,” Council on Foreign

Relations, http://www.cfr.org/terrorist-organizations-and-

networks/sri-lankan-conflict/p11407 (diakses pada 2 Juni 2014).

Red Pepper, “Background to Brutality,” Red Pepper,

http://www.redpepper.org.uk/Background-to-brutality/ (diakses

pada 1 Juni 2014).

Reuters, “TIMELINE: Sri Lanka’s 25-Year Civil War,” Reuters,

http://www.reuters.com/article/2009/05/17/us-srilanka-war-

timeline-sb-idUSTRE54F16620090517 (diakses pada 2 Juni 2014).

Sri Lanka Campaign: For Peace & Justice, “History of Conflict,”

Sri Lanka Campaign,

19

http://www.srilankacampaign.org/historyoftheconf.htm (diakses

pada 1 Juni 2014)

20