PERANG PADRI : Belanda, Kaum Padri & Kaum Adat
-
Upload
utpsurakarta -
Category
Documents
-
view
0 -
download
0
Transcript of PERANG PADRI : Belanda, Kaum Padri & Kaum Adat
PERANG PADRI
A. Perang Padri
Tanggal : 1803–1838
Lokasi : Sumatera Barat, Sumatera Utara dan Riau
Hasil : Kemenangan Belanda.
Casus belli : Pertikaian Kaum Padri melawan Kaum Adat,
kemudian
melibatkan Belanda.
B. Pihak yang terlibat
Perang 1803–1821 : Kaum Adat & Kaum Padri
Perang 1821–1833 : Kaum Adat, Belanda & Kaum Padri
Perang 1833–1838 : Belanda, Kaum Padri & Kaum Adat
C. Komandan
Rajo Alam*, Mayor Jendral Cochius, Kolonel Stuers, Letnan
Kolonel Raaff*, Letnan Kolonel Elout, Letnan Kolonel Krieger,
Letnan Kolonel Bauer*, Letnan Kolonel Michiels, Mayor
Laemlin*, Mayor Prager, Mayor du Bus*, Kapten Poland, Kapten
Lange, Tuanku Nan Renceh*, Tuanku Pasaman*, Tuanku Imam
Bonjol, Tuanku Rao*, Tuanku Tambusai, Meninggal dunia dalam
rentang waktu peperangan
Perang Padri adalah peperangan yang berlangsung di Sumatera
Barat dan sekitarnya terutama di kawasan Kerajaan Pagaruyung dari
tahun 1803 hingga 1838. Perang ini merupakan peperangan yang pada
awalnya akibat pertentangan dalam masalah agama sebelum berubah
menjadi peperangan melawan penjajahan.
Perang Padri dimulai dengan munculnya pertentangan sekelompok
ulama yang dijuluki sebagai Kaum Padri terhadap kebiasaan-
kebiasaan yang marak dilakukan oleh kalangan masyarakat yang
disebut Kaum Adat di kawasan Kerajaan Pagaruyung dan sekitarnya.
Kebiasaan yang dimaksud seperti perjudian, penyabungan ayam,
penggunaan madat, minuman keras, tembakau, sirih, dan juga aspek
hukum adat matriarkat mengenai warisan, serta longgarnya
pelaksanaan kewajiban ritual formal agama Islam. Tidak adanya
kesepakatan dari Kaum Adat yang padahal telah memeluk Islam untuk
meninggalkan kebiasaan tersebut memicu kemarahan Kaum Padri,
sehingga pecahlah peperangan pada tahun 1803.
Hingga tahun 1833, perang ini dapat dikatakan sebagai perang
saudara yang melibatkan sesama Minang dan Mandailing. Dalam
peperangan ini, Kaum Padri dipimpin oleh Harimau Nan Salapan
sedangkan Kaum Adat dipimpinan oleh Yang Dipertuan Pagaruyung
waktu itu Sultan Arifin Muningsyah. Kaum Adat yang mulai
terdesak, meminta bantuan kepada Belanda pada tahun 1821. Namun
keterlibatan Belanda ini justru memperumit keadaan, sehingga
sejak tahun 1833 Kaum Adat berbalik melawan Belanda dan bergabung
bersama Kaum Padri, walaupun pada akhirnya peperangan ini dapat
dimenangkan Belanda.
Perang Padri termasuk peperangan dengan rentang waktu yang
cukup panjang, menguras harta dan mengorbankan jiwa raga. Perang
ini selain meruntuhkan kekuasaan Kerajaan Pagaruyung, juga
berdampak merosotnya perekonomian masyarakat sekitarnya dan
memunculkan perpindahan masyarakat dari kawasan konflik.
D. Latar belakang
Perang Padri dilatarbelakangi oleh kepulangan tiga orang Haji
dari Mekkah sekitar tahun 1803, yaitu Haji Miskin, Haji Sumanik
dan Haji Piobang yang ingin memperbaiki syariat Islam yang belum
sempurna dijalankan oleh masyarakat Minangkabau. Mengetahui hal
tersebut, Tuanku Nan Renceh sangat tertarik lalu ikut mendukung
keinginan ketiga orang Haji tersebut bersama dengan ulama lain di
Minangkabau yang tergabung dalam Harimau Nan Salapan.
Harimau Nan Salapan kemudian meminta Tuanku Lintau untuk
mengajak Yang Dipertuan Pagaruyung Sultan Arifin Muningsyah
beserta Kaum Adat untuk meninggalkan beberapa kebiasaan yang
bertentangan dengan ajaran agama Islam. Dalam beberapa
perundingan tidak ada kata sepakat antara Kaum Padri dengan Kaum
Adat. Seiring itu beberapa nagari dalam Kerajaan Pagaruyung
bergejolak, puncaknya pada tahun 1815, Kaum Padri dibawah
pimpinan Tuanku Pasaman menyerang Kerajaan Pagaruyung dan
pecahlah peperangan di Koto Tangah. Serangan ini menyebabkan
Sultan Arifin Muningsyah terpaksa menyingkir dan melarikan diri
dari ibu kota kerajaan. Dari catatan Raffles yang pernah
mengunjungi Pagaruyung pada tahun 1818, menyebutkan bahwa ia
hanya mendapati sisa-sisa Istana Kerajaan Pagaruyung yang sudah
terbakar.
E. Keterlibatan Belanda
Karena terdesak dalam peperangan dan keberadaan Yang Dipertuan
Pagaruyung yang tidak pasti, maka Kaum Adat yang dipimpin oleh
Sultan Tangkal Alam Bagagar meminta bantuan kepada Belanda pada
tanggal 21 Februari 1821, walaupun sebetulnya Sultan Tangkal Alam
Bagagar waktu itu dianggap tidak berhak membuat perjanjian dengan
mengatasnamakan Kerajaan Pagaruyung. Akibat dari perjanjian ini,
Belanda menjadikannya sebagai tanda penyerahan Kerajaan
Pagaruyung kepada pemerintah Hindia-Belanda, kemudian mengangkat
Sultan Tangkal Alam Bagagar sebagai Regent Tanah Datar.
Keterlibatan Belanda dalam perang karena diundang oleh kaum
Adat, dan campur tangan Belanda dalam perang itu ditandai dengan
penyerangan Simawang dan Sulit Air oleh pasukan Kapten Goffinet
dan Kapten Dienema pada bulan April 1821 atas perintah Residen
James du Puy di Padang.[9] Kemudian pada 8 Desember 1821 datang
tambahan pasukan yang dipimpin oleh Letnan Kolonel Raaff untuk
memperkuat posisi pada kawasan yang telah dikuasai tersebut.
Fort van der Capellen
Pada tanggal 4 Maret 1822, pasukan Belanda dibawah pimpinan
Letnan Kolonel Raaff berhasil memukul mundur Kaum Padri keluar
dari Pagaruyung. Kemudian Belanda membangun benteng pertahanan di
Batusangkar dengan nama Fort Van der Capellen, sedangkan Kaum
Padri menyusun kekuatan dan bertahan di Lintau. Pada tanggal 10
Juni 1822 pergerakan pasukan Raaff di Tanjung Alam dihadang oleh
Kaum Padri, namun pasukan Belanda dapat terus melaju ke Luhak
Agam. Pada tanggal 14 Agustus 1822 dalam pertempuran di Baso,
Kapten Goffinet menderita luka berat kemudian meninggal dunia
pada 5 September 1822. Pada bulan September 1822 pasukan Belanda
terpaksa kembali ke Batusangkar karena terus tertekan oleh
serangan Kaum Padri yang dipimpin oleh Tuanku Nan Renceh.
Setelah mendapat tambahan pasukan pada 13 April 1823, Raaff
mencoba kembali menyerang Lintau, namun Kaum Padri dengan gigih
melakukan perlawanan, sehingga pada tanggal 16 April 1823 Belanda
terpaksa kembali ke Batusangkar. Sementara pada tahun 1824 Yang
Dipertuan Pagaruyung Sultan Arifin Muningsyah kembali ke
Pagaruyung atas permintaan Letnan Kolonel Raaff, namun pada tahun
1825 raja terakhir Minangkabau ini wafat dan kemudian dimakamkan
di Pagaruyung. Sedangkan Raaff sendiri meninggal dunia secara
mendadak di Padang pada tanggal 17 April 1824 setelah sebelumnya
mengalami demam tinggi.
Sementara pada bulan September 1824, pasukan Belanda di bawah
pimpinan Mayor Frans Laemlin telah berhasil menguasai beberapa
kawasan di Luhak Agam di antaranya Koto Tuo dan Ampang Gadang.
Kemudian mereka juga telah menduduki Biaro dan Kapau, namun
karena luka-luka yang dideritanya di bulan Desember 1824, Laemlin
meninggal dunia di Padang.
F. Gencatan senjata
Perlawanan yang dilakukan oleh Kaum Padri cukup tangguh
sehingga sangat menyulitkan Belanda untuk menundukkannya. Oleh
sebab itu Belanda melalui residennya di Padang mengajak pemimpin
Kaum Padri yang waktu itu telah dipimpin oleh Tuanku Imam Bonjol
untuk berdamai dengan maklumat "Perjanjian Masang" pada tanggal
15 November 1825. Hal ini dimaklumi karena disaat bersamaan
Pemerintah Hindia-Belanda juga kehabisan dana dalam menghadapi
peperangan lain di Eropa dan Jawa seperti Perang Diponegoro.
Selama periode gencatan senjata, Tuanku Imam Bonjol mencoba
memulihkan kekuatan dan juga mencoba merangkul kembali Kaum Adat.
Sehingga akhirnya muncul suatu kompromi yang dikenal dengan nama
"Plakat Puncak Pato" di Bukit Marapalam, Kabupaten Tanah Datar
yang mewujudkan konsensus bersama Adat Basandi Syarak, Syarak
Basandi Kitabullah yang artinya adat Minangkabau berlandaskan
kepada agama Islam, sedangkan agama Islam berlandaskan kepada Al-
Qur'an.
G. Tuanku Imam Bonjol
Tuanku Imam Bonjol, salah seorang pemimpin Perang Padri, yang diilustrasikan oleh
de Stuers pada tahun 1820.
Tuanku Imam Bonjol yang bernama asli Muhammad Shahab muncul
sebagai pemimpin dalam Perang Padri setelah sebelumnya ditunjuk
oleh Tuanku Nan Renceh sebagai Imam di Bonjol. Kemudian menjadi
pemimpin sekaligus panglima perang setelah Tuanku Nan Renceh
meninggal dunia.
Pada masa kepemimpinannya, ia mulai menyesali beberapa
tindakan kekerasan yang dilakukan oleh Kaum Padri terhadap
saudara-saudaranya, sebagaimana yang terdapat dalam memorinya.
Walau di sisi lain fanatisme tersebut juga melahirkan sikap
kepahlawanan dan cinta tanah air.
H. Peperangan jilid kedua
Setelah berakhirnya perang Diponegoro dan pulihnya kekuatan
Belanda di Jawa, Pemerintah Hindia-Belanda kembali mencoba untuk
menundukan Kaum Padri. Hal ini sangat didasari oleh keinginan
kuat untuk penguasaan penanaman kopi yang sedang meluas di
kawasan pedalaman Minangkabau (darek). Sampai abad ke-19,
komoditas perdagangan kopi merupakan salah satu produk andalan
Belanda di Eropa. Christine Dobbin menyebutnya lebih kepada
perang dagang, hal ini seiring dengan dinamika perubahan sosial
masyarakat Minangkabau dalam liku-liku perdagangan di pedalaman
dan pesisir pantai barat atau pantai timur. Sementara Belanda
pada satu sisi ingin mengambil alih atau monopoli.
Selanjutnya untuk melemahkan kekuatan lawan, Belanda melanggar
perjanjian yang telah dibuat sebelumnya dengan menyerang nagari
Pandai Sikek yang merupakan salah satu kawasan yang mampu
memproduksi mesiu dan senjata api. Kemudian untuk memperkuat
kedudukannya, Belanda membangun benteng di Bukittinggi yang
dikenal dengan nama Fort de Kock.
Persiapan paskan Belanda di Fort de Kock
Pada awal bulan Agustus 1831 Lintau berhasil ditaklukkan,
menjadikan Luhak Tanah Datar berada dalam kendali Belanda. Namun
Tuanku Lintau masih tetap melakukan perlawanan dari kawasan Luhak
Limo Puluah. Sementara ketika Letnan Kolonel Elout melakukan
berbagai serangan terhadap Kaum Padri antara tahun 1831–1832, ia
memperoleh tambahan kekuatan dari pasukan Sentot Prawirodirdjo,
salah seorang panglima pasukan Pangeran Diponegoro yang telah
membelot dan berdinas pada Pemerintah Hindia-Belanda setelah usai
perang di Jawa. Namun kemudian Letnan Kolonel Elout berpendapat,
kehadiran Sentot yang ditempatkan di Lintau justru menimbulkan
masalah baru. Beberapa dokumen-dokumen resmi Belanda membuktikan
kesalahan Sentot yang telah melakukan persekongkolan dengan Kaum
Padri sehingga kemudian Sentot dan legiunnya dikembalikan ke
Pulau Jawa. Di Jawa, Sentot juga tidak berhasil menghilangkan
kecurigaan Belanda terhadap dirinya, dan Belanda pun juga tidak
ingin ia tetap berada di Jawa dan mengirimnya kembali ke
Sumatera. Namun di tengah perjalanan, Sentot diturunkan dan
ditahan di Bengkulu, lalu ditinggal sampai mati sebagai orang
buangan. Sedangkan pasukannya dibubarkan kemudian direkrut
kembali menjadi tentara Belanda.
Sentot Prawirodirdjo, yang diilustrasikan oleh G. Kepper.
Pada bulan Juli 1832, dari Jakarta dikirim pasukan infantri
dalam jumlah besar di bawah pimpinan Letnan Kolonel Ferdinand P.
Vermeulen Krieger, untuk mempercepat penyelesaian peperangan.
Dengan tambahan pasukan tersebut pada bulan Oktober 1832, Luhak
Limo Puluah telah berada dalam kekuasaan Belanda bersamaan dengan
meninggalnya Tuanku Lintau. Kemudian Kaum Padri terus melakukan
konsolidasi dan berkubu di Kamang, namun seluruh kekuatan Kaum
Padri di Luhak Agam juga dapat ditaklukkan Belanda setelah
jatuhnya Kamang pada akhir tahun 1832, sehingga kembali Kaum
Padri terpaksa mundur dari kawasan luhak dan bertahan di Bonjol.
Selanjutnya pasukan Belanda mulai melakukan penyisiran pada
beberapa kawasan yang masih menjadi basis Kaum Padri. Pada awal
Januari 1833, pasukan Belanda membangun kubu pertahanan di Padang
Mantinggi, namun sebelum mereka dapat memperkuat posisi, kubu
pertahanan tersebut diserang oleh Kaum Padri dibawah pimpinan
Tuanku Rao yang mengakibatkan banyak korban di pihak Belanda.
Namun dalam pertempuran di Air Bangis, pada tanggal 29 Januari
1833, Tuanku Rao menderita luka berat akibat dihujani peluru.
Kemudian ia dinaikkan ke atas kapal untuk diasingkan. Belum lama
berada di atas kapal, Tuanku Rao menemui ajalnya. Diduga
jenazahnya kemudian dibuang ke laut oleh tentara Belanda.
I. Perlawanan bersama
Kaum Adat
Sejak tahun 1833 mulai muncul kompromi antara Kaum Adat dan
Kaum Padri. Di ujung penyesalan muncul kesadaran, mengundang
Belanda dalam konflik justru menyengsarakan masyarakat
Minangkabau itu sendiri. Hampir selama 20 tahun pertama perang
ini (1803–1823), dapatlah dikatakan sebagai perang saudara
melibatkan sesama etnik Minang dan Batak.
Pada tanggal 11 Januari 1833 beberapa kubu pertahanan dari
garnisun Belanda diserang secara mendadak, membuat keadaan
menjadi kacau disebutkan ada sekitar 139 orang tentara Eropa
serta ratusan tentara pribumi terbunuh. Sultan Tangkal Alam
Bagagar yang sebelumnya ditunjuk oleh Belanda sebagai Regent
Tanah Datar, ditangkap oleh pasukan Letnan Kolonel Elout pada
tanggal 2 Mei 1833 di Batusangkar atas tuduhan pengkhianatan.
Kemudian Belanda mengasingkannya ke Batavia, walau dalam catatan
Belanda Sultan Tangkal Alam Bagagar menyangkal keterlibatannya
dalam penyerangan beberapa pos Belanda, namun pemerintah Hindia-
Belanda juga tidak mau mengambil risiko untuk menolak laporan
dari para perwiranya. Kedudukan Regent Tanah Datar kemudian
diberikan kepada Tuan Gadang di Batipuh.
Menyadari hal itu, kini Belanda bukan hanya menghadapi Kaum
Padri saja, tetapi secara keseluruhan masyarakat Minangkabau.
Maka Pemerintah Hindia-Belanda pada tahun 1833 mengeluarkan
pengumuman yang disebut "Plakat Panjang" berisi sebuah pernyataan
bahwa kedatangan Belanda ke Minangkabau tidaklah bermaksud untuk
menguasai negeri tersebut, mereka hanya datang untuk berdagang
dan menjaga keamanan, penduduk Minangkabau akan tetap diperintah
oleh para penghulu mereka dan tidak pula diharuskan membayar
pajak. Kemudian Belanda berdalih bahwa untuk menjaga keamanan,
membuat jalan, membuka sekolah, dan sebagainya memerlukan biaya,
maka penduduk diwajibkan menanam kopi dan mesti menjualnya kepada
Belanda.
J. Serangan ke Bonjol
Letnan Kolonel Raaff dan pasukannya, dilukiskan oleh G. Kepper. Raaff meninggal
dunia sebelum berakhirnya Perang Padri.
Romantisme kepahlawanan dalam Perang Padri, diilustrasikan oleh G. Kepper.
Lamanya penyelesaian peperangan ini, memaksa Gubernur Jenderal
Hindia-Belanda Johannes van den Bosch pada tanggal 23 Agustus
1833 pergi ke Padang untuk melihat dari dekat proses operasi
militer yang dilakukan oleh pasukan Belanda. Sesampainya di
Padang, ia melakukan perundingan dengan Komisaris Pesisir Barat
Sumatera, Mayor Jenderal Riesz dan Letnan Kolonel Elout untuk
segera menaklukkan Benteng Bonjol, pusat komando pasukan Padri.
Riesz dan Elout menerangkan bahwa belum datang saatnya yang baik
untuk mengadakan serangan umum terhadap Benteng Bonjol, karena
kesetiaan penduduk Luhak Agam masih disangsikan dan mereka sangat
mungkin akan menyerang pasukan Belanda dari belakang. Tetapi Van
den Bosch bersikeras untuk segera menaklukkan Benteng Bonjol
paling lambat tanggal 10 September 1833, kedua opsir tersebut
meminta tangguh enam hari sehingga jatuhnya Bonjol diharapkan
pada tanggal 16 September 1833.
Taktik serangan gerilya yang diterapkan Kaum Padri kemudian
berhasil memperlambat gerak laju serangan Belanda ke Benteng
Bonjol, bahkan dalam beberapa perlawanan hampir semua
perlengkapan perang pasukan Belanda seperti meriam beserta
perbekalannya dapat dirampas. Pasukan Belanda hanya dapat membawa
senjata dan pakaian yang melekat di tangan dan badannya. Sehingga
pada tanggal 21 September 1833, sebelum Gubernur Jenderal Hindia-
Belanda digantikan oleh Jean Chrétien Baud, Van den Bosch membuat
laporan bahwa penyerangan ke Bonjol gagal dan sedang diusahakan
untuk konsolidasi guna penyerangan selanjutnya.
Kemudian selama tahun 1834 Belanda hanya fokus pada pembuatan
jalan dan jembatan yang mengarah ke Bonjol dengan mengerahkan
ribuan tenaga kerja paksa. Hal ini dilakukan untuk memudahkan
mobilitas pasukannya dalam menaklukkan Bonjol. Selain itu pihak
Belanda juga terus berusaha menanamkan pengaruhnya pada beberapa
kawasan yang dekat dengan kubu pertahanannya.
Pada tanggal 16 April 1835 Belanda memutuskan untuk kembali
mengadakan serangan besar-besaran untuk menaklukkan Bonjol dan
sekitarnya. Operasi militer dimulai pada tanggal 21 April 1835,
pasukan Belanda dipimpin oleh Letnan Kolonel Bauer, memecah
pasukannya menuju Masang menjadi dua bagian yang bergerak masing-
masing dari Matur dan Bamban. Pasukan ini mesti menyeberangi
sungai yang saat itu tengah dilanda banjir, dan terus masuk
menyelusup ke dalam hutan rimba; mendaki gunung dan menuruni
lembah; guna membuka jalur baru menuju Bonjol.
Pada tanggal 23 April 1835 gerakan pasukan Belanda ini telah
berhasil mencapai tepi Batang Gantiang, kemudian menyeberanginya
dan berkumpul di Batusari. Dari sini hanya ada satu jalan sempit
menuju Sipisang, daerah yang masih dikuasai oleh Kaum Padri.
Sesampainya di Sipisang, pecah pertempuran sengit antara pasukan
Belanda dengan Kaum Padri. Pertempuran berlangsung selama tiga
hari tiga malam tanpa henti, sampai banyak korban di kedua belah
pihak. Akhirnya dengan kekuatan yang jauh tak sebanding, pasukan
Kaum Padri terpaksa mengundurkan diri ke hutan-hutan rimba
sekitarnya. Jatuhnya daerah Sipisang ini meningkatkan moralitas
pasukan Belanda, kemudian daerah ini dijadikan sebagai kubu
pertahanan sambil menunggu pembuatan jembatan menuju Bonjol.
Walau pergerakan laju pasukan Belanda menuju Bonjol masih
sangat lamban, hampir sebulan waktu yang diperlukan untuk dapat
mendekati daerah Alahan Panjang. Sebagai front terdepan dari
Alahan Panjang adalah daerah Padang Lawas yang secara penuh masih
dikuasai oleh Kaum Padri. Namun pada tanggal 8 Juni 1835 pasukan
Belanda berhasil menguasai daerah ini.
Selanjutnya pada tanggal 11 Juni 1835 pasukan Belanda kembali
bergerak menuju sebelah timur Batang Alahan Panjang dan membuat
kubu pertahanan di sana, sementara pasukan Kaum Padri tetap
bersiaga di seberangnya.
Pasukan Belanda berhasil mendekati Bonjol dalam jarak kira-
kira hanya 250 langkah pada tengah malam tanggal 16 Juni 1835,
kemudian mereka mencoba membuat kubu pertahanan. Selanjutnya
dengan menggunakan houwitser, mortir dan meriam, pasukan Belanda
menembaki Benteng Bonjol. Namun Kaum Padri tidak tinggal diam
dengan menembakkan meriam pula dari Bukit Tajadi. Sehingga dengan
posisi yang kurang menguntungkan, pasukan Belanda banyak menjadi
korban. Pada tanggal 17 Juni 1835 kembali datang bantuan tambahan
pasukan sebanyak 2000 orang yang dikirim oleh Residen Francis di
Padang dan pada tanggal 21 Juni 1835, dengan kekuatan yang besar
pasukan Belanda memulai gerakan maju menuju sasaran akhir yaitu
Benteng Bonjol di Bukit Tajadi.
K. Benteng Bonjol
Lukisan Bonjol pada tahun 1839.
Benteng Bonjol terletak di atas bukit yang hampir tegak lurus
ke atas, dikenal dengan nama Bukit Tajadi. Tidak begitu jauh dari
benteng ini mengalir Batang Alahan Panjang, sebuah sungai di
tengah lembah dengan aliran yang deras, berliku-liku dari utara
ke selatan. Benteng ini berbentuk segi empat panjang, tiga
sisinya dikelilingi oleh dinding pertahanan dua lapis setinggi
kurang lebih 3 meter. Di antara kedua lapis dinding dibuat parit
yang dalam dengan lebar 4 meter. Dinding luar terdiri dari batu-
batu besar dengan teknik pembuatan hampir sama seperti benteng-
benteng di Eropa dan di atasnya ditanami bambu berduri panjang
yang ditanam sangat rapat sehingga Kaum Padri dapat mengamati
bahkan menembakkan meriam kepada pasukan Belanda.
Semak belukar dan hutan yang sangat lebat di sekitar Bonjol
menjadikan kubu-kubu pertahanan Kaum Padri tidak mudah untuk
dilihat oleh pasukan Belanda. Keadaan inilah yang dimanfaatkan
dengan baik oleh Kaum Padri untuk membangun kubu pertahanan yang
strategis, sekaligus menjadi markas utama Tuanku Imam Bonjol.
L. Pengepungan Bonjol
Kejatuhan Bukit Tajadi, diilustrasikan oleh G. Kepper.
Melihat kokohnya Benteng Bonjol, pasukan Belanda mencoba
melakukan blokade terhadap Bonjol dengan tujuan untuk melumpuhkan
suplai bahan makanan dan senjata pasukan Padri. Blokade yang
dilakukan ini ternyata tidak efektif, karena justru kubu-kubu
pertahanan pasukan Belanda dan bahan perbekalannya yang banyak
diserang oleh pasukan Kaum Padri secara gerilya. Di saat
bersamaan seluruh pasukan Kaum Padri mulai berdatangan dari
daerah-daerah yang telah ditaklukkan pasukan Belanda, yaitu dari
berbagai negeri di Minangkabau dan sekitarnya. Semua bertekad
bulat untuk mempertahankan markas besar Bonjol sampai titik darah
penghabisan, hidup mulia atau mati syahid.
Usaha untuk melakukan serangan ofensif terhadap Bonjol baru
dilakukan kembali setelah bala bantuan tentara yang terdiri dari
pasukan Bugis datang, maka pada pertengahan Agustus 1835
penyerangan mulai dilakukan terhadap kubu-kubu pertahanan Kaum
Padri yang berada di Bukit Tajadi, dan pasukan Bugis ini berada
pada bagian depan pasukan Belanda dalam merebut satu persatu
kubu-kubu pertahanan strategis Kaum Padri yang berada disekitar
Bukit Tajadi. Namun sampai awal September 1835, pasukan Belanda
belum berhasil menguasai Bukit Tajadi, malah pada tanggal 5
September 1835, Kaum Padri keluar dari kubu pertahanannya
menyerbu ke luar benteng menghancurkan kubu-kubu pertahahan
Belanda yang dibuat sekitar Bukit Tajadi. Setelah serangan
tersebut, pasukan Kaum Padri segera kembali masuk ke dalam
Benteng Bonjol.
Pada tanggal 9 September 1835, pasukan Belanda mencoba
menyerang dari arah Luhak Limo Puluah dan Padang Bubus, namun
hasilnya gagal, bahkan banyak menyebabkan kerugian pada pasukan
Belanda. Letnan Kolonel Bauer, salah seorang komandan pasukan
Belanda menderita sakit dan terpaksa dikirim ke Bukittinggi
kemudian posisinya digantikan oleh Mayor Prager.
Blokade yang berlarut-larut dan keberanian Kaum Padri,
membangkitkan semangat keberanian rakyat sekitarnya untuk
memberontak dan menyerang pasukan Belanda, sehingga pada tanggal
11 Desember 1835 rakyat Simpang dan Alahan Mati mengangkat
senjata dan menyerang kubu-kubu pertahanan Belanda. Pasukan
Belanda kewalahan mengatasi perlawanan ini. Namun setelah datang
bantuan dari serdadu-serdadu Madura yang berdinas pada pasukan
Belanda, perlawanan ini dapat diatasi.
Kemenangan Belanda dalam Perang Padri, yang diilustrasikan oleh G. Kepper.
Frans David Cochius, komandan penaklukan Benteng Bonjol.
Hampir setahun mengepung Bonjol, pada tanggal 3 Desember 1836,
pasukan Belanda kembali melakukan serangan besar-besaran terhadap
Benteng Bonjol, sebagai usaha terakhir untuk penaklukan Bonjol.
Serangan dahsyat ini mampu menjebol sebagian Benteng Bonjol,
sehingga pasukan Belanda dapat masuk menyerbu dan berhasil
membunuh beberapa keluarga Tuanku Imam Bonjol. Tetapi dengan
kegigihan dan semangat juang yang tinggi Kaum Padri kembali
berhasil memporak-porandakan musuh sehingga Belanda terusir dan
terpaksa kembali keluar dari benteng dengan meninggalkan banyak
sekali korban jiwa di masing-masing pihak.
Kegagalan penaklukan ini benar-benar memukul kebijaksanaan
Gubernur Jenderal Hindia-Belanda di Batavia yang waktu itu telah
dipegang oleh Dominique Jacques de Eerens, kemudian pada awal
tahun 1837 mengirimkan seorang panglima perangnya yang bernama
Mayor Jenderal Cochius untuk memimpin langsung serangan besar-
besaran ke Benteng Bonjol untuk kesekian kalinya. Cochius
merupakan seorang perwira tinggi Belanda yang memiliki keahlian
dalam strategi perang Benteng Stelsel.
Selanjutnya Belanda dengan intensif mengepung Bonjol dari
segala jurusan selama sekitar enam bulan (16 Maret–17 Agustus
1837) dipimpin oleh jenderal dan beberapa perwira. Pasukan
gabungan ini sebagian besar terdiri dari berbagai suku, seperti
Jawa, Madura, Bugis dan Ambon. Terdapat 148 perwira Eropa, 36
perwira pribumi, 1.103 tentara Eropa, 4.130 tentara pribumi,
termasuk di dalamnya Sumenapsche hulptroepen hieronder begrepen
(pasukan pembantu Sumenap alias Madura). Dalam daftar nama para
perwira pasukan Belanda tersebut di antaranya adalah Mayor
Jendral Cochius, Letnan Kolonel Bauer, Mayor Sous, Mayor Prager,
Kapten MacLean, Letnan Satu van der Tak, Pembantu Letnan Satu
Steinmetz, dan seterusnya. Kemudian ada juga nama Inlandsche
(pribumi) seperti Kapitein Noto Prawiro, Indlandsche Luitenant
Prawiro di Logo, Karto Wongso Wiro Redjo, Prawiro Sentiko,
Prawiro Brotto, Merto Poero dan lainnya.
Dari Batavia didatangkan terus tambahan kekuatan tentara Belanda,
dimana pada tanggal 20 Juli 1837 tiba dengan Kapal Perle di
Padang, sejumlah orang Eropa dan Sepoys, serdadu dari Afrika yang
berdinas dalam tentara Belanda, direkrut dari Ghana dan Mali,
terdiri dari 1 sergeant, 4 korporaals dan 112 flankeurs, serta
dipimpin oleh Kapitein Sinninghe.
Serangan yang bergelombang serta bertubi-tubi dan hujan peluru
dari pasukan artileri yang bersenjatakan meriam-meriam besar,
selama kurang lebih 6 bulan lamanya, serta pasukan infantri dan
kavaleri yang terus berdatangan. Pada tanggal 3 Agustus 1837
dipimpin oleh Letnan Kolonel Michiels sebagai komandan lapangan
terdepan mulai sedikit demi sedikit menguasai keadaan, dan
akhirnya pada tanggal tanggal 15 Agustus 1837, Bukit Tajadi
jatuh, dan pada tanggal 16 Agustus 1837 Benteng Bonjol secara
keseluruhan dapat ditaklukkan. Namun Tuanku Imam Bonjol dapat
mengundurkan diri keluar dari benteng dengan didampingi oleh
beberapa pengikutnya terus menuju daerah Marapak.
M. Perundingan
Dalam pelarian dan persembunyiannya, Tuanku Imam Bonjol terus
mencoba mengadakan konsolidasi terhadap seluruh pasukannya yang
telah bercerai-berai dan lemah, namun karena telah lebih 3 tahun
bertempur melawan Belanda secara terus menerus, ternyata hanya
sedikit saja yang tinggal dan masih siap untuk bertempur kembali.
Dalam kondisi seperti ini, tiba-tiba datang surat tawaran dari
Residen Francis di Padang untuk mengajak berunding. Kemudian
Tuanku Imam Bonjol menyatakan kesediaannya melakukan perundingan.
Perundingan itu dikatakan tidak boleh lebih dari 14 hari lamanya.
Selama 14 hari berkibar bendera putih dan gencatan senjata
berlaku. Tuanku Imam Bonjol diminta untuk datang ke Palupuh,
tempat perundingan, tanpa membawa senjata. Tapi hal itu cuma
jebakan Belanda untuk menangkap Tuanku Imam Bonjol, peristiwa itu
terjadi di bulan Oktober 1837 dan kemudian Tuanku Imam Bonjol
dalam kondisi sakit langsung dibawa ke Bukittinggi kemudian terus
dibawa ke Padang, untukmengajak berunding. Kemudian Tuanku Imam
Bonjol menyatakan kesediaannya melakukan perundingan. Perundingan
itu dikatakan tidak boleh lebih dari 14 hari lamanya. Selama 14
hari berkibar bendera putih dan gencatan senjata berlaku. Tuanku
Imam Bonjol diminta untuk datang ke Palupuh, tempat perundingan,
tanpa membawa senjata. Tapi hal itu cuma jebakan Belanda untuk
menangkap Tuanku Imam Bonjol, peristiwa itu terjadi di bulan
Oktober 1837 dan kemudian Tuanku Imam Bonjol dalam kondisi sakit
langsung dibawa ke Bukittinggi kemudian terus dibawa ke Padang,
untuk selanjutnya diasingkan. Namun pada tanggal 23 Januari 1838,
ia dipindahkan ke Cianjur, dan pada akhir tahun 1838, ia kembali
dipindahkan ke Ambon. Kemudian pada tanggal 19 Januari 1839,
Tuanku Imam Bonjol kembali dipindahkan ke Manado, dan di daerah
inilah setelah menjalani masa pembuangan selama 27 tahun lamanya,
pada tanggal 8 November 1864, Tuanku Imam Bonjol menghembuskan
nafas terakhirnya.
N. Akhir peperangan
Monumen Perang Padri yang dibangun pada masa Hindia-Belanda
Meskipun pada tahun 1837 Benteng Bonjol dapat dikuasai
Belanda, dan Tuanku Imam Bonjol berhasil ditipu dan ditangkap,
tetapi peperangan ini masih berlanjut sampai akhirnya benteng
terakhir Kaum Padri, di Dalu-Dalu (Rokan Hulu), yang waktu itu
telah dipimpin oleh Tuanku Tambusai jatuh pada 28 Desember 1838.
Jatuhnya benteng tersebut memaksa Tuanku Tambusai mundur, bersama
sisa-sisa pengikutnya pindah ke Negeri Sembilan di Semenanjung
Malaya, dan akhirnya peperangan ini dianggap selesai kemudian
Kerajaan Pagaruyung ditetapkan menjadi bagian dari Pax
Netherlandica dan wilayah Padangse Bovenlanden telah berada di
bawah pengawasan Pemerintah Hindia-Belanda.
O. Warisan sejarah
Pengaruh dari peperangan ini menumbuhkan sikap patriotisme
kepahlawanan bagi masing-masing pihak yang terlibat. Selepas
jatuhnya Benteng Bonjol, pemerintah Hindia-Belanda membangun
sebuah monumen untuk mengenang kisah peperangan ini. Kemudian
sejak tahun 1913, beberapa lokasi tempat terjadi peperangan ini
ditandai dengan tugu dan dimasukan sebagai kawasan wisata di
Minangkabau. Begitu juga selepas kemerdekaan Indonesia,
pemerintah setempat juga membangun museum dan monumen di Bonjol
dan dinamai dengan Museum dan Monumen Tuanku Imam Bonjol.
Perjuangan beberapa tokoh dalam Perang Padri ini, mendorong
pemerintah Indonesia kemudian menetapkan Tuanku Imam Bonjol dan
Tuanku Tambusai sebagai Pahlawan Nasional.